HUBUNGAN ANTARA STATUS NUTRISI DAN INTENSITAS NYERI DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN.docx
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Intensitas Nyeri Akibat Perawatan Luka Bedah Abdomen
-
Upload
anang-satrianto -
Category
Documents
-
view
143 -
download
10
description
Transcript of Pengaruh Terapi Musik Terhadap Intensitas Nyeri Akibat Perawatan Luka Bedah Abdomen
PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP INTENSITAS NYERI AKIBAT PERAWATAN LUKA BEDAH ABDOMEN
Oleh :Anang Satrianto, S.Kep, Ns
NIDN. 0703128202
NURSING PROGRAMSINSTITUTE OF HEALTH SCIENCES BANYUWANGI
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Musik
2.1.1 Pengertian
Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda
berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi lain tentang musik
adalah bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya; segala bunyi yang dihasilkan
secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik
(Wikepedia Indonesia, 2007). Musik merupakan sarana yang dapat digunakan untuk
menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian
terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2005:1532).
Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik oleh
seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehat-
an mental, fisik, emosional dan spritual. Dalam kedokteran, terapi musik disebut
sebagai Complementary Medicine (Samuel, 2007). Terapi musik merupakan teknik
yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi
atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuai-
kan dengan keinginan, seperti musik klasik, intrumentalia, slow music, orkestra, dan
musik modern lainnya. Tetapi beberapa ahli menyarankan untuk tidak menggunakan
jenis musik tertentu seperti pop, disco, rock and roll, dan musik berirama keras
(anapestic beat) lainnya, karena jenis musik dengan anapestic beat (2 beat pendek, 1
beat panjang dan kemudian pause) merupakan irama yang berlawanan dengan irama
jantung. Musik lembut dan teratur seperti intrumentalia merupakan jenis musik yang
sering digunakan untuk terapi musik (Kompas, 2007;Potter dan Perry, 2005:1532).
2.1.2 Pengaruh Terapi Musik
Terapi musik adalah salah satu metode penanganan nyeri nonfarmakologis
yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian
seseorang pada hal-hal lain sehingga ia akan lupa terhadap nyeri yang dialami,
dengan demikian akan menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkat-
kan toleransi terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2005:1531).
Musik mencakup kegiatan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain nyeri. Pada teknik ini, sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang
menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang cukup atau berlebihan,
sedangkan stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin
(Potter dan Perry, 2005:1531). Selain itu musik terbukti mampu meringankan
penderitaan seseorang dari sakit karena jalur saraf untuk mendengarkan musik dan
jalur saraf perasa sakit adalah sama, sehingga pada saat seseorang mengalami nyeri
dapat dialihkan dengan mendengarkan musik (Pandoe, 2006).
Penelitian Dr. John Diamond dan Dr. David Nobel menyimpulkan bahwa
mendengarkan musik lembut secara teratur berefek pada penurunan tekanan darah,
merangsang peningkatan serotinin, endorphin, dan S-IgA (immunoglobulin tipe A)
yang berdampak menurunkan nyeri dan menigkatkan kenyamanan tubuh. Menurut
Guzetta dalam Potter dan Perry (2005), efek musik terhadap tubuh adalah
menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah, mengurangi
kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, serta persepsi waktu.
Studi lain yang membuktikan secara komprehensif tentang efek terapi musik
terhadap persepsi nyeri adalah penelitian Roberts. Studi Roberts menghasilkan teori
yang menyatakan bahwa terapi musik berefek positif terhadap persepsi nyeri yakni:
“(1) music serves as a distracter, (2) music may give the patient a sense of control,
(3) music causes the body to release endorphins to counteract pain, and (4) slow
music relaxes a person by slowing their breathing and heartbeat” (Greer, 2007).
Kerja terapi musik terhadap nyeri memberi pengaruh paling baik untuk jangka
waktu yang singkat, guna mengatasi nyeri intensif yang berlangsung tidak terlalu
lama, misalnya selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu kerja
analgesik. Teknik ini dapat diterapkan di rumah sakit, di rumah, atau unit-unit
perawatan jangka panjang (Potter dan Perry, 2005:1532).
