PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM · PDF filekurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen,...
Transcript of PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM · PDF filekurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen,...
1
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM MENOPANG NEGARA MANDIRI DAN BERDAULAT1
Oleh: Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc2
Dia (Allah) menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya (QS: Ar-Ruum, Ayat 25)
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS: Ar-Ruum, Ayat 41)
PENDAHULUAN
Situasi perekonomian dunia saat ini seolah tersandera oleh permasalahan fiskal di
Eropa dan Amerika Serikat. Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram bagi
dunia karena krisis keuangan di Amerika Serikat (AS), yang dipicu oleh krisis subprime
mortgage pada medio 2006. Imbas negatif dari krisis keuangan itu terjadi di Negara-
negara sedang berkembang karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara
pasar keuangan AS dan dunia, yaitu melalui harga saham. Kerugian bank-bank
internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan
kurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen, selanjutnya memicu penurunan harga
saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS berdampak pada
pelambatan ekonomi dunia.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Ekonomi Indonesia
Dampak berikutnya dari penurunan harga saham di negara berkembang adalah
adanya pelarian modal ke instrumen yang kurang berisiko (misalnya surat utang negara
maju atau emas) sehingga kurs mata uang negara berkembang melemah. Sebagai salah
satu negara yang memiliki kaitan dengan ekonomi AS, Indonesia pun tak luput dari
guncangan ini. Semestinya, Indonesia tidak harus menerima dampak langsung dari krisis
di AS, karena instrumen keuangan penyebab krisis di AS bukan merupakan komponen
dominan di pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, pasar keuangan Indonesia terkena 1 Makalah Pembicara pada KIPNAS X di Jakarta atas kerjasama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional pada tanggal 8-10 November 2011. 2 Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya & Lingkungan Faperta IPB dan Komisaris Utama PT. Bank
Rakyat Indonesia, Tbk.
2
dampak tidak langsung akibat imbas ekspektasi negatif pasar (dampak psikologis),
sehingga investor ikut-ikutan panik dan bursa saham terguncang.
Sejumlah proyeksi yang dilakukan berbagai lembaga keuangan menunjukkan
bahwa krisis masih berlanjut di tahun 2011, bahkan diperkirakan semakin dalam. IMF
pada awal November 2008, “terpaksa” merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global
yang dikeluarkannya pada bulan Oktober 2008. Revisi IMF didasari pertimbangan karena
persoalan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini sangat serius sehingga akan mengoreksi
capaian pertumbuhan ekonomi global di tahun-tahun mendatang.
Lembaga keuangan dunia (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia
pada tahun 2009 hanya akan mencapai 2,2%, atau terpangkas 0,8% dibandingkan
proyeksi yang dibuat pada Oktober 2008 (lihat Tabel Lampiran 1). Bahkan,
perekonomian AS diyakini masih mampu tumbuh positif 1,75% tahun 2011 dan 2,35%
pada tahun 2012, walaupun perkiraan tersebut turun 1,6% lebih rendah dari perkiraan
sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang pertumbuhannya negatif
-3%. Sebenarnya, krisis keuangan tahun 2008 ini belum benar-benar pulih, akibatnya
hampir semua Negara harus mengambil kebijakan ekspansi fiskal untuk mengatasi
dampak buruk yang ditimbulkannya. Negara maju maupun emerging market harus
menanggung angka deficit yang ‘menggelembung’, AS yang sudah tersandera deficit -
1,3% dari PDB nya pada tahun 2007 harus menanggung beban lonjakan deficit menjadi -
4,8% (2008) dan -10,4% (2009), yang terus melebar hingga US$ 1,28 triliun untuk tahun
fiskal 20113. Berbagai prediksi menunjukkan bahwa krisis keuangan tahun 2011 ini tidak
separah krisis keuangan tahun 2008, karena output perekonomian tidak mengalami
kontraksi seperti tahun 2008. Namun demikian, beberapa tahun kedepan dampak kondisi
perekonomian global ini harus tetap diwaspadai.
Dampak “Krisis Finansial Global” yang terjadi pada tahun 2008 mengakibatkan
beberapa Negara di kawasan Asia mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi yang
sangat tajam. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 masih relatif baik
(pertumbuhan 6,1% tahun 2008 menurun menjadi 4,6% tahun 2009) dibandingkan
dengan Negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara, seperti Kamboja dan
Malaysia dengan pertumbuhan negatif (-1%), kemudian Philipina hanya 1,9% yang
sebelumnya mencapai 7,2 % (Tabel 1).
3 Seperti informasi dan data dalam tulisan berjudul “ Krisis AS dan Disiplin Fiskal’ http://www.investor.co.id diunduh pada 11/8/2011 pukul 10.03
3
Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara Kawasan Asia Tahun 2008 dan 2009
NO NEGARA 2008 (%)
2009 (%)
1 China 13,0 6,5 2 Filipina 7,2 1,9 3 Indonesia 6,1 3,4*/4,6** 4 Kamboja 10,2 - 1,0 5 Malaysia 6,3 - 1,0 6 Vietnam 8,5 5,5
Sumber: Bank Dunia & Biro Pusat Statistik, 2010. Catatan: *) Prediksi Bank Dunia; **) Prediksi BPS
Kondisi perekonomian Indonesia itu didukung dengan data proyeksi PDB dunia
yang diterbitkan oleh lembaga keuangan IMF. PDB Negara Indonesia relatif baik, pada
tahun 2009 walaupun menurun menjadi 3,5% dari 6% pada tahun 2007-2008, namun
angka tersebut naik menjadi 4% pada tahun 2010 (Tabel Lampiran 1), optimis dapat
tumbuh impresif pada angka 6,5% tahun 20114, dan bahkan diprediksi 7% pada tahun
2012 jika Indonesia mampu memanfaatkan krisis hutang AS dan Eropa.
Bagaimanapun krisis keuangan AS dan Eropa dalam jangka pendek memberikan
dampak bagi sektor moneter (melalui saham dan obligasi) dan sektor riil (melalui
penurunan nilai ekspor Indonesia ke AS sekitar 11% dan ke Eropa sekitar 13%). Namun
dalam jangka menengah dan panjang, krisis tersebut merupakan peluang bagi
perekonomian Indonesia jika dana menganggur di pasar internasional yang tidak terserap
oleh sektor riil di Negara yang bersuku bunga rendah (sebagai dampak krisis utang
membuat suku bunga di AS dan Eropa tetap rendah) dapat terserap oleh Indonesia, atau
dengan kata lain jika Indonesia mampu mendorong capital inflow tersebut ke investasi
jangka panjang5 melalui pembangunan pabrik, dan sebagainya.
Menuju Negara Mandiri dan Berdaulat Indikator pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun 2009 hingga
tahun 2011, walau sempat turun tahun 2008-2009, dan persentase pengangguran yang
terus menurun selama periode tahun 2006-2011, menunjukkan bahwa perekonomian
Indonesia relatif baik ditengah-tengah krisis keuangan global (Tabel 2).
4 -Idem ditto- 5 Tersurat dalam “Peluang Indonesia Ditengah Badai Krisis Utang Amerika dan Eropa” http://mohammedfikri.wordpress.com diunduh 11/8/2011 pukul 9:57 AM
4
Sumber: Kompas (2011) dalam http://mohammedfikri.wordpress.com (2011).
Tabel 2. Realisasi Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2005-2011
Dengan melihat spektrum krisis global saat ini, yang harus diperhatikan adalah
bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di
tahun-tahun mendatang, dengan mempersiapkan langkah-langkah strategis baik berupa
kebijakan maupun strategi ekonomi yang tepat. Hal yang dapat menyangga/menopang
kondisi ekonomi Indonesia dari terpaan krisis finansial global antara lain adalah:
(1) Sumberdaya alam yang cukup berlimpah
(2) Kinerja pembangunan Sektor Pertanian Pangan (beras, kedelai, dan jagung)
(3) Kebijakan ekonomi-politik pemerintah (pengeluaran pemerintah untuk subsidi;
pupuk; obat-obatan; dan bibit bersertifikat dan adanya kredit usaha rakyat/KUR)
Sebagai negara yang memiliki potensi SDA dan SDM yang berlimpah
(abundant/endowment), Indonesia seharusnya dapat menjadi negara kuat, mandiri dan
berdaulat. Negara dikatakan kuat dan mandiri jika Negara tersebut mempunyai ketahanan
dan kedaulatan di bidang pangan, bidang energi dan bidang finansial. Dengan demikian,
sebuah negara akan menjadi kuat, mandiri dan berdaulat jika ditopang oleh tiga pilar
ketahanan yang meliputi: (1) ketahanan pangan (food security), (2) ketahanan energy
(energy security), dan (3) ketahanan financial (financial security). Ketiga pilar tersebut
saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dibangun bersama-sama.
