PENGARUH ANATOMI STRUKTUR PENDUKUNG GIGI TIRUAN …
Transcript of PENGARUH ANATOMI STRUKTUR PENDUKUNG GIGI TIRUAN …
PENGARUH ANATOMI STRUKTUR PENDUKUNG
GIGI TIRUAN PENUH RAHANG BAWAH TERHADAP
RETENSI DAN STABILISASI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
AMIRA PUTRI HEIDIRA
NIM : 150600194
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
Universitas Sumatera Utara
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Prostodonsia
Tahun 2019
Amira Putri Heidira
Pengaruh Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Terhadap Retensi Dan Stabilisasi.
xiii + 79 Halaman
Edentulus penuh adalah keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan
seluruh gigi aslinya. Perawatan edentulus penuh dilakukan dengan pembuatan gigi
tiruan penuh (GTP). Parameter keberhasilan perawatan sangat tergantung pada
pemakaiannya. Hal yang sering menjadi permasalahan adalah kemampuan pasien
untuk memakai dan beradaptasi terhadap gigi tiruan. Jika tidak teratasi dengan baik,
maka akan berdampak pada kesehatan mulut serta kualitas hidup pasien, sehingga
evaluasi dan kontrol pasca perawatan perlu dilakukan. Satu masalah yang banyak
dikeluhkan adalah masalah pada retensi dan stabilisasi GTP rahang bawah. Menurut
penelitian sebelumnya, adaptasi pasien terhadap GTP berhubungan dengan kondisi
gigi tiruan, yang merupakan kombinasi dari kualitas GTP dan karakteristik linggir
alveolar, sehingga perbedaan antara evaluasi dokter gigi mengenai kualitas GTP dan
penilaian pasien dapat disebabkan penilaian klinis yang kurang tepat pada denture-
bearing area, yang terdiri dari anatomi struktur pendukung dan pembatas gigi tiruan.
Namun, penelitian lain menyatakan linggir sisa alveolar tidak mempengaruhi
penerimaan pasien terhadap GTP, sehingga studi pada bidang ini masih dianggap
samar-samar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh struktur anatomi
pendukung gigi tiruan rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi pada pasien GTP
di RSGM USU. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif analitik. Sampel penelitian
ini adalah pasien yang menerima perawatan GTP di RSGM USU. Cara sampling
yang digunakan adalah teknik penarikan sampel non-probability secara purposive
Universitas Sumatera Utara
sampling. Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang. Subjek penelitian diperiksa
resiliensi puncak linggir serta bentuk linggir alveolar rahang bawahnya, lalu
dilakukan pemeriksaan retensi dan stabilisasi GTP. Data dianalisis dengan uji Chi-
Square dan Fisher Exact. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang
signifikan antara resiliensi puncak linggir alveolar terhadap retensi dengan nilai
p=0,005, bentuk linggir alveolar terhadap retensi dengan nilai p=0,023, dan bentuk
linggir alveolar terhadap stabilisasi dengan nilai p=0,001. Kesimpulan dari penelitian
adalah resiliensi puncak linggir alvoelar memiliki pengaruh terhadap retensi. Puncak
linggir alveolar yang flabby menyebabkan GTP bergeser, sehingga mengakibatkan
hilangnya peripheral seal antara GTP dengan jaringan. Bentuk linggir alveolar
memiliki pengaruh terhadap retensi dan stabilisasi. Bentuk linggir klas III memiliki
retensi dan stabilisasi yang baik karena mampu menahan gaya lateral dan memiliki
kesejajaran dinding yang dapat mempertahankan seal untuk menahan gaya
melepaskan dari arah vertikal. Pemakai GTP perlu dihimbau untuk melakukan
kontrol rutin setelah pemasangan GTP untuk memeriksa retensi dan stabilisasi, serta
melihat apakah GTP perlu dilakukan relining atau rebasing, sehingga meningkatkan
kesadaran dan kepedulian akan fungsi GTP-nya.
Daftar rujukan : 65 (2003-2018)
Universitas Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
iii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji
TIM PENGUJI
KETUA : Prof. Slamat Tarigan, drg., MS., Ph.D
ANGGOTA : 1. Eddy Dahar, drg., M.Kes
2. Hubban Nasution, drg., MSc
Universitas Sumatera Utara
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara.
Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu Ayahanda Hendry dan Ibunda Ira
Mashura yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak terbalas,
doa, nasehat, semangat, dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada adik-adik penulis, yaitu M. Rafi
Attahari dan Ayla Wanda Azzura yang senantiasa memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan,
bimbingan, serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Eddy Dahar, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing dan anggota penguji
skripsi yang telah memberikan pengarahan, saran, nasehat, dorongan, serta
meluangkan waktu, tenaga, pemikiran dan kesabaran kepada penulis selama
penelitian dan penulisan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG (K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes., Sp.Pros (K) selaku koordinator
skripsi Departemen Prostodonsia yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dan memberikan pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini hingga
selesai.
4. Syafrinani, drg., Sp.Pros (K) selaku Ketua Departemen Prostodonsia
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
v
5. Prof. Slamat Tarigan, drg., MS., Ph.D selaku ketua tim penguji skripsi
yang telah memberikan saran, masukan, serta pendapat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Hubban Nasution, drg., MSc selaku anggota tim penguji skripsi yang
telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan
skripsi ini.
7. Aini Hariyani Nasution, drg., Sp.Perio (K) selaku penasehat akademik
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama masa pendidikan maupun
selama penulisan skripsi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh staf pengajar serta pegawai Departemen Prostodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas motivasi dan bantuan dalam
menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
9. Seluruh responden penelitian yang sudah bersedia untuk berpartisipasi
serta mengikuti serangkaian proses penelitian ini dengan baik.
10. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Katyana Devy Poranc, M. Rizky
Yuandha, Beby Yusmahizrah, Farhan Maulana Azmi, Kartika Walupi, Rischa Ivana,
Rachella Ryandra, Elisa Pasaribu, Christa Patricia, Soraya Sinaga, Mega Aura,
Luthfiani Indah, Fathur Rohmah, dan Dini Sastrawati yang telah banyak membantu
dan memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan yang melaksanakan penulisan skripsi di
Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara:
Ade Khairani L, Aisyah Erawasi, Aisyah Hasibuan, Anggini Anha Fitri, Ayumi
Cintika Putri, Boas Siregar, Bob Pranata Sipayung, Christ A Nababan, Desy
Praningrum, Devi Anita S Haloho, Dinda Novia Putri, Elis Crystal, Elkana
Lumbangaol, Fathur Rohmah, Hafizah Alhusna, Jesicha, Karina Tasya, Luthfiani
Indah, M. Rizky Yuandha, Azizah Nurur Rahmah, M. Taruna, Abdul Muiz, Mutia
Annada, Nova Yohana Hutauruk, Rameiyani Sembiring, Sanggry M. P, Dini
Sastrawati, Siska, Siti Habibah Safina, Sri Afriyanti Munthe, Stevaninta Ginting,
Sylvia Indriana, Tishya, Trifena Mulyani, Vivi Sari Rose, Yan Reynaldo, Yana
Rosmana, Yessi Alicia atas bantuan dandukungannya selama penulisan skripsi.
Universitas Sumatera Utara
vi
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak.
Akhir kata, penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat memberikan
sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya di Departemen
Prostodonsia.
Medan, 25 Oktober 2019
Penulis,
(Amira Putri Heidira)
NIM : 150600194
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii
HALAMAN TIM PENGUJI .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Permasalahan .................................................................................. 6
1.3 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................... 7
1.5.2 Manfaat Praktis ..................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edentulus Penuh ............................................................................. 8
2.1.1 Perubahan yang Terjadi pada Rongga Mulut ....................
2.1.2 Resorpsi Linggir Sisa Alveolar ........................................... 2.1.3 Edentulus Penuh pada Rahang Bawah ...............................
9
10
11
2.2 Denture-bearing Area pada Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah 12
2.2.1 Anatomi Struktur Pendukung .............................................. 2.2.1.1 Puncak Linggir Alveolar ......................................... 2.2.1.2 Buccal Shelf ..............................................................
2.2.1.3 Bentuk dari Tulang Pendukung .............................
13
13
14
15
2.2.2 Anatomi Struktur Pembatas ................................................ 2.2.2.1 Vestibulum Labial ................................................... 2.2.2.2 Vestibulum Bukal .................................................... 2.2.2.3 Frenulum Labial .......................................................
18
18
19
19
vii Universitas Sumatera Utara
2.2.2.4 Frenulum Bukal ....................................................... 2.2.2.5 Fossa Retromylohyoid ............................................ 2.2.2.6 Sulkus Alveololingual .............................................
19
19
20
2.3 Perawatan pada Pasien Edentulus Penuh .................................... 2.3.1 Gigi Tiruan Penuh ................................................................
2.3.2 Pemeriksaan Awal Pasien ....................................................
2.3.3 Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah .....................................
20
20
22
24
2.4 Retensi dan Stabilisasi pada Gigi Tiruan Penuh ........................ 2.4.1 Retensi .................................................................................... 2.4.1.1 Pengertian .................................................................
2.4.1.2 Faktor yang Memengaruhi ..................................... 2.4.1.3 Pengukuran Retensi .................................................
25
25
25
26
30
2.4.2 Stabilisasi ............................................................................... 2.4.2.1 Pengertian ................................................................ 2.4.2.2 Faktor yang Memengaruhi .................................... 2.4.2.3 Pengukuran Stabilisasi ...........................................
31
31
32
35
2.5 Kerangka Teori ............................................................................... 2.6 Kerangka Konsep ........................................................................... 2.7 Hipotesis Penelitian ........................................................................
36
37
38
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.2 Populasi Penelitian ......................................................................... 3.3 Sampel Penelitian ...........................................................................
3.3.1 Kriteria Inklusi ......................................................................
3.3.2 Kriteria Eksklusi ................................................................... 3.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 3.4.1 Variabel Bebas ......................................................................
3.4.2 Variabel Terikat .................................................................... 3.4.3 Variabel Terkendali .............................................................. 3.4.4 Variabel Tidak Terkendali ...................................................
39
39
39
40
40
40
40
40
40
41
3.5 Definisi Operasional....................................................................... 3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.7 Prosedur Penelitian .........................................................................
3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian ................................................... 3.7.1.1 Alat Penelitian .......................................................... 3.7.1.2 Bahan Penelitian ......................................................
3.7.2 Cara Penelitian ......................................................................
41
43
43
43
43
45
46
3.8 Analisis Data ................................................................................... 3.9 Kerangka Operasional ....................................................................
52
53
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Distribusi Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh
Rahang Bawah ...............................................................................
54
4.2 Distribusi Retensi dan Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang
viii Universitas Sumatera Utara
Bawah ............................................................................................. 55
4.3 Pengaruh Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh
Rahang Bawah terhadap Retensi dan Stabilisasi ......................
56
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Distribusi Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh
Rahang Bawah ...............................................................................
61
5.2 Distribusi Retensi dan Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah .............................................................................................
64
5.3 Pengaruh Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh
Rahang Bawah terhadap Retensi dan Stabilisasi ......................
66
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 72
6.2 Saran ................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
LAMPIRAN
ix Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Tabel Operasional Variabel Bebas ..............................................
41
2 Tabel Operasional Variabel Terikat ............................................
42
3 Definisi Operasional Variabel Terkendali ..................................
43
4 Definisi Operasional Variabel Tidak Terkendali ......................
43
5 Distribusi Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Pada Pasien
GTP di RSGM USU ......................................................................
54
6 Distribusi Bentuk Dari Linggir Alveolar Pada Pasien GTP di
RSGM USU ...................................................................................
55
7 Distribusi Penilaian Retensi Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah Pada Pasien GTP di RSGM USU ...................................
55
8 Distribusi Penilaian Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah Pada Pasien GTP di RSGM USU ...................................
56
9 Pengaruh Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Rahang Bawah
Terhadap Retensi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada
Pasien GTP di RSGM USU .........................................................
57
10 Pengaruh Bentuk Dari Linggir Alveolar Rahang Bawah
Terhadap Retensi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada
Pasien GTP di RSGM USU .........................................................
58
11 Pengaruh Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Rahang Bawah
Terhadap Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada
Pasien GTP di RSGM USU .........................................................
59
12 Pengaruh Bentuk Dari Linggir Alveolar Rahang Bawah
Terhadap Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada
Pasien GTP di RSGM USU .........................................................
60
x Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Puncak dari linggir alveolar (A) umumnya tersusun dari tulang
cancellous ...........................................................................................
14
2 Buccal shelf memanjang dari frenulum bukal (A) ke retromolar
pad (B) dan dibatasi puncak linggir alveolar (C) ..........................
15
3 Bentuk linggir alveolar pada rahang atas (A) dan bawah (B) ...... 18
4 Gigi tiruan penuh ...............................................................................
21
5 Perpanjangan lateral dari sayap bukal untuk menghasilkan
facial seal ............................................................................................
29
6 Tekanan pada suction cup yang dihasilkan oleh adanya
tabrakan molekul gas yang menyebabkan suction cup kontak
dengan permukaan .............................................................................
30
7 Alat pengukur retensi, push and pull meter (NANBEI China,
Analog Push Pull Force Gauge) .......................................................
31
8 Geometri pada gigi tiruan penuh ......................................................
34
9 Neutral zone pada regio molar .........................................................
35
10 Ball burnisher (Inspire Instrument SS Germany) ..........................
44
11 Mikromotor (Strong 207 Korea) ......................................................
44
12 Push and pull meter (NK-50 50 N Dynamometer Analog Push
Pull Force Gauge Tester Meter) ......................................................
45
13 Bur fraser.............................................................................................
45
14 Loop (diameter 0,7 cm) .....................................................................
45
15 Pemeriksaan resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah ....
47
xi Universitas Sumatera Utara
16 Hasil cetakan dari bentuk linggir alveolar rahang bawah .............
48
17 Gigi tiruan yang sudah dipasang loop dengan resin akrilik .........
49
18 Pemeriksaan retensi gigi tiruan dengan push and pull meter .......
49
19 Gigi tiruan yang sudah dilepaskan dari loop ..................................
50
20 Pemeriksaan stabilisasi gigi tiruan................................................... 50
xii Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1 Surat Izin Penelitian di RSGM USU
2 Surat Keterangan Ethical Clearance
3 Surat Keterangan Selesai Konsultasi Uji Statistik
4 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
6 Kuesioner Penelitian
7 Analisa Statistik
xiii
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehilangan seluruh gigi atau yang sering disebut dengan edentulus penuh
adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan seluruh gigi aslinya.
Kehilangan seluruh gigi sering digunakan sebagai indikator umum untuk menilai
kesehatan penduduk serta kecukupan dari sistem perawatan kesehatan gigi dan mulut
di suatu negara.1
Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
yaitu karies, penyakit periodontal, kebutuhan perawatan ortodontik, injuri trauma, dan
gigi impaksi. Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan kehilangan gigi,
karies dan penyakit periodontal masih merupakan penyebab yang paling utama.2
Di
Indonesia, berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013,
angka prevalensi nasional untuk penyakit gigi dan mulut adalah sebesar 25,9%.3
Kehilangan seluruh gigi nasional pada tahun 2007, usia 35-44 tahun sebesar 0,4% dan
semakin meningkat pada usia 65 tahun ke atas, yaitu 17,6%. Persentase kehilangan
gigi di Sumatera Utara lebih rendah daripada angka nasional yaitu sebesar 0,9%,
sedangkan kehilangan seluruh gigi nasional adalah 1,6%.4
Kondisi edentulus penuh pada dasarnya dapat memengaruhi kesehatan umum,
kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup pasien. Perubahan pada rongga mulut
mempunyai peran klinis yang penting terhadap perawatan nantinya.5 Fenomena
perubahan yang paling terlihat pada pasien dengan edentulus penuh terjadi di tulang
alveolar yang sering disebut dengan residual ridge resorption (RRR). Resorpsi
linggir sisa alveolar adalah istilah yang digunakan untuk berkurangnya kuantitas dan
kualitas linggir sisa setelah gigi-geligi diekstraksi. Resorpsi ini merupakan proses
yang kronis, progresif dan irreversibel dengan laju resorpsi paling cepat dalam enam
bulan pertama setelah ekstraksi.6
Universitas Sumatera Utara
2
Perawatan pada pasien dengan edentulus penuh dapat dilakukan dengan
pembuatan gigi tiruan penuh konvensional. Gigi tiruan lengkap atau gigi tiruan penuh
(GTP) didefinisikan sebagai suatu protesa yang menggantikan keseluruhan gigi-geligi
dan jaringan mulut disekitarnya. Tujuan dari gigi tiruan ini adalah untuk
merehabilitasi sistem stomatognatik.7
Fungsi utama dari GTP adalah untuk
mengembalikan fungsi mastikasi atau pengunyahan pasien, membantu
mengembalikan fonetik, mengembalikan dimensi vertikal normal, dan memberikan
dukungan untuk jaringan lunak wajah, sehingga nantinya akan memberikan estetika
yang optimal dan akan meningkatkan kualitas hidup pasien.8,9,10
Meskipun perawatan
gigi tiruan penuh konvensional tidak dianggap sebagai standar perawatan edentulus
penuh di beberapa negara maju, perawatan ini masih banyak digunakan untuk
penggantian gigi yang hilang. Selain itu, penggunaannya diperkirakan tidak akan
menurun dalam waktu dekat, terutama pada populasi di negara berkembang dengan
keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan dalam terapi GTP konvensional
masih perlu untuk diteliti dan ditingkatkan.11
Parameter keberhasilan perawatan dengan gigi tiruan penuh sebagian besar
sangat tergantung pada pemakaian gigi tiruan tersebut. Satu hal yang sering menjadi
permasalahan dalam perawatan GTP adalah kemampuan pasien untuk memakai dan
beradaptasi terhadap protesa, yang juga masih merupakan sebuah tantangan dalam
perawatan gigi tiruan penuh. Hal ini jika tidak teratasi dengan baik maka sebagian
besar protesa akan dinilai tidak memuaskan oleh pasien dan berdampak pada
kesehatan mulut serta kualitas hidup pasien.12
Keberhasilan perawatan prostodontik
tergantung pada pendekatan profesional dari dokter gigi dan di sisi lain pada motivasi
dan kerja sama dengan pasien. Evaluasi hasil perawatan serta kontrol setelah
pemasangan GTP penting untuk dilakukan. Evaluasi dan kontrol pasca perawatan
dilakukan dengan tujuan untuk membantu mengatasi masalah dan keluhan pasien
terhadap gigi tiruan. Beberapa keluhan yang sering timbul dari pasien setelah
pemasangan gigi tiruan adalah adanya kelonggaran pada gigi tiruan,
ketidaknyamanan, masalah dukungan pada gigi tiruan, masalah yang berhubungan
dengan retensi dan stabilisasi, serta permasalahan lain seperti kesulitan dalam
Universitas Sumatera Utara
3
berbicara, makan, adanya suara ketika makan, perubahan rasa, dan gagging. Salah
satu masalah yang banyak dikeluhkan oleh pasien setelah pemasangan gigi tiruan
adalah adanya masalah pada retensi dan stabilisasi.13
Retensi adalah kualitas yang ada pada gigi tiruan yang bertindak untuk
melawan kekuatan pemindahan sepanjang gigi tiruan ditempatkan.14
Ada beberapa
faktor yang dapat memengaruhi retensi, diantaranya adalah adhesi, kohesi, tegangan
permukaan interfasial, border seal, dan tekanan atmosfer.15,16,17
Sedangkan,
stabilisasi pada gigi tiruan didefinisikan sebagai resistensi gigi tiruan terhadap
pergerakan pada fondasi jaringannya, terutama terhadap gaya lateral (horizontal)
yang berlawanan dengan perpindahan vertikal.18
Beberapa faktor yang memengaruhi
stabilisasi diantaranya adalah permukaan oklusal, permukaan intaglio, permukaan
poles gigi tiruan, dan struktur yang berhubungan.19
Sebagian besar pasien mengeluh
tentang gigi tiruan mereka yang tidak pas yang mungkin disebabkan kurangnya
retensi atau stabilisasi. Selain itu, kurangnya retensi juga akan menyebabkan
ketidakpuasan pasien terkait dengan fungsi gigi tiruan. Hilangnya retensi gigi tiruan
akan mengurangi kemampuan pasien untuk mengunyah.
