Pengantar sosiologi pendidikan
-
Upload
achmad-ircham -
Category
Education
-
view
53 -
download
0
Transcript of Pengantar sosiologi pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Dengan
menempuh pendidikan, diharapkan seseorang akan mendapatkan pekerjaan
sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar ketrampilan untuk
mencari nafkahnya.
Selama ini kita tahu proses belajar atau yang sering kita sebut pendidikan
telah kita dapat di sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai SMA bahkan sampai
perguruan tinggi. Sekolah menjadi penting, artinya melalui sekolah kita mendapat
pendidikan yang menentukan arah kehidupan kita dalam menapaki masa depan
terutama dalam mencari sebuah pekerjaan. Yang menjadi masalah adalah
seberapa penting sekolah membantu kita di dalam dunia kerja. Sedemikian
pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah
yang selalu hangat untuk diperbincangkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan sekolah dan dunia kerja?
2. Apakah mengajar itu bagian dari pekerjaan atau profesi?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui hubungan sekolah dan dunia kerja
2. Untuk mengetahui bahwa mengajar itu bagian dari pekerjaan atau
profsesi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antar Sekolah dan Dunia Kerja
Hubungan sekolah dengan dunia kerja diartikan sebagai jalinan kerjasama
fungsional yang saling menguntungkan antara sekolah dan dunia kerja dalam
penyelenggaraan Diklat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada
tahap evaluasi dan pemasaran tamatan.
Fungsi Sekolah
Anak yang telah menyelesaikan sekolah diharapkan sanggup melakukan
pekerjaan sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar
ketrampilan untuk mencari nafkahnya. Hal ini bukan berarti sekolah hanya ingin
memenuhi kebutuhan pragmatis, tetapi pandangan ini berangkat dari persoalan
dan problematika yang dihadapi secara azasi dalam kehidupan manusia. Manusia
terdorong dan bergairah untuk melanjutkan sekolah diantaranya beranggapan
bahwa semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi harapannya memperoleh
pekerjaan yang lebih baik.
a) Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan
Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan pendidikan sekolah ada dua
yaitu: Pertama, transmisi pengetahuan dan ketrampilan, seperti pengetahuan
tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan-
penemuan teknologi. Transmisi ketrampilan diajarkan untuk membentuk
ketrampilan anak didik yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti sekolah
teknik. Kedua, transmisi sikap, nilai, dan norma-norma. Sebagian besar sikap dan
nilai dipelajari secara informal melalui situasi formal di kelas dan di sekolah. Di
sekolah melalui contoh pribadi guru, cerita-cerita, buku-buku bacaan, pelajaran
sejarah, dan suasana sekolah yang mencerminkan sikap, nilai dan norma-norma
masyarakat yang dapat dipelajari anak didik.
b) Fungsi peranan manusia sosial
Sekolah diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan
sesama manusia, meskipun berbeda agama, suku, bangsa, pendirian, ekonomi, dan
sebagainya. Sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang
berbeda-beda. Masyarakat kita telah mengenal diferensiasi dan spesialisasi suatu
pekerjaan. Kekurangan atau kelebihan tenaga spesialisasi dalam masyarakat,
selalu menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Oleh karena itu, untuk
menjaga keseimbangan tersebut, peran sekolah menjadi sangat penting untuk
membimbing karir anak didik dengan menggunakan beberapa pertimbangan,
antara lain catatan prestasi anak di sekolah dan hasil tes khusus mengenai
kemampuan dan minat anak. Dengan demikian, maka fungsi sekolah adalah
menyaring dan mengarahkan pilihan anak mengenai spesialisasi pekerjaan kelak
dalam masyarakat.
