Pengaruh Tingkat Kesadaran Situasi terhadap Perilaku Self ...
Transcript of Pengaruh Tingkat Kesadaran Situasi terhadap Perilaku Self ...
Pengaruh Tingkat Kesadaran Situasi terhadap Perilaku Self-Protective Warga Komunitas Permukiman Kelurahan Kemanggisan Jakarta Barat
Adrianus Ryan Lienardy & Yogo Tri Hendiarto
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia.
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mencoba mendeskripsikan penyebab perilaku melindungi diri dari tindak kejahatan, konsep perilaku melindungi diri secara ilmiah disebut perilaku Self-Protective. Perilaku self-protective umumnya dianggap sebuah tindakan reaktif untuk menciptakan keamanan dari fenomena sosial, seperti kejahatan. Namun, bentuk-bentuk self-protective merupakan bentuk perilaku yang memiliki presisi dan terencana, sehingga peneliti menduga adanya suatu proses pemikiran dibalik perilaku tersebut. Peneliti memakai konsep kesadaran situasi sebagai pemicu untuk menjelaskan munculnya perilaku self-protective sebagai suatu proses kognisi dari individu maupun kelompok. Penelitian menggunakan pendekatan campuran menemukan bahwa perilaku self-protective merupakan perilaku yang multi-dimensi dan memiliki nilai manfaat. Perilaku tersebut muncul karena adanya proses kognisi individu dan kelompok terhadap elemen-elemen lingkungannya, jadi perilaku self-protective merupakan bentuk rekayasa terhadap lingkungan untuk keamanannya, bukan merupakan tindakan reaktif.
Kata kunci: perilaku self-protective, kesadaran situasi, intensi perilaku, reaksi terhadap kejahatan.
Abstract
Effect of Situational Awareness towards Self-Protective Behavior on Community Residents Settlement Kemanggisan District West Jakarta
This study tried to describe the causes of self protection behavior from crime, the concept of those behavior scientifically called Self-Protective behavior. Usually self-protective behavior considered as a reactive action that intended to create a secure feeling from some social phenomenon, such as crime. However,self-protective behavior can seen as a precise and well-planned behavior, so the researcher suspected the existence of a thought process behind self-protective behavior. Researchers used the concept of situation awareness as a independent variable to explain the emergence of self-protective behavior as a process of individual and group cognition. The study used a mixed approach found that self-protective behavior is a multi-dimensional behavior and have some benefit. Those behavior occurs because individual and groups cognition process of the elements in the environment, so self-protective behavior is a form of environment security engineering, not a reactive action. Keywords: self-protective behavior, situation awareness, behavioral intentions, reactions toward crime.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Pendahuluan
Kejahatan dapat memicu reaksi seperti pola perilaku, perilaku seperti melindungi diri
sendiri sampai pada pencegahan kejahatan, perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan keamanan (Warr & Ellison, 2000). Perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungannya. Lingkungan sangat berperan penting terutama menyangkut kondisi dan
keadaan lingkungan, kondisi lingkungan yang aman atau tidak aman secara langsung akan
membuat perilaku manusia yang berbeda. Hipotesa berbagai penelitian menunjukan bahwa
ketika lingkungan tidak aman kita akan cenderung untuk melakukan suatu tindakan menjaga
dan atau setidaknya menciptakan keamanan.
Tindakan yang akan dilakukan untuk menjaga atau menciptakan keamanan tersebut
dapat dilihat sebagai bentuk perilaku melindungi, namun pada kenyataanya tindakan tersebut
juga kita lakukan bahkan ketika lingkungan kita dianggap aman (Fallshore 2007). Sebagai
individu kita memiliki persepsi berbeda dalam melakukan perilaku melindungi diri, rasa aman
dan keadaan lingkungan merupakan banyak variabel yang dapat membentuk perilaku
melindungi diri.
Perilaku melindungi diri merupakan sebuah bentuk perilaku namun untuk mengkaji
secara ilmiah, peneliti harus menggunakan sebuah konsep ilmiah sehingga konteks dari apa
yang dikaji dapat dipahami. Penelitian kriminologi terkait dengan perilaku melindungi diri
umumnya menggunakan konsep self-protective, perilaku self-protective secara harafiah
memang dapat diartikan perilaku melindungi diri, namun dalam konteks kajian ilmiah
perilaku self-protective memiliki berbagai dikotomi, tipologi, dan konteks. Perilaku self-
protective yang dikaji dalam penelitian ini merupakan perilaku yang bersifat melindungi diri
dari kejahatan.
Perilaku melindungi diri juga dapat terbentuk karena didasari pada berbagai faktor sosial dan
faktor fisik yang berkaitan dengan rasa keamanan individu maupun kelompok. Perilaku ini
merupakan perilaku yang alami ada pada setiap individu maupun kelompok yang merasa
terancam (Bonino, Elena, & Ciairano, 2003). Mekanisme perilaku ini adalah dengan
melakukan aspek tindakan pengurangan resiko secara rasional dan terukur, baik secara fisik
maupun non fisik. Bagi manusia, berbagai bentuk perilaku melindungi diri atau melindungi
diri adalah insting dan hasil dari respon adaptif untuk kemungkinan hidup pada berbagai
keadaan lingkungan yang telah berkembang selama beberapa generasi (Pligt, 1996).
