PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …
Transcript of PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 DIMETHYLBENZ (α) ANTHRACENE (DMBA) TERHADAP
PEMBENTUKAN TUMOR KULIT MENCIT ALBINO SETELAH PAPARAN
12-O- TETRADECANOYLPHORBOL-13-ACETATE (TPA)
CHAERIL ANWAR
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIKPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12-DIMETHYLBENZ (α) ANTHRACENE(DMBA)TERHADAP
PEMBENTUKAN TUMOR KULIT MENCIT ALBINO SETELAH PAPARAN
12-O-TETRADECANOYLPHORBOL-13-ACETATE(TPA)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Biomedik
Disusun dan Diajukan Oleh
Chaeril Anwar
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Chaeril Anwar
No. Stambuk : P1507208150
Program studi : Biomedik/ PPDS Terpadu (Combined degree)
FK. UNHAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Juli 2013
Yang menyatakan
Chaeril Anwar
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan
karunia-Nya seningga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya ingin
niengucapkan terima kasih tepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga
saya dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya tesis ini.
Kepada Direktur Pasca sarjana Universitas Hasanuddin, Dekan Fakulyas
Kedokteran universitas Hasanuddin dan ketua program Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, terima kasih
atas izin dan f^esempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan dokter Spesialis di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran L niversitas hasanuddin.
Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada dr. Alwi
Mappiasse, Sp.KK, Ph.D, FINSDV selaku ketua bagian IKKK FK UNHAS dan
kepada Dr.dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K), selaku ketua program studi IKKK
FK UNHAS sekaligus sebagai pembimbing I tesis saya, atas segala perhatian dan
bimbingan selama penddikan dan penyusunan tesis ini. Kepada Dr. dr. Anis
Irawan Anwar, Sp.KK(K) selaku ketua IKKK FK UNHAS periode 2008-2011
dan pembimbing II tesis saya, terima kasih atas bimbingan dan arahannya
sehingga saya bisa menjadi bagian dalam keluarga besar IKKK dan dapat
menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas para penguji saya : Prof. Dr. Gemini
Alam, Msi, Apt, dr. Machmud Ghaznawie, Sp.PA(K), Ph.D, Dr. dr. Arifin
Seweng, MPH yang telah berbagi ilmu dan membimbing saya sehingga tesis ini
menjadi lebih baik lagi.
Kepada Dr. dr. Farida tabri, Sp.KK(K), selaku KPS periode 2008-2011
dan Prof. Dr. Muh.Dali Amiruddin, dr. Sp.KK(K), FINSDV, terima kasih atas
kesempatan ilmu yang telah diberikan. Seluruh Staf pengajar bagian IKKK FK.
UNHAS, terima kasih atas segala bimbingan, ilmu dan kesabaran sehingga aya
dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan lancar, semoga ilmu yang telah
diberikan dapat menjadi bekal dalam menghadapi era globalisasi mendatang.
Kepada seluruh teman-teman peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis I IKKK FK UNHAS, khususnya angkatan Mi 2008, dan angkatan
Januari 2008, juga teman-teman saya yang banyak membantu; dr. Martha, dr. A.
Anwar Sp.KK, M.Kes, dr. Zakiani Sakka, Sp.KK, M.Kes, dr, Ninda Sari, Sp.KK,
M.Kes, dr. Astrid, Sp.KK, M.Kes, dr. Arif, dr. Henky, dr. Hermanda, Sp.KK, dr.
Sugiyanto, Sp.KK, M.Kes, dr. Ahmad Haykal, dan sahabat-sahabat yang lain
terima kasih atas segala bantuan, semangat dan pengertiannya selama menjalani
pendidikan semoga silaturahmi tetap terjaga sampai kapanpun. Terima kasih juga
saya sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam
pendidikan saya; seluruh staf admmistrasi(Olcha. Rauf, Aldri, Ebit) dan
paramedis d Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo beserta jejaringnya.
Terima kasih dan sembah sujud kepada ibunda tercinta almarhumah Hj.
Farid: Burhan yang teiah melahirkan dan raembesarkan saya, semoga
almarhumah mendapatkar tempat yang layak disisi Allah SWT, kepada ayah saya
H. Anwar Usman yang telal mendukung secara moril dan material serta doanya.
Kepada mertua yang saya hormati bapak H. Yudin dan Hj, Aisyah terima kasiah
atas dukungan dan doanya. Saya yakir akan sulit bagi saya untuk untuk dapat
membalas semua pengorbanan yang telah diberikan kepada saya kecuali doa saya
agar mereka selalu dilimpahkan kesehatan dar kebahagiaan dunia dan akhirat.
Saudara-saudara ku; Farid Anwar, Emrny Fitriani Anwar Afdal Anwar, Rosihan
Anwar, terima kasih atas dukungannya selama ini. Terima kasih ;uga kepada
Pemda Provinsi Tingkat I Papua yang telah memberikan kesempatan untu!
melanjutkan Program Pendidikan Dokter Spesialis, Kepada istri saya Sukmawati,
SE MM terima kasih atas dukungan, pengertian dan kesabaran sehingga
saya bis; menyelesaikan pendidikan, Terima kasih dan peluk eium buat anak-
anakku, Nikeisha Hanifa Zahra dan M. Syafieq Muttaqin yang menjadi
penyemangat agar saya segera menyelesaikan pendidikan.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah dan karunia-Nya bagi
kita semua.
Makassar, Juli 2013
Chaeril Anwar
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRAK…………………………………………………………… i
ABSTRACT…………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………… v
DAFTAR GAMBAR.................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………. vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 7
E. Hipotesis Penelitian ………………………………………. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………..…..........……………… 8
A. Tumourigenesis Kulit .......................................................... 8
B. Karsinogenesis ................................................................... 10
C. Siklus Sel ............................................................................ 15
D. 7,12-Dimethylbenz (a) Antrasena (DMBA) ......................... 17
E. 12-O-Tetradecanoylphorbol-13-Asetat (TPA) ..................... 19
F. Gambaran Histopatologi Kanker Kulit ................................. 20
G. Kerangka Teori ................................................................... 22
H. Kerangka Konsep ………………………………… ............... 23
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................... 24
A. Desain Penelitian ............................................................... 24
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 25
C. Populasi Penelitian ............................................................ 25
D. Sampel Penelitian .............................................................. 26
E. Perkiraan Besar Sampel .................................................... 26
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................ 27
G. Izin Penelitian ..................................................................... 28
H. Cara Penelitian ................................................................... 28
I. Skema Alur Penelitian ........................................................ 32
J. Identifikasi Variabel ............................................................. 33
K. Definisi Operasional ............................................................ 33
L. Pengolahan dan Analisis Data............................................. 35
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................... 36
A. Hasil Penelitian........................................................... 36
B. Pembahasan............................................................. 48
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................. 54
A. Kesimpulan................................................................. 54
B. Saran.......................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... ............. 56
LAMPIRAN.................................................................................. 57
Lampiran 1. Tabel Induk Sampel Penelitian......................... 57
Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik........................ 59
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Sebaran Inflamasi menurut Kelompok………………………………… 37
2. Sebaran ulkus menurut kelompok..................................................... 38
3. sebaran displasian ringan menurut kelompok................................... 40
4. Sebaran displasia sedang menurut kelompok................................... 41
5. Sebaran dispalsia berat menurut kelompok...................................... 43
6. Sebaran karsinoma sel skuamosa menurut kelompok....................... 45
7. Gambaran Histopatologi Berdasarkan Frekuensi Pemberian DMBA / TPA . 47
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene (DMBA)…………………… 18
2. Kerangka teori…………………………………………………… 22
3. Kerangka konsep………………………………………………… 23
4. Skema alur penelitian……………………………………………. 32
5. Gambaran histopatologi inflamasi……………………………… 38
6. Gambaran histopatologi ulkus…………………………………… 39
7. Gambaran histopatologi displasia ringan …………………… 42
8. Gambaran histopatologi displasia berat………………………… 44
9. Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa…………… 46
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/ singkatan Arti dan keterangan
CAPE Caffeic Acid Phenethyl ester
COX-2 Cyclooxygenase-2
CHK Checkpoint Kinase
Cdk Cyclin dependent kinase
DMBA Dimethylbenz (a) Anthracene
DNA Deoxyribonucleic Acid
dkk dan kawan-kawan
et al. et alii
FK Fakultas Kedokteran
G Guanine
H2O2 Hidrogen Peroksida
HE Hematoksilin Eosin
HMdu 5-hydroxymethyl-2’deoxyuridine
KSS Karsinoma Sel Skuamosa
PAH PoliAromatik Hidrokarbon
PG Prostaglandin
ROS Reactive Oxygen Species
RS Rumah sakit
TPA 12-0- tetradecanoylphorbol-13-acetate
µl mikro liter
µm mikrometer
ºC derajat celcius
% persen
UV Ultra Violet
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumor kulit dibagi mejadi dua golongan besar yaitu tumor kulit jinak
dan tumor kulit ganas atau biasa disebut kanker kulit. Tumor jinak pada
kulit merupakan manifestasi dari kekacauan pertumbuhan kulit yang
bersifat kongenital atau akuisita, tanpa tendensi invasif dan metastasis,
dapat berasal dari vaskuler dan non vaskuler. Tumor kulit jinak tumbuh
secara ekspansif atau mendesak, tetapi tidak merusak struktur jaringan
sekitarnya yang normal, hal ini dikarenakan tumor jinak memiliki kapsul
yang membatasi antara bagian sel-sel tumor yang abnormal dengan
sel-sel normal. Selanjutnya pada tumor kulit ganas (kanker kulit) yang
tidak berkapsul dapat tumbuh infiltratif atau menyusup serta merusak
jaringan disekitarnya (Hafner, et.al, 2007).
Insiden kanker kulit sebanding dengan insiden keganasan pada
organ lainnya dan mewakili permasalahan kesehatan (Meeran et al.,
2009) American Cancer Society memperkirakan insiden kanker kulit
mencapai 1,5 kali dari seluruh keganasan yang terdiagnosis di Amerika
Serikat, yaitu lebih dari satu juta kasus kanker kulit non-melanoma
(800.000-900.000 kasus karsinoma sel basal dan 200.000-300.000 kasus
karsinoma sel skuamosa) dan lebih dari 62.000 kasus melanoma.
(Dulgosz and Yuspa, 2008).
