PENDAHULUAN Latar Belakang -...
Transcript of PENDAHULUAN Latar Belakang -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu
pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai
bahasa daerah dengan ciri khasnya masing-masing yang masih tetap digunakan
sebagai alat komunikasi di antara penuturnya, baik di wilayah geografis
bahasanya maupun di luar wilayahnya. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah
sendiri di luar wilayah bahasa itu menyebabkan terciptanya beberapa masyarakat
yang dwibahasa (bilingual) bahkan dapat membentuk masyarakat yang
multibahasa (multilingual). Menurut kamus linguistik (2011) bilingualisme adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh suatu masyarakat. Istilah ini disebut juga
dengan kedwibahasaan. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut
dwibahasawan atau orang yang bilingual.
Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa, terdapat pola
kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang
terdapat di dalam bahasa masyarakat, yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai
bahasa ibu dan B2. Dengan adanya dwibahasa atau multibahasa tersebut maka
akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena
adanya pilihan bahasa. Seperti diutarakan oleh Ditmar (1976:181) bahwa sikap
ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam
masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan
2
problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar individu. Misalnya,
ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak
menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak
bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap
positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang
demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa
kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa
nasional. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor yang
menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab begeser atau punahnya suatu
bahasa sangat ditentukan oleh keputusan berdasarkan sikap bahasa dari
masyarakat itu sendiri.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap
terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju
pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap
berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib
(Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi
sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa
dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau
kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai
objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan
cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan
dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang
beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.
3
Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap
bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2)
kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa
tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa di
antara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah
bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1985:90). Apabila ketiga ciri
bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang
positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota
masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan
kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap
bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968).
Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik
karena memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam,
setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Oleh
karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai sikap bahasa pada
masyarakat Batak Toba. Adapun daerah yang menjadi objek penelitian ini adalah
Kelurahan Hutabarangan yang merupakan salah satu dari empat kelurahan yang
ada di Kecamatan Sibolga Utara yang menjadi bagian dari Kota Sibolga.
Kota Sibolga merupakan salah satu wilayah pantai Barat Sumatera Utara
yang terletak di Teluk Tapian Nauli, ± 350 km Selatan Kota Medan. Secara
geografis wilayah Sibolga terletak antara 1º 42' - 1º 46' Lintang Utara dan 98º 44' -
98º 48' Bujur Timur. Sibolga sudah sejak lama merupakan pintu gerbang kegiatan
ekspor dan impor berbagai komoditas. Sejak dijadikan daerah otonom tahun 1956,
4
Kota Sibolga mengandalkan Pelabuhan Laut Sibolga dan potensi perairannya
sebagai sumber kehidupan penduduk sehingga banyak etnik yang berdatangan dan
tinggal di kota Sibolga. Etnik-etnik pendatang tersebut antara lain Mandailing,
Melayu, Nias, Jawa, Minang, Bugis, Aceh, dan suku-suku lain dari Indonesia
bagian timur. Selain itu, terdapat pula beberapa pendatang asing seperti etnis
Tionghoa, India, dan Arab yang semua etnik itu hidup berdampingan dengan etnik
asli Kota Sibolga, yakni etnik Batak Toba. Seiring waktu, hal ini lah yang
menjadikan Kota Sibolga dikenal dengan julukannya Negeri Berbilang Kaum
“Negeri Beragam Penduduk” yang artinya menggambarkan kondisi
masyarakatnya yang majemuk.
Dengan latar keanekaragaman etnik tersebut, sehingga memunculkan
masyarakat yang bilingual atau multilingual di Kota Sibolga, sehingga menuntut
masyarakat penutur bahasa Batak Toba yang tinggal di Kelurahan Hutabarangan,
Kecamatan Sibolga Utara, Kota sibolga untuk menentukan sikap bahasanya,
apakah cenderung positif atau negatif terhadap bahasa Batak Toba. Oleh karena
itu, kajian mengenai sikap bahasa ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dari
sudut pandang sosiolinguistik.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimanakah situasi kebahasaan di Kelurahan Hutabarangan,
Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara?
5
2. Bahasa apakah yang digunakan masyarakat Batak Toba pada masing-
masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan,
Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara?
3. Bagaimanakah sikap bahasa masyarakat Batak Toba terhadap bahasa
Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara,
Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, apakah cenderung positif atau
negatif?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan situasi kebahasaan masyarakat Batak Toba di
Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga
Provinsi Sumatera Utara.
2. Mengidentifikasi bahasa yang digunakan masyarakat Batak Toba pada
masing-masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan,
Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.
3. Mendeskripsikan kecenderungan sikap bahasa masyarakat Batak Toba
terhadap bahasa Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan
Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, yakni
cenderung positif atau negatif.
6
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
maupun manfaat secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk memberi informasi mengenai kelestarian bahasa Batak Toba
terhadap tekanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang kuat diakibatkan
oleh tingginya mobilitas para penuturnya. Sementara itu, manfaat bagi dunia
akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang
pengajaran bahasa sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan
pengajaran bahasa daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dasar. Secara
praktis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kota Sibolga untuk
terciptanya kesadaran berbahasa Batak Toba yang positif, yakni setia, bangga, dan
menjaga norma bahasa Batak Toba agar bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi
perannya sebagai penanda identitas etnis.
