PENGARUH PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN PENYULUHAN … · Sayur dan buah merupakan salah satu komponen...
Transcript of PENGARUH PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN PENYULUHAN … · Sayur dan buah merupakan salah satu komponen...
PENGARUH PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN PENYULUHAN
TERHADAP KONSUMSI SAYUR DAN ASUPAN GIZI
RUMAH TANGGA DAN BALITA
RIAN DIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pemanfaatan
Pekarangan dan Penyuluhan Terhadap Konsumsi Sayur dan Asupan Gizi Rumah
Tangga dan Balita adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Rian Diana
NIM 151110051
RINGKASAN
RIAN DIANA. Pengaruh Pemanfaatan Pekarangan dan Penyuluhan Terhadap
Konsumsi Sayur dan Asupan zat Gizi Rumah Tangga dan Balita. Dibimbing oleh
ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR.
Sayur dan buah merupakan salah satu komponen diet yang sehat. Akan
tetapi konsumsi sayur dan dan buah terutama sayuran masih dibawah rekomendasi
yang dianjurkan. Penelitian kuasi eksperimental ini bertujuan untuk menganalisis
pengaruh pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan terhadap konsumsi sayur dan
asupa gizi rumah tangga dan balita. Penelitian dilakukan di Kecamatan
Tamansari. Responden dalam penelitian ini adalah anggota posyandu yang
memiliki balita (n=61). Terdapat 31 rumah tangga kelompok kontrol dan 30
rumah tangga kelompok intervensi. Konsumsi sayur dan asupan zat gizi
dikumpulkan menggunakan metode recall 2x24 jam. Paket tanaman pekarangan
dan penyuluhan gizi diberikan kepada kelompok intervensi. Analisis data
menggunakan independet t-test dan Mann Whitney untuk membandingkan
perbedaan variabel antara kelomppok kontrol dan intervensi. Paired t-test dan
Wilcoxon test dilakukan untuk mengetahui perbedaan pre dan post intervensi.
Hubungan antara dua variabel dianalisis menggunakan Rank Spearman. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi sayur dan asupan zat gizi dianalisis
menggunakan MANOVA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan gizi
setelah dilakukannya penyuluhan. Pemanfaatan pekarangan terkendala dengan
sempitnya lahan pekarangan. Konsumsi sayur rumah tangga dan balita kurang dari
1 porsi per kapita per hari. Asupan zat gizi rumah tangga mengalami peningkatan
tetapi tidak berbeda nyata antar kedua kelompok. Sementara itu, asupan energi,
protein, kalsium, fosfor, dan besi kelompok kontrol lebih baik dibandingkan
kelompok intervensi. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya pendapatan rumah
tangga di kelompok kontrol sehingga memiliki akses pangan yang lebih baik
dibandingkan kelompok intervensi.
Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa konsumsi sayur buah rumah
tangga dipengaruhi oleh luas pekarangan dan pengeluaran rumah tangga.
Sementara itu, konsumsi sayur lainnya dipengaruhi oleh interaksi antara jumlah
anggota keluarga dan usia ibu. Tidak ada variabel yang secara signifikan
mempengaruhi asupan vitamin A dan C rumah tangga dan konsumsi sayur balita.
Asupan vitamin A balita dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga,
pendidikan ibu, pengeluaran rumah tangga, pengetahuan gizi ibu, dan kebiasaan
makan sayur sejak dini. Sementara itu, asupan vitamin C balita dipengaruhi oleh
jumlah anggota rumah tangga, pengeluaran rumah tangga, pengetahuan gizi ibu,
dan kebiasaan makan sayur sejak dini. Pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan
memberikan pengaruh yang signifikan pada asupan zat gizi balita, namun belum
dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada konsumsi sayur rumah tangga
dan balita.
Kata kunci: asupan zat gizi, konsumsi sayuran, pekarangan, penyuluhan gizi
SUMMARY
RIAN DIANA. The Effects of Home Gardening Utilization and Extension on
Vegetables Consumption and Nutrient Intake. Supervised by ALI KHOMSAN
and DADANG SUKANDAR.
Vegetables and fruits (VF) are important in healthy diets. However, the
consumption of VF especially vegetables are still below the recommendations.
This Quasi experimental nonequivalent groups design aimed to analyze the effects
of home gardening utilization and extension on vegetables consumption. The
subjects were the posyandu member in Tamansari Subdistrict. Households (HH)
with children under 5 years old were included in this study (n=61); 31 HH as
control group and 30 HH as an intervention group. The vegetable consumption
was determined by recall 2x24 hours. Home gardening package, and nutrition
extension were given to the intervention group. Independent t-test and Mann
Whitney were performed to compare the difference between groups and paired t-
test and Wilcoxon test within the groups. Rank Spearman was used to correlate
between variable. Multivariate general linear modeling using MANOVA was
used to analyze the determinants of vegetables consumption.
The result showed that home garden utilization is contrained by the
narrowness of the yards. The vegetable consumption in both groups are less than
one portion/capita/day. Nutrition extension improved nutrition knowledge
(p<0.001). Household nutrient intake improved but not significant between the
groups. Control gorup had better intake of energy, protein, calsium, phosphor, dan
iron. This can be caused by higher income in control group so they had better
accces to food than the intervention group.
Home garden size and HH expenditure determined fruit vegetables
consumption. Meanwhile, mother’s age and number of family member determined
other vegetables consumption. There were no significant variabels determined
vitamin A n vitamin C intake at household level. . There were also no significant
variabels determined toddler vegetable consumption. Number of family member,
mothers education level, HH expenditure, nutrition knowledge, and vegetable
consumption habit determined toddlers vitamin A intake. Number of family
member, HH expenditure, nutrition knowledge, and vegetable consumption habit
determined toddlers vitamin C intake. The utilization of home garden and
extension had significant effects on toddlers nutirient intake but not significant on
HH and toddlers vegetables consumption.
.
Keywords: home gardening, nutrient intake, nutrition extension, vegetable
consumption
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
PENGARUH PEMANFAATAN PEKARANGAN DAN PENYULUHAN
TERHADAP KONSUMSI SAYUR DAN ASUPAN GIZI
RUMAH TANGGA DAN BALITA
RIAN DIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Hadi Riyadi, MS
Judul Tesis : Pengaruh Pemanfaatan Pekarangan dan Penyuluhan Terhadap Konsumsi Sayur
dan Asupan Gizi Rumah Tangga dan Balita
Nama : Rian Diana
NIM : I151110051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Ketua
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
drh M Rizal M Damanik, MRepSc, PhD
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
(30 Desember 2013)
Tanggal Lulus:
( )
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan judul Pengaruh
Pemanfaatan Pekarangan dan Penyuluhan Terhadap Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi
Rumah Tangga Balita.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan saran untuk perbaikan tesis ini, serta Dr Ir Hadi Riyadi MS selaku penguji yang
telah memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada The Nestle
Foundation selaku pemberi dana penelitian payung, Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS,
Dr Ir Tin Herawati, MS, dr Mira Dewi, MSi and Dr Ir Anna Fatchiya, MS selaku tim peneliti
yang telah banyak memberikan saran. Catur Dwi Anggarawati, SP, Oktarina, SGz, Iin
Sya’diah, SGz, Merita, SGz dan rekan-rekan lainnya yang telah ikut membantu pengambilan
data.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Rian Diana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kerangka Pemikiran 3
2. METODE 5
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Cara Pemilihan Responden 5
Prosedur Intervensi 6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7
Pengolahan dan Analisis Data 8
3. DEFINISI OPERASIONAL 11
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Karakteristik Sosio Demografi 12
Pemanfaatan Pekarangan 16
Pengetahuan Gizi dan Efikasi Diri 23
Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi Rumah tangga 28
Kebiasaan Makan dan Asupan Zat Gizi Balita 42
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Sayur dan
Asupan Zat Gizi 55
5. SIMPULAN DAN SARAN 59
Simpulan 59
Saran 60
DAFTAR PUSTAKA 60
LAMPIRAN 66
RIWAYAT HIDUP 75
ii
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan cara pengambilan data 8 2 Variabel dan kategori penyajian data 9 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik rumah tangga 13 4 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan 14 5 Median dan interquartile range (IQR) pendapatan dan pengeluaran
rumah tangga (Rp/kapita/bulan) 14 6 Pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga responden
(Rp/kap/bulan) 15 7 Rata-rata dan standar deviasi luas lahan dan produksi pekarangan
responden 16 8 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan 17 9 Sebaran responden berdasarkan luas pekarangan (m2) 18 10 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan 23 11 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi pre-post
penyuluhan (jangka pendek) 24 12 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi 24 13 Sebaran responden berdasarkan skor efikasi diri konsumsi sayur 25 14 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri konsumsi sayur 26 15 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri pemanfaatan pekarangan 27
16 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur rumah tangga 28 17 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan frekuensi makan 29 18 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur 30 19 Sebaran responden berdasarkan konsumsi sayuran berwarna 31 20 Sebaran responden berdasarkan frekuensi pembelian sayur 32 21 Sebaran responden berdasarkan tempat mendapatkan sayuran 32
22 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur rumah tangga 33 23 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci dan mengolah
sayuran 34 24 Persentase responden berdasarkan sayuran yang disukai 36 25 Persentase responden berdasarkan sayuran yang tidak disukai 37
26 Median (IQR) konsumsi rumah tangga (per kapita per hari) 39 27 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan tingkat kecukupan
zat gizi (%) 40 28 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi rumah tangga (%) 41 29 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan usia 42 30 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci tangan 42 31 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang disukai balita 43
32 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang tidak disukai balita 43 33 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan jajan 44 34 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang disukai 44 35 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang tidak disukai 45
36 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah 46
iii
37 Sebaran balita berdasarkan buah yang disukai 46 38 Sebaran balita berdasarkan buah yang tidak disukai 47 39 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur dan jumlah jenis
konsumsi sayur 47 40 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang disukai 49 41 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang tidak disukai 49 42 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan konsumsi susu 50 43 Median (IQR) konsumsi balita 52 44 Sebaran balita berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan zat gizi 53 45 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi balita 54 46 Hasil uji manova konsumsi sayur buah dan lainnya rumah tangga 55 47 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur rumah tangga 56 48 Hasil uji Manova Vitamin A dan C rumah tangga 57
49 Hasil uji Manova konsumsi sayur buah dan lainnya balita 57 50 Hasil uji Manova Vitamin A dan C balita 57 51 Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan vitamin A dan C balita 58
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran pengaruh program pemanfaatan pekarangan
dan penyuluhan terhadap konsumsi sayur dan asupan zat gizi
rumah tangga dan balita. 4
2 Hasil total panen pekarangan kelompok intervensi (kg) 20
3 Hasil panen pekarangan selama intervensi 1 tahun (kg) 21
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Manova konsumsi sayur dan buah rumah tangga dan balita 66
2 Hasil Manova konsumsi vitamin A dan C rumah tangga dan balita 70
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sayur dan buah merupakan komponen yang penting dalam diet yang sehat
sebagai sumber vitamin, mineral, dan serat. WHO merekomendasikan konsumsi
sayur dan buah minimal 400 g per hari untuk mengurangi risiko beberapa penyakit
tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung koroner (Hung et al. 2004), diabetes
(Heidemann et al. 2005; Nὂthlings et al. 2008), hipertensi (Appel et al. 1997), dan
kanker (Van Duyn & Pivonka 2000; World Cancer Research Fund/American
Institute of Cancer Research 2007).
Sejak tahun 1996, Departemen Kesehatan mempromosikan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS). Salah satu pesan PHBS rumah tangga adalah
mengonsumsi sayur dan buah 5 porsi setiap hari, konsumsi sayur yang dianjurkan
adalah 2-3 porsi setiap hari (Kemenkes 2011). Sementara itu, Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS) menganjurkan konsumsi sayur 3-5 porsi setiap hari.
Manfaat konsumsi sayur dan buah telah terbukti menguntungkan kesehatan,
akan tetapi konsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia (93.6%) masih kurang
dari lima porsi sehari (Balitbangkes 2008). Data Susenas tahun 2012 menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi sayur penduduk Indonesia baru mencapai 150.16
g/kap/hari (BPS 2013) atau kurang dari 2 porsi/hari. Peranan sayuran dalam
menurunkan risiko penyakit berhubungan dengan zat gizi yang dikandungnya
seperti vitamin, kalium, serat, antioksidan, folat, flavonoid dan senyawa fitokimia
lainnya (Hu 2003; Dauchet et al. 2006). Kandungan fitokimia dan zat gizi yang
terdapat dalam sayuran dapat berfungsi sebagai antioksidan (Van Duyn dan
Pivonka 2000), berperan dalam mekanisme mengurangi stres oksidatif,
memperbaiki profil glikoprotein, menurunkan tekanan darah, meningkatkan
sensitivitas insulin, dan memperbaiki regulasi homeostatis (Dauchet et al. 2006).
Konsumsi sayuran dan asupan zat gizi dipengaruhi oleh tiga faktor utama,
yaitu sosio demografi, individu dan lingkungan (Pollard 2008; Patrick & Nicklas
2005). Ketersediaan dan akses pangan merupakan faktor lingkungan yang
mempengaruhi konsumsi sayuran (Jago et al. 2007; Dave et al. 2010). Scaglioni et
al. (2011) menyatakan bahwa lingkungan yang berhubungan dengan makanan yang
diciptakan orangtua di rumah membentuk preferensi pangan anak dan pola
penerimaan makanan, selain itu, ketersediaan dan paparan terhadap pangan tertentu
akan mempengaruhi pemilihan dan asupan pangan anak. Paparan yang sering dan
pengenalan rasa sayuran pada anak usia 2-3 tahun merupakan strategi yang baik
untuk mengubah penerimaan sayuran yang baru dikenal (Hausner et al. 2012).
Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa program pekarangan
meningkatkan konsumsi sayur dan buah (Masset et al. 2012; HKI 2010),
meningkatkan intik vitamin A dan konsentrasi serum retinol (Bloem et al. 1996;
Faber et al. 2001; Faber et al. 2002). Anak-anak yang tinggal di rumah tangga yang
memiliki pekarangan mempunyai keanekaragaman diit dan frekuensi makan
sayuran yang lebih baik (Cabalda et al. 2011). Balita yang tidak menerima kapsul
vitamin A dan tidak memiliki pekarangan rumah memiliki risiko buta senja 3 kali
2
lebih tinggi dibandingkan balita yang menerima vitamin A dan memiliki
pekarangan rumah (Campbell et al. 2011). Pemanfaatan kebun sekolah disertai
pendidikan gizi menunjukkan adanya peningkatan konsumsi sayur dan buah pada
siswa dan guru (McAleese dan Ranklin 2007; Ratcliffe et al. 2011).
Pemanfaatan pekarangan di pulau Jawa dapat mengurangi pengeluaran
pangan rumah tangga sebesar 9.9% dan memberikan kontribusi pemenuhan
konsumsi vitamin A sebanyak 12.4% dan vitamin C sebesar 23.6% (Arifin et al.
2012) serta mencegah memburuknya status gizi balita di Bogor (Khomsan et al.
2009). Telah banyak penelitian yang menunjukkan peningkatan konsumsi sayur dan
buah melalui pemanfaatan kebun sekolah dan penyuluhan gizi. Akan tetapi, belum
banyak penelitian di Indonesia yang dilakukan untuk mengamati dan menganalisis
pengaruh intervensi pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan gizi terhadap
konsumsi sayur dan asupan zat gizi rumah tangga dan anak balita secara khusus.
Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk menggali informasi tersebut.
Perumusan Masalah
Sayur merupakan sumber vitamin dan mineral yang berperan sebagai zat
pengatur dalam tubuh. Konsumsi sayur memberikan banyak manfaat kesehatan
bagi tubuh, akan tetapi tingkat konsumsi sebagian besar penduduk Indonesia masih
sangat rendah. Rendahnya konsumsi sayur dapat menimbulkan beberapa masalah
kesehatan seperti sariawan (National Health and Medical Research Council 1999),
divertikulosis (Marlett et al. 2002), dan meningkatkan risiko PTM (Hu 2003; Hung
et al. 2004; Heidemann et al. 2005; Nὂthlings et al. 2008, Appel et al. 1997, World
Cancer Research Fund/American Institute of Cancer Research 2007; Van Duyn dan
Pivonka 2000).
Determinan konsumsi sayur adalah faktor sosio demografi, individu dan
lingkungan. Kebiasaan makan rumah tangga dan ketersediaan pangan merupakan
faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi preferensi dan asupan pangan anak
(Scaglioni et al. 2011). Ketersediaan dan akses pangan merupakan faktor
lingkungan yang mempengaruhi konsumsi sayuran (Dave et al. 2010; Jago et al.
2007). Ketika suatu pangan tidak tersedia maka tidak dapat dikonsumsi. Jika hal ini
berlangsung dalam waktu yang lama, maka orang menjadi tidak terbiasa
mengonsumsi pangan tersebut yang akhirnya menjadi kebiasaan yang melekat dan
sulit diubah sampai dewasa.
Rumah tangga yang tinggal di perdesaan umumnya memiliki rumah dan
pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini terkadang hanya ditanami tanaman
hias atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Intervensi penyuluhan gizi dan
peningkatan pemanfaatan pekarangan untuk ditanami sayuran merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah
(1) bagaimana konsumsi sayur rumah tangga dan anak balita? (2) faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi konsumsi sayur rumah tangga dan anak balita? dan (3)
seberapa besar pengaruh penyuluhan gizi dan pemanfaatan tanaman pekarangan
terhadap konsumsi sayur rumah tangga dan anak balita?.
3
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan terhadap konsumsi sayur dan asupan zat
gizi rumah tangga dan balita. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk;
1. Menganalisis pemanfaatan pekarangan rumah tangga
2. Menganalisis konsumsi sayur dan asupan zat gizi rumah tangga dan anak
balita.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur dan asupan
zat gizi rumah tangga dan anak balita.
4. Menganalisis dan mengevaluasi pengaruh peningkatan pemanfaatan
pekarangan dan penyuluhan gizi terhadap konsumsi sayur dan asupan zat
gizi rumah tangga dan anak balita.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi
mengenai besaran pengaruh peningkatan pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan
terhadap konsumsi sayur dan asupan zat gizi. Dengan demikian penelitian ini dapat
bermanfaat sebagai bahan masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan program
peningkatan konsumsi sayur yang lebih efektif.
Kerangka Pemikiran
Kuantitas dan kualitas gizi yang baik dapat menciptakan hidup sehat dan
produktif. Hal ini tidak saja memerlukan protein dan kalori yang cukup akan tetapi
juga memerlukan vitamin dan mineral yang banyak terkandung dalam sayur dan
buah. Pada tahun 2012, rata-rata konsumsi sayur penduduk Indonesia kurang dari 2
porsi sehari. Rendahnya konsumsi sayur dapat menimbulkan beberapa masalah
kesehatan dan meningkatkan risiko PTM.
Konsumsi sayur dan asupan zat gizi dipengaruhi oleh faktor sosial demografi,
individu, dan lingkungan (Patrick & Nicklas 2005; Pollard 2008). Faktor sosial
demografi meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan (Beydoun dan Wang
2007), keadaan sosial ekonomi (Viswanath dan Bond 2007), dan pekerjaan (Uglem
et al. 2007). Sementara itu, faktor individu yang berpengaruh terhadap konsumsi
sayur adalah pengetahuan (Wardle et al. 2000), sikap, perilaku (Gibson et al. 1998)
preferensi (Gatto et al. 2012), efikasi diri (Watters et al. 2007), dan kebiasaan
(Maclellan et al. 2004). Orangtua, terutama ibu, merupakan gatekeepers konsumsi
rumah tangga terutama anak-anaknya. Ibu biasanya membeli, menyediakan, dan
menyajikan makanan di rumah. Oleh karena itu, ibu mempunyai peran yang
penting dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi rumah tangga.
Faktor lingkungan meliputi lingkungan rumah tangga, preferensi anggota
rumah tangga, kemampuan daya beli, ketersediaan dan akses pangan. Orangtua
memiliki peran langsung dalam membentuk pola makan anak melalui perilaku,
sikap dan pola pemberian makan (Patrick & Nicklas 2005). Lingkungan rumah
yang berhubungan dengan makanan yang diciptakan orangtua membentuk
preferensi pangan anak dan pola penerimaan makanan, selain itu, ketersediaan dan
4
paparan terhadap pangan tertentu akan mempengaruhi pemilihan dan asupan
pangan anak (Scaglioni et al. 2011; Patrick & Nicklas 2005). Ketersediaan pangan
yang beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup di tingkat rumah tangga
dapat dipengaruhi oleh pendapatan (Kamphuis et al. 2006). Ketersediaan melalui
produksi sendiri di lahan pekarangan dapat meningkatkan konsumsi sayur dan buah
(Cabalda et al. 2011; Ratcliffe et al. 2011).
Keterangan: Hubungan dan pengaruh antar variabel diteliti
Hubungan dan pengaruh antar variabel tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengaruh program pemanfaatan pekarangan dan
penyuluhan terhadap konsumsi sayur dan asupan zat gizi rumah tangga
dan balita.
Konsumsi Sayur dan
Asupan Zat Gizi Rumah
Tangga Balita
Pengetahuan, sikap, dan
praktek Ibu
Praktek pemberian
makan
Karakteristik Sosio
Demografi
Usia
Jenis kelamin
Besar RT
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
Pengeluaran
Kebiasaan makan
Preferensi, Efikasi diri
Ketersediaan dan akses pangan
(pemanfaatan pekarangan)
Intervensi program pemanfaatan pekarangan dan
penyuluhan
5
2. METODE
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah quasi experimental nonequivalent groups design.
Penelitian ini mengacu pada penelitian payung Khomsan et al. (2011-2013)
bekerjasama dengan The Nestle Foundation (NF) dengan judul “A Multi-Approach
Intervention to Empower Posyandu Nutrition Program to Combat Malnutrition
Problem in Rural Areas”. Desain kuasi eksperimental adalah suatu desain
ekperimental dimana unit perlakuannya tidak diacak (Shadish et al. 2002).
Pengacakan perlakuan pada responden tidak dapat dilakukan karena pelaksanaan
intervensi memerlukan persetujuan dan pernyataan keikutsertaan responden. Selain
itu, responden merupakan anggota posyandu yang sama dan tinggal di satu desa
sehingga akan sulit untuk menghindari kontaminasi pada kelompok kontrol.
Pada penelitian terdapat satu kelompok kontrol dan satu kelompok intervensi.
Pre-test dan post-test dilakukan kepada kedua kelompok tersebut. Kelompok
intervensi diberikan paket tanaman pekarangan berupa tanaman sayuran sumber
vitamin dan mineral, pelatihan budidaya sayuran dan penyuluhan gizi. Sementara
itu, kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan apapun sampai post-test
dilakukan. Kelompok kontrol akan diberikan paket tanaman pekarangan, pelatihan
budidaya sayuran, dan penyuluhan gizi setelah post-test dilaksanakan, sehingga
kelompok kontrol mendapatkan manfaat yang sama seperti kelompok intervensi.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kecamatan Tamansari dipilih sebagai lokasi penelitian dengan dasar pertimbangan
bahwa lokasi tersebut memiliki karakteristik demografi wilayah perdesaan yang
berlokasi di lereng pegunungan dan masih banyak penduduknya bekerja sebagai
petani.
Penelitian dilakukan selama delapan belas bulan sejak Desember 2011 sampai
Juni 2013. Kegiatan penelitian terdiri dari persiapan, pelaksanaan dan pengambilan
data akhir. Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pengumpulan data awal,
sosialisasi, pemberian perlakuan berupa pemberian paket tanaman pekarangan
(sayuran), pelatihan budidaya sayuran, dan penyuluhan gizi.
Cara Pemilihan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu dan balitanya di Kecamatan
Tamansari, Kabupaten Bogor. Responden dalam penelitian ini adalah Ibu rumah
tangga yang memiliki anak balita dan merupakan peserta posyandu di Kecamatan
Tamansari, Kabupaten Bogor. Responden yang memenuhi kriteria inklusi didatangi
ke rumahnya dan menerima penjelasan lisan dan tulisan mengenai tujuan, manfaat
dan tata cara pelaksanaan penelitian berikut informed consent untuk ditandatangani.
Berikut tahapan pemilihan desa, posyandu dan rumah tangga responden dan
balitanya :
1. Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dipilih sebagai lokasi
kegiatan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki karakteristik
demografi wilayah perdesaan.
6
2. Pemilihan 4 desa dari Kecamatan Tamansari, dengan pertimbangan adanya
potensi lahan pertanian untuk pengembangan pekarangan serta sebagian
penduduknya masih bermata pencaharian sebagai petani. Empat desa yang
terpilih adalah Desa Sukajadi, Desa Sukaresmi, Desa Sukaluyu, dan Desa
Sukajaya. Penentuan kelompok kontrol dan intervensi dilakukan secara
acak, sehingga terpillih Desa Sukajadi sebagai kelompok kontrol dan tiga
desa lainnya sebagai kelompok intervensi. Peneliti memilih dua desa dalam
penelitian ini, satu kelompok kontrol (Desa Sukajadi) dan satu kelompok
intervensi (Desa Sukajaya) dengan kriteria masing-masing desa tersebut
memiliki satu posyandu yang dijadikan lokasi penelitian.
3. Pemilihan 1 posyandu dari desa yang terpilih dengan kriteria peserta
terbanyak. Responden sebanyak 61 ibu rumah tangga dan balitanya dipilih
dengan teknik nonprobability sampling, yaitu purposive sampling. Terdapat
3 kriteria inklusi responden, yaitu 1) ibu dan balita peserta posyandu yang
berasal dari rumah tangga dengan kepala rumah tangga (KK) atau memiliki
kerabat yang berprofesi sebagai petani, serta rumah tangga balita tersebut
memiliki pekarangan rumah. 2) ibu dan balitanya tercatat di posyandu, dan
3) ibu bersedia menjadi responden untuk diwawancarai serta bersedia
mengikuti penyuluhan gizi dan menerima program tanaman pekarangan
(home gardening). Terdapat 2 kriteria eksklusi responden, yaitu menolak
berpartisipasi dan berencana pindah dalam kurun waktu penelitian 18 bulan.
4. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 61 Ibu rumah tangga yang
memiliki anak balita (31 responden kontrol dan 30 responden intervensi).
Jumlah responden kelompok intervensi pada data awal dan data akhir tidak
berubah yaitu sebanyak 30 responden. Sementara itu, pada kelompok
kontrol, data awal sebanyak 31 responden dan data akhir sebanyak 30
responden. Pada saat pelaksanaan intervensi terdapat satu responden dari
kelompok kontrol mengundurkan diri karena pindah rumah ke desa lain.
Prosedur Intervensi
Pada penelitian ini, terdapat dua perlakuan, yaitu kontrol dan intervensi.
Kontrol tidak mendapatkan perlakuan apapun selama waktu intervensi dilakukan
dan akan diberikan perlakuan yang sama dengan intervensi setelah semua perlakuan
intervensi selesai, sehingga kontrol mendapatkan manfaat dari penelitian ini.
