Pembaruan Penguasaan dan Pengelolaan Kehutanan (Tenurial...
Transcript of Pembaruan Penguasaan dan Pengelolaan Kehutanan (Tenurial...
Pembaruan Penguasaan dan Pengelolaan
Kehutanan (Tenurial Reform) di Tangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (DRAFT) Catatan-catatan Terhadap Nota Kepakatan Bersama Tentang Gerakan Nasional Penyelamatan
Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan
Penulis
Mumu Muhajir, Dian Yanuardi, Dimas Novian, Abimanyu Gemma, Fandi, Grahat Nagara
Daftar Isi
Pendahuluan
Luasan kawasan hutan di Indonesia sekarang ini diperkirakan mencapai sekitar 128 juta hektare
atau setara dengan 70% wilayah darat Indonesia. Bagaimanapun, kawasan hutan merupakan salah
satu kekayaan negara yang mesti dikelola sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Namun, buruknya tata kelola sektor
kehutanan belum mampu mewujudkan amanat tersebut. Justru yang terjadi adalah kerusakan
hutan secara masif, konflik agraria dalam wilayah hutan yang terjadi terus menerus dan
ketimpangan penguasaan wilayah hutan.
Dalam kajian Forest Watch Indonesia, misalnya, pada kurun waktu 2000-2009 luas tutupan hutan
Indonesia pada tahun 2000 adalah 103,33 juta ha. Sementara, luas tutupan hutan pada tahun 2009
berkurang menjadi 88,17 juta ha atau telah mengalami deforestasi seluas 15,15 juta ha. Dengan
demikian, laju deforestasi Indonesia pada kurun waktu tersebut adalah sebesar 1,51 juta ha per
tahun (FWI 2011). Dengan kondisi semacam itu, maka diperkirakan pada tahun 2030 hutan di Jawa
dan Bali- Nusa Tenggara akan habis. Sementara hutan di Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera
4,01 juta ha, Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha (FWI 2011).
Dalam hubungannya dengan konflik agraria, HuMA mencatat bahwa enam tahun terakhir, konflik
agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia terjadi menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22
provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi
alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan
kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun. Sektor
perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedangkan sektor kehutanan
72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.1
Sementara dari sisi penguasaan sampai dengan tahun 2013, sekitar 33.232.061 juta hektare atau 96,
82 persen dari luas daratan Indonesia telah dibebani izin pengelolaan lahan dalam bentuk IUPHHK-
HA, IUPHHK-HT, perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan. Sedangkan alokasi untuk
masyarakat, pemerintah hanya mengalokasikan total lahan sekitar 1,091 juta hektare atau hanya
sekitar 3,18% yang dilasokasikan untuk masyarakat (Kartodihardjo dan Nagara 2014). Ini terdiri
dari hutan kemasyarakatan (80.833 hektare); hutan desa (67.737 hektare); hutan tanaman rakyat
(168.448); dan pelepasan transmigrasi (962.000 hektare) 2 . Akibat dari adanya ketimpangan
1 http://www.mongabay.co.id/2013/02/16/tersebar-di-98-kabupaten-konflik-agraria-didominasi-sektor-
perkebunan-dan-kehutanan/, diakses pada 10 Juni 2016.
2 http://industri.bisnis.com/read/20160519/99/549101/hutan-negara-bappenas-ini-ketimpangan-
penguasaan-industri-vs-masyarakat, diakses pada 13 Juni 2016.
penguasaan hutan dan konflik tenurial tersebut adalah hilangnya akses masyarakat pada hutan
yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan pada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Data
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar
hutan merupakan masyarakat miskin.
Hal ini di antaranya dipicu oleh setidaknya oleh dua hal. Pertama, pada aras struktural telah terjadi
teritorialisasi negara atas kawasan hutan sejak masa kolonial. Teritorialisasi disini merujuk pada
pandangan Vandergeest, yaitu “sebuah proses yang dibuat oleh negara untuk mengontrol orang dan
aktivitasnya dengan cara membuat garis di sekeliling ruang geografis, menghalangi orang-orang
tertentu masuk ke ruang tersebut, dan dengan mengizinkan atau melarang aktivitas di dalam batas-
batas ruang tersebut” (Vandergeest, 1996, p. 159). Sejarah menunjukkan masyarakat lokal dan
masyarakat adat di kawasan hutan negara telah dipisahkan dari ruang hidup mereka sejak masa
kolonial dengan beragam cara melalui kebijakan negara. Pengabaian dan marjinalisasi masyarakat
lokal dan masyarakat adat di wilayah hutan adalah warisan dari konstruksi pengetahuan, institusi
dan tata kelola kehutanan kolonial yang mendahulukan urusan dan kepentingan ekonomik atas
hutan dan mengabaikan wilayah kelola dan tata kelola masyarakat lokal dan masyarakat adat yang
hidup di kawasan hutan.
Kedua, pada aras institusional hal ini ditandai dengan buruknya tata kelola pemerintah dalam hal
penetapan kawasan hutan di Indonesia. Dari luas hutan yang ada, baru 16,18 persen kawasan hutan
yang telah ditetapkan dan masih tersisa 63 ribu kilometer kawasan hutan belum ditata batas.
Buruknya tata kelola di sektor kehutanan menimbulkan korupsi dan kerugian negara. Dua
penyebab ini terus menggerogoti hak rakyat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya atas
hutan. Busyro Muqaddas, misalnya pernah menyebut bahwa:
“Pada 2005, Kemenhut memperkirakan akibat illegal loging saja negara dirugikan sebesar Rp35
triliun per tahun. Hanya dengan menghitung tiadanya izin pinjam-pakai, KPK pada 2010
mengkalkulasi hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam
kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun. Ini karena ditemukan 1.052 usaha pertambangan
dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam-pakai”3.
Karena itu, KPK melakukan serangkaian inisiatif berupa kajian Sistem Perencanaan dan
Pengelolaan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan yang dimlai pada tahun 2010 dan
beberaa kajian penting lainnya hingga 2015. Pengalaman pemantauan tindak lanjut dari hasil
kajian tersebut berujung pada satu komitmen dan sinergi untuk bersama-sama menuntaskan
persoalan tata kelola kehutanan. Inisiatif ini kemudian berujung pada penandatanganan nota
kesepakatan bersama (NKB) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani
pimpinan 12 Kementerian dan Lembaga Negara.
Tulisan ini berupaya untuk melakukan tinjauan-balik atas pelaksanaan NKB 12 K/L yang telah
berjalan selama tiga tahun belakangan. Di dalam melakukannya, tulisan ini berupaya untuk melihat
3 http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/1254-kpk-dan-12-kementerian-lembaga-tindak-lanjuti-
kesepakatan-percepatan-pengukuhan-kawasan-hutan, diakses pada 13 Juni 2016.
ulang bagaimana konteks NKB berasal; tujuan yang hendak dicapai dan hasil-hasil yang telah
diperoleh. Dengan cara semacam itu, kajian ini diharapkan dapat memperluas dan memperdalam
inisiatif yang telah berjalan selama ini.
Konteks: Trajektori Inisiatif Institusional untuk
Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia
Pada tanggal 11 Maret 2013, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden
Boediono, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota Kesepakatan Bersama (NKB)
tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”. NKB 12 Kementerian dan Lembaga
(NKB 12 K/L) ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4). 12 Kementerian dan Lembaga
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan NKB dari 12 K/L adalah Kementerian Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kemeneterian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian
Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi
Geospasial, Komnas HAM, dan UKP4.
Secara umum, tujuan NKB ialah untuk: (1) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam
percepatan pengukuhan kawasan hutan, dan (2) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam
mendorong percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi (Pasal 1). Tiga agenda
utamanya: (1) Harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan, (2) Penyelarasan
teknis dan prosedur, serta (3) Resolusi konflik berprinsip keadilan dan HAM. Sekarang ini sedang
disusun Rencana Aksi Implementasi NKB ini oleh 12 kementerian dan lembaga di bawah
koordinasi dan supervisi KPK. Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sebagai salah satu pendorong
inisitaif ini menyebut bahwa implementasi NKB dimaksudkan agar percepatan pengukuhan hutan
dapat dilakukan secara demokratis, emansipatif, sistematis, dan sinergis. Dengan implementasi
NKB ini sektor kehutanan diharapkan berkontribusi pada perwujudan keadilan sosial,
kesejahteraan rakyat, kemajuan ekonomi, dan kelestarian lingkungan.
Agenda NKB 12 K/L merupakan kelanjutan dari beberapa upaya sebelumnya dari KPK yang ingin
mengembangkan penanganan dan pencegahan persoalan korupsi di wilayah kehutanan dan
sumber daya alam secara lebih luas. Dasar gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah
kehutanan dan SDA adalah pemahaman bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
serius terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat secara luas. Karena itu, tindak
pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang penanganannya harus dilakukan secara
mendasar dan fundamental.
Tujuan utama dari penandatanganan NKB 12 K/L 11 Maret 2013 adalah bagian dari upaya
menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan yang sudah puluhan
tahun tidak diselesaikan atau belum menemukan alternatif penyelesaian terbaik. Catatan
Cahyono (2013) atas perjalanan NKB 12 K/L menyatakan bahwa masuknya gagasan tenurial
reform di KPK yang kemudian menghasilkan bentuk NKB 12 K/L, merupakan buah dari
keterbukaan dan kesempatan politik pasca reformasi di satu sisi dan pemanfaatan kekuatan KPK
yang mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakat secara umum sebagai salah satu anak
kandung agenda Reformasi 1998 yang masih berjalan. Selain itu, gagasan NKB 12 K/L dihasilkan
dari upaya-upaya beberapa individu dan kelembagaan masyarakat sipil untuk mendorong tenurial
reform di sektor kehutanan terwujud.
Upaya untuk memanfaatkan struktur kesempatan politik yang terbuka melalui KPK ini, pada
dasarnya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sipil dengan menyusun inisiatif untuk
mendorong reformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia pada
Konferensi Internasional tentang tenurial dan tata kelola hutan serta usaha kehutanan di Lombok,
11-15 Juli 2011 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan, Rights and Resources
Initiative (RRI) dan International Tropical Timber Organization (ITTO).
Pengelolaan kehutanan, bagaimanapun, meniscayakan lintas pengelolaan kebijakan antar
kementerian dan lembaga. Salah satu catatan penting dari putaran Reformasi Kebijakan
Penguasaan Hutan dengan memanfaatkan kesempatan politik yang dibuka oleh Kementrian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) adalah kegagalan gerakan masyarakat sipil
untuk menembus hambatan “sektoralisme dan birokratisme” antar Kementrian yang terkait
dengan pengelolaan kawasan hutan. Padahal, tekanan atas masalah kehutanan di Indonesia
semakin meluas seiring dengan meruyaknya konflik agraria dan degradasi lingkungan di kawasan
hutan. Kegagalan untuk menembus sektoralisme dan birokratisme ini kemudian membuat para
aktivis masyarakat sipil berfikir untuk mencari suatu alternatif intervensi yang paling
memungkinkan.
Catatan Cahyono (2016) juga menunjukkan bahwa beberapa aktivis dari Yayasan Silvagama
kemudian berupaya untuk memembus kebuntuan ini dengan membawa masuk diskursus dan
inisiatif reformasi kebijakan kehutanan di dalam tubuh KPK melalui Litbang KPK dan PJKKI
yang sebelumnya diantarai oleh beberapa kolaborasi sebelumnya. Pada ujungnya, kolaborasi ini
berujung pada agenda kajian KPK terhadap Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan
di Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan yang dilakukan pada tahun 2010.
Hasilnya, sebagaimana diungkapkan dimuka adalah, 17 rekomendasi saran perbaikan, yang
meliputi aspek regulasi, kelembagaan, tata laksana, dan manajemen SDM. Kajian inilah yang
menjadi tonggak dan cikal bakal lahirnya NKB 12 K/L4. Masuknya gagasan Tenurial Reform di
4 Catatan Cahyono (2013) menunjukkan sifat ketakterdugaan dari para penggagasnya atas efek posiitf dari inisiatif ini.
Dalam ungkapannya “naskah NKB yang telah ditandatangani 12 K/L sekarang ini bukanlah hasil usulan desain utuh dari
para penggagasnya. Namun lebih tepat disebut sebagai naskah berproses. Sebab, aktivis Yayasan Silvagama sendiri yang
massif mengusulkan gagasan tersebut awalnya tidak membayangkan bahwa NKB ini akan menghubungkan banyak
lembaga dan kementrian sertaakhirnya dapat ditandatangami oleh 12 K/L. Bayangan awal yang ditargetkan adalah hanya
4-5 kemnetrian saja. Mereka juga tidak membayangkan bahwa naskah NKB ini akan ditandatangani di Istana negara dan
disaksikan langsung oleh Presiden RI. Tim Penggagas juga tidak membayangkan sejak awal bahwa putaran NKB pasca
ditandatangani 12 K/L akan melibatkan sekian banyak pakar, jaringan dan rute-rute pertemuan diskusi, FGD dan Seminar
yang demikian panjang dan meluas seperti sekarang ini. Para aktivis Silvagama mengakui bahwa masuknya gagasan NKB
banyak dilapangkan jalannya salahsatunya karena kepempimpinan di KPK yang mendukung dan selaras dalam mendorong
gagasan NKB, khususnya wakil ketua KPK Busro Muqoddas dan Bambang Wijoyanto. Kedua pimpinan KPK ini, selain
sudah sangat lama terlibat bersama aktivis di CSO, juga punya concern mengembangkan kajian korupsi ke wilayah
sumberdaya alam dan mendasarkan pada isu-isu kebangsaan lainnya. Dalam kepempimpinan mereka, upaya
mengembangkan tafsir baru korupsi yang tak hanya dominan pada makna hukum normatif tetapi juga untuk penegakan
KPK juga dimungkinkan oleh inisiatif pembaruan kebijakan di tubuh internal KPK, yakni Litbang
dan PJKKI yang sejak awal kajian persoalan kehutanan dengan Ditjend Planologi tahun 2010,
hingga tersusunnya NKB 12 K/L. Seluruh personel dan pimpinan di kedua lembaga ini aktif
terlibat langsung dan mendukung penuh semua gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah
kehutanan dan Sumberdaya Alam.
Beberapa kajian serius yang secara beruntutan dilakukan sejak tahun 2010 tentang Kajian Sistem
Perencanaan dan Pengawasan Kawasan Hutan dan beragam kajian lainnya hingga tahun 2014
merupakan fondasi dasar bagi terbentuknya NKB 12 K/L ini dan juga Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam. Beberapa kajian tersebut di antaranya menemukan bahwa di
dalam seluruh mata rantai perizinan tersebut sebuah perusahaan, tergantung tahapannya, dalam
satu tahun membelanjakan ongkos suap/peras antara Rp 680 juta sampai dengan Rp 22 milyar
(Kartodihardjo,et.al, 2015). Nilai ini turun pada tahun 2015, namun penurunan ini hanya terjadi
pada transaksi di Pusat, dan tidak terjadi di daerah baik Propinsi maupun Kabupaten
(Kartodihardjo, 2015). Hal ini sejalan dengan kondisi tata kelola hutan dan lahan tahun 2012 dan
2014 bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan kabupaten lebih rendah daripada propinsi dan
propinsi lebih rendah daripada di Pusat (UNDP, 2013; UNDP, 2015).
Sementara, menurut Kartodihardjo (2016) selama periode 2003-2014 statistik nasional hanya
mencatat 19-23% dari total produksi kayu. Dari kondisi itu angka potensi kerugian negara akibat
kurangnya pemungutan penerimaan Dana Reboisasi dan Provisi Sumberdaya Hutan mencapai
rata- rata Rp 5,24 - 7,24 trilyun per tahun selama 12 tahun periode kajian. Agregat kerugian
negara yang bersumber dari nilai komersial domestik untuk produksi kayu dari konversi tambang
dan kebun yang tidak tercatat selama periode tersebut mencapai Rp 49,8 - 66,6 trilyun per tahun
(KPK, 2015). Seluruh hasil kajian KPK ini dan pengalaman pemantauan tindak lanjut dari hasil
kajian tersebut menyadarkan KPK bahwa perlu ada komitmen dan sinergi dari semua K/L terkait
untuk bersama-sama menuntaskan persoalan tata kelola kehutanan.
keadilan sosial. Sehingga beragam gagasan dalam upaya pengembangan kajian korupsi baik di internal Litbang KPK
maupun PJKKI disambut baik oleh pimpinan KPK dan didorong lebih kuat untuk digoalkan.”.
Setelah NKB 12 K/L, inisiatif ini terus berlanjut dan bergulir menyusun kajian-kajian lintas sektor
pengurusan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Pada 2013, misalnya terdaat kajian
Sistem Pengelolaan PNBP dan Korsup Minerba yang mendapati bahwa tidak semua eksportir batu
bara melaporkan hasil ekspornya, baik kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) maupun dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Kajian tersebut juga
menemukan potensi hilangnya penerimaan pajak dan potensi kerugian negara. Terjadi potensi
kehilangan penerimaan pajak mencapai Rp28,5 triliun pada tahun 2012, misalnya. Bahkan
diperkirakan potensi kerugian negara sekitar Rp10 triliun per tahun. Juga terdapat kajian lain
dari Tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang menunjukkan adanya kurang bayar Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh pelaku usaha dari 2003-2011 sebesar Rp 6,7 triliun.
Berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan terdapat selisih pembayaran royalti oleh
pelaku usaha sebesar US$24,66 juta tahun 2011 untuk lima mineral utama dan sebesar US$ 1,22
miliar untuk batubara pada rentang 2010-2012.5
Pada masa pemerintahan Jokowi, pada 19 Maret 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
kemudian memperlebar inisiasi ini dengan Penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi
Bersama Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia atau disebut Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GN SDA). Deklarasi nasional ini menandatangani
Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Penyelamatan SDA Indonesia oleh 20
5 http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2569-cegah-korupsi-kpk-inisiasi-gerakan-nasional-
penyelamatan-sda, diakses 13 Juni 2016.
kementerian dan tujuh lembaga negara. Selain itu, disepakati pula Deklarasi Aparat Penegak
Hukum guna mendorong penyelamatan SDA di Indonesia.
Rencana Aksi dan Strategi
Catatan Cahyono (2016) juga menunjukkan bahwa setelah penandatangan NKB, dilakukan
serangkaian putaran Forum Group Discussions (FGD) dengan para pakar hukum, kebijakan,
konflik kehutanan untuk menguatkan materi substantif, penyusunan strategi lanjutan, serta
rancangan Rencana Aksi di tiap K/L hingga pendampingan pembahasan Renaksi di 12 K/L.
Melibatkan beragam pakar dari lembaga riset, CSO dan jaringan kampus yang dibagi menurut
fokus tiga persoalan utama NKB 12 K/L yakni: Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan,
Harmonisasi Regulasi dan Peraturan dan Resolusi Konflik.
Hasil rumusan ini kemudian terbentuk beberapa Renaksi (rencana aksi) yang terbagi menjadi lima
bagian yaitu kawasan hutan, kesatuan pengelolaan hutan (KPH), penyelesaian konflik,
perencanaan nasional, dan perizinan. Tujuan dari pembagian klaster ini adalah bagian dari
penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk
kepastian status pihak ketiga dalam kawasan hutan negara. Sedangkan untuk penyelesaian
konflik, yang akan dilakukan adalah pentingnya menyusun regulasi penyelesaian sengketa
kehutanan dan terwujudnya konsensus penyelesaian konflik oleh 12 kementerian atau lembaga,
yang diikat dalan Renaksi setiap K/L terkait. Sedangkan perencanaan nasional berkaitan dengan
penyelesaian pengukuhan kawasan hutan serta menjadikan penyelesaian pengukuhan kawasan
hutan ini menjadi agenda nasional dalam jangka panjang (RPJMN). Sedangkan mengenai
perizinan, maka tujuan dari renaksi ini adalah untuk menjalankan proses perizinan secara
integratif dan transparan yang sesuai peraturan-perundangan dan terbebas dari konflik.
