penatalaksanaan diare akut pada lansia
-
Upload
fitriani-ikhsaniatun -
Category
Documents
-
view
458 -
download
10
description
Transcript of penatalaksanaan diare akut pada lansia
PENATALAKSANAAN DIARE AKUT PADA LANSIA
A. Diare Akut
1. Definisi
Diare berasal dari bahasa Yunani dan Latin: dia, berarti melewati
dan rheein, yang artinya mengalir atau lari.1 Diare didefinisikan sebagai
buang air besar dengan konsistensi lunak atau cair tiga kali atau lebih
dalam 24 jam, dan sekali atau lebih jika buang air besar disertai darah.
Diare akut diartikan diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.2
Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlngsung
singkat dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 2 minggu, dan disebut diare persisten bila berlangsung selama
2 sampai dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu disebut
diare kronik.3
2. Insidensi dan Prevalensi
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitas-
nya masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare,
Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan
meningkatnya insidensi. Pada tahun 2000 incidence rate (IR) penyakit
diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk,
tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi
411/1000 penduduk.4
Prevalensi diare klinis berdasarkan riset kesehatan dasar
(Riskesdas) adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi
NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi
mempunyai prevalensi diare klinis >9% yaitu NAD, Sumatera Barat,
Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.4
Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok
umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun)
yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin prevalensi laki-laki dan
perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada
perempuan. Prevalensi diare menurut kelompok umur dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:4
Gambar 1. Prevalensi diare menurut kelompok umur4
Berdasarkan pada penyebab kematian semua umur, diare
merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%.
Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumonia. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:4
Tabel 1. Pola Penyebab Kematian Semua Umur4
Nomor Penyebab Kematian Proporsi kematian (%)1 Stroke 15,42 TB 7,53 Hipertensi 6,84 Cedera 6,55 Perinatal 6,06 Diabetes melitus 5,77 Tumor ganas 5,78 Penyakit hati 5,19 Penyakit jantung iskemik 5,110 Penyakit saluran nafas bawah 5,1
11 Penyakit jantung iskemik 4,612 Pneumonia 3,813 Diare 3,514 Ulkus lambung dan usus 12 jari 1,715 Tifoid 1,616 Malaria 1,317 Meningitis Ensefalitis 0,818 Malformasi Kongenital 0,619 Dengue 0,520 Tetanus 0,521 Septikemia 0,322 Malnutrisi 0,2
Berdasarkan laporan unit catatan medik RSUD Dr.Moewardi Surakarta,
pada tahun 2009 penyakit diare akut menempati urutan kesembilan dalam
20 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap.
3. Etiologi
Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan
sekitar 10% karena sebab-sebab yag lain antara lain obat-obatan, bahan-
bahan toksik, iskemik dan sebagainya.3
Diare akut akibat infeksi dapat ditimbulkan oleh (Tabel 2):
a. Bakteri
Di negara berkembang, bakteri usus dan parasit lebih sering menjadi
penyebab diare akut dibandingkan virus dan cenderung mencapai
puncak pada bulan-bulan musim panas.5
Escherichia coli : distribusinya bervariasi untuk tiap negara, tetapi
enterohemoragik E. coli (EHEC) lebih sering menyebabkan penyakit
di negara maju.
1) Enterotoksigenik E. coli (ETEC) menyebabkan travelers diarrhea
2) Enteropatogenik E. coli (EPEC) jarang menyebabkan diare pada
dewasa
3) Enteroinvasif E. coli (EIEC) menyebabkan diare lendir darah
(disentri), biasanya disertai demam
4) Enterohemorgik E.coli (EHEC) menyebabkan diare darah, kolitis
hemoragik berat, dan hemolytic uremic syndrome pada 6-8%
kasus, hewan ternak merupakan reservoir tersering.5
Campylobacter (Helicobacter) jejuni: infeksi bisanya asimptomatik,
sangat sering terjadi di negara berkembang dan berhubungan dengan
adanya hewan ternak terutama unggas yang dekat dengan rumah
tinggal. Diare yang terjadi biasanya bersifat watery diarrhea.5
Shigella: hipoglikemia sering terjadi pada diare akibat shigella. Hal
ini menyebabkan tingginya angka kematian pada diare jenis ini (43%
pada sebuah penelitian).
1) S. sonei sering didapatkan di negara berkembang dan
menyebabkan sakit ringan dan terkadang menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB).
2) S. flexneri endemik di banyak negara berkembang dan
menyebabkan gejala disentri dan diare persisten, jarang
ditemukan di negara maju.
3) S. dysentriae tipe 1 (Sd 1) satu-satunya serotipe yang
menghasilkan toksin Shiga sebagaimana EHEC. Serotipe ini
sering menyebabkan KLB dengan angka kematian dapat melebihi
10% di Asia, Afrika dan Amerika Tengah.5
Vibrio cholera, semua serotipenya (>2000) patogenik untuk manusia.
