Makalah 2 Peran Budaya Daerah Dalam Memperkokoh Ketahanan Budaya Bangsa
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, PERAN AUDIT INTERNAL,...
Transcript of PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, PERAN AUDIT INTERNAL,...
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, PERAN AUDIT INTERNAL, DAN
WHISTLEBLOWING SYSTEM TERHADAP PENCEGAHAN KECURANGAN
(Studi pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Trisna Wulandari
NIM: 1110082000031
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Trisna Wulandari
2. Tempat, Tanggal Lahir : Padang, 9 Desember 1991
3. Alamat : Jalan Gunung Merapi, Komplek Belanti
Indah B/2 Kec. Padang Utara, Padang,
Sumatra Barat
4. Telepon : 085213439663
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1. SD Pertiwi 3 Padang Tahun 1999-2004
2. SMP Negeri 1 Padang Tahun 2004-2007
3. SMA Negeri 1 Padang Tahun 2007-20105.
4. S1 Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010-2017
III. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta sebagai Jurnalis
periode 2010-2013
2. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta sebagai Editor
periode 2011-2013
3. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta sebagai Sekretaris
Umum periode 2011-2012
4. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta sebagai Bendahara
Umum periode 2012-2013
vi
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Suprianto
2. Ibu : Yeni Marlita
3. Anak ke : 2
viii
INFLUENCE OF ORGANIZATION CULTURE, INTERNAL AUDIT ROLE,
AND WHISTLEBLOWING SYSTEM ON FRAUD PREVENTION
ABSTRACT
This research was to analyze the factors that influence fraud prevention,
which consist of organization culture, internal audit role, and whistleblowing system.
It used population from government internal auditor who worked for General
Inspectorate of Ministry of Finance. The sample of this research were 70 workers.
They were chosen as samples with convenience sampling method. Hypothesis in this
research were tested by multiple regression.
The result of this research indicated that organization culture, internal audit
role, whistleblowing system has significant influence on fraud prevention. The
whistleblowing system and organization culture became the most dominant variable
to influence the fraud prevention.
Keywords: organization culture, internal audit role, whistleblowing system, fraud
prevention.
ix
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, PERAN AUDIT INTERNAL, DAN
WHISTLEBLOWING SYSTEM PADA PENCEGAHAN KECURANGAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi
pencegahan kecurangan yang terdiri atas budaya organisasi, peran audit internal, dan
whistleblowing system. Populasi penelitian ini adalah auditor internal pemerintahan
yang bekerja di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Jumlah sampel yang
dipilih lewat metode convenience sampling ialah sebanyak 70 orang pegawai negeri
sipil (PNS). Hipotesis dalam penelitian ini diuji menggunakan regresi linier berganda.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa budaya organisasi, peran auditor
internal, dan whistleblowing system memiliki pengaruh signifikan positif terhadap
pencegahan kecurangan. Adapun whistleblowing system dan budaya organisasi adalah
variabel paling dominan yang mempengaruhi pencegahan kecurangan.
Kata kunci: budaya organisasi, peran audit internal, whistleblowing system,
pencegahan kecurangan.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada suri tauladan, Nabi Muhammad SAW yang
telah memberikan tuntunan dan petunjuk kepada umat manusia menuju
kehidupan serta peradaban dan berkeadilan serta para keluarga dan para
sahabatnya.
Skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan dengan yang diharapkan penulis.
Kebahagian yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
menyelesaikan karya tulis ini bagi kedua orang tua dan pihak-pihak yang ikut andil
menyukseskan harapan penulis.
Sebagai bentuk penghargaan, penulis menuangkan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, Mama Papa, dan kakak, atas kesabarannya dalam
menyemangati dan mendoakan penulis selama studi hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. M. Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Amilin,
SE., Ak., M.Si., CA, QIA., BKP selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi
xi
Umum, dan Bapak Dr. Desmadi Saharuddin, MA selaku Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
3. Ibu Yessi Fitri, SE., Ak., M.Si selaku Ketua Program Studi Akuntansi
yang senantiasa memberikan dorongan ke pada penulis untuk
merampungkan skripsi.
4. Bapak Hepi Prayudiawan, SE., Ak.,MM selaku Sekretaris Program Studi
Akuntansi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing dan memberikan pengarahan serta dorongan dan motivasi
kepada penulis dengan sabar, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini
5. Ibu Sumiyati, SE., Ak., M.F.M, selaku Kepala Inspektorat Jenderal
Kementerian Keuangan yang telah memudahkan jalan penulis untuk
melakukan penelitian
6. Segenap staf Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang telah
memberikan kemudahan bagi penulis untuk melaksanakan penelitian.
7. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang
telah memberikan ilmu pengetahuan dalam mendidik penulis
selama melakukan studi.
8. Segenap karyawan dan pustakawan Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis yang telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk
melaksanakan studi pustaka.
xii
9. Dessita Chairani, Fajra Beauty Asri, Nadiah Suhaima Ghina, dan Khansa
Haura, serta keluarga Graffiti SMA N 1 Padang yang terus menghibur dan
menyemangati selama studi.
10. Umi Basiroh, Rika Mayangsari, Denis Fitriana, Lufita Amalia, serta teman
Akuntansi A dan Akuntansi UIN Jakarta angkatan 2010 yang selalu siap
membantu penelitian dan penulisan skripsi ini.
11. Stefani Tuela dan segenap teman magang Divisi Finance Toyota Motor
Manufacturing Indonesia yang selalu mendukung penulis.
12. Aditya Widya Putri, Afifatul Humairo, Ema Fitriyani, dan teman
Lembaga Pers Mahasiswa Institut yang memberikan momen berarti.
13. Dhamarista Intan, Fransisca Anggraini, Suci Nabbila, Alfino Suhanta,
Skolastika Sinta, Idham Rously, Rizaldy Yusuf, Jacky Rachmansyah,
Ardiles Hamzah, dan teman-teman Sarasvati Art Communication yang
terus menyemangati penulis selama masa penulisan skripsi.
Semoga Allah membalas semua kebaikan dan budi baik mereka dengan balasan
yang setimpal. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidak
sempurnaan dalam penelitian skripsi ini. Karenanya, kritik dan saran membangun
sangat berarti bagi penulis ke depan.
Jakarta, 7 April 2017
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Lembar Pengesahan Skripsi .......................................................................... ….ii
Lembar Pengesahan Uji Komprehensif ....................................................... …iii
Lembar Pengesahan Uji Skripsi ................................................................... …iv
Lembar Pernyataan Keaslian Skripsi .......................................................... ….v
Daftar Riwayat Hidup ................................................................................... …vi
Abstract ..............................................................................................................viii
Abstrak .................................................................................................................ix
Kata Pengantar ............................................................................................... ….x
Daftar Isi ............................................................................................................ xiii
Daftar Tabel ................................................................................................... xvii
Daftar Gambar ................................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian............................... .................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 14
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur............................................................... 15
1. Teori Peranan (Role Theory) ........................................ 15
2. Budaya Organisasi ........................................................ 16
xiv
3. Audit Internal ................................................................ 20
4. Whistleblowing System ................................................. 36
5. Pencegahan Kecurangan (Fraud) ................................. 44
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis....... 56
C. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya .................................... 60
D. Kerangka Pemikiran ........................................................... 65
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................. 67
B. Metode Penentuan Sampel ................................................. 68
C. Metode Pengumpulan Data ................................................ 68
1. Penelitian Pustaka (Library Research) ......................... 68
2. Penelitian Lapangan (Field Research )......................... 69
D. Metode Analisis Data ......................................................... 69
1. Statistik Deskriptif ........................................................ 69
2. Uji Kualitas Data .......................................................... 70
3. Uji Asumsi Klasik ........................................................ 93
4. Uji Hipotesis ................................................................. 73
E. Operasionalisasi Variabel................................................... 76
1. Budaya Organisasi ........................................................ 76
2. Peran Audit Internal……………………………….. .... 77
3. Whistleblowing System…………………………… ..... 78
4. Pencegahan Kecurangan (Fraud) ……………………. 79
xv
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ....................... 81
1. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................... 81
2. Karakteristik Responden ............................................... 82
B. Hasil Uji Instrumen Penelitian ........................................... 87
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif ........................................ 87
2. Hasil Uji Kualitas Data ................................................. 89
3. Hasil Uji Asumsi Klasik ............................................... 90
1. Hasil Uji Hipotesis dan Pembahasan ............................ 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 103
B. Implikasi
1. Bagi Peneliti ........................................................... 103
2. Bagi Instansi Pemerintah........................................ 104
3. Bagi Pegawai .......................................................... 104
4. Bagi Masyarakat..................................................... 104
C. Keterbatasan ....................................................................... 104
D. Saran ............................................................................... 105
Daftar Pustaka ................................................................................................ xx
xvi
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
2.1 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu…………………………….......61
3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian……………………………..81
4.1 Data Sampel Penelitian………………………………………......82
4.2 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Golongan…………83
4.3 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin…….84
4.4 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Umur……………….......84
4.5 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan ……….85
Terakhir
4.6 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pengalaman………86
Kerja
4.7 Hasil Uji Deskripsi Responden Latar Belakang Pendidikan…….87
4.8 Hasil Uji Deskripsi Responden Latar Belakang Pendidikan…….88
4.9 Hasil Uji Validitas Budaya Organisasi…………………………..90
4.10 Uji Validitas Peran Audit Internal……………………………….90
4.11 Uji Validitas Whistleblowing System…………………………….91
4.12 Uji Validitas Pencegahan Kecurangan……………………….......91
4.13 Hasil Uji Reliabilitas ………………………………………….....92
4.14 Hasil Uji Multikolonieritas ……………………………………...93
4.15 Hasil Uji Koefisien Determinasi…………………………………97
4.16 Hasil Uji Statistik t……………………………………………………..98
xvii
4.17 Hasil Uji Statistik……………………………………………….102
xviii
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1 Skema Kerangka Pemikiran……………………………………...68
4.1 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot ……………...94
4.2 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram……….....95
4.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas…………………………………….96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dalam mencegah kecurangan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan,
melindungi kepentingan negara dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundangan-undangan serta nilai-nilai etika (code of conduct) yang berlaku
secara umum pada Pegawai Negeri Sipil atau PNS) di Indonesia, wajib
melaksanakan peningkatan budaya organisasi. Aparat pelayanan publik
memberikan jasa pelayanan, sehingga dalam pemerintahan budaya sangat penting.
Budaya dalam pembahasan ini lebih mengarah terhadap budaya yang dapat
mencegah kecurangan. Menurut Zelmiyanti dan Anita (2015), budaya kejujuran
dan etika yang bernilai tinggi dapat mencegah kecurangan dalam suatu organisasi.
Selain faktor budaya organisasi, faktor yang akan mengurangi tindakan
kecurangan yaitu peran dari auditor internal. Kegiatan audit internal membantu
organsasi menerapkan kontrol yang efektif dengan mengevaluasi efektivitas dan
efesiansi serta mendorong perbaikan yang terus menerus (Sawyer, 2012). Peran
auditor internal di perbankan harus dapat mendorong pencapaian tujuan (goal)
perusahaan dengan tata kelola perbankan yang baik (Good Corporate
Governance/GCG). Peran auditor internal sebagai konsultan internal (internal
consulting) perusahaan harus dapat memberikan early warning kepada manajemen
2
perbankan untuk mencegah dan meminimalisasi dampak kecurangan yang dapat
merugikan perbankan. Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam
pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu
organisasi (perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal
(SPAI) – standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan,
dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai
untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan. Selain
itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang Deterrence,
Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985) dalam Zelmiyanti dan
Anita (2015), memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana
auditor internal melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian
terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor
internal untuk membuat laporan audit tentang fraud.
Internal auditor memiliki peranan penting di dalam perusahaan. Karena
internal auditor bertindak sebagai penilai independen untuk menelaah operasional
perusahaan dengan mengukur dan mengevaluasi kecukupan control serta efisiensi
dan efektifitas kerja perusahaan (Sawyer, 2012). Internal auditor memberikan
informasi yang diperlukan manajemen dalam menjalankan tanggung jawab mereka
secara efektif. Penelaahan internal atas kontrol-kontrol di bidang akuntansi dan
manajemen merupakan tanggung jawab auditor internal. Internal auditor hanya
mengusulkan suatu metode atau metode alternatif untuk memperbaiki kondisi
sedangkan memilih tindakan koreksi merupakan pekerjaan manajemen.
3
Banyak kasus-kasus manipulasi akuntansi yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan. Contohnya saja Enron, Worldcom, dan KPMG. Di Indonesia sendiri
terdapat kasus serupa seperti : Bank Lippo, Bank BNI, PT. Waskita, dll. Dari
kasus ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar, mengapa internal auditor tidak
dapat mendeteksi fraud yang dilakukan oleh manajemen. Hal tersebut bisa terjadi
apabila manajemen memanipulasi tugas dan fungsi internal auditor. Pihak
manajemen berupaya agar fraud yang dilakukan tidak tersentuh atau bahkan
mustahil untuk ditemukan. Selain itu pihak manajemen juga dapat meminta
internal auditor untuk mengubah laporan dari penugasan audit internal yang telah
dilakukannya. Dalam hal ini internal auditor dituntut memiliki sikap
profesionalisme.
Adanya pemberitaan berbagai kasus korupsi di Indonesia merupakan
permasalahan besar bagi Indonesia. Apabila diukur berdasarkan tingkat korupsi
dalam Corruption Perception Index untuk tahun 2014, Indonesia menempati posisi
107 dari 175 negara, yaitu naik 2 poin dan 7 peringkat dari tahun 2013. Skor
Indonesia berada pada peringkat kelima di Asia Tenggara setelah Singapura,
Malaysia, Filipina, dan Thailand (Transparancy International, 2015). Meskipun
demikian, skor tersebut patut diapresiasi sebagai hasil kerja bersama pemerintah,
masyarakat, dan pelaku bisnis untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Adanya kepedulian masyarakat untuk melakukan whistleblowing juga sangat
efektif untuk mengungkapkan korupsi maupun kecurangan yang terjadi.
Whistleblowing menurut Sawyer (2012) merupakan kegiatan pengungkapan
4
informasi oleh seseorang dalam organisasi kepada pihak-pihak tertentu akibat
adanya pelanggaran atau kejahatan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (2015)
mengatakan, peluncuran Komitmen Pengendalian Grafitifikasi dan Whistleblowing
System Online yang dilakukan pada hari ini di kementeriannya bukan berarti
Kementerian ESDM riskan dengan tindak pidana korupsi, tetapi merupakan
bentuk upaya pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian ESDM.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika
menyatakan dukungannya kepada Kementerian ESDM atas ditandatanganinya
Komitmen Pengendalian Grafitifikasi dan Whistleblowing System Online tersebut.
"Bagi kami segala upaya menuju kebaikan negara ini. Terkait dengan upaya
menghindari menghilangkan korupsi, gratifikasi. Kami sangat mendukung upaya
ini. (Metrotvnews.com:2015).
Menurut Setiawan (2017), whistleblowing system merupakan sebuah
mekanisme penyampaian pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang telah
terjadi atau akan terjadi yang melibatkan pegawai dan orang lain yang berkaitan
dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam organisasi
tempatnya bekerja. Masyarakat dengan budaya yang individualistik lebih efektif
dibandingkan dengan budaya kolektif dalam penerapan whistleblowing system.
Masyarakat dengan budaya kolektif lebih fokus pada hubungan yang saling
menguntungkan antara satu dengan lainnya. Hubungan sosial, norma kelompok,
dan solidaritas antar anggota kelompok dirasakan lebih nyaman dari pada hanya
5
sekedar ekspresi diri. Indonesia, sebagai negara di Benua Asia merupakan negara
dengan budaya kolektif dimana kehidupan sosial menjadi lebih dominan dalam
keseharian dibandingkan dengan kehidupan pribadi. Kondisi budaya yang seperti
itu, Whistleblowing system menjadi lebih sulit diterapkan di Indonesia.
Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) juga
memasukkan Whistleblowing system sebagai bagian dari 20 (dua puluh) indikator
yang akan dinilai apabila suatu unit/satker diajukan sebagai unit yang ber-WBK.
Penilaian indikator whistleblowing system dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek
pemenuhan, kualitas, dan implementasi.
Untuk aspek pemenuhan, yang dinilai adalah keberadaan dari pedoman
whistleblowing system, pedoman tersebut telah disahkan dan disosialisasikan
kepada seluruh pegawai di unit/satker tersebut.
Terkait dengan aspek kualitas, yang dinilai adalah adanya unit kerja yang
menangani pengaduan tersebut, mempunyai sistem perlindungan saksi dan korban,
serta penggunaan sistem informasi untuk pengaduan tersebut.
Sedangkan untuk aspek implementasi, yang dinilai adalah unit kerja telah
melaksanakan whistleblowing system, mekanisme perlindungan saksi dan korban
telah dijalankan, unit kerja telah melakukan pengendalian atas pelaksanaan WBS,
unit kerja juga telah melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Kesulitan yang sering menjadi pertanyaan bagi unit/satker yang diajukan
sebagai unit kerja yang akan ber-WBK adalah bagaimana memperoleh poin dari
aspek implementasi, apakah kalau tidak ada pengaduan berarti aspek implementasi
6
tersebut dinilai nol, sehingga nilai indikator whistleblowing system menjadi
rendah. Pengaduan tersebut akan sulit menjaring pengaduan mengingat budaya
kita yang merupakan budaya kolektif.
Tidak adanya pengaduan bukan berarti sistem tersebut tidak berjalan, sistem
tersebut dapat dikatakan telah diimplementasikan apabila secara berkala dilakukan
monitoring dan evaluasi. Implementasi juga bisa dalam bentuk penyediaan
sarana/media pengaduan, misalnya, whistleblowing system menyebutkan media
pengaduaan melalui hotline, sms, kotak pengaduan dan melalui web site unit
tersebut, maka penyediaan sarana yang diatur dalam pedoman tersebut juga
merupakan bentuk dari implementasi sistem.
Penerapan Whistleblowing system tidak hanya terbatas pada komitmen
pimpinan, tapi juga dibutuhkan kepedulian dan komitmen pegawai. Sudut
pandangnya adalah Whistleblowing system dipandang sebagai bagian dari sarana
atau media dalam mencapai tujuan organisasi. Selama pegawai maupun pimpinan
masih memandang pada tujuan pribadi maka whistleblowing system hanya akan
menjadi penghalang. Sukses atau tidaknya semua itu kembali kepada para pihak
bagaimana hubungan antara individu dengan organisasi.
Kecenderungan kecurangan akuntansi telah menarik banyak perhatian media
dan menjadi isu yang menonjol serta penting di mata pemain bisnis dunia.
Terdapat kasus dugaan korupsi yang terjadi di Kabupaten Buleleng adalah kasus
korupsi upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan Kehutanan Perkebunan dan
Pertambangan (PBB-KPP) senilai Rp1,6 miliar oleh Mantan Bupati Buleleng Putu
7
Bagiada dalam siding Pengadilan Tipikor Denpasar. Bagiada yang terbukti
melakukan korupsi selama dua perioda menjabat tahun 2002 hinga 2012 juga
harus mengembalikan uang Negara yang dikorupsi sebesar Rp574,7 miliar lebih
(infokorupsi.com: 2016) dalam Agusyani et al (2016). Kasus korupsi lainnya pada
dinas pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng yang menagih pengembalian dana
korupsi upah pungut pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai Rp600 juta dari
mantan kepala Dispenda Nyoman Pastika yang telah dijatuhi hukuman oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar (metrobali.com: 2016) dalam
Agusyani et al. (2016). Kecurangan merupakan bentuk penipuan yang sengaja
dilakukan sehingga dapat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang
dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan (Agusyani
et al (2016). Menurut Nurillah (2014), kompetensi sumber daya manusia adalah
kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi (kelembagaan), atau suatu
sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai
tujuannya secara efektif dan efisien. Pada aspek sumber daya manusia terdapat
potensi persoalan, yakni pada tenaga kerja berpotensi melakukan korupsi/fraud
memanfaatkan lemahnya sistem pengendalian internal. Untuk mendeteksi,
meminimalisir dan kemudian menghilangkan kecurangan atau penipuan yang
dilakukan pihak internal organisasi.
