PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM ...
Transcript of PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM ...
1
TESIS
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI
DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN
KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
NI LUH GEDE BUDIARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
2
TESIS
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI
DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN
KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
NI LUH GEDE BUDIARI
NIM 1291361 002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
3
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI
DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN
KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Peternakan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI LUH GEDE BUDIARI
NIM 1291361 002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL : 24 Juni 2014
Pembimbing I,
Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D.
NIP. 19470907197503 1 002
Pembimbing II,
Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS
NIP. 196202201987021 001
Mengetahui
Ketua Program Studi S2 Ilmu Peternakan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS
NIP. 19590813198503 2 001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)
NIP. 195902151985102001
5
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 24 Juni 2014
Panitia penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No. 1882/UN14.4/HK/2014
Ketua : Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D.
Anggota :
1. Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS
2. Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS
3. Prof. Dr. Ir. I Ketut Sumadi, MS
4. Dr. Ir. Ni Nyoman Siti, MS
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Luh Gede Budiari
NIM : 1291361 002
Progran Studi : ILMU PETERNAKAN
Judul Tesis : Pengaruh Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam
Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan
(Lepus negricollis)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 24 Juni 2014
Yang membuat pernyataan
(Ni Luh Gede Budiari)
7
ABSTRAK
PENGARUH ARAS KULIT KOPI TERFERMENTASI DALAM RANSUM
TERHADAP PERTUMBUHAN KELINCI LOKAL JANTAN (Lepus negricollis)
Penelitian tentang pengaruh aras kulit kopi terfermentasi pada kelinci telah
dilaksanakan di Desa Gulingan, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi
Bali dari bulan Juli sampai Bulan Oktober 2013. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan. Perlakuan tersebut
adalah ransum tanpa kulit kopi (R0), ransum dengan aras 10% kulit kopi (R1),
ransum dengan aras 20% kulit kopi (R2), ransum dengan aras 10% kulit kopi
terfermentasi (R3) dan ransum dengan aras 20% kulit kopi terfermentasi (R4).
Tiap-tiap perlakuan menggunakan 8 ekor kelinci jantan lokal umur 5 minggu
sebagai ulangan. Variabel yang diamati performans, keseimbangan energi dan
protein dalam tubuh ternak, respon hematologi, karkas, jumlah mikroba dalam
sekum dan kolon dan keuntungan finansial dari penjualan kelinci dikurangi biaya
pakan.
Hasil penelitian menunjukan kelinci yang diberikan ransum dengan 10%
kulit kopi terfermentasi (R3) paling efisien dalam menggunakan ransum sehingga
berat potong, berat karkas dan persentase karkas yang dihasilkan nyata paling
tinggi (P<0,05), sedangkan kandungan trigliserida dan kadar kolesterolnya nyata
lebih rendah (P<0,05) dari kontrol. Perlakuan R3 menghasilkan retensi energi
(55,20 kkal/hari) dan retensi protein (0,55 g/hari), angka ini lebih tinggi dari
perlakuan yang lain. Penambahan kulit kopi 20% pada ransum kelinci cenderung
meningkatkan jumlah mikroba dalam sekum dan kolon.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan 10% aras kulit
kopi terfermentasi dalam ransum kelinci dapat meningkatkan performance, retensi
energi dan protein dan persentase karkas. Secara finansial bila dihitung hasil
penjualan kelinci hidup keuntungan tertinggi diperoleh R3, dengan R/C Ratio
1,22. Penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dapat direkomendasikan pada
peternak karena dapat menurunkan biaya pakan.
Kata kunci : pertumbuhan, kulit kopi, fermentasi, kelinci, mikroba perut
8
ABSTRACT
EFFECT OF FERMENTED COFFEE PULP LEVELS IN RATION ON THE
GROWTH RATE OF MALE LOCAL RABBIT (Lepus negricollis)
An experiment was carried out to study effect of fermented coffee pulp
levels in the ration on the growth performance of the male local rabbits. This
experiment was run at Gulingan village, Mengwi, Badung regence, Bali Province
from July to October 2013. Experiment was arranged in Randomized Complete
Block Design (RCBD) with five treatments. The treatment were diet without
coffee pulps (R0), diet with 10% unfermented coffee pulps (R1), diet with 20%
unfermented coffee pulps (R2), diet with 10% fermented coffee pulps (R3) and
diet with 20% fermented coffee pulps (R4). Each treatments consisted of 8 males
of 5 week old local rabbits. Variables observed were performance, energy and
protein retention, hematologic response, carcass, the number of microbia in the
cecum and colon, and income over, feed cost.
The results showed performance of that rabbits fed on R3 is significantly
higher (P<0,05) than orthers. Treatment 10% fermented coffee pulps (R3) were
the most efficient in utilizing diet, as aresult the performance is of the rabbit in
R3, on weight cuts, carcass weight and carcass percentage were the greates, while
the content of triglycerides and cholesterol levels were lower than control.
Treatment R3 produced energy retention (55.20 kcal / day) and protein retention
(0.56 g / day), higher (P<0,05) than other treatments. Addition of 20% coffee
pulps on diet either fermented or unfermented, tend to increase the number of
microbia in the cecum and colon. .
From the results of this study it can be concluded that utilization of 10%
fermented coffee pulps in a rabbit diet had significantly higher performance than
other treatments, furher increased energy and protein retention and carcass
fercentage and cuts. Income over feed cost showerd that utilization of 10% coffee
pulp was heigher with R/C ratio 1,22 than others. There for, utilization of 10% to
fermented coffee pulps in a rabbit diet can be recommended to farmers reduce the
feed cost.
Keywords: performance, coffee pulps, fermentation, rabbit, guts mikrobia
9
RINGKASAN
Ni Luh Gede Budiari. Pengaruh Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam
Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan (Lepus negricollis),
(dibawah bimbingan Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc.,Ph.D. sebagai pembimbing
Pertama dan Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS sebagai pembimbing Kedua).
Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang mempunyai potensi
cukup besar untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani sebagai
penyedia daging. Keuntungan beternak kelinci salah satunya dapat memanfaatkan
limbah pertanian maupun berbagai jenis hijauan sehingga dalam budidaya kelinci
dapat menggunakan sumber daya lokal. Salah satu limbah yang potensial dan
belum dimanfaatkan sebagai pakan konsentrat adalah kulit kopi yang memiliki
kandungan nutrien yang cukup bagi kelinci, belum dimanfaatkan dan tersedia
secara berkelanjutan dalam upaya untuk menurunkan biaya produksi. Potensi
kandungan gizinya masih dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan
Aspergillus niger. Protein kulit kopi dapat ditingkatkan dari 9,94 % menjadi
17,81%, kandungan serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%. Hal ini
menunjukan bahwa dengan sentuhan teknologi dapat menjadikan kulit kopi
sebagai bahan pakan yang lebih bermutu.
Penelitian dilaksanakan di Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung, Propinsi Bali, dari bulan Juli sampai Bulan Oktober 2013. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan.
Perlakuan tersebut adalah ransum tanpa kulit kopi (R0), ransum dengan aras 10%
kulit kopi (R1), ransum dengan aras 20% kulit kopi (R2), ransum dengan aras
10% kulit kopi terfermentasi (R3) dan ransum dengan aras 20% kulit kopi
terfermentasi (R4). Tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat
40 unit percobaan. Kelinci yang digunakan adalah kelinci jantan lokal umur 5
minggu.
10
Variabel yang diamati performans, keseimbangan energi dan protein dalam
tubuh ternak, respon hematologi, karkas, jumlah mikroba dalam sekum dan kolon
dan keuntungan finansial dari penjualan kelinci dikurangi biaya pakan.
Hasil penelitian menunjukan kelinci yang diberikan ransum dengan 10%
kulit kopi terfermentasi (R3) paling efisien dalam menggunakan ransum sehingga
berat potong, berat karkas dan persentase karkas yang dihasilkan nyata paling
tinggi (P<0,05), sedangkan kandungan trigliserida dan kadar kolesterolnya nyata
lebih rendah (P<0,05) dari kontrol. Perlakuan R3 menghasilkan retensi energi
(55,20 kkal/hari) dan retensi protein (0,55 g/hari), angka ini lebih tinggi dari
perlakuan yang lain. Penambahan kulit kopi 20% pada ransum kelinci cenderung
meningkatkan jumlah mikroba dalam sekum dan kolon.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan 10% aras kulit
kopi terfermentasi dalam ransum kelinci dapat meningkatkan performance, retensi
energi dan protein dan persentase karkas. Secara finansial bila dihitung hasil
penjualan kelinci hidup keuntungan tertinggi diperoleh R3, dengan R/C Ratio
1,22. Penggunaan 10% aras kulit kopi terfermentasi dapat direkomendasikan pada
peternak karena dapat menurunkan biaya pakan.
11
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. v
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
RINGKASAN .................................................................................................. viii
DAFTAR ISI..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6
2.1 Potensi Ternak Kelinci ................................................................ 6
2.2 Ransum Kelinci ........................................................................... 8
2.3 Potensi Kulit Kopi ....................................................................... 12
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN..............................................................................
15
3.1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 15
3.2 Konsep Penelitian........................................................................ 16
3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 19
12
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................ 20
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 20
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 20
4.3 Penentuan Sumber Data .............................................................. 20
4.4 Variabel Penelitian ...................................................................... 21
4.4.1 Berat Badan ........................................................................ 21
4.4.2 Konsumsi Ransum ............................................................. 21
4.4.3 Konsumsi Air Minum ........................................................ 21
4.4.4 Konversi Ransum ............................................................... 22
4.4.5 Laju Aliran Ransum ........................................................... 22
4.4.6 Kofisien Cerna Bahan Kering Ransum .............................. 22
4.4.7 Kecernaan Energi ............................................................... 23
4.4.8 Kecernaan Protein .............................................................. 23
4.4.9 Keseimbangan Energi ........................................................ 24
4.4.10 Keseimbangan protein ...................................................... 25
4.4.11 Respon Hematologi .......................................................... 25
4.4.12 Karkas .............................................................................. 26
4.4.13 Jumlah Bakteri dan Mikroba Pada Sekum ....................... 27
4.4.14 Analisis Usahatani ............................................................ 28
4.5 Bahan Penelitian ......................................................................... 29
4.5.1 Ternak Penelitian ............................................................... 29
4.5.2 Ransum dan Air Minum ..................................................... 29
4.5.3 Kandang Penelitian ............................................................ 32
4.5.4 Zat Anti Beku Darah .......................................................... 33
4.6 Instrumen Penelitian ................................................................... 33
4.6.1 Aerator ............................................................................... 33
4.6.2 Timbangan Digital ............................................................. 33
4.6.3 Gelas Ukur ......................................................................... 33
4.7 Prosedur Penelitian ..................................................................... 33
4.8 Analisa Data ............................................................................... 34
13
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................. 35
5.1 Hasil ............................................................................................ 35
5.1.1 Performans ......................................................................... 35
5.1.2 Neraca Energi ..................................................................... 39
5.1.3 Neraca Protein .................................................................... 42
5.1.4 Respon Hematologi ............................................................ 43
5.1.5 Karkas ................................................................................ 46
5.1.5.1 Berat dan Persentase Karkas ........................................... 46
5.1.5.2 Potongan Komersial Karkas ............................................ 48
5.1.5.3 Komposisi Fisik Karkas .................................................. 48
5.1.6 Non Karkas ........................................................................ 49
5.1.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon ......................... 51
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................... 53
6.1 Performans .................................................................................. 53
6.2 Neraca Energi ............................................................................. 57
6.3 Neraca Protein ............................................................................ 59
6.4 Respon Hematologi ..................................................................... 60
6.5 Karkas ......................................................................................... 63
6.5.1 Berat dan Persentase Karkas .............................................. 63
6.5.2 Potongan Komersial Karkas ............................................... 65
6.5.3 Komposisi Fisik Karkas ..................................................... 65
6.5.4 Non Karkas ........................................................................ 67
6.6 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon .................................. 68
6.7 Analisis Usahatani ....................................................................... 69
14
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 71
7.1 Simpulan ..................................................................................... 71
7.2 Saran ............................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73
LAMPIRAN ..................................................................................................... 81
15
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kandungan Nutrisi Berbagai Jenis Daging ............................................ 7
Tabel 2 Hasil Analisis Pakan yang Dilakukan di Balinak, Bogor ...................... 18
Tabel 3 Komposisi Bahan Penyusun Ransum penelitian ................................... 31
Tabel 4 Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian .................................................. 31
Tabel 5.1 Rata-rata Performans Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras
Kulit Kopi Berbeda ................................................................................ 36
Tabel 5.2 Kecernaan dan Lama Aliran Ransum pada Ternak Kelinci yang
Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ............................ 39
Tabel 5.3 Neraca Energi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit
Kopi Berbeda ......................................................................................... 40
Tabel 5.4 Neraca Protein Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit
Kopi Berbeda ......................................................................................... 43
Tabel 5.5 Respon Hematologi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras
Kulit Kopi Berbeda ................................................................................ 44
Tabel 5.6 Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda................................................................................................... 47
Tabel 5.7 Non Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda .................................................................................................. 50
Tabel 5.8 Jumlah Bakteri dan Mikroba pada Sekum dan Kolon Kelinci yang
Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda ............................ 52
Tabel 5.9 Analisis Usahatani Penggemukan Kelinci untuk 8 Ekor Pemeliharaan. 70
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 17
Gambar 2 Kandang Kelinci........................................................................... 32
Gambar 3 Pertambahan Berat Badan Kelinci Setiap Minggu yang
Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi ................................ 37
Gambar 4 Konsumsi Ransum Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan
Ransum dengan Aras Kulit Kopi ................................................. 38
17
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Analisis Statistik Berat Badan Awal (g) Kelinci yang Mendapatkan
Perlakuan Ransum Berbeda ................................................................... 81
2 Daftar Sidik Ragam Berat Badan Akhir (g) ........................................... 83
3 Daftar Sidik Ragam Konsumsi Ransum (g/hr) ...................................... 84
4 Daftar Sidik Ragam Pertambahan Berat Badan (g/hr) ........................... 85
5 Daftar Sidik Ragam Konversi Ransum .................................................. 86
6 Daftar Sidik Ragam Konsumsi Air (ml/hr) ............................................ 87
7 Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (%) ............................... 88
8 Daftar Sidik Ragam Kecernaan Energi (%) ........................................... 89
9 Daftar Sidik Ragam Kecernaan Protein (%) .......................................... 90
10 Daftar Sidik Ragam Laju Aliran Ransum (Jam) .................................... 91
11 Daftar Sidik Ragam Konsumsi Energi (kkal/hr) .................................... 92
12 Daftar Sidik Ragam Energi Feses/FE (kkal/hr) ..................................... 93
13 Daftar Sidik Ragam Energi Tercerna/DE (kkal/hr) ............................... 94
14 Daftar Sidik Ragam Energi Termetabolis/ME (kkal/hr) ........................ 95
15 Daftar Sidik Ragam Retensi Energi/ RE (kkal/hr) ................................ 96
16 Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/ PP (kkal/hr) ................................ 97
17 Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkal W0,75
/hr) ........................ 98
18 Daftar Sidik Ragam Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB) ........................ 99
19 Daftar Sidik Ragam Konsumsi Protein (g/hr) ........................................ 100
20 Daftar Sidik Ragam Protein Feses (g/hr) ............................................... 101
18
21 Daftar Sidik Ragam Protein Tercerna (g/hr) ......................................... 102
22 Daftar Sidik Ragam Retensi protein (g/hr) ............................................ 103
23 Daftar Sidik Ragam Hemoglobin (g/100ml) ......................................... 104
24 Daftar Sidik Ragam Eritrosit (106/ml) ................................................... 105
25 Daftar Sidik Ragam Leukosit (103/ml) .................................................. 106
26 Daftar Sidik Ragam Hematokrit (%) ..................................................... 107
27 Daftar Sidik Ragam Glukosa (mg/100 ml) ............................................ 108
28 Daftar Sidik Ragam Trigliserida (mg/100 ml) ....................................... 109
29 Daftar Sidik Ragam Kolesterol (mg/100 ml) ......................................... 110
30 Daftar Sidik Ragam Berat Potong (g) ................................................... 111
31 Daftar Sidik Ragam Berat Karkas (g) .................................................... 112
32 Daftar Sidik Ragam Persentase Karkas (%) .......................................... 113
33 Daftar Sidik Ragam Panjang Karkas (cm) ............................................. 114
34 Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas) .......... 115
35 Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas) ..... 116
36 Daftar Sidik Ragam Berat Pinggang dan Punggung Karkas (g/100 g
karkas) .................................................................................................... 117
37 Daftar Sidik Ragam Berat Dada dan Leher Karkas (g/100 g karkas) .. 118
38 Daftar Sidik Ragam Berat Daging Karkas (g/100 g karkas) ................. 119
39 Daftar Sidik Ragam Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas) .................. 120
40 Daftar Sidik Ragam Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) ................. 121
41 Daftar Sidik Ragam Rasio Daging dengan Tulang Karkas (/100 g
karkas) .................................................................................................... 122
42 Daftar Sidik Ragam Berat Paru-Paru (g/100 g berat hidup) ................. 123
19
43 Daftar Sidik Ragam Berat Jantung (g/100 g berat hidup) ..................... 124
44 Daftar Sidik Ragam Berat Sekum (g/100 g berat hidup) ....................... 125
45 Daftar Sidik Ragam Berat Kolon (g/100 g berat hidup) ....................... 126
46 Daftar Sidik Ragam Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup) ................ 127
47 Daftar Sidik Ragam Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup) .......... 128
48 Daftar Sidik Ragam Jumlah Bakteri (opg) ............................................ 129
49 Daftar Sidik Ragam Jumlah Mikroba (opg) .......................................... 130
50 Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian .................................................. 131
51 Angka Density Ransum Penelitian ........................................................ 132
52 Harga Ransum Perlakuan Kontrol (R0) ................................................. 133
53 Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R1) 134
54 Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Tidak Difermentasi (R2) 135
55 Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Difermentasi (R3) .......... 136
56 Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Difermentasi (R4) .......... 137
57 Foto-Foto Penelitian ..................................................................................... 158
20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan
daging senantiasa akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,
tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia daging sapi
merupakan komoditas yang dijadikan indikator pemenuhan daging secara
nasional. Pada tahun 2010 permintaan daging sapi nasional mencapai 402,9 ribu
ton, dimana pemerintah baru dapat menyediakan 282,9 ribu ton dari produksi
lokal. Untuk memenuhi permintaan daging nasional pemerintah melakukan impor
sebesar 35% yang terdiri dari sapi bakalan sebesar 46,3 ribu ton dan daging 73,7
ribu ton. Pada tahun 2014 diprediksi kebutuhan daging akan meningkat menjadi
467 ribu ton (meningkat 10% dari tahun 2010). Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut sekitar 420,3 ribu ton diperoleh dari produksi lokal dan sisanya 46,7 ribu
ton (10%) dipenuhi dari dari impor (Ditjennak, 2010).
Dalam rangka memenuhi target produksi daging sapi lokal sebesar 420,3 ribu
ton, Kementerian Pertanian mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi
dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 yang terdiri dari 5 program pokok yaitu : (1)
Penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) Peningkatan produktivitas dan
reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) Pencegahan pemotongan sapi betina
produktif, (4) Penyediaan bibit sapi, dan (5) Pengaturan stock daging sapi dalam
negeri.
21
Di Bali, kendala dalam pengembangan ternak ruminansia khususnya sapi
adalah lahan pengembangan semakin sempit dan tingkat reproduksinya lambat,
sehingga perlu diversifikasi daging dengan pengembangan ternak unggas dan
babi. Pengembangan ternak unggas dan babi membutuhkan bahan pakan yang
mahal karena sebagian bahan masih import dari luar (Suradi, 2005), sehingga
usaha ini kurang efisien untuk dikembangkan.
Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang mempunyai potensi
cukup besar untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani sebagai
penyedia daging. Disnak Propinsi Bali (2012), populasi kelinci di Bali pada tahun
2012 sebanyak 5.907 ekor, dimana populasi terbanyak di Kabupaten Tabanan
(2.942 ekor) dan Kabupaten Karangasem (1.522 ekor). Kelinci menjadi pilihan
untuk dibudidayakan karena pakannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia,
pemberian hijauan yang tinggi pada ternak kelinci dapat meningkatkan efisiensi
ransum (Farrel dan Raharjo,1984). Sartika et al. (1988), keuntungan beternak
kelinci salah satunya dapat memanfaatkan limbah pertanian maupun berbagai
jenis hijauan sehingga dalam budidaya kelinci dapat menggunakan sumber daya
lokal. Sitorus et al., (1982) melaporkan kelinci dapat dipelihara dengan
memberikan pakan hijauan yang dikombinasikan dengan limbah pertanian dan
hasil industri pertanian. Kelinci mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan
yang sangat pesat, satu siklus reproduksi seekor kelinci dapat memberikan 8-10
ekor anak dan pada umur 8 minggu bobot badannya dapat mencapai 2 kg (Lestari
et al., 2005). Komposisi kimia daging kelinci mempunyai kualitas yang baik,
kandungan protein daging kelinci cukup tinggi yaitu 20% dan setara dengan
22
daging ayam bahkan proteinnya bisa mencapai 25% (Ensminger et al., 1990),
sedangkan kandungan lemak 5,5g, kolesterol 53g dan energinya 137 kkal lebih
rendah dibandingkan daging ternak lain (Chan et al, 1995).
Mastika (1991) melaporkan salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang
murah dan kompetitif adalah melalui pemanfaatan limbah, baik limbah
pertanian, peternakan maupun industri pertanian. Salah satu limbah yang
potensial dan belum dimanfaatkan sebagai pakan konsentrat adalah kulit kopi
yang memiliki kandungan nutrien yang cukup bagi kelinci, belum dimanfaatkan
dan tersedia secara berkelanjutan dalam upaya untuk menurunkan biaya produksi.
Produksi kulit kopi diprediksi di Bali potensinya 4.118,24 ton dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena produksinya sangat tinggi dan belum
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Potensi kandungan gizinya masih dapat
ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan Aspergillus niger. Protein kulit
kopi dapat ditingkatkan dari 9,94 % menjadi 17,81%, kandungan serat kasar
menurun dari 18,74% menjadi 13,05%, (Budiari, 2009). Menurut Bidura (2007)
ransum yang difermentasi kandungan protein dan energinya meningkat sedangkan
kandungan serat kasarnya menurun. Hasil kajian Parwati et al. (2008) kulit kopi
yang difermentasi dengan Aspergillus niger mampu menggantikan dedak padi
yang selama ini sebagai pakan konsentrat untuk ternak sapi. Hal ini menunjukan
bahwa dengan sentuhan teknologi dapat menjadikan kulit kopi sebagai bahan
pakan yang lebih bermutu.