V. cholera serotipe O1 dan O139 adalah serotipe yang menyebabkan
kolera berat dan KLB. Rehidrasi segera sangat diperlukan untuk
mencegah dehidrasi berat yang dapat menyebabkan syok
hipovolemik dan kematian dapat terjadi 12-18 jam dari onset. Feses
berbentuk cair, tak berwarna, dan bercampur mukous, sering
digambarkan seperti “air cucian beras”. Diare sering disertai muntah
dan jarang dijumpai demam.5
Salmonella, serotipe Typhi dan Paratyphi A, B, dan C (demam tifoid)
menyebabkan demam yang berlangsung 3 minggu atau lebih, dan
dapat disertai gangguan gastrointestinal baik konstipasi maupun
diare. Pada salmonellosis non tifoid (Salmonella gastroenteritis)
terdapat gejala mual, muntah, dan diare berupa watery diarrhea atau
disentri pada sebagian kecil kasus. Orang-orang tua dengan
imunokompromise (misal: kelainan hati, limfoproliferatif, anemia
hemolitik) memiliki resiko tertinggi untuk terkena penyakit ini.5
b. Virus
Virus merupakan penyebab utama diare akut baik di negara industri
maupun negara berkembang, terutama pada musim-musim dingin.
1) Rotavirus: sepertiga dari kejadian diare yang membutuhkan
perawatan rumah sakit dan 500.000 kematian di dunia tiap
tahun diakibatkan oleh rotavirus. Rotavirus sering
menyebabkan diare berat pada anak-anak usia 3-5 tahun, dan
puncak insidensinya pada usia 4-23 bulan.
2) Human calcivirus (HuCVs), termasuk famili calciviridae –
norvovirus dan sapovirus (sebelumnya disebut dengan
“Norwalk-like viruses” dan “Sapporo-like viruses”. Norwalk
virus adalah penyebab tersering KLB gastroenteritis pada
semua umur.
3) Adenovirus, sering menyebabkan gastroenteritis terutama pada
anak-anak.5
c. Parasit
Cryptosporidium parvum, Giardia intestinalis, Entamoeba histolytica,
dan Cyclospora cayetanensis jarang ditemukan di negara maju dan
terbatas pada wisatawan (traveler’s).5
Pola mikro organisme penyebab diare akut berbeda-beda berdasarkan
umur, tempat, dan waktu. Di negara maju penyebab paling sering
Norwalk virus, Helicobacter jejuni, Salmonella sp, Clostridium difficile,
sedangkan penyebab paling sering di negara berkembang adalah ETEC,
rotavirus dan V. cholerae.3
Tabel 2. Etiologi diare5
Bakteri Virus Parasit Escherichia coli Rotavirus Protozoa Campylobacter jejuni Norovirus (calcivirus) Cryptosporidium
parvum Vibrio cholera O1 Adenovirus (serotipe
40/41) Giardia intestinalis
V. cholerae O139 Astrovirus Microsporidia Shigella species Cytomegalovirus Entamoeba histolytica V. parahaemolyticus Isospora belli Bacteroides fragillis Cyclospora
cayetanensis C. coli Dientamoeba fragillis C. upsaliensis Blastocystis hominis Nontyphoidal
Salmonellae Helminths Clostridium difficile Strongyloides
stercoralis Yersinia enterocolitia Angiostrongylus
costaricensis Y. pseudotuberculosis Schistoma mansoni, S.
japonicum
4. Patofisiologi
Sebanyak sekitar 9-10 liter cairan memasuki saluran cerna setiap
harinya, berasal dari luar (diet) dan dari dalam tubuh kita (sekresi cairan
lambung, empedu, dan sebagainya). Sebagian besar (75% - 85%) dari
jumlah tersebut akan diresorbsi kembali di usus halus dan sisanya
sebanyak 1500 ml akan memasuki usus besar. Sejumlah 90% dari cairan
tersebut di usus besar akan diresorbsi sehingga tersisa sejumlah 150-250
ml cairan yang akan ikut membentuk tinja.3
Faktor-faktor faali yang menyebabkan diare sangat erat
hubungannya satu sama lain, misalnya saja, cairan intraluminal yang
meningkat menyebabkan terangsangnya usus karena peningkatan volume,
kemudian terjadi peningkatan motilitas usus. Bila waktu henti makanan di
usus terlalu cepat akan menyebabkan gangguan waktu penyentuhan
makanan dengan mukosa usus yang mengakibatkan gangguan absorbsi
elektrolit, air dan zat-zat lainnya.3
Bagan patofisiologi diare secara sederhana dapat dilihat pada
gambar 2. Jelas bahwa meskipun infeksi merupakan penyebab diare akut
terbanyak di Indonesia namun hanya merupakan sebagian dari faktor-
faktor faal yang berperan dalam patofisiologi diare.3
Gambar 2. Mekanisme kerja enterotoksin AMF siklik dan cara
kompensasi oleh oralit3
5. Patogenesis
Dua hal umum yang patut diperhatikan pada keadaan diare akut
karena infeksi adalah faktor kausal (agent) dan faktor penjamu (host).
Faktor penjamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri
terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri atas
faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan intern traktus intestinalis
seperti keasaman lambung, motilitas usus, sekresi mukosa, dan enzim
pencernaan.
