PENGARUH AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN … · Berdasarkan metode purposive sampling, total sampel...
Transcript of PENGARUH AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN … · Berdasarkan metode purposive sampling, total sampel...
i
PENGARUH AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH
DAERAH (LKPD) DAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP TINGKAT KORUPSI PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh:
Rika Wulandari
NIM. 1111082000060
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
1437/2015
ii
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap : Rika Wulandari
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Juni 1993
3. Alamat : Perum. Pondok kacang prima Blok H2 no.9
Pondok Aren- Tangerang Selatan
4. Telepon : 085778172785
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1. SDN Sudimara 1 Ciledug 1999-2005
2. SMP Al-Mubarak Jombang 2003-2006
3. SMK Kartika X-2 Jakarta Selatan 2006-2009
4. S1 Ekonomi Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah 2011-2015
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Lembaga Bahasa & Pendidikan Profesional LIA, English for Adults:
Elementary Levels- Intermediate Levels, 2009-2010.
2. Tempo Direct Selling, Pelatihan di bidang penjualan, 2008-2009.
IV. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Forum Lingkar Pena (FLP), FLP Ciputat Angkatan X, 2013.
V. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Workshop Pelatihan Ms. Excel oleh Lisensi UIN Syarif Hidayatullah,
Desember 2014.
vi
2. Seminar Nasional Accounting Fair 2014 oleh HMJ Akuntansi UIN Syarif
Hidayatullah, “Kredibilitas Seorang Akuntan Dalam Menghadapi
Perkembangan Syariah Di Indonesia”.
3. Company Visit oleh Lisensi UIN Syarif Hidayatullah ke Bank Indonesia, 28
Desember 2012.
4. Seminar Nasional oleh Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi pembangunan
UIN Syarif Hidayatullah, “Korupsi Mengorupsi Indonesia”, 3 Desember 2014.
5. Seminar Safari Ramadhan OJK oleh UIN Syarif Hidayatullah dan OJK, “
Edukasi Produk dan Jasa Keuangan Gerakan Literasi Keuangan, 10 Juli 2014.
6. Simulasi pasar modal oleh Kresna Securities dan Fakultas ekonomi dan Bisnis,
“Knowing More Doing More To Be Smart Investor”, 12 November 2013.
VI. KEPANITIAAN
1. Festival Anak Soleh bersama FLP Ciputat, sebagai divisi dekorasi, 28 Juni 2015
VII. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Mansyurdin Tanjung
2. Tempat, Tanggal Lahir : Pariaman, 10 Oktober 1960
3. Ibu : Ernawati
4. Tempat, Tanggal Lahir : Pariaman, 16 Oktober 1966
5. Alamat : Perum. Pondok kacang prima Blok H2 no.9
Pondok aren- Tangerang Selatan
6. Anak ke dari : 3 dari 5 bersaudara.
vii
ABSTRAK
PENGARUH AKUNTABILITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH
DAERAH (LKPD) DAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP TINGKAT KORUPSI PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Oleh
Rika Wulandari
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh akuntabilitas laporan keuangan
pemerintah daerah (opini audit, kelemahan sistem pengendalian intern, dan kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan) dan kinerja keuangan pemda
(rasio kemandirian, rasio aktifitas, dan rasio pertumbuhan) terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan sampel laporan
keuangan Pemda kabupaten dan kota di Indonesia yang diaudit oleh BPK selama
tahun 2012-2013 dan Laporan Tahunan KPK selama tahun 2012-2013.
Berdasarkan metode purposive sampling, total sampel penelitian adalah 844
laporan keuangan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik
regresi logistik. Penelitian ini menunjukkan bahwa Rasio Kemandirian berpengaruh
signifikan terhadap Tingkat korupsi di Indonesia. Rasio kemandirian memiliki nilai
signifikan sebesar 0,021 berada dibawah 0,05, dan kelemahan SPI, kepatuhan
peraturan perundang-undangan, rasio aktifitas, dan rasio pertumbuhan tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi di indonesia.
Kata kunci: akuntabilitas, opini audit, kelemahan sistem pengendalian intern,
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kinerja
keuangan, rasio kemandirian, rasio aktifitas, rasio pertumbuhan, korupsi,
pemerintah daerah
.
viii
ABSTRACT
THE EFFECT OF ACCOUNTABILITY OF LOCAL GOVERNMENT
FINANCIAL STATEMENTS AND FINANCIAL PERFORMANCE OF LOCAL
GOVERNMENT ON THE LEVEL OF LOCAL GOVERNMENT CORRUPTION
IN INDONESIA.
By
Rika Wulandari
This research is to check the effect of Accountability of local government financial
statements (audit opinion, the weakness of internal control systems, and compliance
with provisions of laws) and financial performance of local government
(independency ratio, activity ratio and growth ratio) on the level of local government
corruption in Indonesia. This research was using samples of data from the audit
results of the Badan Pemeriksa Keuangan to the financial statements of local
government on the districts and cities of indonesia in 2012 and 2013 and The annual
report of Komisi Pemberantasan Korupsi in 2012 and 2013. Based on method
purposive sampling, research samples total are 844 financial statements of local
government. Hypothesis in this research used logistic regression.
This research indicated that Independency ratio had significant effect on the level
of corruption. Independency ratio had significant value of 0,021 below 0,05. Audit
audit opinion, the weakness of internal control systems, and compliance with
provisions of laws, activity ratio and growth ratio did not have significant effect on
the level of local government corruption in Indonesia.
Keywords: accountability, audit opinion, the weakness of internal control systems,
compliance with provisions of laws, financial performance, indepen-
dency ratio, activity ratio and growth ratio, corruption, local government.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan karunia-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta
salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang telah
membimbing umatnya menuju jalan kebenaran. Skripsi ini disusun dalam rangka
memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini, dengan segala
kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih atas bantuan, bimbingan,
dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam
penyelesaian skripsi ini, kepada:
1. Bapak Mansyurdin Tanjung dan Mama Ernawati tersayang terimakasih atas segala
pengorbanan, perhatian, kasih sayang, dukungan dan doa tiada henti yang selalu
tercurah untuk ananda, semoga ananda senantiasa bisa membuat kalian bangga dan
bahagia.
2. Bapak Dr. M. Arief Mufraini, Lc., MA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Yessi Fitri, SE., M.Si., Ak., CA Selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Dosen
Pembimbing Skripsi II yang telah meluangkan waktu, mencurahkan perhatian,
membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis. Terimakasih atas
semua saran yang Ibu berikan selama proses penulisan skripsi sampai
terlaksananya sidang skripsi.
4. Bapak Hepi Prayudiawan, S.E., M.M., Ak., CA selaku Sekretaris Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dr. Rini, M.Si., Ak., CA selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan pengarahan dan
bimbingan dalam penulisan skripsi ini
x
6. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan karyawan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
7. Adik dan kakakku tercinta Ka cici, Bang ido, Intan, dan Franky terimakasih atas
dukungan yang bersifat moril dan materiil yang diberikan kepada penulis.
8. Sahabat terbaikku, Anisa Namira Oktawidya, Maria Ulfah, Rika Jayanti, Sayfa
Rodiyah, dan Husniyati. Terimakasih telah memberikan motivasi dan doa kepada
penulis selama proses pembuatan skripsi.
9. Sahabat seperjuanganku, Husni Aenin, Mutia Rahmah, Alifia Puspita, Hanifa
Silfianie, terimakasih untuk kebersamaan kita yang luar biasa, semoga silaturahmi
kita tetap terjalin dengan baik.
10. Seluruh Kawan-kawan Akuntansi 2011 khususnya Akuntansi B dan Adik-adik
angkatan 2012 dan 2013 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Nopember 2015
Rika Wulandari
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................................ i
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ............................................................... ii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi .......................................................................... iii
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ........................................................... iv
Daftar Riwayat Hidup ................................................................................................ v
Abstract ..................................................................................................................... vii
Abstrak ..................................................................................................................... viii
Kata Pengantar.......................................................................................................... ix
Daftar Isi .................................................................................................................... xi
Daftar Tabel .............................................................................................................. xv
Daftar Gambar ........................................................................................................ xvi
Daftar Lampiran .................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .. .................................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................................... 13
1. Tujuan Penelitian ............................................................................... 13
2. Manfaat Penelitian ............................................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 17
A. Tinjauan Literatur............................................................................................ 17
1. Grand Theory ................................................................................... 17
1.1 Teori Stewardship ........................................................................ 17
1.2 Teori Keagenan ............................................................................. 18
2. Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah ...................... 21
2.1 Akuntabilitas ................................................................................ 21
2.3 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah ................ 26
3. Keuangan Daerah ............................................................................. 32
4. Kinerja keuangan pemerintah ...................................................................... 41
xii
5. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah .................................................... 46
6. Korupsi .............................................................................................. 49
6.1 Pengertian Korupsi ........................................................................ 49
6.1.2 Tipologi Korupsi ................................................................ 51
6.2 Penyebab Korupsi ........................................................................ 56
6.3 Persepsi Tingkat Korupsi Di Kota/Kabupaten Di Indonesia ......... 59
B. Penelitian Sebelumnya .................................................................................................. 61
C. Keterkaitan Antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis .................................. 67
D. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................................. 80
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 82
B. Metode Penentuan Sampel .............................................................................. 82
C. Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 83
D. Metode Analisis Data ..................................................................................... 83
1. Definisi Regresi Logistik ........................................................................... 84
2. Tahapan Regresi Logistik ......................................................................... 85
a. Statistik Deskriptif ................................................................................. 85
b. Pengujian Hipotesis Penelitian .............................................................. 85
1) Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit) ............................. 86
2) Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square) ............................. .. 86
3) Menguji Kelayakan Model Regresi ................................................... 87
4) Uji Multikolinearitas . ...................................................................... 88
5) Matriks Klasifikasi ........................................................................... 88
6) Model Regresi yang Terbentuk ........................................................ 88
E. Operasionalisasi Variabel ....................................................................... 89
1. Variabel Independen ........................................................................... 89
a. Opini Audit LKPD(X1) .................................................................. 89
b. Kelemahan sistem pengendalian intern LKPD (X2) ...................... 90
c. Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan (X3) ......... 91
d. Kinerja Keuangan ........................................................................... 92
xiii
1. Rasio Kemandirian daerah (X4) ............................................ 92
2. Rasio Aktivitas Belanja operasional (X5) ............................. 93
3. Rasio Aktivitas Belanja modal (X6) ..................................... 93
4. Rasio Pertumbuhan (X6) ....................................................... 94
2. Variabel dependen ............................................................................. 95
a. Korupsi (Y) ................................................................................. 95
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 97
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................................ 97
1. Laporan hasil pemeriksaan atas LK tahun 2012 dan 2013 .......................... 97
2. Data korupsi Kabupaten dan Kota ............................................................. 99
3. Deskripsi Sampel Penelitian .................................................................... 100
B. Hasil Uji Analisis Data Penelitian ................................................................. 102
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif .................................................................... 102
2. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ................................................................. 107
a. Hasil Uji Kesesuaian Keseluruhan Model (Overall Model Fit) ......... 107
b. Hasil Uji Koefisien Determinasi ( Nagelkerke R Square) ................... 109
c. Hasil Uji Kelayakan Model Regresi .................................................... 111
d. Hasil Uji Multikolinearitas ................................................................. 112
e. Hasil Matriks Klasifikasi . ................................................................. . 113
f. Hasil Uji Regresi Logistik ..................................................................... 114
1) Pengaruh Opini Audit terhadap terhadap tingkat korupsi ............. 115
2) Pengaruh kelemahan SPI terhadap tingkat korupsi ....................... 117
3) Pengaruh Kepatuhan peraturan perundangan terhadap tingkat
korupsi .......................................................................................... 117
4) Pengaruh Rasio kemandirian terhadap tingkat korupsi ................... 119
5) Pengaruh Rasio Aktivitas belanja opr terhadap tingkat korupsi .... 120
6) Pengaruh Rasio Aktivitas belanja mod terhadap tingkat korupsi .. 122
7) Pengaruh Rasio Pertumbuhan terhadap tingkat korupsi ................ 122
BAB V PENUTUP ......................................................................................... ........ 125
A. Kesimpulan ................................................................................................ 125
xiv
B. Implikasi .................................................................................................... 127
C. Saran .......................................................................................................... 128
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 129
Lampiran-lampiran ............................................................................................... 138
xv
DAFTAR TABEL
No. Keterangan
Halaman
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu.............................................................................62
3.1 Kriteria Rasio Kemandirian...........................................................................93
4.1 Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria .....................................................99
4.2 Distribusi Pemda Berdasarkan Opini Audit.................................................100
4.3 Statistik Deskriptif........................................................................................102
4.4 Iteration History 0 ................................................. .....................................108
4.5 Iteration History 1 .................................................................... ................. 109
4.6 Koefisien Determinasi ................................................................................ 111
4.7 Menguji Kelayakan Model Regresi ............. .............................................. 111
4.8 Hasil Uji Multikolinearitas ..........................................................................113
4.9 Matriks Klasifikasi ......................................................................................113
4.10 Hasil Uji Koefisien Regresi Logistik ...................... ...................................114
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1 Tipologi Korupsi............................................................................................52
2.2 Skema Kerangka Pemikiran...........................................................................81
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1. Data Sampel ............................................................................................... 138
2. Hasil Output SPSS ................................................. ................................... 167
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi yang terjadi di Indonesia yang berawal disekitar tahun 2000-an
telah membawa angin segar bagi pemerintah daerah di berbagai daerah untuk bisa
mengatur dan mengelola keuangannya secara mandiri. Dengan dikeluarkannya
UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
dan kemudian di revisi dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 lebih menegaskan
kewenangan Pemda dalam pelaksanaan otonomi yang diberikan kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri sistem pemerintahan daerah yang sudah
ada (Heriningsih, 2014).
Fenomena korupsi yang banyak terjadi di Indonesia dalam era reformasi, hal
ini menyebabkan semakin kecilnya kepercayaan masyarakat akan kinerja
pemerintah. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan daerah.
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
Fenomena korupsi di daerah yang semakin terbuka, terjadi karena terdapat
perbedaan atau ketidak konsistensian peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat dan daerah. Money politics merupakan salah satu bentuk terjadinya korupsi,
kolusi, dan Nepotisme (KKN) di daerah. Otonomi daerah pada dasarnya di
berikan kepada daerah agar pemerintah daerah dapat meningkatkan efisiensi,
efektifitas, dan akuntabilitas pemerintah daerah untuk tercapainya good
governance (Mardiasmo, 2009). Namun menurut Rinaldi, Purnomo, dan
2
Damayanti (2007) dalam Heriningsih (2013) sejak diberlakukannya otonomi
otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah di
tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di pemerintah daerah yang
meningkat.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi membuka jalan bagi
pemerintah untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi
pada kepentingan publik. Jika pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara
ekonomis, efisien, efektif, transparansi, akuntabilitas dan berkeadilan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sehingga keuangan daerah
merupakan salah satu unsur yang penting dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan daerah. Untuk pengelolaan keuangan daerah dibutuhkan
sumber daya ekonomi berupa keuangan yang dituangkan dalam suatu anggaran
pemerintah daerah (Dwijayanti dan Rusherlistyanti, 2013).
Kasus-kasus korupsi dalam tahun-tahun belakangan ini memberikan bukti
lebih jauh tentang kurangnya peran akuntabilitas LKPD dan kinerja keuangan
pemerintah daerah yang membawa akibat serius bagi bangsa dan negara.
Berikut ini beberapa kepala daerah yang pernah dan akan berhadapan dengan
pengadilan: Simeon Thobias Pally, Mantan bupati Alor, Kasus Korupsi Dana
Hibah kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Alor tahun 2012 dan
2013 Rp 1,6 Miliar (Bere, 2015). Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten
ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Alat
Kesehatan (Alkes) di Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2011-
2013. Romi herton, Walikota Palembang didakwa penuntut umum KPK dengan
3
pasal penyuapan dan pemberian keterangan bohong. Ade Swara, Bupati
Karawang ditetapkan sebagai tersangka setelah kedapatan menerima uang hasil
pemerasan terkait izin penerbitan Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang (SPPR).
Yesaya Sombuk, Bupati Biak Numfor ditangkap KPK usai menerima uang
sejumlah Sing$100 ribu dari Teddy Renyut (Nov, 2015).
Menurut Mardiasmo (2009) akuntabilitas pada organisasi sektor publik,
mempunyai arti bahwa pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan
keagenan (teori keagenan) antara masyarakat sebagai principal dan pemerintah
sebagai agent. Menurut Lane (2000) teori keagenan dapat diterapkan dalam
organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan
pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Hal senada dikemukakan oleh Moe
(1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan
menggunakan teori keagenan. Bergman dan Lane (1990) menyatakan bahwa
rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat
penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik.
Pasal 31 ayat (1) UU nomor 17 tahun 2003 menyatakan Gubernur/ Bupati/
Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah (perda) tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambat-lambatnya
6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Sedang Pasal 31 ayat (2) UU
nomor 17 tahun 2003 menyatakan laporan keuangan meliputi Laporan Realisasi
APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporan keuangan pemerintah daerah. Salah satu upaya konkrit
4
untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang
memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar
akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Pada tahun 2005
Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan yang penerapannya masih bersifat sementara
dan dikembangkan menjadi PP Nomor 71 tahun 2010 tentang SAP Berbasis
Akrual dan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual (PP 71, 2010).
Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan
pemda maka laporan keuangan perlu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Adapun bentuk auditnya adalah audit keuangan. Pasal 15 ayat (1) UU
nomor 15 tahun 2004 menyatakan pemeriksa (BPK) menyusun laporan hasil
pemeriksaan (LHP) setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Hasil pemeriksaan
keuangan disajikan dalam tiga kategori yaitu opini, sistem pengendalian internal,
dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
Pada Semester I Tahun 2014, BPK memprioritaskan pemeriksaannya pada
pemeriksaan keuangan. Pemeriksaan keuangan dilakukan terhadap 559 objek
pemeriksaan yang meliputi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP),
Laporan Keuangan Kementerian/ Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD), dan Laporan Keuangan Badan Lainnya termasuk
Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pemeriksaan laporan keuangan menjadi prioritas karena pemeriksaan atas laporan
keuangan bersifat mandatory audit yang harus dilaksanakan BPK.
5
Hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan mengungkapkan bahwa BPK
memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP (Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat) dan jumlah yang memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) sebanyak 64 LKKL (74,41%), opini WDP atas 19 LKKL
(22,09%), dan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) pada 3 LKKL (3,48%)
dari 86 LKKL yang diperiksa (BPK, 2012).
Untuk LKPD, dari 524 pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota wajib
menyusun laporan keuangan (LK) Tahun 2013, BPK telah menyelesaikan
pemeriksaan atas 456 LKPD. Hasilnya, BPK memberikan opini WTP atas 153
LKPD (33,55%), opini WDP atas 276 LKPD (60,52%), opini Tidak Wajar (TW)
atas 9 LKPD (1,97%), dan opini TMP atas 18 LKPD (3,94%). Selain itu, pada
Semester I Tahun 2014 BPK juga telah menyelesaikan pemeriksaan atas satu
LKPD Tahun 2012 dengan opini TMP.
Berdasarkan pada LHP semester 2, BPK menilai Persiapan pemerintah pusat
belum sepenuhnya efektif untuk mendukung penerapan Sistem Akuntansi
Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015. Salah satu permasalahan yang ada,
ketentuan turunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/ PMK.05/2013
tentang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat dan Pedoman Penyusunan Laporan
Keuangan Berbasis Akrual tidak segera ditetapkan. Hal ini mengakibatkan
ketidakjelasan bagi para satuan kerja (satker) pengelola bagian anggaran
Bendahara Umum Negara dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual,
ketidakseragaman penyajian keuangan K/L, dan ketidakhandalan data untuk
penyusunan laporan keuangan (BPK, 2012).
6
Hasil pemeriksaan pada pemerintah daerah dan BUMD mengungkapkan
5.746 temuan, yang di dalamnya terdapat 1.810 permasalahan kelemahan SPI dan
5.519 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai
Rp4,52 triliun (BPK, 2012).
LKPD menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah daerah
yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga
untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah sangat
penting untuk selalu dilakukan audit atas LKPD oleh pihak independent (BPK
RI). Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat berupa opini auditor, kelemahan
pengendalian internal, dan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan.
Terdapat empat jenis pendapat auditor (BPK). Apabila opini auditor
unqualified opinion maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemeritah daerah
semakin bagus dan diharapkan akan mengurangi terjadinya korupsi. Sedangkan
jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimer opinion, maka masih
ada kemungkinan terjadi salah saji yang material sehingga dapat juga
mengindikasikan bisa terjadi korupsi (Heriningsih, 2013).
Selain menerbitkan laporan hasil pemeriksaan keuangan atas laporan
keuangan pemerintah daerah yang berupa opini, BPK juga menerbitkan laporan
hasil pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada setiap entitas yang
diperiksa. Laporan ini memaparkan tingkat kelemahan pengendalian intern yang
terjadi pada suatu entitas (pemerintah daerah).
Hasil evaluasi SPI oleh BPK menunjukkan kasus-kasus kelemahan sistem
pengendalian intern yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan sistem
7
pengendalian akuntansi dan pelaporan, kelemahan sistem pengendalian
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta kelemahan struktur
pengendalian intern. Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern yang
terjadi pada suatu pemerintah daerah berarti menunjukkan tingkat
akuntabilitasnya semakin rendah dan akan meningkatkan peluang terjadinya
korupsi (BPK, 2012).
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai
akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dilaksanakan
guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh ketidakpatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung
dan material terhadap penyajian laporan keuangan. Hasil pemeriksaan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan atas laporan keuangan mengungkapkan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan
kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, kelemahan
administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.
Hasil penelitian Setiawan (2012) menunjukkan bahwa akuntabilitas laporan
keuangan pemerintah daerah (opini audit, kelemahan sistem pengendalian intern,
dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan) tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
Berdasarkan pada penelitian Effendy (2013) menunjukan bahwa Opini BPK atau
hasil audit BPK tidak dapat dipastikan dapat menjamin baik dan buruknya
pengelolaan keuangan, karena harus dapat diyakini pemeriksaan kewajaran
8
dalam pemeriksaan yang bebas dan mandiri. Namun penelitian ini tidak dikaitkan
dengan korupsi. berdasarkan pada penelitian Heriningsih dan Marita (2013)
menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh opini audit pemda yang diberikan
BPK terhadap tingkat korupsi di pulau Jawa. Berdasarkan pada penelitian Sarah
(2014) terdapat kaitan antara opini yang diberikan oleh BPK RI dengan korupsi.
Berdasarkan pada penelitian Herininingsih (2014) menunjukkan bahwa tingkat
akuntabilitas pemerintah daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di
Indonesia.
Penilaian kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya bisa dilihat dari hasil
audit BPK, namun bisa juga di nilai dari kinerja keuangannya dengan berdasarkan
rasio keuangan pada APBD. Dengan menggunakan rasio keuangan APBD dapat
terlihat tingkat kemandirian, tingkat aktivitas, dan tingkat pertumbuhan suatu
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan pemerintah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan dari periode ke periode
berikutnya (Heriningsih, 2013).
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi
maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka
kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari
apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila
pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang
direncanakan, maka kinerjanya buruk. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran
kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada
9
dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai
analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan
potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut (Nugroho, 2012).
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2000 Pasal 4 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah menegaskan bahwa pengelolaan keuangan
daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan (Wahyuni, 2007). Dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan
pengelolaan APBD perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah
dikatakan mandiri, efektif dan efisien serta akuntabel. Untuk itu diperlukan suatu
pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam
penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran selanjutnya (Fidelius, 2013).
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007: 230).
Analisis rasio dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu
periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi.
Dalam penelitian ini Rasio yang digunakan untuk melihat kinerja keuangan di
pemerintah daerah yaitu rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio
pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Susantih dan Saftiana (2009) tidak ada
perbedaan signifikan kinerja keuangan daerah pemda pada lima propinsi se-
10
Sumatera Selatan (Sumsel, Lampung, Jambi, Bangka belitung, dan Bengkulu).
Hal ini menunjukkan bahwa ke-lima propinsi se-Sumatera bagian Selatan
mempunyai kebijakan keuangan yang hampir serupa antar satu dengan yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian Agustina (2013) dari analisis rasio keuangan daerah
dapat disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan
tingkat kemandirian daerah kota Malang yang terus membaik. Namun penelitian
ini tidak mengaitkan dengan korupsi dan hanya terbatas pada lingkup kota
Malang. Berdasarkan pada penelitian Heriningsih dan Marita (2013) Bahwa
kinerja keuangan (rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan) tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Pulau Jawa. Namun penelitian ini hanya
terbatas pada ruang lingkup pulau Jawa. Oleh karena itu, penulis melakukan
penelitian pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu kabupaten/kota di Indonesia.
Berdasarkan pada penelitian Heriningsih (2014) bahwa akuntabilitas LKPD (opini
audit, Kelemahan SPI, dan kepatuhan terhadap peraturan UU) tidak
mempengaruhi tingkat korupsi pada kabupaten dan kota di Indonesia.
Apabila di kaitkan dengan tingkat korupsi yang mungkin terjadi di pemerintah
daerah bila rasio kemandirian suatu daerah bagus/tinggi maka semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan restribusi daerah yang akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, dengan
demikian seharusnya tidak terjadi korupsi. Demikian juga dengan rasio aktivitas
maupun rasio pertumbuhan, jika rasio aktivitas maupun rasio pertumbuhan bagus
maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan di daerah yang tentu saja
kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, dan seharusnya tidak terjadi
11
korupsi. Semakin baik terciptanya transparansi dan akuntabilitas diyakini dapat
mengurangi praktek korupsi di pemerintah daerah. Semakin baik akuntabilitas
keuangan pemerintah, maka korupsi yang terjadi di daerah harapannya semakin
berkurang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Setiawan (2012) yang
menunjukkan bahwa akuntabilitas laporan keuangan pemerintah (opini audit,
kelemahan Sistem pengendalian intern, dan ketidak patuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan) tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah di Indonesia. Dan hasil penelitian Heriningsih (2013) yang
menunjukan bahwa opini audit dan kinerja keuangan yang tidak berpengaruh
terhadap tingkat korupsi di provinsi.
Akuntabilitas oleh pemerintah daerah sangat penting karena merupakan salah
satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang
mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah. Dalam
konteks demokrasi, masyarakat sebagai pihak yang memberikan kekuasaan
kepada pemerintah daerah berhak memperoleh informasi atas kinerja pemerintah.
Dengan adanya akuntabilitas pemerintah daerah, masyarakat dapat berperan
dalam pengawasan atas kinerja pemerintah daerah, sehingga jalannya
pemerintahan dapat berlangsung dengan baik (Setiawan, 2012). Selain itu dengan
tingkat kinerja Pemerintah Daerah dapat dijadikan suatu acuan untuk
meningkatkan kinerja keuangan Pemerintah daerah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan paparan diatas, Penelitian ini mengacu pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh yang dilakukan oleh Setiawan (2012) yang
meneliti tentang pengaruh Akuntabilitas Laporan keuangan Pemda terhadap
12
tingkat korupsi Pemda di Indonesia. Yang membedakan dengan penelitian
sebelumnya adalah dalam penelitian ini ditambahkan variabel kinerja keuangan
(rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan) sebagai variabel
independen. Penelitian ini juga mengacu pada penelitian Heriningsih dan Marita
(2013) yang meneliti tentang pengaruh opini audit dan kinerja keungan
pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah pulau Jawa.
Yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini
ditambahkan variabel kelemahan sistem pengendalian intern dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan sebagai variabel independen untuk
mengukur akuntabilitas LKPD dan ruang lingkup yang diteliti adalah pemerintah
daerah di indonesia. Secara empiris pengaruh akuntabilitas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah dan kinerja keuangan pemerintah daerah terhadap korupsi di
pemerintah daerah di Indonesia juga belum banyak diteliti.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan teori yang menyatakan bahwa
akuntabilitas publik dan kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh
terhadap korupsi dan menambah referensi tentang peran akuntabilitas publik
dalam pemberantasan korupsi dengan menganalisis secara empiris tentang
Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Korupsi
Pemerintah Daerah di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tentang sejauh mana
pengaruh akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan Kinerja
13
Keuangan pemerintah Daerah terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah,
penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan berikut:
1. Apakah opini audit laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap
tingkat korupsi pemerintah daerah?
2. Apakah tingkat kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan
pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah?
3. Apakah tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
4. Apakah rasio kemandirian daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
5. Apakah rasio aktivitas belanja operasional berpengaruh terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah?
6. Apakah rasio aktivitas belanja modal berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
7. Apakah rasio pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
C. Tujuan Penelitian dan manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis secara empiris
pengaruh kualitas akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan
kinerja keuangan terhadap korupsi pemerintah daerah melalui:
14
1. Menguji pengaruh opini audit laporan keuangan pemerintah daerah
berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
2. Menguji pengaruh tingkat kelemahan sistem pengendalian intern laporan
keuangan pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
3. Menguji pengaruh tingkat patuhan terhadap ketentuan Perundang-
undangan laporan keuangan pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah.
4. Menguji pengaruh rasio kemandirian daerah terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah.
5. Menguji pengaruh rasio aktivitas belanja operasi terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah.
6. Menguji pengaruh rasio aktivitas belanja modal terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah.
7. Menguji pengaruh rasio pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah:
1. Memberi sumbangan referensi bagi pengembangan ilmu akuntansi sektor
publik dalam perannya mengurangi korupsi yang banyak terjadi di
organisasi sektor publik di Indonesia.