Karsinogen dapat meningkatkan resiko kanker dengan mengubah
metabolisme seluler atau merusak DNA langsung di sel yang
mengganggu proses biologis dan menginduksi pembelahan yang tidak
terkendali, akhirnya mengarah pada pembentukan kanker (Sularsito,
2001)
Karsinogenesis akibat bahan kimia pada kulit tikus telah dipelajari
selama beberapa dekade dan terus berkembang untuk membantu
identifikasi molekul yang penting dan jalur imunologikal yang terlibat
dalam keganasan kulit (Filler, et al., 2007), sehingga kulit terus menjadi
bagian yang penting dalam perkembangan konsep karsinogenesis baik
proses biologi dan molekuler (Mackie and Quinn, 2004). Penelitian
karsinogenesis akibat bahan kimia pada mencit yang dihubungkan
dengan kanker pada manusia, juga diklasifikasikan menjadi inisiasi,
promosi dan karsinogenesis komplit (Dulgosz and Yuspa, 2008).
Genotoksik Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) berkontribusi
pada peningkatan resiko kanker kulit pada manusia dan binatang coba
(Meeran et al., 2009; Nigam and Shukla, 2007). Agen PAH seperti 7,12-
dimethylbenz [α] anthracene (DMBA) sering digunakan untuk mengamati
proses karsinogenesis akibat induksi bahan kimia (Yusuf, et al., 2009).
Aplikasi DMBA di kulit berperan sebagai inisiator yang ditunjukkan oleh
adanya mutasi spesifik pada ongkogen (Mackie and Quinn, 2004),
selanjutnya periode laten formasi tumor setelah aplikasi inisiator
berkurang secara signifikan dengan adanya aplikasi promoter seperti 12-
0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), akibat aplikasi inisiator dan
promoter akan terbentuk suatu tumor jinak (papilloma), namun
kemungkinan formasi papiloma pada strain tikus tergantung jenis
karsinogen, dosis aplikasi dan jangka waktu pengamatan (Mackie and
Quinn, 2004).
DMBA (7,12-dimethylbenz [α] anthracene), adalah Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon yang dipelajari secara luas telah lama dikenal
sebagai penyebab kanker termasuk tumor kulit pada manusia. Telah
ditemukan bahwa DMBA fototoksik pada bakteri serta dalam hewan atau
sel manusia dan fotomutagenik pada galur Salmonella typhimurium.
Iradiasi cahaya mengubah DMBA menjadi beberapa photoproduct
termasuk benz [α] anthracene-7,12-dion, 7-hidroksi-12-keto-7-methylbenz
[a] anthracene, 7,12-epidioxy-7,12-dihidro, 7-hydroxymethyl-12-
methylbenz [α] antrasena dan 12-hydroxymethyl-7-methylbenz [α]
anthracene (Yu, Yan, Jiao, Fu, 2005).
Senyawa 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene atau DMBA banyak
digunakan di laboratorium penelitian yang mempelajari kanker. DMBA
berfungsi sebagai inisiator tumor dengan membuat mutasi yang
diperlukan. Promosi tumor dapat diinduksi dengan perlakuan TPA (12-0-
tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam beberapa model two-stage
karsinogenesis. Hal ini memungkinkan adanya tingkat percepatan
pertumbuhan tumor. Oleh karena itu, kedua jenis senyawa tersebut yaitu
DMBA dan TPA perlu dikaji melalui penelitian ini sehingga diharapkan
dapat mengatasi tumor kulit yang semakin berkembang yang terjadi pada
manusia (Miyata, et al, 2001).
Hasil penelitian yang berhubungan dengan tumor kulit, antara
lain: Aplikasi topikal tunggal dari 7,12-dimethylbenz [α] anthracene
(DMBA) pada mencit MT Null dengan dosis 50 dan 100 µg dan
dilanjutkan satu minggu kemudian dengan TPA dengan dosis 10 µg dua
kali seminggu selama 20 minggu yang menghasilkan hampir semua
mencit berkembang tumor kulit (Suzuki, et al 2003). Pada penelitian lain
digunakan DMBA dosis 1 mg dalam 50 µl aseton dengan interval tiga
hari kemudian dilanjutkan dengan TPA 10 µg diaplikasikan dua kali
seminggu selama 8-32 minggu tumor kulit pada mencit sebesar 34.9%
(Graem, 1986).
Mencit albino yang diteliti di Makassar tidak diketahui strain atau
galurnya sehingga ada kemungkinan perbedaan dosis dan frekuensi
pemberian senyawa DMBA/TPA sebagai inisiator dan promotor
pertumbuhan tumor oleh karena itu diperlukan penelitian untuk
mengetahui dosis dan frekuensi pemberian senyawa 7,12-Dimethylbenz
[α] Anthracene (DMBA) dan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate
(TPA) terhadap pembentukan tumor kulit mencit albino dengan
menggunakan mencit albino yang selama ini digunakan dalam berbagai
penelitian eksperimental di Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah
pokok adalah:
Apakah ada pengaruh frekuensi pemberian senyawa 7,12-
Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) terhadap pembentukan tumor
kulit mencit albino setelah paparan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-
Acetate (TPA)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
adalah sebaai berikut:
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh frekuensi pemberian senyawa 7,12-
Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) 50 µg terhadap gambaran
histopatologi kulit mencit albino setelah paparan 12-0-
Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) 4 µg
2. Tujuan khusus
a. Membandingkan kejadian inflamasi antara mencit albino yang diberi
paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi paparan
DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x , 3 x dan 4 x
b. Membandingkan kejadian ulkus antara mencit albino yang diberi
paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi paparan
DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x dan 4 x.
c. Membandingkan kejadian derajat displasia antara mencit albino yang
diberi paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi
paparan DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x dan 4 x.
d. Membandingkan kejadian karsinoma sel skuamosa antara mencit
albino yang diberi pajanan aseton (kontrol) dengan mencit albino
yang diberi paparan DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x
dan 4 x paparan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Memahami mekanisme paparan senyawa DMBA/TPA yang
menyebabkan karsinogenesis kulit.
2. Mengetahui dosis dan frekuensi DMBA/TPA yang paling optimal yang
menyebabkan karsinogenesis kulit
3. Penelitian ini diharapkan sebagai dasar dalam penentuan dosis dan
frekwensi DMBA/TPA terhadap pembentukan tumor kulit pada mencit.
4. Penelitian ini diharapkan dapat sebagai pembanding untuk penelitian
lebih lanjut
E. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x , dan 4 x paparan
DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian inflamasi pada kulit mencit
albino
2. Ada pengaruh frekuensi 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan DMBA
dosis 50 µg terhadap kejadian ulkus pada kulit mencit albino
3. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan
DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian derajat displasia pada kulit
mencit albino
4. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan
DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian karsinoma sel skuamosa
pada kulit mencit albino
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tumorigenesis Kulit
Tumor merupakan sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk
dari hasil proses pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi.
Dalam bahasa medisnya, tumor dikenal sebagai neoplasia. Neo berarti
baru sedangkan plasia berarti pertumbuhan/pembelahan, jadi neoplasia
mengacu pada pertumbuhan sel yang baru yang berbeda dari
pertumbuhan sel- sel di sekitarnya yang normal. Sel tubuh secara umum
memiliki dua tugas utama yaitu melaksanakan aktivitas fungsionalnya
serta berkembang biak dengan membelah diri, namun pada sel tumor
yang terjadi adalah hampir semua energi sel digunakan untuk aktivitas
berkembang biak semata. Fungsi perkembangbiakan ini diatur oleh inti
sel (nucleus), akibatnya pada sel tumor dijumpai inti sel yang membesar
karena tuntutan kerja yang meningkat (Frenkel, et al, 1993).
Tumor dibagi mejadi dua golongan besar yaitu tumor jinak (benign)
dan tumor ganas (malignant) atau yang popular dengan sebutan kanker.
Terdapat perbedaan sifat yang nyata diantara dua jenis tumor ini dan
memang membedakannya merupakan tuntutan wajib bagi praktisi medis.
Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa tumor ganas lebih
berbahaya dan fatal sesuai dengan kata ganas itu sendiri, dalam tahap
lanjut dapat mengakibatkan kematian. Tumor jinak hanya dapat
menimbulkan kematian secara langsung terkait dengan lokasi tumbuhnya
yang membahayakan misalnya tumor di leher yang dapat menekan
saluran napas. Terdapat beberapa sifat yang membedakan antara tumor
jinak dan ganas (Kimoto et al., 1998).
Kanker memiliki potensi untuk menyerang dan merusak jaringan
yang berdekatan dan menciptakan metastasis. Tumor jinak tidak
menyerang jaringan berdekatan dan tidak menyebarkan benih
(metastasis), tetapi dapat tumbuh secara lokal menjadi besar. Mereka
biasanya tidak muncul kembali setelah pengangkatan melalui operasi
(Teich et al., 1997).
Berdasarkan jaringan awal, tumor dapat dibagi menjadi: 1) Tumor
asal epitelial; 2) Tumor asal mesenkim; 3) Tumor sel darah; dan 4) Tumor
sel germ. Dari keempat jenis tumor tersebut, maka yang menjadi obyek
penelitian adalah tumor kulit atau tumor epitelial, dianggap ganas bila
menembus basal lamina dan dianggap jinak bila tidak menembus basal
lamina.
Tumor kulit disebabkan oleh mutasi dalam sel DNA kulit.
Banyaknya sel yang bermutasi dibutuhkan untuk dapat memunculkan
tumor. Mutasi yang mengaktifkan onkogen atau menekan gen penahan
tumor akhirnya dapat menyebabkan tumor. Sel memiliki mekanisme yang
memperbaiki DNA dan mekanisme lainnya yang menyebabkan sel untuk
menghancurkan dirinya melalui apoptosis bila DNA sudah rusak terlalu
parah. Mutasi yang menahan gen untuk mekanisme ini dapat juga
menyebabkan kanker. Sebuah mutasi dalam satu onkogen atau satu gen
penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan terjadinya tumor.
Sebuah kombinasi dari sejumlah mutasi dibutuhkan (Yantiss, et al, 2008).
B. Karsinogenesis
Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap, baik pada
tingkat fenotipe maupun genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki
beberapa sifat fenotip, misalnya pertumbuhan berlebihan, sifat invasif
lokal, dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara
bertahap, suatu fenomena yang disebut tumour progression. Pada tingkat
molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang
pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan
DNA. Perubahan genetik yang mempermudah tumour progression
melibatkan tidak saja gen pengendali tumor, tetapi juga gen yang
mengendalikan angiogenesis, invasif dan metastasis (Kumar et al., 2007).
