penelitian depresi dan gejala somatisasi pada lansia
description
Transcript of penelitian depresi dan gejala somatisasi pada lansia
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA DEPRESI DAN GEJALA SOMATISASI PADA
LANSIA ≥ 60 TAHUN DI PSTW MARGAGUNA WILAYAH GANDARIA
SELATAN KECAMATAN CILANDAK, JAKARTA SELATAN TAHUN 2012
Pembimbing :
Dr.Oktavianus Ch.Salim
Dr. Titta Gusni Salim
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS KECAMATAN CILANDAK
PERIODE 12 NOVEMBER 2012 – 19 JANUARI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
1
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
ABSTRACT
Objective: To examine the relationship between depression and somatization in the
elderly as rated by primary care physicians.
Introduction: Depression is a common feature of somatization, and, in a majority of
cases, the clinical presentation of depression is dominated by somatic symptoms such
as headache, constipation, weakness, or general aches and pains. A further
understanding of the identification of depression and/or somatization in primary care
among older adults is an advantage in designing a mental health intervention
appropriate to primary care settings. Prior research has noted a close link between
somatization and depressive disorders in the elderly,18 building on the historical
view that “masked depression” underlies somatization.
Method: This study was a cross-sectional survey of 128 older adults with and
without significant depressive symptoms. Physicians’ ratings of somatization and
depression were obtained for 105 of the 128 patients, with 23 respondents who have
exclusion criteria. Patients were sorted into 4 groups on the basis of physician ratings
(no depression/no somatization, somatization only, depression only, and both
somatization and depression). Data were collected from November 2012 until
January 2013.
Results: Patients who were rated as somatizing were 23.8%, compared to elderly that
be rated as depressed as well as somatizing which is count as 50.5%. A comparison
of the 4 groups defined by physicians’ ratings found that functional status, number of
medical conditions, and depressive symptoms were statistically significantly
different (P < .05).
Conclusions: Our study fills a gap in the literature by focusing on the primary care
physician ratings of depression and somatization, and also specifically on older
primary care patients. Elderly with good functional status and has no chronic
physical health are less likely to be rated as depressed, but this may reflect the
tendency of doctors to rate them as somatizing. And, there is significant correlation
between depression and somatization.
KEYWORDS: Somatization; Depression; Functional Status; Physical Health;
Elderly.
2
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara depresi dan somatisasi pada orang tua
seperti yang dinilai oleh dokter pada pusat pelayanan primer.
Pendahuluan : Depresi adalah fitur umum dari somatisasi, dan, dalam sebagian besar
kasus, presentasi klinis depresi didominasi oleh gejala somatik seperti sakit kepala,
sembelit, lemah, atau sakit umum dan nyeri. Pemahaman lebih lanjut dari identifikasi
depresi dan / atau somatisasi dalam perawatan primer di antara orang dewasa yang
lebih tua adalah keuntungan dalam merancang intervensi kesehatan mental yang
tepat untuk pengaturan perawatan primer. Penelitian sebelumnya mencatat hubungan
erat antara somatisasi dan gangguan depresi di gedung tua, 18 pada pandangan
sejarah yang "depresi bertopeng" mendasari somatisasi.
Metode : Penelitian ini adalah survei cross-sectional dari 128 orang dewasa dengan
dan tanpa gejala depresi yang signifikan. Pada penelitian somatisasi dan depresi
dinilai pada 105 dari 128 pasien yang memenuhi kriteris inklusi, dengan 23
responden yang memiliki kriteria eksklusi. Pasien diurutkan menjadi 4 kelompok
(tidak depresi / somatisasi tidak, hanya somatisasi, depresi saja, dan keduanya
somatisasi dan depresi). Data dikumpulkan dari bulan November 2012 sampai
dengan Januari 2013.
Hasil : Pasien yang dinilai sebagai somatisasi adalah 23,8%, dibandingkan dengan
lansia yang harus dinilai sebagai depresi serta somatizing yang dihitung sebagai
50,5%. Sebuah perbandingan dari 4 kelompok didefinisikan oleh peneliti
menemukan bahwa status fungsional, faktor kondisi medis, dan gejala depresi secara
statistik berbeda nyata (P <.05).
Kesimpulan : Studi kami mengisi kesenjangan dalam literatur dengan berfokus pada
peringkat dokter perawatan primer terhadap depresi dan somatisasi, dan juga khusus
pada pasien lansia. Lansia dengan status fungsional yang baik dan tidak memiliki
kesehatan fisik kronis cenderung tidak dinilai sebagai depresi, tapi ini mungkin
mencerminkan kecenderungan dokter untuk menilai mereka sebagai somatisasi. Dan,
ada hubungan yang signifikan antara depresi dan somatisasi.
KEYWORD : Somatisasi; Depresi; Status Fungsional; Penyakit Kronis; Lansia.
3
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG1, 2, 3,4
Lanjut usia (lansia) merupakan komunitas yang seringkali kurang
diperhatikan bahkan mungkin terabaikan terutama di negara – negara dengan
keadaan sosial ekonomi yang rendah. Padahal sejauh ini jumlah lansia dari waktu ke
waktu makin meningkat seiring dengan usaha pemerintah dalam meningkatkan
kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia.
Pada tahun 1971, jumlah penduduk yang berusia 65 tahun baru mencapai
2,98 juta ( 2,5 % dari populasi), meningkat menjadi 6.98 juta ( 3,88 %) ditahun
1990. Menurut perkiraan WHO (1987), menjelang tahun 2000 jumlah lansia sebesar
600 juta jiwa (20 juta bermukim di Indonesia). Berdasarkan data tentang
kesejahteraan sosial lansia Indonesia (Depsos 1997), jumlah lansia akan berlipat dari
13 juta jiwa (6 % penduduk) pada tahun 1996 menjadi 38 juta (13 %) ditahun 2025.
Melihat kenyataan tersebut, banyak negara – negara maju yang mulai bahkan
sudah memberikan pelayanan khusus bagi para lansia. Tidak hanya melalui bidang
kesehatan, namun hal – hal lainnya seperti fasilitas umum untuk lansia, pembinaan
dan perdayagunaan para lansia. Memang tidak dapat dipungkiri hal tersebut sulit
dilaksanakan di negara – negara berkembang dan miskin, oleh karena banyaknya
permasalahan yang dialami negara – negara tersebut. Di sisi lain tidak ada salahnya
bila memulai untuk memberikan perhatian tersebut walaupun dengan cara yang
sederhana, sebagai upaya peningkatan kualitas hidup para lansia melalui berbagai
aspek permasalahan dari lansia itu sendiri.
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi
depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya
maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi. Beberapa gejala gangguan
depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang
biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur.
Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Gejala-gejala
tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar dan signifikan
4
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau area
penting dalam kehidupan seseorang.
Depresi dapat dilihat dari beberapa variabel seperti status keluarga, status
ekonomi, pekerjaan, agama, kehidupan sosial, tingkat emosional dan kesehatan. Dari
beberapa variabel tersebut, yang lebih sering digunakan dalam penelitian adalah
status keluarga, status ekonomi, pekerjaan, dan agama.
Somatisasi adalah gangguan psikis yang menyebabkan gangguan fisik.
Pendek kata, somatisasi adalah istilah umum yang menggambarkan adanya gejala
medis dijelaskan dan menyiratkan komponen psikologis dengan gejala adalah
penyakit fisik yang disebabkan oleh pikiran negatif dan/atau masalah emosi. Masalah
emosi itu antara lain rasa berdosa, merasa punya penyakit, stress, depresi, kecewa,
kecemasan atau masalah emosi negatif lainnya. Gangguan ini tidak hanya terjadi
pada orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalaminya.
Perlu diketahui bahwa pikiran dapat menyebabkan gejala fisik. Sebagai
contoh, ketika seseorang takut atau cemas dapat memacu detak jantung yang cepat,
jantung berdebar, merasa sakit, gemetar (tremor), berkeringat, mulut kering, sakit
dada, sakit kepala, dan bernafas cepat. Gejala-gejala fisik tersebut melalui saraf otak
mengirim impuls tersebut ke berbagai bagian tubuh, dan pelepasan adrenalin ke
dalam aliran darah.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah terdapat hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia ≥ 60
tahun di PSTW Margaguna Wilayah kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan
Cilandak?
I.3 TUJUAN PENELITIAN
I.3.1 Tujuan umum
Agar tercapainya kesadaran masyarakat tentang pengaruh depresi sehingga bisa
menimbulkan gejala somatisasi pada lansia supaya bisa menurunkan angka depresi
pada lansia.
5
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
I.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengidentifikasi jumlah lansia di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan yang
mempunyai depresi dengan gejala somatisasi.
b) Mengidentifikasi jumlah lansia di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan yang
mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi.
c) Mengetahui apakah ada hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia
≥60 tahun di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan.
I.4 HIPOTESIS
1. Terdapat hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia ≥60 tahun di
PSTW Margaguna Kelurahan Gandaria Selatan.
