PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN ...
Transcript of PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN ...
LPPM - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
845
PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN
FERMENTASI SIMULTAN MENGHASILKAN BIOETANOL
OCTOVIANUS SR PASANDA
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar 90245, Indonesia
email: [email protected]
ABDUL AZIS
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang,
Makassar 90245, Indonesia email: [email protected]
SELFINA GALA
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Fajar,
Makassar 90231, Indonesia
email: [email protected]
Diterima
Direvisi
Abstrak - Harga minyak mentah yang tinggi dan dampak emisi gas rumah kaca dari penggunaan bahan
bakar fosil membuat biofuel menarik untuk dipelajari. Bioetanol dapat diperoleh dari berbagai bahan baku
yang bersumber dari selulosa diantaranya dari limbah alginat. Limbah padat alginat dapat mencapai 80%
dari berat awal rumput laut yang diproses sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan
limbah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum terhadap pembuatan
bioetanol dari limbah alginat secara sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggabungkan
mikroba penghasil enzim selulase yaitu Tricoderma viride dan mikroba yang umum digunakan untuk
fermentasi Saccharomyses Cereviseae. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan selama 7
hari dengan memvariasikan kondisi pH awal yaitu: pH awal 4,2; 4,8, dan 5,5. Pengukuran nilai pH, dan
kadar gula pereduksi dilakukan setiap hari, sedangkan kadar etanol yang terbentuk diukur mulai dari hari
ke-3 hingga hari ke-7. Kondisi optimum diperoleh pada penelitian ini yaitu pada hari ke-3 dengan
pengaturan pH awal 4,2 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 5,13%, dengan persen yield sebesar
5,72%. Pemanfaatan biomassa dari rumput laut sebagai energi dapat menjanjikan karena bahannya
mudah dikonversi menjadi etanol serta secara komprehensif memecahkan masalah lingkungan global
dan masalah energi.
Kata kuncis: Limbah alginat; sakarifikasi; fermentasi; trichoderma viride; saccharomyses cereviseae;
bioetanol
846 Oktavianus, Abdul, Selfina
Abstract - High crude oil prices and the impact of greenhouse gas emissions from the use of fossil fuels makes biofuels interesting to study. Bioethanol can be obtained from various raw materials sourced from
cellulose including alginate waste. Alginate solid waste can reach 80% of the initial weight of processed
seaweed so research needs to be done to utilize the waste. This study aims to obtain optimum conditions for making bioethanol from saccharification alginate waste and simultaneous fermentation by combining
cellulase enzyme-producing microbes namely Trichoderma viride and Saccharomyces cerevisiae
microbes. The saccharification process and simultaneous fermentation were carried out for 7 days by varying the initial pH conditions: initial pH 4.2; 4.8 and 5.5. Measurement of pH values, and reducing
sugar levels is carried out every day, while the ethanol content formed is measured starting from the third
day to the seventh day. The optimum conditions obtained in this study were on the 3rd day with the initial pH setting of 4.2 producing ethanol concentration of 5.13%, with a yield percentage of 5.72%.
Utilization of biomass from seaweed as energy can be promising because the material is easily converted
to ethanol and comprehensively solves global environmental problems and energy problems.
Keywords: Alginate waste; saccharification; fermentation; trichoderma viride; saccharomyses cerevisiae; bioethanol
1. Pendahuluan
Bioetanol dari sumber biomassa adalah bahan bakar utama yang digunakan sebagai pengganti
bensin untuk kendaraan transportasi darat. Tingginya harga minyak mentah membuat bahan
bakar nabati menarik untuk dikaji (Scott and Bryner, 2006), selain itu bioetanol dari biomassa
merupakan salah satu energi alternatif terbarukan serta dapat membantu mengurangi emisi
gas rumah kaca dari penggunaan bahan bakar fosil (Ibeto, et al., 2011). Bahan bakar fosil
termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, dan ketersediaannya terbatas,
memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan suatu
energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi
permasalahan energi, mengurangi ketergantungan pada impor minyak, mengurangi
pemanasan global serta bukan bagian dari pasokan makanan (Krahmer. et al., 2015; Pasanda,
et al., 2016; Obata, et al., 2016; Chen, et al., 2015). Salah satu energi alternatif terbarukan
sebagai pengganti bahan bakar fosil adalah bioetanol dari rumput laut coklat. Dalam Dinding
sel rumput laut coklat terdapat selulosa, asam alginat, dan polisakarida lainnya, (Chen, et al.,
2015). Selulosa pada Sargassum berkisar antara 23,97–35,22% (Kawaroe, et al., 2012).
