Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam ...
Transcript of Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam ...
1
Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pada Perkara Kebakaran Hutan PT. Kallista Alam Dan PT.
Bumi Mekar Hijau
Adlul Hamidi Zalnur dan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana
1. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
2. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan pada perkara kebakaran hutan PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam pembahasan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum perdata lingkungan dalam kebakaran hutan dapat menerapkan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH), res ipsa loquitur dan strict liability. Namun demikian, hal tersebut sering dicampur adukkan satu sama lainnya yang menimbulkan pandangan yang keliru dalam setiap putusannya.
Kata kunci: perbuatan melawan hukum, strict liability, kebakaran hutan.
Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT.
Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau
Abstract
This thesis discussing about Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau. Normative and juridical study are used in this thesis with the secondary data through the literature research. The results show enforcement of environmental civil law in forest fires can apply the concept of negligence, res ipsa loquitur and strict liability. However, this is often mixed with one another, giving rise to false views in every court decision.
Keywords: negligence, strict liability, forest fire case
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
2
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki ekosistem hutan tropis terbesar di
dunia. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, luas hutan Indonesia yang hilang mencapai 4,6 juta
hektar, sama dengan luas Provinsi Sumatera Barat. Bahkan dalam 10 tahun ke depan, Forest
Watch Indonesia memprediksi hutan di Riau akan hilang, diikuti dengan Kalimantan Tengah dan
Jambi.1 Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan adanya
permasalahan serius dalam pengelolaan hutan di Indonesia terutama peristiwa kebakaran hutan
yang melonjak hingga 10 kali lipat sejak tahun 2010 hingga tahun 2014.2 Tentunya dengan
meningkatnya tingkat kebakaran hutan di Indonesia maka berdampak langsung pada adanya
pencemaran asap. Dalam hal ini, Indonesia menjadi penyumbang terbesar dalam pencemaran
asap di Asia Tenggara yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, selanjutnya disebut
karhutla, yang tidak terkendali.3 Faktor dominan dari terjadi karhutla di Indonesia adalah faktor
unsur manusia.4
Pada tahun 2015 merupakan kasus kebakaran hutan terparah sejak terakhir tahun 1997.5
Menurut Robert Field, ilmuwan Columbia University yang juga bekerja untuk NASA
menjelaskan bahwa kondisi di Singapura dan tenggara Sumatera serupa dengan 1997.6 Singapura
dan Malaysia sempat menutup sekolah-sekolah dan kantor publik dan melayangkan protes
kepada Indonesia.7 Biaya kebakaran hutan ditaksir mencapai US$ 16 milyar.8 Karena hal
1 http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, diakses tanggal 8 Februari 2017 2 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. 2014. Rekapitulasi Luas Kebakaran Lahan Per
Provinsi di Indonesia Tahun 2010- 2014 antara lain pada tahun 2010: 3.500,12ha, 2011: 2.612,09ha, 2012:
9.606,53ha, 2013: 4.918,74ha, 2014: 32.761,26ha. Hal. 202 3 David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement of Transboundary
Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1, (Washington: Digital Commons
@ American University Washington College of Law, 2014), hlm. 35. 4 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa 99% karhutla terjadi karena ulah
manusia. Lihat: Gema BNPB, “Indonesia Darurat”, hlm 7 5 “NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-
indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, diakses pada 1 Juli 2017. 6 Ibid. 7 Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-perusahaan-
pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, diakses pada 9 Februari 2017.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
3
tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengambil langkah yang tepat (due diligence)
guna mencegah pencemaran lintas batas yang timbul kebakaran hutan tersebut. Dan yang harus
diperhatikan jika kerusakan telah disebabkan oleh badan swasta, kewajiban negara adalah untuk
melaksanakan penegakan hukum untuk memberikan sanksi yang pantas atas perilaku badan
swasta tersebut.9
Dalam instrumen hukum di Indonesia sendiri diakomodir kemungkinan penegakan
hukum lingkungan di bidang administrasi, perdata, dan pidana. Dalam penelitian ini secara
khusus membahas penegakan hukum lingkungan terutama tentang pertanggungjawaban perdata
yang ditinjau dari unsur kesalahan fault sebagai salah satu dasar unsur pertanggungjawaban
perdata. Ditinjau dari gugatan perdata yang diajukan Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam.10
dan PT. Bumi Mekar Hijau11. Penelitian ini meninjau lebih lanjut materi gugatan hingga putusan
hakim baik dari putusan dari setiap tingkat pengadilan yang memiliki perbedaan hasil putusan
yang sangat signifikan.12
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, dan memperjelas hal-hal yang akan
diteliti maka penulis mencoba menguraikan masalah-masalah sebagai berikut
1. Apa saja dasar pertanggungjawaban perdata yang dapat dikenakan dalam kasus
8 Ibid. 9 Alan Khee-Jin TAN, “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing Singapore’s Transboundary Haze
Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002, February 2015, hlm. 6 10 PN Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.
Kallista Alam (2012), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012); PT Banda Aceh, Putusan
No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), selanjutnya
disebut Menteri LHK v. PT.KA (PT, Banda Aceh, 2014), dan Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA
(MA, 2015). 11 PN Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.
Bumi Mekar Hijau (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015) dan PT Palembang,
Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016),
selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PT, Palembang, 2016). 12 Putusan dalam Menteri LHK v. PT.BMH (PN, Palembang, 2015) menolak gugatan penggugat, sedangkan
dalam , Menteri LHK v. PT.BMH (PT. Palembang, 2016) menerima banding pembanding/penggugat.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
4
pembakaran lahan akibat kebakaran hutan?
2. Bagaimana pandangan hakim atas dasar pertanggungjawaban perdata yang diterapkan
para pihak dalam gugatan di setiap tingkat pengadilan?
