Pemazulan Presiden
-
Upload
rian-bagus-saputro -
Category
Documents
-
view
280 -
download
0
Transcript of Pemazulan Presiden
MEKANISME YURIDIS PEMAKZULAN ATAU IMPEACHMENT TERHADAP
PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM KASUS CENTURY
DITINJAU DARI KONSTITUSI UUD RI 1945
Disusun dan Diajukan untuk Mengikuti Lomba Program Kreatifitas Mahasiswa
Gagasan Tertulis ( PKM GT ) yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Dikti
1
KATA PENGANTAR
Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang setiap kehidupan ketatanegaraan harus
berdasarkan hukum. Makin berkembangnya kasus Bank Century telah menggiring opini
publik kearah pemakzulan (impaechment) terhadap presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Dalam aturan konstitusi tidak diatur secara langsung terkait pemakzulan, terlebih lagi
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil. Banyak kontroversi terkait upaya
pemakzulan tersebut dengan bersamaannya situasi politik yang makin membuat gancangnya
suasana pemerintahan.
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan
rahmat-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis mahasiswa dengan judul
”MEKANISME YURIDIS PEMAKZULAN ATAU IMPEACHMENT TERHADAP
PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM KASUS CENTURY
DITINJAU DARI KONSTITUSI UUD RI 1945 ”
Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud menyampaikan ucapan
terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, serta
pertolongan baik fisik maupun psikis selama penyusunan karya tulis ini, terutama kepada:
1. Bapak Muhammad Yamin, S.H,.M.H selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah
berkenan memberikan izin dalam usaha penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa
Gagasan Tertulis (PKM GT) ini.
2. Bapak Bambang Joko S, S.H,.M.H. selaku Dosen Pendamping dalam penyusunan
penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) ini.
3. Kepada semua dosen FH UNS yang telah memberikan sumbangan pemikiran terkait
dengan keberhasilan dalam penyusunan penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa
Gagasan Tertulis (PKM GT) ini.
4. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan memperlancar dalam menyelesaikan
penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) ini.
Semoga karya tulis yang penulis sajikan berikut dapat memberikan manfaat bagi
proses reformasi dan rekonstruksi demi sebuah perbaikan sistem hukum di Indonesia, Amin.
2
Surakarta, 10 Maret 2010
Penulis
3
RINGKASAN
Negara Indonesia merupakan salah satu negara koruptor di dunia yang banyak
merugikan keuangan negara. Hal yang paling problematik dan belum menemukan titik
penyelesaian sampai sekarang adalah kasus Bank Century yang telah merugikan negara
sampai 6,7 T. Pemerintah memiliki inisiatif untuk membongkar kasus tersebut dengan
dengan dibentuknya Panitia Khsusus (Pansus). Dengan dibentuknya pansus tersebut justru
banyak masalah baru yang timbul. Konflik politik dan hukum saling mengharmonisasi serta
saling bergesekan dengan yang lain, sehingga dapat menjadikan pelemahan bagi kinerja
pansus itu sendiri. Fungsi koordinasi juga telah dilakukan dengan lembaga negara dalam
mengungkap fakta-fakta hukum terkait aliran dana dan mekanisme pengambilan kebijakan
pemerintah. Saksi-saksi dalam setiap rapat juga telah dihadirkan guna memperoleh data lebih
lanjut terkait. Dalam kasus Bank Century yang dianggap adanya indikasi dalam pengambilan
kebijakan oleh pemerintah telah memberikan dampak untuk pemakzulan terhadap Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (SBY), walaupun dalam aturan sistem presidensiil yang dianut
oleh Negara Indonesia tidak ada aturan yang jelas terkait hal tersebut. Dalam aturan
konstitusi diatur tentang upaya pemakzulan terhadap presiden, tapi makna pemakzulan
tersebut hanya mempermudah pemaknaan saja.
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam membuat karya tulis ini adalah
dengan format penulisan deskriptif dengan data yang didapatkan dari sumber primer,
sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan tehnik pengumpulan data collecting by
library atau studi pustaka dengan menggunakan tehnik analisis data deskriptif kualitatif.
Berdasarkan telaah lebih lanjut, upaya pemakzulan yang dihembuskan oleh partai
oposis tidak mudah untuk dijalankan, karena jumlah partai koalisi pemerintah lebih banyak.
Dari 560 anggota DPR RI, partai koalisi pemerintah terdiri dari Partai Demokrat, Golkar
PKS, PAN, PPP dan PKB. Kalau memang ada upaya pemakzulan, maka komposisi partai
dengan jumlah anggota pendukung pemerintah adalah 423 anggota, lawan 137 anggota,
artinya jumlah yang akan memakzulkan tidak akan memenuhi quorum 2/3 anggota DPR.
Jika terjadi perubahan politik Golkar dan PKS bergabung dengan partai oposisi kekuatan
gabungan koalisi pendukung pemerintah yang tersisa 260 anggota. Ini berarti kemungkinan
4
terpenuhinya syarat 2/3 juga tidak akan tercapai, karena kekuatannya baru mencapai 56%
dan partai koalisi pemerintah masih 60%. Dengan dikeluarkannya PMK Nomor 21 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kebijakan ini secara sepihak telah
memberikan payung hukum dan benteng yang kuat makin sulitnya upaya pemakzulan
(impeachment) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Surakarta, 10 Maret 2010
Penulis
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR........................................................................................................ iii
RINGKASAN..................................................................................................................... v
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 4
C. Tujuan...................................................................................................... 4
D. Manfaat.................................................................................................... 5
BAB II TELAAH PUSTAKA........................................................................................ 6
A. Tinjauan secara umum tentang istilah pemakzulan (impeachment) ....... 6
B. Tinjauan secara umum landasan yuridis tentang pemakzulan atau
impeachment (upaya memperhentikan presiden dan/atau wakil presiden) 8
..................................................................................................................
