PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM...
Transcript of PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM...
PENERAPAN KONSEP MASLAH AH MURSALAH DALAM WAKAF
(TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF)
Skripsi
Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Hadiratush Sholihah NIM: 105043101274
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N M A Z H A B F I Q I H
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM
WAKAF (TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Konsentrasi Perbandingan
Mazhab Fiqih.
Jakarta, 15 Maret 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP.195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua :Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA . (........................)
NIP. 195703120985031003
2. Sekretaris :Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (........................)
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing I :Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M. Ag. (........................)
NIP. 195003061976031001
4. Pembimbing II :Drs. H. Hamid Farihi, MA. (........................)
NIP. 195811191986031001
5. Penguji I :Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag. (........................)
NIP. 197003232000031001
6. Penguji II :Nahrowi, SH, MH. (........................)
NIP. 197302151999031002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 1 Maret 2010
Hadiratush Sholihah
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang setinggi-tingginya penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang
Maha kuasa, Zat yang menjadi sandaran vertikal bagi setiap insan yang
mengharapkan ridlo-Nya.
Shalawat teriring salam senantiasa tercurah keharibaan rasul-Nya tercinta,
Muhammad saw, sosok manusia paripurna yang menjadi standar moral bagi manusia
dalam mengarungi bahtera kehidupannya.
Setelah sekian lama penulis berusaha menyelesaikan penulisan skripsi ini,
hanya syukur yang dapat penulis untaikan melalui tulisan ini, karena atas hidayah dan
inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada
waktunya. Ini berarti sebagian dari syarat-syarat dan tugas untuk mencapai gelar
sarjana pada jurusan Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat terpenuhi.
Sehubungan dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M. Ag dan Bapak Drs. H. Hamid Farihi, Ma.,
selaku Dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan pengarahan, petunjuk,
serta bimbingan dalam menyelesaiikan penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, Ma dan bapak Dr. H . Muhammad Taufiki, M.
Ag., selaku ketua dan sekretaris jurusan Perbandingan Mazhab Hukum, yang
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademik dan
administrasi di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh staf Dosen Fakultas Syariah dan hukum yang telah mendidik dan
membimbing penulis dalam menuntut ilmu selama menjadi mahasiswi dikampus
tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh staf perpustakaan Utama, dan staf perpustakaan Syariah yang telah
membantu penulis dalam melayani peminjaman buku-buku, sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua Orang Tua saya, Bapak H. Muhammad Nalim dan Ibu Hj. Sarwati yang
telah mendidik dan membesarkan sang putri, dan juga tidak pernah lelah
membantu memberikan motivasi dan juga do’anya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10
D. Metode Penelitian ........................................................................ 11
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13
F. Sistematika Penelitian ................................................................. 15
BAB II MASLAHAH MURSALAH ............................................................. 17
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya ............... 15
B. Macam-Macam Maslahah ........................................................... 26
C. Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah ............................. 32
D. Metode Analisa Maslahah Mursalah ........................................... 36
E. Objek dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah ................... 40
BAB III WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ....................... 45
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf .......................................... 45
B. Rukun dan Syarat Wakaf ............................................................. 52
v
C. Macam-Macam, Fungsi dan Tujuan Wakaf ................................ 57
D. Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No.41
Tahun 2004 tentang Wakaf ......................................................... 61
BAB IV KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH ................................ 67
A. Orientasi Maslahah ...................................................................... 67
B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang Wakaf No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf ......................................................... 68
C. Analisis Penulis .......................................................................... 86
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 93
A. Kesimpulan .................................................................................. 93
B. Saran ............................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam membina hukum nasional
yang menjadi bagian garapan pembangunannya menempatkan hukum Islam
memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu bahan pokok yang sangat
diperlukan dalam membina hukum Nasional.
Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi nusantara Indonesia hingga saat
ini tergolong hukum yang hidup (Living Law) dan dinamis di dalam masyarakat
Indonesia,1hukum Islam adalah suatu peraturan (syariat) yang diturunkan Allah
SWT untuk kemaslahatan umat manusia agar dapat hidup tenang, damai, tentram
dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT dengan rahmat-Nya
tidak meninggalkan manusia dalam kegelapan. Dia mengutus para Rasul-Nya di
berbagai bangsa dan sepanjang waktu untuk menjelaskan dan menunjukan kepada
umat jalan yang ma’ruf dan jalan yang mungkar, yang benar dan yang salah.
Semua ajaran secara bertahap dibawa oleh para Rasul-Nya saling memperkuat
hingga ajaran terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Ajaran-ajaran tersebut berupa aturan dan ketentuan yang akan dipedomani dan
diamalkan oleh manusia dalam mencari kebahagiaan. Ajaran itulah yang akan
1Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta ,LkiS,2001), h.81.
2
membimbing manusia kejalan yang benar menuju kepuasan hakiki yang diridhai
oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua upaya dan cara untuk mencapai kepuasan itu
adalah maslahah, mempertahankan, memelihara dan meningkatkan mutunya juga
merupakan maslahah. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw yang berupa syariat Islam adalah agama yang berorientasi pada
kemaslahatan.2
Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu adalah
termasuk hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama secara
keseluruhan. Sungguhpun demikian manusia dengan segala kondisinya senantiasa
berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal seperti ini
ajaran Islam termasuk aspek hukum di dalamnya, tentunya mampu merespons
segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang ditegaskan
dalam al-Qur’an menjadikan ajaran Islam dan segala aspeknya selalu sesuai
dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia berada. Begitu pula
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun”Hal ihwal umat manusia, adat
kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan kekuatan yang tetap,
melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan
keadaan”.3
2Siti Musrifah, “Konsep Maslahah mursalah dalam Dunia Bisnis dengan Sistem Franchise:
Waralaba”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.2.
3Sobhi Mahmasani, alih bahasa Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1976), h.214.
3
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Namun, setelah Islam semakin berkembang,
maka timbullah berbagai macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam
(metode istinbath) yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga dikenallah
istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu hukum-
hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyâs), dan sumber hukum sekunder, yaitu sumber-sumber hukum yang masih
diperselisihkan pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama
(al-Istihsân, al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf, al-Istishâb, Madzâhib Sahâbi, dan
al-Syar’u man qablanâ).4
Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara
lebih detail, yaitu maslahah mursalah. Secara umum maslahah mursalah adalah
hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun
diabaikan oleh dalil khusus, tetapi masih sesuai dengan Maqâsid al-Syarî’ah al-
‘Ammah (tujuan umum hukum Islam)5
Maslahah mursalah merupakan jalan yang ditempuh hukum Islam untuk
menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-Nya terhadap peristiwa baru yang tidak
ada nashnya. Disamping itu maslahah mursalah juga menjadi jalan dalam
menetapkan aturan yang harus ada dalam perjalanan hidup umat manusia agar
4Wahidul Kahar, “Efektifitas Mashlahah Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”, (Tesis
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h.5. 5Ibid., h. 5-6.
4
sesuai dengan Maqâsid al-Syarî’ah al-‘Ammah, dalam rangka menarik
kemaslahatan, menolak kemafsadatan dan menegakkan, kehidupan sesempurna
mungkin.6 Konsep maslahah mursalah tidak hanya terbatas pada masalah ibadah
tetapi juga masalah muamalah. Dan kali ini penulis berusaha menyoroti konsep
maslahah mursalah dari sisi muamalah, dalam hal ini lebih ditekankan pada
kegiatan perwakafan khususnya mengenai Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf.
Dalam sejarah Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat
Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. sebagai suatu lembaga Islam, wakaf
telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam dan juga
merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan
agama.7
Di Indonesia, legalisasi wakaf mengalami perkembangan cukup penting,
perwakafan pernah diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dimana negara secara resmi menyatakan
perlindungan terhadap harta wakaf. Dalam pasal 49 ayat 3 dikatakan bahwa
perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah yakni
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, lalu terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
6Musthafa Ahmad al-Dzarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya, ( Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 33
7Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006) h. 1
5
Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur
subtansi dan teknis perwakafan, kemudian hadirnya intruksi presiden No. 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, aturan ini membawa beberapa
pembaharuan dalam pengelolaan wakaf, pembaharuan ini pada dasarnya
merupakan elaborasi dan prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan
Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah miik.
Perkembangan terakhir adalah dengan disahkanya Undang-Undang No. 41 tahun
2004 tentang Wakaf pada tanggal 20 Oktober 2004 serta Peraturan Pemerintah
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap
lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh
lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi
hukum.8
Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini mungkin
terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum sekaligus. Selain
bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam,
pemerintah menyadari bahwa berkembangnya lembaga wakaf dapat meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat Islam. Karenanya, tidaklah mengherankan
pemerintah, diwakili oleh Departemen Agama, memainkan peranan yang
8 Tuti A. Najib, Ridwaan al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi
tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006, Cet. Pertama, h. 86-89
6
signifikan dalam memfasilitasi lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf.9
Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan merupakan atas
dasar kepentingan kemaslahatan (al-Maslahah al-Mursalah). Karena hal tersebut
sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak) jika tidak akan
menimbulkan ketidaktertiban, sesuai kaidah fiqhiyah “Pemerintah berkewajiban
mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.”10
Sebagai hukum Islam yang bercorak khas Indonesia, sudah tentu kaidah
hukum maupun pola pikir yang mendasari Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun
2004 tentang Wakaf akan menunjukan beberapa perbedaan dengan hukum Islam
yang diberlakukan di negara-negara lain, sekalipun sifat dasar dan subtansi
hukumnya tetap sama bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. karena pada
dasarnya fleksibelitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsip-
prinsip umum yang terkandung dalam sumber ajarannya. Begitu pula sebagaimana
yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam usul fiqhnya bahwa nash telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan
adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun
tasyrik yang kullî yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang, al-
9 Ibid., h. 84 10Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009
dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/2330/36/lang,ar/.
7
Qur’an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi
tiap-tiap undang-undang agar membuahkan hukum.11
Keluesan dan keelastisan hukum nash-nash al-Qur’an itu merupakan koleksi
membentuk undang-undang yang terdiri dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip
umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan
dan kemaslahatan umat disetiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap
undang-undang yang adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.12
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan itu pada dasarnya
dilandasi oleh asas kemaslahatan, begitu halnya Undang-Undang No.41 tahun
2004 tentang Wakaf juga dilandasi oleh kemaslahatan yang sesuai dengan sosio
kultural umat Islam Indonesia. dengan demikian materi hukum yang ada dalam
Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf mengandung hal-hal
yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak didapat dalam rumusan para ulama
fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang
dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah.
Pada dasarnya peraturan-peraturan mengenai wakaf sudah cukup berkembang.
Namun dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat
berbagai macam aturan yang tidak didapati dalam Peraturan Pemerintah No. 28
tahun 1977 dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1999 Buku III sehingga dalam
11Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyyah dan
fiqhiyyah ). (Jakarta: Pt Raja Grapindo Persada, 1996), h.103. 12Ibid., h.104.
8
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat banyak paradigma
baru wakaf agar praktek wakaf semakin berkembang, oleh karenanya perlulah
dilakukan peninjauan dalam hal tersebut.
Mengingat hal di atas, perlulah kiranya tinjauan secara khusus terhadap
materi-materi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang
aplikasinya didasarkan atas maslahat berdasarkan kaidah-kaidah hukum Islam.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa tujuan utama pensyariatan ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw, adalah demi kemaslahatan umat manusia itu
sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21):107
نيلمة للعمحإال ر كلنسآ أرم٢١:١٠۷/األنبياء(و(
Artinya :” Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”
Dengan latar belakang permasalahan ini, penulis merasa tertarik dan perlu
membahas secara spesifik tentang bagaimana penerapan konsep maslahah
mursalah yang terdapat dalam materi Undang-undang Wakaf yakni Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Atas dasar itu, penulis menyusun
skripsi ini dengan judul : “Penerapan Konsep Maslahah Mursalah dalam Wakaf
(Tinjauan Terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf”).
9
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan Skripsi ini berdasarkan latar belakang masalah
diatas, penulis membatasi permasalahan hanya pada penerapan konsep
maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tidak keluar dari pokok
pembahasan, disamping karena terbatasnya wawasan dan pengetahuan penulis
sendiri.
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang dilandasi oleh
kemaslahatan mengandung hal-hal yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak
didapat dalam rumusan para ulama fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak
dimasuki unsur siyâsah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan
kepada maslahah mursalah. Dengan demikian perlu kiranya peninjauan
bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No.
41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis menentukan
rumusan permasalahan sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan bagaimana
kedudukannya dalam syariat Islam
b. Bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
10
c. Bagaimana implementasi Maslahah Mursalah dalam pasal-pasal Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Menemukan
berarti mendapatkan dan melahirkan suatu hal baru yang sebelumnya tidak ada,
mengembangkan berarti memperluas atau mngkaji lebih dalam yang sudah ada
sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat keraguan terhadap apa
yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan
bagaimana kedudukan dalam syariat Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
3. Mencoba memberikan dukungan normatif atas implementasi maslahah
mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis secara umum adalah
menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil kegiatan
penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah serta melatih kepekaan penulis sebagai
mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar,
sedangkan lebih khusus lagi pentingnya melakukan penelitian ini adalah untuk:
11
1. Kegunaan teoritis, dapat menambah khazanah keilmuan di bidang hukum
perdata khususnya dalam lingkup perwakafan. Memberi informasi lebih
tentang maslahah mursalah dalam ushul fiqh yang dapat menjadi hujjah
dalam penyelesaian masalah-masalah mua’malah khususnya masalah wakaf.
2. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan
pelajar, mahasiswa, akademis lainnya dan terutama para pelaku yang terkait
dengan penelitian ini.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis Penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian
kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari
literatur-literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul Skripsi diatas.
Referensi diambil dari al-Qur’an dan Hadits, juga kitab-kitab Fiqh klasik dan
kontemporer yang berkaitan dengan materi Penelitian, kemudian buku-buku
ushul fiqh baik yang langsung maupun tidak langsung membahas mengenai
maslahah mursalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan Wakaf, Undang-
Undang diantaranya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf,
Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai Wakaf,
serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini.
12
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan Penelitian, Penulis menggunakan Metode
Normatif yaitu pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan informasi
yang berbentuk sebuah peraturan-peraturan atau undang-undang, buku-buku
yang berkaitan dengan judul Penelitian, serta dokumen-dokumen yang penulis
anggap penting sebagai landasan penulisan Penelitian.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan terdiri dari dua
sumber yakni:
a) Sumber Primer, yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku yang
menyangkut mengenai Maslahah Mursalah, Wakaf serta Undang-undang
No. 41 tahun 2004.
b) Sumber Sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data
primer yang mencakup karya tulis berupa Makalah, Koran, Majalah, dan
lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan
Skripsi ini.
4. Tekhnik Pengolahan Data
Dalam Penelitian yang menggunakan Metode Library Research ini
dalam pengolahan data digunakan Metode Kualitatif, yakni dengan cara
pengumpulan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi
satukesatuan data untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas
dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan lalu di
13
komparasikan. Yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku ushul fiqh yang
membahas mengenai Maslahah mursalah, wakaf, serta Undang-undang wakaf
yaitu Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf serta peraturan
perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai wakaf.
5. Tehnik Analisa Data
Metode Analisis data dalam Skripsi ini adalah Kualitatif Normatif,
yakni pengumpulan data dari berbagai dokumen-dokumen, buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan dalam Skripsi ini.
Selain itu dalam penulisan Skripsi ini, penulis juga menggunakan
Metode Analisis Induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik
tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum.
6. Penulisan Skripsi
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman
penulisan Skripsi tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam kajian ini penulis, membahas tentang konsep maslahah secara umum,
secara lebih spesifik membahas kandungan maslahah mursalah serta aplikasinya
di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini khususnya Peraturan
Perundang-undangan No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang akan dibahas dalam
kajian ini.
14
Dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak
didapati paradigma baru dalam praktik wakaf yang tidak ada dalam aturan fiqh
terdahulu, sehingga dengan kata lain Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang
Wakaf ini banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh
didasarkan kepada maslahah mursalah
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik
yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan
fakultas syariah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada
beberapa judul tesis dan skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis.
Diantaranya adalah tesis wahidul kahhar (UIN Syarif Hidayatullah. 2003),
dengan judul “Efektifitas al-Mashlahah al-Mursalah dalam Penetapan Hukum
Syara’”. Skripsi Didin Najmudin (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2000 SJAS), dengan judul “Tinjauan Kaidah Fiqhiyyah Tentang
Konsep Maslahat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”
Selain itu penulis juga meriview kajian tentang wakaf, yaitu skripsi dari
Fikri Amin Hulaifi (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Sayriah dan Hukum tahun
2009 SJAS), dengan judul “ Politik Hukum Filantropi Islam di Indonesia Studi
Tentang Paradigma Wakaf Dalam PP No.28 tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik, KHI,dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Dari beberapa judul karya ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema
yang penulis angkat dalam skripsi ini. Yaitu Penerapan Konsep Maslahah
15
Mursalah dalam Wakaf, Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan materi dalam
bagian-bagian atau bab-bab dan sub-sub bab dengan menguraikan pembahasan
setiap bab secukupnya.
Adapun secara garis besar isi dari setiap bab adalah sebagai berikut.
BAB I : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam pendahuluan ini
penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi
terdahulu serta sistematika dalam penulisan skripsi ini.
BAB II : Merupakan isi dari skripsi ini berisi tentang tinjauan umum mengenai
maslahah mursalah yang meliputi pengertian maslahah mursalah dan dasar
hukumnya, macam-macam maslahah, syarat berhujjah dengan maslahah
mursalah, metode analisa maslahah mursalah serta objek dan contoh penggunaan
maslahah mursalah
BAB III : Merupakan isi dari skripsi ini, berisi tentang sekilas mengenai Wakaf
dan Undang-undang No. 41 tahun 2004 yang meliputi ruang lingkup wakaf yang
berisi pengertian, dasar hukum, rukun, syarat,macam-macam, fungsi dan tujuan
wakaf menurut hukum Islam dan Undang-Undang Wakaf No.41 tahun 2004
tentang Wakaf, sejarah singkat lahirnya Undang-Undang No.41 tahun 2004
tentang Wakaf.
16
BAB IV : Juga merupakan isi skripsi ini, berisi tentang kandungan maslahah
mursalah, yang meliputi orientasi maslahah, penerapan konsep Maslahah
mursalah yang terdapat di dalam materi pasal-pasal Undang-Undang No.41 tahun
2004 tentang wakaf serta analisis penulis mengenai penerapan konsep maslahah
mursalah dalam Undang-undang Wakaf.
BAB V : Merupakan penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini penulis membaginya
dalam dua sub bab, yaitu kesimpulan dan saran
17
17
BAB II
MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya
Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu
diketahui makna dalam kajian ushul fiqh. Secara etimologis term ”maslahah
mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah
Secara etimologi, kata maslahah berasal dari kata ‘salaha’ atau ‘saluha’
yang berarti baik. Kata ini adalah antonim dari kata ‘fasada’ yang berarti rusak.
Dengan demikian kata maslahah adalah kebalikan dari kata mafsadah
(kerusakan).
Kata maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata masalih.
Pengarang kamus”Lisan al-Arab” menjelaskan pengertian maslahat dari dua
arah, yaitu maslahah yang mempunyai arti ‘al-shalah’ dan maslahah sebagai
bentuk tunggal (mufrad) dari kata ‘al-mashalih’ semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan
kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan.1
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah
mempunyai arti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna”
1Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), cet. ke-1 h.117.
18
sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat kepentingan.2
Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,
baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan
ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemudharatan atau kerusakan. Sehingga setiap yang mengandung manfaat patut
disebut maslahah.
Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata : arsala-
yursilu-irsal yang artinya: ‘adam al-taqyid (tidak terikat); atau yang berarti juga:
al-mutlaqah (bebas atau lepas)3
Kemudian pengertian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa
definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi
tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazali misalnya,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat
dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’4
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai
Pustaka, 1996), cet. ke-2 h.634. 3Ahmad Mukri Aji, Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal Ahkam, IV,
08, (Jakarta:2002), h.38. 4Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008), cet.
ke-1,h.152.
19
tujuan syara’ tersebut maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak
segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut juga dinamakan maslahah.5
Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syâthibi mengatakan bahwa kemaslahatan
tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena
kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan
syara’ termasuk kedalam konsep maslahah. Dengan demikian, menurut al-
Syâthibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan
untuk kemaslahatan diakhirat6
Sedangkan definisi maslahah menurut said Ramadhan al-Buthi adalah:
املنفعة التي قصدها الشارع احلكيم لعباده من حفظ دينهم و نفوسهم : املصلحة ٧وعقولهم وتسلهم واموالهم طبق ترتيب فيما بينها
Artinya:”al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan&harta mereka sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.”
Dari definisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah
tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang
5Ibid., h.153. 6Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syâtibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah,
(t,t:Dar ibn Affan, 1997) cet, ke-1 jilid 2,h. 17-18. Lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum Islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008),cet. ke-1,h.153.
7Said Ramadhan al-Buthi, Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah.(Beirut:Muassah
al-Risalah,1990),cet. Ke-3, h.27.
20
ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (kulliyat al-Khamsah),
semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek
ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak
kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.8
Sifat dasar dari maqâsid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian disisni
merujuk pada otoritas maqâsid al-syari’ah itu sendiri. Dengan demikian
eksistensi maqâsid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syariat menjadi hal
yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.9
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa al-Ghazali mengajukan
teori maqâsid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syariah pada
kulliat al-khamsah. Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan
dalam dua metode: pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan
kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif,
kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktifitas sunat yang baik dilakukan
dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada
semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut
bertujuan mengukuhkan elemen maqâsid al-syari’ah sebagai jalan menuju
kemaslahatan
8Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensi,
(Jakarta:Zikrul Hakim,2004). Cet, ke-1, h.81. 9Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer.( Jakarta: Gaung Persada Pers ,2007), cet. ke-1 h.129.
21
Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda
tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan
kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum.10
Sedangkan secara terminologi Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda
tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan
berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
1. Al-Ghazali merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut: “ Apa-apa
(maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas tertentu
yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”11
2. Abdul Wahab Khalaf memberi rumusan berikut :
“Maslahah Mursalah ialah maslahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.”12
3. Muhammad Abu Zahra memberi definisi :
“Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk
tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”13
10Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.
ke- 4, h.325. 11 Al-Ghazali, al-mustashfa, (Beirut:Dar- al-Fikr,tt.), h.286. 12 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press, 1996), cet. 7,h.
142.
22
Dalam kaitannya dengan ini Wahbah Zuhaili14 mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan
tindakan dengan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara yang
membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan
tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari padanya, sejalan dengan hal
ini Ahmad Munif Suratmaputra15 juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
maslahah mursalah adalah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ dan
tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya.
Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang
hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut:
a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut
tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang mengakuinya.16
13Muhammad Abu Zahrah penerjemah Saefullah Ma’sum dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta:Pustaka
Firdaus, 2008), cet.ke-11, h.427.
14Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islam, (Bairut:Dar al-Fikr,1986), h.757 15Ahmad Munif Suramaputra, filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- 1, h.71 16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.334
23
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah telah
terjadi perbedaan dikalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang
menyebutkan dengan istilah: al-munâsib al-mursal, al-istidlâl al-mursal, al-
Qiyâs al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama”al-
istislâh”.17
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah
dapat dijadikan sebagai dalil hukum dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan
seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Adapun mengenai maslahah mursalah
pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam
menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya mereka berbeda pendapat.18
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah mursalah
sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. artinya,
ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukakan bahwa sifat yang dianggap
sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illât (motivasi hukum) dalam penetapan
suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut digunakan
oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Misal jenis sifat yang dijadikan
motivasi dalam suatu hukum adalah, dalam sebuah Hadits diterangkan
(“Rasulullah saw Melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota
17Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h.118. 18Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos Publishing House, 1996), cet I, h.120, lihat
juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum islam, h.160
24
dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu
memasuki pasar”). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari”kemudharatan
bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli
barang petani tersebut dibatas kota, dan menolak kemudharatan itu meruapakan
konsep al-maslahah al-mursalah.19
Dengan demikian ulama Hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat
dalam nash dan ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat
yang didukung oleh nash atau ijma’. Dan penerapan konsep maslahah al-
mursalah dikalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam metode istihsân.20
Ulama Malikiyah dan Hanabillah menerima maslahah mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah
mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang
rinci seperti yang berlaku dalam qiyâs. Bahkan Imam Syâthibi mengatakan
bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qat’i),
sekalipun dalam penerapannya bersifat zanni (relatif).21
Begitu halnya dengan ulama golongan Syafi’iyyah pada dasarnya, juga
menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’, akan tetapi Imam al-Syafi’I
19Ibid., h. 121. 20Ibid., h.120-121.
21Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h.121-122.
25
memasukkannya kedalam qiyâs, namun salah satu pengikut mazhab ini Imam al-
Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas
permasalahan maslahah mursalah, walaupun beliau menyebutnya dengan istilah
al-istislâh. Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah
mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum Islam.22
Adapun penggunaan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum oleh jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut:
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah
berfirman:
نيلمة للعمحإال ر كلنسآ أرم٢١:١٠۷/األنبياء(و(
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (QS. Al-Anbiya 21:107)
Ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya
dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan
akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum
lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,
zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada
hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
22Ibid.,h.123.
