pembuatan arang aktif dari kulit biji kopi_Skripsi
Transcript of pembuatan arang aktif dari kulit biji kopi_Skripsi
1
PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI KULIT BIJI KOPI
DAN APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN ZAT WARNA
METHYLENE BLUE (KATION) DAN NAPHTHOL YELLOW (ANION)
Ringkasan Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Kimia
disusun oleh
Sri Edi Purnomo
04630010
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
2
ABSTRAK
Pembuatan Arang Aktif Dari Kulit Biji Kopi dan Aplikasinya Sebagai
Adsorben Zat Warna Methylene Blue (kation) dan Naphthol Yellow (anion)
Dosen Pembimbing : Sri Sudiono, M. Si
Arang aktif dibuat dengan bahan dasar kulit biji kopi dan diaktivasi
dengan (NH4)2CO3 2% b/v. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik arang aktif dari bahan dasar tersebut serta mempelajari adsorpsinya
terhadap zat warna yang memiliki muatan ion berbeda yaitu methylene blue
(kation) dan naphthol yellow (anion).
Arang aktif yang dihasilkan memiliki karakteristik sebagai berikut: kadar
air 3,26%, kadar abu 9,28% dan daya serap terhadap iodium sebesar 25%. Nilai
ini telah memenuhi standar industri Indonesia untuk arang aktif (SII No. 0258-79)
kecuali untuk kadar abu. Adsorpsi dilakukan dengan memvariasikan pH sistem
yaitu pada pH 2-7 dan didapatkan bahwa penyerapan terbaik dimana zat warna
paling banyak teradsop yaitu pada pH 6 untuk methylene blue dan untuk naphthol
yellow terbaik pada pH 2.
Dengan pH optimum tersebut dilakukan adsorpsi dengan variasi
konsentrasi awal sehingga didapatkan grafik penyerapan yang dapat dikaji dengan
persamaan isoterm. Persamaan isoterm Langmuir dan Freundlich digunakan untuk
menelaah adsorpsi yang terjadi dengan membuat grafik regresi linier dan
didapatkan bahwa kedua zat warna dapat teradsorb mengikuti pola persamaan
Langmuir maupun Freundlich, tetapi karena nilai R2 dari grafik Langmuir lebih
besar atau lebih mendekati 1, maka adsorpsi kedua zat warna cenderung lebih
disukai untuk mengikuti pola isoterm Langmuir. Dari persamaan Langmuir
didapatkan kapasitas adsorpsi untuk methylene blue sebesar 0,33 mg/gram dengan
energi ikat 33,87 kJ/mol dan untuk naphthol yellow memiliki kapasitas adsorpsi
sebesar 7,81 mg/gram dengan energi ikat sebesar 2,26 KJ/mol.
Kata kunci: arang aktif, kulit biji kopi, ammonium karbonat, isoterm, kapasitas
adsorpsi.
3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kopi merupakan salah satu tanaman yang penting di dunia baik secara
ekonomi maupun sosial. Tanaman ini merupakan komoditi ekspor utama
negara-negara penghasil kopi. Pada tahap-tahap pengolahan buah kopi, biji
kopi yang telah kering digiling kasar menggunakan mesin. Pada tahap ini
akan terkelupas dan terpisah antara kulit cangkang dan biji kopi. Proses ini
biasanya terjadi di tempat penggilingan, sehingga kulit biji kopi yang tidak
dimanfaatkan tersebut menumpuk sebagai hasil sampingan penggilingan
kopi.
Secara umum, bentuk kulit biji kopi hasil penggilingan berupa serpihan-
serpihan kecil. Seperti halnya cangkang kulit tumbuhan biji pada umumnya,
kulit biji kopi terdiri dari selulosa dan senyawa organik lainnya di mana
terdapat kandungan karbon. Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuh-
tumbuhan, limbah ataupun mineral yang mengandung karbon dapat dibuat
menjadi arang aktif.1
Arang aktif adalah suatu bahan yang mengandung karbon amorf serta
memiliki permukaan dalam (internal surface), sehingga memiliki daya serap
yang tinggi. Dengan luas permukaan yang besar, arang aktif dapat
mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya
1 M.T Sembiring dan T Sarma Sinaga, Jurnal Kimia Digitized by USU digital library:
Arang Aktif Pengenalan dan Proses Pembuatannya, (Sumatra Utara: FT Universitas Sumatra
Utara, 2003) hal 2
4
selektif. Sifat adsorpsi ini tergantung pada besar atau volume pori-pori dan
luas permukaan arang aktif tersebut.
Pada proses pembuatannya, beberapa faktor akan mempegaruhi kualitas
arang aktif yang dihasilkan. Salah satu faktor tersebut adalah bahan dasar
yang digunakan, yaitu dipengaruhi oleh perbedaan pengotor-pengotor yang
terkandung dalam suatu bahan dasar tersebut. Beberapa bahan yang telah
digunakan untuk pembuatan arang aktif dan aplikasinya, di antaranya adalah
arang aktif dari tempurung kelapa untuk penjernihan VCO (Virgin Coconut
Oil)2, arang sekam padi untuk penurunan angka peroksida minyak kelapa
3,
arang aktif dari limbah kayu mahoni sebagai penjernih air4, arang aktif dari
batang pisang untuk penyerapan logam timbal5. Pembuatan arang aktif dari
bahan-bahan tersebut menghasilkan arang yang berbeda karakteristiknya,
baik dari segi kadar air, kadar abu dan daya serap terhadap iodium. Melalui
proses pengaplikasiannya dapat dilihat tingkat kemampuan arang aktif untuk
menyerap suatu zat hingga studi kinetiknya.
Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan arang aktif dari kulit biji
kopi, suatu bahan dasar yang berbeda dari bahan-bahan sebelumnya. Dari
2 Indah Subadra, Bambang Setiadji, Iqmal Tahir, Prosiding Seminar Nasional DIES ke
50 FMIPA UGM: Activated Carbon Production From Coconut Shell With (NH4)HCO3
Activator As an Adsorbent in Virgin Coconut Oil Purification, (Yogyakarta: FMIPA UGM,
2005) page 5 3 Sri Wahjuni dan Betty Kostradiyanti, jurnal kimia: Penurunan Angka Peroksida
Minyak Kelapa Tradisional Dengan Adsorben Arang Sekam Padi IR 64 yang Diaktifkan
Dengan Kalium Hidroksi, (FMIPA Universitas Udayana : 2008) 4 Rini Pujiarti dan J.P. Gentur Sutapa, Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.3 No.
