Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi Sekolah Menengah ... · pengawetan makanan. Orang romawi kuno...
Transcript of Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi Sekolah Menengah ... · pengawetan makanan. Orang romawi kuno...
5
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Tambahan Pangan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan-bahan yang
ditambahkan ke dalam makanan selama proses produksi, pengolahan,
pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Menurut PP No. 28 tahun
2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, BTP didefinisikan sebagai
bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan
bentuk pangan.
Menurut Codex alimelarius committee (2005), BTP didefinisikan sebagai
bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan
merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi,
ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik
pengolahan makanan baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan
perlakuan, pengepakan, pengangkutan, dan penyimpanan produk olahan, agar
menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi
khas makanan tersebut.
Penggunaan BTP diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/Menkes/Per/x/1999 pemerintah mengizinkan penggunaan BTP yang tidak
mempunyai resiko terhadap kesehatan manusia dan melarang penggunaan BTP
yang berbahaya, seperti boraks dan senyawanya, atau melampaui ambang batas
yang diperbolehkan. Produk pangan yang mengandung BTP yang dinyatakan
terlarang tidak diizinkan beredar di masyarakat dan pelanggaran terhadap aturan
ini dikenakan sanksi yang tegas.
Khomsan (2003) menyatakan bahwa keberadaan BTP adalah untuk
membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan
teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun
hasilnya sungguh menakjubkan. BTP ternyata sudah lama digunakan dalam
pengawetan makanan. Orang romawi kuno menggunakan garam untuk
mengawetkan daging, dan sulfur untuk mencegah terjadinya oksidasi pada
minuman anggur.
Sejak pertengahan abad ke-20 peranan BTP khususnya bahan pengawet
menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP
sintetis. Banyaknya BTP dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil
dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian
BTP yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu.
Saat ini hampir semua jenis makanan dan minuman yang diproses baik dari
6
pabrik, restoran-restoran, maupun industri rumah tangga menggunakan BTP
untuk meningkatkan kepuasan konsumen (Cahyadi 2008).
Menurut Saparinto et al. (2006), menegaskan bahwa fungsi BTP dapat
dikelompokkan menjadi: (1) Meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki
nilai estetika dan sensori makanan, (3) memperpanjang umur simpan (shelf life)
makanan. BTP bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Menurut ketentuan
yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTP. Pertama, BTP yang bersifat aman,
dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, bahan BTP yang
digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum
penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, Bahan tambahan yang aman dan
dalam dosis yang tepat, serta telah mendapat izin beredar dari instansi yang
berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman (Yulianti
2007). Menurut Cahyadi (2008) pada umumnya BTP dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu sebagai berikut (1) Bahan tambahan yang ditambahkan
dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan
tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita
rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan
pengeras, dan (2) Bahan tambahan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu
bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan
selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan.
Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan dan yang Dilarang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1168/Menkes/Per/x/1999 BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut (1)
Antioksidan (antioxidant), (2) Antikempal (Anticaking Agent), (3) Pengatur
keasaman (acidity Regulator), (4) Pemanis buatan (artificial sweetener), (5)
Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent), (6) Pengemulsi,
pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener), (7) Pengawet
(preservative), (8) Pengeras (firming agent), (9) Pewarna (colour), (10) Penyedap
rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer), dan (11) Sekuestran
(sequestrant).
Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada
beberapa BTP lain yang bisa digunakan dalam pangan, misalnya (1) Enzim, yaitu
BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan
zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih
larut, dan lain-lain, (2) Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam
amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat
7
meningkatkan nilai gizi pangan, dan (3) Humektan, yaitu BTP yang dapat
menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.
Sementara BTP yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut
Permenkes RI No. 1186/Menkes/Per/x/1999, sebagai berikut (1) Natrium
tetraborat (boraks), (2) Formalin (formaldehyd), (3) Minyak nabati yang
dibrominasi (brominated vegetable oils), (4) Kloramfenikol (chlorampenicol), (5)
Kalium klorat (pottasium chlorate), (6) Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate,
DEPC), (7) Nitrofurazon (nitrofurazone), (8) P-Phenetilkarbamida (p-
Phenethycarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenyl uera), dan (9) Asam salisilat dan
garamnya (salicylyc acid and its salt)
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1168/Menkes/PER/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan
kimia yang dilarang seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyi yellow
(pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan kalsium bromat (pengeras).