Bahan baku lain yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan bioetanol
adalah limbah alginat dari rumput laut coklat (Sargassum sp). Kandungan alginat dalam
rumput laut Sargassum berkisar antara 8-32% tergantung kondisi perairan tempat tumbuhnya
(Pasanda dan Azis, 2018), sedangkan menurut Chen, et al. (2015), kandungan alginat
mencapai hingga 40% dari berat kering rumput laut coklat. Komposisi limbah rumput laut
hasil ekstraksi alginat memiliki kandungan selulosa sebesar 30,26% (Manurung, 2011).
Selulosa tersebut merupakan bahan baku yang berpotensi untuk pembuatan bioethanol
sekaligus mewakili sumber daya bioenergy berkelanjutan.
Beberapa metode hidrolisis telah diterapkan pada rumput laut coklat untuk menghasilkan
gula, demikian halnya dengan fermentasi gula yang dihasilkan oleh hidrolisis rumput laut
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 847
coklat dikonversi menjadi etanol juga telah banyak dilakukan bahkan konversi menjadi etanol
tanpa hidrolisispun sudah dilakukan (Yanagisawa, et al., 2013). Menurut Basmal et al.
(2014), limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan rumput laut coklat menjadi alginat
mencapai 80%, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan limbah tersebut
sebagai bahan pembuatan bioetanol. Secara umum produksi bioetanol melalui beberapa
tahapan: hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian (Vohra, et al., 2014). Bioetanol dihasilkan
dari proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa yang kemudian difermentasi menjadi etanol.
Enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah selulase.
Perkembangan bioteknologi yang begitu cepat menimbulkan minat yang sangat besar
dalam penggunaan mikroorganisme, khususnya mikroorganisme dari Genus Trichoderma.
Keberadaan mikroorganisme ini telah dipelajari dalam beberapa dekade dan dikenal sebagai
penghasil berbagai enzim selulolitik dengan aktivitas enzimatik yang relatif tinggi,
(Miettinen-Oinonen dan Suominen, 2002). Mikroorganisme ini dikenal sebagai penghasil
berbagai enzim selulolitik yakni endoglucanases, selobiohidrolase dan ß-glucosidase. Enzim-
enzim ini mampu mengubah biomassa selulosa menjadi glukosa, (Li, 2010).
1.1. Ragi
Ragi sudah lama digunakan untuk memfermentasi berbagai zat menjadi alcohol. Ragi yang
umum Saccharomyces cerevisiae, jenis ini dapat dengan mudah mengubah molekul glukosa
menjadi etanol. Keluarga Saccharomyces dari ragi dapat memfermentasi dengan baik pada
suhu sekitar 25 - 26°C dan dalam lingkungan yang sedikit asam (pH 4,5) (Lin and Tanaka,
2006). Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan bertahan pada konsentrasi etanol
yang tinggi.
Ragi mensintesis Adenosine Triphosphate (ATP) melalui dua jalur biokimia utama:
respirasi dan fermentasi. Selama respirasi dan fermentasi, sel ragi memecah molekul glukosa
di dalam sel untuk melepaskan energi (proses ini disebut glikolisis), dan sebagian energi ini
disimpan untuk digunakan dalam reaksi anabolik. Penguraian glukosa juga melepaskan atom
karbon, dipakai untuk reaksi biosintetis sehingga memungkinkan ragi untuk tumbuh dan
berkembang biak. Sebagai produk samping dari reaksi ini adalah sisa karbon yang terbentuk
sebagai karbon dioksida, etanol, dan senyawa lain yang lebih kecil (Maurice, 2011).
Fermentasi gula lainnya, seperti maltosa, lebih dulu diubah menjadi glukosa sebelum
memasuki jalur metabolik sedangkan fruktosa memasuki jalur glikolitik secara langsung
(Aquilla, 2013).
848 Oktavianus, Abdul, Selfina
1.2. Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF)
Biomassa selulosa yang menjalani proses hidrolisis akan dipecah dan diubah menjadi rantai
glukosa. Enzim yang digunakan dalam proses konversi ini seringkali mahal dan diperlukan
dalam jumlah yang banyak. Upaya yang lebih baik untuk proses konversi etanol dari
biomassa selulosa, yaitu dengan metode sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) (Maurice,
2011). SSF menggabungkan langkah hidrolisis dan langkah fermentasi sehingga proses
konversi lebih efisien (Takagi,1976). Namun, ada masalah dengan proses SSF yaitu bahwa
suhu optimal untuk hidrolisis dan suhu optimal untuk fermentasi berbeda lebih dari 15°C.
Masalah lainnya adalah konsentrasi glukosa dalam reaksi SSF harus seimbang sehingga ragi
dapat berkembang biak secara efisien dan fermentasi tidak terhambat oleh etanol yang
dihasilkan dari reaksi, (Maurice, 2011). Diperlukan penelitian lanjut untuk menentukan
kondisi optimal pada SFF, seperti pengaruh suhu, substrat (glukosa), dan pH selama proses
fermentasi diperiksa. Untuk mengubah semua jenis biomassa menjadi etanol, beberapa proses
harus terjadi. Biomassa harus dipecah menjadi rantai glukosa sederhana. Menurut Mosier, et
al. (2005), biomassa selulosa mengalami proses berikut:
(1) Pretreatment untuk memutuskan struktur lignoselulosa sehingga lebih mudah dalam
mengakses molekul lignin, hemiselulosa dan selulosa yang ada di dalam lignoselulosa.