3. Bagaimana penggunaan dasar pertanggungjawaban Strict Liability yang tepat
digunakan di dalam sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
Pembatasan masalah: Unsur kesalahan fault sebagai dasar unsur pertanggungjawaban perdata
yang akan dibahas lebih lanjut didalam penelitian ini.
B. Tinjauan Teoritis
Di Indonesia dikenal dua jenis dasar pertanggungjawaban perdata saat mengajukan
gugatan ke pengadilan, yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan (melanggar)
hukum (PMH).13 Perbuatan melawan hukum (PMH) yang dikenal dalam sistem hukum common
law sebagai dasar pertanggungjawaban perdata (tort).14 Secara umum berdasarkan Pasal 1365
KUHPer, suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur:
a. Perbuatan; (baik aktif/sengaja ataupun pasif/lalai)
b. Perbuatan tersebut melawan hukum;
13 Terminologi “Perbuatan Melawan Hukum” merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang
diatur dalam pasal 1365-1380 KUHPer Buku III tentang Perikatan. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah
‘melanggar’ dan ada yang menggunakan istilah ‘melawan’. Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda
lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 KUHPer. Rosa Agustina dalam
bukunya memilih menggunakan terminology “Perbuatan Melawan Hukum” karena mengacu kepada pendapat dari
para ahlihukum Indonesia, salah satunya M.A. Moegni Djojodirjo yang berpendapat bahwa dalam kata ‘melawan’
melekat sifat aktif dan pasif. Selain itu, Rosa Agustina juga berpendapat dengan Mariam Darus Badrulzaman yang
berpendapat bahwa terminology “melawan hukum” mencakup substansi yang lebih luas yaitu baik perbuatan yang
didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian. Sehingga , “Perbuatan Melawan Hukum” diartikan sebagai
perbuatan yang melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan
kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang
seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesame warga masyarakat dengan mengingat
adanya alasan pembenar menurut hakim. Lihat: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 8-11 14 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran
Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal
Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1, Oktober 2016, hlm. 38
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
5
c. Adanya kesalahan;
d. Adanya kerugian;
e. Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Selanjutnya, menurut Agustina, agar sesuatu dapat dikualifisir melawan hukum, harus
dipenuhi salah satu dari 4 syarat berikut:15
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
c. Bertentangan dengan kesusilaan;
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
Ditinjau dari unsur kesalahan (fault), menurut Cantu, sebagaimana dikutip Wibisana
membagi pertanggungjawaban perdata ke dalam dua kelompok besar yaitu fault-based liability,
dan liability without fault. Kelompok fault-based liability, terdiri dari intentional tort dan
negligence. Fault di dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk
menghasilkan kerugian pada penggugat, sedangkan fault pada negligence ditentukkan dengan
pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam
masyarakat. Sedangkan liability without fault, yaitu strict liability, merupakan
pertanggungjawaban yang tidak berdasarkan pada fault dalam kedua bentuk tersebut.16. Pada
tanggung jawab berdasarkan kesalahan, pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan
untuk membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan
dari pihak yang ia tuntut untuk membawa ganti rugi tersebut (tergugat).
Sedangkan pada tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan (liability without
fault), seseorang telah bertanggung jawab setelah kerugian terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya
15 Rosa Agustina,“Perbuatan Melawan”, hlm. 117 16 Wibisana,”Beberapa Pelajaran”. hlm 38. sebagaimana mengutip Charles E. Cantu, “Distinguishing the
Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”, The University of Memphis Law
Review, Vol. 33, 2003, hlm. 826.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
6
kesalahan pada dirinya.17 Dapat disimpulkan bahwa strict liability berbeda dengan perbuatan
melawan hukum (negligence liability) yakni tidak memerlukan pembuktian kesalahan
seseorang.18 Karena itulah strict liability disebut juga dengan liability without fault. Namun
sebenarnya istilah liability without fault menimbulkan kerancuan apakah fault yang dimaksud
adalah kesalahan dalam arti subjektif atau kesalahan dalam arti objektif.19 Tanggungjawab tanpa
kesalahan yang dibagi lagi menjadi ranggungjawab secara langsung dan seketika (strict liability)
dan tanggungjawab mutlak (absolute liability).20 Akan tetapi, di Indonesia penyebutan strict
liability sering disamakan dengan tanggung jawab mutlak.21
1. Strict Liability
Ditelusuri lebih jauh dari sejarah mulainya diterapkan strict liability. Dapat dilihat dalam
penyelesaian kasus Rylands vs. Fletcher di Inggris pada tahun 1868. Perlu diperhatikan adalah
tidak semua kegiatan dapat dikenakan strict liability. Hanya kegiatan yang abnormally dangerous
yang dapat dimintai pertanggungjawaban mutlak tersebut. Di Amerika, terdapat enam faktor yang
dapat dijadikan penentu apakah suatu kegiatan termasuk dalam kategori abnormally dangerous
activity, yaitu:22
1. Terdapat risiko bahaya yang tinggi bagi pihak lain (existence of a high degree of risk
of some harm to person, land, or chattel of others);
2. Kemungkinan bahaya tersebut menjadi besar ( likelihood that the harm that results
from it will be great);
17 M. Ridwan Andri G. Wibisana, “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara Langsung dan Seketika
(Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” (Depok: Skripsi Universias Indonesia, 1999),
hlm 1 18 S. Shavell, “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M. Olin Center for Law,
Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2, 2002, hlm. 6 19 Vernon Palmer, “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability: Common Law, Civil Law,
And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hlm. 1305 20 Wibisana,“Perbandingan Asas”, hlm 1 21 Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 32, LN No. 140 tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 88 22 Restatement (Second) of Torts, § 520
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
7
3. Risiko tidak dapat dihilangkan walaupun telah menerapkan segala tindakan dengan
penuh kehati-hatian inability to eliminate the risk by the exercise of reasonable
care;);
4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan (extent to which the
activity is not a matter of common usage);
5. Kegiatan tersebut tidak sesuai dengan temapat di mana kegiatan itu dilakukan
(inappropriateness of the activity to the place where it is carried on);
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (extent to which its value to the
community is outweighed by its dangerous attributes);
Maka dapat disimpulkan bahwa Restatement of The Law of Torts menarik perbedaan
antara risiko bahaya biasa, dengan risiko bahaya luar biasa. Pada risiko bahaya biasa, yang
berlaku adalah aturan negligence sedangkan pada risiko bahaya luar biasa dikenai strict
liability.23
Selanjutnya dalam pertanggungjawaban perdata hukum lingkungan di Indonesia, konsep
strict liability ini dapat ditemui pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:“Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
[garis bawah dari penulis]. Adapun unsur-unsur Strict liability diatur dalam Undang-Undang No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan dalam Pasal
88 yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya ditentukan secara limitatif,
yaitu:
a. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3;
b. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menghasilkan B3;
c. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya mengelola limbah B3
23 William K. Jones, “Strict Liability For Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92, No. 7
Nov.1992, hlm. 1710.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
8
2. Terjadi sesuatu kerugian
3. Terdapat hubungan kausalitas antara tindakan, usaha, dan/atau kegiatan tersebut dengan
kerugian yang terjadi.