Bahan Tambahan Pangan yang Sering Digunakan pada Makanan
Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada
makanan dan minuman jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan
penyedap rasa dan aroma.
Pengawet Makanan
Bahan pengawet adalah bahan yang dapat menghambat atau
memperlambat proses fermentasi, penguraian, atau pengasaman yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Zat pengawet dipergunakan untuk
mengawetkan makanan atau memberikan kesan segar pada makanan (Irianto
2007). Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan
bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik
yang bersifat patogen yang menyebabkan keracunan maupun non-patogen yang
menyebabkan kerusakan bahan makanan seperti pembusukan. Namun dari sisi
lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang apabila
pemakaiannya berlebihan kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi
orang yang mengkonsumsi baik langsung misalnya keracunan maupun tidak
langsung atau kumulatif misalnya kanker (Cahyadi 2008).
Menurut Yulianti (2007) Makanan yang menggunakan pengawet yang
tepat (menggunakan pengawet yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah
ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Kasus yang
terjadi selama ini bahwa sejumlah produsen nakal menggunakan pengawet yang
8
ditujukan untuk tekstil, plastik, bahkan pengawet mayat. Bahan-bahan pengawet
tersebut yang paling sering digunakan adalah formalin dan boraks.
Formalin biasanya digunakan sebagai pengawet mayat, tetapi dalam
beberapa makanan seperti mie basah, tahu, ikan asin, bakso, dan permen
ditemukan adanya formalin. Sementara boraks yang biasanya digunakan
sebagai fungisida, herbisida dan insektisida, meskipun bukan pengawet
makanan sering pula digunakan sebagai pengawet dan pengenyal makanan
antara lain bakso, lontong, mie, kerupuk dan berbagai makanan tradisional. Ciri-
ciri bakso yang mengandung formalin dan boraks yakni sangat kenyal, warna
lebih putih dan akan menjadi abu-abu tua jika ditambahkan obat bakso
berlebihan (Yulianti 2007).
Menurut Saparinto et al. (2006) menyatakan bahwa ada beberapa bahan
pengawet alternatif yang aman untuk menggantikan formalin yaitu (1) Asam
Laktat Kubis, sebagai pengawet ikan segar dapat disimpan selama 12 jam dalam
suhu kamar, (2) Khitosan, merupakan limbah atau produk samping dari
pengolahan udang dan rajungan yang sangat efektif untuk mengawetkan ikan
asin, teri, cumi asin mampu bertahan selama 3 bulan, (3) Kepayang
(kluwek/pucung/hapesang), dapat mengawetkan ikan segar selama 6 hari, (4)
Asap Cair, merupakan dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap
dari pirolis kayu atau tempuruk kelapa (pengawet ikan, mie basah, tahu, bakso).
Pewarna Makanan
Zat pewarna ditambahkan ke dalam makanan bertujuan untuk menarik
selera dan keinginan konsumen. Zat-zat pewarna alam yang sering digunakan
misalnya kunyit dan daun pandan. Dibandingkan dengan pewarna alami maka
bahan pewarna buatan mempunyai banyak kelebihan yaitu dalam hal aneka
ragam warnanya, keseragaman warna, kestabilan warna, dan penyimpanannya
lebih mudah serta lebih tahan lama (Winarno 1997).
Irianto (2007) menegaskan bahwa hampir setiap makanan olahan telah
dicampur dengan pewarna sintetis mulai dari jajanan anak-anak, kerupuk, tahu,
terasi bahkan buah dingin termasuk mangga. Jika penggunaan bahan-bahan
sintetis tersebut secara terus menerus dan melebihi dari kadar yang sudah
ditentukan, maka akan terakumulasi dalam tubuh yang akhirnya akan merusak
jaringan atau organ tubuh seperti hati dan ginjal. Bahan-bahan sintetis ini tidak
saja menganggu kesehatan jika terakumulasi, tetapi juga dapat menyebabkan
nilai gizi pada makanan tertentu berkurang.
Dalam memilih makanan sebaiknya hindari makanan dengan warna
merah, kuning, dan hijau maupun warna-warna lain yang terlihat ’mencolok’,
9
karena tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut
berasal dari bahan pewarna non-makanan seperti pewarna tekstil yang sangat
berbahaya bagi kesehatan (Yulianti 2007). Menurut Permenkes No.
