PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU ...eprints.uns.ac.id/42402/1/S961408005_abstrak.pdfSp.PD...
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU ...eprints.uns.ac.id/42402/1/S961408005_abstrak.pdfSp.PD...
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU
DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II
DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI
RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI
TESIS
Oleh :
Fatnan Setyo Hariwibowo
NIM S961408005
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/
RSUD DR.MOEWARDI
2018
ii
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU
DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II
DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI
RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI
TESIS
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Spesialis Penyakit
Dalam dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Dalam Fakutas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Fatnan Setyo Hariwibowo
NIM S961408005
PEMBIMBING:
dr. Arifin, SpPD-KIC, FINASIM
dr. Fatichati B, Sp.PD-KGer, FINASIM
Drs. Sumardi, MM
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/
RSUD DR.MOEWARDI JAWA TENGAH
2018
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah Disetujui Dan Disahkan Oleh Pembimbing Tesis Program Pendidikan
Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Hasil Penelitian Yang Berjudul
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU
DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II
DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI
RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI
Telah diuji dan dipresentasikan pada
Hari/tanggal : Senin, 27 Agustus 2018
iv
Telah diuji dan diseminarkan pada hari Senin 27 Agustus 2018 di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Penelitian dan Tugas Akhir yang berjudul:
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU
DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II
DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI
RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI
Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam
FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta
dr. Wachid Putranto, Sp.PD-KGH, FINASIM
NIP.197202262005011001
Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Prof. Dr. dr. H.M. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM
NIP. 194807191976091001
v
Telah diuji pada
Hari Senin, 27 Agustus 2018
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. T.Y Pramana, Sp.PD KGEH FINASIM
Anggota :
1. dr. Arifin, Sp.PD KIC FINASIM
2. dr. Fatichati Budiningsih, Sp.PD-KGer FINASIM
3. Drs. Sumardi, MM
vi
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI
Penulis menyatakan dengan sebesar-besarnya bahwa:
1. Tesis yang berjudul “Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral Kontinyu
Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE II Dan Length of
Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang Perawatan Intensif
RSUD Dr.Moewardi” ini adalah karya penelitian penulis sendiri dan tidak
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan
acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar
pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur plagiasi, maka penulis bersedia menerima sanksi,
baik tesis beserta gelar magister penulis dibatalkan serta diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal forum ilmiah
harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai
institusinya. Apabila penulis melakukan pelanggaran dari ketentuan
publikasi ini, maka penulis bersedia mendapatkan sanksi akademik yang
berlaku.
Surakarta, Juli 2018
Fatnan Setyo Hariwibowo
NIM S961408005
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillaahirabbil’aalamin penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas segala limpahan kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusunan tesis yang berjudul: “Pengaruh Pemberian Nutrisi
Enteral Kontinyu Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE
II Dan Length of Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang
Perawatan Intensif RSUD Dr.Moewardi” ini dapat terselesaikan dengan
baik. Penelitian ini untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh
gelar Spesialis Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan
penghargaan yang tinggi kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam
melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.
2. Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
kemudahan dan dukungan kepada penulis selama menjalani pendidikan
PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.
3. Dr. dr. Suharto Wijanarko,Sp.U sebagai Plt. Direktur RSUD Dr.
Moewardi beserta seluruh jajaran staf direksi yang telah berkenan dan
mengijinkan untuk menjalani program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit
Dalam.
4. Prof. Dr. HM. Bambang Purwanto, dr., SpPD, KGH, FINASIM selaku
Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi
yang telah memberikan ijin, bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan usulan tesis ini, serta memberikan kemudahan penulis dalam
melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.
viii
5. dr. Wachid Putranto, SpPD, KGH, FINASIM selaku Ketua Program
Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan ijin,
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan usulan tesis ini, serta
memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan program
pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.
6. dr. Arifin, SpPD-KIC, FINASIM dan dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-
KGer, FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan ijin,
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan usulan tesis ini.
7. Drs. Sumardi, MM selaku pembimbing/ konsultan statistik penelitian, yang
dengan kesabaran telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam
penyusunan tesis.
8. dr. T.Y. Pramana, Sp.PD KGEH, FINASIM, selaku penguji tesis, terima
kasih telah bersedia menguji, membimbing dan memberikan pengarahan
dalam penyusunan perbaikan tesis.
9. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi
Surakarta. Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr., SpPD-KPTI FINASIM
(alm), Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan,dr., SpPD-KR,FINASIM, Prof.Dr.
Djoko Hardiman, dr., SpPD-KEMD FINASIM(alm), dr. Suradi Maryono,
SpPD-KHOM FINASIM, dr. Sumarmi Soewoto SpPD-KGER FINASIM,
dr. Tatar Sumandjar, SpPD-KPTI FINASIM, dr. Tantoro Harmono, SpPD-
KGEH FINASIM (alm), dr. Tri Yuli Pramana SpPD-KGEH FINASIM, dr.
Supriyanto Kartodarsono, SpPD-KEMD FINASIM, dr. Supriyanto
Muktiatmojo, SpPD FINASIM (alm), dr. Dhani Redhono, SpPD-KPTI
FINASIM, dr. Wachid Putranto, SpPD-KGH FINASIM, dr. Arifin, SpPD-
KIC FINASIM, dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-KGer FINASIM, dr.
Agung Susanto,SpPD FINASIM, dr. Arief Nurudin SpPD FINASIM, dr.
Agus Joko S,SpPD, FINASIM, dr. Yulyani Werdiningsih, SpPD
FINASIM, dr.Sri Marwanta SpPD Mkes, dr.Aritantri D SpPD MSc, dr.
Bayu Basuki Wijaya SpPD Mkes, dr.R. Satriyo SpPD Mkes, dr. Evi
Nurhayatun SpPD Mkes, dr. Eva N SpPD Mkes, dr. Ratih Tri K SpPD, dr.
ix
Yudhi Hadjianto Sp.PD Mkes, dr. Agus Jati, Sp.PD, dr. Nurhasan Agung,
SpPD Mkes, dr. Aryo Suseno, SpPD Mkes, dan dr. Ratih Arianita, SpPD
Mkes, dr. Didik Prasetyo, Sp.PD Mkes, dan dr. Warigit Dri Atmoko,
Sp.PD Mkes, dr. Kun Salimah, Sp.PD MBiomed yang telah memberi
dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis
bisa menyelesaikan penyusunan tesis.
10. Ayahanda dan Ibunda tercinta Muhammad Amir Fatah dan Isnaningsih,
Bapakku Musbikun dan Ibu Eko Istiyati, Istriku tercinta dr. Dina Nur
Faiza, ketiga buah hatiku Kaysan Arda Maghfaza Hariwibowo (mas arda),
Sakhi Imtiyaz Arfa Hariwibowo (mas sakhi) dan Kaina Rifda Qurrota
A’yun (dik rifda) yang telah memberikan kasih sayang dan semangat
dengan sabar dan tulus memberikan dukungan moril dan materiil dalam
penyelesaian tesis ini dan proses menjalani program pendidikan PPDS I
Ilmu Penyakit Dalam.
11. Keluargaku yang selalu membantu dan mendukung, kakakku mas Ritchie
Swandageni (mas Cicik), mbak ending, adikku Fauzan Ihsani dan istri dik
Hida, dan yang lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
12. Dr. Makiy, dr. Indah Prianti, dan seluruh teman sejawat seperjuangan
Residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan dukungan dan
bantuan kepada penulis dalam penelitian ini dan selama menjalani
pendidikan, terkhusus
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
membantu penulis baik dalam menjalani pendidikan maupun dalam
persiapan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan tesis ini
masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penyusun mohon maaf dan sangat
mengharapkan saran serta kritik dalam rangka perbaikan penulisan tesis ini.
Surakarta, Juli 2018
Penulis
x
RINGKASAN
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU
DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II
DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS
DI RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI
Fatnan Setyo Hariwibowo
Sepsis dinyatakan sebagai salah satu penyebab kematian terbesar di
rumah sakit di dunia. Nutrisi enteral pada pasien sepsis menjadi salah satu pilar
utama terapi non farmakologis selain pemberian secara parenteral. Namun, usia
tua dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi nutrisi pasien
sepsis. Teknik pemberian nutrisi merupakan tatalaksana penting karena kondisi
malnutrisi secara signifikan meningkatkan mortalitas, dapat dilakukan dengan
cara bolus, intermiten, maupun kontinyu. Penelitian terbaru terdapat efek positif
pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap mortalitas. APACHE II saat ini
merupakan sistem skor yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dalam
penilaian derajat keparahan suatu penyakit dan LOS berhubungan dengan angka
mortalitas.
Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral
secara kontinyu dibandingkan bolus dengan outcome evaluasi skor APACHE II
dan length of stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis. Penelitian ini
merupakan penelitian kohort , eksperimental dengan randomized control trial,
dimulai pada 1 Mei 2017 – 31 Mei 2018.
Empat puluh empat pasien geriatri dengan sepsis diberi nutrisi enteral
dibagi menjadi 2 kelompok (n = 22 masing-masing) dan dihitung skor APACHE
II pada hari pertama perawatan. Nutrisi enteral diberikan sebagai bolus 1 jam
setiap 4 jam (Kelompok I), atau terus menerus selama 24 jam (Kelompok II)
selama periode perawatan intensif. Setelah 3 hari, semua pasien dihitung skor
APACHE II. LOS dihitung dari hari pertama masuk ruang rawat intensif hingga
keluar dari ruang rawat intensif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan skor APACHE II pada
nutrisi enteral kontinyu (55,75 %, mean 11,68 + 3,96) lebih besar daripada bolus
(13,65%, mean 4,73 + 6,89) signifikan (p < 0,001). Ada perbedaan Length of
Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral kontinyu (6,64 + 2,74) dibandingkan
dengan bolus (8,45 + 2,65) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang rawat
intensif.
Dapat disimpulkan bahwa nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti
sama – sama menurunkan Skor APACHE II. Namun nutrisi enteral kontinyu
lebih besar dalam menurunkan Skor APACHE II dibandingkan bolus. Nutrisi
enteral kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan bolus.
Kata kunci : nutrisi enteral, geriatric dengan sepsis, APACHE II, LOS
xi
SUMMARY
THE EFFECT OF ADMINISTRATION CONTINYU ENTERAL
NUTRITION COMPARED TO BOLUS ON APACHE II SCORES AND
LENGTH OF STAY IN GERIATRIC PATIENTS WITH SEPSIS IN
INTENSIVE CARE UNIT OF DR. MOEWARDI HOSPITAL
Fatnan Setyo Hariwibowo
Sepsis is stated as one of the biggest causes of death in hospitals in the
world. Enteral nutrition in septic patients is one of the main pillars of non-
pharmacological therapy in addition to parenteral administration. However, old
age can be a factor that influences the absorption of nutrients from septic
patients. Nutritional administration techniques are an important treatment
because malnutrition conditions significantly increase mortality, can be done by
bolus, intermittent, or continuous. Recent studies have a positive effect on
continuous enteral nutrition for mortality. APACHE II is currently the most
widely used scoring system in the world in assessing the severity of a disease
and LOS associated with mortality rates.
This study aims to prove the effect of continuous enteral nutrition versus
bolus with the evaluation of APACHE II scores and length of stay (LOS) in
geriatric patients with sepsis. This study is a cohort study, experimental with
randomized control trial, starting on May 1st 2017 - May 31st 2018.
Forty-four geriatric patients with sepsis were given enteral nutrition
divided into 2 groups (n = 22 each) and APACHE II scores were calculated on
the first day of treatment. Enteral nutrition is given as a bolus 1 hour every 4
hours (Group I), or continuously for 24 hours (Group II) during the intensive
care period. After 3 days, all patients were calculated for APACHE II scores.
LOS is calculated from the first day of entering the intensive care unit until
leaving the intensive care room.
The results showed that a decrease in APACHE II score on continuous
enteral nutrition (55.75%, mean 11.68 + 3.96) was greater than bolus (13.65%,
mean 4.73 + 6.89) significant (p < 0.001). There was a difference in Length of
Stay (LOS) (p = 0.03) in continuous enteral nutrition (6.64 + 2.74) compared to
bolus (8.45 + 2.65) in geriatric patients with sepsis in intensive care.
It can be concluded that continuous enteral and bolus nutrition has been
shown to reduce APACHE II score equally. However, continuous enteral
nutrition is greater in reducing the APACHE II score than in bolus. Continuous
enteral nutrition greater decreases LOS than bolus.
Keywords: enteral nutrition, geriatric with sepsis, APACHE II, LOS
xii
Fatnan Setyo Hariwibowo. S961408005. Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral
Kontinyu Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE II dan Length
Of Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang Perawatan Intensif RSUD
Dr.Moewardi. Tesis. Pembimbing I : dr. Arifin, Sp.PD-KIC, FINASIM,
Pembimbing II : dr. Fatichati B, Sp.PD-KGer, FINASIM. Program PPDS I Ilmu
Penyakit Dalam. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Latar Belakang : Nutrisi enteral dengan metode kontinyu dibandingkan bolus
pada pasien geriatri dengan sepsis masih kontroversial. Dengan tujuan
mengidentifikasi perubahan skor APACHE II dan LOS pada subjek pasien
geriatric dengan sepsis di ruang perawatan intensif, dilakukan penelitian
prospective randomized controlled.
Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah ada
perubahan skor APACHE II dan LOS pada pasien yang diberikan nutrisi enteral
dengan metode kontinyu dibandingkan bolus.
Metode Penelitian : Penelitian eksperimental dengan prospective randomized
controlled trial dilakukan pada pasien geriatric dengan sepsis di ruang rawat
intensif. Dimulai pada 1 Mei 2017 – 31 Mei 2018. Empat puluh empat pasien
geriatri dengan sepsis diberi nutrisi enteral dibagi menjadi 2 kelompok (n = 22
masing-masing) dan dihitung skor APACHE II pada hari pertama perawatan.
Nutrisi enteral diberikan sebagai bolus 1 jam setiap 4 jam (Kelompok I), atau
terus menerus selama 24 jam (Kelompok II) selama periode perawatan intensif.
Setelah 3 hari, semua pasien dihitung skor APACHE II. LOS dihitung dari hari
pertama masuk ruang rawat intensif hingga keluar dari ruang rawat intensif.
Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan skor
APACHE II pada nutrisi enteral kontinyu (55,75 %, mean 11,68 + 3,96) lebih
besar daripada bolus (13,65%, mean 4,73 + 6,89) signifikan (p < 0,001). Ada
perbedaan Length of Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral kontinyu (6,64 +
2,74) dibandingkan dengan bolus (8,45 + 2,65) pada pasien geriatri dengan
sepsis di ruang rawat intensif..
Kesimpulan : Nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti sama – sama
menurunkan Skor APACHE II. Namun nutrisi enteral kontinyu lebih besar
dalam menurunkan Skor APACHE II dibandingkan bolus. Nutrisi enteral
kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan bolus.
Kata kunci : nutrisi enteral, geriatri dengan sepsis, APACHE II, LOS
xiii
ABSTRACT
Background: Enteral nutrition with a continuous method compared to bolus in
geriatric patients with sepsis is still controversial. With the aim of identifying
changes in APACHE II and LOS scores in subjects with geriatric patients with
sepsis in the intensive care setting, a prospective randomized controlled study
was conducted.
Objective: This study aimed to determine whether there were changes in
APACHE II and LOS scores in patients given enteral nutrition with a continuous
method compared to boluses.
Methods: A prospective randomized controlled trial was conducted in geriatric
patients with sepsis in intensive care. Starting May 1st 2017 until May 31st 2018.
Forty-four geriatric patients with sepsis were given enteral nutrition divided into
2 groups (n = 22 each) and APACHE II scores were calculated on the first day
of treatment. Enteral nutrition is given as a bolus 1 hour every 4 hours (Group I),
or continuously for 24 hours (Group II) during the intensive care period. After 3
days, all patients were calculated for APACHE II scores. LOS is calculated from
the first day of entering the intensive care room until leaving the intensive care
room.
Results: The results showed that a decrease in APACHE II scores on continuous
enteral nutrition (55.75%, mean 11.68 + 3.96) was greater than bolus (13.65%,
mean 4.73 + 6.89) significant (p <0.001). There was a difference in Length of
Stay (LOS) (p = 0.03) in continuous enteral nutrition (6.64 + 2.74) compared to
bolus (8.45 + 2.65) in geriatric patients with sepsis in intensive care. .
Conclusion: Continuous enteral and bolus nutrition was shown to reduce
APACHE II score equally. However, continuous enteral nutrition is greater in
reducing the APACHE II score than in bolus. Continuous enteral nutrition
greater decreases LOS than bolus.
Keywords: enteral nutrition, geriatric with sepsis, APACHE II, LOS
xiv
DAFTAR ISI
Halaman Judul .....................................................................................................i
Lembar Pengesahan ............................................................................................iii
Pernyataan Keaslian dan Persyaratan Publikasi ..................................................vi
Kata Pengantar ....................................................................................................vii
Ringkasan ............................................................................................................x
Abstrak ………………………………………………………………………..xii
Daftar Isi ………………………………………………………………………xiv
Daftar Tabel …………………………………………………………………..xvii
Daftar Gambar dan Bagan ……………………………………………………xix
Daftar Singkatan..................................................................................................xx
BAB 1. Pendahuluan... ........................................................................................1
BAB 2. Tinjauan Pustaka ....................................................................................7
2.1. Sepsis ..................................................................................................7
2.1.1.Definisi Sepsis ...........................................................................7
2.1.2.Kriteria Diagnosis ......................................................................7
2.1.3. Etiologi .....................................................................................7
2.1.4. Patogenesis ...............................................................................8
2.1.5. Gagal Organ Multipel Pada Sepsis ...........................................14
2.1.6. Stress Related Intestinal Mucosal Damage …………………. 25
2. 1.7. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ...............29
2.2. Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) 30
2.3. Perubahan Fisiologis Saluran Pencernaan Pada Geriatri …………...34
2.4. Nutrisi Enteral pada Pasien Sepsis ....................................................37
2.4.1.Pengertian Nutrisi Enteral .........................................................37
2.4.2.Persyaratan Nutrisi Enteral ........................................................41
2.4.3. Indikasi Nutrisi Enternal ...........................................................44
2.4.4. Kontraindikasi Nutrisi Enternal ................................................45
xv
2.4.5. Metode Pemberian Nutrisi enteral ............................................45
2.5. Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis ................47
2.6. Pengaruh Teknik Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis .... 49
BAB 3. Kerangka Konseptual Dan Hipotesis Penelitian ..................................52
3.1. Kerangka Konseptual..........................................................................52
3.2. Hipotesis Penelitian ............................................................................56
BAB 4. Metode Penelitian ..................................................................................57
4.1. Jenis Penelitian .......................................................................................57
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................57
4.3. Populasi dan Sampel ..............................................................................57
4.3.1. Populasi ...........................................................................................57
4.3.2. Pengambilan Sampel .......................................................................58
4.3.3. Besar Sampel ...................................................................................58
4.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...........................................................59
4.4. Variabel Penelitian .................................................................................60
4.4.1. Variabel Bebas .................................................................................60
4.4.2. Variabel Tergantung ........................................................................60
4.5. Definifisi Operasional ............................................................................61
4.5.1. Nutrisi Enteral bolus feeding ...........................................................61
4.5.2. Nutrisi Enteral Kontinyu .................................................................61
4.5.3. Skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation) ……………………………………………………....62
4.5.4. Leght of Stay (=LOS) .......................................................................63
4.6. Bahan dan Alat penelitian ......................................................................63
4.6.1. Bahan Penelitian ..............................................................................62
4.6.2. Alat Penelitian .................................................................................64
4.7. Rancangan Penelitian ..............................................................................65
4.8. Analisis Hasil ..........................................................................................67
4.9. Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................68
4.10. Alur Penelitian ………………………………………………………..70
xvi
BAB 5. Hasil Penelitian ……………………………………………………….71
5.1. Karakteristik Objek Penelitian ……………………………………….. 71
5.2. Pengujian Variabel Utama …………………………………………… 78
BAB 6. Pembahasan …………………………………………………………. 89
6.1. Berdasarkan Pendekatan Prinsip Ontology ……………………………… 89
6.2. Berdasarkan Pendekatan Prinsip Epistomologi ………………………… 91
6.3 Berdasarkan Prinsip Aksiologi …………………………………………. 96
6.4 Nilai Kebaruan Penelitian ………………………………………………. 96
6.5. Keterbatasan Penelitian …………………………………………………. 97
BAB 7. Penutup ………………………………………………………………. 99
7.1. Kesimpulan ……………………………………………………………. ..99
7.2. Saran ……………………………………………………………………. 99
Daftar Pustaka ………………………………………………………………...101
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Jenis organisme dan kultur positif dari pasien dan hubungannya
dengan risiko kematian di rumah sakit ……………………………....8
Tabel 2.2. Skor SOFA ………………………………………………………… 30
Tabel 2.3. Skor APACHE II ………………………………………………….. 32
Tabel 2.4. Diet sonde lengkap RSUD Dr.Moewardi Surakarta ……………… 43
Tabel 2.5. Indikasi nutrisi enteral …………………………………………….. 44
Tabel 4.1. Jadwal Penelitian ………………………………………………….. 57
Tabel 4.2.. Skor APACHE II ..............................................................................62
Tabel 4.3. Diet sonde sepsis ...............................................................................63
Tabel 5.1. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Karakteristik
Kuantitatif pada Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus dan
Kelompok Sampel yang diberi Nutrisi Kontinyu …………………………….. 74
Tabel 5.2. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Jenis Kelamin pada
Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel
yang diberi Nutrisi Enteral Bolus……………………………………………... 75
Tabel 5.3. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Vasepresor pada
Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel
yang diberi Nutrisi Enteral Bolus……………………………………………... 76
Tabel 5.4. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel ARF pada Kelompok
Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel yang diberi
Nutrisi Enteral Bolus………………………………………………………….. 77
Tabel 5.5. Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok yang Diberi Nutrisi
Enteral Kontinyu dan kelompok yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus pada Kondisi
Sebelum Pemberian Nutrisi Enteral …………………………………………... 81
Tabel 5.6. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian
Nutrisi Enteral pada Kelompok Yang Diberi Secara Kontinyu dan Kelompok
yang Diberi Secara Bolus………………………………………………………82
xviii
Tabel 5.7.Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok Yang Diberikan
Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus
pada Kondisi Sesudah Pemberian Nutrisi
Enteral……………………………………………………………………...….. 84
Tabel 5.8. Perbandingan Delta-APACHE pada Kelompok yang Diberikan
Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral
Bolus…………………………………………………………………………... 87
Tabel 5.9. Perbandingan LOS pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral
Kontinyu dan kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus………………. 88
xix
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
Gambar 2.1. Proses intraseluler pada sistem pertahanan alamiah ...........................10
Gambar 2.2. Imunopatogenesis sepsis ...................................................................12
Gambar 2.3. Respon Host pada kondisi Sepsis ………………………………….. 14
Gambar 2.4. Gut Hypothesis .................................................................................19
Gambar 2.5. Gagal organ pada sepsis dan disfungsi endotelium vaskular dan
mitokondria ……………………………………………………….. 21
Gambar 2.6 Fotomikrograf mukosa gaster tikus muda dan tua …………………. 26
Gambar 2.7 Mikroskop Transmisi Elektron Mukosa Lambung Tua …………….. 27
Gambar 2.8. Kerangka teori sepsis, hipoperfusi splanknik, dan gagal organ
multipel .............................................................................................33
Gambar 2.9. Gambar skematik sekuen asam amino procalcitonin .........................34
Gambar 2.10. Efek penuaan fisiologis pada saluran pencernaan ………………….36
Gambar 2. 11. Hipotesa mekanisme peranan CCK pada kondisi respon inflamasi
sitemik ………………………………………………………………. 39
Gambar 2.12. Kolesistokinin dilepaskan oleh sel enteroendokrin spesifik yang saat
makanan masuk ke dalam duodenum ………………………………. 40
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian .............................................................55
Gambar 4.1. Alur Penelitian .................................................................................70
Gambar 5.1. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian
Nutrisi Enteral Secara Kontinyu dan Bolus ………………………… 85
xx
DAFTAR SINGKATAN
α7-nAch : α7-nicotinic achetylcolin
Ala : alanine
ALI : acute lung injury
APACHE : Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
APC : Antigen Presenting Cell
ARDS : acute respiratory distress syndrome
B cell : Sel Beta
C3a :
proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component
3
C5a :
proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component
5a
C7a :
proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component
7a
CARS : compensatory anti inflammatory syndrom
CCK-1 : Cholecystokinin -1
CCK-2 : Cholecystokinin -2
CD11b : cluster of differentiation 11b, kode genetik
CD14 : cluster of differentiation 14, kode genetik
CD18 : cluster of differentiation 18, kode genetik
CLRs : C-type lectin receptors
COX2 : cyclooxygenase-2,
CRH : corticotrophin releasing hormone
CSF : Colony Stimullating Factors
CUP : Charles University of Prague
DAMPs : damage-associated molecular patterns
DKA : Diabetic Ketoasidosis
EISCM
The European Society of Intensive Care Medicine
EN : Enteral Nutrition
FFA : Free Fatty Acid
GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue
GD : Glukosa Darah
GIP : gastric inhibitory peptide
GLP-1 : glucose-like peptide-1
Glu : glutamine
GLUT : Glucose transporter type
GM-CFS : GM-Colony Stimullating Factors
xxi
HDL : high-density lipoprotein
HEC : hyperinsulinemic ecuglycemic clamp
HLA-DR : Human Leukocyte Antigen - antigen D Related
HMGB-1 : high-mobility group protein 1
HPA : Hipothalamic-pituitary-adrenal
HSP : heat shock factor/Heat shock protein
ICAM : intercelullar cell adhesion molecule
ICU : Intensive Care Unit
IFNγ-1β : Interferon γ-1β
IHT : Insulin Harian Total
IKK : inhibitor κB kinase
IL-1 : Interleukin-1
IL-10 : Interleukin-10
IL-13 : Interleukin-13
IL-1 : Interleukin-1
IL-6 : Interleukin-6
IL-8 : Interleukin-8
iNOS : Inducible nitric oxide synthase
Ins : Insulin
IR : Insulin receptor
IR-A : Insulin receptor-A subunit
IR-B : Insulin receptor-B subunit
IRS : insulin receptor substrate
IV : Intravena
IκB : inhibitor κB
JNK : Jun N-terminal Kinase
LBP : lipopolysaccharide binding protein
LC/NE : locus ceruleus norepinephrine system
LDL : low-densitiy lipoprotein
LOS : Legth of Stay
LPS : lipopolysaccharide
MARS : Mixed Antagonis Respon Syndrome
MHC II : Major Histocompatibility Complex Class II
MODS : Multiple Organ Disfunction
MOF : multiple organ failure
m-RNA : messenger RNA
MUG : Medinische Universitast Graz
MyD88 : Myeloid differentiation primary response gene 88
NADP : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
xxii
NETs : neutrophil extracellular traps
NF-KB : nuclear factor kappa B. NICE
SUGAR :
Normoglycemia in Intensive Care Evaluation and Surviving Using
Glucose Algorithm Regulation
NLRs : nucleotide-binding oligomerization domain–like receptors
NO : nitric oxide
N-ProCt : Amino-terminal Procalcitonin Cleavage Peptide
PAI-1 : Plasminogen Activators Inhibitors-1
PAMPs : Pathogen-accociated molecular pattern
PGE2 : Prostaglandin E2
PI3K : phosphoinositol system
PICC : Peripherally inserted central catheter
PKC : protein kinase C
PN : Parenteral Nutrition
POC : Point of Care
PRRs : pattern recognition receptors
PVN : paraventricular nucleus
RBH : Royal Brompton Hospital London
RCT : Randomized Control Trials
ROS : Reactive oxygen species
S6K1 : S6 kinase 1
SAPS : Simplified Acute Physiology Score
Sepsis-3
:
the Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock
SES
Sel endotel sinusoidal
SH2 : Src homology 2
SIRS : systemic inflammatory response syndrome
SK : Sub kutan
SK : sel Kupffer
SOCS : suppressors of cytokine signaling
SOFA : Sequential Organ Failure Assessment
TCR : T-cell receptor
TGF β : Transforming growth factor beta
TH : T Helper
TLR2 : Toll-like receptor-2
TLR4 : Toll-like receptor-4
TLRs : Toll-like receptor
TNF-α : Tumor Necrosis Factors-α
TPN : Total Parenteral Nutrition
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam
jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respons host terhadap infeksi.
