Pengantar - lpmpdki.kemdikbud.go.id · PENINGKATAN HASIL BELAJAR PPKN MATERI HUKUM DAN ... Skill...

64
Volume 14 Agustus 2018 JLMP Volume 14 Halaman 1089-1145 Jakarta Agustus 2018 ISSN 1979-3820 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DJAUHARUL BAR UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE DENGAN MEDIA GAMBAR ERNI YUSNITA PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF POKOK BAHASAN PECAHAN FARIDA SORAYA PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN LITERASI SAINS GURU FISIKA INTAN IRAWATI PENINGKATAN HASIL BELAJAR PPKN MATERI HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL DENGAN METODE TS-TS (TWO STAY TWO STRAY) JUMANTA HAMDAYAMA UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI STRATEGI INKUIRI MENGGUNAKAN KOTAK AJAIB KARDIMAN MENINGKATKAN SPEAKING SKILL BAHASA INGGRIS MELALUI METODE ROLE PLAYING MAS AYU YULIANA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA KOMPETENSI DASAR GENETIKA MELALUI METODE DIRECT INSTRUCTION NGADIRAH PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI PERBANDINGAN MELALUI STRATEGI “JUTA BARBEL” OMAN NURYANI PENERAPAN STRATEGI INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS MATERI KERJASAMA DI LINGKUNGAN SEKITAR RUSMIYATI

Transcript of Pengantar - lpmpdki.kemdikbud.go.id · PENINGKATAN HASIL BELAJAR PPKN MATERI HUKUM DAN ... Skill...

Volume 14 Agustus 2018

JLMP Volume 14 Halaman1089-1145

JakartaAgustus 2018

ISSN1979-3820

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH BERBASIS AGAMADJAUHARUL BAR

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE DENGAN MEDIA GAMBARERNI YUSNITA

PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF POKOK BAHASAN PECAHAN FARIDA SORAYA

PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN LITERASI SAINS GURU FISIKAINTAN IRAWATI

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PPKN MATERI HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL DENGAN METODE TS-TS (TWO STAY TWO STRAY)JUMANTA HAMDAYAMA

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI STRATEGI INKUIRI MENGGUNAKAN KOTAK AJAIBKARDIMAN

MENINGKATKAN SPEAKING SKILL BAHASA INGGRIS MELALUI METODE ROLE PLAYING MAS AYU YULIANA

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA KOMPETENSI DASAR GENETIKA MELALUI METODE DIRECT INSTRUCTIONNGADIRAH

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI PERBANDINGAN MELALUI STRATEGI “JUTA BARBEL”OMAN NURYANI

PENERAPAN STRATEGI INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS MATERI KERJASAMA DI LINGKUNGAN SEKITARRUSMIYATI

Volume 14 Agustus 2018 hlm 1089-1145

Pengantar

Assalamu'alaikum wr. wb

Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan (JLMP) volume 14 Tahun 2018 berisi tulisan-tulisan yang merupakan hasil penelitian pendidikan diantaranya dari guru, kepala sekolah, pengawas, dosen, praktisi pendidikan, dan para fungsional khusus.

Harapan kami tulisan-tulisan ini dapat menumbuhkan motivasi bagi para peneliti khususnya pendidik dan tenaga kependidikan untuk melakukan penelitian dan mengirimkan hasilnya untuk dapat di terbitkan dalam jurnal Lingkar Mutu Pendidikan.

Naskah yang kami terima akan diseleksi kelayakannya dan akan disunting oleh tim ahli dengan sistematika penulisan yang telah ditetapkan. Naskah yang telah terbit akan memiliki kredit poin bagi para pendidik/tenaga kependidikan yang menulisnya.

Akhirnya, terima kasih untuk kita semua. Semoga dapat bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Salam Redaksi

Volume 14 Agustus 2018 hlm 1089-1145 ISSN 1979-3820

Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan

DAFTAR ISI

Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Berbasis AgamaDjauharul Bar ............................................................................................................................................................. 1089

Upaya Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi Melalui Model Pembelajaran Picture and Picture Dengan Media GambarErni Yusnita ................................................................................................................................................................. 1094

Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Untuk MeningkatkanKemampuan Berpikir Kreatif Pokok Bahasan PecahanFarida Soraya ...............................................................................................................................................................1100

Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Kemampuan Literasi Sains Guru FisikaIntan Irawati ................................................................................................................................................................ 1105

Peningkatan Hasil Belajar PPKn Materi Hukum dan Peradilan Nasional Dengan Metode TS-TS (Two Stay Two Stray)Jumanta Hamdayama ................................................................................................................................................ 1110

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Srategi Inkuiri MenggunakanKotak AjaibKardiman ........................................................................................................................................................................1117

Meningkatkan Speaking Skill Bahasa Inggris Melalui Metode Role Playing Mas Ayu Yuliana ..........................................................................................................................................................1123

Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kompetensi Dasar Genetika Melalui MetodeDirect InstructionNgadirah ........................................................................................................................................................................1129

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Materi PerbandinganMelalui Strategi “Juta Barbel”Oman Nuryani ..............................................................................................................................................................1134

Penerapan Strategi Inkuiri Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Kerjasamadi Lingkungan SekitarRusmiyati ...................................................................................................................................................................... 1140

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA

DJAUHARUL BARSDN Cipete Utara 10 Pagi

Abstract. The high level of crime in Jakarta, with underage child offenders, became a concern for all parties. Therefore, it is very important to apply character education in schools. to minister regulation of national education No. 23, 2015 regarding the character developing in the school that related to this regulation. The researcher used the quantitative method comparation between two religious elementary schools, namely, SD Muhammadiyyah 5, Jakarta and SD Tarakanita 1 Jakarta. The purpose of this research is to know deeply the impact of the character developing in the school. The researcher searched for the source data via deep interviews, observation and documentation studies. The final research of the thesis summarized where more than fifty (50) activities of good character building in Muhammadiyyah 5 elementary school, also more than thirty (30) activities in Tarakanita elementary school, accentuating religious and social aspects. The excellence of the conducted activities in both schools is based on the strength of their cultures where originated and born from their vision and mission of the schools. However, Muhamaddiyyah has been successful given the varieties of activities until they were able to follow many activities in the level of national and international, while Takaranita has very strong foundation in building character originated from Cc5 value. (Compassion; competent, conviction, creativity, community, celebration).

Keywords: Education, Character, School culture

Abstrak. Tingginya tingkat kriminalitas di Jakarta dengan pelaku anak di bawah umur membuat keprihatinan semua pihak. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memperbaiki budi pekerti siswa, salah satunya Permen Diknas No 23 tahun 2015 tentang Penumbuhaan Budi Pekerti di sekolah sebagai pedoman penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi Penumbuhan Budi Pekerti di Sekolah. Penelitian dilakukan di SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan SD Tarakanita 1 Jakarta. Metode penelitian ini adalah diskripsi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari lima puluh kegiatan penumbuhan budi pekerti di SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan tiga puluh lebih kegiatan penumbuhan budi pekerti yang ada di SD Taraknita 1 Jakarta. Kegiatan yang diadakan di kedua sekolah tersebut menekankan aspek religius dan moral sosial. Keunggulan dari kegiatan budi pekerti yang diselenggarakan di SD Muhammadiyah 5 Jakarta adalah Peraih Medali terbanyak dalam Internasional The Olimpiad of Qur’an and Technology di Jakarta 2016 dan berhasil menjadi The Best Islamic School of The Years 2015 dari Movement Award. Sedangkan SD Tarakanita 1 Jakarta memiliki keunggulan pada pondasi yang sangat kuat dalam pembentukan nilai budi pekerti yang bersumber dari nilai Cc5. (Compassion; Welas Asih, competent; kompeten, conviction; keyakinan, creativity; kreativitas, community; komunitas, celebration; perayaan).

Kata Kunci: Pendidikan, Budi Pekerti, Budaya Sekolah.

PENDAHULUAN

Pembentukan karakter (budi pekerti) seseorang merujuk pendapat Ki Hajar Dewantara itu terjadi karena perkembangan dasar yang terkena pengaruh ajar (Saptono 2011, 1).. Karakter seseorang erat sekali kaitannya dengan lingkungan sekitar, demikian halnya dengan pembentukan moral dan budi pekerti siswa sekolah pada umumnya.

Jakarta sebagai tempat berkembangnya informasi dan teknologi baik positif maupun negatif secara bebas sangat berpotensi membentuk karakter masyarakatnya. Apalagi sebuah berita menuliskan dari 50 kota yang disurvey Jakarta masuk dalam kategori kota paling tidak aman sedunia (Linggasari 2015). Data catatan kriminalitas Polda Metro Jaya juga mengatakan bahwa ada 3000 kejahatan setiap bulannya terjadi di kota Jakarta (Maharani 2015). Komisi Nasional Anak memberikan catatan tahun 2014 adanya peningkatan kriminalitas yang melibatkan anak sebagai pelakunya di tahun 2013 terjadi 780 kasus dengan 16% adalah anak di bawah umur, di tahun 2014 meningkat menjadi 1.851 kasus dengan 26% nya dilakukan oleh anak di bawah umur (Khalisotussurur 2015). Tahun 2014 Indonesian Police Watch (IPW) merilis sejumlah kejahatan

yang dilakukan anak-anak di bawah umur dalam enam bulan terakhir sepajang 2014 semakin sadis (Rahman 2014).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia terkait dengan fakta kriminalitas anak di kota besar di Indonesia menyatakan bahwa adanya rentetan peristiwa yang melibatkan anak sebagai pelaku kriminalitas lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan yang tidak bersahabat, pengaruh media, atau teman sekelilingnya (Rahman 2014). Karena itu dibutuhkan sebuah kondisi lingkungan yang mendukung dalam membentuk budi pekerti yang diharapkan. Karena lingkungan memainkan peran penting terbentuknya kepribadian seseorang. Disinilah peran agama sangat dibutuhkan dalam membentuk kepribadian seseorang.

Melihat hal tersebut dirasa penting pembahasan budi pekerti menjadi tema besar dalam penelitian ini. Untuk mengtahui sejauh mana implementasi pendidikan budi pekerti berpengaruh terhadap lingkungan yang agamis, maka peneliti memilih SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan Tarakanita 1 Jakarta sebagai objek penelitian. Alasan pemilihan kedua sekolah tersebut karena keduanya berada di wilayah yang sama dan telah menerapkan kegiatan-

1090 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

kegiatan penumbuhan budi pekerti, selain itu kedua sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah yang memiliki lingkungan yang agamis yang baik. Oleh karena itu fokus penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi budi pekerti di SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan SD Tarakanita 1 Jakarta serta keunggulan keduanya?”

Tujuan penelitian ini adalah menelaah secara praktisi pendidikan dalam implementasi pendidikan budi pekerti di sekolah dan untuk memberikan alternatif kepada para guru dan orang tua dalam pengembangan pendidikan budi pekerti.

Beberapa ahli yang menguatkan hubungan agama dan perkembangan manusia, diantaranya Halen G. Douglas yang dikutip oleh Samani dan Heriyanto, menyatakan bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. (Samani dan Hariyanto 2012, 41).

Selanjutnya tim Balai Pustaka menyatakan bahwa budi pekerti perilaku yang meliputi hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan alam sekitar (Pustaka 2012, 3). Sedangkan Valentine Dmitriev yang dikutip oleh Munif Chatib, menyatakan bahwa ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang menjadikan orang lebih pandai daripada orang lain. Faktor tersebut adalah keturunan dan lingkungan. Tidak banyak yang bisa dilakukan orangtua untuk mengubah warisan gen seorang bayi, tetapi sangat banyak yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan faktor lingkungan guna meningkatkan potensi perkembangan seorang anak (Chatib 2015).

Munif Chatib menyimpulkan bahwa apabila kondisi lingkungan seseorang kondusif dan selaras dengan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya, orang tersebut akan dengan cepat menemukan kondisi akhir terbaik akibat dipicu oleh kondisi lingkungan tersebut (Chatib 2015). Dengan demikian lingkungan sekolah menjadi tempat yang paling baik untuk mengembangkan potensi peserta didik.

Pierre Bovet yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor menyatakan agama anak-anak tidak berbeda dengan agama orang dewasa, bahkan sebagian di antara pengalaman agama seorang anak adalah asli, tidak dibentuk oleh lingkungannya (Tumanggor 2014). Selain itu beberepa terori menyatakan adanya keterhubungan kecerdasan emosional dan kecerdasan intelegensial dengan kecerdasan spiritual. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Griffiths yang dikutip oleh Yaumi bahwa kedua kecerdasan (emosional dan intelegensial) belum cukup untuk mengejar dan mempertahankan puncak kemampuan dan kesuksesan hidup manusia tanpa melibatkan kecerdasan spiritual (Yaumi 2014, 231).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipilih adalah kualitatif yang menekankan pentingnya pemahaman makna dari perilaku manusia dan konteks sosial-budaya suatu interaksi sosial (Patton 2009, 25). Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh hasil observasi, wawancara, studi dokumen yang terdiri dari foto, video, rekaman, data guru, jadwal, dan dokumen kurikulum sekolah. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis komparatif yaitu peneliti berusaha menetukan penyebab atau alasan, untuk keberadan

perbedaan perilaku atau status dalam kelompok individu (Emzir 2017, 119).

Informan atau sumber data dalam penelitian ini adalah: kepala sekolah, kepala bagian kurikulum, dan koordinator kegiatan agama baik dari SD Muhammadiyah 5 Jakarta maupun SD kepala sekolah SD Tarakanita 1 Jakarta. Untuk mengecek keabsahan data, peneliti mewawancarai siswa dan siswi, staff dan karyawan, serta orangtua perwalian kelas dari masing-masing sekolah. Waktu penelitian antara Oktober 2016 s/d Maret 2017 bertempat di SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan Tarakanita 1 Jakarta.

Kegiatan dalam mencari keabsahan data dilakukan pertama dengan menyusun panduan observasi, mencatat bagian mana saja yang menyangkut penelitian dan menafsirkan beberapa kejadian yang ditemukan. Kemudian, mewawancarai beberapa informan dan beberapa hasil observasi sebelumnya dan mengaitkannya dengan materi. Setelah itu beberapa hasil observasi, wawancara diolah bersamaan dengan beberapa dokumen yang dibutuhkan seperti buku, foto kegiatan, dan beberapa dokumen penting sekolah, seperti jadwal kegiatan yang akan dan telah terselenggara di sekolah. Setelah dilakukan pengumpulan data, maka data diolah dari kedua sekolah yang menjadi tempat penelitian. Implementasi Pendidikan karakter budi pekerti dijelaskan menggunakan peraturan yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Penumbuhan Pendidikan Budi Pekerti dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dengan menggunakan istilah Penumbuhan Budi Pekerti. Pelaksanaan Penumbuhan Budi Pekerti didasarkan pada nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan yang meliputi pembiasaan untuk menumbuhkan.

Pertama, internalisasi sikap moral dan spiritual, yaitu mampu menghayati hubungan spiritual dengan Sang Pencipta yang diwujudkan dengan sikap moral untuk menghormati sesama mahluk hidup dan alam sekitar. Kedua, keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan bangsa, yaitu mampu terbuka terhadap perbedaan bahasa, suku bangsa, agama, dan golongan, dipersatukan oleh keterhubungan untuk mewujudkan tindakan bersama sebagai satu bangsa, satu tanah air dan berbahasa bersama bahasa Indonesia. Ketiga, interaksi sosial positif antara peserta didik dengan figur orang dewasa di lingkungan sekolah dan rumah, yaitu mampu dan mau menghormati guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, warga masyarakat di lingkungan sekolah, dan orangtua; keempat, interaksi sosial positif antar peserta didik, yaitu kepedulian terhadap kondisi fisik dan psikologis antar teman sebaya, adik kelas, dan kakak kelas; kelima, memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong untuk menjaga keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan sekolah. Keenam, penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk dikembangkan, yaitu mendorong peserta didik gemar membaca dan mengembangkan minat yang sesuai dengan potensi bakatnya untuk memperluas cakrawala kehidupan di dalam mengembangkan dirinya sendiri. Ketujuh, penguatan peran orangtua dan unsur masyarakat yang terkait, yaitu melibatkan peran aktif orangtua dan unsur masyarakat untuk

1091

ikut bertanggung jawab mengawal kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah.

Dari hasil obeservasi yang dilakukan ditemukan beberapa hasil sebagai berikut yaitu; Diperoleh 56 kegiatan yang diselenggarakan oleh SD Muhammadiyah 5 Jakarta yang sesuai dengan Permendikbud no 23 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti di Sekolah. kegiatan pengembangan nilai spiritual dan moral menjadi kegiatan yang paling banyak diselenggarakan. Kegiatan penumbuhan nilai spiritual dan moral tersebut banyak diselenggarakan melalui ritual ibadah, seperti membaca al-Qur’an, shalat berjama’ah, dan kegiatan-kegiatan Hari Besar Islan seperti Muharram, bulan Ramadahan, dan Isra Mi’raj. Pengembangan nilai moral di sekolah ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan sosial, misalnya beras jimpit, bakti sosial ramadhan, dan menyambut kedatangan teman di gerbang sekolah.

Selanjutnya, terdapat 36 kegiatan pengembangan nilai budi pekerti yang sesuai dengan Permendikbud no 23 2015. adanya dominasi yang kuat dalam penumbuh kembangan nilai spiritual dan moral juga adanya pengembangan Pendidikan Karater Tarakanita melalui istilah Cc5 (Compassion; Welas Asih, competent; kompeten, conviction; keyakinan, creativity; kreativitas, community; komunitas, celebration; perayaan). Cc5 merupakan karakter sekolah dalam mengembangankan beragam kegiatan yang diselenggarakan. Terlebih materi-materi Cc5 dimasukkan dalam jam belajar wajib bagi peserta didik.

Dari hasil analisis yang dilakukan maka penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa Sekolah Dasar Muhammadiyah 5 Jakarta dan Sekolah Dasar Tarakanita 1 Jakarta memiliki banyak persamaan. Pertama, dari segi

latar belakang pendirian, baik SD Muhammadiyah 5 dan SD tarakanita 1 sama-sama berada di bawah dua organisasi besar di belakangnya yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi Islam sedangkan Tarakanita merupakan organisasi Katolik. Kedua institusi tersebut memiliki misi yang sama yaitu mengembangkan pendidikan berdasarkan nilai-nilai agama, Muhammadiyah berdasar pada Al-Qur’an dan Hadis sedangkan Tarakanita berdasar pada nilai Al-Kitab, kedua institusi tersebut juga terilhami oleh semangat pendidikan masing-masing tokoh, pendidikan Muhammadiyah diilhami oleh KH Ahmad Dahlan sedangkan pendidikan Tarakanita diilhami oleh Carolus Borromeus dan Bunda Elisabeth Gruyters, yaitu semangat untuk membangun pendidikan yang bukan sekedar cerdas secara kognitif namun juga berkarakter utuh. Kedua, dari segi pengamalan ajaran. Sekolah Muhammadiyah dan Tarakanita adalah kedua sekolah yang sangat jelas afiliasi model keagamaannya, peneliti melihat bahwa kedua sekolah ini memiliki nilai-nilai ajaran kitab suci yang sangat kental. Ini bisa dilihat dari tujuh kategori Penumbuhan Budi Pekerti yang dilaksanakan di sekolah bahwa kesemuanya memiliki landasan dan dasar dalam kitab suci mereka masing-masing. Ketiga, dari segi pengembangan budi pekerti berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2015 bahwa Sekolah Dasar Muhammadiyah 5 Jakarta dan Sekolah Dasar Tarakanita 1 Jakarta memiliki kesamaan yaitu sama-sama dominan dalam penyelenggarana kegiatan yang bersifat pendidikan moral dan spiritual, karena dari sekian banyak kegiatan di sekolah hampir setengahnya adalah kegiatan moral dan agama. Kegiatan agama itu misalnya ritual keagamaan (membaca doa dan ibadah wajib lainnya) dan Peringatan Hari-Hari Besar Agama (Muharram, Isra Mi’raj, Maulid, Idul Adha, dan Ramadhan juga Natalan), Tahun Baru Masehi, Misa, Kenaikan Isa al-Masih dll). Kemudian dalam bentuk pengembangan nilai moral di sekolah juga memiliki kesamaan bahwa kedua sekolah ini sama-sama mengedepankan nilai-nilai kepedulian sosial terhadap sesama. Muhammadiyah dan Tarakanita adalah dua organisasi yang sangat peduli dengan keadaan sosial di sekitarnya, ini bisa dilihat misalnya ada program Beras Jimpit di Sekolah Muhammadiyah dan Koin Carolus di sekolah Tarakanita, juga banyak kegiatan bakti sosial lainnya yang diselanggarakan berbarengan dengan penyelenggaraan Hari-Hari Besar Agama mereka. Peneliti melihat dari poin yang ketiga ini bahwa dominasi kegiatan penumbuhan nilai moral dan spiritual dari kegiatan lain disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai regulasi Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti di sekolah-sekolah, sehingga terjadi ketidak sepadanan jumlah kegiatan satu dengan yang lain. Selain itu, peneliti juga melihat bahwa dominasi kegiatan pengembangan nilai moral dan spiritual di kedua sekolah tersebut mengindikasikan bahwa selama ini kegiatan penumbuhan budi pekerti hanya diartikan sebagai kegiatan keagamaan dan sosial saja, dan mengenyampingkan kandungan-kandungan lain dari budi pekerti.

Perbedaan yang mendasar dalam proses gerakan penumbuhkembangan budi pekerti antara sekolah Dasar Muhammadiyah 5 Jakarta dan Sekolah Dasar Tarakanita 1 Jakarta terdapat pada; pertama poin pengembangan moral dan spiritual, peneliti melihat bahwa kedua sekolah ini berbeda cara pengembangan, SD Muhammadiyah 5 Jakarta lebih mengedepankan kegiatan pengembangan tersebut dengan program yang bersifat formal yaitu lebih

Djauharul, Implementasi pendidikan budi pekerti di sekolah berbasis agama

Gambar 1. Budaya Sekolah SD Muhammadiyah 5 Jakarta

Gambar2. Bentuk penerapan nilai Compassion di SD Tarakanita 1

1092 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

mengedepankan aspek ritual ibadah, seperti shalat duha, berjamaah, doa bersama, membaca dan menghafal al-Qur’an, dan puasa. Sedangkan SD Tarakanita 1 Jakarta dalam mengembangkan nilai moral dan spiritual lebih mengedepankan norma, misalnya bagaimana cara di ruang guru, bertemu dengan guru dan menghormati tamu. Kedua, pada poin keempat yaitu pengembangan interaksi positif antar peserta didik juga terdapat perbedaan, dimana SD Muhammadiyah 5 Jakarta punya banyak cara untuk melatih interaksi positif antar peserta didik. Misalnya lewat kegiatan penyambutan siswa di pagi hari, di mana yang terlibat dalam penyambutan juga para siswa dari berbagai kelas, acara Car Free Day bersama Kepala Sekolah dan peserta didik dari berbagai kelas, dan kegiatan Pentas Seni, dimana peserta didik kelas VI diberi tangung jawab menjadi panitia yang mengawasi dan mengarahkan adik-adik kelas yang akan pentas. Di sisi lain, SD Trakanita 1 Jakarta mengembangkan interaksi positif dengan cara biasa dan pada umumnya, seperti kegiatan ekstrakulikuler dan cerdas cermat. Namun, untuk interaksi antar guru SD Tarakanita 1 Jakarta memaksimalkannya dalam kegiatan penutup atau brifing sore antara kepala sekolah dan dewan guru, kegiatan tersebut dibuat untuk mencari temuan-temuan yang kurang dalam kegiatan belajar mengejar sehari-hari.

Implementasi budi pekerti di SD Muhammadiyah 5 dan Tarakanita 1 menghasilkan keunggulan dan peluang kedua sekolah. SD Muhammadiyah 5 Jakarta memiliki keunggulan dari jumlah kegiatan dan pengembangan kegiatan yang dilaksanakan selama ini. Kegiatan itu misalnya, mengadakan kunjungan belajar ke berbagai tempat bersejarah seperti Museum Tekstil dan Tugu Proklamasi, kunjungan ke lembaga negara seperti kunjungan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perusahaan Listrik Nasional (PLN), melakukan eksperimen sederhana di ekskul Sanggar IPA dan Matematika, mengadakan latihan kemandirian lewat kegiatan Hizbul Wathan dan Pertukaran Pelajar, mengadakan kegiatan kaderisasi di bidang agama baik, dai cilik, tahfiz, maupun qiroat, dan terakhir mengikuti lomba nasional sampai internasional. Kegiatan yang menarik bagi peserta didik tersebut membuat sekolah ini memiliki banyak sekali prestasi yang telah diraih, terakhir misalnya prestasi sekolah di tahun 2015 sebagai Peraih Sekolah Islam terbaik dari Indonesia Movement Award dan beberapa prestasi akdemik lainnya baik nasional maupun internasional. Banyaknya kegiatan di sekolah Muhammadiyah 5 Jakarta membuka peluang yang sangat lebar bagi para peserta didik dalam

mengembangkan dirinya, baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Peluang jangka pendeknya misalnya dengan semakin banyaknya program unggulan yang sangat edukatif akan semakin cepat membentuk jati diri yang utuh dan karakter yang kuat dalam setiap diri peserta didik. Peluang jangka panjangnya bahwa konsintensi pengembangan potensi peserta didik akan semakin membentuk kuatnya kultur kompetitif di dalam sekolah sehingga membuka kemungkinan besar bagi sekolah ini untuk bersaing di level nasional maupun internasional.

Sekolah Dasar Tarakanita 1 Jakarta memiliki keunggulan dari segi pamanfaatan isu-isu yang berkembang di masyarakat menjadi kegiatan yang sangat bermanfaat bagi peserta didik, misalnya ketika negara sedang sibuk dengan Tax Amnesti, Sekolah Tarakanita 1 Jakarta justru menangkap hal tersebut sebagai peluang pengembangan dalam pendidikan di sekolah. Guru, karyawan, dan orangtua murid didorong untuk ikut serta dalam program pemerintah. Sama halnya dengan kegiatan di Hari Pangan Sedunia, sekolah merespon hal tersebut dengan memberikan kegiatan edukasi makanan sehat kepada peserta didik. Selain dua hal terebut, sekolah ini sebenarnya diuntungkan dengan sudah terbentuknya kultur sekolah yang baik, ini ditandai dengan adanya sosialisasi program Cc5 (Compassion; Welas Asih, competent; kompeten, conviction; keyakinan, creativity; kreativitas, community; komunitas, celebration; perayaan). kepada seluruh warga sekolah, baik guru maupun karyawan termasuk di dalamnya satpam, pengurus kantin dan penjaga sekolah. Melihat hal tersebut, SD Tarakanita 1 Jakarta memiliki peluang jangka panjang dan jangka pendek yang sangat bagus kedepannya. Peluang jangka pendeknya yaitu dengan baiknya respon sekolah terhadap isu yang berkembang di masyarakat menjadi kegiatan yang edukatif, maka akan semakin cepat menumbuhkan karakter kepedulian yang tinggi dan membuka cakrawala peserta didik untuk mencari jalan keluar atau memecahkan masalah dari apa yang dihadapi di tengah masyarakat serta membuka peluang bagi peningkatan partisipasi masarakat pada situasi nasional. Keterlibatan sekolah dalam masalah kemasyarakatan akan memberikan peluang jangka panjang bagi sekolah dan peserta didik untuk bisa berkontribusi secara aktif dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah untuk dapat bertindak secara benar.

Kelemahan dan Tantangan kedua sekolah tersebut. Menurut peneliti, baik SD Muhammadiyah 5 Jakarta atau SD Tarakanita 1 Jakarta hampir memiliki kelemahan yang sama. Bila merujuk pada standar gerakan penumbuhan budi pekerti, kedua sekolah ini memiliki kelemahan dalam pengembangan kegiatan merawat diri dan lingkungan. Dalam hal pengembangan kegiatan merawat diri dan lingkungan sekolah, baik SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan SD Tarakanita 1 Jakarta belum bisa menyelenggarakan kegiatan yang bersifat proteksi sejak dini kepada peserta didik tentang hal-hal yang membahayakan dirinya dan masa depannya, misalnya yang paling ringan adalah bahaya rokok bagi kesehatan, atau yang sama lebih membahayakan lagi adalah penyalahgunaan obat terlarang dan minuman keras. Belum lagi masalah globalisasi dan pengunaan alat elektronik seperti Handphone dan penggunaan internet lainnya. Sekolah Dasar Muhammadiyah 5 Jakarta dan Sekolah Dasar Tarakanita 1 Jakarta bisa lebih memberikan edukasi merawat diri dari beberapa pencegahan penyalahgunaan

Gambar 3. SD Muhammadiyah 5 mendapat Penghargaan sebagai The Best Islamic Elemntary School of The Year 2015

1093

internet, dan etika berteman di dunia maya. Peneliti melihat ini sebagai tantangan bagi sekolah kedepannya, karena semakin kedepan tantangan-tantangan tersebut harus segera direspon dengan cepat dan bijaksana oleh pihak sekolah. Khusus untuk SD Muhammadiyah 5 Jakarta hanya sedikit kelemahan yang sebenarnya bila ditingkatkan sekolah mampu menjadi sekolah model bagi sekolah-sekolah lain, yaitu pembentukan budaya sekolah. Visi dan misi sekolah yaitu Unggul dalam Prestasi dan Anggun dalam Budi Pekerti, kurang disosialisasikan dan dipraktekkan pada tingkat yang paling bawah. Padahal pembentukan visi dan misi akan sangat baik berjalan bila disosialisasikan standar-standarnya kepada semua warga sekolah, baik itu satpam, penjaga kantin, dan petugas kebersihan. Dan ini tidak menutup kemungkinan juga sama dialami oleh banyak sekolah termasuk SD Tarakanita 1 Jakarta.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian penumbuhkembangan nilai budi pekerti yang merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2015, menyimpulkan bahwa kegiatan penumbuhan budi pekerti di SD Muhammdiyah 5 Jakarta memberikan dampak yang baik bagi prestasi peserta didik, dengan

mendapat penghargaan sekolah Islam terbaik di tahun 2015 dan peraih medali terbanyak di Internasional The Olimpiade of Qur’an and Technology di Jakarta 2016. Sedangkan SD Tarakanita 1 Jakarta berhasil membentuk budaya sekolah dengan pondasi yang sangat kuat dalam pembentukan nilai budi pekerti yang bersumber dari nilai Cc5. (Compassion; Welas Asih, competent; kompeten, conviction; keyakinan, creativity; kreativitas, community; komunitas, celebration; perayaan).

Penelitian ini merekomendasikan; pertama, kepada seluruh pemerhati dunia pendidikan untuk ikut membantu mengkampanyekan kegiatan-kegiatan penumbuhan budi pekerti di lingkungan masing-masing. Kedua, kepada SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan SD Tarakanita 1 Jakarta agar berkomitmen untuk melanjutkan secara terus menerus dalam meningkatkan budi pekerti di sekolah, terutama menumbuhkan budaya sekolah yang kuat. Khusus untuk civitas SD Muhammadiyah 5 Jakarta sangat disarankan untuk membuat akronim atau singkatan sebagai pusat keunggulan dalam mengedepankan nilai-naiali budi pekerti sebagaimana yang dilakukan oleh SD Tarakanita 1 Jakarta yang menggunakan Cc5 (Compassion; Welas Asih, competent; kompeten, conviction; keyakinan, creativity; kreativitas, community; komunitas, celebration; perayaan). sebagai akronim penumbuhan nilai budi pekerti bagi seluruh yayasan pendidikan Tarakanita, bahkan jika perlu mencontoh praktek pendidikan karakter yang diajarkan khusus dua jam pelajaran di dalam kelas. Kedua sekolah memiliki keunggulan masing-masing dan memiliki ciri masing-masing, dan berharap keduanya mampu bersaing dan menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain dalam penumbuhan budi pekerti, sekaligus mampu berperan aktif dalam memperbaiki budi pekeri di dunia pendidikan nasional. Ketiga, kepada masyarakat umum, agar berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang berbudi pekerti dengan cara mengadakan kegiatan-kegiatan positif bagi para pelajar, karena sumber permasalahan moral terbesar ada pada lingkungan masyarakat.

Gambar 4. Grafik Jumlah kegiatan implementasi budi pekerti di SD Muhammadiyah 5 dan SD Taraknita 1

PUSTAKA ACUAN

Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelegences di Indonesia. Bandung: Penerbit Kaifa, 2015.

Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017.

Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

Khalisotussurur, Lilis. Kasus Kriminalitas Anak Meningkat pada 2014. 1 January 2015. http://www.gresnews.com/berita/sosial/93415-kasus-kriminalitas-anak-meningkat-pada-2014/ (diakses January 22, 2018).

Linggasari, Yahannie. Jakarta Masuk Kota Paling Tidak Aman. 29 January 2015. https://www.cnnindonesia.com (diakses January 21, 2018).

Maharani, Esthi. “Setiap Bulan Terjadi 3000 Kejahatan.” Republika. 29 November 2015. https://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/15/11/29/nyk9ot335-setiap-bulan-3000-kejahatan-terjadi-di-jakarta (diakses Januari 21, 2018).

Patton, Michael Quinn. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009.

Pustaka, Tim Balai. Budi Pekerti. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2012.Rahman, Ainur. Anak Terlibat Kriminalitas karena Terinspirasi Lingkungan

Tak Ramah Anak. 10 Oktober 2014. http://www.gresnews.com/berita/hukum/90581-anak-terlibat-kriminalitas-karena-terinspirasi-lingkungan-tak-ramah-anak/ (diakses January 22, 2018).

Samani, Muchlas, dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

Saptono. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2011.

Tumanggor, Rusmin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Penerbit Kencana, 2014.Yaumi, Muhammad. Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Jakarta:

PT Dian Rakyat, 2014.

Djauharul, Implementasi pendidikan budi pekerti di sekolah berbasis agama

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE DENGAN MEDIA GAMBAR

ERNI YUSNITASMP Negeri 11 Tangerang Selatan

Abstract. Conventional learning used by teachers tends to make students become very passive and less understand the lesson.Picture and picture learning model as one of the cooperative learning models aims to encourage students to be creative. This research was conducted with the aim to prove whether the picture and picture learning model can improve student learning outcomes in learning to write poetry. The research model uses the Kemmis and McTaggart model which consists of 4 steps in 2 cycles. The picture and picture learning model as one of the cooperative learning models aims to make students create their own poetry and have more concepts to master so that learning outcomes increase. The learning outcomes of students in the first cycle of scores above the KKM were 65 children (70%). In the second cycle the teaching and learning process runs better so that the evaluation results increase, namely the average learning outcomes of 72.8 and students who achieve the above grades of KKM are (80.%). This model can improve the learning outcomes of Bahasa Indonesian subject, for that reason, in learning students get scores above the KKM.

Keywords: picture at picture, media images, learning outcomes, poetry

Abstrak. Pembelajaran konvensional yang digunakan guru cenderung membuat peserta didik menjadi sangat pasif dan kurang memahami pelajaran. Dampak dari hal ini adalah menurunnya prestasi belajar peserta didik sedangkan keberhasilan suatu proses pembelajaran ditandai oleh pemahaman materi ajar yang diberikan dan hasil belajar peserta didik. Model pembelajaran picture and picture sebagai salah satu model pembelajaran kooperatif bertujuan agar peserta mendorong minat siswa untuk berkreasi. Penelitian ini dilkukan dengan tujuan untuk membuktikan apakah model pembelajaran picture and picture dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam mempelajari menulis puisi. Model penelitian menggunakan model Kemmis dan McTaggart yang terdiri dari 4 langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Setelah dilakukan evaluasi diperoleh hasil belajar siklus 1 rata-rata 70. Model pembelajaran picture and picture sebagai salah satu model pembelajaran kooperatif ,bertujuan agar peserta didik membuat puisi sendiri dan lebih memiliki konsep yang harus dikuasainya sehingga hasil belajar lebih meningkat. Hasil belajar peserta didik pada siklus I nilai di atas KKM sebanyak 65 anak (70%). Pada siklus kedua proses belajar mengajar berjalan dengan lebih baik sehingga hasil evaluasi mengalami kenaikan yaitu rata-rata hasil belajar 72,8. dan peserta didik yang mencapai nilai di atas KKM berjumlah (80.%). Hal ini membuktikan bahwa model pembelajaran picture and picture dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia karena dalam pembelajaran siswa mendapatkan nilai di atas KKM pada siklus II mengalami kenaikan dibandingkan pada siklus II.

Katakunci: picture at picture, media gambar, hasil belajar, puisi

PENDAHULUAN

Pendidikan yang bermutu diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Peningkatan mutu manusia Indonesia dilakukan agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global dunia yang semakin maju. Kurikulum 2013 menjawab tantangan dunia pendidikan untuk bersaing dalam era digital. Kurikulum 2013 yang direvisi pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di jenjang SMP/MTs kelas VIII memuat kompetensi dasar empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara,dan menulis.

Salah satu keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menulis termasuk di dalamnya kompetensi dasar menulis puisi. Keterampilan menulis puisi merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa SMP/MTs. Keterampilan menulis saja sudah sulit dilakukan siswa, apalagi keterampilan menulis yang menuntut kemampuan untuk mengolah rasa yaitu menulis puisi. Hal itu terjadi juga di SMPN 11 Tangerang Selatan. Siswa belum mampu mengolah

kata dalam menulis puisi, terlihat dari hasil pekerjaan siswa dalam menulis puisi. Minimnya keterampilan menulis puisi, disebabkan oleh kemampuan dalam mengolah kata. Selain itu, siswa kurang memiliki minat untuk membaca, siswa tidak tertarik dalam pelajaran bahasa Indonesia khususnya menulis puisi. Banyak faktor penyebab kurangnya minat siswa untuk menulis puisi salah satunya karena cara penyampaian guru yang kurang menarik dan proses pembelajarannya monoton. Sebagian siswa berasumsi demikian, namun menulis puisi perlu latihan dan pengajaran bukan semata-mata bakat sejak lahir.

Beberapa permasalahan yang penulis temukan dalam pembelajaran di SMPN 11 Tangerang Selatan antara lain terdapat beberapa siswa yang merasa kesulitan dalam menulis puisi. Hal ini disebabkan karena siswa kurang berpengalaman, kurang memiliki minat untuk membaca sehingga daya imajinasinya menjadi berkurang. Selain itu, kelemahan lain terletak pada cara, metode, atau media yang

1095

digunakan guru dalam proses pembelajaran masih kurang maksimal. Berhasil tidaknya pem-belajaran bahasa Indonesia khususnya untuk mencapai keberhasilan pelajaran menulis ditunjang beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu metode, teknik, dan media pembelajaran yang digunakan.