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Perilaku melindungi diri atau self-protective adalah sebuah fenomena sosial, karena
dalam kehidupan sehari-hari kita selalu tidak lepas dari perilaku tersebut, selain untuk
memberikan rasa aman terhadap diri, namun juga sebagai suatu cara untuk memberikan
respon terhadap situasi di lingkungan. Menurut Fallshore (2007) walaupun merasa aman,
namun kita cenderung untuk tetap melakukan perilaku yang bertujuan untuk melindungi diri,
walau umumnya ditujukan untuk kejadian aktual, perlindungan diri juga digunakan untuk
mengurangi potensi dan resiko kejahatan. Hal ini menarik karena perilaku kita untuk
melindungi diri kita sangat beragam dan cenderung menjadi sebuah keharusan, oleh sebab itu
banyak faktor yang perlu dikaji lebih jauh untuk memahami perilaku tersebut.
Fokus yang diangkat dalam penelitian ini adalah melihat perilaku melindungi diri atau
self-protective adalah sebuah bentuk fenomena sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
kriminologis. Perilaku harus didefinisikan sebagai cara untuk hidup, serupa seperti penyakit
yang dibedakan dari penyakit lainnya berdasarkan penyebab, proses umum yang tergantung
pada penderita (Vambrey 1941: 164). Melalui pemahaman terhadap perilaku melindungi diri,
memungkinkan untuk memahami individu, kelompok, dan situasi lingkungan dalam konteks
kaitannya dengan reaksi terhadap kejahatan dan potensi kejahatan. Maka fokus utama
penelitian ini ingin melihat apakah terdapat pengaruh antara kesadaran situasi lingkungan
dengan perilaku melindungi diri atau self-protective.
Tinjauan Teoritis
Tingkat Kesadaran Situasi
Kesadaran terhadap lingkungan dan situasi merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi perilaku individu maupun kelompok. Individu maupun kelompok memiliki
kesadaran yang berbeda, setiap situasi dan keadaan lingkungan memunculkan kesadaran yang
akan diterjemahkan dalam berntuk perilaku berbeda-beda. Oleh sebab itu, peneliti
menggunakan konsep situation awareness untuk mengukur kesadaran terhadap lingkungan
dan situasi, baik untuk kesadaran yang bersifat individual maupun kolektif. Pengertian
situation awareness adalah sebuah persepsi dari elemen-elemen yang ada di dalam
lingkungan dengan volume waktu dan ruang, pemahaman makna , dan proyeksi status mereka
di masa depan (Endsley, 1995, 36). Menurut Endsley (1995) terdapat 3 fase dan komponen
yang membentuk situation awareness, fase-fase tersebut ditarik dari rumusan definisi, fase –
fase tersebut antara lain
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
• Persepsi terhadap unsur-unsur di dalam lingkungan, fase ini adalah merasakan
status, atribut, dan tingkatan dari unsur-unsur yang ada di lingkungan.
• Pemahaman atas situasi yang sedang terjadi, fase ini tingkat pengetahuan
terhadap situasi, seperti suatu pemahaman gambaran besar mengenai situasi.
• Proyeksi dari keadaan dimasa depan, proyeksi mengenai peningkatan atau
perubahan situasi yang diharapkan dan diperlukan di masa depan.
Perilaku Self-Protective
Konsep yang digunakan untuk menjelaskan perilaku melindungi diri adalah perilaku
self-protective, definisi perilaku self-protective menurut Weinsten (1987) adalah sebagai
perilaku yang dikenakan pada diri dan ruang lingkup yang kecil, muncul secara terbatas
sebagai sebuah respon yang dibuat atas risiko viktimisasi kejahatan. Karena tindakan tersebut
diarahkan untuk melindungi secara individu dan dalam ruang lingkup yang kecil, perilaku
tersebut dapat dilihat sebagai bentuk "private-minded", yaitu perilaku pencegahan kejahatan
atau perilaku pencegahan kejahatan berbasis privat (Weinsten, 1987).
Perilaku self-protective merupakan perilaku yang bersifat melindungi diri, perilaku
self-protective umumnya sangat beragam, untuk memahami perilaku self-protective maka
peneliti menggunakan tipologi respon perilaku self-protective terhadap kejahatan untuk
dijadikan dimensi dalam mengkaji perilaku self-protective. Weinsten (1987:231) membagi
menjadi 4 tipe, yaitu:
(a) Avoidance Behavior atau bentuk perilaku penghindaran terhadap perilaku
kejahatan,
(b) Self Protection Behavior atau bentuk perilaku perlindungan diri, bentuk perilaku
ini menekankan pada konfrontasi dengan perilaku kejahatan,
(c) Household Protection Behavior atau bentuk perilaku perlindungan tempat tinggal,
bentuk perilaku ini menekankan pada bentuk perlindungan terhadap tempat
tinggal dan berbagai aset yang dianggap berharga, dan
(d) Collective Action Behavior atau bentuk perilaku tindakan kolektif, bentuk perilaku
ini menekankan pada bentuk kerjasama antara individu atau individu dengan
kelompok untuk mengatasi perilaku kejahatan.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Teori aktivitas rutin, Kontrol sosial, dan Broken window
Peneliti menggunakan beberapa teori untuk menjelaskan unsur-unsur lingkungan yang
memicu perilaku self-protective. Teori–teori yang digunakan adalah teori aktivitas rutin,
kontrol sosial, dan Broken window, teori-teori tersebut membahas kejahatan dalam konteks
keruangan. Ketiga teori tersebut peneliti gunakan untuk menggambarkan unsur penyebab
terjadinya kejahatan yang umum terdapat di permukiman sebagai suatu ruang. Unsur-unsur
tersebut meningkatkan kesadaran situasi yang kemudian memicu terjadinya perilaku self-
protective, sedangkan Teori planned behavior peneliti gunakan sebagai penghubung untuk
menjelaskan hubungan antara kesadaran dengan perilaku.