Disfungsi organ bisa diidentifikasi sebagai perubahan yang akut dengan
total skor SOFA 2 sebagai kosekuensi terhadap terjadinya infeksi
(Singer et al 2016). Sepsis dinyatakan sebagai salah satu penyebab
kematian terbesar di rumah sakit di Amerika Serikat (Gaieski et al.
2013). Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta tahun 1997, 130 (97%) dari 135 pasien sepsis
meninggal dunia (Hermawan 2001). Penelitian lain di bagian Penyakit
Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2004, 74 (83,1%) dari 89
pasien sepsis meninggal (Arifin & Hermawan 2005). Secara umum
kematian yang terjadi di Rumah Sakit sekitar 30% terjadi pada pasien
sepsis berat dan sekitar 50-60% terjadi pada pasien syok sepsis (Angus
et al. 2001; Annane et al. 2003).
Nutrisi enteral pada pasien sepsis menjadi salah satu pilar
utama terapi non farmakologis selain pemberian secara parenteral.
Namun, usia tua dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
absorbsi nutrisi pasien sepsis karena adanya penurunan fungsi
2
intestinal. Penuaan dikaitkan dengan efek beragam pada usus besar
termasuk perubahan dalam pertumbuhan mukosa sel, diferensiasi,
metabolisme, dan kekebalan. Penyerapan dan sensitivitas Vitamin D,
asam folat, vitamin B-12, kalsium, tembaga, seng, asam lemak, dan
kolesterol secara signifikan terganggu pada tikus tua (Hall, 2016).
Kondisi rusaknya mukosa dapat mengganggu absorbsi di unsus
dibuktikan penelitian Swaid F et al (2013) yang menyimpulkan bahwa
kerusakan mukosa intestinal akibat injury akan menggangu absorbs
nutrisi di usus. (Swaid et al 2013)
Teknik pemberian nutrisi merupakan tatalaksana penting pada
pasien geriatri dengan sepsis karena kondisi malnutrisi secara
signifikan meningkatkan mortalitas (Valeska et al. 2012). Nutrisi
enteral (EN) adalah pilihan pertama karena lebih murah daripada
parenteral (PN) dan secara fisiologis lebih baik. Pemberian nutrisi
secara enteral dapat dilakukan dengan cara bolus, intermiten, maupun
kontinyu. Cara pemberian nutrisi enteral berperan penting agar target
jumlah nutrisi dapat tercapai, karena pada pasien geriatri dengan sepsis
terjadi gangguan motilitas saluran cerna yang dapat disebabkan karena
gangguan saraf enterik dan fungsi otot polos, kondisi hiperglikemi,
inflamasi, gangguan elektrolit, interaksi dengan obat (Elke et al, 2014).
Mazaherpur (2016) membuktikan adanya efek positif
pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap keseimbangan nitrogen,
3
penurunan status hiperkatabolik dan pemeliharaan protein tubuh jika
dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral seacara intermitten
pada subjek pasien dengan trauma otak. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Evans (2016) membuktikan bahwa pemberian nutrisi
kontinyu meningkatkan kemampuan pasien untuk mobilisasi,
menurunkan masa rawat dan mortalitas.
APACHE II saat ini merupakan sistem skor yang paling banyak
digunakan di seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan suatu
penyakit. APACHE II sebagai prediktor mortalitas pasien yang dirawat
di instalasi perawatan intensif. (Knaus etal 1985). Di lain pihak Moitra
etal (2016) meneliti bahwa Length of stay pada pasien geriatri di ICU
berhubungan dengan angka mortalitas, semakin lama pasien di ICU
maka akan semakin meningkat angka mortalitasnya. (Moitra etal 2016)
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pemberian
nutrisi enteral kontinyu dengan outcome skor APACHE II dan Length
of Stay (LOS) di RSUD Dr. Moewardi. Pemberian nutrisi enteral di
RSUD Dr. Moewardi selama ini menggunakan metode bolus. Sehingga
peneliti menganggap perlu dilakukan suatu penelitian mengenai
manfaat pemberian nutrisi enteral kontinyu pada pasien geriatri dengan
sepsis di ruang rawat intensif RSUD DR. Moewardi dengan outcome
melihat adanya perbaikan pada skor APACHE II dan LOS yang lebih
pendek.
4
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus
dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II pada
pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD
Dr. Moewardi?
1.2.2 Apakah ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus
dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor Length of Stay
(LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan
intensif RSUD Dr. Moewardi
1.2.3 Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus
dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II dan
Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang
perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengkaji pemberian nutrisi enteral secara kontinyu
dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral secara bolus
dengan outcome evaluasi skor APACHE II dan length of stay
(LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan
intensif RSUD Dr.Moewardi.
5
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis pengaruh pemberian nutrisi enteral secara
kontinyu dibanding bolus pada skor APACHE II pada
pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif
RSUD Dr.Moewardi.
b. Menganalisis pengaruh pemberian nutrisi enteral secara
kontinyu dibanding bolus pada LOS pada pasien geriatri
dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD
Dr.Moewardi.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bukti empirik
terdapat perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral secara
bolus dibanding kontinyu terhadap skor APACHE II dan LOS
pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif
RSUD Dr.Moewardi.
1.4.2. Aspek praktis
a. Metode pemberian nutrisi enteral mempengaruhi skor
APACHE II pasien geriatri dengan sepsis, sehingga dapat
menjadi masukan dan rekomendasi dalam meningkatkan
mutu pelayanan dengan menerapkan evidence based
6
kepada pasien khususnya pasien geriatri dengan sepsis di
ruang perawatan intensif RSUD Dr.Moewardi.
b. Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai dasar
penelitian lanjutan dalam rangka pengembangan teknik
pemberian nutrisi enteral pada pasien geriatri dengan
sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr.Moewardi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sepsis
2.1.1.Definisi Sepsis
Definisi sepsis menurut the Third International Consensus
Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) adalah adanya disfungsi
organ yang mengancam jiwa yang disebabkan adanya disregulasi respon
host terhadap infeksi (Singer 2016).
2.1.2.Kriteria Diagnosis
Disfungi organ dilihat dari adanya perubahan akut kondisi pasien,
dinilai dengan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA), terdiri
atas penilaian 6 sistem organ, yaitu sistem saraf pusat, respirasi,
kardiovaskuler, liver, koagulasi, dan ginjal. Masing-masing mempunyai
nilai antara 0– 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Jika nilai yang diperoleh
lebih besar dari 2 dapat dikatakan sepsis (Singer et al. 2016).
2.1.3. Etiologi
Sepsis berasal dari infeksi dan didapatkan di komunitas maupun di
RS. merupakan penyebab terbanyak, mencapai 50% kasus disusul dengan
infeksi intraabdomen dan saluran urogenital (Vincent 2009).
Kultur darah positif hanya didapatkan dari 1/3 insiden.
Staphylococcus aureus dan Streptococcus Pneumonia merupakan penyebab
terbanyak dari bakteri gram positf, sedangkan Esc herichia coli, Klebsiella
8
species dan Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab dari gram
negatif (Gaiesky 2013).
Tabel 2.1. Jenis organisme dan kultur positif dari pasien dan
hubungannya dengan risiko kematian di rumah sakit (Vincent 2009)
Frequency (%) OR (95% CI)
Gram-positive 46.8
Staphylococcus aureus 20.5 0.8 (0.6–1.1)
MRSA 10.2 1.3 (0.9–1.8)
Enterococcus 10.9 1.6 (1.1–2.3)
S. epidermidis 10.8 0.9 (0.7–1.1)
S. pneumoniae 4.1 0.8 (0.5–1.4)
Other 6.4 0.9 (0.7–1.2)
Gram-negative 62.2
Pseudomonas species 19.9 1.4 (1.2–1.6)
Escherichia coli 16.0 0.9 (0.7–1.1)
Klebsiella species 12.7 1.0 (0.8–1.2)
Acinetobacter species 8.8 1.5 (1.2–2.0)
Enterobacter 7.0 1.2 (0.9–1.6)
Other 17.0 0.9 (0.7–1.3)
Anaerobes 4.5 0.9 (0.7–1.3)
Other bacteria 1.5 1.1 (0.6–2.0)
Fungi
Candida 17.0 1.1 (0.9–1.3)
Aspergillus 1.4 1.7 (1.0–3.1)
Other 1.0 1.9 (1.0–3.8)
Parasites 0.7 1.3 (0.5–3.3)
Other organisms 3.9 0.9 (0.6–1.3)
2.1.4.Patogenesis
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
produk bakteri yang berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin
sebagai super antigen, virus, parasit, kerusakan jaringan (faktor
eksternal) dengan faktor penjamu yang disebut respon imun meliputi
faktor pertahanan humoral dan seluler (Guntur 2006).
Sistem imun secara tradisional dibagi menjadi sistem imun
alamiah atau nospesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik
(adaptive/acquired), di mana tiap-tiap sistem imun tersebut memiliki
9
fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam pertahanan penjamu dari
agen-agen yang infeksius (Baratawidjaja 2006). Untuk menghalangi
masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun alamiah
mengembangkan berbagai reseptor yang disebut pattern recognition
receptors (PRRs) (sebagai contoh, toll-like reseptor [TLRs]), yang
mempunyai kemampuan untuk mengenali secara spesifik bentuk molekul
dari patogen (Pathogen-accociated molecular pattern/PAMPs), sehingga
sistem imun alamiah mampu membedakan struktur molekul self
ataupun non-self (Guntur 2006).
TLRs dilibatkan dalam pertahanan penjamu terhadap invasi
patogen, berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan
mengaktifkan jalur signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan
proinflamasi. Dengan demikian, TLRs juga berimplikasi pada sejumlah
penyakit inflamasi dan penyakit yang dimediatori oleh sistem imun
(Guntur 2006).
CD14 merupakan anggota spesifik dari sistem imun alamiah
yang termasuk dalam PRRs. Clusters of differentiation-14 (CD14)
merupakan reseptor glikosilfosfatidilinositol 55 kd yang mengikat LPS
dengan afinitas tinggi dan sangat berperan dalam memperantarai
respon terhadap Lipopolisakarida (LPS)yang ada di dinding luar dari
kuman gram negatif dan memiliki peran penting untuk terjadinya sepsis
akibat kuman gram negatif (Guntur 2006).
Penelitian Medzhitov dan teman-teman, TLR4 menunjukkan
aktivasi nuclear factor Kappa Beta (NF-κB) dan menginduksi ekspresi
10
sejumlah sitokin proinflamasi sebagai respon terhadap LPS. Penelitian-
penelitian yang telah dilakukan telah memberikan informasi kritis
tentang reseptor membran LPS dan CD14 serta pemberian sinyal
transmembran melalui TLR4 (Guntur 2006).
Gambar 2.1. Proses intraseluler pada sistem pertahanan alamiah
Skema di atas menggambarkan beberapa proses intraseluler yang terjadi pada sepsis.
Penanda dari luar yang berasal dari mediator akan diikat oleh CD11b yang
merupakan reseptor yang berada pada permukaan sel, yang selanjutnya akan memacu
serangkaian proses reaksi kinase intraseluler melalui Toll-like receptors (TLR). Sebagian
dari aktivasi awal ini akan meningkatkan regulasi ekspresi CD11b/CD18 pada
permukaan sel. Inflamasi sendiri akan memacu stress oksidatif intraseluler yang dapat
menyebabkan perubahan potensial membran mitokondria. Stres oksidatif akan
mengaktifkan NF-κB melalui pemecahan fosforilasi dari inhibitory sub-unit I-κB. I-κB
yang telah didegradasi melalui proses fosforilasi dan obiquinasi akan menyisakan
produk aktif bebas p50-p65 dimer yang akan berpindah ke inti sel di mana melalui
ikatan dalam reseptor pada inti sel akan meningkatkan sintesis mRNA untuk gen-gen
spesifik yang akan mengkode sintesis mediator pro-inflamasi (seperti TNF-α, IL-1,
IL-8, iNOS, COX2). Stres oksidatif intraseluler juga akan mengaktifkan heat shock
factor (Hsp), yang seperti NF-κB akan berpindah ke dalam inti sel di mana akan
terikat dalam inti sel yang selanjutnya akan menambah pengkodean mRNA untuk
sintesa Hsp. Hsp70 akan menurunkan regulasi aktivitas NF-κB baik melalui
pembatasan oksidasi mitokondria berikutnya maupun dengan cara membatasi fosforilasi
NF-κB. Hsp70 dengan cara membatasi stres oksidatif mitokondria juga meminimalisasi
pengeluaran sitokrom sehingga akan menurunkan stres apoptosis.
Dikutip dari : Pinsky, M.R., 2004, ‘Dysregulation of the immune response in severe sepsis’,
Am J Med Sci, Oct, 328(4), 220-229
Ikatan antara TLRs dengan epitop mikroorganisme akan
menstimulasi signaling intraseluler, meningkatan transkripsi molekul pro-
11
inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-
1β), demikian juga sitokin anti-inflamasi seperti IL-10. Sitokin pro-
inflamasi akan meningkatkan regulasi molekul adhesi pada neutrofil dan sel
endotel. Aktivasi neutrofil selain akan membunuh mikroorganisme, juga
menyebabkan cidera pada endotel dengan meningkatkan mediator yang
akan meningkatkan permeabilitas vaskuler, menyebabkan aliran cairan yang
kaya protein ke paru dan jaringan-jaringan lain. Selain itu, aktivasi sel
endotel menyebabkan pengeluaran nitric oxide (NO), yang berpotensi
menyebabkan vasodilator di mana merupakan mediator utama untuk
terjadinya syok septik (Guntur 2006).
Sepsis yang dihasilkan bakteri gram positif berbeda dengan
gram negatif, di mana organisme gram positif memerlukan
serangkaian respons dari penjamu dengan pembunuhan intraseluler
dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini berbeda dengan kuman patogen
gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam ruang ekstraseluler oleh
antibodi dan komplemen (Guntur 2006).
12
Gambar 2.2. Imunopatogenesis sepsis
Dikutip dari Guntur A., 2001, Perbedaan Respons Imun yang Berperan Pada
Sepsis dan Syok Septik Suatu Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok
Septik pada Immunocompromise dan non Immunocompromise, Disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Gambar 2.2 menjelaskan imunopatogenesis sepsis, baik dari
endotoksin gram negatif maupun eksotoksin gram positif. Endotoksin gram
negatif dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan
antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolysaccharide
binding protein (LBP). LBP yang berada dalam darah penderita akan
bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4 sebagai reseptor transmembran
dengan perantaraan reseptor CD14, selanjutnya melalui pemberian sinyal
transmembran makrofag akan mengekspresikan berbagai macam
imunomodulator. Eksotoksin yang diproduksi bakteri gram positif bertindak
sebagai superantigen bakteri, sebagai molekul protein yang berpotensi untuk
menstimulasi sel-T. Superantigen dapat secara langsung mengadakan ikatan
dan menstimulasi aktivasi limfosit T tanpa melalui makrofag atau monosit
13
sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu. Superantigen akan
mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN- dan colony
stimulating factor (CFS) yang kemudian akan menstimulasi makrofag.
Makrofag akan mengeluarkan IL-1β, IL-6 dan TNF-α, juga sederetan enzim
(protease netral, misalnya kolagenase dan elastase) yang dapat merusak
jaringan ikat, molekul prokoagulan (faktor jaringan dan faktor VII) yang
dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur koagulasi ekstrinsik dan
aktivator plasminogen. GM-CFS akan mengaktifkan neutrofil dan
komponen C3, C3a dan C5a. Neutrofil akan beradesi dengan sel sasaran
yaitu endotel pembuluh darah, disertai dengan gumpalan darah akibat
endapan fibrin, maka fungsi pembuluh darah terganggu. Superantigen ini
bisa menginduksi sindrom syok toksik dan sewaktu-waktu dapat
menyebabkan terjadinya multiple organ failure (MOF) (Guntur 2008,
2011).
Respon host pada kondisi sepsis dirangkum oleh Finfer & Vincent
(2013) pada ilustrasi di bawah ini :
14
Gambar 2.3. Respon Host pada kondisi Sepsis
Dikutip dari Finfer, S.R., Vincent, J.L., 2013, ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl J
Med, 369, 9, 840-850
2.1.5. Gagal Organ Multipel Pada Sepsis
Konsep tentang patogenesis sepsis dapat menjelaskan bahwa
ada 5 tahapan terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS)
pada sepsis, yaitu stadium reaksi lokal, respon sistemik awal, inflamasi
sistemik masif, imunosupresi masif dan imunologi dissonance (Bone et
al. 1997; Bosmann & Ward 2013). Respon awal tubuh adalah
menginduksi mediator pro-inflamasi untuk menghancurkan jaringan
yang rusak, benda asing, kuman dan merangsang pertumbuhan
jaringan baru. Kompensasi mediator antiinflamasi segera muncul untuk
mencegah agar proinflamasi tidak terlalu destruktif. IL-4, IL-10, IL-11,
IL-13, reseptor TNF-α terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth
15
factor (TGF)-β dan mediator lainnya bertujuan mengurangi ekspresi
major histocompability complex (MHC) kelas II, menurunkan aktivitas
antigen precipaiting cell (APC), dan menurunkan aktivitas sel untuk
memproduksi sitokin pro-inflamasi. Semua reaksi ini berlangsung lokal
tanpa reaksi sistemik berlebihan. Bila mediator proinflamasi didapatkan
dalam sirkulasi menandakan bahwa kerusakan/kuman tidak dapat dikontrol
oleh reaksi lokal saja. Mediator proinflamasi bertujuan membantu menarik
neutrofil, sel limfosit T, dan B, trombosit dan faktor koagulasi untuk datang
ke daerah cidera atau infeksi. Reaksi ini merangsang respons kompensasi
sistemik anti-inflamasi. Tetapi respons ini akan segera menurunkan respons
sistemik proinflamasi. Manifestasi klinis akan muncul tetapi tidak berat dan
jarang menimbulkan disfungsi organ (Bosmann & Ward 2013).
Pada stadium inflamasi sistemik masif terjadi kehilangan
mekanisme regulasi respon proinflamasi sehingga timbul manifestasi
klinis SIRS. Hal ini terjadi akibat dari : (1) progresivitas disfungsi
endotel sehingga terjadi peningkatan permiabilitas mikrokapiler; (2)
trombosit yang memblok mikrosirkulasi sehingga timbul iskemia atau
injuri reperfusi dan menginduksi heat shock protein (HSP); (3) aktivasi
sistem koagulasi dan gangguan jalur inhibisi protein C dan protein S; (4)
adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran darah sehingga pasien jatuh
pada fase syok. Pada stadium ini merupakan ancaman terjadinya
disfungsi organ dan MOF bila homeostasis tidak segera diatasi (Pinsky
2004; Bosmann & Ward 2013). Namun jika pro dan anti-inflamasi
seimbang, maka tubuh dalam keadaan homeostasis yang disebut
16
mixed antagonis respon syndrome (MARS) (Bone, Grodzin & Balk
1997; Guntur 2006).
Pada stadium imunosupresif masif terjadi reaksi antiinflamasi
kompensasi yang tidak efektif dan menyebabkan terjadinya
imunodefisiensi/ immune paralysis atau CARS. Pada suatu penelitian
didapatkan bahwa pada pasien dengan SIRS dan CARS didapatkan
ekspresi Human Leucocyte Antigen (HLA)-DR monosit menurun kurang
dari 30%. Penambahan interferon (IFN)γ-1β dapat meningkatkan ekspresi
HLA-DR pada permukaan monosit sehingga memperbaiki fungsi
monosit dan sekresi IL-6 dan TNF-α sehingga kondisi pasien membaik
(Cavaillon et.al. 2004; Russell 2006).
Stadium akhir dari sepsis adalah imunologi dissonance, terjadi
ketidaksesuaian atau sistem imunomodulator berada di luar
keseimbangan. Keadaan ini sering dianggap sebagai keadaan yang
persisten sehingga mempunyai angka kematian yang tinggi (Bone et
`al. 1997; Russell 2006). Kondisi patologis pada keadaan sepsis (sepsis
berat atau syok septik) dapat mempengaruhi pada hampir setiap komponen
sel sirkulasi mikro, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit, dan
jaringan. Jika tidak dapat dikoreksi secara tepat, suplai aliran darah yang
jelek dapat menyebabkan distress respirasi pada jaringan dan sel, dan lebih
lanjut lagi menyebabkan disfungsi sirkulasi yang hasil akhirnya adalah
kegagalan organ. Sirkulasi menjamin ketersediaan oksigen untuk tiap sel
dan jaringan, menjadi penentu organ berfungsi baik atau tidak. Disfungsi
sirkulasi yang terjadi selama beberapa waktu dapat menjadi penggerak
17
utama kondisi patologis sepsis yang berakibat pada kegagalan organ yang
kemudian dapat terjadi kegagalan multi organ (Russell 2006).
Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah
kegagalan organ multipel. Disfungsi progresif dari sistem organ yang
menjadi karakteristik dari MODS pada umumnya mengikuti urutan yang
dijabarkan pada SOFA yang dirumuskan pada pertemuan konsensus The
European Society of Intensive Care Medicine (EISCM) (2016) menjadi 4
fase sebagai berikut:
Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis
respiratorik ringan yang diikuti dengan oliguria, hiperglikemia, dan
peningkatan kebutuhan insulin.
Fase kedua : pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia,
kemudian berkembang menjadi disfungsi hati dan abnormalitas hematologi.
Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi syok dengan azotemia
dan gangguan asam basa, dengan abnormalitas koagulasi yang signifikan.
Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria
atau anuria, kemudian berkembang menjadi ischemic colitis dan asidosis
laktat.
Fase tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa hipotesis yang
menginisiasi MODS antara lain :
a. Gut Hypothesis
Gut Hypothesis saat ini adalah teori paling populer untuk
menjelaskan berkembangnya MODS pada pasien kritis. Hipoperfusi
splanknik seringkali dijumpai pada pasien multiple trauma, sepsis, syok
18
sepsis, atau luka bakar. Endotoksin menyebabkan pengurangan yang
dose dependent terhadap diameter arteriole sentral villus. Organ usus
sangat rentan untuk kehilangan perfusi jaringan dan oksigenasi karena
cadangan oksigen yang dimiliki sangat minimal dibandingkan dengan
organ lain dan organ vital. Iskemia pada organ usus menyebabkan
terjadinya perubahan struktur dan penurunan fungsi selular. Endotoksin
juga menyebabkan cedera mukosa dengan menghasilkan reactive
oxygen species (ROS) dan menghambat respirasi mitokondria di
enterosit. Cedera pada mukosa usus meningkatkan permeabilitas usus,
menurunkan fungsi imum usus, dan meningkatkan translokasi bakteri.
Karena disfungsi hepar, toksin bakteri dapat masuk ke sirkulasi sistemik
dan mengaktifasi respon inflamasi, yang memicu terjadinya cedera dan
disfungsi organ (Swank 1996). Hipotesa ini didukung dengan
serangkaian penelitian yang menemukan adanya hubungan antara
translokasi bakteri, penurunan pH gaster intramukosa dengan kejadian
MODS (Deitch 2012).
19
Gambar 2.4. Gut Hypothesis
Dikutip dari :Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G.. 2000, ‘Understanding
Gastrointestinal Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,
269-281.
b. Endotoxin-Macrophage Hypothesis
Pada pasien dengan MODS, infeksi mikroorganisme gram negatif
seringkali dijumpai, sehingga endotoksin dianggap sebagai mediator
kunci pada sindrom ini. Setelah terjadinya kejadian awal sebagai pemicu
(contoh: sepsis, pankreatitis, trauma), MODS muncul sebagai akibat dari
produksi dan lepasnya sitokin dan mediator lain oleh makrofag yang
diaktifasi oleh endotoksin. Tumor Necrosis Alpha (TNF-alpha),
Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), Thromboxane а2, prostacyclin,
platelet activating factor, dan nitric oxide (NO) adalah mediator
proinflamasi yang terlibat pada proses terjadinya MODS. Mediator
inflamasi tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya inflamasi
20
sistemik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial yang
menyebabkan kebocoran pada kapiler pembuluh darah dan terbentuknya
thrombus di sepanjang endotel yang rusak yang akan memicu
hipoperfusi pada end organ dan gangguan koagulasi (Bone 1997; Guntur
2008).
c. Tissue Hypoxia-Microvascular Hypothesis
Pasokan oksigen yang tidak adekuat dapat terjadi akibat dari
perubahan vaskular baik mikro maupun makro. Hipovolemia, anemia,
hipoksemia gagal jantung akan menyebabkan penurunan oxygen
delivery. Pada pasien sepsis juga terjadi gangguan homeostasis yang
menyebabkan terjadinya trombus mikrovaskular yang akan
memperburuk hantaran oksigen ke jaringan (Bone 1997; Guntur 2008;
Bosmann dan Ward 2013).
d. Integrated Hypothesis
Pada sebagian besar pasien dengan MODS, terjadinya sindrom ini
tidak dapat dikatakan hanya berasal dari satu penyebab saja melainkan
adalah hasil akhir dari berbagai mekanisme yang ada (Bone 1997;
Guntur 2008; Bosmann & Ward 2013).
Kegagalan organ pada sepsis diilustrasikan oleh Finfer & Vincent
(2013) sebagai berikut :
21
Gambar 2.5. Gagal organ pada sepsis dan disfungsi endotelium
vaskular dan mitokondria
Dikutip dari : Finfer, S.R., Vincent, J.L., 2013, ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl
J Med, 369, 9, 840-850
Pada gambar 2. Dijelaskan bahwa sepsis berhubungan dengan
trombosis mikrovaskular yang disebabkan teraktivasinya sistem koagulasi
(yang dimediasi oleh tissue factor) dan gangguan pada mekanis
antikoagulan yang mengakibatkan menurunnya aktivitas antikoagulan
endogen (dimediasi protein C teraktivasi, antitrombin, inhibitor jalur tissue
factors) ditambah dengan terganggunya fibrinolisis yang tampaknya
meningkatkan pelepasan plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1).
Kemampuan untuk menmproduksi protein C teraktivasi akan terganggu jika
ada penurunan ekspresi dari 2 reseptor endotel yaitu trombomodulin (TM)
22
dan reseptor protein C endotel. Pembentukan trombus selanjutnya akan
difasilitasi oleh neutrophil extracellular traps (NETs) yang dilepaskan dari
netrofil yang mati. Pembentukan trombus sebenarnya merupakan hasil dari
hipoperfusi jaringan yang merupakan kumpulan dari kondisi vasodilatasi,
hipotensi dan deformabilitas sel darah merah. Oksigenasi jaringan
selanjutnya akan dipengaruhi kondisi hilangnya fungsi pelindung endotel
(loss of barrier junction), tingginya kadar angiopoetin 2 dan terganggunya
keseimbangan sphingosine-1 phosphate receptor (SIP1) dan SIP3 dalam
dinding vaskular, sehingga paling tidak akan terjadi induksi SIP3 melalui
protease activated receptor 1 (PARI) sebagai hasil dari turunnya rasio
protein C teraktivasi menjadi trombin. Penggunaan oksigen akan
terpengaruh pada level subselular karena adanya kerusakan mitokondria
yang diakibatkan oleh stres oksidatif (Finfer & Vincent 2013).
Beberapa kegagalan organ yang terjadi pada sepsis dapat berupa :
a. Kegagalan fungsi hati
Disfungsi hepatik awal dan lanjut terkait dengan perubahan global
dan mikrosirkulasi perfusi hati. Sepsis dapat menyebabkan perubahan
besar pada peredaran darah mikrosirkulasi pada semua organ splanknik
yang tidak dapat diprediksikan dari perubahan aliran darah regional atau
sistemik. Redistribusi peredaran darah intrahepatik mengalirkan darah
menjauhi pembuluh darah yang terkontraksi menuju ke pembuluh darah
yang terdilatasi, menyebabkan terjadinya penurunan daerah total
sinusoidal yang terperfusi. Sel endotel sinusoidal (SES) dan sel Kupffer
(SK) membentuk garis kontak utama untuk bakteri, produk bakterial dan
23
debris mikrobial yang dihantarkan oleh darah portal dan arteri hepatika.
Respons mikrovaskular hepar terhadap zat-zat ini berkorelasi dengan
keadaan aktivasi, jumlah dan distribusi SK di dalam lobulus hepar. Setelah
terstimulasi, SK melepaskan berbagai macam mediator-mediator
inflamatorik, toksik dan vasoaktif yang semuanya dapat menyebabkan
kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sel
endotel sinusoidal memproduksi zat-zat vasoaktif, seperti prostasiklin dan
oksida nitrat, yang memodulasi tonus vaskular baik pada makro dan
mikrosirkulasi hepar. Sel endotel sinusoidal mengalami perubahan
struktural dan fungsional signifikan. Pembengkakan, distensi dan
gangguan SES menyebabkan kebocoran albumin, plasma dan sel
inflamatorik ke dalam interstitium, menyebabkan kerusakan jaringan
secara langsung. Sel endotel sinusoidal mengalami kehilangan sifat
antikoagulan dan mengekspresikan molekul-molekul adhesi permukaan
sehingga menarik sejumlah besar trombosit dan leukosit. Pada akhirnya,
sinusodi menjadi tersumbat dengan bekuan fibrin dan kelompok-kelompok
sel darah merah. Penurunan aliran darah ini akan memperberat keadaan
hipoperfusi sinusoidal. Pada keadaan inflamasi tidak terkendali dan
koagulopati terus menerus, proses di atas akan menyebabkan iskemia
dan disfungsi mikrovaskular yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan
dan kegagalan hepatoselular (Ramalho et.al. 2006; Spapen 2008).
b. Disfungsi miokardial pada sepsis
Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi telah
mendemonstrasikan adanya gangguan fungsi sistolik dan diastolik
24
ventrikel kiri pada pasien sepsis. Penelitian pada manusia, sesuai dengan
penelitian eksperimental mulai dari level selular sampai ke penelitian
menggunakan jantung terisolasi dan juga pada model hewan in vivo, telah
memperlihatkan secara jelas adanya penurunan kontraktilitas dan
gangguan komplians miokardial sebagai faktor utama yang menyebabkan
disfungsi miokardium pada sepsis. Mekanisme utama yaitu hiporesponsif
kardiomiosit terhadap regulasi reseptor β adrenergik dan depresi jalur
sinyak post-reseptor. Mekanisme lain yaitu injuri cardiomiosit dapat
dirangsang oleh toksin, komplemen, damage-associated molecular
patterns (DAMPs), neutrophil extracellular traps (NETs). Tanpa melihat
perbedaan struktural dan fungsional antara ventrikel kiri dan kanan,
perubahan fungsional yang sama dengan didiskusikan di atas juga dapat
ditemukan pada ventrikel kanan, yang menimbulkan dugaan bahwa
disfungsi ventrikel kanan pada sepsis mirip dengan disfungsi ventrikel kiri.
Meskipun demikian, kontribusi relatif ventrikel kanan terhadap
kardiomiopati sepsis belum diketahui (Kakihana et.al. 2016).
c. Kerusakan paru
Fase akut dari kerusakan paru akut (acute lung injury – ALI) dan
sindrom distres pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome –
ARDS) dikarakteristikkan dengan aliran masuk cairan edema kaya protein
ke dalam ruang udara sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas
pembatas alveolar-kapiler. Derajat kerusakan epitel alveolar merupakan
prediktor penting sepsis. Epitelium alveolar normal terdiri atas dua tipe
sel. Sel tipe I meliputi 90% area permukaan alveolar dan mudah cedera.
25
Sel kuboidal tipe II meliputi 10 persen sisanya dan lebih tahan terhadap
cedera; fungsi mereka termasuk menghasilkan surfaktan, transpor ion dan
proliferasi serta diferensiasi menjadi sel tipe I setelah kerusakan terjadi.
Kehilangan integritas epitelial pada ALI dan ARDS mempunyai beberapa
akibat. Pertama, pada keadaan normal, pembatas epitelial lebih kurang
permeabel dibandingkan dengan pembatas endotel. Sehingga, kerusakan
epitel dapat berkontribusi terhadap kebanjiran alveolar. Kedua, kehilangan
integritas epitel dan kerusakan sel tipe II mengganggu transpor cairan
epitel normal yaitu pengeluaran cairan edema dari ruang alveolar. Ketiga,
kerusakan sel tipe II menurunkan produksi dan perputaran surfaktan.
Keempat, kehilangan pembatas epitel dapat menyebabkan syok sepsis
pada pasien dengan pneumonia bakterial. Pada akhirnya bila kerusakan
terhadap epitel alveolar berat, perbaikan epitel yang tidak teratur ataupun
tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya fibrosis. Penelitian klinis
dan eksperimental telah memberikan bukti adanya kerusakan yang
diperantarai neutrofil pada ALI dan ARDS. Penelitian histologik dari
spesimen paru yang diperoleh pada awal kelainan menunjukkan akumulasi
nyata netrofil. Netrofil mendominasi komponen selular cairan edema
pulmonar dan lavase bronkoalveolar yang diperoleh pada pasien serta
banyak model hewan ALI sangat tergantung netrofil (Kim 2016).
2.1.6 Stress Related Intestinal Mucosal Damage
2.1.6.1 Kenaikan suseptibilitas mukosa intestinal terhadap injury pada
usia tua
Hasil studi eksperimental oleh Tarnawzky (2014)
26
menunjukkan bahwa mukosa lambung tikus tua terbukti
meningkat kerentanannya terhadap cedera oleh berbagai agen
perusak seperti etanol, aspirin, dan NSAID lainnya, garam
hipertonik, asam empedu, induksi dingin bertekanan, sepsis dan
faktor lainnya.
Dalam penelitian sebelumnya Tarnawzky et al (2014)
menganalisis perubahan struktural pada mukosa gaster tikus yang
menua (vs muda) dengan histologi kuantitatif. Penelitian itu
menunjukkan atrofi parsial kelenjar lambung dan penggantinya
dengan peningkatan jaringan ikat di basal sepertiga dari mukosa
(Gambar 4A). Kuantifikasi jaringan ikat pada sepertiga bawah
mukosa lambung menunjukkan peningkatan sekitar 3 kali lipat
jaringan ikat yang menggantikan sel kelenjar pada tikus yang
menua (Gambar 4B). Temuan ini secara independen
dikonfirmasikan kemudian oleh Kang J etal (2010).
Gambar 2.6 Fotomikrograf mukosa gaster tikus muda dan tua
27
Dalam sebuah studi terpisah lain yang menggunakan transmisi
elektron mikroskop (TEM) Tarnawzky et al (2012) menunjukkan
perubahan histologis dan ultrastruktural yang menonjol pada
mukosa lambung tikus tua termasuk fibril kolagen yang tidak
teratur dalam jaringan ikat yang berbatasan langsung dengan
pembuluh darah kapiler (Gambar 5B) sehingga disimpulkan
bahwa perubahan ini dapat mengganggu transportasi nutrisi dan
oksigen dan karenanya menyebabkan hipoksia serta akumulasi
racun metabolit. (Tarnawski et al 2012).
Gambar 2.7 Mikroskop Transmisi Elektron Mukosa Lambung Tua
2.1.6.2 Kerusakan mukosa pada usia tua saat kondisi sepsis
Perkembangan syok septik dan kegagalan organ multiple
dijelaskan oleh fenomena kompleks, termasuk hipovolemia akibat
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, vasokonstriksi
pathologic dan vasodilatasi, hilangnya thromboresist, koagulasi
intravaskular, dan disfungsi miokard yang mendalam. Proses-
proses ini menyebabkan kerusakan aliran darah mikrovaskuler di
jaringan dan organ, menyebabkan cedera iskemik. Organ yang
28
sebagian besar terkena termasuk ginjal, paru-paru, dan organ
splanknik (Pathan 2003).
Sel mukosa usus yang matang sangat rentan terhadap
hipoperfusi dan iskemia. Kerusakan mukosa usus dapat
menyebabkan peradangan lokal, gangguan fungsi penghalang, dan
kemudian berpotensi untuk translokasi mikroorganisme. Gatt
(2007). Translokasi tersebut dapat meningkatkan peradangan lokal
dan kemudian menghasilkan respons inflamasi sistemik, seperti
yang ditunjukkan pada penelitian pada hewan (Yang et al 2003 &
Rostein et al 2000). Studi pada orang dewasa yang sakit kritis juga
menunjukkan bahwa kerusakan usus yang disebabkan oleh
hipoperfusi splanchnic dikaitkan dengan transisi dari sindrom
respon inflamasi sistemik menjadi sepsis dan syok septik. (Rotstein
2007). Hipoperfusi splanknik pada fase awal sepsis perut
berkorelasi kuat dengan kerusakan mukosa usus. Selain itu,
peningkatan nilai I-FABP plasma saat masuk ke ICU dikaitkan
dengan hasil yang buruk pada pasien dengan sepsis perut. (Thuijls,
2011)
Pada orang tua saat kondisi sepsis, studi Tarnawski 2014
menjelaskan secara detail analisis dari perubahan mukosa yang
menua (aging mucosa) secara bertahap : (1) terjadi penurunan
aliran darah mukosa dan gangguan pengiriman oksigen
menyebabkan hipoksia, yang menyebabkan aktivasi faktor
transkripsi EGR-1; (2) EGR-1 aktif pada gilirannya mengatur
29
regulasi PTEN, yang menginduksi aktivasi yang dimediasi
pembelahan dari protease pro-apoptosis, caspase-3 dan caspase-9.
Selain itu, PTEN yang teregulasi memberikan tindakan pro-
apoptosis dengan mengurangi ekspresi protein antiapoptosis,
survivin; dan (3) Ketidakseimbangan antara faktor pro dan anti-
apoptosis menghasilkan peningkatan apoptosis dan peningkatan
kerentanan terhadap cedera. (Tarnawski et al 2014). Penelitian
Swaid F et al (2013) menyimpulkan bahwa kerusakan mukosa
intestinal akibat injury akan menggangu absorbs nutrisi di usus.
(Swaid F et al 2013)
2.1.7 Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
Sepsis-related Organ Failure Assessment, yang kemudian
dikenal dengan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dan
diperkenalkan pada tahun 1994 (Vincent et al., 1996). Menurut Surviving
Sepsis Campaigne 2016, pada pasien sepsis keparahan disfungsi organ
dinilai dengan sistem penilaian yang mengukur kelainan sesuai dengan
temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik dipakai Skor
SOFA. (Singer et al 2016)
Skor SOFA terdiri atas penilaian 6 sistem organ, masing-masing
mempunyai nilai antara 0 – 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Penetapan
nilai masing-masing sistem organ didasarkan atas satu atau lebih variabel.
Dengan total 12 variabel, skor SOFA mempunyai variabel lebih sedikit
dibanding sistem penilaian tingkat keparahan penyakit di ICU yang
lainnya, seperti APACHE II dan SAPS II.
30
Tabel 2.2. Skor SOFA (Vincent,1996)
Sistem Skor
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FiO2, mmHg
(kPA)
400
(53,3)
< 400
(53,3)
< 300 (40) < 200 (26,7)
dengan
bantuan
respirasi
< 100 (13,3)
dengan
bantuan
respirasi
Koagulasi
Platelet, x 103/L
150 < 150 < 100 < 50 < 20
Liver
Bilirubin, mg/dL
(mol/L)
<1,2
(20)
1,2-
1,9
(20-
32)
2,0-5,9
(33-101)
6,0-11,9
(102-204)
>12,0 (204)
Kardiovaskuler MAP
70
mmHg
MAP
< 70
mmHg
Dopamine
<5
atau
dobutamin
(dosis
berapapun)
Dopamine <5
atau epinefrin
≤ 0,1
Atau
Noreepinefrin
≤ 0,1
Dopamine >5
atau epinefrin
>0,1
Atau
Noreepinefrin
> 0,1
Sistem Syaraf Pusat
Glasglow Coma Scale
15 13-14 10-12 6-9 < 6
Renal
Creatinin , mg/dL
<1,2
(110)
1,2-
1,9
(110-
170)
2,0-3,4
(171-299)
3,5-4,9 (300-
40)
>5 (440)
Urin output, mL/hari < 500 < 200
Keterangan: Norepi = norepineprin; dop = dopamin FiO2 = fraction
of inspiration oxygen
2.2 Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE)
Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa model
penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien
yang dirawat di ruang intensif atau untuk meramalkan outcome perawatan
intensif. Sebagai contohnya adalah Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE) yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981,
dan dikembangkan sistem APACHE II tahun 1985 (Knaus et al, 1985).
Pada sebuah studi retrospektif dari 396 pasien oleh Peter et al 2013,
performa dari skor APACHE II, SAPS II, MPM II, dan Poisoning Severity
Score (PSS) dievaluasi, mereka menemukan bahwa meski pada pasien
31
kasus keracunan, akurasi sistem skor APACHE-II dan SAPS II melebihi
PSS. Studi yang dilakukan Saleh et al. pada 110 pasien ARDS dalam
perawatan ICU juga menunjukkan signifikansi skor APACHE II yang lebih
baik dalam memprediksi mortalitas dibandingkan skor SAPS II dan SOFA
(Peter et al 2013 & Saleh et al. 2015)
Saat ini APACHE II merupakan sistem skor yang paling banyak
digunakan di seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan penyakit.
Dalam APACHE II, digunakan 12 variabel fisiologis, efek umur dan
kondisi kesehatan/penyakit kronis diintegrasikan dalam satu model,
diberikan rasio sesuai dengan pengaruh relatif pada penyakit, dengan nilai
maksimum 71 pada hasil akhir penjumlahan. Diagnosis utama sebagai
kriteria masuk rawat intensif dapat ditambahkan dalam kategori penyulit
sehingga mortalitas terprediksi adalah hasil perhitungan komputer untuk
skor APACHE II pasien dan diagnosis utama saat masuk ruang intensif.
Oleh karena itu diagnosa utama memegang perana penting dalam prediksi
mortalitas, bahkan ketika status kesehatan dan derajat disfungsi fisiologis
akut cenderung seragam. Namun dalam penelitian ini, karena diagnosis
utama dikhususkan pada sepsis, maka kategori penyulit tidak penulis
perhitungkan.
32
Tabel 2.3. Skor APACHE II
Gambar berikut menerangkan mengenai kerangka teori sepsis yang akan
menyebabkan hipoperfusi splanknik sehingga akan memperberat terjadinya gagal
organ multipel.
33
Gambar 2.8. Kerangka teori sepsis, hipoperfusi splanknik, dan gagal
organ multipel
Diadaptasi dari :Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G.. 2000, ‘Understanding
Gastrointestinal Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,
269-281
Selain itu, direkomendasikan penggunaan marker sepsis untuk
membantu diagnosis dan monitoring terapi dengan menggunakan
prokalsitonin yang merupakan protein fungsional yang terdiri dari 114-116
asam amino (polipeptida) prekusor hormon kalsitonin dan disintesis secara
fisiologi oleh sel-sel tiroid C. Prokalsitonin terdiri dari 3 bagian yaitu amino
terminal (N-ProCt), kalsitonin imatur dan katakalsin (Meisner 2010) dengan
gambar sebagai berikut :
34
Gambar. 2.9. Gambar skematik sekuen asam amino procalcitonin
Dikutip dari : Meisner M, 2010, Procalcitonin-biochemistry and clinical diagnosis, Uni
Med Science, Bremen.
2.3 Perubahan Fisiologis Saluran Pencernaan Pada Geriatri
Penurunan pembersihan cairan lambung telah didokumentasikan
pada pasien yang lebih tua, dan dapat diperburuk oleh obat antikolinergik.
Penuaan juga berkaitan dengan penurunan persepsi distensi lambung yang
diukur dengan subjektifitas rasa penuh selama tes inflasi barostat balon
lambung. Tertundanya pengosongan dapat memperpanjang waktu kontak
lambung terhadap agen berbahaya, seperti obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID). Sebagian kecil memiliki hyposecretion asam yang parah
(achlorhydria) terkait dengan gastritis atrofi. (Hall, 2016)
Usus kecil memiliki kapasitas cadangan fungsional yang besar,
karena luas permukaan mukosa substansial yang tersedia untuk sekresi dan
penyerapan. Luas permukaan usus tidak berubah pada tikus setelah usia 6
minggu. Belum jelas apakah aktivitas spesifik disakaridase dan amino-
peptidases usus dipengaruhi oleh penuaan, karena aktivitas keduanya lebih
35
tinggi dan lebih rendah telah dilaporkan pada hewan yang tua dibandingkan
dengan kontrol muda. Tertunda pematangan dan ekspresi enzim pada sel
epitel vili usus kecil selama migrasi kriptovili tampaknya menjadi
penyebab. Namun, penyerapan laktosa, manitol, dan lipid pada individu usia
lebih dari 60 tahun tidak terpengaruh. Penyerapan dan sensitivitas Vitamin
D, asam folat, vitamin B-12, kalsium, tembaga, seng, asam lemak, dan
kolesterol secara signifikan terganggu pada tik\us tua. Zat besi adalah salah
satu nutrisi yang biasanya melimpah pada diet untuk orang tua. Pasien yang
lebih tua mungkin berisiko penyakit seperti kelebihan besi di hati (terutama
pada individu yang monozigot untuk hemochromatosis), dan kelebihan zat
besi terlibat dalam beberapa model stres oksidatif. Laki-laki tua dan wanita
menopause tidak memerlukan zat besi tambahan kecuali ada ditumpangkan
kehilangan darah atau gangguan sumsum tulang. (Hall, 2016)
Ada beberapa bukti bahwa orang yang lebih tua beresiko
terganggunya penyerapan makronutrients tanpa adanya penyakit tumpangan
atau reseksi bedah usus kecil. Penuaan dapat merubah kemosensitivitas
visceral atau respon hormonal, karena peningkatan efek mengenyangkan
terhadap konsumsi karbohidrat yang melewati usus halus melalui infus yang
dilaporkan pada pria yang lebih tua. Efek minor penuaan pada motilitas usus
kecil telah dijelaskan meskipun ada laporan bahwa beberapa subtipe
neuronal (substansi P, VIP, somatostatin-, dan nitrat oksida yang
mengandung) yang menurun pada model hewan tua. Dalam penelitian
bersubjek manusia, waktu transit usus kecil diukur dengan napas hidrogen
(breath hydrogen) yang lebih pendek pada laki-laki tu. Pembatasan kalori
36
hingga 70% dari asupan yang normal mencegah hilangnya neuron myenteric
ileum pada tikus SpragueDawley sampai usia 30 bulan, mirip dengan efek
menguntungkan dari pembatasan kalori pada perubahan lain saat penuaan.