Bentuk intervensi pada penelitian ini adalah pemberian paket tanaman pekarangan
berupa tanaman sayuran sumber vitamin dan mineral, pembimbingan budidaya
sayuran, dan penyuluhan gizi. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan
Tamansari dilibatkan dalam membimbing responden untuk menanam sayuran di
pekarangannya. Berikut adalah tahapan penelitian:
1.Tahap Pertama : Pengambilan data awal
2.Tahap Kedua : Pemberian intervensi
a. Pemanfaatan pekarangan :
i. Sosialisasi program
ii. Observasi awal pemanfaatan pekarangan
iii. Penentuan jenis tanaman yang akan dikembangkan
iv. Pelaksanaan program
7
Pembuatan demplot sebagai tempat percontohan
praktek budidaya tanaman
Pembuatan persemaian tanaman
Persiapan penanaman
Pembuatan pupuk
Penanaman
Pendampingan dan monitoring (1 bulan sekali)
b. Penyuluhan gizi : Penyuluhan disampaikan oleh tim peneliti
(penelitian payung) dalam bentuk ceramah dan diskusi
menggunakan alat bantu powerpoint, leaflet, flipchart, handout,
poster, banner, dan modul. Terdapat lima topik penyuluhan
(penyuluhan dilakukan sebanyak 5 kali, yaitu dua minggu sekali
selama 3 bulan. Masing-masing penyuluhan dilaksanakan selama
45-60 menit). Pre-test dan post-test yang berisi 10 soal yang sama
diberikan untuk mengukur keberhasilan penyuluhan gizi. Berikut
adalah topik penyuluhan:
i. Gizi untuk balita
ii. Gizi untuk anak
iii. Pemilihan makanan untuk balita
iv. Sanitasi dasar
v. Keamanan pangan
c. Terdapat dua kegiatan lain yang mendukung pemanfaatan
pekarangan dan penyuluhan gizi yaitu penyuluhan budidaya sayuran,
dan demo memasak. Pada penyuluhan budidaya sayuran tidak
dilakukan pre dan post-test karena hanya bertujuan untuk
mendiskusikan keberhasilan, kendala dan hambatan responden
dalam melaksanakan pemanfaatan pekarangan sehingga responden
dapat mengambil contoh dari keberhasilan responden lain dan dapat
mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam budidaya sayuran
dipekarangan. Demo masak yang dilakukan adalah memasak
camilan/snack untuk balita menggunakan bahan pangan lokal yang
tersedia. Tujuannya, agar ibu peserta penyuluhan dapat menyediakan
sendiri camilan atau snack yang sehat dan bergizi. Ada dua resep
yang dipraktekkan yaitu kroket singkong isi sayuran dan nugget
ayam dan sayuran.
3.Tahap Ketiga : Pengambilan data akhir.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer. Pengumpulan data primer
diperoleh melalui wawancara langsung dengan ibu rumah tangga menggunakan
instrumen kuesioner. Sebelum pengumpulan data dilakukan, kuesioner
diujicobakan di lokasi penelitian.
8
Tabel 1 Jenis dan cara pengambilan data
No Aspek Variabel Cara
pengumpulan
Pre Post
1. Sosial
ekonomi
rumah tangga
1. Besar rumah tangga
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Pendapatan rumah tangga
7. Pengeluaran rumah tangga
Wawancara
menggunakan
kuesioner
√ √
2. Kepemilikan
&
pemanfaatan
lahan
pekarangan
1. Luas pekarangan rumah,
sawah, kebun, dan kolam
2. Jenis pemanfaatan
pekarangan
3. Jenis dan jumlah produksi
tanaman pekarangan, sawah,
kebun, kolam dan ternak
Wawancara
menggunakan
kuesioner
√ √
3. Karakteristik
individu
balita
1. Umur
2. Jenis kelamin
Wawancara
menggunakan
kuesioner
√ √
4. Kebiasaan
makan Balita
1.Berupa pertanyaan mengenai
kebiasaan makan
2. Jenis makanan yang disukai
dan tidak disukai
3. Praktek pemberian makan
Wawancara
menggunakan
kuesioner dan √ √
5. Efikasi diri Efikasi diri
Wawancara
menggunakan
kuesioner
√
6. Konsumsi
sayur dan
1. Jumlah dan jenis sayur yang
dimakan.
Recall
konsumsi
pangan 2x 24
jam
√ √ Asupan zat
gizi
2. Kandungan zat gizi
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan melalui proses pengumpulan data, kemudian
editing, coding, dan entry data menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Analisis
data dilakukan secara deskriptif dan inferensia menggunakan program SPSS
(Statistical Product and Service Solution) for windows versi 16 dan SAS 9.1.3
dengan tingkat kepercayaan 90% (α=0.1).
Kandungan dan tingkat kecukupan zat gizi dari suatu jenis pangan dihitung
dengan rumus berikut:
9
Keterangan:
KGij : Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj : Berat makanan j yang dikonsumsi (gram)
Gij : Kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj : Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
TKGi : Tingkat kecukupan zat gizi i
Ki : Konsumsi zat gizi i
AKGi : Angka kecukupan zat gizi i yang dianjurkan
Tabel 2 Variabel dan kategori penyajian data
No Variabel Kategori
1. Besar Rumah tangga
(BKKBN 1998)
1. Kecil (≤ 4 orang)
2. Sedang (5-6 orang)
3. Besar (≥ 7 orang)
2. Pendidikan 1. SD (≤ 6 tahun)
2. SMP (7-9 tahun)
3. SMA (10-12 tahun)
4. Diploma/S1 (> 12 tahun)
3. Pekerjaan 1. Petani
2. Pedagang
3. Buruh tani
4. Buruh non tani
5. PNS
6. Jasa
7. Ibu rumah tangga
8. Lainnya
4. Kebiasaan konsumsi sayur
sejak dini
1. Ya
2. Tidak
5. Luas pekarangan
1. ≤10 m2
2. 11-30 m2
3. >30 m2
6. Skor Efikasi diri konsumsi
sayur
1. Rendah (<13)
2. Sedang (13-17)
3. Tinggi (>17)
7. Tingkat kecukupan zat gizi
(Gibson 2005)
1. Kurang (≤ 77%)
2. Normal (> 77%)
Analisis data disajikan dalam bentuk deskriptif meliputi rata-rata, standar
deviasi, median, interquartile range (IQR) dan frekuensi. Untuk membandingkan
perbedaan variabel antar kelompok kontrol dan intervensi dilakukan uji beda
independent t-test dan Mann Whitney. Sementara itu, perbedaan data pre dan post
diuji menggunakan Paired t-test dan Wilcoxon Signed Ranks Test. Hubungan antara
TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
10
dua variabel diketahui menggunakan Rank Spearman. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi sayur dianalisis menggunakan MANOVA.
Sebelum data dianalisis secara multivariat, hubungannya tidak linear oleh karena
itu, ditranformasi menjadi eksponensial. Konsumsi sayur buah dan sayur lainnya
ada yang bernilai nol, oleh karena itu ditambah 1 sehingga dapat di logaritma
natural (ln). Data konsumsi sayur ditransformasi menggunakan ln (Y+1). Jika
hipotesis nol (H0) ditolak maka analisis data dilanjutkan ke univariate sehingga
didapat model akhir multivariate.
Model konsumsi sayur rumah tangga yang digunakan adalah :
Model asupan vitamin A dan vitamin C balita yang digunakan adalah :
Keterangan :
= Y1+1, Y1 = konsumsi sayur buah RT (g)
= Y2+1, Y2 = = konsumsi sayur lainnya RT (g)
X1 = luas pekarangan (m2)
X2 = pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bulan)
X3 = perkalian ln jumlah anggota rumah tangga dengan ln usia ibu
Keterangan :
= Y1+1, Y1 = asupan vitamin A (RE)
= Y2+1, Y2 = = asupan vitamin C (mg)
X1 = jumlah anggota rumah tangga (orang)
X2 = pendidikan ibu (tahun)
X3 = pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bulan)
X4 = pengetahuan gizi ibu
X5 = kebiasaan makan sayur sejak dini
Hipotesis :
H0 =
H1 =
Hipotesis :
11
3. DEFINISI OPERASIONAL
Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun.
Efikasi diri adalah harapan seseorang mengenai kemampuannya untuk melakukan
suatu perilaku tertentu.
Kebiasaan makan adalah perilaku, cara dan kebiasaan yang dilakukan seseorang
dalam hal konsumsi pangan.
Konsumsi pangan adalah konsumsi pangan dalam hal jenis dan jumlah yang
dimakan yang dikumpulkan dengan cara recall 2x 24 jam.
Konsumsi sayur adalah konsumsi sayur dalam hal jenis dan jumlah yang dimakan
yang dikumpulkan dengan cara recall 2x 24 jam.
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, memiliki batas lahan dan kepemilikan
yang jelas, dapat ditanami berbagai jenis tumbuhan atau tempat memelihara
berbagai jenis ternak dan ikan.
Pemanfaatan pekarangan adalah pendayagunaan lahan pekarangan dengan
bertanam sayuran untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Pemanfaatan pekarangan meliputi luas lahan, produksi, dan frekuensi panen.
Pendapatan rumah tangga adalah total penghasilan yang diperoleh seluruh anggota
rumah tangga baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan atau
lainnya (pemberian, hadiah) selama satu bulan terakhir dinyatakan dalam
rupiah/kapita/bulan.
Penyuluhan gizi adalah upaya peningkatan pengetahuan gizi yang dilakukan untuk
mendorong terjadinya perubahan perilaku meliputi materi gizi untuk balita,
gizi untuk anak, pemilihan makanan untuk balita, sanitasi dasar, keamanan
pangan, budidaya sayur di pekarangan, dan demo memasak makanan camilan
dari sayuran.
Praktek pemberian makan adalah perilaku orangtua khususnya Ibu dalam praktek
pemberian makan anak balitanya.
Preferensi pangan adalah suka atau tidaknya seseorang terhadap jenis pangan
tertentu.
Produktivitas sayuran adalah produksi sayur dibagi dengan luas lahan sayur.
Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam satu
rumah, tinggal bersama, makan dari satu dapur, dan dikepalai oleh seorang
kepala rumah tangga
Sayuran adalah bagian tanaman yang dapat atau layak disayur untuk dimakan
secara matang maupun mentah.
Sayuran buah adalah adalah bagian tanaman (buah) yang dapat atau layak disayur
untuk dimakan secara dimasak maupun mentah (tomat, pare, terong, dll).
Sayuran lainnya adalah adalah bagian tanaman selain bagian buah seperti bagian
umbi, batang dan daun yang dapat atau layak disayur untuk dimakan secara
dimasak maupun mentah (kangkung, bayam, wortel, buncis, dll).
Sosio demografi adalah karakteristik rumah tangga ditinjau dari usia, jenis kelamin,
jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.
Tingkat pendidikan adalah lama waktu menempuh pendidikan formal yang pernah
diikuti dalam satuan tahun.
12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosio Demografi
Kecamatan Tamansari merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Bogor yang terletak di bawah kaki Gunung Salak. Kecamatan ini
memiliki 8 desa, yaitu Desa Pasireurih, Sirnagalih, Tamansari, Sukamantri,
Sukaluyu, Sukaresmi, Sukajadi, dan Sukajaya dengan jumlah penduduk pada tahun
2010 sebanyak 91 899 jiwa.
Responden penelitian ini adalah ibu balita berjumlah 61 orang yang tinggal
di Kecamatan Tamansari. Besar rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga
yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota rumah tangga lainnya yang tinggal
bersama. Secara umum, besar rumah tangga responden cukup bervariasi pada kedua
kelompok. Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden kelompok
kontrol dan intervensi tergolong pada rumah tangga kecil (≤4 orang). Kelompok
intervensi memiliki proporsi rumah tangga sedang yang lebih banyak dibandingkan
rumah tangga besar. Keadaan sebaliknya terjadi pada kelompok kontrol yang
memiliki proporsi rumah tangga sedang lebih sedikit dibandingkan rumah tangga
besar. Meskipun demikian, hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata antara besar rumah tangga kelompok kontrol dan intervensi.
Secara keseluruhan usia ayah dan ibu tergolong pada usia produktif. Usia
ayah berkisar antara 20-55 tahun, dengan median 30 tahun dan usia ibu berkisar
antara 18-45 tahun, dengan median 25 tahun. Sebagian besar ayah dan ibu pada
kedua kelompok berada pada kisaran usia 21-40 tahun. Meskipun demikian, masih
cukup banyak ibu yang tergolong pada usia ≤ 20 tahun pada kedua kelompok. Hasil
uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara usia
ayah dan ibu pada kelompok kontrol dan intervensi.
Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari lama pendidikannya. Hasil uji
Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaaan yang nyata antara lama
pendidikan ayah (p=0.019) dan ibu (p=0.000) pada kelompok kontrol dan
intervensi. Kelompok kontrol memiliki lama pendidikan (setara 1 SMP) yang
sedikit lebih baik dibandingkan kelompok intervensi (setara kelas 5 SD). Meskipun
demikian, ketika melihat sebaran tingkat pendidikannya, hampir seluruh ayah dan
ibu pada kelompok kontrol dan intervensi tergolong dalam tingkat pendidikan yang
rendah (≤ 9 tahun) dan hanya sedikit (<10%) yang memiliki tingkat pendidikan
SMA dan diploma atau sarjana.
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang berperan dalam menunjang
kualitas sumberdaya manusia. Hasil penelitian Adnan & Muniandy (2012)
menunjukkan bahwa pendidikan ibu dapat mempengaruhi praktek pemberian
makan anak sehingga dapat mempengaruhi status gizi anak. Hal ini juga didukung
oleh hasil penelitian Abuya et al. (2012) yang menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu dapat menjadi prediktor yang kuat untuk status gizi anak.
13
Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik rumah tangga
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum jenis pekerjaan ayah adalah
buruh non tani (buruh pembuatan sepatu), petani, pedagang, buruh tani, PNS, jasa
dan lainnya. Kecamatan Tamansari merupakan salah satu sentra produksi sepatu,
oleh karena itu banyak ayah yang bekerja sebagai buruh sepatu dengan upah per
minggu. Pekerjaan sebagai buruh sepatu (buruh non tani) ditekuni oleh lebih dari
sepertiga (35.5%) ayah di kelompok kontrol dan lebih dari separuh (66.7%) ayah di
kelompok intervensi. Pekerjaan di bidang jasa seperti tukang ojeg dan supir dijalani
Karakteristik
Rumah tangga
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Besar rumah
tangga
Kecil 18 (58.1) 17 (56.7) 35 (57.4)
Sedang 6 (19.4) 8 (26.7) 14 (23.0)
Besar 7 (22.6) 5 (16.7) 12 (19.7)
Median (IQR) 4 (3.0) 4 (2.3) 4 (1.5)
p value 0.716
Usia Ayah
≤ 20 tahun 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
21- 40 tahun 30 (96.8) 27 (90.0) 57 (93.4)
≥ 41 tahun 0 (0.0) 3 (10.0) 3 (4.9)
Median (IQR) 29 (6.0) 30 (8.0) 30 (8.5)
p value 0.195
Usia Ibu
≤ 20 tahun 6 (19.4) 7 (23.3) 13 (21.3)
21- 40 tahun 25 (80.6) 22 (73.3) 47 (77.0)
≥ 41 tahun 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.6)
Median (IQR) 23 (7.0) 25 (7.5) 25 (7.0)
p value 0.519
Pendidikan Ayah
SD 25 (80.6) 28 (93.3) 53 (86.9)
SMP 3 (9.7) 1 (3.3) 4 (6.6)
SMA 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Diploma/S1 3 (9.7) 1 (3.3) 4 (6.6)
Median (IQR) 6 (0.0) 6 (2.0) 6 (0.5)
p value 0.019
Pendidikan Ibu
SD 22 (71.0) 29 (96.7) 51 (83.6)
SMP 7 (22.6) 1 (3.3) 8 (13.1)
SMA 2 (6.5) 0 (0.0) 2 (3.3)
Median (IQR) 6 (3.0) 5 (2.0) 6 (2.0)
p value 0.000
14
oleh hampir sepertiga ayah di kelompok kontrol, sementara itu pekerjaan sebagai
petani, pedagang, dan buruh tani dijalani oleh sepertiga ayah di kelompok
intervensi.
Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan ibu di kedua kelompok pada umumnya adalah ibu rumah tangga.
Hanya ada 2 orang ibu di kelompok intervensi yang ikut bekerja membantu
suaminya dengan bekerja sebagai pedagang dan buruh sepatu. Sementara itu, di
kelompok kontrol hanya ada 3 orang ibu yang berdagang di rumah untuk
menambah penghasilan rumah tangga dan 1 orang di bidang jasa.
Tabel 5 Median dan interquartile range (IQR) pendapatan dan pengeluaran rumah
tangga (Rp/kapita/bulan)
Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga
yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non
pangan anggota rumah tangga. Pendapatan total rumah tangga diperoleh dari
pendapatan kepala rumah tangga, istri dan pendapatan dari anggota rumah tangga
lainnya seperti anak dan orangtua yang bekerja yang termasuk dalam satu
pengelolaan keuangan. Median pendapatan dan pengeluaran total per kapita per
bulan kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Akan tetapi keragaman pendapatan dan pengeluarannya juga cukup tinggi. Hal ini
Pekerjaan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Pekerjaan ayah
Petani 1 (3.2) 3 (10.0) 4 (6.6)
Pedagang 2 (6.5) 3 (10.0) 5 (8.2)
Buruh tani 3 (9.7) 3 (10.0) 6 (9.8)
Buruh non tani 11 (35.5) 20 (66.7) 31 (50.8)
PNS 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.6)
Jasa 9 (29.0) 0 (0.0) 9 (14.8)
Lainnya 5 (16.1) 0 (0.0) 5 (8.2)
Pekerjaan ibu
Pedagang 3 (9.7) 1 (3.3) 4 (6.6)
Buruh non tani 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.6)
Jasa 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Ibu rumah tangga 27 (87.1) 28 (93.3) 55 (90.2)
Keterangan Kontrol Intervensi Total p
value
Pendapatan 273 333 (494 819) 212 500 (163 125) 240 000 (257 525) 0.067
Pengeluaran
Pangan 187 040 (122 964) 196 071 (87 026) 190 714 (101 660) 0.817
Non pangan 184 967 (267 585) 126 917 (110 186) 164 340 (212 701) 0.817
Total 456 170 (343 284) 340 048 (178 621) 376 140 (249 786) 0.162
15
menunjukkan tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga cukup beragam,
ada yang memiliki pendapatan dan pengeluaran yang sangat tinggi dan ada juga
yang sangat rendah. Pendapatan kelompok kontrol sedikit lebih baik dibandingkan
dengan kelompok intervensi (p<0.1). Pengeluaran pangan dan non pangan antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol memiliki pola yang sama dengan
pendapatan dan pengeluaran total. Kedua kelompok memiliki median pengeluaran
pangan lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran non pangan. Hasil uji Mann
Whitney terhadap pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan dan pengeluaran
total per kapita per bulan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara
kedua kelompok tersebut. BPS (2013) menyatakan bahwa garis kemiskinan
Indonesia pada bulan September 2012 untuk wilayah perdesaan adalah Rp 240 441
per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan tersebut, maka kelompok
kontrol termasuk tidak miskin atau sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan,
sedangkan kelompok intervensi sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Sebaran
pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah
ini.
Tabel 6 Pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga responden
(Rp/kap/bulan)
Karakteristik responden Kontrol Intervensi
Rata-rata % Rata-rata %
Pengeluaran pangan
Beras 54 000 10.4 65 300 17.8
Lauk-pauk 44 700 8.6 33 400 9.1
Sayur 20 400 3.9 19 200 5.2
Buah 10 100 1.9 7 795 2.1
Minyak goreng 8 934 1.7 8 850 2.4
Minuman 10 800 2.1 9 096 2.5
Jajanan 42 400 8.2 38 700 10.5
Susu 8 731 1.7 7 924 2.2
Lainnya 11 600 2.2 13 000 3.5
Total pangan 211 664 40.7 203 265 55.4
Pengeluaran non pangan
Kesehatan 15 500 3.0 24 300 6.6
Pendidikan 2 628 0.5 4 635 1.3
Pakaian 15 900 3.1 12 100 3.3
Listrik 14 700 2.8 11 300 3.1
Bahan bakar 8 278 1.6 7 761 2.1
Rokok 47 400 9.1 42 500 11.6
Lainnya 204 000 39.2 61 200 16.7
Total non pangan 308 406 59.3 163 796 44.6
Rata-rata alokasi pengeluaran pangan kelompok intervensi memiliki
proporsi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol akan
tetapi kedua kelompok tersebut memiliki pola yang hampir sama. Sebagian besar
alokasi pangan digunakan untuk memenuhi pembelian beras, makanan jajanan, dan
lauk pauk. Alokasi pengeluaran pangan terbesar dikeluarkan untuk pembelian beras
16
yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Besarnya
alokasi pengeluaran untuk makanan jajanan perlu diwaspadai terutama jajanan
anak, karena banyak jajanan yang mengandung zat aditif berbahaya yang dapat
merugikan kesehatan. Proporsi pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk
pengeluaran non pangan lain-lain (pengeluaran transport, pulsa handphone,
pembayaran kredit, sumbangan dan pajak), rokok, dan kesehatan. Pembayaran
kredit motor, hutang dan arisan merupakan kontributor pengeluaran tertinggi pada
pengeluaran non pangan lain-lain. Biaya kesehatan memiliki proporsi pengeluaran
yang cukup besar karena responden memiliki anak balita yang masih rentan
terhadap penyakit sehingga lebih sering berobat. Pengeluaran non pangan yang
paling sedikit adalah untuk biaya pendidikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar
anggota rumah tangga responden hanya bersekolah sampai SMP sehingga tidak
mengeluarkan biaya SPP.
Pemanfaatan Pekarangan
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, memiliki batas lahan dan
kepemilikan yang jelas, dapat ditanami berbagai jenis tumbuhan atau tempat
memelihara berbagai jenis ternak dan ikan. Keberlangsungan pekarangan
tergantung pada biofisik, sosio ekonomi dan budaya. Secara sosio ekonomi,
pekarangan memiliki empat fungsi, yaitu; (1) produksi subsisten, untuk melengkapi
pangan pokok (sayuran, buah, bumbu, produk hewani), dan produk non pangan
lainnya, serta berkontribusi terhadap ketahanan pangan, (2) pekarangan dapat
menghasilkan produk komersial untuk mendapatkan tambahan pendapatan, (3)
fungsi sosio budaya, untuk keindahan, tempat bermain anak, tempat bersosialisasi
dan upacara keagamaan, (4) fungsi ekologi dan lingkungan, sebagai habitat untuk
tanaman dan hewan (Arifin et al. 2012).
Tabel 7 Rata-rata dan standar deviasi luas lahan dan produksi pekarangan
responden
Terdapat empat jenis lahan yang diusahakan oleh keluarga responden, yaitu
lahan pekarangan, sawah, kebun dan kolam. Rata-rata luas pekarangan dan kolam
yang dimiliki oleh kelompok kontrol lebih luas dibandingkan dengan kelompok
Karakteristik
Responden
Kontrol
(n=31)
Intervensi
(n=30)
Total
(n=61)
p
value
Luas lahan (m2)
Pekarangan 21.0 ± 33.9 6.8 ± 7.4 14.0 ± 25.5 0.065
Sawah 0.0 ± 56.7 ± 204.2 27.9 ± 144.8 0.037
Kebun 15.7 ± 59.9 24.0 ± 127.7 19.8 ± 98.5 0.671
Kolam 0.8 ± 2.8 0.4 ± 2.2 0.6 ± 2.5 0.628
Produksi tanaman (kg/tahun)
Pekarangan 13.9 ± 37.4 8.4 ± 21.3 11.2 ± 30.5 0.969
Sawah 0.0 ± 408.3 ± 1455.9 1 011.2 ± 6 299.3 0.442
Kebun 52.7 ± 131.1 133.2 ± 486.4 92.3 ± 352.9 0.886
Kolam 14.2 ± 55.2 17.2 ± 64.7 15.7 ± 59.6 0.628
Ternak 8.5 ± 27.5 2.3 ± 4.7 5.5 ± 20.0 0.400
17
intervensi (p<0.1). Akan tetapi keragamannya juga cukup tinggi, artinya luas lahan
tidak tersebar merata di seluruh rumah tangga responden. Sementara itu, luas sawah
yang dimiliki kelompok intervensi lebih luas dibandingkan kelompok intervensi
p<0.05 Hal ini disebabkan oleh tidak ada satu pun responden di kelompok kontrol
yang memiliki sawah. Luas kebun, dan kolam di kedua kelompok tidak berbeda
nyta (p>0.1). Keragaman data yang tinggi, menunjukkan bahwa luas kebun dan
kolam responden bervariasi. Sebagian besar responden di kedua kelompok tidak
memiliki kebun dan kolam.
Hasil produksi tanaman per tahun yang diusahakan pada berbagai jenis
lahan menunjukkan bahwa produksi tanaman di kedua kelompok masih rendah.
Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara produksi
tanaman di pekarangan, sawah, kebun, kolam dan hasil ternak pada kelompok
kontrol dan intervensi. Rendahnya produksi di kedua kelompok serta keragaman
yang tinggi dari hasil produksi tanaman ini dapat menyebabkan tidak nampaknya
perbedaan yang nyata antar kedua kelompok.
Kelompok kontrol lebih banyak memanfaatkan pekarangan dibandingkan
dengan kelompok intervensi. Namun, pemanfaatan tersebut belum dilakukan
dengan optimal bahkan sebagian pekarangan dibiarkan kosong. Lebih dari separuh
reponden (63.3%) kelompok intervensi tidak memanfaatkan pekarangannya dengan
alasan tidak memiliki benih/bibit tanaman, tidak punya waktu/repot mengurus
rumah/anak-anak, tidak tahu cara menanamnya dan berbagai alasan lainnya. Hanya
separuh (54.8%) responden kelompok kontrol yang telah memanfaatkan
pekarangannya dengan berbagai jenis tanaman. Jenis pemanfaatan pekarangan yang
banyak dilakukan di kedua kelompok adalah menanam buah-buahan, tanaman hias,
sayuran, umbi-umbian dan tanaman lainnya.
Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan
Tanaman buah merupakan tanaman tahunan yang buahnya dapat dimakan
dan tidak memerlukan perawatan yang intensif dari pemilik rumah sehingga
tanaman ini banyak ditanam di sekitar rumah. Tanaman hias merupakan komoditas
unggulan Kecamatan Tamansari, sehingga cukup banyak responden yang menanam
tanaman hias, baik untuk dijual, dibudidayakan, ataupun hanya untuk estetika saja.
Sayuran dan umbi-umbian lebih banyak ditanam di sawah dan kebun. Tanaman
jenis ini kurang menjadi prioritas ditanam di pekarangan karena lahan yang sempit
dan tidak terbiasa ditanam di sekitar halaman rumah. Kementan (2012)
Karakteristik Responden Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Pemanfaatan pekarangan
Dimanfaatkan 17 (54.8) 11 (36.7) 28 (45.9)
Tidak dimanfaatkan 14 (45.2) 19 (63.3) 33 (54.1)
Jenis pemanfaatan pekarangan
Sayuran 5 (16.7) 1 (8.3) 6 (14.3)
Buah 11 (36.7) 8 (66.7) 19 (45.2)
Umbi-umbian 3 (10.0) 0 (0.0) 3 (7.1)
Tanaman hias 9 (30.0) 2 (16.7) 11 (26.2)
Lainnya 2 (6.7) 1 (8.3) 3 (7.1)
18
menerangkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat mewujudkan kemandirian dan
ketahanan pangan dengan cara; (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah
tangga, (2) meningkatkan penghasilan rumah tangga, dan (3) meningkatkan
konsumsi makanan yang beragam, bergizi dan seimbang sesuai dengan potensi
pangan lokalnya.
Kurangnya pemanfaatan pekarangan dan tingginya potensi pekarangan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga mendorong diadakannya
program pemanfaatan pekarangan. Program ini merupakan program pendayagunaan
pekarangan dengan cara penanaman sayuran atau pemeliharaan ternak untuk
pemenuhan konsumsi rumah tangga. Pelaksanaan program pemanfaatan
pekarangan diawali dengan sosialisasi program kepada para responden dan
dilanjutkan dengan observasi awal pemanfaatan pekarangan untuk menentukan
jenis tanaman atau ternak yang akan dikembangkan di kelompok intervensi.