Menurut Octaviari (2015), sistem pelaporan pelanggaran atau yang biasa
disebut dengan whistleblowing system merupakan wadah bagi seorang
whistleblower untuk mengadukan kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan
8
pihak internal organisasi. Sistem ini bertujuan untuk mengungkap fraud yang
dapat merugikan organisasi dan mencegah fraud yang lebih banyak lagi.
Penerapan whistleblowing system menjadi suatu alat yang dapat dipergunakan
untuk mencegah terjadinya korupsi atau kecurangan yang bisa terjadi pada
pengelolaan keuangan penerimaan PAD. Whistleblower adalah seseorang yang
melaporkan suatu tindakan melawan hukum, terutama korupsi atau fraud, di dalam
organisasi atau institusi tempat ia bekerja. Orang ini biasanya mempunyai data
atau bukti yang memadai terkait tindakan yang melawan hukum tersebut.
Peran whistleblower sangatlah penting dalam mengungkap suatu tindakan
melawan hukum di dalam internal organisasi. Namun, banyak orang yang takut
untuk mengadukan tindak kecurangan, karena tak sedikit risiko yang harus
dihadapi, bahkan sulit dihindari dan solusinya mereka lebih memilih untuk diam.
Mulai dari ancaman terlapor pada dirinya maupun keluarganya dan ancaman
pemecatan. Jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap whistleblower
juga sudah ada sejak tahun 2006 dengan lahirnya UU 13/2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Hal tersebut merupakan salah satu pendorong
atau motivasi seseorang untuk menjadi whistleblower. Seorang whistleblower
dalam upaya mengungkap suatu tindak pelanggaran dan kecurangan, baik di
perusahaan atau suatu lembaga pemerintahan, memang dapat dilatarbelakangi
berbagai motivasi, seperti pembalasan dendam ingin “menjatuhkan” perusahaan
tempatnya bekerja, mencari “selamat”, atau niat untuk menciptakan lingkungan
perusahaan tempatnya bekerja menjadi lebih baik dan lebih beretika. Seorang
9
whistleblower memiliki motivasi yang kuat untuk berani mengungkap skandal
kejahatan terhadap publik. Whistleblower memiliki suara hati yang memberi
petunjuk kuat mengenai pentingnya sebuah skandal untuk diungkap (Lembaga
Perlindungan Saksi dan korban, 2011) dalam Agusyani et al (2016).
BPK RI menemukan permasalahan yakni masih rendahnya kualitas
informasi laporan keuangan daerah yang disebabkan oleh pemahaman akuntansi
dari penyusun laporan itu sendiri yang berhubungan langsung dengan kompetensi
sumber daya manusia, belum diterapkannya secara optimal sistem akuntansi
keuangan dan masih lemahnya sistem pengendalian internal. Menurut Warisno
(2008) dalam Sukmaningrum (2012) dalam pengelolaan keuangan daerah yang
baik, karyawan harus memiliki sumber daya manusia yang kompeten, yang
didukung dengan latar belakang pendidikan akuntansi, sering mengikuti
pendidikan dan pelatihan, dan mempunyai pengalaman di bidang keuangan.
Terdapat beberapa permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut, yaitu apakah
whistleblowing system berpengaruh terhadap pencegahan fraud pada pengelolaan
keuangan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Dinas Pendapatan
Daerah Kabupaten Buleleng, apakah kompetensi sumber daya manusia
berpengaruh terhadap pencegahan fraud pada pengelolaan keuangan penerimaan
PAD pada dinas pendapatan daerah kabupaten Buleleng, dan apakah
whistleblowing system dan kompetensi sumber daya manusia berpengaruh
terhadap pencegahan fraud pada pengelolaan keuangan penerimaan PAD pada
dinas pendapatan daerah kabupaten Buleleng.
10
Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, penelitian di atas bertujuan
untuk membuktikan pengaruh whistleblowing system dan kompetensi sumber daya
manusia berpengaruh terhadap pencegahan fraud pada pengelolaan keuangan
penerimaan PAD pada dinas pendapatan daerah kabupaten Buleleng. Menurut
Komite Nasional Kebijakan Governance (2008:2) dalam Agusyani et al (2016),
salah satu manfaat dari penyelenggaraan whistleblowing system yang baik adalah
timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, karena kepercayaan
terhadap sistem pelaporan yang efektif. Keberadaan whistleblowing system tidak
hanya sebagai saluran pelaporan kecurangan yang terjadi, namun juga sebagai
bentuk pengawasan. Karyawan menjadi takut untuk melakukan kecurangan karena
sistem ini bisa digunakan oleh seluruh karyawan, sehingga sesama karyawan
menjadi saling mengawasi satu sama lain dan takut untuk dilaporkan karyawan
lain karena melakukan kecurangan. Hal ini dapat mencegah fraud yang akan
terjadi pada pengelolaan keuangan desa. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Vredy Octaviari Nugroho (2015) dalam Agusyani et al (2016) yang
menunjukkan bahwa whistleblowing system berpengaruh terhadap pencegahan
fraud pada PT Pagilaran.
Mengingat sistem whistleblowing cukup efektif untuk mendeteksi
kecurangan, saat ini hampir sebagian besar instansi pemerintah seperti
Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial,
11
Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan memiliki sistem penanganan pengaduan untuk
mengurangi fenomena korupsi di lembaga publik. Sistem whistleblowing yang
efektif, transparan, dan bertanggungjawab akan mendorong dan meningkatkan
partisipasi karyawan untuk melaporkan dugaan kecurangan yang diketahuinya.
Meskipun demikian, sampai saat ini belum banyak terlihat bagaimana peran sistem
pelaporan dan perlindungan bagi whistleblower dapat mendorong munculnya
whistleblower pada sektor pemerintah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh sikap terhadap perilaku (attitude towards the behavior),
norma subyektif (subjective norm), dan persepsi kontrol atas perilaku (perceived
behavioral control) pada niat dan perilaku untuk melakukan whistleblowing.
Penting untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi niat pegawai untuk
melakukan tindakan whistleblowing agar organisasi dapat merancang kebijakan
dan sistem whistleblowing yang efektif. Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan masukan bagi regulator dan lembaga profesi untuk menetapkan
regulasi terkait tindakan whistleblowing, serta menetapkan sistem penanganan
pengaduan yang implementatif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
korupsi.
Kecurangan (Fraud) merupakan konsep hukum yang memiliki cakupan luas.
Istilah kecurangan akuntansi diartikan sebagai penipuan atau kecurangan di bidang
12
keuangan. Menurut Tunggal (2012:189) kecurangan (Fraud) diartikan sebagai
penipuan di bidang keuangan yang disengaja, yang dimaksudkan untuk mengambil
aset atau hak orang maupun pihak lain.
Dalam melakukan kecurangan, setiap orang atau pelaku memiliki motivasi
yang beraneka ragam. Salah satu teori yang menjelaskan tentang motivasi
seseorang dalam melakukan kecurangan adalah Teori Fraud Triangle yang teori
ini mengatakan bahwa “Kecurangan akuntansi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
1) Kesempatan (Opportunity); 2) Tekanan (Pressure); dan 3) Rasionalisasi
(Rationalization)”.
Kecenderungan kecurangan dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kesempatan
(Opportunity) atau peluang. Peluang yang besar membuat kecenderungan
kecurangan lebih sering terjadi. Untuk menangani masalah tersebut, diperlukan
monitoring dalam sebuah pemerintahan dan untuk mendapatkan hasil monitoring
yang baik, maka diperlukan peranan auditor internal dalam mengurangi banyaknya
tindak kecurangan.
Penulis melihat adanya masalah yang perlu dikaji, yaitu peranan dari budaya
organisasi, peran audit internal, dan whistleblowing dengan sejumlah temuan yang
kemungkinan atau dapat diidentifikasi sebagai temuan kecurangan (fraud) pada
instansi pemerintahan, Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan
penelitian yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi, Peran Audit Internal,
dan Whistleblowing System Terhadap Pencegahan Kecurangan (Studi pada
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan)”.
13
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Zelmiyanti dan Anita (2015:68). Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Variabel yang digunakan peneliti terdahulu adalah budaya organisasi dan
peran auditor internal, pengendalian internal sebagai variable intervening yang
diduga mempengaruhi pencegahan kecurangan. Sedangkan, peneliti
menambahkan satu variabel independen yaitu, whistleblowing system. Peneliti
juga menghilangkan variabel sistem pengendalian internal sebagai variabel
intervening.
2. Obyek dalam penelitian ini adalah staf auditor pada Inspektorat Jendral
Kementerian Keuangan yang ada di Jakarta. Sedangkan, obyek penelitian
sebelumnya internal auditor pada BPR yang ada di Sumatera Barat.
14
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan permasalahan yang
hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah budaya organisasi, peran auditor internal, dan whistleblowing system
berpengaruh positif terhadap pencegahan fraud?
2. Variabel independen manakah yang paling dominan mempengaruhi
pencegahan fraud?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan
bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut :
a. Menganalisa budaya organisasi, peran auditor internal dan whistleblowing
system berpengaruh terhadap pencegahan fraud.
b. Menganalisa variabel independen manakah yang paling dominan
mempengaruhi pencegahan fraud.
2. Manfaat Penelitian
a. Kontribusi Teoritis
1) Mahasiswa Jurusan Akuntansi, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan
referensi penelitian selanjutnya dan pembanding untuk menambah ilmu
pengetahuan.
2) Peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak – pihak yang akan
melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini.
15
3) Penulis, sebagai sarana untuk memperluas wawasan serta menambah
referensi mengenai auditing, terutama tentang pencegahan fraud sehingga
diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis di masa yang akan datang.
b. Kontribusi Praktis
1) Pemahaman seorang auditor internal, dengan menguasai budaya suatu
organisasi di kementerian untuk mendapatkan informasi dari
whistleblowing sebagai tujuan untuk mengurangi tingkat fraud.
2) Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Inspektorat Jenderal
Kementrian Keuangan untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi
birokrasi yang sedang berjalan.
3) Masyarakat, sebagai sarana informasi tentang pencegahan fraud serta
menambah pengetahuan akuntansi khususnya auditing dan akuntansi
keprilakuan dengan memberikan bukti empiris tentang pengaruh budaya
organisasi, peran auditor internal dan whistleblowing system terhadap
pencegahan fraud.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Litelatur
1. Teori Peranan (Role Theory)
Menurut Cohen (2009), setiap orang pasti akan memiliki peran dalam
kehidupan ini, misalnya di lingkungan kementerian, di lingkungan tersebut
tentunya akan terdapat peran yang diambil tiap masing-masing individu,
seperti peran sebagai pimpinan dengan pegawai dan lain sebagainya. Namun
dalam pembahasan ini akan dibatasi pada peranan pimpinan. Sebelum
membahas lebih jauh akan lebih baik jika kita mengetahui apa pengetian dari
peran itu sendiri.
Teori Peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan
berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Istilah “peran” diambil dari
dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang
tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk
berperilaku secara tertentu. Selain itu, peranan atau role (Cohen, 2009) juga
memiliki beberapa bagian, yaitu:
1. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul
dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan.
15
2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang
diharapkan masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan tertentu.
3. Konflik peranan (Role Conflick) adalah suatu kondisi yang dialami
seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut
harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain.
4. Kesenjangan Peranan (Role Distance) adalah Pelaksanaan Peranan
secara emosional.
5. Kegagalan Peran (Role Failure) adalah kagagalan seseorang dalam
menjalankan peranan tertentu.
6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya
kita contoh, tiru, diikuti.
7. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan seseorang
dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya.
8. Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila
seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan
peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang
bertentangan satu sama lain.
Teori peran juga menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan
oleh individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stress, depresi,
merasa tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada
harapan tersebut tidak mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa
konflik peran dapat memberikan pengaruh negatif terhadap cara berpikir
16
seseorang. Dengan kata lain, konflik peran dapat menurunkan tingkat
komitmen independensi seseorang (Ahmad dan Taylor, 2009) dalam
Sindudisastra, (2014).
2. Budaya Organisasi (Organization Culture)
Penyebab kejahatan di organisasi atau perusahaan dapat disebabkan oleh
patologi sosial budaya yang menganut budaya konsumerisme dan
materialisme sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan
(Karyono;2013), oleh karena itu disamping pengendalian intern, konsep
penting lainnya dalam pencegahan fraud, yakni menanamkan kesadaran
tentang adanya fraud (fraud awareness) (Tuanakotta, 2010).
Kesadaran tentang adanya fraud dapat dimasukkan ke dalam suatu
budaya organisasi, dalam hal ini pengertian budaya organisasi itu sendiri
merupakan sistem yang dianut oleh para anggota suatu organisasi atau
perusahaan yang merupakan hal untuk membedakan organisasi atau
perusahaan itu dari organisasi atau perusahaan lain. Dengan demikian,
menurut Tuanakotta (2010), budaya organisasi atau perusahaan adalah nilai
yang dirasakan bersama oleh para anggota organisasi yang diwujudkan dalam
bentuk sikap perilaku atau komitmen pada organisasi atau perusahaan.
Budaya organisasi dapat digunakan sebagai salah satu alat Manajemen
untuk mencapai efisiensi, efektivitas, produktivitas dan etos kerja seperti yang
17
ditunjukkan di berbagai perusahaan di Jepang, Amerika dan beberapa Negara
Eropa, dan ternyata dapat membuat perusahaan berhasil efektif
(Sutrisno:2013).
Menurut Sutrisno (2013), budaya organisasi dapat didefinisikan
sebagai perangkat sistem nilai-nilai (value), keyakinan-keyakinan (beliefs),
asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku,
disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman
perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Budaya organisasi
juga disebut budaya perusahan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-
norma yang telah relative lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota
organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-
masalah organisasi (perusahaan).
Kemungkinan besar suatu kecurangan terjadi ketika lingkungan
pekerjaan integritasnya lemah, pengendaliannya tidak kuat, kehilangan
akuntabilitas, atau mendapat tekanan yang besar, maka tidak dapat dipungkiri
seseorang akan melakukan ketidakjujuran. Menurut Karyono (2013) apabila
penyebab fraud karena faktor individu, pencegahannya dengan meningkatkan
integritas dan budaya jujur serta mengeliminasi tekanan, kesempatan,
kebutuhan, pembenaran dan pengungkapan, sementara bila penyebab fraud
karena kondisi organisasi terutama karena kelemahan pengendalian intern,
18
pencegahannya dilakukan dengan penerapan rancangan struktur pengendalian
yang andal dan praktik yang sehat dalam pelaksanaannya.
Namun demikian, organisasi punya pilihan, mereka dapat membentuk
lingkungan pekerjaan dimana kemungkinan terjadinya fraud sangat kecil, atau
lingkungan pekerjaan yang berpeluang kemungkinan terjadinya fraud sangat
besar. Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan
suatu perilaku organisasi yang mencerminkan kejujuran dan etika yang
dikomunikasikan secara tertulis dan dapat dijadikan pegangan oleh seluruh
pegawai. Budaya organisasi merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota
organisasi (Kilmann:1988) yang dituliskan kembali oleh Sutrisno (2013)
dimana kultur budaya memiliki akar dan memiliki nilai-nilai luhur yang
menjadi dasar bagi etika pengelolaan suatu organisasi atau suatu perusahaan.
Menurut Wibowo (2011:19) budaya organisasi adalah filosofi dasar organisasi
yang memuat keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai bersama yang menjadi
karakteristik inti bagaimana cara melakukan sesuatu dalam organisasi.
Salah satu faktor yang bisa mencegah kecurangan menurut Arens
(2008:441) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015) adalah budaya yang jujur dan
etika yang tinggi. Teori Arens diperkuat oleh Tunggal (2010: 231)
menyatakan bahwa kecurangan dapat dicegah dengan meningkatkan budaya
organisasi yang dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip
Good Corparate Governance. Perbankan bertanggung jawab untuk
19
menerapkan budaya yang baik dalam perusahaan agar tindakan kecurangan
bisa diminimalkan.
Untuk mengukur variable tersebut menggunakan pendapat Robbins
dan Coulter (2010:63) Zelmiyanti dan Anita (2015) yaitu :
a. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu kadar seberapa jauh karyawan
didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
b. Perhatian ke hal yang rinci atau detail, yaitu kadar seberapa jauh karyawan
diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian yang
rinci/detail.
c. Orientasi hasil, yaitu kadar seberapa jauh pimpinan berfokus pada hasil
atau output dan bukannya pada cara mencapai hasil itu.
d. Orientasi orang, yaitu kadar seberapa jauh keputusan manajemen turut
mempengaruhi orang- orang yang ada dalam organisasi.
e. Orientasi tim, yaitu kadar seberapa jauh pekerjaan disusun berdasarkan
tim dan bukannya perorangan.
f. Keagresifan, yaitu kadar seberapa jauh karyawan agresif dan bersaing,
bukannya daripada bekerja sama.
g. Kemantapan/stabilitas, yaitu kadar seberapa jauh keputusan dan tindakan
organisasi menekankan usaha untuk mempertahankan status quo.
14
3. Pengertian Audit Internal
Audit internal yang digunakan sebagai suatu cara untuk mencegah
kecurangan dalam kementerian yang kegiatannya meliputi menguji dan
menilai efektivitas serta kesesuaian sistem pengendalian internal yang ada
dalam organisasi. Fungsi audit internal ini dalam suatu kementerian dapat
berupa divisi, departemen, fungsi bisnis, proses bisnis, layanan informasi, dan
sistem. Tanpa audit internal, dewan direksi atau pimpinan unit tidak akan
memiliki sumber informasi internal yang bebas mengenai kinerja organisasi.
Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan,
pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi
(perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) –
standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan,
dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai
untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
Selain itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang
Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985) dalam
Zelmiyanti dan Anita (2015), memberikan pedoman bagi auditor internal
tentang bagaimana auditor internal melakukan pencegahan, pendeteksian dan
penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan
tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud
(Effendi: 2010) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015).
15
Audit internal mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai
tujuan kementrian yang telah ditentukan. Perlunya konsep audit internal
dikarenakan bertambah luasnya ruang lingkup kementrian. Oleh karena itu
semakin besar suatu kementrian maka semakin luas pula rentang pengendalian
yang dipikul pimpinan, sehingga manajemen harus menciptakan suatu
pengendalian intern yang efektif untuk mencapai suatu pengelolaan yang
optimal dengan mempertimbangkan manfaat dan biayanya. Audit internal
yang dilakukan dalam suatu kementrian merupakan kegiatan penilaian dan
verifikasi atas prosedur-prosedur, data yang tercatat berdasarkan atas
kebijakan dan rencana kementrian, sebagai salah satu fungsi dalam upaya
mengawasi aktivitasnya. Aktivitas audit internal menjadi pendukung utama
untuk tercapainya tujuan pengendalian internal. Ketika melaksanakan
kegiatannya, audit internal harus bersifat objektif dan kedudukannya dalam
kementrian adalah independen.
Audit internal merupakan pengawasan manajerial yang fungsinya
mengukur dan mengevaluasi sistem pengendalian dengan tujuan membantu
semua anggota manajemen dalam mengelola secara efektif
pertanggungjawabannya dengan cara menyediakan analisis, penilaian,
rekomendasi, dan komentar-komentar yang berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan yang ditelaah. Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors
– IIA) dikutip oleh Messier (2005: 514), mendefinisikan audit internal sebagai
berikut :
16
“Audit intern adalah aktivitas independen, keyakinan obyektif, dan
konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi
organisasi. Audit intern ini membantu organisasimencapai tujuannya dengan
melakukan pendekatan sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas manajemen resiko, pengendalian, dan proses tata
kelola.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa audit intern merupakan
suatu aktivitas yang dilakukan untuk membantu manajemen dalam
penyediaan informasi, dengan tujuan akhir yaitu menambah nilai perusahaan.