1168/Menkes/PER/X/1999 batas aman penggunaan bahan pewarna yaitu 30-
300 mg/kg BB/hari tergantung jenis BTP yang digunakan.
Pemanis Makanan
Cahyadi (2008) menyatakan bahwa industri pangan dan minuman lebih
menyukai menggunakan pemanis sintetis karena selain harganya relatif murah,
tingkat kemanisan pemanis sintetis jauh lebih tinggi dari pemanis alami. Hal
tersebut mengakibatkan terus meningkatnya penggunaan pemanis sintetis
terutama sakarin dan siklamat. Rasa manis yang dirasakan dari pemanis sintetis
biasanya menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan
bertambahnya bahan pemanis ini. Dalam kehidupan sehari-hari, pemanis buatan
sakarin dan siklamat maupun campuran keduanya sering ditambahkan ke dalam
berbagai jenis jajanan anak-anak seperti makanan ringan (snack), cendol, limun,
makanan tradisional dan sirop (Yulianti 2007). Menurut WHO batas aman
penggunaan bahan pemanis sintetis yaitu 0-5 mg/kg BB/hari.
Penyedap Rasa dan Aroma Makanan
Menurut Permenkes RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 penyedap rasa
dan aroma didefenisikan sebagai BTP yang dapat memberikan, menambah atau
mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi
sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima, dan lebih
menarik. Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu makanan
seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon dan sebagainya (Cahyadi 2008).
Monosodium Glutamat (MSG) adalah salah satu penyedap sintetis yang
merupakan senyawa kimia yang dapat memperkuat atau memodifikasi rasa
makanan sehingga makanan tersebut terasa lebih gurih dan nikmat. Tetapi bila
dibandingkan, rasa bumbu alami tentu lebih nikmat dan segar dibandingkan
MSG, meskipun sangat gurih kadang meninggalkan rasa pahit atau rasa tidak
enak di mulut. MSG dapat memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal, bintik-bintik
merah di kulit, keluhan mual, muntah, sakit kepala dan migren. Dalam jumlah
tertentu MSG masih dianggap aman. Namun demikian, untuk kesehatan
konsumen, sebagai antisipasi adanya efek buruk yang mungkin terjadi bila
mengkonsumsi dalam jumlah besar, penggunaannya harus dibatasi (Yulianti
2007). Menurut WHO batas aman penggunaan MSG yaitu 120 mg/kg BB/hari.
10
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan merupakan kesan yang ada dalam pikiran manusia, dimana
kesan tersebut merupakan hasil dari penggunaan panca inderanya (Soekanto
2002). Menurut Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Berdasarkan penelitian Rogers (1974), diacu dalam Notoatmodjo (2003)
mengungkapkan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran,
dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat tahan lama.
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran
maka tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal
maupun informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di
sekolah, dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat
usia sasaran. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara
struktural dan tidak mengenal tingkatan kronologis, keterampilan, dan
pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia
(Hayati 2000). Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal,
informal dan non formal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan
kejelasan mengenai objek tertentu (Sukandar 2009).
Menurut Sukandar (2009), pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi
makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi,
belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang
dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi
dengan sikap dan ketrampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan
seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang
lebih tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan
dan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi.
Sikap Gizi
Menurut Pranadji (1989), sikap seseorang dapat diketahui dari
kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Jadi
sikap belum merupakan suatu perubahan, akan tetapi dari sikap yang
ditunjukannya, seseorang dapat diramalkan perbuatannya.
Sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan
mengarahkan perilaku secara langsung. Dengan demikian sikap positif akan
menumbuhkan perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negative akan
menumbuhkan perilaku yang negative saja, seperti menolak, menjauhi,
11
meninggalkan, bahkan sampai hal-hal yang merusak. Didalam sikap ada tiga
komponen, yaitu : (1) Komponen kognitif, yang menyangkut pengertian,
kepercayaan, motif, dan sebagainya, (2) Komponen afektif, yang melibatkan
proses internal yang berkembang sebagai bagian dari emosi dan perasaan, dan
(3) Komponen perilaku yang membentuk kecenderungan tertentu dan
mengarahkannya pada suatu tindakan tertentu.
Sikap bersifat relatif tetap, stabil, dan terus menerus. Suatu sikap yang
sudah tumbuh dalam psikis seseorang tidak mudah akan berubah. Umum
mengetahui bahwa sikap itu terbentuk melalui pengetahuan dan pengalaman.
