PENERAPAN AMBANG BATAS PRESIDENSIL...
Transcript of PENERAPAN AMBANG BATAS PRESIDENSIL...
i
PENERAPAN AMBANG BATAS PRESIDENSIL (PRESIDENTIAL
THRESHOLD) SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA
DALAM PEMILIHAN UMUM
DI INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.53/PUU-XV/2017)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun oleh
VENU FENDABI
NIM : 11150480000068
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
VENU FENDABI, NIM 11150480000068, PENERAPAN AMBANG
BATAS PRESIDENSIL (PRESIDENTIAL THRESHOLD) SEBAGAI
KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA DALAM PEMILIHAN UMUM DI
INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.53/PUU-
XV/2017), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 1440/ 2019. x Halaman + 96 Halaman + 6 Halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kriteria dari pembentukan open
legal policy, kemudian untuk mengetahui implikasi dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor.53/PUU-XV/2017 terkait dengan presidential threshold, dan
untuk mengetahui apakah presidential threshold telah memenuhi kriteria dari
pembentukan suatu open legal policy
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu kualitatif, dengan
pendekatan penelitian normatif-doktriner, dimana unsur-unsurnya adalah
pendekatan perundang-undangan ( statue approach ), dan pendekatan konsep (
conceptual approach ), yang digunakan untuk mengetahui kriteria dari
pembentukan open legal policy serta kesesuaianya dalam penerapan presidential
threshold dalam konsep negara hukum.
Berdasarkan hasil penelitian ini meskipun Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki kewenangan untuk membuat suatu legal policy melalui politik
hukumnya namun sejatinya dalam pembuatan suatu undang-undang yang tentu
saja merupakan hukum publik yang berlaku untuk seluruh warga negara tidak
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan tidak melampaui dan juga menyalahgunakan
kewenangan yang diberikan, serta terdapat inkoherensi dalam penerapan ambang
batas presidensil dengan konsep negara hukum.
Kata Kunci : Ambang Batas Presidensil, Kebijakan Hukum Terbuka, dan
Pemilihan Umum
Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M. Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 sampai Tahun 2019.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER……………………………………………………………..i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN...................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.........................................................1
B. Identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah...............5
C. Tujuan dan manfaat penelitian…………………………..…7
D. Metode penelitian..................................................................8
E. Metode penulisan.................................................................10
F. Sistematika penelitian..........................................................11
BAB II INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
A. Kerangka konseptual..........................................................12
1. Ambang batas presidensil atau presidential threshold
a. Pengertian dan sejarah presidential threshold di
Indonesia.................................................................12
2. Pengertian kebijakan hukum atau legal policy…..........14
3. Pengertian dan sejarah pemilihan umum.......................17
B. Kerangka teori.....................................................................20
1. Teori negara hukum.......................................................20
2. Teori kedaulatan rakyat.................................................28
3. Teori lembaga legislatif.................................................33
C. Tinjauan (review) kajian terdahulu......................................37
ix
BAB III DINAMIKA AMBANG BATAS PRESIDENSIL DALAM
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004............40
B. Pemilihan umum pada tahun 2009 dan 2014.......................42
C. Pemilihan umum tahun 2019...............................................47
BAB IV PROBLEMATIKA AMBANG BATAS PRESIDENSIL
SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA DALAM
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Parlemen sebagai penentu kualifikasi ambang batas
presidensil............................................................................52
B. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.....................................................................................57
C. Analisis pertimbangan hukum berkenaan dengan
Presidential Threshold dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017....................................................62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................86
1. Politik hukum yang tidak melanggar rambu-rambu yang
telah ditentukan.............................................................86
2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor.53/PUU-XV/2017 terhadap pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden…………………………………...86
3. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017.........................................................87
B. Rekomendasi.......................................................................87
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................88
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel Presidential Threshold sejak pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung................................................................13
Tabel 2 Perbedaan Rechtstaat dan Rule of Law..........................................26
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para
filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, pada awalnya dalam the republic
berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk
mencapai yang berintikan kebaikan. Untuk itu, kekuasaan harus dipegang
oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filsuf (the
philosopher king).
Dalam bukunya the statesman and the law, Plato menyatakan bahwa
yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best)
yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu
mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh
hukum. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah
untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat
dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan
kolektif warga negara (collective wisdom) sehingga peran warga negara
diperlukan dalam pembentukanya.1
Dalam sejarah dikenal dua konsep yang sangat berpengaruh, yaitu
Rechtsstaat yang pertama kali dipopulerkan dan diterapkan di Jerman
sedangkan, Rule of Law yang lebih populer di Eropa sejak abad XIX
meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Sedang istilah The
Rule of Law yang lebih dipopulerkan oleh A.V.Dicey 1885. Menurutnya,
ada tiga ciri terpenting dari prinsip Rule of Law,yaitu supremasi konstitusi,
equality before the law, dan Konstitusi.2
1 Jimly Asshiddiqie, Hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h. 129. 2 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2008), h. 89.
2
Sejalan dengan hal tersebut para pendiri bangsa (founding fathers) kita
juga merumuskan bahwasanya bangsa Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan atas hukum. Hal tersebut terbukti dengan eksistensi negara
Indonesia sebagai suatu negara hukum diatur dalam konstitusi negara kita
yaitu, Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut sebagai UUD NRI 1945. Yang
secara eksplisit menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berlandaskan pada aturan hukum dan menganut prinsip dari supremasi
hukum.
Sebagai negara hukum sangat memungkinkan terjadinya dinamika
perubahan suatu hukum karena hukum tersebut dituntut untuk selalu
berkembang dan mengikuti realitas yang terjadi di masyarakat. 3 Hal
tersebut yang menyebabkan terjadi perubahan terhadap UUD NRI 1945,
mengutip tulisan Prayudi dalam jurnal Politica sebelum amandemen Pasal
1 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan pasca amandemen berubah menjadi kedaulatan rakyat berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.4
Dari hal tersebut maka Indonesia menganut supremasi hukum yang
memberikan penjelasan bahwa segala sesuatu yang tindakan yang diambil
baik itu dalam hal pengambilan kebijakan maupun keputusan yang diambil
oleh pemerintah haruslah berdasarkan pada aturan tertinggi dalam negara
tersebut. 5 Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi
aturan tertinggi adalah UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara kita.
Menurut tulisan dari Jimly Asshidiqie Konstitusi adalah suatu
konsensus antar rakyat untuk hidup bersama dalam suatu komunitas
bernegara dan komunitas kewarganegaraan, konsensus kolektif tentang
3 Abdul Manan, Aspek-aspek pengubah hukum, cet.3, (Jakarta : Kencana,2006), h. 8.
4 Prayudi, MPR, transisi kedaulatan rakyat dan dampak politiknya, dalam jurnal Politica
Vol.3 No.1 Mei 2012, h. 25. 5 Abdulah Rozali, Pelaksana otonomi luas dengan pemilihan kepala daerah langsung,
(Jakarta : PT.Raja Grafindo,2007), h. 25.
3
format kelembagaan organisasi negara tersebut, konsensus kolektif tentang
pola dan mekanisme hubungan antar institusi atau kelembagaan negara
dan yang terakhir konsensus kolektif tentang prinsip-prinsip dan
mekanisme hubungan antar lembaga-lembaga negara tersebut dengan
warga negara.6
Mengenai konstitusi negara Indonesia, UUD NRI 1945 merupakan
suatu aturan dasar atau aturan pokok yang merupakan landasan dalam
membetuk peraturan perundang-undangan dibawahnya. Maka dari itu,
aturan dasar hanya memuat aturan-aturan pokok dan juga garis-garis besar
sebagai pedoman untuk menjadi dasar bagi terbentuknya suatu undang-
undang.7 Adanya tindak lanjut adalah hal yang wajib dari sebuah
konstitusi dalam hal ini UUD NRI 1945 sebagai norma yang masih sangat
umum dan bermakna luas. Sejalan dengan hal tersebut Satjipto Raharjo
juga mengatakan bahwa dalam negara Eropa Kontinental yang salah satu
cirinya adalah hukum yang tertulis, penafsiran menjadi sesuatu yang
penting karena sebuah teks tersebut menjadi sesuatu yang harus dibaca dan
dipahami dan ia bahkan mengatakan bahwa penafsiran adalah jantung
daripada hukum tersebut.8
Dalam hal kaitanya dengan penafsiran konstitusi bukan hanya
lembaga peradilan saja yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan
konstitusi tetapi Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini lembaga
legislatif juga memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang9.
Tepatnya, termaktub didalam Pasal 20 huruf c UUD NRI 1945 , dalam
putusan mahkamah konstitusi Nomor.53/PUU-XV/2017 Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa salah satu kewenangan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah membentuk open legal policy atau
6 Jimly Asshidiqie. Pengantar ilmu hukum tata negara, (Jakarta : Rajawali Pers,2015), h.
30. 7 Maria Farida, Ilmu perundang-undangan, (Yogyakarta : PT.Kanisius,2007), h. 50
8 Satjipto Raharjo, Hukum progresif,sebuah sintesa hukum Indonesia, cet.1. (Yogyakarta :
Genta Publishing,2009), h. 116. 9 Rosjidi Ranggawidjaja, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi, dalam jurnal
Konstitusi PSKN tahun 2011, h. 2.
4
penjabaran konstitusi dalam undang-undang dengan batasan tidak
melanggar Undang-Undang Dasar.
Open legal policy yang diyakini mahkamah konstitusi sebagai otoritas
tunggal Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang berwenang
untuk membentuk undang-undang terjadi dalam perumusan norma
presidential threshold atau ambang batas dalam pemilihan calon presiden
dan wakil presiden adalah pengaturan tentang suatu syarat batasan
dukungan dari lembaga legislatif dalam hal ini. DPR dalam hal ini
berbentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi
(seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilihan umum agar
dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden dari partai politik tersebut
atau gabungan dari partai politik10
untuk mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil presiden sebagai rekayasa konstitusional atas Pasal 6A
Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Penjabaran yang dimaksud
berada pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilu yang memberikan penjelasan lebih lanjut atas Pasal 6A Ayat (2)
UUD NRI 1945 yang berbunyi pasangan calon diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari
suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Penjelasan tersebut ditujukan untuk menjelaskan Pasal 6A Ayat (2) UUD
NRI 1945 agar dalam praktiknya tidak multi tafsir.
Presidential Threshold yang lahir dari open legal policy ini adalah
upaya lembaga legislatif untuk menyederhanakan partai politik dalam
iklim multi partai di indonesia sebagai konsekuensi dari Indonesia yang
10
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilihan Umum, , (Yogyakarta : Laboratorium Jurusan
Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009), h. 19.
5
menganut sistem presidensil yang menjadikan presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan yang mana akan terciderai apabila
aspirasi multipartai tidak disederhanakan dalam wadah koalisi yang
menjadi syarat presidential threshold. Partai politik yang berdiri atas dasar
aspirasi dan ideologi yang beragam apabila tidak mampu disederhanakan
akan cenderung menghambat fungsi dan tugas pemerintah dengan
anggapan tidak sejalan dengan aspirasinya sehingga penyederhanaan partai
politik secara materil melalui presidential threshold merupakan langkah
yang konkrit dengan tidak menghapuskan partai politik namun,
menyatukan aspirasi partai dalam jubah koalisi.
Namun yang jadi permasalahan disini adalah Pasal 222 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi pasangan calon diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari
suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Hadir
ditengah-tengah negara yang beriklim demokrasi Sehingga cenderung
dinilai memberikan batasan dan tidak demokratis maka diakhir penelitian
ini pun penulis akan memberikan solusi untuk menurunkan syarat
presidential threshold agar tetap sesuai didalam negara demokrasi.
Berdasarkan hal itulah, peneliti tertarik untuk mengkaji dan
membahas permasalahan yang aktual pada saat ini dengan judul “
PENERAPAN AMBANG BATAS PRESIDENSIL (PRESIDENTIAL
THRESHOLD) SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA DALAM
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA “
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan maka,
identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
a. Urgensi atau alasan menetapkan presidential threshold sebesar 20%
dari jumlah kursi DPR dan sebesar 25% dari suara sah secara
nasional pada pemilu sebelumnya
b. Terpangkasnya hak warga negara untuk menjadi calon Presiden dan
Wakil Presiden yang pada dasarnya hak tersebut diatur dalam UUD
NRI 1945
c. Aturan tersebut berpotensi mengamputasi salah satu fungsi partai
politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin negara,
karena adanya presidential threshold masyarakat tidak memiliki
kesempatan untuk menilai calon pemimpin bangsa yang dihasilkan
dari partai politik peserta pemilu.
d. Terdapat perubahan mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang peneliti paparkan dan kaji tidak terlalu
melebar, maka pembahasan didalam skripsi ini dibatasi mengenai
kriteria dari kebijakan hukum terbuka atau open legal policy itu dan
bagaimana pertimbangan hukum presidential threshold dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor.53/PUU-XV/2017.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka peneliti
merumuskan masalah yaitu: problematika kriteria dalam pembentukan
presidential threshold sebagai open legal policy.
Perumusan masalah peneliti jabarkan dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
a. Apa yang menjadi kriteria dalam pembentukan open legal policy ?
b. Apa implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.53/PUU-
XV/2017 terhadap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ?
7
c. Apakah presidential threshold telah sesuai dengan penerapan
kaidah-kaidah open legal policy ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang
telah dipaparkan dan diuraikan maka, tujuan penelitian yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui kriteria dalam membentuk suatu aturan
kebijakan hukum terbuka atau open legal policy
b. Untuk mengetahui implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor.53/PUU-XV/2017 terkait dengan presidential threshold
c. Untuk mengetahui apakah presidential threshold telah memenuhi
kriteria dari pembentukan suatu open legal policy
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil
penelitian ini juga dapat memberi manfaat teoritis dan praktis, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan menuliskan hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk
tulisan.
2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku
perkuliahan untuk dipraktikan di lapangan.
3) Memperoleh manfaat dibidang hukum pada umumnya maupun
dalam bidang ketatanegaraan secara khususnya dengan
mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum
yang timbul didalam kehidupan masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memahami lebih
dalam peraturan perundang-undangan yang ada, serta dapat
8
menjadi bahan rujukan mendatang terkait kriteria dan konstruksi
kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Dalam penelitian
ini peneliti juga memuat analisis terkait Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum khususnya Pasal 222 yang
akan menambah pengetahuan serta kepekaan atas situasi aktual
kehidupan hukum yang sedang terjadi dalam kegiatan
ketatanegaraan terkait hal tersebut.
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini
antara lain :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini,
menggunakan jenis penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan
populasi dan sampel karena jenis penelitian ini menekankan pada
aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat didalam suatu
perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif ini dianggap mampu
menerangkan secara jelas berbagai gejala dan fenomena secara
keseluruhan.11
Lincoln dan Guba juga berpendapat dalam penelitian
kualitatif peneliti seharusnya memanfaatkan diri sebagai instrumen,
karena instrumen nonmanusia sulit digunakan secara luwes untuk
menangkap berbagai realitas dan interaksi yang terjadi, peneliti harus
mampu mengungkap gejala sosial dilapangan dengan mengerahkan
semua fungsi inderanya.12
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah normatif doktriner, pendekatan normatif-doktriner tersebut
11 Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Serta Praktek Kombinasinya
dalam Penelitian Sosial, (Jakarta : Nadi Pustaka, 2010), h. 9. 12 Yvonna, S.Lincoln & Egon G.Guba. Naturalistic inquiry. ( Beverly Hills : Sage
Publication, 1985), h. 52.
9
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-
norma hukum yang ada dalam masyarakat.13
Yang dijabarkan lebih
lanjut, terdiri dari 2 (dua) pendekatan penelitian, yaitu pendekatan
perundang-undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi, dan pendekatan konsep
(conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum
yang ada.14
Obyek dalam penelitian ini terletak di dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
3. Data penelitian dan Bahan Penelitian
Data penelitian dan bahan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini, dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum,
diantaranya :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.15
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan hukum tata
negara, demokrasi, konstitusi, hak asasi manusia, skripsi hukum
tata negara, dan jurnal atau materi-materi hukum yang
mendukung tulisan ini.
13
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.2. (Jakarta : Sinar Grafika,2010), h. 105.
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi. (Jakarta : Kencana
Prenadamedia,2005), h. 178.
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi... h. 181.
10
c. Bahan Non-Hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum, dan
lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi,
tesis dan undang-undang diberbagai perpustakaan umum serta
universitas.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-
kualitatif. Analisis deskriptif-kualitatif adalah data yang diedit dan
dipilih menurut kategori masing-masing dan kemudian dihubungkan
satu sama lain atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas
masalah penelitian.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam
melakukan analisis tersebut adalah : Pertama, semua bahan hukum
yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan
menurut objek bahasanya. Kedua, setelah disistematis dan
diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan
dijelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang
dilakukan evaluasi, yakni dinilai menggunakan ukuran ketentuan
hukum maupun teori hukum yang berlaku.
E. Metode Penulisan
Teknik penulisan dan Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam
menyusun skripsi ini disesuaikan pada kaidah-kaidah penulisan karya
ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
11
F. Sistematika Penelitian
Skripsi terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab
yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan
yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual
mengenai keselarasan antara putusan Mahkamah Konstitusi
dengan seluruh peraturan perudang-undangan terkait dan
dengan teori – teori yang mendasari terbentuknya hukum
tersebut seperti teori negara hukum, kepastian hukum,
lembaga perwakilan, pemilihan umum, hak asasi manusia
dan review terdahulu.
BAB III Pada bab ini peneliti akan melakukan kajian terkait sejarah
pengaturan ambang batas presidensil dalam undang-undang
pemilihan umum.
BAB IV Peneliti akan melakukan analisis untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan masalah yang terbentuk didalam
rumusan masalah serta menganalisa terkait kesalahan
hukum yang terjadi.
