PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP...
-
Upload
hoangthuan -
Category
Documents
-
view
234 -
download
5
Transcript of PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP...
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP KESTABILAN
POLA NAPAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG ANGGREK 1
RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
DANAR FAUZAN ADI PRAYITNO
NIM. P.12 013
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP KESTABILAN
POLA NAPAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG ANGGREK 1
RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
DANAR FAUZAN ADI PRAYITNO
NIM. P.12 013
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Danar Fauzan Adi Prayitno
NIM : P.12 013
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul Karya Tulis Ilmiah : PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER
TERHADAP KESTABILAN POLA NAPAS PADA
ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG ANGGREK
1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 26 Mei 2015
Yang Membuat Pernyataan
Danar Fauzan Adi Prayitno
P.12 013
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : Danar Fauzan Adi Prayitno
NIM : P.12 013
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
KESTABILAN POLA NAPAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. P DENGAN TUBERKULOSIS PARU
DI RUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA.
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/Tanggal : Jum’at, 22 Mei 2015
Pembimbing : Ns. Joko Kismanto, S.Kep (…………………..)
NIK. 200670020
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : Danar Fauzan Adi Prayitno
NIM : P.12 013
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
KESTABILAN POLA NAPAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. P DENGAN TUBERKULOSIS
PARU DI RUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/Tanggal : Senin, 15 Juni 2015
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ns. Joko Kismanto, S.Kep (…………………..)
NIK. 200670020
Penguji I : Ns. Alfyana Nadya Rachmawati, M.Kep (…………………..)
NIK. 201086057
Penguji II : Ns. Meri Oktariani, M.Kep (…………………..)
NIK. 200981037
Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII keperawatan
STIKES Kusuma Husada Surakarta
Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep
NIK. 200680021
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
KESTABILAN POLA NAPAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P
DENGAN TUBERKULOSIS PARU DI RUANG ANGGREK 1 RSUD Dr.
MOEWARDI SURAKARTA.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani, M.Kep, selaku Sekretaris Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
3. Ns. Joko Kismanto, S.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
vi
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Ns. Alfyana Nadya Rachmawati, M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orang tuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Teman-teman Mahasiswa Pogram Studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 26 Mei 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ............................................................... 5
C. Manfaat Penulisan ............................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ................................................................... 7
1. Tuberkulosis Paru ....................................................... 7
2. Sistem Pernapasan ...................................................... 27
3. Posisi Semi Fowler ..................................................... 33
B. Kerangka Teori .................................................................. 36
C. Kerangka Konsep .............................................................. 37
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset ........................................................... 38
B. Tempat dan waktu ............................................................. 38
C. Media atau alat yang digunakan ........................................ 38
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset .................... 38
E. Alat ukur evaluasi tindakan aplikasi riset .......................... 39
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas klien .................................................................... 40
B. Pengkajian ......................................................................... 40
viii
C. Perumusan Masalah Keperawatan ..................................... 47
D. Perencanaan Keperawatan ................................................. 48
E. Implementasi Keperawatan ............................................... 50
F. Evaluasi Keperawatan ....................................................... 58
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ......................................................................... 62
B. Diagnosa Keperawatan ...................................................... 68
C. Perencanaan Keperawatan ................................................. 73
D. Implementasi Keperawatan ............................................... 76
E. Evaluasi Keperawatan ....................................................... 82
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 86
B. Saran .................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori ............................................................................. 36
Gambar 2.2 Kerangka Konsep ......................................................................... 37
Gambar 4.1 Genogram ................................................................................... 42
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2. Log Book
Lampiran 3. Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 4. Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 5. Laporan Asuhan Keperawatan
Lampiran 6. Jurnal Utama
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
WHO atau Badan Kesehatan Dunia memperkirakan sepertiga dari
populasi didunia terinfeksi dengan mycobacterium tuberculosis. Pada tahun
2009 ada 9,4 juta kasus baru dengan 1,7 juta kematian secara global.
Sebagian besar kematian terdapat pada negara berkembang yang memiliki
keterbatasan sumber daya (Belay et al, 2010 dalam Majampoh, dkk, 2013).
Tiga Negara dinyatakan sebagai negara dengan disease burden tertinggi yaitu
Cina, India dan salah satunya Indonesia (Sjahrurachman, 2010 dalam
Majampoh, dkk, 2013).
Di Indonesia penyakit TB paru merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit menular
(Harrison, 2013 dalam Majampoh, dkk, 2013). Menurut Kemenkes RI, 2013
dalam Majampoh, dkk, 2013 Jumlah kasus baru BTA+ yang ditemukan di
Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit
lebih meningkat dibandingkan pada tahun 2011 sebesar 197.797 kasus.
Penemuan penderita baru BTA (+) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008
sebanyak 16.748 penderita atau 47,97 %, meningkat bila dibandingkan dengan
CDR tahun 2007 sebesar 47,75 %. CDR tertinggi adalah di Kota Pekalongan
sebesar 106,44 % dan yang terendah adalah di Kota Salatiga sebesar 24,08 %.
2
Terdapat lima kabupaten atau kota yang sudah melampaui target 70 % yaitu Kota
Pekalongan (106,44 %), Kota Surakarta (84,29 %), Kabupaten Tegal (71,55 %),
Kota Pekalongan (80,02 %), dan Kabupaten Batang (77,53 %) (Dinkes Jateng,
2008 dalam Prabowo, 2012). Sedangkan berdasarkan data dari Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, (2010) dalam Prabowo, (2012)
jumlah kasus TB Paru dewasa pada tahun 2008 terdapat 398 kasus pada tahun
2009 terdapat 588 kasus, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 435 kasus. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kasus tuberkulosis pada orang
dewasa di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta mengalami
fluktuaktif artinya jumlah kasus tidak menentu selama tiga tahun terakhir.
Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang didapatkan dari rekam medis
diketahui bahwa jumlah pasien penderita Tuberkulosis Paru pada tahun 2013
berjumlah 285 orang, sedangkan tahun 2014 sampai Maret 2015 berjumlah 428
orang. Hasil wawancara di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta
di dapatkan data adanya pasien dengan Tuberkulosis Paru. Data subjektif
pasien mengatakan sesak napas, batuk disertai dahak, dan nyeri di dada. Data
objektif napas dalam pendek, terdapat otot bantu pernapasan, terdapat cuping
hidung, sekret berwarna kuning keputihan, suara napas terdengar wheezing,
pasien meringis nyeri, terpasang O2 3 liter / menit.
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-
paru dan disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Somantri, 2009).
Sementara itu menurut Junaidi, (2010) menyebutkan Tuberkulosis (TB)
sebagai suatu penyakit infeksi akibat Mycobacterium tuberkulosis yang dapat
3
menyerang berbagai organ, terutama paru-paru denga gejala yang sangat
bervariasi.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik, sub kronik atau
akut yang menyerang alveolar (Nugroho, 2011). Sedangkan menurut Zulkoni,
(2011) tuberkulosis atau yang lebih terkenal dengan singkatan TBC adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis, biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB paru),
walaupun pada beberapa kasus, organ-organ lain ikut terserang. gejala klinis
pada pasien TB paru akan menimbulkan masalah keperawatan dan
mengganggu kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah
kebutuhan istirahat, seperti adanya nyeri dada saat aktivitas, dyspnea saat
istirahat atau aktivitas, letargi dan gangguan tidur (Heather, 2013 dalam
Majampoh, dkk, 2013). Untuk menanggulangi gangguan keperawatan O2
maka dilakukan metode sebagai berikut.
Metode yang paling sederhana dan efektif untuk mengurangi resiko
penurunan pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat
istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah diberikannya posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 30-45° (Yulia, 2008 dalam Majampoh, dkk, 2013). Posisi semi
fowler pada pasien TB paru telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas (Bare, 2010 dalam Majampoh, dkk,
2013). Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menurunkan konsumsi O2 dan
4
menormalkan ekspansi paru yang maksimal, serta mempertahankan
kenyamanan (Azis & Musrifatul, 2012 dalam Majampoh, dkk, 2013).
Hal ini sesuai dengan teori Supadi, Nurachmah, & Mamnuah (2008),
menyatakan bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru
semakin meningkat sehingga memperingan sesak napas. Posisi ini akan
mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal
tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery menjadi
optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi pasien
lebih cepat. Sedangkan menurut Angela dalam Refi Safitri dan Annisa
Andriyani (2008), posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh
dinaikkan dengan derajat kemiringan 45o, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari
abdomen ke diafragma. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya proses
perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengaplikasikan hasil riset tentang Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Kestabilan Pola Napas Pada Pasien Tuberkulosis Paru. Hal ini dituangkan
dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Posisi Semi
Fowler Terhadap Kestabilan Pola Napas Pada Asuhan Keperawatan Tn. P
dengan Tuberkulosis Paru Di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta”.
5
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan pemberian posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas
pada Tn. P dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. P dengan
Tuberkulosis Paru.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. P
dengan Tuberkulosis Paru.
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada Tn. P dengan
Tuberkulosis Paru.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. P dengan
Tuberkulosis Paru.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. P dengan
Tuberkulosis Paru.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian posisi semi fowler
terhadap kestabilan pola napas pada Tn. P dengan Tuberkulosis Paru.
6
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh pemberian
posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas pada pasien
Tuberkulosis Paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai data kepustakaan atau sebagai acuan sehingga dapat memberikan
gambaran tentang penatalaksanaan pengaruh pemberian posisi semi fowler
pada pasien dengan Tuberkulosis Paru.
3. Bagi Rumah Sakit
Aplikasi riset ini diharapkan dapat sebagai referensi atau kepustakaan
untuk menindaklanjuti dalam asuhan keperawatan pengaruh pemberian
posisi semi fowler pada pasien dengan Tuberkulosis paru agar di Rumah
Sakit sering digunakan.
4. Bagi Profesi Keperawatan
Dapat mengaplikasikan teori keperawatan atau sebagai acuan dan ilmu
pengetahuan dalam pemberian posisi semi fowler terhadap pasien dengan
Tuberkulosis Paru.
5. Bagi Pembaca
Sebagai sumber informasi bagi pembaca tentang pengaruh pemberian
posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas pada pasien Tuberkulosis
Paru.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Tuberkulosis Paru
a. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang
semua organ atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah
granuloma tubercular mengalami nekrosis perkijuan (Robbins,
2007).
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru
karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis
paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan
oleh M. tuberculosis. Tuberculosis paru mencakup 80 % dari
keseluruhan kejadian penyakit tuberculosis, sedangkan 20 %
selebihnya merupakan tuberculosis ekstrapulmonar. Diperkirakan
bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M.
tuberculosis (Djojodibroto, 2007).
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang
parenkim paru-paru dan disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis (Somantri, 2009). Sementara itu menurut Junaidi,
(2010) menyebutkan Tuberkulosis (TB) sebagai suatu penyakit
8
infeksi akibat Mycobacterium tuberkulosis yang dapat menyerang
berbagai organ, terutama paru-paru denga gejala yang sangat
bervariasi. Sedangkan menurut Murwani, (2011) Tuberkulosis paru
merupakan penyakit infeksi menular, menyerang pada paru, yang
disebabkan oleh basil micobakterium tuberculose.
b. Klasifikasi
Menurut Ardiansyah (2012), Tuberkulosis pada manusia dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuberkulosis primer dan
tuberkulosis sekunder.
1) Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang
belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila
bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan
mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka
bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang
berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri ditangkap oleh
makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri
ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan
berkembang biak dalam tubuh makrofag. Dari proses ini,
dihasilkan bahan kemotaksis yang menarik monosit (makrofag)
dari aliran darah dan membentuk tuberkel. Sebelum
menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T.
9
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai
fungsi yang sama. Ada makrofag yang berfungsi pembunuh,
mencerna bakteri, dan merangsang limfosit. Beberapa makrofag
menghasilkan protease elastase, kolagenase, serta faktor
penstimulasi koloni untuk merangsang produksi monosit dan
granulosit pada sumsung tulang. Bakteri TB menyebar ke
saluran pernapasan melalui getah bening regional (bilus) dan
membentuk epitiolit granuloma. Granuloma mengalami nekrosis
sentral sebagai akibat dari timbulnya hipersensitifitas selular
(delayed hipersensitifity) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi
sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes tuberkulin.
Hipersensitifitas selular terlihat sebagai akumulasi local dari
lifosit dan makrofag.
Bakteri TB yang berada dalam alveoli akan membentuk
focus local (fokus ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama
dengan limfa denopati bertempat di hilus (kompleks primer
ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya
bersifat unilateral dengan subpleura terletak di atas atau bawah
sifura interlobaris, atau di bagian basal dari lobus inferior.
Bakteri ini menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau
aliran darah, dan tersangkut pada berbagai organ. Jadi, TB
primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
10
2) Tuberkulosis Sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil
bakteri TB masih dapat hidup dalam keadaan dorman di jaringan
parut. Sebanyak 90 % di antaranya tidak mengalami
kekambuhan. Reaktifitas penyakit TB (TB pascaprimer / TB
sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, pecandu
alcohol akut, silikosis, dan pada penderita diabetes mellitus serta
AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder, kelenjar
limfe regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih
terbatas, dan terlokalisir. Reaksi imunologis terjadi dengan
adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada
TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih mencolok dan
menghasilkan lesi kaseosa (perkejuan) yang luas dan disebut
tuborkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif
akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosar. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa terbentuknya kafisatas dan manifestasi
lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang
dikenal sebagai hipersensitivitas.
TB paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi
lanjutan dari sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan
riwayat masa muda pernah terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal
ini terjadi pada daerah artikel atau segmen posterior lobus
11
superior, 10-20 mm dari pleura dan segmen apikel lobus
interior. Hal ini mungkin disebabkan kadar oksigen yang tinggi,
sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang
disebabkan oleh produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas
kemudian diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisi
pembuluh darah vulmonal. Kavitas yang kronis diliputi oleh
jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas kronis
adalah kolonisasi jamur, seperti aspergilus yang menumbuhkan
micotema.
c. Etiologi
Menurut Zulkoni (2011), etiologi Tuberkulosis Paru adalah
sebagai berikut :
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam family
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales.
Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M.
africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa jenis tersebut,
M. Tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering
dijumpai. M. tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ
dan lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob.
Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya,
misalnya dengan pewarnaan gram. Namun sekali mycobacteria
12
diberi warna oleh pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat
dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria
disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa
mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu
Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, Patozoa Isospora dan
Crysptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, terdapat lemak
yang berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di
bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel,
sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotic. Lipoarabinomannan
adalah suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan
dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan M.
tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga untuk
beberapa tahun. Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat.
Intraselular fakultatif karakteristik fisiologis yang dapat
berkontribusi kepada virulensi parasit, biasanya dari makrofag, dan
memiliki waktu generasi lambat, 15-20 jam. Jenis-jenis tuberkulosis
yang sering menyerang :
1) Tuberkulosis paru terkonfirmasi secara bakteriologis dan
histologis.
2) Tuberkulosis paru tidak terkonfirmasi secara bakteriologis dan
histologis.
3) Tuberkulosis pada sistem saraf.
13
d. Faktor Resiko
Menurut Zulkoni (2011), faktor resiko Tuberkulosis Paru
sebagai berikut :
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis
Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi
antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap
tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB, hanya 11 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan
bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk
rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi
buruk atau HIV/AIDS.
e. Patofisiologi
Port de’entri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah
saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui
inhalasi dropplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang terinfeksi (Ardiansyah, 2012).
14
Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan di inhalasi biasanya
terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar
cenderung bertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus,
sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri di tempat ini, namun
tidak membunuh organisme tersebut (Ardiansyah, 2012).
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul
gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat
berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju getah
bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloit yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10-20 jam (Ardiansyah, 2012).
f. Manifestasi Klinis
Menurut Ardiansyah (2012), tanda dan gejala yang muncul
pada pasien Tuberkulosis Paru antara lain :
1) Sistemik : malaise, anoreksia, berat badan menurun, dan keluar
keringat malam.
2) Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.
15
3) Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis.
4) Respiratorik : batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang
mukoid atau kopurulen, nyeri dada, batuk darah, dan gejala lain.
Bila ada tanda-tanda penyebaran ke organ lain, seperti pleura,
akan terjadi nyeri pleura, sesak napas, ataupun gejala meningeal
(nyeri kepala, kaku kuduk, dan lain sebagainya).
g. Komplikasi
Menurut Zulkoni (2012), Komplikasi yang sering terjadi pada
penderita stadium lanjut adalah hemoptisis berat (perdarahan dari
saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena
syok, tersumbatnya jalan napas, kolaps spontan karena kerusakan
jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian ginjal, dan sebagainya.
h. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ward, dkk, (2006), pemeriksaan penunjang
Tuberkulosis Paru yang dilakukan antara lain :
1) Tes Darah :
Dapat mendeteksi anemia, penurunan natrium, dan peningkatan
kalsium.
2) Tes Mantoux :
Sangat positif pada TB paru pasca primer (indurasi kulit >5 mm
dengan 10 unit tuberculin intradermal, dibaca pada hari ketiga).
16
Sering negatif pada TB milier (penurunan respons pejamu) dan
HIV (penurunan imunitas selular).
3) Tes Heaf :
Suatu cincin dengan enam cocokan peniti yang dibuat melalui
larutan tuberculin pada lengan bawah. Tidak adanya respons
pada hari ke 4-7 (derajat 0) memperlihatkan kurangnya imunitas
: 4-6 nodul diskret (derajat 1) atau suatu cincin yang terbentuk
melalui koalisi semua kecocokan peniti (derajat 2) menunjukkan
imunitas. Satu nodul yang dibentuk dengan mengisi cincin
(derajat 3) menggambarkan baru saja terjadi kontak atau infeksi
tuberkulosis dini, dan suatu nodul > 5-7 mm dengan vesikel atau
ulserasi permukaan (derajat 4) menunjukkan infeksi.
4) Mikrobiologi :
Basil tahan asam dapat dideteksi pada sputum atau bilasan paru
yang menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Namun, basil
tumbuh lambat, dan kultur serta sensitivitas obat memerlukan
waktu 4-6 minggu. Kultur dari sumsum tulang atau cairan
serebrospinal (CSS) dapat mengkonfirmasi diagnosis TB milier.
5) Histopatologi :
Aspirasi pleura dengan biopsi mengkonfirmasi TB pada 90 %
pasien dengan efusi pleura. Biopsi hati akan menemukan TB
milier pada 60 % kasus.
17
6) Radiografi Dada :
Pembentukan bayangan di lobus bawah sangat menunjang.
Kavitas di apeks, efusi pleura, dan pneumotoraks dapat terjadi.
Pada TB milier, nodul kecil yang tersebar luas (diameter 2-3)
secara difus menyebar ke seluruh paru (bayangan milier), dan
mudah luput dari penglihatan.
i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Berikut adalah pengkajian asuhan keperawatan pada
pasien Tuberkulosis Paru (Padila, 2013).
a) Aktifitas / istirahat
Kelelahan, napas pendek karena kerja, kesulitan tidur pada
malam hari, menggigil / berkeringat, mimpi buruk,
takhikardi, takipnea / dispnea pada kerja, kelelahan otot,
nyeri dan sesak.
b) Integritas Ego
Adanya / faktor stress yang lama, masalah keuangan,
perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan, menyangkal,
ansietas, ketakutan, mudah terangsang.
c) Makanan / Cairan
Kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna, penurunan
berat badan, turgor kulit buruk, kering / kulit bersisik,
kehilangan otot, hilang lemak sub kutan.
18
d) Kenyamanan
Nyeri dada, berhati-hati pada daerah yang sakit, gelisah.
e) Pernapasan
Napas pendek, batuk, peningkatan frekuensi pernapasan,
pengembangan pernapasan tak simetris, perkusi pekak,
defiasi trakeal, bunyi napas menurun / tak ada secara
bilateral / unilateral, karakteristik : hijau / kurulen, kuning /
bercak darah.
f) Keamanan
Adanya kondisi penekanan imun, test HIV positif, demam /
sakit panas akut.
g) Interaksi sosial
Perasaan isolasi / penolakan, perubahan pola biasa dalam
tanggung jawab.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan Tuberkulosis
Paru antara lain sebagai berikut (Ardiansyah, 2012) :
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
sekresi mukus yang kental.
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan
cairan dalam rongga pleura.
19
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan
membrane alveolar-kapiler.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
3) Intervensi Keperawatan
Menurut (Ardiansyah, 2012) intervensi keperawatan pada
pasien dengan Tuberkulosis Paru antara lain sebagai berikut :
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
sekresi mukus yang kental.
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan kebersihan jalan napas kembali
efektif.
(2) Kriteria Hasil : Pasien dapat melakukan batuk efektif,
Pernapasan pasien normal 16-24 x/menit tanpa
penggunaan alat bantu napas, Bunyi napas normal, Rh
-/-, dan pergerakan pernapasan normal.
(3) Intervensi :
(a) Kaji fungsi pernafasan (bunyi napas, kecepatan,
irama, kedalaman, dan penggunaan otot bnatu
napas).
Rasional : penurunan bunyi napas menunjukkan
atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret
dan tidak efektifnya pengeluaran sekresi, yang
20
selanjutnya dapat menimbulkan otot bantu napas
dan peningkatan kerja pernapasan.
(b) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat
karakter, volume sputum, dan adanya hemoptisis.
Rasional : pengeluaran dahak akan sulit bila sekret
sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak
memadai). Sputum berdarah bila ada kerusakan
(kavitasi) paru atau luka bronchial dan memerlukan
intervensi lebih lanjut.
(c) Berikan posisi fowler / semi fowler (yakni posisi
tidur dengan punggung bersandar di bantal atau
seperti tidur duduk-duduk) dan bantu pasien untuk
bernapas dalam dan batuk efektif.
Rasional : posisi fowler atau semi fowler
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke
jalan napas besar untuk dikeluarkan.
(d) Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2.500
ml/hari, kecuali tidak di indikasikan.
Rasional : hidrasi yang memadai dapat membantu
mengencerkan sekret dan mengefektifkan
pembersihan jalan napas.
21
(e) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, bila perlu
lakukan pengisapan (suction).
Rasional : mencegah obstruksi dan aspirasi.
Pengisapan diperlukan bila pasien tidak mampu
mengeluarkan sekret.
(f) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT
Rasional : pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan
terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi
WHO adalah Rifampisin, INH, Pirazinamid,
Strptomisin, dan Etambutol.
b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan
cairan dalam rongga pleura.
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas kembali
efektif.
(2) Kriteria Hasil : pasien mampu melakukan batuk efektif
dan irama, frekuensi, kedalaman pernapasan berada
pada batas normal. Pada pemeriksaan rontgen dada,
22
tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi
napas terdengar jelas.
(3) Intervensi :
(a) Identifikasi faktor penyebab.
Rasional : dengan mengidentifikasi penyebab, kita
dapat menentukan jenis efusi pleura, sehingga
dapat mengambil tindakan yang tepat.
(b) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan
pernapasan, dispnea, sianosis, dan perubahan tanda
vital.
Rasional : distress pernapasan dan perubahan tanda
vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologis
dan nyeri. Bisa juga menunjukkan terjadinya shock
akibat terjadinya hipoksia.
(c) Berikan posisi fowler / semi fowler (tidur
bersandar) tinggi dan miring pada sisi yang sakit
dan bantu pasien untuk latihan napas dalam dan
batuk efektif.
Rasional : posisi fowler memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya napas. Ventilasi
maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke jalan napas besar
untuk kemudian dikeluarkan.
23
(d) Auskultasi bunyi napas.
Rasional : bunyi napas dapat menurun, bahkan
tidak ada, pada area kolaps yang meliputi satu
lobus, segmen paru, atau seluruh area paru
(unilateral).
(e) Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional : ekspansi paru menurun pada area
kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi yang sehat pada
tension pneumothoraks.
(f) Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis atau
kalau perlu WSD (water seal drainage).
Rasional : bertujuan sebagai evakuasi cairan atau
udara dan memudahkan ekspansi paru secara
maksimal.
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan
membrane alveolar-kapiler.
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pertukaran gas
tidak terjadi.
(2) Kriteria Hasil : pasien melaporkan adanya penurunan
dipsnea, pasien menunjukkan tidak ada gejala distress
pernapasan, menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar
24
oksigen jaringan adekuat dengan gas darah arteri dalam
rentan normal.
(3) Intervensi :
(a) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan
upaya pernapasan, ekspansi toraks dan kelemahan.
Rasional : TB paru mengakibatkan efek luas pada
paru dari bagian kecil bronkho pneumonia sampai
inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura,
dan fibrosis yang juga luas. Efeknya terhadap
pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea
berat, sampai distress pernapasan.
(b) Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat
sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk
membrane mukosa dan kuku.
Rasional : akumulasi sekret dan berkurangnya
jaringan paru yang sehat dapat mengganggu
oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
(c) Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama
ekspirasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis
dan kerusakan parenkim paru.
Rasional : membuat tahanan melawan udara luar
untuk mencegah kolaps atau penyempitan jalan
25
napas, sehingga membantu menyebarkan udara
melalui paru dan mengurangi napas pendek.
(d) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan bantu
kebutuhan perawatan diri sehari-hari sesuai
keadaan pasien.
Rasional : menurunkan konsumsi oksigen selama
periode penurunan pernapasan, selain dapat
menurunkan beratnya gejala.
(e) Kolaborasi pemeriksaan AGD.
Rasional : penurunan kadar O2 (PO2) dan atau
saturasi peningkatan PCO2 menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi atau perubahan
program terapi.
(f) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
Rasional : terapi oksigen dapat mengoreksi
hiposekmia yang terjadi akibat penurunan ventilasi
atau menurunnya permukaan alveolar paru.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan asupan (intake) nutrisi
pasien terpenuhi.
26
(2) Kriteria Hasil : pasien dapat mempertahankan status
gizinya dari yang semula kurang menjadi memadai,
pernyataan motivasi kita untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya.
(3) Intervensi :
(a) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan,
derajat penurunan berat badan, derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan
menelan, riwayat mual atau muntah, dan diare.
Rasional : memvalidasi dan menetapkan derajat
masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang
tepat.
(b) Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang
disukai pasien (sesuai indikasi).
Rasional : memperhitungkan keinginan individu
dapat memperbaiki asupan gizi.
(c) Pantau asupan dan output makanan dan timbang
berat badan secara periodik (sekali seminggu).
Rasional : berguna dalam mengukur keefektifan
asupan gizi dan dukungan cairan.
(d) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut belum dan
sesudah makan, serta sebelum dan sesudah
intervensi atau pemeriksaan per oral.
27
Rasional : menurunkan rasa tak enak karena sisa
makanan, sisa sputum, atau obat pada pengobatan
system pernapasan yang dapat merangsang pusat
muntah.
(e) Fasilitas pemberian diet TKTP, berikan dalam
porsi kecil tapi sering.
Rasional : memaksimalkan intake nutrisi tanpa
kelelahan dan energi besar, serta menurunkan
iritasi saluran cerna.
(f) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan
komposisi dan jenis diet yang tepat.
Rasional : merencanakan diet dengan kandungan
gizi yang cukup untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan kalori, sehubungan dengan
status hipermetabolik pasien.
2. Sistem Pernapasan
Fungsi sistem pernapasan adalah pertukaran gas. Oksigen dari
udara yang dihirup berdifusi dari alveolus paru ke darah dalam kapiler
paru. Karbondioksida yang dihasilkan selama metabolism sel berdifusi
dari darah kedalam alveolus dan kemudian dikeluarkan. Organ sistem
pernafasan memfasilitasi pertukaran gas ini dan melindungi tubuh dari
benda asing seperti partikel dan patogen (Kozier, dkk, 2010).
28
a. Definisi Pernapasan
Pernapasan adalah sebuah proses pertukaran gas antara
individu dengan lingkungan. Proses pernapasan melibatkan dua
komponen :
1) Ventilasi paru atau pernapasan, perpindahan udara antara
lingkungan dan alveolus paru.
2) Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveolus dan kapiler
paru (Kozier, dkk, 2010).
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari
luar yang mengandung (oksigen) serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi
keluar dari tubuh. Pengisapan udara ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin, 2006).
Jadi dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara oksigen
yang ditarik dari udara masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan
dari darah secara osmosis. Seterusnya CO2 akan dikeluarkan melalui
traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk ke dalam tubuh
melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian masuk ke serambi
kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta lalu ke seluruh tubuh
(jaringan-jaringan dan sel-sel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran).
Sebagai ampas (sisanya) dari pembakaran adalah CO2 dan zat ini
dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung
(serambi kanan / atrium dekstra) lalu ke bilik kanan (ventrikel
29
dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan
paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari
alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian sebagian dari
sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan
dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit (Syaifuddin, 2006).
Setelah udara dari luar diproses, didalam hidug masih terjadi
perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring
terdapat epiglottis yang berguna untuk menutup laring sewaktu
menelan, sehingga makanan tidak masuk ke trakea, sedangkan waktu
bernapas epiglottis terbuka begitu seterusnya. Jika makanan masuk
ke dalam laring maka kita mendapat serangan batuk, untuk mencoba
mengeluarkan makanan tersebut dari laring. Selain itu dibantu oleh
adanya bulu-bulu getar silia yaitu untuk menyaring debu-debu,
kotoran dan benda asing. Adanya benda asing / kotoran tersebut bisa
dikeluarkan melalui hidung dan mulut. Dengan kejadian tersebut
diatas udara yang masuk ke dalam alat-alat pernapasan benar-benar
bersih (Syaifuddin, 2006).
Tetapi kalau kita bernapas melalui mulut, udara yang masuk ke
dalam paru-paru tidak dapat disaring, dilembabkan / dihangatkan, ini
bisa mengakibatkan gangguan terhadap tubuh. Dan sel-sel bersilia
(bulu-bulu getar) dapat rusak apabila adanya gas beracun dan dalam
keadaan dehidrasi. Namun dalam keadaan tertentu diharapkan kita
bernapas melalui mulut, misalnya pada operasi hidung,
30
pengangkatan polip, karena setelah operasi pada kedua hidung diisi
tampon sehingga bernapas melalui mulut tidak merugikan
(Syaifuddin, 2006).
b. Perubahan Pola Pernapasan
Pola pernapasan menunjukkan frekuensi, volume, irama, dan
kemudahan relative atau upaya pernapasan. Respirasi normal
(eupnea) bersifat tenang, berirama, dan tanpa mengeluarkan usaha.
Takipnea (frekuensi cepat) dijumpai pada saat demam, asidosis
metabolik, nyeri, dan hiperkapnia atau hipoksemia. Bradipnea
adalah frekuensi pernapasan yang lambat secara abnormal, yang
dapat dijumpai pada klien yang menggunakan obat-obatan seperti
morfin, yang mengalami alkalosis metabolik, atau yang mengalami
peningkatan tekanan intracranial (mis., akibat cedera otak). Apnea
adalah henti napas (Kozier, dkk, 2010).
Hiperventilasi, Yang sering kali disebut hiperventilasi
alveolar, adalah suatu peningkatan pergerakan udara masuk dan
keluar dari paru. Selama hiperventilasi, frekuensi dan kedalaman
pernapasan meningkat, dan lebih banyak CO2 yang dibuang dari
pada yang dihasilkan. Sebuah tipe hiperventilasi tertentu yang
menyertai asidosis metabolik adalah pernapasan kusmaul, yaitu
tubuh berupaya untuk mengonpensasi (mengeluarkan kelebihan
asam tubuh) dengan menghembuskan karbondioksida melalui napas
dalam dan pernapasan cepat. Hiperventilasi juga dapat juga terjadi
31
sebagai respons terhadap stres, seperti yang dijelaskan sebelumnya
(Kozier, dkk, 2010).
Irama pernapasan abnormal menciptakan pola pernapasan yang
tidak teratur. Dua irama pernapasan yang tidak normal adalah
Pernapasan Cheyne-Stokes, irama penguatan dan pelemahan
pernapasan yang sangat jelas dari pernapasan yang sangat dalam ke
pernapasan yang sangat dangkal dan apnea temporer, penyebab
umum mencakup gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan
intracranial, dan overdosis obat. Pernapasan Biot (cluster).
Pernapasan dangkal yang diselingi dengan apnea, dapat terlihat pada
klien penderita penyakit sistem saraf pusat (Kozier, dkk, 2010).
Ortopnea adalah ketidakmampuan untuk bernapas kecuali
dalam posisi tegak atau berdiri. Kesulitan atau ketidaknyamanan
pernapasan disebut dispnea. Orang yang mengalami dispnea sering
kali tampak cemas dan dapat mengalami pendek napas (shortness of
breath atau SOB), suatu perasaan tidak mampu memperoleh cukup
udara / susah bernapas (Kozier, dkk, 2010).
Hipoksia adalah suatu kondisi ketidakcukupan oksigen di
tempat manapun di dalam tubuh, dari gas yang diinspirasi ke
jaringan. Hipoventilasi, yaitu ketidakadekuatan ventilasi alveolar,
dapat menyebabkan hipoksia. Hipoventilasi dapat terjadi karena
penyakitotot pernapasan, obat-obatan, atau anestesi. Dengan
hipoventilsi, karbondioksida sering kali menumpuk dalam darah,
32
sebuah kondisi yang disebut hiperkarbia (hiperkapnia). Sianosis
(tanda kebiruan pada kulit, bantalan kuku, dan membran mukosa,
akibat penurunan saturasi oksigen hemoglobin) dapat juga terjadi
(Kozier, dkk, 2010).
c. Paru-paru
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernapasan utama. Paru-
paru mengisi rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan
ditengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya
dan sruktur lainnya yang terletak didalam mediastinum. Paru-paru
adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) di atas
dan muncul sedikit lebih tinggi dari pada klavikula di dalam dasar
leher. Pangkal paru-paru duduk di atas landai rongga toraks, di atas
diafragma. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh
iga-iga, permukaan dalam yang memuat tampuk paru-paru, sisi
belakang yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan yang
menutupi sebagian sisi depan jantung (Pearce, 2013).
Lobus paru-paru (belahan paru-paru). Paru-paru dibagi
menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan
mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus
tersusun atas lobula. Sebuah pipa bronchial kecil masuk ke dalam
setiap lobula dan semakin bercabang, semakin menjadi tipis dan
akhirnya berakhir menjadi kantong kecil-kecil, yang merupakan
33
kantong-kantong udara paru-paru. Jaringan paru-paru elastis,
berpori, dan seperti spons. (Pearce, 2013).
3. Posisi Semi Fowler
a. Definisi Semi Fowler
Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien
dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan
kaki. dimana kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30-45o
(Suparmi, 2008).
Posisi semi fowler atau posisi setengah duduk adalah posisi
tempat tidur yang meninggikan batang tubuh dan kepala dinaikkan
15 sampai 45 derajat. Apabila klien berada dalam posisi ini, gravitasi
menarik diafragma ke bawah, memungkinkan ekspansi dada dan
ventilasi paru yang lebih besar (Kozier, dkk, 2010).
Supadi, Nurachmah, & Mamnuah (2008), menyatakan bahwa
posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru semakin
meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Posisi ini akan
mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya
cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2
delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya
perbaikan kondisi klien lebih cepat.
34
b. Tujuan
Tujuan pemberian posisi semi fowler adalah : Membantu
mengatasi masalah kesulitan pernapasan dan pasien dengan
gangguan jantung (Suparmi, 2008).
c. Prosedur
1) Identifikasi kebutuhan pasien akan posisi semi fowler.
2) Jelaskan pada pasien tentang tujuan / manfaat dari posisi ini.
3) Jaga privasi pasien.
4) Siapkan alat-alat.
5) Cuci tangan.
6) Buatlah posisi tempat tidur yang memudahkan untuk bekerja
(sesuai dengan tinggi perawat).
7) Sesuaikan berat badan pasien dan perawat. Bila perlu, carilah
bantuan atau gunakan alat bantu pengangkat.
8) Kaji daerah-daerah yang mungkin tertekan pada posisi tidur
pasien, seperti tumit, prosesus spinosus, sacrum, dan skapula.
9) Atur tempat tidur pada posisi datar. Ambil semua bantal dan
perlengkapan lain yang digunakan pada posisi sebelumnya. Beri
bantal pada tempat tidur pasien bagian atas. Pindahkan pasien ke
bagian atas tempat tidur.
a) Tekuk lutut pasien dan anjurkan untuk meletakkan tangan
di atas dadanya.
35
b) Letakkan satu tangan perawat di bawah bahu pasien dan
tangan yang lain di bawah paha pasien.
c) Angkat dan tarik pasien sesuai yang di inginkan, mintalah
pasien untuk mendorong kakinya.
d) Yakinkan bahwa bokong pasien berada tepat pada sudut
lekukan tempat tidur.
10) Naikkan posisi tempat tidur bagian kepala 30-40o
atau sesuai
kebutuhan.
11) Letakkan bantal kecil / lunak di bawah kepala.
12) Letakkan bantal kecil atau gulungan handuk di daerah lekuk
pinggang jika terdapat celah kecil di daerah tersebut.
13) Letakkan bantal kecil mulai dari bawah lutut sampai tumit.
14) Letakkan guling atau trochanter roll di sisi luar paha.
15) Letakkan papan penghalang pada telapak kaki pasien.
16) Letakkan bantal untuk mendukung lengan dan tangan jika
pasien tidak dapat menggerakkan lengan.
17) Evaluasi tindakan yang telah dilakukan dengan menilai rasa
nyaman pasien.
18) Rapikan alat-alat dan cuci tangan.
19) Catat tindakan yang telah dilakukan.
36
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1
Kerangka Teori
Sumber : (Ardiansyah, 2012)
- Klasifikasi Tuberkulosis Paru :
Tuberkulosis Paru Primer dan
Tuberkulosis Paru Sekunder.
- Tanda dan gejala :
Malaise, anoreksia, nyeri dada,
BB menurun, keluar keringat
malam, demam tinggi, sesak
napas, batuk berdahak, batuk
darah.
Penyebabnya adalah bakteri
Mycobacterium tuberculosis
yang bersifat tahan asam, aerob
dan merupakan hasil gram
positif.
Pemberian posisi semi fowler
agar kestabilan pola napas
terjaga.
Sesak napas Sesak napas
37
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.2
Kerangka Konsep
Sesak Napas
Posisi Semi Fowler
Kestabilan Pola Napas
38
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset
Subjek dalam pengambilan kasus ini adalah Tn. P dengan Tuberkulosis Paru
yang dirawat di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
B. Tempat dan waktu
Pengambilan kasus dilakukan di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta pada tanggal 9 - 14 Maret 2015.
C. Media dan alat yang digunakan
Dalam pengambilan kasus ini media dan alat yang digunakan :
1. Arloji (Jam Tangan)
2. Saturasi O2
3. Bantal
4. Masker
5. Handscoon
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi riset tentang pengaruh
pemberian posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas pada Tn. P
dengan Tuberkulosis Paru adalah :
1. Mencuci tangan dan gunakan sarung tangan / masker bila diperlukan untuk
menurunkan transmisi mikroorganisme.
39
2. Bagian kepala tempat tidur dinaikkan 30-45o .
3. Gunakan satu, dua atau tiga bantal untuk menopang kepala dan bahu.
4. Lutut dapat ditekuk sedikit dan ditopang dengan bantal.
5. Bantal dapat ditempatkan di bawah masing-masing lengan sebagai
penopang.
6. Bantalan kaki mempertahankan kaki pada posisinya.
7. Kemudian saat pasien memposisikan semi fowler, perawat melakukan
pengukuran pernapasan pasien dengan Respiratory rate timer dan Saturasi
O2.
8. Observasi ada tidaknya otot bantu pernapasan dan cuping hidung.
9. Jika sudah selesai lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
10. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan.
E. Alat ukur evaluasi tindakan aplikasi riset
Alat ukur yang digunakan adalah :
1. Respiratory rate timer (RR normal 16-24 x/menit)
2. Saturasi O2 (SaO2 normal 90-100 %).
40
BAB IV
LAPORAN KASUS
Asuhan Keperawatan Tn. P dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Anggrek
1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta mulai dilaksanakan pada tanggal 9 Maret 2015.
Asuhan Keperawatan ini dilaksanakan mulai dari identifiksi klien, pengkajian,
rumusan masalah, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
A. Identitas Pasien
Pengkajian dimulai pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 09.00 WIB.
Pengkajian dilakukan dengan metode Autoanamnesa dan Alloanamnesa,
pengamatan dan observasi langsung, menelaah catatan medis, cacatan
perawat dan pengkajian fisik pasien. Hasil pengkajian pada Tn. P, alamat
rumah di Dawung, Sragen, umur 65 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat
pendidikan tidak sekolah, bekerja sebagai petani, status menikah dan
beragama islam, tanggal masuk Rumah Sakit 6 Maret 2015, di diagnosa
medis Tuberkulosis Paru, dirawat diruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Penanggung jawab pasien bernama Ny. S umur 43 tahun yang
hubungan dengan pasien adalah sebagai anak.
B. Pengkajian
Hasil dari pengkajian tentang riwayat keperawatan, keluhan utama
yang dirasakan oleh pasien adalah sesak napas. Pasien mengatakan sejak 2
tahun yang lalu pasien mengeluh sesak napas, sesak napas
41
juga disebabkan oleh alergi debu. Lalu pasien dibawa keluarga ke
klinik prima mediza di Sragen tetapi tidak mengalami perubahan pada tanggal
6-3-2015 pukul 13.40 WIB pasien dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
pasien tiba di IGD dengan kriteria umum lemah, kesadaran compos mentis
dan diberikan perawatan infus RL 16 tpm, O2 : 3 liter/menit, injeksi ranitidin
1 gr / 12 jam dan amoxicillin 1 gr / 8 jam. Saat pengkajian pasien mengeluh
nyeri pada dada timbul saat sesak napas rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum
dengan skala nyeri 4. Lalu dengan TTV : TD : 130/80 mmHg, N : 98 x/menit,
S : 37o
C, RR : 30 x/menit dan dengan hasil GCS : E4M5V5. Pada jam 17.45
wib pasien di pindah ke bangsal anggrek 1.
