PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DALAM...
Transcript of PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DALAM...
PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH
DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
JUMIATIL HUDA
NIM. 106044101412
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini menyatakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari ini terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Jakarta, 24 Maret 2011
JUMIATIL HUDA
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tiada hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan
rahmat, nikmat, dan taufiq-Nya sehingga memberikan kemampuan kepada penulis untuk
menyusun skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat
serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Seorang suri tauladan yang mesti kita contoh sebagai
teladan yang berorientasi kepada kepentingan umat.
Ungkapan terima kasih yang tiada terkira dari penulis kepada pihak-pihak yang turut
membantu dan sangat berjasa dalam proses pelaksanaan penulisan skripsi ini.
Dengan penuh ikhlas dan hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Program Studi Peradilan Agama.
3. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, dan Ibu Dr.Hj.Mesraini, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing, yang telah
banyak memberikan pengarahan dan bimbingan yang berharga dalam menyusun skripsi ini.
4. Kedua orang tua yang penulis cintai, sayangi serta hormati, mereka adalah Muhammad Arifin
Amin dan Roslaini, yang telah memberikan perhatian dan bimbingan lahir bathin serta telah
mendo‟akan penulis agar penulis dimudahkan dalam mengerjakan tugas akhir penulis. Semoga
Allah membalas segala kebaikan Omak dan Aba dengan diberikan kemudahan dan kesabaran
dalam menjalani hidup. Semoga semua pengorbanan Omak dan Aba menjadi bekal di akhirat
kelak. Amin ya Rabbal‟alamin. Selnjutnya kepada kakanda semua mulai dari kak Ida Yanti S.Pd,
Bang Edi Setiawan S.Ag, Bang Iwan Kurniawan S.T, M.T, Bang Hendri Gunawan S.E, dan kak
Indah Armayeni S.E, serta keponakan-keponakan yang sangat penulis sayangi, semoga kalian
menjadi generasi Islam yang mulia (harapan bunda kepada kalian), amin.
5. K.H. TG. Drs. Mukhtar Abdul Witri (alm) yang merupakan Kiyai sewaktu penulis masih di
Pondok Dar El Hikmah Pekan Baru Riau. Beliau telah banyak memberikan nasehat dan tausiyah
serta beliau juga menjadi penasehat IKAPDH (Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Darel Hikmah)
Jakarta selama masa hidup beliau. Jazakumullah bil Jannah. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemuliaan di akhirat kepada beliau, amien.
6. Kak Syurthoh Rasyidah S.T, yang telah membantu membimbing penulis dalam mengerjakan
skripsi. Jazakumullah bil Jannah. Semoga kakak diberikan kemudahan, kelancaran, kesabaran
dalam menjalankan amanah yang Allah titipkan pada kakak, amien.
7. Mbak Hanin dan dedek Kaisy yang imut, yang telah mengarahkan dalam mengerjakan skripsi.
Beserta kakak-kakak dan teman-teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu khususnya di
Hizbut Tahrir yang telah membantu memberikan ide-ide dalam penyusunan skripsi.
Jazakumullah bil Jannah. Semoga semuanya diberikan balasan yang berlipat ganda sebagai
investasi di akhirat kelak, amin ya Rabbal‟alamin.
8. Kepada rekan-rekan satu perjuangan di kelas Peradilan Agama B angkatan 2006, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kotribusi dalam menyusun skripsi.
9. Kepada teman-teman di rumah binaan (Rubin) Al Ghuraba yang telah bersedia menemani hingga
larut malam, yang mungkin tidak perlu disebutkan namanya, karena cukup Malaikat dan Allah
yang menjadi saksi dan sebaik-baik memberi balasan yang tentunya balasan yang berlipat ganda
sebagai investasi di akhirat kelak. Amin
10. Kepada sobat-sobat dan rekan-rekan seperjuangan di IKAPDH khususnya angkatan X umumnya
kakak-kakak dan adek-adek Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah Jakarta, Jazakumullah bil
Jannah.
Mudah-mudahan apa yang penulis sajikan ini di ridhoi Allah SWT sehingga karya ini dapat
bermanfaat baik bagi diri penulis, keluarga dan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Amin.
Jakarta, 24 Maret 2011
Penulis
JUMIATIL HUDA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D. Studi Review Terdahulu ............................................................................. 8
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 10
BAB II KONSEP MATHLA’ ........................................................................................ 12
A. Pengertian .................................................................................................... 12
B. Pendapat Ulama Tentang Mathla‟ .............................................................. 13
C. Mathla‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah .................................................... 24
BAB III HIZBUT TAHRIR DAN CORAK PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG
IBADAH ............................................................................................................ 29
A. Sejarah Ringkas Hizbut Tahrir .................................................................... 29
B. Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Fiqih .................................. 35
BAB IV PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR
.............................................................................................................................. 48
A. Dasar Pijakan dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah .................. 48
B. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia ................................ 62
C. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di
Indonesia) .................................................................................................... 68
D. Pandangan Hizbut Tahrir Mengenai Keharusan Adanya Institusi Politik
Pemersatu Umat (Khilafah) Untuk Menyatukan Umat Secara Global …… 75
BAB V PENUTUP ......................................................................................................... 79
A. Kesimpulan ................................................................................................. 79
B. Saran-Saran ................................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT yang telah menciptakan bintang-bintang di langit (ada 100.000 juta bintang di
dalam tata surya kita), dan menjadikan matahari bintang yang paling dekat ke bumi
(cahayanya mencapai bumi dalam 499.0121, sedang sinar yang diterima bumi 6 juta kali dari
yang ditangkap bintang-bintang lain). Dialah Allah SWT yang menjadikan bintang-bintang
bersinar dan menjadikan bulan terang, menyerap dan menyemburkan kembali sinar yang
diterimanya dari matahari. Dialah Allah SWT Yang Maha Pencipta menentukan garis edaran
atau manzilah-manzilah bagi masing-masing matahari maupun bulan yang dengan itu kita
dapat mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) termasuk di dalamnya perhitungan
waktu awal bulan.
Agama mengajarkan manusia untuk memanfaatkan regularitas fenomena alam itu untuk
berzikir, mengingat dan bersyukur atas berbagai karunia dan limpahan rahmat Yang Maha
Pencipta. Agama menuntun memilih acuan sehingga manusia tak perlu berdebat untuk
memberikan inisial atau nilai awal dalam menggunakan sebagian fenomena fase bulan dan
alam, bila dibebaskan manusia boleh saja memilih apa saja sebagai acuan dan hal itu akan
hanya menimbulkan kekacauan.2
Khususnya dalam menentukan awal bulan Qamariyah, kita sering mengalami adanya
perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan serta perbedaan berhari Raya
Qurban (Idul Adha). Perbedaan ini baik di kalangan umat Islam Indonesia maupun antar umat
Islam Indonesia dengan di luar negeri, seperti Malaysia atau Saudi Arabia. Perbedaan tidak
1Abdurrahman Al Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali “Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir
Ramadhan, (Jakarta: INSAN Citra Media Utama,tth), Hal.1.
2 Hendra Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: Al-Ghuraba, 2008, Cet. Ke-I), hal.3
jarang menimbulkan keresahan, bahkan lebih dari itu kadang-kadang menimbulkan
pertentangan fisik di kalangan umat Islam. Sudah barang tentu perbedaan seperti ini
merugikan persatuan dan ukhuwah umat Islam.3
Berkenaan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda:
ب أد ب شجؼخ: حذث صيذ قبه: حذث ذث ح ب : حذث شيشح سضي اهلل ػ ؼذ أثب ه: ع قبه اىجي صي : يق
قبه ، ا عي : اهلل ػيي عي صي اهلل ػيي اىقبع )): قبه اث ، فب ا ىشإيز افطش ا ىشإيز ص
ثالثي ا ػذح عؼجب ي فآم . غجي ػيين
“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu
Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah
berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)4
Rasulullah SAW juga bersabda:
خ غي ب ػجذ اهلل ث ب: حذث ش سضي اهلل ػ ػ ػجذ اهلل ث بس، ػ دي يل، ػ ػجذ اهلل ث ب : حذث ا
قبه عي )): سعه اهلل صي اهلل ػيي ، فب ا حز رش ىييخ، فال رص ػشش ش رغغ اىش
ا اىؼذح ثالثي ي فبم ػيين (. ( غ
“Diriwiyatkan oleh „Abdullah Bin Muslamah, Malik, „Abdillah bin Dinar, „Abdillah bin
Umar ra. Bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda: “Bulan itu ada 29 hari, maka
janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka
sempurnakanlah hitungan 30.” (HR. Bukhari)5
Perbedaan jatuhnya awal dan akhir Ramadhan tidak hanya disebabkan oleh adanya
perbedaan antara kelompok hisab dan kelompok rukyat saja, melainkan sering pula terjadi
disebabkan adanya perbedaan intern kalangan yang berpegang pada rukyat dan perbedaan
3 Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta: tp,2004), hal.1 4 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, (Beirut-Libanon: Darul Kitab
„Alamiyyah, 1419 H/1998 M), hal.630 5 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.629
intern kalangan yang berpegang hisab. Perbedaan intern kalangan yang berpegang pada
rukyat antara lain disebabkan dua hal. Pertama, karena adanya perbedaan tentang mathla‟.
Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia, sebab
hadits Nabi: “Berpuasalah kamu jika melihat hilal...” adalah ditujukan untuk umat Islam di
dunia. Pendapat ini dipegang Komisi Penyatuan Kalender Internasional. Di samping itu ada
pula yang berpendapat bahwa hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah
kekuasaan hakim yang mengitsbatkan hasil rukyat tersebut. Pendapat lainnya mengatakan
bahwa hasil rukyat di suatu tempat hanya berlaku untuk daerah-daerah di mana posisi hilal
memungkinkan dirukyat. Kedua, karena berbedanya penilaian terhadap keabsahan hasil
rukyat. Ini dapat disebabkan karena diragukannya “adalah” (keadilan) orang yang berhasil
melihat hilal bisa dirukyat. 6
Dari penjelasan di atas bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan itu terjadi.
Peneliti ingin melihat yang menjadi penyebab perbedaan itu pada point pertama yaitu
perbedaan tentang mathla‟, maksudnya adalah perbedaan pandangan para ulama tentang
mathla‟ yang terbagi menjadi dua macam yaitu Ikhtilaful Matoli‟ dan Ittihadul Matoli‟.
Mengenai ikhtilaful matoli‟/mathali‟ --yang digunakan sebagian orang sebagai alasan
(untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri)-- itu tidak lain merupakan manath (fakta
untuk penerapan hukum) yang berkaitan dengan terbitnya hilal dan telah dibahas oleh para
ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita
rukyatul hilal pada malam yang sama ke seluruh penjuru negara Khilafah Islamiyah yang
amat luas wilayahnya, disebabkan komunikasi yang sangat terbatas. Dalam konsep perbedaan
matla‟ (ikhtilaful mathla‟), setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km memiliki
6 Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta:tp,2004), hal.3
mathla‟ sendiri. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dengan rukyat yang
dilakukan di Cakung, tapi tidak terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu. Begitu juga,
penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Sidoarjo dan seterusnya.
Dengan konsep mathla‟ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar
5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla‟.7
Permasalahan perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri bulan Ramadhan, Idul Fitri dan
Idul Adha ini hampir tiap tahun terjadi, khususnya di negeri mayoritas Muslim ini, Indonesia.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa permasalahan perbedaan itu terjadi pada masa
dulu –Khilafah Islamiyah- kemungkinan besar adalah disebabkan oleh sulitnya
menyampaikan informasi ke negeri yang lain. Ini sangat menarik bagi penulis, karena seiring
dengan berkembangnya zaman semakin canggih alat untuk menyampaikan informasi ke
daerah-daerah dan negeri-negeri Muslim lainnnya. Namun, mengapa perbedaan ini terus
terjadi di kalangan kaum Muslimin itu sendiri? Seharusnya dengan alat yang canggih itu
mampu menyatukan kaum Muslimin seluruh dunia, tapi itu tidak terjadi. Ini yang membuat
penulis semakin terus ingin mengkaji.
Namun anehnya fenomena yang sama tidak terjadi di belahan dunia Islam lainnya seperti
Timur Tengah dan Afrika. Kalaupun terdapat perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, itu
hanya terjadi antar negara bukan di satu negara sebagaimana kejadian di Indonesia.8
Setelah penulis perhatikan bahwa banyak di antara ormas Islam khususnya di Indonesia,
hanya Hizbut Tahrir yang tsiqah dengan konsep Khilafah, karena dengan Khilafahlah umat
7 Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali ”Telaah Kritis Perbedaan Penetapan Awal
dan Akhir Ramadhan”, (Jakarta: INSAN Citra Media Utama) hal.100-101 8 L. Supriadi, “Perbedaan Penentuan Awal Bulan Ramadhan dalam Tinjauan Fikih Islam”, artikel diakses
pada 27 Juli 2010 dari file:///C:/DocumentsandSettings/Microsoft/Desktop/MATLA/perbedaan penentuan awal
bulan ramdhan dalam tinjaun fiqih islam615.htm
Islam bisa bersatu, seperti dalam hal ibadah, terutama dalam penentuan 1 Ramadhan, 1
Syawal dan 9, 10 Dzulhijjah merupakan perkara penting, karena menyangkut kewajiban
ibadah tertentu dan keharaman melakukan ibadah lainnya. Karenanya pijakan yang
dipergunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah tersebut haruslah berdasarkan dalil-
dalil terkuat atau pandangan ulama.
Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian ini dengan mengambil judul
skripsi yaitu: “PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DALAM PERSPEKTIF
HIZBUT TAHRIR (Studi Kasus Hizbut Tahrir Indonesia dalam Penentuan Awal Akhir
Ramadhan).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Pemikiran Hizbut Tahrir dalam bidang ibadah, khususnya puasa, dimana puasa mencakup
rukun puasa, syarat-syarat puasa, dan lainnya termasuk penentuan awal bulan puasa.
Sementara yang ingin dibahas dalam pemikiran ini dibatasi pada penentuan awal puasa
menurut Hizbut Tahrir.
Dari pembatasan masalah tersebut maka permasalahannya adalah bagaimana penentuan
awal bulan puasa menurut Hizbut Tahrir yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa metode dan dasar hukum yang digunakan Hizbut Tahrir dalam menetapkan awal
bulan Qamariyah khususnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah?
2. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir tentang hisab di Indonesia?
3. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir mengenai keharusan adanya institusi politik
pemersatu umat (Khilafah) untuk menyatukan umat secara global?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode dan dasar hukum yang digunakan oleh Hizbut Tahrir dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah.
2. Untuk mengetahui pandangan Hizbut Tahrir tentang hisab di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pandangan Hizbut Tahrir mengenai keharusan adanya institusi politik
pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.
Selain dari tujuan yang diatas, manfaat dari dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat
Untuk memberikan informasi mengenai metode dan dasar yang dipakai Hizbut Tahrir
dalam penetapan awal bulan Qamariyah.
2. Fakultas
Memberikan sumbangsih hasil penelitian guna memperkaya khazanah kemajemukan
metode penentuan awal bulan Qamariyah dalam ilmu falak di fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta menambah literatur kepustakaan khususnya
mengenai Hizbut Tahrir.
