Penerapan Pasar Karbon (Emission Trade System) di ... · dan dampak sosial dan ekonomi. iii. ......
Transcript of Penerapan Pasar Karbon (Emission Trade System) di ... · dan dampak sosial dan ekonomi. iii. ......
z
Penerapan Pasar Karbon (Emission Trade System) di
Indonesia dan Pembelajaran dari Uni Eropa
Oleh Hadi Prasojo, Ratih Twi Septiriana, dan Avianto Nugroho
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Dalam upaya berkontribusi mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyebabkan
terjadinya kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim, Indonesia perlu mempertimbangkan
penerapan instrumen ekonomi salah satunya emission trading system (ETS).
• Terdapat empat langkah utama mekanisme pembentukan dan penerapan ETS, yaitu
penetapan target emisi atau cap, alokasi allowance sebagai unit pembagian dari cap kepada
entitas penghasil emisi, proses transaksi jual beli allowances, dan pelaporan.
• Penting untuk mempelajari berbagai pengalaman negara lain yang telah menerapkan ETS,
terutama Uni Eropa dengan berbagai pertimbangan kondisi Indonesia, dimana terdapat
beberapa langkah pembentukan dan penerapan ETS di antaranya, yaitu prasyarat teknis,
regulasi, budaya, struktur pasar, dan pengalaman pengawasan pasar. Mengingat instrumen
ETS merupakan kebijakan yang strategis menyangkut berbagai sektor dan berdampak yang
luas, penerapannya membutuhkan proses persiapan yang matang dan berkesinambungan.
PENDAHULUAN
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan global saat ini yang disebabkan oleh kenaikan
suhu bumi. Kerjasama antarnegara dibutuhkan dalam upaya mereduksi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi ini. Dalam Persetujuan Paris (Paris
Agreement) yang dilaksanakan tahun 2015, masing-masing negara termasuk Indonesia telah
menentukan kontribusinya dalam upaya mereduksi emisi GRK melalui dokumen Nationally
Determined Contributions (NDCs).
Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan peringkat kelima terbesar dalam
mengemisikan GRK setelah Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa (terdiri dari 28 negara),
dan India (Climate Watch, 2018). Tingkat emisi GRK Indonesia secara tren terus meningkat
seperti ditampilkan pada Gambar 1, dengan tingkat emisi GRK pada tahun 2016 mencapai
sekitar 1,46 Gigaton CO2 ekuivalen dengan kontribusi terbesar dari sektor AFOLU
(agriculture, forestry and other land use, termasuk kebakaran gambut) sebesar 51.56% dan
sektor energi sebesar 30,97%. Disusul oleh sektor lainnya yaitu sektor limbah sebesar 6,32%
dan sektor IPPU (industrial process and product use) sebesar 4,15% (Ministry of Environment
and Forestry, 2018).
Gambar 1. Profil tren tingkat emisi GRK Indonesia tahun 2000-2016 (MoEF, 2018)
Adapun target Indonesia sesuai dokumen NDC ditampilkan pada Gambar 2, yaitu
Indonesia dapat mereduksi tingkat emisi GRK sebesar 29% jika menggunakan skenario
mitigasi CM1 (unconditional) dan 38-41% jika menggunakan skenario mitigasi CM2
(kondisional/dengan tambahan bantuan internasional) pada tahun 2030 dibandingkan dengan
proyeksi emisi baseline. Tentunya untuk mencapai target reduksi ini dibutuhkan berbagai aksi
mitigasi perubahan iklim/pengendalian emisi GRK yang perlu dilakukan. Policy Brief ini
memaparkan esensi dari penerapan instrumen ekonomi dalam penurunan emisi GRK yang
umum dikenal emission trade system (ETS), pembelajaran dari Uni Eropa, serta prospek dan
tantangan penerapan ETS di Indonesia.