26
3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan
sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran ‘Umar bin al-
Khatab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan
menuliskan al-Qur’an pada satu bahasa di zaman ‘Utsman bin‘Affan demi
memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.23
B. Macam-Macam Maslahah
Para pakar ushul fiqh membagi maslahah dalam beberapa bagian, antara lain
adalah :
1. Dari segi eksistensinya/ keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada
tiga macam, yaitu:24
a. Maslahah Mu’tabarah
Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara
tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain
kemaslahatan yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik
langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya
maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Contohnya untuk
memelihara kelangsungan hidup manusia, disyariatkanlah hukum qisas
terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja. Untuk memelihara
kehormatan manusia, disyariatkanlah hukum dera bagi penuduh dan pelaku
23Ma’ruf Amin. fatwa dalam sistem hukum islam, h.164-165. 24Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999), cet. ke-1,
h.162.
27
zina. Untuk memelihara harta benda, disyariatkanlah hukum potong tangan
bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan
b. Maslahah Mulgâh
Maslahah Mulgâh, yaitu kemaslahatan yang berlawanan dengan
ketentuan nash. Dengan kata lain, kemaslahatan yang tertolak karena ada
dalil yang menunjukan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang
jelas.
Contoh dari maslahah mulgâh ialah menyamakan pembagian seorang
anak perempuan dengan bagian anak laki-laki dalam hal harta warisan,
penyamaan pembagian “jatah” harta waris antara anak perempuan dengan
bagian anak laki-laki secara sepintas memang terlihat ada kemaslahatanya,
tetapi berlawanan dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan rinci,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surat an-Nisaa/4:1125
كميص ولذكر يل كملدى أوف ن اللهيثيظ األنثل حساء(م٤:١١/الن (
Artinya:”Allah telah menetapkan bagi kamu(tentang pembagian harta pusaka) untuk anak-anak kamu, yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”(Q.S.an-Nisaa/4:11)
c. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah, yang juga biasa disebut dengan istishlâh, yaitu
maslahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang
mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah
25Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.331-332.
28
mursalah ini termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash. Diakui
dalam kenyataannya maslahat jenis ini terus tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh
perbedaan kondisi dan tempat.26
Dan istishlâh atau maslahah mursalah inilah yang akan menjadi pokok
bahasan dalam skripsi ini.
2. Maslahah ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya
Ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya, maslahah terdiri dari tiga macam,
yaitu maslahah darûriyyah, maslahah hâjiyyah, dan maslahah tahsîniyyah.27
a. Maslahah Darûriyah
Maslahah darûriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat, yakni kemaslahatan
yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusi artinya,
kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu
tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada
keberadaan lima prinsip (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) tersebut
adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri.28
Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau
menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima pokok tersebut adalah
26Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h.164. 27 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.327-328. 28 Ibid, h.327.
29
buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan
Allah tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri. Dalam hal
ini Allah melarang murtad untuk memelihara Agama; melarang membunuh
untuk memelihara jiwa; melarang minum minuman keras untuk memelihara
akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri
untuk memelihara harta.29
b. Maslahah Hâjiyyah
Maslahah hâjiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat hidup manusia
kepadanya tidak berada pada tingkatan darûri. Bentuk kemaslahatannya
tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (darûri),
tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang
memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sehingga
dapat diartikan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan
untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.30
Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam
perjalanan jauh (musafir) dalam bulan ramadhan, diberi keringanan atau
rukhsah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti
29Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi Historis Metodologis),
(Jakarta:Gaung Persada Press, 2008), h. 20. 30Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, h.116.
30
puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau
setelah kembali dari perjalananya.
Firman Allah dalam al-Quran surat Al-baqarah/2:184:
)۲:١۸٤/البقرة...(أخرفمن كان منكم مريضا أو على سفر فعد ة من أيام ...Artinya:“…Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan(musafir) hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain…”
Demikian pula dalam bidang muamalah diperbolehkannya berburu
binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual
beli pesanan (bay’ al-salâm), kerjasama dalam pertanian (muzâra’ah) dan
perkebunan (musaqah). Semuanya disyariatkan oleh Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar al-Maslahah al-Khamsah diatas.
c. Maslahah Tahsîniyah
Maslahah tahsîniyah adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat darûri, juga tidak sampai tingkat hâjîy,
namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk
tahsînî tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.31
Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan
tingkatan peringkat kekuatanya, yang kuat adalah maslahah darûriyah,
kemudian maslahah hâjiyah dan berikutnya maslahah tahsîniyah. Darûriyah
yang lima juga ada berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan
31Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.328.
31
adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan
ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya, dalam hal
ini harus didahulukan darûri atas hâjiy dan didahulukan hâjiy atas tahsîni.32
3. maslahah ditinjau dari segi kandunganya
dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membagi
maslahah kepada:
a. Maslahah al-Ammah
Mashlahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat
atau kebanyakan umat.
Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang
dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Maslahah al-Khasah
Maslahah al-Khasah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang
sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud)33
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan
prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum
32Ibid., h.328-329.
33 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh , h.116-117
32
bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua
kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari pada
kemaslahatan pribadi.
4. Maslahah diinjau dari segi berubah atau tidaknya.
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, ada dua bentuk, yaitu:34
a. al-Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya, kewajiban ibadah, seperti shalat,
puasa, zakat dan haji.
b. al-Maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan
seperti ini berkaitan dengan permasalahan mua’malah dan adat kebiasaan,
seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk
memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
C. Syarat berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai
hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena
dikwatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa
nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan dalam
mepergunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:
34Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h156, Lihat juga:Nasrun Haroen, Ushul
Fiq , h.117.
33
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.
Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum
suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau menolak
madarat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu
mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah
yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah
didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan. Contoh maslahah ini ialah
maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan
istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam
segala keadaan.
2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat
perorangan. Yang dimaksud dengan ini yaitu, agar dapat direalisir bahwa
dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan manfaat
kepada umat manusia, atau dapat menolak madarat dari mereka, dan bukan
hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja.
Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat disyariatkan sebagai sebuah
hukum.
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau
prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa
maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu sejalan dengan
tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada.
34
4. Diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak
diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup,
dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.35
Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah
sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja
mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang
begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya
kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan
2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslim
secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan
tertentu.
3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’î (pasti) atau mendekati itu.36
Sedangkan Imam Syatibi tidak mengharuskan hal-hal yang disyaratkan oleh
Imam Ghazali, tetapi mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam
ketika memutuskan hukum berdasarkan maslahah mursalah, yaitu:
1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan kepada akal, akal dapat
menerimanya. Namun tidak boleh menyangkut hal-hal ibadah.
35Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhh. 145-146, Lihat Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,
h.337, Lihat juga: Mukri Aji, Jurnal Ahkam, h.41-42, dan Lihat: Romli, Muqaranah mazahib, h.165-166.
36Yusuf Qardhawi. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet I, h.24.
35
2. Secara keseluruhan, harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana tidak
menghilangkan satu dasarpun dari dasar-dasar agama, dan satu dalilpun dari
dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang
menjadi tujuan dari syariat, meskipun tidak ditemukan dalil khusus yang
menerangkannya.
3. Maslahah mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang
bersifat vital atau menghilangkan kesulitan dan hal-hal yang memberatkan di
dalam agama.37
Selanjutnya Imam Malik, dalam mempergunakan pemakaian maslahah
mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja
mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang
begitu ketat, syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Adanya kesesuaian antara mashlahat yang diperhatikan dengan maqasid al-
syariah, dimana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil
syara’ meskipun hanya satu.
2. Mashlahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional),
yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat,
sehingga tidak ada tempat untuk maslahat dalam maslahah ta’abbudiyah dan
perkara-perkara syara’ yang sepertinya.
37Yusuf Qardhawi alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode
Praktis Mempelajari Fikih .(Jakarta: Pustaka al-Kautsar , 2001), cet. I h.91.
36
3. hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan tehadap
perkara yang darûri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan
dalam agama.38
Bila kita perhatikan syarat-syarat maslahah mursalah diatas terlihat bahwa
ulama yang memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah
cukup hati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun juga apa yang
dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapakan suatu hukum dalam hal-hal
yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.39
D. Metode Analisa Maslahah Mursalah
Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, maslahah juga merupakan
metode pendekatan istinbath (penetapan hukum) yang persoalannya tidak diatur
secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Maslahah mursalah adalah
kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari
kebinasaan, untuk suatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit dalam
al-Qur’an, akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang
diungkapkan secara induktif oleh al-Qur’an dalam suatu perbuatan yang berbeda-
beda. Dalam konteks ini, ayat al-Qur’an tidak berperan sebagai dalail yang
menunjukkan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi atas kebenaran fatwa-
38Wahidul Kahar,” Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”,
(Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003), h.35-36.
39Ibid., h. 36.
37
fatwa hukumnya tersebut. Dengan demikian, sistem analisa tersebut dibenarkan
karena sesuai dengan kecendrungan syara dalam penetapan hukumnya.40
Pendekatan maslahah mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan
perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui sistem analisa induktif
terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun
memperlihatkan subtansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi subtansinya
itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan kesimpulan induktifnya,
sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah mursalah yang
merupakan kaidah kulli.41
Husein Hamid Hasan menyimpulkan, bahwa sistem analisa maslahah
mursalah tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’î. Dengan
demikian, sistem analisanya sama dengan sistem analisa qiyâs, bahkan lebih kuat
dari qiyâs, karena pola qiyâs adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya
didukung oleh satu ayat atau nash. Sedangkan pada sistem analisa maslahah
mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau nash akan tetapi nash
atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil terhadap ketetapan hukumnya
namun dijadikan sebagai saksi atas kebenaran fatwa hukum tersebut. Selain
diambil makna subtansi ajarannya sebagai premis-premis dalam pengambilan
40Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) h.113. 41 Ibid., h. 115
38
kesimpulan induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang
maslahah mursalah tersebut.42
Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqh menerima pendekatan maslahah
dalam metode kajian hukumnya43. Namun pendekatan ini cendrung telah menjadi
identitas fiqh mazhab maliki, dimana fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan
senantiasa beranjak dari pertimbangan kemaslahatan. Ada beberapa argumentsi
yang dikemukakan para ulama Malikiyah tentang penggunaan pendekatan
maslahah dalam metode kajian hukumnya, yaitu:44
1) Bahwa para sahabat Nabi saw. Memperlihatkan sikap orientasi kemaslahatan
dalam berbagai tindakan dan perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun
dan menulis kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh kedalam mushaf-
mushaf, serta meyebarluaskannya pada masyarakat.
2) Bahwa selama maslahah berjalan selaras dengan maksud syar’I dalam
penetapan hukum, maka ia akan sesuai pula dengan kehendak syar’I terhadap
para mukallaf. Dengan demikian, mengabaikan kemalahatan sama artinya
mengabaikan kehendak syar’I.
3) Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek kemalahatan, maka
setiap mukallaf akan menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupannya.
42 Dede Rosyada, metode kajian hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta:Logos, 1999) cet. I, h.
71 43 Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami wa Najmu al-Din al-Thufi, kaherah, dar al-
Fikr al-Arabi, 1964 hal. 48 44 Dede Rosyada, metode kajian hukum, h. 68
39
Mustafa Zaid mengemukakan beberapa argumentasi penggunaan maslahah
mursalah dalam kajian hukum, sebagai berikut:45
1) Bahwa tujuan diturunkannya Syariat adalah agar para mukallaf tidak
melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena
jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan
dihadapkan pada mafsadat (kerusakan).
2) Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan selalu terdapat
aspek maslahat atau mafsadat. Memelihara atau mewujudkan aspek maslahat
merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang baik di
dunia dan di akhirat.
3) Kebanyakan maslahat atau mafsadat di pengaruhi oleh perkembangan
kondisional. Oleh karena itu, kajian maslahah harus dilakukan secara kontinyu
dengan senantiasa memperhatikan perkembangan kondisi masyarakat.
Sedangkan menurut Imam Syatibi, sebagaimana dikutif oleh Husein Hamid
Hasan, ada beberapa kaidah yang bisa digunakan oleh para ulama dalam
melakukan analisa maslahah mursalah,46 yaitu:
1) Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya. Kaidah ini dirumuskan
setelah memperhatikan beberapa ketentuan hukum, antara lain Allah SWT
mengharamkan setiap mukallaf untuk mendekati zina (khalwat). Kedudukan
hukum khalwat yang merupakan penyebab terjadinya perzinaan, dalam
45 Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, h. 50 46Husein Hamid Hasan, Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Beirut, Dar al-Nahdah
al-arabiyah, 197), h.65-92, lihat juga Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, h.115-116
40
konteks ini, sama dengan hukum perbuatan zina itu sendiri yang merupakan
musabab dari khalwat.
2) Mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan khusus. Kaidah
ini dirumuskan dengan memperhatikan beberapa norma hukum antara lain,
larangan terhadap orang kota untuk membeli barang produk-produk orang
desa di desa mereka, jika orang desa tersebut tidak mengetahui perkembangan
harga pasar.
3) Menghindari kemudharatan yang lebih besar. Kaidah ini dirumuskan setelah
memperhatikan beberapa ayat atau nash yang memerintahkan uamat islam
untuk berjihad di jalan Allah, meskipun harus melalui peperangan.