Pelaksanaan audit intern dilakukan secara independen dan obyektif yang
berarti tidak terpengaruh oleh pihak manapun dan tidak terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan yang diaudit. Hasil audit yang diperoleh dari
pelaksanaan audit internal secara independen dan obyektif tersebut akan dapat
diandalkan oleh para pengguna informasi. Kegiatan penilaian ini bersifat
independen bukanlah dalam arti absolut yang berarti bebas dari semua
ketergantungan, tetapi mengandung pengertian bahwa internal auditor, bebas
dari pengaruh atau kekuasaan pihak yang diperiksanya sehingga diharapakan
akan dapat memberikan penilaian yang objektif. Definisi tersebut juga tidak
hanya mencakup peranan dan tujuan auditor internal, tetapi juga menyatakan
lingkup yang luas dari audit internal modern yang lebih menekankan pada
penambahan nilai dan semua hal yang berkaitan dengan resiko, tata kelola,
17
dan pengendalian. Mulyadi (2002:29) dalam Sugiman (2016) menyatakan
bahwa:
“Auditor intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan
(perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya
adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh
manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan
terhadap kekayaan organisasi, menentukan keandalan informasi yang
dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi”.
Dari definisi tersebut dapat dilihat beberapa lingkup tugas auditor
internal dalam perusahaan yang bertujuan untuk menilai efisiensi dan
efektifitas kegiatan usaha dan juga pengendalian internal yang telah
dijalankan. Selanjutnya Agoes (2004: 221) dalam Sugiman (2016)
memberikan pendapatnya mengenai audit internal sebagai berikut :
“Internal Audit (pemeriksaan intern) adalah pemeriksaan yang
dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan
keuangan, dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap
kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap
peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang
berlaku. Peraturan pemerintah misalnya peraturan dibidang perpajakan,
pasar modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi dll.
Ketentuan dari ikatan profesi misalnya standar akuntansi keuangan.”
Internal audit perusahaan terhadap laporan keuangan dan catatan
akuntansi bertujuan untuk mengetahui apakah pembukuan dan laporan
keuangan tersebut telah menunjukan gambaran aktivitas yang sebenarnya dan
untuk mengetahui apakah setiap bagian atau unit benar-benar telah
18
melaksanakan kebijakan rencana dan prosedur yang telah ditetapkan oleh
manajemen puncak (Sugiman, 2016). Perusahaan perkebunan memiliki
kedudukan yang penting dalam perekonomian dan pembangunan, maka
fungsi audit internal menjadi semakin penting. Secara umum dapat dikatakan
bahwa fungsi audit intern bagi manajemen perusahaan adalah untuk menjamin
pelaksanaan operasional yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Di dalam perusahaan, audit intern yang merupakan fungsi staf, tidak
memiliki wewenang untuk langsung memberi perintah kepada pegawai, juga
tidak dibenarkan untuk melakukan tugas-tugas operasional dalam perusahaan
yang sifatnya di luar kegiatan pemeriksaan.
3.1 Audit Internal yang efektif
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari kegiatan usaha
suatu perusahaan, adanya suatu, departemen audit internal yang efektif
sangat diperlukan. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus
diperhatikan agar suatu perusahaan dapat memiliki departemen audit
internal yang efektif dalam membantu manajemen dengan memberikan
analisa, penilaian, dan saran mengenai kegiatan yang diperiksanya,
Sawyers (2012).
a. Departemen audit internal harus mempunyai kedudukan independen
dalam organisasi perusahaan, yaitu tidak terlibat dalam kegiatan
operasional yang diperiksanya.
19
b. Departemen audit internal harus mempunyai uraian tugas tertulis
yang jelas sehingga dapat mengetahui tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya. Departemen audit internal harus pula memiliki
internal audit manual yang berguna untuk:
1) Mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas,
2) Menentukan standar untuk mengukur dan meningkatkan
performance,
3) Memberi keyakinan bahwa hasil akhir departemen audit internal
telah sesuai dengan requirement kepala audit internal.
c. Departemen audit internal harus memiliki dukungan yang kuat dari
top management. Dukungan yang kuat dari top management tersebut
dapat berupa:
1) Penempatan departemen audit internal dalam posisi yang
independen,
2) Penempatan staf audit dengan gaji yang rationable
3) Penyediaan waktu yang cukup dari top management untuk
membaca, mendengarkan dan mempelajari laporanlaporan yang
dibuat oleh departemen audit internal dan tanggapan yang cepat
dan tegas terhadap saran-saran perbaikan yang diajukan.
d. Departemen audit internal harus memiliki sumber daya yang
profesional, berkemampuan, dapat bersikap objektif dan mempunyai
integritas serta loyalitas yang tinggi.
20
e. Departemen audit internal harus bersifat koperatif dengan akuntan
publik.
f. Harus diadakannya rotasi dan kewajiban mengambil cuti bagi pegawai
departemen audit internal.
g. Pemberian sanksi yang tegas kepada pegawai yang melakukan
kecurangan dan memberikan penghargaan kepada mereka yang
berprestasi.
h. Menetapkan kebijakan yang tegas mengenai pemberian-pemberian
dari luar.
i. Mengadakan program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan pegawai dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
sebagai auditor internal.
3.2 Auditor Internal
Audit internal mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mencapai tujuan kementrian yang telah ditentukan. Perlunya konsep audit
internal dikarenakan bertambah luasnya ruang lingkup kementrian. Oleh
karena itu semakin besar suatu kementrian maka semakin luas pula
rentang pengendalian yang dipikul pimpinan, sehingga manajemen harus
menciptakan suatu pengendalian intern yang efektif untuk mencapai suatu
pengelolaan yang optimal dengan mempertimbangkan manfaat dan
biayanya. Audit internal yang dilakukan dalam suatu kementrian
21
merupakan kegiatan penilaian dan verifikasi atas prosedur-prosedur, data
yang tercatat berdasarkan atas kebijakan dan rencana kementrian, sebagai
salah satu fungsi dalam upaya mengawasi aktivitasnya. Aktivitas audit
internal menjadi pendukung utama untuk tercapainya tujuan pengendalian
internal. Ketika melaksanakan kegiatannya, audit internal harus bersifat
objektif dan kedudukannya dalam kementrian adalah independen.
Dari pengertian diatas, dapat dilihat dari penekanan pengertian
Auditing Internal singkatnya adalah untuk memberikan jasa (service)
kepada manajemen. Sedangkan pengertian Audit Internal menurut
Theresa et al. (2014) adalah suatu fungsi penilaian yang independen yang
ada dalam suatu organisasi dengan tujuan untuk menguji dan
mengevaluasi kegiatan-kegiatan organisasi yang dilaksanakan.
Dari definisi di atas, audit internal merupakan suatu kontrol
organisasi yang mengukur dan mengevaluasi organisasi. Informasi yang
dihasilkan, ditujukan untuk manajemen organisasi sendiri. Setelah
mengetahui apa yang dimaksud dengan audit internal, terdapat istilah
yang disebut auditor internal yang harus kita ketahui untuk dapat
membedakan antara audit internal dengan auditor internal.
Pengertian tersebut menyatakan bahwa audit internal merupakan
suatu fungsi penilaian yang independen yang ditetapkan dalam organisasi
untuk menguji dan mengevaluasi aktivitasnya sebagai suatu pelayanan
terhadap organisasi.
22
Sedangkan Valery G. Kumat (2011:35) mendefinisikan audit
internal sebagai agen yang paling „pas‟ untuk mewujudkan internal
control, risk management, dan good corporate governance yang pastinya
akan memberi nilai tambah bagi sumber daya dan kementerian.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa audit internal
merupakan jaminan, independen, obyektif dan aktivitas konsultasi yang
dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi.
Ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa
pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas proses manajemen risiko, pengendalian, dan
proses governance.
3.3 Tujuan Audit Internal
Menurut Hery (2010:39) tujuan dari audit internal secara umum
memiliki tujuan untuk membantu segenap anggota manajemen dalam
menyelesaikan tanggung jawab mereka secara efektif, dengan member
mereka analisis, penilaian, saran dan komentar yang objektif mengenai
kegiatan atau hal-hal yang diperiksa.
Untuk mencapai keseluruhan tujuan tersebut, maka auditor harus
melakukan beberapa aktivitas sebagai berikut :
1. Memeriksa dan menilai baik buruknya pengendalian atas akuntansi
keuangan dan operasi lainnya.
23
2. Memeriksa sampai sejauh mana hubungan para pelaksana terhadap
kebijakan, rencana dan prosedur yang telah ditetapkan.
3. Memeriksa sampai sejauh mana hubungan para pelaksana terhadap
kebijakan, rencana dan prosedur yang telah ditetapkan.
4. Memeriksa kecermatan pembukuan dan data lainnya yang dihasilkan
oleh kementrian.
5. Menilai prestasi kerja para pejabat/pelaksana dalam menyelesaikan
tanggung jawab yang telah ditugaskan.
Adapun aktivitas dari audit internal yang disebutkan di atas
digolongkan kedalam dua macam, diantaranya :
1. Financial auditing
Kegiatan ini antara lain mencakup pengecekan atas kecermatan dan
kebenaran segala data keuangan, mencegah terjadinya kesalahan atau
fraud dan menjaga kekayaan kementrian.
2. Operational auditing
Kegiatan pemeriksaan ini lebih ditujukan pada operasional untuk
dapat memberikan rekomendasi yang berupa perbaikan dalam cara
kerja,sistem pengendalian dan sebagainya.
3.4 Peran Audit Internal
Mengingat pentingnya peran pengawasan terhadap tindak fraud,
maka audit internal menjadi satu-satunya unit kerja yang paling tepat
24
melakoninya. Karena itu, peran audit internal yang selama ini selalu
berkaitan dengan urusan physical control harus sudah bergeser dari
sekedar terkesan sebagai “provoost” kementrian menjadi unit yang
mampu berperan dalam pencegahan sekaligus pendeteksian fraud.
Menurut BPKP (2008:43) peran yang ideal bagi audit internal yaitu
sebagai berikut:
1. Peran audit internal dalam pencegahan fraud
2. Peran audit internal dalam pendeteksian fraud
Audit internal dituntut untuk waspada terhadap setiap hal yang
menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya fraud, yang mencakup:
1. Identifikasi titik-titik kritis terhadap kemungkinan terjadinya fraud.
2. Penilaian terhadap sistem pengendalian yang ada, dimulai sejak
lingkungan pengendalian hingga pemantauan terhadap penerapan
sistem pengendalian.
3.5 Kompetensi Audit Internal
Melihat banyak beban yang harus dipikul oleh tim audit internal,
maka dapat diidentifikasi kebutuhan yang sesuai akan kompetensi dasar
(basic competency) yang sama bagi para auditor. Menurut Kumaat (2011:
25-27) dijelaskan kompetensi audit internal mulai dari head of
department hingga para pelaksana sebagaimana penulis uraikan berikut
ini:
25
1. Soft Competency – Audit Internal : Menentukan Sosok Audit yang
Ideal.
Kepribadian atau karaktek positif yang kuat sekarang ini diakui
sebagai penentu keberhasilan seseorang dalam meniti karier, lebih
dari bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Sosok audit
internal yang ideal harus memiliki keunikan tersendiri, yaitu
perpaduan karakter yang jarang dijumpai pada posisi/profesi lain.
Karena harus independen dalam mengidentifikasi, menganalisis,
menetapkan akar masalah hingga mengeluarkan rekomendasi
solusi, integritas menjadi hal yang tidak dapat ditawar. Secara kasat
mata orang-orang seperti ini umumnya dijumpai dengan kemiripan
ciri dalam hal:
a. Sangat berminat dengan topik-topik meyangkut religoisitas,
spriritualitas, humanitas, filsafat, atau tertarik berdiskusi tentang
masalah keadilan.
b. Memiliki prinsip hidup dan pendirian teguh, yaitu hasil bentukan
dari pengalaman hidup yang lebih banyak gejolak ketimbang
kisah sukses.
c. Menampilkan gaya hidup yang cenderung sederhana dengan
tingkat persistensi dan disiplin diri yang relatif tinggi dan
konsisten yang sudah teruji oleh waktu.
26
Selanjutnya, karena sifat pekerjaan auditor yang harus selalu
berinteraksi dengan berbagai tipe manusia, bahkan mempengaruhi
orang lain, auditor mau tidak mau juga harus memiliki aura
kepemimpinan yang memadai. Kumaat (2011:26) berpendapat bahwa
pemimpin bisa berasal dari bakat (borned to be a leader) maupun
hasil pembentukan (leader by learning experience). Secara umum
orang-orang ini terlihat dari ciri-ciri:
a. Minat yang tinggi atau pengalaman yang konsisten, mulai dari
masa sekolah/kuliah hingga meniti karier, terlibat dalam aktivitas
organisasi.
b. Relatif dewasa (matured) dibanding rekan sebayanya, serta
memiliki kepercayaan diri (self confidance) dan kemandirian (self-
driven) yang relatif tinggi.
c. Memiliki kemampuan interpersonal relation, empathy, dan
teamwork yang baik, yang juga ditopang oleh lingustic
intelligence yang baik, khususnya fasih secara moral (terlihat saat
berdiskusi atau ketika tampil sebagai public speaker).
Hard Competency – Audit Internal : Menentukan Bobot Auditor
Meskipun Soft Competency memegang peranan penting, auditor
juga dituntut memiliki tingkat berpikir, pengetahuan, dan keterampilan
(Hard Competency) di atas rata-rata, tepatnya sebuah kombinasi
27
kompetensi yang terdiri dari Analytical Thinking, Multi-Dimensional
Knowledge, dan Advisory Skill.
Dalam menjalankan perannya, auditor tidak hanya dituntut
mengenal setiap business process (sistem kerja) yang sedang berjalan
maupun yang lazim berlaku, tetapi juga harus mampu:
a. Mengidentifikasi setiap critical point di dalamnya, serta setiap
kemungkinan logis dari praktek yang tidak memadai pada titik-titik
tersebut.
b. Menganalisis perubahan, penyimpangan, bahkan potensi risiko yang
ada.
c. Membuktikan root cause yang sebenarnya dan mengukur besarnya
negative impact situasi yang sudah/mungkin terjadi.
Tuntutan berpikir analitis ini tidak dapat dihindarkan mengingat
audit internal harus berada di garis depan dalam mengembangkan risk
management kementerian. Auditor juga dituntut memiliki kapasitas
Intellectual Knowledge yang memadai agar dapat inline dengan wawasan
berpikir dan pengetahuan yang dimiliki para auditee. Pengetahuan yang
dikuasai setidaknya harus mampu:
a. Mengidentifikasi setiap critical point di dalamnya, serta setiap
kemungkinan logis dari praktek yang tidak memadai pada titik-titik
tersebut.
28
b. Menganalisis perubahan, penyimpangan, bahkan potensi risiko yang
ada.
c. Membuktikan root cause yang sebenarnya dan mengukur besarnya
negative impact situasi yang sudah/mungkin terjadi.
Tuntutan berpikir analitis ini tidak dapat dihindarkan mengingat
audit internal harus berada di garis depan dalam mengembangkan risk
management kementerian. Auditor juga dituntut memiliki kapasitas
Intellectual Knowledge yang memadai agar dapat inline dengan wawasan
berpikir dan pengetahuan yang dimiliki para auditee. Pengetahuan yang
dikuasai setidaknya harus mampu:
a. Menunjang value added bagi bisnis maupun fungsi audit
b. Mengikuti perkembangan dunia bisnis dan bidang pengawasan dari
waktu ke waktu (contextual).
Karena itu, auditor tidak boleh hanya berbekal pengetahuan dasar
auditing saja (accounting financial management, statistic, dan
sebagainya), apalagi sekedar mengandalkan hasil studi/pelatihan formal
(yang terkadang tidak link & match engan dinamika kebutuhan bisnis),
tetapi juga bersedia menjelajah secara self learning setiap informasi di
luar serta pengalaman di dalam institusi bisnis, baik yang bersifat
technical maupun managerial, terkait seluruh bidang yang ditekuni para
auditee (IT, supply-chain, strategy management, marketing, dan
sebagainya).
29
Secara umum ada 3 tingkatan yang diharapkan auditee dari diri
auditor:
a. Memiliki kecakapan teknis yang baik, paling tidak sepadan dengan
yang dimiliki oleh auditee, khususnya dalam urusan
administrasi/pengendalian pekerjaan atau dalam menjalankan proses
sebuah sistem. Auditor harus dapat menunjukkan metode yang lebih
efektif/efisien ketimbang yang dijalankan oleh auditee.
b. Memiliki kecakapan supervisory yang tidak hanya terkait dengan
penguasaan instrumen pengawasan (standar dan peraturan kerja,
sistem reward & punishment, dan sebagainya), tetapi juga
pemahaman terhadap prinsip-prinsip interpersonal skill dan
leadership yang baik.
c. Memiliki kecakapan komunikasi yang handal, tidak hanya dalam hal
meyakinkan auditee tentang urgensi persoalan atau potential risk
beserta dampaknya, tetapi juga dapat menunjukkan alasan mengapa
saran/rekomendasi yang diberikan benar-benar applicable, bahkan
sebagai best practice bagi auditee.
3.6 Standar Profesional Audit Internal
Agar pelaksanaan audit internal berjalan dengan baik maka harus
ada suatu standar khusus yang dilengkapi dengan pedoman yang tepat
dari suatu istilah yang digunakan untuk memenuhi standar tersebut.
30
Menurut Hiro Tugiman (2006: 4) dalam Theresa et al. (2014) standar
profesional audit internal terbagi atas empat macam diantaranya yaitu:
1. Independensi
Audit internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang
diperiksa. Auditor internal dianggap mandiri apabila dapat
melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian
audit internal sangat penting terutama dalam memberikan penilaian
yang tidak memihak (netral). Hal ini hanya dapat diperoleh melalui
status organisasi dan sikap objektif dari para audit internal. Status
organisasi audit internal harus dapat memberikan keleluasaan bagi audit
internal dalam menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaansecara
maksimal.
2. Kemampuan Professional
a. Pengetahuan dan kemampuan
Menurut Hiro Tugiman dalam buku Standar Profesional Audit
Internal (SPAI) (2006: 27-29) dalam Theresa et al. (2014)
Kemampuan profesional wajib dimiliki oleh auditor internal dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Kesesuaian dengan standar profesi;
2. Pengetahuan dan kecakapan;
3. Hubungan antar manusia dan komunikasi;
4. Pendidikan berkelanjutan;
31
5. Ketelitian professional.
Dalam setiap pemeriksaan, pimpinan audit internal haruslah
menugaskan orang-orang yang secara bersama-sama atau keseluruhan
memiliki pengetahuan dan kemampuan dari berbagai disiplin ilmu, seperti
akuntansi, ekonomi, keuangan, statistik, pemrosesan data elektronik,
perpajakan, dan hukum yang memang diperlukan untuk melaksanakan
pemeriksaan secara tepat dan pantas.
b. Pengawasan
Pimpinan audit internal bertanggung jawab dalam melakukan
pengawasan terhadap segala aktivitas pemeriksaan yang dilakukan oleh
para stafnya. Pengawasan yang dilakukan sifatnya berkelanjutan, yang
dimulai dengan perencanaan dan diakhiri dengan penyimpulan hasil
pemeriksaan yang dilakukan. Pengawasan yang dimaksud mencakup:
1) Memberikan instruksi kepada para staf audit internal pada awal
pemeriksaan dan menyetujui program-program pemeriksaan.
2) Apakah program pemeriksaan yang telah disetujui dilaksanakan,
kecuali bila terdapat penyimpangan yang dibenarkan atau disalahkan.
3) Menentukan apakah kertas kerja pemeriksaan telah cukup untuk
mendukung temuan pemeriksaan, kesimpulan-kesimpulan, dan
laporan hasil pemeriksaan.
4) Meyakinkan apakah laporan pemeriksaan tersebut akurat, objektif,
jelas, ringkas, konstruktif dan tepat waktu.