23
Informasi tentang pemanfaatan kulit kopi terfermentasi untuk pakan kelinci
sampai saat ini belum tersedia sehingga dilakukan penelitian tentang pengaruh
penggunaan kulit kopi terfermentasi pada kelinci potong yang sedang tumbuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka beberapa permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya pengaruh ransum dengan menggunakan aras kulit
kopi terfermentasi berbeda terhadap performans, karkas dan jumlah
mikroba dalam sekum dan kolon.
2. Berapa banyak retensi energi dan protein yang didapatkan pada tubuh
kelinci yang diberikan ransum menggunakan kulit kopi terfermentasi
dengan aras yang berbeda?
3. Apakah Penggunaan kulit kopi terfermentasi dapat menurunkan biaya
produksi ternak kelinci lokal ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui potensi kulit kopi sebagai sumber pakan ternak kelinci.
2. Mengetahui pada aras berapa persenkah penggunaan kulit kopi
terfermentasi tidak berpengaruh buruk terhadap performans dan karkas
kelinci lokal.
3. Mengetahui retensi energi dan protein pada tubuh kelinci yang diberikan
ransum menggunakan kulit kopi terfermentasi dengan aras berbeda.
4. Mengetahui pengaruh pemberian kulit kopi terhadap penurunan biaya
pakan sehingga biaya produksi kelinci menurun tanpa mengurangi tingkat
24
produktivitas sehingga pendapatan petani-peternak kelinci akan
meningkat.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap
produktivitas ternak kelinci dengan memanfaatkan kulit kopi terfermentasi
sebagai salah satu sumber pakan asal limbah.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formula ransum
dengan aras penggunaan kulit kopi terfermentasi yang terbaik.
3. Membantu pemerintah dalam mewujudkan peternakan ramah lingkungan
dan penyediaan daging alternatif bagi masyarakat.
4. Meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat petani peternak.
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Ternak Kelinci
Pengembangan budidaya kelinci di masyarakat sudah lama dilakukan, namun
jumlah peternak dan populasinya masih sangat rendah, antara lain disebabkan
karena daging kelinci kurang memasyarakat. Hal ini disebabkan karena kelinci
dikenal oleh masyarakat umum sebagai binatang kesayangan, sehingga adanya
tekanan psikologi masyarakat dalam memanfaatkan kelinci sebagai sumber
protein. Pemeliharaan kelinci pada saat ini hanya sebatas untuk pakan reptil dan
hewan kesayangan, padahal kelinci sangat potensial untuk dikembangkan baik
sebagai alternatif penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
maupun sebagai sumber pendapatan.
Ternak kelinci mempunyai keunggulan komparatif karena dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan cepat, dapat dikawinkan kembali 3 – 4 minggu sesudah
melahirkan. Dalam satu tahun seekor induk kelinci mampu menghasilkan anak
paling tidak 40 kg bobot hidup, bila dibandingkan dengan seekor induk sapi yang
menghasilkan seekor anak dengan bobot 200 kg, atau seekor domba 75 kg bobot
hidup anak per tahun (Rafzunnella, 2009).
Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging kelinci mempunyai serat yang
halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan
kedalam golongan daging berwarna putih. Daging kelinci mengandung protein
20,8%, lemak 10,2%, dan energi 7,3 MJ/Kg, kandungan asam lemak linoleat
22,5% dan kandungan kolesterol 0,1%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daging
26
kelinci sangat baik untuk kesehatan karena kandungan proteinnya tinggi tetapi
kolesterol dan sodium rendah sehingga baik untuk meningkatkan kecerdasan pada
anak-anak dan mencegah penyakit penyumbatan pembuluh darah
(arterosklerosis). USDA (2009) melaporkan daging kelinci mempunyai kualitas
yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi, domba atau kambing (Tabel.1).
Tabel 1 Kandungan Nutrisi Berbagai Jenis Daging
Jenis Ternak
Kalori Air Protein Lemak Ca P K Na Fe Kholesterol*
(Kkal) (g/Kg) (g/Kg) (g/Kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/100g)
Sapi 195 66,5 20 12 12 195 350 65 3 70
Domba/kambing 210 66 18 14 10 165 350 75 1,5 70
Babi 260 61 17 21 10 195 350 70 2,5 70
Ayam 200 67 19,5 12 10 240 300 70 1,5 50
Kelinci 160 70 21 8 20 350 300 40 1,5 30
Sumber : USDA (2009). * Beynen (1984)
Struktur daging kelinci lebih halus dengan warna dan bentuk fisik yang
menyerupai daging ayam pedaging. Ditinjau dari segi rasa dan warna daging
kelinci sulit dibedakan dari daging ayam sehingga merupakan peluang bagi
daging kelinci untuk mengisi sebagian pasar daging ayam, apalagi dengan
merebaknya isu flu burung yang menyebabkan permintaan daging ayam akan
menurun.
Selain sebagai penghasil daging dan sumber protein hewani yang baik
bagian-bagian tubuh kelinci meliputi kulit dan bulu, kotoran, dan urin juga
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keuntungan lain dari pemeliharaan kelinci
adalah dapat menyediakan daging, kulit beserta bulu, pupuk organik, hewan hias
dan hewan percobaan dalam jangka waktu singkat pada berbagai skala
27
pemeliharaan dan tidak memerlukan lahan luas untuk pemeliharaan sehingga
cocok dikembangkan di daerah yang padat penduduknya.
2.2 Ransum Kelinci
Kelinci pada umumnya diberikan pakan lebih banyak berupa hijauan dan
limbah sayuran, sehingga produktivitasnya kurang optimal. Peningkatan kinerja
kelinci tidak lepas dari kandungan gizi pakan seperti energi, protein dan serat
kasar. Limbah pertanian dengan serat kasar tinggi dan kandungan protein yang
rendah berakibat tidak maksimalnya kinerja kelinci untuk menghasilkan produk.
Upaya mendukung kecukupan gizi yang seimbang pemberian hijauan perlu
diimbangi dengan konsentrat (Lestari, 2005). Rahardjo et al. (2004) melaporkan
bahwa kelinci Rex yang diberikan rumput lapang ad libitum + 60 g konsentrat
menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 1191 g/ekor, sedangkan kelinci
yang diberikan rumput lapang ad libitum tanpa konsentrat hanya menghasilkan
pertambahan berat badan sebesar 610 g/ekor, selama 12 minggu pemeliharaan.
Dalam menyusun ransum ternak kelinci hal yang paling diperhatikan adalah
kandungan dari energi dan protein dalam ransum karena kelebihan dan
kekurangan energi dan protein dalam ransum akan menurunkan produktivitas
ternak (Nuriyasa, 2012). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kandungan energi
termetabolis dan protein ransum sebanyak 2939,93 kkal/kg dan protein kasar
16,48%, untuk kelinci diperlukan didataran rendah tropis sehingga pertumbuhan
menjadi optimal yang dibuktikan dengan respon biologi (fisiologi, hematologi,
performans dan karkas). NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam
ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat
28
kasar (SK) berkisar antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22 %
untuk kelinci potong. Lebih lanjut Sinaga (2009) menyarankan kelinci pejantan
fase grower memerlukan protein kasar 16% sedangkan induk menyusui
memerlukan protein kasar 15 – 16 %. Kandungan serat kasar pada ransum kelinci
jantan fase grower adalah 10 – 27 % dan induk menyusui adalah 15 – 20%. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa peningkatan kinerja kelinci tidak lepas dari
unsur-unsur pakan yang utama yaitu kandungan energi, protein dan serat kasar.
Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai efisiensi penggunaan ransum
lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci dapat memanfaatkan pakan
hijauan yang tidak disukai sapi.
Kelinci termasuk ternak monogastrik herbivora yang tidak dapat mencerna
serat kasar secara baik, hal ini disebakan karena kelinci tidak memiliki rumen
seperti kambing dan sapi. Sistem pencernaan kelinci mempunyai sekum dan kolon
yang besar tempat terjadinya fermentasi makanan. Pemberian pakan pada kelinci
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi faali dan menurut kemampuan fisiologis
pencernaan (Widodo, 2005). Lestari (2004) melaporkan pemberian ampas tahu
sebagai konsentrat tunggal menghasilkan pertambahan berat badan harian sebesar
31,93 g/ekor/hari dengan konversi pakan 5,17% lebih tinggi dari yang diberikan
ampas tahu yang dikombinasikan dengan bekatul, yaitu 30,53 g/ekor/hari. Lebih
lanjut Hamidy (1996) melaporkan kelinci “New Zealand White” periode
pertumbuhan yang diberikan eceng gondok 20% rata-rata pertambahan berat
badan hariannya 13g lebih tinggi daripada yang diberikan 10% eceng gondok
(11,84 g) dan 30% sebesar 9,12 g. Pemberian tempurung sawit terfermentasi
29
sampai 20% pada kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhannya
(Raharjo et al., 2000). Lestari et al. (1997) melaporkan penambahan azolla
mycrophylla dalam ransum kelinci lokal meningkatkan berat dan persentase
karkas kelinci dari 44,95% menjadi 48,33%.
Menurut Lestari (2005) ternak kelinci sebagai ternak monogastrik
mempunyai keunikan dalam hal kapasitas, sifat, dan faali dari saluran
pencernaanya, yaitu kemampuan kelinci untuk melakukan coprophagy. Kelinci
termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses dari saluran
pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering keras dan juga feses lembek berlendir
dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah
yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk
memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam
feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak vitamin, dan nutrien
seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin.
Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan
nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang kembali (Anon, 2011).
McNitt et al. (1996) menyatakan nutrien ternak kelinci dapat dibedakan
menjadi protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Karbohidrat dan lemak
merupakan sumber energi bagi ternak kelinci. Karbohidrat terpenting dari ternak
kelinci adalah pati dan selulosa. Selulosa mampu dicerna oleh kelinci karena
memiliki mikroorganisme dalam sekum dan kolon sebagai fermentor serat kasar.
Kelinci membutuhkan serat kasar dalam ransum dalam jumlah yang tinggi
(minimal 12%) yang bersumber dari hijauan. Kelinci dapat mencerna serat kasar
30
terutama selulosa dari bahan nabati dengan bantuan bakteri yang hidup dalam
sekum dan kolon untuk dirubah menjadi energi, protein dan asam amino bisa
diabsorbsi kembali (McNitt et al., 1996). Salah satu upaya untuk meningkatkan
kualitas adalah dengan fermentasi Aspergillus niger. Efisiensi penggunaan pakan
dapat ditingkatkan sehingga nilai konversi pakan dapat ditingkatkan pula.
Muryanto (2006) melaporkan bahwa dengan pemberian 5% kulit kopi
terfermentasi dalam ransum ayam buras dapat meningkatkan pertumbuhan 1,42%
dan menekan biaya pakan sebesar Rp.56,- setiap 1 kg ransum dibandingkan
dengan ransum kontrol. Selanjutnya Rokhmani (2005) menyatakan pemberian
onggok terfermentasi pada ransum kelinci 10% dan 20% dapat meningkatkan
berat badan kelinci 33% dan 29% dibandingkan dengan yang diberikan onggok
tanpa terfermentasi.
Kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak walaupun hanya diberikan
hijauan dan limbah pertanian sebagai pakan utamanya. Pemeliharaan ternak
kelinci secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian berbagai jenis
leguminosa dan rumput-rumputan. Disamping itu dengan memanfaatkan sisa –
sisa dari sayuran dan pemberian pakan tambahan berupa dedak padi, ampas tahu,
pollard mampu meningkatkan produktivitas kelinci (Raharjo, 2005).
Pemeliharaan secara intensif dengan menggunakan ransum komplit yang
merupakan campuran dari bahan seperti jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa,
dedak padi, pollard, vitamin – mineral, kapur dan garam mampu meningkatkan
pertumbuhan dan efisiensi dalam penggunaan pakan (Lestari et al., 2005). Dengan
menggunakan ransum komplit (protein kasar 16% dan energi termetabolis 2500
31
kkal/kg) konsumsi pakan per ekor per hari adalah sebagai berikut kelinci dewasa
110 – 125 g, kelinci bunting 200 – 250 g, kelinci yang sedang tumbuh (1,5 – 6
bulan) 80 g dan kelinci memerlukan air minum setiap hari terutama pada induk
yang sedang menyusui dan pada pemberian pakan konsentrat (Raharjo, 2005).
Dari berbagai perkebunan seperti kulit kakao dan kopi di Bali khususnya dan
lumpur sawit di Indonesia umumnya, kulit kopi cukup banyak ketersediaannya
yaitu 2.959 ton (BPS, 2012). Penggunaan kulit kopi 5% pada ransum ayam umur
30-60 hari tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan (985 vs 971 g),
konsumsi pakan (1700 vs 1700 g), konversi pakan (3,1 vs 3,3) dibandingkan
dengan kontrol yang menggunakan 5% bungkil biji kapuk (Muryantho et al.,
2006). Lebih lanjut Guntoro (2004) merekomendasikan bahwa aras penggunaan
tepung kulit kopi untuk ransum ternak babi dan ayam sebesar 10 – 15 %.
2.3 Potensi Kulit Kopi
Luas perkebunan kopi di Bali 39.000 ha, produksi pada tahun 2011 sebanyak
8.453 ton yang dihasilkan oleh kabupaten Buleleng 2.963 ton, Bangli 3.503 ton,
dan Tabanan 1.987 ton (BPS, 2012). Dari 39.000 ha areal perkebunan kopi di
Bali sekitar 65% robusta dan selebihnya 35% kopi Arabika yang populasinya
hampir sebagian besar ada di wilayah Kintamani. Kopi arabika adalah komoditas
unggulan dari Kintamani dengan jumlah produksi pada tahun 2012 sebanyak
11.766,4 ton, dengan jumlah luasan 5.345,58 ha (Disbun Kabupaten Bangli, 2013)
Buah kopi yang dipanen tersebut selanjutnya diolah basah dan produk
utamanya adalah kopi beras dan selanjutnya diolah menjadi kopi bubuk. Hasil
proses pengolahan akan menghasilkan 65% biji kopi dan 35% kulit kopi. kulit
32
kopi belum banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak dan kebanyakan dibuang
sebagai pupuk. Pemanfaatan kulit kopi secara langsung sebagai pakan ternak
memiliki beberapa kelemahan diantaranya masih mengandung senyawa tanin
yang dapat mengganggu pencernaan jika diberikan pada aras tinggi dalam bentuk
segar. Hasil Penelitian menunjukan bahwa analisis proksimat kulit biji kopi yang
belum difermentasi yaitu bahan kering (BK) 95,22%, protein kasar (PK) 10,47%,
lemak kasar (LK) 0,26% dan serat kasar (SK) 32,36% serta gross energi (GE)
sebesar 4,14 Kkal/kg (Wiguna, 2007). Mastika. (2011) melaporkan bahwa dengan
proses amoniasi kulit kopi mempunyai kandungan protein 17,88%, kecernaan
bahan kering meningkat dari 40% menjadi 50%, VFA dari 102 mM menjadi 148
mM dan NH3 4,8 mM menjadi 12,04 mM. Lebih lanjut dijelaskan bahwa amoniasi
ini juga menyebabkan struktur dinding sel kulit kopi menjadi padat dan tidak
berdebu sehingga lebih mudah ditangani.
Salah satu cara untuk meningkatan kualitas pakan dapat dilakukan dengan
biofermentasi. Biofermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat
sebagai hasil kerja enzim dari mikroorganisme dengan menghasilkan produk
tertentu (Bidura et al., 2010). Pakan yang mengalami fermentasi memiliki gizi
yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Kompiang et al. (1994) melaporkan
bahwa fermentasi ubi kayu dapat meningkatkan kandungan protein dari 2-3 %
menjadi 18– 20%, fermentasi lumpur sawit menghasilkan 18 – 22% protein kasar
(Purwandaria et al., 1999), fermentasi bungkil kelapa menghasilkan 39 – 43%
protein kasar (Sinurat et al., 1996). Selama ini pemberian konsentrat sebagai
pakan penguat biasanya dilakukan terbatas oleh peternak yang memiliki tingkat
33
kemampuan ekonomi yang baik. Akibatnya secara umum produktivitas ternak
yang dipelihara petani pada umumnya menjadi rendah. Pemanfaatan limbah
merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan bahan pakan yang murah dan
tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia dan ternak lainnya. Langkah yang
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan kulit kopi yang jumlahnya
melimpah dimusim panen dapat mencapai 4.118,24 ton untuk mendukung
pengembangan ternak kelinci di Bali. Pemanfaatan kulit kopi untuk pakan
(konsentrat) dapat meningkatkan nilai tambah usahatani. Produktivitas kelinci
akan optimal apabila kualitas dan kuantitas pakannya diperhatikan. Sudaryanto et
al. (1985) dan Diwyanto et al. (1985) melaporkan bahwa kelinci mampu tumbuh
dan berkembang dengan memanfaatkan berbagai jenis hijauan secara efisien
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan
maksimum, oleh karena itu dibutuhkan konsentrat untuk meningkatkan
pertumbuhannya.
34
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Limbah perkebunan khususnya kulit kopi selama ini belum banyak
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Kulit kopi hanya dibiarkan begitu saja sebagai
sampah dan sebagian kecil dipergunakan sebagai pupuk tanaman. Secara fisik,
potensi kulit kopi cukup besar yaitu kulit biji kopi sebanyak 6% dan daging buah
kopi 42% dari berat glondongan kering (Zaenuddin et al., 1995). Dalam proses
pengolahan kopi basah akan menghasilkan 65% biji kopi dan 35% kulit kopi.
Dari angka tersebut di Bali akan tersedia 2.959 ton kulit kopi segar. Jumlah ini
akan sangat membantu dalam pengembangan usaha ternak kelinci.
Rendahnya ketersediaan zat-zat makanan (protein kasar 9,94% ) yang
terkandung dalam kulit kopi merupakan kendala dalam pemanfaatannya untuk
bahan pakan ternak. Kelinci pertumbuhan membutuhkan serat kasar 14% dalam
ransumnya (McNitt et al., 1996). Fermentasi dengan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kandungan protein kulit kopi dari 9,94% menjadi 17,81% dan serat
kasar dari 18,74% diturunkan menjadi 13,05% (Budiari, 2009).
Potensi kulit kopi sudah diteliti pada beberapa ternak diantaranya pada sapi,
kambing, ayam dan babi, namun belum banyak potensi kulit kopi yang
dimanfaatkan pada ternak kelinci. Hasil penelitian Parwati et al. (2006)
menyatakan bahwa sapi yang diberi pakan tambahan dedak padi dan dedak kulit
kopi menghasilkan pertambahan berat badan (0,58 kg vs 0,47 kg). Lebih lanjut
Guntoro et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian kulit kopi sebanyak 100 –
35
200 g/ekor/hari pada kambing peranakan Etawa meningkatkan pertumbuhan rata-
rata dari 68,15 g (pakan tradisional) menjadi 99,25 - 100.10 g. Pemberian dedak
kulit kopi terfermentasi sebanyak 11% dari total ransum pada ayam buras Bali
produksi telurnya rata-rata 35 – 40 %, sedangkan ayam buras Bali dengan pakan
konvensional produksi telurnya rata-rata 25% (Guntoro, 2004). Skema kerangka
berpikir disajikan pada Gambar 1.
3.2 Konsep
Kulit kopi merupakan hasil ikutan setelah panen yang selama ini menjadi
sampah dan hanya sebagai bahan pupuk organik. Apabila tidak ditangani dengan
baik bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan sumber penyakit bagi
tanaman. Kulit kopi yang jumlahnya sangat tinggi mempunyai potensi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Budiari (2009) melaporkan
bahwa kulit kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger meningkatkan
kandungan proteinnya dari 9,94 % menjadi 17,81%, dan kandungan serat kasar
menurun dari 18,74% menjadi 13,05%. Prawirodigdo et al. (2007) melaporkan
bahwa dekomposisi aerobik terhadap kulit kopi dapat mengeliminasi tannin yang
terkandung hingga 58% (dari 1651,82 menjadi 694, 29 mg/100 g). Hal ini
menunjukan bahwa kulit kopi cukup potensial dipakai sebagai pakan ternak
kelinci. Kulit kopi terfermentasi dapat meningkatkan koefisien cerna (bahan
kering, energi dan protein) ransum ternak kelinci. Peningkatan koefisien nilai
cerna ransum akan berdampak pada peningkatan efisiensi penggunaan ransum,
retensi energi dan protein, serta performans dan karkas kelinci.
36
Keterangan : berpengaruh
Gambar 1. Kerangka Berpikir
KULIT KOPI BAHAN PAKAN TERNAK
KENDALA :
- PROTEIN RENDAH
- SERAT KASAR TINGGI
DIBERIKAN PADA KELINCI :
- FCR RENDAH
- RETENSI ENERGI DAN PROTEIN MENINGKAT
- PERTUMBUHAN DAN KARKAS MENINGKAT
PUPUK TANAMAN KOPI
- DAYA GUNA BELUM MAKSIMAL
- PENCEMARAN LINGKUNGAN
- MEDIA UNTUK PERKEMBANGAN
JAMUR
FERMENTASI
ASPERGILLUS NIGER
- PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK
- KESEJAHTERAAN PETERNAK MENINGKAT
- PROTEIN MENINGKAT
- SERAT KASAR RENDAH
37
Kelinci merupakan ternak monogastrik herbivora yang pada sekum dan
kolonnya terdapat bakteri selulolitik yang mampu mencerna serat kasar untuk di
rubah menjadi energi, protein dan asam amino yang selanjutnya dapat diabsorbsi
oleh dinding mukosa pada sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Sifat kopropagi
pada kelinci dapat memanfaatkan protein yang efisien disebabkan karena
penyerapan ulang dari zat-zat makanan yang mengalami pencernaan awal dari
mikroorganisme dalam sekum yang mensintesa beberapa zat makanan diantaranya
protein dan beberapa vitamin (Cheeke et al., 1987).
Pemberian kulit kopi disamping sangat baik untuk penyediaan pakan yang
berkelanjutan, juga dapat menekan biaya pakan dan ketersediaannya tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia dan ternak lainnya, karena limbah dapat
digunakan sebagai bahan alternatif pengganti sumber energi, protein , serat kasar
maupun sebagai sumber mikronutrien, karena produk tersebut ternyata kaya akan
zat-zat gizi (Tabel 3.1). Pemakaian kulit kopi sebagai pakan ternak menyebabkan
terjadinya pemakaian sumberdaya terbarukan (renewable resources) dan tidak
akan ada yang terbuang (zero waste) dan meminimalkan input luar.
Tabel 2 Hasil Analisis Pakan yang Dilakukan Di Balitnak, Bogor
NAMA BAHAN
Kandungan bahan (%)
CP SK Lemak Abu Ca P GE(kcal/kg) TDN
Kulit Kopi 9,94 18,74 1,97 11,28 0,60 0,20 3306 50,6
Kulit Kopi
fermentasi 17,81 13,05 1,06 22,55 0,76 0,62 3938 56,9
Sumber : Budiari (2009)
38
3.3 Hipotesis
1. Kulit kopi terfermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan
mutu nutrien kulit kopi dan merupakan salah satu bahan penyusun ransum
pada ternak kelinci
2. Pemberian kulit kopi terfermentasi pada aras 20% tidak berpengaruh
terhadap respon hematologi, performans, dan karkas kelinci lokal.