4) Memelihara jiwa. Kaidah ini di rumuskan setelah memperhatikan berbagai
norma hukum yang mewajibkan orang islam membayar zakat untuk
didistribusikan pada fakir miskin. Secara subtansial kaidah tersebut
merefleksikan semangat ajaran Islam untuk memelihara jiwa dan kehidupan.
5) Menutup peluang-peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Kaidah ini
dirumuskan sebagai implikasi dari kaidah-kaidah maslahah mursalah yang
telah dirumuskan diatas.
E. Objek Maslahah Mursalah
Tidak seorangpun yang menyangkal bahwa syari’at Islam dimaksudkan untuk
kemaslahatan umat manusia. Syari’at itu membawa manusia kepada kebaikan dan
kebahagian serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.
41
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syari’at
dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad saw. Alat dan
cara untuk memperoleh kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam,
seirama dengan perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri.
Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondissi
di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan teks syari’at kalau
itu dibenarkan dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahat yang dibatalkan
berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariat.47
Yang menjadi masalah ialah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang
setelah Nabi wafat, sedang teks sayari’at tidak pernah menyinggung masalah yang
seperti itu. Inilah objek atau lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu
kemaslahatan hidup manusia menurut yang dilami dan dirasakan oleh manusia itu
sendiri yang tidak dapat di qiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan atau
dibatalkan oleh teks syari’at (nash).48
Objek atau ruang lingkup penerapan maslahah mursalah menurut ulama yang
menggunakannya itu menetapkan batas wilayah dan penggunaannya, yaitu hanya
untuk masalah diluar wilayah ibadah seperti mua’malah dan adat. Dalam masalah
ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslahah tidak dapat dipergunakan secara
keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal
47 Chatib Muardi. Maslahah Mursalah Sebagai Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan Hukum yang Relevan dengan Kebutuhan Masa Kini. (Disertasi, Pascasarjana IAIN Jakarta, 1994), h.366.
48Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h.42.
42
tentang baik buruk suatu maslahah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu
untuk masalah ibadah.49
Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abudî dan tawqîfî, yang mempunyai
pengertian kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan pertunjukan
syar’I dalam nash. Dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian,
misalnya mengenai shalat dzuhur 4 rakaat dan dilakukan setelah tergelincir
matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.50Sedangkan segala
bentuk perbuatan diluar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak
dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqqulî
(rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal,
umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal, penetapan
sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari
kerusakan akal yang dapat mengarah pada tingkat kekerasan.51
Contoh penggunaan maslahah mursalah antara lain: Sahabat Utsman bin
Affan mengumpulkan al-Qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal hal ini tak
pernah dilakukan dimasa Rasulullah saw. Alasan yang mendorong mereka
melakukan pengumpulan-pengumpulan itu tidak lain semata-mata maslahat, yaitu
49Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.340.
50 Ibid., h. 340. 51Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h. 340- 341, lihat pula Sulaiman Abdullah, Sumber
Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 154; Departemem Agama RI, Ushul Fiqh I (t.th) h,. 149.
43
menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena
meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.52
Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum ulama-ulama
saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak
dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, misalnya;
fatwanya tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk makanan, minuman dan
kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya
secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini
merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia (khususnya umat
Islam) dari makanan, minuman dan obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal
untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi yang lainnya.53
Contoh lainnya dari penerapan maslahah mursalah dalam problematika
kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nas al-Qur’an dan al-
Sunnah, yakni mengenai pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh, tentang
pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan
besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu
penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam
Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban,
kepastian hukum, dan mencegah terjadinya perkawinan monogami atau poligami
52 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 222. 53Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 46-
47.
44
yang liar. Oleh karena dengan pertimbangan maslahah mengharuskan adanya
pencatatan perkawinan seperti tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI. Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI jelas-jelas disebutkan
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat”.54
Bila di perhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat,
tabiin dan ulama-ulama itu, semuanya adalah merupakan hasil ijtihâd dengan
pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah
tersebut.55
54Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian
terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/
55 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 49.
45
BAB III
WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata
“waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap
berdiri”. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu-
tahbisan”.1
Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ para ahli fiqh dalam tataran
pengertian wakaf yang lebih rinci terdapat beragam pengertian, di antaranya yaitu:
1. Menurut Abu Hanifah
Abu Hanifah mendefinisikan, “wakaf adalah menahan materi harta yang tetap
menjadi milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya untuk tujuan-tujuan
kebaikan pada waktu seketika atau pada waktu yang akan datang”.2
2. Menurut Imam Malik
Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa
atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (mauquf alaih) dalam
1Sayyid Sabiq. alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk Fikih Sunnah, (Bandung:Al-
Ma’arif,1996), Jilid ke-14, cet. ke-8.h.148. 2Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet. ke-2,
h.243-244.
46
bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh orang yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif).
3. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal
Definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan.3
4. Menurut Mazhab Imamiyyah
Definisi wakaf menurut mazhab ini hampir sama dengan definisi wakaf
menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, namun mereka berbeda dari
segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf
a’laih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf a’laih tidak berhak melakukan
suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau
menghibahkannya.4
Selain definisi yang terdapat menurut fiqh klasik, khusus di Negara kita
Indonesia ini terdapat rumusan wakaf menurut hukum positif diuraikan sebagai
berikut:
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria Bagian XI pasal 49 ayat 3 telah disebutkan bahwa:
“ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah”.
3Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.3.
4Ibid ., h.3-4.
47
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
telah dicantumkan dalam Bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa, “wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaan yang berupa tanah mililk dan melembagakannya untuk selama-
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam”.
Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada Bab I Pasal
215 ayat 1 disebutkan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah
atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan definisi wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf pasal 1 ayat(1). Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang
wakaf melalui rapat komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 mei
2002, bahwa wakaf adalah: “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap
bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
48
benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.5
Dari definisi diatas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu
eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun faedah atau
manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya,
sedangkan hak kepemilikanya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan,
serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk
tujuan amal saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan
harta wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau
dipindah tangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga.
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari
pemahanman teks ayat al-Qur’an dan juga Sunnah. Tidak ada dalam ayat al-
Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Namun yang ada
adalah pemahaman konteks terhadap ayat al-Qur’an yang dikategorikan sebagai
amal kebaikan. Ayat-ayat yang dijadikan landasan hukum adanya wakaf adalah
sebagai berikut:6
وحفلت لكملع ريا الخلووفع كمبا رودباعا وودجاسا ووكعا ارونءام نيا الذهأ ين ي )۲۲:۷۷/احلج(
5Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.163
6Ibid., h. 23-24
49
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”(Qs: Al-Haj/22:77)
ال (تنا لوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شىء فإن الله به عليم نل
)۳:۹۲/عمرن
Artinya: “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”.(QS al-Imran/3:92)
ون امقوفني نيثل الذل لامبيى سف مائة هم لةبنى كل سابل فنس عبس تتبأن ةبثل حكم الله
)۲:۲٦١/البقرة(و الله واسع عليم حبة و الله يضعف لمنيشآArtinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan(ganjaran) bagi siapa saja yang dia kehendaki. Dan Allah maha kuasa(karunianya) Lagi Maha Menngetahui”.(QS al- Baqarah/2:261)
Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa Hadits
Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah. Dalam sebuah hadits Nabi
Muhammad saw disebutkan bahwa :
اذا ما ت ابن :ى اهللا عليه وسلم قا للسو ل اهللا صان ر رضي الله عنه عن ا بي هريرةا لهمع قطعنا مالاد ثال ث نجا, م قةدرصةي ,او به فعتنلم يع او و له وعدح يصال لد
٧)رواه مسلم(
7Imam Abu al-Husain Muslim al-Hijaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadits al-Qahirah, 1994), jilid 6, cet.ke-1, h.95.
50
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anak adam(manusia) meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariah(wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya”. (HR. Muslim)
Adapun penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikemukakan
didalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan
wakaf. Sebab pahala wakaf akan tetap mengalir walaupun pewakaf tersebut telah
meninggal dunia selama harta wakaf tersebut masih ada dan digunakan sesuai
dengan keinginan si wakif.8
Selain ada hadits Nabi yang dipahami secara tidak langsung terkait masalah
wakaf, ada beberapa hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya
ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang
ada di khabair:
ر فأتي النبي صلى اهللا بارضا بخي عمر ا صا ب: عن ابن عمر ر ضي اهللا عنهما قا ل أ متسي لمس و هليها فقا لعيف هي ا:رن ل هللا اوسيا رضا بخار تبما ال ص باص لم ربي
ان : اهللا صلى اهللا عليه وسلمين به فقال له رسول هو انفس عندي منه فما تأمر قطسبح ئتشلها واص بهات قتدصت .باعالي هأن رمبهاع قدصقال فت لها والاصتبياع
قال فتصدق عمر في الفقراء وىف القرىب وىف الرقاب وىف سبيل اهللا . واليهبواليرث مطعي او ف رعلمها بانأكل مها ان ييلو نم لىع احنال ج فيالضل وبين السابو
٩)رواه مسلم(ري متول فيه صديقا غ
8Imam Muhammad Ismail Kahlani, Subulus Salam, (Bandung:Dahlan, 1982) jilid 3 h 87. 9Muhammad Nashirudin al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut:al-Maktab al-
Islami,t.t) no hadits 1003, h. 701.
51
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di khabair, kemudian dia menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di khabair, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan sedekah hasil tanah tersebut dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik(sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta dan memberimakan kepada temannya sekedarnya”. (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits lain disebutkan:
قال عمر للنبي صلى اهللا عليه و سلم ان ما ئة شهم ا لتي لي : عن ابى عمر قا ل قدصان ات تدار ها قدنم ليا جبالا قط اعم باص لم ربيابخلي , بهبي صفقا ل الن
لمس و هلياهللا ع : هت رل ثمبس ا ولهاص بسحرواه البخري و مسلم(ا(
Artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi SAW, saya mempunyai seratus dirham saham di khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkan. Nabi SAW mengatakan kepada umar: tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah fi sabilillah”.(HR. Bukhari dan Muslim).10
Dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyinggung
tentang wakaf tersebut Nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali
hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber hukum tersebut.
Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan
10Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia, h.26.
52
ta’âbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat,
peruntukan dan lain-lain Oleh sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf
dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad
seperti qiyâs, maslahah mursalah dan lain-lain. Khusus pada skripsi ini metode
ijtihad yang digunakan adalah maslahah mursalah.11
Sedangkan mengenai dasar hukum wakaf menurut undang-undang no. 41
tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan dalam Bab II Dasar-dasar wakaf pasal 2 dan
pasal 3 yang bunyinya sebagai berikut: pasal 2 wakaf sah apabila dilaksanakan
menurut syariah. Pada pasal 3 wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum wakaf
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf sesuai dengan dasar hukum
menurut hukum Islam yang telah dipaparkan diatas.
B. Rukun dan Syarat Wakaf
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan
tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka dalam memandang subtansi
wakaf. Pengikut Hanafi memandang bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas shigat
(lafal) yang menunjukan makna/subtansi wakaf. Karena itu, Ibn Najm pernah
11Ibid., h. 27.
53
mengatakan bahwa rukun wakaf adalah lafal-lafal yang menunjukan terjadinya
wakaf.12
Berbeda dengan Hanafiyah. Pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan
Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri dari:13
1. Waqif (orang yang berwakaf)
2. Mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf)
3. Harta yang diwakafkan
4. Lafal atau ungkapan yang menunjukan proses terjadinya wakaf
Berkaitan dengan hal ini, Al-Khurasyi mengatakan bahwa rukun wakaf ada
empat, yaitu barang yang diwakafkan, shigat (lafal), wakif, dan mauquf alaih.
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
dalam pasal 6 disebutkan bahwa wakaf dilaksanakan apabila telah memenuhi
unsur wakaf sebagai berikut:
1. Wakif
2. Nazhir
3. Harta benda wakaf
4. Ikrar wakaf
5. Peruntukan harta benda wakaf
6. Jangka waktu.
12Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf:Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta, Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf diterjemahkan dari Hikam al-Waqf Fi al-Syari’ah Islamiyah, (Jakarta:IIMaN, 2004), cet. ke-1, h.86
13Ibid., h.87
54
a. Wakif
Para ulama mazhab sepakat bahwa, sehat akal merupakan syarat sah
melakukan wakaf. Selain itu mereka juga sepakat bahwa, baligh merupakan
persyaratan lainnya. Ditambah lagi dengan syarat orang yang merdeka (bukan
budak) dan memiliki kemampuan untuk bertindak hukum atas harta (cakap
hukum)14. Wakaf juga harus dilakukan secara suka rela, tidak karena dipaksa.15
Menurut Undang-undang no. 41 tahun 2004, pasal 1 ayat (2), yang
dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya,
wakif meliputi:
1) Perseorangan
Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
persyaratan:
a. Dewasa
b. Berakal sehat
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
d. Pemilik sah harta benda wakaf
2) Organisasi
14Juhaya S. Praja, perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 54 15Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:Wijaya, 1954), h. 304-305
55
Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi
sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan
3) Badan hukum
Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan.
b. Nazhir
Pasal 1 ayat (4) mengatakan bahwa, yang disebut sebagai nazhir adalah
pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir meliputi:
a) Perseorangan
Perseorangan hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1. Warga Negara Indonesia
2. Beragama Islam
3. Dewasa
4. Amanah
5. Mampu secara jasmani dan rohani
6. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
b) Organisasi
Organisasi hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
56
1. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan
2. Organisasi yang bergerak dibidang social, pendidikan, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam
c) Badan hukum
Badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
1. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan
2. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Badan hukum yang bergerak dibidang social, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
c. Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa, harta benda wakaf adalah harta
benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat
diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
d. Ikrar wakaf
Menurut pasal 1 ayat (3), yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah
pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada
nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
57
Sedangkan dalam pasal 17di katakan bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh
wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi
dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar
wakaf oleh PPAIW. Dalam ikrar wakaf, saksi harus memenuhi persyaratan:
1. Dewasa
2. Beragama Islam
3. Berakal sehat
4. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
e. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 22 undang-undang wakaf disebutkan bahwa, dalam rangka
mencapai tujuan dan fungsi, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. Sarana kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan dan kesehatan
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak telantar, yatim piatu, beasiswa
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan
C. Macam-macam, Fungsi dan Tujuan Wakaf
1. Macam-macam Wakaf
Sepanjang perjalanan sejarah Islam, Wakaf terbagi kepada dua macam, yaitu
wakaf Ahli yang disebut juga wakaf keluarga, dan wakaf Khairi atau wakaf
umum.