Latar belakang yang dikemukakan tersebutlah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan mengubah paradigma bahwa menulis puisi harus ada bakat dengan menggunakan model pembelajaran picture and picture. Penggunaan model pembelajaran ini dapat mengubah paradigma tersebut karena model ini memberikan suasana dan rasa yang berbeda dalam pembelajaran. Selain itu penulis kuga menggunkan media gambar untuk merangsang imajinasi peserta didik ketika menulis puisi.

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan adalah: “Apakah model pembelajaran picture and picture dengan media dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi?”

Tujuan penulisan laporan penelitian ini adalah meningkatkan hasil keterampilan menulis melalui model pembelajaran picture and picture dan media gambar. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut: bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian ini, guru memiliki kemampuan untuk menggunakan media gambar dalam menulis puisi. Guru dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya yang sangat berpusat pada siswa. Bagi siswa penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menulis puisi, bukan suatu hal yang mem-bosankan, melainkan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Bagi sekolah: penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran pada khususnya dan sekolah pada umumnya.

Penggunaan media pembelajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam pelajaran menulis puisi karena media pembelajaran digunakan dalam upaya meningkatkan atau mempertinggi mutu proses kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media gambar dalam proses pembelajaran menulis puisi, diharapkan siswa merasa senang dan tertarik untuk mempelajarinya. Selanjutnya ditambah lagi guru sudah menyediakan gambar sehingga imajinasi siswa berkembang, walau ketika menuliskan apersepsi melalui gambar ke dalam karya tulisnya masih sangat kurang.

Menulis merupakan kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan. Puisi yang dihasilkan biasanya merupakan ekspresi dari hati. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. (Setiyaningsih, 2015:12). Sebagai suatu keterampilan, menulis memang harus melalui proses belajar dan berlatih. Semakin sering belajar dan berlatih, tentu siswa akan semakin cepat terampil. Seseorang yang sudah biasa menuliskan sebuah ide, gagasan, pendapat, atau perasaannya, dia tidak akan mengalami kesulitan yang berarti ketika harus menulis. Berbeda halnya jika seseorang jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah membuat sebuah karya tulis. Tentunya orang tersebut akan mengalami banyak kesulitan ketika diminta menuliskan sesuatu. (Maharani, 2012: 1-2)

Seorang penyair dan pengarang pemula sebaiknya aktif menyampaikan pendapat dan pandangan dalam diskusi-diskusi sastra baik yang diadakan di sekolah maupun di luar sekolah. Ketiga, aktif mendokumentasikan karya sendiri maupun karya-karya penyair lain. Kegiatan ini

secara tidak langsung dapat menunjang ketajaman dalam berimajinasi, sebab seorang dokumentator pasti membaca terlebih dahulu karya-karya yang didokumen-tasikan. Keempat, mendekatkan diri pada sang Khalik. Dengan Selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa seorang penyair dan pengarang pemula akan memperoleh pengalaman batiniah.

Ada anggapan sebagian orang bahwa menulis puisi itu sebagai bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga tidak setiap orang dapat menulis puisi. Tanpa bakat bila seseorang rajin belajar dan giat berlatih, ia akan terampil dalam menulis puisi. Berdasarkan pendapat tersebut, menulis puisi termasuk jenis keterampilan, seperti halnya jenis keterampilan lainnya, pemerolehannya harus melalui belajar dan berlatih, semakin sering belajar dan semakin giat berlatih, tentu semakin cepat terampil.

Puisi adalah sebuah karya yang lahir dari hati. Oleh karena itu kegiatan menulis puisi merupakan hal yang sangat pribadi dan termasuk salah satu jenis tulisan pribadi. Bentuk-bentuk tulisan pribadi ini antara lain sebagai berikut: (1) buku harian; (2) catatan harian, jurnal; (3) cerita tidak resmi; (4) surat; dan (5) puisi. Bentuk ekspresi menyangkut ciri visual puisi. Bagaimana kita menulis puisi, dalam arti menata hurufnya secara grafis. Puisi secara visual dibentuk oleh larik dan bait. Pada umumnya satu bait mengandung satu pokok pikiran. Fungsi bait tak jauh berbeda dengan fungsi paragraf dalam karya paparan. Satu bait dapat terdiri atas satu larik atau lebih. Proses penciptaan puisi terdapat pelbagai sikap penyair dalam menghadapi realitas sebagai bahan; pertama, penyair sebatas merekam peristiwa atau fenomena alam; kedua, penyair memakai realitas sebagai media untuk mengungkapkan gagasan atau perasaan tertentu; ketiga gagasan diungkapkan oleh penyair secara terbuka, dan keempat, gagasan atau realitas diungkapkan dengan mendayagunakan potensi bahasa yang unik dan menarik.

Adapun langkah-langkah menulis puisi sebagaimana yang dikemukakan Setiyaningsih (2015:12) bahwa ketika menulis puisi, langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) Menentukan tema puisi; (2) Menuliskan apa yang ada dalam hati sejelas mungkin sesuai dengan tema yang dipilih; (3) Mengembangkan pilihan kata yang sudah dipilih ke dalam larik-larik beraturan; (4) Menyusun larik-larik puisi menjadi bait dengan memperhatikan rima atau persamaan bunyi; (5) Memberi judul puisi yang dibuat.

Penggunaan media yang sesuai akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi keberhasilan proses belajar mengajar. Secara lebih khusus, pengertian media adalah dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat, grafis, photografis atau elektroniks untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual maupun verbal (Alamsyah, 2015).

Sadiman dkk, (2011: 28-29) mengatakan bahwa media gambar sebagaimana halnya media yang lain. Media untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampian pesan dapat berhasil dan efisien.

Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud media gambar

Yusnita, Upaya meningkatkan keterampilan menulis puisi ....

1096 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

dalam penelitian ini adalah salah satu alternatif untuk memudahkan dan menunjang siswa dalam menulis puisi. Selanjutnya dengan perlakuan ini siswa akan merasa senang dan mudah karena adanya kemampuan imajinatif yang baru setelah melihat media gambar.

Kelebihan media gambar menurut Daryanto (2011:100) adalah sebagai berikut: 1) Mudah dimanfaatkan di dalam kegiatan belajar mengajar karena praktis tanpa memerlukan perlengkapan apa-apa; 2) Harganya relatif murah dari pada jenis-jenis media pengajaran lainnya; 3) Gambar dapat dipergunakan dalam banyak hal, untuk berbagai jenjang pengajaran dan berbagai disiplin ilmu; dan 4) Gambar dapat menerjemahkan konsep atau gagasan yang abstrak menjadi realistik;

Sedangkan kekurangan media gambar menurut Daryanto (2011:101) antara lain: 1) Beberapa gambarnya sudah cukup memadai tetapi tidak cukup besar ukurannya jika digunakan untuk tujuan pengajaran kelompok besar, kecuali jika diproyeksikan melalui projector; 2) Gambar adalah berdimensi dua sehingga sukar untuk melukiskan bentuk sebenarnya yang berdimensi tiga; dan 3) Gambar tetap tidak memperlihatkan gerak seperti halnya gambar hidup.

Model pembelajaran kooperatif picture and picture adalah model pembelajaran yang ditekankan pada gambar yang diurutkan menjadi urutan yang logis, mengembangkan interaksi antar siswa yang saling asa, silih asih dan silih asuh ( Arifin 2014, 18). Pembelajaran ini memiliki ciri, aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Picture and picture adalah suatu model pembelajaran dengan menggunakan media gambar, dalam operasionalnya gambar dipasangkan satu sama lain atau diurutkan menjadi urutan yang logis ( S. Nurullailiyah 2013).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMP 11 Tangerang Selatan, pada ajaran 2016-2017 dimulai dari Februari sampai Maret 2017, jumlah siswa VIII-2 34 orang. Faktor yang diteliti dalam penelitian tindakan kelas sebagai berikut: Faktor siswa, kemampuan menulis puisi tentang alam dengan media gambar disamping itu kepekaannya dan sikapnya terhadap kemampuan menulis surat puisi khususnya dan sastra pada umumnya. Faktor guru, cara guru merencanaan pembelajaran serta bagaimana pelaksanaannya di kelas. Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma kualitatif, berangkat dari permasalahan pembelajaran di kelas, ditindak lanjuti dengan penerapan suatu tindakan pembelajaran kemudian direfleksi, dianalisis dan dilakukan penerapan kembali pada siklus berikutnya, setelah dilaksanakan revisi berdasarkan temuan saat refleksi.

Penelitian ini dilaksanakan melalui 2 siklus yang ditempuh dengan prosedur sebagai berikut: Tahap Perencanaan: 1) menyusun silabus dan rencana pembelajaran menulis puisi dengan media gambar; 2) merancang skenario pembelajaran menulis puisi dengan media gambar; dan 3) membantu siswa mempersiapkan gambar yang dikelompokkan menjadi beberapa tema (Keindahan Alam).

Tahap Pelaksanaan: tahap ini dilakukan dalam pembelajaran satu siklus terdiri dari 3 kali pertemuan setiap pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 40 menit; 1) Guru menyajikan media gambar; 2) menjelaskannya terlebih

dahulu kepada siswa sebagai contoh; 3) siswa diminta untuk mengamati dan memahami gambar pilihannya; dan 4) siswa diminta untuk menuliskan puisi tentang keindahan alam dalam gambar tersebut dengan teknik kekaguman dan teknik foto berita/ foto media dengan bantuan gambar dan imajinasi tentang keindahan alam.

Tahap observasi dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran, yang diarahkan pada poin-poin pedoman yang telah disiapkan peneliti.

Tahap Refleksi, analisis dilakukan terhadap proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil tersebut akan diperoleh kesimpulan, fase mana yang perlu diperbaiki dan fase mana yang telah memenuhi target. Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah: a) Mengevaluasi hasil observas; b) Menganalisis hasil pembelajaran; dan c) Menyusun laporan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancara, dan tes. Penelitian ini, proses pembelajaran berhasil bila terdapat setidaknya 75% siswa menunjukkan perhatian dan konsentrasi selama apersepsi dan penyampaian materi, aktif selama pembelajaran berlangsung, dan mandiri dalam mengerjakan tugas menulis puisi, sedangkan keterampilan menulis puisi siswa diukur dari hasil puisi karya siswa yang telah memenuhi unsur-unsur tema, peristiwa, dan menyusun larik-larik puisi, dengan perolehan nilai minimal 70 sesuai KKM mata pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas VIII-2 SMP Negeri 11 Tangerang Selatan.

Adapun Indikator/ kriteria penilaian puisi siswa adalah sebagai berikut: 1) kesesuaian pilihan kata dengan tema puisi; 2) kesesuaian pilihan kata dengan peristiwa; dan 3) kesesuaian pilihan kata dalam larik-larik puisi.

Ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai tinjauan pustaka, diantaranya adalah Yuliyanto (2009) melakukan penelitian tindakan kelas mengenai penggunaan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan Media Gambar Karikatur melalui Teknik Pancingan Kata Kunci Siswa Kelas VIII -2 SMP Negeri 11 Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2016/2017. Simpulan penelitian ini adalah keterampilan menulis puisi siswa kelas VIII-2 SMP Negeri 11 Tangerang Selatan meningkat setelah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media gambar karikatur melalui teknik pancingan kata kunci dan hasilnya terjadi perubahan perilaku siswa ke arah positif. Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti keterampilan menulis puisi. Hanya saja penggunaan media pembelajaran yang digunakan peneliti lebih spesifik, yaitu media gambar pemandangan alam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu peneliti melakukan survey awal/ pratindakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran di Kelas VIII-2. Selain itu, survey awal juga dilakukan untuk mencari informasi dan menemukan berbagai kendala yang dihadapi sekolah dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Wawancara dan observasi dengan guru dan siswa dilaksanakan pada tanggal 6 Pebruari 2017. Berdasarkan hasil kegiatan observasi

1097

pratindakan di atas, dapat disampaikan hasil sebagai berikut: 1) siswa pasif dan kurang fokus terhadap pembelajaran berlangsung; 2) hasil pengamatan ini diperoleh data siswa yang aktif selama apersepsi sejumlah 15 orang siswa. Aktivitas siswa mengikuti pembelajaran diindikasikan dengan keberanian siswa mengajukan pertanyaan, menjawab dan berpendapat. Minat, motivasi dan perhatian siswa terhadap pembelajaran diindikasikan dengan perhatian siswa dan perilaku siswa yang tidak mengganggu jalannya pembelajaran; 3) pembelajaran berlangsung secara konvensional; 4) guru lebih dominan menggunakan metode ceramah. Pada awal pembelajaran terkesan komunikasi hanya berjalan satu arah, guru sebagai penyampai dan siswa sebagai penerima materi; 5) media yang digunakan kurang menunjang; 6) guru hanya menggunakan media papan tulis, spidol dan materi penunjang dan buku acuan pelajaran bahasa Indonesia dan buku LKS; dan 7) hasil pembelajaran siswa dalam keterampilan menulis puisi tentang keindahan alam kurang memuaskan.

Berdasarkan data tersebut maka perlu dilakukan tindakan untuk meningkatkan hasil keterampilan menulis puisi. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut;

Siklus I. Tahap Perencanaan. Kegiatan perencanaan ini dilakukan pada hari Senin tanggal 1 Februari 2017 di ruang guru SMP Negeri 11 Tangerang Selatan bersama guru mata pelajaran sejenis dalam hal ini guru bahasa Indonesia. Kegiatan perencanaan tindakan ini bertujuan untuk merencanakan pelaksanaan tindakan untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa dan juga untuk menumbuhkan ketertarikan siswa dalam kegiatan menulis, khususnya penulisan puisi. Peneliti sebagai guru bahasa Indonesia mendiskusikan rencana tindakan yang akan dilaksanakan. Hal-hal yang didiskusikan antara lain: 1) peneliti menyamakan persepsi dengan guru observer mengenai penelitian yang akan dilakukan; 2) peneliti mengusulkan digunakan media gambar pemandangan alam pilihan siswa dalam pembelajaran menulis puisi dan menjelaskan cara penggunaannya; 3) peneliti bersama guru mendiskusikan skenario pembelajaran menulis puisi dengan menggunakan media gambar pemandangan alam pilihan siswa; dan 4) menentukan jadwal pelaksanaan tindakan, yang disepakati bahwa siklus I dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 06 Februari 2017.

Tahap Tindakan siklus I. Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam siklus I ini adalah sebagai berikut: 1) guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa; 2) guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai dan mengenalkan model pembelajaran picture and picture; 3) guru melakukan apersepsi dengan bertanya kepada beberapa siswa tentang pengalamannya dalam menyukai gambar pemandangan alam; 4) guru memberikan materi tentang menulis puisi; 5) guru memberikan penjelasan tentang teknik-teknik menulis puisi, khususnya teknik kekaguman dan potongan gambar pemandangan alam yang belum berurutan yang akan digunakan dalam pembelajaran menulis puisi ; 6) guru dan siswa berdiskusi tentang materi menulis puisi dengan media gambar pemandangan alam yang telah diurutkan oleh siswa; 7) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal- hal yang belum dipahami tentang materi menulis puisi; 8) guru memperlihatkan beberapa gambar

pemandangan alam yang sudah benar dan memberikan sedikit penjelasan tentang pemandangan alam yang diperlihatkan; 9) siswa mengeluarkan gambar pemandngan alam yang telah dipersiapkan dari rumah; 10) siswa membuat puisi tentang pemandangan alam dengan teknik kekaguman dan teknik foto berita/ foto media; dan 11) guru menutup pelajaran.

Tahap Observasi, kegiatan pada siklus I dilaksanakan pada saat pembelajaran menulis puisi dengan media gambar keindahan alam berlangsung. Pengamatan (observasi) difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran, kegiatan yang dilakukan oleh guru, dan aktivitas yang dilakukan oleh siswa selama pembelajaran dengan media gambar pemandangan alam berlangsung. Kegiatan penelitian ini, peneliti bertindak sebagai partisipan pasif yang melakukan pengamatan dari meja paling belakang yang memang tidak dipakai. Namun, sesekali peneliti juga berada di depan kelas untuk mengambil gambar sebagai dokumentasi.

Tahap Refleksi, di mulai dengan menganalisis hasil tindakan pada siklus I. Setelah dilakukan tindakan berupa penggunaan media gambar pemandangan alam pilihan siswa pada pembelajaran menulis puisi, peneliti menemukan adanya peningkatan kemampuan menulis puisi pada kondisi awal ketuntasan klasikal siswa sebesar 67,03%, sedangkan pada siklus I yaitu 79,76% yang dinyatakan tuntas berdasarkan KKM yang ditetapkan sebesar 70. Dari data tersebut ternyata sudah memenuhi harapan peneliti untuk mencapai target yang diinginkan yakni tercapainya nilai ketuntasan 70, namun harus ditingkatkan. Nilai tersebut diperoleh dari tiga indikator pencapaian kompetensi siswa dalam menulis puisi.

Pencapaian kompetensi siswa di kelas VIII-2 dalam menulis puisi pada siklus I, diperoleh skor rata-rata kelas per indikator dapat dijelaskan sebagai berikut: a) indikator indikator tema dalam penulisan puisi, telah mencapai hasil sebesar 74,71 %; b) indikator peristiwa dalam menulis puisi sebesar 76,76 %; dan c) indikator menyusun larik-larik pada puisi sebesar 94,17%. Sedangkan nilai rata-rata kelas secara keseluruhan yaitu 79,76, mengalami peningkatan dari hasil belajar sebelumnya yakni 67,03.

Setelah dilakukan evaluasi, ternyata siklus I memang masih mengalami banyak kekurangan, diantaranya: kondisi kelas yang kurang kondusif, banyak siswa yang belum aktif dalam kegiatan pembelajaran, serta belum adanya refleksi di akhir pembelajaran. Selain itu ketika menulis puisi, banyak siswa yang belum begitu memperhatikan unsur-unsur yang seharusnya ada dalam sebuah puisi. Kekurangan-kekurangan yang terdapat pada siklus I ini selanjutnya akan diperbaiki pada tindakan siklus II.

Siklus II. Tahap Perencanaan. Berdasarkan hasil analisis dan refleksi pada siklus I, guru dan peneliti sepakat bahwa siklus II perlu dilakukan untuk memperbaiki kekurangan pada siklus I serta untuk lebih memaksimalkan kemampuan menulis puisi siswa kelas VIII-2 SMP Negeri 11 Tangerang Selatan. Persiapan dan perencanaan tindakan untuk siklus II dilakukan pada hari Kamis, 09 Februari 2017 di ruang guru SMP Negeri 11 Tangerang Selatan.

Tahap Tindakan. Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam siklus II ini adalah sebagai berikut: 1) guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa; 2) guru mengevaluasi hasil kerja siswa

Yusnita, Upaya meningkatkan keterampilan menulis puisi ....

1098 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

pada pertemuan sebelumnya; 3) dari evaluasi diketahui bahwa puisi karangan siswa pada siklus I masih banyak yang belum memperhatikan unsur-unsur puisi yang meliputi diksi, pengimajian, bahasa kiasan (majas), dan rima; 4) guru memberikan pendalaman materi tentang unsur-unsur puisi, khususnya tentang diksi, pengimajian, bahasa kiasan (majas) dan rima; 5) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal- hal yang belum dipahami tentang materi menulis puisi; 6) guru menunjuk/ memanggil peserta didik secara bergantian untuk memasang /mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis; 7) siswa mengurutkan gambar dengan tepat dan meberikan alasan mengurutkan gambar; 8) berdasarkan gambar yang telah diurutkan, siswa membuat membuat puisi tentang pemandangan alam dengan teknik kekaguman; dan 9) guru melakukan refleksi dan menutup pelajaran.

Tahap Observasi, sebelum membuat puisi tentang pemandangan alam, terlebih dahulu siswa diminta menganalisis unsur-unsur yang terdapat dalam puisi yang telah dicontohkan oleh guru. Guru bertanya tentang gaya bahasa, rima, diksi, dan imaji yang terdapat dalam puisi tersebut.

Pada saat membuat puisi, guru kembali mengingatkan siswa tentang langkah-langkah yang digunakan untuk membuat puisi tentang pemandangan alam ini dengan teknik kekaguman. Terlebih dahulu siswa diminta menempelkan gambar pemandangan alam pada kertas yang telah disediakan. Kemudian siswa diminta mengamati gambar pemandangan alam dengan seksama sambil membayangkan keindahan alam tersebut. Siswa dapat berimajinasi tentang keindahan pemandangan alam tersebut. Siswa diminta fokus pada gambar dan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemandangan alam tersebut. Diharapkan dari situ akan dapat memunculkan inspirasi menulis puisi bagi siswa.

Setelah siswa dapat berimajinasi dengan baik serta memperoleh gambaran tentang pemandangan alam, siswa diminta menuliskan pengalaman batin dan hal- hal yang dirasakan dalam larik-larik puisi. Kali ini guru menambahkan agar puisi siswa dibuat dalam larik-larik yang sederhana terlebih dahulu, baru kemudian kata-kata yang awalnya sederhana tersebut dicari padanan kata lainnya yang lebih indah atau mengandung nilai estetis.

Pada siklus II guru memberikan pendalaman materi menulis puisi dan mengajak siswa untuk melihat dan mendiskusikan kelebihan dan kekurangan puisi yang telah mereka buat pada siklus sebelumnya.Ketika guru memberikan materi, sudah banyak siswa yang memperhatikan dengan seksama sambil mencatat dan menjawab pertanyaan yang beberapa kali diajukan oleh guru.

Ketika diberi tugas menulis puisi sebagian besar siswa sudah bisa dan siap membuat puisi tentang pemandangan alam, tetapi ada juga beberapa siswa yang masih belum menemukan ide dan hanya diam termangu sambil melihat kegiatan teman lainnya.

Langkah-langkah yang diterapkan dalam pembelajaran menulis puisi siklus II ini hampir sama dengan langkah-langkah menulis puisi pada siklus I. Terlebih dahulu siswa diminta menempelkan gambar pemandangan alam pada kertas yang telah disediakan. Selanjutnya, siswa diminta mengamati gambar pemandangan alam pilihan siswa dengan seksama.

Siswa diminta fokus pada gambar dan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemandangan alam tersebut. Diharapkan dari situ akan dapat memunculkan inspirasi menulis puisi bagi siswa. Setelah siswa dapat berimajinasi dengan baik memperoleh serta gambaran tentang pemandangan alam pilihannya, siswa diminta menuliskan pengalaman batin dan hal-hal yang dirasakan dalam larik-larik puisi.

Tahap Refleksi, di mulai dengan menganalisis hasil tindakan pada siklus II. Setelah dilakukan tindakan berupa penggunaan media gambar pemandangan alam pilihan siswa pada pembelajaran menulis puisi, peneliti menemukan adanya peningkatan kemampuan menulis puisi pada siswa sebesar 91,97%.Secara umum, pembelajaran menulis puisi siklus II ini berlangsung jauh lebih baik dari pada pembelajaran menulis puisi pada siklus sebelumnya. Siswa lebih antusias dan bersemangat mengikuti pelajaran. Sudah banyak siswa yang lebih aktif selama pembelajaran berlangsung. Siswa dengan inisiatif mereka sendiri juga sudah mau mengacungkan jari untuk mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan dari guru, padahal pada siklus I siswa masih tampak malu-malu untuk mengemukakan pendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Selain itu, sudah banyak siswa yang mampu mengemukakan ide, gagasan dan pengalaman batinnya dalam bentuk puisi. Puisi hasil karya siswa juga sudah banyak yang memenuhi unsur- unsur yang diharapkan ada dalam sebuah puisi.

Hasil belajar siswa pada siklus II dengan pembelajaran picture and picture menggunakan media gambar dalam menulis puisi mengalami peningkatan dari hasil belajar sebelumnya. Nilai rata-rata kelas secara keseluruhan yaitu 91,97, mengalami peningkatan dari hasil belajar sebelumnya yakni 79,76 (Siklus I) dan 67,03 (Kondisi awal). Siswa yang tuntas belajar dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) 70 mencapai peningkatan menjadi 78%.

Nilai tersebut diperoleh dari tiga indikator pencapaian kompetensi siswa dalam menulis puisi. Berdasarkan indikator keberhasilan, pencapaian kompetensi siswa di kelas VIII-2 dalam menulis puisi yang dicapai pada siklus II, diperoleh skor rata-rata kelas per indikator sebagai berikut: a) indikator tema dalam penulisan puisi, telah mencapai hasil sebesar 86,47%; b) indikator peristiwa dalam menulis puisi sebesar 89,71%; dan c) indikator menyusun larik-larik pada puisi sebesar 94,56%.

Tabel 1. Perbandingan Hasil Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II

Secara keseluruhan analisis data baik siklus I maupun siklus II adalah sebagai berikut :Setelah diadakan tindakan pada siklus II maka beberapa aspek pada siklus I yang masih belum memenuhi harapan peneliti ternyata pada siklus II sudah memenuhi harapan dan semua aspek mengalami peningkatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Model pembelajaran picture and picture menggunakan media gambar pada siswa kelas VIII-2 SMP Negeri 11

Siklus Jumlah ketuntasan Nilai Nilai Nilai Presentase Tuntas Tidak tertinggi terendah rata-rata ketuntasan tuntas Pra 67,03% 0,33% 75 60 68,04 74%tindakanSiklus 1 79,08% 0.20% 80 60 68,20 74%Siklus 2 89,00% 0.11% 90 60 75,20 78%

1099

Tangerang Selatan, mampu meningkatkan keterampilan menulis puisi. Hal ini dapat diketahui dari adanya peningkatan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Persentase perhatian dan konsentrasi siswa selama apersepsi dan pada saat pembelajaran menulis puisi dengan media gambar berlangsung terus mengalami peningkatan.Media gambar dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi. Hal ini dapat diketahui dari adanya peningkatan persentase nilai menulis siswa setiap siklusnya.

Guru diharapkan dapat mengenalkan media gambar terhadap rekan sejawatnya, sehingga guru yang lain juga dapat mempraktikkan media gambar dalam pembelajaran menulis puisi. Pada saat memilih media, metode dan sumber belajar yang tepat sesuai dengan materi yang akan diajarkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Guru dapat mencari media pembelajaran lain yang lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan proses pembelajaran

Yusnita, Upaya meningkatkan keterampilan menulis puisi ....

dan hasil pembelajaran serta agar siswa tidak mengalami kejenuhan.

Siswa sebaiknya lebih kritis dan terbuka terhadap hal-hal baru yang mereka peroleh sehingga mampu menunjang proses dan hasil belajar mereka di sekolah. Selanjutnya siswa lebih aktif dan berani selama proses pembelajaran berlangsung.

Sekolah, sebaiknya semakin giat memberikan motivasi kepada guru untuk terus mengembangkan diri dengan melakukan banyak penelitian. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan keterampilan mengajar guru. Sekolah hendaknya memberikan kesempatan dan dukungan kepada pendidik untuk menggunakan media pembelajaran yang lebih bervariasi.

PUSTAKA ACUAN

Alamsyah, Muhammad. 2015. Pengertian Media Gambar. (http://dunia dalam pendidikan.blogspot.co.id/2015/10/pen gerti,an-media-gambar.html) diakses 13 Mei 2017.

Daryanto. 2011. Media Pembelajaran.Sanaky, Hujair AH. 2009. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania

Press.Maharani, Pramita Dewi. 2012. Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi

Dengan Media Gambar Pada Siswa Kelas VII B Mts Muhammadiyah 6 Karanganyar Tahun Ajaran 2011/2012. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Sadiman, Arief S, dkk. 2011. Media Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo.

Setiyaningsih, Ika. 2015. Pegangan Guru Bahasa Indonesia Kelas VII Semester 2. Klaten: PT Intan Pariwara.

Suryana, Nana. 2013. Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi Melalui Pembelajaran Menulis Puisi Dengan Menggunakan Media Gambar. (http://bindokotasmgmp.blogspot.co.id/ 2013/01/laporan-ptk-nana-smpn.html) diakses 13 Mei 2017.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.Syarif, Elina. Dkk. 2009. Pembelajaran Menulis, Jakarta: PPPPTK Bahasa,

Dirjen PMPTK, Depdiknas.Arifin, zainal. Penelitian pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, 2014.S.Nurullailiyah.Juli 2013 htt:// Unpak.blogspot.co.id/3013/06/model-

pembelajaran-picture and picture 2782.html(2017)

PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

POKOK BAHASAN PECAHAN

FARIDA SORAYA SDN Rawajati 06 Pagi

Abstract. Creative thinking is one of the abilities needed to compete in the 21st century. The Learning Approach Realistic Mathematics Education (RME) is an approach that facilitates students to improve their creative thinking skills. This study aims to examine the application of the Realistic Mathematics Education learning approach in improving the ability to think creatively on the concept of fractions. The study was conducted at Rawajati Elementary School 06 in class IV involving 28 students. This research method is classroom action research with two cycles, with stages of planning, implementation, observation, and reflection. Data collection uses test, observation, interview and documentation techniques. The indicator of success for each cycle is set at reaching 80% of KKM. The results of the study revealed that the average creative thinking ability of students in the first cycle had reached KKM of 57.14%. Furthermore, students' creative thinking ability in the second cycle had reached an average of 89.29%. The conclusion of this study is that the application of the Realistic Mathematics Education approach can improve the ability to think creatively in fractions in fourth grade students. The ability to think creatively includes aspects of fluency, flexibility, flexibility, authenticity, and sensitivity.

Keywords: Realistic Mathematics Education, Creative Thinking Ability, Fraction

Abstrak. Berpikir kreatif adalah salah satu kemampuan yang dibutuhkan untuk bersaing di abad 21. Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pendekatan yang memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan kerpikir kreatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kreatif pada konsep pecahan melalui penerapan pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education. Penelitian dilakukan di SDN Rawajati 06 pada kelas IV dengan melibatkan 28 siswa. Metode penelitan ini adalah penelitian tindakan kelas dengan dua siklus, dengan tahapan perencaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pengumpulan data menggunakan teknik tes, observasi, wawancara dan dokumentasi. Indikator keberhasilan setiap siklus ditetapkan mencapai KKM sebanyak 80%. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kreatifi siswa pada siklus I telah mencapai KKM sebesar 57,14%. Selanjutnya, kemampuan berpikir kreatif siswa pada siklus II telah mencapai rata-rata sebesar 89,29%. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa penerapan pendekatan Realistic Mathematics Education dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif materi pecahan pada siswa kelas IV. Kemampuan berpikir kreatif tersebut meliputi aspek kelancaran, keluwesan, kelenturan, keaslian, dan sensitivitas.

Kata Kunci: Realistic Mathematics Education (RME), Kemampuan Berpikir Kreatif, Pecahan

PENDAHULUAN

Pendidikan matematika berkembang sejalan dengan perkembangan pendidikan matematika dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, selain dipengaruhi adanya tuntutan sesuai perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga seringkali diawali adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika serta pembelajarannya.

Pada hakekatnya metematika berkaitan dengan ide-ide abstrak. Ide-ide yang abstrak masih sulit dipelajari oleh siswa Sekolah Dasar, karena tahap berpikir masih belum formal dan masih konkret. Siswa Sekolah Dasar umumnya berada pada usia 7-11 tahun. Menurut Piaget siswa usia 7-11 tahun berada pada operasional konkret (Sumantri 2015, 46-47). Pada tahap ini anak hanya bisa diterapkan pada situasi konkret. Dalam kehidupan sehari-hari siswa menemukan dan berhubungan dengan berbagai permasalahan obyek nyata yang berkaitan dengan matematika.

Mengingat pentingnya matematika dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka perlu sekali menanamkan konsep yang benar dalam proses pembelajaran. Bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka

sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan yang nyata. Kompetensi berpikir kreatif bagi peserta didik merupakan hal yang sangat penting dalam era globalisasi. Berpikir kreatif tergolong kompetensi tingkat tinggi (high order competencies) dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kompetensi dasar tersebut sejalan dengan pernyataan Ervyne bahwa kreatifitas memainkan peran yang penting dalam siklus berpikir matematis tingkat lanjut. Menurut Carreer Center Maine Departmen of Labor USA, kemampuan berpikir kreatif juga penentu keunggulan suatu bangsa (Mahmudi 2010, 1).

Pada kenyataannya masih ditemukan guru menerapkan metode ceramah, siswa pasif, pertanyaan dari siswa jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar dikarenakan aktivitas belajar masih didominasi oleh aktivitas latihan-latihan untuk pencapaian mathematicall basic skills. Di SDN Rawajati 06 masih terdapat guru yang cenderung mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepikiran siswa secara pasif dan tidak kritis. Salah satu penyebab kurangnya minat siswa dalam belajar matematika yang berdampak

1101

buruk pada kemampuan berpikir kreatif dikarenakan siswa tidak diberi kesempatan untuk mencari, bertanya, menjawab, menalar, dan bahkan mengeluarkan pendapat pada saat proses pembelajaran matematika yang mengakibatkan tidak adanya interaksi antara siswa dengan guru, dimana seorang guru tidak memberikan ruang kepada siswa untuk mengeksplorasikan ide-ide matematika.

Hal ini terbukti dari hasil siswa kelas IV yang masih rendah dibuktikan dengan hasil Ulangan harian semester I yang hanya mencapai rata-rata 61 (Rawajati 6 2017, 6). Hasil tersebut sangatlah rendah dan tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditargetkan yaitu 70. Sesuai yang diungkapkan Marks bahwa matematika pada jenjang sekolah dasar merupakan pondasi yang sangat menentukan dalam pembentuk sikap, kecerdasan, dan kepribadian anak.

Salah satu pendekatan yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif yaitu dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam memecahkan suatu masalah dalam kehidupan nyata artinya berpikir menemukan ide atau gagasan jawaban terhadap suatu masalah. Masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari tersebut digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika untuk menunjukkan bahwa matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan.

Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika sebagai bagian dari kegiatan manusia. Guru berperan sebagai pembimbing siswa untuk menemukan konsep-konsep matematika melalui proses kemampuan berpikir kreatif siswa yang dikembangkan melalui pendekatan RME. Siswa mempresentasikan gagasan dan ide dalam proses pembelajaran sehingga paham terhadap konsep matematik dan siswa tidak merasakan matematika sebagai pelajaran yang sulit tetapi sebaliknya, matematika akan menjadi pelajaran yang menyenangkan yang membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya.

Berpikir kreatif sebagai kemampuan yang diperlukan dalam berbagai kegiatan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan terutama proses pembelajaran, sehingga memperluas pengetahuan dalam mencari ide-ide baru. Munandar mengatakan berpikir kreatif (juga disebut berpikir divergen) ialah memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian (Munandar 2009, 19).

Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Guilford yang mengidentifikasi komponen berpikir kreatif meliputi fluency, flexibility, originality, elaboration, dan juga memperkenalkan pentingnya sensitivity pada masalah dan evaluasi dalam membangun dan mengevaluasi ide-ide yang kreatif (Maulana 2012, 1-10). Guilford menambahkan bahwa yang menjadi komponen berpikir kreatif juga adalah sensitivity atau sensitivitas. Jika disimpulkan, komponen berpikir kreatif terdiri atas kelancaran, keluwesan, originalitas, fleksibilitas dan sensitivitas.

Salah satu pendekatan yang dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif adalah pendekatan Realistic Mathematics Education atau pendidikan matematika realistic. Pendekatan ini dilahirkan di Belanda oleh Fruedenthal sejak tahun 1971. Menurut Fruedenthal bahwa “Realistic Mathematics Education (RME) is an appoach in which mathematics education is conceived as human activity”

(Freudenthal n.d.) artinya, pendekatan ini mengacu pada pendapat Fruedental yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita, dekat dengan pengalaman anak serta relevan untuk kehidupan masyarakat.

Secara umum, pendekatan RME terdiri dari lima karakteristik Menurut Treffers, yaitu: kesatu, menggunakan konteks dunia nyata, yang menjebatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari; kedua, menggunakan model-model (matematisasi), artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah; ketiga, menggunakan produksi dan konstruksi, dengan pembuatan produksi bebas siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengkonstruksi pengetahuan matematika formal; keempat, menggunakan interaksi, secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa; kelima, menggunakan keterkaitan (intertwinment), dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain (Sovianti 2011, 81-82).

Penelitian terdahulu tentang Realistic Mathematics Education (RME) dilakukan Winarti Dwi Febriani (2017), dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Dan Pembelajaran Langsung Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Dan Berpikir Kreatif Matematis Peserta Didik” (Eskperimen Kausi Di Kelas 4 Sekolah Dasar Kecamatan Kesambi). Temuan penelitian ini, mengungkan bahwa Kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik yang menggunakan pembelajaran RME lebih tinggi daripada peserta didik yang menggunakan pembelajaran langsung (Febriani 2017).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Febriani, adalah terletak pada jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian tindakan kelas. Disamping itu materi yang digunakan dalam penelitian adalah konsep pecahah. Berdasarkan distingsi masalah di atas, maka masalah dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana cara meningkatkan kemampuan berpikir kreatif materi pengukuran sudut dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada siswa kelas IV? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatkan kemampuan berpikir kreatif materi pecahan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada siswa kelas IV SDN Rawajati 06 Pagi Jakarta Selatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SDN Rawajati 06 Pagi, pada kelas IV yang berlokasi di Kecamatan Pancoran. Penelitian dilaksanakan pada awal semester genap (semester dua) tahun pelajaran 2017-2018, pada waktu mata pelajaran matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Rawajati 06 Pagi Jakarta Selatan yang berjumlah 28 siswa yang akan memberikan informasi perkembangan kemampuan berpikir kreatif siswa pada kelompok kerja atau kelompok belajar, terdiri atas 16 laki-laki dan 12 perempuan.

Jenis penelitian yang digunakan penelitian tindakan kelas. Secara umum pola dasar dari model-model penelitian

Soraya, Penerapan pendekatan realistic mathemathics education .....

1102 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

tindakan kelas meliputi empat tahapan: perencanaan tahap awal; tindakan; pengamatan hasil; refleksi. Sedangkan tahap kedua meliputi: revisi; tindakan; pengamatan hasil; refleksi.

