PENDAHULUAN Cacing
-
Upload
nurarihan1 -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of PENDAHULUAN Cacing
I. PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong divisio thallophyta.
Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk
thallus rumput laut ada bermacam-macam yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti
kantong, rambut dan sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler)
atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua-dua terus
menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada
satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga
beraneka ragam ada yang seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur
calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut spongeous) dan
sebagainya (Soegiarto et al, 1978).
Rumput laut atau biasa dikenal dengan makroalga, merupakan salah satu sumber daya
hayati laut yang banyak terdapat di daerah pesisir dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
berbagai keperluan. Rumput laut merupakan salah satu komoditi ekspor dari sektor non migas
yang dapat menambah devisa negara dan sumber pendapatan yang meningkat dalam penyerapan
tenaga kerja bagi masyarakat daerah pesisir. Sampai saat ini rumput laut yang dapat tumbuh di
perairan pantai Indonesia tercatat ±555 jenis, dari sekian banyak jenis rumput laut tersebut ada
lima marga rumput laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yaitu Eucheuma, Gracillaria,
Gelidium, Gelidiella dan Hypnea. Dua jenis yang sedang dibudidayakan di perairan Indonesia
yaitu rumput laut Gracillaria verucosa Huds dan Eucheuma cotonii Doty (Aslan, 1998).
Rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah dari jenis ganggang merah
(Rhodophyceae) karena mengandung agar - agar, keraginan, porpiran, furcelaran maupun
pigmen fikobilin (terdiri dari fikoeretrin dan fikosianin) yang merupakan cadangan makanan
yang mengandung banyak karbohidrat. Tetapi ada juga yang memanfaatkan jenis ganggang
coklat (Phaeophyceae). Ganggang coklat ini banyak mengandung pigmen klorofil a dan c, beta
karoten, violasantin dan fukosantin, pirenoid, dan lembaran fotosintesa (filakoid). Selain itu
ganggang coklat juga mengandung cadangan makanan berupa laminarin, selulose, dan algin.
Selain bahan - bahan tadi, ganggang merah dan coklat banyak mengandung jodium (Aslan,
1991).
Rumput laut secara ekonomis telah memberikan sumbangan devisa negara dan turut
berperan dalam meningkatkan pendapatan nasional. Disamping itu budidaya rumput laut telah
dikembangkan pada beberapa daerah pantai di Indonesia, ternyata mampu mengubah kondisi
sosial ekonomi masyarakat wilayah pesisir, karena selain dapat meningkatkan pendapatan juga
dapat membuka lapangan kerja baru serta dalam upaya konservasi sumberdaya laut diwilayah
pantai . Rumput laut merupakan komoditas hasil laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan
mempunyai prospek pasar yang cerah untuk dikembangkan baik untuk skala budidaya maupun
pengolahan.
Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yaitu Eucheuma
cottonii, merupakan jenis rumput laut yang sangat berpotensi dan mempunyai nilai ekonomi
yang dapat dibudidayakan di perairan pesisir pantai (Purnomo A, 2008). Rumput laut Eucheuma
cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut penghasil karaginan yang banyak digunakan
sebagai bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik (Rasyid, 2004). Industri-industri ini
sebagian besar masih menggunakan bahan baku rumput laut yang berasal dari alam. Terjadinya
eksplorasi rumput laut secara terus menerus mengakibatkan makin berkurangnya rumput laut di
alam, sedangkan kebutuhan rumput laut di dunia semakin meningkat dengan meningkatnya
industri-industri yang memerlukan bahan agar-agar, karaginan, ataupun algin (Aslan, 2006).
Echeuma cottonii mempunyai ciri-ciri talus yang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu,
merah, penampakan talus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Percabangan
ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal),
cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri
khusus mengarah ke arah datangnya cahaya matahari, cabang-cabang tersebut tampak ada yang
memanjang atau melengkung seperti tanduk (Atmadja, et al., 1996).
Menurut Aslan (1991), klasifikasi Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut:
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Familia : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma cottonii
Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Produksi akan optimal jika rumput laut dibudidayakan
dalam kondisi yang memenuhi persyaratan lingkungan. Persyaratan lokasi yang baik untuk
budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii menurut Insan dan Widyartini (2001) adalah
sebagai berikut:
1. Lokasi budidaya harus terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya daerah terumbu
karang.
