PEMBERIAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN...
Transcript of PEMBERIAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN...
PEMBERIAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN
DAHAK PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. D DENGAN
ASMA BRONKHIAL DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
RETNANING IKA PURNAMI
NIM. P.12 104
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PEMBERIAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN
DAHAK PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. D DENGAN
ASMA BRONKHIAL DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH:
RETNANING IKA PURNAMI
NIM. P.12 104
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Retnaning Ika Purnami
NIM : P.12 104
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Pemberian Batuk Efektif terhadap Pengeluaran Dahak
pada Asuhan Keperawatan Tn.D dengan Asma Bronkhial
di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 2015
Yang Membuat Pernyataan
Retnaning Ika Purnami
NIM. P.12 104
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah ini dengan judul “Pemberian Batuk Efektif terhadap Pengeluaran
Dahak pada Asuhan Keperawatan Tn.D dengan Asma Bronkhial di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Atiek Murharyati, S.Kep., M.Kep. selaku ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani, S.Kep., M.kep. selaku sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Intan Maharani S Batubara, S.Kep. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
laporan karya tulis ilmiah ini.
vi
4. Ns. Diyah Ekarini, S.Kep. selaku dosen penguji pertama yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
laporan karya tulis ilmiah ini.
5. Ns. S.Dwi Sulisetyowati, S.Kep., M.Kep. selaku dosen penguji kedua yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
karya tulis ilmiah ini.
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan
ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ................................................................ 3
C. Manfaat Penulisan .............................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori .................................................................... 5
1. Asma Bronkhial ........................................................... 5
2. Dahak ........................................................................... 17
3. Batuk Efektif ................................................................ 20
B. Kerangka Teori................................................................... 22
C. Kerangka Konsep ............................................................... 23
viii
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset ........................................................... 24
B. Tempat dan waktu .............................................................. 24
C. Media atau alat yang digunakan ......................................... 24
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ..................... 24
E. Alat ukur evaluasi tindakan aplikasi riset .......................... 25
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Pengkajian .......................................................................... 26
B. Perumusan masalah keperawatan ....................................... 32
C. Intervensi keperawatan....................................................... 33
D. Implementasi keperawatan ................................................. 35
E. Evaluasi keperawatan ......................................................... 36
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian .......................................................................... 39
B. Perumusan masalah keperawatan ....................................... 49
C. Intervensi keperawatan....................................................... 53
D. Implementasi keperawatan ................................................. 56
E. Evaluasi keperawatan ......................................................... 63
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 67
B. Saran ................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 4.1 Pemeriksaan Laboratorium dan Data Penunjang ................. 31
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 2.1 Kerangka Teori .............................................................. 22
2. Gambar 2.2 Kerangka Konsep ............................................................ 23
3. Gambar 4.1 Genogram ........................................................................ 30
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Usulan Judul Aplikasi Jurnal
Lampiran 2 Lembar Konsultasi
Lampiran 3 Jurnal Aplikasi Riset
Lampiran 4 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asma Bronkhial
Lampiran 5 Lembar Log Book
Lampiran 6 Lembar Pendelegasian
Lampiran 7 Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data WHO pada tahun 2010 menunjukkan sebanyak 300 juta
orang di dunia dan 225 ribu orang meninggal karena mengidap penyakit
asma. Jumlah ini diprediksi akan semakin meningkat hingga 400 juta
orang pada tahun 2025. Prevalensi penyakit asma di Indonesia tahun
2010diperkirakan mencapai 6,4%. Kasus asma di Jawa Tengah tahun
2010sendiri mencapai 1,09 %, tahun 2011 sebesar 0,69%, tahun 2012
sebesar 0,68%, dan tahun 2013 mencapai 0,58% (John, 2010).
Penyakit asma merupakan suatu penyakit pada jalan nafas yang
disebabkan oleh stimulus tertentu yang menyerang bagian trakhea dan
bronki. Asma terjadi karena faktor keturunan, perubahan cuaca, stress, dan
kondisi lingkungan kerja. Penyakit asma ditandai dengan adanya batuk,
suara nafas mengi, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas
(Musliha, 2010).
Penyakit asma dapat menimbulkan masalah pada jalan nafas dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Seseorang akan merasa terganggu
apabila melakukan aktivitas yaitu cepat merasakan sesak nafas, frekuensi
nafas cepat, mudah lelah, dan sulit untuk bernafas. Pada kasus asma akan
menimbulkan batuk disertai dahak yang berlebih. Apabila dahak tidak
segera dikeluarkan maka akan menghambat masuknya oksigen ke saluran
2
pernafasan sehingga kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang. Selain itu
juga akan menimbulkan suara nafas tambahan mengi pada saat bernafas.
Dahak yang timbul pada jalan nafas apabila tidak segera dikeluarkan juga
akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius (Mutaqqin, 2010).
Penatalaksanaan pada pasien asma dapat dilakukan secara
farmakologik dan non farmakologik. Pengobatan farmakologik seperti
pemberian bronkodilator dan obat-obatan untuk penyakit asma. Sedangkan
pengobatan secara non farmakologik seperti penyuluhan mengenai
penyakit asma, menghindari faktor pencetus timbulnya asma, pemberian
cairan, fisioterapi dan batuk efektif (Padila, 2013).
Penatalaksanaan penyakit asma secara non farmakologik salah
satunya dengan batuk efektif. Batuk efektif merupakan suatu metode batuk
dimana pasien dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dengan teknik
yang benar. Dengan melakukan batuk efektif maka sekret yang
menghambat saluran pernafasan dapat dikeluarkan atau dihilangkan.
Tindakan inilah yang digunakan perawat untuk mengeluarkan lendir pada
penderita asma bronkhial (Yunus, 2009).
Hasil observasi yang dilakukan penulis pada pasien asma bronkhial
di Rumah Sakit dr.Moewardi didapatkan data adanya suara nafas
tambahan wheezing, batuk disertai dahak yang sulit dikeluarkan, sesak
nafas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yosep Agung
Nugroho pada tahun 2011 menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
pengeluaran dahak sebelum dilakukan batuk efektif sebanyak 13,33 %
3
dan sesudah dilakukan batuk efektif sebanyak 66,66 % dari 15 responden.
Kondisi responden sebelum dan sesudah dilakukan batuk efektif terlihat
ada perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat membuktikan bahwa
penatalaksanaan non farmakologik batuk efektif dapat membuat bersihan
jalan nafas pasien menjadi lebih baik (Nugroho, 2011).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
memberikan batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada asuhan
keperawatan pasien dengan asma bronkhial.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan pemberian batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada
Tn.D dengan asma bronkhial di instalasi gawat darurat
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn.D dengan asma
bronkhial
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn.D
dengan asma bronkhial
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. D
dengan asma bronkhial
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn.D dengan asma
bronkhial
4
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.D dengan asma
bronkhial
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian batuk efektif
terhadap pengeluaran dahak pada Tn.D dengan asma bronkhial
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pasien
Sebagai referensi dalam membantu mengeluarkan dahak dan
memberikan pilihan dalam penanganan asma bronkhial dengan
menerapkan pemberian batuk efektif dalam kehidupan sehari-hari
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi bahwa pemberian batuk efektif merupakan salah satu
alternatif untuk mngeluarkan dahak yang dapat diimplementasikan
pada pasien asma bronchial
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi dalam pengembangan dan peningkatan pelayanan
keperawatan preservice
4. Bagi Penulis
Sebagai referensi dalam mengaplikasikan ilmu dan meningkatkan
pengalaman dalam melakukan intervensi berbasis riset di bidang
Keperawatan Gawat Darurat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Asma Bronkhial
a. Pengertian
Asma bronkhial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan
(Musliha, 2010).
b. Klasifikasi
Asma bronkhial di bagi menjadi 3 (Price and Wilson, 2006), yaitu:
1) Asma bronkhial tipe atopik (Ekstrinsik)
Asma timbul karena seseorang yang mengalami atopi akibat
pemaparan alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran
pernafasan, kulit, saluran pencernaan, dan lain-lain.Pemicu
imunologi yang berhubungan dengan alergi merangsang
munculnya respon imun humoral dengan mengaktifkan
multiseluler secara komplek termasuk sel mast (berhubungan
dengan alergi), eosinofil dan antibodi imunoglobin E (IgE)
yang akan meningkat pada reaksi hipersensitivitas
(Ed: Howard and Steinmann, 2010).
6
2) Asma bronkhial tipe non-atopik (intrinsik)
Asma intrinsik terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi
terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran
pernafasan bagian atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat,
dan tekanan jiwa atau stres psikologis. Pemicu nonimunologi
merangsang nervus sistem otonom yang menyebabkan sel mast
dan respon mediator inflamasi (Ed: Howard and Steinmann, 2010)
3) Asma Campuran
Terjadi akibat adanya alergen sebagai faktor pencetus dan
ketidakstabilan kondisi fisik.
c. Etiologi
Penyebab asma menurut Muttaqin, 2010 yaitu:
1) Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu yang bila diisap atau dimakan
dapat menimbulkan serangan asma misalnya debu, spora jamur,
bulu binatang, beberapa makanan laut, dan lain-lain.
2) Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang sering
menimbulkan asma bronkhial.
3) Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma karena
banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menderita
7
asma bronkhial. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma
terutama pada orang yang sedikit labil kepribadiannya. Hal ini
lebih menonjol pada wanita dan anak-anak.
4) Olahraga/ kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronkhial akan mendapatkan serangan
asma bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan.
5) Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronkhial sensitif atau alergi
terhadap obat tertentu seperti penisilin, salsilat, beta blocker,
kodein, dan lain-lain.
6) Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap
kendaraan/pabrik, asap rokok, asap yang mengandung hasil
pembakaran, dan bau yang tajam.
7) Lingkungan kerja
d. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala asma bronkhial menurut Kusuman (2008) yaitu:
1) Sesak nafas (dispnea)
Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara
dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat
terjadi karena saluran pernafasan menguncup, oedemaatau
timbulnya sekret yang menghalangi saluran pernafasan. Sesak
8
nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu
menit.
2) Mengi (wheezing)
Wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang
terdengar di akhir fase ekspirasi. Hal ini disebabkan adanya
penyempitan pada saluran pernafasan.
3) Batuk disertai dahak
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat dan rangsangan
pada bagian-bagian peka dalam saluran pernafasan misalnya
trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran
pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan
terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk
pengeluaran udara dan lendir secara mendadak disertai bunyi yang
khas.
4) Waktu ekspirasi yang memanjang
5) Penggunaan otot-otot bantu nafas
6) Takikardia
7) Adanya usaha yang kuat untuk bernafas
e. Patofisiologi
Mekanisme perjalanan penyakit asma bronkhial adalah
individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-
sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
9
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin,
bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme,
pembengkakakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang
sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial
diatur oleh impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma
idiopatik atau non alargi ketika ujung saraf pada jalan nafas
dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi
polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan
asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas.
Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis.
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor
pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik
dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga
untuk bernafas. Kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi.
Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi,
tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkhiolus yang
sempit, mengalami edema dan terisi mukusyang dalam keadaan
10
normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat
ekspirasi.
Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan,
sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi
ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien
berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam, diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Padilla, 2013).
f. Penatalaksanaan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi menjadi dua yaitu
(Musliha, 2010):
1) Pengobatan non farmakologi
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar akan
menghindari faktor-faktor pencetus asma, menggunakan obat
secara benar, dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu mengidentifikasi pencetus asma yang ada pada
lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi
faktor pencetus asma termasuk intake cairan yang cukup.
11
c) Fisioterapi
Dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.