5
Gambar 1. Tiga Pilar Utama Penyangga Negara Kuat & Mandiri Sumber: Bunasor Sanim (2007)
Apabila potensi yang dimiliki dapat dikelola dengan baik, maka permasalahan
kemiskinan dan pengangguran di Indonesia akan dengan mudah dapat diatasi. Namun
karena pengelolaan yang kurang professional dan masih adanya oknum-oknum manusia
yang kurang amanah (moral hazard, rent seeker, dan free rider), maka Indonesia
mengalami kerawanan dalam ke-3 pilar tersebut sehingga selalu terkena dampak krisis
yang berasal dari luar. Pengejewantahan Negara kuat dan mandiri tidak hanya dilihat dari
sisi ekonomi, tetapi juga harus dilihat secara komprehensif, termasuk aspek non ekonomis
(seperti aspek politik, sosial, budaya, sumberdaya dan lingkungan). Secara hal tersebut
diatas telah diungkapkan oleh Joseph Stiglitz (peraih Nobel Prize bidang Ekonomi pada
tahun 2001), yang menyatakan bahwa:
“Economic problems cannot be solved merely by economic variables, but should be accompanied by non economic variables (i.e. legal aspect, good governance, eradicate corruption, moral hazard (rent seeker, free rider, etc))”.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, termasuk juga bagaimana sumberdaya air
dikelola dengan baik dan kebijakan pertanian (ketahanan pangan) dan kebijakan energi
diformulasikan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang kuat dan mandiri.
Pengalaman pembangunan suatu Negara di dunia tidak luput dari peran dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mendukung secara efektif
dan efisien serta berkelanjutan untuk menopang negara kuat dan mandiri.
Relasi Sumberdaya Air, Pertanian, Energi dan IPTEK
Pendekatan holistik dalam manajemen SDA diarahkan untuk mewujudkan sinergi
dan keterpaduan antar wilayah, antar sektor dan antar generasi dalam memperkokoh
6
persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara kuat dan
mandiri maka relasi yang sinergis antara pengelolaan sumberdaya air, kebijakan pertanian
dan kebijakan energi yang didukung dengan pengembangan IPTEK, adalah mutlak harus
tersedia dan terbangun.
Sumberdaya Air dan Energi
Air sebagai sumberdaya yang terpulihkan (renewable resources) memiliki manfaat
yang besar bagi pembangunan, antara lain dapat menghasilkan energi alternative.
Beberapa pemanfaatan sumberdaya air yang digunakan sebagai sumber energi antara lain
sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Ombak (PLTO).
PLTMH ini juga dikenal sebagai ‘energi putih’ (white resources) karena
merupakan energy yang berasal dari alam dan lebih ramah lingkungan. Mikrohidro
berpotensi mengubah tenaga air menjadi daya listrik, yang selanjutnya dapat
menggerakkan penggilingan padi (pertanian) dan saluran irigasi, dengan menerapkan
teknologi berskala kecil untuk mengubah air menjadi listrik. Hingga saat ini, PLTMH ini
sedang dikembangkan oleh Tri Mumpuni (alumnus IPB, yang memperoleh Climate Hero
pada tahun 2005 dari Wild World Fund International, dan tahun 2011 diundang Barack
Obama dalam ‘Presidential Summit on Enterpreneurship’ di Washington, USA). Cikal
bakal PLTMH yang dikembangkannya dimulai di Desa Curuagung, Kabupaten Subang
(pada tahun 1990). Sumberdaya air melalui PLTMH dapat menghasilkan energi berdaya
13 KiloWatt yang pada saat itu dapat menerangi sekitar 121 RT. Target pada tahun 2010
membangun 60 PLTMH di seluruh desa di Indonesia. Sejak tahun 2009, telah
dikembangkan Program Pemerintah 2000 ‘DESA MANDIRI ENERGI’, yaitu desa
mandiri yang mengembangkan energi yang berbasiskan pada bahan bakar non nabati,
seperti Microhidro, tenaga surya dan biogas, sebanyak 1000 desa dan 1000 desa mandiri
energi berbasiskan pada bahan bakar nabati, seperti biofuel.
Pembangkit energi listrik yang dikembangkan dari sumberdaya air lainnya adalah
PLTA, yang merupakan ‘blue energy’. PLTA yang terkenal di dunia adalah ‘Three
Gorges’, yang merupakan bendungan PLTA terbesar di dunia yang menghasilkan energi
dan daya listrik sangat besar. Di Indonesia-pun dikenal terdapat beberapa PLTA, seperti
PLTA Saguling, PLTA Jatiluhur, PLTA Cirata, PLTA Karang Kates, PLTA Juanda,
PLTA Gajah Mungkur, PLTA Sempor, dan lainnya. Pembangkit Listrik Tenaga Ombak
7
(PLTO), seperti yang sedang dikembangkan di Pantai Baron, Wonosari, DIY dan di
Malang, dengan memanfaatkan potensi ombak dari laut yang tersebar di Indonesia.
Relasi Sumberdaya Air dan Pertanian
Selain merupakan potensi bagi pengembangan energi, sumberdaya air juga
memiliki peran yang sangat besar bagi pengembangan pertanian. Pemanfaatan air,
sebagai renewable resources, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi
pertanian, yaitu:
(a) Sekitar 69% air bagi saluran irigasi dan sisanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan industry sebesar 15% dan air domestic untuk kebutuhan rumahtangga
15%. Untuk memenuhi 69% kebutuhan irigasi di beberapa Negara di dunia dikenal
dengan “Manajemen Irigasi Tetes”, yang telah menunjukkan keberhasilannya, yaitu
berupa dapat meningkatkan produksi pertanian namun dengan penggunaan air yang
sangat efisien. Beberapa lesson learned dari Negara-negara yang telah menerapkan
irigasi tetes, adalah:
(i) Brasil, dengan manajemen irigasi tetes mampu melakukan efisiensi 30% dari
total air yang digunakan dalam bidang pertaniannya,
(ii) India, dengan manajemen irigasi tetesnya mampu mengefisiensikan 70% dari
jumlah air yang dipakai untuk pertanian,
(iii) Italia, dengan manajemen irigasi tetes dapat mengefisiensi 45% energi untuk
memompa air irigasi bagi kebutuhan pertaniannya.
(b) Pemanfaatan sumberdaya air yang dapat diaplikasikan kedalam Good Agricultural
Practice (GAP) guna meningkatkan produksi pertanian di beberapa Negara.
(c) Konservasi Air bagi pertanian lahan kering dengan penggunaan teknologi tepat guna
(d) Pemanfaatan air berdasarkan bentang alam, yang disebut dengan Daerah Aliran
Sungai (DAS), cukup potensial sebagai sumber ketersediaan air bagi irigasi pertanian
ataupun kebutuhan lainnya. Sayangnya, di Indonesia banyak DAS yang berada
dalam kondisi sangat kritis. Hingga tahun 2010, terdapat 180 DAS dalam kondisi
rusak parah dari 4000 DAS yang ada di Indonesia (Laporan Kemenhut, 2011).
Disamping itu, terdapat relasi yang dapat dibangun antara pertanian dengan energi,
yaitu ditunjukkan dengan banyak komoditas dan produk pertanian digunakan untuk
menghasilkan energi alternatif, terutama dikembangkan pada saat terdapat masalah
kelangkaan dengan sumber energi fosil, seperti:
8
(a) Beberapa produk perkebunan dan hortikultura yang dapat diolah menjadi energi
‘biofuel”, seperti: Kelapa sawit, Jarak, Jagung, Kedele, Tebu, dan lainnya
(b) Menyediakan limbah produk pertanian, perkebunan, dan peternakan, yang
selanjutnya dapat diolah menjadi energi ‘biogas’, seperti dari limbah kotoran sapi,
air limbah tahu, dan lainnya.
(c) Pemanfaatan energi surya dalam menggerakkan mekanisasi pertanian untuk
meningkatkan produksi pasca-panen dan added value pertanian
Relasi antara sumberdaya air, pertanian, energi dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat berjalan sinergis dan simultan, dengan syarat
pengembangannya harus memenuhi syarat dan tujuan dalam pembangunan berkelanjutan.
Munasinghe (1992) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan menyangkut tiga
tujuan yang harus dicapai secara simultan sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan
masyarakat, yaitu:
(1) tujuan Ekonomi; meliputi pertumbuhan ekonomi, peningkatan output dan
pembentukan modal serta peningkatan daya saing.
(2) tujuan Sosial; yaitu kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketentraman.
(3) tujuan Ekologis; menyangkut pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan,
mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak eksternalitas
positif dalam proses kegiatan pembangunan.
Dari uraian diatas, ditunjukkan bahwa sumberdaya air menduduki posisi yang sangat
penting dan strategis dalam hidup dan kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara
(termasuk bangsa Indonesia), bahkan pada masyarakat global. Pertanyaannya sekarang,
bagaimanakah air dan sumberdaya air dapat dikelola dengan baik dalam implementasi
pembangunan yang berkelanjutan tersebut?
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR YANG MANDIRI DAN BERDAULAT
Air Sebagai Kebutuhan Dasar Manusia
Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi,
yaitu pasal 33 UUD 1945 ayat 3, yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Konstitusi ini jelas menunjukkan dan merupakan kontrak sosial
antara Pemerintah dan warga negaranya.
9
Penjaminan atas konstitusi itu lebih dipertegas lagi pada UU No.7/2004 tentang
Sumberdaya Air pasal 5, yang menyatakan bahwa “Negara menjamin hak setiap orang
untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya
yang sehat, bersih, dan produktif”. Perspektif air sebagai kebutuhan dasar manusia ini
dipertegas lagi di tingkat global. November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar (a
fundamental right), yang menyatakan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, tidak
hanya komoditi ekonomi. Komite ini juga menekankan bahwa 145 negara telah
meratifikasi Konvenan Internasional Untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini
telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses pada air secara setara tanpa
diskriminasi. Konvenan Internasional itupun diimplementasikan pada UU No.7/2004
tentang Sumberdaya Air pasal 4, yang menyatakan bahwa “Sumberdaya air mempunyai
fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang diselenggarakan dan diwujudkan
secara seimbang”.