2: Mutu Arang Aktif dari Limbah Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) sebagai
Bahan Penjernih Air, (Yogyakarta: Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan
UGM, 2005) 5 Husni Husin dan Cut Meurah Rosnelly, Jurnal kimia DIKTI: Studi Kinetika Adsorpsi
Larutan Logam Timbal (Pb) Menggunakan Karbon Aktif Dari Batang Pisang, ( Banda Aceh:
Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala)
5
bahan ini dimungkinkan akan memberikan arang aktif dengan karakteristik
yang berbeda pula. Pengaplikasiannya terhadap zat warna dengan muatan
yang berbeda yaitu zat warna yang bersifat kationik (methylen blue) dan zat
warna yang bersifat anionik (naphthol yellow) akan memberikan informasi
tentang karakter adsorpsi dari arang aktif itu sendiri. Dari penelitian ini
diharapkan akan diperoleh informasi tentang proses pembuatan dan
karakteristik arang aktif yang dibuat dari kulit biji kopi. Selain itu, akan
didapat informasi tentang studi adsorpsi zat warna menggunakan arang aktif
yang telah dihasilkan. Informasi-informasi ini akan menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang pengolahan limbah dalam hal ini limbah kulit biji kopi
dan pengetahuan tentang arang aktif pada umumnya.
B. Batasan Masalah
1. Arang aktif dibuat dengan aktivator ammonium karbonat (NH4)2CO3
dengan konsentrasi 2% (b/v).
2. Karakterisasi arang aktif meliputi: kadar air, kadar abu, dan daya serap
terhadap larutan iodium.
3. Pengamatan adsorpsi dengan variasi pH yaitu pada pH 2-7 dan variasi
konsentrasi zat warna.
4. Zat warna yang digunakan adalah metylene blue (kation) dan naphthol
yellow (anion).
6
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakterisasi karbon aktif yang dibuat dari kulit biji kopi.
2. Mempelajari aplikasi karbon aktif untuk menyerap zat warna dari segi
pengaruh pH dan konsentrasi maksimum yang dapat teradsorp.
D. Hipotesis
Hipotesis 1
Berdasarkan penelitian sebelumnya untuk membuat arang aktif dapat
dilakukan menggunakan aktifator ammonium karbonat 1,5% (b/v)6, dengan
temperatur 400-800 oC.
7 Mengacu pada kondisi yang sama diharapkan dapat
juga dibuat karbon aktif dari kulit biji kopi
Hipotesis 2
Berdasarkan perbedaan struktur, berat molekul, dan gugus fungsional dari
methylene blue dan naphthol yellow, maka diharapkan akan diperoleh kondisi
pH optimum yang berbeda dari kedua jenis zat warna tersebut.
Hipotesis 3
Berdasarkan perbedaan struktur, berat molekul, gugus fungsional di antara
kedua zat warna (metylene blue dan naphthol yellow), maka diharapkan akan
diperoleh kapasitas adsorpsi maksimum yang berbeda untuk kedua jenis zat
warna tersebut.
6 Nuke Muninghar, Skripsi: Pengaruh Perlakuan (NH4)2CO3 dan Variasi Temperatur
Pada Pembuatan Arang Aktif Dari Tempurung Kelapa, (Yogyakarta : FMIPA UGM,
2008) 7 Frilla R.T.S dkk, Jurnal Kimia Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II :
Pengaruh Temperatur Terhadap Pembentukan Pori Pada Arang Bambu (Jakarta : FMIPA
UNJ, 2008)
7
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
Oven, alat pirolisis, neraca analitik, ayakan mesh (70 dan 100 mesh),
pompa vakum, stirer, hot plate, magnetic stirer, Spektronik 20D+, furnace,
pH meter digital, perangkat alat gelas laboratorium.
2. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit biji kopi
jenis Robusta yang didapat dari perkebunan rakyat di Pagaralam Sumatra
Selatan. Naphthol yellow (serbuk) yang didapat dari toko pewarna tekstil
Ngasem Yogyakarta, reagen methylene blue 0,25% (p.a), (NH3)2CO3, HCl,
NaOH, K2Cr2O7, NaCl, KI, Na2HPO4.2H2O, Na2S2O3, asam sitrat, larutan
iodium, indikator amilum, akuades.
B. Prosedur Penelitian
1. Pembuatan arang aktif
Kulit biji kopi kering dioven dan ditimbang hingga beratnya stabil,
dicatat sebagai berat awal. Kemudian, dimasukkan dalam tungku pirolisis dan
dipanaskan dengan suhu sampai 400 oC selama + 3 jam, hasilnya dikeluarkan
setelah tungku dingin. Arang yang telah terbentuk, digerus dan diayak dengan
ayakan 70 mesh lalu dilanjutkan dengan ayakan 100 mesh. Setelah itu, arang
direndam dalam larutan (NH3)2CO3 2% b/v (20 gram (NH3)2CO3, 1 liter
akuades). Setelah 24 jam perendaman, arang disaring dengan buchner dan
8
dikeringkan dengan oven. Kemudian arang dibungkus dengan alumunium foil
(agar tidak bercecer) dan dipanaskan kembali dalam tungku pirolisis dengan
suhu mencapai 500 oC selama + 3 jam. Arang diambil setelah tungku dingin,
kemudian direndam dengan HCl 1M selama 24 jam. Setelah itu, arang aktif
disaring dan dicuci dengan akuades sampai pH netral.
2. Pengujian Kadar Air
Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 110 oC selama +1
jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya stabil
(X). Arang ditimbang sebanyak 5 gram (Y), menggunakan cawan tersebut.
Kemudian, sampel dipanaskan dalam oven pada suhu 110 oC dengan dicek
beratnya tiap 2 jam sebanyak 3 kali. Berat stabil diambil dari rata-rata setelah
3 kali penimbangan (Z). Penentuan kadar air dihitung dengan persamaan
berikut :
( )
Dimana :
X = Berat cawan
Y = Berat arang awal
Z = Berat sampel (cawan + arang) setelah pemanasan
3. Pengujian Kadar Abu
Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 110 oC selama +1
jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya stabil
(X). Arang ditimbang sebanyak 5 gram (Y) menggunakan cawan tersebut.
Kemudian, sampel arang dalam cawan tersebut dipanaskan dalam furnace
9
pada suhu 700 oC selama 3 jam, sampai semua arang berubah menjadi abu.
Setelah dingin sampel ditimbang (Z), kadar abu dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
Dimana :
X = berat cawan.