c) Fungsi membentuk kepribadian sebagai dasar ketrampilan
Sekolah tidak saja mengajarkan tentang pengetahuan dan ketrampilan yang
bertujuan mempengaruhi perkembangan intelektual anak, melainkan juga
memperhatikan perkembangan jasmaniah melalui program olahraga, senam dan
kesehatan. Disamping itu, sekolah juga memperhatikan perkembangan watak anak
melalui latihan kebiasaan dan tata tertib pendidikan agama dan pendidikan budi
pekerti. Dengan demikian, pendidikan sekolah berfungsi mengembangkan
kepribadian anak secara keseluruhan. Kepribadian ini akan menyinari dan
mewarnai ketrampilan-ketrampilan yang akan dimiliki anak didik.
d) Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan
Anak yang telah lulus sekolah diharapkan sanggup melaksanakan pekerjaan
sebagai sumber mata pencaharian. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak,
semakin besar harapan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ijazah masih
tetap dijadikan syarat penting untuk suatu jabatan, walaupun ijazah itu sendiri
belum menjamin kesiapan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Akan
tetapi dengan ijazah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai
pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
e) Integrasi sosial
Dalam masyarakat yang bersifat pluralistik, multikultural, dan heterogen
membutuhkan upaya oleh semua pihak untuk menjamin integrasi sosial. Keutuhan
sosial sangat penting untuk menciptakan keseimbangan hidup masyarakat. Untuk
menjaga keutuhan sosial adalah tugas sekolah yang sangat penting. Upaya-upaya
untuk menjaga integritas sosial antara lain:
1. Sekolah mengajarkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Dengan bahasa
nasional, seluruh suku, golongan, agama yang berbeda-beda akan merasa dirinya
terikat oleh kesatuan sosial, yaitu bangsa Indonesia.
2. Sekolah mengajarkan pengalaman-pengalaman yang sama kepada anak-anak
melalui kurikulum, buku bacaan, buku pelajaran, dan sebagainya. Pengalaman
yang sama akan membawa ke arah ikatan emosional menuju kebersamaan.
3. Sekolah mengajarkan kepada anak, corak kepribadian nasional melalui
pelajaran sejarah, geografi, upacara bendera, peringatan hari besar nasional, lagu
nasional, dan sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah memahami makna
falsafah Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur Pancasila
digali dari inti dan sari pati nilai budaya luhur nenek moyang bangsa Indonesia.1
B. Mengajar Sebagai Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh
pendapatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Oleh karena pekerjaan
dipandang sebagai cara pemenuhan kebutuhan hidup, ketika kebutuhan hidup
telah terpenuhi, maka pekerjaan tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa
yang dilakukan tidak memengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya
memengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup. Mengapa bisa seperti ini? Apabila
suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup dipandang berjalan lancar tanpa hambatan sehingga hidup
sesuai seperti yang diharapkan, maka tidak ada alasan atau kekuatan internal
untuk mengubah visi, cara, ritma, sikap, atau perilaku terhadap pekerjaan ini.
1 http://taufiqismail93.blogspot.co.id/2014/04/sekolah-dan-dunia-kerja.html
Cara pandang seperti di atas kelihatannya sangat dominan di kalangan
para guru, terutama para guru perempuan sebelum adanya sertifikasi guru, di
masa lampau tentang pekerjaan. Kenapa demikian? Dalam masyarakat
Indonesia pada masa lampau, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki
dikonstruksi sedemikian rupa, dimana perempuan bekerja di ruang domestik
(rumah dan lingkungannya) dan laki-laki ditempatkan di ruang publik (di luar
rumah seperti kantor dan pabrik). Konstruksi sosial budaya seperti ini
dipandang sebagai sesuatu yang seharusnya dan semestinya demikian, yang
terkristalisasi sebagai tradisi, adat, atau kebiasaan. Jika ada perempuan yang
menyimpang dari tradisi ini, maka akan ada resistensi sosial dan budaya
terhadap perilaku atau tindakan yang dipandang menyimpang oleh komunitas,
mungkin berupa penolakan komunitas terhadap perempuan ini untuk dijadikan
sebagai menantu atau ipar dari suatu keluarga besar. Ketika perempuan telah
mulai banyak melakukan perilaku atau tindakan yang dipandang menyimpang
ini, yaitu bekerja di luar rumah, maka komunitas di(ter)paksa secara perlahan
untuk menafsirkan ulang mana tindakan menyimpang atau tidak menyimpang
dalam kaitannya dengan pekerjaan.