Dengan konteks yang disebutkan di atas, maka terdapat beberapa strategi yang ditempuh oleh GN
PSDA ini untuk mencegah korupsi sumberdaya alam, di antaranya adalah dengan melalui
inventarisasi kawasan hutan, pengukuhan kawasan, penatagunaan kawasan dan penataan alokasi
hutan. Strategi ini dipilih sebab pada umumnya konversi kawasan hutan sangat memungkinkan
terjadinya proses korupsi yang dikaibatkan oleh ketiadaan kejelasan dalam pengaturan dan
pelaksanaan konversi kawasan hutan. Ini diperparah oleh ketiadaan legalitas dan legitimasi
kawasan hutan. Sebab, dari seluruh total kawasan hutan yang diperkirakan, hanya terdapat 11%
kawasan hutan yang telah ditetapkan. Masalah lainnya adalah ketiadaan suatu peta tunggal yang
menjadi acuan antar institusi negara yang sering sekali menimbulkan interpretasi bagi berbagai
level pemerintah (nasional dan subnasional) maupun berbagai sektor dalam menentukan kawasan
hutan dan hutan. Belum pula masalah lainnya yang terkait dengan penghilangan hak masyarakat
untuk mengakses sumber daya hutan dan agraria yang tidak dipertimbangkan dalam prses
pengukuhan kawasan hutan karena proses teritorialisasi negara ini. Karena itu, strategi yang
ditempuh oleh inisiatif ini adalah dengan menguatkan kembali tata kelola kehutanan melalui
inventarisasi, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan dan penataan alokasi.
Sedangkan untuk mencegah korupsi dalam hal perijinan, renaksi ini berupaya untuk memperketat
proses alokasi usaha ijin, proses perijinan, adminsitrasi hasil kayu dan pengendalian serta
pengawasan. Strategi semacam ini ditempuh, sebab pada dasarnya pemerintah justru tidak
mempunyai data yang valid untuk pengambilan kebijakan. Seluruh data mengenai potensi sumber
daya alam, justru dimiliki oleh perusahaan pemegang konsesi. Akibatnya, pemerintah tidak
memiliki mekanisme yang memadai untuk memverifikasi, mengontrol dan mengawasi kekayaan
alam yang dimilikinya (GN PSDA, tt) . Di titik inilah korupsi dan penyelewengan serta kerugian
negara terus-menerus terjadi.
Dengan keprihatinan semacam itu di atas, maka pembenahan tata kelola dalam sektor kehutanan
dalam GN PSDA di sektor kehutanan dirumuskan dalam gambar berikut:
Capaian dan Hasil Sejak ditandatangani pada tanggal 10 Maret 2013 lalu di Istana Negara dan disaksikan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPK telah berjalan
memasuki setengah tahun pertama. Tim NKB KPK dan Dewan Pakar yang terlibat melakukan
serangkaian pendampingan penyusunan Rencana Aksi (Renaksi), monitoring, diskusi dan evalusi
dengan 12 K/L sekaligus melakukan pengolahan data Renaksi, penajaman dan analisa atas
berjalannya NKB ini. Refleksi atas proses yang telah berjalan dilakukan dalam beberapa level,
baik di aspek substantif, startegis dan koordinasi antar lembaga dan kebutuhan-kebutuhan lain
yang diperlukan untuk menjawab tantangan dan dinamika eksternal dan internal yang
membutuhkan penyelarasan dan penyesuaian.
Berikut beberapa pencapaian hasil dari renaksi yang telah dicapai yang terbagi
berdasarkan peranan Kementerian dan Lembaga yang bertanggun jawab terhadap renaksi
tersebut:
- Harmonisasi regulasi- Penyelarasan kebijakan pengukuhan
kawasan - Resolusi Konflik
- Perluasan wilayah kelola masyarakat
- Penataan izin - Optimalisasi penerimaan negara
G
N
-
S
D
A R
e
n
a
k
s
i
P
e
r
c
e
p
a
t
a
n
P
e
n
g
u
k
u
h
a
n
K
a
w
R
e
n
a
k
s
i
K
o
o
r
d
i
n
a
s
i
d
a
n
S
u
p
e
r
v
i
s
i
S
Dari matriks yang telah disusun di atas, kategori renaksi dan pencapaiannya pada dasarnya
disusun atas tiga aspek yaitu: (A) Harmonisasi kebijakan dan perundangan: (B) Penyelerasan
teknis dan prosedur; (C) Resolusi Konflik. Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas secara
ringkas pencapaian dari masing-masing kategorisasi tersebut.
A) Harmonisasi Kebijakan dan Perundangan
Tujuan dari aspek harmonisasi kebijakan dan perundangan ini adalah untuk menghindari
sektoralisme dan tumpang tindih pengambilan kebijakan dalam kawasan hutan. Pada umumnya,
tujuan mendasar dari harmonisasi kebijakan dan perundangan ini, jika disederhanakan dan
diringkas, di antaranya adalah bertujuan untuk:
Pertama, penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan. Termasuk di dalam
rencana aksi ini adalah melakukan evaluasi pengukuhan kawasan hutan; pemanfataan dan
pencadangan kawasan hutan; percepatan pembentukan KPH; penetapan wilayah usaha
pertambangan dan potensi tumpang tindih perijinan; penyelerasan perencanaan perijinan antara
nasional, provinsi dan daerah; inventarisasi ketidakharmonisan perundangan dan kebijakan
sektoral yang terakait dengan kawasan hutan; dan harmonisasi kebijakan sektoral kawasan
hutan.
Kedua, perbaikan mekanisme perijinan usaha sumber daya alam. Termasuk di dalam
rencana aksi ini adalah revisi mekanisme perijinan pertambangan; evaluasi pelepasan dan pinjam-
pakai kawasan hutan; sinkronisasi mekanisme pelepasan kawasan hutan; pengendalian,
pengawasan dan penegakan hukum atas pemanfataan dan penggunaan ruang; penyusunan basis
data izin usaha yang menggunakan sumberdaya alam dan tata guna tanah;
Ketiga, pengendalian perijinan. Termasuk dalam kategori rencana aksi ini adalah
penerapan kemungkinan mekanisme jaminan pelepasan kawasan hutan; penyusunan kriteria
tanah terlantar dan proses redistribusinya; penggunaan data dan informasi geospasial sebagai
dasar evaluasi ijin; keharusan pelaporan izin; penyusunan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria) untuk pengendalian ijin yang diterbitkan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya
mekanisme penerbitan dan pencabutan Hak Guna Usaha.
Dengan beragam tujuan tersebut, pada dasarnya rencana aksi pada fokus mengenai harmonisasi
kebijakan dan perundangan ini inidkator keberhasilan dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
(1) Terbitnya beberapa naskah acuan, dokumen, laporan dan data yang relevan terhadap
harmonisasi kebijakan dan perundangan;
(2) Evaluasi atas mekanisme yang telah ada sebelumnya;
(3) Terbitnya kebijakan dan perundangan yang baru sebagai mekanisme atur harmonisasi ini.
B) Penyelarasan Teknis dan Prosedur Dalam Pengukuhan Kawasan
Hutan
Pada aspek penyelarasan teknis dan prosedur ini pada intinya adalah suatu upaya penyelarasan
tata kelola kehutanan agar tercipta suatu basis data dan informasi terpadu mengenai kehutanan.
Pada aspek ini terdapat beberapa kategori rencana aksi. Pertama, penyempurnaan prioritas
pengukuhan kawasan hutandan penyempurnaan peta penunjukan kawasan hutan. Pada aspek ini
kegiatan ini meliputi koordinasi pengadaan citra satelit resolusi tinggi; koordinasi untuk formulasi
perpetaan operasional untuk seluruh kegiatan alokasi ruang. Kedua, penyempurnaan dan
pelengkapan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), termasuk di dalamnya adalah implementasi peta
RBI sebagai dasar tunggal untuk skala dan penuntasan renaksi one map policy.
Ketiga, update berkala untuk informasi hutan dan kawasan hutan. Termasuk di dalam
renaksi ini adalah kajian sosial-ekonomi desa-desa di sekitar, yang beririsan dengan kawasan
hutan dan berada di dalam kawasan hutan; integrasi Informasi Geospasial Tematik (IGT);
penyediaan data tematik dalam informasi geospasial; koordinasi kegiatan pemberian IGT;
penyelarasan informasi geospasial untuk pengukuhan kawasan hutan; dan inventarisasi data
subyek dan obyek tanah dalam kawasan hutan. Keempat, penyediaan portal untuk pengukuhan
kawasan hutan dan koordinasi mekanisme dan pengaduan masyarakat terait pengukuhan
kawasan hutan. Kelima, koordinasi penataan batas kawasan kehutanan; sosialisasi rencana
penataan batas kawasan hutan membuak ruang partisipasi masyarakat,
Keenam, percepatan pencadangan areal hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan
tanaman rakyat; pendaftaran hak-hak lama masyarakat; penyelesaian hak-hak masyarakat dalam
kawasan hutan; penguatan hak-hak masyarakat atas tanah dan penyelesaian hak ulayat
masyarakat atas tanah. Ketujuh, inventarisasi kawasan hutan adat; penyelesaian PP Hutan Adat;
revisi mekanisme penyelesaian hak-hak pihak yang terdampak pengukuhan kawasan hutan; dan
penyusunan aturan detail kriteria enclave.
C) Resolusi Konflik Pada aspek ini, renaksi NKB 12 K/L bertujuan untuk penyelesaian dan pencegahan konflik-konflik
agraria yang telah bersifat latin namun tidak dapat diselesaikan dalam beberapa dekade yang lalu
dan termasuk pemulihan hak-hak masyarakat yang terkena konflik. Kegiatan dalam renaksi ini
meliputi pemetaan tipologi konflik-konflik agraria; membangun kesepahaman terhadap konflik
tenurial di kalangan pengurus kelembagaan negara; melakukan identifikasi hak masyarakat adat
dalam wilayah hutan; pedoman teknis penyelesaian masalah tenurial di kawasan hutan;
koordinasi penyelesaian dan priorotas sengketa dan konflik di wilayah hutan; inventarisasi spasial
dan tekstual sengketa dan konflik di kawasan hutan; pementukan lembaga penyelesaian konflik
tenurial di kawasan hutan bserta solusi alternatifnya; penguatan peraturan mengenai Panitia Tata
Batas; identifikasi masalah tumpang tindih perijinan yang menyebabkan konflik; pemetaan
wilayah kelola rakyat; program pendampingan pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat; mengakomodir pemetaan partisipatoris masyarakat; serta identifikasi dan
inventarisasi wilayah kelola masyarakat hukum adat di kawasan hutan.
Dengan kategorisasi seperti yang disebut di atas, berikut pencapaian atas renaksi yang telah
dirumuskan:
Data di atas menunjukkan, bahwa aspek teknis dan prosedur merupakan aspek yang
paling banyak diselesaikan dalam renaksi ini, yaitu sejumlah 246 renaksi. Sementara, harmonisasi
kebijakan dan peraturan menempati urutan kedua, yaitu sejumlah 214 renaksi. Sementara, aspek
yang paling bersentuhan dengan masyarakat dan paling krusial, menempati urutan terakhir,
degan pencapaian sebanyak 108 renaksi.
Sedangkan mengenai status terakhir ukuran keberhasilan pencapaian renaksi dari sektor
kehutanan dan perkebunan yang dikaitkan dengan rencana aksi baik dari pihak pemerintah pusat,
daerah dan Organisasi Masyarakat Sipil/Civil Society Organizations (CSO) adalah sebagai berikut:
Dari data tersebut pada aspek yang berhubungan dengan perbaikan tata kelola pemerintahan
seperti penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administratif;
penataan perijinan; penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan
pembangunan sistem pengandalian anti korupsi merupajan aspek-aspek yang paling banyak
diselesaikan dalam renaksi NKB 12 K/L. Bagaimanapun aspek ini merupakan aspek yang
berdimensi teknis, prosedural dan administratif. Sementara, pada aspek yang berhubungan
ekonomi politik tenurial kehutanan, yaitu pada persoalan siapa menguasai apa; siapa melakukan
apa; siapa mendapatkan apa; yang berhubungan dengan wilayah kelola masyarakat dan konflik
tenurial kehutanan tampak merupakan aspek yang paling sulit untuk dicapai.
Dari sisi capaian dan kategorisasi renaksi NKB 12 K/L, beberapa data di atas menunjukkan
kompleksitas pengurusan dan tata kelola kehutanan. Beberapa upaya perbaikan dari inisiatif ini,
bagaimanapun, menunjukkan relevansi yang sangat urgen. Inisiatif ini mungkin saja cenderung
terlambat, sehingga kompleksitas yang terjadi sekarang sangat tinggi. Namun, perbaikan dan
reformasi tata kelola kehutanan ini tetaplah urgen untuk menjamin kepastian dan keadilan
tenurial di kawasan hutan di Indonesia.
Beberapa Catatan dan Pertanyaan
Berikut ini merupakan catatan singkat atas pencapaian-pencapaian yang muncul beserta
batasan-batasan dari inisiatif reforma tenurial kehutanan yang terlihat dari program ini:
(1) Dapatkah logika Pembaruan Tenurial Kehutanan bersanding dengan konstruksi pembangunan
terkini?
Inisiatif pembaruan tenurial kehutanan melalaui NKB 12 K/L ini bertumpu pada suatu
analisis institusional yang berangkat dari asumsi bahwa ketimpangan penguasaan sumber daya
(tenurial) kehutanan dan tata kelolanya diakibatkan oleh kombinasi antara tiga hal: diskursus
kebijakan, aktor dan jejaring serta politik dan kepentingan. Karenanya, diskursus dan praktik
yang dikembangkan oleh inisiatif ini bertumpu pada masalah sektoralisme, ketidakharmonisan
kebijakan, perilaku rente dan korupsi, salah tata kelola sebagai masalah-masalah yang hendak
ditangani. Pada satu sisi, inisiatif semacam ini sangat baik dalam mereformasi aspek-aspek
prosedural dan teknis dari kebijakan dan tata kelola. Namun, di sisi lain, kebijakan negara pada
suatu rejim juga sangat ditentukan oleh interaksi negara tersebut kekuatan pasar/kapital dan
lembaga-lembaga transnasional lainnya.
Kecenderungan penguatan negara untuk dorongan pembesaran kapital global dapat terihat dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pertama, RPJMN 2015-2019 masih
percaya pada konsepsi tentang pembentukan pusat-pusat pertumbuhan utama yang berfungsi
sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang didasarkan pada komoditas unggulan berbasis
wilayah. Karena itu, dokumen RPJMN juga masih menggunakan istilah koridor ekonomi dan
kawasan strategis yang berbasis pulau. Pulau Sumatera misalnya dijadikan sebagai pintu gerbang
perdagangan internasional dan energi nasional. Sementara, Jawa-Bali diletakkan sebagai lumbung
pangan dan sektor industri dan jasa nasional serta pariwisata. Kalimantan didudukkan sebagai
lumbung energi nasional dan pengembangan industri hasil perkebunan dan pertambangan serta
food estate. Sementara Sulawesi ditempatkan sebagai pintu gerbang perdagangan kawasan timur
Indonesia, pengembangan industri hasil tambang, dan industri kemaritiman. Lalu Nusa Tenggara
diletakkan sebagai gerbang pariwisata ekologi, penopang pangan nasional, dan pengembangan
industri peternakan. Sementara, Maluku diletakkan sebagai pusat industri makanan laut serta
industri tambang (nikel dan tembaga). Dan Papua diletakan sebagai lumbng pangan, industri
maritim dan energi di kawasan timur Indonesia. Pendeknya, koridorisasi dan menyetarakan
kepulauan Indonesia hanya semata-mata sebagai produsen komoditas seperti MP3EI tetap
dilakukan.
Kedua, dokumen RPJMN ini juga menganut konsepsi yang lazim dalam teori geografi ekonomi
baru: yaitu, agglomerasi dan fragmentasi yang dihubungkan dengan layanan konektivitas antara
pusat pertumbuhan atau koridor ekonomi dengan daerah pertumbuhan sekitarnya, yang
dihubungkan dengan beragam infrastruktur, maupun dengan pusat pertumbuhan di level global
(locally integrated, globally interconnected). Sebagaimana rencana pembangunan lama yaitu
MP3EI, RPJMN 2015-2019 juga bertumpu pada upaya untuk mempercepat aliran kapital dan
tenaga kerja dengan cara pemangkasan dan pemampatan waktu sirkulasi komoditas melalui
semua upaya untuk menurunkan biaya transaksi logistik. Ketiga, RPJMN 2015-2019,
sebagaimana MP3EI, percaya bahwa cara terbaik untuk melakukan percepatan dan perluasan
aliran bebas kapital adalah bertumpu pada peran negara untuk melakukan debottlenecking
sejumlah regulasi yang menghambat investasi (BAPPENAS 2014: 2-6).
RPJMN pada dasarnya sebangun dengan rencana pembangunan lama, MP3EI, dalam
pengertian ia tetap bertumpu pada upaya perluasan dan percepatan aliran bebas kapital, melalui
pembentukan blok produksi dan pembentukan infrastruktur industri. Dengan konteks semacam
ini, maka kawasan kehutanan dan sumber daya alam di Indonesia berpotensi untuk tetap
diperlakukan dan diletakkan semata-mata sebagai penyediaan bahan baku dan faktor produksi
dan sirkulasi yang menyebabkan degradasi lingkungan, perampasan tanah dan peminggiran hak
rakyat serta perilaku korupsi.
Dengan model semacam itu, maka terdapat beberapa isu yang mesti diulas dalam
kaitannya dengan inisiatif ini: Pertama, dalam konteks pembangunan sekarang, kawasan hutan
masih diletakkan sebagai sumber penerimaan negara dan mesin pertumbuhan ekonomi6. Seagai
akibatnya, investasi dan aktivitas industri ekstraktif masih mendominasi pemikiran dan praktik
pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, produksi dokumen dan naskah yang bersifat teknis
dan teknokratis ini pada pencapaian renaksi belum dibarengi pada produksi diskursus yang
memadai tentang visi tandingan pengelolaan dan alokasi kawasan hutan sebagai ruang hidup dan
hajat hidup orang banyak bukan semata-mata sebagai sumber penerimaan negara dan alat
pertumbuhan ekonomi.
Kedua, percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam konteks ini dapat menjadi seiring
dan beresonansi dengan gagasan percepatan investasi dan percepatan ijin untuk pengelolaan
kawasan hutan. Dalam paket kebijakan ekonomi tahap dua, pemerintahan Jokowi merampingkan
proses perijinan menjadi hanya 6 tahap perijinan dengan proses yang semakin cepat. Jika izin
untuk keperluan investasi dan produksis ektor sektor kehutanan berlangsung lebih cepat, maka
hal ini akan berkontradiksi dengan pengukuhan kawasan hutan yang pada dasarnya lebih
memiliki fungsi sosial dan ekologis, bukan ekonomis semata. Meskipun banyak yang telah
mengetahui bahwa lebih dari 80% status kawsan hutan (baik hutan produksi, hutan lindung dan
konservasi) masih belum mendapat tahap pengukuhan, mayoritas berstatus penunjukkan. Pada
keneyataan di lapangan pengurus kehutanan justru mengggunakan legalitas status pengukuhan
sebagai argumen untuk menolak tuntutan hak dari masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan
sehingga masyarakat dapat dikriminalisasikan dan dianggap melanggar peraturan.
Ketiga, karena itu, dalam banyak renaksi ini hanya berfokus pada tata kelola dan atau
penataan ijin usaha kehutanan dan perkebunan. Sedikit sekali pada upaya pemulihan krisis
sosial-ekologis di wilayah kehutanan yang terdampak investasi dan pertumbuhan ekonomik.
Upaya pemulihan hanya bertumpu pada penanganan konflik dan penciptaan lembaga
penyelesaian konflik. Sementara pada wilayah kelola rakyat juga masih terbatas pada
inventarisasi wilayah kelola rakyat dan masyarakat hukum adat. Aspek pengakuan dan
redistribusi penguasaan yang timpang mendapatkan porsi yang lebih kecil dibanding isu
harmonisasi kebijakan dan teknis-prosedural. Itu pun dengan tingkat pencapaian renaksi yang
terhitung paling kecil dan kurang. Sangat jarang renaksi dari NKB 12 K/L ini yang juga berfokus
pada upaya untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi-fungsi vital ekologis di satu sisi dan
perluasan wilayah kelola rakyat di sisi lain. Dalam konteks pemulihan fungsi vital ekologis hutan,
definisi kerugian negara pada renaksi NKB 12 K/L juga masih terbatas pada tindak pidana
korupsi, padahal dimensi kerugian negara pada dasarnya bersifat luas: kerusakan tanah, sumber
daya air, sungai, pencemaran udara dan beragam kerusakan infrastruktur ekologis lainnya yang
selama ini tidak diperhitungkan sebagai kerugian negara.