3. Penulis
Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada tingkat Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Studi Review Terdahulu
1. Alfina Rahil Ashidiqi (105044101398), Mahasiswi Peradilan Agama, 2009. Dengan judul
“Penentuan Awal Bulan Qamariyah Dalam Perspektif Aboge”. Jenis penelitian yang
digunakan adalah bersifat deskriptif mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial.
Penelitian ini berupa studi kasus komunitas Aboge di Purbalingga dalam menetukan awal
bulan Qamariyah berdasarkan Hisab Aboge yang bermuara pada sejarah konsep
penanggalan Jawa. Di mana komunitas Aboge memahami perhitungan Aboge sebagai
interpretasi dari surat Yunus ayat 5. Rujukan kitab yang menerangkan sistem Aboge adalah
Kitab Primbon Sembahyang dan Mujarrab, yang ditulis oleh H. M. Idris bin Yahya.
Penelitian yang dibuat oleh Alfina jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas.
Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian dan penafsiran Hizbut Tahrir dalam
menetukan awal bulan Qamariyah.
2. Hiton Bazawi (104044101398), Mahasiswa Peradilan Agama, 2009. Dengan judul “Peran
Pemerintah Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah (Tinjauan Kaidah Fiqhiyyah).
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan peranan pemerintah juga tanggapan
Ormas Islam dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang ditinjau dari sudut kaidah
Fiqhiyahnya. Sedangkan jenis data penelitian yang dilakukan lebih bersifat kualitatif.
Penelitian ini lebih melihat kepada kaedah-kaedah fiqhiyah. Dalam skripsi ini, penulisnya
menginginkan dengan kaedah-kaedah fiqhiyah hendaknya umat Islam mampu bersatu
dalam hal ibadah mahdhah di bawah peran pemerintah. Penelitian yang dibuat oleh Hiton
jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Perbedaan tersebut terletak pada objek
penelitian dan penafsiran Hizbut Tahrir dalam menentukan awal bulan Qamariyah.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Tipe Penelitian
Dari sudut tujuan, penelitian bersifat deskriptif. Maksudnya, penelitian ini berupaya
menggambarkan pandangan Hizbut Tahrir dalam menetukan awal bulan qamariyah,
sedangkan jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Artinya penelitian ini
mengambil dari kedalaman informasi.
2. Data Penelitian
Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder. Data primer
pada skripsi ini adalah hasil wawancara kepada tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dan data-data
atau dokumen yang berkaitan dengan Hizbut Tahrir. Adapun data sekunder adalah sebuah
literatur yang berhubungan dengan ilmu falak secara umum atau literatur lain yang akan
memberikan informasi tambahan pada judul yang diangkat dalam skripsi. Yaitu buku,
majalah, jurnal, artikel dan lain sebagainya.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah:
a. Wawancara yaitu penulis melakukan wawancara kepada tokoh Hizbut Tahrir, untuk
menggali lebih dalam tentang bagaimana penafsiran Hizbut Tahrir dalam menentukan
awal bulan Qamariyah. Hizbut Tahrir sendiri yang menentukan tokoh siapa yang akan
diwawancarai, yaitu juru bicara dari Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia dan para
anggotanya.
b. Dokumentasi pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
3. Teknik pengolahan data
a. Seleksi data: setelah memperoleh data dari hasil wawancara dan dokumentasi yang
bersifat tertulis. Dari data tersebut diperiksa kembali satu persatu, dan diambil data yang
berkaitan dengan penelitian agar tidak terjadi kekeliruan.
b. Klasifikasi data: setelah data diperiksa lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis
tertentu, kemudian di analisa untuk selanjutnya.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya dalam lima
bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi tentang Pendahuluan, Latar Belakang Masalah, Perumusan dan
pembatasan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Studi Review Terdahulu, Metode
Penelitian dan Teknik Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, berisi tentang Konsep Mathla‟, Pengertian, Pendapat Ulama Tentang Mathla‟
dan Mathla‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah.
Bab Ketiga, berisi tentang Hizbut Tahrir dan Corak Pemikirannya dalam Bidang Fiqih,
Sejarah Ringkas Hizbut Tahrir dan Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Ibadah.
Bab Keempat, berisi tentang Dasar Pijakan dan Metode Penetapan Awal Bulan
Qamariyah, Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia, Pandangan Hizbut Tahrir
terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di Indonesia), Pandangan Hizbut Tahrir
mengenai Keharusan Adanya Institusi Politik Pemersatu Umat (Khilafah) Untuk Menyatukan
Umat Secara Global.
Bab Kelima, berisi tentang Penutup yaitu meliputi Kesimpulan dan Saran-Saran.
BAB II
KONSEP MATHLA’
A. Pengertian Mathla’
Sebelum menjelaskan pendapat para ulama tentang perbedaan mathla‟, akan lebih baik
menjejelaskan terlebih dahulu tentang makna kata mathla‟. Dibawah ini terdapat beberapa
pengertian.
1. Mathla‟(طيغ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna yaitu waktu atau zaman
munculnya bulan, bintang atau matahari.9 Contoh penggunaan kata ini adalah seperti di
dalam QS. Al-Qadr (97): 5
﴾٥׃٩٧ايقذش ﴿ايفدش طيغ حز غي ”Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
2. Sementara Mathli‟ (طيغ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna yaitu tempat
munculnya bulan, bintang dan matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam
QS. Al-Kahfi (18): 9010
طيغ حز اا جيغ ﴾٩׃﴾ ٨﴿اينف ﴿ايشظ “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur).”
Jadi, kata mathla‟ dengan kata mathli‟ sama-sama bisa digunakan, tidak ada perbedaan
dalam penggunaannya, yaitu waktu atau tempat munculnya bulan, bintang dan matahari.
Karena bulan, bintang atau matahari akan muncul pada tempat dan waktu yang sama, namun
yang berbeda itu adalah ketika ketiganya itu dilihat dari bumi. Sedangkan yang dimaksud
dengan mahtla‟ secara istilah adalah terbitnya hilal (bulan sabit, awal terbitnya bulan) untuk
penentuan awal bulan Ramadhan, yang merupakan bulan pelaksanaan ibadah puasa dan bulan
9 “Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan”, artikel diakses pada 25 Juli
2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/pengertian matla.htm 10
“Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan”, artikel diakses pada 25 Juli
2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/pengertian matla.htm
Syawal sebagai tanda berakhirnya Ramadhan. Jadi untuk penentuan awal dan akhir
Ramadhan termasuk bulan Syawal serta Idul Adha adalah hanya berpatokan pada terbitnya
hilal.11
B. Pendapat Ulama Tentang Mathla’
Ulama berbeda pendapat tentang mathla‟. Perbedaan ini sebenarnya bukan fenomena baru
di dalam masyarakat Islam. Perbedaan ini sudah terjadi semenjak zaman sahabat.12
Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa hidupnya Ibnu Abbas, yaitu ketika Kuraib
pergi ke Syam. Bahwasannya pada waktu itu Ummu Fadhl mengutus Kuraib untuk menemui
Muawiyah di Syam. Setelah tiba di Syam, pada waktu itu bulan Ramadhan telah datang, dan
dia melihat hilal di malam Jum‟at, lalu sebulan kemudian dia datang ke Madinah pada akhir
bulan tersebut. Di Madinah dia bertemu dengan Abdullah bin Abbas, kemudian Ibnu Abbas
bertanya kepada Kuraib dan Kuraib menceritakan tentang hilal. Lalu Ibnu Abbas bertanya
lagi,”kapan kalian melihat hilal? Kuraib menjawab, ”kami kami melihatnya pada malam
Jum‟at”. Lalu Ibnu Abbas bertanya lagi,”Engkau melihatnya sendiri? Kuraib berkata lagi: Ya
betul, dan orang-orang pun melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Muawiyah pun berpuasa
pula. Kemudian Ibnu Abbas berkata: Tetapi kami melihat pada malam Sabtu, dan kami terus
berpuasa sampai genap tiga puluh hari, atau hingga kami melihat hilal Syawal. Kuraib
bertanya: Apakah engkau tidak merasa cukup dengan ru‟yat Muawiyah dan puasanya? Ibnu
Abbas menjawab: Tidak, sebab begitulah Rasulullah SAW memerintahkan kami. Memang
perbedaan ini tidak bisa dipungkiri, karena kalau boleh melihat lagi ke zaman Rasulullah dan
11
Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, (Jakarta: PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1999), hal.49 12
Ahmad Sarwat, “Perbedaan Penetapan Awal Puasa Ramadhan”, artikel diakses pada 27Juli 2010 dari
file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Destop/MATLA/perbedaan penetapan awal puasa ramdhan
15110.htm.
para sahabat, perbedaan itu terjadi tidak lain diantaranya dikarenakan keterbatasan alat
komunikasi.13
Berkaitan dengan mathla‟ di kalangan ulama dikenal dua istilah Ikhtilaful Mathali‟
(perbedaan matla‟/tempat atau waktu terbitnya hilal)14
. Yang dimaksud dengan Ikhtilaful
mathali‟ disini ialah perbedaan terbitnya matahari atau bulan di dua tempat yang berjauhan
seperti Jakarta dan Surabaya. Kebalikan kata ikhtilaful mathali‟ adalah Ittihadul Mathali‟
yang artinya ialah kesatuan atau persamaan terbitnya matahari atau bulan di dua tempat yang
berdekatan seperti Jakarta dan Bekasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟
dalam masalah puasa Ramadhan dan Idul Fitri ialah: Bila berhasil rukyatul hilal pada awal
malam tanggal 29 Sya‟ban di Jakarta umpamanya, kemudian hasil rukyat tersebut dilaporkan
kepada Hakim di Jakarta dan diterima, lalu Hakim menetapkan bahwa malam itu adalah
malam Ramadhan berdasarkan rukyat tersebut maka penetapan Hakim di Jakarta tersebut
berlaku hanya bagi daerah Jakarta itu sendiri, dan daerah yang berdekatan dengan Jakarta itu
sendiri, dan daerah-daerah yang berdekatan dengan Jakarta seperti Bekasi, Tangerang,
Kerawang, Cikampek dan lain-lain yang tergolong daerah ittihadul matoli‟ dengan Jakarta.
Tetapi tidak berlaku untuk daerah yang di anggap ikhtilaful matoli‟ dengan Jakarta seperti:
Surabaya, Kalimantan, Bali dan lain-lain. Demikian pula bila hal tersebut terjadi pada malam
29 Ramadhan untuk penetapan Idul Fitri.15
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal
menentukan tempat terbitnya hilal. Berikut uraian tentang kedua istilah mathla‟ tersebut:
13
Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur‟an dan Hadits, (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2010), cet.I. hal.46 14
Abdurrahman Al-Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali, (Jakarta Timur: Insan Citra Media Utama),
hal.100
15
Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, (Jakarta Timur: Pustaka
Annizomiyah, 1992), cet.I. hal.78
1. Ikhtilaful Matali‟ (Perbedaan Tempat atau Waktu Terbitnya Hilal)
Ulama berbeda pendapat dalam memahami term ikhtilaful mathla‟ dan berbeda
pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal menentukan tempat
terbitnya hilal, yaitu:
a. Pendapat pertama, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟ ialah
perbedaan dua tempat dengan ukuran jarak perjalanan yang membolehkan mengerjakan
shalat qashar, yaitu kira-kira 85 km. Jadi hasil rukyat itu di Jakarta, maka hasil rukyat
tersebut hanya berlaku untuk Jakarta dan daerah-daerah yang berada di dalam jarak 85
km dari Jakarta.16
b. Pendapat kedua, jauh itu bisa dibedakan berdasarkan perbedaan matla‟, seperti:
Perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain;
sedangkan yang dekat, seperti antara jarak 2 kota dalam satu negara.
c. Pendapat ketiga, jika iklimnya berbeda maka berarti jaraknya jauh, namun jika
iklimnya sama maka jaraknya dekat.
d. Pendapat keempat, ukuran jauh itu di ukur dengan masalah qashar (jarak yang boleh
meringkas shalat). Jika boleh mengqashar shalat berarti jaraknya jauh, jika tidak boleh
maka jaraknya dekat.17
e. Menurut pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi‟I (Syafi‟iyah), dihitung dalam
jarak kurang lebih 24 farsakh (berada dalam radius ± 120 km). Adapun penduduk
daerah yang jauh (lebih dari radius 120 km), maka daerah tersebut tidak wajib
mengikuti keputusan daerah yang di luar dari jarak yang telah ditentukan.18
16
Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, Hal. 78 17
Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, Hal. 50 18
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal Dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh
Kaum Muslimin, 1999, hal.3
Adapun kelompok yang mengatakan adanya perbedaan matla‟ (ikhtilful mathali‟),
sehingga penduduk negeri tidak wajib berpuasa berdasar ru‟yatul hilal penduduk negeri yang
lain, mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
دجش ات ثح قر ب ا ت ذ ذ ت ا ذ )دذث ذ ت : قال ذ قال االخش ا : آخثشا، دذث
جعفش ات م اع ذ (إع أت دشيهح)ع يذ ات ة( كش : ع د انذاسز تعثر أو انفضم ت أ
عح، هح انج الل ن د ان ا تا نشاو فشآ آ ، الل سيضا م عه اعر ح تانشاو قال قذيد انشاو، إن يعا
الل فقال عثاط ثى ركش ان ش فغآن ات ح ف آخش انش ذ : ثى قذيد ان ا الل؟ فقهد سآ رى ان ير سآ
هح انغثد ن ا سآ ح فقال نك صاو يعا ا صاي اناط، سآ ؟ إلقهد عى، ر عح فقال سآ هد انج ن
؟ فقال صاي ح فقهد، آال ذكرف تشإح يعا شا آ م ثالث و در ك ال، كزا آيشا : فالضال ص
عهى ل اهلل صه اهلل عه ذكرف. سع ف كرف أ ذ ت .شك ذ
“Diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah, Ibnu Hujrin (Yahya
bin Yahya berkata: kami mengabatkan dan dia berkata kepada orang-orang yang terakhir:
Hadits dari Ismail Wahwa bin Ja‟far) dari Muhammad (Wahwa bin Abi Harmalah) dari
Kuraib: “Saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana,
maka saya melihat hilal di malam jum‟at. Di akhir bulan saya kmebali ke Madinah. Maka
ibnu Abbas bertanya kepada saya “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Kami
melihatnya pada malam Jum‟at. “Ibnu Abbas berkata: ”Apakah kamu sendiri yang
melihatnya? ”Aku menjawab: “Benar, dan orang-orang lain melihat juga. Karenanya
Mu‟awiyah ada orang-orang disana berpuasa. “Kata Ibnu Abbas: “Akan tetapi kami
melihatnya malam Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari atau
kami melihat bulan sendiri. “Aku berkata: ”Tidaklah Anda mencukupi dengan rukyat
Mu‟awiyah dan puasanya? “Ibnu Abbas menjawab: ”Tidak”. Demikianlah kami
diperintahkan Rasulullah.” (Yahya bin Yahya ragu-ragu dalam lafazh hadits, cukup bagi kita
atau cukup bagi kamu).19
Tindakan Abdullah bin Abbas tidak mengikuti awal Ramadhan yang ditetapkan
pemerintah di Syam, dimana Madinah waktu itu termasuk daerah kekuasaan Syam kemudian
berkata: “Demikian itulah Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kita”, maka tindakan
19 „Ashomuddin Al-Shobabathi dkk, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005 M/1426 H), Juz IV, hal.211
tersebut, menurut ilmu Mustolahul Hadits dimasukkan Hadits juga, sebab ada kata-kata
bahwa “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita”. Karena hal tersebut termasuk Hadits
Nabi SAW, maka hal tersebut menjadi perhatian para ulama untuk diikuti. Tetapi kata-kata
Abdullah bin Abbas yang berbunyi: “Demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kita.”