Hal ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan
fibrasi dada
2) Pengobatan farmakologi
a) Obat pelega asma seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol,
metaproterol, formoterol, dan lain-lain
b) Obat anti vagus seperti atrovent
c) kortikosteroid
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien asma bronkhial (Hadibroto,
2006), yaitu :
1) Pemeriksaan darah
Terkadang pada pemeriksaan darah terdapat peningkatan SGOT
dan LDH, leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan adanya suatu infeksi.
2) Pemeriksaan sputum
3) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai allergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada pasien asma.
12
4) Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada
paru-paru.
5) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan.
h. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul yaitu (Smeltzer & Bare,
2002):
1) Status asmatikus
2) Atelektasis
3) Hipoksemia
4) Pneumothoraks
5) Emfisema
13
2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
a) Jalan Nafas
Umumnya terjadi penyumbatan pada jalan nafas akibat adanya
bronkospasme ataupun sekresi yang tertahan,wheezing, adanya
retraksi dinding dada.
b) Pernafasan
Kaji keefektifan pola nafas, respiratory rate, saturasi oksigen,
adanya nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu nafas,
abnormalitas pernafasan.
c) Sirkulasi
Kaji heart rate, perkusi, tekanan darah, perdarahan, perabaan
akral, tanda-tanda syok, capillary refille, suhu tubuh,
kelembaban kulit.
d) Tingkat Kesadaran
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum
(GCS, AVPU), ukuran dan reaksi pupil.
e) Kontrol Lingkungan
Pengkajian adanya cedera atau kelainan lain dan kondisi
lingkungan yang ada di sekitar pasien.
14
2) Pengkajian sekunder
a) Alergi
Kaji adanya alergi terhadap makanan, obat-obatan,
lingkungan, dan lain-lain
b) Obat-obatan
Kaji penggunaan obat-obatan yang sedang atau pernah
dikonsumsi
c) Riwayat penyakit sebelumnya
Kaji riwayat penyakit sebelumnya yang dialami pasien yang
berhubungan dengan asma bronkhial
d) Makanan terakhir yang dikonsumsi
Hasil pengkajian makanan atau minuman terakhir yang
dikonsumsi pasien sebelum datang ke rumah sakit (kapan
terakhir makan, jenis makanan apa, jam berapa makan
terakhir, dan lain-lain)
e) Kronologi terjadinya penyakit
Kaji kronologi terjadinya penyakit asma bronkhial
b. Diagnosa keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan)
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
15
c. Intervensi keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
yang tertahan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
...x24 jam diharapkan jalan nafas pasien kembali
efektif
Kriteria Hasil : a) tidak ada suara nafas tambahan
b) kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
c) tidak ada dispnea
d) tidak ada sekret yang tertahan
e) tidak ada gangguan pada jalan nafas
Intervensi :
a) Kaji kecepatan, irama, dan frekuensi pernafasan
Rasional: untuk mengetahui keabnormalan pernafasan pasien
b) Auskultasi pada pemeriksaan fisik paru
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya suara nafas tambahan
c) Ajarkan fisioterapi dada dan batuk efektif
Rasional: membantu mengeluarkan dahak yang tertahan
d) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional: membantu mengencerkan dahak sehingga mudah
untuk dikeluarkan
16
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
...x24 jam diharapkan pola nafas pasien dapat
efektif
Kriteria hasil : a) sesak nafas berkurang atau hilang
b) tidak ada retraksi dinding dada
c) tidak ada pernafasan cuping hidung
d) RR dalam batas normal (16-24 x/menit)
Intervensi:
a) Kaji pola nafas pasien
Rasional: mengetahui frekuensi, kedalaman, irama pernafasan
b) Pantau tanda- tanda vital
Rasional: mengetahui kondisi pasien dan keefektifan intervensi
c) Atur posisi semi fowler
Rasional: untuk membantu dalam ekspansi paru
d) Kolaborasi pemberian terapi oksigen dan bronkodilator
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan oksigen dan
meringankan sesak nafas
17
3. Dahak
a. Pengertian
Dahak adalahlendir kental, membulur dan lengket yang disekresikan
di saluran pernapasan, biasanya sebagai akibat dari peradangan, iritasi
atau infeksi pada saluran pernafasan (Somantri, 2007).
b. Klasifikasi
1) Klasifikasi dahak menurut warnanya (Alsagaf, 2005) yaitu:
a) Dahak kekuning-kuningan, kemungkinan proses infeksi
b) Dahak hijau, kemungkinan proses penimbunan nanah. Warna
hijau dikarenakan adanya verdoperoksidase, sering ditemukan
pada penderita bronkhiektasis
c) Dahak merah muda dan berbusa, kemungkinan tanda edema
paru akut
d) Dahak berlendir/lekat/abu-abu/putih, kemungkinan tanda
bronkhitis kronik
e) Dahak berbau busuk, kemungkinan tanda abses paru
(bronkhiektasis)
f) Dahak berdarah (hemoptisisi), sering ditemukan pada
tuberkulosis
g) Dahak berbusa putih, berasal dari obstruksi atan edema
h) Dahak kuning kehijauan (mukopurulen)
18
2) Klasifikasi dahak menurut jumlahnya (Nugroho, 2011) yaitu:
a) Dahak sedikit dipengaruhi karena pasien mengalami sesak
nafas, lemas, dan sulit untuk batuk. Hal ini juga disebutkan
bahwa dalam setiap harinya, seseorang dapat memproduksi
dahak sebanyak 100 ml di saluran pernafasan sehingga
menyebabkan dahak menumpuk pada saluran pernafasan.
b) Dahak sedang dapat dipengaruhi karena keadaan pasien yang
kurang baik sehingga dahak sulit dikeluarkan.
c. Jenis pemeriksaan
Jenis pemeriksaan dahak menurut Alsagaf, 2005 yaitu:
1) Pewarna gram
Dapat memberikan informasi tentang jenis mikroorganisme untuk
menegakkan diagnosispresumatif
2) Kultur sputum
Untuk mengidentifikasi organisme spesifik guna menegakkan
diagnosis definitif
3) Sensitivitas
Sebagai pedoman terapi antibiotik dengan mengidentifikasi
antibiotik yang mencegah pertumbuhan organisme yang terdapat
dalam dahak
4) Basil tahan asam (BTA)
Untuk menentukan adanya Mycobacterium tuberculosa
19
5) Sitologi
Untuk mengidentifikasi adanya keganasan (karsinoma) pada paru-
paru
6) Tes kuantitatif
Pemeriksaan kualitatif harus sering dilakukan untuk menentukan
apakah sekresi yang dihasilkan merupakn saliva, lendir, pus atau
yang lainnya.
d. Mekanisme dahak
Pada orang dewasa normal, setiap harinya dapat memproduksi mukus
sebanyak100 ml dalam saluran nafas. Mukus ini kemudian dibawa ke
faring dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi
saluran nafas. Keadaan produksi mukus abnormal yang berlebihan
menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara normal
sehingga mukus ini banyak tertimbun pada saluran pernafasan. Bila
hal ini terjadi maka membran mukosa akan terangsang dan mukus
akan dikeluarkan dengan tekanan intra thorakal dan intra abdominal
yang tinggi, kemudian timbul reflek batuk. Mukus tersebut akan
keluar sebagai dahak. Dahak yang dikeluarkan hendaknya dapat
dievaluasi sumber, warna, volume, konsistensinya, dan kondisi
dahaknya (Darmanto,2006).
20
4. Batuk efektif
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk
menjaga jalan nafas tetap terbuka (paten) dengan cara menyingkirkan
hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan nafas. Batuk diakibatkan
oleh iritasi membran mukosa dalam saluran pernafasan. Stimulus yang
menghasilkan batuk dapat timbul dari suatu proses infeksi atau iritan yang
dibawa oleh udara seperti debu, asap, gas, dan kabut. Batuk adalah
proteksi utama pasien terhadap akumulasi sekret dalam bronkhi dan
bronkhiolus (Pranowo, 2012).
Batuk efektif merupakan salah satu tindakan non farmakologi
untuk pasien dengan gangguan pernafasan akut dan kronik. Peran perawat
dalam hal ini sangatlah penting yaitu melatih pasien untuk melakukan
batuk efektif yang bertujuan untuk menambah pengetahuan pasien tentang
pentingnya pengeluaran dahak. Batuk efektif dapat diberikan pada pasien
dengan cara mengatur posisi yang benar agar dahak dapat keluar dengan
lancar (Sudoyo, 2006).
Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana
klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal. Batuk efektif dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan ekspansi paru, memobilisasi sekret,
danmencegah efek samping dari penumpukan sekret. Batuk yang tidak
efektif akan dapat menyebabkan efek yang merugikan pada klien dengan
penyakit paru-paru kronis berat (Pranowo, 2012).
21
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan batuk
efektif yaitu pasien diberikan posisi duduk tegak di tempat tidurnya,
kemudian tarik nafas dalam secara maksimal dan perlahan dengan
menggunakan pernafasan diafragma sambil meletakkan 2 jari tepat di
bawah procesus xipoideus, pasien disuruh menahan nafas selama 3-5
detik lalu hembuskan secara perlahan melalui mulut. Ambil nafas kedua
dan tahan, kemudian suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari
dada. Setelah itu istirahatkan pasien selama 2-3 menit, lalu lakukan batuk
efektif secara berulang (Nugroho, 2011).
Batuk efektif sangat penting untuk menghilangkan gangguan
pernafasan dan menjaga paru-paru agar tetap bersih. Batuk efektif dapat
dilakukan pada pasien asma bronkhial dengan cara memberikan posisi
yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yosep Agung Nugroho di Instalasi Rehabilitasi Medik
Rumah Sakit Baptis Kediri pada tahun 2011 menunjukkan bahwa hasil
sebelum dilakukan batuk efektif sebanyak 33,34 % dan sesudah dilakukan
batuk efektif sebanyak 6,66 % dari 15 responden yang sulit mengeluarkan
dahaknya. Kemudian dari 15 responden yang dapat mengeluarkan dahak
dalam jumlah sedikit sebelum dilakukan batuk efektifsebanyak 53,33%
dan sesudah dilakukan batuk efektif sebanyak 26,67 %. Dari 15
responden yang bisa mengeluarkan dahak dalam jumlah banyak sebelum
dilakukan batuk efektif sebanyak 13,33 % dan sesudah dilakukan batuk
efektif sebanyak 66,66 %. Kondisi responden sebelum dan sesudah
22
dilakukan batuk efektif terlihat ada perbedaan yang signifikan dalam
pengeluran dahak (Nugroho, 2011).
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Muttaqin, 2010; Kusuman, 2008; Musliha, 2010; Alsagaf, 2005; Nugroho,
2011)
Klasifikasi menurut
warna: 1. Dahak kekuning-
kuningan
2. Dahak hijau
3. Dahak merah muda
4. Dahak berlendir
5. Dahak berbau busuk
6. Dahak berdarah
7. Dahak berbusa putih
8. Dahak kuning
kehijauan
Asma
Bronkhial
Etiologi : 1. Alergen
2. Infeksi saluran
pernafasan
3. Tekanan jiwa
4. Olahraga
5. Obat-obatan
6. Polusi udara
7. Lingkungan
kerja
Manifestasi Klinis : 1. Sesak nafas
2. Mengi
3. Batuk disertai dahak
4. Waktu ekspansi
yang memanjang
5. Penggunaan otot
bantu nafas
6. Takikardia
7. Adanya usaha yang
kuat untuk bernafas
Penatalaksanaan
Non Farmakologi
Dahak
Penatalaksana
an
Farmakologi
Klasifikasi menurut
jumlah: 1. Dahak
sedikit,dipengaruhi
pasien mengalami
sesak nafas, lemas,
dan sulit untuk
batuk.