Sosialisasi program disampaikan oleh tim peneliti, tim penyuluh pertanian dari
Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan (BP3K Dramaga) dan
pemerintah desa setempat pada minggu ke-3 bulan Maret 2012. Sosialisasi
program meliputi penyampaian maksud dan tujuan program, waktu pelaksanaan,
dan bentuk kegiatan dan himbauan dari pemerintah desa akan
keterlibatan/kerjasama dari peserta program.
Hasil observasi awal menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis tanaman yang
menjadi pilihan responden berdasar minat responden, dengan prioritas yang paling
tinggi sampai paling rendah secara berturut-turut yaitu tomat, cabe keriting, jahe,
terong ungu, bayam, pare hijau, kacang panjang, ceisin, pakcoy, buncis dan
kangkung. Setelah berdiskusi dengan tim peneliti dan responden, akhirnya
diputuskan tanaman yang akan dikembangkan dalam program ini adalah tanaman
yang wajib ditanam dan tanaman pilihan. Tanaman wajib meliputi cabe rawit, cabe
merah, tomat, kangkung dan bayam. Cabe rawit, cabe merah, dan tomat mewakili
tanaman bumbu yang pasti dibutuhkan oleh responden untuk memasak, sedangkan
kangkung dan bayam mewakili tanaman yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi zat gizi terrhadap rumah tangga responden. Tabel 9 menunjukkan luas
pekarangan sebelum ada program pemanfaatan pekarangan dan luas lahan yang
digunakan pada program ini.
Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan luas pekarangan (m2)
Luas pekarangan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Luas pekarangan pre
≤ 10 16 (51.6) 21 (70.0) 37 (60.7)
11-30 7 (22.6) 9 (30.0) 16 (26.2)
> 30 8 (25.8) 0 (0.0) 8 (13.1)
x̄ ± sd 21.0 ± 33.9 6.8 ± 7.4 14.0 ± 25.5
p value 0.065
Luas pekarangan post
≤ 10 17 (56.7) 22 (73.3) 39 (65.0)
11-30 7 (23.3) 6 (20.0) 13 (21.7)
> 30 6 (20.0) 2 (6.7) 8 (13.3)
x̄ ± sd 30.0 ± 89.6 8.9 ± 12.7 19.6 ± 64.3
p value 0.204
19
Rata-rata luas pekarangan kelompok kontrol yang dimanfaatkan adalah 21.0
m2, lebih luas dibandingkan dengan kelompok intervensi yang hanya 6.8 m2
(p<0.1). Luas lahan di kelompok kontrol cukup bervariasi. Lebih dari separuhnya
memiliki luas ≤10 m2 dan seperempatnya >30 m2. Sementara itu, di kelompok
intervensi, sebagian besar responden memiliki luas pekarangan ≤10 m2, dan tidak
ada yang memiliki luas pekarangan >30 m2. Setelah dilakukan program
pemanfaatan pekarangan, terdapat 2 responden yang memperluas pekarangannya
menjadi >30 m2. Luas pekarangan kelompok kontrol yang berkurang diakibatkan
alih fungsi lahan pekarangan menjadi teras rumah yang di semen dan perluasan
bangunan rumah.
Pemanfaatan pekarangan yang sempit (<200 m2) dapat mengurangi
pengeluaran pangan sampai 9.9% (Arifin et al. 2012), dan pekarangan dengan luas
16 m2 berpotensi dalam memenuhi kecukupan zat gizi dalam sehari (zat besi dan
kalsium sebesar 40%, vitamin A 80% dan vitamin C 100%) dengan anggota rumah
tangga sebanyak 5 orang (AVRDC 1993 diacu dalam Ali dan Tsou 1997).
Pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan yang dilakukan meliputi 5
tahapan yaitu: (1) penentuan demplot sebagai tempat percontohan praktek budidaya
tanaman, (2) praktek persemaian tanaman dengan menggunakan media sekam
bakar dan bokashi, (3) persiapan penanaman yang meliputi pembuatan rak
vertikultur, pembuatan pagar pekarangan, pengolahan pekarangan, pendistribusian
bibit, polybag dan pupuk, (4) praktek pembuatan pupuk cair sebagai salah satu
upaya pemenuhan nutrisi tanaman dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dan
aman bagi konsumsi pangan, dan tahap kelima (5) penanaman yang dilakukan
setelah pengolahan tanah dan pembuatan pagar atau pembuatan rak vertikultur.
Hasil monitoring pemanfaatan pekarangan menunjukkan bahwa sebagian
responden tidak terbiasa menanam sayuran atau tanaman pertanian lainnya
terutama responden yang berusia di bawah 30 tahun. Semua responden belum
memahami tentang budidaya dan pemeliharaan tanaman, terutama pemilihan media
tanam. Oleh karena itu teknik melarung dikenalkan pada responden sebagai salah
satu upaya pemanfaatan limbah pekarangan menjadi kompos dan media tanam.
Teknik melarung dilakukan dengan cara memasukkan tanah dan sampah organik
secara berlapis ke dalam karung, tambahkan pupuk kandang jika ada, biarkan
selama 2 minggu hingga 1 bulan lalu dapat dijadikan media tanam sayuran.
Walaupun belum diaplikasikan oleh semua responden, tetapi sudah mulai terlihat
pemanfaatan teknik ‘melarung’ tersebut, di samping pemanfaatan polibag, ember
bekas atau pot tanaman.
Tanaman cabe, tomat, pakcoy, terong, dan buncis merupakan jenis tanaman
yang dianggap sulit di budidayakan karena pemeliharaannya memerlukan
perawatan yang lebih intensif dibandingkan tanaman berdaun. Namun hasil
panennya cukup banyak karena masa produktifnya yang relatif lama dibandingkan
dengan sayuran daun. Sementara itu, tanaman yang mudah ditanam adalah bayam,
tomat, kangkung dan caisin.
Tanaman yang pertama siap ditanam dari persemaian adalah caisin
dilanjutkan dengan tanaman lainnya. Tanaman bayam, kangkung, kacang panjang
dan buncis sudah mulai ditanam oleh responden pada minggu pertama bulan Mei
dan pada beberapa responden sudah panen di minggu pertama bulan Juni. Tanaman
bayam, kangkung, ceisin sudah mulai dipanen pada minggu ke-4 bulan Mei sampai
20
minggu ke-2 bulan Juni. Hasil produksi pekarangan selama 1 tahun intervensi
dapat dilihat pada Gambar 2.
Produksi pekarangan cukup fluktuatif selama 1 tahun intervensi
berlangsung. Pada awal pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan, responden
dan rumah tangga cukup antusias untuk mengikuti program tersebut. Namun
semangat ini turun naik seiring dengan perjalanan waktu. Ketika musim hujan dan
kemarau yang parah maka para PPL lebih banyak memberikan motivasi agar
responden tidak cepat menyerah melihat tanamannya mati akibat kekeringan
ataupun kelebihan air.
Gambar 2. Hasil total panen pekarangan kelompok intervensi (kg)
Selama 1 tahun intervensi, produksi pekarangan tertinggi terjadi pada
bulan Agustus 2012 (114.8 kg) dengan sayuran yang menyumbang produksi
terbanyak adalah tomat (63.9 kg), terong (15.2 kg) dan pare (10.5 kg). Sebagian
besar hasil panen dikonsumsi sendiri, dan sisanya dibagikan ke tetangga atau
saudara. Terdapat beberapa responden yang menjual hasil panennya di rumah atau
ke warung karena menanam di luas areal yang cukup luas sehingga hasilnya cukup
banyak. Produksi pekarangan turun drastis pada bulan September dan Oktober 2012
dikarenakan musim kemarau, sehingga tanaman menjadi kering dan mati
kekurangan air. Responden lebih mengutamakan air untuk kebutuhan hidup sehari-
hari seperti memasak, mencuci, dan MCK. Secara perlahan, bulan November-
Desember 2012 produksi pekarangan mulai meningkat seiring dengan berlalunya
musim kemarau, Akan tetapi pada bulan Januari 2013, curah hujan cukup tinggi di
wilayah penelitian sehingga menyebabkan produksi pekarangan berada di titik
terendah (11.2 kg) dengan sayuran yang menyumbang produksi terbanyak adalah
cabe rawit (2.6 kg), terong dan pare masing-masing 2 kg.
Pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa terong, tomat, dan pare merupakan
sayuran buah yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi pekarangan.
Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat dipanen berulang kali sehingga
berpotensi untuk terus ditanam di pekarangan. Sementara itu, caisin dan kangkung
merupakan sayuran daun yang paling tinggi produksinya. Jenis sayuran buah dan
daun yang produksinya tinggi ini mengindikasikan bahwa sayuran tersebut cocok
21
untuk ditanam di pekarangan dan berpotensi meningkatkan konsumsi sayuran dan
pendapatan rumah tangga.
Gambar 3. Hasil panen pekarangan selama intervensi 1 tahun (kg)
Tinggi rendahnya produksi sayuran dan keberhasilan program pemanfaatan
pekarangan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal
meliputi luas lahan, cuaca, pupuk, hama dan penyakit tanaman (HPT), dan cara
perawatan. Luas lahan yang sempit menghasilkan produksi yang sedikit. Masalah
ini di coba diatasi dengan penanaman pada polibag dan vertikultur, akan tetapi hasil
panen yang dihasilkan belum menunjukkan hasil yang optimal. Cuaca yang terlalu
kering dan panas atau terlalu basah juga dapat menurunkan produksi pekarangan,
seperti yang digambarkan hasil panen pada bulan September 2012 dan Januari
2013. Kurangnya pupuk, perawatan dan penanganan HPT yang tidak tepat juga
dapat menurunkan hasil panen pekarangan. Sebagian besar responden dengan
tanaman pekarangan yang subur merupakan responden yang memiliki kandang
kambing dekat dengan pekarangannya. Kotoran kambing yang digunakan sebagai
22
pupuk kandang meningkatkan kesuburan tanah dan memberikan nutrisi bagi
tanaman sehingga hasil produksi sayuran pekarangan meningkat. Hama yang
banyak dikeluhkan oleh responden adalah hama semut merah yang menyebabkan
tanaman tidak dapat berkembang dengan optimal.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi produksi sayuran adalah motivasi
responden dan dukungan rumah tangga. Dukungan suami merupakan faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pemanfaatan pekarangan yang optimal di kelompok
intervensi. Suami mendukung responden dalam hal pembuatan sarana seperti
pagar, rak, penataan dan budidaya. Pekarangan yang sangat sempit dapat ditata
dengan menarik dan efisien dengan bantuan suami sehingga tanaman dapat tumbuh
subur dan produktif sehingga dapat mengurangi biaya dapur sehari-hari. Hasil
panen yang diperoleh dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga sekitar yang
membutuhkan. Harapan yang banyak dilontarkan adalah agar responden tetap
dikunjungi dan program terus berjalan karena bermanfaat untuk rumah tangga dan
masyarakat.
Alokasi waktu responden ataupun suami responden merupakan salah satu
faktor pendukung keberhasilan pemanfaatan pekarangan. Walaupun responden
merasakan manfaat dari peningkatan pemanfaatan pekarangan dan sudah terbiasa
menanam, tetapi ketika responden dan suaminya tidak punya waktu untuk merawat
dan memelihara tanaman, maka produksi pekarangannya menjadi kurang
optimal.Tanaman pekarangan rumah (home gardening) tergantung pada (1) tenaga
kerja yang ada di rumah, (2) ketersediaan lahan di sekitar rumah, (3) ketersediaan
teknologi sederhana atau perkakas berkebun sederhana, (4) ketersediaan bibit dan
air, dan (5) minat atau motivasi. Walaupun manfaatnya dalam pemenuhan gizi
rumah tangga terbatas, akan tetapi produksi sayuran dapat meningkatkan
pendapatan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya jika sayuran tersebut
tumbuh di musim yang tepat dan petani memiliki kemampuan manajemen yang
baik (AVRDC 1995).
Pada pengumpulan data akhir seluruh responden menyatakan niatnya untuk
melanjutkan pemanfaatan pekarangan karena memberikan manfaat bagi rumah
tangganya. Pada pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan terdapat beberapa
kendala yaitu sebagian responden merasa kesulitan dalam merawat tanaman
pekarangan (28.6%), menyiapkan pupuk (17.9%), membuat persemaian (14.3%)
dan membuat media tanam (14.3%), namun dengan dukungan rumah tangga (suami
dan orangtua) dan bantuan serta arahan PPL, tahapan budidaya yang dirasakan
cukup sulit tersebut dapat diatasi. Pemanfaatan pekarangan di kelompok intervensi
dapat berlangsung secara berkelanjutan karena responden sudah dapat membibitkan
tanaman secara mandiri, serta membuat dan menggunakan pupuk buatan sendiri
sehingga proses budidaya tanaman pekarangan dapat berlangsung tanpa tergantung
pada pihak lain.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa program pemanfaatan
pekarangan dapat menghemat uang belanja sehingga responden dapat mengurangi
pembelian sayuran rata-rata Rp 9 700/minggu, dengan penghematan minimum
sebesar Rp 1 000/minggu dan maksimum Rp 70 000/minggu. Hampir seluruh
responden puas dengan hasil tanaman pekarangannya. Namun demikian, responden
masih mempunyai harapan agar hasil panen tanaman pekarangan dapat mengurangi
belanja sayur, produksi yang lebih banyak dan dapat lebih memperindah
halamannya.
23
Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan
Pengetahuan Gizi dan Efikasi Diri
Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan faktor penting untuk
terbentuknya praktek gizi kesehatan. Bagi masyarakat perdesaan pengetahuan gizi
dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti posyandu, petugas kesehatan,
media cetak dan media elektronik. Pengukuran pengetahuan gizi dilakukan melalui
2 waktu, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pengukuran pengetahuan
gizi jangka pendek, dilakukan pre dan post-test sebanyak 10 soal per topik
penyuluhan sehingga total pertanyaan adalah 50 soal. Pengetahuan gizi di
kelompok intervensi meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 12.3 poin
(Tabel 11). Hasil uji paired t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar
skor pengetahuan pre dan post penyuluhan. Selain itu, hasil uji independent t-test
(p<0.001) juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kelompok
Pemanfaatan pekarangan n %
Program pekarangan bermanfaat bagi rumah tangga 28 100.0
Tingkat kesulitan menanam di pekarangan
Sulit 14 50.0
Biasa saja 5 17.9
Tidak sulit 9 32.1
Tahapan yang dirasakan sulit dalam program pekarangan
Membuat persemaian 4 14.3
Menyiapkan media tanam 4 14.3
Menyiapkan pupuk 5 17.9
Perawatan 8 28.6
Lainnya 5 17.9
Ibu ingin melanjutkan pemeliharaan tanaman pekarangan 28 100.0
Ibu puas dengan hasil tanaman pekarangan 26 92.9
Ibu membibitkan tanaman pekarangan sendiri 22 78.6
Ibu membuat dan menggunakan pupuk sendiri (tidak
membeli) 27 96.4
Program pekarangan dapat menghemat belanja sayuran 26 92.9
Rata-rata jumlah uang belanja sayuran yang dihemat
(Rp/minggu) 9759±13 795
Harapan terhadap tanaman pekarangan
Produksi lebih banyak 26 92.9
Dapat mengurangi belanja sayur 28 100.0
Dapat memperindah halaman 25 89.3
Tidak berharap apa-apa 3 10.7
Lainnya 1 3.6
24
kontrol dan intervensi. Hal ini mengindikasikan keberhasilan penyuluhan dalam
meningkatkan pengetahuan gizi kesehatan responden dalam jangka pendek.
Sementara itu, pengukuran pengetahuan gizi jangka panjang, dilakukan dengan cara
memberikan pertanyaan gizi dan kesehatan sebanyak 10 pertanyaan yang sama
pada pengumpulan data awal dan akhir (Tabel 12). Skor pengetahuan gizi data awal
dan data akhir kelompok intervensi tidak berbeda nyata (Wilcoxon p=0.145).
Begitupun dengan hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan intervensi
juga tidak berbeda nyata (p=0.156).
Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi pre-post
penyuluhan (jangka pendek)
*Signifikan pada (p<0.001)
Tabel 12 menunjukkan bahwa median skor pengetahuan gizi kedua kelompok
termasuk ke dalam kategori sedang. Setelah dilakukan intervensi penyuluhan gizi,
rata-rata skor kedua kelompok meningkat. Sehingga hasil uji beda menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut.
Peningkatan skor pengetahuan gizi di kelompok kontrol dapat disebabkan oleh
tingginya informasi mengenai gizi dan kesehatan yang diperoleh responden di
kelompok kontrol. Tingkat partisipasi responden di posyandu berhubungan positif
dengan pengetahuan dan perilakunya (Madanijah dan Triana 2007).
Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi
*Signifikan pada (p<0.001)
Hasil analisis data lebih dari 300 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
gizi lebih efektif jika fokus pada perilaku/action dan secara sistematis
menghubungkan teori, penelitian, dan praktek dibandingkan pengetahuan saja.
Faktor lingkungan merupakan salah satu komponen yang sangat penting. Oleh
karena itu, program pendidikan gizi dalam pelaksanaannya sebaiknya bekerja sama
Kategori
pengetahuan gizi
Kontrol Intervensi
Pre Post Pre Post Kurang (<60) 9 (29.0) 7 (22.6) 10 (33.3) 3 (10.0)
Sedang (60 - 80) 18 (58.1) 21 (67.7) 19 (63.3) 16 (53.3)
Baik (>80) 4 (12.9) 3 (9.7) 1 (3.3) 11 (36.7)
Rata-rata ± Std (skor) 64.7 ± 16.8 66.5 ±15.9 62.4 ± 9.8 75.6 ± 11.2
Selisih 1.8 ± 8.9 12.3 ± 7.4*
Independent t test
p value 0.000
Kategori
pengetahuan gizi
Kontrol Intervensi
Pre Post Pre Post Kurang (<60) 10 (32.3) 4 (13.8) 13 (43.3) 11 (39.3)
Sedang (60 - 80) 18 (58.1) 10 (34.5) 10 (33.3) 6 (21.4)
Baik (>80) 3 (9.7) 15 (51.7) 7 (23.3) 11 (39.3)
Median (IQR) 70 (20) 90 (20) 70 (32.5) 75 (30)
Selisih -10 (20)* 0 (30)
p value 0.156
25
pengambil keputusan di masyarakat untuk meningkatkan ketersediaan dan akses
pangan (harga dan tempat yang terjangkau) (Contento 2008).
Selain pengetahuan, efikasi diri juga merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan perilaku. Efikasi diri adalah keyakinan atau harapan seseorang
mengenai kemampuannya untuk melakukan suatu perilaku tertentu yang akan
mempengaruhi kehidupannya. Efikasi diri menentukan bagaimana orang merasakan
sesuatu, berpikir, memotivasi diri sendiri dan berperilaku. Efikasi diri dihasilkan
melalui 4 tahap utama yaitu, kognitif, motivasi, afektif dan pemillihan proses
(Bandura 1994). Efikasi diri konsumsi sayur dilihat dari 7 pertanyaan
menggunakan 3 skala likert (tidak yakin, yakin, sangat yakin). Tabel 13.
Menunjukkan bahwa sebagian besar responden di kedua kelompok memiliki skor
efikasi diri konsumsi sayur yang rendah. Skor yang rendah mengindikasikan
responden meragukan kemampuan dirinya sendiri untuk dapat menyediakan dan
mengonsumsi sayur dalam jumlah yang cukup untuk rumah tangganya. Komitmen
yang lemah terhadap konsumsi sayur ini dapat menimbulkan konsumsi sayur rumah
tangga yang rendah. Rincian pernyataan efikasi diri konsumsi sayur (pernyataan 1-
7) dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan skor efikasi diri konsumsi sayur
Skor efikasi Kontrol Intervensi Total
Rendah (<13) 27 (90.0) 23 (76.6) 50 (83.3)
Sedang (13-17) 3 (10.0) 6 (20.0) 9 (15.0)
Tinggi (>17) 0 (0.0) 1 (3.3) 1 91.7)
Median (IQR) 11.0 (3) 12.0 (3.3) 11.5 (3)
p value 0.316
Menurut Contento (2008) niat dapat dilihat dari sikap, persepsi pengaruh
sosial atau norma sosial, dan efikasi diri. Orangtua yang peduli pada kesehatan dan
asupan makanan anaknya dapat mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada
di sekitar mereka (Maclellan et al. 2004). Orangtua, terutama ibu merupakan
gatekeeper asupan gizi anak. Ibu biasa membeli, menyiapkan dan menyediakan
makanan. Orangtua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan kebiasaan
makan dan preferensi anak-anak.
Tabel 14. menunjukkan bahwa sebagian besar ibu di kelompok kontrol dan
intervensi yakin dapat menyediakan sayuran yang cukup untuk dimakan rumah
tangga dan dapat membuat rumah tangga makan sayuran dalam jumlah yang cukup.
Keyakinan ibu, sedikit menurun ketika ibu ditanyakan mengenai kesanggupannya
membuat balitanya makan sayuran dalam jumlah yang cukup. Lebih dari separuh
ibu merasa yakin dapat membuat anak balitanya makan sayuran dalam jumlah yang
cukup, dan kurang dari sepertiganya merasa tidak yakin.
Keyakinan ibu juga menjadi menurun ketika ditanya mengenai
kesanggupannya dalam membuat rumah tangga dan balitanya mengonsumsi
sayuran 3-5 porsi sehari untuk orang dewasa dan 2-3 porsi untuk balita sesuai
anjuran PUGS. Pada kelompok kontrol, Sebagian besar ibu yakin dapat membuat
rumah tangga makan sayuran dalam jumlah yang cukup, akan tetapi keyakinan
tersebut turun sebesar 36.7% ketika ibu ditanya kesanggupannya untuk dapat
mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi sehari. Keyakinan ibu juga
turun sebesar 10% ketika ditanya kesanggupannya untuk dapat mendorong
26
balitanya makan sayuran 2-3 porsi sehari. Pada kelompok intervensi, keyakinan ibu
yang yakin dapat membuat rumah tangga dan balitanya makan sayuran dalam
jumlah yang cukup juga menurun sebesar 43.3% ketika ibu ditanya
kesanggupannya untuk dapat mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi
sehari dan turun sebesar 16.7% ketika ibu ditanya kesanggupannya untuk dapat
mendorong balitanya makan sayuran 2-3 porsi sehari.
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri konsumsi sayur
Perbedaan keyakinan ini dapat disebabkan oleh persepsi yang dimiliki
responden mengenai jumlah konsumsi sayuran yang cukup untuk rumah tangga
berbeda dengan standar atau anjuran PUGS yang berlaku. Hal ini dapat terlihat
pernyataan sebagian besar responden yang menyatakan bahwa sayuran sebaiknya
dikonsumsi rumah tangga dan balita sebanyak 2-3 kali sehari. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Lechner et al. (1997) yang menunjukkan terjadinya
inkonsistensi antara penilaian konsumsi sayur secara subyektif yang lebih tinggi
Kebiasaan makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Ibu dapat menyediakan sayuran dalam jumlah yang cukup untuk dimakan rumah
tangga
Tidak yakin 5 (16.7) 4 (13.3) 9 (15.0)
Yakin 24 (80.0) 23 (76.7) 47 (78.3)
Sangat yakin 1 (3.3) 3 (10.0) 4 (6.7)
Ibu dapat membuat rumah tangga anda makan sayuran dalam jumlah yang cukup
Tidak yakin 4 (13.3) 7 (23.3) 11 (18.3)
Yakin 26 (86.7) 21 (70.0) 47 (78.3)
Sangat yakin 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (3.3)
Ibu dapat membuat balita anda makan sayuran dalam jumlah yang cukup
Tidak yakin 9 (30.0) 6 (20.0) 15 (25.0)
Yakin 19 (63.3) 20 (66.7) 39 (65.0)
Sangat yakin 2 (6.7) 4 (13.3) 6 (10.0)
Ibu dapat mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi/hari
Tidak yakin 14 (46.7) 21 (70.0) 35 (58.3)
Yakin 15 (50.0) 8 (26.7) 23 (38.3)
Sangat yakin 1 (3.3) 1 (3.3) 2 (3.3)
Ibu dapat mendorong balita makan sayuran sebanyak 2-3 porsi/hari di rumah
Tidak yakin 14 (46.7) 14 (46.7) 28 (46.7)
Yakin 16 (53.3) 15 (50.0) 31 (51.7)
Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Ibu dapat menyediakan camilan/snack sayur setiap hari untuk rumah tangga dan balita
Tidak yakin 17 (56.7) 18 (60.0) 35 (58.3)
Yakin 13 (43.3) 11 (36.7) 24 (40.0)
Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Ibu dapat meningkatkan konsumsi sayuran rumah tangga dan balita anda akan 3 bulan
kedepan
Tidak yakin 7 (23.3) 11 (36.7) 18 (30.0)
Yakin 23 (76.7) 18 (60.0) 41 (68.3)
Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
27
dibandingkan dengan penilaian secara obyektif berdasarkan pedoman gizi.
Sebanyak 88% responden merasa sudah cukup mengonsumsi sayuran, akan tetapi
jika dibandingkan dengan pedoman, maka mereka termasuk ke dalam kelompok
orang yang tidak cukup mengonsumsi sayuran.
Efikasi diri sebagian besar ibu di kelompok kontrol (76.7%) dan lebih dari
separuh ibu kelompok intervensi (60.0%) cukup baik untuk meningkatkan
konsumsi sayuran rumah tangga dan balita anda akan 3 bulan kedepan. Camilan
sehat yang tersedia di rumah dapat mengurangi jajanan anak yang tidak sehat di
luar rumah. Akan tetapi, lebih dari separuh ibu di kelompok kontrol (56.7%) dan
intervensi (60.0%) merasa tidak yakin dapat menyediakan camilan/snack sayur
setiap hari untuk rumah tangga dan balitanya. Alasan yang banyak dikemukan oleh
responden tidak dapat menyediakan camilan sayuran adalah repot, tidak ada waktu
membuat dan harganya mahal.
Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri pemanfaatan pekarangan
Secara keseluruhan, hanya ada 1 orang ibu dari kelompok intervensi yang
merasa sangat yakin dapat meningkatkan produksi sayuran dari pekarangan. Lebih
dari separuhnya (58.3%) merasa tidak yakin dan sisanya (40.0%) merasa yakin.
Lebih dari separuh Ibu (66.7%) di kelompok kontrol merasa tidak yakin dapat
meningkatkan konsumsi sayur dari hasil produksi sayuran pekarangan dan sisanya
(33.3%) merasa yakin. Kondisi sebaliknya terjadi di kelompok intervensi, lebih dari
separuh ibu (66.7%) kelompok intervensi merasa yakin dapat meningkatkan
konsumsi sayur dari hasil produksi sayuran pekarangan dan 30% merasa tidak
yakin. Ibu di kelompok intervensi sebagian besar merasa yakin dapat melanjutkan
program tanaman pekarangan tanpa pendampingan PPL/bantuan dari
IPB/organisasi luar lainnya. Hal ini baik untuk keberlanjutan pemanfaatan
pekarangan setelah program ini selesai.