58
a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu
seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf jenis ini (wakaf
ahli) diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan
keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.16
Pada perkembangannya selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini
dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum,
karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
wakaf oleh keluarga yang diserahkan harta wakaf. Dibeberapa negara
tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko dan Al-jazair, wakaf untuk keluarga
(ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dan berbagai segi, tanah-tanah
wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif.17 Untuk itu, dalam
pandangan Ahmad Azhar Basyir bahwa keberaadaan jenis wakaf ahli ini
sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.18
b. Wakaf Khairi
Yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukan
untuk amal kebaikan secara umum atau maslahah ‘ammah, yakni wakaf
yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebajikan umum).
16Sayyid Sabiq, Fiqhu sunnah, (Lebanon:Dar al-Arabi,1971), h 378 17Majalah pembimbing, No. 13/1977, h. 31 lihat juga Asaf AA Fyzee, 1966 h.79 18Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag
RI. Fiqih Wakaf, (Jakarta:Depag RI, 2006), h.15
59
Wakaf ini di tujukan kepada umum dengan tidak terbatas
penggunaanya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut
bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan
dan lain-lain. Misalnya mewakafkan sebidang tanah untuk membangun
masjid, rumah sakit, panti asuhan, atau mewakafkan suatu harta untuk
kepentingan sosial ekonomi orang-orang yang membutuhkan seumpama
fakir miskin, anak yatim, dan sebagainya.
Dan jika ditinjau dari penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak
terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat.
2. Fungsi wakaf
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 5
dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
Wakaf merupakan tindakan hukum suka rela yang amat dianjurkan sebagai
manifestasi rasa syukur atas anugerah rezeki yang diterima oleh seseorang dan
difungsikan untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dalam pelaksanaannya,
agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek wakaf hendaknya
didaya gunakan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaannya. Untuk itu
60
diperlukan nazhir yang professional dibidangnya dengan mengedepankan
prinsip ajaran Islam.
Dengan adanya nazhir yang professional tersebut diharapkan objek wakaf
yang masih banyak terbengkalai serta belum optimal pemanfaatannya dapat
lebih produktif sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan bangsa serta dapat mencegah timbulnya
permaslahan atau sengketa yang dapat timbul di kemudian hari.
3. Tujuan wakaf
Wakaf adalah berdasarkan ketentuan agama dengan tujuan taqarrub
kepada Allah SWT untuk mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya. Mewakafkan
harta benda jauh lebih utama dan lebih besar pahalanya dari pada bersedekah
biasa, karena sifatnya kekal dan manfaatnya pun lebih besar, pahalanya akan
terus mengalir kepada wakifnya meskipun dia telah meninggal. Peranan harta
wakaf sangat besar bagi pembangunan Negara.19 Tujuan wakaf berdasarkan
hadits yang berasal dari ibnu Umar ra. Dapat dipahami ada dua macam yakni:
pertama, untuk mencari keridhaan Allah SWT. Kedua, untuk kepentingan
masyarakat.
Sedangkan tujuan wakaf yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 41
tahun 2004 tentang Wakaf yang dijelaskan pada pasal 4, bahwa wakaf bertujuan
untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
19Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,(Jakarta:UI Press, 1998), cet.
ke-2, h.45
61
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal
22 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. Sarana dan kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c. Bantuan kepada fakir misikn, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat ; dan atau
e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta benda
wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Sedangkan
dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat
menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan
tujuan dan fungsi wakaf.
D. Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004
Gagasan dasar
Undang-undang ini lahir pada awalnya dilatar belakangi atas bergulirnya
wakaf tunai yang digagas dan didengungkan oleh Prof. M. A. Mannan (pakar
ekonomi Bangladesh), dimana wakaf tunai sebagai financial instrument, social
62
finance and voluntary sector bangking.20 Wacana wakaf tunai ini kemudian
berbuah inisiatif dari Derektorat pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI untuk
kemudian mengirim surat bernomor: Dt.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26
April 2002 kepada MUI mengenai perihal istifta tentang wakaf tunai. Pada tanggal
11 Mei 2002 MUI mengeluarkan fatwa bahwa wakaf tunai/uang hukumnya jawaz
(boleh.21)
Pasca lahirnya fatwa MUI tentang wakaf uang, pengembangan wakaf semakin
mendapat peluang legitimasi, paling tidak pada tataran landasan hukum
keagamaan ditandai dengan dimulainya wacana keberanjakan wakaf modern dari
fiqh klasik, bahkan dalam tataran lingkungan birokrasi pemerintahan yang ditandai
dengan political will dari Depag RI, dalam hal ini Derektorat Pengembangan Zakat
dan Wakaf kemudian mengusulkan pembentukan Badan wakaf Indonesia(BWI).22
Ide pembentukan BWI diusulkan oleh Mentri Agama secara langsung kepada
Presiden RI pada waktu itu, Hj. Megawati Soekarnoputri melalui surat No.
MA/320/2002 tertanggal 5 september 2002. Inisiatif pembentukan BWI berbuah
usulan dari Sekretariat Negara agar Depag RI mengirim surat izin prakarsa untuk
menyusun draft RUU Wakaf.
20Direktorak Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. (Jakarta:DEPAG RI, 2006),h.1.
21Ibid.,h.9-15. 22Ibid.,h.15-16.
63
Langkah yang kemudian disiapkan oleh Direktorat Pengembangan zakat dan
wakaf cq. Mentri Agama adalah mengirim surat bernomor: MA/451/2002 tanggal
27 Desember 2002 kepada Mentri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia perihal izin
prakarsa RUU Wakaf. Di samping itu Mentri Agama juga mengirimkan surat
kepada Presiden bernomor: MA/25/2003 tertanggal 24 Januari 2003 perihal
permohonan perersetujuan prakarsa RUU Wakaf. Baik MenKehHAM pada
tanggal 10 Februari 2003 maupun Presiden pada tanggal 7 Maret 2003, menyetujui
prakarsa RUU Wakaf tersebut.23
Pengajuan RUU Wakaf Kepada Presiden
Setelah semua konsep RUU Wakaf disempurnakan, maka RUU Wakaf
dikirim ke Presiden RI tahap pertama tanggal 18 juni 2003 dan tahap kedua
tanggal 5 Januari 2004. Dua tahap ini terjadi akibat dalam prosesnya di Seketariat
Negara beberapa kali RUU Wakaf ini dikembalikan untuk digodok dan dikaji
ulang, agar lebih matang sebelum diajukan ke DPR RI.
Dalam surat yang pertama, Mentri Agama menyampaikan telah disiapkannya
RUU Wakaf oleh Tim yang terdiri dari unsur Depag, Depkeh , HAM, Sekretariat
Negara, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bank Indonesia (BI), Universitas
Indonesia (UI), dan para pakar diberbagai bidang. Kemudian dalam surat yang
kedua disebutkan RUU Wakaf telah disiapkan oleh Tim yang lebih lengkap
dengan tambahan: Mahkamah Agung, Depkeu (Ditjen Pajak), Depdagri, Depsos,
23Ibid.,h.20-35.
64
Menko Kesra, PBNU, PP Muhamadiyah dan MUI Pusat. Setelah semua konsep
RUU Wakaf dirumuskan ulang dan dikirim kembali ke Presiden RI, Presiden
kemudian mengeluarkan amanatnya berdasarkan surat nomor: R.16/PU/VII/2004
tertanggal 9 Juli 2004 yang ditunjukan kepada Depag RI, dan menugaskan Mentri
Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al- Munawar, MA. Guna mewakili
pemerintah dalam pembahasan RUU Wakaf di DPR RI.24
Proses Pembahasan dan Pengesahan di DPR RI
DPR RI, dalam hal ini panitia kerja (panja) dari komisi VI25yang ditugaskan
menggodok RUU Wakaf, melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ormas Islam; MUI Pusat, NU,
Muhammadiyah, Persis, dan Al-Washliyah, tanggal 26 agustus 2004.
2. Rapat Dengar Pendapat umum (RDPU) dengan BAZNAS/LAZNAS;
BAZNAS, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Al-Falah, LAZ Pos Keadilan
Peduli Umat (PKPU).
3. Rapat Kerja dengan Menag RI, tanggal 6 September 2004.26
Pembahasan di Tingkat Panja Komisi VI DPR RI
Peserta pembahasan RUU wakaf terdiri dari tiga unsur: 1) Anggota Panja
Komisi VI DPR RI; 2) Pihak pemerintah adalah Depag RI, dalam hal ini adalah
24Ibid.,h.79-83 25Salah satu komisi di DPR RI periode 1999-2004 yang membidangi keagamaan,
pendidikan,social kemasyarakatan, dan olah raga.
26Ibid.,h.85-99.
65
Direktorat Jendral Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bangzawa), dan Kepala
subdit Direktorat Pemberdayaan Wakaf; 3) Tim pendamping pemerintah; NU,
Muhammadiyah, MUI Pusat, Universitas Indonesia, Depkeh HAM, Bank
Indonesia, Badan pertanahan Nasional, notaries, dan ahli bahasa.27
Dalam setiap pembahasan dipimpin oleh salah seorang dari unsur pimpinan
komisi VI, yaitu: H. Taufiqurrahman saleh, SH (Ketua Komisi), Prof. Dr. H.
Anwar Arifin, Dra. Hj. Soepami, dan Dra. Hj. Khadijah Saleh (Wakil Ketua).
Mekanismenya adalah pimpinan rapat membacakan pasal perpasal dan ayat per
ayat untuk kemudian memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk
berpendapat atau memberikan usulan. Namun, jika dalam proses perdebatan
fraksi-fraksi mengalami perselisihan yang membutuhkan penjelasan, maka
pimpinan sidang mempersilahkan wakil pemerintah untuk menguraikan maksud
dan subtansi yang dimaksud.28
Berikut beberapa isu yang menjadi perdebatan diantara para anggota fraksi:
a. Posisi pemerintah yang tidak boleh berperan terlalu besar;
b. Wakaf ahli/dzurri dan Wakaf khairi;
c. Syarat-syarat nazhir yang berbentuk organisasi;
d. Benda wakaf bergerak berupa uang dan selain uang;
e. Peran LKS;
f. Peran notaries;
g. Hak istimewa BWI;
27Untuk lebih rinci lagi lihat ibid.,h.116-117. 28Ibid.,h.117-118
66
h. Pembinaan dan pegawasan;
i. Ketentuan pidana
Rapat Paripurna DPR RI dalam Pengambilan Keputusan RUU Wakaf
Berikut penulis lampiran pandangan berbagai fraksi dalam rapat paripurna
DPR RI terhadap RUU Wakaf; Fraksi-fraksi yang setuju RUU Wakaf menjadi
UU, adalah: Fraksi Partai Golkar(FPG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesi
Perjuangan (FPDIP), Faraksi Partai Persatuan Pembanguna (FPP), Fraksi
Reformasi (FR), Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB), Fraksi TNI/POLRI, Fraksi
Persatuan Daulat Umat (FPDU), Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia
(FKKI). Adapun Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) menyatakan setuju, dengan
beberapa catatan.29
Pengundang Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini disahkan oleh Presiden
Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 dan
diundangkan oleh Mensesneg, Prof. Dr. Yusril Ihza mahendra yang dicatat dalam
Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor kepemimpinan,159.30Undang-Undang
ini selama proses penyusunan, penyempurnaan, pengajuan, pembahasan di DPR
RI, dan pengesahan oleh Presiden RI memakan waktu selama satu setengah tahun
dengan proses pembahasan sebanyak 48 kali.
