Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi...
Transcript of Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi...
Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum
Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro
SITI MARYAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1429 H
“ Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami
Sorgum Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia
Secara In Vitro “
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada
Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
SITI MARYAM
103095029782
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1429
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Ya Rabbii, wahai yang memudahkan segala yang sukar
Wahai yang menyambung segala yang patah
Wahai yang menemani semua yang tersendiri
Wahai pengaman segala yang takut
Wahai penguat segala yang lemah
Wahai yang berkehendak atas segala kehidupan ini
Engkau Maha Tahu dan Maha Melihat
Bersihkanlah hati kami dari kesombongan dan nikmat keduniawiaan
Sesungguhnya ilmu yang Engkau miliki sangat luas
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan
yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air
hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka
sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?....
( QS: As-Sajadah: 27)
Skripsi ini kupersembahkan
untuk kedua orang tuaku
dan keluargaku yang sangat
ku sayangi dan ku hormati
Terima kasih ya Allah
Segala puji hanya Milik-MU
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi ini berjudul “Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum
Terhadap Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro” yang ditulis oleh Siti Maryam, NIM
103095029782 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang munaqosah Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tanggal 9 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
strata satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui :
Penguji 1 Penguji 2
DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud Dasumiati, M.Si NIP. 150 375 182 NIP. 150 293 237
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dra. Lydia Andini M, Si Dra. Nani Radiastuti M, Si NIP. 330001499 NIP. 150318610
Mengetahui:
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud NIP. 150 317956 NIP. 150 375 182
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR –
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 9 Juni 2008
Siti Maryam NIM. 103095029782
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menganugerahkan karunia dan nikmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI ini yang berjudul “ Pengaruh
Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum Terhadap Tingkat Kecernaan
Ruminansia Secara In Vitro “. Sholawat serta salam tercurah bagi baginda Nabi
Muhammad SAW, semoga kita semua dapat istiqomah dan tetap berada dijalannya
hingga akhir hayat nanti.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Pusat Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
Jakarta.
Dalam melaksanakan dan menyelesaikan skripsi ini, banyak yang telah
mendukung dan memberikan bantuan baik materi maupun moril. Untuk itu dalam
kesempatan kali ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan kasih sayang sepenuhnya
serta dukungan, baik berupa materi serta kekuatan jiwa.
2. Ibu Dra. Lydia Andini, M.Si selaku Pembimbing I yang telah sabar dan bijak
membimbing penulis mulai dari penelitian hingga berakhirnya skripsi ini.
3. Dra. Nani Radiastuti, M.Si selaku Pembimbing II yang telah sabar dalam
membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Ir. Suharyono, M. Rur. Sci., selaku Kepala Bidang Pertanian Puslitbang
Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN).
i
5. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
6. Ibu Dr. Lily Surayya Eka Putri. M. Env. Stud selaku ketua Program Studi Biologi.
7. Ibu Asih Kurniawati, M.Si, Ibu Titin, Bapak Teguh, Bapak Firsoni, Ibu nuni,
Bapak Gobel serta Bapak Dedi yang telah mengayomi dan membantu dalam
keberlangsungan praktek penelitian. Bapak Irawan yang telah memperkenalkan
BATAN ini kepada penulis mulai dari PKL hingga penelitian serta pihak-pihak
BATAN yang telah membantu proses penelitian.
8. Ukhti Isti’nava solmetku, yang memberikan tausyiah dan spiritnya agar tetap
sabar dan tegar menjalani proses kehidupan salah satunya PKL dan penelitian ini,
semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dalam jalinan kasih sayang-
Nya.Amiin
9. Ibu Drh Bintharti H, Ibu Reno F, M.Si, Ibu Dasumiati, M.Si serta Ibu Dr. Lily
Surayya Eka Putri. M. Env. Stud yang telah memberi arahan dalam perbaikan
skripsi ini. Bapak Hendra, M.Si dan pak Gun yang telah membantu proses
administrasi.
10. Rekan-rekan mahasiswa selama penelitian ini ; Fujiati A, M.Si, Mutia N, M.Si,
Usmaul H, Feri A, M.Si, Syaiful Bahri, M.Si, A Danil, M.Si. Rekan-rekan dari
UNPAD ( Lilis dkk), UNJ (Ati) dan IPB (Dimar dkk), serta teman-teman biologi
angkatan 2003 yang tidak disebutkan satu per satu, terima kasih atas
kebersamaannya selama ini.
11. Rekan-rekan, teman seperjuangan di Komisariat Dakwah Lembaga Dakwah
Kampus UIN Syahid.
ii
12. Murobbi tercinta beserta rekan-rekan Liqo (Jazakallah khairan katsiraa untuk do’a
dan motivasinya selama ini).
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu karena keterbatasan
ruang, tetapi penulis akan selalu mengingat kebaikan dan doanya selama ini.
Sudah sunnatullah, tak ada gading yang tak retak. Jika masih banyak
kekurangan, itu menandakan bahwa penulis adalah manusia biasa yang tak luput dari
khilaf dan kekurangan. Oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini
dapat memberikan sedikit pengetahuan baru dan dapat bermanfaat bagi Penulis
khususnya dan bagi Pembaca umumnya.
Jakarta, 9 Juni 2008
Penulis
iii
ABSTRAK
SITI MARYAM. Pengaruh Penambahan Starter Pada Fermentasi Jerami Sorgum
Terhadap Tingkat Kecernaan Ruminansia Secara In Vitro. Program studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2008.
Penelitian yang berjudul pengaruh penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum
terhadap tingkat kecernaan ruminansia telah dilakukan, menggunakan metode in vitro.
Starter (biofad) yang digunakan berasal dari mikroba rumen serta kolon sapi, yang
bersifat fermentatif. Perlakuan dibedakan berdasarkan penambahan berbagai konsentrasi
starter yaitu perlakuan A0 dengan konsentrasi starter 0%, perlakuan A1 dengan
konsentrasi starter 0,25 %, perlakuan A2 dengan konsentrasi starter 0,5 %, dan perlakuan
A3 dengan konsentrasi starter 0,75 %. Parameter yang diuji adalah produksi gas, KcBK
% (kecernaan bahan kering), KcBO % (kecernaan bahan organik), pH, VFA (volatil fatty
acid), NH3 (amonia), dan PMM (Produksi massa mikroba). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum tidak berpengaruh secara nyata
terhadap kecernaannya (F<0.05). Produksi gas tertinggi terdapat pada perlakuan A0
(23.29 ml/0.2 g BK), KcBK dan KcBO tertinggi pada perlakuan A1 (45.422 %) dan A3
(46.384 %), kisaran pH perlakuan adalah 7 sampai 7,11. Konsentrasi VFA tertinggi
terdapat pada perlakuan A2 (8.1 mg/100 ml), konsentrasi amonia (NH3) tertinggi pada
perlakuan A3 (23.8 mg/100 ml) dan produksi massa mikroba tertinggi terdapat pada
perlakuan A3 (0.115 g).
Kata kunci : Fermentasi jerami sorgum, In Vitro, Kecernaan, Starter (biofad)
iv
ABSRACT
SITI MARYAM. The effect of additional starter of sorgum stover fermentation into
ruminansia digestibility level by In Vitro. Bioloy Departement, Faculty of Science and
Technology, State Islamic University, Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
A research is about the effect of additional starter of sorghum stover fermentation into
ruminansia digestibility level with methode by in vitro has done. The starter (biofad) was
isolated from rumen microb and cow colon, with fermentatif caracteristic. The treatment
different of adding with many strater concentrations is A0 treatment with 0 % starter
concentration, A1 treatment with 0,25 % starter concentration, A2 treatment with 0,5 %
starter concentrations and A3 treatment with 0,75 % starter concentrations. The
parameter were gas production, DMD % (Dry matter digestibility), OMD % (Organic
matter digestibility), pH, Volatile Fatty Acid (VFA), amonia (NH3) and PMM (Microbial
biomass production). Research of the experiment indicated that additional starter of
sorghum stover fermentation was not significant of digestibility (F<0,05). The highest
gas production happened of A0 treatment (23.29 ml/0.2 g BK), the highest KcBK and
KcBO happened of A1 and A3 treatment (45.422 % and A3 46.384 %), pH treatment
range is between 7 to 7,11. The highest VFA concentration is happened of A2 treatment
(8.1 mg/100 ml), the highest amonia concentration is happened of A3 treatment (23.8
mg/100 ml) and the highest microbial biomass production is happened of A3 treatment
(0.115 g).
Keywords : Sorgum stover fermentation, in vitro, digestibility, Starter (biofad).
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
PENGESAHAN UJIAN
PERNYATAAN
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3. Hipotesis.................................................................................................. 3
1.4.
Tujuan Penelitian.....................................................................................
4
1.5.
Manfaat Penelitian...................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pakan Ternak .......................................................................................... 5
2.2. Tanaman Sorgum ................................................................................... 7
2.3. Jerami Sorgum ....................................................................................... 8
2.4. Fermentasi Jerami sorgum ..................................................................... 10
2.5. Mikroba Pendegradasi Serat (biofad)...................................................... 12
vi
Halaman
2.6. Hewan Ruminansia ................................................................................... 13
2.7. Pengukuran Nilai Kecernaan dan Produksi Gas Secara In Vitro ............ 15
2.8. Produksi Massa Mikroba......................................................................... 18
2.9. Volatile Fatty Acid (VFA) ...................................................................... 19
2.10 Amonia (NH3) ........................................................................................ 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................ 22
3.2. Bahan dan Alat ...................................................................................... 22
3.2.1. Bahan ................................................................................................ 22
3.2.2. Alat ................................................................................................... 22
3.3. Cara Kerja ............................................................................................... 23
3.3.1. Fermentasi Jerami sorgum ............................................................... 23
3.3.2. Penentuan Bahan Kering dan Bahan Organik .................................. 23
3.3.2.1. Bahan Kering.............................................................................. 23
3.3.2.2. Bahan Organik............................................................................ 24
3.3.3. Produksi Gas Secara In Vitro .............................................................. 25
3.3.3.1. Pengambilan Cairan Rumen........................................................ 25
3.3.3.2. Pengukuran Produksi Gas ........................................................... 25
3.3.4. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KcBK %) dan
Kecernaan Bahan Organik (KcBO %) ................................................. 27
3.3.5. Produksi Massa mikroba ...................................................................... 29
3.3.6. Pengukuran pH, NH3 dan VFA ............................................................ 29
vii
Halaman
3.3.6.1. Pengukuran pH sampel hasil produksi gas........................................... 29
3.3.6.2. Pengukuaran NH3 sampel hasil produksi gas.............................. 29
3.3.6.3. Pengukuran VFA sampel hasil produksi gas .............................. 30
3.4. Analisis Data ........................................................................................... 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Produksi Gas Secara In Vitro ................................................................ 32
4.2. Kecernaan Bahan Kering (KcBK %)
dan Kecernaan bahan Organik (KcBO %) ........................................... 35
4.3.
Produksi Massa Mikroba.......................................................................
39
4.4.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai pH, NH3 dan VFA .......................
41
4.4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap pH sampel hasil produksi gas............ 41
4.4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap konsentrasi NH3
sampel hasil produksi gas.................................................................. 43
4.4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap konsentrasi VFA sampel hasil produksi gas ................................................................. 45
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan................................................................................ ............ 48
5.2. Saran...................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 49
LAMPIRAN .......................................................................................................... 54
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan sorgum
(Hosamani dkk, 2003; Soeranto, 2005) ………………………………... 9
Tabel 2. Nilai BK (%) dan BO (%) jerami sorgum
setelah proses fermentasi selama 21 hari.……………………………… 37
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sorgum bicolor L Moench (Soeranto, 2005)...................................... 8
Gambar 2. Jerami sorgum yang telah dicacah ………………………………… 10
Gambar 3. Fermentasi jerami sorgum setelah inkubasi 21 hari ……. …………. 11
Gambar 4. Sistem pencernaan hewan ruminansia …………………………….. 15
Gambar 5. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi
setelah inkubasi 24 jam secara In Vitro ……………………………. 32
Gambar 6. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi
selama inkubasi 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 24 jam.……………………… 34
Gambar 7. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO jerami sorgum
fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.………………………… 36
Gambar
8. Produksi massa mikroba (g)..............................................................
40
Gambar
9. Hasil pengukuran pH perlakuan.......................................................
41
Gambar 10. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi amonia (mg/100 ml)..... 43
Gambar 11. Pengaruh perlakuan terhadap Produksi VFA................................. 45
Gambar 12.
Gelas Syringe dengan skala 100 ml................................................
68
Gambar 13.
Inkubator………………………………………………………….
68
Gambar 14.
Pemanas serat (NDF Heater) merk Gerhardt 176600 Hy 16/19
dan penyaring Vakum..................................................................... 68
Gambar 15. Labu destilat VFA dan Sentrifus merk Himac……………………. 68
Gambar 16. Cawan Conway dan buret titrasi………………………………….. 69
Gambar 17. Pengambilan cairan rumen dan hewan percobaan………………… 69
Gambar 18. Hasil isolasi mikroba biofad dengan
2, 3 dan 8 kali pengenceran………………………………………. 69
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Neutral Destilat Solution (NDS).................................................... 54
Lampiran 2. Komposisi media gas tes ………………………………………... 55
Lampiran 3. Kandungan pH, Kadar Air, Bahan Kering dan Bahan Organik
jerami sorgum setelah fermentasi selama 21 hari........................... 56
Lampiran 4. Analisis Statistik Parameter Yang Diukur
Dengan Menggunakan RAK (Rancangan Acak Kelompok)........... 57
Lampiran 4.1. Analisis statistik Produksi Gas .................................................... 57
Lampiran 4.2. Analisis statistik kecernaan bahan kering …………………....... 58
Lampiran 4.3. Analisis statistik kecernaan bahan organik ………….. ……....... 59
Lampiran 4.4. Analisis statistik VFA …………………………………………. 59
Lampiran 4.5. Analisis statistik NH3 .................................................................. 60
Lampiran 4.6. Analisis statistik pH ................................................................... 60
Lampiran 4.7. Analisis statistik Produksi Massa Mikroba ................................ 61
Lampiran 5. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam
tiap perlakuan pada ulangan I ........................................................ 62
Lampiran 6. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam
tiap perlakuan pada ulangan II........................................................ 63
Lampiran 7. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam
tiap perlakuan pada ulangan III...................................................... 64
Lampiran 8. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam
tiap perlakuan pada ulangan I......................................................... 65
Lampiran 9. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam
tiap perlakuan pada ulangan II........................................................ 65
Lampiran 10. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan III...................................................... 65
xi
Halaman
Lampiran 11. Pengukuran produksi massa mikroba perlakuan tiap ulangan..... 66
Lampiran 12. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan
untuk ulangan I.............................................................................. 66
Lampiran 13. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan
untuk ulangan II............................................................................. 66
Lampiran 14. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan
untuk ulangan III............................................................................ 67
Lampiran 15. Gambar alat-alat penelitian.......................................................... 68
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Limbah yang ada di Indonesia sangat banyak dan beragam. Salah satu
limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah pertanian. Limbah pertanian
merupakan kumpulan dari tanaman-tanaman yang telah mengalami panen dan
sisa - sisa hasil panen. Limbah pertanian memiliki sifat yang dapat diperbaharui
baik melalui perubahan secara kimia ataupun secara biokimia yang umumnya
merupakan proses fermentasi biologis melalui perombakan secara mikrobiologi
(Suwadji, 1999).