Adalah kata-kata yang Mujmal, yakni tidak sepenuhnya jelas, sehingga para ulama berbeda
pendapat dalam mentafsirkannya, yakni alasan-alasan apa yang menyebabkan penetapan
hasil rukyat di Syam tidak berlaku bagi orang-orang yang tinggal di Madinah? Pendapat-
pendapat para ulama itu antara lain:
a. Karena antara Syam dan Madinah itu berbeda mathla‟nya.
b. Karena antara Syam dan Madinah di waktu itu tidak ada penghubung cepat yang dapat
memberi berita rukyat dalam waktu satu malam, sehingga penetapan rukyat pada malam
itu di Syam tidak akan dapat dikerjakan oleh orang-orang Madinah pada pagi harinya.
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa diantaranya yang menggunakan alasan bahwa
antara Syam dan Madinah adalah berbeda matla‟nya adalah Mazhab Syafi‟i.20
Ulama Syafi‟i
memahami hadits Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk
umat Islam seluruhnya.21
Adapun Pendapat segolongan kecil ulama. Mereka berpegang kepada Hadits oleh Ahmad,
Muslim dan At Turmudzi dari Kuraib, hadits yang dijelaskan di atas. Para ulama dalam
menanggapi hadits Kuraib mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah
20
Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, hal.80 21
Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, hal.50
dijelaskan satu persatu oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari22
.
Diantara lain adalah:
a. Yang diikhbarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyat mereka sendiri, tak dapat
mereka ikuti rukyat dari negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad,
Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka yang berempat ini menurut nukilan ibn
Mundzir.23
b. Tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyat negeri lain, terkecuali dibenarkan
oleh Khalifah (Kepala Negara), karena seluruh daerah yang di bawah kekuasaannya
dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibn Majisun.24
c. Jika negeri itu berdekatan satu sama lain, dipandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah
wajib diikuti rukyat itu oleh negeri-negeri yang lain. Inilah pendapat yang dipilih
Abuththayib dari kalangan Syafi‟iyah dan Asy Syafi‟i sendiri menurut nukilan Al-
Baghawy.25
2. Ittihadul Mathla‟ (Persamaan Waktu Dan Tempat Terbitnya Hilal)
22
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, cet.II (Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam, 2006), Buku no.2, hal.70 23
Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari:
“Bagi tiap-tiap negeri ru‟yah (melihat hilal) tersendiri. Dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas
terdapat keterangan yang mendukung pendapat ini. Ibnu Munazdir juga meriwayatkan pendapat tersebut dari
Ikrimah, Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Sementara Imam At-Tirmizdi menukilnya dari para ahli ilmu dan tidak
menukil pendapat selain itu. Al Mawardi juga meriwayatkannya sebagai salah satu pendapat dalam mazhab
Syafi‟i.” Hal.70 24
Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari:
“Ibnu Al Majisyun berkata: Apabila hilal terlihat disuatu negeri, maka puasa hanya diwajibkan begi mereka yang
tinggal di negeri tersebut; kecuali apabila hal itu sampai kepada Imam, lalu sang Imam menetapkan agar orang-
orang memulai puasa, sebab negeri itu ditinjau dari kedudukan Imam sama seperti satu negeri dimana
ketetapannya berlaku untuk semua negeri.” Hal.70-71 25
Tengku Muhaamad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, Edisi Kedua (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1996), cet.I. hal.63 Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab
Shahih Al-Bukhari: “Sebagian ulama mazhab Syafi‟i menyatakan, apabila negeri-negeri itu letaknya saling
berdekatan, maka hukumnya adalah sama. Tapi apabila berjauhan, maka ada dua pendapat; yaitu tidak wajib
puasa bagi negeri lain menurut pendapat mayoritas. Akan tetapi, Abu Thayyib dan segolongan ulama
berpendapat wajib bagi negeri lain untuk berpuasa. Hal ini diriwayatkan oleh Ab Baghawi dari Asy Syafi‟i.”
Hal.71
Ulama berargumentasi ittihadul mathla‟ yaitu dengan banyak hadits yang
memerintahkan berpuasa karena melihat hilal dan sebab berbuka, dan jika sebab sudah
terwujud maka akibat pun akan terwujud, yakni puasa dan berbuka.
ب أد ب شجؼخ: حذث صيذ قبه: حذث ذث ح ب : حذث شيشح سضي اهلل ػ ؼذ أثب ه :ع قبه اىجي : يق
قبه ، ا عي : صي اهلل ػيي عي صي اهلل ػيي اىقبع ، )): قبه اث ا ىشإيز افطش ا ىشإيز ص
ثالثي ا ػذح عؼجب ي فآم غجي ػيين . فب
“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar
Abu Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim
saw telah berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah
hitungan bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)26
Bila hilal awal bulan Ramadhan telah terlihat dalam suatu negeri, maka menurut
pendapat kebanyakan ahli fikih, diantaranya para ahli fiqh dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah menentukan wajib berpuasa bagi penduduk semua negeri. Karena mereka
berpendapat bahwa perbedaan tempat terbitnya matahari atau bulan (ikhtilaful mathla‟)
tidak menjadi masalah. Berdasarkan hal ini, apabila penduduk suatu negeri melihat
datangnya bulan Ramadhan, maka wajib puasa bagi penduduk semua negeri Islam
bersama-sama penduduk negeri yang melihatnya. Oleh karena itu penduduk Mesir, Irak,
Kuwait dan lainnya wajib berpuasa, disebabkan bulan telah terlihat oleh penduduk Suria.
Begitu juga sebaliknya.27
Hal ini berdasarkan pengertian umumnya sabda Nabi saw.
أفطشا ىشإيز ا ىشإيز ص “Berpuasalah kamu ketika melihatnya dan berbukalah kamu ketika melihatnya”. (HR.
Bukhari)
26
Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630 27
Staf Redaksi Litera Antar Nusa, Fada‟il Ramadan wa Ahkamihi (judul asli), cet.III. (Bogor Baru A:
Pustaka Litera Antar Nusa, p.t., 1403/1983), hal.56-57
Dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa, Ibnu Abidin (1198-1252 H/1714-1836 M),
ulama fiqih Mazhab Hanafiyah, menyatakan bahwa munculnya hilal pada setiap daerah
dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat di ingkari; apalagi jika daerah itu saling
berjauhan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW
menyatakan: “Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadhan), maka berpuasalah kamu dan jika
kamu melihat (hilal) bulan (syawal), maka berbukalah kamu”. Hadits itu tidak secara tegas
menunjukkan apakah jika suatu penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka kewajiban
memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk daerah Islam.
Disinilah tejadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara (sekalipun
wilayahnya luas) itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu
mengumumkan di mulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan disuatu daerah, maka
pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim diseluruh negara itu. Misalnya, daerah
Aceh telah melihat hilal secara meyakinkan dan pemerintah mewajibkan memulai awal puasa
berdasarkan penglihatan itu, maka seluruh umat Islam Indonesia wajib melaksanakan puasa
pada hari itu. Ketentuan itu disepakati oleh ulama fikih karena dalam kaedah fikih disebutkan,
“Keputusan Hakim (Pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat.28
Pendapat Ibnu Abidin ini ada sedikit berbeda dengan mazhab Hanafiyah, yakni dalam
pelaksanaan shalat Idul Adha. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Kitab Raddul
Mukhtar juz II halaman 393 sebagai berikut:
يف مال في مزبة اىحح ا اخزالف اىطبىغ في ؼزجش فال ييض شت ى ظش آ سإ (رزجي)
أل . في ثيذح آخش قجي ثي و يقبه مزاىل في حق األضحيخ ىغيش اىحدبج ى آس اىظبش ؼ
فب اىظبش اب . زا ثخالف االضحيخ–اخزالف اىطبىغ اب ى يؼزجش في اىص ىزؼيق ثطيق اىشإيخ
28
“Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1999): hal.49
مآقبد اىصياد ييض مو ق اىؼو ثب ػقذ فزدضة األضحيخ في اىي اىثب ػششا مب ػي
. سإيب ػيش اىثبىث ػشش
Dari uraian Ibnu Abidin diatas dapat dipahami bahwa masalah pelaksanaan shalat Idul
Adha tidak sama dengan masalah penetapan awal Ramadhan dan Syawal/Idul Fitri (yang
menurut Jumhur tidak dikenal adanya sistem mathla‟). Sebab dalam penetapan awal bulan
awal Ramadhan dan Syawal/Idul Fitri masalahnya adalah puasa, sedangkan disini (bulan
Dzulhijjah/Idul Adha) masalahnya adalah soal shalat dan qurban. Jadi dalam hal ini kembali
kepada mathla‟ masing-masing, sebagaimana waktu shalat maktubah dimana masing-masing
negeri berlaku waktu setempat.29
Ulama Hanafiyah yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam mengartikan Al-Qur‟an surat
Al-Baqarah ayat 185, “Jika kamu telah melihat bulan, maka hendaklah kamu berpuasa...”.
juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam
dimanapun mereka berada. Dengan demikian perbedaan matla‟ bagi Mazhab Hanafiyah tidak
ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal dan hari Wukuf di Arafah.
Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam
menentukan awal bulan Ramadhan, awal Syawal maka daerah lain wajib mengikuti daerah
yang telah melihat itu. Alasan mereka adalah karena hadits Rasulullah SAW yang
dikemukakan di atas tidak membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya.30
Dari penjelasan di atas menjelaskan bahwa ketiga mazhab (Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah) sepakat bahwa tidak ada perbedaan mathla‟ dalam penentuan awal dan akhir
29
Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang
Hisab Rukyat, hal 34
30“Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, hal.49
Ramadhan dan pelaksanaan Idul Adha. Namun Ibnu Abidin (ulama fiqih Mazhab Hanafiyah)
berbeda dalam masalah pelaksanaan Idul Adha.
C. Mathla’ dalam Penentuan Waktu Ibadah
Ada beberapa teks nash baik yang berasal dari Al-Qur‟an maupun Hadits Nabi Muhammad
SAW yang menjelaskan tentang waktu-waktu sholat. Bila dalam Al-Qur‟an penetapan waktu
sholat yang lima waktu itu disebutkan secara implisit maka di dalam hadits Nabi saw
penetapannya disebutkan secara eksplisit.31
Adapun beberapa teks nash itu sebagai berikut:
رب ق مزبثب ي ئ اب اىصيح مبذ ػي اى “Sesungguhnya sholat itu adalah fadhu yang ditentukan waktunya atau orang-orang yang
beriman.” (QS. An-Nisa, 4: 103)
بس ىؼيل رشض أطشاف اى ءاآة اىيو فغجح ب ث قجو غش ظ ع اىش ذ سثل قجو طي عجح ثح “…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari, dan sebelum
terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu dimalam hari, dan pada waktu-waktu
d isiang hari, supaya kamu merasa tenang.” (QS. Thaha, 20: 130)
دا ش اىفدش مب قشءا اىفدش ا قشءا ظ اى غغق اىيو ك اىش بىصيح ىذى أق”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-
Isra‟(17): 78)
ادثش اىد اىيو فغجح “Dan bertasbihlah kepadaNya pada beberapa saat dimalam hari dan terbenam bintang-
bintang di waktu fajar.” (QS. Ath-Thuur, 52: 49)
Dalam tafsir Al-Mishbah, kata (ك ) li dûlûk terambil dari kata (ىذى dalaka yang bila (د ىل
dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, maka ia berarti tenggelam, atau menguning,
atau tergelincir dari tengahnya. Ketiga kata itu ditampung oleh kata tersebut, dan dengan
demikian ia mengisyaratkan secara jelas dua kewajiban sholat, yaitu Zuhur dan Maghrib, dan
secara tersirat ia mengisyaratkan juga tentang sholat Ashar, karena waktu Ashar bermula
31
Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, 1428 H/2007 M), hal.29
begitu matahari menguning. Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat diatas yang
menghinggakan perintah pelaksaann sholat sampai ( ghasaq al-lail, yakni kegelapan(غغق اىيو
malam. Demikian tulis Al-Biqậ‟i. Ulama Syiah kenamaan, Thâbâthâbâ‟I, berpendapat bahwa
kalimat ( ظ اى غغق اىيو ك اىش (ىذى mengandung empat kewajiban sholat, yakni ketiga yang
disebut al-Biqa‟I dan sholat Isya‟ yang ditunjuk oleh ghasaq al-lail. Kata (غغق) ghasaq pada
mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa dipenuhi oleh
kegelapan. 32
Waktu shalat ini dijelaskan juga dalam hadits Rasulullah SAW.
اع عثذ اهلل ث عش شض اهلل ع ل اهلل ا ع عهى ص سع قد اهظش ازا ضاهد ׃ قامن اهلل عه
قد صالج ، قد اهعصش اهى رصفش اهشظ،اهشظ كا ظم اهشجم كطه اهى ذضش اهعصش
قد صالج اهصثخ طهع ، اه صف اهم األغطء قد اهصالج اهعشا ،قاهغشة اهى غة اشف
اهفجش اهى ذطهع اهشظ طا ش قش ا ذطهع ت انصالج فإ ظ فآيغك ع شا ﴿ .، فإرا طهعد انش
﴾غهى
“Dari Abdullah bin Amru R.A, bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda, “Waktu zhuhur
apabila tergelincir matahari, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu
selama belum dating waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama matahari belum menguning. Dan
waktu shalat Maghrib selama syafaq belum terbenam (mega merah). Dan waktu shalat Isya
sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu subuh mulai fajar menyingsing sampai
selama matahari belum terbit. Maka jika matahari telah terbit, janganlah kamu melakukan
shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan.” (HR. Muslim)33
Bila diperhatikan dari landasan normative di atas maka awal waktu shalat senantiasa
didasarkan pada perjalanan matahari harian sebagai akibat dari adanya rotasi bumi dari Barat
ke Timur. Oleh karena itu waktu sholat relative terhadap peredaran semu matahari.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ”pesan, Kesan dan Kesaksian Al-Qur‟an”, cet.VIII. (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), hal.533-534 33
Muhammad Nashirudin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim Buku I, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,
2003), cet.I, hal. 170
Waktu shalat dari hari ke hari, dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu shalat
sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu matahari relative terhadap bumi. Pada
dasarnya, untuk menentukan waktu shalat, diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan
ketinggian. Letak geografis suatu tempat bisa dicari dengan atlas atau GPS (Global
Posisioning Sistem), waktu dan tanggal adalah tanggal tertentu yang akan kita tentukan waktu
shalatnya dan ketinggian adalah data tinggi matahari pada waktu shalat yang akan
ditentukan.34
ا ظ فصه إرا صاند انش “Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)
Praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa
dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika melihat matahari untuk
melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar bisa melihat
bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-
hadits tentang waktu shalat; jika melakukannya, dan bisa membuktikan waktu tersebut, maka
shalat pun sah. Jika tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan
perhitungan astronomi, kemudian tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian
melihat jam, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat pun sah.
Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Karena Allah SWT
telah memerintahkan untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan
untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail,
tentang bagaimana cara membuktikannya.35
Adapun kaitan mathla‟ dengan waktu shalat, yaitu:
34
Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, hal.97 35
Denny Asseifff, “Penentuan Awal-Akhir Ramadhan”, artikel diakses pada 27 Juli 2010 dari
file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/penentuan-awal-akhir-ramadhan.html
Perlu diketahui bahwa penjelasan syara‟ tentang pelaksanaan ibadah adakalanya
mengaitkan penetapannya dengan jam (misalnya: waktu shalat, pelaksanaan puasa untuk
imsak dan ifthar dan lain-lain), bisa juga dengan hari (misalnya: shalat jum‟at, puasa sunnah
Senin-Kamis), ada pula yang ditetapkan dengan tanggal Qamariyah (misalnya: penetapan hari
Arafah, Idul Fitri dan Idul Adha dan lain-lain). Jadi dalam ibadah yang penentuannya adalah
jam dan atau hari, maka hal ini terkait erat dengan peredaran matahari. Misalnya untuk
penetapan waktu-waktu shalat, sebagaimana firman Allah SWT:
دا ش اىفدش مب قشءا اىفدش ا قشءا ظ اى غغق اىيو ك اىش بىصيح ىذى أق
”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-
Isra‟(17): 78)
Sedangkan penetapan awal dan akhir Ramadhan, syara‟ memberikan tuntunan untuk
mengaitkannya (hanya) dengan (peredaran) bulan,36
sehingga tidak bisa di analogikan bahwa
perbedaan awal dan akhir Ramadhan diperbolehkan karena dalam shalatpun negeri satu
dengan negeri yang lainnya memiliki perbedaan waktu.37
Jadi dalam menentukan pelaksanaan ibadah seperti waktu shalat, imsak dan ifthar dan lain-
lain, itu semua ditentukan oleh peredaran matahari, sedangkan dalam menentukan jatuhnya
tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah ditentukan oleh peredaran bulan.
36
Bulan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur, begitu pula bumi mengelilingi matahari berama-sam bulan
dalam arah yang sama. Perputaran bulan mengelilingi bumi (revolusi), menentukan bentuk-bentuk bulan yang
bisa dilihat dari permukaan bumi. Kadang-kadang terlihat sabit/hilal, perbani, benjol, penuh (purnama) sampai
kebulan mati, kemudian kembali ke bentuk semula dan seterusnya, yang masing-masing telah tertentu posisinya
di luar angkasa. 37
Nasyrah Hizbut Tahrir, Hukum Perbedaan Penentuan Hari Raya Qurban (Idul Adha), 22 Maret 1999,
hal.4
BAB III
GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR
A. Sejarah
Hizbut Tahrir didirikan oleh Syakh Taqiyyudin an-Nabhani. Dia dilahirkan di Ijzim, masuk
wilayah Haifa. Nama lengkapnya adalah Muhammad Taqiyyudin bin Musthafa bin Ismail bin
Yusuf an-Nabhani. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementerian
Pendidikan Palestina. Pendidikan awalnya diterima dari ayahnya. Di bawah bimbingan sang
ayah, sudah hapal al-Qur‟an seluruhmya sebelum usia 13 tahun. Dia juga mendapat fiqih dan
bahasa Arab. Dia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya. Ibundanya juga menguasai
beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Dia
juga dibimbing dan diasuh oleh kakeknya yaitu Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail
bin Hasan bin Muhammad Nashiruddin an-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawann dan
ulama besar.38
Bersama Daud Hamdan, Ghanim Abduh, Dr. Adil an-Nablusi dan Munir Syaqir, an-
Nabhani mengajukan pendirian Hizbut Tahrir secara resmi, namun permintaan ini ditolak.
Karena itu, sampai sekarang (1997) Hizbut Tahrir melakukan segala aktivitasnya tanpa
pengakuan resmi pemerintah (Yordania).39
Hizbut Tahrir berdiri dalam rangka memenuhi seruan Allah dalam firman Allah SWT
QS. Ali-Imran ayat 104:
فيح اى أىئل نش اى ػ ي ف ؼش ثبى ش يؤ اى اىخيش خ يذػ ا ن ىزن“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.”
38
Yahya A, “Subject: Biografi Singkat Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani”. Artikel
diakses pada 20 Juli 2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/biografi SYEKH
TAQIYYUDIN...htm 39
Abu Za‟rur, Seputar Gerakan Islam, (Bogor: Al Azhar Press, 2009), hal.205
Di dalam ayat ini Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim agar diantara mereka ada
suatu kelompok (jama‟ah) yang bergerak dalam dua aktivitas:
a. Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam.
b. Menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran.
Membentuk jama‟ah disini ditunjukkan sekedar dengan adanya thalab (seruan dari Allah).
Namun demikian, terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut
adalah kewajiban. Sehingga aktivitas yang telah ditentukan oleh ayat agar dilaksanakan oleh
kelompok terpadu tersebut, -yakni dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar-
hukumnya wajib atas kaum muslimin.
Tentang jama‟ah itu harus berbentuk partai politik, maka dapat dilihat dari segi bahwa ayat
di atas memerintahkan kaum Muslim agar diantara mereka ada sekelompok orang yang
membentuk suatu jama‟ah. Cakupan aktivitas jama‟ah ini telah ditentukan (dibatasi), yaitu
dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar.
Sedangkan cakupan aktivitas amar ma‟ruf nahi munkar meliputi seruan terhadap ada
penguasa agar mereka berbuat ma‟ruf (melaksanakan syari‟at Islam-pen) dan melarangnya
berbuat munkar (melaksanakan sesuatu tidak bersumber dari syari‟at-pen). Bahkan aktivitas
inilah yang menjadi bagian terpenting dalam amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu mengawasi para
penguasa serta menyampaikan nasehat kepadanya. Aktivitas ini tergolong aktivitas politik,
malahan aktivitas politik yang sangat penting, yang menjadi ciri utama dari aktivitas partai
politik. Dengan demikian ayat ini menunjukkan adanya kewajiban untuk mendirikan partai
politik.
Akan tetapi ayat tersebut memberi batasan bahwa kelompok-kelompok tadi harus
berbentuk partai-partai Islam. sebab, tugas yang telah ditentukan oleh ayat tersebut yaitu
dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar, yang dilakukan sesuai dengan hukum
Islam -tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok-kelompok dan partai-partai Islam.
Partai Islam adalah partai yang berasaskan akidah Islam. Partai yang mengambil dan
menetapkan ide-ide,hukum-hukum dan pemecahan yang Islami. Thariqah (metode)
operasionalnya adalah thariqah Rasulullah saw. Oleh karena itu, kelompok-kelompok kaum
muslim berdiri di atas selain Islam.40
Hizbut Tahrir mendefinisikan dirinya sendiri sebagai partai ideologis (mabda‟i)41
,
ideologinya adalah Islam, politik adalah aktivitasnya dan Islam adalah mabda‟nya. Hizbut
Tahrir beraktivitas di tengah-tengah dan bersama umat untuk mengambil Islam sebagai
permasalahan utama dan memimpin umat guna mengembalikan Khilafah dan hukum-hukum
Allah ke dalam realitas. Hizbut tahrir merupkan kelompok politik; bukan kelompok spiritual,
40
Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir” (Jakarta: Pustaka Thariqul
Izzah, 2007), cet.I, hal. 4-7 41
Kata mabda secara bahasa berarti sumber pertama. Dalam penjelasan hakikat kehidupan dunia, mabda asal
muasal kehidupan, tempat kembali setelah kehidupan, dan hubungan kehidupan dengan keduanya. Ini
merupakan pemikiran menyeluruh tentang kehidupan dan apa yang dipaparkan pemikiran tersebut berupa aturan
kehidupan. Demikianlah kata mabda ini diberikan pada pemikiran menyeluruh beserta aturannya, yaitu aqidah
dan solusinya. Muhammad Hawari, Reidoelogi Islam “Membumiklan Islam Sebagai Sistem”, cet.II, (Bogor: Al-
Azhar Press, 2007), hal.114. Lihat, Mabda adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud
dengan aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan hidup; serta apa yang ada
sebelum dan setelah kehidupan, disamping kehidupannya dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Sedangkan
peraturan yang lahir dari aqidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika
hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara aqidah serta untuk
mnegemban mabda. Mabda muncul di benak seseorang, baik melalui wahyu Allah yang diperintahkan untuk
mendakwahkannya atau dari kejeniusan yang nampak pada diri orang itu. Mabda yang muncul dalam benak
manusia melalui wajyu Allah adalah mabda yang benar. Karena bersumber dari al-Khaliq, yaitu Pencipta alam,
manusia dan hidup, yakni Allah SWT. Mabda ini pasti kebenarannya (qath‟i). Sedangkan mabda yang muncul
dalam benak manusia karena kejeniusan yang Nampak pada dirinya adalah mabda yang salah (bathil). Karena
berasal dari akal manusia yang terbatas, yang tidak mampu menjangkau segala sesuatu yang nyata. Disamping
itu pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan, dan
pertentangan, serta selalu terpengaruh lingkungan tempat ia hidup. Sehingga membuahkan peraturan yang saling
bertentangan, yang mendatangkan kesengsaraan manusia. Oleh karena itu, mabda yang mucul dari benak
seseorang adalah mabda yang salah, baik dilihat dari segi aqidahnya maupun peraturan yang lahir dari aqidah
tersebut. Atas dasar inilah asas suatu mabda (ideologi) adalah ide dasar yang menyeluruh mengenai alam
semesta, manusia dan hidup. Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, cet.III, Edisi Bahasa
Indonesia (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), hal.36-37
kelompok ilmiah, kelompok pendidikan atau kelompok sosial. Pemikiran Islam merupakan
ruh bagi tubuhnya. Pemikiran Islam merupakan inti dan rahasia kehidupannya.
Banyak laki-laki dan perempuan bergabung dalam Hizbut Tahrir tanpa memandang
kenyataan dia sebagai orang Arab atau non Arab, berkulit putih atau hitam. Ia merupakan
partai bagi kaum Muslim untuk mengemban Islam. Para anggota Hizbut Tahrir mengadopsi
aturan-aturannya tanpa memandang kebangsaan mereka, warna kulit dan mazhab mereka.
Hizbut Tahrir memandang semuanya dengan pandangan Islam. Metode pengikatan
anggotanya dalam Hizbut Tahrir terjadi dengan meyakini akidah Islam, matang dalam
tsaqâfah42
kepartaian serta mengadopsi pemikiran-pemikiran dan pandangan Hizb. Seseorang
itu sendirilah yang mewajibkan dirinya untuk bergabung dengan Hizb, yaitu ketika ia melebur
di dalamnya dan ketika ia berinteraksi dengan dakwah bersama Hizb; mengadopsi pemikiran-
pemikiran dan konsepsi-konsepsi Hizb.43
Artinya bahwa siapapun yang ingin bergabung dengan Hizb dalam rangka menyebarkan
Islam atau dengan kata lain adalah mendakwahkan gagasan Islam yang diadopsi Hizb, maka
di dalamnya sama sekali tidak melihat profil seseorang tersebut, dalam artian Hizb hanya
42
Tsaqafah adalah pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan
istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan). Misalnya sejarah, bahasa, fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan
non eksperimental lainnya. Sedangkan Tsaqafah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan
aqidah Islam sebagai sebab dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung aqidah Islam dan
membahas tentang aqidah, seperti ilmu tauhid. Bisa juga pengetahun yang bertumpu pada aqidah Islam, fiqih,
hadits dan tafsir. Juga pengetahuan yang terkait dengan dari pemahaman yang terpancar dari aqidah Islam berupa
hukum-hukum, seperti pengetahuan-pengetahuan yang mengharuskan ijtihad dalam Islam, seperti ilmu-ilmu
bahasa Arab, musthalah hadits dan ilmu Ushul. Lihat, Taqiyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam (Asy-
Syakhsiyyah al-Islamiyah), (Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008) cet.I. hal.383 dan 386. Lihat, Tsaqafah adalah sekumpulan pengetahuan yang mempengaruhi akal dan sikap seseorang terhadap fakta (benda
maupun perbuatan), seperti masalah hukum, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Tsaqafah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan hadharah. Sebab tsaqafah adalah pemikiran-pemikiran yang menjelaskan sudut
pandang dalam kehidupan. Lihat, Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, cet.IV.
Edisi Bahasa Indonesia, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),hal.184,. Lihat, Hadharah adalah sekumpulan
(mafahin) ide yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan
pandangan hidup. Lihat, Taqiyuddin an Nabhani, Nizham al Islam, terj Abu Amin, dkk., Perturan Hidup dalam
Islam, cet.III., (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah 2003), hal. 92. 43
Abu Za‟rur, Seputar Gerakan Islam, (Bogor: Al Azhar Press,2009), hal.207
melihat keyakinannya saja karena apabila keyakinan seseorang berbeda dengan Hizb, dalam
arti agama maka Hizb tidak akan membuka peluang baginya kecuali orang tersebut mau
bertaubat masuk Islam. Karena dalam memperjuangkan Islam dengan segala perangkat
aturannya tidak mungkin ada di dalamya terdapat seseorang yang berkeyakinan lain atau
disebut juga non-Islam.
Dalam usianya kurang lebih setengah abad, Hizb yang berpusat di Kota Timur Tengah itu,
telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ia tidak hanya berkembang di negara-negara
konsentrasinnya, seperti Yordania, Palestina, Irak, Syria, Saudi Arabia, Kuwai, Yaman,
Uzbekistan, Turki, Mesir, Sudan dan Libia, tetapi ikut juga menyebar ke negara-negara lain.
Pada tahun 1994 di London, Inggris, Hizb telah menyelenggarakan Konferensi Khilafah
Islâmiyah. Di Indonesia terselenggara juga konferensi yang sama pada tahun 2001. Di negara
lainnya, seperti Jerman, Prancis, Austria, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Malaysia,
Azerbeijan, Pakistan, Dagestan, Hizb giat melakukan berbagai kegiatan.
Partai ini masuk ke Indonesia sekitar 1980 melalui Ustad Abdurrahman al-Baghdhadi,
seorang warga Australia yang mempelajari dan menjadi kader Hizb di Libanon. Paham
gerakan ini kemudian dipelajari oleh KH. Abdullah bin Nuh, seorang ulama Bogor. Pada awal
perkembangnya, para pengikut gerakan ini kebanyakan mahasiswa dan generasi muda
lainnya. Anggota-anggotanya hingga saat ini sudah menyebar ke berbagai kota besar, seperti
di Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Halmahera.44
Dalam konteks Indonesia, Hizb baru pada tingkat gerakan moral politik yang dilakukan
dalam berbagai kegiatan terutama melalui tablik akbar dan demonstrasi, dua hal ini
merupakan cara Hizb menyuarakan gagasan politik Islamnya. Menurut salah seorang
pengurusnya, Hizb tidak akan menjadi partai politik untuk saat ini di Indonesia, tetapi akan
44
Ian Suherlan, “Sistem Khilafah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir.”Ahkam. No.11/V/2003: hal.98
berjuang secara ekstrapralementer. Kelembagaan politik Indonesia menurutnya menyulitkan
sekaligus tidak efektif bagi Hizb untuk memperjuangkan gagasan Khilafah Islamiyah, bahkan
muncul “ketakutan” akan terjerumus ke dalam kepentingan-keentingan politik yang sesaat
yang justru akan mengurangi bobot perjuangan Islam di masa depan.45
B. Corak Pemikiran Hizbut Tahrir Dalam Bidang Fiqih
Adapun corak pemikiran Hizbut Tahrir dalam dalam fikih adalah sebagaimana dikatakan
oleh Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir tidak mempunyai bidang fikih
tersendiri, karena dalam hal ibadah mahdhah Hizbut Tahrir tidak mempunyai kepentingan
didalamnya khususnya dalam penetapan awal dan akhir bulan qamariyah ini, menurut Hizbut
Tahrir itu adalah keputusan kepala Negara (Khalifah). Namun Hizbut Tahrir mempunyai
metodologi sendiri dalam menggali (istinbâth) hukum-hukum Islam yaitu yang disebut
dengan Ushul Fiqh.