Kanker berkembang melalui serangkaian proses yang disebut dengan
karsinogenesis. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa kanker adalah
penyakit yang timbul akibat akumulasi kerusakan-kerusakan tertentu
dalam tubuh manusia.
Karsinogenesis pada dasarnya dibagi menjadi dua tahap utama
yaitu inisiasi dan promosi.
1. Inisiasi Tumor
Karsinogen lingkungan yang mempunyai implikasi pada
perkembangan beberapa tipe kanker adalah PAH. Enzim sitokrom P450
(CYP) mempunyai peranan penting perubahan PAH menjadi karsinogen
yang berpotensi tinggi. Stres fisiologikal melepaskan mediator biokemikal
yang mempengaruhi karsinogenesis. Enzim sitokrom P450 pada hati
berperan pada metabolisme konversi bahan toksik lingkungan, namun
regulasi enzim-enzim ini oleh faktor intrinsik seperti stres fisiologis masih
kurang dipahami (Butel, 2000).
Inisiasi yaitu terjadi pajanan terbatas dengan karsinogen dalam
waktu singkat. Tanpa adanya rangsangan lebih lanjut sel yang telah
terinisiasi ini tidak akan tumbuh menjadi sel tumor, namun perubahan ini
tetap tinggal dalam sel turunannya (progeny) (Sularsito, 2001, Dulgosz
and Yuspa, 2008). Inisiasi tumor oleh karsinogen kimia seperti DMBA
membuat stadium ireversibel yang melibatkan mutasi somatik terutama
pada onkogen Ha-ras (Mun‘im et al, 2006).
Mutasi sel somatik berperan penting pada inisiasi kanker dan
stadium karsinogenesis lainnya. Perubahan ini timbul melalui formasi
mutasi DNA yang telah dianalisis baik in vitro maupun in vivo pada tikus
dan ditentukan bahwa 99% DNA yang diinduksi oleh DMBA didepunasi
oleh satu elektron oksidasi yaitu 12 metil DMBA bereaksi terhadap N-7
dan adenin atau guanin dengan perbandingan 1:4. Formasi DMBA-DNA
mengikat komplek DNA (Nigam and Shukla, 2007), membentuk
carcinogen-DNA adduct yang mempengaruhi pasangan basa normal,
distorsi double helix DNA dan mempengaruhi replikasi DNA (Sularsito,
2001, Dulgosz and Yuspa, 2006). Jadi inisiator menyebabkan mutasi gen
(Sularsito, 2001). Hasil akhir tumor dapat berupa perkembangan ke
bentuk papiloma benigna atau berkembang menjadi karsinoma sel
skuamosa dan dapat juga timbul tanpa adanya lesi prekusor. Senyawa
7,12-dimethylbenz [α] anthracene (DMBA) adalah PAH yang sangat
karsinogenesis, yang berperan pada inisiasi tumor, meliputi jaringan
mamae, ovarium dan kulit pada tikus (Flint, et al., 2007).
2. Promosi Tumor
Tumor pada kulit dapat diinduksi secara efetif pada tikus dengan
aplikasi berulang zat karsinogen (Roomi et al., 2008). Agen yang
membuat ekspansi klonal dari sel yang terinisiasi disebut sebagai
promotor tumor. Promosi tumor adalah proses non-mutagenik, bersifat
pleimorfik yang membuat pertumbuhan aselektif menjadi sel yang
terinisiasi dan reversibel pada stadium awal. Agen promotor yang
memfasilitasi progresi malignansi pada umumnya bersifat genotoksik
(Dulgosz and Yuspa, 2008, Kumar et al., 2007). Mekanisme promosi
tumor meliputi aktivasi reseptor permukaan sel, aktivasi atau inhibisi
enzim sitosolik dan faktor transkripsi nuklear, stimulasi proliferasi, inhibisi
sel apoptosis dan sitotoksik secara langsung (Dulgosz and Yuspa, 2008).
Beda halnya dengan fase inisiasi fase promosi bersifat reversibel dan
membutuhkan aplikasi berulang untuk mencetuskan tumor kulit (Roomi et
al., 2008).
Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), suatu ester
turbol adalah suatu aktivator kuat Protein Kinase C (PKC), suatu enzim
yang merupakan komponen penting pada jalur transduksi sinyal,
termasuk jalur yang diaktifkan oleh faktor pertumbuhan. Klonal sel yang
terinisiasi, karena dipaksa berproliferasi, mengalami mutasi tambahan
yang akhirnya berkembang menjadi sel yang ganas (Kumar et al, 2007).
Promotor tumor kulit pada pemakaian topikal akan menimbulkan
iritasi, inflamasi dan hiperplasai. Promotor mengubah lingkungan jaringan
sedemikian rupa sehingga sel yang telah terinisiasi tumbuh dengan cepat
(Sularsito, 2001)
Satu kali terjadi proses mutasi DNA sebenarnya belumlah cukup
untuk menimbulkan kanker. Masih dibutuhkan ribuan mutasi lagi yang
letaknya pada gen tidak sama. Apabila mutasi DNA yang banyak itu telah
terjadi, mulailah sel berubah sifat perlahan-lahan. Sel yang termutasi
tersebut mulai membelah diri (proliferasi) dan membentuk grup tertentu
(klonal) di lokasi tertentu dalam tubuh. Sel tersebut akan membesar dan
merusak jaringan sehat. Tahap dimana sel kanker membentuk klonal
inilah yang dinamakan tahap promosi kanker. (Sularsito, 2001)
DNA merupakan target utama karsinogenesis genotoksik. Interaksi
DNA tidak random dan setiap kelas agen bereaksi secara selektif dengan
target pada purin dan pirimidin. Karsinogen genotoksik adalah mutagen
poten, seringkali menyebabkan kegagalan pasangan, delesi kecil,
sehingga terjadi mutasi missense atau nonsense. Mutasi yang terjadi
pada semua kasus tumor memperlihatkan kombinasi efek perubahan
mutagenik dan produk protein dan efek perubahan fungsional dari host.
Penggunaan kimia menginduksi tumor pada tikus secara genetik dengan
cara delesi alei H-ras. (Dulgosz and Yuspa, 2008).
Penelitian karsinogenesis akibat bahan kimia pada kulit mencit
telah menunjukkan stadium perubahan epitelial pada keganasan yang
terdiri dan inisiasi, promosi dan progresi malignansi. Berdasarkan hal
tersebut, bahan kimia terkait kanker pada manusia diklasifikasikan
menjadi inisiator tumor, promotor tumor atau karsinogen komplit.
Diketahui dari 200 bahan kimia berperan dalam perkembangan kanker
pada manusia. Karsinogen kimia yang paling sering dikaitkan sebagai
penginduksi kanker kulit manusia meliputi PAH dan arsenik (Dulgosz and
Yuspa, 2008). Bahan-bahan tersebut merusak susunan DNA normal dan
mematikan mekanisme perbaikan DNA. Sebenarnya DNA bukanlah
substansi yang lemah, tetapi dilengkapi dengan mekanisme-mekanisme
tertentu yang mampu menetralisasi gangguan-gangguan yang terjadi
sehingga tidak membawa efek negatif. Mekanisme yang dimiliki DNA
tersebut adalah mekanisme DNA repair (perbaikan DNA) yang terjadi
pada fase tertentu dalam siklus sel (Dulgosz and Yuspa, 2008).
Karsinogenesis kulit pada model mencit memerlukan suatu agen
mutagenik diikuti oleh aplikasi berulang suatu agen yang menginduksi
ekspansi klonal (promosi) dan sel-sel yang telah mengalami mutasi untuk
membentuk suatu tumor (Ridd et al, 2006). Namun, insiden terjadinya
tumor kulit berbeda tergantung dan strain tikus yang telah diberi satu kali
paparan DMBA dosis tertentu kemudian diikuti paparan berulang TPA
dosis rendah maka persentase timbulnya papilloma 100% dan 53% pada
tikus strain SENCAR dan CD 1 (sensitif TPA), 25% pada tikus FVB/N dan
17% pada tikus BAIB/c. Sedangkan aplikasi berulang dengan DMBA
dosis rendah atau DMBA dosis tinggi ditambah peningkatan dosis TPA,
akan memperbesar kemungkinan suatu papilloma menjadi karsinoma
(Gibbs, 2000).
Berbagai karsinogen juga menyebabkan terbentuknya Reactive
Oxygen Species (ROS) selama proses metabolismenya. Kerusakan
oksidatif terhadap DNA seluler mengakibatkan mutasi dan sangat
berpengaruh dalam inisiasi dan progresi tahapan karsinogenesis. ROS
mempengaruhi proses seluler seperti proliferasi dan apoptosis yang
sangat berpengaruh pada perkembangan kanker (Salvadori, et al., 2006).
C. Siklus Sel
Pembelahan sel yang menjadi tahap awal suatu proses proliferasi
memiliki sistem kontrol yang disebut sebagai siklus sel. Proses ini terdiri
dari fase M (mitosis) diikuti oleh fase G1 (pasca-mitosis), fase S (sintesis
DNA) dan fase G2 (pertumbuhan premitotik). Beberapa sel berada dalam
fase GO (istirahat) tetapi sel tersebut akan memasuki kembali siklus sel
dan berproliferasi lanjut (Mitchell and Cotran, 2007).
Fase S memerlukan waktu sekitar 10 – 12 jam dan jumlah
kromosom menjadi dua kali lebih banyak. Sel yang berhenti (istirahat)
pada fase siklus sel tertentu disebut sebagai cell cycle check points.
Sebelum memasuki fase S maka Cyclin dependent kinase (Cdk) harus
berkaitan dengan siklin fase S. Apabila terjadi inhibisi ikatan siklin dengan
Cdk (Cyclin-Cdk inhibitors) pada fase G1 sebelum memasuki fase S,
maka restriction point kehilangan fungsinya untuk mengontrol kelainan
DNA sebelum mengalami replikasi (Ponten and Lundeberg 2003,
Kraemer and Runger, 2008).
Pada fase G1 (Gap 1) terdapat check point yaitu suatu tempat
dimana susunan DNA akan dikoreksi dengan seteliti-telitinya. Apabila ada
kesalahan, sel mempunyai dua pilihan yang dapat dijalankan. Pertama,
kesalahan tersebut diperbaiki dengan cara mengaktifkan DNA repair.