I.5 MANFAAT PENELITIAN
I.5.1 Bagi akademik/ilmiah
Memberi informasi tentang keadaan depresi sehingga menimbulkan gejala somatisasi
pada lansia ≥60 tahun.
Dapat menambah bahan pustaka bagi Lembaga pendidikan, Puskesmas dan Panti
Jompo Gandaria Selatan mengenai depresi dan gejala somatisasi pada lansia ≥60
tahun.
I.5.2 Bagi pelayanan masyarakat
Mengetahui hubungan depresi dengan timbulnya gejala somatisasi pada lansia ≥60
tahun.
Mengetahui hubungan faktor penyakit kronis dan depresi dengan timbulnya gejala
somatisasi pada lansia ≥60 tahun.
Mengetahui hubungan faktor status fungsional dan depresi dengan timbulnya gejala
somatisasi pada lansia ≥60 tahun.
Merupakan pengalaman yang berharga dalam melakukan penelitian dan dapat
digunakan di kemudian hari.
6
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
I.5.3 Bagi pengembangan penelitian
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hubungan depresi dan gejala
somatisasi bagi meningkatkan kualitas hidup lansia.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengaruh faktor penyakit kronis dan
status fungsional dengan depresi bagi meningkatkan kualitas hidup lansia.
Institusi yang terkait dapat melakukan usaha promotif dan preventif berkenaan
masalah depresi dan gejala somatisasi.
I.6 RUANG LINGKUP
I.6.1 Ruang lingkup tempat
PSTW Margaguna Wilayah Kelurahan Gandaria Selatan Kecamatan
Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan, Indonesia.
I.6.2 Ruang lingkup waktu
Pada bulan November 2012- Januari 2013
I.6.3 Ruang lingkup Materi
Materi dibatasi pada pengaruh depresi terhadap timbulnya depresi dengan
gejala somatisasi pada lansia ≥60 tahun di PSTW Margaguna Wilayah
Kelurahan Gandaria Selatan
7
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SOMATISASI
2.1.1 Pendahuluan
Istilah "somatisasi" menggambarkan kecenderungan untuk mengalami
tekanan psikologis dan berkomunikasi dalam bentuk gejala fisik. Gejala somatik
sering terjadi sebagai reaksi terhadap situasi stres dan tidak dianggap abnormal jika
mereka terjadi secara sporadis. Beberapa individu, bagaimanapun, mengalami terus
gejala somatik, menghubungkannya dengan penyakit fisik terlepas dari adanya
temuan medis, dan mencari perawatan medis bagi mereka. Somatisasi juga dapat
hidup berdampingan dengan penyakit medis, tetapi ketika itu terjadi dibuktikan
dengan gejala yang tidak sesuai dengan temuan-temuan medis.2
2.1.2 Epidemiologi
Somatisasi yang persisten mempengaruhi persentase yang signifikan dari
pasien dalam pengaturan perawatan primer, dan berhubungan dengan tekanan yang
cukup besar dan cacat. Dalam sebuah penelitian terbaru dari 1.456 pasien perawatan
primer, 22 persen ditemukan memiliki beberapa gejala persisten, gejala kecacatan
dan medis dijelaskan yang menyebabkan kunjungan ke dokter. Dalam sampel dari
271 pasien di praktik Associates in Internal Medicine (AIM), dokter perawatan
primer mengidentifikasi 24 persen pasien yang memiliki riwayat gejala medis yang
tidak dapat dijelaskan beberapa. Somatisasi menyebabkan penggunaan perawatan
medis berlebihan dan sering meyebabkan meningkatnya angka rawat inap, tes medis
yang tidak perlu dan prosedur pasien tempat beresiko untuk komplikasi iatrogenik.
Kadang-kadang, penyakit medis mungkin salah didiagnosis sebagai somatisasi.
Selain itu, perawatan pasien dengan somatisasi sering membuat pasien dan dokter
frustasi. 2
8
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
2.1.3. Etiologi 2, 13,14, 15
Somatisasi meliputi sejumlah kondisi heterogen dengan berbagai faktor
etiologi yang diusulkan, lebih dari satu yang mungkin terlibat dalam presentasi
pasien tertentu. Dalam beberapa kasus, somatisasi mungkin akibat dari sistem
otonom di bawah pengaruh stres atau kecemasan - misalnya, stres-induced motilitas
esofagus meningkat dapat menyebabkan nyeri dada, dan alkalosis respiratori karena
hiperventilasi dapat menyebabkan parestesia. Bahkan, somatisasi umumnya dipicu
oleh peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian, penyakit fisik 12,13, dan
pecahnya hubungan. Somatisasi juga dapat merupakan manifestasi dari depresi atau
gangguan kecemasan. Faktor sosiokultural tambahan dapat berkontribusi, seperti
yang ditunjukkan oleh temuan bahwa dijelaskan gejala somatik lebih banyak terjadi
di beberapa kelompok budaya, termasuk Hispanik dan Asia 15. Dalam masyarakat di
mana penyakit mental adalah stigmatisasi, somatisasi dapat memberikan cara yang
diterima secara sosial untuk berkomunikasi tertekan. Sebuah bentuk yang lebih
ekstrim tapi jarang somatisasi, gangguan somatisasi, tampaknya memiliki komponen
genetik, hal ini didukung oleh penelitian adopsi menunjukkan prevalensi yang lebih
tinggi perilaku antisosial pada orang tua biologis diadopsi-jauh wanita13 dengan
gangguan somatisasi.
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa hypochondriasis dan somatisasi
berhubungan dengan riwayat trauma masa kecil - seperti pelecehan seksual atau fisik
-. Dan dengan pengalaman traumatis di masa dewasa, Paparan penyakit kronis orang
tua atau perilaku penyakit masa kanak-kanak juga meningkatkan risiko somatisasi di
masa dewasa , menunjukkan bahwa perilaku yang dipelajari selama pengembangan
mungkin memainkan peran. Kemudian dalam hidup, perilaku penyakit dapat
dipertahankan oleh reinforcers eksternal - keluarga, dokter, atau pembayaran cacat.
Pada pasien dengan gejala konversi, teori psikoanalitik telah mengusulkan bahwa
gejala dapat "menyelesaikan" konflik tak sadar (keuntungan primer), misalnya,
seseorang bisa mengalami kelemahan lengan setelah marah ingin meninju teman tapi
takut konsekuensi dari tindakan ini. Keuntungan sekunder mengacu pada manfaat
sadar bahwa pasien berasal dari peran sakit. Istilah ini sering disalahgunakan untuk
9
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
menunjukkan mengejar sadar insentif eksternal, seperti sengaja menghindari
pekerjaan atau menghindari tuntutan pidana. Hal ini sering sulit untuk memastikan
apakah motivasi pasien sadar atau tidak. Dengan tidak adanya insentif eksternal,
menjalani hidup sebagai orang sakit tidak bisa menjadi pilihan sadar menarik untuk
pasien dengan somatisasi kronis.2
2.1.4 Diagnosis
Evaluasi dasar sering dapat dilakukan selama kunjungan pasien pertama.
Penilaian lebih lanjut pada umumnya terus selama kunjungan berikutnya, terutama
dalam kasus-kasus yang lebih kompleks. Evaluasi Pasien harus mencakup riwayat
lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium yang tepat untuk menyingkirkan
penyakit fisik yang mendasari. Pasien dengan penyakit yang cenderung hadir
awalnya dengan gejala nonspesifik atau samar, seperti multiple sclerosis atau lupus
eritematosus, dapat keliru diidentifikasi sebagai somatizers, Sementara melanjutkan
dengan kesehatan bekerja-up., Dokter secara bersamaan harus mencari bukti tekanan
psikologis. dan tetap menyadari bahwa gejala somatik "tidak hanya indeks penyakit
atau gangguan tetapi bagian dari bahasa tertekan dengan makna sosial interpersonal
dan luas" bahwa dokter "harus belajar untuk memecahkan kode." Langkah-langkah
berikut harus memandu evaluasi pasien dengan sulit-untuk-menjelaskan gejala
somatik:2
• Seperti halnya dalam wawancara medis, mulai dengan mengajukan pertanyaan
terbuka. Jawaban pasien dapat menghasilkan informasi spontan tentang
konteks munculnya gejala dan bagaimana gejala tersebut mempengaruhi
pasien. Pertanyaan terbuka juga memfasilitasi pembentukan aliansi dengan
pasien.
• Perhatikan masalah psikososial yang menonjol atau stres dalam kehidupan
pasien, dan khususnya kepada mereka yang muncul temporal terkait dengan
onset atau eksaserbasi dari penyelidikan symptomsunder. Seperti disebutkan di
atas, contoh termasuk dukacita, penyakit fisik, dan pecahnya hubungan.