1. Abdul Wahab Khalaf, telah menemukan ta‟rif Ushul Fiqh sebagai berikut:
ز انر انثذ اعذ انعهى تانق ف االصطالح انششع ل انفق ا ي اعرفادج فعهى اص صم ت ر
ا ان صم ت ز انر ذ انثذ اعذ عح انق يج هح ا ا انرفص ادنر هح ي األدكاو انششعح انع
ا انرفصهح ادنر هح ي .اعرفادج األدكاو انششعح انع
“Ilmu ushul fiqh menurut istilah syara‟ agama satu ilmu dengan undang-undang
(mempunyai undang-undang) dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan antara
undang-undang itu kepada faedah hukum syara‟ yang akan diamalkan yang diambil dari
dalil yang tafshili atau terinci/terurai, atau dianya (ilmu ushul fiqh) adalah kumpulan dari
beberapa undang-undang dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan dengannya
(kaedah dan pembahasan) kepada mengambil faedah hukum-hukum syara‟ yang akan
diamalkan dari dalil-dalilnya yang terinci.” 46
Adapun Ushul Fiqh Hizbut Tahrir sebagaimana dikatakan di atas adalah sebagai berikut:
45
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia “Pertautan Negara, Khilafah, Msyarakat Madani
Dan Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet.I. hal.387-388 46
H. Nazar Bakry, Fiqih Dan Ushul Fiqh, cet.IV. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.21.
Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang di atasnya dibangun
sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan
tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma‟lul (hukum yang
terdapat illat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh
adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah
faham.
Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta‟ala :
ل ا ذق شا ي كث ة يا فق ا شع قان"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu…" (QS.Hud (11):91)
Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu
tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil
yang sifatnya rinci.47
Namun secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai
fiqh, sebab istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya
(istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar
pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I‟tiqad.
Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses
didapatnya otoritas dalam hukum-hukum operasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya
rinci.
Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta‟adul dan tarajih terhadap dalil-
dalil. Tapi ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil
dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan landasan
47
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, (Beirut: Darul Ummah, 2005), hal.5
ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum
tersebut.48
Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti
mutlaknya perintah, larangan, perbuatan Nabi, ijma‟ shahabat serta qiyas. Dengan begitu
dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman
Allah :
ا انصهج آق“...dan dirikanlah shalat...” (QS. An-Nur (24): 56)
ا انض ال ذقشت“…dan janganlah kalian mendekati zina…”(QS. Al Isra'(17):32)
Shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka‟bah, penetapan perwalian untuk yang
dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya
berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori
pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci, spesifik, adapun
keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian
pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang
sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.49
Diantara ushul fiqh di atas dengan ushul fiqh yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, pada
intinya tidak ada perbedaan diantara definisi ushul fiqh di atas.
Adapun metodologi istimbath Hizbut Tahrir akan dijelaskan dalam metode At-Ta‟âdul wa
At-Tarâjih, sebagai berikut:
48
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, Hal. 6 49
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.7
Apabila terjadi pertentangan diantara dalil-dalil, dan sebagian tidak lebih baik dari yang
lain, jika seperti itu disebut dengan at-ta‟âdul.50
At-ta‟âdul tidak akan terdapat pada dalil-dalil
yang bersifat qath‟i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash/dalil yang
bersifat qath‟i. Begitu juga tidak akan terjadi pertentangan antara dalil yang qath‟i dengan
dalil yang zhanni, karena yang qath‟I harus didahulukan terhadap yang zhanni. Ta‟âdul ini
tidak akan terjadi antara dalili-dalil yang zhanni dilihat dari sisi fakta pensyari‟atan (al-wâqi‟
at-tasyri‟), meskipun dilihat dari perkiraan mantiq (al-fardli al-manthiqi) bias saja terjadi.
Namun hal ini bertentangan dengan fakta pensyari‟atan. Sebab dalil-dalil yang zhanni apabila
bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan
salah satu diantaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bias mengamalkannya;
atau mengamalkan dalil zhanni yang manapun juga.51
Berdasarkan penjelasan diatas maka sebenarnya tidak terdapat di antara dalil-dalil syara‟.
Sedangkan tarjih secara bahasa adalah pemindahan dan memenangkan52
, mencondongkan
(at-tamyîl) dan mengalahkan (at-taghlîb), yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil
terhadap yang lainnya agar bisa diamalkan sebagaimana para shahabat merajihkan khabar
„Aisyah RA yaitu sabda beliau SAW:“Apabila telah bertemu dua khitan maka wajib mandi”.
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad). Atas khabar Abu Said Al Khudzri,yaitu sabda beliau SAW:
“Bahwa air itu dengan air”. (Hadist dikeluarkan oleh Ahmad).
Karena istri Nabi SAW dianggap paling tahu dengan perbuatan beliau dalam hal-hal yang
seperti ini dibanding dengan laki-laki yang lain. Maka ijma‟ ini membolehkan terikat dengan
tarjih.
50
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal 675 51
„Atha bin Khalil, Ushul Fiqh “Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis”, cet.II. (Jakarta: Pustaka Thariqul
Izzah, Muharram 1429 H/2008 M),. Hal.380. 52
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal. 675
Tarjih itu dikhususkan pada dalil dzanni, yakni khabar ahad, dan tidak terjadi pada yang
qath‟i. Garis besar tarjih diantara dalil-dalil dzanni dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama: apabila ada dua nash yang bertentangan maka ditarjih diantara salah satu dari
keduanya atas yang lain, jika tidak memungkinkan mengamalkan keduanya, apabila
memungkinkan meski hanya hanya satu segi dan tidak pada segi yang lain, maka tidak
melakukan tarjih.53
Misalnya adalah sabda beliau SAW:“Maukah kalian aka beritahu saksi
yang sebaik-baik saksi? Yaitu yang menyampaikan kesaksian sebelum dimainta”. (Hadits
dikeluarkan oleh Muslim). Sabda beliau bertentangan dengan sabda beliau SAW:“Kemudian
tersebar luas kebohongan, sampai-sampai seorang laki-laki itu bersaksi padahal tidak
diminta memberikan kesaksian.” (Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah).54
Maka hadits pertama mengandung pengertian terkait dengan hak Allah, sedangkan hadits
yang kedua terkait dengan hak manusia.55
Kedua: apabila terjadi pertentangan antara dua nash, tapi sepadan dalam kekuatan dan
keumuman, dan diketahui yang datang belakangan diantara keduanya. Maka yang datang
belakangan itu menasakh yang sebelumnya. Tapi apabila tidak tahu dan tidak diketahui
mana diantara keduanya yang lebih dahulu dan mana yang datang belakangan maka ditarjih
salah satunya terhadap yang lain apabila keduanya adalah dalil dzanni, apabila keduanya
merupakan dalil qath‟i maka tidak terjadi petentangan diantara keduanya karena ta‟âdul tidak
terjadi pada dalil-dalil yang qath‟i.56
Apabila tidak sepadan baik dalam kekuatan maupun keumuman, tapi salah satunya qath‟i
sedangkan yang lain dzanni, atau salah satu dari keduanya umum sedangkan yang lain khusus,
53
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 54
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 55
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 56
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677
disini dapat dilakukan tarjih. Tapi apabila keduanya tidak sama dalam kekuatan, artinya salah
satunya qath‟i dan yang lain dzanni maka ditarjih yang qath‟i dan beramal dengan yang qath‟i
tersebut dan meninggalkan yang dzanni, baik apakah keduanya umum ataupun khusus, atau
yang qath‟i khusus sedangkan dzanni umum. Maka apabila yang qath‟i tersebut adalah
umum sedangkan yang dzanni itu khusus maka beramal dengan yang dzanni. Tapi apabila
keduanya tidak selevel dalam umum dan khusus, yaitu salah satunya lebih khusus dibanding
dengan yang lain secara mutlak, maka dikuatkan yang khusus atas yang umum, dan beramal
dengannya yang merupakan paduan antara dua dalil. Tapi apabila tidak sepadan pada
keumumannya yaitu umum dan khusus antara keduanya pada satu segi saja. Maka dicari
tarjih antara keduanya pada bentuk yang lain untuk mengamalkan yang paling kuat. Karena
khusus itu mengharuskan yang paling kuat. Maka telah ditetapkan seperti itu untuk masing-
masing dari keduanya khusus pada satu segi terkait yang lain. Maka jadilah masing-masing
dari keduanya lebih kuat atas yang lain. Misalnya adalah sabda beliau Alaihish-shalatu
wassalam: “Barangsiapa yang lupa shalat, atau karena tertidur, maka hendaknya dia shalat
ketika dia ingat”. (Hadits dikeluarkan oleh Ad Darimiy).57
Maka antara hadits tersebut dengan larangan beliau Alaihis-salam untuk shalat pada waktu-
waktu yang dimakruhkan adalah umum dan khusus pada satu segi, karena khabar yang
pertama adalah umum pada waktu-waktu yang khusus untuk sebagian shalat yaitu qadha‟.
Sedangkan yang kedua adalah umum pada shalat yang dikhususkan untuk sebagian waktu,
yakni waktu yang dimakruhkan. Maka tarjih dilakukan pada bentuk yang sebelumnya.
Ketiga: tarjih demi hukum, terjadi dengan beberapa perkara:
Yang pertama: dikuatkan khabar yang menetapkan untuk hukum pokok atas khabar yang
mengangkat untuk hukum tersebut. Seperti sabda beliau SAW: “Barangsiapa yang
57
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.678
menyentuh dzakarnya maka hendaknya dia berwudhu”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.)58
Dengan apa yang diriwayatkan secara marfu‟ dengan lafadz: “Apakah kami berwudhu
apabila menyentuh dzakarnya?, beliau bersabda: dzakar itu adalah sepotong daging dari
dari kalaian atau tubuh kalian”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad).59
Maka dikuatkan nash yang membatalkan. Karena yang menetapkan hukum itu lebih
dikuatkan dibanding yang mengangkat hukum, karena dua sebab: pertama, bahwa beramal
dengan yang mengangkat hukum artinya menasakhnya, dan itu tidak boleh kecuali dengan
qarinah yang menjelaskan tentang naskh. Disini tidak ditemukan qarinah yang menunjukkan
nasakh. Kedua, bahwa beramal dengan yang menetapkan hukum itu berarti menjadikan
sahnya shalat secara yakin dengan tiadanya perbuatan yang diduga membatalkan, berbeda
dengan mengangkat hukum maka itu menjadikan sahnya shalat yang sifatnya dzanni karena
adanya dugaan bahwa itu bertentangan. Dan keberadaan sah shalat yang yakin itu lebih
didahulukan dibanding yang sifatnya dzanni. Bersabda beliau „Alaihis-salam: “Tinggalkan
apa yang meragukan untuk mengambil yang tidak mertagukan”. (Hadits dikeluarkan oleh
Ahmad).60
Kedua: khabar yang menunjuk pada pengharaman lebih dikuatkan atas khabar yang
menunjuk pada yang mubah, berdasarkan sabda beliau SAW: “Tinggalkan yang meragukan
untuk mengambil yang tidak meragukan”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad).61
Ketiga: khabar yang menunjuk pada pengharaman sepadan dengan yang menunjuk pada
yang wajib.
58
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.678 59
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, ha.679 60
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.679 61
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.679
Keempat: khabar yang menunjukkan pada yang wajib itu lebih dirajihkan atas khabar yang
menunjuk pada yang mubah.
Kelima: khabar yang menunjukkan pada yang haram itu lebih rajih atas khabar yang
menunjuk pada yang makruh.
Keenam: dalil yang menunjukkan atas suatu kwajiban itu lebih dikuatkan atas dalil yang
menunjuk pada yang mandub.
Ketujuh: dalil yang memetapkan itu lebih didahulukan atas dalil yang menafikan. Seperti
khabar Bilal yang menyatakan bahwa Nabi SAW masuk rumah dan shalat, sedangkan khabar
Usamah menyatakan bahwa beliau masuk rumah dan tidak shalat, maka khabar Bilal
dikuatkan.62
Kedelapan: dalil yang menafikan had (sanksi) itu lebih dikuatkan atas dalil yang
menetapkan had (sanksi). Dalil atas hal tersebut ada tiga perkara:
a. Hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Hindarkan
had dari kaum Muslim semampu kalian”. Demikian pula apa yang diriwayatkan dalam
Musnad Abu hanifah:“Jauhkanlah had dengan syubhat”.
b. Bahwa had itu adalah dharar. Padahal Rasulullah SAW bersabda:“Tidak berbahaya dan
tidak membahayakan”. (Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim).
c. Sabda beliau SAW: “Bahwa sesungguhnya Imam salah dalam mema‟afkan itu lebih baik
dibanding dengan salah dalam memberikan sanksi”. (Hadits dikeluarkan oleh At
Tirmidzi).63
Empat: khabar ahad dikuatkan terhadap qiyas yang illatnya diambil dari dalil atau yang
diistimbathkan dengan suatu istimbath, atau dengan qiyas. Karena khabar ahad adalah wahyu
62
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.680 63
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.681
yang dzahir dalalahnya atas suatu hukum dalam pengungkapan pada hukum, sedangkan illat
diambil secara dalalah, atau di istimbathkan atau diqiyaskan, itu semua adalah bagian dari
mafhum,dan dengan qarinah bahwa ini adalah termasuk hal-hal yang datang melalui wahyu,
dan dzahir dalalah dari nash itu lebih didahulukan atas mafhum yang merupakan bagian dari
apa yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan illat sharahah, diambil berdasarkan hukum nash
yang illah tersebut datang melalui nash tersebut. 64
Diantara hasil istimbath Hizbut Tahrir yaitu berupa ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-
hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya telah dihimpun dalam berbagai buku dan
selebaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Berikut nama-nama
buku yang telah diterbitkan oleh Hizb:
1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam)
2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
4. Nizhamul Ijtima‟I fil Islam (Sistem Pergaulan di Dalam Islam)
5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)
6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir)
7. Daulah al-Islamiyah (Negara Islam)
8. Syakhshiyah al-Islamiyah (Kepribadian Islam, tiga jilid)
9. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)
10. Nadlarat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pandangan Politik Hizbut Tahrir).
11. Muqaddimah ad-Dustur (Pengantar Undang-Undang Dasar Negara Islam).
12. Al-Khilafah (Sistem Khilafah).
13. Kaifah Hudimat al-Khilafah (Persongkokolan Meruntuhkan Khilafah).
64
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.675-684
14. Nizham al-„Uqubat (Sistem Sanksi).
15. Ahkam al-Bayyinat (Hukum Pembuktian).
16. Naqdlu al-Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritik Terhadap Sosialis Marxis).
17. At-Tafkir (Hakekat Berpikir).
18. Sur‟atu al-Badihah (Kecepatan Berpikir)
19. Fikru al-Islamiy (Pemikiran Islam).
20. Naqdlu an-Nadlariyatu al-Iltizami fi al-Qawanini al-Gharbiyyah (Kritik Terhadap Teori
Stipulasi Undang-Undang Barat).
