Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur'an
-
Upload
iqbalmayzun -
Category
Education
-
view
619 -
download
2
Transcript of Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur'an
RESUME BUKU
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Strategi Belajar Mengajar
Dosen pengampu: Chusna Maulida, M.Pd.I.
Oleh :
Iqbal Mayzun Al Ma’arif (2021113155)
Kelas: C
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
IDENTITAS BUKU
Judul : Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an
Pengarang : Bambang Q-Anees, M.Ag. dan Drs. Adanga Hmabali, M.Pd.
Penerbit : Simbiosa Rekatama Media
Tempat terbit : Bandung
Tahun terbit : 2009
Ukuran novel : 15 x 21 cm
Jumlah halaman : 164 hlm
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AL-QUR’AN
Bagian I:
Modal-Modal Pendidikan Karakter
1. Modal Kita
Mervin Barkowitz (1998) mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan
moral yang dilakukan di sekolah-sekolah, tidak pernah memperhatikan
bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Salah
satu masalahnya adalah cara pendidikan konvensional yang mengabaikan
aspek internal individu, yang terlalu sibuk dengan mengisi aspek kognitif saja.
Soal perilaku dan perasaan kerap diabaikan.
Masalah yang lain adalah orientasi pendidikan negeri ini yang masih
terjebak pada “kebiasaan” zaman kolonial. Bersekolah adalah cara untuk
menaikkan derajat diri, dari orang biasa menjadi pamongpraja; dan menjadi
pamongpraja berarti menjadi bangsawan baru. Bentuk baru dari orientasi
menjadi “bangsawan baru” ini adalah meraih sukses. Pendidikan masa kini
adalah jembatan yang akan mengantarkan pesertanya menjadi pegawai; mental
yang mendasarinya adalah “santai dalam bekerja, mendapatkan gaji besar
secara rutin, menikmati pensiun dan kehormatan masa tua”.
Meninjau Makna Sukses
Sukses menjadi tujuan banyak manusia. Kesuksesan terkait dengan
kekayaan (wealth), yang secara filosofis dapat berarti “sesuatu yang bisa kita
akses, yang dengannya kita bisa meningkatkan kualitas hidup.” Secara umum
kekayaan dikaitkan dengan modal atau “jumlah atau simpanan uang yang
banyak”. Modal adalah apa pun yang bisa diakses yang dapat meningkatkan
kualitas hidup. Jadi modal bukan sekedar uang. Danah Zohar dan Ian Marshall
menegaskan bahwa modal dapat ditemukan dalam tiga aspek: materiil (IQ),
sosial (EQ) dan spiritual (SQ).
Dunia pendidikan selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ). Ini
barangkali karena ada anggapan bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan
agar dapat meraih modal materiil dan sosial. Berbeda dengan anggapan ini,
menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, modal yang perlu dikembangkan
pertama kali justru modal spiritual (SC) yang berarti pula bahwa kecerdasan
yang pertama harus dikembangkan adalah kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam dunia kerja, modal materiil saja ternyata tidak memadai untuk
menaikkan kebahagiaan. Ini berarti, modal materiil saja tidak menjadikan
seseorang meraih “kesuksesan” yang diidam-idamkannya. Lalu Zohar dan
Marshall meyakini bahwa modal spiritual merupakan basis dari kehidupan.
Bila modal spiritual menjadi basis dari kebahagiaan, maka orientasi pendidikan
haruslah mengarahkan diri pada pencapaian modal spiritual ini.
Apa Itu Modal Spiritual?
Zohar dan Marshall lalu mengarahkan pemahaman modal dan kekayaan
dalam makna spiritual:
Modal spriritual adalah kekayaan yang membuat kita bisa hidup, kekayaan
yang memperkaya aspek-aspek kehidupan kita yang lebih dalam. Itulah
kekayaan yang kita peroleh dari makna dan nilai terdalam, tujuan paling
fundamental, dan motivasi tertinggi kita, dengan jalan menemukan cara untuk
mengintegrasikan semua itu dalam hidup dan kerja kita. Sedangkan kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan moral kita, yang memberi kita sebuah kemampuan
bawaan untuk membedakan yang benar dan yang salah. Kecerdasan spiritual
kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran, keindahan,
dan kasih sayang dalam hidup kita. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
jiwa.