32
5) Menentukan apakah tujuan pemeriksaan telah dicapai.
c. Ketelitian Profesional
Audit internal harus dapat berkerja secara teliti dan melaksanakan
pemeriksaan. Audit internal harus mewaspadai berbagai kemungkinan
terjadinya pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja, kesalahan,
kelalaian, ketidakefektifan, pemborosan dan konflik kepentingan.
d. Lingkup pekerjaan
Lingkup pekerjaan audit internal harus mengikuti pengujian dan
evaluasi terhadap kecukupan serta efektivitas sistem pengendalian internal
yang dimiliki organisasi dan kualitas pelaksanaan tanggung jawab yang
diberikan (Hiro, 2006:44) dalam Theresa et al. (2014) yang meliputi :
a. Keandalan informasi
Audit internal haruslah menguji sistem informasi tersebut, dan
menentukan apakah berbagai catatan, laporan finansial dan laporan
operasional kementerian mengandung informasi yang akurat, dapat
dibuktikan kebenarannya, tepat waktu, lengkap, dan berguna.
b. Kesesuaian dengan kebijakan, rencana, prosedur dan ketentuan
perundang-undangan Manajemen bertanggung jawab untuk
menetapkan sistem, yang dibuat dengan tujuan memastikan
pemenuhan berbagai persyaratan, seperti kebijakan, rencana, prosedur,
dan peraturan perundangundangan. Audit internal bertanggung jawab
untuk menentukan apakah sistem tersebut telah cukup efektif dan
33
apakah berbagai kegiatan yang diperiksa telah sesuai dengan kebijakan
yang ditetapkan.
c. Perlindungan aktiva
Audit internal harus meninjau berbagai alat atau cara yang digunakan
untuk melindungi aktiva perusahan terhadap berbagai jenis kerugian,
seperti kerugian yang diakibatkan oleh pencurian dan kegiatan yang
illegal. Pada saat memverifikasi keadaan suatu aktiva, audit internal
harus menggunakan prosedur pemeriksaan yang sesuai dan tepat.
d. Penggunaan sumber daya
Audit internal harus dapat memastikan keekonomisan dan keefisienan
penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh kementerian. Audit
internal bertanggung jawab untuk:
1. Telah menetapkan suatu standar operasional untuk mengukur
2. keekonomisan dan keefeisienan;
3. Standar operasional tersebut telah dipahami dan dipenuhi;
4. Berbagai penyimpangan dari standar operasional telah
diidentifikasi, dianalisis dan diberitahukan kepada berbagai
pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan
perbaikan;
5. Tindakan perbaikan dilakukan.
e. Pencapaian Tujuan
34
Audit internal harus dapat memberikan kepastian bahwa semua
pemeriksaan yang dilakukan sudah mengarah kepada pencapaian
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh kementerian.
4. Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan
Pelaksanaan audit memberikan pedoman tentang struktur audit secara
keseluruhan, yang meliputi bidang-bidang perencanaan pemeriksaan,
pengujian dan pengevaluasian informasi, penyampaian hasil pemeriksaan
dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Adapun pelaksanaan kegiatan pemeriksaan menurut Hiro Tugiman
(2006: 11) dalam Theresa et al. (2014) meliputi:
a. Perencanaan kegiatan pemeriksaan
Audit internal harus terlebih dahulu melakukan perencanaan
pemeriksaan dengan meliputi:
1. Penetapan tujuan pemeriksaan dan lingkup pekerjaan;
2. Memperoleh informasi dasar tentang objek yang akan
diperiksa;
3. Penentuan tenaga yang diperlukan dalam menjalankan
pemeriksaan.
4. Pemberitahuan kepada pihak yang dipandang perlu;
5. Melakukan survei secara tepat untuk lebih mengenali bidang
atau area yang akan diperiksa;
6. Penetapan program pemeriksaan;
35
7. Menentukan bagaimana, kapan dan kepada siapa hasil
pemeriksaan disampaikan;
8. Memperoleh persetujuan atas rencana kerja pemeriksaan.
b. Pengujian dan pengevaluasian
Audit internal harus melakukan pengujian dan pengevaluasian
terhadap semua informasi yang ada guna memastikan ketepatan dari
informasi tersebut yang nantinya akan digunakan untuk pemeriksaan.
c. Pelaporan hasil pemeriksaan
Audit internal harus melaporkan hasil pemeriksaan yang
dilakukannya. Laporan yang dibuat haruslah objektif, jelas, singkat,
konstruktif dan tepat waktu. Objektif adalah laporan yang faktual, tidak
berpihak, dan terbebas dari distorsi. Laporan yang jelas adalah laporan
yang mudah dimengerti dan logis. Laporan yang singkat adalah laporan
yang diringkas langsung membicarakan pokok permasalahan dan
menghindari berbagai perincian yang tidak diperlukan. Laporan yang
konstruktif adalah laporan yang berdasarkan isi dan sifatnya akan
membantu pihak yang diperiksa dan organisasi serta menghasilkan
berbagai perbaikan yang diperlukan. Laporan yang tepat waktu adalah
laporan yang pemberitaannya tidak ditunda dan mempercepat
kemungkinan pelaksanaan berbagai tindakan yang koreksi dan efektif.
36
Audit internal juga harus langsung melaporkan hasil pemeriksaannya
kepada pimpinan dan karyawan lain apabila membutuhkan.
a. Tindak lanjut pemeriksaan
Audit internal harus secara terus menerus meninjau dan melakukan
tindak lanjut untuk memastikan apakah suatu tindakan perbaikan telah
dilakukan dan memberikan berbagai hasil yang diharapkan.Tindak lanjut
audit internal didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan
kecukupan, keefektifan, dan ketepatan waktu dari berbagai tindakan yang
dilakukan oleh menejemen terhadap berbagai temuan pemeriksaan yang
dilaporkan.
4. Whistleblowing System
Whistleblowing merupakan pengungkapan informasi oleh anggota
organisasi (atau mantan) yang dipandang sebagai praktik ilegal, tidak
bermoral, atau tidak sah dibawah kendala karyawan kepada orang-orang atau
organisasi yang mungkin dapat mempengaruhi tindakan (Miceli et al., 2008).
Pentingnya keberadaan whistleblowing dalam mengungkapkan kecurangan
atau skandal keuangan telah banyak terbukti di awal dekade abad kedua puluh
satu (Dyck et al., 2010). Efektifitas whistleblowing dalam mengungkapkan
kecurangan laporan keuangan tidak hanya diakui oleh akuntan dan regulator
di Amerika Serikat, namun juga di negara-negara lain (Patel, 2003; Miceli et
al., 2008). Adanya globalisasi perdagangan perusahaan sekuritas di bursa
nasional juga telah memotivasi legislatif di berbagai negara untuk mengadopsi
37
undang-undang yang dirancang untuk meningkatkan dan melindungi
keberadaan whistleblowing (Lewis, 2008; Miceli et al., 2008; Schmidt, 2009).
Mengingat pentingnya peran whistleblowing dalam mengungkapkan
kecurangan keuangan, maka pemahaman atas faktor-faktor yang mendasari
niat untuk melaporkan kecurangan atau penyalahgunaan aset merupakan topik
yang sangat penting (KPMG Forensik, 2008; Bame-Aldred et al., 2007).
Keruntuhan Enron dan Arthur Andersen merupakan suatu fenomena
yang disebabkan perilaku whistleblowing. Spreitzer dan Sonenshein (2004)
menyatakan bahwa ketika karyawan menyadari adanya praktek ilegal dalam
organisasi dan berani mengungkapkan hal ini kepada pihak berwenang, maka
whistleblowing dianggap sebagai tindakan penyimpangan positif karena
dilakukan dengan sengaja, dan berani keluar dari norma organisasi. Dalam
literatur whistleblowing, terdapat perdebatan kontrovesi mengenai faktor-
faktor yang memotivasi individu untuk melakukan whistleblowing. Beberapa
orang mungkin melihat whistleblower sebagai pemberani atau terhormat
sementara yang lain menganggap whistleblowing sebagai perilaku tidak etis
terhadap organisasi mereka (Gundlach et al., 2003). Meskipun demikian,
beberapa pihak menyatakan tindakan whistleblowing sebagai perilaku
menyimpang yang menguntungkan organisasi dan masyarakat (Appelbaum et
al., 2007).
Istilah whistleblowing di Indonesia diidentikkan dengan perilaku
seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi
38
di organisasi tempat bekerja sehingga memiliki akses informasi memadai atas
terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Sebenarnya whistleblowing
tidak hanya melaporkan masalah korupsi, tetapi juga skandal lain yang
melanggar hukum dan menimbulkan kerugian/ancaman bagi masyarakat.
Kasus whistleblowing yang popular di Indonesia adalah ketika maraknya
pemberitaan yang menimpa Kepolisian RI terkait skandal makelar kasus.
Selain itu juga penyampaian informasi suap dalam pemilihan Deputi Senior
BI yang dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat. Peran kedua
whistleblower tersebut sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian
yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi.
Whistleblowing system yang diimplementasikan di tubuh Kementerian
Keuangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103
tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan
Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam
peraturan tersebut, disebutkan bahwa setiap pejabat/pegawai di lingkungan
Kementerian Keuangan yang melihat atau mengetahui adanya Pelanggaran,
wajib melaporkannya kepada Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu
dan/atau Inspektorat Jenderal. Masyarakat yang melihat atau mengetahui
adanya Pelanggaran dan/atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang
diberikan oleh pejabat/pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan juga
dapat melaporkannya kepada Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu
dan/atau Inspektorat Jenderal.
39
Di PMK No. 103 tahun 2010 ini, disebutkan juga bahwa dalam hal Unit
Eselon I belum memiliki Unit Kepatuhan Internal, Pimpinan Unit Eselon I
wajib menunjuk Unit Tertentu. Unit Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu
pada Unit Eselon I bertindak sebagai unit yang menerima, mengelola, dan
menindaklanjuti Pengaduan. Inspektorat Jenderal dalam hal ini bertindak
sebagai unit kerja yang menerima, mengelola, dan menindaklanjuti Pengaduan
dan sebagai koordinator yang mengawasi pelaksanaan pengelolaan Pengaduan
pada seluruh Unit Eselon I.
Sementara itu, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK No.
103 tahun 2010 merupakan pengaduan yang dapat disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung kepada Unit Kepatuhan Internal, Unit
Tertentu, dan/atau Inspektorat Jenderal. Penyampaian laporan secara langsung
dapat dilakukan melalui Saluran Pengaduan yang berupa help desk yang wajib
disediakan oleh Unit Kepatuhan Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat
Jenderal. Penyampaian laporan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui
Saluran Pengaduan berupa telepon, faksimili, layanan pesan singkat (SMS),
kotak pengaduan, surat elektronik (email), dan PO BOX, yang wajib
disediakan oleh Unit Kepatuhan Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat
Jenderal. Unit Eselon I dan/atau Unit Vertikal Eselon I wajib memublikasikan
Saluran Pengaduan yang dimiliki Inspektorat Jenderal dan Unit Kepatuhan
Internal atau Unit Tertentu pada Unit Eselon I yang bersangkutan paling
40
kurang pada papan pengumuman resmi kantor secara terus-menerus dan
media massa cetak secara berkala 2 (dua) kali dalam setahun.
Lebih lanjut, PMK No. 103 tahun 2010 merinci, Unit Vertikal Eselon I
wajib mencantumkan Saluran Pengaduan yang dimiliki Inspektorat Jenderal
dan Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu pada Unit Eselon I yang
bersangkutan berupa nomor telepon, nomor tujuan SMS, dan alamat email
pada amplop dan map kantor. Dalam pengelolaan Pengaduan, Unit Kepatuhan
Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat Jenderal mempunyai kewajiban
mengadministrasikan pengaduan, menganalisis pengaduan untuk menentukan
dapat atau tidaknya suatu pengaduan ditindaklanjuti ke pemeriksaan,
melakukan pemeriksaan dan memberikan rekomendasi, dan membuat laporan
pengelolaan pengaduan, pemeriksaan, dan tindak lanjut atas rekomendasi.
Dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran disiplin berat, Unit
Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu wajib meneruskan proses Pengaduan
kepada Inspektorat Jenderal untuk ditindaklanjuti. Unit Kepatuhan Internal,
Unit Tertentu, dan Inspektorat Jenderal dengan pertimbangan tertentu dapat
melimpahkan tindak lanjut penyelesaian Pengaduan kepada Pejabat Eselon II
dari Unit Eselon I yang berwenang menindaklanjuti. Pejabat Eselon II yang
mendapatkan pelimpahan wajib menindaklanjuti penyelesaian Pengaduan dan
melaporkan hasilnya kepada Unit Kepatuhan Internal, Unit Tertentu, atau
Inspektorat Jenderal sebagai pihak yang memberikan pelimpahan.
41
Adapun rekomendasi yang dimaksudkan pada PMK No. 103 tahun 2010
yakni dapat berupa penjatuhan hukuman disiplin, pengembalian kerugian
negara, penyampaian hasil pemeriksaan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan penyampaian hasil pemeriksaan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Rekomendasi berupa penjatuhan hukuman disiplin wajib
disampaikan kepada Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin.
Sementara itu, pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin wajib
melaksanakan rekomendasi hasil pemeriksaan paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak diterimanya rekomendasi hasil pemeriksaan tersebut oleh Pimpinan Unit
Eselon I. Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin wajib
menyampaikan tembusan Surat Keputusan penjatuhan hukuman disiplin
kepada Inspektur Jenderal. Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman
disiplin yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenakan sanksi
hukuman disiplin atas usul Inspektur Jenderal kepada Pimpinan Unit Eselon I
atau Menteri Keuangan.
Rekomendasi berupa pengembalian kerugian negara disebutkan dalam
PMK No. 103 tahun 2010 wajib disampaikan kepada Pejabat yang berwenang
menindaklanjuti. Adapun rekomendasi berupa penyampaian hasil
pemeriksaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan dalam
hal hasil pemeriksaan berindikasi tindak pidana umum. Rekomendasi berupa
penyampaian hasil pemeriksaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
42
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dilakukan dalam hal hasil
pemeriksaan berindikasi tindak pidana korupsi.
Sementara itu, penyampaian hasil pemeriksaan dilakukan melalui
Inspektorat Jenderal. Dalam pasal 11 PMK No. 103 tahun 2010, dijelaskan
bahwa bila terdapat dugaan kesalahan atau kekeliruan atas suatu putusan
penjatuhan hukuman disiplin oleh Pejabat Inspektur Jenderal berwenang
melakukan eksaminasi. Hasil eksaminasi menjadi bahan pertimbangan bagi
Pimpinan Unit Eselon I atau Menteri Keuangan untuk meninjau, meralat,
dan/atau mengubah putusan penjatuhan hukum disiplin.
PMK No. 103 tahun 2010 juga menjelaskan bahwa Unit Kepatuhan
Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat Jenderal wajib memberikan
perlindungan kepada Pelapor Pelanggaran (whistleblower). Perlindungan
tersebut dilakukan dengan menjaga kerahasiaan identitas Pelapor Pelanggaran
(whistleblower). Unit Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu hanya dapat
mengungkapkan identitas Pelapor Pelanggaran (whistleblower) kepada
Inspektorat Jenderal. Inspektorat Jenderal hanya dapat mengungkapkan
identitas Pelapor Pelanggaran (whistleblower) untuk keperluan penyidikan
dan persidangan.
Lebih lanjut dijelaskan dalam PMK No. 103 tahun 2010, Unit
Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu wajib melaporkan pelaksanaan
pengelolaan Pengaduan secara bulanan kepada Pimpinan Unit Eselon I
dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal. Inspektorat Jenderal wajib
43
memonitor dan mengevaluasi tindak lanjut penyelesaian pengaduan yang
dilakukan oleh Unit Kepatuhan Internal dan Unit Tertentu. Inspektorat
Jenderal wajib melaporkan pelaksanaan pengelolaan pengaduan secara
triwulan atau sewaktu-waktu kepada Menteri Keuangan dengan tembusan
kepada seluruh Pimpinan Unit Eselon I. Kewenangan untuk memublikasikan
hasil pengelolaan Pengaduan di Lingkungan Kementerian Keuangan berada
pada Inspektur Jenderal. Dalam memublikasikan hasil pengelolaan
Pengaduan, Inspektorat Jenderal wajib bekerjasama dengan Biro Hubungan
Masyarakat Sekretariat Jenderal, dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan
informasi. Bentuk dan tata cara pelaporan pelaksanaan pengelolaan
Pengaduan serta bentuk dan tata cara publikasi pengelolaan Pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan tersendiri.
Sementara itu, dalam hal Pelapor Pelanggaran (whistleblower) meminta
penjelasan mengenai perkembangan tindak lanjut atas laporan yang
disampaikan, PMK No. 103 tahun 2010 juga menjelaskan bahwa Inspektorat
Jenderal wajib memberi penjelasan mengenai hal dimaksud kepada Pelapor
Pelanggaran (whistleblower) tersebut. Pejabat/pegawai yang tidak
melaksanakan ketentuan sesuai PMK No. 103 tahun 2010 dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan whistleblowing system di pemerintahan Indonesia salah
satunya juga dilaksanakan di Kementerian Sosial. Di lembaga pemerintah ini,
44
pegawai dapat melaporkan jika melihat ada hal-hal yang harus diluruskan.
Sistem ini hanya bisa diakses oleh Inspektorat Jenderal terkait dan Menteri
Sosial. Jika pegawai merasa kebingungan, maka harus ada perlindungan dari
Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Sementara itu, masyarakat
umum juga dapat melaporkan jika ada hal yang menyimpang ke pengaduan
masyarakat lewat Dumas Online. Berdasarkan data Irjen Kemensos selama
2014, terdapat sebanyak 43 laporan dan sekitar 11 di antaranya
ditindaklanjuti.
5. Pencegahan Kecurangan (Fraud)
Pada umumnya dikenal dua tipe kesalahan, yaitu kekeliruan (errors) dan
ketidakberesan (irregulatiries). Errors merupakan kesalahan yang timbul
sebagai akibat tindakan yang tidak disengaja yang dilakukan oleh manajemen
atau karyawan perusahaan yang mengakibatkan kesalahan teknis perhitungan,
pemindah bukuan dan lain-lain. Sedangkan irregularities merupakan
kesalahan yang sengaja dilakukan oleh manajemen atau karyawan perusahaan
yang mengakibatkan kesalahan material terhadap penyajian laporan keuangan,
misalnya kecurangan (fraud).
Tindak fraud adalah “manusia” dengan berbagai alasan dari dalam
dirinya untuk melakukan tindakan tercela (Kumaat, 2011:135). Adapun
pengertian fraud menurut BPKP (2008:11) adalah sebagai berikut:
“Dalam istilah sehari-hari, fraud dimaknai sebagai ketidakjujuran.
Dalam terminologi awam fraud lebih ditekankan pada aktivitas penyimpangan
45
perilaku yang berkaitan dengan konsekuensi hukum, seperti penggelapan,
pencurian dengan tipu muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi,
nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain”.
Sedangkan Tunggal (2012:169) mengartikan fraud adalah sebagai
berikut:
“Fraud is an advantage gained by unfair or wrong ful means, an infraction of
the rules of fair trade; a false representation of fact made knowingly; without
belief in its truth, recklessly, not caring whether it is true or false”.
Pada dasarnya fraud merupakan tindakan yang melanggar hukum dan bisa
merugikan berbagai pihak. Fraud merupakan suatu hal yang sangat sulit
diberantas, bahkan korupsi di Indonesia sudah dilakukan secara sistematis
sehingga perlu penanganan yang sistematis. Akan tetapi kita harus optimis bahwa
bisa dicegah atau paling tidak bisa dikurangi dengan menerapkan pengendalian
anti fraud.