BAB III METODE PENULISAN.................................................................................... 10
A. Jenis Penelitian......................................................................................... 10
B. Paradigma Penelitian................................................................................ 10
C. Pendekatan Penelitian.............................................................................. 11
D. Jenis Data................................................................................................. 11
E. Sumber Data ............................................................................................ 12
F. Tehnik Pengumpulan Data....................................................................... 12
G. Tehnik Analisis Data................................................................................. 12
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS.............................................................................. 14
A. Problematika Kasus Bank Century Dalam Implementasi Upaya Pemakzulan
Presiden SBY............................................................................................ 14
6
B. Keterkaitan antara kasus bank century dan upaya pemakzulan/impechment
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono...................................................... 19
BAB V: PENUTUP............................................................................................................ 28
A. Kesimpulan.............................................................................................. 28
B. Rekomendasi............................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE PENULIS
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya kasus korupsi yang telah banyak merugikan negara berdampak timbulnya
mosi tidak percaya pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu dugaan kasus korupsi yang telah menarik
perhatian publik dan ada indikasi merugikan negara sebesar 6,7 Triliun adalah kasus Bank
Century. Pasca terungkapnya kasus tersebut juga dibarengi dengan rumor dan paradigma
yang merubah mindsite masyarakat kearah perang politik diantara kalangan birokrat demi
tujuan utama kekuasaan. Kasus Bank Century mencuat setelah tidak lama Presiden Susilo
Bambang Yudoyono terpilih dan dilantik dengan wakil presiden Boediono. Pergolakan
politik di legislatif dengan harmonisasi adanya preasure yang super power dari masyarakat
telah menghasilkan terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Century untuk melakukan
penyelidikan dan tahap investigasi terhadap proses dana talangan (bailout) yang
menggunakan uang negara 6,7 T telah sesuai dengan mekanismenya.
Pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) senilai Rp 689 milliar pada
tanggal 14 November 2008 ketika Wapres Boediono menjabat gubernur BI. Pada periode
pengucuran Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang didahului rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi, Boediono terlibat aktif bersama Menkeu.
(www.antikorupsi.org). Hal inilah yang menjadi salah satu sebab munculnya kekhawatiran
pejabat pemerintah yang tidak bersih dari tindak pidana korupsi dan telah salah dalam
mengambil kebijakan. Adanya kebijakan yang telah diambil juga dicurigai dana talangan
(bailout) tersebut dialirkan ke Partai Demokrat dan Calon presiden Susilo Bambang
Yudoyono.
Kronologis terjadinya proses pengambilan kebijakan untuk mengeluarkan dana
sebesar 6,7 T berawal dari pada tanggal 20 November 2008 Jusuf Kalla menggelar rapat
8
dengan Mentri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Presiden
SBY tidak berada di Indonesia dan mengeluarkan Keppres No.28 tahun 2008 yang
menugaskan Jusuf Kalla untuk melaksanakan tugas sehari-hari presiden (Media Indonesia,
Rabu 20 Januari 2010, hal.1 ). Dengan demikian pihak pemerintah diwakili oleh Jusuf Kalla
dalam penentuan kebijakan untuk benar dan tidaknya dikeluarkan dana talangan pada Bank
Century. Pertemuan tersebut memberikan kesimpulan fondasi perekonomian masih cukup
kuat dalam hal keuangan. Selang satu jam setelah pertemuan tersebut tiba-tiba kebijakan
pengucuran dana talangan (bailout) (Media Indonesia, hal. 1) yang sampai sekarang masih
kontroversial menyebabkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan ada anggapan bahwa
presiden SBY ikut andil dalam kebijakan yang dikeluarkan tersebut. Hal yang membuat
publik bingung adalah selang satu jam yang semula memberikan kesimpulan tidak perlu
dikeluarkan bailout tiba-tiba ada kebijakan tersebut. Opini publik dibolak-balik dengan
logika dan paradigma untuk makin tidak percayanya pada kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain proses FPJP, PMS dan bailout mekanisme merger dan akusisi juga
ada indikasi terdapat kesalahan yaitu terkait aliran dana dari bailout Bank Century yang akan
melibatkan para pihak yang terlibat langsung dalam kasus Bank Century.
Dalam pidato Presiden SBY yang berbunyi “Apakah penyertaan modal sementara
yang berjumlah Rp 6,7 T itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya?
Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah yang mengatakan bahwa
sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres
SBY fitnah yang sungguh kejam dan menyakitkan”. (Junus A., George. 2009:13). Hal ini
merupakan kekecewaan yang disampaikan oleh pihak pemerintah terkait bailout yang telah
diambil dicurigai dialirkan kepada kampanye presiden SBY. Polemik dan isu untuk
pemakzulan terhadap presiden makin menggema diseluruh pelosok tanah air. Walaupun
masa kerja Panitia Khusus (Pansus) belum berakhir dan belum ada kesimpulan akhir, terkait
kasus Bank Century telah menimbulkan hegemoni politik diantara partai koalisi. Indonesia
menganut sistem presidensil dan tidak mengenal istilah mosi tidak percaya seperti halnya di
sistem parlementer yang menyebabkan pelengseran presiden. Ada dalam konstitusi pasal 7 A
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang mengatur pemakzulan terhadap
presiden.
9
Dengan melihat realita yang ada dalam tinjauan secara politis adalah jumlah kursi
partai koalisi di DPR yaitu Partai Demokrat sebesar 26,79%, Partai Golkar sebesar 19,11%,
Partai Keadilan Sejahtera sebesar 10,18%, Partai Amanat Nasioanal sebesar 7,68 %, Partai
Persatuan Pembangunan sebesar 6,61%, Partai Kebangkitan Bangsa sebesar 4,82 % totalnya
adalah 75,19%. Sementara itu partai oposisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
sebesar 16,96%, Partai Gerindra sebesar 4,64 % dan Partai Hanura sebesar 3,21 % totalnya
adalah 24,81% (Media Indonesia, Selasa 16 Februari 2010, hal. 1). Dengan demikian jika
berdasarkan logika partai koalisi pendukung pemerintah tidak akan mungkin melakukan
rekomendasi pemakzulan terhadap presiden, setelah beberapa waktu bergulirnya kasus Bank
Century terkait bailout justru partai koalisi berubah haluan menjadi pembangkang dan
pendukung dari partai oposisi dengan menolak adanya kebijakan dikeluarkannya bailout
yang telah diambil oleh pemerintah dan telah mengindikasikan ada pelanggaran dan tindak
pidana korupsi. Landasan hukum untuk meminta pertanggung jawaban presiden terdapat
dalam Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keamanan (JPSK),
dikeluarkannya aturan tersebut tidak memiliki landasan hukum yang kuat, karena keadaan
negara tidak dalam keadaan bahaya sesuai yang diamanatkan dalam pasal 22 Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dalam pasal 7 A Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 disebutkan “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diperhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden”. Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden
ke MPR, Pasal 7 B ayat (1) mensyaratkan DPR harus mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden
dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum sesuai bunyi Pasal 7 A. Sementara
itu, Pasal 7 B ayat (3) pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Secara
teoritis dan berdasarkan fenomena yang ada di lapangan dapat terjadi pemakzulan
(impeachment) terhadap presiden SBY, tapi proses yang harus dilalui sangat rumit dan penuh
10
nuansa politis. Selain itu aturan dalam konstitusi juga tidak mudah untuk dijalankan.