Faktor kausal yang mempengaruhi patogenesis antara lain adalah
daya lekat dan penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan di usus halus.
Kuman tersebut dapat membentuk koloni-koloni yang juga dapat
menginduksi diare.
Patogenesis diare disebabkan infeksi bakteri terjadi karena:
a. Bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare yang disebabkan oleh bakteri non-invasif disebut juga
diare sekretory atau watery diarrhea. Diare tipe ini disebabkan oleh
bakteri yang memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak
mukosa. Bakteri non-invasif misalnya V. cholerae non 01, V. cholerae
01 atau 0139, ETEC, C. perfringens, Staph. aureus, B.cereus,
Aeromonas spp. V. cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikat
pada mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi dan
enterotoksin ini mengakibatkan kegiatan berlebihan nikotinamid
adenin dinukleotida pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan
kadar adenosin 3-5-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang
menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang
diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natrium dan kalium. Namun
demikian mekanisme absorbsi ion Na melalui mekanisme pompa Na
tidak terganggu, karena itu keluarnya ion Cl- (disertai ion HCO3-, H2O,
Na+, dan K+) dapat dikompensasi oleh meningkatnya absorbsi ion Na
(diiringi oleh H2O, K+, HCO3-, dan Cl-). Kompensasi ini dapat dicapai
dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh
dinding sel usus. Glukosa tersebut diserap bersama air sekaligus
diiringi oleh ion Na+, K+, Cl-, dan HCO3-. Inilah dasar terapi oralit
peroral pada kolera, sebagaimana terlihat pada gambar 2.
Secara klinis dapat ditemukan diare berupa air seperti air
cucian beras dan meninggalkan dubur secara deras dan banyak
(voluminous). Keadaan ini disebut sebagai diare sekretorik isotonik
voluminal (watery diarrhea).
ETEC mengeluarkan 2 macam enterotoksin yaitu labile toxin
(LT) dan stable toxin (ST). LT bekerja secara cepat terhadap mukosa
usus halus tetapi hanya memberikan stimulasi yang terbatas terhadap
enzim adenilat siklase. Dengan demikian jelas bahwa diare yang
disebabkan E.coli lebih ringan dibandingkan diare yang disebabkan
oleh V. cholerae.
Clostridium perfringens (tipe A) yang sering menyebabkan
keracunan makanan menghasilkan enterotoksin yang bekerja mirin
enterotoksin kolera yang menyebabkan diare yang singkat dan
dahsyat.
b. Bakteri enteroinvasif
Diare yang disebabkan bakteri enteroinvasif disebut sebagai
diare inflamatory. Bakteri non-invasif misalnya EIEC, Salmonella
spp, Shigella spp, C. jejuni, V. parahaemolyticus, Yersinia, C.
perfringens tipe C, Entamoeba histolytica, P. Shigelloides, C. difficile,
Campylobacter spp. Diare terjadi disebabkan kerusakan dinding usus
berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif.
Cairan diare dapat tercampur dengan lendir dan darah. Walau
demikian infeksi oleh kuman-kuman ini dapat juga bermanifestasi
sebagai suatu diare sekretorik. Pada pemeriksaan tinja biasanya
didapatkan sel-sel eritrosit dan leukosit.
Diare pada keadaan ini ditandai kerusakan dan kematian
enterosit, dengan peradangan minimal sampai berat, disertai gangguan
absorbsi dan sekresi.
Setelah kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke
sel epitel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri kedalam sel epitel, atau
pada IBD mulai terjadinya inflamasi. Tahap berikutnya terjadi
pelepasan sitokin antara lain interleukin 1 (IL-1), TNF-α, dan
kemokin seperti interleukin 8 (IL-8) dari epitel dan subepitel
miofibroblas.
IL-8 adalah molekul kemostatik yang akan mengaktifkan
sistem fagositosis setempat dan merangsang sel-sel fagositosis lainnya
ke lamina propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel
epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida)
dalam konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil
akan bergerak menembus epitel dan membentuk abses kripta, dan
melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrien,
platelet actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan
merangsang sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus.
Ada tiga mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai
kerusakan brush border dan beberapa kematian sel enterosit
disertai ulserasi.
Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara
langsung akan merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Jika
mikroorganisme begitu kompleks, misalnya infeksi nematoda
(cacing tambang) maka diare yang terjadi terutama karena
terjadinya reaksi anafilaksis usus. Infeksi cacing akan
mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai
pelepasan antibodi IgE atau IgG di mast sel, terjadi pelepasan
mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin,
prostaglandin, dan leukotrien. Respon patofisiologi di usus
hampir sama seperti yang terjadi di dalam saluran napas pada
rhinitis alergika atau asma, yaitu terdapat respon anafilaksis di
usus yang diikuti oleh peradangan (inflamasi) dengan akibat lebih
lanjut terjadi proses sekresi yang hebat disertai kontraksi otot usus
untuk mengeluarkan nematoda dari usus.