2. Memberi masukan bagi kegiatan penelitian yang lain di bidang akuntansi
sektor publik terutama mengenai pentingnya akuntabilitas bagi organisasi
sektor publik.
15
Manfaat penelitian ini bagi organisasi sektor publik adalah :
1. Memberi sumbangan referensi bagi pemerintah daerah dalam
pengambilan kebijakan mengenai akuntabilitas laporan keuangan.
2. Memberi sumbangan referensi bagi organisasi sektor publik yang
berwenang dalam menentukan pedoman penyelenggaraan
pemerintahanan terutama dalam kaitanya dengan akuntabilitas laporan
keuangan dan dalam usahanya mengurangi praktek korupsi yang banyak
terjadi di organisasi sektor publik di Indonesia.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Grand Theory
1.1 Teori Stewardship
Teori stewardship dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat
manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu
bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan
kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia
(hubungan berdasarkan kepercayaan) yang dikehendaki para pemegang
saham. Dengan kata lain, teori stewardship memandang manajemen
sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-
baiknya bagi kepentingan publik atau stakeholders (Chinn, 2000: Shaw,
2003) dalam Anwar (2013).
Teori stewardship menggambarkan situasi dimana manajemen
tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan
pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi. Teori
stewardship dapat diterapkan pada penelitian akuntansi organisasi sektor
publik seperti organisasi pemerintahan (Morgan, 1996; David, 2006 dan
Thorton, 2009) dan non profit lainnya (Vargas, 2004; Caers Ralf, 2006
dan Wilson 2010) dalam Haliah (2008) yang sejak awal
perkembangannya, akuntansi organisasi sektor publik telah dipersiapkan
untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi hubungan antara stewards
18
dengan principals. Akuntansi sebagai penggerak informasi keuangan
(driver) berjalannya transaksi kearah yang semakin kompleks dan diikuti
dengan tumbuhnya spesialisasi dalam akuntansi dan perkembangan
organisasi sektor publik.
Konsep inti dari teori stewardship adalah kepercayaan. Menurut Huse
(2007: 54) dalam teori stewardship, para manajer digambarkan sebagai
“good steward”, dimana mereka setia menjalani tugas dan tanggung jawab
yang diberikan tuannya), tidak termotivasi pada materi dan uang akan
tetapi pada keinginan untuk mengaktualisasi diri, dan mendapatkan
kepuasan dari pekerjaan yang digeluti, serta menghindari konflik
kepentingan dengan stake holder-nya.
1.2 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori utama yang mendasari penelitian mengenai pengaruh
akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah dan kinerja pemerintah
daerah terhadap tingkat korupsi di Indonesia dijelaskan melalui perspektif
teori agensi. Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan manajer dan
pemilik dalam kerangka hubungan keagenan. Dalam hal ini pihak
prinsipal sebagai pemilik akan memberikan informasi kepada pihak agen
sebagai manajer untuk melakukan pengolahan informasi. Hasil
pengolahan informasi dapat digunakan dalam pengambilan keputusan bagi
pihak prinsipal. Di satu sisi, agen secara moral bertanggung jawab
mengoptimalkan keuntungan principal, namun di sisi lain manajemen
19
juga berkepentingan memaksimalkan kesejahteraan mereka sendiri.
Sehingga cenderung menimbulkan masalah agensi.
Principal-agent problem sering disebut sebagai agency dilemma.
Principal didefinisikan sebagai pihak yang merupakan pemilik dari suatu
institusi (beneficiary holder), sebutlah perusahaan atau institusi
pemerintah, sedangkan agent adalah staf yang ditunjuk untuk mengelola
dan menjalankan aktivitas. Problem muncul ketika ada perbedaan
kepentingan antara principal dan agent, dimana principal bertujuan
mengembangkan bisnis atau melaksanakan kegiatan secara efisien,
sedangkan agent bertujuan meningkatkan standar hidup dirinya dan
keluarganya. Dalam banyak kasus, tidak semua informasi yang dimiliki
oleh agen juga dimiliki oleh principal yang disebut assimetric information
sehingga sangat memungkinkan bagi agen untuk memanipulasi informasi
untuk kepentingan dirinya (Wijayanto, 2009).
Pada dasarnya organisasi sektor publik dibangun atas dasar agency
theory,diakui atau tidak di pemerintahan daerah terdapat hubungan dan
masalah keagenan (Halim dan Abullah, 2005). Menurut Lane (2000) teori
keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa
negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan
prinsipal-agen. Principal bisa mengurangi asymmetric information dengan
menempatkan pengawas, tetapi tentunya strategi ini mempunyai banyak
keterbatasan, diantaranya adalah biaya yang mahal. Selain itu, beberapa
jenis pekerjaan tidak memungkinkan dilaksanakannya pengawasan,
20
terutama tugas-tugas yang melibatkan street level bureaucrat (Lipsky,
1980). Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah harus dapat
meningkatkan akuntabilitas atas kinerjanya sebagai mekanisme checks
and balances agar dapat mengurangi asymmetry information (Setiawan,
2012).
Mardiasmo (2002) menjelaskan tentang akuntabilitas dalam konteks
sektor publik bahwa, pengertian akuntabilitas sebagai kewajiban
pemegang amanah (pemerintah) untuk memberikan pertanggungjawaban,
menyajikan melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan
yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah
(masyarakat) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban
tersebut. Pernyataan ini mengandung arti bahwa dalam pengelolaan
pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan (teori keagenan) antara
masyarakat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agent.
Berdasar agency theory pengelolaan pemerintah daerah harus diawasi
untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan
kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Dengan
meningkatnya akuntabilitas pemerintah daerah informasi yang diterima
masyarakat menjadi lebih berimbang terhadap pemerintah daerah yang itu
artinya information asymmetry yang terjadi dapat berkurang. Dengan
semakin berkurangnya information asymmetry maka kemungkinan untuk
melakukan korupsi juga menjadi lebih kecil (Setiawan, 2012).
21
2. Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
2.1. Akuntabilitas
Makna akuntabilitas umumnya terkait dengan pemberian hadiah.
Boven (2008) memaknai akuntabilitas sebagai kewajiban untuk
menjelaskan dan menjustifikasi suatu perbuatan atau keputusan yang
diakibatkan oleh diskresi yang dimiliki seorang individu. Akuntabilitas
adalah fungsi diskresi, artinya birokrat harus diberikan diskresi terlebih
dahulu baru kemudian dituntut untuk akuntabel terhadap bagaimana
mereka menggunakan diskresi yang dimilikinya. Menurut BPKP (2007)
Akuntabilitas dipandang sebagai perwujudan kewajiban seseorang atau
unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber
daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Finner dalam Joko widodo (2001) menjelaskan akuntabilitas sebagai
konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan
kebenaran suatu tindakan birokrasi. Pengendalian dari luar (external
kontrol) menjadi sumber akuntabilitas yang memotivasi dan mendorong
aparat untuk bekerja keras. Masyarakat luas sebagai penilai objektif yang
akan menentukan accountable atau tidaknya sebuah birokrasi.
Menurut Mahsun (2006) dalam Sudarsana (2013) akuntabilitas
dijelaskan dalam pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam
pengertian sempit, akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban
22
yang mengacu pada kepada siapa organisasi (pekerja individidu)
bertanggung jawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu) harus
bertanggung jawab. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dipahami
sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan
segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada
pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Makna akuntabilitas ini
merupakan inti filosofis dalam manajemen sektor publik.
Menurut Dwiyanto (2010), birokrasi weberian memandang
akuntabilitas secara sederhana, yaitu sebatas hubungan bawahan dengan
atasannya (Gerth et al dalam Sharirits et al, 1978: 24). Akuntabilitas
seorang aparat birokrasi adalah pertanggungjawabannya kepada atasan,
bukan kepada kolega, kelompok dan organisasinya. Model seperti ini
membuat kepedulian terhadap kepentingan dan misi organisasi menjadi
rendah.
Sampai saat ini, menurut Kumorotomo (2005) banyak perilaku
birokrat yang masih berorientasi pada kekuasaan bukannya kepentingan
publik ataupun pelayanan publik serta adanya perbedaan yang besar
antara apa yang dimaui oleh rakyat dengan apa yang diputuskan oleh
pembuat kebijakan. Kegagalan administrasi publik dalam menjembatani
kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya, mendorong rakyat
agar birokrasi menjadi netral. Dengan adanya kontrol dan akuntabilitas
23
yang kuat, diharapkan rumusan kebijakan oleh birokrat tidak lagi
berorientasi sempit semata.
Dalam konteks organisasi pemerintah sering ada istilah akuntabilitas
publik. Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan disclosure
atas aktivitas dan kinerja keuangan pemerintah kepada pihak–pihak yang
berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah baik pusat maupun
daerah harus bisa menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka
pemenuhan hak–hak publik (Sudarsana, 2013). Dalam konteks organisasi
sektor publik, Mardiasmo (2002) menyebutkan bahwa akuntabilitas
terdiri dari dua macam yaitu:
1. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability)
Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas
pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya
pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah
daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat.
2. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability)
Pertanggungjawaban horisontal adalah pertanggungjawaban
kepada masyarakat luas baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan rakyat. Akuntabilitas publik yang harus dijalankan oleh
organisasi sektor publik mempunyai beberapa dimensi. Ellwood
(dalam Mardiasmo, 2002) menjelaskan terdapat empat dimensi
akuntabilitas yang harus dipenui oleh organisasi sektor publik, yaitu:
24
1) Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability
for probity and legality)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penyalahgunaan
jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait
dengan jaminan adanyakepatuhan terhadap aturan hukum dan
aturan lain yang disyaratkan dalampenggunaan sumber dana
publik.
2) Akuntabilitas proses (process accountability)
Akuntabilitas proses terkait apakah prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal
kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi
manajemen, dan prosedur administrasi.
3) Akuntabilitas program (program accountability)
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah
tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil
yang optimal dengan biaya minimal.
4) Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
baik pusat maupun daerah atas kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
25
Menurut Bahrullah (2013) Terdapat dua jenis akuntabilitas, yaitu:
a. Akuntabilitas keuangan, menekankan kepada pertanggungjawaban
integritas keuangan dan keataatan terhadap peraturan perundangan,
sehingga praketek-praktek penyimpangan, kecurangan dan KKN dalam
keuangan dapat dihindari.
b. Akuntabilitas kinerja, menekankan kepada pertanggungjawaban atas
penggunaan sumber daya publik secara efisien, efektif, dan ekonomis
dalam memeberikan yang berkualitas sesuai harapan publik.
Menurut Wijayanto (2009) Variabel yang mempengaruhi sukses tidaknya
penerapan akuntabilitas diantaranya: (1) Transparansi, yaitu keterbukaan bagi
publik untuk menyelidiki, mengkritisi dan menganalisis kebijakan publik; (2)
Akses, yaitu adanya akses bagi publik terhadap informasi yang relevan,
kapanpun, dimanapun, oleh siapapun dengan biaya yang sangat rendah; (3)
responsiveness, yaitu kecepatan dalam melakukan follow up atas kritik,
masukan, dan pendapat dari publik; (4) kontrol, yaitu berfungsinya kontrol
yang ada dalam masyarakat-media; (5) tanggung jawab, yaitu tanggung jawab
pegawai dan pejabat publik untuk bekerja secara profesional sesuai dengan
standar dan kode etik yang berlaku.
Secara sederhana formula untuk membangun akuntabilitas :
Akuntabilitas: f (transparansi, akses informasi, responsiveness, kontrol,
tanggung jawab)
26
2.2 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam
Setiawan (2012) menjadi hal penting karena merupakan bentuk pertanggung
jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD. Untuk mengetahui
akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah perlu dilakukan
pemeriksaan (diaudit). Pemeriksaan tentang akuntabilitas LKPD dilakukan
BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
Negara sebagaimana dijelaskan dalam Undang 28 Undang Republik Indonesia
nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK
bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan pada (a)
kesesuaian dengan standar akuntansi Pemerintahan dan atau prinsip-prinsip
akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, b)
kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), (c) kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, (d) efektivitas sistem pengendalian intern.
Hasil dari pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang
mengambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara keseluruhan dirangkum
dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) yang dikeluarkan setahun
dua kali (tiap semester). Hasil pemeriksaan keuangan atas LKPD disajikan
dalam 3 bagian yaitu: opini, sistem pengendalian intern, dan kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan (BPK, 2012).
27
1. Opini Pemeriksaan Keuangan
Opini yang diberikan atas suatu LKPD merupakan cermin bagi kualitas
akuntabilitas keuangan atas pelaksanaan APBD. Adanya kenaikan persentase
opini wajar tanpa pengecualian (WTP) secara umum menggambarkan adanya
perbaikan akuntabilitas keuangan oleh pemerintahan daerah dalam
menyajikan laporan keuangan sesuai dengan prinsip yang berlaku (BPK,
2012).
Merujuk pada Buletin Teknis SPKN Nomor 01 tentang Pelaporan Hasil
Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, paragraf 13 tentang Jenis
Opini audit BPK RI terdiri dari empat opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP/unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified
opinion), Tidak Wajar (TW/Adverse opinion) dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP/Disclaimer opinion). Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar,
dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP) yang diberlakukan dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar
Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP) karena keadaan
tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf
penjelas dalam LHP (laporan hasil pemeriksaan) sebagai modifikasi dari opini
WTP. Wajar Dengan Pengecualian (WDP) memuat suatu pernyataan bahwa
laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material
sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan
28
yang dikecualikan. Tidak Wajar (TW) memuat suatu pernyataan bahwa
laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang
material sesuai dengan SAP. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau
Tidak Memberikan Pendapat (TMP) menyatakan bahwa pemeriksa tidak
menyatakan opini atas laporan keuangan (BPK, 2012).
Opini auditor menjadi pusat perhatian dalam setiap laporan kinerja suatu
entitas demikian juga dengan penelitian ini sehingga dengan menggunakan
penalaran bahwa jika Pemerintah daerah memperoleh opini WTP (wajar tanpa
pengecualian) maka harapannya akan semakin bagus kinerja pemerintah
daerah dan pastinya korupsi tidak dapat terjadi (Heriningsih, 2013).
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan adalah tanggung jawab
entitas sedangkan tanggung jawab BPK terletak pada pernyataan
pendapat/opini atas laporan keuangan berdasarkan pemeriksaaan yang
dilakukan secara independen, objektif, dan integritas tinggi (BPK, 2012).
2. Sistem Pengendalian Intern (SPI)
Salah satu kriteria pemberian opini adalah evaluasi atas efektivitas SPI.
Pengertian SPI menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 8 tahun 2006
tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah, Sistem
Pengendalian Intern adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen
yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam
pencapaian efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan
Pemerintah. Pengendalian intern pada pemerintah pusat dan pemerintah
29
daerah dirancang dengan berpedoman pada peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian (SPIP). SPI meliputi lima
unsur pengendalian, yaitu: lingkungan pengendalian, penilaian risiko,
kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. SPI
dinyatakan efektif apabila mampu memberikan keyakinan memadai atas
tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan entitas, keandalan
pelaporan keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lingkungan pengendalian yang
diciptakan seharusnya menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
menerapkan SPI yang didesain untuk dapat mengenali apakah SPI telah
memadai dan mampu mendeteksi adanya kelemahan. Kelemahan atas SPI
dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai berikut (BPK, 2012):
a) Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, yaitu kelemahan
sistem pengendalian yang terkait kegiatan pencatatan akuntansi dan
pelaporan keuangan.
b) Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja, yaitu kelemahan pengendalian yang terkait dengan pemungutan
dan penyetoran penerimaan negara/daerah/perusahaan milik negara/daerah
serta pelaksanaan program/kegiatan pada entitas yang diperiksa.
c) Kelemahan struktur pengendalian intern, yaitu kelemahan yang terkait
dengan ada/tidaknya struktur pengendalian intern yang ada dalam entitas
yang diperiksa. Jika terdapat tingkat kelemahan pada Sistem pengendalian
30
internal maka tentu terdapat tambahan masukan untuk pemperbaiki
pengendalian agar lebih efektif di tahun berikutnya
3. Kepatuhan Terhadap Peraturan Ketentuan Perundang-Undangan
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai
akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pemberian opini juga didasarkan pada penilaian
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu hasil
pemeriksaan atas laporan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
sehingga mengakibatkan: kerugian negara/daerah/perusahaan, potensi
kerugian negara/daerah/perusahaan, kekurangan penerimaan, kelemahan
penerimaan, kelemahan administrasi, ketidakhematan, dan ketidakefektifan
sebagai berikut (BPK, 2012):
a) Kerugian negara/daerah adalah kerugian nyata berupa berkurangnya
kekayaan Negara/daerah sesuai pengertian dalam UU nomor 1 tahun 2004
pasal 1 butir 22, “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian dimaksud
harus ditindaklanjuti dengan pengenaan/pembebanan kerugian kepada
penanggung jawab kerugian sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b) Potensi kerugian negara/daerah adalah kerugian nyata berupa berkurangnya
Kekayaan negara sesuai penegrtian dalam UU Nomor 1 tahun 2004 pasal 1
butir 22, tetapi masih berupa resiko, terjadi kerugian apabila suatu kondisi
31
yang dapat mengakibatkan kerugian negara/daerah benar-benar terjadi di
kemudian hari.
c) Kekurangan penerimaan adalah penerimaan yang sudah menjadi hak
negara/ Daerah, tetapi belum/tidak masuk ke kas negara/daerah karena
adanya unsur ketidakpatuhan.
d) Kelemahan administrasi adalah penyimpangan terhadap ketentuan yang
berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran/pengelolaan aset maupun
operasional perusahaan, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan
kerugian negara/daerah atau potensi kerugian negara/daerah atau
kekurangan penerimaan, dan uang yang belum/tidak
dipertanggungjawbakan serta tidak mengandung unsur indiaksi tindak
pidana.
e) Ketidak hematan/pemborosan mengungkapkan adanya penggunaan
input dengan harga atau kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang
lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu dan
kondisi yang sama.
f) Ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome),
mengungkapkan kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang
direncanakan serta fungsi insatnsi yang tidak optimal sehingga tujuan
organisasi tidak tecapai.
Selain itu, BPK juga menilai kecukupan pengungkapan informasi dalam laporan
keuangan dan kesesuaian laporan keuangan dengan standar yang berlaku sebagai
dasar pemberian opini atas laporan keuangan (BPK, 2012). Ketaatan pada perundang-
32
undangan dapat dikatakan bahwa semakin banyak ditemukan ketidaktaatan maka
akan mudah disinyalir bisa terindikasi terjadinya korupsi. (Heriningsih, 2013).
3. Keuangan daerah
Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerahlah
yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dalam Hendraryadi (2011) Menurut UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam penjelasan umum
pasal 156 ayat (1) disebutkan, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang
yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang
antara lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah pusat sesuai
dengan urusan pemerintah pusat yang diserahkan, kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil
dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan perimbangan lainnya,
hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan
lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.
Halim (2007: 230) mengungkapkan bahwa kemampuan Pemerintah Daerah
dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung.
Keuangan daerah dituangkan sepenuhnya kedalam APBD. Menurut peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 Tentang pengelolaan keuangan
33
daerah yaitu anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disingkat
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya pengelolaan keuangan
daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Dalam konteks ini pengelolaan keuangan daerah difokuskan kepada pengelolaan
APBD sebagai wujud perencanaan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yaitu
entitas penyusun/pengguna APBD untuk pelayanan publik. Pada organisasi
Pemerintah Daerah laporan keuangan yang dikehendaki diatur dalam PP Nomor 24
tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan yang diperbarui lagi melalui
PP Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Sesuai PP Nomor
71 tahun 2010, laporan keuangan terdiri dari :
Laporan Pelaksanaan Anggaran (budgetary reports) yang terdiri dari Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Perubahan Sisa Anggaran Lebih (SAL).
Laporan Keuangan (financial reports) yang terdiri dari Neraca, Laporan Operasi
(LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan Laporan Arus Kas (LAK) serta
Catatan Atas Laporan Keuangan (CaLK).
Terdapat perbedaan mendasar antara Standar Akuntansi Pemerintah menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 dengan Standar Akuntansi Pemerintah
berdasarkan PP nomor 71 tahun 2010. Perbedaan mendasar tersebut adalah pada
pemakaian basis pencatatan. Jika SAP tahun 2005 menggunakan basis kas modifikasi
34
atau basis menuju akrual, yang penjelasannya adalah untuk mencatat aset, kewajiban
dan ekuitas menggunakan basis akrual, untuk pencatatan pendapatan dan belanja
menggunakan basis kas. Pada SAP sesuai PP 71 tahun 2010 ditegaskan bahwa
Pemerintah Daerah harus berkomitmen menggunakan basis akrual dalam setiap
pencatatan keuangannya.
1. Sumber Pendapatan Daerah
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2008 pasal 1 ayat (15), pendapatan daerah
adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sumber pendapatan daerah
terdiri dari :
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat (18), PAD adalah
pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Berdasarkan UU No.33 tahun 2004 pasal 6 ayat 1, PAD terdiri
dari :
1. Hasil Pajak Daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah
35
dan pembangunan daerah (PP No. 65 tahun 2001 pasal 1 ayat 1 tentang
Pajak Daerah). Yang termasuk dalam pajak daerah tingkat kabupaten/kota
adalah pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian
golongan C dan pajak-pajak baru sedangkan yang termasuk pajak daerah
tingkat I meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan
dan Pajak Rokok.
2. Hasil Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (PP
No. 66 tahun 2001 pasal 1 ayat (1) tentang Retribusi Daerah). Sedangkan
menurut Bastian (2001: 142) bahwa retribusi daerah adalah pungutan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas pelayanan dan penggunaan
fasilitas- fasilitas umum yang disediakan oleh Pemerintah Daerah bagi
kepentingan masyarakat sesuai dengan Peraturan Daerah yang berlaku.
3. Hasil Pengelola Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
PAD berasal dari perusahaan daerah yaitu laba operasi perusahaan
daerah. Bagian laba usaha daerah merupakan penerimaan daerah yang
berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan (Halim, 2002: 65)
4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
36
Pendapatan lain PAD yang sah meliputi: hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan,
ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh Daerah (UU No. 33 tahun 2004 pasal 6 ayat (2).
b) Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 19).
Menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 10 dan UU No.12 tahun 2008 pasal 159,
tentang dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah, dana
perimbangan terdiri dari :
1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil tersebut bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dana yang bersumber dari pajak terdiri dari pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak
penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak pribadi dalam negeri,
dan PPh pasal 21. Sedangkan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber
daya alam berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas alam, dan pertambangan
panas bumi
37
2. Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 21). Menurut UU No.
33 tahun 2004, DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antara daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 23).
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau
untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis
pendapatan yang mencakup: hibah berasal dari pemerintah, pemerintah
daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok
38
masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat, dana
darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan
akibat bencana alam, dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada
kabupaten/kota, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang
ditetapkan oleh pemerintah dan bantuan keuangan dari provinsi atau dari
pemerintah daerah lainnya. (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun
2007 pasal 28).
2. Belanja Daerah
Menurut PP No. 105 tahun 2000 pasal 16 ayat (2) yang dimaksud belanja
adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekertariat, serta
dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja antara lain
untuk pendidikan, kesehatan dan fungsi-fungsi lainnya. Belanja dapat
dikategorikan sebagai berikut :
a) Belanja Rutin/pembangunan
Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu
tahun anggaran dan tidak menambah asset atau kekayaan bagi daerah.
Belanja rutin terdiri dari :
(a) Belanja rutin
(b) Belanja barang
(c) Belanja perjalanan dinas
(d) Belanja lain-lain
(e) Belanja pemeliharaan
39
b) Belanja Modal/Pembangunan
Belanja modal/pembangunan adalah pengeluaran yang manfaatnya
cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau
kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk
biaya operasional dan pemeliharaannya.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007 pasal 1
ayat (51), yang dimaksud dengan Belanja Daerah adalah kewajiban
pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Belanja Daerah dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi,
hibah, bantuan sosial, belanja bagi basil, bantuan keuangan, dan belanja
tidak terduga.
b) Belanja Langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung
terdiri dari :
a. belanja pegawai
b. belanja barang dan jasa; dan
c. belanja modal.
40
3. Pembiayaan Daerah
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007 pasal 1 ayat 54,
Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran
yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan
bersumber dari :
a) Penerimaan pembiayaan mencakup :
1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama
satu periode anggaran.(Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007
pasal 1).
2. Pencairan dana cadangan
Digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening
dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran
berkenaan. (Permendagri No. 59 tahun 2007 pasal 64).
3. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
Digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan
milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang
dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal
pemerintah daerah.
41
3. Penerimaan pinjaman daerah
Digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk
penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada
tahun anggaran berkenaan.
5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman
Digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
6. Penerimaan piutang daerah
Digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari
pelunasan piutang pihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah
dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga
keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang
lainnya.
b) Pengeluaran pembiayaan mencakup:
1. Pembentukan dana cadangan
2. Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah
3. Pembayaran pokok utang
4. Pemberian pinjaman daerah
4. Kinerja keuangan pemerintah daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh para pribadi
maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka
kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa
yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila pencapaian
42
tidak sesuai dengan apa yang direncanakna atau kurang dari apa yang direncanakan,
maka kinerjanya jelek (Sularso dan Restianto, 2011).
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja
dimasa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan
yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut.
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap
APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Untuk menciptakan transparan,
jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, dalam pengelolaan keuangan daerah
maka diperlukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (Mardiasmo, 2009). Tujuan pengukuran kinerja keuangan menurut Bastian
(2006), yaitu sebagai laporan operasi kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk
menilai kinerja keuangan organisasi dalam hal efisiensi dan efektifitas serta
memonitor biaya aktual dengan biaya yang dianggarkan.
Menurut Mardiasmo (2009) pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk
memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan
untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah.Ukuran kinerja dimaksudkan untuk
dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja.
Kedua, ukuran kinerja sektor publik dalam pemberian pengalokasian sumber daya
dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk
mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
43
Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi upaya
perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan di masa mendatang. Penelitian
yang dilakukan Mandell (1997) mengungkapkan bahwa dengan melakukan
pengukuran kinerja, pemerintah daerah memperoleh informasi yang dapat
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Dalam organisasi Halim (2007: 230) mengungkapkan bahwa kemampuan
Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung.
Selanjutnya untuk mengukur kemampuan keuangan Pemerintah Daerah adalah
dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan
dilaksanakan pemerintah. Untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran
kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah dalam penelitian ini yaitu
rasio kemandirian daerah, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan.
4.1 Rasio kemandirian keuangan daerah
Menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan
daerah. Kemandirian keuangan daerah ini dapat diukur dengan membandingkan
jumlah Pendapatan Asli Daerah terhadap jumlah Dana Alokasi Umum ditambah
jumlah pinjaman (selain utang PFK (Pada Fihak Ketiga dan utang pajak
PPn/PPh) (Patikawa, 2011).
44
Semakin tinggi rasio kemandirian menunjukkan pemerintah daerah semakin
tinggi kemandirian keuangan daerahnya, dan semakin bagus kinerja pemerintah
daerahnya. Untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam memobilisasi
penerimaan pendapatan sesuai dengan yang telah di targetkan. (Heriningsih,
2013). Rasio ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
ekstern dan tingkat patisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin
tinggi rasio kemandirian berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama
pendapatan asli daerah yang akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013).
4.2 Rasio Aktivitas daerah
Menunjukkan kinerja pemerintah dalam memperioritaskan alokasi dananya
pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi
alokasi dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti belanja
investasi/pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana
ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Sehingga semakin tinggi rasio
aktivitas menunjukkan semakin bagus kinerja pemerintah daerah.
Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana peranan pemerintah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (operasional) dan belanja
pembangunan (modal) secara optimal (Halim, 2012).
Belum ada standar yang pasti mengenai besarnya rasio belanja operasional
maupun modal terhadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh
45
dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang
diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan (Patikawa, 2011).
4.2.1 Rasio Aktivitas Belanja Rutin (Operasi)
Anggaran belanja rutin merupakan anggaran yang disediakan untuk
membiayai kegiatan yang bersifat lancar, rutin dan secara terus menerus
yang dimaksudkan untuk menjaga kelemahan roda pemerintahan dan
memelihara hasil-hasil pembangunan. Dengan telah diberikannya
kewenangan untuk mengelolah daerah, maka belanja rutin diprioritaskan
pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah. Peningkatan
belanja rutin yang diusulkan oleh setiap pengganggaran harus diikuti
dengan peningkatan mutu pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan belanja rutin sedapat mungkin menerapkan pendekatan
anggaran kinerja, hal tersebut bertujuan untuk memudahkan analisis dan
evaluasi hubungan antara kebutuhan dan hasil serta manfaat yang
diperoleh, anggaran belanja rutin meliputi belanja APBD, belanja kepala
daerah dan wakil kepala daerah, belanja sekretaris daerah dan perangkat
lainnya.
4.2.2 Rasio Aktivitas belanja pembangunan.
Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang disediakan
untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan dan
pembangunan menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang
dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi
sektor industri, pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain
46
sebagainya (Halim, 2004: 223-226).
4.3 Rasio Pertumbuhan daerah
Rasio ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang
telah di dari periode-periode berikutnya. Rasio pertumbuhan bagus maka
kesejahteraan masyarakat juga bagus sehingga menunjukan semakin bagus
kinerja pemerintah daerah dalam mendorong penerimaan PAD, sehingga
berhubungan terhadap tingkat korupsi.
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial,
sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat
terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai
nama dan kaidah pengukurannya.