1.5. Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau ; pandangan ; pendapat sesudah
menyelidiki, mempelajari, dsb (KBBI, 2003:18). Pustaka adalah kitab ; buku ;
buku primbon (KBBI, 2003:912) maka peneliti dapat simpulkan bahwa tinjauan
pustaka adalah hasil meninjau pendapat ataupun pandangan yang telah dituliskan
dalam sebuah buku atau karya ilmiah lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka peneliti berusaha meninjau sejumlah
sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini karena jenis penelitian yang
7
berkaitan dengan sikap bahasa pada dasarnya pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Hal ini sangat bermanfaat sebagai bahan perbandingan untuk
menentukan keaslian penelitian ini. Adapun penelitian yang pernah dilakukan
tersebut adalah sebagai berikut:
Kamsiah (2000) dalam penelitian yang dikembangkan dari penelitian
tesisnya meneliti tentang “Sikap, Penguasaan dan Penggunaan Bahasa Melayu di
Singapura”. Latar belakang penelitiannya adalah disebabkan situasi bahasa di
Singapura yang semakin kompleks akibat terdapatnya penggunaan empat bahasa
resmi, yaitu Mandarin, Melayu, Tamil, dan Inggris. Bahasa Inggris yang
digunakan sebagai bahasa asing untuk mengadakan hubungan sejak zaman
penjajahan, dua dekade terakhir muncul sebagai bahasa resmi terpenting dalam
segala segi kehidupan. Terkait dengan sikap responden terhadap bahasa Melayu
dan Inggris, diperoleh data yang menunjukkan bahwa responden bersikap lebih
positif terhadap bahasa Inggris daripada terhadap bahasa Melayu. Adapun alasan
yang diberikan responden adalah disebabkan oleh kepentingan bahasa itu dalam
komunikasi dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan dalam mempelajari
teknologi dan sains.
Suhardi (1996) meneliti sikap berbahasa pada sekelompok sarjana dan
mahasiswa di Jakarta dalam disertasinya yang berjudul “Sikap Bahasa: Suatu
Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta”.
Penelitian ini lebih bersifat kuantitatif. Menurutnya, sikap mereka terhadap bahasa
daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing itu berkaitan dengan fungsi bahasa
yang bersangkutan. Sikap positif mereka terhadap bahasa daerah didasarkan pada
8
fungsi integratif bahasa itu dikalangan penuturnya; sikap mereka positif terhadap
bahasa Indonesia mengingat fungsi integratif dan fungsi instrumentalnya
sekaligus kaitannya dengan kemungkinannya berintegrasi sosial yang lebih luas;
sedangkan sikap mereka positif terhadap bahasa asing, khususnya bahasa Inggris,
semata-mata karena fungsi instrumental bahasa yang bersangkutan.
Siregar, dkk. (1998) menyatakan bahwa pengkajian sikap bahasa telah
muncul sebagai bagian penting dari kajian sosiolinguistik. Hasil penelitiannya
mengenai Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyarakat Bilingual
di Medan menunjukkan bahwa sikap bahasa masyarakat kotamadya Medan
menggambarkan hubungan efektif tertentu antara penutur bahasa dengan
bahasanya atau dengan bahasa lainnya dari kelompok etnik yang berbeda. Sikap
bahasa cenderung tidak diikuti dengan perilaku yang cenderung pemertahanan
bahasa. Sementara itu, dari segi sikap bahasa, penutur bahasa menunjukkan
dukungannya terhadap kelangsungan bahasa daerah sebagai pemarkah kelompok
etnik atau jati diri etnik seseorang. Namun, dari segi perilaku pemilihan bahasa,
penutur ini tidak menunjukkan aturannya di dalam menggunakan bahasa daerah
sebagai lambang kedaerahan.
Balai Bahasa Jawa Tengah juga pernah melakukan penelitian mengenai
Sikap Siswa SMP di eks-karesidenan Semarang terhadap bahasa Jawa. Penelitian
ini menggunakan pendekatan gabungan, yaitu sosiologi dan psikologi karena
berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat dan kondisi kognitif
individu. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang sikapnya
terhadap bahasa Jawa yang dikumpulkan dengan teknik angket dan wawancara.
9
Alat ukur yang digunakan untuk meneliti sikap bahasa ini adalah model skala
Likert dan model Trustone. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum
siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa.
Kemudian terdapat penelitian tentang kesetiaan berbahasa yang dilakukan
oleh Deni Karsana mahasiswa S2 di Universitas Gadjah Mada (2009) dalam
tesisnya yang berjudul “Kesetiaan Berbahasa Etnik Sunda di Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Penelitiannya difokuskan pada ranah usaha dan ranah pendidikan
karena menurut Karsana, alasan terbesar etnik sunda merantau ke Yogyakarta
adalah dikarenakan ingin membuka usaha dan ingin menempuh pendidikan.
Kemudian pada hasil akhir penelitiannya menunjukkan bahwa masih tingginya
kesetiaan berbahasa pada etnik Sunda dan masih adanya pemertahanan bahasa
Sunda. Namun, tingginya frekuensi pemakaian sebuah bahasa oleh seseorang atau
masyarakat belum menjamin bahwa seseorang atau masyarakat tersebut
mempunyai kesetiaan bahasa yang tinggi terhadap bahasa itu. Kesetiaan
berbahasa yang tinggi pada etnik Sunda di D.I. Yogyakarta memperlihatkan
adanya pemertahanan bahasa Sunda.
Penelitian selanjutnya berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap
kebahasaan yang dilakukan oleh Elisten Parulian Sigiro (2009) yang
memfokuskan pada penutur bahasa Simalungun yang tinggal di Kota
Pematangsiantar. Penelitian ini juga mengguanakan teori ranah penggunaan
bahasa dengan memfokuskan pada sembilan ranah, yakni ranah kekeluargaan,
pergaulan, pekerjaan, pemerintahan, adat, transaksi, terminal, keagamaan, dan
tetangga. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang situasi
10
diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya yang
dikumpulkan dengan teknik angket. Alat ukur yang digunakan untuk meneliti
sikap bahasa ini adalah model skala Likert. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya
cukup tinggi. Namun, bila ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa
yang paling sering digunakan dalam keseharian dapat disimpulkan bahwa sikap
bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif.