3. Pemberian kulit kopi terfermentasi pada aras 20% tidak berpengaruh
terhadap jumlah mikroba dalam sekum dan kolon.
4. Pemberian kulit kopi terfermentasi mampu menurunkan harga ransum
pada ternak kelinci.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK),
dengan lima perlakuan. Perlakuan tersebut adalah ransum tanpa menggunakan
kulit kopi sebagai kontrol (R0), ransum menggunakan 10% kulit kopi (R1),
ransum menggunakan 20% kulit kopi (R2), ransum menggunakan 10% kulit
kopi terfermentasi (R3) dan ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
(R4). Tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat 40 unit
percobaan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung, Propinsi Bali. Penelitian dilaksanakan selama 16 minggu dari bulan Juli
sampai dengan Oktober 2013. Pembuatan kandang, ransum perlakuan dan
persiapan kelinci dilakukan selama 8 minggu, selanjutnya 8 minggu untuk
aplikasi ransum perlakuan ke ternak kelinci.
4.3 Penentuan Sumber Data
Kelinci yang dipergunakan adalah kelinci jantan lokal lepas sapih (umur 5
minggu). Kelinci lokal yang dimaksud adalah kelinci yang sudah terbiasa
dipelihara di daerah Bali khususnya di desa Riang Gede, Kecamatan Tabanan,
Kabupaten Tabanan dan tidak jelas asal-usulnya. Dari jumlah kelinci yang
diperlakukan sebanyak 40 ekor dibuat 4 kelompok berat badan, setelah didapatkan
40
4 kelompok berdasarkan berat badan yang sama maka masing-masing kelinci
dalam kelompok disebar pada semua perlakuan.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Berat badan
Penimbangan dilakukan setiap minggu untuk mengetahui pertambahan berat
badan per minggu. Berat badan awal didapatkan dengan cara penimbangan
dilakukan pada awal penelitian sebelum kelinci diberikan perlakuan pakan,
sedangkan untuk mengetahui berat badan akhir dilakukan pada akhir penelitian.
Pertambahan berat badan didapatkan dengan cara mengurangi berat badan pada
akhir penelitian dengan berat badan pada awal penelitian. Sebelum ditimbang
kelinci dipuasakan selama 12 jam.
4.4.2 Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung setiap minggu dengan mengurangi jumlah
ransum yang diberikan dengan sisa ransum pada hari tersebut.Total konsumsi
ransum diperoleh dengan cara menjumlahkan konsumsi ransum setiap minggu
selama penelitian berlangsung.
4.4.3 Konsumsi Air Minum
Konsumsi air minum diperoleh dengan mengurangi jumlah air minum yang
diberikan dengan sisa pada keesokan harinya. Pengukuran dilakukan dengan
mengunakan gelas ukur.
41
4.4.4 Konversi Ransum
Konversi ransum atau Feed Conversion Ratio (FCR) dihitung dengan
perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat
badan selama penelitian.
4.4.5 Laju Aliran Ransum
Pengukuran laju aliran ransum di dalam saluran pencernaan dilakukan
dengan memberikan ransum yang telah dicampur dengan indikator Fushin Acid
(0,05%) pada ternak kelinci, metode ini dipergunakan oleh (Nuriyasa, 2012).
Lama aliran ransum dihitung dengan jalan menghitung waktu mulai ransum yang
mengandung indikator dimakan sampai keluarnya indikator untuk pertama kali di
dalam feses.
4.4.6 Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum
Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung berdasarkan metode
koleksi total (Tillman et al., 1986). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur
dibawah sinar matahari sampai kering udara kemudian dioven pada temperatur 60
0C selama 24 Jam. Kofisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung dengan
formulasi :
KCBK = (A – B)
X 100 % ..............................................................(1) A
Keterangan:
KCBK : Koefisien Cerna Bahan kering (%)
A : Konsumsi bahan kering ransum (g)
B : Jumlah bahan kering feses (g)
42
4.4.7 Kecernaan Energi
Kecernaan Energi (KE) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et
al., 1996). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar matahari
sampai kering udara kemudian dioven pada suhu 600
C selama 24 jam. Feses
dianalisis proksimat untuk menentukan kandungan energi pada feses. Konsumsi
ransum selama koleksi total (7 hari) di oven pada temperatur 600
C selama 24 jam
untuk mendapatkan berat kering. Konsumsi energi di dapat dengan cara
mengalikan bahan kering ransum dengan kandungan energi ransum. Energi pada
feses didapat dengan cara mengalikan berat kering feses dengan kandungan energi
feses. Kecernaan Energi (KE) dihitung dengan menggunakan formulasi :
KE = A - B
X 100% .............................................................................. (2) A
Keterangan :
KE : Kecernaan Energi (%)
A : Konsumsi Energi (kkal/hr)
B : Kandungan Energi pada feses (g/hr)
4.4.8 Kecernaan Protein
Kecernaan protein (KP) dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad
et al., 1996). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur dibawah sinar matahari
sampai kering udara kemudian dioven pada suhu 600
C selama 24 jam.Feses
dianalisis proksimat untuk menentukan kandungan protein pada feses. Konsumsi
ransum selama koleksi total (7 hari) di oven pada temperatur 600
C selama 24 jam
untuk mendapatkan berat kering. Konsumsi protein di dapat dengan cara
mengalikan bahan kering ransum dengan kandungan protein ransum. Protein pada
43
feses didapat dengan cara mengalikan berat kering feses dengan kandungan
protein feses. Kecernaan protein (KP) dihitung dengan menggunakan formulasi :
KP = A - B
X 100% .............................................................................. (3) A
Keterangan :
KP : Kecernaan Protein (%)
A : Konsumsi protein (g/hr)
B : Kandungan protein pada feses (g/hr)
4.4.9 Keseimbangan Energi
Keseimbangan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi dikurangi
energi teretensi dan energi yang terbuang melalui feses. Kandungan energi ransum
(GE) ditentukan dengan bomb kalorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada
ransum ditentukan dengan analisis proksimat menurut metode AOAC (1984).
Energi pada feses (FE) ditentukan dengan bomb kalorimeter, sedangkan protein
pada feses ditentukan dengan analisa Kjeldhal menurut AOAC. (1984).
Banyaknya energi bruto yang dikonsumsi ditentukan dari konsumsi ransum
dikalikan dengan kandungan energi bruto dari ransum.
Penentuan energi tercerna atau Digestible energi (DE) dilakukan dengan
menggunakan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang
terkandung dalam ransum dan feses. Digestible Energi (DE) ditentukan dengan
rumus Parigi Bini dan Xiccato (1998), sebagai berikut :
DE = Energi dikonsumsi – Energi pada feses ............................................ (4)
Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar perhitungan
kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
44
ME = DE – Energi urine – Energi metan .............................................................(5)
Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi jumlah energi tubuh
pada akhir penelitian dengan jumlah energi tubuh pada awal penelitian sesuai
dengan metode Parigi Bini dan Xiccato (1998). Produksi panas dihitung dengan
formulasi :
PP = ME – RE .....................................................................................................(6)
Keterangan :
PP : Produksi Panas
RE : Retensi Energi
ME : Energi Termetabolis
4.4.10 Keseimbangan Protein
Keseimbangan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi dikurangi
protein diretensi dan protein yang terbuang melalui feses. Keseimbangan protein
meliputi : konsumsi protein, protein dalam feses, protein tercerna, retensi protein
dan efisiensi pemanfaatan protein. Konsumsi protein dihitung dengan cara
mengalikan banyaknya konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum.
Protein tercerna dihitung dengan formulasi McNitt et al. (1996) sebagai berikut :
Protein tercerna = konsumsi protein – protein feses
Protein teretensi dihitung dengan mengurangi jumlah protein tubuh akhir
penelitian dengan protein tubuh pada awal penelitian.
4.4.11 Respon Hematologi
Pengamatan dilakukan terhadap kandungan hemoglobin (g/ml), jumlah sel
darah merah (106/μl), jumlah sel darah putih (10
3/μl), kandungan hematokrit (%),
kandungan glukosa darah (mg/ml), kandungan trigliserida darah (mg/dl) dan
kolesterol darah (mg/ml) sesuai dengan metode Nugraha (2010). Pengambilan
45
sampel hanya dilakukan satu kali yaitu pada minggu ke-7 penelitian. Pengambilan
darah dilakukan pada masing-masing perlakuan sebanyak 4 sampel sehingga
terdapat 20 sampel darah. Sampel darah diambil pagi hari sebelum kelinci
diberikan makan dan air minum. Cara pengambilan contoh darah dilakukan
dengan menusukan jarum pada vena telinga, kemudian disedot dengan spuit
plastik dan segera dipindahkan ke tabung reaksi yang telah terisi zat anti beku
darah. Zat anti beku darah yang digunakan adalah Etylene Diamine Tetra Acetate
(Gandasoebrata, 1985). Jumlah sampel darah yang diambil adalah 6 cc untuk satu
ekor kelinci (Nugraha, 2010). Segera setelah diambil sampel darahnya masukan
ke dalam termos es dan pada hari itu di kirim ke laboratorium Rumah Sakit
Umum Pusat Badung.
4.4.12 Karkas
Data karkas diperoleh dengan cara memotong ternak kelinci pada akhir
penelitian. Pemotongan ternak kelinci dengan memotong vena jugularis pada
leher untuk mengeluarkan darahnya (Alhaidary et al., 2010). Tubuh kelinci
kemudian digantung pada salah satu kaki belakang dengan membuat potongan
pada kulit antara tulang dan tendo pada sendi siku kaki belakang. Kepala dilepas
pada sendi atlas, kaki belakang pada sendi siku dan kaki depan pada sendi siku.
Ekor dilepas pada pangkalnya. Kulit dilepaskan dengan membuat sayatan
dibagian belakang dari paha belakang ke arah pangkal ekor dan paha yang bebas ,
kemudian ditarik ke arah leher sampai lepas. Jeroan dikeluarkan dari rongga perut
dengan membuat sayatan median didinding perut. Persentase karkas dihitung
46
sebagai total berat karkas segar, lemak rongga abdomen, dan paru-paru dibagi
dengan berat tubuh sebelum dipotong dikalikan 100 (Lukefahr et al., 1981)
Pemotongan karkas untuk pemasaran komersial, karkas dipotong-potong
menjadi 2 potongan kaki belakang kiri dan kanan, 1 potongan pinggang dan
punggung, 2 potongan dada dan leher serta 2 potongan kaki depan kiri dan kanan
(Sartika dan Raharjo, 1991). Karkas dipotong dengan melepaskan ke dua kaki
depan pada scapula. Kaki belakang dipotong pada sendi antara tulang lumbal
terakhir dengan tulang sakral pertama. Dada dan leher dengan pinggang
dipisahkan dengan membuat potongan antara dua tulang rusuk terakhir. Tulang
rusuk terakhir masuk kedalam potongan pinggang. Untuk mengetahui proporsi
dan produksi daging maka antara daging, lemak dan tulang dipisahkan. Rasio
daging dengan tulang didapat dengan membagi berat daging dengan tulang.
4.4.13 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon
Data jumlah mikroba dalam sekum dan kolon diperoleh dengan cara
mengeluarkan sekum dan kolon dari rongga perut. Potong ujung usus yang
menghubungkan sekum dan kolon, kemudian diikat dengan tali rapia, masukkan
kedalam termos yang sudah berisi es, segera dibawa ke laboratorium Balai Besar
Veteriner di Denpasar.
Prosedur penanganan sampel sekum dan kolon untuk mengetahui jumlah
mikrobanya dilakukan sebagai berikut : (1) Pengkayaan : isi sekum dan kolon
dimasukan ke dalam trypticase broth 10 ml kemudian diinkubasikan pada suhu
370
C selama 24 jam, (2) Uji selektif media: organ yang telah ditanam diambil
dengan jarum inokulasi (ose) digoreskan perlahan-lahan pada media MDL agar,
47
Mac Conkey, LEMB, Nutrien agar dan Blood agar kemudian diinkubasikan pada
suhu 370
C selama 24 jam, (3) Uji pewarnaan gram : pewarna gram yang
digunakan adalah Amonium Oxalat-Crystal violet : Sol A; Crystal violet 10 gr,
Ethanol (95%) 100 ml dicampur sampai larut, Sol B; Amonium Oxalat 1%, bila
dipakai 20 ml Sol A ditambahkan 80 ml solution B. Lugol solution, Methanol dan
Safranin 0,5%. Prosedur pewarnaan ambil 1 ose bakteri diletakan diatas kaca
preparat, diberi garam fisiologis kemudian diaduk-aduk, dikeringkan dengan
pengering, kemudian dituangi (Sol A dicampur Sol B) selama 2 menit. Cuci
dengan air kran, kemudian dituangi larutan Lugol selama 0,5 menit. Diberikan
Aceton 2 – 3 ml, kemudian dicuci dengan air selanjutnya diberi 0,5% Safranin
selama 0,5 menit, dicuci dengan air dan dikeringkan. Hasilnya dilihat di bawah
mikroskop. Cara untuk menyatakan hasil adalah pada prapengkayaan positif
terjadi kekeruhan, berarti ada pertumbuhan bakteri. Pada media DHL, Mac
Conkey warna koloni merah dadu, konvex, pinggirannya rata. Nutrien agar,
koloni pinggirannya rata. Blood agar (agar darah) terjadi haemolisa, pinggirannya
rata. E.coli gram negatif, tidak berspora dan berbentuk batang, serotipe. Bila
terjadi aglutinasi serotipe maka dilihat serotipe mana yang mengaglutinasi.
4.4.14 Analisis Usahatani
Tingkat kelayakan usahatani dapat diketahui dengan melakukan analisis
Revenue cost ratio (R/C ratio). Apabila R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut
layak untuk diterapkan, sebaliknya jika R/C ratio < 1, maka usahatani tersebut
tidak layak untuk diterapkan (Soekartawi, 2002).
48
4.5 Bahan Penelitian
4.5.1 Ternak Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan ternak kelinci jantan lokal lepas sapih (umur
5 minggu) sebanyak 40 ekor sesuai dengan perlakuan dan ulangan yang
direncanakan. Sebelum kelinci dimasukan ke dalam kandang terlebih dahulu
diinjeksi dengan ivomek 0,2 ml per ekor untuk mencegah serangan endoparasit
dan eksoparasit (Hon et al., 2009).
4.5.2 Ransum dan Air Minum
Ransum yang dipergunakan dalam penelitian ini disusun dari bahan-bahan
terdiri dari: jagung kuning, tepung ikan, dedak padi, bungkil kelapa, tepung
kedelai, rumput gajah, tepung tapioka, kulit kopi, kulit kopi terfermentasi,
minyak kelapa, dan tepung tulang. Ransum diberikan adalah iso energi dan
protein dengan kandungan protein kasar 16 % dan energi termetabolis 2.500
kkal/kg (NRC, 1977). Komposisi bahan penyusun ransum dan kandungan nutrien
ransum disajikan pada Table 3 dan 4. Kulit kopi sebelum dibuat menjadi dedak,
terlebih dahulu difermentasi dengan larutan Aspergillus niger (Guntoro, 2004)
dengan cara sebagai berikut :
1. Aspergillus niger terlebih dahulu diaktifasi dengan cara menyediakan 10
liter air bersih (steril) kemudian masukan 100 gram gula pasir, dan 100
gram urea dan 50 gram NPK lalu diaduk sampai larut. Setelah larut
masukkan Aspergillus Niger 50 cc aduk kembali hingga larut. Larutan
Aspergillus niger ini didapat dari aerasi selama 24-36 jam selanjutnya
setiap beberapa jam buihnya dibuang.
49
2. Kulit kopi yang sudah siap difermentasi ditaburkan setebal 5-10 cm pada
permukaan terpal, diatas tumpukan bahan yang telah disiram larutan
Aspergillus niger ditaburkan lagi kulit kopi setebal 5 – 10 cm,
selanjutnya disirami larutan Aspergillus niger secara merata. Demikian
seterusnya, sehingga bahan habis tertumpuk dan tersiram cairan
Aspergillus niger. Diatas tumpukan kulit kopi ditutup dengan terpal yang
bersih secara rapat dan dibiarkan 4-5 hari. Setelah umur 4 – 5 hari
penutup terpal dibuka, ciri dari fermentasi itu berhasil adalah permukaan
irisan menjadi warna kecoklatan atau kehitam-hitaman dan tidak berbau
(sedikit berbau manis seperti tape).
3. Kulit kopi terfermentasi basah dijemur sampai kering dibawah sinar
matahari tujuannya untuk menghentikan proses fermentasi,
mempermudah dalam proses penggilingan serta memperpanjang masa
simpan karena kadar air akan turun hingga 12-14%. kulit kopi yang
sudah kering akan ditandai dengan tekstur yang keras dan warna
kehitaman. kulit kopi terfermentasi lalu digiling sampai halus dan siap
dicampur dengan bahan lain untuk dijadikan pelet.
Pemberian ransum diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan pada
sore hari adlibitum. Tempat makan dan minum dibersihkan setiap hari sebelum
pemberian pakan dan air minum. Air minum yang diberikan diambil dari sumber
mata air (sumur bor).
50
Tabel 3 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Penelitian
Bahan (%) Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4
Jagung Kuning 24,00 23,00 23,00 22,00 20,50
Bungkil Kelapa 14,50 13,00 10,50 10,00 6,50
Tepung Ikan 6,50 6,50 7,00 6,00 5,00
Tepung Tapioka 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00
Tepung Kedelai 6,50 6,55 6,10 5,50 5,15
Dedak Padi 15,00 12,45 10,00 16,00 16,05
Rumput Gajah 25,00 22,00 18,90 24,00 22,30
Dedak Kulit Kopi Non
Fermentasi
10,00 20,00
Dedak Kulit Kopi fermentasi
10,00 20,00
Minyak Kelapa 4,00 2,00 0,00 2,00 0,00
Tepung Tulang 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
Total 100 100 100 100 100
Tabel 4 Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Nutrien Perlakuan Standard
NRC (1977) RO R1 R2 R3 R4
TDN % 64,83 64,85 65,00 64,65 64,73 65
ME(Kkal/kg) 2506,11 2519,72 2553,34 2523,40 2554,14 2500
Protein Kasar % 16,00 16,01 16,00 16,01 16,02 16
Lemak Kasar % 10,08 7,83 5,60 7,29 5,57 2
Serat Kasar % 13,14 13,48 13,65 13,47 13,64 10-14
Calcium % 0,35 0,39 0,42 0,41 0,46 0,4
Phosporus % 0,62 0,59 0,55 0,64 0,66 0,22
Lisin % 0,62 0,59 0,55 0,55 0,56 0,65
Metionin + sistin % 0,40 0,38 0,35 0,35 0,30 0,6
Isoleusin % 0,61 0,58 0,55 0,54 0,47 0,6
Leusin % 1,99 0,93 0,87 0,89 0,77 1,1
Phenilalanin + Tirosin % 1,99 0,88 0,81 0,84 0,73 1,1
Treonin % 0,48 0,45 0,41 0,42 0,37 0,6
Triptofan % 0,12 0,11 0,10 0,10 0,09 0,2
Valin % 0,63 0,59 0,54 0,55 0,48 0,7
Keterangan : Perhitungan berdasarkan Tabel National Research Council (NRC) (1977).
51
4.5.3 Kandang Penelitian
Penelitian menggunakan sebuah bangunan kandang yang beratap asbes
dengan luas 5 m x 10 m dengan tinggi tembok 3 m. Kandang berada di desa
Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Kandang yang dipergunakan
kandang berukuran panjang 70 cm, lebar 50 cm, tinggi 45 cm dan berbentuk
panggung dengan ketinggian 75 cm di atas permukaan tanah sesuai dengan
rekomendasi Nuriyasa (2012). Rangka kandang terbuat dari ukuran kayu 4 cm x
6 cm, kayu 3 cm x 5 cm dan kayu reng. Sisi samping kandang ditutup dengan reng
dari bambu dengan diameter lubang 3 cm. Bagian bawah kandang terbuat dari
reng bambu agar feses dan air kencing ternak dapat ditampung. Setiap petak
kandang dilengkapi dengan tempat ransum dan tempat air minum. Di bagian
bawah kandang dipasang tempat penampungan feses dari kasa dengan lubang
sangat kecil untuk koleksi total dan kepentingan analisis keseimbangan energi dan
protein (Gambar 2).
Gambar 2. Kandang Kelinci
52
4.5.4 Zat Anti Beku Darah
Zat anti beku darah Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) diperlukan
untuk mencegah terjadinya pembekuan darah sampel setelah darah diambil untuk
pengamatan hematologi.
4.6 Instrumen Penelitian
4.6.1 Aerator
Aerator digunakan untuk mengaerasi dari larutan Aspergillus niger sebelum
dipergunakan untuk fermentasi kulit kopi.
4.6.2 Timbangan digital
Dalam penelitian ini dipergunakan timbangan digital merk shoenle dengan
kapasitas 5 kg dan kepekaan 2 g. Timbangan ini dipergunakan untuk menimbang
jumlah ransum yang diberikan dan sisa ransum. Berat badan kelinci setiap minggu
juga ditimbang dengan timbangan digital Shoenle.
4.6.3 Gelas Ukur
Gelas ukur digunakan untuk mengukur jumlah air minum yang diberikan
dan sisa air minum.
4.7 Prosedur Penelitian
Sebelum penelitian dimulai, dilakukan sanitasi kandang dan bangunan
kandang dengan cara membersihkan dan menyemprotkan desinfektan untuk
menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Lantai bangunan kandang, lantai
kandang, tempat ransum dan air minum dibersihkan setiap hari dari sisa ransum,
kotoran maupun air kencing. Tempat ransum dan air minum dibersihkan dengan
cara mencuci bersih dengan sabun dan dijemur pada sinar matahari langsung.
53
Dinding dan lantai kandang dibersihkan dengan sapu lalu disemprot dengan
desinfektan lysol untuk membunuh mikroorganisme patogen.
Pemberian ransum sesuai dengan perlakuan ransum, ditimbang dengan
jumlah yang sama pada masing-masing ulangan. Penimbangan ransum dilakukan
dengan timbangan digital yang mempunyai kapasitas 5 kg dengan kepekaan 2 g.
Setiap minggu dilakukan perhitungan jumlah konsumsi ransum dan air minum
dengan cara menghitung jumlah ransum yang dimakan dengan menguranginya
dengan jumlah sisa ransum selama satu minggu. Pengukuran air minum juga
dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran konsumsi ransum.
Penimbangan pertambahan berat badan dilakukan setiap minggu pada hari yang
sama untuk semua unit percobaan. Sebelum dilakukan penimbangan, kelinci
dipuasakan selama 12 jam.