Dari beberapa uraian di atas dapat diketahui bahwa fraud berarti suatu item
tidak dimasukkan sehingga menyebabkan informasi tidak benar, apabila suatu
kesalahan adalah disengaja maka kesalahan tersebut merupakan fraud
(fraudulent). Fraud auditing hendaknya disebut dengan istilah audit atas fraud,
yang dapat didefinisikan sebagai audit khusus yang dimaksudkan untuk
mendeteksi dan mencegah terjadinya penyimpangan atau fraud atas transaksi
keuangan. Fraud auditing termasuk dalam audit khusus yang berbeda dengan
audit umum terutama dalam hal tujuan yaitu fraud auditing mempunyai tujuan
46
yang lebih sempit (khusus) dan cenderung untuk mengungkap suatu fraud yang
diduga terjadi dalam pengelolaan asset/aktiva.
a. Kondisi Penyebab Fraud
Tunggal (2012:10) menyatakan bahwa terdapat beberapa kondisi
penyebab fraud, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Insentif atau tekanan. Manajemen atau pegawai lain merasakan
insentif atau tekanan untuk melakukan fraud.
b. Kesempatan. Situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen
atau pegawai untuk melakukan fraud.
c. Sikap atau rasionalisasi. Ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai-
nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk
melakukan tindakan yang tidak jujur, atau mereka berada dalam
lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka
merasionalisasi tindakan yang tidak jujur.
Dari pernyataan di atas, jelas bahwa kondisi penyebab fraud itu
diantaranya disebabkan oleh adanya intensif/tekanan, kesempatan, dan juga
sikap atau rasionalisasi. Insentif yang umum bagi perusahaan untuk
memanipulasi laporan keuangan adalah menurunnya prospek keuangan
perusahaan.
b. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Fraud
47
Fraud umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan
penyelewengan dan dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada
dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut.
Faktor pendorong fraud boleh diartikan sebagai pola pemanfaatan
“kesempatan/peluang” untuk mengambil keuntungan melalui cara-cara yang
merugikan.
Kumaat (2011:139) menyatakan pendapatnya tentang faktor
pendorong terjadinya fraud adalah sebagai berikut:
1. Desain pengendalian internalnya kurang tepat, sehingga meninggalkan
“celah” risiko.
2. Praktek yang menyimpang dari desain atau kelaziman (common business
sense) yang berlaku.
3. Pemantauan pengendalian yang tidak konsisten terhadap implementasi
business process.
4. Evaluasi yang berjalan terhadap business process yang berlaku.
Simanjuntak (2008:4) dalam Nur Asiah (2012) dalam
Widilestariningtyas dan Akbar (2014) menyatakan terdapat empat faktor
pendorong seseorang untuk melakukan fraud, yang disebut juga dengan teori
GONE, yaitu:
1. Greed (keserakahan),
2. Opportunity (kesempatan),
3. Need (Kebutuhan),
48
4. Exposure (pengungkapan),
Greed dan need termasuk dalam faktor individu yang merupakan hal
bersifat sangat personal dan diluar kendali perusahaan sehingga sulit sekali
dapat dihilangkan oleh ketentuan perundang-undangan. Dengan adanya
alasan kebutuhan ditambah dengan motivasi yang mendorongnya, maka
sikap serakah seseorang akan cenderung melanggar ketentuan dan aturan.
Opportunity dan Exposure disebut sebagai faktor genetik karena
merupakan faktor yang masih didalam kendali perusahaan sebagai korban
perbuatan fraud. Pada umumnya terdapatnya kesempatan akan mendorong
seseorang untuk berbuat fraud kerena pelaku cenderung berpikir bahwa
kapan lagi ada kesempatan jika tidak sekarang. Sementara exposure
berkaitan dengan proses pembelajaran berbuat curang karena menganggap
sanksi terhadap pelaku fraud tergolong ringan sehingga para karyawan
perusahaan tidak merasa takut apabila melakukan fraud. Pada umumnya
faktor pendorong seseorang melakukan tindakan fraud adalah tekanan, baik
itu tekanan finansial maupun non finansial yang didukung dengan adanya
kesempatan karena perusahaan tidak menindak tegas pelaku fraud sehingga
tidak membuat efek jera bagi para pelaku fraud (Nur Asiah, 2012).
c. Pencegahan Kecurangan (Fraud)
Kasus fraud yang semakin marak terjadi membuat kerugian yang
cukup besar bagi perusahaan. Apabila fraud tidak bisa dideteksi dan
dihentikan, maka akan berakibat fatal bagi perusahaan. Untuk itu,
49
manajemen perusahaan harus mengambil tindakan yang tepat untuk
mendeteksi dan mencegah terjadinya fraud.
Pencegahan fraud menurut BPKP (2008:37) merupakan upaya
terintegrasi yang dapat menekan terjadinya faktor penyebab fraud (fraud
triangle) yaitu:
1. Memperkecil peluang terjadinya kesempatan untuk berbuat kecurangan.
2. Menurunkan tekanan pada pegawai agar ia mampu memenuhi
kebutuhannya.
3. Mengeliminasi alasan untuk membuat pembenaran atau rasionalisasi
atas tindakan fraud yang dilakukan.
Dengan adanya upaya pencegahan yang diterapkan oleh perusahaan
dapat memperkecil peluang terjadinya fraud karena setiap tindakan fraud
dapat terdeteksi cepat dan diantisipasi dengan baik oleh perusahaan. Setiap
karyawan tidak merasa tertekan lagi dan melakukan pembenaran terhadap
tindakan fraud yang dapat merugikan banyak pihak.
d. Tujuan Pencegahan Fraud
Adanya penerapan Good Corporate Governance membuat sejumlah
perusahaan mengeluarkan kebijakan terkait dengan upaya pencegahan fraud.
Salah satu cara tersebut adalah dengan memberikan kesempatan kepada
audit internal untuk mendeteksi dan mencegah fraud yang mungkin terjadi
dalam lingkungan organisasi. Apabila teknik pencegahan fraud berjalan baik
50
dan efektif akan membuat citra positif bagi perusahaan karena meningkatnya
kepercayaan publik.
Menurut BPKP (2008:38) pencegahan fraud yang efektif memiliki
lima tujuan yaitu:
1. Preventation, yaitu mencegah terjadinya fraud secara nyata pada semua
lini organisasi.
2. Deterence, yaitu menangkal pelaku potensial bahkan tindakan untuk
yang bersifat coba-coba.
3. Discruption, yaitu mempersulit gerak langkah pelaku fraud sejauh
mungkin.
4. Identification, yaitu mengidentifikasi kegiatan beresiko tinggi dan
kelemahan pengendalian.
5. Civil action prosecution, yaitu melakukan tuntutan dan penjatuhan
sanksi yang setimpal atas perbuatan fraud kepada pelakunya.
Fraud merupakan suatu masalah di dalam perusahaan dan harus
dicegah sedini mungkin, Tunggal (2012:59) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa tata kelola untuk mencegah fraud diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Budaya Jujur dan Etika yang Tinggi
Riset menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk mencegah
dan menghalangi fraud adalah mengimplementasikan program serta
pengendalian anti fraud, yang didasarkan pada nilai-nilai inti yang
51
dianut perusahaan. Nilai-nilai semacam itu menciptakan lingkungan
yang mendukung perilaku dan ekspektasi yang dapat diterima, bahwa
pegawai dapat menggunakan nilai itu untuk mengarahkan tindakan
mereka. Nilai-nilai itu membantu menciptakan budaya jujur dan etika
yang menjadi dasar bagi tanggung jawab pekerjaan para karyawan.
Menciptakan budaya jujur dan etika yang tinggi mencakup lima unsur:
a. Menetapkan Tone at the Top
Manajemen dan dewan direksi bertanggung jawab untuk
menetapkan “Tone at the Top” terhadap perilaku etis dalam
perusahaan. Kejujuran dan integritas manajemen akan
memperkuat kejujuran serta integritas karyawa di seluruh
organisasi. Tone at the Top yang dilandasi kejujuran dan
integritas akan menjadi dasar bagi kode etik perilaku yang lebih
terinci, yang dapat dikembangkan untuk memberikan pedoman
yang lebih khusus mengenai perilaku yang diperbolehkan dan
dilarang.
b. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif
Dari riset yang dilakukan terlihat bahwa pelanggaran lebih jarang
terjadi bila karyawan mempunyai perasaan positif tentang atasan
mereka ketimbang bila mereka merasa diperalat, diancam, atau
diabaikan. Tempat kerja yang positif dapat mendongkrak
52
semangat karyawan, yang dapat mengurangi kemungkinan
karyawan melakukan fraud terhadap perusahaan.
c. Mempekerjakan dan Mempromosikan Pegawai yang Tepat
Agar berhasil mencegah fraud, perusahaan yang dikelola dengan
baik mengimplementasikan kebijakan penyaringan yang efektif
untuk mengurangi kemungkinan mempekerjakan dan
mempromosikan orang-orang yang tingkat kejujurannya rendah,
terutama yang akan menduduki jabatan yang bertanggung jawab
atau penting. Kebijakan semacam itu mungkin mencakup
pengecekan latar belakang orang-orang yang dipertimbangkan
akan dipekerjakan atau dipromosikan menduduki jabatan yang
bertanggung jawab atau penting. Pengecekan latar belakang
memverifikasi pendidikan, riwayat pekerjaan, serta referensi
pribadi calon karyawan, termasuk referensi tentang karakter dan
integritas. Setelah seorang pegawai diangkat, evaluasi yang
berkelanjutan atas kepatuhan pegawai itu pada nilai-nilai dan
kode perilaku perusahaan juga akan mengurangi kemungkinan
fraud.
d. Pelatihan
Semua pegawai baru harus dilatih tentang ekspektasi perusahaan
menyangkut perilaku etis pegawai. Pegawai harus diberi tahu
tentang tugasnya untuk menyampaikan fraud aktual atau yang
53
dicurigai serta cara yang tepat untuk menyampaikannya. Selain
itu, pelatihan kewaspadaan terhadap fraud juga harus
disesuaikan dengan tanggung jawab pekerjaan khusus pegawai
itu, misalnya, pelatihan yang berbeda untuk agen pembelian dan
penjualan.
e. Konfirmasi
Sebagian perusahaan mengharuskan pegawainya untuk secara
periodic mengkonfirmasikan tanggung jawabnya mematuhi kode
perilaku. Pegawai diminta untuk menyatakan bahwa mereka
memahami ekspektasi perusahaan serta sudah mematuhi kode
perilaku, dan mereka tidak mengetahui adanya pelanggaran.
Konfirmasi tersebut akan membantu mengokohkan kebijakan
kode perilaku dan juga membantu menghalangi pegawai
melakukan fraud atau pelanggaran etika lainnya.
1. Tanggung jawab Manajemen untuk Mengevaluasi Pencegahan Fraud
Fraud tidak mungkin terjadi tanpa adanya kesempatan untuk
melakukannya dan menyembunyikan perbuatan itu. Manajemen
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mencegah fraud,
mengambil langkah-langkah yang teridentifikasi untuk mencegah
fraud, serta memantau pengendalian internal yang mencegah dan
mengidentifikasi fraud.
2. Pengawasan oleh Komite Audit
54
Komite audit mengemban tanggung jawab utama mengawasi
pelaporan keuangan serta proses pengendalian internal organisasi.
Dalam memenuhi tanggung jawab ini komite audit memperhitungkan
potensi diabaikannya pengendalian internal oleh manajemen serta
mengawasi proses pencegahan fraud oleh manajemen, dan program
serta pengendalian anti fraud. Komite audit juga membantu
menciptakan “tone at the top” yang efektif tentang pentingnya
kejujuran dan perilaku etis dengan mendukung toleransi nol
manajemen terhadap fraud.
e. Metode Pencegahan Fraud
BPKP (2008:38) menyatakan beberapa metode pencegahan yang lazim
ditetapkan oleh manajemen mencakup beberapa langkah berikut:
1. Penetapan kebijakan anti fraud.
2. Prosedur pencegahan baku.
3. Organisasi.
4. Teknik pengendalian.
5. Kepekaan terhadap fraud.
Kebijakan unit organisasi harus memuat a high ethical tone dan harus
dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif untuk mencegah
tindakantindakan fraud dan kejahatan ekonomi lainnya. Seluruh jajaran
manajemen dan karyawan harus mempunyai komitmen yang sama untuk
menjalankannya sehingga kebijaksanaan yang ada akan dilaksanakan dengan
55
baik. Pada dasarnya komitmen manajemen dan kebijakan suatu
instansi/organisasi merupakan kunci utama dalam mencegah dan mendeteksi
fraud. Namun demikian, harus pula dilengkapi dengan prosedur penanganan
pencegahan secara tertulis dan ditetapkan secara baku sebagai media pendukung.
Adanya komite audit yang independen menjadi nilai plus karena unit audit
internal mempunyai tanggung jawab untuk melakukan evaluasi secara berkala
atas aktivitas organisasi secara berkesinambungan. Bagian ini juga berfungsi
untuk menganalisis pengendalian intern dan tetap waspada terhadap fraud saat
melaksanakan audit.
Sistem yang dirancang dan dilaksanakan secara kurang baik akan menjadi
sumber atau peluang terjadinya fraud, yang pada gilirannya menimbulkan
kerugian finansial bagi organisasi sehingga diperlukan teknik-teknik
pengendalian dan audit yang efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
fraud. Kerugian dan fraud dapat dicegah pula apabila organisasi atau instansi
mempunyai staf yang berpengalaman sehingga mereka peka terhadap sinyal-
sinyal fraud.
Karena fraud merupakan suatu masalah di dalam perusahaan dan harus
dicegah sedini mungkin, Pickett (2001:614-618) mengemukakan beberapa
metode pencegahan yang harus dilakukan adalah:
1. Good recruitment procedures
2. Independent checks over work
3. Regular staff meetings
56
4. An employee code of conduct
5. Good communication
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa beberapa teknik pencegahan
fraud dapat dilakukan dengan prosedur yang tepat dalam perusahaan karena hal
ini merupakan langkah awal untuk mencegah fraud. Prosedur yang tepat tidak
berarti tanpa dukungan karyawan yang berkerja dalam perusahan. Oleh karena
itu, dibutuhkan audit yang independen terhadap karyawan. Untuk menciptakan
hubungan yang baik antara manajemen dengan karyawan, manajemen harus
sering mengadakan pertemuan yang dimanfaatkan untuk menyampaikan
pendapat atau keluhan-keluhan yang dihadapi. Dari pertemuan yang telah
dilakukan, tingkah laku masing-masing karyawan dapat diketahui sehingga
terjalin komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
B. Keterkaitan Antara Variabel dan Perumusan Hipotesis
1. Hubungan Antara Budaya Organisasi terhadap Pencegahan Kecurangan
(Fraud)
Salah satu faktor yang bisa mencegah kecurangan menurut Arens
(441:2008) adalah budaya yang jujur dan etika yang tinggi. Teori Arens
diperkuat oleh Tunggal (2010:231) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015)
menyatakan bahwa kecurangan dapat dicegah dengan meningkatkan budaya
organisasi yang dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip
Good Corparate Governance. Perbankan bertanggung jawab untuk menerapkan
57
budaya yang baik dalam perusahaan agar tindakan kecurangan bisa
diminimalkan.
Penelitian Wilopo (2006) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015)
membuktikan bahwa prilaku tidak etis memberikan pengaruh yang signifikan
positif terhadap kecendrungan kecurangan akuntansi pada perusahaan. Semakin
rendah prilaku tidak etis dari manajemen pada perusahaan terbuka dan BUMN
di Indonesia maka semakin rendah kecenderungan kecurangan akuntansi.
Sehingga budaya organisasi berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi.
Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu di atas menyatakan bahwa
budaya organisasi yang baik sangat penting dalam mencegah tindakan
kecurangan. Tindakan pencegahan dapat diterapkan melalui budaya kerja yang
dikembangkan dengan baik akan menghasilkan nilai-nilai fundamental
organisasi yang baik seperti menjunjung tinggi kejujuran dan integritas
penghargaan dan kualitas kerja serta pelayanan yang prima dan penghormatan
atas keterbukaan dan transparansi. Salah satu tujuan kementerian keuangan
adalah meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut, sehingga
dengan adanya antisipasi kecurangan akan meningkatkan kepercayaan publik
terhadap kementerian. Sehingga dapat diambil kesimpulan semakin baik
budaya organisasi maka semakin meningkat pencegahan kecurangan. Dengan
demikian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
58
H1: Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap pencegahan kecurangan di
Kementerian Keuangan.
2. Hubungan Antara Budaya Organisasi terhadap Pencegahan Kecurangan
(Fraud)
Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan,
pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi
(perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) –
standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan,
dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai
untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
Selain itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang
Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985) dalam
Zelmiyanti dan Anita (2015), memberikan pedoman bagi auditor internal
tentang bagaimana auditor internal melakukan pencegahan, pendeteksian dan
penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan
tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud
Effendi (2010) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015).
Murniati (2009) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015) meneliti mengenai
pengaruh auditor internal terhadap pencegahan kecurangan di bank
pemerintahan dan swasta di kota Padang. Hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa peran auditor internal berpengaruh signifikan positif
terhadap pencegahan kecurangan. Hasil Ihsan (2008) dalam Zelmiyanti dan
59
Anita (2015) juga membuktikan bahwa pencegahan kecurangan dapat
dilakukan melalui peran auditor internal, dalam penelitian tersebut
membuktikan audit internal berpengaruh signifikan positif terhadap pencegahan
kecurangan. Sehingga dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
H2: Peran auditor internal berpengaruh positif terhadap pencegahan kecurangan
di Kementerian Keuangan.
3. Hubungan antara Whistleblowing System terhadap Pencegahan Kecurangan
(Fraud)
Salah satu bentuk pengendalian intern dalam mencegah atau mengungkap
tindak kecurangan dalam suatu perusahaan yaitu dengan diterapkannya
whistleblowing system mengenai Good Corporate Governance (GCG).
Whistleblowing system dapat digunakan oleh perusahaan manapun untuk
mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing
perusahaan. Pada umumnya, whistleblower akan melaporkan kejahatan di
lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang
whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal saja
tetapi dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas yang lebih tinggi, semisal
langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau kepada otoritas
publik di luar organisasi yang berwenang serta media masa. (Semendawai dkk,
2011:1).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2008:2) dalam
Agusyani et al. (2016) salah satu manfaat dari penyelenggaraan whistleblowing
60
system yang baik adalah timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran,
karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif. Keberadaan
whistleblowing system tidak hanya sebagai saluran pelaporan kecurangan yang
terjadi, namun juga sebagai bentuk pengawasan. Karyawan menjadi takut untuk
melakukan kecurangan karena sistem ini bisa digunakan oleh seluruh
karyawan, sehingga sesama karyawan menjadi saling mengawasi satu sama lain
dan takut untuk dilaporkan karyawan lain karena melakukan kecurangan. Hal
ini dapat mencegah fraud yang akan terjadi pada pengelolaan keuangan desa.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Vredy Octaviari Nugroho
(2015) dalam Agusyani et al. (2016) yang menunjukkan bahwa whistleblowing
system berpengaruh terhadap pencegahan fraud pada PT Pagilaran. Berdasarkan
teori dan penelitian sebelumnya maka hipotesis penelitian yang diajukan :
H3: Whistleblowing system berpengaruh positif terhadap pencegahan
kecurangan di Kementerian Keuangan.
C. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian terdahulu
mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel
2.1
65
D. Kerangka Pemikiran
Model kerangka pemikiran pada penelitian saat ini dapat digambarkan
dalam gambar 2.1.
Bersambung pada halaman selanjutnya
Adanya praktek-praktek korupsi dan pelanggaran yang mencoreng
kredibilitas aparat publik
Faktor budaya organisasi, peran dari auditor dan whistleblowing
system adalah faktor yang akan mengurangi tindakan kecurangan
yaitu internal.