2. Perairan harus bebas dari pencemaran limbah industri maupun rumah tangga.
3. Perairan harus dilalui arus tetap sepanjang tahun.
4. Arus berkecepatan 20-40 meter per menit.
5. Jauh dari muara sungai.
6. Perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih.
7. Temperatur berkisar antara 27-300 C.
8. Perairan mempunyai salinitas antara 30-37 ‰.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pasang surut atau
daerah yang selalu terendam air (subtidal) sampai batas kedalaman 20m. Pada kedalaman ini
intensitas cahaya yang diterima oleh rumput laut masih mencukupi. Rumput laut umumnya
melekat pada substrat yang dapat berupa batu karang, pasir, lumpur dan lain-lain (Kadi dan
Atmadja, 1996). Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu
(reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu
harian yang kecil dan substrat batu karang mati (Aslan, 2006).
Pemilihan metode budidaya yang tepat dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi
Euchema. Menurut Aslan (1991), metode budidaya rumput laut ada tiga macam yaitu :
1. Metode Dasar (bottom method) yaitu metode pembudidayaan rumput laut dengan
menebarkan benih ke dasar perairan, keuntungan metode ini adalah :
a. Biaya umtuk persiapan material sangat murah
b. Penanaman mudah dan tidak memakan waktu yang ukup lama
c. Biaya pemelihraan sangat sedikit atau bahkan tidak diperlukan sma sekali
d. Baik untuk dasar perairan yang keras seperti perairan yang berbtu karang
Kerugian dari metode ini adalah :
a. Bibit banyak yang hilang terkena arus atau ombak
b. Tanaman dapat dimakan ikan atau hewan herbivor
c. Metode ini tidak baik untuk perairan yang dasarnya berpasir
2. Metode Lepas Dasar (off bottom method) merupakan metode budidaya dengan mengikat
benih rumput laut yang telah di ikat dengan tali raffia pada rentangan tali nilon atau jaring di
atas dasar perairan dengan menggunakan pancang-pancang kayu atau bamboo. Metode ini
terdiri atas tiga system yaitu : system tali tunggal, jaring, dan tabung. Keuntungan metode ini
yaitu :
a. Tanaman bebas dari serangan bulu babi
b. Metode ini baik digunakan pada dasr perairan yang berpasir
c. Pengawasan dan pemeliharaan tanaman mudah dilakukan
d. Hasil panen yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan metode dasar
Kerugian yang dapat ditimbulkan adlah :
a. Biaya material konstruksi lebih tinggi disbanding metode dasar
b. Membutuhkan perhatian lebih banyak dalam hal pemeliharaan
c. Membutuhkan lebih banyak waktu dalam memasang instalasi maupun konstruksi alat-
alat budidaya.
3. Metode apung (floating method) merupakan metode yang menggunakan pelampung dari
bamboo dengan posisi tanaman dekat permukaan air. Metode ini dibagi menjadi dua sistem
penanaman yaitu system tali tunggal dan jaring. Keuntungan metode ini yaitu :
a. Tanaman bebas dari serangan bulu babi
b. Pertumbuhan tanaman lebih cepat
c. Tananaman cukup menerima sinar
d. Lebih tahan lama terhadap perubahan kualitas
e. Kualitas yang dihasilkan lebih baik
f. Baik untuk dasar perairan yang kereas
Adapun kerugiannya, yaitu :
a. Membutuhkan lebih banyak waktu
b. Biaya material mahal
Menurut Winarno (1996) keberhasilan budidaya rumput laut sangat bergantung pada
teknologi atau sistem penanamannya. Sistem penanaman yang dipakai hendanya dapat
memberikan pertumbuhan yang menguntungkan, mudah pelaksanaannya dan dilakukan dengan
bahan bangunan yang murah dan mudah didapat. Selain itu, metode yang digunakan sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jenis rumput laut yang akan dikembangkan. Rumput
laut biasanya akan tumbuh paling baik pada metode apung bila dibandingkan dengan metode
lepas dasar (Suryadi et al, 1993). Perbedaan metode tersebut berkaitan dengan kedalaman dan
intensitas cahaya. Intensitas cahaya matahari di permukaan akan berbeda dengan penetrasi
cahaya di dasar perairan dan perbedaan ini sangat mempengaruhi padaproses fotosintesis.
Metode dasar jarang digunakan untuk budidaya secra langsung karena tingkat
produksinya yang rendah. Selain karena pengaruh fotosintesis gangguan secara langsung dari
pasir atau lumpur juga akan menjadi masalah dalam pertumbuhan rumput laut.