Y = berat arang awal.
Z = berat sampel (cawan + arang) setelah pemanasan.
4. Tes Iodium
a. Standarisasi Na2S2O3
Dibuat larutan standar K2Cr2O7 0,1 N dengan cara melarutkan
1,226 gram K2Cr2O7 dengan akuades kedalam labu ukur 250 mL.
Diambil 10 mL larutan standar K2Cr2O7 0,1 N tersebut, dimasukkan
dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 5 mL KI 1 N, 1 mL HCl
pekat dan 3 tetes indikator amilum diaduk hingga homogen. Larutan
ini dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N, titik ekivalen dicapai pada saat
terjadi perubahan warna. Kemudian dicatat volume Na2S2O3 yang
terpakai. Proses ini dilakukan tiga kali. Konsentrasi Na2S2O3
sesungguhnya dihitung dengan persamaan berikut:
b. Larutan blangko iodium
Diambil 10 mL larutan iodium 0,1 N dimasukkan dalam
erlenmeyer dan diaduk selama 15 menit menggunakan stirer lalu
10
didiamkan selama 10 menit. Setelah itu, disaring dengan kertas saring
lalu ditambahkan indikator amilum. Kemudian, dititrasi dengan
larutan Na2S2O3 0,1 N yang telah distandarisasi. Dicatat volume
Na2S2O3 yang terpakai, proses ini dilakukan tiga kali.
c. Penyerapan iodium oleh arang aktif
Ditimbang 0,5 gram arang aktif dimasukkan dalam erlenmeyer
kemudian ditambahkan 50 mL larutan iodium 0,1 N, diaduk selama
15 menit menggunakan magnetic stirer lalu didiamkan selama 10
menit. Langkah ini dilakukan tiga kali. Setelah itu, disaring dengan
kertas saring, filtrat diambil 10 mL dimasukkan dalam erlenmeyer dan
ditambahkan indikator amilum. Kemudian, dititrasi dengan larutan
Na2S2O3 0,1 N yang telah distandarisasi. Dicatat volume Na2S2O3
yang terpakai, proses ini dilakukan tiga kali.
Perhitungan iodium yang teradsorb arang aktif menggunakan
persamaan berikut :
( )
Dimana :
V1 = Volume rata-rata Na2S2O3 terpakai pada blangko
V2 = Volume rata-rata Na2S2O3 terpakai pada penyerapan oleh arang
N = Normalitas iodium
11
5. Pengukuran pH Optimum
a. Pembuatan buffer (pH 2-8)
Dibuat larutan A, yaitu 10,507 gram asam sitrat dilarutkan dengan
akuades dalam labu takar 500 mL sampai tanda batas. Larutan B,
yaitu 17,799 gram Na2HPO4.2H2O dilarutkan dengan akuades dalam
labu takar 500 mL sampai tanda batas. Pembuatan buffer dilakukan
dengan komposisi volume sebagai berikut:
Tabel 3.1 Komposisi larutan buffer pH 2-8
pH Larutan A (mL) Larutan B (mL)
2 39,2 0,8
3 31,78 8,22
4 24,58 15,42
5 19,40 20,60
6 14,74 25,26
7 7,06 32,94
8 1,10 38,9
Dari langkah ini akan didapatkan buffer pH 2-8 dengan volume
masing-masing 40 mL. Kemudian dites kebenaran pH-nya dengan pH
meter digital.
b. Pengenceran zat warna
1) Methylene Blue (MB)
Larutan stok MB dibuat dengan cara mengencerkan larutan induk
MB 0,25% dengan akuades. Diambil 10 mL MB 0,25% (2500 ppm)
dimasukkan dalam labu takar 250 mL, diencerkan sampai tanda batas.
Konsentrasi larutan yang dibuat ini adalah 100 ppm. Dari larutan MB
100 ppm tersebut diambil masing-masing 2 mL dimasukkan ke dalam
12
7 buah labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan larutan buffer 2-8 dan
akuades sampai tanda batas. Maka akan didapatkan larutan MB 4
ppm dengan pH 2- 8.
2) Naphthol Yellow (NY)
Larutan stok NY dibuat dengan melarutkan 1,25 gram serbuk NY
dengan akuades dalam labu takar 250 mL sampai tanda batas.
Konsentrasi larutan stok ini adalah 5000 ppm. Dari larutan NY 5000
ppm tersebut diambil masing-masing 1 mL dimasukkan ke dalam 7
buah labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan larutan buffer 2-8 dan
akuades sampai tanda batas. Maka akan didapatkan larutan NY 100
ppm dengan pH 2- 8.
c. Pengukuran panjang gelombang maksimum
Konsentrasi larutan MB yang digunakan untuk menentukan
panjang gelombang maksimum adalah 2 ppm. Kemudian, diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600-
700 nm. Sedangkan larutan NY, konsentrasi yang digunakan adalah
100 ppm, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 350-450 nm. Dipilih panjang gelombang yang
memberikan absorbansi maksimum untuk masing-masing zat warna.
d. Pembuatan kurva standar
Dari larutan stok zat warna MB 100 ppm diambil dengan micro
pipet sebanyak: 0, 0,02, 0,04, 0,08, 0,12, 0,16, 0,2, 0,24 mL dan
diencerkan dengan akuades kedalam labu takar 10 mL. Maka, akan
13
didapatkan variasi konsentrasi larutan standar methylene blue 0, 0,2,
0,4, 0,8, 1,2, 1,6, 2 dan 2,4 ppm.
Sedangkan NY, diambil dari larutan stok 5000 ppm sebanyak:
0,01, 0,02, 0,04, 0,08, 0,12, 0,16 dan 0,2 mL. Maka, akan didapat
variasi konsentrasi larutan standar NY 5, 10, 20, 40, 60, 80 dan 100
ppm. Kemudian, diukur absorbansinya pada panjang gelombang
maksimum yang dihasilkan untuk masing-masing zat warna. Dibuat
kurva hubungan antara absorbansi dan konsentrasi. Maka, akan
didapat kurva standar untuk kedua zat warna dengan persamaan garis
lurus sebagai berikut:
e. Proses adsorbansi dengan variasi pH
Zat warna MB 4 ppm yang telah diatur pH-nya (2 - 8),
dipindahkan kedalam erlenmeyer dan ditambahkan masing-masing 0,1
gram arang aktif. Kemudian, diaduk dengan magnetic stirer selama 15
menit lalu didiamkan 45 menit. Setelah itu, disaring dengan kertas
saring, filtrat diukur aborbansinya dengan panjang gelombang
maksimum. Hal serupa juga dilakukan pada zat warna NY 100 ppm.