Sumber data dalam penelitian ini terbagi 2 macam yakni sumber data pemantau tindakan adalah kegiatan pembelajaran matematika kelas IV SD yang dilaksanakan di SDN Rawajati 06 Pagi Jakarta Selatan dan sumber data penelitian yaitu kemampuan berpikir kreatif kelas IV SD tersebut. Peneliti berperan sebagai observer yang dibantu oleh seorang kontributor yaitu teman sejawat.

Penelitian dilaksanakan dua siklus, dimana tiap siklus terdiri dari dua pertemuan dan satu pertemuan untuk evaluasi akhir siklus. Alokasi waktu tiap pertemuan adalah 1 jam 45 menit (3 x 35 Jam Pelajaran/JP).

Tahap perencanaan penelitian yang pertama adalah peneliti bersama observer mengadakan pertemuan untuk menentukan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini. Selanjutnya, peneliti merencanakan skenario pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), tugas individu dan pekerjaan rumah, menyusun kisi-kisi dan pedoman observasi, menyusun pedoman wawancara dan mempersiapkan peralatan untuk mendokumentasikan kegiatan.

Tahap pelaksanaan pada siklus I pelaksanaan dilakukan selama dua kali pertemuan. Pembiasaan materi pembelajaran tentang pecahan. Perencanaan, Sebelum peneliti melakukan siklus I, peneliti melakukan persiapan-persiapan membuat perencanaan tindakan yang meliputi: pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum dengan pendekatan RME, menyiapkan media, alat dan bahan berupa kertas berwarna (origami), kertas karton, pensil warna (krayon), penggaris, gunting, jangka, dan lem, lembar kerja siswa, lembar soal tes individu, kunci jawaban, instrumen pemantauan tindakan, kamera untuk mendokumentasikan kegiatan proses pembelajaran.

Pada tahap tindakan, guru memulai kegiatan dengan membariskan siswa di depan kelas. Setelah siap, siswa dipersilakan untuk memasuki kelas secara bergiliran sampai siswa duduk dikursinya masing-masing. Guru mengkondisikan siswa hingga semuanya tenang dan tertib. Berdoa pun dimulai dan dipimpin oleh ketua kelas. Dilanjutkan pembiasaan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Tahap pengamatan observer mengamati pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan lembar pengamatan meliputi keaktifan siswa, semangat belajar, keberanian bertanya dan menjawab pertanyaan, ketekunan belajar, aktivitas dan kerjasama dalam melaksanakan tugas atau diskusi kelompok, serta berani menyampaikan ide atau gagasan matematika. Dalam observasi semua ini merupakan kegiatan yang ditunjukkan untuk mengenali, merekam, dan mendokumentasikan setiap indikator dari proses dan hasil yang dicapai baik yang ditimbulkan oleh tindakan terencana maupun akibat sampingnya.

Selanjutnya, tahap refleksi observer melakukan refleksi atas pelaksanaan proses pembelajaran, hasil evaluasi yang diperoleh, hasil pengamatan observer, hasil wawancara dan berbagai catatan lapangan selama kegiatan berlangsung yang telah diperoleh peneliti. Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti dengan teman sejawat observer. Kegiatan

refleksi menyimpulkan apakah ada peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa mengenai pembahasan pecahan. Hal yang sama dilakukan pada siklus berikutnya bila diperlukan.

Setelah seluruh siklus dilaksanakan maka hasil pengamatan, refleksi, catatan lapangan, dan hasil tes dari setiap siklus akan di analisis oleh peneliti untuk mengetahui tingkat keberhasilan semua tindakan kelas. Apabila hasil telah sesuai dengan target atau lebih maka tindakan dihentikan dan dinyatakan berhasil. Bila hasil belum sesuai target, maka peneliti harus dapat merumuskan penyebab dan kendala ketidakberhasilan.

Data hasil observasi, wawancara, tes dan dokumentasi diperiksa menggunakan keabsahan data melalui triangulasi dengan berbagai sumber yaitu membandingkan apa yang dilakukan observer dengan pendapat lain.

Dari dua tahapan siklus penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas cara mengajar guru pada materi pecahan, membuat siswa menjadi aktif, menstimulus jawaban siswa yang beragam sedangkan bagi siswa tidak bosan dalam belajar matematika, matematika menyenangkan serta menemukan jawaban yang beragam karena proses pembelajaran RME mengkaitkan pembelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada kegiatan siklus I materi pecahan. Guru memberikan gambar yang berkaitan dengan pecahan, kemudian LKS dibagikan siswa beserta petunjuk langkah-langkah pengerjaan. Dalam menyelesaikan LKS secara berkelompok hampir seluruh siswa berulang-ulang bertanya ke guru mengenai cara menyelesaikan soal, siswa masih kesulitan untuk menuliskan cara langkah-langkah penyelesaian LKS karena belum memahami mana saja yang menjadi urutan yang lebih awal dilakukan, belum maksimal berdiskusi saat menyelesaikan soal secara disebabkan beberapa siswa bercanda ataupun tidak memperdulikan teman lainnya, sebagian siswa yang mengalami kesulitan tidak berusaha mencari jawaban dibuku paket dan sebagian besar siswa belum merencanakan strategi untuk melaksanakan kegiatan berikutnya tampak pada pembagian tugas kelompok ada siswa yang bekerja ada juga yang tidak bekerja.

Selanjutnya, aktivitas siswa dalam pembuatan model tidak semudah yang dibayangkan kerena siswa mengalami kesulitan dan berulang-ulang bertanya ke guru menanyakan cara menggunakan kertas origami, jangka, atau alat dan bahan lainnya. Pada pembuatan model pecahan siswa serius membuat model pecahan pada kertas origami menggunakan tutup lem.

Pembuatan model pecahan tak semudah yang diperkirakan karena dalam proses pembuatan model membutuhkan waktu yang cukup lama. Selanjutnya, pada saat membuat model pecahan ada siswa yang menggambar lingkaran menggunakan jangka dan tutup lem pada kertas origami, siswa menggunakan penggaris untuk menentukan nilai pecahan, beragam siswa memberikan warna pada bagian pembilang pecahan tampak setiap kelompok menggunakan pensil, pulpen ataupun pensil warna, siswa belum maksimal dalam menggunting hasil gambar lingkaran ini tampak ada kelompok yang hasil mengguntinggnya tidak rapih serta mengelem. Beberapa siswa asyik bercanda atau terdiam

1103

sehingga tidak memperdulikan siswa lainnya yang sedang menyelesaikan pembuatan model. Guru memperhatikan dan berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok yang lainnya untuk mengecek dan membimbing bagi siswa yang belum paham cara membuat model pecahan ataupun menyelesaikan LKS. Demikianlah upaya guru sebagai fasilitator.

Berdasarkan hasil diskusi dengan observer maka ditemukan beberapa kelebihan siklus I yaitu: pada saat awal pembelajaran guru memberikan benda konkret atau nyata sesuai kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan topik sebagai titik awal; selama interaksi guru mengarahkan dan membimbing siswa dalam kelompok yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS; guru menggunakan lingkungan sekitar sebagai media pembelajaran; guru memantau jalannya diskusi dan memberikan penguatan terhadap hasil diskusi; siswa mengkaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan disekitar; merangsang para siswa untuk membandingkan soslusinya saat berdiskusi dan bertukar dengan teman kelompoknya dalam menyelesaikan masalah; siswa menanggapi dan menarik kesimpulan dari hasil diskusi yang dipersentasikan.

Terdapat beberapa langkah pembelajaran yang belum nampak dilakukan guru dan siswa pada pertemuan I dan pertemuan ke II yaitu: guru belum memberikan secara maksimal kesempatan siswa aktif dalam pembelajaran; guru belum maksimal mendorong siswa untuk mencari informasi jawaban; siswa belum maksimal mengembangkan pembuatan model; siswa belum mengoptimalkan pemecahan masalah pada LKS secara berkelompok; sebagian siswa belum merencanakan strategi untuk melaksanakan kagiatan berikutnya; siswa belum maksimal menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri dalam diskusi.

Untuk mengetahui hasil perkembangan belajar melalui RME maka dilakukan tes hasil belajar dalam bentuk soal uraian terdiri dari 10 soal dimana besar skor setiap satu butir bernilai 2 dan skor total menjadi 100. Hasil yang diperoleh pada siklus I yaitu 10 siswa mendapatkan skor > 70, 6 siswa mendapatkan skor 70, dan 12 siswa mendapatkan skor < 70.

Siklus II, tahap perencanaan tindakan dengan menyusun skenario yaitu: pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran; partisipasi siswa dengan diberikan tanggapan balik oleh guru sehingga siswa termotivasi dengan proses pembelajaran; peneliti mengarahkan siswa untuk mencari informasi tambahan di buku paket; peneliti mengarahkan beberapa siswa yang sudah paham menjadi tutor sebaya bagi teman kelompoknya yang belum paham; guru memunculkan jenis pertanyaan yang dapat merespon siswa untuk mengembangkan model; guru menentukan waktu proses mengerjakan LKS agar waktu efektif; guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya untuk memantau jalannya diskusi.

Pelaksanaan pada siklus II. Guru mengarahkan beberapa siswa untuk menjadi tutor sebaya dalam kelompoknya dan membagi tugas dengan anggota lainnya serta bekerjasama yang baik saat diskusi. Selanjutnya setiap kelompok dibagikan LKS yang berisi permasalahan yang berbeda-beda. Guru membagikan alat dan bahan kepada setiap kelompok. Siswa membuat model untuk menyelesaikan soal pada LKS. Sebagian siswa sudah memulai bekerja serta membagi tugas dengan anggota kelompoknya, sesekali siswa bertanya ke

Soraya, Penerapan pendekatan realistic mathemathics education .....

guru untuk mempertegas apa yang dilakukan sudah benar dalam hal mengerjakan LKS ataupun pada pembuatan model. Guru berpindah tempat dari satu kelompok ke kelompok lainnya untuk membimbing siswa yang mengalami kesulitan.

Siswa yang sudah menyelesaikan LKS diberikan kesempatan untuk mempresentasikann hasil diskusinya didepan kelas dengan menempelkan hasil karyanya pada kertas karton kemudian, siswa lainnya menanggapi hasil jawaban dari kelompok tersebut. Guru dan siswa bersama-sama mengoreksi setiap hasil kelompok dengan memberikan penilaian jawaban yang benar atau salah. Jika ada jawaban yang salah pada kelompok maka guru meluruskan jawaban tersebut.

Selanjutnya, pada saat membuat model memakan lama di pertemuan sebelumnya kini tak nampak di pertemuan ini karena ada siswa berperan tutor sebaya, nampak siswa bekerjasama dan membagi tugas dari masing-masing anggota kelompoknya. Sebagian siswa sudah mengetahui cara pembuatan model ataupun mengaplikasikan gambat pecahan nampak siswa menjadi bersemangat dan antusias.

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya atas hal-hal yang belum mereka pahami dan menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang telah mengikuti pelajaran dengan baik.

Pada bagian penutup, siswa dibimbing untuk merefleksikan pelaksanaan pembelajaran yang sudah dilakukan, terdapat terdapat 10 sampai 15 siswa yang berani menyampaikan pendapatnya, sedangkan siswa yang lain masih malu-malu. Guru memberi penegasan atas pembelajaran yang sudah dilakukan dengan cara menjelaskan kembali konsep mengenai menjumlahkan pecahan.

Untuk mengetahui hasil perkembangan belajar melalui RME maka dilakukan tes hasil belajar dalam bentuk soal uraian terdiri dari 10 soal dimana besar skor setiap satu butir bernilai 2 dan skor total menjadi 100. Hasil yang diperoleh pada siklus II yaitu 20 siswa mendapatkan skor > 70, 5 siswa mendapatkan skor 70, dan 3 siswa mendapatkan skor < 70.

Hasil observasi terhadap penerapan RME dalam pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Diagram Hasil Pemantau Tindakan Guru dan Siswa

Berdasarkan diagram di atas hasil kemampuan berpikir kreatif materi pecahan dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebanyak 12% untuk pemantau tindakan guru dan 33% untuk pemantau tindakan siswa, sedangkan pembelajaran pecahan menggunakan pendekatan RME

1104 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

melalui tindakan guru dan siswa juga mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 12% dan 33%. Maka berdasarkan peningkatan hasil tes kemampuan berpikir kreatif dan pemantau tindakan di atas, dapat disimpulkan pembelajaran pecahan menggunakan pendekatan RME telah tercapai.

Hasil tes kemampuan berpikir kreatif yang dicapai siswa juga mengalami peningkatan tiap siklusnya. Peningkatan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Analisis Data Evaluasi

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata skor mulai dari kondisi awal sampai siklus II mengalami peningkatan. Pada kondisi siklus I nilai siswa 66,25 pada siklus II naik menjadi 81,11. Sedangkan persentase KKM

kemampuan siswa berpikir kreatif mengalami peningkatan siklus I, sebesar 57,14% dan siklus II, sebesar 89,29%.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan pendekatan pembelajaran RME dengan pokok bahasan pecahan pada siswa kelas IV SDN Rawajati 06 Pagi Tahun Pelajaran 2017/2018 mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, mampu meningkatkan hasil KKM dari 61 menjadi 80, mampu meningkatkan keaktifan, kreativitas dan keterampilan mengkomunikasikan jawaban, mampu mengintregasikan masalah sehari-hari dalam menyelesaikan soal, memanfaatkan tutor sebaya, siswa memiliki kebebesan dalam mengkonstrusikan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki.

Bagi guru diharapkan perlu menerapkan pendekatan RME dalam melaksanakan pembelajaran matematika karena dapat menanamkan konsep atau prinsip yang terkandung dalam pembelajaran dengan masalah yang biasa dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga perlu memberikan variasi metode dan media dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga minat belajar matematika dapat tumbuh dan siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif.

Nilai Jumlah Siswa Persentase Persentase KKM Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II

> 70 10 20 35,71 % 71,43 % 57,14 % 89,29 %= 70 6 5 21,43 % 17,86 % Siswa Siswa< 70 12 3 42,86 % 10,71 % mencapai mencapai KKM KKM 66,25 81,11

PUSTAKA ACUAN

Elfananny, Burhan. "Penelitian Tindakan Kelas." Yogjakarta: Araska, 2013.Febriani, Winarti Dwi. Realistic Mathematics Education . Jakarta, 2017.Freudenthal, Hans. "Mathematics as an Edcational Task." By Springer

Netherlands. Dordrecht-Holland: D. Reidel Publishing Company, n.d.Gunawan, Ridwan. proposalmatematika23. 2013. http://

proposalmatematika23.blogspot.com (accessed November 14, 2013).Hadi. "Pendidikan Matematika Realistik Dan Implementasinya."

banjarmasin: Tlip, 2008.Krulik, Rudnick. The New Sourcebook for Teaching Reasoning Problem

Solving in Elementari School . Heights: Allyn & Bacan, 1995.Mahmudi, Ali. "Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis."

Konferensi Nasional Matematika XV. UNIMA, 2010.Maulana. "Mathematical creative thinking, which is necessary! (berpikir

kreatif matematis, itu perlu!)." Maulana, Mathematical creative thinking, which is necessary! (berpJournal Indonesian University of Education Campus: Sumedang, 2012.

Miri, Lev & Roza Leikin. "The Connection Between Mathematical Creativity And High Ability In Mathematics ." Journal of University of Haifa, n.d.

Munandar, Utami. "Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat." Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Nurjannah. Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan pemecahan Masalah (Aspek Metakognitif) Dan Kemampuan komunikasi Matematika siswa Sekolah Dasar. Tesis, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2013.

Rawajati 6, SDN. Rekapitulasi Nilai Ulangan Semester I. Rekapitulasi Kelas IV, Jakarta Selatan: SDN Rawajati 06 Pagi, 2017.

Siswono. "identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa Dalam Pengajuan Masalah (Problem Solving) Matematika Berpandu Dengan Model Walls Dan Creative Problem Solving (CPS)." Jurnal Pendidikan Matematika, 2004.

Sovianti, Evi. "Pendekatan Matematika Realistik (PMR) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa Di Tingkat Sekolah Dasar." Jurnal: SPS UPI, 2011.

Sukmadinata. "Kurikulum Dan Pembelajaran Kompetensi ." Bandung: Kusma Karya, 2004.

Sumantri, Syarif. In Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.

Sumarmo, Utari. "Pendidikan Karakter Serta Pengembangan Berpikir Dan Disposisi Matematik Dalam Pembelajaran Matematika." Seminar Pendidikan Matematika. NTT: Seminar Pendidikan Matematika, 2012.

Zulkardi. "Designing, Evaluating And Implementing An Innovative Learning Enviroinment For Supporting Mathematics Education Reform In Indonesia." The CASCADE-IMEI Study, 2000.

PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGUKUR KEMAMPUANLITERASI SAINS GURU FISIKA

INTAN IRAWATIMAN 15 Jakarta

Abstract. Science education quality of a country has showed by level of scientific literacy. This study aims to develop scientific literacy instrument for physics teachers on aspects of content, process and context. The research used Research and Development method. It is a form of research that was used to produce a particular product, and test the effectiveness of this product. Object of this research was scientific literacy instrument for physics teachers which consist of 15 items. After testing 23 physics teachers test subjects, it was found that the instrument was valid and reliable. Eleven of 15 items or about 73% of items were accepted. While the level of reliability was 0.529 and validity was 0,551. It meant that the scientific literacy instrument for physics teachers on aspects of content, process, and context was valid and reliable. The measurement result will enable for stakeholders to improve the quality of science education in Indonesia

Keywords: content, context, process, scientific literacy instrumens, teachers’ science literacy

Abstrak. Kemampuan literasi guru sains Indonesia belum memuaskan berdasarkan beberapa survei internasional. Belum adanya instrumen yang mengukur kemampuan literasi sains guru mendorong dilakukannya penelitian ini. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan instrumen literasi sains bagi guru pada aspek konten, proses dan konteks. Penelitian ini berjenis R & D Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) yaitu suatu bentuk penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Objek penelitian ini adalah instrumen literasi sains guru yang direvisi, dan diuji validitas butir skor dan tingkat reliabilitasnya. Jumlah item tes adalah 15 butir. Tahap penelitian dibagi dua, yaitu tahap penelitian dan pengembangan. Setelah dilakukan uji coba skala kecil dengan 23 subjek uji coba, diperoleh hasil validitas butir skor sebanyak 10 dari 15 item atau 67% item berkategori tinggi. Skor reliabilitas diperoleh 0,529 dan validitasnya 0,551 artinya instrumen literasi sains fisika untuk guru pada aspek konten, proses, dan konteks cukup valid dan reliabel. Pengembangan instrumen ini merupakan penelitian awal untuk menyusun sebuah instrumen yang valid dan reliabel yang dapat digunakan secara luas untuk mengukur kemampuan guru dalam literasi sains. Hasil pengukuran literasi sains guru akan dapat digunakan bagi para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sains di Indonesia. Kata kunci: instrumen literasi sains, konten, konteks, literasi sains guru, proses

PENDAHULUAN

Salah satu kunci yang perlu dimiliki suatu negara untuk sukses dalam era globalisasi adalah penguasaan sains dan teknologi. Peningkatan kualitas pendidikan sains merupakan syarat mutlak bagi Indonesia untuk mampu bersaing di tingkat internasional. Saat ini Indonesia tidak termasuk negara yang diperhitungkan dalam perkembangan sains dan teknologi tersebut. Pendidikanlah yang sangat berperan untuk menciptakan individu yang mengusai sains dan teknologi.

Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa negara-negara maju sudah mengembangkan literasi sains sejak lama yang pelaksanaannya terintegrasi dalam pembelajaran (Sari, 2012). Amerika misalnya, dalam pendidikan sains telah merencanakan proyek yang ditujukan untuk memajukan sains dan teknologi di masa depan. Demikian juga Australia, tujuan utama pendidikan sains adalah meningkatkan literasi sains. Lain lagi dengan Cina yang menerapkan strategi science literacy sebagai program negara. Banyak pengamat pendidikan yang memberikan penilaian bahwa memasuki abad ke-21, dunia pendidikan Indonesia masih memiliki kualitas yang rendah (Toharudin, Hendrawati, Rustaman; 2011). Jika masalah ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kegagalan total dan

menjadi bangsa bangkrut pada tahun 2020. Indikasi yang menguatkan hal ini antara lain dari studi PISA (Programme for International Student Assessment) 2003 tentang literasi sains menyebutkan Indonesia peringkat 38 dari 41 negara, dan survei TIMSS (Trends Internasional in Mathematics and Science Study) juga menyebutkan Indonesia peringkat 34 dari 45 negara. Hasil penelitian PISA tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi peserta didik-peserta didik Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana. Hasil pengukuran literasi sains terakhir PISA pada tahun 2009 yang publikasikan oleh OECD (Organization For Economic Cooperation and development) menunjukkan bahwa tingkat literasi sains siswa Indonesia masih rendah. Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 74 negara anggota OECD dengan skor rata-rata 383. Hasil literasi sains yang dipublikasikan PISA menjelaskan kemampuan literasi untuk rata-rata siswa Indonesia yang jauh di bawah kemampuan siswa lainnya di dunia.

Dalam usaha membangunkan sistem pendidikan bertaraf dunia, pengetahuan dan keterampilan literasi seharusnya ditingkatkan untuk membantu proses pembelajaran lebih bermakna. Rendahnya mutu penguasaan sains peserta didik

1106 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

menunjukkan bahwa proses pembelajaran sains di sekolah belum maksimal. Keadaan ini menuntut adanya pembenahan dengan segera untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sains di Indonesia. Proses peningkatan pembelajaran sains harus dimulai dari perbaikan kualitas guru sains. Guru merupakan ujung tombak dalam proses pembelajaran di kelas demi tercapainya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan sains.

Penelitian ini berjenis research and development (R&D)/penelitian dan pengembangan. Sejarah penelitian R&D bermula pada dunia industri. Ujung tombak dari suatu industri dalam menghasilkan poduk baru yang dibutuhkan oleh pasar adalah R & D. Lebih kurang 4% biaya digunakan untuk penelitian ini. Bahkan alokasi biayanya bisa lebih untuk bidang-bidang tertentu seperti komputer dan farmasi. Adapun dalam bidang sosial dan pendidikan, R&D masih sangat kecil biayanya kurang dari 1% dari biaya secara keseluruhan. Alasan inilah yang menyebabkan mengapa kemajuan dalam bidang pendidikan agak tertinggal jika dibandingkan dengan bidang lain.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan sains adalah melalui peningkatan kualitas guru. Upaya memperbaiki mutu guru sains dimulai dari deteksi kemampuan literasi sainsnya melalui instrumen yang valid. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas guru sains tentulah diperlukan sebuah instrumen yang sesuai. Instrumen memegang peranan penting dalam menentukan kualitas suatu penelitian. Kesahihan data akan sangat ditentukan oleh kualitas atau validitas instrumen yang digunakan, di samping prosedur pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini bisa dilakukan dengan mengembangkan sebuat instrumen pengukur kemampuan literasi sains guru. Penyusunan instrumen untuk mengukur kompetensi guru dalam literasi sains perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Instrumen ini dapat digunakan untuk memotret kemampuan literasi sains guru secara umum agar ditindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibutuhkan.

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan dan memvalidasi instrumen Keterampilan Literasi yang mengukur kompetensi literasi sains guru. Pengembangan instrumen bermanfaat untuk memotret kemampuan guru dalam literasi sains dan kemampuannya untuk memaksimalkan penerapannya dalam pembelajaran. Guru yang kompeten dalam literasi sains dapat merancang strategi pengajaran dengan lebih bermakna. Sedangkan kurangnya pengetahuan literasi dapat menyebabkan keadaan sebaliknya.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan instrumen literasi sains guru yang bertujuan untuk mengembangkan instrumen yang mengukur kemampuan literasi sains bagi guru sains SMA/MA.

Penelitian ini bermanfaat bagi guru dan pemangku kepentingan (stake holders) untuk mengembangkan instrumen penilaian literasi yang valid dan reliabel, mengukur tingkat literasi sains dan kemampuan literasi sains guru dan sebagai sumber referensi untuk meningkatkan kualitas guru sains khususnya guru sains SMA/MA

Literasi sains (scienceliteracy, LS) berasal dari gabungan dua kata Latin yaitu literatus artinya ditandai dengan huruf, melek huruf, atau berpendidikan dan scientia, yang artinya memiliki pengetahuan. Orang yang dianggap pertama

menggunakan istilah literasi sains adalah Paul de Hurt dari Stanford University. Menurutnya, literasi sains bermakna tindakan memahami sains dan mengaplikasikannya bagi kebutuhan masyarakat.

Literasi sains berarti penghargaan pada ilmu pengetahuan dengan cara meningkatkan komponen-komponen belajar dalam diri agar dapat memberi kontribusi pada lingkungan sosial (Holbrook, 2009). Ternyata setiap kalangan dapat memberikan kontribusi dalam mengartikan literasi sains. Setiap kalangan umur memberikan kontribusi terhadap teknologi berdasarkan tingkat pemahaman yang dimilikinya. Secara garis besar literasi sains memiliki beberapa komponen, sebagai berikut: 1) mampu membedakan mana konteks sains dan mana yang bukan konteks sains; 2) mengerti bagian-bagian dari sains dan memiliki pemahaman secara umum aplikasi sains; 3) memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan sains dalam pemecahan masalah; 4) mengerti karakteristik dari sains dan mengerti kaitannya dengan budaya; dan 5) mengetahui manfaat dan resiko yang ditimbulkan oleh sains. Secara sederhana literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan.

Mengacu pada PISA assessment (2003), dimensi literasi sains meliputi: 1) Kandungan literasi sains; 2) Proses literasi sains; dan 3) Konteks literasi sains.

Konsep ilmiah (scientific concepts) merupakan konsep kunci atau esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat kegiatan manusia (Toharudin & Rustaman, 2011). Dimensi ini terdiri dari aspek-aspek lingkungan fisik yang dipersatukan melalui konsep-konsep fisika, kimia, biologi, serta IPBA.

Dalam dimensi ini peserta didik memerlukan kemampuan untuk mengkaji pengetahuan dan pemahaman ilmiah untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA menggunakan dimensi ini untuk menguji pertanyaan ilmiah, mengidentifikasi bukti, menarik kesimpulan, mengomunikasikan kesimpulan dan menunjukkan pemahaman konsep ilmiah. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika peserta didik menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan.

Dalam PISA konteks literasi sains lebih pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium. Konteks sains melibatkan isu-isu yang sangat penting dalam kehidupan secara umum, seperti kehidupan dan kesehatan, bumi dan lingkungan serta teknologi.

Pengembangan instrumen pada penelitian ini juga melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan seperti keadaan lingkungan, kesehatan dan sains teknologi.

METODE PENELITIAN

Pengembangan sebuah instrumen dapat dilakukan dengan mengikuti metode R & D. Jenis Penelitian adalah menggunakan jenis R dan D (Research and Development) yaitu penelitian dan pengembangan instrumen literasi sains bagi guru. Instrumen pengukuran kemampuan literasi sains yang dikembangkan menjadi produk penelitian pengembangan, yang dapat digunakan untuk melaksanakan pengukuran dan penilaian kemampuan guru pada sebuah

1107

program atau lembaga. Instrumen penelitian dapat digunakan kembali oleh penelitian lain yang memiliki keterkaitan dan kebutuhan yang sama.

Objek penelitian ini adalah instrumen literasi sains guru yang direvisi, dan diuji validitas butir skor dan tingkat reliabilitasnya. Jumlah item tes adalah 15 butir. Sebagai responden penelitian adalah 23 guru sains MA DKI Jakarta. Latar belakang pendidikan subyek adalah 17 orang berlatar belakang jenjang S-1 dan 6 orang jenjang S-2. Responden diambil secara acak dari guru fisika Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan Swasta (MAS) yang ada di DKI Jakarta baik ASN maupun honorer.

Tahap penelitian dibagi dua, yaitu tahap penelitian dan pengembangan. Tahap penelitian meliputi analisis kebutuhan, penentuan tujuan dan pengembangan instrumen. Tahapan dalam pengembangan instrumen ini meliputi penyusunan kisi-kisi, penulisan item, pengujian, penskoran dan analisis dan terakhir pelaporan. Instrumen ini mengandung 15 item aneka pilihan (polikotomus).

Menurut Sugiyono, langkah-langkah penelitian R & D terdiri dari 10 langkah sebagai berikut: 1) Potensi dan masalah; 2) Pengumpulan data; 3) Desain produk; 4) Validasi desain; 5) Revisi desain; 6) Ujicoba produk; 7) Revisi produk; 8) Ujicoba pemakaian; 9) Revisi produk; dan 10) Produksi masal (Sugiyono, 2009).

Sebelum digunakan secara umum, instrumen harus diujicobakan terlebih dahulu. Tujuan dari uji coba instrumen adalah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan instrumen yang telah susun untuk digunakan dalam proses pengumpulan data yang sebenarnya. Uji coba ini meliputi kelayakkan validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, daya pembeda, dan berfungsinya pengecoh. Pada analisis butir instrumen yang demikian, biasanya akan menyebabkan adanya butir soal yang dibuang atau direvisi.

Data yang diolah pada penelitian ini berasal dari respon guru sains terhadap instrumen penelitian berupa jawaban dari tes literasi sains. Data berupa skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Data yang terkumpul akan dianalisis dengan Classical test theory dan diulas secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap awal dari penyusunan instrumen adalah penyusunan kisi-kisi. Kisi-kisi merupakan acuan atau pedoman untuk membuat instrumen. Penulisan kisi-kisi harus didasarkan pada konstruk variabel penelitian. Hal ini penting agar kisi-kisi nantinya dapat dipertanggungjawabkan. Pada langkah penyusunan kisi-kisi instrumen, diperlukan pemahaman definisi konseptual dari konstruk yang akan diukur. Berangkat dari definisi ini, dapat diturunkan definisi konsep menjadi sub-konsep atau dimensi dan dijabarkan lebih lanjut menjadi indikator-indikator. Instrumen literasi sains bagi guru dibuat berdasarkan kisi-kisi dan bahasan sebagai berikut:

Tabel 1. Konstruk Instrumen

Instrumen yang disusun berbentuk tes. Tes merupakan cara pengumpulan data yang menyajikan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. Metode tes sangat tepat digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa kemampuan kognitif dan psikomotorik seseorang. Kemampuan literasi sains merupakan kemampuan kognitif yang dimiliki setiap orang. Sehingga bentuk instrumen ini sesuai dengan tujuan penelitian. Bentuk instrumen yang digunakan adalah tes bentuk pilihan ganda. Pilihan ganda dipilih karena dapat mengungkapkan kemampuan seseorang secara lebih luas. Maksudnya, banyak materi dapat tercakup untuk diujikan melalui tes pilihan ganda. Selain itu, bentuk tes pilihan ganda dapat digunakan dalam skala yang luas dan proses penskorannya yang mudah. Adapun topik bahasan pada instrumen yang digunakan dalam penelitian meliputi topik lingkungan, kesehatan dan sains teknologi.

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen

Penelitian ini menganalisis data jawaban responden secara klasik. Analisis item secara klasik merupakan proses penelaahan item melalui informasi dari respon subyek guna meningkatkan mutu item dengan mempergunakan teori tes klasik. Kelebihan analisis ini adalah murah dan mudah dilaksanakan, sederhana dan dapat menggunakan data dari sampel kecil. Adapun analisis modern, Item Response Theory (IRT) tidak bisa digunakan pada penelitian ini karena didasarkan pada konsep atribut laten daripada analisis statistik, memerlukan sampel besar dan analisis pengecoh diabaikan serta menebak tidak mempengaruhi skor.

Aspek yang diperhatikan dalam analisis klasik meliputi tingkat kesukaran (proportion correct) item, daya pembeda item (point biser), dan penyebaran pilihan jawaban. Yang dimaksud tingkat kesukaran adalah peluang untuk menjawab benar item pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk proporsi yang besarnya berkisar 0,00 – 1,00. Semakin besar indeks kesukaran yang diperoleh, berarti item itu semakin mudah. Item instrumen literasi pada penelitian ini berupa pilihan objektif dan tingkat kesukaran item ini merupakan skor rata-rata pada item yang bersangkutan.

Analisis klasik memiliki keterbatasan, yaitu bahwa tingkat kesukaran sangat sulit untuk mengestimasi secara tepat karena dibiaskan oleh sampel. Jika sampel berkemampuan tinggi, maka soal akan sangat mudah (TK > 0,90) dan sebaliknya jika sampel berkemampuan rendah, maka soal akan sangat sulit (TK ≤ 0,40). Adapun analisis IRT mengestimasi tingkat kesukaran soal tanpa melihat respondennya (invariance), komposisi sampel dapat mengestimasi parameter dan tingkat kesukaran soal tanpa bias.

Daya pembeda (Discriminant index) soal merupakan kemampuan buatu item untuk membedakan antara subyek yang menguasai materi yang ditanyakan dan yang tidak. Daya pembeda memiliki beberapa manfaat seperti meningkatkan mutu item melalui data empirik, indeks daya pembeda dapat menentukan apakah item baik, direvisi atau di tolak. Item yang tidak dapat membedakan kemampuan

Irawati, Pengembangan instrumen untuk mengukur kemampuan literasi sains .....

No Konstruk No Item Jumlah Item Jumlah Item Setelah Revisi1 Konsep 2, 4, 5, 8, 9, 15 6 52 Proses/Prosedur 1, 7, 10, 11, 12, 13 6 23 Aplikasi/konteks 3, 6, 14 3 3

No Topik No item Jumlah item Jumlah Item Setelah Revisi1 Lingkungan 1, 2, 3, 4 4 32 Kesehatan 5, 6, 7, 8 4 33 Sains teknologi 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 7 4

1108 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

responden berarti mungkin kunci jawaban yang tidak tepat, item memiliki lebih dari satu jawaban, kompetensi yang diukur kurang jelas, pengecoh tidak berfungsi, materi yang ditanyakan terlalu sulit, atau item kurang jelas.

Indeks daya beda item biasanya juga dinyatakan dalam bentuk proporsi. Semakin tinggi indeks berarti item dapat membedakan responden yang memahami materi dan yang tidak. Indeks daya pembeda berkisar antara -1,00 dan +1,00. Semakin tinggi daya pembeda soal, maka semakin kuat/ baik item itu. Jika daya pembeda negative (< 0) berarti lebih banyak kelompok bawah menjawab benar item tersebut dibanding dengan kelompok atas. Klasifikasi daya beda adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria Soal Pilihan Ganda (Surapranata, 2009)

Skor daya beda yang berdasarkan point biserial memiliki beberapa kelebihan seperti memberikan refleksi kontribusi item terhadap fungsi tes, sederhana dan langsung berhubungan dengan statistic tes. Kutipan paragraf pada instrumen literasi sains:

“… sementara hujan adalah bagian dari siklus hidrologi yang tidak dapat diatur sesuai keinginan manusia.”

Item 2 instrumen berkenaan paragraf di atas adalah Siklus hidrologi meliputi beberapa tahapan kecuali a. Kondensasi; b. Presipitasi; c. Evaporasi; d. Infiltrasi; dan e. Transpirasi. Hasil analisis item tersebut sebagai berikut:

Tabel 4. Analisis Item 2

Tingkat kesukaran item ini sedang ditujukkan proporsi 0,435, sebanyak 43,5% peserta tes dapat menjawab item dengan benar. Daya beda item adalah 0,654 yang bermakna item ini dapat berfungsi. Kunci jawaban ditunjukkan dengan tanda asterik yaitu alternatif jawaban 4. Validitas item (point biser) sebesar 0,654 menandakan bahwa pengecoh berfungsi sebagaimana mestinya. Peserta tes yang mampu akan menjawab benar pada kunci sedangkan peserta tes yang rendah kemampuannya menjawab salah pada kunci. Ditinjau dari distribusi jawaban, prosetase peserta tes merespon alternatif jawaban, semuanya berfungsi kecuali alternatif jawaban 3 tidak ada yang merespon. Sebanyak 4,3% peserta merespon alternatif jawaban 1. Alternatif jawaban 2 direspon 13% peserta. Alternatif jawaban kelima dipilih oleh 39,1% peserta tes.

Analisis item 3 menunjukkan reliabilitas 0,522 dan validitas 0,434. Kita bisa menemukan angka ini tingkat kesukaran dan daya beda. Item ini valid dan reliabel. Semua

alternatif jawaban direspon oleh peserta tes. Kunci jawaban pun berfungsi dengan baik.

Tabel 5. Analisis Item 3

Adapun contoh analisis lain sebagai berikut:

… Namun, yang menjadi masalah bila matahari padam ternyata bukan sekedar masalah panas. Matahari juga menjaga agar planet kita tetap pada orbitnya. Jika massa matahari tiba-tiba menghilang (dan ini sama sekali tidak mungkin), maka Bumi ini akan terbang terlontar, seperti bola yang berayun pada tali dan tiba-tiba dilepaskan.

Faktor dominan yang mempertahankan bumi tetap pada orbitnya berdasarkan artikel di atas adalah: a. Massa bumi; b. Gaya sentripetal; c. Gaya sentrifugal; d. Massa matahari; dan e.Gaya gravitasi

Tabel 6. Analisis Item 15

Analisis menunjukkan bahwa item ini kurang berfungsi dengan baik. Kunci jawaban 4 tidak banyak direspon peserta. Malah peserta tes lebih banyak yang merespon jawaban 2. Tingkat kesukaran item termasuk sedang (0.348), adapun daya beda sangat kecil hanya 0,063. Item ini termasuk item yang dibuang karena tidak termasuk item yang valid dan reliabel.

Hasil analisis instrumen secara keseluruhan diperoleh 4 item (27%) harus dibuang yaitu item no 1, 10, 12 dan 15 dan 11 item yang diterima yaitu item nomor 2, 3, 4, 5, 6,7, 8, 9, 11, 13, 14 (73%).

Reliabilitas instrumen literasi sains ini ditunjukkan dengan skor Alpha Cronbach 0.373 dan SEM 1.800. Tujuan utama menghitung reliabilitas skor tes adalah untuk mengetahui tingkat ketepatan (precision) dan keajekan (consistency) skor tes. Indeks reliabilitas berkisar antara 0 sampai 1. Semakin tinggi reliabilitas suatu instrumen maka semakin tinggi pula keajekan/ketepatannya. Instrumen ini memiliki koefisien 0,373 dan SEM 1,800 yang menunjukkan bahwa instrumen ini belum tinggi keajekannya dan masih memerlukan revisi. Bila ditinjau dari skewness instrumen maka dengan Skew 0.266 bernilai positif yang bermakna bahwa instrumen ini tergolong sukar berisi item-item dengan TK > 0,25. Adapun tes/insrumen yang tergolong mudah ditandai dengan skew negative karena terdiri dari item-item dengan TK ≥ 0,800. Adapun validitas instrumen dapat dilihat dari perhitungan Mean Biserial 0.399.