Sebuah upaya intervensi terhadap salah tata kelola kehutanan yang telah berlangsung
lama, setidaknya membutuhkan dua aspek penting. Pertama, suatu upaya untuk
menidakberdayakan kekuatan-kekuatan yang menjadi faktor utama dari kerusakan ekologis,
6 http://ekbis.sindonews.com/read/1082277/34/presiden-minta-industri-kehutanan-jadi-penopang-
perekonomian-nasional-1454423567, diakses 15 Juni 2016.
ketimpangan penguasaan dan alokasi ruang hidup; Kedua, pemberdayaan lapisan masyarakat
paling lemah yang berada di sekitar dan atau di dalam kawasan hutan melalui proses perluasan
wilayah kelolanya.
(2) Pembentukan Praktik Diskursif Tandingan atau Penyusunan Dokumen Semata?
Salah satu hal yang mencolok jika dilihat dari indikator output dan ukuran keberhasilan
dalam renaksi NKB 12 K/L adalah banyaknya produksi kajian dan penelitian, penyusunan
dokumen dan naskah acuan baik yang berupa petunjuk teknis pelaksanaan dan atau rumusan
kebijakan baru. Pertanyaan yang mesti diajukan dalam konteks ini adalah apakah kegiatan
renaksi ini bertujuan untuk membentuk praktik diskursif tandingan dari masalah-masalah
kehutanan di masa lampau atau semata-mata penyusunan dokumen semata? Sejauh mana
dokumen yang diproduksi dapat mengoreksi ketimpangan penguasaan dan tindakan salah urus
kawasan hutanan?
Dalam konteks yang lebih khusus, salah satu pertanyaan yang layak diajukan adalah:
apakah penyusunan dokumen saja (kajian, penelitian, penyusunan dokumen dan rumusan
kebijakan baru) memadai untuk mendobrak tradisi praktik dan diskursus kehutanan yang telah
salah kelola selama beberapa dekade ini? Sejauh mana dokumen yang diproduksi itu dapat
melahirkan kesadaran baru untuk reforma tenurial dan tata kelola kehutanan yang berpihak pada
rakyat jelata atau justru mereproduksi praktik diskursif tata kelola kehutanan yang cenderung
berpihak pada pembesaran kekuatan negara dan pembesaran kapital? Apakah harmonisasi
kebijakan ini hanya berujung pada perbaikan teknis prosedural semata atau bertujuan untuk
merombak penguasaan tenurial yang timpang?
Kebijakan pengelolaan kehutanan ditentukan bukan hanya oleh kebaruan kebijakan dan
narasi dokumennya, tetapi salah satunya juga oleh internalisasi dari pembaruan diskursus tata
kelola kehutanan oleh para aktornya. Capaian pada renaksi sejauh ini banyak berfokus pada
masalah perbaikan teknis dan prosedural dari birokrasi dan kebijakan. Tetapi masalah utama
dalam reforma tenurial kehutanan adalah hubungan ketimpangan penguasaan, klaim
kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan kawasan hutan oleh negara dan swasta. Beberapa
catatan evaluasi lain menunjukkan bahwa agenda-agenda dalam poin renaksi selama ini
seringkali bertabrakan dan tidak koheren satu sama lain. Hal lainnya adalah normatifitas dan
simplifikasi agenda renaksi dari target dan tujuan yang dimandatkan NKB sehingga tampak
bahwa kegiatan ini hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban (Cahyono 2016). Terlalu
banyak berfokus pada harmonisasi kebijakan dan perundangan serta perbaikan teknis dan
prosedural bisa mengikis inisiatif ini untuk terjatuh kembali ke dalam upaya perbaikan teknis dan
teknokratis yang melupakan dimensi politisnya: penguasaan sumber daya kehutanan yang
timpang.
(3) Apakah KPK sebagai kelembagaan penggerak perubahan memadai dan dapat berkelanjutan?
Keterlibatan sejumlah pihak dalam internal KPK, akademisi dan para aktivis yang terlibat
mendorong inisiatif pembaruan tenurial kehutanan dan meletakkan KPK sebagai mekanisme-picu
dalam inisiatif ini merupakan sebuah terobosan besar dan pencapaian yang maju. Sebuah inisiatif
perubahan, merujuk pada argumen Alexander Irwan (2006), mesti memperhatikan besaran “dalil
kelembagaan” yang menopangnya. Semakin suatu program intervensi memiliki status
kelembagaan yang besar, maka semakin besar pula kemungkinan perubahannya. Upaya
menerobos hambatan sektoralisme pengelolaan kehutanan melalui inisiatif ini dimungkinkan
dengan melalui wewenang KPK dalam bidang koordinasi dan supervisi untuk kajian terhadap
sistem administrasi dan monitoring serta pencegahan untuk memberi saran dan perubahan jika
terdapat potensi korupsi dalam sistem administrasi.
Meskipun terdapat beberapa pencapaian dan keberhasilan dalam rangka penataan sistem
administrasi kehutanan, bagaimanapun, jangkar utama dalam diskursus perbaikan ini tetap
bertumpu pada perbaikan administratif untuk mencegah korupsi dan memaksimalkan
potensi penerimaan negara. Tentu saja, alas tumpuan ini memiliki keterbatasan untuk
menjangkau isu-isu strategis seperti wacana pembangunan alternatif yang keluar dari kebijakan
pembangunan dominan yang berupa pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraksi; penghentian
dan pemulihan krisis sosial-ekologis dan perluasan wilayah kelola rakyat sebagai satu-kesatuan
praktik diskursif yang tak dapat dipisahkan.
Karena itu, salam beberapa hal, tumpuan pada kelembagaan KPK untuk fungsi koordinasi
dan supervisi juga masih memiliki kendala berhadapan dengan sektoralisme. Seperti disinyalir
Cahyono (2013) sektoralisme antar departemen dan kementrian di 12 K/L yang telah
menandatangani NKB. Dalam rangkain proses pendampingan penyusunan Rencana Aksi
(Renaksi) di 12 K/L selama pelaksanaan NKB berupa sautu tindakan untuk menutup dan
membatasi kewenangan dan otoritas pihak lain sebagai mekanisme perlindungan. Sehingga, yang
sering terjadi adalah suatu upaya untuk “mendiamkan dan tidak mengambil kebijakan” karena
merasa di luar wewenang dan tugas pokok fungsi.7
7 Proses ini lebih detail diceritakan oleh Cahyono: “Salah satu yang paling menonjol dari persolan
ego sektoral dalam proses penyusunan Ranaksi NKB tersebut adalah ketidaknyambungan antara
Kementrian Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemenhut dengan Kemendagri.
Kemenhut dengan Kemenhukam, dst. Sudah menjadi rahasia umum ketegangan ‘abadi’ antara Kemnhut
dengan BPN. Dalam banyak kesempatan kedua penguasa daratan Indonesia ini tidak bisa ‘bertemu’ dan
saling melempar tanggung jawab satu kepada lainnya. Dalam kasus NKB ini misalnya, pihak Kemenhut
merasa beberapa point Renaksi mereka dibatasai oleh kewenangan BPN, sehingga menolak
melaksanakan atau dicantumkan dalam Renaksi mereka. Sebaliknya, pihak BPN juga menolak
memasukkan point Renaksi yang terkait pengurusan wilayah tanah yang masih belum clear and clean
dari pihak Kemenhut. Hal ini semakin rumit tatkala Putusan MK no 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat
yang keluar dari Hutan Negara diputuskan. Baik Kemenhut maupun BPN sangat membatasi
Karena itu, pembesaran dalil kelembagaan sangat diperlukan dalam konteks ini.
Menyerahkan mekanisme koordinasi dan supervisi pada KPK memungkinkan inisiatif ini juga
sangat mungkin menghadapi masalah sektoralisme yang sama. Barangkali, dibutuhkan suatu
intervensi yang lain untuk memperluas dalil kelembagaan yang paling memungkinkan, yaitu
Presiden dan jajaran pengurus publik dalam pengelolaan bidang sumberdaya alam (kehutanan,
agraria, dan ESDM). Intervensi ini bertujuan untuk melengkapi inisiatif NKB yang telah ada
dalam kerangka untuk memikirkan diskursus dan praktik yang lebih berpihak pada penghentian
dan pemulihan krisis sosial-ekologis.
Apalagi, terdapat batasan peranan KPK untuk melakukan evaluasi Renaksi NKB 12 K/L sehingga
hanya berupa mekanisme pelaporan pada DPR dan presiden dan sangsi sosial dari media dan
masyarakat yang bersifat moral. Sebab, tanpa kontrol dan evalusi yang ketat, potensi sekedar
melaksanakan program dari 12 K/L sangatlah tinggi.
Hal lainnya adalah, bagaimanapun, inisiatif ini bertumpu pada integritas KPK secara
kelembagaan. Di tengah beragam upaya untuk melemahkan dan mendiskreditkan integritas KPK
secara sistematis8, maka perlu diupayakan suatu strategi lain untuk membuat insiatif yang baik
ini hancur di tengah jalan.
keterlibatan mereka dalam upaya melaksanakan Putusan tersebut. Pihak BPN meyakini bahwa kawasan
Hutan Adat adalah otoritas Kemenhut, meskipun telah dilepaskan dari Hutan Negara. Sebab menurut
pihak BPN, tanah tersebut belum memenuhi syarat clear and clean sehingga tidak bisa dimasukkan
dalam buku pendaftaran tanah mereka. Sedangkan pihak Kemenhut menegaskan setelah kawasan
Hutan Adat keluar dari Hutan Negara maka ia bukan lagi “wewenang” meraka lagi, dan sudah masuk
wilayah orotitas BPN-RI. Untuk meneguhkan putusan ini kemudian dibuatkan Surat Edaran Kemenhut
(SE. 1/Menhut II/2013) tentang Putusan MK no 35 tersebut, yang salah satu isinya adalah Kemenhut
hanya mau “melayani” dan “mengakui” kawasan MHA yang telah ada Peraturan Daerahnya. Sikap ini
merupakan salah satu “pertahanan” Kemenhut untuk tidak mau keluar dari zona aman mereka selama
ini”.
8 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150124164550-12-27113/todung-mulya-sebut-pelemahan-
kpk-sistematis/, diakses pada 15 Juni 2016.
Evaluasi Rencana Aksi GN-SDA Di Provinsi
Kalimantan Tengah
Konteks dan Latar Belakang Pengelolaan Sumber Daya Alam Kehutanan,
Perkebunan dan Pertambangan di Kalimantan Tengah
Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah terletak di daerah lintasan garis Katulistiwa
yaitu pada posisi 044’54” Lintang Utara (LU) – 347’70” Lintang Selatan (LS) dan 11043’19”
Bujur Timur (BT) – 11547’36” Bujur Barat (BB). Dengan demikian, Provinsi Kalimantan Tengah
merupakan salah satu gugusan zamrud katulistiwa.
Keadaan topografi atau bentang lahan Provinsi Kalimantan Tengah dapat dikelompokkan
atas :
- Bagian Selatan, terdiri dari daerah pantai dan rawa serta terpengaruh oleh pasang
surut dengan ketinggian 0 – 50 meter dpl.
- Bagian Tengah, merupakan daerah dataran dan berbukit/bergelombang dengan
dominasi penutupan tropis lahan berupa hutan hujan yang khas dengan
ketinggian 50 – 100 M dpl.
- Bagian Utara, merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian
di atas 150 M dpl.
Penutupan lahan pada sebagian besar kawasan di Provinsi Kalimantan Tengah adalah
hutan, dimana secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 (empat ) tipe hutan yang
berbeda berdasarkan pada ketinggian tempatnya, yaitu :
- Hutan Hujan Tropika, seluas 10.350.363,87 Ha atau sekitar 65,51 %.
- Hutan Rawa Tropika, seluas 2.382,31 Ha atau sekitar 15,08 %.
- Hutan Rawa Gambut Tropika, seluas 2.280.789,70 Ha atau sekitar
14,44 %.
- Hutan Pantai atau Hutan Payau, seluas 832.573,55 Ha atau sekitar 5,27 %.9
Sebelum sumber daya hutan di Kalimantan Tengah dimanfaatkan dalam skala besar oleh
perusahaan-perusahaan, hutan dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat.
Mayoritas penduduk setempat adalah masyarakat Dayak, yang kebanyakan bermukim di
sepanjang sungai di bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mereka berladang dengan sistem rotasi, yang kesuburannya
sepenuhnya mengandalkan kemampuan pulihnya vegetasi hutan secara alami. Kebutuhan
akan sayuran dan obat-obatan dipenuhi dari berbagai jenis tumbuhan liar yang dipetik dari
hutan.
9 Laporan tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Tahun 2013.
Commented [GA1]: Laporan TI Mas Didik
Selain itu dari hutan juga dipungut berbagai jenis komoditas komersial, yang sejak
berabad-abad menjadi komoditas perdagangan dengan orang luar. Beberapa jenis hasil
hutan yang penting adalah rotan, gaharu, getah damar (Agathis dammara), getah jelutung
(Dyera spp.), getah nyatu (Palaquium spp.), madu, dan kulit gemor (Alseodaphne coriacea).
Tim kajian perencanaan pembangunan terpadu di wilayah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat, pada tahun 1997-1998, menyebut masyarakat Dayak sebagai “nature-
based community” atau masyarakat berbasis alam.10 Kajian etnobotani di Desa Tumbang
Naan juga menunjukkan intensitas ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya
hutan. Dari sekitar 400 jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk menunjang
kehidupan masyarakat setempat, hanya sekitar 50 jenis yang dibudidayakan; sisanya
diambil dari hutan.11
Era baru bagi pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-
besaran dan modern, perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang
Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri. Ketiga Undang-Undang itulah yang mendasari dan menjadi landasan bagi
pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang
ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
dan Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH), serta berkembangnya industri yang mengolah
produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan
sebagainya).12
1.1.1. Perkembangan HPH dan Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah
Perlu dicatat bahwa industri kayu sudah dimulai pada tahun 1969, sedangkan Penunjukan
Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah baru dilakukan tahun 1982.13
Produksi kayu di Kalimantan Tengah mencapai puncaknya di awal Pelita V, yakni antara
tahun 1989 hingga 1990, dimana terdapat 117 perusahaan pemegang HPH yang beroperasi
dan memproduksi 4.830.638 m3 kayu bulat.14 Setelah itu jumlah perusahaan pemegang
HPH terus menurun. Kebanyakan mengikuti berakhirnya masa produksi izin yang
dipegang. Namun produksi kayu tidak menyurut, karena pembalak liar bergantian masuk
ke lokasi-lokasi yang ditinggalkan oleh perusahaan pemegang HPH. Tahun 1998, ketika
10 The Development Study on Comprehensive Regional Development Plan for The Western Part of Kalimantan – SCRDP-
KALTENGBAR, Final Report, Japan International Cooperation Agency & National Development Planning Agency of The
Government of Republic of Indonesia – Pacific Consultants International & International Development Center of Japan,
March 1999.
11 Pegunungan Muller: Warisan Dunia di Jantung Kalimantan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, 2005. 12 http://www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_kondisi.htm
13 Melalui SK Menteri Pertanian nomor 759/Kpts/Um/10/1982.
14 Sumber data Awal Pelita I – Awal Pelita V dari http://www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_kondisi.htm; sedangkan data
tahun 2000 – 2008 dari Statistik Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah 2008.
krisis moneter melanda, nilai US Dollar naik dan mendongkrak harga komoditas ekspor
seperti kayu.
Tahun 2000 jumlah HPH sudah menurun tajam. Data kehutanan tahun 2002 menunjukkan
adanya sekitar 3,5 juta hektar areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas yang
telah terbebas dari HPH.15 Areal hutan yang ditinggalkan menjadi terlantar, statusnya “no
man’s land” untuk sementara dan mempermudah masuknya pembalak liar.
Setelah tiga tahun beroperasi, para pembalak liar kemudian ditertibkan melalui Instruksi
Presiden nomor 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal
Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser Dan Taman
Nasional Tanjung Putting.16 Peraturan yang muncul karena kritikan terhadap pembiaran
penjarahan dua Taman Nasional besar itu kemudian dikembangkan dan diterapkan secara
meluas di Indonesia. Dengan demikian sudah saatnya hutan yang habis ditebang ini
ditinggalkan kembali untuk kedua kalinya. Pertama oleh perusahan pemgang HPH, dan
kini oleh illegal loggers yang mencoba menikmati sisa-sisa kayu yang masih laku dijual.
Bayanyak yang mengatakan bahwa industry HPH di Kalimantan Tengah telah banyak
berkurang dibandingkan dengan era tahun 1980an sampai awal tahun 2000an. Walaupun
15 Diolah dari Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Pusat Inventarisasi dan
Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2002.
16 Ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 19 April 2001.
Perkembangan HPH dan Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah
0
20
40
60
80
100
120
140
Ju
mla
h H
PH
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
Pro
du
ksi K
ayu
Bu
lat
(m.k
ub
ik)
Jumlah HPH Produksi Kayu Bulat (m3)
Jumlah HPH 3 87 95 112 117 53 69 56
Produksi Kayu Bulat (m3) 474.300 2.192.140 4.725.734 3.464.009 4.830.638 2.577.995 2.118.080 3.845.171
Awal Pelita
I
(1969/1970
Akhir Pelita
II
(1978/1979
Awal Pelita
III
(1979/1980
Awal Pelita
IV
(1984/1985
Awal Pelita
V
(1989/1990
Tahun
2000
Tahun
2004
Tahun
2008
dipandang berkurang, nyatanya existensi industry HPH masih cukup besar di Kalimantan
Tengah. Pemegang IUPHHK Hutan Alam di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada
tahun 2013 sebanyak 61 (enam puluh satu) unit. IUPHHK-HA yang tersebar pada 11
kabupaten yang menguasai konsesi seluas 4.229.483 ha, dengan perincian sebagai berikut.
No. Kabupaten
IUPHHK-HA
Keterangan Jumlah
unit
Luas Areal
(Ha)
1 Murung Raya 10 625.710
2 Barito Utara 7 515.965
3 Barito Selatan 1 28.200
4 Barito Timur - -
5 Kapuas 1 39.500
6 Pulang Pisau - -
7 Palangka Raya - -
8 Gunung Mas 10 504.154
9 Katingan 9 410.506
10 Kotawaringin Timur 4 485.825
11 Seruyan 2 149.540
12 Kotawaringin Barat - -
13 Lamandau 3 245.170
14 Sukamara - -
15 Lintas Kabupaten 12 1.151.293
16 Lintas Provinsi 2 46.445 Kaltim dan
Kalsel
JUMLAH 61 4.229.483
Sumber data: Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Tahun 2013.
1.1.2. Perkembangan Konversi Lahan Untuk Perkebunan
Setelah era HPH dikatakan berlalu dan mereka pergi meninggalkan lahan bekas
konsesinya begitu saja. Sebagian besar lahan hutan yang menjadi “lahan tidur” ini
berada di dataran rendah, yang merupakan daerah hilir sungai-sungai yang mengalir
dari arah utara ke selatan di Kalimantan Tengah. Lahan dataran rendah seperti ini
cocok untuk perkebunan.
Era perkebuan sawit di Kalimantan tengah telah dirancang sejak tajun 1980an. Pada
tahun 1981 Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor melakukan penelitian di Kalimantan
Tengah dengan hasil sebagai berikut :
Teridentifikasi dari luasan 15.356.700 Ha lahan di Kalimantan Tengah terdapat
3.195.000 Ha merupakan lahan yang cocok untuk pengembangan berbagai jenis
tanaman;
Sebagian besar tanah dengan klasifikasi Kelas III dan IV yang bisa digunakan
untuk berbagai jenis tanaman;
Iklim menurut klasifikasi Smith and Ferguson di klasifikasikan dengan Iklim A
yang cocok untuk tanaman kelapa sawit;
Jenis tanah didominasi podsolid merah kuning.
Kemudian Pada Tahun 1984 disusun Rencana Induk Pengembangan Perkebunan (RIPP)
Kalimantan Tengah, dimana kelapa sawit sebagai salah satu tanaman yang cocok pada
iklim A, kelas tanah III dan IV serta jenis tanah podsolid merah kuning.
Tahun 1992 masuk investor bidang perkebunan sawit yang pertama di Kalimantan
Tengah yaitu PT. Indo Turba Tengah bekerjasama dengan Angkatan Darat melalui
Yayasan Kartika Eka Paksi yang didukungan Salim Group di lokasi eks transmigrasi
Amin Jaya Kabupaten Kotawaringin Barat. Dari titk inilah era perkebunan sawit di
Kalimantan tengah di mulai setelah era kejayaan industry kayu.17
Pada perkembanganya industry perkebunan sawit dipandang sebagai primadona yang
dianggap membawa kemajuan bagi daerah, sehingga pemerintah memberikan
kemudahan-kemudahan dari sector kebijakan untuk menarik investor sawit sebanyak-
banyaknya.
