PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Transcript of PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK
HASIL SAMPING PENGOLAHAN IKAN PATIN
(Pangasius hypopthalmus)
SKRIPSI
SYIFA AFIAH
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
ABSTRAK
SYIFA AFIAH. Pembuatan Biopelumas dari Minyak Hasil Samping Pengolahan
Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Dibimbing oleh SITI NURBAYTI dan
RODIAH NURBAYASARI.
Minyak hasil samping pengolahan ikan patin dari bagian kepala, tulang, dan
ekor (KTE) berpotensi untuk dimanfaatkan sabagai bahan dasar pembuatan
biopelumas. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan minyak hasil samping
pengolahan ikan patin menjadi biopelumas dengan melihat pengaruh rasio mol
antara asam lemak dengan etilen glikol terhadap yield dan karakteristik biopelumas.
Hasil samping pengolahan ikan patin bagian KTE diekstrasi secara wet rendering
memiliki yield sebesar 14,38%, dengan kandungan asam lemak dominannya yaitu
asam oleat 31,28%, asam palmitat 21,98% dan asam linoleat 10,96. Pembuatan
biopelumas terdiri dari tiga tahap, yaitu hidrolisis, polimerisasi dan poliesterifikasi
dengan rasio mol antara asam lemak dengan etilen glikol 1:4, 1:6, dan 1:8. Hasil
penelitian menunjukkan variasi rasio mol antara asam lemak dengan etilen glikol
pada pembuatan biopelumas tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05) terhadap
yield dan karakteristik biopelumas. Yield biopelumas tertinggi (91,06%) diperoleh
dari rasio mol 1:6. Biopelumas yang dihasilkan dikarakterisasi densitas dan
viskositasnya. Biopelumas hasil terbaik dilakukan karakterisasi lainnya meliputi,
viskositas kinematik (40 °C dan 100 °C) sebesar 41,19 dan 8,09 cSt; indeks
viskositas 174,5; titik tuang 27 °C; titik nyala 128 °C; dan korosi bilah tembaga
grade 1A (slight tarnish). Hasil FTIR menunjukkan adanya gugus C=O (1745,55
cm-1) dan C-O (1115,95-1243,53cm-1) yang mengindikasikan adanya senyawa ester
pada produk biopelumas.
Kata kunci: biopelumas, hasil samping, minyak ikan patin
ABSTRACT
SYIFA AFIAH. Production of Biolubricant from Byproduct Oil of Catfish
(Pangasius hypophthalmus) Processing. Supervised by SITI NURBAYTI and
RODIAH NURBAYASARI.
The by-product oil of catfish processing from the head, bone, and tail (KTE)
is not used as a basic material for the production of biolubricants. This study aims
to utilize the oil from the processing of catfish into a biolubricants by looking at the
effect of the ratio between fatty acids and ethylene glycol on the yield and the ratio
of biolubricants. The results of the processing of catfish from the KTE part of the
wet rendering extraction had a yield of 14.38%, with the dominant fatty acid content
of 31.28% oleic acid, 21.98% palmitic acid, and 10.96 linoleic acid. The production
of bio-lubricants consists of three stages, hydrolysis, polymerization, and
polyesterification with the mole ratio of fatty acids to ethylene glycol 1: 4, 1: 6, and
1: 8.The results showed that the variation of the mole ratio between fatty acids and
ethylene glycol in the production of biolubricants did not significantly influence
(p>0.05) on the yield and characteristics of biolubricant. The highest yield of bio-
lubricants (91.06%) was obtained by the mole ratio of 1:6. Biolubricants produced
is characterized by density and viscosity. The best result of biolubrication was
carried out by other characterization including, kinematic viscosity (40 °C and
100 °C) of 41.19 and 8.09 cSt; viscosity index 174.5; pour point 27 °C; flash point
128 °C; and grade 1A copper blade corrosion (slightly smudged). FTIR results
showed the presence of C = O (1745.55 cm-1) and C-O (1115.95-1243.53 cm-1)
groups which indicated the presence of ester compounds in biolubricant products.
Keywords: bio-lubricants, byproducts, catfish oil
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahi robbil ‘alamin penulis mengucapkan puji syukur yang tak
terhingga kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan maksimal. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya atas tauladannya sehingga kami selaku umatnya dapat
terus melanjutkan perjuangannya dan semoga mendapatkan syafaatnya.
Penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Biopelumas dari Minyak
Hasil Samping Pengolahan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)”. Penulis
menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya bantuan
dan peranan banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Siti Nurbayti, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan dan nasehat serta doa kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.
2. Rodiah Nurbayasari, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat
serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.
3. Isalmi Aziz, M.T dan Ahmad Fathoni, M.Si, selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan sarannya kepada penulis.
4. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia.
vii
5. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi.
6. Dr. Sandra Hermanto, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh
dosen Program Studi Kimia yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada
penulis selama perkuliahan.
7. Kedua orang tua, ayahanda yang selalu memberikan dukungan, doa dan
bantuan positif baik secara moril maupun materil serta ibunda yang sudah lebih
dulu meninggalkan dan selalu mendukung penulis hingga akhir hayatnya.
8. Kakak dan adik serta seluruh keluarga besar atas doa, motivasi dan
dukungannya baik secara moril maupun materil.
9. Kimia angkatan 2015 selaku teman seperjuangan selama kuliah. Terimakasih
atas kehangatan, nasehat dan dukungan serta berbagai ilmu yang diberikan.
10. Teman-teman penelitian serta para peneliti dan teknisi di Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan yang selalu
membantu dan memberi motivasi kepada penulis selama penelitian.
11. Serta banyak pihak lain yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis
sebutkan namanya satu per satu, penulis ucapkan terimakasih.
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu dan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ciputat, Agustus 2020
Syifa Afiah
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Hipotesis ................................................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7
2.1 Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ...................................................... 7
2.2 Limbah Hasil Perikanan ............................................................................ 8
2.3 Minyak Ikan Patin ................................................................................... 10
2.4 Pelumas ................................................................................................... 12
2.4.1 Biopelumas ............................................................................................. 14
2.4.2 Sertifikasi Standar Minyak Pelumas ....................................................... 15
2.4.3 Karakteristik Minyak Pelumas ................................................................ 16
2.5 Tahapan Sintesis Biopelumas ................................................................. 18
2.5.1 Ekstraksi Lemak dan Minyak ................................................................. 18
2.5.2 Hidrolisis ................................................................................................. 20
2.5.3 Polimerisasi ............................................................................................. 20
2.5.4 Poliesterifikasi......................................................................................... 22
2.6 Kromatografi Gas.................................................................................... 23
2.7 Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) ......................... 25
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 29
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 29
ix
3.3 Skema Kerja ............................................................................................ 30
3.4 Prosedur Percobaan ................................................................................. 31
3.4.1 Preparasi Limbah Ikan ............................................................................ 31
3.4.2 Analisis Bahan Baku ............................................................................... 31
3.4.2.1 Kadar Air ................................................................................................ 31
3.4.2.2 Kadar Abu ............................................................................................... 31
3.4.2.3 Kadar lemak ............................................................................................ 32
3.4.3 Ekstraksi Minyak Ikan ............................................................................ 32
3.4.4 Karakterisasi Minyak Ikan ...................................................................... 33
3.4.4.1 Analisis Asam Lemak Bebas .................................................................. 33
3.4.4.2 Analisis Bilangan Penyabunan ................................................................ 33
3.4.4.3 Viskositas ................................................................................................ 34
3.4.4.4 Densitas ................................................................................................... 34
3.4.4.5 Analisis Komposisi Asam Lemak Menggunakan GC ............................ 35
3.4.5 Pembuatan Biopelumas ........................................................................... 36
3.4.6 Karakterisasi Biopelumas ....................................................................... 37
3.4.6.1 Densitas ................................................................................................... 37
3.4.6.2 Viskositas Kinematik dan Indeks Viskositas .......................................... 37
3.4.6.3 Titik Tuang .............................................................................................. 38
3.4.6.4 Titik Nyala .............................................................................................. 38
3.4.6.5 Analisis Korosi Bilah Tembaga .............................................................. 39
3.4.6.6 Penentuan Gugus Fungsi ......................................................................... 40
3.4.6.7 Analisis Komposisi Biopelumas Menggunakan GC ............................... 40
3.4.5 Analisis Data ........................................................................................... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 42
4.1 Kandungan Proksimat Kepala Tulang Ekor (KTE) Ikan Patin ............... 42
4.2 Hasil Ekstraksi Minyak Ikan Patin ......................................................... 43
4.3 Karakteristik Minyak Ikan ...................................................................... 45
4.3.1 Asam Lemak Bebas Minyak Ikan KTE .................................................. 45
4.3.2 Bilangan Penyabunan Minyak Ikan KTE ............................................... 46
4.3.3 Viskositas dan Densitas Minyak Ikan KTE ............................................ 46
4.3.4 Profil Asam Lemak Minyak Ikan KTE ................................................... 47
x
4.4 Pembuatan Biopelumas ........................................................................... 48
4.5 Karakteristik Biopelumas........................................................................ 52
4.5.1 Viskositas dan Densitas BiopelumasKTE 1:6 ...................................... 520
4.5.2 Viskositas Kinematik Biopelumas KTE 1:6 ........................................... 55
4.5.3 Indeks Viskositas Biopelumas KTE 1:6 ................................................. 55
4.5.4 Titik Tuang Biopelumas KTE 1:6........................................................... 56
4.5.5 Titik Nyala Biopelumas KTE 1:6 ........................................................... 56
4.5.6 Korosi Bilah Tembaga Biopelumas KTE 1:6 ......................................... 57
4.6 Penentuan Gugus Fungsi Biopelumas KTE 1:6...................................... 57
4.7 Komposisi asam lemak biopelumas KTE 1:6 ......................................... 59
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 59
5.1 Simpulan ................................................................................................. 59
5.2 Saran ....................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62
LAMPIRAN ......................................................................................................... 70
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ikan patin jenis siam ............................................................................ 8
Gambar 2. Limbah bagian kepala, tulang, dan ekor ikan patin ............................. 9
Gambar 3. Struktur trigliserida ............................................................................ 10
Gambar 4. Reaksi hidrolisis................................................................................. 20
Gambar 5. Polimerisasi mekanisme radikal bebas .............................................. 22
Gambar 6. Poliesterifikasi asam tereftalat dengan etilen glikol .......................... 23
Gambar 7. Diagram alir penelitian ...................................................................... 30
Gambar 8. Standar warna pengujian korosi ........................................................ 39
Gambar 9. Reaksi hidrolisis................................................................................. 48
Gambar 10. Mekanisme reaksi polimerisasi biopelumas .................................... 48
Gambar 11. Pengaruh rasio mol terhadap yield biopelumas ............................... 49
Gambar 12. Mekanisme reaksi poliesterifikasi biopelumas ................................ 51
Gambar 13. Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas .......................... 52
Gambar 14. Pengaruh rasio mol terhadap viskositas biopelumas ....................... 53
Gambar 15. Spektrum FTIR minyak ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6 ......... 58
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kadar lemak bagian-bagian tubuh ikan patin siam ................................ 11
Tabel 2. Profil asam lemak minyak ikan patin siam murni .................................. 12
Tabel 3. Karakteristik fisika kimia minyak lumas hidrolik industri ..................... 18
Tabel 4. Kandungan proksimat ikan patin bagian KTE ....................................... 42
Tabel 5. Rendemen minyak ikan patin bagian KTE............................................. 44
Tabel 6. Hasil karakteristik minyak ikan patin bagian KTE ................................ 45
Tabel 7. Profil asam lemak minyak ikan patin bagian KTE ................................ 47
Tabel 8. Karakteristik biopelumas hasil terbaik ................................................... 55
Tabel 9. Komposisi asam lemak minyak ikan dengan biopelumas ..................... 59
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data dan perhitungan analisis proksimat ........................................ 70
Lampiran 2. Perhitungan yield minyak ikan ....................................................... 70
Lampiran 3. Data dan perhitungan karakteristik minyak ikan ............................ 70
Lampiran 4. Perhitungan rasio mol biopelumas .................................................. 72
Lampiran 5. Perhitungan yield biopelumas ......................................................... 77
Lampiran 6. Perhitungan uji ANOVA single factor yield biopelumas ............... 78
Lampiran 7. Perhitungan densitas biopelumas .................................................... 79
Lampiran 8. Perhitungan uji ANOVA single factor densitas biopelumas .......... 80
Lampiran 9. Perhitungan viskositas biopelumas ................................................. 81
Lampiran 10. Perhitungan uji ANOVA single factor viskositas biopelumas ..... 78
Lampiran 11. Pengujian fisik biopelumas KTE 1:6 ............................................ 79
Lampiran 12. Kondisi alat kromatografi gas ....................................................... 80
Lampiran 13. Hasil kromatografi gas biopelumas .............................................. 81
Lampiran 14. Dokumentasi penelitian ................................................................ 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelumas merupakan bagian tak terpisahkan dari mesin yang digunakan
untuk melindungi komponen-komponen mesin dari keausan yang disebabkan oleh
dua permukaan yang saling bergesekan. Selain berfungsi untuk mengurangi gaya
gesek, pelumas juga berfungsi mendinginkan atau mengendalikan panas yang
keluar dari mesin untuk memastikan mesin bekerja dengan baik (Sukirno, 2010).
Pelumas yang paling sering digunakan saat ini adalah pelumas dari fraksi
minyak bumi (pelumas mineral) dan pelumas sintetik. Namun ketersediaan minyak
bumi yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable energy) saat ini semakin menipis. Selain itu pelumas sintesis dan
pelumas mineral dapat menyebabkan masalah pencemaran dan hanya terurai 20
hingga 40% dalam tanah (Yanli et al., 2016).
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pelumas adalah limbah
pelumas yang merupakan limbah B3 dan non-biodegradable. Sehingga akumulasi
limbah pelumas akan berakibat pencemaran tanah, air dan udara. Tanah dan air
dicemari oleh pelumas bekas yang dibuang langsung ke lingkungan dan mengalir
ke sungai sehingga terakumulasi di badan air dan mencemari perairan. Lama-lama
akan terjadi penetrasi ke sumur dan area pertanian. Pencemaran udara dapat terjadi
karna bahan volatil yang ada di dalam pelumas baik dari tumpahan atau buangan
menguap ke udara dan mencemari udara (Rahardiningrum et al., 2016).
Menurut Siswahyu dan Hendrawati (2013), lingkungan harus dilindungi
terhadap pencemaran yang disebabkan oleh minyak pelumas dengan bahan dasar
2
dari minyak bumi. Ancaman terhadap lingkungan yang disebabkan pencemaran
dari pelumas, dapat dihindari dengan menggunakan pelumas hasil reklamasi dan
daur ulang atau menggunakan pelumas yang ramah lingkungan sebagai alternatif.
Biopelumas merupakan pelumas berbasis minyak nabati atau minyak
hewani yang dapat memenuhi semua tuntutan baik dari fungsi maupun lingkungan.
Biopelumas memiliki sifat-sifat ramah lingkungan diantaranya dapat terurai lebih
dari 90% di dalam tanah, tidak beracun dan dapat diperbaharui. Selain itu
biopelumas yang digunakan pada mesin mengurangi hampir semua bentuk
pencemaran dibanding penggunaan pelumas dari minyak bumi (Kuweir, 2010).
Limbah ikan patin sangat berpotensi sebagai bahan baku untuk pembuatan
biopelumas di Indonesia. Ikan patin memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi
jika dibandingkan dengan jenis ikan tawar lainnya, seperti ikan gabus dan ikan mas
yaitu 4,0% dan 2,9% (Panagan et al., 2011). Ikan patin jenis siam (Pangasius
hypophthalmus) banyak dibudidayakan di Indonesia karena mempunyai
keunggulan diantaranya mudah berkembang biak, banyak menghasilkan benih,
pemeliharaan yang mudah dan dapat bertahan hidup pada kondisi yang buruk
(Ariyanto dan Retno, 2006).
Pada umumnya proses pengolahan ikan patin di Indonesia menghasilkan
produk filet yang kemudian dijual dalam bentuk filet segar maupun beku. Usaha ini
akan semakin menguntungkan jika diikuti dengan pemanfaatan hasil samping
seperti kepala, tulang, sisa daging dan kulit sehingga tidak terdapat bagian tubuh
patin yang terbuang (nir limbah). Upaya ini merupakan implementasi dari zero
waste concept yang merupakan salah satu jiwa dari prinsip blue economy (KKP,
2016).
3
Penelitian ini fokus menggunakan bagian kepala, tulang, dan ekor (KTE)
dari hasil samping pengolahan filet ikan patin. Umumnya bagian kepala ini
merupakan limbah yang terbuang bersama dengan bagian tubuh lainnya seperti
daging belly flap (daging bagian perut), tulang, ekor, kulit dan isi perut (Hastarini,
2012). Limbah tersebut dapat dimanfaatkan, karena terdapat banyak manfaat yang
terkandung di dalamnya.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
164:
ماوات والرض واختلف الليل والن هار والفلك الت تري ف البحر ب ا إن ف خلق السفع الناس وما أن زل الله من الس ماء من ماء فأحيا به الرض ب عد موتا وبث فيها من ي ن
ماء والرض ليات لقوم ي عقلون ر ب ي الس حاب المسخ كل دابة وتصريف الرياح والسArtinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan,
dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Menurut tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (2020) ayat di atas
menjelaskan bahwa apa yang ada langit dan di bumi semuanya bermanfaat bagi
manusia. Allah telah sebarkan di bumi segala jenis hewan, seperti halnya ikan patin.