Air, selain merupakan kebutuhan dasar manusia, juga sebagai public goods yang
tidak dimiliki siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons),
yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh
keuntungan. Pandangan tradisional tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air
tidak hanya sekedar ‘barang publik’ tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Paradigma
tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan
pada nilai ekonomi intrinsik (intrinsic value) dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya
keterbatasan dan kelangkaan (limited and scarcity) air serta dibutuhkannya investasi atau
penyediaan air bersih, sebagai pemenuhan hak atas setiap warganegara.
Penilaian air akan menjadi lebih kompleks, jika cara pandang pemanfaatan
sumberdaya air didasarkan atas filosofis yang melingkupinya (Tabel 3). Basis cara
pandang antropocentrisme menganggap bahwa manusia adalah pemilik semua yang ada
di bumi ini sehingga setiap pilihan/keputusan/kegiatan ekonomi harus mengedepankan
kepentingan manusia diatas kepentingan elemen alam lainnya. Menurut mahzab ini,
sebagai pendorong utama dalam pemanfaatan sumberdaya air adalah kesejahteraan hidup
manusia yang terpenuhi melalui pemenuhan kebutuhan konsumsi (Dharmawan dan Putri,
2000, disarikan dari Diesendorf and Hamilton, 1997:58).
10
Tabel 3. Perbedaan Pemanfaatan Sumberdaya Air dari Dua Mazhab Ekonomi (Sebagai Perbandingan Cara Pandang Filosofis)
No Karakteristik
Ekonomi Liberal (Keynesian economics)
Ekonomi Ekologi
1. Basis cara pandang Antropocentrisme (manusia adalah pemilik semua yang ada di bumi ini, setiap keputusan/ pilihan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya)
Ekosentrisme (setiap elemen ekosistem – manusia, hewan, tumbuhan – memiliki kedudukan/hak sederajat dalam memperjuangkan/ mendapatkan kepentingannya
2. Sistem nilai ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam
Nilai ekonomi diturunkan dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata-mata
Benda-benda di alam ini memiliki intrinsic values yang tak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti ekonomi
3. Perilaku terhadap SDA dan lingkungan
Eksploitatif (hingga kadang-kadang destruktif)
Ramah-lingkungan (respect and obligation of stewardship)
4. Faktor utama pendorong pemanfaatan SDA
Kesejahteraan hidup manusia terpenuhi via pemenuhan kebutuhan konsumsi
Kesejahteraan manusia ditentukan oleh derajat “persahabatan” manusia dengan alam dalam konsumsi, produksi dan distribusi
5. Status manusia dalam ekosistem
Manusia adalah consumers dan producers
Manusia adalah warga (citizens) ekosistem yang berstatus sama dengan mahluk lain dalam kegiatan konsumsi dan produksi
6. Keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya alam (decision on the allocation of resources)
Pasar sebagai satu-satunya lembaga pengatur alokasi sumberdaya alam (decisions are best made in markets)
Kelembagaan politik, masyarakat dan pasar (decisions are best made in the political arena and local communities as well as in markets)
Sumber: Dharmawan dan Putri (2000) disarikan dari Diesendorf and Hamilton, 1997:58.
Basis cara pandang yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya air, dimana
ekonomi setara dengan ekologi, atau apa yang dikenal dengan mahzab ecocentrisme.
Setiap elemen ekosistem –manusia, hewan, tumbuhan– memiliki kedudukan/hak sederajat
dalam mendapatkan kepentingannya. Sistem nilai ekonomi yang diberlakukan terhadap
benda-benda alam dikaitkan dengan intrinsic value, yang tidak dapat dinilai secara
konvensional oleh piranti ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya air diperlakukan secara
ramah lingkungan (respect and obligation of stewardship). Kesejahteraan manusia
ditentukan oleh derajat ‘persahabatan’ manusia dengan alam termasuk dalam hal
konsumsi, produksi dan distribusi. Manusia dianggap sebagai citizens ekosistem yang
berstatus sama dengan makhluk lain dalam kegiatan konsumsi dan produksi, sehingga
decision on the allocation of resources are best made in political arena and local
communities as well as in markets (Dharmawan dan Putri, 2000, disarikan dari
Diesendorf and Hamilton, 1997:59).
11
Cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya air sangat tergantung pada
kepentingan dari domain/ranah yang ada pada suatu negara dan tergantung bagaimana
stakeholders tersebut memperlakukan sumberdaya air sebagai dasar bagi pembangunan
secara keseluruhan, termasuk pembangunan untuk sumberdaya manusianya. Ilustrasi
tentang kerangka filosofis pemanfaatan sumberdaya air, apakah antropocentrisme
ataukah ecocentrisme yang dianut tergantung pada tiga ruang/domain: societal sector
domain, private sector domain, dan public sector domain dengan masing-masing
kepentingannya yang berbeda, ditampilkan pada Gambar 2.
Sumber : Dharmawan dan Putri (2000) dalam Bunasor (2003). Gambar 2. Tiga Domain Sosial Ekonomi Dengan Masing-Masing Kepentingan
yang Berbeda Atas Sumberdaya Air
Ruang Pasar (Private Sector Domain)
Ruang Publik (Public Sector Domain)
Ruang Masyarakat
(Societal Sector Domain)
Filosofis Pemanfaatan SD Air: Antroposentrisme ?
Ecocentrisme ?
Rekonstruksi (perbaikan) pengelolaan sumberdaya air melalui
rekayasa kebijakan publik (desentralisasi kekuasaan dan
manajemen melalui penyerahan tanggung jawab
ke Pemerintah Daerah - regionalisasi)
Rekonstruksi (perbaikan) pengelolaan sumberdaya air melalui
rekayasa kebijakan di sektor privat (desentralisasi
kekuasaan dan manajemen melalui privatisasi)
Proses pelemahan „kedaulatan“ masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya air
12
Ketiga ruang (domain) sosial ekonomi memiliki kepentingan yang berbeda atas
sumberdaya air. Masyarakat sebagai pemanfaat dan yang memiliki hak dasar (basic right)
untuk terpenuhi kebutuhannya akan sumberdaya air, juga harus berlandaskan pada
kerangka filosofis antropocentrisme ataukah ecocentrisme. Jika berlandaskan pada
antropocentrisme maka air sebagai public goods and global commons dapat dimanfaatkan
secara tidak efisien, boros dan tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan dari keberadaan
sumberdaya air tersebut. Sebaliknya, jika ecocentrisme yang melandasi cara pandangnya,
maka efisiensi dan sustainability dari keberadaan sumberdaya air dinomorsatukan.
Domain sektor publik, menyerahkan rekonstruksi pengelolaan sumberdaya air pada
rekayasa kebijakan publik melalui desentralisasi kekuasaan dan manajemen dengan
menyerahkan tanggung-jawab kepada Pemerintah Daerah atau regionalisasi, seiring
dengan implementasi otonomi daerah yang telah dicanangkan sejak tahun 2000 lalu
melalui UU No. 22/1999. Dalam pengelolaan sumberdaya air menurut domain ini,
kerangka filosofis antropocentrisme atau ecocentrisme juga harus menjadi pertimbangan.
Domain sektor privat, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa
kebijakan di sektor privat, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan
melalui privatisasi. Adanya UU Sumberdaya Air membuka kesempatan yang sangat besar
bagi upaya komersialisasi dan komodifikasi air. Indikasinya adalah kesempatan sektor
swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air lewat pemberian hak guna usaha,
tidak hanya air bersih dan air minum semata namun juga pemenuhan air baku untuk
pertanian. Kerangka filosofis antropocentrisme atau ecocentrisme jelas-jelas harus
menjadi pertimbangan dalam setiap aktivitas pengelolaan sumberdaya airnya.
Kerangka filosofis ini menjadi penting manakala ia dipakai sebagai salah satu
prioritas dalam aksi penanganan masalah krisis air, yaitu dengan membangun etika baru
tentang air, disamping tiga prioritas lainnya, yaitu menetapkan pendanaan, meningkatkan
pengelolaan air untuk keamanan dan perdamaian dunia serta memprioritaskan perhatian
pada negara-negara berkembang (seperti yang dikemukakan oleh Dr. Mahmoud Abu-
Zied, Presiden World Water Council pada Forum Ketiga Air Dunia (WWC) di Jepang,
pada Bulan Maret 2003).
Pernyataan tersebut diatas dipertegas oleh M.Hatta (mantan menteri KLH, 2010),
bahwa dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia harus ditemukan pendekatan
kompromistis (jalan tengah), dimana pemanfaatan sumberdaya air yang berorientasi
pada profitabilitas dijalankan, namun tetap menjaga dan menghormati hak-hak lokal,
13
khususnya bagi masyarakat miskin. Untuk itu, penggalian kearifan local (local wisdom)
dan pengetahuan asli (indigenous knowledge) dalam pengelolaan dan upaya melestarikan
sumberdaya air sangat diperlukan. Melalui cara demikian, perumusan tata-kelola
sumberdaya air dapat dijalankan secara ekonomi, namun tetap dalam koridor
”menghormati kepentingan ekosistem”, dengan lebih mengedepankan air sebagai
komponen penting suatu ekosistem, yang dibutuhkan tidak hanya oleh mereka yang
memiliki kemampuan ekonomi kuat. Atau, dalam bahasa ekonomi-ekologi, dimana
social-ecological cost yang ditimbulkan, tidak melebihi economical benefit yang
didapatkan. Dengan pertimbangan ini, maka pengelolaan sumberdaya air dengan
mekanisme privatisasi dapat diselenggarakan.