Bahkan untuk membentuk sikap diperlukan penguatan-penguatan
(reinforcement) yang sengaja dilakukan. Hasil belajar, pengalaman, kehidupan,
dalam kelompok mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan dalam
periode waktu yang cukup lama akan dapat menjadi sifat kepribadian seseorang.
Sikap mengandung komponen afektif. Sikap terbentuk dari pengalaman
seseorang, bertambah dan berkembang dalam psikis yang merupakan bagian
perasaan dan emosi. Perasaan erat hubungannya dengan gejala psikis yang
lain, merupakan proses internal, melibatkan keseluruhan pribadi dalam
menanggapi objek pada suatu situasi.
Pendidikan baik formal maupun non formal merupakan upaya yang
memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan. Pendidikan akan
menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga mengetahui dan
lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai objek baik segi positif maupun segi
negatifnya. Perubahan-perubahan akan memungkinkan tersentuhnya struktur
konsep penilaian yang selama ini kurang tepat.
Menurut Suhardjo (1989) sikap manusia terhadap makanan banyak
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan
oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang
diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak
menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak
suka (like or dislike) terhadap makanan. Menurut Khomsan (1997) sikap gizi
merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang
berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik.
Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial
budaya yang ada di masyrakat.
Pengukuran sikap dapat menggunakan skala sikap yang berupa
kumpulan pernyataan-pernyataan sikap mengenai objek sikap. Dalam
pengukuran sikap, pernyataan tersebut dapat dilakukan secara tertulis yang
12
merupakan jawaban subjek terhadap stimulus yang ada pada suatu skala sikap,
berupa setuju atau tidak setuju yang merupakan indikator utama subjek (Azwar
1988).
Praktek Gizi
Praktek adalah respons seseorang terhadap suatu rangsangan
(stimulus). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahui atau
disikapinya (dinilai baik). Praktek memiliki beberapa tingkatan yatu: (a) Persepsi
(perception), ialah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil, (b) Respon terpimpin (guide response), ialah dapat
melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, (c)
Mekanisme (mechanism), ialah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, dan (d) Adopsi
(adoption), ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik (Notoatmodjo 2003).
Winkel (1996) menjelaskan bahwa sikap biasanya memainkan peranan
utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan
perilaku yang positif dan sikap yang negatif menumbuhkan perilaku yang negatif.
Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat
membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang
sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000),
meskipun didukung oleh pengetahuan yang kemudian menumbuhkan suatu
sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan
bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya.
Schantz (2004) menyatakan bahwa anak akan mengkonsumsi makanan
yang tersedia bagi mereka. Jika makanan yang tersedia adalah makanan yang
sehat dan bergizi, maka mereka akan makan makanan sehat dan bergizi. Maka
dari itu, hal ini adalah kesempatan dan kewajiban orang tua untuk menawarkan
anak-anak pilihan makanan sehat. Dengan demikian, hal ini mendorong mereka
melakukan pola makan yang sehat, memberikan pendidikan gizi, dan
meningkatkan gaya hidup sehat.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia
dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan
dan pemilihan makanan (Khumaidi 1994). Sedangkan menurut Suhardjo (1989)
dalam Sukandar (2009) kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk
13
menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan
dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola
makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi makanan
diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan
bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh
fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya.
Khumaidi (1994) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada
yang baik dan ada yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat
menunjang terpenuhinya kecukupan gizi. Sedangkan kebiasaan makan yang
buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecupan gizi,
seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi.
Konsumsi pangan sebagai cara-cara individu dan kelompok individu memilih,
mengkonsumsi dan menggunakan makanan-makan yang tersedia, yang
didasarkan pada fakto-faktor sosial dan budaya dimana individu tersebut hidup.
Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
sosial ekonomi keluarga (Khumaidi 1989 dalam Sukandar 2009)
Menurut Khomsan et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi makan/pangan seseorang adalah (a) Karakteristik individu (umur, jenis
kelamin, pendidikan, pendapatan, pegetahuan gizi, kesehatan), (b) karakteristik
makanan (rasa, rupa, tekstur, harga, bumbu, kombinasi makanan), dan (c)
Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk,
jumlah keluarga, tingkat sosial pada masyarakat). Selain itu faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah pengalaman dari pendidikan gizi
serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan.