Pemanfaatan
Pekarangan
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Ibu dapat meningkatkan produksi sayuran dari pekarangan
Tidak yakin 17 (56.7) 18 (60.0) 35 (58.3)
Yakin 13 (43.3) 11 (36.7) 24 (40.0)
Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Ibu dapat meningkatkan makan sayur rumah tangga dari hasil produksi sayuran
pekarangan
Tidak yakin 20 (66.7) 9 (30.0) 29 (48.3)
Yakin 10 (33.3) 20 (66.7) 30 (50.0)
Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Ibu dapat melanjutkan program tanaman pekarangan tanpa pendampingan PPL/bantuan
dari IPB/organisasi luar lainnya
Tidak yakin - 5 (16.7) 5 (16.7)
Yakin - 24 (80.0) 24 (80.0)
Sangat yakin - 1 (3.3) 1 (3.3)
28
Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi Rumah tangga
Definisi sayur banyak dihubungkan dengan kandungan, kualitas gizi dan
manfaat kesehatannya. Dari aspek gizi, sayur merupakan pangan dengan densitas
energi yang rendah, kaya akan vitamin, mineral, serat dan komponen bioaktif
lainnya (World Cancer Research Fund/American Institute of Cancer Research
2007).
Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan
perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan,
frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan misalnya
pantangan, distribusi makanan diantara anggota rumah tangga, cara pemilihan
bahan makanan yang hendak dimakan. Ada berbagai faktor yang menentukan
kebiasaan makan di antaranya adalah pola pemberian makan orangtua kepada anak.
Ibu adalah orang yang paling dominan dalam menentukan menu sayur rumah
tangga dan balita di kedua kelompok. Sebagian besar anggota rumah tangga
(86.7%) kelompok kontrol tidak ikut menentukan menu sayur rumah tangga. Pola
yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok intervensi, Walaupun ibu merupakan
orang dominan dalam menentukan menu rumah tangga, akan tetapi keinginan atau
pendapat anggota rumah tangga lain juga ikut diperhitungkan dalam menentukan
menu sayur rumah tangga.
Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur rumah tangga
Kebiasaan makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Siapa yang paling dominan dalam menentukan menu sayur rumah tangga dan
balita
Ayah 2 (6.7) 1 (3.3) 3 (5.0)
Ibu 27 (90.0) 27 (90.0) 54 (90.0)
Anak 1 (3.3) 2 (6.7) 3 (5.0)
Terdapat anggota rumah tangga yang lain ikut menentukan menu
Ya 4 (13.3) 13 (43.3) 17 (28.3)
Tidak 26 (86.7) 17 (56.7) 43 (71.7)
Terdapat anggota rumah tangga yang tidak menyukai sayuran
Ya 9 (30.0) 12 (40.0) 21 (35.0)
Tidak 21 (70.0) 18 (60.0) 39 (65.0)
Ibu memperkenalkan berbagai macam sayuran kepada balita
Ya 27 (90.0) 28 (93.3) 55 (91.7)
Tidak 3 (10.0) 2 (6.7) 5 (8.3)
Rumah tangga dan balita suka mencoba berbagai macam sayur? (selain yang
disukai rumah tangga dan balita)
Ya 22 (73.3) 27 (90.0) 49 (81.7)
Tidak 8 (26.7) 3 (10.0) 11 (18.3)
Ibu mendorong rumah tangga dan anak balita untuk makan sayur
Ya 27 (90.0) 25 (83.3) 52 (86.7)
Kadang-kadang 3 (10.0) 4 (13.3) 7 (11.7)
29
Sebagian besar (70.0%) responden di kelompok kontrol menyatakan bahwa
masih ada anggota rumah tangganya yang tidak menyukai sayuran karena tidak
dibiasakan dari kecil, aroma dan rasa sayuran yang tidak enak serta alasan
kesehatan (kangkung dapat menyebabkan penyakit asam urat). Sementara itu di
kelompok intervensi, sebanyak 62.1% responden menyatakan masih ada anggota
rumah tangganya yang tidak menyukai sayuran dengan alasan tidak suka, rasanya
pahit dan aromanya tidak menyenangkan, serta sayuran dapat menyebabkan
penyakit asam urat. Beragam reaksi ibu ketika menyikapi anggota rumah tangganya
yang tidak menyukai sayuran seperti membujuknya memakan sayuran, memintanya
mencoba terlebih dahulu, memaksanya, mencampurkan sayuran dalam makanan
lain, memasak jenis sayuran yang disukai saja, sampai membiarkannya. Sebagian
besar ibu di kedua kelompok mendorong rumah tangga dan balitanya untuk makan
sayur dan ibu juga suka mencoba berbagai macam sayuran (selain yang disukai
rumah tangga dan balita).
Orangtua yang peduli pada kesehatan dan asupan makanan anaknya dapat
mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada di sekitar mereka (Maclellan et
al. 2004). Penghambat utama konsumsi sayur dan buah adalah rendahnya usaha,
kurangnya pengetahuan, faktor sosio-psikologis (preferensi, kebiasaan, mood),
faktor lingkungan sosial (pengaruh anggota rumah tangga, pengalaman masa kecil)
dan ketersediaan. Semakin banyak hambatan maka semakin sedikit orang
mengonsumsi sayur dan buah. Persepsi yang salah mengenai kecukupan asupan
yang sudah tinggi, preferensi anak, sikap ibu, pengalaman masa kecil termasuk
paparan yang terbatas terhadap sayur dan buah atau memori negatif dapat
mempengaruhi konsumsi sayur dan buah (Maclellan et al. 2004). Anak-anak
mengonsumsi lebih banyak sayuran yang tidak di sukai ketika sayuran tersebut di
sajikan bersama sayuran yang di sukai (Olsen et al. 2012).
Kepuasaan atau kenikmatan merupakan determinan konsumsi sayur dan buah
seperti rasa, daya cerna dan rasa kenyang. Pola asuh makan merupakan faktor
utama dari pengenalan lingkungan makanan dan mempengaruhi preferensi
makanan anak dan asupan energinya. Birch dan Fisher (1998) menyatakan bahwa
hanya sedikit pilihan makanan yang diperkenalkan orangtua, kebanyakan diketahui
melalui pengalaman makan dan berhubungan dengan kemampuan mengunyah
makanan dan lingkungan makan terutama konteks sosial dan psikologis.
Tabel 17 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan frekuensi makan
Frekuensi makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Frekuensi makan rumah tangga dalam sehari
1 kali 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
2 kali 12 (40.0) 11 (36.7) 23 (38.3)
3 kali 17 (56.7) 18 (60.0) 35 (58.3)
4 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7)
Frekuensi makan sayuran rumah tangga dalam sehari
1 kali 12 (40.0) 7 (25.0) 19 (32.8)
2 kali 11 (36.7) 14 (50.0) 25 (43.1)
3 kali 6 (20.0) 7 (25.0) 13 (22.4)
4 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7)
30
Frekuensi makan rumah tangga dapat menggambarkan kebiasaan makan
suatu rumah tangga. Secara umum, kelompok kontrol dan intervensi memiliki pola
makan dan konsumsi sayur yang serupa. Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari
separuh rumah tangga responden makan 3 kali sehari dan lebih dari sepertiganya
memiliki kebiasaan makan 2 kali sehari. Sementara itu, frekuensi konsumsi sayuran
sebagian besar responden di kedua kelompok kurang dari 3 kali sehari, dan kurang
dari seperempatnya yang mengonsumsi sayuran 3 kali sehari. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Riskesdas 2007 yang menyatakan konsumsi sayur
dan buah hampir seluruh penduduk Indonesia (93.6%) masih kurang dari lima porsi
sehari (Balitbangkes 2008). Kemenkes (2011) menganjurkan konsumsi sayur 2-3
porsi setiap hari, bahkan PUGS menganjurkan konsumsi sayur yang sedikit lebih
banyak, yaitu 3-5 porsi setiap hari.
Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur
Kebiasaan makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Waktu makan sayur rumah tangga dan balita makan dalam jumlah banyak
Makan pagi 2 (7.7) 7 (23.3) 9 (16.1)
Makan siang 18 (64.3) 14 (46.7) 32 (55.2)
Makan sore/malam 20 (71.4) 21 (70.0) 41 (70.7)
Waktu makan sayur rumah tangga dan balita makan dalam jumlah sedikit
Makan pagi 27 (90.0) 20 (66.7) 47 (78.3)
Makan siang 5 (19.2) 8 (27.6) 13 (23.6)
Makan sore/malam 6 (23.1) 8 (27.6) 14 (25.5)
Ibu menyediakan camilan dari sayuran
Ya 11 (36.7) 12 (40.0) 23 (38.3)
Tidak 19 (63.3) 18 (60.0) 37 (61.7)
Berapa kali sebaiknya rumah tangga dan balita ibu mengonsumsi sayuran
1x/hari 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
2x/hari 11 (36.7) 12 (40.0) 23 (38.3)
3x/hari 19 (63.3) 17 (56.7) 36 (60.0)
Tidak perlu setiap hari 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Tabel 18 menunjukkan lebih dari separuh responden kelompok kontrol
mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang banyak pada waktu makan siang (60.0%)
dan makan sore/malam hari (66.7%). Sementara itu, sebagian besar (76.7%)
responden di kelompok intervensi mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang
banyak pada waktu makan sore/malam dan kurang dari separuhnya (43.3%) pada
waktu makan siang. Waktu makan pagi merupakan waktu makan sayuran dalam
jumlah yang sedikit. Sebagian besar (90.0%) responden di kelompok kontrol dan
lebih dari separuh (66.7%) responden di kelompok intervensi, memakan sayur
dalam jumlah yang sedikit pada waktu makan pagi. Pada umumnya ibu memasak
setelah sarapan dan rumah tangga responden banyak yang membeli sarapan berupa
nasi uduk, dan gorengan sehingga konsumsi sayur pada waktu makan pagi lebih
sedikit dibandingkan makan siang dan malam.
31
Lebih dari separuh responden di kedua kelompok tidak menyediakan
camilan dari sayuran dengan alasan banyak biaya, tidak bisa membuatnya,
bahannya sulit, malas, repot, tidak sempat/tidak ada waktu, lebih baik membeli
daripada membuat sendiri. Camilan dari sayuran seperti combro isi sayuran,
bakwan isi sayuran, nugget isi sayuran dan camilan lainnya, merupakan camilan
sehat yang dapat dibuat oleh ibu dengan memanfaatkan sayuran yang ada di rumah
dengan menambahkan sedikit bahan seperti singkong parut, tepung terigu, tepung
beras atau bahan lainnya agar lebih menarik. Camilan yang dibuat di rumah lebih
terjamin kebersihan dan keamanannya dibandingkan dengan jajanan di luar rumah
yang banyak mengandung bahan tambahan pangan berbahaya.
Jawaban responden cukup beragam ketika ditanya berapa kali sebaiknya
rumah tangga dan balita mengonsumsi sayuran dalam sehari. Sebanyak 63.3%
responden di kelompok kontrol menjawab 3 kali sehari dan sisanya (36.7%)
menjawab 2 kali sehari. Sementara itu, responden di kelompok intervensi yang
mengatakan konsumsi sayuran sebaiknya 3 kali sehari sebanyak 46.7%, 2 kali
sehari sebanyak 36.7%, 1 kali sehari (3.3%) dan tidak perlu tiap hari sebanyak
6.7%. Kurangnya pemahaman responden mengenai PUGS terutama konsumsi sayur
yang dianjurkan sebanyak 3-5 porsi mengakibatkan tidak ada satupun responden
yang menjawab konsumsi sayur yang baik lebih dari 4 kali sehari. Responden
merasa bahwa konsumsi sayur sebanyak 4 kali sehari terlalu banyak dan tidak
mungkin dilakukan.
Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan konsumsi sayuran berwarna
Frekuensi
(per minggu)
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
1 kali 4 (13.3) 4 (13.3) 8 (13.3)
2 kali 3 (10.0) 1 (3.3) 4 (6.7)
3 kali 9 (30.0) 7 (23.3) 16 (26.7)
4 kali 2 (6.7) 8 (26.7) 10 (16.7)
5 kali 4 (13.3) 2 (6.7) 6 (10.0)
6 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7)
7 kali 7 (23.3) 8 (26.7) 15 (25.0)
Median (IQR) 3.0 (3.5) 4.0 (4.0) 4.0 (3.8)
p value 0.629
Konsumsi sayuran berwarna di kedua kelompok cukup beragam. Kelompok
kontrol paling banyak mengonsumsi sayuran berwarna 3 kali dan 7 kali per
minggu. Sementara itu, kelompok intervensi 4 kali dan 7 kali per minggu. Rata-rata
konsumsi sayuran berwarna di kedua kelompok sama yaitu 4 kali per minggu. Hasil
uji beda Mann Whitney (p=0.629) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Konsumsi sayuran tidak
hanya dilihat dari jumlah dan frekuensinya saja, akan tetapi juga dari kualitasnya.
Sayuran berwarna mengandung lebih banyak fitokimia yang bermanfaat bagi tubuh
dibandingkan sayuran tidak berwarna. Kandungan fitokimia yang terdapat dalam
sayur dan buah dapat berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, flavonoid,
fitoestrogen, fenol, capsaisin, resveritrol, dan antosianin dapat menjadi prekursor
vitamin A, menghambat proliferasi sel, membantu diferensiasi sel epitel normal,
meningkatkan kerja vitamin C, menghambat penyumbatan darah, antiinflamatori,
32
menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan tingkat kolesterol darah, dan
mencegah zat karsinogenik berikatan dengan DNA. Kandungan fitokimia lainnya
seperti sulfida dapat menstimulasi enzim anti kanker dan detoksifikasi
karsinogenik. Isothiosianat dan fenol dapat meningkatkan aktifitas enzim
detoksifikasi glutation tranferase (Van Duyn dan Pivonka 2000).
Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan frekuensi pembelian sayur
Frekuensi
(per minggu)
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
2 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7)
3 kali 4 (13.3) 9 (30.0) 13 (21.7)
4 kali 8 (26.7) 5 (16.7) 13 (21.7)
5 kali 2 (6.7) 4 (13.3) 6 (10.0)
6 kali 1 (3.3) 2 (6.7) 3 (5.0)
7 kali 14 (46.7) 10 (33.3) 24 (40.0)
Median (IQR) 5.5 (3.0) 5.0 (4.0) 5.0 (3.0)
p value 0.346
Tabel 20 menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi pembelian sayur
kelompok kontrol dan intervensi hampir sama yaitu 5 kali per minggu. Hasil uji
Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara pembelian
sayur kedua kelompok tersebut. Lebih dari sepertiga responden di kedua kelompok
membeli sayuran setiap hari. Terdapat kecenderungan pembelian sayur yang lebih
sedikit pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dapat
dilihat dari proporsi responden yang membeli sayur 2-3 kali di kelompok intervensi
lebih banyak dibandingkan di kelompok kontrol.
Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan tempat mendapatkan sayuran
Tempat mendapatkan
sayuran
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Warung dekat rumah 30 (100.0) 27 (90.0) 57 (95.0)
Tukang sayur 15 (50.0) 20 (66.7) 35 (58.3)
Kebun 10 (33.3) 12 (40.0) 22 (36.7)
Pekarangan 3 (10.0) 27 (90.0) 30 (50.0)
Hampir seluruh responden di kedua kelompok mendapatkan sayuran dari
warung yang terletak dekat rumah. Lebih dari separuhnya dari tukang sayur, dan
sepertiga responden mendapatkan sayuran dari kebun. Sebagian besar responden di
kelompok intervensi mendapatkan sayur dari pekarangannya sendiri dan hanya
10% responden di kelompok kontrol yang mendapatkan sayuran dari pekaranganya
sendiri. Penurunan frekuensi pembelian sayur dan peningkatan pemanfaatan
pekarangan dapat menjadi indikator yang positif untuk pengurangan pengeluaran
pangan rumah tangga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Arifin et
al. (2012) yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan sempit (<200 m2)
dapat mengurangi pengeluaran pangan rumah tangga sampai 9.9%, dan dapat
berkontribusi dalam menyediakan sumber vitamin A (12.4%) dan C (23.6%).
33
Data konsumsi sayur yang meliputi berat dan jumlah jenis sayur diperoleh
menggunakan recall 2x24 jam. Konsumsi sayur dibagi menjadi dua yaitu konsumsi
sayur buah dan sayur lainnya. Sayuran buah memberikan kontribusi produksi
perkarangan yang cukup besar dibandingkan sayuran daun dan sayuran umbi. Rata-
rata konsumsi sayur total responden kelompok kontrol (58.5 g/kap/hari) dan
kelompok intervensi (69.0 g/kap/hari) masih kurang dari 1 porsi sehari. Setelah
dilakukan intervensi berupa penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan,
konsumsi sayur mengalami sedikit peningkatan, akan tetapi tidak signifikan. Rata-
rata konsumsi sayur buah dan sayur lainnya dapat di lihat pada Tabel 22. Data pre
menunjukkan rata-rata konsumsi sayur buah baru mencapai 29.5 g/kap/hari
(kelompok kontrol) dan 29.4 g/kap/hari (kelompok intervensi). Intervensi yang
dilakukan meningkatkan konsumsi sayur buah akan tetapi tidak signifikan.
Sementara itu konsumsi sayur lainnya memiliki pola yang berbeda dengan sayur
buah, dimana konsumsi sayur lainnya mengalami sedikit penurunan (p<0.1).
Banyaknya jenis sayur yang dikonsumsi tidak mengalami perubahan yang
bermakna baik sebelum maupun sesudah intervensi dilaksanakan. Konsumsi sayur
di kedua kelompok masih berada di bawah rata-rata konsumsi sayur penduduk
Indonesia (150.2 g/kap/hari). Kemenkes dalam PHBS nya merekomendasikan 2-3
porsi sayuran sehari atau sekitar 200-300 gram/orang/hari.
Tabel 22 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur rumah tangga
Luas pekarangan yang sangat sempit mengakibatkan produksi sayur dari
pekarangan masih sangat sedikit (produktivitas=600 gram/bulan) sehingga belum
dapat memberikan konstribusi yang nyata terhadap konsumsi sayur rumah tangga.
Hasil korelasi Spearman juga menunjukkan banyaknya jumlah anggota rumah
tangga berkorelasi negatif dengan konsumsi sayur (p<0.05) dan kuantitas sayur
(berat) yang dikonsumsi berkorelasi positif dengan kualitas (jumlah jenis) sayur
yang dikonsumsi (p<0.001 untuk sayur buah, dan p<0.01 untuk sayur lainnya).
Diet tinggi sayur dan buah secara luas dianjurkan untuk meningkatkan
kesehatan tubuh karena kandungan vitamin (terutama vitamin C dan A), mineral
Konsumsi sayur Kontrol Intervensi Total p value
Konsumsi sayur buah (g/kap/hari)
Pre 29.5 (40.3) 29.4 (26.7) 29.5 (34.0)
0.260 Post 30.8 (34.5) 45.4 (46.0) 38.1 (40.9) Selisih 1.3 (50.0) 16.1 (51.8) 8.6 (51.0) p value 0.890 0.100 0.195
Konsumsi sayur lainnya (g/kap/hari)
Pre 29.0 (24.7) 39.6 (35.3) 34.2 (30.5)
Post 27.4 (36.2) 24.3 (26.5) 25.9 (31.6)
Selisih -1.6 (42.1) -15.3 (42.9) -8.3 (42.7) 0.214
p value 0.835 0.061 0.134
Jumlah jenis konsumsi sayur
Pre 3.9 (2.2) 4.3 (2.6) 4.1 (2.4)
0.791 Post 4.0 (3.0) 4.7 (2.9) 4.3 (2.9) Selisih 0.2 (3.3) 0.4 (3.2) 0.3 (3.2) p value 0.736 0.470 0.448
34
(terutama elektrolit), dan fitokimia (terutama antioksidan). Selain itu, sayur dan
buah juga merupakan sumber serat makanan yang baik (Slavin dan Llyod 2012).
Kombinasi fitokimia yang sinergis dalam sayur dan buah merupakan komponen
yang penting dalam pencegahan penyakit kronis. Konsumsi dalam bentuk makanan
sebagai diet lebih disarankan dan lebih baik dibandingkan dengan suplementasi zat
gizi tunggal (Liu 2003).
Rata-rata jumlah jenis konsumsi sayur pada kelompok intervensi sedikit
lebih tinggi yaitu 4.3 jenis dibandingkan dengan kelompok intervensi 3.9 jenis.
Setelah intervensi dilakukan, terdapat peningkatan banyak jenis sayur yang
dikonsumsi kelompok intervensi sebanyak 0.2 poin dan kontrol sebanyak 0.4 poin.
Akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antar kedua kelompok.
Seluruh responden di kedua kelompok mencuci sayuran sebelum dimasak.
Hal ini menunjukkan bahwa responden mengerti akan kebersihan dan keamanan
pangan terutama sayuran. Pengolahan sayuran dilakukan dengan berbagai cara
seperti dibuat sayur (kuah), tumis, kukus dan lalap (mentah). Seluruh responden di
kelompok kontrol dan sebagian besar (93.3%) responden di kelompok intervensi
menghidangkan sayuran untuk rumah tangga dalam bentuk sayur (kuah). Hampir
seluruh (96.7%) responden di kelompok intervensi dan sebagian besar (80.0%)
kelompok kontrol menghidangkan sayuran untuk rumah tangga dalam bentuk
tumis. Sementara itu lebih dari separuh responden kelompok kontrol sering
memasak sayur dalam bentuk tumis dan mentah. Kurang dari separuh responden
kelompok intervensi yang mengukus sayur, dan hanya sedikit responden yang
memakan sayuran dalam bentuk mentah.
Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci dan mengolah sayuran
Kebiasaan makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Ibu mencuci sayuran sebelum dimasak
Ya 30 (100.0) 30 (100.0) 60 (100.0)
Tidak 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Pengolahan sayuran yang sering dimasak untuk rumah tangga
Mentah 16 (53.3) 5 (16.7) 21 (35.0)
Tumis 24 (80.0) 29 (96.7) 53 (88.3)
Kukus 16 (53.3) 12 (40.0) 28 (46.7)
Sayur (kuah) 30 (100.0) 28 (93.3) 58 (96.7)
Pengolahan sayuran yang sering dimasak untuk balita Mentah 5 (16.7) 0 (0.0) 5 (8.3)
Tumis 22 (73.3) 20 (66.7) 42 (70.0)
Kukus 10 (33.3) 6 (20.0) 16 (26.7)
Sayur (kuah) 29 (96.7) 28 (93.3) 57 (95.0)
Pengolahan sayuran untuk balita sedikit berbeda dengan rumah tangga.
Sebagian besar responden di kedua kelompok mengolah sayuran dalam bentuk
kuah, dan lebih dari separuhnya ditumis. Sepertiga (33.3%) responden kelompok
kontrol dan 20.0% kelompok intervensi mengukus sayuran untuk balitanya.
Sebanyak 16.7% responden di kelompok kontrol menyajikan sayuran mentah untuk
35
balitanya, sementara itu tidak ada satupun responden di kelompok intervensi yang
menyajikan sayuran mentah untuk balitanya.
Pengolahan sayuran dapat meningkatkan atau menurunkan kandungan gizi
ataupun non gizi sayuran tersebut. Slavin dan Llyod (2012) menyatakan bahwa
pada umumnya pengolahan pangan meningkatkan kandungan serat terutama ketika
kandungan airnya berkurang. Pemasakan, pembakaran atau perlakuan panas pada
pengolahan pangan akan meningkatkan kandungan serat dengan cara mengeluarkan
air, sehingga serat terkumpul atau terbentuknya reaksi Maillard yang tertangkap
sebagai serat dalam metode gravimetri. Sementara itu, sayur dan buah yang dikupas
dapat menurunkan kandungan seratnya. Anggur yang dimakan dengan kulitnya
memiliki kandungan serat yang lebih banyak dibandingkan dengan anggur tanpa
kulit (1.4 g vs 0.4 g per porsi). Sayuran sering kali dikonsumsi dalam bentuk olahan
(bukan mentah) seperti direbus, ditumis, digoreng atau bentuk pengolahan lainnya.
Jika kentang direbus menjadi pangan yang memiliki densitas gizi yang tinggi, dan
jika digoreng maka akan menyumbang lemak dan natrium dalam diet.
Ketersediaan zat gizi mikro yang terkandung dalam sayuran dapat
dipengaruhi oleh penanganan, penyimpanan dan pengolahan sayuran. Sayuran yang
direbus dapat meningkatkan bioavalibilitas besinya. Bioavalibilitas zat besi kol
meningkat dari 5% menjadi 18% melalui pemasakan dan berkurang
bioavalibilitasnya dari 18% menjadi 12% jika kol tersebut dimasak, setelah
disimpan dalam kulkas selama 3 hari pada suhu 4°C (Tsou et al., 1995 diacu dalam
Ali dan Tsou 1997). Bioavalibilitas zat besi pada tauge juga meningkat 9% menjadi
19.5% jika di masak, setelah tauge tersebut direndam dalam air selama 6 jam
(AVRDC 1995). Provitamin A terdegradasi dengan adanya asam, panas, dan
cahaya, dan bioavalibilitas zat gizi ini pada umumnya lebih baik pada sayuran segar
dibandingkan pada produk olahannya (AVRDC 1987 diacu dalam Ali dan Tsou
1997).
Tabel 24 menunjukkan sayuran yang disukai oleh anggota rumah tangga
responden. Sebanyak 12.7% ayah kelompok kontrol dan 6.9% kelompok intervensi
menyukai semua jenis sayuran. 5 jenis sayuran yang paling disukai ayah di
kelompok kontrol adalah kangkung, sayur asam, sayur sop, bayam, dan buncis.
Sementara itu, di kelompok intervensi sayuran yang disukai ayah adalah kangkung,
sayur asam, bayam, sawi, daun singkong dan sayur sop. Sebanyak 14.5% ibu di
kelompok kontrol dan 21.6% di kelompok intervensi menyukai semua jenis
sayuran. 5 jenis sayuran yang paling banyak disukai ibu kelompok kontrol adalah
kangkung, bayam, sayur asem, kacang panjang, sayur sop, dan daun singkong.
Jenis sayuran yang disukai ibu kelompok intervensi adalah kangkung, sayur asem,
bayam, dan sawi. Lebih dari 30% anak non balita di kedua kelompok menyukai
semua jenis sayuran. Kangkung, sayur sop, bayam, tauge, sawi, dan wortel
merupakan sayuran yang banyak disukai anak non balita di kelompok kontrol.
Sementara itu, kangkung, bayam, sawi, sayur asam, dan wortel merupakan 5 jenis
sayuran yang banyak disukai anak non balita di kelompok intervensi.
Kangkung, bayam, sayur sop (wortel, kentang dan kol) , sayur asam (kacang
panjang, labu siam, melinjo dan kacang merah), sawi, dan daun singkong
merupakan sayuran yang selalu tersedia di warung atau tukang sayur terdekat
dengan hanya yang terjangkau (Rp. 1 000 - 3 000 per ikat/bungkus). Sehingga
dengan paparan yang sering dan kersediaan yang selalu ada dapat menyebabkan
sayuran tersebut lebih disukai oleh responden dan rumah tangganya. Orangtua,
36
terutama ibu merupakan gatekeeper asupan gizi anak. Ibu biasa membeli,
menyiapkan dan menyediakan makanan. Orangtua memiliki peranan yang penting
dalam pembentukan kebiasaan makan dan preferensi anak-anak.
Preferensi merupakan salah satu faktor sosio-psikologis yang menjadi
determinan konsumsi sayur dan buah (Maclellan et al. 2004). Blanchette dan Brug
(2005) menyatakan bahwa determinan utama konsumsi sayur dan buah anak usia 6-
12 tahun adalah ketersediaan, akses dan preferensi rasa. Wild et al. (2013)
menambahkan bahwa paparan intik sayuran yang lebih sering dapat meningkatkan
preferensi sayuran, sehingga anak-anak menjadi lebih menyukai sayur. Selain itu,
adanya berbagai pilihan sayuran untuk dimakan juga meningkatkan intik sayuran
total anak 4-6 tahun (Dominguez et al. 2013).