Ikan patin sangat bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Hasil samping pengolahan
ikan patin seperti bagian kepala, tulang, dan ekor dapat menjadi limbah yang bisa
mencemari lingkungan. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan
yang berguna, yaitu salah satunya dalam pembuatan biopelumas dari minyak
limbah ikan patin. Ayat tersebut menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-
orang yang menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran.
4
Hastarini et al. (2012) telah melakukan ekstraksi minyak ikan patin
menggunakan metode wet rendering dengan perbandingan antara bahan baku dan
air (1:3). Hasilnya mempunyai nilai rendemen minyak ikan pada bagian kepala
sebesar 9,54%. Minyak ikan patin memiliki banyak manfaat dan telah
dikembangkan pemanfaatannya diantaranya sebagai produk adonan roti,
mayonnaise (Hastarini et al., 2012) margarin (Lestari, 2010), dan produk biodiesel
(Widianto dan Bagus, 2010).
Komposisi asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis siam maupun
jambal yang lebih dominan adalah asam palmitat dan asam oleat (Hastarini et al.,
2012). Minyak ikan memiliki karakteristik kimia yang mirip dengan minyak nabati
dan berpeluang sebagai alternatif minyak dasar pelumas (Mubarak et al., 2014).
Tingginya kandungan asam oleat pada minyak ikan berpotensi dijadikan sebagai
bahan dasar pembuatan pelumas yang dapat menggantikan pelumas berbasis
minyak mineral (Mungro et al.,2008).
Penelitian tentang potensi minyak hasil samping pengolahan ikan patin
sebagai bahan baku biopelumas telah banyak dilakukan. Amril et al. (2016)
membuat biopelumas dari minyak limbah ikan patin dengan melihat pengaruh
kecepatan pengadukan dan suhu reaksi. Yanli et al. (2016) mensintesis biopelumas
dari minyak limbah ikan patin pada pengaruh rasio mol dan waktu reaksi. Tran et
al. (2018) memproduksi biopelumas dari lemak ikan patin. Angulo et al. (2018)
memproduksi biopelumas dari residu minyak ikan melalui transesterifikasi dengan
trimethylolpropane (TMP).
Penelitian ini menggunakan limbah ikan patin jenis siam bagian kepala,
tulang, dan ekor (KTE). Bagian KTE diekstraksi minyaknya yang nantinya
5
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas. Keterbaruan penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yanli et al.
(2016) yaitu pada tahap ekstraksi minyak ikan dari limbah ikan patin menggunakan
metode wet rendering dengan perbandingan antara bahan baku dan air (1:1 dan 1:2),
sedangkan penelitian sebelumnya dengan metode dry rendering. Tahap hidrolisis
pada penelitian ini dilakukan dengan kondisi reaksi yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yanli et al. (2016) menggunakan
waktu 8 jam, suhu 80 °C, pengadukan 200 rpm, dan katalis HCl 10N 0,1% b/b,
sedangkan pada penelitian ini menggunakan waktu 2 jam, suhu 70 °C, pengadukan
200 rpm, dan katalis HCl 10N 5% b/b. Tahap poliesterifikasi pada penelitian ini
menggunakan perbandingan rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil
samping pengolahan ikan patin dan etilen glikol 1:4, 1:6, dan 1:8. Biopelumas
dikarakterisasi meliputi densitas, viskositas kinematik, indeks viskositas, titik
tuang, titik nyala, korosi bilah tembaga, gugus fungsi, dan komposisi asam lemak
biopelumas. Sedangkan Yanli et al. (2016) menggunakan perbandingan rasio mol
1:3, 1:4, dan 1:5. Biopelumas dikarakterisasi meliputi densitas, viskositas, dan titik
tuang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah karakteristik minyak hasil samping pengolahan ikan patin dapat
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas?
2. Bagaimana pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping
pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield dalam pembuatan
biopelumas?
3. Bagaimana karakteristik biopelumas yang dihasilkan?
6
1.3 Hipotesis
1. Karakteristik minyak ikan hasil samping pengolahan ikan patin yang dihasilkan
dapat dijadikan sebagai minyak dasar pembuatan biopelumas.
2. Rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping pengolahan ikan patin
dengan etilen glikol dapat berpengaruh terhadap yield dalam pembuatan
biopelumas.
3. Biopelumas yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI).
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menentukan karakteristik minyak ikan kasar yang dihasilkan dari ekstraksi
kepala, tulang, dan ekor (KTE) ikan patin.
2. Menentukan pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping
pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield dalam pembuatan
biopelumas.
3. Menentukan karakteristik biopelumas yang dihasilkan meliputi densitas,
viskositas, indeks viskositas, titik tuang, titik nyala dan korosi bilah.
1.5 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
dan kalangan peneliti dibidang biolubricant mengenai potensi minyak hasil
samping pengolahan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) yang dapat
dijadikan sebagai biopelumas.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)
Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan air
tawar yang bernilai ekonomis. Ikan patin ini memiliki tubuh memanjang berwarna
putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, kepalanya relatif
kecil dengan mulut terletak di ujung kepala sebelah bawah. Ikan ini termasuk dalam
salah satu golongan catfish. Hal tersebut terlihat pada sudut mulutnya, yaitu
terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Khairuman dan
Suhenda, 2002).
Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi
patil bergerigi di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip punggung berjumlah
enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak berukuran kecil
sekali yang disebut adipose fin. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya
simetris. Sirip duburnya yang memanjang terdiri atas 30-33 jari-jari lunak. Sirip
perutnya memiliki 8-9 jari-jari. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah
jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil (Khairuman dan
Suhenda, 2002).
Berikut merupakan klasifikasi ikan patin (Saanin, 1984):
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Siluriformes
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypophthalmus
8
Tubuh ikan Patin didominasi oleh daging, yaitu mencapai 49%, sedangkan
komposisi lainnya yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan, dan gelembung renang.
Menurut Panagan (2012), berdasarkan analisis kandungan gizi ikan patin
mengandung 16,08% protein; kandungan lemak/minyak sekitar 5,75%; karbohidrat
1,5%; abu 0,97% dan air 75,7%. Jika dibandingkan dengan kadar lemak/minyak
ikan air tawar lain seperti ikan gabus dan ikan mas yaitu 4,0% dan 2,9%, ikan patin
memiliki kadar lemak/minyak yang lebih tinggi.
Wilayah di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan
patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin
jambal (Pangasius djambal) (Djarijah, 2001). Ikan patin adalah salah satu ikan air
tawar yang sangat populer dikonsumsi di seluruh dunia. Penelitian ini
menggunakan ikan patin jenis siam (Pangasius hypopthalmus) (Gambar 1).
Gambar 1. Ikan patin jenis siam (https://www.poultryshop.id, 2016)
2.2 Limbah Hasil Perikanan
Limbah merupakan sisa dari proses pengolahan hasil perikanan yang tidak
dimanfaatkan dan tidak mempunyai nilai ekonomis, bahkan dapat merugikan.
Limbah industri hasil perikanan adalah produk suatu proses industri yang belum
mempunyai nilai ekonomis, yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya
dinyatakan bahwa limbah seyogyanya dapat dianggap sebagai sumberdaya
tambahan yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah disamping mempunyai
9
nilai ekonomis juga mempunyai arti penting bagi lingkungan dan dampak
perlakuan yang tidak wajar terhadap limbah pada pola kehidupan perlu ditekankan
(Hardjo et al., 1989).
Pengambilan kembali dan pengubahan limbah bahan pangan menjadi
semakin penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan. Hal ini
memungkinkan pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil
persoalan polusi dan penanganan limbah (Buckle et al., 1987).
Pengelompokan limbah hasil perikanan menurut Ilyas dan Soeparno (1985),
yaitu:
a. Hasil samping, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan dari
usaha penangkapan (by catch);
b. Limbah pengolahan (Gambar 2), yang salah satunya adalah bagian kepala,
tulang, dan ekor;
c. Limbah surplus, berupa ikan utuh karena kelebihan pemasaran atau
pengolahan;
d. Limbah industri, berupa ikan utuh, potongan atau hancuran yang terjadi pada
distribusi dan pemasaran.
Selama ini pemanfaatan limbah hasil perikanan lebih banyak digunakan
sebagai bahan baku pengolahan tepung ikan dan silase.
Gambar 2. Limbah bagian kepala, tulang, dan ekor ikan patin
10
2.3 Minyak Ikan Patin
Minyak dan lemak merupakan senyawa organik yang terdapat di alam yang
tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti
hidrokarbon, eter, dan kloroform. Lemak dan minyak adalah trigliserida atau
trigliserol (Gambar 3). Kedua istilah ini berarti triester dari gliserol. Pada
temperatur kamar, lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Sebagian
besar gliserida pada hewan berupa lemak. Karena itu, biasa terdengar ungkapan
lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak kelapa, minyak
jagung, minyak biji bunga matahari, dan lain-lain) (Ketaren, 2008).
Gambar 3.Struktur trigliserida (Riswiyanto, 2009)
Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang
telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam lemak
yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan
kandungan asam lemak omega 3 yaitu Eicosapentaenoic acid (EPA) dan
Docosahexaenoic acid (DHA) yang umum dijumpai pada minyak ikan (Estiasih,
2009).
Minyak ikan patin memiliki kandungan omega 3 rendah tetapi kandungan
omega 6 dan omega 9 tinggi (Thammapat et al., 2010). Ikan patin memiliki
kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh yang
sangat bagus. Presentase kelompok asam lemak tak jenuh memiliki jumlah yang
lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh dari total asam lemak secara
11
keseluruhan yaitu dengan kisaran 52,74-62,97% untuk ikan patin jenis siam dan
jambal.
Penelitian tentang ekstraksi dan karakterisasi minyak ikan dari limbah
pengolahan filet ikan patin siam telah dilakukan oleh Hastarini et al. (2012). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga bagian tubuh ikan patin siam
yang potensial sebagai bahan baku minyak ikan yaitu bagian kepala, daging belly
flap dan isi perut, dengan kadar lemak masing-masing sebesar 9,84; 28,52; dan
20,34%. Kadar lemak bagian tubuh lainnya dari ikan patin siam ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kadar lemak bagian-bagian tubuh ikan patin siam
Bagian tubuh Kadar lemak(%)
Daging filet skinless 2,72±0,09
Kepala 11,20±0,66
Tulang-ekor 13,10±0,60
Daging belly flap 36,21±0,59
Daging sisa trimming 6,63±0,50
Kulit 7,90±1,03
Isi perut 26,51±0,55
Sumber : Hastarini et al. (2012)
Profil asam lemak dari minyak ikan patin murni dari jenis siam ditunjukkan
pada Tabel 2. Asam lemak dominan adalah asam palmitat dan asam oleat (Hastarini
et al., 2012).
12
Tabel 2. Profil asam lemak minyak ikan patin siam murni
Asam lemak Kepala
(%)
Daging
belly flap
(%)
Isi perut
(%)
C14:0 (miristat) 4,23 4,07 4,69
C16:0 (palmitat) 34,61 33,08 34,19
C18:0 (stearat) 7,61 8,24 8,12
C20:0 (arakidat) 0,31 0,22 0,26
C16:1 (palmitoleat) 1,12 2,64 2,99
C18:1 (oleat) 33,64 32,83 35,97
C20:1 (eikosanoat) 0,81 0,85 0,75
C24:1 (nervoat) 0,03 0,03 0,03
C18:2 (linoleat) 12,81 13,61 10,18
C18:3 (linolenat) 0,88 0,73 0,49
C20:2 (eikosadienoat) 0,68 0,44 0,53
C20:3 (homo--linolenat) 0,97 1,06 0,55
C20:4 (arakidonat) 0,89 0,81 0,29
C20:5 (eikosapentaenoat) 0,45 0,46 0,17
C22:6 (dokosaheksaenoat) 0,95 0,92 0,79
Jenuh 46,76 45,62 47,26
Tak jenuh 53,24 54,38 52,74
Omega 3 2,28 2,11 1,45
Sumber: Hastarini et al. ( 2012)
2.4 Pelumas
Pelumas merupakan bahan yang mampu mengurangi gesekan antara dua
komponen. Pelumas atau oli merupakan cairan yang menentukan kemampuan kerja
mesin dan kendaraan bermotor. Pelumas dibagi dalam dua bagian, yaitu pelumas
cair dan pelumas pasta, yang disebut gemuk atau grease. Oli atau pelumas
cenderung digunakan pada bagian yang memerlukan fungsi lain selain pelumasan,
sebagai pendingin bagian-bagian yang dilumasi, atau sebagai pembawa kotoran
13
bagian-bagian mesin. Adapun gemuk dipergunakan untuk bagian-bagian yang
memerlukan pelumasan dengan kekentalan tinggi (Nugrahani, 2008). Berdasarkan
jumlah atom karbon pada fraksi minyak bumi, pelumas digolongkan ke dalam
fraksi minyak berat dengan rentang rantai karbon berjumlah C31 – C40 (Sutarno,
2013).
Pelumasan sendiri dapat diartikan sebagai proses menyisipkan bahan
tertentu (pelumas) diantara dua permukaan yang saling kontak dengan tujuan untuk
mengurangi gaya gesek. Kerugian yang disebabkan oleh gesekan adalah terjadinya
keausan dan kehilangan energi. Seiring dengan meningkatnya perkembangan
teknologi dan pemakaian mesin-mesin industri dan otomotif maka dapat dipastikan
pula bahwa kebutuhan pelumas akan semakin meningkat karena pelumas
merupakan salah satu komponen bahan penunjang untuk hampir semua komponen
mesin. Selain berfungsi mengurangi gaya gesek, pelumas juga berfungsi
mendinginkan dan mengendalikan kontaminan atau kotoran guna memastikan
mesin bekerja dengan baik (Yanto dan Septiana, 2012).
Menurut Sukirno (1988) beberapa sifat penting yang sangat dibutuhkan agar
minyak lumas dapat berfungsi dengan baik adalah:
a. Low volatility atau tidak mudah menguap, terutama pada kondisi operasi.
Volatilitas suatu minyak lumas penting sekali dalam pemilihan jenis pelumas
dasar sesuai pemakaian.
b. Fluiditas atau sifat mengalir dalam daerah suhu operasi.
c. Stabilitas selama periode pemakaian. Sebagian sifat ini ditentukan oleh aditif.
d. Kompatibilitas atau kecocokan dengan bahan lain dalam sistem.
14
Pada umumnya pelumas memiliki komposisi yang terdiri dari 90% minyak
dasar dan 10% zat tambahan. Minyak pelumas dasar dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu minyak mineral, organik, dan sintesis. Minyak mineral merupakan
minyak pelumas dasar yang berasal dari hasil pengilangan minyak bumi. Minyak
organik berasal dari komponen lemak tumbuh-tumbuhan (nabati) dan hewan
(hewani). Minyak sintesis berasal dari bahan kimia yang mengalami proses sintesis
hidrokarbon misalnya, poli-α-olefin, golongan ester, atau golongan naftalen
teralkilasi (Misriyanto, 2009).
2.4.1 Biopelumas
Definisi biopelumas atau biasa disebut biolubricant adalah pelumas yang
secara tepat dapat terdegradasi (biodegradable) dan tidak beracun (nontoxic) bagi
manusia dan lingkungan (Askew, 2004). Biopelumas dikembangkan dari bahan
dasar berupa lemak hewan ataupun minyak tumbuh-tumbuhan. Pelumas berbahan
dasar minyak tumbuhan bersifat biodegradable dan nontoxic, juga bersifat dapat
diperbaharui (renewable) (Kuweir, 2010).
Selain tidak beracun dan mudah terurai, biopelumas memiliki keunggulan
lain dibandingkan pelumas mineral dan pelumas sintesis (Honary, 2006), yaitu:
1. Memiliki sifat pelumasan yang lebih baik karena struktur molekulnya lebih
polar sehingga lebih menempel pada permukaan;
2. Melindungi permukaan dengan baik walaupun pada tekanan tinggi;
3. Memiliki titik nyala yang tinggi sehingga lebih aman digunakan;
4. Indeks viskositas yang tinggi: viskositasnya tidak terlalu berubah banyak
seperti pelumas mineral terhadap perubahan temperatur;
5. Memiliki volatilitas yang rendah sehingga tidak mudah menguap.
15
Dewasa ini, terjadi peningkatan tuntutan pelumas yang cocok digunakan
sehingga tidak mencemari lingkungan apabila terjadi kontak dengan air, makanan
ataupun manusia. Biopelumas memenuhi syarat-syarat tersebut karena biopelumas
terurai di dalam tanah lebih dari 90% (biodegradable) sehingga tidak menyebabkan
polutan bagi lingkungan, tidak seperti pelumas mineral dan sintesis maksimal
terurai hanya 40% yang menyebabkan perlunya penanganan lebih lanjut, selain itu
juga biopelumas tidak beracun (nontoxic) karena berasal dari minyak tumbuhan
(Kuweir, 2010). Minyak hewan memiliki struktur dan karakteristik yang mirip
dengan minyak tumbuhan (Biermann, 2008) sehingga biopelumas dari minyak
alami (tumbuhan atau hewan) dapat mengatasi masalah lingkungan, keselamatan,
dan kesehatan (Borras, 2016).