Penelitian Tewksbury & Mustaine (2003) menunjukkan bahwa perilaku self-protective
dipengaruhi oleh tingkat guardianship. Hasil tersebut membuat Tewksbury & Mustaine
(2003) mengambil suatu kesimpulan bahwa teori aktivitas rutin dapat digunakan untuk
menjelaskan perilaku self-protective. Peran guardian dalam teori aktivitas rutin adalah
sebagai seorang penjaga yang mencegah terjadinya kesempatan interaksi antara pelaku dan
korban (Cohen & Felson, 1979). Namun dalam masyarakat salah satu bentuk peran guardian
tidak selalu baku, guardian dapat berbentuk perilaku (Giblin, 2008). Menurut Giblin (2008)
komunitas yang tidak mempercayai polisi cenderung memiliki tindak pencegahan, hal ini
menunjukkan bahwa dalam masyarakat guardian lebih kearah sebuah perilaku dan tindakan
disamping simbol otoritas.
Teori aktivitas rutin digunakan untuk menghubungkan antara gaya hidup korban
dengan kejahatan (Tewksbury & Mustaine, 2003), hubungan gaya hidup dan kejahatan
terletak disaat seseorang memiliki gaya hidup yang beresiko menjadi korban atau menjaga
diri. Seperti masyarakat, seorang individu dapat memiliki peran layaknya guardian,
ditunjukkan dalam penelitian Corsaro, & Schafer (2012) yang menemukan bahwa individu
akan berusaha mengurangi potensi resiko mejadi korban kejahatan dengan suatu tindakan.
Salah satu bentuk gaya hidup yang digunakan untuk mengurangi resiko adalah bentuk
tindakan guardianship bagi diri sendiri. Tingkat guardianship yang rendah dalam teori
aktivitas rutin membuat terjadinya kesempatan yang kemudian digunakan pelaku untuk
melakukan tindak kejahatan (Siegel, 2012), pernyataan tersebut secara langsung menunjukkan
bahwa untuk mengurangi resiko maka guardianship harus ditingkatnya. Guardianship sangat
diperlukan untuk mengurangi resiko.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Menurut Kornhauser (1978) disorganisasi sosial menghubungkan karakteristik
struktural dan kejahatan melalui kurangnya sosial kontrol formal. dan informal. Maka
terdapat 2 bentuk kontrol sosial yang ada di masyarakat, pertama adalah kontrol sosial yang
bersifat formal dan kontrol sosial informal. Kontrol sosial formal secara sederhana berasal
dari mekanisme dan otoritas yang resmi, sedangkan kontrol sosial informal berasal dari
sosialisasi nilai, kedua bentuk kontrol sosial itu terdapat di lingkungan.
Kontrol sosial merupakan salah satu elemen lingkungan yang mempengaruhi keadaan
lingkungan, terutama terkait dengan kejahatan. Tingkat kejahatan meningkat bila lingkungan
kurang kontrol sosial yang efektif informal dan / atau lingkungan, kurangnya kontrol sosial
meningkatkan rasa frustrasi warga lingkungan (Bursik, 1988). Seperti yang diketahui bahwa
perilaku self-protective merupakan respon dari kejahatan maka keadaan lingkungan harus
diukur melalui konsep kesadaran situasi, salah satunya adalah kontrol sosial.
Kontrol sosial yang rendah tidak hanya meningkatkan kejahatan secara aktual, namun
juga membuat resiko menjadi korban kejahatan menjadi lebih tinggi, tanpa adanya kontrol
perilaku yang dianggap merugikan (Snell, 2001). Maka tingkat kontrol sosial yang lemah juga
dapat memicu tindakan reaktif yang dapat bertujuan untuk mengembalikan kontrol sosial dan
mengurangi resiko menjadi korban kejahatan (Mendelsohn & O'Keefe, 1981).
Broken windows juga sebuah istilah untuk menyebut lingkungan masyarakat dengan
banyak ruang kosong, sampah yang berserakan di jalan, dan rumah tidak terpelihara (Kelling,
1996). Menurut Skogan (2008), bila suatu lingkungan masyarakat diindikasikan memiliki
situasi broken windows dapat dipastikan lingkungan masyarakat memiliki faktor penarik
terjadinya kejahatan. Menurut Kelling (1996), ketidakteraturan merupakan bentuk gangguan
terhadap fungsi normal yang membuat suatu lingkungan tidak berfungsi normal sebagaimana
mestinya. Ketidakteraturan mengurangi kemampuan lingkungan untuk dapat menunjang
kehidupan secara berkesinambungan, terdapat bentuk ketidak teraturan menurut Kelling
(1996) yaitu ketidakteraturan fisik dan ketidakteraturan sosial.
Potensi kerugian dan viktimisasi membuat masyarakat secara sadar merespon dengan
perilaku self-protective. Teori Broken Windows dapat dijadikan unsur dan indikator kesadaran
situasi, karena teori ini menjelaskan bagaimana keteraturan sosial dan fisik di suatu
lingkungan mempengaruhi fear of crime, resiko viktmisasi, dan kerugian akibat kejahatan.
Ketiga hal tersebut dalam banyak penelitian disimpulkan sebagai salah satu pemicu perilaku
self-protective, perilaku self-protective juga merupakan respon indvidu terhadap lingkungan.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Maka, Resiko viktimisasi dan kerugian juga dapat digunakan menjadi faktor penyebab
kesadaran akan tingkat keteraturan sosial dan tingkat keteraturan sosial meningkat, kemudian
berpengaruh terhadap perilaku individu maupun kelompok.
