PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP … · pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial...
Transcript of PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP … · pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial...
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penguasaan
Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Salis Rizka Agung Putri
NIM I34100051
ABSTRAK
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap
Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani. Di bawah bimbingan HERU
PURWANDARI.
Penguasaan lahan merupakan salah satu istilah dalam struktur agraria yang
menunjuk pada penguasaan efektif. Bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas
bekerja di bidang pertanian, tanah menjadi suatu hal yang dihargai. Hal ini
memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan faktor
eksternal terhadap penguasaan lahan Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo,
mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan
Dusun Karanglo, serta menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap
stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo. Penelitian ini
dilaksanakan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara
menggunakan metode kuantitatif didukung data kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor internal tidak berpengaruh terhadap penguasaan lahan
di kedua dusun. Kedua dusun memiliki tiga bentuk stratifikasi, yaitu miskin,
menengah, kaya, dengan indikator masing-masing. Penguasaan lahan berpengaruh
signifikan terhadap stratifikasi sosial di kedua dusun.
Kata kunci : penguasaan lahan, petani, stratifikasi sosial
ABSTRACT
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. The Effect of Land Tenure over Social
Stratification of Peasant Households. Under supervision of HERU
PURWANDARI.
Land tenure is one of the terms in the agrarian structure refers to the effective
tenurial. For rural people who majority work in agriculture, the land becomes a
thing that valuable. This allows the layering of society based on the rule of the
land. This study aims to describe the influence of external factors and internal
factors to the mastery of the land of the hamlet Margajaya and the hamlet of
Karanglo, describes the form and indicators of social stratification of the
Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet, as well as analyze the effect of land
tenure to social stratification of the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet.
This research carried out in the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet,
Tonggara village uses the quantitative method supported a qualitative data. The
results showed that internal factors do not affect the land tenure in both hamlets.
Both the village has three forms of stratification, i.e. poor, medium, rich, with an
each indicators. Land tenure impact significantly to social stratification in both
hamlets.
Key words : land tenure, peasant, social stratification
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI
SALIS RIZKA AGUNG PUTRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial
Rumahtangga Petani
Nama : Salis Rizka Agung Putri
NIM : I34100051
Disetujui Oleh
Heru Purwandari, S.P, M.Si
Pembimbing
Diketahui Oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul “ Pengaruh Penguasaan
Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani “ dapat diselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
rasa terima kasih kepada:
1. Ayah Agus Nursidik dan Ibu Tukul Sulami yang selalu memberikan
dukungan baik materi, waktu maupun tenaga.
2. Heru Purwandari, S.P, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
mencurahkan waktu dan sabar untuk membimbing dan memberikan masukan
yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA, selaku dosen penguji utama dan Ir.
Fredian Tony, MS, selaku dosen penguji anggota.
4. Ir. Hadiyanto, M.Si, selaku dosen penguji petik dan dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing serta memberi masukan dalam hal
akademik.
5. Mba Dhiny, Mba Maria, dan Mba Nisa selaku pegawai sekretariat SKPM
yang selalu membantu perihal administrasi.
6. Kepala Desa Tonggara beserta jajarannya yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian.
7. Keluarga Bapak Sakhroni, Bapak Noto dan warga Desa Tonggara khususnya
Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo atas kerjasamanya selama penelitian.
8. Keluarga Bapak Handadi Khaerudin yang selalu memberikan dukungan dan
bantuan.
9. Teman-teman seperjuangan, Saefihim, Sari Lestari, Tuti Artianingsih, Anggi
Pratama, Dwi Izmi, Gebyar, Fadhianisa, Yudhistira, Putri Nurgandini,
Sakinah, Diwyacitra, Farhatul, Anjas yang selalu saling menyemangati dan
membantu. 10. Teman-teman seperjuangan SKPM 47 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, atas semangat dan kebersamaan selama ini.
11. Teman-teman, Fitri Herdiyanti, Dewi Valentina, Vinsensia, Wulan, Ayu
Kartika, Anggriani Okta, Rifa Annisa, atas dukungan dan kebersamaannya.
12. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga
terselesaikannya skripsi ini
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang pengaruh penguasaan
lahan terhadap stratifikasi rumahtangga petani.
Bogor, Juni 2014
Salis Rizka Agung Putri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Kegunaan Penelitian 3
PENDEKATAN TEORITIS 4
Tinjauan Pustaka 4
Kerangka Pemikiran 9
Hipotesis Penelitian 10
Definisi Operasional 10
PENDEKATAN LAPANGAN 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 13
Metode Penelitian 13
Teknik Penentuan Responden 14
Teknik Pengumpulan Data 14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 15
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16
Kondisi Fisik 16
Kondisi Sosial 17
Dusun Margajaya 18
Dusun Karanglo 19
PENGUASAAN LAHAN 21
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan 26
Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Penguasaan Lahan 29
Ikhtisar 36
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI
SOSIAL
38
Stratifikasi Sosial 38
Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial 40
Ikhtisar 42
PENUTUP 44
Simpulan 44
Saran 45
Lampiran 46
xi
DAFTAR TABEL 1 Definisi Operasional Faktor Internal 11
2 Definisi Operasional Penguasaan Lahan 11 3 Definisi Operasional Stratifikasi Sosial 12
4 Jumlah dan Persentase Luas Lahan Milik yang Dikuasai Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
19
5 Jumlah dan Persentase Banyak Cara yang Digunakan Responden dalam
Menguasai Lahan di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
23
6 Jumlah dan Persentase Tingkat Pendapatan Rumahtangga Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
26
7 Jumlah dan Persentase Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
26
8 Jumlah dan Persentase Jumlah Tanggungan Keluarga Rumahtangga Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
27
9 Jumlah dan Persentase Status Sosial Responden Dusun Karanglo dan Dusun
Margajaya
28
10 Jumlah dan Persentase Status Penduduk Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
28
11 Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
29
12 Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Margajaya
30
13 Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo
31
14 Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden
Dusun Margajaya
31
15 Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo
32
16 Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan
Responden Dusun Margajaya
33
17 Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
34
18 Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya
34
19 Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun
Karanglo
35
20 Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya
36
21 Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Karanglo 38
22 Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Margajaya 39 23 Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Responden Dusun Karanglo
41
24 Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Responden Dusun Margajaya
41
25 Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun
Karanglo
42
26 Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun Margajaya
42
xii
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Rumahtangga Petani
10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kerangka Sampling Dusun Karanglo 46
2 Kerangka Sampling Dusun Margajaya 47
3 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 48
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bagi negara agraris seperti Indonesia, pertanian merupakan komoditas
utama. Data BPS 2013 menunjukkan 39.96 juta orang Indonesia bekerja di sektor
pertanian. Hal ini tentu membuat tanah menjadi sumberdaya yang paling penting
dan tinggi nilainya. Tjondronegoro (1998), menyatakan bahwa tanah yang
menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang
merupakan sumber kehidupan utamanya. Tanah merupakan salah satu kebutuhan
manusia yang vital, dimana keberadaannya saat ini merupakan hal yang langka
(Wiradi 2000). Pernyataan tersebut konsisten dengan pertambahan jumlah
penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah sebagai kebutuhan
hidup selalu tetap jumlahnya. Hal tersebut menjadikan tanah menjadi satu
komoditas tersendiri yang seringkali menimbulkan masalah terkait pembagian,
penyebaran dan distribusinya.
Kelembagaan tradisional merupakan aturan yang digunakan untuk
mengatasi permasalahan terkait dengan tanah, sebelum diberlakukannya UUPA
No.5 Tahun 1960. Sejak lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960,
persoalan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia diatur dalam
UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya dengan beberapa pengecualian.
Penguasaan tanah sendiri berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur,
mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah
kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun
peraturan lainnya. Penguasaan tanah tidak hanya merujuk kepada kepemilikan
tanah, tetapi tanpa memiliki tanah tersebut seseorang juga dapat menguasai tanah
melalui hubungan sewa, gadai, sakap dan sebagainya. Melalui hubungan tersebut,
masyarakat yang memiliki penghasilan besar dapat menguasai sebidang tanah
dengan luas tertentu. Akibatnya dapat terjadi pemusatan penguasaan lahan oleh
sejumlah kecil golongan masyarakat. Selain itu, pemusatan penguasaan lahan ini
juga disebabkan oleh politik hukum yang seringkali bertentangan dengan UUPA,
sehingga UUPA tidak mampu dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai
masalah agraria dan pertanahan.
Masalah penguasaan lahan bukan saja masalah hubungan manusia dengan
lahannya, tetapi lebih menyangkut hubungan sosial politik dan ekonomi antar
manusia (Wiradi 2009). Hal tersebut menjelaskan bahwa suatu hubungan
penguasaan atas tanah melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan
masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian pola-pola penguasaan atas tanah akan
berubah dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi pada umumnya disebabkan
oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
berasal dari dalam individu, seperti tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran,
jumlah tanggungan keluarga, status sosial dan status penduduk. Faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti letak geografis, dan nilai
jual lahan.
2
Desa Tonggara merupakan salah satu desa yang tergolong semi urban dan
masih berbasis pertanian. Desa ini memiliki delapan dusun dengan karakteristik
yang cukup heterogen. Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo merupakan dua
dusun yang ada di Desa Tonggara dan masih berbasis pertanian. Meskipun kedua
dusun tersebut merupakan dusun yang masih berbasis pertanian namun, memiliki
karakteristik yang cukup berbeda. Mayoritas masyarakat Dusun Margajaya
bekerja di sektor pertanian dan tidak memiliki pekerjaan sampingan, sementara
masyarakat Dusun Karanglo mayoritas memiliki pekerjaan sampingan meskipun
mereka sudah bekerja di sektor pertanian.
Penguasaan lahan merupakan faktor penting bagi masyarakat Dusun
Margajaya dan Karanglo yang kehidupannya masih tergantung pada sektor
pertanian. Penguasaan lahan juga penting dalam penentuan berbagai kebutuhan
lain dalam masyarakat karena lahan memiliki nilai jual. Berdasarkan hal tersebut,
lahan tidak hanya sebagai aset produktif, tetapi juga sebagai komoditas yang dapat
diperjualbelikan.
Menurut Soekanto (1982) selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu hal
yang dihargai, maka akan menumbuhkan sistem lapisan masyarakat. Bagi
pedesaan yang memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan mayoritas
masyarakatnya bekerja di bidang pertanian seperti Dusun Margajaya dan Dusun
Karanglo, lahan menjadi suatu hal yang penting dan berharga. Hal ini akan
memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan.
Akan tetapi, pada masyarakat yang tinggal di daerah dengan karakteristik sebagai
daerah pertanian dengan mayoritas masyarakatnya justru bekerja di luar sektor
pertanian, mungkin lahan bukan lagi menjadi penentu dalam pelapisan
masyarakat. Kondisi semacam pemaparan di atas bukanlah jaminan untuk seluruh
daerah di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa, namun pada dasarnya
sesuatu yang dihargai selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman dan
teknologi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran stratifikasi yang
ada di masyarakat berbeda-beda. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih
lanjut bagaimana pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
suatu masyarakat.
Rumusan Masalah
Tanah merupakan sumberdaya terpenting bagi masyarakat pedesaan yang
mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang pertanian. Tanah bukan saja menjadi
sumber mata pencaharian, tetapi juga menjadi sumber dari segala aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat. Hal ini menjadikan tanah sebagai komoditas yang
memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan benda lainnya. Bersumber dari nilai
tanah yang tinggi itu timbul berbagai hak dan kewajiban serta hal-hal yang sangat
kompleks, misalnya dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah sendiri menunjuk
pada penguasaan tanah secara efektif. Seseorang bisa saja menguasai sebidang
tanah tanpa harus memiliki tanah tersebut, dengan cara menyewa atau melakukan
sistem bagi hasil atau cara lain seperti gadai. Tanah tidak begitu saja dapat
dikuasai oleh seseorang. Mengingat masalah tanah tidak hanya hubungan manusia
3
dengan tanah itu sendiri, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia, sehingga
untuk dapat menguasai tanah dipengaruhi oleh faktor baik yang berasal dari dalam
orang itu sendiri maupun dari luar orang tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk
diteliti bagaimana pengaruh faktor internal dan eksternal terhadaap
penguasaan lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo?
Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan terhadap hal-hal
tertentu. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu tersebut, akan
menimbulkan lapisan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang masih
kental dengan pertanian, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Tingginya nilai
tanah ini dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan lapisan
masyarakat. Akan tetapi, pada zaman sekarang dengan kesempatan bekerja di luar
pertanian terbuka lebar, mungkin saja tanah bukan lagi menjadi ukuran penentu
lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pelapisan masyarakat
bukan hanya tanah saja, sehingga bentuk-bentuk lapisan masyarakat pun berbeda-
beda. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana bentuk dan indikator
stratifikasi sosial yang terjadi di Dusun Margajaya dan Dusun karanglo?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap penguasaan
lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo
2. Mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial di Dusun Margajaya
dan Dusun Karanglo
3. Menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
masyarakat Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih lanjut
mengenai pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi yang ada di masyarakat
Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara. Melalui penelitian ini,
terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada beberapa pihak,
yaitu:
1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan
penelitian-penelitian terkait stratifikasi di pedesaan berdasarkan penguasaan
lahan.
2. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa
kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti
dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan penguasaan lahan.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Penguasaan Lahan
Konsep Penguasaan Lahan
Pada masa pra-kolonial, pola pembagian wilayah yang menonjol di
Indonesia berupa pembagian tanah menjadi beragam penguasaan atau
pengawasan, yang diberikan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau
pihak yang berwenang di istana. Menurut Wiradi (2009), pada masa itu konsep
kepemilikan atau penguasaan tanah berdasarkan konsep Barat (“property“,
Eigendom) belum dikenal oleh golongan masyarakat manapun, bahkan bagi
penguasa. Penguasa dapat mempertahankan dan secara teoritis juga mempunyai
hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil buminya sesuai
hukum adat dengan kekuasaan dan pengaruh dari para pejabat.
Menurut Harsono (2008) dalam hukum tanah dikenal adanya penguasaan
tanah secara yuridis. Penguasaan tanah secara yuridis adalah penguasaan yang
dilandasi oleh hak yang dilindungi secara hukum dan umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai tanah tersebut secara fisik.
Tidak semua penguasaan secara yuridis memberikan hak kepada pemilik tanah
untuk menguasai tanahnya secara fisik. Fakta yang terjadi di lapang, penguasaan
tanah dapat dilakukan oleh pihak lain, meskipun secara yuridis pemilik lahan
diberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Misalnya, apabila tanah
yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara
fisik oleh pihak lain dengan hak sewa meskipun secara yuridis, tanah tersebut
dikuasai oleh pemilik tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak
memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik,
misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah
mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan
jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada
pemegang hak atas tanah.
Menurut pengertian struktur agraria, perlu dibedakan antara istilah
pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Istilah “pemilikan” dapat
diaartikan sebagai penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” dapat
diartikan sebagai penguasaan efektif. Arti dari penguasaan efektif sendiri adalah
seseorang tidak harus memiliki lahan untuk menguasai lahan, tetapi lahan dapat
dikuasai dengan cara lain seperti sewa, sakap atau bagi hasil, gadai, dan lain-lain.
Contoh lebih jelas untuk penguasaan misalnya, jika sebidang tanah disewakan
kepada orang lain maka orang yang menyewa tanah tersebut yang dikatakan
secara efektif menguasai. Contoh lain, jika seseorang menggarap tanah miliknya
sendiri seluas dua hektar, kemudian orang tersebut juga menggarap tanah seluas
tiga hektar yang disewa dari orang lain, maka orang tersebut dapat dikatakan
menguasai tanah seluas lima hektar. Kata “pengusahaan” sendiri dapat diartikan
5
sebagai cara yang digunakan dalam mengolah sebidang tanah agar diusahakan
secara produktif (Wiradi 2009).