Dari data 2015 yang kita olah bahwa jumlah perkebunan besar swasta (PBS) yang
tercatat sebanyak 333 unit dengan luas penguasaan konsesi 3.901.261 ha. Sementara
data PBS yang tercatat tahun 2011 sebanyak 323 unit dengan total luas konsesi
3.532.196 ha. Artinya selama kurun waktu 5 tahun tersebut terdapat peningkatan
jumlah unit PBS dan luasan konsesi sebanyak 9,46%.
Data PBS Kalteng Tahun 2015 secara keseluruhan
No Kabupaten Unit
Arahan
Lokasi
(ha)
Izin
Lokasi
(ha)
IUP (ha) PKH (ha) HGU
(ha)
1. Murung Raya 6 59,000 53,159 30,000 - -
2. Barito Utara 25 412,753 249,453 388,775 48,760 18,036
17 http://kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICLE_id=969
3. Barito Selatan 15 272,097 133,394 14,756 - -
4. Barito Timur 23 304,464 299,940 297,933 124,588 32,701
5. Kapuas 26 369,299 373,813 192,408 24,826 9,063
6. Pulang Pisau 22 286,292 218,035 130,673 35,777 -
7. Gunung Mas 21 320,741 260,476 218,459 82,550 14,415
8. Palangkaraya 8 63,400 50,050 36,850 - -
9. Katingan 37 385,204 319,246 140,063 54,899 34,709
10. Katawaringin
Timur 50 708,670 630,806 511,929 158,847 306,481
11. Seruyan 26 422,042 403,589 321,655 152,009 129,747
12. Kotawaringin
Barat 31 388,814 326,413 196,892 93,416 123,461
13. Lamandau 23 271,856 262,993 172,939 94,138 37,994
14. Sukamara 4 63,604 38,659 25,657 10,480 1,907
15. Lintas Kab 16 292,218 281,236 231,314 198,539 196,479
TOTAL 333 4,620,454 3,901,261 2,910,303 1,078,830 904,991
Data PBS kalteng yang belum operasional tahun 2015
No Kabupaten Unit
Arahan
Lokasi
(ha)
Izin
Lokasi
(ha)
IUP (ha) PKH (ha) HGU
(ha)
1. Murung Raya 4 53,000 50,159 24,000 - -
2. Barito Utara 19 280,753 164,688 252,325 12,158 -
3. Barito Selatan 14 252,097 113,394 14,756 - -
4. Barito Timur 15 167,111 164,719 164,919 8,576 -
5. Kapuas 16 193,688 197,403 79,294 11,923 -
6. Pulang Pisau 18 227,342 158,035 60,673 28,827 -
7. Gunung Mas 11 160,241 110,266 77,363 30,725 8,249
8. Palangkaraya 8 63,400 50,050 36,850 - -
9. Katingan 28 245,257 184,046 25,163 38,373 34,709
10. Katawaringin
Timur
6 41,916 27,671 11,976 11,097 8,606
11. Seruyan 5 85,247 78,781 32,000 2,391 2,394
12. Kotawaringin
Barat
7 79,956 84,464 19,486 - -
13. Lamandau 10 70,516 72,935 41,500 989 -
14. Sukamara 2 20,000 11,615 - - -
15. Lintas Kab - - - - - -
TOTAL 163 1,940,525 1,468,225 840,305 145,059 53,958
Data PBS Kalteng yang sudah operasional tahun 2015
No Kabupaten Unit
Arahan
Lokasi
(ha)
Izin
Lokasi
(ha)
IUP (ha) PKH
(ha)
HGU
(ha)
1. Murung Raya 2 6,000 3,000 6,000 - -
2. Barito Utara 6 132,000 84,765 136,450 36,602 18,036
3. Barito Selatan 1 20,000 20,000 - - -
4. Barito Timur 8 137,353 135,221 133,014 116,012 32,701
5. Kapuas 10 175,611 176,410 113,114 12,904 9,063
6. Pulang Pisau 4 58,950 60,000 70,000 6,950 -
7. Gunung Mas 10 160,500 150,210 141,096 51,825 6,165
8. Palangkaraya - - - - - -
9. Katingan 9 139,947 135,200 114,900 16,526 -
10. Katawaringin
Timur
44 666,754 603,136 499,954 147,749 297,875
11. Seruyan 21 336,795 324,808 289,655 149,618 127,353
12. Kotawaringin
Barat
24 308,858 241,949 177,406 93,416 123,461
13. Lamandau 13 201,340 190,058 131,439 93,149 37,994
14. Sukamara 2 43,604 27,044 25,657 10,480 1,907
15. Lintas Kab 16 292,218 281,236 231,314 198,539 196,479
TOTAL 170 2,679,929 2,433,036 2,069,998 933,771 851,033
Dari data yang disajikan diatas disebutkan bahwa total PBS secara keseluruhan
sejumlah 333 unit, sementara jumlah PBS yang bersetatus CNC sejumlah 126 unit,
sehingga masih ada 207 unit PBS yang belum CNC atau legalitas usahanya belum
lengkap sebagaimana yang di syaratkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
Mungkin argumentasi ini masih mengandung perdebatan karena tidak semua PBS telah
melakukan operasional. Namun kita juga menyajikan data tentang PBS yang telah
operasional. Dari data yang kita sajikan tersebut bahwa PBS yang telah operasional
sejumla 170 unit. Jika kita membuat perbandingan antara data PBS yang CNC dan PBS
yang operasional maka akan diketahui ada sekitar 44 unit PBS yang operasional tidak
bersetatus CNC.
1.1.3. Perkembangan Konversi Lahan Untuk Wilayah Pertambangan
- Jmlah Izin dan Luasan
- Jumlah pinjam pakai
- Explorzsi dan exploitasi
1.2. Persoalan Penataan Ruang di Provinsi Kalimantan Tengah
Berbicara mengenai tata ruang maka kita akan mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Fungsi dan luas kawasan
dalam Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dalam kurun waktu sejak tahun
1982, perubahan-perubahannya mengacu pada:
TGHK Kalimantan Tengah 1982
Perda No. 5 Tahun 1993
Kepgub Tahun 1999 (Paduserasi RTRWP-TGHK)
Perda No. 8 Tahun 2003
SK Menhut No. 292/Menhut-II/2011
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.529/Menhut-II/201218
Proses penyesuaian RTRWP Kalteng selama ini terjebak pada rasio antara kawasan
hutan dan non-kawasan hutan. Ini dapat dilihat dari daftar rasio hutan dan kawasan
hutan berikut :
Tata Guna Hutan Kesepakatan = 100% : 0%
Perda RTRWP Kalteng Nomor 8 Tahun 2003 = 67% : 33%
Usulan Revisi Raperda 2007 = 55% : 45%,
TGHK Update = 91% : 9%
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529/2012 = 82% : 18%, dan terakhir
Raperda RTRWP-P 19 berharap rasio kawasan hutan dan non kawasan hutan =
55,03% : 42,11%
Perlu di ketahui, hingga sekarang dari 13 Kabupaten dan 1 Kota di Kalimantan Tengah
baru 5 daerah yang telah mempunyai RTRWK yaitu:
1. Kab. Barito Selatan (Perda Nomor: 4/2014)
2. Kab. Gunung Mas (Prda Nomor: 5/2014)
18 Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah: Statistik Kehutanan 2013.
19 Sekarang telah menjadi Perda Nomor: 5 tahun 2015 tentang RTRWP
Commented [GA2]: Ngambil dari Eksaminasi dan
review RTRWP Kalteng
3. Kab. Brito Timur (Perda Nomor: 6/2014)
4. Kab. Lamandau (Perda Nomor: 9/2014)
5. Kab. Sukamara (Perda Nomor: 16/2012)
1.2.1. Dari usulan revisi Perda Nomor 8 tahun 2003 hingga ke penetapan Perda
Nomor 5 tahun 2015
Perjalan penetapan RTRWP Kalimantan Tengah menempuh jalan yang cukup panjang.
Tercatat dari tahun 2007 revisi RTRWP diusulkan dan baru tahun 2015 berhasil di
sahkan. Ada banyak kendala dalam proses tersebut yang salah satunya adalah soal tarik
menarik atara pusat dan daerah tentang rasio kawasan hutan dan non hutan. Dalam
revisi RTRWPnya, pemerintah kalteng mengusulkan 55% kawasan hutan dan 45%
adalah kawasan non-hutan. Tentu usulan ini tidak begitu saja diterima oleh pusat dan
kemudian pemerintah pusat memerintahkan acuan revisinya untuk kembali ke TGHK.
Disisi lain, pemerintah daerah tidak mau menggunakan TGHK sebagai basis rujukan
karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi eksisting lapang, sehingga mereka
tetap berpegangan bahwa acuan revisi adalah Perda Nomor 8 tahun 2003. Dari polemic
inilah kemudian di bentuk Tim Terpadu (Timdu) dalam rangka Pengkajian Perubahan
Kawasan Hutan Dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
Kalimantan Tengah dibentuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.
314/Menhut-VII/2008 tanggal 16 September 200820.
Tugas Tim Terpadu antara lain melakukan kompilasi data dan informasi secara
komprehensif yang diperlukan dalam rangka mengkaji usulan perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan dalam RTRWP Kalimantan Tengah, serta menyusun
rekomendasi terhadap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan21.
Dari semua ini yang paling Nampak dari temuan tim terpadu adalah di temukanya
jumlah penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural baik itu menggunakan peta
dasar TGHK mapun perda nomor 8 tahun 2003. Dari analisis menggunakan basis TGHK
ditemukan penggunaan kawasan yang tidak procedural seluas 2.085.394 ha. Sementara
itu dengan menggunakan basis perda 8/2003 pun ditemukan penggunaan kawasan hutan
tidak procedural seluas 1.672.254 ha.
Kita masih mencermati perdebatan dalam revisi RTRWP kalteng yaitu tentang basis
peta mana yang akan di jadikan landasan antara TGHK dan Perda 8/2003. Sungguhpun
begitu, kedua-duanya tetap mengandung pelanggaran. Jika pemerintah daerah
bepegangan kuat pada perda 8/2003 sebagai basisnya, apakah pelanggaran yang
diketahui tersebut akan diambil tindakan?
20 Laporan Tim Terpadu “Pengkajian Perubahan Kawasan Huatan Dalam Revisi Rencana Tata Ruang
Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah”. Departemen Kehutanan, 2009.
21 Kesimpulan dan saran dari hasil kerja tim terpadi menjadi lampiran dari tulisan ini.
Table pelanggaran di dalam kawasan hutan berdasar TGHK dan Perda 8/2003
Sumber data: Laporan Tim Tepadu (Dephut:2009)
Bertahun-tahun pembahasan RTRWP tak kunjung menemukan titik terang. Banyak
para bupati dan termasuk gubernur sendiri mengeluhkan hal ini. Hal utama yang sering
menjadi keluhan adalah, jika RTRWP tidak segera disahkan maka investasi akan
terganggu, dimana investasi merupakan sumber utama pendapatan daerah. Maka
Menteri Kehutan mengeluarkan SK Menhut 529/2012 tentang penunjukan kawasan
hutan sebagai kebijakan transisi sebelum RTRWP yang resmi disahkan.
Pembahasan RTRWP terus berlanjut. Kali ini SK Menhut 529/2012 yang menjadi basis
rujukan untuk revisi RTRWP. Dan berikut adalah usulan perubahan kawasan dalam
revisi RTRWP.
Sumber Data: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah (2015) dan Kalteng
Pos (28 Januari 2015).
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 78 ayat (4) huruf b menyebutkan bahwa “semua
peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan
paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini
diberlakukan”. Karena UU tentang Penataan Ruang tersebut diterbitkan pada April
2007, maka semua Perda RTRWP di seluruh Indonesia harus selesai pada sekitar April
2009.
Walaupun proses revisi Perda Kalteng No. 8 Tahun 2003 dimulai sejak tahun 2006, pada
akhirnya Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015 dapat ditetapkan setelah melewati batas
penyelesaian yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007, itupun dengan muatan-muatan
didalamnya yang ternyata masih menyimpan banyak persoalan mulai isu-isu teknis sampai
isu-isu strategis yang semestinya sudah selesai ketika Perda RTRWP ditetapkan.
Luasan Outline untuk Fungsi Kawasan Budidaya yang Berada dalam Kawasan Hutan
Sumber: Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015tentang RTRWP Kalteng 2015-2035
No Fungsi Kawasan Tipo #2 Tipo #4 Tipo #5 Tipo #6 Tipo #7 Jumlah
1 Permukiman 41.532 19.416 8.898 2.502 52.878 125.226
2 Ruang Kelola Masyarakat 457.248 304.011 103.898 13.249 561.060 1.439.466
3 Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum 6.579 2.596 3.406 395 6.772 19.748
4 Lahan Tanaman Pangan Berkelanjutan 32.137 28.096 4.535 2.346 3.698 70.812
5 Wilayah Pertambangan Rakyat 2.732 1.055 3.889 7.167 20.921 35.764
6 Perkebunan 667.879 390.522 548.891 44.962 578.426 2.230.680
7 Peruntukan Budidaya Lainnya 173.215 161.147 237.355 98.114 669.831
Jumlah 1.381.322 906.843 910.872 168.735 1.223.755 4.591.527
Jumlah pada Tipologi #1 s/d #7 1.548.448 521.570 994.450 1.186.459 207.209 8.907.610
Sementara disisi lain, kawasan APL yang seyogyanya diperuntukan untuk kepentingan
masyarakat justru saat ini telah banyak di kuasai oleh industry perkebunan. Dari luas
keseluruhan APL sebesar 2.612.892,91 ha, yang telah menjadi industry perkebunan seluas
1.075.096,71 ha. Artinya sekitar 41,15 % lahan APL telah menjadi kepemilikan korporasi.
Pada saat sama di dalam RTRWP masih ada 391 desa yang bestatus di dalam kawasan
hutan. Kita merasa pada kebijakan RTRWP ini tidak adil karena lebih mengakomodir
kepentingan industry perkebunan dari pada kepnetingan masyarakat.
Peta RTRWP yang di Overlay Dengan Peta Perkebunan 2012
Sumber: Perda Kalteng No. 5 Tahun 2015tentang RTRWP Kalteng 2015-2035 dan Peta
Perkebuanan Besar Swasta di Kalimantan Tengah (2012)
1.3. Wilayah Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah
- Gambaran sosek masarakat
- Program-program yang di kerjakan oleh CSO berkaitan WKR
- Luasan wilayah kelola rakyat
- Konflik
1.4. Koordinasi dan Supervisi Kehutanan, Perkebunan dan Mineral Batubara dalam
Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam
- Landasan pelaksanaan korsub
- Program korsub
- Rekomendasi korsub
BAB 2. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI GN-SDA DI SEKTOR KEHUTANAN
Hutan merupakan suatu ekosistem yang tidak hanya memiliki kekayaan berupa kayu,
tetapi terdapat potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat. Sebagai
ekosistem, hutan berperan dalam penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup
berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya
pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air, hutan merupakan salah satu kawasan yang
sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta
tumbuhan.
Undang – Undang RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1 ayat 2 menyatakan: Hutan adalah
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Sedangkan ayat 3 mengenai Kawasan Hutan didefinisikan sebagai
berikut: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Kawasan Hutan belum tentu seluruhnya terdapat hutan, ada kawasan hutan yang
mempunyai pohon-pohon yang jarang bahkan tidak terdapat pohon. Namun, oleh
pemerintah, tetap disebut “Kawasan Hutan”. Wilayah-wilayah di dalam kawasan hutan
yang tidak mempunyai pepohonan bahkan tidak bervegetasi sering disebut lahan kritis.
Lahan-lahan kritis ini perlu direhabilitasi dengan menanam pohon-pohon yang sesuai
dengan tempat tumbuhnya.
Kondisi yang ada saat ini, praktik penguasaan hutan justru melupakan bagaimana hutan
seharusnya sebagai bagian dan membentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan
pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam yang otoriter, kelemahan dalam tata
kelola, dan ketidak pastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar
Commented [GA3]: Berdasarkan hasil kegiatan
lapangan CSO, presentasi Pak Sipet di Lombok.
Commented [F4]: Grahat yang kerjakan
abad ini, yaitu korupsi. Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah
memberikan hipotesis bahwa Pasal 33 UUD 1945 ini telah dikorupsi.22
Penguasaan kawasan hutan yang diserahkan pemerintah ke sector swasta ternyata tidak
dapat menjawab kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total
41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala
kecil dan masyarakat adat. Sedangkan kerusakan hutan (deforestasi) terus terjadi dari
tahun ke tahun, baik karena pembukaan hutan secara masiv oleh koorporasi perkebunan,
pertambangan, maupun oleh aktivitas-aktivitas illegal.
Buruknya pengawasan disektor kehutanan, membuat negara mengalami kerugian
mencapai 35 trilyun pertahun akibat dari pembalakan liar. Belum lagi akibat dari
lemahnya pengawasan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan disektior pertambangan.
Buruknya tata kelola yang terjadi selama ini, terbukti dengan hasil kajian KPK tahun 2013
membuktikan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat rentan dengan
korupsi. Melalui metoda kajian Corruption Impact Assessment (CIA), temuan kajian
mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan
penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi
peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan
suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture.23
Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas nomer 2 Se-Indonesia, setelah Papua.
Luasan dataran Kalimantan Tengah mencapai 153.564 km2. Terdiri dari 13 Kabupaten dan
1 kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 529/Menhut-II/2012 dan
perubahan parsial (pelepasan) Kawasan Hutan Kalimantan Tengah mencapai
12.447.191,53 Ha atau sekitar 80,68% dari provinsi, sedangkan untuk non kawasan hutan
(APL) seluas 2.979.588,47 Ha atau sekitar 19,32% dari provinsi. Adapun kawasan hutan
tersebut terdiri dari:
No Status Luasan (Ha)
1 Hutan Konservasi 1.630.828
2 Hutan Lindung 1.346.066
3 Hutan Produksi Terbatas 3.317.461
4 Hutan Produksi Tetap 3.882.817
5 Hutan Produksi Konversi 2.271.019,53
22 http://acch.kpk.go.id/gn-sda-sektor-kehutanan-dan-perkebunan diakses pada 25 Juni 2016
23 Ibid
2.1. Penguatan Hak Tenurial Masyarakat Dalam Pengukuhan Kawasan Hutan
Wilayah kelola rakyat harus diakui bukan hanya berada didalam kawasan non hutan
(APL), tetapi juga berada didalam kawasan hutan. Hal itu dikarenakan proses pengelolaan
yang dilakukan oleh masyarakat merupakan pengelolaan yang sudah dilakukan secara
turun temurun. Selain itu, ketidak tahuan masyarakat terkait status kawasan yang telah
ditentukan oleh pemerintah itu sendiri.
Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui kementrian
dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dalam hal penguatan hak-hak
tenurial masyarakat dalam pengkuhan kawasan hutan.
a. Kebijakan Pemerintah Provinsi dalam penguatan hak tenurial masyarakat.
Commented [GA5]: IP4T Kalimantan Tengah
Pemerintah provinsi maupun kabupaten merasa telah melakukan berbagai cara dalam
penguatan hak tenurial masyarakat, diantaranya dengan mengakomodir penguatan
tenurial melalui peraturan daerah. Sebagai contoh terbitnya Perda Provinsi Kalteng Nomor
16 Tahun 2008 jo. Perda Nomor 1 tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Dayak di
Kalteng. Beserta Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak
di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.
Dimana pengakuan masyarakat adat dan hak atas tanah memiliki posisi tawar tertentu,
dengan mendorong kedamangan untuk dapat mengeluarkan surat keterangan tanah
adat (SKTA). Hanya saja, tindak lanjut dari penerbitan SKTA ini yang kerap menjadi
kendala, karena keinginan dari pemerintah provinsi adalah agar SKTA ini dapat
dinaikkan statusnya menjadi sertifikat dan mendorong Badan Pertanahan Nasional
yang berada di provinsi maupun kabupaten agar dapat mengakomodir SKTA tersebut..