2.1.3 Manfaat Musik
Musik mempunyai manfaat sebagai berikut:
a. Efek Mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah
musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang.
b. Refresing, pada saat pikiran seseorang lagi kacau atau jenuh, dengan
mendengarkan musik, terbukti dapat menyegarkan pikiran kembali.
c. Motivasi, adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan “feeling” tertentu. Apabila
ada motivasi, semangatpun akan muncul dan segala kegiatan bisa dilakukan.
d. Perkembangan Kepribadian. Kepribadian seseorang diketahui mem pengaruhi
dan dipengaruhi oleh jenis musik yang didengarnya selama masa perkembangan.
e. Terapi. Berbagai penelitian dan literatur menerangkan tentang manfaat musik
untuk kesehatan, baik untuk kesehatan fisik maupun mental. Beberapa gangguan
atau penyakit yang dapat ditangani dengan musik antara lain kanker, stroke,
dimensia dan bentuk gangguan intelegensia lain, penyakit jantung, nyeri,
gangguan kemampuan belajar, dan bayi prematur.
f. Komunikasi, musik mampu menyampaikan berbagai pesan ke seluruh bangsa
tanpa harus memahami bahasanya. Pada kesehatan mental, terapi musik
diketahui dapat memberi kekuatan komunikasi penggunanya (Spawnthe, 2003),
2.1.4 Prosedur Terapi Musik
Dalam terapi musik perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif sesuai
dengan kesenangan dan keinginan klien. Perawat perlu mengkaji jenis musik apa
yang disukai yang dapat menyenangkan dan menenangkan klien. Pada prinsipnya
semua jenis musik dapat digunakan pada terapi musik (Potter dan Perry, 2005:1532).
Prosedur penggunaan musik untuk mengontrol nyeri adalah
a. Pilih musik yang sesuai dengan selera klien, pertimbangkan usia dan latar
belakang
b. Minta klien untuk menggunakan tape atau alat pendengar musik lainnya yang
dipunyai atau disediakan.
c. Gunakan headphone/earphone supaya tidak menggangu klien atau staf yang lain
dan bantu klien untuk berkonsentrasi pada musik.
d. Pastikan tombol-tombol kontrol di radio, tape atau sejenisnya mudah ditekan,
dimanipilasi dan dibedakan.
e. Apabila nyeri yang klien rasakan akut, kuatkan volumenya. Apabila nyeri
berkurang , kurangi volumenya.
f. Apabila tersedia musik latar, pilih jenis musik umum yang sesuai dengan
keinginan klien.
g. Minta klien untuk berkonsentrasi pada musik, klien juga dapat disarankan untuk
mengikuti irama misalnya dengan mengetuk-ngetukan jari atau menepuk-nepuk
pahanya.
h. Berikan suasana tenang selama klien mendengarkan musik.
i. Musik sebaiknya didengarkan minimal selama 15 menit supaya dapat menimbul-
kan efek terapi (Potter dan Perry, 2005:1531)
Perangkat musik yang biasanya digunakan untuk terapi musik antara lain
tape, compact disc, radio, atau MP3 player yang dihubungkan dengan headphone
untuk menghindari kebisingan atau menggangu orang lain, dengan jenis musik yang
berirama lembut dan teratur seperti musik klasik atau instrumentalia (Hawthorn dan
Redmond, 2004:206).
2.1.5 Hal yang perlu diperhatikan pada Terapi Musik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terapi musik :
a. Hindari interupsi yang diakibatkan cahaya yang remang-remang dan hindari
menutup gorden atau pintu.
b. Usahakan klien untuk tidak menganalisa musik, dengan prinsip nikmati musik ke
manapun musik membawa.
c. Gunakan jenis musik sesuai dengan kesukaan klien terutama yang berirama
lembut dan teratur. Upayakan untuk tidak menggunakan jenis musik rock and roll,
disco, metal dan sejenisnya. Karena jenis musik tersebut mempunyai karakter
berlawanan dengan irama jantung manusia (Potter dan Perry, 2005:1532).
d. Terapi musik sebaiknya dilaksanakan sekitar 30 menit, atau sekurang-kurangnya
10 menit apabila waktu tidak mencukupi (Pandoe, 2006)
2.2 Perawatan Luka
2.2.1 Definisi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara
spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak (Soemantri, 2007). Menurut Lazarus,
et al dalam Potter dan Perry (2005), luka adalah rusaknya struktur dan fungsi
anatomis normal akibat proses patalogis yang berasal dari internal maupun eksternal
dan mengenai organ tertentu.
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap keadaan rusaknya
kontinuitas jaringan yang terjadi oleh sebab proses yang berasal dari luar misalnya
trauma baik yang disengaja atau tidak, maupun berasal dari proses patologis dalam
tubuh seperti akibat proses penyakit. Luka dapat disertai dengan robeknya jaringan
kulit atau membran mukosa dan tanpa robekan pada kulit.