2.4.2 Sertifikasi Standar Minyak Pelumas
Standar pelumasan berdasarkan viskositas bermacam-macam antara lain
SAE (Society of Automotive Engineers), API (American Petroleum Institute),
ASTM (American Society for Testing and Material), ISO (International
Organization for Standardization) dan JASO (Japanese Automotive Standars
Organization). Pelumas di Indonesia biasanya menggunakan lebih dari satu standar,
dan yang paling sering digunakan adalah SAE (Darmanto, 2011).
Society of Automotive Engineers (SAE), yaitu klasifikasi pelumas mesin
menurut tingkat kekentalannya pada suhu 100°C dan beberapa suhu rendah
tergantung dari tingkat kekentalannya. Viskositas pada suhu tinggi berhubungan
dengan tingkat konsumsi pelumas dan karakteristik keausan. Kekentalan suhu
rendah digunakan untuk memprediksi kemudahan start dan kinerja pelumasan pada
suhu rendah. Pelumasan dengan indeks viskositas tinggi kurang sensitif terhadap
16
perubahan suhu (Nugrahani, 2008). American Petroleum Institute (API), yaitu
klasifikasi kinerja pelumas untuk mesin bensin menggunakan simbol S (SA-SJ),
klasifikasi kinerja mesin diesel dengan simbol C (CA-CG) (Nugroho, 2005).
2.4.3 Karakteristik Minyak Pelumas
1. Viskositas
Viskositas adalah kekentalan suatu minyak pelumas yang merupakan
ukuran kecepatan bergerak atau daya tolak suatu pelumas untuk mengalir (Arisandi,
2012). Viskositas adalah tegangan geser pada bidang fluida perunit perubahan
kecepatan terhadap bidang normal. Viskositas memiliki satuan mm/s2 atau
centistoke (cSt) semakin tinggi nilai viskositas pelumas akan semakin kental
(Darmanto, 2011).
2. Indeks Viskositas
Indeks viskositas merupakan kecepatan perubahan kekentalan suatu
pelumas dikarenakan adanya perubahan temperatur (Arisandi et al., 2012). Indeks
viskositas merupakan hubungan antara viskositas/kekentalan pelumas terhadap
perubahan temperatur. Temperatur kerja yang semakin tinggi akan menurunkan
viskositas pelumas, demikian juga sebaliknya semakin rendah temperatur kerja
kekentalan pelumas akan naik (Darmanto, 2011).
Menurut Sudrajat et al. (2007), indeks viskositas merupakan pengukuran
perubahan viskositas relatif terhadap perubahan temperatur antara suhu 40°C dan
100°C. Nilai indeks viskositas pelumas terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Indeks viskositas rendah atau Low Viscosity Index (LVI) adalah pelumas yang
memiliki indeks viskositas lebih rendah dari 40.
17
b. Indeks viskositas sedang atau Medium Viscosity Index (MVI) adalah pelumas
yang memiliki indeks viskositas antara 40 sampai dengan 80.
c. Indeks viskositas tinggi atau High Viscosity Index (HVI) adalah pelumas yang
memiliki indeks viskositas lebih besar dari 80.
3. Titik Nyala (Flash Point)
Flash point atau titik nyala, menunjukkan temperatur dimana pelumas akan
dan terus menyala sekurang-kurangnya selama 5 detik (Arisandi et al., 2012). Titik
nyala digunakan untuk mengetahui saat awal pelumas akan terbakar atau timbul
nyala api saat berada dalam mesin (Sudrajat et al., 2007).
4. Titik Tuang (Pour Point)
Titik tuang merupakan suhu terendah dimana pelumas dapat mengalir pada
kondisi tersebut. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mengetahui kemampuan
mengalir pelumas pada suhu rendah yang berhubungan dengan suhu minimum
pemakaian atau kondisi kerja dari pelumas tersebut (Wiyantoko, 2016).
5. Korosi Bilah Tembaga
Korosi bilah tembaga merupakan ukuran bahan produk pelumas
menimbulkan korosi terhadap tembaga. Pengujian biasanya dilakukan pada
gasoline serta aviation gasoline. Prinsip pengujian yaitu sampel dioleskan pada
lempengan tembaga dan dipanaskan pada kondisi tertentu. Hasil pembakaran
diamati dan dibandingkan dengan standar (Wiyantoko, 2016).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
mengeluarkan keputusan mengenai syarat dan mutu (spesifikasi) pelumas yang
dipasarkan di dalam negeri dengan nomor: 2808 k/20/mem/2006 berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) diuraikan pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Karakteristik fisika kimia untuk kerja minyak pelumas hidrolik industri
Sifat pelumas Spesifikasi
Metode uji ISO VG 32 ISO VG 46
Viskositas pada 40 °C, cSt 28-35 41-50 ASTM D-445
Viskositas pada 100 °C, cSt min. 5,0 min 6,1 ASTM D-445
Indeks viskositas min. 90 min. 90 ASTM D-2270
Titik tuang (pour point), °C maks. (-17.5) maks. (-15) ASTM D-97
Titik nyala (flash point), °C min. 175 min. 175 ASTM D-92
Korosi bilah tembaga maks. 1b maks. 1b ASTM D-130
Sumber: SNI (2006)
2.5 Tahapan Sintesis Biopelumas
2.5.1 Ekstraksi Lemak dan Minyak
Ekstraksi adalah salah satu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari
bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini
bermacam-macam yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical
expression dan solvent extraction (Ketaren, 2008).
1. Rendering
Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan
yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi
(Ketaren, 2008). Pada teknik ini digunakan panas yang bertujuan untuk
menggumpalkan protein pada dinding sel dan memecahkan dinding sel tersebut
sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan proses pengerjaannya rendering terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Wet rendering
Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air
selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan dengan ketel terbuka
19
atau tertutup pada suhu tinggi serta tekanan 3-4 atm. Penggunaan suhu rendah
dalam proses ini jika diinginkan aroma yang netral dari minyak atau lemak.
b. Dry rendering
Dry rendering adalah salah satu cara rendering tanpa penambahan air
selama proses berlangsung. Proses ini dilakukan dalam ketel terbuka dan dilengkapi
dengan penyekat uap serta alat pengaduk (agigator). Sampel dimasukkan ke dalam
ketel tanpa penambahan air kemudian dipanaskan sambil diaduk. Pemanasan
dilakukan pada suhu 105 – 110 °C.
2. Pengepresan Mekanis
Pengepresan mekanis merupakan suatu cara memisahkan minyak dari bahan
yang berkadar minyak tinggi (30-70%), terutama digunakan untuk bahan yang
berasal dari biji-bijian. Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan
pendahuluan sebelum minyak atau lemak dipisahkan dari bijinya, perlakuan
tersebut antara lain perajangan, penggilingan, dan tempering atau pemasakan. Dua
cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu :
a. Pengepresan hidraulik (Hydraulic Pressing)
Pada metode ini bahan yang mengandung minyak atau lemak diberi tekanan
sebesar 136 atm. Jumlah minyak atau lemak yang diperoleh bergantung pada
tekanan yang digunakan, lamanya tekanan yang diberikan, dan kandungan minyak
atau lemak dalam sampel.
b. Pengepresan beruling (Expeller Pressing)
Metode ini memerlukan perlakuan khusus pada bahan yang mengandung
minyak atau lemak, yaitu proses pemasakan dilakukan pada suhu 115,5 °C dengan
tekanan sekitar 15-20 atm. Kadar air yang masih terdapat dalam minyak atau lemak
20
yang dihasilkan melalui metode ini sebesar 2,5-3,5%, sedangkan pada ampas masih
terdapat minyak atau lemak sebesar 4-5%.
2.5.2 Hidrolisis
Hidrolisis minyak dengan air merupakan metode yang umum dipakai untuk
menghasilkan asam lemak. Reaksi ini akan menghasilkan gliserol sebagai produk
samping. Dalam reaksi hidrolisis, lemak dan minyak akan diubah menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliserol.
Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak atau minyak,
yang disebut asam lemak, umumnya mempunyai rantai hidrokarbon panjang dan
tak bercabang. Lemak dan minyak seringkali diberi nama sebagai derivat asam-
asam lemak (Riswiyanto, 2009). Reaksi hidrolisis trigliserida (lemak atau minyak)
ditunjukkan pada Gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4. Reaksi hidrolisis trigliserida (Riswiyanto, 2009)
2.5.3 Polimerisasi
Polimerisasi merupakan proses terbentuknya polimer dari monomer.
Semakin besar molekul (berarti semakin besar berat molekul) maka bentuk polimer
cenderung mengental hingga memadat (Rochmadi dan Ajar, 2015).
Polimerisasi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan berdasarkan
reaksinya yaitu, polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi yang
terjadi pada penelitian ini yaitu polimerisasi adisi. Polimerisasi adisi melibatkan
21
reaksi rantai. Pembawa rantai pada polimerisasi adisi dapat berupa spesi reaktif
yang mengandung satu elektron tak berpasangan yang disebut radikal bebas, atau
beberapa ion (Cowd, 1991).
Reaksi polimerisasi adisi membutuhkan inisiator yang akan membentuk
pusat aktif tumbuhnya polimer. Pada penelitian ini digunakan inisiator benzoil
peroksida. Polimerisasi adisi menggunakan radikal bebas dari inisiator benzoil
peroksida untuk memicu terjadinya reaksi polimerisasi. Polimerisasi dengan
menggunakan radikal bebas, sangat dipengaruhi oleh suhu, nilai pH, konsentrasi
monomer, dan media polimerisasi (Handayani, 2006).
Dalam proses polimerisasi radikal bebas terdapat tiga urutan langkah reaksi,
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi, benzoil peroksida
dikenai energi (panas) hingga terbelah menjadi gugus yang reaktif (radikal bebas)
dengan adanya elektron bebas tanpa pasangan. Radikal bebas hasil disosiasi
kemudian menyerang monomer sehingga terbentuk radikal bebas baru (asosiasi).
Monomer yang sudah bersifat radikal ini menjadi sangat reaktif. Jadi, reaksi inisiasi
prinsipnya adalah aktivasi monomer radikal yang reaktif. Pada tahap propagasi
radikal bebas monomer baru tersebut bereaksi dengan molekul monomer lain,
demikian seterusnya hingga tumbuh membentuk radikal polimer rantai panjang
(chain-growth). Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga dinamakan reaksi
rantai (chain reaction). Tahap terminasi merupakan tahap berakhirnya teaksi
polimerisasi, dimana sejumlah chain-growth radikal bebas tumbukan satu dengan
yang lain. Masing-masing tumbukan tersebut kemudian saling berinteraksi dengan
memasangkan elektron bebas yang dimiliki (Rochmadi dan Ajar, 2015). Reaksinya
ditunjukkan pada Gambar 5 sebagai berikut:
22
Tahap Inisiasi:
Tahap Propagasi:
Tahap Terminasi:
Gambar 5. Polimerisasi mekanisme radikal bebas (Rochmadi dan Ajar, 2015)
2.5.4 Poliesterifikasi
Poliesterifikasi merupakan proses pembuatan polimer dengan cara
kondensasi yang menggabungkan dua jenis gugus utama yaitu karboksil dari asam
karboksilat dan hidroksil dari suatu alkandiol sehingga menghasilkan gugus ester.
23
Alkandiol yang paling umum digunakan adalah etilen glikol. Jika molekul pereaksi
mengandung jumlah gugus yang sama meskipun jenisnya berbeda, maka akan
terbentuk polimer rantai linear. Akan tetapi, apabila jumlahnya berbeda, maka akan
terbentuk rantai jaring (Anwar, 2009).
Penambahan etilen glikol pada reaksi polimerisasi adalah salah satu usaha
meminimalisir kadar air yang terbentuk (Manurung et al., 2013). Selain itu,
penambahan etilen glikol juga berfungsi sebagai pemanjangan rantai polimer (Budi
et al., 2009). Dengan bertambah panjangnya rantai polimer maka berat molekul
juga semakin bertambah besar sehingga produk akhir polimer dapat terbentuk.
Polimerisasi kondensasi poli(etilentereftalat) dilakukan dengan
mereaksikan asam tereftalat dan etilen glikol melalui reaksi kondensasi sebagai
berikut (Gambar 6).
Gambar 6. Poliesterifikasi asam tereftalat dengan etilen glikol (Anwar, 2009)
2.6 Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh
James dan Martin pada tahun 1952, teknik ini merupakan metode analisis
kuantitatif dan kualitatif yang cepat untuk menganalisis komponen lipida volatil,
seperti hidrokarbon, ester asam lemak, sterol, dan lain-lain (Gunstone et a., 1995).
Penggunaan kromatografi menurut Skoog et al. (1998) dibedakan antara dua
24
metode penggunaan. Pertama, kromatografi gas digunakan sebagai alat untuk
melakukan pemisahan. Penggunaan ini memerlukan pengubahan senyawa sampel
menjadi senyawa volatil atau senyawa yang dapat diderivatisasi untuk
menghasilkan senyawa volatil. Kedua, kromatografi gas sebagai pelengkap untuk
hasil analisis yang sempurna, dalam hal ini volume dan waktu retensi digunakan
untuk identifikasi senyawa, dan bobot serta luas puncak sebagai informasi
kuantitatifnya.
Bagian dasar suatu kromatografi gas adalah: tangki gas pembawa, sistem
injeksi sampel, kolom kromatografi, detektor, oven, dan rekorder (Nielsen, 1998).
Gas pembawa merupakan gas yang inert dan memiliki tingkat kemurnian yang
tinggi seperti helium, nitrogen, dan hidrogen. Penggunaan jenis gas tergantung dari
jenis detektor yang digunakan. Menurut Skoog et al. (1998) sistem gas pembawa
biasanya berisi molekul penyaring air dan zat pengotor lain. Tangki gas pembawa
dilengkapi dengan regulator aliran dan tekanan.
Sampel diinjeksikan dengan menggunakan syringe ke tempat injeksi
(injection port). Oven berfungsi mengontrol temperatur dalam kolom kromatografi.
Kolom kromatografi gas dapat berupa packed column atau capillary column.
Penggunaan awal kromatografi gas banyak menggunakan tipe packed column,
tetapi pada perkembangannya tipe capillary lebih banyak digunakan.
Detektor yang sering digunakan pada kromatografi gas adalah flame
ionization (FID), thermal conductivity (TCD), electron capture (ECD), flame
photometric (FPD), dan photoionization (PID). Detektor haruslah peka terhadap
komponen-komponen yang terpisahkan didalam kolom serta mengubah kepekaan
menjadi sinyal.
25
Komposisi asam lemak dapat dianalisis dengan menggunakan metode
kromatografi gas. Prinsip analisis komposisi asam lemak dengan gas liquid
chromatography (GLC) adalah dengan mengubah komponen asam lemak menjadi
senyawa volatil fatty acid methyl ester (FAME). Metil ester asam lemak tersebut
akan dibawa oleh gas (carrier) untuk melewati fase diam berupa cairan di dalam
kolom dan kemudian akan dipisahkan sesuai dengan tingkat volatilitas dan
interaksinya dengan fase diam. Perbedaan volatilitas asam lemak serta interaksinya
dengan fase diam akan menyebabkan masing-masing komponen asam lemak
berada di dalam kolom dengan waktu retensi yang berbeda. Komponen yang keluar
kemudian akan dideteksi dengan flame ionization detector (FID), yang memberikan
responnya berupa puncak kromatogram. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada
pada contoh dapat diidentifikasi dengan membandingkan puncak kromatogram
contoh dengan puncak kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis
dan konsentrasinya.
2.7 Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)
Spektroskopi inframerah adalah salah satu teknik spektroskopi yang paling
umum digunakan oleh kimia organik dan anorganik. Spektroskopi IR
memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi suatu sampel karena spektra
tersebut dapat dimanfaatkan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hof, 2003).
Tujuan utama analisis spektroskopi inframerah adalah menentukan gugus-gugus
fungsi molekul (Mulja dan Suharman, 1995). Saat ini perkembangan transformasi
fourier, spektroskopi FTIR digunakan secara luas dalam bidang farmasi, makanan,
lingkungan dan sebagainya (Che Man et al., 2010).
26
Menurut Stuart (2004), spektra IR dapat dibagi dalam tiga daerah utama,
yaitu IR jauh (<400 cm-1), IR tengah (4000-400 cm-1) dan IR dekat (13000-4000
cm-1). Dari ketiga daerah itu, IR tengah merupakan daerah yang paling banyak
digunakan untuk analisis karena semua molekul mempunyai absorbansi
karakteristik dan vibrasi molekul utama dalam daerah ini (Davis dan Mauer, 2010).
Spektroskopi inframerah tengah merupakan metode yang didasarkan pada
interaksi radiasi inframerah dengan sampel. Radiasi Inframerah dilewatkan
melewati sampel, panjang gelombang spesifik diserap karena ikatan kimia pada
material (contracting), dan pembengkokan (bending). Gugus fungsi yang ada dalam
suatu molekul cenderung menyerap radiasi inframerah pada kisaran bilangan
gelombang yang sama terlepas dari struktur lain dalam molekul. Puncak spektrum
juga diturunkan dari absorbasi perubahan energi vibrasi pada daerah inframerah.