Selanjutnya SK KMA 36/2013 juga memberikan penjelasan sebagai berikut:24
“Proses pembuktian pertanggungjawaban perdata:
a. Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata);
b. Pembuktian penerapan prinsip Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak).”
Dalam uraian tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan strict liability adalah
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi.
2. Res Ipsa Loquitur
Secara bahasa, res ipsa loquitur dalam bahasa latin yaitu the thing speaks for itself, secara
harfiah berarti fakta berbicara sendiri.25 Ini adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan
pembuktian terbalik.26 Menurut doktrin ini, (dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence)
dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah.27 Walaupun res ipsa loquitur sebelumnya didefenisikan
sebagai doktrin hukum, sebagaimana Lord Megaw dikutip oleh Harpwood yang menyebutkan
bahwa doktrin ini “tidak lebih dari sekedar pendekatan logis berdasarkan akal sehat semata,
tidak terbatas oleh aturan teknis, terhadap penilaian atas alat bukti dalam keadaan-keadan
tertentu”.28
Lebih lanjut Harpwood mengemukakan beberapa syarat agar doktrin ini dapat digunakan
antara lain: (a) kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya, dalam hal
24 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan Hidup, hlm. 23 25 Statsky, Essential of, hlm. 158 26 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”. hlm 34 27 Ibid. 28 Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm.
144 yang merujuk pada putusan Scott v. London and St. Katherine’s Docks (1865)
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
9
ini dipenuhi unsur “unknown cause”; (b) kerugian dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya
kehati-hatian (lack of proper care) atau karena adanya negligence. Dengan demikian diasumsikan
bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence) berupa kurangnya
kehati-hatian; dan (c) Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi
yang terjadi. Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa Tergugat diasumsikan sudah
terbukti melakukan negligence (sudah terbukti bersalah/melawan hukum).29
3. Hubungan Strict Liability dengan Res Ipsa Ioquitur (Pembuktian Terbalik)
Dalam hukum lingkungan di Indonesia, terdapat beberapa literatur yang menyamakan
strict liability dengan pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur.30 Dalam hal pembuktian
terbalik, Pramudianto menjelaskan bahwa “[p]enerapan asas tanggung jawab mutlak biasanya
didampingi dengan ketentuan tentang “beban pembuktian terbalik” (“omkering der
bewijslast”),..”31. Selain itu, pendapat ini juga dikuatkan oleh Machmud yang menjelaskan
bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan
lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar
tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah
beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”.32 Siahaan juga berpendapat bahwa
Siahaan menyatakan bahwa “[d]i sini berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah
berbicara sendiri (the thing speaks for itself).”33
Pendapat di atas mempengaruhi para sarjana hukum dalam memandang peraturan-
peraturan mengenai Strict liability di Indonesia. Sebagaimana Wijoyo menyebutkan terdapat
beban pembuktian terbalik dalam rumusan Pasal 35 yat (2) UU No. 23 tahun 1997, Pasal 33 ayat
(1) UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 11 ayat (2) UU No. 5 tahun 1983
29 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 34. Lihat juga: ibid. hlm 144-145 30 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 33 31 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hlm
36 sebagaimana mengutip Andreas Pramudianto, “Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan
Internasional”, Pro Justitia, Tahun XIII Nomor 4, Oktober 1995, hlm, 91-96 32 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum
Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm.
211 33 Siahaan, Hukum Lingkungan, hlm 317
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
10
ZEE, dan rumusan Article III Paragraph (2) dan (3) CLC.34 Dan juga terdapat penjelasan Pasal
30 PP nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang merumuskan bahwa pemilik
izin/tergugat bertanggungjawab mutlak atas areal kerjanya, namun tergugat terlepas dari ancaman
sanksi apabila yang dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah.
Di sisi yang lain, Santosa menjelaskan bahwa latar belakang penemuan konsep strict
liability dalam perkara Rylands v. Fletcher (1868) dan dalam pembuktiannya tergugat
membuktikan pihaknya memenuhi faktor pemaaf (defence).35 Faktor pemaaf inilah yang
kemudian diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.36 Sehingga dapat ditemukan kekeliruan yang mengatakan pembuktian
defence dari tergugat sebagai pembuktian terbalik. Selanjutnya Santosa menambahkan dengan
tegas bahwa dalam konsep strict liability, yang terjadi justru pembebasan beban pembuktian
unsur kesalahan (fault).37 Apabila terdapat hal-hal yang dibuktikan tergugat merupakan
pembuktian dari faktor-faktor pemaaf (defence), maka hal ini tidak dapat disamakan dengan
pembuktian terbalik.38 Karena sebagaimana mestinya beban defence memang dimiliki oleh
tergugat sejak awal, sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan (shifting) beban pembuktian.39
Dengan demikian, penjelasan Pasal 30 PP nomor 45 tahun 2004 yang menggabungkan antara
strict liability dengan res ipsa loquitur dalam satu rumusan pasal sejak dari pembuatan undang-
undang telah keliru dan hasilnya saling menegasikan antar satu dengan lainnya.