2.2.2 Klasifikasi Luka
Banyak pengklasifikasian luka yang diterapkan para ahli, tetapi masih
tumpang tindih dan secara umum mempunyai kesamaan. Berikut klasifikasi menurut
kebersihan dan mekanisme terjadinya luka:
2.2.2.1 Kebersihan luka
a. Luka bersih, luka tidak mengandung mikroorganisme patogen, berupa luka bedah
tertutup yang tidak mengenai saluran cerna, pernafasan, genetalia, dan saluran
kencing yang tidak terinfeksi. Resiko luka terkena infeksi rendah.
b. Luka bersih terkontaminasi, luka dalam kondisi aseptik tetapi melibatkan rongga
tubuh yang secara normal mengandung mikroorganisme. Jenis luka ini berupa
luka bedah pada saluran cerna, pernafasan, genetalia, dan saluran kencing pada
kondisi terkontrol. Luka ini lebih berisiko mengalami infeksi.
c. Luka terkontaminasi, luka berada pada kondisi yang mungkin mengandung
mikroorganisme. Berupa luka terbuka traumatik, kecelakaan, luka bedah tanpa
teknik aseptik yang baik.
d. Luka terinfeksi, terdapat bakteri pada luka, biasanya berjumlah 105 organisme/
gram jaringan. Berupa luka yang tidak sembuh dan didalamnya terdapat
pertumbuhan organisme. Jaringan sering tidak sehat dan menunjukan tanda-
tanda inflamasi.
e. Luka terkolonisasi, luka mengandung mikroorganisme multipel. Berupa luka kronis
seperti ulkus diabetik, ulkus tekan, dan ulkus statis vaskular. Penyembuhan
biasanya berlangsung lambat cidera traumatik, luka kena pisau, luka bakar,
kecelakaan dan lain-lain (Potter dan Perry, 2005:1855).
2.2.2.2 Mekanisme terjadinya luka
a. Luka disengaja, merupakan luka yang terjadi akibat terapi seperti insisi bedah dan
tusukan jarum kebagian tubuh.
b. Luka tidak disengaja, adalah luka yang kejadiannya tidak diharapkan seperti
cidera traumatik, luka kena pisau, luka bakar, kecelakaan dan lain-lain (Potter dan
Perry, 2005:1855).
Gambar 2.1 Penampang Kulit dan Luka
2.2.3 Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase maturasi (Potter dan Perry, 2005:1854).
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang
bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam
proses penyembuhan meliputi: usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi
jaringan, status imunologi, obesitas, dan penyakit penyerta (hipertensi, diabetes
melitus, arthereosclerosis). Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang didapat
dari luar penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka,
meliputi: pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan
(InETNA, 2004:13).
2.2.5 Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-
beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat,
keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitelisasi dan juga
akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah hemoragic, hematoma, infection, dehincence dan eviscerasi, fistula, dan
penundaan penutupan luka (Potter dan Perry, 2005:1857).
2.2.6 Manajemen Perawatan luka Bedah
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu
evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penutupan luka, pembalutan,
pemberian antibiotik, dan pengangkatan jahitan.
a. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).
b. Tindakan antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit. Untuk melakukan
pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik.
c. Pembersihan Luka, pembersihan luka dilakukan untuk meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari terjadi-
nya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris.
d. Penutupan luka, adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka
sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal.
e. Pembalutan, pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung
pada penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap
penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses
penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpul
nya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
f. Pemberian antibiotik. Pada prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan
antibiotik, kecuali pada luka terkontaminasi/kotor maka perlu diberikan antibiotik.
g. Pengangkatan Jahitan. Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi
(InETNA, 2004:16 ; Mansjoer, 2000: 398-400).
2.2.7 Nyeri dan Nyeri akibat Perawatan luka
2.2.7.1 Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang terjadi aktual atau potensial (Smeltzer dan Bare,
2002:212). Menurut The International Association for The Study of Pain (IASP),
nyeri digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
menyebabkan kerusakan jaringan (Hartwig dan Wilson, 2002:1063).
Nyeri akibat perawatan luka merupakan nyeri yang bersifat insidentil (insidentil
pain) yang timbul atau terjadi saat perawatan luka dilakukan. Dalam perawatan, luka
akan terasa nyeri bergantung pada luasnya cidera jaringan, selain itu nyeri juga
ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan selama prosedur atau akibat dari agen yang
dipakai untuk perawatan luka (Morison, 2004:226).