Jadi, ada hubungan antara posisi pita inframerah dan struktur kimia dalam molekul
(Davis dan Mauer, 2010).
Daerah spektrum inframerah dapat dibagi menjadi dua yaitu (Mudasir dan
Candra, 2008):
1. Daerah frekuensi gugus fungsional, terletak pada 4000-1400 cm-1. Bagian dari
spektrum ini menunjukkan absorbsi yang timbul karena ikatan dan gugus fungsi.
Kebanyakan puncak absorbsi dalam daerah spektrum ini dengan mudah dikenali
karena berasal dari gugus fungsional yang khas.
2. Daerah sidik jari (fingerprint), yaitu daerah yang terletak pada 1400-400 cm-1.
Pita-pita absorpsi pada daerah ini berhubungan dengan vibrasi molekul secara
keseluruhan. Setiap atom dalam molekul akan saling mempengaruhi sehingga
dihasilkan pita-pita absoprsi yang khas untuk setiap model.
27
Komponen dasar spektrofotometer FTIR adalah sumber sinar,
interferometer, sampel, detektor penguat (amplifier), pengubah analog ke digital,
dan komputer. Radiasi muncul dari sumber sinar yang dilewatkan melalui
interferometer ke sampel yang akan dideteksi sebelum mencapai detektor. Setelah
terjadi amplifikasi sinyal, data dikonversi ke dalam bentuk digitalnya, kemudian
ditransfer ke komputer untuk transformasi Fourier (Stuart, 2004).
Mekanisme yang terjadi pada FTIR yaitu sinar datang dari sumber sinar
yang kemudian diteruskan, lalu akan dipecah oleh pemecah sinar menjadi dua
bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua
cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Kemudian sinar hasil pantulan dari
kedua cermin tersebut akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk
saling berinteraksi.
Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan
sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan
sinar pada detektor berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin
memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar sampai pada detektor ini akan
menghasilkan sinyal pada detektor yang terdapat pada interferometer (Prastika,
2015).
Interferometer berfungsi untuk mengatur intensitas sumber sinar inframerah
dengan mengubah dari posisi cermin pemantul yang memantulkan sinar dari
sumber sinar ke sampel. Interferometer (Michelson Interferometer) menggunakan
beam splitter untuk membelah sinar radiasi dari sumber inframerah menjadi dua
bagian, yaitu bagian pertama dipantulkan pada cermin yang tetap dan bagian
lainnya ditransmisikan ke cermin yang bergerak. Dengan adanya interferometer ini
28
menjadikan spektrometer dapat mengukur semua frekuensi tunggal sebelum sinyal
mencapai detektor. Hasil scanning dari interferometer ini berupa interferogram.
Kemudian interferogram akan diubah menjadi spektrum antara intensitas dan
frekuensi dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Prastika,
2015).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2019
di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan, Slipi Petamburan, Jakarta Pusat.Analisis
profil asam lemak dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu IPB dan uji
karakteristik biopelumas di Laboratorium Oil Clinic Pertamina Lubricants.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, neraca
analitik, ekstraktor minyak ikan, corong pisah, penangas air (Thermoscientific),
termometer (K-thermocouple thermometer), piknometer, Viskometer Brookfield
(AMETEK TC 550), Kinematic Viskometer test, Pour Point test, Flash Pointtest,
Couper Corrotion test, Consentrator (Chemoscience), seperangkat alat GC (gas
chromatoghraphy) (Shimadzu Co.Japan), dan seperangkat alat Spektrofotometer
Fourier Transform Infra Red (FTIR Spectrum One, Perkin Elmer).
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian kepala,
tulang, dan ekor (KTE) dari limbah pengolahan filet ikan patin siam di daerah
Karawang dan Riau. Bahan kimia yang digunakan antara lain: HCl pekat (Merck),
inisiator benzoil peroksida (Merck), dan etilen glikol (Merck), KOH, etanol,
petroleum eter, BF3-metanol, n-heksana, dan pelet KBr.
30
3.3 Skema Kerja
Gambar 7. Diagram alir penelitian
+ aquades
+ HCl
5%b/b
Analisis Proksimat
(kadar air, abu dan lemak)
+ benzoil
peroksida
0.2% b/b
Ekstraksi
sampel : air (1:1;1:2)
selama 30 menit
Suhu 70°C, 110 rpm
Kepala-tulang-ekor
(KTE)
limbah ikan patin
Minyak Ikan
Hidrolisis
minyak : air (1:1)
selama 2 jam
Suhu 70°C, 200 rpm
Preparasi bahan baku
Karakterisasi minyak ikan
1. bilangan penyabunan
2. bilangan asam lemak bebas
3. densitas
4. viskositas
5. komposisi asam lemak
dengan Kromatografi Gas Polimerisasi
selama 5 jam
Suhu 130°C, 200 rpm
Poliesterifikasi
selama 4 jam
Suhu 120°C, 200 rpm
+ as.lemak:
etilen glikol
(1:4, 1:6, 1:8)
Biopelumas
Karakterisasi Biopelumas
1. densitas
2. viskositas 40°C dan 100°C
3. indeks viskositas
4. titik tuang
5. titik nyala
6. korosi bilah tembaga
7. gugus fungsi dengan FTIR
8. komposisi biopelumas
dengan Kromatografi Gas
Asam lemak
Asam lemak
terpolimerisasi
31
3.4 Prosedur Percobaan
3.4.1 Preparasi Limbah Ikan (Hastarini et al., 2012)
Proses preparasi limbah ikan patin dilakukan dengan cara mencacah bagian
kepala, tulang dan ekor (KTE) sebanyak 23 kg menjadi bagian yang lebih kecil.
Limbah ikan yang sudah dicacah kemudian dibagi untuk kebutuhan ekstraksi dan
analisis. Limbah yang didapatkan kemudian disimpan dalam lemari pendingin suhu
-18°C hingga digunakan.
3.4.2 Analisis Bahan Baku
Bahan baku (sampel) yang dianalisis yaitu bagian kepala, tulang, ekor ikan
patin yang sudah dipreparasi. Analisis yang akan dilakukan meliputi:
3.4.2.1 Kadar Air (AOAC, 2006)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang
sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100°C
selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan
ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat
konstan (C).
Kadar air (% b/b) = B−(C−A)
B × 100%............(1)
3.4.2.2 Kadar Abu (AOAC, 2006)
Cawan untuk melakukan pengabuan disiapkan kemudian dikeringkan dalam
oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel
ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap
sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam
tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna
32
putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang (C).
Kadar abu (% b/b) = C−A
B × 100%...................(2)
3.4.2.3 Kadar lemak (AOAC, 2006)
Sebanyak 2 g sampel dikeringkan dalam oven (105 ºC) terlebih dahulu
selama kurang lebih 2 jam diatas kertas saring bebas lemak. Selanjutnya contoh
yang sudah kering dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu
soxhlet (labu soxhlet sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam
desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan
refluks selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil refluks dipanaskan dalam oven dengan
suhu 105 ºC hingga menguap. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus :
Kadar lemak (%)= berat lemak
berat sampel × 100%..........................(3)
3.4.3 Ekstraksi Minyak Ikan
Proses ekstraksi minyak ikan patin dilakukan dengan metode Sathivel et al.
(2008) dan Hastarini et al. (2012) yang dimodifikasi. Bahan baku (sampel) yang
digunakan yaitu bagian kepala, tulang dan ekor ikan patin yang sudah dipreparasi
sebanyak 22,5 kg. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraktor
kemudian ditambahkan air dengan perbandingan sampel:air (1:1 dan 1:2) dan
direbus pada suhu sekitar 70 °C selama 30 menit. Setelah dilakukan perebusan,
lumatan disaring dengan kain hingga didapatkan filtrat (cairan) dan menyisakan
residu (padatan). Cairan yang didapatkan masih dalam bentuk emulsi yaitu
campuran antara minyak dan air yang akan dipisahkan dengan corong pisah.
33
Padatan yang didapat dari hasil penyaringan ditekan hingga mengeluarkan cairan,
kemudian cairan yang didapatkan dicampurkan ke dalam cairan yang akan
dipisahkan. Proses pemisahan menggunakan corong pisah untuk memisahkan
minyak dari bahan-bahan lainnya. Hasil yang didapatkan berupa minyak ikan patin
kasar. Selanjutnya berat minyak yang dihasilkan ditimbang sebagai yield minyak
ikan kasar. Minyak ikan patin kasar yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol
berwarna gelap dan kemudian disimpan pada suhu ruang sebelum diproses menjadi
biopelumas.
Yield (%) =𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐢𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 (𝐠)
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐨𝐥𝐚𝐡 (𝐠)× 100%....................(4)
3.4.4 Karakterisasi Minyak Ikan
Karakterisasi minyak ikan hasil ektraksi yang dilakukan meliputi asam
lemak bebas, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, dan profil asam lemak.
3.4.4.1 Analisis Kandungan Asam Lemak Bebas (Lembaga Teknologi
Perikanan, 1998)
Sebanyak 1 g minyak dilarutkan dalam 25 mL larutan eter : etanol 95%
(1:1), kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein (pp). Selanjutnya
dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai larutan berwarna merah muda.
Angka asam = 56,11 ×mL KOH × N KOH ×0,8710
berat minyak (g)................................(5)
Asam lemak bebas (%) = Angka asam × B.M asam oleat ×100
BM KOH ×1000............(6)
3.4.4.2 Analisis Bilangan Penyabunan (AOCS, 2005)
Bilangan penyabunan adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan
untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Tahapan untuk mengetahui
bilangan penyabunan minyak yang telah diekstraksi, sebanyak ± 2 g minyak
34
ditimbang dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL KOH 0,5 N dalam
alkohol serta beberapa butir batu didih. Setelah ditutup dengan pendingin balik,
dididihkan dengan hati-hati selama 1 jam sehingga minyak dan KOH bercampur
homogen. Setelah dingin ditambahkan beberapa tetes indikator PP dan kelebihan
KOH dititrasi dengan larutan standar 0,5 N HCl sampai menjadi tidak berwarna.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko (titrasi tanpa menggunakan sampel).
Bilangan Penyabunan = 28,05 ×(mL titrasi blanko−mLtitrasi sampel)
Berat sampel (g)…..(7)
3.4.4.3 Viskositas (Hastarini, 2012)
Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viscometer Brookfield.
Sampel minyak yang telah disimpan beku dicairkan terlebih dahulu dengan cara
botol minyak direndam air di sekelilingnya dan dipanaskan diatas penangas air pada
suhu 30 ºC hingga minyak mencair sempurna. Minyak kemudian dituangkan
kedalam tabung benda uji hingga 2/3 bagian. Spindle dimasukkan ke dalam tabung
benda uji hingga tercelup ke dalam minyak. Setelah itu tabung benda uji
dipasangkan dengan viscometer brookfield. Minyak kemudian diukur viskositasnya
menggunakan spindel 1 dengan kecepatan 30 rpm.
3.4.4.4 Densitas (ASTM D-854)
Pengukuran densitas/massa jenis minyak dengan menggunakan alat uji
piknometer. Piknometer ukuran 25 mL ditimbang dalam keadaan kosong (a).
Piknometer diisi dengan minyak suhu 20°C sebanyak 25mL, piknometer ditutup
apabila volume yang diisikan sudah tepat, kemudian ditimbang kembali (b). Untuk
menentukan massa jenis minyak dengan menggunakan piknometer dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
35
ρ = m
v...................(8)
Keterangan:
ρ= massa jenis zat cair (g/cm3)
m = massa zat cair (g) = (b-a)
v = volume (cm3)
3.4.4.5 Analisis Komposisi Asam Lemak Menggunakan Kromatografi Gas
(AOAC, 2006)
Analisis profil dan komposisi asam lemak terdiri dari 2 tahap yaitu tahap
metilasi dan identifikasi. Tahap metilasi adalah sebagai berikut: minyak sebanyak
1 mL dimasukkan ke dalam microtube dan disentrifugasi selama 15 menit pada
10.000 rpm. Kemudian minyak sebanyak 500 µL yang sudah disentrifugasi
dipindahkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 2 mL BF3-metanol (14
%) dan dipanaskan dalam waterbath bersuhu 55 °C selama 1,5 jam. Tiap 20 menit,
tabung diguncangkan secara perlahan. Setelah 1,5 jam, tabung didinginkan hingga
suhu kamar. Selanjutnya larutan ditambahkan 2 mL H2O HPLC Grade dan 2 mL
n-heksana. Larutan dipisahkan dengan vortex selama 10 detik lalu didiamkan
hingga terpisah menjadi dua lapisan selama 5 menit atau lebih. Larutan kemudian
dipisahkan ulang dengan vortex selama 10 detik, didiamkan hingga terpisah
menjadi dua lapisan selama 5 menit atau lebih. Fraksi n-heksana diambil dengan
hati-hati, lalu dikeringkan dengan menggunakan concentrator di microtube. Fraksi
n-heksana yang kering diarutkan kembali dalam 100 µL n-heksana dan dimasukkan
ke dalam vial. Selanjutnya diinjeksikan ke instrumen kromatografi gas sebanyak 1
μL, setelah sebelumnya dilakukan penginjeksian 1 μL campuran standar eksternal
FAME (Supelco 37 component fatty acid methyl ester mix).
Tahap identifikasi asam lemak dilakukan dengan cara menginjeksikan1 μL
metil ester pada kromatogafi gas (GC) dengan kondisi pengukuran seperti dalam
36
Lampiran12. Identifikasi asam lemak dalam sampel dilakukan dengan
mencocokkan waktu retensi puncak asam lemak sampel dengan waktu retensi
puncak standar FAME murni (Lampiran 14). Perhitungan jumlah asam lemak jenuh
maupun tidak jenuh dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama membandingkan
waktu retensi (Rt) asam lemak yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi
asam lemak dalam standar eksternal. Kedua, menghitung asam lemak yang
teridentifikasi dalam sampel (% b/b) dengan rumus sebagai berikut :
Kandungan komponen dalam sampel =
Ax
As× Cstandar × Vsampel/100
gram sampel× 100%...(9)
Keterangan:
Ax = Area sampel
As = Area standar
Cstandar = Konsentrasi standar
Vcontoh = Volume sampel
3.4.5 Pembuatan Biopelumas
Proses pembuatan biopelumas dilakukan dengan menggunakan metode
Setyawardhani (2013) dan Yanli (2016) yang dimodifikasi. Sebanyak 100 mL (3
kali ulangan) minyak atau trigliserida hasil ekstraksi dihidrolisis dengan
perbandingan volume antara minyak dengan air 1:1, ditambahkan katalis HCl 10N
sebanyak 5% b/b selama 2 jam, temperatur reaksi 70 °C dan kecepatan pengadukan
200 rpm. Proses hidrolisis menghasilkan asam lemak gliserol, dan air (membentuk
3 fasa), kemudian campuran dipisahkan menggunakan corong pisah. Asam lemak
berada pada fasa atas, sedangkan air dan gliserol berada pada fasa bawah. Asam
lemak dipisahkan dari air dan gliserol.
Asam lemak dipolimerisasi dengan inisiator benzoil peroksida 0,2% b/b
selama 5 jam, kecepatan pengadukan 200 rpm dan suhu reaksi 130 °C. Hasil
polimerisasi langsung dipoliesterifikasi selama 4 jam, pada suhu150 °C, kecepatan
37
pengadukan 200 rpm, dan variasi rasio mol asam lemak terhadap etilen glikol
adalah 1:4, 1:6, dan 1:8. Produknya akan membentuk 2 fasa (biopelumas dan air),
dipisahkan dengan corong pisah. Biopelumas terdapat pada bagian atas.
Selanjutnya berat biopelumas yang dihasilkan ditimbang sebagai yield biopelumas.
Yield (%) = 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐨𝐩𝐞𝐥𝐮𝐦𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 (𝐠)
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐨𝐥𝐚𝐡 (𝐠) × 100%............(10)
3.4.6 Karakterisasi Biopelumas
Karakterisasi biopelumas yang dilakukan meliputi densitas, viskositas
kinematik (40 °C dan 100 °C), indeks viskositas, titik tuang, titik nyala, korosi bilah
tembaga, dan gugus fungsi.
3.4.6.1 Densitas
Pengukuran densitas/massa jenis biopelumas sama dengan pengukuran
densitas minyak ikan pada subbab 3.4.4.4.
3.4.6.2 Viskositas Kinematik dan Indeks Viskositas (ASTM D 445)
Pengukuran alat ini bersifat otomatis, pada suhu 40°C dan 100°C dengan
pengukuran ASTM D445 “Standard Method for Kinematic Viscosity of
Transparent and Opaque Liquid”. Prosedur kerjanya, disiapkan sampel yang akan
diukur ke dalam dua buah tabung vial dengan masing-masing sejumlah 5 mL,
kemudian disiapkan alat ukur kinematic viscosity, ketika tube pengukuran telah siap
pada kondisi suhu yang diinginkan yaitu 40°C dan 100°C, maka pengukuran sampel
dapat dilakukan. Hasil pengukuran kinematic viscosity sampel pada dua kondisi
suhu akan diperoleh indeks viskositas (IV) sebagai ukuran pengaruh perubahan
suhu terhadap kekentalan minyak lumas.