Selanjutnya Wibisana menjelaskan hubungan antara res ipsa loquitur dan strict liability
sebagai berikut:
“Pertama, strict liability tidak menganut pembuktian terbalik. Di dalam strict liability
penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara
34 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa, hlm 37-40 35 Santosa menjelaskan bahwa Penanggung jawab kegiatan yang berbahaya tersebut hanya dapat dibebaskan
dari pertanggungjawaban (liability) apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari
kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam (lihat pertimbangan Court of Exchequer Chamber dalam
Rylands v. Fletcher). Pembuktian ini merupakan defence dari tergugat, bukanlah termasuk dari pembuktian terbalik.
lihat: Santosa, Good Gevernance, hlm 304 36 Ibid. 37 Ibid 38 Ibid 39 Ibid
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
11
kerugian dengan kegiatan tergugat. Jika kemudian tergugat berdalih dan membuktikan
bahwa kerugian yang diderita bukanlah karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya
karena force majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian
terbalik di dalam strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan
pelaksanaan dari prinsip umum hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus
membuktikan”. Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik.
Kedua, di dalam strict liability tergugat tetap bertanggung jawab meskipun ia mampu
membuktikan bahwa kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang
melawan hukum; sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa
loquitur), tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan
bahwa perbuatannya tidak melawan hukum (negligence).”40
Dengan demikian, Wibisana menyimpulkan bahwa res ipsa loquitur belumlah
sepenuhnya dapat dikatan sebagai strict liability, karena masih merupakan pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan.41 Sehingga berbagai peraturan yang menyebutkan strict liability dan res
ipsa loquitur dalam sebuah rumusan pasal yang sama merupakan hal yang tidak sesuai dengan
teori diatas.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab penerapan konsep strict liability dalam putusan
perkara kebakaran hutan oleh PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau di setiap jenjang
pengadilannya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Objek dasar dalam
penelitian ini merupakan hukum positif yang sudah berlaku dalam masyarakat sebagai norma,
maka dari itu penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan kepustakaan.
40 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 36 41 Ibid, hlm 35-36
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
12
D. Pembahasan
1. Analisis Putusan perkara Menteri LHK v. PT.Kallista Alam
a. Menteri LHK v. PT.KA pada Pengadilan Negeri Meulaboh Dalam perkara Menteri LHK v. PT.Kallista Alam, Penggugat mendalilkan terjadinya
Perbuatan Melawan Hukum, Kelalaian dan Strict Liability. Mengenai PMH, Penggugat
menjelaskan bahwa dalil-dalil diatas menerangkan bahwa membakar lahan untuk keperluan
pembukaan lahan perkebunan adalah perbuatan yang melanggar norma undang-undang, maka
membuka lahan dengan cara bakar dapat dikualifisir sebagai suatu perbuatan melanggar hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah
terpenuhi.42 Penggugat telah mencoba membuktikan bahwa unsur fault dari Tergugat telah
terpenuhi. Hal ini dibuktikan Penggugat dengan menyatakan Tergugat sengaja membuka lahan
dengan cara membakar (adanya kesengajaan) untuk mendapatkan keuntungan yang lebih
daripada dengan cara yang biasa.43
Dalil Penggugat menyebutkan PMH dan Kelalaian sebagai dasar yang berbeda. Menurut
hemat Penulis, PMH dan Kelalaian tidak perlu dibedakan, karena kelalaian bagian dari PMH.
Sebagaimana yang unsur kesalahan dibagi atas kesalahan subjektif (sengaja) dan kesalahan
objektif (pengetahuan). Jika terdapat bukti bahwa tergugat melakukan perbuatan melawan hukum
dengan sengaja, maka dengan mudah kita dapat menyatakan bahwa tergugat bersalah, dan
karenanya ia harus bertanggung jawab. Namun demikian, jika bukti kesengajaan tersebut tidak
ada, maka tergugat tidak lantas terbebas dari pertanggungjawaban, sebab ia bisa bertanggung
jawab karena lalai.44
PMH dan Kelalaian memiliki perbedaan pada pembuktian unsur kesalahan subjektif.
Karena dalam kelalaian seseorang dianggap bertanggungjawab karena tidak memenuhi standard
of care. Sehingga, Penggugat hanya perlu membuktikan bahwa Tergugat tidak menjalankan
usahanya sesuai dengan standar baku yang ada.
Selanjutnya Penggugat yang mendalilkan penerapan res ipsa loquitur sebagai jembatan
untuk membuktikan kelalaian, Penulis berpendapat merupakan langkah yang tidak tepat.
42 Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012), hlm 15 43 Ibid. 44 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 17
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
13
Alasannya antara lain: Pertama, karena res ipsa loquitur terjadi pergesaran beban pembuktian
dari Penggugat ke Tergugat. Akan tetapi dalam kelalaian, beban pembuktian tetap berada di
pihak Penggugat yakni membuktikan bahwa Tergugat telah lalai menjalankan standard of care.