(2) Hidrolisis untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi rantai glukosa
(3) Fermentasi mikroba melalui ragi atau bakteri untuk menghasilkan etanol
(4) Distilasi untuk memisahkan produk fermentasi
Beberapa masalah pada proses hidrolisis, hidrolisis dan fermentasi dapat diatasi dengan
menggabungkan jadi satu tahap, dikenal sebagai Sakarifikasi dan fermentasi secara
bersamaan. Proses ini memungkinkan glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis segera
difermentasi. Ini memungkinkan konsentrasi glukosa tetap rendah sehingga pada proses
hidrolisis berlanjut tidak mendapat hambatan yang signifikan (Takagi, 1976). Selain tingkat
penghambatan glukosa yang lebih rendah, sakarifikasi dan fermentasi memiliki kelebihan
antara lain (Takagi, 1976):
(1) Proses fermentasi simultan mempersingkat lamanya waktu yang diperlukan untuk proses
konversi biomassa ke etanol
(2) Proses fermentasi simultan membutuhkan lebih sedikit enzim daripada yang dibutuhkan
dalam hidrolisis enzimatik secara teratur, karena SSF mengkombinasikan hidrolisis dan
fermentasi, waktu reaksi keseluruhan untuk mengubah biomassa menjadi etanol
diperpendek.
(3) Mengurangi kemungkinan kontaminasi karena proses terjadi pada suhu tinggi dan di
dalam bejana reaksi yang sama.
Ada dua masalah mendasar dengan Sakarifikasi dan Fermentasi simultan:
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 849
(1) Hidrolisis dan fermentasi keduanya membutuhkan rentang suhu spesifik untuk operasi
yang optimal. Fermentasi S.cerevisiae paling baik pada suhu sekitar 25°C dengan pH
antara 4 dan 5 (Wasungu and Simard,1982). Setiap suhu ekstrim selama fermentasi, baik
tinggi atau rendah, menghasilkan konsentrasi etanol yang minimal . Ini karena sebagian
ragi tidak berkembang dengan baik pada suhu yang jauh lebih rendah dari 20oC atau jauh
lebih tinggi dari 40oC. Kinerja proses hidrolisis terbaik pada suhu sekitar 47°C,
(Palmqvist and Hagerdal, 2000). Jika suhu turun terlalu rendah, enzim tidak bisa mencerna
material.
(2) Kehadiran etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa selama SSF memungkinkan
reaksi fermentasi terhambat. Peningkatan konsentrasi etanol akan menghambat berbagai
mikroorganisme dalam sistem, baik enzim maupun ragi akan mengalami degradasi pada
membran plasma. Peningkatan konsentrasi etanol yang lebih tinggi lagi akan
menyebabkan kematian sel baik di ragi maupun di enzim (D'amore, 1991).
Melihat tinjauan literatur yang telah diuraikan di atas, sehingga dalam menyikapi masalah
ini diperlukan riset serta mengembangkan riset-riset sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian yang menggunakan limbah alginat untuk pembuatan bioetanol secara sakarifikasi
dan fermentasi simultan serta mencari hubungan antara pH dan gula pereduksi terhadap kadar
bioetanol dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan.
2. Metode
Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol adalah limbah alginat dari rumput laut
coklat yang diperoleh dari hasil penelitian tahap satu yakni pemanfaatan alga coklat
(Sargassum Sp) melalui perlakuan ekstraksi Ultrasonik untuk menghasilkan Natrium alginat
dan mengkonversi limbahnya menjadi bioetanol. Secara umum sintesis bioetanol yang
berasal dari biomassa terdiri dari dua tahap utama yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada
penelitian ini dilakukan proses hidrolisis dan fermentasi secara simultan (SSF) dengan kultur
biakan Trichoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae.
2.1. Preparasi limbah alginat
Pada proses ini dilakukan preparasi limbah alginate dari hasil penelitian terdahulu yaitu,
limbah alginate dibuat dengan cara menghaluskan rumput laut coklat yang sudah bersih dan
kering. Sampel (tepung rumput laut) direndam selama 24 jam di dalam larutan formaldehida
2% (1 : 30 b/v) untuk menghilangkan pigmen sehingga mempermudah proses pembentukan
asam alginate, kemudian dicuci dengan aquades lalu direndam lagi di dalam larutan HCl 0,2
850 Oktavianus, Abdul, Selfina
M (1 : 30 b/v) selama 24 jam. Setelah periode ini, sampel dicuci sekali lagi dengan aquades
sampai netral. Proses ekstraksi dilakukan dengan mengacu pekerjaan dari Pasanda dan Azis
(2018), yakni menambahkan Na2CO3 2% (1 : 10 b/v) diaduk selama 5 jam, lalu diekstraksi
pada suhu 60oC selama 45 menit dengan menggunakan Ultrasonik kemudian disaring.