Namun, keluhan pasien terhadap retensi dan stabilisasi gigi tiruan rahang atas
biasanya lebih sedikit daripada gigi tiruan rahang bawah. Gigi tiruan rahang bawah
sering menjadi fokus dari keluhan pasien, seperti adanya masalah ketidakstabilan,
rasa sakit, dan ketidakmampuan untuk mengunyah, sehingga menimbulkan masalah
dalam adaptasi pasien terhadap gigi tiruannya.13
Dalam penelitian Baat (1997),
adaptasi pasien terhadap gigi tiruan penuh sangat berhubungan pada kondisi protesa,
yang merupakan kombinasi dari kualitas gigi tiruan dan karakteristik dari linggir sisa
alveolar. Sehingga, perbedaan antara evaluasi dokter gigi mengenai kualitas gigi
tiruan dan penilaian subjektif pasien dapat disebabkan dari pemeriksaan atau
penilaian klinis yang kurang tepat pada kualitas permukaan bantalan gigi tiruan atau
denture-bearing surfaces.18
Denture-bearing surfaces atau area adalah daerah basal seat yang
mendukung gigi tiruan penuh atau gigi tiruan sebagian lepasan apabila ada beban
oklusal. Gigi tiruan dan jaringan pendukungnya akan berdampingan dalam waktu
Universitas Sumatera Utara
4
yang cukup lama. Oleh karena itu, dokter gigi harus mengerti sepenuhnya mengenai
anatomi dari jaringan pendukung dan struktur pembatas yang berkaitan karena hal-hal
tersebut merupakan fondasi dari denture-bearing area. Basis gigi tiruan harus
diperluas semaksimal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal dari jaringan.20
Pemeriksaan pada denture-bearing area dilakukan pada pemeriksaan awal
pasien dalam perawatan GTP. Diagnosis dalam perawatan prostodontik
membutuhkan kemampuan umum bagi dokter gigi untuk melakukan diagnosa dan
pengetahuan, baik dalam bidang kedokteran gigi ataupun aspek lain dan ilmu-ilmu
pendukung. Setiap pasien adalah individu yang berbeda dari individu lainnya,
sehingga rongga mulut setiap pasien menyajikan kondisi yang berbeda-beda.15
Informasi yang diperlukan untuk mendapatkan diagnosis dan rencana perawatan yaitu
informasi mengenai identitas pasien, riwayat medis, riwayat dental, pemeriksaan
klinis pasien yang terdiri dari pemeriksaan ekstraoral dan intraoral, dan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan yang berhubungan dengan denture-bearing area dilakukan
pada saat pemeriksaan intraoral.21
Menurut Zarb (2004), denture-bearing area terdiri dari anatomi struktur
pendukung dan pembatas gigi tiruan. Pada rahang atas, anatomi struktur pendukung
terdiri dari tulang pada palatum keras dan sisa linggir alveolar yang ditutupi oleh
membran mukosa. Sedangkan, pada gigi tiruan rahang bawah, didukung oleh puncak
linggir alveolar, buccal shelf, dan bentuk dari struktur atau tulang pendukung.20
Dukungan pada gigi tiruan rahang bawah sangat berkaitan dengan mandibula dan
jaringan lunak yang melapisinya.22
Puncak linggir alveolar yang edentulus adalah area
yang cukup penting sebagai dukungan untuk gigi tiruan. Namun, linggir alveolar sangat
rentan terhadap resorpsi sehingga membatasi potensinya. Kondisi linggir alveolar
sebagai struktur pendukung akan tergantung pada ada atau tidaknya gigi di rongga
mulut. Pasca pencabutan gigi geligi, tulang alveolar akan mengalami resorpsi yang
menyebabkan perubahan bentuk dan berkurangnya ukuran tulang secara terus-
menerus.20
Bentuk linggir alveolar dapat diklasifikasikan menjadi 6 Klas menurut
Cawood dan Howell, yaitu klas I (sebelum pencabutan), klas II (setelah pencabutan),
klas III (well-rounded), klas IV (knife-edge), klas V (low well-rounded), dan klas VI
Universitas Sumatera Utara
5
(depressed).23
Resorpsi tulang alveolar juga akan berpengaruh pula pada respon yang
akan timbul di jaringan tulang yang bersangkutan. Resorbsi tulang alveolar sering
ditemukan pada pasien yang sudah lama kehilangan gigi sehingga resiliensi atau daya
lentur jaringan lunak sekitarnya flabby.24
Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan
linggir alveolar dengan keberhasilan perawatan prostodontik. Pada penelitian Fenlon
(2000), terhadap 723 pasien pemakai gigi tiruan penuh membuktikan bahwa bentuk
dari sisa linggir alveolar memengaruhi kepuasan pasien serta penggunaan gigi tiruan
baru. Dalam studi lain, kepuasan pasien juga berhubungan dengan laju alir saliva,
karakteristik pada otot-otot rongga mulut, dan linggir sisa alveolar pada rahang
bawah.18
Dari penelitian tersebut terlihat bahwa bentuk linggir yang baik akan
berpengaruh dalam meningkatkan penerimaan pasien terhadap gigi tiruan penuh.
Namun, studi pada topik ini masih sangat sedikit dan cukup diragukan.25
Pada
penelitian oleh Van Waas (1990) membuktikan bahwa bentuk linggir sisa alveolar
tidak memengaruhi kepuasan atau penerimaan pasien terhadap gigi tiruan yang mereka
terima.18
Selain itu, dalam penelitian oleh Celebic (2003) menyimpulkan bahwa pasien
dengan bentuk linggir alveolar pada rahang bawah yang sangat baik menilai kepuasan
terhadap gigi tiruannya dengan nilai yang rendah, terutama dalam hal retensi.
Sehingga, tidak ada hubungan yang signifikan antara denture-bearing area terhadap
kepuasan dan penerimaan pasien terhadap gigi tiruan.26
Pada studi lain, terdapat adanya
hubungan antara resiliensi jaringan dari linggir rahang bawah dan kepuasan pasien.
Oleh karena itu, studi pada bidang ini masih dianggap samar-samar dan kekurangan
metodologi standar untuk perbandingannya.25
Berdasarkan informasi yang didapat, diketahui bahwa belum ada penelitian
mengenai pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang bawah
terhadap retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh yang dibuat oleh mahasiswa
kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Gigi Mulut Universitas Sumatera Utara (RSGM
USU), tepatnya di Klinik Prostodonsia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
meneliti mengenai pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah terhadap retensi dan stabilisasi.
Universitas Sumatera Utara
6
1.2 Permasalahan
Setiap tahun jumlah individu yang mengalami edentulus penuh atau
kehilangan seluruh gigi terus meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan perawatan GTP. Dengan adanya peningkatan kebutuhan
perawatan GTP, perlu perhatian terhadap keberhasilan perawatan GTP yang juga
berkaitan dengan penerimaan pasien setelah pemasangan gigi tiruan. Beberapa
masalah yang sering timbul setelah pemasangan gigi tiruan adalah masalah retensi
dan stabilisasi. Rahang bawah dipilih karena lebih sering menjadi fokus keluhan pada
retensi dan stabilisasi dibandingkan dengan gigi tiruan rahang atas. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan
penuh rahang bawah, seperti resiliensi puncak linggir alveolar dan bentuk dari linggir
alveolar terhadap hasil perawatan GTP. Namun, pada penelitian lain menunjukkan
bahwa kondisi rongga mulut seperti linggir alveolar yang baik tidak berhubungan
dengan penerimaan pasien dan belum banyak penelitian yang membahas mengenai
topik tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik dan merasa perlu melakukan
penelitian untuk mengobservasi pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan
penuh rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi pada pasien GTP di RSGM USU
yang dikerjakan oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Prostodonsia. Alasan memilih
RSGM USU sebagai tempat penelitian karena RSGM USU merupakan sebuah rumah
sakit pendidikan yang diperuntukkan bagi pelayanan kesehatan gigi dan mulut
masyarakat.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana distribusi anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah?
2. Bagaimana distribusi retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang
bawah?
3. Apakah ada pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah terhadap retensi dan stabilisasi?
Universitas Sumatera Utara
7
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui distribusi anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh
rahang bawah.
2. Untuk mengetahui distribusi retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang
bawah.
3. Untuk mengetahui pengaruh anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh
rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi peneliti merupakan pengetahuan yang berharga dalam rangka
menambah wawasan keilmuan melalui penelitian dan juga sebagai persiapan peneliti
untuk menjadi mahasiswa kepaniteraan klinik.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Prostodonsia.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai gigi tiruan penuh.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan masyarakat pemakai GTP
dapat melakukan evaluasi pasca perawatan serta kontrol berkala terhadap gigi
tiruannya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi
Departemen Prostodonsia untuk menghasilkan gigi tiruan penuh yang lebih
memuaskan dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu.
Universitas Sumatera Utara
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edentulus Penuh
Edentulus penuh atau kehilangan seluruh gigi adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami kehilangan seluruh gigi aslinya. Pengamatan terhadap
kehilangan seluruh gigi atau edentulus penuh ini penting dilakukan karena merupakan
indikator umum yang digunakan untuk menilai kesehatan penduduk dan juga fungsi
serta kecukupan dari sistem perawatan kesehatan gigi dan mulut di suatu negara.1
Penelitian yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) pada tahun 2011-2012 di Amerika menunjukkan hampir 19% orang
dewasa berumur 65 tahun keatas mengalami kehilangan gigi seluruhnya.27
Persentase
individu yang mengalami edentulus dua kali lebih banyak pada mereka yang berumur
75 tahun keatas (26%) dibandingkan orang dewasa berumur 65-74 tahun (13%).
Prevalensi kehilangan seluruh gigi hampir sama antara laki-laki (18%) dan
perempuan (19%).28
Di Indonesia, berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2013, angka prevalensi nasional untuk penyakit gigi dan
mulut adalah sebesar 25,9%.3 Kehilangan seluruh gigi nasional tahun 2007 pada usia
35-44 tahun sebesar 0,4% dan semakin meningkat pada usia 65 tahun ke atas, yaitu
17,6%. Persentase kehilangan gigi di Sumatera Utara lebih rendah daripada angka
nasional yaitu sebesar 0,9%, sedangkan kehilangan seluruh gigi nasional adalah
1,6%.4
Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya yaitu
karies, penyakit periodontal, kebutuhan perawatan ortodontik, injuri trauma, dan gigi
impaksi.2 Dalam beberapa penelitian sebelumnya, usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, kesenjangan sosial dan
geografis, faktor kebiasaan seperti merokok, dan sikap pasien dan dokter gigi
terhadap status kesehatan mulut termasuk beberapa faktor risiko kehilangan gigi
yang paling sering terjadi.1,2
Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
9
kehilangan gigi, karies dan penyakit periodontal masih merupakan penyebab yang
paling utama dan menjadi salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia.2
Kehilangan seluruh gigi dapat menimbulkan berbagai dampak, mulai dari
dampak fisik, seperti hilangnya fungsi pengunyahan dan asupan gizi terganggu,
sosial, sampai dampak psikologis. Orang dengan edentulus penuh cenderung
menghindari untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dikarenakan adanya rasa
malu untuk berbicara, tersenyum, bahkan makan di depan orang lain sehingga
perilaku ini dapat mengarah ke isolasi diri. Dalam penelitian terdahulu, Fiske (1998)
mengatakan bahwa mereka mengalami penurunan kepercayaan diri, penuaan yang
lebih dini, perubahan citra diri, dan perubahan perilaku dalam bersosialisasi dan
membentuk suatu hubungan.29
Pada kehilangan seluruh gigi atau edentulus penuh dapat dilakukan perawatan
dengan pembuatan gigi tiruan penuh konvensional ataupun perawatan gigi tiruan
yang berhubungan dengan implan. Namun, perawatan dengan gigi tiruan penuh
konvensional saat ini masih banyak digunakan untuk penggantian gigi yang hilang.
Selain itu, penggunaannya diperkirakan tidak akan menurun dalam waktu dekat,
terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang dengan adanya keterbatasan
ekonomi.11
2.1.1 Perubahan yang Terjadi pada Rongga Mulut
Kondisi edentulus penuh pada dasarnya dapat memengaruhi kesehatan umum,
kesehatan rongga mulut dan pada saat yang sama memengaruhi kualitas hidup secara
keseluruhan. Perubahan pada pasien, terutama pada rongga mulut mempunyai peran
klinis yang penting terhadap perawatan nantinya. Beberapa perubahan ini membuat
prosedur klinis tertentu menjadi lebih sulit dan akan mengurangi prognosisnya.
Perubahan anatomi yang terjadi setelah ekstraksi pada edentulus penuh dapat
terjadi pada intraoral maupun ekstraoral. Setelah kehilangan gigi, pada umumnya
tinggi dan lebar tulang alveolar akan berkurang. Hal ini terlihat secara nyata setelah
ekstraksi gigi, namun prosesnya tetap berkelanjutan. Tulang alveolar mengalami
perubahan berupa hilangnya mineral tulang oleh karena usia melalui resorpsi matriks
Universitas Sumatera Utara
10
tulang dan proses ini berlanjut dikarenakan adanya kehilangan gigi. Kondisi
edentulus juga ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap resorpsi
linggir alveolar yang akan mengarah pada pengurangan ukuran denture-bearing
area. Berkurangnya tinggi dan lebar dari tulang alveolar akan menyebabkan
perubahan pada profil jaringan lunak, seperti protrusi dari bibir bawah dan dagu.
Selama proses kehilangan tulang, struktur anatomi lainnya, seperti mylohyoid
ridge dan genial tubercle dapat berubah menjadi lebih menonjol. Mukosa yang
melapisi daerah ini cukup tipis, sehingga tidak mampu menahan beban fungsional,
sehingga rasa sakit yang timbul dari daerah ini terkadang membutuhkan bedah untuk
mengurangi penonjolan tulang.5
Perubahan degeneratif pada anatomi pada pasien bervariasi. Etiologinya
diduga merupakan kombinasi dari faktor lokal dan sistemik, termasuk usia, jenis
kelamin, lama edentulus, kebiasaan parafungsional, kesehatan umum, dan beberapa
penyakit sistemik.30
2.1.2 Resorpsi Linggir Sisa Alveolar
Residual ridge atau linggir sisa adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan linggir alveolar klinis setelah penyembuhan tulang dan jaringan
lunak setelah ekstraksi. Setelah proses ekstraksi, terjadi perubahan yang cukup
signifikan pada tulang alveolar. Fenomena perubahan yang terjadi pada tulang
alveolar ini sering disebut dengan residual ridge resorption (RRR). Residual ridge
resorption adalah istilah yang digunakan untuk berkurangnya kuantitas dan kualitas
linggir sisa setelah gigi-geligi diekstraksi. Resorpsi ini merupakan proses yang
kronis, progresif dan irreversibel dengan laju resorpsi paling cepat dalam enam bulan
pertama setelah ekstraksi.6 Resorpsi linggir alveolar yang terjadi setelah ekstraksi
gigi adalah proses yang kompleks dan multifaktorial. Faktor mekanis, metabolisme,
nutrisi, hormonal adalah beberapa faktor-faktor yang terlibat dan memiliki efek dari
waktu ke waktu. Menurut Atwood, kecepatan resorpsi tulang alveolar bervariasi
antar individu. Resorpsi paling besar terjadi pada gigi anterior atas dan bawah pada
enam bulan pertama setelah ekstraksi. Sesudah tiga tahun, resorpsi pada rahang atas
Universitas Sumatera Utara
11
sangat kecil dibandingkan rahang bawah.31
Selain itu, dalam sebuah studi
longitudinal, Tallgren (1972) menyatakan bahwa resorpsi tulang pada rahang bawah
empat kali lebih besar dibandingkan dengan rahang atas.5
Resorpsi ini akan menyebabkan perubahan bentuk dan berkurangnya ukuran
tulang alveolar secara terus-menerus. Perubahan bentuk dari tulang alveolar tidak
hanya terjadi pada permukaan tulang alveolus dalam arah vertikal saja tetapi juga
dalam arah labiolingual atau labiopalatal dari posisi awal yang menyebabkan tulang
menjadi rendah, membulat, atau datar.32 Puncak tulang alveolar yang mengalami
resorpsi, pada umumnya akan berubah bentuk menjadi cekung, datar atau seperti
ujung pisau. Resorpsi berlebihan pada puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk
linggir yang datar akibat hilangnya lapisan kortikalis tulang. Resorpsi linggir yang
berlebihan dan berkelanjutan merupakan masalah karena menyebabkan fungsi gigi
tiruan penuh kurang baik dan terjadinya ketidakseimbangan oklusi.31
Proses resorpsi tulang alveolus dipengaruhi beberapa faktor etiologi. Zarb
(2012) membaginya atas tiga kategori yaitu faktor anatomis, faktor prostodontik, dan
faktor sistemik. Faktor anatomis terjadi karena resorpsi pada mandibula empat kali
lebih besar daripada pada maksila serta wajah yang pendek dan persegi
menyebabkan besarnya beban pengunyahan. Faktor prostodontik disebabkan karena
adanya penggunaan gigi tiruan secara intensif, keadaan oklusi yang tidak stabil,
kesalahan penempatan gigi posterior, dan penggunaan gigi tiruan yang tidak pas,
sedangkan faktor sistemik yaitu penyakit yang memengaruhi proses pembentukan
tulang seperti osteoporosis, defisiensi vitamin D, dan kelainan metabolisme fosfat
atau kalsium.32
2.1.3 Edentulus Penuh pada Rahang Bawah
Anatomi pada rahang bawah dengan edentulus penuh memberikan tantangan
dalam proses adaptasi pasien terhadap gigi tiruan penuh konvensional. Beberapa
faktor yang memengaruhi kondisi tersebut berhubungan dengan kondisi edentulus
pada rahang bawah, yaitu meliputi mukosa tipis yang melapisi linggir alveolar, area
pendukung yang kurang, pergerakan dari mandibula, serta faktor lain seperti adanya
Universitas Sumatera Utara
12
mobilitas dari dasar rongga mulut.33
Edentulus pada rahang bawah yang memiliki
bentuk linggir seperti tapal kuda (horseshoe-shaped), luas permukaannya lebih kecil
apabila dibandingkan dengan rahang atas. Pada rahang atas, luas permukaan sangat
bergantung pada luas palatum dan dapat membentuk peripheral seal, sehingga dapat
mempertahankan gigi tiruan penuh.34
Ditambah lagi, palatum pada rahang atas cukup
stabil dengan jaringan fibrosa tebal untuk mendukung gigi tiruan dan menahan
kekuatan oklusal. Selain itu, rahang atas menunjukkan mobilitas yang jauh lebih
sedikit di perbatasan gigi tiruan dibandingkan dengan rahang bawah. Adanya lidah
dan otot orofasial juga cenderung menjadi kendala dalam menangani edentulus pada
rahang bawah. Perbedaan-perbedaan ini menjelaskan sebagian besar alasan mengapa
penanganan pada edentulus rahang bawah lebih sulit jika dibandingkan dengan
rahang atas.33
2.2 Denture-bearing Area pada Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Gigi tiruan dan jaringan pendukungnya akan berdampingan dalam waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu, dokter gigi harus mengerti sepenuhnya mengenai
anatomi dari jaringan pendukung dan struktur pembatas yang berkaitan karena hal-
hal tersebut merupakan fondasi dari denture-bearing surfaces atau area. Menurut
Baat (1997), adaptasi pasien terhadap gigi tiruan penuh sangat berhubungan dengan
keadaan protesa, yang merupakan kombinasi dari kualitas gigi tiruan dan
karakteristik sisa linggir alveolar. Oleh karena itu, adanya perbedaan dalam evaluasi
dokter gigi terhadap kualitas gigi tiruan dan pendapat pasien dapat disebabkan oleh
adanya pemeriksaan yang tidak tepat terhadap kualitas denture-bearing area.18
Denture-bearing area pada rahang bawah memiliki luas yang lebih kecil, yaitu 14
cm2, sedangkan pada rahang atas lebih besar yaitu 24 cm
2. Ini berarti rahang bawah
memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menahan kekuatan oklusal jika
dibandingkan dengan rahang atas. Selain itu, keberadaan lidah juga mempersulit
pembuatan dan prosedur pencetakan dari gigi tiruan pada rahang bawah, sehingga
gigi tiruan rahang bawah perlu perhatian khusus dalam proses pembuatannya.
Universitas Sumatera Utara
13
Menurut Zarb (2004), denture-bearing area pada rahang bawah, terdiri dari anatomi
dari struktur pendukung dan struktur pembatas.20
2.2.1. Anatomi Struktur Pendukung
2.2.1.1 Puncak linggir alveolar
Puncak dari linggir sisa alveolar dilapisi oleh jaringan ikat fibrosa dengan
tulang cancellous dibawahnya. Membran mukosa yang menutupi puncak linggir
alveolar berupa lapisan keratinisasi yang melekat pada submukosa ke periosteum
pada rahang bawah. Epitelnya berupa epitel skuamosa berlapis berkeratin. Luas dari
perlekatannya berbeda-beda pada setiap individu. Pada submukosa tidak terdapat
adanya sel-sel glandular atau lemak, dan memiliki karakteristik khusus berupa serat
kolagen yang padat dan berdekatan dengan lamina propria. Pada sebagian orang,
submukosa melekat longgar terhadap tulang sampai ke puncak linggir alveolar, dan
jaringan lunak mudah bergerak. Pada sebagian lainnya, submukosa melekat kuat
kepada tulang, baik pada puncak linggir maupun lereng pada linggir alveolar rahang
bawah. Walaupun lapisan submukosa cukup tipis pada linggir alveolar jika
dibandingkan dengan bagian rongga mulut lain, lapisan ini masih cukup tebal untuk
memberikan resiliensi yang adekuat sebagai dukungan gigi tiruan.