Namun, apabila kesalahan yang ada sudah tidak mampu ditanggulangi,
sel memutuskan untuk mengambil pilihan kedua yaitu dimatikan daripada
hidup membawa pengaruh buruk bagi lingkungan sekelilingnya. Saat
itulah keputusan untuk berapoptosis diambil. Sel dengan DNA normal
akan meneruskan perjalanan untuk melengkapi siklus yang tersisa yaitu:
S (Sintesis), G2 (Gap 2) dan M (Mitosis) (Mitchell and Cotran, 2007).
Kerusakan DNA yang tidak diperbaiki secara adekuat akan
menyebabkan perubahan fungsi sel, kematian sel, atau formasi mutasi
(perubahan DNA sequence) pada sel-sel yang rusak. Mutasi akibat
kerusakan DNA akan bertahan selama sel yang terkena masih ada.
Mutasi pada gen-gen yang penting menyebabkan perubahan fungsi sel
atau transformasi malignansi (Kraemer and Runger, 2008).
Apoptosis ialah proses kematian sel yang terprogram atau proses
perusakan yang terkontrol terhadap diri sel itu sendiri yang mana proses
tersebut melibatkan sinyal selular yang khusus atau spesifik. Apoptosis
memiliki peran yang sangat penting dalam embriogenesis, penggantian
jaringan yang rusak, perkembangan sistem imun, dan perlindungan
melawan perkembangan tumor (tumorigenesis). Keseimbangan antara
kematian sel apoptosis dan pertumbuhan sel menentukan tingkat
pertumbuhan atau penurunan populasi sel (McGrath et al., 2004, Mitchell
and Cotran, 2007).
D. 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA)
Senyawa 7,12-dimethyilbenz [α] antracene (DMBA) adalah zat
kimia yang termasuk dalam Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang
dikenal bersifat mutagenik, teratogenik, karsinogenik, sitotoksik, dan
immunosupresif. Menurut Division of Occupational Health and Safety
National Institutes of Health, DMBA yang mempunyai 4 cincin benzene
termasuk dalam tujuh PHA yang dapat menyebabkan kanker pada
manusia. Secara alami DMBA dapat ditemukan di alam sebagai hasil dari
proses pembakaran yang tidak sempurna, seperti dalam asap tembakau,
asap pembakaran kayu, asap pembakaran gas, bensin, minyak, batubara
atau daging. (Lukitaningsih dan Noegrohati, 2000).
Senyawa 7,12-dimethylbenz [α] anthracene merupakan penekan
kekebalan tubuh dan organ-spesifik karsinogen laboratorium kuat. Juga
dikenal sebagai 7,12-dimethylbenz [α] anthracene atau DMBA, zat ini
banyak digunakan di laboratorium penelitian banyak mempelajari kanker.
DMBA berfungsi sebagai inisiator tumor dengan membuat mutasi
diperlukan. Promosi tumor dapat diinduksi dengan perlakuan TPA
(12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam two- stage karsinogenesis.
Hal ini memungkinkan untuk tingkat percepatan pertumbuhan tumor,
sehingga studi mengenai kanker banyak dilakukan (Muqbil et al, 2006).
7,12-Dimethylbenz(a)anthracene 7,12-dimethylbenzo[b]phenanthrene
Gambar 1. 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene (DMBA)
7,12-dimetilbenz [α] anthracene juga dilaporkan sebagai
karsinogen poten pada hewan coba, dengan target utama pada kulit dan
glandula mammae (Mun‘im et al., 2006). Dosis tinggi DMBA yang
diberikan secara kronik pada hewan coba dapat menyebabkan nekrosis
pada adrenal (Haschek dan Rousseaux, 1991).
Selama ini DMBA telah dibuktikan mampu mengiduksi kanker
glandula mamae pada hewan coba, dengan pemberian secara oral dan
diberikan untuk kurun waktu tertentu (Singletary 1997). Pada tikus, DMBA
muncul secara selektif dan tidak ditemukan pada sel parenkim glandula
mammae. Metabolit aktif dari DMBA akan berikatan dengan DNA epitel
glandula mammae (DNA adduct), selanjutnya ikatan dengan DNA akan
turun hingga 50% 16 jam pasca paparan dengan DMBA. Namun
demikian, apabila paparan DMBA dilakukan terus menerus selama 42
hari, maka akan terjadi ikatan yang menetap antara metabolit aktif DMBA
dan DNA yang akan memicu munculnya kanker (Muto, 2003).
E. 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA)
Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) adalah
suatu aktivator kuat Protein Kinase C (PKC) suatu enzim yang merupakan
komponen penting pada jalur transduksi sinyal, termasuk jalur yang
diaktifkan oleh faktor pertumbuhan. Klonal sel yang terinisiasi, karena
dipaksa berpolimerasi, mengalami mutasi tambahan yang akhirnya
berkembang menjadi sel yang ganas (Kumar et al, 2007).
Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) adalah agen
promosi tumor yang memfasilitasi progresi malignasi pada umumnya
bersifat genotoksin. Agen promosi tumor ini bersifat reversible sehingga
dibutuhkan pajanan berulang. Promosi tumor dapat diinduksi dengan
perlakuan TPA (12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam beberapa
model two- stage karsinogenesis. Hal ini memungkinkan adanya tingkat
percepatan pertumbuhan tumor. Promosi tumor kulit pada pemakaian
topikal akan menimbulkan iritasi, inflamasi dan hiperplasi. Promotor
mengubah lingkungan jaringan sedemikian rupa sehingga sel yang telah
terinisiasi tumbuh dengan cepat (Sularsito, 2001).
Senyawa TPA digunakan sebagai agen promosi yang dilakukan
secara berulang. Aplikasi topikal dari caffeic acid phenethyl ester (CAPE),
salah satu kandungan propolis dari sarang lebah, kepada CD-1 tikus yang
sebelumnya diinisiasi dengan 7,12-dimethylbenz [α] anthracene (DMBA).
DMBA menghambat promosi tumor yang diinduksi 12-0-
tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) dan pembentukan 5-
hydroxymethyl-2’-deoxyuridine (HMdU) dalam DNA epidermal. Hasil
perlakuan menunjukkan efek penghambatan potensial dari CAPE pada
perangsangan tumor yang terinduksi oleh TPA dan pembentukan HMdU
yang terinduksi oleh TPA dalam DNA dari kulit tikus uji sama dengan efek
penghambatan dari CAPE pada síntesis DNA, RNA dan protein dalam
kultur sel-sel HeLa (Huang et al., 1996).
F. Gambaran Histopatologi Kanker Kulit
Lesi kulit meliputi proliferasi papilar baik papiloma dan
keratoakantoma yang dihubungkan dengan berbagai variasi dari
hiperplasia epidermis dan penebalan dermal serta fibrosis serta infiltrasi
sel inflamasi ringan sampai sedang (Roomi et al., 2008).
Perubahan histopatologi dapat berupa perubahan displasia pada
epidermis, agregasi nukelar dan variasi bentuk dan ukuran nukleus serta
hiperplasia paraneoplastik dari folikel rambut tanpa diferensiasi
trichohialin. Transformasi malignansi meliputi perubahan epidermis
menjadi trikofolikuloma, trikofolikulo karsinoma, karsinoma sel skuamosa
dan karsinoma sel basal, kelenjar sebasea menjadi adenokarsinoma
sebasea, sel adiposa menjadi liposarkoma, otot menjadi
rhabdomiosarkoma dan nodus limfe subkutaneous menjadi prolimfotik
limfosarkoma (El-Sherry et al., 2007).
Broders membagi histopatologis KSS menjadi:(Grossman and
Leffel, 2008, McKee et al., 2005)
Stadium I : ≥ 75% sel berdiferensiasi
Stadium II: ≥ 50% sel berdiferensiasi
Stadium III: 25-50% sel berdiferensiasi
Stadium IV: < 25% sel yang berdiferensiasi
Sangat penting untuk diingat bahwa tumor juga diklasifikasikan
menurut diferensiasi sel. Berdasarkan diferensiasi terbagi menjadi 3
stadium yaitu:(McKee et al., 2005, Kirkham, 2005)
Well differentiated (low grade tumor): epitel skuamosa gampang
dikenali, adanya sel-sel keratinisasi. Jembatan interseluler masih
terlihat, tumor memperlihatkan sedikit pleimorfisme dan sedikit yang
mengalami mitosis pada bagian basal. Keratinisasi sering berbentuk
horn pearl, yang merupakan struktur karakteristik terdiri dari lapisan
sel skuamosa yang tersusun secara konsentris dengan keratinisasi ke
arah sentral.
Moderate differentiated (moderate grade tumor): epitel skuamosa tidak
terlalu jelas, formasi keratinisasi lebih sedikit, formasi horn pearl
minimal. Pleomorfisme nukleus dan sitoplasma lebih terlihat dan sel
mitotik (termasuk bentuk sel-sel abnormal) lebih sering terlihat.
Poorly differentiated (high grade tumor): sel atipik, hilangnya jembatan
intraseluler, minimal atau tidak adanya keratinisasi.
G. Kerangka teori
Gambar 2. Kerangka teori
H. Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel kontrol
Variabel antara
Variabel tergantung
Gambar 3. Kerangka konsep
Proses
terjadinya
karsiogenesis
Inisiasi tumor
Promosi
tumor
Gambaran
histopatologi
-Inflamasi
-Ulkus
-Displasia
-KSS
Host
Umur
Genetik
Makanan
Suhu
kandang
DMBA/TPA
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian animal experimental dengan
rancangan eksperimental murni untuk mengetahui pengaruh variasi
paparan dosis dan frekuensi 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA)
dan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) terhadap tumor kulit
mencit. Unit penelitian ini adalah kulit telinga mencit yang dieksisi dan
dibagi dalam 5 kelompok perlakuan.
Setelah diisolasi selama seminggu, bagian area kulit telinga dari
mencit betina yang berusia 6 – 8 minggu kemudian dibagi menjadi 5
kelompok, yaitu:1) Kelompok pertama mencit diberikan paparan aseton
setiap hari selama 10 minggu perlakuan, 2) Kelompok kedua diberikan
paparan 1 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton dalam 24
jam pertama pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang
dilarutkan dalam 2 ml aseton diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai
pada minggu kedua selama 10 minggu; 3) Kelompok ketiga diberikan
paparan 2 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24
jam pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang dilarutkan
dalam 2 ml aseton dalam diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai
pada minggu kedua selama 10 minggu; 4) Kelompok keempat diberikan
paparan 3 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24
jam pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang dilarutkan
dalam 2 ml aseton diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai pada
minggu kedua selama 10 minggu; 5) kelompok kelima diberikan paparan
4 x DMBA 50 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada
minggu pertama dan dilanjutkan satu minggu kemudian TPA 4 µg
diberikan 3 x paparan dimulai pada minggu kedua setiap minggu selama
10 minggu.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Animal Skill lababoratory FK UNHAS dan
Unit Penelitian FK UNHAS Makassar sebagai tempat pemeriksaan
histopatologi. Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2012 sampai
penelitian ini selesai dilaksanakan.
C. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mencit betina berusia 6 – 8
minggu dengan berat rata-rata 25 – 30 gram, yang diperoleh dari
Laboratorium Vetennary Balitbang Maros. Mencit dipertahankan selama
seminggu pada kondisi standar (suhu 28 ± 2C), kelembaban 50 ± 10C
dan lampu ruangan dengan siklus 12 jam menyala dan 12 jam
dipadamkan.
D. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina berusia 6 – 8 minggu
yang telah dirandomisasi menjadi 5 kelompok
E. Perkiraan Besar Sampel
Sampel adalah mencit betina strain Albino yang memenuhi kriteria
penelitian. Penentuan besar sampel berdasarkan pada rumus dibawah
ini:
n = Z2.P(1-P)
d2
Keterangan:
Z= Standar deviasi normal
P= Proporsi kejadian variable yang diteliti
d= Tingkat ketelitian
Sesuai dengan prinsip reduksi jumlah sampel pada hewan coba
yang disarankan oleh komisi etik penelitian, didapatkan jumlah sampel
minimal pada penelitian hewan coba yaitu 5 ekor untuk masing-masing
perlakuan. Sampel pada penelitian ini disediakan 50 sampel yang
diusahakan homogen dan dari 50 sampel tersebut dipilih secara
randomisasi sejumlah 25 sampel untuk memenuhi ketentuan jumlah
sampel.
Berdasarkan tabel uji Anova Kruskal-Wallis, jumlah sampel
terbesar untuk tiap-tiap kelompok perlakuan adalah 5 ekor mencit.
Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, sehingga total sampel
yang digunakan adalah 25 ekor mencit betina. Besar sampel ini sesuai
dengan kriteria WHO (1993) yaitu minimal menggunakan 5 ekor tikus tiap
1 kelompok perlakuan. Sesuai rumus Federer juga didapatkan minimal 5
ekor tikus untuk setiap kelompok perlakuan.
Rumus Federer: (n-1) (t-1) > 15
Keterangan: n= Jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t= Jumlah kelompok perlakuan
(n-1) (5-1) ≥ 15
(n-1) 4 ≥ 15
n ≥ 5
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria inklusi subjek penelitian
a. Mencit betina
b. Umur 6 – 8 minggu
c. Berat 25 – 30 gram
d. Sehat
2. Kriteria eksklusi subjek penelitian
a. Mencit yang sakit selama dalam penelitian
b. Mencit yang mati selama dalam penelitian
c. Secara makroskopik tampak adanya abnormalitas
G. Izin Penelitian
Rekomendasi izin serta persetujuan kelayakan etik penelitian dari
Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Hewan Coba Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin dilakukan dalam penelitian ini.
H. Cara Penelitian
1. Alokasi Subjek
a. Subjek penelitian adalah mencit-mencit betina yang memenuhi
syarat penelitian (kriteria inklusi)
b. Subjek penelitian dibagi menjadi 5 kelompok
1) Kelompok pertama diberikan satu kali paparan aseton setiap hari
perlakuan (kontrol) selama 10 minggu
2) Kelompok kedua diberikan satu kali paparan DMBA 50 g yang
dilarutkan dalam 2 ml aseton pada 24 jam pertama di minggu
pertama dan selanjutnya diberikan tiga kali seminggu paparan
TPA 4 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton dimulai minggu
kedua selama 10 minggu
3) Kelompok ketiga diberikan dua kali paparan DMBA 50 g yang
dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam dan selanjutnya
diberikan paparan TPA 4 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton
tiga kali seminggu dimulai minggu kedua selama 10 minggu
4) Kelompok keempat diberikan tiga kali paparan DMBA 50 g yang
dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada minggu pertama
dan selanjutnya diberikan paparan TPA 4 g yang dilarutkan
dalam 2 ml aseton tiga kali seminggu dimulai minggu kedua
selama 10 minggu
5) Kelompok kelima diberikan empat kali paparan DMBA 50 µg
yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada minggu
pertama dan selanjutnya diberikan paparan TPA 4 µg yang
dilarutkan dalam 2 ml aseton tiga kali seminggu dimulai minggu
kedua selama 10 minggu
c. Setelah 10 minggu seluruh mencit diterminasi dengan
menggunakan eter dan diambil seluruh jaringan kulit telinga
mencit yang diberi perlakuan dan disimpan dalam formalin buffer
10%.
2. Cara kerja (paparan DMBA dan TPA pada mencit)
1) Setiap mencit yang telah memenuhi syarat penelitian (kriteria
inklusi) diambil foto untuk data awal dan selama penelitian
berlangsung.
2) Setelah adaptasi selama 1 minggu, 25 mencit dibagi 5 kelompok
sesuai perlakuan masing-masing.
3) Perlakuan dilakukan selama 10 minggu, dan pada minggu
keduabelas semua mencit dilakukan biopsi pada kulit telinga yang
dilakukan perlakuan.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Sediaan histopatologis diperoleh dari jaringan kulit telinga mencit
yang dibiopsi menggunakan gunting tajam. Setiap spesimen difiksasi
dengan buffer formalin. Potongan kemudian diletakkan pada tempat yang
rata dan di tengahnya dipotong menjadi 2 bagian. Pembuatan slide
diambil dari potongan jaringan di tengahnya yang dipotong tegak lurus
dengan ketebalan 4 µM kemudian dilakukan pewarnaan Hematoksilin
Eosin. Tiap bagian yang dipotong kemudian dideparafinasi dengan xylene
dan dibagi skala dengan serial alkohol ke air kemudian diwarnai dengan
Hematoksilin Eosin untuk evaluasi standar dengan mikroskop olympus
CV.
a) Prosedur Pengambilan Sediaan Biopsi Kulit untuk Pemeriksaan
Histopatologis
1) Cuci tangan dan keringkan, pasang masker dan sarung tangan
steril.
2) Matikan mencit dengan cara menggunakan eter.
3) Tandai daerah lesi kulit yang aktif dengan marker
4) Lakukan pengguntingan jaringan telinga mencit kemudian
dimasukkan ke dalam larutan fiksasi buffer formalin 10% yang
telah diberi tanggal pengambilan.
5) Hasil biopsi ini lalu disimpan dalam blok parafin (wax) untuk
kemudian dilakukan pemotongan (cutting) dengan mikrotom
ketebalan 4 µM sesuai kebutuhan untuk memperoleh sayatan yang
sangat halus dan rapi.
b) Bahan Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (Modifikasi Harri’s)
1) Asam alkohol 1%
2) Saturated Lithium Carbonate
3) Ammonia water
4) Eosin-Phloxine Solution
5) Komposisi HE (Modifikasi Harri’s) :
Hematoksilin …………………………………………5 gram
Alkohol, 100% etil ……………………………………50 ml
Potassium/ammonium, alum ……………………….100 gr
Aqua destilata ………………………………………..1000 ml
Mercuric oxide, red ………………………………….2,5 gr
c) Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin (Modifikasi Harri’s)
1) Deparafinisasi dan hidrasi pada aqua destilata. Dezenkerize, jika
diperlukan sebelum pewarnaan.
2) Warnai dalam filtrasi segar Hematoksilin modifikasi Harri’s selama
6 – 15 menit.
3) Cuci dengan air mengalir selama 2 – 5 menit.
4) Diferensiasi dalam asam alkohol 1% 1 – 2 tetes.
5) Cuci dengan perlahan dan terbalik dibawah air kran.
6) Letakkan pada bagian atas cover ammonia water atau larutan
jenuh lithium carbonate sampai tampak berwarna biru kelam.
7) Cuci secara langsung dalam air mengalir selama 10 menit.
8) Tempatkan 80% etil alkohol untuk 1 – 2 menit.
9) Lakukan counterstain dalam larutan eosin-phloxine selama 2
menit.
10) Dehidrasi dan bersihkan langsung dua perubahan dari masing-
masing 95% etil alkohol, etil alkohol absolut dan xylene masing-
masing 2 menit.
11) Simpan dengan medium resinous.
I. Skema Alur Penelitian
Gambar 4. Skema alur penelitian
25 Mencit betina sehat, umur 6-8 minggu, berat 20-30 gram
Penilaian klinis telinga mencit
5 ekor diberi DMBA
50µg 2x
5 ekor diberi DMBA
50µg 3x
5 ekor diberi DMBA
50µg 4x
Biopsi pada telinga kiri
Biopsi pada telinga kiri
Biopsi pada telinga kiri
Biopsi pada telinga kiri
Biopsi pada telinga kiri
5 ekor diberi DMBA
50µg 1x
Diberi paparan TPA 4µg
3x paparan
Diberi paparan TPA 4µg
3x paparan
Diberi paparan TPA 4µg
3x paparan
Diberi paparan TPA 4µg
3x paparan
Pembuatan slide dengan pewarnaan HE
Penilaian gambaran histopatologi
Analisis Data
5 ekor diberi
paparan aseton
Tanpa paparan
DMBA/TPA
J. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini beberapa dapat diidentifikasi berdasarkan peran
dan skalanya, sebagai berikut:
1. Variabel bebas adalah perlakuan DMBA dan TPA
2. Variabel tergantung adalah ekspresi tumor kulit mencit
3. Variabel luar terdiri dari:
a. Variabel antara yaitu proses terjadinya karsinogenesis (inisiasi dan
promosi tumor kulit)
b. Variabel kontrol yaitu host (umur strain makanan dan suhu kandang)
dan karsinogen (dosis, frekuensi aplikasi dan periode paparan).
K. Definisi Operasional
1. Mencit adalah mencit betina dengan umur 6-8 minggu dan berat
badan berkisar 25-30 gram dan sehat. Pemilihan mencit betina
dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya pertengkaran
sehingga diharapkan tidak mengganggu pemeriksaan klinis.
2. Senyawa 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) adalah polisiklik
aromatik hidrokarbon, suatu karsinogen kimia lingkungan yang sangat
karsinogenesis dan berfungsi sebagai inisiator tumor yang bersifat
ireversibel.