Kajian lain yang diambil manfaatnya dalam penelitian ini adalah kajian
Gal (1979) dan Fasold (1984). Dimana dua kajian ini dipilih karena mereka dalam
menganalisis datanya, memakai model konfigurasi dominasi (dominance
configuration). Konfigurasi ini digambarkan dalam bentuk tabel yang
mengandung komponen penutur, interlokutor, dan ranah, serta pilihan bahasa
yang dipakai, sesuai dengan data yang diperoleh dari kuisioner laporan-pribadi.
Data deskriptif yang menyangkut subjek-subjek dari berbagai usia itu ternyata
dapat menggambarkan hasil yang bersifat historis, yaitu perkembangan bahasa
yang dipilih oleh penutur generasi tua dan penutur generasi muda. Dengan cara itu
terlihat juga konfirugasi ranah-ranah mana yang menjadi wilayah pemertahanan
sesuatu bahasa-ibu yang dikaji.
Berdasarkan hasil tinjauan pustaka di atas, maka dapat dipahami jelas
bahwa sikap bahasa merupakan kajian yang diawali karena adanya kedwibahasaan
atau multibahasa di dalam suatu masyarakat, sehingga para peneliti sebelumnya
berusaha untuk melihat bagaimana sikap para penutur bahasa tersebut terhadap
bahasa-bahasa yang hidup di wilayah bahasanya, apakah sikap bahasanya
11
cenderung masih positif atau negatif. Begitu juga halnya yang akan peneliti
lakukan di dalam penelitian ini, berangkat dari latar belakang masyarakat Batak
Toba yang dwibahasa atau multibahasa, peneliti mencoba untuk mengkaji situasi
kebahasaan yang terjadi di Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan hutabarangan,
Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi
Sumatera Utara dengan mengamati sikap bahasanya: positif atau negatif.
1.6. Landasan Teori
Sehubungan dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
penulis berusaha mengkaji penelitian ini dengan berlandaskan pandangan para
ahli yang ditinjau berdasarkan teori sosiolinguistik. Berikut adalah pandangan
para ahli yang penulis kutip yang dapat dijadikan pedoman untuk mendukung
penelitian ini.
1.6.1. Sosiolinguitik
Sesuai namanya sosiolinguistik, yang terdiri dari kata sosio dan linguistik
sehingga dapat kita gambarkan secara langsung bahwa bidang ini mengarah pada
hubungan bahasa dan masyarakat. Hubungan keduanya mengkaitkan dua bidang
yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan
struktur masyarakat oleh sosiologi (wardhaugh, 1984:4 ; holmes, 1993:1 ;
Hudson, 1996:2).
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dapat dilihat atau
didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan
dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat
12
manusia (Chaer, 2010:3). Seperti halnya Fishman (1972:1) menyatakan bahwa
sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan
organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa,
perilaku terhadap bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku
terhadap bahasa dan pemakai bahasa.
Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari sosiolinguistik karena
memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam,
setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Fasold
(1984) menyatakan bahwa sosiolinguistik itu hanya ada sebagai bidang kajian
karena ada pilihan-pilihan dalam penggunaan bahasa. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya istilah bilingualisme atau multilingualisme sosietal yang menunjukkan
adanya kenyataan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bahasa.
1.6.2. Sikap
Langkah awal yang perlu diketahui adalah mengenai teori sikap itu sendiri.
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa, dan orang
lain. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukannya melibatkan semua aspek
kepribadian, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi. Seperti yang diutarakan oleh
Lambert dalam Baker (1992) yang mengutip pendapat Plato menetapkan bahwa
sikap terbagi atas tiga komponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen
afektif, dan (3) komponen konatif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan
mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang
dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau
13
emosi terhadap sesuatu. Biasanya menyangkut nilai rasa “baik atau tidak baik”,
“senang atau tidak senang” yang membawa seseorang untuk memiliki sikap
positif atau negatif terhadap sesuatu tersebut. Komponen konatif menyangkut
perilaku yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi
dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan. Dengan demikian sikap terhadap
sesuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi tentang objek
sikap, yang akhirnya melahirkan keputusan senang atau tidak senang, setuju atau
tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek sikap (Allport
dalam Mar’at, 1984:13).
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah berupa perasaan mendukung
(arah positif) atau tidak mendukung (arah negatif) (Berkowizd dalam Azwar,
1983:3). Selanjutnya azwar (2001) mengemukakan faktor yang menentukan
bentuk respon individu, yaitu suka atau tidak suka, mendukung atau tidak
mendukung terhadap stimulus yang diterima yaitu objek sikap tergantung pada
berbagai faktor, antara lain latar belakang pengetahuan dan motivasi.
Sikap juga merupakan suatu tingkat afek positif dan negatif yang
berhubungan dengan objek psikologik (Trustone dalam Mar’at, 1984:147). Sikap
dapat dikatakan suatu reaksi emosional terhadap suatu objek psikologis. Reaksi
yang timbul bisa bersifat positif atau negatif. Sikap juga dapat berupa suasana
batin seseorang. Seseorang yang menyetujui terhadap suatu objek akan
menunjukkan sikap mendukung atau sebaliknya.
Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu 1) arah sikap, merupakan afek yang
membekas dirasakan terhadap suatu objek, dapat bersifat negatif atau positif. ; 2)
14
derajat perasaan, merupakan derajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu
dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai
positif (Newcomb et al, 1977:1981). Ciri-ciri sikap juga dikemukakan oleh
Gordon (1960:293) yaitu: 1) sebagai suatu kesiapan untuk merespon, 2) bersifat
individual, 3) membimbing perilaku, 4) bersifat bawaan dan merupakan hasil
belajar. Selanjutnya Rochman (1984:230) mengemukakan ciri sikap adalah suatu
kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk memperlakukan suatu objek.
Kesiapan itu mempunyai aspek kognisi, afeksi, dan kecendrungan bertindak yang
dapat disimpulkan dari prilaku individu itu sendiri. Kesiapan itu merupakan
penilaian positif atau negatif dengan intensitas yang berbeda-beda, berlaku untuk
kurun waktu tertentu dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu.
Penilaian sebagai sikap kesiapan tersebut terarah kepada objek itu sendiri,
terhadap kelanjutan dari suatu penilaian yang menyangkut objek itu atau akibat
peristiwa yang menyangkut objek lain.
Berdasarkan beberapa teori sikap yang telah dipaparkan di atas, maka hal-
hal yang menjadi perhatian peneliti mengenai teori sikap itu sendiri adalah
a. Sikap adalah perasaan atau suasana batin seseorang yang berhubungan
dengan objek sikap. Objek sikap tersebut dapat berupa orang, benda,
peristiwa, atau perilaku tertentu.
b. Sikap menunjukkan arah penilaian individu terhadap objek sikap yg
merupakan reaksi sikap tersebut. Penilaian terhadap objek tersebut dapat
menunjukkan arah yang positif (mendukung) atau arah yang negatif (tidak
mendukung).
15
c. Sikap terdiri dari reaksi kognitif, afektif, dan konatif.
1.6.3. Sikap Bahasa (languages attitude)
Sikap bahasa (languages attitude) adalah peristiwa kejiwaan dan
merupakan bagian dari sikap (attitude) pada umumnya. Sikap bahasa merupakan
reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 1986). Menurut Kridalaksana
(2001:197) sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa
sendiri atau bahasa orang lain. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa sikap
bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya
maupun bahasa orang lain. Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman
Dictionary of Applied Linguistics (1985:155) bahwa sikap bahasa adalah sikap
pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa
orang lain.
Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang
dwibahasawan atau multibahasawan. Seperti pernyataan Ditmar (1976:181)
bahwa sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri-ciri yang antara lain: pemilihan
bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa,
perbedaan-perbedaan dialektikal dan problem-problem yang timbul sebagai akibat
adanya interaksi antara individu-individu. Misalnya, ketika suatu bangsa yang
memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya.
Pemilihan satu bahasa diantara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa
tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap
bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin
16
suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui
dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap
terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju
pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap
berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib
(Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi
sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa
dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau
kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai
objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan
cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan
dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang
beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.
Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap
bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2)
kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa
tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa
diantara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah
bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1987:90). Apabila ketiga ciri
bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang
positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota
masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan
17
kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap
bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968). Adapun ketiga ciri sikap bahasa tersebut
akan dipaparkan sebagai berikut :
1. Sikap Kesetiaan Bahasa (loyalty language)
Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat pendukung bahasa itu
untuk memelihara dan mempertahankan bahasa. Hal ini didukung oleh rumusan
Weinreich yang menunjukkan bahwa kesetiaan bahasa yang mengandung aspek
mental dan emosi sangat menentukan bentuk tingkah laku berbahasa. Kesetiaan
berbahasalah yang terutama mendorong usaha-usaha mempertahankan bahasa
(Weinreich, 1974:99) karena kesetiaan bahasa mempunyai akar emosional yang
kuat pada bahasa ibu (mother tongue) dan terinternalisasi sejak kecil. Selanjutnya
Weinreich (1979:99) juga menyatakan bahwa kesetiaan bahasa adalah keinginan
masyarakat pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa
itu. Bahkan kalau perlu, mencegahnya dari pengaruh bahasa lain, mencegah
adanya interferensi dari bahasa asing.
2. Sikap Kebanggaan Bahasa (language pride)
Weinreich (1970:99) menyatakan bahwa kebanggaan bahasa mendorong
seseorang atau masyarakat pendukung bahasa untuk menjadikan bahasanya
sebagai penanda jati diri identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dari
etnik lain.
Kebanggaan bahasa yang disebut juga linguistic pride (lihat Wijana, 2006)
mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai
lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
18
Seseorang yang merasa bangga dengan bahasanya tidak akan mengalihkan
bahasanya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Akan tetapi seseorang atau
masyarakat tutur yang merasa tidak berkewajiban atau merasa malu menunjukkan
identitasnya dengan bahasanya, dan cenderung mengalihkan kebanggaannya
kepada bahasa lain yang bukan miliknya, maka orang atau masyarakat tutur
seperti itu disebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya.
3. Sikap Kesadaran Norma Bahasa (awarness of the norm)
Kesadaran akan norma bahasa mendorong masyarakat pemakai bahasa
untuk memakai bahasanya secara baik, benar, dan santun sesuai dengan kaidah-
kaidah yang berlaku. Kesadaran berbahasa itu tercermin dalam tanggung jawab,
sikap, perasaan memiliki bahasa yang pada gilirannya menimbulkan kemauan
untuk membina dan mengembangkan bahasa. Weinreich (1970: 99) berpendapat
bahwa dorongan dari diri masyarakat pemakai bahasa itu untuk memakai
bahasanya secara baik, benar, santun, korek dengan kaidah-kaidah yang berlaku
merupakan sikap kesadaran akan norma. Sikap kesadaran demikian merupakan
faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam ujud pemakaian bahasa
(language use).