BAB V Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai
dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan
rekomendasi yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian
dan pengkajianya dalam skripsi.
87
12
BAB II
INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
A. Kerangka Konseptual
1. Ambang batas presidensil atau presidential threshold
a. Pengertian dan sejarah pengaturan di Indonesia
Ambang batas presidensil atau presidential threshold
adalah tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh calon
Presiden dan Wakil Presiden untuk mencalonkan diri sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.1 Pengaturan presidential threshold
sendiri muncul pertama kali pada pemilihan umum tahun 2004
dimana pada tahun tersebut pemilihan umum untuk pertama
kalinya dilakukan secara langsung.2
Pada tahun 2004 pemilu masih dilakukan secara dua kali
yaitu pemilihan umum legislatif dengan memilih anggota DPR
RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sampai pada
tahun 2014. Setelah tahun 2014 dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor.14/PUU-XI/2013, pemilihan
umum dilakukan secara serentak dengan menggabungkan
Pemilihan anggota legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) , DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota dengan Presiden dan wakil Presiden,
berikut adalah tabel presidential threshold sejak Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung :3
1 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilihan Umum, (Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009) , h. 18. 2 Saldi Isra, Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem
Presidensial. dalam Jurnal Konstitusi Vol.II, No.1 Juni. 2009, h. 113. 3 Ayon Diniyanto, Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di pemilu
serentak. 2019 dalam Jurnal Indonesia State Law Review Vol.1 No.1. Oktober. 2018, h. 88
13
NO
TAHUN
DASAR
HUKUM
Presidential Threshold
Keterangan
Suara DPR Suara Sah
Nasional
1 2004 UU No.23 Tahun
2003 Tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 5 Ayat (4)
15%
20%
Pemilu
dilaksankan
dengan dua tahap
2 2009 UU No.42 Tahun
2008 Tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 9
20%
25%
Pemilu
dilaksankan
dengan dua tahap
3 2014 UU No.42 Tahun
2008 Tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan
Wakil Presiden
Pasal 9
20%
25%
Pemilu
dilaksankan
dengan dua tahap
4 2019 UU No.7 Tahun
2017 Tentang
Pemilihan Umum
pasal 222
20%
25%
Pemilu
dilaksanakan
dengan serentak
Tabel 1
14
Tabel diatas menjelaskan sejarah singkat pengaturan presidential
threshold dari pemilihan umum secara langsung dengan dua tahap
pada tahun 2004 hingga pemilihan umum secara langsung secara
serentak pada tahun 2019.
2. Kebijakan hukum atau legal policy
Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait pengertian dari kebijakan
hukum peneliti mencoba menjelaskan terlebih dahulu pengertian dari
kebijakan itu sendiri dari beberapa ahli 4:
a. Barda Nawawi
Menjelaskan kebijakan merupakan upaya rasional untuk
mencapai tujuan tertentu
b. Thomas R. Dye
Dalam menyelenggarakan kegiatan bernegara yang menyangkut
kepentingan umum pemerintah berupaya menentukan langkah-
langkah yang disingkat oleh Dye “Public policy is whatever
goverments choose to do or not to do” dan ini merupakan tugas
pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan yang akan
diterapkan demi suatu tujuan bersama atau kepentingan umum
c. R. Meyer & Ernest
Lain hal menurut Meyer & Ernest Kebijakan adalah keputusan
yang menetapkan cara yang paling efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama
Berangkat dari definisi di atas, Moh.Mahfud MD dalam
bukunya politik hukum di Indonesia menjelaskan bahwa
kebijakan hukum atau legal policy adalah seluruh proses
pembuatan hingga implementasi hukum yang dapat menunjukan
ciri khusus kearah mana hukum tersebut akan dibangun. Politik
hukum dilakukan untuk memberikan landasan terhadap proses
4 So Woong Kim, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup. (Tesis S-2 Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, 2009), h. 46-47.
15
pembentukan hukum kearah yang lebih sesuai dengan kondisi,
kultur, dan nilai yang berkembang di masyarakat.5
Suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh siapa yang membuat
kebijakan tersebut atau dapat diartikan warna kebijakan tersebut
sebagian besar sama dengan warna yang membuat kebijakan
tersbut. Ada sebuah politik hukum yang bermain dalam
menentukan arah suatu kebijakan karena itu politik dan hukum
tidak dapat dipisahkan, menurut Daniel S.Lev bahwasanya yang
paling menentukan dalam proses pembuatan suatu hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum
sedikit banyak selalu merupakan alat politik, definisi kekuasaan,
evolusi ideologi, politik, ekonomi, sosial.6
Dalam pembuatan suatu kebijakan ada istilah yang biasa disebut
open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, Pasal 20 Ayat (1)
dan (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 untuk selanjutnya disebut sebagai UUD NRI 1945
menyatakan bahwa, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang
kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan dibahas oleh
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Berdasarkan
ketentuan tersebut dapat peneliti ambil kesimpulan bahwa yang
membentuk undang-undang dalam hal ini adalah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden. Dengan adanya
pendelegasian wewenang tersebut maka memunculkan suatu
kewenangan dan tanggung jawab baru yang mandiri. Dalam hal
pendelegasian kewenangan dalam hal ini adalah pembentukan
suatu undang undang dari suatu lembaga atau badan ke lembaga
atau badan lain. yang berarti kewenangan tersebut ada pada
lembaga atau badan yang mendelegasikan kewenangan tersebut
5 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), h. 9. 6 Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Indonesia, (Jakarta : LP3ES,1990), h. xii.
16
dengan adanya penyerahan tersebut maka kewenangan dan
tanggung jawab beralih pada penerima kewenangan (delegataris).7
Dalam norma dasar dalam hal ini adalah Konstitusi memang
tidak secara eksplisit memuat aturan suatu dasar konstitusional
kebijakan publik yang memberi dasar bagi pilihan kebijakan
hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi dasar kewenangan
bagi lembaga legislatif dalam hal ini DPR bersama Presiden untuk
menjabarkan lebih jauh dalam suatu undang-undang sebagai
pengaturan lebih lanjut. Indikator konstitusianal yang dimaksud
merupakan ukuran yang dapat digunakan sebagai pembenar dengan
melihat tujuan bernegara dalam Pancasila dan Pembukaan UUD
NRI 1945.8
Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa open legal policy
adalah kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk membentuk
suatu kebijakan hukum.9
Dalam logika oposisi biner kata “terbuka” memiliki lawan kata
“tertutup” makna kata tertutup dalam hal pembentukan hukum
dapat diartikan sebagai pembatasan kewenangan pembentuk hukum
dalam menentukan subyek, obyek, perbuatan, peristiwa, atau akibat
hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu.
Pembatasan demikian dilakukan oleh norma hukum yang secara
hirarkis lebih tinggi dari norma hukum yang sedang dibentuk. Oleh
sebab itu, kebijakan pembentukan undang-undang dapat dikatakan
bersifat terbuka jika dalam Norma dasar dalam hal ini UUD NRI
7 Radita Adjie, Batasan Pilihan Pembentuk Undang-Undang ( Open Legal Policy )
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah
Konstitusi. dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.02 Juni 2016. h.112. 8 Radita Adjie, Batasan Pilihan Pembentuk Undang-Undang ( Open Legal Policy )
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah
Konstitusi. dalam Jurnal Legislasi Indonesia... h.12. 9 Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang. dalam Jurnal Konstitusi, tahun 2015, h. 204.
17
1945 tidak mengatur secara eksplisit atau tidak memberikan
batasan mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur
di dalam undang-undang. Kebalikan dari pada itu jika norma dasar
dalam hal ini UUD NRI 1945 sudah mengatur dan memberi
batasan terhadap suatu materi yang harus diatur oleh undang-
undang maka kebijakan tersebut bersifat tertutup.10
3. Pemilihan umum
Secara terminologi, menurut Akram Kassab pemilihan
umum adalah suatu mekanisme untuk berkontribusi dalam
pengambilan keputusan, dimana rakyat memilih dewan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan yudikatif serta hukum yang ada didalam
negeri.11
Pendapat lain mengemukakan bahwa pemilihan umum
adalah proses pergantian kepemimpinan atau kekuasaan secara
legal atau konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang
legitimatif sebai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
negara demokrasi.12
Sedangkan, dalam bukunya Kansil mengemukakan
pengertian pemilu ditinjau dari segi politik adalah pemilihan umum
dapat dikatakan sebagai aktivitas politik dimana pemilihan umum
merupakan lembaga sekaligus juga politik praktis yang
memungkinkan terbentuknya pemerintahan representatif tentu saja
di dalam terbentuknya pemerintahan representatif ini harus ada
dalam negara yang demokratis karena pemilihan umum ini
merupakan salah satu unsur vital yang harus ada dalam negara
demokratis.13
10
Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang, h. 212. 11 Badan Pengawas Pemilu, Tausyiah Pemilu Berkah, (Jakarta : Bawaslu,2018), h.19 12
Matori Abdul Djalil, Tuntutan Reformasi dan penyelenggaraan Pemilu 1999 dalam
Masa Transisi, (Jakarta : KIPP,1999), h. 33. 13 C.S.T.Kansil, Dasar-Dasar Ilmu politik. (Yogyakarta : UNY Press,1986), h. 47.
18
International Commission Of Jurist, Bangkok 1965
merumuskan bahwa, sebagai suatu perwujudan demokrasi,
penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas merupakan salah
satu dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan
dibawah rule of law. Selanjutnya juga dirumuskan pengertian
tentang pemerintahan demokrasi berdasarkan representatif yaitu,
suatu bentuk pemerintahan dimana warga negaranya melaksanakan
hak yang sama tetapi representatif mereka yang di pilih dan
bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan yang
bebas.14
Sebagai suatu aktivitas politik, pemilihan umum pastinya
memiliki fungsi-fungsi yang saling berkaitan. Diantaranya fungsi-
fungsi dari pemilihan itu sendiri adalah15
:
1) Sebagai sarana legitimasi politik
Melalui pemilihan umum, keabsahan pemerintahan yang
berkuasa dapat ditegakan begitupula dengan program
kebijakan yang dihasilkan konsekuensi logis daripada itu
semua adalah pemerintahan yang disepakati secara bersama
tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa tetapi juga
memberikan sanksi berupa hukuman bagi siapapun yang
melanggarnya
2) Perwakilan politik
Dalam mengevaluasi dan mengontrol pemerintahan, warga
negara perlu memiliki sebuah mekanisme yang demokratis
untuk menentukan wakil-wakilnya yang duduk di dalam
pemerintahan. Pemilu inilah yang menjadi mekanisme dalam
mengontrol wakil-wakilnya yang duduk di dalam
14 Abdul Bari Azed, Sistem-sistem Pemilihan Umum, (Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia : Kampus UI Depok, 2000), h. 1. 15
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis), (Yogyakarta : Genta
Publishing,2009), h.80.
19
pemerintahan jika untuk sekali periode rakyat tidak puas
dengan kinerja wakilnya maka mereka dapat memilih
kembali siapa yang pantas mewakilinya dalam
pemerintahan.16
3) Mekanisme sebagai pergantian atau sirkulasi elite politik
Pemilihan umum (general election) bertujuan untuk
memungkinkan terjadinya peralihan kekuasaan pemerintahan
dan pergantian pejabat negara yang diangkat memalui
pemilihan (elected public officials). Dalam hal tersebut tidak
harus secara mutlak setiap pemilihan akan berganti pula
pejabat negaranya namun, pemilihan umum itu harus
membuka kesempatan yang sama kepada setiap warga negara
untuk berkontestasi dalam pemilihan umum itu sendiri yang
demikian itu hanya dapat terjadi apabila dilakukan dengan
jujur dan adil.17
Dari beberapa fungsi diatas secara garis besar dapat diambil
beberapa tujuan dari pemilihan itu sendiri yaitu diantaranya
adalah18
:
1) Memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai
2) Memungkinkan pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan
3) Melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat
4) Melaksanakan prinsip hak asasi warga negara
Indonesia mengenal pemilihan umum pertama sejak tahun
1955 hingga yang terakhir yang baru saja Indonesia menggelar
16
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education),
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi cet.kedua, (Jakarta : ICCE
UIN Jakarta), h.96. 17 Jimly Asshidiqie, Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi,
dalam Jurnal Konstitusi Vol.3 No.4, Desember 2006, h.14. 18
Jimly Asshidiqie, Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen
Demokrasi…h.13.
20
pesta demokrasi pada tahun 2019 dengan pemilu Serentaknya.
Pemilihan umum pertama dilakukan pada masa orde lama ketika
Presiden Soekarno menjabat sebagai Presiden dengan keikutsertaan
empat partai besar yakni PNI, NU, PKI, dan Masyumi serta
beberapa partai kecil lainya seperti partai Katholik, Parkindo dan
PSII.19
Setelah orde lama jatuh pergantian kekuasaan beralih kepada
orde baru yaitu kepada Presiden Soeharto sebagai Presiden pemilu
selanjutnya terjadi pada tahun 1971 dengan keikutsertaan sekitar
sepuluh partai.20
Setelah serangkaian pemilu yang dikuasai oleh
orde baru selama hampir 32 tahun yang hanya mengizinkan tiga
partai yakni Golkar, PDI, dan PPP. Pemilihan umum di Indonesia
memasuki babak baru yakni era reformasi membawa Indonesia
pada pemilihan umum tahun 1999 dimana partai dikembalikan
pada fungsi awalnya dan kemudian diadakan kembali pada tahun
2004 dengan perkembangan pada pola pemilihan Presiden secara
langsung bertahan hingga tahun 201421
seiring perkembangan yang
terjadi pada tahun 2019 pemilihan umum dilaksanakan dengan pola
serentak dengan menggabungkan pemilihan anggota legislatif
dalam hal ini (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota) dan pemilihan eksekutif dalam hal ini adalah
Presiden dan Wakil Presiden.
B. Kerangka Teori
1. Negara hukum
Lahirnya suatu konsep negara hukum tidak terlepas dari
kesewenang-wenanganya para penguasa yang mana konsep ini
muncul sebagai reaksi dari penguasa yang otoriter yang
19 Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1981), h. 307. 20 Kemenkumham, Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan
Umum 2014, dalam Jurnal Legislasi Vol.9 No.4, Desember 2014, h. 509. 21
Farahdiba Rahma Bachtiar, Pemilu Indonesia : Kiblat Negara Demokrasi dari
Berbagai Refresentasi. dalam Junal Politik Profetik Vol.3 No.1 Tahun 2014, h. 7.
21
menggunakan kekuasaan yang tak terbatas oleh siapapun dan oleh
apapun sehingga tidak ada kontrol dari pihak manapun.
Awal pemikiran dari Plato dalam bukunya republica,
menyatakan bahwa sesungguhnya suatu negara itu harus di pegang
oleh seorang raja dari kalangan filsuf. Plato berharap dengan
dipegang oleh filsuf maka negara tersebut akan bijaksana dalam
mengambil suatu kebijakan. Ternyata dalam perjalananya, Plato
juga pesimis akan cita-citanya karena sangat sulit direalisasikan.
Karena pada faktanya negara yang dipegang oleh seorang filsuf
yang bijak pun tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Atas dasar itulah mengapa Plato kembali menegaskan
pilihan terbaik dalam mengelola suatu negara adalah dengan
tunduk kepada aturan atau hukum yang disepakati dan berlaku di
negara tersebut.22
Berangkat dari pemikiran tersebut seperti yang sudah kita
ketahui bersama murid dari Plato yaitu Aristoteles berhasil
mengembangkan pendapat gurunya. Aristoteles menyatakan bahwa
suatu negara yang baik adalah negara yang dijalankan menurut
konstitusi serta berkedaulatan hukum.23
Negara hukum sejatinya
ialah negara yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi
dalam mencari suatu keadilan dan bukan atas kehendak penguasa.
Dalam sejarahnya dikenal dua konsep dari negara hukum itu
sendiri yakni konsep Rechtstaat yang berkembang di negara-
negara Eropa Kontinental dan Rule Of Law yang berkembang di
negara-negara Anglo Saxon.
Rechtstaat sangat berkaitan erat dengan sistem hukum yang ada
di wilayah Eropa Kontinental yaitu Civil Law. Dalam bukunya
22 Janpatar Simamora, Tafsir Makna Negara Hukum Dalam Prespektif Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.14 No.3,
September 2014, h.550. 23
J.H.Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia,
“Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya”. (Jakarta : UII Press, 1995). h.20.
22
Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, Immanuel Kant
tokoh yang lahir di Prusia Timur-Jerman mengemukakan konsep
negara Polizei Staat dan pihak yang bereaksi atas Polizei Staat
tersebut yakni kaum liberal borjuis yaitu orang-orang kaya yang
pandai. Hal ini disebabkan pada saat itu kaum borjuis liberal
menuntut hak-haknya untuk ikut dalam urusan ketatanegaraan
demi melindungi hak-hak dan kebebasan pribadinya, dalam
pandanganya negara tidak berhak ikut campur dalam masalah
perekonomian, negara hanya sebagai nachtwachter staat atau
negara hukum penjaga malam dimana sudah seharusnya negara
menjaga ketertiban melalui hukum yang ada sedangkan
perekonomian harus berdasarkan persaingan yang bebas.24
Seiring berkembangnya waktu, konsep Kant ini dianggap
masih kurang memuaskan dan dirasa masih perlu disempurnakan
sehingga hadirlah tokoh yang bernama Friedrich Julius Stahl yang
berusaha menyempurnakan konsep negara hukum liberal kepada
negara hukum formal. Menrutnya Negara Hukum (Rechtsaat)
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:25
a. Perilindungan hak-hak asasi manusia
b. Pemisahan atau pembagiaan kekuasaan untuk menjamin hak-
hak asasi manusia tersebut (trias politica)
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
d. Peradilan Administrasi dalam suatu Perselisihan seperti
Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN dan Peradilan
Konstitusi
Sedangkan, dalam negara-negara Anglo Saxon dengan sistem
hukum Common Law dikenal dengan istilah The Rule Of Law.