2. Dahak sedang,
dipengaruhi karena
keadaan pasien
yang kurang baik.
Tindakan
Nebulizer
Batuk
Efektif
Dahak
Keluar
23
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
(Muttaqin, 2010; Kusuman, 2008; Musliha, 2010; Alsagaf, 2005; Nugroho,
2011)
Batuk
Efektif
Pengeluaran
dahak
24
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Tn.D dengan asma bronkhial di Instalasi Gawat Darurat
B. Tempat dan Waktu
Penerapan aplikasi riset ini dilakukan di Rumah Sakit dr. Moewardi Ruang
Instalasi Gawat Darurat pada tanggal 10 Maret 2015
C. Media dan Alat
1. Handscoon
2. Masker
3. Perlak/ pengalas
4. Bengkok/ sputum pot
5. Tissue
D. Prosedur Tindakan
Prosedur tindakan batuk efektif menurut modul keperawatan kebutuhan
dasar manusia yang diterapkan di pendidikan yaitu:
1. Fase Orientasi
a. Memberi salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan tindakan
d. Menjelaskan prosedur
e. Menanyakan kesiapan pasien
2. Fase Kerja
a. Menanyakan klien apakah sudah tahu cara melakukan batuk efektif
b. Menjelaskan prosedur batuk efektif dan membimbing pasien yaitu:
25
1) Mengatur posisi pasien duduk
2) Meminta klien meletakkan 1 tangan di dada dan 1 tangan di
abdomen
3) Melatih klien melakukan napas perut (menarik nafas dalam
melalui hidung sampai 3 hitungan, mulut dalam keadaan tertutup)
4) Meminta klien untuk merasakan pengembangan abdomen (cegah
lengkung punggung)
5) Meminta klien untuk menahan napas sampai 3 hitungan
6) Meminta klien menghembuskan napas perlahan dalam 3 hitungan
(lewat mulut, bibir seperti meniup)
7) Meminta klien untuk merasakan mengempisnya abdomen dan
kontraksi dari otot abdomen
8) Memasang perlak/ pengalas serta bengkok pada pangkuan klien
9) Meminta klien untuk melakukan napas dalam sebanyak 2 kali,
napas yang ketiga inspirasi tahan napas dan batukkan dengan kuat
10) Menampung sekret yang keluar dalam bengkok/ sputum pot
3. Fase Terminasi
a. Melakukan evaluasi tindakan
b. Menyampaikan rencana tindak lanjut
c. Berpamitan
E. Alat Ukur Evaluasi Tindakan Aplikasi Riset
No Hari/ Tanggal/ Jam Kegiatan Dilakukan Tidak
dilakukan
Tanda
tangan
1
Selasa, 9 Maret
2015
jam 11.00 WIB
Melakukan
batuk
efektif
Iya
2 Jam 16.00 WIB
Melakukan
batuk
efektif
Iya
3 Jam 19.00 WIB
Melakukan
batuk
efektif
iya
26
BAB IV
LAPORAN KASUS
Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang ringkasan asuhan
keperawatan pada Tn. D dengan diagnosa medis asma bronkhial di Instalasi
Gawat Darurat yang dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2015. Proses asuhan
keperawatan ini di mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 10 Maret 2015 jam
10.00 WIB, pada kasus ini diperoleh data dengan menggunakan metode
autoanamnesa dan alloanamnesa. Dari data pengkajian diperoleh
identitas klien bernama Tn.D, umur 63 tahun, beragama Islam,
pendidikan terakhir SLTA, pekerjaan sebagai petani, dan beralamat di
Danukusuman, Serengan, Surakarta. Tn.D dirawat di rumah sakit mulai
tanggal 10 Maret 2015 dan didiagnosa dokter menderita penyakit asma
bronkhial. Yang bertanggung jawab kepada Tn.D yaitu Ny.S sebagai istri
dari Tn.D, umur 58 tahun, pendidikan terakhir SLTA, pekerjaan petani,
dan beralamat di Danukusuman, Serengan, Surakarta.
27
2. Pengkajian Primer
Pengkajian yang dilakukan terhadap Tn.D dengan menggunakan
metode pengkajian kegawatdaruratan ABCDE. Airway yaitu pada saluran
nafas terdengar suara wheezing saat ekspirasi, adanya sekret yang
tertahan, dan adanya retraksi dinding dada. Breathing yaitu pola nafas
yang dialami Tn. D tidak efektif, respiratory rate 28 x/menit, adanya
pernafasan cuping hidung, dan saturasi oksigennya 97%. Circulation
yaitu tekanan darah 150/100 mmHg, heart rate 110 x/menit, capillary
refillkurang dari dua detik, akral teraba hangat, dan suhu tubuh 37ºC.
Disability yaitu tingkat kesadaran composmentis, nilai GCS 15, reaksi
pupil positif terhadap cahaya, pupil isokor diameter 2 milimeter.Exposure
yaitu Tn.D mendapatkan pemasangan infus pada ekstremitas atas sebelah
kanan, kontrol lingkungan di sekitar klien aman, Tn.D tidak mengalami
cedera maupun kelainan lain.
3. Pengkajian Sekunder
Keadaan umum pasien baik, kesadaran composmentis.
Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh tekanan darah 150/100 mmHg,
nadi 110 x/menit dengan irama teratur dan kuat, respirasi 28 x/menit
dengan irama teratur, suhu 37ºC.
Pengkajian selanjutnya yang dilakukan pada Tn.D yaitu dengan
menggunakan SAMPLE. Subjektif yaitu Tn.D mengatakan sesak nafas,.
Alergi yaitu Tn.D tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan,
lingkungan maupun cuaca. Medikasi yaitu keluarga pasien mengatakan
28
bahwa pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan asma sebelumnnya
tetapi belum pernah menggunakan obat semprot atau inhaler. Riwayat
penyakit sebelumnya yaitu keluarga mengatakan bahwa Tn.D pernah
berobat di Rumah Sakit dr.Moewardi sebanyak 1 kali kurang lebih 1
tahun yang lalu karena sesak nafas, ada riwayat merokok selama kurang
lebih 40 tahun. Last meal yaitu keluarga mengatakan Tn.D terakhir makan
nasi, sayur dan buah-buahan. Event leading yaitu pasien datang dengan
keluhan sesak nafas pada tanggal 10 Maret 2015 jam 10.00 WIB dan
semakin memberat pada saat malam hari, ada suara nafas tambahan mengi
tetapi tidak dipengaruhi cuaca atau waktu, ada batuk disertai dahak
kurang lebih 1 tahun berlangsung hilang timbul, serta nafsu makan
menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil bentuk kepala
mesochepal, kulit kepala bersih, penyebaran merata, dan tidak ada bekas
luka, rambut hitam sedikit beruban, tidak ada kutu. Palbebra tidak ada
oedema, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupilisokor, diameter
mata kanan dan kiri 2 milimeter, reflek terhadap cahaya pada mata kanan
dan kiri positif, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Bentuk hidung
simetris, tidak ada sekret, terpasang nasal kanul oksigen sebesar 4
liter,ada pernafasan cuping hidung. Mulut tidak sumbing, mukosa bibir
lembab, permukaan lidah bersih, warna gigi sedikit kuning. Bentuk
telinga simetris, tidak ada benjolan pada telinga, lubang telinga bersih.
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid pada leher.
29
Pemeriksaan fisik pada paru-paru didapatkan hasil inspeksi yaitu
bentuk dadasimetris, tidak ada jejas, menggunakan alat bantu pernafasan.
Palpasi yaitu vokal premitus kanan dan kiri sama, ekspansi paru kanan
dan kiri sama,pengembangan dada kanan dan kiri sama. Perkusi yaitu
terdengar suara hipersonor. Auskultasi yaitu terdengar suara nafas
wheezing saat ekspirasi. Pemeriksaan fisik jantung didapatkan inspeksi
yaitu bentuk dada simetris, iktus cordis tidak tampak, tidak ada jejas.
Palpasi yaitu iktus cordis teraba di SIC V. Perkusi yaitu terdengar bunyi
pekak. Auskultasi yaitu bunyi jantung I dan II murni. Pemeriksaan fisik
abdomen didapatkan hasil inspeksi yaitu bentuk datar, tidak ada jejas,
tidak ada penonjolan umbilikus. Saat di auskultasi bising usus 15 x/menit.
Perkusi yaitu pada kuadran pertama terdengar organ hati suara redup,
pada kuadran dua terdapat organ lambung suara timpani, pada kuadran
tiga dan empat terdapat organ usus dan ginjal suara timpani.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak memiliki riwayat
penyakit menular maupun penyakit keturunan.
30
Genogram :
Tn.D, 67 tahun (Asma bronkhial)
Keterangan :
: laki-laki : tinggal serumah
: perempuan : garis keturunan
: pasien
: meninggal
Gambar 4.1 Genogram
5. Pemeriksaan Laboratorium dan Data Penunjang
Tanggal : 10 Maret 2015
Jenis
Pemeriksaan Hasil Satuan
Nilai
Normal
HEMATOL
OGI
Hemoglobin 11,5 g/dl 11,3 –
17,5
Hematokrit 36 % 33 – 45
Leukosit 7,7 ribu/ul 4,5 –
11,0
31
Trombosit 288 ribu/ul 150 –
450
Eritrosit 4,27 juta/ul 4,50 –
5,90
INDEX
ERITROSIT
MCV 85,2 /um 80,0 –
96,0
MCH 26,9 pg 28,0 –
33,0
MCHC 31,6 g/dl 33,0 –
36,0
RDW 16,1 % 11,6 –
14,6
MPV 8,9 Fl 7,2 – 11
PDW 15 % 25 – 65
HITUNG
JENIS
Granulosit 77,60 % 56,00 –
78,00
Limfosit 13,90 % 22,00 –
44,00
Monosit,
Eosinofil,
Basofil
8,50 % 0,00 –
12,00
Golongan
darah
B
HEMOSTAS
IS
PT 16,9 detik 10,0 –
15,0
APTT 32,3 detik 20,0 –
40,0
INR 1,46
KIMIA
KLINIK
Gula darah
sewaktu
100 mg/dl 60 –
140
SGOT 168 u/l < 35
SGPT 213 u/l < 45
Albumin 3,1 g/dl 3,2 –
4,6
Creatinin 1,7 mg/dl 0,8 –
1,3
Ureum 65 mg/dl < 50
ELEKTROL
IT
Natrium 132 mmol/l 136 –
32
darah 145
Kalium
darah
4,7 mmol/l 3,7 –
5,4
Chlorida
darah
99 mmol/l 98 –
106
ANALISA
GAS DARAH
Ph 7,41 mmol/dl
BE 3,1 mmHg
PCO2 44 mmHg
PO2 70 %
HCO3 26,8 mmol/l
Total CO2 29,7 %
Saturasi
Oksigen
94 %
HEPATITIS
HbSag Non
reaktive
Tabel 4.1 Pemeriksaan Laboratorium dan Data Penunjang
6. Terapi
Terapi yang diberikan oleh dokter pada tanggal 10 Maret 2015 kepada
Tn.D yaitu infus Nacl 20 tpm, ceftriaxone 2 gram/24 jam, dexamethasone
5 ml/8 jam, alstein (NAC) 200 mg. Untuk obat inhalasi yaitu ventolin 2,5
mg dan flixotide 2 ml.