Melihat kondisi tersebut, BPN provinsi maupun kabupaten merasa tidak memiliki
wewenang dalam meningkatkan status SKTA tersebut apabila berada di dalam kawasan
hutan. Tetapi, apabila SKTA tersebut berada didalam kawasan non hutan (APL) dan tidak
bersinggungan/tumpang tindih dengan hak kelola yang sudah diterbitkan pemerintah
sebelumnya maka dapat dimungkinkan untuk ditindak lanjuti oleh BPN.
Oleh karena itu, pemerintah provinsi meminta agar Damang untuk melakukan inventarisir
dan memetakan wilayah-wilayah yang merupakan tanah adat di Kalimantan Tengah
Perkembangan Wilayah Kelola Masyarakat Adat Yang Sudah Terbit Surat
Keterangan Tanah Adat (SKTA) oleh Damang sampai dengan Maret 201524
Lokasi Jumlah SKTA Luas (Ha)
Kabupaten Pulang Pisau, Kecamatan,
Banama Tingang
121 236,87
Kabupaten Kapuas, Kecamatan Timpah 438 1366.66
24 Paparan Gubernur Kalteng terkait Pengakuan Wilayah Adat Dan Wilayah Kelola Rakyat Dalam
Kerangka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Disampaikan
Pada: Dialog Nasional Membangun Simpul Kerja Sama Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat
Sipil dalam Mewujudkan Percepatan engakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola Rakyat
MATARAM, 17-18 APRIL 2015
Kabupaten Seruyan,
- Kecamatan Seruyan Hulu
- Kecamatan Hanau
233
147
80,67
449
Kabupaten Katingan, Kecamatan Petak
Malai
246 408,88
Kabupaten Barito Selatan, Kecamatan
Dusun Utara
161 361,83
Kabupaten Gunung Mas, Kecamatan Tewah 5 3,98
Kabupaten Barito Timur, Kecamatan
Karusen Janang
26 12,59
Kabupaten Murung Raya, Kecamatan Tanah
Siang
38 77,73
Kabupaten Barito Utara, Kecamatan Gunung
Timang
164 169,57
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kecamatan
Bukit Santuai
36 55,28
Kabupaten Lamandau, Kecamatan Bulik
Timur
13 4,8
Kabupaten Sukamara, Kecamatan Permatan
Kecubung
8 13,9
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kecamatan
Arut Utara
30 3,73
Kota Palangka Raya, Kecamatan Rakumpit 88 176
Jumlah 1.754 3.421,49
Selain itu, pada 26 maret 2015, keluar surat nomor: 522/0328/Dishut dari Gubernur
Kalimantan Tengah kepada Bupati dan Walikota Se-Kalimantan Tengah dengan perihal
Permohonan Rekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) untuk
Program Redistribusi Tanah Bagi Masyarakat pada 169 Kelurahan/Desa di Provinsi
Kalimantan Tengah..
Surat tersebut bertujuan untuk:
o Penyelesaian enclave desa/kelurahan yang berada dalam kawasan HPK (169
desa/kelurahan).
o Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi tanah.
o Pencapaian Program Indonesia Kerja (RPJMN 2015-2019).
Dimana, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
Kalimantan Tengah, diketahui bahwa setidaknya sebanyak 169 Kelurahan/Desa di Provinsi
Kalimantan Tengah masih berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat di-konversi
(HPK).
Usulan tersebut telah dikirimkan ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
tahun 2015, dimana dalam surat yang tersebut dilampirkan kabupaten mana saja yang
mengajukan usulan pelepasan HPK beserta luasan wilayah yang akan diusulkan untuk
dilepaskan.
Usulan Bupati/Walikota untuk Pelepasan HPK bagi Desa/Kelurahan25
No. Kab./ Kota No. Surat Tgl. Surat Luas (Ha)
1. Palangka Raya 33/DLHK/Bid.II/III/2015 27-03-2015 34.203
2. Murung Raya 58.1/120/DK-MR 27-03-2015 65.574,3
3. Lamandau 522.1.11/340/III/2015 27-03-2015 21.923,8
4. Kotawaringin
Timur 522.1/621/Dishutbun/III/2015 30-03-2015 123.309,29
5. Kapuas 522/561/Adm.SDA.2015 27-03-2015 120.314,07
25 Ibid
6. Barito Timur 522/150/Hutbun 31-03-2015 6.361,22
7. Sukamara 522/150/Hutbun 31-03-2015 6.361,22
Hingga saat ini, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum menindaklanjuti
surat permohonan Gubernur Kalimantan Tengah terkait 169 Kelurahan/Desa yang berada
di dalam kawasan HPK untuk segera dilepaskan menjadi kawasan Non Hutan (APL).
Pada Juni 2015, terjadi penambahan Desa/Kelurahan yang masuk kawasan HPK, dari 169
Kelurahan/Desa di 1 Kota dan 6 Kabupaten, menjadi 377 Desa/Kelurahan yang masuk pada
kawasan HPK untuk 1 Kota dan 13 Kabupaten Se-Kalteng.
Terkait 377 Desa/Kelurahan yang masuk kawasan HPK, Gubernur Kalimantan Tengah
juga telah mengirimkan surat Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal
Permohonan pelepasan kawasan HPK untuk kelola masyarakat Desa/Kelurahan di
Provinsi Kalimantan Tengah.
b. Kebijakan Pemerintah Pusat dalam penguatan hak tenurial masyarakat,
Pada tahun 2014, terbit Peraturan bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia, Dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang
Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
peraturan ini merupakan tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam
kawasan hutan yang bertujuan untuk mengakomodir wilayah kelola masyarakat yang
masuk di dalam kawasan hutan.
Menindak lanjuti hal tersebut, pemerintah daerah Kalimantan Tengah pun meminta seluruh Kabupaten/Kota untuk
melakukan koordinasi dan membentuk Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan
Hutan.
Berikut merupakan daftar rekapitulasi Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan
Hutan.26
No Wilayah No. SK Tanggal Tentang Keterangan
1 Prov. Kalimantan
Tengah
188.44/264/2015 12 Mei 2015 Pembentukan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Provinsi Kalimantan Tengah.
SK. Gubernur
Kalimantan
Tengah
2 Prov. Kalimantan
Tengah
12/KEP-
400.14.62/V/2015
12 Mei 2015 Pembentukan secretariat Tim Inventarisir Penguasaan,
Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan
Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah.
SK. Kepala Kanwil
BPN Prov. Kalteng
3 Kab. Seruyan 188.45/203/2015 15 Mei 2015 Perubahan atas Keputusan Bupati Seruyan Nomor:
188.45/138/2015 Tentang pembentukkan Tim
Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan
Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Seruyan
tahun 2015.
SK. Bupati Seruyan
4 Kab. Barito Utara 188.45/294/2015 28 Mei 2015 Pembentukan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Barito Utara
SK. Bupati Barito
Utara
5 Kab. Kotawaringin
Timur
188.45/5/Huk-
BPN/2015
23 Januari
2015
Penetapan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan
Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Kotawaringin Timur.
SK. Bupati
Kotawaringin
Timur
6 Kab. Kotawaringin
Barat
590/05/S.Kep/Pe
m-Tan/ IV/2015
2 April 2015 Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan
Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan
SK. Bupati
Kotawaringin
Barat
7 Kab. Gunung Mas 173 Tahun 2015 20 April 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Gunung Mas.
SK. Bupati Gunung
Mas
26 Laporan Progres Implementasi Rencana Aksi GN-PSDA Korsup Kehutanan dan Perkebunan, 2016.
8 Kab. Lamandau 188.45/178/IV/HU
K/2015
6 April 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Lamandau.
SK. Bupati
Lamandau
9 Kab. Sukamara 188.45/66/2015 10 Maret 2015 Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan
Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Sukamara.
SK. Bupati
Sukamara
10 Kota Palangka
Raya
188.45/122/2015 30 Maret 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kota
Palangka Raya.
SK. Walikota
Palangka Raya
11 Kab. Murung Raya 188.45/155/2015 12 Maret 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Murung Raya.
SK. Bupati Murung
Raya
12 Kab. Barito Selatan 130 TAHUN 2015 5 Maret 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Barito Selatan 2015.
SK Bupati Barito
Selatan
13 Kab. Barito Timur 112 TAHUN 2015 27 Maret 2015 Penetapan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan
Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Barito Timur.
SK Bupati Barito
Timur
14 Kab. Kapuas 285/BAPPEDA
TAHUN 2015
23 Maret 2015 Perubahan atas keputusan Bupati Kapuas Nomor:
216/BAPPEDA Tahun 2015 Tentang Pembentukkan Tim
Inventarisir Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan
Tanah Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Kapuas.
SK Bupati Kapuas
15 Kab. Katingan 050/143/Kpts/III/
2015
6 Maret 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Katingan Tahun 2015.
SK Bupati
Katingan
16 Kab. Pulang Pisau 246 Tahun 2015 25 Mei 2015 Pembentukkan Tim Inventarisir Penguasaan, Pemilikan
dan Pemanfaatan Tanah Dalam Kawasan Hutan di
Kabupaten Pulang Pisau
SK Bupati Pulang
Pisau
Dalam perkembangan IP4T yang telah di SK kan oleh Bupati/Walikota Se-Kalimantan
Tengah ini, hanya 2 kabupaten yang berjalan. Yaitu Kabupaten Barito Selatan dan
Kabupaten Kapuas. Kabupaten Barito Selatan dapat berjalan karena momentum pasca
penataan batas kawasan yang dilakukan oleh BPKH 5 Banjar Baru dan merupakan pilot
project. Sedangkan Kabupaten Kapuas merupakan lokasi yang dianggap prioritas oleh
pemerintah daerah.
Lokasi Prioritas Kabupaten Barsel berada di 18 desa sepanjang Hutan Lindung Sungai
Barito-Sungai Kapuas yang pada tahun 2013 tidak menyetujui adanya penataan batas
kawasan hutan. Sedangkan lokasi prioritas di Kabupaten Kapuas berada di Kecamatan
Timpah.
Berikut lokasi prioritas IP4T di Kalimantan Tengah:
Kabupaten Barito Selatan Kabupaten Kapuas
1. Desa Sababillah
2. Desa Lembeng
3. Desa Danau Masura
4. Desa Teluk Telaga
5. Desa Muara Talang
6. Desa Bintang Kurung
7. Desa Tampijak
8. Desa Teluk Sampudau
9. Desa Selat Baru
10. Desa Teluk Betung
11. Desa Talio
12. Desa Sungai Jaya
13. Desa Batampang
14. Desa Teluk Timbau
15. Desa Batilap
16. Desa Rangga Ilung
17. Dusun Muara Puning
18. Dusun Simpang Telo
1. Desa Danau Pantau, Kecamatan
Timpah (Di dalam Kawasan Hutan
Lindung)
Target identifikasi dan pengukuran yang dilakukan oleh Tim IP4T Kabupaten Barito
Selatan mencapai 3000 persil, hanya saja hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti
persil yang sudah dilakukan pengukuran di 16 Desa 2 Dusun tersebut.
Kegiatan pengukuhan dan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan hingga
kegiatan IP4T telah memberikan perspektif baru bagi masyarakat dimana penguasaan
kawasan hutan yang dikelola masyarakat dapat menjadi legal dengan terbitnya sertifikat
kepemilikan.
Selain itu, berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan civil social organization (CSO) di
Kalimantan Tengah dan Nasional, menyimpulkan bahwa, dorongan penyelesaian hak-hak
masyarakat dalam kawasan hutan untuk mendapatkan pengakuan oleh pemerintah
melalui kegiatan IP4T pada tataran pemerintah daerah pada gilirannya kurang berjalan
dikarenakan masih ada pandangan bahwa kegiatan yang dilaksanakan merupakan
kegiatan salah satu instansi bukan kegiatan kolektif pemerintah. Belum lagi persoalan
klasik terkait anggaran.
Kegiatan IP4T yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya di Kabupaten
Barito Selatan, Kabupaten Lamandau, serta Kabupaten Kapuas bertitik tolak pada
masalah klasik anggaran. Mengacu kepada Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksanaan
Inventarisasi Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), bahwa
penganggaran bersumber dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Fakta hasil kegiatan
lapangan, diketahui bahwa hanya Kabupaten Kapuas yang dana kegiatan IP4T berasal
dari BPN. Kabupaten Lamandau tidak ada kegiatan lapangan, hanya ada beberapa kali
rapat sosialisasi. Informasi yang didapatkan, Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau
melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan tidak menganggarkan kegiatan IP4T pada
anggaran tahun 2015 dikarenakan kegiatan ini dipandang sebagai kegiatan BPN.
Kabupaten Barito Selatan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan menganggarkan 1
Milyar Rupiah sebagai dana pendamping untuk kegiatan IP4T. Disebut dana pendamping
karena BPN Kabupaten Barito Selatan mempunyai anggaran untuk inventarisasi 750
bidang persil pada kegiatan IP4T. Hasil lapangan menunjukan kegiatan IP4T hanya
menggunakan anggaran yang berasal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Selatan.27
Meskipun perkembangan IP4T di Kalimantan Tengah belum jelas arahnya kemana, tetapi
pihak Dewan Adat Dayak melalui Pemerintah Provinsi merasa, IP4T dapat menjadi
peluang bagi masyarakat dayak untuk penegasan lahan kelola tani “Dayak Misik”.
Terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah yang
ditandatangani langsung oleh Pj. Gubernur Kalimantan Tengah Drs. Hadi Prabowo, MM.
Dengan nomor: 188.44/190/2016 Tentang Penegasan Lahan Kelola Kelompok Tani Dayak
Misik Kalimantan Tengah yang terbit pada 24 Maret 2016.
Menurut Keputusan Gubernur tersebut, bahwa dibentuknya Tim IP4T merupakan dalam
rangka memberikan pengakuan, penghargaan dan perlindungan Negara/Hukum terhadap
Tanah Adat dan Hutan Adat untuk mewujudkan dan meningkatkan kemandirian,
kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat adat dayak. Selain itu, keputusan ini juga
mencantumkan, bahwa setiap Kelurahan/Desa memiliki Hutan Adat minimal 10 hektar
dan masing-masing kepala keluarga memperoleh tanah/lahan seluas 5 hektar.
Pemberian tanah/lahan seluas 5 hektar ke setiap kepala keluarga yang bernaung dibawah
kelompok tani dayak misik tersebut, pembuktiannya melalui Surat Keterangan Tanah Adat
(SKTA) atau surat sejenis lainnya, dan statusnya dapat dinaikkan menjadi sertifikat
dimana pemberian sertifikat tersebut dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
kemampuan keuangan pemerintah (Negara).
27 Laporan Monitoring IP4T Barito Selatan, 2015. Ephistema Institute
Keputusan Gubernur diatas, merupakan tindak lanjut dari surat yang pernah dikeluarkan
Gubernur Kalteng Nomor: 590/572/III.12/Kesra/2015 yang ditujukan kepada Bapak
Presiden Republik Indonesia, tentang, Penegasan Lahan Kelola Kelompok Tani Dayak
Misik, dimana Gubernur meminta agar 530 Desa/Kelurahan dan lahan kelola kelompok
dayak misik yang masuk dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan atau
diinclave menjadi APL sebagaimana kebijakan pemerintah kepada warga transmigrasi, dan
dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai bukti nyata kehadiran Negara ditengah-
tengah masyarakat.
Mungkin ada yang ingin menambahkan terkait IP4T…………………..?????
2.2. Penataan Perizinan Usaha Kehutanan
Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran
dan modern, dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5
tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai PMA dan Undang-Undang
No. 6 tahun 1968 tentang PMDN. Ketiga Undang-undang itulah yang mendasari dan
menjadi landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan
Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk
HPH dan HPHH, serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan
(sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya).
Berikut ini data tentang perkembangan HPH sejak Pelita I sampai dengan tahun 200028 :
No Periode Pelita (Tahun) SK HPH
Jumlah Luas
1 Awal Pelita I (1969/1970) 3 381.000
2 Pelita II (1978/1979) 87 8.567.500
3 Pelita III (1979/1980) 95 9.291.500
4 Pelita IV (1984/1985) 112 11.231.500
5 Pelita V (1989/1990) 117 11.862.500
6 Tahun 2000 (s/d Desember 2000) 53 4.790.522
Kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah di mulai dengan hanya 3 unit HPH
pada tahun 1969/1970. Dimana tiap tahun terjadi penambahan kepemilikan HPH dan
mencapai puncaknya pada medio 1989/1990 dengn jumlah mencapai 117 HPH dengan
luasan 11.862.500 Ha. Tetapi, era kayu mengalami pemerosotan yang sangat drastis
terlihat penurunan pada tahun 2000 menjadi 53 unit dengan cakupan luasan areal
4.790.522 Ha.
Pengelolaan HPH yang mengalami kegagalan dalam pengelolaan hutan, gagalnya reboisasi,
illegal logging dan penyerobotan areal menjadi penyebab menyusutnya kepemilikan HPH.
28 http://kalteng.go.id/indo/kehutanan_kondisi.htm diakses pada 29 juni 2016
Commented [GA6]: Data dari Dinas Kehutanan
Kalteng
Dimana pengelolaan penguasaan hutan secara lestari hanya sebagai jargon yang tidak
dapat dilaksanakan oleh pemegang ijin, sehingga harus dikembalikan kembali ke Negara.
Meskipun terjadi penurunan drastis dalam hak pengelolaan hutan, perijinan di sector
kehutanan tetap menjadi yang terluas apabila dibandingkan dengan perijinan disektor
pertambangan dan perkebunan sekala besar. Terbukti dengan luas perijinan sector
kehutanan mencapai 4 juta hektar lebih.
Data Perizinan Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2016
Data perizinan di bidang kehutanan terdiri dari Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada
Hutan Tanaman, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi
Ekosistem dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Penyerapan dan
atau Penyimpanan Karbon, dengan rekapitulasi sebagai berikut:
A. Areal IUPHHK Hutan Alam (HPH)
- Areal yang berada di Kalteng 56 Unit, seluas : 3,965,874.37 Ha
- Areal Lintas Provinsi 2 Unit, seluas : 50,412.00 Ha
- Jumlah Total 58 Unit, seluas : 4,016,266.37 Ha
B. Areal IUPHHK Hutan Tanaman (HTI)
- Status Izin Definitif 23 Unit, seluas : 613,525.49 Ha
- Belum Definitif 2 Unit, seluas : 30,500.00 Ha
- Jumlah Total 25 Unit, seluas : 644,025.49 Ha
C. Areal IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE)
- Areal yang berada di Kalteng
(PT. Rimba Makmur Utama
dan PT. Rimba Raya
Conservation)
2 Unit, seluas : 145,406.00 Ha
- Areal Lintas Provinsi 0 Unit, seluas : 0 Ha
- Jumlah Total 2 Unit, seluas : 145,406.00 Ha
D. Areal IUPHHK Penyerapan dan atau Penyimpanan Karbon (Pan/Rap Karbon)
- Areal yang berada di Kalteng
(PT. Hutan Amanah Lestari)
1 Unit, seluas : 25,800.00 Ha
- Areal Lintas Provinsi 0 Unit, seluas : 0 Ha
- Jumlah Total 1 Unit, seluas : 25,800.00 Ha
Total pengelolaan kawasan hutan apabila melihat tabulasi diatas maka, kawasan hutan
Kalteng yang memiliki izin kehutanan seluas: 4.831.497,86 Hektar. Dari 12.447.191,53Ha
kawasan hutan di Kalteng. Luasan kawasan hutan yang sudah memiliki izin kehutanan
tersebut, belum termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Izin Pelepasan Kawasan
Hutan di sector investasi.
Berikut merupakan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IUPPKH) dan Data Ijin Pelepasan
Kawasan Hutan (IUPKH):
A. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pertambangan yang sudah Operasi Produksi
No. Kabupaten Tambang
Jumlah (unit) Luas (Ha)
1 Lamandau 1 390,880
2 Seruyan - -
3 Barito Timur 4 1.869,770
4 Barito Utara 15 20.416,470
5 Barito Selatan 5 3.570,700
6 Gunung Mas - -
7 Kapuas 6 5.672,910
8 Katingan 1 431,300
9 Kotawaringin Barat - -
10 Kotawaringin Timur 1 129,500
11. Murung Raya 8 18.187,566
12. Pulang Pisau - -
13. Sukamara - -
14. Palangka Raya 1 494,130
15. Lintas Kabupaten 6 24.771,740
Total 46 75.544,086
B. Izin Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sekala Besar
No Tahap Jumlah (unit) Luas (ha)
1 Persetujuan Prinsip 15 74.228,06
2 Pelepasan 92 921.991,63
Jumlah 107 996.219,69
Berdasarkan hasil tinjauan data yang dilakukan oleh Dirjen Minerba ketika Korsup
sawit beberapa waktu yang lalu, dimana terdapat aktivitas non prosedural yang
dilakukan oleh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang masuk kedalam kawasan hutan
tanpa adanya Ijin Pelepasan Kawasan Hutan.