Puncak dari linggir alveolar yang edentulus adalah area yang cukup penting
sebagai dukungan untuk gigi tiruan. Namun, linggir alveolar sangat rentan terhadap
resorpsi sehingga membatasi potensinya, tidak seperti palatum yang cukup resisten
terhadap resorpsi. Resorpsi tulang alveolar akan berpengaruh pula terhadap respon
yang akan timbul pada jaringan tulang yang bersangkutan. Resorbsi tulang alveolar
sering ditemukan pada pasien yang sudah lama kehilangan gigi sehingga jaringan
lunak sekitarnya yang flabby.35
Membran mukosa pada puncak linggir alveolar
rahang bawah, apabila melekat dengan baik pada tulang dibawahnya, maka akan
memberikan jaringan lunak yang dapat memberikan dukungan yang baik. Namun,
membran mukosa dengan perlekatan yang longgar tidak dapat menahan kekuatan
mastikasi yang disalurkan melalui basis gigi tiruan.20
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 1. Puncak dari linggir alveolar (A) umumnya
tersusun dari tulang cancellous20
Resiliensi jaringan pada puncak linggir alveolar dapat dikategorikan menjadi
resilien dan flabby. Resiliensi pada puncak linggir alveolar dikatakan resilen apabila
kukuh, cekat, dan resisten ketika dilakukan palpasi. Sedangkan, dikatakan flabby
apabila ada mobiliti atau pergerakan pada mukosa linggir ketika dilakukan palpasi.18
2.2.1.2 Buccal Shelf
Daerah diantara frenulum bukal pada rahang bawah dan tepi anterior pada
otot masseter diketahui sebagai buccal shelf. Pada bagian medial dibatasi oleh
puncak dari linggir alveolar, lateral dibatasi oleh external oblique ridge, dan pada
bagian distal dibatasi oleh retromolar pad. Lebar dari dukungan tulang pada daerah
ini akan semakin besar apabila resorpsi linggir berlanjut, hal ini dikarenakan lebar
dari perbatasan inferior rahang bawah lebih besar daripada lebar prosesus alveolaris.
Membran mukosa yang melapisi buccal shelf perlekatannya lebih longgar dan
keratinisasinya lebih sedikit daripada membran mukosa yang melapisi linggir
alveolar. Bagian inferior dari otot buccinator melekat pada buccal shelf dan serat
juga ditemukan pada submukosa yang melapisi tulang dibawahnya. Tulang yang
berada dibawah buccal shelf merupakan tulang kortikal.
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar 2. Buccal shelf memanjang dari frenulum
bukal (A) ke retromolar pad (B) dan
dibatasi puncak linggir alveolar (C)20
2.2.1.3 Bentuk dari tulang pendukung
Bentuk dari tulang yang membentuk dukungan pada gigi tiruan rahang bawah
berbeda-beda pada setiap individu. Faktor yang memengaruhinya adalah ukuran dan
konsistensinya, kondisi kesehatan umum seseorang, tekanan yang ditimbulkan oleh
otot disekitarnya, keparahan dari penyakit periodontal, dan lamanya seseorang dalam
kondisi edentulus. Pada rahang atas, resorpsi terjadi ke arah atas dan dalam,
mengikuti arah dari akar gigi dan prosesus alveolaris. Sedangkan pada rahang bawah,
resorpsi terjadi ke arah luar dan semakin lama resorpsi terjadi, maka akan semakin
lebar.
Kondisi linggir alveolar akan tergantung pada ada atau tidaknya gigi di
rongga mulut. Pasca pencabutan gigi geligi, tulang alveolar akan mengalami resorpsi
yang menyebabkan perubahan bentuk dan berkurangnya ukuran tulang secara terus-
menerus. Resorpsi setelah pencabutan gigi pada awalnya akan berlangsung cepat,
lalu akan melambat seiring berjalannya waktu. Ketika gigi sudah tidak ada dalam
Universitas Sumatera Utara
16
waktu yang cukup lama, linggir alveolar dapat berubah menjadi kecil dan pada
puncak linggir akan kekurangan permukaan tulang kortikal yang halus di bawah
mukosanya.20
Perubahan bentuk tulang ini tidak hanya terjadi pada permukaan tulang
alveolus dalam arah vertikal saja tetapi juga dalam arah labio-lingual atau palatal dari
posisi awal yang menyebabkan tulang alveolus menjadi rendah, membulat, atau
datar. Perubahan bentuk yang berhubungan dengan usia lebih mudah ditandai pada
individu edentulus penuh. Perubahan ini bervariasi diantara masing-masing
individu.32
Terdapat beberapa anatomi pada rahang bawah sebagai faktor yang dapat
memengaruhi bentuk dari struktur atau tulang pendukung:
1. Mylohyoid ridge
Jaringan lunak biasanya akan menyebabkan bentuk atau ketajaman dari
mylohyoid ridge tidak terlihat. Bentuk dan inklinasi dari linggir bervariasi pada
masing-masing individu. Pada bagian anterior mylohyoid ridge berlekatan dengan
otot mylohyoid, terletak dekat dengan batas inferior dari mandibula. Pada bagian
posterior, setelah resorpsi, akan terletak sama rata dengan permukaan superior dari
sisa linggir alveolar. Membran mukosa yang berada diatas mylohyoid ridge yang
tajam atau irregular akan mudah terkena trauma dari basis gigi tiruan, kecuali
dilakukan relief. Daerah dibawah mylohyoid ridge undercut.
2. Foramen mental
Ketika terjadi resorpsi, maka foramen mental akan mendekat ke puncak dari
linggir alveolar. Dalam keadaan ini, saraf mentalis dan juga pembuluh darah akan
tertekan oleh basis gigi tiruan, maka dari itu diperlukan relief. Tekanan pada saraf
mentalis akan menyebabkan mati rasa pada bibir bagian bawah.
3. Genial tubercles
Sama seperti foramen mentalis, genial tubercles akan mendekat ke puncak
linggir alveolar ketika terjadi resorpsi. Selain itu, dengan terjadinya resorpsi, genial
tubercles akan semakin menonjol.
Universitas Sumatera Utara
17
4. Torus mandibularis
Torus mandibularis adalah penonjolan tulang yang biasanya ditemukan pada
bagian lingual dari mandibula, tepatnya didekat gigi premolar satu dan dua, berada
diantara jaringan lunak dari dasar mulut dan puncak dari prosesus alveolaris. Pada
pasien yang edentulus, ketika resorpsi telah terjadi, torus mandibularis batas superior
dari torus dapat terletak sejajar dengan puncak dari linggir alveolar. Torus
mandibularis dilapisi oleh membran mukosa yang sangat tipis. Pada umumnya, torus
mandibularis harus dihilangkan dengan bedah, karena akan sulit untuk melakukan
relief pada gigi tiruan tanpa merusak border seal.
Ada beberapa klasifikasi stage atropi yang juga menggambarkan bentuk
linggir alveolar. Cawood dan Howell (1988) membaginya atas enam klas, yaitu23
:
1. Klas I (Dentate)
Linggir alveolar klas I adalah kondisi linggir sebelum pencabutan, dimana
gigi masih berada didalam soket alveolar.
2. Klas II (Post extraction)
Linggir alveolar klas II adalah kondisi linggir setelah pencabutan, dimana
soket bekas pencabutan masih terlihat dengan jelas.
3. Klas III (Well-rounded ridge)
Linggir alveolar klas III berbentuk seperti huruf U dengan tinggi serta lebar
linggir masih adekuat. Soket setelah pencabutan telah diisi sepenuhnya dengan
tulang yang baru terbentuk. Bentuk alveolus asli terlihat lagi dan bagian atas proses
alveolar menjadi bulat karena tanda-tanda pertama dari resorpsi. Namun, tidak ada
pengurangan ketinggian linggir yang terlalu mencolok.
4. Klas IV (Knife-edge ridge)
Bentuk puncak linggir alveolar berubah menjadi tipis dan tajam berbentuk
knife-edge, tinggi adekuat, tetapi lebar sudah tidak adekuat.
5. Klas V (Low well-rounded ridge)
Linggir berbentuk datar, resorpsi lebih lanjut sudah terjadi dan mengarah ke
low well-rounded yang rata tetapi sudah berkurang tinggi dan lebarnya.
Universitas Sumatera Utara
18
6. Klas VI (Depressed ridge)
Berbentuk cekung atau depressed. Adanya atrofi yang berlanjut dari sisa
krista menghasilkan bentuk tulang yang cekung, dimana tulang basal
menunjukkan tanda-tanda reduksi.
Gambar 3. Bentuk linggir alveolar pada rahang atas
(A) dan bawah (B)23
2.2.2 Anatomi Struktur Pembatas
2.2.2.1 Vestibulum Labial
Vestibulum labial adalah ruang diantara linggir alveolar dengan bibir.
Panjang dan ketebalan dari sayap labial gigi tiruan yang menempati ruang ini
bervariasi tergantung dengan banyaknya jaringan yang hilang dan sangat penting
dalam memengaruhi dukungan pada bibir.20,36
Vestibulum labial berjalan dari
frenulum labial sampai ke frenulum bukal. Otot aktif yang berada didekat daerah ini
adalah otot mentalis.
Universitas Sumatera Utara
19
2.2.2.2 Vestibulum Bukal
Vestibulum bukal memanjang dari frenulum bukal sampai ke area retromolar
secara posterior. Vestibulum bukal dibatasi sisa linggir alveolar pada satu sisi dan
buccinator pada sisi lainnya. Pada batas distobukal, diakhir vestibulum bukal, harus
menutupi sepenuhnya untuk mencegah perpindahan yang disebabkan oleh otot
masseter yang serat anteriornya berada di luar dan belakang otot buccinator. Ketika
otot masseter berkontraksi, otot ini akan mendorong ke dalam, melawan otot
buccinator yang nantinya akan menghasilkan tonjolan di dalam mulut. Tonjolan ini
dapat dicetak hanya ketika otot masseter berkontraksi dan terlihat sebagai notch atau
takik pada sayap gigi tiruan yang biasanya disebut dengan masseteric notch.36
2.2.2.3 Frenulum Labial
Frenulum labial adalah seikat jaringan fibrosa yang juga terdapat pada rahang
atas. Frenulum ini dipengaruhi oleh otot orbicularis oris. Berbeda dengan frenulum
labial pada rahang atas, frenulum labial pada rahang bawah lebih aktif. Frenulum ini
mendapat perlekatan dari otot orbicularis oris, sehingga bagian ini cukup aktif dan
sensitif. Dalam pembukaan mulut, sulkus akan menyempit. Oleh karena itu, hasil
cetakan paling sempit berada di regio anterior labial.36
2.2.2.4 Frenulum Bukal
Frenulum bukal berada diatas dari depressor anguli oris. Serat dari otot
buccinator melekat pada frenulum ini. Pada frenulum bukal harus dilakukan relief
untuk mencegah perpindahan dari gigi tiruan pada saat berfungsi.36
2.2.2.5 Fossa Retromylohyoid
Fossa retromylohyoid terletak pada bagian posterior dari sulkus
alveololingual. Fossa ini dibatas oleh retromylohyoid curtain pada bagian anterior,
konstriktor superior dari faring pada bagian posterolateral, palatoglossus dan
permukaan lateral dari lidah pada bagian posteromedial, dan kelenjar submandibular
pada bagian inferior.
Universitas Sumatera Utara
20
Gigi tiruan pada bagian posterior harus mencakup sampai ke kontak dari
retromylohyoid curtain ketika ujung lidah ditempatkan pada bagian depan dari
linggir alveolar rahang atas. Protrusi dari lidah akan menyebabkan retromylohyoid
curtain bergerak maju.36
2.2.2.6 Sulkus Alveololingual
Sulkus alveololingual adalah ruangan antara linggir alveolar dengan lidah,
memanjang dari frenulum lingual sampai ke retromylohyoid curtain.36
Sulkus
alveololingual dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Daerah anterior
Sulkus alveololingual memanjang dari frenulum lingual sampai ke fossa
premylohyoid. Sayap gigi tiruan lebih pendek di bagian anterior dan harus menyentuh
mukosa dari dasar mulut ketika ujung lidah menyentuh gigi insisivus atas.
2. Daerah pertengahan
Sulkus alveololingual memanjang dari fossa premylohyoid sampai ke distal
dari mylohyoid ridge. Bagian ini lebih dangkal dari bagian sulkus lainnya, karena
adanya tonjolan dari mylohyoid ridge dan aktivitas dari otot mylohyoid.
3. Daerah posterior
Dibatasi oleh otot mylohyoid pada bagian anterior, pada bagian posterolateral
dibatasi oleh konstriktor superior, palatoglossus pada posteromedial, dan lidah pada
medial.
2.3 Perawatan pada Pasien Edentulus Penuh
2.3.1 Gigi Tiruan Penuh
Gigi tiruan lengkap atau gigi tiruan penuh (GTP) didefinisikan sebagai suatu
protesa yang menggantikan keseluruhan gigi-geligi dan jaringan mulut disekitarnya.
Tujuan dari gigi tiruan ini adalah untuk merehabilitasi sistem stomatognatik. Gigi
tiruan penuh tidak hanya meningkatkan sistem pengunyahan pasien yang edentulus,
tetapi juga fonetik serta penampilan dari pasien. Oleh karena itu, jenis rehabilitasi ini
dapat meningkatkan kualitas hidup dan aktivitas sosial pasien.7
Gigi tiruan penuh
Universitas Sumatera Utara
21
konvensional adalah perawatan sering dipilih untuk kasus kehilangan seluruh gigi
karena biaya perawatannya yang relatif murah dibandingkan overdenture atau
perawatan gigi tiruan yang berhubungan dengan implan.37
Gambar 4. Gigi tiruan penuh38
Fungsi utama dari GTP adalah untuk mengembalikan fungsi mastikasi,
fonetik, dan estetis:
1. Mastikasi
Salah satu tujuan dalam perawatan dengan gigi tiruan penuh adalah untuk
mengembalikan fungsi mastikasi atau pengunyahan pasien. Fungsi pengunyahan
yang tepat sangat penting, karena pengunyahan akan memengaruhi pencernaan pada
makanan. Proses mastikasi berperan dengan cara mengurangi ukuran makanan dan
mengubahnya menjadi bolus yang homogen sehingga dapat ditelan. Fungsi
pengunyahan yang tepat juga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.8
2. Fonetik
Pemakaian gigi tiruan penuh dapat membantu mengembalikan fonetik pada
pasien yang edentulus. Gigi tiruan penuh dapat mengembalikan pengucapan huruf-
huruf yang dihasilkan melalui bantuan gigi, bibir, lidah seperti dari lidah ke palatum
(d, n, t), lidah ke gigi (l, th), gigi ke gigi (s, sh, z), gigi ke bibir (f, v), dan bibir ke
bibir (b, m, p).9
Universitas Sumatera Utara
22
3. Estetis
Estetika dalam cabang ilmu prostodontik dapat didefinisikan sebagai suatu
filosofi yang berhubungan dengan kecantikan. Mengembalikan kembali senyum
pasien yang edentulus dianggap sebagai salah satu capaian dalam perawatan
prostodontik, karena senyum adalah bagian integral dari wajah. Tujuan utamanya
adalah untuk mengganti gigi yang hilang, mengembalikan dimensi vertikal normal,
dan memberikan dukungan untuk jaringan lunak wajah, sehingga nantinya akan
memberikan estetika yang optimal bagi pasien dan akan meningkatkan kepercayaan
diri serta kualitas hidup pasien.10
Gigi tiruan penuh juga memiliki beberapa indikasi dan kontraindikasi. Beberapa
indikasi untuk perawatan gigi tiruan penuh adalah38
:
1. Kehilangan seluruh gigi pada salah satu rahang atau keduanya.
2. Pasien yang tidak dapat melakukan perawatan dengan dental implant
dikarenakan adanya masalah keuangan, riwayat penyakit sistemik, atau
adanya kerusakan pada struktur vital, seperti saraf dan pembuluh darah.
3. Kanker intraoral yang telah menyebabkan hilangnya jaringan intraoral yang
parah, sehingga pada lengkung gigi yang edentulus, protesa gigi tiruan
lengkap fungsinya tidak hanya menggantikan gigi, tetapi juga mengisi bagian
dari jaringan yang hilang, seperti nasofaring dan palatum keras.
Beberapa kontraindikasi untuk perawatan gigi tiruan penuh adalah:
1. Pasien tidak ingin menggunakan piranti lepasan untuk menggantikan gigi-gigi
yang hilang.
2. Pasien mempunyai alergi terhadap bahan akrilik yang digunakan sebagai
bahan pembuatan basis gigi tiruan penuh.
3. Pasien mempunyai refleks muntah yang parah.
2.3.2 Pemeriksaan Awal Pasien
Untuk memiliki dugaan prognosis yang baik, perawatan dalam kedokteran
gigi memerlukan perencanaan awal yang tepat. Perencanaan ini termasuk diagnosis,
pemeriksaan yang teliti, dan membuat rencana perawatan. Keberhasilan perawatan
Universitas Sumatera Utara
23
gigi tiruan penuh dimulai dengan adanya pemeriksaan secara menyeluruh, yaitu
terhadap fisik dan kondisi psikologis pasien, yang nantinya akan menghasilkan
perawatan yang baik, berupa gigi tiruan penuh yang fungsional dan memenuhi
harapan pasien. Setiap pasien adalah individu yang berbeda dari individu lain,
sehingga rongga mulut setiap pasien memiliki kondisi yang berbeda-beda dari satu
dengan yang lainnya. DeVan (1942) menyatakan bahwa “the dentist should meet the
mind of the patient before he meets the mouth of the patient”, artinya bahwa dokter
gigi harus memahami pasien terlebih dahulu, baik motivasinya, keinginannya,
riwayat mengenai keadaan edentulusnya, ataupun perawatan yang pernah dilakukan
untuk mengatasi keluhannya.
Permasalahannya adalah bagaimana mengidentifikasi atau membuat gigi
tiruan yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien melalui pemeriksaan. Oleh
karena itu, agar mendapatkan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat,
pemeriksaan menyeluruh meliputi pemeriksaan ekstraoral dan intraoral
dikombinasikan dengan evaluasi psikologis pasien sangat penting untuk dilakukan.39
Hal-hal berikut harus dievaluasi untuk mendapatkan diagnosis dan rencana
perawatan yang adekuat21
:
1. Identitas pasien
Identitas pasien yang penting untuk diketahui terdiri dari nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, alamat, dan nomor telepon.
2. Riwayat medis
Riwayat medis berperan besar terhadap prognosis penyakit pasien. Beberapa
penyakit sistemik yang dapat memengaruhi perawatan gigi tiruan penuh diantaranya
adalah diabetes mellitus, anemia, penyakit yang berhubungan dengan kekurangan
nutrisi, adanya terapi radiasi, penyakit sendi, kardiovaskular, hipertensi, penyakit
jantung, paru-paru, dan lainnya.
3. Riwayat dental
Pada riwayat dental, perlu ditanyakan mengenai alasan kehilangan seluruh gigi,
seperti penyakit periodontal, karies gigi, atau penyebab lainnya. Keluhan utama
pasien termasuk didalamnya karena rencana perawatan akan sangat bergantung pada
Universitas Sumatera Utara
24
tahap ini. Pengalaman pasien yang sudah memakai gigi tiruan sebelumnya, alasan
mengapa pasien memerlukan gigi tiruan baru, jumlah, durasi pemakaian, informasi
terkait estetik, fonetik, mastikasi, retensi, dan vertikal dimensi gigi tiruan
sebelumnya penting untuk diketahui. Terakhir, gigi tiruan yang ada harus dievaluasi
dan dokter gigi perlu mendiskusikan mengenai apa yang pasien harapkan dengan gigi
tiruan barunya. Selain itu, dalam tahap ini dokter gigi juga melakukan evaluasi
terhadap psikologis pasien. MM House (1950) mengklasifikasi psikologis pasien
menjadi empat kategori, yaitu philosophical, exacting, hysterical, dan indifferent.
4. Pemeriksaan klinis
a. Pemeriksaan ekstraoral
Pemeriksaan ekstraoral dilakukan terhadap bentuk wajah, profil wajah, simetri
wajah, tinggi wajah, otot wajah, warna kulit, ketebalan dan panjang dari bibir, dan
sendi temporomandibular.
b. Pemeriksaan intraoral
Pemeriksaan intraoral dilakukan terhadap bentuk lengkung rahang, bentuk linggir
sisa alveolar, mukosa, daya lentur jaringan, relasi linggir alveolar, jarak antar rahang,
mukosa, bentuk dari palatum, tuberositas maksila, saliva, ukuran lidah, dan
perlekatan frenulum.
5. Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan radiografi akan memberikan informasi mengenai keberadaan sisa akar
yang tertinggal, adanya foreign bodies atau benda asing, kondisi patologis dan keadaan
osteoporosis menyeluruh pada tulang pendukung. Pemeriksaan radiografi yang
dilakukan adalah radiografi panoramik yang pada umumnya bertujuan untuk melihat
resorpsi dari linggir alveolar.
