tehnik tehnik pemotongan bahan makanan hewani (ayam dan ikan)
Pengaruh Tehnik Relaksasi Pernafasan Diafragma Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien...
-
Upload
anang-satrianto -
Category
Documents
-
view
1.495 -
download
15
Transcript of Pengaruh Tehnik Relaksasi Pernafasan Diafragma Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien...
PENGARUH TEHNIK RELAKSASI PERNAFASAN DIAFRAGMA TERHADAP
PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI DERAJAT II
6
PENGARUH TEHNIK RELAKSASI PERNAFASAN DIAFRAGMA TERHADAP
PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI DERAJAT II
2.1 Konsep Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah tertentu,
yaitu diatas tingkat tekanan darah tersebut dengan memberikan pengobatan
akan menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan tidak
memberikan pengobatan (Arjatmo, 2001).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai kejaringan tubuh yang membutuhkannya (Lanny
Sustrani, 2004:12).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan
darah distolik 90 mmHg atau lebih sedang dalam pengobatan antihipertensi (Arif
Mansjoer, 2000:518).
Menurut WHO (1978), batas tekanan darah yang masih dianggap normal
adalah 140/90 mmHg atau tekanan darah yang sama dengan atau diatas 160/95
mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan darah diantara normotensi dan
hipertensi disebut borderline hypertension.
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
Menurut Arief Mansjoer (2000:518), berdasarkan penyebabnya hipertensi
dibagi menjadi dua golongan,yaitu:
a. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas
7
susunan saraf simpati, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan
resiko seperti obesitas, alkohol, merokok serta polisitemia.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui seperti gangguan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vascular renal, hiperaldosteronnisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan dan lain-lain.
Klasifikasi lain yang digunakan dengan memasukkan tekanan arteri sistolik
dan diastolik sebagai berikut :
1. Normotensi, bila sistolik 120-<140 mmHg dan diastolik 80-<90 mmHg.
2. Borderline, bila sistolik 140-160 mmHg dan diastoliknya 90-<95 mmHg.
3. Hipertensi bila sistoliknya 160 mmHg dan diastoliknya >95 mmHg.
Klasifikasi hipertensi menurut WHO, 1997 adalah :
a. Normotensi, bila sistoliknya <140 mmHg dan diastoliknya <90 mmHg.
b. Perbatasan, bila sistoliknya 141-159 mmHg dan diastoliknya 91-94 mmHg.
c. Hipertensi, bila sistoliknya > 160 mmHg dan diastoliknya >95 mmHg.
Tabel 1 : Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang Berumur 18 Tahun atau Lebih
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optomal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal - tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Derajat I 140-159 90-99
Derajat II 160-179 100-109
Derajat III ≥ 180 ≥ 110
Arjatmo Tjokronegoro(2001:454).
8
2.2 Penyebab Hipertensi
Menurut Leonard Marvyn (1995:35), ada beberapa penyebab yang
mendukung terhadinya hipertensi yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor
yang tidak dapat dikontrol.
Faktor yang dapat dikontrol meliputi :
1. Kelebihan protein dalam diet.
Terlalu banyak protein dapat menyebabkan pengentalan aliran darah.
Lemak daging kaya akan kolesterol, semakin kental cairan, semakin sulit
mengalir, dan semakin besar pula tekanan yang dibutuhkan untuk
memaksanya melewati pembuluh yang sempit.
2. Kelebihan pemasukan lemak hewan yang menyebabkan kolesterol
menumpuk pada dinding pembuluh darah.
Lemak yang diperoleh dari makanan hewan padat dan keras seperti lilin.
Sebaliknya lemak yang berasal dari sereal, biji-bijian dan sayuran
berbentuk cairan seperti minyak benih gandum. Bila lemak hewan
tertumpuk terlalu banyak dalam tubuh maka akan menyumbat sebagian
dari pembuluh darah sehingga menyebabkan tekanan darah yang
mengalirr meningkat.
3. Makanan tak bervitamin yang mengganggu keseimbangan kelenjar.
Bila diet kekurangan nilai vitamin dan mineral penting, kelenjar endokrin
akan gagal berfungsi dengan efisien. Kelenjar ini gagal mengeluarkan
bermacam hormon ke dalam aliran darah dan seluruh susunan kimiawi
tubuh terganggu.