21. Nida Har (Seruan Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam).
22. Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla (Politik Ekonomi Yang Agung).
23. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan di Negara Khilafah).
Dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizbut Tahrir hanya
bersandar kepada wahyu, yakni al-Qur‟an dan as-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh
kaduanya, berupa ijma‟ Sahabat dan Qiyas. Karena hanya keempat rujukan itu saja yang
hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath‟iy (pasti).65
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Hizbut Tahrir sangat hati-hati dalam
menggali segala sesuatu. Hizbut Tahrir tidak ingin pemikirannya tercampuri oleh pemikiran
yang memang bersumber dari hawa nafsu manusia. Sehingga ketika menghukumi sesuatu
semata-mata bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah, ijma‟ Sahabat dan Qiyas.
65
Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir” (Jakarta: Pustaka Thariqul
Izzah, 2007), cet.I. hal.35
BAB IV
PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR
A. Dasar Pijakan Dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah66
Berbicara tentang dasar pijakan Hizbut Tahrir, Hizb lebih melihat penentuan awal dan akhir
Ramadhan, dimana bulan Ramadhan adalah bulan Ibadahnya Kaum Muslimin. Hizbut Tahrir adalah
partai yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Khilafah. Oleh
karena itu, Hizb turut berkepentingan dalam menentukan dalil syara‟ awal dan akhir bulan Ramadhan,
begitu juga dengan penentuan Syawal. Karena apabila tidak begitu maka dikhawatirkan akan terjadi
keharaman dalam beribadah. Disana Hizb membandingkan dalil-dalil penentuan awal dan akhir
Ramadhan. Dan Hizb berusaha mengambil dalil-dalil yang rajih. Dimana dalil yang rajih menurut
pandangan Hizb itu adalah dalil Rukyatul Hilal. Yang menjadi dasar pijakan dan metode penetapan
adalah Rukyat Hilal, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:67
ا ىشإيز ص
Berikut adalah dalil-dalil Rukyat Hilal yang menjadi dasar pijakan Hizbut Tahrir:
Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah SWT
berfirman:
ص ش فه كى انش ذ ي ش ف انفشقا ذ ان اخ ي ت ذ نهاط انقشأ ضل ف انز أ ش سيضا ش
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS.al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
66
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah. Jakarta. 21 Agustus 2010 67
Wawancara Probadi dengan Ratu Erma R. Jakarta. 20 Desember 2010
انذج راء انضكاج إ إقاو انصالج ل اهلل ذا سع يذ أ إالاهلل ادج أال إن ظ ش انإلعالو عه خ ت
و سيضا ص
“Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa
Ramadhan.” (HR al-Bukhari).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu
ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara‟ tidak hanya menjelaskan
status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu „ain–, tetapi juga secara gamblang
dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-
syarth, al-mâni‟, al-shihah wa al-buthlân, dan al-„azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara‟
menjelaskan bahwa ru‟yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa
Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru‟yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan
Sya‟ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits
berikut:
ب أد ب شجؼخ: حذث صيذ قبه: حذث ذث ح ب : حذث شيشح سضي اهلل ػ ؼذ أثب ه :ع قبه اىجي صي : يق
قبه ، ا عي : اهلل ػيي عي صي اهلل ػيي اىقبع غجي )): قبه اث ، فب ا ىشإيز افطش ا ىشإيز ص
ثالثي ا ػذح عؼجب ي فآم . ػيين
“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu
Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah
berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)68
68
Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630
ا اهلل ع ش سض ع عثذاهلل ت افع، ع يهك، ع ح، ع يغه اهلل صه : دذثا عثذ اهلل ت سع آ
، فقال عهى ركش سيضا : اهلل عه ا ان ا در ذش ي الال ذص الل كى ، ذفطشا در ذش غى عه فإ
.فاقذسا ن
”Diriwayatkan oleh Abdullah bin Muslimah, Maliki, Nafi‟, Abdillah bin Umar RA:
Bahwasannya Rasulullah SAW: Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula
kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah
hitungannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)69
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan
akhir Ramadhan didasarkan kepada ru‟yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak
wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung,
maka mereka wajib menyempurnakan Sya‟ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka
berpuasa.” (al-Nawawi, al-Majmû‟Syarh al-Muhadzdzab,6/269)
Dalil-dalil di atas dipandang adalah hadits-hadits lebih kuat dan shahih. Karena dari perawi-
perawi yang masyhur.
Kaitannya dengan matla‟ (tempat lahirnya bulan), Hizbut Tahrir memandang bahwa
sebagian ulama Syafi‟iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah
dengan radius 24 farsakh dari pusat ru‟yah bisa mengikuti hasil ru‟yat daerah tersebut.
Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru‟yah sendiri, dan tidak harus
mengikuti hasil ru‟yat daerah lain.70
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang
diriwayatkan dari Kuraib.
69
Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal 629 70
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010. Ditambah juga dari artikel
Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, syabab.com
Hadits yang diriwayatkan Kuraib dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal
dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla‟. Menurut Jubir MHTI bahwa apabila dikaji
lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
1. Dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû‟ atau
mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu „Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh
saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah
menunjukkan sebagai Hadits marfû‟. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan
itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu‟ perlu dipertanyakan.
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu
Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara‟, yang darinya digali hukum-hukum
syara‟, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma‟shum. Ijtihadnya
tidak termasuk dalam dalil syara‟.
2. Perbedaan tempat yang telah ditentukan jaraknya oleh para ulama itu adalah berbeda-beda.
Perbedaan jarak tersebut tidak didasarkan pada nash yang sharih. Bertolak dari dua alasan
itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan
penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla‟. Dalam penetapan awal
dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu‟
kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu‟-
annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu‟-annya. Hadits
yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits
yang diriwayatkan bil makna.”71
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau
sendiri yang tidak diragukan ke-marfu‟-annya, seperti Hadits:
71
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010
عهى عه صه انه عثاط قال قال سعل انه ات الع صيا نشإر ا قثم سيضا ذصي
ها ز غاح فؤك داند د فإ الأفطشا نشإر .ياث
“Dari Ibnu „Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena
melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh
hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Juga hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu‟-annya. Dalam hadits-hdits itu
kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru‟yah hilal. Semua
perintah dalam hadits berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan hadits-hadits itu yang
menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ‟ah, berupa wâwu al-jamâ‟ah). Pihak
yang diseru oleh hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka
seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara
orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir
dengan Pakistan. Demikian juga, kata li ru‟yatihi (karena melihatnya). Kata ru‟yah adalah ism
al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata
itu termasuk dalam shighah umum, yang memberikan makna ru‟yah siapa saja. 72
Imam al-Syaukani73
menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk
satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan
khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah
sampai kepadanya. „Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap)
72
Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada
21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id 73
Imam Asy-Syaukani ini pada awalnya adalah pengikut Mazhab Zaidi (Mujtahid Mazhab), namun
dikemudian hari beliau menjadi mujtahid Muthlak, (Tingkat Mujtahid ada tiga: Mujtahid Muthlak, Mujtahid
Mazhab, Mujtahid Masalah).
seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru‟yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum
Muslim lainnya.”74
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah,
apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyatul hilal), maka ru‟yat ini
berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.
Imam al-Shan‟ani berkata, “Makna dari ucapan „karena melihatnya‟ adalah “apabila ru‟yah
didapati di antara kalian”, Hal ini menunjukkan bahwa ru‟yah pada suatu negeri adalah ru‟yah
bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak
berlakunya perbedaan mathla‟. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
ا الغى عه عه صه انه ذ سعل انه ذا ع اس فش آخش ان ال فؤصثذا صايا فجاء سكة ي ل ش
ا ان ى سأ ا ألل تاالعهى أ خشج أ ى ي فطشا ي عهى أ عه صه انه يظ فؤيش سعل انه
انغذ ى ي ذ نع
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada
keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke
Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat
hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk
segera berbuka dan melaksanakan sholat „Ied pada keesokan harinya.” (HR. Ahmad
dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk
membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru‟yah hilal bulan Syawal dari beberapa
orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada
serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal
74
Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada
21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di
Madinah. Dari Ibnu „Abbas:
ع سيضا ث ف دذ الل قال انذغ د ان عهى فقال إ سآ صه اهلل عه إن انث جاء آعشات
إال اهلل؟ قال ال إن ذ آ ذا سعالاهلل؟ قال. عى: فقال آذش يذ ذ آ ف اناط . عى: قال آذش قال اتالل آر
ا غذا ي .فهص
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah
melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu
adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya
berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya
benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk
berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban).
Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat
yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla‟. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur
ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak
menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla‟.75
Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan
ditetapkan berdasarkan ru‟yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla‟.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla‟
(ikhtilâf al-mathâli‟). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka
wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh
75
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010
ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru‟yah
itu berlaku bagi mereka semuanya.”76
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru‟yah hilal telah terbukti di salah satu negeri,
maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada
perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru‟yah hilal itu
memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak
diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla‟ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat
tiga Imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi‟i
berpendapat lain. Mereka mengatakan, „Apabila ru‟yah hilal di suatu daerah telah terbukti,
maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib
berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla‟, yaitu
jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka
tidak wajib berpuasa dengan ru‟yah ini, karena terdapat perbedaan mathla‟.”77
Al-Qurthubi78
menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh
Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal
76
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 77
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 78
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi
Al-Qurthubi adalah seseorang mufassir yang dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang Spanyol). Disanalah
beliau mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al-Qur‟an Al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira‟at, Balaghah, Ulumul Qur‟an
dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih yang sudah mencapai
tingkatan ma‟rifatullah, beliau sangat zuhud terhadap kehidupan dunia bahkan dirinya selalu disibukkan oleh
urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab. Diantara guru-
guru Imam Al-Qurthubi adalah :- Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin
Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki, wafatnya tahun 648 H.- Ibnu
Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha‟uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi‟I,
wafat pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira‟at.- Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin
Ibrahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih Muslim.- Al-
Hasan Al-Bakari, Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk At-Taimi An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi
atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari, wafat pada tahun 656 H. Karya-karya Al-Qurthubi selain kitabnya yang
berjudul Al-Jami‟li Ahkaam Al-Qur‟an, diantaranya adalah: At_Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-
Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum
Muslimin, berpuasa berdasarkan ru‟yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu
datangnya terlambat.”79
Tentang pendapat Mazhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasannya perbedaan
mathla‟ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum
dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia)
harus mengikuti (ru‟yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru‟yat
mereka dapat diterima (syah) menurut Syara‟.”80
Tak jauh berbeda, menurut Mazhab HAnafi, apabila ru‟yat telah terbukti, disuatu tempat yang
jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.81
Sebagian pengikut Mazhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyum, menambahkan syarat, rukyat
itu harus diterima oleh seorang Khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti
rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a‟dham (khalifah).
Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu
negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim.”82
Ibnu Taimiyah dalam Majmû‟ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa
ru‟yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-
pengikut madzhab Syafi‟i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar
shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla‟ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq
Akhirah, At-Tidzkar fi Afdhal Al-Adzkar, Al-Asnafi Syarh Asma‟illah Al-Husna, Syarh At-Taqashshi, Al-I‟llambi
maa fi din An-Nashara min Al-Mafashid wa Al-Auham wa Izhhar Mahasin din Al-Islam, Qam‟u Al-Harsh bin A-
Zuhd wa Al-Qana‟ah, Risalah fi Alqam Al-Hadits, Kitab Al-Aqdhiyyah, Al-Mishbah fi Al-Jam‟I baina Al-Af‟aal
wa Ash-Shahhah, Al-Muqtabar fi Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas, Al-Luma‟ fi Syarh Al-Isyrinat An-
Nabawiyah. Lihat juga El-Reihan Blog's.http://el-reihan.blogspot.com/2010/01/imam-qurthubi.html. di akses
pada 22 Januari 2011 79
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 80
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 81
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 82
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010
dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha‟if) karena jarak qashar shalat
tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan
Sya‟ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia
menyaksikan hilal pada waktu sore menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk
waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”83
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri
Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru‟yah wajib diikuti oleh kaum
Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali.
Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru‟yatuh hilal maka ru‟yah
tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di
suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Dari penjelasan di atas Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa:
1. Hadits Riwayat dari Kuraib adalah bukan hadits Marfu‟ karena bukan berdasarkan ucapan
Rasulullah tapi ini adalah ucapan Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib.
2. Hizb berpandanngan bahwa ada peristiwa-peristiwa lain di masa Rasulullah yang justru
malah sebaliknya, artinya Rasulullah justru tidak ingin perpedaan itu terjadi dikalangan
kaum Muslimin. Perbedaan ini terjadi adalah suatu kewajaran pada saat itu karena alat
komunikasi yang sangat terbatas. Kemudian perbedaan ini menyikapi justru
memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa tidak dibesar-besarkan, khususnya pada
saat itu. 84
Intinya adalah Hizbut Tahrir memandang bahwa menggunakan mathla‟ dalilnya tidak ada.
83
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 84
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010
Apabila mengaplikasikan konteks sekarang, dimana khususnya di Negara Indonesia yang
dominan menggunakan Madzab Syafi‟iyyun yang menentukan jarak lebih kurang berada
dalam radius 120 km atau kurang lebih 24 farsakh dan dalam jarak dibolehkannya menjama‟
dan mengqashar shalat. Demikian itu tidaklah sama dengan jarak yang ditempuh antara Syam
dan Madinah, karena jarak untuk menempuh Syam ke Madinah membutuhkan waktu
perjalanan sehari, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Kuraib di atas.
Untuk konteks Indonesia bisa kita ambil contoh yaitu penentuan awal bulan Ramadhan
1431 ini. Di Makasar tidak terlihat hilal namun terlihat di Jakarta, tapi Makasar mengikuti
Jakarta, padahal jarak Makasar dengan Jakarta sudah menghabiskan waktu sehari sampai dua
hari dalam perjalanan. Kalau memang benar-benar mengikuti Madzhab Syafi‟iyyun,
seharusnya puasa orang Makasar sudah berbeda dengan Jakarta. Namun itu tidak terjadi. Jadi
apa faktor yang menyebabkan Makasar ikut Jakarta? Kalau kita menilik lagi ke hadits
Rasulullah li ru‟yatihi (karena melihat hilal) adalah isim jenis yang diidhafatkan, sehingga
termasuk lafadz-lafadz yang bersifat umum. Dan sabda beliau saw hatta tarau (hingga kalian
melihat), dan idza ra‟aitum (jika kalian melihat), didalamnya ada dhamir jamak yang kembali
pada sebuah isim, dan isim ini adalah jamak, sehingga dhamir tersebut mengacu pada
keseluruhan. Sedangkan jamak itu termasuk lafadz-lafadz umum. Dlamir: tarau dan dlamir:
ra‟aitum termasuk lafadz-lafadz umum, sehingga melihat itu bersifat umum, bagaimanapun
kondisi rukyat itu terjadi dari seorang Muslim maka mencakup seluruh kaum Muslim. Karena
itu puasa menjadi wajib atas mereka semua saat itu. Pendapat ini merupakan hasil dari ulama
yang tidak berpegang pada matla‟ yaitu dengan pengambilan kesimpulan yang biasa agak
rumit, dan merupakan pendapat yang shahih.85
Berbicara tentang metodologi Hizbut Tahrir dalam menentukan awal dan akhir bulan
Qamariyah. Pada dasarnya Hizbut Tahrir juga mempunya metodologi sendiri yaitu dalam
kajian Ushul Fiqh dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an dan nash-nash Syara‟. Hal yang
berkaitan dengan penentuan awal bulan qamariyah ini, Hizb memperhatikan pandangan-
pandangan ulama atau madzhab, Karena matla‟ bukan landasan untuk perbedaan.