Tabel 24 Persentase responden berdasarkan sayuran yang disukai
Ruel et al. (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola
konsumsi sayur dan buah adalah pendapatan, harga, ketersediaan, preferensi,
produksi di rumah sendiri, dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga.
Sayuran Ayah Ibu Anak non balita
Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi
Kangkung 23.6 22.4 20.0 19.6 16.7 17.4
Buncis 7.3 1.7 5.5 0.0 0.0 2.2
Kacang
panjang 3.6 0.0 7.3 0.0 0.0 0.0
Sayur sop 10.9 5.2 7.3 2.0 14.3 2.2
Sayur asem 10.9 17.2 9.1 17.6 0.0 8.7
Labu siam 0.0 0.0 3.6 0.0 0.0 0.0
Bayam 9.1 15.5 12.7 17.6 11.9 15.2
Sawi 1.8 8.6 3.6 5.9 4.8 10.9
Wortel 3.6 3.4 1.8 3.9 4.8 4.3
Daun
singkong 3.6 5.2 7.3 2.0 2.4 0.0
Toge 1.8 1.7 1.8 0.0 4.8 2.2
Sayur lodeh 1.8 0.0 1.8 0.0 0.0 0.0
Katuk 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.2
Terong 0.0 3.4 0.0 3.9 0.0 2.2
Paria 1.8 3.4 3.6 3.9 0.0 0.0
Daun
pepaya 1.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Kacang-
kacangan 1.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Kentang 1.8 0.0 0.0 0.0 2.4 0.0
Ketimun 1.8 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0
Suka semua
sayuran 12.7 6.9 14.5 21.6 38.1 30.4
Leunca 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0
Jamur 0.0 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0
Jaat 0.0 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0
Jengkol 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.2
37
Seiring dengan peningkatan pendapatan maka konsumsi sayur dan buah juga
meningkat. Sementara itu dengan adanya kenaikan harga dan rendahnya
ketersediaan akan membatasi konsumsi sayur dan buah. Variasi yang tinggi pada
konsumsi per kapita antar rumah tangga, walaupun dengan pendapatan dan harga
yang konstan, mengindikasikan bahwa preferensi konsumen mempunyai peranan
yang penting. Preferensi sangat universal, tergantung budaya, spesifik per rumah
tangga atau bahkan spesifik per individu. Pola asuh makan merupakan faktor utama
dari pengenalan lingkungan makanan dan mempengaruhi preferensi makanan anak
dan asupan energinya.
Tabel 25 Persentase responden berdasarkan sayuran yang tidak disukai
Tidak ada satupun ayah dan ibu di kelompok kontrol dan intervensi yang
tidak menyukai semua jenis sayuran. Hanya 5.9% anak non balita kelompok
kontrol yang tidak menyukai semua jenis sayuran, dan tidak ada satupun anak non
balita kelompok intervensi yang tidak menyukasi semua jenis sayuran. Sayuran
yang banyak tidak disukai ayah di kelompok kontrol adalah kangkung, bayam,
sawi, sayur asam, dan sayur sop, sementara itu ayah di kelompok intervensi tidak
menyukai terong, paria, buncis, sayur sop, dan sayur asam. Ibu relatif menyukasi
semua jenis sayuran, di kelompok kontrol sayuran yang paling tidak disukai ibu
adalah terong dan di kelompok intervensi adalah sawi. Anak non balita juga lebih
sedikit yang tidak menyukai sayuran dibandingkan dengan para ayah di kedua
Sayuran Ayah Ibu Anak non balita
Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi
Kangkung 10.5 0.0 0.0 0.0 2.9 0.0
Buncis 0.0 5.7 0.0 0.0 0.0 0.0
Kacang
panjang 0.0 0.0 0.0 0.0 2.9 0.0
Sayur sop 5.3 5.7 0.0 0.0 2.9 3.4
Sayur asem 7.9 5.7 0.0 3.4 2.9 0.0
Bayam 10.5 0.0 3.1 0.0 2.9 0.0
Sawi 10.5 5.7 3.1 6.9 5.9 3.4
Wortel 7.9 0.0 0.0 0.0 2.9 0.0
Daun
singkong 2.6 2.9 3.1 0.0 0.0 0.0
Toge 0.0 2.9 0.0 0.0 0.0 0.0
Sayur lodeh 0.0 2.9 0.0 0.0 0.0 0.0
Terong 7.9 17.1 12.5 0.0 5.9 6.9
Paria 0.0 8.6 3.1 0.0 2.9 3.4
Daun pepaya 0.0 0.0 0.0 3.4 0.0 3.4
Kacang-
kacangan 0.0 0.0 0.0 0.0 2.9 0.0
Kentang 2.6 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Ketimun 0.0 2.9 0.0 3.4 0.0 0.0
Kol 2.6 0.0 3.1 0.0 0.0 0.0
Tidak suka
semua
sayuran
0.0 0.0 0.0 0.0 5.9 0.0
38
kelompok. Terong merupakan sayuran yang paling tidak disukai anak non balita
kedua kelompok. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi konsumsi pangan rumah tangga
yang dikumpulkan dengan metode recall 2x24 jam. Recall konsumsi pangan
mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
Selanjutnya konsumsi pangan tersebut dikonversi ke dalam zat gizi dengan
menggunakan DKBM. Agudo (2005) menyatakan bahwa recall menggambarkan
konsumsi pada periode waktu yang pendek yang berdekatan dengan waktu
wawancara. Oleh karena itu, metode recall ini cocok digunakan untuk menilai
perbedaan rata-rata intik sayur dan buah, dengan asumsi sampel populasi yang
representatif dan survei recall 24 jam terdistribusi dengan baik antar musim
maupun antar hari kerja atau hari libur.
Secara umum, sebagian besar rumah tangga di kedua kelompok memiliki
tingkat kecukupan zat gizi per kapita di bawah 77% AKE pada data awal. Setelah
intervensi diberikan, tingkat kecukupan zat gizi di kedua kelompok mengalami
sedikit peningkatan walaupun hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata antar kedua kelompok, kecuali konsumsi dan tingkat
kecukupan kalsium. Responden di kelompok kontrol memiliki rata-rata konsumsi
dan tingkat kecukupan kalsium yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok
intervensi. Hal tersebut dapat terjadi karena pendapatan rumah tangga responden di
kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi, sehingga mampu
membeli pangan sumber kalsium. Kamphuis et al. (2006) menyatakan bahwa
ketersediaan pangan yang beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup di
tingkat rumah tangga dapat dipengaruhi oleh pendapatan.
Tabel 26 menunjukkan median dan IQR konsumsi pangan perkapita.
Sebelum intervensi penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan dilakukan,
median konsumsi energi dan protein kelompok kontrol sebesar 920 kkal dan 21.1 g,
kelompok intervensi 1 259 kkal dan 29 g. Setelah dilakukan intervensi, konsumsi
energi dan protein meningkat di kedua kelompok (peningkatan kelompok
kontrol=409 kkal; 10 g dan kelompok intervensi=154 kkal; 5 g). Meskipun
demikian, hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara konsumsi
energi dan protein pada kedua kelompok tersebut. Peningkatan ini terjadi terutama
pada konsumsi beras. Beras merupakan sumber energi dan protein nabati yang
cukup penting bagi rumah tangga responden, karena sumbangan konsumsi beras
terhadap energi mencapai 56.1% dan terhadap protein sebesar 35.6%.
Data akhir menunjukkan terjadinya peningkatan konsumsi dan tingkat
kecukupan vitamin A pada kedua kelompok. Pada kelompok intervensi, tingkat
kecukupan vitamin A >77% mengalami peningkatan sebanyak 20%. akan tetapi
setelah diuji secara statistik, hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
antar kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Tingkat kecukupan vitamin A dapat menjadi perkiraan konsumsi sayur yang
baik. Agudo (2005) menyatakan bahwa pengukuran komponen makanan melalui
cairan tubuh dan jaringan dapat digunakan sebagai biomarker konsumsi. Biomarker
yang baik untuk intik sayur dan buah adalah pengukuran plasma karotenoid. Pada
umumnya karotenoid yang diukur adalah komponen provitamin A seperti α-
carotene, ß-carotene, ß-cryptoxanthin lycopene, lutein dan zeaxanthin (ACAORN
2010). Pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan cairan tubuh (darah)
ataupun jaringan. Oleh karena itu, pendekatan peningkatan konsumsi sayur dilihat
39
dari peningkatan konsumsi vitamin A. Sayuran memberikan kontribusi sebesar 48%
terhadap total konsumsi vitamin A dan 91% vitamin C pada rumah tangga
responden.
Tabel 26 Median (IQR) konsumsi rumah tangga (per kapita per hari)
Zat gizi Median (IQR) konsumsi
Kontrol Intervensi Total
Energi (kkal)
Pre 920.0 (475.5) 1 259.6 (551.6) 1 059.9 (531.4)
Post 1 255.0 (447.7) 1 270.6 (695.0) 1 270.6 (502.0)
Selisih 409.1 (493.5) 153.5 (742.7) 269.5 (622.0)
p value 0.553
Protein (g)
Pre 21.1 (12.3) 28.9 (19.3) 26.4 (16.4)
Post 32.9 (13.6) 35.9 (13.9) 34.5 (12.7)
Selisih 10.3 (10.6) 4.9 (23.1) 9.1 (14.7)
p value 0.214
Kalsium (mg)
Pre 129.4 (104.9) 190.7 (164.4) 142.2 (155.0)
Post 221.2 (187.5) 180.8 (154.7) 198.7 (160.9)
Selisih 73.9 (177.4) 2.6 (185.2) 49.9 (189.5)
p value 0.031
Fosfor (mg)
Pre 300.9 (267.7) 502.8 (324.6) 376.2 (332.6)
Post 518.7 (169.5) 692.5 (272.8) 588.1 (265.0)
Selisih 195.9 (219.2) 149.7 (306.3) 173.7 (264.5)
p value 0.416
Besi (mg)
Pre 6.2 (3.4) 7.7 (5.3) 6.8 (5.1)
Post 8.5 (5.1) 9.7 (6.2) 9.2 (5.6)
Selisih 2.3 (4.8) 0.7 (9.2) 1.9 (6.7)
p value 0.533
Vitamin A (RE)
Pre 120.4 (187.2) 146.7 (240.4) 130.9 (213.9)
Post 213.6 (274.6) 341.7 (368.3) 251.8 (309.6)
Selisih 66.2 (286.4) 103.9 (325.9) 78.2 (295.2)
p value 0.344
Vitamin B (mg)
Pre 0.5 (0.3) 0.6 (0.9) 0.6 (0.6)
Post 0.9 (0.8) 1.0 (0.9) 0.9 (0.9)
Selisih 0.3 (0.9) 0.4 (1.3) 0.3 (1.1)
p value 0.777
Vitamin C (mg)
Pre 8.8 (13.3) 13.4 (24.3) 10.3 (16.7)
Post 12.3 (16.6) 18.8 (24.6) 13.8 (18.8)
Selisih 3.1 (22.7) 2.5 (20.1) 2.9 (21.8)
p value 0.544
40
Pemberian intervensi berupa pemanfaatan tanaman pekarangan dan
penyuluhan gizi belum mampu meningkatkan konsumsi sayur responden.
Meskipun, pemanfaatan pekarangan dengan budidaya sayuran dapat mengurangi
rata-rata belanja sayuran Rp 9 800 per minggu, akan tetapi sayuran yang diproduksi
masih sedikit dan waktu panen belum berkesinambungan. Sehingga konsumsi
sayuran dari pekarangan belum optimal. Peningkatan pengetahuan mengenai gizi
dan kesehatan responden, juga belum dapat mengubah perilaku konsumsi sayuran
responden dan rumah tangganya.
Tabel 27 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi
(%)
Peningkatan tingkat kecukupan zat gizi di kedua kelompok dapat diakibatkan
oleh adanya variasi konsumsi yang dilakukan oleh responden. Sehingga pada saat
pengambilan data recall hari pertama dan kedua kurang dapat menggambarkan
perkiraan intik yang biasa dimakan, selain itu ACAORN (2010) menyatakan bahwa
persepsi dan konseptualisasi mengenai ukuran porsi makanan, dapat menjadi bias
recall 24 jam. Pada orang dewasa bias recall cenderung underestimate intik sebesar
10% dibandingkan dengan intik yang diamati atau melalui pengamatan.
Tingkat
Kecukupan
Kontrol Intervensi Total
≤ 77 >77 ≤ 77 >77 ≤ 77 >77
Energi
Pre 27 (87.1) 4 (12.9) 20 (66.7) 10 (33.3) 47 (77.0) 14 (23.0)
Post 19 (63.3) 11 (36.7) 18 (62.1) 11 (37.9) 37 (62.7) 22 (37.3)
Protein
Pre 26 (83.9) 5 (16.1) 18 (60.0) 12 (40.0) 44 (72.1) 17 (27.9)
Post 17 (58.6) 12 (41.4) 16 (53.3) 14 (46.7) 33 (55.9) 26 (44.1)
Kalsium
Pre 29 (96.7) 1 (3.3) 29 (96.7) 1 (3.3) 58 (96.7) 2 (3.3)
Post 28 (93.3) 2 (6.7) 28 (93.3) 2 (6.7) 56 (93.3) 4 (6.7)
Fosfor
Pre 21 (67.7) 10 (32.3) 12 (40.0) 18 (60.0) 33 (54.1) 28 (45.9)
Post 9 (30.0) 21 (70.0) 4 (13.3) 26 (86.7) 13 (21.7) 47 (78.3)
Besi
Pre 29 (93.5) 2 (6.5) 24 (80.0) 6 (20.0) 53 (86.9) 8 (13.1)
Post 20 (66.7) 10 (33.3) 19 (65.5) 10 (34.5) 39 (66.1) 20 (33.9)
Vitamin A
Pre 28 (90.3) 3 (9.7) 26 (86.7) 4 (13.3) 54 (88.5) 7 (11.5)
Post 23 (79.3) 6 (20.7) 20 (66.7) 10 (33.3) 43 (72.9) 16 (27.1)
Vitamin B
Pre 25 (80.6) 6 (19.4) 17 (56.7) 13 (43.3) 42 (68.9) 19 (31.1)
Post 11 (37.9 ) 18 (62.1) 10 (33.3) 20 (66.7) 21 (35.6) 38 (64.4)
Vitamin C
Pre 30 (100.0) 0 (0.0) 29 (96.7) 1 (3.3) 59 (98.3) 1 (1.7)
Post 28 (93.3) 2 (6.7) 30 (100.0) 0 (0.0) 58 (96.7) 2 (3.3)
41
Tabel 28 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi rumah tangga (%)
Zat Gizi Median (IQR) tingkat Kecukupan gizi (%)
Kontrol Intervensi Total
Energi
Pre 51.6 (25.2) 69.5 (28.8) 58.6 (28.1)
Post 69.1 (29.8) 72.9 (42.3) 71.2 (32.6)
Selisih -20.8 (27.0) -7.7 (44.2) -11.4 (36.2)
p value 0.621
Protein
Pre 47.0 (33.4) 65.9 (40.2) 55.9 (40.7)
Post 72.2 (34.6) 76.0 (28.7) 74.8 (29.2)
Selisih -21.0 (25.0) -5.3 (47.0) -16.6 (34.1)
p value 0.220
Kalsium
Pre 16.2 (14.5) 27.8 (24.2) 20.8 (22.4)
Post 29.3 (25.1) 26.4 (22.3) 27.0 (24.1)
Selisih -10.3 (23.6) 0.5 (27.8) -6.4 (26.5)
p value 0.035
Fosfor
Pre 49.5 (60.6) 85.3 (55.1) 70.8 (66.1)
Post 90.2 (48.3) 121.8 (51.7) 101.1 (50.7)
Selisih -31.6 (40.9) -21.2 (68.9) -29.4 (55.6)
p value 0.584
Besi
Pre 39.7 (21.7) 54.3 (34.5) 48.0 (33.6)
Post 57.8 (36.7) 65.1 (46.4) 60.8 (41.0)
Selisih -13.0 (32.9) 2.2 (59.6) -11.0 (47.5)
p value 0.582
Vitamin A
Pre 24.1 (35.7) 29.5 (47.3) 26.0 (41.2)
Post 41.2 (54.9) 65.1 (72.5) 48.1 (61.5)
Selisih -12.7 (56.1) -16.1 (64.8) -14.7 (59.0)
p value 0.337
Vitamin B
Pre 52.5 (36.2) 67.4 (96.3) 62.8 (67.9)
Post 91.7 (89.8) 102.5 (102.5) 93.7 (97.4)
Selisih -35.4 (99.0) -37.8 (144.8) -35.4 (117.9)
p value 0.798
Vitamin C
Pre 13.8 (18.0) 21.4 (37.7) 15.1 (27.4)
Post 17.0 (24.8) 29.8 (32.7) 20.5 (25.9)
Selisih -4.3 (32.7) -2.0 (28.5) -3.6 (31.2)
p value 0.451
42
Kebiasaan Makan dan Asupan Zat Gizi Balita
Lebih dari separuh balita di kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki,
sedangkan di kelompok intervensi jumlah balita laki-laki sama banyak dengan
balita perempuan. Sebagian besar balita di kelompok kontrol dan intervensi berada
di rentang usia 12-36 bulan dengan rata-rata 18.5 bulan pada kelompok kontrol dan
19.4 bulan pada kelompok intervensi. Pada usia 12 bulan anak sudah mulai
diperkenalkan pada makanan rumah tangga atau makanan padat, serta makanan
yang bisa dipegang seperti biskuit, cookies, potongan sayuran rebus, buah, dan lain-
lain, sehingga ketika balita sudah berusia 24 bulan dapat memakan makanan rumah
tangga.
Tabel 29 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan usia
Lingkungan rumah yang diciptakan orangtua (yang berhubungan dengan
makanan) membentuk preferensi pangan anak dan pola penerimaan makanan,
selain itu, ketersediaan dan paparan terhadap pangan tertentu akan mempengaruhi
pemilihan dan asupan pangan anak (Scaglioni et al. 2011; Patrick & Nicklas 2005).
Orangtua, terutama ibu, merupakan gatekeepers konsumsi rumah tangga terutama
anak-anaknya. Ibu biasanya membeli, menyediakan, dan menyajikan makanan di
rumah. Oleh karena itu, ibu mempunyai peran yang penting dalam pembentukan
kebiasaan makan anak.
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci tangan
Kebiasaan
mencuci
tangan
Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Ibu selalu mencuci tangan ketika hendak menyuapi anak makan
Ya 30 (100.0) 28 (93.3) 58 (96.7)
Tidak 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (3.3)
Anak mencuci tangan sebelum makan
Ya 28 (93.3) 25 (83.3) 53 (88.3)
Tidak 2 (6.7) 4 (13.3) 6 (10.0)
NA 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Kebiasaan mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas yang berhubungan
dengan makanan merupakan awal dari kebiasaan yang baik. Mencuci tangan
Karakteristik Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 20 (64.5) 15 (50.0) 35 (57.4)
Perempuan 11 (35.5) 15 (50.0) 26 (42.6)
Usia
<12 bulan 9 (29.0) 6 (20.0) 15 (24.6)
12 – 36 bulan 22 (72.0) 23 (76.7) 45 (73.8)
>36 bulan 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.6)
Rata-rata±sd 18.5 ± 9.6 19.4 ± 10.1 18.9 ± 9.8
43
sebelum makan dan menyuapi anak merupakan salah satu pencegahan
berpindahnya kuman dan bakteri dari tangan ke mulut. Hampir semua responden di
kedua kelompok mencuci tangan sebelum menyuapi anaknya, dan sebagian besar
balita ikut mencuci tangannya sebelum makan.
Tabel 31 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang disukai balita
Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui bahwa lauk pauk yang disukai balita
cukup beragam. 4 jenis lauk-pauk yang paling disukai balita di kedua kelompok
adalah tempe, tahu, telur, daging ayam. Ikan asin merupakan lauk yang paling
banyak tidak disukai balita kelompok kontrol dan intervensi. Separuh balita di
kelompok kontrol dan lebih dari sepertiga di kelompok internensi menyukai semua
jenis lauk-pauk. Peningkatan usia balita dan perkembangan gigi geligi dan organ
pencernaan yang semakin sempurna menyebabkan balita mampu memakan semua
jenis makanan seperti orang dewasa. Sehingga balita lebih banyak mencoba dan
mengenal rasa berbagai lauk-pauk dibandingkan 1 tahun sebelum pelaksanaan
program.
Tabel 32 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang tidak disukai balita
Pola asuh makan merupakan faktor utama dari pengenalan lingkungan
makanan dan mempengaruhi preferensi makanan anak dan asupan energinya. Birch
dan Fisher (1998) menyatakan bahwa hanya sedikit pilihan makanan yang
diperkenalkan orangtua, kebanyakan diketahui melalui pengalaman makan dan
Lauk pauk Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Telur 11 (16.7) 12 (18.5) 23 (17.6)
Daging ayam 11 (16.7) 8 (12.3) 19 (14.5)
Tongkol 8 (12.1) 6 (9.2) 14 (10.7)
Tempe 13 (19.7) 13 (20.0) 26 (19.8)
Tahu 12 (18.2) 11 (16.9) 23 (17.6)
Ikan asin/rebon 6 (9.1) 6 (9.2) 12 (9.2)
Ikan mas/segar 4 (6.1) 9 (13.8) 13 (9.9)
Semua suka 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8)
Lauk pauk Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Telur 2 (6.3) 1 (2.8) 3 (4.4)
Daging ayam 1 (3.1) 2 (5.6) 3 (4.4)
Tongkol 2 (6.3) 1 (2.8) 3 (4.4)
Tempe 0 (0.0) 1 (2.8) 1 (1.5)
Tahu 1 (3.1) 4 (11.1) 5 (7.4)
Ikan asin/rebon 8 (25.0) 8 (22.2) 16 (23.5)
Ikan mas/segar 2 (6.3) 2 (5.6) 4 (5.9)
Semua suka 16 (50.0) 14 (38.9) 30 (44.1)
Daging sapi dan
kambing 0 (0.0) 3 (8.3) 3 (4.4)
44
berhubungan dengan kemampuan mengunyah makanan dan lingkungan makan
terutama konteks sosial dan psikologis.
Tabel 33 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan jajan
Kebiasaan jajan merupakan kebiasaan yang sulit dihindari, terutama jika
banyak jenis jajanan tersedia di sekitar rumah. Sebagian besar balita di kedua
kelompok memiliki kebiasaan jajan. Makanan jajanan yang berwarna mencolok
lebih menarik perhatian dan cenderung disukai oleh anak-anak dibandingkan
dengan makanan yang berwarna tidak mencolok. Kebiasaan anak mengonsumsi
makanan berwarna mencolok di kelompok kontrol lebih tinggi 7% dibandingkan
kelompok intervensi. Makanan yang berwarna mencolok umumnya menggunakan
zat pewarna berbahaya seperti pewarna tekstil pada proses pembuatannya sehingga
dapat memberikan efek negatif serta membahayakan tubuh apabila dikonsumsi baik
dalam jangka pendek atau pun jangka panjang.
Tabel 34 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang disukai
Makanan jajanan
kesukaan Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Makanan pedas 1 (3.2) 1 (3.0) 2 (3.1)
Agar-agar 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Biskuit 2 (6.5) 2 (6.1) 4 (6.3)
Bakso 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Chiki 4 (12.9) 2 (6.1) 6 (9.4)
Buras 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Permen 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Makanan manis 0 (0.0) 2 (6.1) 2 (3.1)
Roti 4 (12.9) 2 (6.1) 6 (9.4)
Sosis 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Kerupuk 1 (3.2) 3 (9.1) 4 (6.3)
Wafer 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Sukro 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Minuman 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Suka semua 14 (45.2) 21 (63.6) 35 (54.7)
Chiki, roti dan biskuit merupakan 3 jenis makanan jajanan yang banyak
disukai balita kelompok kontrol dan intervensi. Setelah intervensi dilaksanakan (1
tahun), kebiasaan jajan anak dan konsumsi makanan berwarna mencolok
Kebiasaan makan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Anak balita suka jajan
Ya 29 (96.7) 30 (100.0) 59 (98.3)
Tidak 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7)
Anak sering mengonsumsi makanan dengan warna mencolok
Ya 15 (50.0) 13 (43.3) 28 (46.7)
Tidak 15 (50.0) 17 (56.7) 32 (53.3)
45
mengalami peningkatan, selain itu, jenis makanan jajanan yang disukai anak juga
semakin beragam. Sebanyak 45.2% balita kelompok kontrol dan 63.6% balita
kelompok intervensi menyukai semua jenis makanan jajanan. Mengubah kebiasaan
anak-anak tidaklah mudah dan memerlukan upaya ibu yang lebih optimal,
berkesinambungan dan konsisten untuk mengurangi kebiasaan jajan anak yang
tidak sehat. Patrick dan Nicklas (2005) menyatakan bahwa faktor lingkungan
seperti lingkungan rumah tangga, preferensi anggota rumah tangga, kemampuan
daya beli, ketersediaan dan akses pangan mempengaruhi konsumsi dan asupan zat
gizi. Orangtua memiliki peran langsung dalam membentuk pola makan anak
melalui perilaku, sikap dan pola pemberian makan.
Data awal menunjukkan bahwa biskuit dan permen merupakan makanan
jajanan yang tidak disukai oleh banyak balita di kedua kelompok. Setelah 1 tahun
intervensi dilaksanakan, makanan jajanan yang tidak disukai oleh banyak balita di
kedua kelompok adalah gorengan, chiki dan biskuit. Biskuit merupakan makanan
yang memiliki kandungan gizi yang baik dibandingkan dengan chiki dan gorengan.
Biskuit dapat menjadi alternatif makanan jajanan yang sehat bagi anak.
Tabel 35 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang tidak disukai
Makanan jajanan Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Agar-agar 5 (7.7) 3 (4.3) 8 (6.0)
Gorengan 11 (16.9) 15 (21.7) 26 (19.4)
Baslok 0 (0.0) 3 (4.3) 3 (2.2)
Biskuit 9 (13.8) 14 (20.3) 23 (17.2)
Wafer 2 (3.1) 2 (2.9) 4 (3.0)
Chiki 11 (16.9) 6 (8.7) 17 (12.7)
Kacang sukro 1 (1.5) 1 (1.4) 2 (1.5)
Pilus 2 (3.1) 4 (5.8) 6 (4.5)
Permen 6 (9.2) 4 (5.8) 10 (7.5)
Coklat 4 (6.2) 1 (1.4) 5 (3.7)
Roti 4 (6.2) 5 (7.2) 9 (6.7)
Sosis 4 (6.2) 3 (4.3) 7 (5.2)
Minuman 4 (6.2) 3 (4.3) 7 (5.2)
Kerupuk 1 (1.5) 5 (7.2) 6 (4.5)
Konsumsi sayuran dan buah yang tinggi akan kandungan vitamin, mineral
dan serat, memiliki dampak kesehatan yang baik bagi tubuh. Diet tinggi sayur dan
buah secara luas dianjurkan untuk meningkatkan kesehatan tubuh karena
kandungan vitamin, terutama vitamin C dan A, mineral terutama elektrolit, dan
fitokimia, terutama antioksidan. Selain itu, sayur dan buah juga merupakan sumber
serat makanan yang baik (Slavin dan Llyod 2012). Kebiasaan mengonsumsi sayur
dan buah perlu dibiasakan sejak dini agar anak terbiasa mengonsumsi sayur dan
buah pada saat dewasa.
46
Tabel 36 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah
Sebagian besar balita di kedua kelompok telah dibiasakan mengonsumsi
sayur dan buah sejak dini. Buah yang banyak disukai balita kelompok kontrol
adalah jeruk, pisang, dan rambutan dan yang disukai balita kelompok intervensi
adalah jeruk, dukuh, apel dan rambutan. Buah yang disukai ini tidak banyak
berubah setelah 1 tahun intervensi dilaksanakan.