4. Terlalu banyak garam dalam diet.
Pemasukan garam yang tinggi dapat menaikkan tekanan darah. Bagian
garam yang menyebabkan hipertensi adalah sodium yang juga terdapat
pada bubuk pengembang kue.
9
5. Pemasukan kalori yang tinggi dapat menyebabkan kelebihan berat
badan.
Setiap makan kita membutuhkan darah untuk mencernanya. Semakin
banyak makan semakin banyak jumlah darah yang diperlukan. Dengan
kata lain semakin banyak makan semakin berat tugas jantung, ginjal dan
mekanisme sirkulasi.
6. Bahaya stress yang tidak boleh diabaikan.
Stress bisa bersifat fisik maupun mental, namun sulit untuk
membedakannya. Bentuk stress dapat berupa situasi yang mengancam
hidup atau masalah yang timbul. Yang terjadi adalah jantung berdenyut
lebih kuat atau lebih cepat. Kelenjar seperti tiroid dan adrenalin bereaksi
dengan meningkatkan pengeluaran hormon aktif mereka, sehingga
kebutuhan akan otak akan darah juga meningkat.
7. Merokok
Tembakau mempunyai efek yang cukup besar. Pada prinsipnya efek
tersebut merupakan penyempitan pembuluh darah, melalui lapisan otot
pembuluh itu. Sirkulasi darah terhadap nikotin dengan penyempitan
pembuluh darah diikuti dengan kenaikan tekanan darah.
Sedangkan faktor yang tidak dapat dikontrol, meliputi :
1. Keturunan
2. Jenis kelamin
3. Umur
Untuk hipertensi sekunder menurut Arief Manjoer (2001:518) dapat disebabkan
oleh:
1. Penggunaan estrogen
2. Penyakit ginjal
3. Hipertensi vaskuler renal
10
4. Hiperaldosteronisme primer
5. Sindrom chushing
6. Feokromositoma
7. Koarktasio aorta
8. Kehamilan
2.3 Gejala Klinis Pada Penderita Hipertensi
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala.
Kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah
terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung
(Arief Manjoer, 2000:519).
Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan hampir
sama dengan gejala penyakit lainnya, adapun menurut Lanny Sustrani (2004:12)
gejala hipertensi tersebut antara lain:
1. Sakit kepala
2. Jantung berdebar-debar
3. Sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat
4. Mudah lelah
5. Penglihatan kabur
6. Wajah memerah
7. Hidung berdarah
8. Sering buang air kecil, terutama di malam hari
9. Telinga berdering (tinnitus)
10. Dunia terasa berputar (vertigo)
11
Sedangkan menurut Arief Manjoer (2000:518-519) gejala-gejala hipertensi
meliputi:
1. Rasa berat di tengkuk
2. Sukar tidur
3. Cepat marah
4. Mata berkunang-kunang dan pusing.
2.4 Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah berarti tenaga yang digunakan oleh darah terhadap setiap
satuan daerah dinding pembuluh tersebut. Tekanan darah dipengaruhi oleh
curah jantung dan tahanan perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah
jantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah. Pada dasarnya,
awal dari suatu kelainan tekanan darah tinggi disebabkan oleh peningkatan
aktifitas pusat vasomotor dan meningkatnya kadar norepineprin plasma sehingga
terjadi kegagaglan system pengendalian tekanan darah yang meliputi, tidak
berfungsinya reflek baroreseptor ataupun kemoreseptor. Epineprin adalah zat
yang disekresikan pada ujung-ujung saraf simpatis atau saraf vasokonstriktor
yang langsung bekerja pada otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan
vasokonstriksi (Guyton: 1990). Impuls baroreseptor menghambat pusat
vasokonstriktor di medulla oblongata dan merangsang pusat nervus vagus.
Efeknya adalah vasodilatasi di seluruh system sirkulasi perifer dan menurunyya
frekuensi dan kekuatan kontraksi. Oleh karena itu, perangsangan baroreseptor
oleh tekanan di dalam arteri secara reflek menyebabkan penurunan tekanan
arteri. Sebaliknya, tekanan darah mempunyai efek naik kembali ke normal
( Guyton, 1990: 198). Sedangkan mekanisme reflek kemoreseptor berlangsung
jika terjadi perubahan kimia darah seperti rendahnya kadar oksigen,
meningkatnya kadara karbon dioksida dan hydrogen atau menurunnya pH.