(Hall, 2016)
Penuaan dikaitkan dengan efek beragam pada usus besar termasuk
perubahan dalam pertumbuhan mukosa sel, diferensiasi, metabolisme, dan
kekebalan. Pengurangan neuron oksida yang mengandung nitrat yang terkait
usia pada pleksus myenteric yang terlibat dalam relaksasi reseptif telah
dilaporkan. Sisa neuron myenteric secara fungsional kemungkinan
terganggu. Pengamatan lain termasuk lambatnya transit usus dan
peningkatan frekuensi kontraksi segmentasi, mengakibatkan peningkatan
resorbsi air dan kerasnya kotoran. Penurunan asupan serat kemungkinan
juga berkontribusi terhadap produksi feses yang keras dan tegang. Penelitian
lain menunjukkan bahwa penambahan serat menurunkan tekanan
intraluminal di usus besar. (Hall, 2016)
Gambar 2.10. Efek penuaan fisiologis pada saluran pencernaan (Hall, 2016)
37
2.4. Nutrisi Enteral pada pasien sepsis
2.4.1. Pengertian Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan
pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute
oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube),
nasogastric tube (NGT), atau jejunum yang dapat dilakukan secara manual
maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum
percutaneous) (Dietitisan Association of Australia/DAA 2011). Menurut
DAA Nutrition Support Interest Group (2011), nutrisi enteral merupakan
salah satu teknik pemberian makanan di rumah sakit untuk pasien kritis dan
pada pasien-pasien yang tidak dapat makan secara oral atau dengan intake
oral yang tidak adekuat dengan keadaan saluran gastrointestinal yang
berfungsi dengan baik.
Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali
pasien mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan
muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan pemenuhan nutrisi dan
berisiko terjadi malnutrisi. (Ziegler 2009).
EN adalah pilihan pertama karena lebih murah daripada PN dan secara
fisiologis lebih baik. Efek menguntungkan lain dari EN adalah fungsi
perlindungan pada penghalang dinding usus (intestinal wall barrier) dan
pencegahan terhadap adanya translokasi bakteri (Jacobi et al. 2012; Ellger et
al. 2006).
38
EN juga meningkatkan aliran darah splanknik. Namun, proses ini
mungkin memprovokasi sebuah fenomena yang disebut “steal
phenomenon”/fenomena pencurian (aliran darah diarahkan atau dicuri dari
organ yang tidak memproses makanan ke usus) aliran usus yang rendah akan
menimbulkan nekrosis non-oklusif pada usus. Masih dibutuhkan penelitian
RCT untuk menilai keselamatan dan efektifitas beberapa dosis yang berbeda
dari EN pada pasien dengan hemodinamik yang lemah (misalnya, yang
memerlukan obat vasopresor) karena insiden nekrosis usus non-oklusif yang
rendah (0,1- 0,3%). (Jacobi et al. 2012; Ellger et al. 2006).
Penelitian dengan hewan coba (tikus) yang dilakukan oleh Saia et al.
(2013) mengenai peranan cholesistokinin (CCK) pada kondisi syok
endotoksemia. Saia et al. menjelaskan bahwa CCK bisa mencegah lepasnya
TNF-alfa, IL1- dan terbentuknya iNOS sehingga proses vasodilatasi, hipotensi,
hipoperfusi dan hipoksia jaringan bisa dicegah keberklanjutannya. Gambar
berikut merupakan hipotesis pada penelitian Saia et al (2013) tersebut :
Gambar 2. 11. Hipotesa mekanisme peranan CCK pada kondisi respon
inflamasi sitemik
Dikutip dari Saia, R.S., Bertozi, G., Mestriner, L., Rodrigues, J.A., Cunha, F.Q., Carnio,
E.C., 2013,’Cardiovascular and inflammatory response to Cholecystokinin during
endotoxemic shock’, Shock, 39, 1, 104-112
39
Sebagaimana diketahui bahwa CCK disekresi oleh sel enteroendocrine
(sel I) yang berada di mukosa duodenum, jejunum, dan ileum proksimal,
aferent vagal dan pleksus myenterik dan berimplikasi terhadap fungsi
pengosongan dan distensi gaster, kontraksi kandung empedu, sekresi
pankreas dan motilitas usus. CCK pada saluran pencernaan ini mempunyai
reseptor CCK-1 (Chandra & Liddle 2007). Berikut adalah gambar mekanisme
pelepasan CCK :
Gambar 2.12. Kolesistokinin dilepaskan oleh sel enteroendokrin
spesifik yang saat makanan masuk ke dalam duodenum
Cholecystokinin (CCK) dilepaskan dalam darah atau berefek lokal pada nervus enterik
yang akan mengakibatkan respon posprandial yang terkoordinir. CCK akan mengaktivasi
reseptor CCK-1 yang terletak pada fundus gaster dan sphincter pylorus dan mengakibatkan
40
relaksasi lambung dan komtraksi sphincter yang secara bersama-sama menurunkan jumlah
makanan yang akan masuk ke duodenum. CCK akan mempengaruhi pancreas untuk
mengekskresi eksokrin dan sekresi endokrin. Pada islet pankreas, CCK menstimulasi
lepasnya insulin release dan proliferasi sel beta namun juga menpunyai efek menimbulkan
rasa kenyang dan menurunkan insulin-induced hyperphagia (hiperfagia yang diinduksi
insulin). CCK juga akan menstimulai kontraksi kandung empedu yang akan mengalirkan
empedu ke dalam usus yang akan berkurang dengan lepasnya CCK. Yang menarik adalah,
meningkatnya kadar CCK dalam darah dan turunnya ekspresi reseptor CCK-1 pada pasien
dengan batu empedu dan terganggunya pengosongan kandung empedu. Lepasnya CCK
juga akan menstimulasi motilitas usus halus dan bermanifestasi pada gejala irritable
bowel syndrome (IBS). Di otak, CCK akan mengaktivasi nucleus of tractus solitarius
(NTS) untuk menimbulkan rasa kenyang dan akan berkurang dengan perasaab lapar dengan
efek memodulasi ghrelin, dan membloking sinthesis orexin dan melanin-concentrating
hormone (MCH) mRNA di hipotalamus.
Dikutip dari Chandra, R., Liddle, R.A., 2007, ‘Cholecystokinin’, Curr Opin Endocrinol
Diabetes Obes, 14,63-67
Penelitian oleh Jonqueira et al. (2012) merekomendasikan pemberian
nutrisi enteral pada pasien kritis jika hemodinamik pasien telah stabil. Namun,
penelitian observasional skala kecil menunjukkan bahwa EN layak dan aman
diberikan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil (Jacobi et al.
2012; Ellger et al. 2006).
Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status nutrisi
pasien, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan
Kwon (2011) pada 48 pasien ICU yang diberi nutrisi enteral adekuat berupa
energi selama 7 hari. Status nutrisi pasien-pasien tersebut meningkat jika
dibandingkan dengan pasien yang diberi nutrisi enteral dibawah kebutuhan.
Selama perawatan dengan pemberian nutrisi enteral yang adekuat terdapat
penurunan nilai Body Mass Index (BMI), prealbumin dan Percent Ideal Body
Weight (PIBW) (Kim & Kwon 2011).
2.4.2 Persyaratan nutrisi enteral
Nutrisi enteral memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi
(Hasir 2013) yaitu :
a. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1
41
kkal/ml cairan.
b. Kandungan makanannya harus seimbang. Kandungan makanan harus
mengandung semua komponen zat gizi esensial seperti protein, asam
amino, lemak, vitamin, mineral, dan element lain yang memenuhi jumlah
kebutuhan.
c. Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.
Osmolalitas yang ideal untuk nutrisi enteral adalah 350-400 mOsm sesuai
dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.
d. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat nutrisi enteral sebaiknya terdiri
dari komponen-komponen yang siap diabsorbsi atau paling tidak hanya
sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorbsi.
e. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Menghindari terjadinya
intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi. Paling
tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.
Imunonutrisi adalah kumpulan beberapa nutrien spesifik seperti
arginin, glutamin, nukleotida dan asam lemak omega 3, yang diberikan sendiri
ataupun kombinasi, memiliki pengaruh terhadap parameter imunologik dan
inflamasi yang telah terbukti secara klinis dan laboratoris (Heyland 2001).
Trauma berat, sepsis, luka bakar akan mengancam kehidupan penderita dengan
terjadinya disregulasi imunologik dengan berbagai manifestasi klinik.
Inflamasi atau infeksi merupakan komplikasi klinik yang sangat berbahaya
dan menyebabkan kematian sebesar 40% – 80% (Houdijk 1999).
Imunomodulasi saat ini dikembangkan pada pencegahan sepsis / penyakit kritis
berhasil menurunkan angka kematian. Salah satu enteral nutrisi adalah :
42
Enteral Feeding supplement dengan nutirisi yang terdiri dari glutamin, n-3
polian staturasi asam lemak dan nukliotide (Immunonutritions). Dikatakan
demikian sebab kelainan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) imuno
respon merupakan kontribusi disfungsi intestinum (usus halus) dalam keadaan
sepsis. Telah dilakukan penelitian dengan metode Double Blind Cross Over
Design pada penderita sepsis yang diberikan imunonutrisi dibandingkan
dengan kontrol (penderita sepsis yang tidak diberi imunonutrisi) terdapat
perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Pada penderita sepsis dengan
imunonutrisi terjadi perkembangan penyakit yang membaik, terjadi penurunan
komplikasi , jangka waktu perawatan dan kematian (Senkal 1999). Dari hasil
penelitian ini diharapkan imunonutrisi merupakan salah satu faktor terapi
support pada sepsis / penyakit kritis.
Formulasi diit untuk penderita dengan infeksi kritis yaitu diit
imunonutrisi menggunakan lemak jenuh. Komposisi diit ini diberikan nama
“Diit sonde sepsis RSUD Dr. Moewardi” Komposisi diit ini dapat berupa cair
“Pada diit bentuk cair setiap 1 cc mengandung 1 kalori; komposisinya adalah
sebagai berikut (Tim Gizi 2017):
Tabel 2.4. Diet sonde sepsis RSUD Dr.Moewardi Surakarta
BAHAN Per 1000 ml
Wortel 80 g
Tempe 80 g
Ikan 40 g
Tepung beras 20 g
Tepung Susu 25 g
Gula pasir 75 g
Telur ayam 25 g
Miyak Jagung 20 g
43
Susu skim 40 g
Air 800 cc
Nilai Gizi
Energi 1056, 2 kkal
Protein 45,8 g
Lemak 34,4 g
Karbohidrat 145,7 g
Kalium 844,9 mg
Natrium 194,1 mg
Kolesterol 129,9 mg
Peraturan pemberian sonde
1. Pagi pukul 07.00 dan malam pukul 21.00
Peptisol® per 200 cc (4 sendok takar = 63 g)
Nilai Gizi
Energi 240 kkal
Protein 14 g
Lemak 3 g
Karbohidrat 45 g
Kalium 130 mg
Natrium 100mg
Kolesterol 0 mg
2. Pukul 09.00, 12.00, 15.00, 17.30
menggunakan standard sonde lengkap per 200 cc
Formulasi modern untuk nutrisi enteral (EN) dan nutrisi parenteral (PN)
lengkap terdiri dari semua makronutrisi dan mikronutrisi penting. (Jacobi et al.
2012; Ellger et al. 2006).
2.3.3. Indikasi Nutrisi Enternal
Nutrisi enteral diindikasikan bila ada gangguan mengunyah dan
menelan dan adanya suatu kondisi pasien yang tidak aman untuk menelan
makanan sendiri seperti terjadi penurunan kesadaran. Indikasi nutrisi
enteral secara rinci disajikan pada tabel di bawah ini :
44
Tabel 2.5. Indikasi nutrisi enteral (Stroud et al. 2005)
Indikasi nutrisi enteral Keterngan/contoh
Pasien tidak sadar Cidera kepala, pasien dengan ventilator
gangguan menelan (neuromuskuler) Post stroke, multipel sklerosis, penyakit
motor neuron
Anoreksia fisiologis Kanker, sepsis, penyakit hepar
Obstruksi saluran gastrointestinal bagian
atas
striktur/tumor oro-faringeal/esofageal
Disfungsi gastrointestinal/malabsorbsi Ileus post operasi, short bowel
Kebutuhan nutrisi yang meningkat Cystic fibrosis, penyakit ginjal
Masalah psikologis Depresi berat, anoreksia nervosa
Terapi spesifik Inflamatory bowel disease
2.4.4. Kontraindikasi Nutrisi Enternal
Obstruksi usus, gangguan perfusi saluran cerna (instabilitas
hemodinamik, syok sepsis) (DAA 2011).
2.4.5. Metode Pemberian Nutrisi enteral
Dietititans Association of Australia menyatakan bahwa pemberian
nutrisi enteral terdiri dari beberapa metode antara lain (DAA 2011):
a. Continous feeding
Di unit perawatan intensif (ICU), continous feeding adalah
metode yang paling banyak digunakan dalam enteral feeding dan
direkomendasikan dalam pedoman praktik klinis yang didasarkan pada
beberapa tinjauan sistematis dan dalam panduan lain yang didasarkan
pada saran ahli (Williams TA & Leslie GD 2004), contohnya di
guideline enteral feeding di Spanyol (SENPE 1998). Continous feeding
adalah metode pemberian makan selama 24 jam terus menerus baik
melalui tetes gravitasi atau dengan pompa infus, dapat dimulai dengan
50 cc per jam selama 3-4 jam, 1 jam istirahat jika toleransi baik dapat
ditingkatkan 100-200 cc/jam. Keuntungan pemberian nutrisi dengan
continous feeding adalah memungkinkan laju umpan per jam terendah
45
untuk memenuhi kebutuhan gizi, toleransi yang lebh baik pada
pencernaan karena tingkat umpan yang lebih rendah, kontrol yang lebih
baik pada kadar glukosa darah akibat masukan karbohidrat secara
kontinyu. Kekurangan metode ini yaitu mempengaruhi psikososial,
biaya peralatan tinggi (pompa dan 1 set peralatannya).
b. Intermittent feeding
Intermittent feeding adalah metode pemberian nutrisi dengan
melakukan pemberhentian pemberian makanan jangka waktu 4-16 jam
per hari baik siang hari atau malam hari. Keuntungan metode ini yaitu
memungkinkan mobilitas yang besar bagi pasien (dapat meningkatkan
kualitas hidup), memungkinkan istirahat untuk kegiatan fisik, untuk
pemberian obat yang kompatibel dengan feeding dan untuk mendorong
asupan oral jika berlaku berguna dalam transisi dari berkesinambungan
untuk makan bolus atau dari tabung ke intake oral, dapat mengurangi
resiko aspirasi jika dapat mempertahankan elevasi kepala 30º.
Kekurangan metode ini yaitu apabila dibandingkan dengan makan
terus-menerus, tingkat infus lebih tinggi diperlukan untuk menyediakan
volume yang sama sehingga kurang ditoleransi dengan risiko yang
lebih tinggi dari masalah seperti refluks, aspirasi, distensi abdomen,
diare dan mual.
c. Bolus feeding
Bolus feeding didefinisikan sebagai pemberian makan yang
cepat dengan menggunakan tabung (biasanya oleh bantuan gravitasi
tanpa plunger), diberikan sebanyak 100-400 ml selama 15-60 menit
46
secara berkala. Volume lambung yang banyak mengakibatkan motilitas
dan pengosongan lambung menjadi lambat, dan pada akhirnya residu
dalam lambung meningkat. Pasien harus memiliki esofagus yang
kompeten atau tidak ada gangguan napas untuk meminimalkan risiko
aspirasi. Keuntungan metode ini yaitu secara fisiologis mirip dengan
pola makan yang khas, memungkinkan mobilitas pasien yang lebih
besar, dapat digunakan untuk melengkapi asupan oral, dapat menjadi
fleksibel sesuai dengan gaya hidup pasien dan meningkatkan kualitas
hidup, dapat memfasilitasi transisi ke asupan oral, menghindari
penggunaan peralatan mahal. Kekurangan metode ini yaitu bolus yang
besar mungkin buruk ditoleransi, terutama bagi usus kecil,
membutuhkan waktu yang lebih dari perawat dibandingkan dengan
pemberian melalui drip, resiko aspirasi tertinggi, refluks, perut
kembung, diare dan mual.
2.5. Pengaruh Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis
Fisiologi sirkulasi splanknik sangat komplek sebagai dasar untuk
memahami dan menilai perubahan yang terjadi pada pasien kritis dengan
ketidakstabilan hemodinamik. Saat beristirahat dan kondisi normal, 20-25%
dari curah jantung terletak di sirkulasi splanknik. Aktivitas metabolik di
daerah ini menyumbang 30% dari konsumsi oksigen tubuh secara
keseluruhan. Aliran di zona ini saat makan menjadi 2 kali lipat karena
fenomena yang dikenal sebagai respon hyperemic postprandial (Cresci & Cue
2008).
47
Jika terjadi keadaan dehidrasi, infeksi, sepsis, dan pemberian obat
vasoaktif dapat menyebabkan penurunan perfusi splanknik. Pada organ
splanknik, hipoperfusi dapat dikarenakan sebagai kompensasi tubuh untuk
menjaga aliran darah ke otak (Cresci & Cue 2008; Sinaga, Sutanto & Syam
2013). Konsekuensi penurunan perfusi ini terjadi penurunan gradien oksigen
jaringan dari dasar ke ujung vili, hipoksia di dalam sel, dan berikutnya akan
terjadi iskemia dan nekrosis. Hipoperfusi menyebabkan penurunan gradient
oksigen jaringan dari dasar ke ujung vili, sehingga mengakibatkan ujung vili
sangat sensitif terhadap hipoksia jaringan. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan rasio suplai dan kebutuhan oksigen di tingkat intestinal
yang akan mengakibatkan iskemia. Selanjutnya akan menyebabkan
menipisnya cadangan ATP seluler, dengan ruptur tight junction antar sel
epitel, sehingga gradient konsentrasi zat terlarut antara kompartemen apikal
dan basolateral hilang, terjadi edema intraseluler, nekrosis dan apoptosis.
Hasil akhir dari gangguan mikrosirkulasi usus adalah pecahnya barrier epitel
intestinal yang akan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri. Respon
inflamasi yang terus menerus dan berkembang secara progresif ke arah
sindrom gangguan multipel organ yang pada akhirnya hipoperfusi splanknik
semakin memberat (Cresci & Cue 2008; Puleo et.al. 2011).
Manfaat pemberian nutrisi enteral yaitu : (1) memperbaiki
permeabilitas dinding usus sehingga mencegah translokasi bakteri,
endotoksin, serta antigen masuk ke dalam sirkulasi, (2) mencegah atrofi
jaringan limfoid usus (GALT) yang merupakan mekanisme utama sistem
kekebalan mukosa usus, dimana efek tropik mencegah atrofi mukosa usus
48
yaitu melindungi fungsi barrier usus, (3) memperbaiki fungsi limfosit Sel T
dan sel B, meningkatkan aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis
sehingga menurunkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth) (Cresci &
Cue 2008; Puleo et.al. 2011). Manfaat lain adalah meningkatkan aliran darah
di saluran cerna, memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu
sakit, mengurangi proses katabolik, menurunkan resiko komplikasi infeksi
secara bermakna, mempercepat penyembuhan luka, biaya lebih murah
dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral, lama perawatan rumah
sakit lebih pendek dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral
(McClave at al. 2016).
Pemberian nutrisi pada pasien sepsis dengan hiperglikemi
membutuhkan pengkajian nutrisi individual yang berdasarkan kondisi/tingkat
keparahan penyakit dimana target glikemik juga harus diimbangi dengan
asupan energi yang adekuat (Ellger et al. 2006). Tujuan pemberian nutrisi
adalah untuk memberikan nutrisi esensial yang menghasilkan energi,
homeostasis metabolik, fungsi organ dan kapasitas fungsional (Ellger et al.
2006; Hirasawa 2009).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian nurisi
karena jika kalori yang diberikan tidak adekuat, maka akan membawa kondisi
malnutrisi. Namun disisi lain, pemberian makanan secara berlebihan juga
akan membawa kondisi tidak tercapainya target glikemik yang sesuai.
Hiperglikemia akibat pemberian makanan berlebih akan menghasilkan
katabolisme, imunosupresif dan proinflamasi, serta menghambat
pengosongan lambung (Ellger et al. 2006).
49
2.6. Pengaruh Teknik Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis
Cara pemberian nutrisi enteral berperan penting agar target jumlah
nutrisi dapat tercapai, karena pada pasien sepsis terjadi gangguan motilitas
saluran cerna yang dapat disebabkan karena gangguan saraf enterik dan
fungsi otot polos, kondisi hiperglikemi, inflamasi, gangguan elektrolit,
interaksi dengan obat (Elke et al. 2014).
Lane et al (1998) melakukan penelitian efek interval dan tipe
pemberian nutrisi enteral terhadap hemodinamik splanknik pada bayi baru
lahir dan membuktikan bahwa perfusi spanknik dipengaruhi secara signifikan
oleh interval dan tipe nutrisi enteral. Nutrisi enteral dengan kandungan lemak
yang tinggi mengakibatkan kondisi hyperemia splanknik pada arteri
mesenterik superior, serupa halnya dengan intervensi pemberian makan tiap 1
jam sekali. Namun sayangnya, penelitian ini tidak mempublikasikan metode
pemberian nutrisi dan kandungan nutrisi enteral yang diberikan secara rinci.
McClave (2016) berpendapat bahwa pemberian nutrisi enteral
dengan metode kontinyu dengan kecepatan 10-20 mg/jam bisa mencegah
atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik. Naftarilofa (2013) melakukan
penelitian dengan metode evidenced based practiced pada pasien post
gastrektomi dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu untuk menghindari
gejala refluk gastroesofageal dan membuktikan bahwa nutrisi enteral
kontinyu bisa mencegah kejadian refluk gastroesofageal seperti yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Bowling dan Wright (2008). Penelitian oleh
Serpa et al. mengenai pengaruh nutrisi enteral kontinyu dan bolus pada pasien
kritis menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan diantara keduanya (Serpa et
50
al. 2003). Hal tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Abdelsalam (2012) dan Maurya et al. (2011) dengan mengukur outcome
pemenuhan nutrisi dan efek samping pada subjek pasien ICU.
Mahezepur (2016) membuktikan adanya efek positif pemberian
nutrisi enteral kontinyu terhadap keseimbangan nitrogen, penurunan status
hiperkatabolik dan pemeliharaan protein tubuh jika dibandingkan dengan
pemberian nutrisi enteral secara intermitten pada subjek pasien dengan
trauma otak. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Evans (2016)
membuktikan bahwa pemberian nutrisi kontinyu meningkatkan kemampuan
pasien untuk mobilisasi, menurunkan masa rawat dan mortalitas jika
dibandingkan dengan bolus.