Teori Reasoned Action dan Planned Behavior
Ajzen (1991) mencetuskan teori Reasoned Action dan Planned Behavior, kedua teori
tersebut serupa karena membahas proses terjadinya perilaku. Teori Planned Behavior
merupakan penyempurnaan dari teori Reasoned Action, namun garis besar yang dapat ditarik
dari keduanya adalah terdapat suatu perantara antara penyebab dengan perilaku manusia,
perantara tersebut adalah intensi. Konsep intensi tersebut digunakan dalam tesis Rosval
(2013) untuk menjelaskan seseorang akan melakukan tindakan reaktif atau perilaku self-
protective, perilaku tersebut muncul bila intensinya untuk menolong dirinya dan intervensi
keadaan cukup tinggi.
Kesadaran situasi dan perilaku self-protective merupakan suatu variabel yang menurut
peneliti terpisah, peneliti menggunakan konsep intensi dalam teori Reasoned Action dan
Planned Behavior. Disertasi Yao (2006) mengaitkan antara perilaku self-protective di dunia
maya dengan intensi, Yao (2006) menunjukkan bahwa seseorang melakukan atau mengadopsi
tindakan self-protective didasarkan pada tingkat intensinya, tingkat intensi yang diperoleh dari
besarnya resiko. Namun resiko yang besar belum tentu membuat seseorang melakukan
tindakan self-protective di dunia maya karena seseorang belum tentu berintensi untuk
melindungi diri.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Campuran,
peneliti menggunakan campuran antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Peneltian
kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada pendekatan
positivisme, digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu (Bryman, 2012).
Penelitian kuantitatif dapat membuat sampel tertentu digunakan sebagai generalisasi atas
populasi, dalam hal ini peneliti ingin melakukan generalisasi hubungan pengaruh dalam
populasi. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan instrumen kuesioner untuk data
kuantaitif, wawancara untuk pengumpulan data kualitatif analisis data bersifat kuantitatif dan
kualitatif dengan adanya tujuan untuk melakukan pengujian hipotesis yang ditelah ditetapkan.
Pendekatan kuantitatif juga digunakan untuk menemukan pengaruh tingkat kesadaran
situasi terhadap perilaku self-protective. Penelitian kualitatif menekankan pada pemahaman
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
menyeluruh, seutuhnya dan mendalam pada objek (Creswell, 2013), kualitatif digunakan
untuk memahami perilaku self-protective, memahami tingkat kesadaran situasi, mengetahui
perbedaan tingkat intensi, dan tingkatan dari variabel-variabel tersebut. Penggunaan kualitatif
di dalam penelitian digunakan peneliti bertujuan untuk memperkuat dan memperkaya data,
menurut Creswell (2013: 218) salah satu bentuk prosedural dari metode campuran adalah
menjelaskan hasil kuantitatif dengan temuan data kualitatif dan analisisnya. Jadi, data
kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menunjang data kuantitatif.
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif. Hubungan yang diteliti
dalam penelitian ini adalah hubungan pengaruh tingkat situation awareness dengan perilaku
self-protective. Desain penelitian cross-sectional menekankan pada pengumpulan data pada
satu waktu tertentu dan tujuan penelitian untuk menguji pola asosiasi hubungan antara
variabel yang diteliti (Bryman, 2012: 59).
Peneliti menentukan kelurahan kemanggisan, Jakarta Barat sebagai tempat penelitian.
Selain berdasarkan data tingkat kerawanan yang diperoleh dari Polres Metro Jakarta Barat,
kejahatan yang terjadi di kelurahan kemanggisan umumnya juga beragam. Waktu penelitian
berlangsung antara bulan Desember 2015 sampai maret 2016. Penentuan waktu penelitian dan
panjang waktu penelitian disesuaikan dengan desain penelitian yaitu cross-sectional, selain
desain penelitian berbagai hambatan yang dialami oleh peneliti juga mempengaruhi lama
waktu dari penelitian. Maka peneliti hanya mengumpulkan data untuk mengetahui pada
tempat dan jangka waktu tersebut.
Populasi penghuni Kelurahan Kemanggisan sebanyak 36.923 jiwa, selanjutnya jumlah
tersebut dimasukkan kedalam rumus untuk menemukan jumlah sampel. Presisi yang
ditetapkan oleh peneliti adalah 5%, sebab presisi atau tingkat kesalah yang dapat ditolerir di
dalam disiplin dalam ilmu sosial adalah 5%. Melalui rumus diatas, besaran sampel yang
diperoleh adalah sebagai berikut :
! = !!.!!!!
= !".!"#!".!"# .!,!"!!!
= !".!"#!",!"#$
! = 395,71 (dibulatkan menjadi 400 responden )
Teknik sampling kuota memberikan kebebasan kepada peneliti untuk menentukan kuota pada
tiap unit sampel, penentuan kuota pada unit sampel dilakukan berdasarkan beberapa faktor.
Pengaruh faktor-faktor tersebut membuat adanya perbedaan jumlah kuota yang cukup
signifikan, namun peneliti menggunakan penarikan random untuk memilih responden yang
akan memenuhi kuota pada tiap unit sampel
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Variabel Independen yang digunakan dalam penelitian adalah tingkat kesadaran situasi,
kesadaran situasi memiliki tiga elemen, ketiga elemen tersebut adalah persepsi, pemahaman,
dan proyeksi. Ketiga elemen tersebut diukur dengan skala interval, penggunaan skala interval
bertujuan untuk mengukur ketiganya secara kuantitatif. Menurut Endsley & Garland (2000:7)
kesadaran situasi sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, situasi, dan kognisi individu.
Oleh sebab itu konsep kesadaran situasi dalam penelitian ini digabungkan dengan teori
kriminologis yang berkaitan dengan lingkungan. Elemen-elemen kesadaran situasi digunakan
untuk menjadi subgrup pengukuran untuk tingkat Guardianship, kontrol sosial informal,
kontrol sosial formal, ketidakteraturan sosial,dan ketidakteraturan fisik. Elemen persepsi
mengukur perasaan, elemen pemahaman mengukur pengetahuan, dan elemen proyeksi
mengukur keinginan.