Penafsiran ulang pekerjaan yang dipandang menyimpang atau tidak, pada
suatu titik menghasilkan kompromi, yaitu mensinergikan pekerjaan domestik
dan publik. Apa pekerjaan yang dipandang sinergis antara pekerjaan domestik
dan publik menurut masyarakat? Salah satu pekerjaan yang dilihat sinergis
antara pekerjaan domestik dan publik adalah pekerjaan sebagai guru. Mengapa
demikian? Pekerjaan guru, dilihat dari perspektif emik, merupakan “pekerjaan
lanjutan” dari pekerjaan domestik, yang dilakukan dalam rumah tangga.
Aktivitas seperti mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak di dalam
keluarga dapat diperbesar cakupan, jangkauan, dan kuantitasnya dengan
memperluas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan
sebagai guru.
Bekerja sebagai guru bagi seorang perempuan akan memperluas ruang
dan memperpanjang waktu dalam mengasuh, membesarkan, dan mendidik
anak, dalam hal ini anak secara sosial pedagogis, yaitu guru sebagai ibu
sedangkan murid sebagai anak, dalam hal ini anak didik. Kegiatan sebagai
guru, dipahami secara emik oleh masyarakat, bukan merupakan pekerjaan yang
berat dan bertentangan dengan pekerjaan yang dilakukan di rumah tangga;
sebaliknya ia dilihat sebagai kelanjutan dari pekerjaan rumah tangga seperti
tugas pengasuhan dan pendidikan anak. Karena ia dipandang sebagai
“pekerjaan lanjutan” maka bisa dipahami mengapa banyak perempuan masuk
ke sekolah atau perguruan tinggi yang berdimensi atau berkaitan dengan
kependidikan, dimana pekerjaan utama setelah selesai mengikuti pendidikan
adalah guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan
domestik, maka pekerjaan ini dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan
domestik. Seperti diketahui bahwa pekerjaan rumah tangga dilakukan dan
dirasakan oleh perempuan sebagai sesuatu yang biasa, monoton, tidak
menantang, dan kurang dinamis. Cara memandang pekerjaan domestik seperti
itu juga memengaruhi cara pandang mereka tentang pekerjaan guru sebagai
“pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik, sehingga ia dilakukan seadanya,
monoton, cara dan strategi pembelajaran tidak berbeda jauh dari tahun awal
mengajar sampai saat pension menjadi guru. Untuk menajamkan pemahaman
tentang fenomena ini, mungkin ada baiknya kita ambil contoh lain. Misalnya
dalam masyarakat Minangkabau tradisional mempersiapkan masakan dalam
rumah tangga merupakan tugas perempuan, khususnya istri. Tugas ini
dilakukan setiap hari dan terus-menerus oleh istri, sehingga memasak dirasakan
suatu pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda jika
seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal sebagai koki
dalam konsep mo-dern, pada suatu rumah makan atau restoran, tidak akan
melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang monoton dan
membosankan, karena dia melihat apa yang dilakukannya sebagai profesi.