3. Insiasi tumor adalah mutasi spesifik suatu sel yang ireversibel. Insiasi
pada umumnya terjadi pada frekuensi yang rendah dan secara
langsung tergantung dari dosis karsinogen. Insiasi pada level
molekuler meliputi alterasi jalur signal transduksi yang meregulasi
respon sel ke signal ekstraselular dan secara internal diregulasi oleh
proto-onkogen dan gen supresor tumor.
4. Senyawa 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) adalah agen
promosi tumor yang memfasilitasi progresi malignansi
5. Promotor tumor adalah agen yang membuat ekspansi klonal dari sel
yang terinisiasi.
6. Tumor kulit adalah sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk hasil
proses pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi pada
kulit mencit.
7. Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan dengan cara
mengambil jaringan kulit pada lesi telinga mencit dan selanjutnya
difiksasi, dipotong dengan mikrotom dan dilakukan pengecatan atau
pulasan jaringan dengan Hematoksilin Eosilin (HE) untuk melihat
struktur morfologi jaringan.
8. Displasia adalah proliferasi yang tidak teratur dan non-neoplastik dan
ditemukan di epitel.
9. Ulkus adalah kerusakan lokal atau ekskavasi permukaan organ atau
jaringan yang ditimbulkan oleh terkelupasnya jaringan.
10. Inflamasi adalah respon utama sisitem kekebalan terhadap infeksi
atau iritasi.
L. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul adalah semua data yang diperoleh dari hasil
penelitian selanjutnya diedit, tabulasi dan dimasukkan ke dalam program
komputer, dilakukan analisis deskriptif dan analitik. Data di uji dengan
menggunakan uji Likelihood ratio test
1. Penilaian hasil uji statistik dinyatakan sebagai berikut :
Bermakna, bila p < 0,05
2. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau grafik disertai dengan
penjelasan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental murni telah dilakukan untuk melihat
pembentukan tumor kulit pada mencit albino yang ada di Makassar
dimana sebanyak 25 ekor mencit dibagi dalam lima kelompok perlakuan,
kelompok pertama adalah kelompok kontrol aseton yaitu 5 mencit albino
dengan pemberian paparan aseton setiap hari sebanyak 5 µl dalam waktu
10 minggu, kelompok kedua, ketiga keempat dan kelima yaitu 5 mencit
albino masing-masing dengan pemberian 1x, 2x, 3x dan 4x paparan
DMBA dosis 50 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton pada telinga kiri
mencit setiap 24 jam pertama di minggu pertama dilanjutkan pemberian
3x paparan TPA µg dosis 4 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton pada
telinga yang sama setiap minggu yang dimulai pada minggu kedua
selama 10 minggu.
I. Karakteristik sampel
Penelitian ini dilakukan terhadap 25 mencit albino yang memenuhi
kriteria inklusi dengan berat 20-30 gr, tidak sakit atau mengalami kelainan
pada kulitnya, dipilih secara random dan dikelompokkan sesuai dengan
perlakuan yang akan diberikan.
1. Perbandingan gambaran histopatologi (inflamasi) pada kulit
mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol
(aseton)
Tabel 1. Sebaran Inflamasi menurut Kelompok
kontrol dan DMBA
Inflamasi
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA 1x N 4 1 5
% 80,0% 20,0% 100,0%
DMBA 2x N 5 0 5
% 100,0% 0,0% 100,0%
DMBA 3x N 5 0 5
% 100,0% 0,0% 100,0%
DMBA 4x N 5 0 5
% 100,0% 0,0% 100,0%
Total N 19 6 25
% 76,0% 24,0% 100,0%
Likelihood Ratio test (p=0,000)
Kejadian Inflamasi ditemukan pada kelompok DMBA 1x (4 mencit
atau 80%), sedangkan pada kelompok DMBA 2x, DMBA 3x dan DMBA 4x
didapatkan inflamasi pada semua mencit. Pada kelompok kontrol aseton
tidak ditemukan inflamasi. Hasil uji statistik menunjukkan adanya
perbedaan proporsi kejadian inflamasi yang signifikan menurut kelompok
(p<0,001)
Gambar 5. Frekuensi Kejadian Inflamasi menurut Kelompok
kontrol dan DMBA
Gambar 6. Gambaran histopatologi inflamasi
2. Perbandingan gambaran histopatologi (ulkus) pada kulit mencit
albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol (aseton)
Table 2. Sebaran Ulkus menurut Kelompok control
dan DMBA
Ulkus
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
1x
N 2 3 5
% 40,0% 60,0% 100,0%
DMBA
2x
N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
3x
N 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
4x
N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
Total N 3 22 25
% 12,0% 88,0% 100,0%
Likelihood Ratio test (p=0,158)
Kejadian Ulkus ditemukan pada kelompok DMBA 1x (2 mencit atau
40%) dan pada kelompok DMBA 3x (1 mencit atau 20%) sedangkan pada
kelompok yang diberikan DMBA 2x dan DMBA 4x tidak ditemukan ulkus.
Kelompok kontrol tidak ditemukan ulkus. Namun hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian ulkus menurut
kelompok (p>0,05)
Gambar 7. Frekuensi Kejadian Ulkus menurut Kelompok kontrol
dan DMBA
Gambar 8. Gambaran histopatologi Ulkus
3. Perbandingan gambaran histopatologis (displasia ringan) pada
kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok
kontrol (aseton)
Tabel 3. Sebaran Displasia Ringan menurut
Kelompok kontrol dan DMBA
Displasia Ringan
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
1x
N 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
2x
N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
3x
N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
4x
n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
Total n 1 24 25
% 4,0% 96,0% 100,0%
Likelihood Ratio test (p=0,494)
Kejadian displasia ringan hanya ditemukan pada kelompok DMBA
1x (1 mencit atau 20%). Namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
perbedaan proporsi kejadian displasia ringan menurut kelompok (p>0,05)
Gambar 9. Frekuensi Kejadian Displasia Ringan menurut Kelompok
kontrol dan DMBA
Gambar 10. Gambaran histopatologi Displasia Ringan
4. Perbandingan gambaran histopatologis (Displasia sedang) pada
kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok
kontrol (aseton)
Tabel 4. Sebaran Displasia Sedang menurut
Kelompok kontrol dan DMBA
Displasia Sedang
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol N 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
1x
N 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
2x
N 4 1 5
% 80,0% 20,0% 100,0%
DMBA
3x
N 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
4x
N 3 2 5
% 60,0% 40,0% 100,0%
Total N 9 16 25
% 36,0% 64,0% 100,0%
Likelihood Ratio test (p=0,027)
Kejadian displasia sedang ditemukan paling banyak pada
kelompok DMBA 2x (4 mencit atau 80%), kemudian pada DMBA 4x (3
mencit atau 60%) sedangkan pada kelompok DMBA 1x dan DMBA 3x
tidak ditemukan displasia. Pada kelompok kontrol tidak ditemukan
dysplasia. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan proporsi
kejadian displasia sedang yang signifikan menurut kelompok (p<0,05)
Gambar 11. Frekuensi Kejadian Displasia sedang menurut kelompok
kontrol dan DMBA
Gambar 12. Gambaran histopatologi Displasia sedang
5. Perbandingan gambaran histopatologi (displasia berat) pada kulit
mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol
(aseton)
Tabel 5. Sebaran Displasia Berat menurut
Kelompok kontrol dan DMBA
Displasia Berat
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
1x
n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
2x
n 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
3x
n 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
DMBA
4x
n 1 4 5
% 20,0% 80,0% 100,0%
Total n 3 22 25
% 12,0% 88,0% 100,0%
Likelihood Ratio test (p=0,504)
Kejadian displasia berat ditemukan pada kelompok DMBA 1x,
DMBA 2x dan DMBA 3x (masing-masing 1 mencit atau 20%) sedangkan
pada kelompok DMBA 4x tidak ditemukan displasia berat. Pada kelompok
kontrol tidak ditemukan displasia. Namun hasil uji statistik menunjukkan
tidak ada perbedaan proporsi kejadian displasia berat menurut kelompok
(p>0,05)
Gambar 13. Frekuensi Kejadian Displasia Berat menurut Kelompok
kontrol dan DMBA
Gambar 14. Gambaran histopatologi Displasia Berat
6. Perbandingan gambaran histopatologis (karsinoma sel skuamosa)
pada kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok
kontrol (aseton)
Likelihood Ratio test (p=0,125)
Kejadian karsinoma sel skuamosa hanya ditemukan pada
kelompok DMBA 3x (2 mencit atau 40%) sedangkan pada kelompok
Tabel 6. Sebaran karsinoma sel skuamosa menurut
Kelompok kontrol dan DMBA
Karsinoma sel
skuamosa
Total Ya Tidak
Kelompok Kontrol n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
1x
n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
2x
n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
DMBA
3x
n 2 3 5
% 40,0% 60,0% 100,0%
DMBA
4x
n 0 5 5
% 0% 100,0% 100,0%
Total n 2 23 25
% 8,0% 92,0% 100,0%
DMBA 1x, 2x dan 4x tidak ditemukan karsinoma sel skuamosa. Pada
kelompok kontrol tidak ditemukan karsinoma sel skuamosa. Namun hasil
uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian
karsinoma sel skuamosa menurut kelompok (p>0,05)
Gambar 15. Frekuensi Kejadian karsinoma sel skuamosa menurut
Kelompok kontrol dan DMBA
Gambar 16. Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa
Ya
Tidak
II. Perbandingan Gambaran Histopatologi Berdasarkan Frekuensi
Pemberian DMBA / TPA
Perlakuan
Gambaran Histopatologi
Displasia
Ringan
Displasia
Sedang
Displasia
Berat
Karsinoma Sel
Skuamosa
Aseton(Kontrol) 0 0 0 0
DMBA 1X 1 1 0 0
DMBA 2 X 0 4 1 0
DMBA 3 X 0 1 1 2
DMBA 4 X 0 3 1 0
Jumlah 1 9 3 2
B. PEMBAHASAN
Penelitian ini menelaah karakteristik subyek tertentu dan variasi
frekuensi paparan DMBA/TPA terhadap pembentukan tumor pada kulit
mencit albino.