Akankah Kita Terus Mengabaikan Modal Spiritual?
Modal spiritual juga terkait dengan sikap emosi atau karakter. Maka
pendidkan sikap adalah pemberian motivasi agar kita mempertimbangkan
kembali makna hidup manusia dan mengangkat pertanyaan mengenai
bagaimana kita sendiri sanggup membangun kehidupan yang lebih luas dan
lebih kaya bagi diri kita sendiri. Atas dasar itu, kita butuh pendidikan yang
berorientasi tidak melulu pada pengayaan aspek kognisi melainkan pada aspek
emosi dan spriritualitas.
2. Memahami Konteks Teoritis Pendidikan (Agama) Islam
Menurut Al-Attas istilah takdib adalah istilah yang paling tepat digunakan
untuk menggambarkan pengertian pendidikan. Sementara istilah tarbiah terlalu
luas, karena pendidikan dalam istilah ini mencakupi juga pendidikan untuk
hewan. Pendidikan dari kata takdib ini mengandung arti pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia, tentang
tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam tatanan wujud sehingga
hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Profesor Ahmad Tafsir menyatakan
bahwa pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi
muslim yang maksimal.
Pendidikan Dalam Kerangka Tarbiah
Pendidikan atau tarbiah, berdiri di atas pandangan dasar: Pertama,
manusia telah memiliki isi atau bibit-bibit kebaikan dan kebenaran; kedua,
secara naluriah manusia cenderung berkeinginan untuk mengeluarkan atau
mengekspresikan bibit-bibit ini menjadi nyata, dalam pepohonan yang
menghasilkan keharuman dan buah-buahan yang bermanfaat; ketiga, karena
pada awal perkembangannya manusia dipengaruhi oleh sensasi (dorongan)
tubuh dan kebiasaan masyarakat maka bibit-bibit kebaikan itu dilupakan.
Karena itu tugas tarbiah adalah “meningkatkan” atau “membuat potensi
manusia menjadi lebih tinggi”. Atau apa yang semula hanya berupa bibit
dipupuk dan dirawat agar menjadi harum dan berbuah dengan banyak manfaat.
Pendidikan Dalam Kerangka Takdib
Pendidikan menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab
dalam diri seseorang” atau takdib. Pendidikan dalam kerangka makna takdib
meliputi “pengenalan” dan “aktualisasi”. Takdib tidak sekedar proses transfer
ilmu (taklim), tetapi juga pengaktualisasiannya dalam bukti. Untuk
memperjelas batasan kerangka takdib, Nor Wan Daud memberikan ilustrasi
yang menarik mengenai adab terhadap diri, masyarakat, ilmu dan alam.
Al-Qur’an Adalah Jamuan Makan Bagi Pembelajar
Karena kata adab berarti juga “undangan ke sebuah jamuan makan”, Al-
Attas memandang Al-Qur’an sebagai undangan Tuhan kepada manusia untuk
menghadiri jamuan makan di atas muka bumi (mu’addabah Allah fil Ardl),
tempat kita mengambil bagian di dalamnya dengan cara mengetahuinya (fa
ta’allamu min ma’dabatihi). Bila Al-Qur’an adalah jamuan Tuhan bagi
manusia untuk menghadiri jamuan kerohaian, maka melalui Al-Qur’an kita
dapat menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan itu.
Bagian II
Paradigma Pendidikan Karakter
3. Meninjau Kompetensi Pendidikan
Profesor Ahmad Tafsir, dalam diskusi pendidikan kompetensi, pernah
berkata, “Belajar itu melewati tiga maqam: knowing, doing dan being.
Knowing, mengetahui sekadar mengetahui, atau pengetahuan untuk
pengetahuan saja, adalah cara kita selama ini mengakses informasi. Praktik,
praktikum dan demonstrasi, menurut Profesor Ahmad Tafsir, adalah doing.
Namun doing saja belum cukup. Kecerdasan menghapal konsep dan
keterampilan mempraktikannya saja belum cukup untuk bisa menghadapi
lautan kehidupan ini. Kadang-kadang kehidupan tak membutuhkan kecerdasan.
