PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA … · pemanfaatan gas karbondioksida (co 2) pada...
Transcript of PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA … · pemanfaatan gas karbondioksida (co 2) pada...
PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA
KULTIVASI MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN
KONVERSINYA MENJADI MINYAK MENTAH
RIZKY HERMAWAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA KULTIVASI
MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN KONVERSINYA MENJADI
MINYAK MENTAH
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
RIZKY HERMAWAN
C54080033
iii
RINGKASAN
RIZKY HERMAWAN. Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada
Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi
Minyak Mentah. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI
SUNUDDIN.
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki keanekaragaman hayati
laut tinggi dan memiliki intensitas cahaya matahari tinggi, berpotensi untuk
mengembangkan energi terbarukan dari mikroalga. Mikroalga yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Porphyridium cruentum yang diketahui memiliki
kemampuan tumbuh subur pada salinitas yang tinggi. Kultivasi dengan
memanfaatkan CO2 merupakan salah satu cara meningkatkan kelimpahan sel
mikroalga. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelimpahan sel
Porphyridium cruentum yang dikultivasi selama 30 hari dengan perlakuan
kontrol, aerasi dan injeksi CO2, serta menganalisis pengaruh pemanfaatan injeksi
CO2 terhadap kadar minyak mentah Porphyridium cruentum.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012 di Pusat Penelitian
Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (LPPM IPB). Penelitian meliputi 3 tahapan, yaitu kultivasi
Porphyridium cruentum selama 30 hari, pemanenan hasil kultivasi dan ekstraksi
hasil panen Porphyridium cruentum yang dikeringbekukan dengan alat freeze
dryer. Tahap selanjutnya adalah analisis data (kelimpahan sel, laju pertumbuhan
spesifik, kadar minyak, alkalinitas dan uji statistik).
Puncak kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama usia kultivasi 30
hari untuk perlakuan kontrol mencapai 4.11x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan
nilai laju pertumbuhan spesifik 0.60, perlakuan aerasi mencapai 5.07x106 sel/ml
pada hari ke-24 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1.13 dan perlakuan injeksi
CO2 mencapai 6.12x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan
spesifik 0.57. Hasil kelimpahan Porphyridium cruentum ketika hari ke-30 untuk
perlakuan kontrol sebanyak 3.26x106 sel/ml, perlakuan aerasi sebanyak 3.95x10
6
sel/ml, dan perlakuan injeksi CO2 sebanyak 2.95x106 sel/ml.
Hasil uji kualitas air adalah pH (kisaran 5.37-9.60), salinitas (kisaran 46-
61 ‰) dan suhu (kisaran 21-26 °C). Nilai alkalinitas selama masa kultivasi
mencapai kisaran 32.28-110.22 mg/l CaCO3. Nilai rataan kadar minyak yang
diperoleh perlakuan kontrol 0.92%, perlakuan aerasi 1.91% dan perlakuan injeksi
CO2 5.97%. Nilai kadar minyak perlakuan injeksi CO2 merupakan nilai kadar
minyak tertinggi dari penelitian ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan kultivasi
dengan perlakuan injeksi CO2 dapat meningkatkan kadar minyak pada
Porphyridium cruentum dan spesies Porphyridium cruentum berpotensi sebagai
bahan baku biofuel untuk sumber energi terbarukan karena berhasil dikonversi
menjadi minyak mentah.
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA
KULTIVASI MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN
KONVERSINYA MENJADI MINYAK MENTAH
RIZKY HERMAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
vi
Judul Skripsi : Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi
Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya
Menjadi Minyak Mentah
Nama Mahasiswa : Rizky Hermawan
NIM : C54080033
Disetujui oleh,
Pembimbing
Utama Anggota
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si
NIP. 19651213 199403 2 002 NIP. 19790206 200604 2 013
Diketahui oleh,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tanggal Lulus : 22 Februari 2013
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
NIP. 19640801 198903 1 001
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Rabb-ku Allah SWT, Penggenggam hidupku,
atas sebuah skenario kehidupan indah penuh rahmat, nikmat dan karunia yang
telah diberikan-Nya untukku. Shalawat teriring salam tercurah kepada Baginda
Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :
”Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga
Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi Minyak Mentah” dapat
diselesaikan dengan baik. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir.