Riwayat penyakit dahulu, Pasien mengatakan pernah dirawat di rumah
sakit amal sehat Sragen pada tahun 2012 dengan penyakit yang sama, pasien
alergi debu dan pasien mengatakan belum pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya.
Riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan dulu bapaknya
pernah sakit paru-paru dan untuk anggota keluarganya yang lain serta anak-
anaknya tidak ada yang mengalami penyakit yang sama dengan yang dialami
oleh pasien dan anak-anaknya tidak memiliki penyakit keturunan seperti
hipertensi, diabetes mellitus, asma, dll. Pasien merupakan anak ke 4 dari 5
bersaudara, sedangkan istrinya anak ke 2 dari 3 bersaudara. Orang tua klien
sudah meninggal semua. Pasien memiliki 5 orang anak, pasien tinggal
serunah dengan istrinya saja.
42
Keterangan :
: Laki-laki : Pasien/Tn. P
: Perempuan : Tinggal serumah
: Meninggal Laki-laki : Garis keturunan
: Meninggal Perempuan : Garis perkawinan
Gambar 4.1
Genogram
Riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan tinggal di daerah
pedesaan yang jauh dari polusi udara, pasien selalu menjaga kebersihan
lingkungan sekitar rumahnya. Kondisi lantai rumahnya belum di kramik
sehingga dapat menyebabkan bertambahnya sesak napas karena alergi debu.
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, Pasien mengatakan
penyakit itu merupakan cobaan dari Allah dan harus sabar dalam
menghadapinya serta tabah dan tawakal. Berusaha untuk sembuh merupakan
tujuan utama klien dalam menghadapi penyakitnya, klien dapatmenerima
43
keadaan yang dihadapi sekarang dan menurut klien sehat itu merupakan
keadaan dimana klien dapat melakukan segala aktifitas tanpa ada kendala.
Pola nutrisi dan metabolisme, Pasien mengatakan sebelum sakit
makannya tiga kali sehari dengan komposisi nasi, sayur, lauk. Pasien
biasanya makan habis 1 porsi dan tidak mengalami keluhan. Selama sakit
pasien mengatakan makannya tiga kali sehari dengan komposisi nasi, sayur,
lauk. Pasien hanya habis setengah porsi karena perutnya rasanya kembung.
Pola eliminasi, Pasien mengatakan tidak ada masalah dalam BAK dan
BAB, pasien mengatakan sebelum dan selama sakit BAB satu kali sehari,
konsistensi lunak berbentuk, berwarna kuning dan tidak ada keluhan.
Sedangkan sebelum dan selama sakit BAK tujuh kali sehari, jumlah urine
1500 cc berwarna kuning berbau amonia.
Pola aktivitas dan latihan, Pasien mengatakan sebelum sakit
aktivitasnya dilakukan secara mandiri, sedangkan selama sakit aktivitasnya
masih bisa dilakukan secara mandiri seperti makan / minum, toileting,
berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi / ROM.
Pola istirahat tidur, Sebelum sakit pasien mengatakan tidurnya selama
8 jam sehari, tidak ada gangguan masalah, bangun terasa segar. Selama sakit
pasien mengatakan sulit tidur karena merasakan sesak napas dan nyeri di
dada, sering terbangun dan berkeringat dingin.
Pola kognitif-perseptual, Pasien dalam keadaan compos mentis, pasien
mengatakan tidak ada gangguan pendengaran dan penglihatan (tidak
menggunakan alat bantu). Pasien mengatakan ada gangguan pada saat sesak
44
napasnya kambuh dadanya terasa sakit / nyeri rasanya seperti ditusuk-tusuk
jarum. Pada Nyeri di bagian dada di ukur dengan PQRST. P : nyeri saat sesak
napas, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum, R : nyeri dibagian dada, S :
Nyeri di skala 4, T : Nyeri sering timbul selama 5 menit.
Pola persepsi konsep diri, Pasien mengatakan kondisi tubuh pasien
baik tidak ada yang cacat, pasien sebagai bapak dan kakek, pasien melakukan
perannya sebagai seorang suami, bapak dan kakek yang baik, pasien berharap
cepat sembuh dan pasien bersoalisasi dengan baik dengan orang sekitar.
Pola hubungan peran, Pasien mengatakan memiliki hubungan baik
dengan keluarga, tetangga dan orang disekitarnya.
Pola seksual reproduksi, Pasien mengatakan sudah lama tidak
berhubungan intim lagi dengan istrinya, apalagi ditambah dengan kondisinya
yang beberapa tahun ini sakit-sakitan.
Pola mekanisme koping, Pasien mengatakan bahwa selalu berbagi
cerita / berkeluh kesah kepada keluarga dan bila memiliki masalah bisa
menyelesaikan dengan baik.
Pola nilai dan keyakinan, Pasien mengatakan selalu melaksanakan
sholat 5 waktu tetapi saat pasien sakit di rumah sakit belum bisa sholat.
Hasil pemeriksaan fisik yang didapat pasien dalam keadaan compos
mentis. Dari pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh hasil GCS : E4M5V5,
TD : 130/80 mmHg, N : 98 x/menit, RR : 30 x/menit, S : 37o
C.
Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala kotor berketombe, rambut
pendek dan berwarna putih. Pada mata palbebra tidak ada lingkaran hitam,
45
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter ka / ki :
2 mm, reflek terhadap cahaya positif, tidak ada alat bantu penglihatan. Pada
hidung bentuk simetris, tidak ada deviasi septum, tidak ada polip, terdapat
cuping hidung. Mulut tidak ada stomatitis, mukosa bibir kering. Gigi klien
berwarna kekuningan dan berlubang. Pada telingan simetris kanan dan kiri,
terdapat sedikit serumen, tidak ada gangguan pendengaran. Sedangkan di
leher tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid, tidak ditemukan distensi vena
jugularis dan tidak ada nyeri telan.
Pada pemeriksaan dada pada paru-paru klien di dapat hasil inspeksi :
bentuk thorax simetris tidak terdapat kelainan bentuk dada, terdapat retraksi
otot bantu pernapasan, palpasi : tidak ada benjolan abnormal, vocal fremitus
sama, perkusi : paru sonor kanan dan kiri, auskultasi : terdapat suara
tambahan wheezing. Sedangkan untuk pemeriksaan jantung inspeksi : ictus
cordis tidak tampak, palpasi : ictus cordis teraba pada IC 5 mid clavicula,
perkusi : konfigurasi jantung ke arah lateral, auskultasi : bunyi jantung I-II
murni, regular, mur-mur (-).
Untuk hasil pemeriksaan abdomen klien didapatkan hasil inspeksi :
perut datar, tidak ada jejas, perut elastis, auskultasi : bising usus 12 x/menit,
perkusi : tympani, palpasi : tidak ada pembesaran massa, tidak ada nyeri
tekan. Untuk genetalia tidak terpasang DC. Rektum tidak ada luka dan lesi,
tidak ada hemoroid. Daerah ekstermitas atas jari tangan lengkap, akral teraba
hangat, tidak ada cacat, simetris gerakan baik, tangan kanan terpasang infus,
kekuatan otot kanan dan kiri baik 5/5. Daerah ekstermitas bawah jari kaki
46
lengkap, akral teraba hangat, tidak ada cacat, simetris gerakan baik, kekuatan
otot kanan dan kiri lemah 3/3.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 Maret 2015
hemoglobin 13.4 g/dl, hematokrit 41 %, leukosit 6.4 ribu/ul, trombosit 154
ribu/ul, eritrosit 4.51, MCV 91.3 /um, MCH 29.7 pg, MCHC 32.5 g/dl, RDW
12.5 %, MPV 8.6 f1, PDW 16 %, Eosinofil 0.30 %, Basofil 0.40 %, Netrofil
68.60 %, Limfosit 22.40 %, Monosit 8.30 %, PT 14.2 detik, APTT 34.2 detik,
INR 1.170, GDS 112 mg/dl, SGOT 43 u/l, SGPT 25 u/l, Albumin 3.5 g/dl,
Natrium darah 136 mmol/L, Kalium darah 5.9 mmol/L, chlorida darah 103
mmol/L, PH 7.212, BE 1.3 mmol/L, PCO2 80.1 mmHg, PO2 40.0 mmHg,
HCO3 24.6 mmol/L, Total CO2 29.6 mmol/L, O2 Saturasi 56.6 %, HBsAg
Non reactive.
Foto thorax PA/lateral (asimetris) pada tanggal 6 maret 2015, cor :
besar dan bentuk normal, pulmo : tampak fibrinfiltrat di supra parahiler kanan
dan kiri disertai multiple kalsifikasi kedua lapang paru tampak penebalan
pleura kanan-kiri atas corakan bronkovaskuler normal, sinus costophrenicus
kanan anterior tumpul posterior tajam, kiri anterior posterior tumpul,
restrosternal dan retrocardiac space dalam batas normal, hemidiapragma
kanan tenting kiri normal trachea kesan tertarik tenting kiri normal trakhea
kesan tertarik ke sisi kiri tampak penyempitan ics kiri atas. Pengecatan BTA
dari sputum hasilnya S : -, P : Negatif, S : Negatif. Kesimpulan : Tuberkulosis
paru aktif proses lama disertai scwarte dan efusi pleura kiri yang sudah
organisasi.
47
Hasil EKG pada tanggal 7 Maret 2015, HR : 88 bpm, R-R : 678 ms,
P-R : 146 ms, QRS : 98 ms, QT : 377 ms, QTC : 475, AXIS : 32 deg, RV5 :
0.66 mv, SV1 : 0.12 mv, R+S : 0.78 mv
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Analisa data pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 08.30 WIB di temukan
masalah keperawatan yang pertama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan
napas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih. Data subjektifnya
pasien mengatakan sering batuk berdahak. Data objektifnya suara napas
terdengar wheezing, batuk dengan sekret berwarna kuning keputihan, TTV :
TD : 130/80 mmHg, N : 98 x/menit, S : 37o C, RR : 30 x/menit, SaO2 : 90 %.
Analisa data pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 08.35 WIB di temukan
masalah keperawatan yang kedua yaitu ketidakefektifan pola napas
berhubungan dengan hiperventilasi dengan data subjektif pasien mengatakan
sesak napas. Data objektifnya napas dalam pendek, terdapat retraksi otot
bantu pernapasan, terdapat cuping hidung dengan TTV : TD : 130/80 mmHg,
S : 37o C, N : 98 x/menit, RR : 30 x/menit, SaO2 : 90 %.
Analisa data pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 08.40 WIB ditemukan
masalah keperawatan yang ketiga yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera biologis. Data subjektifnya P : pasien mengatakan nyeri timbul saat
sesak napas, Q : pasien mengatakan nyeri seperti tertusuk tusuk jarum. R :
pasien mengatakan nyeri pada dada, S : pasien mengatakan skala nyeri 4, T :
48
pasien mengatakan nyeri sering timbul selama 5 menit. Data objektifnya :
pasien gelisah, pasien meringis nyeri, pasien memegangi dadanya.
Dari uraian di atas di peroleh prioritas diagnosa keperawatan pada Tn.
P yaitu diagnosa pertama ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
dengan mukus dalam jumlah berlebih. Diagnosa kedua ketidakefektifan pola
napas berhubungan dengan hiperventilasi Diagnosa ketiga nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis.
D. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa yang pertama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas
berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih hiperventilasi tujuan dari
tindakan yang akan dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan
3 x 24 jam diharapkan jalan napas efektif dengan kriteria hasil tidak ada suara
napas tambahan, tidak batuk berdahak, tidak terdapat sekret pada jalan napas,
TTV dalam batas nomal TD : 120/80 mmHg, RR : 16-24 x/menit, N : 60-100
x/menit, S : 36.5 - 37.5o C, SaO2 : 95-100 %.
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang pertama adalah
observasi keadaan umum untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien,
monitor TTV terutama RR dan SaO2 untuk mengetahui tanda-tanda vital
pasien ada tidaknya kelainan terutama untuk mengetahui frekuensi
pernapasan pasien, auskultasi area dada atau paru-paru untuk mengetahui
letak sputum dan adanya suara wheezing, berikan posisi semi fowler untuk
mengurangi sesak napas dan menstabilkan pola napas pasien, berikan
49
nebulizer untuk membuka saluran jalan pernapasan, berikan teknik batuk
efektif untuk membantu mengeluarkan dahak atau sputum secara maksimal
agar jalan napas kembali normal, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat untuk proses penyembuhan.
Diagnosa yang kedua ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan hiperventilasi tujuan dari tindakan yang akan dilakukan adalah setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan pola napas menjadi
efektif dengan kriteria hasil tidak ada cuping hidung, pernapasan regular,
tidak menggunakan otot bantu pernapasan, TTV dalam batas nomal TD :
120/80 mmHg. RR : 16-24 x/menit, N : 60-100 x/menit, S : 36.5 - 37.5o C,
SaO2 : 95-100 %.
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua adalah monitor
TTV terutama RR dan SaO2 untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien ada
tidaknya kelainan terutama untuk mengetahui frekuensi pernapasan pasien,
kaji adanya sianosis untuk mengetahui keseimbangan oksigen dalam tubuh,
berikan posisi semi fowler untuk mengurangi sesak napas dan menstabilkan
pola napas pasien, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat untuk
proses penyembuhan.
Diagnosa yang ketiga yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera biologis tujuan dari tindakan yang akan dilakukan adalah setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang dengan kriteria hasil skala nyeri normal dari 4 menjadi 0, pasien
rileks tidak gelisah lagi, pasien tidak meringis nyeri.
50
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga adalah monitor
TTV untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien ada tidaknya kelainan, kaji
tingkat nyeri 0-10 untuk mengetahui tingkatan nyeri pasien, berikan posisi
nyaman (semi fowler) untuk posisi tubuh yang nyaman akan memberikan otot
untuk relaksasi, berikan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi dan
mengontol nyeri, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat untuk
proses penyembuhan.
E. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang pertama
ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus dalam
jumlah berlebih pada hari pertama Senin 9 Maret 2015 08.45 WIB adalah
mengobservasi keadaan umum pasien. Pasien lemah. Pada pukul 09.05 WIB
memonitor TTV. Pasien mengatakan bersedia. TD : 130/80 mmHg, N : 103
x/menit, RR : 32 x/menit, S : 36.6o C, SaO2 : 88 %. Pada pukul 09.15 WIB
memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg / 24 jam, injeksi
methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g / 8 jam, NAC 3
x 200 mg. Pasien mengatakan bersedia diberikan obat. Obat sudah berhasil
diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pada pukul 09.30 WIB melakukan
nebulizer fenoterol 1,0 mg / 6 jam. Pasien mengatakan bersedia. Tidak ada
tanda-tanda alergi, sesak napas berkurang. Pada pukul 10.15 WIB melakukan
auskultasi area dada atau paru-paru. Pasien mengatakan bersedia. Suara napas
terdengar wheezing, napas dalam pendek. Pada pukul 10.30 WIB
51
mengajarkan batuk efektif. Pasien mengatakan bersedia. Pasien
mempraktikkan batuk efektif, sekret keluar maksimal, warna kuning
keputihan. Pada pukul 11.00 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien
mengatakan bersedia. RR : 30 x/menit, SaO2 : 89 %. Pukul 11.15 WIB
mengajarkan posisi semi fowler. Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur
posisi semi fowler, sesak napas berkurang. RR : 25 x/menit, SaO2 : 90 %.
Pada pukul 12.15 WIB memonitor RR dan SaO2. pasien mengatakan
bersedia. RR : 28 x/menit. SaO2 : 90 %.
Implementasi hari kedua Selasa, 10 Maret 2015 untuk diagnosa
pertama pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV. Pasien mengatakan
bersedia. TD : 120/80 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 26 x/menit, S : 36.5o C,
SaO2 : 91 %. Pada pukul 08.45 wib memberikan terapi obat injeksi
lefofloxacin 750 mg / 24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam,
injeksi deksametason 5 g / 8 jam, NAC 3 x 200 mg. Pasien mengatakan
bersedia diberikan obat. Obat sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-
tanda alergi. Pada pukul 09.00 WIB melakukan nebulizer fenoterol 1,0 mg / 6
jam. Pasien mengatakan bersedia. Tidak ada tanda-tanda alergi, sesak napas
berkurang. Pada pukul 09.45 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien
mengatakan bersedia. RR : 26 x/menit, SaO2 : 91 %. Pada pukul 09.55 WIB
melakukan posisi semi fowler. Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur
posisi semi fowler, sesak napas berkurang, RR : 20 x/menit, SaO2 : 95 %.
Pada pukul 10.55 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan
bersedia. RR : 25 x/menit, SaO2 : 92 %. Pada pukul 11.05 WIB melakukan
52
auskultasi area dada atau paru-paru. Pasien mengatakan bersedia. Napas
dalam pendek, suara napas terdengar wheezing. Pada pukul 11.15 WIB
mengajarkan batuk efektif. Pasien mengatakan bersedia. Pasien
mempraktikkan batuk efektif, sekret keluar maksimal, warna kuning
keputihan. Pada pukul 14.15 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien
mengatakan bersedia. RR : 22 x/menit, SaO2 : 92 %. Pada pukul 14.25 WIB
melakukan posisi semi fowler. Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur
posisi semi fowler, sesak napas berkurang, RR : 22 x/menit, SaO2 : 94 %.
Pada pukul 15.25 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia.
RR : 26 x/menit, SaO2 : 93 %.
Implementasi hari ke tiga Rabu 11 Maret 2015 untuk diagnosa
pertama pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV, Pasien mengatakan
bersedia. TD : 110/70 mmHg, N : 88 x/menit, RR : 23 x/menit, S : 36.3o C,
SaO2 : 94 %. Pada pukl 08.45 WIB memberikan terapi obat injeksi
lefofloxacin 750 mg / 24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam,
injeksi deksametason 5 g / 8 jam, NAC 3 x 200 mg. Pasien mengatakan
bersedia diberikan obat. Obat sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-
tanda alergi. Pada pukul 09.00 WIB melakukan nebulizer fenoterol 1,0 mg / 6
jam. Pasien mengatakan bersedia. Pasien tenang, tidak ada tanda-tanda alergi,
pernapasan lancar, sesak berkurang. Pada pukul 09.30 WIB melakukan
auskultasi area dada atau paru-paru. Pasien mengatakan bersedia. Pola napas
teratur, suara napas wheezing hilang, tidak batuk berdahak lagi. Pada pukul
09.40 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 20
53
x/menit, SaO2 : 95 %. Pada pukul 09.50 WIB melakukan posisi semi fowler.
Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler, sesak napas
hilang. RR : 24 x/menit, SaO2 : 97 %. Pada pukul 10.50 wib memonitor RR
dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 24 x/menit, SaO2 : 97 %. Pada
pukul 14.00 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR :
22 x/menit, SaO2 : 95 %. Pada pukul 14.10 WIB melakukan posisi semi
fowler, pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler, sesak
napas hilang, RR : 24 x/menit, SaO2 : 95 %. Pada pukul 15.10 WIB
memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 20 x/menit, SaO2
: 97 %.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua
ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi pada hari
Senin 9 Maret 2015 pukul 08.55 WIB mengkaji sianosis. Pasien tidak terlihat
adanya kebiruan. Pada pukul 09.05 WIB memonitor TTV. Pasien mengatakan
bersedia. TD : 130/80 mmHg, N : 103 x/menit, RR : 32 x/menit, S : 36.6o C,
SaO2 : 88 %. Pada pukul 09.15 WIB memberikan terapi obat injeksi
lefofloxacin 750 mg / 24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam,
injeksi deksametason 5 g / 8 jam, NAC 3 x 200 mg. pasien mengatakan
bersedia diberikan obat. Obat sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-
tanda alergi. Pukul 11.00 WIB memonitor RR dan SaO2 pasien mengatakan
bersedia. RR : 30 x/menit, SaO2 : 89 %. Pukul 11.15 WIB mengajarkan posisi
semi fowler. Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler,
sesak napas berkurang. RR : 25 x/menit, SaO2 : 90 %. Pada pukul 12.15 WIB
54
memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 28 x/menit. SaO2
: 90 %.
Implementasi hari kedua Selasa 10 Maret 2015 untuk diagnosa kedua
pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV. Pasien mengatakan bersedia. TD :
120/80 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 26 x/menit, S : 36.5o C, SaO2 : 91 %.
Pada pukul 08.45 WIB memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg /
24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g /
8 jam, NAC 3 x 200 mg, pasien mengatakan bersedia di berikan obat. Obat
sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pada pukul 09.45
WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 26 x/menit,
SaO2 : 91 %. Pada pukul 09.55 WIB melakukan posisi semi fowler. Pasien
mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler, sesak napas berkurang,
RR : 20 x/menit, SaO2 : 95 %. Pada pukul 10.55 WIB memonitor RR dan
SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 25 x/menit, SaO2 : 92 %. Pada pukul
14.15 WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 22
x/menit, SaO2 : 92 %. Pada pukul 14.25 WIB melakukan posisi semi fowler.
Pasien mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler sesak napas
berkurang, RR : 22 x/menit, SaO2 : 94 %. Pada pukul 15.25 WIB memonitor
RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 26 x/menit, SaO2 : 93 %.
Implementasi hari ke tiga Rabu 11 Maret 2015 untuk diagnosa kedua
pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV. Pasien mengatakan bersedia. TD :
110/70 mmHg, N : 88 x/menit, RR : 23 x/menit, S : 36.3o C, SaO2 : 94 %.
Pada pukul 08.45 WIB memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg /
55
24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g /
8 jam, NAC 3 x 200 mg. Pasien mengatakan bersedia di berikan obat. Obat
sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pada pukul 09.40
WIB memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 20 x/menit,
SO2 : 95 %. Pada pukul 09.50 WIB melakukan posisi semi fowler. Pasien
mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler, sesak napas hilang. RR
: 22 x/menit, SaO2 : 97 %. Pada pukul 10.50 WIB memonitor RR dan SaO2.
Pasien mengatakan bersedia. RR : 24 x/menit, SaO2 : 97 %. Pada pukul 14.00
wib memonitor RR dan SaO2. Pasien mengatakan bersedia. RR : 22 x/menit,
SaO2 : 95 %. Pada pukul 14.10 WIB melakukan posisi semi fowler. Pasien
mengatakan bersedia. Pasien tidur posisi semi fowler, sesak napas hilang. RR
: 24 x/menit, SaO2 : 95 %. Pada pukul 15.10 wib memonitor RR dan SaO2.
Pasien mengatakan bersedia. RR : 20 x/menit, SaO2 : 97 %.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa ketiga nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
08.45 WIB memonitor TTV pasien mengatakan bersedia. TD : 130/80
mmHg, N : 103 x/menit, RR : 32 x/menit, S : 36.6o C, SaO2 : 88 %. Pada
pukul 09.15 WIB memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg / 24
jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g / 8
jam, NAC 3 x 200 mg. Pasien mengatakan bersedia diberikan obat. Obat
sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pukul 09.45 WIB
mengkaji tingkatan nyeri. Pasien mengatakan bersedia. P : pasien mengatakan
nyeri timbul saat sesak napas, Q : pasien mengatakan nyeri seperti tertusuk-
56
tusuk jarum, R : pasien mengatakan nyeri pada dada, S : pasien mengatakan
skala nyeri 4, T : pasien mengatakan nyeri sering timbul selama 5 menit.
Pasien gelisah, meringis nyeri, pasien memegangi dadanya. Pada pukul 10.00
WIB memberikan posisi nyaman dan mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam. Pasien mengatakan bersedia, pasien melakukan teknik relaksasi napas
dalam.
Implementasi hari ke dua Selasa 10 Maret 2015 untuk diagnosa ketiga
pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV pasien mengatakan bersedia. TD :
120/80 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 26 x/menit, S : 36.5o C, SaO2 : 91 %.
Pada pukul 08.45 WIB memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg /
24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g /
8 jam, NAC 3 x 200 mg. Pasien mengatakan bersedia di berikan obat. Obat
sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pukul 09.15 WIB
mengkaji tingkatan nyeri. Pasien mengatakan bersedia, P : pasien mengatakan
nyeri sudah berkurang, Q : pasien mengatakan nyeri seperti tertusuk-tusuk
jarum, R : pasien mengatakan nyeri pada dada, S : pasien mengatakan skala
nyeri 2, T : pasien mengatakan nyeri sering timbul selama 5 menit. Pasien
tenang, tidak meringis nyeri lagi. Pada pukul 09.30 WIB memberikan posisi
nyaman dan mengajarkan teknik relaksasi napas dalam. Pasien mengatakan
bersedia. Pasien melakukan teknik relaksasi napas dalam, pasien tenang /
rileks.
Implementasi hari ke tiga Rabu 11 Maret 2015 untuk diagnosa ketiga
pada pukul 08.30 WIB memonitor TTV pasien mengatakan bersedia. TD :
57
110/70 mmHg, N : 88 x/menit, RR : 23 x/menit, S : 36.3o C, SaO2 : 94 %.
Pada pukul 08.45 WIB memberikan terapi obat injeksi lefofloxacin 750 mg /
24 jam, injeksi methilprednisolone 32 mg / 24 jam, injeksi deksametason 5 g /
8 jam, NAC 3 x 200 mg, pasien mengatakan bersedia di berikan obat. Obat
sudah berhasil diberikan dan tidak ada tanda-tanda alergi. Pada pukul 09.15
WIB mengkaji tingkatan nyeri, pasien mengatakan sudah tidak merasakan
nyeri lagi atau nyeri hilang. Pasien tenang atau rileks, pasien tidak meringis
nyeri lagi.
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.00 WIB pasien mengatakan sering batuk berdahak. Suara napas terdengar
wheezing, sekret banyak, berwarna kuning keputihan, TD : 130/80 mmHg,
RR : 32 x/menit, S : 36.6o C, N : 103 x/menit, SaO2 : 88 %. Masalah belum
teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2,
auskultasi area dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan
nebulizer, berikan teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Selasa 10 Maret 2015
pukul 15.35 WIB pasien mengatakan masih batuk berdahak. Suara napas
terdengar wheezing, sekret sedikit, berwarna kuning keputihan, TD : 120/80
mmHg, RR : 26 x/menit, S : 36,5o C, N : 84 x/menit, SaO2 : 93 %. Masalah
belum teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2,
58
auskultasi area dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan
nebulizer, berikan teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul
15.20 WIB pasien mengatakan sudah tidak batuk berdahak lagi. Suara napas
wheezing hilang, jalan napas bersih atau lancar, TD : 110/70 mmHg, RR : 20
x/menit, S : 36,3o C, N : 88 x/menit, SaO2 : 97 %, Masalah teratasi,
Pertahankan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2, auskultasi area
dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan nebulizer, berikan
teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa kedua pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.10 WIB pasien mengatakan sesak napas. Napas dalam pendek, terdapat
cuping hidung, terdapat retraksi otot bantu pernapasan, TD : 130/80 mmHg,
RR : 28 x/menit, S : 36.6o C, N : 103 x/menit, SaO2 : 90 %, Masalah belum
teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2, berikan
posisi semi fowler, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi diagnosa kedua pada hari Selasa 10 Maret 2015 pukul 15.45
WIB pasien mengatakan sesak napas berkurang. Napas dalam pendek, masih
terdapat cuping hidung, masih terdapat retraksi otot bantu pernapasan, TD :
120/80 mmHg, RR : 26 x/menit, S : 36,5o C, N : 84 x/menit, SaO2 : 93 %.
Masalah belum teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan
SaO2, kaji adanya sianosis, berikan posisi semi fowler, kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian obat.