2.3.3 Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Gigi tiruan penuh rahang bawah memiliki tantangan yang lebih besar dari gigi
tiruan penuh rahang atas dalam aspek teknisnya bagi dokter gigi dan sering
merupakan tantangan dalam pemakaiannya bagi pasien. Ditambah lagi, adanya lidah
dengan variasi ukuran, bentuk, dan aktivitas pada masing-masing individu yang akan
Universitas Sumatera Utara
25
mempersulit prosedur pencetakan dalam pembuatan gigi tiruan dan kemampuan
pasien untuk mengendalikan gigi tiruannya. Retensi dari gigi tiruan penuh rahang
bawah akan selalu terganggu oleh pergerakan lidah.20
Oleh karena itu, sudah tidak dapat dihindari lagi bahwa ada potensi masalah
atau keluhan yang akan muncul setelah pemasangan gigi tiruan penuh, terutama pada
gigi tiruan penuh rahang bawah. Masalah-masalah ini mungkin bersifat sementara
dan sebagian besar diabaikan oleh pasien atau mungkin cukup serius sehingga pasien
tidak dapat mentoleransi gigi tiruannya. Ketika suatu keluhan muncul dalam
pemakaian gigi tiruan, penting agar permasalahan tersebut diselesaikan secara
sistematis dan logis. Riwayat mengenai kondisi pasien dan pemeriksaan rongga
mulut yang cermat harus dilakukan agar diagnosis akurat dan perencanaan perawatan
dapat disusun dengan tepat. Beberapa keluhan yang sering timbul dari pasien setelah
pemasangan gigi tiruan adalah adanya ketidaknyamanan, masalah dukungan pada
gigi tiruan, masalah yang berhubungan dengan retensi dan stabilisasi, serta
permasalahan lain seperti kesulitan dalam berbicara, makan, adanya suara ketika
makan, perubahan rasa, dan gagging.
Gigi tiruan rahang bawah sering menjadi fokus dari keluhan pasien seperti
adanya ketidakstabilan dan masalah pada retensi, rasa sakit, dan ketidakmampuan
mengunyah, sehingga dalam pembuatannya memerlukan perhatian khusus.13
2.4 Retensi dan Stabilisasi pada Gigi Tiruan Penuh
2.4.1 Retensi
2.4.1.1 Pengertian
Glossary of Prosthodontics mendefinisikan retensi sebagai kualitas yang ada
pada gigi tiruan untuk bertindak melawan kekuatan pemindahan sepanjang gigi
tiruan ditempatkan.40
Kekuatan yang menjaga gigi tiruan di tempat dan terlibat dalam
retensi gigi tiruan adalah adhesi, kohesi, tegangan permukaan interfasial, border seal,
dan tekanan atmosfer.15,20
Jika retensi pada gigi tiruan penuh baik, maka perpindahan harus sulit untuk
dilakukan. Gigi tiruan yang kurang retentif dapat terjadi karena lebar sayap gigi
Universitas Sumatera Utara
26
tiruan yang kurang adekuat, under-extension, basis gigi tiruan yang kurang pas, dan
adanya penutupan atau seal yang tidak efektif pada gigi tiruan.15
2.3.1.2 Faktor yang Memengaruhi
1. Adhesi
Adhesi adalah kekuatan tarik-menarik antara molekul yang berbeda seperti
air liur dan resin akrilik atau antara saliva dan mukosa, yang berperan dalam
pembasahan atau lubrikasi pada gigi tiruan dan permukaan mukosa.15
Adhesi dari
saliva ke membran mukosa dan basis gigi tiruan terjadi melalui kekuatan ionik antara
glikoprotein saliva dan epitel permukaan atau resin akrilik. Dengan terjadinya kontak
saliva ke jaringan dari rongga mulut dan basis gigi tiruan, adhesi berperan dalam
meningkatkan kekuatan retensi lebih lanjut dari tegangan permukaan antarmuka.
Adhesi juga dapat diamati antara basis gigi tiruan dan membran mukosa pada pasien
dengan xerostomia. Bahan basis gigi tiruan tampaknya melekat pada mukosa yang
kering dari basal seat dan permukaan oral lainnya. Namun, adhesi seperti itu sangat
tidak efektif untuk mempertahankan gigi tiruan dan merupakan faktor predisposisi
untuk abrasi dan ulserasi mukosa karena kurangnya lubrikasi dari saliva.
Retensi yang diberikan oleh adhesi sebanding dengan area yang dicakup oleh
gigi tiruan. Gigi tiruan rahang bawah menutupi area permukaan yang lebih sedikit
daripada gigi tiruan rahang atas, sehingga gigi tiruan rahang bawah kurang retentif
jika dibandingkan dengan rahang atas.20
2. Kohesi
Kohesi adalah kekuatan tarik-menarik antara molekul-molekul sejenis, yang
mempertahankan integritas dari saliva. Gaya antar molekul-molekul dari adhesi dan
kohesi dapat dianggap sebagai pembentukan rantai antara gigi tiruan dan mukosa.
Kohesi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi kekuatan retensi terjadi di dalam
lapisan cairan (biasanya saliva) yang ada di antara basis gigi tiruan dan mukosa, dan
berfungsi untuk menjaga integritas cairan tersebut. Saliva normal tidak terlalu
kohesif. Saliva yang tebal dan tinggi kandungan mucin lebih kental daripada air liur
yang encer, namun sekresi yang kental biasanya tidak menghasilkan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
27
retensi karena saliva yang encer dan serosa dapat masuk ke sebagai film yang lebih
tipis daripada sekresi mucin yang lebih kohesif.20
3. Tegangan permukaan interfasial
Tegangan permukaan interfasial adalah tegangan atau daya tahan terhadap
pemisahan oleh selapis tipis atau film cairan antara dua permukaan yang merekat
atau beradaptasi. Tegangan permukaan interfasial ini tergantung pada kemampuan
suatu cairan untuk membasahi permukaan. Kemampuan dari suatu cairan ini
berbanding terbalik dengan tegangan suatu permukaan. Tegangan permukaan
interfasial ini dapat ditemukan pada selapis tipis cairan saliva yang ada diantara basis
gigi tiruan dan jaringan dari rongga mulut. Saliva membasahi permukaan gigi tiruan
sebagai upayanya dalam menciptakan retensi. Mukosa rongga mulut memiliki
tegangan permukaan yang rendah, saliva nantinya akan membasahi mukosa dan
tersebar dalam bentuk lapisan tipis. Bahan basis gigi tiruan memiliki wettability yang
kurang baik atau lebih sukar untuk dibasahi oleh saliva dibanding mukosa pada
rongga mulut, sedangkan resin akrilik polimerisasi panas memiliki wettability yang
lebih baik daripada resin akrilik autopolimerisasi. Semua bahan basis gigi tiruan
memiliki tegangan permukaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan mukosa
rongga mulut, tetapi setelah dilapisi oleh pelikel saliva, maka tegangan permukaan
semakin menurun dan kontaknya bertambah, sehingga dapat memaksimalkan luas
permukaan antara saliva dan basis gigi tiruan.
Tegangan permukaan interfasial juga tergantung pada adanya antarmuka
cairan atau udara pada batas kontak dengan cairan atau bahan solid. Jika dua pelat
atau bahan solid dengan cairan diantaranya direndam pada cairan yang sama, maka
tidak ada tegangan permukaan interfasial dan kedua pelat atau bahan solid tersebut
dapat dipisahkan dengan mudah. Batas luar dari gigi tiruan rahang bawah selalu
digenangi cairan saliva, sehingga hal tersebut akan mengurangi efek dari tegangan
permukaan. Oleh karena itu, tegangan permukaan interfasial memegang peran yang
cukup penting dalam retensi gigi tiruan terutama pada rahang atas.
Universitas Sumatera Utara
28
Tegangan permukaan interfasial dapat dijelaskan dengan Stephan’s formula:
Dimana F adalah tegangan permukaan, k adalah viskositas dari suatu cairan, r
adalah radius dari permukaan yang berkontak, v adalah kecepatan dari tekanan, dan h
adalah jarak antar permukaan. Semakin besar jarak antar permukaan, maka tegangan
permukaan interfasial akan semakin rendah. Oleh karena itu, semakin dekat adaptasi
gigi tiruan dengan mukosa rongga mulut, maka tegangan permukaan interfasial akan
semakin besar dan retensi akan semakin baik. Semakin besar radius atau luas dari
permukaan yang berkontak, maka tegangan permukaan interfasial akan semakin
baik. Sehingga, semakin besar area yang dicakup oleh gigi tiruan, maka retensi akan
semakin baik.16
4. Border seal
Untuk retensi yang optimal, batas gigi tiruan harus dibentuk sehingga
ruangan antara pembatas dan jaringan sulkus sekecil mungkin. Namun, tidak
mungkin mempertahankan kondisi tersebut setiap saat, karena kedalaman sulkus
berubah-ubah, terutama selama gigi berfungsi. Gigi tiruan harus dibuat sehingga
perbatasan sesuai dengan titik paling dangkal yang mencapai refleksi sulkus selama
fungsi normal. Ini berarti untuk beberapa waktu ketika pasien dalam keadaan diam,
gigi tiruan akan sedikit under-extended. Jika gigi tiruan diperpanjang lebih dengan
maksud untuk menciptakan seal yang lebih konsisten, perpindahan mungkin akan
terjadi ketika jaringan sulkus bergerak. Masalah untuk mencapai border seal yang
konstan dapat diatasi dengan memperluas sayap gigi tiruan dari kedua sisi secara
lateral, sehingga berkontak dan sedikit menggeser mukosa bukal dan labial untuk
menghasilkan facial seal.
𝐹 =4,7 × 𝑘𝑟4
ℎ3 × 𝑣
Universitas Sumatera Utara
29
Gambar 5. Perpanjangan lateral dari sayap
bukal untuk menghasilkan
facial seal15
Untuk rahang atas pada bagian posterior, untuk mencapai retensi dari gigi
tiruan dan mukosa adalah dengan membuat postdam, yaitu celah di perbatasan
posterior yang sedikit tertanam ke dalam mukosa palatal. Cara untuk menghasilkan
ini adalah dengan memotong alur ke model kerja di mana batas posterior gigi tiruan
harus terletak yang biasanya di vibrating line.15
5. Tekanan atmosfer
Tekanan atmosfer didefinisikan sebagai gaya per satuan unit luas yang
diberikan pada permukaan dengan berat udara di atas permukaan. Dalam hal molekul
udara, jika jumlah molekul udara di atas permukaan meningkat, akan ada lebih
banyak molekul untuk mengerahkan kekuatan pada permukaan itu dan akibatnya
tekanan meningkat.
Gigi tiruan melekat pada mukoperiosteum dengan cara yang sama seperti
suction cup yang melekat pada kaca depan mobil. Permukaan yang bekerja dari
suction cup memiliki permukaan yang melengkung. Ketika bagian tengah suction
cup ditekan terhadap permukaan yang rata dan tidak berpori, volume ruang antara
suction cup dan permukaan rata berkurang, yang menyebabkan udara antara cup dan
permukaan dikeluarkan melewati tepi dari cup tersebut. Setelah udara dipaksa keluar,
Universitas Sumatera Utara
30
ruang hampa udara terbentuk. Karena tekanan atmosfer akan selalu berusaha
menyamakan dirinya, udara secara alami mencoba mengisi setiap celah yang hilang.
Tekanan ini mendorong udara di luar suction cup. Karena tidak bisa menembus
permukaan, maka ia akan mendorong melawan permukaan yang rata. Jika udara bisa
lewat di bawah tepi suction cup, atau melalui permukaan, seal akan pecah dan
suction cup akan jatuh.
Gambar 6. Tekanan pada suction cup yang dihasilkan oleh adanya
tabrakan molekul gas yang menyebabkan suction cup
kontak dengan permukaan17
Gigi tiruan tidak bisa terdistorsi seperti suction cup, tetapi mukosa oral bisa.
Ketika suatu gaya diberikan secara tegak lurus terhadap gigi tiruan, tekanan antara
protesa dan jaringan basal turun di bawah tekanan sekitar, menahan perpindahan.
Retensi karena tekanan atmosfer berbanding lurus dengan area yang dicakup oleh
basis gigi tiruan. Agar tekanan atmosfer menjadi efektif, gigi tiruan harus memiliki
seal yang sempurna di seluruh perbatasannya. Cetakan perbatasan yang tepat dapat
dilakukan dengan teknik tekanan fisiologis.17
2.3.1.3 Pengukuran Retensi
Pengukuran retensi pada gigi tiruan dapat digunakan digital force meter atau
push and pull meter. Hasil pengukurannya adalah gaya. Pengukuran retensi pada
penelitian dapat dilakukan pada beberapa tahapan, yaitu pada saat border moulding
sendok cetak, border moulding ketika pencetakan fisiologis dan pada basis permanen
Universitas Sumatera Utara
31
dari gigi tiruan penuh. Pada saat pengukuran pasien duduk tegak ditopang dengan
sandaran kepala, pembukaan mulut maksimal dengan posisi rahang atas pasien
sejajar dengan lantai dan gaya yang bekerja tegak lurus untuk menilai retensi gigi
tiruan. Alat ini merupakan alat yang memiliki pegas yang terhubung dengan kaitan
pada basis gigi tiruan penuh. Gaya adalah aksi sebuah benda terhadap benda lain.
Satuan dari gaya adalah newton. Alat ini menunjukkan hasil dalam satuan ukur
newton.41
Gambar 7. Alat pengukur retensi, push
and pull meter (NANBEI China,
Analog Push Pull Force Gauge)42
2.3.2 Stabilisasi
2.3.2.1 Pengertian
Stabilisasi dapat diartikan sebagai daya tahan dari gigi tiruan terhadap
perpindahan (umumnya dalam pergerakan lateral) oleh kekuatan fungsional.
Stabilisasi pada gigi tiruan penuh didefinisikan sebagai resistensi gigi tiruan untuk
bergerak pada fondasi jaringannya, terutama terhadap gaya lateral (horizontal) yang
berlawanan dengan perpindahan vertikal.
Ketidakstabilan gigi tiruan berdampak buruk pada jaringan pendukung, yang
nantinya akan menghasilkan kekuatan merusak pada linggir alveolar pasien
Universitas Sumatera Utara
32
edentulus selama fungsinya. Gigi tiruan akan bergeser dengan mudah sebagai
respons terhadap gaya yang didapatkan secara lateral. Hal ini akan menyebabkan
gangguan pada border seal dan mencegah basis gigi tiruan berkaitan baik dengan
jaringan pendukung.19
2.3.2.2 Faktor yang Memengaruhi
1. Permukaan Oklusal
Keselarasan antara permukaan oklusal yang berlawanan berkontribusi
terhadap stabilisasi. Gigi tiruan harus bebas dari gangguan dalam rentang fungsional
pergerakan pasien. Selama gerakan fungsional, permukaan oklusal tidak boleh
bertabrakan atau bersentuhan satu sama lain sebelum waktunya. Kekuatan yang tidak
diinginkan ini akan menghasilkan pergerakan lateral dan kekuatan torsi yang
nantinya memengaruhi stabilisasi. Hubungannya dapat dijelaskan melalui oklusi,
posisi gigi dan dataran oklusal, dan hubungan antar linggir.
a. Oklusi
Untuk meminimalkan kekuatan yang dapat melepaskan gigi tiruan, oklusi
harus seimbang di seluruh area rentang pergerakan fungsional pasien. Bilateral
balanced occlusion penting selama pergerakan yang terjadi pada rongga mulut,
seperti menelan air liur dan gerakan menutup mulut untuk memasang kembali gigi
tiruan. Oklusi seimbang tidak akan mengganggu posisi gigi tiruan saat diam atau
statis, stabil, dan retensi pada gigi tiruan.
b. Posisi gigi dan dataran oklusal
Gigi-gigi anterior harus diposisikan sedekat mungkin dalam hubungannya
dengan posisi linggir sebagaimana posisi alaminya. Neutral zone di lengkung rahang
atas perlu diperhatikan agar tidak terlalu sempit sehingga ada ruang untuk
memposisikan gigi anterior atas. Selain itu, zona netral pada rahang atas tidak begitu
berpengaruh dalam menjaga stabilisasi gigi tiruan, seperti zona netral pada rahang
bawah. Dataran oklusal tidak boleh ditempatkan terlalu tinggi dan dataran tersebut
harus ditempatkan lebih bawah dari posisi lidah, sehingga lidah mempertahankan
posisi gigi tiruan rahang bawah.
Universitas Sumatera Utara
33
c. Hubungan linggir
Hubungan linggir antara rahang atas dan rahang bawah akan memengaruhi
stabilisasi gigi tiruan. Untuk itu, perlu untuk memposisikan gigi dalam keadaan
crossbite ketika linggir berada dalam hubungan crossbite yang parah. Pada kasus klas
III, lengkung rahang bawah lebih ke anterior dibanding lengkung rahang atas. Oklusi
mandibula yang baik harus menjadi perhatian sehingga kontak ke rahang atas dibuat
lebih dari setengah jarak antara papilla insisif dan hamular notch. Ini akan mencegah
ujung gigi tiruan pada rahang atas miring ke arah antero-posterior.19
2. Permukaan Intaglio
a. Adaptasi basis gigi tiruan
Hubungan sayap gigi tiruan dengan lereng dari linggir merupakan faktor
penting yang berkontribusi terhadap stabilisasi. Kontak antara jaringan dan batas gigi
tiruan dibatasi oleh jaringan yang bergerak. Stabilisasi gigi tiruan yang optimal
membutuhkan jaringan-jaringan tersebut untuk memberikan resistensi. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mengkondisikan permukaan-permukaan linggir, agar berada
pada sudut yang benar terhadap bidang oklusal.
b. Sayap lingual gigi tiruan rahang bawah
Kondisi yang paling baik untuk sayap lingual rahang bawah adalah bahwa
sayap tersebut tegak lurus terhadap dataran oklusal dan dapat menahan gaya
horizontal dengan baik. Perpanjangan sayap lingual ditentukan oleh perlekatan otot
mylohyoid ke internal oblique ridge. Pada daerah posterior, otot ini memungkinkan
perpanjangan sayap yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah anterior. Otot-
otot pada dasar mulut juga memengaruhi tingkat kedalaman kontak yang dapat
terjadi. Mukosa harus cukup resilien dan cukup tebal untuk mentolerir tekanan.
Shanahan (1962) menyatakan bahwa sayap lingual gigi tiruan dapat diperpanjang di
tiga area yaitu sublingual crescent space, area fossa sublingual dan fossa
retromylohyoid.
3. Cameo surface (permukaan poles) dan struktur yang berhubungan
Otot dapat memengaruhi stabilisasi gigi tiruan penuh dengan dua cara, baik
dengan memungkinkan adanya aksi otot-otot tertentu tanpa gangguan oleh basis gigi
Universitas Sumatera Utara
34
tiruan atau dengan memanfaatkan aksi normal dari otot-otot tertentu yang dapat
membantu tempat bertahannya basis gigi tiruan dan meningkatkan stabilisasi.
Geometri dasar gigi tiruan harus berbentuk segitiga.
Gambar 8. Geometri pada gigi
tiruan penuh19
Geometri ini digunakan untuk mengarahkan dudukan pada gigi tiruan. Ada
kontraksi otot seperti orbicularis oris (bibir) dan buccinator (pipi) selama gerakan
fungsional (bicara, deglutisi, pengunyahan). Sayap bukal dan labialis pada gigi tiruan
rahang atas dan rahang bawah harus cekung untuk memungkinkan dudukan yang
tepat bagi pipi dan bibir. Kontur yang tepat dari sayap gigi tiruan memungkinkan
gaya horizontal yang terjadi selama kontraksi otot-otot ini untuk ditransmisikan
sebagai kekuatan dudukan vertikal. Lidah juga merupakan faktor yang harus
diperhatikan, dimana untuk mencapai stabilisasi, posisi lidah harus dipertimbangkan
selama pencetakan pada sayap lingual.