Dengan demikian dari semua teori mengenai sikap bahasa itu dapat
disimpulkan bahwa sikap bahasa adalah sikap yang dimiliki oleh para pemakai
bahasa, baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu
bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek,
menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain sikap berbahasa itu
19
bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan
berbahasa, kesetiaan berbahasa dan kesadaran berbahasa.
1.6.4. Bilingualisme
Menurut Mackey (dalam Fishman, 1968) kedwibahasaan merupakan
praktik pemakaian bahasa-bahasa secara bergantian oleh seorang penutur.
Pergantian pemakaian bahasa ini ditentukan oleh situasi dan kondisi yang
dihadapi oleh si dwibahasawan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Weinreich (1953). Kemudian dilanjutkan oleh pendapat Macnamara (1967) yang
menyatakan bahwa kedwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan
atas sekurang-kurangnya B1 (bahasa ibu) dan B2, meskipun kemampuannya atas
B2 itu hanya sampai pada batas minimum. Rumusan ini sejalan dengan Haugen
(1961 dalam Chaer,2004 :86) yang merumuskan kedwibahasaan sebagai
‘mengenal bahasa’, yang artinya bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu
menguasai B2 secara aktif-produktif, melainkan cukuplah kalau ia sudah mengerti
atau memahami secara reseptatif apa yang dituturkan orang lain. Seperti misalnya
kemampuan seseorang dalam B2 hanya sebatas mengerti atau memahami tutur B2
tetapi tidak mampu bertutur.
Sehubungan dengan tujuan mendeskripsikan situasi kebahasaan
masyarakat Batak Toba yang tinggal di daerah Kota Sibolga, khususnya kelurahan
Hutabarangan, merupakan masyarakat dwibahasa atau multibahasa, maka konsep
bilingual yang penulis acu adalah konsep Haugen, yang telah disebutkan di atas,
20
mengerti akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang bilingual tidak
perlu secara aktif menggunakan dua bahasa itu, tetapi cukup memahaminya saja.
1.6.5. Kode
Berkaitan dengan masalah kedwibahasaan, gejala kontak bahasa pada
penutur masyarakat Batak Toba tak dapat dihindari. Dalam masyarakat dwibahasa
atau multibahasa terdapat lebih dari satu kode bahasa yang hidup dan digunakan
oleh masyarakat Batak Toba di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut
Poejosoedarmo (1978:30), kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu
terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem dan
fonem. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai
berkomunikasi anggota suatu masyarakat.
1.6.6. Alih Kode
Dalam situasi kdwibahasaan akan sering terdapat orang mengganti bahasa
atau ragam bahasanya, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa
itu. Misal saja, ketika kita berbahasa A dengan si B datang si C yang tidak dapat
berbahasa A memasuki situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai bahasa D
yang dimengerti si C. Peristiwa ini lah yang disebut sebagai alih kode. Hymes
(1974:103) menyatakan bahwa alih kode dapat terjadi antarbahasa, ragam-ragam
bahasa, atau bahkan pada style yang terdapat pada satu bahasa. Konsep alih kode
21
ini mencakup juga peristiwa pada seorang penutur beralih dari satu ragam
fungsiolek (misal, ragam santai) ke ragam lain (misal, ragam formal), atau dari
satu dialek ke dialek lain (Nababan, 1993:31).
1.6.7. Campur kode
Suatu situasi berbahasa lain yang menggambarkan keadaan berbahasa
bilamana seseorang mencampurkan dua buah bahasa atau lebih atau dua buah
ragam (variasi) bahasa atau lebih dalam tindak berbahasa dengan jalan
memasukkan unsur-unsur bahasa atau ragam (variasi) lain.
Menurut Chaer dan Agustina (2004:114) menjelaskan bahwa campur kode
adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
suatu masyarakat tutur, dimana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar
yang digunakan yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah serpihan-serpihan suatu bahsa
yang digunakan oleh seorang penutur. Serpihan ini dapat berupa kata, frasa, atau
unit bahasa yang lebih besar.
1.6.8. Ranah Penggunaan Bahasa
Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa di dalam
masyarakat bilingual adalah dengan menggunakan teori ranah. Fishman (1964 ;
1972) mengajukan konsep ranah untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa
dalam masyarakat bilingual yang mantap. Beliau memerikan perilaku penggunaan
bahasa dalam masyarakat tersebut melalui penempatan ranah bahasa.
22
Istilah ranah dijelaskan sebagai susunan situasi atau cakrawala interaksi
yang pada umumnya didalamnya menggunakan satu bahasa. Ranah adalah
lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, yang merupakan
kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat. Misalnya, sebuah ranah disebut
ranah keluarga kalau ada seorang penutur di rumah sedang berbincang dengan
anggota keluarganya tentang topik kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan
situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status hubungan-
peran, lingkungan dan bahasan tertentu. Selanjutnya, Fishman (1968) juga
menyatakan bahwa ranah adalah konsepsi teoritis yang menandai satu interaksi
yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan
kewajiban yang sama, misalnya ranah keluarga, ketetanggaan, agama, pekerjaan,
adat, pemerintahan, pergaulan, ranah terminal, pendidikan, dan sebagainya.
Jumlah ranah dalam suatu masyarakat tidak dapat ditentukan secara pasti.