Padatan yang diperoleh adalah sebagai limbah dari alginat yang jika diproses lebih lanjut
akan menghasilkan bioetanol.
2.2. Proses peremajaan Trichoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae
Proses peremajaan kapang Trichoderma viride dilakukan sesuai Manurung (2011) dengan
beberapa modifikasi kecil. Menimbang sebanyak 36 g media Potato Dextrose Agar (PDA),
kemudian ditambahkan 1 L aquades, dipanaskan diatas hotplate, dan diaduk hingga larutan
berwarna kuning jernih, lalu dituangkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 7 ml tiap tabung
reaksi, dan ditutup rapat, kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1,5
atm selama 15 menit. Tabung reaksi dimiringkan selama 24 jam, selanjutnya dilakukan
inokulasi Trichoderma viride secara zig zag menggunakan jarum ose. Kapang Trichoderma
viride diinkubasi pada suhu 25-28oC selama 7 hari.
Proses peremajaan Saccharomiyces cerevisiae dilakukan dengan menimbang sebanyak 39
g media PDA kedalam 1L aguades, kemudian dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk
hingga larutan berwarna kuning, larutan di tuangkan kedalam tabung reaksi sebanyak 7 ml
pada tiap tabung reaksi, dan ditutup rapat kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121oC
dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan proses inokulasi dengan jarum
ose secara zig zag dan diinkubasi pada suhu 25-27oC selama 3 hari.
2.3. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan
Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan oleh Manurung (2011) dengan
beberapa modifikasi. Menimbang sebanyak 4 g limbah alginat kedalam erlenmeyer 500 ml
dan ditambahkan aquades sebanyak 200 ml kemudian diaduk hingga menjadi bubur. Setelah
itu menambahkan media andreoti, pepton dan tween 80, yang kemudian diatur pH menjadi
4,2, 4,8 dan 5,5 dengan penambahan HCL 3 M atau NaOH 3 M, dan dijaga pHnya dengan
menggunakan buffer sitrat. kemudian dilakukan proses sterilisasi. Setelah suhu medianya 25-
30ºC, ditambahkan kultur Trichoderma viride dan Saccharomiyces cerevisiae, diinkubasi
pada suhu ruang (27-30ºC). Pengambilan sampel dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari
dengan memisahkan padatan dan cairan untuk proses pengujian gula dan nilai pH, sedangkan
untuk kadar etanol dilakukan pengujian pada hari ke-3 hingga hari ke-7.
2.4. Proses distilasi
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 851
Distilasi dilakukan untuk memurnikan atau memisahkan substrat bioetanol dengan
pengotornya. Prosedur distilasi yaitu: 1) Menyiapkan 1 set peralatan destilasi, merangkai dan
menghidupkan peralatan destilasi dengan baik. 2) Memasukkan hasil SSF yang telah disaring
ke dalam labu, kemudian memasang labu tersebut pada alat destilasi. 3) Mengatur
temperaturnya 70 - 80oC. 4) Proses destilasi dilakukan selama 1 - 1,5 jam sampai bioetanol
tidak menetes lagi. 5) Distilat (bioetanol) yang dihasilkan disimpan di dalam botol yang
tertutup rapat. 6) Bioetanol diukur densitasnya dengan menggunakan GC (Gas
Chromatography).
2.5. Prosedur pengujian kadar air
Pengukuran kadar air pada penelitian ini merupakan modifikasi dari AOAC (1990) yaitu
sampel sebanyak 1 g dimasukkan dalam cawan petri yang telah diketahui bobotnya.
Kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC sampai bobot konstan. Setelah itu
didinginkan dalam deksikator dan ditimbang.
Kadar air =
x 100%
(2.1)
2.6. Penentuan kadar selulosa
Analisis selulosa dilakukan dengan metode Datta (1981). Sebanyak 1 g (a) sampel kering
ditambahkan 150 mL akuades, dipanaskan pada suhu 100oC selama 1 jam. Disaring dan
residu dicuci dengan air panas panas 300 mL, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu
105oC hingga bobot konstan (berat b). Ditambah 150 mL H2SO4 1 N, kemudian direfluks
selama 1 jam pada suhu 100oC, disaring dan padatan dicuci dengan aquades hingga netral,
dikeringkan pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan (berat c), ditambahkan 100 mL H2SO4
72% dan dibiarkan selama 4 jam pada suhu kamar. Ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan
direfluks pada suhu 100oC selama 1 jam. Disaring dan padatan dicuci dengan aquades sampai
netral, dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga bobot konstan (berat d). Selanjutnya
diabukan dalam tanur pada suhu 800oC, didinginkan dalam deksikator dan ditimbang (berat
e). Perhitungan kadar selulosa menggunakan rumus berikut ini:
Kadar selulosa =
:
(2.2)
Dimana: a = berat sampel (gram)
c = berat residu penimbangan ketiga.