2.2.7.2 Penyebab Nyeri pada Perawatan Luka
Ada beberapa kemungkinan penyebab nyeri pada saat perawatan luka yaitu:
a. Balutan yang digunakan untuk menutup luka. Balutan yang melekat pada luka
menyebabkan trauma jaringan luka pada saat pelepasan. Balutan dengan daya
lekat rendah sekalipun dapat melekat pada luka, jika balutan tersebut menyerap
eksudat dan menjadi kering.
b. Pelepasan balutan. Pelepasan balutan adhesif atau plaster yang digunakan untuk
menahan balutan dapat menimbulkan nyeri yang sangat, apalagi jika dilakukan
dengan metode yang tidak tepat.
c. Larutan pencuci luka atau agen yang digunakan untuk antiseptik luka, dapat
menyebabkan timbulnya respons iritasi jaringan, sehingga menimbulkan rasa
nyeri pada saat digunakan (Morison, 2004:33).
2.2.7.3 Neurofisiologis Nyeri
Antara stimulus cidera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
a. Tranduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri.
b. Transmisi melibatkan proses penyaluran impuls dari tempat tranduksi melewati
saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan jaringan neuron-neuron
pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak.
c. Modulasi nyeri, melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari
otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis.
Modulasi nyeri juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktvitas di reseptor nyeri aferen primer.
d. Persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas
transmisi nyeri oleh saraf (Hartwig dan Wilson, 2002:1064).
Berikut gambar mekanisme neurofisiologis nyeri dikutip dari Hartwig dan
Wilson (2002):
Gambar 2.2 Jalur Neurofisiologis Persepsi NyeriDicetak ulang dari Price, S. A dan Wilson, L. M., Patofisiologi: Konsep KlinisProses-
proses Penyakit. Huriawati Hartanto, dkk (Eds), Brahm U. Pendit, dkk
2.2.7.4 Mekanisme Neurofisiologis Nyeri akibat Perawatan Luka
Struktur spesifik dalam sistem saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi
sensasi nyeri, sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai
sistem nosiseptif. Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh
sejumlah faktor dan berbeda diantara individu (Smeltzer dan Bare, 2002:213).
Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon pada
adanya stimulus baik mekanik, kimiawi, suhu, atau listrik. Stimulus yang timbul
sebagai dampak dari prosedur dan agen yang dipakai dalam perawatan luka
selanjutnya menyebabkan pelepasan substansi neurotransmiter yang menghasilkan
nyeri seperti substansi P, prostaglandin, histamin, bradikinin, asetilkolin, kalium, dan
lain-lain yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai
transmisi neural (Gayton dan Hall, 1997:762 ; Potter dan Perry, 2005:1506).
Impuls saraf yang dihasilkan stimulus nyeri selanjutnya menyebar
disepanjang serabut saraf perifer aferen menuju kornu dorsalis medula spinalis.
Didalam kornu dorsalis, neurotransmiter dilepaskan sehingga menyebabkan suatu
transmisi sinapsis dari saraf perifer kesaraf traktus spinotalamikus dan traktus
spinoretikuler di suatu area yang disebut substansia gelatinosa (SG). Di substansia
gelatinosa dapat terjadi perubahan, modifikasi, serta pengaruh apakah sensasi nyeri
yang diterima oleh medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Dalam
penghantaran impuls menuju otak, sinaps substansia gelatinosa akan melepaskan
substansia P yang diduga sebagai neuroregulator utama nyeri (Tamsuri, 2007:7).
Impuls yang dibawa oleh traktus spinotalamikus selanjutnya dibawa ke korteks
untuk di interpretasikan, sedangkan impuls yang dibawa oleh traktus spinoretikuler
akan dibawa ke daerah talamus dan batang otak untuk mengaktifkan respons
autonomik dan limbik. Impuls yang sampai ke otak selanjutnya diproses di dalam otak
dalam 3 tingkatan yaitu pada talamus, otak tengah, dan pada korteks otak. Talamus
berfungsi sebagai penerima input sensori dari traktus spinotalamikus untuk diteruskan
ke korteks. Otak tengah berfungsi meningkatkan kewaspadaan dari korteks terhadap
datangnya rangsangan, sedangkan korteks berfungsi untuk melokalisasi impuls dan
impuls dipersesikan sesuai dengan lokasi terjadinya nyeri (Tamsuri, 2007:8).
Pada saat seseorang menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang
kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor
neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Peristiwa ini merupakan persepsi
terhadap nyeri. Selanjutnya Persepsi menyadarkan seseorang untuk mengartikan
nyeri dan menyebabkan seseorang bereaksi atau berespons baik secara fisiologis
maupun perilaku terhadap stimulus yang ada. Persepsi nyeri diklasifikasikan dalam
beberapa jenis yaitu berdasarkan: tempatnya (perifer pain, deep/viseral/ splanich/
reffered pain, psychogenic pain, phantom pain, intractable pain, waktu serangannya
(acute dan cronic pain), sifatnya (insidentil, steady dan paroxismal) (Tamsuri, 2007:7 ;
Potter dan Perry, 2005:1508).