B. Perumusan masalah keperawatan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengkajian pada tanggal 10
Maret 2015 maka penulis dapat merumuskan diagnosa keperawatan menurut
NANDA yaitu yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas (00031)
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan) yang
ditandai dengan data subyektif pasien mengatakan batuk berdahak dan sulit
untuk dikeluarkan dan data obyektifnya pasien terlihat batuk terus-menerus
33
namun dahaknya sulit keluar, terdengar suara wheezing pada saat ekspirasi,
pasien terlihat gelisah dan keluar keringat dingin, pasien tampak sulit untuk
mengeluarkan suara.
Diagnosa yang kedua yaitu ketidakefektifan pola nafas (00032)
berhubungan dengan hiperventilasi yang ditandai dengan data subyektif
pasien mengatakan sesak nafas dan untuk data obyektifnya tampak adanya
retraksi dinding dada, terlihat pernafasan cuping hidung, terlihat pada saat
bernafas fase ekspirasinya memanjang, pernafasan cepat dan dangkal,
respiratory rate 28 x/menit, pasien terlihat hanya memegangi dadanya.
Berdasarkan analisa data yang telah didapatkan, maka penulis dapat
memprioritaskan diagnosa keperawatan. Prioritas diagnosa keperawatan
utama pada kasus Tn.D adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas (00031)
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan) dan
prioritas diagnosa keperawatan kedua yaitu ketidakefektifan pola nafas
(00032) berhubungan dengan hiperventilasi.
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan pertama pada kasus Tn.D yaitu
ketidakefektifan bersihan jalan nafas (00031) berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas (sekresi yang tertahan) dan diagnosa keperawatan kedua yaitu
ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan hiperventilasi.
Tujuan dan kriteria hasil pada diagnosa keperawatan pertama menurut
NOC (Nursing Outcome Classification) yaitu setelah dilakukan tindakan
34
keperawatan selama 1 kali 24 jam diharapkan jalan nafas pasien tidak
terganggu atau kembali efektif dengan kriteria hasil pasien dapat
mengeluarkan sekret secara mandiri, tidak ada gangguan pada jalan nafas,
tidak terdengar suara nafas tambahan, mengatakan rasa nyaman, tidak ada
gangguan saat mau berbicara.Tujuan dan kriteria hasil pada diagnosa
keperawatan kedua menurut NOC (Nursing Outcome Classification) yaitu
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 kali 24 jam diharapkan pola
nafas pasien kembali efektif dengan kriteria hasil pasien tidak merasakan
sesak nafas, respiratory rate dalam batas normal (16-24 x/menit),
mengatakan rasa nyaman, tidak menggunakan otot bantu nafas, tidak ada
retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan cuping hidung, fase inspirasi dan
ekspirasi dengan perbandingan 1:2, tidak terpasang oksigen.
Intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan pertama menurut
NIC (Nursing Intervention Classification) yaitu observasi kecepatan, irama
dan frekuensi pernafasan untuk mengetahui keefektifan intervensi
sebelumnya, auskultasi pada pemeriksaan fisik paru untuk mengetahui ada
tidaknya suara nafas tambahan pasien, kaji kemampuan klien untuk
memobilisasi sekret jika tidak mampu ajarkan pasien untuk melakukan batuk
efektif, kolaborasi pemberian bronkodilator sesuai advis dokter untuk
membantu melonggarkan jalan nafas dan membantu mengencerkan sekret
agar mudah untuk dikeluarkan.Intervensi keperawata pada diagnosa
keperawatan kedua menurut NIC (Nursing Intervention Classification) yaitu
observasi pola nafas pasien untuk mengetahui irama, kedalaman dan
35
frekuensi pernafasan, kemudian pantau tanda-tanda vital dan saturasi oksigen
untuk mengetahui keadaan umum pasien dan kadar oksigen, anjurkan kepada
pasien untuk mengatur posisi semi fowler untuk membantu dalam ekspansi
paru, kolaborasi oksigen sesuai advis dokter untuk membantu memenuhi
kebutuhan oksigen pasien.
D. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama dilakukan pada tanggal
10 Maret 2015 jam 11.00 WIB yaitu mengobservasi kecepatan, irama dan
frekuensi pernafasan didapatkan respon subyektif pasien mengatakan masih
merasakan sesak nafas dan respon obyektifnya respirasi 28 x/menit,
pernafasan dangkal dan cepat, adanya retraksi dinding dada. Jam 11. 15 WIB
melakukan tindakan bronkhodilator didapatkan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia dan respon obyektifnya pasien tampak kooperatif,
pasien terlihat nyaman saat diberi nebulizer. Jam 11.30 WIB mengajarkan
batuk efektif didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau diajarkan
batuk efektif dan respon obyektif pasien tampak antusias saat melakukan
batuk efektif, dahak sudah bisa keluar. Jam 11.45 WIB mengauskultasi pada
pemeriksaan fisik paru pasien didapatkan respon subyektif pasien
mengatakan mau dan respon obyektifnya masih terdengar suara wheezing saat
ekspirasi. Jam 12.05 WIB melaksanakan kolaborasi dengan dokter tentang
pemberian obat didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau disuntik
dan respon obyektif pasien tampak nyaman setelah diberikan terapi obat, obat
36
sudah masuk melalui intravena. Jam 14.00 WIB mengobservasi kecepatan,
irama dan frekuensi pernafasan didapatkan respon subyektif pasien
mengatakan masih merasakan sesak nafas dan respon obyektifnya respirasi 27
x/menit, pernafasan dangkal dan cepat. Jam 15.00 WIB mendampingi pasien
dalam mengeluarkan dahak dengan batuk efektif didapatkan respon subyektif
pasien mengatakan mau melaksanakannya dan respon obyektifnya dahak
sudah bisa keluar berwarna putih, pasien terlihat sudah mampu melakukan
batuk efektif dengan benar.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua dilakukan pada tanggal
10 Maret 2015 jam 10.10 WIB yaitu mengobservasi pola nafas pasien
didapatkan respon subyektif pasien mengatakan sesak nafas dan respon
obyektifnya pasien terpasang oksigen 4 liter, tampak adanya retraksi dinding
dada, adanya pernafasan cuping hidung, adanya penggunaan otot bantu nafas,
respiratory rate 26x/menit. Jam 10.35 WIB memantau tanda-tanda vital dan
saturasi oksigen didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau
diperiksa dan respon obyektifnya pasien tampak kooperatif, tekanan darah
150/100 mmHg, nadi 110 kali per menit, suhu tubuh 37ºC, respirasi 26
x/menit, saturasi oksigen 99%. Jam 10.40 WIB mengatur posisi semi fowler
didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau melaksanakan perintah
perawat dan respon obyektifnya pasien tampak kooperatif, pasien terlihat
lebih nyaman dengan posisi yang diberikan. Jam 10.45 WIB berkolaborasi
pemberian oksigen sesuai advis dokter didapatkan data subjektif pasien
37
mengatakan sesak nafas dan data objektifnya tampak adanya retraksi dinding
dada, adanya usaha yang kuat untuk bernafas.
E. Evaluasi keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada diagnosa
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, hasil evaluasi yang dihasilkan pada jam
13.00 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah bisa keluar. Hasil observasi
didapatkan dahak keluar berwarna putih, masih terdengar suara wheezing saat
ekspirasi, pasien sudah tidak kesulitan lagi dalam berbicara. Masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi
sehingga intervensi yang dilanjutkan yaitu lakukan batuk efektif dan
kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter.
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas, hasil evaluasi yang dilakukan
pada hari selasa tanggal 10 Maret 2015 jam 13.20 WIB yaitu Tn.D
mengatakan masih merasakan sesak nafas. Hasil observasi didapatkan
respirasi 26 x/menit, terpasang nasal kanul oksigen 4 liter, terlihat retraksi
dinding dada. Dari semua data yang telah dilakukan didapatkan hasil masalah
ketidakefektifan pola nafas pasien belum teratasi, sehingga intervensi yang
dilanjutkan pada kasus Tn.D yaitu lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
saturasi oksigen dan kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
Hasil evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada jam
17.00 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah keluar. Hasil observasi
didapatkan dahak keluar berwarna putih, terdengar suara wheezing saat
38
ekspirasi. Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi
sehinnga intervensi dilanjutkan dengan lakukan tindakan nebulizer dan
pantau pasien dalam melakukan batuk efektif.
Hasil evaluasi dari diagnosa ketidakefektifan pola nafas pada jam
17.20 WIB didapatkan pasien mengatakan sesak nafas sudah mulai berkurang
daripada tadi pagi. Hasil observasi yaitu respirasi 26 x/menit,terpasang nasal
kanul 4 liter, masih terlihat retraksi dinding dada, tidak ada pernafasn cuping
hidung.. Masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas psien belum
teratasi, sehingga intervensi dilanjutkan dengan observasi pola nafas pasien
(irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan), pantau tanda-tanda vital dan
saturasi oksigen. .
Evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada jam
19.20 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah keluar. Hasil observasi
dahak keluar berwarna putih, terdengar suara nafas wheezing saat di
auskultasi, pasien sudah mampu melakukan batuk efektif secara mandiri.
Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi sehingga
intervensi dilanjutkan dengan lakukan tindakan nebulizer.
Evaluasi diagnosa ketidakefektifan pola nafas pada jam 19.40 WIB
didapatkan pasien mengatakan sesak nafas sudah berkurang. Hasil observasi
respirasi 24 x/menit, terpasang nasal kanul oksigen 3 liter, masih terlihat
retraksi dinding dada. Masalah ketidakefektifan pola nafas pasien belum
teratasi sehingga intevensi dilanjutkan dengan observasi tanda-tanda vital,
kolaborasi pemberian obat.
39
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan
pada Tn.D dengan asma bronkhial di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dr.
Moewardi Surakarta. Pembahasan pada bab ini terutama akan membahas adanya
kesenjangan maupun kesesuaian antara teori dengan kasus.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang
kontinyu tentang respon manusia, kekuatan, dan masalah klien. Pengkajian
pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua yaitu pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian primer untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya
dilakukan pengkajian sekunder. Pengkajian primer bertujuan mengetahui
dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien dan dilakukan secara
sekuensial sesuai dengan prioritas. Pengkajian sekunder merupakan
pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dapat pula
ditambahkan pemeriksaan diagnostik (Fatwa, 2009).
Tahapan pengkajian primer meliputi: airway untuk mengecek jalan
nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal, breathing
untuk mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
40
oksigenasi adekuat, circulation untuk mengecek sistem sirkulasi disertai
kontrol perdarahan, disability untuk mengecek status neurologis, exposure
untuk mengontrol adanya cedera atau kelainan lain. Pengkajian sekunder
meliputi: alergi untuk mengetahui adakah alergi pada pasien (obat-obatan,
makanan/minuman, cuaca), medikasi untuk mengetahui obat-obatan yang
pernah atau sedang dikonsumsi oleh pasien, pertinent medical history untuk
mengetahui riwayat penyakit sebelumnya, last meal untuk mengetahui
makanan/minuman yang terakhir dikonsumsi pasien sebelum datang ke
rumah sakit, eventsleading untuk mengetahui kronologis kejadian hingga
pasien dibawa ke rumah sakit (Gilbert, 2009).
Metode pengkajian yang dilakukan penulis terhadap kasus Tn.D
yaitu menggunakan metode wawancara, observasi, serta catatan dari rekam
medik. Hasil pengkajian yang ditemukan pada kasus Tn.D dan sesuai dengan
teori meliputi airway, breathing, circulation, disability, dan exsopure.
Airway didapatkan pada saluran nafas terdengar suara wheezing
saat ekspirasi, adanya sekret yang tertahan, dan adanya retraksi dinding dada.