852 Oktavianus, Abdul, Selfina
d = berat residu penimbangan keempat.
2.7. Pengukuran nilai pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dimana data pH diukur selama 24
jam. Pengukuran pH medium dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pH
medium. Perubahan pH yang terjadi mengindikasikan terjadinya aktivitas biologis yang
dilakukan oleh bakteri. Nilai pH medium diukur dengan menggunakan pH meter selama
(Atmodjo, 2006).
2.8. Penentuan total gula pereduksi metode DNS
Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi 3,5-
dinitrosalicylic acid (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 575 nm. Sampel sebanyak 1 ml ditambah 3 ml reagen DNS kemudian
dicampur dan ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Dibiarkan sampai dingin pada
suhu ruang. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektofotometer pada panjang
gelombang 575 nm. DNS akan menjaga kestabilan hasil hidrolisis enzim dan mengikat gula
pereduksi sebagai indikator terjadinya aktivitas enzim. Kandungan gula reduksi ditentukan
berdasarkan kurva standar glukosa (Zakpaa et al., 2009).
2.9. Pengukuran kadar etanol
Pengukuran kadar bioetanol dilakukan menggunakan alat Gas Chromatography (GC) 2010
Shimadzhu. Untuk memulai pengukuran, setiap 1 ul standar atau sampel diinjeksikan pada
injector (mode split) suhu 120oC tekanan 75,5 kpa laju 11,3 mL/min dengan gas pembawa
He, yang dilengkapi kolom Rtx-5(1059658), panjang kolom 30 m, diameter dalam kolom
0,25 mm suhu 80oC. Jenis detektor FID dipasang pada suhu 120
oC. Hasilnya dicatat pada alat
GC Shimadzhu.
3. Hasil dan pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum terhadap pembuatan bioetanol
dari limbah alginat secara sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggabungkan
mikroba penghasil enzim selulase yaitu Tricoderma viride dan mikroba yang umum
digunakan untuk fermentasi Saccharomyses cerevisiae. Pada penelitian ini dilakukan
pengujian kadar air dan kadar selulosa terhadap bahan baku, yang selanjutnya dilakukan
proses sakarifikasi dan fermentasi simultan, dalam proses sakarifikasi dan fermentasi
simultan dilakukan pengujian nilai pH, kadar gula selama 7 hari, dan pengujian kadar
bioetanol yang dimulai dari hari ke-3 hingga hari ke-7.
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 853
3.1. Kadar air
Hasil penelitian limbah alginat memiliki kadar air sebesar 10,74%, dan masih tergolong
aman. Kadar air yang diperoleh dari pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan
bioetanol, tidak jauh berbeda yakni sekitar 7-10,42% (Rodiah, 2013; Manurung, 2014). Kadar
air tinggi menyebabkan penurunan porositas substrat dan mencegah penetrasi oksigen. Di sisi
lain, kadar air rendah dapat menyebabkan aksesibilitas nutrisi buruk sehingga pertumbuhan
mikroba juga buruk (Pandey, 2003). Meskipun aktivitas air media dapat dikaitkan dengan
transfer massa air dan zat terlarut di sel mikroba, pengaruhnya terhadap produksi enzim lebih
rendah dibandingkan dengan suhu dan lamanya fermentasi. Kadar air yang rendah dapat
mengakibatkan difusi enzim atau substrat terhambat, sehingga hidrolisis hanya terjadi pada
bagian substrat yang langsung berhubungan dengan enzim. Pada kadar air yang lebih tinggi,
ruang antar-partikel menurun sehingga menghambat difusivitas udara melalui biomassa,
akibatnya menghambat pertumbuhan jamur dan menghasilkan degradasi lignin yang rendah
(Singhania et al., 2009; Meehnian, et al., 2016).
3.2. Kadar selulosa
Kadar selulosa bahan baku limbah alginat yang digunakan pada penelitian ini sebesar 12,96
%. Kadar selulosa ini tidak jauh beda dengan yang diperoleh Sari et al., 2014 yakni sebesar
15,80%. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kadar selulosa antara lain unsur
atau mineral dalam rumput laut karena kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda, umur
rumput laut saat dipanen, dan kualitas air dilingkungan pembudidayaan. (Villares, et al.,
2002; Kim, S-K., 2012).