Limbah pertanian merupakan sumber pakan basal ternak ruminansia yang
potensial untuk mendukung perkembangan sektor peternakan. Pemanfaatan
limbah pertanian akan memberikan dua keuntungan yaitu terwujudnya pertanian
yang bersih lingkungan serta pemanfaatan sebagai pakan ternak (Sugoro dkk,
2003). Upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktivitas ternak
dapat dilakukan dengan mencari sumber pakan baru atau alternatif baru. Salah
satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan adalah dari jenis tanaman sorgum
(Sorghum bicolor L Moench) yang dapat digunakan sebagai pakan ternak
ruminansia (Ardian, 2004).
Sorgum sebagai salah satu komoditi pertanian memiliki potensi untuk
dikembangkan dan dibudidayakan pada daerah kering di Indonesia, karena
tanaman sorgum memiliki sifat tahan kekeringan, tahan terhadap hama dan
penyakit. Sorgum banyak ditanam di Indonesia khususnya di Jawa, NTB dan
1
NTT. Di beberapa negara maju sorgum digunakan sebagai bahan pangan, pakan
ternak, dan bahan baku industri. Batang dan daun sorgum sebagai limbah
pertanian dapat dijadikan sumber pakan ternak ruminansia (Soeranro, 2001).
Namun jerami sorgum (batang dan daun sorgun) yang digunakan sebagai
sumber pakan ternak mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi, sehingga
akan membatasi pemanfaatannya oleh ternak. Untuk mengatasi masalah tersebut
salah satunya dilakukan proses pembuatan silase, yaitu proses fermentasi jerami
sorgum yang memanfaatkan mikroba sehingga dapat memudahkan
pendegradasian serat serta meningkatkan daya cerna. Fermentasi jerami sorgum
diharapkan dapat disimpan tanpa menurunkan kualitas ataupun nilai gizinya
sehingga dapat digunakan pada musim kemarau (Salim dkk, 2002).
Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi jerami sorgum adalah
mikroba pendegradasi bahan organik yaitu starter biofad (suatu probiotik yang
diproduksi secara komersial) atau mikroba yang bisa diisolasi dari rumen. Isolat
mikroba yang digunakan sebagai inokulum atau bibit untuk perlakuan silase
adalah kultur campuran karena sorgum merupakan suatu bahan yang komplek.
Dalam hal ini, diperlukan proses metabolisme yang cukup panjang untuk
memanfaatkan kandungan jerami sorgum atau memerlukan banyak bakteri dengan
hubungan sinergisme sehingga serat kasar jerami sorgum dapat berkurang dan
meningkatkan kadar nitrogen (Sugoro dkk, 2003).
Untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba baik dalam proses
fermentasi maupun di dalam rumen dilakukan penambahan sumber nitrogen
berupa urea, hal ini ditujukan untuk meningkatkan kadar nitrogen di dalam silase.
Begitu juga dengan penambahan starter (mikroba) dapat mengoptimal proses
2
pendegradasi kandungan yang ada di dalam jerami sorgum sehingga mudah
dicerna oleh ternak. Pengukuran tingkat kecernaan pada jerami sorgum yang
difermentasi dengan penambahan starter, dapat diukur secara in vitro yaitu dengan
mensimulasi sistem yang ada di dalam rumen. Metode in vitro pada umumnya
digunakan untuk memprediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan
memprediksi nilai nutrisi pakan (Kurniawati, 2007). Laju fermentasi pakan dalam
rumen dapat digambarkan dengan pengukuran kadar produksi volatile fatty acid
(VFA), amonia (NH3), produksi gas, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan
organik, pH, dan Produksi Massa Mikroba.
Diharapkan dari perlakuan ini dapat mentransformasikan jerami sorgum
menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna, sehingga menjadikan kualitas jerami
sorgum sebagai pakan basal ternak ruminansia menjadi lebih baik.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
tingkat kecernaan ruminansia dengan penambahan starter pada jerami sorgum
fermentasi sebagai pakan basal ternak ruminansia melalui metode in vitro.
1.3. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya kenaikan tingkat kecernaan
ruminansia dengan penambahan starter pada jerami sorgum fermentasi sebagai
pakan basal ternak ruminansia melalui metode in vitro.
3
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan starter
pada fermentasi jerami sorgum terhadap tingkat kecernaan ruminansia serta untuk
mengetahui metode pengawetan pakan basal ternak ruminansia dengan proses
fermentasi yang disimpan untuk musim kemarau.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi mengenai
metode pengolahan pakan ternak ruminansia yaitu berupa penambahan starter
pada fermentasi jerami sorgum yang dapat digunakan oleh masyarakat terutama
bagi usaha ternak.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pakan Ternak
Pakan ternak adalah bahan yang dimakan dan dicerna oleh hewan ternak
yang mampu menyajikan hara dan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh,
pertumbuhan, penggemukan, reproduksi serta laktasi. Semua jenis ternak
membutuhkan 6 nutrien esensial yang terdiri dari air, protein, karbohidrat, lemak,
mineral dan vitamin (Srigandono, 1998).
Pakan ternak terdiri atas hijauan dan konsentrat yang dapat diberikan
kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksinya
(Reksohadiprodjo, 1988). Hijauan diartikan sebagai bahan pakan ternak yang
kandungan serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif tinggi. Hijauan banyak
mengandung karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pati dan fruktosa yang
sangat berperan dalam menghasilkan energi. Secara umum penggolongan hijauan
pakan ternak adalah sebagai berikut :
1. Rumput–rumputan
Rumuput-rumputan merupakan hijauan segar yang sangat disukai
ternak, mudah diperoleh karena memiliki kemampuan tumbuh tinggi, terutama
di daerah tropis meskipun sering dipotong/disengut langsung oleh ternak.
Rumput-rumputan terdiri atas : a). Rumput alam, rumput yang diperoleh dari
alam; b). Rumput kultur, Rumput jenis ini memang sengaja ditanam dan
pelihara dengan tambahan pupuk serta pemangkasan pada waktu–waktu
tertentu.
5
2. Leguminosa
Leguminosa merupakan jenis kacang-kacangan yang bisa diperoleh
dari alam maupun diberikan secara langsung. Jenis-jenis leguminosa terdiri
atas : a). Leguminosa pohon; b). Leguminosa semak; c). Leguminosa
merambat.
3. Limbah Pertanian
Bahan yang tergolong limbah pertanian antara lain jerami padi, daun
jagung, daun kacang-kacangan, daun ubi jalar, daun sorgum dan pucuk tebu.
Bahan-bahan yang tergolong pakan konsentrat adalah bahan pakan yang
kandungan serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif rendah. Bahan pakan
konsentrat diantaranya dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, tepung
jagung, tepung gaplek, onggok, ampas tahu dan ampas bir (Reksohadiprodjo,
1988).
Pakan juga dapat dibedakan menjadi pakan air dan pakan kering. Pakan air
didapatkan dari air minum, air yang terkandung di dalam bahan pakan, atau
berasal dari air metabolik sebagai hasil oksidasi dan sintesis molekul-molekul di
dalam tubuh. Pakan kering mengandung sejumlah kecil air (kurang dari 20 %),
terdiri dari bahan organik yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan
vitamin; serta bahan anorganik berupa mineral dan abu (Tillman dkk, 1989).
Teknologi pakan ternak ruminansia meliputi kegiatan pengolahan bahan
pakan yang bertujuan meningkatkan kualitas nutrisi, meningkatkan daya cerna
dan memperpanjang masa simpan. Sering juga dilakukan dengan tujuan untuk
mengubah limbah pertanian yang kurang berguna menjadi produk yang berdaya
guna (Ikhsan, 2004). Usaha pengembangan pakan lokal harus terus dilakukan
6
sebagai sumber devisa negara. Selain itu, pakan ternak merupakan faktor penentu
keberhasilan dalam peningkatan produksi peternakan. Oleh karena itu perlu
diupayakan perbaikan gizi pakan secara kualitas maupun kuantitas dan tersedia
secara kontinu (Yuwanta, 2000).
2.2. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L Moench)
Sorgum (Sorghum bicolor L Moench ) adalah tanaman serbaguna. Sorgum
didefinisikan sebagai “gandum berbuluh” dimana merupakan tanaman serealia
yang potensial dikembangkan di Indonesia sebagai bahan pangan dan pakan
ternak (Sirappa, 2003). Tanaman sorgum termasuk ke dalam famili Gramineae
yang berasal dari wilayah Timur Laut Afrika lalu menyebar ke India, Italia, Cina,
Asia Barat Daya, Eropa Selatan dan Amerika. (Munasik dkk, 1998).
Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia
khususnya di daerah Jawa, NTB dan NTT. Tanaman sorgum di pulau Jawa
dikenal dengan nama Cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang
sari dengan tanaman pangan lainnya. Produksi sorgum di Indonesia masih sangat
rendah, bahkan secara umum produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar
(Soeranto, 2005).
Sebagai bahan pangan alternatif, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang
baik. Di negara maju biji sorgum digunakan sebagai pakan ternak unggas sedang
batang dan daun untuk ternak ruminansia. Biji sorgum juga merupakan bahan
baku industri seperti industri etanol, bir, sirup, lem, cat, dan pati termodifikasi.
Selain produktivitas tinggi, sorgum juga memiliki sifat keunggulan lain seperti
adaptasi luas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, dan lebih toleran pada
7
kondisi kekeringan dibandingkan tanaman pangan lain. Oleh karena itu, sorgum
memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan dan dikembangkan pada
daerah–daerah kering di Indonesia (BATAN, 2005).
Sorgum memiliki asam-asam amino esensial siap pakai dan berbagai
bahan yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan ruminansia. Namun,
perkembangan produksi sorgum nasional belum masuk dalam statistik pertanian
dan menjadi prioritas utama. Karenanya, sorgum sebagai hijauan pakan
berpeluang besar untuk dikembangkan dan ditingkatkan pemanfaatannya
(Sirappa, 2003).
Gambar 1. Sorghum bicolor L Moench (Soeranto, 2005)
2.3. Jerami Sorgum
Jerami sorgum adalah tanaman sorgum yang telah diambil buahnya
(gabahnya), sehingga hanya tersisa batang dan daunnya yang merupakan limbah
pertanian serta belum sepenuhnya dimanfaatkan karena adanya faktor teknis dan
ekonomis. Oleh karenanya, jerami sorgum dimanfaatkan sebagai bahan pakan
8
hewan ruminansia. Jerami merupakan hijauan kering yang memiliki kandungan
serat kasar tinggi, lebih dari 18 % seperti pada jerami padi, jerami gandum, jerami
sorgum, rumput kering, sekam dan kulit biji polongan (Delaval, 2006). Hanya
sebagian kecil petani menggunakan jerami sebagai pakan ternak alternatif pada
musim kering karena sulitnya mendapatkan hijauan.
Hijauan diartikan sebagai bahan pakan yang memiliki kandungan serat
yang tinggi dan sulit dicerna oleh hewan selain ruminansia. Hijauan dapat berupa
hijauan basah di padang penggembalaan (pasture), hijauan kering (hay) atau
hijauan yang difermentasi (silase/silage). Hijauan basah memiliki kandungan serat
kasar yang rendah. Hijauan basah adalah semua tanaman yang diberikan secara
segar seperti rumput alam (rumput benggala, gajah, raja, dan setaria) dan tanaman
leguminosa (akasia, glirisidia, kaliandra, lamtoro dan turi) (Ranjhan, 1993 dan
Siregar, 1995).
Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan sorgum (Hosamani dkk, 2003;
Soeranto, 2005)
Nutrisi Nutrisi
Bahan Kering (BK) 91.00% Ca 28 /100 mg
Bahan rganik (BO) 84.89% Fe 4.4 /100 mg
Abu 15.11% P 287 /100 mg
Serat Kasar (SK) 24.25% Kalori 332 /100 mg
Protein Kasar (PK) 11.80% Protein 11 /100 mg
Ekstrak Eter (EE) 3.62% Karbohidrat 73 /100 mg Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 45.22% Lemak 33 /100 mg
Neutral Detergent Fibre (NDF) 66.05% Vit B1
Acid Detergent Fibre (ADF) 40.97%
Selulosa 29.52%
Hemiselulosa 28.08%
Sumber : Hosamani dkk, 2003 Sumber : Soeranto, 2005
9
Hijauan kering tidak hanya memberikan rasa kenyang (bulky) tetapi juga
memiliki daya cerna dan kandungan protein rendah. Semua bahan pakan yang
dipotong-potong atau dicacah-cacah dan difermentasikan dikenal dengan silase.
Silase memiliki banyak kandungan nitrogen bila dibandingkan dengan hijauan
segar dan hijauan kering (Siregar, 1995; widati dan widalestari, 1996).
Gambar 2. Jerami sorgum yang telah dicacah
2.4. Fermentasi Jerami Sorgum
Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara mengawetkan bahan
organik antara lain limbah hijauan pertanian. Berbagai macam cara fermentasi,
yang dilakukan pada limbah hijauan pertanian ini adalah fermentasi asam laktat
atau yang dikenal dengan proses ensilasi menghasilkan produk silase hijauan
(Erowati, 2003). Proses fermentasi yang berjalan baik akan menghasilkan silase
yang baik pula. Secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: a. Warna masih hijau atau kecoklatan
b.
Rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak
c.
Nilai pH rendah
10
d. Tekstur masih jelas, tidak menggupal, tidak berjamur dan tidak
berlendir.
Gambar 3. Fermentasi jerami sorgum setelah inkubasi 21 hari
Tingkat keberhasilan pembuatan silase pada dasarnya dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu : a). Populasi bakteri asam laktat, b). Sifat fisik dan kimia
hijauan, c). Lingkungan (Siregar, 1996).
Tujuan pembuatan silase yaitu berawal dari pengawetan hijauan yang
berlimpah di musim hujan, untuk digunakan dimusim paceklik atau kapan saja
dibutuhkan (Parakkasih, 1995). Hijauan yang melebihi kebutuhan dan melimpah
di musim hujan jika dibiarkan di udara terbuka akan terjadi penurunan nilai gizi
yang disebabkan mikroba aerob. Oleh karena itu, hijauan perlu diawetkan dengan
pembuatan silase. Proses fermentasi dalam pembuatan silase dibantu oleh mikroba
dalam kondisi anaerob yang mengubah karbohidrat atau gula tanaman menjadi
asam laktat oleh Lactobacillus sp. Silase dapat menekan proses aktivitas bakteri
pembusuk yang akan menurunkan mutu hijauan sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lama. Proses fermentasi jerami sorgum diharapkan sama dengan
11
proses fermentasi dalam rumen (anaerob), sehingga dapat diketahui pengaruh dan
perubahan degradabilitas jerami sorgum bagi ternak. (Ikhsan, 2004).