Wiradi (2009) seperti yang dikutip oleh Supriyati et al. (2008) dalam
penelitiannya, mendefinisikan penguasaan lahan merupakan tatanan dan prosedur
yang mengatur hak dan kewajiban dari individu atau kelompok dalam penggunaan
dan pengawasan atas tanah. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun
1960), mengakui ada beberapa hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut adalah hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka
hutan, hak memungut hasil hutan, serta hak yang sifatnya sementara seperti hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Beberapa bentuk
penguasaan tanah tradisional diubah status hukumnya setelah diundangkannya
UUPA. Berbeda dengan teori, dalam praktek di beberapa pedesaan, perlakuan
maupun istilah dalam penguasaan tanah tradisional masih banyak dipakai.
Secara garis besar, tata hubungan antara kepemilikan, penguasaan, dan
peruntukan tanah disebut struktur agraria. Dalam struktur agraria sendiri dikenal
istilah land tenure dan land tenancy. Land tenure merujuk pada status hukum dari
penguasaan tanah. Sedangkan land tenancy menyangkut tentang sistem
pembayaran diantara pihak yang memiliki urusan dengan tanah. Istilah
penguasaan tanah tidak hanya menunjuk pada tanah milik, tetapi juga tanah yang
didapat melalui cara menyewa, gadai, dan bagi hasil. Selain itu dalam hukum
tanah dikenal juga penguasaan secara yuridis dengan diberi kewenangan dan
tanpa diberi kewenangan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan
Komersialisasi yang terjadi di pedesaan Jawa pada tahun 1800 hingga 1950-
an menyebabkan terjadinya perubahan pemaknaan terhadap nilai uang. Perubahan
pemaknaan tersebut merupakan salah satu hal yang mendorong pada terjadinya
perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Menurut Wiradi dan Manning
(1984) ada dua faktor penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa desa di DAS Cimanuk,
faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria penguasaan lahan
dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP,
akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor
eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah
melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor
ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan
kelembagaan hukum pertanian.
Berbeda dengan penelitian Wiradi dan Manning (1984), Setiawan (2006)
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya
penguasaan lahan, yaitu faktor ekonomi, faktor alam, kebijakan pemerintah yang
tidak mengutamakan pertanian, faktor sosial ekonomi, akses petani terhadap
lahan, dan faktor jumlah tanggungan keluarga. Apabila dicermati kembali dengan
merujuk pada penelitian Wiradi dan Manning (1984), sebenarnya faktor-faktor
tersebut dapat digolongkan secara garis besar ke dalam dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor-faktor yang termasuk faktor eksternal
diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usaha
tani terhadap total penerimaan rumahtangga petani), faktor alam (misal: banjir,
6
kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang
semakin intensif, luas dan bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi dan
dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian
(kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah
banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh
data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), faktor sosial
ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal
kerja di sektor pertanian. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah akses
petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan
keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor
pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas
kepemilikannya).
Sementara itu, dari hasil penelitian Susanti et al. (2013) hanya ada dua
faktor, yaitu faktor pertumbuhan penduduk, dan faktor ekonomi (nilai jual lahan).
Kedua faktor tersebut jika dikategorikan sesuai dengan yang dikemukakan Wiradi
dan Manning (1984) termasuk dalam faktor eksternal. Faktor yang pertama yaitu
faktor pertumbuhan penduduk, dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa
semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, maka ketimpangan penguasaan
lahan pun semakin meluas. Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, tingginya
nilai jual lahan yang diiringi dengan tingginya kebutuhan sementara pendapatan
tidak menunjang, membuat seorang petani dapat dengan mudah menjual
lahannya. Ketika peristiwa seperti itu terus terjadi, maka bukan tidak mungkin
jika beberapa waktu yang akan datang penguasaan lahan akan semakin timpang.
Berbeda dengan penjelasan Wiradi dan Manning (1984), penelitian dari
Swastika et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor keterbatasan tenaga kerja dan
modal usaha serta kondisi lahan yang rusak akibat keterbatasan air mempengaruhi
terjadinya pola penguasaan lahan. Jika merujuk pada temuan Wiradi dan Manning
(1984) ketiga faktor tersebut tidak serta merta dapat langsung digolongkan ke
dalam faktor eksternal maupun internal. Apabila dicermati lebih jauh lagi, faktor-
faktor yang ditemukan dalam penelitian Swastika et al. (2000) ini dapat
digolongkan dalam faktor eksternal.
Berbeda daerah, berbeda pula faktor yang mempengaruhi terjadinya
penguasaan lahan di daerah tersebut hingga terkadang menimbulkan ketimpangan.
Teori yang dapat dipakai dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi
penguasaan lahan adalah hasil temuan dari Wiradi dan Manning (1984), dengan
menggolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Meskipun berbeda-beda faktor di setiap daerah, namun dari tiga hasil penelitian di
atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang sama yang muncul di tiga daerah
penelitian yang berbeda adalah faktor ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa
faktor ekonomi yang lebih sering mempengaruhi terjadinya suatu pola penguasaan
lahan tertentu, namun bukan berarti bahwa faktor lain tidak berpengaruh.
Pola Penguasaan Lahan
Bagi masyarakat pedesaan, lahan masih menjadi hal yang penting dan
berperan sebagai tumpuan utama kehidupan. Apalagi nilai jual lahan semakin hari
semakin tinggi, sementara kebutuhan tidak bisa terpenuhi jika hanya
mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan. Hal inilah yang seringkali
melatarbelakangi petani pemilik lahan menjual lahan atau menyewakan lahannya
7
ketika berada dalam keadaan terdesak untuk membeli kebutuhan. Adanya strategi
jual beli, sewa menyewa lahan dan bagi hasil ini membuat seseorang tidak hanya
menggunakan pola eksklusif (satu orang hanya menggunakan satu pola), tetapi
banyak pola. Hasil penelitian Sihaloho et al. (2009) dalam penelitian di dua desa
perkebunan di Banten, menemukan dua pola penguasaan lahan yaitu pola
penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola penguasaan tetap berarti
petani menguasai lahan dengan cara memiliki lahan tersebut. Sedangkan pola
penguasaan sementara dimaksudkan bahwa petani menguasai lahan tidak dengan
cara memiliki lahan, tetapi dengan cara lain, seperti sewa, gadai, sakap, dan lain-
lain. Hal ini sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang
jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa milik,
sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-
sama dengan gadai.
Pola penguasaan lahan yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) juga
dikenal dalam penelitian Susanti et al. (2013) di Pegunungan Tengger. Pola
penguasaan yang umumnya dikenal di daerah tersebut adalah pemilikan lahan
bercorak pribadi. Jika merujuk pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola seperti
ini termasuk pola pemilikan tetap. Dengan sistem ini, pemilik bebas untuk
melakukan pemindahtanganan kepada orang lain yang berakibat pada perpecahan
dan fragmentasi lahan pertanian. Di daerah ini, meskipun yang umumnya dikenal
adalah pola pemilikan tetap, terdapat juga penguasaan lahan bersifat sementara.
Penguasaan lahan bersifat sementara tersebut bisa didapat dengan cara sewa
menyewa, bagi hasil, dan gadai.
Penelitian lain yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) adalah
penelitian Supriyati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa dalam studi-studi
sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan
Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan bentuk-bentuk
penguasaan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu penguasaan tanah milik,
dan penguasaan tanah bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai, dan
lainnya. Jika dibandingkan dengan penelitian Sihaloho et al. (2009), cara
mengelompokkan pola penguasaan pada penelitian Supriyati et al. (2008) sedikit
berbeda. Pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola penguasaan lahan
dikelompokkan menjadi penguasaan milik tetap dan penguasaan bersifat
sementara. Sementara pada penelitian ini dikelompokkan menjadi penguasaan
tanah milik dan penguasaan tanah bukan milik. Meskipun begitu, cara
mendapatkan lahan dari dua pengelompokkan tersebut tetap dengan cara yang
sama seperti penjelasan Wiradi (2009).
Berdasarkan pemaparan berbagai macam hasil penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola penguasaan lahan di pedesaan Indonesia umumnya ada
dua, yaitu penguasaan lahan milik dan penguasaan lahan sementara. Penguasaan
lahan sementara yang terdiri dari sewa menyewa, sakap atau bagi hasil, gadai.
Berdasarkan dua pola penguasaan tersebut, pola yang umumnya terjadi pada
beberapa daerah penelitian di atas adalah pola penguasaan lahan milik. Hal ini
terjadi karena jenis lahan dari lokasi di ketiga penelitian tersebut berbeda-beda,
sehingga pola penguasaan yang terjadi pun berbeda-beda. Hal ini senada dengan
temuan Supriyati et al. (2008) yang melakukan penelitian di dua lokasi yang
berbeda, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Pada Pulau Jawa penguasaan yang umum
terjadi adalah penguasaan milik. Hal ini disebabkan jenis lahan yang umumnya
8
berupa tegalan dan relatif sempitnya lahan yang bisa diusahakan, sehingga orang
cenderung memilih penguasaan milik karena keuntungan yang didapat lebih besar
dibandingkan penguasaan sementara. Sementara di luar Jawa, pola penguasaan
yang umum diterapkan adalah pola penguasaan sementara karena jenis lahannya
termasuk perkebunan. Luas kebun yang besar, memberikan hasil dari pola
penguasaan sementara yang tidak lebih kecil dari penguasaan tetap.
Stratifikasi Sosial
Konsep Stratifikasi Sosial
Masyarakat telah mengakui adanya pelapisan dalam kehidupan mereka
sejak berabad-abad yang lalu. Perwujudan dari pelapisan sosial adalah adanya
kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban serta tanggung jawab antar anggota masyarakat
menjadi dasar dari pelapisan masyarakat itu sendiri. Selain itu, setiap masyarakat
pada umumnya memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat
yang bersangkutan. Penghargaan terhadap hal-hal tertentu akan menempatkan hal
tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala tersebut
menimbulkan pelapisan dalam masyarakat. Sistem pelapisan tersebut, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menurut
Pitirim A. Sorokin dalam Sajogyo (1985) adalah pembedaan masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat.
Stratifikasi sosial menyebabkan adanya perbedaan posisi sejumlah grup
sosial. Perbedaan tersebut selanjutnya memberikan perlakuan yang berbeda.
Misalnya saja, masyarakat yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah
sangat banyak dianggap berada di lapisan atas oleh anggota masyarakat lainnya.
Biasanya kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya, mereka
yang memiliki uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan,
dan mungkin untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap hal lain.
Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk konkret, tetapi secara prinsip
bentuk tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis,
politik dan didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat. Pada umumnya
ketiga macam kelas tadi mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, namun
tidak semua keadaan demikian. Hal itu semuanya tergantung pada sistem nilai
yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat.
Menurut Weber dalam Soekanto (1982) konsep stratifikasi sosial meliputi
class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan
stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan.
Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat dalam mengonsumsi “harta benda”,
menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak istimewa
(privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi pada
penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat.
Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas (lapisan
masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran
pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup
9
orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut
ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah.
Dasar-Dasar Pelapisan Masyarakat
Pelapisan masyarakat memiliki banyak bentuk dan berbeda-beda. Namun,
pelapisan masyarakat tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalis,
demokratis, komunis dan lain sebagainya (Soekanto 1982). Menurut Inkeles
(1965) dalam Soekanto (1982) pada awalnya pelapisan masyarakat didasarkan
pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, pembagian
kerja, dan bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin
maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan
masyarakatnya. Saat ini ada empat ukuran yang biasa dipakai untuk
menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu :
- ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki banyak kekayaan termasuk dalam
lapisan teratas. Misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang
dimiliki, pakaian, dan lain sebagainya.
- ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
terbesar menempati lapisan teratas.
- ukuran kehormatan, ukuran semacam ini biasanya ditemui pada masyarakat-
masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka
yang pernah berjasa.
- ukuran ilmu pengetahuan, ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang dengan gelar tertinggi menempati
lapisan teratas.
Dasar pelapisan masyarakat tidak terbatas pada keempat ukuran
sebagaimana yang dipaparkan di atas. Pada beberapa masyarakat tradisional di
Indonesia, misalnya di Jawa, seseorang yang berasal dari kerabat dan keturunan
pembuka tanah menempati lapisan tertinggi. Kemudian, menyusul para pemilik
tanah. Lalu, menyusul mereka yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah
saja.
Kerangka Pemikiran
Definisi sederhana dari penguasaan lahan menunjuk kepada penguasaan
efektif. Seseorang dapat menguasai lahan tanpa memiliki lahan tersebut secara
yurisprudensi. Penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai dan
status lahan yang dikuasai. Seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat
dari waktu ke waktu juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal
penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan itu sendiri disebabkan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Meskipun penguasaan lahan mengalami perubahan
dari waktu ke waktu, namun lahan tetap memiliki nilai yang tinggi. Tingginya
nilai lahan ini dapat dijadikan sebagai penentu dalam stratifikasi masyarakat.
Stratifikasi sendiri dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan
menengah dan lapisan bawah. Pelapisan masyarakat tidak terjadi begitu saja,
10
tetapi memiliki dasar. Biasanya ukuran yang menjadi dasar pelapisan adalah
sesuatu hal yang berharga.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Sosial Rumahtangga Petani
Keterangan :
: Mempengaruhi
: Diukur secara kualitatif
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan peneliti di atas, maka
dapat dirumuskan dua hipotesis, yaitu :
1. Diduga faktor internal mempengaruhi penguasaan lahan
2. Diduga penguasaan lahan mempengaruhi stratifikasi sosial
Definisi Operasional
Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri responden
yang mempengaruhi penguasaan lahan. Merujuk pada penelitian Wiradi dan
Penguasaan Lahan :
- Luas Lahan
- Status Lahan
Stratifikasi Sosial :
- Tingkat pendapatan
- Kepemilikan aset
- Luas Lahan
Faktor Eksternal:
- Nilai jual lahan
- Lokasi Lahan
Faktor Internal :
- Jumlah tanggungan
keluarga
- Tingkat pendapatan
- Status Penduduk
- Akses Informasi
- Tingkat Pengeluaran
11
Maanning (1984) faktor internal terdiri atas jumlah tanggungan keluarga dan
tingkat pendapatan. Adapun status sosial, status penduduk dan tingkat
pengeluaran belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai faktor internal yang
mempengaruhi penguasaan lahan, namun dianggap perlu untuk diketahui. Status
sosial terdiri atas tiga pertanyaan tertutup dan dua pertanyaan terbuka. Indikator
untuk status sosial digolongkan menjadi dua yaitu rendah dan tinggi. Skor yang
digunakan untuk menggolangkan status sosial ke dalam dua kategori tersebut
merupakan jumlah skor dari tiga pertanyaan tertutup. Sementara penentuan
indikator keempat variabel lainnya dilakukan dengan cara jawaban tertinggi
(bukan jawaban pencilan) dikurangi jawaban terendah dibagi dua.
Tabel 1 Definisi operasional faktor internal
No Variabel Definisi Indikator Jenis Data
1 Akses
informasi
Kesempatan seseorang
untuk mendapatkan
informasi
Rendah (skor 5-9)
Tinggi (skor 10-14)
Ordinal
2 Tingkat
pendapatan
Jumlah uang pemasukan
per musim yang
dihasilkan oleh
responden dari hasil
bekerja
Rendah (1 500 000
– 5 540 000)
Tinggi ( > 5 540
000)
Ordinal
3 Status
penduduk
Hal yang berhubungan
dengan keanggotaan
sebagai orang yang
mendiami suatu tempat
yang berbeda dengan
tempat kelahirannya
Asli (Tempat
kelahiran di desa)
Pendatang (tempat
kelahiran di luar
desa)
Ordinal
4 Jumlah
Tanggungan
Keluarga
Banyaknya anggota
keluarga yang masih
menjadi tanggungan
responden dalam
memenuhi kebutuhan
hidup
Rendah (1-3 orang)
Tinggi (4-6 orang)
Ordinal
5 Tingkat
Pengeluaran
Jumlah uang rata-rata
yang keluar per bulan
untuk memenuhi
kebutuhan
Rendah ( 5 320 000
– 11 630 000)
Tinggi (>11 630
000)
Ordinal
Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan merupakan istilah dalam struktur agraria yang
menunjukkan penguasaan efektif. Penguasaan dapat dilihat dari dua hal yaitu luas
lahan dan status lahan. Luas lahan untuk menentukan penguasaan tinggi atau
rendah. Sementara status lahan digunakan untuk menentukan pola penguasaan
yang terjadi.