Gambar 2. Target reduksi emisi GRK Indonesia tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat
emisi tahun dasar 2010 berdasarkan skenario mitigasi kondisional NDCs (MoEF, 2018)
INSTRUMEN EKONOMI DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Terdapat berbagai kategorisasi kebijakan aksi mitigasi sesuai yang ditampilkan pada Gambar
3, termasuk salah satunya instrumen ekonomi berbasis harga (carbon pricing), yang berprinsip
untuk menginternalisasikan eksternalitas negatif dari aktivitas manusia berupa emisi GRK ke
dalam harga barang atau jasa. Instrumen ekonomi dipandang lebih efektif dan efisien dalam
mendorong pengurangan emisi dibanding instrumen berbasis regulasi yang menetapkan target
penurunan emisi dari setiap unit produksi (Bowen, 2011). Berbeda dengan mekanisme regulasi
dimana pemerintah dituntut untuk memiliki informasi selengkap mungkin tentang kondisi unit
produksi (penghasil emisi), upaya pengurangan emisi melalui instrumen ekonomi dipengaruhi
oleh harga dan mekanisme pasar sehingga menghasilkan biaya yang efektif.
Adapun terdapat dua instrumen ekonomi yang sudah diterapkan di berbagai negara
dalam upaya pencapaian target emisi yaitu instrumen berbasis pajak (tax) dan instrumen
berbasis pasar (carbon creditting dan ETS).
Gambar 3. Diagram instrumen dalam mitigasi perubahan iklim / pengendalian emisi GRK
(disarikan dari DG CLIMA ETS E-Learning Unit 1)
Pasar Karbon atau Emission Trading System (ETS)
Pasar Karbon atau Emission Trading System (ETS) adalah salah satu upaya pembentukan harga
karbon (atau jenis emisi GRK lainnya) dengan cara membentuk hak milik emisi berupa hak/izin
emisi (selanjutnya disebut allowance) yang dapat diperdagangkan melalui mekanisme pasar
(Field, 1997 p. 253). Sistem ini disebut juga cap-and-trade karena pemerintah harus
menetapkan besaran target emisi (cap) sebelum membaginya ke dalam bentuk allowance dan
memperdagangkannya.
Instrumen mitigasi perubahan iklim /
pengendalian emisi GRK
Instrumen ekonomi
Berbasis Pajak
Tax
Berbasis Pasar / Harga
ETS
Crediting
Instrumen berbasis regulasi
Command and Control
Alasan pemilihan penerapan ETS
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat dua instrumen ekonomi dalam pengendalian
jumlah emisi, yaitu instrumen berbasis pajak (pajak karbon) dan instrumen berbasis pasar,
utamanya ETS. Dalam kondisi ideal, kedua jenis instrumen tersebut menghasilkan keluaran
yang sama. Adapun ETS dapat dipilih jika pemerintah ingin memprioritaskan kepastian
besaran target penurunan emisi. Hal ini cukup sesuai dengan kondisi Indonesia yang dituntut
untuk memenuhi target penurunan emisi dalam NDC. Sebaliknya, instrumen berbasis pajak
dapat dipilih jika pemerintah ingin lebih memastikan besaran biaya penurunan emisi.
Mekanisme pembentukan ETS
Mekanisme pembentukan dan penerapan ETS terdiri dari empat langkah utama yang dapat
digambarkan dalam diagram Gambar 4.
Langkah pertama adalah penetapan target emisi atau “cap”. Pada tahap ini
pemerintah menetapkan jenis emisi dan jumlah maksimum emisi di pasar atau “cap”. Langkah
kedua, “cap” dibagi ke dalam satuan yang lebih kecil (allowance) untuk kemudian
dibagikan/dialokasikan kepada masing-masing entitas penghasil emisi (seperti perusahaan,
pabrik, atau unit usaha). Allowance merupakan hak bagi setiap entitas untuk menghasilkan
emisi. Jumlah allowance dibuat terbatas untuk mendorong terciptanya transaksi pasar.
Langkah ketiga adalah menciptakan pasar dan melakukan proses transaksi jual beli
allowances. Adanya transaksi pasar mendorong tercapainya efektivitas biaya dalam
pengurangan emisi. Hal ini dapat terjadi karena setiap penghasil emisi memiliki biaya
pengurangan emisi (abatement cost) yang berbeda-beda bergantung pada berbagai faktor
seperti teknologi perusahaan, skala perusahaan, dan sistem manajemen (Field, 1997). Langkah
keempat adalah pelaporan (compliance) dimana masing-masing entitas dituntut untuk
melaporkan jumlah allowance yang dimiliki sesuai dengan jumlah emisi yang dikeluarkan.