Tokoh yang mengemukakan unsur-unsur negara hukum disini
24 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia, dalam Jurnal
Sosiohumaniora Vol.18 No.2 Juli 2016, h.133-134. 25
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi
Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), h. 3.
23
yaitu A.V.Dicey menurutnya negara hukum harus memuat unsur
sebagai berikut26
:
a. Supremasi hukum (supremacy of the law) yang berarti hukum
dijadikan panglima tertinggi dalam setiap pengambilan
keputusan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
b. Kedudukan yang sama dimata hukum (equality before the
law) disini bermakna setiap orang siapapun baik itu petani,
nelayan, pejabat, bahkan Presiden sekalipun harus
diperlakukan sama dimata hukum tanpa pandang bulu.
c. Terjaminya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang
(dalam hal ini adalah undang-undang dasar atau konstitusi)
serta keputusan-keputusan pengadilan (due process of law) .
Asas due process of law yang di ungkapkan dalam unsur
negara hukum A.V.Dicey disini merupakan proses hukum yang
benar dan adil27
, hukum dianggap harus mempunyai suatu
standar dalam beracara agar dapat menjadi suatu kepastian
dalam penegakan hukum untuk melindungi setiap individu.
Pendapat tentang unsur-unsur yang harus ada di dalam negara
hukum juga turut hadir dari pakar hukum tata negara Indonesia
yaitu Jimmly Asshidiqie, ia merumuskan 12 pilar utama negara
hukum baik itu Rechstaat maupun Rule Of Law diantaranya28
adalah :
26
Hadjon, Philiphus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinspnya, Penangananya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Peembentukan Peradilan Administrasi, (Surabaya : Perabadan.2007), h. 75. 27 Dzulkifli Umar dan Usman Handoyo, Kamus Hukum, (Jakarta : Quantum Media Press,
2010), h. 105. 28 A Salman Maggalatung, dalam tulisanya, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan
Negara Kekuasaan Otoriter dalam Jimly Asshiddiqie, Prinsip-Prinsip Negara Hukum, Dalam
“Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Menyambut 73 Tahun
Prof. Dr.H. Muhammad Tahir Azhary (Jakarta : Prenada media group, 2013). h.29.
24
a. Supremasi Hukum (supremacy of law) artinya hukum yang
dijadikan panglima tertinggi dalam setiap pengambilan
keputusan karena sesungguhnya pemimpin tertinggi suatu
negara bukanlah manusia. Tetapi, konstitusi atau dasar
negara yang dijadikan sebagai hukum tertinggi.
b. Persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
prinsip ini memaknai harus adanya persamaan kedudukan
atau kesetaraan setiap orang baik itu petani, nelayan,
pengusaha maupun pejabat dalam hukum.
c. Asas legalitas (due process of law) setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan hukum tertulis atau peraturan
perundang-undangan yang sah. Perbuatan atau tindakan
tersebut tidak boleh dilakukan jika hukumnya tidak ada.
d. Pembatasan kekuasaan, pembatasan kekuasaaan negara dan
lembaga-lembaga didalamnya dilakukan dengan
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara horizontal
agar terjadinya checks and balances dan tidak terjadi
tindakan sewenang-wenang dari negara.
e. Terjaminya indepedensi fungsi kekuasaan teknis, guna
membatasi kekuasaan, harus adanya pengaturan
kelembagaan pemerintah yang bersifat independen agar
tidak terjadi intervensi dari eksekutif seperti lembaga KPU,
KPK, Kepolisian, TNI, dan KOMNAS HAM.
f. Peradilan bebas dan tidak memihak, prinsip ini mutlak
harus ada dalam setiap negara hukum. Tentu saja dalam
menegakan hukum hakim tidak boleh berpihak kepada
siapapun baik dalam tekanan politik maupun tekanan
ekonomi. Hakim menegakan marwah pengadilan dengan
meihak pada kebenaran dan keadilan.
g. Tersedianya mekanisme peradilan administrasi negara,
demi menegakanya prinsip equality before the law negara
25
hukum harus membuka kesempatan bagi warga negara
untuk menggugat keputusan pejabat negara yang dianggap
mendzalimi warga negara tersebut guna melindungi hak-
haknya dari penguasa.
h. Adanya mekanisme peradilan konstitusi (Constitutional
Court) selain mekanisme peradilan administrasi negara,
negara hukum modern juga mengadopsi peradilan
konstitusi guna memperkuat checks and balances antara
cabang-cabang kekuasan misalnya dengan wewenang
memutus sengketa antar lembaga negara.
i. Dijaminya perlindungan hak asasi manusia, perlindungan
hak asasi manusia merupakan pilar penting dalam negara
hukum karena negara tidak berhak mengurangi bahkan
merenggut hak asasi yang telah manusia miliki sejak lahir
misalnya hak untuk hidup, hak untuk beragama, hak untuk
mengeluarkan pendapat.
j. Mekanisme demokrasi, dalam negara demokrasi rakyat
berperan penting dalam setiap pengambilan keputusan.
Hukum yang dibentuk haruslah mencerminkan nilai-nilai
yang rakyat itu sendiri anut sesuai dengan konsep dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
k. Sebagai sarana kesejahteraan rakyat (welfare rechtstaat)
tujuan hukum adalah untuk mencapai tujuan yang
disepakati bersama guna mencapai kesejahteraan dalam
hidup bernegara
l. Transparansi dan kontrol sosial, adanya keterbukaan dalam
setiap pembuatan kebijakan memberi kesempatan kepada
rakyat untuk ikut serta mengontorl kebijakan tersebut agar
jika ada kelemahan atau kekurangan dapat diperbaiki
bersama sama guna memperkuat checks and balances
antara pemerintah dan rakyatnya.
26
Dalam beberapa literatur disebutkan perbedaan unsur antara
Rechstaat dan Rule Of Law yang akan tergambar pada Tabel
dibawah ini29
:
Tabel 2
No Rechtstaat Rule Of Law
1 Hak-hak asasi manusia Perlindungan konstitusional
2 Pemisahan kekuasaan atau
pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu
Lembaga kehakiman yang
bebas dan tidak memihak
3 Pemerintahan berdasarkan
aturan-aturan
Pemilihan umum yang bebas
4 Peradilan administrasi
dalam perselisihan
Kebebasan menyatakan
pendapat
5 - Kebebasan berorganisasi dan
beroposisi
6 - Pendidikan kewarganegaraan
Sekalipun terdapat Perbedaan antara Konsep Rechtstaat dan
Rule Of Law namun kedua konsep ini memiliki tujuan yang sama
yaitu :30
1) Negara hukum harus melindungi masyarakat dari
kekacauan
2) Negara hukum harus memberikan kesempatan kepada
rakyat untuk merencanakan urusan-urusanya berdasarkan
pertimbangan yang masuk akal bahwa mereka dapat
mengetahui konsekuensi hukum dari segala perbuatan yang
akan dilakukan
29
Jeffry Alexander, Memaknai Hukum Negara (Law Through state ) dalam bingkai
“Negara Hukum” (Rechstaat), dalam Jurnal Hasanuddin Law Review Vol.1 No.1, April 2015,
h.82. 30
Richard H. Fallon, The Rule Of Law as A Concept in Constitutionals Discourse,
Collombia Law Review, Vol.97 No.1, January 1997, h.7-8.
27
3) Negara hukum harus memberikan jaminan kepada seluruh
masyarakat dari berbagai macam bentuk kesewenang-
wenangan.
a. NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS DI
INDONESIA
Prinsip dasar dari para founding fathers negara Indonesia
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana tertuang didalam Konstitusi Pasal 1 Ayat (3)
UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum.
Bagai dua sisi mata uang keterikatan antara negara
hukum dan demokratis tidak dapat dipisahkan. Dalam artian
bukan hanya membatasi demokrasi dengan adanya suatu
hukum namun, negara hukum yang demokratis menyiratkan
bahwa keberadaan suatu hukum yang tidak totaliter namun
hukum yang berpihak kepada rakyat dan menjunjung tinggi
hak-hak asasi.
Oleh sebab itu, adanya supremasi konstitusi sebagai
perjanjian sosial tertinggi31
merupakan suatu perwujudan
dalam berdemokrasi dalam negara hukum yang kita anut dan
negara hukum yang demokratispun harus memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut32
:
1) Adanya pembagian kekuasaan
2) Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia
3) Penggunaan kekuasaan didasarkan atas hukum yang
berlaku
31 Jimly Ashiddiqie, Membangun Budaya Sadar berkonstitusi Untuk Mewujudkan Negara
Hukum yang Demokratis, Bahan Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke XXI dan Wisuda 2007
Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan. 29 Desember 2007, h.6. 32
Jamal Wiwoho, Negara Hukum dan Demokrasi, http://jamalwiwoho.com/wp-
content/uploads/2013/01/Negara-Hukum-dan-Demokrasi.pdf, diakses pada tanggal 14 Mei 2019
28
4) Adanya lembaga perwakilan
5) Terbukanya ruang partisipasi politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan
6) Penyelesaian sengketa secara musyawarah, dengan
menggunakan lembaga peradilan sebagai sarana terakhir
7) Adanya peradilan administrasi yang bebas dan berfungsi
untuk mengawasi penggunaan kekuasaan negara
Frans Magnis Suseno menyatakan, demokrasi yang bukan
negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang
sesungguhnya.33
2. Kedaulatan rakyat
Secara terminologi, kata kedaulatan berasal dari kata daulat
yang artinya kekuasaan atau pemerintahan.34
Kata kedaulatan
sendiri sebenarnya banyak dipengaruhi oleh bahasa latin diantanya
adalah sovereignity, soverainette, sovereigniteit, souvereyn, summa
potestas, maiestas (majesty) yang diadopsi oleh bahasa Inggris,
Perancis, Jerman, dan Belanda semua pengertian ini menunjuk
pada satu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Konsep kedaulatan atau sovereignity dipopulerkan kembali
oleh sarjana hukum jerman yaitu Jean Bodin pada abad ke-16
dalam six livres de la republique Boudin mengartikan kedaulatan
dengan “summa in cives ac subdictos legibusque soluta potestas”
konsep ini menurut Bodin meliputi 3 unsur berikut35
:
33 Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi ; Sebuah Telaah Filosofis, ( Jakarta :
Gramedia, 1997), h.58. 34
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta :
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 323. 35 Jimly Ashidiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995),
h.14.
29
a. Kekuasaan itu besifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang
lebih tinggi dan asli dalam arti tidak berasal dari atau
bersumber kepada kekuasaan lain yang lebih tinggi
b. Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada
kekuasaan lain yang membatasinya
c. Utuh, bulat, dan abadi dalam arti tidak terpecah-pecah dan
terbagi-bagi
Sedangkan, Menurut J.J Rousseau konsep kedaulatan ini
bersifat kerakyatan dan didasarkan kepada kemauan umum
(volunte generale) rakyat yang menjelma menjadi undang-undang.
Karena itu menurutnya konsep kedaulatan mempunyai 4 sifat yaitu:
a. Kesatuan (unite)
b. Bulat, tidak terbagi-bagi (indivisibilite)
c. Tidak boleh diserahkan (inalienabilite)
d. Tetap tidak berubah-ubah (imprescriptibilite)
Sedangkan pengertian rakyat menurut A Bryan adalah A
people is a plurality of persons considered as a whole, as is the
case with an ethnic group or nation, but that is distinct from a
nation which is more abstract, and more overtly political.
Collectively, for example, the contemporary Frisians and Danes
are two related Germanic peoples, while various Middle Eastern
ethnic groups are often linguistically categorized as Semitic
peoples.36
Singkatnya, rakyat adalah seluruh orang yang berada pada
suatu wilayah atau negara tertentu taat pada kekuasaan
pemerintahan tersebut. Adanya rakyat, wilayah, dan pemerintahan
yang berdaulat merupakan unsur konstitutif yang menunjang
berdirinya suatu negara. Jika salah satu hilang, maka negara
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu negara karena unsur
36 Garner, Bryan A., ed. (2014). "nation". Black's Law Dictionary (10th ed.). h. 1183.
30
tersebut bersifat kumulatif. Seperti yang termaktub dalam Pasal 1
Montevideo Convention 1933 : On The Rights And Duties Of State,
yang berbunyi :
“ The state as a person of internasional law should possess
the following qualifications: a permanent population, a defined
teritority, a government, a capacity to enter into relations with
other states”
Jika diterjemahkan berarti “Negara sebagai subjek hukum
internasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: rakyat
yang permanent, wilayah yang tertentu, pemerintahan, kapasitas
untuk terjun kedalam hubungan dengan negara lain dari itu” yang
menurut Ernest Renan bangsa adalah suatu negara, suatu asas akal
yang terjadi karena dua hal. Pertama, rakyat itu dulunya harus
bersama-sama menjadi suatu riwayat. Kedua, rakyat itu harus
mempunyai kemauan dan keinginan hidup menjadi satu.37
Popular Sovereignity atau biasa kita sebut sebagai
kedaulatan rakyat secara singkat dapat dikatakan bahwa prinsip itu
menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate power) untuk
membuat suatu kebijakan atau keputusan terletak di tangan rakyat,
bukanya pada satu orang atau beberapa orang saja.
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat adalah konsep dari
kedaulatan rakyat yang biasa kita sebut sebagai demokrasi. Sebuah
sistem pembuatan atau penentuan kebijakan secara kolektif yang
menginginkan bahwa sebuah keputusan yang mempengaruhi suatu
kelompok secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan atau
pembuatan kebijakan tersebut haruslah setiap anggotanya dalam
kelompok tersebut mempunyai hak yang sama.38
Dalam lingkup
yang lebih besar dapat dikatakan suatu negara dapat disebut
37 Edy Murya, buku ajar pendidikan kewarganegaraan Indonesia, (Medan : Unit
pelaksana teknis laboraturium ilmu dasar dan umum, 2010) , h. 3. 38
Beetham David & Kevin Boyle. Demokrasi : 80 Tanya Jawab, (Yogyakarta :
Kanisius.2000),h. 19.
31
sebagai negara yang demokratis jika pemerintahanya dibentuk atas
kehendak rakyat dan rakyat berdaulat atas negara tersebut.39
Mengutip tulisan Sodikin dalam bukunya yaitu Hukum Pemilu,
Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan yang dimaksud “dari
rakyat” berarti bahwa penyelenggara negara harus terdiri dari
seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui atau didukung oleh
rakyat, maksud “oleh rakyat” adalah para penyelenggara negara
atau pemerintahan dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama
rakyat atau yang mewakili rakyat, dan maksud dari “untuk rakyat”
adalah pemerintahan yang dijalankan atau berjalan sesuai dengan
kehendak rakyat.40
Prinsip kedaulatan rakyat ini bukan berarti bahwa seluruh
rakyat berbondong-bondong secara langsung membuat kebijakan
atau keputusan sehari-hari dalam setiap urusan dan aktivitas
pemerintahan. Demokrasi yang berdasarkan prinsip kedaulatan
rakyat ini bukan berarti bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah baru dapat dikatakan sah jika seluruh rakyatnya
ikut dalam membuat kebijakan tersebut. Lain halnya dengan sistem
kediktatoran yang menyatakan bahwa kebijakan dapat dikatakan
sah berlaku jika sang diktator tersebut menyetujuinya jika hal
semacam tersebut terjadi makan sistem tersebut bukanlah
kedaulatan rakyat namun kediktatoran rakyat (popular
dictatorship).41
Jadi siapakah yang dimaksud “rakyat” dalam sistem kedaulatan
rakyat ini, kedaulatan dalam sistem pemerintahan yang demokratis
oleh rakyat dapat didelegasikan kekuasaanya dalam membuat suatu
kebijakan atau keputusan itu kepada badan eksekutif, legislatif,
39 Beetham David & Kevin Boyle. Demokrasi : 80 Tanya Jawab....h.20. 40 Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi : Gramata
Publishing, 2014), h. 18. 41
Miftah Thoha, Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta :
Prenadamedia Group, 2014), h.102.
32
yudikatif, dan administator atau siapapun yang dikehendaki
sebagai wakilnya. Rakyat dikatakan berdaulat sepanjang mereka,
bukan wakilnya, masih mempunyai kekuasaan tertinggi (the
ultimate power) untuk memutuskan dimana kekuasaan membuat
kebijakan tetap berada di tanganya dan yang bisa didelegasikan
kepada siapa saja yang bisa bertanggung jawab pada periode waktu
tertentu.42
Norma dasar Negara Republik Indonesia yakni Pasal 1 Ayat (2)
UUD NRI 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” dalam
penjelasanya Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah
penyelenggara negara tertinggi saat itu. Majelis ini dianggap
sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.
Karena MPR merupakan representasi dari rakyat dan memegang
kekuasaan sepenuhnya maka dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI
1945 membawa konsekuensi bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.
Namun, setelah amandemen tepatnya pada perubahan ketiga
Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 ini berubah menjadi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar” perubahan tersebut membawa konsekuensi yuridis
dan implikasi yang sangat besar terhdap fungsi dan kewenangan
dari lembaga negara, terutama Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang sebelum amandemen sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat sepenuhnya menjadi kewenangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Namun setelah amandemen, Majelis Permusyawaratan
Rakyat bukanlah satu-satunya lembaga yang melaksanakaan
kedaulatan rakyat. Pada dasarnya kedaulatan tetap berada di tangan
42
Miftah Thoha, Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia,… h. 103.
33
rakyat. Namun, pelaksanaanya dilakukan oleh beberapa lembaga
negara memperoleh amanat dari rakyat dalam menyelenggarakan
kegiatan pemerintahan negara Indonesia yang menganut sistem
demokrasi melalui sebuah aturan yaitu Undang-Undang Dasar.