Menurut Schmidth-Rohr (1932) ranah terdiri dari ranah keluarga, tempat bermain,
sekolah, gereja, kerja, sastra, pers, militer, pengadilan, dan administrasi
pemerintahan. Parasher (1980) dalam penelitiannya memakai ranah keluarga,
kekariban, ketetanggaan, transaksi, pendidikan, pemerintah, dan kerja.
Dalam ranah (domain) kita juga harus memperhatikan peristiwa tutur,
berbagai situasi tutur dan tindak tutur. Di dalam peristiwa tutur dapat ditemukan
sejumlah komponen tutur. Menurut Hymes (1974) komponen itu terdiri dari 8
komponen (yang awalnya ada 16 komponen) yang dirumuskan dalam akronim
kata Inggris SPEAKING, yakni
23
Setting : waktu dan tempat peristiwa bahasa terjadi.
Participants : mencakup pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan.
Ends : mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan.
Act Sequences : mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
Key : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu
pesan disampaikan.
Instrumentalisties : merujuk pada jalur bahasa yang digunakan, seperti
jalur lisan, tulis, telegraf atau telepon.
Norms : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
Genre : berkaitan dengan jenis bentuk penyampaian, seperti
narasi, puisi, pepatah, doa, pengajaran dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pemilihan ranah dalam penelitian ini
mengacu kepada pendapat Fishman yang kemudian disesuaikan dengan situasi
kebahasaan yang ada di Kelurahan Hutabarangan, yakni dengan membatasi pada
tujuh ranah, antara lain : ranah kekeluargaan, ranah ketetanggan, ranah
pemerintah, ranah pendidikan, ranah adat, ranah agama, dan ranah usaha.
Kemudian pada penelitian ini hanya memperhatikan komponen waktu dan tempat
atau setting dan participants dalam setiap peristiwa tutur yang terjadi.
1.6.9. Pemertahanan Bahasa
Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat
multilingual (Fasold, 1984 :213). Berpindah bahasa sebernarnya merupakan suatu
indikator kematian bahasa. Karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya.
24
Proses itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang
secara umum dijumpai adalah lapisan atau kelompok tua lebih bertahan pada
bahasanya, sedang kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai
sesuatu yang baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984:215).
Setiap dwibahasawan mempunyai resiko bahasa yang satu kadang-kadang
hilang. Bahasa dalam guyup eka bahasa sebenarnya pasti dapat dipertahankan
sepanjang keekabahasawan itu tetap jaya. Banyak juga guyup dwibahasa tetap
dwibahasa selama beberapa puluh atau ratus tahun, sehingga keberadaan
kedwibahasaan kemayarakatan tidak selalu berarti akan terjadi pergeseran
(Sumarsono, 2002:236).
Siregar (1987) mengajukan dua jenis pemertahanan bahasa yang mungkin
terjadi pada masyarakat bahasa, yaitu pemertahanan bahasa pasif dan
pemertahanan bahasa aktif. Pemertahanan bahasa yang pasif adalah ciri
masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat nilai dan sikap yang bertumpang
tindih. Artinya, meskipun anggota masyarakat menganggap bahwa bahasa
daerahnya sebagai lambang jati diri etnik tetapi tidak sejalan dengan perilaku
bahasanya di dalam kegiatan berbahasa. Dengan kata lain, anggota masyarakat
tidak menggunakan bahasa daerahnya secara teratur sesuai dengan fungsinya
sebagai lambang kedaerahan. Sedangkan, pemertahanan bahasa aktif adalah
terdapat hubungan yang hampir satu lawan satu diantara bahasa dengan konteks
sosial. Ciri masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat dua atau lebih nilai,
sikap dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih (Siregar, 1998:14).
25
1.7. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2002: 740). Adapun
yang menjadi bagian-bagian dari metode penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.7.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang
berdomisili di wilayah Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota
Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Yang dimaksud dengan masyarakat Batak Toba
adalah orang yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Batak Toba dan
menggunakan marga sebagai penanda etnik.
Sampel penelitian ini ditetapkan berjumlah empat puluh responden dari
populasi dengan cara menstratifikasi populasi berdasarkan tingkat usia, yakni dua
puluh responden golongan tua dan dua puluh responden golongan muda, yang
masing-masing golongan terdiri atas sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan
dengan pemilahan usia sebagai berikut :
a) Mewakili Golongan Muda ; usia 17-30 tahun
b) Mewakili Golongan Tua ; usia 31-50 tahun
Pemilihan dan pemilahan sampel itu dilakukan atas dasar pertimbangan
kemudahan pemerolehan responden. Selain itu tingkat usia responden merupakan
faktor penting dalam melakukan interaksi sosial. Dalam masyarakat Batak Toba,
faktor usia berkaitan dengan kedudukan dan status seseorang atau kelompok
orang dalam struktur keluarga atau kelompok sosial. Dalam kegiatan agama
misalnya, rentang usia yang disebutkan di atas merupakan kelompok pemilahan
26
usia dalam kegiatan ibadah. Selain itu, rentang usia pada golongan muda dianggap
penulis masih usia produktif, yakni memiliki mobilitas sosial tinggi, baik masih
menempuh pendidikan maupun bekerja, sehingga lebih sering melakukan
interaksi di luar lingkungan tempat tinggal, yang kemudian dimungkinkan terjadi
fenomena kebahasaan mengenai pemilihan, penggunaan dan sikap bahasa.