6. Pengukuran Kapasitas Adsorpsi Maksimum
a. Pembuatan buffer (pH optimum)
Langkah ini sama dengan langkah pembuatan larutan buffer (poin
5.a), tetapi komposisi volume larutan A dan larutan B hanya pada pH
optimum (dari hasil perhitungan).
14
b. Pengenceran zat warna
Zat warna diencerkan dengan berbagai konsentrasi dengan
menggunakan larutan buffer (pada pH optimum hasil perhitungan).
1) Methylene blue
Dari larutan stok 100 ppm diambil sebanyak: 0,5, 1,5, 3, 5, 7,5,
10, 15 dan 25 mL dimasukkan dalam labu takar 50 mL. Kemudian,
diencerkan dengan larutan buffer (pH optimum MB) sampai tanda
batas. Maka akan didapatkan larutan MB dengan variasi konsentrasi:
1, 3, 6, 10, 15, 20, 30 dan 50 ppm
2) Naphthol yellow
Dari larutan stok 5000 ppm diambil sebanyak: 0,5, 1, 1,5, 2,5, 4,
5,5, 8, 10 mL dimasukkan dalam labu takar 50 mL. Kemudian,
diencerkan dengan larutan buffer (pH optimum NY) sampai tanda
batas. Maka akan didapatkan larutan NY dengan variasi konsentrasi:
50, 100, 150, 250, 400, 550, 800, 1000 ppm.
c. Penyerapan dengan karbon aktif
Zat warna MB yang telah diatur konsentrasinya tersebut diambil
25 mL dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan masing-
masing 0,1 gram arang aktif. Kemudian, diaduk dengan magnetik
stirer selama 15 menit lalu didiamkan 45 menit. Setelah itu, disaring
dengan kertas saring, filtrat diukur aborbansinya pada panjang
gelombang maksimum. Hal serupa juga dilakukan pada zat warna NY.
15
d. Pengukuran blangko
Langkah ini sama dengan langkah penyerapan karbon aktif (6.c),
tetapi tanpa penambahan arang aktif.
7. pH-pzc (point zero of charge)
Ditimbang 0,00585 gram NaCl dilarutkan dalam NaOH 0,1 M hingga
100 mL, maka akan diperoleh larutan NaOH 0,1 M + NaCl 0,001 M sebanyak
100 mL (larutan A). Larutan ini disiapkan ke dalam buret. Kemudian
ditimbang 0,00293 gram NaCl dilarutkan dalam HCl 0,1 M hingga 50 mL,
diperoleh larutan HCl 0,1 M + NaCl 0,001 M sebanyak 50 mL (larutan B).
Kemudian, dimasukkan dalam gelas bekker 150 mL dan ditambahkan 0,2
gram arang aktif, diaduk dengan magnetic stirrer. Larutan B ini dititrasi
dengan larutan A dan dicatat perubahan pH-nya dengan menggunakan pH
meter digital, tiap penambahan 1 mL larutan A. Proses ini dilakukan tiga kali
dengan membuat variasi konsentrasi NaCl yang ditambahkan pada HCl 0,1 M
dan NaOH 0,1 M, yaitu dengan konsentrasi NaCl: 0,001 M (seperti diatas),
0,12 M dan 1,2 M.
8. Spektra IR
Disiapkan tiga sampel arang aktif yang terdiri dari arang sebelum
penyerapan (A), arang setelah penyerapan methylene blue (B) dan arang
setelah penyerapan naphthol yellow (C). Ketiga sampel ini diperiksa
spektranya dengan instrumen spektroskopi IR.
16
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Arang Aktif dan Karakteristiknya
Pada proses pembuatan arang aktif, pirolisis dilakukan dua kali. Pirolisis
pertama tujuan utamanya adalah untuk membuang atau menguapkan
senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam kulit biji kopi serta
penyusunan ulang karbon-karbon, sehingga terbentuk struktur awal karbon
aktif. Sebagian besar senyawa organik ini volatil, dengan pemberian suhu
mencapai 400 oC dapat menguapkan senyawa tersebut dalam bentuk asap
(gas). Pirolisis pertama dilakukan selama 3 jam atau sampai asap yang keluar
habis, yang menandakan tidak banyak lagi senyawa volatil dalam karbon.
Dalam pembahasan lain, asap ini jika didestilasi akan dikenal sebagai asap
cair, yang menurut Setiadji et al. (2006) seperti yang dikutip oleh Dwiyitno
dan Rudi Riyanto,8 kelompok terpenting dari senyawa dalam asap cair
meliputi fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, ester, lakon dan hidrokarbon
polisiklik. Jadi, sebagian besar senyawa-senyawa inilah yang menguap pada
pirolisis yang pertama dan membentuk struktur pori awal pada arang yang
ditinggalkan.
8 Dwiyitno dan Rudi Riyanto, Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi dan Perikanan
vol. 1 no. 2: Studi Penggunaan Asap Cair untuk Pengawetan Ikan Kembung (Rastrelliger
neglectus) Segar, (Balai Besar Riset Pengolahan Produk Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, 2006).
41
17
Gambar 4.1 Visualisasi pembentukan arang aktif
9
Arang yang dihasilkan berwarna hitam mengkilat dalam bentuk serpihan
(karena bahan baku berupa kulit biji kopi sudah berbentuk serpihan) yang
selanjutnya dihaluskan dan diayak untuk mendapatkan ukuran yang seragam,
yaitu ukuran di antara 70 dan 100 mesh. Ukuran pada arang aktif akan
mempengaruhi luas permukaan (semakin kecil ukuran akan semakin besar
luas permukaan), sehingga mempengaruhi pori yang terbentuk dimana pada
akhirnya akan menjadi salah satu faktor kemampuan arang aktif dalam
mengadsorp suatu zat. Langkah selanjutnya adalah tahap aktivasi kimia, yaitu
arang direndam dalam larutan (NH4)2CO3 2% selama 24 jam. Perendaman ini
dilakukan untuk memperluas permukaan arang aktif, sehingga dapat
meningkatkan daya adsorpsi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
9 Teresa J. Bandosz (ed), Interface Science And Technology–Vol 7: Activated Carbon
Surfaces in Environmental Remediation, (New York: The City College of New York,
Elsevier 2006) page 18
(NH4)2CO3 2NH4+
+ CO32-
18
Garam (NH4)2CO3 yang dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion
NH4+ dan CO3
2-. Ion NH4
+ yang bermuatan positif akan mendorong zat-zat
tidak mudah menguap yang masih tertinggal pada permukaan arang. Zat yang
tidak mudah menguap ini dapat berupa ion-ion alkali dan alkali tanah, dengan
mekanisme pertukaran ion terutama karena tingginya konsentrasi ion NH4+
maka ion ini akan menggantikan posisi ion-ion alkali dan alkali tanah tersebut
yang berikatan dengan permukaan arang, sehingga ion-ion alkali dan alkali
tanah ini akan terdorong keluar dari arang dan terbentuk ikatan karbon-NH4+
pada permukaan arang aktif.