Contoh lain mungkin stres kumulatif akibat imigrasi ke negara baru. Stressors
dapat lebih mudah diidentifikasi ketika somatisasi adalah onset yang relatif
10
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
baru. Pasien mungkin tidak sukarela memberi informasi psikososial, dan
bahkan jika mereka melakukannya, mereka mungkin tidak menyadari
hubungan antara peristiwa tertentu dalam kehidupan mereka dan munculnya
gejala. Dari catatan, mengidentifikasi endapan psikososial tidak
mengesampingkan penyakit fisik, karena penyakit fisik juga dapat dipicu oleh
stres. 2
• Jika pasien menangis, mengeksplorasi secara lembut perasaan pasien sambil
memberikan empati dan dukungan.
• Cari tahu apa pasien berpikir mungkin menyebabkan gejala-gejala dan jika
pasien tahu orang lain dengan masalah seperti ini (model gejala).
• Menanyakan tentang sejarah kemungkinan kekerasan domestik atau kekerasan
seksual masa kecil, mengingat hubungan antara gejala somatik dijelaskan dan
riwayat penyalahgunaan.
• Menanyakan tentang dukungan sosial pasien.
• Pertimbangkan mendapatkan informasi agunan dalam kasus-kasus yang lebih
kompleks.
• Tentukan apakah pasien tampaknya memiliki gejala somatik akut sebagai
manifestasi dari gangguan psikososial saat ini atau kronis, gejala somatik (ini
juga dapat dikaitkan dengan gangguan psikososial). Bahkan jika gejala
muncul menjadi akut, menentukan apakah pasien memiliki sejarah masa lalu
somatisasi - mungkin dalam pengaturan gangguan penyesuaian masa lalu atau
episode depresi utama. Carilah bukti gangguan kejiwaan saat ini, karena
somatisasi bukanlah diagnosis sebenarnya tapi ekspresi nonspesifik kondisi
beberapa kemungkinan. Hal ini membantu untuk mendapatkan riwayat
psikiatri masa lalu, karena episode gangguan kejiwaan cenderung berulang.
Menentukan apakah presentasi saat pasien cocok dengan salah satu dari empat
kategori utama berikut: reaksi normal terhadap situasi stres, gangguan
penyesuaian, somatisasi karena depresi berat atau gangguan kecemasan, atau
bentuk utama somatisasi kronis (gangguan somatoform). Perhatikan
kemungkinan gejala psikotik atau penyalahgunaan zat. Pertimbangkan
mendapatkan konsultasi kejiwaan untuk memperjelas diagnosis pasien dalam
kasus-kasus yang kompleks. 2
11
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
2.1.5 Diagnosa Banding 2
Somatisasi dan Penyesuaian Disorder:
Meskipun gejala medis dijelaskan tidak secara eksplisit disebutkan dalam definisi
DSM-IV Disorder Penyesuaian, gejala somatik akut adalah respon yang umum
terhadap stres. Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai gejala emosional atau
perilaku klinis yang signifikan dalam respon terhadap stressor psikososial
diidentifikasi atau stres., Pasien dengan kondisi ini mungkin menunjukkan perasaan
depresi, kecemasan atau keduanya. Menurut definisi, gejala gangguan penyesuaian
tidak bertahan lebih dari enam bulan setelah stressor telah berakhir dan tidak
memenuhi kriteria untuk keparahan depresi berat atau gangguan kecemasan.
Somatisasi dan Gangguan Mood:
Gangguan mood umumnya terkait dengan gejala somatik dijelaskan meliputi Depresi
Mayor dan Gangguan dysthymic. Pasien dengan depresi saat ini atau masa lalu
melaporkan angka yang lebih tinggi dari gejala somatik dibandingkan pasien tanpa
gangguan mood. Nyeri merupakan gejala yang sangat umum dalam depresi,
misalnya nyeri punggung, sakit kepala dan nyeri otot, Lebih dari setengah pasien
depresi. melaporkan gejala nyeri, dan wanita mungkin lebih mungkin dibandingkan
pria untuk menunjukkan rasa sakit sebagai gejala depresi., Depresi dapat
menurunkan ambang nyeri dari etiologi apapun. Studi juga menemukan bahwa
depresi dikaitkan dengan kekhawatiran penyakit dan pandangan negatif dari
kesehatan seseorang. Ini berarti bahwa beberapa pasien yang tampaknya menderita
hypochondriasis sebenarnya mungkin memiliki depresi berat. Pada pasien depresi,
baik khawatir penyakit dan pelaporan gejala fisik berkurang dengan pengobatan
depresi. Bab 30 ulasan penilaian pasien untuk depresi berat atau gangguan
dysthymic.2
Somatisasi dan Kecemasan Gangguan:
Kebanyakan pasien dengan Panic Disorder melaporkan terutama gejala somatik. Hal
ini membuat mereka rentan terhadap underdiagnosis. Seringkali, setelah medis
12
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
negatif bekerja-up, pasien diberikantahu bahwa mereka tidak memiliki bukti kondisi
medis, namun gangguan panik tetap tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Serangan
panik episodik dan dapat mencakup berbagai gejala seperti nyeri dada, takikardia,
mual, pusing, sesak napas, mati rasa, atau kesemutan, antara lain. Dalam satu studi,
30 sampai 50 persen pasien rawat jalan dengan nyeri dada dan negatif pekerjaan-up
untuk penyakit arteri koroner ditemukan memiliki gangguan panik. Beberapa pasien
dengan sindrom iritasi usus besar juga ditemukan memiliki gangguan panik. Gejala
sering menyelesaikan dengan pengobatan gangguan panik. Pengobatan gangguan
panik juga meningkatkan kekhawatiran hypochondriacal. Gangguan kecemasan lain
yang dapat hadir dengan gejala somatik dijelaskan dalam pengaturan perawatan
primer meliputi Anxiety Disorder Generalized dan Post traumatic Stress Disorder.
Gangguan somatoform:
Gangguan somatoform adalah sekelompok gangguan heterogen ditandai dengan
gejala-gejala fisik yang menunjukkan kondisi medis umum, tetapi tidak sepenuhnya
dijelaskan oleh kondisi medis umum, efek dari zat, atau gangguan mental. Gejala
tidak sengaja diproduksi dan menyebabkan penderitaan yang signifikan atau
penurunan fungsi. Sebuah gangguan somatoform didiagnosis hanya jika gejala medis
dijelaskan tidak terutama hasil dari yang lain gangguan kejiwaan, seperti depresi
berat atau gangguan panik. Namun, depresi berat atau gangguan panik dapat hidup
berdampingan dengan salah satu gangguan somatoform. Gangguan somatoform
meliputi Disorder somatisasi, tak Teruraikan Disorder somatoform, hypochondriasis,
Disorder Sakit, Tubuh dismorfik Disorder, Disorder Konversi, dan Gangguan
somatoform Not Otherwise Specified. Gangguan ini dikelompokkan bersama-sama
didasarkan pada utilitas klinis daripada etiologi bersama atau patofisiologi.
Somatisasi Disorder:
Gangguan somatisasi adalah suatu kondisi kronis dengan waxing dan waning saja.
Pasien memiliki beberapa keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis.
Meskipun definisi oleh keluhan-keluhan fisik harus dimulai sebelum usia 30, gejala
biasanya dimulai pada usia remaja atau awal dua puluhan. Gejala menyebabkan
13
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
pasien untuk mencari pengobatan atau mengakibatkan penurunan yang signifikan
dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Jika pasien memiliki kondisi medis hidup
berdampingan, keluhan fisik atau tingkat penurunan yang lebih dari apa yang
diharapkan dari sejarah, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium. Dalam rangka
memenuhi kriteria DSM-IV untuk gangguan somatisasi, pasien harus memiliki
riwayat setidaknya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal selain nyeri, satu
gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurological (misalnya kelemahan atau
penglihatan ganda) dari waktu ke waktu. Pasien melihat diri mereka sebagai "sakit-
sakitan" dan sering memiliki masalah psikososial beberapa. 2
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan gejala somatisasi merupakan sebuah tantangan
tersendiri dimana pasien biasanya menolak untuk berobat kepada psikiater.3
1. Interaksi dokter dengan pasien.
Pasien gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seseorang
dokter tunggal sebagai perawat kesehatan utamanya1. Hubungan ini harus
memiliki dipertahankan terus dan dokter harus mempunyai empati terhadap
pasien3. Kunjungan harus relatif singkat dan dilakukan pemeriksaan fisik lengkap
dengan meminimalisasi pemeriksaan laboratorium dan penunjang diagnostik.1
2. Psikoterapi individu dan kelompok.
Dapat membantu pasien mengatasi gejalanya untuk mengekspresikan emosi yang
mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan
perasaan mereka1. Biasanya pasien merasa ditolak, tidak dimengerti dan
diasingkan dari pergaulan, oleh karena itu terapi kelompok dapat mengatasi hal
tersebut.3
3. Farmakoterapi.
Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi ada bersama-
sama dengan gangguan mood atau kecemasan adalah selalu memiliki resiko1
tetapi pengobatan psikofarmakologis, dan juga pengobatan psikoterapetik, pada
14
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
gangguan penyerta adalah diindikasikan1,3. Medikasi harus dimonitor, karena
pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara
berlebihan dan tidak dapat dipercaya.1
2.2 DEPRESI
2.2.1 Definisi
Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan mood depresif,
hilangnya minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau merasa tidak berharga,
gangguan tidur atau nafsu makan, kelelahan atau hilangnya energi, hilangnya
kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian1. Depresi secara umum
adalah keadaan emosional yang dicirikan dengan kesedihan, berkecil hati, perasaan
bersalah, penurunan harga diri, ketidakberdayaan, keputusasaan. Depresi adalah
suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa sedih,
apatis, pesimis, dan kesepian yang mengganggu aktifitas sosial dalam sehari-hari.