Prosedur hukum juga harus dilalui dengan beberapa tahapan dan tingkatan. Mosi tidak
percaya yang digulirkan selama ini tidak akan mungkin untuk menuju kearah pemakzulan
yang tidak berdasarkan konstitusi mengingat sistem presidensil dianut oleh Indonesia. Maka
berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis menyusun karya tulis dengan judul
”MEKANISME YURIDIS PEMAKZULAN ATAU IMPEACHMENT TERHADAP
PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM KASUS CENTURY
DITINJAU DARI KONSTITUSI UUD RI 1945”.
B. Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian di atas maka dapat diambil beberapa perumusan masalah
yaitu sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi sebab dan problematik kasus Bank Century teraktualisasi
melahirkan upaya pemakzulan/impeachment pada Presiden Susilo Bambang
Yudoyono (SBY)?
2. Bagaimanakah keterkaitan antara kasus Bank Century dan upaya
pemakzulan/impeachment Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)?
C. Tujuan
Adapun dari karya tulis ini diharapkan dapat mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan kaitannya antara mosi
tidak percaya pada pemerintah dan upaya pemakzulan terhadap presiden terkait
kasus Bank Century yang telah merugikan negara 6,7 T.
b. Untuk mengetahui terkait semua problematik pada kasus Bank Century baik
dari segi hukum maupun sosiologis yang dapat menimbulkan upaya pemakzulan
pada Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
2. Tujuan Subjektif
11
a. Untuk memberikan sumbangan pikiran kepada pemerintah terkait dengan
manivestasi adanya mosi tidak percaya pada pemerintah dan pemakzulan pada
presiden harus dilalui beberapa tahapan yuridis.
b. Untuk Mengikuti Lomba Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis
(PKM GT) yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Dikti.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dan sistem
hukum di Indonesia, dalam hal ini kaitannya dengan mosi tidak percaya dan
upaya pemakzulan.
b. Memperkaya dan menambah referensi khususnya tentang implementasi tataran
teoretis dan praktis terkait mosi tidak percaya pada pemerintah dan pemakzulan
pada sistem pemerintahan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memperoleh deskripsi dan penjelasan yang komprehensif tentang setiap
problema dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
12
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Tinjauan Secara Umum Tentang Istilah Pemakzulan (Impeachment)
Pemakzulan atau impeachment adalah proses pendakwaan dari badan legislatif
kepada badan tinggi negara. Unsur dari DPR yang wajib mengusulkan pemakzulan dan ada
pihak yang dikenakan pemakzulan yaitu Badan Tinggi Negara seperti Presiden atau Wakil
Presiden (www.vibizportal.com).
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ia “menyatakan hal-hal
presiden bisa dimakzulkan yaitu korupsi, suap, kejahatan di atas ancaman lima tahun,
pengkhianatan terhadap negara, perbuatan tercela. Dakwaan itu harus didukung oleh 2/3
anggota DPR lalu yang mendakwa adalah DPR sendiri, karena tidak pakai jaksa. Putusan
MK adalah putusan peradilan Tata Usaha Negara dan bukan putusan pidana, sehingga
peradilan pidanananya berjalan sendiri” (www.vibizportal.com).
Secara etmimologis dan morfologis, “pemakzulan” mengandung makna “makzul”
yang berarti berhenti memegang jabatan; turun tahta. Arti kata “memakzulkan” yang artinya
menurunkan dari tahta; memberhentikan dari jabatan; meletakkan jabatannya (sendiri)
sebagai raja; berhenti sebagai raja. Arti kata “pemakzulan” berarti adalah proses, cara, dan
perbuatan memakzulkan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie
menjelaskan, “pemakzulan” adalah bahasa serapan dari Bahasa Arab yang berarti
“diturunkan dari jabatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru
disebutkan “makzul” adalah meletakan jabatan atau turun tahta raja. "impeach" berarti
'azl dalam Bahasa Arab dan sama dengan "coitus interruptus" atau sanggama terputus.
“Impeach” dan “coitus interruptus” sama-sama memberhentikan seseorang di tengah
kegiatan yang sedang berjalan ... if you know what I mean." (www.inilah.com).
Menurut Prof. Dr. Maswadi Rauf Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia. Ada tidaknya istilah “pemakzulan” di Indonesia telah dinyatakan secara tertulis
dalam UUD 1945. Ada yang berpendapat bahwa UUD 1945 yang asli tersebut tidak
mengenal pemakzulan, karena tidak ada aturan mengenai hal tersebut dalam konstitusi
tersebut, tapi banyak yang berpendapat bahwa pemakzulan dikenal oleh UUD 1945 yang asli,
13
karena presiden dipilih oleh MPR. Hal ini menyebabkan presiden harus bertanggung jawab
kepada MPR. Sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada presiden, MPR juga dapat
menarik mandat itu kembali dari presiden yang merupakan mandataris MPR
(www.okezone.com).
Menurut Iwan Satriawan dan Denny Indrayana dalam teori hukum tata negara
“constitutional law theory”, pemberhentian di tengah masa jabatan merupakan “a legal
process of removing an undesirable person from public office”. Langkah pemakzulan
tersebut dapat dikatakan sebagai upaya luar biasa untuk menerobos karakter fix-term dalam
sistem presidensial. Sebagai sebuah langkah extra ordinary untuk mendakwa pejabat publik
(public officials), termasuk presiden/wakil presiden, menurut Jody C. Baumgartner dan
Naoko Kada, “pemakzulan” bukan perkara biasa. Dapat dikatakan sebagai political
“earthqueke dan extra-ordinary political event” (www.wordpress.com).
Wikipedia melansir pemakzulan (lebih populer disebut impeachment) sebagai sebuah
proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang
pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan,
namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-
kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan
pemecatan. Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan
dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif kemudian menyebabkan
pemecatan pejabat (www.wikipedia.com).
Prof. Dr. Harun Al-Rasyid mengatakan bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga
“impeachment”. Saya mengatakan betul, karena “impeachment” itu bahasa Inggris. Tetapi,
baik menurut kamus bahasa Inggris maupun kamus-kamus hukum, “to impeach” itu artinya
memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggung jawaban. Dalam hubungan dengan
kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, “impeachment” berarti pemanggilan atau
pendakwaan untuk meminta pertanggung jawaban atas persangkaan pelanggaran hukum
yang dilakukannya dalam masa jabatan.