29Catatan dari FKB:1) Masalah pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf harus mendapatkan perhatian yang serius;2) semua pihak yang terelibat dan berkompeten dengan urusan wakaf , dapat meneysuaikan diri dengan ketenyuan yang baru;3)Pemerintah segera mensosialisasikan UU ini; 4) Diperlukan keterlibatan dan partisipasi dari semua pihak kalangan professional. Ibid.,h.196-197.
30Ibid., h.217.
67
67
BAB IV
KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH
A. Orientasi Maslahah
Sebagaimana telah di kemukakan dalam pendahuluan skripsi ini, bahwa
materi dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf banyak
mengandung unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan istislâh (metode
maslahah mursalah), hal mana Undang-Undang wakaf ini memuat aturan-aturan
yang tidak secara tegas di tunjukan oleh nash, baik al-Qur’an maupun sunnah, juga
tidak didapati dalam literatur fiqh. Secara materil pasal-pasal tersebut hanya
didasarkan pada pertimbangan dalam rangka mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan semata.
Setelah penulis mempelajari dan menganalisa pasal-pasal dalam Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, maka penulis mendapatkan beberapa
pasal yang berorientasi kepada maslahat tersebut, yaitu:
1. Penentuan persyaratan nazhir (pasal 10 )
2. Persyaratan dua orang saksi dalam ikrar wakaf (pasal 17 ayat (1) ) Pencatatan
ikrar wakaf ( pasal 17 ayat (2) ) dan (pada pasal 21)
3. Peruntukan harta benda wakaf (pasal 22)
4. Bentuk benda yang dapat diwakafkan (pasal 16) Wakaf uang dan sertifikat
wakaf uang (pasal 28 dan pasal 29)
5. Sertifikasi tanah wakaf (pendaftaran tanah wakaf) pada pasal 32
68
6. Perubahan Status Tanah Wakaf (pasal 41)
7. Lahirnya lembaga wakaf BWI (Badan Wakaf Indonesia) pasal 47
B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf
Secara konsepsi ajaran, wakaf di lihat dari beberapa ayat al-Quran dan Sunnah
Nabi tidak ada secara eksplisit menyebut tentang ajaran wakaf. Jika ada bersifat
umum. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi,
bukan ta'âbbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis
wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.1
Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu
menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidun sampai
sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan
menggunakan metode penggalian hukum (ijtihâd) mereka. Sebab itu sebagian
besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihâd, dengan
menggunakan metode ijtihâd seperti qiyâs, maslahah mursalah dan lain-lain.2
Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam
wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap
1Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.26.
2Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.63.
69
penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (berorientasi pada masa depan).
Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan
sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari mua’malah yang
memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi
lemah.3
Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan dalam bentuk
perundang-undangan yakni Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan (al-
maslahah al-mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan
umum (masyarakat banyak) jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, ini
sesuai dengan kaidah fiqih “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan
masyarakat berdasarkan kemaslahatan.” begitu pula materi dalam Undang-
Undang ini yang banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan
istislâh (maslahah mursalah) yang akan dibahas lebih lanjut.4
Sebagaimana telah disebutkan bahwa orientasi maslahat dalam Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf meliputi:
1. Adanya persyaratan nazhir. Kehadiran nadzhir sebagai pihak yang diberikan
kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun pada
3Ibid., h.63-64. 4Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009
dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/2330/36/lang,ar/
70
umumnya, kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah
satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah ibadah tabarru’
(perbuatan derma), namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk
nazhir wakaf, baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (badan
hukum)5
Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi
wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan, sehingga
berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu
sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syarat-
syarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana
mestinya.6 Dalam kitab al-fiqh al-Islâmî wa a’dillâtuhû, Wahbah Zuhaili
mengemukakan syarat-syarat nazhir adalah:adil, cakap (mampu melakukan
perbuatan hukum) dan Islam. Sedangkan menurut al-Khatib as-Sarbini dalam
kitabnya fathul mu’în syarat-syarat nazhir wakaf itu adalah: adil, dan mampu.
Memang mengenai syarat nazhir sudah dibahas oleh ulama fiqih terdahu
Namun syarat-syarat yang disebutkan oleh ulama fiqh terdahulu jika mengacu
pada konteks kekinian kurang relevan karena jika syarat nazhir hanya itu tanpa
dibekali dengan kemampuan yang cukup maka belum mencukupi agar nazhir
wakaf bisa menjadi nazhir professional yang direkrut berdasarkan keahlian
5Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.50. 6Ibid., h.50
71
dalam bidang masing-masing yang akan mengembangkan wakaf. Oleh karena
itu dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf di atur
syarat-syarat nazhir baik yang berbentuk perseorangan, organisasi atau badan
hukum pada pasal 10 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf7.
Untuk lebih jelasnya, persyaratan nadzhir wakaf itu dapat diungkapkan
sebagai berikut:8
(a). Syarat moral
� Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah
maupun perundang-undangan Negara RI
� Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses
pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf
� Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha
� Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan
� Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual
(b). Syarat manajemen
� Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership
� Visioner
� Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual social dan
pemberdayaan
7Untuk lebih jelasnya lihat Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 10. 8Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia, h.52.
72
� Professional dalam bidang pengelolaan harta
� Ada masa bakti nazhir
� Memiliki program kerja yang jelas
(c). Syarat Bisnis
� Mempunyai keinginan
� Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan
� Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya
entrepreneur
Dari persyaratan yang telah di kemukakan di atas menunjukkan bahwa
nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf,
dan dengan dipenuhinya syarat-syarat yang di sebutkan di atas diharapkan
nazhir wakaf yang selama ini tradisional mengarah pada nazhir professional
yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing.9
2. Adanya 2(dua) orang saksi wakaf dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar
wakaf. Disamping nazhir wakaf, hal yang tidak banyak dibicarakan dalam
kitab-kitab fiqh adalah mengenai masalah pentingnya saksi dalam wakaf dan
pencatatan wakaf. Boleh jadi pertimbangan para ulama, memandang wakaf
adalah ibadah tabarru’(derma), yang tidak perlu disaksikan oleh orang banyak.
Mengenai masalah pencatatan wakaf tidak/belum mendapat perhatian para
9Ibid., h.53.
73
ulama fiqh terdahulu ini dapat dipahami karena problema hukum waktu itu
tidak seperti kenyataan pada saat ini.10
Kebiasaan masyarakat Indonesia sebelum adanya UU No. 5 tahun 1960,
PP No. 28 tahun 1977, KHI buku III, dan Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf, dalam ikrar wakaf hanya menggunakan pernyataan lisan saja
yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagaman yang bersifat lokal, umat
Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafiiyah
sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya, menurut pandangan as-Syafi’i
pernyataan lisan secara jelas (sharih) termasuk bentuk dari pernyataan wakaf
yang sah, pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti
waqaftu, habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang di barengi dengan
niat wakaf secara tegas, sedang ulama fiqh yang lainnya tidak mensyaratkan
pernyataan wakaf secara lisan. Namun dari pandangan as-Syafi’i tersebut
kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan
lisan saja, namun bukan berarti orang yang hendak mewakafkan hartanya
dengan tulisan wakafnya tidak syah justtru pernyataan tulisan mewakafkan
sesuatu bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukan
wakafnya.11
10Didin Najmudin, Tinjauan Kaidah fiqhiyyah tentang konsep maslahat dalam Kompilasi
hukum Islam di Indonesia(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 200), h.74-75.
11Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia, h.38-39.
74
Dalam konteks kehidupan saat ini, suatu tindakan hukum seperti wakaf,
apabila tidak dibuktikan dengan surat-surat atau akta otentik, akan membuka
peluang yang lebih besar untuk disalah gunakan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah seharusnya wakif memperhatikan
upaya-upaya tertib hukum dan administrasi dalam rangka lebih
mengoptimalkan niat dan pelaksanaan wakaf itu sendiri yang sudah diatur
dalam Undang-Undang wakaf no. 41 tahun 2004 pada pasal 17 dan 21.
Urgensi saksi ini, pada hakekatnya untuk mengatantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua
pihak yang terkait dalam masalah wakaf.
3. Peruntukan harta benda wakaf. Secara garis umum, pihak yang menerima
wakaf adalah kebajikan umum dan tidak ditentukan secara lebih jelas oleh nash,
begitu pula halnya dengan peruntukan harta wakaf, namun wakaf itu sendiri
harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan oleh
syariat.12
Dalam kitab fiqih terdahulu tidak ada aturan mengenai peruntukan harta
wakaf, harta wakaf hanya ditujukan untuk kebajikan. Pada umumnya wakaf di
Indonesia digunakan untuk sarana ibadah seperti masjid, musholla, sekolah,
ponpes, yatim piatu, makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara
produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi
12Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.58.
75
pihak-pihak yang memerlukan khususnya kaum fakir miskin. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal tersebut tanpa diimbangi dengan
wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf, tidak akan dapat terealisasi
dengan optimal, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.41
tahun 2004 tentang Wakaf mengenai peruntukan harta wakaf.13
Dapat terlihat dengan jelas dalam Undang-Undang ini bahwasanya
peruntukan harta wakaf tidak hanya terbatas untuk sarana kegiatan ibadah saja,
tetapi juga untuk yang lainnya, wakaf juga bisa dijadikan sebagai lembaga
ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara
optimal. Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan
nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang
hidup dan harga diri bangsa.14
4. Berkembangnya bentuk benda yang dapat diwakafkan, bolehnya wakaf uang
dan sertifikat wakaf tunai, berbicara mengenai benda yang di wakafkan. Dalam
prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada
perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk
kepentingan konsumtif, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan
13UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 22. 14Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.3.
76
masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu untuk
pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.15
Mereka mempunyai pendirian yang kuat bahwa benda wakaf itu haruslah
benda yang tidak habis pakai, yang kekal abadi (tidak hancur). Mereka
berpendirian seperti itu karena sebagian besar umat Islam Indonesia berpegang
pada mazhab Syafi’i, walaupun Ulama’ Syafi’iyah pada dasarnya
memperbolehkan wakaf berupa benda bergerak dan tidak bergerak asal tidak
cepat habis (hancur) jika digunakan.16 Namun seiring dengan berkembangnya
zaman saat ini sedang berkembang wacana wakaf bergerak, seperti wakaf uang,
logam mulia, saham atau surat-surat berharga lainnya, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai ketentuan syariah, seperti
yang diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf.17
Pada saat ini, obyek wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak
tetap, sudah saatnya untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya
wakaf yang berupa tanah atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf
hewan untuk diternakkan, dan wakaf uang untuk modal investasi, sehingga
diharapkan kelaknya dapat menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika
disertai pengelolaan nazhir yang profesional. Hasilnya untuk dana
15Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.102. 16Abu Zahra, Ushul Fiqh I, h.104. 17UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 16 yat (1,2 dan 3)
77
pembangunan seperti untuk pembangunan jalan-jalan, selokan, tempat ibadah,
memajukan dunia pendidikan, dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup
masyarakat.18
Subtansi wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul, bahkan dalam kajian
fiqh klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revatilisasi fiqh muamalah
dalam perspektif maqâsid al-syarî’ah (filosofi dan tujuan syarit) yang dalam
pandangan Umar Capra bermuara pada maslahah mursalah (kemaslahatan
universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan
distribusi pendapatan dan kekayaan.19
Wakaf dalam bentuk uang di kalangan ahli fiqih klasik merupakan persoalan
ikhtilaf (masih diperdebatkan). Perdebatan ini tidak terlepas dari kebiasaan
yang lazim ditengah masyarakat. Ketika itu wakaf hanya menyangkut
harta/benda yang tetap saja. Ibn Abidin (1994) mengungkapkan, berdasarkan
kebiasaan yang lazim, sebahagian ulama masa silam merasa aneh saat
mendengar Muhammad bin Abdullah al-Anshari berfatwa tentang bolehnya
berwakaf dalam bentuk uang tunai baik dalam bentuk dinar atau dirham.
Bahkan dalam bentuk komiditas yang ditimbang atau ditakar (seperti bahan
sandang dan bahan pangan) juga boleh diwakafkan. Lebih lanjut al-Anshari
18Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian
terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/
19Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.112.
78
menambahkan dana wakaf itu diinvestasikan dengan cara mudhârabah, dan
labanya dishadaqahkan. Sedangkan komoditas dijual, dan harga penjualan yang
diperoleh diinvestasikan dan hasilnya dishadaqahkan.20
Disamping itu Ibnu Qudamah (tt), menemukan pendapat yang tidak
membuka peluang sama sekali untuk berwakaf dalam bentuk uang. Ibnu
Qudamah mengemukakan, sebahagian besar ulama yang tidak membolehkan
wakaf uang beralasan bahwa uang akan lenyap ketika dibayarkan. Sehingga
tidak ada lagi wujud asli wakaf tersebut. Ibnu Qudamah juga mendapati alasan
lain tidak dibolehkannya wakaf uang. Beliau mengemukakan dengan
mempersewakan uang untuk ditarik manfaatnya sama halnya dengan merubah
fungsi utama uang sebagai alat tukar. Sama pula halnya mewakafkan pohon
untuk jemuran, padahal fungsi utama pohon bukan untuk tempat menjemur
pakaian.21
Mengenai kebolehan wakaf dalam bentuk uang ini diungkapkan oleh Ibnu
Taimiyah (2000) dalam karyanya berjudul Majmu’ al Fatawa. Ibnu Taimiyah
mendapati ada satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang secara tegas
membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Pendapat serupa ditemukan oleh
Imam Bukhari (1994). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri
(wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-
20Suharwardi K Lubis, Wacana Wakaf Produktif dan Wakaf Uang. Artikel di akses pada 20
januari 2010 dari http://suhrawardilubis.multiply.com/journal/item/19, h.1 21Ibid., h.2
79
Hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar
dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan
pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang
tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan
keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh
Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga
membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur
meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan
dirham”22. Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam
melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf
uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa
MUI pada tanggal 11 Mei 2002.