Selain itu, permukaan poles dan otot-otot disekitar juga berhubungan dengan
neutral zone. Tujuan umum dari zona netral ini adalah untuk menyisakan suatu
daerah dalam rongga mulut yang edentulus di mana gigi harus diposisikan
sedemikian rupa sehingga kekuatan yang diberikan oleh otot akan cenderung
menstabilkan gigi tiruan, bukan menggesernya. Teori yang digunakan untuk
mengembangkan kontur dasar gigi tiruan didasarkan pada keyakinan bahwa otot-otot
Universitas Sumatera Utara
35
harus tercetak tidak hanya batas-batas gigi tiruan tetapi juga seluruh permukaan yang
dipoles. Kontur permukaan yang dipoles dan posisi gigi harus ditentukan dengan
mewujudkan ruang di mana pergerakan lidah dan otot mukosa bukal dapat
seimbang.19
Gambar 9. Neutral zone pada regio molar
2.3.2.3 Pengukuran Stabilisasi
Pengukuran stabilisasi gigi tiruan dilakukan dengan metode CU-modified
Kapur. Metode ini adalah modifikasi kriteria Kapur yang dimodifikasi oleh
Chulalongkorn University pada bulan Juli tahun 2018. Kriteria CU-modified Kapur
direkomendasikan untuk menilai retensi dan stabilisasi baik pada pelayanan
kesehatan masyarakat maupun klinis untuk menentukan apakah gigi tiruan perlu
diganti atau tidak. Penilaian terhadap stabilisasi dilakukan dengan menggunakan ibu
jari dan jari telunjuk. Gigi tiruan diletakkan diatas linggir lalu digerakkan dengan ibu
jari dan jari telunjuk pada permukaan bukal gigi premolar. Pergerakan dilakukan
secara horizontal, anterior-posterior, dan medio-lateral.43
Universitas Sumatera Utara
36
2.5 Kerangka Teori
Edentulus Penuh Gigi Tiruan Penuh
Edentulus Penuh pada Rahang Atas Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Stabilisasi Retensi
Perubahan yang Terjadi
pada Rongga Mulut
Anatomi Struktur Pendukung
Gigi Tiruan Rahang Bawah
Resiliensi Puncak
Linggir Alveolar
Buccal Shelf Bentuk dari Linggir
Alveolar
Resorpsi Linggir Sisa
Alveolar
Edentulus Penuh pada Rahang Bawah
Kualitas Hasil Perawatan
Apakah ada pengaruh anatomi struktur pendukung
gigi tiruan penuh rahang bawah terhadap retensi dan
stabilisasi?
Universitas Sumatera Utara
37
2.6 Kerangka Konsep
Edentulus Penuh pada Rahang Bawah Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Stabilisasi Retensi
Anatomi Struktur Pendukung
Gigi Tiruan Rahang Bawah
Bentuk dari Linggir
Alveolar
Resiliensi Puncak
Linggir Alveolar
Resorpsi puncak tulang
alveolar pada pasien
edentulus berpengaruh
pada jaringan tulang
yang bersangkutan,
jaringan lunak
sekitarnya dapat
menjadi flabby
Klasifikasi menurut
Cawood dan Howell dibagi
menjadi:
- Klas I (bergigi)
- Klas II (pasca ekstraksi)
- Klas III (high well-
rounded)
- Klas IV (knife-edge)
- Klas V (low wel-rounded)
- Klas VI (depressed)
Gerakan rocking
saat digerakkan
di permukaan
bukal gigi
premolar pada
gigi tiruan
rahang bawah
Pertahanan GTP
rahang bawah saat
dilakukan
penarikan secara
vertikal pada gigi
tiruan rahang
bawah pada
permukaan mid-
lingual
Apakah ada pengaruh anatomi struktur pendukung
gigi tiruan penuh rahang bawah terhadap retensi dan
stabilisasi?
Universitas Sumatera Utara
38
2.7 Hipotesis Penelitian
H0: Tidak ada pengaruh anatomi stuktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah terhadap retensi dan stabilisasi.
Ha: Ada pengaruh anatomi stuktur pendukung gigi tiruan penuh rahang bawah
terhadap retensi dan stabilisasi.
Universitas Sumatera Utara
39
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional melalui metode pemeriksaan klinis rongga mulut dan gigi tiruan penuh
pasien menggunakan kuesioner. Penelitian deskriptif pada penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran karakteristik dari subjek penelitian dimana pengolahan
data didasarkan pada persentase dan penelitian analitik pada penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antar variabel.44
Penelitian dengan rancangan cross
sectional adalah penelitian dimana sampel hanya diobservasi satu kali pada saat yang
sama, tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur menurut keadaan atau
status sewaktu diobservasi.
3.2 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien yang telah memakai gigi tiruan penuh
yang dibuat oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Prostodonsia RSGM USU Medan
dengan pemakaian GTP minimal 6 bulan.
3.3 Sampel Penelitian
Cara sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
penarikan sampel non probabilitas secara purposive sampling, yaitu dengan
mengadakan studi pendahuluan untuk mengidentifikasi karakteristik populasi dan
kemudian menetapkan sampel. Sesuai angka yang ditetapkan Gay dan Diehl, bahwa
semakin banyak sampel yang diambil maka akan semakin representatif dan hasilnya
dapat digenelisir. Jika penelitiannya korelasional, sampel minimumnya adalah 30
orang.45
Universitas Sumatera Utara
40
3.3.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah:
1. Subjek pada penelitian ini adalah pasien yang memakai GTP rahang bawah
yang dibuat oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Prostodonsia RSGM USU
Medan yang sudah dipakai minimal 6 bulan.
2. GTP tidak retak, patah, dan belum pernah direparasi.
3. Subjek bersedia menandatangani informed consent.
3.3.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi untuk penelitian ini adalah:
1. Subjek yang dirawat dengan gigi tiruan penuh namun tidak memakai lagi gigi
tiruan penuh tersebut.
2. Subjek yang menderita xerostomia.
3. Subjek yang memiliki penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus,
osteoporosis, dan sebagainya.
4. Subjek yang tidak bersedia menandatangani informed consent.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang bawah, yang terdiri
dari:
1. Resiliensi puncak linggir alveolar
2. Bentuk dari linggir alveolar
3.4.2 Variabel Terikat
1. Retensi
2. Stabilisasi
3.4.3 Variabel Terkendali
Peneliti yang sama
Universitas Sumatera Utara
41
Alat ukur yang sama
3.4.4 Variabel Tidak Terkendali
Lama edentulus
Usia
Posisi lidah
Penggunaan gigi tiruan sebelumnya
3.5 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi operasional variabel bebas
No. Variabel Bebas Definisi
Operasional Hasil Pengukuran
Cara
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1. Anatomi struktur
pendukung gigi
tiruan rahang
bawah
1.1 Resiliensi
puncak linggir
alveolar
1.2 Bentuk dari
linggir alveolar
Daya lentur pada
jaringan di
sekitar puncak
linggir alveolar
rahang bawah
Bentuk yang
diamati dari hasil
pencetakan
anatomis linggir
alveolar pada
rahang bawah
Penilaian terhadap
puncak linggir alveolar
dikategorikan:
1 - Resilien
2 – Flabby
Penilaian terhadap
bentuk dari tulang
pendukung
dikategorikan:
1 - Klas III (well-
rounded ridge)
2 - Klas IV (knife-
edge ridge)
3 - Klas V (low well-
rounded ridge)
4 - Klas VI
(depressed ridge)
Pemeriksaan
dengan
menggunakan
ball burnisher
dan
pencetakan
anatomis.
Kategorik
Universitas Sumatera Utara
42
Tabel 2. Definisi operasional variabel terikat
No. Variabel
Terikat
Definisi
Operasional Hasil Pengukuran
Cara
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1.
2.
Retensi
Stabilisasi
Tahanan GTP saat
dilakukan
penarikan secara
vertikal pada
permukaan mid-
lingual gigi tiruan
rahang bawah
Mobilitas GTP
(tipping/rotasi) saat
digerakkan pada
permukaan bukal
gigi premolar kiri
dan kanan dengan
menggunakan ibu
jari dan jari
telunjuk
Penilaian terhadap retensi
dikategorikan:
0 – Sangat buruk
(Terdapat pergerakan
saat GTP ditempatkan
pada linggir alveolar)
1 – Buruk (resistensi
minimal, terhadap
penarikan vertikal
dan/atau gaya lateral
sebesar 2,5 N atau
dibutuhkan sebesar 2,5-5
N untuk GTP terlepas )
2 – Sedang (resistensi
sedang, terhadap
penarikan vertikal
dan/atau gaya lateral
sebesar 5 N atau
dibutuhkan sebesar 5-10
N untuk GTP terlepas)
3 – Baik (resistensi
maksimal, terhadap
penarikan vertikal dan
gaya lateral atau
dibutuhkan lebih dari 10
N untuk GTP terlepas)
Penilaian terhadap stabilisasi
dikategorikan: 0 – Buruk (terdapat rocking
ekstrim yang terlihat nyata
atau pergerakan horizontal
lebih dari 4 mm)
1 – Sedang (terdapat rocking
sedang atau pergerakan
horizontal 2-4 mm)
2 – Baik (tidak ada
pergerakan/terdapat rocking
minimal atau pergerakan
horizontal 1-2 mm)
Pemeriksaan
dengan
menggunakan
push and pull
meter, jari
telunjuk dan
ibu jari.
Kategorik
Universitas Sumatera Utara
43
Tabel 3. Definisi operasional variabel terkendali
Tabel 4. Definisi operasional variabel tidak terkendali
No. Variabel Tak
Terkendali
Definsi operasional Alat
Pengukuran
Hasil
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1 Lama edentulus Data mengenai durasi antara
pencabutan gigi terakhir sampai
dilakukannya perawatan gigi
tiruan penuh pada pasien
- - -
2 Usia Satuan waktu yang mengukur
lama waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk
- - -
3 Posisi lidah Keadaan lidah dalam kondisi
istirahat dengan bibir yang
terpisah
- - -
4 Penggunaan gigi
tiruan
sebelumnya
Adanya penggunaan gigi tiruan
sebelum menjalankan perawatan
GTP di RSGM USU
- - -
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang OSCE Gedung B Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara dan waktu penelitiannya adalah bulan Juni sampai
Agustus tahun 2019.
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1.1 Alat Penelitian
1. Alat tulis
2. Ball burnisher (Inspire Instrument SS Germany) (Gambar 10)
3. Sendok cetak rahang bawah
No. Variabel Terkendali Definsi operasional Alat
Pengukuran
Hasil
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1 Peneliti yang sama Orang yang melakukan
penelitian
- - -
2 Alat ukur yang sama Kuesioner dan alat penelitian - - -
Universitas Sumatera Utara
44
4. Rubber bowl
5. Spatel plastik
6. Pot akrilik
7. Spatula
8. Mikromotor (Strong 207 Korea) (Gambar 11)
9. Push and pull meter (NK-50 50 N Dynamometer Analog Push Pull
Force Gauge Tester Meter) (Gambar 12)
10. Bur fraser (Gambar 13)
11. Kertas pasir (Grit 500 dan 1200)
12. Bur poles
13. Alat pengolah data, yaitu komputer (Program Aplikasi IBM SPSS 20)
Gambar 10. Ball burnisher (Inspire Gambar 11. Mikromotor (Strong
Instrument SS Germany) 207 Korea)
a.Mikromotor
b. Handpiece
c. Power pedal
a
b
c
Universitas Sumatera Utara
45
Gambar 12. Push and pull meter Gambar 13. Bur fraser
(NK-50 50 N Dynamometer Analog
Push Pull Force Gauge Tester Meter)
a. Dynamometer b. Hook c. Extension Rod
d. Concave tip e. Cone tip f. Convex tip
g. Flat tip
3.7.1.2 Bahan Penelitian
1. Lembar kuesioner
2. Sarung tangan
3. Masker
4. Bahan cetak alginat (Hygedent)
5. Dental Stone tipe 3 (Moldano)
6. Resin akrilik swapolimerisasi (Dentimex)
7. Loop diameter 0,7 cm (Gambar 14)
8. Surat pernyataan kesediaan untuk menjadi subjek penelitian
Gambar 14. Loop (diameter 0,7 cm)
a
b
c
d
e
f
g
Universitas Sumatera Utara
46
3.7.2 Cara Penelitian
1. Pengumpulan data pasien pemakai GTP rahang bawah yang dibuat oleh
mahasiswa kepaniteraan klinik Prostodonsia RSGM USU.
2. Peneliti mengurus surat pengantar untuk izin penelitian dari Fakultas
Kedokteran Gigi USU dan surat penelitian dari Komisi Etik Penelitian Bidang
Kesehatan.
3. Setelah memperoleh surat izin melakukan penelitian, peneliti memulai
penelitian dengan mengunjungi rumah responden atau menghubungi responden yang
akan menjadi subjek penelitian yang sudah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi yang ditetapkan.
4. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan terlebih dahulu
kepada responden mengenai penelitian yang akan dilakukan, kemudian responden
diberikan lembar informed consent yaitu surat persetujuan setelah memperoleh
penjelasan.
5. Apabila responden bersedia menjadi subjek penelitian, peneliti melakukan
wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner untuk melengkapi data
sosiodemografi pasien.
6. Setelah selesai mengisi kuesioner mengenai data sosiodemografi pasien,
peneliti melakukan penilaian klinis secara langsung terhadap kondisi rongga mulut
pasien, yaitu terhadap jaringan pada resiliensi puncak linggir alveolar dan bentuk dari
linggir alveolar rahang bawah.
7. Pertama-tama, peneliti melakukan pemeriksaan terhadap resiliensi puncak
linggir alveolar rahang bawah. Penilaian dilakukan dengan menekankan burnisher
pada mukosa diatas prosesus alveolaris pada regio anterior, posterior kanan, dan
posterior kiri rahang bawah. Jika saat ditekankan burnisher tidak terlalu terbenam,
maka jaringan di sekitar puncak linggir resilien. Namun, jika mukosa bisa bergerak
dalam arah bukolingual saat ditekan menggunakan burnisher, maka itu berarti
jaringan flabby.
Universitas Sumatera Utara
47
Gambar 15. Pemeriksaan resiliensi
puncak linggir alveolar
rahang bawah
8. Peneliti lalu menilai bentuk dari linggir alveolar rahang bawah dengan
melakukan pencetakan anatomis. Bahan cetak alginat dan air dicampur menggunakan
rubber bowl dan spatel plastik, lalu diaduk sampai homogen dengan waktu
pengadukan umum 30 detik sampai 1 menit. Hasil pengadukan lalu diaplikasikan
pada sendok cetak rahang bawah dan lakukan pencetakan. Pencetakan rahang bawah
dilakukan dengan mensejajarkan garis mulut ke tragus pasien dengan lantai. Hasil
pencetakan lalu diisi dengan dental stone tipe 3 untuk mendapatkan model anatomis.
Bentuk dari linggir alveolar kemudian diamati dan ditentukan bentuknya berdasarkan
klasifikasi menurut Cawood dan Howell.
Universitas Sumatera Utara
48
A B
C
Gambar 16. Hasil cetakan dari bentuk linggir alveolar rahang bawah
A. Klas III (well-rounded ridge) B. Klas IV (knife-edge ridge)
C. Klas V (low well-rounded ridge)
9. Kemudian, peneliti mulai melakukan penilaian terhadap gigi tiruan penuh
rahang bawah. Penilaian terhadap retensi gigi tiruan rahang bawah dilakukan dengan
menggunakan alat push and pull meter. Aplikasikan resin akrilik swapolimerisasi
dengan loop pada bagian tengah gigi tiruan. Posisi tengah loop diletakkan di
permukaan mid-lingual pada gigi tiruan rahang bawah, diantara gigi insisivus
sentralis. Loop berfungsi sebagai tempat meletakkan kaitan push and pull meter pada
saat pengukuran retensi.
Universitas Sumatera Utara
49
Gambar 17. Gigi tiruan yang sudah
dipasang loop dengan resin
akrilik
10. Untuk melakukan pemeriksaan pada retensi, pasien didudukkan dengan
posisi tubuh tegak dengan posisi dataran oklusal sejajar dengan permukaan lantai.
Lakukan pemasangan tangkai push and pull meter untuk mencapai arah tarikan pada
loop yang terdapat pada gigi tiruan rahang bawah. Push and pull meter dipegang
dengan telapak tangan lalu tarikan arah vertikal ke atas dilakukan sebagai gaya untuk
melepaskan gigi tiruan. Dilakukan penarikan secara vertikal sebesar 2,5 N, 5 N, dan
10 N, lalu diamati gaya yang diperlukan untuk melepaskan gigi tiruan dan tentukan
skor retensi gigi tiruan.
Gambar 18. Pemeriksaan retensi gigi tiruan
dengan push and pull meter
Universitas Sumatera Utara
50
11. Resin akrilik swapolimerisasi dan loop dilepas dari gigi tiruan rahang
bawah menggunakan mikromotor dan bur fraser lalu basis gigi tiruan dipoles kembali
menggunakan kertas pasir dan bur poles agar permukaan basis gigi tiruan tidak kasar.
Gambar 19. Gigi tiruan yang sudah
dilepaskan dari loop
12. Penilaian terhadap stabilisasi pada gigi tiruan rahang bawah dilakukan
dengan cara meletakkan ibu jari dan jari telunjuk pada permukaan bukal dari gigi
premolar, kemudian gigi tiruan digerakkan secara horizontal, anterior-posterior, dan
mediolateral. Tipping dapat dilihat dengan cara memberikan tekanan pada gigi molar
dengan jari telunjuk. Terjadinya pergerakan atau tipping pada gigi tiruan diobservasi
dan tentukan skor stabilisasi gigi tiruan.
Gambar 20. Pemeriksaan stabilisasi gigi tiruan
Universitas Sumatera Utara
51
13. Setelah data hasil wawancara dan pemeriksaan klinis dari semua subjek
penelitian telah diperoleh, peneliti melakukan tabulasi data. Data diolah dengan
bantuan komputer. Setelah mendapatkan hasil pengolahan data, peneliti membuat
laporan dan menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
52
3.8 Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari kuesioner disajikan dengan menghitung
persentase distribusi, kemudian dilakukan uji statistik dengan SPSS menggunakan uji
Fisher dan Chi-Square untuk melihat adakah pengaruh anatomi struktur pendukung
gigi tiruan penuh rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi.
Universitas Sumatera Utara
53
3.9 Kerangka Operasional
Pengumpulan data pasien pemakai GTP yang
dibuat oleh mahasiswa kepaniteraan klinik
Prostodonsia RSGM USU
Mengurus surat izin penelitian dari FKG USU
dan Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan
Mengunjungi rumah pasien yang akan
menjadi subjek penelitian berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah
ditetapkan
Penjelasan kuesioner pada subjek penelitian
dan pemberian lembar Informed Consent
Wawancara dan pengisian kuesioner
mengenai identitas pasien
Analisis data
Pemeriksaan pada resiliensi
puncak linggir alveolar dan
bentuk dari linggir alveolar
rahang bawah pasien
Kesimpulan
Pemeriksaan terhadap retensi dan stabilisasi gigi
tiruan penuh rahang bawah
Tabulasi data
Universitas Sumatera Utara
54
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Distribusi Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah
Pada penelitian ini, anatomi dari struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah terdiri dari resiliensi puncak linggir alveolar dan bentuk dari linggir alveolar
rahang bawah. Resiliensi puncak linggir alveolar terbagi menjadi dua, yaitu resilien
dan flabby. Dari 30 pasien GTP di RSGM USU yang diteliti, terdapat 14 orang
(46,7%) yang memiliki resiliensi puncak linggir alveolar yang resilien, terdiri dari 5
laki-laki (35,7%) dan 9 perempuan (64,3%), sedangkan sisanya sebanyak 16 orang
(53,3%) memiliki puncak linggir alveolar yang flabby, terdiri dari 6 laki-laki (37,5%)
dan 10 perempuan (62,5%) (Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Pada Pasien GTP di RSGM
USU
Resiliensi puncak
linggir alveolar
Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Resilien 5 35,7 9 64,3 14 46,7
Flabby 6 37,5 10 62,5 16 53,3
Ditinjau dari bentuk linggir alveolar, maka anatomi struktur pendukung gigi
tiruan rahang bawah pada penelitian ini ditemukan klas III sebanyak 15 orang (50%)
yang terdiri dari 6 laki-laki (40%) dan 9 perempuan (60%), diikuti dengan bentuk
linggir klas IV sebanyak 12 orang (40%) yang terdiri dari 5 laki-laki (41,7%) dan 7
perempuan (58,3%), serta bentuk linggir klas V sebanyak 3 orang (10%) yang
seluruhnya perempuan (100%). Dalam penelitian ini, tidak terdapat pasien dengan
bentuk linggir klas VI (Tabel 6).
Universitas Sumatera Utara
55
Tabel 6. Distribusi Bentuk Dari Linggir Alveolar Pada Pasien GTP di RSGM USU
Bentuk dari linggir alveolar Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Klas III (well-rounded ridge) 6 40 9 60 15 50
Klas IV (knife-edge ridge) 5 41,7 7 58,3 12 40
Klas V (low well-rounded
ridge) 0 0 3 100 3 10
Klas VI (depressed
ridge) 0 0 0 0 0 0
4.2 Distribusi Retensi dan Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Penilaian terhadap retensi GTP rahang bawah dibagi menjadi sangat buruk,
buruk, sedang, dan baik. Dari 30 pasien GTP di RSGM USU yang diteliti, pasien
yang memiliki retensi gigi tiruan penuh rahang bawah dengan kategori sangat buruk
berjumlah 6 orang (20%) yang terdiri dari 3 laki-laki (50%) dan 3 perempuan (50%),
disusul dengan kategori buruk ada sebanyak 10 orang (33,3%) yang terdiri dari 5
laki-laki (50%) dan 5 perempuan (50%), kategori sedang ada sebanyak 9 orang (30%)
yang terdiri dari 1 laki-laki (11,1%) dan 8 perempuan (88,9%), dan dengan kategori
baik ada sebanyak 5 orang (16,7%) yang terdiri dari 2 laki-laki (40%) dan 3
perempuan (60%) (Tabel 7).