2.2.7.5 Teori Nyeri
Beberapa teori yang menjelaskan mekanisme neurologik yang mendasari
sensasi nyeri adalah teori spesifisitas, teori pola atau penjumlahan, teori endorfin-
enkefalin, teori kontrol gerbang.
Dari keempat teori tersebut, teori kontrol gerbang (gate control) dari Melzack
dan Wall (1965) merupakan model yang paling menyeluruh (komprehensif) dan
praktis untuk mengkonseptualisasikan nyeri. Teori ini menjelaskan bahwa impuls
nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem
saraf pusat. Teori kontrol gerbang ini menyatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan
saat pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan tertutup (Potter dan
Perry, 2005:1507 ; Hartwig dan Wilson, 2002: 1071).
2.2.7.6 Pengkajian Nyeri
2.2.7.6.1 Pengkajian Persepsi Nyeri
Pengkajian persepsi nyeri meliputi beberapa aspek, yaitu:
a. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang. Pengukuran intensitas nyeri masih bersifat subjektif
dan individual. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah dengan menggunakan respons fisiologik tubuh dan perilaku
terhadap nyeri. Penilaian terhadap klinis nyeri dapat digunakan untuk mengkaji
persepsi nyeri seseorang. Beberapa alat ukur yang banyak digunakan untuk
menilai intensitas nyeri antara lain skala pendiskripsi verbal (Verbal Descriptor
Scale) dan skala visual analog (Visual Analog Scale) (Tamsuri, 2006:25). Tetapi
penggunaan skala ini masih sulit diterapkan terutama untuk kasus-kasus tertentu
seperti klien dengan sakit kronis atau nyeri hebat.
Penilaian respons fisiologik dan perilaku umumnya lebih banyak digunakan
untuk pengkajian nyeri akut dibandingkan nyeri kronis, hal ini karena gejala
fisiologis dan perilaku biasanya muncul pada nyeri akut, sedangkan pada nyeri
kronis gejala-gejala yang timbul biasanya sudah dapat diadaptasi atau ditoleransi
(Tamsuri, 2006:30).
Campbell (2000) memberikan alternatif pengkajian nyeri yang lebih objektif
melalui pengamatan perilaku saat nyeri terjadi. Intrumen penilai nyeri dari
Margaret Campbell dinilai dengan skala pengkajian perilaku terhadap nyeri
melalui observasi perilaku selama 2-5 menit, pada pasien yang tidak ditutupi
selimut (dapat diamati kondisi tubuhnya). Penentuan intensitas nyeri dilakukan
dengan memberikan tanda pada kategori yang telah ditentukan kemudian skor
penilaiannya dijumlahkan (Oman dan McLain, 2007:35). Berikut tabel skala
respons perilaku terhadap nyeri menurut Margaret Campbell:
Tabel 2.1 Pain Assessment Behavioral Scale
Wajah
0Otot-otot wajah santai (rileks)
1Otot wajah berkerut, tampak tegang, wajah meringis/ menyeringai
2Sering mengerut-kan dahi, menggelutukkan/mengatup rahang
Skorwajah
Kegelisah-an
0Terlihat tenang, penampilan santai; gerak-an normal
1Sekali-kali terlihat gelisah, mengubah posisi (bergeser)
2Sering terlihat gelisah; juga terlihat gerakan ekstremitas atau kepala
SkorKegelisah-an
Tonus otot
0Tonus otot normal, tidak tegang/relaks
1Ketegangan otot meningkat, fleksi jari-jari tangan dan jari-jari kaki
2Kekakuan/ketegangan otot
SkorTonus otot
Vokalisasi
0Tidak terdengar suara abnormal, ETT: tampak nyaman saat bangun
1Sekali-kali merintih, menangis/ber- teriak, mengaduh, ETT:mendengkur untuk mencoba berbicara di sekitar ETT
2Merintih terus menerus, menangis/ber-teriak, mengaduh, ETT: mendengkur dengan penuh kecemasan untuk mencoba ber bicara sekitar ETT
SkorVokalisasi
Ketenang-an
0Sesuai konteks, tenang
1Tenang kembali dengan sentuhan atau dialihkan dengan diajak bicara
2Sulit untuk tenang/nyaman kembali dengan sentuhan atau diajak bicara
Ketenang-an
Adapted from Margaret Campbel, RN, MS, Detroid (2000). Detriod Medical Center, for use at the University of Colorado Hospital, in Oman and McLain (2007)
Pengukuran tingkat nyeri diperoleh dari hasil observasi perilaku yang
teramati selama perawatan luka berlangsung, pengisian lembar check list
disesuaikan dengan item yang ada dalam lembar observasi. Penilaian tingkat
nyeri diperoleh dengan menjumlahkan skor pengamatan yang didapat dari
masing-masing item pengamatan pada lembar observasi. Total skor 0 menunjuk-
kan bahwa tidak adanya respons perilaku terhadap nyeri yang teramati, hal ini
berarti pasien tidak mengalami nyeri; total skor 1-3 menunjukkan nyeri ringan;
total skor 4-6 berarti pasien mengalami nyeri sedang, dan total skor ≥ 7 berarti
pasien mengalami nyeri hebat (Oman dan McLain, 2007:35).