12
Keadaan ini merangsang reseptor kimia yang terdapat di sinus caroticus untuk
mengirim rangsang yang berjalan didalam Herving´s nerve dan saraf vagus ke
pusat vasomotor di area pressor atau vasokonstriktor, yang juga terdapat bagian
cardioaccelelator yang mengeluarkan rangsang yang berjalan dalam saraf
simpatis menuju ke jantung, dan area vasokonstriktor mengirim rangsang
kepembuluh darah sehingga menyebabkan pengecilan diameter pembuluh
darah. Tidak berfungsinya kedua reflek tersebut mengakibatkan pusat vasomotor
di batang otak menjadi hiperaktif (Dr. Ibnu Masud. 1989:119).
Pusat vasomotor terletak bilateral di dalam substansia retikularis sepertiga
bawah pons dan dua pertiga atas medulla oblongata. Pusat ini mengirimkan
impuls ke bawah melalui medulla spinalis dan serabut vasokonstriktor kesemua
pembuluh darah di dalam tubuh. Pusat vasomotor bersifat tonically active, yaitu
mempunyai kecenderungan untuk selalu mengirimkan impuls saraf. Saat pusat
vasomotor mengatur tingkat penyempitan pembuluh darah, ia juga mengatur
aktivitas jantung. Bagian lateral mengirimkan impuls eksitasi melalui serabut
saraf simpatis ke jantung untuk meningkatkan frekuensi dan kontraktilitas
jantung, bagian medial yang terletak dekat nucleus motoris dorsalis nervus
vagus, mengirim impuls melelui nervus vagus ke jantung untuk menurunkan
frekuensi jantung. Namun bila beberapa impuls saraf yang turun melalui nervus
vagus ke jantung dan dapat memintasi bagian vasokonstriktor pusat vasomotor
tersebut. Hipotalamus juga mempengaruhi system vsokonstriktor karena dapat
menimbulkan efek eksitasi dan inhibisi. Bagian posterolateral hipotalamus
menyebabkan eksitasi, sedangkan bagian anterioir menyebabkan eksitasi atau
inhibisi, tergantung bagian mana yang dirangsang ( Guyton, 1990: 190-191)
Pengendalian tekanan darah yang dilakukan oleh renin-agiotensin diawali
dengan disekresinya bahan renin oleh juxtaglomerular cell yang terdapat pada
dinding arteriola aferen yang telah mengadakan penyatuan dengan macula
13
densa di dinding tubulus distalis. Maka terjadi perubahan angiotensinogen
menjadi angiotensin I dan dalam sirkulasi pulmonal angitensin I diubah menjadi
angiotensin II. Selanjutnya bahan ini yang berperan terhadap terjadinya
perubahan tekanan darah. Angiotensin II mempengaruhi dan merangsang pusat
haus pada hypothalamus dalam otak sehingga meningkatkan masukan air dan
merangsang pusat vasomotor sehingga meningkatkan rangsangan saraf simpatis
pada arteriola myocardium dan pacu jantung. Angiotensin II juga memiliki
kemampuan merangsang bagian cortex kelenjar adrenalis, sehingga
memproduksi aldosteron yang meningkatkan reabsorbsi air natrium pada tubulus
distalis, sehingga terjadi proses retensi air dan natrium yang menyebabkan
kenaikan volume darah (Guyton, 1990: 202). Angiotensin merupakan zat
vasokonstriktor yang paling kuat, satu persepuluh juta gram saja dapat
meningkatkan tekanan arteri pada manusia sebesar 10 sampai 20 mmHg
(Guyton: 1990). Teori yang menerangkan mekanisme sekresi rennin oleh
juxtaglomerular cell ialah: intrarenal arteriolar baroreceptor theory yang
menjelaskan bahwa jika tekanan arteriola aferen menurun, maka strech reseptor
pada dinding arteriola aferen menjadi aktif yang menyebabkan juxtaglomerular
cell mengeluarkan rennin. Teori macula densa menjelaskan bahwa jika terjadi
peningkatan ekskresi ion natrium pada tubulus distalis, terjadi perubahan pada
sel macula densa sehingga terjadi perubahan aktivitas yang menyebabkan
rangsang pada juxtaglomerular cell untuk mengeluarkan rennin. Serta rangsang
simpatis pada juxtaglomerular cell dapat mensekresi rennin (Guyton, 1990: 202
Pada sistem hemodinamik hormon yang berperan mengatur volume darah
antara lain aldosteron dan antideuretik hormone (ADH). Aldosteron bekerja
secara sekunder setelah menghambat ekskresi natrium di bagian tubulus distal
dan kemudian meningkatkan nilai osmotik intravaskuler dan terjadi difusi cairan
interstitial ke intravaskuler, sehingga volume meningkat. Sedangkan antideuretik
14
hormon dapat meningkatkan volume darah melaui efek langsung dengan
reabsorbsi air di bagian tubulus distal dan ductus collagens, sehingga
menurunkan volume ekskresi air melalui ginjal. Dengan meningkatnya volume
darah, maka terjadilah kenaikan aliran balik vena yang selanjutnya
mempengaruhi isi akhir diastolik, tekanan pengisian jantung dan kekuatan
kontraksi jantung. Anti deuretik hormon juga mampu menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan tahanannya (Gyton, 1990:
207).