Basis Teori: Teori Peran dan Teori-teori Auditing
Variabel Independen Variabel Dependen
Budaya Organisasi
(X1)
Peran Auditor Internal
(X2)
Whistleblowing System (X3)
Pencegahan Kecurangan
(fraud)
(Y)
Metode Analisis Regresi
Regresi Berganda
66
Gambar 2.1 (Lanjutan)
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran
Regresi Berganda
Hasil Pengujian dan Pembahasan
Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan, dan Saran
60
Tabel 2.1
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian
1 Suginam (2016) Pengaruh Peran Audit
Internal terhadap
Pencegahan Fraud (Studi
Kasus pada PT. Tolan Tiga
Indonesia)
Hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan
1. Audit Internal berpengaruh terhadap
pencegahan fraud. Dengan demikian
kondisi ini
memperlihatkan bahwa internal Audit
perusahaan
sangat memiliki peran yang besar di
dalam
perusahaan untuk mengendalikan dan
mengevaluasi aktivitas kegiatan
perusahaan
terutama dalam pencegahan fraud.
Berdasarkan
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pengujian
hipotesis dapat diterima.
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan
satu variabel
independen dan satu
variabel dependen.
Sedangkan penelitian
saat ini menggunakan
tiga variabel
independen.
Bersambung pada halaman selanjutnya
61
Tabel 2.1 (lanjutan)
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian
2 Ni Kadek Siska Agusyani,
Edy Sujana dan Made Arie
Wahyuni (2016)
Pengaruh Whistleblowing
System dan Kompetensi
Sumber Daya Manusia
terhadap Pencegahan Fraud
Pada Pengelolaan Keuangan
Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (Studi Pada Dinas
Pendapatan Daerah
Kabupaten Buleleng)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara parsial terdapat pengaruh
signifikan antara whistleblowing system
dan komptensi sumber daya manusia
terhadap pencegahan fraud. Secara
simultan whistleblowing system dan
komptensi sumber daya manusia
berpengaruh simultan terhadap
pencegahan fraud.
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan
dua variabel
independen dan satu
variabel dependen.
Sedangkan penelitian
saat ini menggunakan
tiga variabel
independen.
3 Riri Zelmiyanti dan Lili
Anita (2015)
Pengaruh Budaya
Organisasi Dan Peran
Auditor Internal Terhadap
Pencegahan Kecurangan
Dengan Pelaksanaan Sistem
Pengendalian Internal
Sebagai Variabel
Intervening
1. Budaya organisasi berpengaruh
signifikan positif terhadap pencegahan
kecurangan melalui pelaksanaan sistem
pengendalian internal
2. Peran auditor internal berpengaruh
signifikan positif terhadap pencegahan
kecurangan melalui pelaksanaan sistem
pengendalian internal
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan 2
variabel independen
dan satu variabel
dependen dengan SPI
sebagai Variabel
Intervening..
Bersambung pada halaman selanjutnya
62
Tabel 2.1 (lanjutan)
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian
4 Ony Widilestariningtyas
dan Rahman Toni Akbar
(2014)
Pengaruh Audit Internal
Terhadap Risiko Fraud
(Survey Pada PT. BRI di
Wilayah Bandung).
1. Pelaksanaan audit internal di PT.BRI
wilayah Bandung berada pada kriteria
cukup baik, hal ini terlihat dari indikator
audit internal berada pada kriteira baik
dan cukup baik, namun demikian masih
terdapat indikator yang tidak baik yaitu
dalam pelaksanaan audit pernah
mendapatkan tekanan dari pihak luar
dan Pengawasan yang dilakukan pada
setiap tahap pelaksanaan audit.
2. Pelaksanaan risiko fraud di PT.BRI
wilayah Bandung berada pada kriteria
cukup baik, hal ini terlihat dari indikator
resiko fraud berada pada kriteira baik
dan cukup baik, namun demikian masih
terdapat indikator yang tidak baik yaitu
Untuk mengurangi risiko fraud,
Perlunya pengawasan terhadap proses
audit.
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan
satu variabel
independen dan satu
variabel dependen.
Bersambung pada halaman selanjutnya
63
Tabel 2.1 (lanjutan)
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian
5 T, Theresa Festi, Andreas,
dan Natariasari, Riska.
(2014)
Pengaruh Peran Audit
Internal terhadap
Pencegahan Kecurangan
(Studi Empiris pada
Perbankan di Pekanbaru)
Pengaruh yang signifikan dari peran
audit internal terhadap pencegahan
kecurangan. Atau peran audit internal
dengan pencegahan kecurangan
memiliki hubungan yang kuat. Semakin
baik peran audit internal maka semakin
tinggi pencegahan kecurangan.
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan
satu variabel
independen dan satu
variabel dependen.
Sedangkan penelitian
saat ini menggunakan
tiga variabel
independen.
6 Yusar Sagara (2013) Profesionalisme Internal
Auditor dan Intensi
Melakukan Whistleblowing.
Internal Auditor yang mempunyai
profesionalisme (dimensi untuk
mandiri) yang tinggi akan
meningkatkan intensi melakukan
whistleblowing. Dengan internal auditor
dapat berkualitas lagi.
Penelitian sebelumnya
hanya menggunakan
satu variabel
independen dan satu
variabel dependen.
Sumber: Diolah dari berbagai referensi
67
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan kausalitas yang
digunakanuntuk menjelaskan pengaruh variabel independen, yaitu budaya
organisasi, peran audit internal, whistleblowing system terhadap variabel
dependen, yaitu pencegahan kecurangan. Populasi penelitian ini adalah
auditor internal pemerintah yang bekerja pada inspektorat kementerian
keuangan.
Penelitian pada dasarnya untuk menunjukkan kebenaran dan
pemecahan masalah atas apa yang diteliti untuk mencapai tujuan tersebut,
dilakukan suatu metode yang tepat dan relevan untuk tujuan yang diteliti.
Pengertian metode penelitian menurut Sugiyono (2014:2) adalah cara
ilmiah untuk mendapatkan datadengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kausalitas, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan serta pengaruh antara dua variabel atau
lebih.
68
B. Metode Penentuan Sampel
Pemilihan Instansi Pemerintah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode convenience sampling, yaitu istilah umum yang
mencakup variasi luasnya prosedur pemilihan responden. Convenience
Sampling berarti unit sampling yang ditarik mudah dihubungi, tidak
menyusahkan, mudah untuk mengukur, dan bersifat kooperatif (Hamid,
2010:18).
Metode convenience sampling digunakan karena peneliti memiliki
kebebasan untuk memilih sampel dengan cepat dari elemen populasi yang
datanya mudah diperoleh peneliti. Responden yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Pegawai Negeri di Inspektorat Jenderal Kementerian
Keuangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data-data pada penelitian ini, peneliti menggunakan
dua cara yaitu penelitian pustaka dan penelitian lapangan.
1. Penelitian pustaka (Library Research)
Peneliti memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti melalui buku, jurnal, skripsi, tesis, internet, dan perangkat lain yang
berkaitan dengan judul penelitian.
69
2. Penelitian lapangan (Field Research)
Data utama penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan. Data
yang akan dikumpulkan adalah jenis data primer. Menurut Husain (2009:42),
data primer adalah yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau
perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuesioner.
Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara memberikan
kuesioner berupa pertanyaan yang menjadi instrumen variabel yang akan
dikirimkan pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Apabila
diperlukan, pengumpulan data juga dilakukan dengan bertemu langsung
dengan responden.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Zelmiyati dan Anita
(2015) untuk melihat pengaruh variabel budaya organisasi dan peran audit
internal terhadap pencegahan kecurangan, dan kuesioner Agusyani et al.
(2016) untuk melihat pengaruh variabel whistleblowing system terhadap
pencegahan kecurangan.
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif, uji kualitas data,
uji asumsi klasik dan uji hipotesis.
1. Statistik Deskriptif.
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum,
70
minimum, sum, range, kurtosis, dan skewness (kemencengan distribusi)
(Ghozali, 2013:19).
2. Uji Kualitas Data
a. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner
dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap
pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali,
2013:47-48).
Menurut Ghozali (2013:46) menyebutkan bahwa pengukuran
reliabilitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Repeated Measure atau pengukuran ulang: Disini seseorang akan
disodori pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda, dan
kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan jawabannya.
2) One Shot atau pengukuran sekali saja: Disini pengukurannya hanya
sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain
atau mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan.
Kriteria pengujian dilakukan dengan menggunakan pengujian
Cronbach Alpha (α). Suatu variabel dikatakan reliable jika memberikan
nilai Cronbach Alpha > 0,70 (Nunnaly, 1960 dalam Ghozali, 2013:48).
71
b. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya
suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh
kuesioner tersebut (Ghozali, 2013:52-53). Pengujian validitas dalam
penelitian ini menggunakan Pearson Correlation yaitu dengan cara
menghitung korelasi antara nilai yang diperoleh dari pertanyaan-
pertanyaan. Apabila Pearson Correlation yang didapat memiliki nilai di
bawah 0,05 berarti data yang diperoleh adalah valid (Ghozali, 2013).
3. Uji Asumsi Klasik
Untuk melakukan uji asumsi klasik atas data primer ini, maka
peneliti melakukan uji multikolonieritas, uji normalitas, dan uji
heteroskedastisitas (Ghozali, 2013).
a. Uji Multikolonieritas
Pengujian multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi
diantara variabel independen (Ghozali, 2013:105).
Deteksi ada atau tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi
dapat dilihat dari besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan tolerance.
Regresi bebas dari multikolonieritas jika nilai VIF < 10 dan nilai tolerance
> 0,10 (Ghozali, 2013:106).
72
b. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengukur apakah di dalam model
regresi variabel independen dan variabel dependen keduanya mempunyai
distribusi normal atau mendekati normal. Model regresi yang baik adalah
memiliki distribusi normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini, uji
normalitas menggunakan Normal Probability Plot (P-P Plot). Suatu
variabel dikatakan normal jika gambar distribusi dengan titik-titik data
yang menyebar di sekitar garis diagonal, dan penyebaran titik-titik data
searah mengikuti garis diagonal (Singgih Santoso, 2004:212).
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti
diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residu mengikuti
distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi
tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi
apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan analisis grafik
dan uji statistik (Ghozali, 2013:160)
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah model regresi
terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamaan yang
lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
73
heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas
(Ghozali, 2013:139).
Deteksi ada atau tidaknya heterokedastisitas dapat dilihat dengan
ada tidaknya pola tertentu pada grafik scaterplot. Jika ada pola tertentu
maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Tetapi jika tidak
ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0
pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2013:139-
140).
4. Uji Hipotesis
a. Uji statistik t (uji parsial)
Uji statistik t digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel
independen yang dimasukkan dalam model regresi secara individual
terhadap variabel dependen (Ghozali, 2013:98-101). Untuk mengetahui ada
tau tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara
individual terhadap variabel dependen maka digunakan tingkat signifikansi
dengan syarat pengambilan keputusan dalah sebagai berikut
1) Jika nilai probabilitasnya sig lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05
atau (sig < 0,05) dan nilai t lebih besar dari nilai 2 (t > 2), maka Ha
diterima dan Ho ditolak, artinya signifikan (variabel independen secara
74
parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen, Ghozali, 2013).
2) Jika nilai probabilitas sig lebih besar dari nilai probabilitas 0,05 atau
(sig> 0,05) dan nilai t lebih kecil dari nilai 2 (t < 2), maka Ha ditolak
dan Ho diterima, artinya tidak signifikan (variabel independen secara
parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen, Ghozali, 2013).
b. Uji statistik F (uji simultan)
Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua
variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi secara
bersama terhadap variabel dependen (Ghozali, 2013:98-101). Untuk
mengetahui apakah variabel independen secara bersama mempengaruhi
variabel dependen, maka digunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05
dengan syarat pengambilan keputusan berikut ini:
1) Jika nilai probabilitas sig lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau
(sig < 0,05) dan nilai F lebih besar dari nilai 4 atau (F > 4), maka Ha
diterima dan Ho ditolak, artinya signifikan (variabel independen secara
simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen).
2) Jika nilai probabilitas sig lebih besar dari nilai probabilitas 0,05 atau
(sig < 0,05) dan nilai F lebih kecil dari nilai 4 atau (F < 4), maka Ha
75
ditolak dan Ho diterima, artinya tidak signifikan (variabel independen
secara simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependen).
c. Uji koefisien determinasi
Uji koefisien determinan digunakan untuk menentukan seberapa
besar variabel independent dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai
koefisien determinan antara nol dan satu. Nilai adjusted R2 yang kecil
berarti kemampuan variabel-variabel independent dalam menjelaskan
variasi variabel dependen amat terbatas (Ghozali, 2013:97).
d. Analisis regresi berganda
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis
adalah metode regresi linier berganda, yaitu regresi yang digunakan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen (Ghozali, 2013). Model ini digunakan karena penulis
ingin mengetahui tentang pengaruh variabel budaya organisasi (X1), peran
audit internal (X2), dan whistleblowing system(X3) terhadap pencegahan
kecurangan (fraud) (Y).
Adapun rumus persamaan regresi berganda secara statistik adalah
sebagai berikut :
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3 e
76
Keterangan:
Y : Pencegahan Kecurangan (fraud)
a : Konstanta
b1 b2b3 : Koefisien Regresi
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Peran Audit Internal
X3 : Whistleblowing System
e : Error
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan definisi dari masing-masing variabel yang
digunakan berikut dengan operasional dan cara pengukurannya.
1. Budaya Organisasi
Budaya Organisasi (organization culture) merupakan nilai-nilai
dominan yang disebarluaskan dalam perusahaan. Indikator budaya organisasi
seperti yang dikemukakan Robbins & Coulter dalam Zelmiyanti dan Anita
(2015) yaitu :
a. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu kadar seberapa jauh karyawan
didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
77
b. Perhatian ke hal yang rinci atau detail, yaitu kadar seberapa jauh
karyawan diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis dan
perhatian yang rinci/detail.
c. Orientasi hasil, yaitu kadar seberapa jauh pimpinan berfokus pada
hasil atau output dan bukannya pada cara mencapai hasil itu.
d. Orientasi orang, yaitu kadar seberapa jauh keputusan manajemen turut
mempengaruhi orang- orang yang ada dalam organisasi.
e. Orientasi tim, yaitu kadar seberapa jauh pekerjaan disusun berdasarkan
tim dan bukannya perorangan.
f. Keagresifan, yaitu kadar seberapa jauh karyawan agresif dan bersaing,
bukannya daripada bekerja sama.
g. Kemantapan/stabilitas, yaitu kadar seberapa jauh keputusan dan
tindakan organisasi menekankan usaha untuk mempertahankan
status quo.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala interval 5 poin dari
sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral (3), setuju (4) sampai sangat
setuju (5).
2. Peran Audit Internal
Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan,
pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi
(perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) –
standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan,
78
dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai
untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
Selain itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang
Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985),
memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana auditor internal
melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap fraud.
SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor internal untuk
membuat laporan audit tentang fraud (Effendi:2010) dalam Zelmiyanti dan
Anita (2015).
Adapun indikator yang digunakan sesuai dengan Pelaksanaan Standar
Profesi Audit Internal yang digunakan Effendi (2010) dalam Zelmiyanti dan
Anita (2015) yaitu:
a) Independensi dan Objektivitas
b) Keahlian dan Kecermatan Profesional
c) Lingkup pekerjaan audit internal
d) Pelaksanaan Tugas Audit Internal
e) Manajemen Bagian Audit Internal
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala interval 5 poin dari
sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral (3), setuju (4) sampai sangat
setuju (5).
3. Whistleblowing system
79
Whistleblowing adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau
pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis atau
perbuatan tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi
maupun pemangku kepentingan Komite Nasional Kebijakan Governance
(2008:22) dan Semendawai, dkk (2011:19).
Indikator yang mendasari peneliti mengenai variabel whistleblowing
systemterdiri dari 3 cabang utama (Semendawai, dkk, 2011), yaitu Efektivitas
penerapan whistleblowing system, cara pelaporan pelanggaran, dan Manfaat
whistleblowing system. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala
interval 5 poin dari sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral (3), setuju
(4) sampai sangat setuju (5).
4. Pencegahan Kecurangan (fraud)
Pencegahan kecurangan (fraud) adalah suatu upaya atau usaha untuk
menolak atau menahan segala bentuk perbuatan tidak jujur yang dapat
mengakibatkan peluang kerugian maupun kerugian yang nyata bagi
perusahaan, karyawan, dan orang lain. Pencegahan dilakukan agar kecurangan
dalam perusahaan tidak terjadi, sehingga cita-cita perusahaan akan tercapai
dan membuat reputasi perusahaan menjadi baik.
Pencegahan kecurangan (fraud) merupakan upaya terintegrasi yang
dapat menekan terjadinya faktor penyebab fraud Pusdiklatwas BPKP
(2008:37) dan Tunggal (2012:59).
80
Indikator yang mendasari peneliti mengenai variabel Pencegahan
Fraud terdiri dari 3 cabang utama (Tunggal, 2012), yaitu budaya jujur dan
etika yang tinggi, Tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi
pencegahan fraud, dan pengawasan oleh komite audit. Variabel ini diukur
dengan menggunakan skala interval 5 poin dari sangat tidak setuju (1), tidak
setuju (2), netral (3), setuju (4) sampai sangat setuju (5).
87
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel dan Pengukuran
No Variabel Indikator No. Butir
Pertanyaaan
Skala
Pengukuran
1 Budaya
Organisasi, X1
(Zelmiyanti
dan Anita
(2015)
1. Inovasi dan pengambilan risiko 1 interval
2. Perhatian ke hal mendetail 2
3. Orientasi hasil 3
4. Orientasi orang 4
5. Orientasi tim 5,6
6. Keagresifan 7, 8
7. Stabilitas 9
2 Peran Audit
Internal, X2
(Effendi, 2010
dalam
Zelmiyanti dan
Anita (2015))
1. Independensi dan objektivitas 10, 11, 12
interval
2. Keahlian dan kecermatan
profesional 13, 14, 15
3. Lingkup pekerjaan audit internal 16
4. Pelaksanaan tugas audit internal 16
5. Manajemen bagian audit internal 17
3 Whistleblowing
System, X3
(Semendawai,
dkk, 2011)
Efektivitas penerapan
whistleblowing system 18, 19
interval
Cara pelaporan pelanggaran 20, 21, 22,
23, 24
Manfaat whistleblowing system 25
4 Pencegahan
Kecurangan, Y
(Tunggal,
2012)
Pengawasan oleh komite audit 26, 27, 28,
29
interval
Tanggung jawab manajemen untuk
mengevaluasi pencegahan
kecurangan 30, 31, 32
Budaya jujur dan etika yang tinggi 33
Sumber: data yang diolah.
81
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap auditor internal yang bekerja di
Inspektorat Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Auditor yang
berpartisipasi dalam penelitian ini meliputi golongan III A s.d IV E yang
melaksanakan pekerjaan di bidang auditing.
Pengumpulan data kuesioner penelitian dilakukan secara langsung
dengan perantara bagian umum masing-masing wilayah yang
mengkoordinir penyebaran kuesioner kepada para auditor di masing-
masing wilayah. Penyebaran serta pengambilan kuesioner dilakukan dari
tanggal 14 Maret hingga 20 Maret 2017 .
Jumlah kuesioner yang disebarkan adalah sejumlah 80 namun yang
hanya bisa diolah adalah sebesar 70. Karena sebanyak 7 (tujuh) kuesioner
tidak kembali kepada penulis dikarenakan ada yang terselip dengan kertas
lainnya sehingga menyulitkan dalam pencarian kuesioner tersebut dan
sebanyak 3 (tiga) kuesioner tidak diisi lengkap oleh responden dan apabila
tidak terisi lengkap tidak bisa diolah oleh SPSS 22, gambaran mengenai
data sampel disajikan dalam tabel 4.1.
82
Tabel 4.1
Data Sampel Penelitian
No. Keterangan Jumlah Persenta
se
1. Kuesioner yang disebar:
80 100% a. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
2 Kuesioner yang kembali:
73 91.25% a. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
3 Kuesioner yang tidak kembali:
7 8.75% a. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
4 Kuesioner yang tidak dapat diolah
3 3.75%
5 Kuesioner yang dapat diolah
70 87.5%
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas menunjukkan kuesioner yang
disebarkan berjumlah 80 kuesioner dan jumlah kuesioner yang kembali
adalah sebanyak 73 kuesioner atau 91.25%. Kuesioner yang tidak
kembali sebanyak 7 kuesioner atau 8.75%. Kuesioner yang dapat di
olah berjumlah 70 kuesioner atau 87.5%, sedangkan kuesioner yang
tidak dapat diolah karena tidak diisi secara lengkap oleh responden
sebanyak 3 kuesioner atau 3.75%.