Kedua, dalam res ipsa loquitur Perbuatan Melawan Hukum dari Tergugat diasumsikan telah ada,
sehingga Tergugatlah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.45
Penggugat juga memohon untuk mempertimbangkan bagaimana Mahkamah Agung telah
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam menerapkan prinsip kehati-hatian
sebagaimana dalam putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004.46 Terkait dalil ini, Penulis
tidak menemukan elaborasi dalam dalil dan pembuktian yang dapat menjadi pertimbangan
Majelis Hakim. Apabila dalil ini dimaksudnya sebagai upaya menerapkan res ipsa loquitur.
Maka sebagaimana Penulis jelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa pandangan Penggugat
adalah pandangan keliru.
Dalam dalil gugatan juga ditemukan bahwa Penggugat mendalilkan tentang strict
liability. Dalam hal ini pelaku usaha wajib bertanggungjawab mutlak atas kerusakan lingkungan
oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi
lingkungan.47 Setelah dalil tersebut, tidak ditemukan pembuktian unsur strict liability tentang
apakah perbuatan Tergugat memberikan ancaman serius bagi lingkungan. Dengan tidak adanya
pembahasan khusus terkait strict liability, sehingga menurut hemat Penulis Penggugat masih
menganggap strict liability sebagai bagian dari PMH. Sehingga hal ini merupakan anggapan yang
keliru.
Menurut Penulis, permintaan Penggugat kepada Majelis Hakim merujuk pada Perkara
Mandalawangi lebih tepat apabila ditempatkan untuk menguatkan dalil adanya strict liability.
Karena berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada Perkara Mandalawangi, prinsip kehati-
hatian menggeser PMH menjadi tanggungjawab mutlak (strict liability).48 Sehingga Tergugat
tidak akan lepas dari tanggungjawabanya walaupun Tergugat berhasil membuktikan pihaknya
tidak memenuhi unsur kesalahan.
45 Ibid 46 Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012), hlm 33 47 Ibid. hlm 25 48 Putusan PN. Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hlm 102
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
14
Akhir dari keseluruhan dalil yang dibangun oleh Penggugat adalah Penggugat memohon
kepada Majelis Hakim untuk berkenan memutus dalam pokok perkara bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan melanggar hukum. Menurut hemat penulis, Penggugat kurang tepat
menyusun dalil gugatan dan keliru menarik hubungan antara PMH dengan pembuktian res ipsa
loquitur, strict liability dan precautionary principle.
Majelis Hakim mempertimbangkan berbagai bukti dan fakta persidangan dengan
seksama. Setidaknya Majelis Hakim dalam memandang pembuktian unsur fault dari Tergugat
dengan menelaah lebih lanjut dua hal. Pertama, apakah benar Tergugat telah membuka lahannya
dengan cara membakar.49 Kedua, apakah benar membuka lahan secara membakar merupakan
perbuatan melawan hukum.50 Mengenai hal yang pertama, Tergugat tidak pernah membuktikan
bahwa bukan Tergugat yang telah membakar lahan miliknya di tahun 2009.51 Dan apabila benar-
benar telah terjadi pembakaran hutan, maka akan melanggar beberapa peraturan perundang-
undangan yang jelas melarang perbuatan tersebut.52
Dari pertimbangannya Majelis Hakim di atas, secara diam-diam Majelis Hakim telah
menggeser beban pembuktian dari Penggugat kepada Tergugat. Dengan demikian berlakulah
konsep res ipsa loquitur pada pertimbangan Majelis Hakim tersebut. Sehingga dalam
putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh mengadili dalam pokok perkara yakni
Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum.
b. Menteri LHK v. PT.KA pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh Majelis Hakim Tinggi telah mempertimbangkan seluruh dalil dalam memori banding.
Dalam pertimbangan dasar hukum, Majelis Hakim menyesuaikan dengan ketentuan pasal 88 UU
32 tahun 2009 juga mengatur pertanggung jawaban mutlak (strict liability), yaitu unsur
kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Terbanding /Penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Dengan demikian beban pembuktian tidak hanya dibebankan kepada
Terbanding/ Penggugat tetapi dibebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk
membuktikan tidak adanya perbuatan melawan hukum.53 Dan dalam putusannya, Majelis
49 Ibid. hlm 172 50 Ibid. hlm 172 51 Ibid. hlm 182 52 Ibid. hlm 198 53 Ibid. hlm 55
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
15
Hakim Tinggi mengadili sendiri di dalam pokok perkara yaitu Menyatakan Pembanding/
dahulu Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum. [bold penekanan tambahan
dari penulis]
Dari pernyataan di atas terlihat sangat jelas bahwa terdapat tambahan interpretasi dari
Majelis Hakim terhadap Pasal 88 UU No 32 tahun 2009 tersebut. Dalam hal ini, menurut hemat
Penulis Majelis Hakim telah berpandangan bahwa pasal 88 UU No 32 tahun 2009 yang
mengatur strict liability sepadan dengan konsep res ipsa loquitur. Menurut Wibisana bahwa res
ipsa loquitur belumlah sepenuhnya dapat dikatan sebagai strict liability, karena masih merupakan
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.54 Maka dapat dikatakan bahwa pandangan Majelis
Hakim dalam menjalankan pasal ini telah keliru.
Pandangan sebelumnya berlanjut sehingga mempengaruhi putusan yang dikeluarkan
Majelis Hakim tetap menyatakan Menyatakan Pembanding/ dahulu Tergugat telah
melakukan Perbuatan Melanggar Hukum. Dengan beberapa pertimbangan Majelis Hakim
tentang strict liability dan tetap menghasilkan amar putusan PMH. Maka semakin terlihat jelas
kekeliruan Majelis Hakim yang beranggapan bahwa gugatan strict liability sebagai bagian dari
gugatan PMH.
c. Menteri LHK v. PT.KA pada Mahkamah Agung RI Pada putusan Mahkamah Agung RI ini memperkuat putusan dari Judex Factie
sebelumnya. Sehingga pandangan-pandangan yang keliru sebelumnya dibenarkan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Agung RI.