C. Mengajar Sebagai Profesi
Dalam tahun 1925 Carr Saunder telah menyarankan, “ suatu profesi
mungkin bisa diidentifikasikan sebagai pekerjaan yang didasarkan atas studi dan
pendidikan intelektual khusus, yang tujuanya memberikan layanan yang terampil
atau nasihat kepada orang-orang lain dengan imbakan upah atau gaji yang
ditentukan.2
Mengajar sebagai profesi berarti mengkonstruksikan jabatan sebagai
guru dipandang sebagai profesi. Memang tidak dimungkiri bahwa pada masa
lampau para guru, khususnya perempuan, telah ada yang melihat dan
menyadari bahwa pekerjaan mereka sebagai guru merupakan suatu profesi,
bukan sekedar sebagai pekerjaan belaka, namun lebih jauh dari itu. Cara
pandang seperti itu jumlahnya lebih terbatas dibandingkan dengan yang
melihat guru sebagai sekedar pekerjaan, tidak lebih
Kesadaran para perempuan pendidik tentang guru sebagai profesi,
muncul tatkala pekerjaan domestik (pekerjaan di dalam rumah tangga) telah
tidak membebani atau berkurang karena anak-anak telah beranjak besar dan
dewasa, sehingga keterikatan terhadap pekerjaan kerumahtanggaan sudah
melonggar. Konsekuensi dari perkembangan ini, menyebabkan sebagian ibu
guru mulai mengembangkan diri melalui berbagai cara seperti belajar sendiri
(autodidak) melalui berbagai media, mengikuti pelatihan, bahkan melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, kesadaran dalam melihat, memandang,
dan memperlakukan guru sebagai suatu profesi dikarenakan adanya dorongan
dari dalam (faktor internal) seperti semakin banyaknya waktu luang sehingga
bisa dialihkan menjadi waktu untuk belajar dan untuk mempersiapkan diri
lebih matang dalam berbagai materi ajar dan cara serta strategi belajar
mengajar. Apabila dorongan dari dalam ini tidak dimiliki pada saat ada peluang
untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi diri menjadi seorang profesional,
maka sukar diharapkan guru tersebut bisa mejadi profesional sampai dia
memasuki masa pensiun.
Dorongan dan tekanan untuk menjadikan posisi guru sebagai profesi
semakin menguat ketika ada Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.
Undang-undang ini memberikan ganjaran dan hukuman terhadap guru dan
2 Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : CV Rajawali, 1986) hlm. 166
dosen terhadap aktivitas dan kegiatan yang dilakukannya dalam hubungannya
dengan jabatan guru dan dosen. Semua guru didorong untuk menjadikan semua
aktivitas dan kegiatannya dilakukan secara profesional. Karena adanya
dorongan guru menjadi profesional maka guru diharuskan meningkatkan
kualitas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka. Dorongan eksternal ini
sedikit banyaknya telah memberikan motivasi bagi guru untuk mengubah diri
dalam peningkatan kualitas, kompetensi, dan keahlian profesional mereka.
Dalam kenyataannya, setelah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen ini diimplementasikan, ada kecenderungan banyak para guru
meningkatkan kualifikasi diri melalui mengikuti pendidikan lanjutan strata satu
(S-1) dan strata dua (S-2). Kenyataan seperti itu, tidak terbayangkan pada masa
sebelumnya akan terjadi.
Tidak dipungkiri bahwa tidak semua guru yang telah disertifikasi telah
mengubah diri menjadi guru yang profesional, seperti yang diamanahkan oleh
undang-undang tentang guru dan dosen tersebut. Meskipun demikian, telah
tampak bahwa guru sudah mulai serius dibandingkan sebelumnya untuk
meningkatkan kualitas diri dalam melaksanakan proses belajar mengajar
(PBM). Topik ini akan dibahas pada bagian berikutnya.
Bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai profesi? Persyaratan apa
yang harus dipenuhi sehingga sesuatu dapat disebut sebagai suatu profesi?