Dalam hal ini pemerintah dituntut untuk memiliki mekanisme kontrol dan auditor yang baik
untuk memastikan kebenaran laporan.
Gambar 4. Langkah utama mekanisme pembentukan ETS (disarikan dari DG CLIMA ETS E-
Learning Unit 3)
Hal penting dalam mendesain ETS
Untuk memastikan bahwa ETS yang dibentuk dapat berjalan dengan efektif dan efisien dalam
menurunkan emisi, maka penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan hal-hal
berikut:
i. Ruang lingkup ETS: sektor-sektor, industri, atau jenis aktivitas yang diikutsertakan; jenis
emisi yang diperdagangkan; entitas penghasil emisi; dan jumlah sumber emisi yang
terlibat.
ii. Dasar emisi dan penentuan “cap”: jumlah target emisi, jangka waktu pencapaian target,
dan dampak sosial dan ekonomi.
iii. Pengalokasian “allowance”: metode pembagian allowance kepada entitas penghasil emisi.
Terdapat tiga mekanisme pengalokasian allowance, yaitu free allocation/gratis,
auction/lelang, dan kombinasi keduanya.
iv. Sistem kepatuhan dan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (Compliance and
Measurement, Reporting, & Verification - MRV): jangka waktu/durasi kepatuhan
(compliance) dan jenis penalti yang harus diberikan kepada entitas yang melanggar,
dimana jumlah penalti harus jauh lebih besar dari harga compliance di pasar agar pelaku
pasar terdorong untuk patuh.
v. Fleksibilitas waktu: seberapa fleksibel pemerintah dalam menetapkan jangka waktu ETS
ataupun pelaporan yang bergantung pada seberapa bahaya jenis emisi yang
diperdagangkan.
vi. Opsi stabilisasi harga: kemungkinan pasar beroperasi secara tidak sempurna dikarenakan
oleh berbagai isu seperti perubahan peraturan, perubahan jumlah target emisi, atau
ketidaksempurnaan informasi yang menimbulkan volatilitas harga dan membahayakan
efektivitas biaya. Berbagai opsi harus dilakukan untuk menstabilkan harga, seperti halnya
penetapan harga tertinggi dan terendah.
vii. Regulasi: otoritas kebijakan yang kompeten dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk
mengalokasikan allowance, memastikan sistem pasar berjalan dengan baik, dan
memastikan regulasi/compliance berjalan baik disertai dengan transparansi keterbukaan
informasi.
PRAKTIK DAN PEMBELAJARAN ETS DARI UNI EROPA
European Union Emission Trading Scheme atau EU ETS merupakan kebijakan ETS pertama
di dunia yang telah berlangsung semenjak 2005 hingga saat ini. Lingkup EU ETS mencakup
sektor energi (pembangkit listrik), dunia penerbangan, dan industri energi intensif (baja, besi,
kilang-kilang minyak, kaca, kertas, kimia, dan industri keramik) dengan jumlah sekitar 11.000
pembangkit dan pabrik, namun tidak termasuk sektor keuangan (kontribusi relatif dalam skala
kecil), dan pertanian. EU ETS berlangsung di 28 negara anggota EU ditambah Islandia,
Liechtenstein, dan Norwegia, dimana secara total sekitar 45% dari total emisi GRK Uni Eropa
diatur oleh EU ETS (DG CLIMA EC, 2016). Berikut ini akan kami sajikan analisa penerapan
EU ETS sesuai dengan empat langkah mekanisme pembentukan ETS seperti yang terdapat
pada Gambar 4.
Penetapan target emisi atau “cap”
Target emisi / cap yang ditetapkan berupa jenis emisi dan jumlah maksimum emisi di pasar.