2.2.2 Klasifikasi
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III
(Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III) yang merujuk
pada ICD 10 (International Classification of Diseases 10). Gangguan depresi
dibedakan dalam depresi ringan, sedang dan berat sesuai dengan banyak dan
beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang. Pedoman
diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders IV). (Depkes. 1999).
Klasifikasi Depresi Menurut ICD 10
1. Episode depresi berat, ringan, sedang dan lainnya.
2. Gangguan afektif bipolar.
Terdapat episode berulang, pada waktu tertentu terdapat peningkatan afek
disertai penambahan energi dan aktifitas (mania atau hipomania), dan pada
15
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktifitas
(depresi).
3. Gangguan depresi berulang
Terdapat episode berulang dari episode depresi ringan, sedang, berat.
4. Keadaan mood/afektif menetap termasuk distimia.
Siklotimia : ketidakstabilan menetap dari afek (suasana perasaan), meliputi
banyak periode depresi ringan dan hipomania ringan.
Distimia : afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak pernah atau
jarang sekali cukup parah.
5. Gangguan mood lainnya
Klasifikasi Depresi Menurut DSM IV 5
1. Gangguan depresi: depresi berat, distimia, depresi lain yang tak tergolongkan
2. Gangguan bipolar: gangguan bipolar I (mania biasanya dengan depresi),
gangguan bipolar II (depresi dengan hipomania)
3. Gangguan siklotimik
4. Gangguan bipolar yang tak tergolongkan
5. Gangguan bipolar yang disebabkan oleh kondisi medik umum
6. Gangguan mood lainnya
2.2.3 Etiologi
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut bisa berupa:
1. Faktor Biologis
a. Faktor Genetis
16
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada kromosom
11 Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari orang tua
mempunyai riwayat depresi maka 27 % anaknya akan menderita gangguan tersebut.
Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita depresi maka kemungkinanya
meningkat menjadi 50 – 75% 6.
Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian dinyatakan bahwa gen-gen
yang berhubungan dengan risiko yang meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat
meningkatkan kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain
melaporkan bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif mayor pada orang
usia lanjut dapat dimediasi oleh adanya lesi vaskular 7.
b. Gangguan pada Otak
Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu
penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit
serebrovaskular, yang mana gangguan ini dapat sebagai faktor predisposisi,
presipitasi atau mempertahankan gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia
lanjut 7.
c. Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umumnya digunakan untuk komponen katekolamin,
norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Sistem neuron menggunakan
biogenik amin relatif kecil dalam sekelompok sel yang berada di batang otak.
Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmiter.
Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin dan
serotonin. Pada penelitian postmortem didapatkan penurunan konsentrasi serotonin
dalam otak penderita depresi. Selain itu juga ditemukan adanya penurunan aktivitas
dopaminergik. Hal ini mendukung hipotesis bahwa gangguan depresi berhubungan
dengan biogenik amin 6.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Robinson, dkk., mendapatkan
bahwa konsentrasi norepinephrin dan serotonin berkurang sesuai dengan
17
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
bertambahnya usia, tetapi metabolit 5-HIAA dan enzim monoamineoksidase
meningkat sesuai pertambahan usia 7.
d. Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik -hipotalamus-
hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu juga
ditemukan juga penurunan hormon lain seperti GH, LH, FSH, dan testosterone 6.
Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar hormon estrogen
pada wanita, testosteron pada pria, dan hormon pertumbuhan pada pria dan wanita.
Penurunan kadar hormon tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena
pertambahan usia. Sehingga dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel
dari organ tubuh makin meningkat, termasuk di antaranya meningkatnya proses
degenerasi sel-sel organ tubuh yang memproduksi hormon tersebut makin berkurang.
Dengan penurunan kadar hormon tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi
neurotransmitter terutama serotonin dan norepinephrin 7.
e. Masalah kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran kognitif
serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena pembedahan atau penyakit
dapat menyebabkan individu lanjut usia jatuh ke dalam kondisi depresi. Kondisi
medis yang dapat menyebabkan depresi 8 :
1) Infeksi virus
2) Gangguan endokrin tertentu (misal gangguan tiroid, Cushing’s syndrome,
insufisiensi kelenjar adrenal, hiperparathyroidisme)
3) Keganasan
2. Faktor Psikologis:
Dapat berupa penyimpangan perilaku, psikodinamik, dan kognitif 7.
a) Teori Perilaku
18
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Dari konsep teori perilaku terjadinya gangguan depresif pada individu usia
lanjut oleh karena orang-orang usia lanjut cukup banyak mengalami peristiwa-
peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau yang cukup berat sehingga
terjadinya gangguan depresif tersebut sebagai respons perilaku terhadap stressor-
stressor kehidupan yang dialaminya tersebut.
Penelitian lain melaporkan bahwa ada kaitan terjadinya gangguan depresif pada
orang usia lanjut dengan sejumlah peristiwa kehidupan yang negatif yang dialami
individu usia lanjut.
b) Teori Psikodinamis
Berdasarkan teori psikodinamis, terjadinya gangguan depresif pada orang
usia lanjut, oleh karena pada orang usia lanjut sering terjadi ketidaksanggupan untuk
menyelesaikan pencarian pemulihan sekunder dari peristiwa-peristiwa kehilangan
yang tak terelakkan oleh individu tersebut.
c) Teori Kognitif
Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan depresif adalah
terjadinya distorsi kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana interpretasi
seseorang terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialaminya.
Terjadinya distorsi kognitif pada orang usia lanjut oleh karena pada individu usia
lanjut tersebut memiliki harapan-harapan yang tidak realistis dan membuat
generalisasi yang berlebih-lebihan terhadap peristiwa kehidupan tertentu yang tidak
menyenangkan individu tersebut.
Kondisi-kondisi psikologis lain yang memungkinkan sebagai penyebab depresi
adalah :
a) Menurunnya perasaan berguna
Perasaan tidak berguna atau kehilangan identitas berkaitan dengan kemuduran atau
keterbatasan fisik dalam beraktifitas.10
19
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
b) Ketakutan akan kematian atau ketidakberdayaan, kecemasan atas masalah
keuangan atau problem kesehatan.10
c) Kekurangan kemampuan untuk mengadakan hubungan intim.
d) Kepribadian premorbid
Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan
histrionik mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan
kepribadian anti sosial dan paranoid.6
e) Faktor psiko-analitik
Menurut Karl Abraham manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan
objek libidinal yang berakhir dalam suatu proses regresi di mana terjadi penurunan
fungsi ego yang telah matang ke tingkat oral sadistik dari tingkat perkembangan
libidinal akibat trauma infantil yang menyebabkan proses fiksasi pada anak usia dini.
Sedangkan menurut Freud, introjeksi ambivalen terhadap kehilangan objek dalam
ego membawa ke suatu depresi tipikal.6
3. Faktor Sosial:
Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan stres
memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Data menunjukkan bahwa
kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun dan kehilangan pasangan merupakan
awal dari penyakit yang berhubungan dengan depresi.6
Faktor-faktor sosial yang mungkin dapat menyebabkan depresi pada lansia antara
lain :
a) Hilangnya status peranan sosialnya atau hilangnya sokongan sosial yang
selama ini dimilikinya.7
b) Faktor sosial lingkungan, karena kehilangan pasangan hidup, pasca bencana,
kehilangan pekerjaan, dampak kehidupan situasi sehari-hari.
c) Kurangnya hubungan sosial (Kesendirian dan pengasingan).10
20
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
d) Kemiskinan.
2.2.4 Gejala-gejala
Menurut PPDGJ III 4, pada gangguan depresi ada tiga gejala utama yaitu :
1. afek depresi
2. kehilangan minat dan kegembiraan
3. berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lalah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.
Disertai gejala lain:
1. konsentrasi dan perhatian berkurang
2. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna
4. panandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. tidur terganggu
7. nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
(Depkes. 1999) 12
21
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Secara klinis praktis umumnya depresi dibedakan sebagai depresi berat atau
ringan. Akan tetapi ada sindrom klinis tertentu yang dapat muncul pada usia lanjut
yaitu :
1. Depresi agitatif : ditandai dengan aktivitas yang meningkat, mondar-
mandir, mengejar-ngejar orang, terus-menerus meremas-remas tangan dll.
2. Depresi dan anxietas : gangguan cemas menyeluruh atau fobia dapat
terjadi bersama-sama dengan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa
anxietas 15-20 kali lebih sering dijumpai pada usia lanjut dengan depresi.