Berikut beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga sesuatu
yang dikerjakan tersebut dapat disebut sebagai suatu profesi :
a. Sumber Pendapatan Utama
Suatu jabatan dikatakan bisa memenuhi unsur profesi, salah satunya adalah,
apabila ia dilakukan karena menjadi sumber pendapatan utama bagi
pemenuhan kebutuhan hidup. Karena suatu jabatan dilihat sebagai sumber
pendapatan utama, maka orang akan melakukan sesuatu yang terbaik dan
optimal yang bisa dilakukan terhadap pekerjaan ini. Semakin baik dan
optimal sesuatu itu dilakukan maka semakin besar pula peluang peningkatan
penerimaan pendapatan. Hipotesis ini bisa menjadi masuk akal ketika
dikaitkan dengan sertifikasi guru. Bila seorang guru melakukan sesuatu
dengan baik dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi
yang seharusnya dimiliki. Selanjutnya, bila kompetensi ini telah menjadi
bagian dari apa yang menjadi kegiatannya sebagai guru, maka diperkirakan
dia akan lulus sertifikasi guru. Konsekuensi logis dari seorang guru lulus
sertifikasi adalah peningkatan penerimaan pendapatan.
b. Curahan Waktu Kerja Terbesar
Esensi dari karakteristik profesi sebagai pekerjaan utama di atas adalah
curahan waktu kerja terbesar berada pada aktivitas yang menjadi sumber
pendapatan utama. Seorang guru yang profesional, misalnya, akan
mencurahkan waktu kerja yang terbesar pada aktivitas dan kegiatan yang
berhubungan dengan profesinya sebagai guru,seperti mempersiapkan bahan
dan materi, mengoreksi latihan, dan memperdalam cara dan strategi baru
dalam mengajar, bukan pada pekerjaan yang lain. Curahan waktu kerja
terbesar ini berkait dengan karakteristik berikutnya dari profesi yaitu
keahlian dan kompetensi, sebab seperti kata pepatah, “pasar jalan karena
ditempuh, hapal kaji karena diulang”. Melalui pepatah ini, kita juga dapat
menghipotesiskan : “pasar jalan, karena ditempuh, aktivitas profesional,
karena dikompetensi”.
c. Keahlian dan Kompetensi Khusus
Suatu profesi tertentu memiliki keahlian dan kompetensi tertentu pula,
termasuk guru sebagai profesi. Keahlian seorang guru berkait dengan
kemampuannya dalam mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Adapun kompetensi dari
seorang guru profesional berhubungan dengan penguasaan materi atau
bahan ajar, perencanaan program proses belajar mengajar, pengelolaan
program belajar mengajar, penggunaan media dan sumber pembelajaran,
pelaksanaan evaluasi dan penilaian prestasi siswa, program bimbingan dan
konseling, diagnosis kesulitan belajar siswa, dan pelaksanaan administrasi
kurikulum atau administrasi guru.
d. Pendidikan dan Pelatihan Khusus
Untuk mendapatkan keahlian dan kompetensi khusus dari suatu profesi
diperlukan pula suatu pendidikan dan pelatihan khusus pula. Seorang yang
ingin menjadi apoteker, suatu profesi yang berhubungan dengan aktivitas
farmasi dan obat-obatan, maka di samping dia harus menyelesaikan
pendidikan pada sarjana strata satu (S-1) di bidang farmasi, selanjutnya dia
juga harus melanjutkan pendidikan keahlian (profesi) sebagai apoteker
selama paling kurang dua semester. Demikian pula, bila seseorang ingin
mejadi dokter, maka selain harus menyelesaikan studi S-1 pada pendidikan
kedokteran, dia juga harus mengambil pendidikan keahlian dalam bidang
medis sebagai dokter umum. Hal yang sama juga harus dilalui oleh seorang
guru. Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan strata satu yang
berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan seperti
sosiologi, sejarah, dan matematika. Setelah itu, dia harus mengikuti
pendidikan keprofesian sebagai guru di lembaga yang direkomendasikan
menurut aturan perundangan.
e. Standardisasi
Keahlian dan kompetensi memerlukan standar. Melalui standar, setiap
profesional bisa diuji atau dinilai keahlian dan kompetensi yang dimilikinya.