Wheezing adalah pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di akhir
fase ekspirasi. Hal ini disebabkan adanya penyempitan pada saluran
pernafasan. Selama asma menyerang, saluran napas akan mengalami
penyempitan dan mengisinya dengan cairan lengket yang diproduksi oleh
dinding bagian dalam yang menyebabkan jalan udara menyempit serta dapat
mengurangi aliran keluar masuknya udara ke paru-paru. Obstruksi saluran
napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan
41
mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase
tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas (Gilbert, 2009).
Breathing didapatkan pola nafas tidak efektif, respiratory rate 28
x/menit, adanya pernafasan cuping hidung, dan saturasi oksigennya 97 %.
Frekuensi pernafasan normal adalah 16-24 x/menit. Sedangkan pada kasus
didapatkan hasil respirasi 28 x/menit dan pasien mengeluh sesak nafas. Sesak
nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran
pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran
pernafasan menguncup, oedema atau timbulnya sekret yang menghalangi
saluran pernafasan. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung
pernafasan dalam satu menit (Handoko, 2008). Pernapasan cuping hidung
lebih identik ke sesak napas atau dispneakarena adanya
gangguanpadapertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan
kebutuhan ventilasi makin meningkat dan terjadi sesak napas. Pada kasus
Tn.D juga didapatkan hasil saturasi oksigen 97%. Saturasi oksigen adalah
prosentase hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam darah arteri.
Saturasi oksigen normal antara 95-100% (Aryres, 2003).
Circulation didapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, heart rate
110 x/menit, capillary refill kurang dari dua detik, akral teraba hangat, dan
42
suhu tubuh 37ºC. Pada kasus Tn.D tidak ditemukan adanya syok ataupun
perdarahan. Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Penyebab syok paling umum pada trauma adalah
hipovolemia. Diagnosis syok didasarkan pada gejala klinis yaitu hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan telah terjadi perdarahan
(Hudak & Gallo, 1999).
Disability didapatkan tingkat kesadaran composmentis, nilai GCS
15, reaksi pupil positif terhadap cahaya, pupil isokor diameter 2 milimeter.
Kesadaran composmentis (conscious) yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya dengan tepat. Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan
dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak
seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke
otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala. Salah satu cara
untuk mengukur tingkat kesadaran yaitu dengan menggunakan nilai GCS
(Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cedera
kepala. Nilai GCS meliputi: reflek membuka mata, respon verbal, dan respon
motorik. Apabila nilai GCS kurang dari 13, maka seseorang dikatakan
mengalami cedera kepala yang menunjukan adanya penurunan kesadaran.
Metode lain untuk mengukur tingkat kesadaran yaitu dengan menggunakan
sistem AVPU dimana pasien diperiksa apakah tingkat kesadaran baik (alert),
43
berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri
(pain), dan pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun
diberi rangsang nyeri (unresponsive) (Gilbert, 2009).
Exposure didapatkan pemasangan infus pada ekstremitas atas
sebelah kanan, kontrol lingkungan di sekitar klien aman, Tn.D tidak
mengalami cedera maupun kelainan lain. Jika pasien diduga mengalami
cedera leher atau tulang belakang, hal penting yang dilakukan dengan
imobilisasi in-line yaitu mempertahankan agar posisi bagian yang mengalami
cedera tetap lurus. Tindakan log roll dilakukan untuk pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Hasil pengkajian selanjutnya yang didapatkan pada kasus Tn.D yaitu
keadaan umum pasien baik, kesadaran composmentis. Pemeriksaan tanda-
tanda vital diperoleh tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 110 x/menit dengan
irama teratur dan kuat, respirasi 28 x/menit dengan irama teratur, suhu 37ºC.
Pengkajian sekunder yang dilakukan pada kasus Tn.D dengan menggunakan
sistem SAMPLE (Subjektif, Alergi, Medication, Past Illnes, Last Meal, Event
Leading).
44
Subjektif didapatkan Tn.D mengatakan sesak nafas. Data subjektif
merupakan data keluhan utama yang sedang dirasakan pasien saat ini. Alergi
didapatkan Tn.D tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan, lingkungan
maupun cuaca. Medikasi didapatkan keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan asma sebelumnnya tetapi belum
pernah menggunakan obat semprot atau inhaler. Past Illnes didapatkan
keluarga mengatakan bahwa Tn.D pernah berobat di Rumah Sakit
dr.Moewardi sebanyak 1 kali kurang lebih 1 tahun yang lalu karena sesak
nafas, ada riwayat merokok selama kurang lebih 40 tahun. Last meal
didapatkan keluarga mengatakan Tn.D terakhir makan nasi, sayur dan buah-
buahan. Event leading didapatkan pasien datang dengan keluhan sesak nafas
pada tanggal 10 Maret 2015 jam 10.00 WIB dan semakin memberat pada saat
malam hari, ada suara nafas tambahan mengi, ada batuk disertai dahak kurang
lebih 1 tahun berlangsung hilang timbul, serta nafsu makan menurun. Pada
kasus Tn.D termasuk dalam asma bronkhial tipe atopik (ekstrinsik). Asma
timbul karena seseorang yang mengalami atopi akibat pemaparan alergen.
Alergen masuk ke tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran
pencernaan, dan lain-lain. Pemicu imunologi yang berhubungan dengan alergi
merangsang munculnya respon imun humoral dengan mengaktifkan
multiseluler secara komplek termasuk sel mast (berhubungan dengan alergi),
eosinofil dan antibodi imunoglobin E (IgE) yang akan meningkat pada reaksi
hipersensitivitas (Ed: Howard and Steinmann, 2010). Pada Tn.D juga
mengalami sesak nafas pada malam hari, hal ini dikarenakan adanya
45
hormonmelatonin. Hormon ini yang berperan penting dalam mencetuskan
serangan asma pada malam hari. Melatonin adalah hormon yang diproduksi
oleh kelenjar pineal yang membantu mengatur ritme sirkardian seperti makan
dan tidur. Hormon melatonin juga meningkatkan jalur alergi peradangan
sehingga membuat serangan asma lebih mungkin terjadi (Gamal, 2013).
Pemeriksaan fisik adalah metode pengumpulan data yang
sistematik dengan memakai indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan
rasa untuk mendeteksi masalah kesehatan klien. Untuk pemeriksaan fisik
perawat menggunakan teknik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Delp
and Mannig, 2008).
Inspeksi merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat
langsung seluruh tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan.
Metode ini berupaya melihat kondisi klien dengan menggunakan ‘sense of
sign’ baik melalui mata telanjang atau alat bantu penerangan (lampu). Metode
inspeksi ini digunakan untuk mengkaji warna kulit, bentuk, posisi, ukuran
dan lainnya dari tubuh pasien (Delp and Mannig, 2008).
Palpasi merupakan metode pemeriksaan pasien dengan
menggunakan ‘sense of touch’. Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan
yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan
menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari-jari adalah instrumen yang
sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya metode palpasi ini
dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh (temperatur), adanya getaran,
pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran (Delp and Mannig, 2008).
46
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan
bunyi getaran/gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh dari
bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau
tangan pada permukaan tubuh. Perjalanan getaran/gelombang suara
tergantung oleh kepadatan media yang dilalui. Karakter bunyi yang
dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk, dan kepadatan struktur
di bawah kulit (Delp and Mannig, 2008).
Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat
yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah bunyi
jantung, suara nafas, dan bising usus (Delp and Mannig, 2008).
Hasil pemeriksaan fisik pada kasus Tn.D didapatkan hasil bentuk
kepala mesochepal, kulit kepala bersih, penyebaran merata, dan tidak ada
bekas luka, rambut hitam sedikit beruban, tidak ada kutu. Palpebra tidak ada
oedema, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter mata
kanan dan kiri 2 milimeter, reflek terhadap cahaya pada mata kanan dan kiri
positif, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Bentuk hidung simetris,
tidak ada sekret, terpasang nasal kanul oksigen sebesar 4 liter,ada pernafasan
cuping hidung. Mulut tidak sumbing, mukosa bibir lembab, permukaan lidah
bersih, warna gigi sedikit kuning. Bentuk telinga simetris, tidak ada benjolan
pada telinga, lubang telinga bersih. Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid pada
leher.
47
Hasil pemeriksaan fisik paru-paru pada Tn.D didapatkan hasil
inspeksi: bentuk dadasimetris, tidak ada jejas, menggunakan alat bantu
pernafasan. Palpasi: vokal premitus kanan dan kiri sama, ekspansi paru kanan
dan kiri sama,pengembangan dada kanan dan kiri sama. Perkusi: terdengar
suara hipersonor. Bunyi hipersonor yaitu mempunyai intensitas amat keras,
waktu lebih lama, kualitas ledakan (Priharjo, 2006). Auskultasi: terdengar
suara wheezing saat ekspirasi. Wheezing adalah pernapasan frekuensi tinggi
nyaring yang terdengar di akhir fase ekspirasi. Hal ini disebabkan adanya
penyempitan pada saluran pernafasan (Kusuman, 2008).
Pemeriksaan fisik jantung didapatkan inspeksi: bentuk dada
simetris, iktus cordis tidak tampak, tidak ada jejas. Iktus cordis adalah denyut
apeks jantung. Dalam keadaaan normal dengan sikap duduk, tidur terlentang
atau berdiri iktus cordis terlihat di dalam ruangan interkosta V sisi kiri agak
kanan dari linea midclavicularis sinistra. Jika iktus kordis terlihat lebih kanan
dari normal, hal ini dapat terjadi karena adanya penimbunan cairan pleura kiri
atau pleura kanan. Palpasi: iktus cordis teraba di SIC V. Pada keadaan normal
iktus cordis dapat teraba pada interkosta V. Apabila iktus cordis tidak teraba,
bisa diakibatkan karena dinding toraks yang tebal misalnya pada orang
gemuk atau adanya emfisema. Perkusi: terdengar bunyi pekak.Apabila
menimbulkan bunyi pekak berarti organ yang diketuk adalah jantung karena
jantung merupakan organ yang memiliki konsentrasi darah yang tinggi.
Auskultasi: bunyi jantung I dan II murni. Bunyi jantung I terjadi karena
getaran menutupnya katup atrioventrikularis pada permulaan sistol. Bunyi
48
Jantung II terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katup aorta dan arteri
pulmonalis pada dinding toraks, Ini terjadi pada permulaan diastol. Bunyi
jantung II normal selalu lebih lemah daripada bunyi jantung I
(Mubarak, 2007).
Pemeriksaan fisik abdomen didapatkan hasil inspeksi: bentuk datar,
tidak ada jejas, tidak ada penonjolan umbilikus. Auskultasi: bising usus
15x/menit. Pemeriksaan auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan
gerakan usus, dan kemungkinan adanya gangguan vaskuler. Perkusi: pada
kuadran pertama terdengar organ hati suara redup, pada kuadran dua terdapat
organ lambung suara timpani, pada kuadran tiga dan empat terdapat organ
usus dan ginjal suara timpani. Perkusi berguna untuk orientasi abdomen,
untuk memperkirakan ukuran hepar, menemukan asites, mengetahui apakah
suatu masa padat atau kistik, dan untuk mengetahui adanya udara pada
lambung dan usus. Palpasi: tidak ada nyeri tekan (Mubarak, 2007).
Riwayat kesehatan klien diawali dengan mengumpulkan informasi
tentang data biografiyaitu mencakup nama, usia, jenis kelamin, dan situasi
kehidupan klien. Mewawancarai klien dan keluarga dan fokuskan pada
manifestasi klinik tentang keluhan utama, peristiwa yang mengarah pada
kondisi saat ini, riwayat kesehatan terdahulu, riwayat keluarga, dan riwayat
psikososial. Pengkajian pada keluarga juga terdapat genogram yaitu suatu alat
bantu berupa peta skema (visual map) dari silsilah keluarga pasien yang
berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk segera mendapatkan
49
informasi tentang nama anggota keluarga pasien, kualitas hubungan antar
anggota keluarga, riwayat penyakit keturunan (Harnilawati, 2013).