Teori yang digunakan dibalik tingkat Guardianship adalah teori aktivitas rutin, tingkat
Guardianship kemudian dimasukkan indikator elemen-elemen kesadaran situasi dan
menggunakan skala interval, sedangkan untuk kontrol sosial formal dan informal, peneliti
menggunakan teori disorganisasi sosial, dan teori Broken Windows untuk dimensi
ketidakteraturan sosial dan fisik. Sementara untuk variabel mediasi peneliti mengambil
tingkat intensi, tingkat intensi dipayungi oleh teori Planned Behavior, dalam teori tersebut
tingkat intensi disebabkan oleh norma subyketif, tingkat kontrol perilaku, dan sikap terhadap
perilaku. Tiga hal itu dijadikan peneliti sebagai dimensi untuk mengukur tingkat intensi,
ketiganya memiliki indikator berupa tipe, bentuk, dan tingkat.
Variabel depeden menggunakan konsep perilaku Self-Protective, perilaku Self-
Protective sangat beragam oleh sebab itu peneliti menggunakan tipologi perilaku Self-
Protective terhadap kejahatan. Tipologi perilaku Self-Protective dibagi menjadi empat bentuk,
terdapat perilaku Self-Protective yang bersifat penghindaran terhadap bentuk ancaman yang
disebut Avoidance Behavior, melindungi diri disebut Self Protection Behavior, melindungi
harga benda atau tempat tinggal disebut Household Protection Behavior, dan perilaku kolektif
disebut Collective Action Behavior. Tipe-tipe tersebut digunakan menjadi dimensi untuk
mengukur tingkat perilaku Self-Protective, menggunakan indikator bentuk perilaku, frekuensi,
dan intensitas.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Hasil Penelitian
Pengukuran tingkat kesadaran situasi dan perilaku self-protective pada 400 responden
yang terdiri dari 209 laki-laki dan 191 perempuan, yang berasal dari beragam latar belakang
pada lokasi penelitian menemukan beberapa hal. Peneliti menemukan bahwa umumnya
responden memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.
Grafik 1. Tingkat Kesadaran Situasi
Hasil tersebut menunjukkan bahwa umumnya responden menyadari, mengetahui, dan
menginginkan keadaan elemen-elemen di lingkungannya. Elemen-elemen di lingkungan yang
diukur antara lain tingkat Guardianship, tingkat Kontrol Sosial formal, tingkat kontrol sosial
non formal, tingkat Ketidakteraturan baik fisik dan non-fisik.
Grafik 2. Tingkat Intensi dan Perilaku Self-Protective
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Sementara untuk tingkat intensi dan perilaku self-protective, penelitian menemukan bahwa
umumnya responden memiliki intensi yang cukup tinggi. Hasil serupa ditemukan pada tingkat
perilaku self-protective, tidak terdapat perbedaan jumlah yang signifikan antara tingkat intensi
dengan perilaku self-protective. Bentuk-bentuk perilaku self-protective yang paling sering
dilakukan oleh responden adalah collective action behavior, diikuti oleh avoidance behavior,
houseold protection behavior, dan self protection behavior sebagai bentuk perilaku self-
protective yang paling jarang dilakukan oleh responden.
Bagan 1. Hubungan Fase-Fase Tingkat Kesadaran Situasi Terhadap Tingkat
Intensi
intensi memiliki hubungan dengan proyeksi dan komprehensi. Proyeksi secara umum
memiliki hubungan dengan tingkat intensi, hal ini karena proyeksi yang digambarkan dalam
konsep kesadaran situasi Endsley (2000) menekankan pada gambaran individu terkait dengan
elemen-elemen lingkungan di masa depan. Terdapat irisan konteks gambaran dengan konsep
intensi dan proyeksi. Salah satu bagian dari itensi adalah sikap terhadap perilaku, hubungan
dengan proyeksi adalah proyeksi membuat individsu memiliki sikap terhadap suatu perilaku
yang menurut individu dapat digunakan untuk mengubah keadaan.
Komprehensi elemen guardianship, kontrol sosial, dan ketidakteraturan dapat dilihat
sebagai sebuah norma subyektif terhadap perilaku. Komprehensi merupakan pemahaman
terkait dengan elemen-elemen lingkungan. Peningkatan pengetahuan memberikan individu
gambaran terkait dengan kondisi resiko lingkungan terkait dengan perubahan elemen
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
guardianship, kontrol sosial, dan ketidakteraturan di lingkungan. Gambaran tersebut yang
kemudian akan diverifikasi melakui salah satu aspek intensi yaitu norma subyektif perilaku,
norma subyektif terhadap perilaku serupa dengan komprehensi karena berbasis pada
pengetahuan, sehingga proses lanjut dari pengetahuan adalah pertimbangan.
Bagan 2. Hubungan Tingkat Kesadaran Situasi Elemen Lingkungan Terhadap
Tingkat Intensi
kesadaran situasi terhadap elemen guardianship memiliki hubungan dengan intensi, hal ini
terjadi karena dalam berbagai penelitian perubahan guardianship membuat individu atau
kelompok bereaksi. Peneltiain ini menemukan bahwa perubahan guardianship dapat
dirasakan dan diketahui oleh responden, sehingga responden akan bereaksi melakukan
tindakan yang betujuan untuk mengembalikan fungsi guardianship. Namun untuk
mengembalikan guardianship diperlukannya proses kognitif yang tepat untuk membuat proses
pengembalian guardianship menjadi efektif.