Tahapan berikutnya adalah melakukan analisis instrumen dengan membuang 5 item yang disarankan dibuang pada

Kriteria Koefisien Keputusan

Tingkat Kesukaran 0,30 – 0,70 Diterima 0,10 - 0,29 atau 0,70 – 0,90 Direvisi < 0,10 dan > 0,90 Ditolak > 0,3 DiterimaDaya Pembeda 0,10 – 0,29 Direvisi < 0,10 Ditolak

1109

tahap 1. Hasil analisisnya memberikan perhitungan Skew 0.378 meningkat dari skew pada perhitungan sebelumnya 0,266. Demikian juga dengan reliabilitas instrumen ditunjukkan skor Alpha 0.529 dan SEM 1.477 meningkat dari 0,373 dan SEM menurun dari 1,80. Demikian juga validitas instrumen meningkat menjadi 0.551. Setelah dianalisis kembali dengan membuang item-item yang kurang valid, maka skor point biser meningkat dan validitas bertambah.

Analisis instrumen ini secara umum menggambarkan kualitas instrumen yang cukup baik namun masih membutuhkan pengembangan dan uji coba produk pada subyek yang lebih luas sebelum revisi akhir dan digunakan untuk umum.

Proses pembelajaran sains yang dilakukan di sekolah merupakan faktor yang menentukan mutu hasil belajar sains para peserta didik. Rendahnya hasil belajar sains menunjukkan bahwa proses pembelajaran sains di sekolah telah mengabaikan perolehan kepemilikan literasi sains peserta didik. Analisis skor instrumen literasi sains pada penelitian ini sedikit banyak memberikan gambaran keadaan pendidik sains yang membelajarkan sains di sekolah.

Pembahasan di atas mengungkapkan bahwa penyusunan instrumen literasi sains bagi guru masih memerlukan pengembangan. Hasilnya kelak dapat digunakan secara luas untuk menjaga kualitas guru sains secara umum khususnya kemampuan literasi sainsnya.

Sedikit terungkap dari hasil uji coba bahwa guru sains di Jakarta masih memerlukan pelatihan untuk membelajarkan siswa penerapan sains baik dari segi konsep, proses dan

konteks. Program pelatihan untuk pengembangan guru merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap siswa. Salah satu hasil yang diharapkan muncul dari pelatihan adalah meningkatnya kemampuan guru dalam literasi sains, dalam menyusun rencana pembelajaran sains dan dalam membelajarkan sains kepada siswanya.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian pengembangan (R & D) ini menghasilkan produk berupa scientific literacy instrument for science teachers yang mengukur konsep, proses dan konteks dan terdiri dari 10 item. Hasil uji coba diperoleh instrumen literasi sains memiliki reliabilitas 0.529 dan validitas instrumen 0.551. Hasil uji validitas butir skor sebanyak 11 dari 15 item atau 73% item berkategori tinggi. Analisis instrumen ini secara umum menggambarkan kualitas instrumen yang cukup baik namun masih membutuhkan pengembangan dan uji coba produk pada responden yang lebih luas sebelum revisi akhir dan digunakan untuk umum. .

Saran yang perlu dilakukan bagi pengembangan instrumen ini adalah perlunya penelitian yang lebih luas dan mendalam agar diperoleh instrumen yang valid dan reliabel. Selain itu perlu ada pelatihan bagi guru untuk memperbaiki kompetensinya di bidang sains, paedagogi dan profesionalisme. Secara umum, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sains perlu kerja sama antara guru dan pemangku kepentingan dari tingkat sekolah hingga nasional.

PUSTAKA ACUAN

Holbrook, J. (2009). The Meaning of Scientific Literacy. International Journal of Environmental & Science Educational, 4 (3) , 144-150.

Sari, M. (2012). Literasi Sains Di Era Globalisasi. Retrieved from http://tarbiyahiainib.ac.id/dosen/artikel-dosen/181-problematika-pendidikan-sains-di-indonesia

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. . Bandung : Alfabeta.

Surapranata, S. (2009). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Toharudin, U., & Rustaman, S. H. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung.

Irawati, Pengembangan instrumen untuk mengukur kemampuan literasi sains .....

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PPKN MATERI HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL DENGAN METODE TS-TS (TWO STAY TWO STRAY)

JUMANTA HAMDAYAMAGuru SMKN 40 Jakarta

Abstract. The background of the research is the use of teacher-oriented learning and students are the teaching object in PPKn subject. Consequently, the process of learning takes place monotone, students are get bored, lack of enthusiasm, and under learning outcomes. This research aims to enhancement of PPKn learning outcomes in national law and justice materials of X Accounting 1 class at SMKN 40 Jakarta and developing students learning activity. The type of this research is classroom action research (CAR) and doing three cycle activity. This research has been doing from September 2017 until Desember 2017. The subject of this research is X Accounting 1 at SMKN 40 Jakarta students. The result showed improved the learning outcomes from cycle I, II, and cycle III. The students that experience learning completeness in cycle I was 70%, in cycle II was 85% and in cycle III was 96%. This research was used TS-TS method that can increase students learning outcomes in law and national justice.

Key Word: Learning Outcomes PPKn, TS-TS Methods, Law and National Justice Materials

Abstrak. Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) masih berpusat pada guru dimana siswa sebagai objek ajar, pembelajaran berlangsung monoton, kurang aktif, hasil belajar yang dicapai pun masih di bawah ketuntasan belajar. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar PPKn siswa. Penelitian dilakukan di SMKN 40 Jakarta kelas X Akuntansi 1, dari September sampai Desember Tahun Pelajaran 2017/2018, dengan melibatkan 36 siswa menggunakan materi hukum dan peradilan nasional. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam tiga siklus dimana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan hasil belajar PPKn dari siklus I, II dan siklus III, dimana siswa mencapai ketuntasan belajar pada siklus I sebesar 70%, siklus II 85% dan siklus III sebesar 96%. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan metode TS-TS (Two Stay Two Stray) dapat meningkatkan hasil belajar PPKn siswa pada materi hukum dan peradilan nasional. Selain itu keaktifan siswa dalam TS-TS juga mengalami peningkatan dari siklus I, siklus II, dan siklus III. Aktivitas belajar tersebut meliputi: bertanya dan menjawab, memaparkan ide, mengemukakan pendapat, bekerja sama, dan berbicara dengan teman.

Kata Kunci: Hasil belajar PPKn, metode TS-TS, materi hukum dan peradilan nasional

PENDAHULUAN

PPKn sebagai salah satu bidang studi yang memegang peranan penting dalam usahanya untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Umumnya kegiatan pembelajaran PPKn yang terjadi di dalam kelas didominasi pembelajaran satu arah. Walaupun guru telah melaksanakan model pembelajaran, guru tetap diibaratkan sebagai pembaca berita sedangkan siswa hanya sebagai pendengar. Interaksi antara peserta didik dengan guru jarang terjadi dalam membahas materi yang disampaikan. Aktifitas siswa hanya mendengar, membaca dan menulis, bahkan ada siswa yang tidak mengikuti pelajaran tersebut. Hal ini berkorelasi dengan hasil belajar yang didapatkan oleh peserta didik dengan mendapatkan nilai yang kurang memuaskan.

Masalah yang sering muncul pada proses pembelajaran PPKn berdasarkan pengalaman dalam mengelola pembelajaran antara lain: aktifitas belajar siswa sangat rendah, teridentifikasi dari minat bertanya siswa kurang berani mengemukakan pendapat, kurang berani mengajukan gagasan, kurang percaya diri, kurang mau menyiapkan diri dalam belajar. Aktifitas belajar merupakan kegiatan dalam

proses belajar seperti bertanya, mengajukan pendapat, mendiskusikan bahan ajar, mengerjakan tugas-tugas, serta interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan sumber belajar.

Berbagai masalah yang muncul dalam proses pembelajaran PPKn di kelas seperti siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran, terjadinya kejenuhan siswa dalam belajar, suasana kelas yang kurang kondusif, serta berbagai masalah-masalah lainnya yang sering muncul dalam pembelajaran. Hal yang paling besar yang muncul adalah dengan banyaknya ketidaktuntasan yang diperoleh siswa dalam mata pelajaran PPKn. Begitu pula di SMK Negeri 40 Jakarta pada kelas X Akuntansi 1 tahun pelajaran 2017/2018, berdasarkan hasil penilaian yang dilakuan pada materi hukum dan peradilan nasional diperoleh data sebanyak 60% siswa yang tidak mengalami ketuntasan dalam pembelajaran PPKn.

Salah satu alternatif metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar PPKn pada materi hukum dan peradilan nasional yaitu dengan menggunakan metode TS-TS (Two Stay Two Stray). Menurut Spencer Kagan (1992), struktur TS-TS merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok

1111

membagikan hasil dan informasi kepada kelompok lain. Dalam metode TS-TS siswa dihadapkan pada kegiatan mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang bertamu, yang secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan oleh anggota kelompok yang menjadi tuan rumah tersebut. Siswa diajak untuk bergotong-royong dalam menemukan suatu konsep. Penggunaan model pembelajaran kooperatif TS-TS akan mengarahkan siswa untuk aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi yang dijelaskan oleh teman.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini ingin mengetahui peningkatan hasil belajar siswa SMK Negeri 40 Jakarta kelas X Akuntansi 1 tahun pelajaran 2017/2018 pada mata pelajaran PPKn materi hukum dan peradilan nasional setelah diterapkannya metode TS-TS (Two Stay-Two Stray). Selain itu penelitian ini bertujuan ingin menganalisis aktifitas belajar siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta tahun pelajaran 2017/2018 setelah diterapkan TS-TS (Two Stay-Two Stray).

Belajar menurut Toto Ruhimat (2017: 124) merupakan aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil. Melalui belajar seseorang akan mengalami proses baik itu yang bersifat kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Belajar menurut Gagne dalam Toto Ruhimat (2017:124) adalah proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagaimana akibat pengalaman. Dari pengertian ini terdapat tiga unsur pokok dalam belajar, yakni 1) proses; 2) perubahan perilaku; dan 3) pengalaman. Belajar dapat dilakukan melalui pengalaman langsung maupun pengalaman tidak langsung. Siswa yang yang melakukan eksperimen adalah contoh belajar dengan pengalaman langsung. Sedangkan siswa belajar dengan mendengarkan penjelasan guru atau membaca buku adalah contoh belajar melalui pengalaman tidak langsung.

Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar menurut Sudjana dalam Toto Ruhimat (2017: 127) merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu. Sejalan dengan konsep diatas Cronbach mengemukakan bahwa “Learning may be defined as the process by which a relatively enduring change in behavior occurs as a result of experience or practice”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa indikator belajar ditentukan oleh perubahan dalam tingkahlaku yang bersifat permanen sebagai hasil dari pengalaman atau latihan (Toto Ruhimat, 2017:127).

Pendapat modern yang muncul pada abad 19 menganggap belajar adalah proses perubahan tingkahlaku (a change in behavior). Menurut Ernest R.Hilgard (1948) dalam buku Sri Anitah (2014: 2.4) menyatakan bahwa learning is the process by which an activity originates or is changed trought training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atrisutable to training. Jadi, belajar merupakan proses perubahan tingkahlaku yang diperoleh melalui

latihan dan perubahan itu disebabkan karena ada dukungan dari lingkungan yang positif yang menyebabkan terjadinya interaksi edukatif. Perubahan tersebut terjadi secara menyeluruh meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan, tetapi kadang-kadang hanya nampak salah satu domain saja. Perubahan belajar itu sendiri tidak berdasarkan naluri tetapi melalui latihan, lain halnya seperti burung pandai membuat sarang itu bukan karena berkat hasil belajar.

Menurut Sri Anitah (2014: 2.3) belajar dapat dikatakan sebagai suatu proses, artinya dalam belajar akan terjadi proses melihat, membuat, mengamati, menyelesaikan masalah atau persoalan, menyimak dan latihan. Itu sebabnya, dalam proses belajar guru harus membimbing dan memfasilitasi siswa supaya siswa dapat melakukan proses-proses tersebut. Proses belajar harus diupayakan secara efektif agar terjadi adanya perubahan tingkahlaku siswa yang disebabkan oleh proses-proses tersebut. Jadi, seseorang dapat dikatakan belajar karena adanya indikasi melakukan proses tersebut secara sadar dan menghasilkan perubahan tingkahlaku siswa yang diperoleh berdasarkan interaksi dengan lingkungan. Perwujudan perubahan tingkah laku dari hasil belajar adalah adanya peningkatan kemampuan siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Perubahan tersebut sebagai perubahan yang disadari, relatif bersifat permanen, kontinu, dan fungsional.

Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulkan beberapa hal yang menyangkut pengertian belajar sebagai berikut: 1) belajar merupakan suatu proses, yaitu kegiatan yang berkesinambungan yang dimulai sejak lahir dan terus belangsung seumur hidup; 2) dalam belajar terjadi adanya perubahan tingkahlaku yang bersifat relatif permanen; 3) hasil belajar ditunjukkan dengan aktivitas-aktivitas tingkahlaku secara keseluruhan; dan 4) adanya peranan kepribadian dalam proses belajar, antara lain aspek motivasi, emosional, sikap, dan sebagainya

Hasil belajar berasal dari dua kata, yaitu hasil dan belajar. Pada proses belajar seorang guru pasti menginginkan hasil belajar yang baik atau memenuhi KKM (kriteria ketuntasan materi) untuk siswanya. Perubahan hasil belajar itu dapat terbentuk dalam bentuk perubahan pengetahuan (knowledge), penguasaan perilaku (behavior), keterampilan (skill) dan perbaikan kepribadian (karakter).

Menurut Poerwadarminta (2010: 408) hasil berarti sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan) oleh usaha. Sebagaimana dikemukakan oleh UNESCO dalam Sri Anitah (2014: 2.6) ada empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh pendidikan yaitu: learning to know, learning to be, learning to do, learning to life together.

Selanjutnya Bloom (1956) menyebutnya dengan tiga ranah hasil belajar, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk aspek kognitif, Bloom menyebutkan enam tingkatan, yaitu: 1) Pengetahuan; 2) Pemahaman; 3) Pengertian; 4) Aplikasi; 5) Analisis; 6) Sintesis dan 7) Evaluasi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkahlaku secara keseluruhan baik yang menyangkut segi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Proses perubahan dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar (Ahmad Taufik, 2012).

Hamdayama, Peningkatan hasil belajar PPKn materi hukum dan peradilan .....

1112 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

Revisi dilakukan terhadap Taksonomi Bloom, yakni perubahan dari kata benda (dalam Taksonomi Bloom) menjadi kata kerja (dalam taksonomi revisi). Perubahan ini dibuat agar sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan-tujuan pendidikan mengindikasikan bahwa siswa akan dapat melakukan sesuatu (kata kerja) dengan sesuatu (kata benda). Revisi dilakukan oleh Kratwohl dan Anderson (2001), taksonomi menjadi: 1) mengingat (remember); 2) memahami (understand); 3) mengaplikasikan (apply); 4) menganalisis (analyze); 5) mengevaluasi (evaluate); dan 6) mencipta (create). (Ahmad Taufik, 2012)

Menurut Sri Anitah (2014:2.7) keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu faktor dalam diri siswa sendiri (intern) dan faktor dari luar diri siswa (ekstren). Faktor dari dalam diri siswa (intern) yang berpengaruh terhadap hasil belajar diantaranya adalah kecakapan, minat, bakat, usaha, motivasi, perhatian, kelemahan dan kesehatan, serta kebiasaan siswa. Salah satu hal penting dalam kegiatan belajar yang harus ditanamkan dalam diri siswa bahwa belajar yang dilakukannya merupakan kebutuhan dirinya. Minat belajar berkaitan dengan seberapa besar individu merasa suka atau tidak suka terhadap suatu materi yang dipelajari siswa. Minat inilah yang harus dimunculkan lebih awal dari dalam diri siswa. Minat, motivasi, dan perhatian siswa dapat dikondisikan oleh guru. Setiap individu memiliki kecakapan (ability) yang berbeda-beda. Kecakapan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan kecepatan belajar, yakni sangat cepat, sedang dan lambat.

Faktor dari luar (ekstern) diri siswa yang mempengarui hasil belajar diantaranya adalah lingkungan fisik dan non fisik (termasuk suasana kelas dalam belajar seperti riang gembira, menyenangkan), lingkungan sosial budaya, lingkungan keluarga, program sekolah (termasuk dukungan komite sekolah), guru, pelaksanaan pembelajaran, dan teman sekolah. Guru merupakan faktor yang berpengaruh terhadap proses maupun hasil belajar, sebab guru merupakan manajer atau sutradara dalam kelas. Dalam hal ini, guru harus memiliki kompetensi dasar yang diisyaratkan dalam profesi guru.

Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas, hasil belajar atau prestasi adalah kemampuan atau keberhasilan seseorang atau kelompok dari usaha yang didapatkan berdasarkan tujuannya. Hasil belajar bukan hanya berbentuk nilai atau angka tetapi dapat juga berupa perubahan sikap dan tingkahlaku. Tugas kita sebagai seorang guru adalah menciptakan suasana yang berbeda sehingga dapat memotivasi siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang mencapai tujuan.

Istilah “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” pada saat itu secara hukum tertera dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional. Sejak diundangkannya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 secara hukum istilah tersebut sudah berubah menjadi “Pendidikan Kewarganegaraan”. Oleh karena itu nama mata pelajaran tersebut di SMKN berubah menjadi Mata Pelajaran Pendidikan Kewaganegaraan.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki visi dan misi mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta

tanah air, melalui proses menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya, dan memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman dan guru.

Untuk itu dikembangkan substansi pembelajaran yang dijiwai oleh 4 konsensus kebangsaan yaitu (1) Pancasila, sebagai dasar negara; (2) UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (3) NKRI sebagai bentuk final negara Repubik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia; (4) Bhineka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antar bangsa.

Dalam Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar atau kompetensi minimal terdiri atas tiga jenis: Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewargaan (civic knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewargaan antara lain demokrasi, HAM, dan masyarakat madani; Kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (civic disposition) antara lain mencakup pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keberagaman, kepekaan terhadap masalah warga negara; dan Ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan (Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010: 79).

Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah model TS-TS. “Dua tinggal dua tamu” yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992) dan biasa digunakan bersama dengan model Kepala Bernomor (Numbered Heads). Struktur TS-TS yaitu salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok membagikan hasil dan informasi kepada kelompok lain. Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu sama lainnya.

Dalam metode pembelajaran ini siswa dihadapkan pada kegiatan mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang bertamu, yang secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan oleh anggota kelompok yang menjadi tuan rumah tersebut. Dalam proses ini, akan terjadi kegiatan menyimak materi pada siswa.

Dalam metode pembelajaran kooperatif TS-TS ini memiliki tujuan yang sama dengan pendekatan pembelajaran kooperatif yang telah dibahas sebelumnya. Siswa diajak untuk bergotong-royong dalam menemukan suatu konsep. Penggunaan model pembelajaran kooperatif TS-TS akan mengarahkan siswa untuk aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi yang dijelaskan oleh teman. Selain itu, alasan menggunakan metode pembelajaran Two Stay Two Stray ini karena terdapat pembagian kerja kelompok yang jelas tiap anggota kelompok, siswa dapat bekerjasama dengan temannya, dapat mengatasi kondisi siswa yang ramai dan sulit diatur saat proses belajar mengajar.

1113

Dengan demikian, pada dasarnya kembali pada hakikat keterampilan berbahasa yang menjadi satu kesatuan yaitu membaca, berbicara, menulis dan menyimak. Ketika siswa menjelaskan materi yang dibahas oleh kelompoknya, maka tentu siswa yang berkunjung tersebut melakukan kegiatan menyimak atas apa yang dijelaskan oleh temannya dan menyampaikan materi kepada teman lain. Demikian juga ketika siswa kembali ke kelompoknya untuk menjelaskan materi apa yang didapat dari kelompok yang dikunjungi. Siswa yang kembali tersebut menjelaskan materi yang didapat dari kelompok lain, siswa yang bertugas menjaga rumah menyimak hal yang dijelaskan oleh temannya.

Dalam proses pembelajaran dengan metode two stay two stray, secara sadar ataupun tidak sadar, siswa akan melakukan salah satu kegiatan berbahasa yang menjadi kajian untuk ditingkatkan yaitu keterampilan menyimak. Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif TS-TS seperti itu, siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan menyimak secara langsung, dalam artian tidak selalu dengan cara menyimak apa yang guru utarakan yang dapat membuat siswa jenuh. Dengan penerapan metode pembelajaran TS-TS, siswa juga akan terlibat secara aktif, sehingga akan memunculkan semangat siswa dalam belajar (aktif).

Sedangkan tanyajawab dapat dilakukan oleh siswa dari kelompok satu dan yang lain, dengan cara mencocokan materi yang didapat dengan materi yang disampaikan. Dengan begitu, siswa dapat mengevaluasi sendiri, seberapa tepatkah pola pikirnya terhadap suatu konsep dengan pola pikir narasumber. Kemudian bagi guru atau peneliti, menjadi acuan evaluasi berapa persenkah keberhasilan penggunaan metode pembelajaran kooperatif two stay two stray ini dalam meningkatkan keterampilan menyimak siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta tahun pelajaran 2017/2018. Waktu penelitian ini adalah dari bulan September sampai bulan Desember 2017. Dimulai dari pembuatan proposal sampai penulisan laporan. Adapun pelaksanaan perbaikan pembelajaran dilakukan dalam tiga siklus, siklus I dilaksanakan pada tanggal 27 September 2017, siklus II pada tanggal 18 Oktober 2017 dan siklus yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 30 November 2017.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta tahun pelajaran 2017/2018. Siswa di kelas tersebut berjumlah 36 orang yang terdiri dari 33 orang perempuan dan 3 laki-laki. Dalam pelaksanaan kegiatan ini akan membahas mata pelajaran PPKn dengan pokok bahasan hukum dan peradilan nasional.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian berlangsung selama tiga siklus, yang terdiri dari perencanaan (plan), pelaksanaan (act), pengamatan (observe), dan refleksi (reflect). Tiap siklus minimal akan terdiri dari tiga pertemuan tatap muka sehingga keseluruhan penelitian akan terdiri dari sembilan pertemuan tatap muka.

Penelitian ini terdiri atas tiga siklus, tiap siklus dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Pertemuan terakhir dari setiap siklus dilakukan dengan mengambil hasil tes peserta didik untuk melihat perkembangan hasil belajar yang

dicapai. Tahap perencanaan penelitian dimulai dengan: 1) menetapkan kompetensi dasar yaitu menganalisis hukum dan peradilan nasional di Indonesia; 2) membuat rencana pembelajaran (RPP) yang dilengkapi soal-soal yang akan digunakan dalam metode TS-TS (Two Stay Two Stray); 3) membuat lembar kerja siswa (LKS); 4) membuat instrumen pengamatan peserta didik; 5) membuat daftar hadir peserta didik, dan 6) menyusun kisi-kisi dan analisis hasil tes.

Tahap kedua pelaksanaan penelitian, pertemuan pertama berupa kegiatan pembelajaran di kelas yang terdiri atas pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Kegiatan pendahuluan dimulai dengan memberi salam, mengabsen peserta didik, apersepsi, memotivasi peserta didik, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada kegiatan inti: 1) guru menggali informasi dari peserta didik melalui tanya jawab yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari yaitu mengenai hukum dan peradilan nasional; 2) untuk membahas materi lebih lanjut guru membentuk kelompok sebanyak sembilan kelompok dan tiap kelompok terdiri atas empat siswa; 3) setelah kelompok terbentuk kemudian perwakilan peserta didik dari tiap kelompok sebanyak dua orang untuk berkeliling dari satu kelompok ke kelompok yang lainnya untuk menyebarkan informasi yang dimiliki kelompok ke kelompok lainnya; 4) guru melakukan bimbingan secara bergantian pada kelompok yang mengalami kesulitan serta melakukan observasi atas perilaku anak yang terjadi selama diskusi dalam kelompok; 5) guru memberikan kesempatan kepada tiap kelompok untuk menjelaskan materi yang dimiliki kelompoknya masing-masing; dan 6) guru memberikan penguatan dan melakukan kesimpulan serta refleksi pembelajaran.

Pertemuan kedua berupa kegiatan pembelajaran di kelas yang terdiri atas pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Kegiatan pendahuluan dimulai dengan memberi salam, mengabsen peserta didik, apersepsi, memotivasi peserta didik, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada kegiatan inti: 1) guru menggali informasi dari peserta didik melalui tanya jawab yang berkaitan dengan materi yang sudah dipelajari minggu yang lalu yaitu mengenai hakikat hukum dan unsur-unsur hukum; 2) untuk membahas materi lebih lanjut guru membentuk kelompok sebanyak sembilan kelompok dan tiap kelompok terdiri atas empat siswa; 3) setelah kelompok terbentuk kemudian perwakilan peserta didik dari tiap kelompok sebanyak dua orang untuk berkeliling dari satu kelompok ke kelompok yang lainnya untuk menyebarkan informasi yang dimiliki kelompok ke kelompok lainnya; 4) guru melakukan bimbingan secara bergantian pada kelompok yang mengalami kesulitan serta melakukan observasi atas perilaku anak yang terjadi selama diskusi dalam kelompok; 5) guru memberikan kesempatan kepada tiap kelompok untuk menjelaskan materi yang dimiliki kelompoknya masing-masing; 6) guru memberikan lembar kerja siswa; dan 7) guru menutup pembelajaran dengan memberikan penguatan dan melakukan kesimpulan serta refleksi pembelajaran.

Kegiatan pengamatan terhadap peserta didik dilakukan oleh guru dan kolaborator. Pembelajaran hukum dan peradilan nasional dengan menggunakan metode TS-TS (Two Stay Two Stray) memperlihatkan minat dan motivasi peserta didik cukup tinggi. Hal ini tampak dari antusiasnya peserta didik mengikuti jalannya pembelajaran dari awal sampai dengan akhir pembelajaran. Pada saat pengambilan

Hamdayama, Peningkatan hasil belajar PPKn materi hukum dan peradilan .....

1114 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

data pengamatan peserta didik guru dan kolaborator menggunakan variabel yang sudah dibuat sebelumnya. Variabel yang diamati dalam kegiatan pembelajaran yaitu keaktifan bertanya siswa, mengemukakan gagasan atau ide, kemampuan menyampaikan pendapat, kerjasama dalam kelompok serta kegiatan di luar pembelajaran yaitu mengobrol.

Langkah selanjutnya, dilakukan refleksi untuk memperbaiki kelemahan dan melanjutkan ke siklus berikutnya. Hasil pengamatan pembelajaran yang harus diperbaiki sebagai berikut: 1) peserta didik dalam membahas materi pada saat berada di kelompok; 2) guru memberikan arahan kepada peserta didik agar lebih aktif berdiskusi dan menyampaikan pendapat dalam kelompok; 3) guru lebih intensif lagi dalam membimbing peserta didik yang kesulitan dalam memahami materi yang sedang dipelajari; 4) guru lebih memotivasi peserta didik agar tidak malu dalam menyampaikan gagasan atau ide berkaitan materi yang sedang disampaikan di kelompok lainnya; dan 5) guru diharapkan memberikan penghargaan (reward) terhadap peningkatan hasil yang telah dicapai peserta didik.

Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran.

Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran.

Untuk menilai efektivitas tindakan setiap siklus digunakan kriteria ketuntasan minimal sebesar 75 untuk hasil belajar PPKn. Selanjutnya keaktifan siswa dalam pembelajaran TS-TS menggunakan kriteria rata-rata prosentase aktifitas siswa sebesar 75%. Untuk ketuntasan belajar, ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunjuk penilaian yang dikeluarkan Depdikmen (2015), yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor sesuai dengan KKM yang sudah ditentukan oleh guru. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data awal penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 60% rata-rata hasil belajar PPKn kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 siswa yang mencapai ketidaktuntasan dalam belajar. Selain itu, motivasi dan aktivitas siswa dalam pembelajaran PPKn khususnya dalam materi hukum dan peradilan nasional masih rendah. Keadaan ini memotivasi guru untuk mencari jalan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dengan mengubah metode pembelajaran dalam suatu penelitian tindakan kelas.

Hasil penelusuran pendapat peserta didik terhadap

pembelajaran PPKn melalui analisis angket yang disebarkan pada peserta didik kelas X Akuntansi 1, diperoleh sebanyak 26 atau 72% peserta didik menyatakan menyukai pembelajaran PPKn dan sebanyak 10 atau 28% siswa tidak menyukai pembelajaran PPKn. Selain itu siswa juga memberi respon menyenangkan sebanyak 25 atau 70% siswa, sedangkan yang tidak menyenangkan 11 atau 30% siswa menyatakan bahwa pembelajaran PPKn tidak menyenangkan. Setelah guru mendapatkan data tentang persepsi peserta didik terhadap pembelajaran PPKn maka dilakukan persiapan untuk melakukan penelitian tindakan kelas.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang sudah dilaksanakan perbaikan pembelajaran materi hukum dan peradilan nasional, diperoleh nilai siswa kelas X Akuntansi 1 SMKN 40 Jakarta masih ada yang di bawah KKM. Hal ini terlihat dari 36 siswa kelas X Akuntansi 1 ada 11 orang (30%) yang nilainya tidak tuntas, dan 25 orang (70%) yang nilainya di atas KKM. Secara lengkap hasil analisis data terhadap hasil pembelajaran yang dilakukan sebelum adanya perbaikan pembelajaran materi hukum dan peradilan nasional siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta diuraikan sebagai berikut yaitu siswa yang mendapat nilai 60 sebanyak 6 anak, siswa yang mendapat nilai 65 sebanyak 5 anak, siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 25 anak.

Setelah diberikan tindakan pada siklus I, kemudian dilakukan pengamatan terhadap jalannya pembelajaran diperoleh data, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus I

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1, kecuali aspek bekerjasama dalam kelompok, aspek bertanya dan menjawab, mengungkapkan ide atau pemikiran, mengeluarkan pendapat, dan berbicara dengan teman, ternyata belum mencapai kriteria yang sudah ditetapkan yaitu 75%. Adapun siswa yang berbicara dengan sesama teman masih banyak yaitu sebanyak 5 siswa.

Setelah melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran pada siklus I. Hasil refleksi pada siklus I dilakukan beberapa kegiatan diantaranya siswa menunjukkan bahwa aktivitas siswa belum aktif dan siswa belum memberikan respon positif dalam setiap pembelajaran yang dikembangkan dalam diskusi, motivasi belajar dan kegiatan untuk belajar. Setelah mengetahui hasil refleksi pada siklus I kemudiaan melakukan beberapa kegiatan diantaranya dengan merevisi RPP perbaikan untuk siklus berikutnya.

Hasil belajar siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta pada siklus II mengalami peningkatan. Dari 36 siswa kelas X Akuntansi 1, hanya 5 siswa (15%) yang nilainya tidak tuntas, dan 31 siswa (85%) yang nilainya di atas KKM. Secara lengkap hasil analisis data terhadap hasil evaluasi materi PKn kelas X Akuntansi 1 diuraikan sebagai berikut siswa yang mendapat nilai 60 sebanyak 3 orang, siswa yang mendapat nilai 65 sebanyak 2 orang, siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 31 orang.

Selanjutnya dilaksanakan tindakan pembelajaran pada

No Komponen yang diamati Jumlah %1 Bertanya dan menjawab 25 702 Mengungkapkan ide atau pemikiran 21 573 Mengeluarkan pendapat 22 604 Kerjasama dalam kelompok 31 875 Berbicara dengan teman 5 13

1115

siklus II. Adapun aktifitas pembelajaran metode TS-TS pada akhir siklus II disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus II

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 2, semua aspek yaitu aspek bekerjasama dalam kelompok, aspek bertanya dan menjawab, mengungkapkan ide atau pemikiran, dan mengeluarkan pendapat, ternyata sudah mencapai kriteria yang sudah ditetapkan yaitu 75%. Nampak dari Tabel 2, perilaku negatif siswa yaitu berbicara dengan teman di kelas pada saat pembelajaran mengalami penurunan pada siklus II yaitu hanya 7%.

Setelah melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran pada siklus II. Hasil refleksi pada siklus II dilakukan beberapa kegiatan diantaranya siswa menunjukkan bahwa aktivitas sangat aktif dan selalu memberikan respon positif dalam setiap pembelajaran yang dikembangkan dalam diskusi, motivasi belajar dan kegiatan untuk belajar siswa sangat baik.

Setelah melaksanakan perbaikan pembelajaran pada siklus III pada mata pelajaran PPKn dengan materi hukum dan peradilan nasional hasil belajar siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta mengalami peningkatan. Dari 36 siswa kelas X Akuntansi 1, hanya 2 siswa (4%) yang nilainya tidak tuntas, dan 34 siswa (96%) nilainya di atas KKM. Secara lengkap hasil analisis data terhadap pemahaman materi hukum dan peradilan nasional, siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta diuraikan sebagai berikut siswa yang mendapat nilai 70 sebanyak 2 anak, siswa yang mendapat nilai diatas KKM sebanyak 34 anak.

Selanjutnya dilaksanakan tindakan pembelajaran pada siklus III. Adapun aktifitas pembelajaran metode TS-TS pada akhir siklus II disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus III

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3, semua aspek yaitu aspek bekerjasama dalam kelompok, aspek bertanya dan menjawab, mengungkapkan ide atau pemikiran, dan mengeluarkan pendapat, ternyata sudah mencapai kriteria yang sudah ditetapkan yaitu 75%. Nampak dari Tabel 3, perilaku negatif siswa yaitu berbicara dengan teman di kelas pada saat pembelajaran mengalami penurunan pada siklus III yaitu hanya 5%.

Secara keseluruhan rekapitulasi nilai ketuntasan siswa dalam pembelajaran metode TS-TS disajikan dalam Tabel 4.

No Komponen yang diamati Jumlah %1 Bertanya dan menjawab 32 902 Mengungkapkan ide atau pemikiran 29 803 Mengeluarkan pendapat 31 854 Kerjasama dalam kelompok 33 925 Berbicara dengan teman 3 7

No Komponen yang diamati Jumlah %1 Bertanya dan menjawab 33 922 Mengungkapkan ide atau pemikiran 31 853 Mengeluarkan pendapat 31 854 Kerjasama dalam kelompok 34 955 Berbicara dengan teman 2 5

Tabel 4. Rekapitulasi nilai siswa pra sikus, siklus I, siklus II dan sIklus III

Temuan penelitian sebagaimana disarikan pada Tabel 4, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa yaitu ketuntasan dalam pembelajaran TS-TS dari siklus I, II, dan siklus III. Peningkatkan hasil belajar terus meningkat dari pra siklus I, siklus I, II, dan siklus III.

Secara keseluruhan rekapitulasi aktifitas siswa dalam pembelajaran metode TS-TS disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa siklus I, siklus II dan siklus III

Temuan penelitian sebagaimana disarikan pada Tabel 5, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan aktifitas siswa dalam pembelajaran TS-TS dari siklus I, II, dan siklus III. Peningkatkan aktivitas tersebut meliputi: bertanya dan menjawab mengalami peningkatan, siswa yang memaparkan ide atau pemikiran meningkat, mengemukakan pendapat atau sanggahan meningkat, kerjasama dengan kelompok, dan terjadi penurunan aktifitas berbicara dengan teman. Temuan penelitian ini, serupa dengan penelitian Suhaida dan Jayanti (2017), yang menemukan bahwa penerapan metode kooperatif TS-TS (Two Stay Two Stray), dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan fakultas ilmu pendidikan dan pengetahuan sosial IKIP PGRI Pontianak.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pembahasan yang sudah diuraikan dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan metode TS-TS (Two Stay Two Stray) dapat meningkatkan hasil belajar PPKn materi hukum dan peradilan di Indonesia siswa kelas X Akuntansi 1 SMK Negeri 40 Jakarta tahun pelajaran 2017/2018. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar PPKn sebesar 73 pada siklus I, sedangkan rata-rata hasil belajar PPKn sebesar 79 siklus II dan mencapai rata-rata hasil belajar PPKn sebesar 86.

Selain itu aspek keaktifan siswa juga mengalami peningkatan dalam pembelajaran metode TS-TS. Hal ini terlihat dari peningkatan aktifitas pada siklus I sebesar 69%, pada siklus II sebesar 87%, dan pada siklus III 89%. Aktifitas yang meningkat tersebut meliputi kemampuan bertanya, mengungkapkan ide dan gagasan, kemampuan mengemukakan pendapat, dan kerjasama dalam kelompok. Adapun aspek berbicara dengan teman mengalami penurunan dari siklus I, siklus II ke siklus III.

Pembelajaran dengan menggunakan metoda TS-TS (Two Stay Two Stray) dapat diterapkan pada pokok bahasan atau materi lainnya agar pembelajaran bisa lebih aktif,

No Kegiatan Ketuntasan Jumlah Siswa Tuntas %1 Pra Siklus 17 602 Siklus I 25 703 Siklus II 31 854 Siklus III 34 96

Hamdayama, Peningkatan hasil belajar PPKn materi hukum dan peradilan .....

No Komponen yang Siklus I Siklus II Siklus III Yang diamati Jmlh % Jmlh % Jmlh %1 Bertanya dan menjawab 25 70 32 90 33 922 Memaparkan ide 21 57 29 80 31 853 Mengemukakan pendapat 22 60 31 85 31 854 Kerjasama 31 87 33 92 34 955 Mengobrol 5 13 3 7 2 5

1116 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

menantang, variatif, dan menyenangkan peserta didik. Dengan pemakaian metode yang variatif diharapkan hasil dan aktifitas pembelajaran terus meningkat.

Metode TS-TS dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran PPKn secara umum dengan terlebih dahulu

melakukan penyempurnaan pada materi lain dengan melibatkan media yang relevan. Diperlukan pelatihan bagi guru-guru tentang metode TS-TS agar bisa diterapkan di berbagai materi dan jenjang kelas.