Tabel 37 Sebaran balita berdasarkan buah yang disukai
Orangtua yang peduli pada kesehatan dan asupan makanan anaknya dapat
mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada di sekitar mereka (Maclellan et
al. 2004). Pengalaman terhadap makanan tertentu pada awal kehidupan merupakan
faktor yang kuat dalam membentuk kebiasaan konsumsi sayur dan buah, partisipasi
dalam aktifitas rumah tangga yang melibatkan sayur dan buah dengan suasana yang
menyenangkan seperti menyiapkan sayur dan buah bersama, ingatan yang baik
mengenai rasa sayur dan buah merupakan beberapa alasan orang menyukai sayur
dan buah pada masa dewasanya (Devine et al. 1998).
Kebiasaan
makan
Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Pre Post Pre Post Pre Post
Anak balita dibiasakan sejak dini mengonsumsi buah
Ya 28 (90.3) 30 (100.0) 24 (80.0) 28 (93.3) 52 (85.2) 58 (96.7)
Tidak 0 (0.0) 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (6.7) 2 (3.3) 2 (3.3)
NA 3 (9.7) 0 (0.0) 4 (13.3) 0 (0.0) 7 (11.5) 0 (0.0)
Anak balita dibiasakan sejak dini mengonsumsi sayuran
Ya 25 (83.3) 28 (93.3) 24 (80.0) 30 (100.0) 49 (81.7) 58 (96.7)
Tidak 0 (0.0) 2 (6.7) 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) 2 (3.3)
NA 5 (16.7) 0 (0.0) 6 (20.0) 0 (0.0) 11 (18.3) 0 (0.0)
Buah Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Jeruk 15 (22.4) 16 (25.4) 31 (23.8)
Apel 6 (9.0) 4 (6.3) 10 (7.7)
Pisang 6 (9.0) 6 (9.5) 12 (9.2)
Rambutan 14 (20.9) 10 (15.9) 24 (18.5)
Salak 1 (1.5) 1 (1.6) 2 (1.5)
Manggis 2 (3.0) 2 (3.2) 4 (3.1)
Semangka 6 (9.0) 3 (4.8) 9 (6.9)
Pepaya 2 (3.0) 2 (3.2) 4 (3.1)
Melon 0 (0.0) 3 (4.8) 3 (2.3)
Alpukat 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8)
Kelengkeng 5 (7.5) 3 (4.8) 8 (6.2)
Mangga 4 (6.0) 2 (3.2) 6 (4.6)
Dukuh 0 (0.0) 9 (14.3) 9 (6.9)
Pir 3 (4.5) 1 (1.6) 4 (3.1)
Jambu biji 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8)
Suka semua 1 (1.5) 1 (1.6) 2 (1.5)
47
Tabel 38 Sebaran balita berdasarkan buah yang tidak disukai
Buah Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Jeruk 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6)
Apel 2 (6.5) 1 (3.2) 3 (4.8)
Pisang 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Rambutan 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6)
Salak 0 (0.0) 2 (6.5) 2 (3.2)
Anggur 1 (3.2) 1 (3.2) 2 (3.2)
Semangka 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Kedongkong 2 (6.5) 0 (0.0) 2 (3.2)
Melon 4 (12.9) 0 (0.0) 4 (6.5)
Alpukat 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6)
Kelengkeng 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Mangga 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Dukuh 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6)
Pir 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6)
Jambu biji 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6)
Suka semua 15 (48.4) 21 (67.7) 36 (58.1)
Durian 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Manggis 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Lainnya 2 (6.5) 1 (3.2) 3 (4.8)
Buah yang tidak disukai oleh balita kelompok kontrol adalah pisang,
rambutan, melon, dukuh, dan manggis. Sementara itu, buah yang tidak disukai
balita di kelompok intervensi adalah rambutan dan durian. Seiring dengan
bertambahnya usia, pengenalan terhadap berbagai macam buah semakin beragam
sehingga 49.4% balita kelompok kontrol dan 67.7% intervensi menyukai semua
jenis buah.
Tabel 39 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur dan jumlah jenis konsumsi
sayur
Konsumsi sayur Kontrol Intervensi Total p value
Berat konsumsi sayur buah
Pre 2.1 (5.3) 1.6 (5.7) 1.8 (5.5)
0.582 Post 10.4 (22.8) 13.5 (27.5) 11.9 (25.1)
Selisih 8.3 (22.9) 11.9 (28.7) 10.1 (25.8)
p value 0.054 0.030 0.003
Berat konsumsi sayur lainnya
Pre 16.9 (21.0) 9.6 (15.9) 13.3 (18.8)
0.020 Post 9.8 (17.4) 16.4 (22.0) 13.1 (19.9)
Selisih -7.1 (19.4) 6.8 (25.8) -0.3 (23.6)
p value 0.049 0.159 0.928
Jumlah jenis konsumsi sayur
Pre 3.7 (2.4) 4.3 (2.6) 4.0 (2.5)
0.731 Post 4.2 (3.1) 4.7 (2.9) 4.5 (3.0)
Selisih 0.7 (2.7) 0.4 (3.2) 0.6 (3.0)
p value 0.167 0.470 0.144
48
Tabel 39. menunjukkan bahwa konsumsi sayur kedua kelompok masih
sanngat rendah atau kurang dari 1 porsi per hari. Rata-rata konsumsi sayur total
balita kelompok kontrol adalah 25.6 g dan kelompok intervensi sebesar 18.7 g.
Konsumsi sayur balita memiliki keragaman data yang cukup besar. Hal ini dapat
dilihat dari standar deviasi yang lebih tinggi dibandingkan nilai rata-ratanya. Data
akhir menunjukkan bahwa konsumsi sayur buah mengalami peningkatan di kedua
kelompok (p<0.05) dibandingkan dengan data awal. Peningkatan kelompok
intervensi sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, akan tetapi tidak
berbeda nyata.
Konsumsi sayur lainnya memiliki pola yang berbeda dengan konsumsi
sayur buah pada balita. Data awal menunjukkan rata-rata konsumsi sayur lainnya
yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi.
Sementara itu, data akhir menunjukkan terjadinya penurunan konsumsi sayur lainya
yang signifikan pada kelompok kontrol dan terjadi sedikit peningkatan yang tidak
signifikan pada kelompok intervensi. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara konsumsi sayur lainnya kelompok komtrol
dengan intervensi (p<0.01).
Rata-rata jumlah jenis sayur yang dikonsumsi balita sebanyak 3.7 jenis
(kontrol) da 4.3 jenis (intervensi). Meskipun terdapat peningkatan jumlah jenis
sayur yang dikonsumsi, namun, tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok
kontrol dan intervensi setelah diberikannya perlakuan penyuluhan dan pemanfaatan
pekarangan. Berdasarkan PUGS, rekomendasi konsumsi sayur untuk balita adalah
sebanyak 1-2 porsi atau 100-200 gram sayuran. Konsumsi balita di kedua kelompok
masih jauh di bawah ketentuan PUGS.
Semakin banyak hambatan maka semakin sedikit orang mengonsumsi sayur
dan buah. Persepsi harga yang tinggi membuat orang berpikir untuk menambahkan
sayur dan buah dalam anggaran pangan. Persepsi yang salah mengenai kecukupan
asupan yang sudah tinggi, preferensi anak, sikap ibu, pengalaman masa kecil
termasuk paparan yang terbatas terhadap sayur dan buah atau memori negatif dapat
mempengaruhi konsumsi sayur dan buah.
Baranowski et al. (2006) menyatakan bahwa pola pembelian pangan
mempengaruhi ketersediaan dan akses sayur dan buah di rumah. Harga buah yang
mahal, penyajian sayuran yang membosankan, sedikitnya kandungan zat gizi
(hilang pada saat pemasakan), kurang disukai rumah tangga, kurang berguna dalam
menurunkan berat badan dan lebih sulit mempersiapkannya merupakan beberapa
alasan yang menjadi penghambat asupan sayur dan buah. Selain itu, Maclellan et
al. (2004) menyatakan bahwa penghambat utama konsumsi sayur dan buah adalah
rendahnya usaha, kurangnya pengetahuan, faktor sosio-psikologis (preferensi,
kebiasaan, mood), faktor lingkungan sosial (pengaruh anggota rumah tangga,
pengalaman masa kecil) dan ketersediaan.
Meningkatkan ketersediaan dan akses pangan merupakan dua cara untuk
meningkatkan konsumsi sayur dan buah rumah tangga. Sebuah review mengenai
sayur dan buah menunjukkan bahwa konsumsi anak-anak, remaja, dan dewasa
berhubungan dengan ketersediaan di rumah dan hubungan tersebut berlaku
sepanjang waktu (Jago et al. 2007).
49
Tabel 40 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang disukai
Bayam dan wortel merupakan sayuran yang banyak digemari balita di
kelompok kontrol, sedangkan bayam, sayur asam, dan sawi adalah 3 jenis sayuran
yang banyak disukai balita kelompok intervensi. Setelah 1 tahun data awal diambil,
sayuran yang disukai balita kelompok kontrol lebih beragam, namun yang paling
banyak disukai tetap bayam dan wortel. Balita di kelompok intervensi mengalami
sedikit perubahan preferensi dibandingkan 1 tahun yang lalu, yaitu lebih menyukai
bayam, kangkung, dan wortel.
Tabel 41 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang tidak disukai
Sayuran Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Bayam 19 (33.3) 27 (40.9) 46 (37.4)
Kangkung 6 (10.5) 12 (18.2) 18 (14.6)
Sayur sop 8 (14.0) 2 (3.0) 10 (8.1)
Wortel 13 (22.8) 7 (10.6) 20 (16.3)
Ketimun 0 (0.0) 2 (3.0) 2 (1.6)
Tauge 3 (5.3) 1 (1.5) 4 (3.3)
Sawi 1 (1.8) 4 (6.1) 5 (4.1)
Labu siam 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4)
Buncis 1 (1.8) 2 (3.0) 3 (2.4)
Jamur tiram 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8)
Daun singkong 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8)
Kentang 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4)
Semua sayuran suka 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4)
Sayur asem 0 (0.0) 2 (3.0) 2 (1.6)
Katuk 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8)
Jagung 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8)
Kacang panjang 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Sayuran Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%)
Buncis 1 (2.6) 2 (6.1) 3 (4.2)
Kangkung 7 (17.9) 1 (3.0) 8 (11.1)
Sayur sop 1 (2.6) 1 (3.0) 2 (2.8)
Wortel 1 (2.6) 0 (0.0) 1 (1.4)
Semua sayuran 1 (2.6) 0 (0.0) 1 (1.4)
Tauge 1 (2.6) 0 (0.0) 1 (1.4)
Sawi 3 (7.7) 3 (9.1) 6 (8.3)
Labu siam 1 (2.6) 0 (0.0) 1 (1.4)
Paria 0 (0.0) 2 (6.1) 2 (2.8)
Kacang panjang 2 (5.1) 0 (0.0) 2 (2.8)
Daun singkong 0 (0.0) 1 (3.0) 1 (1.4)
Kentang 2 (5.1) 0 (0.0) 2 (2.8)
Tidak ada 11 (28.2) 13 (39.4) 24 (33.3)
Sayur asem 3 (7.7) 6 (18.2) 9 (12.5)
Makanan pedas 1 (2.6) 1 (3.0) 2 (2.8)
Belum dicoba berbagai
macam sayuran 1 (2.6) 1 (3.0) 2 (2.8)
Lainnya 3 (7.7) 2 (6.1) 5 (6.9)
Brokoli 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
Bayam 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
50
Bayam merupakan sayuran yang paling tidak disukai balita di kelompok
kontrol dan kangkung adalah sayuran yang paling tidak disukai balita di kelompok
intervensi. Setelah pelaksaan intervensi penyuluhan dan pemanfaatan pekarangan
selesai, sebanyak 28.2% balita kelompok kontrol dan 39.4% balita kelompok
intervensi menyukai semua jenis sayuran. Sayuran yang banyak tidak disukai
setelah intervensi adalah kangkung (kontrol) dan sayur asam (intervensi).
Kepuasaan atau kenikmatan merupakan determinan konsumsi sayur dan buah
seperti rasa, daya cerna dan rasa kenyang. Giskes et al. (2007) menyatakan bahwa
determinan konsumsi sayur dan buah adalah faktor lingkungan seperti ketersediaan
dan akses (akses terhadap toko dan ketersediaan makanan), kondisi sosial
(hubungan interpersonal dan sosial) kondisi budaya (keterlibatan dengan kelompok
masyarakat, budaya makan, sikap kesehatan, pengalaman makanan pada masa
kecil, partisipasi budaya) dan kondisi materi (keuangan, materi dan sosial).
ASI merupakan makanan yang paling ideal untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi. ASI menyediakan semua energi dan zat gizi yang dibutuhkan
pada 6 bulan awal kehidupan bayi, lebih setengah kebutuhan energi bayi pada usia
6-12 bulan, dan sepertiga kebutuhan energi pada usia 12-24 bulan. ASI
meningkatkan perkembangan kognitif dan sensoris bayi, selain itu ASI juga dapat
memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi dan penyakit kronis. Oleh
karena itu, WHO merekomendasikan pemberian ASI ekslusif sampai 6 bulan
pertama kehidupan bayi (WHO 2013).
Tabel 42 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan konsumsi susu
Manfaat ASI telah banyak diketahui oleh masyarakat terutama ibu, akan
tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan seorang ibu tidak dapat memberikan
ASI kepada bayinya karena alasan kesehatan atau alasan pribadi. Hampir sepertiga
bayi di kelompok kontrol dan kurang dari seperempat bayi di kelompok intervensi
mengonsumsi susu formula. Hal ini terjadi karena ASI tidak keluar atau produksi
ASI sedikit sehingga rumah tangga memberikan susu formula sebagai tambahan.
Setelah program penyuluhan dan pemanfaaatan pekarangan dilakukan, kebiasaan
ini tidak banyak berubah, kecuali di kelompok intervensi terdapat peningkatan
pemberian susu formula sebesar 13.3% karena balita sakit, berat badannya turun,
ibu bekerja sehingga anak ditinggal di rumah, dan terdapat 1 balita yang termasuk
dalam gizi kurang sehingga mendapat bantuan susu dari puskesmas.
Hampir semua ibu mampu memproduksi ASI untuk satu bahkan dua bayi.
Jumlah produksi ASI tergantung pada jumlah yang bayi makan, dan akan
meningkat jika bayi menginginkan lebih dari biasanya. Bahkan pada ibu yang
kekurangan makan, mereka masih mampu untuk memproduksi ASI yang cukup
Kebiasaan minum susu Kontrol
n (%)
Intervensi
n (%)
Total
n (%)
Anak ibu diberikan susu formula (saat di bawah usia 1 tahun)
Ya 10 (33.3) 9 (30.0) 19 (31.7)
Tidak 20 (66.7) 21 (70.0) 41 (68.3)
Anak balita masih diberikan susu sapi (bukan SKM)
Ya 3 (10.0) 9 (30.0) 12 (20.0)
Tidak 27 (90.0) 21 (70.0) 48 (80.0)
51
untuk pertumbuhan bayi yang baik. Hanya sedikit saja kasus ibu yang tidak bisa
memproduksi susu karena gangguan hormon atau perkembangan kelenjar payudara
yang kurang baik (WHO 1995).
Bayi tidak mendapatkan ASI yang cukup karena bayi kurang
menghisap/menyedot ASI atau hisapannya tidak efektif. Ketika bayi menghisap
payudara, maka bayi menstimulasi saraf yang ada di puting payudara. Stimulasi ini
menyebabkan pelepasan hormon ke pembuluh darah. Hormon prolaktin
mengaktifkan jaringan yang memproduksi susu, dan hormon oksitosin berperan
dalam mengeluarkan ASI dari payudara atau yang disebut dengan let down reflex
sehingga ASI bisa diminum oleh bayi (ABA 2012).
Anak balita sebaiknya tetap diberikan susu, karena susu merupakan sumber
protein dan mineral khususnya kalsium yang baik untuk anak. Tabel diatas
menunjukkan bahwa konsumsi susu balita di kedua kelompok masih sangat
rendah. Sebagian besar balita sudah tidak mengonsumsi susu. Harga susu yang
mahal menjadi kendala utama dalam pemberian susu pada balita. Oleh karena itu,
banyak ibu memberikan susu kental manis kepada balita karena harganya yang
lebih murah. Susu kental manis sebaiknya tidak dikonsumsi oleh balita karena susu
tersebut mengandung lebih banyak gula dibandingkan susu bubuk atau susu cair.
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak, yang berfungsi sebagai zat tenaga. Kelebihan energi disimpan sebagai
cadangan energi, dalam jangka pendek disimpan sebagai glikogen dan jangka
panjang sebagai lemak. Tabel 43. Menunjukkan median konsumsi energi balita di
kelompok kontrol adalah 671 kkal atau TKE sebesar 81% sedangkan di kelompok
intervensi median konsumsi energi adalah 738 kkal dan telah memenuhi TKE
sebesar 78%. Data akhir menunjukkan adanya peningkatan konsumsi energi di
kedua kelompok sehingga terjadi peningkatan rata-rata TKE sebesar 48% pada
kelompok kontrol dan 28% pada kelompok intervensi. Asupan energi dan TKE
kelompok kontrol lebih baik dibandingkan kelompok intervensi (p<0.05). Hal ini
dapat diakibatkan oleh perbedaan penghasilan rumah tangga kontrol yang lebih
baik dibandingkan dengan penghasilan rumah tangga intervensi, sehingga rumah
tangga kontrol memiliki akses pangan yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok intervensi.
Data akhir konsumsi protein menunjukkan adanya peningkatan konsumsi
rata-rata protein sebesar 16 gram dan TKP 47% pada kelompok kontrol serta
peningkatan 7 gram pada kelompok intervensi dan TKP 3%. Terdapat perbedaan
yang nyata antara konsumsi dan TKP (p<0.01) kelompok kontrol dan intervensi.
Konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium (p<0.01) dan fosfor (p<0.01)
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi juga berbeda nyata. Kelompok
kontrol mengalami peningkatan konsumsi kalsium sebesar 166 mg, fosfor sebesar
326 mg dan peningkatan tingkat kecukupan kalsium sebesar 33%, serta fosfor 56%.
Asupan fosfor kelompok intervensi juga meningkat sebesar 44 mg atau Sementara
itu, asupan kalsium menurun sebanyak 54 mg, dan penurunan tingkat kecukupan
kalsium sebesar 20%. Penurunan konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium dan
fosfor pada kelompok intervensi dapat diakibatkan oleh menurunnya pengeluaran
pangan untuk lauk pauk sebesar 7%. Lauk pauk merupakan pangan hewani sumber
protein, kalsium, fosfor dan besi yang baik untuk tubuh.
52
Tabel 43 Median (IQR) konsumsi balita
Zat Gizi Konsumsi
Kontrol Intervensi Total
Energi (kkal)
Pre 671.5 (481.2) 737.9 (302.5) 705.9 (455.5)
Post 1 398.8 (637.8) 1 114.8 (436.5) 1 187.5 (519.1)
Selisih 727.7 (654.3) 384.3 (653.1) 535.4 (630.2)
p value 0.097
Protein (g)
Pre 14.3 (12.8) 15.9 (10.4) 14.8 (10.8)
Post 33.6 (14.5) 23.5 (9.0) 27.2 (15.0)
Selisih 16.4 (10.5) 6.5 (15.6) 13.8 (17.2)
p value 0.003
Kalsium (mg)
Pre 296.4 (401.6) 223.0 (341.2) 273.3 (341.4)
Post 489.2 (706.7) 167.8 (312.7) 255.3 (572.0)
Selisih 166.1 (625.7) -54.4 (369.6) -15.1 (429.1)
p value 0.004
Fosfor (mg)
Pre 183.8 (271.1) 242.5 (145.1) 223.1 (165.8)
Post 507.9 (336.0) 320.8 (229.8) 374.6 (332.3)
Selisih -326.3 (325.8) 44.6 (197.8) 140.6 (354.7)
p value 0.002
Besi (mg)
Pre 4.2 (5.2) 4.7 (6.0) 4.5 (4.9)
Post 11.2 (11.0) 7.3 (6.5) 9.5 (8.9)
Selisih 6.5 (11.4) 2.6 (8.5) 4.2 (8.4)
p value 0.004
Vitamin A (RE)
Pre 183.3 (271.1) 169.3 (407.8) 183.3 (356.7)
Post 297.6 (314.5) 290.2 (407.0) 294.5 (345.9)
Selisih 95.2 (406.8) -4.1 (446.3) 61.1 (408.5)
p value 0.716
Vitamin B (mg)
Pre 0.8 (0.5) 0.8 (0.6) 0.8 (0.6)
Post 1.1 (1.2) 1.1 (0.7) 1.1 (0.9)
Selisih 0.2 (0.8) 0.2 (0.9) 0.2 (0.8)
p value 0.395
Vitamin C (mg)
Pre 9.1 (27.2) 10.3 (10.6) 10.2 (18.7)
Post 8.9 (20.0) 9.9 (29.0) 9.5 (25.7)
Selisih -2.2 (24.4) -0.4 (35.7) -1.9 (22.7)
p value 0.130
53
Tingkat kecukupan besi lebih dari separuh balita di kedua kelompok pada
data awal masih di bawah 77%. Setelah 1 tahun intervensi, terjadi peningkatan
konsumsi dan tingkat kecukupan besi pada balita di kedua kelompok sehingga
tingkat kecukupan besi balita yang di bawah 77% tinggal sepertiganya. Tingkat
kecukupan besi kelompok kontrol meningkat 67% dan kelompok intervensi 27%.
Uji t test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara konsumsi (p<0.01) dan
tingkat kecukupan besi (p<0.01) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Tabel 44 Sebaran balita berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan zat gizi
Konsumsi vitamin A, dan vitamin B balita secara umum mengalami
peningkatan dikedua kelompok. Akan tetapi setelah di uji beda hasilnya
menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kedua kelompok tersebut.
Trend konsumsi vitamin C mengalami sedikit penurunan pada kedua kelompok.
Pada kelompok kontrol konsumsi vitamin C mengalami penurunan sebesar 2 mg,
dan kelompok intervensi 0.2 mg. Akan tetapi tidak berbeda secara nyata.
Tingkat
Kecukupan
Kontrol Intervensi Total
≤ 77% >77% ≤ 77% >77% ≤ 77% >77%
Energi
Pre 13 (41.9) 18 (58.1) 14 (46.7) 16 (53.3) 27 (44.3) 34 (55.7)
Post 3 (10.0) 27 (90.0) 6 (20.0) 24 (80.0) 9 (15.0) 51 (85.0)
Protein
Pre 18 (58.1) 13 (41.9) 14 (46.7) 16 (53.3) 32 (52.5) 29 (47.5)
Post 4 (13.3) 26 (86.7) 10 (33.3) 20 (66.7) 14 (23.3) 46 (76.7)
Kalsium
Pre 18 (58.1) 13 (41.9) 17 (56.7) 13 (43.3) 35 (57.4) 26 (42.6)
Post 14 (46.7) 16 (53.3) 20 (66.7) 10 (33.3) 34 (56.7) 26 (43.3)
Fosfor
Pre 19 (61.3) 12 (38.7) 15 (50.0) 15 (50.0) 34 (55.7) 27 (44.3)
Post 6 (20.0) 24 (80.0) 13 (43.3) 17 (56.7) 19 (31.7) 41 (68.3)
Besi
Pre 21 (67.7) 10 (32.3) 20 (66.7) 10 (33.3) 41 (67.2) 20 (32.8)
Post 4 (13.3) 26 (86.7) 12 (40.0) 18 (60.0) 16 (26.7) 44 (73.3)
Vitamin A
Pre 22 (71.0) 9 (29.0) 18 (60.0) 12 (40.0) 40 (65.6) 21 (34.4)
Post 16 (53.3) 14 (46.7) 16 (53.3) 14 (46.7) 32 (53.3) 28 (46.7)
Vitamin B
Pre 4 (12.9) 27 (87.1) 3 (10.0) 27 (90.0) 7 (11.5) 54 (88.5)
Post 4 (13.3) 26 (86.7) 2 (6.7) 28 (93.3) 6 (10.0) 54 (90.0)
Vitamin C
Pre 24 (77.4) 7 (22.6) 28 (93.3) 2 (6.7) 52 (85.2) 9 (14.8)
Post 26 (86.7) 4 (13.3) 23 (76.7) 7 (23.3) 49 (81.7) 11 (18.3)
54
Tabel 45 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi balita
Zat Gizi Median (IQR) tingkat Kecukupan gizi (%)
Kontrol Intervensi Total
Energi
Pre 81.0 (57.9) 79.7 (56.3) 80.8 (47.6)
Post 135.6 (61.2) 114.5 (45.3) 121.0 (50.4)
Selisih 47.8 (71.0) 27.7 (75.1) 38.1 (76.7)
p value 0.018
Protein
Pre 73.7 (38.8) 83.5 (70.9) 75.0 (49.4)
Post 131.2 (68.9) 89.6 (49.3) 100.3 (65.6)
Selisih 47.4 (70.9) 3.3 (64.3) 23.7 (76.8)
p value 0.003
Kalsium
Pre 66.8 (59.8) 53.9 (160.1) 63.2 (93.5)
Post 97.8 (139.9) 33.6 (62.0) 52.6 (112.2)
Selisih 33.2 (124.5) -20.0 (153.7) -4.4 (93.3)
p value 0.004
Fosfor
Pre 62.3 (54.3) 76.6 (103.5) 67.5 (67.5)
Post 127.0 (78.1) 81.3 (60.0) 105.6 (82.5)
Selisih 56.2 (94.3) -0.5 (115.2) 16.9 (102.1)
p value 0.002
Besi
Pre 60.5 (55.8) 62.8 (72.9) 60.7 (59.1)
Post 132.3 (139.9) 91.7 (81.5) 111.6 (110.1)
Selisih 67.4 (147.4) 26.5 (107.6) 49.9 (108.1)
p value 0.006
Vitamin A
Pre 45.8 (67.8) 42.3 (101.9) 45.8 (89.2)
Post 71.6 (79.7) 69.1 (101.8) 70.5 (88.4)
Selisih 21.7 (103.1) -3.3 (111.6) 13.4 (100.9)
p value 0.684
Vitamin B
Pre 173.6 (134.9) 192.6 (147.5) 180.5 (139.3)
Post 212.5 (211.1) 191.2 (115.9) 198.7 (159.6)
Selisih 35.4 (99.0) 37.8 (144.8) 35.4 (117.9)
p value 0.798
Vitamin C
Pre 21.0 (56.0) 23.5 (23.8) 22.7 (38.5)
Post 22.2 (47.1) 20.8 (67.8) 20.8 (59.7)
Selisih -3.5 (53.7) -4.3 (72.1) -3.5 (57.6)
p value 0.148
55
Pemberian intervensi penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan tidak
memberikan dampak yang nyata pada konsumsi dan asupan zat gizi kelompok
intervensi. Hal ini dapat disebabkan oleh penghasilan dan pengeluaran pangan
masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu,
Pengetahuan, sikap dan praktek ibu yang baik dan ditambah dengan peningkatan
pemanfaatan tanaman pekarangan tidak cukup memberikan perubahan yang nyata
pada konsumsi dan asupan zat gizi anak karena faktor lingkungan dan sosial yang
tidak berubah juga dapat menghambat perubahan kebiasaan makan ke arah yang
lebih baik. Contento (2008) menyatakan bahwa pemilihan makanan dipengaruhi
oleh 4 faktor, yaitu faktor perilaku predisposisi secara biologis (secara lahirian
manusia lebih menyukasi rasa manis dibandingkan rasa pahit dan hambar, terdapat
mekanisme lapar dan kenyang), faktor yang kedua adalah pengalaman terhadap
makanan (manusia memiiki kapasitas untuk menyukai makanan melalui kondisi
fisiologis dan sosial tertentu). Faktor ketiga adalah faktor pribadi atau personal
seperti keyakinan, pengetahuan, sikap, keterampilan, norma sosial, rumah tangga
dan jaringan sosial lainnya juga ikut mempengaruhi pemilihan makanan. Faktor
yang terakhir adalah faktor lingkungan. Faktor ini memiliki pengaruh yang sangat
kuat dalam pemilihan makanan. Ketersediaan dan akses pangan, sumberdaya
materi, lingkungan sosial, dan budaya dapat memfasilitasi atau menghambat orang
untuk bertndak sesuai dengan kepercayaan, sikap dan pengetahuanya tentang
makanan yang sehat. Keempat faktor ini berinteraksi satu sama lain secara
dinamis.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi
Hasil uji multivariate menunjukkan adanya pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen (p<0.05). Tabel 47. Menunjukkan bahwa luas
pekarangan dan pengeluaran rumah tangga berpengaruh signifikan (p<0.1) terhadap
konsumsi sayur buah. Responden dengan luas pekarangan yang sempit dapat
menghasilkan sayuran buah dengan jumlah yang cukup untuk di konsumsi sendiri.