Di sisi lain, kebijakan pengelolaan air yang pro pada privatisasi air, perlu dicari
keseimbangan kebijakan nya agar privatisasi tersebut tidak hanya dinikmati oleh
sekelompok masyarakat Indonesia yang kaya saja, masyarakat miskin harus juga punya
akses ke air bersih dengan tanpa harga yang dibayarkan sehingga masyarakat miskinpun
dapat menikmati kebijakan privatisasi air. Sudah saatnya untuk dipikirkan dan
direalisasikan perlunya kebijakan yang menyangkut subsidi sumberdaya air bagi
penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan. Artinya, kebijakan privatisasi air yang
ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah keatas (kaya) melalui pembayaran
harga air per volume tertentu pemakaian air, disandingkan dengan akses tinggi
masyarakat miskin akan air yang diprivatisasi dengan Pemerintah mengeluarkan kartu
miskin, sehingga masyarakat miskin dapat menikmati air bersih dengan gratis. Hal ini
didasari fakta bahwa kedepan ketersediaan air bersih sudah merupakan kebutuhan hidup
sehari-hari yang krusial keberadaannya terutama bagi masyarakat di perkotaan, yang
dengan segala kendala dan keterbatasan yang ada dari Negara Indonesia, menyangkut
capital resources (human and non human) termasuk - pendanaan, manajemen dan
teknologi - yang tidak mungkin direalisasikan tanpa kelola privatisasi. Untuk itu,
perlunya Anggaran Pusat untuk subsidi air bagi rakyat miskin yang diperjuangkan DPR
Pusat dan DPR Daerah. Dengan demikian dapat ditegakkan kebijakan yang dapat
merealisasikan suatu upaya kompromistis, yang mempertemukan antara pro privatisasi
dan anti privatisasi dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia.
14
SUMBERDAYA AIR DITINJAU DARI SISI PENAWARAN DAN PERMINTAAN
Penawaran (Supply)
Kebutuhan air bersih di suatu Negara semakin lama semakin meningkat. Pawitan
(1996) dalam Abdurrahman, et al. (2000), berdasarkan kajian keseimbangan air hidrologi
di wilayah Indonesia dengan mengevaluasi total air tersedia dan total kebutuhan air
sampai tahun 2020, diperkirakan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia masih berada
dalam status aman (Tabel 4).
Tabel 4. Wilayah Kabupaten di Indonesia dengan Kondisi Sumberdaya Air Kritis, Waspada dan Aman hingga Tahun 2020
Kondisi SD Air
Wilayah/Kabupaten
Kritis DKI Jakarta, Kodya/Kab. Cirebon, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan Tangerang, Sidoarjo, Bantul, Lamongan dan Gianyar
Waspada Aceh Utara, Deliserdang, Tanah Datar, sebagian besar Kabaupaten di Jawa, Madura dan Bali; Bogor (2020), Cianjur (2010), Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Sragen, Sukoharjo, Jombang, Lamongan, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri, Trenggalek, Banyuwangi, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tabanan, Badung, Klungkung, Lombok, serta beberapa Kabupaten di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Aman Wilayah/Kabupaten lainnya. Sumber : Pawitan , et al. 1997.
Namun demikian, beberapa wilayah (kabupaten/kota) terutama di Jawa, berada
pada kondisi waspada dan kritis. Potensi sumberdaya air disuatu wilayah dikatakan status
aman apabila total kebutuhan airnya kurang dari aliran rendah 10%. Status waspada
apabila total kebutuhan airnya berada antara aliran rendah 10% dan 45%. Status kritis
apabila total kebutuhan air wilayah sudah melampaui batas aliran rendah 45% (Tabel
Lampiran 2).
Air Maya (Virtual Water) dalam Ketersediaan Air
Konsep air maya mulai berkembang setelah secara intensif dipublikasikan oleh
Allan J.A. dari Afrika Selatan tahun 1990, selanjutnya menjadi perhatian dunia sejak
World Water Forum ke-2 di Den Haag, Belanda dan World Water Forum ke-3 di Kyoto,
Jepang pada tahun 2003.
Virtual water adalah sejumlah air yang tersimpan (terkandung atau tersembunyi)
dalam sebuah produk pertanian, perkebunan, hewan, atau industri. Air itu berasal dari air
15
hujan, irigasi, maupun air tanah yang diperlukan (dipakai) sejak awal menanam atau
berproduksi hingga akhir penyiapan dan masuk ke dalam perdagangan. Air virtual pada
satu cangkir kopi (dari 10 gram kopi giling) adalah 210 liter, artinya pada saat orang
meminum secangkir kopi, secara setara orang itu telah mengkonsumsi 210 liter air maya
yang berasal dari daerah lain (Tabel 5).
Tabel 5. Air Maya yang Terkandung dalam Produk Pertanian (meter kubik per ton atau liter per kilogram)
Produk India China Indonesia Jepang Rata-Rata Padi 2.850 1.310 2.150 1.221 2.300 Beras 4.254 1.972 3.209 1.822 3.400 Jagung 1.937 801 1.285 1.493 900 Kedlai 4.124 2.617 2.030 2.236 1.800 Gula Tebu 159 117 163 120 175 Kelapa 2.255 749 2.071 - 2.550 Kopi Giling 14.500 7.488 21.030 - 21.000 Teh Bungkus 7.002 11.110 9.474 4.940 9.200 Daging Sapi 16.482 12.560 14.818 11.019 15.500 Daging Ayam 7.736 3.652 5.543 2.977 3.900 Telur 7.531 3.550 5.400 1.884 3.300 Susu Bubuk 6.368 4.648 5.317 3.774 4.600 Kulit (sepatu) 17.710 13.513 15.929 11.864 16.600
Sumber : Hoekstra (2008) dalam Ediyanto (2009).
Secara paralel, ketika belum dikenal istilah air maya, Indonesia sudah mulai
memperhitungkan jumlah kebutuhan air untuk tanaman tertentu. Penghitungan kebutuhan
air itu terkait dengan penghitungan neraca air di pulau-pulau kecil yang sistemnya
tertutup dan jumlahnya terbatas, yang diperoleh hasil bahwa pohon kelapa mengkonsumsi
75-135 liter air per hari dari dalam tanah (Hehanussa, 1996 dalam Ediyanto, 2009).
Tabel 6 menunjukkan contoh lain dari kandungan air maya pada berbagai produk
dagang, terlihat bahwa pada sepasang sepatu kulit dan pada sebuah hamburger
menunjukkan kandungan air maya yang tertinggi, yaitu masing-masing 8.000 liter dan
2.400 liter.
Air maya dalam produk juga terkait dengan transportasi antar Negara. Beberapa
negara di Benua Amerika seperti Argentina, Brasil, Amerika Serikat dan Kanada adalah
eksportir air maya terbesar di dunia. Jepang dan Jordania adalah importir air maya yang
sedikit di dunia. Jepang dikenal memiliki hutan dan alam yang hijau, ini mungkin
disebabkan karena Jepang secara cermat menyediakan air yang terbatas di alam untuk
16
ekosistemnya dan oleh karena itu mengimpor air maya dalam berbagai produk mereka
dalam jumlah sedikit (Tabel Lampiran 2).
Tabel 6. Beberapa Contoh Kandungan Air Maya dalam Produk Perdagangan
Air Maya pada Produk Perdagangan
Nama Barang Kandungan Air Maya
(liter)
Nama Barang Kandungan Air Maya (liter)
1 lembar kertas A4 (80 g/m2) 10 1 bungkus kripik kentang 185
1 tomat (70 gram) 13 1 buah jeruk (100 gram) 40
1 cangkir teh (250 ml) 25 1 gelas orange juice (200 ml) 170
1 tangkup roti (30 gram) 40 1 gelas apple juice (200 ml) 190
1 Gelas anggur (125 ml) 120 1 gelas susu (200 ml) 200 1 butir telur (40 gram) 135 1 hamburger (150 gram) 2.400 1 cangkir kopi (125 ml) 140 1 pasang sepatu kulit (bovine) 8.000 Sumber : Hoekstra (2008) dalam Ediyanto (2009).
Pada kasus 4 (empat) negara Asia Tenggara, patut dibandingkan nilai impor dan
ekspor air maya untuk India, China, Thailand, dan Indonesia. Negara India, China, dan
Thailand telah menjadi negara eksportir air maya yang lebih besar daripada impornya,
sedangkan Indonesia hampir berimbang, namun masih lebih sedikit ekspor air mayanya.
Di India semua komponen ekspor untuk pertanian, hewan, dan industri lebih tinggi
daripada impor air maya. Cina, nilai ekspor yang sangat tinggi untuk produk industri
sedangkan di sektor pertanian jumlah impornya lebih besar. Thailand, nilai ekspor yang
sangat tinggi untuk produk pertanian sedangkan untuk hewan dan industri kecil.
Sedangkan Indonesia, sektor produk hewan dan industri memperlihatkan kondisi yang
nilainya masih sangat rendah (Tabel Lampiran 2).