4.8 Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara
perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980).
54
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil
5.1.1 Performans
Hasil penelitian menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05)
pada semua perlakuan terhadap variabel berat badan awal kelinci yang dipelihara
selama 70 hari. Berat badan awal kelinci yang diberikan ransum tanpa
menggunakan kulit kopi (R0), kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit
kopi tidak terfermentasi (R1), kelinci yang diberikan ransum dengan 20% kulit
kopi tidak terfermentasi (R2), kelinci yang diberikan ransum dengan 10% kulit
kopi terfermentasi (R3) dan kelinci yang diberikan ransum dengan 20% kulit kopi
terfermentasi (R4) masing-masing 258,38 g, 257,88 g, 258,25 g, 258,50 g dan
258,75 g (Tabel 5.1).
Kelinci yang mendapatkan perlakuan ransum R3 menghasilkan berat badan
akhir paling tinggi yaitu 1866,75 g, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing
5,21%, 7,31 %, 7,57% dan 6,80 % nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Tidak
terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) perlakuan R4 dengan R0, R1, dan R2 yang
masing-masing 1769,50 g, 1730,25 g, dan 1725,38 g (Tabel 5.1).
Tabel 5.1 menunjukan pertambahan berat badan paling tinggi terjadi pada
perlakuan ransum R3 (22,98 g/hr), sedangkan R0, R1, R2, dan R4 masing-masing
6,05%, 8,49%, 8,79% dan 7,92% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3.
Kelinci yang mendapat perlakuan R4 menghasilkan pertambahan berat badan
55
21,16 g/hr tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R0, R1,
dan R2 (Tabel 5.1).
Tabel 5.1 Rata-rata Performans Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras
Kulit Kopi Berbeda.
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Berat Badan Awal (g) 258,38a
257,88a
258,25a
258,50a
258,75a
1,28
Berat Badan Akhir (g) 1769,50b
1730,25c
1725,38c
1866,75a
1739,88bc
11,21
Pertambahan Berat Badan
Total (g)
1511,12b
1472,37c
1467,13c
1608,25a
1481,13bc
11,36
Pertambahan Berat Badan
(g/hr)
21,59b
21,03c
20,96c
22,98a
21,16bc
0,16
Konsumsi Ransum (g/hr) 75,63d
77,36cd
83,61b
79,19c
86,19a
0,64
Konsumsi Air (ml/hr) 153,30c
157,90c
181,46a
170,95b
183,37a
2,35
Konversi Ransum 3,50c
3,68b
4,01a
3,45c
4,08a
0,03
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Pertumbuhan R3 pada minggu 1 dan 2 hampir sama dengan perlakuan yang
lainnya (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena kelinci membutuhkan adaptasi
terhadap pakan yang mengandung kulit kopi. Minggu berikutnya pertumbuhan
kelinci yang diberikan ransum R3 lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya.
56
Gambar 3. Pertambahan Berat Badan Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan
Aras Kulit Kopi Berbeda.
Konsumsi ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang mendapatkan
perlakuan R4 yaitu 86,19 g/hari. Kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2
dan R3 masing-masing 12,25%, 10,25%, 2,99% dan 8,12% nyata lebih rendah
(P<0,05) dari R4 (Tabel 5.1). Konsumsi ransum R1 tidak berbeda nyata (P>0,05)
dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R3, masing-masing 75,63 g/hr dan 79,19
g/hr. Konsumsi ransum setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 3.
Konsumsi air minum kelinci yang diberikan perlakuan R4 paling tinggi
yaitu 183,37 ml/hari. Konsumsi air minum perlakuan R0, R1 dan R3 masing-
masing 16,40%, 13,89% dan 6,77% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4,
sedangkan antara perlakuan R2 dan R4 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(P>0,05) seperti pada Tabel 5.1
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1000,00
1200,00
1400,00
1600,00
1800,00
2000,00
I II III IV V VI VII VIII Ix X
Ber
at b
adan
(g)
Minggu penimbangan
R0
R1
R2
R3
R4
57
Gambar 4. Konsumsi Ransum Kelinci Setiap Minggu yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit
Kopi Berbeda.
Kelinci yang mendapat perlakuan R3 mempunyai konversi ransum paling
rendah yaitu 3,45 tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R0 (3,50). Perlakuan R1, R2
dan R4 angka FCR masing-masing 6,25%, 13,97% dan 15,44% nyata lebih tinggi
(P<0,05) dari R3. Antara perlakuan R2 dan R4 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(P>0,05).
Kecernaan bahan kering pada perlakuan R3 adalah 59,84%, sedangkan R0,
R1, R2 dan R4 masing-masing 2,59%, 4,53%, 2,39% dan 0,94% nyata lebih
rendah (P<0,05) dari R3. Perlakuan R0 dan R2 secara statistik tidak menunjukan
perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.2.
Kelinci yang mendapat perlakuan R3 menghasilkan kecernaan energi yaitu
67,87%, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,20%, 3,61%, 3,36% dan
2,80% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R3 (Tabel 5.2). Perlakuan R4
menghasilkan kecernaan energi yaitu 65,97%, tidak berbeda nyata (P>0,05)
dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, dan R2.
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
800,00
900,00
I II III Iv V VI VII VIII IX
Ko
nsu
msi
Ran
sum
(g)
Penimbangan (minggu)
R0
R1
R2
R3
R4
58
Tabel 5.2 Kecernaan dan Lama Aliran Ransum pada Ternak Kelinci yang
Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda.
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Kecernaan Bahan
kering (%)
58,29c
57,13d
58,41c
59,84a
59,28b
0,15
Kecernaan Energi (%) 66,37b
65,42c
65,59c
67,87a
65,97bc
0,20
Kecernaan Protein (%) 86,64a
84,18c
83,54c
85,85b
86,19ab
0,21
Lama Aliran Ransum
(jam)
10,25a
10.18a
10.06a
8,76a
9.66a
0,14
R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
1) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
2) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kecernaan protein kelinci yang diberikan perlakuan R0 yaitu 86,64%, tidak
berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R4, namun nyata lebih
tinggi (P<0,05) masing-masing 2,84%, 3,58%, dan 0,91% dari perlakuan R1, R2
dan R3 (Tabel 5.2).
Lama aliran ransum dalam saluran pencernaan kelinci yang diberikan
perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 10,25 jam, 10,18 jam, 10,06
jam, 8,76 jam dan 9,66 jam, yang secara statistik diantara perlakuan tidak berbeda
nyata (P>0,05) (Tabel 5.2)
5.1.2 Neraca Energi
Konsumsi energi kelinci yang mendapat perlakuan R4 adalah 350,76
kkal/hari, sedangkan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing 9,84%, 6,39%, 7,33%
59
dan 2,31%, nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4 (Tabel 5.3). Perlakuan ransum
R3 adalah 337,83 kkal/hr dan perlakuan ransum R2 adalah 341,24 kkal/hari yang
secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti yang terlihat pada Tabel 5.3
Tabel 5.3 Neraca Energi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Konsumsi Energi
(kkal/hr)
316,24d
323,73c
341,24b
337,83b
350,76a
1,99
Energi Feses (FE)
kkal/hr
106,36a
112,02a
117,47a
108,55a
119,30a
1,22
Energi Tercerna
(DE) kkal/hr
209,87c
211,71c
223,78b
229,29a
231,46a
1,47
Energi
Termetabolis
(ME) kkal/hr
199,38c
201,13c
212,59b
217,82a
219,89a
1,39
Retensi Energi
(RE) kkal/hr
52,90c
51,56d
53,83b
55,20a
53,77b
0,27
Produksi Panas
(PP) kkal/hr
146,48c
149,57c
158,76b
162,63ab
166,12a
1,48
Produksi Panas
(PP) kkalW0,75
/hr
49,35a
48,85a
51,21a
49,51a
50,81a
0,44
Konsumsi
ME/PBB (kkal/g
PBB)
9,26b
9,56b
10,19a
9,50b
10,41a
0,08
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel energi feses. Energi feses kelinci yang mendapat perlakuan R0,
60
R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 106,36 kkal/hr, 112,02 kkal/hr, 117,47
kkal/hr, 108,55 kkal/hr dan 119,30 kkal/hr (Tabel. 5.3).
Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan energi tercerna (DE)
paling tinggi yaitu 231,46 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing
9,33%, 8,53%, dan 3,32% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan
ransum R3 yaitu 229,29 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05)
dari R4 (Tabel 5.3).
Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan energi termetabolis (ME)
paling tinggi yaitu 219,89 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing
9,33%, 8,47%, dan 6,21% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan
ransum R3 yaitu 217,82 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05)
dari R4 (Tabel 5.3).
Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan retensi energi paling tinggi
yaitu 55,20 kkal/hr, sedangkan R0, R1, dan R2 masing-masing 4,17%, 6,59%, dan
2,48% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3 (Tabel 5.3). Retensi energi kelinci
yang mendapatkan perlakuan ransum R4 adalah 53,77 kkal/hr dan perlakuan
ransum R2 adalah 53,83 kkal/hr yang secara statistik tidak berbeda nyata
(P>0,05).
Hasil penelitian pada Tabel 5.3 menunjukan produksi panas paling tinggi
dihasilkan oleh kelinci yang mendapat perlakuan R4 yaitu 146,48 kkal/hari.
Produksi panas kelinci yang mendapatkan perlakuan R0, R1 dan R2 masing-
masing 11,82%, 9,96% dan 4,43% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R4.
Perlakuan ransum R3 menghasilkan produksi panas 162,63 kkal/hr tidak berbeda
61
nyata (P>0,05) dari perlakuan ransum R2 dan R4 yaitu 2,38 % dan 2,10% (Tabel
5.3).
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel produksi panas per berat badan metabolis (W0,75
). Produksi
panas per berat badan metabolis (W0,75
) pada perlakuan R0,R1,R2,R3 dan R4
masing-masing 49,35 kkalW0,75
/hari, 48,85 kkalW0,75
/hari, 51,21 kkalW0,75
/hari,
49,51 kkal W0,75
/hari, dan 50,81 kkal W0,75
/hari (Tabel 5.3).
Perlakuan ransum R4 menghasilkan ME/pbb paling tinggi yaitu 10,41
kkal/g pbb. Perlakuan ransum R0, R1 dan R3 menghasilkan ME/pbb masing-
masing 11,05%, 8,17%, dan 8,74% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R4, namun
dengan R2 (10,19 kkal/g pbb) tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel
5,3.
5.1.3 Neraca Protein
Konsumsi protein kelinci yang mendapatkan perlakuan R0 adalah 7,56 g/hr,
sedangkan R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 3,57%, 5,74%, 11,58% dan 12,18%
nyata lebih tinggi (P<0,05) dari R0 (Tabel 5.4). Perlakuan R4 (8,62 g/hr) tidak
berbeda nyata (P>0,05) dari R3, namun nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan
R1 dan R2 yaitu 9,05% dan 6,96%. Antara perlakuan ransum R1 dan R2 tidak
terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) yaitu 7,84 g/hr dan 8,02 g/hr (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap
variabel protein feses pada semua perlakuan. Perlakuan ransum R0, R1, R2, R3,
dan R4 masing-masing 1,01g/hr, 1,24g/hr, 1,32g/hr, 1,21g/hr, dan 1,19g/hr.
62
Kelinci yang mendapat perlakuan R4 menghasilkan protein tercerna paling
tinggi yaitu 7,43g/hr, tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada R3, sedangkan R0,
R1, dan R2 masing-masing 11,84%, 11,17%, dan 9,83% nyata lebih rendah
(P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum R0 (6,55 g/hr), R1 (6,60 g/hr) dan R2
(6,70 g/hr) yang secara statistik tidak berbeda (P>0,05).
Tabel 5.4 Neraca Protein Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Konsumsi Protein (g/hr) 7,56c
7,84b
8,02b
8,55a
8,62a
0,07
Protein Feses (g/hr) 1,01a
1,24a
1,32a
1,21a
1,19a
0,002
Protein Tercerna (g/hr) 6,55b
6,60b
6,70b
7,34a
7,43a
0,07
Retensi Protein (g/hr) 0,53bc
0,52cd
0,51d
0,55a
0,53b
0,002
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Retensi protein pada perlakuan R3 adalah 0,55 g/hari, sedangkan R0, R1,
R2 dan R4 masing-masing 3,64%, 5,46%, 9,09% dan 3,64% nyata lebih rendah
(P<0,05) dari perlakuan R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap
retensi protein antara perlakuan R0 (0,53 g/hr) dan R4 (0,53 g/hr) seperti pada
Tabel 5.4.
5.1.4 Respon Hematologi
Tabel 5.5 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R3 mempunyai
kandungan haemoglobin darah paling tinggi yaitu 12,23 g/100 ml, sedangkan R0,
63
R1, R2 dan R4 masing-masing 5,56%, 12,67%, 4,74% dan 5,72% nyata lebih
rendah (P<0,05) dari R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap
variabel haemoglobin darah antara perlakuan R0, R2, dan R4 yang masing-masing
11,55 g/100 ml, 11,65 g/100 ml dan 11,53 g/100 ml (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 Respon Hematologi Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit
Kopi Berbeda
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Haemoglobin (g/100 ml) 11,55b
10,68c
11,65b
12,23a
11,53b
0,09
Eritrosit (106/μl) 5,55
b 5,16
c 5,45
b 5,72
a 5,66
a 0,02
Leukosit (103/μl) 6,98
a 5,88
a 6,05
a 5,90
a 7,25
a 0,14
Hematokrit (%) 37,33b
36,43c
37,80b
40,05a
37,50b
0,19
Glukosa (mg/100 ml) 125,25a
128,25a
126,50a
129,00a
127,00a
0,83
Trigliserida (mg/100 ml) 227,00a
169,00b
210,00a
144,75b
99,50c
9,43
Kolesterol (mg/100 ml) 130,00ab
133,00a
132,50ab
122,25b
88,75c
3,64
1). R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
2). Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
3). SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kandungan eritrosit pada perlakuan R1 adalah 5,16 x 106/μl, sedangkan R0,
R2, R3 dan R4 masing-masing 7,03%, 5,32%, 2,97% dan 2,97% nyata lebih
tinggi (P<0,05) dari R1. Perlakuan R3 menghasilkan kandungan eritrosit adalah
5,72 x 106/μl tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4, namun nyata lebih tinggi dari
R0, R1, dan R2 yaitu 2,97%, 9,79%, dan 4,72% (Tabel 5.5).
64
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel leukosit. Leukosit kelinci pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan
R4 masing-masing 6,98 x 103/ μl, 5,88 x 10
3/ μl, 6,05 x 10
3/ μl, 5,90 x 10
3/ μl dan
7,25 x 103/ μl (Tabel 5.5).
Kelinci yang mendapatkan perlakuan R3 menghasilkan hematokrit paling
tinggi yaitu 40,05 %, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 6,79%,
8,91%, 5,62% dan 6,37% lebih rendah (P<0,05) daripada R3. Tidak terjadi
perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel hematokrit antara perlakuan R0,
R2 dan R4 masing-masing 37,33%, 37,80% dan 37,50% (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada
semua perlakuan terhadap variabel kandungan glukosa darah kelinci. Kandungan
glukosa darah pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 125,25
mg/100 ml, 128,25 mg/100 ml, 126,50 mg/100 ml, 129,00 mg/100 ml, dan 127,00
mg/100 ml.
Kandungan trigliserida darah kelinci yang mendapatkan perlakuan R0
paling tinggi yaitu 227,00 mg/100 ml, nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan
R1(169,00 mg/100 ml), R3 (144,75 mg/100 ml) dan R4 (99,50 mg/100 ml), tidak
berbeda nyata (P>0,05) dari R2 (210,00 mg/100 ml). Perlakuan R1 dan R3 secara
statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.5
Kelinci yang diberikan perlakuan ransum R4 menghasilkan kolesterol
paling rendah yaitu 88,75 mg/100 ml, sedangkan R0, R1, R2, dan R3 masing-
masing 31,73%, 33,27%, 33,02% dan 27,40% lebih tinggi (P<0,05) daripada R4
(Tabel 5.5). Perlakuan ransum R0 (130,00 mg/100 ml) tidak berbeda (P>0,05)
65
daripada R1, R2 dan R3 masing-masing 133,00 mg/100 ml, 132,50 mg/100 ml
dan 122,25 mg/100 ml (Tabel 5.5).
5.1.5 Karkas
5.1.5.1 Berat dan Persentase Karkas
Berat potong kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu 1858,75
g. Berat potong kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan R4 masing-
masing 3,67%, 7,92%, 11,45% dan 9,98% nyata lebih rendah (P<0,05)
dibandingkan R3 (Tabel 5.6).
Tabel 5.6 menunjukan berat karkas kelinci yang diberikan ransum R3 paling
tinggi yaitu 891,00 g, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing - masing 6,00%,
14,17%, 19,08% dan 18,46% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R3. Perlakuan R2
dan R4 secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) yaitu
721,00 g dan 726,50 g.
Presentase karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3 paling tinggi yaitu
47,73%, tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R0 (47,33%) sedangkan R1, R2 dan
R4 masing-masing 7,35%, 12,45% dan 12,51% nyata lebih rendah (P<0,05)
daripada R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel
persentase karkas diantara perlakuan R2 (41,79%) dan R4 (41,76%) seperti
terlihat pada Tabel 5.6.
Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan panjang karkas 33,13
cm, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing 2,26%, 6,79%, 7,94% dan
5,28% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3 (Tabel 5.6). Perlakuan ransum R1
66
(30,88 cm) tidak berbeda (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan R2 (30,50 cm)
dan R4 (31,38 cm).
Tabel 5.6 Karkas Kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM Berat Potong (g) 1790,50
b 1711,50
c 1646,00
e 1858,75
a 1673,25
d 8,38
Berat karkas (g) 837,50b
764,75c
721,00d
891,00a
726,50d
8,32
Persentase Karkas (%) 47,33a
44,22b
41,79c
47,73a
41,76c
0,40
Panjang Karkas (cm) 32,38b
30,88cd
30,50d
33,13a
31,38c
0,14
Berat Kaki Depan Karkas
(g/100g karkas)
16,12a
16,35a
16,06a
16,38a
16,53a
0,85
Berat Kaki Belakang
Karkas (g/100g karkas)
30,45a
30,40a
30,93a
30,74a
30,97a
0,29
Berat Pinggang dan
Punggung Karkas (g/100g
karkas)
28,95a
27,33a
27,05a
27,50a
28,22a
0,37
Berat Dada dan Leher
Karkas (g/100g karkas)
24,48a
23,93a
24,97a
25,38a
24,30a
0,63
Berat Daging Karkas
(g/100g karkas)
69,25b
62,99d
62,48d
71,04a
66,83c
0,25
Berat Lemak Karkas
(g/100g karkas)
2,42a
1,93c
2,22b
1,68d
1,20e
0,04
Berat Tulang Karkas
(g/100 g karkas)
28,33a
35,05a
35,30a
27,27a
31,97a
0,85
Rasio Daging dengan
tulang karkas (/100 g
karkas)
1,81c
1,80c
1,77c
2,61a
2,09b
0,08
1) R0 : Ransum tanpa menggunakan limbah kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% limbah kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% limbah kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% limbah kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% limbah kulit kopi terfermentasi
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang
nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
67
5.1.5.2 Potongan Komersial Karkas
Tabel 5.6 menunjukan tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada
semua perlakuan terhadap variabel berat kaki depan karkas. Berat kaki depan
karkas R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 16,12 g/100 g karkas, 16,35 g/100
g karkas, 16,06 g/100 g karkas, 16,38 g/100 g karkas dan 16,53 g/100 g karkas.
Berat kaki belakang kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2, R3 dan
R4 masing-masing 30,45 g/100 g karkas, 30,40 g/100 g karkas, 30,93 g/100 g
karkas, 30,74 g/100 g karkas, dan 30,97 g/100 g karkas yang secara statistik tidak
menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.6
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel berat pinggang dan punggung karkas kelinci. Berat pinggang
dan punggung R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 28,95 g/100 g karkas, 27,33
g/100 g karkas, 27,05 g/100 g karkas, 27,50 g/100 g karkas dan 28,22 g/100 g
karkas (Tabel 5.6)
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel berat dada dan leher karkas kelinci. Berat dada dan leher karkas
kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 24,48
g/100 g karkas, 23,93 g/100 g karkas, 24,97 g/100 g karkas, 25,38 g/100 g karkas
dan 24,30 g/100 g karkas (Tabel 5.6).
5.1.5.3 Komposisi Fisik Karkas
Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan berat daging karkas
sebanyak 71,04 g/ 100 g karkas, sedangkan R0, R1, R2 dan R4 masing-masing
2,52%, 11,33%, 12,05% dan 5,93% nyata lebih rendah (P<0,05) daripada R3.
68
Berat daging karkas kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R2 adalah 62,99
g/100 g karkas dan 62,48 g/100 g yang secara statistik tidak berbeda nyata
(P>0,05) seperti pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R0 menghasilkan
lemak karkas 2,42 g/100 g berat karkas, sedangkan R1, R2, R3 dan R4 masing-
masing 20,25%, 8,26%, 30,57% dan 50,41% lebih rendah (P<0,05) dari
perlakuan R0.
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel berat tulang karkas. Berat tulang karkas kelinci yang diberikan
perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 28,33 g/100 g karkas, 35,08
g/100 g karkas, 35,30 g/100 g karkas, 27,27 g/100 g karkas dan 31,97 g/100 g
karkas (Tabel 5.6).
Rasio daging dengan tulang karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3
paling tinggi adalah 2,61/100 g karkas. Perlakuan R0, R1, R2 dan R4
menghasilkan rasio daging dengan tulang karkas nyata lebih rendah (P<0,05)
masing-masing (1,81 :1), (1,80 :1), (1,77 :1) dan (2,09 : 1) daripada R3. Antara
perlakuan R1 dan R2 tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti
pada Tabel 5.6.
5.1.6 Non Karkas
Kelinci yang mendapat perlakuan R2 menghasilkan berat paru-paru paling
tinggi yaitu 0,66 g/100 g berat hidup, tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R4
(0,63 g/100g), sedangkan R0, R1 dan R3 masing-masing 37,88%, 34,85%, dan
34,88% lebih rendah daripada R2. Berat paru-paru kelinci yang diberikan
69
perlakuan R0, R1 dan R3 masing-masing 0,41 g/100 g, 0,43 g/100 g dan 0,43
g/100 g secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan R4 menghasilkan
berat jantung yaitu 0,27g/100 g berat hidup, sedangkan R0, R1, R2, dan R3
masing-masing 37,04%, 22,22%, 11,11% dan 29,63% nyata lebih rendah
(P<0,05) dari R4. Perlakuan ransum R3 menghasilkan berat jantung yaitu
0,19g/100 g berat hidup, tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan R0
dan R1.