Pengujian dan penilaian terhadap keahlian dan kompetensi yang dimiliki
dilakukan secara periodik dan berkelanjutan, sehingga keahlian dan
kompetensi dari suatu profesi bisa terstandar. Dalam profesi guru,
standardisasi dilakukan melalui sertifikasi guru. Konsekuensi logis adanya
standardisasi keahlian dan kompetensi guru adalah adanya standardisasi
pendapatan dari guru. Adalah suatu hal yang tidak mungkin diharapkan jika
seseorang guru diminta untuk berkualitas dan berkompetensi, sementara
pendapatan yang diterimanya tidak bisa memenuhi hidup layak,
sebagaimana yang diterima oleh profesi lain. Apa yang dilakukan terhadap
guru selama ini dengan “meninabobokkan” para guru sebagai pahlawan
tanpa jasa, sebenarnya, merupakan pengalihan kesadaran objektif guru
untuk memperoleh pendapatan layak sebagai manusia yang bermartabat
secara moral dan material menjadi seorang “malaikat” yang tidak perlu
kehidupan dunia material. Bagaimana lagu Himne Guru “Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa”, yang digubah Sartono, mampu mengalihkan kesadaran objektif
para guru menjadi kesadaran palsu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa :
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti terima kasih ku ‘ntuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa.
Perulangan penyebutan pahlawan tanpa tanda jasa menyebabkan teorema
Thomas, “when men define situation as real, they are real in their
consequences” (jika orang mendefinisikan situasi sebagai suatu hal nyata,
situasi itu nyata dalam konsekuensinya) terwujud. Ketika guru
diperdengarkan Himne Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” terus-menerus
dan dinyatakan pada setiap kesempatan pertemuan dengan guru bahwa guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka apa yang dilagukan dan dinyatakan
terus menerus tersebut menjadi nyata dalam konsekuensinya. Situasi ini
berimplikasi pada sikap, perilaku, dan tindakan guru yang malu atau merasa
dipermalukan bila membicarakan reward atau penghargaan atas jasa yang
diberikannya kepada masyarakat. Karena guru harus ikhlas, sabar, dan tidak
materialis atas jasa yang telah ditunaikannya kepada masyarakat.
Konsekuensi standardisasi keahlian dan kompetensi seyogianya dibarengi
pula dengan standardisasi penerimaan atau pendapatan yang dapat dicapai
oleh seorang yang berprofesi sebagai guru. Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mengakomodasi hal ini. Selain
mendapatkan gaji pokok dan tunjangan fungsional sebagai guru, guru yang
telah lulus sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi sebanyak satu
bulan gaji pokok yang mereka miliki.
f. Organisasi dan Kode Etik Profesi
Setiap profesi memiliki organisasi dan kode etik profesi. Guru di republik
ini memiliki organisasi profesi yang bernama Persatuan guru Republik
Indonesia (PGRI). Kode etik profesi guru di Indonesia meliputi :
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhya berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai
bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses belajar mengajar.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama
terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiawanan sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan.3
3 Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm, 147-155
BAB III
KESIMPULAN
Jadi berdasarkan dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa
dengan melalui sekolah, kita akan mendapat ilmu ataupun keterampilan dimana
ilmu atau keterampilan tersebut akan digunakan di masa depan terutama dalam
pekerjaan. Semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi harapannya
memperoleh pekerjaan yang lebih baik
Mengajar dikatakan sebagai pekerjaan, apabila pekerjaan dipandang
sebagai cara pemenuhan kebutuhan hidup, ketika kebutuhan hidup telah terpenuhi,
maka pekerjaan tersebut dilakukan seadanya sepanjang apa yang dilakukan tidak
mempengaruhi perolehan pendapatan yang pada gilirannya memengaruhi
pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan mengajar sebagai profesi berarti
mengkonstruksikan jabatan sebagai guru dipandang sebagai profesi. Yaitu
kesadaran dalam melihat, memandang dan memperlakukan guru sebagai suatu
profesi dikarenakan adanya dorongan dari dalam dirinya.