Permintaan Air
Akibat adanya peningkatan luas lahan kering pada tahun 2000 menimbulkan
konsekuensi peningkatan kebutuhan air irigasi. Sebaliknya penurunan luas sawah
terutama di Jawa dan Bali akan mengurangi tingkat kebutuhan air irigasi, sehingga akan
memberikan peluang peningkatan penggunaan air untuk kebutuhan lainnya terutama
untuk kebutuhan air rumahtangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air ini akan
meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan pangan, taraf hidup dan
perkembangan sektor industri. Proyeksi kebutuhan air rumah tangga dan perkotaan per
provinsi pada tahun 1990-2020 dapat terlihat pada Tabel Lampiran 3. Pengendalian
tingkat pertambahan penduduk di kota-kota tersebut perlu mendapat perhatian khusus,
17
selain penyelesaian masalah transfer air dari wilayah hulu yang surplus air dengan
menggunakan jaringan irigasi.
Penanganan air minum/air bersih di kota-kota di Indonesia dilakukan oleh
pemerintah (PAM). Bahan baku produksi air minum/air bersih berasal dari air tanah
termasuk air sumber dan air permukaan (sungai, dan danau). Tahun 1978-1984
penggunaan air tanah sekitar 52% sebagai bahan baku air PAM. Angka ini jauh di atas
pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan baku. Sementara itu
penduduk yang menggunakan sumur didapat dari air tanah menghadapi beberapa aspek
negatif. Air sumur mudah tercemar dan pemilikan tanah yang sempit di kota
menyebabkan jarak ideal antara sumur dan sumur peresap minimal 15 m sulit dipenuhi.
Selain itu penggunaan sumur yang berlebihan akan mengganggu stabilitas tanah. Sejak
tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami
kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984, dan terus
meningkat sampai tahun 1990.
Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM
tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil
langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar.
Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air
bersih, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja
penduduk akibat terkontaminasi dengan air yang tercemar. Cukup banyak bukti
menunjukkan adanya pencemaran sungai di kota-kota besar di Indonesia sehingga perlu
ditanggulangi segera seperti kasus sungai Ciliwung di Jakarta, sungai Garang di
Semarang, sungai Brantas di Surabaya dan beberapa sungai tertentu di luar Jawa.
Ketersediaan Air yang Tidak Merata Antar Pulau di Indonesia
Di Indonesia terjadi ketidak-merataan dalam distribusi ketersediaan air antar pulau-
pulau di Indonesia. Pulau Papua memiliki ketersediaan air terbesar Indonesia yaitu sekitar
51%; 20,3% di Pulau Kalimantan; 16,1% di Pulau Sumatera; dan sisanya sekitar 12,6%
tersebar di beberapa pulau, seperti Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku
(Tabel 7).
18
Tabel 7. Ketersediaan dan Kebutuhan Air Menurut Pulau Indonesia
Pulau
Keterse-diaan air
(Juta m3/thn)
Kebutuhan air (Juta m3/thn) Defisit Air (Juta m3/thn)
1995 2000 2015 1995 2000 2015
Sumatera 111.077,7 19.164,8 25.297,5 49.583,2 91.912,9 85.780,2 61.494,5 Jawa 30.569,2 62.927,0 83.378,2 164.672,0 -32.357,8 -52.809,0 -134.102,8 Kaliman-tan
140.005,6 5.111,3 8.203,6 23.093,3 134.894,3 131.802,0 116.912,3
Sulawesi 34.787,6 15.257,0 25.555,5 77.305,3 19.530,6 9.232,1 -42.517,7 Bali 1.067,3 2.574,4 8,598,5 28.719,0 -1.507,1 -7.531,2 -27.651,7 NTB 3.508,6 1.628,6 1.832,2 2.519,3 1.880,0 1.676,4 989,3 NTT 4.251,2 1.736,2 2.908,1 8.797,1 2.515,0 1.343,1 -4.545,9 Maluku 15.457,7 235,7 305,2 575,4 15.222,0 15.152,5 14.882,3 Papua 350.589,7 128,3 283,4 1.310,6 350.461,4 350.306,3 349.279,1 Indonesia 691.314,6 108.763,3 156.362,2 356.575,2 582.551,3 534.952,4 334.739,4
Sumber: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2001.
Ketersediaan air yang tidak merata antar pulau tersebut berhubungan dengan
kebutuhan air yang juga tidak merata antar pulau sehingga Pulau Jawa dan Bali
mengalami defisit air sejak tahun 1995 dan Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur
diperkirakan akan mengalami defisit pada tahun 2015, disamping Pulau Sumatera,
Kalimantan, NTB, Maluku dan Papua mengalami surplus air.
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR
Dari Regulasi ke Privatisasi
Indonesia membutuhkan adanya reformasi dan restrukturisasi dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya air. Ada sejumlah alasan mengapa reformasi dan restrukturisasi
tersebut perlu dilakukan.
Pertama, sektor air di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan
berbagai tuntutan sebagai konsekuensi akibat meningkatnya populasi. Kebutuhan air
untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal dipenuhi
dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi
penyediaan sarana air yang bersih dan memadai.
Kedua, regulasi dan institusi yang mengatur sumberdaya air yang ada saat ini sangat
kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan yang
berlaku. Undang-Undang No.11/1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan
19
turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum
dalam mengatur sumberdaya air yang perkembangan masalahnya sudah multidimensional.
Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor sumberdaya air
dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU
Sumberdaya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan. Draft UU Pengelolaan Air
muncul sebagai prasyarat pinjaman World Bank sebesar 300 juta US$ menggantikan UU
pengairan, yang merupakan bagian dari rencana restrukturisasi pengelolaan air WATSAL
(Water Restructuring Adjustment Loan). Restrukturisasi pengelolaan air ini intinya
membuat peran negara seminimal mungkin, pengurangan subsidi serta menyerahkan
peran pelayanan publik pada swasta. Ini merupakan agenda liberalisasi total yang
ditekankan oleh kreditor internasional, IMF dan World Bank secara bersamaan.
Indikasinya adalah kesempatan swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air
lewat pemberian hak guna usaha. Jika sebelumnya sektor swasta hanya terlibat pada
pengusahaan dan pengelolaan air minum, UU Sumberdaya Air memungkinkan peran
swasta pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air bersih, air minum, hingga
pemenuhan air baku untuk pertanian.
Dominannya peran swasta juga diperlihatkan dalam menetapkan biaya penyediaan air
dan harga air. Perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full
cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal, yang
pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok
masyarakat miskin di perkotaan dan petani kecil.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang,
menyatakan bahwa 80% populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir
(running water), sehingga pemerintah masih memiliki kewajiban besar untuk memenuhi
hak dasar rakyat Indonesia atas air. Namun, kenyataannya, untuk dapat memenuhi
kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur
pengairan, pemulihan, dan perawatan sumberdaya air. Diperkirakan, pemerintah
membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan air bersih bagi
40% populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi yang belum beranjak dari
keterpurukan, penyediaan dana tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah.
Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah
20
satu solusi. Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan
harga jual air yang justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air
bersih dan sanitasi.
Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi sumberdaya air dapat
diarahkan pada upaya-upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat dan menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan
datang. Prinsip-prinsip konservasi dan pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama.
Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal (polluters pay principle) harus diterapkan
secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumberdaya air yang lebih luas. Di lain
pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan penggunaan air sebagai
wujud pengakuan hak orang lain atas air.
Privatisasi di Indonesia Saat Ini
Diluar lambannya reformasi institusi dan ketidakpastian legal formal di sektor air,
secara bersamaan privatisasi air sendiri sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia,
khususnya privatisasi PDAM antara lain: World Bank tahun 1997 mensponsori privatisasi
air di Jakarta yang dibagi kepada Thames Water UK dan Suez-Lyonnaise (France);
privatisasi PDAM Batam dan Palembang oleh Biwater (UK); privatisasi PDAM
Pekanbaru dan Manado; privatisasi air oleh Ondo-Suez yang beroperasi di Jakarta,
Medan, Semarang dan Tangerang; dan privatisasi air di Sidoarjo oleh Vivendi (France).
Pengelolaan sumberdaya air secara privatisasi ini sendiri di banyak negara
menimbulkan perdebatan pro-kontra. Privatisasi yang merupakan pengalihan hak dan
wewenang dari public sector ke private sector, mengandung permasalahan yang besar
baik secara terbuka maupun terselubung. Oleh karena itu, kajian dari sudut positif dan
negatifnya dari privatisasi perlu dilakukan.
Dampak positif dari privatisasi pengelolaan sumberdaya air, adalah:
(1) Efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas sumberdaya air. Adanya privatisasi,
pengadaan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari akan terjamin.
(2) Adanya privatisasi pengelolaan sumberdaya air memungkinkan kawasan yang belum
tersentuh jaringan air terbuka untuk pembangunan sarana dan prasarana air sehingga
seluruh lapisan masyarakat mendapat kemudahan terhadap akses air bersih.
(3) Ketersediaan modal/dana yang besar oleh investor (dalam negeri maupun asing)
memungkinkan untuk dilakukan tidak hanya pembangunan sarana dan prasarana
21
tetapi juga pemeliharaan dan keberlanjutannya, karena seluruh biaya pengelolaan dan
perawatan jaringan air dan sumber air lainnya telah disediakan oleh investor.