Tabel 7. Distribusi Penilaian Retensi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada Pasien
GTP di RSGM USU
Retensi gigi tiruan
penuh rahang bawah
Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Sangat buruk 3 50 3 50 6 20
Buruk 5 50 5 50 10 33,3
Sedang 1 11,1 8 88,9 9 30
Baik 2 40 3 60 5 16,7
Universitas Sumatera Utara
56
Pada penelitian ini, penilaian terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu buruk, sedang, dan baik. Dari 30 pasien GTP di
RSGM USU yang diteliti, pasien yang memiliki stabilisasi gigi tiruan rahang bawah
dengan kategori buruk ada sebanyak 3 orang (10%) yang terdiri dari 1 laki-laki
(33,3%) dan 2 perempuan (66,7%), kategori sedang berjumlah 11 orang (36,7%) yang
terdiri dari 3 laki-laki (27,3%) dan 8 perempuan (72,7%), dan stabilisasi gigi tiruan
rahang bawah dengan kategori baik ada sebanyak 16 orang (53,3%) yang terdiri dari
7 laki-laki (43,8%) dan 9 perempuan (56,2%) (Tabel 8).
Tabel 8. Distribusi Penilaian Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada
Pasien GTP di RSGM USU
Stabilisasi gigi tiruan
penuh rahang bawah
Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Buruk 1 33,3 2 66,7 3 10
Sedang 3 27,3 8 72,7 11 36,7
Baik 7 43,8 9 56,2 16 53,3
4.3 Pengaruh Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah terhadap Retensi dan Stabilisasi
Pada penelitian ini anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang
bawah dibagi dua, yaitu resiliensi puncak linggir alveolar dan bentuk dari linggir
alveolar. Resiliensi puncak linggir alveolar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
resilien dan flabby. Pada resiliensi puncak linggir alveolar yang resilien dengan
retensi gigi tiruan penuh rahang bawah yang sangat buruk tidak ada (0%), buruk
berjumlah 3 orang (21,4%), sedang berjumlah 7 orang (50%), dan baik berjumlah 4
orang (28,6%), sedangkan pada resiliensi puncak linggir alveolar yang flabby dengan
retensi gigi tiruan penuh rahang bawah yang sangat buruk berjumlah 6 orang
(37,5%), buruk berjumlah 7 orang (43,8%), sedang berjumlah 2 orang (12,5%), dan
yang baik 1 orang (6,2%) (Tabel 9).
Universitas Sumatera Utara
57
Uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh resiliensi puncak linggir
alveolar rahang bawah terhadap retensi gigi tiruan penuh rahang bawah yang diukur
dengan metode pemeriksaan klinis digunakan uji non parametrik, yaitu uji Fisher.
Uji Fisher yang dilakukan pada resiliensi puncak linggir alveolar rahang
bawah adalah p = 0,005. Nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah terhadap
retensi gigi tiruan penuh rahang bawah (Tabel 9).
Tabel 9. Pengaruh Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Rahang Bawah Terhadap
Retensi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah Pada Pasien GTP di RSGM
USU
Resiliensi
puncak
linggir
alveolar
Retensi gigi tiruan penuh rahang bawah
Skor 0
(Sangat
buruk)
Skor 1
(Buruk)
Skor 2
(Sedang)
Skor 3
(Baik) Jumlah
p
n % n % n % n % n %
Resilien 0 0 3 21,4 7 50 4 28,6 14 100 0,005*
Flabby 6 37,5 7 43,8 2 12,5 1 6,2 16 100
Keterangan: * = Pengaruh signifikan
Bentuk dari linggir alveolar dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu klas III
(well-rounded ridge), klas IV (knife-edge ridge), klas V (low well-rounded ridge),
dan klas VI (depressed ridge). Pada bentuk linggir alveolar klas III dengan retensi
gigi tiruan penuh rahang bawah yang sangat buruk tidak ada (0%), buruk berjumlah 4
orang (26,7%), sedang berjumlah 7 orang (46,7%), dan baik berjumlah 4 orang
(26,7%), sedangkan bentuk linggir alveolar klas IV dengan retensi gigi tiruan penuh
rahang bawah yang sangat buruk berjumlah 5 orang (41,7%), buruk berjumlah 5
orang (41,7%), sedang berjumlah 1 orang (8,3%), dan baik berjumlah 1 orang (8,3%).
Untuk bentuk linggir alveolar klas V dengan retensi gigi tiruan penuh rahang bawah
yang sangat buruk berjumlah 1 orang (33,3%), buruk berjumlah 1 orang (33,3%),
sedang berjumlah 1 orang (33,3%), dan dengan retensi baik tidak ada (0%). Dalam
penelitian ini, tidak ada pasien dengan bentuk linggir alveolar klas VI, sehingga
penilaian retensi untuk gigi tiruan rahang bawah juga tidak ada (Tabel 10).
Universitas Sumatera Utara
58
Uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh bentuk dari linggir alveolar
rahang bawah terhadap retensi gigi tiruan penuh rahang bawah yang diukur dengan
metode pemeriksaan klinis digunakan non parametrik, yaitu uji Fisher.
Uji Fisher yang dilakukan pada bentuk dari linggir alveolar rahang bawah
adalah p = 0,023. Nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara bentuk dari linggir alveolar rahang bawah terhadap retensi gigi
tiruan penuh rahang bawah (Tabel 10).
Tabel 10. Pengaruh Bentuk Dari Linggir Alveolar Rahang Bawah Terhadap Retensi
Gigi Tiruan Rahang Bawah Pada Pasien GTP di RSGM USU
Bentuk dari
linggir
alveolar
Retensi gigi tiruan penuh rahang bawah
Skor 0
(Sangat
buruk)
Skor 1
(Buruk)
Skor 2
(Sedang)
Skor 3
(Baik) Jumlah
p
n % n % n % n % n %
Klas III 0 0 4 26,7 7 46,7 4 26,7 15 100
0,023* Klas IV 5 41,7 5 41,7 1 8,3 1 8,3 12 100
Klas V 1 33,3 1 33,3 1 33,3 0 0 3 100
Klas VI 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan: * = Pengaruh signifikan
Selain itu, pada penelitian ini juga melihat pengaruh anatomi struktur
pendukung gigi tiruan penuh rahang bawah terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh
rahang bawah. Pada resiliensi puncak linggir alveolar yang resilien dengan stabilisasi
gigi tiruan penuh rahang bawah yang buruk berjumlah 1 orang (7,1%), sedang
berjumlah 3 orang (21,4%), dan baik berjumlah 10 orang (71,4%), sedangkan pada
resiliensi puncak linggir alveolar yang flabby dengan stabilisasi gigi tiruan penuh
rahang bawah yang buruk berjumlah 2 orang (12,5%), sedang berjumlah 8 orang
(50%), dan baik berjumlah 6 orang (37,5%) (Tabel 11).
Uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh resiliensi puncak linggir
alveolar rahang bawah terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah yang
diukur dengan metode pemeriksaan klinis digunakan uji non parametrik, yaitu uji
Fisher.
Universitas Sumatera Utara
59
Uji Fisher yang dilakukan pada resiliensi puncak linggir alveolar rahang
bawah adalah p = 0,217. Nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah
terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah (Tabel 11).
Tabel 11. Pengaruh Resiliensi Puncak Linggir Alveolar Rahang Bawah Terhadap
Stabilisasi Gigi Tiruan Rahang Bawah Pada Pasien GTP di RSGM USU
Resiliensi
puncak
linggir
alveolar
Stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah
Skor 0 (Buruk) Skor 1 (Sedang) Skor 2 (Baik) Jumlah
p n % n % n % n %
Resilien 1 7,1 3 21,4 10 71,4 14 100 0,217
Flabby 2 12,5 8 50 6 37,5 16 100
Dalam penelitian ini juga meneliti pengaruh bentuk linggir alveolar rahang
bawah terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah. Pada bentuk linggir
alveolar klas III dengan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah yang buruk tidak
ada (0%), sedang berjumlah 2 orang (13,3%), dan baik berjumlah 13 orang (86,7%),
sedangkan bentuk linggir alveolar klas IV dengan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang
bawah yang buruk berjumlah 2 orang (16,7%), sedang berjumlah 7 orang (58,3%),
dan baik berjumlah 3 orang (25%). Untuk bentuk linggir alveolar klas V dengan
stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah yang buruk berjumlah 1 orang (33,3%),
sedang 2 orang (66,7%) dan stabilisasi gigi tiruan rahang bawah yang baik tidak ada
(0%). Dalam penelitian ini, tidak ada pasien dengan bentuk linggir alveolar klas VI,
sehingga penilaian untuk stabilisasi gigi tiruan rahang bawah juga tidak ada (0%)
(Tabel 12).
Uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh bentuk dari linggir alveolar
rahang bawah terhadap stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah yang diukur
dengan metode pemeriksaan klinis digunakan uji non parametrik, yaitu uji Fisher.
Uji Fisher yang dilakukan pada bentuk dari linggir alveolar rahang bawah
adalah p = 0,001. Nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang
Universitas Sumatera Utara
60
signifikan antara bentuk dari linggir alveolar rahang bawah terhadap retensi gigi
tiruan penuh rahang bawah (Tabel 12).
Tabel 12. Pengaruh Bentuk Dari Linggir Alveolar Rahang Bawah Terhadap
Stabilisasi Gigi Tiruan Rahang Bawah Pada Pasien GTP di RSGM USU
Bentuk
dari
linggir
alveolar
Stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah
Skor 0 (Buruk) Skor 1 (Sedang) Skor 2 (Baik) Jumlah
p n % n % n % n %
Klas III 0 0 2 13,3 13 86,7 15 100
0,001* Klas IV 2 16,7 7 58,3 3 25 12 100
Klas V 1 33,3 2 66,7 0 0 3 100
Klas VI 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan: * = Pengaruh signifikan
Universitas Sumatera Utara
61
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional melalui metode pemeriksaan klinis rongga mulut dan gigi tiruan pasien
menggunakan kuesioner. Penelitian deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran karakteristik dari subjek penelitian dimana pengolahan data
didasarkan pada persentase dan penelitian analitik pada penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antar variabel. Penelitian dengan rancangan cross sectional
adalah penelitian dimana sampel hanya diobservasi satu kali pada saat yang sama,
tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur menurut keadaan atau status
sewaktu diobservasi.
5.1 Distribusi Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa resiliensi puncak linggir alveolar rahang
bawah pada pasien paling banyak adalah flabby (53,3%). Hasil penelitian ini
memiliki hasil yang sama dengan penelitian Ribeiro dkk. (2014) yang menemukan
bahwa sebagian besar pasien GTP, yaitu 62 pasien dari 93 pasien, memiliki resiliensi
yang flabby pada puncak linggir alveolar rahang bawahnya.18
Walaupun Lynch dan
Allen (2006) menyatakan bahwa puncak linggir alveolar yang flabby hanya terjadi
pada 5% pasien gigi tiruan penuh pada rahang bawah. Puncak linggir alveolar yang
flabby lebih banyak terjadi pada rahang atas, yaitu sebanyak 24%, terutama di bagian
anterior.46
Etiologi dari puncak linggir alveolar yang flabby multifaktorial atau dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ekstraksi gigi yang tidak terencana atau
tidak terkontrol, resorpsi linggir alveolar, kesehatan sistemik yang kurang baik,
sindroma kombinasi, adanya trauma yang disebabkan oleh basis gigi tiruan, gigi
tiruan yang tidak pas, dan pemakaian gigi tiruan dalam jangka waktu yang lama, dan
pemakaian gigi tiruan tanpa adanya pemeliharaan yang baik. Puncak linggir alveolar
yang flabby dapat terjadi karena pemakaian GTP dalam jangka panjang, dimana
Universitas Sumatera Utara
62
jaringan lunak akan menggantikan tulang alveolar yang sudah mengalami resorpsi.47
Sebagian besar subjek dalam penelitian ini sudah pernah menggunakan gigi tiruan
sebelumnya (73,3%), sehingga pemakaian GTP dalam jangka waktu yang lama dapat
menjadi salah satu faktor penyebabnya. Menurut Andrei (2016), pemakaian GTP
dalam jangka waktu yang lama, terutama tanpa melakukan relining atau rebasing,
dapat mempercepat proses resorpsi linggir alveolar, sehingga menyebabkan linggir
menjadi flabby.48
Linggir alveolar yang flabby memerlukan teknik khusus pada
pencetakannya, sehingga apabila tidak dilakukan dengan benar, maka dapat
menghasilkan gigi tiruan yang tidak pas dan menyebabkan linggir menjadi flabby
karena adanya trauma dari basis gigi tiruan.47
Selain itu, linggir alveolar yang flabby
pada penelitian ini juga lebih banyak ditemukan pada perempuan (56,2%)
dibandingkan laki-laki (43,8%). Hal ini dapat disebabkan karena perempuan lebih
rentan serta memiliki faktor resiko yang lebih besar terhadap resorpsi linggir sisa
alveolar. Peningkatan resorpsi linggir sisa alveolar pada wanita dapat terjadi karena
adanya efek dari aktivitas menopause. Setelah menopause, terjadi defisiensi hormon
estrogen, sehingga mempercepat kehilangan tulang rangka dan menyebabkan resorpsi
tulang alveolar yang cepat. Mekanisme dari fenomena ini sudah dikonfirmasi pada
studi eksperimental lebih lanjut yang mengungkapkan bahwa hormon estrogen
menginduksi apoptosis dari osteoklas. Defisiensi hormon estrogen akan
memperpanjang masa hidup osteoklas, oleh karena itu defisiensi hormon estrogen
pada wanita menopause menyebabkan resorpsi tulang yang lebih intens.49
Selain itu,
usia pada wanita pemakai GTP biasanya merupakan kelompok usia yang memiliki
risiko tinggi untuk terkena osteoporosis.50
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa bentuk dari linggir alveolar rahang bawah
pada pasien paling banyak adalah klas III atau well-rounded ridge (50%). Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Yamaga dkk. (2013) yang juga memiliki hasil yang
sama. Dalam penelitian tersebut, 51 dari 166 pasien (30,7%) memiliki bentuk linggir
alveolar rahang bawah U dengan tinggi dan lebar yang masih adekuat. Penelitian
tersebut juga menggunakan klasifikasi bentuk linggir menurut Cawood dan Howell.51
Kecepatan resorpsi linggir alveolar sangat bervariasi pada setiap individu, bahkan
Universitas Sumatera Utara
63
pada satu orang pun tidak sama dalam waktu yang berbeda atau dibeberapa regio
dalam rahang. Mengevaluasi kondisi dari linggir alveolar dapat memberikan
informasi mengenai pola resorpsi itu sendiri. Linggir yang berbentuk well-rounded
dengan tinggi yang cukup cenderung akan bertahan dengan bentuknya dalam waktu
yang cukup lama, sedangkan linggir alveolar yang sudah mengalami resorpsi dalam
jangka waktu yang pendek maka cenderung memiliki laju resorpsi yang lebih
tinggi.52
Namun, atropi paling besar terjadi pada tahun pertama setelah kehilangan
gigi. Resorpsi linggir alveolar adalah proses seumur hidup, tetapi kecepatannya
semakin lama semakin menurun. Atropi tulang rahang tidak dapat dihentikan namun
dapat diperlambat dengan melakukan perawatan yang tepat yaitu menggunakan
protesa atau gigi tiruan.23
Selain itu, pasien dengan linggir alveolar klas IV atau knife-edge ridge juga
cukup banyak dijumpai pada penelitian ini. Terdapat 12 dari 30 pasien (40%) yang
memiliki bentuk linggir rahang bawah tajam atau knife-edge. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Reich dkk. (2011) bahwa linggir knife-edge ini lebih banyak terlihat pada
pasien edentulus di regio anterior, terutama pada rahang bawah. Knife-edge ridge
terbentuk oleh karena adanya resorpsi pada sisi labial dan lingual dari linggir alveolar
anterior bawah. Gingiva yang menutupinya akan menggulung dan jaringan lunak
akan berproliferasi menjadi jaringan yang mudah bergerak pada puncak linggir
alveolar. Linggir tersebut tipis dalam arah bukolingual, tajam tetapi lembut seperti
tepi pisau. Kerusakan lokal dari tulang pada linggir tajam ini dapat terjadi karena
adanya penyakit periodontal sebelum pencabutan gigi, prosedur bedah pada tulang
alveolar yang tidak boleh dilakukan pada saat bersamaan dengan pencabutan gigi,
atau kurangnya evaluasi yang baik terhadap perubahan jaringan dapat menjadi faktor
yang berkontribusi terhadap resorpsi alveolar. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut
dapat berperan terhadap seberapa banyak resorpsi yang terjadi. Namun, pengaruh dari
setiap faktor bervariasi pada setiap pasien.32
Saat proses berlanjut, linggir yang
berbentuk seperti tepi pisau menjadi lebih pendek dan bahkan akhirnya menghilang,
sehingga linggir menjadi rendah atau datar (klas V).23
Namun, pasien dengan bentuk
Universitas Sumatera Utara
64
linggir klas V tidak banyak ditemui pada penelitian ini, yaitu hanya 3 dari 30 pasien
(10%).
Dalam penelitian ini tidak ada satupun subjek yang memiliki bentuk linggir
alveolar klas VI atau depressed ridge pada rahang bawah mereka. Linggir alveolar
rahang bawah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berubah dari bentuk
linggir U yang rendah atau klas V ke bentuk klas VI atau depressed ridge
dibandingkan dengan rahang atas, terutama pada pasien lansia. Hal ini dapat terjadi
karena pada fase awal atau inisiasi atropi, mandibula memiliki resistensi lebih besar
terhadap resorpsi vertikal karena ketebalannya yang lebih besar pada tulang kortikal
daripada rahang atas. Namun, mandibula lebih sering terkena dampak dan lebih buruk
dari rahang atas setelah pemakaian GTP. Hal ini disebabkan karena rahang atas
memiliki permukaan struktur pendukung yang lebih besar, yaitu palatum keras.23
5.2 Distribusi Retensi dan Stabilisasi Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa retensi pada GTP rahang bawah pada pasien
paling banyak adalah buruk (33,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
oleh Alfadda (2014) yang melihat hubungan kualitas GTP dengan kepuasan pasien.
Dalam penelitian tersebut, terdapat 15 dari 25 gigi tiruan rahang bawah (60%) dengan
retensi yang buruk.53
Hal ini juga mendukung hasil penelitian dari Sikander (2016)
yang menyatakan bahwa retensi termasuk salah satu keluhan yang sering
disampaikan pasien pasca perawatan yang belum lama selesai. Penelitian tersebut
dilakukan pada 99 pasien pemakai GTP, hasilnya 60% mengeluhkan adanya retensi
yang buruk setelah enam bulan sampai satu tahun pemakaian gigi tiruan. Kebanyakan
kasus pada penelitian ini terjadi karena adanya sayap gigi tiruan yang sangat
pendek.54
Selain itu, permasalahan retensi GTP juga ditemukan pada penelitian
Bosînceanu (2017) yang menunjukkan 85,9% dari 64 gigi tiruan penuh menunjukkan
adanya retensi gigi tiruan yang buruk, terutama rahang bawah, diikuti oleh adanya
iritasi mukosa yaitu 44,2%. Hilangnya retensi ini dapat disebabkan karena adanya
resorpsi tulang alveolar yang berkelajutan. Resorpsi ini tidak hanya terjadi di
permukaan, namun juga menyebabkan berkurangnya tinggi dari linggir alveolar.
Universitas Sumatera Utara
65
Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan adanya faktor iatrogenik ataupun
overextension di daerah retromylohyoid rims, daerah masseter, dan frenulum bukal
pada gigi tiruan rahang bawah. Kualitas retensi yang buruk pada GTP rahang bawah
akan meningkat seiring dengan waktu karena adanya pengaruh resorpsi tulang
alveolar dan penurunan kemampuan mengunyah yang dilaporkan oleh pasien.