2.5. Mikroba Pendegradasi Serat (biofad)
Dewasa ini telah berkembang beberapa perlakuan biologi untuk pakan
ternak ruminansia menggunakan probiotik yang diproduksi secara komersial,
salah satunya biofad. Biofad merupakan starter mikroba yang berasal dari mikroba
rumen dan kolon sapi, mikroba yang terkandung adalah mikroba aerob dan
fakultatif anaerob yang mesophilik dan termophilik. Pada saat awal yang
berkembang adalah mikroba aerobik disusul mikroba anaerobik. Pertumbuhan
mikroba membutuhkan nitrogen (N) sehingga pada fermentasi perlu penambahan
N (urea, misalnya), membutuhkan kadar air tertentu (40 % - 50 %), dan
temperatur tertentu pada 60 – 70°C (Utomo, 2004).
Biofad ini kaya akan mikroba pencerna bahan organik, dapat
meningkatkan proses dekomposisi, nilai kompos menjadi pupuk organik lebih
sempurna, meningkatkan kesuburan serta meningkatkan daya dukung tanah.
Selain itu biofad ini juga dapat meningkatkan efisiensi cerna serta menyebabkan
kotoran ternak tidak berbau. Berdasarkan konsentrasi yang tercantum dalam label
komposisi biofad, penggunaan biofad untuk sapi atau kerbau antara 0 % - 0,8 %.
Pada kondisi fermentasi yang diberikan, mikroba harus mampu
menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki secara cepat dan hasil yang
besar. Sifat unggul yang ada harus dapat dipertahankan, sehingga proses
fermentasi bisa terlaksana dengan baik (Hidayat, 2007).
12
Dari hasil penelitian sebelumnya, pemakaian biofad dapat meningkatkan
PK (Protein Kasar) jerami dari 4,4 % menjadi 7,14 %. Meningkatkan kecernaan
bahan kering dari 45,63 % menjadi 46,85 % serta meningkatkan bahan organik
dari 36,39 % menjadi 41,61 % (Jauhari, 1998 dalam Kurniawati, 2007).
2.6. Hewan Ruminansia
Hewan ruminansia merupakan hewan poligastrik, yakni hewan yang
memiliki struktur lambung kompleks berupa rumen/perut handuk, retikulum/perut
jala, omasum/perut buku, dan abomasum/perut kelenjar (Cullison, 2006).
Ruminansia dapat mencerna pakan kasar dan memiliki kemampuan dalam
degradasi serat (Hatmono dan Hastoro, 1997). Hewan ruminansia menggunakan
lidah untuk menarik dan memotong rumput (prehensi). Rumput dikunyah
(mastikasi) sebentar sebelum ditelan, dicampur dengan saliva (salivasi) di dalam
mulut untuk melumasinya. Pakan itu kemudian bergerak ke esofagus menuju
rumen (ruang fermentasi) untuk dihaluskan (deglusisi), setelah dihaluskan pakan
diruminasi yaitu mengalami regurgitasi, resalivasi dan remastikasi. Kemudian
menuju retikulum (waterbag), omasum (berlapis-lapis), abomasum (perut sejati),
usus halus, cecum, usus besar dan anus (Delaval, 2006).
Lambung ruminansia terdiri dari rumen, retikulum, omasum dan
abomasum, dengan berat masing-masing pada ternak dewasa kurang lebih 80%,
5%, 7% dan 7% dari keseluruhan berat perut ternak (Arora, 1989). Rumen
merupakan tempat dimana makanan dicerna secara fermentatif yang di dalamnya
terdapat sejumlah mikroba anaerob. Jenis mikroba rumen secara garis besar
adalah bakteri, protozoa dan kapang dengan jumlah populasi terdiri dari 1010
13
bakteri/ml cairan rumen, 106 ciliate protozoa/ml cairan rumen dan 106 fungi/ml
cairan rumen (Dehority, 1998). Mikroba rumen memliki peran penting karena
pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi menjadi produk metabolis
yang sederhana untuk dimanfaatkan oleh mikroba yaitu (NH3) sebagai sumber N
dan Volatile fatty acids (VFA) yaitu antara lain asam lemak asetat, propionat dan
butirat sebagai sumber energi yang digunakan oleh ternak ruminansia (Ørskov &
Ryle, 1990).
Rumen berperan penting bagi ruminansia, berupa reservior yang selalu
terisi banyak massa pakan (digesta). Rumen mampu menampung + 100-300 L
(ruminansia besar) dan + 4-10 L (ruminansia kecil) (Ogimoto dan Imai,
1981dalam Nurvianty, 2006) bahan pakan halus, atau sekitar 53% dari total bahan
pakan yang ada di dalam saluran pencernaan ruminansia. Rumen mengandung +
85% cairan dan terdapat dalam dua bagian. Bagian bawah merupakan tempat
pakan halus dalam suspensi dan cair, sedangkan bagian atas untuk pakan kasar
dan padat (bolus) (Delaval, 2006).
Omasum merupakan tempat penyaringan partikel-partikel besar (serat
kasar tidak dapat masuk ke dalamnya), penyerapan air (30-60%), asam-asam
lemak mudah menguap (VFA), mineral dan nitrogen (Delaval, 2006). Abomasum
merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan makanan secara kimiawi karena
adanya sekresi getah lambung. Abomasum juga mengatur aliran digesta (Arora,
1989). Bahan pakan dari abomasum menuju usus halus kemudian menuju usus
besar (Delaval, 2006).
14
Gambar 4. Sistem pencernaan hewan ruminansia (Cumming, 2003)
2.7. Pengukuran Nilai Kecernaan dan Produksi Gas secara In Vitro
Nilai kecernaan pakan adalah evaluasi dan pengukuran nilai kecernaan
(digestibility) pakan. Pada dasarnya pengukuran nilai kecernaan adalah usaha
penentuan jumlah zat-zat makanan dari pakan yang dimakan dan tidak keluar
bersama feses dalam artian bahwa telah diabsorbsi di dalam saluran pencernaan
(Lambourne, 1974 dalam Tangdilintin FK, 1984).
Penelitian daya cerna, khususnya pada hewan ruminansia dapat dilakukan
secara langsung atau tidak langsung. Metode in vivo, in sacco dan in vitro
merupakan teknik pengukuran nilai kecernaan secara langsung. Pengukuran nilai
kecernaan tidak langsung dapat menggunakan radioisotop. Teknik in vivo (koleksi
total) dilakukan dengan mengukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan banyaknya
feses yang dikeluarkan oleh ternak dalam satu hari. Metode in sacco merupakan
15
teknik pengukuran nilai kecernaan menggunakan kantung nilon (Tilley dan Terry,
1963). Metode in vitro pada prinsipnya adalah suatu teknik simulasi keadaan
lingkungan rumen sebenarnya dengan menginkubasi cairan rumen pada media
buffer secara anaerob pada suhu 390C dengan variasi periode inkubasi. Sekarang
ini umumnya teknik in vitro yang digunakan adalah :
1. Metode kecernaan 2 fase (Tilley dan Terry, 1963)
2. Modifikasi kecernaan 2 fase (Goering dan Van Soest, 1970)
3. Produksi gas metode Hohenheim (Menke et al., 1979).
Metode in vitro dapat digunakan untuk mempelajari aktivitas mikroba
rumen tanpa mempengaruhi hewan percobaan (Krishnamoorthy, 2001).
Keberhasilan metode in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan
rumen, kontrol suhu, ada tidaknya gangguan terhadap proses fermentasi
khususnya pada larutan buffer, variasi waktu, dan metode analisis kimia yang
digunakan (Scheneider dan Flatt, 1975).
Salah satu pengukuran yang dapat diperoleh dari metode in vitro adalah
produksi gas. Produksi gas merupakan indikasi adanya aktifitas metabolisme
mikroba rumen. Produksi gas secara akurat menggambarkan proses fermentasi
substrat pakan menjadi produk berupa VFA dan biomassa mikroba rumen
(Blummel dan rskov, 1993). Produksi gas yang tinggi menunjukkan aktivitas
mikroba dalam rumen dan mencerminkan kualitas pakan. Produksi gas akan
mencapai puncak pada inkubasi 24 jam pertama, selanjutnya akan mengalami
penurunan hingga 96 jam dan akhirnya mencapai nol. Hal semacam ini terjadi
untuk semua jenis pakan oleh karena semakin lama jenis pakan dalam rumen
semakin berkurang sumber bahan organik yang dimanfaatkan oleh mikroba untuk
16
memproduksi gas (Ella dkk, 1997). Hasil produksi gas memang tidak memiliki
manfaat bagi ternak namun pengukuran produksi gas secara in vitro menunjukkan
aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan. Gas yang terbentuk
merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan organik (BO) menjadi VFA
selebihnya berupa CO2 dan CH4 (Menke et al., 1979).
Dua model in vitro produksi gas yang berkembang saat ini adalah dengan
menggunakan syiringe glass berskala dan dengan menggunakan botol serum.
Prinsip kerja in vitro produksi gas dengan menggunakan syringe glass adalah gas
yang terbentuk selama inkubasi akan mendorong piston ke atas, sehingga volume
gas dapat dibaca pada skala yang terdapat pada dinding syringe. Perbedaan antara
metode ini dengan metode pemakaian botol serum adalah gas yang terbentuk pada
metode botol serum akan mengisi ruang kosong pada bagian atas botol, volume
diukur dengan menggunakan syringe 10 ml (Kurniawati, 2007).
Sumber nitrogen yang penting dipergunakan dalam sistim in vitro ini adalah
sumber nitrogen seperti urea, ammonium sulfat, atau garam ammonium lain yang
dapat dipergunakan oleh mikroba rumen. Larutan mineral ditambahkan sebagai
pengganti saliva untuk memberikan fungsi buffer di dalam sistem in vitro. Sumber
kultur campuran berbagai organisme untuk sistem in vitro diperoleh dengan
menyaring cairan rumen (Arora, 1989). Cairan dari hasil pengukuran produksi gas
dilarutkan dalam larutan Neutral Detergent Solutio (NDS) dan digunakan untuk
mengukur nilai KcBK dan KcBO.
17
2.8. Produksi Massa Mikroba
Massa mikroba merupakan indikasi dari banyaknya jumlah mikroba yang
terdapat di dalam cairan rumen, dimana mikroba tersebut berperan dalam
mendegradasi pakan. Biomassa mikroba merupakan pasokan protein untuk ternak
dimana mempunyai hubungan yang erat terhadap bahan organik terfermentasi di
dalam rumen dan umumnya diekspresikan sebagai g N mikroba/kg bahan organik
terfermentasi di dalam rumen (ARC, 1984 dalam Kurniawan, 2005).
Van Soest (1976) mengembangkan suatu sistem analisis detergen yang
membagi bahan hijauan berserat ke dalam kelompok sebagai berikut : bahan larut
dalam Detergen Neutral (Neutral Detergen Solubles) terdiri dari isi sel tanaman
(protein, lemak, serta karbohidrat yang mudah larut seperti gula dan pati) serta
mikroba. Residu detergen neutral (NDS) atau serat terdiri dari dinding sel
tanaman (selulosa dan karbohidrat) yang tidak dapat dicerna. Neutral Detergen
Solution (NDS) merupakan larutan yang berfungsi melisiskan dan mencerna
semua mikroba serta kandungan lain yang dapat dicerna serta meninggalkan
residu dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna. Hasil dari ekstraksi ini dapat
digunakan untruk menduga produksi massa mikroba yang terjadi karena di
dapatkan residu terdegradasi asli yang tidak mengandung mikroba, sehingga
melalui pengurangan residu terdegradasi semu yang masih mengandung mikroba
dengan residu terdegradasi asli akan didapatkan produksi massa mikroba
(Blummel dan rckov, 1993).
18
2.9. Volatile Fatty Acid (VFA )
Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak
ruminansia yang dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov
dan Ryle, 1990). Karbohidrat sederhana dan kompleks (serat) dicerna oleh
mikroba rumen dan dirubah menjadi Volatile Fatty Acid (VFA). Pemecahan
karbohidrat menjadi VFA terdiri dari 2 tahap : 1). Hidrolisis ekstraseuler dari
karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa, pektin) menjadi oligosakarida
rantai pendek terutama disakarida (selobiosa, maltosa, pentosa) dan gula-gula
sederhana. 2). Pemecahan oligosakarida dan gula-gula sederhana menjadi VFA
oleh aktifitas enzim intraseluler (Fapet_IPB, 2005)..
Komposisi Volatile Fatty Acid (VFA) terbanyak di dalam cairan rumen
adalah asam asetat, propionat dan butirat sedangkan yang dalam jumlah kecil
adalah asam format, isobutirat, valerat, isovalerat dan kaproat. Pemecahan protein
oleh bakteri juga menghasilkan VFA yang terdapat dalam jumlah kecil (fapet/ipb,
2005). Pada saat pakan dimakan dalam jumlah banyak, bentuk asam asetat
mencapai (60% - 70%), propionat (15%- 20%) dan asam butirat (5%-15%). VFA
diabsorbsi dari rumen ke dalam aliran darah dan dialirkan ke dalam tubuh. Ternak
menggunakan sumber energi untuk memenuhi kebutuhan, pertumbuhan,
reproduksi, dan produksi susu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi VFA di dalam rumen adalah :
a. Makanan serat (sumber hijauan) akan mengahsilkan lebih banyak asetat dari
pada propionat sehingga lebih sesuai untuk ternak berproduksi air susu (kadar
lemak tinggi)
19
b. Makanan pati (biji-bijian/ konsentrat tinggi) menghasilkan propionat tinggi,
sesuai untuk ternak daging
c. Rasio antara konsentrat dan hijauan pakan
d. Bentuk fisik pakan (ukuran pakan)
e. Level intake (banyaknya asupan pakan)
f. Frekuensi pemberian pakan
Penyerapan VFA tergantung pada perbedaan antara konsentrasinya di
dalam cairan rumen dan di dalam sel-sel epitel atau darah. Laju penyerapan VFA
dari rumen meningkat sejalan dengan penurunan pH cairan rumen. Sapi
memperoleh 50% - 70% energi dari VFA yang diproduksi di dalam rumen.
(Fapet_IPB, 2005).
2.10. Amonia (NH3)
Amonia (NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi protein
menjadi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian
besar N untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam
mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng, 1990). Sintesa protein mikroba yang
optimal diperlukan keseimbangan energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-
NH3. Kekurangan salah satu unsur ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba
rumen. Produk hidrolisa protein sebagian besar akan mengalami katabolisme lebih
lanjut (deaminasi), sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan
protein pakan tersebut sangat besar kontribusinya terhadap amonia rumen.
Diperlukan kisaran konsentrasi amonia tertentu untuk memaksimumkan laju
20
sintesa protein mikroba. Karena itu kelarutan dan degradibilitas protein pakan
sangat penting untuk diketahui (Arora, 1989).
Konsentrasi amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa
protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan
organik pakan. Hasil fermentasi tersebut dapat dilihat sebagai konsentrasi Volatile
Fatty Acid (VFA) di dalam cairan rumen. Konsentrasi amonia tersebut antara lain
ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya,
lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Haryanto, 1994 dalam
Kaunang, 2005).