Pirolisis kedua, dilakukan dengan pemanasan mencapai 500 oC. Pada
tahap ini, ion NH4+ yang terikat pada permukaan arang akan terurai menjadi
NH3. Molekul ini akan keluar dalam bentuk gas, sehingga tertinggal pada
permukaan arang aktif berupa ikatan karbon-H+. Dari tahap ini juga
dihilangkan sisa-sisa zat mudah menguap dan tar yang masih tertinggal dalam
arang serta pembentukan/penyusuan kembali atom-atom karbon yang
membentuk struktur pori arang aktif.
Kemudian, arang direndam dalam HCl 1M selama 24 jam yang akan
menyempurnakan proses aktivasi dengan menghilangkan zat-zat pengotor
yang masih tertinggal dengan cara melarutkan beberapa oksida serta
membersihkan karbon. Langkah terakhir adalah mencuci arang dengan
akuades hingga pH netral terhadap pH meter teknis, hal ini penting karena
derajat pH akan mempengaruhi proses adsorpsi yang akan berpengaruh pada
analisis, sehingga sedapat mungkin pH arang dalam keadaan netral.
19
1. Uji Kadar Air
Kadar air dalam arang muncul dikarenakan adanya sifat higroskopis yang
dimiliki oleh arang aktif. Hasil perhitungan kadar air dari arang aktif hasil
penelitian ini adalah sebesar 3,26%. Nilai ini masih memenuhi persyaratan
Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-79) yaitu maksimal 10%. Pada
umumnya semakin besar luas permukaan atau semakin banyak pori yang
terbentuk akan meningkatkan daya serap arang aktif terhadap suatu zat,
sehingga molekul uap air dari udara akan semakin banyak yang teradsorp
oleh arang. Hal ini akan mengakibatkan kadar air arang juga akan meningkat.
2. Uji Kadar Abu
Hasil abu yang didapat setelah pemanasan berupa serbuk halus berwarna
putih yang merupakan garam-garam dan mineral yang tidak teruapkan selama
proses pengabuan. Kadar abu hasil penelitian ini adalah 9,28%, nilai ini diluar
persyaratan Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-79) yaitu maksimal
2,5%. Tingginya kadar abu ini dipengaruhi oleh kandungan bahan anorganik
yang terdapat pada sampel kulit biji kopi awal, serta keefektifan tahap
aktivasi. Faktor utama yang berpengaruh adalah saat perendaman yaitu, faktor
konsentrasi aktivator dan lama perendaman. Dalam penelitian ini tidak
dilakukan variasi konsentrasi aktivator, tetapi seperti yang disebutkan oleh
Indah dkk10
konsentrasi aktivator yang tinggi akan memperkecil kadar abu.
Maka secara teori semakin baik proses aktivasi, kadar abu akan semakin
10
Indah Subadra, Bambang Setiadji, Iqmal Tahir, Prosiding Seminar Nasional DIES ke
50 FMIPA UGM: Activated Carbon Production From Coconut Shell With (NH4)HCO3
Activator As an Adsorbent in Virgin Coconut Oil Purification, (Yogyakarta: FMIPA UGM,
2005) page 5
20
kecil, yang menandakan mineral dan garam sulit menguap semakin banyak
yang keluar dari arang.
3. Daya serap terhadap iodium
Pengujian dengan iodium akan menggambarkan kemampuan atau daya
serap arang aktif terhadap suatu molekul. Hal ini berkaitan dengan situs aktif
pada permukaan arang yang dapat mengikat molekul-molekul yang ada di
sekitarnya. Hasil pengujian daya serap terhadap iodium dari penelitian ini
adalah 25,73%, nilai ini masih memenuhi persyaratan Standar Industri
Indonesia (SII No. 0258-79) yaitu minimal 20%. Daya serap suatu arang aktif
sangat bergantung pada proses aktivasi saat pembuatannya.11
Apabila aktivasi
berjalan dengan efektif, maka pori-pori yang terdapat pada arang akan
semakin banyak atau dengan kata lain luas permukaan arang aktif akan
semakin besar. Semakin besar luas permukaannya maka situs aktif pada
permukaan arang akan semakin banyak, sehingga daya serapnya akan
semakin baik.
B. pH optimum sistem adsorpsi
1. pH-pzc (point zero of charge)
Pengukuran pH-pzc akan memberikan gambaran muatan pada
permukaan arang aktif pada interval pH yang diamati. Data ini dapat
digunakan untuk memperkirakan afinitas adsorpsi arang terhadap suatu zat.
Pada saat titrasi, reaksi yang terjadi adalah reaksi asam-basa (netralisasi):
11
Indah Subadra, Bambang Setiadji, Iqmal Tahir, Prosiding Seminar Nasional DIES ke
50 FMIPA UGM: Activated Carbon Production From Coconut Shell With (NH4)HCO3
Activator As an Adsorbent in Virgin Coconut Oil Purification, (Yogyakarta: FMIPA UGM,
2005) page 7
21
NaOH Na + OH- (Basa oleh ion OH
-)
HCl H+ + Cl (Asam oleh ion H
+)
NaOH + HCl NaCl + H2O (netralisasi)
Penambahan variasi konsentrasi NaCl ke dalam HCl dan NaOH akan
memberikan kemiringan yang berbeda pada tiap garis. Hal ini diakibatkan
oleh kehadiran ion sejenis dalam sistem. Grafik hasil pengukuran pH-pzc
disajikan sebagai berikut.