Penggunaan kawasan hutan tidak prosedural oleh pertambangan di Kalimantan tengah
sebanyak 483 unit IUP. Dengan luasan mencapai 3.570.518 Ha, dengan rekapitulasi
sebagai berikut:
No Status Luasan (Ha)
1 Hutan Konservasi 8.315
2 Hutan Lindung 116.758
3 Hutan Produksi Terbatas 1.354.011
4 Hutan Produksi 1.364.565
Selain itu, proses dalam melakukan ijin pelepasan kawasan hutan pun masih terjadi
kendala, dimana terdapat perusahaan yang ada ijin usaha perkebunan tetapi belum
melakukan proses pelepasan kawasan hutan, berikut merupakan hasil analisis spasial izin
usaha perkebunan terhadap kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah yang
dilakukan oleh Badan Planologi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ketika
melakukan paparan pada saat Korsup hutan dan kebun pada mei 2016.
PETA SEBARAN IZIN USAHA
PERKEBUNAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
JUMLAH IUP = 264 Prshn
SUMBER : Data Spasial IUP
Perkebunan dari Dinas Perkebunan
Prov. Kalteng tahun 2016
No KRITERIA UNIT LUAS (HA)
1
Indikasi IUP yang berada dalam kawasan
HPK yang belum memiliki pelepasan
kawasan
212 895.509,7
2 Indikasi IUP yang berada dalam kawasan
HK, HL dan HP/HPT 222 1.137.459,2
Luas total 2.032.968,9
FUNGSI LUAS (HA)
KSA/KPA 48.091,7
HL 50.235,7
HPT 154.097,2
HP 855.034,7
TOTAL 1.137.459,2
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat guna
menegakkan hukum apabila memang terjadi kesalahan prosedural maupun apabila terjadi
unsur pidana dalam proses pinjam pakai kawasan hutan maupun pelepasan kawasan
hutan.
Melihat kondisi diatas dan dalam pemenuhan Rencana Aksi Gerakan Nasional Pengelolaan
Sumber Daya Alam Kooordinasi dan Supervisi Kehutanan dan Perkebunan, maka
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah melakukan beberapa langkah dan pembenahan
baik secara internal maupun mendorong para pemegang ijin melakukan pemenuhan-
pemenuhan data dan informasi yang belum terpenuhi.
Adapun langkah startegis yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
adalah sebagai berikut:
No Tanggal No. Surat Tujuan Perihal Keterangan
1 18 September 2015 522.11/0799/Dishut
pemegang Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan
(IPKKH) wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah.
laporan pemenuhan
kewajiban pemegang IPPKH
Surat ini bertujuan untuk
melakukan pengumpulan data
dan informasi penggunaan
kawasan hutan untuk
kepentingan non kehutanan
dan pemenuhan
kewajibannya.
2 18 September 2015 522.1/0798/Dishut
Ditandatangani oleh Pj.
Gubernur Kalteng
Walikota Palangka Raya
dan Seluruh Bupati Se-
Kalimantan Tengah
Renaksi GN-PSDA Korsup
Kehutanan dan Perkebunan
Pemenuhan matriks GNPSDA
sektor Kehutanan dan
perkebunan.
Mempedomani setiap
rekomendasi perbaikan serta
mendorong percepatan
tercapainya target korsup
yang telah ditetapkan,
melaksanakan renaksi sesuai
kewenangan masing-masing,
melakukan pengumpulan data
dan informasi perizinan
kehutanan, perizinanannon
kawasan hutan, perkebunan
serta pemenuhan kewajiban
dalam rekonliasi data.
3 28 September 2015 522/0827/Dishut
Ditandatangani oleh
Sekda Provinsi Kalteng
Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak
Kalimantan Selatan dan
Tengah
Informasi pemenuhan
kewajiban pajak perusahaan
bidang kehutanan dan
perkebunan
Meminta untuk memberikan
data dan informasi mengenai
pemenuhan kewajiban pajak
perusahaan pemegan izin
kehutanan dan perkebunan
4 28 September 2015 522/0828/Dishut
Ditandatangani oleh
Sekda Provinsi Kalteng
Kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)
Provinsi Kalimantan
Tengah
Menindaklanjuti surat
522.1/0798/Dishut
implementasi Renaksi
GNPSDA Korsup Hutbun
Prov. Kalteng.
Dalam pemenuhan 6 sasaran
dan 20 Renaksi, menyiapkan
data dan dokumen,
melakukan langkah tindak
lanjut untuk menunjang
progres renaksi sesuai dengan
bidang masing-masing,
meningkatkan koordinasi
antar instansi,
menginventarisir dan
melaporkan masalah yg
dihadapi dalam pelaksanaan
renaksi.
5 15 Oktober 2015 522.1.100/2295/Dishut.
Ditandatangani oleh
Kepala Dinas Kehutanan
Prov. Kalteng
Seluruh Kepala Dinas
Kehutanan Se-Kalteng
dan Kepala BP2HP,
BPDAS Barito, BPDAS
Kahayan, BPKH XXI di
Kalimantan Tengah
Mengundang 53 Unit
usaha pertambangan
pemegang IPPKH
Undangan Rapat koordinasi
pemenuhan kewajiban izin
pinjam pakai kawasan
hutanuntuk kegiatan
operasi produksi
Rapat dilaksanakan pada
tanggal 26-27 Oktober 2015
Rapat ini merupakan tindak
lanjut dari surat
522.11/0799/Dishut serta
menyampaikan laporan
singkat terkait pemenuhan
kewajiban, serta membawa
data terkait pemenuhan
kewajiban IPPKH.
6 05 Nopember 2015 522.1.100/2322/Dishut
Ditandatangani oleh
Kepala Dinas Kehutanan
Prov. Kalteng
20 Daftar pemegang
IPPKH untuk Kegiatan
Operasi Produksi
(Eksploitasi)
Surat Peringatan I (satu) Memberikan surat peringatan
kepada pemegang IPPKH,
karena tidak menghadiri
pertemuan pada 26-27
Oktober 2015 dan tidak
pernah memberikan laporan
pemenuhan kewajiban.
Apabila dalam kurun waktu
30 hari kalender sejak
pengiriman surat peringatan I,
maka akan memberikan
peringatan II.
7 27 Nopember 2015 S-4689/WPJ.29/2015
Plh. Kepala Kantor
Direktorat Jenderal
Pajak Kalimantan
Selatan dan Tengah
Sekretaris Daerah
Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah
Informasi Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan
Perusahaan Pemegang Izin
Kehutanan dan Perkebunan.
Menjawab surat Nomor:
522/0827/DISHUT pada
tanggal 28 September 2015
dalam hal informasi
pemenuhan kewajiban pajak
perusahaan Bidang
Kehutanan dan Perkebunan.
8 19 Nopember 2015 522.2.211/808/DISHUT
Ditandatangani oleh
Kepala Dinas Kehutanan
1. Ir. Bambang Heryanto
2. Bahara, SE
3. Endah Winarni, S.Hut
Surat Perintah Tugas Mengikuti Kegiatan
rekonsiliasi penerimaan
Provinsi Kalimantan
Tengah
4. Ashar, S. Hut. PSDH, DR dan IIUPH
Triwulan IV Tahun 2015
9 November 2015 Laporan Hasil Rekonsiliasi
Penerimaan Iuran
Kehutanan (DBH SDA
Kehutanan) Triwulan IV
Tahun 2015
10 8 Desember 2015 522.1.100/2567/Dishut
Ditandatangani oleh
Kepala Dinas Kehutanan
Prov. Kalteng
Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan
Tindak lanjut perusahaan
skema PP No. 60/2012 Yang
belum melengkapi
persyaratan
Meminta arahan dari Disjen
Planologi dan Tata
Lingkungan, terkait dengan
31 Perusahaan Perkebunan
yang tidak
memenuhi/menindaklanjuti
persyaratan PP No. 60/2012.
11 8 Desember 2015 522.1.100/2568/Dishut
Ditandatangani oleh
Kepala Dinas Kehutanan
Prov. Kalteng
1. PT. Graha Inti Jaya
2. PT. Kahayan Agro
Lestari
3. PT. Rezeki Alam
Semesta Raya
4. PT. Wanayasa
Kahuripan Indonsia
5. PT. Agro Kalimantan
Abadi
6. PT. Suryamas Cipta
Perkasa
7. PT. Berkah Alam
Fajarmas
8. PT. Bahaur Era Sawit
Tama
9. PT. Karya Luhur Sejati
Penghentian Kegiatan Menindaklanjuti hasil rapat
koordinasi perkembangan
penyelesaian persyaratan PP
Nomor 60 Tahun 2012 yang
dilaksanakan pada 3
Desember 2015. Permohonan 9
Perusahaan telah ditolak oleh
Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutan.
Meminta kepada 9
perusahaan tersebut untuk
menghentikan semua kegiatan
oprasional di lapangan sampai
ada petunjuk lebih lanjut dari
Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
2.3. Perluasan Wilayah Kelola Rakyat
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-
Kalimantan Tengah melakukan koordinasi dan identivikasi wilayah Desa/Kelurahan yang
masuk pada kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK). Pada pertemuan koordinasi dan
identifikasi tersebut, ditemukan 377 Desa/Kelurahan yang masuk kedalam kawasan HPK.
Dengan luasan mencapai ±624.101,04 Ha.
Guna memperkuat hasil koordinasi dan identifikasi tersebut, Gubernur Kalimantan
Tengah menerbitkan keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 188.44/301/2015
tentang Penetapan lokasi kelola masyarakat Desa/Kelurahan pada Kawasan Hutan
Produksi yang dapat di Konversi di Provinsi Kalimantan Tengah. Kepeutusan Gubernur
tersebut terbit pada tanggal 23 Juni 2015.
Adapun lokasi kelola yang masuk dala kawasan HPK tersebut adalah, sebagai berikut:
No Kabupaten/Kota Jumlah Ket
Desa/Kelurahan Luas (Ha)
Provinsi Kalimantan Tengah 377 ±624.101,04
1 Murung Raya 32 ±82.435,54
2 Barito Utara 34 ±66.195,84
3 Barito Timur 6 ±1.240,59
4 Barito Selatan 22 ±39.624,16
5 Kapuas 47 ±110.903,07
6 Pulang Pisau 27 ±23.995,60
7 Gunung Mas 14 ±13.783,73
8 Palangka Raya 21 ±34.145,83
9 Katingan 10 ±5.189,75
10 Kotawaringin Timur 75 ±123.276,37
11 Seruyan 60 ±77.858,83
12 Kotawringin Barat 5 ±17,277,05
13 Lamandau 18 ±21.906,51
14 Sukamara 6 ±6.268,17
Pada 23 Juni 2015, Gubernur Kalimantan Tengah mengirimkan surat kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Up. Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal dengan dengan nomor: 522/0551/Dishut perihal, permohonan pelepasan
kawasan HPK untuk kelola masyarakat Desa/Kelurahan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Kondisi eksisting lokasi yang diusulkan tersebut diatas, sebagian sudah merupakan
fasilitas umum, fasilitas social, pemukiman, sawah, kebun dan kegiatan usaha masyarakat
lainnya yang sampai saat ini statusnya masih kawasan hutan, sehingga tidak dapat
memberikan jaminan kepastian terhadap hak-hak sipil masyarakat yang ada di
desa/Kelurahan dimaksud.
Hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari kemetrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan terkait dengan permohonan pelepasan kawasan HPK untuk 377
Desa/Kelurahan yang diajukan oleh Provinsi Kalimantan Tengah.
Commented [GA7]: Data HD dan HKM
Selain permohonan pelepasan kawasan HPK, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga
menggunakan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), berikut tabulasinya sampai dengan Maret 201529:
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm)
No Nama hkm Usulan
desa (ha)
Usulan
kab/ kota
(ha)
Verfikasi (ha) Penetapan
sk.menhut
(ha)
Ket
I. Kabupaten gunung mas
1. Hkm desa
tumbang
miwan
3.135,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan dari
Bupati
2. Hkm teluk
lawah (kt.
Intan lestari)
2.500,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan dari
Bupati
Kabupaten kotawaringin barat
1. Forum gapok
hkm “pelangi
kobar bersatu”
15.000,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan ke
Bupati
III. Kab. Katingan - 1.890,00 - - Masih Dalam
Proses
IV. Kota palangka
raya
- 3.500,00 - - Pencadangan
HKm
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Desa (HD)
29 Paparan Gubernur Kalteng terkait Pengakuan Wilayah Adat Dan Wilayah Kelola Rakyat Dalam
Kerangka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Disampaikan
Pada: Dialog Nasional Membangun Simpul Kerja Sama Pemerintah Pusat, Daerah dan Masyarakat
Sipil dalam Mewujudkan Percepatan engakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola
Rakyat MATARAM, 17-18 APRIL 2015
No Nama HD Usulan
desa (ha)
Usulan
kab / kota
(ha)
Verfikasi
(ha)
Penetapan sk.
Menhut (ha)
Ket.
I. Kabupaten gunung mas
1. Desa
rabambang
450,00 - - - Masih
dalam
proses
pengusulan
dari bupati
2. Desa harowu 13.235,00 - - - Masih
dalam
proses
pengusulan
dari bupati
3. Desa taja
urap
463,00 - - - Masih
dalam
proses
pengusulan
dari bupati
Total 14.148,00
II. KABUPATEN KAPUAS
1. desa
katimpun
3.300,00 3.300,00 3.300,00 3.230,00
SK.212/Menhut
-II/2014
Telah
Mendapat
PAK
2. desa
katunjung
6.920,00 6.920,00 6.920,00 6.315,00
SK.
509/Menhut -
II/2014
Telah
Mendapat
PAK
3. desa
kalumpang
1.000,00 1.000,00 - - Masih Dalam
Proses
Verifikasi
4. desa tumbang
muroi
21.844,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
dari Bupati
5. desa
mantangai
hulu
18.503,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
dari Bupati
6. desa petak
puti
8.305,00 8.305,00 8.305,00 7.855,00
SK.213/Menhut
-II/2014
Telah
Mendapat
PAK
7. desa tambak
bajai
9.238,68 9.238,68 9.238,68 9.580,00
SK.214/Menhut
-II/2014
Telah
Mendapat
PAK
total 69.110,68 28.763,68 27.763,68 26.980,00
III. KABUPATEN KATINGAN
1. desa petak
bahandang
438,00 438,00 438,00 - Dlm Proses
Penetapan
dari Menhut
2. desa hyang
bana
362,00 362,00 362,00 - Dlm Proses
Penetapan
dari Menhut
3. desa talingke 716,00 716,00 716,00 - Dlm Proses
Penetapan
dari Menhut
total 1.516,73 1.516,73 1.516,73 -
IV. KABUPATEN PULANG PISAU
1. desa gohong 4.118,00 4.118,00 2.917,00 3.155,00
SK.587/Menh
ut II/2012
Telah
Mendapat SK
HPHD
2. desa
mantaren
2.378,00 2.378,00 1.765,00 1.835,00
SK.586/Menh
ut-I/2012
Telah
Mendapat SK
HPHD
3. desa buntoi 11.340,00 11.340,00 6.465,00 7.025,00
SK.585/Menh
ut-II/2012
Telah
Mendapat SK
HPHD
4. desa kalawa 6.215,00 6.215,00 3.898,00 4.230,00
SK.587/Menh
ut II/2012
Telah
Mendapat SK
HPHD
total 24.051,00 24.051,00 15.045,00 16.245,00
V. KAB. KOTAWARINGIN TIMUR
1. desa
terantang
1.000,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
2. desa
terantang
hulu
1.200,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
total 2.200,00 - - -
VI. KABUPATEN SERUYAN
1. desa
palingkau
500,00 - - - Masih
Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
2. desa banua
usang
500,00 - - - Masih
Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
total 1.000,00 - - -
VII. KAB. MURUNG RAYA
1. desa olung
ulu
1.620,00 - - - Masih
Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
2. desa
saruhung
1.590,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
3. desa olung
soloi
850,13 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
4. desa kolam 794,37 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
5. desa tumbang
naan
203.468,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
6. desa tumbang
tohan
154.348,00 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
ke Bupati
total 362.670,50
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
no nama htr wilayah
kabupaten
no. sk luas (ha) ket.
i. kab.
kotawaring
in barat
kotawaringin
barat
SK.114/MEN
HUT-II/2008
JO.
SK.526/MEN
HUT-II/2014
11.942,00
revisi
13.500,00
SK. MENHUT
(PENCADANGAN)
1. kop.
“anugerah
alam
permai”
kotawaringin
barat
522.1/226/1.3/
IV/2009
1.744,00 SK. BUPATI
(IUPHHK-HTR)
2. kth “satai
jaya”
kotawaringin
barat
522.2/499.1/1.
3/XI/2012
330,96 SK. BUPATI
(IUPHHK-HTR)
3. kth “sungai
impa”
kotawaringin
barat
PERTEK NO.
S.857/BP2HP
XII-3/2014
240,00 MSH DLM PROSES
PENERBITAN SK BUPATI
4. kth “rimba
arut
sejahtera”
kotawaringin
barat
PERTEK NO.
S.399/BP2HP
XII-3/2014
329,00 MSH DLM PROSES
PENERBITAN SK BUPATI
5. kth “rimba
arut
permai”
kotawaringin
barat
PERTEK NO.
S.396/BP2HP
XII-3/2014
272,00 MSH DLM PROSES
PENERBITAN SK BUPATI
6. kop.
“beringin
jaya”
kotawaringin
barat
- 991,00 USULAN MASIH DALAM
PROSES PERTEK BP2HP
WIL. XII PALANGKA RAYA
ii. kabupaten
kapuas
kapuas SK.512/MEN
HUT-II/2014
5.510,00 SK. MENHUT
(PENCADANGAN)
- kabupaten murung raya
- kabupaten barito utara
- kabupaten barito selatan
- kabupaten barito timur
- kabupaten gunung mas
- kabupaten pulang pisau
- kota palangka raya
- kabupaten katingan
- kabupaten kotawaringin
timur
- kabupaten seruyan
- kabupaten lamandau
- kabupaten sukamara
12 Kabupaten belum ada usulan
Perkembangan wilayah kelola masyarakat Skema Hutan Adat (HTR)
No Nama HD Usulan
desa (ha)
Usulan
kabupaten
/kota (ha)
Verfikasi
(ha)
Penetapan
sk.
Menhut
(ha)
Ket.
I. KAB. GUNUNG MAS
1. Hutan Adat
Tumbang
Bahanei
8.888,0337 - - - Masih Dalam
Proses
pengusulan
dari Bupati
TOTAL 8.888,0337
Persentase penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat yang telah mendapat
pencadangan atau penetapan yaitu:
=
Luas HKM, HD, HTR, HA
X 100%
Luas Kawasan Hutan
=
67.645,03
X 100%
12.447.191,53
= 0,54 %
Keterangan :
Persentase tersebut di atas belum termasuk tanah adat (SKTA) dan permohonan
pelepasan kawasan hutan HPK.
2.4. Penyelesaian Konflik
Berdasarkan catatan Walhi Kalimantan Tengah, sepanjang Tahun 2013 – 2015 setidaknya
ada 156 konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan dan 28 warga
menjadi kriminal. Hal tersebut dikarenakan peran serta masyarakat dalam mengelola
kawasan di wilayahnya semakin terhimpit oleh perijinan kehutanan, perkebunan dan
pertambangan. Hal ini belum termasuk konflik sesama pelaku usaha perijinan.
Saat ini, mekanisme penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah masih dalam proses
penyusunan Naskah Akademik dan Ranperda Penyelesaian Sengketa Tanah dan Sumber
Daya Alam Lainnya di Kalimantan Tengah, Peraturan tentang penyelesaian konflik hanya
ada pada Peraturan Perkebunan No. 42 Tahun 2014 tentang Penanganan dan
Penyelesaian konflik perkebunan di Kalimantan Tengah.
Selama ini, proses penyelesaian konflik dilakukan melalui kelompok kerja yang di SK-kan
oleh Gubernur dan atau oleh Bupati di tiap Kabupaten, penyelesaian konflik melalui pokja
tersebut melibatkan instansi teknis terkait di Provinsi maupun di Kabupaten.
