BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Perbankan Pengertian ...
Pengertian Kesengajaan
-
Upload
basilkxz-wizardz -
Category
Documents
-
view
13 -
download
5
description
Transcript of Pengertian Kesengajaan
1.3.1. Pengertian Kesengajaan (Dolus)
Dalam kitab undang undang hukum pidana (criminal weboek)tahun 1809 dicantumkan
pengertian tentang kesengajaan yaitu “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan undang undang”. Dalam Memory
Van Toelichting (MvT) menteri kehakiman sewaktu pengajuan criminal wetboek tahun 1881
(yang menjadi KUHP Imdonesia tahun 1915) dijelaskan pengertian sengaja yaitu “dengan
sadar dari kehendak melakukan kejahatan tertentu”
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan
perbuatan yang merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan
terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan
dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau
membayangkan.
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendaki dari suatu
akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengaharapkan atau membayangkan
suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan
dibayangkan sebagi maksud tindakan itu sendiri dan karena itu tindakan yang bersangkutan
dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu dibuat. Teori ini menitik beratkan
pada apa yang diketahu atau dibayangkan sipembuat, ialah apa yang terjadi pada waktu ia
berbuat.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur unsur
delik dalan rumusan undang undang. Sebagai contoh A mengarahkan pistol kepada B dan A
menembak mati B ; A adalah “sengaja” apabila A benar benar menghendaki B mati.
Menurut Van Hattum opzet (sengaja) secara ilmu bahasa berarti oogemark (maksud)
dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang undang, opzetelijk (dengan sengaja)
diganti dengan willen en watens (menghendaki dan mengetahui).
Pompe mengatakan bahwa apabila orang mengartikan maksud (oogemark) sebagai
tujuan (bedoeling) seperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud
(oogemark) dan sengaja (opzet). Apabila maksud (oogemark) dibatasi sampau tujuan
terdekat (naste doel) dari pembuat, berarti pengertian maksud (oogemark) selalu berarti
sengaja (opzet).
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja yaitu niat (veerhomen) dan dengan
rencana lebih dahulu (met voorberacterade). Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan
dikatakan : “percobaan melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”(ayat1).
Maka dipersoalkanlah apakah ada perbedaan antara niat dan kesengajaan. Van
Bemmellen tidak melihat adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan
pembunuhan, apabila pembunuh menembak korbannya tapi meleset, maka niat dan
kesengajaan jatuh bersamaan. Karenanya niat katanya harus dinyatakan dengan tindakan
pelaksanaan, maka tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan.
Adapun pembagian jenis sengaja dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark).
2. Sengaja dengan kesadaran kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid)
3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met
waarschlijkheidbewustzijn)
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktek peradilan
di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata mata
kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak corak yang lain. Jadi dalam
praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan
putusan sesuai dengan tingkat kesalahanan terdakwa.
1.3.2. Pengertian Kelalaian (Culpa)
Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memori
penjelasan (memory van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara
sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding
dengan kesengajaan. Oleh karena itu Hazenwinkel-Suringa mengatakan bahwa delik culpa
merupakan delik semu(quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa teori
tentang kelalaian atau culpa itu juga dikenal pula dinegara negara penganut sistem hukum
anglo-saxon yang juga disebut sebagai per infortunium the killing occured accidently.
Dalam memori jawaban pemerintah belanda (MvA) tahun 1881 mengatakan bahwa
siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berati menggunakan salah kemampuannya.
Sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti mempergunakan
kemampuannya yang ia harus pergunakan.
Van Hammel membagi culpa atas dua jenis yaitu:
a. Kurang melihat kedepan yang perlu
b. Kurang hati hati yang perlu
Yang pertama terjadi jika membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak
membayangkan akibat yang akan terjadi. Yang kedua misalnya ia menarik picu pistol karena
mengira tidak ada isinya (padahal ada).
Vos mengkritik pembagian Van Hammel mengenai culpa (schuld) ini dengan
mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antara kedua bagian tersebut. Ketidak hati-
hatian itu sering timbul karena kurang melihat kedepan. Oleh karena otu Vos membuat
pembagian juga tentang culpa (kelalaian ini). Jikalau Van Hammel membedakan culpa
menjadi dua jenis maka Vos membedakan dua unsur (element) culpa itu. Yang pertama ialah
bahwa terdakwa dapat melihat kedepan yang akan terjadi. Yang kedua ketidak hati-hatian
(tidak dapat dipertanggungjawabkan) perbuatan yang dilakukan atau dengan kata lain harus
ada perbuatan yang tidak boleh atau dengan tidak cara demikian dilakukan.