14
B. Tinjauan Secara Umum Landasan Yuridis Tentang Pemakzulan atau Impeachment
(Upaya Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden)
Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pasal 7 A disebutkan “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pasal 7 B disebutkan ayat (1) “Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”. Ayat (2) ”Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat”. Ayat (3) “Pengajuan permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam
sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat”. Ayat (4) “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling
lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi”. Ayat (5) “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
15
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ayat (6) “Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan
Rakyat menerima usul tersebut”. Ayat (7) “Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden pasal 4 ayat (1) yang berbunyi ”Dalam hal pendapat DPR berkaiatan
dengan dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) huruf a permohonan harus memuat secara rinci
mengenai jenis, waktu, dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden
dan/atau wakil presiden” dan ayat (2) yang berbunyi ”Dalam hal pendapat DPR berkaitan
dengan dugaan presiden dan/atau wakil presiden berkaiatan dengan tidak lagi dipenuhinya
syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD 1945 permohonan harus
memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak dipenuhi dimaksud.”
16
BAB III
METODE PENULISAN
Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk
mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan
klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur
yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah
suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk
mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang
ada (Bambang Sunggono, 1991: 21).
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan penulis termasuk dalam jenis penelitian yuridis
sosiologis yang bersifat deskriptif analisis, yaitu dengan cara menggambarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam pemberantasan korupsi yang dihubungkan dengan
teori-teori hukum progresif yang relevan dan praktek pelaksanaannya untuk dan kemudian
dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian yuridis normatif disini
menggunakan pendekatan doktrinal, pendekatan ini digunakan untuk rmengetahui realita
hukum yang terjadi di Indonesia.
B. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme.
Bogdan dan Biklen mengartikan paradigma penelitian sebagai kumpulan longgar dari
sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep, atau proporsi yang mengarahkan cara
berpikir dari penelitian (Bogdan dan Biklen dalam Lexy J. Moleong, 1996:30). Dengan
menggunakan paradigma konstruktivisme kita dibawa untuk :
1. Melakukan eksplorasi realitas sosial dari hukum;
2. Melakukan evaluasi terhadap permasalahan sosial dari hukum dan dampaknya terhadap
masyarakat;
17
3. Memahami suatu perkara, seperti suatu atau serangkaian kejadian yang berkenaan dengan
perbuatan maupun penegak hukum (www.uksw.ac.id) / diakses 5 Februari 2010
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach) dan pendekatan konsep (Conceptual Approach). Adapun maksud dari pendekatan
perundang-undangan adalah dengan menganalisis dan mengkaji secara mendalam tentang
pasal 7 A dan 7 B UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
D. Jenis Data
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu
data atau informasi hasil menelaah dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan
sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, jurnal, maupun arsip-
arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.
Menurut Seorjono Seokanto, data sekunder dibidang hukum ditinjau dari kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat :
Dalam Penulisan Hukum ini penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-Undang No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21
Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai
Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Perppu No.4 Tahun 2008
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti :
a. Hasil karya ilmiah para sarjana dan ahli hukum
b. Hasi-hasil penulisan para ahli hukum
18
3. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, misalnya bahan dari
media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya (Soerjono
Soekanto 2001:13).
E. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat dimana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian
ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperoleh data. Data skunder yang
digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public
document and official records), yaitu dokumen perundang-undangan yang berkaitan dengan
kebijikan yang telah dikeluarkan pemerintah terkait pegucuran dana talangan (bailout) pada
Bank Century.
Disamping sumber data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan
pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-buku referensi dan
media massa terkait dengan permasalahan tersebut.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam
penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan
menyusun data yang diperlukan (Lexy.J.Moleong, 2005: 216-217).
G. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif, yaitu data-data
penelitian yang diperoleh disusun secara kualitatif dan didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan Bogdan dan Biklen menyatakan analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
19
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain (Bogdan&Biklen dalam Lexy J.Moleong, 2005: 248).
20
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
A. PROBLEMATIKA KASUS BANK CENTURY DALAM IMPLEMENTASI UPAYA
PEMAKZULAN PRESIDEN SBY
1. Problematika Dari Substansi Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK
Berawal dari adanya Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang harus dimintakan
persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Dalam proses selanjutnya ternyata Perppu
tersebut ditolak oleh lima fraksi besar di DPR yaitu Partai Golkar, PDIP, PAN, PPP dan
PKB. Adapun alasan-alasan penolakan oleh lima fraksi tersebut dikarenakan banyak
pelanggaran-pelanggaran hasil investigasi dari Komite Pemantau dan Pemberdayaan
Parlemen Indonesia (KP3-I). Adapun pelanggaran yang dilakukan Gubernur BI antara lain :
Tahun 2008 Bank Century mengalami likuiditas, untuk penyelamatan Bank Century.
Presiden mengeluarkan Perpu No.4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem
Keuangan (JPSK) Tanggal 15 Oktober 2008. Tanggal 29 Oktober 2008 pemerintah
menyampaikan RUU tentang penetapan Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK menjadi UU
ke DPR RI, tanggal 17 Desember 2008 DPR RI menolak pengesahan Perpu No.4 Tahun
2008 tentang JPSK menjadi UU dengan alasan jika Perpu itu diterima, ada bahaya yang bisa
timbul terhadap APBN, tetapi tidak bisa diambil tindakan hukum terhadap pejabat yang telah
menyebabkan bahaya itu. Secara otomatis Perpu No.4 Tahun 2008 batal demi hukum sesuai
amanah UUD 1945. Pada Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 maka sesuai
dengan pasal 25 ayat (3) juncto pasal 36 ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Perppu tersebut gugur dan tidak
dapat digunakan sebagai landasan hukum. Salah satu kebijakan yang diambil oleh presiden
SBY inilah yang menjadikan dasar bahwa telah adanya pelanggaran hukum. Perpu No.4
Tahun 2008 tentang JPSK terdiri atas tiga pasal yang salah satu materi yang paling krusial
terletak dalam pasal 2 ayat (2) yang intinya menegaskan kebijakan yang telah ditetapkan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tentang penanganan krisis berdasarkan Perppu
tersebut tetap sah dan mengikat. Kebijakan KSSK itu adalah tentang penetapan Bank
Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang
21
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Pasal 6 yang berbunyi “KSSK berfungsi
menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis”. Dengan demikian,
Sidang Paripurna DPR merupakan penegasan bahwa DPR tidak menyetujui Perppu tersebut.