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel leukosit
polimorfonuklear, makrofag epitelial, limfosit T akan
mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel enterosit.
Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan
subepitel miofibroblas alan melepas kandungan (matriks)
metaloprotein dan akan menyerang membrana basalis dan kandungan
molekul interstisial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-sel
epitel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sek epitel) yang
mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kripta-kripta di
usus halus dan regenerasi hiperplasi yang tidak teratur di usus besar
(kolon). Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang
rudimenter dimana vili-vili yang tak berkembang pada usus halus dan
kolon. Sel-sel imatur ini akan mengalami gangguan dalan fungsi
absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase,
hidrolase peptida, berkurangnya/tidak terdapat mekanisme Na-
coupled sugar atau mekanisme transport asam amino, dan
berkurangnya/ tak terjadi transport absorbsi NaCl. Sebaliknya sel-sel
kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan
mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi Cl- (mungkin
HCO3-). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator
inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang
sekresi kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang
imatur. Kerusakan immune mediated vaskular mungkin menyebabkan
kebocoran protein dari kapiler. Apabila terjadi ulserasi yang berat,
maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat berperan terhadap
terjadinya diare. Setelah mengalami kerusakan, epitel akan
mengalami pemulihan dan proliferasi dan secara sekunder akan
terjadi pelepasan prostaglandin dan faktor pertumbuhan, seperti
transforming growth factor, hepatocyt growth factor, keratinocyt
growth factor, epidermal GF, dan fibroblast GF dari sel-sel epitel,
sel-sel imun, miofibroblas. Proses-proses inilah yang akan
memperbaiki sel-sel epitel permukaan. Bila terjadi peradangan
(inflamasi) yang berulang maka terjadinya fibrosis akan lebih
dominan dibandingkan penyembuhan. Aktifasi limfosit dan netrofil
akan melepaskan IL-1 dan TNF-α ke dalam darah, selanjutnya di otak
akan terjadi gejala-gejala sistemik berupa reaksi peradangan yang
berat (demam, malaise, dan anoreksia). Sitokin-sitokin juga akan
menggiatkan corticotropin releasing factor di otak yang akan
merangsang aksis hipotalamus-adrenal dan memprakarsai respon
stress glukokortikoid.
Terdapat 4 kategori inflamatori diare: infeksi,
hipersensitifitas, obat-obat sitostatik (antikanker), dan penyakit
idiopatik (mungkin autoimun).3
6. Penatalaksanaan
Keputusan terapi diare dipengaruhi oleh pandangan umum bahwa
diare adalah mekanisme pertahanan tubuh dan oleh karena itu, tidak boleh
diterapi menggunakan obat-obatan antidiare yang mengurangi
pengeluaran feses. Obat-obat tersebut diyakini menyebabkan “zat beracun
atau patogen menetap di dalam tubuh dan menjadi lebih berbahaya” dan
“memperlambat penyembuhan karena menghambat sekresi patogen”.
Gagasan bahwa diare adalah mekanisme pertahanan tubuh dapat
diterima bila penyebab diare adalah patogen usus. Sulit untuk memahami
bagaimana diare dapat melepaskan ikatan antara patogen dengan fimbria
usus, mengurangi sekresi yang dipicu oleh toxin yang terikat dengan
mukosa usus, atau pada kasus diare akibat virus, meningkatkan absorbsi
lewat mukosa yang rusak. Pada pasien AIDS, atau penelitian infeksi
parasit, dengan respon imun yang terganggu, diare tidaklah
mengeliminasi patogen. Terlebih lagi hipotesis tersebut tidak sesuai untuk
beberapa penyebab diare yang lain seperti diabetes, stres, atau keadaan
hipertiroid yang tidak berhubungan dengan patogen. Konsep diare sebagai
sarana untuk mengeluarkan patogen mungkin terinspirasi dari paradigma
abad pertengahan tentang mengeluarkan zat beracun dengan metode
seperti flebotomi.6
Pilihan terapi untuk diare:
a. Rehidrasi
Rehidrasi oral:
Oral rehidration therapy (ORT) adalah memasukan cairan
yang sesuai lewat mulut untuk mengatasi dehidrasi akibat diare. ORT
adalah metode yang murah untuk tatalaksana gastroenteritis akut dan
mengurangi kebutuhan perawatan rumah sakit baik di negara maju
maupun negara berkembang.
Oral rehydration salts (ORS) yang digunakan dalam ORT,
mengandung garam-garam penting yang hilang saat diare. ORS yang
baru memiliki osmolaritas yang lebih rendah (direkomendasikan oleh
WHO dan UNICEF) dengan mengurangi Na dan glukosa,
menurunkan kejadian muntah, mengurangi diare, mengurangi
kemungkinan hipernatremi, dan mengurangi kebutuhan terapi cairan
intravena bila dibandingkan dengan ORS standar (tabel 3). Formula
tersebut direkomendasikan untuk semua umur dan jenis diare
termasuk kolera.
ORT terdiri atas:
Rehidrasi – meliputi air dan elektrolit – diberikan untuk
mengganti yang hilang.