38
v = C. t............(11)
Keterangan:
v = viskositas kinematik (mm2/s; centiStoke (cSt)
C = konstanta (upperbulb; 0,3529 mm2/s, lowerbulb; 0,4425 mm2/s)
t = waktu aliran (s)
IV = L−U
L−H× 100.................(12)
Keterangan:
IV = indeks viskositas (cSt)
L = harga viskositas kinematik dasar, pada 40 °C
H = harga viskositas kinematik dasar, pada 100 °C
U = viskositas kinematik pada 40 °C
3.4.6.3 Titik Tuang (ASTM D 97)
Pengukuran alat ini menggunakan metode pengujian ASTM D97 “Pour
Point of Petroleum Product”. Prosedur kerjanya, disiapkan sampel yang akan
diukur pada tabung vial bertara, volume sampel haruslah mencapai batas tara pada
tabung, kemudian disiapkan alat ukur pour point, dihidupkan alat lalu dinyalakan
mesin pendingin dan ditunggu beberapa saat hingga panel suhu pada pendingin
tersebut menyatakan kondisi 0°C. Sampel yang berada pada tabung vial
dimasukkan ke dalam wadah pengukuran, kemudian detektor diposisikan ke
dalamnya. Selanjutnya tombol START ditekan dan pengukuran pun dimulai.
Pengukuran dilakukan dengan cara sampel terlebih dahulu dipanaskan hingga titik
menguapnya. Setelah pemanasan, sampel kemudian didinginkan secara bertahap
hingga dicapai temperatur terendah dimana permukan lapisan minyak/sampel
tersebut telah membeku.
3.4.6.4 Titik Nyala (ASTM D 92)
Karakteristik ini diuji dengan menggunakan metode ASTM D 92 Cleveland
Open Cup (COC). COC terdiri dari cawan, aplikator api penguji, pemanas, dan
39
penyangga tempat termometer. Prosedur kerjanya, peralatan COC ditempatkan di
atas meja/tempat yang kuat. sampel pelumas yang akan diuji dimasukkan dalam
cawan hingga tanda batas bagian atas. Peralatan pengukur termperatur dipasangkan
dalam posisi vertikal dengan dasar termometer pada jarak ±6,4 mm di atas dasar
bagian dalam cawan uji. Suhu benda uji pemanasan diatur hingga naik dengan
kecepatan 1 °C/menit dan api penguji dinyalakan dan diatur besarnya serta panjang
nyala diusahakan tidak lebih dari 4 mm. Pada saat suhu sampel mencapai 10-15 °C
di bawah suhu perkiraan titik nyala, nyala uji dilewatkan searah dengan kecepatan
1 putaran/detik di atas benda uji. Ulangi hal tersebut setiap kenaikan suhu 1 °C.
Perubahan yang terjadi diamati, jika muncul asap, amati dengan seksama. Pada saat
api dilewatkan dan muncul api berwarna biru yang pertama, maka itulah titik nyala
sampel. Kemudian temperatur dilihat pada termometer dan dicatat suhu flash
pointnya.
3.4.6.5 Analisis Korosi Bilah Tembaga (ASTM D 130)
Batang tembaga diamplas hingga halus dan mengkilat. Sebanyak 30 mL
sampel dimasukkan ke dalam tabung pengukuran korosi. Kemudian batang
tembaga dicelupkan ke dalam sampel hingga bilah tembaga terendam seluruhnya
kira-kira 20 mL. Tabung dimasukkan ke dalam alat pengukur korosi yang suhunya
sudah diatur sebesar 40 °C (104 °F) dan didiamkan selama 3 jam ± 5 menit. Hasil
pengujian berupa perubahan warna pada tembaga kemudian dicocokkan dengan
ASTM copper strip corrosition standard pada Gambar 8.
40
Gambar 8. Standar warna pengujian korosi (ASTM D-130)
Hasil pengujian pada korosi bilah tembaga dicocokkan dengan ASTM
copper strip corrotion standard. Nilai hasil pengujian korosi bilah tembaga terbagi
atas empat tingkatan yaitu slight tarnish (peringkat 1A dan 1B), moderate tarnish
(2A, 2B, 2C, 2D, dan 2E), dark tarnish (3A dan 3B), dan corrosion (4A, 4B, dan
4C).
3.4.6.6 Penentuan Gugus Fungsi
Gugus fungsi dalam komponen ditentukan menggunakan spektroskopi
FTIR. Pembuatan pellet KBr dilakukan dengan cara, sampel yang telah bebas air
ditimbang sebanyak 1-2 mg. Kemudian sampel ditambahkan 100-200 mg KBr,
dimana perbandingan sampel:KBr adalah 1:100, selanjutnya digerus sampai halus.
Campuran sampel dan KBr tersebut kemudian ditekan secara vacuum pada tekanan
7-8 ton selama 10-20 menit, sehingga dihasilkan suatu disk yang transparan.
Selanjutnya pellet dimasukkan ke dalam slide holder, kemudian dilakukan
scanning pada panjang gelombang 500-4.000 cm-1.
3.4.6.7 Analisis Komposisi Biopelumas Menggunakan Kromatografi Gas
(AOAC, 2006)
Komposisi biopelumas yang dihasilkan ditentukan dengan kromatografi gas
seperti pada subbab 3.4.4.5
41
3.5 Analisis Data
Analisis data untuk pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil
samping pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield, densitas dan
viskositas biopelumas dilakukan menggunakan analisis statistik uji ANOVA single
factor. Jika P-value ˃0,05 maka terdapat perbedaan yang nyata secara signifikan.
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Proksimat Kepala Tulang Ekor (KTE) Ikan Patin
Bahan baku untuk pembuatan minyak ikan yaitu dari limbah ikan patin
bagian kepala, tulang dan ekor (KTE) didapatkan dari industri pengolahan filet ikan
patin yang sudah menjadi limbah atau sisa filet yang sudah tidak dapat dikonsumsi.
Limbah tersebut umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan. Bahan baku ini
kemudian dianalisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, dan lemak. Hasil
analisis proksimat dari limbah ikan patin bagian kepala, tulang, dan ekor (KTE)
ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan proksimat ikan patin bagian KTE
Komposisi Jumlah (%)
Kadar air 60,79±0,76
Kadar abu 7,93±0,75
Kadar lemak 16,67±0,62
Kandungan kadar air dari limbah ikan patin bagian KTE (Tabel 4) mencapai
60,79±0,76%. Nilai kandungan air tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan
kandungan air dalam ikan patin segar sebesar 75,70% (Panagan, 2012). Perbedaan
kadar air dapat disebabkan oleh jenis, umur biota, perbedaan kondisi lingkungan
hidup dan tingkat kesegaran organisme tersebut (Ayas dan Ozugul, 2011).
Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan
daya simpan bahan tersebut (Winarno, 2008).
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral pada
bahan seperti kalium, magnesium, dan natrium. Kadar abu ikan patin pada
penelitian ini sebesar 7,93±0,75% (Tabel 4). Nilai kandungan abu tersebut lebih
43
tinggi bila dibandingkan dengan kandungan abu dalam ikan patin segar sebesar
0,97% (Panagan, 2012). Wahyu et al. (2013) menyatakan bahwa kadar abu yang
terkandung dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh jenis makanan dan kandungan
mineral yang terdapat pada habitat hidup ikan tersebut.
Kadar lemak bagian KTE ikan patin sebesar 16,67±0,62% (Tabel 4). Hasil
tersebut sedikit berbeda dari penelitian Hastarini et al. (2012) bahwa kandungan
lemak ikan patin bagian KTE mencapai kisaran 11,20-13,10%. Kandungan lemak
sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, siklus alam, tahap kedewasaan, lokasi
geografis, pakan yang diberikan selama budidaya (Abdulkadir et al., 2010) dan
pergerakan serta ukuran kolam (Nakamura et al., 2007). Kadar lemak KTE ikan
patin yang cukup tinggi ini menyebabkan limbah KTE merupakan salah satu
sumber potensial untuk diekstrak menjadi minyak ikan.
4.2 Hasil Ekstraksi Minyak Ikan Patin
Ekstraksi minyak dari limbah KTE ikan patin dilakukan dengan metode
ekstraksi wet rendering (modifikasi Hastarini et al., 2012). Ekstraksi wet rendering
merupakan proses ekstraksi dengan penambahan sejumlah air selama
berlangsungnya proses tersebut. Proses wet rendering terdiri dari pemasakan ikan
dengan air panas yang bertujuan untuk memecah sel yang diduga mengandung
minyak dilanjutkan dengan pengepresan minyak yang telah dipanaskan (Estiasih,
2009). Beberapa keuntungan menggunakan metode tersebut diantaranya
penggunaan akuades sebagai carrier yang relatif aman dibanding pelarut kimia dan
efektif. Tabel 5 menunjukkan pengaruh perbandingan bahan baku (limbah KTE
ikan patin) dengan air terhadap yield minyak ikan patin kasar.
44
Tabel 5. Yield minyak ikan patin bagian KTE
No. Perbandingan bahan baku : air Yield (%)
1 KTE 1:1 7,76
2 KTE 1:2 14,38
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat yield minyak ikan patin dari perbandingan
KTE:air 1:2 lebih tinggi (hampir dua kali lipat) bila dibandingkan KTE:air 1:1.
Peningkatan volume air menyebabkan yield minyak yang diperoleh semakin tinggi.
Menurut Basito (2010) semakin besar perbandingan air akan meningkatkan kontak
antara bahan baku dengan air, maka akan meningkatkan faktor tumbukan antar
keduanya sehingga jumlah minyak yang berhasil dikeluarkan dari jaringan akan
semakin banyak. Sehingga perbandingan ekstraksi yang digunakan selanjutnya
pada penelitian ini adalah perbandingan antara bahan baku dengan air 1:2.
Yield minyak ikan patin dari KTE:air 1:2 dalam penelitian ini lebih tinggi
bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hastarini et al. (2012) yang memperoleh
yield minyak ikan patin sebesar 9,54% dari ektraksi bagian kepala ikan patin dengan
air (1:3). Perbandingan 1:3 menjadi kurang efektif dikarenakan penggunaan air
yang lebih banyak namun yield yang dihasilkan lebih sedikit. Kuantitas minyak
ikan seperti rendemen menggunakan metode dry rendering dinilai lebih tinggi
dibandingkan dengan wet rendering yaitu berkisar 62,01-76-07% (Suseno et al.,
2020). Namun untuk kualitas dari minyak ikan metode wet rendering lebih baik
dibandingkan dengan dry rendering (Eka, 2016). Ekstraksi wet rendering lebih
efektif digunakan untuk ikan-ikan berlemak tinggi dan dalam jumlah yang banyak
dibanding dengan dry rendering (Isnani, 2013). Selain itu juga metode wet
rendering paling umum digunakan untuk produksi minyak ikan (Nazir, 2017).
45
4.3 Karakteristik Minyak Ikan
Minyak ikan patin kasar bagian KTE hasil ekstraksi kemudian dianalisis
secara kimia dan fisika sebelum dijadikan biopelumas, yang meliputi angka asam
lemak bebas, bilangan penyabunan, viskositas dan berat jenis, ditampilkan pada
Tabel 6. Perhitungan hasil karakteristik minyak ikan patin dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Tabel 6. Hasil karakteristik minyak ikan patin bagian KTE
No. Karakteristik Hasil
1 Asam lemak bebas (%) 3,03±0,16
2 Bilangan penyabunan (mg KOH/g) 114,63±0,71
3 Viskositas (cSt) 28,51±0,16
4 Densitas (g/cm3) 0,8917±0,001
4.3.1 Asam Lemak Bebas Minyak Ikan KTE
Angka asam lemak bebas menandakan kerusakan awal pada minyak,
semakin tinggi angka asam lemak bebas maka semakin rendah kualitas minyaknya
(Panagan et al., 2012). Berdasarkan Tabel 6, angka asam lemak bebas minyak ikan
kasar pada penelitian ini sebesar 3,03±0,16%, angka ini lebih tinggi dibanding
dengan penelitian Hastarini et al. (2012) yaitu 0,22±0,02% untuk minyak ikan patin
murni bagian kepala. Kadar asam lemak bebas untuk minyak ikan yang sesuai
International Fish Oil Standars (2017) memiliki nilai ≤1,5%. Hal ini menunjukkan
minyak ikan hasil penelitian mempunyai kualitas yang cukup rendah. Dan memang
kurang baik untuk pangan, tetapi cocok dijadikan bahan baku biopelumas yang
bukan untuk pangan, sehingga minyak tersebut tidak mengganggu ketersediaan
bahan pangan.
46
4.3.2 Bilangan Penyabunan Minyak Ikan KTE
Bilangan penyabunan minyak ikan kasar KTE pada penelitian ini (Tabel 6)
sebesar 114,63 mg KOH/g. Hasil ini lebih rendah dengan penelitian Hastarini et al.
(2012) yang memiliki bilangan penyabunan pada minyak ikan patin murni bagian
kepala mencapai kisaran 143,05±0,71 mg KOH/g. Menurut Departemen Pertanian
(1983) bilangan penyabunan dari minyak ikan yaitu 188 mg KOH/g.
Bilangan penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara
kasar. Menurut Ketaren (2008) minyak yang disusun oleh asam lemak berantai
karbon yang pendek dengan berat molekul yang relatif kecil, akan mempunyai
bilangan penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat
molekul yang besar, maka bilangan penyabunan relatif kecil. Hal ini menunjukkan
minyak ikan kasar pada penelitian ini memiliki rantai karbon yang panjang. Rantai
karbon yang panjang pada minyak dapat meningkatkan viskositas biopelumas.
4.3.3 Viskositas dan Densitas Minyak Ikan KTE
Viskositas minyak ikan KTE pada penelitian ini memiliki nilai viskositas
28,51±0,16 cSt atau 25,42 cP pada suhu 40 °C (Tabel 6). International Fishmeal
and Oil Manufacturers Association (1998) menjelaskan viskositas yang baik untuk
minyak ikan kasar untuk pengukuran menggunakan suhu 30-50 °C adalah sebesar
20-30 cP. Hal ini menunjukkan minyak ikan yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan biopelumas memiliki nilai viskositas yang sesuai dengan standar. Tabel
6 menunjukkan densitas minyak ikan KTE pada penelitian ini sebesar
0,8917±0,001 g/cm3. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan densitas minyak ikan pada
umumnya yaitu sebesar 0,91 g/cm3 (Wibawa et al., 2006).
47
4.3.4 Profil Asam Lemak Minyak Ikan KTE
Profil asam lemak minyak ikan KTE hasil ekstraksi dianalisa menggunakan
kromatografi gas. Profil asam lemak dari minyak ikan dengan masing-masing
jumlah asam lemak jenuh (Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh
tunggal (Monounsaturated fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak
(Polyunsaturated fatty acid, PUFA) ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Profil asam lemak minyak ikan patin kasar bagian KTE
Asam Lemak Hasil (%)
C12:0 (Laurat) 0,15
C14:0 (Miristat) 2,96
C15:0 (Pentadekanoat) 0,13
C16:0 (Palmitat) 21,98
C17:0 (Heptadekanoat) 0,1
C18:0 (Stearat) 5,98
C20:0 (Aracidat) 0,1
C22:0 (Behenat) 0,04
C23:0 (Tricosanoat) 0,02
C24:0 (Lignocerat) 0,03
TOTAL SFA 31,49
C14:1 (Miristoleat) 0,02
C16:1 (Palmitoleat) 0,89
C17:1 (Heptadekanoat) 0,09
C18:1 (Oleat) 31,28
C20:1 (Eikosanoat) 1,02
C24:1 (Nervonat) 0,02
TOTAL MUFA 33,32
C18:2 (Linoleat) 10,96
C20:2 (Eikosedienoat) 0,38
C22:2 (Dokosadienoat) 0,02
C18:3 (Linolenat) 0,64
C20:3 (homo-g-linolenat) 0,24
C20:3 (Eikosetrienoat) 0,66
C20:4 (Aracidonat) 0,3
C20:5 (Eikosapentaenoat) 0,13
C22:6 (Dokosaheksaenoat) 0,39
TOTAL PUFA 13,72
48
Asam lemak dominan pada minyak ikan KTE yaitu asam lemak oleat
(31,28%) dan palmitat (21,98%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Hastarini
(2012) pada minyak ikan patin murni bagian kepala yang mana asam lemaknya
didominasi oleh asam lemak oleat (33,64%) dan palmitat (34,61%). Selain asam
lemak oleat dan palmitat, minyak ikan KTE juga didominasi oleh asam lemak
linoleat sebesar 10,96%.
4.4 Pembuatan Biopelumas
Pembuatan biopelumas dilakukan dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis,
polimerisasi, dan poliesterifikasi. Hasil dari reaksi hidrolisis minyak ikan terdapat
tiga lapisan, yaitu asam lemak (paling atas), gliserol (lapisan paling tipis di tengah),
dan air pada lapisan paling bawah. Gambar 9 menampilkan reaksi hidrolisis triolein
yang merupakan komponen utama dalam minyak ikan KTE.