59
Evaluasi diagnosa kedua pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul 15.30
WIB pasien mengatakan sudah tidak merasakan sesak napas lagi. Pola napas
teratur, tidak terdapat retraksi otot bantu pernapasan, tidak terdapat cuping
hidung, TD : 110/70 mmHg, RR : 20 x/menit, S : 36,3o C, N : 88 x/menit,
SaO2 : 97 %, Masalah teratasi, Pertahankan intervensi : monitor TTV
terutama RR dan SaO2, kaji adanya sianosis, berikan posisi semi fowler,
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa ketiga pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.20 WIB P : pasien mengatakan nyeri timbul saat sesak napas, Q : pasien
mengatakan nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum, R : pasien mengatakan nyeri
pada dada, S : pasien mengatakan skala nyeri 4, T : pasien mengatakan nyeri
sering timbul selama 5 menit. Pasien gelisah, pasien meringis nyeri, pasien
memegangi dadanya. Masalah belum teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor
TTV, kaji tingkat nyeri, berikan posisi nyaman (semi fowler), berikan teknik
relaksasi napas dalam, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi diagnosa ketiga pada hari Selasa 10 Maret 2015 pukul 15.40
WIB P : pasien mengatakan nyeri sudah berkurang, Q : pasien mengatakan
nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum, R : pasien mengatakan nyeri pada dada, S :
pasien mengatakan skala nyeri 2, T : pasien mengatakan nyeri sering timbul
selama 5 menit. Pasien sudah tenang, tidak gelisah lagi, pasien tidak meringis
nyeri lagi. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV, kaji
tingkat nyeri, berikan posisi nyaman (semi fowler), berikan teknik relaksasi
napas dalam, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
60
Evaluasi diagnosa ketiga pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul 15.40
WIB pasien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri lagi atau nyeri hilang,
Pasien tenang atau rileks, tidak meringis nyeri lagi. Masalah teratasi.
Pertahankan intervensi : monitor TTV, kaji tingkat nyeri, berikan posisi
nyaman (semi fowler), berikan teknik relaksasi napas dalam, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat.
62
BAB V
PEMBAHASAN
Bab V dalam karya tulis ini akan dijelaskan mengenai pembahasan yang
akan menguraikan hasil analisa dan perbandingan antara teori dan aplikasi yang
terdapat di lapangan. Pembahasan ini berisi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.
A. Pengakajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan,
2012).
Hasil pengkajian pada Tn. P yang dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015
adalah pasien sering batuk berdahak, sekret keluar banyak, berwarna kuning
keputihan, suara napas terdengar wheezing, pasien mengalami sesak napas,
napas dalam pendek, terdapat retraksi otot bantu pernapasan, terdapat cuping
hidung, merasakan nyeri pada dada, seperti tertusuk-tusuk jarum, nyeri sering
timbul saat sesak napas TD : 130/80 mmHg, N : 98 x/menit, RR : 30 x/menit,
S : 37o C.
Tn. P di diagnosa Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah penyakit
radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
Tuberculosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang
63
disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberculosis paru mencakup 80 % dari
keseluruhan kejadian penyakit tuberculosis, sedangkan 20 % selebihnya
merupakan tuberculosis ekstrapulmonar. Diperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. tuberculosis
(Djojodibroto, 2007). Pengkajian diatas sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa pasien Tuberkulosis paru mengalami sesak napas, batuk
berdahak dan rasa nyeri dada pada Tn. P (Ardiansyah, 2012).
Menurut (Corwin, 2007) tanda dan gejala yang muncul pada pasien
Tuberkulosis Paru yaitu : demam terutama pada siang hari, malaise, keringat
malam, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, batuk purulen
produktif disertai nyeri dada pada infeksi aktif. Sedangkan menurut Zulkoni,
(2011) gejala umum Tuberkulosis Paru yaitu : batuk terus menerus dan
berdahak selama tiga minggu atau lebih dan gejala lain yang sering dijumpai
yaitu : batuk darah, dahak bercampur darah, sesak napas dan rasa nyeri dada,
badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam
meriang lebih dari sebulan.
Dari tanda dan gejala yang disebutkan diatas, antara teori dan observasi
serta pengkajian pada Tn. P penulis menemukan persamaan antara teori
dengan kasus yaitu pada Tn. P salah satunya sesak napas, sesak napas pada
pasien Tuberkulosis Paru merupakan gejalayang umum dijumpai pada
penderita Tuberkulosis Paru. Penyebab sesak napas tersebut bukan hanya
karena obstruksi pada bronkhus atau bronkhospasme saja tapi lebih
64
disebabkan karena adanya hiperinflansi. Keadaan tersebut berdampak kepada
menurunnya saturasi oksigen / SaO2 (Ambrosino & Serradori, 2006).
Riwayat penyakit dahulu, Pasien mengatakan pernah dirawat di rumah
sakit amal sehat sragen pada tahun 2012 dengan penyakit yang sama, pasien
alergi debu. Dari data pengkajian kesehatan keluarga, pasien mengatakan
dulu bapaknya pernah sakit paru-paru dan untuk anggota keluarganya yang
lain serta anak-anaknya tidak ada yang mengalami penyakit yang sama
dengan yang dialami oleh pasien dan anak-anaknya tidak memiliki penyakit
keturunan seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma, dll.
Hasil pemeriksaan riwayat kesehatan lingkungan menunjukkan Tn. P
tinggal dipedesaan yang jauh dari polusi udara, kondisi lantai rumahnya
belum dikramik sehingga dapat menyebabkan bertambahnya sesak napas
karena Tn. P alergi debu. Dalam teori dijelaskan bahwa debu yang ada dalam
lingkungan rumah dan terhirup dalam menarik napas, sering merupakan
sumber penyakit alergi. Alergi debu adalah kerentanan yang abnormal
terhadap debu rumah akan membentuk zat anti golongan IgE yang spesifik.
Seperti dijelaskan terlebih dahulu ikatan zat anti IgE dan alergennya akan
merangsangsel mast untuk melepas mediator antara lain histamine yang
menimbulkan berbagai gejala alergi. Gejala yang sering ditimbulkan debu
rumah ialah alergi hidung yang disebut rinitis alergi : bersin-bersin, hidung
gatal, berair dan tersumbat yang dapat disertai alergi mata (konjungtivitis
alergi) berupa mata gatal, merah dan berair yang sifatnya terus-menerus
sepanjang tahun, tidak tergantung pada musim. Debu rumah dapat pula
65
menimbulkan jenis alergi lain yaitu asma : napas bunyi mengi dan ada
kalanya menimbulkan kaligata (Baratawidjaja & Rengganis, 2013).
Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data padaPola
kognitif-perseptual, Pasien dalam keadaan compos mentis, pasien
mengatakan tidak ada gangguan pendengaran dan penglihatan (tidak
menggunakan alat bantu). Pasien mengatakan ada gangguan pada saat sesak
napasnya kambuh dadanya terasa sakit / nyeri rasanya seperti ditusuk-tusuk
jarum. Pada Nyeri di bagian dada di ukur dengan PQRST. P : nyeri saat sesak
napas, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum, R : nyeri dibagian dada, S :
Nyeri di skala 4, T : Nyeri sering timbul selama 5 menit. Hasil pengkajian
nyeri tersebut sesuai dengan teori Brunner dan Suddart (2002) kaitan yang
erat penyakit paru dengan nyeri dada adalah pleura parietalis mempunyai
sangat banyak saraf sensori yang terstimulasi oleh inflamasi dan regangan
membran. Nyeri pleuritik akibat iritasi pleura parietalis terasa tajam, nyeri ini
sering digambarkan oleh pasien sebagai “seperti tusukan pisau”. Pasien
menjadi lebih nyaman jika mereka berbaring pada sisi yang sakit, yaitu postur
yang cenderung untuk “membelat” dinding dada, dan mengurangi friksi
antara pleura yang cedera atau sakit pada sisi tersebut.
Teori diatas diperkuat dengan teori Ardiansyah (2012) bahwa tanda dan
gejala Tuberkulosis Paru dalam keluhan respiratoris salah satunya ialah nyeri
dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem saraf di pleura terkena TB. Sehingga dari pengkajian dan teori ada
kesesuaian.
66
Pemeriksaan fisik adalah mengukur tanda-tanda vital dan pengukuran
lainnya serta pemeriksaan semua bagian tubuh.Pemeriksaan fisik
menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
(Potter dan Perry, 2005).
Pada pemeriksaan fisik paru pada pasien Tuberkulosis Paru didalam
teori didapatkan hasil inspeksi pada klien dengan Tuberkulosis Paru, terlihat
adanya otot bantu nafas. Pada saat inspeksi biasanya, biasanya dapat terlihat
bentuk dada barrel chest, terdapat cara bernafas pursed lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu
nafas, pada palpasi didapatkan sela iga melebar, pada perkusi hipersonor,
pada auskultasi biasanya didapatkan fremitus melemah, suara vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, suara nafas tambahan whezzing
atau ronkhi (Thomas dan Monaghan, 2010).
Hasil dari pemeriksaan dada pada paru-paru Tn. P maka penulis
mendapatkan hasilinspeksi : bentuk thorax barel chest, simetris tidak terdapat
kelainan bentuk dada, terdapat retraksi otot bantu pernapasan, palpasi : tidak
ada benjolan abnormal, vocal fremitus sama, perkusi : paru sonor kanan dan
kiri, auskultasi : terdapat suara tambahan wheezing.Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik paru dengan teori diatas tidak ada kesenjangan.
Untuk lebih mendukung tanda dan gejala yang muncul pada pasien
Tuberkulosis Paru perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu, pengukuran
fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium (hemoglobin,
67
hematokrit, jumlah darah merah, eosinofil, pulse oxymeter), pemeriksaan
sputum (Mutaqqin, 2008).
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 maret 2015 pada Tn. P
didapatkan hasil yaitu : hemoglobin 13.4 g/dl, hematokrit 41 %, leukosit 6.4
ribu/ul, trombosit 154 ribu/ul, eritrosit 4.51, MCV 91.3 /um, MCH 29.7 pg,
MCHC 32.5 g/dl, RDW 12.5 %, MPV 8.6 f1, PDW 16 %, Eosinofil 0.30 %,
Basofil 0.40 %, Netrofil 68.60 %, Limfosit 22.40 %, Monosit 8.30 %, PT
14.2 detik, APTT 34.2 detik, INR 1.170, GDS 112 mg/dl, SGOT 43 u/l,
SGPT 25 u/l, Albumin 3.5 g/dl, Natrium darah 136 mmol/L, Kalium darah
5.9 mmol/L, chlorida darah 103 mmol/L, PH 7.212, BE 1.3 mmol/L, PCO2
80.1 mmHg, PO2 40.0 mmHg, HCO3 24.6 mmol/L, Total CO2 29.6 mmol/L,
O2 Saturasi 56.6 %, HBsAg Non reactive.Pengecatan BTA dari sputum
hasilnya S : -, P : Negatif, S : Negatif.
Pada tanggal 9 Maret 2015 terapi yang diberikan yaitu Levofloxacin
dengan dosis 750 mg / 24 jam berfungsi mengobati sinusitis maksilaris akut,
kumatnya bronkhitis kronis, infeksi kulit dengan komplikasi, ISK.
Methilprednisolone dengan dosis 32 mg / 24 jam berfungsi mengobati
penyakit endokrin, reumatik, dermatologic, oftalmologik, hematologik,
neoplastik,pernapasan, GI, sistem saraf, kondisi alergi, meningitis, TBC,
trichinosis.Dexamethasone dengan dosis 5 g / 8 jam berfungsi engobati
imunosupresan / anti alergi, anti inflamasi, gangguan kolagen, alergi dan
inflamasi pada mata, rematik, asma bronkhial, radang / alergi pada kulit,
gangguan pernapasan, dan saluran penernaan. NAC dengan dosis 3 x 200 mg
68
berfungsi mengobati mukolitik pada bronkhial akut dan kronik dan paru
dengan mukus yang tebal.Fenoterol dengan dosis 1,0 mg / 6 jam berfungsi
mengobati asma bronkhial, bronkhitis obstruktif, emfisema, asma disebabkan
suatu gerakan olahraga dan kelainan bronkopulmonari.Nacl 0,9 % dosis 16
tetes/menit berfungsi untuk meningkatkan kadar natrium dalam darah dan
mengembalikan cairan pada tubuh.Saluran O2 dosis 3 liter/menit berfungsi
sebagai alat bantu pernapasan (ISO, 2012).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu,
keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial,
dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah status
kesehatan klien (Dermawan, 2012).
Berdasarkan pada teori dan data pengkajian, diagnosa keperawatan
yang dapat muncul pada pasien Tuberkulosis Paru dapat mencakup :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengansekresi mukus
yang kental.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk
mempertahankan bersihan jalan nafas. Batasan karakteristik yang ada
pada masalah keperawatan ini yaitu tidak ada batuk, ada suara nafas
69
tambahan, perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, sianosis,
kesulitan berbicara / mengeluarkan suara, penurunan bunyi nafas,
dispnea, sputum dalam jumlah berlebihan, batuk yang tidak efektif,
ortopnea, gelisah, dan mata terbuka lebar (Herdman, 2012). Dari
pengkajian dan observasi penulis menemukan batasan karakteristik pada
Tn. P yaitu adanya suara nafas tambahan wheezing, sputum / dahak
dalam jumlah berlebih, berwarna kuning keputihan. Berdasarkan
pengkajian pada teori dan kasus Tn. P ditemukan adanya kesesuaian
antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. P, jadi antara diagnosis
penulis dan teori sudah sesuai.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan denganmenurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Ketidakefektifan pola napas adalah inspirasi atau ekspirasi yang
tidak memberi ventilasi adekuat. Faktor yang berisiko adalah perubahan
kedalaman pernapasan, perubahan ekskursi dada, mengambil posisi tiga
titik, bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan tekanan
inspirasi, penurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital,
dispnea, peningkatan diameter anterior-posterior, pernapasan cuping
hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang, pernapasan bibir, takipnea,
penggunaan otot aksesorius untuk bernapas (Herdman, 2012). Dari
pengkajian dan observasi penulis menemukan batasan karakteristik pada
Tn. P yaitu sesak napas / dispnea, terdapat cuping hidung, napas dalam
pendek, terdapat retraksi otot bantu pernapasan. Berdasarkan pengkajian
70
pada teori dan kasus Tn. P ditemukan adanya kesesuaian antara teori
dengan tanda dan gejala pada Tn. P, jadi antara diagnosis penulis dan
teori sudah sesuai.