Dengan pembatalan Rancangan Undang-Undang (RUU) JPSK oleh DPR, maka pengucuran
dana talangan (bailout) Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun dianggap tidak sah dan tidak ada
dasar hukumnya.
Hal yang menjadi kontroversial adalah adanya Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) dalam Perppu tersebut dan dijadikan dasar untuk terus membahas tentang bailout
kepada Bank Century. Sementara itu, hakim konstitusi H.A.S Natabaya menyatakan
pemberlakuan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
pasca Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 sebagai dasar keputusan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah suatu pelanggaran terhadap hukum. Dalam pasal
29 Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang berbunyi “Menkeu dan Gubernur BI,
dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Perpu ini tidak dapat dihukum, karena telah
mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Perpu ini”. Hal ini jelas menurut penulis justru pelanggaran
yang dilakukan oleh presiden SBY bertambah lagi dengan membuat kebijakan yang
membuat benteng hukum terhadap Boediono dan Sri Mulyani ketika mengambil kebijakan
terkait dana talangan (bailout) pada Bank Century.
2. Pandangan Awal Fraksi-Fraksi di Panitia Khusus (Pansus) Bank Century
Fraksi Partai Demokrat (FPD)
Bailout tidak merugikan dan tidak ada pelanggaran hukum, Tidak ada
kesalahan dalam pemberian FPJP dan PMS, Proses akuisisi dan merger Bank Century
syarat dengan berbagai pelanggaran sebagaimana telah diungkap Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dalam audit investigatifnya.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB)
Bailout tidak merugikan dan tidak ada pelanggaran hukum Tidak ada
kesalahan dalam pemberian FPJP dan PMS, Pengucuran FPJP merupakan amanat
Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Amandemen, Undang-Undang Bank Indonesia (BI)
22
pada dasarnya dilakukan untuk mempermudah akses perbankan dalam memperoleh
likuiditas saat krisis, dan Tidak adanya unsur melawan hukum, karena sudah sesuai
pasal 21 ayat (3) Undang Undang No.24 tahun 2004 tentang LPS dan LPS bukanlah
uang negara. Hal ini disebabkan, karena tidak berasal dari APBN, melainkan berasal
dari premi yang dibayar bank anggota LPS.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP)
BI, KSSK dan KK telah melakukan tindak pidana Pengucuran FPJP dan
PMS tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi korupsi,
Adanya serangkaian indikasi pelanggaran aturan perbankan, BI tidak tegas dan tidak
konsisten dalam menilai aset surat berharga milik Bank Century, sehingga kebutuhan
dana bailout membengkak dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun,
Merekomendasikan agar para penegak hukum bertindak tegas dan segera
menindaklanjuti indikasi pelanggaran oleh BI, KSSK, serta KK dalam pemberian
PMS, Terdapat nama nasabah yang tidak dapat ditemukan dalam data base cabang
Bank Century dan terdapat lonjakan penarikan dana nasabah pada periode
penggelontoran dana FPJP dan PMS (14 November 2008 s/d 10 Agustus 2009).
Terdapat rekening yang sumber dananya tidak jelas dan terdapat deposito yang
dananya berasal dari perusahaan yang diduga menyalahgunakan kredit yang diperoleh
dari Bank Century
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS)
Pembentukan Bank Century menyalahi aturan, Pengucuran FPJP dan
PMS tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi korupsi,
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek banyak mengandung kejanggalan yang diduga
kuat melawan hukum, Kasus Bank Century tersebut terkait dengan persoalan
kebijakan, indikasi tindak pidana perbankan, dan indikasi tindak pidana korupsi yang
melibatkan banyak pihak.
Fraksi Partai Amanat Nasioanl (FPAN)
Bank Indonesia telah melanggar hukum dan KSSK tidak dapat
memberikan kebijakan yang benar terkait bailout, Bank Indonesia telah
melanggar peraturan terkait dengan merger Bank Century yang merupakan hasil
23
merger antara Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac, Pengucuran FPJP dan PMS
tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi Korupsi.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP)
Kasus Bank Century telah merugikan keuangan negara, Pengucuran FPJP
dan PMS tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi korupsi.
Fraksi Partai Hanura
Bailout Bank Century merupakan perampokan uang negara, Pengucuran
FPJP dan PMS tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi
korupsi
Fraksi Partai Gerindra
Kasus Bank Century telah merugikan keuangan negara, pengucuran FPJP
dan PMS tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bahkan terindikasi korupsi.
Dalam pengucuran FPJP, BI telah melanggar berbagai aturan yang ditetapkan sendiri,
mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) agar Bank Century bisa menikmati
kucuran FPJP, kasus perampokan uang yang secara sistemik dilakukan pemilik bank,
pemegang saham, serta tidak mungkin dilakukan sendiri tanpa keterlibatan oknum
pejabat otoritas moneter (BI) dan fiskal (Depkeu).
Fraksi Partai Golkar
Ada pelanggaran saat dilaksanakannya proses merger dan bailout, Kasus Bank
Century adalah perampokan keuangan negara secara sistemik oleh pemilik bank yang
tidak mungkin dilakukan sendiri, namun dengan keterlibatan oknum pejabat bidang
moneter dan fiscal, pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dari setelah
merger menjadi Bank Century juga ada banyak pelanggaran.
Sumber : Dari berbagai sumber termasuk http/:www.antaranews.com,
http/:www.wordpress.com, dan http/:www.inilah.com
24
3. Pandangan Akhir Fraksi-Fraksi di Panitia Khusus (Pansus) Bank Century
Guna mengawali proses akhir pandangan fraksi-fraksi, maka diadakan dahulu
investigasi lapangan terkait aliran dana yang telah dikucurkan. Adapun hasil investigasi
lapangan yang telah ditemukan adalah di Makassar ditemukan aliran dana yang
mencurigakan pada rekening milik nasabah Bank Century Amiruddin Rustan yang nilainya
mencapai Rp. 90 miliar dan di Medan ditemukan sebanyak 20 pemilik rekening yang
mencurigakan serta di Surabaya juga ditemukan adanya rekening milik Budi Sampoerna
yang pecah-pecah menjadi banyak rekening dengan nilai masing-masing Rp. 2 miliar.