Hasir (2013) melakukan penelitian pengaruh pemberian nutrisi
enteral intermitten terhadap kadar gula darah sewaktu pada pasien cedera otak
berat pascabedah secara observatif dengan pendekatan prospective study.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian nutrisi enteral secara
intermitten tidak memberikan perubahan pada kadar gula darah tetapi
menggambarkan absorpsi makanan lebih baik. Sedangkan McLoad (2007)
melakukan penelitian secara prospective randomized control trial dan
membuktikan bahwa pasien trauma yang diberi nutrisi enteral intermitten
mencapai target kebutuhan nutrisi lebih cepat jika dibandingkan dengan
metode kontinyu. Namun kelemahan pada penelitian ini adalah adanya
kondisi terganggunya pemberian nutrisi kontinyu saat operasi sehingga
pemberian nutrisi kontinyu tidak efektif.
51
Kontroversi efektivitas nutrisi enteral kontinyu dibanding bolus
pada pasien dengan kondisi kritis masih diperdebatkan. Marik (2015)
berpendapat bahwa pemberian nutrisi pada kondisi kritis sebaiknya dilakukan
secara intermiten karena dianggap lebih fisologis dibandingkan secara
kontinyu dengan melihat outcome atrofi otot yang tampaknya lebih minimal
pada pasien dengan nutrisi enteral intermiten. Sementara itu, Chowdury A et
al (2016) melakukan penelitian pada pemberian nutrisi enteral dengan bolus
pada orang dewasa sehat dengan hasil adanya peningkatkan volume gaster,
meningkatkan aliran darah pada arteri mesenterik superior dan velositinya jika
dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu.
Shahriari et al. (2015) melakukan penelitian mengenai pemberian
nutrisi enteral kontinyu vs bolus pada pasien ICU dan membuktikan bahwa
nutrisi enteral kontinyu dapat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan
konsentrasi prealbumin dibandingkan dengan bolus. Sebagai kontrol adalah
pemberian nutrisi bolus yang merupakan prosedur standar di RS Isfahan, Iran .
Pemberian bolus dilakunan sebanyak 6 kali dalam 24 jam. Pemberian nutrisi
bolus diberikan selama 10-20 menit dengan syringe dan ditingkatkan 50 cc
setelah pasien bisa mentoleransi nutrisi dan dievaluasi residu gaster (<150 cc)
tiap 6 jam hingga target kalori yang ditentukan. Pada pemberian nutrisi enteral
secara kontinyu, pemberian nutrisi selama 24 jam dan dinaikkan bertahap 20-
50 cc tiap 4-6 jam hingga memenuhi target kalori yang ditentukan. Monitoring
residu gaster dilakukan tiap 4 jam.
52
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Nutrisi di splanknik akan meningkatkan aliran darah yang dikenal
sebagai mekanisme postprandial hyperaemia. Peningkatan aliran darah
setelah makan yang terjadi di splanknik kurang lebih 58-250%.
Peningkatan ini berlangsung selama 2-3 jam, mencapai puncak 5-60 menit
setelah pemberian. Perbedaan cara pemberian nutrisi enteral akan
memberikan pengaruh yang berbeda pada peningkatan dan durasi
postprandial hyperaemia. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu
dengan kecepatan yang rendah dapat meningkatkan 10% aliran darah ke
splanknik dan 10% penurunan mean arterial pressure (MAP) yang paralel
dengan penurunan resistensi vaskuler sistemik tanpa perubahan denyut
jantung. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu dengan kecepatan yang
rendah juga meningkatkan kemampuan absorbsi, menurunkan
permeabilitas splanknik, dan mencegah terjadinya cidera reperfusi dari
mukosa intestinal (Ackland, 2000).
Ikatan LPS dengan TLR ini akan mengawali terjadinya aktivasi
sinyal transduksi, dengan bantuan molekul kostimulatornya yaitu CD14
53
dan MyD88 akan mengaktivasi IKK. Aktivasi enzim IKK ini akan
melepaskan ikatan IB dengan NfB yang berada di sitoplasma. Dalam
keadaan tidak aktif, NfB (heterodimer dari p65 dan p50) terikat dalam
sitoplasma oleh IκB. Selanjutnya NfB akan bertranslokasi kedalam
nukleus yang akan terikat pada daerah promotor gen mediator inflamasi
dan selanjutnya meningkatkan transkripsi, sementara IB yang berada di
sitoplasma akan didegradasi. Sehingga aktivasi NfB ini akan
menghasilkan sejumlah sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, dan
IL-17), alarmin (HMGB-1), dan peptida hipotensif ataupun vasodilator
kuat (adrenomedulin) (Ackland 2000).
Pada saat pemberian nutrisi enteral, akan terjadi motilitas
lambung. Kontraksi antrum akan diikuti kontraksi pilorus dan duodenum.
Hal ini akan memicu keluarnya hormon kolesistokinin yang berasal dari sel
enteroendokrin duodenum. Kolesistokinin akan terikat di reseptor CCK-1
di saluran cerna dan CCK-2 yang terletak di sentral atau di perifer serabut
afferent vagal. Kolesistokinin dapat berperan sebagai antiinflamasi melalui
jalur anti inflamasi kolinergik, merupakan interaksi antara sistem saraf dan
imun dalam mengatur respon inflamasi. Aktivasi reseptor kolesistokinin
akan menyebabkan stimulasi saraf parasimpatis, sinyal kemudian akan
diteruskan ke serabut vagal efferent dan akan mengaktivasi keluarnya
54
asetilkolin, neurotransmitter utama parasimpatis. Peningkatan asetilkolin
ini akan diikat oleh reseptor α7-nicotinic achetylcolin (α7-nAch) yang
terdapat pada makrofag. Selanjutnya akan terjadi penghambatan fosforilasi
IB dari NfB sehingga aktivasi NfB terhambat, yang akan menyebabkan
penurunan produksi sitokin pro inflamasi, sehingga menurunkan
kemungkinan terjadinya gagal organ multipel. Pemberian nutrisi secara
kontinyu akan lebih memaksimalkan motilitas lambung, sehingga terjadi
perangsangan saraf parasimpatis yang terus menerus sehingga
kolesistokinin dikeluarkan secara kontinyu meskipun dalam jumlah yang
lebih sedikit (Ackland 2000; Honiden & Inzucchi 2015; Saia 2013).
55
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:
: mengaktivasi : nutrisi enteral bolus
: menghambat : nutrisi enteral kontinyu
56
3.2. Hipotesis Penelitian
3.2.1. Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus dibandingkan enteral
kontinyu terhadap skor APACHE II pada pasien geriatri dengan
sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi.
3.2.2 Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus dibandingkan enteral
kontinyu terhadap skor Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri
dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi.
3.2.3 Ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus
dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II dan
Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang
perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi
.
57
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan
perlakuan nutrisi enteral secara randomized control trial.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di ruang perawatan intensif ICU/HCU di
Rumah Sakit DR Moewardi. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu mulai 1 Mei
2017 - 1 Mei 2018.
Tabel 4.1. Jadwal Penelitian
Bulan ke 1 2 5 6 8 12 13 Minggu ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan:
mengumpulkan
kepustakaan,
diskusi, membuat
log book,
perijinan, alat dan
bahan penelitian
Pelaksanaan
penelitian dan
pengumpulan data
di HCU/ICU RS
dr. Moewardi
Surakarta
Analisis data dan
uji statistik
Penyusunan tesis
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi target penelitian ini adalah pasien sepsis. Populasi
terjangkau adalah pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di ruang
58
rawat intensif ICU/HCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
mulai 1 Mei 2017 sampai jumlah sampel terpenuhi.
4.3.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive
sampling yaitu pengumpulan sampel dilakukan berdasarkan ciri-ciri
yang telah ditentukan dan memenuhi kriteria inklusi, sampai jumlah
sampel terpenuhi, dan teknik pembagian sampel dalam penelitian ini
adalah secara random yang mendapatkan nutrisi entral bolus atau
kontinyu.
4.3.3.Besar Sampel
Penentuan besar sampel (sample size) melibatkan parameter
tingkat kesalahan (error term) atau α dan tingkat kekuatan pengujian
(power test) atau 1 – ß. Formulasi besar sampel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut : (Dahlan, 2013)
n = (Z 1-α + Z 1-β)2 σ 2
2
Keterangan:
n : Besarnya sampel
Z 1-α : nilai standar normal tingkat kesalahan, jika α = 0,05 maka Z
1-α = 1,96
Z 1-ß : nilai standar normal power test, jika 1-ß = 0,90 maka Z 1-ß =
1,282
ᵟ: selisih yang diinginkan (difference of interest)
σ : besarnya penyimpangan (standar deviasi) yang bisa ditolerir.
59
Karena untuk kelompok sampel berpasangan berlaku ᵟ2 = σ2 = 1,
sehingga :
n = (Z 1-α + Z 1-β)2
Maka dengan kondisi diatas , penelitian ini menggunakan ukuran
sampel minimal adalah :
n = (1,96 + 1,282)2 = 10,51 dibulatkan jadi 11.
Besar sampel disesuaikan dengan jenis penelitian yang
dilakukan. Besar sampel minimal untuk penelitian eksperimental yang
disarankan adalah 11 subjek tiap kelompok. Penelitian ini terdiri dari
2 kelompok perlakuan. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan
mempertimbangkan kemungkinan terjadi drop out sebesar 10%
(Kasjono danYusril, 2013).
4.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu
1. Skor SOFA ≥2
2. Berumur > 60 tahun
3. Dirawat di ICU/HCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta
4. Pasien/ keluarga bersedia ikutserta dalam penelitian
(menandatangani inform consent)
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
1. Pasien/keluarga tidak bersedia diikutsertakan pada penelitian
60
2. Koma irreversibel
3. Kanker/keganasan
4. CKD stage V
5. Infark miokard akut,
6. Meninggal atau pulang paksa kurang dari 72 jam
7. Pankreatitis akut yang berat
8. Fistula pada proksimal saluran cerna dengan high output
9. Tidak bisa dilakukan akses dengan nutrisi enteral
10. Muntah dan diare berat dan gangguan absorbsi saluran cerna.,
11. Ileus
12. Obstruksi saluran pencernaan
13. Perdaraahan saluran cerna yang berat.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1. Variabel Bebas :
a. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu
b. Pemberian nutrisi enteral secara bolus
4.4.2. Variabel Tergantung :
a. skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation)
b. LOS
61
4.5. Definisi Operasional
4.5.1.Nutrisi enteral bolus feeding
Didefinisikan sebagai pemberian makan yang cepat dengan
menggunakan jarum suntik biasa (biasanya oleh gravitasi tanpa
plunger), kebutuhan nutrisi harian dibagi 5 porsi diberikan dengan
frekuensi 5 kali / 24 jam dengan satu kali pemberian masing –
masing selama 15-20 menit secara berkala. Digunakan diet sonde
sepsis (Tim gizi, 2017)
Jenis data : nominal
Skala data : Numerik
4.5.2. Nutrisi enteral kontinyu
Pemberian nutrisi enteral kontinyu adalah metode pemberian makan
selama 24 jam terus menerus baik melalui tetes gravitasi atau dengan
pompa infus merk Aplix®, dapat dimulai dengan 50 cc per jam
selama 3-4 jam. Setelah toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200
cc/jam. Satu jam istirahat tiap 3 jam pemberian nutrisi. Dilakukan
pengecekan residu gaster tiap 4 jam. Dilakukan irigasi tiap 4 jam
dengan air sebanyak 20-60 ml. Digunakan diet sonde sepsis (Tim
gizi, 2017)
Jenis data : nominal
Skala data : Numerik
62
4.5.3. Skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation)
Skor APACHE II yang lebih baik dalam memprediksi mortalitas dan
derajar keparahan penyakit (Saleh et al. 2015). Skor APACHE II
sebagai berikut :
Tabel 4.2. Skor APACHE II
Jenis data : kontinyu
Skala data : kategorik
63
4.5.5. Lenght of Stay (=LOS)
Adalah periode waktu pasien dirawat-inapkan/lama pasien
menginap di rumah ruang ICU/HCU RSUD dr.Moewardi berdasarkan
kriteria keluar ICU. Penghitungan 1 hari = 24 jam.
Jenis data : kontinyu
Skala data : kategorik
4.6. Bahan dan Alat penelitian
4.6.1. Bahan Penelitian
Diet bernama diet sonde sepsis, dengan komposisi diit ini berupa
cair .Pada diit bentuk cair setiap 1 cc mengandung 1 kalori;
komposisinya adalah sebagai berikut (Tim Gizi 2017):
Tabel 4.3. Diet sonde sepsis
BAHAN Per 1000 ml
Wortel 80 g
Tempe 80 g
Ikan 40 g
Tepung beras 20 g
Tepung Susu 25 g
Gula pasir 75 g
Telur ayam 25 g
Miyak Jagung 20 g
Susu skim 40 g
Air 800 cc
Nilai Gizi
Energi 1056, 2 kkal
Protein 45,8 g
Lemak 34,4 g
Karbohidrat 145,7 g
Kalium 844,9 mg
64
Natrium 194,1 mg
Kolesterol 129,9 mg
Peraturan pemberian sonde
1. Pagi pukul 07.00 dan malam pukul 21.00
Peptisol® per 200 cc (4 sendok takar = 63 g)
Nilai Gizi
Energi 240 kkal
Protein 14 g
Lemak 3 g
Karbohidrat 45 g
Kalium 130 mg
Natrium 100mg
Kolesterol 0 mg
2. Pukul 09.00, 12.00, 15.00, 17.30
menggunakan standard sonde lengkap per 200 cc
4.6.2. Alat Penelitian
1. Peralatan nutrisi enteral :
Feeding tube
Extension sets
Feeding pump/enteral pumps merk Aplix ®
Nutritional bag/containers
2. Nutrisi parenteral dengan : Kabiven® atau Nutriflex®
3. Formulir isian untuk data pasien, kriteria keluar HCU, catatan skor
SOFA, APACHE II
65
4.7. Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan melewati tahap sebagai berikut :
a. Pemilihan sampel
Sampel merupakan pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di
HCU/ICU RSUD dr. Moewardi. Sampel memenuhi kiteria inklusi
sebagaimana pada point 4.3.4.
b. Penghitungan skor APACHE II pada pasien
Dilakukan penghitungan skor APACHE II pada sampel.
c. Penghitungan kebutuhan nutrisi enteral
Nutrisi enteral pada pasien dihitung berdasarkan rumus dari guideline
ESPEN 2006, yaitu banyaknya kebutuhan kalori pada kondisi fase akut
dan inisial yaitu 20 – 25 kkal/BB/hari pada kondisi kritis. Pada pasien
yang mentolerir nutrisi enteral dan dapat diberi makan mendekati ke
nilai target, tidak ada tambahan nutrisi parenteral yang harus diberikan.
Pada pasien yang tidak dapat diberi nutrisi cukup secara enteral,
ditunjukkan dari gastric residual volume (GRV) defisit kalori harus
diberikan secara parenteral tetapi tidak melebihi kebutuhan nutrisi
pasien untuk menghindari overfeeding. (Kreyman etal 2006 &
Kuppinger 2013) Nutrisi parenteral yang dipakai pada penelitian ini
adalah Kabiven ® 1440 cc (̴1000 kkal) atau Nutriflex ®.1440 cc (̴1000
kkal). Nutrisi parenteral menggunakan kabiven® atau Nutriflex ®
dengan kebutuhan kalori yang dihitung berdasarkan selisih dari
kebutuhan kalori pasien per hari dikurangi kalori nutrisi enteral per hari.
d. Pemberian nutrisi enteral secara bolus / kontinyu
66
Kelompok yang diberi nutrisi enteral bolus dilakukan dengan teknik:
1. Cek residu gaster, jika kurang kari 100 cc, dikembalikan lagi ke
gaster,
2. Diberikan nutrisi sebanyak 100-400 ml selama 15-60 menit secara
berkala
3. Dimulai dengan laju 200 -300 ml dalam 30-60 menit
4. Ditingkatkan dengan dosis terbagi 60 mL bolus hingga volume
yang diinginkan
5. Dilakukan tiap 4-6 jam
6. Dilakukan irigasi tiap sebelum dan selesai pemberian makan
diberikan flush dengan air sebanyak 20-60 ml
Kelompok yang diberi nutrisi enteral kontinyu dilakukan dengan
teknik:
1. Dimulai dengan laju 30 -50 ml/jam selama 3-4 jam, 1 jam istirahat
jika toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam.
2. Dilakukan pengecekan residu gaster tiap 4 jam
3. Dilakukan irigasi tiap 4 jam dengan air sebanyak 20-60 ml
e. Pengukuran gastric residual volume (Pullen 2004 & Hurt 2010) dengan
cara :
1. Menjelaskan prosedur pada pasien dan keluarga
2. Memastikan letak selang pada posisi tepat, beri tanda selang yang di
luar hidung untuk dibandingkan setelah perhitungan.
3. Menilai pasien apakah terdapat distensi abdomen, mual, muntah.
67
4. Masukkan spuit 50 cc, dan aspirasi 20 cc. Cek warna, konsistensi,
dan pH untuk mengkonfirmasi letak selang. pH 1-5 mengindikasikan
isi lambung, >6 mengindikasikan letak di intestinal. Cairan dari
saluran nafas jika pH >7.
5. Mengaspirasi seluruh isi lambung. Jika spuit terisi sebelum selesai,
tulis jumlah, dan buang di gelas ukur / container ukur. Pasang
kembali spuit dan aspirasi kemudian hitung jumlahnya, dilakukan
berulang kali hingga tidak bias diaspirasi.
6. Memasang spuit dan flush dengan 20-30 cc air jika jumlah aspirasi
sudah sesuai untuk irigasi.
7. Cek residu volume tiap 4-6 jam untuk kontinyu feeding dan tepat
sebelum bolus feeding.
f. Penghitungan skor APACHE II di hari ketiga dan LOS pasien akhir
perawatan di ruang intensif.
4.8. Analisis Hasil
Analisis data dilakukan dengan memakai SPSS v.23. Dilakukan uji
normalitas menggunakan shapiro-wilk (untuk sampel < 50) pada data awal
dan akhir pada masing-masing kelompok. Uji beda skor APACHE II awal
(pre) dan skor APACHE II akhir (post) antar kelompok perlakuan (uji beda
sampel independen) dilakukan dengan independent samples t test (apabila
memenuhi syarat normalitas) atau mann-whitney test (apabila tidak
memenuhi syarat normalitas). Selisih skor APACHE II (post – pre) pada
masing-masing kelompok dilakukan uji beda menggunakan paired samples t
68
test (apabila memenuhi syarat normalitas) dan dilakukan uji wilcoxon signed
rank test (apabila tidak memenuhi syarat normalitas) (Dahlan 2013).Untuk
mengetahui perbedaan skor APACHE II dan LOS pada pasien geriatri dengan
sepsis yang diberikan terapi nutrisi enteral bolus dibanding nutrisi enteral
kontinyu, digunakan uji MANOVA (French 2016).
Batas kemaknaan: Nilai p ≤ 0,05: bermakna.
4.9. Prosedur Pengumpulan data
a. Seluruh subyek mendapatkan terapi dasar sepsis sesuai dengan panduan
terapi dari surviving sepsis campaign 2016.
b. Data awal diperoleh dengan anamnesis termasuk skor CCI (Charlson
Comorbidity Index, Bartel index, CHS (Cardiovascular Health Study),
pemeriksaan cek GCS, tekanan darah, analisa gas darah, laboratorium
darah (Hematokrit, leukosit, creatinine, elektrolit natrium, kalium,
prokalsitonin) dan urin output.. Hitung jumlah skor APACHE II awal
c. Dilakukan penghitungan kebutuhan kalori tiap pasien, kebutuhan 25
cc/KgBB/hari.
d. Pada kelompok nutrisi enteral secara bolus diberikan nutrisi sebanyak
100-400 ml selama 15-60 menit secara berkala selama 6 hari
e. Pada kelompok nutrisi enteral kontinyu diberikan nutrisi enteral selama
24 jam terus menerus baik melalui tetes gravitasi atau dengan pompa
infus Aplix®, dapat dimulai dengan 50 cc per jam selama 3-4 jam, 1
jam istirahat jika toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam
selama 3 hari. dimulai dengan 50 cc per jam selama 3-4 jam, Setelah
69
toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam. Satu jam istirahat tiap
4 jam pemberian nutrisi. Dilakukan pengecekan residu gaster tiap 4
jam. Dilakukan irigasi tiap 4 jam dengan air sebanyak 20-60 ml.
f. Evaluasi adakah efek samping seperti diare, mual, muntah
g. Pada hari ketiga dilakukan penilaian Bartel Index, cek GCS, tekanan
darah, analisa gas darah, laboratorium darah (Hematokrit, leukosit,
creatinine, elektrolit natrium, kalium, prokalsitonin) dan urin output.
Evaluasi skor APACHE II hari ketiga.
h. Dicatat LOS pasien di ruang perawatan intensive pada kedua kelompok
70
4.10.Alur Penelitian
Gambar 4.1. Alur Penelitian
Bolus (28 orang)
3 hari
Minimal 500 cc /
hari, jika kurang
di eksklusi : 3
orang
Minimal 500 cc,
jika kurang di
eksklusim : 3 orang
Analisis statistik
Kesimpulan
Skor APACHE II
Pasien ICU/HCU (959 orang)
Sepsis (Skor SOFA 2) : 532 orang
Pemberian nutrisi enteral (53 orang)
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Kontinyu (25 orang)
Skor APACHE II
Random (53 orang)
LOS di
ICU/HCU
LOS di
ICU/HCU
Tambahan nutrisi
perenteral Kabiven®
/ Nutriflex® jika
kebutuhan kalori per
hari kurang
Tambahan nutrisi
perenteral
Kabiven® /
Nutriflex® jika
kebutuhan kalori/
perhari kurang
Non Sepsis : 427 orang
Usia < 60 tahun : 240
CKD, Sirosis,
Malignansi, tidak
bersedia, meniggal <
72 jam, perdarahan
saluran cerna berat,
ileus : 239
Pernah Dirawat ICU
sebelumnya saat mondok
dalam 1 episode: 3 orang
Skor APACHE II
Skor APACHE II
71
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Karakteristik Objek Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian nutrisu
kontinyu dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral bolus terhadap Skor
APACHE II dan Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang
perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Obyek penelitian berjumlah 44
orang dibagi dalam dua kelompok sampel yaitu kelompok sampel yang diberi
nutrisi kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus masing-
masing sebanyak 22 orang.
Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, lebih dahulu dijelaskan
karakteristik obyek penelitian untuk masing-masing kelompok sampel. Selain
deskripsi singkat tentang karakteristik objek penelitian, sekaligus dilihat sejauh
mana tingkat homogenitas karakteristik obyek penelitian itu berdasarkan kelompok
sampel. Karakteristik penelitian yang berupa variabel kualitatif, uji homogenitas
dilakukan menggunakan uji Chi Square. Karakteristik penelitian yang berupa
variabel-variabel kuantitatif, uji homogenitas dilakukan menggunakan uji beda 2
mean dimana jenis ujinya didasarkan pada distribusi data variabel karakteristik itu.
Jika distribusi data variabel bersifat normal, maka uji beda 2 mean menggunakan
jenis analisis statistik parametrik yaitu uji t untuk beda 2 mean sampel independent.
Namun apabila distribusi data bersifat tidak normal, maka uji beda 2 mean
menggunakan jenis analisis statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.
72
Pengujian normalitas data untuk variabel kuantitatif dilakukan dengan uji Shapiro
Wilk.
Variabel karakteristik dalam penelitian ini yang bersifat kuantitatif yaitu
umur, CCI (Charlson Comorbidity Index), BI (Bartel Index), CHS (Cardiovascular
Health Study), Laktat, dan Procalsitonin. Sebelum dilakukan pengujian
homogenitas atas variable-variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif tersebut
lebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data masing-masing variabel
karakteristik tersebut. Setelah masing-masing variabel diuji normalitas datanya,
kemudian dilanjutkan uji homogenitas variabel itu pada kelompok sampel yang
menerima nutrisi kontinyu dan kelompok sampel yang menerima nutrisi enteral
bolus dengan uji beda 2 (dua) mean (rata-rata).
Hasil pengujian normalitas data didapatkan bahwa variabel karakteristik
yang memiliki distribusi data yang bersifat normal pada kelompok sampel yang
diberi nutrisi enteral bolus, namun berdistribusi tidak normal pada kelompok
sampel yang diberi nutrisi kontinyu adalah CCI dan BI, sedangkan varibel yang
memiliki distribusi tidak normal pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
bolus, namun berdistribusi data normal pada kelompok sampel yang diberi nutribusi
kontinyu adalah Laktat. Variabel-variabel kuantitatif selebihnya memiliki distribusi
data tidak normal baik pada kelompk sampel dengan pemberian nutribusi kontinyu
maupun kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus. Setelah dilakukan
pengujian secara keseluruhan sampel (kelompok yang diberi nutrisi bolus dan yang
diberi nutrisi kontinyu) didapatkan bahwa variabel-variabel umur dan CCI memiliki
data dengan distribusi normal sedangkan variabel-variabel BI, CHS, Laktat dan
Procalsitonin masing-masing berdistribusi data tidak normal.