12
Tabel 2 Definisi operasional penguasaan lahan
No Variabel Definisi Indikator Jenis Data
1 Luas Lahan Ukuran lahan yang
dikuasai responden
dalam satuan hektar
Tinggi (> 5000 m2)
Rendah (900-5000
m2)
Ordinal
2 Status Lahan Hal yang berhubungan
dengan status lahan
yang dikuasai oleh
seseorang
Milik
Sewa
Sanggem
Waris
Nominal
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas
yang bertingkat. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
rumahtangga petani. Setiap masyarakat di berbagai daerah memiliki ukuran dan
bentuk stratifikasinya masing-masing.
Tabel 3 Definisi operasional stratifikasi sosial
No Variabel Definisi Indikator Jenis Data
1 Tingkat
pendapatan
Jumlah rata-rata uang
yang masuk per
musim baik yang
berasal dari pertanian
maupun non
pertanian
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda, indikator
ada di
pembahasan)
Ordinal
2 Kepemilikan asset Jumlah benda atau
barang yang
mempunyai nilai
ekonomi yang
dimiliki oleh
responden
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda ukuran,
indikator ada di
pembahasan)
Ordinal
3 Luas Lahan Luasan lahan yang
dikuasai responden
Tinggi
Sedang
Rendah
(kedua dusun
berbeda ukuran,
indikator ada di
pembahasan)
Ordinal
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua dusun yaitu Dusun Margajaya dan Dusun
Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal,
Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive.
Alasan pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan tiga aspek. Aspek yang
pertama yaitu karakteristik kedua dusun sebagai dusun pertanian. Aspek kedua
mempertimbangkan mata pencaharian masyarakat di kedua dusun. Mayoritas
masyarakat Dusun margajaya bekerja sebagai buruh tani di lahan Perhutani tanpa
memiliki pekerjaan sampingan, sementara mayoritas masyarakat Dusun Karanglo
bekerja sebagai petani dan memiliki pekerjaan sampingan. Aspek ketiga yang
dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi yaitu keadaan masyarakat dusun yang
memiliki perbedaan kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat Dusun
Karanglo dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan konidisi ekonomi
masyarakat Dusun Margajaya.
Tahapan dilaksanakannya penelitian ini dimulai dari penyusunan proposal
skripsi yang dilaksanakan selama bulan Februari hingga minggu kedua bulan
Maret. Pada minggu ketiga bulan Maret dilaksanakan kolokium. Perbaikan
proposal dilakukan selama tiga minggu, yaitu minggu ke tiga dan ke empat bulan
Maret serta minggu pertama bulan April. Setelah proposal selesai diperbaiki,
tahap selanjutnya yaitu pengambilan data lapang yang dilaksanakan selama tiga
minggu, yaitu minggu ke dua hingga minggu ke empat bulan April. Selama
minggu pertama hingga minggu ke tiga bulan Mei, data yang didapat dari lapang
kemudian diolah dan dianalisis. Setelah data diolah dan dianalisis, tahap
selanjutnya yaitu penulisan draft skripsi yang dilaksanakan selama minggu ke tiga
bulan Mei hingga minggu ke dua bulan Juni. Setelah draft selesai disusun,
dilakukan uji petik pada minggu ke dua bulan Juni. Selesai uji petik, kemudian
pada minggu ke tiga bulan Juni dilakukan sidang. Tahap yang terakhir adalah
tahap perbaikan skripsi. Perbaikan skripsi dilakukan setelah sidang selesai
dilakukan.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung
dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survey
kepada kepala rumah tangga yang menjadi responden. Metode survey sendiri
adalah mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi, 1989).
Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui FGD (Focus Group Discusion)
14
dengan masyarakat dusun, wawancara mendalam kepada responden dengan
panduan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.
Teknik Penentuan Responden
Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga, baik yang
bekerja di bidang pertanian maupun non pertanian yang menguasai lahan.
Selanjutnya, informasi dan data penelitian diperoleh melaui responden yang
sekaligus menjadi informan. Responden adalah pihak yang memberikan
keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sekaligus memberikan informasi
mengenai situasi yang terjadi di sekitarnya karena responden juga berperan
sebagai informan.
Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang ada di Dusun
Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng,
Kabupaten Tegal. Menggunakan teknik simple random sampling, dipilih
rumahtangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Margajaya serta
rumah tangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Karanglo.
Berdasarkan kerangka sampling tersebut didapatkan sebanyak 55 calon responden
Dusun Margajaya dan 66 calon responden Dusun Karanglo. Kemudian responden
ditentukan menggunakan rumus Slovin, yaitu :
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
α = Derajat kepercayaan (digunakan 10%)
Berdasarkan rumus Slovin, didapatkan 35 responden untuk Dusun
Margajaya, dan 40 responden untuk Dusun Karanglo. Selanjutnya responden
dipilih secara acak menggunakan Ms. Excel.
Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui FGD, kuesioner, wawancara
mendalam. FGD dilaksanakan di salah satu rumah warga dengan peserta FGD
adalah masyarakat dusun setempat. Tujuan dilakukannya FGD untuk mengetahui
indikator yang digunakan oleh masyarakat lokal saat menggolong-golongkan
masyarakat di masing-masing dusun tersebut ke dalam lapisan-lapisan sosial.
Kuesioner diberikan kepada responden dan peneliti membantu responden dalam
15
pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman
pertanyaan kepada seluruh responden. Sementara data sekunder diperoleh melalui
data potensi desa dan literatur lainnya yang terkait.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang diperoleh, selanjutnya akan diolah menggunakan tabel
tabulasi silang, Microsoft Excel, dan analisis regresi menggunakan program SPSS
16.0 for Windows. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan
antar dua variabel dan mempermudah dalam membaca serta memahami data. Data
tersebut kemudian di uji lanjut menggunakan analisis regresi jika diperlukan.
Selanjutnya hasil diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis
yang sudah ada. Data kualitatif diolah melalui tiga tahap, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik
Desa Tonggara merupakan desa terujung barat dari Kecamatan Kedung
Banteng dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Pangkah, dipisahkan oleh
jalan raya Pangkah-Tonggara. Desa ini memiliki bentangan wilayah yang terbagi
menjadi dataran rendah dan berbukit-bukit serta curah hujan sebesar 306 mm,
sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan untuk persawahan yaitu sebesar 118.88
hektar. Persawahan yang ada di Desa Tonggara terbagi menjadi sawah irigasi
teknis sebesar 55.26 hektar, irigasi sebagian teknis 35.60 hektar, dan sawah tadah
hujan sebesar 28.02 hektar. Komoditas pertanian utama di desa ini adalah jagung,
padi, dan tebu.
Prasarana dan kondisi irigasi yang digunakan untuk sawah tercatat
sepanjang 950 meter untuk saluran primer dan 1250 meter untuk saluran sekunder
sedangkan saluran tersier hanya sepanjang satu meter, prasarana yang lain seperti
pintu sadap terdapat sejumlah tiga unit dan 400 unit pintu pembagi air. Namun,
sebesar 400 meter dari saluran primer, 250 meter saluran sekunder, 710 saluran
tersier, dan satu unit pintu sadap air rusak. Prasarana air bersih yang digunakan
untuk sanitasi penduduk, sebesar 1420 unit rumah menggunakan sumur pompa
dan 40 unit rumah menggunakan sumur gali.
Tanah kering yang dimanfaatkan sebesar 163.85 hektar yang lebih dari
separuhnya digunakan sebagai ladang, 32.80 hektar digunakan sebagai
pemukiman dan 6.05 hektar digunakan sebagai pekarangan. Sebesar 32.80 hektar
yang digunakan sebagai pemukiman terbagi menjadi perkantoran pemerintah,
bangunan sekolah, pertokoan, pasar, perumahan, dan jalan desa.
Bidang pendidikan, desa ini memiliki tiga playgroup, satu taman kanak-
kanak, tiga sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama serta dua
Raudhatul Athfal, namun belum memiliki sekolah menengah atas sendiri,
sehingga setelah lulus dari sekolah menengah pertama harus melanjutkan ke
kecamatan ataupun daerah lain. Akses dari dan menuju desa, sudah ada satu ruas
jalan utama yang menggunakan aspal dan satu ruas jalan yang menggunakan
makadam. Jembatan yang digunakan untuk melalui sungai juga sudah ada empat
unit jembatan beton dan satu unit jembatan besi. Sebagian besar jalan desa dalam
kondisi baik dan terawat, namun ada satu dusun yang terpencil yaitu Dusun
Margajaya yang kondisi jalannya masih berbatu dan bergelombang, sehingga
memerlukan perhatian khusus.
Pemerintah desa sudah memiliki balai desa dan gedung kantor tersendiri
dengan kondisi yang baik dan fasilitas yang lengkap. Prasarana keagamaan hanya
agama islam yang mudah ditemui karena di seluruh desa terdapat lima masjid dan
14 mushola, sedangkan prasarana agama lain tidak ada. Prasarana dan sarana
kesehatan yang ada di desa ini mencakup satu unit puskesmas, satu unit poliklinik
atau balai pengobatan, dua apotek, delapan posyandu, satu praktik dokter umum,
dua orang bidan, satu orang dukun bersalin terlatih, dan satu dukun pengobatan
alternatif.
17
Kondisi fisik sarana dan prasarana Desa Tonggara secara keseluruhan
terhitung cukup memadai. Adanya minimarket seperti indomaret, serta kantor
cabang dan ATM bank BRI menambah lengkap fasilitas di desa ini. Selain itu,
akses jalan raya yang menghubungkan dengan kecamatan Pangkah dan ibukota
kabupaten yaitu Slawi, juga memudahkan warga Desa Tonggara untuk mencapai
fasilitas lain yang tidak tersedia di desa.
Kondisi sosial
Kondisi sosial Desa Tonggara berdasarkan keadaan penduduknya dapat
dilihat dari tingkat perkembangan jumlah penduduk, struktur mata pencaharian,
tingkat pendidikan, jumlah kejadian kriminalitas, serta partisipasi masyarakat
terhadap program pemerintah. Persentase perkembangan jumlah penduduk di
Desa Tonggara berdasarkan data profil desa dan kelurahan per bulan September
2013 sebanyak 1.66 persen penduduk laki-laki, dan 1.32 persen penduduk
perempuan. Berdasarkan analisis potensi desa, potensi sumberdaya manusia di
Desa Tonggara ini termasuk dalam golongan sedang.
Mata pencaharian yang dominan bagi penduduk Desa Tonggara adalah di
sektor pertanian yaitu lebih dari 80 persen total jumlah penduduk yang bekerja,
namun pekerja di sektor pertanian tersebut hampir 70 persen adalah buruh tani,
sisanya adalah petani yang menggarap lahan milik sendiri. Jumlah tersebut sangat
potensial untuk melakukan pengembangan pertanian terutama persawahan yang
terdapat di Desa Tonggara, sehingga desa ini memiliki tipologi sebagai desa
persawahan. Sektor lain yang menjadi mata pencaharian bagi masyarakat Desa
Tonggara yaitu peternakan, pegawai atau karyawan, dan wiraswasta.
Tingkat pendidikan penduduk Desa Tonggara terbagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu penduduk buta aksara, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat,
tamat SMA/sederajat, dan tamat perguruan tinggi. Persentase penduduk buta
aksara cukup kecil hanya 1.15 persen dari total jumlah penduduk, persentase
penduduk tamat SD/sederajat sekitar 40.60 persen, persentase penduduk tamat
SMP/sederajat yaitu 24.20 persen, persentase penduduk tamat SMA/sederajat
sekitar 17.80 persen, serta persentase penduduk yang tamat perguruan tinggi
adalah 1.51 persen. Persentase anak usia sekolah yang tidak bersekolah sangat
kecil. Persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak sekolah di SD/sederajat sebesar
0.07 persen, persentase anak usia 13-15 yang tidak sekolah di SMP/sederajat
adalah 0.14 persen, serta persentase anak usia 15-18 tahun yang tidak sekolah
SMA/sederajat sebesar 0.93 persen. Fasilitas yang terdapat di Desa Tonggara
untuk menekan rendahnya tingkat pendidikan penduduk selain lembaga
pendidikan formal adalah adanya perpustakaan desa, perpustakaan keliling, serta
kelompok belajar paket A, B, dan paket C.
Kawasan Desa Tonggara memiliki tingkat keamanaan yang cukup tinggi.
Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya kejadian konflik, perkelahian,
penggunaan atau peredaran narkoba, dan pembunuhan di tengah masyarakat.
Kasus pencurian atau perampokan hanya terdapat satu kasus dalam kurun waktu
satu tahun. Persentase penduduk yang memiliki kebiasaan berjudi hanya 0.20
18
persen dari total jumlah penduduk, sedangkan persentase penduduk yang
mengonsumsi miras sangat kecil, yaitu 0.03 persen dari total jumlah penduduk.
Tingkat partisipasi masyarakat Desa Tonggara terhadap program pemerintah
dapat dikatakan cukup tinggi. Salah satunya dapat dilihat dari kesadaran
membayar pajak. Realisasi PBB tahun 2012 sebesar 100 persen dari jumlah wajib
pajak sebanyak 11892 orang. Jumlah partisipasi politik masyarakat Desa
Tonggara dalam pemilihan umum pun sangat tinggi, yaitu 91.12 persen dari
jumlah penduduk yang memiliki hak pilih. Berdasarkan kondisi sosial yang
ditinjau dari beberapa aspek tersebut, terlihat bahwa kondisi sumberdaya manusia
di Desa Tonggara memiliki potensi yang cukup untuk mendukung sektor
pertanian yang memang sangat potensial dikembangkan di Desa Tonggara. Selain
itu, dapat disimpulkan bahwa Desa Tonggara termasuk dalam kategori desa
berkembang apabila dilihat dari laju perkembangan tahunan. Sedangkan
berdasarkan analisis tingkat perkembangan lima tahunan, Desa Tonggara
termasuk dalam kategori desa swasembada.
Kondisi ekonomi Desa Tonggara jika dilihat dari kesejahteraan keluarga,
dibagi menjadi lima kategori. Kategori tersebut antara lain keluarga prasejahtera,
sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3, dan sejahtera 3 plus. Hampir sebanyak 42
persen dari total jumlah keluarga berada dalam kategori keluarga prasejahtera.
Dusun Margajaya
Dusun Margajaya merupakan dusun yang paling terpencil dibandingkan
dusun lainnya yang ada di Desa Tonggara. Bentangan wilayah dusun ini
merupakan perbukitan. Jenis lahan di dusun ini merupakan lahan tegalan dengan
luas 150 hektar. Separuh dari luas tersebut merupakan lahan Perhutani. Sedangkan
75 hektar sisanya merupakan lahan tegalan yang dikuasai oleh orang luar dusun.
Prasarana air bersih yang digunakan oleh penduduk setempat hanya berasal dari
saluran air waduk Cacaban. Kondisi tanah yang berbatu membuat masyarakat
sulit untuk mengakses sumber air tanah karena tanah sulit digali. Sarana
peribadatan hanya ada satu yaitu mushola. Kondisi jalan menuju dan di sekitar
dusun merupakan tanah liat dan berbatu, sehingga ketika musim hujan kondisi
jalan sangat licin.
Dusun Margajaya dihuni oleh 66 Kepala Keluarga (KK). Sebanyak 11 KK
bermata pencaharian di sektor non pertanian, dan 55 KK bermata pencaharian di
sektor pertanian. Tingkat pendidikan penduduk Dusun Margajaya terbagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu buta aksara, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan
tamat SMA. Tidak ada satu orang Dusun Margajaya pun yang tamat perguruan
tinggi. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi masyarakat Dusun Margajaya yang
rendah.