Contoh Konflik yang terjadi di Kalimantan Tengah:
1. Areal Perusahaan di dalam Kawasan Lindung
Commented [GA8]: Akan dibrowsing...
1. Berdasar SK Menhut 529/2012 areal perusahaan berda di dalam kawasan
lindung
2. Izin Telah dicabut Bupati dengan surat No. 25.460/Disbunhut/2013 tertanggal
13 Juli 2013, namun tetap operasional
2. Inpres No. 2 Tahun 2007, Revitalisasi dan Rehabilitasi ???
Inpres 2/2007 mengalokasikan 17.500 Ha lahan untuk perkebunan. Namun, perizinan
yang diterbitkan hingga Maret 2008 oleh pemerintah kabupaten, sebagian besar untuk
kelapa sawit, mencakup 391.048 Ha. Dari lahan ini, 119.564 Ha berada di lahan gambut
dalam (>3m). Sangat disarankan agar izin perkebunan di lahan gambut dalam (> 3 m)
dicabut atau dipindahkan.
3. Berada di dalam kawasan Lindung
Alokasi Inpres 2/2007 -> 17.500 ha
Ijin
391.564 ha
(2.234%) Ijin di gambut dalam
119.564 ha (683%)
1) Berdasarkan dinas pertanian dan perkebunan Kab. Gumas Nomor.
520/84/distanbun/IV/2014 yang di tujukan kepada BLH Gumas perihal
pengecekan lapangan atas areal operasional PT. BMB disebutkan bahwa “PT.
BMB telah melakukan pembukaan lahan pada areal Waduk/DAM sakata Juri
hanya berjarak +/- 125 meter.
2) Tentang penetapan waduk sakata juri sebagai kawasan lindung ditetapkan oleh
bupati Nomor. 130/2004
2.5. Optimalisasi Penerimaan Negara
Bingung terkait Optimalisasi Penerimaan Negara
BAB 3. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI GN-SDA DI SEKTOR PERKEBUNAN
Kalimantan tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah perkebunan
kelapa sawit yang cukup besar. Berdasar data dinas perkebunan provinsi tahun 2015,
Lokasi Pembukaan
Lahan PT. BMB
Commented [GA9]: Data di SIPUH Online (time
series 5 tahun) (2010-2015)
bahwa jumlah unit perkebunan kelapa sawit sebanyak 333 unit dan cakupan luas area
konsesinya seluas 3.901.261 ha30. Artinya konsesi sawit telah menguasai 25,5% lahan dari
total luasan Kalimantan tengah yaitu 15,3 juta ha.
Perkebunan sawit bukanlah hal baru di Kalimantan Tengah. Tercatat bahwa pertamakali
investasi kelapa sawit masuk pada tahun 1992 dengan investor yaitu PT. Indo Turba
Tengah yang bekerjasama dengan Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi
yang didukung oleh Salim Group sehingga kemudian perkembangan pemebarian izin dari
tahun ke tahun berkembang cukup besar yang mendesak ruang hidup dan ruang kelola
masyarakat adat/local.
Pasca reformasi, dari system pemrintah sentralistik berpindah ke system desentralisasi
dimana pemrintah pusat melimpahkan sebagian besar kewenanganya kepada daerah,
maka dari sinilah dimulai era otonomi daerah. Sehingga tiap-tiap kepala daerah
mempunyai kewenangan yang lebih luas dari pada sebelumnya termasuk kewenangan
untuk mengeluarkan perizinan.
Dari sinilah kita melihat bahwa otonomi daerah adalah momentum yang berpengaruh
besar pada perkembangan perizinan perkebunan di Kalimantan Tengah karena
kewenangan yang dimiliki tiap-tiap Kepala Daerah. di tambah lagi dengan kehadiran UU
5/2002 tentang pemekaran Kalimantan tengah, yang semula dari 5 kabupaten menjadi 13
kabupaten dan 1 kota. Artinya pada tiap-tiap daerah hasil pemekaran membutuhkan
kepala daerah, dan pelaku pemberi izin pastinya juga bertambah. Setiap daerah butuh
dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Sementara, sumber pendapatan daerah
masih tergantung pada investasi salah satunya sawit. Namun kita juga jangang terkecoh
begitu saja seakan-akan pemberian izin tersebut berjalan melalui proses dan situasi yang
normal. Kita harus ingat bahwa penyakit korupsi di dalam negeri ini belum sembuh,
sehingga dugaan tak wajar pada proses pemberian izin patut kita lekatkan, apa lagi proses
yang dibangun tersebut tidak transparan sama sekali dan kehadiranya pun mebikin
banyak masalah dilapangan.
Semua perizinan pada era otonomi daerah berada di tangan kepala daerah baik
bupati/gubernur. Sudah menjadi rahasia umum disekitar kita bahwa untuk maju menjadi
kepala daerah bukanlah barang gratisan, ada biaya yang harus di bayar, salah satunya
adalah untuk biaya kampanye yang rata-rata membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Disinilah di duga permainan jual beli izin terjadi untuk modal maju menjadi kepala daerah
dan kompnesasinya adalah izin akan dilancarkan. Maka tidaklah aneh jika sejak setelah
otonomi daerah daerah dan pemekaran kalteng perkembangan perizinan di kalteng naik
menjadi berkali-kali lipat dari seblum otonomi dan pemekaran.
Grafik Perkembangan Pemberian Izin Perkebunan di Kalimantan Tangah
(1980-2010)
30 Berdasar Izin Lokasi Tahun 2015
Sumber: Dara Olahan Walhi Kalteng (2010)
Kita lihat pada grafik diatas, pada tahun 2000 luas izin lokasi untuk perkebunan hanya
berkisar + 50.000 ha, namun pada tahun 2010 luas izin lokasi telah mencapai sekitar +
2.000.000 ha. Kita tahu bahwa pada tahun 2000an Negara Indonesia telah
mengimplementasi system otonomi daerah dan tahun 2002 Kalimantanh Tengah ada
pemekaran daerah dari 5 kabupaten/Kota menjadi 13 Kabupaten dan 1 Kota. Justru pada
setelah momentum pemekaran daerah dan yang pasti diikuti dengan pilkada untuk
menentukan kepala daerah hasil pemekaran, perkembangan pemberian izin lokasi kian
naik tajam menjadi berkali-kali lipat, selama 10 tahun, jumlah rata-rata luas izin lokasi
yang dikeluarkan sebanyak + 200.000 ha pertahun.
Tentu dengan system yang dibangun tidak transparan dan penuh dengan motif Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan menghasilkan output yang kurang baik. Aturan-
aturan yang semestinya di jalankan di abaikan begitu saja, ada ribuan hak masyarakat
yang kemudian di langgar, aspek lingkungan hanya menjadi wacana yang tidak pernah di
implementasikan, dan masih banyak lagi kecacatan-kecacatan yang dihasilkan yang
dibiarkan begitu saja karena sejak awal semua ini dibangun dengan konspirasi.
Harapan terpancar saat korsup (Koordinasi dan Supervisi) KPK pada sector perkebunan
sawit digelar. Harapan itu tidaklah berlebihan mengingat KPK merupakan lembaga
penegakan hokum yang mendapat kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat dengan
reputasi yang cukup progressif dibanding lembaga penegak hokum lainya.
Dalam mengoperasionalkan korsup ini, KPK membangun rencana aksi sebagai panduan
kerja sekaligus sebagai alat ukur bagi daerah-daerah pada tingkat komitmenya untuk
memperbaiki sector kehutanan dan perkebunan31.
3.1. Pemetaan Sawit Rakyat
Pernah kita mendengar ungkapan, perkebunan di sekitar kita sangat luas. Namun
pertanyaanya, siapa yang kaya dan siapa yang merana?. Pertanyaan ini singkat dan
31 Lihat Lampiran …
Commented [GA10]: Tabulasi sudah ada..
Data tabulasi di perkebunan-- dimas
sederhana namun sangat tegas. Melihat pada fenomena industry perkebunan yang
semakin menjadi primadona dan juga telah sukses menghasilkan konlomerat-konglomerat
dengan jumlah kekayaan yang luar biasa. Lalu apakah rakyat disekitar konsesi mereka
juga ikut menikmatinya?
Kedatangan investasi tak lain adalah dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, itu yang
sering dikatakan oleh pemerintah. Perkebunan merupakan salah satu sector investasi
yang menjadi adalan. Hingga pada saat sekarang tingkat penguasaan lahan untuk
perkebunan sudah mencapai 3.901.261 ha.
Pada sisi lain rakyat membutuhkan alokasi ruang untuk kepentingan kegiatan agrikultur
mereka yang salah satunya berkebun sawit. Perkebunan sawit sudah dijalankan oleh
sebagian besar dari masyarakat Kalimantan Tengah selain berkebun karet. Sawit
merupakan komoditas incaran pasar dan mempunyai nilai jual yang cukup tinggi,
sehingga tidak heran jika banyak masyarakat yang menggeluti dunia perkebunan sawit
ini.
Perkembangan dunia perkebunan sawit masyarakat ini seharusnya tidak lepas dari
pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah untuk menjaga produktifitas dan eksistensi
mereka agar tidak tenggelam oleh derasnya ekspansi industry perkebunan sekala besar.
Oleh karena itu langkah awal yang mesti dijalankan pemerintah adalah dengan melakan
inventarisasi perkebunan sawit rakyat.
Pada laporan dinas perkebunan provinsi tentang laporan triwulan implementasi progress
program rencana aksi GN-PSDA korsup kehutanan dan perkebunan provinsi Kalimantan
Tengah tahun 2015, disebutkan bahwa perkebunan sawit rakyat yang berhasil mereka
catat adalah 170.619 ha
Table Realisasi Perkebunan Sawit Masyarakat (2015)
N
o Kabupaten Unit
Arahan
Lokasi
(ha)
Izin
Lokasi
(ha)
IUP
(ha)
PKH
(ha)
HGU
(ha)
Realisas
i Kebun
Rakyat
(ha)
1. Murung
Raya 6 59,000 53,159 30,000 - -
2. Barito Utara 25 412,753 249,453 388,775 48,760 18,036 4.595
3. Barito
Selatan 15 272,097 133,394 14,756 - -
4. Barito
Timur 23 304,464 299,940 297,933 124,588 32,701 3.854
5. Kapuas 26 369,299 373,813 192,408 24,826 9,063 14.150
6. Pulang
Pisau 22 286,292 218,035 130,673 35,777 - 1.471
7. Gunung Mas 21 320,741 260,476 218,459 82,550 14,415 6.092
8. Palangkaray
a 8 63,400 50,050 36,850 - -
9. Katingan 37 385,204 319,246 140,063 54,899 34,709 8.432
10
.
Katawaringi
n Timur 50 708,670 630,806 511,929 158,847
306,48
1 65.000
11
. Seruyan 26 422,042 403,589 321,655 152,009
129,74
7 7.989
12
.
Kotawaringi
n Barat 31 388,814 326,413 196,892 93,416
123,46
1 26.913
13
. Lamandau 23 271,856 262,993 172,939 94,138 37,994 18.741
14
. Sukamara 4 63,604 38,659 25,657 10,480 1,907 9.669
15
. Lintas Kab 16 292,218 281,236 231,314 198,539
196,47
9 3.713
TOTAL 333 4,620,45
4
3,901,26
1
2,910,30
3
1,078,83
0
904,99
1 170.619
Sumber: Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015
Jika kita mengacu pada pasal 58 UU Perkebunan tentang Kemitraan Usaha Perkebunan
ayat 1 menegaskan perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah seluas 20 persen dari total
luas areal kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan. Sementara itu, jika kita
bandingkan luas IUP-Perkebunan 2.910.303 ha dengan luas realisasi kebun rakyat
170.619 ha, maka hanya ditemukan realisasi sebesar 5,9% saja. Artinya target 20%
sebagaimana amanat UU Perkebunan belum terpenuhi.
Perlu dicatat, bahwa data ini diambil dari data kebun masyarakat yang di bangun secara
kemitraan dengan perusahaan perkebunan besara swasta, yang sebelumnya sudah di
dokumentasikan oleh pihak perusahaan. Sementara di Kalimantan Tengah masih banyak
petani kelapa sawit mandiri yang belum teridentifikasi baik itu jumlah populasinya dan
luasan lahan yang mereka kerjakan.
3.2. Penataan Perizinan Usaha Perkebunan
Pesatnya perkembangan investasi perkebunan dikalimantan tengah tidak serta merta
diimbangi dengan tatakelola yang baik. Dibalik luasnya area konsesi perkebunan ternyata
menyimpan segudang masalah, mulai pelanggaran administrasi, Konflik social bahkan
pelanggaran hokum.
Jika merujuk pada data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah tentang Daftar
Perkembangan Perkebunan Besar Swasta Tahun 2015, diketahui jumlah perkebunan
besar swasta yang bersetatus Clear And Clean32 hanya sekitar 126 unit dari 333 unit
perkebunan yang beroperasi di Kalimantan Tengah. Artinya ada sekitar 207 unit usaha
perkebunan yang di indikasi beroperasi secara illegal karena belum lengkap perizinanya
atau tidak memenuhi kriteria Clear And Clean. Melihat fakta ini, implikasi yang paling
nampak dari kegiatan illegal tersebut adalah kerugian Negara. Setidaknya kami melihat
dari 2 hal. (1). Karena belum memiliki HGU sehingga Negara tidak bisa memungut pajak,
32 Perlu dicatat bahwa setatus clear and clean (CNC) belum tentu bebas konflik karena CNC ukuranya
adalah kelengkapan perizinan.
Commented [GA11]: Laporan Dinas Perkebunan
Provinsi
(2). Hilangnya potensi ekonomi dari nilai tegakan kayu di dalam kawasan hutan karena
tidak mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu.
Tabel Perkebunan Besar Swasta Yang berstatus CNC 2015
No Kabupaten Unit
Arahan
Lokasi
(ha)
Izin
Lokasi
(ha)
IUP (ha) PKH (ha) HGU (ha)
1. Murung Raya - - - - - -
2. Barito Utara 5 91,250 73,770 109,960 48,760 18,036
3. Barito
Selatan
- - - - - -
4. Barito Timur 10 98,543 155,767 153,560 124,588 32,701
5. Kapuas 4 64,600 59,600 41,563 24,826 9,063
6. Pulang Pisau 4 44,959 29,875 5,000 35,777 -
7. Gunung Mas 10 159,423 142,742 133,380 82,550 14,415
8. Palangkaraya - - - - - -
9. Katingan 4 70,950 74,168 36,413 54,899 34,709
10. Katawaringin
Timur
28 478,876 449,888 384,843 158,847 306,481
11. Seruyan 13 235,919 246,412 220,536 152,009 129,747
12. Kotawaringin
Barat
18 252,140 194,965 167,452 93,416 123,461
13. Lamandau 13 202,340 190,421 131,802 94,138 37,994
14. Sukamara 2 43,604 27,044 25,657 10,480 1,907
15. Lintas Kab 15 277,918 266,936 217,014 198,539 196,479
TOTAL 126 2,020,522 1,911,587 1,627,181 1,078,830 904,991
Sumber: Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015
Persoalan lain yang sering menjadi bumbu pada isu perkebunan adalah dugaan
pelanggaran tata ruang. Kita tahu bahwa industry perkebunan adalah industry yang
membutuhkan konsolidasi lahan secara luas. Kebijakan tata ruang sekup provinsi diatur
melalui perda RTRWP. Di kalimantan Tengah, RTRWP telah disahkan melalui Perda
Nomor 5/2015. RTRWP adalah landasan legal untuk alokasi ruang, jadi menurut hemat
kami indutri perkebunan akan sangat berkepentingan pada kebijakan ini.
Pada perda nomor 5/2015, kita melakukan analisis spatial dengan meng-overlay Peta
RTRWP dan Peta Konsesi Perkebunan, kita melihat ada pelanggaran ruang dalam kontek
tumpan tindih kawasan. Pada sector perkebunan, luas kawasan hutan yang tupang tindih
dengan konsesi perkebunan mencapai 2.348.398,50 ha, karena belum ada pelepasan
kawasan hutan.
Table Luas Perkebunan Berada Dalam Kawasan Hutan33
Pada kasus indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan, atau yang sering dikatakan
keterlanjuran, pemerintah memberikan jalan alternative penyelesaian melalui peraturan
pemerintah No. 60/2012. Tercatat dari Laporan Progres Implementasi Rencana Aksi GN-
PSDA Korsup Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah 2015, yaitu:
1. Daftar pemohon yang diproses melalui mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan
(TMKH) ada 9 pemohon.
- Yang mendapat rekomendasi dari Gubernur ada 5 pemohon
- Pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Prov. Kalteng ada 1 pemohon
- Dan yang tidak ada tindak lanjut sebanyak 3 pemohon
2. Daftar pemohon yang di proses melalui mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan
(PKH) ada 25 pemohon.
- Yang sudah mendapatkan SK pelepasan kaeasan hutan ada 12 pemohon
- Perintah tata batas ada 5 pemohon
- Rekomendasi gubernur ada 2 pemohon
- Pertimbangan teknis dinas kehutanan prov. Kalteng ada 1 pemohon
- Tidak ada tindak lanjut ada 5 pemohon
3. Daftar permohonan yang di proses melalui mekanisme TMKH dan PKH ada 71
pemohon
TMKH PKH
- Dibentuk Tim Terpadu ada 3
pemohon
- Rekomendasi Gubernur ada 21
Pemohon
- Rekomendari Bupati ada 2
pemohon
- Pertimbangan teknis Dinas
Kehutanan Prov. Kalteng ada 3
pemohon
- Yang mendapat SK Pelepasan
Kawasan Hutan ada 16 Pemohon
- Penyelesaian Tata Batas ada 1
Pemohon
- Perintan Tata Batas ada 9 pemohon
- Rekomendasi Gubernur ada 7
pemohon
- Pertimbangan teknis Dinas
Kehutanan Prov. Kalteng ada 2
pemohon
33 Sumber data:
1. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimanatan Tengah (2012)
2. Perda Nomor 5/2015 Tentang RTRWP Kalimantan Tengah
- Tidak ada tindaklanjut ada 42
pemohon
- Tidak ada tindak lanjut ada 36
pemohon
Secara keseluruhan ada 105 perusahaan yang mengajukan penyelesaian melaui sekema
PP No. 60/2012, namun ada 86 permohonan yang tidak ada tindak lanjutnya.
3.3. Optimalisasi Penerimaan Negara
(maaf…. Saya belum bias ini sub BAB ini karena gak punya data dan belum tau potensi
penerimaan dari jalur mana saja)
Sektor Pertambangan
BAB 4. KINERJA KOORDINASI DAN SUPERVISI
GN-SDA DI SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA 4.1. Penataan Perizinan Usaha Pertambangan
Sesuai dengan Rencana Aksi Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional-Sumberdaya
Alam (GN-SDA) tahun 2014. Maka sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri No. 43 Tahun 2015, yang
mewajibkan gubernur untuk melakukan pencabutan izin usaha pertambangan yang belum clean
and clear (CnC) paling lambat tanggal 12 Mei 2016. Secara nasional sampai saat ini masih ada
3.982 izin usaha pertambangan yang belum clear and clean (CnC).
Tindak lanjut penyelesaian perizinan yang belum clear and clean (CnC) di Provinsi
Kalimantan Tengah dilaksanakan sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
Kementerian ESDM kepada Gubernur Kalimantan Tengah. Surat nomor 1577/30/DJB/2015
tanggal 7 September 2015, yang mana mewajibkan penyelesaian IUP yang belum clear and clean
(CnC), penyelesaian tagihan negara untuk pajak, dan melakukan revisi perizinan yang tumpang
tindih dengan kawasan hutan konservasi. Batas waktu yang diberikan adalah sampai dengan
bulan Oktober 2015.