Sebelum adanya pandangan akhir dari lobi yang dilakukan terhadap kasus Bank
Century 11 nama Manajemen Bank CIC, 12 nama Manajemen Bank Century periode lama, 3
nama Manajemen Bank Century periode baru, 25 nama Pejabat BI periode akuisisi dan
merger, 3 nama pejabat KSSK, pejabat UKP3R, nama pejabat Komite Koordinasi, 9 nama
pejabat lembaga penjamin simapanan (Media Indonesia, Hari Selasa tanggal 23 Februari
2010, hal.1). Dalam pandangan akhir dari Pansus Bank Century tidak jauh beda dengan
padangan awal yang telah diberikan. Partai Golkar, PDI-P, PKS dan Partai Hanura
menyebutkan nama yang terlibat dalam pelanggaran Bank Century yaitu Sri Mulyani dan
Boediono. Partai Gerindra hanya meyebutkan nama instansi dan jabatannya. Partai Persatuan
Pembangunan hanya menyebutkan instansi yang bertanggungjawab. Partai Demokrat dan
PKB tidak ada masalah dan pelanggaran hukum terkait proses dana talangan (bailout)
(Kompas, Hari Rabu tanggal 24 Februari 2010,hal.1).
25
B. KETERKAITAN ANTARA KASUS BANK CENTURY DAN UPAYA PEMAKZU-
LAN/IMPEACHMENT PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pemakzulan dalam perspektif hukum telah memberikan landasan historis
terhadap perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Berikut ini adalah bagan
komparasi pemakzulan yang pernah terjadi di Indonesia dan mekanisme pemakzulan
dalam aturan konstitusi.
26
27
Sumber : Dalam Temu Wicara MK dengan Pimpinan Perguruan Tinggi NU se-Indonesia
yang dipresentasikan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, SH., M.H. tanggal 30 Januari
2010 di Jakarta di http//:www.mahkamahkonstitusi.go.id
28
Dari bagan tersebut penulis mencoba memberikan pemaknaan terhadap pemakzulan
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bertolak dalam proses pemakzulan terhadap
Presiden Soekarno terdapat tuntutan rakyat, karena adanya indikasi keterlibatannya terkait
peristiwa G 30/S PKI yang telah mengancam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan adanya
tuntutan rakyat tersebut langsung ditanggapi oleh MPR dengan mengadakan sidang
istimewa. Dengan demikian substansi dalam pembahasan sidang tersebut akan menghasilkan
sebuah produk hukum memorandum yang dijadikan dasar untuk menghentikan jabatan
Presiden Soekarno. Berdasar Tap MPR No. III tahun 1978 adalah landasan hukum yang
digunakan terkait proses pemakzulan pada Gus Dur sudah mengalami banyak perubahan
dalam kajian yuridis dan mekanisme yang berjalan. Dari dugaan yang berkembang di
masyarakat dengan pelanggaran hukum yang pernah dilakukan oleh Gus Dur akan mendapat
pembahasan lebih lanjut dan detail di Komisi III DPR. Pembahasan tersebut berdampak
lahirnya hak angket yang dimilki oleh anggota DPR untuk menyelidiki suatu kasus tertentu.
Hak angket tersebut berhasil membuat Pansus untuk mengadakan investigasi lebih lanjut
dalam mengungkap fakta hukum yang sebenarnya. Dengan dibentuknya Pansus tersebut akan
memberikan temuan hukum dan memberikan kesimpulan. Hasil tersebut akan dibahas lebih
lanjut dan Gus Dur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki setiap kebijakannya. Dalam
perkembangan selanjutnya ternyata kebijakan yang diambil tidak logis dan cenderung ada
pelanggaran terhadap hukum. Dengan demikian dalam Rapat Paripurna DPR melahirkan
Memorandum I dan Memorandum II. Memorandum tersebut dilanjutkan pada Sidang
Istimewa MPR yang dijadikan dasar untuk memperhentikan Gus Dur dari jabatannya sebagai
presiden, karena dinilai telah melakukan banyak pelanggaran hukum.
Jika dicermati penulis melihat mekanisme tentang pemakzulan yang diamantkan oleh
konstitusi sepintas alurnya mudah, tapi realita yang harus dijalankan sangat tidak mungkin.
Mengingkat partai koalisi yang berada di DPR sangat banyak yang mendukung pemerintah.
Adapun alur yang terdapat dalam konstitusi adalah sebagai berikut : Pada tingkat DPR,
dalam pasal 7 A Undang-Undang Republik Indonesia disebutkan “Presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
29
lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden”.
Dalam pasal 7 B Undang-Undang Republik Indonesia disebutkan ayat (1) “Usul
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR
bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden” dan dalam ayat (2) disebutkan
“Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran
hukum tersebut atau pun telah tidak ada lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau
wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Pada tingkat
MK, dalam pasal 7 B Undang-Undang Republik Indonesia ayat (3) disebutkan “Pengajuan
permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR”, ayat 4 disebutkan “MK wajib
memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut
paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK”, dan dalam ayat (5)
disebutkan “Apabila MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau
wakil presiden, DPR menyelengarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemerintahan presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR”. Proses Pemakzulan harus
dilakukan. Selanjutnya, pada tingkat MPR, dalam pasal 7 B Undang-Undang Republik
Indonesia ayat (6) disebutkan “MPR wajib menyelenggarakan siding untuk memutuskan usul
DPR tersebut paling lama tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut” dan ayat (7)
disebutkan “Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus
diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir setelah
30
presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan meyampaikan penjelasan dlam Rapat
Paripurna MPR”. Presiden atau Wakil Presiden Harus Lengser/Berhenti.