Sementara itu, responden dengan pekarangan yang lebih luas dapat menghasilkan
sayuran buah yang lebih banyak. Produksi sayur buah dengan rata-rata 34.7
kg/bulan, berkontribusi besar (79%) terhadap hasil panen pekarangan secara
keseluruhan. Hasil panen yang melimpah pada waktu yang sama membuat sayuran
buah tersebut tidak dapat dikonsumsi oleh rumah tangga itu sendiri. Oleh karena
itu, responden menjual dan membagikannya kepada tetangga atau rumah
tangganya.
Tabel 46 Hasil uji manova konsumsi sayur buah dan lainnya rumah tangga
Statistic Value F value Num DF Den DF Pr > F
Wilks’ Lambda 0.68498 2.71 6 78 0.0193
Pillai’s trace 0.34467 2.78 6 80 0.0167
Hotelling-
Lawley Trace
0.41661 2.68 6 50.3 0.0248
Roy’s Greatest
Root
0.21863 2.92 3 40 0.0459
56
Pengeluaran pangan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang
mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga
yang rendah mengakibatkan tingginya konsumsi sayur buah. Hal ini dapat terjadi
karena produksi sayur dari pekarangan meningkatkan ketersediaan dan akses
sayuran rumah tangga. Rumah tangga tidak perlu membeli sayuran, karena sayuran
dapat langsung di konsumsi dari pekarangan sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa semakin tinggi
produksi sayur maka pengeluaran pangan akan semakin rendah (p<0.01). Alokasi
pengeluaran sayuran yang tidak digunakan dapat di alokasikan untuk pembelian
pangan lainnya.
Tabel 47 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur rumah tangga
Luas pekarangan dan pengeluaran rumah tangga hanya dapat menjelaskan
10.6% dari variabel yang mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga.
Sementara itu, interaksi antara jumlah anggota rumah tangga dan usia ibu hanya
dapat menjelaskan 11.6% dari variabel yang mempengaruhi konsumsi sayur
lainnya. Interaksi antara jumlah anggota rumah tangga dan usia ibu mempengaruhi
konsumsi sayur lainnya. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga dan
semakin tua usia ibu maka konsumsi sayur lainnya semakin banyak.
Kepuasaan terutama rasa merupakan faktor penting yang mempengaruhi
konsumsi sayur dan buah. Selain itu, musim, ketersediaan, kebiasaan, kesadaran
mengenai pentingnya konsumsi sayur dan buah untuk kesehatan, pengaruh sosial
(pengaruh anggota rumah tangga), efikasi diri, kemampuan/keahlian dan waktu
untuk menyiapkan dan mengolah sayur dan buah merupakan faktor yang
mempengaruhi konsumsi sayur dan buah orang dewasa (Brug et al. 1995).Variabel
psikososial, preferensi, kebiasaan makan sayuran yang dicontohkan orang tua,
efikasi diri, niat, paparan terhadap sayuran, ketersediaan dan kebiasaan anak dapat
menjelaskan konsumsi sayur anak usia 4-12 tahun sebanyak 33% (Rienaerts et al.
2007).
Statistic Parameter
estimate
Standar error t value Pr > │t│
Sayur buah
Intercept 5.19950 1.59767 3.25 0.0023
Luas pekarangan -0.03903 0.02222 -1.76 0.0866
Pengeluaran RT -0.000004 0.000002 -1.91 0.0632
Adj R-Sq 0.1064
F (p) 2.71 (0.0580)
Sayur lainnya
Intercept 0.96150 1.28053 0.75 0.4571
Jumlah ART*Usia ibu 0.56729 0.19386 2.93 0.0056
Adj R-Sq 0.1161
F (p) 2.88 (0.0476)
57
Hasil uji manova menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara
jumlah anggota rumah tangga, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, luas pekarangan,
efikasi ibu, pengeluaran rumah tangga, produksi sayur pekarangan, dan
pengetahuan gizi ibu terhadap asupan vitamin A dan vitamin C rumah tangga.
Tabel 48 Hasil uji Manova Vitamin A dan C rumah tangga
Hasil uji manova menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara
jumlah anggota rumah tangga, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, luas pekarangan,
efikasi ibu, pengeluaran rumah tangga, produksi sayur pekarangan, dan
pengetahuan gizi ibu, sikap gizi ibu, dan kebiasan mengkonsumsi sayuran sejak
dini terhadap konsumsi sayur buah dan sayur lainnya balita.
Tabel 49 Hasil uji Manova konsumsi sayur buah dan lainnya balita
Hasil uji manova menunjukkan bahwa ada variabel independen yang
berpengaruh signifikan terhadap asupan vitamin A atau vitamin C balita (p<0.05).
Jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, pendidikan ibu yang semakin
tinggi, pengeluaran rumah tangga yang semakin besar, pengetahuan gizi ibu yang
rendah, dan kebiasaan makan sayur sejak dini dapat berpengaruh terhadap asupan
vitamin A dan vitamin C balita.
Tabel 50 Hasil uji Manova Vitamin A dan C balita
Statistic Value F value Num DF Den DF Pr > F
Wilks’ Lambda 0.56140359 1.42 16 68 0.1580
Pillai’s trace 0.49156778 1.43 16 70 0.1554
Hotelling-
Lawley Trace
0.68689451 1.43 16 52.162 0.1652
Roy’s Greatest
Root
0.49707272 2.17 8 35 0.0542
Statistic Value F value Num DF Den DF Pr > F
Wilks’ Lambda 0.7036 0.62 20 64 0.8870
Pillai’s trace 0.3205 0.63 20 66 0.8759
Hotelling-
Lawley Trace
0.3873 0.60 20 50.35 0.8905
Roy’s Greatest
Root
0.2516 0.83 10 33 0.6032
Statistic Value F value Num DF Den DF Pr > F
Wilks’ Lambda 0.3896 1.93 20 64 0.0252
Pillai’s trace 0.7126 1.83 20 66 0.0355
Hotelling-
Lawley Trace
1.3047 2.04 20 50.35 0.0214
Roy’s Greatest
Root
1.0565 3.49 10 33 0.0032
58
Uji anova dilakukan untuk vitamin A dan vitamin C karena hasil uji manova
menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel independen. Hasil uji
anova yang tersaji pada Tabel 51 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
anggota rumah tangga maka asupan vitamin A dan C balita semakin tinggi. Hal ini
diduga karena balita merupakan anggota rumah tangga yang kebutuhan makannya
menjadi prioritas utama. Sumber vitamin A terdiri dari pangan hewani dan pangan
nabati. Sementara itu, sumber vitamin C banyak terdapat pada pangan nabati.
Pangan hewani memiliki bioavalibilitas vitamin A lebih baik, walaupun relatif lebih
mahal dibandingkan pangan nabati. Harga pangan yang mahal dapat
mengakibatkan ketersediaan yang terbatas pada rumah tangga. Ketika jumlah
anggota rumah tangga banyak dan pangan yang tersedia terbatas, maka balita pada
umumnya yang lebih diutamakan untuk mengonsumsi pangan tersebut
dibandingkan anggota rumah tangga lainnya.
Tabel 51 Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan vitamin A dan C balita
Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap asupan vitamin A balita. Hasil
penelitian Marian et al. (1992) menunjukkan bahwa asupan vitamin A balita pada
ibu yang berpendidikan menengah ke atas lebih baik dibandingkan dengan ibu
berpendidikan menengah ke bawah. Hal ini membuktikan pentingnya peningkatan
pendidikan wanita sebagai upaya yang penting dalam meningkatkan gizi balita.
Pengeluaran rumah tangga yang semakin besar dapat meningkatkan asupan
vitamin A dan vitamin C. Ketika satu rumah tangga mengeluarkan uang lebih
banyak untuk membeli pangan terutama pangan hewani dan sayur dan buah sumber
vitamin A dan C maka asupan vitamin A dan C balita akan meningkat.
Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap asupan vitamin A dan vitamin C.
Penelitian yang sudah ada pada umumnya menunjukkan dengan semakin tingginya
pengetahuan gizi maka asupan zat gizi juga semakin baik. Akan tetapi hasil
Statistic Parameter
estimate
Standar error t value Pr > │t│
Asupan Vitamin A
Intercept 2.75132 1.71851 1.60 0.1189
Jumlah ART 0.30100 0.10505 2.87 0.0072
Pendidikan Ibu 0.28094 0.11717 2.40 0.0223
Pengeluaran RT 0.00000235 0.00000134 1.75 0.0886
Pengetahuan Gizi Ibu -0.01509 0.00759 -1.99 0.0553
Kebiasaan makan sayur
sejak dini
-0.00453 0.00115 -3.94 0.0004
Adj R-Sq 0.3368
F (p) 3.18 (0.0058)
Asupan Vitamin C
Intercept 1.09709 1.69521 0.65 0.5220
Jumlah ART 0.32734 0.10363 3.16 0.0034
Pengeluaran RT 0.00000265 0.00000132 2.00 0.0533
Pengetahuan Gizi Ibu -0.01344 0.00749 -1.79 0.0819
Kebiasaan makan sayur
sejak dini
-0.00263 0.00114 -2.32 0.0270
Adj R-Sq 0.2100
F (p) 2.14 (0.0489)
59
penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dimana pengetahuan gizi yang
semakin tinggi mengakibatkan konsumsi vitamin A dan C yang semakin rendah.
Perbedaan persepsi ibu mengenai konsumsi sayur yang cukup juga dapat
menghambat konsumsi sayur sebagai sumber vitamin A dan C sehingga asupan
vitamin A dan C tetap rendah meskipun pengetahuannya sudah meningkat.
Kebiasaan balita mengkonsumsi sayur sejak dini berpengaruh terhadap
asupan vitamin A dan C. Anak balita yang dibiasakan mengonsumsi sayur sejak
dini maka asupan vitamin A dan C nya semakin baik. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Rienaerts et al. (2007) yang menyatakan bahwa kebiasaan
dan paparan anak terhadap konsumsi sayur sejak dini dapat mempengaruhi
konsumsi sayur anak.
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemanfaatan pekarangan di kelompok kontrol dan intervensi belum optimal
dan masih terkendala dengan sempitnya lahan pekarangan. Jenis pemanfaatan
pekarangan yang banyak dilakukan di kedua kelompok adalah menanam buah-
buahan, tanaman hias, sayuran, dan umbi-umbian. Sayuran buah yang dapat di
panen berulang kali memberikan kontribusi besar terhadap produksi pekarangan.
Sebagian besar hasil panen dikonsumsi sendiri, dan sisanya dibagikan ke tetangga
atau saudara. Produktivitas berkorelasi negatif dengan pengeluaran pangan
(p<0.01). Faktor yang mempengaruhi produksi tanaman pekarangan adalah faktor
internal (motivasi, dukungan keluarga, dan alokasi waktu) dan eksternal (luas
lahan, cuaca, pupuk, HPT, dan perawatan).
Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan gizi dalam jangka pendek
(p<0.001), akan tetapi tidak jangka panjang. Konsumsi sayur rumah tangga
kelompok kontrol dan intervensi kurang dari 1 porsi per hari. Tidak ada
peningkatan konsumsi sayur buah dan lainnya yang signifikan pada kedua
kelompok setelah dilakukannya intervensi pemanfaatan pekrangan dan penyuluhan
gizi. Sebagian besar rumah tangga di kedua kelompok memiliki tingkat kecukupan
zat gizi per kapita di bawah 77% AKG pada data awal. Setelah intervensi diberikan,
tingkat kecukupan zat gizi di kedua kelompok mengalami peningkatan akan tetapi
tidak berbeda nyata antara kelompok kontrol dan intervensi, kecuali konsumsi dan
tingkat kecukupan kalsium (p<0.05).
Konsumsi sayur balita di kelompok kontrol dan intervensi kurang dari 1 porsi
per hari. Terdapat peningkatan konsumsi sayur buah yang signifikan (p<0.05)
sesudah dilakukannya intervensi, akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara
kelompok kontrol dan intervensi. Terjadi peningkatan konsumsi sayur lainnya pada
kelompok intervensi akan tetapi tidak signifikan. Sementara itu, pada kelompok
kontrol terjadi penurunan konsumsi sayur lainnya (p<0.1). Keragaman konsumsi
yang tinggi mengakibatkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelompok
kontrol dan intervensi. Lebih dari separuh balita di kedua kelompok memiliki
tingkat kecukupan kalsium, fosfor, besi, vitamin A, dan vitamin C kurang dari 77%
60
dan tingkat kecukupan energi, protein, dan vitamin B lebih dari 77%. Setelah
intervensi pemanfaatan pekarangan dan penyuluhan gizi dilakukan, terdapat
peningkatan konsumsi dan tingkat kecukupan gizi pada semua zat gizi kecuali
kalsium dan vitamin C pada kelompok intervensi. Kelompok kontrol memiliki
tingkat kecukupan energi (p<0.05), protein (p<0.01), kalsium (p<0.01), fosfor
(p<0.01), dan besi (p<0.01) yang lebih baik dibandingkan kelompok intervensi. Hal
ini dapat disebabkan oleh pendapatan rumah tangga di kelompok kontrol yang lebih
tinggi dibandingkan sehingga memiliki akses pangan yang lebih baik dibandingkan
kelompok intervensi.
Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa konsumsi sayur buah rumah tangga
dipengaruhi oleh luas pekarangan (p<0.1) dan pengeluaran rumah tangga (p<0.1).
Sementara itu, konsumsi sayur lainnya dipengaruhi oleh interaksi antara jumlah
anggota keluarga dan usia ibu (p<0.001). Tidak ada variabel yang secara signifikan
mempengaruhi asupan vitamin A dan C rumah tangga dan konsumsi sayur balita.
Asupan vitamin A balita dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga (p<0.001),
pendidikan ibu (p<0.05), pengeluaran rumah tangga (p<0.1), pengetahuan gizi ibu
(p<0.1), dan kebiasaan makan sayur sejak dini (p<0.001). Sementara itu, asupan
vitamin C balita dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga (p<0.001),
pengeluaran rumah tangga (p<0.1), pengetahuan gizi ibu (p<0.1), dan kebiasaan
makan sayur sejak dini (p<0.05).
Saran
Sayuran yang dapat di panen berulang kali dengan perawatan yang mudah,
baik untuk dikembangkan di pekarangan. Penyuluhan gizi yang disertai
peningkatan kemampuan mengolah sayuran perlu dilakukan agar pengetahuan gizi
yang meningkat dapat diterapkan dalam perilaku konsumsi sayuran sehari-hari.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pemanfaatan pekarangan pada lahan
yang lebih luas dan dampak penyuluhan gizi pada jangka panjang dalam
meningkatkan konsumsi sayuran rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
[ABA] Australian Breastfeeding Association. 2012. Low supply [internet].
[diunduh pada 2013, Oktober 19]. Tersedia pada:
https://www.breastfeeding.asn.au/bf-info/common-
concerns%E2%80%93mum/supply
Abuya BA, Ciera J, Kimani-Murage E. 2012. Effect of mother’s education on
child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC Pediatrics 12:80.
DOI:10.1186/1471-2431-12-80
61
[ACAORN] Australasian Child & Adolescent Obesity Research Network. 2010.
http://www.acaorn.org.au/streams/nutrition/assessment-methods/24hr-
recall.php
Adnan N, Muniandy ND. 2012. The relationship between mothers’ educational
level and feeding practices among children in selected kondergartens in
Selangor, Malaysia: a cross-sectional study. Asian Journal of Clinical
Nutrition 4(2): 39-52. DOI: 10.3923/ajcn.2012.39.52
Agudo A. 2005. Measuring intake of fruit and vegetables [Internet]. Background
paper for the joint FAO/WHO Workshop on fruit and vegetables for health,
1-3 September 2004, Kobe, Japan: WHO. [diunduh 2012 Des 16]. Tersedia
pada:https://extranet.who.int/iris/restricted/bitstream/10665/43144/1/9241592
826_eng.pdf
Ali M and Tsou SCS. 1997. Combating micronutrient deficiencies through
vegetables a neglected food frontier in Asia. Food Policy. 22(1): 17-38.
Appel LJ, Moore TJ, Obarzanek E, Vollmer WM, Svetkey LP, Sacks FM, Bray
GA, Vogt TM, Cutler JA, Windhauser MM, Lin P-H, Karanja N, Simons-
Morton D, McCullough M, Swain J, Steele P, Evans MA, Miller ER, Harsha
DW. 1997. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure.
New England Journal of Medicine. 336(16):1117-24.
Arifin HS, Munandar A, Schultin KG, Kaswanto, RL. 2012. The role and impacts
of small-scale, homestead agroforestry systems (“pekarangan”) on household
prosperity: an analysis of agro-ecological zones of Java, Indonesia.
International Journal of Agriscience; 2(10):896-914.
[AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 1995. AVRDC
1994 Progress Report, pp. 239-243, 317-318, Taiwan.
[Balitbangkes] Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (ID). 2008. Riset
Kesehatan Dasar Riskesdas 2007, Departemen Kesehatan RI.Birch LL, Fisher
JO. 1998. Development of eating behaviors among children and adolescents.
Pediatrics. 101(3 Pt 2):539-49.
Bandura A. 1994. Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of
human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press.
Baranowski T, Watson K, Missaghian M, Broadfoot A, Baranowski J, Cullen K,
Nicklas T, Fisher J, O’Donnell S. 2006. Parent outcome expectancies for
purchasing fruit and vegetables: a validation. Public Health nutrition:
10(3):280-291.doi: 10.1017/S1368980007382499.
Beydoun MA, Wang Y. 2007. 'Do nutrition knowledge and beliefs modify the
association of socio-economic factors and diet quality among US adults?.
Preventive Medicine. vol. In Press:1518.
[BKKBN] Badan Koordinasi Rumah tangga Berencana Nasional (ID). 1998.
Gerakan Rumah tangga Berencana dan Rumah tangga Sehat. BKKBN,
Jakarta.
Blanchette L, Brug J. 2005. Determinants of fruit and vegetable consumption
among 6-12-year-old children and effective interventions to increase
consumption. J Hum Nutr Diet. Dec;18(6):431-43.
Bloem MW, Huq N, Gorstein J, Burger S, Khan T, Islam N, Baker S, Davidson F.
Production of fruits and vegetables at the homestead is an important source of
vitamin A among women in rural Bangladesh. European Journal of Clinical
Nutrition. 50 Suppl 3:S62-7.
62
Brug J, Debie S, van Assema P, Weijts W. 1995. Psychosocial determinants of fruit
and vegetable consumption among adults: Results of focus group interviews.
Food Qualily and Preference. 6 \:99-107.
BPS. 2013. Garis Kemiskinan Maret 2012 sumber : BPS (2013) : Berita Resmi
Statistik profil kemiskinan di Indonesia September 2012. No. 06/01/Th. XVI,
2 Januari 2013 http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan13.pdf
[BPS] Badan Pusat Statistik. Rata-rata Konsumsi Kalori (KKal) per Kapita Sehari
Menurut Kelompok Makanan 1999, 2002-2012 [internet]. [diunduh 2013 Feb
21]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=05&n
otab=5
Cabalda AB, Rayco-Solon P, Solon JAA, Solon FS. 2011. Home gardening is
associated with Filipino preschool children’s dietary diversity. J Am Diet
Assoc. 111:711-715.doi: 10.1016/j.jada.2011.02.005.
Campbell AA, Akhter N, Sun K, de Pee S, Kraemer K, Moench-Pfanner R, Rah JH,
Badham J, Bloem MW, Semba RD. 2011. Relationship of homestead food
production with night blindness among children below 5 years of age in
Bangladesh. Public Health Nutrition. 14(9):1627–1631.
doi:10.1017/S1368980011000693.
Contento IR. 2008. Nutrition education: linking research, theory, and practice. Asia
Pac J Clin Nutr. 17(1):176-179.
Dauchet L, Amouyel P, Hercberg S, Dallongeville J. 2006. Fruit and vegetable
consumption and risk of coronary heart disease: a meta-analysis of cohort
studies. The Journal of Nutrition. 136(10): 2588.
Dave JM, Evas AE,Pfeiffer KA, Watkins KW, Saunders RP. 2010. Correlates of
availability and accessibility of fruits and vegetables in homes of low-income
Hispanic families. Health Education Research. 25(1):97-108.
doi:10.1093/her/cyp044
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2011. Strategi nasional penerapan pola konsumsi
makanan dan aktifitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Dominguez PR, Gamiz F, Gil M, Moreno H, Zamora RM, Gallo M, de Brugada I.
2013. Providing choice increases children’s vegetable intake. Food Quality
and Preference. 30: 108–113. http://dx.doi.org/10.1016/
j.foodqual.2013.05.006
Faber M, Venter SL, Benade AJS. 2001. Increased vitamin A intake in children
aged 2-5 years through targeted home-gardens in a rural South African
community. Public Health Nutrition. 5(1):11-16.doi: 10.1079/PHN2001.
Faber M, Phungula MAS, Venter SL, Dhansay MA, Benade AJS. 2002. Home
gardens focusing on the production of yellow and dark-green leafy vegetables
increase the serum retinol concentrations of 2–5-y-old children in South
Africa. Am J Clin Nutr. 76:1048–54.
Gatto, NM., Ventura, EE., Cook, LT., Gyllenhammer, LE., and Davis, JN. 2012.
LA Sprouts: A garden-based nutrition intervention pilot program influences
motivation and preferences for fruits and vegetables in Latino youth. J Acad
Nutr Diet. 112:913-920.doi: 10.1016/j.jand.2012.01.014
63
Gibson EL, Wardle J, Watts CJ. 1998. Fruit and vegetable consumption, nutritional
knowledge and beliefs in mothers and children. Appetite. 31(2):205-28.
Hausner H, Olsen A, Møller P. 2012. Mere exposure and flavour–flavour learning
increase 2–3 year-old children’s acceptance of a novel vegetable. Appetite.
58:1152–1159.
Heidemann C, Hoffmann K, Spranger J, Klipstein-Grobusch K, Mohlig M, Pfeiffer
AF, Boeing H. 2005. A dietary pattern protective against type 2 diabetes in
the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)--
Potsdam Study cohort. Diabetologi. 48(6):1126-34.
[HKI] Helen Keller International. 2010. Homestead food production model
contributes to improved household food security, nutrition and female
empowerment – Experience from scaling-up programs in Asia (Bangladesh,
Cambodia, Nepal and Philippines). Nutrition Bulletin. 8(1):1-8.
Hu FB. 2003., Plant-based foods and prevention of cardiovascular disease: an
overview. Am J Clin Nutr. 78(suppl): 544S-51S.
Hung HC, Joshipura KJ, Jiang R, Hu FB, Hunter D, Stephanie A, Smith-Warner,
Colditz GA, Rosner B, Spiegelman, D, Willett WC. 2004.'Fruit and vegetable
intake and risk of major chronic disease. Journal of the National Cancer
Institute, 96(21): 1577-84. doi: 10.1093/jnci/djh296.
Jago R, Baranowski T, Baranowski JC. 2007. Fruit and vegetable availability: a
micro environmental mediating variable?. Public Health Nutrition. 10(7):
681–689.doi: 10.1017/S1368980007441441.
Johnson RA, Wichern DW. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey (US): Pearson Prentice Hall.
Kamphuis CBM, Giskes K, de Bruijn G-J, Wendel-Vos W, Brug J, van Lenthe FJ.
2006. Environmental determinants of fruit and vegetable consumption among
adults: a systematic review. British Journal of Nutrition. 96(4):620-35. doi:
10.1017/BJN20061896
[Kemenkes] Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL). Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES. 2009. Studi
Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan
Gizi Balita. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor dan Nestle Foundation.
Lechner, L, Brug J, De Vries H. 1997. Misconceptions of fruit and vegetable
consumption: differences between objective and subjective estimation of
intake. JNE. (29): 313-320.
Liu RH. 2003. Health benefits of fruit and vegetables are from additive and
synergistic combinations of phytochemicals. Am J Clin Nutr. 78(3): 517S-20.
Maclellan DL, Gottschall-Pass K, Larsen R. 2004. Fruit and vegetable
consumption: benefits and barriers. Canadian Journal of Dietetic Practice &
Research. 65(3):101-5.
Madanijah S, Triana N. 2007. Hubungan antara status gizi masa lalu anak dan
partisipasi ibu di posyandu dengan kejadian tuberkulosis pada murid taman
kanak-kanak. Jurnal Gizi dan Pangan. 2(1):29-41.
64
Marlett JA, McBurney MI, Slavin JL. 2002. Position of the American Dietetic
Association: health implications of dietary fiber. Journal of the American
Dietetic Association. 102(7):993.
Masset E, Haddad L, Cornelius A, Castro JI. 2012. Effectiveness of agricultural
interventions that aim to improve nutritional status of children: systematic
review. BMJ. 344: d8222. doi: 10.1136/bmj.d8222.
McAleese JD, Rankin LL. 2007. Garden based nutrition education affects fruit and
vegetable consumption in sixth-grade adolescents. J Am Diet Assoc. 107:662-
665. doi: 10.1016/j.jada.2007.01.015.
National Health and Medical Research Council. 1999. Dietary Guidelines for Older
Australians, Commonwealth of Australia, Canberra.
Nὂthlings, U et al.. 2008. Intake of Vegetables, Legumes, and Fruit, and Risk for
All-Cause, Cardiovascular, and Cancer Mortality in a European Diabetic
Population. J. Nutr. 138: 775–781.
Olsen A, Ritz C, Kraaij LW, Moller P. 2012. Children’s liking and intake of
vegetable: a school based intervention study. Food Quality and Preference.
23: 90-98. doi:10.1016/j.foodqual.2011.10.004
Patrick H, Theresa A, Nicklas. 2005. A review of family and social determinants of
children’s eating patterns and diet quality. Journal of the American College of
Nutrition. 24(2):83–92.
Pollard CM. 2008. Determinants of fruit and vegetables consumption among adults
in Perth, Western Australia [disertasi]. Perth (AU): Curtin University of
Technology.
Ratcliffe MM. et al. 2011. The effects of school garden experiences on middle
school-aged students’ knowledge, attitudes, and behaviors associated with
vegetable consumption. Health Promotion Practice. 12(1):36-43.