Konsentrasi amonia sebesar 50 mg/100ml (setara dengan 3.57 mM/L) di
dalam cairan rumen dapat dikatakan optimum untuk menunjang sintesa protein
mikroba rumen (Satter & Slyter, 1974), sedangkan kadar amonia yang dibutuhkan
untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-
12 mM (Erwanto et al., 1993 dalam Kaunang, 2005). Pengamatan secara in vivo
yang dilakukan oleh Mehrez et al., (1977) dalam Kaunang (2005), kadar amonia
cairan rumen yang optimal untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah
16,79 mM. Konsentrasi amonia menggambarkan kecepatan produksi dari
pencernaan nitrogen.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2007, di
laboratorium Nutrisi Ternak, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
(PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jum’at Jakarta Selatan.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami sorgum (Sorgum
hasil iradiasi 300 Gy PATIR BATAN) yang digunakan seperti batang, daun dan
bagian yang lain kecuali biji sorgum, starter (BMFbiofad) dengan konsentrasi
(0%, 0,25%, 0,5%, 0,75%) dan urea 0,3%. Satu ekor hewan percobaan (kerbau)
untuk diambil cairan rumennya. Larutan HCO3 bufer, larutan makro mineral,
larutan mikro mineral, larutan resazurin, dan larutan reduksi, akuades (H2O).
Neutral Detergent Solution (NDS) 2 kali konsentrasi (Terlampir), air panas,
aseton, H3BO3, K2CO3, HCL 0,1 N, H2SO4, NaOH 0,1 N, Akuades dan phenol
ptalin (indikator).
3.2.2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong kertas, oven 60 -
700C, timbangan analitik (O’haus), pisau, plastik, tong besar untuk tempat
fermentasi, pH meter (Knick model 766 kalimatik), alat semprot, tisu, blender,
gelas ukur 50 ml. Cawan porselin, timbangan (Sartorius) dan eksikator. Beaker
glass, magnetik stirer dan pemanas air. Termos, termometer, kain kasa (4 lapis),
22
gelas ukur 500 ml, blender, pipet, gelas syiringe dengan Ø 36 mm panjang 200
mm berskala 100 ml beserta rak, waterbath, termometer, erlenmeyer (Duran)
2000 mL, pipet, vaselin, gas CO2, thermostat dengan suhu 38 – 390C. Crussible
40 – 100 milimikron, oven 1050C, eksikator, tanur 6000C, alat pemanas air untuk
merefluk, pemanas serat (NDF Heater). cawan conway, mikropipet (ukuran 100 µl
– 1000 µ l), pipet biuret, tabung reaksi, sentrifuse (Hitachi) 11.900 rpm selama 20
menit, mikropipet (ukuran 500 µ l –5000 µ l dan 100 µl - 1000 µl), destilator,
erlenmeyer 100 mL, dan buret untuk titrasi.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Fermentasi Jerami Sorgum
Jerami sorgum (batang dan daun) yang didapatkan dari sisa panen,
dibersihkan dan di cacah kira-kira 2-3 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam
plastik dan ditimbang hingga + 400 g, setelah itu ditambah starter (biofad) sesuai
kombinasi perlakuan yaitu 0 %, 0,25 %, 0,5 % dan 0,75 % serta penambahan urea
0,3 %. Setelah dicampur dengan starter dan urea, ditimbang kembali untuk
menentukan berat awal. Kemudian diinkubasi di dalam tong selama 3 minggu
pada suhu kamar untuk proses fermentasi. Setelah inkubasi selesai jerami sorgum
yang telah difermentasi dianalisis kadar air, pH, bahan kering dan bahan organik.
3.3.2. Penentuan Bahan Kering dan Bahan Organik Fermentasi Jerami Sorgum
3.3.2.1. Bahan Kering (BK)
Jerami sorgum yang telah difermentasi, dihaluskan dengan menggunakan
blender dan grender sampai berukuran + 1 mesh. Kemudian sebagai wadah cawan
porselin kosong yang telah dimasukkan ke dalam oven (suhu 1050C selama 24
jam), didinginkan dalam desikator selama + 1 jam dan ditimbang hingga
23
mencapai berat tetap (A). Cawan porselin diisi sampel (jerami sorgum fermentasi
yang telah dihaluskan) sebanyak + 2 g, ditimbang hingga mendapatkan berat tetap
(B). Setelah itu dimasukkan ke dalam oven 1050C selama + 24 jam. Cawan dari
oven didinginkan dalam desikator selama 60 menit, setelah itu ditimbang (C) dan
di catat hasilnya.
C A BK =
B A
100 %
Keterangan : BK = Bahan Kering (%)
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan + sampel (g)
C = Berat setelah dari oven (105 C) (g)
3.3.2.2. Bahan Organik (BO)
Setelah diperoleh bahan kering, kemudian dimasukkan ke dalam tanur
pada suhu 6000C selama + 4 jam hingga terbentuk abu. Selanjutnya dimasukkan
ke dalam desikator selama + 1 jam hingga mencapai berat tetap, setelah itu
ditimbang (D) dan dicatat hasilnya.
BO =
C D
C A
100 %
Keterangan : BO = Bahan Organik (%)
A = Berat cawan kosong (g)
C = Berat setelah dari oven (105 C) (g)
D = Berat setelah dari tanur (600 C) (g)
3.3.3. Produksi Gas secara In Vitro
3.3.3.1. Pengambilan Cairan Rumen
24
Pengambilan cairan rumen dilakukan pada pagi hari sebelum hewan
percobaan diberi makan, dengan tujuan agar mikroba yang ada di dalam rumen
tidak tercampur dengan mikroba yang masuk lewat makanan. Pengambilan cairan
rumen dilakukan tiap ulangan, dengan perbedaan waktu pengambilan. Tiap
ulangan diambil cairan rumen sebanyak + 300 ml untuk semua perlakuan. Cairan
rumen ini berperan dalam proses fermentasi pakan secara in vitro, dimana uji in
vitro dilakukan untuk melihat tingkat kecernaan jerami sorgum yang telah
difermentasi dengan penambahan starter.
Dalam pengambilan cairan rumen ini, dibantu oleh petugas dengan
menggunakan alat paralon setengah lingkaran kemudian dimasukkan ke dalam
perut yang sudah di vistula. Cairan rumen dimasukkan ke dalam termos yang
sudah dikondisikan sebelumnya (termos diisi air panas hingga mencapai suhu +
390C kemudian air dikeluarkan dan termos dialiri CO2). Kemudian cairan rumen
di blender dan disaring dengan menggunakan kain kasa 4 lapis dengan tetap
menjaga kondisi anaerob yaitu pemberian CO2, setelah itu dicampur dengan
media gas tes.
3.3.3.2. Pengukuran Produksi Gas
Metode produksi gas dilakukan sesuai petunjuk Menke et al., (1979).
Pada hari pertama, sampel pakan perlakuan (fermentasi jerami sorgum yang sudah
dihaluskan berukuran 1 mesh) ditimbang 375 + 10 mg BK, dimasukkan ke dasar
syringe dan diusahakan jangan menempel pada dinding syringe. Sebelum piston
dimasukkan ke dasar syringe terlebih dahulu di olesi dengan vaselin. Setelah itu
disiapkan campuran bufer media gas tes (Lampiran 1. tanpa larutan reduksi),
25
distirer dan dialiri CO2 secukupnya kemudian diinkubasi di dalam water bath
pada suhu 39ºC.
Pada hari kedua, preparasi media gas tes yang telah dibuat, distirer
kembali dan tetap dialiri CO2. Kemudian sebelum dicampurkan dengan cairan
rumen, terlebih dahulu ditambahkan dengan larutan reduksi hingga terjadi
perubahan warna dari merah muda menjadi bening yang menandakan kondisi
media dalam keadaan anaerob. Cairan rumen yang telah disiapkan dicampur
dengan media gas tes. Sebanyak 30 ml campuran tadi dipipet dengan
menggunakan dispenser dan dimasukkan ke dalam syringe yang sudah berisi
sampel melalui selang yang ada di dasar syringe, kemudian selang ditutup dengan
menggunakan klem plastik.
Sebelum di masukkan ke dalam water bath, syringe dibaca volumenya
sebagai Vo. Blanko dibuat seperti diatas tanpa penambahan sampel, volume tiap
syringe dicatat setiap jam ke 2, 4, 6, 8, 10 dan 24. Jika posisi piston di atas 60 ml,
nilai ini dicatat kemudian klem dibuka dan posisi piston dikembalikan ke posisi
40 ml supaya sampel tidak keluar dan dicatat jumlah volume gas sebelumnya.
Pembacaan dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi perubahan suhu.
Rumus perhitungan produksi gas adalah :
Vol Gas = V24 – V0
Net Gas = Vgas – rata-rata Vgas blanko
Net Gas 200 mg/ml = NG B
Fh
200 mg
Fk PG200 = NG200 x
2
FK = 60
NG 200
konsentrat
26
FH = 44
NG 200
Hijauan
Keterangan : V24 = Volume akhir pada jam ke 24 (ml)
V0 = Volume awal pada jam ke 0 (ml)
Net Gas = Volume gas bersih (mg/ml)
FK = Faktor Koreksi Konsentrat
FH = Faktor Koreksi Hijauan
B = Sampel (mg)
Sampel produksi gas setelah inkubasi selama 24 jam masing-masing
diukur pH-nya, kemudian dilakukan metode Apparent Degraded dan Truly
Degraded. Untuk metode Apparent Degraded, sampel setelah produksi gas
disentrifus pada kecepatan 11.900 rpm selama + 20 menit. Supernatan yang
diperoleh di ambil untuk pengukuran NH3 dan VFA, sedangkan endapan yang
terbentuk dipakai untuk pengukuran bahan kering (BK), bahan organik (BO) dan
pengukuran produksi massa mikroba dengan proses pencucian 2 kali.
3.3.4. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO) secara In Vitro
Pengukuran kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik
(KcBO) dilakukan dengan metode substrate truly degraded, yaitu dengan
penambahan Neutral Detergen Solution (NDS). Sampel residu produksi gas
setelah inkubasi selama 24 jam dipindahkan dalam beaker glass, kemudian
ditambahkan larutan Neutral Detergen Solution (NDS) sebanyak 30 ml.
Dipanaskan (direflux) hingga mendidih dan dibiarkan selama + 1 jam, kemudian
disaring dengan menggunakan filter crussible yang telah ditimbang dan penyaring
vakum. Residu yang tersaring dibersihkan dengan menggunakan air panas,
kemudian dibilas dengan aceton.
27
Sisa residu dimasukan ke dalam oven 1050C selama 24 jam, setelah itu
didinginkan dalam desikator selama 60 menit kemudian ditimbang (BK residu).
Kemudian sisa residu dilanjutkan dengan pengabuan yaitu dimasukkan ke dalam
tanur 6000C selama 4 jam, didinginkan dalam desikator selama 60 menit dan
ditimbang (BO residu).
Penentuan KcBK dan KcBO di hitung dengan rumus :
KcBK = BK awal (BK residu BK blanko)
BK awal
100%
Keterangan : KcBK = Kecernaan Bahan Kering (%)
BK awal = Berat sampel dikalikan % bahan kering/ 100 (g)
BK residu = Berat kering setelah produksi gas (g)
BK blanko = Berat kering setelah produksi gas (Blanko) (g)
KcBO = BO awal (BO residu BO blanko)
BO awal
100%
Keterangan : KcBO = Kecernaan Bahan Organik (%)
BO awal = Berat sampel dikalikan % bahan organik/100 (g)
BO residu = Berat organik setelah produksi gas (g)
BO blanko = Berat organik setelah produksi gas (Blanko) (g)
3.3.5. Produksi Massa Mikroba
Pengukuran produksi massa mikroba diperoleh dari pengurangan bahan
kering (BK) residu terdegradasi semu (Apparent Degraded pada pengukuran
sampel setelah produksi gas) dengan bahan kering (BK) residu terdegradasi asli
(Truly Degraded pada pengukuran KcBK).
28
Penetuan pengukuran produksi biomassa mikroba dihitung dengan rumus :
PMM = BK(apparent) – BK (truly) x 100 %
Keterangan : PMM = Produksi Massa Mikroba (%)
BK (apparent) = Bakan Kering residu apparent digestibility (g)
BK (truly) = Bahan Kering residu trully digestibility (g)
3.3.6. Pengukuran pH, NH3 dan VFA
3.3.6.1. Pengukuran pH sampel hasil produksi gas
Sampel hasil produksi gas di tempatkan pada tabung sentrifus, kemudian
diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter (Knick, model 766 kalimatik) dan
dicatat.
3.3.6.2. Pengukuran konsentrasi NH3 sampel hasil produksi gas
Pengukuran NH3 dilakukan dengan metode conway (1962). Supernatan
yang diperoleh dari hasil sentrifugasi, diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Ditambahkan NaCl sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam
lemari es untuk pengawetan. Cawan conway yang telah dibersihkan kemudian
diolesi vaselin pada bagian pinggirnya. Satu ml H3BO3 (warna larutan merah
muda) diambil dan diletakkan di bagian tengah cawan, 1 ml K2CO3 diletakkan di
bagian kiri cawan dan supernatan yang telah diawetkan, diambil 1 ml dan
diletakkan di bagian kanan cawan.
Setelah itu dicampur dan tunggu sampai 2 jam, hingga terlihat perubahan
warna menjadi warna biru. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N hingga warna
berubah menjadi warna awal yaitu merah muda, dicatat volume HCl yang terpakai
29
kemudian dihitung konsentrasi NH3 yang dihasilkan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Konsentrasi NH3 = (Volume titrasi x N HCl x BM NH3 x 100) x Pengenceran
1 ml sampel
Keterangan : N HCl = HCl yang dipakai dalam titrasi (N)
BM NH3 = 17 (N : 14, H : 1)
Pengenceran = Jumlah volume supernatan dan HCl yang
diawetkan per jumlah supernatan yang
diambil (10/5) ml
4. Pengukuran VFA sampel hasil produksi gas
Supernatan yang diperoleh dari hasil sentrifugasi, diambil sebanyak 5 ml
dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan H2SO4 sebanyak
1 ml, lalu diawetkan di dalam lemari es. Supernatan yang telah diawetkan, diambil
sebanyak 2 ml kemudian didestilasi di dalam destilator VFA, hingga mendapatkan
uap air sebanyak 100 ml. Setelah itu ditambah 3 tetes indikator phenol pthialin
dan ditritasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi warna
merah muda, dicatat volume titrasi NaOH yang digunakan kemudian perhitungan
konsentrasi VFA dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Konsentrasi VFA = (Volume titrasi x N NaOH x 100) x Pengenceran
2 ml sampel
Keterangan : Pengenceran = Jumlah volume supernatan dan NaOH yang diawetkan per jumlah supernatan yang diambil (6/5) ml
30
3.4. Analisis Data
Data hasil pengukuran diolah secara statistik dengan menggunakan metode
percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) melalui perhitungan ANOVA.