Penelitian tentang Kinerja anggaran dengan menggunakan indikator rasio
keuangan telah banyak dilakukan antara lain: Sularso, et al (2011), Nugroho
(2012), Fidelius (2013), Dwijayanti, et al (2013), namun penelitian tersebut
belum menghubungkan dengan tingkat korupsi.
5. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Laporan keuangan merupakan salah satu wujud pertanggungjawaban
pemerintah atas penggunaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan, hal tersebut
menjadi tolok ukur kinerja pemerintahan untuk dipertanggungjawabkan pada
setiap akhir tahun anggaran. Tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan
47
informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas dan kinerja
keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi para pengguna dalam
membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya (PP 71,
2010).
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah disusun untuk menyediakan
informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang
dilakukan selama tahun anggaran berkenaan, dan sebagai alat untuk
membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan
anggaran yang telah ditetapkan. Laporan keuangan juga digunakan untuk menilai
kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas efisiensi suatu entitas pelaporan dan
membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundangan-undangan.
Pemerintah selaku entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan
upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan
program dan kegiatan dalam tahun anggaran untuk kepentingan:
1. Akuntabilitas
Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada entitas akuntansi sebagai Pengguna
Anggaran/Barang dan entitas pelaporan dalam rangka pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan melalui program dan kegiatan.
2. Manajerial
Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan
informasi keuangan suatu entitas pelaporan yang berguna untuk perencanaan
48
dan pengelolaan keuangan serta memudahkan pengendalian yang efektif atas
seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana.
3. Transparansi
Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat
berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui
secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada
peraturan perundang-undangan.
4. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity)
Membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan
pemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran
yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan
ikut menanggung beban pengeluaran tersebut.
5. Evaluasi Kinerja
Mengevaluasi kinerja entitas pelaporan, terutama dalam penggunaan sumber
daya ekonomi yang dikelola pemerintah untuk mencapai kinerja yang
direncanakan. Dalam laporan keuangan Berdasarkan PP No. 71 tahun 2010
setiap instansi pemerintahan harus menjalankan sistem akuntansi agar dapat
menyajikan :
Untuk menjamin tercapainya akuntabilitas, laporan keuangan SKPD
yang disampaikan dilampiri dengan surat pernyataan kepala SKPD. Surat
pernyataan kepala SKPD berisi pernyataan bahwa laporan keuangan SKPD
menjadi tanggung jawabnya dan telah diselenggarakan berdasarkan sistem
49
pengendalian intern yang memadai dan standar akuntansi pemerintahan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) pada prinsipnya merupakan hasil gabungan atau konsolidasi dari
laporan keuangan SKPD (Haryanto et al, 2007).
Penyusunan dan penyajian LKPD dilakukan sesuai dengan peraturan
pemerintah yang mengatur tentang standar akuntansi pemerintahan. Penyajian
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dilampiri dengan ikhtisar realisasi
kinerja dan laporan keuangan BUMD/perusahaan daerah. Laporan keuangan
pemerintah daerah disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
untuk dilakukan pemeriksaan. LKPD yang telah diaudit BPK, selanjutnya
disampaikan ke DPRD untuk dibahas dan ditetapkan dengan peraturan daerah
(perda) tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD (BPK, 2012).
6. Korupsi
6.1 Pengertian Korupsi
Tidak ada definisi korupsi yang baku, hal ini disebabkan oleh sifat
korupsi yang menyusup masuk dalam sebuah sistem, faktor-faktor korupsi
dan motif korupsi berhubungan dengan banyak bidang. Definisi lain dari
korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP,
adalah “the abuseof public office for private gain”. Dalam arti luas, definisi
korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi
atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlangsung (Wijayanto, 2009).
50
Definisi di atas sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Prof.
Robert Klitgaard yaitu: ”menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi”
(Klitgaard, 2002: 2). Sebelumnya Klitgaard memberikan definisi korupsi
yang lebih khusus, yaitu: “...Korupsi ada apabila seseorang secara tidak
halal meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta
cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya...(Klitgaard, 2001: 19)”.
Korupsi dapat dinotasikan secara sederhana C = M + D – A, di
mana C: Corruption, M: Monopoli, D: Discretion, A: Accountability
(Klitgaard, 2001: 99 dan 2002: 29). Berdasarkan model yang disusun oleh
Klitgaard di atas menunjukkan bahwa korupsi akan menampakkan dirinya
jika terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya
penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggung-jawaban
terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu: (1) seseorang memiliki
kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan
administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat
ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut. (3) system yang
ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang
bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan
yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap,
yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi
patologi social yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic,
51
korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis,
ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam system terjangkit
penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai
pada tahap sistemik (Djaja, 2010:12).
Menurut data yang diperoleh oleh ACFE (Association of Certified Fraud
Examiners) di tahun 2012 telah terjadi kasus fraud sebanyak 1.388 di seluruh
dunia. Pengklasifikasian fraud atau kecurangan ini dikenal dengan istilah
“fraud tree”. Hal yang ditimbulkan oleh fraud salah satunya adalah Korupsi,
dimana jenis fraud ini paling paling sulit dideteksi karena menyangkut
kerjasama dengan pihak lain seperti suap atau korupsi.
6.1.1 Tipologi Korupsi
Arvind Jain (2001) dalam paper berjudul “Corruption: A review”
secara menarik menggambarkan area tempat korupsi sering terjadi di
Negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi
membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi.
52
Gambar 2.1
Tipologi korupsi
Sumber: Wijayanto, 2009
a. Interaksi 1
Melibatkan rakyat dan pemimpin Negara yang dipilih melalui proses
demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di Negara demokrasi yang
belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk,
termasuk politik uang untuk memenangi pemilu sangat mungkin terjadi.
Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam
menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi
para pemimpin untuk tidak menomorsatukan kepentingan rakyat. Privatisasi
adalah contoh klasik dalam kasus ini, saat kebijakan publik diarahkan untuk
mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat.
53
b. Interaksi 2
Terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) interaksi antara para birokrat dengan
pemimpin pilihan rakyat, (2) birokrat dengan anggota legislatif dan (3)
interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang
terjadinya korupsi birokrat. Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat
publik yang dipilih oleh para pemimpin Negara sering diposisikan sebagai
kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan Negara melalui
berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik Negara. Birokrat
terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk
melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif.
Interaksi antara pejabat publik dan anggota legislatif juga membuka peluang
terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu (misalnya
gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, ketua BPK, dan lain-
lain) harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini
memunculkan peluang “jual-beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat
publik dan anggota legislatif.
Pada dataran yang sama, interaksi antar pejabat publik dan rakyat
merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai
level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat
kantor pelayanan publik umumnya memonopoli pelayanan publik.
c. Interaksi 3
Melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif.Berbagai kebijakan
publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang
54
terjadinya korupsi legislatif (legislatif corruption) baik berupa suap kepada
atau pemerasan oleh anggota legislatif. Korupsi legislatif mudah terjadi pada
Negara dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur atau diawasi
dengan baik.
d. Interaksi 4
Melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan
umum. Demokrasi procedural relative lebih mudah diwujudkan, tetapi
mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Dinegara
dimana politik uang meurpakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap
rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak
ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka.
Menurut perspektif hukum definisi korupsi dijelaskan didalam UU No. 31
tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UU tersebut, ada 30
jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi itu dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori yaitu Kerugian
keuangan Negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan,
Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi
(KPK, 2009)
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi
merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi di Indonesia. Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini
merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak
yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka
55
penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam
perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika
budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara
Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan
dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan (KPK, 2014).
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik” (KPK, 2014).
Gerald E Caiden (1998) dalam Dreher (2007) memaparkan secara rinci
bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara antara lain adalah:
(1) Berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan
(2) Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri
(3) Menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan
dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalahgunakan dana
56
(4) Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi,
memperdaya dan memeras, penyuapan dan penyogokan, mengutip
pungutan dan meminta komisi, menjual tanpa izin jabatan pemerintah,
barang milik pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah, manipulasi
peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang,
menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan, menerima hadiah,
uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada tempatnya,
dan
(5) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan
hak istimewa jabatan.
6.2 Penyebab Korupsi
Faktor-faktor yang menjadi orang sebab orang enggan memberantas korupsi
antara lain adanya keraguan apakah sebuah tindakan korup atau bukan, atau ada
sikap pesimis bahwa hukum sulit membuktikan dan memberi sanksi kepada
pelaku korupsi, kekhawatiran adanya ancaman dari pelaku, atau kedudukan yang
lebih rendah dalam sebuah organisasi (Pope, 2008:6).
Adapun penyebab terjadinya korupsi di Indonesia menurut Hehamahua
(2011) dalam Djaja (2010:51), berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya
ada delapan penyebab, yaitu sebagai berikut.
a. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru
Sebagai Negara yang baru merdeka atau Negara yang baru berkembang,
seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi selama
puluhan tahun, mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini,
57
pembangunan difokuskan pada bidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang
baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan
teknologi. Konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada
gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu :
b. Kompensasi PNS yang Rendah
Wajar apabila Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup
untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya, tetapi
disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi, sehingga secara fisik
dan cultural melahirkan pola yang konsumerisme, sehingga 90 % PNS
melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungli
maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan
pengeluaran pribadi/keluarga.
c. Pejabat yang Serakah
Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan di atas
mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant . Lahirlah sikap serakah
dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan
mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan pengusaha,
baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun menjadi salah seorang share
holder dari perusahaan tersebut.
d. Law Enforcement Tidak Berjalan
Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak
cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir di
seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga
58
kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Disebabkan law
enforcement tidak berjalan dimana aparat penegak hukum bisa dibayar mulai
dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan
kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera
bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat,
sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.
e. Pengawasan yang Tidak Efektif
Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang internal
control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apapun
penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan
perbaikan. Internal control di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau
pegawai terkait ber-KKN. Beberapa informasi dalam banyak media massa,
untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan
internal audit.
f. Tidak Ada Keteladanan Pemimpin
Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih
baik dari Thailand. Namun pemimpin di tahailand memberi contoh kepada
rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan,
sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan
pengusaha. Dalam waktu relatif singkat, Thailand telah mengalami recovery
ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bias dijadikan teladan,
maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran.
59
g. Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN
Dalam Negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistic.
Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari
seperti mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah
atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain, karena meniru apa yang
dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang
oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.
6.3 Persepsi Tingkat Korupsi Di Kota/Kabupaten Di Indonesia
Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama
karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama
dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi
etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak
ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas publik. Birokrasi pelayanan
publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik
pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara
kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama
(Pope, 2008: 2).
Korupsi dilakukan dengan sangat rahasia karena ada kepentingan bersama di
antara para pelakunya. Tidak ada rumus pasti untuk mengukur volume konspirasi
korupsi. Namun, harus dibuat ukuran yang disepakati untuk melihat luas jaring
konspirasi korupsi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan survei. Survei dapat menimbulkan kepercayaan pada apa yang
sepintas nampak sebagai pernyataan berlebihan dari responden (Pope, 2008: 61).
60
Dalam Survei Persepsi Korupsi (TII, 2015) potensi korupsi dapat terjadi
akibat 5 hal, yaitu: prevalensi korupsi tinggi, rendahnya akuntabilitas pendanaan
publik, tingginya motivasi korupsi, meluasnya sektor terdampak korupsi, dan
efektivitas program antikorupsi di daerah.
(1) Prevalensi Korupsi adalah sebesar apa atau seberapa sering tindak pidana
korupsi dalam bentuk suap-menyuap dan penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan pribadi terjadi di tingkat nasional atau lokal; dan/atau terjadi di
kalangan pegawai nasional atau lokal.
(2) Akuntabilitas Pendanaan Publik adalah mekanisme pertanggungjawaban atas
penggunaan dana-dana publik. Seberapa jelas standard prosedur alokasi
sumber daya publik, seberapa lazim alokasi non budgeter yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka, apakah ada mekanisme rekrutmen
pejabat publik yang tidak transparan, apakah ada lembaga pengawas internal
yang mengaudit keuangan publik,dan apakah ada independensi pengadilan
yang menindak pejabat korup.
(3) Motivasi Korupsi adalah dorongan seorang pejabat publik melakukan praktik
tindak pidana korupsi. Misalnya, apakah praktik pemberian perlakuan
istimewa terjadi, apakah praktik korupsi untuk memberikan donasi politik
berlebih, apakah praktik korupsi menciptakan dana off budget untuk partai
politik terjadi, praktik korupsi untuk mengamankan proyek pemerintah terjadi,
praktik korupsi akibat jual beli pengaruh.
(4) Sektor Terdampak Korupsi adalah penilaian terhadap sektor publik apa saja
terjerat kasus korupsi. Sektor publik yang dinilai meliputi sektor perizinan,
61
pelayanan dasar, perpajakan, pengadaan, peradilan, kuota perdagangan,
kepolisian, perkreditan, bea cukai, lembaga pemeriksa, militer, eksekutif, dan
legislatif.
(5) Efektivitas Program Antikorupsi adalah penilaian terhadap seberapa tingkat
keberhasilan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap pejabat korup
terhadap penurunan risiko korupsi.
B. Penelitian Sebelumnya
Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1
62
Tabel 2.1
Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengaruh Opini Audit (X1), Kelemahan Spi (X2), Kepatuhan Terhadap
Perundang-Undangan (X3), Rasio Kemandirian (X4), Rasio Aktivitas (X5), Rasio Pertumbuhan (X6), Terhadap
Tingkat Korupsi di Indonesia (Y).
No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil
1. Heriningsih
Kajian Empiris Tingkat
Akuntabilitas
Pemerintah Daerah Dan
Kinerja Penyelengara
Pemerintah Daerah
Terhadap Tingkat
Korupsi Pada
Kabupaten Dan Kota
Di Indonesia
Paradigma Jurnal
Masalah Sosial, Politik,
Dan Kebijakan Volume
18, Nomor 2,
September 2014 Hal
29-36
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD Dan LKPP 36 Kabupaten Dan Kota Di
Indonesia
Tahun Data: 2010
Metode Analisis: Regresi
Variabel Lainnya: Opini Audit,
Kelemahan Sistem Pengendalian
Intern, Dan Ketidakpatuhan
Terhadap Ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan, Kinerja
Penyelenggara (Dependen) Dan
Korupsi (Independen)
V V V V Tingkat akuntabilitas yang
diukur (opini audit, tingkat
Kelemahan SPI, tingkat
ketaatan terhadap
perundang-undangan) dan
Kinerja penyelenggaran
pemerintah daerah (skor
IKK dari LPPD) tidak
berpengaruh terhadap
tingkat korupsi di
pemerintah kabupaten dan
kota di Indonesia
2. Sarah
Pengungkapan Laporan
Keuangan Pemda
Kabupaten dan
Kaitannya dengan
Tingkat Korupsi di
Indonesia.
Jenis Penelitian: Kulitatif
deskriptif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD 392 Kabupaten Di Indonesia
Tahun Data: 2011
Metode Analisis: Konten
V V Kualitas pelaporan laporan
keuangan di Indonesia
semakin baik, tidak
terdapat kaitan antara
pengungkapan laporan
keuangan pemerintah
daerah kabupaten dengan
63
No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil
Skripsi UIN Jakarta
2014 Variabel Lainnya: Pengungkapan
LKPD, Opini Audit (Dependen)
Dan Korupsi (Independen)
opini yang diberikan oleh
BPK, perkembangan kasus
korupsi di Indonesia
semakin bertambah,
pengungkapan laporan
keuangan daerah
kabupaten memiliki
keterkaitan dengan tingkat
kotupsi di Indonesia, serta
terdapat kaitan antara opini
audit dan tingkat korupsi
3. Manafe Dan Akbar
Accountability And
Performance: Evidence
From Local
Government
Journal Of Indonesian
Economy And Business
Volume 29, Number 1,
2014, 56-73
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: 201 SKPD Nusa Tenggar Timur
Tahun Data: 2011
Metode Analisis: SEM
Variabel Lainnya: SKPD (Dependen) Dan Akuntabilitas
(Independen)
V Hasil Penelitian
Menunjukkan Bahwa
Konflik Di Persyaratan
Akuntabilitas Memiliki
Dampak Yang Signifikan
Pada Konteks Kerja
Dengan Persepsi Negatif
Pada Tingkat Yang
Berbeda, Tetapi Tidak
Memiliki Dampak Yang
Signifikan Terhadap
Kinerja Kerja Para Pelaku
Akuntabilitas .
4. Heriningsih Dan Marita
Pengaruh Opini Audit
Dan Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia
V V V V V Hasil Pengujian Secara
Statistik Membuktikan
Bahwa Variabel Opini
Audit Dan Kinerja
64
No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil
Terhadap Tingkat
Korupsi
Pemerintah Daerah
(Studi Empiris Pada
Pemerintah Kabupaten
Dan Kota Di Pulau
Jawa)
Buletin Ekonomi Vol.
11 No. 1, April 2013
Hal. 1-86
Tahun Data: 2008 Dan 2010
Metode Analisis: Regresi
Berganda
Variabel Lainnya: Opini Audit, Rasio Kemandirian, Rasio
Aktivitas Dan Rasio
Pertumbuhan (Dependen) Dan
Tingkat Korupsi (Independen)
Keuangan (Rasio
Kemandirian, Rasio
Aktivitas, Dan Rasio
Pertumbuhan) Tidak
Berpengaruh Terhadap
Tingkat Korupsi Di Pulau
Jawa
5. Fidelius
Analisis Rasio Untuk
Mengukur Kinerja
Pengelolaan Keuangan
Daerah Kota Manado
Jurnal EMBA Vol.1
No.4 Desember 2013,
Hal. 2088-2096
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD Kota Manado
Tahun Data: 2010- 2012
Metode Analisis: rasio kinerja pengelolaan keuangan
Variabel Lainnya: Rasio Kemandirian, Rasio Aktivitas
Dan Rasio efektifitas (Dependen)
Dan Kinerja Pengelolaan
Keuangan (Independen)
V V Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, rasio
kemandirian kota Manado
masih sangat rendah, rasio
efektiftivitas cukup efektif.
Pada rasio aktivitas
pemerintah kota Manado
memperioritaskan dananya
pada belanja operasi. Rasio
pengelolaan belanja sudah
sangat baik karena
melebihi 100% yang
berarti mengalami surplus
anggaran
6. Dwijayanti Dan
Rusherlistyanti
Analisis Perbandingan
Kinerja Keuangan
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: APBD Dan Laporan
Realisasi APBD di 33 Provinsi
V V V Terdapat Perbedaan
Tingkat Kemandirian,
Tingkat Aktivitas Belanja
Rutin Dan Aktivitas
65
No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil
Pemerintah
Propinsi Seindonesia
Jurnal Ekonomi Dan
Bisnis, Volume 12.
Nomor 01 Maret 2013
Hal.43-66
Seluruh Indonesia
Tahun Data: 2008-2011
Metode Analisis: Metode
Analisis Rasio Keuangan Dan
Analisis Uji Beda Kinerja
Keuangan
Variabel Lainnya: Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas
PAD, Rasio Efisiensi, Rasio
Aktivitas, Rasio Pertumbuhan
(Dependen) Dan Kinerja
Keuangan (Independen)
Belanja Pembangunan, dan
Tingkat Efektivitas Yang
Signifikan Pada Kinerja
Keuangan Pemerintah
Propinsi Se- Indonesia
Periode 2008-2010, Tidak
Terdapat Perbedaan
Tingkat Efisiensi, Tingkat
Pertumbuhan PAD Yang
Signifikan Pada Kinerja
Keuangan Pemerintah
Propinsi Se-Indonesia
Periode 2008- 2010.
7. Nugroho
Pengaruh Belanja
Modal Terhadap
Pertumbuhan Kinerja
Keuangan Daerah
Dengan Pendapatan
Asli Daerah Sebagai
Variabel Intervening
Skripsi Universitas
Diponegoro 2012
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD Kabupaten Dan Kota Yang Ada Di Propinsi Jawa
Tengah
Tahun Data: 2008-2010
Metode Analisis: Dokumentasi
Variabel Lainnya: Belanja Modal (Dependen) Dan kinerja
keuangan (Independen) dan
Pendapatan Asli daerah
(Intervening)
V Hasil Dari Penelitian Ini
Menunjukkan Bahwa
Belanja Modal
Berpengaruh Negatif
Terhadap Pertumbuhan
Kinerja Keuangan Daerah
Secara Langsung,
Sedangkan Secara Tidak
Langsung Belanja Modal
Berpengaruh Positif
Terhadap Pertumbuhan
Kinerja Keuangan Melalui
Pendapatan Asli Daerah
Sebagai Variabel
Intervening
66
No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil
8. Setiawan
Pengaruh Akuntabilitas
Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah
(LKPD) Terhadap
Tingkat Korupsi
Pemerintah Daerah Di
Indonesia.
Skripsi Universitas
Diponegoro 2012
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Observasi
Sampel: LKPD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia
Tahun Data: 2008
Metode Analisis: Analisis Regresi
Variabel Lainnya: Opini Audit,
Kelemahan Sistem Pengendalian
Intern, Dan Ketidakpatuhan
Terhadap Ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan
(Dependen) Dan Tingkat Korupsi
(Independen)
V V V V Hasil Penelitian Ini
Menunjukkan Bahwa
Akuntabilitas Laporan
Keuangan Pemerintah
Daerah (Opini Audit,
Kelemahan Sistem
Pengendalian Intern, Dan
Ketidakpatuhan Terhadap
Ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan)
Tidak Berpengaruh
Terhadap Tingkat Korupsi
Pemerintah Daerah Di
Indonesia.
9. Sularso Dan Restianto
Pengaruh Kinerja
Keuangan Terhadap
Alokasi Belanja Modal
Dan Pertumbuhan
Ekonomi
Kabupaten/Kota Di
Jawa Tengah
Media Riset Akuntansi,
Vol. 1 No.2 Agustus
2011 Hal. 109-124
Jenis Penelitian: Kuantitatif
Sumber Data: Sekunder
Sampel: LKPD Kabupaten Dan Kota Yang Ada Di Propinsi Jawa
Tengah
Tahun Data: 2006-2009
Metode Analisis: SEM
Variabel Lainnya: Kinerja Keuangan (Dependen) Dan
Alokasi Belanja Modal
(Independen)
V V
Alokasi Belanja Modal
Dipengaruhi Oleh Kinerja
Keuangan, Alokasi
Belanja Modal
Berpengaruh Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Secara Tidak Langsung
Dipengaruhi Oleh Kinerja
Keuangan Daerah.
Sumber: berbagai referensi
67
5) Keterkaitan Antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah dugaan sementara terhadap penelitian yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Secara teknis penelitian dapat
didefinisikan sebagai pernyataan mengenai populasi yang akan diuji kebenarannya
berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas
keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran
pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan. Tuntutan
akuntabilitas terhadap penyelenggaraan pemerintahan berjalan seiring dengan
adanya era yang lebih demokratis dan terbuka kepada rakyat (Halim, 2004).
Menurut Widjajabrata dan Zaechea (1991) dalam Kurniawan (2009) Terdapat
strategi yang dapat dilakukan guna memberikan hasil yang berbeda dalam upaya
pemberantasan korupsi yakni melakukan upaya reformasi sektor publik yang
utama, dimana di dalamnya terdapat kegiatan penguatan akuntabilitas,
transparansi, dan pengawasan.
Akuntabilitas juga dapat dikaitkan dengan reformasi saat ini yang
menghendaki pemerantasan KKN, khusunya korupsi. Kaitan ini yang merupakan
peran akuntabilitas dalam usaha memberantas korupsi, dapat dinyatakan dalam
bentuk persamaan:
K=M+D-A
68
Dimana K adalah Korupsi, M adalah Monopoli, D adalah diskresionari
(kebijaksanaan), dan A adalah Akuntabilitas. Dari persamaan tersebut jelas bahwa
korupsi akan terjadi bila terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi,
terjadinya penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggung jawaban
terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Klitgaard, 2001).
BPK mendorong adanya peningkatan akuntabilitas melalui monitoring yang
kuat sehingga memaksa semua pengelola patuh yang akan mengurangi KKN yang
timbul dari adanya niat dan kesempatan (Poernomo, 2013).
Akuntabilitas Pemerintah Daerah merupakan tingkat pengukuran kinerja yang
diukur dengan menggunakan hasil audit BPK RI atas LKPD setiap tahunnya yang
dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Hasil pemeriksaan keuangan
atas LKPD dan disajikan dalam 3 bagian yaitu: opini, sistem pengendalian intern,
dan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan (BPK, 2012).
Dalam proses peradilan tindak pidana korupsi untuk menentukan terbukti
tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, perlu dibuktikan unsur
perbuatan melawan hukum dan pembuktian adanya kerugian Negara. Satu-satunya
lembaga Negara yang memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian Negara
dalam proses peradilan tindak pidana korupsi adalah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) (BPK, 2012). Dalam pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 disebutkan
bahwa BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai
kerugian Negara/daerah. Keterangan yang diberikan oleh BPK selaku ahli dalam
69
proses peradilan adalah keterangan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
BPK atau berdasarkan penilaian dan perhitungan kerugian Negara yang dilakukan
BPK. Dalam hal ini hasil pemeriksaan BPK tersebut berupa laporan yang
menunjukkan bahwa adanya penyimpangan keuangan atau terjadi korupsi yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara dalam instansi mereka (Rampengan, 2013).
Menurut Simatupang (2012) keputusan keuangan negara harus didasarkan pada
perencanaan terlebih dahulu, dan tidak lahir dari keputusan yang asal-asalan
dengan memperhatikan alokasi, kebutuhan, dan kemampuan, serta manfaat akhir.
Semua direncanakan dan dilaksanakan secara hati-hati sehingga keuangan negara
yang digunakan mencapai tujuan negara yang diharapkan. Jika suatu keputusan
keuangan dalam APBN tidak didasarkan pada perencanaan, artinya keputusan
mengenai tujuan dalam penerimaan pendapatan atau pengeluaran belanja tidak
didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dan manfaat yang diperoleh, berarti ada
korupsi.
Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk menilai sejauh mana pemda
mampu menyediakan jasa yang berkualitas dengan biaya yang layak. Bagi
organisasi publik kinerja pelayanan publik merupakan salah satu penilaian atas
keberhasilan otonomi daerah antara lain meningkatkan pelayanan publik dan
memajukan perekonomian daerah. Peningkatan pelayanan publik dimaksud adalah
secara kuantitas maupun kualitas dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang diukur dengan rasio belanja aktivitas. Adapun memajukan perekonomian
yaitu menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber daya
70
daerah sehingga memberikan dampak aspek finansial daerah (PAD dan
pertumbuhan pendapatan tiap periode anggaran) yang diukur dengan rasio
kemadirian daerah dan rasio pertumbuhan (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013).
Dari keterkaitan korupsi dengan pengukuran kinerja pemerintah daerah
berdasarkan LKPD, maka rasio yang digunakan yaitu: Rasio Kemandirian, Rasio
Aktivitas yang terdiri atas aktivitas belanja operasional serta aktivitas belanja
modal, Dan Rasio Pertumbuhan.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Interaksi antara Opini Audit dengan tingkat korupsi
Opini yang diberikan oleh BPK menunjukkan tingkat kewajaran penyajian
laporan keuangan terutama kesesuaiannya dengan standar akuntansi yang
ditetapkan oleh pemerintah. Standar akuntansi merupakan standar kualitas
laporan yang menjaga agar informasi yang disajikan wajar (Ruki, 2012).
Ada empat jenis opini yang dapat diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yaitu:
a) Opini terbaik adalah Wajar Tanpa Pengeculian (Unqualified Opinion) yang
berarti semua informasi yang material dalam laporan disajikan dengan
wajar. opini ini diberikan karena auditor meyakini laporan keuangan telah
bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material berdasarkan
bukti-bukti audit yang dikumpulkan. Laporan keuangan dengan opini WTP
merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi
yang disajikan. opini WTP merupakan bentuk apresiasi tertinggi dalam
71
penilaian pengelolaan laporan keuangan (BDK, 2012). BPK dapat
memberikan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas
(WTP-DPP) karena keadaan tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa
menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam LHP sebagai modifikasi
dari opini WTP (BPK, 2012).
b) Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified
Opinion), yang berarti semua informasi yang material dalam laporan
keuangan disajikan secara wajar, kecuali bagian tertentu yan dikecualiakn
BPK. Opini diberikan karena meskipun ada kekeliruan, namun kesalahan
atau kekeliruan tersebut secara keseluruhan tidak mempengaruhi kewajaran
laporan keuangan.
c) Opini paling buruk adalah Tidak Wajar (Adverse Opinion), terdapat
informasi
Material tidak disajikan secara awal yang akan mengganggu kewajaran
laporan keuangan secara keseluruhan. Opini diberikan karena auditor
meyakini berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkannya bahwa laporan
keuangan mengandung banyak sekali kesalahan atau kekeliruan yang
material. Artinya, laporan keuangan tidak menggambarkan kondisi
keuangan secara benar.
d) Opini Tidak Memberikan Pendapat atau Menolak Memberikan Pendapat
(Disclaimer Opinion) yang berarti BPK tidak dapat menyakini apakah
informasi-informasi material yang disajikan dalam laporan keuangan
72
tersebut wajar atau tidak. Opini diberikan karena auditor tidak bisa
meyakini apakah laporan keuangan benar atau salah. Ini terjadi karena
auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa
menyimpulkan dan menyatakan apakah laporan sudah disajikan dengan
benar atau salah (BDK, 2013).
Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu laporan,
tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Jadi, sepanjang disajikan
secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan keuangan bisa saja mendapat
opini WTP meskipun sebenarnya mengandung korupsi (Prakasa, 2012).