Ahli psikologi modern menegaskan bahwa hidup sukses membutuhkan
kecerdasan emosional. Kecerdasan saja membuat kita jadi lupa diri, dan pada
saat lupa diri jiwa kita kosong: saat itu setan masuk dengan mudah dan
menguasai diri kita. Penguasaan diri inilah yang disebut sebagai being.
4. Merumuskan Ulang Tujuan Pendidikan
Dalam Undang-undang No 20 tahun 2004, tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dikemukakan tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.” Tujuan pendidikan nasional ini sangatlah
menarik, karena telah mengarahkan dunia pendidikan pada wilayah karakter
berbangsa dan bernegara.
Insan Kamil Sebagai Tujuan Pendidikan Islam
Konsep insan kamil sebenarnya berkaitan dengan fungsi khalifah bagi
manusia. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa jabatan khalifah hanya milik insan
kamil, karena pada dirinya –dari aspek batin–terproyeksi pula nama-nama dan
sifat ilahi. Khalifah dalam pembicaraan Ibn Arabi ini bukan dalam makna
pengendali atau pemimpin dalam suatu negara (al-khalifah al-zahiriyah)
melainkan dalam makna wakil/pengganti (na’ib) Allah. Yang dimaksud
dengan pengganti Allah adalah bahwa diri insan kamil ini merupakan
manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al-khalifah al-
ma’nawiyah) hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat melalui insan kamil.
Karena insan kamil hanya dapat diperoleh “hanya satu orang dalam setiap
zaman”, gagasan tujuan ideal insan kamil tak dapat dipenuhi. Maka tujuan
pendidikan Islam secara realistis hanya dapat berkisar pada manusia saleh yang
utuh, saleh pada dirinya dan sanggup mentransformasikan ke luar dirinya.
Tujuan Pendidikan Islam: Mendorong Siswa Menjadi Ulul Albab
Al-Qur’an sebenarnya memiliki istilah yang lebih konkret daripada insan
kamil –yang secara verbal tak disebutkan Al-Qur’an. Istilah itu adalah ulul
albab. Melalui ciri-ciri ulul albab ini, orientasi pendidikan Islam dapat
dilakukan secara realistis. Adapun ciri-ciri insan kamil adalah sebagai berikut:
Tanda pertama: bersungguh-sungguh mencari ilmu termasuk juga
bersungguh-sungguh menafakuri dan menasyakuri ciptaan Allah.
Tanda kedua: mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, walaupun ia
harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu
dipertahankan oleh sekian banyak orang.
Tanda ketiga: kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan
orang lain.
Tanda keempat: bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk
memperbaiki masyaraktnya; bersedia memberi peringatan kepada masyarakat.
Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium.
Tanda kelima: tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah.
Konsekuensi Konsep Ulul Albab Bagi Pendidikan
Pendidikan dapat membantu peserta didiknya menjadi manusia ihsan,
yang berbuat baik dengan tindakan yang baik berdasarkan ketakwaan kepada
Allah semata. Ada enam ciri khas pendidikan karakter.
Pertama, menjadikan manusia memiliki sikap “terpesona” dan “kagum”
ketika melihat anugerah Allah, seperti penciptaan alam semesta, dan manusia
sendiri.
Kedua, menghargai kebebasan dalam pembelajaran. Lewat kebebasan
diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk mengerti dan mencintai
kebenaran.
Ketiga, menekankan sikap magis bagi setiap anak didik. Magis atau
unggul bukan dalam kategori kognitif melainkan unggul dalam hal afeksi dan
kerohanian.
Keempat, setiap anak didik diharapkan mampu menemukan dan memilih
apa yang menjadi kehendak Allah.
Kelima, pendidikan karakter diharapkan mampu menjadikan manusia
sebagai man or woman for others.
Keenam, penegasan atas dasar cinta kasih sejati (discerta caritas) disertai
dengan “perhatian personal” (cura personalis) adalah dasar dari semuanya.
5. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam
Prinsip Ke-1: Integrasi Ilmu
Prinsip ini menegaskan firman Allah “Kebenaran itu berasal dari Allah,
maka janganlah engkau meragukan-Nya” melalui ayat ini, ilmuwan muslim
sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri, Sang Kebenaran. Inilah yang
menjadi dasar prinsip integrasi ilmu, bahwa semuanya berasal dari Allah maka
seluruh keberbedaan yang ada sebenarnya berada dalam satu kesatuan.