Gambar 4.2 Grafik pH-pzc arang aktif
Pada awalnya, pH sistem asam oleh HCl dan sedikit dipengaruhi oleh
muatan parsial pada permukaan arang. Pada tiap penambahan 1 mL NaOH
akan menaikkan pH secara perlahan seperti terlihat pada titik 1 mL sampai
sekitar titik 50 mL yang hanya merubah dari sekitar pH 1 menjadi sekitar pH
3, naiknya pH secara perlahan ini karena jumlah ion OH- tiap penambahan 1
mL NaOH hanya berpengaruh sangat kecil terhadap ion H+ dari banyaknya
22
HCl yang ada. Kemudian, dengan semakin banyaknya volume NaOH yang
ditambahkan ke dalam sistem, maka akan tercapai titik ekivalen titrasi. Hal
tersebut terlihat saat volume NaOH yang ditambahkan telah mencapai 50-55
mL, dimana pH naik dengan drastis yaitu dari sekitar pH 3 menjadi sekitar
pH 9. Hal ini menandakan larutan sistem mulai mengalami perubahan dari
asam ke basa. Setelah itu, penambahan NaOH ke dalam sistem, kembali
hanya berpengaruh sangat kecil terhadap kenaikkan pH, yaitu ditunjukkan
oleh titik 55 mL – 75 mL. Hal ini karena sistem telah menjadi basa oleh ion
OH- dan tidak akan berubah secara signifikan dengan penambahan 1 mL
NaOH 0,1 M tersebut.
Dari grafik terlihat mulai terjadinya perpotongan di sekitar pH 4, hasil ini
menunjukkan bahwa pH-pzc berada pada daerah asam di mana pada
lingkungan sistemnya masih banyak terdapat muatan positif (ion H+) yang
terbaca oleh pH meter. Sistem pada mulanya terdiri dari larutan HCl + NaCl
dan arang sehingga sistem tersebut asam oleh banyaknya kehadiran ion H+
(dari HCl). Pada tiap penambahan 1 mL NaOH, akan merubah pH sistem
akibat berkurangnya ion H+ (reaksi netralisasi dengan ion OH
-) dan tercatat
oleh pH meter. Semakin banyak volume NaOH yang ditambahkan, maka
reaksi netralisasi akan semakin sempurna, sehingga seharusnya akan tercapai
pH netral saat penambahan volume NaOH sebanding dengan volume HCl
awal yaitu 50 mL. Dimana ion H+ pada sistem diperkirakan telah habis
bereaksi, tetapi yang terjadi adalah pada saat volume keduanya telah
sebanding, pH meter menunjukkan bahwa keadaan masih asam yaitu sekitar
23
pH 4. Hal ini menandakan, saat ion H+ dari HCl telah habis bereaksi, ada
kehadiran ion positif lain pada sistem yang membuatnya tetap dalam keadaan
asam, muatan (ion +) inilah yang berasal dari arang. Dengan demikian, dapat
diperkirakan bahwa arang yang digunakan memiliki kecenderungan
bermuatan parsial positif.
2. pH optimum zat warna methylene blue (MB) dan naphthol yellow(NY)
Zat warna MB dan NY memiliki pH optimum yang berbeda untuk
terjadinya penyerapan terbaik. Grafik pengaruh pH terhadap penyerapan
kedua zat warna dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.3 grafik pengaruh pH terhadap adsorpsi MB
24
Gambar 4.4 Grafik pengaruh pH terhadap adsorpsi NY
Pada grafik penyerapan MB, daya serap cenderung semakin bertambah
dengan kenaikan pH yang ditunjukkan oleh titik pada pH 2-6. Secara umum
arang bersifat amfoter, di mana secara alamiah arang mengandung situs asam
dan basa secara bersamaan. Pada media asam, di mana terdapat banyak ion
positif akan membuat situs basa/muatan parsial negatif pada permukaan arang
tertutupi dan menjadikan arang lebih cenderung bermuatan positif. Hal ini
menyebabkan MB yang terlarut dalam bentuk ion positif yaitu muatan yang
sama dengan permukaan arang, cenderung tidak disukai untuk diserap pada
pH yang semakin asam.
Semakin naik pH media atau dari asam menuju basa, maka ion positif
(H+) pada media semakin berkurang dan ion negatif (OH
-) bertambah.
Banyaknya ion negatif pada media akan membuat muatan parsial positif pada
permukaan arang tertutupi dan membuat arang lebih cenderung bermuatan
parsial negatif. Hal ini menyebabkan, semakin naik pH maka muatan pada
25
permukaan arang akan semakin negatif. Hal ini menyebabkan, semakin tinggi
pula afinitas arang untuk menyerap molekul/zat yang bermuatan positif. Pada
titik pH 6 ke pH 7, daya serap mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
media yang semakin basa sudah terlalu banyak mengandung ion negatif dan
berlebih, sehingga molekul MB yang bermuatan positif terhalangi oleh ion
negatif yang berlebih ini. Proses ini menyebabkan interaksi antara zat warna
dengan permukaan arang berkurang, sehingga menurunkan adsorpsi. Dari
grafik penyerapan ini dapat diketahui molekul MB cenderung lebih disukai
untuk terserap pada pH diatas pH-pzc yaitu penyerapan optimum pada pH 6.
Sementara itu, pada grafik penyerapan NY kenaikan pH membuat
penyerapan semakin berkurang. Hal ini terlihat dari titik pH 2–7 yang
menunjukkan penyerapan cenderung semakin menurun. NY terlarut
membentuk ion bermuatan negatif, sedangkan permukaan arang aktif, akan
cenderung semakin bermuatan parsial negatif pula dengan kenaikkan pH.
Dari hal ini, NY cenderung lebih disukai terserap pada keadaan asam atau
pada pH rendah. Pada keadaan ini, permukaan arang cenderung bermuatan
parsial positif, sehingga terlihat dari grafik tersebut NY terserap maksimum
pada pH 2.
Dari perbedaan muatan pada kedua zat warna, yaitu MB bermuatan
positif dan NY bermuatan negatif, sedangkan permukaan arang cenderung
semakin bermuatan parsial negatif dengan kenaikkan pH, maka MB lebih
disukai terserap pada pH di atas pH-pzc dan NY lebih disukai terserap pada
pH di bawah pH-pzc.
26
C. Kapasitas adsorpsi
Pengaruh konsentrasi awal zat warna terhadap adsorpsi pada arang aktif
disajikan pada gambar berikut:
Gambar 4.5 Grafik penyerapan methylene blue
Gambar 4.6 Grafik penyerapan naphthol yellow
27
Pada kedua grafik terlihat bahwa konsentrasi awal zat warna
mempengaruhi adsorpsi pada arang aktif. Pada grafik penyerapan MB, mula-
mula konsentrasi MB teradsorb semakin tinggi seiring dengan semakin
tingginya konsentrasi awal, seperti ditunjukkan oleh titik 1-30 ppm. Adsorpsi
mencapai titik kesetimbangan di mana penyerapan tidak terlalu banyak
berubah yang terlihat pada titik 30-50 ppm. Hal ini merupakan gejala yang
menunjukkan peyerapan MB lebih disukai mengikuti isoterm Langmuir. Dari
grafik ini diketahui penyerapan maksimum terjadi pada konsentrasi awal
sekitar 30 ppm.