Kondisi rumah masyarakat Dusun Margajaya sangat beragam. Kebanyakan
rumah masyarakat Dusun Margajaya masih berdinding kayu, tetapi ada juga yang
berdinding tembok. Lantai rumah mereka mayoritas masih berlantai tanah. Selain
itu, pada umumnya rumah-rumah di Dusun Margajaya tidak memiliki fasilitas
kamar mandi dan WC. Kegiatan MCK (Mandi, Cuci, Kakus), mereka lakukan di
19
aliran air Waduk Cacaban yang juga digunakan oleh petani setempat untuk
mengairi lahan mereka.
Masyarakat Dusun Margajaya merupakan masyarakat pendatang. Mereka
adalah orang-orang yang berasal dari luar Desa Tonggara, bahkan ada yang
berasal dari luar Kabupaten Tegal. Sebelum tahun 1982, masyarakat Dusun
Margajaya adalah penggarap lahan milik orang Desa Tonggara. Pada tahun 1982,
masyarakat Desa Tonggara merasa iba dengan para pendatang, sehingga mereka
menempatkan masyarakat pendatang di Dusun Margajaya. Lokasi Dusun
Margajaya dipilih sebagai tempat untuk masyarakat pendatang karena dusun
tersebut masih belum berpenghuni dan dekat dengan aliran air.
Setelah mereka menempati Dusun Margajaya, mata pencaharian mereka
tidak berubah. Mereka tetap menjadi penggarap lahan milik masyarakat Desa
Tonggara dan ada beberapa yang menjadi buruh pemotong kayu serta bekerja di
sektor non pertanian seperti menjadi supir. Tahun 2004, Perhutani memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pengaplingan lahan garapan di
lahan milik Perhutani dengan syarat ikut memelihara tanaman milik Perhutani
(sanggem). Lokasi Dusun Margajaya yang berdekatan dengan Perhutani membuat
mereka lebih mudah mendapat akses terhadap kesempatan tersebut, sehingga
sejak tahun 2004 masyarakat Dusun Margajaya bekerja sebagai penggarap di
lahan Perhutani. Selain menggarap lahan Perhutani, beberapa masyarakat yang
masih berusia 30-an biasanya juga bekerja sebagai buruh tani yang menggarap
lahan milik orang luar Dusun Margajaya, tetapi lahannya terletak di Dusun
Margajaya.
Dusun Karanglo
Dusun Karanglo merupakan salah satu dusun yang masih berbasis pertanian
dari delapan dusun yang ada di Desa Tonggara. Dusun ini terdiri atas lima Rukun
Tetangga (RT) dan dua Rukun Warga (RW) yang dihuni oleh 180 Kepala
Keluarga (KK). Mata pencaharian masyarakat dusun ini terhitung cukup beragam
jika dibandingkan dengan masyarakat Dusun Margajaya. Mayoritas masyarakat
Karanglo memiliki pekerjaan sampingan di sektor non pertanian seperti
berdagang atau karyawan pabrik gula maupun pabrik teh. Sebanyak 114 KK
bekerja di sektor non pertanian, sementara sisanya 66 KK masih bekerja di sektor
pertanian meskipun mereka juga memiliki pekerjaan sampingan di sektor non
pertanian. Tingkat pendidikan masyarakat Dusun Karanglo terbagi menjadi
beberapa golongan, yaitu buta aksara, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan
perguruan tinggi.
Bentangan wilayah dusun ini berupa dataran biasa, tidak seperti Margajaya.
Kondisi jalannya pun sudah berupa batako dan jalan dalam desa sudah berupa
aspal. Kondisi rumah masyarakat Dusun Karanglo pun jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan kondisi rumah masyarakat Dusun Margajaya. Mayoritas
sudah berdinding tembok dan berlantai keramik. Berbeda dengan Dusun
Margajaya yang tidak memiliki fasilitas MCK, rumah-rumah masyarakat Dusun
20
Karanglo memiliki fasilitas MCK. Sumber air yang mereka gunakan adalah air
tanah.
Masyarakat Dusun Karanglo mayoritas merupakan masyarakat asli, tetapi
ada juga yang masyarakat pendatang. Lahan pertanian yang ada di dusun ini
mayoritas merupakan lahan milik masyarakat Dusun Karanglo. Sistem yang
umum digunakan adalah waris dan jual beli. Tenaga yang digunakan untuk
menggarap lahan adalah tenaga sendiri,meskipun terkadang ada beberapa keluarga
yang menggunakan jasa buruh tani.
PENGUASAAN LAHAN
Pola-Pola Penguasaan Lahan
Lahan merupakan sumber hidup bagi manusia baik lahan sawah, kebun,
maupun lahan tempat tinggal. Struktur agraria mengenal dua istilah yaitu istilah
pemilikan dan penguasaan lahan. Istilah pemilikan lahan sudah jelas
pengertiannya, yaitu memiliki sebidang tanah dengan luasan tertentu secara de
fakto dan juga de jure, sedangkan istilah penguasaan biasanya tidak begitu
dipahami oleh kebanyakan orang. Istilah penguasaan lahan dalam pengertian
struktur agraria menurut Wiradi (2009) tidak hanya pemilikan tanah, tetapi lebih
menunjuk kepada penguasaan efektif. Penguasaan efektif sendiri memiliki arti
menguasai tanah tidak hanya secara milik, tetapi dapat juga dilakukan dengan cara
sewa, gadai, bagi hasil dan lain sebagainya. Penguasaan lahan menjadi penting
bagi masyarakat agraris, seperti masyarakat di Dusun Karanglo dan Dusun
Margajaya, karena lahan menjadi sumber kehidupan mereka.
Lahan tidak hanya berperan sebagai aset produktif, tetapi juga sebagai aset
bernilai ekonomis tinggi yang dapat diperjualbelikan. Hal ini menjadikan lahan
sebagai aset yang dapat berpindah tangan dan berubah status penguasaannya
maupun luasannya setiap saat. Oleh karena itu, ketika berbicara penguasaan lahan,
luasan lahan menjadi penting untuk diketahui. Berikut Tabel 4 yang menunjukkan
jumlah dan persentase luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga responden
Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.
Tabel 4 Jumlah dan persentase luas lahan yang dikuasai rumahtangga responden
Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
Kategori
Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Milik Non Milik Milik Non Milik
n (%) n (%) n (%) n (%)
Tinggi 4 12.5 1 100 5 45.4 21 87.5
Rendah 35 67.5 0 0 6 54.6 3 12.5
Total 39 100 1 100 11 100 24 100
Sumber : Data Primer, 2014
Data pada Tabel 4 menunjukkan luasan lahan yang dikuasai oleh
responden di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo. Luasan lahan yang dikuasai
baik yang milik maupun non milik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
berlahan rendah (900-5000 m2) dan berlahan tinggi (> 5000 m
2). Luasan lahan
yang dikuasai dibedakan menjadi milik dan non milik, karena cara penguasaan
yang dilakukan oleh responden dari kedua dusun tidak hanya cara waris dan jual
beli, tetapi ada juga cara lain seperti sewa dan sanggem. Pada Dusun Karanglo,
hanya ada satu orang yang menguasai lahan non milik dengan cara sewa. Alasan
dilakukannya sewa karena pada awalnya responden belum memiliki cukup modal
22
untuk membeli tanah, sehingga responden melakukan sewa. Sementara di Dusun
Margajaya mayoritas masyarakatnya menggarap lahan Perhutani. Hanya 11
responden dari 35 responden yang menguasai lahan milik, sisanya 24 responden
menguasai lahan secara sanggem atau menggarap lahan Perhutani. Sebelum
menggarap lahan Perhutani, masyarakat Margajaya mayoritas bekerja sebagai
buruh tani yang menggarap lahan masyarakat Desa Tonggara. Mereka tidak
memiliki tanah sendiri karena mereka merupakan masyarakat pendatang.
Rendahnya upah mereka sebagai buruh tani, membuat mereka tidak mampu
membeli tanah meskipun harga tanah di Dusun Margajaya tergolong murah.
Sebanyak 11 responden yang menguasai lahan milik, merupakan mereka yang
memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai buruh tani.
Sebanyak 39 dari 40 responden Dusun Karanglo menguasai lahan milik.
Lahan milik yang dikuasai, mayoritas diperoleh melalui waris dan jual beli.
Penguasaan lahan secara tetap yang didapat dengan cara memiliki lahan tersebut
merupakan penguasaan yang umum terjadi di Dusun Karanglo. Hal ini disebabkan
lahan merupakan faktor produksi utama yang harus mereka miliki. Jika mereka
tidak memiliki lahan, mereka tidak dapat bertani. Sementara jika hanya
mengandalkan penghasilan dari pekerjaan sampingan seperti berdagang atau
menjadi karyawan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu, dengan
memiliki lahan mereka merasa lebih aman dalam menjalankan usaha tani.
Mekanisme penguasaan lahan di Dusun Karanglo sendiri lebih beragam
jika dibandingkan dengan mekanisme penguasaan lahan di Dusun Margajaya.
Dusun Karanglo sudah ada sejak Desa Tonggara ada. Saat zaman penjajahan,
lahan pertanian di Desa Tonggara dikuasai oleh pemerintaha, namun sejak
Indonesia merdeka, lahan di desa ini menjadi milik masyarakat. Pembagian lahan
di Dusun Karanglo pada saat itu, didasarkan pada kesanggupan masyarakat.
Siapapun yang mau dan sanggup untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut, maka
dipersilahkan oleh pemerintah setempat untuk menguasai lahan. Sistem seperti tu
digunakan karena pada zaman dulu, tidak banyak masyarakat Dusun Karanglo
yang senang pada sektor pertanian. Lambat laun, lahan-lahan yang dikuasai ini
akhirnya menjadi hak milik. Mayoritas dari masyarakat yang menggarap lahan ini
mewariskan lahan kepada anak-anaknya, meskipun ada juga beberapa yang
menjual kepada orang lain. Mereka yaang menjual kepada pihak lain disebabkan
alasan ekonomi. Keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang membuat
masyarakat Dusun Karanglo menjual lahannya kepada pihak lain. Seiring
berjalannya waktu, cara penguasaan yang lain seperti sewa mulai dikenal
masyarakat. Mereka yang menyewakan lahannya biasanya adalah orang yang
pendapatannya lebih menjanjikan dari sektor non pertanian, tetapi tidak mau
melepas tanahnya. Sementara mekanisme penguasaan tanah di Dusun Margajaya
berawal dari adanya sistem pengaplingan lahan Perhutani yang ada di dusun
tersebut. Tahun 2004, Perhutani membuka kesempatan kepada masyarakat
setempat untuk mengapling lahan garapan mereka di Perhutani dengan syarat ikut
merawat tanaman milik Perhutani. Kedekatan lokasi Dusun Margajaya dengan
Perhutani membuat masyarakat dusun ini lebih akses terhadap informasi, sehingga
mayoritas dari masyarakat Margajaya yang bekerja di sektor pertanian adalah
penggarap lahan Perhutani.
Berdasarkan data Tabel 4 dapat juga dilihat luasan lahan milik yang
dikuasai oleh responden dari kedua dusun, mayoritas termasuk golongan rendah.
23
Pada Dusun Karanglo, luasan lahan yang dikuasai mayoritas berkategori rendah,
karena lahan pertanian di Dusun Karanglo rata-rata sudah dikuasai secara waris,
sehingga lahan yang tersisa untuk dikuasai secara jual beli relatif sempit.
Sementara di Dusun Margajaya, lahan yang dikuasai relatif sempit karena lahan
pertanian yang ada di Dusun Margajaya milik orang Desa Tonggara. Alasan lain
yang menyebabkan lahan yang dikuasai berkategori rendah karena berkaitan
dengan tingkat pendapatan mereka yang rendah, seperti yang telah dijelaskan di
atas.
Tidak hanya luasan lahan, pola penguasaan lahan juga dapat dilihat dari
cara responden menguasai lahan. Cara responden pada pembahasan ini dilihat dari
banyaknya cara yang digunakan. Hal ini disebabkan beberapa responden
menguasai lahan dengan beberapa cara sekaligus. Data tersebut ditampilkan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah dan persentase banyak cara penguasaan lahan yang digunakan
responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
Jumlah Cara Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
1 Cara 33 82.5 28 80
2 Cara 7 17.5 5 14.3
3 Cara 0 0 2 5.7
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
Data Tabel 5 menunjukkan banyaknya cara yang digunakan responden dalam
menguasai lahan. Banyak cara yang umumnya digunakan di kedua dusun adalah
satu cara. Meskipun banyak cara yang digunakan sama, tetapi caranya berbeda.
Pada Dusun Karanglo, satu cara yang umum diterapkan adalah sistem waris dan
jual beli. Sebanyak 13 dari 33 responden yang menguasai lahan dengan satu cara
menggunakan cara waris, sementara 20 dari 33 responden yang menguasai lahan
dengan satu cara menggunakan cara jual beli. Warisan berupa tanah tidak hanya
diberikan kepada anak laki-laki, tetapi juga kepada anak perempuan. Hal ini
terlihat pada beberapa responden yang berasal dari luar Desa Tonggara, tetapi
memiliki tanah yang asalnya dari waris. Ketika ditanyakan kepada responden,
ternyata tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua sang istri. Mereka yang
menguasai lahan hanya dengan cara jual beli merupakan responden yang tidak
mendapatkan warisan dari orangtua. Awalnya mayoritas respoden bekerja
serabutan, namun penghasilan yang didapat dirasa kurang mencukupi kebutuhan,
sehingga mereka membeli tanah agar dapat digunakan untuk bertani dan sewaktu-
waktu dalam keadaan terdesak dapat dijual. Selain itu, bekerja sebagai petani
membuat mereka mampu bekerja sampingan saat menunggu masa panen setelah
masa tanam, sehingga penghasilan pun bertambah. Sedangkan, satu cara yang
umum diterapkan di Dusun Margajaya adalah sanggem. Sebanyak 23 dari 28
responden yang menguasai lahan dengan satu cara menguasai lahan secara
sanggem, sementara lima dari 28 responden yang menguasai lahan dengan satu
cara menggunakan cara jual beli. Tanah yang dikuasai melalui cara jual beli, pada
umumnya dibeli sebelum tahun 2004. Pada tahun 2004 terjadi pengaplingan lahan
garap di lahan Perhutani. Mereka membeli tanah karena mereka merupakan
24
masyarakat dari luar Desa Tonggara yang baru datang ke Margajaya setelah
Dusun Margajaya ini terbentuk. Alasan mereka merantau tentu untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik, sehingga dengan modal awal yang mereka punya,
mereka membeli lahan di Dusun Margajaya yang harganya relatif murah jika
dibandingkan dengan harga tanah pada umumnya.
Tidak hanya satu cara yang digunakan responden untuk menguasai lahan,
sebanyak 17.5 persen responden Dusun Karanglo dan 14.3 persen responden
Dusun Margajaya menguasai lahan dengan dua cara. Kombinasi dua cara di
Dusun Karanglo merupakan kombinasi antara sistem waris dan jual beli. Pada
umumnya mereka yang menggunakan dua cara ini merasa bahwa lahan yang
mereka kuasai melalui waris masih sempit, sehingga mereka merasa perlu untuk
membeli lahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berikut penuturan Bapak
BS, salah satu responden yang menggunakan dua cara (responden Dusun
Karanglo) :
“...dulu kan anake bapak kulo katah mba, dadose pas tanah dibagi-
bagi ngge waris niku nggeh angsale sakedik. Lah tapi kan pegaweane
kulo kan tani mba, nek ngandelaken tanah waris tok nggeh mboten
cekap dadose kulo tumbas walaupun mboten amba sing penting gadahe
kulo piyambek, wong saniki kiyate tumbas semonten mba... (dulu kan
anak bapak saya banyak mba, jadi waktu tanahnya dibagi-bagi buat
warisan ya dapatnya sedikit. Tetapi karena pekerjaan saya bertani,
kalau hanya mengandalkan tanah waris tidak cukup jadi saya membeli
tanah walaupun tidak luas yang penting milik saya sendiri mba. Ya
mau bagaimana lagi, sekarang saya kuatnya baru bisa beli segitu mba)
...”