Anwar Ibrahim menjelaskan bahwa MUI Pusat telah mengesahkan wakaf
uang berdasarkan keputusan Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002.
dalam fatwanya dikemukakan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dalam bentuk uang
tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Hukum
wakaf dengan uang itu dibolehkan (jaiz) asalkan nilai pokok wakaf uang itu
22 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.108-
109
80
tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan dan penggunaannya harus untuk
hal-hal yang dibolehkan oleh syara’.23
Selanjutnya dalam kaitan ini, bahkan M. Anwar Ibrahim lebih menekankan
pemberdayaan wakaf dengan uang, karena manfaatnya lebih besar dari pada
wakaf tradisional yang berupa benda tak bergerak atau benda bergerak. Di
samping itu, wakaf dengan uang lebih banyak dapat dilakukan. Jika wakaf uang
dapat dikelola secara profesional oleh nazhir sebagai lembaga pengelola wakaf,
maka akan menjadi modal usaha yang besar.24
Dengan demikian diaturnya benda wakaf bergerak seperti yang diatur dalam
Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 15-16 dan pengaturan
wakaf uang pada pasal 28-31, diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi
wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas.
5. Sertifikasi tanah wakaf (pendaftaran tanah wakaf), pada mulanya syariat Islam
tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pendaftaran tanah wakaf. Begitu
juga dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum adanya aturan
pemerintah untuk pendaftaran tanah wakaf.
23 Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian
terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/
24 Sebagaimana dikutip Barmawi Mukri dari Tabloid Jumat yang terbit tanggal 4 April 2003,
hlm. 4 dalam “Peranan Maslahah Mursalah dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal UNISIA, No. 48/XXVI/II/2003. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, h.208.
81
Sebelum adanya peraturan peundang-undang wakaf, perubahan status tanah
yang diwakafkan dapat dilakukan secara sepihak oleh nazhirnya, hal ini
disebabkan karena adanya beraneka ragam bentuk perwakafan,25 dan tidak
adanya keharusan mendaftarkan harta kepada pemerintah. Selain itu dalam
kondisi dimana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meningkat,
maka tanah wakaf yang tidak memiliki surat-surat dan tidak jelas secara
hukum, sering mengundang kerawanan dan peluang terjadinya penyimpangan
dan hakikat dari tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran agama.26
Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat dan
atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka hukum perwakafan di Indonesia
menuntut keharusan pendaftaran tanah wakaf. sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 32-39 , Pendaftaran
tanah wakaf ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban administrasi
perwakafan sehingga tanah-tanah wakaf tersebut memiliki status hukum yang
jelas dan dapat menjadi bukti otentik yang bisa menguatkan secara adminstratif
(hukum) apabila terjadi sengketa dikemudian hari tentang tanah yang
diwakafkan. Pendaftaran tanah wakaf sangat jelas mendatangkan maslahat bagi
tegaknya praktik wakaf, karena untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan
25 Beraneka ragam bentuk perwakafan yang dimaksud adalah:wakaf keluarga, dan wakaf
umum. 26 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.90-91.
82
dikemudian hari, yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak yang
bersengketa.27
6. Perubahan status tanah wakaf, dalam hal ini pertukaran benda wakaf, mengenai
boleh tidaknya pertukaran benda wakaf terjadi perbedaan pendapat ulama
dalam hal ini. Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta
wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau
tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian dari mereka ada yang “boleh” asal
diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan bahwa benda itu
sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak, golongan
Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya pertukaran maka benda
wakaf itu tidaka akan sia-sia.28 Imam Syafi’i berpendapat “tidak boleh” menjual
masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyah
berbeda pendapat tentang benda wakaf benda tak bergerak yang tidak
memberikan manfaat sama sekali: sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar
harta wakaf itu ada manfaatnya, dan sebagian lain menolaknya.29
Sementara itu kalangan mazhab Hanbali memperbolehkan penukaran harta
wakaf dalam kondisi yang sangat diperlukan. Yakni apabila hasil harta wakaf
itu telah berkurang dan ada kemungkinan untuk ditukarkan dengan yang lain
27Ibid., h.92. 28Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.67. 29Ibid .,h.67-68.
83
yang lebih bermanfaat dan produktif, tetapi tetap tidak boleh dijual. Dalam
kondisi lain, mereka membolehkan menjual masjid yang tidak memenuhi
kapasitas jumlah jamaah, sudah hancur, tidak dipergunakan lagi dan hasil
penjualannya dipergunakan untuk membangun masjid yang lain yang lebih
baik.30 Sedangkan mazhab Hanafi memperbolehkan penukaran harta wakaf.
Pendapat Imam Malik beserta pendukungnya dan Imam Syafi’i, nampaknya
menyebabkan kurang fleksibelnya pandangan masyarakat Indonesia yang
sampai saat ini banyak yang bersikukuh memeganginya. Akibatnya, banyak
benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya tanpa pengelolaan yan baik,
meskipun telah usang dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidak
memberi manfaat apa-apa kepada masyarakat.31
Padahal kalau kita mau meninjau ulang terhadap maksud hadits Nabi s.a.w
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ibn Umar bahwa
“harta wakaf tidak boleh dijual atau ditukarkan, dihibbahkan dan diwariskan
kepada orang lain (ahli waris)” adalah agar bagaimana harta yang telah
disedekahkan (diwakafkan) dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
masyarakat banyak. Seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hanbal, yang membolehkan menukar atau menjual harta wakaf yang sudah
tidak memilki nilai manfaat. Sehingga memberikan peluang terhadap
30 Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h.149-150 31 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.68
84
pemahaman baru, bahwa wakaf itu seharusnya lebih tepat disandarkan pada
aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum dibandingkan hanya menjaga
benda-benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan lebih nyata.32
Mengamati sejumlah pendapat diatas, pada prinsipnya para ulama
sependapat bahwa harta wakaf itu boleh ditukar atau di jual jika keadaan
menghendakinya, hanya saja di antara mereka ada yang membatasi secara ketat
yakni Imam Malik beserta pendukungnya dan juga kalangan Syafi’iyah, dan
ulama yang membatasi secara longgar yaitu mazhab Hanbali, sedangkan
kalangan Hanafiyah memberikan kelonggaran secara luas.33
Menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian Pertama, Pasal 11 ayat (2)
dan ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas terhadap tukar menukar
benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Mentri Agama RI dengan
dua alasan yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi
kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan
secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar menukar.34
Dan pada dasarnya kebolehan penukaran wakaf ini didasarkan pada prinsip
kemaslahatan (maslahah) yaitu meninggalkan ketentuan sunnah yang
32 Ibid.,h.68-69. 33Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.150-151. 34 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para
Digma Baru Wakaf di Indonesi, h.99-100.
85
menegaskan larangan menjual, atau menukarkan, menghibahkan atau
mewariskan, dan pengamalan prinsip-prinsip umum maqâsid al-syarî’ah yakni
memperbolehkan menjual barang wakaf untuk kepentingan yang lain lebih
manfaat, dan sesuai dengan situasi yang ada. At-Tuhfi dalam teori maslahahnya
menegaskan bahwa, apabila nash atau ijma bertentangan dengan kepentingan
masyarakat (maslahah) maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis nash
tersebut (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian dan penjelasan).35
7. Lahirnya Lembaga Wakaf Indonesia (BWI), jika selama ini wakaf hanya di
kelola oleh nazhir baik perseorang atau badan hukum, kali ini pemerintah dalam
hal ini yang tertuang dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 Wakaf,
membuat suatu inovasi membentuk lembaga wakaf nasional yang disebut
dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang telah diatur dalam Undang-
Undang ini dari pasal 47-61. BWI yang diamanatkan Undang-Undang
merupakan lembaga independen, yang akan berkedudukan di ibukota dan dapat
membentuk perwakilan di provinsi dan atau kabupaten/kota sesuai dengan
kebutuhan.36
Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi
pengelolaan secara nasional untuk membina para Nazhir yang sudah ada agar
lebih profesional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya,
35 Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.151-152. 36 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h. 97.
86
dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada
umat Islam dan masyarakat. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci,
selain Nazhir wakaf yang telah ada, dalam pengembangan wakaf di tanah air.37
Dari kesemua reformulasi konsep wakaf, pengembangan dan pembaharuan
yang telah dilakukan bukan berarti keluar dari koridor dan frame syariat.
Reformulasi yang demikian kalau mengutip pendapatnya Tahir Mahmood
disebut sebagai refurmulasi kategori extra doctrinal reform, yakni melakukan
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam yang beranjak dari fiqh Mazhab
dengan mengutamakan prinsip al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan) dan
siyasah syar’iyah (investasi negara).38
C. Analisis Penulis
Salah satu poin dari keistimewaan hukum Islam adalah bahwa hukum Islam
itu diterapkan berdasarkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun
diakhirat. Penalaran ijtihad yang menggunakan corak maslahah mursalah atas
dasar kemaslahatan yang tidak diakui dan juga tidak di tolak keberadaannya ini
banyak terjadi dalam masyarakat, sehingga seorang mujtahid dituntut untuk
menyelesaikan persoalan sebagai upaya pengembangan hukum. Maslahah
mursalah diakui jika berkaitan dengan maqâsid syarî’ah seperti syarat yang
ditetapkan oleh imam al-Ghazali, bahwa harus ada kesesuaian antara keduanya,
37 Ibid., h.104-105 38 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law
Institute, 1972). h. 267-269 lihat juga M. Atho Muadzar dan Khairuddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.h.208
87
dan maslahah itu harus logis dan bertujuan menghilangkan kesulitan umat
manusia.
Masyarakat berkembang selalui mengikuti perubahan zaman, karena itu
untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat, Islam datang
membawa ajaran dan prinsip dasar yang bisa ditafsirkan dan dikembangkan,
agar hukum Islam mampu merespon dan memelihara kemaslahatan hidup
masyarakat yang menjadi tujuan syariat Islam. Sebaliknya jika ajaran dan prinsip
itu tidak bisa dikembangkan dan ditafsirkan pada perkembangan masyarakat,
maka hukum Islam akan terkesan statis.
Wakaf diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan ta'abbûdi,
khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat,
peruntukan dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam
yang masuk dalam wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel,
terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (berorientasi
pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja,
wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari
muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam
pengembangan ekonomi lemah.
Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, terdapat banyak
paradigma baru mengenai wakaf yang didasarkan kepada kemaslahatan, yang
88
mungkin dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur mengenai peraturannya
dikarenakan belum berkembangnya, aspek wakaf itu sendiri. Sebagaimana telah
disebutkan diawal pembahasan bab ini pada dasarnya hadirnya Undang-Undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf itu sendiri merupakan penerapan dari
maslahah mursalah, oleh karena itu penulis ingin mencoba membahas beberapa
kandungan maslahah mursalah dalam UU Wakaf ini yang didasarkan atas asas
maslahah (kemaslahatan).
Adanya persyaratan nazhir. Seperti telah disebutkan sebelumnya nazhir
wakaf merupakan pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf. oleh
karena itu dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf hal tersebut
diatur dan diperketat dengan persyaratan nazhir yang tercantum pada pasal 10
tentang Nazhir. Menurut penulis adanya nazhir serta persyaratannya merupakan
ijtihâd ulama indonesia yang berlandaskan maslahah mursalah karena memang
tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut.
Sama halnya dengan persyaratan nadzir tidak ada nash atau hadits yang
mengatur mengenai masalah pentingnya adanya 2 orang saksi dalam ikrar wakaf
dan pencatatan ikrar wakaf, serta tidak banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
fiqh. Namun Islam juga tidak melarang adanya peraturan tersebut, dalam
Undang-Undang Wakaf ini diatur pada pasal 17 ayat (1) dan (2) dan pada pasal
21. Adanya aturan tersebut berlandaskan atas prinsip kemaslahatan, dan pada
hakekatnya agar mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari
89
yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam wakaf.
sehingga terjadinya tertib hukum dan administrasi dalam perwakafan
Tidak jauh berbeda dengan syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan
pencatatan ikrar wakaf Sertifikasi tanah wakaf, atau pendaftaran tanah wakaf
dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur. Kemungkinan besar, para ulama’
pada saat itu belum menganggap pendaftaran tanah wakaf itu penting dan
bermanfaat. Di sisi lain, pendaftaran tanah wakaf tidak dilarang dalam Islam,
bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban
administrasi dan, kepastian hukum dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan dikemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak
yang terkait dalam wakaf
Dalam hal syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar
wakaf, penulis berpendapat ini merupakan ijtihâd ulama agar terjadinya tertib
hukum dalam perwakafan berlandaskan maslahah mursalah karena memang
tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut.