Gambar 9. Reaksi hidrolisis triolein (Fessenden, 1982)
Proses polimerisasi dilakukan dengan tujuan untuk pemanjangan rantai
polimer. Reaksi polimerisasi asam lemak dengan melibatkan benzoil peroksida
merupakan reaksi polimerisasi adisi dimana benzoil peroksida berfungsi sebagai
inisiator untuk menginisiasi molekul monomer yaitu asam lemak menjadi bentuk
polimer. Polimerisasi adisi ini terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi. Produk dari reaksi polimerisasi yaitu asam lemak terpolimerisasi, dengan
bertambah panjangnya rantai polimer maka berat molekul juga semakin bertambah
besar. Reaksi polimerisasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 10.
49
Tahap Inisiasi:
Tahap Propagasi:
Tahap Terminasi:
Gambar 10. Mekanisme reaksi polimerisasi biopelumas
(Rochmadi dan Ajar, 2015)
50
Proses selanjutnya poliesterifikasi menggunakan etilen glikol. Proses ini
bertujuan untuk menghasilkan produk poliester pada biopelumas. Dalam proses ini
dilihat pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping
pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield biopelumas (Gambar 11).
Gambar 11. Pengaruh rasio mol terhadap yield biopelumas
Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)
terhadap yield biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 6). Rasio mol reaktan
merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi yield dari ester
yang dihasilkan. Salah satu cara untuk meningkatkan pembentukan yield dari
produk dengan menambah jumlah reaktan berlebih, baik itu asam lemak atau etilen
glikol dapat menggeser kesetimbangan reaksinya ke arah produk (Widyawati,
2014).
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 11 diketahui bahwa yield
tertinggi didapat dari variasi rasio mol asam lemak:etilen glikol 1:6 yaitu sebesar
91,06±0,09%. Pada rasio mol 1:8 terjadi penurunan yield, hal ini diduga terjadi
karena reaktan tidak mengalami kontak dengan baik sehingga reaksi poliesterifikasi
tidak terjadi secara sempurna yang mengakibatkan penambahan jumlah reaktan
tidak dapat menaikkan yield biopelumas. Menurut Shah et al. (2012) proses
79.5
91.06
81.06
70
75
80
85
90
95
1:4 1:6 1:8
Yie
ld b
iop
elu
mas
(%
)
Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)
51
terjadinya reaksi sangat tergantung pada cepat lambatnya reaktan mengalami
kontak. Pencampuran yang sempurna dapat memaksimalkan pembentukan produk
yang diinginkan. Berikut tahapan reaksi poliesterifikasi yang mungkin terjadi:
Gambar 12. Reaksi poliesterifikasi biopelumas (Anwar, 2009)
Reaksi poliesterifikasi merupakan reaksi polimer kondensasi
(polikondesasi) dimana terjadi penggabungan dua gugus utama bersamaan dengan
hilangnya molekul kecil sehingga membentuk suatu rantai poliester (biopelumas).
Pada penelitian ini menggabungkan gugus karboksil dari asam lemak
terpolimerisasi dan hidroksil dari etilen glikol dan masing-masing gugus kehilangan
satu molekul air (Gambar 12). Reaksi polikondensasi atau esterifikasi secara
termodinamik merupakan reaksi reversible. Secara teori semua poliester memiliki
potensi untuk bersifat biodegradable yang ditandai oleh adanya hasil samping
berupa air yang merupakan perpecahan dari rantai utama ikatan ester (Edlund et al.,
2003).
52
4.5 Karakteristik Biopelumas
Uji sifat fisika-kimia untuk produk biopelumas yang dihasilkan meliputi
pengukuran viskositas, densitas, titik tuang, titik nyala, warna, korosi bilah
tembaga, gugus fungsi dan komposisi asam lemak.
4.5.1 Viskositas dan Densitas Biopelumas
Pengukuran viskositas dan densitas dimaksudkan untuk identifikasi awal
perubahan sifat fisik dari konversi kimia dan sebagai penentuan biopelumas terbaik.
Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas
Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)
terhadap densitas biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 8). Nilai densitas dari
ketiga variasi rasio mol 1:4, 1:6, dan 1:8 berturut-turut adalah 0,9050; 0,9036; dan
0,9116 g/mL (Gambar 13). Standar densitas pelumas mengacu pada petroleum
based lubricant yang mana memiliki densitas sebesar 0,8856 g/mL (Abdullahi,
2012). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian (Gambar 13), maka densitas
biopelumas yang paling mendekati dengan densitas pelumas komersial adalah
biopelumas KTE 1:6 yaitu 0,9036 g/mL. Penggunaan densitas yang lebih kecil
0.90500.9036
0.9116
0.8950
0.9000
0.9050
0.9100
0.9150
1:4 1:6 1:8
Den
sita
s b
iop
elu
ma
s
(g/m
L)
Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)
53
sebagai bahan pelumas akan lebih menguntungkan karena lebih ringan (Peter,
1998).
Korelasi antara densitas dengan hasil penelitian yaitu semakin besar
perbandingan etilen glikol maka semakin rendah densitasnya atau semakin
mendekati standar petroleum based lubricant. Hal tersebut karena densitas akan
menurun apabila presentase alkohol tinggi (Gamayel, 2016). Namun, pada rasio
mol 1:8 didapatkan densitas yang paling tinggi dibandingkan dengan densitas
biopelumas yang lain . Hal tersebut diduga karena reaksi poliesterifikasi tidak
terjadi secara sempurna, sehingga produk masih didominasi oleh asam lemak tak
jenuh dari minyak ikan. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan semakin tinggi
densitasnya. Hal itu karena asam lemak tak jenuh bersifat polar dan memiliki gaya
interaksi antar molekul yang besar sehingga menyebabkan jarak antar molekul
menjadi lebih dekat dan kerapatan menjadi lebih tinggi (Wahyudi et al., 2018)
Gambar 14. Pengaruh rasio mol terhadap viskositas biopelumas
Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)
terhadap viskositas biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 10). Standar pelumas
mengacu pada pelumas minyak bumi yang sudah distandarisasi oleh ISO (SNI,
40.641.13
38.5
37
38
39
40
41
42
1:4 1:6 1:8
Vis
ko
sita
s b
iop
elu
ma
s
(cS
t)
Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)
54
2016). Pada penelitian ini digunakan pelumas komersial, yaitu pelumas hidrolik
ISO VG 46 sebagai acuan untuk menguji karakteristik biopelumas yang dihasilkan.
Nilai viskositas tertinggi hasil penelitian ini diperoleh dari biopelumas KTE
1:6 yaitu sebesar 41,13 cSt (Gambar 14). Nilai ini memenuhi spesifikasi pelumas
komersial ISO VG 46 yang mempunyai nilai viskositas sebesar 41 cSt pada suhu
40 °C. Jika dibandingkan dengan viskositas dari minyak ikan pada bahan baku
pembuatan biopelumas yang mempunyai nilai viskositas sebesar 37,49 cSt, maka
terjadi perubahan viskositas yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
reaksi polimerisasi dan poliesterifikasi proses pembuatan biopelumas telah
berhasil. Menurut Salimon et al. (2012) panjang rantai alkil trigliserida menentukan
viskositas (kekentalan) dan indeks viskositas pelumas. Semakin panjang rantai
alkil, viskositas dan indeks viskositas semakin tinggi.
Korelasi antara viskositas dengan yield yang dihasilkan memiliki hubungan
yang berbanding lurus. Dimana semakin besar yield yang dihasilkan maka semakin
besar viskositasnya. Namun, pada rasio mol 1:8 terjadi penurunan antara keduanya.
Hal tersebut diduga karena reaksi poliesterifikasi tidak terjadi secara sempurna,
sehingga produk masih didominasi oleh asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan.
Karena semakin kecil derajat ketidakjenuhan semakin tinggi viskositasnya
(Wahyudi, 2018)
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh rasio mol terhadap densitas dan
viskositas biopelumas, hasil terbaik diperoleh pada biopelumas KTE 1:6.
Biopelumas ini dikarakterisasi lebih lanjut meliputi viskositas kinematik, indeks
viskositas, titik tuang, titik nyala, korosi bilah tembaga, gugus fungsi, dan
55
komposisi biopelumas. Karakteristik biopelumas hasil terbaik dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik biopelumas hasil terbaik
Karakteristik Biopelumas KTE
1:6 ISO VG 46
Viskositas 40 °C, cSt 41,19 41-50
Viskositas 100 °C, cSt 8,09 min 6,1
Indeks viskositas 174,5 min 90
Titik tuang, °C 27 maks (-15)
Titik nyala, °C 128 min 175
Korosi bilah tembaga 1a maks 1b
4.5.2 Viskositas Kinematik Biopelumas KTE 1:6
Viskositas pada suhu 40 °C dan 100 °C diklasifikasikan dan dibatasi nilai
minimum dan maksimum untuk tiap kelasnya, sehingga memudahkan konsumen
memilih grade viskositas menurut kebutuhannya. Jika dilihat pada Tabel 8, hasil
uji viskositas kinematik pada suhu 40 °C dan 100 °C untuk biopelumas KTE 1:6
berturut-turut yaitu 41,19 dan 8,09 cSt. Hasil ini menunjukkan bahwa biopelumas
KTE 1:6 masuk dalam spesifikasi viskositas kinematik pada pelumas ISO VG 46.
4.5.3 Indeks Viskositas Biopelumas KTE 1:6
Hasil pengujian indeks viskositas biopelumas KTE 1:6 pada Tabel 8 sebesar
174,5, dan termasuk klasifikasi dari pelumas komersial ISO VG 46 yang
mempunyai nilai indeks viskositas minimal 90. Hasil tersebut juga menunjukkan
bahwa biopelumas tersebut termasuk pelumas yang mempunyai indeks viskositas
tinggi (High Viscosity Index).
Menurut Arisandi et al. (2012), makin tinggi angka indeks viskositas
minyak pelumas, makin kecil perubahan viskositasnya pada penurunan atau
kenaikan suhu. Pelumas yang baik adalah pelumas yang memiliki nilai indeks
56
viskositas yang tinggi karena pelumasannya akan berlangsung lebih baik pada
rentang perbedaan suhu yang lebih lebar. Dengan demikian fungsi pelumas tersebut
sebagai media untuk mengurangi keausan akan berjalan dengan baik (Siskayanti et
al., 2017).
4.5.4 Titik Tuang Biopelumas KTE 1:6
Penentuan titik tuang (pour point) dalam spesifikasi minyak pelumas
bertujuan untuk menghindari terjadinya pembekuan minyak pelumas pada keadaan
dingin. Berdasarkan Tabel 8, hasil pengujian titik tuang biopelumas KTE diperoleh
hasil sebesar 27 °C. Titik tuang tersebut belum sesuai dengan standar pelumas
komersial ISO VG 46 yang mempunyai nilai titik tuang maksimal -15 °C. Hal ini
dikarenakan rantai karbon biopelumas yang cukup panjang, jika dilihat dari nilai
viskositas yang semakin meningkat dan juga terjadi karena tingginya kandungan
asam lemak jenuh pada biopelumas sehingga sulit mengalir pada suhu rendah.
Menurut Jayadas et al. (2006) titik tuang ini dipengaruhi oleh derajat
ketidakjenuhan, jika semakin tinggi ketidakjenuhan maka titik tuang akan semakin
rendah dan juga dipengaruhi oleh panjangnya rantai karbon, jika semakin panjang
rantai karbon maka titik tuang akan semakin tinggi. Pada prinsipnya semakin
rendah titik tuang akan semakin luas daerah aplikasinya (dapat diaplikasikan di
daerah tropis maupun di daerah beriklim dingin) (Fajar, 2007).
4.5.5 Titik Nyala Biopelumas KTE 1:6
Titik nyala menyatakan tingkat keamanan pelumas dari bahaya kebakaran
selama penggunaan ataupun penyimpanan (Misra dan Murty, 2010). Semakin
tinggi titik nyala suatu pelumas semakin aman dalam penggunaan dan
penyimpanan. Pada Tabel 8 dapat dilihathasil pengujian titik nyala biopelumas
57
KTE 1:6 sebesar 128 °C. Hal ini menunjukkan bahwa nilai titik nyala pada
biopelumas KTE 1:6 belum memenuhi spesifikasi pelumas komersial ISO VG 46
yang mempunyai nilai minimal 175 °C. Titik nyala yang rendah menandakan
biopelumas beresiko lebih besar terjadinya bahaya kebakaran.
4.5.6 Korosi Bilah Tembaga Biopelumas KTE 1:6
Korosi bilah tembaga merupakan suatu ukuran kualitatif sifat korosi pada
produk minyak menurut SNI 06-7069.9-2005. Berdasarkan hasil penelitian pada
Tabel 8 hasil biopelumas KTE diperoleh peringkat 1A yang menandakan slight
tarnish (sedikit ternoda oleh karat) atau belum mengalami korosi. Hasil ini
memenuhi spesifikasi standar pelumas ISO VG 46 yaitu minimal 1B. Hal tersebut
menunjukkan bahwa biopelumas ini tidak mudah menyebabkan korosi pada mesin,
dikarenakan biopelumas tersebut memiliki indeks viskositas yang tinggi. Menurut
Ningsih et al. (2017) semakin tinggi indeks viskositasnya maka oksidasi semakin
rendah. Selain itu tingginya kandungan asam lemak jenuh pada biopelumas KTE
1:6 menyebabkan tingginya stabilitas oksidasi. Rendahnya stabilitas oksidasi dapat
berakibat pada terjadinya korosi dan sebaliknya.
4.6 Penentuan Gugus Fungsi Biopelumas KTE 1:6
Pada penelitian ini untuk mengetahui atau mengidentifikasi gugus fungsi
pada biopelumas yang dihasilkan digunakan FTIR (Fourier Transform Infrared
Spectroscopy). Puncak serapan yang terbentuk menunjukkan gugus fungsi yang ada
pada biopelumas tersebut. Spektrum FTIR biopelumas KTE 1:6 dapat dilihat pada
Gambar 15.
58
Gambar 15. Spektrum FTIR minyak ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6
Gugus fungsi yang akan dianalisa pada FTIR adalah gugus fungsi ester.
Suatu senyawa ester dicirikan dengan adanya serapan ulur C=O dan C-O yang khas.
Spektrum FTIR dari minyak KTE dan biopelumas KTE 1:6 hampir sama.
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada spektrum FTIR biopelumas KTE
1:6 terdapat puncak serapan vibrasi karbonil (C=O) ester pada bilangan gelombang
1745,55 cm-1. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pavia (2009), bahwa adanya gugus
ester ditandai dengan terbentuknya puncak vibrasi karbonil (C=O) dengan
intensitas kuat pada bilangan 1750-1730 cm-1. Terbentuknya ester juga dapat dilihat
dari adanya gugus C-O pada bilangan gelombang sekitar 1300-1000 cm-1. Spektrum
FTIR biopelumas pada penelitian ini, gugus C-O terlihat pada bilangan gelombang
1243,53 cm-1, 1175,58 cm-1, dan 1115,95 cm-1.
Bukti lain telah terbentuknya ester adalah melemahnya intensitas gugus OH
pada bilangan gelombang sekitar 3550-3450 cm-1 (Pavia, 2009). Pada Gambar 15
terlihat bahwa melemahnya intensitas gugus OH membentuk pita yang melebar
pada panjang gelombang 3474,50 cm-1. Puncak serapan yang teridentifikasi
menandakan bahwa reaksi poliesterifikasi pada penelitian ini telah berhasil.
Biopelumas KTE 1:6
Minyak ikan KTE
59
4.7 Komposisi asam lemak biopelumas KTE 1:6
Biopelumas KTE 1:6 selanjutnya dikarakterisasi menggunakan
kromatografi gas untuk mengetahui komposisi asam lemak pada produk
biopelumas yang dihasilkan. Hasil kromatogram asam lemak dari biopelumas
terdapat pada (Lampiran 13). Perbandingan komposisi asam lemak dalam minyak
ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6 ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan komposisi asam lemak minyak ikan dan biopelumas
Asam Lemak Hasil (%)
Minyak Ikan KTE Biopelumas KTE 1:6
C12:0 (Laurat) 0,15 0,14
C14:0 (Miristat) 2,96 2,80
C15:0 (Pentadekanoat) 0,13 0,13
C16:0 (Palmitat) 21,98 20,98
C17:0 (Heptadekanoat) 0,10 0,10
C18:0 (Stearat) 5,98 6,00
C20:0 (Aracidat) 0,10 0,12
C22:0 (Behenat) 0,04 tt
C23:0 (Tricosanoat) 0,02 0,02
C24:0 (Lignocerat) 0,03 0,02
TOTAL SFA 31,49 30,31
C14:1 (Miristoleat) 0,02 tt
C16:1 (Palmitoleat) 0,89 0,77
C17:1 (Heptadekanoat) 0,09 0,09
C18:1 (Oleat) 31,28 25,02
C20:1 (Eikosanoat) 1,02 0,39
C24:1 (Nervonat) 0,02 0,02
TOTAL MUFA 33,32 26,29
C18:2 (Linoleat) 10,96 7,22
C20:2 (Eikosedienoat) 0,38 0,31
C22:2 (Dokosadienoat) 0,02 tt
C18:3 (Linolenat) 0,64 tt
C18:3 (homo-g-linolenat) 0,24 0,14
C20:3 (Eikosetrienoat) 0,66 0,39
C20:4 (Aracidonat) 0,30 0,15
C20:5 (Eikosapentaenoat) 0,13 0,06
C22:6 (Dokosaheksaenoat) 0,39 0,16
TOTAL PUFA 13,72 8,43
60
Berdasarkan Tabel 9 memperlihatkan persentase asam lemak minyak ikan
KTE dengan biopelumas KTE 1:6 terjadi penurunan komposisi asam lemak
terutama asam lemak tak jenuh yang didominasi oleh asam lemak oleat sebesar
6,26%. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya reaksi polimerisasi dan
poliesterifikasi dalam proses pembuatan biopelumas. Namun penurunan asam
lemak tak jenuh yang sedikit menunjukkan belum maksimalnya reaksi tersebut
dalam proses pembuatan biopelumas.