Ketidak seimbangan factor diatas yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan darah. Selain faktor yang telah disebutkan diatas, faktor
lingkungan seperti stress psikososial, obesitas sehingga menyebabkan timbunan
plak pada pembuluh darah, alkohol, merokok dan kurang olah raga juga
berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi.
2.5 Bahaya dan Komplikasi
Tekanan darah yang tinggi sangat berpengaruh buruk terhadap pembuluh
jantung. Apabila terjadi terkanan darah yang tinggi secara terus-menerus pada
pembuluh darah maka jantung akan terpaksa bekerja dengan keras lagi untuk
mengimbanginya. Jantung harus memompa darah lebih cepat lagi dari keadaan
normal. Bila hal ini terjadi dalam waktu yang lama maka jantung akan
membengkak dan terus bekelanjutan maka jantung akan melemah dan tidak
sanggup lagi mengirimkan darah sehingga dalam waktu yang lama akan terjadi
gagal jantung yang disusul dengan sesak napas kemudian tubuh akan
membengkak karena pembuluh darah tidak mampu mengalirkan cairan dengan
baik ke sel tubuh (Leonard Marvyn, 1995:6-13).
15
Peningkatan aktivitas pusat vasomotor dan peningkatan tahan perifer total
menimbulkan iskemia ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glumerolus
(Masud: 1989:116).
Komplikasi lain adalah terganggunya dinding pembuluh darah arteri. Arteri
yang terkena adalah arteri otot jantung, aorta, pembuluh darah otak, pembuluh
darah retina. Dinding pembuluh darah tersebut mengalami penimbunan lemak
karena lemak yang seharusnya dihancurkan atau dilarutkan menjadi menetap
akibat fungsi pembuluh darah yang sudah rusak, sehingga dinding pembuluh
darah itu mengalami kekakuan atau tidak elastis lagi yang disebut dengan
aterosklerosis. Jika hal ini dibiarkan, maka dapat terjadi pembekuan pembuluh
darah yang sangat berbahaya. Bila terjadi pembekuan pembuluh darah di otak
dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian atau seluruh tubuh bahkan
kematian secara tiba-tiba. Bila terjadi pada mata, maka akan mengalami rabun
atau buta. Bila terjadi pada ginjal, fungsi ginjal akan terganggu bahkan rusak
(Leonard Marvyn, 1995:18-24).
2.6 Pengobatan Hipertensi
2.6.1 Farmakologis
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja,
tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi. Sasaran
penurunan tekanan darah adalah kurang dari 140/90 mmHg dengan efek
samping minimal. Sedangkan pengobatan hipertensi umumnya dilakukan seumur
hidup penderita.
Jenis obat anti hipertensi yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
1. Diuretika
Diuretika merupakan obat yang memperbanyak kencing, mempertinggi
pengeluaran garam (NaCl). Dengan turunnya kadar Na, maka tekanan darah
16
akan turun, dan efek hipotensifnya kurang kuat. Obat yang sering digunakan
adalah obat yang daya kerjanya panjang sehingga dapat digunakan dosis
tunggal, diutamakan diuretika yang hemat kalium. Obat yang banyak beredar
adalah Spironolactone, HCT, Chlortalidone dan Indopanidae (Lany Gunawan,
2001).