Makanan Jajanan
Moertjipto (1993) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan
makanan jajanan ialah jenis-jenis makanan yang dimakan sepanjang hari, tidak
terbatas pada waktu, tempat dan jumlah yang dimakan. Tujuan jajan ialah untuk
pengurangan rasa lapar walaupun tidak mutlak, menambah zat-zat yang tidak
ada atau kurang pada makanan utama dan lauk pauknya, dan sebagai hiburan.
Jenis makanan atau minuman yang disukai anak-anak adalah makanan yang
mempunyai rasa manis, enak, dengan warna-warna yang menarik, dan
bertekstur lembut. Jenis makanan seperti coklat, permen, jeli, biskuit, makanan
ringan (snack) merupakan produk makanan favorit bagi sebagian besar anak-
anak. Untuk kelompok produk minuman yakni minuman yang berwarna-warni (air
minum dalam kemasan maupun es sirop tanpa label), minuman jeli, es susu (milk
ice), minuman ringan (soft drink) dan lain-lain (Nuraini 2007).
14
Makanan jajanan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan
berakibat negatif, antara lain (1) Nafsu makan menurun, (2) Makanan yang tidak
higienis akan menimbulkan berbagai penyakit, (3) Salah satu penyebab
terjadinya obesitas pada anak, (4) Kurang gizi sebab kandungan gizi pada
jajanan belum tentu terjamin, (5) Pemborosan, dan (6) Permen yang menjadi
kesukaan anak-anak bukanlah sumber energi yang baik sebab hanya
mengandung karbohidrat. Terlalu sering makan permen dapat menyebabkan
gangguan pada kesehatan gigi (Irianto 2007).
Makanan dan Kesehatan
Sesuai dengan wujudnya, makanan adalah hasil dari proses pengolahan
dari suatu bahan, sedangkan bahan makanan tersebut dapat diperoleh dari hasil
pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto 1993). Irianto
et al. (2004) mengatahkan bahwa yang dimaksud dengan makanan dalam ilmu
kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di
dalam tubuh, terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi
kesehatan sel. Zat gizi yaitu zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang
dikonsumsi, mempunyai nilai yang sangat penting untuk (a) Memelihara proses
dalam pertumbuhan dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih
dalam proses pertumbuhan, dan (b) Memperoleh energi guna melakukan
kegiatan fisik sehari-hari (Kartasapoetra et al. 2008).
Fungsi makanan bagi tubuh manusia yaitu sebagai bahan penghasil
energi yang berguna untuk segala kegiatan hidup, Sebagai bahan pembangun,
yaitu untuk pertumbuhan dan perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, dan sebagai
bahan pelindung dan pengatur kerja fisiologis tubuh agar tetap lancar dan teratur.
Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan
foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi
pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen
(Adam et al. 2004).
Yulianti (2007) menyatakan bahwa keracunan makanan dapat terjadi
karena beberapa hal diantaranya aktivitas mikroorganisme. Keracunan akibat
mikroorganisme dapat dibedakan menjadi food intoxication dan food infection.
Food intoxication adalah keracunan yang terjadi karena tercemarinya makanan
oleh toksin yang ada dalam makanan. Misalnya toksin yang dihasilkan
Clostrodium botolinum dan Staphylococci. Adapun food infection terjadi karena
makanan terkontaminasi oleh parasit, protozoa atau bakteri patogen (penyebab
sakit) seperti Salmonella, Proteus, Escherichia dan Pseudomonas yang ada
dalam makanan tersebut. Keracunan makanan dapat pula disebabkan oleh
15
bahan kimia. Ketika masuk kedalam tubuh manusia zat kimia ini akan
menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia
yang masuk ke dalam tubuh.
Menurut Adam et al. (2004) umumnya penyakit yang ditimbulkan oleh
pangan berkaitan dengan gangguan pencernaan (gastroenteritis) dengan gejala
sakit perut, diare, demam, sakit kepala, mual, dan muntah-muntah. Tipus, kolera,
dientri, dan basiler, merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh pangan yang
terkontaminasi. Penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus,
hipertensi, dan sebagainya dapat disebabkan konsumsi pangan sumber
karbohidrat, lemak, gula, dan garam secara berlebihan. Efek samping
penggunaan BTP berlebih untuk jangka pendek yaitu sakit perut, diare, demam,
sakit kepala, mual, dan muntah-muntah sedangkan pada jangka panjang dapat
menyebabkan penyakit kanker, tumor, dan gangguan saraf, gangguan fungsi
hati, iritasi lambung, dan perubahan fungsi sel (Saparinto 2006).