Jika dilihat pada Tabel 9. biopelumas KTE 1:6 masih mengandung asam
lemak jenuh yang tinggi. Tingginya asam lemak jenuh pada biopelumas
menyebabkan kemampuan tuang biopelumas menjadi kurang baik pada suhu
rendah. Menurut Siswahyu dan Hendrawati (2013) semakin jenuh rantai karbon
yang terdapat dalam minyak maka kemampuan tuangnya akan berkurang dan
sebaliknya. Namun, peningkatan komposisi asam lemak jenuh dapat meningkatkan
daya tahan terhadap oksidasi pada minyak pelumas (Almeida et al., 2015).
61
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Minyak ikan dari bagian kepala, tulang dan ekor (KTE) ikan patin dapat
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas dengan yield sebesar
14,38% serta kandungan asam lemak dominan yaitu asam oleat 31,28%;
palmitat 21,98% dan linoleat 10,96 %.
2. Variasi rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping pengolahan
ikan patin dengan etilen glikol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)
terhadap yield biopelumas. Hasil terbaik diperoleh pada biopelumas KTE 1:6
dengan yield sebesar 91,06%.
3. Karakteristik biopelumas KTE 1:6 yang sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI) pelumas hidrolik ISO VG 46 yaitu viskositas kinematik (40
°C dan 100 °C) sebesar 41,19 dan 8,09 cSt; indeks viskositas 174 5; dan korosi
bilah tembaga grade 1A (slight tarnish). Namun nilai titik tuang (27 °C) dan
titik nyala (128 °C) biopelumas ini masih belum memenuhi spesifikasi pelumas
ISO VG 46. Analisis FTIR menunjukkan adanya senyawa ester pada
biopelumas yang dihasilkan.
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menambahkan zat aditif yang
cocok untuk menurunkan titik tuang (pour point depressant) seperti ko-polimer
polialkil metakrilat atau untuk meningkatkan titik nyala dari biopelumas.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi AM. 2012. Comparative study of straight mineral oil and blended oil
lubricant. Unpublished B.Sc.Thesis. Ahmadu Bello University, Zaria.
Abdulkadir M, Abubakar GI, Mohammed A. 2010. Production and characterization
of oil from fishes. Journal of Engineering and Applied Sciences. 5(7): 769-
776.
Almeida VF, García-Moreno PJ, Guadix A, Guadix EM. 2015. Biodiesel
production from mixtures of waste fish oil, palm oil and waste frying oil:
Optimization of fuel properties. Fuel Processing Technology 133: 152–160.
Amril AR, Irdoni, Nirwana. 2016. Sintesis biopelumas dari minyak limbah Ikan
Patin pengaruh kecepatan pengadukan dan suhu reaksi. Jom FTEKNIK 3(1):
1-6.
Angulo B, José MF, Laura G, Clara IH. 2018. Bio-lubricants production from fish
oil residue by transesterification with trimethylolpropane. Journal of
Cleaner Production. Spanyol.
Anwar B, Galuh Y, Sri H, dan Sri A. 2009. Kimia Polimer. Jakarta: Universitas
Terbuka.
[AOCS] American Oil Chemists’ Society. 2005. Official methods and
recommended practices of the AOCS, 5th edition 2nd printing. American
Oil Chemist Society.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2006. Edisi revisi. Edisi 18
2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemistry, Inc. Washington DC.
Arisandi M, Darmanto, Tri P. 2012. Analisa Pengaruh Bahan Dasar Pelumas
Terhadap Viskositas Pelumas dan Konsumsi Bahan Bakar. Semarang:
Universitas Wahid Hasyim.
Ariyanto D, Retno U. 2006. Evaluasi laju pertumbuhan keragaman genetik dan
estimasi heteritas pada persilangan antar spesies ikan patin (Pangasius sp).
Journal Fish Science. 8(1): 81-86.
Askew MF. 2004. Bio-Lubricants-Market Data Sheet: IENICA-Inform Project.
ASTM D 92-01. 2001. Standard Test Method for Flash and Fire Point by Cleveland
Open Cup. An American National Standard. United State of America.
ASTM D 97-96a. 2001. Standard Test Method for Pour Point of Petroleum
Products. An American National Standard. United State of America.
63
ASTM D 445-01. 2001. Standard Test Method for Kinematic Viscosity of
Transparent and Opaque Liquids (the Dinamiv Calculation of Dinamic
Viscosity). An American National Standard. United State of America.
ASTM D 130-12.2010. Standard Test Methods for Corrosiveness to Copper. An
American National Standard. United State of America.
ASTM D 854 – 02. 2014. Standard Test Methods for Specific Gravity of Soil Solids
by Water Pycnometer. An American National Standard. United State of
America.
Ayas D, Ozugul Y. 2011. The chemical composition of carapace meat of sexually
mature blue crab (Callinectes sapidus, Rathbun 1896) in the Mersin Bay. J.
Fisheries Sci. 38: 645-650.
Basito. 2010. Pengaruh varietas dan perbandingan pelarut pada ekstraksi minyak
atsiri jahe (Zingiber Officinale Roscoei). Journal Teknologi Hasil
Pertanian. 3(1): 28-33.
Biermann U, Metzger JO. 2008. Synthesis of alkyl-branched fatty acids. A review.
Eur. J. Lipid Sci. Technol. 110: (805–811).
Borras FX, De Rooij MB, dan Schipper DJ. 2018. Rheological and wetting
properties of environmentally acceptable lubricants (EALs) for application
in stern tube seals. Lubricants 6(4): 100.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan.
Purnomo H, Adiono. Jakarta: UI Press.
Budi FS, Anggoro DD, Suprihanto A. 2009. Optimasi Proses Polimerisasi Diphenyl
Methane Diisocynatedengan Polyalkohol Minyak Goreng Bekas menjadi
Busa Polyurethane. FT UNDIP.
Che Man YB, Syahariza ZA, dan Rohman A. 2010. Chapter 1. Fourier Transform
Infrared (FTIR) Spectroscopy: Development, Technique, and Application
in the Analysis of Fats and Oils, in Fourier Transform Spectroscopy edited
by Oliver J Ress. New York. Nova Science Publisher: 1-36.
Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung: ITB.
Darmanto. 2011. Mengenal Pelumas pada Mesin. Momentum 7(1): 5- 10.
Davis R dan Mauer LJ. 2010. Fourier Transform Infrared (FT-IR) Spectroscopy: A
Rapid Tool for Detection and Analysis of Foodborne Pathogenic Bacteria.
Formatex J. p 1582-1594.
64
Departemen Pertanian. 1983. Prosiding Rakernas Perikanan Tuna Cakalang. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Djarijah. 2001. Budidaya ikan patin. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Edlund U. Albertsson AC. 2003. Polyesters based on diacid monomers. Advanced
Drug Delivery Reviews. 55: 585-609.
Eka B, Junianto, dan Emma R. 2016. Pengaruh Metode Rendering Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia Dan Organoleptik Ekstrak Kasar Minyak Ikan
Lele. Jurnal Perikanan Kelautan. 7(1): 1-5.
Estiasih T. 2009. Minyak Ikan. Teknologi dan Penerapannya untuk pangan dan
Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Fajar R dan Siti Y. 2007. Penentuan kualitas pelumasan mesin. Jurnal Mesin. 9(1):
11-12.
Fessenden, Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Gamayel A. 2016. Karakteristik Fisik Bahan Bakar Alternatif Campuran Minyak
Jarak (Cjo)-Minyak Cengkeh. Jurnal Semesta Ilmiah Teknika. 19(2): 119-
125.
Gunstone FD, John LH, Fred BP. 1995. The Lipid Handbook 2nd edition. Chapman
& Hall. London.
Handayani AS, Sidik MM, Nasikin M, Sudibandriyo. 2006. Reaksi Esterifikasi
Asam Oleat dan Gliserol Menggunakan Katalis Asam. Jurnal Sains Materi
Indonesia : 102-105.
Hardjo S, Indrasti NS, Bantacut T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah
Industri Pertanian. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Hastarini E. 2012. Karakteristik minyak ikan dari limbah pengolahan filet Ikan
Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Ikan Patin Jambal (Pangasius
djambal). Agritech 32(4): 403-410.
Hof M. 2003. Basic of Optical Spectroscopy, dalam Gauglitz G dan Vo Dinh T.
(Eds.), Handbook of Spectroscopy. 41-42. Willey-VCH Verlag GmbH & Co
KgaA. Weinheim.
Honary, L. 2006. Biobased Grease and Lubricants: From Research to
Commercialization. National Ag-Based Lubricants (NABL) Center.
University of Nothern Iowa.
[IFOMA] International Fishmeal and Oil Manufacturers Association. 1998.
Hertfordshire. United Kingdom.
65
[IFOS] International Fish Oil Standars. 2017. Standars for fish oil Codex STAN
329-2017. Diakses pada tanggal 06 Februari 2020. Tersedia pada:
(https://www.iffo.net/codex-standard-fish-oil).
Ilyas S, Soeparno. 1985. Penelitian dan Pengembangan Limbah Pertanian. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Isnani AN. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Ikan Patin yang Diberi Pakan
Pellet Dicampur Probiotik. [Skripsi]. Jember: Universitas Jember.
Jayadas NH, Nair KP. 2006. Coconut oil as base oil for industrial lubricants-
evaluation and modification of thermal, oxidative and low temperature
properties. Tribol Int 39:873–8.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor: 2808 K/20/MEM/2006 tentang Standar
dan Mutu Pelumas yang dipasarkan di dalam negeri.
Kementerian Agama Republik Indonesia. 2020. Al-Quran dan Terjemahan.
Diakses pada tanggal 5 September 2020. Tersedia pada:
(https://quran.kemenag.go.id/).
Ketaren S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Khairuman dan Sudenda D.2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2016. Skala Ekonomi Usaha
Pengolahan Patin Nir Limbah.
Kuweir YS. 2010. Pembuatan Pelumas Bio Berbasis Minyak Kelapa Sawit Melalui
Reaksi Pembukaan cincin EFAME (Epoxidized Fatty Acid Methyl Esther)
Menggunakan Resin Penukar Kation Amberlyst-15. [Tesis]. Depok:
Universitas Indonesia.
Lembaga Teknologi Perikanan. 1998. Metode dan Prosedur Pemeriksaan Kimiawi
Hasil Perikanan. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.
Lestari N. 2010. Formulasi dan kondisi optimum proses pengolahan “high nutrive
value” margarin dari minyak ikan Patin (Pangasius Sp). Jurnal Riset
Industri 8(1): 35-42.
Misra RD dan Murthy MS. 2010. Straight vegetable oils usage in a compression
ignition engine—A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews ,
3005-3013.
66
Manurung R, Ahmad RT, Ida A. 2013. Effect of Concentration of Catalyst (BF3-
Diethyl Etherate) on Synthesis of Polyester from Palm Fatty Acid Distillate
(PFAD). International Journal of Science and Engineering (IJSE).
Department of Chemical Engineering, University of Sumatera Utara,
Indonesia.
Mubarak HM, Niza Mohamad E, Masjuki MM, Kalam MA, Al Mahmud KAH,
Habibullah M, Ashraful AM. 2014. The prospects of biolubricants as
alternatives in automotive applications. Renewable and Sustainable Energy
Reviews 33 : 34–43.
Mudasir dan Candra M. 2008. Spektrometri. Yogyakarta : Penerbit FMIPA UGM.
Mulja M, Suharman. 1995. Analisis Instrumen. Cetakan 1. Surabaya: Airlangga
University Press.
Mungro R, Pradhan NC, Goud VV, Dalai AK. 2008. Epoxidation of canola oil with
hydrogen peroxide catalyzed by acidic ion exchange resin. J. Am. Oil Chem.
Soc. 85: 887−896.
Nakamura YM, Ando M, Seoka K, Kawasaki Y, Tsukamasa. 2007. Changes of
proximate and fatty acid compositions of the dorsal and ventral ordinary
muscles of the full-cycle cultured Pacific bluefin tuna Thunnus orientalis
with the growth. Food Chemistry. 103(1): 234–241.
Nazir N, Ayu D, dan Kesuma S. 2017. Physicochemical and Fatty Acid Profile of
Fish Oil from Head of Tuna (Thunnus albacares) Extracted from Various
Extraction Method. International Jurnal on Advance Science Engineering
Information Teknologi. 7(2): 709-715.
Nielsen SS. 1998. Food Analysis 2nd edition. Aspen Publisher, Inc.Gaithersburg,
Maryland.
Ningsih TD, Retno F, dan Ratri AN. 2017. Blending minyak nabati pada pelumas
dari minyak mineral terhadap stabilitas oksidasi dan ketahanan korosi
logam. Jurnal Konversi. 6(1): 7-12.
Nugrahani RA. 2008. Perancangan Proses Pembuatan Pelumas Dasar Sintetis Dari
Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Melalui Modifikasi Kimiawi.
[Tesis]. Bogor: Intitute Pertanian Bogor.
Nugroho A. 2005. Ensiklopedi Otomotif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Panagan AT, Yohandini H, dan Gultom JU. 2011. Analisis Kualitatif dan
Kuantitatif Asam Lemak Jenuh Omega-3 dari Minyak Ikan Patin (Pangasius
pangasius) dengan Metoda Kromatografi Gas. Jurnal Penelitian Sains. 14
(4): 39.
67
Panagan AT, Heni Y, Mila W. 2012. Analisis kualitatif dan kuantitatif asam lemak
tak jenuh omega-3, omega-6 dan karakterisasi minyak ikan patin (Pangasius
pangasius). Jurnal Penelitian Sains. 15(3): 102-106.
Pavia DL, Gary ML, George SK, James RV. 2009. Introduction To Spectroscopy
4th Ed. USA. PrePress PMG.
Peter R. N. Childs. 1998, Mechanical Design, New york-Toronto: Arnold
Poultryshop. 2016. Sekilas tentang ikan patin. Diakses pada tanggal 30 April 2019.
Tersedia pada: (https://www.poultryshop.id).
Prastika Irma. 2015. Analisis Cemaran Lemak Babi dalam Bakso di Purwokerto
Menggunakan Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) dan
Kemometrik, [Skripsi]. Farmasi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Purwokerto.
Rahardiningrum SWS, Mahreni, Renung R, Raden HG. 2016. Biopelumas dari
minyak nabati. Jurnal Eksergi. 13(2) 14-18.
Rini S dan Muhammad EK. 2017. Analisis Pengaruh Bahan Dasar terhadap Indeks
Viskositas Pelumas Berbagai Kekentalan. Jurnal Rekayasa Proses. 11( 2):
94-100.
Riswiyanto. 2009. Kimia Organik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Rochmadi, Ajar P. 2015. Mengenal Polimer dan Polimerisasi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Salimon J, Nadia S, Emad Y. 2012. Triester derivatives of oleic acid: The effect of
chemical structure on low temperature, thermo-oxidation and tribological
properties, Industrial Crops and Products. Vol. 38: pp. 107– 114.
Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Negulescu JI, King JM. 2008. Determination of
melting points, spesific heat capasity and enthalphy of Ctfish Visceral oil
during the purification process. Journal of American Oil Chem Soc 85: 291-
296.
Setyawardhani DA, Distantina S. 2010. Penggeseran Reaksi Kesetimbangan
Hidrolisis Minyak Dengan Pengambilan Gliserol Untuk Memperoleh Asam
Lemak Jenuh Dari Minyak Biji Karet. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk
PengolahanSumber Daya Alam Indonesia.
68
Shah SIA, Kostiuk LW, dan Kresta SM. 2012. The effect of mixing reactions rates,
and stoichiometry on yield for mixing sensitive reactions. International
Journal of Chemical Engineering. Hindawi Publishing Corporation.
Siswahyu A dan Hendrawati TY. 2013. Studi pustaka modifikasi minyak nabati
sebagai sumber bahan baku biopelumas. Jurnal Teknologi. 2(2): 23-32.
Siskayanti R dan Muhammad EK. 2017. Analisis pengaruh bahan dasar terhadap
indeks viskositas pelumas berbagai kekentalan. Jurnal Rekayasa Proses
11(2) : 94-100.
Skoog DA, Holler FJ, Nieman TA. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Edisi
ke5. Orlando: Hourcourt Brace.
Stuart B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Apllication. 19-20, 33-
34. New York. Jhon Wiley & Sons Inc.
Sudrajat R, Jaya L, Setiawan D. 2007. Teknologi Pembuatan Biodiesel dari Minyak
Biji Tanaman Jarak Pagar. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan.
Sukirno. 1988. Pelumasan dan Teknologi Pelumas. Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Sukirno. 2010. Kuliah Teknologi Pelumas 3. Departemen Teknik Kimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia.