3.3 Nilai pH
Pengukuran pH medium selama proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya perubahan pH pada media. Perubahan pH mengindikasikan
terjadinya aktivitas biologis yang dilakukan mikroorganisme. Berdasarkan Tabel 1. pH awal
media mengalami perubahan yakni pH 4,2 berubah menjadi pH 5.7, pH 4.8 berubah menjadi
pH 5.9, dan pH 5.5 berubah menjadi pH 5.7. Perubahan pH yang terjadi ini disebabkan
adanya aktifitas enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang Trichoderma viride. Menurut
Montesqrit (2007), enzim selulase dari kapang Trichoderma viride yang bekerja memecah
selulosa menjadi gula pereduksi akan stabil pada kisaran pH 3-7 dan memiliki aktivitas kerja
optimum pada pH 5. Tidak banyak perubahan pH dalam substrat selama periode fermentasi
karena berkorelasi secara langsung dengan aktivitas dekomposisi jamur.
854 Oktavianus, Abdul, Selfina
Tabel 1. Tabel Nilai pH
Hari Nilai pH
0 4,2 4,8 5,5
1 5 5,5 5,5
2 5,3 5,6 5,6
3 5,6 5,7 5,6
4 5,6 5,7 5,7
5 5,7 5,7 5,7
6 5,7 5,8 5,7
7 5,7 5,9 5,7
Sel khamir akan mengalami kesulitan dalam menjaga kestabilan pH medium dan tidak
mampu tumbuh dengan baik, karena konsentrasi H+
dalam hidrolisat fermentasi bisa
mengubah muatan membran plasma serta mempengaruhi permeabilitas beberapa nutrisi ke
dalam sel (Zabed. 2014; Narendaranath and Power, 2005).
3.4 Kadar gula pereduksi
Gula pereduksi adalah gula sederhana hasil hidrolisis karbohidrat kompleks. Ketersediaan
gula reduksi dalam medium produksi bioetanol merupakan salah satu unsur penting untuk
pertumbuhan S. cereviseae karena berfungsi sebagai sumber karbon untuk pembentukan
energi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian kadar gula pereduksi dengan metode DNS
menggunakan spektrofotometer.
Gambar 1. Kurva Deret Standar Pengujian Gula Pereduksi
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 855
Gambar 1. konsentrasi gula pereduksi sampel yang diuji dapat diketahui dengan
memasukkan absorbansi sampel yang didapat kedalam persamaan garis linear larutan stándar,
yakni y = 0,0006x. Kemampuan Trichoderma viride untuk memecahkan biomassa limbah
rumput laut coklat menjadi gula pereduksi dipelajari. Hasilnya ditunjukkan pada tabel 2.
dalam hal banyaknya gula pereduksi yang dihasilkan pada interval 24 jam selama 7 hari.
Biomassa limbah rumput laut coklat dengan cepat dihidrolisis menghasilkan masing-masing
4,85; 4,23; 4,26% gula reduksi pada pH awal medium yaitu pH 4,2; pH 4,8; dan pH 5,5.
Konsentrasi kenaikan gula reduksi tidak terlalu signifikan ketika periode fermentasi
meningkat, hal ini disebabkan karena Saccharomyses cerevisiae langsung mengkonversi gula
menjadi etanol sehingga perubahan kadar gula pereduksi tidak terlalu besar.
Tabel 2. Kadar Gula Pereduksi Selama Proses Sakarifikasi dan Fermentasi
Perbedaan kandungan gula dari masing-masing perlakuan pengaturan pH awal
disebabkan adanya kondisi optimum enzim yang dihasilkan oleh Trichoderma Viride yakni
pada pH 5 dan suhu 60ºC (Montesqrit, 2007). Pada penelitian ini suhu tidak dikontrol
sehingga enzim selulase dari kapang T. viride aktivitasnya tidak optimum.
3.5 Kadar etanol
Kadar bioetanol dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dari limbah alginat diperoleh
dengan menggunakan Gas Chromatography setelah didistilasi.
.
Hari Konsentrasi Gula (%)
pH 4,2 pH 4,8 pH 5,5
1 4,85 4,23 4,26
2 5,06 4,37 4,48
3 5,11 4,46 5,05
4 5,24 4,63 5,23
5 5,23 4,7 6.21
6 5,1 4,63 6,09
7 5,01 4,55 6,06
856 Oktavianus, Abdul, Selfina
Tabel 3. Kadar Etanol
Tabel 3. memperlihatkan bahwa konsentrasi terbesar yang diperoleh pada pengaturan pH
awal 4,2 terjadi pada hari ke-3 yang menghasilkan etanol sebesar 5,13% dengan persentase
nilai yield sebesar 5,72% persatuan jumlah selulosa sampel. Kemudian menurun
konsentrasinya hingga hari ke-7. Pengaturan pH awal 4,8 menghasilkan kadar etanol tertinggi
yaitu pada hari ke-6 dengan konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 1,80% yang mulai
menurun di hari ke-7, sedangkan untuk pengaturan pH awal 5,5 didapatkan konsentrasi
tertinggi pada hari ke 5 dengan konsentrasi etanol adalah 3,47%.