Menurut Poernomo (2013) WTP tidak menjamin pemda bebas korupsi, karena
WTP hanya tata kelola keuangannya baik, dimana baik bukan berarti benar.
Menurut Prakarsa (2012) jika BPK menemukan kejanggalan dalam
memeriksa keuangan negara, BPK dapat mengusut kasus korupsi dan
melakukan pemeriksaan tertentu. Dimana nantinya Laporan Hasil
Pemeriksaan tersebut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
akan dijadikan sebagai tindakan penyelewengan dana yang mengakibatkan
kerugian keuangan Negara (Rampengan, 2013). Menurut Azis, ketua BPK
(2015) BPK terus meningkatkan kualitas pemeriksaan dengan dengan
meningkatkan pemaham atas Audit Berbasis Risiko (RBA) sehingga
pemeriksa mempunyai sensistivitas dalam mendeteksi adanya penyimpangan,
termasuk indikasi korupsi. Ukuran kualitas akuntabilitas pelaporan keuangan
ditunjukan dari opini yang diberikan oleh BPK RI atas penyajian laporan
73
keuangan pemerintah (Ismiyati dan Widiyanto, 2015). Berdasarkan model
Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) Opini audit laporan keuangan
yang menunjukkan tingkat kewajaran pada akuntabilitas laporan keuangan
yang berpengaruh pada korupsi. Jadi, dapat dihipotesiskan opini audit
berpengaruh signifikan pada tingkat korupsi.
H1 : Opini audit laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
2. Interaksi antara Sistem pengendalian intern dengan tingkat korupsi
Sistem pengendalian intern adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan pada peraturan (Syafrudin,
2012).
Hasil pemeriksaan BPK atas sistem pengendalian intern mengungkapkan
tentang Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, Kelemahan
sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja,
Kelemahan struktur pengendalian intern (BPK, 2012). Kelemahan sistem
pengendalian intern yang dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas
laporan keuangan.
Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) sistem
pengendalian internal menunjukkan akuntabilitas laporan keuangan yang
74
berpengaruh pada korupsi. Menurut Anwar (2006) untuk meningkatkan
pengelolaan keuangan negara yang mengurangi korupsi, pemerintah
melakukan koreksi secara menyeluruh sehingga memperbaiki akuntabilitas
pelaporan keuangan, salah satunya dengan sistem pengendalian internal.
Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern menunjukkan
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dapat
diandalkan (BPK, 2013), Artinya semakin banyak kelemahan sistem
pengendalian intern menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan
yang rendah. Jika tingkat akuntabilitas laporan keuangan yang tinggi dapat
mengurangi tindak korupsi (Widjajabrata dan Zacchea, 2004). Menurut
Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah satunya menguji sistem
pengendalian internal dapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika suatu
instansi pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah melakukan
penyelewengan dana (Korupsi) yang mengakibatkan kerugian keuangan
Negara. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa kelemahan sistem pengendalian
internal yang terjadi di pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi.
H2: Kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah
daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah
daerah.
3. Interaksi antara Kepatuhan terhadap perundang- undangan dengan tingkat
korupsi
75
Sebagai bagian pemrolehan keyakinan yang memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material, sesuai dengan Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), BPK melakukan pengujian
kepatuhan pada pemda terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecurangan, serta ketidakpatutan yang berpengaruh langsung dan material
terhadap penyajian laporan keuangan. BPK menemukan adanya
ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan dalam pengujian kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan pada Pemda dengan Pokok-pokok
temuan tertentu seperti Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, dan peraturan
masing masing bupati pemda terkait anggaran LKPD (LPKD, 2013). Hasil
pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan
mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan
yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan
penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.
Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.
Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) Kepatuhan
terhadap perundang- undangan menunjukkan akuntabilitas laporan keuangan
yang berpengaruh pada korupsi. Semakin banyak kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan menunjukkan informasi keuangan
yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diandalkan (BPK, 2013).
76
Artinya semakin banyak ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan
rendah.
Menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004) Jika tingkat akuntabilitas
laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak korupsi, Artinya
akuntabilitas yang lemah diyakini berpengaruh pada meningkatnya korupsi.
menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah satunya menguji
kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat
dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika suatu instansi pemerintah atau
pejabat pemerintah dikatakan telah melakukan penyelewengan dana yang
mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa
hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan
yang terjadi di pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H3: Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi pemerintah daerah.
4. Interaksi antara Rasio Kemandirian dengan tingkat korupsi
Kemandirian keuangan menunjukkan kemampuan pemda dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan yang diperlukan daerah dengan kata lain rasio ini menggambarkan
ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern (Wakhyudi dan
77
Tarunasari, 2013). Kemandirian keuangan ditunjukkan oleh besar kecilnya
Pendapatan Asli daerah (PAD) dibandingkan dengan total pendapatan (Halim
dan Kusufi, 2012). Dengan menggunakan rasio keuangan APBD dapat terlihat
kemandirian suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya
dan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keberhasilan keuangan
dari periode ke periode berikutnya.
Menurut Halim (2002) Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal
(terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula
sebaliknya. Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi rasio
kemandirian, maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar
pajak dan retribusi daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga
akan menimbulkan adanya korupsi. Menurut Saputra (2012) dengan tingginya
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) rentan menjadi objek korupsi.
Terbukti dengan adanya UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
retribusi daerah yang dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi Pemda yang
seharusnya memberikan kontribusi PAD yang lebih tinggi untuk
kesejahteraan mayarakat. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio kemandirian
pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H4: Rasio Kemandirian berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi
di pemerintah daerah.
78
5. Interaksi antara Rasio aktivitas Belanja operasional dengan tingkat korupsi
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin (operasi) secara optimal. Rasio belanja
aktivitas dihitung dengan membandingkan total belanja operasi pada total
APBD. Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk menilai sejauh mana
pemda mampu menyediakan Produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya
yang layak (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013). Anggaran belanja rutin
merupakan anggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan yang
bersifat lancar, rutin dan secara terus menerus yang dimaksudkan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Pramono, 2014). Menurut Heriningsih
dan marita (2013) Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk
belanja rutin (operasi) berarti adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan
yang dibelanjakan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat rutin
sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio
aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H5: Rasio Aktivitas Belanja Operasi berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi di pemerintah daerah.
6. Interaksi antara Rasio aktivitas Belanja Modal dengan tingkat korupsi
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya belanja pembangunan (modal) secara
optimal. Rasio belanja aktivitas dihitung dengan membandingkan total belanja
modal pada total APBD. Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk
79
menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan Produk (jasa) yang
berkualitas dengan biaya yang layak (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013).
Menurut Halim (2004) Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang
disediakan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan
dan pembangunan menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang
dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor
industri, pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain sebagainya.
Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi persentase dana
yang dialokasikan untuk belanja pembangunan (modal) berarti adanya
peningkatan sumber-sumber pendapatan yang dibelanjakan untuk
kesejahteraan masyarakat yang bersifat menambah aset atau kekayaan negara
sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio
aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H6: Rasio Aktivitas Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi di pemerintah daerah.
7. Interaksi antara Rasio pertumbuhan dengan tingkat korupsi
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya.
Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber
pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-
potensi mana yang perlu mendapat perhatian. Rasio pertumbuhan dihitung
80
dengan membandingkan pendapatan tahun anggaran yang sudah dikurang
pendapatan tahun anggaran sebelumnya dengan pendapatan di tahun anggaran
tersebut.
Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi rasio
pertumbuhan pendapatan berarti adanya peningkatan sumber-sumber
pendapatan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat menambah aset atau
kekayaan negara sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat
dihipotesiskan bahwa rasio pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi.
H7: Rasio Pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi
di pemerintah daerah.
D. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari uraian diatas dapat dijelaskan pada bagan sebagai berikut:
81
Gambar 2. 2
Kerangka pemikiran
Pengaruh Akuntabilitas LKPD Dan Kinerja Keuangan
Pemda Terhadap Tingkat Korupsi Di Indonesia
Peningkatan Kualitas LKPD Kabupaten/kota, Dan Tingkat Korupsi Di
Pemerintah Daerah Yang Masih Tinggi
Opini Audit, Sistem Pengendalian Intern, Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-Undangan Dan Pertumbuhan Kinerja
Keuangan Yang Membaik
LKPD kabupaten/kota di Indonesia
Hasil Pengujian Dan Pembahasan
Opini Audit
Sistem Pengendalian
Internal
Kepatuhan Peraturan UU Rasio Pertumbuhan
Rasio belanja modal
Rasio Kemandirian
Daerah
Tingkat
Korupsi Di
Indonesia
Metode Analisis: Analisis Regresi Logistik
Kesimpulan, Implikasi, Dan Saran
Rasio belanja operasi
82
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kausalitas yang digunakan untuk
menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu tingkat akuntabilitas pemerintah
daerah dan Kinerja keuangan Pemerintah Daerah terhadap variabel dependen yaitu
tingkat korupsi. Populasi penelitian ini adalah data korupsi Kabupaten dan Kota
telah berkekuatan hukum tetap dan bukan dugaan korupsi tahun 2012 dan 2013
yang didapat dari Laporan Tahunan KPK RI.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive (judgement)
sampling, yaitu salah satu teknik pengambilan sampel non probabilistik yang
dilakukan berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Indriantoro dan
Bambang, 2002:120). dengan kriteria sebagai berikut:
2. Data korupsi tahun 2012 dan 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap dan
bukan dugaan korupsi yang didapat dari KPK RI.
2. Pemerintah daerah seluruh Indonesia yang mempublikasikan laporan keuangan
pada tahun anggaran 2012 dan 2013 yang telah diaudit oleh BPK.
4. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah daerah
tahun 2012 dan 2013.
83
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan Data adalah keterangan mengenai variabel pada sejumlah objek
(Purwanto, 2011). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diambil dari BPK, sedangkan tingkat korupsi di pemerintah daerah diambil
dari situs Laporan Tahunan KPK RI. Pengumpulan data pada penelitian ini
dilakukan dengan cara dokumentasi dan studi pustaka. Dokumentasi merupakan
proses perolehan dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari dokumen
tersebut. Proses perolehan dokumen dilakukan melalui komunikasi elektronik (e-
mail) dengan pihak lembaga terkait, publikasi website lembaga terkait dan
kunjungan langsung ke Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia untuk mengambil data yang mensyaratkan diambil
secara langsung (data Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPD 2012 dan 2013 oleh
BPK RI). Data kedua adalah data kasus korupsi kabupaten tahun 2012 dan 2013.
Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang relevan
dengan penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian kepustakaan
dengan memperoleh data yang berkaitan dengan pembahasan yang sedang diteliti
melalui berbagai literatur seperti buku, jurnal, skripsi maupun situs dari internet.
Ini dikarenakan kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data
sekunder (Indriantoro dan Bambang, 2002:150).
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara menganalisis suatu
84
permasalahan yang diwujudkan dengan kuantitatif. Dalam penelitian ini, analisis
kuantitatif dilakukan dengan cara mengkuantifikasi data-data penelitian sehingga
menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam analisis.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
logistik (logistic regression) dengan bantuan SPSS Ver. 20. Alasan penggunaan
alat analisis regresi logistik (logistic regression) adalah karena variabel dependen
bersifat dummy (korupsi atau tidak korupsi). Asumsi normal distribution tidak
dapat dipenuhi karena variabel bebas merupakan campuran antara variabel
kontinyu (metrik) dan kategorial (non-metrik). Dalam hal ini dapat dianalisis
dengan regresi logistik (logistic regression) karena tidak perlu asumsi normalitas
data pada variabel bebasnya.
1. Definisi Regresi Logistik
Regresi logistik adalah bentuk khusus dimana variabel dependennya terbagi
menjadi dua bagian atau kelompok (biner). Walaupun formulanya dapat saja
lebih dari dua kelompok. Regresi logistik adalah regresi yang digunakan untuk
mencari persamaan regresi jika variabel dependennya merupakan variabel yang
berbentuk skala. Regresi logistik binari digunakan untuk menemukan
persamaan regresi dimana variabel dependennya bertipe kategorial dua pilihan
seperti: ya atau tidak, atau lebih dari dua pilihan seperti: tidak setuju, setuju,
sangat setuju.
85
2. Tahapan Regresi Logistik
Tahapan dalam pengujian dengan menggunakan uji regresi logistik (logistic
regression) adalah statistik deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian, adapun
penjelasannya diuraikan dalam paragraf dibawah ini (Ghozali, 2011):
a. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi suatu data yang
dilihat dari rata-rata (mean), standar deviasi (standard deviation), dan
maksimum-minimum. Mean digunakan untuk memperkirakan besar rata-rata
populasi yang diperkirakan dari sampel. Standar deviasi digunakan untuk
menilai dispersi rata-rata dari sampel. Maksimum-minimum digunakan untuk
melihat nilai minimum dan maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan
untuk melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang berhasil dikumpulkan
dan memenuhi syarat untuk dijadikan sampe penelitian.
b. Pengujian Hipotesis Penelitian
Estimasi parameter menggunakan Maximum Likehood Estimation (MLE).
Ho = b1 = b2 = b3 = ... = bi = 0
Ho ≠ b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ ... ≠ bi ≠ 0
Hipotesis nol menyatakan bahwa variabel independen (x) tidak mempunyai
pengaruh terhadap variabel respon yang diperhatikan (dalam populasi).
Pengujian terhadap hipotesis dilakukan dengan menggunakan α = 5%. Nilai α
dinyatakan sebagai besarnya tingkat kesalahan yang dapat ditolerir.
Umumnya, untuk ilmu sosial, termasuk ekonomi dan keuangan, besarnya α
86
adalah 5% (Nachrowi dan Usman, 2006:15). Kaidah pengambilan keputusan
adalah:
a) Jika nilai probabilitas (sig.) < α = 5% maka hipotesis alternatif didukung.
b) Jika nilai probabilitas (sig.) > α = 5% maka hipotesis alternatif tidak
didukung.
1) Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit)
Langkah pertama adalah menilai overall model fit terhadap data.
Beberapa test statistik diberikan untuk menilai hal ini.
Hipotesis untuk menilai model fit adalah:
H0 : Model yang dihipotesiskan fit dengan data
HA : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data
Dari hipotesis ini kita tidak akan menolak hipotesis nol agar model fit
dengan data. Statistik yang digunakan berdasarkan pada fungsi likelihood.
Likelihood L dari model adalah probabilitas bahwa model yang
dihipotesiskan menggambarkan data input. Untuk menguji hipotesis nol
dan alternatif, L ditransformasikan menjadi -2LogL. Penurunan likelihood
(-2LL) menunjukkan model regresi yang lebih baik atau dengan kata lain
model yang dihipotesiskan fit dengan data.
2) Koefisien Determinasi (Nagelkerke R Square)
Cox dan Snell’s R Square merupakan ukuran yang mencoba meniru
ukuran R2 pada multiple regression yang didasarkan pada teknik estimasi
likelihood dengan nilai maksimum kurang dari 1 (satu) sehingga sulit
87
diinterpretasikan. Nagelkerke’s R square merupakan modifikasi dari koefisien
Cox dan Snell untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 (nol)
sampai 1 (satu).
Hal ini dilakukan dengan cara membagi nilai Cox dan Snell’s R2 dengan
nilai maksimumnya. Nilai Nagelkerke’s R2dapat diinterpretasikan seperti
nilai R2 pada multiple regression. Nilai yang kecil berarti kemampuan
variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen
amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen.
3) Menguji Kelayakan Model Regresi
Kelayakan model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and
Lemeshow’s Goodness of Fit Test. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit
Test menguji hipotesis nol bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan
model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat
dikatakan fit). Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit
Test sama dengan atau kurang dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak yang
berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya
sehingga Goodness fit model tidak baik karena model tidak dapat
memprediksi nilai observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s
Goodness of Fit Test lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol tidak dapat
88
ditolak dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat
dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya.
4) Uji Multikolinieritas
Model regresi yang baik adalah regresi dengan tidak adanya gejala
korelasi yang kuat di antara variabel bebasnya. Pengujian ini menggunakan
matrik korelasi antar variabel bebas untuk melihat besarnya korelasi antar
variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka
variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel
independen sama dengan nol.
5) Matriks Klasifikasi
Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi
untuk memprediksi kemungkinan Korupsi yang dilakukan oleh pemda.
6) Model Regresi Logistik yang Terbentuk
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh Variabel
independen terdiri dari opini audit, Tingkat Kelemahan SPI, Ketaatan
Terhadap Perundang-Undangan, Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah
Terhadap variabel dependen yakni tingkat korupsi. Model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
KOR=β0+β1(Op)+β2(SPI)+β3(KUU)+β4(RK)+β5(RBO)+β6(RBM)+β
7(RBT)+ε
KOR = tingkat korupsi
89
β0 = Konstanta
OP = opini audit (1 untuk opini WTP dan WTP-DPP dan 0 untuk opini
lainnya
SPI = jumlah kasus kelemahan sistem pengendalian intern
KUU = jumlah kasus kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan
RK = Rasio kinerja kemandirian daerah
RBO = Rasio kinerja aktivitas belanja operasi daerah
RBM = Rasio kinerja aktivitas belanja modal daerah
RT = Rasio kinerja pertumbuhan daerah
ε = Error term
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel bebas dari penelitian ini adalah tingkat akuntabilitas pemerintah
daerah yang dilaporkan oleh BPK RI (yang terdiri dari opini audit laporan
keuangan pemerintah daerah, kelemahan sistem pengendalian intern laporan
keuangan pemerintah daerah, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan laporan keuangan pemerintah daerah) dan Kinerja
keuangan Pemerintah daerah (yang terdiri dari rasio Kemandirian, Rasio
Aktivitas, Rasio pertumbuhan).
a. Opini audit laporan keuangan pemerintah daerah
Penelitian ini menguji pengaruh dari Opini audit laporan keuangan
pemerintah daerah Terhadap tingkat korupsi. Opini Audit merupakan
90
variabel independen yang diukur mengunakan variabel dummy. Laporan
audit Independen merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan
pendapatnya, opini auditor yang merupakan pernyataan kewajaran, dalam
semua hal yang material sesuai dengan kriteria Standar akuntansi
Pemerintah. Opini audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
(BPK RI) terdiri dari empat opini yaitu Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP/unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified
opinion), Tidak Wajar (TW/Adverse opinion) dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP/Disclaimer opinion). Variabel ini diukur dengan
menggunakan variabel dummy, Kategori unqualified yang terdiri dari
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified opinion) diberi nilai dummy
1 dan kategori non unqualified yang terdiri dari Wajar dengan
Pengecualian (WDP/Qualified opinion), Tidak Wajar (TW/Adverse
opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer opinion)
diberi nilai dummy 0 (Heriningsih, 2013).
b. Kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah
daerah
Penelitian ini menguji pengaruh dari kelemahan sistem pengendalian
intern laporan keuangan pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi. Hasil
evaluasi Sistem Pengendalian Intern (SPI) oleh BPK menunjukkan kasus-
kasus kelemahan sistem pengendalian intern yang dapat dikelompokkan
sebagai kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan,
91
kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja, serta kelemahan struktur pengendalian intern. Variabel kelemahan
sistem pengendalian intern LKPD diukur dengan menghitung jumlah kasus
kelemahan system pengendalian intern atas LKPD yang dilaporkan BPK.
Kelemahan SPI di ukur dengan menggunakan jumlah temuan pelanggaran
atas SPI yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari
BPK. (Heriningsih, 2014).
c. Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah mengenai
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan mengungkapkan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan
penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.
Variabel kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
LKPD diukur dengan menghitung jumlah kasus ketidakpatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan atas LKPD yang dilaporkan
BPK. Penelitian ini menguji pengaruh Ketaatan Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan terhadap tingkat korupsi. Ketaatan terhadap
Peraturan Perundang-Undangan di ukur dengan menggunakan jumlah
temuan pelanggaran atas ketaatan terhadap undang-undang yang
diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari BPK
(Heriningsih, 2014).
92
d. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota
merupakan variabel independen, Kinerja keuangan merupakan keluaran
atau hasil dari kegiatan atau program yang dicapai sesuai dengan anggaran
dengan kualitas dan kuantitas yang terukur (Ronald dan Sarmiyatiningsih,
2010). Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah merupakan variabel
independen yang diukur dengan menggunakan 3 rasio keuangan APBD
yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan,
dimana ketiga rasio tersebut merupakan rasio pengukuran kinerja
pemerintah.
1. Rasio Kemandirian Daerah
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio kemandirian menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber keuangan yang
diperlukan daerah.
Kemandirian daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan total pendapatan transfer.
Rumusan rasio kemandirian daerah yaitu :
Kemandirian i = PAD i
Total Pendapatan Transfer Daerah i
Keterangan i = Pemerintah Kabupaten/Kota
93
Tabel 3.1
Kriteria Rasio Kemandirian
S
Sumber: Halim dan Kusufi, 2012
2. Rasio Aktivitas Belanja operasi
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio aktivitas yaitu rasio yang
menggambarkan bagaimana pemda memprioritaskan alokasi dananya
pada belanja operasi secara optimal. Rasio aktivitas belanja operasi
membandingkan total belanja rutin (operasi) terhadap total APBD
(Halim, 2009) dalam Heriningsih (2013). Semakin tinggi persentase
dana yang dialokasikan untuk belanja rutin (belanja operasional)
berarti persentase belanja pembangunan (belanja modal) yang
digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi
masyarakat cenderung semakin kecil (Susantih dan Saftiana, 2010:
13). Rasio aktivitas belanja operasi dapat diformulasikan sebagai
berikut :
Belanja Operasi terhadap APBD i = Total Belanja Operasi i
Total APBD i
Keterangan i = Pemerintah Kabupaten/Kota
3. Rasio Aktivitas Belanja modal
Rasio Kriteria kemampuan daerah
>50% Sangat baik
>40%-50% Baik
>30%-40% Cukup
>10%-20% Kurang
0-10% Sangat kurang
94
Rasio aktivitas belanja modal ini membandingkan total belanja
modal terhadap total APBD. Rasio aktivitas menggambarkan
bagaimana pemda memprioritaskan alokasi dananya pada belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin (belanja operasional) berarti
persentase belanja pembangunan (belanja modal) yang digunakan
untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil (Susantih dan Saftiana, 2010: 13). Rasio
aktivitas tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut :
Belanja Modal terhadap APBD i = Total Belanja Modal i
Total APBD i
Belum ada tolak ukur yang jelas mengenai rasio aktivitas
pemerintah saat ini, maka untuk membandingkan rasio aktivitas
dilakukan berdasarkan belanja operasi dan belanja modal.
4. Rasio Pertumbuhan
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio pertumbuhan mengukur
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan
dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya.
Rasio pertumbuhan mengukur kemampuan daerah dalam
miningkatkan keberhasilan yang telah dicapai. Dengan mengetahui
pertumbuhan masing-masing kelompok sumber pendapatan dan
95
pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi yang
mendapat perhatian (Heriningsih, 2013).
RT= Pendapatan tahun p - Pendapatan tahun p-1 X 100%
Pendapatan tahun p-1
Keterangan p= tahun 2013
2. Variabel Dependen
Variabel Terikat (Dependent Variabel) merupakan variabel
yang menjadi perhatian utama peneliti dan merupakan variabel
yang dipengaruhi variabel lain baik secara positif maupun negatif
(Sekaran, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat
korupsi pemerintah daerah. Pengklasifikasi fraud atau kecurangan
dikenal dengan istilah “fraud tree”. Hal yang ditimbulkan oleh
fraud salah satunya adalah Korupsi, dimana jenis fraud ini paling
paling sulit dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak
lain seperti suap atau korupsi.
Dalam penelitian Chen; Cumming; Hou; dan Lee (2013) yang
melakukan penelitian pada fraud dengan menggunakan variabel
dummy dimana 1 bagi firma yang berlawanan dari fraud, dan 0 bagi
firma yang fraud
Tingkat korupsi yang dipakai dalam penelitian ini adalah
memodifikasi data kasus korupsi yang terjadi di kabupaten-
96
kabupaten di Indonesia yang didapat dari Laporan Tahunan KPK.
Variabel ini diukur dengan menggunakan variabel dummy.
1 bagi kabupaten dan kota yang tidak terdapat kasus korupsi
telah berkekuatan hukum tetap dan bukan dugaan korupsi dari
Laporan Tahunan KPK RI
0 bagi kabupaten dan kota yang terdapat kasus korupsi telah
berkekuatan hukum tetap dan bukan dugaan korupsi dari Laporan
Tahunan KPK RI . Tingkat korupsi yang dimodifikasi dari laporan
tahunan KPK RI inilah yang digunakan untuk mengukur tingkat
korupsi pemerintah daerah.
97
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
a. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2012 dan 2013
Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan keuangan pemerintah
daerah tahun anggaran 2012 dan 2013 yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa Neraca daerah, Laporan
Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas serta Catatan atas Laporan Keuangan
yang telah disusun oleh pemerintah daerah sebagai bentuk
pertanggungjawaban Pemerintah Daerah selama satu tahun anggaran
sebagaimana diamanatkan dalam Undang–undang Nomor 33 Tahun 2004.
Hasil pemeriksaan keuangan BPK disajikan dalam tiga kategori yaitu
opini, SPI, dan pelanggaran terhadap kepatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam LHP
(Laporan Hasil Pemeriksaan) dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap
temuan dapat terdiri atas satu atau lebih permasalahan kelemahan SPI,
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan
kerugian negara/ daerah, potensi kerugian negara/daerah, kekurangan
penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, dan
ketidakefektifan. Setiap permasalahan merupakan bagian dari temuan dan di
dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) ini disebut dengan istilah
98
“kasus”. Namun, istilah kasus di sini tidak selalu berimplikasi hukum atau
berdampak finansial.
Untuk mewujudkan syarat penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah
yang baik dan mematuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka
Pemerintah telah melakukan berbagai pembaharuan dan regulasi dibidang
keuangan yang secara Nasional telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP) pasal 4 ayat (1) Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual, lebih
lanjut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) penerapan SAP berbasis akrual.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilaksanakan secara
bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan
SAP berbasis akrual.
Penelitian ini menggunakan data selama dua tahun, dari tahun anggaran
2012 sampai tahun 2013. Penggunaan periode 2012 sampai 2013 karena pada
tahun tersebut merupakan data terbaru yang tersedia dan dapat memberikan
gambaran pelaksaan secara bertahap dari penerapan peraturan pemerintah
Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang
dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual
menjadi penerapan SAP berbasis akrual.
Tabel 4.1 dibawah ini menyajikan tahapan seleksi sampel berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan
99
Tabel 4.1
Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria
Proses pengambilan sampel Jumlah Pemda
2012 dan 2013
Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota di Indonesia 495
Jumlah LKPD yang tidak memuat data yang dibutuhkan (73)
Jumlah Pemda sampel 422
Jumlah pengamatan (tahun) 2
Jumlah sample total selama periode penelitian 844
Sumber : Data diolah
Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota yang ada di indonesia selama
periode penelitian berjumlah 495 Pemda. Dari 495 Pemda tersebut terdapat 73
LKPD yang tidak memuat selama periode penelitian. Sehingga Pemda yang
dijadikan sampel adalah sebanyak 422 Pemda. Sedangkan total pengamatan
yang dijadikan sampel penelitian adalah 844 Pemda dikalikan 2 tahun
pengamatan, sehingga sampel penelitian berjumlah 844 Pemda.
b. Data korupsi Kabupaten dan Kota
Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
Objek penelitian pada data kasus korupsi didapat dari KPK. Kasus
korupsi yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kasus yang telah menjadi
100
Tindak Pidana Korupsi (TPK). Dalam laporan tahunan KPK 2012 dan 2013
ini Pemda yang masuk kedalam kasus TPK sebanyak 45 kasus di kabupaten
dan kota diseluruh Indonesia yang diberi nilai 1 dan selebihnya sebanyak 799
kota dan kabupaten diberi nilai 0.
c. Deskripsi Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini sampel dipilih dengan menggunakan metode
purposive sampling dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya. Sampel dipilih bagi pemda yang menyajikan data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain opini audit, kelemahan SPI,
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, rasio kemandirian, rasio
belanja modal, rasio belanja operasi, dan rasio pertumbuhan. Melalui metode
purposive sampling diharapkan sampel dapat mewakili populasinya dan tidak
menimbulkan bias bagi tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sampel dikategorikan ke dalam dua kelompok atau kategori berdasarkan
atas jenis opini audit yang diterimanya, yaitu kelompok pemerintah daerah
yang Korupsi (korup) dan kelompok pemerintah daerah yang mendapatkan
tidak korupsi (tdk korup) Distribusi Pemda tersebut disajikan dalam tabel 4.2
berikut ini:
Tabel 4.2
Distribusi Pemda Berdasarkan Opini Audit
Korupsi/tdk
korupsi
Pemerintah daerah Total
2012 2013
Korupsi 21 24 45
5% 6% 5%
101
Tdk korupsi 401 398 799
95% 94% 95%
Total 422 422 844
100% 100% 100%
Sumber: data diolah
Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat 21
Pemda yang Korupsi atau sebesar 5% dari total Pemda sampel pada tahun
2012. Dan Pemda yang Tidak Korupsi pada tahun 2012 adalah 401 Pemda
atau sebesar 95% dari total Pemda sampel pada tahun 2012. Pada tahun 2013
terdapat 24 Pemda yang Korupsi atau sebesar 6% dari total Pemda sampel
pada tahun 2012. Dan Pemda yang Tidak Korupsi pada tahun 2013 adalah
398 Pemda atau sebesar 94% dari total Pemda sampel pada tahun 2013. Dari
penjelasan Tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa Pemda yang paling banyak
Korupsi terjadi pada tahun 2013. Salah satu penyebab hal itu adalah
Perubahan Korupsi yang terjadi setiap tahunnya menunjukkan adanya
perubahan kondisi di KPK dan Pemda, contohnya KPK melakukan koordinasi
dan supervisi (korsup) penindakan. Pertama, melalui penyelenggaraan
berbagai pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas aparat
penegak hukum. Kedua, melalui koordinasi dan supervisi penanganan kasus
kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Dimana kedua hal ini bertujuan untuk
penguatan kapasitas SDM dalam penanganan korupsi. korsup bidang
penindakan juga terkait langsung dengan penanganan perkara tindak pidana
korupsi yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu perubahan
102
korupsi dari sisi pemda kualitas layanan publik yang masih kurang, masih
lemahnya perencanaan dan penganggaran APBD, serta lemahnya perencanaan
dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (Laporan tahunan KPK, 2013).