Tabel 5.7 Non Karkas kelinci yang Diberikan Ransum dengan Aras Kulit Kopi
Berbeda.
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Berat Paru-Paru (g/100g
berat hidup)
0,41b
0,43b
0,66a
0,43b
0,63a
0,01
Berat Jantung (g/100g berat
hidup)
0,17d
0,21c
0,24b
0,19cd
0,27a
0,01
Berat Sekum (g/100g berat
hidup)
1,82a
1,67b
1,43c
1,80a
1,69b
0,03
Berat Kolon (g/100g berat
hidup)
1,63a
1,71a
1,79a
1,70a
1,69a
0,02
Berat Usus Halus (g/100g
berat hidup)
5,60a
5,76a
5,85a
5,75a
6,07a
0,07
Berat Kulit dan Bulu (g/100g
berat hidup)
12,04b
11,60e
11,72d
12,35a
11,88c
0,03
R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
1) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
2) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Berat sekum kelinci yang diberikan ransum R0 adalah 1,82 g/100g berat
hidup dan kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 1,80 g/100g berat hidup yang
70
secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan R1, R2 dan R4 masing-
masing 8,24%, 21,43%, dan 7,14% nyata lebih rendah (P<0,05) dari R0.
Perlakuan R1 (1,67 g/100 g berat hidup) tidak berbeda nyata (P>0,05) dari R4
(1,69g/100 g berat hidup), namun nyata lebih rendah (P<0,05) dari R2 (Tabel 5.7)
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel berat kolon kelinci. Berat kolon kelinci yang diberikan
perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 1,63 g/100 g berat hidup, 1,71
g/100 g berat hidup, 1,79 g/100 g berat hidup, 1,70 g/100 g berat hidup dan 1,69
g/100 g berat hidup (Tabel 5.7)
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel berat usus
halus antara perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 yang masing-masing 5,60 g/100g
berat hidup, 5,76 g/100g berat hidup, 5,85 g/100g berat hidup, 5,75 g/100g berat
hidup, dan 6,07 g/100g berat hidup (Tabel 5.7)
Berat kulit dan bulu ternak kelinci yang diberikan perlakuan R3 adalah
12,35 g/100 g berat hidup, sedangkan R0, R1,R2 dan R4 masing-masing 2,51%,
6,07%, 5,10% dan 3,81% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan R3 (Tabel
5.7)
5.1.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon
Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
terhadap variabel jumlah bakteri dalam sekum dan kolon kelinci. Jumlah Bakteri
dalam sekum dan kolon kelinci pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-
masing 12.500 opg, 10.050 opg, 10.950 opg, 14.500 opg dan 17.650 opg (Tabel
5.8)
71
Jumlah mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang diberikan perlakuan
R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 40 x 1010
opg, 40 x 1010
opg, 42 x 1010
opg, 59 x 1010
opg dan 46 x 1010
opg yang secara statistik diantara perlakuan
tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti pada Tabel 5.8
Tabel 5.8 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Diberikan
Ransum dengan Aras Kulit Kopi Berbeda.
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4 SEM
Jumlah
Bakteri (opg)
12.500a 10.050a 10.950a 14.500a 17.650a 878,27
Jumlah
Mikroba
(opg)
40 x 1010a 40 x 1010a 42 x 1010a 59 x 1010a 46 x 1010a 3,40
1). R0 : Ransum tanpa menggunakan kulit kopi
R1 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi tidak terfermentasi
R2 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi tidak terfermentasi
R3 : Ransum menggunakan 10% kulit kopi terfermentasi
R4 : Ransum menggunakan 20% kulit kopi terfermentasi
2). Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
3). SEM : Standard Error of The Treatment Means
4). Opg : Oocyst per gram
72
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Performans
Kelinci yang diberikan ransum dengan tambahan 10% kulit kopi
terfermentasi (R3) menghasilkan berat badan akhir dan pertambahan berat badan
paling tinggi (Tabel 5.1) dibandingkan dengan kelinci yang diberikan ransum
tanpa kulit kopi (R0), ransum 10% kulit kopi tidak terfermentasi (R1), ransum
20% kulit kopi tidak terfermentasi (R2) dan ransum 20% kulit kopi terfermentasi
(R4). Hal ini disebabkan karena ransum R3 rasanya manis sehingga meningkatkan
palatabilitas ransum dan kelinci mengkonsumsi ransum lebih banyak untuk
meningkatkan pertumbuhannya. Kandungan serat kasar yang rendah (Lampiran
56) sehingga meningkatkan koefisien cerna ransum dan laju aliran ransum dalam
saluran pencernaan semakin meningkat, peluang pergantian makanan lebih cepat
dan absorbsi zat-zat gizi makanan lebih banyak yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ternak. Krisnan (2002) melaporkan bahwa Aspergillus niger dapat
menurunkan kandungan tannin sebesar 33% sehingga dapat meningkatkan
konsumsi ransum dan ketersediaan energi secara nyata. Guntoro et al. (2004)
melaporkan bahwa kambing peranakan etawa yang diberikan pakan tambahan
kulit kopi 200 g/ekor/hari mampu meningkatkan pertambahan berat badan harian
sebesar 52,38% selama 3 bulan pemeliharaan dibandingkan dengan kontrol.
Kelinci yang mendapat perlakuan R2 pertumbuhannya paling rendah akibat dari
ransum yang dikonsumsi mengandung serat kasar yang paling tinggi (Lampiran
56). Kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan daya cerna ransum menurun
73
sehingga absorbsi nutrien berkurang dan menghasilkan pertumbuhan yang lebih
rendah. Lubis (1992) melaporkan kandungan serat kasar yang tinggi dalam
ransum monogastrik berpengaruh tehadap daya cerna yang lebih rendah.
Kelinci yang diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi ransum paling banyak
dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hal ini disebabkan karena
ransum R4 aromanya paling manis sehingga lebih disukai oleh ternak kelinci.
McNitt et al. (1996) menyatakan kelinci lebih menyukai pakan dengan aroma
manis daripada pahit. Lama aliran ransum dalam saluran pencernaan juga
berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Makin tinggi koefisien cerna ransum
maka aliran ransum dalam saluran pencernaan makin cepat sehingga lebih banyak
ruangan yang tersedia untuk penambahan makanan. Lama ransum dalam saluran
pencernaan pada kelinci R0 (10,25 jam) paling lama dibandingkan dengan R1
(10,18 jam), R2 (10,06 jam), R3 (8,76 jam) dan R4 (9,66 jam). Kasa et al. (1989)
melaporkan bahwa aliran ransum yang lambat menyebabkan konsumsi ransum
menjadi menurun karena pengosongan lambung berlangsung lebih lama.
Kelinci yang mendapat perlakuan R4 mengkonsumsi air minum (183,37
ml/hari), lebih banyak dari perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hal ini disebabkan
karena konsumsi ransum untuk perlakuan R4 lebih banyak sehingga konsumsi
airnya juga meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Tillman et al. (1986)
yang menyatakan bahwa makin tinggi konsumsi ransum maka konsumsi air
minum makin tinggi pula. Angka densitas ransum (Lampiran 51) untuk perlakuan
R4 (21,44 g/ml) lebih rendah dari R0 (25,76 g/ml), R1 (22,60 g/ml), R2 (22,51
g/ml) dan R3 (23,38 g/ml) sehingga ransum yang diberikan cepat berdebu
74
menyebabkan kelinci mengkonsumsi lebih banyak air. Nuriyasa (2012)
melaporkan bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh densitas ransum.
Kelinci yang diberikan ransum dengan densitas rendah menyebabkan ransum
cepat berdebu sehingga konsumsi air menjadi meningkat.
Konversi ransum kelinci yang diberikan ransum R3 (3,45) paling rendah
daripada R0 (3,50), R1 (3,68), R2 (4,01) dan R4 (4,08). Hal ini disebabkan karena
kelinci yang diberikan ransum R3 mengkonsumsi energi, protein lebih tinggi.
Kecernaan bahan kering, energi dan protein pada perlakuan R3 paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.2, 5.3 dan 5.4). Dilihat dari
retensi energi dan protein kelinci yang mendapat perlakuan R3 adalah paling
tinggi (Tabel 5.3 dan 5.4) ini mengindikasikan bahwa penggunaan energi dan
protein pada kelinci yang diberikan perlakuan R3 paling efisien untuk
pertumbuhannya. Rata-rata konversi ransum penelitian ini lebih tinggi (3,74) dari
hasil penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rata-rata konversi ransum
3,57. Hal ini disebabkan karena pengaruh perlakuan yang diberikan. Hasil
penelitian ini masih berada pada kisaran normal yaitu konversi ransum ternak
kelinci adalah 3,0 - 4,0 (McNitt et al., 1996) dan (de Blass dan Wiseman, 1998).
Kelinci yang diberikan ransum R3 menghasilkan kecernaan bahan kering
ransum (59,84%), hasil ini lebih tinggi dari perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel
5.2). Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar ransum R3 paling rendah
(Lampiran 50) sehingga konsumsi bahan kering lebih tinggi. Tillman et al. (1986)
melaporkan bahwa kecernaan bahan kering ransum dipengaruhi oleh komposisi
bahan penyusun ransum dan bentuk fisik ransum. Rata-rata kecernaan bahan
75
kering kelinci jantan lokal pada penelitian ini adalah 58,59%. Nuriyasa (2012)
mendapatkan rata-rata kecernaan bahan kering kelinci jantan lokal adalah 68,52%.
Lebih lanjut Parigi Bini dan Xiccato (1998) melaporkan bahwa kecernaan bahan
kering ternak kelinci secara umum berkisar antara 60% - 65%. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan bahan pakan yang dipakai untuk menyusun ransum.
Kecernaan energi pada ransum R3 adalah 67,87%, paling tinggi dibandingkan
perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel 5.2). Hal ini disebabkan karena konsumsi
energi yang tinggi dan energi feses yang dikeluarkan tidak jauh berbeda (Tabel
5.3) sehingga kecernaan energinya lebih tinggi. Kecernaan energi paling tinggi
pada R3 juga disebabkan karena kandungan serat kasar ransum R3 paling rendah
akibatnya koefisien cerna ransum meningkat dan energi yang dapat dicerna juga
meningkat. Hasil penelitian ini masih berada pada kisaran yang diperoleh oleh
Prasad et al. (1996) dimana kelinci soviet chinchilla mempunyai kecernaan energi
berkisar 66,17% sampai 77,79%.
Kecernaan protein pada kelinci yang diberikan ransum R0 paling tinggi dari
perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (Tabel 5.2). Ini menunjukan kelinci yang mendapat
perlakuan R0 paling efisien menggunakan protein untuk pertumbuhannya, dapat
dilihat dari FCR yang rendah (Tabel 5.1). Rata- rata kecernaan protein pada
penelitian ini sebesar 85,28%, hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh Nuriyasa
(2012) mendapatkan rata-rata kecernaan protein kelinci lokal sebesar 78,30%.
Perbedaan hasil ini disebabkan karena bentuk fisik ransum dan komposisi bahan
makanan. Tillman et al. (1986) melaporkan bahwa kecernaan protein dipengaruhi
oleh spesies hewan, bentuk fisik ransum dan komposisi bahan makanan.
76
Lama ransum berada dalam saluran pencernaan pada kelinci yang diberikan
perlakuan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 tidak menunjukan perbedaan yang
nyata (Tabel 5.2). Hal ini menunjukan bahwa laju aliran ransum dalam saluran
pencernaan kelinci tidak dipengaruhi oleh kandungan kulit kopi dalam ransum.
Laju aliran ransum dipengaruhi oleh kandungan serat kasar ransum (Tillman et
al., 1986). Ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 mempunyai kandungan serat kasar
yang tidak jauh berbeda sehingga laju aliran ransum tidak berbeda nyata. McNitt
et al. (1996) menyatakan bahwa kebutuhan minimal serat kasar pada ransum
kelinci pertumbuhan adalah 10%.
6.2 Neraca Energi
Konsumsi energi pada ternak kelinci yang mendapatkan perlakuan R4 paling
tinggi yaitu 350,76 kkal/hari (Tabel 5.3). Hal ini disebabkan karena kelinci yang
diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga energi yang
dikonsumsi lebih banyak. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nuriyasa
(2012) yang mendapatkan bahwa konsumsi energi rata-rata ternak kelinci jantan
lokal adalah 261,48 kkal/hari lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan. De
Blas dan Wiseman (1998) mendapat konsumsi energi kelinci new zealand white
299,77 kkal/hari. Perbedaan hasil ini disebabkan karena perbedaan strain kelinci
yang dipergunakan dan komposisi fisik ransum.
Energi tercerna (DE) kelinci yang diberikan ransum R4 paling tinggi yaitu
231,46 kkal/hari dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 5.3). Hal ini
disebabkan karena konsumsi energi lebih tinggi dan energi pada feses tidak
berbeda nyata sehingga energi tercerna (DE) lebih tinggi.
77
Kelinci yang diberikan perlakuan R3 dan R4 menghasilkan energi
termetabolis (ME) paling tinggi yaitu 217,82 kkal/hari dan 219,89 kkal/hari. Hal
ini disebabkan karena energi tercerna dari perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi dari
perlakuan yang lain sehingga menghasilkan energi termetabolis yang paling
tinggi.
Kelinci yang diberikan perlakuan R3 menghasilkan retensi energi adalah
55,20 kkal/hari paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel
5.3). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi R3 lebih tinggi, kandungan
energi pada feses diantara perlakuan tidak jauh berbeda sehingga energi tercerna
dan energi metabolisnya lebih tinggi. Hal ini menunjukan makin tinggi energi
termetabolis (ME) maka retensi energi (RE) juga makin tinggi. Hasil penelitian
ini lebih tinggi dari penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kelinci jantan
lokal dengan berat 1480 g menghasilkan retensi energi 43,99 kkal/hari. Perbedaan
ini disebabkan karena perbedaan berat badan kelinci yang digunakan dalam
penelitian.
Produksi panas pada kelinci yang diberikan ransum R4 adalah 166,12
kkal/hari lebih tinggi dari R0 (146,48 kkal/hari), R1 (149,57 kkal/hari), R2
(158,76 kkal/hari) dan R3 (162,63 kkal/hari). Hal ini disebabkan karena kelinci
yang mendapat perlakuan R4 mengkonsumsi ransum lebih tinggi dari perlakuan
yang lainnya sehingga produksi panas yang dihasilkan lebih tinggi. Makin tinggi
konsumsi ransum dan tingkat pertumbuhan maka laju metabolisme makin tinggi
yang berdampak pada peningkatan produksi panas (de Blas dan Wiseman, 1998).
78
Konsumsi energi termetabolis per pertambahan berat badan (ME/pbb) kelinci
yang diberikan perlakuan R0 adalah 9,26 kkal/g pbb paling rendah dibandingkan
dengan perlakuan ransum R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 9,56 kkal/g pbb,
10,19 kkal/g pbb, 9,50 kkal/g pbb dan 10,41 kkal/g pbb (Tabel 5.3). Hal ini
menunjukan perlakuan ransum R0 paling efisien menggunakan energi
termetabolis (ME) untuk menghasilkan pertambahan berat badan yang sama
dibandingkan dengan ransum R1, R2, R3 dan R4. Setiap penambahan berat badan
kelinci sebesar 1 g pada perlakuan ransum R0 memerlukan energi termetabolis
(ME) 9,26 kkal sedangkan perlakuan yang lannya lebih tinggi (Tabel 5.3).
6.3 Neraca Protein
Konsumsi protein pada kelinci yang diberikan perlakuan R4 adalah 8,62
g/hari, paling tinggi dari perlakuan yang lain (Tabel 5.4). Hal ini disebabkan
karena konsumsi ransum yang lebih tinggi pada kelinci yang diberikan perlakuan
R4 menyebabkan konsumsi protein lebih tinggi daripada perlakuan R0, R1, R2
dan R3. Rata-rata konsumsi protein kelinci jantan pada penelitian ini adalah 8,12
g/hari. Nuriyasa (2012) mendapatkan rata-rata konsumsi protein kelinci jantan
lokal adalah 10,85 g/ekor/hari. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena
bahan penyusun ransum.
Hasil penelitian pada Tabel 5.4 menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan
R4 menghasilkan protein tercerna paling tinggi yaitu 7,43 g/hari. Hal ini
disebabkan karena kelinci yang diberikan perlakuan R4 mengkonsumsi protein
paling tinggi yaitu 8,26 g/hr dan protein feses yang dihasilkan tidak berbeda nyata
79
sehingga menghasilkan kecernaan protein paling tinggi daripada perlakuan yang
lainnya.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa retensi protein kelinci jantan lokal yang
diberikan ransum R3 adalah 0,55 g/hari, retensi protein ini lebih tinggi dari
perlakuan lainnya (Tabel 5.4). Hal ini disebabkan karena pertambahan berat badan
dan efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Ini berarti
kebutuhan protein untuk hidup pokok R3 lebih rendah menyebabkan protein yang
dapat diretensi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Retensi
protein dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi ransum dan pertambahan berat
badan yang dihasilkan (de Blas dan Wiseman, 1998). Data pada Tabel 5.1 juga
menunjukan bahwa kelinci yang diberikan ransum R3 paling efisien
menggunakan ransum yang diindikasikan oleh nilai FCR yang paling rendah.
6.4 Respon Hematologi
Kelinci yang diberikan Ransum R3 menghasilkan haemoglobin adalah 12,53
mg/100 ml lebih tinggi dari perlakuan lainnya (Tabel 5.5) Hal ini disebabkan
karena pertumbuhan ternak kelinci R3 paling tinggi sehingga pembentukan organ-
organ pertumbuhan termasuk haemoglobin darah juga tinggi. Nuriyasa (2012)
melaporkan bahwa konsumsi ransum dan tingkat pertumbuhan yang tinggi akibat
dari retensi energi dan protein yang tinggi sehingga proses pembentukan
haemoglobin darah lebih tinggi. Behring (2000) melaporkan haemoglobin darah
merupakan sarana transportasi oksigen dalam jaringan tubuh yang diperlukan
dalam proses metabolisme. Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan
Bivin dan King (1995) yaitu 12,80 mg/100ml.
80
Kandungan eritrosit kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu
5,72 x 106/μl dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.5). Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan kelinci R3 paling tinggi. Semakin tinggi
pertumbuhan semakin banyak kandungan eritrosit dalam darah kelinci. Behring
(2000) menyatakan bahwa pertumbuhan yang tinggi memerlukan kandungan
eritrosit darah yang tinggi sebagai transportasi oksigen dan zat-zat gizi lainnya
yang diperlukan dalam proses metabolisme. Rata-rata kandungan eritrosit kelinci
jantan lokal yang diberikan perlakuan ransum dengan kulit kopi 5,51 x 106
/μl
lebih tinggi dari hasil penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kandungan
eritrosit kelinci jantan lokal 4,15 x 106
/μl. Perbedaan hasil penelitian ini
disebabkan oleh bahan penyusun ransum dan tinggkat pertumbuhan masing-
masing ternak. Menurut Bivin dan King (1995) kedua hasil penelitian ini masih
berada dalam kisaran normal yaitu 4,0 – 6,7 x 106 /μl.
Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap kandungan leukosit darah kelinci
jantan lokal yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4. Kandungan leukosit
kelinci yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 6,98 x
103/μl, 5,88 x 10
3/μl, 5,90 x 10
3/μl, 6,05 x 10
3/μl dan R4 7,25 x 10
3/μl (Tabel
5.5). Ini menunjukan kelinci yang diberikan perlakuan ransum dengan tambahan
kulit kopi tidak mengalami tingkatan stress berbeda sehingga kandungan leukosit
dalam darah pada semua perlakuan tidak berbeda. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Nuriyasa (2012), Biving dan King (1995) dan Vanessa et al. (2005)
masing-masing (5,78 – 6,37 x 103/μl), (5,2 – 12 x 10
3/μl) dan (6,3 – 10 x 10
3/μl).
81
Hasil penelitian ini mendapatkan kandungan hematokrit darah kelinci jantan
lokal yang diberikan ransum R3 lebih tinggi dari perlakuan lainnya ( Tabel. 5.5)
Hal ini disebabkan karena makin tinggi pertumbuhan maka proses pembentukan
jaringan tubuh termasuk sel-sel darah juga meningkat. Rata-rata kandungan
hematokrit darah kelinci yang diberikan ransum dengan kulit kopi adalah 37,82%
lebih rendah dari penelitian Nuriyasa (2012) yang mendapatkan kandungan
hematokrit darah kelinci jantan lokal berkisar antara 39,5% - 42,25%. Perbedaan
hasil ini disebabkan karena komposisi ransum penelitian.
Kandungan glukosa darah kelinci pada semua perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata (Tabel 5.5). Hal ini menunjukan pemberian kulit kopi
dalam ransum kelinci tidak berpengaruh terhadap mobilisasi glukosa dari
simpanan glikogen atau pergantian sumber energi asal lemak (glukoneogenesis)
sesuai dengan pendapat Mahardika (1996).
Kandungan trigliserida darah kelinci yang diberikan perlakuan R0 paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.5). Hasil analisis
proksimat mendapatkan bahwa kandungan lemak pada ransum R0 paling tinggi
(8,21%) dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R3, dan R4, masing-masing
7,01%, 5,40%, 5,86% dan 4,14% (Lampiran 50). Kandungan trigliserida darah
semakin tinggi disebabkan karena konsumsi lemak yang tinggi dan kecukupan
energi dalam tubuh. Apabila konsumsi energi tidak mencukupi, ternak akan
membongkar cadangan energi dalam bentuk trigliserida (Lucy Susandari et al.,
2004).
82
Kelinci jantan lokal yang diberikan ransum R4 menghasilkan kholesterol
darah paling rendah yaitu 88,75 mg/ 100 ml dari perlakuan yang lain (Tabel. 5.5).
Hal ini disebabkan karena pemberian 20 % kulit kopi terfermentasi mampu
mengikat lemak sehingga berpengaruh terhadap penurunan kadar kholesterol.
Budaarsa (1997) melaporkan bahwa konsumsi serat kasar yang tinggi
menyebabkan asam lemak atau kolesterol diikat oleh selulosa atau asam propionat
sehingga dapat menghambat pembentukan kolesterol di hati. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Bidura et al. (1998) bahwa serat kasar yang banyak dapat
meningkatkan laju aliran ransum, dan pembuangan lemak/kolesterol melalui feses
sehingga berpengaruh terhadap penurunan kadar kolesterol dalam serum darah.
Fraksi serat kasar ternyata dapat berperan mengikat lemak dan garam empedu
pada saluran pencernaan kelinci sehingga lemak yang dapat diserap ke dalam
tubuh juga menurun (Sutardi, 1997). Linder (1985) melaporkan fraksi serat kasar
seperti lignin ternyata mampu mengikat kolesterol atau lipida ransum sebesar
29,2%.