Hubungan penyakit fisik dengan anxietas pada depresi cukup kompleks.
Anxietas dapat menyebabkan gejala fisik yang sering dikira sebagai
penyakit fisik semata. Anxietas hebat juga dapat menyebabkan kelelahan
dan dehidrasi. Sementara penyakit fisik yang mengancam kehidupan atau
hilangnya kemandirian sering kali merupakan sumber dari anxietas.
3. Depresi terselubung : tidak munculnya gejala mood terdepresi bukanlah
suatu halangan untuk mendiagnosis depresi. Apakah penyangkalan mood
depresi ini karena kekhawatiran menjadi beban ataukah karena tren bahwa
"Usia lanjut harus berani menghadapi hari tua", yang terpenting adalah
mengeksplorasi tanda dan gejala lainnya yang menunjukkan depresi secara
lebih teliti.
4. Somatisasi : gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang
sesungguhnya dari gangguan depresi, namun dapat pula diperberat dengan
adanya depresi.
5. Pseudodemensia : istilah ini diperuntukkan bagi pasien depresi yang
menunjukkan gangguan memori yang bermakna seperti yang terjadi pada
pasien demensia.
6. Depresi sekunder pada demensia : pada stadium awal demensia sering
dijumpai depresi, mungkin sebagai dampak dari insight akan deteriorasi
fungsi dan menurunnya kemampuan seeara progresif. Depresi yang terjadi
pada stadium akhir mungkin lebih banyak berhubungan dengan hilangnya
22
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
fungsi neurotransmitter. Depresi dan gangguan perilaku pada demensia
disebabkan oleh berkurangnya fungsi serotonergik, sehingga pengaktifan
fungsi serotonergik akan memperbaiki gejala-gejala tersebut. 11
2.2.5 Pemeriksaan Pasien Depresi
Salah satu langkah awal yang penting dalam penatalaksanaan depresi adalah
mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat ini belum ada suatu konsensus atau
prosedur khusus untuk pendeteksian/skrining depresi pada populasi usia lanjut.
Salah satu instrumen yang dapat membantu adalah Geriatrik Depression Scale
(GDS) yang terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien sendiri. GDS
ini dapat dipersingkat menjadi hanya 15 pertanyaan saja dan ini mungkin lebih sesuai
untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat pendeteksi Depresi pada usia
lanjut. (lihat lampiran).
2.2.6 Terapi
Semua pasien depresi harus mendapat psikoterapi, dan beberapa memerlukan
tambahan terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur
pasien, respon terhadap terapi sebelumnya 12.
Terapi depresi pada lansia bertujuan untuk :
1. menurunkan / menghilangkan tanda, gejala
2. mengembalikan fungsi utama
3. meminimalkan resiko relaps / rekurens
Macam-macam terapi depresi :
1.Psikoterapi
Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan
mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptive. Terapi
ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan yang professional antara terapis
dengan pasien.
23
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
a.Terapi Kognitif
Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “belajar menjadi tak
berdaya”, depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan
memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan.
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha
yang sistematis yaitu merubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-pasien
depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan
yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat
menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah.
Kemudian dia harus belajar cara merespon cara pikir yang salah tersebut dengan cara
yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan
menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini
dipraktikkan di luar sesi terapi dan ini menjadi modal utama dalam merubah gejala.
b. Terapi Perilaku
Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari sosial
dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama dengan terapi
kognitif. Tujuan terapi peilaku adalah: meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan
pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan.
c. Psikoterapi Suportif
Psikoterapi Suportif memberikan kehangatan, empati, pengertian dan
optimistik. Bantu pasien identifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk
ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi.
Bantu memecahkan problem eksternal (misal masalah pekerjaan, rumah tangga).
Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui
pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali perminggu) dan secara teratur, tetapi
jangan sampai tidak berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien
depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan, hostilitas, dan
tuntutan yang tak masuk akal, dll).
24
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
d. Psikoterapi Dinamik
Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik, yaitu kerentanan psikologik terjadi
akibat konflik perkenbangan yang tak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode
jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah deficit psikologi yang menyeluruh
yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, problem yang berkaitan dengan
rasa bersalah, rasa rendah diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan,
pengaturan emosi yang buruk, defisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan
dengan keluarga.
e. Psikoterapi Dinamik Singkat
Sesinya berlangsung lebih pendek. Tujuannya menciptakan lingkungan yang
aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfliknya dan dapat
mengekspresikannya.
f. Terapi Kelompok
Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesifik. Ada beberapa keuntungan terapi
kelompok :
1. Biaya lebih murah.
2. Ada destigmasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama.
3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikkan
keterampilan perilaku interpersonal yang baru.
4. Membantu pasien dalam mengaplikasikan keterampilan baru.
Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan.
Juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi yang lebih berat, terapi
individu lebih efektif.
a. Terapi Perkawinan
25
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai depresi. Ia dapat mempengaruhi
penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan perkawinan merupakan hal
penting dalam terapi ini.
b. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Jangka terapi cukup lama, berguna pada pasien depresi minor kronik tetentu dan
beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai
konflik.12
2. Terapi Biologik
a. Farmakoterapi
Sebagian besar penderita membutuhkan antidepresan (70%-80% pasien
berespon terhadap anti depresan), walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi
jelas terlihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu anti
depresan terbaru. Bila tak berhasil, pertimbangkan anti depresan trisiklik, atau MAOI
(terutama pada depresi atipikal, atau kombinasi bebrapa obat yang efektif bila obat
pertama tak berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa
antidepresan dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar (10%
dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah, namun konsep tentang presipitasi manik
masih diperdebatkan).
Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk
beberapa bulan, kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat
pemeliharaan untuk periode jangka panjang. Antidepresan tunggal tidak dapat
mengobati depresi. 12
Obat-obat anti depresan:
Trisiklik (TCAs) Selektive Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Amitriptilin 75-150 mg / hari
Imipramin 75-150 mg / hari
Clomipramin 75-150 mg / hari
Elvatelin 20-40 mg / hari
Protetin 20-40 mg / hari
Setralin 50-100 mg / hari
26
Faktor biologis Faktor psikologis psikologis Faktor sosial
Organik Non organik
Depresi
Gejala somatisasi
Faktor penyebab
Psikososial Biologis
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Amineptin 100- 200 mg / hari
Opipramol 50-150 mg / hari
Fluvotamin 50-100 mg / hari
Fluoxetin 10-20 mg/hari
Tetrasiklik Penghambat Mono Amine Okside (MAOIs)
Maprotilin 75-150 mg / hari
Amoxopin 200-300 mg / hari
Mainserin 30-60 mg / hari
Maclobemid 200-600 mg / hari
2.3 KERANGKA TEORI
Gambar 2.3: Kerangka teori variable-variabel yang berkaitan dengan gejala
somatisasi.
BAB III
27
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
KERANGKA KONSEP, VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1: Kerangka konsep Hubungan Variabel Faktor-faktor pengaruh Depresi
dengan Gejala Somatisasi.
3.2. VARIABEL PENELITIAN
3.2.1. Variabel bebas
a. Faktor demografik - jenis kelamin, tingkat pendidikan, status menikah.
b. Faktor penyakit kronik
c. Faktor fungsional
3.2.2. Variabel tergantung
- Depresi dengan Gejala Somatisasi
- Depresi tanpa Gejala Somatisasi
28
Faktor demografik
Faktor fungsional
Penyakit kronikGejala somatisasi
Depresi
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
3.3 DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 3.3. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur dan cara ukur
Hasil ukur Skala ukur
Referensi
Variabel tergantung
1 Gejala somatisasi
Gejala tak jelas yang dialami oleh penderita meliputi banyak hal. Misal, nyeri dada, jantung berdebar-debar, pening, sakit kepala, sakit punggung, sesak napas, insomnia, sakit pada bagian perut, mati rasa dan perih.
Alat ukur :
1. Kuesioner Somatisasi
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
1: Mengganggu 2: Tidak mengganggu
Nominal J Clin Psychiatry, 1998
2 Depresi salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat
Alat ukur :
1. Recorder
2. GDS
Cara ukur : Wawancara terstruktur.
1 : >5 (depresi)
2 : <5 (tidak depresi)
Nominal New Dictionary of Cultural Literacy, 2005.
N Engl J Med, 1999
Variabel bebas
3 Jenis kelamin Ciri atau karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang adalah laki-laki atau perempuan
Alat ukur :
1. Kuesioner
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
1 : Laki-laki
2 : Wanita
Nominal Depkes RI, 2002
4 Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah jenjang pendidikan
Alat ukur : 1 : Tidak sekolah
Nominal Depkes RI,
29
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
terakhir yang pernah dilalui sesuai dengan tingkat pendidikan formal di Indonesia.