Namun, pengurangan yang nyata terjadi pada tahun pertama penggunaan gigi tiruan
dan dalam beberapa tahun berikutnya ada kehilangan terus menerus rata-rata 1 mm
per tahun. Sebagai hasil dari resorpsi linggir alveolar, terjadi pengurangan lebar dan
kedalaman sulkus karena adanya perpindahan perlekatan otot yang lebih dekat ke
puncak linggir, sehingga dasar gigi tiruan menjadi overextension, yang juga
menyebabkan hilangnya retensi.55
Namun, buruknya retensi pada GTP tidak hanya
disebabkan oleh konstruksi gigi tiruan itu saja. Keefektifan dari gigi tiruan juga
bergantung pada pemeliharaan setelah pemasangan gigi tiruan tersebut.56
Tidak hanya
itu, dalam penelitian Limpuangthip (2018) GTP dengan kualitas yang kurang baik
juga ditemukan pada 6 (4,5%) gigi tiruan rahang atas dan pada 25 (19,8%) gigi tiruan
rahang bawah. Penelitian ini juga menggunakan metode serta kriteria yang sama
untuk menentukan kualitas retensi gigi tiruan.41
Pada tabel 8 menunjukkan bahwa stabilisasi pada GTP rahang bawah pada
pasien paling banyak adalah baik (53,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian Ribeiro
dkk. (2014) yang menyatakan 46,2% gigi tiruan penuh yang diteliti memiliki
stabilisasi yang baik.18
Selain itu, hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Ritonga dkk (2018) yang membuktikan 25 dari 30 gigi
tiruan penuh rahang bawah memiliki kualitas stabilisasi dengan skor 4 dan 5 yang
berarti baik dan sangat baik. Hanya 3 GTP yang memiliki kualitas stabilisasi yang
buruk dan 2 gigi tiruan memiliki kualitas stabilisasi yang sangat buruk.33
Stabilisasi
gigi tiruan penuh, terutama pada rahang bawah sering menjadi tantangan bagi dokter
gigi dan pasien. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi stabilisasi
gigi tiruan rahang bawah perlu untuk diperhatikan. Gigi tiruan bawah yang menutupi
keseluruhan denture-bearing area yang ada dengan perpanjangan sayap yang selaras
dengan otot-otot sekitarnya akan meningkatan stabilisasi GTP. Selain itu, permukaan
Universitas Sumatera Utara
66
poles dari gigi tiruan juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
stabilitas GTP.57
Penelitian lain oleh Iqtidar dkk (2017) melakukan pemeriksaan
stabilisasi gigi tiruan pada pemakai gigi tiruan yang memiliki xerostomia dan non-
xerostomia. Hasilnya menunjukkan 160 gigi tiruan memiliki stabilisasi yang sangat
baik, sedangkan 6 gigi tiruan memiliki kualitas stabilisasi yang buruk. Hasil
penelitian tersebut dilakukan pada pemakai GTP yang tidak memiliki xerostomia.58
Namun, hasil penelitan ini berbeda dengan penelitian Limpuangthip dkk.
(2018) yang membuktikan bahwa 63 dari 126 gigi tiruan rahang bawah memiliki
kualitas stabilisasi yang kurang baik.41
Stabilisasi gigi tiruan memiliki peran penting
dalam keberhasilan perawatan GTP. Stabilisasi gigi tiruan yang kurang baik dapat
mempengaruhi fungsi GTP karena dapat menyebabkan lepasnya gigi tiruan ketika
diberi tekanan, sehingga mengganggu proses pengunyahan. Penelitian yang dilakukan
oleh Brunello dan Mandikos (1998) membuktikan bahwa stabilisasi gigi tiruan
memiliki efek yang positif terhadap tingkat kepuasan pasien.59
Limpuangthip dkk. (2018) menyatakan gigi tiruan rahang atas memerlukan
minimal retensi yang sedang dan stabilisasi yang cukup untuk berfungsi, sedangkan
gigi tiruan rahang bawah memerlukan sedikit retensi dan stabilisasi yang cukup agar
tidak perlu mengganti gigi tiruannya atau melakukan pemasangan gigi tiruan yang
didukung oleh implan.41
5.3 Pengaruh Anatomi Struktur Pendukung Gigi Tiruan Penuh Rahang
Bawah terhadap Retensi dan Stabilisasi
Pada tabel 9 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah terhadap retensi GTP rahang bawah
dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05). Hasil ini sesuai dengan hasil peneilitian Ribeiro
dkk. (2014) yang menyatakan bahwa resiliensi puncak linggir alveolar berpengaruh
terhadap hasil perawatan GTP, salah satunya dalam hal retensi. Resiliensi puncak
linggir alveolar yang kukuh dan resisten terhadap palpasi membuat gigi tiruan sulit
untuk dilepaskan dari linggirnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 85% pasien
dengan puncak linggir alveolar yang resilien memiliki retensi gigi tiruan rahang
Universitas Sumatera Utara
67
bawah yang baik. Hal ini juga didukung oleh Baat (1997) yang menyatakan bahwa
keberhasilan perawatan prostodontik tergantung pada kualitas gigi tiruan dan juga
kondisi rongga mulut pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya penilaian
kualitas dari gigi tiruan pasien yang cukup rendah dikarenakan karakteristik linggir
sisa alveolar mereka.18
Selain itu, Pai (2014) juga menyatakan bahwa puncak linggir
alveolar yang kurang resilien atau flabby dapat menyebabkan gigi tiruan bergeser
dibawah adanya kekuatan oklusal. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya peripheral
seal antara gigi tiruan dengan jaringan yang nantinya akan menyebabkan buruknya
retensi pada gigi tiruan.60
Penelitian yang dilakukan oleh Ribeiro dkk. (2014) menunjukkan 80,8%
pasien dengan puncak linggir alveolar yang flabby memiliki retensi gigi tiruan yang
buruk. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Carlsson (1998), bahwa linggir alveolar
yang flabby dapat menyebabkan retensi pada GTP kurang baik.61
Puncak linggir
alveolar yang flabby dapat bergerak dengan mudah dan melekat secara longgar pada
periostium tulang. Resiliensi puncak linggir alveolar yang flabby ini seringkali
menghadirkan kesulitan dalam pembuatan GTP. Jaringan lunak yang tergeser selama
proses pencetakan cenderung kembali ke bentuk aslinya dan GTP yang dibuat dengan
menggunakan hasil cetakan ini tidak akan pas secara akurat saat jaringan kembali ke
bentuk aslinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya retensi GTP dan adanya
ketidaknyamanan.62
Namun, hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Celebic dkk. (2003)
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan gigi tiruan. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan kualitas denture-bearing area rahang
bawah yang baik memberikan nilai yang paling rendah terhadap retensi serta
kenyamanan gigi tiruan rahang bawah mereka. Hal ini dapat terjadi karena adanya
periode adaptasi neuromuskular yang cukup panjang untuk GTP rahang bawah dan
lamanya waktu yang diperlukan untuk otot bibir, pipi, dan lidah yang mengelilingi
gigi tiruan bawah untuk menyesuaikan fungsinya dengan sayap gigi tiruan. Resorpsi
linggir sisa alveolar adalah proses yang kronis, berkelanjutan yang terjadi paling
cepat setelah pencabutan gigi. Tinggi linggir sisa alveolar paling adekuat setelah
Universitas Sumatera Utara
68
ekstraksi dan dukungan untuk gigi tiruan penuh harus optimal. Kemungkinan besar
karena periode yang panjang dari adaptasi neuromuskuler dan kemungkinan
pengurangan linggir sisa alveolar setelah ekstraksi, gigi tiruan rahang bawah bergerak
dan mencederai mukosa mulut, sehingga nantinya akan menyebabkan
ketidaknyamanan, retensi yang kurang baik, dan rendahnya kepuasan umum.26
Pada tabel 10 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
bentuk dari linggir alveolar rahang bawah terhadap retensi GTP rahang bawah dengan
nilai p = 0,023 (p < 0,05). Hasil ini sesuai dengan hasil peneilitian Nasution dkk.
(2016) yang menyatakan bahwa bentuk tulang alevolus akan mempengaruhi retensi
dari gigi tiruan. Pasca ekstraksi gigi-geligi, tulang alveolus akan mengalami resorpsi
yang menyebabkan perubahan bentuk dari tulang itu sendiri. Resorpsi ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor etiologi yang berbeda pada setiap individu. Bentuk tulang atau
linggir alveolar dapat memberikan dukungan terhadap gigi tiruan, hal ini disebabkan
kemampuannya dalam menahan gaya vertikal dan lateral yang terjadi pada GTP.
Namun, resorpsi tulang alveolar juga akan menyebabkan berkurangnya ukuran tulang
sehingga luas denture-bearing area menjadi lebih kecil. Luas permukaan dukungan
GTP memiliki korelasi positif dengan faktor-faktor retensi yang terjadi pada gigi
tiruan. Berkurangnya luas jaringan pendukung gigi tiruan dapat mempengaruhi
faktor-faktor retensi GTP yaitu adhesi, kohesi, tegangan permukaan, dan tekanan
atmosfer.37
Bentuk linggir alveolar yang baik untuk retensi GTP adalah linggir yang
memiliki tinggi yang adekuat dan memiliki dinding paralel yang lebar. Retensi gigi
tiruan juga dipengaruhi oleh kontur dari aspek lateral linggir alveolar. Linggir yang
datar dan sudah mengalami atropi cenderung memberi dukungan dan retensi yang
kurang baik.63
Hal ini juga dapat dilihat dari hasil penelitian ini dimana 83,4% subjek
dengan linggir knife-edge dan 66,6% subjek dengan linggir datar memiliki retensi
gigi tiruan rahang bawah dengan skor sangat buruk dan buruk. Namun, retensi gigi
tiruan rahang bawah tidak hanya dipengaruhi oleh bentuk linggir alveolar saja. Gigi
tiruan rahang bawah yang mencakup seluruh area pendukung yang ada dengan sayap
yang selaras dengan otot-otot sekitarnya akan meningkatkan retensi dari GTP. Selain
Universitas Sumatera Utara
69
itu, untuk memiliki retensi yang baik, selain memperhatikan faktor-faktor retensi,
setiap prosedur dalam pembuatan GTP juga harus dilakukan dengan baik. Beberapa
hal yang menyebabkan GTP menjadi kurang retentif adalah pencetakan yang kurang
akurat, hubungan rahang yang kurang tepat, dan penyusunan anasir gigi tiruan tidak
memerhatikan neutral zone.64
Pada tabel 11 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara
resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah terhadap stabilisasi GTP rahang
bawah dengan nilai p = 0,217 (p > 0,05). Hasil ini sesuai dengan hasil peneilitian
Ribeiro dkk. (2014) yang menyatakan bahwa resiliensi linggir alveolar rahang bawah
tidak memiliki pengaruh terhadap stabilisasi gigi tiruan rahang bawah. Selain itu,
menurut Ribeiro dkk. (2014) resiliensi dari linggir alveolar lebih berperan dalam
mencegah perpindahan dibawah kekuatan vertikal, bukan kekuatan rotasi.18
Namun,
hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Labban (2018) yang mengatakan
bahwa puncak linggir alveolar yang flabby dapat menyebabkan ketidakstabilan dari
gigi tiruan. Perawatan pasien dengan linggir yang flabby akan menimbulkan
permasalahan apabila tidak dilakukan dengan teknik pencetakan khusus.46
Pada tabel 12 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
bentuk dari linggir alveolar rahang bawah terhadap stabilisasi GTP rahang bawah
dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Hasil ini sesuai dengan hasil peneilitian Ribeiro
dkk. (2014) yang menyatakan bahwa anatomi rahang bawah berpengaruh terhadap
hasil perawatan GTP, yaitu stabilisasi. Selain itu, hasil penelitian ini juga mendukung
penelitian sebelumnya oleh Fenlon (2008) yang menemukan adanya pengaruh yang
kuat antara bentuk linggir alveolar dan stabilisasi gigi tiruan rahang bawah. Hal-hal
tersebut juga terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemakaian dan
kepuasan pasien terhadap GTP.18
Ruby dkk. (2015) dan Yanikoglu dkk. (2005)
menyatakan bentuk dari tulang alveolar akan mempengaruhi stabilisasi GTP. Bentuk
linggir yang paling baik adalah berbentuk U atau klas III karena bentuk ini memiliki
tinggi yang mampu menahan gaya lateral. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian
dimana 70,6% pasien dengan bentuk linggir klas III memiliki stabilisasi gigi tiruan
yang baik. Selain itu, bentuk U juga memiliki kesejajaran dinding yang dapat
Universitas Sumatera Utara
70
menahan seal dengan jarak yang tepat untuk menahan gaya melepaskan dari arah
vertikal. Berbeda pada tulang dengan bentuk V atau klas IV yang hanya memiliki
sedikit kemampuan terhadap gaya vertikal yang melepaskan karena terbukanya seal
pada seluruh sisi secara terus menerus.35
Linggir alveolar dengan klas V yang
mengalami atropi parah cenderung membuat gigi tiruan GTP menjadi tidak stabil.
Perawatan dengan linggir yang datar menjadi tantangan bagi dokter gigi dalam
pembuatan GTP yang berfungsi dengan baik. Linggir alveolar yang datar ini lebih
sering ditemui pada rahang bawah dibandingkan dengan rahang atas.62
Dalam studinya, Mistry (2018) menyatakan bahwa anatomi rongga mulut
akan mempengaruhi stabilisasi gigi tiruan. Linggir alveolar dengan tinggi yang
adekuat serta bentuk yang persegi dan luas memberikan stabilisasi yang lebih baik
daripada linggir alveolar yang rendah serta berbentuk runcing dan sempit.35
Selain itu,
Maller (2010) juga menyatakan bentuk tulang alveolar yang baik adalah tulang
dengan puncak yang rata dan sejajar pada kedua sisi dinding labial-bukal dan lingual-
palatal. Bentuk ini akan memberikan dukungan serta stabilisasi yang maksimal
terhadap pergerakan horizontal.58
Menurut Zarb dkk. (2005) bentuk tulang yang ideal
dalam memberi dukungan pada GTP adalah tulang yang berbentuk membulat dan
sedikit persegi pada regio labial, bukal, lingual serta ditutupi oleh perlekatan mukosa
yang baik. Selain itu, tinggi tulang alveolus yang cukup juga dapat menahan
pergerakan gigi tiruan dengan cara membatasi ruang gaya yang melepaskan dan
dinding lateral tulang alveolus yang tertutupi oleh basis gigi tiruan dapat menahan
gerakan lateral serta membentuk peripheral seal.35
Namun, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pan dkk. (2010) yang menyatakan bahwa tinggi dari
tulang alveolar yang juga berperan dalam menentukan bentuk linggir edentulus
rahang bawah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pasien
dalam hal stabilisasi GTP rahang bawah.63
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa bentuk dari linggir alveolar dan
resiliensi puncak linggir akan mempengaruhi retensi dan stabilisasi GTP. Namun,
dalam penelitian ini resiliensi dari puncak linggir alveolar hanya mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
71
retensi gigi tiruan rahang bawah dan tidak mempengaruhi stabilisasi. Sebaliknya,
bentuk dari linggir alveolar berpengaruh terhadap retensi dan stabilisasi gigi tiruan
rahang bawah. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya faktor dan kriteria-kriteria
yang berbeda pada pemeriksaan dalam beberapa penelitian, baik terhadap anatomi
struktur pendukung gigi tiruan maupun retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh.18
Pada penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan. Penilaian terhadap resiliensi
puncak linggir alveolar dan bentuk linggir alveolar rahang bawah hanya dilakukan
secara umum. Penilaian tidak dilakukan secara spesifik dengan pembagian antara
regio anterior dan posterior rahang bawah.
Universitas Sumatera Utara
72
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Distribusi anatomi struktur pendukung gigi tiruan penuh rahang bawah,
terbagi menjadi distribusi resiliensi puncak linggir alveolar dan bentuk dari linggir
alveolar rahang bawah. Distribusi resiliensi puncak linggir alveolar rahang bawah
paling banyak adalah flabby, yaitu sebanyak 53,3%, sedangkan resilien sebanyak
46,7%. Untuk distribusi bentuk linggir alveolar rahang bawah paling banyak adalah
klas III atau well-rounded ridge yaitu sebanyak 50%, sedangkan klas IV atau knife-
edge ridge sebanyak 40%, dan klas V atau low well-rounded ridge sebanyak 10%.
2. Distribusi retensi gigi tiruan penuh rahang bawah paling banyak adalah
buruk, yaitu sebanyak 33,3%, sedangkan retensi sangat buruk sebanyak 20%, sedang
sebanyak 30%, dan baik sebanyak 16,7%. Distribusi stabilisasi gigi tiruan rahang
bawah paling banyak adalah baik, yaitu sebanyak 53,3%, sedangkan stabilisasi gigi
tiruan sedang sebanyak 36,7%, dan buruk sebanyak 10%.
3. Dari hasil penelitian ini, ada pengaruh anatomi stuktur pendukung gigi
tiruan penuh rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi, yaitu resiliensi puncak
linggir alveolar rahang bawah terhadap retensi (p=0,005), bentuk dari linggir alveolar
terhadap retensi (p=0,023), dan bentuk linggir sisa alveolar rahang bawah terhadap
stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah (p=0,001).
6.2 Saran
1. Pada penelitian lebih lanjut diharapkan untuk menggunakan sampel yang
lebih representatif sehingga hasil lebih valid.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh anatomi struktur
pendukung gigi tiruan rahang atas terhadap retensi dan stabilisasi pada pasien GTP di
Universitas Sumatera Utara
73
RSGM USU. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
dari faktor-faktor lain seperti jenis kelamin, usia, atau lama pemakaian GTP.
3. Pemakai gigi tiruan penuh perlu diedukasi mengenai perawatan dan
pemeliharaan gigi tiruan. Selain itu, pemakai gigi tiruan penuh juga perlu dihimbau
untuk melakukan kontrol rutin setelah pemasangan terhadap gigi tiruannya untuk
memeriksa retensi dan stabilisasi gigi tiruan, serta melihat apakah gigi tiruan perlu
dilakukan relining atau rebasing kembali, sehingga meningkatkan kesadaran dan
kepedulian akan fungsi gigi tiruannya.
Universitas Sumatera Utara
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Peltzer K, Hewlett S, Yawson AE. Prevalence of Loss of All Teeth
(Edentulism) and Associated Factors in Older Adults in China, Ghana, India,
Mexico, Russia and South Africa. Int J Environ Res Public Health 2014; 11:
11308-11324.
2. Pradeep S, Kuriakose S. Causes and Patterns of Loss of Permanent Teeth
among Patients Attending a Dental Teaching Institution in South India. J
Contemp Dent Pract. 2009 Sep 1; 10(5):1-11.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar
Nasional 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf. 1 Januari 2019.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar
Nasional 2007.
https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%2
02007.pdf. 1 Januari 2019.
5. Chee W, Jivraj S. Treatment planning of the edentulous mandible. Br Dent J.
2006 Sep; 201(6): 1-9.
6. Allen PF. A Review of the Functional and Psychosocial Outcomes of
Edentulousness Treated with Complete Replacement Dentures. J Can Dent
Assoc. 2003; 69(10): 662.
7. Goiato MC. Insertion and follow-up of complete dentures: a literature review.
Gerodontol. 2011; 28: 197–204.
8. Neto FA. Masticatory Efficiency in Denture Wearers with Bilateral Balanced
Occlusion and Canine Guidance. Braz Dent J 2010; 21(2): 165-169.
9. Hodges GA. Managing phonetic complications arising in full-arch All-On-4
hybrid cases. https://www.dentistryiq.com/articles/2016/07/managing-
Universitas Sumatera Utara
75
phonetic-complications-arising-in-full-arch-all-on-4-hybrid-cases.html. (7
Januari 2019).
10. Kumar M. Personalized Denture - Let’s Make A Difference Between
Conventional And Characterized Denture – A Clinical Case Report. IJACR.
2015; 2(23): 1385-1388.
11. Hantash RAO, Al-Omiri MK, Yunis MA, Da-Odeh N, Lynch E. Relationship
between Impacts of Complete Denture Treatment on Daily Living,
Satisfaction and Personality Profiles. J Contemp Dent Pract. May-June
2011;12(3):200-207.
12. Nimri GEM, Jebreen SE. Oral condition, treatment needs and demands of
geriatric ―Denture Wearers‖ in three different Jordanian communities.
JRSM. Sep 2016; 23(3): 40-48.
13. Lunia MR, Nooji D. Post Insertion and Management in Complete Denture
Patients. Republic of Moldova: LAP Lambert Academic Publishing; 2017. p
46-73.
14. Matthew L, Unni KN, Vijayakumar. A Mathematical Derivation to Prove
Reduced Denture Retention in V Shaped Palate. J Indian Prosthodont Soc
Apr-June 2014; 14(2): 169–171.
15. Basker RM, Davenport JC, Thomason JM. Prosthetic treatment of the
edentulous patients. 5th Ed. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2011: 20,24-8.
16. Rangarajan V, Padmanabhan TV. Textbook of Prosthodontics, 2nd ed. India:
Elsevier. 2017; 37-38.
17. Naqash TA, Bali SK. Atmospheric Pressure As An Emergency Retentive
Force In Complete Denture Retention: A Review. Indian J Dent Sci.
Desember 2014; 6(5); 104-105.
18. Ribeiro JAM, Resende CM, Lopes ALC. The influence of mandibular ridge
anatomy on treatment outcome with conventional complete dentures. Acta
Odontol Latinoam. 2014; 27(2): 53-57.
19. Mistry R. Stability in Complete Dentures: An Overview. IOSR-JDMS. 2018
November; 11(7): 36-41.
Universitas Sumatera Utara
76
20. Zarb GA. Prosthodontic Treatment for Edentulous Patients: Complete
Dentures and Implant-Supported Prostheses. India: Mosby. 2004. 211-233.
21. Sarandhana DL. Textbook of Complete Denture Prosthodontics. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers. 2006. 14-63.