6.5 Karkas
6.5.1 Berat dan Persentase Karkas
Kelinci yang diberikan ransum R3 yang dipelihara selama 70 hari
menghasilkan berat karkas adalah 891 g, lebih tinggi dari perlakuan lainnya
(Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena konsumsi energi dan protein paling tinggi
(Tabel 5.3 dan 5.4). Tillman et al. (1986) melaporkan energi dan protein
merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh. Konsumsi energi dan
protein paling tinggi pada perlakuan R3 mengakibatkan pertumbuhannya paling
83
tinggi (Gambar 4). Berat karkas R2 paling rendah disebabkan karena kandungan
serat kasar pada ransum R2 paling tinggi (Lampiran 50). Serat kasar hasil analisis
proksimat pada penelitian R0, R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 12,13%,
12,72%, 13,38%, 11,96% dan 12,96%. Jorgensen (1997) melaporkan bahwa
kandungan serat kasar dalam ransum menurunkan nilai cerna ransum sehingga
zat-zat makanan yang terabsorbsi juga menurun yang berdampak terhadap berat
karkas maupun presentase karkas. Hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh
Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rataan berat karkas kelinci jantan lokal umur
84 hari adalah 719,13 g. Prasad et al. (1996) melaporkan bahwa kelinci chinchilla
pada umur 12 minggu mempunyai berat karkas 868,69 g. Perbedaan hasil ini
disebabkan karena perbedaan umur, spesies dan berat badan awal mulai
pemeliharaan.
Kelinci yang mendapat perlakuan ransum R3 menghasilkan presentase karkas
47,73%, tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 (47,33%) seperti pada Tabel
5.6. Hal ini disebabkan karena berat karkas yang tinggi dihasilkan oleh kelinci
yang mempunyai berat potong yang lebih tinggi pula (Tabel 5.6). Produksi karkas
tercermin dari komponen daging, lemak, dan tulang kelinci yang sangat
dipengaruhi oleh berat potongnya (Bram Brahmantiyo dan Raharjo, 2009).
Nuriyasa (2012) memperoleh persentase karkas kelinci lokal yang dipelihara
selama 84 hari adalah 45,82%. Diwyanto et al. (1985) melaporkan bahwa
produksi karkas kelinci New Zealand White (NZW), lokal, Persilangan NZW x
lokal, dan Chinchilla x Lokal berturut-turut sebesar 45,8%, 42,6%, 48,9% dan
84
46,7%. Perbedaan hasil ini disebabkan karena umur potong, berat potong dan
spesies kelinci.
Panjang karkas kelinci yang diberikan perlakuan R3 adalah 33,13 cm lebih
panjang dari perlakuan yang lain (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan R3 paling tinggi. Pertumbuhan paling tinggi disebabkan karena R3
paling efisien menggunakan ransum, dibuktikan dengan nilai FCR yang paling
rendah yang memungkinkan proses pembentukan jaringan tubuh paling baik.
6.5.2 Potongan Komersial Karkas
Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada semua perlakuan terhadap variabel
potongan komersial karkas kelinci (Tabel 5.6). Hasil penelitian mendapatkan rata-
rata persentase kaki depan, kaki belakang, pinggang dan punggung, dan dada-
leher masing-masing 16,29%, 30,90%, 27,81% dan 25,01%. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Nuriyasa (2012) mendapatkan persentase potongan
komersial dengan urutan yang sama yaitu 15,79%, 31,28%, 26,17% dan 26,76%.
6.5.3 Komposisi Fisik karkas
Rata-rata berat daging karkas kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 71,04
g/100 g berat karkas, lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya (Tabel 5.6). Hal ini
disebabkan karena kelinci yang mendapat perlakuan R3 konsumsi energi, protein
dan zat lainnya lebih tinggi sehingga menghasilkan pertumbuhan lebih baik dan
berat daging karkas lebih banyak. Energi dan protein merupakan komponen utama
penyusun jaringan daging. Pendapat ini didukung oleh Praga (1998) menyatakan
protein tubuh ternak tersusun dari asam-asam amino dengan ikatan peptida dan
membentuk ikatan polipeptida.
85
Kelinci yang diberikan ransum R4 menghasilkan rata-rata berat lemak karkas
paling rendah yaitu 1,20 g/100g karkas dibandingkan dengan perlakuan R0, R1,
R2 dan R3 (Tabel 5.6). Hal ini disebabkan karena ransum R4 mengandung lemak
paling sedikit dan serat kasar yang tinggi (Lampiran 50). Siri et al. (1992)
mengatakan ransum yang mengandung serat kasar tinggi menyebabkan
menurunnya retensi energi sebagai lemak dalam tubuh. Penurunan jumlah lemak
subkutan dapat juga disebabkan oleh adanya kemampuan fraksi serat kasar yaitu
selulosa yang mampu mengikat lemak sebesar 1,4% (Balmer dan Zilversmi,
1974). Penggunaan kulit kopi dalam ransum secara nyata dapat menurunkan
jumlah lemak sub kutan kelinci. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi
serat kasar. Hal yang sama dapat dilaporkan oleh Mayes et al. (1992) bahwa serat
kasar yang tinggi dalam ransum dapat mengikat lemak ransum dan garam empedu
sehingga lemak yang terabsorbsi menurun. Disamping itu meningkatnya
konsumsi serat akan menyebabkan lebih banyak energi pakan yang diretensi oleh
tubuh sebagai protein daripada lemak (Jorgensen et al., 1996).
Tidak terjadi perbedaan rata-rata persentase berat tulang karkas kelinci jantan
yang diberikan ransum R0, R1, R2, R3 dan R4 (Tabel 5.6). Hal ini menunjukan
bahwa perlakuan ransum tidak berpengaruh terhadap proses pembentukan tulang.
Zerrouki et al. (2008) menyatakan pertumbuhan tulang tergantung pada perbedaan
kandungan mineral pada ransum. Hasil penelitian ini menunjukan perbedaan
konsumsi mineral Ca dan P karena perbedaan konsumsi ransum belum
berpengaruh terhadap proses pembentukan tulang. Tulang merupakan komponen
tubuh yang masak dini pada awal-awal masa pertumbuhan (Wahju, 1988). Rata-
86
rata persentase berat tulang pada penelitian ini adalah 31,59 g/100 g berat karkas.
Hasil penelitian Nuriyasa (2012) mendapatkan berat tulang kelinci umur 84 hari
adalah 31,25 g/100 g berat karkas. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
umur potong dan berat hidup kelinci.
Hasil penelitian pada Tabel 5.6 menunjukan bahwa rasio daging dengan
tulang karkas pada kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi yaitu (2,61 :
1). Hal ini disebabkan karena berat tulang yang lebih rendah akan menghasilkan
rasio daging – tulang yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil
yang diperoleh Nuriyasa (2012) yang mendapatkan rata-rata rasio daging dengan
tulang kelinci lokal adalah 2,23 : 1. Hasil yang diperoleh de Blas dan Wiseman.
(1998) yang mendapatkan rasio daging dengan tulang kelinci new zealand white
4,91 : 1 pada umur 106 hari, lebih tinggi dari hasil penelitian ini. Selisih hasil
penelitian ini disebabkan karena perbedaan umur potong dan spesies kelinci.
6.6 Non Karkas
Perlakuan ransum R2 dan R4 menghasilkan berat paru-paru lebih berat
daripada kelinci yang diberikan ransum R0, R1 dan R3 (Tabel 5.7). Hal ini
disebabkan karena ransum R2 dan R4 kandungan serat kasar lebih tinggi dari
perlakuan R0, R1 dan R3 sehingga tenaga yang dibutuhkan lebih banyak untuk
mempercepat proses pernafasan dan kerja jantung agar cepat menghasilkan
energi. Peningkatan peredaran darah dan laju respirasi akan dapat menstimuli
pertumbuhan jantung dan paru-paru menjadi lebih besar (Nuriyasa, 2012).
Berat sekum kelinci yang diberikan perlakuan R0 dan R3 nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan R1, R2 dan R4 (Tabel 5.7). Hal ini disebabkan
87
karena R0 dan R3 pertumbuhannya paling tinggi maka sekum dan kolonnya lebih
besar. Sekum dan kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi makanan.
Berat kulit dan bulu kelinci yang diberikan ransum R3 paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R4 (Tabel 5.7). Hal ini
disebabkan karena berat potong kelinci pada perlakuan R3 lebih berat dan luas
permukaan kulit yang membungkus tubuh lebih lebar dari perlakuan lainnya.
Perbedaan berat kulit dan bulu pada ransum yang berbeda disebabkan karena
perbedaan konsumsi energi dan protein dalam ransum. Pada perlakuan R3 retensi
energi dan retensi protein yang dihasilkan paling tinggi sehingga kelebihan energi
dan protein ini disimpan dalam kulit dan bulu sehingga beratnya lebih tinggi dari
perlakuan lainnya.
6.7 Jumlah Mikroba dalam Sekum dan Kolon
Pemberian ransum dengan tambahan kulit kopi 20% cenderung meningkatkan
jumlah mikroba pada sekum dan kolon. Hal ini terlihat pada jumlah mikroba pada
sekum dan kolon untuk perlakuan R3 dan R4 lebih banyak dari R0, R1 dan R2
(Tabel 5.8). Hal ini disebabkan karena sekum dan kolon merupakan tempat
tumbuhnya bakteri yang berfungsi sebagai proteolitik. Bakteri menyerang protein-
protein yang belum dicerna menjadi asam-asam lemak, hidrogen sulfide dan
asam-asam amino. Menghidrolisis selulose menjadi unit-unit glukose, kemudian
dirubah menjadi asam-asam lemak volatil terutama menjadi asetat, propionat dan
butirat. Disamping itu bakteri juga berfungsi untuk mensintesa vitamin B yang
diabsorbsi ke dalam tubuh (Tillman et al., 1986).
88
6.8 Analisis Usahatani
Berdasarkan nilai jual pada akhir penggemukan, untuk kelinci yang mendapat
perlakuan tambahan 10% kulit kopi terfermentasi (R3) memberikan keuntungan
yang paling tinggi dengan R/C ratio 1,22 menyusul R4 (1,14 ), R0 (1,13), R1
(1,12) dan R2 (1,10) seperti yang terlihat pada Tabel 61. Meningkatnya
keuntungan pada R3 dan R4 disebabkan karena peningkatan pertumbuhan yang
paling tinggi dan harga ransum per kgnya lebih murah dibandingkan dengan
perlakuan yang lainnya. Pemberian kulit kopi sebagai komponen pakan
menyebabkan penurunan harga ransum antara 4,96% - 17,11%.
Feed Cost per Gain (FC/G) adalah biaya pakan yang digunakan untuk
meningkatkan 1 g pertambahan berat badan. Hasil perhitungan FC/G pada
penelitian ini adalah Rp.12,98,-/g (R0), Rp.12,96,-/g (R1), Rp. 13,41,-/g (R2), Rp.
11,62,-/g (R3) dan Rp. 12,51,-/g (R4). Pada perlakuan R3 ternyata FC/Gnya
paling rendah (Rp.11,62,-/g), artinya biaya pakan yang digunakan untuk
meningkatkan 1 g berat badan paling murah jika dibandingkan dengan perlakuan
yang lainnya.
Data analisa usahatani tersebut menunjukkan bahwa pemberian kulit kopi
tidak terfermentasi dan kulit kopi terfermentasi secara ekonomi layak untuk
diterapkan.
89
Tabel 5.9 Analisis Usahatani Penggemukan Kelinci untuk 8 Ekor Pemeliharaan
No Uraian Volume Satuan Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4
1 Komponen Input
a Bibit (Rp) 8 ekor 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000
Harga Pakan (Rp) 1 kg 3.706 3.522 3.362 3.371 3.072
Konsumsi pakan 8 ekor 42,35 43,32 46,82 44,35 48,27
b Biaya pakan Rp 156.949 152.573 157.409 149.504 148.285
c Obat-obatan 0,1 Rp 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
d Tenaga kerja 0,73 HOK 36.500 36.500 36.500 36.500 36.500
e
Penyusutan kandang dan
alat 2 bulan 33 33 33 33 33
Total biaya input
(a+b+c+d+e) 314.482 310.106 314.942 307.037 305.819
2 Penerimaan (output)
Berat akhir kelinci (kg) 8 ekor 14,16 13,84 13,80 14,93 13,92
Harga/kg bobot hidup (Rp) 1 ekor 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000
Total penerimaan (Rp) 8 ekor 354.000 346.000 345.000 373.250 348.000
3 Pendapatan Rp 39.518 35.894 30.058 66.213 42.181
R/C Ratio 1,13 1,12 1,10 1,22 1,14
90
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pemanfaatan kulit kopi
untuk pakan ternak kelinci dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penggunaan kulit kopi terfermentasi 10% dapat meningkatkan
pertumbuhan, efisiensi penggunaan ransum, berat daging karkas dan
menurunkan kadar kholesterol darah, namun tidak mempengaruhi jumlah
mikroba dalam sekum dan kolon.
2. Penggunaan kulit kopi terfermentasi 10 % dalam ransum kelinci (R3)
menghasilkan retensi energi sebesar 55,20 kkal/hari, lebih tinggi daripada
perlakuan R0 (52,90 kkal/hari), R1 (51,56 kkal/hari), R2 (53,83 kkal/hari),
dan R4 (53,77 kkal/hari).
3. Penggunaan kulit kopi terfermentasi 10 % dalam ransum kelinci (R3)
menghasilkan retensi protein sebesar 0,56 g/hari lebih tinggi daripada
perlakuan R0 (0,53 g/hari), R1 (0,52 g/hari), R2 (0,50 g/hari), dan R4
(0,53 g/hari).
4. Kulit kopi sebagai salah satu komponen penyusun ransum secara ekonomi
layak untuk diterapkan karena mampu menurunkan biaya ransum sebesar
4,96% - 17,11%.
91
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan sebagai
berikut :
Peternak kelinci disarankan untuk menggunakan kulit kopi terfermentasi
10% dalam menyusun ransum, karena mampu meningkatkan produktivitas ternak
kelinci dan mampu menurunkan biaya produksi sebesar 4,74%.
92
DAFTAR PUSTAKA
Alhaidary A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. 2010. Impact of dietary fat type
and amount on growth performance and serum cholesterol in rabbits.
American Journal of Animal and Veterinary Sciences. 5(1): 60-64.
Anon, 2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy)
http://dinooblog.blogspot.com/2011/01/kebiasaan-kelinci-memakan-kotoran.html.
Disitir 8Juni 2013
Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official methode of analysis.
Vol.2 Ed. 15. Washington.
Balmer. J. and D.B. Zilversmit. 1974. Effect of dietary roughage on cholesteral
absorption, cholesterol. Turn Over and Steroid Excretionin Rat. J. Nutr.
104:1319-1320.
Behring, D. 2000. Hematologi and Hemostasis. http://www.irvingcrowley.
com/cls/hemo.htm. Disitir Tanggal 22 Pebruari 2014
Biving, W.S. and W.W. King. 1995. Raising healthy rabbit. A. Publication of
Christian Veterinary Mission, Washington, USA.
Bram Brahmantiyo dan Y.C. Raharjo. 2009. Pengembangan Pembibitan Kelinci
Di Pedesaan dalam Menunjang Potensi dan Prospek Agribisnis Kelinci.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Verteriner. Balai Penelitian
Ternak, Bogor. Hal 688-691.
Beynen, A.C. 1984. Rabbit: A Source of Healthful Meat? The Journal of Applied
Rabbit Research. 4: 133-134.
Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh aras serat kasar ransum terhadap produksi telur
ayam lohmann brown. Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1 (2) :
23-27
Bidura, I.G.N.G, 2007. Aplikasi Poduk Bioteknologi Pakan Ternak. Penerbit,
Udayana University Press, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I.G.N.G., D.P.M.A.Candrawati dan D.A. Warmadewi, 2010. Pakan
Unggas Konvensional Dan Inkonvensional. Penerbit: Udayana University
Press, Universitas Udayana, Denpasar.
BPS. 2012. Produksi Kopi Di Bali. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali.
http:/www.bali.bps.go.id
93
Budaarsa, I. K. 1997. Evaluasi Pemberian Rumput Laut dan Sekam Padi sebagai
Sumber Serat Kasar untuk Mengurangi Kadar Lemak Karkas dan Kadar
Kolesterol Daging. Disertasi Pascasarjana, IPB, Bogor.
Budiari, N.L.G. 2009. Potensi dan Pemanfaatan Pohon Dadem sebagai Pakan
Ternak Sapi pada Musim Kemarau. Bulletin Teknologi dan Informasi
Pertanian. Edisi 22, Desember,2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali : 10-12.
Chan, W., J. Brown, S.M. Lee and D.H. Buss. 1995. Meat, Poultry and Game.
The Royal Society of Chemistry, London
Cheeke, P.R., N.M. Patton and G.S. Templeton. 1987. Rabbit production. Fifth
Ed. The Interstate Printers and Publisher, Inc., Danville, Illinois, USA.pp.
144-151.
De Blass, C. And J. Wiseman. 1998. The Nutrition Of The Rabbit. CABI
Publishing. University of Nottingham. Nottingham. P.39-55.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Diwyanto. K., R. Sunarlin dan P. Sitorus. 1985. Pengaruh persilangan terhadap
karkas dan preferensi daging kelinci panggang. J. Ilmu dan Peternakan.
1(10):427-430
Ensminger. M.E., J.E. Oldfield dan W. Heinemann. 1990. Feed Nutrition. 2nd
Ed,
the Ensminger Publishing Co., Clovis.
Farrel, D.J. dan Y.C. Raharjo. 1984. Potensi Ternak kelinci sebagai penghasil
Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Gandasoebrata, R. 1985. Penuntun Laboratorium Klinik. Penerbit PT. Dian
Rakyat.
Guntoro, S., dan I.M.R. Yasa. 2003. Pemanfaatan Kopi Terfermentasi Untuk
Penggemukan Peranakan Ettawah (PE) Muda. Prosiding. Seminar Nasional
Revitalisasi Teknologi Kreatif Dalam mendukung Agribisnis dan Otonomi
Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Hal.379-382
Guntoro, S., M. Rai Yasa, Rubiyo, dan I.N.Suyasa. 2004. Prosiding Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar 20-22 Juli 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Balai
94
Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bali dan Crop-Animal Systems
Reseach Network (CASREN). Hal. 389-395.
Hamidy, L.N. 1996. Pengaruh Berbagai Tingkat Penggunaan Buah Semu Mete
dalam Ransum terhadap Konsumsi dan Konversi Pakan pada Kelinci.
Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro, Semarang (Skripsi Sarjana
Peternakan).
Hon, F.M., O.I.A. Oluremi and F.O.I. Anuqwa. 2009. The Effect of Dried Sweet
Orange (Citrus Sinensis) Fruit Pulp Meal on the Growth Performance of
Rabbits. http://Scialert.net/fulltex/? Doi=pjr 2009.1150.1155&org=11.
Disitir Tanggal 7 Maret 2012.
Hutasuhut, M. 2005. Strategi pengembangan Usaha Ternak Kelinci Mendukung
Agribisnis Peternakan : Dukungan Kebijakan. Prosiding. Lokakarya
Nasional.Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30
September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Hal.3-5.
Jorgensen, H., X.Q. Zhao, Ke. Bach-Knudsen and B.O. Enggum. 1996. The
influnce of dietary fibre source and level on the development of the gastro
intestinal tract, digestibility, and energi metabolism in broiler chikcen S. Br.
J. Nutr. 75:379-395.
Kasa, I.W., C.J. Thawaites, X. Jianke and D.J. Farell. 1989. Rice bran in the diet
of rabbits grown at 22 and 300
C. Journal of Applied Rabbit Research 12
(2):75-76.
Kartadisastra, H.R. 2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Kompiang, I.P., A.P. Sinurat dan J. Darma. 1994. Nutritional Value of Protein
Enriched Cassava-Casspro. Ilmu dan Peternakan 7(2): 22-25.
Krisnan, R. 2002. Pengaruh Pemberian Ransum Mengandung Ampas Teh
(Camellia sinensis) Produk Fermentasi Aspergillus niger terhadap
Pertambahan Bobot Badan dan Efisiensi Protein pada Ayam Broiler.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Sumedang.
Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Aminudin Parakkasi, UI-
Press, Jakarta.
Disnak Propinsi Bali. 2012. Laporan Cacah Jiwa Ternak Di Propinsi Bali. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bali.
Disbun Kabupaten Bangli. 2013. Populasi dan Produksi Kopi Arabika. Laporan
Dinas Perkebunan Kabupaten Bangli Tahun 2013. Dinas Perkebunan
Kabupaten Bangli.
95
Lestari, C.M.S., A. Muktiani, H.I. Wahyuni dan J.A. Prawoto. 1997. Evaluasi
Azolla mycrophylla sebagai Sumber Lisin dan Pengaruhnya terhadap
Penampilan Karkas Kelinci. Majalah Penelitian, Lembaga Penelitian
Universitas Diponogoro. Tahun IX (34) : 1-9.
Lestari, C.M.S., H.I. Wahyuni dan L. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci
Menggunakan Pakan Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional.
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September
2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Hal 55-60
Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Desig the Rabbit Coop Small-Scale
Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue
University of Agriculture and Forestry. Vietnam.
Linder, M.C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolism. Ed. Ke-1. Terjemahan
Aminudin Parakkasi, penerbit UI, Jakarta.
Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan ternak. PT. Pembangunan Jakarta.
Lucy Susandari, C.M. Sri Lestari, dan Hanny Indrat Wahyuni. 2004. Komposisi
Lemak Tubuh Kelinci yang Mendapat Pakan Pellet dengan Berbagai Aras
Lisin. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas
Peternakan, Universitas Diponegoro.
Lukefahr, S.D, W.D. Hohenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. Kennick.
1981. Carcass and meat characteristics of plemish giant and new zealand
white purebreed and terminal – crossbred rabbits. Journal Of Appl, Res.
4(3): 66-72.
Mahardika, I.G. 1996. Kinerja Kerbau Betina pada Berbagai Beban Kerja serta
Implikasinya terhadap Kebutuhan Energi dan Protein Pakan. Disertasi
Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Mastika. I.M. 1991. Potensi Pertanian dan Industri Pertanian serta
Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak. Makalah Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Makanan Ternak Pada Fakultas Peternakan UNUD-Denpasar.
Mastika. I.M. 2011. Potensi Pertanian dan Industri Pertanian untuk Makanan
Ternak. Penerbit Udayana University Press.
Mayes, P.A., D.K. Granner. Y.W. Rodwell and D.W. Martin. 1992. Biokimia
Harpers Review of Biochemistry. Edisi 20.E.Gc. Penerbit Buku Kedokteran.
Cetakan IV hal. 746-747. Jakarta. Po BOX 4276. Large Medical
Publication.
McNitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefarh and P.R.Cheeke. 1996. Rabbit
production. Interstate Publishers, Inc.p. 78-109
96
Mount, L. E. 1979. Adaptation to thermal environment , man and his productive
animal. Edward Arnold Publishing, London. P. 1-12.