Terapi cairan pemeliharaan ditujukan untuk mencegah kehilangan
cairan lebih lanjut setelah status rehidrasi tercapai (bersamaan
dengan pemberiaan nutrisi yang tepat).
Tabel 3. Kandungan ORS5
Natrium 75 mmol/L
Klorida 65 mmol/L
Glokosa 75 mmol/L
Kalium 20 mmol/L
Trisodium sitrat 10 mmol/L
Osmolaritas total 245 mmol/L
ORT dikontraindikasikan pada tatalaksana awal dehidrasi berat
dan pada anak-anak dengan ileus paralitik, muntah yang hilang timbul
atau menetap (labih dari 4x/jam), dan kondisi mulut yang tidak
memungkinkan seperti kandidiasis oral sedang sampai berat.
Meskipun demikian pemberian ORS lewat nasogastric tube dapat
menyelamatkan nyawa bila rehidrasi intravena tidak memungkinkan
untuk dilakukan karena keterbatasan sarana.5
Rehidrasi intravena:
Jenis cairan yang dapat digunakan untuk rehidrasi intravena
adalah ringer laktat, meskipun jumlah kaliumnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan kadar kalium cairan tinja. Bila tidak tersedia
cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik. Sebaiknya
ditambahkan satu ampul Nabikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu
liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam 1-4 jam.
Jumlah cairan yang diberikan pada prinsipnya sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan
dapat dihitung dengan memakai cara:
B. J. Plasma dengan memakai rumus kebutuhan cairan:
B. J. Plasma – 1,025 x BB x 4 ml
0,001
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberikan
penilaian/ skor sebagai berikut (Tabel 4)
Tabel 4. Skor Daldiyono3
Pemeriksaan Skor Muntah 1Suara serak 2Apatis 1Somnolen 2Tekanan darah (90 mmHg) 1Tekanan darah (60 mmHg) 2Nadi ≥ 120 x/menit 1Napas ≥ 30 x/menit 1Turgor kurang 1Wajah keriput 2Ekstremitas dingin 1Tangan keriput 1Sianosis 2Umur antara 50-60 tahun -1Umur > 60 tahun -2
Rumus : skor x BB x 10% x 1 liter
15
Jadwal pemberian cairan inisial yang dihitung menggunakan
rumus B.J. plasma atau skor Daldiyono diberikan dalam waktu 2 jam.
Tujuannya jelas agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
Jadwal pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3
didasarkan pada kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan
rehidrasi inisial sebelumnya, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhir
jam ke-3.3
b. Zink
Defisiensi Zink sangat banyak ditemukan pada anak-anak di
negara berkembang. Terapi Zink sebagai tambahan untuk ORT
bermanfaat untuk menurunkan keparahan diare dan yang lebih penting
lagi mengurangi kejadian diare di negara berkembang. Rekomendasi
untuk anak-anak dengan diare adalah 20 mg per hari selama 10 hari.
Bayi usia 2 bulan atau kurang diberikan dosis 10 mg per hari
selama10 hari.5 Meskipun bukti-bukti kuat menunjukan suplementasi
zink mengurangi diare pada anak-anak, pengaruh suplementasi zink
terhadap morbiditas diare pada dewasa masih belum diketahui.7
c. Nutrisi
Kebiasaan untuk menunda pemberian makan melebihi 4 jam
tidaklah tepat, pemberian makan biasa harus segera dimulai bagi
mereka yang tidak menunjukan tanda dehidrasi. Bila terdapat tanda
dehidrasi pemberian makan harus segera dilakukan setelah dehidrasi
sedang sampai berat terkoreksi, yang biasanya memerlukan waktu 2-4
jam menggunakan ORT atau rehidrasi intravena.5
Anjuran puasa dapat diterima bila diare yang terjadi disertai
mual dan muntah. Konsumsi secara oral dapat memberikan stimulus
defekasi, dan menghindari makanan berat dapat mengurangi respon
gastrokolik pada usus yang telah hiperaktif. Di sisi lain, cairan dalam
makanan dapat bermanfaat seperti cairan ORS untuk meningkatkan
absorbsi cairan. Pada anak-anak, dengan keadaan malnutrisi ataupun
tidak, pemberian makan dan makanan padat segera telah dilaporkan
dapat mempercepat penyembuhan. Tidak ada bukti bahwa puasa atau
menunda pemberian makan bermanfaat dalam tatalaksana diare akut
pada dewasa, atau bahwa makanan padat akan mempercepat atau
memperlambat penyembuhan. Makanan berlemak, pedas atau yang
merangsang (kafein, juga termasuk minuman cola) sebaiknya
dihindari. Tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung laktosa
(seperti susu) dapat bermanfaat pada diare akut yang tak kunjung
sembuh.6
d. Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai preparat sel mikrobia atau
komponen sel-sel mikrobia yang bermanfaat untuk kesehatan dan
homeostasis penjamu (host). Probiotik yang dikenal luas berasal dari
bakteri asam laktat dan jamur saccharomyces.8 Probiotik meliputi
beberapa jenis Lactobacillus, Bifidobacterium, dan spesies