3. Gangguan pertukaran gasberhubungan dengan kerusakan membran
alveolar-kapiler.
Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau defisit pada
oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-
kapiler. Batasan karakterisitik yang ada pada masalah keperawatan ini
yaitu gas darah arteri abnormal, pH arteri abnormal, pernapasan
abnormal, warna kulit abnormal, konfusi, sianosis, penurunan
karbondioksida, diaforesis, dispnea, sakit kepala saat bangun,
hiperkapnia, hipoksemia, hipoksia, iritabilitas, nafas cuping hidung,
gelisah, somnolen, takikardia, gangguan penglihatan (Wilkinson dan
Ahern, 2012). Dari pengkajian dan observasi penulis tidak menemukan
batasan karakteristik yang sesuai pada diagnosa tersebut sehingga penulis
tidak mengangkat diagnosa ini.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah
asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Batasan karakteristik yang ada pada masalah keperawatan ini yaitu kram
abdomen, nyeri abdomen, menghindari makan, berat badan 20 % atau
lebih dibawah berat badan ideal, kerapuhan kapiler, diare, kehilangan
71
rambut berlebihan, bising usus hiperaktif, kurang makanan, kurang
informasi, kurang minat pada makanan, penurunan berat badan dengan
asupan makanan adekuat, kesalahan konsepsi, kesalahan informasi,
membran mukosa pucat, ketidakmampuan mencerna makanan, tonus otot
menurun, mengeluh gangguan sensasi rasa, mengeluh asupan makanan
kurang dari RDA (recommended daily allowance), cepat kenyang setelah
mencerna makanan, sariawan rongga mulut, steat orea, kelemahan otot
yang diperlukan untuk menelan atau mengunyah (Wilkinson dan Ahern,
2012). Dari pengkajian dan observasi penulis tidak menemukan batasan
karakteristik yang sesuai pada diagnosa tersebut dan tidak terkaji secara
keseluruhan, sehingga penulis tidak mengangkat diagnosa ini.
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis.
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba
atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan. Batasan
karakteristik yang ada pada masalah keperawatan ini yaitu perubahan
selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung,
perubahan frekuensi pernapasan, laporan isyarat, diaphoresis, perilaku
distraksi, mengekspresikan perilaku, masker wajah, sikap melindungi
area nyeri, fokus menyempit, indikasi nyeri yang dapat diamati,
72
perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap tubuh melindungi,
dilatasi pupil, melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri,
gangguan tidur. (Herdman, 2012) pada teori diagnosa tidak terdapat nyeri
akut tetapi penulis memasukkan nyeri akut di diagnosa ketiga
berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. P mengalami nyeri di bagian dada.
Hal tersebut diperkuat dalam teori Ardiansyah (2012) bahwa tanda dan
gejala Tuberkulosis Paru dalam keluhan respiratoris salah satunya ialah
nyeri dada pada Tuberkulosis Paru termasuk nyeri pleuritik ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem saraf di pleura terkena Tuberkulosis.
Sehingga dari pengkajian dan teori ada kesesuaian.
Dan dalam teori Djojodibroto (2007) nyeri pleuritik adalah salah
satu dari dua jenis nyeri dada (chest pain) nyeri dada yang lain adalah
nyeri sentral (central pain, visceral pain). Nyeri pleuritik dapat ditentukan
lokasinya dengan mudah (localized atau tidak difus), rasa nyeri ini
intensitasnya bertambah jika batuk atau bernapas dalam.Nyeri pleuritik
berkaitan dengan penyakit yang menimbulkan inflamasi pada pleura
parietalis, seperti infeksi (pneumonia, empiema, tuberkulosis). Parenkim
paru tidak sensitif terhadap rangsang sakit, hanya pleura parietalis yang
sensitif terhadap rangsang sakit.
Penulis memprioritaskan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan
napas karena berdasarkan keaktualan masalah yang mengancam nyawa
sesuai dengan Teori Hierarki Maslow yaitu kebutuhan fisiologis,
kebutuhan rasa aman dan keselamatan, kebutuhan mencintai, dicintai dan
73
dimiliki, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri.
(Asmadi, 2008). Maka penulis memprioritaskan kebutuhan fisiologis
adalah kebutuhan paling utama, masalah keperawatan gangguan
oksigenasi menjadi prioritas utama yang dipilih penulis dari beberapa
masalah yang muncul pada pasien. Alasan penulis karena kebutuhan
oksigenasi diperlukan untuk proses kehidupan. Oksigenasi berperan
penting dalam proses metabolisme sel, kebutuhan oksigenasi harus
terpenuhi karena apabila kebutuhan oksigenasi dalam tubuh berkurang
maka akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh salah
satunya kematian. Masalah kebutuhan oksigenasi merupakan masalah
utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Mubarak, 2005).
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan,
bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua
tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).
Tujuan perencanaan keperawatan pada diagnosa yang pertama
ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3 x 24 jam diharapkan jalan napas efektif dengan kriteria hasil
berdasarkan NOC (Nursing Outcames Classification) : kemudahan dalam
bernapas, produksi sekret atau sputum berkurang dengan dapat mengeluarkan
sekret dengan benar, frekuensi napas normal, suara napas tambahan seperti
74
wheezing berkurang, RR normal : 16-24 x/menit, SaO2 normal : 95-100 %
(Wilkinson dan Ahern, 2012).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : observasi keadaan umum untuk mengetahui tingkat
kesadaran pasien, monitor TTV terutama RR dan SaO2 untuk mengetahui
tanda-tanda vital pasien ada tidaknya kelainan terutama untuk mengetahui
frekuensi pernapasan pasien, auskultasi area dada / paru-paru untuk
mengetahui letak sputum dan adanya suara wheezing, berikan posisi semi
fowler untuk mengurangi sesak napas dan menstabilkan pola napas pasien,
berikan nebulizer untuk membuka saluran jalan pernapasan, berikan teknik
batuk efektif untuk membantu mengeluarkan dahak / sputum secara maksimal
agar jalan napas kembali normal, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat untuk proses penyembuhan (Wilkinson dan Ahern, 2012).
Tujuan intervensi pada masalah keperawatan dengan kasus diagnosa
kedua ketidakefektifan pola napas, yaitusetelah dilakukan tindakan
keperawatan 3 x 24 jam diharapkan pola napas menjadi efektif dengan
kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcames Classification) : tidak ada
cuping hidung, pernapasan regular, tidak menggunakan otot bantu
pernapasan, TTV dalam batas nomal TD : 120/80 mmHg. RR : 16-24
x/menit, N : 60-100 x/menit, S : 36.5o
C, SaO2 : 95-100 % (Wilkinson dan
Ahern, 2012).
75
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : monitor TTV terutama RR dan SaO2 untuk mengetahui
tanda-tanda vital pasien ada tidaknya kelainan terutama untuk mengetahui
frekuensi pernapasan pasien, kaji adanya sianosis untuk mengetahui
keseimbangan oksigen dalam tubuh, berikan posisi semi fowler untuk
mengurangi sesak napas dan menstabilkan pola napas pasien, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat untuk proses penyembuhan (Wilkinson
dan Ahern, 2012).
Menurut Allen (2008) dalam Melanie (2012), bahwa posisi tidur
mempengaruhi keadaan pasien kardiopulmonari. Posisi tidur dengan posisi
kepala dielevasikan dengan tempat tidur kurang lebih 45 derajat akan
mempertahankan curah jantung dan sesak napas berkurang. Pada posisi tidur
berbaring (lying flat) akan menyebabkan sesak napas semakin berat. Menurut
Angela dalam Refi Safitri dan Annisa Andriyani (2008), saat terjadi sesak
napas biasanya pasien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan
harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan
jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah.
Prioritas tindakan pemberian posisi semi fowler pada pasien terbukti
efektif, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan
Andriyani (2011), bahwa terbukti ada perbedaan kestabilan pola napas antara
sebelum dan sesudah pemberian posisi semi fowler. Dengan kesimpulannya
76
adalah pemberian posisi semi fowler dapat efektif pada pasien dengan
keluhan sesak napas.
Tujuan intervensi pada diagnosa yang ketiga, nyeri akut yaitu setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcames
Classification) :skala nyeri normal dari 4 menjadi 0, pasien rileks tidak
gelisah lagi, pasien tidak meringis nyeri (Wilkinson dan Ahern, 2012).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : monitor TTV untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien ada
tidaknya kelainan, kaji tingkat nyeri 0-10 untuk mengetahui tingkatan nyeri
pasien, berikan posisi nyaman (semi fowler) untuk posisi tubuh yang nyaman
akan memberikan otot untuk relaksasi, berikan teknik relaksasi napas dalam
untuk mengurangi dan mengontol nyeri, kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat untuk proses penyembuhan (Wilkinson dan Ahern, 2012).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria
hasil yang dihadapkan (Dermawan, 2012).
Berdasarkan masalah keperawatan tersebut perawat melakukan
implementasi selama 3 hari sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.Dalam
77
pembahasan ini penulis berusaha menerangkan implementasi tentang
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap kestabilan pola napas pada
pasien TB Paru hasil riset yang terdapat dalam jurnal.
Menurut Majampoh, dkk, (2013) pemberian terapi non farmakologi
dapat dilakukan pada penderita TB Paru untuk kestabilan pola napas, salah
satunya adalah pemberian posisi semi fowler, Pemberian posisi semi fowler
pada pasien TB paru telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu
mengurangi sesak napas. Posisi yang tepat bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah diberikan posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 30 – 45o. Hal ini sesuai dengan teori Supadi, Nurachmah, &
Mamnuah (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di
dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan sesak napas.
Posisi ini akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya
cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery
menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi
pasien lebih cepat. Sedangkan menurut Angela dalam Refi Safitri dan Annisa
Andriyani (2008), posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh
dinaikkan dengan derajat kemiringan 45o, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari
abdomen ke diafragma. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya proses
perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
78
Menurut Supadi, (2008) posisi semi fowler bertujuan untuk mengurangi
risiko statis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan
pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat.
Oleh sebab itu penulis ingin memberikan keyakinan bahwa dengan
memposisikan klien dalam semi fowler akan membantu menurunkan
konsumsi oksigen dan meningkatkan ekspansi paru serta mengatasi kerusakan
pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan membran alveolus.
Efektifitas pengaturan posisi semi fowler sebagai tindakan pertolongan
pertama pada pasien sehingga tidak terjadi sesak napas dan pola napas yang
normal dapat terpenuhi.Positioning dengan posisi semi fowler (20-30 derajat)
akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya cairan.
Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga pengantaran O2
menjadi optimal. Sesak napas akan berkurang dan akhirnya proses perbaikan
kondisi pasien lebih cepat.
Penulis melakukan implementasi berdasarkan dari intervensi yang telah
disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria
hasil dalam rentang yang telah ditentukan. Tindakan keperawatan yang telah
dilakukan oleh penulis antara lain mengobservasi keadaan umum, memonitor
tanda-tanda vital, mengkaji adanya sianosis,mengauskultasi area dada / paru-
paru, memberikan nebulizer, memberikan posisi semi fowler, memberikan
teknik batuk efektif, mengkaji tingkat nyeri, memberikan posisi nyaman,
memberikan teknik relaksasi napas dalam, mengkolaborasikan dengan dokter
untuk pemberian obat.
79
Dalam implementasi ini, penulis berusaha melaksanakan hasil riset
tentang pemberian posisi semi fowler pada Tn. P melalui langkah-langkah
prosedur pemberian posisi semi fowler dalam teori (Yulia, Suparmi 2008).
Selanjutnya, penulis melakukan tindakan keperawatan yang dilakukan
pada tanggal 9-11 Maret 2015 adalah mengobservasi keadaan umum.
Pemantauan tingkat kesadaran dengan menggunakan pemeriksaan Glasgow
Coma Skala (GCS) dengan hasil GCS 15 compos mentis / kesadaran penuh
(Potter dan Perry, 2006). Memonitor TTV terutama RR dan SaO2.
Pemeriksaan fisik adalah mengukur tanda-tanda vital dan pengukuran lainnya
serta pemeriksaan semua bagian tubuh. Pemeriksaan fisik menggunakan
teknik inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pemeriksaan harus dirancang
sesuai kebutuhan klien. Jika klien menderita penyakit akut, perawat
mengenali gejala yang ada dan ia boleh memilih untuk hanya mengkaji
sistem tubuh yang terlibat serta untuk membuat penilaian klinis tentang
perubahan status kesehatan klien dan penatalaksanaannya (Potter dan Perry,
2006). Mengauskultasi area dada atau paru-paru.Pada auskultasi biasanya
didapatkan fremitus melemah, suara vesikuler melemah atau normal,
ekspirasi memanjang, suara nafas tambahan whezzing atau ronkhi (Thomas
dan Monaghan, 2010).
Tindakan lain yang dilakukan memberikan posisi semi fowler. Hal ini
sesuai dengan teori Supadi, Nurachmah, & Mamnuah (2008), menyatakan
bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru semakin
meningkat sehingga memperingan sesak napas. Posisi ini akan mengurangi
80
kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut
dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak
nafas akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Memberikan nebulizerfenoteroldengan dosis 1,0 mg / 6 jam berfungsi
mengobati asma bronkhial, bronkhitis obstruktif, emfisema, asma disebabkan
suatu gerakan olahraga dan kelainan bronkopulmonari (ISO, 2012).
Sedangkan nebulizer adalah alat yang digunakan untuk merubah obat dari
bentuk cair ke bentuk partikel aerosol. Bentuk aerosol ini sangat bermanfaat
apabila dihirup atau dikumpulkan dalam organ paru yaitu untuk
mengembalikan spasme bronkus (Kozier, dkk, 2010).