1. Tauhid dan Integrasi
Prinsip dasar bagi seluruh aktivitas muslim adalah tauhid, yaitu prinsip
pengakuan akan keesaan Tuhan. Kalimat “Laa ilaha illallah” menegaskan
bahwa hanya Allah saja yang harus disembah, sekaligus juga dalam kajian
filsafat berarti “tidak ada yang Ada kecuali Allah saja”. Tauhid, dalam konsep
filosofis, tidak hanya berkenaan dengan keber-ada-an Tuhan namun
berkonsekuensi pada integrasi segala hal. Hanya Allah yang Esa, yang Ada,
selain Allah hanyalah manifestasi ilahiah yang satu.
2. Integrasi dan Ilmu
Dalam tradisi Islam, pengetahuan adalah terjemahan dari ‘ilm. Menurut
Sardar, konsep Al-Qur’an tentang ‘ilm pada awal mulanya membentuk ciri-ciri
utama peradaban muslim dan menuntunnya menuju puncak kejayaannya.
Prinsip Ke-2: Keberjenjangan Ilmu
Prinsip keberjenjangan realitas merupakan konsekuensi dari prinsip tauhid.
Prinsip ini dapat merujuk pada ajaran Syuhrawardi asy-Syahid tentang cahaya.
Menurutnya, cahaya pada hakikatnya adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-
beda pada tingkat intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh yang menyela
di antaranya.
1. Hierarki Kesadaran
Al-Qur’an menyatakan bahwa anda diciptakan dari diri yang satu. Masing-
masing individu memliki karakter tinggi dan rendah. Perubahan sikap pada diri
menunjukkan adanya hierarki kesadaran dari yang terendah bertransformasi
menuju kualitas yang tertinggi.
2. Hierarki Ilmu
Pengetahuan adalah ibarat sebuah pohon, demikian Sardar memberikan
ilustrasi, sedangkan berbagai sains itu adalah cabang-cabangnya yang tumbuh
dan mengeluarkan dedaunan beserta buah-buahan sesuai dengan sifat pohon itu
sendiri. Tetapi, karena cabang-cabang sebuah pohon tidak tumbuh terus
menerus, sebuah disiplin tak perlu dituntut melampaui batas-batasnya. Al-
Ghazali menganalisis pengetahuan berdasarkan tiga buah kriteria,
a. Sumber: pengetahuan yang diwahyukan; tidak diwahyukan.
b. Kewajiban-kewajiban: pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang;
kepada masyarakat.
c. Fungsi sosial: ilmu-ilmu yang harus dihargai; yang patut dikutuk.
Prinsip Ke-3: Tazkiah (Takhalli, Tahalli dan Tajalli)
Tazkiah adalah penyucian diri. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari
konsepsi bahwa ilmu itu dari Allah dan karenanya bersifat suci. Sesuatu yang
suci hanya bisa diterima oleh hyang suci pula, karena itulah maka penyucian
jiwa merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan ilmu. Tujuan tazkiah,
menurut Sardar adalah memurnikan dan membentuk diri.
Imam Nashriuddin ath-Thusi (1201-1274) menjelaskan peringkat orang-
orang yang menapaki jalan Tuhan. Menurutnya, setiap murid harus
mamaksakan diri untuk menghindari kelezatan duniawi dan dorongan
kesenangan. Inilah tahap awal. Tahap kedua adalah menyingkirkan segala
sesuatu selain Allah dari hati mereka. Pada tahap ketiga, sang murid akan
merasakan aroma harum kedekatan kepada Allah serta kegembiraan
memandang kepada keindahan dan kebesaran-Nya. Tahap keempat, merasakan
kerinduan mendalam kepada Allah.
Sementara Sardar mengajukan konsepsi tazkiah dari Khusrid Ahmad,
yaitu tazkiah dengan metode: zikir, ibadah, tobat, sabar, muhasabah (kritik
dan kritik diri) dan doa.