Percobaan RAK dengan 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali,
sebagai kelompok yang berdasarkan perbedaan waktu pengambilan cairan rumen
pada saat produksi gas secara in vitro (Yitnosumarto, 1993). Perlakuan adalah
sebagai berikut :
A0 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0%
A1 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,25%
A2 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,5%
A3 : Jerami sorgum + urea 0,3% + starter 0,75%
Pengujian hipotesis dengan berdasarkan pada ketetapan Ho dan H1:
Ho = Adanya pengaruh penambahan starter pada fermentasi jerami sorgum
terhadap tingkat kecernaan hewan ruminansia.
H1 = Tidak ada pengaruh penabahan starter pada fermentasi jerami sorum
terhadap tingkat kecernaan hewan ruminansia.
Jika F hitung < F tabel dimana a 0.05 % dan 0.01 %, Terima Ho
Jika Fhitung > F tabel dimana a 0.05 % dan 0.01 %, Tolak Ho
31
22.32 21.95 21.89
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Produksi Gas Secara In Vitro
Produksi gas merupakan indikasi adanya aktifitas metabolisme mikroba
rumen. Produksi gas secara akurat menggambarkan proses fermentasi substrat
pakan menjadi produk berupa VFA dan biomassa mikroba rumen (Blummel dan
rckov, 1993). Hasil analisis rata-rata volume produksi gas secara in vitro (ml/0,2
g BK) dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 5.
23.5 23.29
23
22.5
22
21.5
21
A0 A1 A2 A3
Pe r lak uan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1
= JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 5. Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi 24
jam secara In Vitro.
Hasil analisis produksi gas pada tiap ulangan terlihat bervariasi. Nilai
rata-rata produksi gas tertinggi terjadi pada perlakuan A0 diikuti dengan
perlakuan A3, A1, dan A2 yaitu dengan nilai berturut-turut adalah 23.29 ml/0,2 g
BK, 22.32 ml/0,2 g BK, 21.95 ml/0,2 g BK, dan 21.89 ml/0,2 g BK. Hasil analisis
statistik produksi gas selama 24 jam inkubasi menunjukkan perbedaan pengaruh
32
yang tidak nyata (F<0.05), hal ini mungkin disebabkan adanya salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan metode in vitro yaitu variasi waktu
pengambilan cairan rumen, kondisi cairan rumen yang berbeda dan ada tidaknya
gangguan terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer. Menurut
Scheneider dan Flatt (1975), keberhasilan metode in vitro dipengaruhi oleh
pencampuran sampel pakan, cairan rumen, kontrol suhu, ada tidaknya gangguan
terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer, variasi waktu, dan
metode analisis kimia yang digunakan.
Produksi gas pada perlakuan dengan penambahan starter (A1, A2 dan A3),
memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang tidak
ditambah starter (A0). Hal ini mungkin disebabkan bahan organik yang
terkandung pada jerami sorgum yang difermentasi telah digunakan oleh mikroba
untuk mendukung pertumbuhannya, menurut Orckov & Ryle (1990) jumlah gas
yang sedikit dapat disebabkan oleh terpakainya bahan organik terfermentasi untuk
sintesis mikroba.
Pada perlakuan A0, memiliki produksi gas yang paling tinggi, walaupun
tidak berbeda nyata (F<0,05). Hal ini mungkin disebabkan kandungan nutrisi pada
pakan masih tersedia, karena sedikitnya aktifitas mikroba dalam mendegradasi
pakan pada saat fermentasi atau silase jerami sorgum. Sehingga pada saat
fermentasi secara in vitro dengan penambahan cairan rumen, aktifitas mikroba
masih optimum dalam mendegradasi pakan yang ditandai dengan tingginya
produksi gas. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Firsoni dkk (2005), bahwa
aktifitas mikroba masih tinggi setelah 24 jam inkubasi yang disebabkan masih
33
tersedianya zat nutrisi pakan (kontrol) karena sedikitnya aktivitas bakteri
pembentuk asam laktat dalam pembuatan silase.
Menurut Getachew et al., (2003) dalam Firsoni dkk (2003) ada beberapa
hal yang mempengaruhi fermentasi pakan oleh mikroba yaitu keadaan anaerob,
temperatur, pH dan jumlah pemakaian buffer terhadap jumlah cairan rumen yang
digunakan. Pola parameter perlakuan fermentasi jerami sorgum yang berfluktuasi,
tidak lepas dari pengaruh pertumbuhan mikroba yang sudah ada dalam cairan
rumen. Produksi gas masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6 yang
menandakan adanya pola pertumbuhan mikroba.
80
60 A0
A1 40
A2
20 A3
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Waktu (Jam)
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5%
A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 6.Volume produksi gas jerami sorgum fermentasi selama inkubasi 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 24 jam.
Pada gambar di atas menunjukkan bahwa adanya aktivitas mikroba yang
ditandai oleh terbentuknya gas, serta proses fermentasi di dalam perlakuan.
Volume gas pada awal inkubasi yaitu kira-kira pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10
mengalami sedikit kenaikan, sedangkan pada inkubasi sampai jam ke 24
menunjukkan peningkatan volume produksi gas yang tinggi, hal ini disebabkan
pengaruh pertumbuhan serta aktivitas mikroba dalam proses fermentasi.
34
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ella dkk (1997), bahwa produksi gas yang
tinggi menunjukkan aktivitas mikroba dalam rumen dan mencerminkan kualitas
pakan. Berdasarkan penelitiannya, produksi gas mencapai puncak pada inkubasi
24 jam pertama, selanjutnya mengalami penurunan hingga 96 jam dan akhirnya
mencapai nol.
Berdasarkan fase pertumbuhan mikroba, pada jam ke 2, 4, 6, 8, dan 10
pertumbuhan mengalami fase adaptasi (Lag Fase) itu terlihat dari gambar volume
produksi gas yang tidak terlalu besar kenaikannya. Pada fase ini, mikroba
mengalami penyesuaian terhadap lingkungannya dan belum maksimal dalam
melakukan kolonisasi pada substrat (Orskov, Hevell dan mullet, 1980). Kemudian
volume gas pada jam ke 24 menunjukkan kenaikkan yang signifikan, karena
diperkirakan mikroba sedang mengalami fase logaritmik (Log Fase) yaitu fase
pembelahan dimana pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan
perkembangbiakkan mikroba terjadi sangat cepat dan maksimal baik
metabolismenya maupun pembelahan selnya. Pada fase inilah mikroba mulai
mendegradasi pakan, merombak karbohidrat menjadi struktur yang lebih
sederhana dan menghasilkan gas dari perombakan bahan organik. Selama pakan
diinkubasi dalam cairan rumen dan buffer secara in vitro, maka zat makanan
difermentasi menjadi VFA, gas terutama CO2 dan CH4 serta sel mikroba
(Krishnamoorthy, 2001).
4.2. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO) Jerami Sorgum Fermentasi Secara In Vitro
Kecernaan pakan oleh ruminansia sangat dipengaruhi oleh aktivitas
mikroba di dalam rumen. Estimasi kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan
35
organik pada penelitian ini diperoleh dengan mengukur residu substrat yang
diinkubasi selama 24 jam. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO dapat dilihat pada
Gambar 7.
46.5
45
42
40.5
39
44.787
43.587
45.422
42.001
45.494
42.053
46.384
44.236
KcBK
KcBO
A0 A1 A2 A3
Perlakuan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5%
A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 7 . Hasil pengukuran KcBK dan KcBO jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.
Pada Gambar 7, pengaruh perlakuan terhadap KcBK dan KcBO memiliki
nilai yang bervariasi. Nilai rata-rata kecernaan bahan kering mulai yang tertinggi
adalah perlakuan A1 diikuti perlakuan A3, A0, dan A2 yaitu 45,422 %, 44,236 %,
43,587 %, dan 42,053 %. Nilai rata-rata kecernaan bahan organik mulai yang
tertinggi adalah perlakuan A3 diikuti dengan perlakuan A2, A0 dan A1 yaitu
46,384 %, 45,494 %, 44,787 %, dan 42,001 %.
Hasil pengukuran KcBK dan KcBO menunjukkan bahwa, antar perlakuan
memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (Lampiran 4.1 dan 4.2), baik yang
ditambahkan dengan starter maupun tanpa penambahan starter. Perbedaan
36
kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan oleh pemanfaatan BK dan
BO oleh mikroba untuk hidup dan berkembang biak selama proses fermentasi.
Penambahan starter sebesar 0,75% ke dalam proses fermentasi jerami
sorgum (A3) menghasilkan nilai KcBO maksimal, walaupun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lain (F<0,05). Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah
penambahan starter dan sumber nutrisi seperti karbohidrat yang terkandung di
dalam jerami sorgum serta penambahan urea, dapat mencukupi kebutuhan
mikroba dalam proses fermentasi, sehingga mikroba dapat mencerna pakan secara
optimal.
Daya cerna bahan makanan sangat dipengaruhi oleh kandungan
karbohidrat, jenis serat, jenis hewan, laju jalannya makanan di dalam saluran
pencernaan serta mikroba yang mendegradasi (Suryadi dkk, 1998). Bahan kering
dan bahan organik juga sangat mempengaruhi proses kecernaan. Adapun nilai
bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) setelah fermentasi jerami sorgum
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai BK (%) dan BO (%) jerami sorgum setelah proses fermentasi selama 21 hari.
Rataan
Perlakuan
BK (%)
BO (%)
A0
91.27
87.85
A1
93.00
86.99
A2
90.46
87.22
A3
91.69
87.10
37
Kandungan bahan kering pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai yang
tertinggi pada perlakuan A1 diikuti perlakuan A3, A0 dan A2, urutan ini sesuai
dengan nilai KcBK (%) pada Gambar 7. Hal ini menguatkan bahwa kecernaan
bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan keringnya. Menurut
Tillman dkk, (1989) bahwa daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimia
bahan pakan dan serat kasar terutama pengaruh terhadap kecernaan. Antara 70
sampai 80 % dari total bahan kering yang dikonsumsi digunakan ternak sebagai
sumber energi (Maynard, 1979 dalam Suryadi dkk, 1998).
Pada perlakuan A1 memiliki kandungan bahan organik paling rendah yaitu
86,99 %, yang diikuti dengan rendahnya kecernaan bahan organik (Gambar 7).
Begitu juga dengan perlakuan A2 yang memiliki kandungan bahan kering paling
rendah yaitu 90,46 %, yang diikuti dengan rendahnya kecernaan bahan kering.
Perlakuan A0, walaupun memiliki Bahan Organik (BO) tertinggi (Tabel
2) yaitu sebesar 87,85% tetapi menghasilkan nilai KcBK dan KcBO rendah
diantara perlakuan lain yaitu sebesar 43,59% dan 44,79% kecuali perlakuan A2
pada KcBK dan perlakuan A1 pada KcBO. Hal ini mungkin disebabkan
keberadaan mikroba yang kurang serta pemanfaatan BK dan BO oleh mikroba
untuk hidup dan berkembangbiak selama proses fermentasi kurang optimal. Hasil
ini juga kemungkinan disebabkan tiga hal, yaitu kurang terpenuhinya karbohidrat
mudah larut, kurangnya unsur nitrogen serta keberadaan tanin pada jerami sorgum
yang menghambat kerja mikroba rumen dalam mendegradasi pakan
(Kusumawardhani, 2003 dalam Nurvianty, 2006).
Karbohidrat mudah larut seperti monosakarida (glukosa dan fruktosa)
dapat cepat terfermentasi. Penambahan karbohidrat mudah larut dapat
38
meningkatkan nilai kecernaan bahan pakan, produksi biomassa mikroba, serta
efisiensi penggunaan nitrogen pakan oleh mikroba rumen untuk pembentukan
biomassa mikroba (Kurniawati, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penambahan karbohidrat mudah larut dan protein secara bersamaan mampu
meningkatkan degradasi bahan organik pakan dan meningkatkan pertumbuhan
mikroba rumen yang berimplikasi terhadap peningkatan produksi ternak (Oldham
dkk, 1988 dalam Kurniawati, 2007).
Tanin secara alami merupakan senyawa polyphenolic yang dapat berikatan
dengan protein atau polimer lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin,
serta beberapa mineral di dalam bahan pakan. Tanin umumnya terikat dengan
protein pakan membentuk ikatan kompleks yang stabil. Tanin melindungi protein
dari degradasi di rumen dan menghambat kerja enzim protease dan selulase,
mengakibatkan laju degradasi protein menurun, sehingga protein lolos dari
degradasi dan masuk ke dalam usus halus. Dengan kata lain, senyawa tanin
merupakan faktor anti-nutrisi yang dapat menurunkan palabilitas dan kecernaan
pakan (Makkar dkk, 1995 dalam Nurvianty, 2006). Selain dampak negatif , tanin
memiliki dampak positif yaitu meningkatkan by-pass protein (Sugoro, 2004).
4.3. Produksi Massa Mikroba
Massa mikroba merupakan indikasi dari banyaknya jumlah mikroba yang
terdapat di dalam cairan rumen, dimana mikroba tersebut berperan dalam
mendegradasi pakan. Produksi massa mikroba diperoleh dari pengurangan residu
Apparent digestibility dengan residu Trully digestibility, sehingga melalui
pengurangan residu terdegradasi semu yang masih mengandung mikroba dengan
39
0.1044 0.1121 0.0896 0.0829
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1
= JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
residu terdegradasi asli akan didapatkan produksi biomassa mikroba (Blummel
dan rckov, 1993). Hasil analisis produksi massa mikroba dapat dilihat pada
Gambar 8.
0.15
0.1
0.05
0
A0 A1 A2 A3
Pe rlak uan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5%
A1 = JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 8. Produksi massa mikroba (g)
Gambar 8 menunjukkan hasil pengukuran produksi massa mikroba tiap
perlakuan A0, A1, A2 dan A3 masing-masing sebesar 0,0896 g, 0,0829 g,
0,1044 g dan 0,1121 g. Penambahan starter pada perlakuan mampu meningkatkan
massa mikroba, walaupun tidak berbeda nyata (F<0,05), kecuali perlakuan A1.
Produksi massa mikroba tertinggi terdapat pada perlakuan A3,
peningkatan ini sejalan dengan tingginya konsentrasi amonia serta tingginya
bahan organik yang tercerna, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan
mikroba. Pada perlakuan lainnya yaitu A2, A1 dan A0 lebih rendah produksi
massa mikrobanya dibandingkan dengan perlakuan A3, walaupun tidak berbeda
nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh terdegradasinya karbohidrat menjadi
VFA sehingga sintesis sel mikroba berkurang, yang ditandai dengan tingginya
40
7.1 7.08 7.08
7.03
konsentrasi VFA pada perlakuan A2, A1 dan A0. Berdasarkan penelitian
Nurvianty (2006) produksi massa mikroba menurun akibat tingkat keasaman
cairan rumen yang semakin meningkat akibat terdegradasinya karbohidrat
membentuk VFA, sehingga sintesis sel mikroba menurun.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi massa mikroba yaitu
ketersediaan sumber nutrisi serta faktor lingkungan seperti pH, temperatur dan
tekanan osmotik (Tim Mikrobiologi FK UNBRAW, 2005). Efisien pertumbuhan
mikroba dipengaruhi oleh keseimbangan jumlah protein dan karbohidrat yang
terfermentasi dalam rumen (Leng, 1993).