Menurut Mahfud MD, terdapat lima syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
memakzulkan seorang presiden atau wakli presiden dalam UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Kelima syarat itu adalah jika seorang presiden atau wakil presiden melakukan
korupsi, menerima atau melakukan penyuapan, melakukan pengkhianatan terhadap negara,
melakukan kejahatan besar dengan ancaman hukuman lima tahun dan terlibat perbuatan
tercela. Mekanisme pemakzulan harus ada keputusan politik dari DPR dalam sidang
paripurna yang dihadiri minimal 2/3 anggota. Setelah itu melalui ketua DPR secara institusi
menyampaikan pendakwaan kepada presiden atau wakil presiden yang akan dimakzulkan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah berkas lengkap, barulah Mahkamah Konstitusi (MK)
akan menggelar sidang guna memutuskan terkait dakwaan DPR terhadap presiden atau wakil
presiden benar atau tidak. Proses selanjutnya dikembalikan kepada DPR lagi untuk
melanjutkan sidang MPR jika memang MK memutuskan dakwaan DPR memiliki dasar kuat
telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakli presiden. Jumlah
anggota DPR seluruhnya ada 560 orang. Mengingat koalisi partai politik pendukung
pemerintahan menguasai 60% kursi DPR. Dengan demikian pemakzulan akan sulit terjadi
jika mengandalkan 40% suara yang beroposisi, sehingga 2/3 dukungan di DPR dan tiga
perempat dari MPR jadi sulit untuk dilakukan upaya pemakzulan (impeachment). Selain itu
pemakzulan harus melewati tahap menyatakan pendapat yang quorumnya minimal ¾
anggota DPR yang artinya 420 dari 520 orang harus hadir dalam rapat paripurna untuk
memutuskan hak anggota DPR untuk menggunakan haknya dalam menyatakan pendapat.
Kalau Pansus Century menyimpulkan ada indikasi pelanggaran hukum atas keputusan KSSK
ataupun BI pada akhir 2008 hal itu belum tentu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran
hukum yang dimaksud oleh pasal 7 A dalam UUD 1945. Jika Pansus menyimpulkan ada
pelanggaran hukum tidak mungkin dan belum tentu DPR memutuskan demikian, karena
partai politik koalisi sangat dominan. Dengan demikian dari segi konstelasi politik, hampir
tidak ada peluang munculnya pemakzulan terhadap Presiden SBY ataupun Wakil Presiden
Boediono. Kemudian syarat lainnya apabila memang pantas dimakzulkan, proses
pemakzulan harus disetujui oleh 2/3 anggota DPR. Dari 560 anggota DPR RI, partai koalisi
pemerintah terdiri dari Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Kalau memang
31
ada upaya pemakzulan, maka komposisi partai dengan jumlah anggota pendukung
pemerintah adalah 423 anggota, lawan 137 anggota, artinya jumlah yang akan memakzulkan
tidak akan memenuhi quorum 2/3 anggota DPR. Jika terjadi perubahan politik Golkar dan
PKS bergabung dengan partai oposisi kekuatan gabungan koalisi pendukung pemerintah
yang tersisa 260 anggota. Ini berarti kemungkinan terpenuhinya syarat 2/3 juga tidak akan
tercapai, karena kekuatannya baru mencapai 56% dan partai koalisi pemerintah masih 60%.
Dalam pasal 83 Undang-Undang No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(MK) juncto pasal 19 ayat (3) PMK Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara
Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Ada amar putusan yaitu sebagai berikut : “Permohonan tidak dapat diterima
apabila tidak memenuhi syarat, membenarkan pendapat DPR apabila Mahkamah berpendapat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”. Hal ini mengindikasikan jalan untuk pemakzulan juga mendapat benteng dengan
aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Proses yang panjang dan berliku ini
dapat dtinjau dengan juga dengan pandangan ketatanegaraan seperti dalam bagan dibawah
ini:
Kedudukan Legislatif dan Yudikatif Kedudukan Eksekutif
Institusi Parlemen
MPR/DPR/DPD/MK/KY
Institusi Hukum
Polisi/Kejaksaan/Pengadilan
Otoritas Prerogratif Legitimasi Hukum
Presiden
Kepala Negara/Kepala Eksekutif
Perintah Konsultasi
(Constitution Command)
Para Mentri/Birokratik
Pembantu Presiden
Perindah Undang-Undang
(Legal Commad)
Peranan Peranan
Membuat/Menetapkan Peraturan Hukum
Dipilih Oleh Rakyat
Menjalankan/Memutuskan Hukum
Dipilih Oleh Parpol
32
Mengangkat/Menghentikan Pejabat Disetujui Oleh DPR/Presiden
Perbedaan Perbedaan
Hak Otoritas Konstitusi
(Constitution Authority Right)
Hak Oportunitas Hukum
(Legal Opportunity Right)
Sumber: Amos, Abraham. 2007:211
Dalam pemaknaan penulis terkait bagan tersebut diatas, maka garis pemisah antara
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif di bawah wewenang presiden terlihat didominasi
oleh hak otoritas prerogratif dan hak konstitusional yang terlegitimasi oleh konstitusi
terhadap hak opportunitas yang terligitimasi oleh hukum, jadi dalam praktek parlemen semi
bikameral (soft bikameral) tampak kesetaraan antara kekuasaan parlemen dengan presiden
dan parlemen berhak meng-impeachment presiden jika presiden telah menyalahgunakan
wewenangnya dan menyimpang dari UUD RI 1945, sedangkan presiden berhak
menggantikan pembantu-pembantunya jika kurang menopang kinerja pemerintahan. Presiden
tidak membubarkan parlemen dan sebaliknya parlemen tidak dapat memecat presiden
sekehendaknya sendiri. Menurut C.F. Strong posisi atau kedudukan untuk membatasi
wewenang pemerintah agar senantiasa tetap memperjuangkan aspirasi rakyat dan pejabat
pemerintah dalam mengemban amanat rakyat harus selalu berdasarkan konstitusi. Dalam
konteks sistem presidensil dan aturan terkait pemakzulan yang telah diamanatkan dalam
konstitusi prosedur yang harus dialalui membutuhkan waktu yang sangat panjang, apalagi
konstelasi koalisi partai politik kuat dan dominan. Arahan yang ada dalam konstitusi tersebut
merupakan ”konstitusi normatif” yang harus diakui oleh sistem ketatanegaraan Indonesia.
Indonesia adalah Negara Hukum, maka apa yang dikeluarkan oleh Mahkamh Konstitusi
(MK) adalah sesuatu yang wajar dan memang harus dilakukan dalam menopang sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Persoalannya adalah justru peraturan itu dikeluarkan MK ketika
persoalan Bank Century semakin controversial tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap kerugian negara sebesar 6,7 T. Semua kebijakan yang masih problematik tersebut
pendapat peraturan itu sengaja dibuat Mahkamh Konstitusi guna menyelamatkan Presiden
SBY dan Wakil Presiden Boediono, karena prosedur yang telah dikeluarkan membuat
indikasi sulit untuk dijalankan. Dengan cara ini presiden dan wakil presiden dianggap masih
33
memiliki peluang diselamatkan dari upaya pemakzulan. Benteng hukum yang justru makin
menguat dengan PMK Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
merupakan benteng kuat untuk melindungi pemakzulan terhadap Presiden Susilo Bambang
Yudoyono (SBY).