Hubungan antara kesadaran situasi guardianship dengan intensi merupakan hubungan
yang terjadi karena intensi meruapakan penghubung terhadap perilaku. Penelitian Barberet
(2009) dan Giblin (2008) menunjukkan bahwa tingkat guardianship sangat mempengaruhi
munculnya perilaku self-protective. Perbedaan dari dua penelitian tersebut adalah uji regresi
penelitian menemukan bahwa kesadaran situasi dimoderasi oleh intensi, maka beberapa fase
dan elemen dari kesadaran situasi juga mengalami proses moderasi sebelum memicu
kesadaran situasi.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Bagan 3. Hubungan Tingkat Intensi Terhadap Perilaku Self-Protective
intensi memiliki hubungan dengan semua bentuk perilaku self-protective. Bentuk-
bentuk perilaku sepertli self-protection, household protection, dan collective protection
menurut Weinstein merupakan perilaku yang perilaku memerlukan sumber daya yang lebih
dan juga proses pertimbangan yang mapan. Penggunaan intensi tepat untuk mengetahui
bagaimana proses kesadaran situasi responden berubah menjadi pertimbangan dalam konteks
intensi yang kemudian menjadi perilaku self-protective.
Bagan 4. Hubungan Tingkat Kesadaran Situasi Elemen Lingkungan Terhadap
Perilaku Self-Protective
Hubungan antara kesadaran situasi secara langsung dengan perilaku self-protective
umumnya seluruhnya didominasi guardianship. Penelitian Ziegenhagen (1990) dan
Tewksbury (2003) menemukan bahwa faktor tingkat pengamanan atau guardianship memicu
perilaku self-protective. Tingkat guardianship yang lemah akan meningkatan resiko dan
untuk mengatasi resiko tersebut individu akan melakukan tindakan. Temuan yang sama
ditemukan dalam penelitian ini tingkat guardianship yang dirasakan, diketahui, dan dinginkan
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
oleh responden. Tingkat guardianship yang dirasakan memiliki hubungan dengan
perilaku self-protection, hal ini karena beberapa responden melihat perilaku self-protection
dianggap relevan untuk mengataasi resiko menjadi korban kejahatan, tindakan menghindar
juga tindakan yang tepat untuk menghadapi resiko.
Bagan 5. Hubungan Tingkat Kesadaran Situasi Elemen Lingkungan Terhadap
Perilaku Self-Protective
Elemen ketidakteraturan umumnya berhubungan dengan perilaku avoidance dan
perilaku self-protection, Menurut Skogan (2008) ketidakteraturan sosial dan fisik di suatu
lokasi merupakan faktor penarik potensi terjadinya kejahatan, hal tersebut secara langsung
meningkatkan resiko di lokasi tersebut. Selain itu menurut Kelling (1996) membuat
lingkungan tidak dapat berfungsi normal, sehingga dalam kondisi tertentu ketidakteraturan
fisik dan sosial di suatu lokasi tidak dapat diintervensi lingkungan. Perubahan tingkat
ketidakteraturan yang dirasakan responden di lingkungan membuat mereka terikat dengan
perilaku avoidance dan self-protection, perilaku ini dianggap relevan karena perilaku ini
umumnya ditujukan untuk menghadapi dan menurukan resiko dengan bentuk perlindungan
diri.
Ketidakteraturan fisik dan sosial memiliki indikator yang dapat diperhatikan di
lingkungan Kelling (1996), sehingga umumnya tindakan yang tepat dilakukan individu
adalah melakukan tindakan pencegahan seperti melindungi diri dan menghindari. Umumnya
ketikdateraturan juga memicu kejahatan tertentu.
Menurut Davies (2006) kontrol sosial yang lemah berpotensi meningkatan kejahatan
di suatu lingkungan, karena lemahnya kontrol sosial lingkungan tidak stabil dan terjadinya
disorganisasi sosial. Responden memiliki tingkat kesadaran tinggi dapat merasakan perubahan
kontrol sosial yang terdapat di lingkungannya, untuk mengatasinya umumnya lingkungan
akan melakukan pengembalian kontrol sosial. Menurut Mendelsohn (1981) lemahnya kontrol
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
sosial akan memicu tindakan reaktif yang bertujuan mengembalikan kontrol sosial. Salah satu
bentuknya adalah perilaku collective action dan household protection.
Perilaku collective action dan household protection umum muncul karena kesadaran
situasi responden terhadap perubahan tingkat kontrol sosial. Perilaku collective action
umumnya bertujuan untuk mengembalikan kontrol sosial karena kunci dari collective action
adalah kontrol sosial. Sementara household protection muncul karena perubahan kontrol
Bagan 5. Hubungan Tingkat Kesadaran Situasi Elemen Lingkungan Terhadap
Perilaku Self-Protective
sosial umumnya mengancam hunian dan harta benda, hunian dan harta benda
merupakan sumber daya yang berharga.
perubahan elemen guardianship yang dirasakan akan memunculkan hampir seluruh
bentuk perilaku self-protective yang berusaha menambal peran guardian, sementara
perubahan kontrol sosial akan memunculkan perilaku collective action yang bertujuan
mengembalikan kontrol sosial, dan perubahan tingkat ketidakteraturan yang dirasakan
memunculkan perilaku self-protection dan collective action yang bertujuan untuk melindungi
diri dari ketidakteraturan dan juga mengembalikan keteraturan.
Sedangkan untuk komprehensi, umumnya pengetahuan terkait kontrol sosial akan
memunculkan perilaku household protection. Lingkungan yang beresiko umumnya juga
mengancam hunian dan harta benda yang dimiliki oleh individu, maka perlu suatu tindakan
untuk mengurangi ancaman tersebut. Namun perlindungan terhadap harga benda dan hunian
berbeda dari melindungi diri, diperlukan pengetahuan terhadap lingkungan untuk melakukan
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
tindakan pengamanan sesuai keadaan lingkungan yang tepat, sehingga tindakan melindungi
hunian efektif untuk menjaga diri, hunian, dan harta benda.
Penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti
dalam penelitian. Hubungan antara kesadaran situasi sebagai variabel independen, perilaku
self-protective sebagai variabel dependen, dan intensi sebagai variabel mediasir. Tiap variabel
yang diukur mayoritas berada pada tingkat yang cukup tinggi, artinya mayoritas responden
memiliki tingkat kesadaran situasi yang tinggi, melakukan perilaku self-protective, dan
memiliki tingkat intensi yang tinggi. Hubungan antara variabel bersifat positif, baik antara
variabel independen dan variabel dependen dan juga dimoderasii variabel mediasi. Sifat
hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran situasi maka semakin tinggi
perilaku self-protective.
Hasil temuan tersebut sejalan dengan hipotesis penelitian, peneliti menggunakan
konsep kesadaran situasi untuk menjelaskan bahwa perilaku self-protective muncul karena
adanya proses kognisi. Artinya perilaku self-protective muncul bukan bersifat reaktif, maka
perlu konsep yang lebih kompleks untuk dijadikan sebagai varibael independen. Kesadaran
situasi merupakan kesadaran yang lebih rumit karena terdiri dari persepsi, komprehensi, dan
proyeksi. Sehingga konsep kesadaran situasi cocok digunakan sebagai variabel independen.
Temuan lain yang dianggap menarik adalah ternyata terdapat juga hubungan dengan
variabel mediasi atau intensi. Intensi digunakan peneliti untuk menjadikan proses kognisi
lanjutan dari kesadaran situasi terhadap perilaku self-protective. Hasil uji statistik
menunjukkan adanya peningkatan korelasi maupun regresi ketika variabel intensi dimasukkan
dalam uji korelasi maupun regresi. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa perilaku self-
protective lebih kompleks dan tidak berhenti pada kesadaran individu atau kelompok, bahkan
perilaku ini memerlukan intensi yang terdiri dari kontrol perilaku, norma subyektif terhadap
perilaku, dan sikap terhadap perilaku (Ajzen,1991).
Temuan-temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang
dianggap rawan memang dapat memicu suatu bentuk perilaku atau tindakan sebagai reaksi
terhadap kondisi tersebut. Namun hubungan yang terjadi tidak bersifat reaktif, tetapi adanya
proses kognitif sebelum munculnya perilaku atau tindakan. Proses kognitif terjadi karena
kejahatan yang terjadi di tiap lingkungan umumnya bersifat unik, maka untuk mengatasi,
mencegah, ataupun menguranginya perlu tindakan yang tepat. Tindakan dan perilaku yang
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
tepat muncul karena pemahaman mendalam terkait unsur-unsur atau umumnya kita kenal
penyebab terjadinya kejahatan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat proses tersebut sebelum individu atau
kelompok melakukan tindakan atau perilaku reaksi terhadap kejahatan, perilaku tersebut tidak
terjadi secara tiba-tiba, tetapi perilaku tersebut berasal dari sebuah proses pemahaman kondisi
lingkungan yang mendalam. Perilaku yang muncul juga umumnya beragam, dalam konteks
penelitian perilaku tersebut dibagi bedasarkan tipologi bentuk perilaku self-protective
Weinsten (1987). Perilaku yang muncul berdasarkan analisis juga sangat tergantung pada
tingkat intensi dan juga fase kesadaran situasi, hal ini menjadi temuan yang unik karena
bentuk-bentuk perilaku berkorelasi pada fase tertentu dan dimoderasi oleh intensi.
Hubungan antara tingkat kesadaran situasi dengan perilaku self-protective memiliki
hubungan yang signifikan, ditemukan sebanyak 6,3 kesadaran situasi menyubang terhadap
munculnya perilaku self-protective. Namun ketika tingkat intensi dimasukkan sebagai
variabel moderasi antara tingkat kesadaran situasi dengan perilaku self-protective, ditemukan
bahwa tingkat kesadaran situasi dengan adanya tingkat intensi menyumbang 15,8 terhadap
munculnya perilaku self-protective, hasil tersebut menunjukkan peningkatan hampir 2 kali
lipat. Peningkatan nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat intensi memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap hubungan antara kesadaran situasi dengan perilaku self-protective.
Analisis perbedaan terhadap responden dalam penelitian menunjukkan adanya
perbedaan tingkat kesadaran situasi yang signifikan antara responden yang melakukan
perilaku self-protective dan responden yang tidak melakukan perilaku self-protective.
Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa responden yang melakukan perilaku self-protective
memiliki kesadaran situasi yang tinggi terhadap lingkungannya, sedangkan sebaliknya mereka
yang tidak melakukan perilaku self-protective memiliki tingkat kesadaran situasi yang lebih
rendah. Hal ini mendukung hipotesis penelitian bahwa terdapat perbedaan kesadaran situasi
dari mereka yang melakukan perilaku self-protective dan tidak.
Hasil tersebut terjadi karena mereka yang memiliki kesadaran situasi yang tinggi
memahami elemen-elemen lingkungannya, sehingga mereka dapat melakukan suatu tindakan
yang dianggap tepat untuk melindungi diri mereka. Sedangkan mereka yang memiliki
kesadaran situasi rendah umumnya tidak melakukan perilaku self-protective karena mereka
tidak melakukan tindakan yang tidak tepat dan malah beresiko bagi dirinya.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Saran
Melalui penelitian diperoleh beberapa hasil yang memnunjukkan terdapat pengaruh
tingkat kesadaran situasi terhadap perilaku self-protective, hasil tersebut memnunjukkan
bahwa perilaku self-protective bukan merupakan reaksi yang bersifat tiba-tiba namun
merupakan bentuk respon yang didsasari pada pemahaman individu mengenai elemen-elemen
di lingkungannya. Maka perilaku self-protective dapat dikembangkan lebih luas untuk
menunjang keperluan praktis, seperti dalam hal pengamanan dan pencegahan kejahatan. Hal
tersebut karena perilaku self-protective muncul dari proses pemikiran masyarakat, proses
pemikiran tersebut yang membuat masyarakat yang melakukan perilaku self-protective
dilibatkan.