Jenis emisi GRK yang dicakup pada EU ETS yaitu hanya CO2 serta N2O pada beberapa
instalasi spesifik. Cap yang merupakan jumlah total allowance ditetapkan berdasarkan
dokumen National Allocation Plans (NAPs), dimana setiap negara anggota akan
mempersiapkan dan mempublikasikan jumlah allowance yang diajukan untuk alokasi masing-
masing instalasi sesuai durasi operasi mereka. Dokumen-dokumen NAPs tersebut kemudian
akan melewati proses penilaian oleh komisi terkait, yang akan menerima atau melakukan
perubahan jumlah total alokasi allowance berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
dalam arahan EU ETS. EU ETS memiliki cap pada tahun 2013 yang akan terus diturunkan
proporsional sebesar 1.74% dari total jumlah allowance rata-rata pada 2008-2012.
Alokasi allowance
Pada dua fase awal dalam penerapan EU ETS (2005 - 2007 dan 2008 - 2012) pengalokasian
allowance diberlakukan secara gratis (free allocation). Lima persen dari total kuantitas
allowance diberlakukan secara cuma-cuma bagi pendatang-pendatang baru termasuk untuk
operasi dunia penerbangan.
Kini EU ETS telah memasuki fase ketiga (periode 2013-2020), dimana sebagian besar
allowance pada fase ini dilakukan secara sistem lelang. Pada fase ini, pelelangan allowance
ditujukan untuk sektor pembangkit listrik, sedangkan untuk sektor industri dan sektor penghasil
panas allowance dialokasikan secara gratis berdasarkan tolok ukur performa. Secara total,
sekitar 50% dari total allowance akan dilelang dari tahun 2013. Pada fase ketiga ini pula,
alokasi gratis diterapkan dengan menerapkan peraturan-peraturan alokasi yang sifatnya lebih
luas dalam lingkup EU dan hubungan antar peraturan telah harmonis. Negara-negara anggota
akan tetap diminta untuk mempersiapkan rencana alokasi, atau dikenal sebagai dokumen
National Implementation Measures (NIMs) yang di dalamnya terkandung rincian informasi
tentang alokasi-alokasi yang telah direncanakan untuk setiap instalasi pada negara tersebut.
Semua negara anggota juga tetap bertanggung jawab untuk pengumpulan data dan alokasi
akhir. Komisi terkait bertanggung jawab untuk menyetujui atau menolak NIMs atau bagian-
bagian yang termasuk di dalamnya, juga amandemen apabila diperlukan.
Walaupun NIMs menentukan jumlah allowance yang dialokasikan untuk masing-
masing individu, metode alokasi tetap ditentukan oleh aturan EU ETS Directive dan
Commission Decision 2011/278/EU. Adapun pendapatan yang diperoleh dari pelelangan
allowance dimanfaatkan untuk program berkaitan dengan energi dan iklim seperti energi
terbarukan, efisiensi energi, transport berkelanjutan, dan sebagainya, sesuai yang diamanatkan
EU ETS Directive 2003/87/EC.
Proses transaksi jual beli allowance
Untuk mencapai pemenuhan kepatuhan (compliance), setiap entitas yang teregistrasi dapat
membeli atau menjual European Union Allowance (EUA). Perdagangan dapat dilakukan
langsung antara pembeli dan penjual, melalui pasar karbon EU ETS, misalnya Intercontinental
Exchange (ICE) di London dan European Energy Exchange AG (EEX) di Leipzig, Jerman.
Harga karbon EUA tentunya ditentukan oleh penawaran dan permintaan, hal ini terlihat
pada fluktuasi yang ditampilkan pada Gambar 6 hingga kenaikan harga yang terjadi saat ini.
Saat ini pasar karbon EU pun mulai interaktif layaknya komoditas lain seperti minyak, gas,
maupun emas. Beberapa hal lain yang mempengaruhi harga pasar EUA tentunya berbagai
kejadian ekonomi global maupun ekspektasi entitas akan regulasi lingkungan ke depan apakah
akan lebih ketat atau tidak yang akan mempengaruhi keputusan entitas tersebut.