Prinsip Ke-4: Kebergantungan pada Otoritas dan Peranan Guru
Guru menjadi pusat, dan murid sangat bergantung pada otoritas sang guru.
Guru harus mencapai kualifikasi ahl-dzikr, sebagaimana juga murid haruslah
memiliki iradah (kemauan) yang ikhlas. Seperti yang ditekankan Al-Ghazali
bahwa seorang murid tidak boleh berlaku sombong, harus memperhatikan
mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan,
kesuksesan dan kebahagiaan.
1. Konsep Guru dalam Pendidikan Islam
Sama dengan teori Barat, pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Tugas pendidik dalam
pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif
maupun potensi afektif. Menurut Al-Ghazali ada tiga syarat yang harus
dimiliki oleh seorang guru yaitu: memiliki pengetahuan lebih, kewibawaan dan
kasih sayang kepada murid. Adapun sifat-sifat guru yang dikemukakan oleh
para ahli sebagai berikut: kasih sayang kepada anak didik, lemah lembut,
rendah hati, menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, menyenangi
ijtihad, konsekuen (perkataan sesuai perbuatan), sederhana.
Ada yang amat menarik dalam teori tentang tugas, syarat dan sifat guru
yang dikembangkan oleh penulis muslim, yaitu amat menekankan pentingnya
sifat kasih sayang kepada anak didik. Tekanan sifat kasih sayang dala tulisan
para ahli pendidikan Islam –yang kadang-kadang seolah lebih dipentingkan
daripada keahlian mengajar– selain didasarkan atas sabda Rasulullah, juga
didasarkan atas pemahaman bahwa bila guru telah memiliki kasih sayang yang
tinggi kepada muridnya, guru tersebut akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
mengingkatkan keahliannya untuk memberikan yang terbaik kepada muridnya
itu.
2. Murid atau Anak Didik
Istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau
peserta didik. Istilah murid mencakupi konsep berikut,
a. Murid harus berusaha menyucikan batinnya batinnya
b. Murid harus menganggap bahwa belajar dan menyucikan batin itu adalah
suatu bentuk ibadah
c. Murid berhak mendapat kasih sayang dari gurunya
d. Murid harus dikembangkan daya kreativitasnya dalam pembelajaran
Alasan pemilihan istilah “murid” karena istilah itu berisi konsep yang
lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia
yang memiliki kemanusiaan yang tinggi.
Prinsip Ke-5: Keadilan
Prinsip keadilan juga menjadi prinsip pendidikan dalam Islam. Prinsip
dasarnya adalah bahwa “manusia diciptakan berbeda antara satu dan lainnya”.
Kapasitas intelektual, spiritual dan kemampuan etika setiap orang itu berbeda.
Maka nilai moral tertinggi bukan dalam usaha meraih persamaan, melainkan
dalam usaha mencapai keadilan.
Dalam penerapan prinsip keadilan ini, peran guru sangat dibutuhkan untuk
memahami potensi dan kecenderungan peserta didik. Satu keharusan yang
akhir-akhir ini diperkuat oleh temuan multiple intelegence, yang menegaskan
bahwa setiap individu memiliki kecerdasan yang tidak sama –tetapi tak ada
satu pun individu yang tanpa kecerdasan.
6. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam
Merujuk pada pemikiran Cak Nur, kita menemukan arah pengembangan
pendidikan Islam, yaitu pendidikan akhlak yang memberikan dorongan bagi
kebebasan rohaniah dalam sikap Islam, yang dapat menunjukkan keihsanannya
di dalam kehidupan nyata. Materi PAI yang meliputi Al-Quran-Hadis, Akidah-
Akhlak, Fikih, dan Sejarah Peradaban Islam selayaknya dapat diarahkan untuk
merujuk pada tujuan pendidikan Islam ‘ibadur rahman ini. Keempat materi
PAI ini harus dapat tersusun dalam struktur yang saling terkait satu sama lain.