Streptococcus dan jamur Saccharomyces boulardii. Beberapa efek
farmakologis probiotik meliputi meningkatkan aktivitas disakaridase,
hasil substansi antibakterial, berkompetisi dengan ikatan bakteri,
merangsang beberapa mekanisme pertahanan tubuh, dan
Saccharomyces memiliki efek antisekretori/proteaase melawan
toksin.6
e. Obat-obat simptomatik (tabel 5)
Tabel 5. Obat-obat simtomatik untuk diare5
Obat-obat antimotilitasLoperamid (4-6 mg/hari) adalah obat pilihan untuk dewasa
Dapat digunakan terutama untuk travelers diarrhea (tanpa tanda klinis diare invasif)
Menghambat peristaltik usus dan memiliki efek antisekretorik ringan
Harus dihindari pada diare darah atau curiga adanya diare
inflamatori Nyeri perut yang berat juga
merupakan indikasi diare inflamatori (kontraindikasi penggunaan loperamid)
Tidak direkomendasikan untuk diare pada anak karena meningkatkan komplikasi dan keparahan diare, khususnya pada anak dengan diare invasif
AdsorbentsKaolin-pectin, attapulgite, charcoal teraktivasi
Tidak terdapat cukup bukti tentang efektivitasnya pada diare akut
f. Terapi definitif
Pada infeksi saluran cerna pencegahan sangat penting. Higiene
perorangan, sanitasi lingkungan dan imunitas melalui vaksinasi
memegang peran. Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
Kolera eltor: tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, selama tiga hari atau
kotrimoksazol, dosis awal 2 x 3 tablet, kemudian 2 x 2 tablet
selama 6 hari atau kloramfenikol 4 x 500 mg/hari selama 7 hari
atau golongan fluorokuinolon.
Staphylococcus aureus: kloramfenikol 4 x 500 mg/hari
Salmonellosis: ampisilin 4 x 1 g/hari atau kotrimoksazol 2 x 2
tablet masing-masing selama 10 hari atau golongan
fluoroquinolon seperti siprofloksasin 2 x 500 mg selama 3-5 hari.
Shigellosis: ampisilin 4 x 1 g/hari selama 5 hari atau
kloramfenikol 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Telah dilaporkan
adanya shigella yang resisten terhadap ampisilin.
Infeksi Helycobacter jejuni: eritromisin 3 x 500 mg atau 4 x 500
mg.hari selama 7 hari.
Amubiasis: Metronidazol 4 x 500 mg/hari selama 3 hari atau
tinidazol dosis tunggal 2 g/hari selama 3 hari atau secnidazol
dosis tunggal 2 g.hari selama 3 hari atau tetrasiklin 4 x 500
mg/hari selama 10 hari.
Giardiasis: Quinacrine 3 x 100 mg/hari selama 1 minggu atau
Chloroquin 3 x 100 mg/hari selama 5 hari atau metronodazol 3 x
250 mg selama 7 hari.
Balantidosis: tetrasiklin 3 x 500 mg/hari selama 10 hari
Kandidosis: Nystatin 3 x 500.000 unit selama 10 hari
Virus: simtomatik dan suportif.3
B. Lanjut Usia
1. Definisi
Sebagian besar negara maju menerima definisi bahwa usia
kronologis 65 tahun sebagai definisi dari lanjut usia (lansia). Meskipun
ada beberapa definisi lanjut usia yang biasa digunakan, tidak ada
kesepakatan umum tentang pada usia berapa seseorang dikatakan telah
lanjut usia. Usia berdasarkan kalender yang sering digunakan untuk
menandai dimulainya usia tua diaanggap sama dengan usia biologis,
akan tetapi disisi lain, perbedaan dua hal tersebut telah diterima secara
luas.9
Telah banyak dikemukakan bahwa proses menua amat
dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Usia
kronologis yang diukur dengan tahun dengan usia fisiologis yang
diukur dengan kapasitas fungsional tidak selalu seiring dan sejalan.
Seseorang dapat terlihat lebih muda atau lebih tua dari usianya, dan
mungkin memiliki kapasitas fungsional yang lebih besar atau lebih
kecil dari yang diperkirakan dimilikinya pada usia tertentu.
Terdapat banyak istilah yang digunakan oleh gerontologis
ketika membicarakan proses menua:
a. Aging: menunjukan efek waktu, suatu proses perubahan biasanya
bertahap dan spontan.
b. Senescence: hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan
berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian).
c. Homeostenosis: penyempitan atau berkurangnya cadangan
homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ.
Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu,
karena banyak perubahan selama aging tidak merusak dan mungkin
suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom)
yang meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence
melainkan suatu aging, walaupun hal tersebut merupakan bagian dari
proses menua. Sebaliknya, gangguan memori yang terjadi selama
aging merupakan manifestasi senescence. Sementara itu, konsep
homeostenosis menunjukan bahwa seiring dengan bertambahnya usia
maka makin kecil kapsitas seorang tua untuk membawa dirinya ke
keadaan homeostasis setelah terjadi ‘chalenge’.