22. Fahimullah dkk. Association Of Patient Related Factors With New Complete
Dentures Satisfaction — A Study. PODJ. 2016 July-September; 36(3): 1-5.
23. Reich KM, Huber CD, Lippnig WR, Ulm C, Watzek G. Atrophy of the
Residual Alveolar Ridge Following Tooth Loss in a Historical Population.
Oral Disease, Wiley. 2010; 17 (1): 33.
24. Damayanti L. Perawatan pasien lansia dengan flat ridge/flabby tissue.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/11/perawatan_pasien_lans
iadengan_flat_ridge-flabby_tissue.pdf. (4 Maret 2019).
25. Critchlow SB, Ellis JS. Prognostic indicators for conventional complete
denture therapy: A review of the literature. Journal of Dentistry. 2010; 38: 2-
9.
26. Celebic A dkk. Factors related to patient satisfaction with complete denture
therapy. J Gerontol. 2003; 58(10): 948-53.
27. Dye BA. Dental Caries and Tooth Loss in Adults in the United States, 2011-
2012. NCHS 2015; 197.
28. Khazaei S, Firouzei MS. Edentulism and Tooth Loss in Iran: SEPAHAN
Systematic Review No. 6. Int J Prev Med. 2012 Mar; 3(Suppl1): S42–S47.
29. Emami E, Souza RF. The Impact of Edentulism on Oral and General Health.
Int J Dent. 2013 Apr 15; 2013: 1-7.
30. Oksayan R dkk. Effects of Edentulism on Mandibular Morphology:
Evaluation of Panoramic Radiographs. Sci World J. Aug 2014; 2014: 1-5.
31. Chrcanovic BR, Abreu MHNG. Morphological variation in dentate and
edentulous human mandibles. Surg Radiol Anat. 2011; 33: 203-201.
32. Puspitadewi SR. Perawatan Prosthodontik Pada Kondisi Ridge Yang Kurang
Menguntungkan. B-Dent. Desember 2015; 2(2); 133-142.
Universitas Sumatera Utara
77
33. Ritonga PWU, Prabakaran LL. Relationship between the clinical assessment
of maxillary and mandibular complete denture stability and denture-bearing
area towards the patient’s satisfaction level. Padjadjaran J Dent. 2018; 30(2):
92-97.
34. Lin M. Digital Complete Dentures: Improving Quality Of Removable
Prosthesis While Decreasing Number of Appointments.
https://www.oralhealthgroup.com/features/digital-complete-dentures-
improving-quality-removable-prosthesis-decreasing-number-appointments/.
(5 Maret 2019).
35. Ozkan YK. Complete Denture Prosthodontics: Planning and Decision-
Making. Switzerland: Springer. 2017: 7.
36. Nallaswamy D. Textbook of Prosthodontics. India: Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2017; 79.
37. Pridana S, Nasution ID. Bentuk Residual Ridge dan Hubungannya Dengan
Retensi Gigi Tiruan Penuh. Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76.
38. Abdulwaheed A. Indications and Contraindications to Complete Dentures.
http://emedicine.medscape.com/article/2066046-overview. (7 Januari 2019)
39. Chiramana S, Ashok K. Examination, Diagnosis and Treatment Planning for
Complete Denture Therapy – A Review. J Orofac Sci. 2010; 2(3): 29-35.
40. Ferro KJ. The Glossary Of Prosthodontic Terms Ninth Edition. J Prosthet
Dent. 2017 May; 117(5S): e1-e105.
41. Pridana S. 2018. Pengaruh Bahan dan Teknik Border Molding Terhadap
Detail Morfologi Jaringan Perifer dan Retensi Basis Gigi Tiruan pada Pasien
Edentulus di RSGM USU. Tesis. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas
Sumatera Utara: Medan.
42. M&A Instrument Inc. NK-50 Mechanical Analog Push Pull Gauge Force
Gauge. https://www.amazon.com/NK-50-Mechanical-Analog-Gauge-
Force/dp/B00KDS29I0. 20 April 2019.
43. Limpuangthip N, Somkotra T, Arksomnukit M. Modified retention and
stability criteria for complete denture wearers: A risk assessment tool for
Universitas Sumatera Utara
78
impaired masticatory ability and oral health-related quality of life. J Prosthet
Dent. July 2018; 120(1): 43-49.
44. Dharminto. Metode Penelitian Dan Penelitian Sampel.
http://eprints.undip.ac.id/5613/. 11 Desember 2018.
45. Adi H. Menentukan Ukuran Sampel Sederhana.
http://teorionline.net/menentukan-ukuran-sampel-menurut-para-ahli/. 9
Desember 2018.
46. Labban N. Management of the flabby ridge using a modified window
technique and polyvinylsiloxane impression material. Saudi Dent J 2018; 30:
89.
47. Anne R, Manne P, Anne G. A Simplified approach for management of flabby
ridges – A case report. IDJSR 2016; 4(4): 207-212.
48. Andrei OC, Margarit R, Tanasescu L. Prosthetic rehabilitation of complete
edentulous patients with morphological changes induced by age and old ill
fitted dentures. Rom J Morphol Embryol 2016; 57(2 Suppl): 861–864.
49. Jayaram B, Shenoy K. Analysis of Mandibular Ridge Resorption in
Completely Edentulous Patients Using Digital Panoramic Radiography.
IOSR-JDMS 2017; 16(8): 66-73.
50. Aminah HS, Machmud S, Rahajoeningsih P. Relationship between the age,
the bone density, and the height of mandibular residual ridge in edentulous
menopausal women. Padjadjaran Journal of Dentistry 2009; 21(1): 25-31.
51. Yamaga E, Sato Y, Minakuchi S. A structural equation model relating oral
condition, denture quality, chewing ability, satisfaction, and oral health-
related quality of life in complete denture wearers. J Dent 2013 Aug; 41(8):
710-7.
52. Kumar TA, Naeem A, Verma AK. Residual ridge resorption: The
unstoppable. IJAR 2016; 2(2): 169-171.
53. Alfadda SA. The relationship between various parameters of complete
denture quality and patients’ satisfaction. JADA 2014 Sept; 145(9): 941-8.
Universitas Sumatera Utara
79
54. Sikander I, Chauldhary MA, Ahmad S. Frequency of Short Term Post-
Insertion Complaints in Conventional Complete Denture Wearers Treated by
Undergraduate Students. PODJ 2016 October - December; 36(4): 680-682.
55. Bosinceanu DG, Bosinceanu DN, Lychian I. Complete Dentures - Clinical
Behavior and Patients Complaints. RJOR 2017 Apr; 9(2): 5-8.
56. Anitha. Evaluation on Frequency of Edentulous Patient Wearing Dentures. J
Pharm Sci & Res 2016; 8(9): 1080-1083.
57. Prithviraj DR, Singh V, Kumar S. Conservative prosthodontic procedures to
improve mandibular denture stability in an atrophic mandibular ridge.
J Indian Prosthodont Soc 2008; 8(4): 178-184.
58. Iqtidar Z, Aslam A, Naeem S. Xerostomia And Its Effect On Complete
Denture Stability. PODJ 2017 Jan-Mar; 37(1): 188-191.
59. Maller SV, Karthik KS, Maller US. A Review on Diagnosis and Treatment
planning for Completely Edentulous Patients. JIADS 2010; 10:16-19.
60. Pai UY, Reddy VS, Hosi RN. A Single Step Impression Technique of Flabby
Ridges Using Monophase Polyvinylsiloxane Material: A Case Report. 2017
April; 2014: 1-6.
61. Chiplunkar J, Tumbil M, Chethan MD,
Nandeeshwar DB, Patel D. Management of flabby ridge case: An arduous tas
k in undergraduate practice. Int J Oral Health Sci 2018; 8: 104-8.
62. Prasad K, Mehra D, Prasad A. Prosthodontic Management of Compromised
Ridges and Situations. NUJHS 2014 Mar; 4(1): 141-148.
63. Misch CE. Dental Implant Prosthetic, 2nd Ed. Missouri: Elsevier. 2015; 942.
64. Kuntjoro M, Rostiny, Widajati W. Alveolar ridge rehabilitation to increase
full denture retention and stability. Dent. J (Maj. Ked. Gigi) 2010; (43)4:
181–185.
65. Pan S, Dagenais M, Thomason JM. Does mandibular edentulous bone height
affect prosthetic treatment success?. Int J Dent 2010; 38: 899-907.
Universitas Sumatera Utara
74
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian di RSGM USU
Universitas Sumatera Utara
75
Lampiran 2
Surat Keterangan Ethical Clearance
Universitas Sumatera Utara
76
Lampiran 3
Surat Keterangan Selesai Konsultasi Uji Statistik
Universitas Sumatera Utara
77
Lampiran 4
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Kepada Yth:
Bapak/Ibu
..............................
Bersama ini saya, Amira Putri Heidira, saat ini sedang menjalani pendidikan
sarjana di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara Medan, memohon
kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya yang
berjudul:
PENGARUH ANATOMI STRUKTUR PENDUKUNG GIGI TIRUAN
PENUH RAHANG BAWAH TERHADAP RETENSI DAN STABILISASI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh anatomi struktur
pendukung gigi tiruan rahang bawah terhadap retensi dan stabilisasi GTP. Manfaat
dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada Bapak/Ibu
mengenai penilaian terhadap kondisi gigi tiruan rahang bawah Bapak/Ibu, terutama
mengenai retensi dan stabilisasinya.
Penelitian ini merupakan gambaran analitik dimana akan ada pemeriksaan
secara langsung. Pemeriksaan akan dilakukan dua kali, yang pertama terhadap rongga
mulut yaitu untuk melihat anatomi struktur pendukung yang terdiri dari daya lentur
jaringan dan bentuk dari tulang pendukung. Setelah itu, pemeriksaan akan dilakukan
terhadap gigi tiruan penuh rahang bawah untuk melihat retensi dan stabilisasinya.
Pada saat pemeriksaan retensi, gigi tiruan akan ditempelkan loop dengan resin akrilik,
lalu diukur dengan menggunakan sebuah alat penarik. Setelah pemeriksaan, loop dan
resin tersebut akan dilepas kembali dan gigi tiruan akan dipoles lagi, sehingga tidak
akan menimbulkan kekasaran. Dalam pemeriksaan mengenai stabilisasi gigi tiruan,
hanya menggunakan ibu jari dan jari telunjuk saja. Penelitian ini tidak berbahaya dan
tidak memiliki efek samping. Identitas Bapak/Ibu sebagai subjek penelitian akan
dirahasiakan oleh peneliti.
Universitas Sumatera Utara
78
Apabila dalam proses penelitian terjadi kerusakan pada gigi tiruan Bapak/Ibu,
baik berupa retak atau patah, maka peneliti bersedia untuk bertanggungjawab dengan
menyediakan biaya untuk mereparasi gigi tiruan tersebut.
Jika Bapak/Ibu sudah mengerti isi dari lembar persetujuan ini dan bersedia
menjadi subjek penelitian, maka mohon kiranya Bapak/Ibu untuk mengisi dan
menandatangani surat pernyataan persetujuan sebagai subjek penelitian yang
terlampir pada lembar berikutnya. Perlu untuk Bapak/Ibu ketahui, bahwa surat
kesediaan tersebut tidak mengikat dan Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri dari
penelitian bila Bapak/Ibu merasa keberatan.
Demikian lembar penjelasan ini saya buat, semoga keterangan ini dapat
dimengerti dan atas kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini
saya ucapkan terima kasih.
Medan, ............... 2019
(Amira Putri Heidira)
Universitas Sumatera Utara
79
Lampiran 5
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : L/P
Alamat :
Menyatakan telah membaca lembar penjelasan kepada subjek penelitian dan sudah
mengerti serta bersedia untuk turut serta sebagai subjek penelitian, dalam penelitian
mahasiswa atas nama Amira Putri Heidira yang berjudul “PENGARUH ANATOMI
STRUKTUR PENDUKUNG GIGI TIRUAN PENUH RAHANG BAWAH
TERHADAP RETENSI DAN STABILISASI” dan menyatakan tidak keberatan
dalam pelaksanaan penelitian serta tidak akan melakukan penuntutan di kemudian
hari.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat, penuh kesadaran, dan tanpa
paksaan dari pihak manapun dan sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri.
Medan, 2019
Pembuat pernyataan
(materai)
(......…………….…..)
Tanda tangan dan nama jelas
Universitas Sumatera Utara
80
Lampiran 6
KUESIONER PENELITIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
DEPARTEMEN PROSTODONSIA
No. Responden :
Tanggal :
I. Pencatatan Karakteristik Pasien
Nama pasien :
Alamat :
Umur : tahun
Jenis kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Pendidikan : 1. Tidak sekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan Tinggi
Pengalaman memakai : 1. Iya
GTP sebelumnya 2. Tidak
PENGARUH ANATOMI STRUKTUR PENDUKUNG GIGI
TIRUAN PENUH RAHANG BAWAH TERHADAP RETENSI
DAN STABILISASI
Universitas Sumatera Utara
81
LEMBAR PEMERIKSAAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
DEPARTEMEN PROSTODONSIA
I. Anatomi struktur pendukung gigi tiruan rahang bawah
1. Resiliensi puncak linggir alveolar
1. Resilien
2. Flabby
2. Bentuk dari linggir alveolar
1. Klas III
2. Klas IV
3. Klas V
4. Klas VI
II. Penilaian terhadap retensi dan stabilisasi gigi tiruan penuh rahang
bawah
1. Retensi gigi tiruan penuh rahang bawah
0 – Sangat buruk
1 – Buruk
2 – Sedang
3 – Baik
2. Stabilisasi gigi tiruan penuh rahang bawah
0 – Buruk
1 – Sedang
2 – Baik
Universitas Sumatera Utara
82
Lampiran 7
Frequencies
Statistics
Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pengalaman GTP
N Valid 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0
Frequency Table
Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
30-39 Tahun 1 3,3 3,3 3,3
40-49 Tahun 6 20,0 20,0 23,3
50-59 Tahun 7 23,3 23,3 46,7
60-69 Tahun 16 53,3 53,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Laki-Laki 11 36,7 36,7 36,7
Perempuan 19 63,3 63,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak Sekolah 2 6,7 6,7 6,7
SD 15 50,0 50,0 56,7
SMP 6 20,0 20,0 76,7
SMA 5 16,7 16,7 93,3
Perguruan Tinggi 2 6,7 6,7 100,0
Total 30 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
83
Pengalaman GTP
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ya 22 73,3 73,3 73,3
Tidak 8 26,7 26,7 100,0
Total 30 100,0 100,0
X1 (Resiliensi)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Resilien 14 46,7 46,7 46,7
Flabby 16 53,3 53,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
X1 (Resiliensi) * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
X1 (Resiliensi)
Resilien Count 5 9 14
% within X1 (Resiliensi) 35,7% 64,3% 100,0%
Flabby Count 6 10 16
% within X1 (Resiliensi) 37,5% 62,5% 100,0%
Total Count 11 19 30
% within X1 (Resiliensi) 36,7% 63,3% 100,0%
X2 (Bentuk Linggir)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Klas III 15 50,0 50,0 50,0
Klas IV 12 40,0 40,0 90,0
Klas V 3 10,0 10,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
84
X2 (Bentuk Linggir) * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
X2 (Bentuk Linggir)
Klas III Count 6 9 15
% within X2 (Bentuk Linggir) 40,0% 60,0% 100,0%
Klas IV Count 5 7 12
% within X2 (Bentuk Linggir) 41,7% 58,3% 100,0%
Klas V Count 0 3 3
% within X2 (Bentuk Linggir) 0,0% 100,0% 100,0%
Total Count 11 19 30
% within X2 (Bentuk Linggir) 36,7% 63,3% 100,0%
Y1 (Retensi)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Buruk 6 20,0 20,0 20,0
Buruk 10 33,3 33,3 53,3
Sedang 9 30,0 30,0 83,3
Baik 5 16,7 16,7 100,0
Total 30 100,0 100,0
Y1 (Retensi) * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
Y1 (Retensi)
Sangat Buruk Count 3 3 6
% within Y1 (Retensi) 50,0% 50,0% 100,0%
Buruk Count 5 5 10
% within Y1 (Retensi) 50,0% 50,0% 100,0%
Sedang Count 1 8 9
% within Y1 (Retensi) 11,1% 88,9% 100,0%
Baik Count 2 3 5
% within Y1 (Retensi) 40,0% 60,0% 100,0%
Total Count 11 19 30
% within Y1 (Retensi) 36,7% 63,3% 100,0%
Universitas Sumatera Utara
85
Y2 (Stabilisasi)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Buruk 3 10,0 10,0 10,0
Sedang 11 36,7 36,7 46,7
Baik 16 53,3 53,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
Y2 (Stabilisasi) * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
Y2 (Stabilisasi)
Buruk Count 1 2 3
% within Y2 (Stabilisasi) 33,3% 66,7% 100,0%
Sedang Count 3 8 11
% within Y2 (Stabilisasi) 27,3% 72,7% 100,0%
Baik Count 7 9 16
% within Y2 (Stabilisasi) 43,8% 56,2% 100,0%
Total Count 11 19 30
% within Y2 (Stabilisasi) 36,7% 63,3% 100,0%
Resiliensi*Retensi
Crosstab
Y1 (Retensi) Total
Sangat Buruk Buruk Sedang Baik
X1 (Resiliensi)
Resilien Count 0 3 7 4 14
% within X1 (Resiliensi) 0,0% 21,4% 50,0% 28,6% 100,0%
Flabby Count 6 7 2 1 16
% within X1 (Resiliensi) 37,5% 43,8% 12,5% 6,2% 100,0%
Total Count 6 10 9 5 30
% within X1 (Resiliensi) 20,0% 33,3% 30,0% 16,7% 100,0%
Universitas Sumatera Utara
86
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square 12,098a 3 ,007 ,004
Likelihood Ratio 14,699 3 ,002 ,005
Fisher's Exact Test 11,788 ,005
Linear-by-Linear
Association 10,555
b 1 ,001 ,001 ,001 ,001
N of Valid Cases 30
a. 7 cells (87,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,33.
b. The standardized statistic is -3,249.
Bentuk Linggir*Retensi
Crosstab
Y1 (Retensi) Total
Sangat
Buruk
Buruk Sedang Baik
X2 (Bentuk
Linggir)
Klas
III
Count 0 4 7 4 15
% within X2 (Bentuk
Linggir) 0,0% 26,7% 46,7% 26,7% 100,0%
Klas
IV
Count 5 5 1 1 12
% within X2 (Bentuk
Linggir) 41,7% 41,7% 8,3% 8,3% 100,0%
Klas V
Count 1 1 1 0 3
% within X2 (Bentuk
Linggir) 33,3% 33,3% 33,3% 0,0% 100,0%
Total
Count 6 10 9 5 30
% within X2 (Bentuk
Linggir) 20,0% 33,3% 30,0% 16,7% 100,0%
Universitas Sumatera Utara
87
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square 11,711a 6 ,069 ,058
Likelihood Ratio 15,016 6 ,020 ,031
Fisher's Exact Test 12,036 ,023
Linear-by-Linear
Association 7,185
b 1 ,007 ,007 ,004 ,003
N of Valid Cases 30
a. 11 cells (91,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,50.
b. The standardized statistic is -2,680.
Resiliensi*Stabilisasi
Crosstab
Y2 (Stabilisasi) Total
Buruk Sedang Baik
X1 (Resiliensi)
Resilien Count 1 3 10 14
% within X1 (Resiliensi) 7,1% 21,4% 71,4% 100,0%
Flabby Count 2 8 6 16
% within X1 (Resiliensi) 12,5% 50,0% 37,5% 100,0%
Total Count 3 11 16 30
% within X1 (Resiliensi) 10,0% 36,7% 53,3% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square 3,488a 2 ,175 ,217
Likelihood Ratio 3,575 2 ,167 ,294
Fisher's Exact Test 3,443 ,217
Linear-by-Linear
Association 2,500
b 1 ,114 ,177 ,094 ,065
N of Valid Cases 30
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,40.
b. The standardized statistic is -1,581.
Universitas Sumatera Utara
88
Bentuk Linggir*Stabilisasi
Crosstab
Y2 (Stabilisasi) Total
Buruk Sedang Baik
X2 (Bentuk
Linggir)
Klas III
Count 0 2 13 15
% within X2 (Bentuk
Linggir) 0,0% 13,3% 86,7% 100,0%
Klas IV
Count 2 7 3 12
% within X2 (Bentuk
Linggir) 16,7% 58,3% 25,0% 100,0%
Klas V
Count 1 2 0 3
% within X2 (Bentuk
Linggir) 33,3% 66,7% 0,0% 100,0%
Total
Count 3 11 16 30
% within X2 (Bentuk
Linggir) 10,0% 36,7% 53,3% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square 14,698a 4 ,005 ,004
Likelihood Ratio 17,374 4 ,002 ,001
Fisher's Exact Test 14,662 ,001
Linear-by-Linear
Association 12,728
b 1 ,000 ,000 ,000 ,000
N of Valid Cases 30
a. 6 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,30.
b. The standardized statistic is -3,568.
Universitas Sumatera Utara