(4) Menjamin akses yang adil dan merata pada sumberdaya air itu sendiri. Dengan
adanya privatisasi, penggunaan semena-mena air yang merupakan anugerah Tuhan
akan dibatasi. Penggunaan air akan hemat dan memakai sesuai kebutuhan.
(5) Desentralisasi menurut UU No.22/1999 menunjukkan adanya paradigma pemikiran
etika lingkungan, bahwa konsep ‘hak atas air‘ tidak dapat diterima dan air tidak dapat
diklaim sebagai ‘milik‘ siapapun. Air sebagai ‘common resources‘ dan ‘public good‘
tidak dikelola bersama dan tanggung jawab juga tidak dipikul secara bersama-sama,
sehingga membuka ‘peluang‘ pengelolaan oleh kelompok tertentu.
Disamping aspek positif, privatisasi pengelolaan sumberdaya air juga mengandung
aspek negatif, yaitu:
(1) Mengurangi/menutup akses masyarakat miskin akan air bersih. Privatisasi
mengharuskan air yang digunakan memiliki ‘harga’, yang tidak mudah bagi
masyarakat miskin untuk menyediakan dana sejumlah ‘harga’ air tersebut.
(2) Tarif air menjadi mahal karena perusahaan menempatkan keuntungan sebagai tujuan
pertama (profit first). Privatisasi ini akan membuat akses masyarakat terhadap air
terbatas dan mahal, dengan membebankan pertambahan tarif air pada konsumen.
(3) Ketergantungan tinggi terhadap investor sehingga di beberapa negara menunjukkan
fenomena monopoli baru, yang berdampak pada peningkatan air beberapa kali lipat.
(4) Di Negara yang telah privatisasi, dalam penyediaan air bersih investor akan memilih
untuk lebih melayani daerah-daerah yang menguntungkan, seperti di Pulau Jawa.
Sebaliknya, mengabaikan daerah-daerah di luar Jawa yang terpencil yang
membutuhkan biaya pembangunan jaringan air yang besar, kecuali dengan
pengenaan tarif yang tinggi.
(5) Hak penguasaan air yang dapat dipindah-tangankan dari public sector ke private
sector. Disatu sisi, air merupakan bagian dari hak asasi karena memiliki hubungan
yang erat dengan kehidupan. Disisi lain, adanya privatisasi dengan skema WATSAL
melalui hutang bersyarat 300 juta dollar AS adalah suatu fenomena ancaman
hilangnya hak-hak hidup masyarakat dalam mengakses air bersih.
(6) Ketidaksetaraan penggunaan air bersih, jika kuat posisi secara ekonomi maka lebih
besar akses pada air bersih; dan kelompok miskin harus mengeluarkan dana lebih
besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih, sebagai contoh kasus di Bolivia setelah
22
diprivatisasi oleh Bechtel maka kaum miskin mengeluarkan 35% dari
penghasilannya untuk air dan yang lebih miskin lagi mengeluarkan 75%.
(7) Ketidakadilan penggunaan air. Manusia butuh 50 liter air/hari untuk kehidupannya;
warga USA rata-rata menggunakan 250–300 liter air/hari sedangkan warga Somalia
hanya menggunakan 9 liter air/hari.
(8) Bagi kapitalis dan investor asing, kebutuhan penduduk akan air bersih yang semakin
meningkat merupakan ‘peluang emas’ dari bisnis yang menggiurkan. Hingga saat ini,
dikenal beberapa transnational company untuk menjalin kerjasama dalam
pengelolaan air bersih dengan negara sedang berkembang, antara lain Thames Water,
Suez, Vivendi Universal, United Utilities, Betchel Group, Saur Group dan RWE AG.
Di Indonesia, privatisasi menyebabkan lonjakan harga air. PD PAM Jaya setelah
dikelola bersama dengan Thames Water Internasional UK dan Lyonaisse Perancis, telah
mengalami tiga kali kenaikan harga pada tahun 1998 (20%), tahun 2001 (35%), dan tahun
2003 (40%). Selain itu, privatisasi di Indonesia juga ditentang habis-habisan oleh para
petani karena hak guna pakai sumberdaya irigasi perkumpulan petani pemakai air
dibebani ijin dari pejabat yang berwenang (UU Sumberdaya Air pasal 41 ayat 1).
Permohonan ijin ini berdampak pada peluang biaya tambahan melalui retribusi resmi
maupun tak resmi, dan kedepannya petani harus membayar biaya pembangunan
infrastruktur irigasi. Petani anggota jaringan irigasi dikategorikan dalam pemilik hak
pakai tanpa ijin. Namun, petani di luar jaringan irigasi harus mendapat ijin untuk
mendapat hak pakai. Adanya diskriminasi antara petani didalam dan diluar jaringan irigasi
ini menunjukkan pertentangan dengan isi UUD 45 pasal 33.
PARADIGMA, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR
Mengapa Perlu Perubahan Paradigma, Kebijakan dan Strategi? Berhubung dengan adanya perubahan lingkungan strategis internal maupun eksternal
maka perlu adanya perubahan kebijakan dan strategi dalam pengembangan sumberdaya
air dan bahkan perubahan paradigma (paradigm change).
Faktor-faktor penyebab diperlukannya perubahan kebijakan dan strategi dalam
pengembangan sumberdaya air tersebut, meliputi hal-hal berikut:
(1) Perubahan lingkungan strategi internal: reformasi, demokratisasi menuju
masyarakat madani (civil society), otonomi daerah, good governance, dan HAM.
23
(2) Perubahan lingkungan strategis eksternal: globalisasi, perdagangan bebas,
revolusi teknologi informasi turisme, permasalahan lingkungan global.
(3) Kecenderungan yang nyata dari kenaikan bisnis air pada level lokal, nasional,
dan level global sebagai indikator kuat proses komersialisasi air.
(4) Keterbatasan kemampuan negara/pemerintah dalam manajemen pengembangan
sumberdaya air, khususnya yang menyangkut kemampuan pendanaan dalam
melaksanakan konservasi sumber air dan penyediaan air bersih.
(5) Berkurangnya ketersediaan air (water supply) karena penurunan kapasitas
sumber air dan kualitas air dan meningkatnya kebutuhan air (water demand)
disebabkan kenaikan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan ekonomi.
(6) Kerugian dan kerusakan yang luar biasa diakibatkan oleh kekeringan (timbul
kelangkaan air) dan kelebihan air (timbul banjir, longsor, dan erosi).
(7) Perumusan dan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
manajemen sumberdaya air monoton. Padahal permasalahan yang dihadapi
terjadi berulang secara sistemik, berdampak negatif sangat luas terhadap
kesejahteraan menyangkut (human wellbeing), keamanan dan kestabilan
nasional (national security and stability).
(8) Efisiensi pemakaian air masih sangat rendah (misalnya untuk sektor pertanian
sekitar 60%, sektor air bersih sekitar 65% dan industri sekitar 70%).
Perubahan Paradigma dan Restrukturisasi Kebijakan & Strategi Mengingat dasar falsafah dan fungsi air yang sangat fundamental bagi hidup dan
kehidupan manusia dengan kompleksitas permasalahannya, maka keterlibatan pemerintah
dalam pembinaan dan pengembangan sumberdaya air merupakan keniscayaan.
Keterlibatan tersebut diwujudkan dalam bentuk “primary function policy” (Sanim, 2000).
Dalam arti kebijakan yang berfungsi mendasar bagi tujuan tercapainya penggunaan
sumberdaya air bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perubahan paradigma dan
restrukturisasi kebijakan dan strategi yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
(1) Merupakan keharusan adanya perubahan paradigma dalam manajemen
pengembangan sumberdaya air, yang meliputi: (a) cara pandang filosofi dari
ekonomi liberal menuju ekonomi ekologi (lihat Tabel 3), dan (b) kepentingan
domain sosial ekonomi; dari kepentingan domain tunggal/parsial mengarah ke
domain tripartit/sinergikal (lihat Gambar 2).
24
Menyangkut pelaku yang terlibat dan terkait (stakeholders) dalam manajemen
pengembangan sumberdaya air, perubahan total sangat diperlukan meliputi
(Sanim, 2001): (a) perubahan pola pikir (mind set changes), (b) perubahan
perilaku (behavioral changes) dan (c) perubahan praktek (practical changes).
(2) Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan dalam menyeimbangkan
ketersediaan air dan kebutuhan permintaan air adalah sebagai berikut:
(a) pemeliharaan dan pengembangan sumber air alami maupun buatan
melalui konservasi hutan, daerah tangkapan air dan daerah resapan.
Pemeliharaan tempat penampungan air seperti kolam air penduduk,
gomburan, dan waduk-waduk. Dalam konteks daerah resapan diperlukan
tata ruang dengan penyediaan RTH. Untuk rumahtangga, permintaan
IMB harus dikenakan persyaratan area resapan.
(b) Formulasi dan implementasi kebijakan kebutuhan air perlu dilakukan: (i)
sektor (kebutuhan air bersih rumah tangga, kebutuhan untuk irigasi
pertanian, sektor industri, hydro electric dan lainnya), (ii) waktu (musim
kering/kemarau vs musim hujan) dan (ii) faktor wilayah/regional; mana
daerah defisit dan mana daerah suplai air.