Kurva penyerapan NY, pada konsentrasi rendah menunjukkan gejala pola
isoterm Langmuir terlihat pada titik antara 50-400 ppm yang semakin naik
dengan kenaikan konsentrasi awal dan titik kestabilan pada 400-550 ppm,
sedangkan untuk konsentrasi yang lebih tinggi, penyerapan menunjukkan
peningkatan kembali yang diwakili oleh titik 1000 ppm. Maka jika
konsentrasi awal dinaikkan lagi dan diambil rata-rata penyerapan
keseluruhan, adsorpsi NY lebih disukai menunjukkan kepada gejala isoterm
Feundlich. Pada grafik penyerapan NY, adsorpsi terbaik terjadi pada
konsentrasi awal yang tertinggi yaitu 1000 ppm dan dimungkinkan semakin
bertambah dengan bertambahnya konsentrasi awal.
Dua model pendekatan isoterm adsorpsi yaitu isoterm Langmuir dan
Freundlich dapat digunakan untuk menentukan pola adsorpsi zat warna MB
dan NY pada permukaan arang aktif tersebut. Dengan membuat grafik C/x
versus C untuk isoterm Langmuir dan log x/m versus log C untuk isoterm
28
Freundlich, maka dapat diketahui nilai koefisien persamaan garis lurus untuk
masing-masing isoterm.
Gambar 4.7 Grafik isoterm Langmuir MB
Gambar 4.8 Grafik isoterm Freundlich MB
29
Berdasarkan nilai koefisien regresi liner (R2) penyerapan zat warna MB
di atas, grafik isoterm Langmuir memberikan nilai R2 0,923, sedangkan
isoterm Freundlich memberikan R2 0,9102. Nilai R
2 kedua persamaan tidak
terlalu berbeda, hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi MB pada permukaan
arang aktif dapat terjadi mengikuti baik pola isoterm Langmuir atau pola
isotherm Freunlich. Tetapi, karena nilai R2 isoterm Langmuir sedikit lebih
besar dari isoterm Freundlich, maka adsorpsi MB cenderung lebih disukai
mengikuti persamaan adsorpsi langmuir.
Dengan menggunakan persamaan Y = 0,1495x + 1,0682 pada grafik
persamaan Langmuir. Maka, dapat diketahui kapasitas adsorpsi (b) MB pada
arang aktif adalah 0,33 mg/gram, dengan energi ikat sebesar 33,87 kJ/mol
Tabel 4.1 Nilai kapasitas dan energi adsorpsi kedua zat warna pada
permukaan arang aktif
Zat warna Kapasitas adsorpsi (b) Energi adsorpsi (-∆G)
mg/gram mol/gram kJ/mol
Methylene Blue 0.33 1.16x10-3
33,87
Naphthol Yellow 7,81 25,02x10-3
2,26
Untuk zat warna NY grafik isoterm penyerapannya dapat dilihat pada
gambar berikut :
30
Gambar 4.9 Grafik isoterm Langmuir NY
Gambar 4.10. Grafik isoterm Freundlich NY
Pada adsorpsi zat warna NY, grafik penyerapan kedua persamaan isoterm
yaitu Langmuir dan Freundlich memberikan nilai R2 yang juga tidak terlalu
berbeda. Di mana hal ini menunjukkan hampir serupa dengan MB,
penyerapan NY dapat terjadi mengikuti pola isoterm Langmuir atau
31
Freundlich. Nilai R2 isoterm Langmuir adalah sebesar 0,92 nilai ini lebih
besar atau lebih mendekati 1 daripada nilai R2 isoterm Freundlich yaitu
sebesar 0,91. Maka adsorpsi NY cenderung lebih disukai untuk mengikuti
pola isoterm Langmuir.
Dari grafik isoterm Langmuir NY didapatkan persamaan Y = 0,0032x +
1,6134. Dengan persamaan ini maka dapat diketahui besarnya kapasitas
adsorpsi (b) NY pada permukaan arang aktif adalah 7,81 mg/gram dan energi
ikatnya sebesar 2,26 kJ/mol
Tabel 4.2 Nilai parameter persamaan Langmuir dan Freundlich adsorpsi
kedua zat warna
Zat warna
Langmuir Freundlich
b
(mg/gram)
K
(/mol) R
2
E
(kJ/mol) 1/n R
2
Methylene blue 0,33 795790,67 0,923 33,87 0,571 0,910
Naphthol yellow 7,81 2,47 0,92 2,26 0,625 0,91
Hasil perhitungan kapasitas adsorpsi (b) dari kedua zat warna didapatkan
bahwa nilai b dari NY sebesar 7,81 mg/gram. Nilai ini lebih besar dari nilai
kapasitas adsorpsi MB yang hanya sebesar 0,33 mg/gram. Hal ini
menunjukkan bahwa arang aktif pada penelitian ini lebih cenderung
menyukai untuk mengadsorp NY daripada MB. Kecenderungan ini
kemungkinan disebabkan oleh dua faktor utama: (1) dari faktor adsorben
yaitu dari hasil uji pH-pzc dan (2) dari faktor adsorbat (zat warna) yaitu
ionisasi zat warna yang digunakan.
32
Dari hasil uji pH-pzc telah diperkirakan bahwa arang aktif yang
digunakan memiliki kecenderungan bermuatan parsial positif. Maka sangat
memungkinkan bahwa ia lebih menyukai untuk menyerap NY yang
bermuatan negatif daripada MB yang bermuatan positif. Faktor kedua dari
penyebab afinitas ini adalah bahwa NY memiliki muatan negatif yang lebih
besar daripada muatan positif MB.
Gambar 4.11 Methylene blue
Gambar 4.12 Naphthol yellow
Satu molekul MB yang terionisasi akan memiliki satu gugus fungsi yang
bermuatan positif, sedangkan satu molekul NY akan memiliki dua gugus
fungsi negatif saat terionisasi. Maka dengan mekanisme adsorpsi ionik NY
akan lebih mudah teradsorb pada permukaan arang, sehingga NY memiliki
kapasitas adsorpsi (b) yang lebih besar daripada MB.