Dalam Penelitian kami menilai 5 kelompok perlakuan yaitu
kelompok kontrol aseton, kelompok paparan 1x DMBA dilanjutkan 3x
paparan TPA, kelompok 2x paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA,
kelompok 3x paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA, kelompok 4x
paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA. Beberapa faktor yang
mempengaruhi karsinogenesis two-stage antara lain kerentanan strain
mencit, adanya mutasi genetik atau transgene, serta dosis inisiasi dan
promosi yang tepat (Filler et al, 2007)
Strain mencit memiliki sensitivitas dan kecenderungan
perkembangan tumor yang berbeda-beda terhadap karsinogen kimia. Hal
ini mengindikasikan adanya strain-dependent susceptibility yang
ditentukan oleh faktor-faktor genetik bawaan (Lee, 1998). Penelitian oleh
Hennings dkk (1993), didapatkan bahwa satu kali paparan DMBA diikuti
oleh paparan berulang dengan TPA timbulnya papilloma 100% dan 53%
pada mencit strain SENCAR dan CD-1 (Swiss albino) sedangkan strain
FVB/N hanya 25% dan BALB/c 17%. Strain mencit SENCAR dilaporkan
merupakan jenis mencit yang paling sensitif dalam penelitian-penelitian
kasinogenesis (Slaga et al, 1995). Strain yang digunakan dalam penelitian
ini adalah mencit albino yang sudah tidak jelas keturunannya.
Semua penelitian-penelitian eksperimental induksi karsinogenesis
kulit two-stage pada mencit dilakukan pada area punggung (Suzuki et al.,
2003, Roomi et al., 2008, Xie et al., 2008) namun pada penelitian ini
menggunakan area kulit telinga mencit karena lebih tipis epidermisnya
dan lebih mirip kulit manusia. Penelitian oleh Park dkk (2004) dengan
pengaplikasian di area punggung DMBA dosis 2,5 mg dalam 0,1 ml
aseton dilanjutkan TPA 100 nmol dalam 0,5 ml aseton didapatkan hasil
karsinoma sel skuamosa pada 15 mencit dari 15 mencit yang di uji
cobakan (100%) dalam jangka waktu 31 minggu. Pada penelitian ini
hanya 2 mencit yang mengalami kejadian karsinoma sel skuamosa.
Protokol two-stage yang dipakai dalam penelitian ini merujuk pada
konsep inisiasi dan promosi. Induksi kanker kulit menggunakan DMBA
sebagai inisiator dan TPA sebagai promotor telah banyak digunakan
(Suzuki et al, 2003). Neoplasma hanya akan muncul jika PAH digunakan
terlebih dahulu diikiuti oleh aplikasi berulang promotor, bukan sebaliknya
(oliveira et al, 2007).
Induksi tumor kulit pada mencit dengan administrasi topikal kimia
membuat perubahan baik lokal, sistemik, maupun faktor lingkungan yang
mempengaruhi suseptibilitas tumor, pertumbuhan dan progresivitas yang
dipelajari di laboratorium (Dulgosz and Yuspa, 2008).
Dari hasil analisis kelompok kontrol aseton mempunyai nilai yang
tidak berbeda bermakna hal ini berarti sel epidermis tidak dipengaruhi
oleh aseton dan dapat digunakan sebagai bahan pelarut DMBA/TPA yang
digunakan dalam penelitian ini. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian
sebelumnya yang membuktikan antara kelompok kontrol normal dengan
kontrol aseton diperoleh hasil yang tidak berbeda bermakna. (Xie et al.
2008, Roomi et al, 2008).
Inisiator seperti DMBA akan menyebabkan mutasi-mutasi genetik
(Lee, 1998), namun tahap ini tergantung pada dosis yang diberikan
Dulgosz and Yuspa, 2008). Tanpa adanya rangsangan lebih lanjut sel
yang telah terinisisasi ini tidak akan tumbuh menjadi sel tumor, namun
perubahan ini tetap tinggal dalam sel turunannya (progeny) ( Sularsito,
2001, Dulgosz and Yuspa, 2008). Pemberian DMBA saja tidak merubah
jumlah lapisan sel dalam penelitian lain (Graem, 1986). 7,12-
Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) dan PAH lainnya bersifat
karsinogenesis namun tidak semua strain mencit yang terpapar agen
tersebut akan terbentuk tumor ( Oliveira et al., 2007). Adanya toleransi
terhadap DMBA masih belum jelas, meskipun hal tersebut mungkin
berkaitan dengan jalur metabolik senyawa yang masuk ke dalam sel
(Elmets et al.,1998).
Fase inisisasi pada transformasi neopalstik adalah hasil dari mutasi
sel somatik dan fase inisiasi karinogenesis harus dihubungkan dengan
mitotik apparatus sel. Namun belum terdapat kesepakatan fase mana
pada siklus sel yang berhubungan dengan efek inisiasi (Berenblum and
Armuth, 1977).
Agen promotor TPA paling poten dalam membuat epidermal
karsinogenesis pada mencit namun dapat bekerja secara lemah atau
inaktif pada beberapa strain mencit (Park and Kim, 1989). Promotor
mengubah lingkungan jaringan sedemikian rupa sehingga sel yang telah
terinisiasi tumbuh dengan cepat (Sularsito, 2001). Periode laten formasi
tumor setelah aplikasi inisiator berkurang secara signifikan dengan
adanya aplikasi promotor (Yusuf et al., 2009). Aplikasi promotor tumor
pada mencit secara histopatologi menunjukkan hiperplasia seluler
berkelanjutan dan memegang peranan penting dalam tahap promosi
tumor (Roomi et al., 2008).
Inflamasi kronik yang berasal dari promotor diduga mendorong
perkembangan kanker. Ekspresi berlebih proinflamasi enzim COX-2 yang
terlibat dalam biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat,
mensensitisasi kulit mencit untuk promosi tumor (Chun et al., 2006).
Ulkus yang terjadi pada kulit dalam beberapa kasus terlihat yang
terlihat pada penelitian. Pada penelitian oleh Ahmad dkk (2008)
memperlihatkan kejadian ulkus pada beberapa mencit pada
pengaplikasian DMBA dosis 20 µg hal ini menunjukkan salah satu cara
penetrasi DMBA ke dermis. Senyawa DMBA juga menyebabkan iritasi
dan peradangan kulit (Ahmad T et al , 2008).
Penelitian ini ditemukan inflamasi pada 19 mencit kelompok
DMBA1x (4 mencit atau 80%), sedangkan pada kelompok DMBA 2x,
DMBA 3x dan DMBA 4x didapatkan inflamasi pada semua mencit.
Penelitian oleh Lewis (2004), pengaplikasian 12-0-tetradecanoylphorbol-
13-acetate (TPA) pada kulit SENCAR dan CS7BL, pada 6 mencit
SENCAR memiliki respon inflamasi jauh lebih intens daripada C57BL.
Ada pembentukan edema lebih lanjut pada daerah aplikasi dan
permeabilitas pembuluh darah juga sangat ditingkatkan di strain
SENCAR. Senyawa TPA merupakan regulator poten promotor tumor
yang diaplikasikan pada kulit mencit akan menginduksi terjadinya
inflamasi dengan meningkatkan ekspresi COX-2 yang merupakan salah
satu enzim yang paling penting bertanggung jawab untuk inflamasi dan
munculnya tumor (Meeran MS, 2009).
Displasia merupakan proliferasi yang tidak teratur dan non-
neoplastik dan ditemukan di epitel (Kumar et al, 2007). Pada penelitian
ini ditemukan displasia dengan tingkatan ringan, sedang dan berat. Pada
penelitian oleh Yang (2005) jumlah lesi yang displasia dan papilloma tidak
ditemukan perbedaan yang bermakna antara mencit yang hanya diberi
DMBA saja dengan mencit yang diberi DMBA dan Genistein sebagai
antioksidan. Displasia tanpa kualifikasi tidak menunjukkan kanker dan
displasia tidak selalu berkembang menjadi kanker (Kumar et al, 2007).
Pada penelitian lain oleh Ahmad dkk (2008) pemberian DMBA dosis 20
µg dilanjutkan TPA 2 µg pada 100 mencit didapatkan hasil terjadinya
displasia pada 30 mencit (30%).
Penelitian ini didapatkan pertumbuhan tumor karsinoma sel
skuamosa pada 2 mencit albino dengan perlakuan frekuensi tiga kali
paparan DMBA dosis 50 µg dilanjutkan TPA 4 µg tiga kali seminggu
selama 10 minggu, dari penelusuran pustaka hasil tercepat pertumbuhan
tumor terjadi pada minggu ke 13 yaitu pada penelitian oleh Suzuki dkk
(2003) dengan menggunakan dosis DMBA 50 µg namun hanya
mendapatkan satu kali paparan serta TPA dosis 10 µg dua kali paparan,
hal ini menunjukkan paparan DMBA dengan dosis yang lebih besar serta
frekuensi yang lebih dari satu kali mempercepat pertumbuhan tumor kulit
mencit. Penelitian oleh Ahmad dkk (2008) menunjukkan bahwa aplikasi
berulang TPA menghasilkan tumor kulit jinak selama periode awal namun
sangat sedikit papiloma berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa in
situ dalam tahap akhir percobaan. Adanya konversi ganas pada tumor
kulit ditingkatkan oleh aplikasi berulang inisiator tumor (DMBA) dan bukan
oleh paparan berulang promotor tumor (TPA) (Ahmad et al, 2008)
Pengaplikasian frekuensi 4x paparan DMBA dosis 50 µg
dilanjutkan 3x paparan TPA tidak ditemukan tumor hal ini dimungkinkan
karena telinga mencit lebih cepat mengalami inflamasi, ulserasi dan
nekrosis dibandingkan terjadinya proses mutasi sel DNA untuk terjadi sel
tumor sehingga kemungkinan tumor tidak terdeteksi akibat dosis DMBA
yang terlalu besar. DMBA sebagai agen genotoksik karsinogen juga dapat
berfungsi sebagai agen promotor dan paparan yang berulang dengan
konsentrasi yang rendah dapat menginduksi tumor lebih efektif
dibandingkan lebih sedikit paparan dengan dosis eksperimental yang
sama besar ( Dulgosz dan Yuspa, 2008).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Peningkatan frekuensi paparan DMBA meningkatkan derajat displasia
pada kulit mencit albino
2. Dosis inisiasi yang paling yang paling optimal dalam pembentukan
tumor kulit pada mencit albino adalah pemberian DMBA 50 µg dengan
frekuensi 3 x dengan aplikasi 3 hari berurutan dalam seminggu
B. SARAN
Perlu penggunaan sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih
panjang dalam pengaplikasian DMBA/TPA agar mendapatkan lebih
banyak karsinoma sel skuamosa pada kulit mencit albino.