Dalam teknik penanman rumput laut dapat di modifikasi dengan menggunakan sistem
Waring rakit yang diterapkan pada metode apung dan system rakit tali tunggal pada metode
apung . Waring rakit membutuhkan biaya yang lebih murah, rumput laut juga terlindung dari
berbagai macam pemangsa, terlindungi dari ombak besar, mencegah hilangnya rumput laut,
pertumbuhan rumput laut merata serta mendapat penyinaran teratur. Budidaya menggunakan
waring lebih aman, karena waring susunan anyamannya lebih rapat dari pada jaring. Budidaya
menggunakan waring lebih baik daripada menggunakan jaring, karena dengan menggunakan
waring, rumput laut lebih terlindungi dari predator pemangsa rumput laut, sehingga
menghasilkan rumput laut berkualitas baik. (Aslan, 1998).
Sistem budidaya dengan rakit tali tunggal merupakan teknik yang relatif mudah
dilakukan dan tidak memerlukan banyak biaya karena hanya menggunakan tali nilon dan tiang
pancang. Selain tali nilon juga dapat menggunakan tali plastik, bambu atau galah yang
memanjang. Rumput laut akan tumbuh lebih baik dengan system rakit tali tunggal sebab jarak
antar tanaman dapat teratur dan rumput laut mendapatkan unsur-unsur yang dibutuhkan dalam
pertumbuhannya dengan merata (Aslan, 1995; Susanto, 2002). Azizah (2001) menyatakan bahwa
pada metode budidaya sistem rakit tali tunggal dengan bertambahnya beban maka tali akan
melengkung sehingga intensitas cahaya yang didapat berkurang. Rakit tali tunggal yang kurang
stabil lebih menguntungkan karena membantu dalam penyediaan hara.
Hasil produksi dan mutu rumput laut agar menjadi lebih bai maka dalam usaha budidaya
perlu memperhatikan faktor lingkungan, yakni faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi
faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika meliputi kedalaman, suhu, dan kecerahan. Faktor
kimia meliputi salinitas, pH, dan nutrient. Faktor biotik meliputi bibit rumput laut yang
digunakan untuk budidaya, organism pemangsa, dan penyakit. Semua faktor tersebut perlu
diperhatikan agar diperoleh pertumbuhan dan produksi rumput laut yang tinggi dan kualitas yang
baik. Tumbuhan yang dipindahkan dari habitat aslinya yang mengalami aklimasi, maka di habitat
yang baru akan mengalami adaptasi atau proses penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan
yang baru.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ini salah satunya termasuk
tumbuhan penempel. Tumbuhan penempel bersifat kompetitor dalam menyerap nutrisi untuk
pertumbuhan, kadang-kadang algae filamen dapat menjadi pengganggu karena menutupi
permukaan rumput laut yang menghalangi proses penyerapan dan fotosintesa. Tumbuhan
penempel tersebut antara lain Hypnea, Dictyota, Acanthopora, Laurencia, Padina, Amphiroa
dan alga filamen seperti Chaetomorpha, Lyngbya dan Symploca (Atmadja dan Sulistijo, 1980).
Syarat-syarat ekologis untuk pertumbuhan rumput laut meliputi dua karakteristik yaitu
karakteristik fisika-kimia dan karakteristik biologis :
1. Salinitas
Salinitas untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 30 – 35 permil atau bisa lebih,
bergantung pada jenis rumput lautnya. Misalnya Gracylaria verrucosa kebanyakan infertil pada
daerah yang bersalinitas tinggi (30 – 35 permil). Gracilaria yang berasal dari Atlantik dan
Pasifik timur dapat tumbuh pada salinitas dengan kisaran 15 – 38 permil, dan mengalami
pertumbuhan maksimum pada salinitias optimum 25 permil, yang ditunjang kadar nitrogen dan
fosfat yang rendah dan berhubungan langsung dengan pasang surut dan curah hujan
(Suryaningrum, 2000).
2. Zat Hara
Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut
melimpah diperairan. Kadar nitrat dan fosfat di perairan akan mempengaruhi kesuburan
gametofit alga cokelat (Laminaria nigrescenc) (Anggadireja, 1993).