4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai pH, NH3 dan VFA sampel hasil
produksi gas
4.4.1. Pengaruh perlakuan terhadap pH sampel hasil produksi gas
Derajat keasaman (pH) awal cairan rumen sebelum inkubasi tanpa larutan
buffer yaitu 6,82 dan setelah ditambah larutan buffer menjadi lebih basa yaitu 7,1.
Penambahan larutan buffer berfungsi sebagai saliva buatan dan menjadikan
kondisi keasaman cairan rumen berada pada kisaran netral (sekitar 6,9-7,1)
(Nurvianty, 2006).
7.15
7.1
7.05
7
6.95
A0 A1 A2 A3
Pe rlak uan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1
= JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
41
Gambar 9. Hasil pengukuran pH perlakuan
Pada gambar di atas menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap pH tidak
berbeda nyata (F<0.05), nilai pH setelah 24 jam inkubasi pada masing-masing
perlakuan yaitu antara 7 sampai 7,17. Sedangkan pH yang optimum dalam proses
perombakan atau degradasi oleh mikroba rumen berkisar antara 6,0 sampai 7,0.
Mikroorganisme dalam proses fermentasi akan menghasilkan asam yang
memungkinkan pH menjadi turun.
Nilai pH adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan proses
fermentasi, karena pH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba yang
berperan dalam proses fermentasi. Rahman (1989) dalam Muwakhid (1999),
menjelaskan bahwa hampir semua mikroba tumbuh pada tingkat pH yang
berbeda. Sebagian besar bakteri tumbuh pada pH mendekati netral (pH 6,5 sampai
7,5) kecuali bakteri asam asetat yang tumbuh pada pH asam atau di bawah netral.
Sebaliknya khamir hidup pada pH 4 sampai 5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH
2,5 sampai 8,5. Untuk pertumbuhan kapang memerlukan pH optimum antara 5
sampai 7 dan dapat tumbuh pada kisaran 3 sampai 8. Oleh karena itu kondisi
dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal untuk pertumbuhan mikroba.
Perlakuan A3 dengan penambahan konsentrasi 0,75 % starter, memiliki
pH cairan rumen paling tinggi diantara perlakuan lain, walau tidak berbeda nyata.
Naiknya pH cairan rumen diikuti dengan tingginya konsentrasi amonia (Gambar
10) pada perlakuan A3. hal ini menandakan aktifitas deaminasi mikroba rumen
menjadi amonia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nguyen and Preston
(1997) dalam Firsoni (2003), ada beberapa hal yang dapat menaikkan pH rumen
42
23.8
22.04
22.21 22.04
yaitu CO2 yang dilepaskan dalam media inkubasi atau peningkatan konsentrasi
amonia (NH3) yang disebabkan oleh aktifitas deaminasi mikroba rumen.
4.4.2. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 sampel hasil produksi
gas
Amonia merupakan salah satu produk fermentasi di dalam rumen, yang
berasal dari degradasi protein dan NPN (urea), yang digunakan oleh mikroba
untuk pertumbuhannya. Konsentrasi amonia mempengaruhi laju pertumbuhan
mikroba yang ada di dalam cairan rumen, karena amonia akan digunakan sebagai
sumber N untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pengaruh perlakuan terhadap
NH3 dapat dilihat pada Gambar 10.
24
23.5
23
22.5
22
21.5
21
A0 A1 A2 A3
Perlakuan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1
= JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 10. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi amonia (mg/100
ml)
Pada Gambar 10 menunjukkan hasil pengukuran konsentrasi amonia
perlakuan A0, A1, A2 dan A3 masing-masing sebesar 22,04 mg/100 ml, 22,21
43
mg/100 ml, 22,04 mg/100 ml dan 23,8 mg/100 ml. Dari ketiga ulangan, perlakuan
A3 menghasilkan amonia tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain.
Pada perlakuan A1 dan A3 menghasilkan konsentrasi amonia cairan rumen
yang lebih tinggi, walaupun tidak berbeda nyata (F<0,05) dibandingkan perlakuan
A2 dan A0. Hal ini mungkin disebabkan adanya mikroba yang mampu
mendegradasi nitrogen lebih baik, karena penambahan starter pendegradasi serat
pada saat fermentasi jerami sorgum. Kemungkinan tingginya konsentrasi amonia
pada perlakuan juga berasal dari larutan buffer media gas tes dan penambahan
urea 0,3%. Pada perlakuan A3 menghasilkan konsentrasi amonia paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan
mikroba atau produksi massa mikroba yang tinggi, karena amonia dapat
menunjang sintesis mikroba. Menurut Haryanto (1994) dalam Kaunang (2005)
konsentrasi amonia di dalam cairan rumen ikut menentukan efisiensi sintesa
protein mikroba yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan
organik pakan. Umunya peningkatan produksi ammonia hasil fermentasi cairan
rumen sejalan dengan peningkatan biomassa mikroba (Delaval, 2006).
Pada perlakuan A2 (starter 0,5 %) memiliki konsentrasi amonia paling
rendah diantara perlakuan yang ditambahkan dengan starter (starter 0,25 % dan
0,75 %), hal ini mungkin disebabkan amonia yang terkandung sudah terdegradasi
menjadi VFA. Rendahnya konsentrasi amonia pada perlakuan A2 diikuti dengan
tingginya konsentasi VFA perlakuan A2 yang diperlihatkan pada Gambar 11.
Amonia oleh bakteri terutama diperlukan untuk mensintesis asam amino
yang selanjutnya digunakan untuk mensintesis protein. Mikroba rumen
menggunakan 25 % - 50 % N dari protein makanan (Pigrim et al., 1970 dalam
44
8.1
7.4
7
Arora 1989). Satter dan Slyter (1974) melaporkan bahwa sintesis sel mikroba
dapat berlangsung jika konsentrasi amonia cairan rumen sebesar 5-8 mg/100 ml.
Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi amonia perlakuan berkisar antara
22,04 mg/100 ml sampai 23,8 mg/100 ml, dan kisaran tersebut mencukupi
kebutuhan untuk sintesis protein mikroba rumen.
4.4.3. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA sampel hasil produksi
gas
Vollati fatty acid (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak
ruminansia yang dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov
dan Ryle, 1990). Energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan ternak inang dan
mempertahankan kehidupan mikroba yang ada di dalam rumen. Dalam hal ini
VFA diukur setelah proses fermentasi secara in vitro, adapun hasil pengukurannya
dapat dilihat pada Gambar 11.
8.5
8
7.5
7
7.2
6.5
6
A0 A1 A2 A3 Pe r lak uan
A0 = Jerami sorgum (JS) + urea 0,3% A2 = JS + urea 0,3% + Starter 0,5% A1
= JS + urea 0,3% + Starter 0,25% A3 = JS + urea 0,3% + Starter 0,75%
Gambar 11. Pengaruh perlakuan terhadap Produksi VFA
45
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi VFA pada perlakuan A0, A1,
A2 dan A3 masing-masing sebesar 7,2 mg/100 ml, 7,4 mg/100 ml, 8,1 mg/100 ml
dan 7 mg/100 ml. Hasil analisis statistik konsentrasi VFA menunjukkan bahwa
diantara perlakuan tidak berbeda nyata (F<0.05).
Konsentrasi VFA perlakuan dengan penambahan starter memiliki
kecenderungan meningkat, kecuali perlakuan A3. Konsentrasi VFA pada
perlakuan A3 paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lain, walau tidak
berbeda nyata. Hal ini mungkin disebabkan sudah terpakainya VFA oleh mikroba
sebagai sumber energi dan untuk sintesis mikroba, sehingga mikroba dapat
berkembang dan membelah diri. Rendahnya konsentrasi VFA sejalan dengan
meningkatnya produksi massa mikroba pada perlakuan A3 (Gambar 8).
Blummel dkk (1998) melaporkan bahwa produksi VFA digambarkan
dengan produksi gas hasil fermentasi mikroba rumen yang berkorelasi negatif
dengan sintesis biomassa mikroba. Jika produksi gas serta VFA yang dihasilkan
tinggi maka sintesis biomassa mikroba rendah, sebaliknya jika produksi gas yang
dihasilkan rendah maka sintesis biomassa mikroba tinggi. Sedangkan menurut
Carro dan Miller (1999) dalam Kurniawati (2004), volume produksi gas selama
inkubasi berkorelasi positif dengan pertumbuhan mikroba dan jumlah pakan yang
terfermentasi.
Korelasi antara produksi gas dengan total VFA, tergantung dari jumlah
VFA yang dihasilkan oleh mikroba. Produksi gas yang dihasilkan kandungannya
tidak hanya VFA tetapi juga terkandung gas CO2, CH4 dan air. Jika produksi gas
yang dihasilkan tinggi tetapi konsentrasi VFA rendah, menandakan bahwa
kandungan VFA berupa asetat, propionat dan butirat yang dihasilkan juga rendah,
46
kemungkinan keberadaan mikroba yang dapat menguraikan asetat, propionat serta
butirat juga sedikit. Gas lebih didominasi oleh CO2, CH4 serta air (CO2 + 4H2 ?
CH4 + 2H2O). Sebaliknya jika produksi gas rendah tetapi konsentrasi VFA yang
dihasilkan tinggi, maka kandungan gas didominasi oleh VFA. Produksi total VFA
sangat dipengaruhi oleh kandungan individual VFA dan juga mikroba yang
menguraikan (Getachew and Makkar, 2002 dalam Ngamsaeng et al., 2006)
Hasil pengukuran parameter tiap perlakuan menunjukkan pengaruh yang
bervariasi dan tidak berbeda nyata terhadap kecernaan jerami sorgum, baik yang
ditambahkan starter dengan konsentrasi 0.25 %, 0.5 % dan 0.75 % maupun yang
tidak ditambahkan starter (0 %). Menurut Norton (1973) dalam Tangdilintin
(1983), faktor–faktor yang mempengaruhi daya cerna zat - zat makanan di dalam
ransum adalah aktifitas mikroba rumen, tinggi rendahnya energi dan nitrogen,
bentuk fisik makanan dan perbandingan antara hijauan dengan makanan penguat
di dalam ransum. Namun demikian parameter yang diperoleh dari penelitian ini
bervariasi. Hal ini mungkin disebabkan banyak faktor salah satunya adanya
perbedaan kondisi cairan rumen serta penggunaan metode secara in vitro yang
tidak akan dapat menghasilkan data yang setepat mungkin dengan data yang
diperoleh dari penelitian secara in vivo.
Dari hasil pengukuran parameter pada tiap perlakuan, didapatkan
kecernaan jerami sorgum fermentasi yang paling tinggi yaitu pada perlakuan A3
dengan penambahan konsentrasi starter 0.75 %. Hal ini dikuatkan dengan
tingginya kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, sumber nitrogen
berupa NH3 serta produksi massa mikroba walaupun tidak berbeda nyata dengan
hasil pengukuran parameter pada perlakuan lain.
47
Berdasarkan penelitian Andini L, dkk (2008) bahwa konsentrasi optimum
yang digunakan untuk produksi gas adalah 0 % urea dan 0,5 % starter. Untuk
kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) optimum
dengan penambahan 0 % urea dan 0,75 % starter, untuk produksi massa mikroba
optimum adalah penambahan 0% urea dan 0,75 % starter.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah
bahwa adanya pengaruh tingkat kecernaan ruminansia dengan penambahan starter
(0.25 %, 0.5 %, dan 0.75 %) pada fermentasi jerami sorgum. Hasil pengukuran
parameter pada tiap perlakuan, didapatkan kecernaan fermentasi jerami sorgum
yang paling tinggi yaitu pada perlakuan A3 dengan penambahan konsentrasi
starter 0.75 %.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini saran yang dapat dikemukakan adalah
diperlukan penelitian lebih lanjut penggunaan jerami sorgum fermentasi
menggunakan starter sebagai pakan basal ruminansia untuk pembuatan pakan
komplit.
49
DAFTAR PUSTAKA
Andini LS, Kurniawati A dan Sasongko, WT. 2008. Pengaruh fermentasi pada kecernaan jerami sorgum secara in vitro oleh mikroorganisme rumen. Seminar Laporan Teknis PATIR BATAN. Unpublish.
Ardian. 2004. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Balai
Penelitian Ternak : Bogor.
Arora, S.P. 1989. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Gajah Mada University Press. Jogjakarta.
Askar, S dan Abdurachman. 2002. Pengaruh penambahan zink methionina ke
dalam simulasi rumen secara in vitro terhadap produksi asam lemak atsiri. Buletin Ternak Pertanian Vol. 7. No. 2
BATAN. 2005. Sorgum (Budidaya tanaman alternatif).
http//batan.go.co.id/patir/_pert.html. koleksi abstrak artikel sains. Tanggal kunjungan 30 Oktober 2007. Jakarta
Blummel, M. And rckov, E. R, 1993. Comparison Of in Vitro gas production
and nylon bag degradability roughages in prediction of feed intake In Cattle. Animal feed science ang technology 40 : 109 – 229.
Conway, Ej. 1962. Microdiffusion analysis and volumetric error. 5th Edition. Crosby Loockwood and Son: London.
Cullison, AE. 2006. Feeds and feeding : basic physiology of the cow. Reston
Publishing Company, INC. Reston, Virginia. http://www.delaval.com/DairyKnowledge/EfficientFeeding/BasicPhysiol ogy.htm. Tanggal kunjungan 10 Maret 2008.
Cumming. 2007. http://cumming.com. Tanggal kunjungan : 6 maret 2008.
Dehority, A.B. 1998. Mikrobial interactons the rumen. www.redpavfpolasr. Info.
Ve/farduz/ vis-html. Diakses tanggal 12 Mei 2004.
Delaval. 2006. Efficient feeding. http//www.delaval.com/Dairy Knowledge/Efficient Feeding/Basic Physiology.htm. Tanggal kunjungan 10 Maret 2008.
Ella AS, Hardjosoewignyo, T. R. Wiradaryawan dan M. Winugoho. 1997.
Perlakuan produksi gas dari hasil proses fermentasi beberapa Jenis Leguminosa Pakan. Dalam : Seminar Nasional Ilmu – Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (AINI). Bogor . Indonesia.
49
Erowati, D. 2003. Drum plastik berpelat sebagai silo untuk kemasan kedap udara produk silase limbah pertanian. Prosiding Seminar Teknologi Untuk
Negeri 2003, Vol I, hal : 371-374.
Fapet_IPB. 2005. Dasar penelitian nutrisi. http//fapet.ipb.ac.id/pin/web/Bab II_3 htm. Tanggal kunjungan 5 Agustus 2007.
Firsoni, Sugoro I, Kurniawati A, Wahidin TS, Suharyono. 2003. Studi in vitro gas
production daun galur mutan sogum sebagai pakan ternak ruminansia. Risalah Pertemuan ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop
dan Radiasi, BATAN : Jakarta.