2. Analisis Putusan perkara Menteri LHK v. PT.Bumi Mekar Hijau
a. Menteri LHK v. PT.BMH pada Pengadilan Negeri Palembang Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat sengaja membuka lahan dengan cara
membakar. Unsur kesengajaan dibuktikan Penggugat dengan menjelaskan lima tahapan proses
kebakaran (combustion processes).55 Penggugat menyimpulkan dengan adanya hubungan
kausalitas yang sangat erat antara terbakarnya lahan dengan tujuan akhir yang diinginkan
54 Ibid, hlm 35-36 55 Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015), hlm 10
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
16
Tergugat (yaitu membuka lahan dengan biaya murah dan cara cepat) sudah dengan sendirinya
membuktikan unsur kesengajaan tersebut.56 [bold tambahan penekanan dari penulis]
Selanjutnya Penggugat mendalilkan, Perbuatan Tergugat telah memenuhi kualifikasi
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dapat dituntut ganti rugi berdasarkan
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup.57
Menurut Penulis, dalil yang tidak cukup kuat tersebut diperparah dengan penggunaan
dasar hukum yang terbatas pada sengaja melakukan PMH dalam Pasal 1365 KUHPer. Padahal
terdapat beberapa aturan lex specialis dari KUHPer, khususnya di bidang pertanggungjawaban
perdata lingkungan. Tidak adanya lapis dasar hukum yang didalilkan Penggugat, sehingga dapat
dipastikan apabila salah satu unsur sengaja melakukan PMH dalam Pasal 1365 KUHPer ini tidak
terbukti, maka Tergugat akan terlepas dari tanggungjawabnya. Selain itu, Penggugat juga
meminta Majelis Hakim mempertimbangkan Putusan MA RI No : 1794K/Pdt/2004 dalam
perkara Putusan Mandalawangi.58 Namun, Penulis menyayangkan tidak ada elaborasi lebih lanjut
terkait dalil gugatan ini.
Di akhir gugatan, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan memutus
dalam pokok perkara yakni menyatakan Tergugat telah sengaja melakukan perbuatan melanggar
hukum.59
Majelis Hakim mengadili dalam pokok perkara yakni Menolak gugatan Penggugat
seluruhnya karena hanya mempertimbangkan Tergugat telah sengaja melakukan “Perbuatan
Melawan Hukum”. Dalam pandangannya tidak terlihat bahwa Majelis Hakim telah
mempertimbangkan perdebatan di dalam Persidangan sebagai fakta persidangan secara
keseluruhan.
Sementara itu, Majelis Hakim terlihat secara sadar maupun tidak sadar juga telah
mengabaikan Putusan Mandalawangi sebagai bahan pertimbangnnya. Menurut hemat Penulis, hal
ini dikarenakan Majelis Hakim sudah menyimpulkan sejak awal bahwa Penggugat didalam
gugatannya secara jelas mendalilkan bahwa Tergugat telah sengaja melakukan “Perbuatan
56 Ibid. hlm 11 57 Ibid. 58 Ibid. hlm 13 59 Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015), hlm 22
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
17
Melawan Hukum”. Sehingga Majelis Hakim mengenyampingkan seluruh hal yang menurut
pandangannya tidak relevan dengan petitum.
b. Menteri LHK v. PT.BMH pada Pengadilan Tinggi Palembang Dalam memori banding Pembading/Penggugat pada pokoknya menyatakan bahwa
putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang keliru menilai fakta hukum, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, salah menerapkan hukum dan/atau putusan a quo telah
didasarkan pada pertimbangan hakim yang tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd), sehingga
putusan a quo patut dibatalkan.60
Pembanding/Penggugat berikutnya menambahkan bahwa pembuktian berdasarkan
persangkaan didukung oleh doktrin res ipsa loquitur (the thing speaks for itself: benda berbicara
sendiri). Sehingga rangkaian fakta yang disebutkan dalam memori bandingnya tidak memberikan
kesimpulan kecuali kebakaran itu sengaja dilakukan atau dibiarkan terjadi oleh orang yang akan
memperoleh manfaat besar dengan kebakaran itu, dalam hal ini tiada lain adalah
Terbanding/Tergugat.61
Berbeda dengan gugatan pada Pengadilan Negeri Meulaboh. Menurut Penulis,
Pembanding/Penggugat pada proses banding lebih menggunakan banyak lapisan dasar hukum
dan pertanggungjawaban.
Pertama, secara eksplisit Pembanding/Penggugat meminta Majelis Hakim untuk
menggunakan res ipsa loquitur dalam proses pembuktian. Karena Pembanding/Penggugat
menyadari bahwa telah terpenuhi syarat-syarat dari res ipsa loquitur. Sehingga, menurut hemat
Penulis menerapkan res ipsa loquitur pada kondisi seperti di atas sudah tepat. Penulis melihat
bahwa Pembanding/Penggugat mencoba membuat dalil lapis kedua apabila PMH tidak dapat
dibuktikan.
Kedua, Pembanding/Penggugat selanjutnya menyebutkan Putusan Perkara
Mandalawangi.62 Dengan adanya permintaan dari Pembanding/Penggugat di dalam perkara a quo
agar Majelis Hakim berkenan menerapkan prinsi kehati-hatian (precautionary principle)
sebagaimana ditafsirkan oleh Majelis Hakim dalam Perkara Mandalawangi, maka Pembanding
dalam perkara a quo sebenarnya telah meminta pula agar Majelis Hakim menerapkan tanggung
60 Menteri LHK v. PT.BMH (PT, Palembang, 2016), hlm 58 61 Ibid. 62 Ibid. hlm 86
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
18
jawab mutlak (strict liability).63 Namun demikian, Majelis Hakim sama sekali tidak
menyinggung mengenai Putusan Perkara Mandalawangi di atas, sehingga strict liability sama
sekali tidak dipertimbangkan.64 Menurut Penulis dalam hal ini Pembanding/Penggugat mencoba
membuat dalil lapis ketiga apabila PMH tidak dapat dibuktikan dan res ipsa loquitur dapat
dibuktikan dengan baik oleh Terbanding/Tergugat.