Gambar 6. Harga karbon CO2 European Emission Allowances (EUA) dalam EUR/tCO2
(Perthuis, 2013 & DEHSt, 2018)
Pelaporan compliance
Upaya pemenuhan kepatuhan (compliance) oleh setiap entitas dilakukan dengan cara
pemantauan dan pelaporan emisi serta penyerahan allowance yang cukup untuk menutupi total
emisi mereka pada setiap 30 April tahun berikutnya. Laporan emisi tersebut harus diperiksa
oleh pihak terakreditasi sehingga memenuhi tahapan sistem kepatuhan pengukuran, pelaporan,
dan verifikasi (Compliance and Measurement, Reporting, & Verification - MRV). Adapun
terdapat dua metode perhitungan emisi sesuai dengan Commision Regulation (EU) No
601/2012, yaitu:
i. Metode standar
Operator menghitung pembakaran emisi sesuai sumbernya, berdasarkan data aktivitas
berhubungan dengan jumlah bahan bakar yang digunakan (terajoules berdasarkan net
calorific value (NCV)), dikalikan dengan faktor emisi (ton CO2 per terajoule (t CO2/TJ)
konsisten dengan penggunaan NCV yang juga berkaitan dengan faktor oksidasi). Pihak
yang berwenang juga dapat mengizinkan penggunaan faktor emisi untuk bahan bakar (t
CO2/t atau t CO2/Nm3). Operator diharuskan menentukan emisi proses per sumber aliran
dengan mengalikan data aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan bahan hasil produksi
(ton atau Nm3) dengan faktor emisi (t CO2/t atau t CO2/Nm3) dan faktor konversinya.
ii. Metode mass balance
Operator menghitung jumlah CO2 sesuai dengan masing-masing sumber yang termasuk
ke dalam keseimbangan massa dengan mengalikan data aktivitas yang berkaitan dengan
jumlah material yang masuk atau keluar dari batas keseimbangan massa, berdasarkan
kandungan material karbon. Emisi dari proses total yang termasuk dalam keseimbangan
massa merupakan hasil dari jumlah CO2 dari seluruh sumber yang tercakup dalam
keseimbangan massa. CO2 yang diemisikan ke atmosphere dapat dihitungan dalam
keseimbangan massa sebagai emisi dari molar yang sebanding dengan jumlah CO2
tersebut.
Pembelajaran
Terdapat beberapa pembelajaran yang dapat diperoleh dari pelaksanaan EU ETS selama ini
(EDF, 2012). Pada fase pertama EU ETS, allowance yang diberikan terlampau berlebih (over-
allocation) sehingga menyebabkan harga karbon European Union Allowance (EUA) jatuh
drastis hingga mencapai nol pada 2007. Pada akhirnya tujuan untuk reduksi emisi ataupun
upaya investasi efisiensi proses produksi pun tidak tercapai. Over-allocation ini terjadi karena
penentuan cap tidak didasarkan pada data emisi historis yang dapat diandalkan. Oleh karena
itu untuk meminimalisasi fluktuasi naik-turun (volatilitas) harga dan meningkatkan efisiensi
dinamis dari pasar karbon tersebut, dilakukan reformasi pada fase kedua dan ketiga melalui
penentuan cap yang lebih tersentralisasi berdasarkan pada data emisi historis aktual yang
diperoleh dari fase pertama maupun data benchmark teknologi 10% praktek terbaik di EU.
Selain itu mulai diberlakukan pula kemungkinan penggunaan jasa perbankan yang
memungkinkan penyimpanan allowance untuk dapat dipergunakan di masa depan dengan
jangka komitmen yang panjang, sehingga mengurangi resiko over-allocation. Pun
diberlakukan pula pengetatan cap dari waktu ke waktu. Adapun terjadi krisis ekonomi pada
yang 2008 menyebabkan pengurangan emisi yang lebih besar dari yang diperkirakan sehingga
terjadi surplus allowance. Dalam upaya stabilisasi, pada fase ketiga EU ETS juga dilakukan
penundaan auction (back-loading) hingga 2019-2020.