DAFTAR PUSTAKA.
AHMAD, T., AHMED A. et al (2008) Histo-athological study: Skin cancer varieties due to a compound of coal tar & of vinegar, Annals, 14, 138-42
BUTEL, J.S, (2000) Viral carcinogenesis revelation of molecular mechanism and etiology of human disease. Carcinogenesis; 21; 405.
CHUN, K.S, KUNDU, J K., (2006) Inhibition of phorbhol ester induced mouse skin tumor promotion and COX-2 expression by celecoxib: C/EBP as a potential moleculer target. Cancer Res Treat, 38, 152-8.
DULGOSZ, A.A. and YUSPA, S.H., (2008). Carsinogenesis Chemical dalam Wolff, K. Goldsmit, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A. Paller, A.S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 7th ed. New York, Mc Graw Hill.
EL-SHERRY, M. I., ZAHER, M. A., YOUSSEF, M. S.-E.-D. M. & EL-AMIR, Y. O. (2007) Green tea treatment of Ultraviolet-B (UVB) skin carcinogenesis in mice. Cancer Therapy, 5, 301-8.
FRENKEL K, WEI H, BHIMANI R, et al (1993). Inhibition of tumor promoter mediated process in mouse skin and bovine lens by caffeic acid phenethyl ester. Cancer Res, 53, 1255-61.
FILLER, R. B, ROBERTS, S. J. & GIRARDI, M. (2007) Cutaneous Two-Stage Chemical Carcinogenesis. Protoc, 18, 1-5.
GRAEM, N. (1986). Epidermal changes following application of 7,12-dimethilbenz(a)anthracene and 12-0-tetradecanoyphorbol-13-acetate to human skin transplanted to nude mice studied with histological species markers.Cancer Res,48, 278-84.
GIBBS, JB., (2000), Anticancer Drug Targets: Growth Factor and Growth Factor Signaling, J. Clin. Inves., 105 (1): 9-13.
GROSSMAN, D. & LEFFEL, D. J. (2008) Squamous Cell Carcinoma. IN WOLFF, K., GOLDSMITH, L. A., KATZ, S. I., GILCHREST, B. A. & LEFFELL, D. J. (Eds.) Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. New York, McGraw Hill.
HAFNER, C. HARTMAN, A, et al (2007). Mutations in Sebortheic Keratoses are already present in flat lesions and associated with age and localization. Modern Pathology 20: 895-03.
HUANG MT, MA W, YEN P, et al (1996). Inhibitory effects of caffeic acid phenethyl ester (CAPE) on 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate-induced tumor promotion in mouse skin and the synthesis of DNA, RNA and protein in HeLa cells. Carcinogenesis, 17;761-5
HENNINGS, H., GLICK, A.B., LOWRY, D.T., KRSMANOVIC, L.S., SLY, L.M. & YUSPA, S.H. (1993) FVB/N Mice: an inbred strain sensitive to the chemical induction of squamous cell carcinomas in the skin. Carcinogenesis, 14, 2353-8.
KIMOTO T, ARAI S, KOHGUCHI M, et al (1998). Apoptosis and suppression of tumor growth by artepillin C extracted from Brazilian propolis. Cancer Detection and Prevention, 22, 506 – 15.
KUMAR,N, SHARMA, P, BAHADUR, A.K, MANDAL, A.K, (2007). Ki-67 Expression in Cytologic Scrapes from Oral Squamous Cell Carcinoma before and after 24 Gray Radioteraphy-a Study on 43 Patiens. Oral Medicine and Pathology, 10:E15-17.
KUMAR, V., COTRAN, R. S. & ROBBINS, S. L. (Eds.) (2007) Neoplasma, Jakarta, EGC.
LUKITANINGSIH E, NOEGROHATI S. (2000). Studi Pemisahan senyawa hidrokarbon poliaromatik secara kromatografi gas kolom kapiler. MFI 11(1): 31-38.
MACKIE, R.M, and QUINN, A.G,(2004). Non-Melanoma Skin Cancer and Other Epidermal Skin Tumours. In Burns, T. Breathnach, S. Blackwell Science.
MARDJIKOEN, P. Tumor ganas alat genital. Dalam : WINKJOSASTRO H, SAIFUDDIN AB, RACHIMHADI T. Editor. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999;380-9
MCKEE, P.H, CALONJE, E, GRANTER, S.R., (2005). Tumors of the Surface Epithelium, Pathology of The Skin. Third eds, 1:1158-61.
MEERAN, S.M., VAID, M., PUNATHIL, T & K. KATHIYAR, S, (2009). Skin Tumor Promotion 7, 12-dimethylbenz (α) anthracene in Mouse Skin, Which is Associated with the Inhibition of Inflammatory, 30:500.9
MITCHELL, R.N, and COTRAN, R.S., (2007). Pemulihan Jaringan Regenerasi dan Fibrosis Sel. Dalam Kumar, V, Cotran, R.S, Robbins, S.L. Robbins Buku Ajar Patologi 1; 1 ed. 63-84, Jakarta, EGC.
MIYATA M, FURUKAWA M, TAKAHASHI K, GONZALES FJ, YAMAZOE Y. (2001) Mechanism of 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene-Induced Immunotoxicity: Role of Metabolic Activation at the Target Organ. Jpn J Pharmacol 86:302-309.
MUN’IM A, ANDRAJATI, SUSILOWATI H. (2006). Uji hambatan tumorigenesis sari buah merah (Pandanus conoideus lam) terhadap tikus putih betina yang diinduksi 7, 12 dimetilbenz (a) antrasen (DMBA). MIK III(3):153 – 161.
MUQBIL I, AZMI AS, BANU N. (2006). Prior exposure to restraint stress enhances 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) induced DNA damage in rats. FEBS Letters 580(2): 3995–3999.
MUTO T, TAKASAKI S, TAKAHASHI H, HANA H, KANAI Y, WAKUI S, ENDO H, FURUSATO M. (2003). Initial changes of hepatic glycogen granules and glycogen phosporylase after exposure to 7, 12-dimethylbenz (α) anthracene in rats. Japan Toxicol Pathol 16(2): 153-160.
NIGAM, N. and SHUKLA, Y. (2007). Preventive Effects of Diallyl Sulfida on 7, 12 dimetilbenz (a) antrasen (DMBA) in Tumor Skin, Mol Nuir Food Res, 51; 1324-26.
PONTEN, F., & LUNDEBERG, J.(2003) Principles of tumor biology and pathogenesis of BCC and SCCs. IN BOLOGNIA, J., JORIZZO, J.,& RAPINI, R. (Eds.) Dermatology. London, Mosby.
PARK CB, FUKAMACHI K. (2004) Rapid induction of skin and mammary tumors in human c- Ha-ras proto-oncogen transgenic rats by Treatment with 7,12-dimethilbenz[α]anthracene followed by 12-0-tetradecanoylphorbol 13-acetate. Cancer sci, 95,205-10.
RIDD, K., ZHANG, S.D., & EDWARDS, R.E. (2006) Association of gene expression with sequential proliferation, differentiation and tumor formation in murine skin. Carcinogenesis, 27, 1556-66.
ROOMI, M.W., ROOMI, N.W., KALINOVSKY, T., IVANOV, V., RATH, M. & NIEDZWIECKI, A. (2008) Inhibition of 7,12-dimethylbenzanthracene-induced skin tumors by a nutrient mixture. Med Oncol, 25, 333-40.
SALVADORI, DMF, RIBEIRO DA. (2006). Mediumterm tongue carcinogenesis assays: a comparative study between 4-nitroquinoline 1-oxide (4NQO)-induced rat and dimethylbenzanthracene (DMBA)-induced hamster carcinogenesis. J Exp Animal Sci 43(3): 219-227.
SINGLETARY K, MCDONALD C, WALLIG M. (1997). The plasticizer benzylbutylphalate (BBP) inhibits 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA)-induced rat mammary DNA adduct formation and tumorigenesis. Carcinogenesis 18 (8): 1669-1673.
SULARSITO, S.A. (2001), Etiologi dan Patogenesis Kanker Kulit dalam Cipto, H. PRATOMO, U.S., HANDAYANI, I., & SUKARATA, K., (Eds). Deteksi dan Penatalaksanaan Kanker Kulit Dini, Jakarta, FK-UI.
SUNG YM, HE G, FISCHER, SM. (2005) Lack of Expression of the EP2 but not EP3 Receptor for Prostaglandin E2 Results in Suppression of Skin Tumor Development. Cancer Res 65:9304-9311
SLAGA TJ, (1986). SENCAR Mouse Skin Tumorigenesis Model Versus Other Strains and Stocks of Mice. Environmen Health Persp, 68, pp. 27-32
SUZUKI J.S, NISHIMURA N, ZHANG B. (2003). Metallothionein Deficiency Enhances Skin Carcinogenesi induced by 7,12-dimethylbenz[a] anthracene and 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate in Metallothionein-Null mice. Carcinogenesis,24, 6, 1123-1132.
TEICH, N.M. (1997), Oncogenes and Cancer, in: FRANKS, L. M., TEICH, N. M., Cellular and Molecular Biology of Cancer, 3rd ed., Oxford University Press, London.
YANTISS RK, ODZE RD. (2008). Neoplastic precursor lesions of the upper gastrointestinal tract. Diagnostic Histopathol 14(9): 437-452.
YU, H.; YAN, J. JIAO, Y. FU, P.P. (2005). Photochemical Reaction of 7,12- Dimethylbenz [a]anthracene (DMBA) and Formation of DNA Covalent Adducts. Int. J. Environ. Res. Public Health , 2, 114-122.
YUSUF, N., NASTI, T. H., MELETH, S. & ELMETS, C. A. (2009) Resveratrol enhances cell-mediated immune response to DMBA through TLR4 and prevents DMBA induced cutaneous carcinogenesis. Mol Carcinog, 48, 713-23.
XIE, X., ZHANG, Y., JIANG, Y., LIU, W., MA, H., WANG, Z. & CHEN, Y. (2008) Suppressive function of RKTG on chemical carcinogen-induced skin carcinogenesis in mouse. Carcinogenesis, 29, 1632-8.
ZIU MM, GIASUDDIN ASM, MOHAMMAD AR. (1994). The Effect of Garlic Oil (Allium sativum) on DMBA Induced Salivary Gland Tumorigenesis. J Islamic Acad Sci 7(3); 3-6.