2. Perbedaan lanjut usia dan geriatri
Geriatri merujuk pada pemberian pelayanan kesehatan untuk
usia lanjut. Geriatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang
mengobati kondisi dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua
dan usia lanjut. Pasien geratri adalah pasien usia lanjut dengan
multipatologi (penyakit ganda).
3. Aspek klinis lansia dan geriatri
Mengelola orang berusia lanjut berbeda dengan mengelola
orang muda untuk beberapa alasan, antara lain karena adanya
perubahan-perubahan yang terjadi pada proses menua.
Perbedaan yang jelas antara proses menua normal dan
perubahan-perubahan yang bersifat patologis sebenarnya penting
dipahami dalam mengelola dan mengasuh orang lanjut usia. Dengan
demikian diharapkan dapat dicegah patologi yang menyertai usia
lanjut, yang sebenarnya dapat diobati dan dapat pula dihindari
pengobatan masalah kesehatan yang sebenarnya merupakan bagian
dari proses menua normal akan tetapi dianggap sebagai suatu penyakit.
Setiap individu tidak menua secara seragam, baik cara maupun
laju kecepatannya. Variasi terjadi antara satu individu dengan individu
lain pada umur yang sama, antara satu sistem organ dengan organ lain,
bahkan dari satu sel dengan sel lain pada individu yang sama. Berbagai
perubahan terjadi pada sistem organ pada proses menua termasuk
sistem gatrointestinal.10
Kelainan fungsi dan motilitas gastrointestinal semakin
meningkat selama proses menua. Namun, meskipun prevalensi
kelainan motorik gastrointestinal (seperti disfagi, dispepsia, anorexia,
dan konstipasi) meningkat pada usia lanjut, proses menua nampaknya
hanya memiliki sedikit efek langsung pada fungsi gastrointestinal
karena kapasitas fungsional balik dari traktus gastrointestinal.11
Perubahan-perubahan traktus gastrointestinal terkait usia
meliputi perubahan terhadap motilitas, sensitivitas visceral, sensitivitas
hati terhadap stress, imunitas, fungsi kolon, fungsi dan struktur
pankreas, metabolisme obat dan respon tubuh terhadap hormon. Proses
menua juga berhubungan dengan berbagai kelainan gastrointestinal
seperti perdarahan gastrointestinal, kanker kolorektal, dan beberapa
kelainan akibat perubahan motilitas kolon (seperti konstipasi, penyakit
diverticular, diare dan inkontinensia alvi).
Kurang lebih 85% kematian akibat diare melibatkan lansia.12
Penelitian epidemiologi terbaru yang dilakukan di Italia menunjukan
bahwa prevalensi diare meningkat secara bermakna seiring usia dan
meningkatkan disabilitas pada orang lanjut usia. Penelitian ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa diare pada
lansia mengganggu kualitas hidup dan status fungsional secara
bermakna, dan dapat menjadi penyebab kesakitan dan komplikasi yang
menambah kebutuhan perawatan rumah sakit pada lansia.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada
pasien berusia 70 tahun atau lebih melaporkan bahwa infeksi (19%)
dan penggunaan obat (16%) adalah penyebab utama diare pada lansia.
Kelainan gastrointestinal seperti kolitis, malabsorbsi, penyakit
divertikular, IBS, dan tumor kolon/ usus kecil menempati 15% kasus.
Lebih dari 20% diare pada populasi berhubungan dengan konstipasi,
dan diare sebagai gambaran klinis dari inkontinensia alvi akibat adanya
koprostasis.13 Beberapa penyebab diare pada lansia ditunjukan pada
tabel 6.12
Tabel 6. Penyebab diare pada lansia12
Penyebab umum Penyebab lainInfeksi Penyakit celliacDiare akibat obat IBDMalabsorbsi TirotoxicosisKoprostasis Insufisiensi pankreasKarsinoma kolon Tumor usus kecilBakteri usus kecil Schleroderma dengan manifestasi sistemikDiare pada diabetes Penyakit Whipple’s
Amyloidosis dengan keterlibatan usus kecil
Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa Salmonella
(16,1 kasus/100.000 orang), Campylobacter (13,4 kasus/100.000
orang), Shigella (10,3 kasus/100.000 orang) dan E.coli O157:H7 (1,7
kasus/100.000 orang) adalah patogen yang sering berhubungan
dengan diare pada lansia. Vibrio, Yersinia, Listeria, dan Cyclospora
ditemukan pada kurang dari 1 kasus per 100.000 orang. Pada pasien
lanjut usia yang telah mendapat antibiotik, C.difficile adalah penyebab
diare tersering. Perawatan rumah sakit adalah faktor resiko
independen infeksi C. difficile. Pada lansia, infeksi C. difficile dapat
menunjukan gejala yang tidak spesifik seperti demam, nyeri abdomen
atau leukositosis, dan terkadang menyebabkan komplikasi sepsis.