Hal lainnya yang dikritik dan dapat dipelajari pada fase awal EU ETS adalah isu
keuntungan tak terduga (windfall profit). Sebagian entitas perusahaan sektor ketenagalistrikan
memperoleh windfall profit ketika mereka membebani pelanggan untuk harga pasar ataupun
peningkatan harga dari allowance yang mereka peroleh secara gratis. Pada fase ketiga, sebagai
solusi atas isu windfall profit, EU melakukan pelelangan penuh atas allowance. Selain itu, di
beberapa negara harga listrik ditetapkan oleh badan pengatur ataupun terdapat pajak atas
capital gain sehingga memungkinkan lebih banyak kontrol terhadap harga dan pencegahan
potensi windfall profit.
Hal berikutnya adanya penipuan pajak berupa Value-Added Tax (VAT) carousel pada
fase awal dimana terdapat entitas pedagang penipu yang membeli kredit karbon pada registrasi
negara bebas pajak dan menjual pada registrasi negara lain tanpa membayar VAT yang
seharusnya dibayarkan. Juga adanya pencurian allowance dari registrasi nasional yang
terhubung dengan sistem perdagangan elektronik ETS, terutama pada negara-negara dengan
protokol keamanan rendah.
PENERAPAN ETS DI INDONESIA: TANTANGAN DAN REKOMENDASI
Ada beberapa hal telah dilakukan maupun yang masih perlu dipersiapkan oleh Indonesia
sebagai negara berkembang sebelum melakukan langkah-langkah utama mekanisme
pembentukan ETS yang disebutkan sebelumnya. Hal tersebut tercantum dalam tantangan
maupun rekomendasi diantaranya dari segi prasyarat teknis, regulasi, budaya, struktur pasar,
dan pengalaman dalam pengawasan pasar. Adapun jika prasyarat-prasyarat tersebut mampu
dipersiapkan, maka pelaksanaan pembentukan ETS dapat terlaksana dengan lebih baik.
Prasyarat teknis
Prasyarat teknis mencakup kemampuan mengukur tingkat emisi dari entitas yang akan tercakup
dalam ETS secara potensial maupun kepemilikan data untuk menyusun baseline untuk
penentuan cap.
Kemampuan pengukuran tingkat emisi dari tiap entitas telah mulai diupayakan, dimana
pada umumnya entitas telah rutin mengukur dan melaporkan tingkat emisinya untuk keperluan
Sustainability Report maupun penghargaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
(PROPER) KLHK dan Industri Hijau Kemenperin. Pemerintah pun telah berupaya
melaksanakan pembuatan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) melalui Sistem
Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN) KLHK. Disamping itu, saat ini
pemerintah Indonesia melalui Indonesia - The World Bank Partnership of Market Readiness
(PMR) sejak tahun 2011 sedang dalam proses kajian mengenai opsi penerapan, termasuk
persiapan dan uji coba pilot pemantauan pada sektor pembangkitan listrik dan industri semen
bekerjasama dengan kementerian terkait. Dilakukan pula pengumpulan data aktivitas historis
untuk penyusunan baseline yang dapat digunakan dalam penentuan cap.
Prasyarat regulasi
Prasyarat regulasi mencakup institusi dan infrastruktur hukum untuk pelaksanaan pasar karbon,
sehingga dapat menjelaskan: institusi pemerintah apa yang mengembangkan dan menegakkan
hukum lingkungan; otoritas yang dimilikinya; perencanaan kepemilikan sistem registri
polutan; kesinambungan dengan instrumen kebijakan lingkungan lainnya; serta kecukupan
penegakan hukum untuk mendukung perdagangan emisi.
Indonesia saat ini telah memiliki Peraturan Pemerintah No. 46 / 2017 tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) yang didalamnya terdapat mandat pengembangan sistem
perdagangan emisi. Sistem ini diharapkan dapat mencakup mekanisme penetapan dan
pengaturan alokasi kuota izin yang diperdagangkan, mekanisme kesepakatan realokasi beban
dan kuota masing-masing pihak, serta mekanisme pelaksanaan pemantauan dan pengawasan.