Dalam kitab Al Fiqh Al Madzahib (Fiqih 4 Madzhab), Hizb mengambil pandangan rajih
ini:
1. Hizb lebih berpandangan rukyat bukan hisab. Namun Hizb tidak meninggalkan hisab sama
sekali, karena untuk melihat hilal butuh hisab juga, artinya untuk melihat apakah hilal itu
masih jauh dari ufuk atau tidak, sehingga ketika ingin melihat hilal dengan rukyat sudah
bisa ditentukan kapan mulai melihat hilal. Karena terkadang wujud hilal itu terhalang oleh
asap atau debu yang disebabkan oleh cuaca kurang memungkinkan.
2. Hizbut Tahrir berpandangan bukan rukyat mathla‟ sebagaimana madzhab Syaf‟iyyah,
karena menurut Hizbut Tahrir rukyat mathla‟ ini adalah berdasar pada dalil yang lemah.
Karena dalil yang kuat itu adalah dalil yang telah dijelakan di atas. Hizbut Tahrir
menyimpulkan perbedaan mathla‟ tidak mempengaruhi penentuan awal dan akhir bulan
Ramadhan.
B. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab
Dilihat dari sisi semangat para ulama yang ada di Indonesia dalam menentukan awal dan
akhir bulan Ramadhan yang berdasarkan hukum syara‟, kesungguhan mereka sangat pantas
85
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 dan lihat juga Mahmud Abdul
Lathif Uwaidhah, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur‟an Dan Hadits, Edisi Bahasa Indonesia, (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2001), cet.I., hal.45-46
dihargai, namun pemerintah hanya mengakomodir saja. Dimana seharusnya pemerintah punya
statement untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, artinya pemerintah punya
kewenangan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan setiap tahunnya dan mampu
menyatukan apabila terjadi perbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan.
Namun ini tidak terjadi. Ini menunjukkan tidak konsisten pemerintah dalam menetapkan awal
dan akhir bulan Ramadhan. Kemudian apabila terjadi perbedaan pemerintah membiarkan itu
dan tidak menegurnya. Ini akibat diterapkannya sistem demokrasi. Dimana sistem demokrasi
ini berprinsip bahwa rakyat boleh melakukan apa saja, termasuk dalam menentukan awal
bulan Qamariyah ini. Dan itu sudah dianggap lumrah.86
Menurut Ratu Erma R. apabila hisab satu-satunya dijadikan sebagai metode dalam
menentukan awal bulan dan akhir bulan Qamariyah, maka itu adalah sutu hal yang keliru
menurut hukum Syar‟i, bila mereka menetapkan hanya menggunakan hisab saja. Karena nash
rukyat sudah jelas. Namun hisab bisa digunakan dalam estimasi dan penunjang keilmuan
dalam melihat keadaan hilal sebelum melakukan rukyat dan tidak bisa digunakan satu-satunya
penetapan.87
HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan
kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul
Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir
sekarang) menegaskan :
انصص ف اناسدج ألا فقط انشإح تم انفطش انصو ف انفهكح انذغاتاخ جاص تعذو قل
"Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul
Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat
dalam nash-nash."
86
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 87
Wawancara Probadi dengan Ratu Erma R., Jakarta, 20 Desember 2010
Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab
dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang
dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan
Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.
Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya)
berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab
syar'i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya.
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita
menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud
secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa :
"Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat
bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal,
kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr)
benar-benar telah mulai berdasarkan hisab."
Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah
ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah.
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal
bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi'in), juga pendapat
Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-
lain.88
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika
tidak terlihat), artinya adalah "perkirakanlah dengan ilmu hisab." Sebab menurut Ibnu Suraij
88
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang
menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi "fa-akmilu al-iddah" (sempurnakanlah
bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.
Pendapat tersebut kurang dapat diterima HTI. Alasannya, sabda Nabi "perkirakanlah"
(faqduruulah), artinya yang tepat bukanlah "hitunglah dengan ilmu hisab", melainkan
"sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari". Memang hadits ini mujmal (bermakna global),
sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar),
yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal.
Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan.
Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan
bulan), bukan fahsubuu (hisablah).89
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan Qamariah, namun HTI
berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti
penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika
shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan
"masuknya waktu" sebagai sebabnya, di mana "masuknya waktu" itu dapat dilaksanakan
dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.90
Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa
hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul
hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang
bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat.
89
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id 90
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010
Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath'i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni
(dugaan).
Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian
rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab,
melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir,
atau saksi itu tidak mempunyai sifat 'adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat)
kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar'i (al-bayyinat asy-syar'iyyah),
bukan berdasarkan perhitungan hisab. Kedua, syara' telah menetapkan bahwa penentuan awal
bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi),
bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan
hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu
kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan
bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar'i (bukan secara waqi'i /
faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.91
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki (perhitungan
astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nash syara‟, baik Al-Qur‟an maupun As-
Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena
itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar‟iyyah fi
al-‟ibadat) telah menyalahi ketentuan syara‟. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi
lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di
dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian
Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa
91
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah
hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah
permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun
akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi
yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya
pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan
perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika
mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali‟ (kesatuan mathla').92
C. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di
Indonesia)
Dalam hal ini Hizbut Tahrir menjelaskan yang terdiri dari beberapa point:
1. Jawaban dalam masalah ini adalah fakta bahwa riwayat tersebut bukanlah sebuah hadits
marfu‟ (yang disandarkan –berupa kutipan kalimat- langsung dari Rasulullah SAW)
melainkan ijtihad seorang Sahabat. Dan kedudukan ijtihad seorang Sahabat tidak dapat
disejajarkan/dibandingkan dengan hadits (yang marfu‟) dari Rasulullah SAW. Fakta bahwa
Ibnu Abbas tidak berpuasa berdasarkan rukyat dari penduduk Syam, merefleksikan bahwa
hal itu adalah sebuah ijtihad dan oleh sebab itu tida bisa dijadikan sebagai sebuah dalil
Syar‟i (ijtihad seorang Sahabat kedudukannya adalah sebagai sebuah hukum syara‟ bukan
dalil syara‟).
2. Disamping itu ternyata pada faktanya ijtihad tersebut bertentang dengan dalil-dalil syar‟i
yang umum, sedangkan kedudukan hadits (yang merupakan dalil syara‟) adalah lebih
92
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
tinggi dibandingkan dengan ijtihad (yang merupakan hukum syara‟). Oleh karena itu apa
yang dijelaskan oleh ijtihad tersebut harus ditinggalkan.
3. Lebih jauh lagi, ijtihad sahabat tidak dapat men-takhsis keumuman lafadz yang ada pada
hadits. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas di akhir riwayat tersebut: ”Tidak, (sebab)
demikianlah Rasulullah memerintahkan (kepada kami)”, ini bukanlah merupakan sebuah
hadits, melainkan suatu langkah yang diambil oleh Ibnu Abbas dari pemahaman terhadap
hadits Rasulullah dalam sabda beliau SAW. “Puasalah kamu sekalian ketika kaliam
melihat hilal (bulan baru), dan berbukalah ketika kalian melihatnya.”
Statemen Ibnu Abbas tersebut mengindikasikan pemahaman beliau terhadap hadits yang
disampaikan Rasulullah di atas.93
1. Imam Syaukani –rahimahullah- dalam kitabnya Nailul Authar jilid III halaman, 125 telah
mendiskudikan dengan baik ijtihad Ibnu Abbas yang oleh sebagian ulama dianggap nash
Rasulullah. Imam Syaukani mengomentari hadits ini: Ketahuilah yang layak menjadi
hujjah itu tidak lain adalah riwayat yang marfu‟ dari Ibnu Abbas (dalam hadits-hadits
lain), bukan ijtihad Ibnu Abbas itu sendiri.
Beliau lalu melanjutkan: Sedangkan kenyataan sebenarnya yang berasal dari Rasulullah
adalah sabdanya yang diriwayatkan oleh As Syakhani‟ (Bukhari Muslim melalui jalur Ibnu
Abbas) dan lain-lain dengan lafad: Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat bulan,
dan janganlah kalian berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga kaliannya pula. Maka jika
(pandangan; kalian terhalang (oleh awan) sempurnakanlah bilangnan (bulan sebanyak 30
hari).
93
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh
Kaum Muslim, 1999, hal.6
Sabda Rasulullah ini tidak dikhususkan untuk penduduk suatu daerah tertentu tanpa
menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda (Rasulullah) ini khitab (seruan) yang tertuju
kepada siapun diantara kaum Muslimin dimanapun berada yang telah menerima seruan itu.
Kemudian Asy-Syaukani lebih lanjut: Dengan demikian seorang alim itu tentu tidak akan
ragu-ragu lagi bahwa dalil syara‟ yang ada menunjukkan bahwa penduduk suatu negeri
beramal dengan khabar ynag sampai mereka satu sama lain. Berarti mereka beramal
dengan kesaksian di antara mereka satu sama lain dalam seluruh hukum-hukum syara‟ itu.
Beliau menutup penjelasannya sebagai berikut: pendapat yang layak dijadikan pegangan
adalah apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan, maka rukyat itu pula berlaku
untuk seluruh negeri-negeri yang lain.94
2. Oleh karena itu apa yang dikisahkan oleh Kuraib, tidaklah terkategori sebagai sebuah
hadits, melainkan tetap sebagaimana adanya, yaitu pendapat (ijtihad) Ibnu Abbas. Dengan
demikian riwayat tersebut bukanlah merupakan dalil syar‟i dan tidk bisa digunakan sebagai
dalil, dan juga tidak dapat digunakan untuk men-takhsis keumuman yang tersebut di dalam
hadits, sehingga hadits-hadits tersebut (tentang rukyatul hilal) tetaplah merupakan dalil
yang bersifat umum, sebagaimana kaidah ushul: “Sebuah dalil akan tetap berada pada
keumumannya bila tidak ditemui adanya dalil yang mengkhususkannya”.95
Kemudian Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa:
3. Kalau konsisten pada pandangan madzhab Syafi‟i, seharusnya penetepan awal Ramadhan
yang jatuh pada tanggal 11 Agustus 2010/1 Syawal 1431 Makasar itu berbeda dengan
Jakarta, karena jarak Makasar dengan Jakarta bisa menghabiskan waktu lebih kurang
sekitar dua hari. Namun itu tidak terjadi.
4. Perbedaan yang seharusnya terjadi karena jarak yang berpedoman pada madzhab Syafi‟i,
tapi dalam penetapan bulan Ramadhan ini tidak terjadi. Jadi bisa disimpulkan bahwa
94
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh
Kaum Muslim, 1999, hal.6 95
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh
Kaum Muslim, hal.7
perbedaan itu terjadi bukan karena berpedoman pada madzhab Syafi‟i, tapi perbedaan itu
terjadi karena Nation State, yaitu Nasionalisme.96
Hizbut Tahrir memandang bahwa yang menyebabkan ketidakkonsistenan pemerintah
dalam menetapkan awal bulan Ramadhan sebagaimana yang dijelaskan diatas adalah
disebabkan oleh Nation State. Karena dalam penetapan awal bulan Ramadhan tidak
memandang adanya perbedaan Negara. Demikian hal ini didasarkan pada hadits berikut:
فقبه اي سأيذ اى عي ػيي الخبء أػشاثي اى اىجي صي اىي ضب يؼي س في حذيث ه قبه اىحغ
ذ أ االفقبه أرش قبه يب ةال اى قبه ؼ ذا سعه اىي ح ذ أ قبه أرش قبه ؼ في اىبط ال اىي ه أر
ا غذا فييص
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah
melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu
adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya
berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya
benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk
berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban).
Dengan demikian, hadits-hadits tersebut mengandung pengertian bahwa terlihatnya hilal
Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim dimanapun ia berada, mewajibkan kepada
seluruh Muslimin di seluruh dunia untuk berpuasa atau berbuka, tanpa terkecuali. Tidak ada
perbedaan antara negeri
Demikian juga bahwa HTI adalah sebuah partai yang ingin melanjutkan kehidupan Islam
sebagaimana yang telah dijelaskan di pembahasan awal bahwa HTI telah tersebar hampir
diseluruh penjuru dunia, lalu negara manakah yang menjadi patokan Hizbut Tahrir dalam
menetapkan awal bulan Ramadhan?
96
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010.
Untuk Syawal Saudi tidak memiliki penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan. Hizbut
Tahrir dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan tidak berdasarkan Negara tapi
hanya menggunakan rukyat hilal sesuai dengan perintah hadits yang disebutkan di atas.
Berdasarkan hadits-hadits di atas bahwa Rasulullah tidak menanyakan asal seorang Badui. Ini
artinya bahwa apabila hilal itu sudah terlihat oleh seseorang maka itu sudah mewakili seluruh
kaum Muslim di seluruh dunia. Bayangkan seandainya Khilafah masih ada, maka menjelang
awal ramadhan kemarin Khalifah dengan sangat serius mempersiapkan upaya pemantauan
hilal (bulan), sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah SAW. Khalifah akan mengerahkan
ulama, ahli falaq, pakar astronomi di berbagai kawasan negeri Khilafah mulai dari Maroko
sampau Marauke. Teknologi pun dipersiapkan untuk membantu, siaran langsung dari
berbagai kawasan pemantauan dari seluruh dunia dilakukan seperti siaran langsung sepak bola
di era Jahiliyah. Kemungkinan detik-detik terlihatnya hilal bisa disaksikan oleh kaum
muslimin di seluruh dunia.97
Setelah hilal terlihat, Khalifah segera mengumumkan masuknya 1 Ramadhan. Atau bulan
sya‟ban digenapkan 30 hari kalau belum terlihat. Siaran langsung pidato Kholifah
dipancarkan secara langsung televisi ataupun radio Departemen I‟lami (informasi negara) dari
pusat kota negara Khilafah yang akan disaksikan dan didengarkan via satelit oleh hampir 1,5
milyar umat Islam negara Khilafah berbagai penjuru dunia . Dengan kecanggihan sains dan
teknologi ini tidak ada kendala untuk menyampaikan pesan penting ini dengan cepat dan
akurat di seluruh dunia.
Umat Islam menyambutnya dengan riang gembira, merekapun shaum pada hari yang sama:
1 Ramadhan yang sama. Meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang bagaimana
menentukan awal dan akhir ramadhan, tapi perintah Imam yang wajib ditaati telah melebur
97
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah
semua itu: “amrul Imam yarfa‟ul khilaf” (perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan).
Semuanya taat kepada perintah Khalifah , ketaatan yang diperintahkan Allah SWT dan
RasulNya.