3. Lembaga legislatif
Trias politica merupakan akar terciptanya berbagai kekuasaan
baru salah satunya adalah kekuasaan legislatif yang menempatkan
kekuasaan tidak hanya pada satu titik saja namun dibagi sesuai
dengan kewenagnaya. Konsep yang digagas oleh John Locke
seorang filsuf yang berasal dari Inggris pada abad ke- 16 ini
menawarkan konsep bernegara dengan melakukan pemisahan
kekuasaan.
Dalam bukunya Treaties On Civil Goverments ia menyatakan
bahwa kekuasaan itu harus dibagi dalam 3 lingkup yang berbeda
diantaranya adalah43
:
a. Legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan
b. Eksekutif, melaksanakan undang-undang yang telah dibuat
oleh lembaga legislatif termasuk kekuasaan mengadili
c. Federatif, sebagai penghubung dengan negara lain atau
hubungan luar negeri
Senada dengan hal tersebut filsuf dari Perancis pada abad ke-
17 yakni Montesquieu Dalam bukunya L’esprit des lois (The Spirit
of Laws) ia menyatakan bahwa perlu adanya satu satu konsep
dalam bernegara dengan melakukan pemisahan atas kekuasaan-
kekuasaan yang ada di negara tersebut dengan kedudukan yang
sejajar sehingga dapat saling mengendalikan dan saling
mengimbangi satu sama lain (checks and balances), selain itu
Montesquieu berharap dengan dipisahkanya kekuasaan tidak hanya
43 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ( Jakarta : Gramedia, 2002 ), h. 150.
34
pada satu titik akan memunculkan keseimbangan karna jika
kekuasaan terpusat pada satu titik cenderung akan menimbulkan
kesewenang-wenangan.44
Menurut Montesquieu sendiri pemisahan
kekuasaan dibagi berdasarkan :
a. Kekuasaan legislatif, seperti biasanya kekuasaan ini
berwenang sebagai pembuat undang-undang
b. Kekuasaan eksekutif, juga berwenang sebagai pelaksana
undang-undang
c. Kekuasaan yudikatif, berbeda dengan John Locke,
Montesquieu menempatkan kekuasaan yudikatif yang
berfungsi sebagai pengadilan atas pelanggaran undang-undang
Senada dengan hal tersebut, apa yang dikatakan oleh Lord
Acton bahwa “ Power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely “ yang artinya adalah manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi
manusia yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan
menyalahgunakanya.45
Sebab itulah sudah seharusnya kekuasaan
tidak terpusat pada satu orang namun harus terbagi guna
menghindari tindakan sewenang-wenang. Karena jika kekuasaan
tersebut terpusat maka tindakan sewenang-wenang pasti akan
terjadi.
Sejatinya, negara demokrasi selalu menerapkan prinsip
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahanya, dimulai
dari kelembagaan sampai dengan sistem pemerintahanya dibanyak
negara kebanyakan menggunakan sistem indirect democracy yaitu
pada pelaksanaanya diwakilkan melalui lembaga perwakilan rakyat
44 Yulistiyowati Efi, Endah, Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif atas Undang-Undang Tahun 1945 Sebelum
dan Sesudah Amandemen. dalam Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol. 18 No.2, Desember 2016, h.
330.
45 Widayanti, Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR dalam Sistem Ketatanegaraam, (
Yogyakarta : Genta Publishing, 2015), h. 68.
35
dalam hal ini adalah lembaga legislatif dan biasanya hal tersebut
diatur dalam konstitusi negara tersebut.46
Penerapan konsep kedaulatan rakyat sejatinya telah dipikirkan
oleh para founding fathers negara Republik Indonesia dari mulai
merumuskan hingga mengesahkan UUD NRI 1945 sebagai
Konstitusi Negara tercermin pada alinea ke-4 pembukaan UUD
NRI 1945 menyatakan :
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Seperti pada pembahsan sebelumnya pelaksanaan kedaulatan
rakyat di Indonesia berdasarkan UUD NRI 1945 adalah lembaga-
lembaga yang berfungsi menjalankan tugas kenegaraan sebagai
representasi dari rakyat. Rakyat secara langsung dapat
melaksanakan kedaulatan yang dimilikinya untuk menentukan
siapa yang akan menjadi representasinya dalam lembaga legislatif
yakni tertera dalam Pasal 2 UUD NRI 1945 yaitu mengisi
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena MPR
sejatinya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kemudian mengisi keanggotaan
DPR melalui pemilihan umum pada Pasal 19 Ayat (1), dan mengisi
46 Sri Soemantri M, Pengertian Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung : Alumni Bandung, 1987), h. 2.
36
keanggotaan DPD melalui pemilihan umum pada Pasal 22 C Ayat
(1).
Lembaga legislatif juga memiliki beberapa fungsi yang
terdapat dalam Pasal 20 A Ayat (1) diantaranya adalah :
a. Fungsi legislasi
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD
NRI 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum
maka membawa konsekuensi yuridis kepada setiap kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal
tersebut bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian di dalam masyarakat dan lembaga
yang diberikan kewenangan untuk membentuk suatu Undang-
Undang disini adalah DPR sebagai lembaga legislatif.
b. Fungsi anggaran47
DPR berfungsi sebagai budgeting diantaranya memberikan
persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden, Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU
tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama,
Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK,
dan Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset
negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.
c. Fungsi pengawasan
Seperti yang telah di katakan oleh para pakar seperti
Montesquieu dan John Locke kekuasaan dibagi agar tidak ada
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai bagian dari checks and balances
47
http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang diakses pada tanggal 19 Mei 2019
37
Dalam menjalankan fungsinya lembaga legislatif dalam hal ini
adalah DPR juga dibekali beberapa hak yaitu48
, hak inisiatif, yaitu
hak DPR dalam mengajukan RUU yang akan dibahas bersama
Presiden, hak interpelasi, Hak DPR untuk meminta keterangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak angket, hak DPR
untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hak
menyatakan pendapat, hak DPR untuk menyatakan pendapat atas
kebijakan pemerintah atau suatu kejadian didalam maupun luar
negeri, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket,
dan menyatakan pendapat untuk meng-impeachment atau dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan
hak imunitas, dimana anggota DPR tidak dapat dituntut dimuka
pengadilan dalam menjalankan tugasnya dengan menyatakan atau
berpendapat secara lisan maupun tulisan dalam rapat-rapat DPR.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan judul “ Penerapan Ambang Batas Presidensil
(Presidential Threshold) Sebagai Kebijakan Hukum Terbuka Dalam
Pemilihan Umum DI Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
48 http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang diakses pada tanggal 19 Mei 2019
38
Nomor.53/PUU-XV/2017) “ yang diketahui berdasarkan penelusuran atas
hasil-hasil penelitian hukum, khususnya di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, belum
pernah dibuat sebelumnya. Namun demikian, terdapat beberapa judul
penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui penelitian yang
dilakukan sebelumnya, diantaranya :
1. “ Analisis Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam
Perspektif Hukum Islam ( Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden “
49Skripsi ini mengkaji atau membahas bagaimana mekanisme
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut islam dan bagaimana
mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam UU Nomor.
42 tahun 2008. Persamaan di dalam skripsi yang peneliti teliti adalah
sama-sama menganalisis mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden sedangkan perbedaanya adalah peneliti fokus terhadap apa
kriteria open legal policy dan konstruksi open legal policy dalam Pasal
222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
2. “ Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga, Mahkamah
Konstitusi Sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia.“50
Buku ini mengkaji atau
membahas masalah terkait secara umum tentang perlindungan hak
konstitusional atau hak asasi manusia yaitu hak yang telah ada sejak
lahir, dalam hal ini warga negara Indonesia. Persamaan di dalam
skripsi yang peneliti teliti adalah sama-sama membahas hak
konstitusional warga negara dalam hal ini hak politik sedangkan
perbedaanya adalah peneliti fokus secara spesifik terhadap apa kriteria
49
Skripsi dibuat oleh Ines Wulandari, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,
2017 50 Ismail Hasani, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga, Mahkamah
Konstitusi Sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, (
Jakarta : Pustaka Masyarakat Setara, 2013)
39
open legal policy dan konstruksi open legal policy dalam Pasal 222
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
3. “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 Berkaitan dengan Penolakan Uji Materi Presidential
Threshold dalam Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan umum serentak 2019.“51
Jurnal ini mengkaji atau membahas
masalah terkait tinjauan yuridis dari pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 Berkaitan dengan penolakan uji
materi presidential treshold dalam pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden pemilihan umum serentak 2019. Persamaan di dalam
skripsi yang peneliti teliti adalah sama-sama menganalisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 sedangkan
perbedaanya adalah peneliti fokus terhadap apa kriteria open legal
policy dan konstruksi open legal policy dalam Pasal 222 UU Nomor 7
tahun 2017 Tentang Pemilihan umum.
51 Jurnal ini dibuat oleh Faisal Hidayatullah, Jurnal Universitas Negeri Surabaya, 2017
40
40
BAB III
DINAMIKA AMBANG BATAS PRESIDENSIL DALAM
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Pemilihan Umum Secara Langsung Pada Tahun 2004
Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi
tentunya penting bagi warga negaranya untuk dapat memiliki satu
mekanisme untuk menyalurkan aspirasi dan menentukan wakil-wakilnya
dalam pemerintahan sebagai wujud kedaulatan dari kedaulatan rakyat yang
biasa disebut sebagai pemilihan umum.
Fakta historis pemilihan umum di Indonesia telah muncul mulai dari
tahun 1955 hingga saat ini pada Tahun 2019. Namun, seiring berjalanya
waktu pemilihan umum terus bergerak dinamis mulai dari peraturanya
hingga mekanisme untuk melaksanakan pemilihan umum itu sendiri.
Pada pemilihan umum tahun 2004 ini rakyat Indonesia diberikan
angin segar dengan berlakunya pemilihan umum langsung pertama
sepanjang sejarah pemilihan umum yang ada di Indonesia. Hal ini
merupakan efek domino dari amandemen ke-3 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut sebagai
UUD NRI 1945. Dimana sebelum Amandemen Pasal 1 Ayat (2) UUD
NRI 1945 menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan setelah
amandemen berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Amandemen tersebut berdampak besar terhadap kelembagaan negara
Indonesia karena atas amandemen tersebut Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tidak lagi memiliki kuasa penuh atas kedaulatan rakyat.
Namun, beralih kepada Undang-undang Dasar yang memiliki otoritas
penuh terhadap kedaulatan rakyat. Salah satu contoh kewenangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dihapuskan adalah memilih Presiden dan
Wakil Presiden. Karena sebelum amandemen, MPR berwenang memilih
Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak. Namun, setelah
amandemen Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat.
41
Sebagai konsekuensi yuridis dari amandemen tersebut maka
terbentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden yang disahkan di Jakarta pada tanggal
31 Juli 2003 oleh Presiden ke-4 pada saat itu yakni Ibu Megawati
Soekarno Putri yang dalam poin menimbang Undang-Undang a quo
adalah :
1. Bahwa dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
pemerintahan negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat
2. Bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
diselenggarakan secara demokratis dan beradab dengan partisipasi
rakyat seluas-luasnya yang dilaksanakan berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b di atas perlu
ditetapkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden
Dengan disahkanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tersebut
yang merupakan pendelegasian kewenangan atas Pasal 6 Ayat (2) UUD
NRI 1945 yang berbunyi “ Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang “ maka
Ambang Batas Presidensil atau Presidential Threshold muncul pertama
kalinya dalam pemilihan umum yang ada di Indonesia tepatnya pada Pasal
5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang berbunyi
“ Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah
kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara
nasional pada pemilu anggota DPR ”
Perlu diketahui bahwa pada pemilu Tahun 2004 tersebut pemilu
dilaksanakan 2 kali yaitu pemilihan umum anggota DPR terlebih dahulu
baru kemudian pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
42
Pada Pemilu tersebut ada 6 (enam) pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang mendaftaran diri ke komisi pemilihan umum (KPU)
saat itu diantaranya adalah :
1. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (PKB)
2. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo (PAN)
3. Hamza Haz dan Agum Gumelar (PPP)
4. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi (PDIP)
5. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla ( Demokrat, PBB, PKPI)
6. Wiranto dan Salahuddin Wahid ( Golkar)
Pada pemilihan umum putaran pertama tidak ada yang mendapatkan
suara 50% lebih maka pemilihan umum dilakukan lagi untuk putaran
kedua dan yang berhak maju kembali adalah pasangan calon yang
memiliki suara terbanyak pertama dan kedua yakni Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla (33,57%) dan Megawati Soekarnoputri dan
Hasyim Muzadi (26,61%). Berdasarkan hasil pemilihan umum pada
putaran kedua Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla berhasil
menjadi pemenag dengan perolehan suara 60,62% sedangkan Megawati
Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi meraih suara 39,38%1
B. Pemilihan Umum Pada Tahun 2009 dan 2014
Seiring berjalanya waktu, undang-undang yang mengatur terkait
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri terus direvisi.
Setelah selesai dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada
Tahun 2004, pemilihan umum kembali dilaksanakan pada Tahun 2009 dan
2014. Aturan main pada kedua pemilu Presiden dan Wakil Presiden di
tahun tersebut adalah sama yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam point menimbang pada Undang-Undang Nomer 42 tahun 2008
disebutkan bahwa :
1 https://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf, diakses pada 21 Mei 2019
43
1. Bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Bahwa bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
3. Bahwa bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak sesuai
dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga undang-undang tersebut
perlu diganti
4. Bahwa bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam point 1, 2, dan 3, perlu membentuk undang-undang tentang
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
Terlihat pada point 3 dalam hal menimbang DPR merasa Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat. Sehingga, DPR
menjalankan fungsinya sebagai pembuat Undang-Undang dengan
mengganti undang-undang a quo dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008.
Namun, Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya DPR
merupakan salah satu lembaga politik yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Dasar yang dapat menghasilkan produk politik seperti undang-
undang yang menurut Moh.Mahfud MD, ada dua alasan yang yang
menyebabkan sebuah undang-undang berisi hal-hal yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pertama, pemerintah dan
DPR sebagai lembaga legislatif dalam membentuk undang-undang adalah
lembaga politik yang sangat mungkin membuat undang-undang atas dasar
kepentingan politik sendiri atau kelompok yang dominan didalamnya.
44
Kedua, pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik faktanya lebih
banyak berisi orang-orang yang bukan ahli hukum atau kurang dapat
berpikir menurut logika hukum.2
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 ini ambang batas
presidensil atau presidential threshold direvisi dan terdapat dalam Pasal 5
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang berbunyi :
“ Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah
kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara
nasional pada pemilu anggota DPR ” berubah menjadi “ Pasangan Calon
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu
yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh
lima persen)dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ” yang terdapat dalam
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ini.
Kenaikan ambang batas presidensil atau presidential threshod sebesar
5% ini sangat berpengaruh besar pada peserta pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden selanjutnya yaitu pada tahun 2009 dan 2014 sebagai
berikut :
1. Pada Tahun 2009
Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
memunculkan 3 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden
diantaranya :
a. Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto
b. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
c. Jusuf Kalla dan Wiranto
Pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang
keluar sebagai pemenang adalah pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediono dengan perolehan suara (60,80%) yang
kedua adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo
2 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, (Jakarta : LP3S, 1999),
h. 130.
45
Subianto dengan perolehan suara (26,79%) dan yang terakhir adalah
pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto dengan perolehan suara (12,41%)3
2. Pada Tahun 2014
Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014
memunculkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden
diantaranya :
a. Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa
b. Joko Widodo dan Jusuf Kalla
Ditahun 2014 pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa diusung
dari beberapa partai politik diantarantya adalah GOLKAR,
GERINDRA, PAN, PKS, PPP dan PBB serta partai pendukung yaitu
DEMOKRAT dengan total kursi DPR sebesar 51,9% sedangkan,
pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla diusung dari partai PDIP,
PKB, NASDEM, HANURA dan partai pendukungnya yaitu PKPI
dengan total Kursi DPR sebesar 36,46% dan yang keluar sebagai
pemenang adalah pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan
perolehan suara sebesar (53,15%) sedangkan pasangan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh suara sebesar (46,85%)4
Melihat data diatas implikasi atas dinaikanya Ambang Batas
Presidensil atau presidential threshold sebesar 5% untuk jumlah suara
DPR dan suara sah secara nasional memunculkan lebih sedikit calon
Presiden dan Wakil Presiden yang berkontestasi dalam Pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden. Dinaikanya presidential
threshold tersebut menuai pro dan kontra.
Ada yang berpendapat bahwa dengan adanya presidential threshold
tersebut akan memperkuat sistem Presidensil yang memaksa partai politik
menyeleksi calon Presiden dan Wakil Presiden karena jika presidential
threshold ditiadakan maka parlemen cenderung dominan sehingga dapat
3 https://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf, diakses pada 21 Mei 2019 diakses
pada tanggal 22 Mei 2019 4,https://kpu.go.id/koleksigambar/PPWP_-_Nasional_Rekapitulasi_2014_-_New_-
_Final_2014_07_22.pdf diakses pada tanggal 22 Mei 2019
46
memperlemah sistem presidensi, kemudian dengan adanyan presidential
threshold akan terjadi koalisi antar parpol untuk memperkuat pelaksanaan
pemerintah yang akan berdampak kepada pemerintahan yang efektif dan
diaturnya presidential threshold ini dengan maksud untuk
menyederhanakan partai politik di dalam sistem multi partai.5
Sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun
2014, ada pula pihak yang kontra hingga melakukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan pemohon seorang
pengamat politik yakini Efendi Ghazali untuk melakukan pengujian Pasal
3 Ayat (5), Pasal 9,Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal
112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap Pasal 4 Ayat (1),
Pasal 6A Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1),
Pasal 28D Ayat(1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI
1945
Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 dengan mengabulkan sebagian dari apa yang di
mohonkan oleh pemohon. Salah satu pasal yang tidak dikabulkan oleh
Mahkamah adalah Pasal 9 terkait dengan presidential threshold,
Mahkamah berpendapat bahwa, “Adapun mengenai pengujian
konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan
bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pasal
persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syara tuntuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD NRI 1945 “ atas keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut maka aturan main pada Pemilihan
5 Sodikin, Pemilu Serentak ( Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden )
dan Penguatan Sistem Presidensial, dalam Jurnal RechtsVinding Vol.3 No.1 April 2014, h. 28
47
Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2014 hanya
memunculkan 2 pasangan calon yakni yang sudah peneliti sebutkan diatas
Prabowo Subianto, Hatta Rajasa dan Joko Widodo, Jusuf Kalla.