1. Kuesioner
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
2 : Sekolah (SD,SMP,SMA,Kuliah)
2000
6 Status menikah Status responden sudah menikah (berpasangan) atau belum.
Alat ukur :
1. Kuesioner
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
1 : Belum menikah 2 : Menikah
Nominal Depkes RI, 2002
7 Penyakit kronik Riwayat penyakit yang dihidapi lansia yang berpotensi mengganggu aktivitas lansia seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, osteoarthritis.
Alat ukur :
1. Kuesioner
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
1 : Ada2 : Tidak ada
Nominal WHO, 2007
8 Status Fungsional
Ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas penting yang berguna oleh karena keterbatasan fisik/mental yang dapat ditentukan secara medis dan dapat berakibat kematian berdasarkan ADL
Alat ukur :
1. Skor Barthel Index of ADL
2. Recorder
Cara ukur : Wawancara
1 : < 19 – Tidak Mandiri2 : 20 - Mandiri
Nominal Md State Med, 1965
30
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode observasional yang bersifat analitik
dengan pendekatan cross sectional. Rancangan penelitian yang digunakan adalah
metode observasional analitik, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung pada
obyek yang diteliti dengan pendekatan cross sectional yaitu pengambilan data
variabel bebas dan variabel terikat dilakukan pada satu waktu / bersamaan waktunya.
4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Panti Jompo (Panti Sosial Tresna Wherda Budi Mulia 4
Margaguna ) Kelurahan Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. Dilakukan pada
bulan November 2012-Januari 2013.
4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh lansia ( ≥ 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan
Gandaria Selatan, periode November 2012 – Januari 2013 sebanyak 128 orang.
4.3.2. Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi :
1. Orang dewasa berusia 60 tahun ke atas.
2. Lansia yang kooperatif
3. Lansia yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian
Kriteria eksklusi
1. Lansia yang tidak mampu baik fisik dan mental
2. Lansia dengan kelainan biologis misalnya demensia
31
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
4.4 SAMPLING
Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini :
Rumus Populasi infinit:
Keterangan
n0 : Besar sampel optimal yang dibutuhkan
z : Pada tingkat kemaknaan 95% besarnya 1,96
p : Prevalensi / proporsi lansia depresi dengan gejala somatisasi (0.4 )
q : Prevalensi / proporsi lansia depresi dengan tidak ada gejala somatisasi (1-
0.4=0.6)
d : Akurasi dari ketepatan pengukuran, untuk p = > 10 % adalah 0,05
Populasi infinit :
Rumus Populasi finit:
Keterangan
32
n0 = z 2 x p x q d2
n0 = 1,96 2 x … x (1-…) (0,05)2
n0 = …
n = __n0_ 1+ (n0/N)
n = _...__ 1+ (…/….)
n= …
n0 = z 2 x p x q d2
n0 = (1,96)2 x 0.4 x 0.6
(0.05)2
n0 = 368
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
n : Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
n0 : Besar sampel dari populasi infinit
N : Besar populasi finit (lansia ( ≥ 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan
Ghandaria Selatan periode November 2012 – Januari 2013)
Jumlah lansia lansia ( ≥ 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan
periode November 2012 – Januari 2013 sebanyak 128 orang, maka :
Populasi finit:
Dari populasi berjumlah 128 orang, maka besarnya sampel minimal yang diperlukan
105 orang. Namun, pada penelitian ini besar sampel yang digunakan adalah sesuai
dengan jumlah keseluruhan populasi lansia di panti jompo yaitu 128 orang. Kami
terpaksa mengambil semua populasi lansia karena memikirkan tentang kemungkinan
besar sampel tidak mencukupi setelah diambil kriteria eksklusinya. Maka, teknik
sampling yang kami gunakan untuk penelitian ini adalah Total sampling dimana
semua subjek diambil sebagai sampel penelitian.
4.5 INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen penelitian diambil dengan menggunakan wawancara langsung
dengan subjek, melakukan kuesioner dengan menggunakan Skala Depresi Geriatri,
ADL dan kuesioner somatisasi.
Tabel 4.5. instrument Penelitian
33
n = __n0_ 1+ (n0/N)
n = 368
1 + (368/128)
n = 95 + 10%error
= 105
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
No. INSTRUMEN FUNGSI INSTRUMEN
1. Recorder untuk wawancara Untuk mengetahui :
Usia
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
Status perkawinan
Penyakit Kronis
Keluhan somatisasi (kuesioner somatisasi) misalnya pusing, mual, perut kembung, sakit sendi.
2. Kuesioner Skala Depresi Geriatri Untuk mengetahui ada depresi atau tidak.
3. Kuesioner ADL Untuk mengkaji status fungsional
4.5.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan. Pemilihan
subjek secara total sampling, sampel diambil dari Panti Jompo Kelurahan Gandaria
Selatan. Faktor-faktor yang ditanyakan pada sampel adalah faktor demografik, faktor
penyakit kronik dan faktor fungsional. Faktor-faktor ditentukan dengan kuesioner
dan apakah ada depresi dan keluhan gejala somatisasi.
4.5.2 Instrumen Pengkajian
Instrumen yang digunakan dalam pengkajian ini yaitu recorder untuk
menyimpan wawancara audio yang dilakukan, dan juga kuesioner untuk menentukan
depresi, keluhan somatisasi dan status fungsional .
4.6 CARA PENGAMBILAN SAMPEL
34
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Gambar 4.6. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling.
4.7 CARA PENGUMPULAN DATA
35
Populasi lansia di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan
Populasi lansia ≥60 tahun di Panti Jompo Kelurahan
Ghandaria Selatan
Sampel penelitian
Proposal disetujui
Peneliti turun ke lapangan
Mengumpulkan sampel
Peneliti melakukan wawancara, dan penyebaran kuesioner
Peneliti mengumpulkan data
Peneliti mengolah dan menganalisis data dalam bentuk tabular, tekstular
dan grafik dengan menggunakan Microsoft Excel, Word 2007 dan
SPSS 17,0
Penyajian data dalam bentuk presentasi
Peneliti mendapatkan data yaitu populasi daftar pasien lansia dari Panti Jompo
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
4.7.1. Alur Pengumpulan Data
Gambar 4.7. Alur Pengumpulan Data
4.7.2 Data Primer
36
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Data yang diperoleh dari hasil observasi dan pemeriksaan langsung pada responden
yang dilakukan saat pemeriksaan dengan peninjauan ke Panti Jompo di Kelurahan
Gandaria Selatan. Selain itu, didapatkan informasi yang lebih rinci melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.
4.7.3. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan hasil skrining yang ada di Panti
Jompo Kelurahan Gandaria Selatan.
4.7.4 Data Tersier
Data yang diperoleh dari buku-buku, majalah, internet, dan jurnal-jurnal ilmiah
berupa data yang berkaitan depresi, gejala somatisasi pada lansia.
4.8 RENCANA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Data yang telah diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui proses
penyuntingan, pemindahan data ke komputer, dan tabulasi. Data yang terkumpul dari
hasil kuesioner diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS statistics
17.
4.8.1. ANALISIS DATA
a. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi
dan persentase pada variabel – variabel yang diteliti.
b. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel
bebas dengan variabel tergantung. Dalam analisis ini, dilakukan uji statistik chi-
square sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan antara variabel. Jika uji
statistik chi-square tidak valid, dilakukan uji Fisher.
4.8.2. PENYAJIAN DATA
37
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Data yang telah dikumpulkan dan diolah akan disajikan dalam bentuk:
- Tabular : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel.
- Tekstular : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat.
- Grafik :data penelitian akan digunakan diagram batang yang
menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki.
BAB V
38
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
HASIL PENELITIAN
5.1 ALUR SELEKSI PENGAMBILAN RESPONDEN
Gambar 5.1 Alur seleksi pengambilan responden
128 wawancara dan kuesioner (Disember-Januari 2013)
23 eksklusi karena tidak mampu baik fisik dan
mental dan mempunyai kelainan biologis
demensia
105 yang memenuhi kriteria inklusi
27 eksklusi karena tidak mempunyai depresi
18 mempunyai somatisasi
9 tidak mempunyai somatisasi
78 depresi
12 tanpa gejala somatisasi
66 dengan gejala somatisasi
Pengambilan responden adalah sebanyak 128 orang lansia yang berada di
PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak .Dari 128 orang
yang diwawancara untuk di isi kuesioner, didapatkan 23 orang yang tidak mampu
baik fisik dan mental serta mempunyai kelainan biologis misalnya demensia. 105
orang yang memenuhi kriteria inklusi disaring untuk mengetahui depresi. 27 (25.7%)
orang dieksklusi karena tidak mempunyai depresi. Dari 27 yang dieksklusi, 18
(17.1%) mempunyai gejala somatisasi dan 9 (8.57%) tidak mempunyai gejala
somatisasi. 78 orang (74.2%) yang mempunyai depresi dinilai lagi untuk gejala
somatisasi dan didapatkan 12 orang (11.4%) tanpa gejala somatisasi dan 66 orang
(62.8%) dengan gejala somatisasi. (Gambar 5.1)
39
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
5.2 ANALISIS UNIVARIAT
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel untuk melihat gambaran
frekuensi dari masing- masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan persentase
pada variabel – variabel yang diteliti.