2. Karateristik Responden
Dalam tabel 4.2 ini, menyajikan identitas responden PNS
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Berdasarkan golongan,
jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan latar
belakang pendidikan.
Sumber: Data primer yang diolah
83
Deskripsi mengenai data responden berdasarkan golongan ini
dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2
Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Golongan
Golongan (Gol)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid III A 7 10,0 10,0 10,0
III B 1 1,4 1,4 11,4
III C 12 17,1 17,1 28,6
III D 36 51,4 51,4 80,0
IV A 11 15,7 15,7 95,7
IV B 2 2,9 2,9 98,6
IV C 1 1,4 1,4 100,0
Total 70 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 4.2, responden dalam penelitian ini paling
banyak adalah golongan tingkat III D sebesar 51,4% atau 36 responden.
Sisanya sebesar 17,1% atau sebanyak 12 responden dengan golongan
tingkat III C, atau sebesar 15,7% atau sebanyak 11 responden dengan
golongan IV A, atau sebesar 10,0% atau sebanyak 7 responden dengan
golongan III A, atau sebesar 2,9% atau sebanyak 2 responden dengan
golongan IV B, dan masing-masing sebesar 1,4% atau sebanyak 1
responden untuk golongan III B dan IV C.
Sumber: Data primer yang diolah
84
Tabel 4.3
Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin (JK)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki - Laki 47 67,1 67,1 67,1
Perempuan 23 32,9 32,9 100,0
Total 70 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukan bahwa responden yang
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 47 orang atau 67,1% responden
didominasi oleh jenis kelamin laki-laki, dan sisanya perempuan
berjumlah 23 orang atau 32,9% responden. Hal ini dikarenakan
karakteristik profesi auditor yang memerlukan curahan waktu yang lebih
banyak dalam pekerjaannya sehingga mayoritas responden laki-laki.
Tabel 4.4
Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Umur
Umur (UM)
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid <30 Tahun 35 50,0 50,0 50,0
30-37 Tahun 27 38,6 38,6 88,6
38-45 Tahun 5 7,1 7,1 95,7
46-45 Tahun 1 1,4 1,4 97,1
>54 Tahun 2 2,9 2,9 100,0
Total 70 100,0 100,0
Sumber: Data primer yang diolah
85
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan usia responden yang bekerja
di inspektorat, yaitu sebesar <30 tahun berjumlah 35 orang atau 50,0%,
untuk responden yang berumur 30-37 tahun berjumlah 27 orang atau
38,6%, untuk responden yang berumur 38-45 tahun berjumlah 5 orang
atau 7,1%, untuk responden yang berumur 46-54 tahun berjumlah 1
orang atau 1,4% dan untuk responden yang berumur diatas >54 tahun
berjumlah 2 orang atau 2,9%.
Tabel 4.5
Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir (PT)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Diploma 12 17,1 17,1 17,1
S-1 38 54,3 54,3 71,4
S-2 17 24,3 24,3 95,7
S-3 3 4,3 4,3 100,0
Total 70 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 4.5 diatas untuk responden yang berdasarkan
pendidikan terakhir didapatkan bahwa responden yang lulusan Diploma
berjumlah 12 orang atau 17,1%, responden yang lulusan S1 berjumlah 38
orang atau 54,3%, dan untuk responden yang lulusan S2 berjumlah 17
Sumber: Data primer yang diolah
Sumber: Data primer yang diolah
86
orang atau 24,3%, dan untuk responden yang lulusan S3 berjumlah 3
orang atau 4,3%.
Tabel 4.6
Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja
Berdasarkan tabel 4.6 diatas untuk responden yang berdasarkan
lama bekerja didapatkan bahwa responden yang telah bekerja dibawah 5
tahun berjumlah 12 orang atau 17,1%, responden yang bekerja pada 5,01-
10 tahun berjumlah 24 orang atau 34,3%, responden yang bekerja pada
10,01-20 tahun berjumlah 11 orang atau 15,7% responden yang bekerja
lebih dari 20,01-30 tahun berjumlah 7 orang atau 10,0%, responden yang
bekerja lebih dari 30,01-40 tahun berjumlah 9 orang atau 12,9% dan
untuk responden yang bekerja lebih dari >40 tahun berjumlah 7 orang
atau 10,0%.
Pengalaman Kerja (PK)
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid <5 Tahun 12 17,1 17,1 17,1
5,01-10 Tahun 24 34,3 34,3 51,4
10,01-20 Tahun 11 15,7 15,7 67,1
20,01-30 Tahun 7 10,0 10,0 77,1
30,01-40 Tahun 9 12,9 12,9 90,0
>40 Tahun 7 10,0 10,0 100,0
Total 70 100,0 100,0
Sumber: Data primer yang diolah
87
Tabel 4.7
Hasil Uji Deskripsi Responden Latar Belakang Pendidikan
Latar Belakang Pendidikan
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Akuntansi 57 81,4 81,4 81,4
Manajemen 7 10,0 10,0 91,4
Sistem Informasi 4 5,7 5,7 97,1
Lain-Lain 2 2,9 2,9 100,0
Total 70 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 4.7 diatas sebagian besar responden didominasi
responden di bidang lainnya, dalam penelitiaan ini rata rata didominasi
oleh akuntansi yaitu sekitar 81,4 % atau 57 responden, kedua manajemen
yaitu sekitar 10.0 %, sedangkan sistem informasi diposisi ketiga sekitar
5,7% atau 4 responden dan keempat yaitu bidang lain-lain sekitar 2,9%
atau 2 responden.
B. Hasil Uji Instrumen Penelitian
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi
budaya organisasi, peran audit internal, whistleblowing system dan
Sumber: Data primer yang diolah
88
pencegahan kecurangan akan diuji secara statistik deskriptif seperti yang
terlihat dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8
Hasil Uji Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Range Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
Budaya Organisasi 70 15 30 45 38,29 3,494
Peran Auditor Internal 70 12 28 40 33,16 3,496
Whistleblowing System 70 15 25 40 33,71 3,596
Pencegahan Kecurangan 70 11 29 40 34,84 3,304
Valid N (listwise) 70
Tabel 4.8 menjelaskan bahwa pada variabel budaya organisasi
jawaban minimum responden sebesar 30 dan maksimum sebesar 45,
dengan rata-rata total jawaban 38,29 dan standar deviasi sebesar 3.494.
Variabel peran audit internal minimum responden sebesar 28 dan
maksimum sebesar 40, dengan rata-rata total jawaban 33,16 dan standar
deviasi sebesar 3,496. variabel whistleblowing system jawaban minimum
responden sebesar 25 dan maksimum sebesar 40, dengan rata-rata total
jawaban 33,71 dan standar deviasi sebesar 3,596.
Sumber: Data primer yang diolah
89
Pada pencegahan kecurangan minimum jawaban responden
sebesar 29 dan maksimum sebesar 40, dengan rata-rata total jawaban
34,84 dan standar deviasi sebesar 3,304.
Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa rata-rata jawaban responden untuk variabel budaya
organisasi, peran audit internal, whistleblowing system dan pencegahan
kecurangan adalah setuju.
2. Hasil Uji Kualitas Data
a. Hasil Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau tidaknya suatu
kuesioner. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Pearson
Corelation, pedoman suatu model dikatakan valid jika tingkat
signifikansinya dibawah 0,05 maka butir pertanyaan tersebut dapat
dikatakan valid (Ghozali, 2013: 52-54). Tabel berikut menunjukkan hasil
uji validitas dari empat variabel yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu budaya organisasi, peran audit internal, whistleblowing system dan
pencegahan kecurangan dengan 70 sampel responden.
90
Tabel 4.9
Hasil Uji Validitas Budaya Organisasi
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig Keterangan
(2-tailed)
1 .700**
0.000 valid
2 .635**
0.000 valid
3 .718**
0.000 valid
4 .693**
0.000 valid
5 .690**
0.000 valid
6 .729**
0.000 valid
7 .766**
0.000 valid
8 .656**
0.000 valid
9 .620**
0.000 valid
Tabel 4.9 menunjukkan variabel budaya organisasi mempunyai
kriteria valid untuk semua item pertanyaan dengan nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05.
Tabel 4.10
Uji Validitas Peran Audit Internal
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig Keterangan
(2-tailed)
1 .481**
0.000 valid
2 .730**
0.000 valid
3 .612**
0.000 valid
4 .713**
0.000 valid
5 .672**
0.000 valid
6 .529**
0.000 valid
7 .637**
0.000 valid
8 .599**
0.000 valid
Sumber: Data primer yang diolah
Sumber: Data primer yang diolah
91
Tabel 4.10 menunjukkan variabel peran audit internal
mempunyai kriteria valid untuk semua item pertanyaan dengan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05.
Tabel 4.11
Uji Validitas Whistleblowing System
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig Keterangan
(2-tailed)
1 .754**
0.000 valid
2 .750**
0.000 valid
3 .771**
0.000 valid
4 .776**
0.000 valid
5 .734**
0.000 valid
6 .692**
0.000 valid
7 .845**
0.000 valid
8 .775**
0.000 valid
Tabel 4.11 menunjukkan variabel whistleblowing system
mempunyai kriteria valid untuk semua item pertanyaan dengan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05.
Tabel 4.12
Uji Validitas Pencegahan Kecurangan
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig Keterangan
(2-tailed)
1 .721**
0.000 valid
2 .765**
0.000 valid
3 .677**
0.000 valid
4 .798**
0.000 valid
5 .815**
0.000 valid
6 .818**
0.000 valid
7 .686**
0.000 valid
8 .788**
0.000 valid
Sumber: Data primer yang diolah
92
Tabel 4.12 menunjukkan variabel pencegahan kecurangan
mempunyai kriteria valid untuk semua item pertanyaan dengan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05.
b. Hasil Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk menilai konsistensi dari
instrumen penelitian. Suatu instrumen penelitian dapat dikatakan
reliabel jika nilai Cronbach Alpha berada diatas > 0,70. Tabel 4.13
menunjukkan hasil uji reliabilitas untuk delapan variabel penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 4.13
Hasil Uji Reabilitas
Variabel Cronbach's
Alpha Keterangan
Budaya Organisasi 0,767 Reliabel
Peran Audit Internal 0,745 Reliabel
Whistleblowing System 0,783 Reliabel
Pencegahan Kecurangan 0,782 Reliabel
Tabel 4.13 menunjukkan nilai cronbach’s alpha atas variabel
budaya organisasi sebesar 0,767, peran audit internal sebesar 0,745,
whistleblowing system sebesar 0,783, dan pencegahan kecurangan
sebesar 0,782.
Sumber: Data primer yang diolah
Sumber: Data primer yang diolah
93
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernyataan dalam
kuesioner ini reliabel karena mempunyai nilai cronbach’s alpha lebih
besar dari > 0,70 (Nunnaly,1994) dalam (Ghozali, 2013:47-49). Hal
ini menunjukkan bahwa setiap item pernyataan yang digunakan akan
mampu memperoleh data yang konsisten yang berarti bila pernyataan
itu diajukan kembali akan diperoleh jawaban yang relatif sama dengan
jawaban sebelumnya.
3. Hasil Uji Asumsi Klasik
a. Hasil Uji Multikolonieritas
Untuk mendeteksi adanya problem multiko, maka dapat
dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan Variance Inflation
Factor (VIF) serta besaran korelasi antar variabel independen.
Tabel 4.14
Hasil Uji Multikolonieritas
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B
Std.
Error Beta
Toler
ance VIF
1 (Constant) 4,702 2,994 1,570 ,121
Budaya
Organisasi ,291 ,090 ,307 3,220 ,002 ,634 1,577
Peran Auditor
Internal ,241 ,104 ,255 2,317 ,024 ,479 2,089
Whistleblowing
System ,327 ,100 ,356 3,283 ,002 ,492 2,033
a. Dependent Variable: Pencegahan Kecurangan
Sumber: Data primer yang diolah
94
Berdasarkan tabel 4.16 diatas terlihat bahwa nilai tolerance
mendekati angka 1 dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) disekitar
angka 1 untuk setiap variabel, yang ditunjukkan dengan nilai tolerance
untuk budaya organisasi sebesar 0,634, peran audit internal sebesar
0,479, dan whistleblowing system sebesar 0.492 serta VIF 1,577,
2,089, dan 2,033. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model
persamaan regresi tidak terdapat problem multiko dan dapat
digunakan dalam penelitian ini (Ghozali, 2009).
b. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah
model regresi, variabel dependen dan variabel independen atau
keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang
baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal.
Gambar 4.1
Sumber: Data primer yang diolah
95
Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot
Hasil uji normalitas berdasarkan output histogram disajikan
pada gambar berikut ini.
Gambar 4.2
Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram
Gambar 4.1 dan 4.2 memperlihatkan penyebaran data yang
berada disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, ini
menunjukkan bahwa model regresi telah memenuhi asumsi
normalitas.
c. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah
dalam sebuah model regresi, terjadi ketidaksamaan varians dari
residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians
Sumber: Data primer yang diolah
96
dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,
maka disebut homoskedastisitas.
Gambar 4.3
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan gambar 4.3, grafik scatterplot menunjukkan
bahwa data tersebar di atas dan di bawah angka 0 (nol) pada sumbu Y
dan tidak terdapat suatu pola yang jelas pada penyebaran data
tersebut.
Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model
persamaan regresi, sehingga model regresi layak digunakan untuk
memprediksi pencegahan kecurangan berdasarkan variabel yang
mempengaruhinya, yaitu budaya organisasi, peran audit internal dan
whistleblowing system.
Sumber: Data primer yang diolah
97
4. Hasil Uji Hipotesis
a. Uji koefisien determinasi
Tabel 4.15 menyajikan hasil uji koefisien determinan yang
digunakan untuk menentukan seberapa jauh variabel sistem budaya
organisasi, peran audit internal dan whistleblowing system dapat
menjelaskan variabel pencegahan kecurangan. Nilai adjusted R2
sebesar 0,601 menunjukkan variasi budaya organisasi, peran audit
internal dan whistleblowing system dapat menjelaskan 60,1% variasi
pencegahan kecurangan. Sisanya 39,9% dijelaskan oleh sebab-sebab
lain di luar model. Faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam
penelitian ini antara lain, pemberian kompensasi, penerapan prinsip-
prinsip Good Corporate Governance, sistem pengendalian internal,
resiko fraud, moralitas, kesesuaian kompensasi, dan faktor lainnya.
Tabel 4.15
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,786a ,618 ,601 2,087
a. Predictors: (Constant), Whistleblowing System, Budaya Organisasi,
Peran Auditor Internal
a. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t Statistik)
Sumber: Data primer yang diolah
98
Tabel 4.16 menunjukkan bahwa budaya organisasi, peran audit
internal dan whistleblowing system secara individual berpengaruh
terhadap variabel pencegahan kecurangan. Hal ini berarti bahwa
variabel budaya organisasi, peran audit internal dan whistleblowing
system secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pencegahan kecurangan.
Tabel 4.16
Hasil Uji Statistik t
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4,702 2,994 1,570 ,121
Budaya Organisasi ,291 ,090 ,307 3,220 ,002
Peran Auditor Internal ,241 ,104 ,255 2,317 ,024
Whistleblowing System ,327 ,100 ,356 3,283 ,002
a. Dependent Variable: Pencegahan Kecurangan
Hipotesis 1: Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Pencegahan
Kecurangan.
Hasil uji hipotesis 1 dapat dilihat pada tabel 4.16, variabel budaya
organisasi mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,002. Hal ini berarti
menerima Ha1 sehingga dapat dikatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh
secara signifikan terhadap pencegahan kecurangan karena tingkat signifikansi
yang dimiliki variabel budaya organisasi lebih kecil dari 0,05.
Sumber: Data primer yang diolah
99
Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa budaya organisasi berpengaruh
terhadap pencegahan kecurangan. Salah satu faktor yang bisa mencegah
kecurangan menurut Arens (441:2008) adalah budaya yang jujur dan etika yang tinggi.
Teori Arens diperkuat oleh Tunggal (2010:231) dalam Zelmiyanti dan Anita (2015)
menyatakan bahwa kecurangan dapat dicegah dengan meningkatkan budaya
organisasi yang dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good
Corparate Governance. Inspektorat jenderal kementerian keuangan bertanggung
jawab untuk menerapkan budaya yang baik di dalam lingkungan kementerian agar
tindakan kecurangan bisa diminimalkan. Penelitian ini mendukung penelitian-
penelitian sebelumnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Zelmiyanti dan
Anita (2015) yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif
terhadap pencegahan kecurangan.
Hipotesis 2: Pengaruh Peran Audit Internal terhadap Pencegahan
Kecurangan.
Hasil uji hipotesis 2 dapat dilihat pada tabel 4.16, variabel peran audit
internal mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,024. Hal ini berarti
menerima Ha2 sehingga dapat dikatakan bahwa peran audit internal
berpengaruh secara signifikan terhadap pencegahan kecurangan karena tingkat
signifikansi yang dimiliki variabel peran audit internal lebih kecil dari 0,05.
Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa peran audit internal berpengaruh
terhadap pencegahan kecurangan. Peran audit internal adalah sebagai
pengawas terhadap tindak kecurangan. Audit internal bertanggung jawab untuk
membantu manajemen mencegah fraud dengan melakukan pengujian dan
100
evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian seiring dengan potensi
resiko terjadinya kecurangan dalam berbagai segmen.
Dengan adanya audit diharapkan dapat berjalannya penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sesuai
Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) – standar 120.2 tahun 2004,
tentang pengetahuan mengenai kecurangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus
memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji
adanya indikasi kecurangan.
Dari hasil penelitian, tampak bahwa peran audit internal memiliki
dampak terhadap pencegahan kecurangan. Penelitian ini mendukung penelitian
Theresa dkk. (2014) dan penelitian Suginam (2016). Audit internal
berpengaruh terhadap pencegahan kecurangan. Berbeda dengan hasil penelitian
Zelmiyanti dan Anita (2015), peran auditor internal tidak berpengaruh terhadap
pencegahan kecurangan.
Hipotesis 3: Pengaruh Whistleblowing System terhadap Pencegahan
Kecurangan.
Hasil uji hipotesis 3 dapat dilihat pada tabel 4.16, variabel
whistleblowing system mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,002. Hal ini
berarti menerima Ha3 sehingga dapat dikatakan bahwa whistleblowing system
berpengaruh secara signifikan terhadap pencegahan kecurangan karena tingkat
signifikansi yang dimiliki variabel whistleblowing system lebih kecil dari 0,05.
Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa whistleblowing system
berpengaruh terhadap pencegahan kecurangan. Hal ini berarti bahwa variabel
101
whistleblowing system berpengaruh terhadap pencegahan fraud. Hal ini dapat
diartikan perusahaan yang dijadikan sebagai objek penelitian ini mendukung
untuk diterapkannya whistleblowing system, karena terbukti akan dapat
mencegah fraud.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2008) Agusyani dkk.
(2016), whistleblowing system minimal harus terdiri dari tiga aspek yaitu aspek
struktural, aspek operasional, dan aspek perawatan. Pada hasil penelitian ini,
terbukti bahwa karyawan paham akan ketiga aspek tersebut yang kemudian
dapat mempengaruhi mereka untuk enggan melakukan tindakan fraud dan
melaporkan tindakan fraud yang terjadi jika mereka mengetahuinya. Penelitian
lain yang mendukung yakni penelitian Agusyani dkk (2016), yang menyebut
variabel whistleblowing system berpengaruh secara signifikan terhadap
pencegahan fraud. Penelitian tersebut dilakukan pada perusahaan yang telah
menerapkan whistleblowing system, sedangkan penelitian oleh peneliti
dilakukan pada perusahaan yang belum menerapkan whistleblowing system.