b. Karakteristik Nyeri
Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan
kemingkinan penyebaran nyeri, durasi, irama, serta kulaitas nyeri (Tamsuri,
2006:28).
c. Faktor yang Meredakan Nyeri
Seseorang biasanya menggunakan perilaku-perilaku tertentu untuk
mengurangi nyeri. Berbagai perilaku seperti diam, mengurangi gerakan, atau
pengerahan tenaga biasanya teridentifikasi saat terjadi nyeri sebagai upaya untuk
mengontrol nyeri (Tamsuri, 2006:28).
d. Efek Nyeri terhadap Aktivitas Sehari-hari
Efek nyeri terhadap aktivitas misalnya pada pola tidur, nafsu makan,
konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, dan lain-lain (Tamsuri,
2006:29).
e. Kekhawatiran Individu tentang Nyeri
Kekhawatiran individu tentang nyeri dapat meliputi berbagai masalah yang
luas, seperti prognosis, pengaruh terhadap peran, dan masalah ekonomi
(Tamsuri, 2006:30 ; Smeltzer dan Bare, 2002:217).
2.2.7.6.2 Pengkajian Respons Tubuh terhadap Nyeri
a. Respons Fisik (Fisiologis)
Respons fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus menyebabkan sistem saraf
otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan
respons tubuh terhadap stres. Indikator fisiologis nyeri dianggap sebagai indikator
nyeri yang lebih akurat dibanding laporan verbal klien. Walau bagaimanapun,
respons involunter seperti peningkatan tekanan darah, pernafasan, nadi, pucat,
berkeringat, dan ketegangan otot merupakan rangsangan sistem saraf otonom
dan bukan hanya disebabkan oleh nyeri saja. Lebih jauh, perubahan tersebut
kurang mungkin terjadi dengan nyeri kronis (Tamsuri, 2007:19).
b. Respons Psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman seseorang
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri baginya. Seseorang yang mengartikan
nyeri sebagai sesuatu yang negatif cendrung menolak atau menderita, sebaliknya
pada orang yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman yang positif
cendrung akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2007:21)
c. Respons Perilaku
Respons perilaku yang timbul pada klien dengan nyeri dapat bermacam
macam. Meinhart dan Mc.Cafferry menggambarkan tiga fase perilaku terhadap
nyeri yaitu: fase antisipasi, sensasi, dan pascanyeri. Fase antisipasi merupakan
fase yang memungkinkan individu untuk belajar dan memahami nyeri serta
mendapatkan gambaran tentang nyeri. Fase ini merupakan penentu fase
berikutnya; Fase sensasi merupakan fase pengungkapan perilaku sebagai
respons terhadap nyeri yang terjadi; Fase pascanyeri merupakan fase akhir dari
respons seseorang terhadap nyeri. Klien mungkin mengungkapkan kecemasan,
takut, depresi, dan gejala trauma psikologis lainnya dalam (2006,2007:22).
Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal,
perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan interaksi dengan orang lain.
Seseorang yang mengalami nyeri dapat mengaduh, menangis, meringis,
mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, berdiam diri, mengengam jari
tangan, menghindari percakapan, menghindari kontak, dan lain-lain. Respons
perilaku umumnya teridentifikasi pada nyeri yang bersifat akut (Tamsuri, 2007:22).
2.2.7.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga banyak faktor yang dapat
mempengaruhi respons seseorang terhadap nyeri seperti usia, kebudayaan, makna
nyeri, perhatian pada nyeri, ansietas, kelelahan, pengalaman dahulu, gaya koping
dan dukungan keluarga (Smeltzer dan Bare, 2002:218 ; Potter dan Perry, 2005:1511).
2.2.7.7.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara
kelompok usia ini dapat mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri, misalnya
antara lansia dan anak-anak (Smeltzer dan Bare, 2002:221).
2.2.7.7.2 Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi cara seseorang mengatasi nyeri.