PUSTAKA ACUAN

Hamdayama, Jumanta. Aneka Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015

Hamidi, Jazim dan Lutfi, Mustafa. Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010

Herdiawanto, Heri, dkk. Spiritualisme Pancasila. Jakarta: Prenada Media, 2017

Hosnan. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014

Etika Profesi Pendidik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2016Iru, La dan Arihi, La Ode Safiun. Pendekatan, Metode, Strategi dan Model-

model Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo, 2012Mulyasa. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:

Rosdakarya, 2016

Ruhimat, Toto, dkk. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press, 2017

Sardjiyo, dkk. Pendidikan IPS di SD. Jakarta: UT Press, 2014Taufik, Ahmad. 2012. Taksonomi Bloom dan Revisi. Tersedia pada:file:///

taksonomi-bloom-dan revisi.html. Diakses pada tanggal: 20 Oktober 2013

Taufik, Agus, dkk. Pendidikan Anak di SD. Jakarta : UT Press, 2017Wahab, Abdul Azis. Metode dan Model Model Mengajar IPS. Bandung:

Alfabeta, 2012Suhaida dan Nur Fitri Jayanti. Penerapan metode kooperatif TS-TS

(Two Stay Two Stray), untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas ilmu pendidikan dan pengetahuan sosial IKIP PGRI Pontianak. Jurnal Pendidikan Sosial Horizon. Vol.4 No.1 Juni 2017.

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUISTRATEGI INKUIRI MENGGUNAKAN KOTAK AJAIB

KARDIMANSDN Kramat Pela 01

Abstract. Mathematics in elementary school is still a subject that is considered difficult by most students, this is proven by the average score of mathematics subjects lower than other subjects. This drives the writer to find the right learning strategy. The inquiry learning strategy used in solving the comparison problem in this study is by using 'magic box'. By using this magic box the results obtained are extraordinary. The aim of this research is to make mathematics become the most preferred and pleasant subject. In addition, this research provides benefits for teachers in elementary schools. The use of inquiry learning strategies is expected to improve student learning outcomes, especially completing the comparison questions on mathematics subjects. Students' results before the action are obtained an average value of 34.2. The results of cycle 1 obtained an average value of 63.5. After cycle 2 was carried out, and an average value of 86.5 was obtained. Based on the results of cycles 1 and 2, there was an increase in the average value of mathematics learning outcomes by 23. The conclusions of the study were the magic boxes had a positive effect on improving mathematics learning outcomes, especially in solving story problems about comparisons.

Keywords: Learning innovations, magic boxes, math subjects

Abstrak. Pelajaran matematika sekolah dasar hingga saat ini masih menjadi mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar, matematika lebih rendah dibanding mata pelajaran lain.. Hal inilah yang mendorong mencari pembelajaran yang tepat. Salah satu strategi tersebut adalah strategi pembelajaran inkuiri. Strategi pembelajaran inkuiri yang digunakan dalam penyelesaian soal perbandingan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan sebuah kotak. Penulis menamakan ‘kotak ajaib’. Penggunaan kotak ajaib sudah diterapkan di SDN Kramat Pela 01. Dengan menggunakan kotak ajaib ini hasil yang didapatkan luar biasa. ini ditulis dengan tujuan agar mata pelajaran matematika yang semula dianggap sebagai pelajaran yang sulit, menjadi mata pelajaran yang paling disukai dan menyenangkan. Selain itu penelitian bagi guru di sekolah dasar. Penggunaan strategi pembelajaran inkuiri ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya menyelesaikan soal perbandingan pada mata pelajaran matematika. Penelitian ini dapat digunakan oleh siswa dalam belajar matematika menghadapi ujian akhir sekolah. Hal ini karena soal cerita yang memuat perbandingan merupakan materi yang paling esensial dan ada dalam ujian maupun tes akhir semester. Hasil siswa sebelum dilakukan tindakan diperoleh nilai rata-rata 34,2. Hasil siklus 1 diperoleh nilai rata-rata 63,5. Kemudian dilakukan tindakan siklus 2, dan diperoleh nilai rata-rata 86,5. Berdasarkan hasil siklus 1 dan 2 tersebut terdapat peningkatan nilai rata-rata hasil belajar matematika sebesar 23. Simpulan penelitian adalah kotak ajaib berpengaruh positif terhadap peningkatan hasil belajar matematika, khususnya dalam menyelesaikan soal cerita tentang perbandingan.

Kata Kunci: Inovasi pembelajaran, kotak ajaib, mata pelajaran matematika

PENDAHULUAN

Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK. Mata pelajaran matematika merupakan suatu pelajaran yang memiliki peran yang sangat penting, karena mata pelajaran matematika sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika di sekolah dasar perlu disajikan sebaik dan semenarik mungkin.

Hal ini sangat penting karena pembelajaran matematika merupakan peletak konsep dasar yang dijadikan landasan untuk belajar pada jenjang selanjutnya. Selain perannya sebagai peletak dasar tersebut penguasaan matematika yang kuat sejak dini diperlukan untuk penguasaan dan penciptaan teknologi di masa yang akan datang.

Namun demikian, kenyataan yang dirasakan oleh siswa di sekolah jauh dari kenyataan yang diharapkan. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru justru lebih didominasi oleh guru. Guru kelas lebih banyak menerangkan dan memberi contoh soal-soal latihan. Siswa tidak diberi kesempatan untuk mengecek kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam

menerima pelajaran matematika tidak mendapatkan bimbingan yang sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapi. Hal ini tentu membuat pembelajaran menjadi menjenuhkan. Bahkan tidak jarang membuat siswa tidak bersemangat untuk mengikuti pembelajaran. Sebagai dampaknya keaktifan siswa menjadi kurang, dan prestasi belajar siswa menjadi rendah.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Salah satunya adalah ketekunan siswa dalam mempelajarinya. Untuk dapat tekun mempelajari matematika, maka salah satu kuncinya adalah mengupayakan bagaimana supaya siswa menyukainya. Untuk dapat menyukainya, maka perlu diberikan strategi pembelajaran yang menyenangkan. Untuk dapat menyenangkan, maka kita perlu mengemasnya dengan strategi pembelajaran yang menarik dan bervariasi.

Strategi pembelajaran matematika di sekolah dasar tidak boleh monoton, maka harus bervariasi. Maka guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menyampaikan pembelajaran matematika supaya tidak membosankan. Di

1118 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

samping itu dengan strategi pembelajaran yang menarik, maka akan menimbulkan gairah belajar dari siswa untuk mempelajarinya. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan gairah belajar siswa, sehingga siswa mau mempelajari matematika dengan sendirinya. Misalnya saja dengan berbagai permainan. Dengan permainan yang menyenangkan, maka siswa tidak akan sadar bahwa sebetulnya ia sedang belajar matematika.

Selain permainan strategi yang bervariasi dan menarik perlu juga diciptakan. Terlebih lagi apabila siswa dihadapkan pada soal yang disajikan dalam bentuk cerita. Kemampuan siswa dalam memahami isi cerita dalam soal cerita memerlukan tingkat konsentrasi yang sangat tinggi. Belum lagi jika siswa juga dibatasi dengan waktu pada saat mengerjakan soal tersebut. Misalnya saja pada saat siswa sedang menempuh ujian. Karena dibatasi oleh waktu, dan dituntut untuk dapat mengerjakan soal dengan tepat dan akurat, maka diperlukan strategi yang tepat pula. Misalnya saja dalam mengerjakan soal cerita yang berhubungan dengan perbandingan. Walaupun pada akhirnya siswa dapat menjawab dengan tepat, namun strategi pada umumnya yang digunakan oleh guru pada saat ini untuk menyelesaikan soal tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama. Sehingga menyebabkan siswa akan kekurangan waktu untuk mengerjakan seluruh soal yang disediakan. Maka tidak heran jika waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal matematika pada umumnya siswa akan kekurangan waktu. Hal ini disebabkan karena strategi yang digunakan untuk mengerjakan soal cerita pada umumnya kurang tepat.

Atas dasar hal tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk mencoba menerapkan strategi dalam mengerjakan soal matematika pada saat ujian dengan waktu yang cepat, dan hasilnya pun akurat. Strategi yang penulis sampaikan pada kesempatan ini merupakan penyempurnaan dari strategi-strategi terdahulu, yang menurut penulis terlalu membutuhkan waktu dan sulit dipahami. Dengan strategi ini diharapkan siswa dapat dengan cepat menyelesaikan soal cerita khususnya yang berhubungan dengan perbandingan dengan singkat dan hasilnya pun akurat. Dengan strategi pembelajaran ini, maka selain waktu mengerjakan lebih cepat, akan merangsang siswa dalam menekuni pelajaran matematika.

Ide dasar diawali dari kendala yang dihadapi di lapangan pada umumnya tentang penyajian pembelajaran matematika yang oleh sebagian besar siswa dianggap sebagai pelajaran yang paling menakutkan. Maka timbullah pemikiran-pemikiran dalam rangka menepis adanya anggapan sebagian besar siswa tentang matematika yang dianggap menakutkan itu. Salah satunya adalah menemukan berbagai metoda, strategi pembelajaran yang dapat merangsang gairah belajar siswa.

Hasil pengamatan dan data dari 40 siswa di SDN Kramat Pela 01 terdapat 32 anak menjawab bahwa mata pelajaran matematika sangat sulit dan tidak menyukai pelajaran matematika. Berdasarkan wawancara tersebut dan permasalahan pada siswa maka harus dicarikan solusinya. Bardasarkan hal itu perlu adanya suatu tindakan penyelesaian dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Proses penemuannya bermula dari beberapa hal yang sudah diutarakan pada bagian latar belakang bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang paling tidak disukai

oleh sebagaian besar siswa SD. Hal lain yang mendasari penemuan strategi baru ini adalah, hasil ujian mata pelajaran siswa SD, faktanya menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran matematika paling rendah rata-ratanya.

Atas dasar hal tersebut di atas, penulis berusaha menelusuri apa penyebab dari ini semua. Setelah melalui berbagai uji publik baik secara lisan maupun wawancara terhadap sebagaian besar guru ataupun siswa, ternyata ada salah satu faktor penyebab yang sangat mendasarinya. Salah satunya adalah strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru di dalam kelas monoton, kurang bervariasi sehingga peserta didik gampang bosan.

Latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam peneliian ini adalah: ”Apakah strategi inkuiri menggunakan kotak ajaib dapat meningkatkan hasil belajar matematika?

Tujuan penulis menggunakan strategi dengan kotak ajaib adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika selain itu memberikan pengetahuan baru bagi siswa kelas VI dalam mengerjakan soal cerita perbandingan dengan cepat dan tepat dan hasilnya pun akurat, memberikan perbaikan dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar khususnya dalam hal menyelesaikan soal perbandingan, menciptakan inovasi baru dalam pembelajaran matematika, sehingga siswa akan lebih tertarik dengan mata pelajaran matematika, dan merupakan acuan bagi peneliti-peneliti lain yang akan mengadakan penelitian dalam bidang yang relevan.

Strategi yang penulis lakukan ini akan memberikan manfaat: bagi siswa, dalam mengerjakan soal cerita tentang perbandingan pada saat siswa menghadapi ujian atau tes dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, berguna bagi penulis sebagai daya tarik/inovasi baru dalam proses pembelajaran di sekolah dasar tempat penulis bekerja, berguna untuk perbaikan pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika di sekolah dasar.Strategi menurut Wina Sanjaya menyebutkan bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. (Sanjaya, 2014,126)

Menurut Wina Sanjaya Strategi atau metode adalah komponen yang juga mempunyai fungsi yang sangat menentukan. Keberhasilan pencapaian tujuan sangat ditentukan komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelasnya komponen lain, tanpa dapat diimplementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen-komponen tersebut tidak akan memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan. Oleh karena itu setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi metode san strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Sanjaya 2014, 60).

Sementara menurut Cropper di dalam Wiryawan dan Noorhadi (1998) mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Ia menegaskan bahwa setiap tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat dipraktikkan. (Rohman dan Amri 2013, 25).

Dari sejumlah pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi adalah serangkaian kegiatan yang dipilih oleh guru yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran dengan mempertimbangkan beberapa faktor pendukung guna tercapainya tujuan pembelajaran.

1119

Sementara itu Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) menurut Wina Sanjaya diartikan sebagai rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menentukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa (Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan 2014).

Inquiry menurut Kurnia Eka Lestari menyebutkan bahwa kemampuan inkuiri matematis adalah kemampuan menemukan konsep atau aturan matematika melalui observasi, investigasi, dan eksplorasi. Indikator kemampuan inkuiri adalah: 1) mengamati obyek matematika; 2) menyelidiki obyek matematika; 3) menemukan sifat-sifat dari obyek matematika; 4) menyusun generalisasi; dan 5) menemukan hubungan atau pola keteraturan (Lestari dan Yudhanegara 2017, 86).

Standar isi pada Permendiknas No. 22 tahun 2006 dinyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah matematika yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh adalah salah satu dari tujuan mata pelajaran matematika (Mulyati 2011, 2).

Abidian dalam Marsudi Raharjo (2009:2) menyatakan bahwa soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek. Soal cerita wujudnya berupa kalimat verbal sehari-hari yang makna dari konsep ungkapannya dapat dinyatakan dalam simbol dan relasi matematika (Yudharina, Skripsi 2015, 7).

Siti Fatimah dan H. Sujati (2011:337) dalam Yudharina beberapa kriteria penyusunan soal cerita untuk siswa SD diantaranya adalah soal sebaiknya familiar terhadap siswa, kalimat dalam soal cerita singkat dan jelas, semua yang diketahui dalam soal harus dipakai dalam mengerjakan (Yudharina, Skripsi 2015, 9).

Kata ajaib menurut kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ganjil; aneh; jarang ada; tidak seperti biasa; mengherankan. Kata ajaib dipilih karena mata pelajaran matematika dianggap sulit, maka diperlukan berbagai strategi penamaan alat peraga yang memungkinkan siswa merasa ingin tahu.

Penggunaan kotak ajaib membantu pemecahan masalah siswa dalam pengerjaan hitungan contoh: perbandingan umur Anton dan umur Deny adalah 2:5. Jika umur Anton adalah 12 tahun, tentukan: berapa umur Deny, selisih umur mereka, dan jumlah umur mereka?

Cara penyelesaian pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) umur Deny = (5/2) x 12 = (5 x 12) / 2 = 60/2 = 30 tahun; 2) selisih umur mereka adalah = 5-2/2 x 12 = 3/2 x 12 = (3 x 12) / 2 = 36 / 2 = 18 tahun; dan 3) jumlah umur mereka adalah = (7 / 2) x 12 = (7 x 12) / 2 = 84 / 2 = 42 tahun.

Langkah pengerjaan seperti tersebut di atas sudah umum disajikan dalam beberapa buku-buku pelajaran, bahkan pelaksanaan oleh guru di dalam kelas pun tidak jauh berbeda. Menurut pengamatan penulis, langkah pengerjaan soal seperti tersebut di atas terkesan bertele-tele. Akibatnya tidak jarang membuat siswa merasa bosan. Untuk itu diperlukan beberapa strategi baru yang perlu disajikan.

Pada kesempatan ini penulis menunjukkan media belajar yang sederhana namun sangat baik dan praktis digunakan.

Penulis memberi nama media tersebut adalah kotak ajaib. Penulis kemudian menjelaskan penggunaan kotak ajaib itu.

Contoh soal: Umur Anton dibanding umur Deny adalah 2 : 5. Jika Umur Anton 12 tahun, tentukan! Berapakah umur Deny, berapakah selisih umur mereka dan jumlah umur mereka? Soal cerita tersebut diubah penyajiannya dalam bentuk kotak-kotak sebagai berikut:

Tabel 1. Kotak Ajaib

Cara menyelesaikannya adalah: 1) mengamati kolom yang mengandung angka yang sudah ada hasilnya, yaitu angka 12. Kemudian angka 12 dibandingkan dengan angka pada kolom perbandingan yaitu angka 2; 2) ajukan pertanyaan angka 2 dikalikan dengan berapa supaya menghasilkan angka 12. Maka didapat angka 6; 3) masukkan angka 6 pada kolom proses. Seluruh kolom pada proses dimasukkan dengan angka yang sama yaitu angka 6; dan 4) langkah terakhir adalah dengan cara mengalikan angka pada kolom perbandingan dengan angka pada proses. Hasil perkalian dimasukkan dalam kolom hasil. Dengan demikian akan didapatkan hasil pengerjaan soal tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pengerjaan Soal Cerita Perbandingan

Dengan kotak tersebut di atas, maka jawaban yang diperoleh tinggal membaca bilangan pada kolom hasil, yaitu: 1) umur Deny adalah 30 tahun; 2) selisih umur mereka 18 tahun; dan 3) jumlah umur mereka adalah 42 tahun.

Kotak ajaib yang dirancang oleh penulis terbagi menjadi empat kolom dan beberapa baris. Kolom pertama berisi “hal”, kolom kedua berisi “perbandingan”, kolom ketiga berisi “proses”, dan kolom ke empat berisi “hasil”. Sementara, baris pada kotak ajaib berisi angka-angka sesuai kebutuhan. Secara lengkap kotak yang dimaksud digambarkan sebagai berikut:

Akhirnya diharapkan dengan menggunakan kotak ajaib ini, maka pengerjaan soal yang tadinya menggunakan dengan cara yang bertele-tele, panjang lebar, maka hanya cukup dengan menggunakan sebuah kotak ajaib, maka soal dapat diselesaikan dengan mudah, cepat dan akurat.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat-pendapat tersebut bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika adalah dimengertinya persoalan secara bermakna dalam memecahkan soal yang digunakan dalam penyelesaian masalah.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan kelas (PTK), model yang digunakan adalah model proses siklus (putaran/ spiral) yang mengacu pada model PTK Kemmis S. and Mc. Taggart, yaitu dimulai dari tahap perencanaan dilanjutkan pada tahap

Kardiman, Upaya meningkatkan hasil belajar matematika melalui strategi inkuiri .....

Hal Perbandingan Proses Hasil

Anton 2 ... 12 tahunDeny 5 ... ... tahunSelisih umur mereka ( selisih perbandingan) ... ... tahunJumlah umur mereka jumlah perbandingan) ... ... tahun

Hal Perbandingan Proses Hasil

Anton 2 6 12 tahunDeny 5 6 30 tahunSelisih umur mereka 3 6 18 tahunJumlah umur 7 6 42 tahun

1120 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

tindakan, lalu pengamatan, dan diakhir dengan refleksi. Jika belum tercapai maka dilakukan tahapan yang sama sampai tujuan tercapai.

Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kramat Pela 01 Pagi, Jalan Sungai sambas II Blok B, Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dari hari Senin, 2 Januari 2017 sampai dengan Jumat 10 Maret 2017. Subyek penelitian adalah siswa kelas VI SDN Kramat Pela 01 Tahun Pelajaran 2016-2017 sebanyak 40 siswa yang terdiri dari 21 laki-laki dan 19 perempuan.

Penelitian ini pelaksanaannya terbagi menjadi dua siklus. Setiap siklus tiga pertemuan. Setiap satu pertemuan alokasi waktunya adalah 2 jam pelajaran. Penelitian ini dilakukan dengan sebaik mungkin dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam langkah-langkah karya ilmiah dengan menggunakan prosedur Penelitian Tindakan Kelas. Untuk mendukung data dari penelitian digunakan dokumentasi melalui foto-foto dan lembar observasi yang diabsahkan oleh observer.

Instrumen hasil belajar telah sesuai dengan isi kurikulum dan validitas yang digunakan oleh peneliti menggunakan kesahihan isi yang diabsahkan kolaborator dan analisis evaluasi.

Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan adalah yang dilakukan oleh Drs. Heriyadi dalam PTK-nya tahun 2010 yang berjudul Peningkatan pemahaman siswa dalam membaca, mengumpulkan, dan menyajikan data melalui inkuiri. Berdasarkan PTK dengan hasil penelitian bahwa inkuiri berhasil meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 44,72%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus 1 dilaksanakan pada hari Senin, 2 Januari – 6 Januari 2017 jam pelajaran ke-4 dan 5 pukul 08.50 s.d 10.10 WIB. Tahap perencanaan: penulis menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan menerapkan strategi pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru pada umumnya, guru menyiapkan format penilaian diri, angket, dan tes hasil belajar, mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Tahap Tindakan, pelaksanaan yaitu kegiatan pendahuluan, yang dimulai dengan memberi salam dan berdoa. Selanjutnya guru melakukan apersepsi dengan bertanya jawab dan motivasi. Guru mengajukan beberapa pertanyaan materi tentang pecahan terutama yang ada hubungannya dengan perbandingan. Tahap pendahuluan membutuhkan waktu 5 menit.

Pada kegiatan inti, guru menjelaskan strategi pembelajaran tentang cara mengerjakan soal perbandingan dengan menggunakan cara yang biasa dilakukan oleh guru pada umumnya. Guru menuliskan sebuah soal perbandingan lalu menugaskan kepada siswa untuk mengerjakan soal tersebut. Selanjutnya guru menugaskan kepada siswa yang sudah selesai mengerjakan untuk menuliskan hasil pekerjaannya di papan tulis. Guru melakukan tanyajawab dengan seluruh siswa terhadap yang sudah dikerjakan oleh siswa tersebut. Demikian dilakukan secara berulang-ulang. Selanjutnya guru memberikan lembar kerja kepada seluruh siswa untuk diselesaikan secara mandiri. Setelah selesai mengerjakan soal, siswa mengumpulkan jawabannya untuk

dikoreksi oleh guru. Tahapan inti membutuhkan waktu 55 menit.

Pada tahapan penutup, guru bersama siswa mengevaluasi seluruh rangkaian pembelajaran. Guru bersama-sama siswa menyimpulkan tentang materi pelajaran. Tahapan penutup membutuhkan waktu 10 menit.

Tahap Pengamatan, pada tahap ini dimulai dengan melihat keaktifan peserta didik. Berdasarkan data yang diperoleh dari lembar observasi bahwa siswa belum terlihat aktif pada pembelajaran tahap pertama, hal ini terlihat hanya ada 12 siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM. Hasil observasi pada siklus 1 adalah sebagai berikut: terdapat 8 siswa mendapat nilai 40; sebanyak 8 siswa mendapat nilai 50; sebanyak 6 siswa mendapat nilai 60; 6 siswa mendapat nilai 70; 6 siswa mendapat nilai 80; 4 siswa mendapat nilai 90, dan hanya 2 siswa yang mendapat nilai 100. Nilai rata-rata pada siklus 1 adalah 63,5. Sedangkan KKM matematika ditetapkan 75. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika pada siklus 1 masih di bawah KKM.

Tahap Refleksi, pada siklus 1 diperoleh data tes tertulis (ulangan akhir siklus) seperti data tersebut di atas dapat bahwa nilai rata rata siswa pada siklus 1 adalah 63,5. KKM mata pelajaran matematika ditetapkan 75. Karena nilai rata-rata perolehan 63,5 maka KKM belum tercapai. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar matematika masih rendah. Untuk itu perlu dilakukan siklus 2 agar siswa yang belum memahami cara menyelesaikan soal perbandingan dengan menggunakan cara yang biasa dilakukan oleh guru pada umumnya, bisa mencapai KKM pada siklus ke 2.

Berdasarkan pengamatan melalui lembar observasi yang dilakukan oleh guru pada pencapaian siklus 1, maka diperlukan untuk dilaksanakan siklus 2. Pada siklus ke 2 guru akan menerapkan penggunaan kotak ajaib untuk menyelesaikan perbandingan. Diharapkan pada akhir siklus 2, seluruh siswa sudah memahami penggunaan kotak ajaib tersebut yang dapat digunakan untuk mengerjakan soal cerita tentang perbandingan.

Siklus 2 dilaksanakan pada hari Senin, 9 Januari – 12 Januari 2017 jam pelajaran ke-4 dan 5 pukul 08.50 s.d 10.10 WIB.. Tahap Perencanaan, pada tahap ini guru membuat rencana pembelajaran yang sudah diperbaiki berdasarkan refleksi siklus 1, untuk memperoleh hasil maksimal pada siklus 2. Pada tahap perencanaan ini guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan menerapkan strategi pembelajaran inquiri, guru menyiapkan format penilaian diri, angket, dan tes hasil belajar, mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Tahap Tindakan. Pelaksanaan Tindakan, dilaksanakan pada hari Senin, 9 Februari 2017 – 12 Januari 2017 jam pelajaran ke-4 dan 5 pukul 08.50 s.d 10.10 WIB, diawali dengan 1) mengucapkan salam kepada siswa dan memeriksa kehadiran siswa, 2) guru melakukan apersepsi menanyakan pelajaran sebelumnya, dikaitkan dengan mata pelajaran yang akan disampaikannya. Tahap pendahuluan membutuhkan waktu 5 menit.

Pada kegiatan inti, guru menjelaskan tentang penggunaan kotak ajaib untuk menyelesaian soal perbandingan mata pelajaran matematika. Selanjutnya, guru memberikan 1 soal sebagai contoh untuk menggunaan kotak ajaib tersebut,

1121

sambil bertanya jawab dengan siswa. Guru menjelaskan penggunaan kota ajaib tersebut untuk mengerjakan soal matematika. Guru mempersilakan kepada siswa yang belum jelas tentang penggunaan kotak ajaib tersebut dalam penggunaannya. Setelah semua jelas, guru mencoba beberapa kali lagi memberikan soal tentang perbandingan yang harus diselesaikan oleh siswa secara perseorangan dengan menggunakan kotak ajaib. Secara bergantian guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal tersebut di papan tulis dengan menggunakan kota ajaib. Setelah selesai menyelesaikan soal tersebut langsung guru menyamakan persepsi tentang penggunaan kota ajaib tersebut. Guru juga menanyakan kepada siswa tentang penggunaan kotak ajaib tersebut apakah membantu atau tidak. Akhir dari kegiatan inti, guru membagikan soal sebagai post tes untuk siklus 2 tentang perbandingan yang harus dikerjakan oleh siswa secara perseorangan dengan menggunakan kotak ajaib yang sudah dipelajari. Setelah selesai mengerjakan soal, siswa diminta mengumpulkan lembar jawabannya. Kegiatan inti membutuhkan waktu 45 menit.

Pada kegiatan penutup, guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan materi pelajaran yang telah dilaksanakan. Guru bertanya jawab dengan siswa tentang penggunaan kotak ajaib untuk menyelesaikan soal perbandingan dengan cara sebelumnya. Guru memberikan pesan dan nasihat kepada siswa tentang pentingnya belajar sungguh-sungguh, serta akibatnya jika tidak belajar sungguh-sungguh.

Tahap Pengamatan, keaktifan siswa, berdasarkan lembar observasi keaktifan siswa pada siklus 2. Pada siklus 2 ini keaktifan siswa lebih aktif dan antusias memperhatikan penjelasan guru tentang penggunaan kotak ajaib ini. Sebanyak 37 siswa terlihat aktif mengikuti pelajaran. Berdasarkan hasil penilaian akhir siklus 2 yang digunakan sebagai post tes, diperoleh data sebagai berikut: siswa yang memperoleh nilai 40 sebanyak 1 siswa; siswa yang memperoleh nilai 50 sebanyak 2 siswa; siswa yang memperoleh nilai 60 sebanyak 3 siswa; siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 2 siswa; siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 4 siswa; siswa yang memperoleh nilai 90 sebanyak 12 siswa; dan siswa yang memperoleh nilai 100 sebanyak 16 siswa. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai rata-rata siklus 2 adalah 8,64. Dengan KKM 75 maka ada peningkatan hasil belajar yang signifikan dari 63,5 menjadi 86,5. Dengan demikian ada peningkatan sebesar 23.

Tahap Refleksi.Hasil pengamatan siklus kedua ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Seluruh siswa memahami cara mengerjakan soal cerita perbandingan dengan menggunakan kotak ajaib. Dengan soal yang sama siswa dapat mengerjakan soal tersebut dengan jawaban yang tepat dan dengan waktu yang lebih cepat.

Berdasarkan hasil evaluasi dan observasi siklus kedua, terdapat peningkatan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita perbandingan dengan menggunakan kotak ajaib. Dengan soal yang sama bahkan siswa mampu mengerjakan soal tersebut lebih cepat dan jawabannya pun tepat.Data yang dianalisis merupakan data yang diperoleh dari hasil tes dengan menggunakan instrumen-instrumen yang telah dipersiapkan meliputi data hasil belajar, proses belajar siswa dan data aktivitas guru selama proses pembelajaran.Tehnik yang dilakukan adalah membandingkan hasil belajar siswa

mata pelajaran matematika pada siklus 1 dan siklus 2.

Berdasarkan perolehan data pada siklus 1 diperoleh data sebagai berikut: siswa yang memperoleh nilai 40 sebanyak 8 siswa; siswa yang memperoleh nilai 50 sebanyak 8 siswa; siswa yang memperoleh nilai 60 sebanyak 6 siswa; siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 6 siswa; siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 6 siswa; siswa yang memperoleh nilai 90 sebanyak 4 siswa; dan siswa yang memperoleh nilai 100 sebanyak 2 siswa.

Perolehan data berdasarkan siklus ke 2 sebagai berikut: siswa yang memperoleh nilai 40 sebanyak 1 siswa; siswa yang memperoleh nilai 50 sebanyak 2 siswa; siswa yang memperoleh nilai 60 sebanyak 3 siswa; siswa yang memperoleh nilai 70 sebanyak 2 siswa; siswa yang memperoleh nilai 80 sebanyak 4 siswa; siswa yang memperoleh nilai 90 sebanyak 12 siswa; dan siswa yang memperoleh nilai 100 sebanyak 16 siswa.

Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada peningkatan hasil belajar matematika dengan strategi inkuiri menggunakan kotak ajaib sebagai berikut:

Tabel 3. Perbandingan Hasil Belajar Siswa pada Siklus 1 dan Siklus 2

Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi inkuiri menggunakan kotak ajaib pada mata pelajaran matematika berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil belajar matematika. Selain itu kotak ajaib berperan dalam memudahkan siswa dalam mempelajari materi tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan permbahasan yang telah diuraikan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) strategi pembelajaran inkuri mampu mengubah mengubah anggapan sebagian siswa bahwa Matematika adalah pelajaran yang paling tidak disukai menjadi pelajaran yang menarik; 2) kotak ajaib merupakan salah satu cara yang sangat praktis yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk mengerjakan soal cerita tentang perbandingan; dan 3) kotak ajaib mampu meningkatkan prestasi hasil belajar siswa pada saat menempuh ujian akhir. Peneliti menyarankan kepada seluruh guru sekolah dasar khususnya kelas VI sebagai berikut: 1) kotak ajaib sangat tepat digunakan dalam proses pembelajaran siswa SD Kelas VI khususnya dalam rangka menghadapi ujian akhir sekolah; 2) kotak ajaib sangat membantu siswa dalam mengerjakan soal khususnya soal cerita perbandingan sulit dipahami oleh siswa pada umumnya; 3) kotak ajaib sangat membantu guru dalam membimbing siswa dalam rangka persiapan menghadapi ujian.

Saran untuk guru matematika agar dapat menggunakan strategi yang bervariasi dalam pembelajaran. Alat peraga yang inovatif dapat membuat siswa bergairah dalam belajar terutama pelajaran matematika. Selain itu penelitian ini belum sempurna sebaiknya dilakukan dalam 5 kali pertemuan persiklus agar hasil yang didapat maksimal.

Kardiman, Upaya meningkatkan hasil belajar matematika melalui strategi inkuiri .....

No Kriteria Siklus 1 Siklus 21 Rata-rata nilai 63,5 86,5 2 Daya serap 63,5 86,5 3 KKM 75 75 Jumlah nilai 2540 3460 Nilai rata-rata 63,5 86,5

1122 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

PUSTAKA ACUAN

Ahmadi, Iif Khoiru, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono, dan Tatik Elisah. Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.

Heruman. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Rosdakarya Offset, 2010.

Lestari, Karunia Eka, dan Mokhammad Ridwan Yudhanegara. Penelitian Pendidikan Matematika . Bandung: PT Refika Aditama, 2017.

Mulyati, Tita. “Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sekolah dasar.” Universitas Pendidikan Indonesia, 2011.

Rajasa, Imam. Mengenal Pecahan. Bandung: Graha Bandung Kencana, 2009.

Rohman, Muhammad, dan Sofan Amri. Strategi & Desain Pengembangan Sistem Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013.

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

—. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Yudharina, Pretty. Skripsi. Skripsi, UNY: http://eprints.uny.ac.id/19328/1/SKRIPSI.pdf, 2015.

Yudharina, Pretty. Skripsi. Skripsi, Yogyakarta: http://eprints.uny.ac.id/19328/1/SKRIPSI.pdf, 2015.

MENINGKATKAN SPEAKING SKILL BAHASA INGGRISMELALUI METODE ROLE PLAYING

MAS AYU YULIANASMA Negeri 40 Jakarta

Abstract. All sectors need English especially in industry, trading and Education, The purpose of this study is to improve the learning achievement of English in speaking skill in the classroom through the method of role playing students in class XII IPA 1 SMAN 1 Jakarta. The sample is 36 students of class XII IPA 1 SMAN 1 Jakarta. The advantage of it, the learners can speak English fluently. The research method used is Classroom Action Research. Research instruments include speaking test, written test, observation sheet, interview, and documentation. The result showed that the improvement of learners' learning achievement that measured the speaking English skill, in the preliminary test, the average percentage value of 68,06% with 25,00% learning completeness. After given learning treatment through role playing method in the first cycle, experience improvement of English speaking skill become 78,47% with completeness learning 72,22% and experiencing improvement back on the second cycle become 80,69% with completeness learning 86,11%. The conclusion of this research is through role playing method can improve the result of learning English in speaking skill. The capability of speaking includes Pronunciation, Delivery, Performance dan Coorporation.

Keywords: speaking skill, role playing, english learning.

Abstrak. Semua sektor saat ini, khususnya di dunia industri, perdagangan, dan pendidikan membutuhkan penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Proses yang benar, materi yang baik, pengajar yang mengetahui cara yang tepat dalam penyampaian materi merupakan kunci dalam menguasai Bahasa Inggris. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris pada aspek speaking skill melalui metode role playing. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XII IPA 1 SMAN 1 Jakarta sebanyak 36 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Instrumen penelitian berupa tes speaking, tes tulis, lembar observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tes awal sebesar 68,06% dengan ketuntasan belajar 25,00%. Setelah diberikan tindakan melalui metode role playing pada siklus pertama mengalami peningkatan menjadi 78,47% dengan ketuntasan sebesar 72,22%, belum mencapai kriteria KKM sebesar 75,00%, maka dilanjutkan dengan siklus ke dua dan hasilnya mengalami peningkatan menjadi 80,69% dengan ketuntasan belajar 86,11%. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa melalui metode role playing dapat meningkatkan kemampuan berbicara Bahasa Inggris peserta didik. Kemampuan berbicara meliputi pemilihan Pronunciation, Delivery, Performance dan Coorporation. Kata kunci: speaking skill, role playing, pembelajaran Bahasa Inggris.

PENDAHULUAN

Era globalisasi pada saat ini menuntut generasi muda untuk selalu mengembangkan kemampuannya, baik di bidang akademik maupun non akademik. Satu hal yang perlu dikuasai untuk meningkatkan daya saing di pasar global adalah penguasaan Bahasa Inggris. Bahasa adalah kumpulan simbol-simbol yang bermakna yang dapat merepresentasikan, sehingga dapat digunakan untuk berkomunikasi. Dengan kata lain bahasa merupakan alat yang digunakan untuk bertukar ide, pesan, dan hal lainnya.

Kebanyakan orang memperoleh bahasa dengan cara berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Memahami apa yang disampaikan merupakan hal penting dalam komunikasi, dan memiliki kemampuan ini berarti yang bersangkutan memiliki kompetensi berbahasa. Brown states the definition of language competence is one’s underlying knowledge of system of a language-its rules of grammar, its vocabulary, and all the pieces of language and how those pieces fit together (Brown 2011, 31).

Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional berperan sangat penting dalam dunia industri, perdagangan,

pendidikan, semua sektor tersebut menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Oleh sebab itu penguasaan keterampilan berbicara Bahasa Inggris menjadi bagian penting bagi para peserta didik di Indonesia. Proses yang benar, materi yang baik serta pengajar yang mengetahui cara yang tepat dalam penyampaian materi merupakan kunci dalam menguasai Bahasa Inggris.

Namun dari hasil pengamatan peneliti bahwa kemampuan guru di kelas XII IPA dalam memilih naskah role playing dengan kondisi peserta didik hanya mendapat skor 3, sementara skor ideal adalah 4. Ini menunjukkan adanya kendala yang dihadapi oleh para pengajar dalam mengajarkan Bahasa Inggris, misalnya mencari materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik bukanlah hal mudah. Langkanya materi yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga seringkali pengajar menggunakan materi atau metode yang sama dan berulang-ulang tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan pembelajar. Hal ini tentu saja akan menimbulkan kebosanan pada peserta didik dan juga mengurangi kemutakhiran materi. Selain itu pemilihan metode yang tepat dapat meningkatkan kemampuan berbicara.

1124 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

Permasalahan yang diperoleh bahwa para guru belum menemukan metode yang tepat yang dapat mengaktifkan seluruh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kurangnya minat belajar peserta didik juga menjadi kendala dalam peningkatan kemampuan dan lancarnya berbicara Bahasa Inggris. Minat yang rendah, proses pembelajaran yang kurang efektif merupakan beberapa permasalahan yang membuat prestasi belajar peserta didik menjadi rendah.

Fenomena seperti ini merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatif pemecahannya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran speaking skill melalui metode role playing. Metode role playing adalah suatu cara pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penampilan peserta didik untuk memerankan status dan fungsi pihak-pihak lain yang terdapat pada kehidupan nyata, sehingga para peserta didik memperoleh pengalaman yang dapat merangsang pendapat peserta didik dan menemukan kesepakatan bersama antar peserta didik.

Metode role playing dalam kegiatan pembelajaran dapat digunakan baik dalam kelompok besar maupun kelompok kecil. Metode pembelajaran ini juga dapat merangsang peserta didik untuk memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran. Di samping itu, peserta didik dapat menganalisis dan memahami situasi serta memikirkan masalah dengan cara belajar sambil bermain.