(c) Perlu kebijakan tentang dikenakannya “price differentiation”: (i)
pemukiman elit membayar harga air lebih tinggi daripada pemukiman
sederhana, (ii) dikenakannya harga progresif, makin besar batas jumlah
penggunaan makin tinggi tarif dikenakan per unit. Pada saat-saat krisis air
dilakukan “disrupt water supply” bagi para pengguna air, misalnya sehari
dalam seminggu yang bertujuan untuk penghematan dan kesadaran
tentang keterbatasan ketersediaan air.
(3) Perlu penelitian komprehensif-integratif tentang kepentingan dari 3 domain
dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang hasilnya dapat digunakan
sebagai bahan masukan dari pengambilan keputusan untuk menetapkan
“perpaduan optimal dan harmonis” diantara ke-3 domain dalam konteks
perbedaan kondisi sosekbud dan lingkungan fisik.
(4) Perlu suatu kebijakan insentif, dalam bentuk kebijakan fiscal untuk
meningkatkan efisiensi, bagi pihak-pihak yang penggunaan airnya efisien
diberikan subsidi, sebaliknya dikenakan pajak.
25
Dalam hal pelaku pendistribusian air yang melakukan investasi bagi peremajaan
peralatannya sehingga terjadi peningkatan efisiensi diberikan fasilitas kredit.
(5) Soal air adalah soal keberlangsungan hidup dan kehidupan suatu masyarakat,
bangsa dan negara. Manusia tidak mungkin hidup tanpa air.
Pertanian identik dengan manajemen air, sehingga keberhasilan pertanian sangat
ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan air. Dari kerangka berfikir tersebut,
“eksistensi lembaga yang mengurus manajemen air kedudukannya lebih penting
dan lebih tinggi, paling tidak sejajar dengan lembaga yang menangani masalah
ketahanan pangan (dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan)”.
Dengan demikian lembaga sangat penting dan strategis eksistensinya. Beberapa
saran menyangkut bentuk dan mekanisme lembaga tersebut adalah :
(a) Nama lembaga diusulkan seperti dalam UU-Sumberdaya Air adalah:
Dewan Nasional Sumberdaya Air, dimodifikasi untuk lebih solid dan valid
menjadi “Dewan Manajemen Sumberdaya Air Terpadu (Council of
Integrated Water Resources Management/CIWRM).
(b) CIWRM dibentuk pula pada level Pemda (Propinsi, Kabupaten/Kota) yang
didampingi oleh Badan Pelaksana.
(c) CIWRM harus dilengkapi 3 komponen utamanya, yaitu (Sanim, 2001): (i)
Organisasi; sebagai wadah untuk mencapai tujuan lembaga, yang terdiri
dari structural organization dan personel organization yang efektif
dengan penempatan “personelnya” harus memenuhi “the right man in the
right place”. (ii) Fungsi, merupakan batas kewenangan (boundary of the
power), siapa mengerjakan apa, yang perlu adanya “satuan acara tugas
(job description)”; dan (iii) Aturan main (merit system), yang mengacu
pada dua pasang pola, yaitu: “pole system” yaitu: “rihgt vs obligation”
dan “reward vs punishment” supaya secara seimbang dapat dilaksanakan.
(d) CIWRM dapat menjadi suatu “organisasi yang hidup dan dinamis
(dynamic and life organization)” apabila dilengkapi dengan (Sanim,
2001): (i) diterapkannya sistem manajemen pembangunan (accountability,
transparency, predictability and balancing), (ii) diperlukan adanya
“sinergi tripartit (the golden triangle synergy) antara: universitas/lembaga
pendidikan dan lembaga researh (sebagai inovator), pemerintah (Pusat
maupun Daerah) sebagai regulator dan facilitator dan pihak swasta
26
sebagai user and facilitator; (iii) harus adanya Koordinasi, Integrasi,
Sinkronisasi dan Simplifikasi (KISS) secara benar yang berarti juga “keep
it simple and sweet”.
(e) Lembaga terkait dalam organisasi adalah semua Departemen yang terkait
dengan masalah sumberdaya air (pada level nasional), dan
Dinas/Instansi/Kantor pada level Propinsi dan kabupaten/kota.
(6) Dalam konteks otonomi/desentralisai dan privatisasi, kebijakan yang dapat
disarankan adalah sebagai berikut :
(a) Pelaksanaan otonomi/desentralisasi tidak menetapkan sumberdaya air
diwilayahnya dapat dimanfaatkan tanpa batas. Hal ini karena batas
ekologis tidak selalu sama dengan batas administratif, (sebagai
konsekuensi adanya karakteristik “indivisibility” dari sumberdaya air)
(Sanim, 2002) sehingga sumberdaya air tertentu merupakan domain dari
beberapa wilayah Pemda lainnya. Konsekwensi logis dari kondisi ini
adalah bahwa pemanfaatan secara monopoli atas sumberdaya air oleh
Pemda tertentu akan berdampak negatif bagi pihak lain. Misalnya, kasus
membendung air dihulu akan membuat daerah hilir menjadi kering dan
mengganggu kehidupan ekonomi dan memicu masalah sosial. Oleh karena
itu, perlu adanya koordinasi oleh instansi diatasnya (misalnya Bapedalda
Propinsi untuk masalah antar Kabupaten/Kota) dalam suatu tindakan
”deconsentration”.
(b) Prinsip privatisasi dalam koridor menanggulangi “the tragedy of the
common”, (Hardin, 1968 dalam Crane, 1994) meningkatkan efisiensi
pemanfaatan air dalam pengelolaannya tanpa mengurangi akses golongan
miskin untuk memperoleh air. Privatisasi hanya dalam batas manajemen
sumberdaya air tetapi tidak untuk memiliki sumber air.
Perlu dirumuskan suatu kebijakan tentang batas maksimal kepemilikan
saham bagi swasta, supaya kepemilikan sumberdaya air tetap berada
dipihak pemerintah. Tanggung jawab kelestarian sumber air juga harus
dibebankan kepada pihak swasta dan pemerintah.
Pengalaman empiris ”soil story-privatitation” dari Manila (Pilipina),
Atlanta dan Georgia (AS) dan di negara Amerika Latin (Boliva, Meksiko)
27
Asia, (Banglades, Nepal, dan Pakistan) harus menjadi pelajaran berharga
bagi Indonesia.
(7) Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat secara luas dalam melaksanakan
manajemen pengembangan sumberdaya air melalui suatu “Gerakan Nasional
Manajemen Pengembangan Sumberdaya Air (GN-MPSDA)”, melalui organisasi
yang telah ada, yaitu: (i) Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-
RHL) dibawah Departemen Kehutanan; (ii) Gerakan Nasional Hemat Air (GN-
HA) yang disponsori Masyarakat hemat Air (MHA), organisasi tersebut
didirikan oleh tiga organisasi profesi, yaitu: PERAGI, PERHIPMI, dan
PERHEPI; dan (iii) Organisasi NGO semisal International Non Government
Organization Forum on Indonesia (INFID).
PENUTUP
Krisis air yang telah menjadi krisis ekosistem dunia (biosphere), tidak hanya
dihadapi oleh Indonesia semata-mata, namun dialami oleh beberapa negara di dunia,
utamanya di zona tropika. Oleh karena itu, penanganan secara sektoral dan regional pada
suatu negara atau kawasan saja sesungguhnya tidaklah mencukupi.
Khusus bagi Indonesia, krisis air di masa mendatang akan memiliki derajat
kompleksitas yang meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah populasi yang
mendorong kenaikan permintaan air tawar untuk pertanian, industri, hotel-perkantoran,
dan perumahan. Indonesia menghadapi persoalan merosotnya kemampuan lingkungan
dalam menyediakan air bagi kehidupan karena masalah daya dukung lingkungan menjadi
serius, oleh karena kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan makin
menurun. Selain itu, pencemaran, hilangnya kawasan hijau dan hutan sebagai water
reservoir zone, serta perubahan iklim/cuaca yang mengacaukan periodisitas musim hujan,
dan lemahnya manajemen sumberdaya air, telah membuat derajat pemecahan masalah air
makin tidak sederhana di Indonesia. Krisis ekologi ini telah memicu krisis sosial berupa
ketegangan dan konflik sosial, tidak saja konflik horizontal (sosial, ekonomi dan ekologi)
semata tetapi juga konflik vertikal (politik, pertahanan dan keamanan) diantara pengguna
dalam suatu negara maupun antar negara.
Salah satu solusi untuk meminimalisasikan masalah air adalah dengan memperbaiki
sistem manajemen sumberdaya air. Langkah awal, Pemerintah dalam memperbaiki
kualitas tata-pengelolaan sumberdaya air dengan membangun infrastruktur kelembagaan,
28
yaitu: Dewan Manajemen Sumberdaya Air Terpadu (DMSAT), yang berfungsi
mengorganisasikan, mensinergikan dan mengkoordinasikan instansi-instansi terkait,
seperti kementan, kemenhut, kemenkimpraswil dan kemendagri dan elemen “Negara”
lain yang berkepentingan terhadap air dalam satu wadah. Di ruang “Civil Society”, tata-
pengelolaan sumberdaya air harus melibatkan beragam civil-society association (CSA)
yang berkepentingan langsung dengan masalah air, seperti HKTI, HPP Air dan LSM, dan
kelompok masyarakat lokal harus juga diikut-sertakan dalam DMSAT. Pada DMSAT ini,
juga harus melibatkan elemen “Swasta” yang memegang peranan penting dalam
privatisasi sumberdaya air. DMSAT Pusat duduk bersama dengan DMSAT
Daerah/Regional membahas tentang permasalahan air dan solusi untuk memperbaiki
manajemen sumberdaya air tersebut. Dengan azas-azas universal good-environmental
governance seperti transparency and public accountability, keadilan, reward and
punishment system.