Suseno SH, Ahmad KR, Agoes MJ, Nurjanah, dan Pipin S. 2020. Ekstraksi dry
rendering dan karakterisasi minyak ikan patin (Pangasius sp.) hasil samping
industri filet di lampung. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.
23(1).
Sutarno. 2013. Sumber Daya Energi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thammapat P, Raviyan P, Siriamornpun S. 2010. Proximate and fatty acids
composition of the muscles and viscera of Asian catfish (Pangasius
bocourti). Food chem 122(1): 223-227.
Wahyu DS, Dwi TS, dan Eddy S. 2013. Pemanfaatan residu daging ikan gabus
(Ophiocephalus striatus) dalam pembuatan kerupuk beralbumin. THPI
Student Journal 1(1): 21-32.
Wahyudi, Wardana ING, Agung W, dan Widya W. Improving Vegetable Oil
Properties by Transforming Fatty Acid Chain Length in Jatropha Oil and
Coconut Oil Blends. Energies. 11(394): 1-12.
Wibawa PJ, Listiyorini D, dan Fachriyah E. 2006. Penentuan komposisi asam
lemak ekstrak minyak ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dengan GcMs
69
dan uji toksisitasnya menggunakan metode Bslt. Jurnal Sains &
Matematika,14(4):169- 174.
Widianto TN dan Bagus SBU. 2010. Pemanfaatan minyak ikan untuk produksi
biodiesel. Jurnal Squalen 5(1).
Widyawati Y, Ani S, Muhammad R, dan Sukardi . 2014. Synthesis of
Trimethylolpropane Esters of Calophyllum Methyl Esters: Effect of
Temperature and Molar Ratio. Int. Journal of Renewable Energy
Development 3 (3): 188-192.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: M Brio Press.
Yanto T dan Septiana TA. 2012. Pemanfaatan Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.) sebagai Bahan Dasar Grease. Jurnal Teknologi Pertanian 13(1).
Purwokerto.
Yang L, Takase M, Zhang M, Zhao T, Wu X. 2014. Potential non-edible oil
feedstock for biodiesel production in Africa: A survey. Renew. Sust. Energ.
Rev 38: 461-477.
Yanli N, Irdoni, dan Nirwana. 2016. Sintesis Biopelumas dari Minyak Limbah Ikan
Patin pada Pengaruh Rasio Mol dan Waktu Reaksi. Jurnal F.Teknik 3(1).
Pekanbaru.
Zuta CP, Simpson BK, Chan HM, Philips L. 2003. Concentrating PUFA from
Mackerel proscessing waste. Journal American Oil Chem. Soc. 80: 933-936.
70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data dan perhitungan analisis proksimat
1. Kadar air ikan patin
Kode
Sampel Berat
Sampel Cawan
( A )
Cawan + Sampel
( B )
Sampel
( B - A )
Cawan + Sampel
Kering
( C )
Sampel
Kering
( B - C )
KTE 1 26,7039 28,8805 2,1766 27,5879 1,2926
KTE 2 27,5109 29,6664 2,1555 28,3186 1,3478
KTE 3 26,3475 28,4465 2,0990 27,1773 1,2692
Kode Sampel Kadar Air (%) Rata-rata STDev
KTE 1 59,39
59,93 0,76 KTE 2 62,53
KTE 3 60,47
Contoh perhitungan kadar air:
Kadar air (% bb) = B−(C−A)
B × 100%
= 28,8805−(27,5879−26,7039)
28,8805 × 100%
= 59,39%
2. Kadar abu ikan patin
Kode
Sampel Berat
Sampel Cawan
( A )
Cawan + Sampel
( B )
Sampel
( B - A )
Cawan + Sampel
Kering
( C )
(C - A)
KTE 1 26,7039 28,8805 2,1766 26,9068 0,2029
KTE 2 27,5109 29,6664 2,1555 27,6554 0,1445
KTE 3 26,3475 28,4465 2,0990 26,5105 0,1630
Kode Sampel Kadar Abu (%) Rata-rata STDev
KTE 1 9,32
7,23 0,75 KTE 2 6,70
KTE 3 7,77
71
Contoh perhitungan kadar abu:
Kadar abu (% bb) = C−A
B × 100%
= 26,9068 −26,7039
28,8805 × 100%
= 9,32%
3. Kadar lemak ikan patin
Kode
Sampel
Berat
%
Lemak
Rata-
Rata
(%)
STDev Sampel
( A )
Labu
( B )
Labu +
Lemak
( C )
( C - B )
KTE 1 2,0336 61,0348 61,3879 0,3531 17,36
16,6693 0,62 KTE 2 2,0649 68,6961 69,0362 0,3401 16,47
KTE 3 2,0836 53,0448 53,3818 0,3370 16,17
Contoh perhitungan kadar lemak:
% lemak = berat lemak
berat sampel × 100%
= 0,3531
2,0336 × 100%
= 17,36%
72
Lampiran 2. Perhitungan yield minyak ikan
Perbandingan
air : bahan
baku
Berat
bahan
baku (g)
Bobot wadah
kosong (g)
Bobot wadah +
MIP (g)
Berat
MIP (g)
Yield
(%)
KTE 1:1 5800 224,35 402,35 178
7,76 222,68 494,96 272,28
KTE 1:2 22500 139,5 3375 3235,5 14,38
Contoh perhitungan yield minyak ikan:
Yield (%) = jumlah minyak yang dihasilkan (g)jumlah bahan sebelum diolah (g)
× 100%
=3235,5
22500 × 100%
=14,38%
73
Lampiran 3. Data dan perhitungan karakteristik minyak ikan
1. FFA minyak ikan
Kode
Sampel
mL
titrasi
(A)
N
KOH(B)
Faktor
Koreksi
(F)
Berat Sampel ( C ) BM KOH Angka
Asam
KTE 1 1:2 1,4 0,0871 0,8710 1,0140 56,11 5,8771
KTE 2 1:2 1,6 0,0871 0,8710 1,0261 56,11 6,4301
KTE 3 1:2 1,6 0,0871 0,8710 1,1271 56,11 5,8539
Kode Sampel FFA (%) Rata-Rata STDev
KTE 1 1:2 2,94
3,03 0,16 KTE 2 1:2 3,22
KTE 3 1:2 2,93
Contoh perhitungan angka FFA minyak ikan:
Angka asam = 56,11 ×mL KOH × N KOH ×Faktor koreksi
berat minyak (g)
= 56,11 × 1,4×0,0871 × 0,8710
1,014
= 5,8771
Asam lemak bebas (%) = Angka asam × B.M asam oleat ×100%
B.M KOH ×1000
= 5,8771× 282,11×100%
56,11×1000
= 2,94 %
2. Bilangan penyabunan minyak ikan
Kode Sampel Bil. Penyabunan
(Mg KOH/g) Rata-Rata STDev
KTE 1 1:2 114,1216
114,63 0,71 KTE 2 1:2 115,1299
KTE 3 1:2 116,6083
Kode Sampel Berat Sampel mL Blanko N HCl mL Titran
KTE 1 1:2 1,5106 30,55 0,5143 18,60
KTE 2 1:2 1,5099 30,55 0,5143 18,50
KTE 3 1:2 1,5155 30,55 0,5143 18,30
74
Contoh perhitungan bilangan Penyabunan minyak ikan:
Bilangan Penyabunan = 28,05 ×(mL titrasi blanko−mL titrasi sampel)× N HCl
Berat sampel (g)
= 28,05 ×(30,55− 18,60)×0,5143
1,5106
= 114,1216 mg KOH/g
3. Densitas minyak ikan
Kode
Sampel
Berat Pikno Kosong
(A)
Berat Pikno +
Sampel (B) (B-A) Volume Pikno
KTE 1 1:2 20,3811 42,6999 22,3188 25 mL
KTE 2 1:2 20,3582 42,6315 22,2733 25 mL
KTE 3 1:2 20,3953 42,684 22,2887 25 mL
Kode Sampel Densitas
(g/mL) Rata-Rata STDev
KTE 1 1:2 0,892752
0,8917 0,000926 KTE 2 1:2 0,890932
KTE 3 1:2 0,891548
Contoh perhitungan densitas minyak ikan:
ρ = 𝑚
𝑣
= 22,3188
25
= 0,892752 g/mL
4. Viskositas minyak ikan
Kode
Sampel
Viskositas
(cP)
Suhu
(°C)
Speed
(rpm) Rata-Rata STDev
Viskositas
Kinematik
(cSt)
KTE 1:2
25,60 40,5 12
25,42 0,16 28,48 25,35 40,5 12
25,30 40,5 12
75
Contoh perhitungan Viskositas kinematik
Viskositas kinematik =𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝑑𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘
𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠× 1 𝑐𝑒𝑛𝑡𝑖𝑠𝑡𝑜𝑘𝑒𝑠
= 25,42
0,8927× 1 𝑐𝑆𝑡
= 28,48 cSt
76
Lampiran 4. Perhitungan rasio mol biopelumas
Jenis Asam Lemak Mr Presentase % Berat
molekul
palmitat 282,46 21,98 62,085
oleat 280,14 31,28 87,628
linoleat 256 10,96 28,058
Total 818,6 64,22 177,771
Kode
Sampel
Massa
AL Mol AL Mol EG
Massa
EG V AL
Rata-
rata V EG
Rata-
rata
KTE 1:4 89,18 0,50166 2,0066 124,5520 100,0112
100,00
111,8865
111,88 KTE 1:4 89,17 0,50160 2,0064 124,5380 100,0000 111,8739
KTE 1:4 89,17 0,50160 2,0064 124,5380 100,0000 111,8739
KTE 1:6 89,19 0,50172 3,0103 186,8490 100,0224
100,06
167,8485
167,90 KTE 1:6 89,17 0,50160 3,0096 186,8071 100,0000 167,8109
KTE 1:6 89,30 0,50233 3,0140 187,0794 100,1458 168,0555
KTE 1:8 89,19 0,50172 4,0137 249,1319 100,0224
100,01
223,7980
223,76 KTE 1:8 89,17 0,50160 4,0128 249,0761 100,0000 223,7478
KTE 1:8 89,17 0,50160 4,0128 249,0761 100,0000 223,7478
Contoh perhitungan rasio mol biopelumas 1:4 :
Diketahui :
Densitas asam lemak = 0,8917g/mL Densitas etilen glikol = 1,1132 g/mL
BM asam lemak = 177,77 g/mol BM etilen glikol = 62,07 g/mol
Mol AL = 𝑔
𝐵𝑀 mol EG = mol AL × 4 massa EG = mol EG × BM
= 89,18
177,77 = 0,50166× 4 = 2,0066× 62,07
= 0,50166 = 2,0066 = 124,5520
77
Lampiran 5. Perhitungan yield biopelumas
Rasio mol Jumlah Bahan
Baku (g)
Jumlah yang
dihasilkan
Yield
(%)
Rata-
rata STDEV
1/4 89,18 70,84 79,43
79,50 0,06 1/4 89,17 70,89 79,50
1/4 89,17 70,94 79,56
1/6 89,19 81,14 90,97
91,06 0,09 1/6 89,17 81,24 91,11
1/6 89,30 81,35 91,10
1/8 89,19 72,14 80,88
81,06 0,12 1/8 89,17 72,43 81,23
1/8 89,17 72,28 81,06
Contoh perhitungan yield biopelumas:
Yield (%) = jumlah biopelumas yang dihasilkan (g)
jumlah bahan sebelum diolah (g) × 100%
= 70,84
89,18 × 100%
= 79,43%
78
Lampiran 6. Perhitungan uji ANOVA single factor yield biopelumas
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Row 1 2 79,68 39,84 3134,73
6
Row 2 2 79,75 39,875 3140,28
1
Row 3 2 79,81 39,905 3145,03
8
Row 4 2 91,1366
7 45,5683
3 4122,62
3
Row 5 2 91,2766
7 45,6383
3 4135,34
5
Row 6 2 91,2666
7 45,6333
3 4134,43
6
Row 7 2 81,005 40,5025 3260,68
5
Row 8 2 81,355 40,6775 3289,01
1
Row 9 2 81,185 40,5925 3275,23
7
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups
117,4168 8 14,6771
0,004175 1
3,229583
Within Groups 31637,3
9 9 3515,26
6
Total 31754,8
1 17
79
Lampiran 7. Perhitungan densitas biopelumas
Kode
Sampel
Berat Pikno
Kosong (A)
Berat Pikno +
Sampel (B) (B-A) Volume Pikno
1/4 20,3068 42,9792 22,6724 25
1/4 20,3489 42,9614 22,6125 25
1/4 20,3689 42,9610 22,5921 25
1/6 20,3622 42,9244 22,5622 25
1/6 20,2744 42,7041 22,4297 25
1/6 20,3806 43,1564 22,7758 25
1/8 20,4008 43,1975 22,7967 25
1/8 20,3887 43,2288 22,8401 25
1/8 20,3973 43,1291 22,7318 25
Kode
Sampel
Densitas
(g/mL) Rata-Rata STDev
1/4 0,9069
0,9050 0,0017 1/4 0,9045
1/4 0,9037
1/6 0,9025
0,9036 0,0070 1/6 0,8972
1/6 0,9110
1/8 0,9119
0,9116 0,0022 1/8 0,9136
1/8 0,9093
Contoh perhitungan densitas biopelumas:
ρ = 𝑚
𝑣
=22,6724
25
= 0,9069g/mL
80
Lampiran 8. Perhitungan uji ANOVA single factor densitas biopelumas
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Row 1 2 1,1569 0,57845 0,215759
Row 2 2 1,1545 0,57725 0,214185
Row 3 2 1,1537 0,57685 0,213662
Row 4 2 1,069167 0,534583 0,270725
Row 5 2 1,063867 0,531933 0,266839
Row 6 2 1,077667 0,538833 0,277016
Row 7 2 1,0369 0,51845 0,309606
Row 8 2 1,0386 0,5193 0,310945
Row 9 2 1,0343 0,51715 0,307563
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0,01123 8 0,00140
4 0,00529
4 1 3,22958
3
Within Groups 2,38630
1 9 0,26514
5
Total 2,39753
1 17
81
Lampiran 9. Perhitungan viskositas biopelumas
Kode
Sampel Suhu Viskositas (cPs) Rata-rata STDev
KTE 1:4 40 36,82
36,74 0,09 40 36,64
40 36,76
KTE 1:6 40 37,31
37,22 0,10 40 37,23
40 37,12
KTE 1:8 40 34,76
34,84 0,09 40 34,93
40 34,83
Kode
Sampel Suhu Viskositas (cSt)
Rata-
rata STDev
KTE 1:4 40 40,69
40,60 0,10 40 40,49
40 40,62
KTE 1:6 40 41,23
41,13 0,11 40 41,14
40 41,02
KTE 1:8 40 38,41
38,50 0,09 40 38,60
40 38,49
Contoh perhitungan Viskositas kinematik
Viskositas kinematik =𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝑑𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘
𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠× 1 𝑐𝑒𝑛𝑡𝑖𝑠𝑡𝑜𝑘𝑒𝑠
= 36,82
0,9050× 1 𝑐𝑆𝑡
= 40,69cSt
82
Lampiran 10. Perhitungan uji ANOVA single factor viskositas biopelumas
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Row 1 2 40,6 20,3 804,005
Row 2 2 39,81 19,905 772,6381
Row 3 2 42,15 21,075 867,3613
Row 4 2 42,57667 21,28833 892,2496
Row 5 2 39,37667 19,68833 762,1909
Row 6 2 41,92667 20,96333 865,0027
Row 7 2 39,145 19,5725 756,4105
Row 8 2 37,915 18,9575 709,3261
Row 9 2 38,805 19,4025 743,244
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 10,83717 8 1,354646 0,0017 1 3,229583
Within Groups 7172,428 9 796,9365
Total 7183,265 17
83
Lampiran 11. Pengujian fisik biopelumas KTE 1:6
84
Lampiran 12. Kondisi alat kromatografi gas
Kolom : Sianopropil metil sil (capilary column)
Dimensi kolom : panjang 60 m, diameter dalam 0.25 mm, 0.25 μm fil
thickness
Suhu kolom : Suhu terprogam yaitu 125 ºC (suhu awal) selama 5
menit, kemudian dinaikkan dengan kecepatan 10 ºC
/menit sampai 185 ºC. Selanjutnya dinaikkan dengan
kecepatan 5 ºC/menit sampai suhu 205 ºC
dipertahankan selama 10 menit dan dinaikkan
kembali dengan kecepatan 3 ºC/menit sampai suhu
225 ºC dipertahankan selama 7 menit
Detektor : FID
Suhu detektor : 240 ºC
Suhu injektor : 220 ºC
Gas pembawa : Helium 30 mL/menit
Gas pembakar : Hidrogen (40 mL/menit) dan udara (400 mL/menit)
85
Lampiran 13. Hasil kromatografi gas biopelumas
86
Lampiran 14. Hasil kromatografi gas standar FAME
87
Lampiran 14. Dokumentasi Penelitian
1. Preparasi ikan patin
2. Ekstraksi Minyak ikan
88
3. Pembuatan biopelumas
Tahap hidrolisis
Tahap polimerisasi Tahap poliesterifikasi
4. Biopelumas hasil penelitian