3. Gerakan Air
Gerakan-gerakan air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang
menghembus diatas permukaan laut. Pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua
lapisan, perbedaan tinggi permukaan laut, pasang surut, dan lain-lain. Gerakan air laut ini
penting bagi berbagai proses dalam laut, baik itu biologik maupun non biologik. Alga yang
tumbuh diperairan yang selalu berombak dan berarus kuat akan mempunyai sifat dan
karakteristik spora yang berbeda dengan alga yang berada di perairan yang tenang. Gerakan air
laut dikenal sebagai arus, gelombang, gerakan masa air permukaan (upwelling) (Anggadireja,
1993).
a. Arus
Arus laut merupakan pencerminan langsung dari pola angin dan gerakan bumi. Jadi arus
permukaan digerakkan oleh angin. Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput
laut sekitar 20 – 40 cm/detik. Dengan kondisi seperti ini akan mempermudah penggantian dan
penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak sampai merusak (Trihatmoko,
2005).
b. Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan salah satu gejala laut yang besar pengaruhnya terhadap
biota laut khususnya di wilayah pantai. Pada saat suhu terendah, kedalaman perairan tidak boleh
kurang dari 2 kaki (sekitar 60 cm), sedangkan untuk pasang tertinggi kedalaman perairan tidak
boleh lebih dari 7 kaki (sekitar 210 cm) (Anggadireja, 1993).
c. Gelombang
Gelombang sebagian ditimbulkan oleh dorongan angin diatas permukaan laut dan
sebagian lagi oleh tekanan tangensial pada partikel air. Angin yang bertiup dipermukaan laut
menimbulkan riak gelombang. Tinggi gelombang yang cukup untuk pertumbuahan rumput laut
antara 10 – 30 cm (Suryaningrum, 2000).
4. Suhu
Menurut Trihatmoko (2005) menyatakan bahwa suhu air yang diperlukan oleh rumput
laut untuk hidup dan tumbuh yaitu berkisar antara 20 – 280C, namun masih ditemukan rumput
laut yang tumbuh pada suhu 310C. Produksi spora akan dipengaruhi oleh musim, misalnya
produksi maksimal tetraspora dan karpospora Gracilaria umumnya terdapat dimusim panas.
Perkembangan stadia reproduksi beberapa jenis alga tergantung pada kondisi suhu dan intensitas
cahaya atau kombinasi diantara kedua parameter tersebut.
5. Cahaya
Rumput laut memerlukan cahaya matahari untuk proses fotosintesisnya. Karena itu,
rumput laut hanya mungkin tumbuh diperairan dengan kedalaman tertentu dimana sinar matahari
sampai ke dasar perairan. Mutu dan kualitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan
pertumbuhannya. Spora Gelidium dapat dirangsang oleh cahaya hijau, sedangkan cahaya biru
menghambat pembentukan zoospora. Pembentukan spora dan pembalahan sel dapat dirangsang
oleh cahaya merah berintensitas tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi dapat merangsang
pensporaan Prophyra, tetapi menghambat pensporaan Eucheuma. Kebutuhan cahaya pada alga
merah agak rendah dibanding alga cokelat. Pensporaan Gracilaria verrucosa misalnya
berkembang baik pada intensitas cahaya 400 Lux, sedangkan Ectocarpus tumbuh cepat pada
intensitas cahaya antara 6500 7500 Lux (Anggadireja, 1993).
6. Derajat Keasaman (pH)
Derajat Keasaman (pH) air yang cocok untuk pertumbuhan rumput laut yaitu antara pH
netral (7) sampai basa (9) (Badan penelitian dan pengembangan pertanian (Trihatmoko, 2005).
7. Tingkat Kecerahan
Kondisi perairan pantai tempat tumbuh rumput laut tidak boleh keruh, karena apabila
kondisi perairannya keruh maka akan dapat menghalangi proses fotosintesis dari rumput laut. Air
harus jernih sehingga tidak menghalangi sinar matahari menembus air laut. Kejernihan air kira-
kira sampai batas 5 meter atau batas sinar matahari bisa menembus air laut (Trihatmoko, 2005).
Nitrogen memainkan peranan penting dalam mengontrol pertumbuhan alga di lingkungan
laut, dan tingkat serapan nitrogen oleh makroalga tergantung pada konsentrasi sumber nitrogen.