Selain itu budaya dan etniksitas juga mempengaruhi pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri. Namun menurut Zatzick dan Dimsdate, budaya dan etnis
tidak begitu bermakna dalam mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer dan Bare,
2002:220).
2.2.7.7.3 Makna nyeri
Makna atau arti nyeri menurut seseorang mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Makna ini berkaitan
erat dengan latar belakang dan keyakinan seseorang, sehingga makna nyeri pada
dua orang yang berbeda keyakinan dan nilai budaya dapat menyebabkan perbedaan
persepsi terhadap stimulus nyeri yang sama (Potter dan Perry, 2005:1514)..
2.2.7.7.4 Perhatian
Tingkat seseorang dalam memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gil, perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan
respons nyeri yang menurun (Potter dan Perry, 2005:1514),.
2.2.7.7.5 Ansietas
Seseorang yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu mentoleransi
nyeri daripada seseorang yang memiliki status emosional yang kurang stabil.
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan
ansietas (Smeltzer dan Bare, 2002:220).
2.2.7.7.6 Keletihan
Keletihan dapat meningkatkan persepsi nyeri. Rasa lelah menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping (Potter dan
Perry, 2005:1514)..
2.2.7.7.7 Pengalaman terdahulu
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri. Seseorang yang sering
mengalami nyeri atau sejak lama mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-
ulang, kemudian nyeri berhasil diatasi, akan menyebabkan individu tersebut lebih
mudah menginterpretasikan sensasi nyeri tersebut. Sebaliknya apabila seseorang
tidak pernah merasakan nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu
koping terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2005:1514).
2.2.7.7.8 Gaya koping
Sumber-sumber koping seperti komunikasi dengan keluarga atau melakukan
latihan dapat mengurangi tingkat nyeri. Dalam proses nyeri, seseorang seringkali
menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan
psikologis nyeri, namun nyeri lebih lanjut juga dapat menyebabkan ketidakmampuan
koping baik sebagian maupun keseluruhan (Potter dan Perry, 2005:1515).
2.2.7.7.9 Dukungan keluarga
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri adalah kehadiran
orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap seseorang yang
mengalami nyeri (Potter dan Perry, 2005:1515)
2.2.7.8 Penatalaksanaan Nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan
nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
penanganan nyeri secara individual.
2.2.7.8.1 Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis merupakan penanganan nyeri dengan
menggunakan agens farmakologis. Analgesik merupakan merupakan metode yang
banyak digunakan. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif,
ternyata penggunaannya tidak semudah dan seefisien yang diharapkan. Petugas
medis cendrung tidak memberikan analgesik dalam penanganan nyeri, kecuali untuk
kondisi yang mengharuskan. Hal ini karena adanya kekhawatiran akan informasi obat
yang tidak benar, adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat, cemas
akan melakukan kesalahan dalam menggunakan analgesik terutama jenis narkotik,
dan pemberian obat yang kurang tepat (Potter dan Perry, 2005:1535).
Banyaknya efek samping dari penggunaan analgesik seperti gangguan
saluran cerna, resiko perdarahan, masking indicators of infection, interaksi obat,
reaksi hipersensitivitas, meningkatnya resiko disfungsi hepar dan ginjal, serta
terbatasnya lama penggunaan analgesik juga menjadi alasan dihindarinya
penggunaan analgesik Selain itu penggunaan analgesik dengan efikasi baik, yang
terbukti efektif meredam nyeri dengan efek samping minimal disertai kemudahan
dalam pemberian nya, pada sisi lain ternyata menimbulkan biaya yang tinggi,
sehingga tidak semua kalangan masyarakat dapat memanfaatkannya (Hawthorn dan
Redmond, 1998:123).
2.2.7.8.2 Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Penatalaksanaan nonfarmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan
nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif seperti terapi musik.
Penerapan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis dewasa ini merupakan alternatif
yang banyak menjadi pilihan dan digalakkan penggunaannya. Hal ini antara lain
disebabkan karena hampir semua teknik penanganan nyeri nonfarmakologis dapat
digunakan oleh setiap orang dan dimana saja, tidak menimbulkan cidera (non
invasive), tidak menimbulkan efek samping, mudah dan murah, dan yang paling
penting adalah teknik nonfarmakologis dapat meningkatkan kenyamanan sekaligus
menurunkan kecemasan (stres emosi), yang tidak diperoleh seperti pada penanganan
farmakoterapi (Potter dan Perry, 2005:1531).
2.3 Mekanisme Pengaruh Terapi Musik untuk Kontrol Nyeri
Secara umum di dalam tubuh manusia terdapat dua macam transmiter impuls
nyeri yang berfungsi untuk menghantarkan sensasi nyeri dan sensasi yang lain.