Lain halnya dengan bulan Dzulhijjah. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa dalil
penentuannya adalah penentuan hari „Arafah yaitu jatuhnya tanggal 10 Dzulhijjah. Penetapan
tanggal 10 Dzuhijjah ini adalah Khadimul Haramain Arab Saudi. Khadimul Haramain adalah
yang menentukan Ma‟lumun Minaddin Biddarurah untuk menentukan dua hari „Arafah.
Karena Khadimul Haramain ini merupakan penguasa Makkah dan Madinah sebelum
runtuhnya Daulah Islam. 98
Dijelaskan juga dalam Hadits Husain bin Al Harits Al Jadaliy r.a.
نخ خطت يش آ قبه, ا غل ىيشإيخ: ث آ عي ه اهلل ػيي ب سع ذ اىي ذ , ػ ش ش ى فب
. غنب ثشبد رب, شبذاػذه
“Sesungguhnya Amir Makkah (Al Harth bin Hathib) berkhutbah”, selanjutnya berkata,
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk bermanasik karena ru‟yat. Namun
apabila kami tidak melihatnya tetapi ada seorang ynag melihat (bulan) dengan diperkuat
oleh seorang saksi yang adil maka kami bermanasik dengan berdasarkan kesaksian
keduanya”. (HR. Abu Daud)
Hadits Husain bin Al Harits Al Jadaliy r.a ini secara jelas menunjukkan bahwa penetapan
hari Arafah dan hari Haji –ketika masih ada Daulah- diserahkan kepada Wali Makkah. Karena
Rasulullah SAW memerintahkan untuk melakukan menasik Haji didasarkan pada ru‟yat yang
ditetapkan oleh Wali Makkah. Dengan fakta ini jelas bahwa Rasulullah SAW, tidak
menjelaskan pelaksaan manasik Haji, berupa wukuf di Arafah, thawaf ifadhah, mabit di
98
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah
Muzdalifah, melempar jumrah, dan semacamnya didasarkan pada ru‟yat penduduk Makkah,
Najed dan sebagainya, tetapi didasarkan pada ru‟yat penduduk Makkah saja.99
Sedangkan yang saat ini, -dengan tidak adanya Daulah Islamiyyah- wewenang tersebut
tetap didasarkan pada orang yang memerintahkan wilayah Hijjaz dari kalangan kaum
Muslimin. Bahkan sekalipun pemerintahannya tidak syar‟iyyah (tidak didasarkan pada
legalitas syara‟). Hukumnya tetap wajib bagi seluruh umat Islam di dunia untuk berhari raya
pada hari Nahr –ketika jama‟ah Haji menyembelih hewan korban mereka- yaitu tanggal 10
Dzulhijjah, dan bukan pada awal tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah).100
Dalam Negara Khilafah, Khilafah bisa saja tidak berpatokan pada Negara tertentu,
misalnya sekarang seperti Arab Saudi. Dan hingga hari ini Arab Saudi menggunakan rukyat.
Hizbut Tahrir hingga sekarang dalam menetapkan tanggal 10 Dzulhijjah masih mengikuti
Arab Saudi. Jadi pada dasarnya Hizbut Tahrir baik dalam menentukan awal dan akhir
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah adalah sama-sama menggunakan rukyat.
D. Pandangan Hizbut Tahrir Mengenai Keharusan Adanya Institusi Politik Pemersatu
Umat (Khilafah) Untuk Menyatukan Umat Secara Global
Mengenai keharusan adanya Institusi politik pemersatu umat untuk menyatukan umat
secara global adalah pertama: wajib hukumnya. Maka harus diperjuangkan samapai tegak,
kedua, tanpa adanya institusi maka sulit untuk menyatukan umat. Khususnya dalam
menyamakan satu pendapat dalam menentukan awal dan akhir bulan Qamariyah saja sudah
sulit.101
99
Nasyrah Hizbut Tahrir, Hukum Perbedaan Penentuan Hari Raya Qurban (Idul Adha), 22 Maret 1999,
hal.1-2 100
Al Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali Telaah Kritis Perbedaan Penentuan Awal Dan Akhir
Ramadhan, hal.113 101
Wawancara Pribadi dengan Ratu Erma R. 20 Desember 2010.
Hizbut Tahrir bukan entitas pelaksana, bukan entitas amal praktis, tapi entitas fikri
(politik/pemikiran). Setiap tahun Hizb sosialisasi kepada umat ketika muncul permasalahan-
permasalahan baru yang sedang dihadapi umat. Hizb itu terdiri dari berbagai macam bidang,
baik intelektual, ulama, cendikiawan, saintis, dan lain-lain. Maka dalam melihat masalah apa
yang terjadi Hizb akan menyerahkannya pada ahli dibidangnya sehingga ketika mengahadapi
suatu permasalahan tidak banyak menghabiskan waktu dan tenaga sehingga solusi yang
dinginkan segera ditawarkan kepada umat dan umat tidak berlama-lama dalam lingkaran
permasalahan. Hizb memperdayakan internalnya dengan sebaik mungkin, sehingga tidak
terjadi kesulitan dalam memahami permasalahan.102
HTI berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah, seperti dalam
mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak
tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai
institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah
menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak
menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.103
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi
amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan
perpecahan umat dalam menentukan awal bulan kamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi
satu ijtihad dari sekian ijtihad syar‟i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib
diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat
dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
ف ف انغا ئم اإلجرادح اإلخرالآيش اإلياو شفع
102
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, 21 Agustus 2010. 103
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah
ijtihadiyah (khilafiyah).”104
Berdasarkan uraian diatas sebagai hamba yang dho‟if bahwa melaksanakan perintah Allah
dan meninggalkan larangan-Nya harus betul-betul memperhatikan dalil atau nash syara‟ mana
yang pantas untuk dilaksanakan, agar ketika melaksanakan suatu perintah atau khitab tidak
salah melaksanakan.
Khususnya dalam penentuan awal dan akhir bulan Qamariyah, Allah SWT dan Rasulullah
SAW telah memberikan petunjuk dan penjelasa di dalam nash syara‟, Al-Qur‟an dan hadits
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Setelah melihat uraian di atas bahwa dalil yang sangat jelas diterapkan dalam penentuan
awal dan ahkir bulan Qamariyah adalah shuumuu liru‟yatihi wa afthiruu liru‟yatihi dan
hadits-hadits yang hampir sama dengan hadits ini. Dimana hadits ini sudah jelas makna secara
tekstual maupun kontekstual yaitu berlaku untuk seluruh kaum Muslimin di dunia. Maka
secara otomatis bahwa ikhtilaful mathali‟ ynag bersandarkan pada hadits Kuraib tidak dapat
digunakan khususnya dalam penetapan awal dan akhir bulan Qamariyah.
Mengenai keharusan adanya Institusi politik negara untuk menyatukan kaum Muslim di
seluruh dunia adalah memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam karena
dengan adanya sebuah negara yang di ibaratkan sebagai bapak bagi rakyatnya merupakan
pelindung bagi anak-anaknya agar terhindar dari cengkraman orang-orang kafir yang selalu
berusaha memecah belah kaum Muslimin. Hingga akhirnya dengan adanya sebuah negara
dimana negara itu merupakan kekuatan bagi kaum Muslim yang mampu menyatukan kaum
Muslim diseluruh dunia, sehingga apapun permasalahan yang dihadapi kamu Muslim akan
mudah diselesaikan. Perbedaan yang terjadi dikalangan kaum Muslim akan bisa disatukan
104
M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di
akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
oleh keputusn seorang Khalifah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah fikih di
pembahasan terdahulu, yang berbunyi “Keputusan Hakim (Pemerintah) menghilangkan
segala perbedaan”.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan:
1. Metode dan dasar hukum yang digunakan oleh Hizbut Tahrir adalah rukyatul hilal yang
berdasarkan hadits “shuumuu liru‟yatihi wa afthiruu liru‟yatihi” yang digali dari
metodologi istimbath yaitu At-Ta‟âdul wa At-Tarâjih dan kesepakatan pendapat para
ulama atau Mazhab yang sama-sama menggunakan sistem rukyatul hilal.
2. Hizbut Tahrir memandang hisab sebagai cara atau metode dalam menentukan dan
menetapkan awal dan akhir bulan Qamariyah adalah keliru apabila hisab digunakan satu-
satunya cara untuk menetapkan awal dan akhir Qamariyah. Namun Hizbut Tahrir tidak
menafikkan adanya sistem hisab, karena hisab bisa digunakan dalam hal yang lain, seperti
arab kiblat, waktu shalat dan lai-lain.
3. Hizbut Tahrir memandang bahwa adanya instutusi politik pemersatu umat (Khilafah) untuk
menyatukan umat secara global adalah wajib dan wajib diperjuangkan hingga Khilafah
tegak. Karena dengan Khilafah umat Islam akan bersatu sehingga perbedaan pendapat
mampu disatukan oleh keputusan seorang Khalifah.
B. Saran-Saran
1. Diharapkan kepada ormas-ormas dalam hal ibadah khususnya dalam menentukan awal dan
akhir bulan Qamariyah harus selalu mengedepankan ke hambaannya kepada Allah SWT,
bukan mengedepankan keashobiyahan atau fanatisme keormasannya.
2. Bagi para intelektual Muslim/Ulama sekiranya mampu memahami cara menentukan awal
dan akhir bulan Qamariyah agar saudara kita yang kurang paham menjadi tahu. Dan
hendaknya mampu melihat akar permasalahan terjadinya perbedaan di antara kaum
Muslimin
3. Sekiranya kita sebagai umat Islam umat yang senantiasa dibanggakan oleh Baginda kita
Rasulullah SAW. karena paling banyak jumlahnya tidak mudah tertipu oleh tipu daya
kaum Kafir untuk memecah belah kaum Muslimin hingga akhirnya saat ini kaum
Muslimin sudah sangat jauh dari fitrahnya (Islam).
4. Memberikan pemahaman Islam yang mendalam kepada anak didik kita tentang ilmu-limu
falaq ini beserta pentingnya kita mempelajari dan mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: Al-Huda, 2002
Al Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim Buku I, Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2003, cet.I
Abdullah, Muhammad Husain, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, cet.IV. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2010.
Abdu, Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin, Kitab Shahih Al Bukhariy, Beirut-Libanon: Darul Kitab
„Alamiyyah, 1419 H/1998 M.
an-Nabhani, Taqiyuddin, Kepribadian Islam (Asy-syakhsyyah al-Islamiyah), Jilid I (Edisi
Mu‟tamadah), Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008, cet.I.
---------------, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Beirut : Darul Ummah, 2005, Jilid III
---------------, Nizham al Islam, terj Abu Amin, dkk., Perturan Hidup dalam Islam, cet.III.
Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pedoman Puasa, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1996, cet.I. Edisi Kedua
-------------------, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, cet.I. Edisi
Kedua
-------------------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997, cet.I. Edisi Kedua
-------------------, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab), Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001
Al Asqalani, Imam Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari,
cet.II, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006, Buku no.2
Asseifff, Denny , “Penentuan Awal-Akhir Ramadhan”, artikel diakses pada 27 Juli 2010 dari
file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/Matla/penentuan-awal-akhir-
ramadhan.html
Bakry, H. Nazar, Fiqih Dan Ushul Fiqh, cet.IV. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Al-Baghdady, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali, Jakarta Timur: INSAN Citra
Media Utama.
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Paradigma Penelitian Fiqh Dan Fiqh Penelitian,
Bogor: Kencana, 2003, Jilid I, cet.I.
Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang
Pandang Hisab Rukyat, 2004.
El-Reihan Blog's.http://el-reihan.blogspot.com/2010/01/imam-qurthubi.html. di akses pada 22
Januari 2011
“Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999: hal.49-50.
Hawari, Muhammad, Reidoelogi Islam “Membumiklan Islam Sebagai Sistem”, cet.II. Bogor:
Al-Azhar Press, 2007.
Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir”, Jakarta:
Pustaka Thariqul Izzah, 2007, cet.I.
Hilal, Iyad, Studi Tentang Ushul Fiqih, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2006, Edisi Bahasa
Indonesia, cet.I.
Al-Jawi, M. Shiddiq, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia,
artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
Jurdi, Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia “Pertautan Negara, Khilafah,
Msyarakat Madani Dan Demokrasi”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, cet.I.
Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel
diakses pada 21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id
Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, 1428 H/2007 M
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal Dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy
Bagi Seluruh Kaum Muslimin, 1999
------------------------------, Hukum Perbedaan Penentuan Hari Raya Qurban (Idul Adha), 22 Maret
1999
Al-Nawly, Fathy Syamsuddin Ramadlan, Islam Menjawab!, Jakarta Timur: Budira, 2010,
cet.I.
Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan, artikel diakses
pada 25
Juli2010darifile:///C:/DocumentsandSettings/Microsoft/Desktop/MATLA/pengertian
matla.htm
Sarwat, Ahmad “Perbedaan Penetapan Awal Puasa Ramadhan”, artikel diakses pada 27Juli
2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Destop/MATLA/perbedaan
penetapan awal puasa ramdhan 15110.htm.
Setyanto, Hendra, Membaca Langit, Jakarta: Al-Ghuraba, 2008, cet.I.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah ”Pesan, Kesan dan Kesaksian Al-Qur‟an”, cet.VIII.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sholeh, KH. Moh. Rodhi, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal,
Jakarta Timur: Pustaka Annizomiyah, 1992, cet.I.
Suherlan, Ian, “Sistem Khilafah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir.”Ahkam.
No.11/V/2003: h. 96-97.
Supriadi, L, “Perbedaan Penentuan Awal Bulan Ramadhan dalam Tinjauan Fikih Islam”,
artikel diakses pada 27 Juli 2010 dari
file:///C:/DocumentsandSettings/Microsoft/Desktop/MATLA/perbedaan penentuan awal
bulan ramdhan dalam tinjaun fiqih islam615.htm
Al Wa‟ie, Media Politik dan Dakwah;Membangun kesadaran Ummat;Membumikan al
Qur‟an dengan Formalisasi Syari‟ah; Mengenal Syaikh Taqiyuddin an Nabhani;
Pendiri Hizbut Tahrir (Bagian I), No 74 Tahun VII, 1-31 Oktober 2006
Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah. Jakarta, 21 Agustus 2010.
Wawancara Pribadi dengan Ratu Erma R. Jakarta, 20 Desember 2010.
A, Yahya, “Subject: Biografi Singkat Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani”.
Artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari File:///C:/Documents And
Settings/Microsoft/Desktop/Matla/Biografi Syekh Taqiyyudin...htm
Za‟rur, Abu, Seputar Gerakan Islam, Bogor: Al Azhar Press, 2009
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa dasar pijakan Hizbut Tahrir dalam menentukan atau menetapkan awal bulan
Qamariyah?
2. Bagaimana Hizbut Tahrir mentafsirkan dalil-dalil yang telah menjadi pegangan dalam hal
ini?
3. Ulama atau Madzhab siapa yang menjadi patokan dalam menentukan awal dan akhir
bulan Qamariyah ini?
4. Bagaimana cara Hizbut Tahrir dalam menggunakan metode penggalian nash yang telah
ditetapkan?
5. Bagaimana Hizbut Tahrir menyikapi Hisab?
6. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir terhadap rukyat lokal?
7. Apa pandangan Hizbut Tahrir mengenai keharusan adanya Institusi Politik pemersatu
umat untuk menyatukan umat secara Global?