Maka bahwa whistleblowing system mempengaruhi pencegahan fraud.
Berdasarkan tabel 4.16 maka dapat diperoleh model persamaan regresi
sebagai berikut:
Keterangan:
Y : Pencegahan Kecurangan (fraud)
Y = 4,702 + 0,291X1 + 0,241X2 + 0,327X3 + 2,994
102
a : Konstanta
b1 b2b3 : Koefisien Regresi
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Peran Audit Internal
X3 : Whistleblowing System
e : Error
c. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Tabel 4.17 menyajikan hasil uji statistik F untuk variabel pencegahan
kecurangan, budaya organisasi, peran audit internal, dan whistleblowing
system.
Tabel 4.17
Hasil Uji Statistik
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 465,824 3 155,275 35,652 ,000b
Residual 287,447 66 4,355
Total 753,271 69
a. Dependent Variable: Pencegahan Kecurangan
b. Predictors: (Constant), Whistleblowing System, Budaya Organisasi, Peran Auditor Internal
Tabel 4.17 menunjukkan nilai F hitung sebesar 35,652 dengan tingkat
signifikansi 0,000. Karena probabilitas signifikansi jauh lebih kecil dari
0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi
pencegahan kecurangan, atau dapat dikatakan bahwa variabel budaya
Sumber: Data primer yang diolah
103
organisasi, peran audit internal dan whistleblowing system secara
bersama-sama berpengaruh terhadap pencegahan kecurangan.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem remunerasi,
motivasi, kompetensi, dan komitmen organisasi terhadap kinerja internal auditor.
Responden penelitian ini berjumlah 70 PNS yang bekerja Inspektorat Jenderal
Kementerian Keuangan. Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan hasil
pengujian yang telah dilakukan terhadap permasalahan dengan menggunakan model
regresi berganda, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil uji regresi ditemukan variabel budaya organisasi, peran audit internal,
whistleblowing system berpengaruh positif terhadap pencegahan kecurangan.
2. Hasil uji regresi menyatakan bahwa variabel budaya organisasi dan whistleblowing
system merupakan variabel independen yang paling dominan mempengaruhi
pencegahan kecurangan.
B. Implikasi
1. Bagi Peneliti:
Dengan dibuatnya penelitian ini diharapkan penelitian selanjutnya dapat
menggunakan model penelitian yang sama namun pada objek yang berbeda
misalnya pada perusahaan atau instansi lain. Selain itu sebaiknya penelitian
berikutnya menggunakan jumlah responden yang lebih banyak agar bisa di dapat
hasil perhitungan yang lebih efisien dan akurat, dan penelitian selanjutnya dapat
menggunakan variabel lain untuk diteliti selain variabel budaya organisasi, peran
audit internal, whistleblowing system dan pencegahan kecurangan.
104
2. Bagi Instansi Pemerintah:
Bagi pihak inspektorat diharapkan untuk dapat lebih mengefektifkan dan
mengembangkan penerapan budaya organisasi, peran audit internal dan
whistleblowing system dapat dijalankan dengan baik dan untuk auditornya diberikan
pemberian kompensasi yang sesuai (khususnya gaji dan tunjangan) terhadap
pegawai agar dapat menekan terjadinya praktek kecurangan.
3. Bagi Pegawai:
Bagi pegawai inspektorat kementerian keuangan lebih meningkatkan
kompetensi SDM dan pemahaman tentang whistleblowing system dan untuk
mencegah terjadinya tindakan fraud, sebaiknya para pegawai menolak segala
pemberian hadiah dari pihak dalam maupun luar organisasi jika mereka
mengetahui maksud dan tujuan dari pemberian hadiah tersebut adalah bentuk suap
untuk mementingkan keuntungan pribadi seseorang atau kelompok.
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat pada umumnya dapat mengambil hal-hal yang positif
didalam penelitian ini, sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran
yang baik bagi masyarakat agar dapat mempraktekannya di instansi masing-masing
untuk menghasilkan beberapa cara melakukan pencegahan kecurangan yang ada di
instansi pemerintah.
C. Keterbatasan
Seperti kebanyakan penelitian lainnya, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan:
1. Data penelitian yang berasal dari responden yang disampaikan secara tertulis
dengan bentuk kuesioner mungkin akan mempengaruhi hasil penelitian.
Karena persepsi responden yang disampaikan belum tentu mencerminkan
105
keadaan yang sebenarnya (subjektif) dan akan berbeda apabila data diperoleh
melalui wawancara.
D. Saran
1. Bagi direksi disarankan untuk memperhatikan budaya organisasi, peran
auditor internal, whistleblowing system dalam memberikan saran-saran
terhadap pencegahan kecurangan karena akan mempengaruhi pencegahan
kecurangan.
2. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambah variabel penelitian seperti:
pemberian kompensasi, penerapan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance, sistem pengendalian internal, resiko fraud, moralitas, kesesuaian
kompensasi dan variabel lain yang dapat mencegah kecurangan.
xx
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, Ni Kadek Siska, Edy Sujana, dan Made Arie Wahyuni, “Pengaruh
Whistleblowing System dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap
Pencegahan Fraud Pada Pengelolaan Keuangan Penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng)
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi
Program S1, Vol: 6 No: 3 Tahun 2016.
Arens, Alvin A, Rondal J. Elder, dan Mark S. Beasly, “Auditing and Assurance
Service and Integrated Approach”, 13th Edition, New Jersey : Pearson
Education In Upper Sadle River, 2012.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, “Akuntabilitas Instansi
Pemerintah”, BPKP, Jakarta, 2007
, “Fraud Auditing”. Edisi kelima.
Bogor: Pusdiklatwas BPKP, 2008.
Bobek, Donna. D., dan Richard. C. Hatfield, “An investigation of the theory of
planned behavior and the role of moral obligation in tax compliance”.
Behavioral Research in Accounting Vol. 15, hal. 13-38, 2003
Buchan, H. F, “Ethical decision making in the public accounting profession: An
extension of Ajzen's theory of planned behavior”. Journal of Business Ethics
Vol. 61, No. 2, hal. 165-181, 2005.
Brennan, N dan J. Kelly, “A Study Ow Whistle-Blowing Among Trainee
Auditors”.The British Accounting Review Vol. 39, No. 1, hal. 61-87, 2007.
Carpenter, Tina. D., dan Jane. L. Reimers, Unethical and Fraudulent Financial
Reporting: Applying The Theory Of Planned Behavior”. Journal of Business
Ethics Vol. 60, No. 2, hal. 115-129, 2010.
Depkeu, “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/pmk.09/2010 tentang Tata
Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran
(Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan”. 2010. Diunduh
dari
http://www.itjen.depkeu.go.id/files/pdf/PMK%20103%20PMK09%202010.
pdf. Diakses pada 1 Juni 2017.
Dyck, Alexander, Adair Morse, dan Luigi Zingales, “Who blows the whistle on
corporate fraud?”. The Journal of Finance Vol. 6, December edition, hal.
2213–2253, 2010.
xxi
Gatra, Sandro. “Berantas Penyimpangan, Kemensos Luncurkan "Whistle Blowing
System Online.” 2014. Diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/09/15244881/Berantas.Penyimpa
ngan.Kemensos.Luncurkan.Whistle.Blowing.System.Online. Diakses pada
1 Juni 2017.
Ghozali, Imam, “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS”, Edisi 4,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.
Ghozali, Imam, “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS IBM SPSS
21 Update PLS Regresi”, Edisi 7, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2013.
Hamid, Abdul, “Panduan Penulisan Skripsi”, FEB UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2010.
Jenifer, George M dan Jones R Gareth, “Organitational behavior”, Thirtd Edition,
Prentice hall International Inc. 2002.
KPMG, “Fraud Survey 2009”. Retrieved from http://www.kpmg.com/ZA/
en/IssuesAndInsights/ArticlesPublications/Risk-Compliance/Pages/Fraud-
Survey-2009.aspx, 2009. Diakses pada 10 Februari 2017.
, “Integrity Survey 2008–2009”. New York, NY: KPMG LLP, 2008.
Kumaat, Valery G, “Internal Audit”. Jakarta: Erlangga, 2011.
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Memahami whistleblower.
Jakarta: LPSK., 2011.
Liyanarachchi Gregory, dan Chris Newdick, “The Impact of Moral Reasoning
and Retaliation on Whistle-Blowing: New Zealand Evidence”, Journal of
Business Ethics 89, hal. 37–57, 2009.
Metro Bali, Dispenda Buleleng Tagih Pengembalian Dana Korupsi PBB ,
diunduh dari http://metrobali.com/2013/08/30/dispenda-buleleng-tagih
pengembalian-dana-korupsi-pbb/ pada tanggal 19 Maret 2017.
Miceli, M. P., Near, J. P., dan T. M. Dworkin, “Whistle-blowing in
organizations”. New York: Routledge, 2008.
Octaviari, Nugroho Vredy, Pengaruh Persepsi Karyawan Mengenai
WhistleBlowing System Terhadap Pencegahan Fraud Dengan Perilaku Etis
Sebagai Variabel Intervening Pada PT Pagilaran, 2015.
xxii
Ramadhika, Dian, Contoh-contoh Whistleblowing, diunduh dari
http://ramadhikaw.blogspot.co.id/2014/01/contoh-kasus-
whistleblowing.html pada tanggal 17 Februari 2017.
Robbins, Stephen P, dan Mary Coulter, Manajemen, Edisi10, Jakarta: Erlangga,
2010.
Sagara, Yusar, Profesionalisme Internal Auditor dan Intensi Melakukan
Whistleblowing”. Jurnal Liqudity Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2013, hal. 34-
44, 2013.
Sawyer, B., Sawyer’s Internal Audit, Audit Internal Sawyer. Buku 2. Jakarta :
Salemba Empat, 2012.
Semendawai, Abdul Haris, “Memahami Whistleblower”. Jakarta: Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011.
Su, Chin-Chun dan Ni, Feng-Yu, “Budgetary Participation And Slack On The
Theory Of Planned Behavior”. International Journal of Organizational
Innovation. Vol. 5, No. 4. Hal. 91-99, 2013.
Suginam, “Pengaruh Peran Audit Internal terhadap Pencegahan Fraud (Studi
Kasus pada PT. Tolan Tiga Indonesia)” ISSN: 2301-9425 Pelita
Informatika Budi Darma Volume XV, 2016.
T, Theresa Festi, Andreas, dan Natariasari, Riska, “Pengaruh Peran Audit
Internal terhadap Pencegahan Kecurangan (Studi Empiris pada Perbankan
di Pekanbaru)”. JOM FEKON Vol. 1, 2014.
Transparancy International, “Corruption Perceptions Index 2015”.
www.transparency.org/cpi2015/results, diunduh tanggal 5 Juni 2015.
Tunggal, Amin Widjaya. “Mengenal Audit Kecurangan”. Jakarta: Harvarindo,
2014.
_____________________, The Fraud Audit Mencegah dan Mendeteksi
Kecurangan Akuntansi. Jakarta: Harvarindo, 2012
Uddin, Nancy, dan Gillett, Peter. R.,The effects of moral reasoning and self-
monitoring on CFO intentions to report fraudulently on financial
statements. Journal of Business Ethics. Vol. 40, No. (1), pp. 15-3, 2012.
xxiii
Umar, Husain,Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009
Wibowo, Budaya Organisasi (Sebuah Kebutuhan untuk Kinerja Jangka Panjang),
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011.
Widiastuti, Zehan, Contoh Kasus Whistleblowing, diunduh dari
https://zehanwidiastuti.wordpress.com/2016/01/05/contoh-kasus-whistle-
blowing pada tanggal 17 Februari 2017.
Widilestariningtyas, Ony dan Akbar, Toni R. (2014) Pengaruh Audit Internal
Terhadap Risiko Fraud, Jurnal Riset Akuntansi - Volume VI / No. 1 / April
2014.
Zelmiyanti, Riri dan Anita, Lili.Pengaruh Budaya Organisasi dan Peran Auditor
Internal Terhadap Pencegahan Kecurangan Dengan Pelaksanaan Sistem
Pengendalian Internal Sebagai Variabel Intervening. Jurnal Akuntansi
Keuangan dan Bisnis Vol. 8, November 2015, 67-76 2012.
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 1
KUESIONER
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, PERAN AUDIT INTERNAL, DAN
WHISTLEBLOWING SYSTEM TERHADAP PENCEGAHAN KECURANGAN
(FRAUD)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 2
Hal: Permohonan Pengisian Kuesioner Jakarta, Februari 2017
Kepada Yth.
Bapak/Ibu/Saudara/i Responden
Di tempat
Dengan hormat,
Sehubungan dengan penyelesaian tugas akhir sebagai mahasiswa Program Strata Satu
(S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saya:
Nama : Trisna Wulandari
NIM : 1110082000031
Fak/Jur/Smtr : Ekonomi dan Bisnis/Akuntansi/XIV
bermaksud melakukan penelitian ilmiah untuk penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh
Budaya Organisasi, Peran Audit Internal, dan Whistleblowing System Terhadap Pencegahan
Kecurangan (fraud); (Studi Empiris Pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan)”.
Untuk itu, saya sangat mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menjadi
responden dengan mengisi lembar kuesioner ini secara lengkap dan sebelumnya saya mohon
maaf telah menggangu waktu bekerjanya.
Data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak
memberikan konsekuensi apapun terhadap penilaian kinerja Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai
pegawai. Maka dari itulah, saya mohon dengan sangat agar Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian
berkenan untuk memberikan respon pada setiap pernyataan secara jujur apa adanya, bebas
dan tanpa beban sesuai dengan pendapat, perasaan dan pengalaman yang
Bapak/Ibu/Saudara/i temui atau rasakan.
Apabila diantara Bapak/Ibu/Saudara/i ada yang membutuhkan hasil penelitian ini,
maka Bapak/Ibu/Saudara/i dapat menghubungi saya (telp dan email tertera dibawah). Atas
kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i meluangkan waktu untuk mengisi dan menjawab semua
pertanyaan dalam penelitian ini, saya sampaikan terima kasih.
Dosen Pembimbing Hormat saya,
(Hepi Prayudiawan, SE., Ak.,MM) (Trisna Wulandari)
NIP. 1972 0516 200901 006 NIM: 1110082000031
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 3
IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ……………………
(tidak wajib diisi)
Golongan : III A III B III C III D IV A
IV B IV C IV D IV E
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Umur : ………… tahun
Pendidikan Terakhir : Diploma
S-1
S-2
S-3
Pengalaman Kerja : < 5 tahun 5,01-10 tahun 10,01-20 tahun
20,01-30 tahun 30,01- 40 tahun > 40 tahun
Latar Belakang Pendidikan : Akuntansi
Manajemen
Sistem Informasi
Perbankan
Lain-lain ........................ (Sebutkan)
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 4
Berilah tanda centang (√ ) pada pernyataan di bawah ini sesuai dengan penilaian anda,
dimana:
1. Sangat Tidak Setuju (STS) 2. Tidak Setuju (TS)
3. Netral (N) 4. Setuju (S)
5. Sangat Setuju (SS)
Budaya Organisasi (X1)
No. Pertanyaan STS TS N S SS
1
Organisasi di tempat saya bekerja,
keputusan penting lebih sering dibuat oleh
individu daripada secara kelompok.
2 Proses perencanaan melalui langkah-
langkah dan waktu yang telah ditetapkan.
3
Organisasi di tempat saya bekerja,
keputusan lebih sering dibuat oleh
bawahan.
4 Para pimpinan di tempat saya bekerja,
cenderung mempertahankan pegawai yang
berprestasi.
5 Organisasi di tempat saya bekerja,
perubahan-perubahan ditentukan
berdasarkan surat keputusan pimpinan.
6 Organisasi di tempat saya bekerja,
pimpinan memberikan petunjuk kerja
yang jelas kepada pegawai baru.
7 Organisasi di tempat saya bekerja,
mempunyai ikatan tertentu dengan
masyarakat di sekitar Kementerian.
8
Organisasi di tepat saya bekerja terdapat
komitmen yang kuat dari pimpinan untuk
memantau dan mengontrol pencapaian
target divisinya.
9 Organisasi di tepat saya bekerja pegawai
menyampaikan hasil kinerja yang
sesungguhnya kepada atasan.
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 5
Peran Audit Internal (X2)
No. Pertanyaan STS TS N S SS
10
Saya melakukan kegiatan pemeriksaan
audit terpisah dengan berbagai kegiatan
pekerjaan saya yang lainnya
11
Saya memberikan penilaian pemeriksaan
audit secara netral/tidak memihak
siapapun attau pihak manapun
12 Saya melakukan pekerjaan secara bebas
dan objektif
13 Saya melakukan pemeriksaan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan
14
Saya menggunakan kemampuan
profesional audit dalam segala bidang
cakupan audit dalam proses pemeriksaan
15
Saya memiliki pengetahuan profesional
audit yang luas untuk melakukan proses
pemeriksaan audit
16
Saya menguji laporan itu sudah
mengandung informasi yang akurat,
dapat dibuktikan kebenarannya, tepat
waktu, lengkap, dan berguna bagi
kementerian.
17
Saya terus menerus meninjau dan
melakukan tindak lanjut atas hasil
permerisaan audit yang telah saya
lakukan
Saya melakukan tindak lanjut
pemeriksaan dan melakukan perbaikan
dari hasil pemeriksaan audit yang telah
dilakukan
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 6
Whistleblowing System (X3)
No. Pertanyaan STS TS N S SS
18
Saya bersedia menyatakan komitmen untuk
melaksanakan Whistleblowing System dan
berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan
bila menemukan adanya pelanggaran dan
kecurangan.
19
Saya tidak takut untuk melaporkan
pelanggaran atau kecurangan yang terjadi
karena ada kebijakan mengenai perlindungan
pelapor/whistleblower dalam Whistleblowing
System.
20 Whistleblowing System dikelola oleh petugas
khusus yang independen.
21
Itjen, Sekjen Itjen, Inspektorat I s/d VII,
Inspektorat Bid. Investigasi dan Para Auditor
ikut terlibat dalam penerapan Whistleblowing
System.
22
Saya akan menggunakan nama
samaran/anonim jika melaporkan suatu
pelanggaran atau kecurangan.
23 Laporan pelanggaran yang saya laporkan
harus dilakukan investigasi lebih lanjut.
24
Evaluasi dan perbaikan harus senantiasa
dilakukan kementerian untuk meningkatkan
efektivitas program Whistleblowing System.
25 Saya menjadi termotivasi untuk melaporkan
tindak pelanggaran karena ada reward.
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 7
Pencegahan Kecurangan (Fraud) (Y)
No. Pertanyaan STS TS N S SS
26
Kementerian telah
mengimplementasikan program
pengendalian anti fraud berdasarkan
nilai-nilai yang dianut kementerian.
27
Nilai-nilai yang di anut oleh
kementerian mampu menciptakan
lingkungan yang mendukung karyawan
untuk mengarahkan tindakan mereka.
28
Kementerian memiliki sikap tanggap
terhadap segala sesuatu yang terjadi di
kementerian.
29
Kementerian telah membentuk sebuah
tim untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan dan disepekati bersama oleh
sekelompok orang dalam organisasi.
30
Kementerian melakukan pelatihan ke
waspadaan terhadap kecurangan sesuai
dengan tanggung jawab kerja pegawai.
31
Kementerian mengadakan sistem
penghargaan terhadap hasil kinerja
pegawai yang sesuai dengan sasaran.
32
Kementerian mengadakan pelatihan
secara profesional dalam
pengembangan karir untuk
mendongkrak semangat kerja pegawai
yang dapat mengurangi kemungkinan
pegawai melakukan kecurangan.
33
Kementerian memberlakukan aturan
perilaku untuk membangun budaya
jujur dan keterbukaan pegawai didalam
kementerian.
Bila ada kritik dan saran dapat menghubungi Trisna Wulandari (085213439663) email: [email protected], terima kasih… Page 8