73
Dengan demikian variabel-variabel karakteristik Umur dan CCI dilakukan
pengujian homogenitas dengan uji beda 2 (dua) mean uji t untuk sampel
independent (tidak berhubungan). Selebihnya yaitu variabel-variabel BI, CHS,
Laktat, dan Procalsitonin karena memiliki distribusi data yang tidak normal, maka
pengujian homogenitas atas variabel-variabel di atas dapat menggunakan uji Mann
Whitney.
Hasil pengujian homogenitas variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif
tersebut di atas didapatkan bahwa semua variabel karakteristik kuantitatif itu
bersifat homogen karena perbedaan rata-rata variabel-variabel karakteristik tersebut
pada dua kelompok sampel yaitu kelompok sampel yang diberi nutrisi eneteral
kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus tidak signifikan
pada derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05), kecuali variabel Procalsitonin yang
memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan antara kelompok sampel dengan
nutrisi enteral bolus dan nutrisi kontinyu dengan tingkat signifikansi 5 persen (p <
0,05).
Dengan demikian variabel-variabel karakteristik Umur, dan CCI yang diuji
menggunakan uji beda dua mean uji t untuk sampel independent dan variabel-
variabel BI, CHS, dan Laktat yang diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney
semuanya bersifat homogen. Hanya variabel Procalsitonin yang diuji dengan uji
Mann Whitney bersifat tidak homogen. Deskripsi dan Hasil Pengujian
Homogenitas variabel karakteristik kuantitatif dalam penelitian ini dapat disajikan
dalam tabel berikut:
74
Tabel 5.1. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Karakteristik Kuantitatif
pada Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus dan Kelompok Sampel
yang diberi Nutrisi Kontinyu.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value
Umur 66,27 5,33 63,27 4,77 t = 1,967 0,056
CCI 6,05 2,21 5,82 1,82 t = 0,372 0,712
BI 76,14 16,76 82,73 6,85 Z = -1,637 0,102
CHS 3,73 1,16 3,36 1,14 Z = -1,142 0,253
Laktat 4,54 3,52 3,27 1,42 Z = -0,200 0,842
Procalsitonin 5,15 5,85 10,73 11,71 Z = -2,991 0,003**
Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)
Variabel prokalsitonin diuji dengan uji Mann Witney karena bersifat tidak
homogen dan untuk menilai apakah variable prokalsitonin berhubungan dengan
variable utama atau tidak. Didapatkan nilai p=0,043 terhadap LOS, p = 0,099,
terhadap skor APACHE II-pre, p=0,202 terhadap skor APACHE II-post, dan
p=0,307 terhadap delta-APACHE II. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa prokalsitonin tidak berhubungan dengan variable utama
yaitu APACHE II dan LOS.
Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin, Vasopresor, dan ARF (Acute Renal Failure) maka uji homogenitas
atas variabel jenis kelamin, vasopressor dan ARF ini digunakan uji Chi Kuadrat.
Kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu terdiri dari 11 orang laki-laki
dan 11 orang perempuan atau masing-masing sebesar 50,00 persen. Sedangkan
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus juga terdiri dari 11 orang laki-
75
laki dan sebanyak 11 orang perempuan atau masing-masing sebesar 50,0 persen
juga.
Karena proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok yang
diberi nutrisi kontinyu sama persis dengan kelompok yang diberi nutrisi enteral
bolus, maka hasil pengujian homogenitas variabel jenis kelamin dengan
menggunakan analisis Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,001
dengan probabilitas sebesar p = 1,000, yang berarti perbedaan proporsi jenis
kelamin laki-laki maupun perempuan antara kelompok sampel yang diberi nutrisi
eneteral kontinyu dan bolus tidak berbeda secara meyakinkan pada derajat
signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat ditegaskan bahwa variabel
karakteristik kualitatif jenis kelamin bersifat homogen. Deskripsi dan Hasil
Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif jenis kelamin dalam
penelitian ini dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 5.2. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Jenis Kelamin pada
Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel
yang diberi Nutrisi Enteral Bolus.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 50,0 11 50,0 ꭓ2 = 0,001 1,000
Perempuan 11 50,0 11 50,0
Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)
Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif kedua adalah Vasepresor,
dimana responden dibagi menjadi dua, yaitu responden yang dinyatakan “ya” dan
responden yang dinyatakan “tidak”. Pada kelompok sampel yang diberi nutrisi
76
bolus, jumlah responden yang dinyatakan memiliki vasepresor “ya” adalah
sebanyak 4 orang atau sebesr 18,2 persen, dan selebihnya sebanyak 18 orang
dinyatakan “tidak” atau sebesar 81,8 persen. Sementara pada kelompok sampel
yang diberi nutrisi kontinyu memiliki vasepresor yang dinyatakan “ya” sebanyak 6
orang atau 27,3 persen dan selebihnya sebanyak 16 orang dinyatakan “tidak” atau
sebesar 72,7 persen.
Hasil pengujian homogenitas variabel vasepresor dengan menggunakan
analisis Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,518 dengan
probabilitas sebesar p = 0,472, yang berarti perbedaan proporsi vasepresor yang
dinyatakan “ya” ataupun “tidak” pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
bolus dan kelompok sampel yang diberi nutrisi kontinyu tidak berbeda secara
meyakinkan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat
ditegaskan bahwa variabel karakteristik kualitatif vasepresor bersifat homogen.
Deskripsi dan Hasil Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif
vasepresor dalam penelitian ini dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 5.3. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Vasepresor pada
Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel
yang diberi Nutrisi Enteral Bolus.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value
Vasepresor
Ya 4 18,2 6 27,3 ꭓ2 = 0,518 0,472
Tidak 18 81,8 16 72,7
Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)
77
Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif selanjutnya adalah ARF,
dimana responden dibagi menjadi dua, yaitu responden yang dinyatakan “ya” dan
responden yang dinyatakan “tidak”. Pada kelompok sampel yang diberi nutrisi
bolus, jumlah responden yang dinyatakan memiliki ARF “ya” adalah sebanyak 14
orang atau sebesr 63,6 persen, dan selebihnya sebanyak 8 orang dinyatakan “tidak”
atau sebesar 36,4 persen. Sementara pada kelompok sampel yang diberi nutrisi
kontinyu memiliki ARF yang dinyatakan “ya” sebanyak 16 orang atau 72,7 persen
dan selebihnya sebanyak 6 orang dinyatakan “tidak” atau sebesar 27,3 persen.
Hasil pengujian homogenitas variabel ARF dengan menggunakan analisis
Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,419 dengan probabilitas
sebesar p = 0,517, yang berarti perbedaan proporsi ARF yang dinyatakan “ya”
ataupun “tidak” pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus dan
kelompok sampel yang diberi nutrisi kontinyu tidak berbeda secara meyakinkan
pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat ditegaskan bahwa
variabel karakteristik kualitatif ARF bersifat homogen. Deskripsi dan Hasil
Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif ARF dalam penelitian ini
dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 5.4. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel ARF pada Kelompok
Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel yang diberi
Nutrisi Enteral Bolus.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value
ARF
Ya 14 63,6 16 72,7 ꭓ2 = 0,419 0,517
Tidak 8 36,4 6 27,3
Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).
78
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)
Dengan demikian seluruh variabel karakteristik baik yang kuantitatif
maupun yang kualitatif dalam penelitian ini bersifat homogen, kecuali variabel
Procalsitonin. Selanjutnya analisis penelitian ini dapat diteruskan pada pengujian
variabel utama yaitu menguji perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral
kontinyu dan bolus terhadap variabel utama Skor APACHE II dan Length of Stay
(LOS).
5.2. Pengujian Variabel Utama
Pembuktian hipotesis ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral
kontinyu dan bolus terhadap Skor APACHE II dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut, yaitu:
1. Menguji beda 2 mean variabel Skor APACHE II antara kelompok sampel yang
diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
bolus pada kondisi sebelum pemberian nutrisi dengan uji beda 2 mean sampel
independent. Dengan langkah ini diharapkan pada kondisi sebelum pemberian
nutrisi enteral itu tidak akan terjadi perbedaan mean yang signifikan antara
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel
yang diberi nutrisi enteral bolus. Hal itu berarti pada awal analisis didapatkan
kondisi yang sama atau homogen pada kelompok sampel yang diberi nutrisi
enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus, karena
kondisi ini sama-sama belum diberikan nutrisi enteral.
2. Menguji beda 2 (dua) mean Skor APACHE II sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian nutrisi enteral untuk masing-masing kelompok sampel yaitu pada
79
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel
yang diberi nutrisi enteral bolus dengan uji beda 2 (dua) mean untuk sampel
berpasangan. Dengan langkah ini diharapkan pada kelompok yang diberi nutrisi
enteral kontinyu akan terjadi perbedaan yang signifikan, demikian pula pada
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus juga didapatkan perbedaan
yang signifikan, namun pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
kontinyu memiliki perbedaan yang lebih besar dibandingkan perbedaan pada
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.
3. Menguji beda 2 mean variabel Skor APACHE II antara kelompok sampel yang
diberi nutrisi enteral kontinyu maupun yang diberi nutrisi enteral bolus pada
kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral dengan uji beda 2 mean sampel
independent. Dengan langkah ini diharapkan pada kondisi sesudah pemberian
nutrisi enteral akan terjadi perbedaan mean yang signifikan antara kelompok
yang diberi nutrisi enteral kontinyu maupun yang diberi nutrisi enteral bolus.
Hal itu berarti pada akhir analisis didapatkan kondisi yang tidak sama atau tidak
homogen pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus, karena setelah diberikan
nutrisi enteral dengan cara yang berbeda terjadi perbedaan yang lebih besar
pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dari pada kelompok
sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.
4. Menguji beda 2 mean variabel perubahan Skor APACHE II (delta-APACHE)
dengan uji beda 2 mean untuk sampel independent. Dengan langkah ini
diharapkan ada perbedaan signifikan beda 2 mean kedua variabel perubahan
skor APACHE II tersebut (delta-APACHE) antar kelompok sampel yang diberi
80
nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus,
karena kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu diharapkan
mengalami perubahan lebih besar setelah pemberian nutrisi enteral
dibandingkan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.
Sementara itu untuk membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral kontinyu dan
pemberian nutrisi enteral bolus terhadap variabel LOS, hanya dilakukan satu
langkah saja yaitu menguji beda 2 mean variabel LOS antara kelompok sampel
yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
bolus. Cara pengujian yang berbeda terhadap variabel LOS ini dikarenakan variabel
LOS hanya dilakukan pengukuran satu kali pada masing-masing kelompok sampel
yang berbeda yaitu kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus. Sehingga variabel LOS tidak
ada sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral yang ada adalah LOS pada
pemberian nutrisi enteral kontinyu dan LOS pada pemberian nutrisi enteral bolus.
Sebelum dilakukan pengujian beda 2 mean variabel Skor APACHE II dan LOS itu,
terlebih dahulu juga dilakukan pengujian normalitas data variabel utama untuk
memastikan jenis uji statistik yang akan digunakan untuk pengujian beda 2 mean
dimaksud.
Langkah Pertama, variable Skor APACHE II pada kelompok sampel yang
diberi nutrisi enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
bolus pada kondisi sebelum diberikan nutrisi enteral (APACHEII_pre) masing-
masing memiliki data yang berdistribusi tidak normal. Maka diputuskan bahwa uji
beda 2 mean Skor APACHE II kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
81
kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus tersebut
menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.
Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral
kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus untuk variabel Skor
APACHE II pada kondisi sebelum pemberian nutrisi enteral (APACHE_pre)
menunjukkan hasil pengujian yang tidak signifikan pada derajat signifikansi 5
persen (p > 0,05). Dengan demikian variabel Skor APACHE II untuk kelompok
sampel dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel dengan
pemberian nutrisi enteral bolus pada kondisi sebelum pemberian nutrisi enteral
tidak berbeda secara meyakinkan atau sama. Hal ini dapat diartikan bahwa analisis
ini dimulai dari Skor APACHE II yang homogen pada kedua kelompok sampel
yang diberi nutrisi enteral yang berbeda yaitu kelompok yang diberi nutrisi enteral
kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.
Perbandingan nilai rata-rata dan standar deviasi variabel Skor APACHE II
tersebut dan hasil pengujian perbedaan pada kelompok sampel yang diberi nutrisi
enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus sebelum
pemberian nutrisi enteral adalah sebagai berikut:
Tabel 5.5. Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok yang Diberi Nutrisi
Enteral Kontinyu dan kelompok yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus pada Kondisi
Sebelum Pemberian Nutrisi Enteral.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value
Skor
APACHE II 22,00 6,98 20,95 4,96 t = 0,573 0,570
Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)
82
Langkah kedua, variable Skor APACHE II sebelum maupun sesudah
pemberian nutrisi enteral pada kelompok yang diberikan nutrisi enteral kontinyu
sama-sama berdistribusi normal, sehingga uji beda 2 mean untuk sampel
berpasangan dapat dilakukan dengan uji beda 2 mean uji t untuk sampel
berpasangan. Variable Skor APACHE II sebelum maupun sesudah pemberian
nutrisi enteral pada kelompok yang diberikan nutrisi enteral bolus juga sama-sama
berdistribusi normal, sehingga uji beda 2 mean untuk sampel berpasangan dapat
dilakukan dengan uji beda 2 mean uji t untuk sampel berpasangan. Deskripsi dan
hasil pengujian beda rata-rata sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral pada
masing-masing kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan
kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus dapat disajikan dalam tabel
berikut:
Tabel 5.6. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian Nutrisi
Enteral pada Kelompok Yang Diberi Secara Kontinyu dan Kelompok yang Diberi
Secara Bolus.
Variabel Sebelum Sesudah Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value
Bolus 22,00 6,98 17,27 7,05 t = 3,219 0,004**
Kontinyu 20,95 4,96 9,27 4,33 t = 13,848 0,001**
Keterangan: ** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.
* Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.
Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan
sesudah pemberian nutrisi enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral secara kontinyu menghasilkan beda yang signifikan pada derajat
signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Demikian pula pengujian beda 2 mean atas
variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral pada
83
kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus menghasilkan beda yang
signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal ini berarti
bahwa baik pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun
kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus, pemberian nutrisi enteral itu
dapat menurunkan variabel Skor APACHE II secara meyakinkan (signifikan).
Perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok sampel yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu menurun dari 20,95 sebelum pemberian nutrisi
enteral menjadi 9,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi menurun sebesar 11,68
atau 55,75 persen. Sementara perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok
sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus menurun dari 22,00 sebelum pemberian
nutrisi enteral menjadi sebesar 17,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi
menurun sebesar 2,73 atau sebesar 13,65 persen. Nampak penurunan Skor
APACHE II pada pemberian nutrisi enteral kontinyu cenderung lebih besar
dibandingkan dengan penurunan Skor APACHE II pada pemberian nutrisi enteral
bolus.
Langkah ketiga, variable Skor APACHE II pada kelompok sampel yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun pada kelompok sampel yang diberikan
nutrisi enteral bolus pada kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral
(APACHE_post) masing-masing memiliki distribusi data normal. Untuk itu maka
uji beda 2 mean variabel Skor APACHE II kelompok yang diberikan nutrisi enteral
kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus sesudah
pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) tersebut menggunakan uji beda 2 mean
uji t untuk sampel independent.
84
Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus pada
kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) menunjukkan hasil
pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal
itu berarti setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu maupun secara bolus
memiliki rata-rata Skor APACHE II yang berbeda secara meyakinkan (signifikan).
Hal ini dapat diartikan bahwa setelah masing-masing kelompok sampel
diberikan nutrisi enteral baik yang diberikan secara kontinyu maupun secara bolus
sama-sama dapat menurunkan Skor APACHE II secara meyakinkan, bahkan pada
kelompok sampel yang diberikan nutrisi secara kontinyu penurunan Skor APACHE
II itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok sampel yang diberikan
nutrisi secara bolus. Sehingga akibatnya Skor APACHE II pada kondisi sesudah
pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) tersebut antara kelompok sampel
dengan nutrisi kontinyu dan kelompok sampel dengan nutrisi bolus memiliki
perbedaan yang meyakinkan (signifikan).
Perbandingan nilai rata-rata dan standar deviasi variabel Skor APACHE II
tersebut dan hasil pengujian perbedaan pada kelompok yang diberikan nutrisi
enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus sesudah
pemberian nutrisi enteral adalah sebagai berikut:
Tabel 5.7.Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok Yang Diberikan Nutrisi
Enteral Kontinyu dan Kelompok Yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus pada
Kondisi Sesudah Pemberian Nutrisi Enteral.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value
Skor
APACHE II 17,27 7,05 9,27 4,33 t = 4,533 0,001**
Keterangan : ** Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen.
85
* Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen
Perbandingan rata-rata Skor APACHE II sebelum dan sesudah
mendapatkan nutrisi enteral masing-masing kelompok sampel dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 5.1. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian
Nutrisi Enteral Secara Kontinyu dan Bolus
Langkah Keempat, melakukan pengujian terhadap variabel perubahan Skor
APACHE II (delta-APACHE). Variabel perubahan skor APACHE II (delta-
APACHE) merupakan selisih Skor APACHE II sebelum perlakuan pemberian
nutrisi enteral dengan Skor APACHE II sesudah perlakuan pemberian nutrisi
enteral. Maka apabila rata-rata variabel perubahan (delta) itu positif menunjukkan
adanya penurunan setelah ada perlakuan pemberian nutrisi enteral, dan sebaliknya
jika rata-rata variabel perubahan (delta) itu negatif berarti setelah ada perlakuan
pemberian nutrisi enteral variabel itu mengalami peningkatan.
Variabel delta-APACHE pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus
keduanya memiliki data yang berdistribusi normal, sehingga pengujian beda dua
20.95 22.00
9.27
17.27
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Nutrisi Ent Kontinyu Nutrisi Ent Bolus
Sebelum Sesudah
86
mean delta-APACHE untuk kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral
kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus dapat
menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.
Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent
variable delta-APACHE menunjukkan bahwa variabel perubahan skor APACHE
itu (delta-APACHE) berbeda secara meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen
(p < 0,05). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral yang
diberikan secara kontinyu maupun secara bolus sama-sama dapat menurunkan Skor
APACHE secara meyakinkan (signifikan), namun dampak penurunan variable Skor
APACHE tersebut setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu jauh lebih
besar secara meyakinkan dibandingkan pemberian nutrisi secara bolus.
Dengan langkah-langkah analisis tersebut diatas maka hipotesis pertama yang
menyatakan bahwa “Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral kontinyu dan
pemberian nutrisi enteral bolus terhadap Skor APACHE II pada pasien Geriatri
dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, dapat dibuktikan
kebenarannya. Pemberian nutrisi enteral dengan cara kontinyu maupun dengan cara
bolus sama-sama sudah dapat menurunkan Skor APACHE II secara meyakinkan,
namun pemberian nutrisi enteral dengan cara kontinyu cenderung menurunkan skor
APACHE II jauh lebih besar jika dibandingkan pemberian nutrisi enteral dengan
cara bolus.
Perbandingan variabel delta_APACHE pada kelompok sampel yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral bolus disajikan dalam tabel berikut:
87
Tabel 5.8. Perbandingan Delta-APACHE pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi
Enteral Kontinyu dan Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus.
Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Stat. P value
Delta-APACHE 4,73 6,89 11,68 3,96 t = -4,106 0,001**
Keterangan : * Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.
** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.
Selanjutnya untuk membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral
kontinyu dan nutrisi enteral bolus terhadap LOS dilakukan pengujian beda 2 mean
variabel LOS pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu dan
kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus. Variabel LOS pada
kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus memiliki data dengan
distribusi tidak normal, namun pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral kontinyu berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian pada
keseluruhan data baik kelompok sampel dengan nutrisi bolus maupun kelompok
sampel dengan nutrisi kontinyu ternyata variabel LOS memiliki distribusi normal.
Untuk itu maka pengujian beda 2 mean variabel LOS pada kedua kelompok sampel
itu dapat menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent. Hasil
pengujian beda 2 mean dengan Uji t untuk sampel independent itu didapatkan
bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada kelompok sampel yang diberikan
nutrisi enteral kontinyu dengan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral
bolus pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Dengan demikian
hipotesis kedua yang berbunyi : “Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus
88
dan pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap Length of Stay (LOS) pada pasien
geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, dapat
dibuktikan kebenarannya.
Tabel 5.9. Perbandingan LOS pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral
Kontinyu dan kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus.
Variabel Nutrisi Ent Bolus Nutrisi Ent Kontinyu Uji Beda 2 Mean
Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value
LOS 8,45 2,65 6,64 2,74 t = 2,239 0,030*
Keterangan : * Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.
** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.
Dengan demikian hipotesis ketiga yang berbunyi “Ada perbedaan pengaruh
pemberian nutrisi enteral kontinyu dan pemberian nutrisi enteral bolus terhadap
skor APACHE II dan length of stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di
ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, benar-benar terbukti secara
meyakinkan.
89
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Berdasarkan Pendekatan Prinsip Ontologi
Definisi sepsis menurut the Third International Consensus
Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) adalah adanya disfungsi
organ yang mengancam jiwa yang disebabkan adanya disregulasi respon
ehost terhadap infeksi (Singer et al. 2016).
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
produk bakteri yang berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin
sebagai super antigen, virus, parasit, kerusakan jaringan (faktor eksternal)
dengan faktor penjamu yang disebut respon imun meliputi faktor
pertahanan humoral dan seluler (Hermawan 2001, 2002). Konsep
tentang patogenesis sepsis menjelaskan 5 tahapan terjadinya multiple
organ dysfunction syndrome (MODS) pada sepsis, yaitu stadium reaksi
lokal, respon sistemik awal, inflamasi sistemik masif, imunosupresi masif
dan imunologi dissonance (Bone, Grodzin & Balk 1997; Bosmann & Ward
2013).
Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah
kegagalan organ multipel. Respon inflamasi yang terjadi terus menerus akan
berkembang secara progresif ke arah sindroma gangguan multipel organ
sehingga hipoperfusi splanknik semakin memberat (Cresci & Cue 2008;
Puleo et.al. 2011).
90
Disfungi organ dilihat dari adanya perubahan akut kondisi pasien,
dinilai dengan skor SOFA, terdiri atas penilaian 6 sistem organ, yaitu sistem
saraf pusat, respirasi, kardiovaskuler, liver, koagulasi, dan ginjal. Masing-
masing mempunyai nilai antara 0– 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Jika
nilai yang diperoleh lebih besar dari 2 dapat dikatakan sepsis (Singer et al.
2016). APACHE II merupakan sistem skor yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan penyakit. Dalam APACHE
II, digunakan 12 variabel fisiologis, efek umur dan kondisi
kesehatan/penyakit kronis diintegrasikan dalam satu model, diberikan rasio
sesuai dengan pengaruh relatif pada penyakit
Terapi nutrisi enteral merupakan bagian penting pada tatalaksana
pasien sepsis. Manfaat pemberian nutrisi enteral yaitu: (1) memperbaiki
permeabilitas dinding usus sehingga mencegah translokasi bakteri,
endotoksin, serta antigen masuk ke dalam sirkulasi, (2) mencegah atrofi
jaringan limfoid usus (GALT) yang merupakan mekanisme utama sistem
kekebalan mukosa usus, dimana efek tropik mencegah atrofi mukosa usus
yaitu melindungi fungsi barrier usus, (3) memperbaiki fungsi limfosit Sel T
dan sel B, meningkatkan aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis
sehingga menurunkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth) (Cresci &
Cue 2008; Puleo et.al. 2011). Manfaat lain adalah meningkatkan aliran darah
di saluran cerna, memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu
sakit, mengurangi proses katabolik, menurunkan resiko komplikasi infeksi
secara bermakna, mempercepat penyembuhan luka, biaya lebih murah
91
dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral, lama perawatan rumah
sakit lebih pendek dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral
(McClave et al. 2016).
Lane et al. (1998) melakukan penelitian efek interval dan tipe
pemberian nutrisi enteral terhadap hemodinamik splanknik pada bayi baru
lahir dan membuktikan bahwa perfusi spanknik dipengaruhi secara signifikan
oleh interval dan tipe nutrisi enteral. McClave (2016) berpendapat bahwa
pemberian nutrisi enteral dengan metode kontinyu dengan kecepatan 10-20
mg/jam bisa mencegah atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik.