C. Pemilihan Umum Tahun 2019
Tahun politik 2019 merupakan pengalaman baru dalam kegiatan
berdemokrasi di Indonesia. Karena untuk pertama kalinya Negara
Republik Indonesia melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dan Pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota) secara serentak. Hal tersebut merupakan dampak dari
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang
dimohonkan oleh seorang pengamat politik yakni Efendy Ghazali.
Pada putusan a quo Mahkamah berpendapat pada intinya bahwa posisi
Presiden dan Wakil Presiden adalah setara dengan posisi Anggota
Legislatif yang merupakan bagian dari Chechks and Balances. Ketika
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan pemilihan anggota
legislatif maka cenderung akan melemahkan sistem presidensil hal
tersebut berkaitan dengan jika calon Presiden dan Wakil Presiden ingin
maju sebagai Presiden dan Wakil Presiden maka mereka harus memiliki
kekuatan terlebih dahulu didalam anggota legislatif dalam hal ini adalah
DPR hal tersebut akan memungkinkan terjadi lobi-lobi politik dan
mengakibatkan ketika terpilih calon Presiden terpaksa harus melakukan
negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan
partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda
pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut
pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat dari pada
bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis
perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada
faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang
menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
48
Namun, dengan dikabulkanya pemilu serentak tersebut ada beberapa
ketentuan lain yang diatur oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pemilu
serentak tidak mungkin dapat dilakukan pada tahun 2014 karena menurut
Mahkamah tidak memungkinkan dan tidak memiliki cukup waktu untuk
menerapkan aturan baru tersebut, maka diperlukan aturan baru sebagai
dasar hukum untuk melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dan Pemilihan Anggota Legislatif secara serentak
Atas dasar itulah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali
mengganti Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam point pertimbangan apa
Undang-Undang a quo disebutkan bahwa :
1. Bahwa untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai
sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil
rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Bahwa diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan
sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi
menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum
yang efektif dan efisien
3. Bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
4. Bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-
49
Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah perlu disatukan dan disederhanakan
menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilihan
umum secara serentak
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang
Tentang Pemilihan Umum.
Atas dasar itulah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dibentuk dan
disahkan pada tanggal 15 Agustus 2017 oleh Joko Widodo sebagai
Presiden Republik Indoneisa. Namun dalam perjalanan panjang untuk
membetuk Undang-Undang tersebut tentu saja terjadi pro kontra dalam
setiap pembahasanya terutama yang peneliti fokuskan adalah pada bagian
presidential threshold dalam pembahasan ada dua opsi yang di ajukan
yakni opsi A presidential threshold sebesar 20% jumlah kursi DPR dan
25% jumlah suara sah secara nasional dan opsi B presidential threshold
sebesar 0%.
Pada akhirnya pimpinan sidang mengetok palunya dengan
mengesahkan opsi A secara bulat yang dihadiri oleh fraksi dar Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi
Partai Nasional Demokrat, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Fraksi Partai
Persatuan Pembangan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Tadinya
untuk mengesahkan RUU tersebut akan dilakukan voting namun, ada
empat fraksi yang melakukan walkout yaitu fraksi Partai Gerakan
Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat,
dan Fraksi Partai Amanat Nasional yang setuju pada opsi B sebesar 0%
yang mengakibatkan keputusan tersebut diambil secara aklamasi dengan
ketentuan Presidential Threshold sebesar 20% jumlah kursi DPR dan 25%
jumlah suara sah secara nasional .6 dengan disahkanya Undang-Undang
6 https://www.voaindonesia.com/a/meski-4-fraksi-keluar-dpr-tetap-sahkan-ruu-pemilu-
/3953297.html diakses pada tanggal 23 Mei 2019
50
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum makan landasan hukum
untuk Pemilu Serentak 2019 adalah Undang-Undang a quo
Setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
memunculkan 2 (dua) Calon Presiden dan Wakil Presiden kembali yaitu :
1. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin
2. Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno
Pada pemilu serentak 2019 ini terjadi rematch antara Joko Widodo
dan Prabowo keduanya pernah bertarung sebelumnya pada Pemilu
Presiden 2014 yang di menagkan Oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla. Kali ini Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin mempunyai dukungan
dari beberapa partai diantaranya adalah PDIP, GOLKAR, NASDEM,
PKB, PPP, PKPI, PSI, PERINDO, GARUDA dan HANURA sedangkan,
pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno mendapat
dukungan dari partai GERINDRA, PKS, Partai Berkarya, DEMOKRAT,
dan PAN.
Pemilu serentak 2019 ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo
dan KH. Ma’ruf Amin dengan perolehan suara sebesar 55,29% sedangkan
Pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno memperoleh
suara sebesar 44,71%.7
Pemilu seretak ini menimbulkan banyak polemik mulai dari petugas
kpps banyak yang meninggal hingga ketidakpercayaan tim dari pasangan
Pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno yakni Badan
Pemenangan Nasional (BPN) terhadap perhitungan suara oleh Komisi
Pemilihan Umum dan juga DPT gaib. Tim BPN berargumen bahwa KPU
sebagai penyelenggara pemilu tidak adil kepada pasangan Prabowo
Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno terkait dengan penggelembungan
suara pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dan juga polemik
terhadap daftar pemilih tetap yang gaib.
7 https://pemilu2019.kpu.go.id/#/ppwp/hitung-suara/ diakses pada tanggal 18 July 2019
51
Pengumuman pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanggal
21 Mei 2019 dini hari turut di warnai demonstrasi dari masa yang tidak
puas atas pengumuman yang disampaikan oleh KPU. Memang,
sebelumnya pun telah ada wacana aksi besar-besaran yang disebut people
power pada tanggal 22 Mei 2019 terhadap ketidakpuasan hasil situng yang
dilakukan oleh KPU.8 Pada akhirnya setelah pengumuman Presiden dan
Wakil Presiden tim BPN menempuh jalur konstitusi untuk menyelesaikan
masalah sengketa pemilu ini. BPN menggugat hasil pemilu tersebut ke
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengadili
perselisihan hasil pemilu.
Setelah semua tahapan sidang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,
pada hari Kamis 21 Juni 2019 Mahkamah melakukan sidang pembacaan
putusan terkait Nomor Perkara 01/PHPU-PRES/XVII/2019 dalam amar
putusanya Mahkamah menolak seluruh permohonan pemohon Mahkamah
berpendapat dalil-dalil yang di argumenkan oleh pemohon tidak beralasan
menurut hukum.9 Dengan putusan tersebut maka sengketa pemilu Presiden
dan Wakil Presiden berakhir dan KPU segera menetapkan Presiden dan
Wakil Presiden terpilih yakni Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin.
8 https://www.liputan6.com/tag/aksi-22-mei-2019 diakses pada tanggal 18 July 2019 9 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019
52
52
BAB IV
PROBLEMATIKA AMBANG BATAS PRESIDENSIL SEBAGAI
KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA DALAM PEMILIHAN UMUM DI
INDONESIA
A. Parlemen Sebagai Penentu Kualifikasi Ambang Batas Presidensil
Sebagai negara yang memproklamirkan negara hukum tentunya,
Indonesia dalam setiap kebijakan yang diambil harus berlandaskan atas
hukum yang telah disepakati bersama. Sebagaimana tujuan bangsa
Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke IV
yaitu :
“ untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka
disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat…..”
Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945
merupakan hukum dasar yang telah disepakati bersama oleh para founding
fathers untuk menjalankan suatu roda pemerintahan demi tercapainya
tujuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil
harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD NRI 1945
yang merupakan grundnorm bangsa Indonesia yang hanya memuat aturan-
aturan dasar. Karena hanya memuat aturan dasar , tentunya harus ada
aturan yang lebih teknis untuk dapat menjalankan aturan dasar tersebut.
Dalam menentukan suatu batasan peraturan perundang-undangan
menurut A Hamid S Attamimi yang di kutip oleh Radita Adjie adalah
peraturan negara di tingkat pusat dan di tingkat daerah yang dibentuk
berdasarkan kewenangan perundang-undanganya baik yang bersifat
53
atribusi maupun yang bersifat delegasi. 1 Atribusi kewenangan dalam hal
ini adalah pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pemberian
kewenangan tertentu kepada badan, lembaga, atau pejabat tertentu,
pemeberian kewenangan tersebut melahirkan kewenangan baru serta
tanggung jawab yang baru pula dan kewenangan delegasi adalah
penyerahan wewenang dalam hal ini adalah penyerahan kewenangan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dari badan, lembaga,
atau pejabat negara kepada badan, lembaga, atau pejabat negara lain.
Pemberi wewenang tersebut disebut sebagai Delegans dan penerima
wewenang tersebut disebut sebagai delegataris.2
Dalam hal penentu kebijakan yang berbentuk Undang-Undang, Pasal
20 UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada parlemen untuk
membentuk suatu undang-undang, yang dibahasnya bersama Presiden
untuk mendapatkan Persetujuan bersama. Jika tidak mendapatkan
persetujuan bersama maka, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh
diajukan kembali dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
dan jika mendapat persetujuan bersama maka, Rancangan undang-undang
tersebut disahkan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang. Dari
ketentuan diatas dapat peneliti simpulkan bahwa pemegang kekuasaan
dalam membentuk Undang-Undang adalah parlemen dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk merumuskan peraturan lebih
lanjut dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Konstitusi sebagai hukum
dasar.
Membahas terkait dengan legislasi sebagai kewenangan dari Dewan
Perwakilan Rakyat tidak terlepas dengan konsep dasar negara Indonesia
yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum” yang bermakna setiap
1 Radita Adjie, Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk Undang-Undang Berdasarkan
Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi ( Limit to Open Legal Policy In Legislation Based On
Constitutional Court Decision) dalam Jurnal Legislasi Indoensia Vol.13 No.02 Juni. 2016. h. 112. 2 Philipus M Hadjhon , Pengantar Hukum Administrasi, ( Yogyakarta : UGM Press,
2004). h. 128-129.
54
keputusan yang diambil oleh pemerintah harus mempunyai legitimasi yang
jelas agar keputusan tersebut tidak sewenang-wenang. Untuk membentuk
itu semua diperlukan suatu metode untuk membuat peraturan Perundang-
undangan agar bisa diterapkan dan penerapanya sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh masyarakat cara tersebut adalah Politik Hukum.
Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum buku karangan dari
Padmo Wahyono memberikan penjelasan politik hukum adalah kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk3. Menurut Soedarto politik hukum adalah kebijaksanaan dari
negara dengan perantara lembaga-lembaga yang berwenang untuk
menetapkan suatu aturan yang dikehendaki untuk memanifestasikan apa
yang dicita-citakan. 4 Sejalan dengan itu semua Moh.Mahfud MD
menyatakan secara eksplisit seperti yang dikutip dalam Disertasinya
Djawahir Hejazziey politik hukum adalah legal atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka untuk
mencapai tujuan negara.5 Melihat pendelegasian kewenangan dari
Undang-Udang Dasar ke undang-undang tersebut, dapat peneliti katakan
itu merupakan legal policy atau politik hukum untuk menentukan arah
kebijakan hukum apa yang akan diambil oleh lembaga berwenang dalam
hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat untuk memanifestasikan visi dan
misi dari norma fundamental negara yakni Pancasila dan Norma dasar
yaitu UUD NRI 1945.
Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk
membuat suatu legal policy melalui politik hukumnya namun sejatinya
dalam pembuatan suatu undang-undang yang tentu saja merupakan hukum
publik yang berlaku untuk seluruh warga negara kegiatan tersebut dapat
3 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet II, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986). h. 160. 4 Soedarto , Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana
, ( Bandung : Sinar Baru, 1983). h. 20. 5 Djawahir Hejazziey, Politik Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Di Indonesia,
(Jakarta : Uin Jakarta, 2010). h.26.
55
dikatakan sebagai freies Ermessen sebagai mana yang dinyatakan oleh
Zafarullah yang dikutip oleh Radita Adjie bahwasanya freies Ermessen
adalah kewenangan yang sah untuk turut ikut campur dalam tugas
menyelenggarakan kepentingan umum6. Menurut Sjachran Basah
sebagaimana dikutip oleh Syofrin Syofyan freies Ermessen merupakan
suatu tindakan dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik
mendapatkan kebebasan untuk bertindak atau inisiatif sendiri yang
dimungkinkan oleh hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
penting dan mendesak atau keleluasaan dalam menentukan kebijakan-
kebijakan melalui sikap tindakan administrasi negara yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh sebab, itu tindakan tersebut seharusnya
dilakukan tidak sewenang-wenang karena akan dipertanggungjawabkan
apalagi jika kita melihat konteks Negara Indonesia adalah Negara Hukum
sesuai dengan amanat konstitusi oleh karena itu freies Ermessen memiliki
unsur-unsur sebagai berikut7 :
1. Menjalankan Tugas-tugas servis publik
2. Menjadikan sikap tindakan yang aktif dari administrasi negara
3. Sikap dan tindakan itu dimungkinkan oleh hukum
4. Sikap dan tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri
5. Sikap dan tindakan itu diperlukan dalam dalam menyelesaikan
persoalan yang muncul tiba-tiba
6. Sikap dan tindakan itu untuk menentukan kebijakan-kebijakan
7. Sikap dan tindakan itu harus dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.
Untuk itu dalam menyelengarakan pelayanan publik dalam hal ini
membuat Undang-Undang Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh
sewenang-wenang dengan melakukan tindakan-tindakan diluar tujuan
6 Radita Adjie, “Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk Undang-Undang Berdasarkan
Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi ( Limit to Open Legal Policy In Legislation Based On
Constitutional Court Decision) dalam Jurnal Legislasi Indoensia Vol.13 No.02 Juni. 2016, h. 113. 7 Syofrin Syofyan, Asas freies Ermessen dan Aspek Perpajakan Leasing Menurut
Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing), dalam jurnal Veritas et Justitia Vol.3 No.1. Juni, 2017, h. 4.
56
kewenagan yang diberikan atau biasa disebut sebagai detournement de
pouvoir karena setiap perbuatan pemerintah dalam hal ini adalah Dewan
Perwakilan Rakyat yang merugikan Rakyatnya karena detournement de
pouvoir dapat dituntut di muka hakim baik melalui peradilan administrasi
negara maupun peradilan umum. 8 yang berarti jika kita kaitkan dengan
konteks pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah
peradilan konstitusi.
Keberlakuan politik hukum disatu wilayah dengan wilayah lain
sangatlah berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan
latar belakang kesejarahan, pandangan dunia, sosial-budaya atau value
yang ada di masyarakat dan political will dari masing-masing wilayah oleh
sebab itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum itu sendiri
diantaranya adalah kekuasaan pembentuk hukum, elite politik, sistem
ketatanegaraan dan perkembangan kedinamisan hukum itu sendiri. 9 oleh
sebab itu, politik hukum seharusnya selalu melihat nilai atau value yang
ada di masyarakat seperti nilai keagamaan, ras, suku maupun adat istiadat
yang tumbuh di masyarakat. Sebagai manifestasi dari itu semua para
founding fathers tentunya sudah berpikir sangat jauh dengan membuat
suatu staatfundamental norm yaitu Pancasila sebagai jati diri Bangsa
Indonesia dan di suatu aturan dasar yaitu grundnorm UUD NRI 1945
tepatnya pada bagian prembule alinea ke-IV sebagai tujuan dari Negara
Indonesia kedua hal tersebut merupakan rambu-rambu dalam menentukan
suatu arah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam hal ini
adalah Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan membentuk
suatu Undang-Undang. Berdasarkan apa yang telah peneliti kemukakan
diatas peneliti berpandangan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat diberikan
suatu keleluasaan dalam menentukan arah kebijakan hukum atau legal
policy yang akan diambil dalam hal pembuatan Undang-Undang bersama
Presiden sepanjang norma dalam undang-undang tersebut :
8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,… h. 177-178 9 Djawahir Hejazziey, Politik Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Di
Indonesia ,...h.34
57
1. Tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai jati diri Bangsa
Indonesia
2. Tidak bertentangan dengan Norma dasar Negara Indonesia yakni
UUD NRI 1945
3. Tidak melampaui kewenangan yang diberikan kepada pembentuk
undang-undang
4. Tidak menyalahgunakan kewenangan tersebut
B. Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Tunggal Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia Tahun 1945
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut tercantum dalam
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstiusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstiusi.
Ketentuan diatas merupakan adanya suatu pemberian kewenangan
yang bersifat atribusi tepatnya pada Pasal 24 Ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi :
“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi “
“ Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-Undang”
Adanya pemberian wewenang yang bersifat atribusi dari Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstiusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstiusi, yang bermakna bahwa pemberian kewenangan
58
tersebut melahirkan kewenangan baru serta tanggung jawab yang baru
pula.
Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Setiap kebijakan yang
diambil harus memiliki legal standing yang jelas agar mendapat legalitas
secara formil maupun materil. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia
merupakan Negara hukum yang demokratis yang berarti bahwa Negara
Indonesia memberikan keleluasaan untuk berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat yang terdapat dalam Pasal 28 E UUD NRI 1945.