Suprijono dalam Thobroni menyatakan hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan (Thobroni 2011, 22). Berbicara sebagai kemampuan atau skill maka saat seseorang berbicara dapat terlihat kemampuan kognitif, sikap dan keterampilan. Menurut Syarifudin dkk., bahwa hasil belajar atau prestasi belajar adalah tahap pencapaian aktual yang ditampilkan dalam bentuk prilaku yang meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor dan dapat dilihat dalam bentuk kebiasaan, sikap, penghargaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Syarifudin 2010, 34).

Sudjana juga menyatakan proses adalah kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana 2010, 22). Selanjutnya, kemampuan berbicara tercermin pada perubahan tingkah laku baik pengetahuan, emosional etika dan hubungan sosial. Arikunto mengatakan bahwa hasil belajar adalah tingkah laku ini harus menampakkan diri dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati dan diukur (Arikunto 2010, 103).

Sedangkan menurut Hamalik bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut (Hamalik 2013, 30). Perubahan tersebut meliputi: pengetahuan, emosional, pengertian, hubungan sosial, kebiasaan, jasmani, ketrampilan, etika atau budi pekerti, apresiasi, dan sikap.

Agtin dan Hilmiyati menyatakan Bahasa Inggris adalah alat untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan karena menggunakan bahasa merupakan unsur keharusan pada era globalisasi dewasa ini (Agtin 2014, 197-213). Speaking (berbicara) merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Berbicara berarti menggunakan bahasa untuk bermacam-macam tergantung dari para penuturnya.

Speaking skill adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh.

Tarigan mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Tarigan 2008, 15). Senada dengan pendapat di atas, Hurlock menyatakan bahwa berbicara adalah suatu bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud, karena berbicara merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif, penggunaannya paling luas dan penting (Hurlock 2008, 176).

Menurut Suhartono yang dimaksud dengan berbicara adalah suatu penyampaian maksud tertentu dengan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa supaya bunyi tersebut dapat dipahami oleh orang yang ada dan mendengar di sekitarnya (Suhartono 2005, 23).

Belajar Bahasa Inggris berarti memiliki kemampuan untuk memproduksi ujaran grammatikal dari sebuah bahasa dan tahu bagaimana menggunakannya dengan benar untuk dapat berkomunikasi secara efektif dan pesan tersampaikan dengan baik. Dalam mempelajari Bahasa Inggris di kelas, peserta didik lebih cenderung memberi perhatian untuk menjadi lebih teliti (accuracy) dengan mempelajari grammar akan tetapi pada dasarnya mereka juga harus berlatih untuk menggunakan Bahasa Inggris secara fasih (fluency). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar Bahasa Inggris aspek speaking skill adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata dalam Bahasa Inggris untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, atau perasaan yang digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain, sehingga pesannya dan dipahami oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.

Salah alternatif metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan speaking skill adalah Metode role playing. Menurut Mulyono menjelaskan bahwa role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik, yang merupakan salah satu proses belajar yang tergolong dalam metode simulasi (Mulyono 2012, 44). Sedangkan, menurut Hamdani metode role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan (Hamdani 2011, 87). Dengan demikian metode role playing adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari bentuk simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang muncul pada masa mendatang.

Subagio menyatakan terdapat lima karakteristik kegiatan bermain peran, diantaranya adalah: 1) merupakan sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai yang positif bagi anak; 2) didasari motivasi yang muncul dari dalam; 3) sifatnya spontan dan sukarela, bukan merupakan kewajiban;

1125

4) senantiasa melibatkan peran aktif dari anak, baik secara fisik maupun mental, dan 5) memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain (Subagio 2013, 21).

Pembelajaran dengan role playing merupakan suatu aktivitas yang dramatik, biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil peserta didik, bertujuan mengeksploitasi beberapa masalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan pemahaman. Menurut Syarifudin bahwa pembelajaran dengan role playing ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah, pemilihan peran, menyusun tahap-tahap bermain peran, menyiapkan pengamat, tahap pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan (Syarifudin 2010, 35). Pada tahap pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya.

Dari uraian di atas, menegaskan bahwa metode role playing adalah metode pembelajaran yang diarahkan untuk mengkreasikan pada suatu kejadian dengan teknik bermain peran sehingga peserta didik dapat menghayati peran masing-masing dan pengalaman tersebut berdampak faktual, positif pada penguasaan materi tertentu, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Berdasarkan pemetaan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris aspek speaking skill melalui metode role playing?” Secara umum penelitian ini bertujuan meningkatkan aspek speaking skill bagi peserta didik dengan menggunakan metode role playing atau bermain peran, metode ini dapat mengembangkan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati, sehingga peserta didik dapat menyampaikan pesan (delivery) atau isi percakapan dengan pengucapan (pronunciation) yang baik, memiliki kepercayaan diri saat berbicara (performance) dan memilih kosa kata (diction) dan yang utama adalah terbangunnya kerjasama diantara peserta didik dalam kelompok (cooperation) dan hal itulah yang membuat peserta didik memiliki kemampuan berbicara (Speaking Skill) dengan baik.

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1) menjadi informasi dan acuan bagi guru-guru Bahasa Inggris dalam memilih metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar Bahasa Inggris; 2) dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik pada mata pelajaran Bahasa Inggris; dan 3) dapat menjadi informasi bagi pihak sekolah dalam pengambilan kebijakan terkait pentingnya kompetensi guru dalam penguasaan metode pembelajaran yang dapat berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Jakarta. Waktu penelitian pada Semester I Tahun Pelajaran 2017/2018. Penelitian ini dilakukan di kelas XII IPA SMA Negeri 1 Jakarta. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas XII IPA 1 SMA Negeri 1 Jakarta berjumlah 36 peserta didik. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Kelas. Menurut Triyanto yaitu suatu penelitian tindakan (action

research) yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti di kelasnya atau bersama-sama dengan orang lain (kolaborasi) dengan jalan merancang, melaksanakan dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif yang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu (kualitas) proses pembelajaran di kelasnya melalui suatu tindakan (treatment) tertentu dalam suatu siklus. Empat tahapan dalam penelitian tindakan kelas yaitu: 1) perencanaan; 2) pelaksanaan; 3) pengamatan; dan 4) refleksi (Triyanto 2011, 30).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Indikator penilaian aspek speaking skills adalah pronunciation, delivery, performance, dan cooperation.

Tabel 1. Kriteria Acuan Penilaian Keterampilan Berbicara (Speaking Skill)

Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil pengamatan kegiatan pada setiap tindakan (treatment) di masing-masing siklus. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari data hasil tes awal peserta didik, tes akhir I, dan tes akhir II, kedua data tersebut dianalisis secara deskriptif.

Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui peningkatan speaking skill yang dikuasai peserta didik dari perbandingan hasil tes awal dan tes akhir. Kriteria yang digunakan dalam penilaian speaking skill peserta didik diadopsi dari Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara (Speaking Skill) peserta didik yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi peserta didik.

Indikator keberhasilan penelitian ini dititikberatkan pada dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek hasil. Aspek hasil ini akan dapat dilihat dari nilai hasil tes yang diperoleh peserta didik yang mengukur speaking skill Bahasa Inggris melalui tes lisan. Pada aspek proses dilihat dari kinerja guru dan keaktifan peserta didik selama proses pembelajaran melalui lembar observasi penelitian.

Skala keberhasilan dalam proses dapat dilihat dari indikator baik, sedang atau kurang. Sedangkan tingkat keberhasilan peserta didik dengan mengacu pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75, dilihat dari nilai rata-rata kelas yang pencapaiannya minimal 75 dan tingkat ketuntasan belajar minimal 80%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan penelitian, peneliti mengambil data terlebih dahulu (Pra Siklus), dari data kemampuan berbicara Bahasa Inggris berdasarkan tiap-tiap indikator speaking skill yang disajikan pada Gambar 1. akan terlihat indikator mana yang rendah atau sebaliknya.

Yuliana, Meningkatkan speaking skill bahasa Inggris .....

No Skor (%) Tingkat Kemampuan 1 85% - 100% Sangat Baik (A)2 70% - 84% Baik (B)3 55% - 69% Cukup (C)4 40% - 54% Kurang (D)5 0% - 39% Sangat Kurang (E)Sumber: Suprijono (Suprijono 2009, 15)

1126 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

Gambar 1. Diagram Nilai Per Indikator Pada Pra Siklus

Berdasarkan Gambar 1. menggambarkan nilai yang diperoleh peserta didik dalam speaking skill Bahasa Inggris pada pemberian tes awal (pre-test) adalah 68,06 dan nilai ini masih jauh dari nilai target yang ditetapkan, yaitu 75. Hasil tes awal di atas dapat dijelaskan bahwa pronunciation peserta didik berada dalam kategori cukup. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek pronunciation yaitu sebesar 67,78% dengan nilai rata-rata 3,39. Delivery peserta didik berada dalam kategori cukup. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek delivery yaitu sebesar 67,22% dengan nilai rata-rata 3,36. Performance peserta didik berada dalam kategori cukup. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek performance yaitu sebesar 66,67% dengan nilai rata-rata 3,33. Cooperation peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek cooperation yaitu sebesar 70,56% dengan nilai rata-rata 3,53. Temuan penelitian ini sesuai dengan pendapat Sriwahyuni yang telah melakukan penelitian di Universitas Muhamaddiyah Makasar (Sriwahyuni 2018).

Hasil tersebut jika dilihat dari tingkat ketuntasan belajar peserta didik, yaitu peserta didik dikatakan tuntas apabila telah mencapai nilai KKM sebesar 75. Hasil pra siklus diketahui bahwa peserta didik yang tuntas sebanyak 9 peserta didik atau 25% sedangkan peserta didik yang belum tuntas sebanyak 27 peserta didik atau 75%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan belajar peserta didik pada aspek speaking skill Bahasa Inggris masih rendah dan perlu ada perbaikan.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas terutama dalam penguasaan speaking skill peserta didik yang masih sangat rendah, telah dilakukan treatment dengan metode role playing yang terbukti efektif dalam meningkatkan speaking skill Bahasa Inggris peserta didik SMA Negeri 1 Jakarta.

Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus I dan II terdiri dari tiga kali pertemuan; tiap pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 45 menit. Pengamatan pada setiap siklus dilakukan terhadap peserta didik dan guru dengan cara mengisi instrument pengamatan. Instrument pengamatan untuk guru diantaranya untuk mengetahui seberapa besar penguasaan materi, metode pembelajaran role playing, pembagian peran peserta didik, pemilihan naskah role playing dengan kondisi peserta didik, mencontohkan peran kepada peserta didik, dan ketrampilan guru mengembangkan teknik bertanya dan mencipta

suasana aktif belajar.

Sedangkan instrumen pengamatan untuk peserta didik indikatornya seberapa besar kesiapan belajar peserta didik, keseriusan peserta didik dalam memperhatikan penjelasan guru, pola interaksi antara peserta didik dengan guru dan antar peserta didik, kerjasama peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, keberanian peserta didik menanyakan materi yang belum dipahami, keberanian peserta didik menjawab pertanyaan yang diajukan, kepuasan peserta didik terhadap hasil pembelajaran oleh guru, kemampuan peserta didik menyimpulkan kegiatan pembelajaran, dan keseriusan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

Hasil observasi atau pengamatan pada Siklus I terhadap guru dalam pelaksanaan pembelajaran diperoleh jumlah skor 51 dengan skor rata-rata 3,19 dari skor rata-rata ideal sebesar 4 dengan persentase sebesar 79,69%. Perolehan skor tersebut menunjukkan bahwa kemampuan dan keterampilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode role playing belum maksimal. Oleh karena itu peneliti perlu melakukan perbaikan pada Siklus II.

Hasil pengamatan Siklus I terhadap peserta didik diketahui bahwa keaktifan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan metode role playing pada Siklus I yang diukur dengan 9 aspek pengamatan didapatkan skor rata-rata sebesar 2,89 dari skor ideal 4 dengan persentase 72,22%. Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran melalui metode role playing masih perlu ditingkatkan.

Berdasarkan hasil tes akhir siklus I, beberapa hal yang menjadi catatan yaitu minat dan kemampuan peserta didik dalam speaking skill mulai menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang diperoleh peserta didik dalam tes akhir I yaitu 78,47 dengan ketuntasan belajar mencapai 72,22%. Peserta didik sudah mulai memperhatikan ketepatan berbahasa, walaupun masih ditemukan beberapa kesalahan, namun penggunaan kosakata yang sudah mulai bervariasi. Dalam menyampaikan pendapat/ ide, peserta didik masih sangat tergesa-gesa dan cenderung mengungkapkannya dalam waktu yang singkat walaupun cara penyampaiannya sudah cukup terstruktur. Walaupun dalam hasil tes akhir I sudah ditemukan beberapa peningkatan peserta didik, namun ketuntasan belajar peserta didik belum mencapai 80%. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perbaikan kembali pada siklus kedua.

Selain pengamatan di atas, secara garis besar proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode role playing dapat mengurangi kejenuhan peserta didik dan dapat memotivasi peserta didik untuk aktif mengikuti kegiatan pembelajaran.

Pada siklus I nilai yang diperoleh peserta didik dalam speaking skill bahasa Inggris adalah 78,47 dan nilai ini sudah mencapai bahkan melebihi nilai KKM yang ditentukan yaitu 75. Berdasarkan hasil tes awal di atas dapat dijelaskan bahwa pronunciation peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek pronunciation yaitu sebesar 80% dengan nilai rata-rata 4. Delivery peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek delivery yaitu sebesar 80,56% dengan nilai rata-rata 4,03. Performance peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai

1127

total peserta didik untuk aspek performance yaitu sebesar 75,56% dengan nilai rata-rata 3,78. Cooperation peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek cooperation yaitu sebesar 77,78% dengan nilai rata-rata 3,89.

Hasil tersebut jika dilihat dari tingkat ketuntasan belajar peserta didik, yaitu peserta didik dikatakan tuntas apabila telah mencapai nilai KKM sebesar 77. Hasil siklus I diketahui bahwa peserta didik yang tuntas sebanyak 26 peserta didik atau 72,22% sedangkan peserta didik yang belum tuntas sebanyak 10 peserta didik atau 27,78%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan belajar peserta didik pada aspek speaking skill mengalami peningkatan dibandingkan pada pra siklus, tetapi hasilnya masih perlu adanya peningkatan karena belum mencapai indikator keberhasilan penelitian yang ditentukan yaitu dengan ketuntasan minimal 80%.

Berdasarkan hasil tes akhir siklus I, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu minat dan kemampuan peserta didik dalam speaking skill mulai menunjukkan peningkatan. Peserta didik sudah mulai memperhatikan ketepatan berbahasa, walaupun masih ditemukan beberapa kesalahan dalam ketepatan berbahasa namun penggunaan kosakata yang sudah mulai bervariasi. Dalam menyampaikan pendapat/ ide, peserta didik masih sangat tergesa-gesa dan cenderung mengungkapkannya dalam waktu yang singkat walaupun cara penyampaiannya sudah cukup terstruktur. Walaupun dalam hasil tes akhir I sudah ditemukan beberapa peningkatan peserta didik, namun perlu dilakukan perbaikan kembali pada siklus kedua.

Hasil pengamatan dan kajian selama kegiatan penelitian dapat diketahui bahwa secara garis besar proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode role playing dapat mengurangi kejenuhan peserta didik dan dapat memotivasi peserta didik untuk aktif mengikuti kegiatan pembelajaran. Di dalam kegiatan pembelajaran berdasarkan hasil wawancara, guru disarankan dapat lebih aktif dalam penggunaan waktu pembelajaran yang lebih efektif, sehingga peserta didik lebih termotivasi untuk aktif dalam proses pembelajaran.

Pada Siklus II hasil observasi/pengamatan terhadap guru dalam pelaksanaan pembelajaran diperoleh jumlah skor 61 dengan skor rata-rata 3,81 dari skor rata-rata ideal sebesar 4 dengan prosentase 95,31%. Perolehan skor tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan kemampuan dan keterampilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode role playing dibandingkan pada Siklus I.

Pada siklus II pengamatan terhadap peserta didik diketahui bahwa keaktifan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan metode role playing pada Siklus I yang diukur dengan 9 aspek pengamatan didapatkan skor rata-rata sebesar 3,56 dari skor ideal 4 dengan persentase 88,89%. Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran melalui metode role playing sudah baik.

Nilai yang diperoleh peserta didik dalam speaking skill pada tes akhir II adalah 80,69 dan nilai ini sesuai telah mencapai KKM yang ditentukan yaitu 75. Berdasarkan hasil tes awal di atas dapat dijelaskan bahwa pronunciation peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek

pronunciation yaitu sebesar 81,67% dengan nilai rata-rata 4,08. Delivery peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek delivery yaitu sebesar 80,00% dengan nilai rata-rata 4,00. Performance peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek performance yaitu sebesar 81,11% dengan nilai rata-rata 4,06. Cooperation peserta didik berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total peserta didik untuk aspek cooperation yaitu sebesar 80% dengan nilai rata-rata 4.

Hasil tersebut jika dilihat dari tingkat ketuntasan belajar peserta didik, yaitu peserta didik dikatakan tuntas apabila telah mencapai nilai KKM sebesar 75. Hasil siklus II diketahui bahwa peserta didik yang tuntas sebanyak 31 peserta didik atau 86,11% sedangkan peserta didik yang belum tuntas sebanyak 5 peserta didik atau 13,89%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan belajar peserta didik pada aspek speaking skill mengalami peningkatan dibandingkan pada siklus I, dan hasilnya sudah mencapai indikator keberhasilan penelitian yang ditentukan yaitu dengan ketuntasan minimal 80%.

Ditampilkan data pra siklus, siklus I dan siklus II diperoleh perbandingan ketiga rata-rata peserta didik pada tiap tingkatannya. Pada siklus I ketuntasan kemampuan berbicara peserta didik atau speaking skill adalah 72,22%, karena belum mencapai KKM maka penelitian dilanjutkan lagi pada siklus ke II pembelajaran Bahasa Inggris dengan menggunakan metode role play , dan hasilnya menjadi 86,11%. Hal ini dapat disimak pada Tabel 2. yang menggambarkan data kuantitatif hasil perolehan nilai peserta didik di setiap siklus yang mengalami peningkatan.

Tabel 2. Peningkatan Aspek Speaking Skill

Sedangkan pada Gambar 2., dapat terlihat rata-rata ketuntasan kemampuan berbicara atau speaking skill peserta didik dari Tes Awal, Tes Akhir Siklus I dan Tes Akhir Siklus 2.

Gambar 2. Diagram Peningkatan Rata-rata Speaking Skill

Data di atas menggambarkan nilai yang diperoleh peserta didik dalam speaking skill Bahasa Inggris pada pemberian tes awal (pre-test) adalah 68,06% dan nilai ini masih jauh dari nilai target yaitu 75%. Setelah diberikan perlakuan pembelajaran melalui metode role playing di kelas pada siklus I mengalami peningkatan speaking skill Bahasa Inggris menjadi 78,47%. Pada siklus II juga mengalami peningkatan kembali speaking skill Bahasa Inggris menjadi 80,69% dan perolehan nilai ini sudah melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75.

Yuliana, Meningkatkan speaking skill bahasa Inggris .....

Tes Rata-rata (%) Kategori KetuntasanTes Awal 68,06 Cukup 25,00%Tes Akhir Siklus I 78,47 Baik 72,22%Tes Akhir Siklus II 80,69 Baik 86,11%

1128 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

Sedangkan tingkat ketuntasan belajar peserta didik per-siklusnya dapat dilihat pada Gambar 3., sebagai berikut:

Gambar 3. Diagram Peningkatan Ketuntasan Belajar

Hasil tersebut menunjukkan bahwa speaking skill Bahasa Inggris yang dimiliki oleh peserta didik telah sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini yaitu penerapan metode role playing dapat meningkatkan speaking skill Bahasa Inggris peserta didik. Selain data kuantitatif, penelitian ini juga didukung oleh data kualitatif, di mana selain meningkatkan hasil belajar, penerapan metode role playing juga telah mampu meningkatkan aktivitas dan keterlibatan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui metode role playing dapat meningkatkan speaking skill Bahasa Inggris peserta didik. Di mana dengan peserta didik membiasakan diri untuk berbicara Bahasa Inggris di kelas bersama kawannya dalam bermain peran maka peserta didik akan mudah dan berani serta tidak canggung dalam mengungkapkan kata-kata atau kalimat dalam Bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsjad dan Mukti yang menyatakan bahwa melalui pembiasaan diri dalam berdialog melalui pengucapan bunyi-bunyi bahasa secara tepat maka seseorang tidak akan canggung lagi dalam berbicara di depan orang (Arsjad 2008, 19). Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektifan berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau setidaknya

dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap cacat kalau menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau pemakainya atau pembicara dan bisa dianggap aneh.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa metode role playing dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris aspek speaking skill. Adanya peningkatan speaking skill Bahasa Inggris peserta didik, terlihat dari indikator kesiapan belajar peserta didik, keseriusan peserta didik dalam memperhatikan penjelasan guru, pola interaksi antara peserta didik dengan guru dan antar peserta didik, kerjasama peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, keberanian peserta didik menanyakan materi yang belum dipahami, keberanian peserta didik menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Melalui metode role playing, bermain peran dirasa cukup efektif dalam meningkatkan motivasi dan minat belajar peserta didik. Pembelajaran melalui metode role playing peserta didik akan belajar membiasakan diri untuk mengungkapkan kata-kata atau kalimat dalam Bahasa Inggris yang dibarengi dengan penghayatan dan ekspresi sesuai dengan makna kata yang diucapkan, sehingga dengan pembiasaan, maka peserta didik memiliki perbendaharaan kosakata yang banyak dan berani untuk mengucapkan kata-kata yang dikuasainya tanpa canggung dan malu. Dengan metode role playing, kolaborasi diantara para peserta didik akan terbangun dengan baik, hal ini terlihat adanya kerjasama diantara peserta didik dalam bermain peran di kelas.

Guru-guru Bahasa Inggris diharapkan merubah metode pembelajaran yang monoton pada kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris, sehingga proses pembelajaran dikelas akan menyenangkan dan menjadi semakin efektif. Pembelajaran speaking skill dengan metode role playing dapat dimanfaatkan sebagai alternatif guru khususnya pada pembelajaran menyampaikan ide, pendapat, bertanya, merespon pertanyaan dan menyampaikan pesan.

PUSTAKA ACUAN

Agtin, Hilmiyatin. Journal, 2014.Arikunto, Suharsimi. Dalam Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan praktek.

Yogyakarta: Rineka Cipta, 2010.Arsjad, Mukti. Dalam Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta,

2008.Brown. Dalam Teaching by Principles InteractiveApproach to

LanguagePedagogy. New York: Pearson Education, 2011.Brown. Dalam Teaching by principles Interactive Approach to Language

Pedagogy, 5. New York: Pearson Education, 2011.Hamalik, Oemar. Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara,

2013.Hamdani. Oleh Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia, 2011.Hurlock, Elisabeth B. Oleh Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga,

2008.

Mulyono. Oleh Strategi Pembelajaran. Malang: UIN Maliki Press, 2012.Subagio, Heru. Dalam Role Playing. Jakarta: Grafindo Persada, 2013.Sudjana. Dalam Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2010.Suhartono. Dalam Pengembangan Ketrampilan Bicara Anak Usia Dini .

Jakarta: Dinas Pendidikan, 2005.Syarifudin. Dalam Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Diadit Media, 2010.Syarifudin. Dalam Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Diadit Media, 2010.Tarigan. Oleh Berbicara Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung:

PT Angkasa, 2000.Thobroni. Dalam Belajar & Pembelajar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.Triyanto. Dalam Panduan penelitian Tindakan Kelas Teori dan praktek.

Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2011.

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA KOMPETENSI DASAR GENETIKAMELALUI METODE DIRECT INSTRUCTION

NGADIRAHGuru SMP Negeri 91 Jakarta

Abstract. This research’s background is students' low science learning outcomes and lack of student motivation in understanding the concept. This study aims to improve the learning outcomes and motivate students to solve problems independently. Direct instruction method, applied on 36 students class IX-D of SMP 91 Jakarta in August to September 2016. The research method was Class Action Research has 3 cycles, and each cycle consisted 3 meetings. The first cycle on the basics of genetic material, second cycle was on monohibrid and dehibrid inheritance material, cycle III on reproductive technology material. The first cycle result 73.17, the second 74.17 and the third 75.67, with learning completeness 68.96% in the first cycle, 72.41% in the second and 86.21% in the third. Student activities in all cycle has increased. The results indicate that direct instruction learning model can improve learning outcomes of basic genetic competencies and motivate students to solve problems independently.

Keywords: Learning Outcomes, Genetics, Direct Instruction

Abstrak. Penelitian ini berlatar belakang rendahnya hasil belajar IPA siswa disebabkan kurangnya motivasi siswa dalam memahami konsep. Penelitian ini bertujuan meningkatkan hasil belajar IPA pada kompetensi dasar Genetika dan memotivasi siswa mampu bertanggung jawab memecahkan masalah secara mandiri dengan menerapkan metode direct instruction. Penelitian dilakukan terhadap 36 siswa di kelas IX-D SMPN 91 Jakarta pada bulan Agustus sampai September 2016. Metode penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri atas 3 siklus, dan setiap siklus terdiri atas 3 pertemuan. Siklus I pada materi dasar-dasar genetika, siklus II pada materi pewarisan sifat monohibrid dan dehibrid, siklus III pada materi tehnologi reproduksi. Alat pengumpulan data adalah hasil tes dan observasi. Hasil tes siklus I adalah 73,17, siklus II 74,17 dan siklus III 75,67, dengan ketuntasan belajar sebesar 68,96% pada siklus I; 72,41% pada siklus II; dan 86,21% pada siklus III. Aktivitas siswa siklus I, siklus II, dan sikulus III mengalami peningkatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran direct instruction dapat meningkatkan hasil belajar IPA kompetensi dasar genetika dan memotivasi siswa mampu bertanggung jawab memecahkan masalah secara mandiri.

Kata Kunci: hasil belajar, genetika, direct instruction

PENDAHULUAN

Penguasaan materi mata pelajaran IPA seringkali menghadapi kendala khususnya dalam kompetensi dasar yang berhubungan dengan pemaknaan pewarisan sifat/genetika yang sering dianggap sulit. Hal ini disebabkan karena rendahnya motivasi belajar siswa sehingga suasana belajar menjadi kurang maksimal dan mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa hasil belajar IPA di SMP Negeri 91 Jakarta di bawah KKM yang ditetapkan yakni 75. Penulis telah berusaha menerapkan beberapa metode belajar, tetapi hasilnya belum tampak perubahan.

Tugas seorang guru menemukan metode yang tepat, kreatif, dan inovatif-variatif untuk menguasai kompetensi dasar perwarisan sifat/genetika. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dibuat rumusan masalah: “Apakah penerapan metode pembelajaran direct instruction dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada kompetensi dasar genetika pada siswa kelas IX-D di SMP Negeri 91 Jakarta semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017?”

Tujuan Penelitian adalah: Meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada kompetensi dasar genetika dengan metode direct instruction di kelas IX-D SMP Negeri 91 Jakarta.

Manfaat penelitian untuk siswa adalah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga dapat

meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep khususnya kompetensi dasar genetika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Belajar adalah suatu proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman yang dimilikinya (Bruner 2011, 15-16). Belajar bukanlah semata-mata mentransfer pengetahuan yang ada di luar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana otak memproses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam format yang baru, dan proses pembangunan ini bisa melalui asimilasi atau akomodasi (Aunurrahman 2011, 19).

Penelitian ini berdasarkan teori bahwa hasil belajar adalah terjadinya perubahan secara holistik dan integratif. Teori ini menyatakan bahwa titik berat penambahan pengetahuan belumlah cukup, tetapi perubahan yang menyentuh dimensi individual secara menyeluruh dan terpadu dengan kecakapan yang dikuasai sebagai tujuan dari pembelajaran (Aunurrahman 2011, 19). Jadi, dari pengalaman belajar yang dibangun, siswa harus mampu menghasilkan suatu formula belajar yang mengintrusi pemikiran siswa dalam kelas pembelajaran menuju kepahaman sebagai hasil belajar yang terukur baik berupa tes maupun nontes yang diformatkan. Hasil belajar merupakan kesatupadanan antara ranah

1130 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

kognitif, afektif, dan psikomotor dan mampu mereproduksi terhadap pemahaman konsep belajar IPA sebagai bagian sains di keseharian (Sudjana 2011, 39).

Hasil belajar pada penelitian ini adalah perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor terhadap pemahaman suatu konsep secara menyeluruh.

IPA adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang gejala-gejala dalam alam semesta, termasuk bumi ini sehingga terbentuk konsep dan prinsip. Biologi adalah pelajaran yang berkenaan dengan makhluk hidup dan gejala hidupnya. Bios = hidup dan Logos = ilmu, (Wikipedia). Jadi, biologi merupakan ilmu tentang hidup, berhubungan erat dengan pendukung lingkungan terhadap makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan dan gejala-gejala yang ditampilkan sebagai makhluk hidup.

Metode pembelajaran direct instruction menurut (Trianto 2011, 41), merupakan metode pembelajaran yang melalui pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa. Metode ini berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Selain itu, metode pembelajaran ini ditujukan pula untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan tahap demi tahap. Pembelajaran langsung adalah pembelajaran dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada siswa dan mengerjakannya secara langsung kepada seluruh kelas (Suprijono 2012, 47). Jadi, Pembelajaran langsung dalam penelitian ini adalah pembelajaran dimana guru terlibat langsung bersama siswa dalam mempelajari dan memahami isi pelajaran.

Genetika adalah pewarisan sifat yang terdapat pada semua makhluk hidup. Bidang kajian ini dipelopori oleh Gregor Mendel yang dikenal dengan sebutan ‘Bapak Genetika’ (Gen 2018). Genetika adalah ilmu yang menelisik pembelajaran pewarisan sifat. Pewarisan sifat ini tersimpan dalam gen yang terdapat dalam kromosom. Awalnya, Mendel melakukan percobaannya pada kacang ercis karena memiliki banyak keunggulan seperti: daur hidupnya pendek, tipe bervariasi jadi mudah untuk disilangkan dan memiliki banyak keturunan, mempunyai sifat-sifat beda yang mencolok, dan mudah melakukan penyerbukan (Mikrajudin 2010, 133). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan untuk memperbaiki situasi dan kualitas pembelajaran di kelas yang merupakan inti dari pendidikan. Penelitian Tindakan Kelas adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam kelas untuk memperbaiki situasi pembelajaran kelas, yang merupakan inti dari kegiatan pendidikan (Arikunto 2011, 4). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakannya dalam melaksanakan tugas dan memperdalam terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran (Kunandar 2013). Penelitian Tindakan Kelas pada penelitian ini adalah penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas yang terdiri atas: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian Tindakan Kelas pada penelitian ini terdiri dari 3 siklus, di setiap siklus terdiri atas 3 pertemuan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 91 Jakarta yang beralamat Jl Raya Bogor km 28 Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian berlangsung pada semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017 tepatnya pada tanggal 22 Agustus sampai dengan tanggal 22 September 2016. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2016 sampai 29 Agustus 2016. Siklus II dilaksanakan tanggal 31 Agustus 2016 sampai 7 September 2016 dan Siklus III dilaksanakan tanggal 12 September sampai 29 September 2016 dengan materi pokok pewarisan sifat atau genetika. Subjek penelitian adalah siswa kelas IX-D SMP Negeri 91 Jakarta tahun pelajaran 2016/2017 semester ganjil berjumlah 36 orang yang terdiri atas 20 orang siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan.

Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan kelas yang terdiri atas 3 siklus. Setiap siklus meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, refleksi, dan pembuatan laporan. Setiap siklus terdiri atas 3 kali pertemuan dan terdiri atas 4 tahapan. Siklus I: Tahap perencanaan, menyiapkan RPP, materi pelajaran tentang genetika, media baling-baling genetika, instrumen tes, dan lembar observasi. Tahap pelaksanaan, melaksanakan pretest, secara berkelompok melaksanakan percobaan sederhana dengan baling-baling genetika, dan melakukan diskusi kelompok. Siklus I diakhiri dengan post tes dan pengisian angket. Tahap pengamatan, kolaborator melakukan pengamatan pada saat proses pembelajaran. Tahap refleksi, peneliti dan kolaborator mengevaluasi hasil siklus I berdasarkan hasil post tes, angket dan lembar observasi dan menjadi dasar perencanaan penelitian siklus II. Pada Siklus II terdiri atas: Perencanaan, menyiapkan RPP, materi tentang pewarisan sifat monohibrid, dehibrid, intermediet, media kancing genetika, instrument tes, angket, dan lembar observasi. Pelaksanaan, melaksanakan pembelajaran langsung dengan percobaan kancing genetika dan diskusi secara kelompok. Pelaksanaan siklus II diakhiri dengan melaksanakan post tes dan pengisian lembar angket oleh siswa. Pengamatan, kolaborator melakukan pengamatan selama pembelajaran untuk mengamati jalannya proses pembelajaran dengan lembar observasi. Refleksi, hasil pengamatan proses pembelajaran, dan hasil post tes siswa dijadikan bahan diskusi antara guru dan kolaborator yang digunakan untuk membuat rencana siklus III.

Siklus III meliputi tahap: Perencanaan, menyiapkan RPP, materi tentang tehnologi repoduksi, instumen tes, angket, dan lembar observasi. Pelaksanaan, membentuk kelompok menempatkan siswa berdasarkan tingkat berpikir upper (atas), low (bawah) dan average (rata-rata) yang dilihat dari hasil pretes. Masing-masing melakukan diskusi dimana siswa tingkat berpikir atas membimbing siswa tingkat berpikir rata-rata dan bawah, dan menyaksikan tayangan video teknologi reproduksi. Pelaksanaan pada siklus III diakhiri dengan post tes dan pengisian lembar angket oleh siswa. Pengamatan, kolaborator mengamati proses pembelajaran di kelas dengan lembar observasi. Hasil pengamatan dan tes pada siklus III dharapkan telah mencapai target pencapaian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Instrumen tes, angket dan lembar observasi. Instrumen tes dipergunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar IPA pada kompetensi dasar penurunan sifat hereditas baik berupa post tes. Angket digunakan untuk mengetahui minat,

1131

motivasi siswa dalam pembelajaran IPA. Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kualitas proses pembelajaran. Hasil penelitian akan dianalisis dengan membandingkan perolehan hasil tes, angket dan lembar observasi antara perolehan data pada penelitian siklus I, siklus II, dan siklus III. Hasil perolehan data akan dituangkan dalam bentuk tabel yang terdiri atas nilai rata-rata, dan daya serap siswa, dan persentasi ketuntasan belajar.

Indikator keberhasilan penelitian dapat dilihat dari nilai hasil belajar, dikatakan berhasil jika 75% dari siswa memperoleh nilai lebih besar atau sama dengan 75. Metode Pembelajaran direct instruction pada kompetensi dasar pewarisan sifat/genetika diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa dalam memahami materi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX-D SMP Negeri 91 Jakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan penelitian Siklus I. Perencanaan: Menyusun RPP materi Dasar-dasar genetika pewarisan sifat/hereditas pada makhluk hidup, menyiapkan materi ajar tentang dasar-dasar genetika, media baling-baling genetika, lembar kerja siswa untuk individu dan kelompok, lembar observasi, angket siswa, instrumen tes, dan menyusun daftar hadir. Tahap pelaksanaan: Pertemuan 1 pada hari Senin, 22 Agustus 2016. Pendahuluan: Guru memberi salam kemudian melakukan pretest dengan pemberian soal sederhana, meminta siswa mengerjakan pretest selama 15 menit dan menuliskan jawaban secara individu di kertas jawabannya, dikumpulkan, dan diperiksa hasil kerja siswa berupa jawaban sementara siswa sebagai bahan pemahaman guru dalam mengarahkan siswa nantinya. Kegiatan inti: guru meminta beberapa siswa untuk membingkai konsep dengan penyampaian secara tertulis di depan kelas dari pertanyaan sederhana tentang pewarisan sifat menyangkut alel, gen, kromosom, homozigot, hiterozigot, dan lainnya baik yang tampak dan tidak tampak pada dasar-dasar genetika. Guru melakukan konfirmasi jawaban yang mungkin muncul dari penunjukkan siswa pada siswa lainnya di muka kelas. Guru meminta siswa secara sukarela ke depan untuk menjelaskan jawaban dari yang sudah tertera. Guru menanyakan memori siswa tentang pengetahuannya mengenai dasar-dasar genetika dan yang berhubungan dengan istilah juga contoh di kelas secara langsung seperti warna mata, tipe rambut, tinggi badan, dan lain-lain yang tampak dan dapat teridentifikasi oleh siswa. Guru meminta siswa mengumpulkan hasil jawaban sederhananya ke depan kelas. Penutup, guru bersama siswa menarik kesimpulan pelajaran hari itu.

Pertemuan 2: Rabu, 24 Agustus 2016, Pendahuluan mempersiapkan kelas secara kelompok dengan menentukan ketua kelompok yang diharapkan mampu membimbing temannya dalam satu kelompok yang berjumlah 6 orang berikut ketua kelompok dengan kriteria pretest sebelumnya nilai minimal 80. Kegiatan Inti, guru memberi pertanyaan ke siswa yang berhubungan dengan fenotip dan genotip dan siswa menyebutkan jawaban langkah menyelesaikan dari persilangan yang terjadi hingga menghasilkan persentase dari fenotip dan genotip. Kemudian, menyajikan lembar kerja berupa soal pada tiap kelompok untuk dipecahkan bersama, lalu percobaan sederhana dengan formulasi hereditas berupa baling-baling genetika dan mendiskusikan jawaban dari masalah yang disajikan. Siswa bersama kelompoknya

menuangkan hasil pikirannya dalam lembar kerja dan menarik kesimpulan, dan menyampaikan hasil percobaan dan diskusi baik secara lisan maupun tertulis di muka kelas dan mengumpulkan jawaban hasil percobaan sederhana. Penutup, guru bersama siswa menarik kesimpulan pelajaran.