Muryanto, U.Nuschati, D. Pramono dan T. Prasetyo. 2006. Potensi Kulit Kopi
Sebagai Pakan Ayam. Prosiding Lokakarya Nasional. Inovasi Teknologi
Dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing. Semarang, 4
Agustus 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bekerjasama dengan Jurusan
Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro.
Hal 111-116.
Nugraha, K.A. 2010. Laboratorium Klinik : Pemeriksaan Darah (Blood
Analisysis).
http:Komitekeperawatanrsdsoreang.blogspot.com/2010/02/laboratorium-
klinik-pemeriksaan-darah/html.Disitir Tanggal 12 Nopember 2010.
Nuriyasa. M. 2012. “Respon Biologi Serta Pendugaan Kebutuhan Energi dan
Protein Ternak Kelinci Kondisi Lingkungan berbeda Di Daerah Dataran
Rendah Tropis“. Desertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Udayana.
Denpasar.
NRC. 1977. Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences,
Washington, D.C.
Parigi Bini and R.G. Xiccato. 1998. Energy Metabolism and Requirements. In.
The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. De Blas and J. Wiseman. CABI
Publishing, New York. P. 103-132.
Parwati. I.A.P., S. Guntoro, N.Suyasa, I.M. Raiyasa, I.M. Londra dan Sriyanto.
2006. Laporan Akhir Tahun Penelitian Adaptif Pengolahan Perkebunan
untuk Pakan Ternak.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Parwati, I. A, I.G.A.K. Sudaratmaja, N. W. Trisnawati, P. Suratmini, N. Suyasa,
W. Sunanjaya, L.G. Budiari dan Pardi. 2008. Laporan Akhir Primatani
Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Basah, Desa Belanga, Kec. Kintamani,
Kab. Bangli. Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bali. 67 Hal.
Praga, M.J., J.C. De Blas, E. Ferez, J.M. Rodri Guez, C.J. Ferez and J.F. Galvez.
1998. Effect of diet on chemical composition of rabbits slaughtered at fixed
body weights. J. Anim. Sci. 56:1097.
Prasad, R., S.A. Karim, B.C. Patnayak. 1996. Growth performance of rabbits
maintained on diets with varying levels of energy and protein. World Rabbit
Science 1996, 4(2), 75-78.
Prawirodigdo, S., N. Kustiani Dan H. Haryanto. 2007. Introduksi Tape Kulit Kopi
dalam Pakan Ternak Domba Lokal Periode Pertumbuhan. Pros. Seminar
Nasional Teknologi peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus
2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.361 – 366.
97
Purwandaria, T., T. Pasaribu, A.P.Sinurat dan H. Hamid. 1999. Evaluasi Gizi
Lumpur Sawit Fermentasi dengan Aspergillus niger setelah Proses
Pengeringan dengan Pemanasan. JITV 4(4):257-263.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohardiprodja dan L. Soekamto. 1986. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada, University Press, Yogyakarta.
Raharjo.Y.C. dan D. Gultom. 2000. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kulit-
Bulu Kelinci Melalui Seleksi, Kawin Silang dan Perbaikan Nutrisi. Laporan
Hasil Penelitian Balitnak Ciawi-Bogor, 20 pp.
Raharjo.Y.C. 2005. Peluang dan Tantangan Agribisnis Ternak Kelinci. Prosiding.
Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci.
Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.Hal.6-15.
Sartika, T., D. Gultom dan D. Aritonang. 1988. Pemanfaatan Daun Wortel
(Daucus carota) dan Campurannya dengan Rumput Lapang sebagai Pakan
Kelinci. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan
Aneka ternak II. Balitbangnak, Deptan.
Sartika, T. Dan Y.C. Raharjo. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Serat Kasar
terhadap Penampilan, Persentase Karkas pada Kelinci Rex. Proceedings.
Seminar Nasional Usaha Peningkatan Peternakan dan Perikanan. Vol. 1.
Bidang Peternakan. Badan Penerbit Univ. Diponogoro, Semarang.
Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http://blogs.unpad ac.id/Suland
Sinaga. Disitir 21 pebruari 2013.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwandaria, A.R. Setioko dan J. Darma. 1996. Nilai
Gizi Bungkil Kelapa yang Difermentasi dan Pemanfaatannya untuk Itik
Jantan. JITV 1(3):161-168.
Siri, S., H. Tobioka, and I. Tasaki. 1992. Effect of dietary cellulosa level on
growth performance, development of internal organs, energy and nitrogen
utilization and lipid contents of growing chicks. AJAS 5:369-374.
Sitorus, P.,S. Soediman, Y.C. Raharjo, I.G. Putu, Santosa, B. Sudaryanto dan A.
Nurhadi. 1982. Laporan Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Bogor.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. UI Press. Universitas Indonesia.
Sudaryanto, B., M. Rangkuti, N. Sugana, E.B. Laconi dan Y.C. Raharjo. 1985.
Pengaruh penggunaan tepung daun singkong terhadap potongan komersial
kelinci persilangan. J. Ilmu dan Peternakan. l (9): 395.
98
Suradi, K. 2005. Potensi dan Peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci.
Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha
Kelinci, Bandung 30 September 2005
Suryawan, IBG.,Delly Resiani, NM, Astika, IM, Penatih, IGN dan Sri Utami
Asih, 2009. Laporan Akhir Prima Tani LKDTIB Di Desa Pelaga. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Balai Besar pengkajian Dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian 2009.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu Nutrisi Ternak.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik, Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Sumantri.
Gramedia. Jakarta.
Rafzunnella, 2009. Butuh Bibit Kelinci?. Pusat Pembibitan Kelinci (PPK)
Jawabnya. Peternakan Non Ruminansia Yang Berwawasan Lingkungan.
Unggas dan Aneka Ternak, Media Budidaya Ternak Non Ruminansia.
Penerbit Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia. Vol. 4. No.1 Maret
2009. ISSN 1907-4816.
Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian
Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Hal 66-74
USDA. 2009. Rabbit Protein. http://www.mybunnyfarm.com/rabbitprotein/
Disitir Tgl 24 Juli 2010.
Vanessa, K.L., L.H. Tarpley and K.S. Latimer. 2005. Leucocyte Identification in
Rabbits and Guinea Pigs. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/lester/. Disitir
Tanggal 24 Pebruari 2012.
Zainuddin, D., I.P. Kompiang dan H. Hamid. 1995. Pemanfaatan Kopi dalam
Ransum Ayam. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN T.A. 94/95. Balai
Penelitian Ternak Ciawi – Bogor.
Zerrouki, N., F. Lebas, C. Davous, E. Corrent. 2008. Effect of mineral block
addition on fattening rabbit performance. Word Rabbit Conggress-June 10 -
13 Verano, Itali.
Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Penerbit Gajah Mada Universitas Press,
Jogyakarta.
99
Widodo, R. 2005. Usaha Budidaya Ternak Kelinci dan Potensinya. Prosiding.
Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci.
Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 26-37.
Wiguna, I W. A. A. 2007. Pengolahan Menjadi Pakan dan Pupuk Organik.
Disampaikan dalam Pelatihan Kelompok Tani Ternak di Kabupaten
Tabanan pada Tanggal 21-23 Nopember 2007. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bali.
100
Lampiran 1. Analisis Statistik Berat Badan Awal (g) Kelinci yang
MendapatkanPerlakuan Ransum Berbeda
PERLAKUAN
KELOMPOK
TOTAL
I II III IV RATA-
Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan RATA
I.1 I.2 II.1 II.2 III.1 III.2 IV.1 IV.2
R0 280,00 280,00 256,00 255,00 243,00 260,00 248,00 245,00 2.067,00 258,38
R1 254,00 249,00 259,00 246,00 265,00 280,00 254,00 256,00 2.063,00 257,88
R2 255,00 247,00 255,00 271,00 259,00 268,00 257,00 254,00 2.066,00 258,25
R3 258,00 254,00 250,00 268,00 265,00 258,00 264,00 251,00 2.068,00 258,50
R4 257,00 258,00 247,00 249,00 256,00 282,00 256,00 265,00 2.070,00 258,75
TOTAL 1.304,00 1.288,00 1.267,00 1.289,00 1.288,00 1.348,00 1.279,00 1.271,00 10.334,00 258,35
Menentukan dB :
- db total : (t.r) -1 = 40-1 = 39
- db Blok
: r -1 = 8 -1 = 7
- db Perlakuan : t -1 = 5 -1 = 4
- db Acak
: db total - db blok - db perlakuan
: 39 - 7 - 4 = 28
Faktor Koreksi (FK) =
JK Total = (280,00)2 + (280,00)
2 + (256,00)
2 + ........... + (265,00)
2 - FK
= 2.845.634,10 – 2.669.788,90
= 3.845,10
JK Blok = (1.304,00)2 + (1.288,00)
2 +........... + (1.271,00)
2 - FK
5
= 2.670.700,00 – 2.669.788,90
= 911,10
JK Perlakuan = (2.067,00)2 + (2.063,00)
2 +........... + (2.070,00)
2 - FK
8
= 2.669.792,25 – 2.669.788,90
= 3,35
JK Galat = JK Total – JK Blok – JK Perlakuan
= 3.845,10 - 911,10 - 3,35
= 2.930,65
(10.334,00)2
= 2.669.788,90 40
101
Menentukan KT.
KT Blok = JK Blok
= 911,10
= 130,16 dB Blok 7
KT Perlakuan = JK Perlakuan
= 3,35
= 0,16 dB Perlakuan 4
KT Galat = JK Galat
= 2.930,65
= 104,67 dB Galat 28
Daftar Sidik Ragam Berat Badan Awal (g)
Sumber Keragaman db JK KT F Hitung F Tabel
0,05 0,01
Kelompok 7 911,10 130,16 1,24ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 3,35 0,84 0,01ns
2.71 4.07
Galat 28 2.930,65 104,67
Total 39 3.845,10
SEM Berat Badan Awal =
√104,67 = 1,28
8
Berat Badan Awal (g)
Perlakuan Rata-Rata (g)
R0 258,38a
R1 257,88a
R2 258,25a
R3 258,50a
R4 258,75a
102
Lampiran 2. Daftar Sidik Ragam Berat Badan Akhir (g)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 71.171,90 10.167,41 1,26ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 110.185,35 27.546,34 3,42*
2.71 4.07
Galat 28 225.247,85 8.044,57
Total 39 406.605,10
SEM Berat Badan Akhir =
√8.044,57 = 11,21
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 32,51 34,08 35,09 35,88
0,01 43,84 45,74 46,86 47,98
Berat Badan Akhir (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (gr) Perbedaan.
R3 1.866,75a
R0 1.769,50b
97,25**
R4 1.739,88bc
126,88**
29,63ns
R1 1.730,25c
136,50**
39,25*
9,63ns
R2 1.725,38c
141,38**
44,13*
14,50ns
4,88ns
103
Lampiran 3. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Ransum (g/hr)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 133,06 19,01 0,73ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 618,49 154,62 5,94**
2.71 4.07
Galat 28 728,82 26,03
Total 39 1.480,36
SEM Konsumsi Ransum =
√26,03 = 0,64
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 1,85 1,94 2,00 2,04
0,01 2,49 2,60 2,67 2,73
Konsumsi Ransum (g/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hr) Perbedaan.
R4 86,19a
R2 83,61b
2,58**
R3 79,19c
7,01**
4,43**
R1 77,36cd
8,83**
6,25**
1,83ns
R0 75,63d
10,56**
7,98**
3,55**
1,72ns
104
Lampiran 4. Daftar Sidik Ragam Pertambahan Berat Badan (g/hr)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 15,20 2,17 1,29ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 22,40 5,60 3,32*
2.71 4.07
Galat 28 47,17 1,68
Total 39 84,77
SEM Pertambahan Berat Badan =
√1,68 = 0,16
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,47 0,49 0,51 0,52
0,01 0,63 0,66 0,68 0,69
Pertambahan Berat Badan (g/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hr) Perbedaan.
R3 22,98a
R0 21,59b
1,39**
R4 21,16bc
1,82**
0,43ns
R1 21,03c
1,94**
0,55*
0,13ns
R2 20,96c
2,02**
0,63*
0,20ns
0,08ns
105
Lampiran 5. Daftar Sidik Ragam Konversi Ransum
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,56 0,08 1,62ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 2,64 0,66 13,39**
2.71 4.07
Galat 28 1,38 0,05
Total 39 4,58
SEM Konversi Ransum =
√0,05 = 0,03
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,08 0,08 0,09 0,09
0,01 0,11 0,11 0,12 0,12
Konversi Ransum Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata Perbedaan.
R4 4,08a
R2 4,01a
0,07ns
R1 3,68b
0,40**
0,33**
R0 3,50c
0,58**
0,51**
0,17**
R3 3,45c
0,63**
0,56**
0,22**
0,05ns
106
Lampiran 6. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Air (ml/hr)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 934,20 133,46 0,38ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 5.874,84 1.468,71 4,14**
2.71 4.07
Galat 28 9.924,38 354,44
Total 39 16.733,42
SEM Konsumsi Air =
√354,44 = 2,35
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 6,82 7,15 7,37 7,53
0,01 9,20 9,60 9,84 10,07
Konsumsi air (ml/hr) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (ml/hr) Perbedaan.
R4 183,37a
R2 181,46a
1,91ns
R3 170,95b
12,41**
10,51**
R1 157,90c
25,46**
23,56**
13,05**
R0 153,30c
30,07**
28,16**
17,65**
4,61ns
107
Lampiran 7. Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (%)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 6,81 0,97 0,68ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 34,27 8,57 6,02**
2.71 4.07
Galat 28 39,82 1,42
Total 39 80,89
SEM Kecernaan Bahan Kering =
√1,42 = 0,15
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,43 0,45 0,47 0,48
0,01 0,58 0,61 0,62 0,64
Kecernaan Bahan Kering (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (%) Perbedaan.
R3 59,84a
R4 59,28b
0,56*
R2 58,41c
1,43**
0,86**
R0 58,29 c
1,55**
0,99**
0,13ns
R1 57,13d
2,71**
2,15**
1,28**
1,16**
108
Lampiran 8. Daftar Sidik Ragam Kecernaan Energi (%)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 19,60 2,80 1,09ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 30,85 7,71 3,01*
2.71 4.07
Galat 28 71,66 2,56
Total 39 122,11
SEM Kecernaan Energi =
√2,56 = 0,20
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,58 0,61 0,63 0,64
0,01 0,78 0,82 0,84 0,86
Kecernaan Energi (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (%) Perbedaan.
R3 67,87a
R0 66,38b
1,50**
R4 65,97bc
1,90**
0,40ns
R2 65,59c
2,29**
0,79*
0,39ns
R1 65,42c
2,45**
0,95**
0,55ns
0,16ns
109
Lampiran 9 Daftar Sidik Ragam Kecernaan Protein (%)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 156,62 22,37 8,19**
2.36 3.36
Perlakuan 4 57,71 14,43 5,28**
2.71 4.07
Galat 28 76,54 2,73
Total 39 290,86
SEM Kecernaan Protein =
√2,73 = 0,21
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,60 0,63 0,65 0,66
0,01 0,81 0,84 0,86 0,88
Kecernaan Protein (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (%) Perbedaan.
R3 86,64a
R0 86,18ab
0,47ns
R4 85,85b
0,79*
0,32ns
R2 84,18c
2,46**
1,99**
1,67**
R1 83,54c
3,10**
2,63**
2,31**
0,64ns
110
Lampiran 10. Daftar Sidik Ragam Laju Aliran Ransum (Jam)
Sumber Keragaman db JK KT F
Hit.
F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 3,50 0,50 0,40ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 12,11 3,03 2,39ns
2.71 4.07
Galat 28 35,47 1,27
Total 39 51,08
SEM Laju Aliran Ransum =
√1,27 = 0,14
8
Laju Aliran Ransum (Jam) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (Jam)
R0 10,25a
R1 10,19a
R2 10,06a
R3 8,76a
R4 9,66a
111
Lampiran 11. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Energi (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 2.152,08 307,44 1,22ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 6.154,75 1.538,69 6,09**
2.71 4.07
Galat 28 7.070,16 252,51
Total 39 15.377,00
SEM Konsumsi Energi =
√252,51 = 1,99
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 6,04 6,22 6,36 6,04
0,01 8,10 8,30 8,50 8,10
Konsumsi Energi (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari) Perbedaan.
R4 350,77a
R2 341,24b
9,52**
R3 337,83b
12,93**
3,41ns
R1 323,73c
27,04**
17,52**
14,11**
R0 316,24d
34,53**
25,01**
21,60**
7,49*
112
Lampiran 12 Daftar Sidik Ragam Energi Feses/FE (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.625,51 232,22 2,44ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 993,48 248,37 2,61ns
2.71 4.07
Galat 28 2.665,20 95,19
Total 39 5.284,20
SEM Energi Feses (FE) =
√95,19 = 1,22
8
Energi Feses/FE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari)
R0 106,36a
R1 112,02a
R2 117,47a
R3 108,55a
R4 119,30a
113
Lampiran 13. Daftar Sidik Ragam Energi Tercerna/DE (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 926,71 132,39 0,96ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 3.166,10 791,53 5,74**
2.71 4.07
Galat 28 3.861,80 137,92
Total 39 7.954,61
SEM Energi Tercerna (DE) =
√137,92 = 1,47
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 4,26 4,46 4,59 4,70
0,01 5,74 5,99 6,14 6,28
Energi Tercerna/DE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari) Perbedaan.
R4 231,47a
R3 229,29a
2,18ns
R2 223,78b
7,69**
5,51*
R1 211,71c
19,76**
17,58**
12,07**
R0 209,87c
21,59**
19,41**
13,90**
1,84ns
114
Lampiran 14. Daftar Sidik Ragam Energi Termetabolis/ME (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 836,48 119,50 0,96ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 2.856,81 714,20 5,74**
2.71 4.07
Galat 28 3.484,81 124,46
Total 39 7.178,10
SEM Energi Termetabolis (ME) =
√124,46 = 1,39
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 4,04 4,24 4,36 4,46
0,01 5,45 5,69 5,83 5,97
Energi Termetabolis/ME (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari) Perbedaan.
R4 219,89a
R3 217,82a
2,07ns
R2 212,59b
7,30**
5,24*
R1 201,13c
18,76**
16,70**
11,46**
R0 199,38c
20,51**
18,45**
13,21**
1,75ns
115
Lampiran 15. Daftar Sidik Ragam Rentensi Energi /RE (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 209,03 29,86 6,43**
2.36 3.36
Perlakuan 4 57,48 14,37 3,09*
2.71 4.07
Galat 28 130,12 4,65
Total 39 396,64
SEM Retensi Energi (RE) =
√4,65 = 0,27
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,78 0,82 0,84 0,86
0,01 1,05 1,10 1,13 1,15
Retensi Energi/RE (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari) Perbedaan.
R3 55,20a
R2 53,83b
1,37**
R4 53,77b
1,43**
0,06ns
R0 52,90c
2,30**
0,93*
0,87*
R1 51,56d
3,64**
2,28**
2,22**
1,34*
116
Lampiran 16. Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkal/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.350,74 192,96 1,38ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 2.265,90 566,48 4,04*
2.71 4.07
Galat 28 3.929,40 140,34
Total 39 7.546,04
SEM Produksi Panas (PP) =
√140,34 = 1,48
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 4,29 4,50 4,63 4,74
0,01 5,79 6,04 6,19 6,34
Produksi Panas/PP (kkal/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/hari) Perbedaan.
R4 166,12a
R3 162,63ab
3,49ns
R2 158,76b
7,35**
3,86ns
R1 149,57c
16,55**
13,06**
9,20**
R0 146,49c
19,63**
16,14**
12,28**
3,08ns
117
Lampiran 17. Daftar Sidik Ragam Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 287,95 41,14 3,29*
2.36 3.36
Perlakuan 4 32,60 8,15 0,65ns
2.71 4.07
Galat 28 350,14 12,51
Total 39 670,69
SEM Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari) =
√12,51 = 0,44
8
Produksi Panas/PP (kkalW 0,75/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkalW 0,75/hari)
R0 49,35a
R1 48,85a
R2 51,20a
R3 49,51a
R4 50,81a
118
Lampiran 18. Daftar Sidik Ragam Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 3,13 0,45 1,18ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 7,67 1,92 5,07**
2.71 4.07
Galat 28 10,59 0,38
Total 39 21,38
SEM Konsumsi ME/PBB =
√0,38 = 0,08
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,22 0,23 0,24 0,25
0,01 0,30 0,31 0,32 0,33
Konsumsi ME/PBB (kkal/g PBB) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (kkal/g PBB) Perbedaan.
R4 10,41a
R2 10,19a
0,22ns
R1 9,56b
0,85**
0,63**
R3 9,50b
0,91**
0,69**
0,06ns
R0 9,26b
1,15**
0,93**
0,30ns
0,24ns
119
Lampiran 19. Daftar Sidik Ragam Konsumsi Protein (g/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 25,97 3,71 13,24**
2.36 3.36
Perlakuan 4 6,65 1,66 5,94**
2.71 4.07
Galat 28 7,84 0,28
Total 39 40,46
SEM Konsumsi Protein(g/hari =
√0,28 = 0,07
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,19 0,20 0,21 0,21
0,01 0,26 0,27 0,28 0,28
Konsumsi Protein (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hari) Perbedaan.
R4 8,62a
R3 8,55a
0,07ns
R2 8,02b
0,60**
0,53**
R1 7,84b
0,78**
0,71**
0,18ns
R0 7,56c
1,06**
0,99**
0,46**
0,28*
120
Lampiran 20. Daftar Sidik Ragam Protein Feses (g/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,4481 0,064 1,63ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,4040 0,101 2,58ns
2.71 4.07
Galat 28 1,0979 0,039
Total 39 1,9500
SEM Protein Feses =
√0,039 = 0,02
8
Protein Feses (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hari)
R0 1,01a
R1 1,24a
R2 1,32a
R3 1,21a
R4 1,19a
121
Lampiran 21. Daftar Sidik Ragam Protein Tercerna (g/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 28,53 4,08 14,80**
2.36 3.36
Perlakuan 4 5,76 1,44 5,23**
2.71 4.07
Galat 28 7,71 0,28
Total 39 42,00
SEM Protein Tercerna =
√0,28 = 0,07
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,20 0,21 0,21 0,22
0,01 0,26 0,28 0,28 0,29
Protein Tercerna (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hari) Perbedaan.
R4 7,43a
R3 7,34a
0,09ns
R2 6,70b
0,73**
0,64**
R1 6,60b
0,82**
0,73**
0,09ns
R0 6,55b
0,88**
0,79**
0,15ns
0,06ns
122
Lampiran 22. Daftar Sidik Ragam Retensi Protein (g/hari)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,003 0,0004 2,18ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,012 0,0031 15,75**
2.71 4.07
Galat 28 0,005 0,0002
Total 39 0,021
SEM Retensi Protein =
√0,0002 = 0,002
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,01 0,01 0,01 0,01
0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
Retensi Protein (g/hari) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/hari) Perbedaan.