Dengan mempertimbangkan prioritas nasional, kesiapan kelembagaan, mekanisme dan sistem
pendukung diharapkan pelaksanaan sistem perdagangan emisi di Indonesia dapat dilaksanakan
paling lambat tujuh tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Regulasi turunan dari PP
ini pun telah terbentuk yaitu Peraturan Presiden No. 77 / 2018 tentang Pengelolaan Dana
Lingkungan Hidup. Pada PerPres ini, memungkinkan pengelolaan khususnya penyaluran dana
lingkungan hidup melalui mekanisme perdagangan emisi / karbon.
Adapun jika diperlukan kerjasama internasional, Indonesia telah meratifikasi Paris
Agreement melalui Undang-Undang No. 16 / 2016, dimana pada Artikel 6 didalamnya
mencakup kemungkinan kerjasama sukarela untuk mencapai ambisi mitigasi yang lebih tinggi
termasuk perdagangan karbon secara internasional. Yang terpenting bagi negara berkembang
seperti Indonesia adalah harmonisasi regulasi yang telah ada, karena perubahan iklim
menyangkut berbagai sektor dengan regulasi yang banyak pada masing-masing sektornya.
Prasyarat budaya
Prasyarat budaya mencakup kondisi lingkungan politik dan ekonomi yang mendukung
penerapan instrumen berbasis pasar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya
kecocokan instrumen dengan institusi yang telah ada, resiko / ketidakpastian jika dilaksanakan
berdasarkan informasi yang tidak tepat, kerentanan akan terjadinya lobi-lobi untuk
memperoleh keuntungan (rent-seeking), hingga korupsi, serta dampak positif atau negatif
seperti manfaat sampingan (ancillary benefit) misalnya bagi kesehatan atau dampak distribusi
bagi khalayak umum (distributional / equity impact) (DG CLIMA ETS E-Learning). Adapun
dari sisi budaya masih terdapat tantangan yang dapat ditanggulangi melalui berbagai strategi
(Yusuf, 2018), diantaranya:
- Mempelajari siapa entitas-entitas yang akan menjadi winner ataupun loser, karena aspek
ekonomi politik lah yang merupakan kunci penerapan. Karena pada akhirnya proses politik
yang akan menentukan terlaksana atau tidaknya kebijakan ini.
- Edukasi dan komunikasi kepada publik, karena sistem demokrasi membutuhkan dukungan
publik. Dibutuhkan populisme ke arah yang lebih baik tidak hanya dengan nalar, namun
juga dengan emosi melalui ilmu-ilmu komunikasi. Hal ini dapat diterapkan melalui
penganggaran edukasi publik secara proporsional yang melalui pendapatan yang diperoleh
dari harga karbon (revenue recycling). Juga disertai dengan melibatkan publik misalnya
melalui adanya polling ataupun survey dalam rangka penyerapan aspirasi serta peningkatan
rasa kepemilikan dan menghilangkan rasa elitis dalam isu ini.
- Pelaksanaan target timeline terukur dan bertahap didukung menggunakan prasyarat
regulasi mencakup institusi dan infrastruktur hukum sesuai yang disebutkan sebelumnya
setingkat UU untuk mengunci jebakan siklus tahun politik yang umum terjadi. Pun
dilakukan pula pengarusutamaan isu pembangunan rendah karbon yang terkait dengan
mitigasi perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN).
Struktur dan pengalaman dalam pengawasan pasar
Di negara-negara Eropa dimana ETS diterapkan, struktur pasar sektor energi sebagai sumber
emisi dikelola oleh swasta sehingga biaya allowance dapat dibebankan kepada konsumen dan
mempengaruhi harga energi. Sebaliknya, pada umumnya di negara berkembang, termasuk
Indonesia, struktur pasar sektor energi sebagai sumber emisi utama dikelola oleh pemerintah
melalui BUMN, sehingga biaya yang timbul dari ETS tidak berpengaruh pada daya saing
(dalam hal harga energi) perusahaan sehingga tidak akan mendorong penurunan emisi. Oleh
karena itu patut dipertimbangkan harmonisasi penerapan instrumen ETS dengan struktur pasar.