B. Hasil Uji Analisis Data Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan model regresi
logistik (logistic regression). Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran
menyeluruh mengenai pengaruh variabel independen (opini audit, kelemahan
spi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, rasio kemandirian,
rasio belanja operasi, rasio belanja modal, rasio pertumbuhan) terhadap
variabel dependen yaitu korupsi.
i. Hasil Uji Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif diperoleh sebanyak 844 data
observasi yang berasal dari perkalian antara periode penelitian (2 tahun; data
tahun 2012 sampai tahun 2013) dengan jumlah pemda sampel (422 pemda).
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif
103
Sumber: output SPSS
Berdasarkan Tabel 4.3, hasil analisis dengan menggunakan statistik
deskriptif dijelaskan sebagai berikut:
a) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap penerimaan opini audit
menunjukkan nilai minimum sebesar 0, nilai maksimum sebesar 1
dengan rata- rata sebesar 0,27 dan standar deviasi 0,444. Nilai rata-
rata sebesar 0,27 menunjukkan bahwa pemda yang mendapat opini
audit WTP dan WTP-DPP dengan kode 1 sebesar 228 pemda.
Sedangkan sebanyak 616 pemda mendapat opini selain WTP dan
WTP-DPP.
b) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap
kelemahan SPI menunjukkan nilai minimum sebesar 0 yang diperoleh
Kota Banjar (Provinsi Jawa Barat) (2012). Nilai maksimum sebesar 30
yang diperoleh Kabupaten Kampar (Provinsi Riau) (2013). Nilai rata-
rata sebesar 10,75 dan standar deviasi 4,709. Nilai rata- rata sebesar
Descriptive Statistics
844 0 1 ,27 ,444
844 0 30 10,75 4,709
844 1 45 13,31 6,386
844 ,00 3,53 ,1087 ,18790
844 ,40 ,94 ,7683 ,08319
844 ,00 ,55 ,2258 ,08375
844 -,15 ,49 ,1292 ,07534
844 0 1 ,05 ,225
844
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
korup
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
104
10,75 menunjukkan bahwa rata-rata kelemahan SPI adalah 10,75
kasus atau sekitar 10 kasus kelemahan SPI yang terdapat ditiap pemda
kabupaten/kota.
c) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap
kepatuhan ketentuan peraturan menunjukkan nilai minimum sebesar 1
yang diperoleh Kabupaten Magetan (2012), Kota Madiun (Provinsi
Jawa Timur) (2013), dan Kabupaten Sambas (Provinsi Kalimantan
Barat) (2012). Nilai maksimum sebesar 45 yang diperoleh Kabupaten
Bolaang Mongondow (Provinsi Sulawesi Utara) (2012). Nilai rata-
rata sebesar 13,31 dan standar deviasi 6,386. Nilai rata- rata sebesar
13,31 menunjukkan bahwa rata-rata ketidakpatuhan terhadap
ketentuan peraturan adalah 13,31 kasus atau sekitar 13 kasus
ketidakpatuhan ketentuan peraturan yang terdapat ditiap pemda
kabupaten/kota.
d) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap rasio
kemandirian menunjukkan nilai minimum sebesar 0,01, nilai
maksimum sebesar 3,53 yang diperoleh Kabupaten Badung (Provinsi
Bali) (2013). Nilai rata-rata sebesar 0,1087 dan standar deviasi 0,187.
Nilai rata-rata sebesar 0,1087 menunjukkan bahwa rata-rata rasio
kemandirian pemda kabupaten/kota adalah 10 persen atau kriteria
kemampuan pemda sangat kurang dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
105
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber keuangan yang
diperlukan daerah.
e) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap rasio
belanja operasi menunjukkan nilai minimum sebesar 0,40 yang
diperoleh Kabupaten Luwu (Provinsi Sulawesi Selatan) (2013), nilai
maksimum sebesar 0,94 yang diperoleh Kabupaten Brebes (Provinsi
Jawa Tengah) (2013). Nilai rata-rata sebesar 0,7683 dan standar
deviasi 0,08319. Nilai rata-rata sebesar 0,7683 menunjukkan bahwa
rata-rata rasio aktivitas belanja operasional pemda kabupaten/kota
adalah 76,8 persen atau tingginya persentase dana yang dialokasikan
untuk belanja operasional daerah.
f) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap rasio
belanja modal menunjukkan nilai minimum sebesar 0,01, nilai
maksimum sebesar 0,55 yang diperoleh Kabupaten Penajam Paser
Utara (Provinsi Kalimantan Timur) (2012). Nilai rata-rata sebesar
0,2258 dan standar deviasi 0,08375. Nilai rata-rata sebesar 0,2258
menunjukkan bahwa rata-rata rasio kemandirian adalah 23 persen atau
persentase belanja modal yang digunakan untuk menyediakan sarana
dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung kecil.
g) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap rasio
pertumbuhan menunjukkan nilai minimum sebesar -0,15 yang
diperoleh Kabupaten Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) (2013), nilai
106
maksimum sebesar 0,69 dengan rata-rata sebesar 0,128 dan standar
deviasi 0,086. Nilai rata-rata sebesar 0,128 menunjukkan bahwa rata-
rata rasio pertumbuhan dalah 12,8 persen atau kemampuan daerah
dalam memepertahankan dan meningkatkan keberhasilan keuangannya
yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya cenderung kecil.
h) Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap
korupsi menunjukkan nilai minimum sebesar 0, nilai maksimum
sebesar 1 dengan rata-rata sebesar 0,05 dan standar deviasi 0,225.
Nilai rata- rata sebesar 0,05 menunjukkan bahwa korupsi dengan kode
1 menunjukkan bahwa sampel penelitian tidak lebih banyak korupsi
dari 844 sampel yang diteliti. Dari 844 pemda terdapat 45 pemda yang
korupsi dan 799 pemda tidak korupsi. Variabel kelemahan sistem
pengendalian internal dan kepatuhan peraturan perundang-undangan
yang menggunakan skala pengukuran interval dan rasio belanja
operasi, rasio belanja modal, juga rasio pertumbuhan yang
menggunakan skala pengukuran rasio memiliki nilai rata-rata lebih
besar dari nilai standar deviasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
data dari variabel tersebut cukup baik, karena nilai rata- rata yang
lebih besar dari standar deviasinya menunjukkan bahwa standar error
dari variabel tersebut kecil. Sedangkan untuk variabel opini audit, dan
Korupsi menggunakan skala pengukuran nominal , nilai rata- rata dan
standar deviasi tidak tepat digunakan sebagai alat analisis kualitas
107
data, karena kode angka yang digunakan dalam skala pengukuran
nominal hanya berfungsi sebagai label kategorial semata tanpa nilai
intrinsik dan tidak memiliki arti apa- apa (Ghozali, 2011:4).
1. Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Karena variabel independen bersifat dummy (korupsi atau tidak
korupsi), maka pengujian terhadap hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji regresi logistik. Regresi logistik adalah regresi yang
digunkaan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel
terikat dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Teknik analisis ini
tidak memerlukan lagi uji normalitas data pada variabel bebasnya
(Ghozali, 2011:261). Tahapan dalam pengujian dengan menggunakan
uji regresi logistik dapat dijelaskan sebagai berikut (Ghozali, 2011):
a. Hasil Uji Kesesuaian Keseluruhan Model (Overall Model Fit)
Pengujian kesesuaian keseluruhan model (overall model fit)
dilakukan dengan membandingkan nilai antara -2 Log Likelihood (-
2LL) pada awal (Block Number=0) dengan nilai -2 Log Likelihood
(-2LL) pada akhir (Block Number=1). Hipotesis untuk menilai
model fit adalah:
Ho :Model yang dihoptesiskan fit dengan data
Ha : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data
Berdasarkan hipotesis ini, maka Ho harus dterima dan Ha harus
ditolak agar model fit dengan data. Statistik yang digunakan
108
berdasarkan fugsi likelihood. Likelihood L dari model adalah
probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data
input.
Tabel 4.4 adalah Iteration History 0 yang merupakan -2 Log
Likelihood awal. Tabel ini akan dibandingkan dengan tabel 4.5 tabel
Iteration History 1 yang merupakan -2 Log Likelihood akhir. Adanya
selisih antara -2 Log Likelihood awal dengan -2 Log Likelihood
akhir menunjukan bahwa hipotesis nol (Ho) tidak dapat di tolak dan
model fit dengan data.
Tabel 4.4
Iteration History 0 Iteration -2 Log likelihood Coefficients
Constant
Step 0 1 422,228 -1,787
2 357,415 -2,520
3 351,498 -2,827
4 351,391 -2,876
5 351,391 -2,877
6 351,391 -2,877
a. Constant is included in the model.
b. Initial -2 Log Likelihood: 351,391
c. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter
estimates changed by less than ,001.
Sumber: output SPSS
Berdasarkan hasil pengolahan SPSS 20.0, pada tabel 4.4
menunjukan bahwa nilai -2 Log Likelihood awal (tabel Iteration
History 0) adalah sebesar 351,391. Secara matematis, angka tersebut
signifikan pada alpha 5% dan berarti bahwa hipotesisi nol (Ho)
ditolak. Hal ini berarti hanya konstanta saja yang tidak fit dengan data
109
(sebelum dimasukkan variabel bebas ke dalam model regresi)
(Ghozali, 2011: 268).
Langkah selanjutnya adalah membandingkan antara nilai -2 Log
Likelihood awal ( tabel Iteration History 0) dengan -2 Log Likelihood
akhir (tabel Iteration History 1), Pada tabel Iteration History 0, nilai -2
Log Likelihood awal menunjukan sebesar 351,391. Setelah variabel
bebas dimasukan pada model regresi, maka nilai -2 Log Likelihood
pada tabel 4.5 Iteration History 1 adalah sebesar 342,310.
Tabel 4.5
Sumber: output SPSS
Berdasarkan output tersebut, terjadi penurunan nilai antara -2 Log
Likelihood awal dan akhir sebesar 9,081. Penurunan nilai -2 Log
Likelihood ini dapat diartikan bahwa penambahan variabel bebas ke
dalam model dapat memperbaiki model fit serta menunjukan model
regresi yang lebih baik atau dengan kata lain model yang
dihipotesiskan fit dengan data.
b. Hasil Uji Koefisien Determinasi (Nagelkerke R. Square)
Iteration Historya,b,c,d
417,861 -1,849 ,104 -,001 ,006 ,561 -,106 -,123 ,145
349,780 -2,719 ,277 -,003 ,014 ,907 -,160 -,304 ,434
342,524 -3,232 ,466 -,006 ,022 1,043 -,134 -,478 ,776
342,310 -3,384 ,533 -,006 ,025 1,063 -,097 -,531 ,901
342,310 -3,393 ,536 -,007 ,025 1,064 -,093 -,533 ,908
342,310 -3,393 ,536 -,007 ,025 1,064 -,093 -,533 ,908
Iteration1
2
3
4
5
6
Step
1
-2 Log
likelihood Constant op spi kuu rk rbo rbm rt
Coefficients
Method: Entera.
Constant is included in the model.b.
Initial -2 Log Likelihood: 351,391c.
Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.d.
110
Besarnya nilai koefisien determinasi pada model regresi logistik
ditunjukkan oleh nilai Cox & Snell R Square dan Nagelkerke R
Square. Nilai Cox & Snell R Square adalah sebesar 0,011 yang
berarti bahwa variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel
independen sebesar 1,1%. Cox & Snell R Square merupakan ukuran
yang mencoba meniru ukuran R2 pada multiple regression sehingga
sulit diintepretasikan. Kelemahan mendasar yang dimiliki adalah bias
terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan kedalam
model. Setiap tambahan satu variabel independen, maka baik nilai R2
maupun Cox & Snell R Square akan mengalami peningkatan tidak
peduli apakah variabel tersebut berpengaruh atau tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu,
Nagelkerke R Square digunakan dalam mengevaluasi mana model
regresi yang terbaik karena nilai yang dihasilkan dapat naik atau turun
apabila satu variabel independen ditambahkan kedalam model
(Ghozali, 2011).
Berdasarkan Tabel 4.6 dibawah ini, nilai Nagelkerke R Square
sebesar 0,031 yang berarti variabel dependen dapat dijelaskan oleh
variabel independen sebesar 3,1%, sedangkan sisanya sebesar 96,9%
dijelaskan oleh variabel- variabel lain diluar model penelitian seperti
integritas manajemen (Chen, et al, 2012; Effendy, 2013), rasio
keuangan Efektifitas (Sularso, et al, 2011; Fidelius, 2013; Dwijayanti,
111
2014), kapasitas sumberdaya manusia, pemanfaatan sistem informasi
keuangan daerah, dan implementasi SAP (Mahaputra, et al, 2014).
Tabel 4.6
Koefisien Determinasi Model Summary
Step -2 Log
likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 342,310 ,011 ,031
a.Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Sumber: output SPSS
c. Hasil Uji Kelayakan Model Regresi
Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah menilai kelayakan
model regresi logistik biner. Menilai kelayakan dari model regresi
dapat dilakukan dengan memperhatikan goodness of fit model
yang diukur dengan Chi-Square pada kolom Hosmer and
Lemeshow’s (Ghozali, 2009: 269). Hipotesis yang digunakan
untuk menilai kelayakan model regresi ini adalah:
Ho: Tidak ada perbedaan antara model dengan data
Ha: Ada perbedaan antara model dengan data
Tabel 4.7
Menguji Kelayakan Model Regresi
Hosmer and Lemeshow Test
Step
Chi-
square df Sig.
1 13,979 8 ,082
112
Sumber: output SPSS
Tabel 4.7 menunjukan hasil pengujian Hosmer and
Lemeshow’s Test. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui
bahwa nilai signifikansi adalah sebesar 0,082. Nilai signifikan
yang diperoleh tersebut diatas 0,05 yang berarti hipotesis 0 (Ho)
tidak dapat ditolak (diterima). Hal ini berarti model mampu
memprediksi nilai observasinya atau model dapat diterima karena
cocok dengan data observasinya sehingga model ini dapat
digunakan untuk analisis selanjutnya.
d. Hasil Uji Mutikolinearitas
Model regresi yang baik adalah regresi dengan tidak adanya
gejala korelasi yang kuat di antara variabel bebasnya. Pengujian ini
menggunakan matriks korelasi antar variabel bebas untuk melihat
besarnya korelasi antar variabel independen. Pengujian
multikolinieritas menggunakan metrik korelasi antara variabel
bebas untuk melihat besarnya korelasi antara variabel bebas. Untuk
melihat besarnya korelasi antara variabel independen didalam
penelitian ini opini audit (op), kelemahan sistem pengendalian
internal (spi), kepatuhan peraturan perundang-undangan (kuu),
rasio kemandirian (rk), rasio belanja operasi (rbo), rasio belanja
modal (rbm), rasio pertumbuhan (rt). Hasil Tabel 4.8 menunjukkan
tidak ada nilai koefisien korelasi yang nilainya lebih besar dari
113
0,10, maka tidak ada gejala multikolinearitas yang serius antara
variabel bebasnya (Ghazali, 2006: ).
Tabel 4.8
Hasil Uji Multikolinearitas
Sumber: output SPSS
e. Hasil Matriks Klasifikasi
Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model
regresi untuk memprediksi kemungkinan pemda korupsi.
Tabel 4.9
Matriks Klasifikasi
Sumber: output SPSS
Correlation Matrix
1,000 ,011 -,065 -,063 -,092 -,990 -,945 -,113
,011 1,000 ,179 ,212 -,104 -,055 -,088 -,011
-,065 ,179 1,000 -,283 -,112 -,006 ,039 ,054
-,063 ,212 -,283 1,000 ,046 ,023 -,050 ,044
-,092 -,104 -,112 ,046 1,000 ,103 ,076 -,209
-,990 -,055 -,006 ,023 ,103 1,000 ,924 ,052
-,945 -,088 ,039 -,050 ,076 ,924 1,000 ,054
-,113 -,011 ,054 ,044 -,209 ,052 ,054 1,000
Constant
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
Step
1
Constant op spi kuu rk rbo rbm rt
Classification Tablea
797 2 99,7
45 0 ,0
94,4
Observed
tdk korupsi
korupsi
korup
Overall Percentage
Step 1
tdk korupsi korupsi
korup Percentage
Correct
Predic ted
The cut value is ,500a.
114
Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi
kemungkinan kemungkinan pemda korupsi adalah sebesar 94,4%.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan model regresi
yang digunakan, terdapat sebanyak 0 pemda (0%) yang diprediksi
akan korupsi dari total 45 pemda. Kekuatan prediksi dari model
regresi untuk memprediksi kemungkinan pemda korupsi adalah
99,7%. Hal ini berarti bahwa dengan model regresi tersebut,
terdapat sebanyak 796 pemda (99,7%) yang diprediksi tidak
korupsi dari total 799 pemda yang tidak korupsi.
f. Hasil Uji Regresi Logistik
Model regresi logistik yang terbentuk disajikan pada tabel
dibawah ini.
Tabel 4.10
Hasil Uji Koefisien Regresi Logistik
Sumber: output SPSS
Variables in the Equation
,536 ,343 2,440 1 ,118 1,709
-,007 ,035 ,034 1 ,853 ,993
,025 ,025 ,991 1 ,319 1,026
1,064 ,461 5,319 1 ,021 2,897
-,093 5,055 ,000 1 ,985 ,911
-,533 5,048 ,011 1 ,916 ,587
,908 2,077 ,191 1 ,662 2,478
-3,393 5,009 ,459 1 ,498 ,034
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
Constant
Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variable(s) entered on s tep 1: op, spi, kuu, rk, rbo, rbm, rt.a.
115
Hasil pengujian terhadap koefisien regresi menghasilkan
model berikut ini:
Korup = -3,393 + 0,536 OP - 0,007 SPI + 0,025 KUU +
1,064 RK – 0,093 RBO - 0,533 RBM +0,908 RT
Berdasarkan pengujian regresi logistik (logistic regression)
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, interpretasi
hasil disajikan dalam tujuh bagian. Bagian pertama membahas
Pengaruh opini audit (OP) terhadap tingkat korupsi (KORUP)
(H1). Bagian kedua membahas pengaruh kelemahan sistem
pengendalian internal (SPI) terhadap tingkat korupsi (KORUP)
(H2). Bagian ketiga membahas pengaruh kepatuhan perundang-
undangan (KUU) terhadap tingkat korupsi (KORUP) (H3). Bagian
keempat membahas pengaruh rasio kemandirian (RK) terhadap
tingkat korupsi (KORUP) (H4). Bagian kelima membahas rasio
belanja operasional (RBO) terhadap tingkat korupsi (KORUP)
(H5). Bagian keenam membahas rasio belanja modal (RBM)
terhadap tingkat korupsi (KORUP) (H6). Bagian ketujuh
membahas pengaruh rasio pertumbuhan (RT) terhadap tingkat
korupsi (KORUP) (H7).
1) Pengaruh opini audit (OP) terhadap tingkat korupsi (KORUP)
Variabel OP menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0,536
dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,118, lebih besar dari α=
116
5%. Karena tingkat signifikansi (α) lebih besar dari α= 5%, maka
hipotesis ke-1 tidak berhasil didukung (ditolak). Hasil penelitian
ini tidak berhasil membuktikan bahwa opini audit berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Setiawan (2012) dan Heriningsih (2013; 2014).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sarah (2014).
Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila
opini auditor WTP dan WTP-DPP maka tidak menunjukkan
pemda tidak korupsi. Contohnya seperti di Kabupaten Siak
(Provinsi Riau) (2012) mendapat opini WTP-DPP dan terdapat
kasus korupsi. Di kota Cilegon (Provinsi Banten) dan kota
Tomohon (Provinsi Sulawesi Utara) (2013) mendapat opini WTP-
DPP dan terdapat kasus korupsi. Di Kota Bandar Lampung
(Provinsi Lampung) (2013) mendapat opini WTP dan terdapat
kasus korupsi. Di kabupaten Pelalawan (Provinsi Riau) tahun
2012 dan 2013 mendapat opini WTP-DPP serta di tahun yang
sama terdapat kasus korupsi. Di Kota Batam (Provinsi Riau), kota
Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten Banggai (Sulawesi
Tengah) tahun 2012 dan 2013 mendapat opini WTP serta di tahun
yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kota Palembang (Provinsi
Sumatera selatan), Kota Semarang (Provinsi Jawa Tengah) tahun
117
2012 dan 2013 mendapat opini WTP dan WTP-DPP serta pada
tahun yang sama terdapat kasus korupsi.
2) Pengaruh kelemahan SPI (SPI) terhadap tingkat korupsi (KORUP)
Variabel SPI menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar -0,007
dengan tingkat signifikansi α sebesar 0,853, lebih besar dari α=
5%. Karena tingkat signifikansi (α) lebih besar dari α= 5%, maka
hipotesis ke-2 tidak berhasil didukung (ditolak). Penelitian ini
tidak berhasil membuktikan bahwa kelemahan SPI berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Setiawan (2012) dan Heriningsih (2013; 2014).
Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila
Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern yang
terjadi pada suatu pemerintah daerah tidak berarti menunjukkan
pemda tidak korupsi. Contohnya seperti Kabupaten Banggai
(Provinsi Sulawesi Tengah), kota Tangerang (Provinsi Banten)
tahun 2012 hanya terdapat 2 kelemahan SPI namun pada tahun
yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kabupaten Kampar
(Provinsi Riau) tahun 2013 terdapat 30 kasus kelemahan SPI
namun pada tahun yang sama tidak terdapat kasus korupsi.
3) Pengaruh Kepatuhan peraturan perundang-undangan(KUU)
terhadap tingkat korupsi (KORUP)
118
Variabel KUU menunjukkan koefisien regresi positif sebesar
0,025 dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,319, lebih besar
dari α= 5%. Karena tingkat signifikansi (α) lebih besar dari α=
5%, maka hipotesis ke-3 tidak berhasil didukung (ditolak).
Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan berpengaruh signifikan
terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Setiawan (2012) dan Heriningsih (2013; 2014). Hasil
penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila Hasil
pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
atas laporan keuangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian
daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan,
administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan tidak
berarti menunjukkan pemda korupsi. Contohnya di Kota semarang
(Provinsi Jawa Tengah) (2013) hanya terdapat 4 kasus
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, namun
pada tahun yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kabupaten
Bolaang Mongondow (Provinsi Sulawesi Utara) (2012) terdapat
45 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan,
namun pada tahun yang sama tidak terdapat kasus korupsi.
119
4) Pengaruh Rasio kemandirian (RK) terhadap tingkat korupsi
(KORUP)
Variabel RK menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 1,064
dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,021, lebih kecil dari α=
5%. Karena tingkat signifikansi (α) 0,021 kurang dari α= 5%,
maka Hipotesis ke-4 berhasil didukung. Penelitian ini berhasil
membuktikan bahwa rasio kemandirian berpengaruh signifikan
terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Heriningsih (2013). Hasil penelitian ini memberikan
bukti empiris bila rasio kemandirian suatu daerah bagus/tinggi
maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar
pajak dan restribusi daerah yang akan menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun tidak berarti
bahwa di pemda tidak terjadi korupsi dimana Pendapatan Asli
Daerah (PAD) rentan menjadi objek korupsi didaerah, terbukti
dengan adanya UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
retribusi daerah yang dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi
Pemda yang seharusnya memberikan kontribusi PAD yang lebih
tinggi untuk kesejahteraan mayarakat (Saputra, 2012). Contohnya
di Kota Tangerang Selatan (Provinsi Banten) dan Kota Bandung
(Provinsi Jawa Barat) (2013) yang memiliki rasio kemandirian
59% dan 51% (sangat baik) menunjukkan kemampuan daerah
120
sangat baik dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah, Namun terdapat kasus korupsi yang disebabkan
oleh beberapa faktor. Contohnya tahun 2013 di kota Tangerang
selatan ditemukan kasus korupsi karena faktor pengawasan yang
kurang efektif sehingga internal control di setiap unit tidak
berfungsi karena pejabat atau pegawai mengalami benturan
kepentingan dalam pengadaan alat kesehatan. Kasus korupsi yang
dilakukan oleh MJ (pejabat pembuat komitmen PPK Tangsel)
yaitu penggelembungan dana untuk membiayai pengadaan Alat
Kesehatan Kedokteran Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan
APBDP Tahun Anggaran 2012. Pada tahun yang sama di kota
Bandung terdapat kasus korupsi karena faktor gratifikasi, Kasus
korupsi ini terkait penerimaan pemberian atau janji terkait dengan
penanganan perkara tindak pidana korupsi mengenai
penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung TA.
2009 s.d 2010.
5) Pengaruh Rasio Belanja Operasi (RBO) terhadap tingkat korupsi
(KORUP)
Variabel RBO menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar
0,093 dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,985 lebih besar
121
dari α= 5%. Karena tingkat signifikansi (α) RBO lebih besar dari
α= 5%, maka hipotesis ke-5 tidak didukung (ditolak). Hasil
penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa rasio aktivitas
belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih (2013).
Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa rasio
aktivitas belanja operasional pemerintah daerah masih
mengutamakan belanja operasi. Selain itu penelitian ini juga
membuktikan bila rasio aktivitas belanja operasional bagus maka
terjadi peningkatan mutu pelayanan dan sumber-sumber
pendapatan di daerah yang tentu saja kesejahteraan masyarakat
yang terjadi pada suatu pemerintah daerah semakin meningkat,
namun tidak berarti menunjukkan pemda tidak korupsi.
Contohnya pada Kota Pematang Siantar (Provinsi Sumatera Utara)
(2013) dengan rasio belanja operasi 81% yang berarti bahwa
sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Kota Pematang
Siantar masih digunakan untuk kebutuhan belanja operasi,
walaupun terjadi penurunan dari 85% (2012) menjadi 81% (2013).
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sumber-sumber
pendapatan di daerah ini yang berarti kesejahteraan masyarakat
meningkat, tetapi hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kasus
korupsi di tahun yang sama.
122
6) Pengaruh Rasio Belanja Modal (RBM) terhadap tingkat korupsi
(KORUP)
Variabel RBM menunjukkan koefisien negatif sebesar -0,533
dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,916, lebih besar dari α=
5% Karena tingkat signifikansi (α) RBM lebih besar dari α= 5%,
maka hipotesis ke-5 tidak didukung (ditolak). Hasil penelitian ini
tidak berhasil membuktikan bahwa rasio aktivitas berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Heriningsih (2013). Hasil penelitian ini
memberikan bukti empiris bahwa rasio aktivitas belanja modal
terhadap APBD masih relatif kecil yang berarti bahwa
Pengeluaran yang dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan
didasarkan atas alokasi sektor industri, pertanian dan kehutanan,
hukum, transportasi, dan lain sebagainya masih kecil. Selain itu
penelitian ini juga membuktikan bila rasio aktivitas belanja modal
bagus maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan di
daerah yang tentu saja kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada
suatu pemerintah daerah semakin meningkat, namun tidak berarti
menunjukkan pemda tidak korupsi. Contohnya pada Kabupaten
Nias (Provinsi Sumatera Utara) (2012) dengan rasio belanja modal
38% yang berarti bahwa sebagian besar dana yang dimiliki
Pemerintah Kabupaten Nias masih digunakan untuk kebutuhan
123
belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
sumber-sumber pendapatan di daerah ini yang berarti
kesejahteraan masyarakat meningkat, tetapi hal tersebut juga
dibarengi dengan adanya kasus korupsi di tahun yang sama. Di
Kota Pematang Siantar (Provinsi Sumatera Utara) (2013) dengan
rasio belanja modal 18% yang berarti bahwa hanya sebagian dana
yang dimiliki Pemerintah Kota Pematang Siantar masih digunakan
untuk kebutuhan belanja modal, walaupun sudah terdapat
kenaikan dari 14% (2012) menjadi 18% (2013). Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sumber-sumber
pendapatan di daerah ini yang berarti kesejahteraan masyarakat
meningkat, tetapi hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kasus
korupsi di tahun yang sama.
7) Pengaruh Rasio pertumbuhan (RT) terhadap tingkat korupsi
(KORUP) Variabel RT menunjukkan koefisien regresi negatif
sebesar 0,908 dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 0,662, lebih
besar dari α= 5%. Karena tingkat signifikansi (α) lebih besar dari
α= 5%, maka hipotesis ke-6 tidak berhasil didukung (ditolak).
Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa rasio
pertumbuhan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih
(2013). Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa
124
Rasio pertumbuhan secara keseluruhan menunjukkan
pertumbuhan ekonomi pemerintah daerah relatif rendah, meski
setiap tahunnya rasio pertumbuhan meningkat. Selain itu,
penelitian ini membuktikan bahwa jika rasio pertumbuhan bagus
maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan didaerah,
namun tidak berarti bahwa pemda tidak korupsi. Contohnya pada
kota dan kabupaten yang mengalami peningkatan rasio
pertumbuhan dari tahun 2012 hingga 2013 namun terlibat kasus
korupsi pada tahun yang sama, Seperti Kota Batam (Provinsi
Riau) (2012) dengan peningkatan rasio pertumbuhan pendapatan
dari 16% menjadi 17% pada tahun 2013, Kota Tanjung pinang
(Provinsi Riau) (2012) dengan peningkatan rasio pertumbuhan
pendapatan dari 11% menjadi 16% pada tahun 2013, Kabupaten
Kendal (Provinsi Jawa Tengah) (2012) dengan peningkatan rasio
pertumbuhan pendapatan dari 9% menjadi 12% pada tahun 2013,
Kota Tomohon (Provinsi Sulawesi Utara) (2012) dengan
peningkatan rasio pertumbuhan pendapatan dari 1% menjadi 19%
pada tahun 2013, Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah) (2012)
dengan peningkatan rasio pertumbuhan dari 10% menjadi 17%
pada tahun 2013, Kabupaten Buol (2012) (Sulawesi Tengah)
dengan peningkatan rasio pertumbuhan dari -7% menjadi 17%
pada tahun 2013.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini meneliti tentang Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) Dan Kinerja Keuangan Pemda Pada Tingkat
Korupsi Di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis
regresi logistik dengan program Statistical Package for Social Science (SPSS)
Ver. 20. Data sampel pemerintah daerah sebanyak 844 pengamatan Pemda
kota dan kabupaten di Indonesia selama periode 2012-2013.
Secara empiris penelitian dengan pengaruh akuntabilitas LKPD dan
kinerja keuangan pemda terhadap tingkat korupsi di Indonesia belum banyak
diteliti. Hasil pengujian dan pembahasan pada bagian sebelumnya dapat
diringkas sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
opini audit secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Setiawan (2012) Heriningsih (2013; 2014),
namun tidak sejalan dengan penelitian Sarah (2014).
2. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
kelemahan SPI secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Setiawan (2012) Heriningsih (2013; 2014).
126
3. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
kepatuhan perundang-undangan secara statistik tidak berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-
2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiawan (2012)
Heriningsih (2013; 2014).
4. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
rasio kemandirian secara statistik berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Heriningsih (2013).
5. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
rasio aktivitas belanja modal secara statistik tidak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih (2013).
6. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
rasio aktivitas belanja modal secara statistik tidak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih (2013).
7. Berdasarkan hasil uji regresi logistik (logistic regression) menunjukkan
rasio pertumbuhan secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi selama 2 tahun pengamatan (2012-2013). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Heriningsih (2013).
127
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi yang diharapkan dapat berguna untuk
pihak- pihak yang berkepentingan. Implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Bagi BPK (Badan Pengawas Keuangan)
Dalam tugasnya mengeluarkan opini audit WTP sebaiknya auditor
BPK terus mengkaji lebih dalam mengenai faktor- faktor internal
maupun eksternal yang berpengaruh terhadap opini WTP. Dan juga
auditor BPK haruslah bersikap selalu bersikap objektif dan independen
terhadap klien sehingga tidak menyebabkan asimetri informasi
diantara pengguna dan pembaca laporan audit.
2. Bagi Pemerintah daerah
Pemda harus mempertimbangkan dalam bekerjasama dengan BPK,
terlebih bila Pemda tersebut telah terbukti korupsi. BPK harus
menganalisis apakah pemda tersebut dapat mempertahankan
kelangsungan pemerintahannya atau bahkan akan terus melakukan
korupsi.
3. KPK
Sebagai pihak luar dari organisasi, KPK harus memperhatikan
tindakan Pemda untuk mengatasi kondisi buruk pemerintahannya
dengan meninjau ulang langkah-langkah kongkrit yang dilakukan
pemda sehingga masyarakat tetap percaya pada pemerintahan yang
baik.
128
C. Saran
Penelitian mengenai tingkat korupsi di Indonesia di masa yang akan
datang diharapkan mampu memberikan hasil penelitian yang lebih
berkualitas, dengan mempertimbangkan saran dibawah ini:
1. Penelitian selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan untuk menggunakan
seluruh pemda yang ada di Indonesia baik kota, kabupaten, maupun
provinsi sebagai populasi penelitian.
2. Menggunakan periode waktu penelitian lebih panjang, seperti 10 tahun
untuk melihat trend negatif yang ada.
3. Menggunakan proksi lain untuk variabel ukuran pengukuran kinerja
keuangan.
4. Penelitian selanjutnya diharapkan menambahkah variabel-variabel lain baik
itu keuangan dan non keuangan.
5. Pada penelitian selanjutnya diharapkan tidak banyak menggunakan
variabel dummy karena akan berpengaruh terhadap hasil uji.
129
Daftar pustaka
ACFE. 2012. Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse.
Agustina, Oesi. “Jurnal Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat
Kemandirian Daerah Di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Malang
(Tahun Anggaran 2007-2011)”. Skripsi Jurusan Ilmu ekonomi dan
pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis universitas Brawijaya, 2013.
Anwar, Azwar.” Peran Spi Terhadap Pencapaian Opini Wtp Dan Pencegahan
Korupsi Melalui
Penerapan Gug (Analisis Studi Pustaka)”. Ikhtiyar, Volume 11 No. 1. Januari
– Maret 2013.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK RI
Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2012.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK RI
Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2013.
Bastian, Indra. 2006. “Akuntansi Sektor Publik”. Jakarta: Erlangga.
Bastian, I. 2001. “Akuntansi Sektor Publik di Indonesia”. Yogyakarta: BPFE. 2006.
Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Erlangga..
Bahrullah, Akbar. 2013. “Akuntansi sektor publik: konsep dan teori”. Jakarta: CV.
Bumi Metro
Raya.
Bovens, Mark. 2008. “Two concepts of accountability” . Utrecht School of
Governance
Utrecht University.
130
BPKP. “Akuntabilitas Instansi Pemerintah”, Pusdiklat Pengawasan BPKP. Edisi
Kelima. 2007.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK RI
Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2012.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK RI
Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2013.
Chen, J., R. Ding, W. Hou and E. Lee. Executive Integrity, Audit Opinion, and Fraud
in Chinese Listed Firms. Working Paper. Available
http://ssrn.com/abstract=1839449. 2012.
Dreher, et al. 2007. “Gressing the wheels of entrepreneurship? The impact of
regulations and corruption on firm entry”. KOF working papers No. 166 mei
2007.
Dwiyanto, A. “Patologi Birokrasi: Sebab dan Implikasinya bagi Kinerja Birokrasi
Publik“, dalam Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi
Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Effendy, Yuzwar.” Tinjauan hubungan opini wtp bpk dengan kasus korupsi Pada
pemda di
indonesia kajian manajemen keuangan Pemerintah, hubungan antara
masyarakat,
Pemerintah dan pemeriksa (auditor)”. Jurnal manajemen & bisnis vol 13 No.
01 april 2013 issn 1693-7619.
131
Djaja, Ermansjah. 2010. “Memberantas Korupsi Bersama KPK”. Jakarta: Sinar
Grafika.
Fidelius. “Analisis rasio untuk mengukur kinerja pengelolaan keuangan daerah kota
manado”. Jurnal EMBA Vol.1 No.4 Desember 2013, Hal. 2088-2096.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”. Edisi
Keempat. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. 2006
Haliah. 2008. “kualitas informasi laporan keuangan pemerintah daerah dan faktor-
faktor yang
mempengaruhinya”.
https://www.mysciencework.com/publication/show/5194852
diakses pada 25 maret 2015
Halim, Abdul. 2004 “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah”.
Salemba Empat.
Jakarta.
Halim, Abdul dan Kusufi, M.S. 2012. “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan
Daerah”. Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul dan Syukriy abdullah. 2006. “Hubungan dan Masalah Keagenan Di
Pemerintah
Daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi“. Jakarta:
LPKPAP-BPPK.
Haryanto, Sahmuddin, Arifuddin. 2007. “Akuntansi Sektor Publik”. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
132
Hendraryardi, Sigit. “Perbandingan Indikator Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah”. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis universitas Diponegoro, 2013.
Heriningsih, Sucahyo, dan Marita, 2013, “Pengaruh Opini Audit dan Kinerja
Keuangan Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah (Studi
Empiris pada Pemerintah kabupaten dan Kota di Pulau Jawa)”, Buletin
Ekonomi, Vol 11, No.1. FE UPNVY, Yogyakarta.
Heriningsih, Sucahyo. 2014. “Kajian Empiris Tingkat Akuntabilitas Pemerintah
Daerah dan Kinerja Penyelengara Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat
Korupsi Pada Kabupaten dan Kota di Indonesi”. Paradigma vol. 18 bulan
september tahun 2014.
Huse, Morten. 2007. “Boards, Governance and Value Creation: The Human Side of
Corporate
Governance”. Cambridge University Press Vol 11, Issue 4, Hal. 439-444.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2009. “Metode Penelitian Bisnis”.
Yogyakarta: BPFE.
Jensen, M. dan W.H. Meckling. 1976. “Theory The Firm: Magerial Behavior Agency
Cost And
Ownership Structure”. Journal Of Financial Economics 3. Hal. 305-360.
Klitgaard, et al. 2002. ”Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam pemerintahan
daerah”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard, Robert. 2001. “Membasmi Korupsi”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
133
Kumorotomo, Wahyu. “Akuntabilitas dalam teori dan praktek” ; Akuntabilitas
Birokrasi Publik, Sketsa pada masa transisi”. Yogyakarta; MAP UGM dan
Pustaka Pelajar. 2005.
Kurniawan, Teguh. 2009. “ Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat
dalam
Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi; Vol.
16, No. 2.
KPK. “Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi”. Jakarta: KPK. 2006.
____ (2012). Laporan Tahunan KPK Indonesia yang 2012. Jakarta: KPK.
____ (2013). Laporan Tahunan KPK Indonesia yang 2013. Jakarta: KPK.
Lane, J.E. “NewPublic Management”. Routledge , London. 2000.
Mandell, Lee M. 1997. “Performance Measurements and Management Tools in
North Carolina Local Goverment”. Public Administration Quarterly; Vol. 21:
96.
Mahaputra, I Putu Upahayu Rama dan I Wayan Putra. 2014. “Analisis Faktor-
Faktor Yang Memengaruhi Kualitas Informasi Pelaporan Keuangan Daerah”.
E-jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol. 8.2: 230-244.
Mardiasmo. “Akuntansi Sektor Publik”. Andy Offset:Yogyakarta. 2009.
Nasution, Anwar. 2007. “Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan
Daerah”. Makalah disampaikan dalam Seminar IAI-KSAP. Jakarta 12 April
2008.
134
Nugroho, Fajar. “Pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan kinerja keuangan
daerah dengan pendapatan asli daerah sebagai variabel intervening”. Skripsi.
Undip. 2012.
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pope, J. 2008. “ Strategi Memberantas Korupsi”. Jakarta: Transparency International
Indonesia.
Prakasa, Gigih. “Hubungan opini wtp dengan indikasi bebas korupsi pada entitas
pemerintah”. 2012.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65
Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66
Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Ronald, A dan Sarmiyatiningsih, D. “Analisis Kinerja Keuangan dan Pertumbuhan
Ekonomi Sebelum Dan Sesudah Diberlakukannya Otonomi Daerah Di
Kabupaten Kulon Progo”.
Efektif jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. 1 No.1, Juni 2010, 31-42.
135
Saputra. 2012. “Dampak desentralisasi Fiskal terhdapa korupsi di Indonesia”. Jurnal
Borneo Administrator, Vol. 8 No. 3, September 2012, 293-309.
Sarah, Adhariani. “Pengungkapan Laporan Keuangan Pemda Kabupaten Dan
Kaitannya Dengan Tingkat Korupsi Di Indonesia”. Skripsi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Uin Jakarta. 2014.
Setiawan, Wahyu. “Pengaruh Akuntabilitas laporan Keuangan pemerintah daerah
(LKPD) terhadap tingkat koropsi Pemerintah daerah di Indonesia”. Skripsi
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Diponegoro.
2012.
Sudarsana, hafidh susila. “pengaruh karakteristik pemerintah Daerah dan temuan
audit bpk Terhadap kinerja pemerintah daerah”. Skripsi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2013.
Shah, Anwar. 2007. “performance accountability and combating corruption”. The
world bank 1818 H Streett, NW.
Susantih, H dan Saftiana, Y. “Perbandingan Indikator Kinerja Keuangan Pemerintah
Propinsi Se-Sumatra Bagian Selatan”. Simposium Nasional Akuntansi 12.
2009.
Sularso. H dan Restianto. Y. E. “Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Alokasi
Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Jawa
Tengah”. Jurnal Akuntansi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
2011.
136
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Widodo, Joko. “Good governance, telaah dari dimensi: Akuntabilitas dan control
birokrasi pada era Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Surabaya: Penerbit
Insan Cendekia. 2001.
Wijayanto, Ridwan Zachrie. 2009. “Korupsi mengorupsi Indonesia : sebab, akibat,
dan prospek pemberantasan”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wiranto, Tatag. “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan Publik”. 2009.
Wahyuni, Nanik. “Analisis Rasio Untuk Mengukur Kinerja Pengeloaan Keuangan
Daerah Kota Malang”. Jurnal El-Muhasaba Vol. 1 No. 1;01-2010. UIN Maliki.
Malang. 2007.
Wakhyudi, dan Laila Firda Tarunasari. “Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah
Melalui Rasio Keuangan Daerah” . Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan Vol. 1
No. 2, 2013 pg. 139-150. STIE Kesatuan ISSN 2337 – 7852.
Bere, Sigiranus Marutho. 2015. “Simeon Thobias Pally, Mantan bupati Alor, Kasus
Korupsi Dana Hibah”. http://regional.kompas.com/read/2015/04/21/21532431.
html diakses tanggal 23 mei 2015.
Nov. 2015. “Ini 10 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014”.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54afebb14ae5a.html diakses
tanggal 22 November 2015.
137
http://sulsel.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=13236
http://www.bpkp.go.id/%20jateng/konten/1912/Potret-Akuntabilitas-Keuangan-
Daerah-di-Jawa-Tengah.bpkp
http://www.dpd.go.id/artikel-korupsi-tidak-wajar-tanpa-pengecualian
http://www.bpk.go.id/news/bpk-wtp-bukan-menjamin-bebas-korupsi
138
139
140
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Aceh Barat 0 11 8 0,044382 0,849925 0,096839 0,140044 0
0 16 10 0,070798 0,817941 0,18155 0,223226 0
Kab. Aceh Barat
Daya 0 29 21 0,066669 0,721073 0,251356 0,203933 0
0 9 12 0,064595 0,793853 0,200437 0,109352 0
Kab. Aceh Besar 1 14 7 0,080809 0,897534 0,101592 0,147619 0
1 11 10 0,089361 0,883348 0,11567 0,171586 0
Kab. Aceh Jaya 1 8 7 0,039111 0,779219 0,21972 0,011914 0
0 13 10 0,045308 0,747264 0,251074 0,105249 0
Kab. Aceh
Selatan 0 9 8 0,053946 0,877339 0,122129 0,173108 0
0 22 4 0,051428 0,826377 0,172751 0,165536 0
Kab. Aceh
Tamiang 0 4 13 0,053672 0,892756 0,10652 0,10172 0
0 18 11 0,067905 0,865917 0,132389 0,140082 0
Kab. Aceh
Tengah 1 2 4 0,091805 0,797588 0,201576 0,102444 0
0 12 16 0,118203 0,819179 0,177796 0,173173 0
Kab. Aceh
Tenggara 0 16 18 0,048423 0,881596 0,117139 -0,01652 0
0 12 13 0,043305 0,864364 0,132458 0,151586 0
Kab. Aceh Timur 0 15 16 0,024068 0,861448 0,138204 0,099748 0
0 15 9 0,050196 0,844482 0,152957 0,19822 0
Kab. Aceh Utara 0 16 14 0,052169 0,880153 0,118019 0,129842 0
0 21 12 0,072475 0,792465 0,206482 0,184854 0
Kab. Bener
Meriah 0 14 9 0,03722 0,828074 0,166504 0,027672 0
0 15 6 0,040538 0,757735 0,238325 0,171542 0
Kab. Bireuen 0 14 16 0,027343 0,874824 0,122912 0,188443 0
0 15 13 0,098977 0,83894 0,159084 0,243443 0
Kab. Gayo Lues 0 17 12 0,032685 0,780745 0,186159 -0,05703 0
0 18 13 0,041601 0,725048 0,257087 0,150002 0
Kab. Nagan Raya 1 18 10 0,057412 0,810823 0,189177 0,072314 0
1 14 13 0,063112 0,751546 0,248454 0,212606 0
Kab. Pidie 0 21 9 0,058341 0,889023 0,109944 0,141102 0
0 17 8 0,081915 0,869966 0,128014 0,212931 0
Kab. Pidie Jaya 0 20 16 0,024222 0,783708 0,21501 -0,03214 0
141
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 13 12 0,029229 0,780865 0,217687 0,185344 0
Kota Banda Aceh 1 6 11 0,173377 0,912925 0,086035 0,09444 0
1 7 9 0,174541 0,861719 0,138097 0,178606 0
Kota Langsa 0 15 11 0,037092 0,889028 0,110408 0,059908 0
1 8 8 0,113854 0,882721 0,117114 0,201732 0
Kota
Lhokseumawe 0 12 10 0,051043 0,801887 0,195701 0,118846 0
0 14 13 0,059645 0,803285 0,195935 0,104285 0
Kota Sabang 0 11 10 0,073339 0,80171 0,197166 0,035266 0
0 12 12 0,0721 0,851642 0,147566 0,054498 1
Kota
Subulussalam 1 12 14 0,020153 0,788241 0,210952 -0,02561 0
1 15 4 0,025407 0,800707 0,199234 0,133155 0
Kab. Asahan 0 9 18 0,037911 0,7501 0,249826 0,232383 0
0 7 12 0,047354 0,762286 0,237627 0,156077 0
Kab. Batubara 0 8 10 0,028504 0,736672 0,262858 0,157859 0
0 14 15 0,04143 0,730166 0,269741 0,203522 0
Kab. Dairi 0 11 20 0,036132 0,829505 0,165182 0,114479 0
0 10 7 0,044128 0,793066 0,200015 0,174116 0
Kab. Deli Serdang 0 6 13 0,193816 0,802594 0,183046 0,14128 0
0 14 11 0,193816 0,813637 0,185564 0,123791 0
Kab. Humbang
Hasundutan 1 5 16 0,036374 0,755161 0,24337 0,187301 0
1 10 12 0,030291 0,681808 0,315072 0,138626 0
Kab. Karo 0 10 16 0,060144 0,795848 0,204152 0,158596 0
0 8 17 0,05822 0,727806 0,272114 0,206962 0
Kab. Labuhanbatu 0 6 12 0,089047 0,724979 0,268377 0,140616 0
0 7 9 0,069509 0,723473 0,274067 0,082455 0
Kab. Labuhanbatu
Selatan 0 8 11 0,042515 0,665622 0,330846 0,16606 0
1 7 14 0,048487 0,531247 0,462006 0,222769 0
Kab. Labuhanbatu
Utara 0 13 21 0,035952 0,623677 0,375606 0,24165 0
0 13 17 0,043345 0,61568 0,383988 0,124427 0
Kab. Langkat 0 7 16 0,107731 0,808081 0,19188 0,243574 1
0 8 20 0,046151 0,799192 0,200553 0,128637 0
142
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Mandailing
Natal 0 5 7 0,027624 0,82115 0,173892 0,258445 0
0 9 6 0,057897 0,830931 0,16651 0,100508 1
Kab. Nias 0 10 12 0,076549 0,62069 0,378885 0,037192 1
0 10 6 0,106892 0,636026 0,363974 0,104316 0
Kab. Pakpak
Bharat 0 11 28 0,021576 0,763067 0,236667 -0,03763 0
1 2 14 0,024877 0,61245 0,38755 0,25526 0
Kab. Samosir 0 5 19 0,045272 0,785016 0,213117 0,076487 0
0 7 14 0,059814 0,679092 0,320791 0,183253 0
Kab. Serdang
Bedagai 0 10 13 0,052619 0,815676 0,178407 0,123223 0
0 7 12 0,058278 0,744647 0,255791 0,128307 0
Kab. Simalungun 0 5 13 0,052619 0,744647 0,228506 0,293019 0
0 9 17 0,074082 0,830661 0,166543 0,052722 0
Kab. Tapanuli
Selatan 0 9 10 0,083977 0,712741 0,287259 0,234287 0
0 7 14 0,093428 0,682495 0,317323 0,115817 0
Kab. Tapanuli
Tengah 0 8 10 0,03673 0,773061 0,226759 0,271404 0
0 6 11 0,03336 0,69848 0,300251 0,234853 0
Kab. Tapanuli
Utara 0 6 13 0,05285 0,76426 0,23249 0,07318 0
0 11 24 0,049831 0,747185 0,247962 0,174412 0
Kota Binjai 0 6 20 0,08716 0,756634 0,243366 0,189006 0
0 8 15 0,080301 0,810298 0,18956 0,032594 0
Kota Medan 1 6 12 0,629787 0,815137 0,184838 0,091304 0
1 10 20 0,585279 0,804195 0,195631 0,092769 0
Kota
Padangsidimpuan 0 10 12 0,049618 0,812689 0,187311 0,132912 0
0 4 9 0,06221 0,809372 0,190628 0,157845 0
Kota
Pematangsiantar 0 11 16 0,087522 0,852586 0,142012 0,183634 1
0 14 19 0,093879 0,814498 0,180832 0,092398 1
Kota Sibolga 0 6 14 0,074879 0,780456 0,219544 0,065655 0
0 6 11 0,069652 0,806916 0,193084 0,124728 0
Kota 0 11 34 0,077534 0,744064 0,255716 0,193856 0
143
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Tanjungbalai
0 11 15 0,070427 0,768178 0,230285 0,16542 0
Kota Tebing
Tinggi 0 10 14 0,108865 0,794569 0,20425 0,172218 0
0 8 14 0,110308 0,723586 0,274706 0,236782 0
Kab. Agam 0 12 7 0,049774 0,892636 0,104927 0,15089 0
0 25 12 0,052646 0,835962 0,1613 0,143886 0
Kab.
Dharmasraya 0 8 12 0,08194 0,724381 0,275393 0,025363 0
0 19 13 0,059452 0,718568 0,280336 0,147814 0
Kab. Kep.