Pertemuan 3: Senin, 29 Agustus 2016. Pada kegiatan inti, siswa membentuk kelompok yang terdiri atas 6 orang siswa, kemudian guru memberikan lembar soal tentang dasar-dasar genetika untuk dijadikan bahan diskusi antar anggota kelompok. Setiap kelompok mengirimkan wakilnya untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas dan dikonfirmasi jawaban oleh guru. Pelaksanaan pertemuan 3 diakhiri dengan siswa mengerjakan post tes sebanyak 20 soal selama 40 menit yang disiapkan oleh guru dan dan dikumpulkan, dan mengisi angket. Tahap Pengamatan, kolaborator melakukan pengamatan siklus I pada setiap pertemuan dengan mengisi lembar observasi.

Tahap Refleksi, dari hasil pengamatan kolaborator pada proses pembelajaran ditemukan hal-hal berikut. Pada pertemuan 1, kolaborator belum menemukan perubahan antusiaisme pada siswa sehingga proses pembelajaran belum mengalami kemajuan. Pada pertemuan 2, siswa mulai tertarik untuk mengikuti pembelajaran ketika berkelompok melakukan percobaan baling-baling genetika. Pertemuan 3 menunjukan bahwa baru sebagian kecil dari siswa yang menguasai konsep dasar-dasar genetika, sehingga siswa masih mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal yang diberikan guru. Dari hasil angket diperoleh data bahwa motivasi belajar siswa yang masih rendah. Dari hasil tes diperoleh nilai rata-rata 73,17 dan ketuntasan 68,50%. Perolehan hasil tersebut menunjukan belum mencapai ketuntasan seperti yang diharapkan. Kolaborator menemukan kelemahan pada siklus I adalah bahwa selama proses pembelajaran, guru belum memberikan bimbingan secara langsung dan menyeluruh kepada siswa. Media pembelajaran pun akan ditambah. Karena belum tercapainya indikator ketuntasan, penelitian perlu dilanjutkan dengan siklus II.

Siklus II. Tahap perencanaan, dari hasil refleksi antara peneliti dengan kolaborator pada siklus I, peneliti membuat rencana yang memperbaiki sistem pembelajaran dengan merencanakan memberi bimbingan langsung dan terarah pada siswa dengan cara berkeliling pada setiap kelompok. Selain itu menambah media pembelajaran yaitu kancing genetika untuk percobaan sederhana pewarisan sifat persilangan monohebrid, dehibrid dan intermediet. Selain itu menyiapkan RPP, materi ajar berupa gambar tayangan persilangan golongan darah, dan penyakit keturunan, instrumen tes, angket, dan lembar observasi.

Tahap Pelaksanaan. Pertemuan 1 hari Rabu, 31 Agustus 2016. Pendahuluan, Setelah memberikan salam guru menanyakan memori siswa tentang pengetahuannya mengenai pewarisan sifat dan yang berhubungan dengan istilah beserta contoh secara langsung untuk menjadi dasar pengetahuan pewarisan sifat monohibrid dan dehibrid. Kegiatan Inti, guru membentuk kelompok masing-masing 6 orang, kemudian guru membagikan lembar kerja persilangan monohibrid, dehibrid, intermediet dengan sifat genotif dan fenotif berbeda antara kelompok satu dengan yang lain. Selama proses pembelajaran guru berkeliling pada setiap kelompok untuk memberikan bimbingan secara langsung

Ngadirah, Meningkatkan hasil belajar IPA kompetensi dasar genetika .....

1132 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

dan terarah pada kelompok. Setiap kelompok menukar hasil kerjanya dan dipresentasikan di depan kelas dan dikonfirmasi oleh guru. Kegiatan Penutup, siswa dan guru mengambil kesimpulan pelajaran hari itu. Pertemuan 2, hari Senin, 5 September 2016. Kegiatan inti, siswa membentuk kelompok masing-masing 6 orang. Setiap kelompok melakukan percobaan sederhana persilangan monohybrid dan dehibrid dengan kancing genetika untuk mengisi lembar kerja siswa dan menjawab pertanyaan dari guru. Salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas dan dikonfirmasi oleh guru. Guru bersama siswa menarik kesimpulan tentang persilangan monohibrid dan dehibrid. Pertemuan 3, hari Rabu, 7 September 2016. Kegiatan inti, guru menayangkan gambar persilangan golongan darah manusia dan gambar-gambar contoh penyakit menurun pada manusia agar siswa memahami tentang kelainan-kelainan pada manusia dari pewarisan sifat. Siswa mengerjakan post test 20 soal selama 40 menit, dan mengisi angket untuk mengukur perubahan motivasi siswa terhadap pembelajaran IPA.

Pengamatan. Kolaborator mengamati jalannya proses pembelajaran pada siklus II dengan mengisi instrument pada lembar observasi yang telah disediakan.

Tahap refleksi. Dari hasil pengamatan dan instrument yang diisi oleh kelaborator, diperoleh data bahwa pada siklus II, terjadi peningkatan kualitas pembelajaran. Siswa lebih antusias mengikuti kegiatan kelompok yang menunjukan motivasi belajar siswa meningkat. Hasil tes menunjukan peningkatan nilai menjadi 74,17 dengan persentase ketuntasan 72,41%.

Peneliti bersama kolaborator melakukan diskusi tentang kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pembelajaran siklus II yang menyebabkan belum tercapainya nilai rata-rata dan persentasi ketuntasan. Kelemahan pada siklus II adalah pembagian kelompok yang anggotanya tidak hiterogen antara siswa yang memiliki kemampuan berfikir tingkat atas dan siswa berfikir tingkat rata-rata dan berkemampuan fikir tingkat bawah, sehingga siswa berkemampuan fikir tingkat atas tidak dapat membimbing siswa yang berkemampuan fikir rata-rata dan berkemampuan fikir tingkat bawah. Kolaborator memberi masukan dan saran untuk memperbaiki proses pembelajaran dengan cara membuat kelompok yang dapat memberi kesempatan pada siswa berkemampuan pikir tingkat atas dapat membimbing siswa berkemampuan pikir rata-rata dan siswa berkemampuan pikir tingkat bawah pada penelitian siklus III.

Siklus III. Tahap perencanaan, menyiapkan RPP, lembar kerja siswa, materi pembelajaran tehnologi reproduksi, video tehnologi reproduksi, lembar observasi, instrument tes, dan angket. Tahap Pelaksanaan: Pertemuan 1 hari Senin, 12 September 2016. Kegiatan inti, guru membuat kelompok yang terdiri atas 6 orang dan menentukan student guiding atau siswa yang membimbing kelompoknya dengan tingkat berpikir termasuk ke dalam upper (atas) terhadap teman yang termasuk ke dalam average (rata-rata) dan low (bawah) dari setiap kelompok yang memiliki nilai minimal 80. Sebagai student guiding yang diambil dari nilai hasil tes sebelumnya. Guru mengedarkan lembar kerja siswa berupa masalah-masalah yang harus dipecahkan dalam pembelajaran teknologi reproduksi. Guru meminta untuk mempelajari bersama kelompoknya dan setiap masalah yang dihadapi.

Siswa berpikir bersama kelompoknya yang dipandu oleh siswa termasuk ke dalam kelompok atas (upper). Siswa kelompok atas (upper) menjelaskan hasil pemikirannya pada teman-teman dari kelompok bawah dan rata-rata tentang hasil diskusi mereka. Secara bergiliran siswa kelompok rata-rata pun melakukan hal yang sama dengan siswa kelompok bawah dengan lainnya dalam kelompok masing-masing. Dengan demikian, terjadi saling menyumbang pengetahuan terhadap pengamatan sekitar dan masalah yang dihadapi. Kegiatan Penutup, guru mengkonfirmasi hasil diskusi kelompok dan bersama siswa mengambil kesimpulan materi. Pertemuan 2 Rabu, 14 September 2016. Kegiatan Inti, siswa berkelompok masing-masing 6 orang, kemudian guru membagikan lembar kerja siswa dan memutarkan video teknologi reproduksi. Kemudian, siswa bersama kelompok mendiskusikan jawaban soal dari lembar kerja siswa berdasarkan video yang ditayangkan. Kegiatan Penutup, guru mengonfirmasi jawaban dari setiap kelompok untuk diambil kesimpulan. Pertemuan 3, Senin, 19 September 2016. Kegiatan Inti, guru melaksanakan tanyajawab pada siswa untuk memberi penguatan materi tehnologi reproduksi. Pertemuan diakhiri dengan siswa mengerjakan soal pos tes 20 soal selama 40 menit untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, dan siswa mengisi angket untuk mengukur motivasi siswa terhadap pembelajaran IPA pada siklus III. Pengamatan. Pengamatan dilakukan oleh kolaborator pada proses pembelajaran dengan mengisi instrument pengamatan. Refleksi. Berdasarkan hasil pengamatan pada siklus III, siswa terlihat sangat antusius mengikuti pembelajaran. Dari pertemuan 1, siswa mulai memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk menyampaikan pendapat. Pada pertemuan 2, siswa memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk menyelesaikan tugasnya setelah melihat tayangan video teknologi reproduksi. Hasil pengamatan kolaborator pada proses pembelajaran terhadap motivasi siswa pada pembelajaran IPA siklus III dapat disimpulkan terjadi kenaikan motivasi siswa terhadap pembelajaran IPA di kelas. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasnya siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil tes yang dilakukan mencapai rata-rata 75,67 dengan persentasi keuntasan 86,21%.

Hasil pelaksanaan, pengamatan, dan hasil tes pada siklus I, II, dan III kemudian diolah untuk mendapatkan simpulan penelitian. Perolehan nilai post tes pada setiap siklus pada penelitian pada siklus I, Siklus II, dan siklus III dengan perbedaan yang dapat terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Perbandingan Hasil Belajar Siswa pada Siklus I, II, dan III

No Kriteria Siklus I Siklus II Siklus IIIRata-rata Nilai 73,17 74,17 75,67Daya Serap (%) 73,17 74,17 75,67KKM 75 75 75Ketuntasan (%) 68,96 72,41 86,21Tidak Tuntas (%) 31,04 27,59 13,79Nilai Tertinggi 80 85 95Nilai Terendah 60 65 70Jumlah Tidak Tuntas 9 8 5

Analisis terhadap motivasi siswa pada siklus I adalah belum menampakkan partisipasi yang tinggi dan kurang antusias mengikuti pembelajaran. Kerja sama belum terjalin baik dan menunjukkan ketidakdinamisan proses pembelajaran. Akibatnya, siswa belum terlihat antusias dalam berpikir logis ketika menjawab masalah baik secara individu maupun bersama. Artinya, masih pasif menyerap

1133

pembelajaran pewarisan sifat dasar-dasar genetika melalui metode direct instruction di kelas.

Dari hasil observasi di kelas dan angket siswa pada siklus II, terlihat adanya peningkatan pembelajaran siswa dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang berinovasi melalui metode pembelajaran direct instruction pada kompetensi dasar Genetika. Motivasi siswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran sangat tampak dilihat dari partisipasi siswa yang meningkat dan menunjukkan kerja sama yang positif dalam keikutsertaan serta antusias berpikir logis saat mengikuti pembelajaran. Dalam kelompok, setiap siswa mulai meningkat kedinamisannya dalam mengikuti metode pembelajaran yang bervariasi untuk keberhasilan belajar siswa di kelas pada materi monohybrid, dehibrid.

Berdasarkan hasil observasi selama pembelajaran sebagai hasil penelitian nontes pada Siklus III, terlihat adanya peningkatan yang sangat mencolok pada motivasi dan partisipasi siswa dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran. Siswa lebih berani berinovasi melalui metode pembelajaran direct instruction pada materi teknologi reproduksi. Motivasi siswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran sangat tampak dilihat dari meningkatnya partisipasi siswa dan menunjukkan kerja sama yang positif dalam keikutsertaan serta antusias berpikir logis saat mengikuti pembelajaran. Dalam kelompok, setiap siswa mulai meningkat kedinamisannya mengikuti metode pembelajaran yang bervariasi untuk keberhasilan belajar siswa di kelas untuk kompensi Dasar Genetika.

Berdasarkan hasil post tes, tampak hasil belajar IPA kompetensi dasar Genetika mengalami persentase kenaikan ketuntasan belajar yang melebihi target pencapain. Perbandingan nilai ketuntasan siswa dari siklus I sebesar 68,96%, siklus II 72,41% menuju siklus III 86,21%. Nilai rata-rata serta daya serap juga mengalami peningkatan dari 73.17% di siklus I menjadi 74,17% siklus II, dan 75,67% di siklus III. Artinya, terdapat peningkatan baik pada hasil belajar maupun pada tingkat ketuntasan. Peningkatan juga

terjadi pada motivasi dan aktivitas siswa dalam kelompoknya setelah memperoleh pembimbingan langsung.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis data hasil penelitian tindakan kelas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran direct instruction dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada kompetensi dasar Genetika di SMP Negeri 91 Jakarta. Hal itu berdasarkan temuan penelitian berikut: 1) Metode pembelajaran direct instruction dapat menciptakan suasana belajar yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan sehingga dapat menambah motivasi belajar sehingga meningkatkan pemahaman siswa; dan 2) Hasil tes siklus I belum terjadi peningkatan pada pemahaman siswa sehingga perolehan nilai rata-rata adalah 73,17. Pada siklus II, mulai terjadi peningkatan pemahaman dengan perolehan nilai 74,17. Pada siklus III, terjadi peningkatan nilai yang mencapai KKM dengan nilai rata-rata 75,67. Dengan demikian, dapat dilihat peningkatan persentase ketuntasan belajar di setiap siklus, yaitu sebesar 68,96% pada siklus I, 72,41% pada siklus II dan 86,21% pada siklus III.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberi saran hendaknya guru membiasakan diri melakukan penelitian tindakan kelas jika menemui kelesuan dan kemunduran belajar siswa. Guru diharapkan dapat menggunakan metode pembelajaran direct instruction pada kompetensi dasar pewarisan sifat/ hereditas. Dengan penggunaan metode direct instruction pada kompetensi dasar Genetika, siswa akan termotivasi belajar dan tertantang melalui pembelajaran inovatif-variatif. Penggunaan metode direct instruction juga menyelesaikan masalah pembelajaran dengan meningkatkan daya berpikir nalar-imajinatif di pelajaran IPA agar menstimulasi kecerdasan otak kanan dan kiri yang berimbang. Sekolah diharapkan dapat menunjang keberhasilan belajar siswa dengan fasilitas dan sumber belajar yang memadai dan memenuhi tantangan zaman.

PUSTAKA ACUAN

Arikunto, Suharsimi. "Penelitian Tindakan." Jokyakarta : Aditya, 2011.Aunurrahman. Belajar dan pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2011.Bruner, Trianto. Mendesin Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.Ed ke 4.

Jakarta: Kencana, 2011.Gen, Imu tentang. Hukum Pewarisan Mendel. Jakarta: tps:://

id.m.wikipedia.org, 2018.Kunandar. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.Mikrajudin, dkk. IPA terpadu untuk SMP dan SMA. Jakarta: Erlangga, 2010.

Ngadirah, Meningkatkan hasil belajar IPA kompetensi dasar genetika .....

N, Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011.

Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar baru Algesindo, 2011.

Suprijono. Cooperative Learning, Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKAPADA MATERI PERBANDINGAN MELALUI STRATEGI “JUTA BARBEL”

OMAN NURYANISMP Negeri 237 Jakarta

Abstract. The problem that is often faced in mathematics learning is the low ability of students to solve problems, including problem solving problems in comparison material. This study aims to improve students' problem solving skills in learning Comparative material in class VII SMP through learning strategies Juta Barbel. Benefits of this study learners can learn by developing their abilities optimally so that they have meaningful learning experiences. The effort is to develop learning strategies that are deemed appropriate, namely with the Million Barbell learning strategy (submitting questions based on images and tables). The results showed that Million Barbell learning strategies can improve the ability to solve mathematical problems in Comparative material in class VII-D 237 of SMP Negeri. In cycle 1 class completeness classically is 66.7% increasing to 86.1% in cycle 2. While individually, out of 36 students, there are 5 students who have not achieved a minimum score of 78.

Keywords: Juta Barbel Strategy, Student Ability Problem Sollving, Comparison

Abstrak. Masalah yang sering dihadapi dalam pembelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah, termasuk soal pemecahan masalah pada materi perbandingan. Kelemahan peserta didik dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah terutama dalam hal: 1) memahami informasi soal, artinya peserta didik mengalami kesulitan dalam menuliskan hal yang diketahui dan yang ditanyakan pada soal, 2) merencanakan penyelesaian yang sesuai dalam menyelesaikan soal, dan 3) menggunakan algoritma yang tepat untuk menyelesaikan soal. Latihan, tutor sebaya, remidi, telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam belajar materi perbandingan di kelas VII SMP melalui strategi pembelajaran Juta Barbel. Manfaat penelitian ini peserta didik dapat belajar dengan mengembangkan kemampuannya secara optimal sehingga memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Upaya yang dilakukan adalah mengembangkan strategi pembelajaran yang dipandang sesuai, yaitu dengan strategi pembelajaran Juta Barbel (pengajuan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran Juta Barbel dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika pada materi perbandingan di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta. Pada siklus 1 ketuntasan kelas secara klasikal adalah 66,7% meningkat menjadi 86,1% pada siklus 2. Secara individu, dari 36 peserta didik, terdapat 5 peserta didik yang belum mencapai nilai minimal 78, tetapi mereka sudah mengalami peningkatan nilai. Selain itu, diperoleh hasil pengamatan aktivitas peserta didik dan guru yang menunjukkan peserta didik dan guru aktif selama pembelajaran. Agar memberikan hasil yang maksimal dalam penerapan strategi pembelajaran ini, disarankan untuk lebih menyempurnakan strategi yang digunakan dan guru menggunakan strategi pembelajaran Juta Barbel pada waktu mengajarkan materi Perbandingan.

Kata Kunci: Strategi Juta Barbel, Kemampuan Pemecahan Masalah, Perbandingan

PENDAHULUAN

Dalam Kurikulum Tahun 2006, mata pelajaran Matematika, dijelaskan bahwa salah satu tujuan diberikan mata pelajaran Matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Pada Kurikulum 2013 (Anggraena, dkk. 2012, 23) dijelaskan bahwa fokus pembelajaran matematika salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah. Lebih lanjut, (Anggraena, dkk. 2012, 24) menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan penalaran, peserta didik perlu diberikan soal pemecahan masalah yang dalam menyelesaikannya, diperlukan usaha-usaha tambahan yang perlu modifikasi dengan indikator pencapaian antara lain memahami masalah dan menyajikan suatu rumusan masalah. Oleh karena itu, setiap guru yang mengelola pembelajaran matematika perlu melatih keterampilan peserta didik dalam memecahkan masalah.

Namun kenyataannya, masalah yang sering dihadapi dalam pembelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah,

khususnya soal nonrutin atau terbuka (open ended). Data menunjukkan bahwa untuk sebuah soal pemecahan masalah dalam ulangan harian tentang perbandingan di kelas VII, tahun 2017-2018 SMP Negeri 237 Jakarta, hasilnya hanya 38,5% dari 36 peserta didik yang menjawab dengan benar di kelas VII-D. Data lain ditunjukkan dari analisis data ulangan harian pada indikator penggunaan aljabar dalam kehidupan (materi di kelas VII SMP semester 1) di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta pada tahun ajaran 2017-2018. Data tersebut menunjukkan bahwa peserta didik masih lemah dalam hal menyelesaikan soal-soal yang menekankan pada kemampuan menyelesaikan tugas pemecahan masalah.

Berpijak pada penjelasan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah pembelajaran dengan srategi Juta Barbel dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika peserta didik dalam belajar materi Perbandingan di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta?”

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dalam belajar materi perbandingan di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta melalui strategi pembelajaran Juta Barbel.

1135

Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat yang berarti bagi peserta didik, yaitu peserta didik dapat belajar dengan mengembangkan kemampuannya secara optimal sehingga memiliki pengalaman belajar yang bermakna, terutama dalam kemampuan pemecahan masalah matematika.

Menurut (Siswono 2008, 34), masalah dapat diartikan sebagai situasi atau pertanyaan yang dihadapi seseorang atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Cooney (Abidin Zaenal 2012, 32) menjelaskan bahwa pertanyaan merupakan masalah jika pertanyaan itu merupakan suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap pertanyaan merupakan suatu masalah, bergantung pada peserta didiknya. Berdasarkan pendapat tersebut, dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan masalah adalah soal yang tidak dengan segera dapat diselesaikan oleh peserta didik, tetapi dia mempunyai pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Masalah dalam tulisan ini merupakan masalah matematika.

Pemecahan masalah mempunyai arti penting, khususnya dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespons atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas (Siswono, 2008, 35). (Solso 2008, 25) menjelaskan bahwa pemecahan masalah adalah berpikir atau pemikiran yang diarahkan pada pemecahan masalah spesifik yang melibatkan baik pembentukan jawaban maupun pemilihan di antara jawaban-jawaban yang mungkin.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah proses untuk menyelesaikan suatu masalah dalam pembentukan suatu jawaban dengan langkah-langkah memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali. Untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah matematika, penelitian ini menggunakan strategi pembelajaran pengajuan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel atau disingkat “Juta Barbel”.

Mengacu pada identifikasi kelemahan peserta didik yang menyebabkan rendahnya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah dan evaluasi terhadap upaya yang telah dilakukan, dalam proses pembelajaran, diperlukan strategi lain. Untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami masalah dan menyusun rencana penyelesaian, peserta didik perlu dilatih.

Strategi pembelajaran merupakan rencana dan cara-cara melaksanakan kegiatan pembelajaran agar prinsip dasar pembelajaran dapat terlaksana dan tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif (Mukhamad Murdiono 2012, 28). Strategi pembelajaran merupakan cara pengorganisasian isi pelajaran, penyampaian pelajaran, dan pengelolaan kegiatan belajar dengan menggunakan berbagai sumber belajar yang dapat dilakukan guru untuk mendukung terciptanya efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran (Darmansyah 2010, 17).

Merujuk dari dua pendapat ahli di atas, dalam penelitian ini yang dimaksud strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran juta barbel (pengajuan pertanyaan

berdasarkan gambar dan tabel) yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Salah satu upaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan strategi pembelajaran pengajuan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel. Dalam strategi ini, peserta didik diminta mengajukan pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan. Hal ini didasarkan pada pendapat (Russefendi 2010, 32) bahwa membantu peserta didik dalam memahami soal dapat dilakukan dengan menulis kembali soal dengan kata-kata sendiri, menulis soal dalam bentuk lain atau dalam bentuk yang operasional. Agar dapat mengajukan pertanyaan, peserta didik terlebih dulu harus memahami informasi yang diberikan. Selanjutnya, peserta didik juga harus menggunakan data atau informasi yang ada dalam soal yang diberikan. Artinya, dia mengorganisasikan data yang ada dalam soal. Untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal, setelah mengajukan pertanyaan, peserta didik harus menyelesaikan pertanyaan yang dibuatnya sendiri.

Hal ini didasarkan pada pendapat (English 2008,173) bahwa membuat pertanyaan dan mengerjakannya membantu peserta didik untuk memecahkan masalah atau menyelesaikan soal lain. Artinya, peserta didik dilatih untuk mengingat prosedur menyelesaikan soal sehingga jika diberikan soal yang serupa dengan soal itu, dia dapat mengingatnya serta lebih terampil dalam menggunakan prosedur atau algoritma penyelesaian.

Dijelaskan bahwa indikator pencapaian untuk memahami konsep matematika dapat dilakukan dengan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis, misal tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika atau cara lainnya. Oleh karena itu, peserta didik perlu dilatih pula untuk memahami informasi yang diberikan. Dalam penelitian ini, strategi pembelajaran dengan pengajuan pertanyaan menggunakan representasi berdasarkan informasi gambar dan tabel, yang disingkat dengan Juta Barbel (pengajuan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel). Strategi pembelajaran Juta Barbel adalah strategi pembelajaran yang meminta peserta didik untuk mengajukan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel yang diberikan, kemudian pertanyaan itu diselesaikan oleh peserta didik (Anggraena, dkk. 2012, 27).

Desain penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada desain Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari atas empat tahap: 1) perencanaan (planning); 2) pelaksanaan tindakan (action); 3) observasi (obsevation); dan 4) refleksi (reflection) dalam setiap siklus. Setiap siklus terdiri atas 2 kali pertemuan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada tanggal 8 dan 9, hari Senin dan Selasa (Siklus 1) dan tanggal 15 dan 16, hari Senin dan selasa (Siklus 2) pada bulan Januari 2018. Tempat pelaksanaan di SMP Negeri 237 Jakarta. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas VII-D yang berjumlah 36 peserta didik yang terdiri dari 19 laki-laki dan 17 perempuan. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus.

Siklus I. Pada tahap Perencanaan, peneliti mempersiapkan RPP, LKS, instrumen penilaian hasil belajar yang berisi soal-

Nuryani, Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matetmatika .....

1136 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

soal terkait pemecahan masalah matematika, instrumen pengamatan. Desain pelaksanaan penelitian pada siklus I adalah seperti berikut. Tahap pelaksanaan terdiri atas 2 kali pertemuan. Pertemuan 1 (2 jam pelajaran). Peserta didik dibagi menjadi 9 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 4 peserta didik). Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan senilai yang disajikan dalam bentuk tabel. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi. Pertemuan 2 (3 jam pelajaran). Peserta didik dibagi menjadi 18 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 2 peserta didik berpasangan). Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan senilai yang disajikan dalam bentuk gambar. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi.

Tahap Pelaksanaan menerapkan proses pembelajaran sesuai desain yang telah disusun dalam Perencanaan. Observasi dilakukan oleh observer. Kegiatan pada pertemuan 1 dan 2, diamati dan dicatat dengan menggunakan lembar observasi. Pada akhir pertemuan 2, selama 40 menit, diadakan tes akhir siklus I. Peneliti melakukan refleksi terhadap siklus I dan jika belum memenuhi target pencapaian dari berbagai aspek yang diukur, peneliti menyusun rencana (replanning) untuk siklus II.

Siklus II. Tahap perencanaan mengacu pada perbaikan hal-hal yang masih kurang di siklus I. Hal yang disiapkan sama seperti siklus I. Desain pelaksanaan penelitian pada siklus I adalah seperti berikut. Tahap pelaksanaan terdiri atas 2 kali pertemuan. Pertemuan 3 (2 jam pelajaran). Peserta didik dibagi menjadi 9 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 4 peserta didik). Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan berbalik nilai yang disajikan dalam bentuk tabel yang sudah direvisi untuk memperjelas agar peserta didik lebih faham. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi. Pertemuan 4 (3 Jam pelajaran). Peserta didik dibagi menjadi 18 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 2 peserta didik berpasangan). Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan berbalik nilai yang disajikan dalam bentuk gambar, yang sudah direvisi untuk memperjelas agar peserta didik lebih paham. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi.

Tahap Pelaksanaan menerapkan proses pembelajaran sesuai desain yang telah disusun dalam Perencanaan. Observasi dilakukan oleh observer. Kegiatan pada pertemuan 3 dan 4, diamati dan dicatat dengan menggunakan lembar observasi. Pada akhir pertemuan 4, selama 40 menit, diadakan tes akhir siklus II. Peneliti melakukan refleksi terhadap siklus II.

Pembelajaran dengan menggunakan strategi Juta Barbel hal-hal yang disiapkan untuk setiap siklus adalah: Perencanaan (dilakukan oleh tim peneliti), yaitu: a) menyusun Lembar Kegiatan Siswa dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menyiapkan media; b) membuat lembar observasi; c) membuat angket; d) membuat lembar penilaian; dan e) mendiskusikan dengan partisipan, yaitu Arlidesniyenti, S.Pd., dan Anni Helena Manalu, M.Pd. Pelaksanaan Tindakan, kegiatan ini merupakan pelaksanaan dari skenario dalam RPP.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: pemberian tes, yaitu metode untuk mengumpulkan data

tentang hasil kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah matematika berdasarkan gambar dan tabel. Tes ini diberikan pada akhir kegiatan pembelajaran pada pertemuan 2 (siklus I) selama 40 menit dan akhir kegiatan pembelajaran pada pertemuan 4 (siklus II) selama 40 menit. Lembar observasi guru dan peserta didik, diisi oleh kolaborator dengan memberikan tanda checklist. Jurnal penelitian, diisi oleh peneliti pada setiap akhir kegiatan pembelajaran. Metode analisis data yang digunakan ialah data hasil tes (penilaian) dianalisis secara deskriptif kuantitatif, data dari lembar observasi guru dan peserta didik dianalisis secara deskriptif kuantitatif, data dari jurnal penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif yang menggambarkan keadaan peserta didik sebenarnya.

Penelitian yang mendukung dalam hal ini adalah hasil penelitian dari Dewi Latifah Sukanto Sukandar Madio yang berjudul “Meningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Peserta didik melalui Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)” (Latifah 2014,161). (MMP) adalah model pembelajaran terstruktur dengan latihan terkontrol dan latihan mandiri yang dapat membantu siswa dalam melatih kemampuan pemecahan masalahnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MMP dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.

Indikator keberhasilan penelitian ini adalah: Kemampuan pemecahan masalah Matematika pada materi perbandingan yang diukur dengan cara memberikan tes pada akhir siklus I dan siklus II; Nilai ≥ 78 dan ketuntasan secara klasikal ≥ 85% dari banyak peserta didik; Ada perubahan ketuntasan yang dialami ≥ 50% dari banyak peserta didik. Perubahan ketuntasan ini lebih tinggi dari siklus satu ke siklus berikutnya yang sesuai dengan indikator ketuntasan ( ≥ 78); Aktivitas Peserta Didik. Diukur dengan cara pengamatan dengan menggunakan Lembar Observasi; Rata-rata skor ≥ 75% secara klasikal pada setiap aspek yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data prasiklus menunjukkan bahwa untuk sebuah soal pemecahan masalah dalam ulangan harian tentang perbandingan di kelas VII-D, tahun pelajaran 2017-2018 SMP Negeri 237 Jakarta pada semester genap, hasilnya hanya 38,5% dari 36 peserta didik yang menjawab dengan benar. Data lain ditunjukkan dari analisis data ulangan harian pada indikator penggunaan aljabar dalam kehidupan, di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta, semester ganjil pada tahun ajaran 2017-2018. Data tersebut menunjukkan peserta didik masih lemah dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah.

Penelitian ini dilaksanakan 2 siklus. Setiap siklus terdiri atas 2 pertemuan. Siklus I dijabarkan sebagai berikut. Perencanaan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah: menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1; Lembar Kegiatan Siswa 1 dan 2; Lembar Tugas 1 dan 2 tentang Perbandingan Senilai; serta menyiapkan media. Pada RPP, terdapat penilaian karakter, RPP menggunakan strategi pembelajaran Juta Barbel; membuat lembar penilaian 1 termasuk rubriknya yang sesuai dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran; menyusun lembar observasi. Lembar observasi yang disusun ada 2, yaitu lembar observasi untuk mengamati aktivitas peserta didik dan aktivitas guru. Pada tahap Perencanaan, peneliti juga

1137

mendiskusikan dengan partisipan yang bertindak sebagai observer untuk memperoleh masukan terhadap RPP, media, LKS, lembar tugas, lembar penilaian, dan lembar observasi yang digunakan.

Siklus I, Pertemuan 1 dilaksanakan pada hari Senin, 8 Januari 2018 (2 x 40 menit). Guru melakukan semua langkah pembelajaran yang ada dalam perencanaan. Peserta didik dibagi menjadi 9 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 4 peserta didik). Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi Perbandingan Senilai yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi.

Hasil tugas pada lembar tugas 1, pertemuan 1 dideskripsikan sebagai berikut: pada informasi nomor 1 (berdasarkan tabel), ada dua kelompok yang tidak menggunakan semua informasi yang diberikan pada tabel sehingga makna informasi pada tabel menjadi berubah. Pertanyaan yang dibuat tentang membuat kue martabak, padahal informasi pada tabel menggunakan bahan pisang.

Hasil tugas pada lembar tugas 1, pertemuan 1, dideskripsikan sebagai berikut: pada informasi nomor 2 (berdasarkan gambar), semua kelompok dapat mengajukan pertanyaan dengan benar; masih ada kelompok yang tidak dapat menyelesaikan pertanyaan yang diajukannya. Ada 1 kelompok yang tidak menggunakan variabel pada strategi penyelesaian yang ditulisnya, tetapi menggunakan simbol “?”. Hal ini menunjukkan kelompok ini sebenarnya memahami hal yang ditanyakan, tetapi simbol yang digunakan untuk hal yang ditanyakan adalah variabel. Selain itu, pada waktu pertanyaan itu dipertukarkan, kelompok yang satu dapat menyelesaikan pertanyaan kelompok lainnya; dalam penyelesaian pertanyaan yang diajukan, ada kelompok yang menggunakan cara perbandingan, ada pula yang menyelesaikan dengan berdasarkan nilai satuan. Berdasarkan hasil jurnal penelitian yang dilakukan guru, diperoleh hasil bahwa peserta didik masih mengalami kesulitan dalam mengajukan pertanyaan. Masih banyak peserta didik yang mengadaptasi dari soal di buku. Hal ini karena peserta didik belum terbiasa. Peserta didik juga masih mengalami kesulitan dalam membaca informasi gambar dan tabel yang diberikan sehingga guru banyak membimbing. Dalam menyelesaikan soal, sebagian kelompok sudah dapat menyelesaikan dengan benar walaupun masih ada kelompok yang tidak dapat menyelesaikan soal yang dibuatnya.

Siklus I, Pertemuan 2 dilaksanakan pada hari Selasa, 9 Januari 2018 (2 x 40 menit). Pada pertemuan 2, peserta didik dibagi menjadi 18 kelompok (setiap kelompok berpasangan, dua peserta didik). Guru melakukan semua langkah pembelajaran yang ada dalam Perencanaan. Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan senilai yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Hasil tugas pada lembar tugas 2, pertemuan 2, dideskripsikan sebagai berikut: Pada informasi nomor 1 (berdasarkan tabel), semua peserta didik dapat mengajukan pertanyaan dengan benar. Semua peserta didik menanyakan tentang ukuran kain yang diperlukan untuk membuat sekian potong baju. Peserta didik tidak menggunakan semua informasi pada tabel, tetapi mengambil sebagian yang diperlukan dalam pertanyaan yang dibuatnya. Semua peserta didik hanya membuat 1 pertanyaan. Hal ini menunjukkan kreativitas peserta didik dalam mengajukan pertanyaan

Nuryani, Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matetmatika .....

masih kurang.

Hasil tugas pada lembar tugas 2, pertemuan 2, dideskripsikan sebagai berikut. Pada informasi nomor 2 (berdasarkan gambar), ada 1 peserta didik yang membuat pertanyaan yang salah. Artinya, peserta didik tidak menggunakan informasi yang diberikan, tetapi dia dapat menyelesaikan pertanyaan itu dengan benar. Peserta didik lainnya dapat mengajukan pertanyaan dengan benar. Dalam menuliskan penyelesaian, peserta didik cenderung melakukan perhitungan (meskipun benar) tanpa memikirkan bagaimana menuliskannya supaya orang yang membacanya paham. Semua peserta didik dapat menyelesaikan pertanyaan yang dibuatnya. Penyelesaian yang digunakan menggunakan cara perbandingan. Selain itu, setelah pertanyaan dipertukarkan, semua peserta didik dapat menyelesaikan pertanyaan yang diajukan pasangannya. Dari jurnal penelitian guru, diperoleh catatan bahwa peserta didik tampak antusias menyelesaikan tugasnya dan berdiskusi dengan pasangannya setelah soal itu dipertukarkan untuk diselesaikan. Peserta didik sudah dapat memahami makna informasi gambar dan tabel yang diberikan pada lembar tugas. Namun, masih ada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam membuat kalimat pada pertanyaan yang diajukannya. Selain itu, masih ada peserta didik yang sudah dapat mengajukan pertanyaan tetapi tidak dapat menyelesaikan soal yang dibuatnya sendiri.

Pada akhir pertemuan 2, peneliti mengadakan penilaian selama 1 x 40 menit (1 jam pelajaran). Hasil tes menunjukkan rerata nilai 79,92 dengan ketuntasan kelas 66,7%.

Hasil observasi tertulis menunjukkan pada siklus ini, peserta didik aktif belajar dengan menggunakan strategi pembelajaran Juta Barbel karena secara klasikal memiliki rata-rata skor >75%. Penilaian afektif menunjukkan penilaian mulai berkembang dan sering muncul (menjadi pembiasaan) dari 3 aspek, yaitu toleransi, kerja keras, dan kreatif. Guru pada siklus 1 juga telah melakukan semua aspek yang diamati dengan sangat baik karena melakukan semua aspek yang diamati.

Refleksi. Kemampuan peserta didik dalam memahami informasi, meskipun sudah mengalami peningkatan pada pertemuan kedua dibandingkan pertemuan pertama, masih dimungkinkan belum dialami oleh semua peserta didik. Perlu ditekankan pada pertemuan berikutnya.

Berdasar pendapat partisipan dan jurnal guru, untuk siklus berikutnya, hal-hal yang perlu dilakukan adalah merevisi lembar tugas dengan menambahkan item petunjuk dalam mengerjakan tugas tersebut, memberi perhatian penuh kepada peserta didik yang belum mampu mengajukan pertanyaan dengan membimbingnya dan memahami informasi yang diberikan, serta mendorong peserta didik untuk dapat menyelesaikan pertanyaan yang diajukannya, baik secara kelompok maupun berpasangan dan tidak bergantung pada peserta didik tertentu.

Berdasarkan indikator keberhasilan dalam penelitian ini, meskipun keaktifan peserta didik telah menunjukkan skor > 75% yang artinya indikator keaktifan peserta didik dipenuhi, tetapi indikator tentang kemampuan peserta didik masih mencapai 66,7% yang artinya belum memenuhi indikator keberhasilan. Oleh karena itu, penelitian ini dilanjutkan pada siklus ke-2.

Siklus II, Pertemuan 3 dilaksanakan pada 15 Januari 2018

1138 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

hari Senin (2 x 40 menit). Perencanaan ulang (Replanning). Berdasarkan refleksi dan kelemahan di siklus I, RPP direvisi dengan cara merevisi lembar tugas dengan menambahkan item petunjuk dalam mengerjakan tugas tersebut, memberi perhatian penuh kepada peserta didik yang belum mampu mengajukan pertanyaan dengan membimbingnya dan memahami informasi yang diberikan, serta guru mendorong peserta didik untuk dapat menyelesaikan pertanyaan yang diajukannya, baik secara kelompok maupun berpasangan dan tidak bergantung pada peserta didik tertentu. Guru memberikan reward kepada kelompok yang berhasil meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam diskusinya.