Perlu diketahui bahwa efek samping diuretik adalah berkurangnya kalium dan
magnesium, yang berakibat kemungkinan meningkatnya kadar kolesterol,
encok, gangguan fungsi (disfungsi) seksual pria, dan yang paling fatal adalah
terjadinya payah jantung (Lanny Sustrani, 2004:46).
2. Alfa-blocker
Alfa-blocker adalah obat yang dapat memblokir reseptor alfa dan
menyebabkan vasodilatasi perifer serta turunnya tekanan darah. Karena efek
hipitensinya ringan, sedangkan efek sampingnya agak kuat, misalnya
hipotensi ortossatik dan tachycardia, maka jarang digunakan. Obat yang
termasuk dalam jenis Alfa-blocker adalah Prazosin dan Terazosin (Lany
Gunawan, 2001). Efek sampingnya berupa pening, pingsan, mual, sakit
kepala, dan jantung berdebar-debar (Lanny Sustrani, 2004:49).
3. Beta-blocker
Mekanisme kerja obat Beta-blocker belum diketahui dengan pasti. Diduga
kerjanya berdasarkan beta blokase pada jantung sehingga mengurangi daya
dan frekuensi kontraksi jantung. Dengan demikian, tekanan darah akan
menurun dan daya hipotensinya baik. Obat yang terkenal dari jenis Beta-
blocker adalah Propanolol, Atenolol, Pindolol dan sebagainya (Lany
Gunawan, 2001).
Efek sampingnya berupa debar jantung melambat, pening, kepal terasa
ringan, kelelahan, sulit tidur (insomnia), gangguan pencernaan, mual, muntah
17
dan badan merasa kedinginan. Efek samping lain yang serius tetapi jarang
terjadi adalah depresi,disorientasi, kecemasan, penurunan gairah seksual
dan impotensi, nyeri dada, sirkulasi darah terganggu, dan payah jantung Bila
pasien mengidap penyakit jantung (Lanny Sustrani, 2004:46).
4. Obat yang bekerja sentral
Obat yang bekerja sentral dapat mengurangi pelepasan noradrenalin
sehingga menurunkan aktivitas saraf adrenergic perifer dan turunnya tekanan
darah. Penggunaan obat ini perlu memperhatikan efek hipotensi ortostatik.
Obat yang termasuk dalam jenis ini adalah Clonidine, Guanfacine dan
Metildopa (Lany Gunawan, 2001).
5. Vasodilator
Obat vasodilator dapat langsung mengembangkan dinding arteriole sehingga
daya tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah menurun. Obat
yang termasuk dalam jenis Vasodilator adalah Hidralazine dan Ecarazine
(Lanny Gunawan, 2001).
Menurut Lany Sustrani (2004:47-48) dinyatakan, bahwa efek sampingnya
jarang terjadi tapi tetap perlu diwaspadai yaitu:
a. Menurunkan tekanan darah dengan cepat sehingga menyebabkan jumlah
sel darah putih turun secara drastis dengan resiko mudah terkena infeksi.
b. Menimbulkan reaksi alergi seperti bengkak di bibir, leher, tangan, dan
kaki.
c. Ruam kulit yang jika parah dapat berkembang menjadi sindrom Stevens-
Johnson
18
6. Antagonis Kalsium
Mekanisme obat antagonis kalsium adalah menghambat ion kalsium ke
dalam sel otot polos pembuluh dengan efek vasodilatasi dan turunnya
tekanan darah. Obat jenis Antagonis Kalsium yang terkenal adalah Nifedipin
dan Verapamil (Lany Gunawan, 2001).
7. Penghambat ACE
Obat penghambat ACE ini menurunkan tekanan darah dengan cara
menghambat Angiotensin converting enzyme yang berdaya vasokontriksi
kuat. Obat jenis Penghambat ACE yang popular adalah Captopril (captropil)
dan Enalapril (Lany Gunawan, 2001).
2.6.2 Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis meliputi program penurunan berat badan
bagi klien obesitas dengan membatasi konsumsi lemak, mengurangi konsumsi
garam, olahraga teratur, makan banyak buah dan sayuran segar, tidak merokok,
tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, berusaha membina hidup yang positif
dan mengendalikan stres dengan latihan relaksasi dan meditasi (National Safety
Council, 2003:78-84).