Berbeda dengan Dusun Karanglo, dua cara yang umum digunakan oleh
responden Dusun Margajaya adalah cara sanggem dan jual beli. Cara yang
awalnya digunakan oleh mereka adalah sanggem atau menggarap lahan Perhutani
yang dimulai pada tahun 2004. Sebelum tahun 2004 mereka buruh tani di lahan
pertanian milik orang Desa Tonggara. Setelah tahun 2004 mereka memiliki modal
dan ada tanah yang dijual, mereka membeli meskipun tidak luas.
Selain dengan dua cara, ada dua responden Dusun Margajaya yang
menguasai lahan melalui tiga cara. Satu dari dua responden tersebut menggunakan
kombinasi sanggem, beli, dan sewa. Sementara satu responden yang lain
menggunakan kombinasi waris, beli, dan sanggem. Sama seperti responden yang
menerapkan dua cara, cara awal yang digunakan adalah sanggem, menyusul
kemudian digunakan cara lain yaitu beli dan sewa, atau beli dan waris. Berikut
penuturan Bapak T (responden Dusun Margajaya, 54 tahun) yang menguasai
lahan dengan cara beli, sanggem dan sewa :
“...kulo pancen gadah tanah piyambek mba, tapi karna sempit terus
sebelahe kulo ngasih sewa dadose kulo sewa tanahe. Lah terus kenapa
kalih kulo mboten ditumbas tanah niku, soale orangnya nggak ngasih
jual mba, cuma purun sewa. Nek kalih sing gadah mau dijual sih tak
beli mba... (sayaa memang punya tanah sendiri mba selain tanah
sanggem, tapi karena sempit dan yang punya tanah di sebelah tanah
25
saya menawarkan sewa jadi saya sewa tanahnya. Sebenarnya kalau
sama yang punya tanah mau dijual sih saya beli mba)...”
Berdasarkan pemaparan cara penguasaan yang dilakukan oleh responden di
Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
pola di masing-masing dusun, yaitu pola penguasaan tetap dan pola penguasaan
sementara. Pola penguasaan yang umum diterapkan di Dusun Karanglo adalah
pola penguasaan tetap yang didapatkan dari jual beli dan warisan. Sementara pola
penguasaan sementara hanya diterapkan oleh satu orang, yang didapatkan dengan
cara sewa. Sedangkan pola penguasaan lahan yang umum di Dusun Margajaya
adalah pola penguasaa sementara, yang didapatkan dengan cara menggarap lahan
Perhutani atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah “sanggem”.
Sanggem merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk
menggarap lahan Perhutani sekaligus diminta oleh Perhutani untuk memelihara
tanaman milik Perhutani. Hal ini wajar terjadi karena masyarakat Dusun
Margajaya merupakan masyarakat pendatang. Hanya mereka yang berusia sekitar
30 tahun, yang lahir di Desa Tonggara. Sedangkan orangtua mereka semuanya
merupakan masyarakat pendatang. Pada awalnya masyarakat Dusun Margajaya
menggarap lahan milik orang Desa Tonggara. Karena jumlah mereka semakin hari
semakin banyak, sehingga masyarakat Desa Tonggara menempatkan mereka di
satu lokasi yang sekarang ini menjadi lokasi Dusun Margajaya. Selain karena
mereka masyarakat pendatang yang tidak memiliki lahan, hal lain yang
mendukung mereka menggarap lahan Perhutani karena lokasi pemukiman mereka
lebih dekat dengan Perhutani, sehingga mereka memiliki lebih banyak
kesempatan dibanding masyarakat dusun lain saat pengaplingan lahan garapan di
tahun 2004. Alasan lain masyarakat Dusun Margajaya menguasai dengan cara
sanggem karena tidak mampu membeli tanah dan sudah tidak adanya tanah yang
dijual. Berikut penuturan Bapak W (responden Dusun Margajaya, 32 tahun):
“...tanah teng mriki katahe sampun ditumbas kalih tiyang njawi mba,
sanes tiyang Margajaya. Pas mbiyen tiyang njawi niku tumbas tanah
kan regane awis, benten nek sing tumbas tiyang Margajya, dadose nek
umpamane saniki tanahe badhe disade nggeh tiyang mriki mboten kiyat
tumbas mba, soale regine kan benten mba. Tiyang ngiriki wonten sing
gadah tanah sanes tanah sanggem, tapi nggeh mboten niat disade
dadose ya rata-rata tiyang ngriki nggarap sanggem mawon pun lah..
(tanah disini kebanyakan sudah dibeli oleh orang luar Margajaya. Saat
dulu orang luar beli, harga tanahnya mahal, berbeda ketika yang beli
orang Margajaya. Jadi, kalaupun tanahnya mau dijual kembali, orang
Margajaya tidak kuat beli karena kan harganya beda mba. Orang sini
ada yang punya tanah selain tanah sanggem, tapi kan tidak untuk dijual
jadi ya rata-rata orang sini menggarap sanggem saja)...”
26
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan
Lahan merupakan salah satu sumberdaya terpenting bagi masyarakat
agraris. Masyarakat agraris seperti di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo tidak
hanya membutuhkan lahan sebagai tempat tinggal, namun juga untuk melakukan
kegiatan pertanian. Akan tetapi, tidak semua masyarakat di Dusun Margajaya dan
Dusun Karanglo mendapatkan kesempatan yang sama untuk menguasai lahan. Hal
tersebut disebabkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan
seseorang, seperti tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat
pengeluaran, status sosial, dan status kependudukan dari orang itu sendiri.
Pembahasan sub bab ini akan memaparkan tabel frekuensi masing-masing faktor.
Faktor yang pertama adalah tingkat pendapatan, berikut ini Tabel 6 yang
menunjukkan jumlah dan persentase tingkat pendapatan dari rumahtangga petani
yang menjadi responden.
Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan rumahtangga responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Tinggi 18 45 15 42.9
Rendah 22 55 20 57.1
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
Faktor yang pertama diduga mempengaruhi penguasaan lahan adalah
tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan diukur dari rata-rata jumlah pemasukan
baik yang berasal dari pertanian maupun non pertanian per musim (per empat
bulan), karena pekerjaan utama responden sebagai petani. Data Tabel 6
menunjukkan bahwa sebanyak 45 persen responden Dusun Karanglo memiliki
pendapatan tinggi (> Rp 5 540 000). Jumlah responden tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan responden Dusun Margajaya yaitu hanya 42.9 persen yang
memiliki pendapatan tinggi. Hal ini disebabkan responden Dusun Karanglo
memiliki pekerjaan sampingan di sektor non pertanian.
Faktor yang selanjutnya adalah tingkat pengeluaran. Pengeluaran dilihat dari
banyaknya biaya yang harus dikeluarkan responden yang dihitung per tahun.
Berikut Tabel 7 yang menunjukkan jumlah dan persentase tingkat pengeluaran
rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.
Tabel 7 Jumlah dan persentase tingkat pengeluaran rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Tinggi 26 65 30 85.7
Rendah 14 35 5 14.3
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
27
Tingginya tingkat pengeluaran di kedua dusun dikarenakan adanya
pemenuhan kebutuhan selain kebutuhan pokok, seperti pembelian pakaian, biaya
kesehatan, transportasi dan lain-lain. Kemudian lebih banyaknya jumlah
responden Margajaya yang memiliki pengeluaran tinggi dibandingkan responden
Dusun Karanglo karena jauh dan sulitnya akses masyarakat Dusun Margajaya
menuju pusat desa. Hal lain yang menyebebabkan pengeluaran masyarakat
Margajaya lebih tinggi dari Karanglo disebabkan sebagian besar responden
Margajaya memiliki jumlah tanggungan yang masih bersekolah, sehingga harus
mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding responden Dusun Karanglo dengan
sedikit jumlah tanggungan yang masih berusia sekolah. Selain itu, adanya arisan
di Dusun Margajaya membuat mereka harus mengeluarkan uang lebih setiap
bulannya. Tidak hanya itu saja, tingginya tingkat pengeluaran masyarakat
Margajaya disebabkan oleh sikap konsumtif mereka. Hal tersebut dibuktikan
dengan tingginya pengeluaran yang dikeluarkan untuk membeli lauk pauk. Kaum
ibu di Dusun Margajaya mayoritas ikut membantu suami mereka menjadi buruh
tani. Bekerja di lahan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga tidak
jarang mereka harus berada di lahan dari pagi hingga sore hari. Lamanya waktu
yang dibutuhkan oleh para kaum ibu ini membuat mereka tidak memiliki banyak
waktu untuk memasak, sehingga mereka harus membeli lauk yang sudah masak
meskipun harganya lebih mahal dan jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan
memasak sendiri.
Faktor internal selanjutnya yaitu faktor jumlah tanggungan keluarga.
Jumlah tanggungan keluarga yang dimaksud disini adalah banyaknya orang yang
hidup bersama dalam satu rumah dan makan dalam satu dapur yang sama. Tabel 8
menunjukkan jumlah dan persentase jumlah tanggungan keluarga responden di
Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.
Tabel 8 Jumlah dan persentase jumlah tanggungan keluarga responden Dusun
Karanglo dan Dusun Margajaya
Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Tinggi 5 12.5 16 45.7
Rendah 35 87.5 19 54.3
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
Data Tabel 8 menunjukkan kedua dusun memiliki jumlah tanggungan
keluarga yang rendah, yaitu satu hingga tiga orang. Dusun Karanglo rata-rata
memiliki jumlah tanggungan keluarga yang rendah karena usia responden
mayoritas di atas 45 tahun, sehingga anak-anak responden sudah menikah dan
tinggal berbeda rumah dengan mereka. Sementara Dusun Margajaya memiliki
jumlah tanggungan keluarga rendah karena mayoritas masih berusia sekitar 30
tahun, sehingga jumlah tanggungan mereka pada umumnya hanya dua hingga tiga
orang, yaitu anak dan istri.
Selain faktor pendapatan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan keluarga,
faktor selanjutnya adalah status sosial responden. Akses informasi adalah
kesempatan yang dimiliki responden untuk mendapat informasi terkait
28
penguasaan tanah. Akses informasi dilihat dari perkumpulan yang sedang atau
pernah diikuti, dengan siapa responden berkomunikasi selama satu minggu, dan
pernah tidaknya ditawari gadai tanah. Baik responden Dusun Karanglo maupun
Margajaya mayoritas adalah masyarakat yang akses informasinya rendah. Hal
mengenai akses informasi akan dijelaskan pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Jumlah dan persentase akses informasi responden Dusun Karanglo dan
Dusun Margajaya
Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Tinggi 9 22.5 7 20
Rendah 31 77.5 28 80
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berdasarkan data Tabel 9, mayoritas responden dengan jumlah lebih dari 50
persen di kedua dusun memiliki akses informasi yang rendah. Rendahnya akses
informasi responden di kedua dusun jika dilihat dari pertanyaan yang diajukan
pada kuesioner, disebabkan karena tidak adanya perkumpulan di masing-masing
dusun. Perkumpulan diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai
penjualan, penggadaian atau penyewaan tanah. Selain tidak adanya perkumpulan,
mayoritas dari mereka tidak pernah ditawari gadai tanah. Pada umumnya orang
yang ditawari gadai tanah memiliki akses informasi yang tinggi di masyarakat.
Faktor terakhir adalah status kependudukan. Status kependudukan yang
dimaksud disini adalah perbedaan tempat kelahiran dan tempat tinggal sekarang.
Ketika tempat tinggal dan tempat kelahiran responden berbeda, maka dapat
dikatakan status kependudukannya termasuk penduduk pendatang. Berikut Tabel
10 yang menunjukkan sebaran jumlah dan persentase status kependudukan
responden.
Tabel 10 Jumlah dan persentase status kependudukan responden Dusun Karanglo
dan Dusun Margajaya
Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Asli 26 65 15 42.9
Pendatang 14 35 20 57.1
Total 40 100 35 100
Sumber : Data Primer, 2014
Data Tabel 10 menunjukkan lebih dari 50 persen responden Dusun
Karanglo merupakan penduduk asli, sementara Dusun Margajaya lebih banyak
pendatang. Hal ini wajar karena Dusun Margajaya adalah dusun yang sengaja
dibentuk oleh masyarakat asli Desa Tonggara untuk masyarakat pendatang yang
dulunya menggarap lahan-lahan milik masyarakat Desa Tonggara. Sebelum
masyarakat Dusun Margajaya menggarap lahan Perhutani, mereka menggarap
lahan masyarakat Desa Tonggara. Jumlah mereka yang terus bertambah dari
waktu ke waktu, membuat masyarakat Desa Tonggara merasa kasihan, sehingga
29
dibentuklah Dusun Margajaya. Lokasi Dusun Margajaya sendiri dipilih karena
dusun tersebut merupakan salah satu dusun yang saat itu masih kosong dan dekat
dengan pengairan.
Pengaruh Faktor Internal dan Faktor Eksternal terhadap Penguasaan
Lahan
Masalah penguasaan lahan bukan saja masalah hubungan manusia dengan
tanahnya, tetapi lebih menyangkut hubungan sosial politik dan ekonomi antar
manusia (Wiradi 2009). Hal tersebut menjelaskan bahwa suatu hubungan
penguasaan atas tanah melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan
masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian pola-pola penguasaan atas tanah akan
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut tidak terjadi begitu saja,
tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Pembahasan sebelumnya telah
memaparkan sebaran jumlah dan persentasefaktor internal yang diduga
mempengaruhi penguasaan lahan. Penguasaan lahan sendiri diukur dari luasan
lahan yang dikuasai. Kemudian dibagi menjadi dua kategori yaitu tinggi dan
rendah. Pembedaan kategori menjadi dua kategori saja, yaitu tinggi dan rendah
untuk menghindari bias dan data nol. Jika kategori ditambah dengan kategori
sedang, maka akan ada data nol dalam tabulasi silang. Selain itu, ukuran sedang
sendiri merupakan ukuran yang sulit untuk dideskripsikan. Pembahasan berikut
akan memaparkan lebih lanjut pengaruh masing-masing faktor internal terhadap
penguasaan lahan. Pembahasan yang pertama yaitu, pengaruh tingkat pendapatan
terhadap penguasaan lahan.
Tabel 11 Jumlah dan persentase pengaruh tingkat pendapatan terhadap
penguasaan lahan Dusun Karanglo
Penguasaan Lahan
Tingkat Pendapatan
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 2 9.1 6 33.3
Rendah 20 90.9 12 66.7
Total 22 100 18 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berdasarkan data Tabel 11 tingkat pendapatan tidak begitu berhubungan
dengan penguasaan lahan di Dusun Karanglo. Terlihat pada Tabel 11, walaupun
pendapatan rendah ataupun pendapatan tinggi, penguasaan lahan mayoritas tetap
rendah. Hal ini disebabkan adanya sistem waris di Dusun Karanglo, sehingga
lahan warisan harus dibagi secara merata kepada ahli waris, akibatnya lahan yang
didapat pun berkategori rendah. Selain itu, dampak lain karena adanya sistem
waris, lahan yang tersisa untuk jual beli sedikit, sehingga meskipun seseorang
memiliki pendapatan tinggi penguasaan lahannya tetap rendah. Alasan lainnya
karena faktor usia yang sudah tua, sehingga kemampuan mereka untuk menggarap
lahan pun berkurang. Terdapat dua responden berpendapatan rendah, namun
30
penguasaan lahannya tinggi. Lahan yang dikuasai satu dari dua responden tersebut
berasal dari waris dan satu responden lainnya merupakan perangkat desa,
sehingga mendapat tanah bengkok. Hal ini menyebabkan walaupun pendapatan
mereka rendah, namun penguasaan lahan mereka tetap tinggi.