No. Prov./Kabupaten/Kota
Jumlah IUP Luasan Izin
Setelah Korsup
Pengurangan IUP Pasca Korsup Luas izin yg dicabut/tdk diperpanja
ng
Sebelum Korsup
Setelah Korsup
Dicabut Diciutka
n
Tidak diperpan
jang
1 Prov. Kalimantan Tengah 2 2 10,896.00 - - - -
2 Kab. Kotawaringin Barat 16 17 29,043.80 - - - -
3 Kab. Kotawaringin Timur 46 46 76774.58 - - - -
4 Kab. Kapuas 115 115 570,991.00 - - - -
5 Kab. Barito Selatan 32 32 109108.44 1 - - -
6 Kab. Barito Utara 194 194 702,271.64 - - - -
7 Kab. Katingan 60 61 223,281.85 - - - -
8 Kab. Seruyan 24 24 71,579.00 - - - -
9 Kab. Sukamara 9 9 56,963.28 - - - -
10 Kab. Lamandau 27 27 149,370.50 - - - -
11 Kab. Gunung Mas 81 81 559,838.77 1 - - 6.809
Commented [GA12]: Diselesaikan Bapak Fandy
12 Kab. Pulang Pisau 17 17 57.30 - - - -
13 Kab. Murung Raya 78 76 713,825.90 1 - - 8.631
14 Kab. Barito Timur 147 149 287,299.81 1 - - 833
15 Kota Palangkaraya 18 17 54,301.80 - - - -
TOTAL 866 867 3,615,603.67 4 - - 9470,809
Sumber : Data ESDM, Mei 2015, data diolah
Data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (Kementerian ESDM)sebagaimana
yang disajikan diatas menunjukkan jumlah serta sebaran Ijin Usaha Pertambangan yang telah
dikeluarkan. Baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, maupun oleh
pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal menarik yang bisa dicermati adalah adanya
penambahan dan pengurangan beberapa perijinan baru yang dilaporkan setelah dilakukan
koordinasi dan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal lain adalah adanya pencabutan ijin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Selatan,
kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Timur, dan Kabupaten Kapuas. Masing-masing
pencabutan oleh kabupaten dilakukan terhadap 1 ijin usaha pertambangan. Surat Keputusan
Pencabutan IUP di Kabupaten Barito Timur kepada PT. BQ Coal Minig dilakukan pada tahun 2012.
Sedangkan pencabutan ijin di Kabupaten Barito Selatan, Murung Raya, dan Kapuas dilaksankan
pada tahun 2014 setelah dilakukan koordinasi dan supervisi KPK.
No. Nama Prov./Kab.Kota
CnC Non CnC Total
Mineral Batubara Mineral Batubara
Eks OP Eks OP Eks OP Eks OP
1 Prov. Kalimantan
Tengah 0 1 1 0 0 0 0 0 2
2 Kab. Kotawaringin
Barat 2 7 0 1 3 5 0 0 18
3 Kab. Kotawaringin
Timur 18 10 7 2 8 0 4 0 49
4 Kab. Kapuas 14 11 14 24 18 7 28 0 116
5 Kab. Barito Selatan 0 0 9 15 1 0 4 3 32
6 Kab. Barito Utara 0 0 103 49 0 0 30 12 194
7 Kab. Katingan 9 34 15 1 2 0 0 0 61
8 Kab. Seruyan 9 6 0 1 10 1 0 0 27
9 Kab. Sukamara 5 1 0 0 3 0 0 0 9
10 Kab. Lamandau 13 4 0 0 9 1 0 0 27
11 Kab. Gunung Mas 18 7 19 2 21 0 13 0 80
12 Kab. Pulang Pisau 0 5 0 0 0 12 0 0 17
13 Kab. Murung Raya 4 17 39 10 0 4 2 0 76
14 Kab. Barito Timur 0 0 24 36 5 1 75 27 168
15 Kota Palangkaraya 2 8 4 0 1 1 1 0 17
Total 94 111 235 141 81 32 157 42 893
Sumber : Paparan Dirjen Minerba, Koordinasi dan Supervisi Energi Pulau Kalimantan Tahun 2016, 6 April 2016
Status Mineral Batubara
Jumlah
2014
Mineral Batubara Jumlah
2015 Eks Op Eks OP Eks Op Eks Op
CnC 91 104 237 123 555 94 111 235 141 581
Non CnC 87 31 154 39 311 81 32 157 42 312
Total 178 135 391 162 866 175 143 392 183 893
Berdasarkan paparan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM
tanggal 6 April 2016 disampaikan kondisi perijinan di Pulau Kalimantan. Memotret
perkembangan IUP pertambangan di Provinsi Kalimantan Tengah diketahui terdapat 893 IUP
yang telah dikeluarkan. Kabupaten yang paling banyak mengeluarkan IUP adalah Kabupaten
Barito Utara dengan jumlah sampai dengan April 2016 adalah 194 IUP. IUP yang telah CnC
sebanyak 581 dan yang belum CnC sebanyak 312, sektor batubara yang memiliki permasalahan
berkaitan dengan kepatuhan CnC. Sektor batubara di Kalimantan Tengah yang belum CnC
mencapai 157 perusahaan yang tersebar di 14 Kabupaten/kota. Kabupaten Barito Timur
merupakan yang paling banyak mempunyai perijinan yang belum CnC dengan total 75 IUP.
Membandingkan data tahun 2015 dan 2016 (April, 2016) terlihat perbedaan terhadap
laporan yang disampaikan oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Perubahan
terbanyak dilaporkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Timur, pada saat Korsup tahun
2014 pelaporan IUP berjumlah 149 IUP, maka perbulan April 2016 ada peningkatan laporan IUP
sebesar 19 IUP baru sehingga total laporan sementara ada 168 IUP yang telah dikeluarkan.
Merujuk pada perkembangan penyelesaian IUP yang belum CnC di Provinsi Kalimantan
Tengah dengan membandingkan data hasil Korsup yang disampaikan oleh Dirjen Minerba.
Diketahui ada penurunan jumlah IUP yang CnC dan Non CnC, pada tahun 2014 ada 867 IUP yang
diterbitkan. Pada tahun 2016 data yang dikeluarkan IUP yang CnC dan Non CnC mengalami
peningkatan dengan jumlah 893 IUP. Artinya ada upaya yang progresif dari pemerintah daerah
untuk melaksanakan penaataan perijinan. Masalahnya ternyata masih banyak juga data IUP yang
belum CnC, artinya 312 kegiatan perusahaan mineral dan batubara yang berjalan tanpa memenuhi
persyaratan.
Ditjen Minerba sampai dengan 1 April 2014 telah menerima data IUP dari provinsi Kalimantan Tengah
sebanyak 866 dimana telah dilakukan evaluasi dengan hasil yaitu 555 telah C&C dan 311 belum C&C.
4.2. Pemenuhan Kewajiban Keuangan
Berdasarkan Rencana Aksi Korsup atas Pengelolaan Pertambangan Minerba di 12 Provinsi,
beberapa hal yang disepakati dan menjadi indikator pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kewajiban
keuangan pelaku usaha pertambangan minerba antara lain :
a. Melakukan pendataan pelaksanaan semua kewajiban keuangan pemegang izin.
b. Melakukan monitoring secara reguler terhadap pelaksanaan kewajiban keuangan
pemegang izin (Target 2014: Seluruh IUP melunasi pelaksanaan kewajiban keuangan: iuran
tetap, iuran produksi, pajak, kaminan reklamasi, jaminan pascatambang).
c. Memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajiban
keuangannya.
d. Melaporkan hasil monitoring dan pemberian sanksi
Dari data yang ada diketahui bahwa banyak kewajiban keuangan yang belum dipenuhi oleh
pemegang izin tambang dan belum dilakukan monitoring yang maksimal oleh pemerintah daerah,
terbukti sebagaian besar dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang tidak
dibayarkan atau disediakan sebagaimana diwajibkan oleh kebijakan perundang-undangan. Karena
itu banyak sekali perusahaan yang melakukan tunggakan, lebih dari 50 % perusahaan menunggak
JAMINAN REKLAMASI dan lebih dari 80% menunggak JAMINAN PASCA TAMBANG.
No Kabupaten/Kota Jumlah IUP/KP Jaminan Jaminan
Reklamasi Pasca Tambang
1 Prov. Kalimantan Tengah 2 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
2 Kab. Kotawaringin Barat 16 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
3 Kab. Kotawaringin Timur 46 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
4 Kab. Kapuas 115 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
5 Kab. Barito Selatan 32 Ada (1 IUP) Tidak Ada Data
6 Kab. Barito Utara 194 Ada (16 IUP) Tidak Ada Data
7 Kab. Katingan 60 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
8 Kab. Seruyan 24 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
9 Kab. Sukamara 9 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
10 Kab. Lamandau 27 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
11 Kab. Gunung Mas 81 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
12 Kab. Pulang Pisau 17 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
13 Kab. Murung Raya 78 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
14 Kab. Barito Timur 147 Ada (1 IUP) Tidak Ada Data
15 Kota Palangkaraya 18 Tidak Ada Data Tidak Ada Data
Total 866
No Tahun Piutang Negara (Iuran Tetap) Piutang Negara (Royalti)
(Rp) ($) (Rp) ($)
1 tahun 2011
18.546.379.846
1.302.566
2 tahun 2012 6.030.548 26.365.502
3 tahun 2013 5.269.337
16.861.886
Total 18.546.379.850 11.299.885 44.529.954
TOTAL KESELURUHAN
(Rp) ($)
18.546.379.846 55.829.838,96
No. Provinsi Jumlah
IUP/KP
Jaminan
Reklamasi
Jaminan
Pasca
Tambang
Tindak Lanjut Korsup
Reklamasi Pasca
Tambang
1 Prov. Kalimantan Tengah 2 0 0 -
2 Kab. Barito Selatan 24 1 0 -
3 Kab. Barito Timur 60 1 0 13 Surat Tindak Lanjut
4 Kab. Barito Utara 152 25 0 6 Penempatan 9 Penempatan
5 Kab. Gunung Mas 46 0 0 5 Penempatan -
6 Kab. Kapuas 63 1 0 -
7 Kab. Katingan 59 0 0 60 Belum ada tindak lanjut
8 Kab. Kotawaringin Barat 10 0 0 12 Belum ada tindak lanjut
9 Kab. Kotawaringin Timur 37 2 8 10 Penempatan 8 Penempatan
10 Kab. Lamandau 17 0 0 27 Surat Tindak Lanjut
11 Kab. Murung Raya 70 0 0 -
12 Kota Palangkaraya 14 0 0 -
13 Kab. Pulang Pisau 5 0 0 17 Surat Tindak Lanjut
14 Kab. Seruyan 15 0 0 -
15 Kab. Sukamara 6 0 0 -
Total 580 30 8
4.3. Pelaporan Tata Usaha dan Niaga Pertambangan Mineral dan
Batubara 1. Provinsi Kalimantan Tengah
No Kabupaten Tahun 2012 Tahun 2013
IUP PKP2B Total IUP PKP2B Total
1 Kapuas 2,015,685 - 2,015,685 - 366,895 366,895
2 Murung Raya - 3,995,968 3,995,968 - 4,133,047 4,133,047
3 Barito Utara 1,860,670 - 1,860,670 3,826,415 - 3,826,415
4 Barito Timur 2,960,886 - 2,960,886 809,401 - 809,401
Total 6,837,241 3,995,968 10,833,209 4,635,816 4,499,942 9,135,758
1. Total Produksi Nasional
o Tahun 2012 = 407 juta ton
o Tahun 2013 = 421 juta ton
2. Total Produksi Prov. Kaltng:
o Tahun 2012 = 10 juta ton (2,4 % dari total produksi nasional)
o Tahun 2013 = 9,1 juta ton (2,2 % dari total produksi nasional)
3. Data IUP didapatkan sebagian besar dari korespondensi dan rekonsiliasi produksi dengan
Dinas Pertambangan dan Energi Prov/Kab/Kota.
Data Ekspor Mineral Per Kabupaten
NO KABUPATEN
EKSPOR MINERAL 2012 (Ton/Tahun)*
EKSPOR MINERAL 2013 (Ton/Tahun)*
Bauksit Bijih Besi Zirkon Bauksit Bijih Besi Zirkon
1 Kotawaringin Barat
26.595
14.974
2 Kotawaringin Timur 434.221
14.9 12.193.856 2.907.991 4.512
3 Katingan 8.298 15.834
4 Lamandau 781.11 778.195
5 Gunung mas 232 0
6 Palangkaraya 21.192 63.437
JUMLAH 434.221 781.11 71.217 12.193.856 3.701.160 83.783
PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUN 2012 – 2013 DI KALIMANTAN TENGAH
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH IUP/KP
PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUN 2012-2013
BULANAN TRIWULANAN RKAB/TAHUNAN
1 PUSAT (PROV. KALTENG)
2 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
2 KAB. KOTAWARINGIN BARAT
16 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
3 KAB. KOTAWARINGIN TIMUR
46 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
4 KAB. KAPUAS 115 TIDAK ADA
DATA ADA DATA (2
IUP) TIDAK ADA DATA
5 KAB. BARITO SELATAN 32 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
6 KAB. BARITO UTARA 194 TIDAK ADA
DATA ADA DATA (13
IUP) ADA DATA (3 IUP)
7 KAB. KATINGAN 60 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
8 KAB. SERUYAN 22 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
9 KAB. SUKAMARA 7 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
10 KAB. LAMANDAU 27 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
11 KAB.GUNUNG MAS 81 TIDAK ADA
DATA ADA DATA (6
IUP) ADA DATA (3 IUP)
12 KAB. PULANG PISAU 17 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
13 KAB. MURUNG RAYA 78 TIDAK ADA
DATA ADA DATA (4
IUP) TIDAK ADA DATA
14 KAB. BARITO TIMUR 147 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
15 KOTA PALANGKARAYA 18 TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA
DATA TIDAK ADA DATA
DATA EKSPOR MINERAL PER PERUSAHAAN DI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2012 DAN TAHUN 2013
No. Komoditas Kabupaten Perusahaan Ekspor 2012 Ekspor 2013
1 Bauksit Kotawaringin timur
CITRA MENTAYA MANDIRI, PT 87.874,44 1.240.897,51
2
FAJAR MENTAYA ABADI, PT 346.347,00 10.147.865,00
3
FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT
1.158.621,00
4 Bijih Besi Kotawaringin Timur
FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT
1.158.621,00
5
KOTABESI IRON MINING, PT
1.749.370,10
6 Lamandau KAPUAS PRIMA COAL, PT 731.210,33 643.198,27
7 KUBA PRIMA MINING, PT 49.900,00 134.997,00
8 Zirkon Kotawaringin Barat
HARAPAN MANDIRI, PT
7.517,00 3.937,64
9
IRVAN PRIMA PRATAMA, PT
3.995,00 6.966,00
10 USAHA MAJU, CV
15.083,00 4.070,00
11
Kotawaringin Timur
CHODRA KURNIA AGRIBINDO, PT 14.900,00 4.512,00
12 Zirkon Katingan KATINGAN INMAS SARANA. PT 373,00 -
13 LUBUK KATINGAN PERDANA. PT
6.604,71 1.102,24
14 SARI BUMI KATINGAN. PT
1.320,00 14.156,00
15 Gunung Mas INVESTASI MANDIRI, CV 232,00 -
16 Palangkaraya KURNIA ALAM SEJATI, PT
13.995,80 6.037,63
17 LISBETH, CV
6.399,21 -
18 TAKARAS INTILESTARI, PT
797,00 57.399,00
Dari data yang telah dihimpun oleh Kementrian ESDM, Provinsi Kalimantan Tengah hanya 6 Kabupaten
saja yang memberikan data terkait laporan ekspor, 6 Kabupaten inipun hanya beberapa perusahaan saja
yang memberikan data ekspor (tercatat).
Data Ekspor Mineral Per Perusahaan
No. Komoditas Kabupaten Perusahaan Ekspor
2012 Ekspor 2013
1 Bauksit Kotawaringin timur
CITRA MENTAYA MANDIRI, PT 87.874,44 1.240.897,51
2 FAJAR MENTAYA ABADI, PT 346.347,00 10.147.865,00
3
FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT
1.158.621,00
4 Bijih Besi Kotawaringin Timur
FERON TAMBANG KALIMANTAN, PT
1.158.621,00
5 KOTABESI IRON MINING, PT 1.749.370,10
6 Lamandau KAPUAS PRIMA COAL, PT 731.210,33 643.198,27
7 KUBA PRIMA MINING, PT 49.900,00 134.997,00
8 Zirkon Kotawaringin Barat
HARAPAN MANDIRI, PT
7.517,00 3.937,64
9 IRVAN PRIMA PRATAMA, PT
3.995,00 6.966,00
10 USAHA MAJU, CV
15.083,00 4.070,00
11
Kotawaringin Timur
CHODRA KURNIA AGRIBINDO, PT 14.900,00 4.512,00
12 Zirkon Katingan KATINGAN INMAS SARANA. PT 373,00 -
13 LUBUK KATINGAN PERDANA. PT
6.604,71 1.102,24
14 SARI BUMI KATINGAN. PT
1.320,00 14.156,00
15 Gunung Mas INVESTASI MANDIRI, CV 232,00 -
16 Palangkaraya KURNIA ALAM SEJATI, PT
13.995,80 6.037,63
17 LISBETH, CV
6.399,21 -
18 TAKARAS INTILESTARI, PT
797,00 57.399,00
1. Provinsi Kalimantan Tengah
PROGRES RENCANA PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN DI KALIMANTAN TENGAH
NO KOMODITAS NAMA
PERUSAHAAN
LOKASI PRODUK SMELTER TARGET PENYELESAIAN
PROYEK KAB PROV JENIS KAPASITAS
1 Bijih Besi Kapuas Prima Coal
Lamandau Kalteng Pig Iron 300 rb tpy 2015
2 Zirkon PT Borneo Lintas Serawak
Katingan Kalteng Konsentrat
Zirkon 3 rb tpm Sudah
berproduksi
3 Zirkon PT. Lubuk Katingan Perdana
Katingan Kalteng
Konsentrat Zirkon 5 rb tpm Sudah
berproduksi (55% ZrO2)
4 Zirkon PT. Karya Res Lisbet
Palangkaraya
Kalteng
Konsentrat Zirkon 3 rb tpm Sudah
berproduksi (62% ZrO2)
5 Zirkon CV. Harapan Mandiri
Kotawaringin Barat
Kalteng
Konsentrat Zirkon
3-7 rb tpm Sudah
berproduksi (65-66%
ZrO2)
1. Kalimantan Tengah
JUMLAH PELABUHAN
NO.
NAMA PELABUHAN
LANGSUNG
LOADING POINT BATUBARA
TRANSHIPMENT
TOTAL
1 KERENG BENGKIRAI 8 8
2 PULANG PISAU 1 1
TOTAL 0 0 9 9
NO NAMA
PELABUHAN TERMINAL/TERSUS/TUKS KOMODITI KETERANGAN
1
KERENG BENGKIRAI
PT. MULTI TAMBANGJAYA UTAMA BATUBARA Transhipment
2 PT. TELEN ORBIT PRIMA BATUBARA Transhipment
3 PT. KAPUAS TUNGGAL PERSADA BATUBARA Transhipment
4 PT. ADARO INDONESIA BATUBARA Transhipment
5 PT. TUTUI BATUBARA UTAMA BATUBARA Transhipment
6 PT. SINOMAST MINING BATUBARA Transhipment
PT. SENAMAS ENERGASINDO MINERAL BATUBARA Transhipment
7
8 PT. BAHTERA ALAM TAMIANG BATUBARA Transhipment
NO NAMA PELABUHAN TERMINAL/TERSUS/TUKS KOMODITI KETERANGAN
1 PULANG PISAU PT. MARUWAI COAL BATUBARA Transhipment
Penutup Sebagai catatan akhir, upaya inisiatif tenurial reform kehutanan melalui agenda NKB 12 K/L ini
merupakan sebuah upaya inisiatif yang baik untuk mengurus tata kelola kehutanan melalui
pendekatan institusional. Namun, diperlukan suatu pendekatan yang lebih bersifat ekonomi politik
dalam konteks untuk membuat insiatif ini terus-menerus bersambung dengan upaya untuk
mengatasi ketimpangan penguasaan dan alokasi sumberdaya alam dan upaya untuk menghentikan
dan memulihkan krisis sosial-ekologis. Di titik ini, kehadiran dan keterlibatan gerakan sosial dan
organisasi masyarakat sipil untuk mengawal proses ini sangat diperlukan. Sebuah reforma
pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang kuat mesti terdiri dari kombinasi strategis antara
unpaya untuk mendorong “inisiatif untuk pembaruan kebijakan dari atas” dan “dukungan serta
penguatan gerakan sosial dari bawah”. Hal lainnya adalah dibutuhkan suatu terobosan untuk
memastikan agenda NKB 12 K/L ini mampu terus melekat dan menjadi semanagat dari para
pengurus publik oleh CSO dan gerakan rakyat. Jika tidak, dalam beragam pengalaman yang sudah
terjadi, maka NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPK ini akan mudah untuk dikooptasi dan dibuat
status-quo oleh jaringan kekuasaan negara dan swasta yang melucuti semangat dan cita-cita
reforma tenurial kehutanan ini.