Tehnik relasasi sendiri dibagi dalam 2 macam, yaitu tehnik relaksasi fisik dan
tehnik relaksasi mental. Adapun yang termasuk tehnik relaksasi fisik antara lain:
pernafasan diafragma, relaksasi otot secara progresif ( progressive muscularr
relaxatuion [PMR]), pelatihan otogenik, olahraga dan nutrisi. Sedangkan yang
termasuk tehnik relaksasi mental yaitu meditasi dan imajinasi mental (National
Safety Council, 2003:78-95).
19
2.6.2.1 Pernafasan Diafragma
Tehnik relaksasi berasal dari berbagai benua dan kebudayaan yang ada
sejak beberapa tahun yang lalu. Contoh, tehnik pernafasan diafragma, relaksasi
otot secara progresif, pelatihan otogenik, meditasi dan imajinasi mental (National
Safety Council, 2003:68-95).
Pernafasan diafragma masih menjadi metode relaksasi yang termudah.
Pernafasan diafragma merupakan pernafasan yang pelan, sadar, dan dalam.
Metode ini melibatkan gerakan sadar abdomen bagian bawah atau daerah perut
(National Safety Council: 2003:70). Pernafasan diafragma berfokus pada sensasi
tubuh semata dengan merasakan udara mengalir dari hidung atau mulut secara
perlahan-lahan menuju ke paru dan berbalik melalui jalur yang sama sehingga
semua rangsangan yang berasal dari indra lain dihambat. Hampir semua
pernafasan tenang yang normal dicapai melalui pergerakan inspirasi diafragma.
Selama inspirasi diafragma menarik bawah atas rongga dada ke arah bawah,
tetapi tenaga elastik tak cukup kuat untuk menyebabkan ekspirasi cepat yang
diperlukan, sehingga keadaan ini dicapai dengan kontraksi otot perut, yang
mendorong isi perut ke atas pada bagian bawah diafragma (Guyton: 1990).
Dalam keadaan panik, nafas seseorang menjadi lebih cepat dan pendek,
dengan kontraksi otot dada bagian atas menjadi lebih kuat. Ketika dada bagian
atas mengembang, rangsangan saraf meningkat, dan tanda-tanda vital
(frekuensi jantung, tekanan darah) mulai meningkat. Dalam kondisi relaks,
metabolisme tubuh berjalan lambat sehingga siklus pernafasan menjadi lebih
rendah. Dan dengan tehnik relaksai pernafasan diafragma yang lebih
menekanakan bagian perut, seseorang dapat mengurangi frekuensi nafas
menjadi sekitar tiga sampai empat kali permenit serta dapat menurunkan tekanan
darah dan kontraksi jantung (National Safety Council: 2003:71).
20
2.6.2.2 Langkah-langkah Pernafasan Diafragma
Posisikan tubuh secara nyaman baik posisi duduk yang relaks maupun
berbaring terlentang dengan mata tertutup. Longgarkan pakaian disekitar leher
dan pinggang.Letakkan tangan di atas perut dan rasakan naik turunnya perut
pada setiap pernafasan (National Safety Council: 2003:71).
Konsentrasi dan perhatian penuh seperti halnya tehnik relaksasi lain. Bila
mungkin minimalkan gangguan dengan mencari tempat yang tenang. Biarkan
pikiran nanda menerawang dan berlalu. Pernafasan diafragma memerlukan
keyakinan untuk memusatkan perhatian hanya pada pernafasan. Konsentrasi
pada empat fase pada satiep nafas: Fase I : inspirasi, menarik udara masuk ke
dalam paru melalui saluran hidung, fase II : beri sedikit jeda sebelum
mengeluarkan udara dari paru, fase III : ekshalasi, mengeluarkan udara dari paru
melalui saluran masuknya udara tersebut, fase IV : beri jeda kembali setelah
mengaluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas lagi. Pernafasan diafragma
tidak sama dengan hiperventilasi (National Safety Council: 2003:71-72).