Remaja Usia Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena
pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, maka disamping keluarga sebagai
pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan
untuk pembentukan pribadi anak (Ahmadi et al. 2003). Menurut Sutatmo (1979)
dalam Daniati (2009) menegaskan bahwa lingkungan fisik sekolah yang sehat
dapat dibagi menjadi tiga yaitu sarana dan prasarana sekolah, kebersihan
perorangan dan kebersihan lingkungan dan keamanan di sekolah. Kantin
sekolah merupakan salah satu yang termasuk dalam sarana dan prasarana
sekolah. Kantin sekolah harus memenuhi kriteria antara lain: (1) Makanan dan
minuman yang disediakan hendaknya bergizi dan memenuhi syarat-syarat
kesehatan, dan (2) dikelola oleh orang tertentu dan mendapat pengawasan
langsung dari guru mengenai makanan dan minuman yang disajikan dan
kebersihannya.
Anak sekolah adalah anak yang belajar di semua lembaga pendidikan
mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan tingkat Sekolah Menengah
Tingkat Atas. Anak-anak merupakan modal negara, mereka adalah manusia-
manusia pembangunan di hari esok, dan akan menjadi pemimpin-pemimpin
bangsa/negara pada generasi yang akan datang. Sekolah memiliki fungsi antara
lain (1) Membantu lingkungan keluarga untuk mendidik dan mengajar,
memperbaiki, dan memperdalam atau memperluas tingkah laku anak didik yang
dibawa dari keluarga serta membantu pengembangan bakat, dan (2)
Mengembangkan kepribadian peserta didik lewat kurikulum agar peserta didik
16
dapat bergaul dengan guru, dan teman-temannya sendiri, taat kepada peraturan
atau disiplin, dan dapat terjun di masyarakat berdasarkan norma yang berlaku
(Ahmadi 2003).
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari
bahasa Latin adolescere yang artinya ”tumbuh atau tumbuh untuk mencapai
kematangan”. Menurut WHO remaja adalah suatu masa dimana (1) Individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (2) Individu
mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa, dan (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi
yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 1997).
Ali et al. (2004) menyatakan bahwa fase remaja merupakan fase
perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial. Perkembangan
intelektual yang terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berfikir
operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berfikir secara lebih
abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja yang ada padanya
daripada sekedar melihat apa adanya.
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai
berikut (1) Masa remaja awal (12-15 tahun), Pada masa ini individu mulai
meninggalkan peran sebagai anak-anak dan tidak tergantung pada orang tua.
Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta
adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya, (2) Masa remaja
pertengahan (16-18 tahun), Masa ini ditandai dengan berkembangnya
kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini remaja mulai mengembangkan
kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan diri, dan membuat keputusan-
keputusan yang ingin dicapai, dan (3) Masa remaja akhir (19-22 tahun). Menurut
Agustiani (2006), masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-
peran orang dewasa. Cirinya adalah keinginan yang kuat untuk menjadi matang
dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa.
Status Gizi Anak Sekolah
Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan
kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Selanjutnya
menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan
keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian gizi yang dilakukan secara langsung meliputi antropometri, biokimia,
17
klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki
kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Penilaian status gizi secara antropometri memiliki beberapa keunggulan
seperti prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah
sampel yang besar, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah,
mudah dibawa, hasilnya akurat dan tepat, dapat mendeteksi atau
menggambarkan riwayat gizi di masa lampau, dan umumnya dapat
mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada
ambang batas yang jelas. Metode antropometri juga dapat mengevaluasi
perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Serta metode antropometri juga dapat digunakan untuk pelapisan
kelompok yang rawan terhadap gizi (Supariasa et al 2001).
Gibson (2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri
yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks
antropometri dapat dinyatakan dalam istilah z-skor, persentil atau persen
terhadap median. Indikator BB/u menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini
karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan
tidak hanya dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB).
Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB
menggambarkan status gizi saat ini secara sensitif dan spesifik. Menurut WHO
(2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak
menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh
berdasarkan umur (IMT/U).