Dalam dalilnya Pembanding/Penggugat juga menggunakan Pasal 30 PP nomor 45 tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan sebagai dasar strict liability. Namun, penjelasan pasal ini
berbeda hal nya dengan peraturan-peraturan lainnya, karena terdapat pengecualian dari penerapan
strict liability. Apabila dilihat hanya sebatas bunyi Pasalnya saja, jelas pasal ini mengatur
tentang strict liability. Namun, apabila ditelusuri lebih lanjut dalam penjelasan pasalnya, maka
secara tidak langsung disebutkan bahwa beban pembuktian unsur kesalahan terletak pada pihak
pemilik izin (tergugat). Sehingga pemilik izin dapat terlepas dari ancaman sanksi apabila yang
dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah. Berdasarkan peraturan ini dapat disaksikan bahwa
strict liability merupakan hal sepadan dengan pembuktian terbalik (res ipsa ioquitur). Fakta di
atas memperlihatkan bahwa sejak dari perumus Undang-Undang masih memiliki pemahaman
yang keliru terkait hubungan strict liability dengan res ipsa loquitur. Hali ini tentunya akan
mempengaruhi penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Akhirnya, Majelis Hakim mengadili menerima permohonan banding dari Penggugat/
Pembanding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor;
24/Pdt.G/2015/PN.Plg tanggal 30 Desember 2015, yang dimohonkan banding tersebut.
Selanjutnya, mengadili sendiri yakni menyatakan Tergugat/Terbandi telah melakukan perbuatan
melawan.65
Menurut Penulis, dalam setiap pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi secara
tegas menyatakan bahwa Tergugat dikenakan tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagai
pemiliki pemegang izin areal yang terbakar. Menariknya ketika dilihat dalam amar putusan,
Majelis Hakim tidak menyatakan Tergugat/Terbanding dihukum karena bertanggungjawab
mutlak, tetapi tetap menyatakan Tergugat/Terbanding melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga masih berpandangan bahwa
63 Ibid. hlm. 88 64 Ibid. 65 Ibid. hlm 190
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
19
gugatan strict liability sebagai bagian dari gugatan PMH. Sebagaimana Wibisana menyampaikan
bahwa di Indonesia, gugatan strict liability dianggap sebagai bagian dari gugatan PMH. Sehingga
berimplikasi pada bentuk gugatan, dan juga pada putusan.66
3. Catatan Kritis dan Solusi
Secara keseluruhan dari analisis yang telah dijabarkan diatas, setidaknya terdapat benang
merah yang dapat Penulis jadikan intisari dan pembelajaran, diantanya:
1. Pihak yang berperkara masih memiliki pandangan yang keliru terkait cara penyusunan
gugatan maupun jawaban. Masih bercampurnya antara dasar liabity based on fault dan
liability without fault dalam dalil gugatan. Konsep PMH dengan pembuktian res ipsa loquitur
dan strict liability menjadi hal yang paling banyak dibicarakan, namun ditemukan banyak
kekeliruan dalam menerapkannya dalam gugatan maupun jawaban.
2. Hingga dikeluarkannya putusan Perkara Menteri LHK v. PT. Bumi Mekar Hijau pada
Pengadilan Tinggi Palembang tahun 2016. Majelis Hakim masih berpandangan bahwa strict
liability dan res ipsa loquitur merupakan konsep yang sepadan. Dan juga masih menganggap
bahwa gugatan strict liability bagian dari gugatan PMH. Sehingga sangat mempengaruhi
putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim yang sampai saat ini menganggap dirinya telah
menerapkan strict liability secara penuh disaat amar putusannya menyatakan Tergugat
melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini menurut hemat Penulis, kekeliruan ini
harus diperbaiki agar kerancuan tersebut tidak menjadi budaya karena akan menyulitkan
dalam pembuktiannya. Selain itu, lemahnya hukum formil terkait penerapan konsep strict
liability harus segera diselesaikan oleh pihak yang berwenang sehingga adanya dasar yang
jelas dan tegas terkait penegakan hukum perdata lingkungan di Indonesia.
3. Lebih jauh lagi, ternyata kekeliruan mengenai hubungan konsep PMH, PMH dengan
pembuktian res ipsa loquitur, dan strict liability terjadi sejak di dalam benak perumus
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagaimana yang Penulis bahas sebelumnya
tentang penjelasan pasal yang keliru pada Pasal 30 PP nomor 45 tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan oleh perumus peraturan tersebut. Fenomena ini menjadi refleksi tentang
kekeliruan yang mendasar dari para sarjana hukum dalam memandang konsep strcit liability
66 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 19
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
20
sebagai padanan res ipsa loquitur. Sebagaimana Soekanto menjelaskan bahwa faktor budaya
hukum sangat menentukan efektivitas suatu penegakan hukum.67
4. Fakta yang ditemukan dalam penerapan konsep pertanggungjawaban perdata lingkungan di
Indonesia bahwa konsep PMH dan strict liability tidak diposisikan menjadi dua kutub ekstrim
yang berbeda. Walaupun secara konsep dinyatakan berbeda, akan tetapi saat penerapannya
strict liability dianggap menjadi bagian dari lapisan gugatan PMH. Sehingga diperlukan
konsep antara yang dapat menghubungkan keduanya dalam gugatan, yaitu konsep PMH
dengan pembuktian res ipsa loquitur.