R3 0,55a
R4 0,53b
0,02**
R0 0,53bc
0,03**
0,01ns
R1 0,52cd
0,04**
0,02**
0,01ns
R2 0,51d
0,05**
0,03**
0,02**
0,01ns
123
Lampiran 23. Daftar Sidik Ragam Hemoglobin (g/100 ml)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 4,33 0,62 1,31ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 9,83 2,46 5,22**
2.71 4.07
Galat 28 13,19 0,47
Total 39 27,36
SEM Hemoglobin =
√0,47 = 0,09
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,25 0,26 0,27 0,27
0,01 0,34 0,35 0,36 0,37
Hemoglobin (g/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 ml) Perbedaan.
R3 12,23a
R2 11,65b
0,57**
R0 11,55b
0,67**
0,10ns
R4 11,53b
0,70**
0,13ns
0,03ns
R1 10,68c
1,55**
0,98**
0,88**
0,85**
124
Lampiran 24. Daftar Sidik Ragam Eritrosit (106/ ml)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,97 0,14 3,49**
2.36 3.36
Perlakuan 4 1,55 0,39 9,74**
2.71 4.07
Galat 28 1,12 0,04
Total 39 3,64
SEM Eritrosit =
√0,04 = 0,02
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,07 0,08 0,08 0,08
0,01 0,10 0,10 0,10 0,11
Eritrosit (106/ ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (106/ ml) Perbedaan.
R3 5,72a
R4 5,66a
0,05ns
R0 5,55b
0,17**
0,11**
R2 5,45b
0,26**
0,21**
0,10ns
R1 5,16c
0,56**
0,50**
0,39**
0,29**
125
Lampiran 25. Daftar Sidik Ragam Leukosit (103/ μl)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 20,98 3,00 2,30ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 13,61 3,40 2,62ns
2.71 4.07
Galat 28 36,41 1,30
Total 39 71,00
SEM Leukosit =
√1,30 = 0,14
8
Leukosit (103/ μl) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (103/ ml)
R0 6,98a
R1 5,88a
R2 6,05a
R3 5,90a
R4 7,25a
126
Lampiran 26. Daftar Sidik Ragam Hematokrit (%)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 29,01 4,14 1,78ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 57,03 14,26 6,14**
2.71 4.07
Galat 28 65,04 2,32
Total 39 151,08
SEM Hematokrit =
√2,32 = 0,19
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,55 0,58 0,60 0,61
0,01 0,74 0,78 0,80 0,82
Hematokrit (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (%) Perbedaan.
R3 40,05a
R2 37,80b
2,25**
R4 37,50b
2,55**
0,30ns
R0 37,33b
2,73**
0,48ns
0,18ns
R1 36,48c
3,58**
1,33**
1,03**
0,85**
127
Lampiran 27. Daftar Sidik Ragam Glukosa (mg/100 ml)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 228,00 32,57 0,73ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 69,40 17,35 0,39ns
2.71 4.07
Galat 28 1.249,00 44,61
Total 39 1.546,40
SEM Glukosa =
√44,61 = 0,83
8
Glukosa (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (mg/100ml)
R0 126,50a
R1 128,25a
R2 127,00a
R3 129,00a
R4 125,25a
128
Lampiran 28. Daftar Sidik Ragam Triglisirida (mg/100 ml)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 13.705,10 1.957,87 0,34ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 83.662,40 20.915,60 3,67*
2.71 4.07
Galat 28 159.358,40 5.691,37
Total 39 256.725,90
SEM Triglisirida =
√5.691,37 = 9,43
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 27,35 28,67 29,52 30,18
0,01 36,87 38,48 39,42 40,36
Triglisirida (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (mg/100 ml) Perbedaan.
R0 227,00a
R2 210,00a
17,00ns
R1 169,00b
58,00**
41,00**
R3 144,75b
82,25**
65,25**
24,25ns
R4 99,50c
127,50**
110,50**
69,50**
45,25**
129
Lampiran 29. Daftar Sidik Ragam Kolesterol (mg/100 ml)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 5.780,40 825,77 0,98ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 11.187,40 2.796,85 3,31*
2.71 4.07
Galat 28 23.692,60 846,16
Total 39 40.660,40
SEM Kholesterol =
√846,16 = 3,64
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 10,54 11,05 11,38 11,64
0,01 14,22 14,84 15,20 15,56
Kholesterol (mg/100 ml) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (mg/100 ml) Perbedaan.
R1 133,00a
R2 132,50ab
0,50ns
R0 130,00ab
3,00ns
2,50ns
R3 122,25b
10,75*
10,25ns
7,75ns
R4 88,75c
44,25**
43,75**
41,25**
33,50**
130
Lampiran 30. Daftar Sidik Ragam Berat Potong (g)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 85.109,60 12.158,51 2,70*
2.36 3.36
Perlakuan 4 245.405,00 61.351,25 13,65**
2.71 4.07
Galat 28 125.873,40 4.495,48
Total 39 456.388,00
SEM Berat Potong =
√4.495,48 = 8,38
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 24,31 25,48 26,23 26,82
0,01 32,77 34,19 35,03 35,87
Berat Potong (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (gram) Perbedaan.
R3 1.858,75a
R0 1.790,50b
68,25**
R1 1.711,50c
147,25**
79,00**
R4 1.673,25d
185,50**
117,25**
38,25**
R2 1.646,00e
212,75**
144,50**
65,50**
27,25*
131
Lampiran 31. Daftar Sidik Ragam Berat Karkas (g)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 71.213,10 10.173,30 2,30ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 174.967,60 43.741,90 9,87**
2.71 4.07
Galat 28 124.068,40 4.431,01
Total 39 370.249,10
SEM Berat Karkas =
√4.431,01 = 8,32
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 24,13 25,30 26,04 26,63
0,01 32,53 33,95 34,78 35,61
Berat Karkas (g) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (gram) Perbedaan.
R3 891,00a
R0 837,50b
53,50**
R1 764,75c
126,25**
72,75**
R4 726,50d
164,50**
111,00**
38,25**
R2 721,00d
170,00**
116,50**
43,75**
5,50ns
132
Lampiran 32 Daftar Sidik Ragam Persentase Karkas (%)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 39,34 5,62 0,54ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 266,70 66,68 6,46**
2.71 4.07
Galat 28 288,86 10,32
Total 39 594,90
SEM Persentase Karkas =
√10,32 = 0,40
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 1,16 1,22 1,26 1,28
0,01 1,57 1,64 1,68 1,72
Persentase Karkas (%) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (%) Perbedaan.
R3 47,73a
R0 47,33a
0,40ns
R1 44,22b
3,51**
3,11**
R2 41,79c
5,94**
5,54**
2,43**
R4 41,76c
5,97**
5,57**
2,45**
0,02ns
133
Lampiran 33. Daftar Sidik Ragam Panjang Karkas (cm)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 5,00 0,71 0,60ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 39,10 9,77 8,17**
2.71 4.07
Galat 28 33,50 1,20
Total 39 77,60
SEM Panjang Karkas =
√1,20 = 0,14
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,40 0,42 0,43 0,44
0,01 0,53 0,56 0,57 0,59
Panjang Karkas (cm) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (cm) Perbedaan.
R3 33,13a
R0 32,38b
0,75**
R4 31,13c
2,00**
1,25**
R1 30,88cd
2,25**
1,50**
0,25ns
R2 30,50d
2,63**
1,88**
0,63**
0,38ns
134
Lampiran 34. Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.220,72 174,39 3,82**
2.36 3.36
Perlakuan 4 12,16 3,04 0,07ns
2.71 4.07
Galat 28 1.279,88 45,71
Total 39 2.512,76
SEM Berat Kaki Depan Karkas =
√45,71 = 0,85
8
Berat Kaki Depan Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0 16,12a
R1 16,35a
R2 16,06a
R3 16,38a
R4 16,53a
135
Lampiran 35. Daftar Sidik Ragam Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.996,00 285,14 52,53**
2.36 3.36
Perlakuan 4 2,24 0,56 0,10ns
2.71 4.07
Galat 28 152,00 5,43
Total 39 2.150,24
SEM Berat Kaki Belakang Karkas =
√5,43 = 0,29
8
Berat Kaki Belakang Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan
Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0 30,45a
R1 30,40a
R2 30,93a
R3 30,74a
R4 30,97a
136
Lampiran 36. Daftar Sidik Ragam Berat Pinggang dan Punggung Karkas
(g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 2.260,00 322,86 37,67**
2.36 3.36
Perlakuan 4 18,97 4,74 0,55ns
2.71 4.07
Galat 28 240,00 8,57
Total 39 2.518,97
SEM Berat Pinggang dan Punggung Karkas =
√8,57 = 0,37
8
Berat Pinggang dan PunggungKarkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan
Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0 28,95a
R1 27,33a
R2 27,05a
R3 27,50a
R4 28,22a
137
Lampiran 37. Daftar Sidik Ragam Berat Dada dan Leher Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.780,00 254,29 9,89**
2.36 3.36
Perlakuan 4 60,56 15,14 0,59ns
2.71 4.07
Galat 28 720,00 25,71
Total 39 2.560,56
SEM Berat Dada Karkas =
√25,71 = 0,63
8
Berat Dada Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0 24,48a
R1 23,93a
R2 24,97a
R3 25,38a
R4 24,30a
138
Lampiran 38. Daftar Sidik Ragam Berat Daging Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 330,75 47,25 11,59**
2.36 3.36
Perlakuan 4 454,24 113,56 27,85**
2.71 4.07
Galat 28 114,18 4,08
Total 39 899,17
SEM Berat Daging Karkas =
√4,08 = 0,25
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,73 0,77 0,79 0,81
0,01 0,99 1,03 1,06 1,08
Berat Daging Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas) Perbedaan.
R3 71,04a
R0 69,25b
1,79**
R4 66,83c
4,21**
2,42**
R1 62,99d
8,05**
6,26**
3,84**
R2 62,48d
8,56**
6,77**
4,35**
0,51ns
139
Lampiran 39. Daftar Sidik Ragam Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,58 0,08 1,01ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 7,29 1,82 22,10**
2.71 4.07
Galat 28 2,31 0,08
Total 39 10,18
SEM Berat Lemak Karkas =
√0,08 = 0,04
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,10 0,11 0,11 0,11
0,01 0,14 0,15 0,15 0,15
Berat Lemak Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas) Perbedaan.
R0 2,42a
R2 2,22b
0,20**
R1 1,93c
0,49**
0,29**
R3 1,68d
0,74**
0,54**
0,25**
R4 1,20e
1,22**
1,02**
0,73**
0,48**
140
Lampiran 40. Daftar Sidik Ragam Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.220,00 174,29 3,81**
2.36 3.36
Perlakuan 4 443,03 110,76 2,42ns
2.71 4.07
Galat 28 1.280,00 45,71
Total 39 2.943,03
SEM Berat Tulang Karkas =
√45,71 = 0,85
8
Berat Tulang Karkas (g/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas)
R0 28,33a
R1 35,08a
R2 35,30a
R3 27,27a
R4 31,97a
141
Lampiran 41. Daftar Sidik Ragam Rasio Daging dengan Tulang Karkas
(/100 g karkas)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,60 0,09 0,59ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 4,04 1,01 7,04**
2.71 4.07
Galat 28 4,02 0,14
Total 39 8,66
SEM Rasio Daging dengan Tulang Karkas =
√0,14 = 0,05
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,14 0,14 0,15 0,15
0,01 0,19 0,19 0,20 0,20
Rasio Daging dengan Tulang Karkas (/100 g karkas) Kelinci yang Mendapatkan
Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g karkas) Perbedaan.
R3 2,61a
R4 2,09b
0,52**
R0 1,81c
0,80**
0,28**
R1 1,80c
0,80**
0,29**
0,00ns
R2 1,77c
0,84**
0,32**
0,04ns
0,04ns
142
Lampiran 42. Daftar Sidik Ragam Berat Paru-paru (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,12 0,02 1,70ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,47 0,12 11,50**
2.71 4.07
Galat 28 0,29 0,01
Total 39 0,88
SEM Berat Paru-paru =
√0,01 = 0,01
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04
0,01 0,05 0,05 0,05 0,05
Berat Paru-paru (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup) Perbedaan.
R2 0,66a
R4 0,63a
0,03ns
R3 0,43b
0,23**
0,20**
R1 0,43b
0,23**
0,21**
0,00ns
R0 0,41b
0,25**
0,22**
0,02ns
0,02ns
143
Lampiran 43. Daftar Sidik Ragam Berat Jantung (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,02 0,003 1,82ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,05 0,013 6,77**
2.71 4.07
Galat 28 0,05 0,002
Total 39 0,13
SEM Berat Jantung =
√0,002 = 0,01
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,02 0,02 0,02 0,02
0,01 0,02 0,02 0,02 0,02
Berat Jantung (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup) Perbedaan.
R4 0,27a
R2 0,24b
0,03**
R1 0,21c
0,07**
0,04**
R3 0,19cd
0,08**
0,05**
0,02ns
R0 0,17d
0,10**
0,07**
0,04**
0,02ns
144
Lampiran 44. Daftar Sidik Ragam Berat Sekum (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,52 0,07 1,13ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,79 0,20 3,03*
2.71 4.07
Galat 28 1,82 0,07
Total 39 3,12
SEM Berat Sekum =
√0,07 = 0,03
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,09 0,10 0,10 0,10
0,01 0,12 0,13 0,13 0,14
Berat Sekum (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup) Perbedaan.
R0 1,82a
R3 1,80a
0,01ns
R4 1,69b
0,13**
0,12*
R1 1,67b
0,15**
0,14**
0,02ns
R2 1,43c
0,39**
0,38**
0,26**
0,24**
145
Lampiran 45. Daftar Sidik Ragam Berat Kolon (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 0,21 0,03 1,73ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,11 0,03 1,53ns
2.71 4.07
Galat 28 0,49 0,02
Total 39 0,80
SEM Berat Kolon =
√0,02 = 0,02
8
Berat Kolon (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum
Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
R0 1,63a
R1 1,71a
R2 1,79a
R3 1,70a
R4 1,69a
146
Lampiran 46. Daftar Sidik Ragam Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 2,31 0,33 1,12ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 0,98 0,24 0,83ns
2.71 4.07
Galat 28 8,24 0,29
Total 39 11,52
SEM Berat Usus Halus =
√0,29 = 0,07
8
Berat Usus Halus (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup)
R0 5,60a
R1 5,76a
R2 5,85a
R3 5,75a
R4 6,07a
147
Lampiran 47. Daftar Sidik Ragam Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1,18 0,17 2,44*
2.36 3.36
Perlakuan 4 2,71 0,68 9,83**
2.71 4.07
Galat 28 1,93 0,07
Total 39 5,82
SEM Berat Kulit dan Bulu =
√0,07 = 0,03
8
Daftar Beda Terkecil/LSR (The Least Signicant Range)
Jarak Perbandingan P = 2 P = 3 P = 4 P = 5
SSR 0,05 2,90 3,04 3,13 3,20
0,01 3,91 4,08 4,18 4,28
LSR 0,05 0,10 0,10 0,10 0,11
0,01 0,13 0,13 0,14 0,14
Berat Kulit dan Bulu (g/100 g berat hidup) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan
Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (g/100 g berat hidup) Perbedaan.
R3 12,35a
R0 12,04b
0,31**
R4 11,88c
0,47**
0,16**
R2 11,72d
0,63**
0,31**
0,16**
R1 11,60e
0,75**
0,43**
0,28**
0,12*
148
Lampiran 48. Daftar Sidik Ragam Jumlah Bakteri (opg)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 14.400.000,00 2.057.142,86 0,04ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 295.544.000,00 73.886.000,00 1,50ns
2.71 4.07
Galat 28 1.382.280.000,00 49.367.142,86
Total 39 1.692.224.000,00
SEM Jumlah Bakteri =
√49.367.142,86 = 878,27
8
Jumlah Bakteri (opg) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (opg)
R0 12.500,00a
R1 10.050,00a
R2 10.950,00a
R3 14.500,00a
R4 17.650,00a
149
Lampiran 49. Daftar Sidik Ragam Jumlah Mikroba (opg)
Sumber Keragaman db JK KT F Hit. F Tabel
0,05 0,01
Blok 7 1.440,00 205,71 0,28ns
2.36 3.36
Perlakuan 4 2.041,60 510,40 0,69ns
2.71 4.07
Galat 28 20.656,00 737,71
Total 39 24.137,60
SEM Jumlah Mikroba =
√737,71 = 3,40
8
Jumlah Mikroba (opg) Kelinci yang Mendapatkan Perlakuan Ransum Berbeda
Perlakuan Rata-Rata (opg)
R0 40,00a
R1 40,00a
R2 42,00a
R3 59,00a
R4 46,00a
150
Lampiran 50. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
NO Nutrien Perlakuan Standard
NRC (1977)
RO R1 R2 R3 R4
1 TDN % 64,83 64,85 65 64,65 64,73 65
2 ME(Kkal/kg) 2250,93 2188,08 2144,45 2218,43 2135,41 2500
3 Protein Kasar % 17,1 17,57 17,47 17,84 17,68 16
4 Lemak Kasar % 8,21 7,01 5,40 5,86 4,14 2
5 Serat Kasar % 12,13 12,72 13,38 11,96 12,18 10-14
6 Calcium % 0,51 0,46 0,38 0,41 0,46 0,4
7 Phosporus % 0,62 0,59 0,55 0,64 0,66 0,22
8 Lisin % 0,62 0,59 0,55 0,55 0,48 0,65
9 Metionin + sistin % 0,40 0,38 0,35 0,35 0,30 0,6
10 Isoleusin % 0,61 0,58 0,55 0,54 0,47 0,6
11 Leusin % 1,99 0,93 0,87 0,89 0,77 1,1
12 Phenilalanin + Tirosin % 1,99 0,88 0,81 0,84 0,73 1,1
13 Treonin % 0,48 0,45 0,41 0,42 0,37 0,6
14 Triptofan % 0,12 0,11 0,10 0,10 0,09 0,2
15 Valin % 0,63 0,59 0,54 0,55 0,48 0,7
Sumber : Analisis Proksimat, LOKA, Penelitian Sapi Potong, Grati.
151
Lampiran 51. Angka Density Ransum Perlakuan
NO PERLAKUAN Volume cawan
(ml)
Berat Cawan
(g)
berat sampel
(g) Angka Density
1 R0 4,7 4,91 26,80 25,76
2 R1 4,7 4,91 23,64 22,60
3 R2 4,7 4,91 23,55 22,51
4 R3 4,7 4,91 24,42 23,38
5 R4 4,7 4,91 22,48 21,44
152
Lampiran 52. Harga Ransum Perlakuan Kontrol (R0)
No Uraian Volume Harga/kg Jumlah
1 Jagung kuning 24 4.500 108.000
2 Bungkil Kelapa 14,5 2.300 33.350
3 Tepung Ikan 6,5 8.500 55.250
4 Tepung Tapioka 4 7.500 30.000
5 tepung kedelai 6,5 8.500 55.250
6 Dedak Padi 15 2.000 30.000
7 Rumput Gajah 25 400 10.000
8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 0
9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi 0
10 Minyak Kelapa 4 12.000 48.000
11 Tepung tulang 0,5 1.500 750
370.600
3.706
153
Lampiran 53. Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Tidak Difermentasi
(R1)
No Uraian Volume Harga/kg Jumlah
1 Jagung kuning 23 4.500 103.500
2 Bungkil Kelapa 13 2.300 29.900
3 Tepung Ikan 6,5 8.500 55.250
4 Tepung Tapioka 4 7.500 30.000
5 tepung kedelai 6,55 8.500 55.675
6 Dedak Padi 12,45 2.000 24.900
7 Rumput Gajah 22 400 8.800
8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 10 1.945 19.450
9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi 0
10 Minyak Kelapa 2 12.000 24.000
11 Tepung tulang 0,5 1.500 750
Total Biaya 100 352.225
Total Biaya/kg bahan 3.522
154
Lampiran 54. Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Tidak Difermentasi
(R2)
No Uraian Volume Harga/kg Jumlah
1 Jagung kuning 23 4.500 103.500
2 Bungkil Kelapa 10,5 2.300 24.150
3 Tepung Ikan 7 8.500 59.500
4 Tepung Tapioka 4 7.500 30.000
5 tepung kedelai 6,1 8.500 51.850
6 Dedak Padi 10 2.000 20.000
7 Rumput Gajah 18,9 400 7.560
8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 20 1.945 38.900
9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi 0
10 Minyak Kelapa 12.000 0
11 Tepung tulang 0,5 1.500 750
336.210
3.362
155
Lampiran 55. Harga Ransum dengan Aras 10% Kulit Kopi Difermentasi (R3)
No Uraian Volume Harga/kg Jumlah
1 Jagung kuning 22 4500 99.000
2 Bungkil Kelapa 10 2300 23.000
3 Tepung Ikan 6 8500 51.000
4 Tepung Tapioka 4 7500 30.000
5 tepung kedelai 5,5 8500 46.750
6 Dedak Padi 16 2000 32.000
7 Rumput Gajah 24 400 9.600
8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 0
9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi 10 2100 21.000
10 Minyak Kelapa 2 12000 24.000
11 Tepung tulang 0,5 1500 750
337.100
3.371
156
Lampiran 56. Harga Ransum dengan Aras 20% Kulit Kopi Difermentasi (R4)
No Uraian Volume Harga/kg Jumlah
1 Jagung kuning 20,5 4.500 92.250
2 Bungkil Kelapa 6,5 2.300 14.950
3 Tepung Ikan 5 8.500 42.500
4 Tepung Tapioka 4 7.500 30.000
5 tepung kedelai 5,15 8.500 43.775
6 Dedak Padi 16,05 2.000 32.100
7 Rumput Gajah 22,3 400 8.920
8 Dedak Kulit Kopi tdk Fermentasi 0
9 Dedak Kulit Kopi Terfermentasi 20 2.100 42.000
10 Minyak Kelapa 12.000 0
11 Tepung tulang 0,5 1.500 750
307.245
3.072
157
Lampiran 57. Foto-Foto Penelitian
Potensi Kulit Kopi Sebagai Pakan Ternak
158
Lampiran 58. Foto-Foto Penelitian
Proses Pengolahan Kulit Kopi Menjadi Dedak
159
Lampiran 59. Foto-Foto Penelitian
Proses Pembuatan Tepung Tulang
160
Lampiran 60. Foto-Foto Penelitian
Proses Pembuatan Pellet
161
Lampiran 61. Foto-Foto Penelitian
Penimbangan Berat Badan Setiap Minggu
162
Lampiran 62. Foto-Foto Penelitian
Penimbangan Pakan dan Sisa Pakan
163
Lampiran 63. Foto-Foto Penelitian
Proses Pengambilan Darah Kelinci
164
Lampiran 64. Foto-Foto Penelitian
Proses Pemotongan Kelinci