Reseptor berdiameter kecil (serabut A-Delta dan C) berfungsi mentransmisikan nyeri
(nosiseptor) yang bersifat keras dan biasanya berupa ujung saraf bebas yang
terdapat diseluruh permukaan kulit dan pada struktur tubuh yang lebih dalam,
sedangkan reseptor berdiameter besar (serabut A-Beta) lebih berfungsi untuk
mentransmisikan sensasi lain. Selain itu impuls dari serabut A-Beta mempunyai sifat
inhibitor terhadap impuls yang ditransmisikan ke serabut A-Delta dan C (Tamsuri,
2007:6).
Ketika ada rangsangan, serabut saraf aferen akan membawa rangsangan
menuju kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis. Di medula spinalis terjadi
proses sensori yang berasal dari stimulus nyeri dan suara musik. Di satu area khusus
dalam medula spinalis yaitu substansia gelatinosa selanjutnya terjadi interaksi antara
serabut saraf sistem neuronal desenden dan asenden, yang ketika diaktifkan
menghambat atau memutuskan transmisi stimulus/informasi yang menyakitkan atau
menstimulasi nyeri dalam serabut asenden, daerah ini sering disebut sebagai
“gerbang”. Mekanisme kontrol nyeri pada terapi musik dapat dijelaskan berdasarkan
teori gerbang kontrol ini (Smeltzer dan Bare, 2002:216)..
Teori gerbang kontrol nyeri (Wall, 1978) menjelaskan bahwa terjadi proses
interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain (suara musik) dari stimulasi serabut
yang mengirim sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri
melalui sirkuit gerbang penghambat. Apabila tidak terdapat stimulus yang adekuat
dari serabut besar maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan menuju ke
sel Trigger untuk kemudian dibawa ke otak, yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri
yang dirasakan oleh tubuh. Keadaan ini diistilahkan dengan “Pintu Gerbang Terbuka”.
Sebaliknya apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut berdiameter
besar misalnya karena stimulasi suara musik, maka impuls ini akan menghambat
impuls dari serabut berdiameter kecil di area subtstansia gelatinosa sehingga sensasi
yang dibawa oleh serabut kecil akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke
otak. Kondisi ini disebut dengan “Pintu Gerbang Tertutup” (Smeltzer dan Bare,
2002:217 ; Tamsuri, 2007:6).
Selain kontrol dorsalis dan jalur asenden, terdapat juga sistem kontrol
desenden. Kontrol desenden adalah suatu sistem serabut yang berasal dari dalam
otak bagian bawah dan tengah yang berakhir pada serabut inhibitor dalam kornu
dorsalis. Dimana pada saat serabut saraf perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi
sinapsis antara neuron nyeri perifer dan neuron yang menuju ke otak (tempat
substansia P akan menghantarkan impuls nyeri). Pada saat tersebut, endorpin (yang
distimulasi oleh terapi musik) akan memblokir lepasnya substansia P dari neuron
sensorik, sehingga impuls nyeri dihambat atau tidak dihantarkan ke otak (Potter dan
Perry, 2005:1507 ; Tamsuri, 2007:10).
Terapi musik sebagai stimulator serabut-serabut aferen yang mentransmisikan
sensasi tidak nyeri (non-nosiseptor), dapat menghambat transmisi informasi yang
menyakitkan atau memodulasi stimulasi nyeri dalam serabut asenden, sehingga
memblok atau memperlambat transmisi stimulus nyeri. Dengan mekanisme kontrol
desenden, terapi musik dapat menstimulasi pengeluaran substansi neuromodulator
seperti endorfin atau enkefalin, sehingga menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi
nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002:217).
Secara skematis mekanisme pengaruh terapi musik untuk kontrol nyeri
digambarkan sebagai berikut:
Stimulus mekanis dan kimiawi
Stimulasi reseptor nyeri
Pelepasan mediator kimia nyeri
Transmisi/Penghantaran impuls nyeri
Kornu dorsalis medula spinalis
Serabut saraf aferen (Nosiseptor)
Jaras ascenden
Mekanisme “gerbang” di sel-sel substansia gelatinosaterbuka atau tertutup
Jaras desenden
Reaksi terhadap nyeri : respons fisiologis dan perilaku
Serabut saraf aferen(Non-nosiseptor)
Stimulasi substansi inhibitor; endorfin-enkefalin
Otak bagian bawah dan tengah
Transmisi sinapsis (interneuron)
Otak
Musik
Keterangan:
: Menstimulasi atau mentransmisikan
: Menghambat
Gambar 2.3 Alur Mekanisme Pengaruh Terapi Musik untuk Kontrol Nyeri