Adapun beberapa instrumen berbasis pasar lainnya, khususnya berupa carbon credit,
telah banyak diterapkan di Indonesia, diantaranya melalui Clean Development Mechanism -
CDM (sejak tahun 2005) dan Joint Crediting Mechanism - JCM (sejak Agustus 2013) (PMR
Indonesia, 2018) yang juga penting untuk dijadikan pembelajaran pengalaman pengawasan
pasar.
TENTANG PENULIS
Hadi Prasojo adalah mahasiswa MSc Economic Analysis di Corvinus
University of Budapest, Hongaria. Sekaligus sebagai anggota Komisi Ekonomi
PPI Dunia dan Ketua Divisi Strategic Research PPI Hongaria.
Ratih Twi Septiriana adalah mahasiswa MSc Environmental Economics and
Climate Change di The London School of Economics and Political Science
(LSE), UK, juga anggota PPI London dan PPI UK.
Avianto Nugroho adalah mahasiswa MSc Environmental Management di Kiel
University, Jerman, dan merupakan Ketua Komisi Energi PPI Dunia.
REFERENSI
Bowen, Alex. 2011. The Case for Carbon Pricing. Grantham Research Institute on Climate
Change and the Environment. Available online at
http://www.lse.ac.uk/GranthamInstitute/wp-content/uploads/2014/02/PB_case-carbon-
pricing_Bowen.pdf
Climate Watch. 2018. Washington, DC: World Resources Institute. Available online at:
https://www.climatewatchdata.org
Deutsche Emissionshandelsstelle (DEHSt). 2018. News from the DEHSt - current and
outlook emissions development in the ETS sector Germany. Available online at
https://www.oeko.de/fileadmin/aktuelles/BET2018-ckuehleis.pdf
Directorate-General for Climate Action (DG CLIMA) European Commission. Available
online at https://ec.europa.eu/clima/policies/ets_en
Directorate-General for Climate Action (DG CLIMA) European Commission. ETS E-
Learning Online Course. Available online at
https://ec.europa.eu/clima/policies/ets/ets-summer-university/content/ets-e-learning-
online-course
Directorate-General for Climate Action (DG CLIMA) European Commission. 2016. EU ETS
Factsheet. Available online at
https://ec.europa.eu/clima/sites/clima/files/factsheet_ets_en.pdf
EDF. 2012. The EU Emissions Trading System Results and Lessons Learned. Available
online at
https://www.edf.org/sites/default/files/EU_ETS_Lessons_Learned_Report_EDF.pdf
Field, Barry C. 1997. Environmental economics: an introduction. Irwin/McGraw-Hil p. 253-
266
Gtschow, Johannes; Jeffery, Louise; Gieseke, Robert; Gebel, Ronja. 2017. The PRIMAP-hist
national historical emissions time series (1850-2014). V. 1.1. GFZ Data Services.
http://doi.org/10.5880/PIK.2017.001.
ICAP. 2018. ICAP ETS map, lihat di https://icapcarbonaction.com/en/ets-map
Ministry of Environment and Forestry. 2018. Indonesian 2nd Biennial Update Report (BUR)
under United National Framework Convention on Climate Change. Ministry of
Environment and Forestry, Republic of Indonesia. Available online at
https://unfccc.int/sites/default/files/resource/Indonesia-2nd_BUR.pdf
Perthuis, Christian De; Trotignon, Raphaël. 2013. Governance of CO2 markets: lessons from
the EU ETS. Université Paris Dauphine, pp.77-93, Available online at
http://www.chaireeconomieduclimat.org/publications/livres/climate-economics-
inprogress-2013-edition/
PMR Indonesia. 2018. #pasarkarbon – Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian
Perubahan Iklim. lihat di http://www.pmr-indonesia.org/publication/pasarkarbon-
pengantar-pasar-karbon-untuk-pengendalian-perubahan-iklim/
Yusuf, Arief A. 2018. Webinar Policy Talk Komisi Ekonomi & Komisi Energi PPI Dunia:
Tantangan dan Prospek Penerapan Instrumen Berbasis Pasar / Carbon Pricing untuk
Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, lihat di
https://www.youtube.com/watch?v=lZKum66Bhks