Mentawai 0 10 18 0,074543 0,688426 0,303705 0,096077 0
0 11 16 0,056975 0,697833 0,301289 0,222016 0
Kab. Lima Puluh
Kota 0 9 20 0,034279 0,846265 0,147312 0,094824 0
0 14 9 0,038689 0,813116 0,186125 0,17031 0
Kab. Pasaman 0 8 23 0,05541 0,807013 0,18471 0,085408 0
1 11 8 0,071968 0,783076 0,216051 0,091214 0
Kab. Pasaman
Barat 0 14 16 0,055049 0,768087 0,229056 0,059555 0
0 14 24 0,052205 0,784836 0,215164 0,185742 0
Kab. Pesisir
Selatan 0 5 17 0,048381 0,846452 0,150522 0,101938 0
1 21 10 0,048744 0,784615 0,170465 0,174957 0
Kab. Sijunjung 0 12 13 0,063628 0,803575 0,194925 0,042127 0
0 9 18 0,061336 0,742152 0,257719 0,189197 0
Kab. Solok 0 16 10 0,038116 0,809399 0,181609 0,099185 0
0 9 11 0,038139 0,817747 0,178842 0,180178 0
Kab. Solok
Selatan 0 15 11 0,050681 0,694659 0,29916 0,049891 0
0 13 10 0,045442 0,675308 0,321569 0,116439 0
Kab. Tanah Datar 0 12 21 0,076049 0,846853 0,11846 0,133209 0
1 7 9 0,074697 0,81436 0,149539 0,175137 0
Kota Bukittinggi 1 8 6 0,108274 0,885076 0,113388 0,149419 0
0 14 9 0,11689 0,828797 0,151343 0,143214 0
Kota Padang 1 15 25 0,147359 0,842258 0,157112 0,194095 0
0 20 12 0,162552 0,819858 0,178818 0,161759 0
144
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kota Padang
Panjang 1 11 14 0,095224 0,858279 0,134671 0,076944 0
1 14 8 0,110877 0,825726 0,173496 0,118336 0
Kota Pariaman 1 7 20 0,044105 0,794929 0,201818 0,031992 0
0 12 14 0,047147 0,829131 0,170634 0,131609 0
Kota Payakumbuh 0 15 15 0,119712 0,857915 0,141572 0,186625 0
0 13 17 0,111129 0,84793 0,15207 0,139683 0
Kota Sawahlunto 0 10 16 0,098828 0,813773 0,181534 -0,00431 0
0 12 13 0,09539 0,792508 0,165138 0,103679 0
Kota Solok 1 4 13 0,069296 0,73759 0,262389 0,098197 0
0 14 15 0,058884 0,788872 0,211128 0,119609 0
Kab. Kampar 0 21 28 0,056156 0,82844 0,168934 0,184392 0
0 30 15 0,074802 0,783568 0,213711 0,095677 0
Kab. Kepulauan
Meranti 1 8 19 0,032604 0,756203 0,243797 0,119253 0
1 13 18 0,041302 0,606485 0,393515 0,018839 0
Kab. Kuantan
Singingi 1 6 12 0,031597 0,786101 0,213899 0,135507 0
1 11 8 0,040052 0,747802 0,251051 0,037979 0
Kab. Pelalawan 1 22 21 0,044477 0,71963 0,269078 0,156763 1
1 12 18 0,056565 0,779281 0,22064 0,020121 1
Kab. Rokan Hulu 0 12 23 0,046222 0,735255 0,263861 0,125129 0
1 25 15 0,046255 0,693857 0,304251 0,059532 0
Kab. Siak 1 6 16 0,182216 0,641218 0,358728 0,248319 1
1 8 13 0,181085 0,648468 0,351509 0,011125 0
Kota Dumai 0 13 14 0,152562 0,807315 0,192685 0,117224 0
0 16 16 0,16915 0,716623 0,28313 0,007352 0
Kota Pekanbaru 0 21 28 0,203219 0,810142 0,189858 0,201046 1
0 29 19 0,229732 0,756816 0,24 0,081699 1
Kab. Batang Hari 1 15 17 0,048567 0,688549 0,280402 0,236739 0
1 12 13 0,056369 0,725658 0,273302 0,180278 0
Kab. Bungo 0 15 10 0,089506 0,85733 0,141933 0,112361 0
0 13 12 0,093593 0,744474 0,255526 0,192277 0
Kab. Kerinci 0 11 14 0,047667 0,733623 0,266377 0,125035 0
0 6 21 0,048432 0,736807 0,263127 0,121169 0
Kab. Merangin 0 13 31 0,040252 0,737338 0,260763 0,123384 0
145
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 13 23 0,051673 0,758104 0,241874 0,165313 0
Kab. Muaro
Jambi 1 2 8 0,045273 0,65547 0,310664 0,181192 0
1 4 13 0,05398 0,578139 0,421689 0,133398 0
Kab. Sarolangun 0 5 24 0,038708 0,696979 0,302607 0,128831 0
0 12 19 0,039549 0,729001 0,269974 0,094937 0
Kab. Tanjung
Jabung Barat 0 17 20 0,047452 0,683361 0,315588 0,106532 0
0 13 11 0,052623 0,582178 0,417511 0,112078 0
Kab. Tanjung
Jabung Timur 1 11 20 0,037901 0,609328 0,390278 0,206415 0
1 9 15 0,033927 0,600896 0,398845 0,136925 0
Kab. Tebo 0 5 15 0,040976 0,661444 0,335397 0,163516 0
0 11 15 0,04525 0,631712 0,363065 0,158763 0
Kota Jambi 0 12 10 0,125106 0,758767 0,240893 0,24593 0
0 7 12 0,148289 0,761793 0,237782 0,074208 0
Kota Sungai
Penuh 1 8 12 0,044089 0,658627 0,315594 0,044418 0
0 8 32 0,046634 0,648106 0,351894 0,180138 0
Kab. Banyuasin 1 7 11 0,052406 0,732979 0,266584 0,311465 0
1 8 11 0,055345 0,663384 0,336601 0,194625 0
Kab. Empat
Lawang 0 9 17 0,037548 0,610698 0,334204 0,098885 0
0 9 15 0,037858 0,588168 0,38583 0,119817 0
Kab. Lahat 0 10 17 0,066526 0,781679 0,212659 0,1235 0
0 7 11 0,071463 0,711253 0,28703 0,035025 0
Kab. Muara Enim 0 14 20 0,078938 0,644548 0,354649 0,250061 0
1 8 8 0,074989 0,58476 0,414796 0,111793 0
Kab. Musi
Banyuasin 0 13 9 0,041228 0,573205 0,425474 0,191032 0
1 8 12 0,038475 0,602436 0,397564 0,188377 0
Kab. Musi Rawas 0 12 13 0,058951 0,631291 0,368681 0,082434 0
0 11 8 0,053315 0,610653 0,388062 0,136221 0
Kab. Ogan Ilir 0 11 15 0,038926 0,611488 0,385231 0,174525 0
0 7 14 0,023749 0,55775 0,438407 0,11 0
Kab. Ogan
Komering Ilir 1 7 12 0,050511 0,70418 0,295658 0,064402 0
146
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
1 8 13 0,056481 0,65583 0,34417 0,107165 0
Kab. Ogan
Komering Ulu 0 11 14 0,055259 0,72786 0,271911 0,094849 0
0 18 15 0,057195 0,665337 0,333523 0,133999 0
Kab. Ogan
Komering Ulu
Selatan 0 13 28 0,028041 0,611832 0,38542 0,057366 0
0 11 23 0,030181 0,611272 0,387779 0,146924 0
Kab. Ogan
Komering Ulu
Timur 1 8 19 0,044305 0,81832 0,181043 0,089802 0
1 10 12 0,050834 0,774287 0,225602 0,121322 0
Kota
Lubuklinggau 1 9 9 0,061953 0,741455 0,256636 0,085975 0
1 8 8 0,061653 0,652603 0,345928 0,107658 0
Kota Pagar Alam 0 13 19 0,066556 0,669865 0,32946 0,132395 0
0 20 18 0,050899 0,727137 0,27134 0,10514 0
Kota Palembang 1 12 17 0,316559 0,811587 0,188278 0,180907 1
1 15 19 0,298296 0,741958 0,257297 0,120443 1
Kota Prabumulih 0 10 11 0,066836 0,694176 0,305254 0,181348 0
1 10 15 0,076251 0,625427 0,374087 0,151651 0
Kab. Bengkulu
Selatan 0 7 5 0,03496 0,771245 0,137717 0,182672 0
0 10 17 0,043983 0,841514 0,158451 0,084734 0
Kab. Bengkulu
Tengah 1 9 3 0,014423 0,808381 0,190158 0,032831 0
1 6 4 0,018841 0,75926 0,236317 0,181932 0
Kab. Bengkulu
Utara 1 4 2 0,041366 0,746695 0,252112 -0,03304 0
1 3 2 0,043664 0,783083 0,216606 0,128619 0
Kab. Kaur 1 10 8 0,018444 0,785121 0,214879 0,178658 0
1 14 11 0,023004 0,772293 0,227707 0,070666 0
Kab. Kepahiang 0 12 23 0,036085 0,750828 0,249071 0,02763 0
0 11 16 0,041163 0,701612 0,298013 0,152058 0
Kab. Lebong 1 3 12 0,019668 0,752871 0,247129 0,041332 0
1 10 8 0,029022 0,749954 0,247818 0,138059 0
Kab. Mukomuko 1 6 4 0,021707 0,786355 0,21217 0,10666 0
147
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 17 10 0,039681 0,731256 0,263717 0,215087 0
Kab. Rejang
Lebong 0 6 12 0,080823 0,826426 0,172154 0,130006 0
0 14 19 0,062243 0,804483 0,19415 0,097692 0
Kab. Seluma 0 8 20 0,022539 0,771859 0,22157 0,096892 0
0 11 17 0,030959 0,742799 0,254942 0,147226 1
Kota Bengkulu 0 9 16 0,065632 0,901549 0,098327 0,106902 0
0 21 19 0,076436 0,835788 0,164187 0,171712 0
Kab. Lampung
Barat 1 11 7 0,035379 0,762592 0,236622 0,096631 0
1 5 11 0,043249 0,708195 0,291155 0,128775 0
Kab. Lampung
Selatan 0 6 15 0,079896 0,747696 0,246527 0,117665 0
0 12 7 0,093616 0,806241 0,193426 0,061664 0
Kab. Lampung
Tengah 1 8 8 0,071671 0,812171 0,186321 0,188363 0
0 5 20 0,053388 0,814272 0,185508 0,067906 0
Kab. Lampung
Timur 0 5 12 0,040272 0,849171 0,150572 0,121341 0
0 11 15 0,030522 0,846083 0,153861 0,115117 0
Kab. Lampung
Utara 0 16 7 0,022452 0,806919 0,192533 0,07886 0
0 8 12 0,043664 0,783083 0,216606 0,128619 0
Kab. Mesuji 0 7 5 0,019108 0,642227 0,3487 -0,1229 0
0 8 15 0,027748 0,683366 0,315111 0,068704 0
Kab. Pesawaran 0 8 13 0,042693 0,710159 0,289841 0,076061 0
0 6 18 0,033996 0,708249 0,291751 0,156876 0
Kab. Pringsewu 0 10 8 0,041048 0,732639 0,266268 0,20736 0
0 9 8 0,047817 0,785062 0,214664 0,061819 0
Kab. Tanggamus 0 10 11 0,026342 0,790831 0,208445 0,094626 0
0 6 12 0,029825 0,744961 0,252331 0,068832 0
Kab. Tulang
Bawang 0 9 13 0,03839 0,746522 0,253394 -0,01811 0
0 9 8 0,056012 0,792365 0,207635 0,053157 0
Kab. Tulang
Bawang Barat 1 9 8 0,011821 0,653425 0,346476 0,08339 0
1 10 8 0,019664 0,751577 0,346476 0,092385 0
148
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Way Kanan 1 7 9 0,015217 0,79862 0,201049 0,125519 0
1 8 10 0,032952 0,733269 0,266169 0,117177 0
Kota Bandar
Lampung 1 14 15 0,268043 0,798521 0,200556 0,228645 0
1 8 9 0,284417 0,82846 0,171428 0,122166 1
Kota Metro 1 2 7 0,12 0,581989 0,418011 0,072586 0
1 4 8 0,161866 0,82846 0,171428 0,122166 0
Kab. Bangka 1 7 12 0,083482 0,77187 0,226584 0,109385 0
1 13 19 0,084614 0,789491 0,208718 0,107227 0
Kab. Bangka
Barat 1 8 12 0,057973 0,653524 0,342442 0,08784 0
1 9 7 0,084726 0,804482 0,293152 0,069432 0
Kab. Bangka
Selatan 0 6 8 0,041553 0,710242 0,289465 0,108034 0
0 13 12 0,037478 0,720167 0,310917 0,073749 0
Kab. Bangka
Tengah 1 5 14 0,080757 0,694124 0,304445 0,076773 0
1 7 22 0,085468 0,634531 0,262599 0,061175 0
Kab. Belitung 0 7 8 1 0,675353 0,324476 0,102765 0
0 14 13 0,171293 0,772753 0,303676 0,099336 0
Kab. Belitung
Timur 0 8 11 0,102039 0,667752 0,331395 0,107784 0
0 8 14 0,115426 0,787316 0,319601 0,092256 0
Kota
Pangkalpinang 0 11 14 0,126992 0,757436 0,242372 0,199974 0
0 15 21 0,162677 0,834381 0,249764 0,125859 0
Kab. Bintan 1 7 9 0,200964 0,77928 0,219439 0,194598 0
1 9 8 0,184472 0,731796 0,267118 0,061675 0
Kab. Karimun 1 10 9 0,376895 0,878372 0,12101 0,237053 0
1 13 1 0,384827 0,804482 0,195091 0,086801 0
Kab. Kepulauan
Anambas 0 11 8 0,038421 0,767363 0,232366 0,137856 0
0 7 6 0,350361 0,720167 0,275594 0,007053 0
Kab. Lingga 0 6 8 0,027702 0,745919 0,247092 0,234768 0
0 8 8 0,033294 0,634531 0,318102 0,067381 0
Kab. Natuna 1 13 24 0,03202 0,795049 0,204553 0,114643 0
1 13 11 0,033593 0,772753 0,227247 0,020503 0
149
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kota Batam 1 6 5 0,401551 0,823444 0,175897 0,164786 1
1 11 9 0,57781 0,787316 0,211251 0,17 1
Kota
Tanjungpinang 0 9 10 0,118451 0,805433 0,192513 0,114643 1
0 11 9 0,138181 0,834381 0,165059 0,164786 1
Kab. Bandung 0 11 16 0,144441 0,822614 0,175544 0,183018 0
0 14 16 0,186175 0,857421 0,142007 0,160428 0
Kab. Bandung
Barat 0 9 20 0,112111 0,713365 0,219446 0,113275 0
0 9 12 0,137 0,805906 0,189625 0,173824 0
Kab. Bekasi 0 4 8 0,410678 0,627018 0,372982 0,180059 1
0 12 10 0,809423 0,660212 0,337454 0,196347 0
Kab. Bogor 0 9 7 0,403644 0,701318 0,281836 0,14553 1
0 11 19 0,4165 0,708701 0,290553 0,156356 1
Kab. Ciamis 0 10 9 0,053138 0,85694 0,14306 0,167234 0
1 3 7 0,061177 0,82033 0,179586 0,176272 0
Kab. Cianjur 0 9 30 0,124838 0,834691 0,163571 0,149191 0
0 6 10 0,1387 0,852915 0,143672 0,104311 0
Kab. Cirebon 0 11 15 0,141432 0,827403 0,172307 0,119592 0
0 5 21 0,168573 0,856203 0,143637 0,161336 0
Kab. Garut 0 5 16 0,085886 0,850436 0,146714 0,127216 0
0 7 20 0,105407 0,763465 0,235978 0,176725 0
Kab. Indramayu 0 10 9 0,103317 0,804631 0,193755 0,127353 0
0 5 8 0,097984 0,885426 0,110632 0,124973 0
Kab. Karawang 0 13 16 0,381686 0,71888 0,267264 0,216913 0
0 15 15 0,332307 0,777354 0,206875 0,09377 0
Kab. Kuningan 0 8 19 0,079549 0,81436 0,184392 0,117487 0
0 8 13 0,079572 0,834913 0,164328 0,110918 0
Kab. Majalengka 0 6 24 0,077658 0,769813 0,230152 0,231963 0
1 7 13 0,096871 0,77694 0,22306 0,138097 0
Kab. Purwakarta 0 17 12 0,155976 0,850538 0,149462 0,161859 0
0 11 5 0,152018 0,82888 0,17112 0,185228 0
Kab. Subang 0 7 10 0,086095 0,843293 0,155333 0,113916 0
0 9 9 0,085893 0,8339 0,163729 0,159433 0
Kab. Sukabumi 0 12 11 0,105941 0,864396 0,135423 0,095543 0
0 15 16 0,136771 0,837245 0,162042 -0,15002 0
150
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Sumedang 0 9 29 0,125282 0,855458 0,143467 0,37781 0
0 8 10 0,12707 0,84548 0,15452 0,147705 0
Kab. Tasikmalaya 0 6 13 0,039326 0,800832 0,19377 0,204521 0
0 5 9 0,039065 0,7714 0,226528 0,22071 0
Kota Bandung 0 11 30 0,397521 0,768647 0,231134 0,176997 0
0 11 17 0,512678 0,735442 0,264396 0,18147 1
Kota Banjar 1 0 8 0,11151 0,708512 0,28957 0,113702 0
1 4 5 0,128341 0,657527 0,342473 0,13912 0
Kota Bogor 0 3 14 0,306014 0,819274 0,177063 0,188231 0
0 9 5 0,429372 0,83968 0,157827 0,160588 0
Kota Cimahi 0 10 11 0,215003 0,865725 0,134201 0,208946 0
1 11 14 0,2508 0,868702 0,130898 0,117813 0
Kota Cirebon 0 12 15 0,214388 0,884507 0,115434 0,039956 0
0 10 9 0,266405 0,825981 0,173763 0,158034 0
Kota Depok 1 11 16 0,416225 0,759241 0,24051 0,23004 0
1 6 15 0,440833 0,65149 0,348013 0,175247 0
Kota Sukabumi 0 10 8 0,25969 0,912169 0,085902 0,158464 0
0 8 13 0,272608 0,860898 0,137789 0,153065 0
Kota Tasikmalaya 0 7 12 0,179588 0,877733 0,122249 0,159154 0
0 7 9 0,176169 0,800628 0,199372 0,286555 0
Kab.
Banjarnegara 0 11 14 0,093824 0,856994 0,142466 0,106152 0
1 5 11 0,088882 0,850131 0,149838 0,072587 0
Kab. Banyumas 1 6 7 0,157529 0,86418 0,135635 0,139354 0
1 10 7 0,182998 0,84463 0,155194 0,122384 0
Kab. Batang 0 9 4 0,102021 0,844279 0,154833 0,138863 0
0 18 9 0,158209 0,85542 0,143716 0,163483 0
Kab. Blora 0 10 10 0,084839 0,800184 0,194739 0,118547 0
0 15 10 0,083535 0,802458 0,197542 0,146866 0
Kab. Boyolali 1 10 6 0,115007 0,83593 0,16407 0,151907 0
1 5 7 0,130188 0,824784 0,175216 0,150947 0
Kab. Brebes 0 17 20 0,072565 0,824005 0,133971 0,191491 0
0 13 16 0,08593 0,938593 0,274817 0,137067 0
Kab. Cilacap 0 15 3 0,123247 0,819504 0,180175 0,093461 0
0 14 15 0,151129 0,783226 0,216759 0,183502 0
151
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Demak 0 15 4 0,095533 0,718529 0,280675 0,068272 0
0 13 7 0,109658 0,736578 0,263274 0,156514 0
Kab. Grobogan 0 9 11 0,090029 0,840541 0,15793 0,137456 1
0 13 9 0,105004 0,76524 0,234522 0,170619 1
Kab. Jepara 1 6 9 0,114454 0,763527 0,236427 0,114369 0
1 7 16 0,106872 0,878037 0,121963 0,06341 0
Kab. Karanganyar 0 11 8 0,108061 0,893002 0,104638 0,177346 0
0 10 12 0,136181 0,884463 0,115533 0,11425 0
Kab. Kebumen 1 14 24 0,080221 0,814345 0,225763 0,136192 0
0 4 8 0,087945 0,805903 0,194068 0,124315 0
Kab. Kendal 0 17 11 0,115743 0,833753 0,16545 0,087622 1
0 9 10 0,117191 0,68688 0,095858 0,121543 1
Kab. Klaten 0 9 12 0,061272 0,872775 0,126844 0,108067 0
0 9 19 0,072968 0,88391 0,115279 0,148225 0
Kab. Kudus 1 14 9 0,123461 0,840025 0,154601 0,141331 0
1 10 8 0,123305 0,884485 0,115511 0,20821 0
Kab. Magelang 0 12 12 0,106259 0,798562 0,072681 0,177148 0
0 14 6 0,140902 0,913152 0,08632 0,088682 0
Kab. Pati 0 7 4 0,130585 0,877436 0,122474 0,202589 0
0 10 8 0,118038 0,876626 0,123356 0,154289 0
Kab. Pekalongan 0 16 10 0,114823 0,874536 0,123529 0,207066 0
0 14 16 0,136337 0,846349 0,150691 0,110905 0
Kab. Pemalang 0 11 5 0,081437 0,891667 0,107289 0,047001 0
0 9 10 0,104139 0,830285 0,169234 0,105916 0
Kab. Purbalingga 0 18 19 0,132257 0,835997 0,224339 0,140032 0
0 8 9 0,116138 0,895099 0,18475 0,090768 0
Kab. Purworejo 1 16 5 0,091938 0,861787 0,104813 0,152869 0
1 16 8 0,109831 0,843234 0,100348 0,103681 0
Kab. Rembang 0 10 9 0,124089 0,7924 0,116848 0,165143 0
0 12 8 0,137468 0,871942 0,10483 0,145151 0
Kab. Semarang 1 10 9 0,144162 0,774539 0,137961 0,144363 0
1 13 3 0,189257 0,854503 0,156672 0,091546 0
Kab. Sragen 0 11 2 0,113197 0,894198 0,20658 0,195832 0
0 11 8 0,113962 0,89964 0,127703 0,122256 0
Kab. Sukoharjo 0 10 6 0,17211 0,80421 0,195291 0,198976 0
152
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 10 4 0,173601 0,834078 0,163611 0,121689 0
Kab. Tegal 0 10 20 0,1 0,772141 0,225126 0,12489 0
0 10 11 0,101023 0,857191 0,140989 0,16189 0
Kab.
Temanggung 1 17 10 0,090548 0,822104 0,177587 0,174061 0
1 12 5 0,110588 0,89054 0,109227 0,090017 0
Kab. Wonogiri 0 8 7 0,084449 0,855642 0,142695 0,148493 0
0 9 13 0,082987 0,862768 0,134794 0,095908 0
Kab. Wonosobo 0 8 8 0,097708 0,80595 0,192053 0,05243 0
0 9 9 0,114832 0,85827 0,139859 0,109728 0
Kota Magelang 0 11 10 0,186966 0,850907 0,147545 0,146958 0
0 12 13 0,204432 0,773551 0,226026 0,094947 0
Kota Pekalongan 0 11 8 0,783998 0,807698 0,192189 0,204416 0
0 7 6 0,21029 0,799955 0,197712 0,099626 0
Kota Salatiga 0 11 9 0,160567 0,748235 0,222396 0,217809 0
0 11 9 0,213437 0,776748 0,116852 0,072873 0
Kota Semarang 1 15 4 0,307702 0,828599 0,171357 0,233581 1
1 12 18 0,189257 0,820632 0,177427 0,10376 1
Kota Surakarta 1 13 18 0,235906 0,837326 0,162552 0,203908 0
1 12 8 0,280433 0,821407 0,178125 0,117434 0
Kota Tegal 0 17 18 0,326558 0,874787 0,124946 0,188213 0
0 11 9 0,331639 0,850225 0,149775 0,11242 0
Kab. Bantul 1 18 4 0,144174 0,889104 0,109213 0,133009 0
1 13 17 0,177572 0,867808 0,132066 0,136615 0
Kab. Gunung
Kidul 0 11 10 0,067327 0,839304 0,160503 0,114592 0
0 20 8 0,074327 0,861365 0,138635 0,153823 0
Kab. Kulon Progo 0 10 9 0,093679 0,830354 0,168089 0,114621 0
0 10 9 0,108228 0,871519 0,127992 0,136635 0
Kab. Sleman 1 17 10 0,234897 0,873567 0,093243 0,212165 0
1 5 10 0,311456 0,872874 0,127126 0,194878 0
Kota Yogyakarta 1 23 10 0,418298 0,913467 0,086282 0,216351 0
1 8 9 0,418745 0,864468 0,135516 0,13131 0
Kab. Bangkalan 1 8 8 0,077679 0,770156 0,226541 0,040928 0
1 4 9 0,077442 0,792967 0,206737 0,195373 0
Kab. Banyuwangi 1 9 4 0,093541 0,788516 0,211484 0,165338 0
153
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
1 7 3 0,107609 0,788516 0,214747 0,134278 0
Kab. Blitar 0 11 6 0,077566 0,835197 0,163543 0,115137 0
0 11 7 0,080504 0,796982 0,202763 0,162037 0
Kab. Bojonegoro 0 8 7 0,095022 0,85179 0,146223 0,234248 0
0 12 13 0,120961 0,843726 0,155166 0,087548 0
Kab. Bondowoso 1 7 5 0,083245 0,803725 0,196066 0,110071 0
0 9 6 0,071411 0,801189 0,198329 0,180222 0
Kab. Gresik 0 4 9 0,036112 0,889294 0,109865 0,241842 0
0 13 6 0,380696 0,779405 0,220193 0,115086 0
Kab. Jember 1 17 9 0,13891 0,821215 0,178602 0,140152 0
0 7 8 0,151503 0,79531 0,203889 0,102643 0
Kab. Jombang 0 6 6 0,132674 0,850094 0,015174 0,186717 0
1 7 6 0,135905 0,853551 0,146331 0,089208 0
Kab. Kediri 0 6 7 0,089065 0,796415 0,20342 0,220441 0
0 8 5 0,129032 0,811437 0,183198 0,126433 0
Kab. Lamongan 0 9 9 0,102518 0,815571 0,1842 0,114187 0
0 7 12 0,110157 0,85035 0,14965 0,137345 0
Kab. Lumajang 0 10 5 0,098301 0,875641 0,123866 0,125201 0
0 8 8 0,095756 0,866482 0,131789 0,134607 0
Kab. Madiun 0 5 12 0,073487 0,815824 0,183818 0,149161 0
1 5 5 0,077923 0,83723 0,162728 0,148748 0
Kab. Magetan 0 7 1 0,078672 0,870628 0,129276 0,138539 0
0 9 7 0,076362 0,884674 0,115326 0,130559 0
Kab. Malang 0 7 7 0,101032 0,789292 0,210257 0,13211 0
0 8 11 0,119286 0,811355 0,187915 0,188537 0
Kab. Mojokerto 0 7 4 0,151324 0,803201 0,190195 0,194433 0
0 11 18 0,180559 0,838349 0,161651 0,124271 0
Kab. Nganjuk 1 6 2 0,101656 0,862006 0,136492 0,223705 0
1 7 5 0,108914 0,835861 0,164074 0,123473 0
Kab. Ngawi 0 6 6 0,055795 0,846031 0,104633 0,096786 0
1 6 3 0,06642 0,698606 0,301394 0,141913 0
Kab. Pacitan 0 10 12 0,065333 0,837259 0,159114 0,117031 0
1 3 4 0,065376 0,869895 0,128526 0,107148 0
Kab. Pamekasan 0 14 7 0,092081 0,817603 0,181568 0,065097 0
0 10 9 0,082646 0,873545 0,125316 0,155373 0
154
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Pasuruan 0 8 17 0,144945 0,830698 0,149704 0,142408 0
1 5 8 0,183117 0,852986 0,145792 0,154436 0
Kab. Ponorogo 1 10 8 0,096946 0,843911 0,152864 0,182913 0
1 4 5 0,102527 0,918481 0,07943 0,143049 0
Kab. Probolinggo 0 8 7 0,079201 0,793926 0,201539 0,132188 0
1 9 8 0,0868 0,834327 0,158912 0,075144 0
Kab. Sampang 0 7 10 0,069985 0,770902 0,226898 0,085333 0
0 6 5 0,066127 0,763947 0,235295 0,132578 0
Kab. Sidoarjo 0 7 9 0,406391 0,810825 0,189092 0,155722 1
1 13 13 0,473871 0,794779 0,205212 0,163036 0
Kab. Situbondo 0 6 3 0,077072 0,831738 0,168021 0,145195 0
0 9 8 0,076939 0,769036 0,230041 0,132158 0
Kab. Sumenep 0 6 12 0,071543 0,847227 0,152228 0,166534 0
0 9 15 0,070662 0,843403 0,155699 0,11804 0
Kab. Trenggalek 0 13 8 0,073258 0,920308 0,129426 0,117447 0
0 10 3 0,070482 0,671057 0,14542 0,138823 0
Kab. Tuban 0 5 11 0,165821 0,774292 0,178021 0,161021 0
0 8 7 0,176677 0,810172 0,189825 0,113677 0
Kab.