5. Dengan keterbatasan hukum dan budaya hukum yang ada pada saat ini. Penulis berpandangan
bahwa konsep strict liability harus benar-benar dibedakan secara tegas dan jelas sebagai
konsep pertanggungjawaban yang berbeda dengan PMH. Walaupun idealnya konsep strict
liability langsung dapat digunakan sebagai dasar pertanggungjawaban dalam gugatan.
Namun, dengan budaya hukum yang ada, menurut hemat Penulis, untuk saat ini dapat
diterapkan dalil gugatan berlapis dalam gugatan perdata lingkungan dengan susunan sebagai
berikut:
a. PMH dengan Res Ipsa Loquitur
b. Strict Liability
Dan diteruskan dengan merujuk kepada yurisprudensi Majelis Hakim dalam memutus
perkara perdata lingkungan di Indonesia.
E. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, penerapan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) dapat diterapkan di
perkara perdata lingkungan sebagai upaya menjawab keterbatasan konsep pertanggungjawaban
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam menghadapi tantangan perkembangan pembangunan
di berbagai sektor baik infrastruktur maupun suprastruktur yang dapat berdampak pada
lingkungan. Penerapan prinsip strict liabity diterapkan pada kegiatan yang mengandung risiko
67 Soerjono Soekanto. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”. Cetakan Ketujuh. Raja
Grafindo Persada. Jakarta. hlm 8
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
21
yang luar biasa (abnormally dangerous activities). Dan dalam kedua kasus ini Penggugat
menggunakan dasar pertanggungjawaban PMH. Perkara Menteri LHK v. PT.KA secara diam-
diam telah menggunakan konsep res ipsa loquitur sehingga beban pembuktian bergeser dari
Penggugat kepada Tergugat. Sedangkan Perkara Menteri LHK v. PT.BMH secara jelas hanya
menggunakan konsep PMH di Pengadilan tingkat pertama. Selanjutnya, secara eksplisit dalam
posisi Pembanding/Penggugat menggunakan setidakanya 3 (tiga) konsep yang dipadukan yaitu
PMH biasa, PMH dengan res ipsa loquitur, dan strict liability.
Kedua, Majelis Hakim masih berpandangan bahwa strict liability dan res ipsa loquitur
merupakan konsep yang sepadan. Dan juga masih menganggap bahwa gugatan strict liability
bagian dari gugatan PMH. Sehingga sangat mempengaruhi putusan yang dikeluarkan oleh
Majelis Hakim yang sampai saat ini menganggap dirinya telah menerapkan strict liability secara
penuh.
Ketiga, melihat realitas budaya hukum para penegak hukum maupun sarjana hukum
yang keliru dalam memandang konsep strict liability. Dengan demikian dapat diterapkan dalil
gugatan berlapis, PMH dengan res ipsa loquitur sebagai lapisan pertama menuju strict liability.
Sehingga menjadi seperti berikut ini:
a. PMH dengan pembuktian Res Ipsa Loquitur
b. Strict Liability
Dan diteruskan dengan dalil merujuk kepada yurisprudensi Majelis Hakim dalam memutus
perkara perdata lingkungan di Indonesia.
F. Saran
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini dan kesimpulan yang dirumuskan diatas,
maka penulis memberikan beberapa saran mengenai masalah tersebut, yang pada intinya perlu
adanya perbaikan dalam pemahaman mengenai konsep pertanggungjawaban Perbuatan Melawan
Hukum dan strict liability di Indonesia. Sehingga penegakan hukum lingkungan dapat berjalan
secara efektif. Dan sebaiknya perlu ditinjau kembali implementasi prinsip strict liability dalam
perundang-undangan di Indonesia. Karena konsep strict liability dan PMH dengan pembuktian
res ipsa loquitur yang dijadikan sepadan dalam rumusan pasal merupakan sebuah kekeliruan
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
22
mendasar. Dan terakhir, perlu adanya forum para sarjana hukum untuk meluruskan kekeliruan
terkait konsep strict liability sehingga dapat bersama-sama melakukan perbaikan penegakan
hukum lingkungan di Indonesia
Daftar Referensi
BUKU Agustina, Rosa. (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Harpwood, Vivienne. (2000). Principles of Tort Law, 4th ed. London: Cavendish
Publishing Limited. Machmud, Syahrul. (2012) Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum
Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Soekanto, Soerjono. (1983). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Cetakan Ketujuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada Wijoyo, Suparto. (1999). Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
ARTIKEL/JURNAL
Cantu, Charles E. (2003). “Distinguishing the Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”. The University of Memphis Law Review, Vol. 33
Gema BNPB, “Indonesia Darurat Asap”, Vol. 6, No. 3. Jakarta: Desember 2015 Jerger, David B. (2014) “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement
of Transboundary Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1. Washington: Digital Commons @ American University Washington College of Law
Jones, William K. (1992). “Strict Liability For Hazardous Enterprise”. Columbia Law
Review, Vol. 92, No. 7. Palmer, Vernon. (1988). “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability:
Common Law, Civil Law, And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62. TAN, Alan Khee-Jin. (2015) “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing
Singapore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
23
Shavell, S. (2002) “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M.
Olin Center for Law, Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2. Wibisana, M. Ridwan Andri G. (1999). “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara
Langsung dan Seketika (Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” Skripsi Universias Indonesia.
Wibisana, Andri G. (2016) “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan:
Beberapa Pelajaran Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1.
PUTUSAN PENGADILAN DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LAIN: Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179K/Pdt/2004 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan Hidup Pengadilan Negeri Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2012), Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Putusan No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v.
PT. Kallista Alam (2015) Pengadilan Negeri Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2015 Pengadilan Tinggi Palembang, Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016) INTERNET
“NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, 2017.
Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-
perusahaan-pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, 2017. Resolusi Bumi, Hutan. http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, 2017 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. 2017.
www.menlhk.go.id/downlot.php?file=STATISTIK_2014.pdf
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017