Peruntukan harta wakaf, berkembangnya objek wakaf membawa dampak
pula bagi peruntukan harta wakaf, pada dasarnya tidak ada aturan secara jelas
dalam fiqh tentang peruntukan harta wakaf, sebagaimana telah diuraikan pada
point sebelumnya, dalam fiqh peruntukan harta wakaf selama untuk kebajikan
dan tidak keluar dari koridor syariat Islam itu dibolehkan, akan tetapi karena
objek wakaf dulu yang terkesan hanya berupa tanah atau bangunan (benda tidak
bergerak) maka peruntukan harta wakaf hanya bisa digunakan untuk sarana
90
ibadah saja seperti, mushola, masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya.
Padahal jika kita lihat dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
pasal 22. Peruntukan harta wakaf telah diatur dengan jelas sehingga harta wakaf
bisa berguna tidak hanya untuk aspek ibadah saja melainkan kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan ekonomi, dll, dan adanya peraturan peruntukan harta
wakaf ini tidak dilarang oleh Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang
banyak, sehingga penulis menganggap adanya peraturan peruntukan harta wakaf
ini merupakan ijtihâd ulama Indonesia (pembuat UU Wakaf) yang berlandaskan
maslahah mursalah.
Berkembangnya bentuk benda yang dapat di wakafkan serta kebolehannya
wakaf uang dan sertifikat wakaf uang. Permasalahan seperti ini dalam ayat
alQur’an dan Hadits tidak diatur secara ekplisit tetapi dalam pandangan ulama
fiqh termasuk yang di ikhtilafkan, alasan boleh tidak bolehnya wakaf tunai
berkisar pada wujudnya, apakah wujud uang itu setelah digunakan atau
dibayarkan masih ada seperti semula, terpelihara, dan menghasilkan keuntungan
lagi pada jangka waktu yang lama atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan diatas
bahwa penulis sendiri setuju dengan dasar berkembangnya objek wakaf yakni
benda bergerak dan dibolehkannya wakaf uang (cash waqf), tentu saja ini
merupakan terebosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan karena
wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupakan variable
penting dalam pengembangan ekonomi, dan dengan melihat kenyataan
masyarakat perkotaan saat ini tidak mungkin banyak tanah, maka dengan tidak
91
menunggu sebagai tuan tanah dulu, sehingga aturan ini membuka peluang bagi
mereka untuk mudah mewakafkan sebagian harta mereka, dan menurut penulis
adanya aturan ini berlandaskan atas kemaslahatan yang dalam kajian ushul
fiqhnya disebut maslahah mursalah.
Perubahan status tanah wakaf. Baik pertukaran benda wakaf ataupun
pertukaran fungsi dari benda wakaf itu sendiri. Mengenai hal ini dalam ayat al-
Qur’an tidak dijelaskan secara ekplisit, namun dalam hadits hadits Nabi s.a.w
dijelaskan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ibn
Umar bahwa “harta wakaf tidak boleh dijual atau ditukarkan, dihibbahkan dan
diwariskan kepada orang lain (ahli waris)” akan tetapi dalam pandangan fiqh
termasuk yang di ikhtilafkan, namun seperti yang telah dijelaskan pada poin
sebelumnya jika ditinjau ulang maksud dari hadits tersebut adalah agar
bagaimana harta yang telah disedekahkan (diwakafkan) dapat memberikan
manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak, oleh karena itu penulis setuju
dengan adanya pengecualian bolehnya berubahnya status tanah wakaf baik itu
bertukarnya benda wakaf ataupun berubahnya fungsi dari benda wakaf itu
sendiri, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf pasal 41 tentang pengecualian perubahan status tanah wakaf,
dalam hal ini ulama indonesia (pembuat UU Wakaf) dalam membuat aturan ini,
mengambil jalan dengan teori kebolehan sebagai jalan kemaslahatan. Sehingga
menurut penulis bahwa rumusan yang dikemas oleh para ulama ini berlandaskan
atas dasar maslahah mursalah.
92
Lahirnya Lembaga independen wakaf, jika selama ini wakaf hanya di kelola
oleh nazhir baik perseorang atau badan hukum, kali ini pemerintah membuat
suatu inovasi membentuk lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan
Wakaf Indonesia(BWI) yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun
2004 tentang Wakaf dari pasal 47-61. Pada dasarnya pembentukan lembaga ini
tidak ada aturannya dalam fiqh ataupun dilarang oleh Islam, atas dasar itu penulis
menganggap hadirnya lembaga indevenden ini justru akan membawa banyak
maslahat bagi perkembangan perwakafan indonesia.
Dari beberapa paradigma baru dalam wakaf yang terdapat dalam Undang-
Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf No. 41 tahun 2004 diatas, menurut
hemat penulis banyak dimasuki oleh unsur siyasah syariyyah, yang berlandaskan
maslahah mursalah, sehingga dapat disimpulkan banyak terdapat penerapan
konsep maslahah mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun
2004 tentang wakaf.
Dengan demikian, tindakan pemerintah yang mengatur masalah wakaf yang
dituangkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak
didasari pada semangat maslahah pada prinsipnya sejalan dengan kaidah
fiqhiyyah yang universal yaitu:
ما م على الرعيته منوط باملصلحةإل لتصرف ا
Artinya: “segala kebijakan Imam (pemerintah) terhadap rakyat yang dipimpinnya, terkait sepenuhnya dengan kemaslahatan.”
93
93
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan seluruh pembahasan, maka di bagian akhir skripsi ini ,
penulis menyimpulkan isi seluruh pembahasan tersebut sebagai berikut:
1. Salah satu metode pembentukan hukum yang banyak berperan dalam
pembentukan/perumusan undang-undang (qanun) dalam konteks nation state
adalah metode maslahah mursalah, maslahah mursalah adalah kemaslahatan
yang keberadaannya tidak disinggung oleh dalil-dalil tertentu, baik dalil-dalil
yang mendukungnya maupun yang menolaknya secara rinci, namun demikian
kemaslahatan tersebut sejalan dengan tujuan syara’ dan makna dari
sekumpulan nash (al-Qur’an atau al-Hadits). Sedangkan mengenai
kedudukan maslahah mursalah, pada dasarnya jumhur ulama sepakat bahwa
maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’
walaupun mereka berbeda pendapat dalam penerapan dan penempatan syarat
maslahah mursalah tersebut.
2. Adapun pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang
didasari atas maslahah mursalah baik itu pemalingan hukum dari Qiyâs yaitu
perubahan status tanah wakaf (pertukaran benda wakaf ataupun pertukaran
fungsi benda wakaf) dan adanya wakaf tunai. Serta memang dalam nash atau
dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur mengenai aturan tersebut, yaitu
94
meliputi adanya nazhir dan persyaratannya, adanya 2 orang saksi dalam ikrar
wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, berkembangnya objek benda wakaf,
sertifikasi tanah wakaf, dan lahirnya Lembaga Wakaf Indonesia, yang disebut
BWI (Badan Wakaf Indonesia).
3. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara materiil banyak
dimasuki unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan maslahah mursalah,
oleh karena itu perlu ditinjau secara kritis, bagaimana penerapan maslahah
mursalah dalam materi undang-undang ini, dan dalam tinjauan tersebut
ternyata pasal-pasal Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
memang didasarkan kemaslahatan (maslahah mursalah), dan mendapat
pengukuhan dan dukungan normatif untuk di aplikasikan dan di
implementasikan.
B. Saran
Dalam bagian akhir skripsi ini, penulis ingin memberikan saran-saran
sehubungan dengan kehadiran Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf ditengah masyarakat Islam Indonesia serta dalam mewarnai pembangunan
hukum nasional di Indonesia.
Saran-saran ini penulis tunjukan kepada berbagai pihak baik perumus
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, para hakim Pengadilan
Agama, civitas akademis, maupun masyarakat Islam secara umum, yaitu:
1. Sebagai peraturan yang diciptakan manusia, sudah pasti Undang-Undang No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengandung kekurangan dan kelemahan. Oleh
95
karena itu, kepada para perumus Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, baik Mahkamah Agung, Pemerintah c.q. Departemen Agama, maupun
para ulama yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang ini, seyogyanya
dapat meninjau kembali materi (pasal-pasal) dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf secara keseluruhan, serta merevisinya jika
memang dianggap perlu dan mungkin untuk dilaksanakan demi kesempurnaan
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta kemaslahatan umat
Islam Indonesia.
2. Kepada para hakim Pengadilan Agama, hendaknya dapat semaksimal
mungkin menjadikan UU Wakaf sebagai rujukan dalam perkara yang menjadi
kewenangannya (perwakafan), hal ini penting agar demi terciptanya unifikasi
dan terciptanya kepastian hukum.
3. Kepada selutuh civitas akademika, khususnya Fakultas Syari’ah baik UIN
maupun perguruan tinggi swasta, hendaknya lebih concern terhadap Undang-
Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, melalui seminar maupun kajian-
kajian lainnya demi mendapatkan metode yang efektif dalam
mensosialisasikan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di
tengah masyarakat Islam Indonesia.
4. Diperlukan evaluasi secara intensif keefektifan Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf oleh Departemen Agama khususnya dan umat Islam
umumnya.
96
5. Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf kepada masyarakat, baik dari media elektronik maupun cetak,
ataupun melalui seminar-seminar dan penyuluhan, karena sampai saat ini
belum banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui adanya peraturan
Perundang-undangan ini.
97
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Baharuddin. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Aji, Ahmad Mukri. Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal
Ahkam, IV,No. 08, (Jakarta:2002): h 37-45 al-Albani, Muhammad Nashirudin. Mukhtasar Shahih Muslim. Beirut: al-Maktab al-
Islami,t.t al-Buthi, Said Ramadhan. Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut:
Muassah al-Risalah,1997. Cet. III. al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press,
1998. Cet. II Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta:Paramuda Advertising,
2008. Cet. I. Daly, Peunoh dan Shihab,Quaraisy, (ed), Ushul Fiqh, Qaidah-qaidah Istinbath dan
Ijtihad(Metode Penggalian Hukum Islam). Jakarta:Dirjen Bimas Islam Depag, 1986
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Depag, 1985 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. kamus besar bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka, 1996. Cet. II. Djazuli, A. kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana, 2007. Cet. II Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Depag RI. Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI ,2006 -------------, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Jakarta: Depag RI, 2006
98
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006
-------------, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 Dzarqa, Al-, Musthafa Ahmad Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya . Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, Jakarta: Riora Cipta, 2000 Fathi, Osman, Mohamed. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan. Jakarta:
Yayasan Paramadina, 2006, Firdaus. Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta:Zikrul Hakim,2004. . Cet. I
Hasan, Bisri, Cik. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Ciputat: Logos Publishing House, 1996. Cet. I. Hijaj, al-,Imam Abu al-Husain Muslim. Shahih Muslim, Mesir: Dar al-Hadits al-
Qahirah, 1994, jilid 6. Cet.I. Kahar,Wahidul, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”,
Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003 Kahlani, Imam Muhammad Ismail. Subulus Salam, Bandung: Dahlan, 1982, jilid 3 Khabisi, al-,Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer
Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta, Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf diterjemahkan dari Hikam Al-Waqf Fi Al-Syari’ah Islamiyah. Jakarta:IIMaN, 2004, Cet. I.
Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press, 1996. Cet.
VII. Kholis, Nur. Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika
Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) Artikel diakses pada 30 Oktober 2009 dari http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/
99
Mahmasani, Sobhi. alih bahasa:Ahmad Sudjono Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1976
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006. Munawar, Said Agil Husin Al-. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta:
Penamadani, 2004. Cet. I Najib,Tuti A. dan al-Makassary, Ridwaan. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan:
Studi tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006.
Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995. Qardhawi, Yusuf alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir
Metode Praktis Mempelajari Fikih . Jakarta: Pustaka Al-Kutsar , 2001. Cet. I Qardhawi, Yusuf. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi
Perubahan Zaman. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Cet I Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Wijaya, 1954 Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet.I Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk.
Bandung : Al-Ma’arif, 1996. Jilid ke-14. Cet. VIII Sabiq, Sayyid. Fiqhu as-sunnah, Lebanon : Dar al-Arabi,1971 Suramaputra, Ahmad Munif. filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999. Syah, Ismail Muhammad, dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Cet. II al-Syatibi, Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad. Al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syariah, Dar ibn Affan, 1997, jilid 2.
100
Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Pers ,2007. Cet. I Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah
dan fiqhiyah). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam
di Indonesia. Jakarta : LKIS, 2001 Zahra, Muhammad Abu Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk.. Ushul Fiqh.
Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Cet, XI.
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al Islam, Bairut, London: Dar al-Fikr a muasir,1986