DAFTAR PUSTAKA
Boelens, R. 1998. ”Collective Management and Sosial Construction of Peasant Irrigation Systems: A Conceptual Introduction”. Dalam Searching for Equity (Rudgerd Boelens & Gloria Davila, ed). Van Gorcum, (hal. 81-99)
Crane, Randall. 1994. Water Markets, Market Reform and the Urban Poor: Results from Jakarta, Indonesia. Pergamon Press Ltd. Britain.
Dharmawan, Arya Hadi and Putri, Eka Intan Kumala. 2000. Sustainable Economic Development: Defining Activities under the Framework of Ecological Economics (A Conceptual Analysis). Paper was prepared for the ‘Sustainable Development in Context of Globalization and Locality’ Symposium, - A joint Collaboration between the University of Goettingen and Bogor Agricultural University, held in Bogor, September 18th- 22nd, 2000.
Dinar, A; Rosegrant, MW; Meinzen, DR. 1999. “Water Allocation Mechanism-Principles and Examples.” Dalam Reference Material for Seminar on Institutional Options for River Basin. World Bank Institute, Philippines.
Doelhamid, 1972. Planning and Programming the Development of Indonesia’s Water Researches.
Dobson, A. 1995. Green Political Thought. Second Edition. Routledge. London and NY.
Glover, David and Timothy Jessup. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, the Cost Catastrophe. Institute of South East Asian Studies, Singapore and International Development Research Centre, Canada.
http://www.walhi.or.id/Indonesia/kampanye/Air/PrivatisasiAir.htm. 2003.
http://www.investor.co.id/home/krisis-as-dan-disiplin-fiskal. Diunduh 11/8/2011 pukul 10.03 AM,
29
Hanna, Susan S, Carl Folke and Karl-Goeran Maeler. 1996. Rights to Nature. Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. Island Press. Connecticut Avenue, NY. USA.
Hatta, Gusti Muhammad. 2010. Kata Sambutan dalam Buku Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik (Suatu Tinjauan Teoritis dan Kajian Praktis). IPB Press. Bogor.
Irianto, Gatot. 2003. Kekeringan Lebih Berbahaya daripada Banjir. Kliping Makin. 2003. Ketahanan Pangan dan Komersialisasi Air. AKATIGA. Bandung.
Harian Kompas. 2011 dalam http://mohammedfikri.wordpress.com. “Peluang Indonesia Ditengah Badai Krisis Utang Amerika dan Eropa” diunduh 11/8/2011.
Lauderdale, P. 1998.“ Justice and Equity: A Critical Perspective.” Dalam Searching for Equity (Rudgerd Boelens & Gloria Davila, ed.). Van Gorcum, (hal 3-10) dalam Dharmawan, 2003. Makalah Kuliah Ekologi Manusia yang disarikan dari Diesendorf and Hamilton, 1997:58.
Pusposutarjo, S. 2000. “Diskusi Reguler Mahasiswa S3 Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada“. Yogyakarta, 12 Februari 2000.
Putri, 2003. Kumpulan Makalah dan Bahan Kuliah Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan (PSL 625).
Salim, Emil. 2003. Mengelola Keberlanjutan Air. Tulisan dalam Koran Kompas Tanggal 21 Agustus 2003
Sanim, Bunasor. 2011. Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik (Suatu Tinjauan Teoritis dan Kajian Praktis). IPB Press. Bogor
Sanim, Bunasor. 2003. Valuasi Ekonomi (Economic Valuation) dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA), Bagi Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan. Bahan Kuliah Mahasiswa Pasca Sarjana IPB Program Khusus.
Sanim, Bunasor. 2001. Komponen Utama Kelembagaan, Bahan Kuliah Pascasarjana IPB.
Sanim, Bunasor. 2000. Penilaian Kritis Terhadap Kebijakan Makro Dalam Pembangunan Pertanian. Paper dipresentasikan dalam Diskusi Pakar “Arah Pembangunan Pangan dan Hortikultura” Kerjasama Deptan-Faperta IPB, Bogor, 13 Maret 2000
Spulber and Sabbaghi. 1998. Economics of Water Resources: From Regulation to Privatization. Second Edition. Kluwer Academic Publishers. Boston/ London.
30
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Proyeksi Produk Domestik Bruto Dunia Oleh IMF
Sumber: Bank Dunia (2010).
Tabel Lampiran 2. Jumlah Impor-Ekspor Tahunan Air Maya Pada Produk Pertanian, Hewan dan Industri di Beberapa Negara
Negara
Jumlah air virtual, kedalam dan keluar negeri (106 meter kubik/tahun)
Pertanian Hewan Industri Jumlah Total
Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor
Argentina 46.000 3.100 4.180 811 499 1.730 +50.600 5.640
Australia 46.000 1.860 26.400 745 501 4.400 +73.000 9.010
Brasil 53.000 17.500 11.900 1.910 2.210 3.690 +67.800 23.100
Kanada 48.000 16.200 17.400 4.950 29.600 14.300 +95.300 35.400
USA 135.000 73.100 35.500 32.900 59.200 69.800 +229.000 176.000
India 32.000 13.900 3.410 343 6.750 2.950 +42.600 17.200
Indonesia 24.000 26.900 371 1.670 310 1.820 +25.400 30.400
Thailand 38.000 9.760 2.860 1.70 1.660 3.600 +42.900 15.100
Cina 17.400 36.300 5.640 15.200 49.900 11.600 +73.000 63.100
Jepang 954 59.000 955 20.300 4.610 18.900 6.510 98.200
Pakistan 7.380 8.880 612 98 1.530 579 9.520 9.560
Rusia 8.300 30.900 2.500 12.200 36.900 2.900 47.700 46.100
Spanyol 18.300 30.500 8.340 5.970 3.750 8.520 30.500 45.000
Inggris 8.770 33.700 3.790 10.200 5.110 20.300 17.700 64.200
Belanda 34.500 48.600 15.100 7.850 7.890 12.300 57.600 68.800 Sumber : Ediyanto (2009). Keterangan : (+) jumlah ekspor air maya lebih besar daripada impo
31
Tabel Lampiran 3. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik pada Beberapa Municipal di Indonesia (1991-2020)
Propinsi Proyeksi Kebutuhan Air Domestik
1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
DI. Aceh 84.157 97.233 114.190 137.230 169290 214.8 280.89 Sumut 332.149 358.170 386.490 417.330 450.91 487.5 527.41 Sumbar 129.087 140.220 152.580 166.270 181.51 198.5 217.33 Riau 94.687 116.490 145.260 183.660 235.49 308.2 403.62 Jambi 59.426 89.741 82.072 96.833 114.52 135.8 161.26 Sumsel 194.330 221.520 252.800 288.830 330.35 378.2 433.53 Bengkulu 33.575 41.875 53.587 70.195 94.027 128.4 178.29 Lampung 161.909 181.720 205.460 234.070 258.69 310.8 362.12 Sumatera 1089.58 1227 1392.4 1594.4 1844.8 2160 2564.2 Jakarta 542.656 596.850 660.6 735.19 822.12 923.1 1040.3 Jabar 954.774 1057.500 1178 1320.5 1489.7 1692 1934.5 Jabar 733.230 764.630 799.79 839.58 885.13 937.9 999.68 Ygyakarta 81.902 81.988 82.149 82.383 82.69 83.07 83.512 Jatim 994.420 933.430 975.12 1019.7 1087.5 1119 1173.7 Jawa 3206.98 3434.4 3695.7 3997.3 4347.1 4755 5231.8 Bali 79.477 83.637 88.165 93.1 98.482 104.4 110.78 NTB 88.211 94.723 101.79 109.47 117.82 126.9 136.84 NTT 71.775 77.902 84.644 92.085 100.24 109.2 119.18 Timtim 16.451 18.166 20.168 22.515 25.281 28.56 32.449 Bali & NT 255.915 274.43 294.77 317.15 341.82 369.1 399.25 Kalbar 88.603 98.979 110.61 123.64 138.26 154.7 173.06 Kalteng 35.745 42.058 49.722 59.04 70.498 84.55 101.88 Kalsel 74.668 84.428 95.758 108.94 124.29 142.2 163.18 Kaltim 74.429 89.96 110.38 137.45 173.58 222.1 287.57 Kalimantan 273.446 315.43 366.47 429.09 506.63 603.5 725.69 Sulut 68.192 74.123 80.96 88.86 98.009 108.6 120.97 Sulteng 37.478 42.515 48.233 54.724 62.094 70.46 79.965 Sulsel 198.23 232.86 307.86 514.64 1167.8 33.27 10595 Sulteng 29.725 34.632 34.632 47.535 55.991 66.18 78.479 Sulawesi 334.623 384.13 476.91 705.75 1383.9 3573 10875 Maluku 51.579 58.489 66.348 75.292 85.475 97.07 110.29 Irian Jaya 43.960 52.022 61.628 73.085 86.761 103.1 122.63 INDONESIA 5256.080 5745.8 6354.2 7192.1 8596.4 11660 20028
Sumber : Pawitan, et al. 1997