Untuk itu perlu dibuat struktur hubungan antara keempat mata pelajaran itu
sehingga dapat mencapai tujuan ‘ibadur rahman. Struktur hubungan itu daoat
berupa:
a. Al-Quran dan Hadis sebagai sumber nilai, modal spiritual.
b. Akidah-Akhlak sebagai pandangan hidup dan pedoman perilaku mulia
dalam kerangka pengembangan diri atau cara pengembangan spiritual.
c. Fikih sebagai pedoman tindakan mulia dalam kerangka hukum Allah.
d. Sejarah Peradaban Islam sebagai contoh dan bukti nyata keberhasilan
penerapan ajaran Islam dalam sejarah.
Bagian III
Eksperimen Pendidikan Karakter
7. Paradigma Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian
seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam
tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Thomas
Lickona, 1991). Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan
dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan.
Pendidikan Karakter dalam Sejarah
Secara historis pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi.
Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan yang
unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak). Islam
hadir sebagai jalan untuk menyempurnakan karakter. Al-Quran adalah buku
ajar yang menghadapi peserta didik masyarakat Arab yang berkarakter belum
sempurna.
Dua Paradigma Pendidikan Karakter
Ada dua paradigma dasar pendidikan karakter. Pertama, paradigma yang
memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang
sifatnya lebih sempit. Pada paradigma ini disepakati telah adanya karakter
tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik. Kedua, melihat
pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas.
Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi,
menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku
utama dalam pengembangan karakter.
Pendidikan karakter yang dimaksudkan pada buku ini adalah gabungan
antara keduanya, yaitu menanamkan karakter tertentu sekaligus memberi benih
agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani
kehidupannya. Melalui gabungan dua paradigma ini, pendidikan karakter akan
bisa terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak hanya
memahami pendidikan nilai sebagai sebuah bentuk pengetahuan, namun juga
menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasar pada
nilai tersebut.
Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter
1. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya
memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan
atau kondisi yang memengaruhi kesadaran.
2. Karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai
utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini
adanya pemisahan antara roh, jiwa dan badan.
3. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi
peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif.
4. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia
ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri, tetapi juga
kesadaran untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan masalah
lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai dengan
pengetahuan dan karakter yang dimilikinya.
5. Karakter seorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya berdasarkan
pilihan.
8. Mengenali Metode Pendidikan Karakter
Secara umum, Ratna Megawangi menengarai perlunya penerapan metode
4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai, dan mengerjakan
kebaikan secara simultan dan berkesinambungan. Metode ini menunjukkan
bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang
utuh. Sedangkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar,
dicintainya dan diinginkan. Dari kesadaran utuh ini, barulah tindakan dapat
menghsailkan karakter yang utuh pula.
Doni A. Koesoema mengajukan lima metode pendidikan karakter (dalam
penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan
prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.
Sementara itu pedagogi transformatif Igniasian menerapkan lima tahapan
penting pendidikan karakter yang harus ditempuh, yaitu konteks, pengalaman,
refleksi, aksi, dan evaluasi.
9. Rancangan Pendidikan Karakter
Bagaimana Merancang Pendidikan Karakter?
Pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan. Pertama, keyakinan
bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat
pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah
benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh
kembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan
kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualitas
tertentu.
Ada beberapa metode pendidikan yang dapat diterapkan, di antaranya
adalah metode dialog partisipatif dan metode eksperensial. Metode dialog
partisipatif mendorong siswa-siswi untuk kreatif, kritis, mandiri dan terampil
berkomunikasi. Metode dialog partisipatif dijabarkan/dikonkretkan dalam
kegiatan-kegiatan seperti diskusi kelompok, sharing pengalaman keseharian
dan sharing pengalaman iamn, wawancara, dramatisasi, dinamika kelompok,
dsb. Metode naratif (eksperensial) menggunakan cerita sebagai model
pengembangan diri. Metode ini dianggap unggul karena: bersifat merangsang
imajinasi peserta didik, menyapa peserta didik secara menyeluruh, baik segi
kognitif maupun afektif; bersifat menawarkan, membebaskan dan tidak
menjejali.
Karakter Apa yang Harus Diajarkan?
Karakter yang harus diajarkan adalah karakter yang memunyai nilai
permanen dan tahan lama, yang diyakini berlaku bagi semua manusia. Covey,
seperti dikemukakan di atas, mengemukakan sejumlah prinsip nilai yang
dianggap berlaku bagi semua manusia. Prinsip-prinsip itu adalah keadilan,
integritas, kejujuran, martabat, pelayanan, kualitas dan pertumbuhan.