Diare terkait obat sering terjadi berhubungan dengan efek
samping obat, kurang lebih 7% dari obat memiliki efek samping
terhadap gastrointestinal. Lebih dari 700 obat memiliki pengaruh
dalam menyebabkan diare. Beberapa mekanisme telah dilaporkan,
seperti mempengaruhi sistem pertahanan gastrointestinal, merusak
mukosa usus kecil dan besar atau mengganggu proses patofisisologis
penyerapan dan sekresi cairan dan elektrolit; terkadang melibatkan
lebih dari satu mekanisme. Pada pasien-pasien lansia rawat jalan,
obat-obat yang secara bermakna berhubungan dengan diare adalah
antibiotik, proton pump inhibitor, allopurinol, psikoleptik, selective
serotonin reuptake inhibitor dan antihipertensi angiotensin II receptor
blockers.
C. Penatalaksanaan Diare Akut Pada Lansia
1. Non Medikamentosa
Tanpa mempertimbangkan penyebab diare, tatalaksana diare
akut pada lansia harus meliputi rehidrasi dan nutrisi. Pasien harus
dimotivasi untuk meminum cairan atau larutan gula garam. Jika
diperlukan larutan elektrolit intravena dapat diberikan.
2. Medikamentosa
a. Antibiotik
Dikarenakan 90% kasus-kasus diare tidak dapat
diidentifikasi kuman penyebabnya, manfaat klinis penggunaan
antibiotik empirik harus dievaluasi mengingat efek samping dan
resiko eradikasi flora normal. Pada lansia dengan diare yang
didapat di komunitas yang disertai demam, disentri dan kondisi
klinis yang berat, dan pada diare yang tidak terdapat kecurigaan
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap fluoroquinolon,
pengobatan empirik menggunakan obat seperti fluoroquinolon
masih dibenarkan. Sebagai alternatif, untuk lansia dengan penyakit
yang berat, dapat menggunakan makrolid seperti eritromisin atau
azitromisin. Tatalaksana pada diare akibat C. difficile biasanya
memerlukan penghentian antibiotik. Metronidazole oral cukup
efektif, dan vancomycin telah diuji coba akan tetapi lebih
cenderung menimbulkan efek samping yang serius.
b. Terapi simtomatik
Ada lebih dari 300 produk telah digunakan sebagai obat
anti diare, dari semua itu hanya loperamid, bismuth subsalicylat,
dan kaolin yang telah diuji pada penelitian. Dan tidak ada satupun
dari penelitian tersebut melibatkan pasien lanjut usia. Baru-baru
ini, penelitian multicenter melibatkan 945 pasien rawat jalan,
melaporkan bahwa racecadotril, inhibitor enkefalinase kuat yang
menghasilkan efek anti-hipersekresi tanpa meningkatkan waktu
transit usus, memiliki efektivitas yang sama dengan loperamid
dalam mengurangi diare dengan prevalensi efek samping seperti
konstipasi, anoreksia, dan nyeri abdominal yang lebih rendah
dibandingkan loperamid.
Karena karakteristik ini, racecadotril dapat menjadi pilihan
obat yang efektif untuk tata laksana diare pada lansia, meskipun
demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi
secara luas peran racecadotril untuk terapi diare pada pasien lanjut
usia.13
DAFTAR PUSTAKA
1. Greg. Definition of Diarrhea and Normal Bowel Movement. 2012. (diakses
tanggal 17 Oktober 2012) http://www.healthhype.com/normal-
excessiveloose-bowel-movements-diarrhea.html
2. Sathaporn M et al. Guideline for the Management of Acute Diarrhea in
Adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2002; 17 (Suppl): S54-
S71.
3. Budi S. Diare Akut Karena Infeksi. Dalam: Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, penyunting. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006. h. 1794-8.
4. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan. 2011; Volume II: triwulan II.
5. Farthing M et al. Acute Diarrhea in Adults and Children: a Global
Perspective. World Gastroenterology Organisation. 2012.
6. Wingate D et al. Guidelines for Adult on Self –medication for the Treatment
of Acute Diarrhea. Aliment Pharmacol Ther. 2001; 15: 773-82.
7. Angus GS dan Henry CL. Zinc and Diarrheal Disease: Current Status and
Future Perspectives. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2008; 11: 711-17.
8. Allen SJ, Martinez EG, Gregorio GV, Dans LF. Probiotics for Treating Acute
Infectious Diarrhea (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews.
2010; Issue III.
9. WHO. Definition of an Older or Elderly Person. 2012. (Diakses tanggal 17
Oktober 2012)
http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/index.html
10. Siti S, Kuntjoro H, Arya GR. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam:
Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, penyunting. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. h. 1345-50.
11. Salles N. Basic mechanism of the Aging Gastrointestinal Tract. Dig Dis.
2007; 25: 112-7.
12. Monica J. Aging and GI Disorders. 2012 (diakses tanggal 17 Oktober 2012)
http://www.jaxgnp.com/uploads/Presentation__Aging_and_GI_Disorders.ppt.
13. Fabio B, Maria AB, Gerardo N, Alberto P, Emanuela Z. Focus on Acute
Diarrheal Disease. World J Gastroenterol. 2009; 15(27): 3341-8.