Terjadinya perbedaan hasil konsentrasi pada masing-masing perlakuan disebabkan karena
perbedaan kinerja Tricoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae. Tidak maksimalnya
pengolahan gula menjadi etanol disebabkan oleh pH optimum pertumbuhan Saccharomyses
cereviseae tidak tercapai, karena pH optimum fermentasi untuk produksi etanol
menggunakan Saccharomyces Cerevisiae adalah pH 4,5 (Anggraini, et al., 2017). Selain itu
adanya perbedaan hasil juga disebabkan kerena tidak adanya kontrol suhu selama proses
sakarifikasi dan fermentasi simultan. Menurut Zely (2014), keadaan lingkungan optimal
untuk fermentasi Sacharomyces cerevisiae adalah pada suhu 25-30ºC. Sedangkan menurut
Montesqrit (2007), aktivitas selulase dari Trichoderma viride terjadi pada suhu 60ºC. Perlu
kajian lagi mengenai suhu fermentasi yang optimal pada proses SSF agar pertumbuhan
Trichoderma viride dan Sacharomyces cerevisiae bisa optimal.
4. Kesimpulan
Kondisi optimum pada pembuatan bioetanol dari limbah alginat dengan metode sakarifikasi
dan fermentasi simultan yaitu pada hari ke-3 pada pengaturan pH awal 4,2 yang
menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi sebesar 5,13% dengan persen yild sebesar 5,72%.
Kadar etanol dipengaruhi oleh konsentrasi gula serta pH medium selama proses, semakin
tinggi kadar gula maka semakin tinggi pula kadar etanol yang dihasilkan jika berada dikisaran
pH optimum masing-masing mikroba yang digunakan.
Hari Konsentrasi Etanol (%)
pH 4,2 pH 4,8 pH 5,5
3 5.13 0.61 1.24
4 4.82 0.85 1.41
5 1.53 1.27 3.47
6 0.68 1.80 1.80
7 0.38 0.25 0.91
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 857
Ucapan Terima kasih
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi selaku penyandang
dana, dan kepada seluruh staf Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang serta
adik-adik mahasiswa atas semua bantuannya dilaboratorium.
Daftar Pustaka
Anggraini,S.P.A., Yuniningsih, S., Sota, M. M. (2017). Pengaruh pH Terhadap Kualitas Produk Etanol
dari Molasses Melalui Proses Fermentasi, Jurnal Reka Buana, 2(2), 99-105.
Association of official analytical chemists (AOAC), (1990). Official Methods of Analysis (Fifteenth
Edition), Arlington, Virginia USA: Association of Official Analytical Chemists Inc., volume 1,
pp.185-189.
Atmodjo, P.K. (2006). Pengaruh Variasi Beras Ketan (Oryza sativa var glutinosa L.) dan Suhu
Fermentasi terhadap Produksi Alkohol. Biota, 11(3), 152-158
Aquilla, T (2013). Debunking the Myth of Yeast Respiration and Putting Oxygen in Its Proper Place,
The Biochemistry of Yeast, 5(2), 50-57
Basmal, J., Widanarto, A., Kusumawati, R., Utomo, B.S.B. (2014). Pemanfaatan Limbah Ekstraksi
Alginat Dan Silase Ikan Sebagai Bahan Pupuk Organik. JPB Perikanan, 9(2), 109–120.
Chen J., Bai, J., Li, H., Chang, C., Fang, S. (2015), Prospects for Bioethanol Production from
Macroalgae, Trends in Renewable Energy, 1(3), 185-197
D'amore, T. (1992). Cambridge Prize Lecture Improving Yeast Fermentation Performance. Journal of
the Institute of Brewing, 98(5), 375-82
Datta, R. (1981). Acidogenic Fermentation of Lignocellulose-Acid Yield and Conversion of
Components. Biotechnology and Bioengineering, 23(9), 2167–2170
Ibeto, C.N., Ofoefule, A.U., Agbo, K.E. (2011). A Global Overview of Biomass Potentials for
Bioethanol Production: A Renewable Alternative Fuel. Trends in Applied Sciences Research,
6(5), 410-425.
Kawaroe, M., Santoso, J., Adriani (2012). Domestikasi dan Seleksi Makroalga Merah (Red Algae)
sebagai Penghasil Bioethanol di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat. IPB.
Krahmer, K. and Wreh, E. (2009), Evaluation of Pretreatment Methods in the Production of Ethanol
from Cattail Leaves, Journal of Undergraduate Research at Minnesota State University,
Mankato, 9(8), 1-11
Li, X., Yang, H., Roy, B., Park, E.Y., Jiang, L., Wang, D. Miao, Y. (2010). Enhanced cellulase
production of the Trichoderma viride mutated by microwave and ultraviolet. Microbiological
Research, 165(3),190 - 198.