5.2.1 Deskripsi Karakterisktik Responden
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan.
Variabel JUMLAH
N %
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
26
52
33.3
66.7
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
Sekolah
27
51
34.6
65.4
Status Menikah
Belum Menikah
Menikah
6
72
7.7
92.3
Penyakit Kronik
Tidak Ada
Ada
15
63
19.2
80.8
Status Fungsional
Tidak Mandiri
Mandiri
32
46
41
59
Total responden yang diteliti di dalam penelitian ini adalah 78 orang.
Berdasarkan data yang didapatkan, 26 orang (33.3%) adalah responden laki-laki,
sedangkan 52 orang (66.7%) adalah responden perempuan. Responden yang tidak
40
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
bersekolah adalah 27 orang (34.6%) dan yang bersekolah adalah 51 orang (65.4%).
Terdapat sebanyak 6 orang (7.7%) yang belum menikah dan 72 orang (92.3%) yang
sudah menikah. Sedangkan 63 orang (80.8%) yang mempunyai penyakit kronik dan
15 orang (19.2%) orang tidak mempunyai penyakit kronis dan 46 orang (59%) yang
bisa mandiri sendiri dan 32 orang (41%) yang sama sekali tidak mandiri dan harus
dibantu (Tabel 5.2).
5.3 ANALISIS BIVARIAT
Setelah dilakukan analisis univariat, proses analisa data dilanjutkan dengan analisis
bivariat antara masing- masing variable bebas dan tergantung. Hasil analisis
disajikan dengan tabulasi silang, lalu dilakukan uji hubungan secara statistik dengan
metode chi-square.
Tabel 5.3.1 Hubungan antara depresi dan gejala somatisasi.
Variabel Somatisasin = 84
Tanpa Somatisasin = 21
P
Depresi
Ada
Tidak ada
66(84.6%)
18(66.7%)
12(15.4%)
9(33.3%)
0.044
Berdasarkan data yang didapatkan, jumlah responden adalah 105 orang. Dari
27 orang yang tidak mempunyai depresi 18 (66.7%) diantaranya mempunyai gejala
somatisasi dan 9 (33.3%) diantaranya tidak mempunyai gejala somatisasi. Dari 78
orang yang mempunyai depresi, 12 orang (15.4%) tanpa gejala somatisasi dan 66
orang (84.6%) dengan gejala somatisasi Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p
untuk depresi dan gejala somatisasi yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.044.
Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala
somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan
Cilandak.
Tabel 5.3.2 Hubungan antara faktor demografi, penyakit kronis dan status fungsional terhadap depresi dengan gejala somatisasi.
41
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Variabel Depresi dengan Somatisasi
n = 66
Depresi tanpa Somatisasi
n = 12
P
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
21(80.8%)
45(86.5%)
5(19.2%)
7(13.5%)
0.506
Status Menikah
Belum Menikah
Menikah
5(83.3%)
61(84.7%)
1(16.7%)
11(15.3%)
0.928
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
Sekolah
23(85.2%)
43(84.3%)
4(14.8%)
8(15.7%)
0.919
Penyakit Kronik
Ada
Tidak ada
57(90.5%)
9(60.0%)
6(9.5%)
6(40.0%)
0.003
Status Fungsional
Tidak Mandiri
Mandiri
44(91.7%)
22(73.3%)
4(8.3%)
8(26.7%)
0.029
Berdasarkan data yang didapatkan, jumlah responden yang mempunyai
depresi dan gejala somatisasi adalah sebanyak 66 orang (62.8%) dari total 78 orang
yang mempunyai depresi. 21 orang (80.8%) diantaranya adalah responden laki-laki
yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 5 orang (19.2%) lainnya
mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan untuk responden perempuan,
sebanyak 45 orang (86.5%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 7 orang
(13.5%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Dari hasil penelitian,
didapatkan nilai p untuk faktor jenis kelamin yang diteliti adalah p > 0.05 yaitu p =
0.506. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor
42
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
resiko jenis kelamin dengan depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW
Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak.
Responden yang belum menikah adalah 6 orang (7.7%) dan yang sudah
menikah adalah 72 orang (92.3%). Dari yang belum menikah, sebanyak 5 orang
(83.3%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 1 orang (16.7%) mempunyai
depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan 61 orang (84.7%) yang sudah menikah
mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan selebihnya 11 orang (15.3%)
mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi.
Berdasarkan responden tidak bersekolah, 23 orang (85.2%) adalah yang
mempunyai depresi dan gejala somatisasi selebihnya 4 orang (14.8%) mempunyai
depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan untuk responden yang bersekolah,
sebanyak 43 orang (84.3%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 8 orang
(15.7%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi.
Nilai p untuk status pernikahan dan tingkat pendidikan, masing-masing
adalah p > 0.05 yaitu p = 0.928, p = 0.919. Oleh karena itu, didapatkan hubungan
yang tidak bermakna antara status pernikahan dan tingkat pendidikan dengan depresi
dengan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan
Kecamatan Cilandak.
Dari data, sebanyak 15 orang (19.2%) yang tidak mempunyai penyakit kronis
dan 63 orang (80.8%) yang mempunyai penyakit kronis. 57 orang (90.5%) yang
mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan selebihnya
mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi yaitu sebanyak 6 orang (9.5%). 9 orang
(60.0%) yang tidak mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala
somatisasi dan sebanyak 6 orang (40.0%) yang mempunyai depresi tanpa gejala
somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk penyakit kronis yang
diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.003. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang
bermakna antara faktor penyakit kronis dengan depresi dan gejala somatisasi pada
lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak.
43
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
.Responden yang tidak mandiri sebanyak 32 orang (41%) dan yang mandiri
sebanyak 46 orang (59%). Dari data, didapatkan 22 (73.3%) orang yang mandiri
yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 8 (26.7%) orang yang
mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Bagi responden yang tidak mandiri,
didapatkan 44 (91.7%) orang yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi
manakala 4 (8.3%) orang yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi.
Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk status fungsional yang diteliti
adalah p < 0.05 yaitu p = 0.029. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang
bermakna antara status fungsional dengan depresi dan gejala somatisasi pada lansia
di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. (Tabel 5.3.2).
BAB VI
PEMBAHASAN
44
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Penelitian berkaitan tentang hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada
lansia ≥60 tahun di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan
Cilandak. Faktor- faktor yang diteliti meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin,
status pernikahan, tingkat pendidikan dan status fungsional dan penyakit kronis.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, terdapat hubungan yang bermakna
antara depresi dan gejala somatisasi dan didapatkan juga faktor yang bermakna
terhadap depresi dan gejala somatisasi pada penelitian kami adalah faktor penyakit
kronik dan status fungsional.
6.1 Hubungan depresi dan gejala somatisasi
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara depresi dan gejala somatisasi. Dari 78 orang yang mempunyai depresi, 66 orang
(84.6%) diantaranya mempunyai gejala somatisasi dan 12 orang (15.4%) diantaranya
tanpa gejala somatisasi dan dari 27 orang yang tidak mempunyai depresi 18 (66.7%)
diantaranya mempunyai gejala somatisasi dan 9 (33.3%) diantaranya tidak
mempunyai gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk depresi
dan gejala somatisasi yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.044. Oleh karena itu,
didapatkan hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala somatisasi pada
lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak.
Menurut penelitian Tylee A, Gandhi P (2005) di United Kingdom yang
meneliti depresi dan gejala somatisasi, menjelaskan bahwa 2 dari 3 gejala yang
paling sering dikeluhkan pada depresi adalah gejala somatisasi. 14
6.2 Faktor penyakit kronis
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor penyakit kronis memiliki
hubungan yang bermakna terhadap depresi dengan gejala somatisasi . Sebanyak 57
orang (90.5%) yang mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala
somatisasi dan 9 orang (60.0%) yang tidak mempunyai penyakit kronis mempunyai
depresi dan gejala somatisasi .Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk penyakit
kronis yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.003. Oleh karena itu, didapatkan
45
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
hubungan yang bermakna antara faktor penyakit kronis dengan depresi dan gejala
somatisasi.
Penelitian terhadap 355 lansia oleh Bogner HR et al (2009) menemukan bahawa
lansia dengan kondisi medik mempunyai nilai p< 0.05 yaitu p = 0.01 dengan 3.9%
dari lansia mempunyai depresi dan gejala somatisasi.13
Pada lansia yang mempunyai penyakit kronis, timbulnya depresi dan gejala
somatisasi lebih besar, karena beban penyakit kronis adalah untuk seumur hidup.
6.3 Faktor status fungsional
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor status fungsional memiliki
hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Berdasarkan data,
didapatkan 22 (73.3%) orang yang mandiri yang mempunyai depresi dan gejala
somatisasi dan didapatkan 44 (91.7%) orang yang tidak mandiri mempunyai depresi
dan gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk status
fungsional yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.029. Oleh karena itu, didapatkan
hubungan yang bermakna antara faktor status fungsional dengan depresi dan gejala
somatisasi.