Pada penelitian ini peneliti ingin melihat adakah pengaruh pada skor
APACHE II dan LOS pasien geriatri dengan sepsis yang diberi nutrisi enteral
kontinyu dibandingkan dengan yang diberi nutrisi enteral bolus.
6.2 Berdasarkan Pendekatan Prinsip Epistomologi
Analisa awal pada penelitian ini ini diawali dengan menguji
homogenitas dari seluruh variabel karakteristik dasar (baseline). Hasil
pengujian beda 2 mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah
pemberian nutrisi enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi
enteral secara kontinyu menghasilkan beda yang signifikan pada derajat
signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Demikian pula pengujian beda 2
mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah pemberian nutrisi
enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus
menghasilkan beda yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5
92
persen (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa baik pada kelompok sampel yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberikan
nutrisi enteral bolus, pemberian nutrisi enteral itu dapat menurunkan
variabel Skor APACHE II secara meyakinkan (signifikan).
Perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok sampel
yang diberikan nutrisi enteral kontinyu menurun dari 20,95 sebelum
pemberian nutrisi enteral menjadi 9,27 sesudah pemberian nutrisi enteral,
jadi menurun sebesar 11,68 atau 55,75 persen. Sementara perubahan rata-
rata Skor APACHE II pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral
bolus menurun dari 22,00 sebelum pemberian nutrisi enteral menjadi sebesar
17,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi menurun sebesar 2,73 atau
sebesar 13,65 persen. Nampak penurunan Skor APACHE II pada pemberian
nutrisi enteral kontinyu cenderung lebih besar dibandingkan dengan
penurunan Skor APACHE II pada pemberian nutrisi enteral bolus.
Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberikan
nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral
bolus pada kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral (APACHE_post)
menunjukkan hasil pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi
sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti setelah pemberian nutrisi enteral
secara kontinyu maupun secara bolus memiliki rata-rata Skor APACHE II
yang berbeda secara meyakinkan (signifikan).
Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel
independent variable delta-APACHE menunjukkan bahwa variabel
93
perubahan skor APACHE II (delta-APACHE) berbeda secara meyakinkan
pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Kondisi ini menunjukkan
bahwa pemberian nutrisi enteral yang diberikan secara kontinyu maupun
secara bolus sama-sama dapat menurunkan Skor APACHE secara
meyakinkan (signifikan), namun dampak penurunan variable Skor
APACHE tersebut setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu jauh
lebih besar secara meyakinkan dibandingkan pemberian nutrisi secara bolus.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Serpa et al.
(2003) mengenai pengaruh nutrisi enteral kontinyu dan bolus pada pasien
kritis menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan diantara keduanya. Hal
tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdelsalam (2012)
dan Maurya et al. (2011). Voort PH dan Zandstra DF (2001) juga meneliti
perbedaan hasil akhir pada pasien kritis dengan posisi supine dan pronasi
bergantian tiap 6 jam yang mendapatkan nutrisi enteral, cenderung lebih
baik hasil jika skor APACHE II rendah pada saat awal masuk ruang intensif.
Pada penelitian ini, hasil pengujian beda 2 mean dengan Uji Mann
Whitney itu didapatkan bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada
kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu (4,83±3,16)
dengan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus (7,92±3,63)
pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05) yaitu p=0,012.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Evans (2016), pemberian nutrisi kontinyu meningkatkan kemampuan pasien
untuk mobilisasi, menurunkan masa rawat dan mortalitas jika dibandingkan
94
dengan bolus. Pada penelitian Rutledge et al (1991) dan Agarwal et al (2017)
pada pasien bedah karena peritonitis, didapatkan skor APACHE II secara
statistik terkait dengan semua variabel yang diperiksa, semakin baik
membaik skor APACHE II maka akan porgnosisnya lebih baik. Sedangkan
Khan et al (2002) meneiliti APACHE II saat masuk inap dan 48 jam post-
inap pada pasien pancreatitis akut berat dengan outome jelek, menunjukkan
perbaikan nilai APACHE II memiliki prediksi yang lebih baik pada kasus
tersebut. Perburukan skor APACHE II pada kasus pancreatitis akut berat
tersebut dapat diduga pasien akan mengalami komplikasi yang lebih berat.
Pada beberapa penelitian sebelumnya, LOS dan mortalitas pasien
merupakan outcome yang sering diukur pada pasien sepsis yang diruang
rawat intensif (Singer et. al. 2016; Raith et. al.2016; Shukeri et.al. 2018, Lie
et.al 2018; Ferreira et. al. 2001). LOS merupakan outcome yang penting
untuk dinilai karena merupakan alat prognostik terhadap mortalitas di
samping keuntungan cost-effective.
Untuk saaat ini, beberapa organisasi seperti ASPEN, ESPEN,
SCCM, AJG dan konsensus Asia Pacific dan Middle East region mengenai
terapi nutrisi pada pasien dengan sakit kritis merekomendasikan nutrisi
enteral kontinyu untuk metode pemberian nutrisi pasien di ruang rawat
intensif untuk perbaikan outcome (dinilai dengan LOS dan mortalitas).
Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu dianggap lebih aman untuk
mencegah splachnic steal akibat hiperemia post prandial sehingga tidak
mengganggu hemodinamik ataupun memperberat instabilitas hemodinamik
95
yang sudah ada (Jacobi et al. 2012). Selain itu, McClave (2016) berpendapat
bahwa pemberian nutrisi enteral dengan metode kontinyu dengan kecepatan
10-20 mg/jam bisa mencegah atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik.
Namun terapi tersebut sebaiknya digunakan sebagai bridging therapy untuk
pemberian nutrisi standar yang adekuat (25 kcal/BB/hari) (ASPEN 2016,
ESPEN 2006, konsensus Asia Pacific dan Middle East region).
Di lain sisi, pemberian nutrisi secara kontinyu masih kontroversi
dikalangan beberapa ahli nutrisi (Marik 2015; Patel 2017; Barnes 2018)
karena dianggap tidak fisiologis dibandingkan pemberian nutrisi secara
intermitten ataupun bolus.
Pada penelitian ini, hasil pengujian beda 2 mean didapatkan
bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada kelompok sampel yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu dengan kelompok sampel yang diberikan
nutrisi enteral bolus pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05).
Hasil ini didukung oleh penelitian Mazaherpur et al (2016) yang meneliti
pada pasien dengan trauma kepala yaitu bahwa kontinyu feeding memiliki
LOS yang lebih pendek dibandingkan jika diberikan secara bolus feeding.
Penelitian Rosa et al (2012) menyimpulkan bahwa pemakaian kontinyu
feeding lebih efektif dibandingkan bolus feeding pada pasien dewasa dengan
di ruang rawat intensif dan dapat menurunkan LOS. Chen et al (2006) dari
Departemen Keperawatan Klinik Umum Veteran Taipei, di Taiwan,
melakukan uji klinis acak yang membandingkan bolus dengan kontinyu.
Sebanyak 107 peserta secara acak dengan enteral kontinyu feeding (51
96
pasien) dan bolus feeding (56 pasien). Tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam lamanya tinggal di rumah sakit antara kedua kelompok tersebut.
Pada penelitian ini dilakukan randomization untuk meminimalkan
bias dan menguatkan kesimpulan dari hasil akhir analisis statistiknya.
6.3 Berdasarkan Prinsip Aksiologi
Berdasarkan prinsip aksiologi, secara keseluruhan manfaat hasil
penelitian ini adalah metode pemberian nutrisi enteral kontinyu
memperbaiki skor APACHE II dan memperpendek LOS di ruang intensif
pada pasien geriatri dengan sepsis.
Hasil penelitian ini membuka peluang untuk mengembangkan
penilitian berbasis bukti (evidence base) mengenai metode pemberian nutrisi
enteral pada pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di ruang intensif.
6.4 Nilai Kebaruan penelitian
Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah :
6.4.1. Solusi baru. Kerangka konsep dan hasil penelitian ini merupakan
solusi baru dengan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu pada
pasien geriatri dengan sepsis terbukti menurunkan LOS di ruang
intensif sehingga perawatan sepsis lebih cost-effective.
6.4.2. Strategi baru. Hasil penelitian ini akan memberikan suatu
informasi, bahwa metode pemberian nutrisi enteral kontinyu pada
pasien geriatri dengan sepsis mempersingkat LOS di ruang rawat
97
intensif.
6.4.3. Perspektif baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan,
dikembangkan lebih lanjut dalam usaha manajemen pasien geriatri
dengan sepsis di ruang rawat intensif.
6.4.4. Kondisi baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai terapi
nutrisi pada geriatri dengan sepsis sehingga diharapkan LOS di ruang
rawat intensif dan angka mortalitas akan semakin menurun.
6.5. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini masih ada keterbatasannya, yaitu
6.5.1. Jumlah sampel yang masih sedikit. Disarankan untuk memperbesar
sampel penelitian sehingga dapat menguatkan hipotesis dan kekuatan
penelitian selanjutnya.
6.5.2. Pada penelitian ini, faktor pengkajian nutrisi pada geriatri tidak
dilakukan pengukuran dan pengkajian lanjutan dikarenakan tidak
semua pasien terdapat data pengkajian nutrisi awal, karena terkendala
masalah pendamping / caregiver dan kondisi social ekonomi.
Disarankan untuk dilakukan pengkajian nutrisi dan homogenitas
sampel penelitian untuk menguatkan hipotesisnya.
6.5.3. Adanya variasi dalam komposisi dan bentuk nutrisi cair yang
diberikan di ruang rawat intensif mempengaruhi pemberian nutrisi
secara kontinyu. Disarankan untuk memakai nutrisi cair berbentuk
polimer terstandar (ASPEN, ESPEN, konsensus Asia Pacific dan
98
Middle East region). Nutrisi cair dari makanan yang diblender sudah
tidak direkomendasikan oleh ASPEN, namun masih digunakan di
RSUD dr. Moewardi. Kondisi makanan cair yang diblender hanya
bertahan maksimal selama 2 jam sehingga harus diganti dengan yang
baru. Selain itu, nutrisi cair yang diblender terlalu kental sehingga
menyulitkan untuk melewati selang applix pada pemberian nutrisi
enteral kontinyu. Hal ini tentu saja mempengaruhi keakuratan
pemberian nutrisi enteral kontinyu.
99
BAB 7
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil - hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
7.1.1 Nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti sama – sama menurunkan Skor
APACHE II pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif.
7.1.2 Nutrisi enteral kontinyu lebih besar dalam menurunkan Skor APACHE II
dibandingkan bolus pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan
intensif
7.1.3 Nutrisi enteral kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan enteral
bolus pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka ada beberapa saran, yaitu :
7.2.1 Dierlukan penelitian yang melibatkan senter lain/multisenter.
7.2.2 Diperlukan penelitian dengan subjek geriatri dengan sepsis
melibatkan pengkajian lanjutan terhadap komponen MNA, CCI,
Barthel Index dan CHS apakah berkontribusi terhadap outcome
APACHE II dan LOS.
7.2.3 Diperlukan standarisasi jenis nutrisi enteral cair untuk memenuhi
kebutuhan pemberian nutrisi dengan metode kontinyu.
7.2.4 Evaluasi pemberian nutrisi enteral pada pasien geriatric dengan sepsis
di ruang rawat intensif memerlukan kerjasama dengan ahli gizi klinik
100
/tim nutrisi klinis di ruang rawat intensif.
7.2.5 Perlunya pedoman pemberian nutrisi pada pasien geriatri dengan
sepsis di ruang rawat intensif RS Dr. Moewardi yang mengacu pada
pedoman nasional/internasional.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdelsalam, Y. (2012) ‘Continuous versus bolus infusion of enteral nutrition in
intensive care unit’, AAMJ, Sep, 10(3), Suppl-2, 154-168.
Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G. (2000) ‘Understanding Gastrointestinal
Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,
269-281
Agarwal, A., Choudhary, G.S., Bairwa, M., Choudhary, A. (2017) ‘Apache II
scoring in predicting surgical outcome in patients of perforation
peritonitis’, Int Surg J. Jul, 4(7), 2321-2325
Angus, D., Linde-Zwirble, WT., Lidicker, J., Clermont, G., Carcillo, J., Pinsky,
MR, et.al. (2001) ‘Epidemiology of Severe Sepsis in The United States:
Analysis of Incidence, Outcome, and Associated Costs of Care’, Crit Care
Med. 29,1303-10.
Annane, D., Aegerter, P., Jars-Guincestre, MC., Guidet, B. (2003) Current
Epidemiology of Septic Shock: The CUB-Rea Network, Am J Resp Crit
Care Med. 168,165-72.
Arifin & Hermawan, A.G. (2005) Prevalensi Sepsis di Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta Tahun 2004. Dalam: Guntur A, Pramana TY, Prasetyo DH,
editors. Kumpulan Makalah Lengkap Konas PETRI XI, PERPARI VII,
PKWI VIII dan PIT PAPDI Cab. Surakarta. Surakarta. P.105-110.
Baratawidjaja, G.K. (2006) Imunologi dasar, edisi 7, Balai Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
102
Barnes, J. L. (2018) ‘Enteral Nutrients and Gastrointestinal Physiology’, Journal of
Infusion
Nursing, 41(1), pp. 35–42. doi: 10.1097/NAN.0000000000000260.
Bone, R.C., Grodzin, C.J., Balk, R.A. (1997) ‘Sepsis: A New Hypothesis For
Pathogenesis Of The Disease Process’, Chest , 112, 235-24
Bosmann, M., Ward, P.A. (2013) ‘The Inflammatory Response in Sepsis’, Trends
Immunol., 34(3), 129–136
Bowling, TE., and Cliff, B. (2008) ‘The Effect of Bolus and Continous Nasogastric
Feeding on Gastro-oesophageal Reflux and Gastric Emptying in Healthy
Volunteers: a Randomised Three-way Crossover Pilot Study’, Nottingham
University, Nottingham. Clin Nutr. Aug, 27(4), 608-13.
Cavaillon, J.M., Adib-Conquy (2007) ‘Determining the Degree of
Immunodysregulation in Sepsis’, In: Bellomo, R.C., J.A., Kellum (eds.),
Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 156, pp 101-111
Chandra, R., Liddle, R.A. (2007) ‘Cholecystokinin’, Curr Opin Endocrinol
Diabetes Obes, 14,63-67
Chen, Y.C., Chou, S.S., Lin, L.H., Wu, L.F. (2006) ‘The effect of intermittent
nasogastric feeding on preventing aspiration pneumonia in ventilated
critically ill patients’. J Nurs Res. Sep, 14(3), 167-80.
Chowdhury, A.H., Murray, K., Hoad, C.L., Costigan, C., Marciani, L., Macdonald,
I.A., et.al. (2016) ‘Emptying, Small Bowel Water Content, Superior
Mesenteric Artery Blood Flow, and Plasma Hormone Concentrations in
Healthy Adults A Randomized Crossover Study’, Annals of Surgery, 263,
3, 450-457
103
Cresci, G., Cúe, J. (2008) ‘The Patient with Circulatory Shock: To Feed or Not To
Feed?’. Nutr Clin Pract. 23501-, 9.
DAA (Dietititans Association of Australia Nutrition Support Interest Group).
(2011) Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.
Melbourne: Dietititans Association of Australia Nutrition Support Interest
Group.
Dahlan, M.S. (2013) Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.Edisi ke 3.Jakarta: Salemba
Medika, hal 16-19.
Deitch, E.A. (2012) ‘Gut Origin Sepsis : Evolution of a Concept’ . Surgeon.
December, 10(6), 350-56.
Derikx, J.P., Poeze, M., van Bijnen, A.A, Buurman, W.A., Heineman, E. (2007)
‘Evidence for intestinal and liver epithelial cell injury in the early phase of
sepsis’. Shock; 28:544–548
Elke, G., Wang, M., Weiler, N., Day, A.G., Heyland, D.K. (2014) ‘Close to
recommended caloric and protein intake by enteral nutrition is associated
with better clinical outcome of critically ill septic patients: secondary
analysis of a large international nutrition database’, Crit. Care, 18, R29,1-
8.
Ellger, B., Debaveye, Y., Vanhorebeek, I., Langouche, L., Giulietti, A., Etten, E.V.,
et.al. (2006) ‘Survival Benefits of Intensive Insulin Therapy in Critical
Illness : impact of maintaining normoglycemic versus glycemic-
independent actions of insulin’, J diabetes, 55, 1096-1104.
104
Evans, D.C., Forbes, R., Jones, C., Cotterman, R., Njoku, ., Thongrong, C., et.al.
(2016) ‘Continuous versus bolus tube feeds: Does the modality affect
glycemic variability, tube feeding volume, caloric intake, or insulin
utilization?’, Int J Crit Illn Inj Sci , 6, 9-15.
Ferreira F.L., Bota, D.P. & Bross, A., 2001, ‘Serial evaluation of the SOFA score
to predict outcome in critically ill patients’, JAMA, 286(14), 1754-1758.
Finch, H., French, B. (2013) ‘A Monte Carlo comparison of robust MANOVA test
statistics’, J of Modern Applied Statistical Methods, November, 12 (2), 35-
81.
Finfer, S.R., Vincent, J.L. (2013) ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl J Med,
369, 9, 840-850
Gaieski, D.F., Edwards, J.M., Kallan, M.J., Carr, B.G. (2013). Benchmarking The
Incidence and Mortality of Severe Sepsis in the United States’. Crit Care
Med.41(5), 1167-74.
Gatt, M., Reddy, B.S., MacFie, J. (2007) ‘Review article: bacterial translocation in
the critically ill— Evidence and methods of prevention’. Aliment
Pharmacol Ther, 25, 741–757
Hall, K.E. (2016) Effect of Aging on Gastrointestinal Function. In : Halter JB,
Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Astana S, Hazzard WR
(editors) Hazzard’s Geriatric Medicine And Gerontology 7th Edition. New
York : Mc Graw Hill.C89. p:1059-1064
Hasir, J., 2013, Pengaruh pemberian nutrisi enteral intermitten terhadap kadar gula
darah sewaktu pada pasien cedera otak berat pascabedah, Tesis,
105
Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Hermawan, A.G. (2002) Respons Imune Sepsis and Septic Shock. World Congres
Immuno Pathogenesis, Singapura.
Hermawan, A.G. (2001)Perbedaan Respons Imun yang Berperan Pada Sepsis dan
Syok Septik Suatu Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok Septik
pada Immunocompromise dan non Immunocompromise. Disertasi
Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Hermawan, A.G. (2001) Perbedaan Respons Imun yang Berperan pada Sepsis dan
Syok Septik. Tesis Program Pascasarjana Unair Surabaya
Hermawan, A.G. (2014) Sepsis. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. p.1840-3.
Heyland, D.K., Novak, F., Drover, J.W., Jain, M., Su, X., Suchner, U. (2001)
‘Should Immunonutrition Become Routine in Critically ill Patients ?’
JAMA, August 22/29 – vol 286. No.8.
Hirasawa, H., Oda, S., Nakamura, M., (2009) ‘Blood Glucose Control In Patients
With Severe Sepsis and Septic Shock’, W J Gastroenterol., Sept, 15(33),
4132-4136.
Houdijk, A.P., Nijveldt, R.J., van Leeuwen, P.A. (1999) ‘Glutamin Enriched
Enteral Feeding in Trauma Patients : Reduced infections Morbidity is not
Related to Changes in Endocrine and Metabolic Responses’. Jour
Parenteral Enteral Nutr. 23, (5 suppl):S52-8.
106
Hurt, R.T., McClave, S.A. (2010) ‘Gastric Residual Volumes in Critical Illness:
What Do They Really Mean?’, Crit Care Clin, 26,481–490
Jacobi, J., Bircher, N., Krinsley, J., Agus, M., Braithwaite, S.S., et al. (2012)
‘Guidelines for use of
an insulin for the management of hyperglycemia in critically ill patients’,
J Crit Care Med.,
40(12), 3251-3271
Jonqueira, L.A., Daurea, A.De-Souza. (2012) ‘Enteral Nutrition Therapy For
Critically Ill Adult Patients; Critical Review And Algorithm Creation’.
Nutr Hosp. 27(4), 999-1008
Kakihana, Y., Ito, T., Nakahara, M., Yamaguchi, K., Yasuda, T. (2016) ‘Sepsis-
induced Myocardial Dysfunction : Pathophysiologi and Management’.
Journal of Intensive Care. 4(22), 33-8.
Kang, J.M., Kim, N., Kim, J.H., Oh, E., Lee, B.Y., Lee, B.H., et.al. (2010) ‘Effect
of Aging on Gastric Mucosal Defense Mechanisms: ROS, Apoptosis,
Angiogenesis, and Sensory Neurons’. Am J Physiol Gastrointest Liver
Physiol 2010,299, G1147-G1153
Karnen, G.B. (2000) Imunologi Dasar. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI.
Kasjono, H.S. & Yasril. (2013) Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.
Graha Ilmu. Yogyakarta. Hal 16
Khan, A.A, Parekh, D., Cho, Y., Ruiz, R., Selby, R.R.,Jabbour, N., et.al. (2002)
‘Improved Prediction of outcome in patients with severe acute pancreatitis
by the APACHE II score at 48 hours after hospital admission compared
107
with the APACHE II score at Admission’, Arch Surg, Vol 137, Okt, 1136
- 1140
Kim, H., Kwon, C. (2011) ‘Changes In Nutritional Status In ICU Patients Receiving
Enteral Tube Feeding: A Prospective Descriptive Study’. Journal of
Intensive and Critical Care Nursing. 27,194—201.
Knaus, W.A., Wagner, D.P., Draper, E.A., Zimmerman, J.E., Bergner, M., Bastos,
P.G., et.al. (1985) ‘The APACHE III Prognostic System. Risk Prediction
of Hospital Mortality for Critically Ill Hospitalized Adults’, Chest, 1006,
1619-1636.
Kreymann, K. G., Berger, M. M., Deutz, N. E. P., Hiesmayr, M., Jolliet, P.,
Kazandjiev, G.,
Nitenberg, G., Berghe, G. Van Den and Wernerman, J. (2006) ‘ESPEN
GUIDELINES
ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition : Intensive care $’, Clinical
Nutrition, 25, pp. 210–
223. doi: 10.1016/j.clnu.2006.01.021.
Lane, A.J.P., Coombs, R.C., Evans, D.H., Levin, R.J. (1998) ‘Effect of feed interval
and feed type on spanchnic haemodynamics’, Arch.Dis.Child Fetal
Neonatal Ed., 79, 1349-1353
Lie, K. C., Lau, C., Chau, N. V. V., West, T. E. and Limmathurotsakul, D. (2018)
‘Utility of SOFA
score , management and outcomes of sepsis in Southeast Asia : a
multinational multicenter
prospective observational study’. Journal of Intensive Care, pp. 1–8.
108
MacLeod, J.B., Lefton, J., Houghton, D., Roland, C., Doherty, J., Cohn, S.M., et.al.
(2007) ‘Prospective randomized control trial of intermittent versus
continuous gastric feeds for critically ill trauma patients’. J Trauma. Jul,
63(1), 57-61
Marik, P.E. (2015) ‘Feeding critically ill patients the right ‘whey’ : thinking outside
of the box. A personal view’, Annals of Intensive Care, 5, 11, 1-8.
Maurya, I., Pawar, M., Garg, R., Kaur, M., Sood, R. (2011) ‘Comparison of
respiratory quotient and resting energy expenditure in two regimens of
enteral feeding-continuous vs. intermittent in head-injured critically ill
patients’, Saudi Journal of Anaesthesia, 5, 2, 195.
Mazaherpur, S., Khatony, A., Abdi, A., Pasdar, Y., Najafi, F. (2016) ‘The Effect of
Continuous Enteral Nutrition on Nutrition Indices, Compared to the
Intermittent and Combination Enteral Nutrition in Traumatic Brain Injury
Patients’. Journal of Clinical Diagnostic and Research. Oct,10(10), JC01–
JC05.
McClave, S.A., Taylor, B.E., Martindale, R.G., Warren,M.M., Johnson, D.R.,
Braunschweig, C., (2016) ‘Guidelines for the Provision and Assessment
of Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of
Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.)’, J Parenter Nutr., February, 40(2), 159–
211
Meisner, M., (2010) Procalcitonin-biochemistry and clinical diagnosis, Uni Med
Science, Bremen. 1st edition, pp128
109
Montejo, J.C. (2010) ‘Gastric Residual Volume During Enteral Nutrition In ICU
Patients: The REGANE Study’. Intensive Care Med. 36, 1386–93.