Darimana prinsip-prinsip karakter itu didapatkan? Al-Quran dapat
dijadikan sumber dari prinsip-prinsip karakter. Prinsip dasar dari Pendidikan
Karakter Berbasis Al-Quran adalah merujukkan pengembangan karakter pada
Al-Quran. Namun, sebagai catatan dapat ditegaskan bahwa perujukan pada Al-
Quran bukan berarti hanya pada Al-Quran, melainkan juga pada akhlak
Rasulullah.
Bagaimana Menjadikan Al-Quran sebagai Basis Pendidikan Karakter?
Tahap Pertama: Pengalaman Pembelajaran atau Pengenalan
Pengalaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan
afektif. Melalui pengalaman peserta didik mengalami suatu tantangan terhadap
pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan fakta, ide, dan masukan baru dari
pendidik. Melalui pengalaman, konteks (pengetahuan asal, kebiasaan dasar,
pengalaman sebelumnya) yang dibawa peserta didik dihadapkan pada suatu
pengalaman baru, sesuatu yang mungkinkan sepaham atau berkebalikan
dengan konteks yang sebelumnya telah dimiliki oleh peserta didik. Metode
yang dapat dilakukan untuk membawa peserta didik pada pengalaman dapat
berupa aktivitas bersama, problem solving, aktivitas mandiri, dan peer-group
learning.
Tahap Kedua: Refleksi
Refleksi adalah proses pencarian arti untuk pengalaman pembelajaran.
Refleksi merupakan suatu proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna
dalam pengalaman manusiawi dengan pemahaman lebih baik mengenai
kebenaran yang telah dipelajari (2) untuk mengerti akan sumber perasaan dan
reaksi yang dialami seseorang lewat apa yang dipelajari (3) untuk
memperdalam pemahaman tentang implikasinya baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain (4) untuk mendapat pengertian personal akan
kejadian-kejadian dan ide yang ada.
Tahap Ketiga: Aksi atau Afirmasi
Aksi adalah upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan
pilihan-pilihan dari berbagai sistem nilai yang ada. Aksi di sini berarti
penentuan pilihan yang mengubah cara pandang lama ke cara pandang baru.
Tahap Keempat: Evaluasi
Evaluasi berarti student centered evaluation. Evaluasi dilakukan dalam
konteks dan pengalaman peserta didik yang melakukan tindakan atau aksi.
Hasil yang ingin diraih dari evaluasi: peserta didik mampu mengerti dengan
kesadarannya sendiri, terlebih tentang posisi dirinya terhadap tindakan yang
dievaluasi.
Apa yang Harus Dilakukan Guru dalam Pendidikan Karakter?
Pengajar harus terlebih dahulu melakukan pengenalan pribadi dengan
peserta didik. Pengenalan pribadi mengandaikan bahwa setiap manusia adalah
pribadi yang unik; latar belakang kehuidupannya, cara belajarnya, dsb. Maka:
(1) pendidik harus mengenali dan memperhatikan pengertian-pengertian yang
dibawa oleh seorang peserta didik ketika memulai proses belajar mengajar; (2)
pendidik perlu tahu kemampuan, pendapat, dna pemahaman yang dimiliki oleh
peserta didik; (3) pengenalan dan pemahaman konteks nyata para peserta didik
akan membantu pendidik untuk merumuskan tujuan, sasaran, metode dan
sarana yang tepat bagi proses pembelajaran.
Syarat utama pendidik adalah mengetahui dan mempraktikkan karakter
yang hendak diajarkan pada peserta didik. Hal utama kedua adalah pendidik
harus memahami dan menguasai seluruh metri yang hendak diajarkan.
Apa yang Harus Disiapkan Lembaga untuk Menerapkan Pendidikan
Karakter?
Lembaga bukanlah ruang hampa makna. Bagi pendidikan karakter
keseluruhan lembaga (fisik dan orang-orangnya) haruslah menjadi sumber
teladan. Karena itu, seluruh proyek riyadhah harus tercatat dan diinformasikan
kepada seluruh pihak yang ada di sekolah.