Penelitian terhadap 355 lansia oleh Bogner HR et al (2009) juga menemukan
bahwa lansia dengan status fungsional yang rendah dinilai dari seluruh aspek
mencakup fisik, emosi, sosial, kesehatan, kemandirian masing-masing mempunyai
nilai p< 0.05 yaitu p = 0.02, 0.002, 0.03, 0.04 dan 0.006. 13
6.4 Faktor jenis kelamin
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor resiko jenis kelamin memiliki
hubungan yang tidak bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi pada lansia. Dari
penelitian kami, 21 orang (80.8%) diantaranya adalah responden laki-laki yang
mempunyai depresi dan gejala somatisasi, sedangkan untuk responden perempuan,
sebanyak 45 orang (86.5%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi. Didapatkan
nilai p untuk faktor jenis kelamin yang diteliti adalah p > 0.05 yaitu p = 0.506. Jenis
46
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
kelamin seseorang ternyata tidak memberi pengaruh yang besar terhadap timbulnya
depresi dengan gejala somatisasi.
Dari penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa jenis kelamin
pada lansia tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala
somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.10 pada wanita lansia yang menjadi
responden.13
6.5 Faktor tingkat pendidikan
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor tingkat pendidikan tidak
memiliki hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Namun,
23 orang (85.2%) yang tidak bersekolah mempunyai depresi dan gejala somatisasi
dan 43 orang (84.3%) yang bersekolah mempunyai depresi dan gejala somatisasi.
Dari penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa tingkat
pendidikan pada lansia tidak memberi hubungan yang bermakna terhadap depresi
dan gejala somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.57.13
6.6 Faktor status pernikahan
Dari hasil penelitian, faktor status pernikahan tidak memiliki hubungan yang
bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Namun, dari penelitian kami,
sebanyak 5 orang (83.3%) yang belum menikah mempunyai depresi dan gejala
somatisasi dan 61 orang (84.7%) yang sudah menikah mempunyai depresi dan gejala
somatisasi.
Penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa status pernikahan
pada lansia tidak memberi hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala
somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.79 .13
6.7 Keterbatasan Penelitian
47
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah terjadinya bias informasi
dalam pengisian kuesioner dan juga keterbatasan waktu.
Bias informasi terjadi sewaktu pengisian kuesioner, dimana responden adalah
lansia, jawaban ketika wawancara tidak selalu mendukung pertanyaan yang
diberikan, sifat lansia tidak bisa diprediksi sehingga membuat peneliti sukar untuk
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud. Dari segi bahasa, bagi lansia yang
kurang mendengar dan mengerti, ada pertanyaan yang kurang didengar dengan baik
sehingga jawaban yang diberikankan salah. Kuesioner yang dipakai untuk depresi
juga hanya bisa dipakai untuk membuat survey tetapi masih belum bisa menegakkan
diagnosis depresi pada lansia.
Kuesioner diisi oleh peneliti dengan wawancara yang dilakukan saat para
responden sedang beristirehat di kamar di PSTW tetapi tidak dalam waktu makan.
Peneliti mewawancara setiap satu dengan sendiri dan tidak secara berkelompok.
Adanya keterbatasan waktu dan tenaga menyebabkan kami tidak memberi
pertanyaan dan anamnesis yang lebih mendalam dalam pengisian kuesioner dan
wawancara. Namun, dengan adanya kerjasama dan komunikasi yang baik serta
bimbingan dari dokter pembimbing di puskesmas dan di kampus telah memberi
banyak bantuan kepada kami dalam menyelesaikan penelitian ini.
48
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN
Penelitian tentang hubungan antara depresi dan gejala somatisasi telah
dilaksanakan selama ±3 minggu di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan
Kecamatan Cilandak mewakili seluruh populasi lansia ≥ 60 tahun dengan didapatkan
78 orang (74.2%) yang mempunyai depresi dari 105 responden yang layak, dan
didapatkan sebanyak 66 orang (62.8%) responden yang mempunyai depresi dengan
gejala somatisasi dan 12 orang (11.4%) yang mempunyai depresi tanpa gejala
somatisasi. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahawa terdapat hubungan
antara depresi dan gejala somatisasi dan dari data, faktor yang signifikan terhadap
depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria
Selatan Kecamatan Cilandak adalah faktor penyakit kronis dan status fungsional.
Sedangkan faktor resiko lainnya belum memberi makna signifikan terhadap
penelitian.
7.2 SARAN
7.2.1 Puskesmas
Dapat dilakukan upaya suportif dalam upaya mengurangi depresi dan gejala
somatisasi pada lansia. Upaya suportif dapat berupa terapi edukasi dan terapi
kelompok kepada lansia tentang depresi itu sendiri, cara mengatasinya dan
pentingnya untuk menjaga kesehatan sendiri. Rehabilitasi misalnya aktifitas kepada
lansia lebih harus digiatkan agar dapat mengisi masa luang lansia dan bisa membantu
untuk mengurangi depresi dan gejala somatisasi.
7.2.2 Peneliti
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam melakukan penelitian ini,
tidak semua faktor diteliti dan dianalisis dengan parameter yang tepat karena
keterbatasan waktu, dana, dan tenaga. Oleh karena itu, sangat diharapkan ada peneliti
49
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
lain yang berminat melanjutkan penelitian ini dengan membuat penelitian lanjutan
mengenai hubungan depresi dengan gejala somatisasi.
7.2.3 Masyarakat
Perubahan pola hidup diperlukan bagi setiap individu yang terlibat sebagai
responden dalam penelitian ini dan juga masyarakat umum sebagai upaya preventif
pada depresi dan gejala somatisasi pada lansia. Masyarakat yang mempunyai lansia
dirumah diharapkan dapat memahami tentang pentingnya menghindari depresi
dengan gejala somatisasi pada lansia seperti memberi dukungan emosi dan fisik yang
sepatutnya di rumah dan berusaha untuk memahami mereka.
Bagi masyarakat yang memiliki lansia depresi dengan gejala somatisasi akibat
penyakit kronis dan status fungsional diharapkan dapat berusaha untuk mengobati
dan membantu mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Peran Panti Jompo juga bisa membantu dalam intervensi depresi dan gejala
somtisasi pada lansia. Peningkatan aktivitas, terapi psikososial dan rehabilitasi adalah
antara program yang harus dilakukan dengan giat agar dapat mengurangi depresi dan
gejala somatisasi.
50
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A : Sinopsis Psikistri, Jilid II, Edisi ke-7,
Banarupa Asksara, Jakarta, 1997, hal 68-74.
2. Feder A, Somatization, Chapter 3532. Diunduh dari :
http://www.medicineclinic.org/AmbulatorySyllabus4/NEW
%20somatization.htm. (4 Januari 2013)
3. Elkin G. D : Introduction to Clinical Psychiatry, First Edition, Prentice-Hall
International Inc, San Fransisco, 199, page, 117-121.
4. Maslim R : Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa : Runjukan Ringkasan dari
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan jiwa di Indonesia III,
Jakarta,2001 hal.64,65,84
5. DSM-IV Taskforce. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: Text revision, 4thEd. Washington, DC : American Psychiatric
Association.
6. Idrus, M. Faisal, 2007. Depresi pada Penyakit Parkinson. Cermin Dunia
Kedokteran Vol. 34 No.3/156 pp : 130-135. Kalbe Farma : Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_156_Depresi.pdf
7. Bongsoe, Syamsir, 2007. Pengenalan Gangguan Depresi pada Orang Usia
Lanjut. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru BesarTetap Universitas
Sumatra Utara. http://www.usu.ac.id
/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_syamsir_bs.pdf.
8. Best Parctice Advocacy Centre, 2009. Depression in Elderly People.
http://www.bpac.org.nz/ magazine/2008/february/depression.asp.
9. Baldwin and Wild R, 2004. Management of Depression in Later Life.
Advances in Psychiatric Treatment vol. 10.
http://apt.rcpsych.org/cgi/reprint/10/2/131.pdf?ck=nck .
51
IKM UNIVERSITAS TRISAKTI 2013
10. Segal, Jaffe J, Pat Davies P, and Smith M, 2007. Depression in Older Adults
and the Elderly. http://www.helpguide.org/mental/depression_elderly.htm.
11. Departemen Kesehatan RI, 1999. Masalah Depresi pada Lansia.
http://www.depkes.go.id/downloads/keswa_lansia.pdf.
12. Nurmiati A, 2005. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
13. Bogner HR et al. A Cross-Sectional of Somatic Symptoms and the
Identification of Depression Among Elderly Primary Care Patient. Prim Care
Companion J Clin Psychiatry 2009;11(6):285–291.
14. Tylee A, Gandhi P. The Importance of Somatic Symptom in Depression in
Primary Care. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2005;7:167–176
15. Barsky J et al. Somatic Symptom Reporting in Women and Men. J Gen Intern
Med 2001;16:266-275
52