Mengenai kekurang hati-hatian Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat
melihat kedepan akibat tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi
berbahaya dilakukan menurut keahliannya yang dapat melihat adanya kemungkina kematian,
tetapi itu bukanlah culpa. Disini perbuatan tersebut masih dapay dipertanggungjawabkan.
Jadi untuk dipandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat
sesuatu yang lain daripada yang seharusnya ia lakukan. Makud Vos ialah masih ada unsur
kedua yaitu kurang hati hati.
Sering dipandang suatu bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk diancam dengan
pidana, cukup dicari sarana laian daripada pidana. Disitu pidana harus benar benar
dipandang sebgai obat terakhir (ultimum remedium). Misalnya perbuatan karena salahnya
menyebabkan rusaknya barang orang lain dalam hal ini cukup dengan tuntutan perdata
sesuai dengan pasal 1363 BW. Lain halnya dalam yang bersifat khusus, misalnya karena
kelalaiannya menyebabkan rusaknya bangunan kereta api, telegraf, kabel telepon atau listrik.
Walaupun pada umumnya delik kelalaian (culpa) dipandang lebih ringan dan oleh
karena itu ancaman pidannya juga lebih ringan dari pada yang dilakukan dengan sengaja,
misalnya peristiwa tenggelamnya kapal Tanpomas 2 yang mengakibatkan meninggalnya
ratusan orang dibanding dengan pembunuhan dengan sengaja yang korbannya hanya seorang
saja. Untuk mengancam pidana beray bagi perbuatan kelalaian seperti yang tercantum di
dalam pasal 359 KUHP, sebenarnya untuk bertujuan prevensi umum, demikian menurut
Muller.
Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu
delik kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdrijven) dan yang tidak
menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian
itu sendiri. perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami, yaitu bagi kelalaian (culpa)
yang menimbulkan akibat itu maka terciptalah delik kelalaian (culpa) sedangkan bagi yang
tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah
diancam pidana.
2.1 Alasan Penghapus Pidana Dalam Sistem Hukum Indonesia
Pembahasan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam buku I
Bab III tentang hal hal yang menghapuskan atau memberatkan pengenaan pidana. Dalam
KUHP hukum positif yang berlaku secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama yaitu bagiam umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang peraturan umum) dan
bagian khusus yang terdiri dari dua buku sebagaimana yang terdapat dalam buku kedua
(tentang kejahatan) dan buku ketiga (tentang pelanggaran). Alasan penghapus pidana
disamping diatur dalam bagian umum buku kesatu KUHP (yang berlaku secara umum) juga
pengaturannya terdapat dalam bagian khusus buku kedua KUHP (Berlaku secara khusu bagi
tindak pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).
Di dalam bagian pertama, buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang
pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapus pidana
yaitu sebagai berikut:
1.4.1. Alasan Pemaaf
Dalam ketentuan umum KUHP alasan penghapus pidana ini dirumuskan dalam buku
kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III buku kesatu KUHP yang terdiri dari pasal 44, pasal 48
sampai dengan pasal 51 KUHP.
a. Pasal 44 KUHP (pelaku yang sakit jiwanya) yang berbunyi:
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena
kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk
diperiksa.
3. Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Dalam pasal 44 KUHP ini tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan
khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit
jiwa atau kurang sempurna akalnya saat perbuatan itu dilakukan.
Disamping itu berdasarkan ayat 3 dari pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum
pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi
maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita
sakit jiwa atau sakit berubah akak hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu
kejiwaan (psikologi). Psikologlah yang menentukan apakah pelaku memang memang
menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kasual keterikatan dengan apa
yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusannya
tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima atau
menolak keterangan yang diberikan psikiatri tesebut. Penerimaan maupun penolakan hakim
ini tentunya harus di uji berdasarkan kepatutan atau kepantasan.
b. Pasal 48 KUHP (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa) berbunyi:
“barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak
dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum”
Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan”
tersebut. Akan tetapi menurut memorie van toeleting (MvT) yang dimaksud dengan paksaan
itu adalah “een kracht, een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan
bieden”(suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan tidak dapat dilawan tidak dapat
ditahan).
Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana,
akan tetapi hanya paksaan yang benar benar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh
pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana. Paksaan
mana: biasa dikenal dengan istilah paksaan yang absolute, misalnya seseorang yang dipaksa
untuk menandatangi suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan yang dipegang oleh
orang lain yang lebih kuat.
c. Pasal 49 ayat 1 ( perbuatan yang dilakukan membela diri) yang berbunyi:
“barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukanya untuk mempertahankan
dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau
kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera
pada saat itu juga tidak boleh dihukum.”
Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan karena membela tubuh, kehormatan atau harta benda
sendiri ataupun orang lain.
2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat
itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan
mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum
adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah
berakhir.
