Pemilih Bersikap Rasional

4
Pemilih Bersikap Rasional Media Indonesia, 16 Juli 2005 DARI sekitar 40 calon incumbent hanya 16 pasang saja yang berhasil meraup kemenangan. Bukti bahwa di bilik suara rakyat semakin rasional? Salah satu aspek yang cukup menarik untuk diamati dari pilkada Juni adalah bagaimana para mantan pejabat daerah, baik wali kota maupun bupati mempertahankan kekuasaannya. Pasalnya, tidak semua calon incumbent itu mampu mempertahankan kursinya. Dari sekitar 40 calon incumbent ternyata hanya 16 jago yang mampu meruap kemenangan, sebagian besar sisanya bertengger di peringkat ketiga, bahkan ada yang duduk sebagai juru kunci. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebagai ilustrasi, hasil survei exit poll yang dilakukan ISPP terhadap 824 orang pemilih pada hari pemungutan suara pilkada Kota Medan menunjukkan, alasan yang paling menonjol dari para pemilih pasangan incumbent Abdillah (mantan wali kota) dan Ramli (mantan Sesda Kota Medan) adalah karena pengalamannya (27,5%). Alasan berikutnya adalah merasa yakin dengan kemampuannya (24,8%). Selain itu juga karena program atau janjinya (17,6%). Dari sini terlihat bahwa, alasan pemilih mencoblos incumbent adalah karena kinerjanya. Dengan kinerja yang baik, maka hampir dapat dipastikan peluang memenangkan pilkada menjadi lebih besar. Sosial ekonomi Salah satu faktor dalam menilai keberhasilan seseorang dalam memimpin suatu daerah adalah perbaikan kondisi sosial ekonomi wilayah setempat. Melalui perbaikan dan peningkatan kondisi sosial ekonomi, peluang seorang kepala daerah untuk memenangkan pilkada semakin besar. Secara makro keberhasilan tersebut bisa dilihat dari tingkat pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Data BPS menunjukkan bahwa pada beberapa daerah kabupaten dan kota di mana incumbent berhasil meraih suara terbesar, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas tingkat PDRB-nya (grafik 1).

description

rasional

Transcript of Pemilih Bersikap Rasional

Pemilih Bersikap Rasional

Pemilih Bersikap RasionalMedia Indonesia, 16 Juli 2005

DARI sekitar 40 calon incumbent hanya 16 pasang saja yang berhasil meraup kemenangan. Bukti bahwa di bilik suara rakyat semakin rasional?

Salah satu aspek yang cukup menarik untuk diamati dari pilkada Juni adalah bagaimana para mantan pejabat daerah, baik wali kota maupun bupati mempertahankan kekuasaannya. Pasalnya, tidak semua calon incumbent itu mampu mempertahankan kursinya.

Dari sekitar 40 calon incumbent ternyata hanya 16 jago yang mampu meruap kemenangan, sebagian besar sisanya bertengger di peringkat ketiga, bahkan ada yang duduk sebagai juru kunci. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Sebagai ilustrasi, hasil survei exit poll yang dilakukan ISPP terhadap 824 orang pemilih pada hari pemungutan suara pilkada Kota Medan menunjukkan, alasan yang paling menonjol dari para pemilih pasangan incumbent Abdillah (mantan wali kota) dan Ramli (mantan Sesda Kota Medan) adalah karena pengalamannya (27,5%). Alasan berikutnya adalah merasa yakin dengan kemampuannya (24,8%). Selain itu juga karena program atau janjinya (17,6%). Dari sini terlihat bahwa, alasan pemilih mencoblos incumbent adalah karena kinerjanya. Dengan kinerja yang baik, maka hampir dapat dipastikan peluang memenangkan pilkada menjadi lebih besar.

Sosial ekonomiSalah satu faktor dalam menilai keberhasilan seseorang dalam memimpin suatu daerah adalah perbaikan kondisi sosial ekonomi wilayah setempat. Melalui perbaikan dan peningkatan kondisi sosial ekonomi, peluang seorang kepala daerah untuk memenangkan pilkada semakin besar. Secara makro keberhasilan tersebut bisa dilihat dari tingkat pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Data BPS menunjukkan bahwa pada beberapa daerah kabupaten dan kota di mana incumbent berhasil meraih suara terbesar, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas tingkat PDRB-nya (grafik 1).

Di tingkat mikro, data lain yang dapat dilihat dari perkembangan sosial ekonomi ialah pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, misalnya jalan, rumah sakit atau sekolah hingga persoalan pemberantasan narkoba dan kriminalitas. Persoalan ini menjadi penting mengingat hal tersebut terkait kepada penilaian atas kinerja seorang kepala daerah.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang penilaian positif kinerja gubernur yang ikut lagi dalam pilkada untuk Provinsi Sulawesi Utara dan Jambi, setidaknya telah membuktikan premis tersebut. Menggunakan sampel sebanyak 800 orang dengan sampling error kurang lebih 3,5% dan tingkat kepercayaan sebesar 95% pada setiap provinsi, tampak bahwa kepala daerah yang dinilai positif ternyata mampu memenangkan pertarungan dalam pilkada.