Visualisasi dengan penggunaan imajinasi dalan pernafasan diafragma dapat
bermanfaat (National Safety Council: 2003:73). Tehnik relaksasi pernafasan
diafragma ini dapat dilakukan selama 5 -15 menit, sebanyak 2-3 kali per harinya
(Anonymous, 2006). Serta dapat menurunkan tekanan darah 5-10 mmHg (Ethical
Digest, 2006:18) atau 10-15 mmHg menurut artikel Rubianto (2007). Manfaat
terpentingnya untuk menjaga dan memperbaiki fungsi pembuluh darah. Darah
mengalir membantuk gelombang transversal, sehingga bersinggungan dengan
dinding pembuluh darah yang terdapat reseptor yang akan membuat endotel
mengeluarkan nitric oxide (NO) yang berperan untuk dilatasi pembuluh darah
(Ethical Digest, 2005:30-31).
21
2.7 Pengaruh Tehnik Relaksasi Pernafasan Diafragma pada Perubahan
Fisiologi Tubuh
2.7.1 Fisiologi Oksigenasi
Oksigen merupkan salah satu substansi pokok yang menunjang hampir
seluruh kehidupan yang ada di bumi. Oksigen dibutuhkan oleh hampir seluruh
penghuni bumi untukterlibat dalam proses pembangkitan energi yang diperlukan
untuk kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme
ynag memungkinkan untuk mengambil oksigen bebas dari udara sampai dengan
mendistribusikannya ke sel-sel tubuh mahluk hidup yang bersangkutan.
Mekanisme tersebut berjalan lewat beberapa tahapan, antara lain fase ventilasi,
fase transportasi, dan fase konsumsi (Albert M, 2005:104-105).
Pada fase ventilasi pada prinsipnya terjadi pertukaran antara udara paru,
yang merngandung konsentrasi oksigen lebih kecil dengan udara bebas yang
jumlah oksigennya relatif besar. Proses ini berjalan secara berkelanjutan
dibawah kendali pusat pernafasan yang meneriam sinyal tentang kebutuhan
oksigen dan seluruh jaringan tubuh. Pusat pernafasan akan mengatur seberapa
besar udara luar yang bisa dimasukkan ataupun seberapa beasar udara paru
yang haris dikeluarkan berdasar sinyal yang diterimanya. Di paru terdapat
perbedaaan tekanan parsial antara oksigen yang terdapat di alveolus, yang
bernilai lebih tinggi dengan oksigen pembuluh kapiler yang menyelimuti kapiler
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan pergerakan oksigen melintasi dinding
alveolus sampai menuju ke kapiler alveolus (Guyton, 1990:356-357).
Setelah oksigen bergerak menembus dinding alveolus kemudian terikat
dengan hemoglobin (97%) ataupun terlarut dalam plasma (3%). Proses ini dan
selanjutnya sampai dengan tibanya oksigen ke sel dinamakn fase transportasi
(Guyton, 1990:366).
22
Besarnya tekanan parsial oksigen dalam darah alveolus paru adalah sekitar
104 mmHg. Setelah bercampur dengan darah vena yang berada dalam sirkulasi
paru, tekanan akan turun menjadi 95 mmHg. Dengan tekanan 95 mmHg inilah
oksigen meninggalkan paru dan dihantarkan menuju ke sel-sel seluruh tubuh.
Ketika sampai di kapiler terjadi disosiai antara oksigen dan hemoglobin. Disosiasi
ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan tekanan oksigen kapiler (95%),
yang bernilai tinggi, dengan tekanan oksigen jaringan (40 mmHg). Oksigen yang
terlepas kemidian didistribusiakn ke dalam sel-sel. Sementara itu oksigen yang
bergerak dalam vena yang meninggalkan jaringan akan mempunyai tekanan
sebesar 40 mmHg (Guyton, 1990:359-364).
Tujuan akhir pernafasan adalah untuk mempertahankan konsentrasi oksigen,
karbondioksida dan ion hidrogen dalam cairan tubuh. Makin cepat oksigen baru
dimasukkan ke dalam alveolus dari atmosfer, makin tinggi konsentrasinya. Oleh
karena itu, konsentrasi oksigen di dalam alveolus, maupun tekanan parsialnya,
diatur oleh keseimbangan antara kecepatan absorbsi oksigen ke dalam darah
dan kecepatan masuknya oksigen baru ke dalam paru-paru oleh proses ventilasi
(Guyton: 1990:372).
2.7.2 Pengaruh Tehnik Relaksasi Pernafasan Diafragma terhadap Penurunan
Tekanan Darah
Tindakan relaksasi dilakukan dengan tujuan menurunkan jumlah rangsangan
yang diciptakan oleh panca indra sehingga menahan terbentuknya respon stres,
terutama dalam sistem saraf dan hormon (National Safety Council: 2003:68).