Pada pertemuan 3, peserta didik dibagi menjadi 9 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 4 peserta didik), Guru melakukan semua langkah pembelajaran yang ada dalam strategi pembelajaran ini dengan menambahkan langkah-langkah perencanaan seperti tersebut pada perencanaan ulang. Tiap kelompok diberikan lembar kerja dengan materi perbandingan berbalik nilai yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Peserta didik diminta membuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan itu sesuai materi.

Hasil tugas pada lembar tugas 1, pertemuan 3, dideskripsikan sebagai berikut: pada informasi nomor 1 (berdasarkan tabel), semua kelompok dapat mengajukan pertanyaan dengan benar. Pertanyaan yang dibuat bervariasi, ada yang menanyakan tentang kecepatan, ada pula tentang waktu. (setelah ditambahkannya item petunjuk dalam mengerjakan tugas tersebut)

Pada informasi nomor 2 (berdasarkan gambar), ada 1 kelompok yang mengajukan pertanyaan bukan tentang perbandingan berbalik nilai. Artinya, kelompok ini tidak memahami petunjuk yang diberikan.

Semua kelompok dapat menyelesaikan pertanyaan yang dibuatnya, termasuk kelompok yang mengajukan pertanyaan seperti di atas. Ada 1 kelompok yang menyelesaikan pertanyaannya dengan cara coba-coba. Kelompok yang satu dapat menyelesaikan pertanyaan kelompok lainnya.

Berdasarkan hasil jurnal penelitian yang dilakukan guru, dicatat bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mengajukan pertanyaan berkurang dan sudah muncul kreasi peserta didik dalam mengajukan pertanyaan (setelah memberi perhatian penuh kepada peserta didik yang belum mampu mengajukan pertanyaan dengan membimbingnya dan memahami informasi yang diberikan)

Siklus II, Pertemuan 4 dilaksanakan pada hari Selasa, 16 Januari 2018 (2 x 40 menit). Pada pertemuan 4, peserta didik dibagi menjadi 18 kelompok (setiap kelompok berpasangan, dua peserta didik), Guru melakukan semua langkah pembelajaran yang ada dalam strategi pembelajaran ini berdasarkan replanning yang telah disusun.

Hasil tugas pada lembar tugas 2, pertemuan 4, dideskripsikan sebagai berikut. Pada informasi nomor 1 (berdasarkan tabel), terdapat 29 peserta didik dapat mengajukan pertanyaan dengan benar, sedangkan 7 peserta didik lain mengajukan pertanyaan yang salah (setelah ditambahkannya item petunjuk dalam mengerjakan tugas tersebut).

Pada informasi nomor 2 (berdasarkan gambar), ada 24 peserta didik yang membuat pertanyaan dengan benar,

sedangkan 12 peserta didik lain mengajukan pertanyaan yang salah. Kesalahan yang dilakukan adalah pertanyaan yang diajukan bukan tentang perbandingan berbalik nilai dan tidak memahami informasi yang diberikan. Ada 3 peserta didik tidak dapat menyelesaikan pertanyaan yang dibuatnya pada informasi nomor 1, padahal pertanyaannya benar.

Pada akhir pertemuan 4, peneliti mengadakan penilaian selama 1 x 40 menit (1 jam pelajaran). Hasil tes menunjukkan rerata nilai 82,97 dengan ketuntasan kelas 86,1%. Hasil penilaian formatif terhadap pelaksanaan pembelajaran ini menunjukkan bahwa dari 36 peserta didik, peserta didik yang tuntas belajar secara klasikal dari siklus I dan II mengalami peningkatan, yaitu 66,7% menjadi 86,1%,

Hasil observasi tertulis menunjukkan pada siklus ini, peserta didik aktif belajar dengan menggunakan strategi pembelajaran Juta Barbel karena secara klasikal memiliki rata-rata skor > 75% pada setiap aspek yang diamati. Penilaian afektif menunjukkan penilaian mulai berkembang dan sering muncul (menjadi pembiasaan) dari 3 aspek, yaitu toleransi, kerja keras, dan kreatif. Guru pada siklus 2 juga telah melakukan semua aspek yang diamati dengan sangat baik, karena melakukan semua aspek yang diamati.

Refleksi. penelitian ini telah memenuhi indikator keberhasilan karena setelah pembelajaran dengan strategi pembelajaran Juta Barbel, kemampuan peserta didik secara individu mencapai nilai minimal 78 dan ketuntasan secara klasikal minimal 85% dari banyak peserta didik. Selain itu, ada perubahan ketuntasan yang dialami peserta didik >50%, yaitu sebanyak 20 peserta didik (55,5%). Perubahan ketuntasan ini lebih tinggi dari siklus satu ke siklus berikutnya yang sesuai dengan indikator ketuntasan (mencapai nilai minimal 78).

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh tabel rekapitulasi sebagai berikut.

Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Penelitian

Indikator Siklus I Siklus II

Ketuntasan Kelas

Rerata Nilai

Ketuntasan Kelas

Rerata Nilai

Menggunakan konsep perbandingan senilai dalam menyelesaikan masalah

66,7 % 79,92

Menggunakan konsep perbandingan berbalik nilai dalam menyelesaikan masalah

86,1% 82,97

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan indikator keberhasilan bahwa kemampuan peserta didik dalam materi Perbandingan secara individu mencapai nilai minimal 78 dan ketuntasan secara klasikal minimal 85% dari banyak peserta didik. Salah satu upaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan strategi pembelajaran pengajuan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Anggraena dkk, bahwa strategi

1139

pembelajaran Juta Barbel adalah strategi pembelajaran yang meminta peserta didik untuk mengajukan pertanyaan berdasarkan gambar dan tabel yang diberikan, kemudian pertanyaan itu diselesaikan oleh peserta didik (Anggraena, dkk. 2012,27).

Strategi peserta didik diminta mengajukan pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan ini didasarkan juga pada pendapat (Russefendi 2010, 32) bahwa membantu peserta didik dalam memahami soal dapat dilakukan dengan menulis kembali soal dengan kata-kata sendiri, menulis soal dalam bentuk lain atau dalam bentuk yang operasional

Hasil penelitian ini pun sesuai dengan pendapat ahli Russefendi dan Anggraena, dkk, bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam materi perbandingan peserta didik meningkat karena ada perubahan ketuntasan dan/atau nilai yang diperoleh peserta didik dari siklus I ke siklus berikutnya yang lebih tinggi sesuai dengan indikator

Nuryani, Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matetmatika .....

ketuntasan.

SIMPULAN DAN SARAN

Strategi pembelajaran Juta Barbel dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika pada materi perbandingan di kelas VII-D SMP Negeri 237 Jakarta. Pada siklus I rerata nilai 79,92 pada siklus 1 meningkat menjadi 82,97 pada siklus II. Ketuntasan kelas secara klasikal adalah 66,7% pada siklus I meningkat menjadi 86,1% pada siklus II.

Untuk mengajar materi Perbandingan pada peserta didik kelas VII, guru Matematika disarankan untuk menggunakan strategi pembelajaran Juta Barbel. Untuk peneliti yang akan mereplikasi penelitian ini pada sekolah/kelas yang berbeda, disarankan perlu memperhatikan langkah-langkah dalam strategi pembelajaran Juta Barbel yang digunakan karena masih diperlukan penyempurnaan.

PUSTAKA ACUAN

Anggraena, dkk. Panduan Pembelajaran dan Penilaian . Jakarta: Puskurbuk, 2012.

Christou dkk., Constantinos. "An Empirical Taxonomy of Problem Posing Processes. The University of Montana Missoula, MT 59812 USA: ZDM, 2009.

Depdiknas. Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: BSNP, 2010.

English, Lyn D. "Promoting a Problem-Posing Classroom". Teaching Children Mathematics. . Amazon: Routledge Paperback , 2008.

Latifah, Dewi. “Meningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa melalui Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)”. Garut: Jurnal Pendidikan Matematika Volume 3, Nomor 3, September 2014.

Menon, Ramakhrishnan. "Mathematical Communication through Student-Constructed Question" Teaching Children Mathematics. University of British Columbia, Vancouver, Canada: California Association of Math, 2013.

Russefendi, E. T. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. . Bandung: Tarsito, 2010.

Silver dkk., Edward A. "Posing Mathematical Problems: An Exploratory Study". Journal for Research In Mathematics Education. Mumbai 400076, India: Department of Computer Science and Engineering, Indian Institute ofTechnology Bombay, Powai,, 2008.

Suryanto. "Pembentukan Soal dalam Pembelajaran Matematika". Makalah Seminar Nasional di PPS Universitas Negeri Malang. Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2008.

Uno, Hamzah. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Upu, Hamzah. Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2008.

PENERAPAN STRATEGI INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS MATERI KERJASAMA DI LINGKUNGAN SEKITAR

RUSMIYATISDN Pejaten Timur 22 Pagi

Abstract. The lack of social intelligence and the low student learning outcomes in Social Sciences subjects at SDN Pejaten Timur 22 Pagi is the background of this research. The use of inquiry learning strategies is that students can be directly involved. The purpose of this study was to improve the results of social studies learning in the collaboration material in the surrounding environment for class II SD Negeri Pejaten Timur 22 Pagi South Jakarta.This classroom action research was conducted in two cycles and two meetings. The stages of research are the stages of planning, action, observation, and reflection. As a data collection tool is a test sheet and observation at the end of each cycle. The results obtained in the first cycle, the average was 62.05 and students who met the learning completeness standard, with absorptive capacity of 72.73%. In the second cycle the average value obtained increased to 70.23, and students who met the standard of mastery learning, with absorption of 86.36%. Based on the results obtained in the study, the researcher concluded that the application of inquiry strategies is suitable for use in social studies in collaboration material in the surrounding environment, can improve students 'social studies learning outcomes, and is very effective.

Keywords: Inquiry Strategies, Learning Outcomes, Collaboration in the Neighborhood

Abstrak. Masih minimnya kecerdasan sosial dan masih rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SDN Pejaten Timur 22 Pagi di Jakarta melatarbelakangi penelitian yang dilakukan penulis. Materi kerjasama di lingkungan menuntut siswa berperan aktif mencari tahu tentang materi tersebut. Penggunaan strategi pembelajaran inkuiri diharapkan siswa dapat terlibat secara langsung. Karena itu siswa dituntut untuk menemukan sendiri materi yang akan disajikan oleh guru. Dengan demikian pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, berjalan secara efektif, dan lebih bermakna. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar IPS pada materi kerjasama di lingkungan sekitar pada siswa kelas II SD Negeri Pejaten Timur 22 Pagi Jakarta Selatan. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Tahapan penelitian yaitu tahap perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebagai alat pengumpul data adalah lembar tes dan observasi setiap akhir siklus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar dengan model pembelajaran inkuiri. Hal ini terbukti dari nilai yang diperoleh siswa meningkat. Hasil yang diperoleh pada siklus I, rata-rata adalah 62,05 dan siswa yang memenuhi standar ketuntasan belajar ada 16 siswa, dengan daya serap 72,73%. Pada siklus II nilai rata-rata yang diperoleh meningkat menjadi 70,23, dan siswa yang memenuhi standar ketuntasan belajar adalah 19 siswa, dengan daya serap 86,36%. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa penerapan strategi inkuiri sesuai digunakan untuk pelajaran IPS pada materi kerjasama di lingkungan sekitar, dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa, dan sangat efektif karena kemampuan siswa tergali dan aktivitas belajar siswa dapat terbangun.

Kata Kunci: Strategi Inkuiri, Hasil Belajar, Kerjasama di Lingkungan Sekitar

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. Sejak ia dalam kandungan, lahir dan bertumbuh hingga akhir hayatnya, ia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dan membutuhkan sumber daya alam untuk memenuhi segala kebutuhannya di dunia. Hal tersebut karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan sekitarnya.

Salah satu pembelajaran di jenjang sekolah dasar adalah mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS). Salah satu tujuan pembelajaran IPS adalah siswa dapat berinteraksi dengan lingkungan. Siswa mendapatkan materi pembelajaran tentang kerjasama di lingkungan sekitar melalui pembelajaran IPS.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, hendaknya memiliki banyak aktivitas, kreativitas, dan kearifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan secara aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Untuk itu, guru harus menguasai prinsip-prinsip pembelajaran, mampu

memilih dan penggunaan pendekatan, strategi pembelajaran serta media pembelajaran yang tepat, sehingga akan optimal hasil belajar yang diperoleh siswa.

Kenyataan saat ini, strategi pembelajaran yang diterapkan di sekolah masih berpusat pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Proses pembelajaran yang dilakukan masih berpandangan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal. Di samping itu, faktanya, guru masih menggunakan strategi utama dalam mengajar melalui metode ceramah. Masih sangat konvensional dan teacher oriented. Sehingga pelajaran IPS kurang diminati oleh siswa. Siswa kurang bersemangat dalam proses pembelajaran. Siswa belum memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap materi yang disampaikan. Selain itu siswa juga kurang berani menyatakan pendapatnya sendiri. Mereka memandang pelajaran IPS ini memuat begitu banyak materi ajar sehingga sulit untuk dipelajari. Hal ini menyebabkan suasana pembelajaran kurang memberikan pengalaman bermakna bagi siswa. Sehingga pengetahuan yang telah

1141

didapat di sekolah, dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat diaplikasikan oleh siswa.

Berdasarkan pengalaman di atas dan pengamatan di SD Negeri Pejaten Timur 22 Pagi, perlu adanya penerapan strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang melibatkan siswa secara aktif, berpusat pada siswa, lebih bermakna serta memberikan pengalaman pembelajaran bagi siswa sehingga dapat mengembangkan mental yang baik yang dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya yang dapat dikembangkan guru salah satunya adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran inkuiri yang dapat memberikan tantangan kepada siswa sekaligus menyenangkan. Wina Sanjaya (2008:196) menyatakan strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Penerapan pembelajaran inkuiri diharapkan proses pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa dapat secara aktif mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran yang sedang dipelajari sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan hasil belajar akan lebih baik. Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu, berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungan (Hidayat 2015).

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: “Apakah dengan strategi inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS materi kerjasama di lingkungan sekitar?”

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan menggunakan strategi inkuiri dalam pembelajaran IPS materi kerja sama di lingkungan sekitar di kelas II SDN Pejaten Timur 22 Pagi, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan juga menyenangkan.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas tentang strategi pembelajaran inkuiri sehingga dapat memberikan inovasi pembelajaran yang menarik dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Rosdijati, dkk dalam bukunya, (2010: 58) menyatakan bahwa IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di tingkat SD/MI/SDLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial (Rosdijati 2010).

Udin S. Winataputra (2010: 8.21) dalam bukunya juga menyatakan bahwa, tujuan pengajaran IPS adalah agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari- hari.

Pendidikan di tingkat dasar maupun menengah di Indonesia, yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang di luar negeri dikenal dengan social studies, social education, atau social studies education. Wesley (Sapriya, 2009: 9) menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagodical purpose”. (Sapriya 2009) Jadi menurut Wesley IPS lebih mengarah kepada penyederhanaan ilmu-ilmu sosial yang bertujuan pada kemampuan pedagogik.

Salah satu buku yang ditulis Supardi menyatakan bahwa

pengertian social studies (IPS) yang lain menurut National Council for Social Studies (NCSS) (Supardi, 2011: 182): “Social studies are the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as antropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content drom the humanities, mathematics, and the natural sciences” (Supardi 2011).

Simpulan pengertian tersebut menegaskan bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang terintegrasi atau terpadu dari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sehingga dapat mengembangkan kemampuan menjadi warga negara yang baik. IPS di sekolah merupakan mata pelajaran yang memadukan secara sistematis disiplin-disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi.

Etin Solihatin (2009: 15) berpendapat bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Solihatin 2009).

Tujuan pembelajaran IPS adalah menjelaskan secara sederhana yang dimaksud dengan tetangga, menjelaskan pengertian gotong royong, menyebutkan contoh kerja sama di lingkungan tetangga, menyebutkan contoh sikap saling menghargai antartetangga, menceritakan pengalaman bekerja sama dengan tetangga, menjelaskan manfaat bekerja sama dengan tetangga, dan menjelaskan akibat tidak mau bekerja sama dengan tetangga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPS berfungsi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mengenali dan memahami gejala alam dan kehidupan dalam kaitannya dengan keruangan dan kewilayahan serta mengembangkan sikap positif dan rasional dalam menghadapi permasalahan yang timbul sebagai akibat adanya pengaruh dengan manusia terhadap lingkungannya.

Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Purwanto 2010: 45). Hasil belajar adalah kompetensi atau kemampuan tertentu baik kognitif, afektif maupun psikomotorik yang dicapai atau dikuasai peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar (Ahiri 2008).

Selain diperoleh dari tes, hasil belajar juga diperoleh dari observasi. Purnomo dalam bukunya, (2008: 69) menyatakan bahwa metode observasi ialah pengamatan langsung menggunakan alat indera atau alat bantu untuk penginderaan suatu subjek atau objek. Observasi juga merupakan basis sains yang dilakukan dengan menggunakan panca indera atau instrumen sebagai alat bantu penginderaan.

Sugiyono (2011: 46) dalam bukunya menyatakan bahwa observasi sebagai metode pengumpul data mempunyai ciri yang spesifik bila di bandingkan dengan teknik lain, yaitu wawancara atau kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek yang lain.

Sedangkan menurut Rahardjo & Gudnanto (2011: 47) observasi adalah kegiatan pengamatan (secara inderawi)

Rusmiyati, Penerapan strategi inkuiri untuk meningkatkan hasil belajar IPS ....

1142 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

yang direncanakan, sistematis dan hasilnya di catat serta dimaknai (diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh pemahaman tentang objek yang diamati.

Schmidt (dalam Amri dan Ahmadi 2010) mengartikan inkuiri sebagai suatu proses untuk mendapatkan informasi dengan cara melakukan observasi dan atau eksperimen guna mencari jawaban maupun memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis. Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2012: 196) strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Metode pembelajaran inkuiri yang disebut strategi pembelajaran inkuiri oleh Sanjaya (2012) merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student centered approach). Karena dalam strategi ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran inkuiri akan berhasil jika: 1) guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian, dalam strategi inkuiri penguasaan materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar; 2) bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian; 3) proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu; 4) guru mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan berpikir, karena strategi inkuiri ini tidak akan berhasil diterapkan kepada siswa yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir; 5) jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru; dan 6) guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa. (Sanjaya 2012)

Khoirul Anam (2015:14) menyatakan bahwa penggunaan strategi pembelajaran inkuiri bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pembelajaran, akan tetapi lebih pada bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya untuk lebih mengembangkan pemahamannya terhadap materi pembelajaran tertentu (Khoirul Anam 2015).

Penciptaan kondisi inkuiri, menurut Trianto (2011: 166) peranan utama seorang guru adalah sebagai berikut: 1) motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir; 2) fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan; 3) penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat; 4) administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas; 5) pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan; 6) manajer, mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas; dan 7) rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.

Richard Suchman (dalam Sitiatava Rizema Putra, 2013: 84) menyatakan strategi inkuiri adalah sebagai berikut: 1) siswa akan bertanya (inquire) jika dihadapkan dengan suatu masalah yang dapat membingungkan, kurang jelas,

dan atau kejadian-kejadian aneh (discrepant event); 2) siswa memiliki kemampuan untuk menganalisis strategi berpikirny; dan 3) strategi berpikir dapat diajarkan dan ditambahkan kepada siswa, serta inkuiri dapat lebih bermakna dan efektif apabila dilakukan dalam konteks kelompok (Putra 2013).

Strategi ini akan mengasah peserta didik untuk berfikir secara kritis dan edukatif. Peserta didik diminta untuk mandiri dalam proses pembelajaran dan membangun pengetahuan yang sudah diperolehnya terlebih dahulu. Peran siswa dalam pembelajaran mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran ini merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa.

Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, pada pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.

METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Pejaten Timur 22 Pagi, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan yaitu mulai bulan Januari sampai Juni 2017. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik sekolah, pada tahun ajaran 2016/2017. Karena itu penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan.

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas II SDN Pejaten Timur 22 Pagi tahun ajaran 2016/2017. Jumlah siswa sebanyak 22 anak, terdiri dari 11 anak laki-laki dan 11 anak perempuan.

Jenis dan metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian tindakan (Action Research) yang dilakukan guru yang sekaligus sebagai peneliti di kelasnya atau bersama-sama dengan orang lain dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipasif yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses pembelajaran di kelasnya melalui suatu tindakan (treatment) tertentu dalam suatu siklus (Setiawan 2015).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode tes, observasi, angket dan studi dokumen. Sedangkan alat pengumpul datanya adalah soal pilihan ganda, lembar pengamatan keaktifan siswa dan lembar observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup kegiatan untuk mengungkap kelemahan atau kekurangan dan kelebihan siswa dalam proses belajar mengajar berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan. Dari analisis tersebut kemudian dibahas yang hasilnya dijadikan

1143

sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya sesuai dengan siklus-siklus yang sudah direncanakan Analisis data ini memadukan sekaligus membandingkan hasil siklus pertama dan siklus kedua.

Prosedur penelitian terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, obsevasi dan evaluasi, serta tahap analisis dan refleksi. Evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir siklus untuk mengetahui perubahan hasil belajar peserta didik selama pelaksanaan penelitian.

Semua data dari hasil observasi siklus I dan II dikumpulkan dan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan teknik persentase untuk mengetahui hasil belajar dengan penerapan strategi inkuiri dalam pelajaran IPS.

Untuk mengetahui nilai rata-rata, nilai tertinggi, nilai terendah dan ketuntasan pada siklus I dan II, hasil belajar yang berupa nilai ulangan harian pada pembelajaran sebelumnya dianalisa, agar terlihat seberapa jauh tingkat keberhasilan penelitian.

Peran serta peserta didik dan guru merupakan indikator keberhasilan penelitian. Penelitian dianggap berhasil jika nilai rata-rata yang dicapai siswa mencapai nilai minimal 70 dan siswa yang mencapai nilai KKM 75% dari jumlah siswa di kelas, yaitu 22 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fakta rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh strategi pembelajaran IPS yang dilaksanakan masih belum efektif. Guru cenderung memilih proses belajar mengajar yang cepat untuk mengejar target pencapaian kurikulum dan materi yang ada di buku. Siswa tidak diberi kesempatan untuk menemukan konsep sendiri. Siswa diperlakukan hanya sebagai objek belajar yang pasif, tidak diberi kesempatan untuk belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan.

Pembahasan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan guru sebagai berikut.

Siklus I; Tahap perencanaan dilaksanakan pada hari Senin, 6 Februari 2017. Peneliti melakukan: 1) merancang pelaksanaan pembelajaran dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Peneliti memilih materi kerjasama di lingkungan tetangga. Kemudian membuat indikator yang akan dicapai yaitu siswa dapat menjelaskan pengertian tetangga, menjelaskan pengertian gotong royong, menyebutkan contoh kerjasama di lingkungan tetangga, dan menyebutkan sikap saling menghargai antar tetangga; 2) membagi siswa menjadi 5 kelompo; 3) menyiapkan materi dan media; 4) menyiapkan alat evaluasi atau lembar soal; dan 5) mengolah hasil perolehan data nilai, menganalisis dan merefleksi pembelajaran.

Tahap Tindakan dilaksanakan pada hari Selasa, 7 Maret 2017, yang dilakukan pada pelaksanaan siklus I adalah sebagai berikut: 1) tahap merumuskan masalah, siswa menentukan bahwa masalah yang akan dipelajari adalah mengetahui pengertian tetangga dan pengertian gotong-royong; 2) tahap menentukan hipotesis, siswa mencari berbagai kemungkinan jawaban terkait dengan pengertian tetangga dan pengertian gotong-royong; dan 3) tahap mengumpulkan data, siswa mengidentifikasi isi dongeng “Kupu-Kupu yang Baik Hati” bersama guru, mencari bentuk kerja sama yang ada pada dongeng tersebut, berkumpul sesuai regu belajar masing-masing untuk mewawancarai ibu

kantin terkait dengan tetangga dan gotong-royong sesuai dengan panduan wawancara dari guru kemudian menuliskan jawabannya, siswa praktek mengangkat meja siswa sendirian dan mengangkat meja bersama teman kemudian mengidentifikasi apa yang telah dilakukan, dan mengamati gambar yang ditunjukkan guru (denah rumah dan berbagai gambar contoh kegiatan yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan bersama orang lain) dan memilih gambar yang berkaitan dengan tetangga dan gotong-royong.

Pada tahap menguji hipotesis siswa melakukan: 1) mendiskusikan lembar kerja siswa berkaitan dengan tetangga dan gotong-royong berdasarkan data yang telah dikumpulkan; 2) secara bergantian menyampaikan hasil diskusi kelompok pada forum diskusi kelas; dan 3) menguji hipotesis dengan logika dan mengembangkan hipotesis berdasarkan data yang telah terkumpul disertai asumsi yang mendasarinya. Pada tahap merumuskan kesimpulan, siswa bersama guru menyusun pernyataan/ kalimat terbaik bahwa tetangga adalah orang yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kita. Sedangkan kerja sama adalah kegiatan yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama. Gotong- royong adalah bekerja bersama-sama (tolong-menolong dan saling membantu). Di akhir pembelajaran guru dan siswa meluruskan kesalahpahaman, menyimpulkan, dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.

Pada tindakan kedua, kegiatan yang dilakukan adalah: 1) siswa menjawab pertanyaan guru tentang pengertian tetangga dan gotong-royong; 2) siswa mendengarkan penjelasan guru tentang kerja sama di lingkungan tetangga; 3) membaca percakapan keluarga Bima tentang kerja sama dengan tetangga, menanggapi isi percakapan tersebut, menyebutkan contoh kerja sama di lingkungan tetangga, dan menyebutkan contoh sikap saling menghargai antar tetangga; 4) siswa mendengarkan penjelasan guru tentang tahapan inkuiri yang harus dilakukan; dan 5) siswa mendengarkan penjelasan guru tentang pentingnya kerja sama dengan tetangga.

Pada tahap merumuskan masalah, siswa memberikan contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan sikap saling menghargai antar tetangga. Pada tahap menentukan hipotesis, siswa mencari berbagai kemungkinan jawaban terkait dengan contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan contoh sikap saling menghargai antar tetangga.

Pada tahap mengumpulkan data yang dilakukan siswa yakni: 1) mendemonstrasikan percakapan yang terjadi pada keluarga Bima terkait dengan kerja sama di lingkungan tetangga bersama kelompoknya di depan kelas; 2) mengidentifikasi isi percakapan tersebut; 3) mencari bentuk kerja sama yang ada pada dongeng tersebut; 4) siswa berkumpul sesuai regu belajar masing-masing untuk mewawancarai ibu kantin terkait dengan contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan contoh sikap saling menghargai antar tetangga sesuai dengan panduan wawancara dari guru kemudian menuliskan jawabannya; 5) siswa membersihkan kelas bersama-sama kemudian mengidentifikasi apa yang telah dilakukan; dan 6) mengamati gambar yang ditunjukkan guru dan memilih gambar yang berkaitan dengan contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan contoh sikap saling menghargai antar tetangga.

Pada tahap menguji hipotesis yang dilakukan siswa yakni:

Rusmiyati, Penerapan strategi inkuiri untuk meningkatkan hasil belajar IPS ....

1144 Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan, Volume 14 - Agustus 2018, hlm 1089-1145

1) siswa mendiskusikan lembar kerja siswa berkaitan dengan contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan contoh sikap saling menghargai antar tetangga berdasarkan data yang telah dikumpulkan; 2) secara bergantian menyampaikan hasil diskusi kelompok pada forum diskusi kelas; dan 3) menguji hipotesis dengan logika dan mengembangkan hipotesis berdasarkan data yang telah terkumpul disertai asumsi yang mendasarinya. Pada tahap merumuskan kesimpulan, siswa bersama guru menyusun pernyataan/ kalimat terbaik tentang contoh kerja sama di lingkungan tetangga dan contoh sikap saling menghargai antar tetangga.

Diakhiri dengan refleksi dan menyimpulkan pembelajaran yang telah dilakukan.

Tahap pengamatan, hasil observasi pada siklus I adalah sebagai berikut: 1) Pertemuan pertama, siswa masih terlihat bingung dengan pembelajaran IPS saat itu karena berbeda dari proses pembelajaran sebelumnya, siswa juga terlihat kurang paham dengan petunjuk pelaksanaan pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran inkuiri. Pada tahap ini belum ada siswa yang menyampaikan permasalahan terkait dengan kerja sama di lingkungan tetangga. Pada tahap mengumpulkan data, siswa mulai menunjukkan rasa senang dan antusias dengan kegiatan yang dilakukan. Akan tetapi siswa masih belum ada yang berinisiatif sendiri untuk mencari data yang dibutuhkan dari sumber lain dan belum ada siswa yang mengajukan pertanyaan dalam forum diskusi kelas. Selain itu, ada siswa yang berjalan-jalan dan kurang bertanggung jawab dalam diskusi kelompok; dan 2) Pertemuan kedua, siswa secara individu maupun kelompok sebagian besar telah aktif dalam pembelajaran, hal ini terlihat dalam tahap merumuskan masalah, sudah ada beberapa siswa yang mau menyampaikan pendapatnya terkait dengan masalah yang akan dikaji. Sementara dalam tahap mengumpulkan data, siswa masih belum berinisiatif mencari data yang dibutuhkan dari sumber lain. Dalam proses diskusi terjadinya interaksi berbagai arah antara siswa dengan siswa dalam kelompok maupun dalam forum diskusi kelas serta antara siswa dan guru. Dalam proses diskusi kelompok, antar anggota kelompok saling menanggapi pendapat temannya.

Tahap Refleksi. Pada tahap ini dilakukan refleksi pelaksanaan siklus. Data yang diperoleh pada siklus I ini bahwa Jumlah siswa yang mencapai KKM pada pratindakan ada 9 anak, pada siklus I menjadi 16 anak. Jumlah siswa yang belum mencapai KKM pada pra tindakan ada 13 anak, pada siklus I menjadi 6 anak. Hal ini menunjukkan bahwa sudah menampakan kenaikan. Namun demikian masih perlu perbaikan, terutama langkah-langkah penerapan strategi pembelajaran inkuiri yang pada siklus I ini masih kurang maksimal pelaksanaannya sehingga masih ada siswa yang mendapatkan nilai kurang dari KKM. Karena itu, guru harus mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Perbaikan yang harus dilakukan adalah guru lebih mengoptimalkan kegiatan siswa pada tahap pengumpulan data dan tahap menguji hipotesis. Sehingga siswa semakin aktif dalam proses diskusi kelompok maupun dalam forum diskusi kelas, serta siswa semakin kreatif dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan. Karena hasil yang didapat pada siklus I kurang maksimal, maka perlu dilakukan uji lanjut pada siklus II.

Siklus II, Tahap Perencanaan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 20 April 2017. Peneliti membuat indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut. Adapun

indikator yang akan dicapai adalah siswa dapat menceritakan pengalamannya bekerjasama dengan tetangga, menjelaskan manfaat atau keuntungan bekerjasama dengan tetangga, dan menjelaskan akibat jika tidak mau bekerjasama dengan tetangga.

Tahap Tindakan pelaksanaan siklus II, dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 31 Mei 2017. Guru memperbaiki pembelajaran dengan: 1) guru menyerahkan kepada siswa untuk mencari sendiri masalah yang akan dikaji agar siswa lebih antusias untuk menemukan jawaban atas masalah yang mereka sudah mereka tentukan sendiri; 2) guru memaksimalkan tahap pengumpulan data dengan memotivasi dan memberikan kebebasan pada siswa untuk mencari informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber lainnya; 3) guru mengarahkan dengan maksimal agar siswanya mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan dan memotivasi siswa agar tidak takut untuk berpendapat maupun bertanya; dan 4) guru memberikan reward bagi siswa yang berani bertanya maupun berpendapat dengan nilai tambahan agar siswa tidak takut untuk bertanya dan berpendapat.

Tindakan yang dilakukan siswa di siklus II ini adalah melakukan tahapan: 1) merumuskan masalah, yaitu menyebutkan contoh manfaat kerja sama dengan tetangga dan contoh akibat jika tidak mau bekerja sama dengan tetangga; 2) menentukan hipotesis yaitu mencari berbagai kemungkinan jawaban terkait dengan contoh manfaat kerja sama dengan tetangga dan contoh akibat jika tidak mau bekerja sama dengan tetangga; dan 3) mengumpulkan data, yaitu dengan mendemonstrasikan percakapan yang terjadi pada warga, mengidentifikasi isi percakapan tersebut, mencari contoh manfaat kerja sama dengan tetangga dan contoh akibat jika tidak mau bekerja sama dengan tetangga, melakukan wawancara sesuai dengan panduan wawancara dari guru kemudian menuliskan jawabannya, mengamati gambar yang ditunjukkan guru dan memilih gambar yang berkaitan dengan contoh manfaat kerja sama dengan tetangga dan contoh akibat jika tidak mau bekerja sama dengan tetangga, mencari sumber data lain di perpustakaan atau bertanya pada guru lain, pada tahap menguji hipotesis yang dilakukan siswa yakni mendiskusikan lembar kerja siswa, secara bergantian menyampaikan hasil diskusi kelompok, dan menguji hipotesis dengan logika dan mengembangkan hipotesis berdasarkan data yang telah terkumpul disertai asumsi yang mendasarinya.

Tahap Pengamatan pada siklus II ini, siswa secara individu maupun kelompok sebagian besar aktif dalam pembelajaran IPS. Hal ini terlihat dalam tahap merumuskan masalah, sudah ada beberapa siswa yang mau menyampaikan pendapatnya terkait dengan masalah yang akan dikaji. Proses diskusi terjadinya interaksi berbagai arah antara siswa dengan siswa dalam kelompok maupun dalam forum diskusi kelas serta antara siswa dan guru. Hal ini ditandai adanya siswa yang menanggapi pendapat teman serta tanya jawab antar siswa dan guru.

Tahap Refleksi, pada siklus II ini sudah ada peningkatan dalam aktivitas maupun minat dalam pembelajaran. Siswa juga sudah mengerti tahapan dalam pembelajaran dengan strategi yang digunakan guru. Selain itu, siswa yang memperoleh nilai sesuai standar KKM meningkat menjadi 19

1145

siswa atau sebesar 86,36%. Rata-rata kelas yang diperoleh sebesar 70,23.

Berikut disajikan perbandingan hasil belajar siswa sebelum menggunakan strategi inkuiri dengan nilai yang diperoleh pada siklus I dan II.

Tabel 1. Perbandingan hasil belajar pra siklus, siklus I dan siklus II

Pelaksanaan Rata-rata kelas

Siswa yang mencapai KKM

Siswa yang belum mencapai KKM

Jumlah % Jumlah %

Pra Tindakan

52,5 9 40,91 13 59,09

Siklus I 62,05 16 72,73 6 27,27

Siklus II 70,23 19 86,36 3 13,64

Dari data tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran pada pelajaran IPS materi kerjasama di lingkungan sekitar dengan menggunakan strategi inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar secara signifikan walaupun masih ada 3 siswa yang belum mencapai KKM.

Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran inkuiri dan tujuan pembelajaran IPS berkaitan dengan karakteristik siswa SD kelas rendah yang menekankan pada aktifitas siswa

untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran dengan bimbingan guru dan mengarahkan siswa agar tidak selalu bergantung pada guru, berani untuk bertanya maupun menyampaikan pendapat, serta mau menghormati pendapat teman.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) penerapan strategi inkuiri sesuai digunakan untuk pelajaran IPS pada materi kerjasama di lingkungan sekitar; 2) penerapan strategi inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa; dan 3) penerapan strategi inkuiri sangat efektif, kemampuan siswa tergali dan aktivitas belajar siswa dapat terbangun.

Peneliti juga ingin menyampaikan beberapa saran kepada rekan guru, buatlah inovasi dan tingkatkan kreativitas dalam kegiatan belajar mengajar, serta berusaha untuk selalu meningkatkan dan memperbaiki pembelajaran. Salah satunya adalah dengan melaksanakan proses belajar dengan strategi inkuiri agar dapat memberikan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi siswa dan sebagai upaya untuk pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik lagi, terutama dalam hal kualitas pembelajaran.

PUSTAKA ACUAN

Ahiri, Jafar. Teknik Penilaian Kelas Dalam Pembelajaran. Jakarta: Uhamka, 2008.

Anam, Khoirul. Pembelajaran Berbasis Inkuiri. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2015.

Hidayat, Syarif. Teori dan Prinsip Pendidikan. Tangerang: Pustaka Mandiri, 2015.

Kusumah, Wijaya. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Indeks, 2010.

Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara, 2008Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.Putra, Sitiatava Rizema. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains.

Jogjakarta: Diva Press, 2013.Rahardjo, Susilo dan Gudnanto. Pemahaman Individu Tekhnik Non Tes.

Kudus: Nora Media Enterprise, 2011.Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Sapriya. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

Setiawan, Didang. Penelitian Tindakan Kelas Apa, Mengapa dan Bagaimana. Jakarta: RMbooks, 2015.

Solihatin, Etin. Cooperative learning analisis Strategi IPS. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta, 2011

Supardi. Dasar-Dasar Ilmu Sosial. Yogyakarta: Ombak, 2011.Supriatna, Nana. Pendidikan IPS Di SD. Bandung: UPI, 2007.

Trianto. Mendesain Strategi Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.Winataputra, Udin S. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas

Terbuka, 2010.

Rusmiyati, Penerapan strategi inkuiri untuk meningkatkan hasil belajar IPS ....

Daftar Nama Mitra BestariSebagai Penelaah Ahli

Tahun 2018

Untuk penerbitan Volume 13 Edisi April 2018, semua naskah yang diterima oleh Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan (JLMP) telah ditelaah oleh Mitra Bestari (peer reviewers) berikut ini:

1. DR. Kadir, M.Pd

2. DR. Christina Tulalessy, M.Pd

3. Dra. Hj. Seni Asiati, M.Pd

Penyunting Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan (JLMP) menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan terimakasih sebesar-besarnya kepada para Mitra Bestari tersebut, atas bantuan dan kerjasama yang telah mereka berikan