Sumber nitrogen dipengaruhi oleh status nitrogen dari rumput laut. NH4 + adalah sumber N yang
lebih baik untuk yezoensis Porphyra dari NO3-, sementara Nereocystis menunjukkan preferensi
yang signifikan untuk NO3-di bawah konsentrasi tinggi. Pertumbuhan Gracilaria disajikan
tingkat yang sama, terlepas dari pemberian NH4 + atau NO3-. Oleh karena itu, bentuk nitrogen
yang dihasilkan dapat menjadi faktor penting ketika memilih spesies rumput laut untuk aplikasi
dalam suatu sistem akuakultur yang terintegrasi sejak limbah dibuang dari ikan budidaya
biasanya mengandung NO3-dan NO2-selain NH4 + (Yun Hee Kang, et., al , 2011)
Bibit yang baik dalam pertumbuhannya akan menghasilkan produksi yang tinggi. Kriteria
bibit rumput laut yang baik antara lain bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat bercak
merah dan tidak terkelupas, warna cerah (spesifik), Umur antara 25-35 hari. Berat awal bibit
yang digunakan dalam budidaya rumput laut akan mempengaruhi pertumbuhannya. Bibit kecil
akan lebih efisien tetapi kurang efektif sedangkan bibit besar meskipun kurang efisien tetapi
lebih efektif (Suryadi et al., 1993).
II. MATERI DAN METODE
A. Materi Praktek Kerja Lapangan
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rumput laut Eucheuma cottonii.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : waring, bambu, pelampung,
hand refraktometer, pH indikator universal, termometer, keping Secchi, gunting,
timbangan analitik, meteran, tali rafia, kantung plastik, pisau, kamera, dan alat tulis.
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan adalah rumput laut Euchema cotonii.
2. Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapangan
Praktek kerja lapangan ini dilakukan di pantai sawojajar kabupaten Brebes
B. Cara Kerja
1. Persiapan
Lahan untuk budidaya terletak di perairan Sawojajar Brebes. Bibit rumput laut Eucheuma
cottonii diambil yang segar dan dicuci dengan air laut, bibit kemudian ditimbang dengan berat
awal 75, 100, dan 125 gram.
2. Penanaman
2.1 Waring rakit
1. Rakit dengan ukuran 200x250 cm disiapkan sebanyak 6 buah. 3 untuk waring rakit
terbuka, dan 3 untuk waring rakit tertutup. Waring direntangkan di kedua belah sisi rakit
(atas dan bawah). Waring dikencangkan dengan cara dipaku pada bambu rakit. Mata
waring berukuran 0,5 cm. 1 waring rakit memuat 81 titik tanam, dengan jarak tanam
25x20 cm, baik waring rakit terbuka maupun waring rakit tertutup.
2. Bibit rumput laut Eucheuma cottonii ditimbang dengan berat 75, 100, dan 125 gram.
Kemudian diikat dengan tali rafia, masing-masing sebanyak 81 titik tanam.
3. Masing-masing rumput laut Eucheuma cottonii yang sudah ditimbang diikat pada mata
waring, masing-masing sebanyak 81 titik tanam, menggunakan jarak tanam 25x20 cm.
Setelah itu bibit rumput laut ada yang dibiarkan terbuka dan ada yang ditutup dengan
waring, masing-masing 3 untuk waring rakit terbuka (bibit yang terbuka) dan 3 untuk
waring rakit tertutup (bibit yang ditutup dengan waring).
4. Tiap sudut rakit diberi pelampung sehingga rakit tidak tenggelam dan rakit diikatkan
pada pancang yang sudah ditanam di perairan Sawojajar Brebes.
2.2 Sistem rakit tali tunggal
1. Rakit disiapkan sebanyak 3 buah dengan ukuran 3,5 x 2 m setiap
perlakuan adalah 78 titik tanam
2. Tali plastic ( rapia ) direntangkan pada kedua sisi lebar yang saling
berhadapan. Jarak antara tali plastic yang satu dengan yang lainnya
30cm.
3. Rumput laut ditimbang sebesar 50 g, 100g dan 150 g dimana setiap
perlakuan sebanyak 78 titik tanam, sehingga seluruhnya ada 234 titik
tanam.
4. Rumput laut yang telah ditimbang kemudian diikatkan pada tali nilon
dengan jarak tanam 25 x 30 cm.
3. Pemeliharaan
Bibit yang sudah ditanam kemudian dirawat dengan baik yaitu dengan membersihkan rumput
laut dari tananaman lain atau kotoran yang menempel. Pemeliharaan dilakukan secara berkala
yaitu setiap sepuluh hari sekali.
4. Mengukur Pertumbuhan Rumput Laut
Pertumbuhan berat basah rumput laut Euchema cotonii dilkukan pada hari ke-10,20,30 dan 40
setelah tanam. Untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut yaitu dengan mengurangi berat
rumput laut yang telah di ukur pada minggu pertama atau hari ke-10 dengan berat rumput laut
pada saat sebelum rumput laut tersebut di tanam, dan pengukuran berat rumput laut ini
dilakukan sampai hari ke-40 setelah itu jumlah rumput laut itu ditanam dengan pertumbuhan
rumput laut minggu pertama ditambah dengan pertumbuhan rumput laut minggu ke dua
sampai dengan minggu ke empat setelah itu di bagi empat kemudian akan diperoleh nilai rata-
rata pertumbuahan rumput laut selama 45 hari.