Murphy, P., Chudleigh, V. (2013) Adult Nasogastric and Gastrostomy Tube
Feeding Guidelines Version No 1:6, Plymouth Hospitals NHS Trust and
Plymouth Community Healthcare, 1-56
Murti, B., (2010) Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang kesehatan, edisi ke-2, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Naftarilofa, L. (2013) Pemberian nutrisi melalui continous feeding untuk
menghindari gejala gastro-oesophageal reflux pada klien dengan
gastrektomi, Karya Ilmiah Akhir, Fakultas Ilmu keperawatan, Universitas
Indonesia, Depok.
Nguyen, N.Q., Fraxer, R.J., Chapman M. (2006) ‘Proximal Gastric Respon to Small
Intestin Nutroents in Abnormal in mechanically Ventilated Patient’. World
JGastroeterol.12 (27), 4383-8.
O'Neill, L.A.J., Golenbock, D., Bowie, A.G. (2013) ‘The History of Toll-like
receptors Redefining Innate Immunity’,Nature Reviews Immunology.
13,453–60.
Pasinato, V.F., Berbigier, M.C., Rubin, B.A., Castro, K., Moraes, R.B., Perry I.D.S.
(2013) ‘Enteral nutritional therapy in septic patients in the intensive care
unit: compliance with nutritional guidelines for critically ill patients’, Rev
Bras Ter Intensiva, 5(1), 17-24.
Pathan, N., Faust, S.N., Levin, M. (2003) ‘Pathophysiology of meningococcal
meningitis and septicaemi’. Arch Dis Child.88, 601–607
110
Peter, J.V., Thomas, L.,Graham, P.L., Moran, J.L., Abilash, K.P., Jasmine, S.,
Iyyadura, R. (2013) ‘Performance of clinical scoring systems in acute
organophosphate poisoning’, Journal of Clinical Toxicology.
Philadelphia, Nov,51(9), pp 850-4.
Pinsky, M.R., (2004) ‘Dysregulation of the immune response in severe sepsis’, Am
J Med Sci, Oct, 328(4), 220-229
Puleo, F., Arvanitakis, M., Gossum, A.V., Preiser, J.C. (2011) ‘Gut Failure in the
ICU’. Semin Respir Crit Care Med, 32, 626-38
Pullen, R.L. (2004). ‘Measuring gastric residual volume’. Nursing, Volume 34,
Number 4. p 18
Raith, E. P., Udy, A. A., Bailey, M., Mcgloughlin, S., Fracp, B., Macisaac, C., et.al.
(2017)
‘Prognostic Accuracy of the SOFA Score, SIRS Criteria, and qSOFA
Score for In-Hospital
Mortality Among Adults With Suspected Infection Admitted to the
Intensive Care Unit’,
JAMA, 317(3), pp. 290–300. doi: 10.1001/jama.2016.20328
Ramalho, FS., Fernandez-Monteiro, I., Rosello-Catafau, J., Peralta, C. (2006)
‘Hepatic Microcirculatory Failure’. Acta Cir Bras;21 Suppl 1:48-53.
Rhodes, A., Evans, L.E., Alhazzani, W., Levy, M.M., Antonelli, M., Ferrer, R.,
et.al. (2017) ‘Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016’. Intensive Care Medicine.
Vol 43.(3). pp 304–377
111
Rosa, A.M., Emilia, R.O., Concha, C.M., Jose, F.M., Dolores, S.V., Jesus, B.N.
(2011) Enteral
Feeding via Nasogastric Tube. Effectiveness of continuous versus
intermittent administration
for greater tolerance in adult patients in Intensive Care: A systematic
review, JBI Library of
Systematic Reviews: 2012, Volume 9, Issue 16, p 1–17
Rotstein, O.D.(2000) ‘Pathogenesis of multiple organ dysfunction syndrome: Gut
origin, protection, and decontamination’. Surg Infect (Larchmt), 1, 217–
223
Russell, J.A., 2006, ‘Management of Sepsis’, N Engl J Med., 355, 1699-1713
Rutledge, R., Fakhry, S.M., Rutherford, E.J., Muakkassa, F., Baker, C.C., Koruda,
M., et.al. (1991) ‘Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
(APACHE II) score and outcome in the surgical intensive care unit: an
analysis of multiple intervention and outcome variables in 1,238 patients’.
Crit Care Med. Aug, 19(8),1048-53.
Saia, R.S., Bertozi, G., Mestriner, L., Rodrigues, J.A., Cunha, F.Q., Carnio, E.C.
(2013)’Cardiovascular and inflammatory response to Cholecystokinin
during endotoxemic shock’, Shock, 39, 1, 104-112.
Saleh, A., Ahmed, M., Sultan, I., Abdel-lateif, A. (2015) ‘Comparison of the
mortality prediction of different ICU scoring systems (APACHE II and III,
SAPS II, and SOFA) in a single-center ICU subpopulation with acute
respiratory distress syndrome’. Egyptian Journal of Chest Diseases and
Tuberculosis.Vol 64.pp 843–848
112
Senkal, M., Zumtobel ,V., Bauer, K.H., Marpe, B., Wolfram, G., Frei, A., e. al.
(1999) ‘Outcome and Cost-effectiveness of Perioperative Enteral
Immunonutrition in Patients undergoing Effective Upper Gastrointestinal
Tract Surgery’. Arch Surg,134 , 1309 – 1316..
Serpa, L.F., Kimura, M., Faintuch, J., Ceconello, I. (2003) ‘Effects of Continuous
Versus Bolus Infusion of Enteral Nutrition in Critical Patients’, Rev Hosp
Clin Fac Med S Paulo, 58(1), 9-14.
Shukeri, W.F.W.M, Ralib A.M., Abdulah N.Z, Mat-Nor, M.B., (2018) ‘Sepsis
mortality score for the prediction of mortality in septic patients’, Journal
of Critical Care. Elsevier Inc., 43, pp. 163–168. doi:
10.1016/j.jcrc.2017.09.009.
Sinaga, W., Sutanto, L.B., Syam, A.F. (2015) ‘Splanchnic Hypoperfusion and
Enteral Feeding’. The Indonesian Journal of Gastroenterology,
Hepatology and Digestive Endoscopy. Vol.14(1).Pp 35-38
Singer, M., Deutschman, C.S., Seymour, C.W., Shankar-Hari, M., Annane, D.,
Bauer, M., et.al.(2016) ‘The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3)’, JAMA. February 23, 315(8), 801–810
Sioson, M. S., Martindale, R., Abayadeera, A., Abouchaleh, N., Aditianingsih, D.,
Bhurayanontachai, R., et. al. (2018) ‘Clinical Nutrition ESPEN Nutrition
therapy for critically ill patients across the Asia e Paci fi c and Middle East
regions : A consensus statement’, Clinical Nutrition ESPEN. Elsevier Ltd,
24, pp. 156–164. doi: 10.1016/j.clnesp.2017.11.008.
Sociedad Española de Nutrición Parenteral y Enteral (SENPE). (1998) Protocolos
para la prescripción de Nutrición Parenteral y Enteral ; 2-A-EP:12-32
113
Spapen, H. (2008) ‘Liver Perfusion in Sepsis, Septic Shock, and Multiorgan
Failure’. Anat Rec (Hoboken), 291, 714-20.
Stroud, M., Baldwin, C., Bradnam, V., Cartwright, A, Coleman, G., Ditchburn, L.,
et al. (2005) Nutrition support in adults: oral supplements, enteral and
parenteral feeding, National Collaborating Centre for Acute Care,
London.
Swaid, F., Sukhotnik, I., Matter, I., Berkowitz, D., Hadjittofi, C., Pollak, Y., et.al.
(2013) ‘Dietary glutamine supplementation prevents mucosal injury and
modulates intestinal epithelial restitution following acetic acid induced
intestinal injury in rats’. Nutrition & Metabolism. 2013, 10, 53, p 1-9
Swank, G.M., Deitch, E.A., (1996) ‘Role of the Gut in Multiple Organ Failure:
Bacterial Translocation and Permeability Changes’, World J. Surg., 20,
411– 417
Tarnawski, A.S., Ahluwalia, A., Jones, M.K. (2014) ‘Increased susceptibility of
aging gastric mucosa to injury: The mechanisms and clinical implications’,
World J Gastroenterol, April 28, 20(16), 4467-4482
Tarnawski, A.S., Ahluwalia, A., Jones, M.K. (2012) ‘The mechanisms of gastric
mucosal injury: focus on microvascular endothelium as a key target’. Curr
Med Chem. 012,19(1),4-15
Tarnawski, A.S., Pai, R., Deng, X., Ahluwalia, A., Khomenko, T., Tanigawa, T.,
et.al. (2007) ‘Aging gastropathy-novel mechanisms: hypoxia, up-
regulation of multifunctional phosphatase PTEN, and proapoptotic
factors’, Gastroenterology, 133, 1938-1947
114
Thuijls, G., Derikx, J.P.M., Grootjans, J., Buurman, W.A., Waardenburg, D.A.
(2011) ’Intestinal barrier loss in sepsis’, Neth J Crit Care - Volume 15 -
No 4 - August 2011, p 199-203
Tim Gizi, (2010) Standard Pemberian Sonde Lengkap, Instalasi gizi RSUD
Dr.Moewardi. Januari, Hal 1
Vincent, J.L., Moreno, R., Takala, J., Willatts, S., Bruining , H., Reinhart, CK.,
et.al. (1996). ‘Working Group on Sepsis-Related Problems of the
European Society of Intensive Care Medicine. The SOFA (Sepsis-related
Organ Failure Assessment) score to describe organ dysfunction/failure’.
Intensive Care Med. 22(7), 707-10.
Vincent, J.L.,Rello, J., Marshall, J., Silva, E., Anzueto,A., Martin, et al. (2009)
‘International Study of the Prevalence and Outcomes of Infection in
Intensive Care Units’. JAMA. 302,44-9.
Voorth, P.H., Zandstra, D.F., (2001) 'Enteral feeding in the critically ill: comparison
between the supine and prone positions: a prospective crossover study in
mechanically ventilated patients', Critical Care, 20015, p216
Wei, J., Chen, W., Zhu, M., Cao, W., Wang, X., Shi, H., et.al. (2015) ‘Guidelines
for parenteral and enteral nutrition support in geriatric patients in China’.
Asia Pac J Clin Nutr, 24(2),336-346
Williams, T.A, Leslie, G.D. (2004) A review of the nursing care of enteral feeding
tubes in critically ill adults: part I Intensive Crit Care Nurs, 20, 330-343.
Yang, R., Han, X., Uchiyama, T., Watkins, S.K., Yaguchi, A., Delude, R.L., et.al.
(2003) ‘IL-6 is essential for development of gut barrier dysfunction after
115
hemorrhagic shock and resuscitation in mice’. Am J Physiol Gastrointest
Liver Physiol, 285, G621–G629
Ziegler, T.R. (2009) Parenteral Nutrition in the Critically Ill Patient. NEJM. 361;11-
7.
LAMPIRAN 6 HASIL ANALISA STATISTIK Summarize
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Umur Responden * Kelompok
Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
CCI * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
BI * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
CHS * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Laktat * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Procalsitonin * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Case Summaries
Kelompok Sampel
Umur
Responden CCI BI CHS Laktat Procalsitonin
Cara Bolus N 22 22 22 22 22 22
Mean 66.2727 6.0455 76.1364 3.73 4.5409 5.1464
Std. Deviation 5.32900 2.21418 16.75679 1.162 3.52145 5.85168
Median 66.5000 6.0000 77.5000 4.00 3.1500 3.0000
Minimum 60.00 2.00 30.00 Selected .70 1.00
Maximum 76.00 9.00 100.00 5 12.10 23.32
Cara
Kontinyu
N 22 22 22 22 22 22
Mean 63.2727 5.8182 82.7273 3.36 3.2727 10.7273
Std. Deviation 4.77276 1.81623 6.85344 1.136 1.42233 11.71154
Median 62.0000 6.0000 80.0000 4.00 3.0500 7.5000
Minimum 60.00 3.00 65.00 Selected 1.20 1.00
Maximum 77.00 11.00 95.00 5 6.70 58.00
Total N 44 44 44 44 44 44
Mean 64.7727 5.9318 79.4318 3.55 3.9068 7.9368
Std. Deviation 5.22456 2.00462 13.08363 1.150 2.73048 9.57475
Median 62.5000 6.0000 80.0000 4.00 3.1000 5.5000
Minimum 60.00 2.00 30.00 Selected .70 1.00
Maximum 77.00 11.00 100.00 5 12.10 58.00
Explore Kelompok Sampel
Case Processing Summary
Kelompok
Sampel
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Umur
Responden
Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
CCI Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
BI Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
CHS Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Laktat Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Procalsitonin Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Tests of Normality
Kelompok
Sampel
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Umur
Responden
Cara Bolus .198 22 .025 .897 22 .026
Cara Kontinyu .258 22 .001 .651 22 .000
CCI Cara Bolus .174 22 .083 .914 22 .056
Cara Kontinyu .212 22 .011 .886 22 .016
BI Cara Bolus .155 22 .184 .916 22 .063
Cara Kontinyu .254 22 .001 .853 22 .004
CHS Cara Bolus .275 22 .000 .863 22 .006
Cara Kontinyu .258 22 .001 .894 22 .023
Laktat Cara Bolus .207 22 .015 .857 22 .004
Cara Kontinyu .174 22 .081 .919 22 .073
Procalsitonin Cara Bolus .239 22 .002 .719 22 .000
Cara Kontinyu .287 22 .000 .598 22 .000
a. Lilliefors Significance
Correction
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean
Std.
Deviation
Minim
um Maximum
Umur Responden 44 64.7727 5.22456 60.00 77.00
CCI 44 5.9318 2.00462 2.00 11.00
BI 44 79.4318 13.08363 30.00 100.00
CHS 44 3.55 1.150 1 5
Laktat 44 3.9068 2.73048 .70 12.10
Procalsitonin 44 7.9368 9.57475 1.00 58.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Umur
Responden CCI BI CHS Laktat
Procalsit
onin
N 44 44 44 44 44 44
Normal Parametersa Mean 64.7727 5.9318 79.4318 3.55 3.9068 7.9368
Std. Deviation 5.22456 2.00462 13.08363 1.150 2.73048 9.57475
Most Extreme Differences Absolute .202 .150 .222 .267 .218 .234
Positive .202 .115 .131 .142 .218 .229
Negative -.180 -.150 -.222 -.267 -.138 -.234
Kolmogorov-Smirnov Z 1.341 .995 1.472 1.773 1.448 1.555
Asymp. Sig. (2-tailed) .055 .276 .026 .004 .030 .016
a. Test distribution is Normal.
T-Test
Group Statistics
Kelompok Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Umur Responden Cara Bolus 22 66.2727 5.32900 1.13615
Cara Kontinyu 22 63.2727 4.77276 1.01756
CCI Cara Bolus 22 6.0455 2.21418 .47206
Cara Kontinyu 22 5.8182 1.81623 .38722
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
taile
d)
Mean
Differen
ce
Std.
Error
Differen
ce
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Umur
Responde
n
Equal variances
assumed 3.483 .069 1.967 42 .056 3.00000 1.52520
-
.07799 6.07799
Equal variances
not assumed 1.967 41.500 .056 3.00000 1.52520
-
.07909 6.07909
CCI Equal variances
assumed 1.116 .297 .372 42 .712 .22727 .61056
-
1.0048
9
1.45944
Equal variances
not assumed .372 40.453 .712 .22727 .61056
-
1.0062
9
1.46083
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
BI 44 79.4318 13.08363 30.00 100.00
CHS 44 3.55 1.150 1 5
Laktat 44 3.9068 2.73048 .70 12.10
Procalsitonin 44 7.9368 9.57475 1.00 58.00
Kelompok Sampel 44 1.5000 .50578 1.00 2.00
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok Sampel N Mean Rank Sum of Ranks
BI Cara Bolus 22 19.41 427.00
Cara Kontinyu 22 25.59 563.00
Total 44
CHS Cara Bolus 22 24.61 541.50
Cara Kontinyu 22 20.39 448.50
Total 44
Laktat Cara Bolus 22 22.89 503.50
Cara Kontinyu 22 22.11 486.50
Total 44
Procalsitonin Cara Bolus 22 16.73 368.00
Cara Kontinyu 22 28.27 622.00
Total 44
Test Statisticsa
BI CHS Laktat Procalsitonin
Mann-Whitney U 174.000 195.500 233.500 115.000
Wilcoxon W 427.000 448.500 486.500 368.000
Z -1.637 -1.142 -.200 -2.991
Asymp. Sig. (2-tailed) .102 .253 .842 .003
a. Grouping Variable: Kelompok Sampel
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Vasepresor * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
ARF * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Jenis Kelamin * Kelompok Sampel
Crosstab
Kelompok Sampel
Total Cara Bolus Cara Kontinyu
Jenis
Kelamin
Laki-laki Count 11 11 22
% within Kelompok Sampel 50.0% 50.0% 50.0%
Perempuan Count 11 11 22
% within Kelompok Sampel 50.0% 50.0% 50.0%
Total Count 22 22 44
% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square .000a 1 1.000
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 1.000
Fisher's Exact Test 1.000 .618
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Casesb 44
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Vasepresor * Kelompok Sampel
Crosstab
Kelompok Sampel
Total Cara Bolus Cara Kontinyu
Vasepresor Ya Count 4 6 10
% within Kelompok Sampel 18.2% 27.3% 22.7%
Tidak Count 18 16 34
% within Kelompok Sampel 81.8% 72.7% 77.3%
Total Count 22 22 44
% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square .518a 1 .472
Continuity Correctionb .129 1 .719
Likelihood Ratio .520 1 .471
Fisher's Exact Test .721 .360
Linear-by-Linear Association .506 1 .477
N of Valid Casesb 44
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,00.
b. Computed only for a 2x2 table
ARF * Kelompok Sampel
Crosstab
Kelompok Sampel
Total Cara Bolus Cara Kontinyu
ARF Ya Count 14 16 30
% within Kelompok Sampel 63.6% 72.7% 68.2%
Tidak Count 8 6 14
% within Kelompok Sampel 36.4% 27.3% 31.8%
Total Count 22 22 44
% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square .419a 1 .517
Continuity Correctionb .105 1 .746
Likelihood Ratio .420 1 .517
Fisher's Exact Test .747 .373
Linear-by-Linear Association .410 1 .522
N of Valid Casesb 44
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Correlations
Correlations
Procal
sitonin
Long
of Stay
Skor
ApacheII_pre
Skor
ApacgeII_post
Delta
ApacheII
Procalsitonin Pearson Correlation 1 .043 .099 -.202 .307*
Sig. (2-tailed) .780 .522 .189 .042
N 44 44 44 44 44
Long of Stay Pearson Correlation .043 1 .002 .270 -.288
Sig. (2-tailed) .780 .989 .077 .058
N 44 44 44 44 44
Skor ApacheII_pre Pearson Correlation .099 .002 1 .504** .373*
Sig. (2-tailed) .522 .989 .000 .013
N 44 44 44 44 44
Skor ApacgeII_post Pearson Correlation -.202 .270 .504** 1 -.614**
Sig. (2-tailed) .189 .077 .000 .000
N 44 44 44 44 44
Delta ApacheII Pearson Correlation .307* -.288 .373* -.614** 1
Sig. (2-tailed) .042 .058 .013 .000
N 44 44 44 44 44
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-
tailed).
MAIN ANALYSIS
Summarize
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Long of Stay * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Skor ApacheII_pre * Kelompok
Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Skor ApacgeII_post * Kelompok
Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Delta ApacheII * Kelompok
Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%
Case Summaries
Kelompok Sampel
Long of
Stay
Skor
ApacheII_pre
Skor
ApacgeII_post Delta ApacheII
Cara Bolus N 22 22 22 22
Mean 8.4545 22.0000 17.2727 4.7273
Std. Deviation 2.64984 6.97615 7.05206 6.88810
Median 8.0000 21.0000 17.5000 4.5000
Minimum 5.00 11.00 6.00 -7.00
Maximum 14.00 38.00 34.00 22.00
Cara Kontinyu N 22 22 22 22
Mean 6.6364 20.9545 9.2727 11.6818
Std. Deviation 2.73505 4.96154 4.33350 3.95675
Median 6.0000 21.0000 9.0000 12.5000
Minimum 2.00 13.00 3.00 5.00
Maximum 13.00 30.00 19.00 19.00
Total N 44 44 44 44
Mean 7.5455 21.4773 13.2727 8.2045
Std. Deviation 2.81569 6.00577 7.05910 6.57189
Median 7.0000 21.0000 11.0000 9.0000
Minimum 2.00 11.00 3.00 -7.00
Maximum 14.00 38.00 34.00 22.00
Explore Kelompok Sampel
Case Processing Summary
Kelompok Sampel
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Long of Stay Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Skor ApacheII_pre Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Skor ApacgeII_post Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Delta ApacheII Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%
Tests of Normality
Kelompok Sampel
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Long of Stay Cara Bolus .191 22 .035 .904 22 .037
Cara Kontinyu .174 22 .080 .915 22 .059
Skor ApacheII_pre Cara Bolus .216 22 .009 .921 22 .080
Cara Kontinyu .114 22 .200* .965 22 .602
Skor ApacgeII_post Cara Bolus .117 22 .200* .967 22 .649
Cara Kontinyu .128 22 .200* .947 22 .281
Delta ApacheII Cara Bolus .073 22 .200* .973 22 .780
Cara Kontinyu .130 22 .200* .956 22 .412
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Long of Stay 44 7.5455 2.81569 2.00 14.00
Skor ApacheII_pre 44 21.4773 6.00577 11.00 38.00
Skor ApacgeII_post 44 13.2727 7.05910 3.00 34.00
Delta ApacheII 44 8.2045 6.57189 -7.00 22.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Long of
Stay
Skor
ApacheII_pre
Skor
ApacgeII_post
Delta
ApacheII
N 44 44 44 44
Normal Parametersa Mean 7.5455 21.4773 13.2727 8.2045
Std. Deviation 2.81569 6.00577 7.05910 6.57189
Most Extreme Differences Absolute .168 .150 .149 .101
Positive .168 .150 .149 .072
Negative -.092 -.067 -.073 -.101
Kolmogorov-Smirnov Z 1.112 .994 .988 .671
Asymp. Sig. (2-tailed) .168 .276 .283 .758
a. Test distribution is Normal.
T-Test
Group Statistics
Kelompok Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Long of Stay Cara Bolus 22 8.4545 2.64984 .56495
Cara Kontinyu 22 6.6364 2.73505 .58312
Skor ApacheII_pre Cara Bolus 22 22.0000 6.97615 1.48732
Cara Kontinyu 22 20.9545 4.96154 1.05780
Skor ApacgeII_post Cara Bolus 22 17.2727 7.05206 1.50351
Cara Kontinyu 22 9.2727 4.33350 .92391
Delta ApacheII Cara Bolus 22 4.7273 6.88810 1.46855
Cara Kontinyu 22 11.6818 3.95675 .84358
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Differen
ce
Std.
Error
Differen
ce
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Long of
Stay
Equal
variances
assumed
.050 .824 2.239 42 .030 1.81818 .81190 .17969 3.45667
Equal
variances not
assumed
2.239 41.958 .030 1.81818 .81190 .17964 3.45672
Skor
ApacheII_
pre
Equal
variances
assumed
.778 .383 .573 42 .570 1.04545 1.82512 -2.63779 4.72870
Equal
variances not
assumed
.573 37.916 .570 1.04545 1.82512 -2.64958 4.74049
Skor
ApacgeII_
post
Equal
variances
assumed
4.464 .041 4.533 42 .000 8.00000 1.76469 4.43871 11.56129
Equal
variances not
assumed
4.533 34.880 .000 8.00000 1.76469 4.41705 11.58295
Delta
ApacheII
Equal
variances
assumed
4.838 .033 -4.106 42 .000 -6.95455 1.69359 -10.37236 -3.53673
Equal
variances not
assumed
-4.106 33.498 .000 -6.95455 1.69359 -10.39824 -3.51085
T-Test _ Cara Bolus
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Skor ApacheII_pre 22.0000 22 6.97615 1.48732
Skor ApacgeII_post 17.2727 22 7.05206 1.50351
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Skor ApacheII_pre & Skor
ApacgeII_post 22 .518 .014
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig.
(2-
tailed) Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Skor ApacheII_pre -
Skor ApacgeII_post 4.72727 6.88810 1.46855 1.67326 7.78128 3.219 21 .004
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 Skor ApacheII_pre 20.9545 22 4.96154 1.05780
Skor ApacgeII_post 9.2727 22 4.33350 .92391
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Skor ApacheII_pre &
Skor ApacgeII_post 22 .645 .001
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed) Mean
Std.
Deviatio
n
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Skor ApacheII_pre -
Skor ApacgeII_post 11.68182 3.95675 .84358 9.92749 13.43614 13.848 21 .000