Sejalan dengan itu, pemilihan responden juga dilakukan dengan
memperhatikan syarat-syarat penentuan responden. Adapun syarat-syarat
pemilihan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan kriteria
sebagai berikut :
a) Masyarakat Batak Toba berusia 17 sampai dengan 50 tahun yang
sekarang tinggal di Kelurahan hutabarangan, Kelurahan Hutabarangan,
Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga.
b) Tidak pernah atau tidak lama meninggalkan daerah asal.
c) Setidak-tidaknya berpendidikan SD,
d) Dapat berbahasa Indonesia,
e) Sehat dan tidak mempunyai cacat wicara,
f) Bersedia menjadi responden,
g) Tidak mudah tersinggung, jujur, terbuka, sabar, dan ramah,
h) Teliti, cermat, dan mempunyai daya ingat yang baik, dan
i) Tidak mempunyai kecurigaan apapun terhadap penelitian yang
dilakukan.
27
1.7.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan,
yakni penulis langsung terjun ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data.
Penelitian lapangan dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian
kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif (Moleong,
2006). Dengan metode itu penulis secara langsung memperhatikan, mendengar
dan mencatat data yang terdapat di lapangan. Selain itu penulis juga
mengumpulkan keterangan-keterangan lain yang tidak terdapat dalam daftar
tanyaan (kuesioner) yang melengkapai bahan-bahan yang diperlukan. Demikian
juga, hal-hal yang berkaitan dengan keadaan sosial dan lingkungan daerah
penelitian dapat diamati dengan lebih baik.
Teknik yang dipakai adalah teknik wawancara, pengamatan, dan kuesioner
yang disebarkan (Moleong, 2006: 174-232). Dengan teknik wawancara didapat
data mengenai situasi kebahasaan secara umum, pemakaian bahasa, sikap bahasa
dan kepedulian mereka terhadap bahasa-bahasa yang ada. Dengan teknik
pengamatan diperoleh data secara langsung tentang situasi penggunaan dan
pemilihan bahasa di dalam beberapa peristiwa komunikasi dan interaksi dalam
masayarakat Batak Toba yang ada di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan
Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian dengan teknik
kuesioner yang disebarkan (Subroto, 2007:49), penulis dapat melengkapi data
yang sudah diperoleh melalui teknik wawancara dan pengamatan. Dengan teknik
kuesioner itu diperoleh data yang tidak dapat diperoleh secara langsung.
Misalnya, hal-hal yang bersifat psikologis ( tentang sikap) yang tidak
28
dimungkinkan dengan teknik wawancara. Dengan demikian, ketiga teknik
tersebut dimaksudkan untuk saling mengisi kekurangan masing-masing dan
memadukan seluruh data dalam satu kesatuan.
1.7.3. Metode dan Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, data yang terkumpul melalui pengamatan,
wawancara, maupun kuesioner dianalisis untuk mendukung tujuan penelitian.
Data yang terkumpul itu merupakan satu kesatuan yang saling mendukung,
walaupun diperoleh dengan menggunakan cara yang berbeda-beda. Artinya, data
yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dideskripsikan dengan
diikuti pertimbangan-pertimbangan lain yang didapatkan dari hasil kuisioner.
Dengan demikian, sehubungan dengan teknik penganalisisan data, maka metode
yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Moleong, 1993: 15-21).
Metode kualitatif digunakan bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan
dan menjelaskan sifat (karakteristik) data yang sebenarnya yang mampu melihat
faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat data yang diperoleh. Sementara itu,
metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat kuantitas
yang didapat dari pengisian kuesioner. Baik pengamatan, wawancara, dan
kuisioner saling mengisi kekurangan masing-masing dan memadukan seluruh data
dalam satu kesatuan. Perbedaan antara data yang diperoleh dengan wawancara
dan pengamatan di satu pihak dan hasil dari kuisioner di lain pihak adalah data
yang dihasilkan dari kuisioner dianalisis dengan menggunakan pemersentasean
hasil pengumpulan jawaban yang diperoleh dari kuesioner itu.
29
Data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara berupa hasil
tuturan-tuturan dianalisis secara kualitatif yang bersifat deskriptif. Data tersebut
terjaring melalui perekaman tuturan bahasa Batak Toba dari berbagai situasi,
kemudian rekaman didengarkan kembali, diputar berulang-ulang sampai
didapatkan hasil transkrip yang jelas. Kemudian setelah selesai
mentranskripsikan, tuturan-tuturan tersebut dipilah, diuraikan, dan dijelaskan
berdasarkan ranah penggunaan bahasanya.
Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis secara kuantitatif. Di
dalam kuisioner penelitian ini terdapat tiga bagian yang dipisah agar memudahkan
penganalisisan dan mencapai tujuan penelitian. Seperti halnya model kuisioner
yang pernah dilakukan oleh Bahren (1998) yang memilah pertanyaan menjadi tiga
bagian. Bagian pertama berisi tentang latar belakang responden, bagian kedua
tentang kemampuan dan penggunaan bahasa responden, dan bagian ketiga
mengenai sikap bahasa responden.
Untuk pernyataan berkaitan latar belakang responden dipilah berdasarkan
usia kemudian hasil yang didapatkan dimasukkan berdasarkan golongan tua dan
golongan muda. Hasil ini dibuat dalam bentuk tabel yang sangat berguna untuk
analisis selanjutnya. Adapun daftarnya dilampirkan dalam daftar lampiran.
Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan dan penggunaan
bahasa responden digunakan rumus :
n1 + n2 + …. n20 x 100% N
30
Dalam hal ini, n1 sampai n20 adalah responden yang memberikan jawaban yang
diuraikan berdasarkan pemilihan bahasanya. Kemudian N adalah jumlah seluruh
responden per golongan. Hasil yang didapatkan akan memperlihatkan kemampuan
dan kecenderungan pemilihan atau penggunaan bahasa.
Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan sikap bahasa responden
digunakan skala sikap untuk mengukur apakah responden sangat setuju atau tidak
setuju terhadap objek sikap. Salah satu skala yang lazim dipakai adalah Likert
Scale (Alwasilah, 2005 : 38). Skala Likert adalah alat ukur yang paling popular
digunakan untuk meneliti sikap bahasa hingga saat ini (Ferguson:1952,
Edward:1957 dalam Karsono, 1986:84). Model skala likert ini dikenal dengan
Method Of Summated Ratting yang dikembangkan pada tahun 1932. Untuk setiap
ciri karakteristik yang berkaitan dengan sikap bahasa dihitung berdasarkan
frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata
tersebut dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert, yaitu
dengan meminta responden menandai salah satu posisi pada skala penilaian
(rating scale), yakni 1-5 sesuai dengan pilihan bahasa dan kesetujuan atau
ketidaksetujuannya atas sebuah pertanyaan. Penskoran setiap jenis respon
terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah
pernyataannya. Sistem penskoran untuk pernyataan yang positif adalah nilai 5
untuk sangat setuju, 4 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 2 untuk tidak setuju,
dan 1 untuk sangat tidak setuju. Sedangkan penskoran untuk pernyataan negatif
merupakan kebalikan dari penskoran pernyataan positif, yakni : nilai 1 untuk
sangat setuju, 2 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 4 untuk tidak setuju, dan 5
31
untuk sangat tidak setuju. Sebagai contoh, dalam pernyataan positif kuisioner :
Bahasa Batak Toba diperlukan sebagai lambang atau identitas suku Batak Toba.
Sedangkan contoh pernyataan negatif dalam kuisioner : Bahasa Batak Toba tidak
memiliki tempat lagi di kehidupan modern sekarang.
Yang kemudian akan dilakukan pemersentasean terhadap jawaban-jawaban yang
dipilih, yaitu untuk pernyataan positif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 5 ; b)
setuju (S) diberi nilai 4 ; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS)
diberi nilai 2 ; dan (e) sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan untuk
pernyataan negatif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 1 ; b) setuju (S) diberi nilai 2
; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS) diberi nilai 4 ; dan (e)
sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 5.
Berdasarkan jawaban yang diberikan responden inilah nantinya akan diketahui
nilai rata-rata (mean) untuk setiap pertanyaan. Nilai rata-rata itu diperoleh dengan
menggunakan Rumus :
(n1 x 1) + (n2 x 2) + …. (n5 x 5)
n1 + n2 + ….n5
Dalam hal ini, n1 adalah jumlah responden yang memberikan nilai 1 untuk
karakteristik yang bersangkutan dan begitu seterusnya sampai n5. n5 adalah
jumlah responden yang memberikan nilai 5 untuk karakteristik yang
bersangkutan. Kemudian nilai rata-rata ini dikelompokkan ke dalam dua
kelompok, misalnya nilai 1,00 - 3,00 dianggap atau ditafsirkan tidak pernah dan
itu dikategorikan sikap negatif. Sementara itu, nilai 3,10 - 5,00 dianggap selalu
dan dikategorikan sebagai sikap positif.
32
Instrumen pengumpul data sikap bahasa dalam penelitian ini dibagi tiga indikator,
yaitu :
1) Kemampuan berbahasa Batak Toba, bahasa Indonesia, bahasa
Pesisir Sibolga.
2) Penggunaan bahasa oleh masyarakat Batak Toba pada ranah
penggunaan bahasa.
3) Sikap masyarakat Batak Toba terhadap bahasa Batak Toba.
Pernyataan ini disusun sebanyak 40 butir soal, yaitu terdiri dari 4 butir soal
untuk instrument 1, 18 butir soal untuk instrument 2, dan 18 butir soal untuk
instrument 3. Pada instrument 3 dibagi lagi menjadi : 13 butir pernyataan positif
dan 5 butir pernyataan negatif.
33
Tabel 1.1 INSTRUMEN
Indikator Sub Indikator Nomor Soal
Jumlah Soal
Penggunaan bahasa Bahasa ibu 1 1
Kemampuan berbahasa Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba Bahasa Pesisir Sibolga
2 3 4
3
Penggunaan bahasa Ranah rumah Ranah ketetanggaan Ranah pendidikan Ranah adat Ranah agama Ranah usaha Ranah pemerintah
5,6,7, 8,9, 10,11, 12,13, 14,15, 16,17,18, 19,20, 21,22
18
Sikap bahasa terhadap bahasa Batak Toba
Pernyataan Positif Kepercayaan diri Keakraban Kesetiaan Menjamin komunikasi berjalan baik Diperlukan sebagai lambang/identitas Kemajuan Berperan penting untuk kehidupan etnis Sangat berharga untuk dipelajari Suka menggunakan Suka mendengarkan
23 24 25 26 27 29 33 34 38 39
10
Pernyataan Negatif : Tidak diperlukan sebagai lambang/identitas Keterbelakangan Tidak dipakai dilingkungan Menghabiskan waktu Tidak memiliki tempat pada kehidupan modern Tidak perlu dipelajari anak-anak Rendah diri Sulit mempelajari
28 30 31 32 35 36 37 40
8
34
1.7.4. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian data dilakukan dengan menggunakan dua metode, yakni
metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian informal digunakan
pada pemaparan hasil analisis data berupa perumusan dengan kata-kata biasa,
sedangkan penyajian formal adalah digunakan pada pemaparan hasil analisis data
berupa perumusan dengan tanda dan lambang-lambang, seperti tabel, tanda
kurung, tanda bintang, tanda diagram, dan sebagainya (Sudaryanto,1993:145).