Tabel 12 Jumlah dan persentase pengaruh tingkat pendapatan terhadap penguasaan lahan Dusun Margajaya
Penguasaan Lahan
Tingkat Pendapatan
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 15 78.9 15 93.8
Rendah 4 21.1 1 6.2
Total 19 100 16 100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 12 menunjukkan pengaruh pendapatan terhadap penguasaan lahan di
Dusun Margajaya. Sama seperti Dusun Karanglo, tingkat pendapatan Dusun
Margajaya tidak begitu berpengaruh terhadap penguasaan lahan jika dilihat dari
tabulasi silang. Hal ini terlihat meskipun tingkat pendapatan responden rendah
dan tinggi, namun penguasaan lahan mereka tetap tinggi.
Setelah data disajikan dalam bentuk tabulasi silang, data di uji
menggunakan analisis regresi menggunakan bantuan aplikasi SPSS. Uji tersebut
dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen, dalam penelitian ini adalah pengaruh tingkat pendapatan terhadap
penguasaan lahan. Uji regresi hanya dilakukan untuk Dusun Karanglo, karena
penguasaan lahan yang terjadi di Dusun Karanglo pada umumnya adalah
penguasaan milik. Uji regresi tidak dilakukan untuk Dusun Margajaya karena dari
tabulasi silang sudah terlihat jelas bahwa pendapatan tidak berpengaruh terhadap
penguasaan lahan.
Berdasarkan hasil uji analisis regresi menggunakan alfa 10 persen,
menunjukkan F hitung sebesar 3.800, dengan F tabel sebesar 2.881 untuk Dusun
Karanglo. Berdasarkan hasil uji analisis regresi untuk Dusun Karanglo dapat
disimpulkan F hitung > F tabel, sehingga tingkat pendapatan berpengaruh
terhadap penguasaan lahan. Pengaruh tidak begitu signifikan dengan nilai sig
0.59. Pengaruh tingkat pendapatan hanya signifikan pada alfa 0.1, sementara pada
alfa 0.05 tidak signifikan.
Faktor yang akan dibahas selanjutnya mengenai pengaruhnya terhadap
penguasaan lahan adalah tingkat pengeluaran. Tingkat pengeluaran dianggap
berpengaruh terhadap penguasaan lahan karena berkaitan dengan pendapatan.
Ketika pendapatan individu tinggi, namun pengeluarannya rendah, kemungkinan
individu tersebut mampu menyisihkan pendapatannya untuk menguasai lahan baik
dengan cara beli, sewa, gadai, bagi hasil, dan lain-lain. Oleh karena itu,
pengeluaran dianggap perlu untuk diketahui pengaruhnya terhadap penguasaan
lahan.
31
Tabel 13 Jumlah dan persentase pengaruh tingkat pengeluaran terhadap
penguasaan lahan Dusun Karanglo
Penguasaan Lahan
Tingkat Pengeluaran
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 1 7.1 7 26.9
Rendah 13 92.9 19 73.1
Total 14 100 26 100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 13 menunjukkan data pengaruh pengeluaran terhadap tingkat
penguasaan lahan Dusun Karanglo. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat
bahwa 7.1 persen responden berpengeluaran rendah, sehingga penguasaan
lahannya tinggi. Pengeluaran responden tersebut tergolong rendah, karena jumlah
tanggungan responden tergolong rendah yaitu hanya satu orang. Penguasaan
lahannya menjadi tinggi bukan karena responden dapat menyisihkan
pendapatannya untuk membeli lahan, tetapi karena lahan yang dikuasai responden
berasal dari waris. Sementara 92.9 persen responden berpengeluaran rendah,
penguasaan lahannya juga rendah. Diterapkannya sistem waris membuat luasan
lahan yang dapat dijualbelikan menjadi sedikit. Akibatnya walaupun responden
berpengeluaran rendah dan dapat menyisihkan pendapatan untuk membeli lahan,
namun karena luasan lahan yang kecil, penguasaan lahan responden tetap rendah.
Sementara tujuh responden atau 26.9 persen responden berpengeluaran tinggi,
namun penguasaan lahannya tetap tinggi. Hal ini disebabkan jumlah tanggungan
keluarga yang tinggi sehingga pengeluaran pun tinggi, namun penguasaan
lahannya tetap tinggi. Sebanyak enam dari tujuh responden tersebut menguasai
lahan dengan kategori tinggi disebabkan lahan yang mereka kuasai berasal dari
sistem waris. Sedangkan satu dari tujuh responden penguasaan lahan responden
tersebut tergolong tinggi, meskipun berpengeluaran tinggi karena lahan yang
dikuasai berasal dari tanah bengkok (tanah yang diberikan kepada aparat desa
sebagai upah, selama mereka menjabat).
Tabel 14 Jumlah dan persentase pengaruh tingkat pengeluaran terhadap
penguasaan lahan Dusun Margajaya
Penguasaan Lahan
Tingkat Pengeluaran
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 6 85 26 96.3
Rendah 2 25 1 3.7
Total 8 100 27 100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 14 menunjukkan responden berpengeluaran rendah, namun
penguasaan lahannya juga rendah. Keadaan seperti ini dari salah satu responden
tersebut disebabkan lahan yang dikuasai berasal dari sistem jual beli. Meskipun
harga lahan di Dusun Margajaya tergolong murah, tetapi masih tergolong sulit
untuk menguasai lahan dalam jumlah yang luas menggunakan sistem jual beli.
32
Karena lahan pertanian di Dusun Margajaya sebagian besar merupakan lahan
pertanian milik orang luar Dusun Margajaya. Sementara satu responden yang lain,
pengeluaran dan penguasaan lahannya sama-sama rendah karena faktor usia.
Tenaga yang semakin berkurang, membuat responden tersebut hanya mampu
menguasai lahan dalam jumlah sedikit. Tidak adanya pekerjaan di sektor lain,
membuat responden tetap bertahan menggarap lahan Perhutani meskipun usianya
sudah renta.
Hasil lain dari data Tabel 14 menunjukkan sebanyak 7.2 persen responden
berpengeluaran tinggi dan penguasaan lahannya rendah. Hal ini bukan karena
penguasaan lahan tetap, tetapi karena pekerjaan utama responden sebagai supir.
Pengeluarannya tergolong tinggi karena jumlah tanggungan keluarganya tinggi,
namun penguasaan lahan rendah karena responden menjadikan pertanian sebagai
pekerjaan sampingan saja.
Sebanyak 88.6 persen responden tidak menunjukkan adanya pengaruh
antara tingkat pengeluaran terhadap penguasaan lahan responden. Hal ini wajar
terjadi karena lahan yang dikuasai responden merupakan lahan milik Perhutani.
Adapun yang menyebabkan tingginya tingkat pengeluaran masyarakat Dusun
Margajaya adalah jauh dan sulitnya akses menuju pusat desa, serta jumlah
tanggungan berusia sekolah yang tergolong tinggi dibandingkan responden Dusun
Karanglo.
Tidak seperti faktor tingkat pendapatan, faktor tingkat pengeluaran tidak
perlu dilakukan uji regresi karena berdasarkan tabulasi silang sudah terlihat jelas
bahwa tingkat pengeluaran tidak berpengaruh terhadap penguasaan lahan. Tingkat
pengeluaran bukan merupakan faktor yang bisa berdiri sendiri dalam
mempengaruhi penguasaan lahan dalam kasus di dua dusun ini. Hal ini karena
adanya sistem waris yang diterapkan di salah satu dusun yang membuat
fragmentasi lahan. Selain itu juga disebabkan oleh pola penguasaan yang umum
diterapkan di dua dusun merupakan pola penguasaan yang didapatkan bukan dari
jual beli.
Selain faktor pendapatan dan pengeluaran, faktor selanjutnya yang perlu
dibahas adalah jumlah tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga perlu
untuk dibahas karena berkaitan dengan pembagian lahan. Hipotesisnya diduga
jika jumlah tanggungan keluarga tinggi, maka penguasaan lahan rendah, karena
lahan harus dibagi kepada seluruh tanggungan keluarga secara adil dan merata.
Tabel 15 Jumlah dan persentase pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penguasaan lahan Dusun Karanglo
Penguasaan Lahan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 6 17.1 2 40
Rendah 29 82.9 3 60
Total 35 100 5 100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 15 menunjukkan sebaran responden mengenai pengaruh jumlah
tanggungan keluarga dengan penguasaan lahan. Sebanyak 40 persen responden
memiliki jumlah tanggungan keluarga tinggi dan penguasaan lahan tinggi. Hal ini
33
disebabkan lahan yang dikuasai berasal dari tanah bengkok, selain itu karena anak
dari responden masih ada yang berusia sekolah dan ada yang sudah memiliki
pekerjaan di sektor non pertanian, sehingga tanah belum dibagikan kepada anak-
anaknya. Sementara sebanyak 17.1 persen responden memiliki jumlah tanggungan
keluarga rendah, namun penguasaan lahannya tinggi. Hal tersebut terjadi karena
anak-anak dari responden sudah bekerja di sektor non pertanian, sehingga lahan
masih dikuasai oleh responden. Sementara sebanyak 80 persen responden tidak
menunjukkan adanya pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penguasaan
lahan.
Tabel 16 Jumlah dan persentase pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap
penguasaan lahan Dusun Margajaya
Penguasaan Lahan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 16 84.2 15 93.8
Rendah 3 15.8 1 6.2
Total 19 100 16 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berdasarkan data Tabel 16, sebesar 6.2 persen responden memiliki jumlah
tanggungan keluarga tinggi, namun penguasaan lahan rendah. Hal ini disebabkan
lahan yang dikuasai responden merupakan lahan milik, sehingga tingginya jumlah
tanggungan berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran. Sementara
sebanyak 88.6 persen responden menunjukkan tidak adanya pengaruh jumlah
tanggungan keluarga terhadap penguasaan lahan.
Uji regresi juga tidak dilakukan pada faktor jumlah tanggungan keluarga,
karena beradasarkan hasil tabulasi silang terlihat jelas tidak ada pengaruh jumlah
tanggungan keluarga terhadap penguasaan lahan. Faktor jumlah tanggungan
keluarga tidak berpengaruh terhadap penguasaan lahan di Dusun Karanglo
disebabkan mayoritas tanggungan keluarga sudah bekerja di sektor non pertanian,
kalaupun ada yang belum bekerja, masih berusia sekolah, sehingga lahan belum
perlu untuk dibagi-bagi terkait dengan sistem waris yang umum di Dusun ini.
Pada Dusun Margajaya, jumlah tanggungan keluarga tentu tidak berpengaruh,
karena pola penguasaan yang umum adalah sanggem (menggarap lahan
Perhutani), lahan tidak bisa diwariskan kepada keturunan.
Setelah membahas tiga faktor, faktor selanjutnya adalah faktor akses
informasi. Akses informasi perlu untuk diketahui pengaruhnya, sebab individu
yang memiliki akses informasi tinggi di masyarakat, biasanya lebih mudah untuk
mengakses lahan. Tidak hanya dilihat dari pernah atau tidaknya individu tersebut
ditawari gadai tanah, namun juga dengan siapa individu tersebut berkomunikasi.
Hal ini yang mendasari perlunya melihat akses informasi sebagai salah satu faktor
internal yang dianggap berpengaruh terhadap penguasaan lahan.
34
Tabel 17 Jumlah dan persentase pengaruh akses informasi terhadap penguasaan
lahan Dusun Karanglo
Penguasaan Lahan
Akses informasi
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 4 12.9 5 55.6
Rendah 27 87.1 4 44.4
Total 31 100 9 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berdasarkan data Tabel 17, hubungan akses informasi dengan penguasaan
lahan di Dusun Karanglo terlihat jelas. Hal ini terlihat 87.1 persen responden
memiliki akses informasi rendah, maka penguasaan lahannya rendah. Sebanyak
55.6 persen responden yang memiliki akses informasi tinggi, penguasaan
lahannya juga tinggi. Meskipun sistem waris umum diterapkan di dusun ini, tetapi
sistem jual beli juga tidak kalah banyak diterapkan di dusun ini. Terkait dengan
sistem jual beli, maka akses informasi tentu menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh. Karena dengan memiliki akses informasi yang tinggi, maka
informasi mengenai penjualan tanah akan lebih cepat sampai di tangan kita.
Pada pola penguasaan tetap, akses informasi tentu penting karena terkait
dengan informasi penjualan, penyewaan atau penggadaian tanah. Pada penelitian
ini, ingin juga dilihat pengaruh akses informasi terhadap pola penguasaan
sementara.
Tabel 18 Jumlah dan persentase pengaruh akses informasi terhadap penguasaan
lahan Dusun Margajaya
Penguasaan Lahan
Status Sosial
Rendah Tinggi
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 27 93.1 4 66.7
Rendah 2 6.9 2 33.3
Total 29 100 6 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berbeda dengan Dusun Karanglo yang penguasaan lahannya dipengaruhi
akses informasi. Penguasaan lahan di Dusun Margajaya yang menganut pola
penguasaan sementara ternyata tidak dipengaruhi akses informasi. Hal ini terlihat
dari data pada Tabel 18 yang menunjukkan sebanyak 88.6 persen responden
dengan akses informasi rendah maupun tinggi, penguasaan lahannya tetap tinggi.
Begitu juga sebanyak 11.4 persen responden yang memiliki akses informasi
rendah ataupun tinggi, penguasaan lahannya tetap rendah. Hal ini karena pola
penguasaan sementara yang diterapkan di Dusun Margajaya dan proses untuk
mendapatkan lahan garapan yang tidak memerlukan akses informasi yang tinggi
untuk mendapatkan informasi. Karena saat pengaplingan lahan garapan milik
Perhutani tahun 2004, masyarakat bebas mengapling luasan lahan yang akan
digarap sesuai dengan kemampuan masing-masing. Luasan lahan yang dikuasai
lebih dipengaruhi lokasi pemukiman responden yang dekat dengan lahan garapan.
35
Pengaruh akses informasi terhadap penguasaan lahan di Dusun Karanglo
perlu diuji kebenarannya untuk membuktikan hipotesis diterima atau ditolak.
Berdasarkan hasil uji regresi dengan alfa 0.1, untuk Dusun Karanglo
menunjukkan F hitung sebesar 4.621 dengan F tabel sebesar 2.881. Sedangkan
Dusun Margajaya tidak perlu dilakukan uji regresi karena dari hasil tabulasi silang
sudah terlihat sangat jelas bahwa akses informasi tidak berhubungan dengan
penguasaan lahan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa F hitung
Dusun Karanglo > F tabel, sehingga hipotesis bahwa akses informasi berpengaruh
terhadap penguasaan lahan di Dusun Karanglo diterima. Hal ini sejalan dengan
pemaparan sebagian besar responden Dusun Karanglo yang mengemukakan
pentingnya akses informasi. Karena informasi mengenai tanah yang akan dijual
atau disewakan atau digadai berasal dari tetangga terdekat, sehingga memiliki
status sosial yang tinggi diperlukan supaya selalu mendapatkan informasi.
Faktor yang terakhir dianggap berpengaruh adalah status penduduk. Status
penduduk dilihat dari perbedaan tempat kelahiran dengan tempat tinggal sekarang.
Status penduduk dianggap berpengaruh karena biasanya masyarakat asli lebih
mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar dibandingkan masyarakat
pendatang.
Tabel 19 Jumlah dan persentase pengaruh status penduduk terhadap penguasaan lahan Dusun Karanglo
Penguasaan Lahan
Status Penduduk
Pendatang Asli
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 3 21.4 5 19.1
Rendah 11 78.6 21 80.8
Total 14 100 26 100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 19 menunjukkan bahwa 80 persen responden baik penduduk asli
maupun pendatang, penguasaan lahannya rendah. Begitu juga dengan 20 persen
responden baik pendatang maupun penduduk asli, penguasaan lahannya tetap
tinggi. Hasil ini dipengaruhi oleh sistem waris yang ada. Meskipun mereka
masyarakat pendatang, namun karena sang istri mendapatkan tanah warisan dari
orangtua yang cukup luas, sehingga penguasaan lahan responden yang merupakan
masyarakat pendatang pun menjadi luas. Sementara 80.8 persen responden yang
merupakan masyarakat asli, namun penguasaan lahannya rendah disebabkan oleh
sempitnya lahan yang dibagi melalui sistem waris oleh orangtua responden. Selain
itu, ada responden masyarakat asli yang penguasaan lahannya rendah dan didapat
dari cara jual beli. Hal ini disebabkan lahan yang terfragmentasi akibat adanya
sistem waris yang diterapkan. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan Tabel 19, maka
secara tabulasi silang dapat dikatakan bahwa faktor status penduduk tidak
berpengaruh terhadap penguasaan lahan. Adanya sistem waris yang diterapkan di
dusun ini membuat status penduduk tidak berpengaruh terhadap penguasaan
lahan.