Riwayat kesehatan keluarga yang terdapat dalam kasus yaitu pasien
mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak mempunyai riwayat penyakit
keturunan maupun penyakit menular. Pasien adalah anak kedua dari tiga
bersaudara, kedua orangtuanya sudah meninggal dunia. Saat ini pasien
dikaruniai anak tiga yaitu dua perempuan dan satu laki-laki. Pasien sekarang
tinggal dengan istri dan anak pertamanya. Saat ini Tn.D menderita penyakit
asma bronkhial pada umur 63 tahun.
B. Perumusan Masalah Keperawatan
Analisa data adalah pengelompokan data-data klien atau keadaan
tertentu dimana klien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan
berdasarkan kriteria permasalahnnya. Pengelompokan data dapat disusun
berdasarkan pola respon manusia (taksonomi NANDA) dan atau pola fungsi
kesehatan (Gordon, 1982).
Analisa data dari Tn.D berdasarkan pengkajian didapatkan data
subyektif pasien mengatakan batuk berdahak dan sulit untuk dikeluarkan,
data obyektifnya pasien terlihat batuk terus-menerus namun dahaknya sulit
keluar, terdengar suara wheezing pada saat ekspirasi, pasien terlihat gelisah
dan keluar keringat dingin, pasien tampak sulit untuk mengeluarkan suara.
Masalah keperawatan pada pasien yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas,
disebabkan karena obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan).
50
Data subjektif kedua yaitu pasien mengatakan sesak nafas, data
obyektifnya tampak adanya retraksi dinding dada, terlihat pernafasan cuping
hidung, terlihat pada saat bernafas fase ekspirasinya memanjang, pernafasan
cepat dan dangkal, respiratory rate 28 x/menit, pasien terlihat hanya
memegangi dadanya. Masalah keperawatan kedua yaitu ketidakefektifan pola
nafas, disebabkan karena hiperventilasi.
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu
maupun kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan dapat memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga status kesehatan (menurunkan, membatasi, mencegah, dan
merubah). Perumusan diagnosa keperawatan meliputi aktual yaitu
menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang
ditemukan, resiko yaitu menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi
jika tidak di lakukan intervensi, kemungkinan yaitu menjelaskan bahwa perlu
adanya data tambahan untuk memastikan masalah keperawatan kemungkinan,
wellness yaitu keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga atau
masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ketingkat sejahtera
yang lebih tinggi, syndrom yaitu diagnosa yang terdiri dari kelompok
diagnosa keperawatan aktual dan resiko tinggi yang diperkirakan
muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu (Wahit, 2008).
51
Berdasarkan semua data yang ditemukan, diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien Tn.D dengan asma bronkhial yaitu:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas (00031) berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan)
Diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas menjadi diagnosa
utama pada pasien asma bronkhial dikarenakan masalah yang utama pada
kasus asma terletak pada saluran nafas yaitu adanya sekret yang berlebihan
pada jalan nafas sehingga kebutuhan oksigen untuk masuk ke paru-paru
terganggu. Dari pengkajian dan observasi yang penulis lakukan terhadap
pasien asma bronkhial, penulis menemukan ada tanda dan gejala yang
muncul pada Tn. D sehingga penulis akan mengangkat diagnosa ini
sebagai diagnosa utama. Hal ini ditandai dengan adanya suara wheezing
saat ekspirasi, batuk tidak efektif, perubahan pada frekuensi pernafasan
(Potter & Perry, 2005).
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk
memepertahankan bersihan jalan nafas. Batasan karakteristik dari
ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah suara nafas tambahan,
perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, sianosis, kesulitan
berbicara/mengeluarkan suara, penurunan bunyi nafas, dispnea, sputum
dalam jumlah yang berlebihan, batuk yang tidak efektif, gelisah, mata
terbuka lebar (NANDA, 2009-2011).
52
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan hiperventilasi
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas merupakan prioritas diagnosa
keperawatan kedua setelah ketidakefektifan bersihan jalan nafas karena
diharapkan intervensi dalam obstruksi jalan nafas dapat diselesaikan
terlebih dahulu agar pengeluaran pola nafas lebih efektif.
Ketidakefektifan pola napas adalah inspirasi dan/atau ekspirasi
yang tidak memberi ventilasi adekuat. Batasan karakteristik pada
ketidakefektifan pola nafas adalah perubahan kedalaman pernafasan,
perubahan ekskursi dada, bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi,
penurunan tekanan inspirasi, penurunan ventilasi semenit, penurunan
kapasitas vital, dispnea, pernafasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi
memanjang, pernafasan bibir mecucu, takipnea, penggunaan otot
aksesorius untuk bernafas (NANDA, 2009-2011).
Hiperventilasi merupakan kondisi ketika terjadi peningkatan
frekuensi bernapas. Hal ini akan memicu berubahnya kadar
karbondioksida dalam darah. Penyebab terjadinya hiperventilasi adalah
pernafasan yang sangat cepat dan dalam yang menyebabkan terlalu banyak
jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Ketika tubuh
mengeluarkan karbondioksida lebih dari yang dibutuhkan, kondisi ini akan
mengarah pada respiratory alkalosis. Hiperventilasi terjadi ketika paru-
paru bernapas berlebihan untuk mencapai gas darah arteri normal.
Akibatnya paru-paru menghirup oksigen lebih dari yang dibutuhkan.
53
Hiperventilasi dapat terjadi karena infeksi paru-paru, serangan jantung,
perdarahan, atau serangan panik (Barbara, 2000).
C. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah semua tindakan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan saat ini ke status
kesehatan yang diuraikan dalam hasil yang di harapkan. Langkah-langkah
dalam membuat perencanaan keperawatan meliputi: penetapan prioritas,
penetapan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, menentukan intervensi
keperawatan yang tepat dan pengembangan rencana asuhan keperawatan.
Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan secara spesifik, perawat
menggunakan kemampuan berfikir kritis untuk segera menetapkan prioritas
diagnosa keperawatan dan intervensi yang penting sesuai dengan kebutuhan
klien (Potter & Perry, 2005).
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
(00031) berhubungan dengan obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan)
dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas
pasien tidak terganggu atau kembali efektif dengan kriteria hasil menurut
NOC (Nursing Outcome Classification) yaitu pasien dapat mengeluarkan
sekret secara mandiri, tidak ada gangguan pada jalan nafas, tidak terdengar
suara nafas tambahan, mengatakan rasa nyaman, tidak ada gangguan saat mau
berbicara. Metode yang digunakan yaitu SMART. Spesifik (S) yaitu tujuan
harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda. Measurable (M) yaitu
54
tujuan keperawatan harus dapat diukur, terutama tentang perilaku pasien.
Achievable (A) yaitu tujuan harus dapat dicapai. Reasonable (R) yaitu tujuan
harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Time (T) yaitu mempunyai
batasan waktu yang jelas (Nursalam, 2008).
Intervensi keperawatan yang akan penulis rencanakansesuai dengan
ONEC (Observation, Nursing, Education, Colaboration) dengan diagnosa
ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga kebutuhan pasien dapat
terpenuhi. Berdasarkan diagnosa yang telah ditegakkan maka penulis akan
menyusun intervensi keperawatan disesuaikan dengan NIC (Nursing
Intervention Classification) yaitu observasi kecepatan, irama dan ferekuensi
pernafasan untuk mengetahui keefektifan intervensi sebelumnya. Kemudian
auskultasi pada pemeriksaan fisik paru untuk mengetahui ada tidaknya suara
nafas pasien. Selanjutnya kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekret
jika tidak mampu ajarkan pasien untuk melakukan batuk efektif. Dan yang
terakhir kolaborasi pemberian bronkodilator sesuai advis dokter untuk
membantu melonggarkan jalan nafas dan membantu mengencerkan sekret
agar mudah untuk dikeluarkan (Wilkinson, 2007).
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi (00032) dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pola nafas pasien kembali efektif dengan kriteria
hasil menurut NOC (Nursing Outcome Classification) yaitu pasien tidak
merasakan sesak nafas, respiratory rate dalam batas normal (16-24 x/menit),
mengatakan rasa nyaman, tidak menggunakan otot bantu nafas, tidak ada
55
retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan cuping hidung, fase inspirasi dan
ekspirasi dengan perbandingan 1:2, tidak terpasang oksigen. Metode yang
digunakan yaitu SMART. Spesifik (S) yaitu tujuan harus spesifik dan tidak
menimbulkan arti ganda. Measurable (M) yaitu tujuan keperawatan harus
dapat diukur, terutama tentang perilaku pasien. Achievable (A) yaitu tujuan
harus dapat dicapai. Reasonable (R) yaitu tujuan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Time (T) yaitu mempunyai batasan
waktu yang jelas (Nursalam, 2008).
Intervensi keperawatan yang akan penulis rencanakan sesuai dengan
ONEC (Observation, Nursing, Education, Colaboration) dengan diagnosa
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sehingga
kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Berdasarkan diagnosa yang telah
ditegakkan maka penulis akan menyusun intervensi keperawatan disesuaikan
dengan NIC (Nursing Intervention Classification) yaitu observasi pola nafas
pasien untuk mengetahui irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan.
Kemudian pantau tanda-tanda vital dan saturasi oksigen untuk mengetahui
keadaan umum pasien dan kadar oksigen. Selanjutnya anjurkan kepada pasien
untuk mengatur posisi semi fowler untuk membantu dalam ekspansi paru.
Dan yang terakhir kolaborasi pemberian oksigen sesuai advis dokter untuk
membantu memenuhi kebutuhan oksigen pasien (Wilkinson, 2007)
56
D. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan dimana
tindakan yang dilakukan mencapai tujuan dan kriteria hasil dari asuhan
keperawatan. Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan meliputi
tahap persiapan, tahap intervensi, dan tahap dokumentasi. Tahap persiapan
yaitu tahap awal tindakan keperawatan yang menuntut perawat untuk
mengevaluasi hal-hal yang diindentifikasi pada tahap perencanaan. Tahap
intervensi yaitu fokus tahap pelaksanaan tindakan keperawatan pada kegiatan
dan pendekatan tindakan keperawatan dari perencanaan untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional, pendekatan tindakan keperawatan meliputi
tindakan independen,dependen,dan interdependen. Tahap dokumentasi yaitu
pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap
dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan (Potter &
Perry, 2005).
Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama dilakukan pada tanggal
10 Maret 2015 jam 11.00 WIB yaitu mengobservasi kecepatan, irama dan
frekuensi pernafasan didapatkan respon subyektif pasien mengatakan masih
merasakan sesak nafas dan respon obyektifnya respirasi 28 x/menit,
pernafasan dangkal dan cepat, adanya retraksi dinding dada. Pada data hasil
respirasi masih menunjukkan frekuensi nafas 28 x/menit dikarenakan pada
saluran nafas belum sepenuhnya baik, hal ini disebabkan karena sekret yang
ada pada jalan nafas belum sepenuhnya keluar sehingga belum menunjukkan
penurunan dalam frekuensi pernafasan (Nursalam, 2008).