Peningkatan aktivitas simpatis akan menyebabkan dikeluarkannya
neurotransmiter norepineprin dari ujung saraf yang berada di otot polos
pembuluh darah dan melalui rangsang pada adrenergik-1 reseptor terjadi
konstriksi pembuluh darah. ET-1 juga berespon kontraksi terhadap substansi
23
vasokonstriktor seperti noradrenalin atau norepineprin dan serotonin (Djanggan
Sargowo, 2003:7).
Dengan tehnik relaksai pernafasan diafragma didapatkan keadaan darah
yang penuh oksigen dipompakan oleh jantung menuju aorta, arteri, arteriola
memasuki mikrosirkulasi dari arteriola menuju thoroughfare chanels lalu ke
cabang kapiler yang dikendalikan oleh precapillary sphincter. Hampir semua
darah dari sistem arteri menuju ke vena cava melalui mikrosirkulasi, namun pada
keadaan tertentu darah dapat langsung dari arteriola menuju ke venula melalui
hubungan pintas (shunt) arteriola-venula. Kapiler sebagai tempat pertukaran zat
gizi dan hasil akhir metabolisme di antara cairan intravaskuler dengan
ekstravaskuler dan selanjutnya dengan intra sel (Ibnu Masud, 1989:4-5).
Sedangkan menurut (Guyton:1990) bila konsentrasi oksigen rendah
menyebabkan dilepaskannya sejumlah zat vasokonstriktor dari jaringan paru,
kemudian zat ini menyebabkan konstriksi arteri kecil dan arteriol Kebutuhan
oksigen yang memadai diharapkan juga dapat memperbaiki pertumbuhan
endotel pembuluh darah.
Keadaan endotel yang baik dapat berfungsi untuk mempertahankan tonus
dan struktur vaskuler, regulasi pertumbuhan sel vaskuler, regulasi trombosit dan
fungsi fibrinolisis, mediator mekanisme inflamasi dan imun, regulasi leukosit dan
adhesi platelet pada permukaan, modulasi oksidasi lipid (aktivitas metabolik), dan
untuk regulasi permiabilitas vaskuler. Sel endotel megeluarkan bahan yang
sangat potent dalam menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Bahan tersebut
dikenal dengan endothelium derived relaxing factor (EDRF) yang diidentikkan
dengan nitric oxide (NO) (Djanggan Sargowo, 2003:6-8).
Mekanisme kerja NO yaitu dengan adanya ligand yang berikatan dengan
reseptor endotel menyebabkan diaktifkannya enzim NO-synthase dalam endotel
yang mengubah L-arginin menjadi L-sitrulin dan NO. NO yang terbentuk dapat
24
keluar endotel ke lumen pembuluh darah dan menyebabkan dicegahnya adhesi
trombosit dan agresi trombosit. NO yang menuju jaringan subendotel akan
mengaktifkan enzim guanilat siklase yang souble dan mengubah GTP menjadi
cGMP yang menurunkan ketersediaan Ca untuk mekanisme kontraksi sehingga
terjadi relaksasi pembuluh darah. Interaksi ligand yang lain dengan reseptor
dapat menyebabkan peningkatan masukan Ca ke dalam sel endotel melalui
kanal ion Ca. Selain itu, ikatan ligand dengan reseptor dapat menyebabkan
dikeluarkannya second messenger IP3 yang menyebabkan Ca dari sarcoplasmik
retikulum keluar ke sitoplasma. Kedua sumber peningkatan Ca sitoplasma
tersebut menyebabkan ikatan dengan calmodulin membentuk calmodulin-Ca
kompleks. Kompleks tersebut mengaktifkan enzim NO synthetase yang
mengubah L-arginin menjadi L-sitrulin dan NO. Seterusnya, NO mengaktifkan
enzim gualinat yang mengubah GTP menjadi cGMP. Calmodulin-Ca kompleks,
melalui mekanisme yang kurang jelas mensintesis endothelium derived
hyperpolarizing faktor (EDHF) yang menyebabkan kanal K tetap membuka dan
terjadi hiperpolarisasi sel. Sehingga menurunkan konsentrasi ion Ca di otot polos
dan menjadi relaksasi (Djanggan Sargowo, 2003:9-10).
25