3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar benar terpaksa atau
dalam keadaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu
keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut.
Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ni diperlukan adalah untuk membela
hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional/seimbang.
Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan
menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang menggunakan tangan
kosong.
d. Pasal 49 ayat 2 KUHP (tentang pembelaan diri yang melampaui batas) yang berbunyi:
“melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan dengan sekonyong-
konyong dilakukan karena perasaan tergonjang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh
dihukum.”
Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah benar tedapat
hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa sehingga ia
melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya
merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang
melawan hukum, akan tetapi pelakunya dinyatakan tidak bersalah, kesalahannya pun
dihapuskan.
e. Pasal 50 KUHP (melaksanakan peraturan perundang-undangan) yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-
undangan tidak boleh dihukum”
Dalam penjelasan pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan
sesuatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi dilakukan berdasarkan
perintah undang undang maka pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan perbuatannya itu
memang dilakukan untuk kepentingan umum. Bukan untuk kepentingan pribadi pelaku.
Masalahnya adalah apakah yang dimaksud dengan undang undang tersebut, dan apakah juga
termasuk peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena bertentangan
dengan undang undangan diatasnya (secara hierarkhis).
Demikian pula dalam hal menjalankan perintah undang-undang ini harus dilakukan
secara proporsional/seimbang, misalnya seorang polisi yang menembak penjahat dapat
dibenarkan daripada ia menenmbak orang yang melanggar lalu lintas yang melarikan diri.
f. Pasal 51 ayat (1) KUHP (melakukan perintah jabatan yang syah) yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak tidak boleh dihukum”
Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang/berhak
(perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang diperintah melaksanankannya karena
sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan
bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus diperhatikan asas
keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui batas keputusan dari orang
yang memerintah.
g. Pasal 51 ayat (2) (melakukan perintah jabatan yang tidak syah dianggap syah) yang
berbunyi:
“perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan
hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaan memandang bahwa
perintah itu seakan akan diberikan oleh kuasa yang berhak dengan dan menjalankan perintah
itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi.”
Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahannya (kesalahan yang
dibebankan kepada orang yang memberi perintah). Dengan kata lain pelaku melaksanakan
perintah yang tidak sah dapat dihapuskan pidananya apabila memmenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah.
2. Dilakukan dengan itikad baik.
3. Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas tugasnya (yang biasa ia lakukan).
Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas tugasnya yang biasa ia
lakukan, maka itikad baiknua dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi dalam hal ini
(pembuat undang undang) menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas
atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya
sendiri. Dengan kata lain seseorang menerima perintah dari seseorang atasan haruslah
waspada dan teliti.
Di dalam bagian kedua, terdapat juga bagian khusus yang terdapat dalam buku kedua
(tentang pengaturan khusus) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapus
pidana sebagai berikut:
1.4.2. Alasan Pembenar
Alasan pembenar adalah sifat melawan hukum suatu perbuatan hapus atau tidak
terbukti, maka perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar segihingga terdakwa harus
dibebaskan oleh hakim. Dalam KUHP terdapat pasal pasal yang mengatur tentang alasan
pembenar sebagai berikut:
a. Pasal 166 KUHP
“ketentuan pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan
mendatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya
sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan lurus atau derajat kedua atau
ketiga dari keturunan menyimpang bagi suami (istrinya) atau bekas suaminya (isterinya)
atau bagi orang lain, yang kalau dituntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberi
keterangan sebagai saksi, berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.”
Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan pasal 165 yang memberikan ancaman
pidana kepada seseorang yang meskipun mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan
tertentu yang sangat rahasia sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib
pada waktu tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau di cegah. Sanksi pidana ini baru
dapat dijatuhkan apabila kemudian ternyata tindak pidana itu kemudian benar benar terjadi.
Jadi menurut pasal 166, kedua pasal tersebut (pasal 164 dan 165) tidak berlaku apabila
si pelaku melakukan tindak pidana tersebut untuk menghindarkan dari penuntutan terhadap
dirinya sendiri atau terhadap sanak keluarganyya dalam keturunan lurus atau kesamping
sampai ke derajat ketiga atau terhadap suami atau istri atau terhadap seseorang yang dalam
perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban kesaksian di muka sidang pengadilan.
b. Pasal 186 ayat 1 KUHP
“saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihukum”
Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini diatur dalam Bab VI KUHP yaitu tentang
“perkelahian satu lawan satu” yang terdapat dalam pasal 182 sampai dengan pasal 186. Akan
tetapi saksi-saksi atau medis yang mengakhiri atau yang menyaksikan perang tanding ini
(misalnya dalam olahraga tinju, karate, dan lain sebagainya tidak boleh dihukum
berdasarkan pasal 186 KUHP ini.