BAB V
34
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Proses Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), Penyertaan Modal Sementara
(PMS), akuisisi, merger, bailout dan aliran dana yang dikeluarkan terdapat indikasi
pelanggaran hukum terkait kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
2. Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
adalah bentuk hukum guna pertanggung pertanggung jawaban presiden SBY.
3. Dalam konstitusi UUD Negara Republik Indonesia telah diatur untuk
memperhentikan presiden atau wakil presiden, tetapi terkait pemakzulan
(impeachment) hanya istilah yang tidak pernah ada dalam aturan konstitusi.
4. PMK No. 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat
DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,
merupakan landasan yuridis formal terkait upaya pemakzulan presiden dan hal ini
secara konstitusional sulit untuk dijalankan.
5. Dalam pasal 7 B ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan
bahwa usul pengajuan permintaan DPR ke MK dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya dihadiri 2/3 anggota DPR. Dari jumlah itu, dua pertiganya harus
menyatakan setuju. Jika koalisi pendukung pemerintah solid, dapat dipastikan,
kuorum tersebut tidak akan terpenuhi dan upaya pemakzulan tidak akan tercapai.
6. Meskipun terjadi pelanggaran yang telah diputuskan oleh POLRI, KPK ataupun
Kejaksaan maka pemakzulan tidak mungkin terjadi, hal ini terkait ranah politik yang
terjadi di Indonesia.
B. REKOMENDASI
1. Bagi pihak partai oposisi seharusnya lebih mencermati terkait istilah mosi tidak
percaya dan pemakzulan mengingat sistem presidensil yang dianut di Indonesia dan
mekanisme untuk pemakzulan tidak mudah untuk dijalankan, sehingga tidak akan ada
pembodohan politik terhadap masyarakat.
35
2. Pihak Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang mengadakan judicial review
dari Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 harus memberikan
pemaknaan yang kongkrit terkait pemakzulan (impeachment).
Daftar Pustaka
36
Sumber Buku
Amos, Abraham.2007.Katastropi Hukum dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan
Indonesia”Analisis Sosiologi Kritis Terhadap Prosedur Penerapan dan Penegakan
Hukum di Indonesia”.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Bisri, Ilhami.2004.Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Bambang Sunggono, 1991. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press
Himawan, Charles.2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Junus A.,George.2007.Korupsi Kepersidenan ”Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga Istana
Tangsi dan Partai Penguasa”.Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta
Junus A.,George.2009.Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank
Century.Yogyakarta: Galangpress
Irianto, Sulistyowati dkk.2009.Metode Penelitian Hukum.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Soehino.1998.Ilmu Negara.Yogyakarta:Liberty
Lexy.J.Moleong. 1996 . Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Lexy.J.Moleong. 2005.Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Purbacaraka, purnadi dkk.1987. Renungan Tentang Filsafat Hukum.Jakarta: CV Rajawali
Pudjiarto, Harum. 1997. Memahami Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Atmajaya
Yogyakarta
Sidarta, Arif.2002. Hukum Dan Logika.Bandung:PT Alumni Bandung
Setiardja, A.Gunawan.1900. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Hukum di Indonesia. Jakarta: Kanisius
Soekanto, Soerjono.2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Soerjono Soekanto. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta :
Raja
Grafindo Persada.
37
Soerjono Soekanto. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta :
Raja
Grafindo Persada
Thoha, Miftah.2004. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wignjosoebroto, Sotandyo.2008.Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media
Publishing. Anggota IKAPI Jatim.
Thaib, Dahlan.1989.Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UDD 1945.
Yogyakarta:Liberty
Ridwan Indra, Mukhammad.1982.Kedudukan Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut
UUD 1945.Jakarta: Sinar Grafika
Soedarsono.2008.Putusan Mahakamah Konstitusi Tanpa Mufakat Bulat.Jakarta:Sekjend dan
Kepaniteraan MK
Asshiddiqie,Jimly.2008.Menuju Negara Hukum Yang Demokratis.Jakarta: Sekjend dan
Kepaniteraan MK
Ranadireksa, Hendarmin.2007.Dinamika Konstitusi Indonesia.Bandung:Anggota IKAPI
Abdul Latief. 2007. Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokrasi. Yogyakarta: Kreasi Total Media
Abdul Rasyid Thalib. 2006. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Dahlan Thaib. Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 2003. Teori dan Hukum Konstitusi.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Edisi Revisi. Cetakan Ketiga.
Firmansyah Arifin. dkk, 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Cetakan
Pertama.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945. Cetakan Kedua. Yogyakarta: FH UII Press. Cetakan Kedua.
38
_______________. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi
Press.
_______________. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta:
Konstitusi Press. Cetakan Ketiga.
_______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Josef Riwo Kaho. 1990. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Maruarar Siahaan. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press.
M. Solly Lubis. 2002. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju.
Nukthoh Arfawie Kurde. 2005. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Cetakan Pertama.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sobirin Malian. 2001. Gagasan Baru Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945.
Jogjakarta: UII Press.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
_______________. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sumber Aturan Perundang-undangan
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara
Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
Sumber Media Massa
Media Indonesia, Rabu 20 Januari 2010, hal.1
Media Indonesia, Selasa 16 Februari 2010,hal. 1
39
Kompas, Hari Rabu tanggal 24 Februari 2010,hal.1
Media Indonesia, Hari Selasa tanggal 23 Februari 2010,hal.
Sumber Internet
http//:www.uksw.ac.id/ diakses tanggal 5 Februari 2010
http//:www.progresif_Ishap.blogspot.com/ diakses tanggal 1 Februari 2010
http//:www.jodisantoso.blogspot.com/ diakses tanggal 2 Februari 2010
http//:www.mahkamahkonstitusi.go.id/ diakses tanggal 3 Februari 2010
http//:www.antikorupsi.org/diakses tanggal 3 Februari 2010
http//:www.vibizportal.com/diakses tanggal 5 Februari 2010
http//:www.inilah.com/ diakses tanggal 5 Februari 2010
http//:www.okezone.com/ diakses tanggal 5 Februari 2010
http/:www.antaranews.com/ diakses tanggal 7 Februari 2010
http/:www.wordpress.com/ diakses tanggal 8 Februari 2010
http/:www.wikipedia.com/ diakses tanggal 7 Februari 2010
http//:www.suara.online.com/ diakses tanggal 8 Februari 2010
http/:www.Jakarta45.wordpress.com/ diakses tanggal 9 Februari 2010
40
41