Namun, tentunya bukan berarti diberikan sebebas-bebasnya, tetapi juga
ada rambu-rambu yang tidak boleh di lewati oleh karena itu negara hukum
yang demokratis menyiratkan bahwa keberadaan suatu hukum yang tidak
totaliter namun hukum yang berpihak kepada rakyat dan menjunjung
tinggi hak-hak asasi.
Sejalan dengan hal tersebut, terbentuknya Mahkamah Konstitusi tidak
lepas dari amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang sebelumnya Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan satu-satunya lembaga yang
memegang kedaulatan rakyat. Namun setelah amandemen ketiga ini,
kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan Menurut UUD
NRI 1945. Kenyataan tersebut memunculkan asumsi baru bahwa suatu
keputusan yang diambil secara demokratis tidak selalu sesuai dengan
konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD NRI 1945.10
Dalam konteks tersebut, artinya terjadi sustu pergeseran yaitu yang
sebelumnya merupakan supremasi parlemen (MPR) dimana parlemen
memiliki kewenangan absolut dalam membentuk suatu Undang-Undang
dan tidak bisa dibatalkan oleh lembaga Negara apapun namun, sekarang
terjadi pergeseran menjadi supremasi konstitusi yang bermakna bahwa
parlemen dalam ini tetap mempunyai kewenangan dalam membentuk
10 Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi, Oktober 2009, h.
8.
59
suatu Undang-undang. Namun, jika ada suatu materi muatan yang
dianggap melanggar hak konstitusional warga Negara yang telah di jamin
oleh konstitusi atau jelas-jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945
sebagai konstitusi maka, Undang-undang Tersebut dapat di uji
konstitusionalitasnya kepada lembaga yang berwenang mengujinya yaitu
Mahkamah Konstitusi. Dan jika terbukti Undang-undang Tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maka, Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga
yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan UUD NRI 1945 berhak
menyatakan Undang-Undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa Negara
Indonesia semakin sadar betapa pentingnya untuk menegakan
konstitusionalisme yang menurut Laica Marzuki konstitusionalisme
mengandung esensi pembatasan suatu kekuasaan. 11
Dengan adanya pergeseran dari Supremasi Parlemen menjadi
Supremasi Konstitusi, Memasuki tahun politik 2019, Rhoma Irama yang
merupakan ketua umum partai IDAMAN mengajukan judical review ke
Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum terhadap UUD NRI 1945. Ia merasa hak
konstitusioanalnya sebagai warga negara terenggut atas disahkanya
undang-undang tersebut dengan Nomor Perkara 53/PUU-XV/2017.
Permohon dalam permohonan tersebut meminta Mahkamah sebagai
satu-satunya lembaga yang berwenang dalam menafsirkan Undang-UUD
NRI 1945 untuk menguji Pasal 173 Ayat (1) sepanjang frasa “telah
ditetapkan”, Pasal 173 Ayat (3) dan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017, LN No.
182, TLN No. 6109) terhadap UUD NRI 1945.
Dalam hal legal standing sesuai dengan Pasal 51 Ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :
11 M. Laica Marzuki, Konstitusi dan Konstitusionalisme, dalam Jurnal Konstitusi Vol 7
No.4, Agustus 2010, h. 4
60
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD NRI 1945
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi
Menurut Pemohon dalam hal legal standing ia merasa telah memenuhi
persyaratan yang terdapat dalam lima syarat diatas. Yaitu dengan
mendapat kerugian atau setidak-tidaknya potensial merugikan Pemohon.
Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat
diskriminatif yang diberlakukan kepada Pemohon sebagai partai politik
berbadan hukum dalam kepesertaan Pemilu pada Pemilu berikutnya
(2019). Oleh karena itu dalam posita Pemohon terkait dengan presidential
threshold pemohon merasa Bahwa walaupun Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan “... ketentuan Pasal
persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk
mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang …” sebagai open legal policy,
namun tidak bulat dan utuh sebagai open legal policy dari seluruh
kehendak wakil rakyat di DPR RI. Ada Partai Gerindra, Partai Demokrat,
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional yang walk out dan
menolak dari open legal policy yang dipaksakan oleh partai politik
endukung pemerintah dan pemerintah. Penentuan open legal policy Pasal
61
222 UU a quo nyata-nyata merupakan manipulasi politik dan tarik menarik
kepentingan Partai Politik Oposisi yang ada di DPR RI, partai politik
pendukung pemerintah, dan pemerintah. Di dalam permohonan ini
diuraikan open legal policy Pasal 222 UU a quo yang demikian nyata-
nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Pemohon merasa bahwa ambang batas pengusungan calon Presiden
dan Wakil Presiden (Presidential Treshold) sebagaimana dimaksud Pasal
222 UU a quo sudah pernah digunakan pada pemilu Tahun 2014 sehingga
sangat tidak relevan dan daluarsa ketika diterapkan sebagai prasyarat
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara
serentak bersamaan pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tahun
2019 dan juga bahwa syarat 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara
nasional pada pemilu anggota DPR pada pemilu tahun 2014 sudah
digunakan untuk mengusung Pasangan Calon Joko Widodo-Jusuf Kalla
dan pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Diibaratkan ketentuan Pasal 222
UU a quo adalah tiket bioskop maka tiket bioskop ini telah disobek untuk
menonton pertunjukan film yang telah lalu.
Ketentuan Presidential Treshold jika diberlakukan maka, akan terjadi
politik transaksional yang nyata-nyata menciderai demokrasi itu sendiri.
Dan akan sia-sia maksud dan tujuan Rhoma Irama dalam mendirikan
Partai Idaman sebagai partai pengusung calon Presiden pada Pemilu 2019.
politik transaksional tersebut merupakan praktik yang harus dihilangkan
karena menciderai sendi-sendi demokrasi dan justru akan merusak sistem
presidensil dimana kedudukan Presiden dengan DPR adalah kedudukan
yang setara dan seimbang. Menjadikan persentase hasil pemilu legislatif
sebagai basis menghitung ambang batas mengajukan calon presiden tidak
dapat dibenarkan sama sekali dalam sistem presidensil.
Atas dasar itu pemohon meminta kepada Mahkamah untuk
mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan
62
Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum (UU No. 7 Thn 2017, LN No. 182, TLN No. 6109) bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun sangat disayangkan setelah melalui pertimbangan hukumnya
yang akan peneliti analisis pada sub bab selanjutnya, Menurut Mahkamah,
permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 undang-
undang pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum. Atas Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang bersifat final and
binding berimplikasi pada aturan pemilihan umum serentak 2019 yang
tetap mengacu pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum yang tetap memberlakukan syarat pencalonan
Presiden dan Wakil dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional
pada Pemilu anggota DPR sebelumnya dan menghadirkan hanya ada 2
pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Joko Widodo dan KH.
Ma’ruf Amin yang mempunyai dukungan dari beberapa partai yang duduk
di parlemen diantaranya adalah PDIP, GOLKAR, NASDEM, PKB, PPP,
PKPI, PSI, PERINDO, GARUDA dan HANURA sedangkan, pasangan
Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno mendapat dukungan dari
partai GERINDRA, PKS, Partai Berkarya, DEMOKRAT, dan PAN.
C. Analisis Pertimbangan Hukum Berkenaan dengan Presidential
Threshold dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017
Dalam Pertimbangan Hukum terkait dengan presidential threshold
Mahkamah mempertimbangan beberapa point diantaranya adalah :
a. Dalam pokok permohonan menurut Mahkamah yang pertama Bahwa
harus senantiasa diingat, salah satu substansi penting perubahan UUD
NRI 1945 adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial.
63
Substansi ini bahkan merupakan salah satu dari lima kesepakatan
politik penting yang diterima secara aklamasi oleh seluruh fraksi yang
ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999
sebelum melakukan perubahan terhadap UUD NRI 1945. Lahirnya
kesepakatan ini didahului oleh perdebatan karena adanya keragu-
raguan dan perbedaan pendapat perihal sistem pemerintahan yang
dianut oleh UUD NRI 1945 (sebelum dilakukan perubahan), apakah
sistem presidensial ataukah parlementer sebab ciri-ciri dari kedua
sistem tersebut terdapat dalam UUD NRI 1945 (sebelum dilakukan
perubahan) dan dalam praktiknya secara empirik. Ciri sistem
presidensial tampak, di antaranya, bahwa Presiden dan Wakil Presiden
memerintah dalam suatu periode tertentu (fixed executive term of
office), jika Presiden berhalangan ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya, Presiden adalah kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan, Presiden dan menteri-menteri tidak
bertanggung jawab kepada DPR. Sementara itu, ciri sistem
Parlementer ditunjukkan, antara lain, bahwa Presiden dan Wakil
Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan oleh MPR
(yang saat itu secara fungsional maupun keanggotaannya adalah
parlemen dalam arti luas), Presiden bertanggung jawab kepada MPR,
Presiden setiap saat dapat diberhentikan oleh MPR karena alasan
politik yaitu jika MPR berpendapat bahwa Presiden sungguh-sungguh
telah melanggar garis-garis besar dari pada haluan negara, Presiden
menjalankan pemerintahan bukan didasarkan atas program-program
yang disusunnya sendiri berdasarkan visinya dalam
mengimplementasikan amanat Konstitusi (UUD NRI 1945) melainkan
hanya melaksanakan apa yang dimandatkan oleh MPR yaitu berupa
garis-garis besar dari pada haluan negara. Oleh karena itu, melalui
perubahan UUD NRI 1945, ciri-ciri sistem presidensial itu ditegaskan
dan, sebaliknya, ciri-ciri sistem parlementer dihilangkan. Saat ini,
sistem pemerintahan presidensial menurut UUD NRI 1945 dapat
64
diidentifikasi secara tegas berdasarkan ciri-ciri, antara lain, Presiden
dan Wakil Presiden)dipilih langsung oleh rakyat; Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya dalam suatu peroide yang ditentukan;
Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan;
Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR (maupun DPR);
Presiden tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan dalam masa
jabatannya karena alasan politik melainkan hanya jika terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau jika terbukti memenuhi keadaan
sebagaimana disebutkan dalam UUD NRI 1945 setelah melalui
putusan pengadilan terlebih dahulu (in casu Mahkamah Konstitusi).
b. Kedua, bahwa, penguatan sistem pemerintahan presidensial yang
dilakukan melalui perubahan UUD NRI 1945 sebagaimana diuraikan
pada point a diatas telah cukup memenuhi syarat untuk
membedakannya dari sistem parlementer kendatipun tidak semua ciri
yang secara teoretik terdapat dalam sistem presidensial secara eksplisit
tersurat dalam UUD NRI 1945. Sebagaimana telah menjadi
pemahaman umum di kalangan ahli ilmu politik maupun hukum tata
negara, secara teoretik, sistem pemerintahan presidensial memuat ciri-
ciri umum, meskipun tidak dalam setiap sistem pemerintahan
Presidensial dengan sendirinya menunjukkan seluruh ciri-ciri
dimaksud. Pertama, lembaga perwakilan (assembly) adalah lembaga
yang terpisah dari lembaga kepresidenan. Kedua, Presiden dipilih oleh
rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Jadi, baik Presiden maupun
lembaga perwakilan sama-sama memperoleh legitimasinya langsung
dari rakyat pemilih. Karena itu, Presiden tidak dapat diberhentikan
atau dipaksa berhenti dalam masa jabatannya oleh lembaga
perwakilan (kecuali melalui impeachment karena adanya pelanggaran
yang telah ditentukan). Ketiga, Presiden adalah kepala pemerintahan
sekaligus kepala negara. Keempat, presiden memilih sendiri menteri-
menteri atau anggota kabinetnya (di Amerika disebut Secretaries).
Kelima, Presiden adalah satu-satunya pemegang kekuasaan eksekutif
65
(berbeda dari sistem parlementer di mana perdana menteri adalah
primus interpares, yang pertama di antara yang sederajat). Keenam,
anggota lembaga perwakilan tidak boleh menjadi bagian dari
pemerintahan atau sebaliknya. Ketujuh, Presiden tidak bertanggung
jawab kepada lembaga perwakilan melainkan kepada konstitusi.
Kedelapan, Presiden tidak dapat membubarkan lembaga perwakilan.
Kesembilan, kendatipun pada dasarnya berlaku prinsip supremasi
konstitusi, dalam hal-hal tertentu, lembaga perwakilan memiliki
kekuasaan lebih dibandingkan dengan dua cabang kekuasaan lainnya.
Hal ini mengacu pada praktik (di Amerika Serikat) di mana Presiden
yang diberi kekuasaan begitu besar oleh konstitusi namun dalam hal-
hal tertentu ia hanya dapat melaksanakan kekuasaan itu setelah
mendapatkan persetujuan kongres. Kesepuluh, presiden sebagai
pemegang pucuk pimpinan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab
langsung kepada pemilihnya. Kesebelas, berbeda dari sistem
parlementer di mana parlemen merupakan titik pusat dari segala
aktivitas politik, dalam sistem presidensial hal semacam itu tidak
dikenal.
c. Ketiga, bahwa memperkuat sistem presidensial selain dalam
pengertian mempertegas ciri-cirinya, sebagaimana diuraikan pada
point a di atas, juga memiliki makna lain yakni dalam konteks sosio-
politik. Secara sosio-politik, dengan mempertimbangkan
keberbhinekaan atau kemajemukan masyarakat Indonesia dalam
berbagai aspek, jabatan Presiden dan Wakil Presiden atau lembaga
kepresidenan adalah simbol pemersatu bangsa, simbol keindonesiaan.
lembaga kepresidenan diidealkan harus mencerminkan perwujudan
“rasa memiliki” seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
lembaga kepresidenan harus merepresentasikan realitas
keberbhinekaan atau pluralitas masyarakat Indonesia itu. Dari dasar
pemikiran itulah semangat constitutional engineering yang tertuang
dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini harus
66
dipahami untuk mencapai tujuan dimaksud. Pasal 6A Ayat (3) UUD
NRI 1945 menyatakan,
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Dengan rumusan demikian, seseorang yang terpilih sebagai Presiden
(dan Wakil Presiden) Republik Indonesia tidak cukup hanya
memenangi dukungan bagian terbesar suara rakyat (mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan
umum”) tetapi juga dukungan suara daerah (“dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia). Dengan semangat
constitutional engineering demikian, pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden bukanlah sekadar perhelatan dan kontestasi memilih kepala
negara dan kepala pemerintahan untuk jangka waktu tertentu
melainkan juga diidealkan sebagai bagian dari upaya penguatan
kebangsaan Indonesia yang bertolak dari kesadaran akan realitas
empirik masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk dalam
beragam aspek kehidupannya. Bilamana cara ideal ini tidak tercapai,
barulah ditempuh cara berikutnya sebagaimana tertuang dalam Pasal
6A Ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan,
“Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Dalam hal ini dikonstruksikan bahwa sebelumnya terdapat lebih dari
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden namun tidak terdapat
satu pasangan pun yang memenuhi kriteria keterpilihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 sehingga perlu
dilakukan pemilihan putaran kedua dari dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua (pada pemilihan
67
putaran pertama). Dalam putaran kedua ini tidak lagi dibutuhkan
pemenuhan syarat persebaran provinsi sebagaimana diatur dalam
Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 melainkan siapa pun pasangan
yang memperoleh suara terbanyak dari dua kandidat pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan putaran kedua itu,
pasangan itulah yang dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil
Presiden terpilih.
Terhadap point pertimbangan mulai dari a, b, dan c bahwasanya
sepertinya pertimbangan Mahkamah berargumen pada intinya adanya
presidential Threshold ini merupakan penguatan sistem presidensial.
Namun, menurut peneliti munculnya presidential threshold sebagai
penguatan sistem presidensil nampaknya harus di rekonseptualisasi.
Pasalnya, secara teoritis menurut Haris Syamsudin, basis legitimasi
seorang presiden dalam sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi
politik dari hasil pemilu legislatif yang ada di parlemen. Lembaga
kepresidenan dan lembaga parlemen merupakan dua institusi yang berbeda
dalam sistem presidensial yang berarti keduanya tidak tergantung satu
sama lain. Presiden dan pemerintahanya pada dasarnya harus tetap bekerja
secara efektif tanpa harus bergantung sepenuhnya terhadap dukungan
parlemen. 12
Seperti yang dikatakan oleh Montesqieu bahwasanya perlu
adanya satu satu konsep dalam bernegara dengan melakukan pemisahan
atas kekuasaan-kekuasaan yang ada di negara tersebut dengan kedudukan
yang sejajar sehingga dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi
satu sama lain (Checks and Balances) oleh karena itu Montesqiueu
memisahkan tiga lembaga yakni legislastif sebagai pembuat Undang-
Undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan yudikatif
sebagai pengadilan atas pelanggaran undang-undang. Hal ini jelas bahwa
berarti lembaga parlemen dan lembaga kepresidenan terpisah dan memiliki
atau memperoleh legitimasi langsung dari rakyat pemilih. Pandangan
12 Haris Syamsudin, Evaluasi Pemilihan Presiden Langsung Di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Peajar, 2016). h. 251.
68
peneliti memang bahwasanya lembaga parlemen sudah memiliki legitimasi
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Rakyat memilih wakilnya
sesuai dengan daerah pemilihanya dan jika mereka terpilih begitu juga
partai politik yang ia tunggangi lolos dari parlementary threshold maka
wakilnya tersebut akan langsung dilantik untuk menjadi anggota parlemen
(DPR). Namun, lain halnya dengan lembaga kepresidenan jika di
syaratkan ada pembatasan dalam pencalonan presiden atau presidential
threshold yang berasal dari kursi parlemen (DPR).