Reinaerts e, de Nooijer J, Candel M, de Vries N. 2007. Explaining school children’s
fruit and vegetable consumption: The contributions of availability,
accessibility, exposure, parental consumption and habit in addition to
psychosocial factors. Appetite. 48: 248–258
Ruel MT, Minot N, Smith L. 2005. Patterns and Determinants of Fruit and
Vegetable Consumption in Sub-Saharan Africa: A Multicountry Comparison.
WHO.
Scaglioni S, Arrizza C, Vecchi F, Tedeschi S. 2011. Determinants of children’s
eating behavior. Am J Clin Nutr. 94(suppl):2006S–11S.
Shadish WR, Cook TD, Campbell DT. 2002. Experimental and quasi experimental
design for generalized causal inference. New York (US): Houghton Mifflin
Company.
Slavin JL, Lloyd B. 2012. Health benefits of fruits and vegetables. Adv. Nutr.
3:506–516. doi:10.3945/an.112.002154.
Uglem S, Frolich W, Stea TH, Wandel M. 2007. Correlates of vegetable
consumption among young men in the Norwegian National Guard. Appetite.
48(1): 46-53.
Van Duyn MA, Pivonka E. 2000. Overview of the health benefits of fruit and
vegetable consumption for the dietetics professional: Selected literature
[review]. J Am Diet Assoc. 100:1511-1521.
65
Viswanath K & Bond K. 2007. Social determinants and nutrition: reflections on the
role of communication. Journal of Nutrition Education & Behavior. 39(2)
Suppl:S20-4.
Wardle J, Parmenter K, Waller J. 2000. Nutrition knowledge and food intake.
Appetite. 34(3): 269-75.doi: 10.1006/appe.2000.0314.
Watters JL, Satia JA, Galanko JA. 2007. Associations of psychosocial factors with
fruit and vegetable intake among African-Americans. Public Health
Nutrition. 10(7):701-11.
[WHO] World Health Organization. 2013. Exclusive breastfeeding [internet].
[diunduh 2013 Oktober 19]. Tersedia pada:
http://www.who.int/nutrition/topics/exclusive_breastfeeding/en/
[WHO] World Health Organization. 1995. Not enough milk [internet]. [diunduh
2013 Oktober 20]. Tersedia pada:
http://www.who.int/chd/publications/newslet/update/updt-21.htm
Wild VWT, de Graaf C, Jager G. Effectiveness of flavour nutrient learning and
mere exposure as mechanism to increase toddler’s inatek and preference for
green vegetables. Appetite. 64: 89-96.
World Cancer Research Fund/American Institute of Cancer Research. 2007. Food,
Nutrition, Physical Activity, and the Prevention of Cancer: a Global Perspective,
AICR. Washington DC (US).
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Manova konsumsi sayur rumah tangga
data sayur ;
input y1 y2 x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8;
if y1=-1 then y1=.; if y2=-1 then y2=.; if x1=-1 then x1=.; if x2=-1 then x2=.;
if x3=-1 then x3=.; if x4=-1 then x4=.; if x5=-1 then x5=.;
if x6=-1 then x6=.; if x7=-1 then x7=.; if x8=-1 then x8=.;
ly1=log(y1+1);ly2=log(y2+1);lx1=log(x1);lx2=log(x2);lx3=log(x3);
lx4=log(x4+1);lx5=log(x5);lx6=log(x6);lx7=log(x7+1);lx8=log(x8+1);
lx1lx2=lx1*lx2; lx1lx3=lx1*lx3; lx1lx4=lx1*lx4;lx1lx5=lx1*lx5;lx1lx6=lx1*lx6;
lx1lx7=lx1*lx7;lx1lx8=lx1*lx8;
lx2lx1=lx2*lx1; lx2lx2=lx2*lx2; lx2lx3=lx2*lx3; lx2lx4=lx2*lx4;lx2lx5=lx2*lx5;lx2lx6=lx2*lx6;
lx2lx7=lx2*lx7;lx2lx8=lx2*lx8;
lx3lx1=lx3*lx1; lx3lx2=lx3*lx2; lx3lx3=lx3*lx3; lx3lx4=lx3*lx4;lx3lx5=lx3*lx5;lx3lx6=lx3*lx6;
lx3lx7=lx3*lx7;lx3lx8=lx3*lx8;
lx4lx1=lx4*lx1; lx4lx2=lx4*lx2; lx4lx3=lx4*lx3; lx4lx4=lx4*lx4;lx4lx5=lx4*lx5;lx4lx6=lx4*lx6;
lx4lx7=lx4*lx7;lx4lx8=lx4*lx8;
lx5lx1=lx5*lx1; lx5lx2=lx5*lx2; lx5lx3=lx5*lx3; lx5lx4=lx5*lx4;lx5lx5=lx5*lx5;lx5lx6=lx5*lx6;
lx5lx7=lx5*lx7;lx5lx8=lx5*lx8;
lx6lx1=lx6*lx1; lx6lx2=lx6*lx2; lx6lx3=lx6*lx3; lx6lx4=lx6*lx4;lx6lx5=lx6*lx5;lx6lx6=lx6*lx6;
lx6lx7=lx6*lx7;lx6lx8=lx6*lx8;
lx7lx1=lx7*lx1; lx7lx2=lx7*lx2; lx7lx3=lx7*lx3; lx7lx4=lx7*lx4;lx7lx5=lx7*lx5;lx7lx6=lx7*lx6;
lx7lx7=lx7*lx7;lx7lx8=lx7*lx8;
lx8lx1=lx8*lx1; lx8lx2=lx8*lx2; lx8lx3=lx8*lx3; lx8lx4=lx8*lx4;lx8lx5=lx8*lx5;lx8lx6=lx8*lx6;
lx8lx7=lx8*lx7;lx8lx8=lx8*lx8;
cards;
100 125 4 28 1 57.75 7 249150 70
0 0 4 25 6 12.4 11 275500 58
425 200 7 23 6 10.76 13 154381 64
30 102 4 27 4 13.9 12 248666.75 52
0 0 3 20 6 0 13 743666.6667 54
396 112 3 23 6 0 13 409089 76
0 350 3 20 6 0 11 689833.3333 74
0 5 20 9
109 0 25 3 0 10 74
0 126 4 30 4 0 10 243212.5 58
0 150 5 30 6 0 7 367160 66
139 200 3 28 6 0 11 704944.3333 70
0 11 4 29 6 17.74 10 396441.75 74
265 6 3 21 9 24.12 14 398000 72
251 212 6 27 6 0 12 442555.6667 74
37 650 3 20 12 50 11 488333.3333 74
0 0 4 22 6 10 13 358091.75 40
80 0 3 22 12 0 12 331889 84
202 162 3 23 6 0 11 84
207 0 8 22 6 35 9 115270.875 80
123 200 7 23 6 35 11 266988 70
35 200 7 21 6 5 10 178811.8571 70
212 50 7 19 9 0 15 197785.7143 70
46 192 5 20 8 489.2 12 372400 70
156 332 4 27 9 0 13 742041.75 66
35 100 5 29 9 100 9 725866.6 76
386 250 9 21 9 16 11 118627.7778 74
36 0 4 23 6 28.8 9 422000 86
67
486 175 8 31 6 4 11 241327 64
452 25 4 29 6 0 14 604525 64
294 272 5 32 6 0 13 433560 54
332 0 4 25 3 5.1 14 309104.25 36.1 56
150 100 7 30 3 7.16 14 297142.8571 1.15 48
232 237 14 40 6 8.568 13 171214.2857 35.45 86
25 145 5 35 4 0.9 12 335516.6 5.25 70
205 300 5 25 6 0 11 418600 2.45 89.1
0 100 7 20 6 17.8 11 161952.4286 79.75 84
332 3 4 27 3 6 11 360458.25 14.35 75
75 74 4 28 4 10.875 12 383583.25 19 80
150 100 4 25 5 0.93 13 258625 26.15 84
51 37 3 19 6 11.325 13 568111 46.5 84
0 250 3 19 8 44 12 441805.3333 32.5 86
0 56 4 28 3 54 11 448916.5 7.3 62
300 1 3 22 6 5.9778 10 442972 10 84
85 50 3 18 4 7.16 20 351766.6667 2.45 58
287 28 3 18 4 3.8 14 470333.3333 21.05 70
766 145 5 25 4 21.27 8 362200 8.4 70
20 300 3 27 6 13.34 14 401944.3333 24.75 74
216 112 4 33 4 1.67 14 196875 25.85 68
391 49 5 21 4 1.14 13 181916.6 50.35 64
158 320 6 24 3 1.635 13 299055.5 13.7 82
120 0 3 20 6 6.844 10 273777.6667 22.4 86
453 25 3 28 3 25.175 10 474500 13.775 72
335 56 5 27 6 0 11 441733.2 80
80 216 8 45 5 4 13 361708.375 4.75 62.7
57 112 6 30 6 0.412 9 444166.6667 4.2 80
65 200 4 29 6 1.59 9 200875 22.82 80
60 453 5 26 6 1.96 12 450066.6 5 72.5
166 100 3 25 6 1.46 14 246333.3333 4.35 76
418 125 3 20 4 1.65 8 273500 16.8 88
6 37 7 25 6 0.7248 8 191714.2857 17.9 97.5
;
PRoC reg;
model ly1 ly2 = x4 x6 lx2lx1;
mtest x4,x6, lx2lx1;
*mtest ly1-ly2, x4,x6, lx2lx1;
proc reg;
model ly1 ly2 = x4 x6 lx2lx1;
run;
The SAS System 13:47 Thursday, January 13, 2014 21 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly1 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 33.79219 11.26406 2.71 0.0580 Error 40 166.44720 4.16118 Corrected Total 43 200.23939
68
Root MSE 2.03990 R-Square 0.1688 Dependent Mean 4.12662 Adj R-Sq 0.1064 Coeff Var 49.43269 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 5.19950 1.59767 3.25 0.0023 x4 1 -0.03903 0.02222 -1.76 0.0866 x6 1 -0.00000382 0.00000200 -1.91 0.0632 lx2lx1 1 0.12253 0.24187 0.51 0.6152
The SAS System 13:47 Thursday, January 13, 2014 22 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly2 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 23.12059 7.70686 2.88 0.0476 Error 40 106.92569 2.67314 Corrected Total 43 130.04627 Root MSE 1.63497 R-Square 0.1778 Dependent Mean 4.17857 Adj R-Sq 0.1161 Coeff Var 39.12757 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.96150 1.28053 0.75 0.4571 x4 1 0.00691 0.01781 0.39 0.6999 x6 1 0.00000117 0.00000160 0.73 0.4691 lx2lx1 1 0.56729 0.19386 2.93 0.0056
The SAS System 13:47 Thursday, January 13, 2014 23
The REG Procedure Model: MODEL1 Multivariate Test 1 Multivariate Statistics and F Approximations S=2 M=0 N=18.5 Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > F Wilks' Lambda 0.68498021 2.71 6 78 0.0193 Pillai's Trace 0.34466899 2.78 6 80 0.0167 Hotelling-Lawley Trace 0.41661143 2.68 6 50.261 0.0248 Roy's Greatest Root 0.21862618 2.92 3 40 0.0459
69
NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound. NOTE: F Statistic for Wilks' Lambda is exact. The SAS System 13:47 Thursday, January 13, 2014 24 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly1 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 33.79219 11.26406 2.71 0.0580 Error 40 166.44720 4.16118 Corrected Total 43 200.23939 Root MSE 2.03990 R-Square 0.1688 Dependent Mean 4.12662 Adj R-Sq 0.1064 Coeff Var 49.43269 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 5.19950 1.59767 3.25 0.0023 x4 1 -0.03903 0.02222 -1.76 0.0866 x6 1 -0.00000382 0.00000200 -1.91 0.0632 lx2lx1 1 0.12253 0.24187 0.51 0.6152 The SAS System 13:47 Thursday, January 13, 2014 25 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly2 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 23.12059 7.70686 2.88 0.0476 Error 40 106.92569 2.67314 Corrected Total 43 130.04627 Root MSE 1.63497 R-Square 0.1778 Dependent Mean 4.17857 Adj R-Sq 0.1161 Coeff Var 39.12757 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.96150 1.28053 0.75 0.4571 x4 1 0.00691 0.01781 0.39 0.6999 x6 1 0.00000117 0.00000160 0.73 0.4691
lx2lx1 1 0.56729 0.19386 2.93 0.0056
70
Lampiran 2. Hasil Manova asupan vitamin A dan C balita
data sayur ;
input y1 y2 x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10;
if y1=-1 then y1=.; if y2=-1 then y2=.;
if x1=-1 then x1=.; if x2=-1 then x2=.;
if x3=-1 then x3=.; if x4=-1 then x4=.; if x5=-1 then x5=.;
if x6=-1 then x6=.; if x7=-1 then x7=.; if x8=-1 then x8=.;
if x9=-1 then x9=.; if x10=-1 then x10=.;
ly1=log(y1+1);ly2=log(y2+1); ly3=log(y3+1); ly4=log(y4+1); ly5=log(y5+1);
lx1=log(x1);lx2=log(x2);lx3=log(x3);
lx4=log(x4+1);lx5=log(x5);lx6=log(x6);lx7=log(x7+1);lx8=log(x8+1);
lx9=log(x9+1);lx10=log(x10+1);
lx1lx2=lx1*lx2; lx1lx3=lx1*lx3; lx1lx4=lx1*lx4;lx1lx5=lx1*lx5;lx1lx6=lx1*lx6;
lx1lx7=lx1*lx7;lx1lx8=lx1*lx8;lx1lx9=lx1*lx9;lx1lx10=lx1*lx10;
lx2lx1=lx2*lx1; lx2lx2=lx2*lx2; lx2lx3=lx2*lx3; lx2lx4=lx2*lx4;lx2lx5=lx2*lx5;lx2lx6=lx2*lx6;
lx2lx7=lx2*lx7;lx2lx8=lx2*lx8;lx2lx9=lx2*lx9;lx2lx10=lx2*lx10;
lx3lx1=lx3*lx1; lx3lx2=lx3*lx2; lx3lx3=lx3*lx3; lx3lx4=lx3*lx4;lx3lx5=lx3*lx5;lx3lx6=lx3*lx6;
lx3lx7=lx3*lx7;lx3lx8=lx3*lx8;lx3lx9=lx3*lx9;lx3lx10=lx3*lx10;
lx4lx1=lx4*lx1; lx4lx2=lx4*lx2; lx4lx3=lx4*lx3; lx4lx4=lx4*lx4;lx4lx5=lx4*lx5;lx4lx6=lx4*lx6;
lx4lx7=lx4*lx7;lx4lx8=lx4*lx8;lx4lx9=lx4*lx9;lx4lx10=lx4*lx10;
lx5lx1=lx5*lx1; lx5lx2=lx5*lx2; lx5lx3=lx5*lx3; lx5lx4=lx5*lx4;lx5lx5=lx5*lx5;lx5lx6=lx5*lx6;
lx5lx7=lx5*lx7;lx5lx8=lx5*lx8;lx5lx9=lx5*lx9;lx5lx10=lx5*lx10;
lx6lx1=lx6*lx1; lx6lx2=lx6*lx2; lx6lx3=lx6*lx3; lx6lx4=lx6*lx4;lx6lx5=lx6*lx5;lx6lx6=lx6*lx6;
lx6lx7=lx6*lx7;lx6lx8=lx6*lx8;lx6lx9=lx6*lx9;lx6lx10=lx6*lx10;
lx7lx1=lx7*lx1; lx7lx2=lx7*lx2; lx7lx3=lx7*lx3; lx7lx4=lx7*lx4;lx7lx5=lx7*lx5;lx7lx6=lx7*lx6;
lx7lx7=lx7*lx7;lx7lx8=lx7*lx8;lx7lx9=lx7*lx9;lx7lx10=lx7*lx10;
lx8lx1=lx8*lx1; lx8lx2=lx8*lx2; lx8lx3=lx8*lx3; lx8lx4=lx8*lx4;lx8lx5=lx8*lx5;lx8lx6=lx8*lx6;
lx8lx7=lx8*lx7;lx8lx8=lx8*lx8;lx8lx9=lx8*lx9;lx8lx10=lx8*lx10;
lx9lx1=lx9*lx1; lx9lx2=lx9*lx2; lx9lx3=lx9*lx3; lx9lx4=lx9*lx4;lx9lx5=lx9*lx5;lx9lx6=lx9*lx6;
lx9lx7=lx9*lx7;lx9lx8=lx9*lx8;lx9lx9=lx9*lx9;lx9lx10=lx9*lx10;
lx10lx1=lx10*lx1; lx10lx2=lx10*lx2; lx10lx3=lx10*lx3;
lx10lx4=lx10*lx4;lx10lx5=lx10*lx5;lx10lx6=lx10*lx6;
lx10lx7=lx10*lx7;lx10lx8=lx10*lx8;lx10lx9=lx10*lx9;lx10lx10=lx10*lx10;
cards;
69.6 17.1 4 28 1 57.75 7 249150 70 8.5 1
56.0 2.4 4 25 6 12.4 11 275500 58 8.5 1
157.5 2.0 7 23 6 10.76 13 154381 64 4 1
287.8 6.2 4 27 4 13.9 12 248666.75 52 6.5 1
689.8 26.2 3 20 6 0 13 743666.6667 54 6 1
179.0 35.5 3 23 6 0 13 409089 76 8.5 1
484.2 20.2 3 20 6 0 11 689833.3333 74 10 1
5 20 9
149.1 33.3 25 3 0 10 74 9 2
339.1 20.5 4 30 4 0 10 243212.5 58 7 1
226.6 2.7 5 30 6 0 7 367160 66 7 1
686.3 53.8 3 28 6 0 11 704944.3333 70 9.5 1
285.0 1.7 4 29 6 17.74 10 396441.75 74 7 1
110.8 3.4 3 21 9 24.12 14 398000 72 8.5 1
2.1 3.7 6 27 6 0 12 442555.6667 74 6 1
799.8 37.1 3 20 12 50 11 488333.3333 74 9 1
12.8 0.0 4 22 6 10 13 358091.75 40 8 1
507.1 7.7 3 22 12 0 12 331889 84 10 1
465.1 5.0 3 23 6 0 11 84 8 1
139.7 1.8 8 22 6 35 9 115270.875 80 9 1
318.2 10.2 7 23 6 35 11 266988 70 7 1
325.6 17.2 7 21 6 5 10 178811.8571 70 7 1
357.1 14.1 7 19 9 0 15 197785.7143 70 6 1
71
414.6 28.2 5 20 8 489.2 12 372400 70 8 1
950.3 20.0 4 27 9 0 13 742041.75 66 10 1
234.4 7.6 5 29 9 100 9 725866.6 76 10 1
939.5 22.2 9 21 9 16 11 118627.7778 74 6.5 2
217.0 2.2 4 23 6 28.8 9 422000 86 10 1
452.6 47.1 8 31 6 4 11 241327 64 8 1
307.5 7.0 4 29 6 0 14 604525 64 8.5 1
263.2 5.9 5 32 6 0 13 433560 54 8 1
528.5 32.9 4 25 3 5.1 14 309104.2536.1 56 7 1
723.2 48.2 7 30 3 7.16 14 297142.8571 1.15 48 7 1
756.2 42.5 14 40 6 8.568 13 171214.2857 35.45 86 8 1
279.2 12.4 5 35 4 0.9 12 335516.6 5.25 70 5.5 1
492.3 43.3 5 25 6 0 11 418600 2.45 89.1 9 1
273.8 32.9 7 20 6 17.8 11 161952.4286 79.75 84 8.5 1
19.7 8.8 4 27 3 6 11 360458.25 14.35 75 8 1
301.3 30.1 4 28 4 10.875 12 383583.25 19 80 8 1
27.8 1.1 4 25 5 0.93 13 258625 26.15 84 10 1
364.6 2.8 3 19 6 11.325 13 568111 46.5 84 9 1
596.5 37.7 3 19 8 44 12 441805.3333 32.5 86 8.5 1
427.3 28.5 4 28 3 54 11 448916.5 7.3 62 7 1
47.5 1.4 3 22 6 5.9778 10 442972 10 84 9 1
84.8 7.8 3 18 4 7.16 20 351766.6667 2.45 58 9 1
53.4 3.1 3 18 4 3.8 14 470333.3333 21.05 70 8 1
364.7 31.0 5 25 4 21.27 8 362200 8.4 70 7 1
372.1 6.2 3 27 6 13.34 14 401944.3333 24.75 74 10 1
131.4 1.8 4 33 4 1.67 14 196875 25.85 68 9 1
211.8 1.2 5 21 4 1.14 13 181916.6 50.35 64 8.5 1
976.3 23.9 6 24 3 1.635 13 299055.5 13.7 82 8.5 1
28.7 2.8 3 20 6 6.844 10 273777.6667 22.4 86 10 1
160.8 1.7 3 28 3 25.175 10 474500 13.775 72 8.5 1
392.3 25.0 5 27 6 0 11 441733.2 80 9.5 1
42.7 1.1 8 45 5 4 13 361708.375 4.75 62.7 9 1
270.9 4.4 6 30 6 0.412 9 444166.6667 4.2 80 5 1
97.9 0.0 4 29 6 1.59 9 200875 22.82 80 8.5 1
787.8 12.5 5 26 6 1.96 12 450066.6 5 72.5 9 1
361.0 52.6 3 25 6 1.46 14 246333.3333 4.35 76 9 1
97.5 2.7 3 20 4 1.65 8 273500 16.8 88 8.5 1
1103.1 11.0 7 25 6 0.7248 8 191714.2857 17.9 97.5 7.5 1
;
PRoC reg;
model ly1 ly2 = x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10;
mtest x1,x2,x3,x4,x5,x6,x7,x8,x9,x10;
*mtest ly1-ly2, x1, x2, x3, x4, x5, x6, x7, x8, x9, x10;
proc reg;
model ly1 ly2 = x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10;
run; The SAS System 14:44 Thursday, January 13, 2014 40 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly1 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44
72
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 33.75434 3.37543 3.18 0.0058 Error 33 34.98336 1.06010 Corrected Total 43 68.73770 Root MSE 1.02961 R-Square 0.4911 Dependent Mean 5.37054 Adj R-Sq 0.3368 Coeff Var 19.17147 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 2.75132 1.71851 1.60 0.1189 x1 1 0.30100 0.10505 2.87 0.0072 x2 1 0.01331 0.04117 0.32 0.7485 x3 1 0.28094 0.11717 2.40 0.0223 x4 1 0.00868 0.01245 0.70 0.4906 x5 1 -0.00562 0.04695 -0.12 0.9054 x6 1 0.00000235 0.00000134 1.75 0.0886 x7 1 -0.00854 0.01014 -0.84 0.4060 x8 1 -0.01509 0.00759 -1.99 0.0553 x9 1 0.00455 0.01014 0.45 0.6564 x10 1 -0.00453 0.00115 -3.94 0.0004
The SAS System 14:44 Thursday, January 13, 2014 41 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly2 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 22.10748 2.21075 2.14 0.0489 Error 33 34.04124 1.03155 Corrected Total 43 56.14872 Root MSE 1.01565 R-Square 0.3937 Dependent Mean 2.31025 Adj R-Sq 0.2100 Coeff Var 43.96288 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.09709 1.69521 0.65 0.5220 x1 1 0.32734 0.10363 3.16 0.0034 x2 1 -0.01427 0.04061 -0.35 0.7276 x3 1 0.08183 0.11558 0.71 0.4839 x4 1 0.01723 0.01228 1.40 0.1697 x5 1 -0.01502 0.04631 -0.32 0.7478 x6 1 0.00000265 0.00000132 2.00 0.0533
73
x7 1 -0.01197 0.01001 -1.20 0.2402 x8 1 -0.01344 0.00749 -1.79 0.0819 x9 1 -0.00113 0.01000 -0.11 0.9109 x10 1 -0.00263 0.00114 -2.32 0.0270 The SAS System 14:44 Thursday, January 13, 2014 42 The REG Procedure Model: MODEL1 Multivariate Test 1 Multivariate Statistics and F Approximations S=2 M=3.5 N=15 Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > F Wilks' Lambda 0.38955550 1.93 20 64 0.0252 Pillai's Trace 0.71262280 1.83 20 66 0.0355 Hotelling-Lawley Trace 1.30473372 2.04 20 50.35 0.0214 Roy's Greatest Root 1.05645586 3.49 10 33 0.0032 NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound. NOTE: F Statistic for Wilks' Lambda is exact. The SAS System 14:44 Thursday, January 13, 2014 43 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly1 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 33.75434 3.37543 3.18 0.0058 Error 33 34.98336 1.06010 Corrected Total 43 68.73770 Root MSE 1.02961 R-Square 0.4911 Dependent Mean 5.37054 Adj R-Sq 0.3368 Coeff Var 19.17147 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 2.75132 1.71851 1.60 0.1189 x1 1 0.30100 0.10505 2.87 0.0072 x2 1 0.01331 0.04117 0.32 0.7485 x3 1 0.28094 0.11717 2.40 0.0223 x4 1 0.00868 0.01245 0.70 0.4906 x5 1 -0.00562 0.04695 -0.12 0.9054 x6 1 0.00000235 0.00000134 1.75 0.0886 x7 1 -0.00854 0.01014 -0.84 0.4060 x8 1 -0.01509 0.00759 -1.99 0.0553 x9 1 0.00455 0.01014 0.45 0.6564 x10 1 -0.00453 0.00115 -3.94 0.0004
74
The SAS System 14:44 Thursday, January 13, 2014 44 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly2 Number of Observations Read 44 Number of Observations Used 44 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 22.10748 2.21075 2.14 0.0489 Error 33 34.04124 1.03155 Corrected Total 43 56.14872 Root MSE 1.01565 R-Square 0.3937 Dependent Mean 2.31025 Adj R-Sq 0.2100 Coeff Var 43.96288 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.09709 1.69521 0.65 0.5220 x1 1 0.32734 0.10363 3.16 0.0034 x2 1 -0.01427 0.04061 -0.35 0.7276 x3 1 0.08183 0.11558 0.71 0.4839 x4 1 0.01723 0.01228 1.40 0.1697 x5 1 -0.01502 0.04631 -0.32 0.7478 x6 1 0.00000265 0.00000132 2.00 0.0533 x7 1 -0.01197 0.01001 -1.20 0.2402 x8 1 -0.01344 0.00749 -1.79 0.0819 x9 1 -0.00113 0.01000 -0.11 0.9109 x10 1 -0.00263 0.00114 -2.32 0.0270
75
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 5 Mei 1984 sebagai anak ke
empat dari pasangan Nandang Kusoy dan Nurlaela. Pendidikan Sarjana ditempuh di
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2006. Pada Tahun 2011, penulis diterima di
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat pada Program Pascasarjana IPB dan
menamatkannya pada tahun 2014. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui
program beasiswa unggulan. Penulis bekerja sebagai staf administrasi pendidikan
dan asisten mata kuliah di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Faktor Risiko Kegemukan Pada
Wanita Dewasa Indonesia pada Jurnal Gizi dan Pangan Vol 8, No 1, Maret 2013.
Karya ilmiah tersebut juga terpilih untuk disajikan sebagai oral presentation pada
Seminar Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2013. Karya
ilmiah dengan judul Ecological Risk Factors of Overweight Women in Indonesia:
Implications for Nutrition and Wellness Changing Behaviors disajikan dalam
bentuk poster presentation pada IUNS 20th International Congress of Nutrition di
Granada, Spanyol pada tanggal 15-20 September 2013. Satu artikel dengan judul
Nutrition Extension and Home Garden Intervention in Posyandu: Impact on
Nutrition Knowledge, Vegetable Consumption, and Intake of Vitamin A telah
diterima untuk diterbitkan (accepted) di Pakistan Journal of Nutrition pada tahun
2014. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.