57
Jam 11. 15 WIB melakukan tindakan bronkhodilator didapatkan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia dan respon obyektifnya pasien
tampak kooperatif, pasien terlihat nyaman. Nebulizer adalah suatu alat yang
bisa menyemburkan medikasi atau agen pelembab seperti agen bronkodilator
atau mukolitik menjadi partikel mikroskopik dan mengirimkannya ke dalam
paru-paru ketika klien menghirup nafas. Tujuan dilakukan tindakan nebulizer
adalah untuk mengencerkan sekret, mengobati peradangan saluran napas atas,
melegakan saluran napas. Terapi nebulizer dapat diberikan langsung pada
tempat/sasarannya yaitu paru-paru, oleh karena itu dosis yang diberikan lebih
rendah. Dosis yg rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek
samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat
cepat, sehingga untuk sampai pada sasarannya lebih cepat daripada obat
lainnya seperti subkutan dan oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah
lembab, hal ini yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronkhus
(Wahyudi, 2009). Obat yang digunakan terhadap Tn.D dalam tindakan
nebulizer yaitu ventolin 2,5 mg dan flixotide 2 ml. Ventolin dan flixotide
termasuk golongan obat antiasma. Indikasi ventolin yaitu pasien dengan
gangguan saluran pernafasan misalnya asma, bronkhitis kronis, dan
emfisema. Sedangkan indikasi flixotide yaitu terapi profilaksis terhadap asma
ringan sampai dengan berat (ISO, 2012).
Jam 11.30 WIB mengajarkan batuk efektif didapatkan respon
subyektif pasien mengatakan mau diajarkan batuk efektif dan respon obyektif
pasien tampak antusias saat melakukan batuk efektif, dahak sudah bisa
58
keluar, warna putih. Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan
benar, dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan
dapat mengeluarkan dahak secara maksimal. Batuk efektif dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan ekspansi paru, memobilisasi sekret, danmencegah
efek samping dari penumpukan sekret (Apriyadi, 2013).
Batuk efektif sangat penting untuk menghilangkan gangguan
pernafasan dan menjaga paru-paru agar tetap bersih. Batuk efektif dapat
dilakukan pada pasien asma bronkhial dengan cara memberikan posisi yang
sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Yosep Agung Nugroho di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit
Baptis Kediri pada tahun 2011 menunjukkan bahwa hasil sebelum dilakukan
batuk efektif sebanyak 33,34 % dan sesudah dilakukan batuk efektif sebanyak
6,66 % dari 15 responden yang sulit mengeluarkan dahaknya. Kemudian dari
15 responden yang dapat mengeluarkan dahak dalam jumlah sedikit sebelum
dilakukan batuk efektif sebanyak 53,33% dan sesudah dilakukan batuk efektif
sebanyak 26,67 %. Dari 15 responden yang bisa mengeluarkan dahak dalam
jumlah banyak sebelum dilakukan batuk efektif sebanyak 13,33 % dan
sesudah dilakukan batuk efektif sebanyak 66,66 %. Kondisi responden
sebelum dan sesudah dilakukan batuk efektif terlihat ada perbedaan yang
signifikan dalam pengeluran dahak (Nugroho, 2011).
Apabila dahak yang ada pada saluran pernafasan tidak segera
dikeluarkan atau dihilangkan, akan menimbulkan komplikasi yang lebih
serius. Dahak adalah materi yang dikeluarkan pada saluran nafas bawah oleh
59
batuk. Pada orang dewasa normal, setiap harinya dapat memproduksi mukus
sebanyak 100 ml dalam saluran nafas. Mukus ini kemudian dibawa ke faring
dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran nafas.
Keadaan produksi mukus abnormal yang berlebihan menyebabkan proses
pembersihan tidak berjalan secara normal sehingga mukus ini banyak
tertimbun pada saluran pernafasan. Bila hal ini terjadi maka membran mukosa
akan terangsang dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intra thorakal
dan intra abdominal yang tinggi, kemudian timbul reflek batuk. Mukus
tersebut akan keluar sebagai dahak. Dahak yang dikeluarkan hendaknya dapat
dievaluasi sumber, warna, volume, konsistensinya, dan kondisi dahaknya
(Darmanto, 2006).
Jam 11.45 WIB mengauskultasi pada pemeriksaan fisik paru pasien
didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau dan respon obyektifnya
masih terdengar suara wheezing saat ekspirasi. Menurut Potter & Perry
(2005), mengauskultasi pada bagian paru-paru bertujuan untuk mengetahui
suara nafas tambahan. Wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi
nyaring yang terdengar di akhir fase ekspirasi. Hal ini disebabkan adanya
penyempitan pada saluran pernafasan. Suara wheezing masih terdengar saat
dilakukan auskultasi, hal ini disebabkan karena sekret yang ada pada saluran
pernafasan belum keluar/hilang sepenuhnya sehingga oksigen yang masuk ke
dalam paru-paru kurang adekuat (Putranto, 2007).
60
Jam 12.05 WIB melaksanakan kolaborasi dengan dokter tentang
pemberian obat didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau di suntik
dan respon obyektif pasien tampak nyaman setelah diberikan terapi obat, obat
sudah masuk melalui intravena. Jam 14.00 WIB mengobservasi kecepatan,
irama dan frekuensi pernafasan didapatkan respon subyektif pasien
mengatakan masih merasakan sesak nafas dan respon obyektifnya respirasi
27x/menit, pernafasan dangkal dan cepat. Jam 15.00 WIB mendampingi
pasien dalam mengeluarkan dahak dengan batuk efektif didapatkan respon
subyektif pasien mengatakan mau melaksanakannya dan respon obyektifnya
dahak sudah bisa keluar berwarna putih, pasien terlihat sudah mampu
melakukan batuk efektif dengan benar. Dahak berwarna putih, kemungkinan
menunjukkan tanda bronkhitis kronik. Klasifikasi lain dari warna dahak
meliputi dahak kekuning-kuningan kemungkinan proses infeksi, dahak hijau
kemungkinan proses penimbunan nanah dikarenakan adanya
verdoperoksidase (sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis), dahak
merah muda dan berbusa kemungkinan tanda edema paru akut, dahak berbau
busuk kemungkinan tanda abses paru (bronkhiektasis), dahak berdarah
(hemoptisisi) sering ditemukan pada tuberkulosis, dahak berbusa putih,
berasal dari obstruksi atan edema, dahak kuning kehijauan atau mukopurulen.
Dahak berwarna putih yang terjadi pada Tn.D berasal dari obstruksi atau
edema. Pada saat serangan asma, otot polos dari bronkhi mengalami kejang
dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena
adanya peradangan (inflamasi) dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara.
61
Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (bronkokonstriksi) dan
penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya
dapat bernapas (Pranowo, 2012).
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua dilakukan pada tanggal
10 Maret 2015 jam 10.10 WIB yaitu mengobservasi pola nafas pasien
didapatkan respon subyektif pasien mengatakan sesak nafas dan respon
obyektifnya pasien terpasang oksigen 4 liter, tampak adanya retraksi dinding
dada, adanya pernafasan cuping hidung, adanya penggunaan otot bantu nafas,
respiratory rate 26 x/menit. Kebutuhan oksigen yang diberikan kepada Tn.D
adalah 4 liter karena pasien menggunakan alat pemberian oksigen jenis nasal
kanul. Aliran oksigen yang diberikan dan konsentrasinyta meliputi 1 liter =
24%, 2 liter=28%, 3 liter=32%, 4 liter=36%, 5 liter = 40%. Dalam
memberikan jumlah oksigen, lihat pula hasil dari analisa gas darah dan
saturasi oksigen. Hal ini berguna untuk mengetahui keefektifan pemberian
oksigen yang sudah masuk ke tubuh pasien. Apabila hasil analisa gas darah
baik, maka tidak ada gangguan dalam pertukaran oksigen dan jumlah oksigen
yang diberikan bisa diturunkan (Brunner & Suddarth,2002).
Jam 10.35 WIB memantau tanda-tanda vital dan saturasi oksigen
didapatkan respon subyektif pasien mengatakan mau diperiksa dan respon
obyektifnya pasien tampak kooperatif, tekanan darah 150/100 mmHg, nadi
110 x/menit, suhu tubuh 37ºC, respirasi 26 x/menit, saturasi oksigen 97
persen. Tanda-tanda vital merupakan pengukuran fungsi tubuh yang paling
dasar untuk mengetahui tanda klinis dan berguna untuk menegakkan
62
diagnosis suatu penyakit dan berfungsi dalam menentukan perencanaan
perawatan medis yang sesuai. Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa
banyak prosentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin
(Kozier, 2002).
Jam 10.40 WIB mengatur posisi semi fowler didapatkan respon
subyektif pasien mengatakan mau melaksanakan perintah perawat dan respon
obyektifnya pasien tampak kooperatif, pasien terlihat lebih nyaman dengan
posisi yang diberikan. Posisi semi fowler merupakan sikap dalam posisi
duduk 45º dengan tujuan untuk mobilisasi, memberikan perasaan lega pada
pasien sesak nafas, memudahkan perawatan. Sesak nafas atau kesulitan
bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena
penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernafasan
menguncup, oedema atau timbulnya sekret yang menghalangi saluran
pernafasan. Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan
sebagai salah satu cara untuk membantu mengurangi sesak nafas. Posisi semi
fowler dengan derajat kemiringan 45º yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari
abdomen pada diafragma (Kim, 2004). Dijelaskan oleh Supadi, dkk (2008)
bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat
oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat memudahkan pasien
bernafas. Penurunan sesak nafas tersebut didukung juga dengan sikap pasien
yang kooperatif, patuh saat diberikan posisi semi fowler sehingga tindakan ini
dapat dilakukan secara efektif. Jam 10.45 WIB berkolaborasi pemberian
63
oksigen sesuai advis dokter didapatkan data subjektif pasien mengatakan
sesak nafas dan data objektifnya tampak adanya retraksi dinding dada, adanya
usaha yang kuat untuk bernafas (Wilkinson, 2007).
E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Dalam tahap
evaluasi keperawatan penulis menggunakan metode SOAP. Data Subjektif
(S) yaitu menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data klien
melalui anamnese (apa yang dikatakan atau dikeluhkan klien. Data Objektif
(O) yaitu data ini memberi bukti gejala klinis pasien dan fakta yang
berhubungan dengan diagnosa (data fisiologis, hasil observasi atau
pengkajian, hasil pemeriksaan penunjang dan laboratorium, informasi dari
keluarga atau orang lain). Analisa (A) yaitu masalah atau diagnosa yang
ditegakkan berdasarkan data atau informasi subjektif maupun objektif yang
dikumpulkan atau disimpulkan (kesimpulan apa yang telah dibuat dari data
subjektif dan objektif). Perencanaan (P) yaitu menggambarkan
pendokumentasian dari perencanaan dan evaluasi berdasarkana assesment
(rencana apa yang akan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi). Dalam
melakukan evaluasi keperawatan dilakukan setelah akhir seluruh kegiatan
dari intervensi keperawatan yang telah di susun sebelumnya
(Dermawan, 2010).
64
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada diagnosa
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, hasil evaluasi yang dihasilkan pada jam
13.00 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah bisa keluar. Hasil observasi
didapatkan dahak keluar berwarna putih, masih terdengar suara wheezing saat
ekspirasi, pasien sudah tidak kesulitan lagi dalam berbicara. Masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi
sehingga intervensi yang dilanjutkan yaitu lakukan batuk efektif dan
kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter. Intervensi ini dilakukan
karena sekret yang tertahan belum keluar sepenuhnya dan masih terdengar
bunyi nafas tambahan wheezing (Wahyudi, 2009).