33
D. Spektra IR
Spektra IR digunakan untuk memperkirakan gugus fungsi yang terdapat
pada permukaan arang aktif dan memperkirakan pada gugus manakah zat
warna berikatan. Gambar spektra hasil adsorpsi disajikan pada gambar 4.13
sebagai berikut
Gambar 4. 13 Spektra IR arang sebelum adsorpsi
34
Gambar 4.14 Spektra IR adsorpsi methylene blue pada arang
Gambar 4.15 Spektra IR adsorpsi naphthol yellow pada arang
35
Gambar-gambar di atas menunjukkan spektra arang sebelum penyerapan
dan spektra setelah penyerapan kedua zat warna. Pada spektra arang sebelum
penyerapan terlihat adanya pita kuat dan lebar pada sekitar 3345 cm-1
, pita ini
menunjukkan serapan khas gugus hidroksil. Serapan pada daerah 1112 cm-1
kemungkinan merupakan serapan C-O dari fenolik atau P-O dari gugus
posporik. Puncak-puncak ini diperkirakan merupakan serapan molekul air
yang terkandung dalam arang atau gugus fungsi arang berupa senyawa
fenolik atau posporik. Pita tajam pada 1634 cm-1
adalah serapan ikatan C=C
aromatik, ikatan ini diperkirakan dari karbon penyusun utama arang. Serapan
pada 667cm-1
merupakan serapan dari ikatan C-halida (Br/I) atau ikatan
bending overtone dari P-O phosporik.
Spektra penyerapan zat warna methtylene blue juga memunculkan
puncak-puncak yang ada pada spektra arang awal. Tetapi pada spektra ini
muncul puncak tajam-sedang pada 2360 cm-1
yang merupakan serapan C=N
atau C-N, puncak ini diperkirakan serapan ikatan pada atom penyusun zat
warna. Pada daerah sekitar 1457 cm-1
terdapat puncak lemah yang
diperkirakan serapan dari S=O-- dan pada daerah 669 cm-1
merupakan yang
serapan C-halida pada arang tetapi dengan intensitas yang sedikit berkurang
karena tumpang tindih dengan serapan S-halida. Dari spektra ini dapat
diperkirakan methylene blue berikatan dengan arang pada gugus S=O--
fenolik atau S-halida pada C-halida.
Puncak-puncak pada spektra arang juga muncul pada spektra penyerapan
naphthol yellow. Pada spektra ini muncul serapan sedang-tajam pada 2361
36
cm-1
yang serupa dengan serapan pada methylene blue, tetapi dengan
intensitas yang lebih banyak, hal ini menunjukkan zat warna naphthol yellow
terdapat lebih banyak pada arang. Daerah sekitar 1456 cm-1
merupakan
serapan N-O dari gugus -NO2, yang juga ditunjukkan oleh serapan N=O pada
1560 cm-1
. Daerah sekitar 1113 cm-1
merupakan serapan P-O, pada gugus
inilah diperkirakan ikatan adsorpsi terjadi.
37
BAB IV
KESIMPULAN
1. Arang aktif yang dibuat dari kulit biji kopi dengan aktivator (NH4)2CO3
2% memiliki karakteristik yaitu kadar air 3,26%, kadar abu 9,28%, daya
serap terhadap iodium 25%. Nilai-nilai ini, kecuali kadar abu, telah
memenuhi Standar Industri Indonesia (SII- No. 0258-79).
2. Zat warna methylene blue lebih disukai untuk teradsorp pada pH netral-
basa atau di atas pH-pzc, yaitu optimum pada pH 6. Zat warna naphthol
yellow lebih disukai teradsorp pada pH asam atau di bawah pH-pzc,
optimum pada pH 2.
3. Kedua zat warna dapat teradsorp mengikuti pola isoterm Langmuir
maupun Freundlich. Tetapi, lebih cenderung disukai untuk teradsorp
mengikuti pola persamaan Langmuir.
4. Methylene blue pada permukaan arang aktif memiliki kapasitas adsorpsi
(b) sebesar 0,33 mg/gram dengan energi ikat sebesar 33,87 kJ/mol dan
naphthol yellow memiliki kapasitas adsorpsi sebesar 7,81 mg/gram dengan
energi ikat sebesar 2,26 kJ/mol.
5. Kedua zat warna diperkirakan teradsorp dengan mekanisme pertukaran
ion.
38
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1988, Budidaya Tanaman Kopi, Yogyakarta: Kanisius.
Atkins PW alih bahasa oleh Kartohadiprodjo, 1997, Kimia Fisika, jilid II, Jakarta:
Erlangga.
Erdawati, 2008, Jurnal kimia Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II: Kapasitas
Adsorpsi Kitosan dan Nanomagnetik Terhadap Ion Ni(II), Jakarta: FMIPA
UNJ.
Fessenden, Fessenden alih bahasa oleh Pudjatmaka, Kima Organik, jilid II,
Jakarta: Erlangga.
Frilla R.T.S. dkk, 2008, Jurnal Kimia Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II:
Pengaruh Temperatur Terhadap Pembentukan Pori Pada Arang Bambu,
Jakarta: FMIPA UNJ.
Harjono Sastrohamidjojo, 2001, Spektroskopi, Yogyakarta: Liberty.
Indah Subadra, Bambang Setiaji, Iqmal Tahir, 2005, Prosiding Seminar Nasional
DIES ke 50 FMIPA UGM: Activated Carbon Production From Coconut
Shell With (NH4)HCO3 Activator As an Adsorbent in Virgin Coconut Oil
Purification, Yogyakarta: FMIPA UGM
Joan E S, S. Lowell, 1984, Powder Surface Area and Porosity, New York:
Chapman and Hall.
M.T Sembiring dan T Sarma Sinaga, 2003, Jurnal Kimia: Arang Aktif
Pengenalan dan Proses Pembuatannya, Sumatra Utara: FT Universitas
Sumatra Utara.
Renita Manurung. Rosdanelli Hasibuan. Irvan. 2004, Jurnal kimia: Perombakan
Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob – Aerob, Sumatra Utara: FT USU.
S.M Khopkar alih bahasa A. Saptorahardjo, 2003, Konsep dasar Kimia Analitik.
Jakarta: UI-press.
Teresa J. Bandosz (ed). 2006, Interface Science And Technology–Vol 7: Activated
Carbon Surfaces in Environmental Remediation, New York: Elsevier.