Survei itu sendiri mempertanyakan penilaian terhadap kinerja dua orang gubernur, yaitu Zulkifli Nurdin di Provinsi Jambi dan AJ Sondakh di Sulawesi Utara. Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan dari survei tersebut.

Pertama di bidang penegakan hukum, mulai dari pemberantasan narkoba, penanganan kriminalitas, penebangan dan penambangan liar hingga pemberantasan korupsi. Kedua, penilaian juga diarahkan untuk melihat bagaimana kedua gubernur tersebut memenuhi berbagai kebutuhan dasar masyarakat, terutama di bidang sarana dan prasarana umum seperti penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana transportasi, perumahan bagi orang miskin serta kemudahan pelayanan masyarakat oleh pemda. Ketiga, di bidang ekonomi penilaian dilakukan dengan melihat beberapa indikator, yaitu menarik investor untuk berinvestasi di provinsinya, keadaan ekonomi rumah tangga dan keadaan ekonomi umum provinsi.

Grafik 2 menunjukkan bahwa baik di bidang penegakan hukum, peningkatan pelayanan masyarakat dan ekonomi, penilaian positif lebih banyak ditunjukkan kepada Zulkifli Nurdin. Secara keseluruhan, rata-rata penilaian positif kepada Zulkifli mencapai 54,23%. Sedangkan untuk AJ Sondakh hanya sebesar 37,15%. Hasil pemilihan kepala daerah untuk Provinsi Jambi, pasangan Zulkifli Nurdin dan Antony Zeidra Abidin mendapat 992.162 suara atau 80% dari total keseluruhan suara yang sah. Sebaliknya mantan Gubernur Sulawesi Utara AJ Sondakh hanya mendapat 189.903 suara atau 16,47%. Jauh di bawah pemenang pilkada yang mencapai 39,91% atau 448.925 suara.

Dari sini tampak bahwa bagaimana konsistensi penilaian positif dari masyarakat terhadap proses pemilihan seseorang atau sepasang calon kepala daerah incumbent. Mungkin bisa saja kita menilai sebagai sebuah langkah maju karena para pemilih telah bersikap rasional.

Pilihan rasionalLantas apakah selamanya apa yang dinilai sebagai 'keberhasilan pembangunan', terutama secara sarana dan prasarana fisik bisa selalu digunakan sebagai salah satu ukuran bahwa pemilih di daerah telah mulai rasional?

Berdasarkan data dari BPS, beberapa daerah yang calon incumbent-nya menang seperti Kabupaten Kebumen, Sukoharjo, Dompu, Kota Magelang dan Kota Medan, selama 5 tahun terakhir justru keberhasilan pembangunannya sedang mengalami penurunan, yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya mutu pendidikan. Di samping itu juga di bidang kesehatan, seperti rendahnya kualitas rumah sakit dan puskesmas. Sebagai contoh di kabupaten Kebumen misalnya, pada tahun ajaran 1999/2000 jumlah gedung sekolah dasar (SD) masih berjumlah 894 buah. Namun pada tahun ajaran 2001/2002 jumlahnya berkurang menjadi 886 unit. Pada tahun ajaran selanjutnya jumlahnya juga makin berkurang menjadi 878 buah.

Hal serupa juga terjadi di Kota Magelang, di mana jumlah gedung SD berkurang, yaitu dari 82 buah pada tahun ajaran 2000/2001 menjadi hanya 76 buah pada tahun ajaran 2003/2004 (grafik 3).

Sebagai perbandingan dapat dilihat dari beberapa daerah lain di mana para mantan kepala daerah gagal memenangkan pilkada, data menunjukkan bahwa hal-hal seperti sarana dan prasarana seperti di atas juga terlihat fluktuatif.

Melalui berbagai data dan survei tersebut, ada satu hal yang sebenarnya bisa cermati, bahwa sebenarnya perlu sebuah kehati-hatian yang lebih dalam melihat perilaku pemilih. Di satu sisi kita dapat melihat bagaimana masyarakat sebagai 'konsumen' demokrasi, telah mulai melakukan intro dan retrospeksi terhadap segala yang menjadi kebutuhan dasarnya sebelum menentukan pilihannya, sehingga hal ini dapat dilihat sebagai sebuah langkah awal munculnya pilihan rasional dalam pilkada. Namun di sisi lain, rasanya juga terlalu naif apabila mengatakan bahwa tingkat preferensi pemilih pilkada adalah objektif, sehingga memunculkan kepala daerah yang benar-benar bisa meningkatkan kualitas sosial ekonomi daerahnya. Karena pada dasarnya tidak semua incumbent yang kalah benar-benar gagal membangun daerahnya atau memenuhi kebutuhan dasar warganya. Sebaliknya, di daerah di mana incumbent tampil sebagai pemenang ternyata selama menjadi kepala daerah, rakyat menilai kinerjanya positif. (Nugroho Pratomo, Litbang Media Group)