Ketentuan tersebut menurut peneliti justru bukan akan memperkuat
sistem Presidensial namun justru akan berpotensi mencampurnya dengan
sistem Parlementer. Dimana dalam sistem parlementer pemberian
legitimasi dari rakyat berlangsung secara satu arah mulai dari rakyat
memilih parlemen (partai politik) kemudian parlemen (partai politik)
memilih eksekutif dalam hal ini adalah perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan oleh karena itu kedudukan Perdana Menteri (Eksekutif)
lebih rendah dibanding dengan parlemen sebab Perdana Menteri
bertanggung jawab kepada parlemen13 sedangkan, untuk pemilihan
presiden dengan syarat presidential threshold maka, calon Presiden dan
Wakil Presiden terlebih dahulu harus memiliki dukungan dari parlemen
terlebih dahulu sebesar angka yang ditentukan baru kemudian setelah
memenuhi ambang batas tersebut barulah seseorang dapat dicalonkan
sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian setelah itu baru
dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Disini terlihat jelas bahwa jika
terdapat ketentuan presidential threshold artinya lembaga kepresidenan
tidak memiliki legitimasi secara langsung melalui rakyat namun harus
melewati kontrak politik yang terjadi di parlemen.
Terlebih jika dikaitkan dengan pemilihan umum langsung yang dianut
oleh Negara Indonesia, secara konseptual, mekanisme dalam pengisian
13 Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2001), h.74.
69
jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat telah
memberikan sebuah gambaran bahwa terjadi kontrak sosial antara pemilih
dan orang yang akan dipilihnya. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih rill
dari rakyat dan kemauan pemilih akan menjadi legitimasi Presiden dan
Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaanya dalam mengelola negara.
14 jika kita kaitkan dengan adanya ketentuan presidential threshold maka,
hal tersebut membuat pemilihan umum secara langsung kehilangan
esensinya karna dengan adanya ketentuan tersebut artinya Presiden dan
Wakil Presiden pemilih tidak mendapatkan mandat atau dukungan riil dari
rakyat, karna sebelumnya untuk dapat menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden harus melewati ambang batas yang ditentukan dari hasil kontrak
politik yang terjadi di parlemen. Sejalan dengan hal tersebut, menurut
Saldi Isra, ada beberapa alasan yang sangat mendasar mengapa dilakukan
pemilihan umum secara langsung, yaitu 15
:
1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan secara
langsung akan mendapat mandat dan dukungan riil dari rakyat sebagai
wujud kontrak sosial anatara pemilih dan calon yang akan dipilihnya,
kemauan yang memilih akan menjadi legitimasi bagi Presiden dan
Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaanya
2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung secara
otomatis akan menghindari dari intrik-intrik politik dalam proses
pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan sangat mudah
terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi jika pemilihan umum tidak
menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar menawar
politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan
3. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung akan
memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan
14 Dahlan Thalib, Ketatanegaraan Indonesia : Prespektif Konstitusional, (Yogyakarta :
Total Media, 2009), h. 115. 15 Saldi Isra, Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem
Presidensial,...h. 108.
70
pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain.
Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya
penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin
diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah
mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political
party representation)
4. Pemilihan umum secara langsung dapat menciptakan perimbangan
antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama
dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden
dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat
d. Keempat, Bahwa pada umumnya diterima pendapat di mana
penerapan sistem pemerintahan presidensial oleh suatu negara
idealnya disertai penyederhanaan dalam sistem kepartaiannya.
Pengertian ideal di sini adalah mengacu pada efektivitas jalannya
pemerintahan. Benar bahwa terdapat negara yang menerapkan sistem
Presidensial dalam sistem pemerintahannya dan sekaligus menganut
prinsip multipartai dalam sistem kepartaiannya, namun praktik
demikian tidak menjamin efektivitas pemerintahan, lebih-lebih dalam
masyarakat yang budaya demokrasinya sedang dalam “tahap menjadi”
(in the stage of becoming). Lazimnya, faktor pengalaman sejarah dan
kondisi sosial-politik empirik memiliki pengaruh signifikan terhadap
diambilnya pilihan sistem ketatanegaraan suatu bangsa yang
kemudian dituangkan ke dalam Konstitusinya. Dalam konteks
Indonesia, bagi MPR, dengan kewenangan konstitusional yang
dimilikinya untuk mengubah Undang-Undang Dasar, pilihan untuk
membatasi jumlah partai politik secara konstitusional sesungguhnya
dapat saja dilakukan selama berlangsungnya proses perubahan
terhadap UUD 1945 (1999-2002). Namun, pilihan demikian ternyata
tidak diambil oleh MPR. Dari perspektif demokrasi, tidak diambilnya
pilihan demikian dapat dijelaskan karena dalam demokrasi, negara
harus menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional warga negaranya.
71
Salah satu dari hak konstitusional dimaksud adalah hak untuk
mendirikan partai politik yang diturunkan dari hak atas kebebasan
menganut keyakinan politik dan hak atas kemerdekaan berserikat yang
dalam konteks hak asasi manusia merupakan bagian dari hak-hak sipil
dan politik (civil and political rights). Namun, di lain pihak disadari
pula bahwa sebagai konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan
Presidensial terdapat kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah partai
politik. Oleh karena itu, persoalannya kemudian adalah bagaimana
cara konstitusional yang dapat ditempuh agar sistem presidensial
(yang mengidealkan penyederhanaan jumlah partai politik) dapat
berjalan dengan baik tanpa perlu melakukan pembatasan secara tegas
melalui norma Konstitusi terhadap jumlah partai politik. Dalam
konteks demikianlah rumusan yang tertuang dalam Pasal 6A Ayat (2)
UUD NRI 1945 harus dipahami. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945
berbunyi :
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.”
Semangat constitutional engineering dalam rumusan tersebut adalah
bahwa Konstitusi mendorong agar partai-partai yang memiliki
platform, visi, atau ideologi yang sama atau serupa berkoalisi dalam
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan jabatan
eksekutif puncak dalam sistem presidensial. Apabila kemudian
ternyata bahwa partai-partai yang bergabung atau berkoalisi tersebut
berhasil dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
maka ke depan diharapkan akan lahir koalisi yang permanen sehingga
dalam jangka panjang diharapkan akan terjadi penyederhanaan partai
secara alamiah. Dengan kata lain, penyederhanaan partai yang
dikonsepsikan sebagai kondisi ideal dalam sistem Presidensial
dikonstruksikan akan terjadi tanpa melalui “paksaan” norma
Konstitusi. Bahwa faktanya hingga saat ini penyederhanaan partai
secara alamiah tersebut belum terwujudkan di Indonesia, hal itu
72
bukanlah serta-merta berarti gagalnya semangat constitutional
engineering yang terdapat dalam UUD NRI 1945. Hal demikian
terjadi lebih disebabkan oleh belum terbangunnya kedewasaan atau
kematangan berdemokrasi dan terutama karena tidak
terimplementasikannya secara tepat semangat tersebut dalam Undang-
Undang yang mengatur lebih lanjut gagasan yang terdapat dalam
UUD NRI 1945 tersebut. Praktik demokrasi yang menunjukkan telah
terbentuknya budaya demokrasi tidak akan terjadi selama demokrasi
dipahami dan diperlakukan semata-mata sebagai bagian dari sistem
politik, yang artinya demokrasi belum tertanam atau terinternalisasi
sebagai bagian dari sistem nilai – yang seharusnya menjadi bagian
integral dari sistem pendidikan. Dalam konteks ini, tuntutan akan
bekerjanya fungsi pendidikan politik dari partai-partai politik menjadi
kebutuhan yang tak terelakkan. Sebab, partai politik adalah salah satu
penopang utama demokrasi dalam sistem demokrasi perwakilan
(representative democracy), lebih-lebih dalam demokrasi perwakilan
yang menuntut sekaligus bekerjanya segi-segi demokrasi langsung
sebagaimana menjadi diskursus para cerdik pandai yang
menginginkan terwujudnya gagasan deliberative democracy dalam
praktik.
e. Kelima, Bahwa, di satu pihak, tidak atau belum terwujudnya
penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah sebagaimana
diinginkan padahal penyederhanaan jumlah partai politik tersebut
merupakan kebutuhan bagi berjalan efektifnya sistem pemerintahan
Presidensial, sementara itu, di lain pihak, prinsip multipartai tetap
(hendak) dipertahankan dalam sistem kepartaian di Indonesia telah
ternyata melahirkan corak pemerintahan yang kerap dijadikan kelakar
sinis dengan sebutan “sistem presidensial rasa parlementer.” Sebutan
yang merujuk pada keadaan yang menggambarkan di mana, karena
ada banyak partai, Presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh
partai yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, bahkan dapat terjadi
73
di mana Presiden hanya didukung oleh partai yang memperoleh kursi
sangat minoritas di DPR. Keadaan demikian dapat dipastikan
menyulitkan Presiden dalam menjalankan pemerintahan, lebih-lebih
untuk mewujudkan program- programnya sebagaimana dijanjikan
pada saat kampanye. Ini membuat seorang Presiden terpilih (elected
President) berada dalam posisi dilematis: apakah ia akan berjalan
dengan programnya sendiri dan bertahan dengan ciri sistem
Presidensial dengan mengatakan kepada DPR “You represent your
constituency, I represent the whole people,” sebagaimana acapkali
diteorisasikan sebagai perwujudan legilitimasi langsung Presiden yang
diperolehnya dari rakyat, ataukah ia akan berkompromi dengan partai-
partai pemilik kursi di DPR agar program pemerintahannya dapat
berjalan efektif. Jika alternatif pertama yang ditempuh, pada titik
tertentu dapat terjadi kebuntuan pemerintahan yang disebabkan oleh
tidak tercapainya titik temu antara Presiden dan DPR dalam
penyusunan undang-undang padahal, misalnya, undang-undang
tersebut mutlak harus ada bagi pelaksanaan suatu program Presiden.
Berbeda halnya dengan praktik di Amerika Serikat di mana kebuntuan
dalam pembentukan suatu undang-undang tidak akan terjadi sebab
meskipun Presiden Amerika Serikat memiliki hak untuk memveto
rancangan undang-undang yang telah disetujui Kongres, namun veto
Presiden tersebut dapat digugurkan oleh tercapainya suatu suara
mayoritas bersyarat di Kongres. Mekanisme demikian tidak terdapat
dalam prosedur pembahasan rancangan Undang-Undang menurut
UUD NRI 1945. Setiap rancangan Undang- Undang mempersyaratkan
adanya persetujuan bersama DPR dan Presiden. Jika persetujuan
bersama dimaksud tidak diperoleh maka rancangan undang- undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu Pasal
20 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945. Artinya, secara teoretik,
terdapat kemungkinan di mana Presiden tidak setuju dengan suatu
rancangan undang- undang meskipun seluruh fraksi yang ada di DPR
74
menyetujuinya, sehingga undang-undang dimaksud tidak akan
terbentuk. Sebaliknya, dimana seorang Presiden sangat
berkepentingan akan hadirnya suatu undang-undang karena hal itu
merupakan bagian dari janji kampanye yang harus diwujudkannya
namun hal itu tidak mendapatkan persetujuan DPR semata- mata
karena Presiden tidak memiliki cukup partai pendukung di DPR,
akibatnya undang-undang itu pun tidak akan terbentuk. Keadaan
demikian dapat pula terjadi dalam hal penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) yang rancangannya harus
diajukan oleh Presiden. Oleh karena itu, jika seorang Presiden terpilih
ternyata tidak mendapatkan cukup dukungan suara partai
pendukungnya di DPR maka kecenderungan yang terjadi adalah
bahwa seorang Presiden terpilih akan menempuh cara yang kedua,
yaitu melakukan kompromi-kompromi atau tawar-menawar politik
(political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR. Cara
yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan “jatah”
menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR sehingga
yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan
pemerintahan koalisi dalam sistem Parlementer. Kompromi-kompromi
demikian secara esensial jelas kontradiktif dengan semangat
menguatkan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana menjadi
desain konstitusional UUD NRI 1945. Seberapa besar pun dukungan
atau legitimasi yang diperoleh seorang Presiden (dan Wakil Presiden)
terpilih melalui suara rakyat yang diberikan secara langsung dalam
Pemilu, hal itu tidak akan menghilangkan situasi dilematis
sebagaimana digambarkan di atas yang pada akhirnya secara rasional-
realistis “memaksa” seorang Presiden terpilih untuk melakukan
kompromi-kompromi politik yang kemudian melahirkan corak
pemerintahan “Presidensial rasa Parlementer” di atas. Keadaan
demikian hanya dapat dicegah apabila dibangun suatu mekanisme
yang memungkinkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih memiliki
75
cukup dukungan suara partai-partai politik yang memiliki kursi di
DPR. Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu
adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal
diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai
politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula
dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan
terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan
suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua,
penyederhanaan jumlah partai politik.
Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat
jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan
partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau
estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR
jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi
personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak
sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan
partai- partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak
politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai-partai
pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan
menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus
dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih
kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya
kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai
mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang
ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan
76
demikian, fenomena lahirnya “sistem presidensial rasa parlementer”
dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi
Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan
memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai
politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong
lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah
sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung
dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke
arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang
bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan
akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun
dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan
kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan
Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi
yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai
pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab
Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih
telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan
program- program yang ditawarkannya maka secara rasional juga
harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung
tercapainya program- program tersebut yang tidak lain adalah partai-
partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik
yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden
77
dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan
Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut
menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang
secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan
dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan.
Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-
partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai
politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud
penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal
mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal
itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam
pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-
program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang
mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah
frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A Ayat
(2) UUD NRI 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu
pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A Ayat
(2) UUD NRI 1945 yang selengkapnya berbunyi:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
Norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan
sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong
tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di
pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana
kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem
Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum
terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di
78
atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi- fungsi
partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik.
Terhadap point pertimbangan d dan e bahwasanya sepertinya
pertimbangan Mahkamah berargumen pada intinya adanya Presidential
Threshold ini merupakan suatu design konstitusional sebagai upaya dari
penyederhanaan partai politik didalam iklim Negara Indonesia yang
bersifat Multipartai. Namun, menurut pandangan peneliti design
konstitusional benar dapat dilakukan sepanjang design tersebut tidak
melanggar esensi daripada konstitusi tersebut.
Sebagai perwujudan dalam negara hukum yang berdemokrasi Negara
Indonesia tentunya harus memenuhi setiap unsur dalam berdemokrasi.
Maka dari itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang memuat norma dasar sebagai landasan dalam
menyelenggarakan pemerimtahan Negara Indonesia sangat menghormati
nilai-nilai dalam berdemokrasi.
Perwujudan tersebut salah satunya terlihat dalam Pasal 28E Ayat (3)
UUD NRI 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendaapat.”
Konsekuensi yuridis atas norma tersebut tentunya Negara Indonesia
harus memberikan ruang untuk setiap warga negara untuk dapat
berkumpul, berserikat, maupun mengeluarkan pendapat di muka umum
atas dasar tesebut, Indonesia membentuk salah satu wadah unuk berserikat
maupun berkumpul yakni aturan pembuatan partai politik. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2008. Pasal 1 Undang-Undang a quo memberi pengertian
partai politik adalah partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 bahwa dalam rangka
79
menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif
sesuai dengan amanat UUD NRI 1945, diperlukan penguatan
kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.
Berdasarkan hal diatas, di satu sisi pembentukan partai politik
diberikan jaminan dalam konstitusi namun disisi lain, dalam rangka
menjalankan demokrasi, negara juga harus dapat memastikan partai politik
yang berkualitas apalagi partai politik tersebut akan mengikuti Pemilu dan
mencalonkan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan dalam sistem presidensial dan tetunya partai politik tersebut
justru harus dapat dipastikan tidak menghambat jalannya demokrasi.
Artinya bahwa pendirian partai politik adalah hak setiap warga negara
namun disisi lain, untuk dapat mengikuti suatu kontestasi pemilu ada
syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh partai politik tersebut.
Di sisi lain dalam sistem pemerintahan presidensial yang
menggunakan sistem multipartai dapat memunculkan fenomena
pemerintahan yang terbelah atau biasa disebut dengan divide goverment
yang salah satu penyebabnya adalah pelaksanaan Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden terpisah dengan Pemilihan Umum Legislatif.
Kondisi tersebut memungkinkan adanya Partai Politik yang Memenangkan
Pemilu Presiden namun, gagal dalam memperoleh suara mayoritas dalam
parlemen. Oleh karena itu, untuk menghindari terbelahnya pemerintahan
maka, pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif dilaksanakaan
secara serentak.
Sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun
2014 Efendy Ghazali dkk melakukan Judicial Review ke Mahkamah
Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 untuk melakukan pengujianPasal 3 Ayat (5),
Pasal 9,Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap Pasal 4 Ayat (1), Pasal
6A Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal
80
28D Ayat(1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI Tahun
1945
Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 dengan mengabulkan sebagian dari apa yang di
mohonkan oleh pemohon. Konsekuensi atas keluarnya putusan mahkamah
konstitusi tersebut adalah untuk pertama kalinya Negara Republik
Indonesia melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan
Pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota) secara serentak.
Jika di kaitkan dengan konteks presidential threshold sebagai
penyederhanaan partai politik maka, peneliti lebih setuju dengan
mekanisme Pemilu Serentak ini dijadikan sebagai sistem peyederhanaan
partai politik dibanding dengan diterapkanya presidential threshold.
Karena mekanisme pemilu serentak jika dijadikan sebagai mekanisme
peyederhanaan partai politik terlihat lebih “adil” jika dibanding dengan
menerapkan presidential threshold sebagai upaya dalam menyederhanakan
partai politik di dalam Negara Indonesia yang beriklim multipartai dengan
tidak membatasi hak orang lain untuk mencalonkan diri sebagai Presiden
dan Wakil Presiden.