Firsoni, Sugoro I dan Kurniawat A. 2005. Pengaruh inokulum rumen dan lama pemeraman terhadap produksi gas, kecernaan, dan produksi biomassa mikroba silase daun sorgum. Risalah Pertemuan ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN : Jakarta
Goering HK, Van Soest PJ. 1970. Forage fiber analysis. USDA Agric. Hand Book hlm 379.
Haryanto B. 1994. Respons produksi karkas domba terhadap strategi pemberian
protein by-pass rumen. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. 3(2).
Hatmono H, dan Hastoro I. 1997. Urea molase blok: Pakan suplemen ternak ruminansia. Trubus Agriwidya: Ungaran.
Hosamani SV, UR Mehra, RS Dass. 2003. Effect of different source of energy on
urea molasses mineral block intake nutrient utilization, rumen fermentation pattern and blood profile in urah buffaloes (Bubalus bubalis). Nuclear Research Institute. Izatnagar. India. Asian-Aust. J.
Anim. Sci. Vol. 6(6): 818-822.
Ikhsan, M. 2004. Teknik Fermentasi hijauan makanan ternak. Artikel UNPAD : Bandung.
Kaunang, CL. 2005. Respons ruminan terhadap pemberian hijauan pakan yang
dipupuk air belerang. http://www.damandiri.or.id/file/charlesipbbab7.pdf. Tanggal kunjungan 10 maret 2008.
Krishnamoorthy, U. 2001. RCA training workshop on in vitro techniques for feed
evaluation. The International Atomic Energy Agency Vienna, Austria and
Departement of Livestock Production Management, Veterinary College
University of Agricultural Science. Bangalore: India.
Kurniawan, Brevi Prasetyo, MSpt. 2005. Pengaruh tingkat penggunaan bahan
pakan pengganti molases dalam suplemen terhadap efisiensi sintesis
protein mikroba melalui pendekatan produksi gas secara in vitro. Skripsi : Malang.
50
Kurniawati, A. 2007. Peningkatan kualitas jerami padi. Seminar Ilmiah PATIR- BATAN : Jakrta.
Kurniawati, A. 2007. Teknik produksi gas in vitro untuk evaluasi pakan ternak.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. BATAN : Jakarta.
Leng RA. 1990. Factors affecting the utilization of “poor quality” forages by ruminants particularly under tropical condition. Di dalam : Smith RH, editor. Nutrition Research Review. Volume ke-3 Cambridge : Cambridge University Press.
McDonald P, RA Edwards, JFD Greenhalg. 1988. Animal nutrition. 4th Edition. English Language Book Society, Longman: London.H: 141.
Menke, K., Raab, L., Salewski, A., Steingass, H., Fritz, D and Schneider. 1979.
The estimation of digestibility and metabolizable energy content of ruminant feedingstuffs from the gas production when they are incubated with rumen liquor in vitro. Journal of Agricultural Science Cambridge 3. 217 – 222.
Munasik MP, Prayitno CH, Widyastuti T, dan Marmono A. 1998. Upaya
penggunaan hijauan sogum manis (Sorghum bicolor L. Moench) varietas Rio sebagai pakan ternak ruminansia. Laporan Penelitian, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sudirman: Purwokerto.
Muwakhid, Badat dan F. Wadjiji. 1999. Rekayasa peningkatan mutu jerami padi
sebagai pakan ternak ruminansia melalui proses fermentasi trichoderma
viride. Skripsi. Universitas Islam Malang Fakultas Peternakan : Malang.
Ngamsaeng. A, Wanapat. M, and Khampa. S. 2006. Evaluation of local tropical plants by in vitro rumen fermentation and their effects on fermentation end-products. Pakistan Journal of Nutrition 5 (5): 414-418. India
Nurvianty, AR. 2006. Uji pakan komplit untuk ternak ruminansia secara in vitro.
Skripsi . Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta : Jakarta.
Orskov ER, Ryle M. 1990. Energy nutrition in ruminant. London : Elseivier.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu nutrisi dan makanan ternak ruminan. UI Press : Jakarta.
Ranjhan SK. 1993. Animal nutrition and feeding practice. Fourth Revise edition. Vikas Publishing House, PVT Ltd: India
Reksohadiprodjo, Soedomo. 1988. Pakan ternak gembala. BPFE : Jogjakarta.
51
Salim, R. Irawan, B., Amirudin, Hendrawan H, dan Nakatani M. 2002. Pengolahan jerami padi secar kering dan basah dalam buku petunjuk teknologi sapi perah di Indonesia. Dirjen Peternakan, Dinas Peternakan Jabar, dan
JICA: Jakarta.
Sasongko WT dan Kurniawati A. 2005. Studi kuantitas dan kualitas produksi hijauan mutan sorgum B100 sebagai alternatif pakan ternak ruminansia. Risalah Pertemuan ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop
dan Radiasi, BATAN : Jakarta.
Satter LD, Slyter LL. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein in vitro. B. J. Nutr. 32 : 194.
Schneider, B.H. and W.P, Flatt. 1975. The evaluation of feed trough digestibility
experiments. The University of Georgia Press. Athens.
Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian 22(4).
Siregar, SB. 1996. Pengawetan pakan ternak. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Soeranro. 2001. Mutation breeding in sorghum for drought tolerance. Proceeding of international seminar “Toward harmonization between Development
and Environmental Conservation in Biological Production”. The University of Tokyo: Japan
Soeranto. 2005. Pemuliaan tanaman sorgum. http//batan.go.co.id/patir/_pert.html.
Tanggal kunjungan 4 November 2007.
Srigandono, B dan Soedarsono. 1998. Ilmu peternakan. Gajah Mada University Press: Jogjakarta.
Sugoro, I, Asih Kurniawati, Firsoni dan Soeranto H. 2003. Pembuatan silase daun
galur mutan sorgum dengan menggunakan inokulum campuran isolat bakteri rumen kerbau. Risalah Pertemuan ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN : Jakarta.
Sugoro, I. 2004. Pengaruh tanin dan penambahan PEG terhadap produksi gas secara in vitro. Risalah Pertemuan ilmiah Penelitian dan Pengembangan
Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN : Jakarta.
Suryadi MS, Darlis MSC dan Latief A. 1998. Peningkatan daya cerna jerami padi dengan menggunakan probiotik starbio untuk ternak sapi. Universitas Jambi – Fakultas Peternakan.
Suwadji, Edih. 1999. Pemanfaatan kembali limbah industri pertanian dengan
menggunakan teknologi radiasi untuk budidaya jamur. Risalah
52
Pertemuan ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN : Jakarta.
Tangdilintin FK. 1984. Evaluasi daya cerna ternak ruminansia terhadap beberapa
jenis rumput unggul di Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian UNHAS: Sulawesi Selatan.
Tim Mikrobiologi FK UNBRAW. 2005. Bakteriologi Medik. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya: Malang. Hal 371.
Tilley DMA, Terry RA. 1963. A two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. Br. Grass. Soc. 18 : 104 – 111.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprojo S, Prawirokusumo S, Lebdosokojo. 1989.
ilmu makanan ternak dasar. Fakultas Peternakan UGM: Yogyakarta.
Utomo, R. 2004. Teknologi pakan hijauan. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakutas Peternakan, UGM : Yogyakarta.
Van Soest, P.J. 1976. Silica in Relation to fodder quality and digestibility.
Proceedings of Workshop and Nutritive Evaluation of Forages, National Dairy Research Intitute, Karnal.
Widati E dan Widalestari Y. 1996. Limbah untuk pakan ternak. Trubus
Agrisarana: Surabaya.
Yitnosumarotono, S. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Gramedia. Jakarta.
Yuwanta, Tri. 2000. Kebijakan Pengembangan agribisnis di Indonesia berbasiskan
bahan baku lokal; Buangaran Saragih Peternakan: Bulletin of animal
sciense. Edisi Tambahan. ISSN 0126-4400. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
53
Lampiran 1. Neutral Destilat Solution (NDS) 1. Destilat Water 1 liter
2.
Sodium Lawryl Sulfate Usp
60 g
3.
Disodium ethylene diamine tetraacetate
37,22 g
(EDTA) dihydrate crystal
4.
Sodium borate decahydrate
13,62 g
5.
Disodium hydrogen phosphate anhydrous
9,12 g
6.
2-ethoxy ethanol [ethylene glycol monoethyl
20 ml
ether ] purified grade
Cara Pembuatan :
1. Disodium ethylene diamine tetraacetate (EDTA) dihydrate crystal
37,22 g dicampur dengan Sodium borate decahydrate 13,62 g dengan
penambahan destilat water secukupnya dan dipanaskan hingga larut.
2. Sodium Lawryl Sulfate Usp 60 g dicampur dengan 2-ethoxy ethanol
[ethylene glycol monoethyl ether ] purified grade 20 ml dengan
penambahan destilat water secukupnya hingga larut dan distirer.
3. Disodium hydrogen phosphate anhydrous dilarutkan dengan
menmbahkan destilat water secukupnya dan dihomogenkan dengan
menggunakan stirer.
4. kemudian larutan dicampur semua hingga homogen, lalu cek pH (6,9 –
7,1)
54
Lampiran 2. Komposisi Media Gas Tes (1500 ml)
No Larutan Jumlah (ml)
1
Cairan Rumen
340, 065
2
H2O
564, 195
3
HCO3 bufer
376, 125
4
Makromineral
188, 07
5
Mikromineral
0, 12
6
Resazurin
0, 51
7 Larutan Reduksi 30, 915
Larutan Reduksi :
1. Na2S 298, 845 mg
2. NaOH 1 M 1,9 ml
Larutan Bufer :
1. NaHCO3 35 g
2. NH4HCO3 4 g
3. Destilat Water hingga 1000 ml
Makromineral :
1. Na2HPO4 5,7 g
2. KH2PO4 6,2 g
3. Mg.SO4. 7H2O 0,6 g
4. Destilat Water hingga 1000 ml
Resazurin :
1. Resazurin 100 mg
2. Destilat Water hingga 100 ml
Mikromineral :
1. CaCl2.2H2O 13,2 g
2. MnCl2.4H2O 10 g
3. CoCl2.6H2O 1 g
4. FeCl3.6H2O 8 g
5. Destilat Water hingga 100 ml
55
Lampiran 3. Kandungan nutrisi jerami sorgum setelah fermentasi selama 21 hari.
Ulangan 1
Perlakuan pH
Kadar Air (%) BK (%) BO (%)
A0 5.6 75.02 91.5 88.5
A1 4.93 77.12 92.4 89.01
A2 4.63 74.93 90.08 89.94
A3 5.02 76.79 89.82 88.36
Ulangan 2
Perlakuan pH Kadar Air
(%) BK (%) BO (%)
A0 5.53 77.59 93.78 86.92
A1 5.33 78.9 93.93 86.29
A2 5.24 78.35 88.31 86.03
A3 5.33 77.09 92.19 88.02
Ulangan 3
Perlakuan pH Kadar Air
(%) BK (%) BO (%)
A0 5.44 76.72 88.52 88.12
A1 6.11 75.52 92.67 85.67
A2 7.8 75.37 92.99 85.69
A3 6.39 74.11 93.05 84.93
56
2
2 2
Lampiran 4. Analisis statistik parameter yang diukur dengan menggunakan RAK
(Rancangan Acak Kelompok)
Lampiran 4.1. Analisis statistik produksi gas jerami sorgum fermentasi setelah
inkubasi selama 24 jam
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0
18.72753
22.62778
28.5033
69.8586
23.2862
A1 20.45275 21.0748 24.31225 65.8398 21.9466
A2 19.56818 19.87283 26.2446 65.6856 21.8952
A3 21.4515 21.8943 23.6129 66.9587 22.3196
Total 80.19995 85.4697 102.6731 268.3427
Rataan 20.04999 21.36743 25.66826
Perhitungan :
FK =
p q
2
Yij i j
txr
= ( 268.3427)2
4 x 3 = 6000.65
p
JK Total = i
q
Yij FK j
= (18.7275)2 + .... + (23.6129)2 - 6000.65
= 91.79013
p q
2
Yij JK Perlakuan =
i j FK
r
(69.8586) ..... (66.9587) = 6000.65
3
= 3.739604
57
q p2
Yij JK Blok = j i
FK t
2 2
= (80.1999) .... (102.6731) 6000.65
4
= 69.0642
JK Galat = JK Total – JK Perlakuan – JK Blok
= 17.49656
Analisis Varian
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Ket
Perlak 3 3.739604 1.2465 0.393926 4.76 9.78 ns
Blok 2 69.0642 34.5319 10.91267 5.14 10.92 ns
Galat 6 17.49656 3.1644
Total 11 91.79013 8.3446 Keterangan : ns = non significant
Lampiran 4.2. Analisis statistik kecernaan bahan kering (KcBK) jerami sorgum
fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 42.46945 47.7444 40.5459 130.7598 43.58658
A1 42.1788 40.8169 53.2688 136.2645 45.4215
A2 39.9829 36.67585 49.4999 126.1587 42.05288
A3 40.51525 43.55345 48.639 132.7077 44.2359
Total 165.1464 168.7906 191.9536 525.8906
Rataan 41.2866 42.19765 47.9884
Analisis Varian
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Ket
Perlak 3 43.31664 14.43888 0.556085 4.76 9.78 ns
Blok 2 133.5555 66.77775 2.571813 5.14 10.92 ns
Galat 6 155.7915 25.96525
Total 11 332.6636 Keterangan : ns = non significant
58
SK db JK KT FH F0.05 F0.01 Ket
perlk 3 32.26506 10.75502 1.509477 4.76 9.78 ns
blok 2 80.86069 40.43034 0.401541 5.14 10.92 ns
galat 6 97.40675 16.23446
total 11 210.5325
SK db JK KT FH F0.05 F0.01
perlk 3 2.0625 0.6875 1.152727 4.76 9.78
blok 2 16.785 8.3925 0.09443 5.14 10.92
galat 6 4.755 0.7925
total 11 23.6025
Lampiran 4.3. Analisis statistik kecernaan bahan organik (KcBO) jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 47.2917 45.80925 41.26 134.361 44.78698
A1 46.9149 38.0885 40.9996 126.003 42.001
A2 47.724 37.4288 51.3284 136.4812 45.49373
A3 47.59255 43.3492 48.2089 139.1507 46.38355
Total 189.5232 164.6758 181.7969 535.9958
Rataan 47.38079 41.16894 45.44923
Analisis Varian
Keterangan : ns = non significant
Lampiran 4.4. Analisis statistik konsentrasi volatil fatty acid (VFA) jerami sorgum
fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 6.3 6.3 9 21.6 7.2
A1 6.9 6.3 9 22.2 7.4
A2 9.3 6 9 24.3 8.1
A3 6 6 9 21 7
Total 28.5 24.6 36 89.1
Rataan 7.125 6.15 9
Analisis Varian
Ket
ns
ns
Keterangan : ns = non significant
59
SK db JK KT FH F0.05 F0.01 Ket
perlk 3 6.5603 2.186767 0.813877 4.76 9.78 ns
blok 2 16.31405 8.157025 0.218187 5.14 10.92 ns
galat 6 10.67855 1.779758 total 11 33.5529
SK db JK KT FH F0.05 F0.01
perlk 3 0.007692 0.002564 1.005688 4.76 9.78
blok 2 0.025463 0.012731 0.202531 5.14 10.92
galat 6 0.015471 0.002578
total 11 0.048625
Lampiran 4.5. Analisis statistik konsentrasi amonia (NH3) jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam.