858 Oktavianus, Abdul, Selfina
Lin, Y. and Tanaka, S. (2006). Ethanol fermentation from biomass resources: current state and
prospects. Applied Microbiology and Biotechnology, 69(6), 627–642
Manurung, M. 2011. Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SFS) dari Limbah Ekstraksi Alginat untuk
Pembuatan Bioetanol. (Skripsi). Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Maurice M. L. (2011). Factors Effecting Ethanol Fermentation Via Simultaneous Saccharification and
Fermentation, Worcester Polytechnic Institute.
Meehnian, H., Jana, A.K., Jana, M.M. (2016). Effect of particle size, moisture content, and
supplements on selective pretreatment of cotton stalks by Daedalea flavida and enzymatic
saccharification. 3 Biotech, 6:235, 1-13
Miettinen-Oinonen, A. and Suominen, P. (2002). Enhanced production of Trichoderma reesei
endoglucanases and use of the new cellulase preparations in producing the stonewashed effect on
denim fabric. Applied Environmental Microbiology,68(8), 3956–3964.
Montesqrit, M. (2007). Isolasi Dan Karakterisasi dari Tricoderma Viride Dan Rhizopus Spp Dengan
Substrat Jerami Padi. Jurnal Peternakan Indonesia, 12(2),112-123.
Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y.Y., Holtzapple, M., Ladisch, M. (2005). Features
of promising technologie for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Technology,
96, 673-686.
Narendranath, N.V. and Power, R. (2005). Relationship between pH and Medium Dissolved Solids in
Terms of Growth and Metabolism of Lactobacilli and Saccharomyces cerevisiae during Ethanol
Production. Applied and Environmental Microbiology, 71(5), 2239–2243
Obata O., Akunna, J., Bockhorn, H., Walker, G. (2016). Ethanol production from brown seaweed using
non-conventional yeasts, Bioethanol, 2, 134–145
Palmqvist, E. and Hagerdal, B.H. (2000). Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates. Bioresource
Technology, 74(1), 25-33
Pandey, A. (2003). Solid-state fermentation. Biochemical Engineering Journal, 13, 81-84
Pasanda, O.S.R., Azis, A., Kusuma, H.S. (2016). Utilization of Waste Seaweed through Pretreatment
with Liquid Hot Water Method and Simultaneous Fermentation using Bacteria Clostridium
thermocellum. Journal of Material and Environmental Sciences, 7(7), 2526-2533.
Pasanda, O.S.R. and Azis, A. (2018). The Extraction of Brown Algae (Sargassum sp) Through Calcium
Path to Produce Sodium Alginate. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 7(1), 64-69
Sari, R.N., Utomo, B.S.B., Tambunan, A.H. (2014). Kondisi Optimum Produksi Bioetanol Dari Rumput
Laut Coklat (Sargassum Duplicatum) Menggunakan Trichoderma Viride dan Pichia Angophorae.
Jurnal JPB Perikanan, 9 (2), 121–132
Scott, A. and Bryner, M. (2006). Alternative fuels, rolling out next-generation technologies. Chem.
Week, 168, 17-21.
Singhania, R.R., Patel A.K., Soccol, C.R., Pandey, A. (2009). Recent advances in solid-state
fermentation. Biochemical Engineering Journal, 44(1), 13–18
Takagi, M. (1976). Patent No. 3,990,994. USA.
Villares, R., Puente, X. and Carballeira, A. (2002) Seasonal variation and background levels of heavy
metals in two green seaweeds. Environmental Pollution, 119(1), 79-90
Vohra M., Manwar, J., Manmode, R., Padgilwar, S., Patil, S. (2014). Bioethanol production: Feedstock
and current technologies, Journal of Environmental Chemical Engineering, 2(1), 573–584
Wasungu, K.M and Simard, R.E. (1982). Growth Characteristics of Baker's Yeast in Ethanol.
Biotechnology and Bioengineering, 24(5), 1125-1134
Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 859
Yanagisawa M, Kawai, S and Murata, K. (2013). Strategies for the production of high concentrations of
bioethanol from seaweeds: Production of high concentrations of bioethanol from seaweeds,
Bioengineered, 4(4), 224–235.
Zabed, H., Faruq, G., Sahu, J.N., Azirun,M.S., Hashim, R. and Boyce, A.N. (2014). Bioethanol
Production from Fermentable Sugar Juice. The Scientific World Journal, Volume 2014, Article
ID 957102, http://dx.doi.org/10.1155/2014/957102
Zakpaa, H.D., Mak-Mensah, E.E. and Johnson, F.S. (2009). Production of bio-ethanol from corncobs
using Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae in simultaneous saccharification and
fermentation. African Journal of Biotechnology, 8(13), 3018-3022
Zely, F.D. (2014). Pengaruh Waktu Dan Kadar Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Produksi Etanol
Dari Serabut Kelapa Pada Proses Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan Dengan Enzim Selulase,
Skripsi, Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu, Bengkulu.