5. Menghitung suhu air, salinitas, pH air dan kecerahan.
a. Pengukuran suhu air
Suhu diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam air laut selama 5 menit, kemudian
suhu yang teramati dicatat.
b. Pengukuran salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer, dengan cara
meneteskan air laut pada kaca refraktometer, kemudian dilihat skala
salinitasnya dan dicatat.
c. Pengukuran derajat keasaman (pH)
Pengukuran derajat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan pH indikator
universal ke dalam air, ditunggu sesaat, warna yang timbul dicocokkan dengan warna pada
petunjuk penggunaan yang menunjukkan besarnya pH air.
d. Pengukuran kecerahan
Pengukuran Intensitas cahaya air laut dilakukan dengan menggunakan alat keping sechi. Keping
sechi diposisikan pada tiga titik penempatan lahan budidaya yang digunakan. Angka yang tertera
pada keping sechi dicatat per kedalaman.
III. JADWAL RENCANA KERJA
Judul : Teknik Penanaman Rumput Laut Euchema Cotonii Pada Sistem
Budidaya Waring Rakit Dan Rakit Tali Tunggal.
Lokasi : Pantai sawojajar, Brebes
Waktu : Juli-Agustus 2012
Pembimbing : Drs. H. A. Ilalqisny Insan, MS.
Tabel 1. Rencana Jadwal Praktek Kerja Lapangan
Kegiatan Minggu ke-1 2 3 4 5 6 7 8
Penyusunan proposal
X X
Persiapan X
Penanaman X
Pengukuran pertumbuhan rumput laut
X X X X
Pemanenan X
Penyusunan laporan
X X
DAFTAR REFERENSI
Anggadiredja, Jana T., Achmad Zatnika, Heri Purwoto dan Sri Istini. 1993. Rumput Laut. Penebar Swadaya: Jakarta
Aslan, L. M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kansius. Yogyakarta.
Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kansius. Yogyakarta.
Aslan, L. M. 2005. Budidaya Rumput Laut. Kansius. Yogyakarta
Atmadja, W. S. S. dan Rahmanian. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI, Jakarta.
Azizah, N. 2001. Laju Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty Pada Berbagai
Metode Budidaya Di Perairan Nusakambangan Cilacap. Laporan Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Hee Kang Yun, Sang Rul Park and Ik Kyo Chung. 2011. Biofiltration efficiency and biochemical
composition of three seaweed species cultivated in a fish-seaweed integrated culture Research Article Algae 2011, 26(1): 97-108.
Insan, I. A. dan D. S. Widyartini. 2001. Makroalga. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal
soedirman, Purwokerto.
Purnomo, S. 2008. Pertumbuhan dan Produksi Eucheuma cottonii Doty Pada Berat Awal
dengan Sistem Budidaya Apung Berbeda Di Perairan Selok Cilacap. Laporan Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Biologi, Universitas Jenderal soedirman, Purwokerto.
Rasyid, A. 2004. Beberapa Catatan Tentang Agar. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta.
Sugiarto, A., dkk, 1978. Rumput Laut (Algae), Manfaat, Potensial dan Usaha Budidayanya, LON - LIPI, Jakarta.
Suryadi, G. S., Herman H. dan Iskandar. 1993. Kecepatan Pertumbuhan Rumput Laut (Euchema alvarezii) Pada Dua Sistem Budidaya Yang Berbeda. UNPAD. Jatinangor.
Suryaningrum., D., Murdinah., Arifin M. 2000. Penggunaan kappa-karaginan sebagai bahan penstabil pada pembuatan fish meat loaf dari ikan tongkol (Euthyinnus pelamys. L). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol: 8/6.
Susanto, A.B. 2002. Selintas Tentang Godir si Rumput Laut Gracilaria. Fakultas Perikanan
UNDIP. http: //Nakula/rvs/bielefeld.de/majalah/laut/abertikel. Diakses 10 januari 2013.
Trihatmoko, Y. K., Suminarti, D. U., Apristiani, Dwi. Dan Kurniawati, M. 2005. Pengembangan Permen Jeli Rumput Laut Aroma. Jurnal Saintifika Gadjah Mada 2(1): 21-29.
Winarno. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.