Tulungagung 1 9 7 0,122627 0,858683 0,139671 0,170795 0
1 8 9 0,113379 0,904243 0,094925 0,137744 0
Kota Batu 0 8 15 0,085911 0,848213 0,150422 0,112026 0
0 11 10 0,114889 0,696214 0,274144 0,180057 0
Kota Blitar 1 5 9 0,133359 0,824438 0,175532 0,033356 0
1 7 8 0,134989 0,819751 0,180249 0,128683 0
Kota Kediri 0 7 7 0,169768 0,774803 0,22504 0,185659 0
0 6 9 0,173814 0,857141 0,142859 0,123432 0
Kota Madiun 0 11 4 0,118635 0,77501 0,22499 0,289969 0
0 6 1 0,134646 0,767624 0,232376 0,186155 0
Kota Malang 1 7 5 0,213895 0,785273 0,214245 0,230093 0
1 13 4 0,272895 0,762307 0,237681 0,124212 0
Kota Mojokerto 1 14 4 0,122245 0,781474 0,218426 0,161958 0
0 14 16 0,152379 0,867624 0,132357 0,102593 0
Kota Pasuruan 0 8 7 0,092092 0,852295 0,143122 0,08145 0
0 4 8 0,129505 0,85858 0,14142 0,147663 0
155
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kota Probolinggo 1 5 4 0,129307 0,860554 0,138597 0,086688 0
1 8 5 0,131269 0,894779 0,103916 0,110953 0
Kota Surabaya 1 8 4 0,968124 0,786709 0,212302 0,232844 0
1 7 11 1,142352 0,746369 0,253631 0,114901 0
Kab. Lebak 0 5 9 0,109406 0,777374 0,218878 0,090264 0
0 9 14 0,101685 0,758582 0,238739 0,141911 1
Kab. Pandeglang 0 10 14 0,041843 0,887425 0,111835 0,102492 0
0 17 13 0,055147 0,822922 0,017639 0,145724 0
Kab. Serang 1 10 6 0,222095 0,793469 0,206468 0,125214 0
1 12 17 0,319117 0,775515 0,224412 0,187167 0
Kab. Tangerang 1 7 17 0,46483 0,654555 0,343394 0,193686 0
1 15 22 0,600557 0,652034 0,34523 0,305157 0
Kota Cilegon 0 13 16 0,487464 0,798049 0,201835 0,23184 1
1 9 9 0,365017 0,79416 0,20584 0,036653 1
Kota Serang 0 14 12 0,088613 0,773131 0,226557 0,096387 0
0 17 16 0,082706 0,821795 0,178205 0,127913 0
Kota Tangerang 1 2 7 0,406685 0,776403 0,223414 0,189715 1
1 8 13 0,47058 0,713737 0,286234 0,166879 1
Kota Tangerang
Selatan 1 16 17 0,53275 0,601886 0,396771 0,137935 0
0 8 11 0,591556 0,668208 0,33169 0,18665 1
Kab. Badung 1 3 6 2,619986 0,649044 0,268931 0,41609 0
0 24 21 3,530056 0,694261 0,301472 0,127366 0
Kab. Bangli 0 10 9 0,071404 0,860177 0,141159 0,145972 0
0 14 12 0,087657 0,903497 0,096503 0,128767 0
Kab. Buleleng 0 11 8 0,120964 0,867587 0,066392 0,134379 0
0 18 14 0,130455 0,86886 0,013189 0,162333 0
Kab. Gianyar 0 9 12 0,329395 0,877054 0,122797 0,19882 0
0 6 8 0,344885 0,840812 0,159187 0,170859 0
Kab. Jembrana 0 11 7 0,077974 0,744484 0,202511 0,146301 0
0 6 9 0,101452 0,788236 0,211735 0,144208 0
Kab. Karangasem 0 8 15 0,058457 0,68755 0,156225 0,105413 0
0 7 12 0,19393 0,822775 0,174236 0,148358 0
Kab. Klungkung 0 8 8 0,09078 0,862529 0,135621 0,17373 0
0 12 8 0,104799 0,903383 0,096305 0,205299 0
156
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Tabanan 0 16 16 0,211429 0,86734 0,130599 0,19182 0
0 13 12 0,257948 0,889806 0,107485 0,18622 0
Kota Denpasar 1 7 13 0,601378 0,840012 0,159759 0,199098 0
1 8 5 0,743271 0,814891 0,165167 0,122226 0
Kab. Bima 0 12 11 0,030662 0,828083 0,170127 0,098865 0
0 11 19 0,060696 0,833344 0,165986 0,146359 0
Kab. Dompu 0 10 21 0,045178 0,819614 0,180263 0,048532 0
0 9 13 0,04338 0,810319 0,188957 0,152134 0
Kab. Lombok
Barat 0 13 7 0,125205 0,822031 0,175053 -0,01385 0
0 10 8 0,12891 0,843512 0,15629 0,167171 0
Kab. Lombok
Tengah 1 7 13 0,080947 0,822697 0,17684 0,132711 0
1 6 5 0,11114 0,706203 0,293496 0,174689 0
Kab. Lombok
Timur 0 14 10 0,075421 0,837136 0,159591 0,131922 0
0 11 14 0,073144 0,833705 0,162424 0,124275 0
Kab. Lombok
Utara 0 9 12 0,093429 0,671348 0,327199 0,025687 0
0 12 13 0,111632 0,67186 0,327705 0,19086 0
Kab. Sumbawa 1 4 12 0,077899 0,815464 0,184273 0,046717 0
1 5 12 0,076601 0,865586 0,169431 0,090353 0
Kab. Sumbawa
Barat 0 8 22 0,079138 0,71257 0,284225 -0,02007 0
0 11 27 0,062912 0,660757 0,338608 0,051448 0
Kota Bima 0 6 14 0,030662 0,828083 0,170127 0,098865 0
0 10 19 0,030099 0,803494 0,193851 0,11641 0
Kota Mataram 0 18 7 0,148805 0,839745 0,187953 0,112208 0
0 8 12 0,195571 0,795286 0,204127 0,146452 0
Kab. Ende 0 13 12 0,053818 0,823433 0,161328 0,158618 0
0 8 17 0,065317 0,864658 0,13487 0,072237 0
Kab. Flores Timur 0 15 14 0,053584 0,837871 0,158109 0,065071 0
0 14 16 0,04883 0,853864 0,138956 0,143636 0
Kab. Manggarai
Barat 0 17 16 0,058613 0,724433 0,000275 0,018485 0
0 14 31 0,068511 0,671498 0,295401 0,148375 0
Kab. Ngada 0 10 30 0,065376 0,743894 0,254892 0,004276 0
157
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 14 10 0,06604 0,812903 0,185752 0,077065 0
Kab. Rote Ndao 0 10 21 0,044307 0,81407 0,180687 0,089184 0
0 18 20 0,037259 0,768435 0,228973 0,297316 0
Kab. Sabu Raijua 0 11 10 0,031622 0,543867 0,447547 0,050503 0
0 7 12 0,04006 0,681979 0,318021 0,24001 0
Kab. Sikka 0 9 20 0,08688 0,853666 0,131263 0,065219 0
0 9 19 0,087821 0,847993 0,149042 0,130108 0
Kab. Sumba Barat 0 13 19 0,059389 0,705288 0,293493 -0,06092 0
0 6 10 0,059621 0,706786 0,040205 0,145264 0
Kab. Sumba
Timur 0 13 15 0,068157 0,820183 0,175504 0,081332 0
0 10 13 0,061314 0,733891 0,266109 0,101212 0
Kab. Timor
Tengah Selatan 0 18 13 0,045529 0,845012 0,153065 0,059543 0
0 18 28 0,045275 0,809794 0,189231 0,168299 0
Kota Kupang 0 26 20 0,105602 0,91201 0,087325 0,142709 0
0 17 23 0,110142 0,87564 0,123955 0,172823 0
Kab. Bengkayang 0 10 14 0,032851 0,768809 0,202143 0,080661 0
0 9 8 0,036184 0,735341 0,236349 0,178089 0
Kab. Kapuas Hulu 0 10 6 0,036101 0,685856 0,310433 0,074938 0
0 6 12 0,030324 0,696782 0,299484 0,181467 0
Kab. Kayong
Utara 0 4 10 0,138744 0,658891 0,33772 0,217539 0
0 10 14 0,023838 0,634996 0,364603 0,034253 0
Kab. Ketapang 0 5 7 0,05986 0,69776 0,284939 0,130654 0
0 3 6 0,103965 0,697979 0,274364 0,216133 0
Kab. Kubu Raya 0 4 5 0,064182 0,717645 0,28219 0,069912 0
0 9 9 0,079733 0,713745 0,286255 0,204499 0
Kab. Landak 0 7 15 0,045242 0,682454 0,316373 0,096134 0
1 2 9 0,045745 0,644173 0,354942 0,207388 0
Kab. Melawi 0 8 22 0,023607 0,762419 0,235865 0,108981 0
0 11 13 0,031407 0,708353 0,291445 0,235696 0
Kab. Pontianak/
Mempawah 0 12 5 0,04759 0,745815 0,251684 0,046607 0
0 13 8 0,066783 0,774051 0,22365 0,152705 0
Kab. Sambas 0 5 1 0,052488 0,741761 0,253836 0,09268 0
158
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 6 5 0,047055 0,743252 0,255584 0,180478 0
Kab. Sanggau 0 6 7 0,053086 0,733336 0,265596 0,139415 0
0 5 7 0,066208 0,758942 0,240358 0,147162 0
Kab. Sekadau 1 2 12 0,037793 0,732239 0,265995 0,137125 0
1 13 8 0,065861 0,652199 0,346562 0,161936 0
Kab. Sintang 1 5 7 0,057752 0,805536 0,190159 0,076735 0
1 5 10 0,066642 0,739853 0,259637 0,196377 0
Kota Pontianak 1 10 5 0,243243 0,697679 0,302151 0,171803 0
1 4 8 0,273847 0,655251 0,344721 0,15553 0
Kota Singkawang 0 10 8 0,078276 0,770127 0,225385 0,072772 0
0 5 5 0,086254 0,681008 0,318629 0,207326 0
Kab. Barito
Selatan 0 11 30 0,040787 0,748477 0,247711 0,138793 0
0 12 13 0,036918 0,738361 0,261102 0,105711 0
Kab. Barito Timur 0 19 15 0,032312 0,795755 0,199658 0,077161 0
0 20 23 0,025956 0,780965 0,212823 0,134267 0
Kab. Barito Utara 0 10 20 0,046333 0,735896 0,263664 0,101337 0
0 12 7 0,046578 0,72926 0,270419 0,196562 0
Kab. Gunung Mas 1 8 26 0,040434 0,691863 0,305831 0,071103 0
0 15 8 0,038985 0,689358 0,310474 0,169163 1
Kab. Kapuas 0 4 11 0,054223 0,766199 0,230199 0,138122 0
0 8 6 0,042945 0,751713 0,246418 0,123136 0
Kab. Lamandau 0 11 13 0,030621 0,663608 0,336257 0,050928 0
1 15 4 0,03525 0,663649 0,336351 0,150183 0
Kab. Murung
Raya 0 19 8 0,034033 0,622318 0,376425 0,18728 0
0 18 15 0,030341 0,643062 0,355732 0,10407 0
Kab. Pulang Pisau 0 11 15 0,033572 0,644895 0,351835 0,03231 0
0 15 14 0,028624 0,681303 0,317678 0,183238 0
Kab. Sukamara 1 12 12 0,034941 0,560768 0,433812 0,127042 0
1 5 11 0,035024 0,543032 0,456968 0,226785 0
Kab. Balangan 0 13 17 0,039511 0,608182 0,391818 0,295817 0
1 12 10 0,046891 0,603474 0,395939 0,001166 0
Kab. Banjar 0 18 12 0,13774 0,763826 0,234637 0,298178 0
1 6 3 0,184884 0,74306 0,256346 -0,00433 0
Kab. Barito Kuala 0 12 15 0,029948 0,718617 0,281044 0,212432 0
159
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 8 12 0,041018 0,644384 0,355616 0,164145 0
Kab. Hulu Sungai
Selatan 0 7 9 0,060702 0,704935 0,294886 0,307415 0
1 12 8 0,068958 0,725803 0,274197 0,070216 0
Kab. Hulu Sungai
Tengah 0 9 7 0,055758 0,810532 0,188776 0,198818 0
1 6 7 0,064302 0,717736 0,280214 0,100287 0
Kab. Hulu Sungai
Utara 0 17 22 0,050512 0,753445 0,246555 0,259712 0
0 11 19 0,064117 0,758711 0,241289 0,105885 0
Kab. Kotabaru 0 8 11 0,05713 0,789871 0,206513 0,273438 0
0 12 8 0,097434 0,712192 0,241289 0,092527 0
Kab. Tabalong 0 17 27 0,048626 0,72701 0,271764 0,188792 0
0 21 19 0,04132 0,797456 0,201866 0,012117 0
Kab. Tanah
Bumbu 0 19 30 0,071953 0,688834 0,30944 0,294928 0
1 9 10 0,098811 0,615088 0,384027 -0,0528 0
Kab. Tanah Laut 0 11 14 0,082731 0,79713 0,202611 0,298263 0
1 16 15 0,101247 0,734746 0,265067 0,104537 0
Kab. Tapin 0 10 13 0,040826 0,684234 0,315372 0,253329 0
0 7 7 0,048426 0,653997 0,345547 0,016473 0
Kota Banjarbaru 0 8 19 0,09979 0,758432 0,230446 0,256389 0
0 16 17 0,120054 0,759686 0,240213 0,089782 0
Kota Banjarmasin 0 9 13 0,130526 0,833193 0,16675 0,283904 0
1 5 10 0,150031 0,747733 0,252267 0,072383 0
Kab. Berau 0 11 15 0,09428 0,550814 0,448576 0,159357 0
0 23 26 0,108634 0,598672 0,401328 -0,03698 0
Kab. Bulungan 0 10 16 0,052896 0,727097 0,227863 0,224582 0
0 9 16 0,066865 0,558418 0,415784 0,031572 0
Kab. Paser 0 10 20 0,042975 0,494127 0,503739 0,2491 0
1 7 11 0,059069 0,510493 0,48903 0,00114 0
Kab. Penajam
Paser Utara 0 10 11 0,029416 0,453483 0,546173 0,254493 0
0 23 19 0,042403 0,533873 0,466127 -0,11607 0
Kota Balikpapan 0 13 12 0,18984 0,731331 0,295657 0,222829 0
1 7 6 0,036238 0,55114 0,447834 0,09781 0
160
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kota Bontang 0 9 11 0,074648 0,67454 0,324955 0,190136 0
0 11 13 0,105135 0,626652 0,372143 -0,05034 0
Kota Samarinda 0 8 6 0,162825 0,646414 0,352999 0,311698 0
0 9 10 0,209215 0,553752 0,446248 -0,05365 0
Kab. Malinau 0 10 13 0,052523 0,667197 0,332803 0,066587 0
0 13 17 0,060736 0,508781 0,491041 -0,0168 0
Kab. Nunukan 0 12 26 0,053495 0,611944 0,387617 0,149648 0
0 13 21 0,004055 0,492208 0,507697 0,012468 0
Kota Tarakan 1 9 9 0,060141 0,638543 0,358867 0,263413 0
1 13 17 0,076103 0,526033 0,471415 -0,07731 0
Kab. Bolaang
Mongondow 0 10 45 0,031162 0,814232 0,179156 0,078804 0
0 14 28 0,035392 0,81937 0,166132 0,112432 0
Kab. Bolaang
Mongondow
Selatan 0 16 30 0,031162 0,609148 0,390852 -0,12914 0
0 8 27 0,022032 0,581175 0,418825 0,171688 0
Kab. Bolaang
Mongondow
Timur 0 22 20 0,028382 0,640944 0,355893 -0,14898 0
1 16 14 0,026719 0,726998 0,273002 0,10798 0
Kab. Bolaang
Mongondow
Utara 0 15 37 0,020199 0,709951 0,289579 -0,15202 0
0 16 24 0,054832 0,61246 0,387035 0,160683 0
Kab. Kepulauan
Sangihe 0 16 32 0,025713 0,640944 0,186056 0,048694 0
0 10 23 0,054832 0,80468 0,173113 0,161232 0
Kab. Kepulauan
Talaud 0 16 23 0,023217 0,812583 0,17219 0,168221 0
0 20 18 0,018836 0,80147 0,196301 0,186531 0
Kab. Minahasa 0 8 30 0,018836 0,888543 0,110101 0,074898 0
0 13 20 0,023217 0,822748 0,176834 0,127223 0
Kab. Minahasa
Utara 0 7 23 0,012849 0,777667 0,216815 0,105913 0
0 22 31 0,071942 0,764608 0,235208 0,086065 0
Kota Bitung 1 17 20 0,054111 0,759334 0,239797 0,132347 0
161
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
1 6 10 0,071942 0,748194 0,250938 0,172375 0
Kota Kotamobagu 0 9 33 0,074323 0,761706 0,237866 -0,07999 0
1 8 35 0,092547 0,730106 0,269894 0,181553 0
Kota Tomohon 0 13 31 0,02982 0,79365 0,197241 0,014613 1
1 6 18 0,031172 0,725779 0,274221 0,186986 1
Kab. Banggai 1 2 6 0,063517 0,80145 0,195658 0,103427 1
1 7 14 0,073565 0,787565 0,212435 0,171255 1
Kab. Banggai
Kepulauan 1 4 10 0,025712 0,675639 0,322632 0,074797 0
1 5 13 0,023918 0,677629 0,32211 0,142525 0
Kab. Buol 0 11 20 0,035465 0,793466 0,205557 -0,06808 1
0 7 16 0,056941 0,760246 0,24385 0,171799 1
Kab. Donggala 1 1 6 0,057648 0,771156 0,226746 0,003706 0
1 8 13 0,056032 0,739772 0,259235 0,181336 0
Kab. Morowali 1 7 13 0,041425 0,765 0,233368 0,159607 0
0 11 23 0,045871 0,766731 0,232217 0,162024 0
Kab. Parigi
Moutong 0 7 9 0,041545 0,777888 0,219465 0,079627 0
0 9 21 0,042267 0,787873 0,211804 0,141401 0
Kab. Poso 0 4 6 0,037837 0,799363 0,198078 0,038009 0
1 7 9 0,042671 0,829208 0,169716 0,135919 0
Kab. Sigi 1 4 11 0,020534 0,829208 0,210929 0,005136 0
0 10 21 0,02122 0,789953 0,207095 0,148619 0
Kab. Tojo Una-
Una 1 1 11 0,054108 0,655399 0,330877 0,091496 0
1 1 14 0,051147 0,730689 0,252404 0,129538 0
Kab. Tolitoli 0 5 12 0,035442 0,809071 0,184762 0,060525 0
0 3 14 0,036834 0,752411 0,245438 0,171534 0
Kota Palu 1 6 9 0,147374 0,850048 0,147514 0,193639 0
0 6 12 0,167377 0,762284 0,23669 0,162412 0
Kab. Bantaeng 0 12 9 0,048081 0,836363 0,162645 0,023156 0
0 15 6 0,047939 0,763408 0,234654 0,160104 0
Kab. Barru 0 8 12 0,06037 0,787709 0,212279 -0,00675 0
1 8 10 0,069121 0,812568 0,187329 0,155547 0
Kab. Bone 0 11 20 0,046704 0,796777 0,168938 0,116303 0
0 9 13 0,067753 0,824126 0,175433 0,162549 0
162
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Bulukumba 1 10 10 0,035555 0,826686 0,136977 0,031726 0
0 12 8 0,046315 0,828263 0,171737 0,225264 0
Kab. Enrekang 0 17 16 0,034193 0,817226 0,180636 0,030552 0
0 23 20 0,035196 0,817719 0,180465 0,147517 0
Kab. Gowa 1 10 8 0,096718 0,825053 0,174947 0,087237 0
1 9 12 0,1167 0,744767 0,232855 0,178497 0
Kab. Jeneponto 0 23 22 0,024935 0,820012 0,176101 0,033037 0
0 21 16 0,024125 0,790029 0,208173 0,14687 0
Kab. Kep. Selayar 0 16 19 0,035884 0,818217 0,178251 0,065226 0
0 12 25 0,038894 0,737308 0,262187 0,202325 0
Kab. Luwu 0 16 21 0,045833 0,825406 0,174165 0,020683 0
0 18 7 0,046289 0,400086 0,099914 0,134817 0
Kab. Luwu Timur 1 9 6 0,165077 0,643474 0,356086 0,059327 0
0 16 16 0,180266 0,669119 0,330881 0,2173 0
Kab. Luwu Utara 0 12 11 0,060172 0,812427 0,186504 0,053765 0
1 21 15 0,054365 0,89088 0,210271 0,070848 0
Kab. Maros 0 13 16 0,092619 0,800016 0,199659 0,119631 0
1 3 5 0,101636 0,695745 0,30346 0,208143 0
Kab. Pangkajene
dan Kepulauan 1 10 20 0,111227 0,780938 0,218172 0,032335 0
1 8 14 0,12846 0,753335 0,245061 0,15911 0
Kab. Pinrang 0 12 14 0,042975 0,793752 0,204375 -0,00144 0
1 16 12 0,066328 0,824116 0,173271 0,134038 0
Kab. Sidenreng
Rappang 0 20 15 0,058189 0,855189 0,141427 0,061329 0
0 21 12 0,055253 0,824302 0,173959 0,197492 0
Kab. Sinjai 0 20 14 0,039493 0,830752 0,162566 0,039516 0
0 23 15 0,037795 0,826455 0,173074 0,16897 0
Kab. Soppeng 0 13 11 0,042437 0,868099 0,131509 0,001579 0
0 7 6 0,056699 0,811193 0,166973 0,119187 0
Kab. Takalar 0 16 14 0,057461 0,838609 0,156497 -0,00411 0
0 17 20 0,060363 0,848373 0,150902 0,225728 0
Kab. Tana Toraja 0 10 23 0,064263 0,739708 0,258925 0,150274 0
0 20 16 0,06414 0,800173 0,199478 0,139519 0
Kab. Toraja Utara 0 24 13 0,035422 0,732208 0,266346 0,036679 0
0 19 14 0,038995 0,730426 0,269452 0,225728 0
163
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Kab. Wajo 1 14 15 0,067705 0,725283 0,248038 0,143361 0
0 16 21 0,760063 0,680389 0,159805 0,139519 0
Kota Makassar 0 8 21 0,324961 0,837437 0,162006 0,188079 0
0 18 23 0,356014 0,835567 0,158224 0,36589 0
Kota Palopo 0 10 8 0,075388 0,810805 0,186158 0,037052 0
0 15 9 0,095267 0,839864 0,160136 0,192728 0
Kota Pare-Pare 0 26 26 0,111716 0,83261 0,166926 0,072573 0
0 17 17 0,135483 0,829212 0,169348 0,150213 0
Kab. Bombana 0 12 34 0,049723 0,747644 0,252356 0,129991 0
1 9 21 0,045944 0,680885 0,318213 0,390051 0
Kab. Buton 0 7 14 0,030762 0,781595 0,218405 0,097612 0
1 17 15 0,029917 0,713861 0,25906 0,151325 0
Kab. Buton Utara 0 11 16 0,028643 0,565723 0,434277 0,098513 0
0 15 16 0,111477 0,526588 0,47302 0,191619 0
Kab. Kolaka 0 9 20 0,024546 0,772244 0,227183 0,158884 0
0 6 17 0,055861 0,786077 0,21185 0,099243 0
Kab. Kolaka
Utara 0 5 17 0,037363 0,658157 0,329398 0,208808 0
0 7 11 0,041253 0,614119 0,377929 0,191338 0
Kab. Konawe 0 7 17 0,030713 0,828295 0,171024 0,143094 0
0 8 14 0,029503 0,813864 0,182297 0,138395 0
Kab. Konawe
Selatan 0 6 17 0,027888 0,757797 0,241774 0,145311 0
0 10 18 0,03356 0,717632 0,280993 0,193161 0
Kab. Konawe
Utara 0 13 23 0,063642 0,674401 0,325036 0,24352 0
0 7 13 0,04262 0,627898 0,370289 0,141529 0
Kab. Muna 0 9 13 0,025466 0,785019 0,214876 0,137246 0
0 16 7 0,028169 0,766434 0,233566 0,179048 0
Kab. Wakatobi 0 10 26 0,044554 0,712761 0,283258 0,059059 0
0 6 13 0,040009 0,660481 0,319871 0,171714 0
Kota Baubau 0 6 31 0,052515 0,806912 0,193025 0,081182 0
0 5 21 0,058603 0,753221 0,246779 0,210211 0
Kota Kendari 0 11 23 0,106213 0,84404 0,155513 0,069591 0
1 7 13 0,116005 0,7681 0,231812 0,229055 0
Kab. Boalemo 0 7 8 0,061912 0,772181 0,225569 0,045315 0
164
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
1 9 26 0,051903 0,706793 0,293207 0,202088 0
Kab. Bone
Bolango 0 6 11 0,038083 0,803721 0,195647 -0,01724 0
1 15 10 0,040425 0,725779 0,272776 0,236729 0
Kab. Gorontalo 1 3 20 0,077817 0,827394 0,172494 0,071806 0
1 11 10 0,081317 0,806408 0,193265 0,139746 0
Kab. Gorontalo
Utara 0 11 13 0,028275 0,678575 0,31577 -0,12308 0
0 6 12 0,027456 0,752002 0,247998 0,199953 0
Kab. Pohuwato 0 10 8 0,043903 0,802043 0,197957 -0,02424 0
1 4 13 0,070971 0,717441 0,2821 0,2259 0
Kota Gorontalo 0 8 27 0,167342 0,888412 0,109525 0,025857 0
0 12 14 0,169084 0,882678 0,116585 0,487657 0
Kab. Majene 0 16 17 0,031307 0,772208 0,226208 0,085462 0
0 14 17 0,038352 0,770263 0,228887 0,173096 0
Kab. Mamuju 1 11 21 0,050161 0,758371 0,23995 0,043306 0
1 15 12 0,042082 0,732536 0,266419 0,179236 0
Kab. Mamuju
Utara 0 13 31 0,029112 0,722165 0,277834 0,103952 0
0 17 18 0,033168 0,641537 0,342996 0,145317 0
Kab. Polewali
Mandar 0 10 23 0,041503 0,824301 0,175699 0,073828 0
0 15 21 0,039353 0,812441 0,187559 0,154408 0
Kab. Buru 0 18 18 0,019724 0,810202 0,184406 -0,01522 0
0 7 14 0,023047 0,800697 0,191501 0,091645 0
Kab. Maluku
Tengah 0 14 19 0,014236 0,869517 0,127715 0,088904 0
0 15 8 0,024612 0,781334 0,217751 0,174818 0
Kab. Maluku
Tenggara 0 23 37 0,034223 0,805261 0,193301 -0,00155 0
0 17 24 0,050894 0,794775 0,204844 0,222793 0
Kab. Maluku
Tenggara Barat 0 21 22 0,026378 0,8182 0,17794 -0,01016 0
0 22 18 0,039347 0,793079 0,206416 0,167252 0
Kota Tual 0 27 25 0,031993 0,710192 0,288859 -0,08252 0
0 13 35 0,030075 0,729779 0,212702 0,19234 0
Kab. Halmahera 0 16 28 0,011872 0,853645 0,140359 0,08698 0
165
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Barat
0 9 17 0,020637 0,764554 0,232234 0,157649 0
Kab. Halmahera
Selatan 0 15 18 0,07 0,76125 0,235048 0,102126 0
0 8 23 0,05 0,796711 0,200154 0,028813 0
Kab. Halmahera
Tengah 0 8 10 0,03 0,670226 0,328905 0,025937 0
0 17 21 0,06 0,594526 0,405133 0,226093 0
Kab. Halmahera
Timur 0 15 14 0,14 0,652101 0,347397 0,011211 0
0 9 13 0,18 0,60631 0,392939 0,194429 0
Kab. Halmahera
Utara 0 11 22 0,24 0,726342 0,272368 0,090539 0
0 11 12 0,203083 0,748783 0,250482 0,050586 0
Kab. Kepulauan
Sula 0 11 13 0,03 0,670953 0,329047 0,013325 0
0 20 18 0,04 0,658962 0,34017 0,17397 0
Kab. Pulau
Morotai 0 23 24 0,01 0,647754 0,350904 0,114003 0
0 7 15 0,01 0,613431 0,386455 0,254696 0
Kota Ternate 0 9 12 0,06 0,795841 0,189205 0,089938 0
0 6 12 0,07 0,740585 0,248059 0,125701 0
Kota Tidore
Kepulauan 0 11 8 0,02 0,738963 0,260617 0,114589 0
0 5 9 0,03 0,696075 0,302257 0,111994 0
Kab. Asmat 0 7 21 0,026384 0,782677 0,213451 0,025448 0
1 6 17 0,032985 0,703268 0,292868 0,145186 1
Kab. Biak
Numfor 0 15 28 0,023968 0,836823 0,163177 0,116489 0
0 21 15 0,023432 0,867667 0,132333 0,09427 0
Kab. Jayapura 0 10 17 0,045246 0,798821 0,201179 0,059599 0
0 13 13 0,05115 0,809984 0,172049 0,148335 0
Kab. Jayawijaya 0 16 14 0,033757 0,725752 0,269866 -0,04716 0
0 21 18 0,035115 0,672613 0,327222 0,413688 0
Kab. Kepulauan
Yapen 0 18 25 0,023537 0,78735 0,211996 0,032431 0
0 19 12 0,032381 0,762536 0,236327 0,110788 0
Kab. Mappi 0 6 19 0,017536 0,758777 0,241223 0,034534 0
166
Pemda X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
0 10 17 0,019837 0,718834 0,281166 0,104446 1
Kab. Merauke 0 13 15 0,07621 0,660521 0,339215 0,108364 0
0 8 13 0,064199 0,654118 0,344877 0,209853 0
Kab. Mimika 0 6 20 0,343024 0,74107 0,256893 0,037592 0
0 10 11 0,107571 0,762366 0,223605 0,061061 0
Kab. Nabire 0 9 17 0,028874 0,793121 0,205237 0,053292 0
0 13 16 0,023274 0,848133 0,145504 0,097909 0
Kab. Paniai 0 13 18 0,032479 0,69178 0,306637 0,004208 0
0 12 10 0,01087 0,770622 0,229378 0,004011 0
Kab. Pegunungan
Bintang 0 13 22 0,011716 0,703507 0,294844 0,087051 0
0 17 21 0,01357 0,704284 0,059176 0,300585 0
Kab. Puncak Jaya 0 17 17 0,005833 0,784405 0,157909 -0,007 0
0 19 7 0,006632 0,75454 0,17692 0,203841 0
Kab. Yahukimo 0 22 15 0,018027 0,810124 0,18943 0,11007 0
0 15 15 0,023806 0,785791 0,21393 0,148401 0
Kab. Yalimo 0 6 15 0,008272 0,534353 0,464662 -0,06049 0
0 7 9 0,004522 0,585956 0,412913 0,367435 0
Kota Jayapura 0 15 27 0,111567 0,782482 0,216888 0,179918 0
1 19 14 0,128631 0,755306 0,244331 0,187114 0
Kab. Kaimana 0 11 10 0,025646 0,696091 0,303734 0,070909 0
1 7 10 0,02401 0,679717 0,320199 0,181974 0
167
Descriptives
[DataSet1]
Logistic Regression
[DataSet1]
Block 0: Beginning Block
Descriptive Statistics
844 0 1 ,27 ,444
844 0 30 10,75 4,709
844 1 45 13,31 6,386
844 ,00 3,53 ,1087 ,18790
844 ,40 ,94 ,7683 ,08319
844 ,00 ,55 ,2258 ,08375
844 -,15 ,49 ,1292 ,07534
844 0 1 ,05 ,225
844
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
korup
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Case Processing Summary
844 100,0
0 ,0
844 100,0
0 ,0
844 100,0
Unweighted Casesa
Included in Analysis
Missing Cases
Total
Selected Cases
Unselected Cases
Total
N Percent
If weight is in effect, see classification table for the total
number of cases.
a.
Dependent Variable Encoding
0
1
Original Value
tdk korupsi
korupsi
Internal Value
168
Iteration Historya,b,c
422,228 -1,787
357,415 -2,520
351,498 -2,827
351,391 -2,876
351,391 -2,877
351,391 -2,877
Iteration
1
2
3
4
5
6
Step
0
-2 Log
likelihood Constant
Coefficients
Constant is included in the model.a.
Initial -2 Log Likelihood: 351,391b.
Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than ,001.
c.
Classification Tablea,b
799 0 100,0
45 0 ,0
94,7
Observed
tdk korupsi
korupsi
korup
Overall Percentage
Step 0
tdk korupsi korupsi
korup Percentage
Correct
Predic ted
Constant is included in the model.a.
The cut value is ,500b.
Variables in the Equation
-2,877 ,153 352,538 1 ,000 ,056ConstantStep 0
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
169
Block 1: Method = Enter
Variables not in the Equation
2,793 1 ,095
,025 1 ,874
,205 1 ,651
12,697 1 ,000
,018 1 ,893
,007 1 ,933
,713 1 ,398
15,492 7 ,030
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
Variables
Overall Statistics
Step
0
Score df Sig.
Iteration Historya,b,c,d
417,861 -1,849 ,104 -,001 ,006 ,561 -,106 -,123 ,145
349,780 -2,719 ,277 -,003 ,014 ,907 -,160 -,304 ,434
342,524 -3,232 ,466 -,006 ,022 1,043 -,134 -,478 ,776
342,310 -3,384 ,533 -,006 ,025 1,063 -,097 -,531 ,901
342,310 -3,393 ,536 -,007 ,025 1,064 -,093 -,533 ,908
342,310 -3,393 ,536 -,007 ,025 1,064 -,093 -,533 ,908
Iteration1
2
3
4
5
6
Step
1
-2 Log
likelihood Constant op spi kuu rk rbo rbm rt
Coefficients
Method: Entera.
Constant is included in the model.b.
Initial -2 Log Likelihood: 351,391c.
Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.d.
Omnibus Tests of Model Coefficients
9,081 7 ,247
9,081 7 ,247
9,081 7 ,247
Step
Block
Model
Step 1
Chi-square df Sig.
170
Model Summary
342,310a ,011 ,031
Step1
-2 Log
likelihood
Cox & Snell
R Square
Nagelkerke
R Square
Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than ,001.
a.
Hosmer and Lemeshow Test
13,979 8 ,082
Step
1
Chi-square df Sig.
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
81 81,122 3 2,878 84
83 80,822 1 3,178 84
81 80,614 3 3,386 84
80 80,453 4 3,547 84
81 80,255 3 3,745 84
80 79,955 4 4,045 84
79 79,527 5 4,473 84
83 78,917 1 5,083 84
80 78,287 4 5,713 84
71 79,047 17 8,953 88
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Step
1
Observed Expected
korup = tdk korupsi
Observed Expected
korup = korupsi
Total
Classification Tablea
797 2 99,7
45 0 ,0
94,4
Observed
tdk korupsi
korupsi
korup
Overall Percentage
Step 1
tdk korupsi korupsi
korup Percentage
Correct
Predic ted
The cut value is ,500a.
171
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
800 ô ô ó ó ó ó
F ó ó
R 600 ô ô
E ó ó
Q ó k ó
U ó t ó
E 400 ô t ô
Variables in the Equation
,536 ,343 2,440 1 ,118 1,709
-,007 ,035 ,034 1 ,853 ,993
,025 ,025 ,991 1 ,319 1,026
1,064 ,461 5,319 1 ,021 2,897
-,093 5,055 ,000 1 ,985 ,911
-,533 5,048 ,011 1 ,916 ,587
,908 2,077 ,191 1 ,662 2,478
-3,393 5,009 ,459 1 ,498 ,034
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
Constant
Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variable(s) entered on s tep 1: op, spi, kuu, rk, rbo, rbm, rt.a.
Correlation Matrix
1,000 ,011 -,065 -,063 -,092 -,990 -,945 -,113
,011 1,000 ,179 ,212 -,104 -,055 -,088 -,011
-,065 ,179 1,000 -,283 -,112 -,006 ,039 ,054
-,063 ,212 -,283 1,000 ,046 ,023 -,050 ,044
-,092 -,104 -,112 ,046 1,000 ,103 ,076 -,209
-,990 -,055 -,006 ,023 ,103 1,000 ,924 ,052
-,945 -,088 ,039 -,050 ,076 ,924 1,000 ,054
-,113 -,011 ,054 ,044 -,209 ,052 ,054 1,000
Constant
op
spi
kuu
rk
rbo
rbm
rt
Step
1
Constant op spi kuu rk rbo rbm rt
172
N ó t ó
C ó t ó
Y ó t ó
200 ô tt ô ó tt ó
ó ttt ó
ó tttk ó
Predicted òòòòòòòòòòòòòòôòòòòòòòòòòòòòòôòòòòòòòòòòòòòòôòòòòòòòòòòòòòòò
Prob: 0 ,25 ,5 ,75
1
Group:
ttttttttttttttttttttttttttttttkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
Predicted Probability is of Membership for korupsi
The Cut Value is ,50
Symbols: t - tdk korupsi
k - korupsi
Each Symbol Represents 50 Cases.