36
Tabel 20 Jumlah dan persentase pengaruh status penduduk terhadap penguasaan lahan Dusun Margajaya
Penguasaan Lahan
Status Penduduk
Pendatang Asli
(n) (%) (n) (%)
Tinggi 18 90 13 86.7
Rendah 2 10 2 13.3
Total 20 100 15 100
Sumber : Data Primer, 2014
Berbeda dengan Dusun Karanglo yang mayoritas masyarakat asli, Dusun
Margajaya didominasi oleh masyarakat pendatang. Hal ini wajar terjadi, karena
Dusun Margajaya merupakan dusun yang sengaja dibentuk oleh masyarakat Desa
Tonggara untuk ditinggali oleh masyarakat luar Desa Tonggara yang menggarap
lahan pertanian milik orang Desa Tonggara. Penempatan ini sengaja dilakukan
karena jumlah mereka dari hari ke hari semakin bertambah banyak. Perbedaan
komposisi penduduk pendatang dan asli ini tidak memberikan hasil yang berbeda
dengan Dusun Karanglo. Status penduduk di Dusun Margajaya juga tidak
memberikan pengaruh terhadap penguasaan lahan. Hal ini disebabkan pola
penguasaan sementara yang diterapkan di Dusun Margajaya. Tidak adanya aturan
dari Perhutani mengenai syarat orang yang bisa menggarap lahan Perhutani dan
dekatnya lokasi pemukiman mereka dengan Perhutani, membuat 88.6 persen
responden baik pendatang maupun asli menguasai lahan berkategori tinggi.
Uji regresi tidak perlu dilakukan lagi karena berdasarkan hasil tabulasi
silang kedua dusun sudah jelas menunjukkan bahwa status penduduk tidak
berpengaruh terhadap penguasaan lahan. Hal ini berhubungan dengan pola
penguasaan yang diterapkan di masing-masing dusun.
Ikhtisar
Lahan merupakan sumber hidup bagi manusia, terutama masyarakat agraris.
Dalam struktur agraria dikenal dua istilah, yaitu pemilikan dan penguasaan lahan.
Pemilikan lahan yaitu memiliki lahan baik secara de jure maupun de fakto.
Penguasaan lahan yaitu menguasai lahan secara efektif, atau pemilikan secara de
fakto. Pola penguasaan lahan yang ada di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo
ada dua, yaitu pola penguasaan milik dan sementara. Pola penguasaan milik untuk
Dusun Margajaya didapat dari jual beli, sementara untuk Dusun Karanglo didapat
dari waris dan jual beli. Pola penguasaan sementara untuk Dusun Margajaya
didapat dari sanggem dan sewa, sementara pola penguasaan sementara Dusun
Karanglo didapat dari sewa.
Ada lima faktor internal yang dianggap berpengaruh terhadap penguasaan
lahan, yaitu tingkat pendapatan, pengeluaran, jumlah tanggungan keluarga, status
37
sosial dan status penduduk. Setelah dilakukan analisis dengan tabulasi silang pada
kelima faktor dan uji regresi pada beberapa faktor, tidak ada satu faktor internal
pun yang berpengaruh untuk kedua dusun. Faktor yang berpengaruh pada
penguasaan lahan di Dusun Karanglo adalah pendapatan dan status sosial,
sementara di Dusun Margajaya tidak ada faktor internal yang berpengaruh pada
penguasaan lahan. Pada Dusun Margajaya penguasaan lahan dipengaruhi oleh
faktor eksternal, yaitu lokasi lahan. Kedekatan lokasi pemukiman dengan lokasi
lahan garapan milik Perhutani membuat masyarakat Dusun Margajaya lebih bisa
mengakses lahan dibanding masyarakat dusun lain. Sementara pada Dusun
Karanglo, selain dipengaruhi faktor internal, juga dipengaruhi faktor eksternal,
yaitu nilai jual lahan. Nilai jual lahan dianggap berpengaruh karena pola
penguasaan tetap yang ada di Dusun Karanglo sebagian berasal dari jual beli,
sehingga nilai jual lahan dianggap berpengaruh terhadap penguasaan lahan di
Dusun Karanglo.
38
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP
STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi Sosial
Soekanto (1990) menjelaskan bahwa ada tiga lapisan masyarakat yang
secara umum ada di masyarakat, yaitu lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan
bawah. Kecenderungan yang ada, lapisan atas lebih sedikit jumlah orangnya
dibandingkan dengan dua lapisan di bawahnya dan lapisan bawah relatif lebih
besar jumlahnya. Disebutkan lebih dalam pula, setidaknya ada empat ukuran
untuk menggolongkan seseorang masuk ke dalam lapisan masyarakat, antara lain
ukuran kekayaan, kekuasaan, pengetahuan, dan kehormatan.
Data dan informasi dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang
dilakukan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo menunjukkan bahwa
masyarakat di kedua dusun tersebut hanya menggunakan ukuran kekayaan untuk
menggolongkan petani ke dalam lapian masyarakat. Selain itu, data dan informasi
juga menunjukkan masyarakat Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo mengenal
adanya tiga lapisan, yaitu lapisan kaya, lapisan menengah, dan lapisan
bawah/miskin.
Tabel 21 Indikator stratifikasi sosial di Dusun Karanglo
No Lapisan Indikator
1 Miskin/bawah Memiliki aset berupa barang elektronik berjumlah 1-4,
Pendapatan per musim (4 bulan) 2 000 000 – 3 500 000,
Luas lahan yang dikuasai 900 – 4900 m2
2 Menengah Memiliki aset berupa barang elektronik berjumlah 4-6,
Pendapatan per musim (4 bulan) 3 600 000 – 6 000 000,
Luas lahan yang dikuasai 5000 – 7000 m2
3 Kaya Memiliki aset berupa barang elektronik berjumlah 7,
Pendapatan per musim (4 bulan) 6 100 000 – 12 000 000,
Luas lahan yang dikuasai > 7000 m2
Sumber : Data Primer, 2014
Pada Dusun Karanglo, ukuran yang biasa digunakan untuk
menggolongkan individu ke dalam suatu kelas atau lapisan tertentu adalah tingkat
pendapatan dan jumlah barang elektronik yang dimiliki. Seperti ukuran yang
sudah tertulis pada tabel di atas, suatu rumahtangga petani dikatakan kaya jika ia
memiliki pendapatan per musim antara 6 100 000 hingga 12 000 000 dan
memiliki barang elektronik sebanyak 7 barang tanpa melihat nilai ekonominya
serta luasan lahannya lebih dari 7000 m2. Sementara lapisan menengah jika
rumahtangga tersebut memiliki pendapatan per musim antara 3 600 000 hingga 6
000 000, namun jumlah barang elektronik yang dimiliki sekitar 4-6 dengan luas
lahan yang dikuasai 5000 – 7000 m2. Lapisan miskin atau lapisan bawah jika
pendapatannya per musim 2 000 000 – 3 500 000, dan memiliki barang elektronik
sebanyak 1-4 barang dengan luasan lahan yang dikuasai kurang dari 5000 m2.
39
Ukuran lain adalah jabatan yang dimiliki. Seorang perangkat desa sudah pasti
menempati lapisan kaya, meskipun pendapatan yang didapatkan selama per
musim sedikit. Kondisi Karanglo yang secara ekonomi jauh lebih baik
dibandingkan Margajaya, karena mayoritas masyarakat Karanglo memiliki
pekerjaan sampingan, membuat kondisi rumah juga menjadi tolak ukur lain untuk
menggolongkan individu. Mayoritas memang rumah masyarakat Karanglo sudah
berdinding tembok dan berlantai keramik, serta memiliki kamar mandi. Hal ini
menjadi pembeda untuk orang lapisan atas dan menengah dengan lapisan bawah.
Beberapa lapisan bawah memiliki rumah berdinding tembok dan berlantai
keramik, namun ada juga yang terlihat berbeda dan mencolok yaitu berdinding
bambu dan berlantai tanah ataupun plester.
Kemudian ukuran luasan lahan dengan interval yang tidak sama untuk
setiap lapisan, 0.5 hektar dijadikan sebagai pembatas antara batas bawah dan batas
tengah karena berdasarkan penuturan masyarakat saat FGD, orang yang bisa
menguasai tanah dengan luas kurang dari 0.5 hektar sudah biasa dan masih
terbilang sempit. Sementara mereka yang menguasai lahan lebih dari 0.5 hektar
sudah dianggap mampu karena tanah yang umum dikuasai orang Karanglo adalah
sawah yang harganya lebih mahal dibanding tanah tegalan.
Berbeda daerah, berbeda pula indikator yang digunakan untuk menentukan
lapissan seseorang. Begitu juga indikator Dusun Margajaya dengan Dusun
Karanglo. Berikut ditampilkan indikator stratifikasi sosial di Dusun Margajaya.
Tabel 22 Indikator stratifikasi sosial di Dusun Margajaya
No Lapisan Indikator
1 Miskin Pendapatan 1 500 000 – 4 000 000, Tidak memiliki
kambing, luas lahan yang dikuasai < 10 000 m2
2 Menengah Pendapatan 4 100 000 – 8 000 000, memiliki kambing
dengan jumlah 1-5 ekor, luas lahan 10 000 – 20 000 m2
3 Kaya Pendapatan 8 100 000 – 36 000 000, memiliki kambing
> 5 ekor, luas lahan > 20 000 m2
Sumber : Data Primer, 2014
Berbeda dengan masyarakat Dusun Karanglo yang menggunakan
kepemilikan barang elektronik sebagai tolak ukur untuk menentukan lapisan, pada
masyarakat Dusun Margajaya kepemilikan kambing dijadikan sebagai tolak ukur.
Pada tabel di atas telah disebutkan indikator yang digunakan oleh masyarakat
Dusun Margajaya, orang yang memiliki pendapatan 8 100 000 – 36 000 000,
memiliki kambing lebih dari 5 ekor, dan luasan lahan yang dikuasai lebih dari 20
000 m2. Lapisan menengah jika memiliki pendapatan 4 100 000 – 8 000 000,
memiliki kambing 1- 5 ekor, dan luas lahan yang dikuasai antara satu hingga dua
hektar. Sementara lapisan bawah atau lapisan miskin jika pendapatannya kurang
dari 4 000 000, tidak memiliki kambing, dan luas lahan yang dikuasai kurang dari
1 hektar.
Tidak seperti Dusun Karanglo, kondisi rumah masyarakat Dusun Margajaya
hampir sama yaitu berdinding tembok dan berlantai tanah, atau berdinding bambu
dan berlantai tanah. Kondisi rumah bagi masyarakat Dusun Margajaya tidak
mencerminkan orang tersebut berada di lapisan mana. Berikut penuturan Ibu N :
40
“...tiyang sugih teng ngriki tah sing penting gadah wedus mba, terus
tanahe ya amba kira-kira langkung sing 2 hektar lah. Griyo tah ya mbuh
pan ambruk mbuh apa sing penting saged ngge tilem, wong arane wong
tani ya griyone bodol mba... (orang kaya disini yang penting punya
kambing dan luas tanahnya lebih dari 2 hektar. Rumah sih mau roboh
juga yang penting bisa buat tidur, namanya juga petani ya rumahnya jelek
mba)...”
Kepemilikan barang elektronik tidak begitu dipermasalahkan oleh mereka
karena menurut mereka tidak begitu penting. Sejak awal mereka menempati dusun
tersebut pada tahun 1982 belum ada listrik sebagai sumber penerangan. Listrik
baru masuk ke dusun tersebut pada tahun 2003, sehingga bagi mereka barang
elektronik tidak begitu penting karena sejak awal mereka pun terbiasa tanpa
listrik. Hal terpenting menurut mereka adalah lahan yang mereka kuasai.
Meskipun mereka hanya menguasai secara sementara yang mereka sadari dapat
sewaktu-waktu diambil kembali oleh orang Perhutani, namun sebagai masyarakat
agraris yang bergantung pada lahan membuat lahan tetap menjadi hal penting bagi
mereka. Menyadari pentingnya arti lahan bagi mereka, membuat mereka ingin
memiliki tanah sendiri, namun belum adanya modal ditambah tanah sudah
dimiliki oleh orang luar dan jika dijual kembali kepada mereka, harganya lebih
mahal dibanding jika orang Margajaya sendiri yang menjualnya langsung kepada
mereka, membuat mereka masih enggan untuk membeli tanah saat ini. Berikut
penuturan Bapak K :
“...kulo tani karena sagede tani mba, terus tiyang sepuh awit mbiyen
pegaweane dados tani, dadose ya kulo tani mawon lah. Pengine tah gadah
tanah piyambek mba, tapi ya pripun ya mba dereng wonten artone ngge
tumbas tanah. Pancen sih regine tesih murah tapi dereng wonten sing
badhe nyade tanah. Lagian tanah ngriki kan mpun ditumbas kalih tiyang
njawi, dong disade malih kalih tiyang margajaya ya regine luwih awis mba,
dadose ya suka Perhutani mawon lah (saya bertani karena bisanya bertani
mba, terus sejak dulu pekerjaan orangtua juga menjadi petani, jadi saya
bertani saja. Penginnya sih punya tanah sendiri mba, tapi belum ada
uangnya. Memang sih harganya murah tapi belum ada yang mau jual juga.
Lagian tanah disini kan sudah dibeli orang luar, jadi kalau dijual lagi ke
orang Margajaya harganya lebih mahal jadi lebih baik tanah PERHUTANI
saja)..”
Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial
Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bentuk dan ukuran yang
digunakan untuk menentukan stratifikasi di kedua dusun.Kedua dusun
memiliki ukuran yang berbeda karena kondisi hidup mereka baik secara sosial
maupun ekonomi juga berbeda. Meskipun berbeda, namun ada dua indikator
yang sama di kedua dusun untuk menentukan stratifikasi, yaitu tingkat
41
pendapatan dan luas lahan. Berdasarkan indikator yang sudah ada, berikut
tabulasi silang yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan penguasaan
lahan dan stratifikasinya.
Tabel 23 Jumlah dan persentase pengaruh penguasaan lahan terhadap
stratifikasi sosial Dusun Karanglo
Stratifikasi Sosial
Penguasaan Lahan
Rendah Sedang Tinggi
(n) (%) (n) (%) (n) (%)
Miskin 17 58.6 1 16.7 1 20
Menengah 11 37.9 3 50.0 1 20
Kaya 1 3.5 2 33.3 3 60
Total 29 100 6 100 5 100
Sumber : Data Primer, 2014
Data Tabel 23 menunjukkan penguasaan lahan berhubungan dengan
stratifikasi sosial dan arahnya positif. Terlihat sebesar 58.6 persen responden
dengan penguasaan lahan rendah berada di stratifikasi sosial miskin. Hal ini
sejalan dengan penjelasan dari Soekanto (1982), selama dalam suatu masyarakat
terdapat hal yang dihargai, maka itulah yang menjadi indikator pelapisan. Dusun
Karanglo sebagai salah satu dusun berbasis pertanian di Desa Tonggara, membuat
lahan menjadi suatu hal yang dihargai oleh masyarakat. Selain itu, meskipun
tingkat pendapatan juga diukur sebagai indikator stratifikasi, namun kontribusi
pendapatan pertanian terhadap seluruh total pendapatan cukup tinggi, sehingga
luasan lahan tetap menjadi hal penting yang menyumbang pendapatan.