Memberikan teknik batuk efektif. Batuk efektif merupakan suatu
metode batuk dengan benar dilakukan melalui gerakan yang terencana atau
dilatihkan terlebih dahulu, dimana klien dapat menghemat energi sehingga
tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal yang
bertujuan merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi
ventilasi, meningkatkan volume paru, memfasilitasi pembersihan saluran
napas (Kozier, dkk, 2010).
Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat. Memberikan
terapi obat injeksi lefofloxacindengan dosis 750 mg / 24 jam berfungsi
mengobati sinusitis maksilaris akut, kumatnya bronkhitis kronis, infeksi kulit
dengan komplikasi, ISK. Methilprednisolone dengan dosis 32 mg / 24 jam
berfungsi mengobati penyakit endokrin, reumatik, dermatologic,
oftalmologik, hematologik, neoplastik, pernapasan, GI, sistem saraf, kondisi
81
alergi, meningitis, TBC, trichinosis. Dexamethasone dengan dosis 5 g / 8 jam
berfungsi engobati imunosupresan / anti alergi, anti inflamasi, gangguan
kolagen, alergi dan inflamasi pada mata, rematik, asma bronkhial, radang /
alergi pada kulit, gangguan pernapasan, dan saluran penernaan.Serta obat oral
NAC dengan dosis 3 x 200 mg berfungsi mengobati mukolitik pada bronkhial
akut dan kronik dan paru dengan mukus yang tebal (ISO, 2012).
Kaji adanya sianosis. Sianosis adalah diskolorasi kebiruan pada darah
yang terjadi jika sejumlah besar hemoglobin dalam darah tidak secara
maksimal berikatan dengan molekul oksigen.Terdapat empat sisi pada setiap
molekul hemoglobin yang dapat mengikat molekul oksigen.Hemoglobin yang
mengikat penuh oksigen di keempat cabangnnya disebut jenuh (tersaturasi).
Hemoglobin terdeoksigenasi atau terdesaturasi tidak mengikat oksigen secara
maksimal (Corwin, 2007).
Mengkaji tingkat nyeri 0-10.Mengkaji karakteristik nyeri meliputi P, Q,
R, S, T (Provocate, Quality, Region, Scale, Time). Langkah ini akan
membantu perawat memahami makna nyeri bagi klien dan bagaimana ia
berkoping terhadap situasi tersebut (Mubarak, 2008).
Memberikan teknik relaksasi napas dalam. Teknik relaksasi napas
dalam adalah sebuah teknik yang telah lama diperkenalkan untuk mengatasi
nyeri terutama pada klien yang mengalami nyeri kronis. Berbagai teknik
relaksasi dapat dipakai untuk menciptakan ketenangan dan mengurangi
tekanan supaya klien merasa nyaman dan nyeri berkurang (Dewi, 2009).
82
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek atau hasil suatu
tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria tujuan yang sudah dibuat
(Dermawan, 2012).
Evaluasi terhadap Tn. P dilakukan dengan menggunakan metode SOAP
(Subjective, Objective, Analysis, and Planning) untuk mengetahui keefektifan
dari tindakan keperawatan yang dilakukan dengan memperhatikan pada
tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan sesuai dengan rentang normal.
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.00 WIB pasien mengatakan sering batuk berdahak. Suara napas terdapat
wheezing, sekret banyak, berwarna kuning keputihan, TD : 130/80 mmHg,
RR : 32 x/menit, S : 36.6o C, N : 103 x/menit, SaO2 : 88 %. Masalah belum
teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2,
auskultasi area dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan
nebulizer, berikan teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Selasa 10 Maret 2015 pukul
15.35 WIB pasien mengatakan masih batuk berdahak. Suara napas terdapat
wheezing, sekret sedikit, berwarna kuning keputihan, TD : 120/80 mmHg,
RR : 26 x/menit, S : 36,5o C, N : 84 x/menit, SaO2 : 93 %. Masalah belum
teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2,
auskultasi area dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan
83
nebulizer, berikan teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa pertama pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul
15.20 WIB pasien mengatakan sudah tidak batuk berdahak lagi. Suara napas
wheezing hilang, jalan napas bersih atau lancar, TD : 110/70 mmHg, RR : 20
x/menit, S : 36,3o C, N : 88 x/menit, SaO2 : 97 %, Masalah teratasi,
Pertahankan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2, auskultasi area
dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan nebulizer, berikan
teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa kedua pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.10 WIB pasien mengatakan sesak napas. Napas dalam pendek, terdapat
cuping hidung, terdapat retraksi otot bantu pernapasan, TD : 130/80 mmHg,
RR : 28 x/menit, S : 36.6o C, N : 103 x/menit, SaO2 : 90 %, Masalah belum
teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan SaO2, berikan
posisi semi fowler, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi diagnosa kedua pada hari Selasa 10 Maret 2015 pukul 15.45
WIB pasien mengatakan sesak napas berkurang. Napas dalam pendek, masih
terdapat cuping hidung, masih terdapat retraksi otot bantu pernapasan, TD :
120/80 mmHg, RR : 26 x/menit, S : 36,5o C, N : 84 x/menit, SaO2 : 93 %.
Masalah belum teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor TTV terutama RR dan
SaO2, kaji adanya sianosis, berikan posisi semi fowler, kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian obat.
84
Evaluasi diagnosa kedua pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul 15.30
WIB pasien mengatakan sudah tidak merasakan sesak napas lagi. Pola napas
teratur, tidak terdapat retraksi otot bantu pernapasan, tidak terdapat cuping
hidung, TD : 110/70 mmHg, RR : 20 x/menit, S : 36,3o C, N : 88 x/menit,
SaO2 : 97 %, Masalah teratasi, Pertahankan intervensi : monitor TTV
terutama RR dan SaO2, kaji adanya sianosis, berikan posisi semi fowler,
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi untuk diagnosa ketiga pada hari Senin 9 Maret 2015 pukul
14.20 WIB P : pasien mengatakan nyeri timbul saat sesak napas, Q : pasien
mengatakan nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum, R : pasien mengatakan nyeri
pada dada, S : pasien mengatakan skala nyeri 4, T : pasien mengatakan nyeri
sering timbul selama 5 menit. Pasien gelisah, pasien meringis nyeri, pasien
memegangi dadanya. Masalah belum teratasi, Lanjutkan intervensi : monitor
TTV, kaji tingkat nyeri, berikan posisi nyaman (semi fowler), berikan teknik
relaksasi napas dalam, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Evaluasi diagnosa ketiga pada hari Selasa 10 Maret 2015 pukul 15.40
WIB P : pasien mengatakan nyeri sudah berkurang, Q : pasien mengatakan
nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum, R : pasien mengatakan nyeri pada dada, S :
pasien mengatakan skala nyeri 2, T : pasien mengatakan nyeri sering timbul
selama 5 menit. Pasien sudah tenang, tidak gelisah lagi, pasien tidak meringis
nyeri lagi. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi : monitor TTV, kaji
tingkat nyeri, berikan posisi nyaman (semi fowler), berikan teknik relaksasi
napas dalam, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
85
Evaluasi diagnosa ketiga pada hari Rabu 11 Maret 2015 pukul 15.40
WIB pasien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri lagi atau nyeri hilang,
Pasien tenang atau rileks, tidak meringis nyeri lagi. Masalah teratasi.
Pertahankan intervensi : monitor TTV, kaji tingkat nyeri, berikan posisi
nyaman (semi fowler), berikan teknik relaksasi napas dalam, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
(Majampoh, dkk, 2013) bahwa teridentifikasi frekuensi pernapasan sebelum
diberikan posisi semi fowler sebagian besar termasuk frekuensi sesak napas
sedang sampai berat. Terindentifikasi frekuensi pernapasan setelah diberikan
posisi semi fowler sebagian besar termasuk frekuensi pernapasan normal,
serta terdapat pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap kestabilan pola
napas pada pasien Tuberkulosis paru.
86
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, implementasi dan evaluasi tentang pemberian posisi semi fowler
terhadap kestabilan pola napas pada asuhan keperawatan Tn. P dengan
Tuberkulosis Paru di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta maka
dapat ditarik kesimpulan :
1. Pengkajian
Hasil pengkajian yang ditemukan pada Tn. P dengan Tuberkulosis
Paru adalah pasien sering batuk berdahak, sekret keluar banyak,
berwarna kuning keputihan, suara napas terdengar wheezing, pasien
mengalami sesak napas, napas dalam pendek, terdapat retraksi otot bantu
pernapasan, terdapat cuping hidung, merasakan nyeri pada dada, seperti
tertusuk-tusuk jarum, nyeri sering timbul saat sesak napas TD : 130/80
mmHg, N : 98 x/menit, RR : 30 x/menit, S : 37o C.
2. Diagnosa Keperawatan
Dari data pengkajian, penulis merumuskan diagnosa dan membuat
prioritas diagnosa keperawatan yang pertama ketidakefektifan bersihan
jalan napas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih, diagnosa
keperawatan yang kedua ketidakefektifan pola napas berhubungan
87
Dengan hiperventilasi, diagnosa yang ketiga nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera biologis.
3. Perencanaan Keperawatan
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa pertama adalah observasi
keadaan umum, monitor TTV terutama RR dan SaO2, auskultasi area
dada atau paru-paru, berikan posisi semi fowler, berikan nebulizer,
berikan teknik batuk efektif, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat.
Intervensi yang dibuat oleh penulis pada diagnosa kedua adalah
monitor TTV terutama RR dan SaO2, kaji adanya sianosis, berikan posisi
semi fowler, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga adalah
monitor TTV, kaji tingkat nyeri 0-10, berikan posisi nyaman (semi
fowler), berikan teknik relaksasi napas dalam, kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat.
4. Implementasi Keperawatan
Dalam asuhan keperawatan Tn. P dengan Tuberkulosis Paru di
Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta telah sesuai dengan
intervensi yang dibuat penulis diyakini mampu mempengaruhi kestabilan
pola napas pada pasien Tuberkulosis Paru dengan keluhan sesak napas.
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah penulis melakukan implementasi, penulis melakukan
evaluasi selama 3 x 24 jam didapatkan hasil, masalah keperawatan yang
88
pertama ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
mucus dalam jumlah berlebih didapatkan hasil masalah teratasi, masalah
keperawatan yang kedua ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan hiperventilasi didapatkan hasil masalah teratasi, dan masalah
keperawatan yang ketiga nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
biologis didapatkan hasil masalah teratasi.
6. Analisa
Analisa yang dihasilkan pada Tn. P dengan Tuberkulosis Paru
adalah terjadi kestabilan pola napas saat diberikan pemberian posisi semi
fowler. Hal itu ditunjukkan dengan pasien tidak lagi mengalami sesak
napas, RR menjadi normal 16-24 x/menit dan SaO2 menjadi normal 95-
100 %.
B. SARAN
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan TB
Paru penulis akan memberikan usulan dan masukan yang positif khususnya
dibidang kesehatan antara lain:
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun
dengan pasien, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan yang optimal pada umumnya dan dapat mengaplikasikan
pemberian posisi semi fowler terhadap pasien sesak napas, khususnya
bagi pasien yang mengalami Tuberkulosis Paru.
89
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Hendaknya para perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan
yang baik dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan yang lain dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada pasien Tuberkulosis
Paru. Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan pemberian posisi semi
fowler terhadap pasien dengan keluhan sesak napas.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas dan
professional agar tercipta perawat yang professional, terampil, inovatif,
aktif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara
menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan. Dan dapat
mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler terhadap pasien dengan
Tuberkulosis Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, A. dan Safitri, R. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler
terhadap Penurunan Sesak Nafas pada Pasien Asma di Ruang Rawat
Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Aisyyiyah Surakarta. Jurnal Keperawatan. Volume 8. No.
2. Diakses tanggal 1 Mei 2015.
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah untuk Mahasiswa. Yogyakarta : DIVA
press.
Asmadi. 2008. Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi KDM. Salemba
Medika : Jakarta.
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Corwin, J. Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Dermawan, D. 2012. Proses Keperawatan Perencanaan Konsep dan Kerangka
Kerja. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Djojodibroto, R. D. 2007. Respiratori Medicine. Jakarta : EGC.
Herdman, H. 2012. Nanda International : Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi. Jakarta : EGC.
ISO. 2012. Informasi Spesialite Obat. Jakarta : PT. ISFI.
Jeremy, dkk. 2008. At a Glance Sistem Respirasi. Jakarta : Erlangga.
Kartikawati, Dewi. 2011. Buku ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika.
Kozier, dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, &
Praktik. Jakarta : EGC.
Majampoh, dkk. 2013. Pengaruh Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Kestabilan Pola Napas Pada Pasien TB Paru di Irina C5 RSUP
PROF Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Kepeawatan. Volume 3. No.
1. Diakses tanggal 18 Februari 2015.
Melanie, R. 2012. Analisa Pengaruh Sudut Tidur terhadap Kualitas Tidur dan
Tanda Vital pada Pasien Gagal Jantung di Ruang Rawat Intensif
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Stikes Jenderal A. Yani Cimahi.
Mubarak, W. I. 2005. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori & Aplikasi
dalam Praktik. Jakarta : EGC.
Murwani, A. 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Gosyen
Publishing.
Nugroho, T. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta. Nuha Medika.
Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika.
Pearce, C. E. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Prabowo, Doni. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan
Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di
BBKPM Surakarta. Skripsi. Program Sarjana. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Diakses tanggal 5 Mei 2015.
Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC.
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang Selatan
: Binarupa Aksara Publisher.
Supadi, E. N. dan Mamnuah. 2008. Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler
dengan Kualitas Tidur pada Pasien Gagal Jantung di RSU Banyumas
Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Volume 4. No. 2.
Suparmi, Y, dkk. 2008. Panduan Praktik Keperawatan Kebutuhan Dasar
Manusia. Yogyakarta : PT Citra Aji Parama.
Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Thomas, J & Monaghan, T. 2010. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Keterampilan
Praktis. Jakarta : EGC.
Wilkinson, J. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Zulkoni, Akhsin. 2011. Parasitologi untuk Keperwatan, Kesehatan Masyarakat
dan Teknik Lingkungan. Yogyakarta : Nuha Medika.