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 19.55 21.42 25.16 66.13 22.04333
A1 21.25 22.27 23.12 66.64 22.21333
A2 21.59 21.42 23.12 66.13 22.04333
A3 21.76 25.5 24.14 71.4 23.8
Total 84.15 90.61 95.54 270.3
Rataan 21.0375 22.6525 23.885
Analisis Varian
Keterangan : ns = non significant
Lampiran 4.6. Analisis Statistik pH jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi
selama 24 jam.
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 7.025 7 7.05 21.075 7.025
A1 7.14 7.005 7.09 21.235 7.078333
A2 7.175 7.05 7 21.225 7.075
A3 7.165 7 7.11 21.275 7.091667
Total 28.505 28.055 28.25 84.81
Rataan 7.12625 7.01375 7.0625
Analisis Varian Ket
ns
ns
Keterangan : ns = non significant
60
SK db JK KT FH F0.05 F0.01
perlk 3 0.001556 0.000519 0.208496 4.76 9.78
blok 2 0.006818 0.003409 0.031713 5.14 10.92
galat 6 0.000649 0.000108
total 11 0.009022
Lampiran 4.7. Analisis Statistik PMM (Produksi Massa Mikroba)
Blok
Perlakuan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Total Rataan
A0 0.072 0.111 0.097 0.28 0.093333
A1 0.041 0.115 0.101 0.257 0.085667
A2 0.072 0.119 0.131 0.322 0.107333
A3 0.082 0.136 0.126 0.344 0.114667
Total 0.267 0.481 0.455 1.203
Rataan 0.06675 0.12025 0.11375
Analisis Varian Ket
ns
ns
Keterangan : ns = non significant
61
Lampiran 5. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan I
Volume Gas Jam Ke-
Berat Sampel (g) 0 2 4 6 8 10 24 PG NG NG/200mg Terkoreksi
BL 30 31.3 32 32.5 33 33.5 34.5 4.5 30 31.5 32.5 33 34 34 35.5 5.5 29 30.3 31.3 31.5 31.5 32 33 4 29.5 31 32 32.5 32.8 33 34.3 4.75 mean 4.74
SK 0.2042 25.8 33.3 40 46 52.8 59.25 75.3 49.5 44.76 50.39859 0.2018 29.5 38 45 51 58.5 65 83.5 54 49.26 55.46548 0.2004 30.5 39 46 52 59 65 83.5 53 48.26 54.3395 0.2007 30 36 42 46.5 52.5 58.5 78.5 48.5 43.76 49.27262 mean 52.36905 1.145715
SH 0.1991 30 35.5 40.5 45.3 49.5 53.25 67 37 32.26 35.81858 0.2005 29.5 35 41.5 47 52 56 70.5 41 36.26 40.25981 0.2042 30 36 41.5 47 52 56 71 41 36.26 40.25981 0.2006 29 33 38.5 43 48 52 66.5 37.5 32.76 36.37373 mean 38.17798 1.571586
A0 0.3756 29.5 31 34 37 40.5 45 66 36.5 32 18.62239 25.30132
0.3754 30 34.5 39.5 43 47 51 72.5 42.5 38 22.12587 30.06133 0.3751 30.5 34 39 42.5 46 50 71 40.5 36 20.97812 28.50193 0.3752 32 37 41 43.5 46 49.5 71 39 34.5 20.09867 27.30707
mean 20.45626 27.79291 A1 0.3754 30 36.5 41.5 45 48 52 72 42 37.5 21.62284 29.37789
0.375 31 37 43 47 50.5 54 75 44 39.5 22.80036 30.97771 0.3751 29.5 34 39 42 46 49.5 68 38.5 34 19.62039 26.65725
0.3751 30 35 40 43 46 50 72 42 37.5 21.64014 29.40138 mean 21.42093 29.10356
A2 0.3753 30 35.5 40 43 46 51 70 40 35.5 21.00013 28.53183 0.3755 31 36 41 44.5 48 51.5 72.5 41.5 37 21.8758 29.72157
0.3751 29.5 34 39 42 46 49.5 68 43.5 39 23.08286 31.36155 0.3751 30 35 40 43 46 50 72 43.5 39 23.08286 31.36155
mean 22.26041 30.24412 A3 0.3745 30 36.5 41 45 48.5 53 73 43 38.5 22.88942 31.09873
0.375 30.5 37 42.5 46.5 51 55 76.5 46 41.5 24.64012 33.47731
0.3756 30.5 37 42 45.5 49 53.5 74 43.5 39 23.11878 31.41035 0.3754 31 37 42.5 46 49 53 74.5 43.5 39 23.1311 31.42708
mean 23.44486 31.85337
Keterangan : BL = Blanko SK = Standar Konsentrat SH = Standar Hijauan
PG = Produksi Gas NG = Net Gas
62
Lampiran 6. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan
pada ulangan II
Volume Gas Jam Ke-
Berat Prod Net ml/200 Sampel (g) 0 2 4 6 8 10 24 Gas Gas mg Terkoreksi
BL 30 31 32 32.5 33 33 33.5 3.5 4 29.5 30.5 31 31.5 32 32 33.5 4 29 30 30 30.5 30.5 30.5 31 2 29 30 30.5 31 31.5 32 33.5 4.5 mean 3.5
SK 0.1776 30 39 46.5 52.5 59 65 81 51 47 52.92067 1.133773 0.1766 29 38 46 53.5 61 68 84 55 51 57.76807 1.038636
0.1768 29.5 35.5 44 51 57.5 65 82 52.5 50.5 57.1163 1.050488
0.1776 29.5 38 45 51 56.5 62.5 79.5 50 45.5 51.23171 1.17115 mean 1.098512
SH 0.1801 31 36.5 42 46.5 51 54 64 33 29 32.19896 1.366504 0.1812 31 35.5 42 47 52 51.5 64.5 33.5 29.5 32.55886 1.351399
0.181 31 36 41 45.5 50 55 69 38 36 39.77237 1.106296 0.1812 31 35.5 41 45.5 49 53 66 35 30.5 33.66255 1.30709 mean 1.282822
A0 0.3521 30.5 35 38 41 43.5 46 61.5 31 27 15.33817 19.17482
0.3518 30 35 39.5 43 46.5 51 71 41 37 21.03578 25.11874 0.3524 28.5 33 36.5 40 43 47.5 67.5 39 37 20.9966 22.64256 0.3522 30 33.5 37.5 40 43 56 68 38 33.5 19.02562 23.57503
mean 22.62779 A1 0.3526 31 35 38 40.5 42.5 45 58 27 23 13.04494 16.30798
0.3528 30.5 34 37.5 40 43.5 47.5 68 37.5 33.5 18.99012 22.67603 0.3526 30 32.5 35 37 39.5 43 63 33 31 17.58231 18.96062
0.3526 19.5 33.5 37 39 42 45 61.5 42 37.5 21.26892 26.35475 mean 21.07484
A2 0.3317 30.5 36 40 43 45 47.5 60.5 30 26 15.67773 19.59932 0.3314 31 36 39.5 43 46 50 69 38 34 20.51803 24.5005
0.3316 30 33 36 38.5 41.5 45 64 34 32 19.3008 20.81383 0.3315 30 34.5 38.5 41 44 47 54 24 19.5 11.76456 14.5777
mean 19.87284 A3 0.3463 30 34 37 40 42 44 58 28 24 13.85886 17.32548
0.3458 30 34 38 41.5 45 49.5 71 41 37 21.39992 25.55355
0.3463 30 33.5 37 40 43 46.5 67 37 35 20.21622 21.801 0.3463 31 36 40 43 45.5 48.5 67.5 36.5 32 18.47848 22.89705
mean 21.89427
Keterangan : BL = Blanko SK = Standar Konsentrat
SH = Standar Hijauan
PG = Produksi Gas NG = Net Gas
63
Lampiran 7. Hasil pengukuran produksi gas setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan
pada ulangan III
Volume Gas Jam Ke-
Berat Prod Net ml/200 Sampel (g) 0 2 4 6 8 10 24 Gas Gas mg Terkoreksi
BL 28.5 29 29.5 30 30 30 30.5 2
29 30 31 31 31.5 31.5 33 4
mean 3
SK 0.201 28 33 40 45 49 54.5 73 45 42 47.29091
0.2028 30 33.5 38.5 42 46 50.5 66 36 33 37.15714
mean 42.22402 1.420992
SH 0.201 29.5 33.5 38.5 42.5 46.5 51 53 23.5 20.5 22.76134
0.2016 30 35 41.5 48 53 58.5 78.5 48.5 45.5 50.51907
mean 36.6402 1.200867
A0 0.3751 30 34 38 41 44 47 67 37 34 20.47955 26.84724
0.3747 29.5 34 38 41.5 45 48 69 39.5 36.5 22.00887 28.85207
mean 21.24421 27.84965
A1 0.3752 28.5 31.5 34.5 36.5 39 42.5 62 33.5 30.5 17.54397 22.9989
0.3757 30 32 34 36 38 40.5 60.5 30.5 27.5 15.79728 20.70911
mean 16.67062 21.85401
A2 0.3748 30 33.5 37 40 42.5 46 65.5 35.5 32.5 18.64994 24.44875
0.375 29 32 35.5 39 42 45 65.5 36.5 33.5 19.21354 25.18758
mean 18.93174 24.81817
A3 0.3754 30 32.5 35 37.5 39.5 42.5 63 33 30 17.17673 22.51748
0.3758 29.5 32 34.5 37 40 43 65 35.5 32.5 18.58832 24.36797
mean 17.88253 23.44273
Keterangan :
BL = Blanko SK = Standar Konsentrat SH = Standar Hijauan
PG = Produksi Gas NG = Net Gas
64
Lampiran 8. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap perlakuan pada ulangan I
Brt BK KcBK BO BO BO KcBO Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)
A0 0.3751 91.50 0.3432 0.1814 47.15 88.27 0.3311 0.172 48.0532
0.3752 91.50 0.3433 0.1766 48.56 88.27 0.3312 0.1691 48.9427
mean 47.85 mean 48.50 A1 0.375 92.40 0.3465 0.2241 35.32 89.2 0.3345 0.2237 33.1216
0.3748 92.40 0.3463 0.1924 44.44 89.2 0.3343 0.1853 44.5723 mean 39.88 mean 38.85
A2 0.3751 90.09 0.3379 0.1756 48.03 88.96 0.3337 0.1726 48.2726 0.3751 90.09 0.3379 0.1895 43.92 88.96 0.3337 0.1806 45.8751 mean 45.98 mean 47.07
A3 0.3756 89.83 0.3374 0.1656 50.92 89.04 0.3344 0.1648 50.724
0.3754 89.83 0.3372 0.1682 50.12 89.04 0.3343 0.1603 52.044
mean 50.52 mean 51.38
Lampiran 9. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap
perlakuan pada ulangan II
Brt BK KcBK BO BO BO KcBO Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)
A0 0.3754 93.78 0.3521 0.1858 47.23 86.92 0.3263 0.178 45.45
0.3751 93.78 0.3518 0.182 48.26 86.92 0.326 0.1755 46.17 mean 47.74 mean 45.81
A1 0.3754 93.93 0.3526 0.2137 39.40 86.29 0.3239 0.2044 36.90 0.3756 93.93 0.3528 0.2038 42.24 86.29 0.3241 0.1968 39.28 mean 40.82 mean 38.09
A2 0.3756 88.31 0.3317 0.2095 36.84 86.03 0.3231 0.1999 38.13
0.3753 88.31 0.3314 0.2104 36.51 86.03 0.3229 0.2043 36.72
mean 36.68 mean 37.43 A3 0.3757 92.19 0.3463 0.2006 42.08 88.02 0.3307 0.1936 41.46
0.3751 92.19 0.3458 0.1901 45.03 88.02 0.3302 0.1808 45.24
mean 43.55 mean 43.35
Lampiran 10. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO setelah inkubasi 24 jam tiap
perlakuan pada ulangan III
Brt BK KcBK BO BO BO KcBO Sampel sampel BK (%) awal BK sisa (%) (%) awal sisa (%)
A0 0.3747 88.52 0.3317 0.1939 41.54 88.1 0.3301 0.1923 41.75
A1 0.3757 92.67 0.3482 0.1972 43.36 85.7 0.322 0.1899 41.02
A2 0.375 92.99 0.3487 0.1627 53.34 85.7 0.3214 0.1564 51.33
A3 0.3758 93.05 0.3497 0.1761 49.64 84.9 0.3191 0.1653 48.19
65
Lampiran 11. Pengukuran produksi massa mikroba perlakuan tiap ulangan
Sampel Ulangan BK
Apparent BK Trully Massa
mikroba
A0 I 0.3101 0.1852 0.1249
II 0.2309 0.1839 0.0470
III 0.2909 0.1939 0.097
Rata-rata 0.0896
A1 I 0.3122 0.2145 0.0978
II 0.2593 0.2088 0.0505
III 0.2977 0.1972 0.1005
Rata-rata 0.0829
A2 I 0.3165 0.1888 0.1277
II 0.2646 0.2100 0.0546
III 0.2935 0.1627 0.1308
Rata-rata 0.1044
A3 I 0.3113 0.1731 0.1382
II 0.2674 0.1954 0.0721
III 0.3021 0.1761 0.126
Rata-rata 0.1121
Lampiran 12. Pengukuran pH, ammonia dan VFA sample tiap perlakuan untuk
ulangan I
Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)
CR 6.87 29.92 2.4
CR + Buffer 7.05 11.56 4.2
A0 7.03 19.55 6.3
A1 7.14 21.25 6.9
A2 7.18 21.59 9.3
A3 7.17 21.76 6.0
Lampiran 13. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan untuk ulangan II
Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)
CR 6.76 25.95 11.4
CR + Buffer 7.03 40.8 3.3
A0 7 21.42 6.3
A1 7.01 22.27 6.3
A2 7.05 21.42 6.0
A3 7 25.33 6.0
66
Lampiran 14. Pengukuran pH, ammonia dan VFA tiap perlakuan
untuk ulangan III
Sampel pH Amonia (ml/100 mg) VFA (ml/100 mg)
CR 6.96 32.98
CR + Buffer 7.135 49.64
A0 7.05 25.16 9.0
A1 7.09 23.12 9.0
A2 7 23.12 9.0
A3 7.11 24.14 9.0
67
Lampiran 15. Gambar Alat-alat penelitian
Gambar 12. Gelas Syringe dengan skala 100 ml Gambar 13. Inkubator
Gambar 14. Pemanas serat (NDF Heater) merk Gerhardt 176600 Hy 16/19
dan penyaring Vakum
Gambar 15. Labu destilat VFA dan Sentrifus merk Hitachi
68
Gambar 16. Cawan Conway dan buret titrasi
Gambar Lampiran 17. Pengambilan cairan rumen dan hewan percobaan
Gambar 18. Hasil isolasi mikroba BMFbiofad dengan 2, 3 dan 8 kali pengenceran
69