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas, hasil evaluasi yang dilakukan
pada hari selasa tanggal 10 Maret 2015 jam 13.20 WIB yaitu Tn.D
mengatakan masih merasakan sesak nafas. Hasil observasi didapatkan
respirasi 28 x/menit, terpasang nasal kanul oksigen 4 liter, terlihat retraksi
dinding dada. Dari semua data yang telah dilakukan didapatkan hasil masalah
ketidakefektifan pola nafas pasien belum teratasi, sehingga intervensi yang
dilanjutkan pada kasus Tn.D yaitu lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
saturasi oksigen dan kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
Hasil evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada jam
17.00 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah keluar. Hasil observasi
didapatkan dahak keluar berwarna putih, terdengar suara wheezing saat
ekspirasi. Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi
65
sehinnga intervensi dilanjutkan dengan lakukan tindakan nebulizer dan
pantau pasien dalam melakukan batuk efektif.
Hasil evaluasi dari diagnosa ketidakefektifan pola nafas pada jam
17.20 WIB didapatkan pasien mengatakan sesak nafas sudah mulai berkurang
daripada tadi pagi. Hasil observasi yaitu respirasi 26 x/menit,terpasang nasal
kanul 4 liter, masih terlihat retraksi dinding dada, tidak ada pernafasn cuping
hidung. Masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas psien belum
teratasi, sehingga intervensi dilanjutkan dengan observasi pola nafas pasien
(irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan), pantau tanda-tanda vital dan
saturasi oksigen.
Evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada jam
19.20 WIB yaitu pasien mengatakan dahak sudah keluar. Hasil observasi
dahak keluar berwarna putih, terdengar suara nafas wheezing saat di
auskultasi, pasien sudah mampu melakukan batuk efektif secara mandiri.
Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien belum teratasi sehingga
intervensi dilanjutkan dengan lakukan tindakan nebulizer.
Evaluasi diagnosa ketidakefektifan pola nafas pada jam 19.40 WIB
didapatkan pasien mengatakan sesak nafas sudah berkurang. Hasil observasi
respirasi 24 kali per menit, terpasang nasal kanul oksigen 3 liter, masih
terlihat retraksi dinding dada. Masalah ketidakefektifan pola nafas pasien
belum teratasi sehingga intevensi dilanjutkan dengan observasi tanda-tanda
vital, kolaborasi pemberian obat.
66
Penulis dalam melakukan tindakan keperawatan batuk efektif terhadap
Tn.D tidak menggunakan prosedur tindakan dari jurnal melainkan
menggunakan prosedur tindakan sesuai dengan SOP yang diterapkan di
pendidikan. Hal ini dikarenakan dari pihak Rumah Sakit dr. Moewardi
Surakarta menghendaki untuk menggunakan prosedur tindakan sesuai SOP
bukan sesuai jurnal. Prosedur tindakan batuk efektif yang dilakukan oleh
Yosep Agung Nugroho pada tahun 2011 tidak sesuai dengan SOP yang
diterapkan di pendidikan. Oleh karena itu penulis menerapkan tindakan batuk
efektif terhadap Tn.D sesuai dengan modul keperawatan kebutuhan dasar
manusia yang diterapkan di pendidikan.
67
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2015 adalah
Data subjektif pasien mengatakan batuk berdahak dan sulit untuk
dikeluarkan dan data obyektifnya pasien terlihat batuk terus-menerus
namun dahaknya sulit keluar, terdengar suara wheezing pada saat
ekspirasi, pasien terlihat gelisah dan keluar keringat dingin, pasien
tampak sulit untuk mengeluarkan suara. Data subjektif pasien
mengatakan sesak nafas dan data objektifnya tampak adanya retraksi
dinding dada, terlihat pernafasan cuping hidung, terlihat pada saat
bernafas fase ekspirasinya memanjang, pernafasan cepat dan dangkal,
respiratory rate 28 x/menit, pasien terlihat hanya memegangi dadanya.
2. Diagnosa keperawatan utama adalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas (sekresi yang tertahan)
dan diagnosa keperawatan kedua adalah ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi
3. Intervensi keperawatan pada diagnosa pertama yaitu observasi kecepatan,
irama dan frekuensi pernafasan, auskultasi pada pemeriksaan fisik paru
untuk, kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekret jika tidak
mampu ajarkan pasien untuk melakukan batuk efektif, kolaborasi
pemberian bronkodilator sesuai advis dokter. Intervensi keperawatan
pada diagnosa kedua yaitu observasi pola nafas pasien, pantau tanda-
68
tanda vital dan saturasi oksigen, anjurkan untuk mengatur posisi semi
fowler , kolaborasi pemberian oksigen sesuai advis dokter
4. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2015
berdasarkan pada rencana keperawatan yang telah dibuat yang bertujuan
sesuai dengan kriteria hasil. Tindakan keperawatan pada diagnosa
pertama yaitu mengobservasi kecepatan, irama dan frekuensi pernafasan;
melakukan tindakan bronkhodilator; mengajarkan batuk efektif;
mengauskultasi pada pemeriksaan fisik paru pasien; melaksanakan
kolaborasi dengan dokter. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua
yaitu mengobservasi pola nafas pasien; memantau tanda-tanda vital dan
saturasi oksigen; mengatur posisi semi fowler; berkolaborasi pemberian
oksigen sesuai advis dokter.
5. Evaluasi keperawatan yang dilakukan pada pasien asma bronkhial pada
diagnosa pertama yaitu dahak keluar berwarna putih, terdengar suara
nafas wheezing saat di auskultasi, pasien sudah mampu melakukan batuk
efektif secara mandiri. Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas
pasien belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan dengan lakukan
tindakan nebulizer. Sedangkan pada diagnosa kedua yaitu respirasi 24
x/menit, terpasang nasal kanul oksigen 3 liter, masih terlihat retraksi
dinding dada. Masalah ketidakefektifan pola nafas pasien belum teratasi
sehingga intevensi dilanjutkan dengan observasi tanda-tanda vital,
kolaborasi pemberian obat.
69
6. Hasil analisa yang diakukan penulis yaitu berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yosep Agung Nugroho pada tahun 2011
menunjukkan hasil yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan batuk
efektif. Sedangan hasil tindakan keperawatan yang dilakukan penulis di
Rumah Sakit mengenai tindakan batuk efektif juga menunjukkan hasil
yang efektif terhadap Tn.D dengan asma bronkhial. Hal ini dapat
membuktikan bahwa penatalaksanaan non farmakologik batuk efektif
dapat membuat bersihan jalan nafas pasien menjadi lebih baik.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan asma
bronkhial, penulis akan memberikan saran antara lain:
1. Bagi Pasien
Saran bagi pasien asma bronkhial untuk melakukan perawatan dan
pengobatan yang tepat dan kontinyu dalam mencegah dan mengobati
terjadinya komplikasi dari dahak yang tertahan
2. Bagi Rumah Sakit
Pengeluaran dahak merupakan masalah yang rentan dialami penderita
asma bronkhial sehingga perawat perlu mengidentifikasi dini
kemampuan pasien dalam melakukan batuk efektif
3. Bagi Institusi Pendidikan
Aplikasi riset ini dapat menjadi bahan referensi bagi institusi pendidikan
tentang penerapan batuk efektif pada pasien asma bronkhial yang sulit
mengeluarkan dahak
70
4. Bagi Penulis
Sebaiknya dilakukan modifikasi tindakan lain seperti fisioterapi dada
dan postural drainase. Selain itu pula penulis diharapkan dapat
melibatkan keluarga dalam upaya pencegahan dan perawatan pada
penderita asma bronkhial dengan pasien yang memiliki dahak yang
tertahan pada penerapan aplikasi ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. PT. ISFI. Jakarta
Alsagaf. H. Mukty. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga.
Surabaya.
Arif Muttaqin. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Pernapasan.Salemba Medika. Jakarta.
Aryres. 2003. Asma. Pt. Dian Rakyat. Bandung
Barbara, C.Long. 2000. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan). Alih Bahasa: Karneal Et.Al. Yayasan IAPK.
Bandung
Brunner And Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.
Editor: Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Egc Jakarta.
Ed: Howard, P. K., And Steinmann, R. A. 2010. Sheehy’s Emergency
Nursing; Principle And Practice. Sixth Edition. Amerika: Mosby
Elsevier.
Darmanto. 2006. Faktor-Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Asma Bronkhial. Disertasi. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. Semarang
Delp And Mannig. 2008. Major Diagnosis Keperawatan Edisi 1. EGC.
Jakarta
Dermawan. 2010. Buku Ajar Keperawatan Komunitas. Gosyen Publishing.
Yogyakarta
Fatwa, Imelda. 2009. Proses Keperawatan. Tiga Serangkai. Jakarta
Gamal, S. 2013. Konsep Penyakit Saluran Pernafasan. Salemba Medika.
Jakarta
Gilbert, Gregory. 2009. Patient Assessment Routine Medical Care Primary
And Secondary Survey. San Mateo Country. England.
Gordon, J. George. 1982. Proses Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta
Hadibroto. 2006. Asma. Gramedia. Jakarta.
Handoko. 2008. Sistem Pernafasan Manusia. EGC. Jakarta.
Harnilawati. 2013. Pengantar Ilmu Keperawatan. Pustaka As Salam.
Sulawesi Selatan
Hudak & Gallo. 1999. Keperawatan Kritis. EGC. Jakarta
Kim. 2004. Fisiologis Paru-Paru. Salemba Medika. Jakarta
Kozier, Berman Synder. 2002. Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
Dan Paraktek Edisi 7. EGC. Jakarta
Kusuman. A. 2008. Asma. Pt.Gramedia Pustaka. Jakarta
Mubarak, Wahid Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Musliha, 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika. Yogyakarta.
NANDA International 2010, Keperawatan Definisi Dan Diagnosa Klasifikasi
2009-2010, Penerjemah Made Sumarwati, Dkk. EGC. Jakarta
Notoatmojo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nugroho, Yosef Agung. 2011. Batuk Efektif Dalam Pengeluaran Dahak Pada
Pasien Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas . Jurnal
STIKES RS Baptis Kediri 2085-0921
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian
Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta
Padilla. 2013. Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika.
Yogyakarta
Potter, P.A, Perry. A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, Dan Praktik Edisi 4 Volume 1. Alih Bahasa:
Renata Komalasari, Dkk. EGC. Jakarta
Pranowo, C.W. 2012. Efektifitas Batuk Efektif Dalam Pengeluaran Sputum
Untuk Penemuan BTA Pada Pasien Tb Paru Rumah Sakit Mardi
Rahayu Kudus. Jurnal Stikes Bakti Husada. 16(2): 178-189.
Price, S. A., And Wilson, L. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Egc. Jakarta
Purwanto, M. Ngalim. 2007. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi
Keperawatan. PT. Remaja Rosdakarya.Bandung.
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Salemba
Medika. Jakarta.
Sudoyo, A.S. 2006. Buku Ajar Penyaki Dalam. Airlangga. Jakarta.
Sundaru, Heru. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Ii Edisi Ketiga.
Balaipenerbit Fkui. Jakarta.
Supadi, Dkk. 2008. Konsep Sistem Pernafasan. EGC. Jakarta.
Syarif. D.R. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Salemba Medika. Jakarta.
.
Thygerson, Alton. (2006). Keperawatan Kritis. Alih Bahasa Dr. Huriawati
Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Pt. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta.
Wahit, Iqbal. 2005. Buku Ajar Kenutuhan Dasar Manusia. EGC. Jakarta.
Wibowo, Daniel. 2005. Anatomi Tubuh Manusia. Grasindo, Jakarta.
Wilkinson, Judith. M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan
Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC Edisi 7, Penerjemah
Widyawati.Dkk. EGC. Jakarta.
World Health Organisation (WHO), 2010. Asthma. New York
Yunus, F. 2009. Penatalaksanaan Asma.
Http://Staff.Ui.Ac.Id/Internal/1403707229/Material/Diagnosispe
natalaksanaanasma09pdf . 20 Mei 2015 (16.25).