Tabel 24 Jumlah dan persentase pengaruh penguasaan lahan terhadap
stratifikasi sosial Dusun Margajaya
Stratifikasi Sosial
Penguasaan Lahan
Rendah Sedang Tinggi
(n) (%) (n) (%) (n) (%)
Miskin 12 85.7 2 13.3 0 0
Menengah 2 14.3 13 86.7 1 16.7
Kaya 0 0 0 0 5 83.3
Total 14 100 15 100 6 100
Sumber : Data Primer, 2014
Serupa dengan hasil tabulasi silang di Dusun Karanglo, hubungan
penguasaan lahan dengan stratifikasi sosial di Dusun Margajaya juga terlihat
jelas. Meskipun pola penguasaan yang diterapkan di Dusun Margajaya berbeda
dengan Dusun Karanglo, namun ternyata penguasaan lahan tetap berhubungan
dengan penguasaan lahan. Berdasarkan hasil tabulasi silang kedua dusun dapat
disimpulkan bahwa terlihat ada kecenderungan hubungan antara penguasaan
lahan dengan stratifikasi sosial. Selain kecenderungan hubungan, perlu untuk
dilihat pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi, sehingga dilakukan uji
regresi.
42
Tabel 25 Uji regresi pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
rumahtangga petani Dusun Karanglo
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regression 5.308 1 5.308 13.041 .001a
Residual 15.467 38 .407
Total 20.775 39
Sumber : Data Primer (diolah), 2014
Berdasarkan data Tabel 25 dapat dilihat pengaruh penguasaan lahan
terhadap stratifikasi sosial masyarakat Dusun Karanglo. Pengaruh tersebut dilihat
dari nilai F yang didapat dari hasil penghitungan dibandingkan dengan nilai F
tabel. Nilai F tabel menunjukkan angka sebesar 4.171, sedangkan F hitung
sebesar 13.041. Hal ini menunjukkan bahwa F hitung > F tabel, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penguasaan lahan berpengaruh terhadap stratifikasi.
Selanjutnya, untuk melihat kuatnya pengaruh dilihat dari nilai sig. Nilai sig
menunjukkan 0.001, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh penguasaan
lahan signifikan terhadap stratifikasi sosial bahkan pada alfa dibawah 0.5 persen.
Tabel 26 Uji regresi pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial rumahtangga petani Dusun Margajaya
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regression 13.382 1 13.382 92.205 .000a
Residual 4.789 33 .145
Total 18.171 34
Sumber : Data Primer (diolah), 2014
Data pada Tabel 26 menunjukkan pengaruh penguasaan lahan terhadap
stratifikasi sosial rumahtangga petani di Dusun Margajaya. Pengaruh dilihat dari
nilai F hitung yang dibandingkan dengan nilai F tabel. Pada alfa 0.1 dengan df
tepi atas 1 dan tepi bawah 33, nilai F tabel sebesar 4.171, sedangkan F hitung
sebesar 92.205. Hal ini menunjukkan F hitung > F tabel, sehingga penguasaan
lahan berpengaruh terhadap stratifikasi sosial. Pengaruh penguasaan lahan
terhadap stratifikasi sosial sangat signifikan dilihat dari nilai sig sebesar 0.000.
Dapat disimpulkan bahwa penguasaan lahan berpengaruh sangat signifikan
terhadap stratifikasi sosial, bahkan pada alfa dibawah 0.5 persen.
Ikhtisar
Stratifikasi merupakan pelapisan masyarakat ke dalam kelas-kelas
berdasarkan indikator tertentu. Berbeda daerah, berbeda pula indikator yang
digunakan. Secara umum, indikator yang sama sebagai penentu stratifikasi
43
adalah luas lahan dan tingkat pendapatan. Sementara indikator lain yang juga
menentukan stratifikasi berbeda untuk masing-masing dusun. Pada Dusun
Karanglo, kepemilikan barang elektronik sangat menentukan strata orang,
namun pada Dusun Margajaya, yang terpenting adalah kepemilikan kambing.
Berdasarkan indikator tersebut, terdapat tiga lapisan di masing-masing dusun,
yaitu lapisan kaya, menengah, dan miskin.
Hasil tabulasi silang kedua dusun menunjukkan bahwa penguasaan lahan
memberikan pengaruh terhadap stratifikasi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
di zaman industrialisasi seperti sekarang, dusun dengan karakteristik pertanian
masih tetap menjadikan penguasaan lahan sebagai salah satu faktor yang
menentukan stratifikasi seseorang di masyarakat.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Dusun Margajaya dan
Dusun Karanglo, didapatkan beberapa informasi penting terkait dengan pengaruh
penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial.
Penguasaan lahan yang terjadi di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya
tidak dipengaruhi faktor internal. Hanya tingkat pendapatan yang berpengaruh
pada penguasaan lahan di Dusun Karanglo, sementara di Dusun Margajaya tidak
dipengaruhi oleh semua faktor internal. Terdapat dua faktor eksternal, yaitu nilai
jual lahan dan lokasi lahan. Nilai jual lahan berpengaruh terhadap penguasaan
lahan di Dusun Karanglo, sementara lokasi lahan berpengaruh terhadap
penguasaan lahan di Dusun Margajaya.
Terdapat dua pola penguasaan di masing-masing dusun, yaitu pola
penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola yang umum diterapkan di
Dusun Karanglo adalah pola penguasaan tetap yang didapat dengan cara waris dan
jual beli lahan. Sementara pola penguasaan yang umum di terapkan di Dusun
Margajaya adalah pola penguasaan sementara yang didapat dengan cara sanggem.
Terdapat tiga indikator utama penentu stratifikasi sosial di masing-masing
dusun. Dusun Karanglo menggunakan indikator tingkat pendapatan, luas lahan,
dan kepemilikan barang elektronik. Sementara Dusun Margajaya menggunakan
indikator tingkat pendapatan, luas lahan, dan kepemilikan kambing. Berdasarkan
indikator tersebut didapat tiga lapisan stratifikasi di masing-masing dusun, yaitu
lapisan miskin, menengah, dan lapisan kaya.
Berdasarkan uji regresi dengan alfa 0.1 persen, penguasaan lahan terbukti
mempengaruhi stratifikasi sosial rumahtangga petani baik di Dusun Margajaya
maupun Dusun Karanglo. Pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial
di Dusun Margajaya terlihat lebih kuat dibanding di Dusun Karanglo. Hal ini
disebabkan kondisi ekonomi masyarakat Dusun Karanglo lebih baik dibanding
Dusun Margajaya, dan mereka lebih modern dibanding Dusun Margajaya. Hal
tersebut terlihat dari salah satu indikator stratifikasi di Dusun Karanglo adalah
kepemilikan aset berupa barang elektronik. Selain itu, adanya sistem warisan yang
umum diterapkan di dusun ini membuat luasan lahan yang diperjualbelikan
menjadi sedikit, sehingga tidak banyak masyarakat Dusun Karanglo yang
menguasai lahan dalam jumlah yang luas. Luasan lahan ini selanjutnya
mempengaruhi strata seseorang dalam masyarakat, sehingga walaupun
berpengaruh tetapi karena luasan lahannya sempit, nilai dari uji regresi menjadi
lebih kecil jika dibandingkan Dusun Margajaya.
45
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, setiap masyarakat memiliki pola
penguasaan terhadap lahan. Mengingat bahwa penguasaan lahan masih menjadi
satu hal penting penentu stratifikasi, diharapkan pemerintah dapat lebih
memperhatikan kondisi seperti ini. Karena bukan tidak mungkin, beberapa tahun
ke depan penguasaan lahan semakin timpang. Hanya orang bergolongan tanah
luas saja yang dapat menguasai lahan, sehingga peran buruh tani semakin
termarginalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Murniatmo Gatut, Murianto Wiwoho, Krisnanto, Poliman, Suhatno. 1989. Pola
penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sajogyo P. 1985. Sosiologi pembangunan. Jakarta.
Setiawan I. 2006. Dinamika struktur dan kultur agraria petani pada berbagai zona
agroekosistem di Kecamatan Solokanjeruk, Kecamatan Nagreg dan
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bandung : Fakultas
Pertanian, Universitas Padjajaran.
Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A. 2009. Reforma agraria di bidang
pertanian : studi kasus perubahan struktur agraria dan diferensiasi
kesejahteraan komunitas pekebun di Lebak, Banten. Sodality [internet].
[Diunduh pada 18 Desember 2013].Vol.3 No.1:1-16. Tersedia pada
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5874/4539
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survei. Jakarta : LP3S.
Soekanto Soerjono. 1982. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y. 2008. Hubungan penguasaan lahan dan
pendapatan rumah tangga di pedesaan (kasus di Provinsi Jawa Tengah,
Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat). [internet]. [Diunduh pada 12
November 2013]. Tersedia pada
http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4035/3024.
Susanti A, Hidayat K, dan Sukesi K. 2013. Struktur penguasaan lahan pertanian
dan hubungan kerja agraris pada masyarakat Tengger (studi kasus di Dusun
Krajan, Desa Sapikerep, Kawasan pegunungan Tengger Lereng Atas). Jurnal
Habitat [internet. [Diunduh pada 6 Oktober 2013]. Vol. XXIV No.1. Tersedia
pada http://habitat.ub.ac.id/index.php/habitat/article/viewFile/99/99.
Suyanto, et al. 2005. Metode penelitian sosial. Jakarta : Kencana.
Swastika DKS, Djulin A, dan Ramli R. 2000. Struktur penguasaan lahan dan
pendapatan rumahtangga tani. [internet]. [Diunduh pada 3 Desember 2013].
Tersedia pada
http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4008/2998.\
Tjondronegoro, Soediono M.P. 1998. Keping-keping sosiologi dari pedesaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Wiradi G. 2009. Metode penelitian agraria. Dalam : Shohibuddin M, penyunting.
Metodologi studi agraria : karya terpilih Gunawan Wiradi. Bogor [ID] :
Sajogyo Institut. 348 hal.
Wiradi G, White B, Collier WL, Soentoro, Makali, dan Manning C.2009. Ranah
studi agraria. Dalam : Shohibuddin M, penyunting. Ranah studi agraria :
penguasaan tanah dan hubungan agraris. Yogyakarta [ID] : Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional. 355 hal.
Wiradi G, dan Manning C.1984. Dampak perubahan struktur ekonomi terhadap
struktur penguasaan lahan beberapa desa di DAS CIMANUK. J struktur dan
distribusi penguasaan lahan. 1:1-15.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kerangka sampling Dusun Karanglo
45 Supriyanto Laki-Laki
46 Daroh Laki-Laki
47 Kasid Laki-Laki
48 Taripin Laki-Laki
49 Sakhroni Laki-Laki
50 Udiono Laki-Laki
51 Wakijan Laki-Laki
52 Martopo Laki-Laki
53 Saryadi Laki-Laki
54 Waram Laki-Laki
55 Caman Laki-Laki
56 Dagmad Laki-Laki
57 Jono Laki-Laki
58 Kardi Laki-Laki
59 Rebo Laki-Laki
60 Kirman Laki-Laki
61 Parichin Laki-Laki
62 Kasmadi Laki-Laki
63 Noto Laki-Laki
64 Harjo Laki-Laki
65 Juli Laki-Laki
66 Wakijan Laki-Laki
No Nama Jenis Kelamin
1 Kasmari Laki-Laki
2 Sono Laki-Laki
3 Budi Santoso Laki-Laki
4 Imam Supaat Laki-Laki
5 Paijo Laki-Laki
6 Jani Laki-Laki
7 Supagi Laki-Laki
8 Warim Laki-Laki
9 Subekhi Laki-Laki
10 Sukarno Laki-Laki
11 Caman Laki-Laki
12 Kasmadi Laki-Laki
13 Sakwad Laki-Laki
14 Dagmad Laki-Laki
15 Nasori Laki-Laki
16 Karyo Laki-Laki
17 Rosidin Laki-Laki
18 Cahyono Laki-Laki
19 Rasyid Laki-Laki
20 Parikhin Laki-Laki
21 Satori Laki-Laki
22 Sukyad Laki-Laki
23 Wargo Laki-Laki
24 Mardi Laki-Laki
25 Sriniti Laki-Laki
26 Witno Laki-Laki
27 Rahayu Laki-Laki
28 Warto Laki-Laki
29 Sanadi Laki-Laki
30 Kasturi Laki-Laki
31 Dakir Laki-Laki
32 Ropai Laki-Laki
33 Dedy Laki-Laki
34 Sudarjo Laki-Laki
35 Dain Laki-Laki
36 Poniman Laki-Laki
37 Supan Laki-Laki
38 Slamet Laki-Laki
39 Taryono Laki-Laki
40 Rotipah Laki-Laki
41 Sakri Laki-Laki
42 Kayun Laki-Laki
43 Marno Laki-Laki
44 Rabun Laki-Laki
49
Lampiran 2 Kerangka sampling Dusun Margajaya
No Nama Jenis Kelamin
1 Tarjo Laki-Laki
2 Wacipto Laki-Laki
3 Maryoni Laki-Laki
4 Sudar Laki-Laki
5 Drajat Laki-Laki
6 Kasan Laki-Laki
7 Sar'an Laki-Laki
8 Jeni Laki-Laki
9 Karno Laki-Laki
10 Wijan Laki-Laki
11 Bawon Laki-Laki
12 Dasikin Laki-Laki
13 Ropi'i Laki-Laki
14 Sahroni Laki-Laki
15 Sutar Laki-Laki
16 Sukim Laki-Laki
17 Sadiman Laki-Laki
18 Waluyo Laki-Laki
19 M. Ali Laki-Laki
20 Suritno Laki-Laki
21 Sapuro Laki-Laki
22 Kartoni Laki-Laki
23 Wachidin Laki-Laki
24 Wanto Perempuan
25 Rohati Laki-Laki
26 Darmo Laki-Laki
27 Witro Laki-Laki
28 Kasmoro Laki-Laki
29 Nur Hidayah Perempuan
30 Sutri Laki-Laki
31 Daripin Laki-Laki
32 Rahmat Laki-Laki
33 Karmo Laki-Laki
34 Nasir Laki-Laki
35 Karyo Laki-Laki
36 Budi Laki-Laki
37 Amin Laki-Laki
38 Wanto Laki-Laki
39 Agus Laki-Laki
40 Eko Laki-Laki
41 Rasmo Laki-Laki
42 Wito Laki-Laki
43 Cahyono Laki-Laki
50
Lampiran 3 Jadwal pelaksanaan penelitian
Aktivitas Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
Proposal
Pengambilan
Data lapang
Pengolahan
dan analisis
data
Penulisan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
44 Nasikhi Laki-Laki
45 Yono Laki-Laki
46 Ratmo Laki-Laki
47 Tanto Laki-Laki
48 Ali Laki-Laki
49 Syam Laki-Laki
50 Dodo Laki-Laki
51 Anto Laki-Laki
52 Teguh Laki-Laki
53 Dairom Laki-Laki
54 Jenal Laki-Laki
55 Kosim Laki-Laki
51
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Salis Rizka Agung Putri. Penulis merupakan anak ketiga
dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Agus Nursidik dan Ibu Tukul Sulami.
Penulis lahir di Tegal pada tanggal 17 November 1992. Penulis menamatkan
sekolah di SD Negeri 3 Ujungrusi pada tahun 1998-2004, SMP Negeri 1
Adiwerna pada tahun 2004-2007, SMA Negeri 3 Slawi pada tahun 2007-2010.
Kemudian pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi
Bendahara Departemen KASOSKEMAH BEM FEMA 2011-2012. Selain itu
penulis juga pernah menjadi anggota bidang pengembangan masyarakat dalam
kepanitian SAMISAENA 2010-2011. Penulis juga aktif dalam kegiatan OMDA
Ikatan Mahasiswa Tegal. Dalam hal akademik, penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Komunikasi Massa selama dua semester pada tahun ajaran
2013/2014. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-
Dasar Komunikasi selama satu semester pada tahun ajaran 2013/2014.