Untuk permasalahan dalam koalisi, justru adanya pemilu serentak ini
menurut Jimly Asshiddiqie dapat menjamin pola hubungan eksekutif dan
legislatif yang terpisah atas dasar eksistensi yang pasti antara lembaga
kepresiden dan lembaga parlemen masing-masing menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian,
koalisi juga dapat diadakan secara pasti dan mengikat pada tiga tingkatan
sekaligus, yaitu pertama, koalisi atau gabungan partai dalam pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden (pre electoral coalition), kedua, Koalisi
dalam pembentukan cabinet (government formation), yang dilakukan
secara terintegrasi dengan yang ketiga, yaitu koalisi dalam struktur barisan
81
mayoritas versus minoritas di DPR RI (establishment of parliamentary
structute)16
Argumen adanya presidential threshold sebagai pengefektifan
presiden yang terpilih dan sebagai penyederhanaan partai politik juga tidak
sepenuhnya tepat. Karena pada dasarnya Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyeleggara pemilu juga sudah lebih selektif dan juga diseleksi secara
ketat partai politik yang akan mengikuti pemilu yang kemudian akan
mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai politik tersebut.
Hal tersebut terlihat dalam Pasal 173 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi ;
“ Partai Politik peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Dan Partai politik dapat menjadi
Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan
di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau
1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan
partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan
dengan kepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap
untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu
g. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada
KPU dan
h. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas
nama partai politik kepada KPU.
Ayat (3) Undang-Undang a quo berbunyi :
“Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu”
16 Jimly Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2015), h.71
82
Pasal 173 Ayat (1) dan Ayat (3) di Judical Review Ke Mahkamah
Konstitusi dengan Pemohon yang sama yakni Rhoma Irama. Pemohon
mendalilkan bahwa Pasal Pasal 173 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang
a quo bersifat diskriminatif karena partai politik yang baru berbadan
hukum wajib diverifikasi untuk mengikuti kontestasi pemilu 2019
sedangkan untuk partai politik pada tahun 2014 tidak diwajibkan ikut
verifikasi untuk mengikuti kontestasi pemilu pada tahun 2019 hal tersebut
jelas Undang-Undang a quo bersifat diskriminatif atas dasar tersebut
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 53/PUU-XV/2017
yang berdampak pada seluruh partai politik yang akan mengikuti
kontestasi pemilihan umum tahun 2019 harus diverifikasi ulang.
Menurut peneliti, segala kententuan diatas merupakan cara yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk memilih mana partai
politik yang memang pantas untuk mengikuti pemilihan umum. Terlebih
partai politik tersebut akan mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden
yang akan mengikuti kontestasi. Penyeleksian partai politik peserta pemilu
secara ketat oleh Komisi Pemilihan Umum itu sebenarnya merupakan
bentuk dari pada penyederhanaan partai politik.
f. Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18
Februari 2009, dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum (UU 42/2008), telah menegaskan
bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai
politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon
Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum pembentuk
undang-undang dengan mendasarkan argumentasinya Dalam
pertimbangan hukum Putusan a quo, Mahkamah menyatakan antara
lain : Menimbang bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden,
pembentuk Undang-Undang juga telah menerapkan kebijakan ambang
batas untuk pengusulan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
83
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi
persyaratan kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah
nasional dalam Pemilu Anggota DPR sebelum pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Kebijakan threshold semacam itu juga
telah diterapkan sebagai kebijakan. hukum (legal policy) dalam
electoral threshold (ET) dengan tujuan untuk mencapai sistem
multipartai yang sederhana, kebijakan mana dalam Putusan Nomor
16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007, serta kebijakan
parliamentary threshold (PT) tentang syarat perolehan suara sebesar
2,5% (dua koma lima per seratus) dari suara sah secara nasional untuk
ikut memperebutkan kursi di DPR, dengan Putusan Nomor 3/PUU-
VII/2009, oleh Mahkamah telah dinyatakan tidak bertentangan dengan
UUD NRI 1945, karena merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh
UUD NRI 1945 yang sifatnya terbuka.
Dengan demikian, Mahkamah sesungguhnya telah menyatakan
pendiriannya berkenaan dengan presidential threshold dengan
mendasarkanya pada pertimbangan hukum diatas Mahkamah berpendapat
pertimbangan tersebut masih relevan dan menyatakan presidential
threshold merupakan kebijakan hukum terbuka yang merupakan
kewenangan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang.
Pendapat peneliti terkait pertimbangan hukum tersebut adalah
nampaknya argumentasi presidential threshold merupakan kebijakan
hukum terbuka atau open legal policy harus di tinjau kembali. Pasalnya
setelah peneliti menelisik kembali Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya
Bab V Tentang Pemilihan Umum tidak terdapat pembahasan dalam
original intent terkait syarat ambang batas presidensil atau presidential
threshold apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah secara nasional
pemilu legislatif berdasarkan hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dari mulai
pembahasan pada masa perubahan pertama hingga masa perubahan ke
84
empat.17
Rumusan perubahan ke-empat seperti yang dapat kita lihat
sekarang terdapat dalam Pasal 6A Ayat (1) berbunyi :
“ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat “
Ayat (2) berbunyi ” Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
Ayat (3) berbunyi “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan
umum dengan sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden”
Ayat (4) berbunyi ” dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak
di lantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”
Pada Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mensyaratkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun
yang jadi permasalahanya kebijakan hukum terbuka yang dibuat oleh DPR
dengan merumuskan norma baru pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dengan menambahkan aturan
pembatasan sebesar 25% suara sah secara nasional yang sebenarnya tidak
terdapat dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945. Dan terlebih menurut J
Mark Payne sebagaimana dikutip oleh Allan Fatchan Gani Wardhana dan
Jamaludin Ghafur sesungguhnya presidential threshold dalam sistem
Presidensil bermakna adalah syarat keterpilihan dan bukan syarat
pencalonan seperti lazimnya negara-negara yang menganut sistem
presidensil.18
Hal tersebut bermakna bahwa seharusnya yang disebut
sebagai presidential threshold adalah yang terdapat dalam Pasal 6A Ayat
(3) yang berbunyi :
17 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 khususnya Bab V Tentang Pemilihan Umum. 18 Ghafur Jamaludin, Allan Fatchan Gani Wardhana, Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Partai Politik,
dalam jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 3 Tahun
2018, 741-760, h. 28.
85
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden” sebagai syarat keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden
bukan syarat pencalonan.
Atas dasar tersebut peneliti berpendapat norma Pasal 222 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan
dengan norma pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 yang hanya
mengatur partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sesuai
dengan original intent perumusan norma tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut bermakna bahwa sesuai dengan apa yang
telah peneliti kemukakan pada sub bab pertama bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat diberikan suatu keleluasaan dalam menentukan arah kebijakan
hukum atau Legal Policy yang akan diambil dalam hal pembuatan
Undang-Undang bersama Presiden sepanjang norma dalam Undang-
Undang tersebut :
1. Tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai jati diri Bangsa
Indonesia
2. Tidak bertentangan dengan Norma dasar Negara Indonesia yakni
UUD NRI 1945
3. Tidak melampaui kewenangan yang diberikan kepada pembentuk
undang-undang
4. Tidak menyalahgunakan kewenangan tersebut
Atas dasar tersebut peneliti berpendapat bahwa norma Pasal 222
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bukan
merupakan suatu kebijakan hukum terbuka atau open legal policy karena
bertentangan dengan norma dasar dengan menambahkan pembatasan baru
yang nyatanya tidak ada dalam rumusan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI
1945 sebagai Norma Dasar Negara Indonesia.
86
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah dan analisis kajian pustaka yang
telah peneliti uraikan sebelumnya, peneliti berkesimpulan sebagai berikut :
1. Politik hukum yang tidak melanggar rambu-rambu yang telah
ditentukan
Dewan Perwakilan Rakyat diberikan suatu keleluasaan dalam
menentukan arah kebijakan hukum atau legal policy yang akan
diambil dalam hal pembuatan Undang-Undang bersama Presiden
sepanjang norma dalam Undang-Undang tersebut Tidak bertentangan
dengan Pancasila sebagai jati diri Bangsa Indonesia, Tidak
bertentangan dengan Norma dasar Negara Indonesia yakni Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tidak
melampaui kewenangan yang diberikan kepada pembentuk undang-
undang, dan tidak menyalahgunakan kewenangan tersebut .
2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.53/PUU-XV/2017
terhadap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017
berimplikasi pada aturan Pemilihan Umum Serentak 2019 yang tetap
mengacu pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum yang tetap memberlakukan syarat
pencalonan Presiden dan Wakil dapat diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)
dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya
dan menghadirkan hanya ada 2 pasang calon Presiden dan Wakil
Presiden yaitu Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dan pasangan
Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
87
3. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017
Argumentasi presidential threshold sebagai penguatan sistem
presidensil, penyederhanaan partai politik dan sebagai kebijakan
hukum terbuka atau open legal policy harus di tinjau kembali karena
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
B. Rekomendasi
Peneliti memahami sebagaimana kajian yang telah diuraikan di
atas, bahwa dalam kontestasi pemilihan umum di Indonesia rawan
akan konflik kepentingan yang terjadi dalam setiap Pemilu 5 tahunan.
Terlebih dalam membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum sebagai aturan main dalam menentukan
Presiden dan Wakil Presiden. Oleh sebab itu, peneliti memberikan
rekomendasi sebagai berikut :
1. Dikarenakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum ini sedang di uji materil di Mahkamah
Konstitusi, peneliti berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan
Pasal 222 Undang-Undang a quo tidak berkekuatan hukum tetap.
2. Ketika pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
tetap, peneliti mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat segera
untuk merevisi Undang-Undang tersebut sebagaimana yang
tertuang di dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum, dengan menetapkan ambang
batas presidensil menjadi 0% sebagai upaya untuk tidak
membatasi hak konstitusional yang diatur dalam konstitusi yaitu
hak untuk berpolitik mewujudkan Pemilu yang berkeadilan di
dalam negara hukum yang berdemokrasi.
88
Daftar Pustaka
Buku-buku
Alfian. Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1981.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2008.
Ashidiqie, Jimly. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
_______. , Prinsip-Prinsip Negara Hukum, Dalam Beberapa Aspek Hukum Tata
Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Menyambut 73 Tahun Prof.
Dr.H. Muhammad Tahir Azhary . Jakarta: Prenada media group, 2013.
_______. , Hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
_______. , Pengantar Ilmu hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Azed, Abdul Bari. Sistem-sistem Pemilihan Umum. Depok : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
Azhary. Negara Hukum Indonesia, “Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
Unsurnya”. Jakarta: UII Press, 1995.
Boyle, Beetham David & Kevin. Demokrasi : 80 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius,
2000.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia,, 2002.
C.S.T.Kansil. Dasar-Dasar Ilmu politik. Yogyakarta: UNY Press, 1986.
Dede Rosyada, A. Ubaidillah, Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan (Civil
Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi
Revisi cet.kedua. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2008.
Djalil, Matori Abdul. Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu 1999
dalam Masa Transisi. Jakarta: KIPP, 1999.
Dzulkifli Umar, Usman Handoyo. Kamus Hukum. Jakarta, Quantum Media Press:
Quantum Media Press, 2010 .
Farida, Maria. Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta: PT.Kanisius, 2007.
89
G.Guba, Yvonna S.Lincoln & Egon. Naturalistic inquiry. Beverly Hills: Sage
Publication, 1985.
Hadjhon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi. Yogyakarta: UGM Press,
2004.
_______. , Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi tentang
Prinsip-Prinspnya, Penangananya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Peembentukan Peradilan Administrasi. Surabaya: Perabadan, 2007.
Perabadan. hal 75.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah. , Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Buku ke V
Tentang Pemilihan Umum. Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2010.
M., Sri Soemantri. Pengertian Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni Bandung, 1987.
Manan, Abdul. Aspek-aspek pengubah hukum. Jakarta: Kencana, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Ed.Revisi. Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005.
F.Marbun dan Moh.Mahfud.MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberty , 2002.
Moh.Mahfud.MD. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta:
LP3S, 1999.
_______. , Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
_______. , Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2001.
Mulyadi, Mohammad. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Serta Praktek
Kombinasinya dalam Penelitian Sosial. Jakarta: Nadi Pustaka, 2010.
Murya, Edy. buku ajar pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Medan: Unit
pelaksana teknis laboraturium ilmu dasar dan umum, 2010.
Napang, Marthen. Pemilihan Presiden Amerika Serikat . Makasar : Yusticia Press ,
2008.
Pemilu, Badan Pengawas. Tausyiah Pemilu Berkah. Jakarta: Bawaslu, 2018 .
90
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta
: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis). Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009).
______. , Hukum progresif,sebuah sintesa hukum indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
Rozal, Abdulah. Pelaksana otonomi luas dengan pemilihan kepala daerah
langsung. Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2007.
S.Lev, Daniel. Hukum dan Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1990.
Sodikin. Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan. Bekasi: Gramata
Publishing, 2014.
Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum
Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983.
Suseno, Frans Magnis. Mencari Sosok Demokrasi ; Sebuah Telaah Filosofis. Jakarta:
Gramedia, 1997.
Syamsudin, Haris. Evaluasi Pemilihan Presiden Langsung Di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Peajar, 2016.
Thalib, Dahlan. Ketatanegaraan Indonesia : Prespektif Konstitusional. Yogyakarta:
Total Media, 2009.
Thoha, Miftah. Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014.
Wahyono, Padmo. “Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum” Cet II. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986.
Jurnal
Adjie, Radita. “Batasan Pilihan Pembentuk Undang-Undang ( Open Legal Policy )
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Tafsir
Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.02
Juni, 2016.
91
Alexander, Jeffry. “Memaknai “Hukum Negara (Law Through state ) dalam bingkai
“Negara Hukum” (Rechstaat).” Jurnal Hasanuddin Law Review Vol.1 No.1,
April, 2015.
Asshidiqie, Jimly. “Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen
Demokrasi.” Jurnal Konstitusi Vol.3 No.4, Desember, 2006.
Bachtiar, Farahdiba Rahma. “Pemilu Indonesia : Kiblat Negara Demokrasi dari
Berbagai Refresentasi.” Jurnal Politik Profetik Vol.3 No.1 Tahun, 2014.
Diniyanto, Ayon. “Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di pemilu
serentak 2019.” Jurnal Indonesia State Law Review Vol.1 No.1. Oktober,
2018.
Gaffar, Janedjri M. “Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” Jurnal Mahkamah Konstitusi,
2009.
Ghafur Jamaludin, Allan Fatchan Wardhana. “Rekonstruksi Politik Hukum
Presidential Threshold Ditinjau Dari Sistem Presidensial dan
Penyederhanaan Partai Politik.” jurnal Seminar Nasional Hukum
Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 3, 741-760, 2018: 28.
Isra, Saldi. “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem
Presidensial.” Jurnal Konstitusi Vol.II, No.1 Juni, 2009.
Kemenkumham. “Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan
Umum 2014.” Jurnal Legislasi Vol.9 No.4, Desember, 2014.
Marzuki, M. Laica. “Konstitusi dan Konstitusionalisme.” Jurnal Konstitusi Vol 7
No.4, Agustus, 2010.
Pamungkas, Sigit. “Perihal Pemilu.” Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada,
2009.
Prayudi. “MPR, transisi kedaulatan rakyat dan dampak politiknya.” jurnal Politica
Vol.3 No.1 Mei, 2012.
Ranggawidjaja., Rosjidi. “Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi.” jurnal
Konstitusi PSKN, 2011.
Siallagan, Haposan. “Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia.” Jurnal
Sosiohumaniora Vol.18 No.2 Juli, 2016.
92
Simamora, Janpatar. “Tafsir Makna Negara Hukum Dalam Prespektif Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Jurnal Dinamika
Hukum Vol.14 No.3, September, 2014.
Sodikin. “Pemilu Serentak ( Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden ) dan Penguatan Sistem Presidensial.” Jurnal RechtsVinding Vol.3
No.1 April, 2014.
Syofyan, Syofrin. “Asas freies Ermessen dan Aspek Perpajakan Leasing Menurut
Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991Tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha (Leasing).” jurnal Veritas et Justitia Vol.3 No.1. Juni,
2017.
Wibowo, Mardian. “Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang.” Jurnal Konstitusi., 2015.
Yulistiyowati Efi, Endah. “Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif atas Undang-Undang
Tahun 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen.” Jurnal Dinamika Sosial
Budaya Vol. 18 No.2, Desember, 2016.
Karya Tulis Ilmiah
Ashiddiqie,Jimly. “Membangun Budaya Sadar berkonstitusi Untuk Mewujudkan
Negara Hukum yang Demokratis”, Bahan Orasi Ilmiah Peringatan Dies
Natalis ke XXI dan Wisuda 2007 Universitas Darul Ulum (Unisda)
Lamongan. 29 Desember 2007
Hejazziey, Djawahir. Politik Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Di
Indonesia” , Jakarta, Uin Jakarta, 2010
So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup” , Tesis S-2 Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro,
2009
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
93
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstiusi
sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstiusi
Kamus Hukum
Garner, Bryan A., ed. (2014). "nation". Black's Law Dictionary (10th ed.)
Media Internet
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Penerapan. Diakses pada tanggal 6 Januari
2019
Jamal Wiwoho, Negara Hukum dan Demokrasi, http://jamalwiwoho.com/wp-
content/uploads/2013/01/Negara-Hukum-dan-Demokrasi.pdf, diakses
pada tanggal 14 Mei 2019 WEB
http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang diakses pada tanggal 19 Mei
2019
https://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf, diakses pada 21 Mei 2019
https://kpu.go.id/koleksigambar/PPWP_-_Nasional_Rekapitulasi_2014_-_New_-
_Final_2014_07_22.pdf diakses pada tanggal 22 Mei 2019
https://www.voaindonesia.com/a/meski-4-fraksi-keluar-dpr-tetap-sahkan-ruu-
pemilu-/3953297.html diakses pada tanggal 23 Mei 2019
https://pemilu2019.kpu.go.id/#/ppwp/hitung-suara/ diakses pada tanggal 18 July
2019
https://www.liputan6.com/tag/aksi-22-mei-2019 diakses pada tanggal 18 July
2019