Selain pemanfaatan perilaku self-protective, perilaku self-protective sendiri dapat
digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan lingkungan. Umumnya lingkungan yang
rawan kejahatan dianggap memicu perilaku self-protective, namun dalam penelitian ini
ditemukan bahwa perilaku self-protective juga dipicu oleh kesadaran terhadap elemen
lingkungan. Maka perilaku self-protective dapat menjadi indikator bagaimana masyarakat
merasakan, memahami, dan menginginkan elemen lingkungannya. Indikator tersebut dapat
digunakan untuk meningkatkan berbagai bentuk pelayanan terkait keamanan dan
keselamatan.
Salah satu kekurangan penelitian adalah tidak memasukkan pengalaman viktimisasi
dalam pengukuran, peneliti hanya berfokus pada elemen-elemen lingkungan karena kesadaran
situasi dibentuk dari perasaan, pengetahuan, dan keinginan terhadap elemen lingkungan. Pada
penelitian-penelitian perilaku self-protective lainnya, pengalaman viktimisasi menjadi pemicu
yang dianggap paling mempengaruhi. Oleh sebab itu pengaruh pengalaman viktimisasi
terhadap perilaku self-protective dan proses kognisi dari pengalaman tersebut sangat perlu
untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kepustakaan
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational behavior and human
decision processes, 50(2) , 179-211.
Bonino, S., Elena, C., & Ciairano, S. (2003). Adolescents and Risk: Behaviors, Functions and
Protective Factors. New York: Springer.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Bryman, A. (2012). Social research methods 4th edition. Oxford university press.
Bursik, R. J. (1988). Social disorganization and theories of crime and delinquency: Problems
and prospects. Criminology, 26(4) , 519-552.
Cohen, L. E., & Felson, M. (1979). Social change and crime rate trends: A routine activity
approach. American sociological review , 588-608.
Creswell, J. W. (2013). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods
approaches. . Sage publications.
Endsley, M. R. (1995). Toward a theory of situation awareness in dynamic systems. Human
Factors: The Journal of the Human Factors and Ergonomics Society, 37(1) , 32-64.
Endsley, M. R., & Garland, D. J. (2000). Situation awareness analysis and measurement.
CRC Press.
Fallshore, M., Meško, G., Rep, M., & Huisman, A. (2007). Police Efforts in the Reduction of
fear of Crime in Local Communities–Big Expectations and Questionable Effects . Mintis ir
veiksmas, (02) , 70-91.
Giblin, M. J. (2008). Examining personal security and avoidance measures in a 12-city
sample. Journal of Research in Crime and Delinquency, 45(4) .
Giblin, M. J., Burruss, G. W., Corsaro, N., & Schafer, J. A. (2012). Self-Protection in Rural
America A Risk Interpretation Model of Household Protective Measures. Criminal Justice
Policy Review, 23(4).
Kelling, G. L. (1996). Fixing broken windows: Restoring order and reducing crime in our
communities. Simon and Schuster.
Kornhauser, R. R. (1978). Social Sources of Delinquency. Chicago, IL: University of Chicago
Press.
Mendelsohn, H., & O'Keefe, G. J. (1981). Public Communications and the Prevention of
Crime: Evaluations and Strategies. Denver, CO; University of Denver, Center for Mass
Communications Research and Policy .
Pligt, J. V. (1996). Risk Perception, Adaptation and Behavior Change: Self-protection in the
Wildland-Urban Interface. Hogrefe & Huber Publishers.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016
Rosval, L. (2013). Utilizing the Theory of Planned Behaviour to Examine the Cognitive and
Social Determinants of Behavioural Responses to Bully/Victim Problems in Middle and
Secondary School Students. University of Ottawa .
Siegel, L. J. (2012). Criminology Eleventh Edition. Wadsworth : Cengange learning.
Skogan, W. G. (2008). Broken windows: Why—and how—we should take them seriously.
Criminology & Public Policy, 7(2) , 195-201.
Snell, C. (2001). Neighborhood structure, crime, and fear of crime: testing Bursik and
Grasmick's neighborhood control theory. . LFB Scholarly Publishing LLC.
Tewksbury, R., & Mustaine, E. E. (2003). College Students' Lifestyles and Self-Protective
Behaviors Further Considerations of the Guardianship Concept in Routine Activity Theory.
Criminal Justice and Behavior, 30(3) .
Vambrey, R. (1941). Criminology and Behaviorism. Journal of Criminal Law and
Criminology Volume 32 Issue 2 , 164.
Warr, M., & Ellison, C. G. (2000). Rethinking Social Reactions to Crime: Personal and
Altruistic Fear in Family Households. American Journal of Sociology, 106(3).
Weinsten, N. D. (1987). Taking Care: Understanding and encouraging self-protective
behavior. Cambridge: Cambridge University Press.
Yao, M. Z. (2006). Predicting the Adoption of Self-Protections of Online Privacy: A Test of
an Expanded Theory of Planned Behavior Model. University of California, Santa Barbara.
Pengaruh Tingkat ..., Adrianus Ryan Lienardy, FISIP UI, 2016