Mujizat Kawaroe, M.Si dan Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
selama penelitian serta penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Beginer
Subhan, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji. Terima kasih juga penulis ucapkan
untuk keluarga tercinta (Mama, Papa, Adit dan Fanny) atas do’a, cinta dan
semangat yang selalu diberikan. Selain itu, terima kasih juga ditujukan kepada
Ketua Departemen ITK beserta dosen dan staff atas bantuannya selama penulis
menyelesaikan studi di ITK IPB, seluruh karyawan SBRC LPPM IPB atas
bantuan dan kerja sama yang baik selama penelitian, kelompok PKM PIMNAS
penulis (Sadwika Najmi Kautsari, Yani, Fadhil dan Nita) atas pengalaman dan
perjuangan yang telah kita lalui bersama dalam PKM dan PIMNAS, Sekarsari
Utami Wijaya (Ami) yang mengajari rancangan percobaan statistika, keluarga
ITK 45 atas bantuan dan kerja sama selama kuliah, teman-teman DPM KM 2011-
2012, serta seluruh pihak yang membantu penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis berharap saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan, bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain yang
membacanya dan semoga dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Februari 2013
Rizky Hermawan
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR............................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii
1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Mikroalga Porphyridium cruentum............................................... 3
2.2 Pengaruh Lingkungan terhadap Pertumbuhan Porphyridium
cruentum ...................................................................................... 5
2.3 Kultivasi Mikroalga ..................................................................... 8
2.4 Fase Pertumbuhan Mikroalga ....................................................... 8
2.5 Pemanfaatan CO2 oleh Mikroalga................................................. 11
2.6 Alkalinitas .................................................................................... 12
2.7 Potensi Biodiesel dari Mikroalga .................................................. 13
3 METODE PENELITIAN ................................................................. 15
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 15
3.3 Prosedur Penelitian....................................................................... 16
3.3.1 Sterilisasi Alat ................................................................... 16
3.3.2 Sterilisasi Bahan................................................................ 17
3.3.3 Tahap Kultivasi ................................................................. 18
3.3.4 Tahap Pemanenan ............................................................. 20
3.3.5 Tahap Ekstraksi ................................................................. 21
ix
3.4. Analisis Data ................................................................................ 22
3.4.1 Perhitungan Kelimpahan Sel Mikroalga ............................ 22
3.4.2 Analisis Kadar Minyak ...................................................... 23
3.4.3 Rancangan Percobaan ....................................................... 24
3.4.4 Analisis Alkalinitas ........................................................... 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 28
4.1 Kelimpahan Sel dan Laju Pertumbuhan Porphyridium cruentum .. 28
4.1.1 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-0 sampai
Hari ke-11 ......................................................................... 30
4.1.2 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-11 sampai
Hari ke-21 ......................................................................... 36
4.1.3 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-21 sampai
Hari ke-30 ......................................................................... 40
4.2 Kondisi Kualitas Air terhadap Pertumbuhan Porphyridium
cruentum...................................................................................... 44
4.2.1 Derajat Keasaman (pH) ...................................................... 45
4.2.2 Salinitas ............................................................................. 48
4.2.3 Suhu................................................................................... 50
4.3 Pengaruh Alkalinitas .................................................................... 52
4.4 Kadar Minyak Hasil Kultivasi Porphyridium cruentum ................ 55
5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 58
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 58
5.2 Saran ............................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 59
LAMPIRAN ............................................................................................ 65
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................ 83
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Alat dan bahan ...................................................................................... 15
2 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan (μ) Porphyridium cruentum ....... 28
3 Nilai rataan parameter kualitas air media kultivasi Porphyridium
cruentum .............................................................................................. 45
4 Hubungan antara pH, alkalinitas, dan CO2 termanfaatkan ..................... 53
5 Massa freeze dry, massa ekstrak, dan kadar minyak .............................. 79
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Porphyridium cruentum ........................................................................ 4
2 Struktur sel Porphyridium cruentum ..................................................... 5
3 Pola pertumbuhan mikroalga ................................................................. 9
4 Skema proses penelitian ........................................................................ 16
5 Laminar air flow ................................................................................... 17
6 Autoclave .............................................................................................. 18
7 Sketsa proses kultivasi Porphyridium cruentum .................................... 19
8 Porphyridium cruentum hasil proses flokulasi ....................................... 21
9 Proses ekstraksi mikroalga Porphyridium cruentum .............................. 22
10 Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dengan haemocytometer ........... 23
11 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari
pertama ................................................................................................ 30
12 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari kedua . 36
13 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari ketiga.. 40
14 Perubahan rata-rata pH Porphyridium cruentum selama kultivasi ......... 46
15 Perubahan rata-rata salinitas Porphyridium cruentum selama kultivasi . 49
16 Perubahan rata-rata suhu Porphyridium cruentum selama kultivasi ...... 51
17 Grafik perbandingan kadar minyak dari berbagai perlakuan ................. 56
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Perhitungan kelimpahan sel Porphyridium cruentum ............................ 65
2 Perhitungan laju pertumbuhan spesifik Porphyridium cruentum ........... 66
3 Perhitungan kadar minyak .................................................................... 67
4 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-0 sampai hari ke-11 ............... 68
5 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-11 sampai hari ke-21 ............. 69
6 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-21 sampai hari ke-30 ............. 70
7 Uji statistik hasil kadar minyak ............................................................ 71
8 Tabel perhitungan alkalinitas (αh) ......................................................... 72
9 Tabel perhitungan alkalinitas (ƒ) .......................................................... 73
10 Tabel perhitungan alkalinitas (A) ......................................................... 74
11 Tabel perhitungan alkalinitas (FT) ........................................................ 75
12 Tabel perhitungan alkalinitas (Fp) ........................................................ 76
13 Tabel perhitungan alkalinitas (ɣ) .......................................................... 77
14 Perhitungan konversi satuan alkalinitas ................................................ 78
15 Tabel hasil massa freeze dry, massa ekstrak dan kadar minyak ............. 79
16 Dokumentasi penelitian ........................................................................ 80
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki keanekaragaman hayati laut
tinggi dan memiliki intensitas cahaya matahari tinggi, berpotensi untuk
mengembangkan energi terbarukan. Energi terbarukan tersebut berasal dari eksplorasi
sumberdaya laut dengan berbagai macam keanekaragaman biota laut Indonesia. Salah
satu potensi bahan baku biofuel dari laut adalah mikroalga. Mikroalga merupakan
tumbuhan tingkat rendah prokariotik yang dapat berfotosintesis serta dapat tumbuh
dengan cepat.
Mikroalga memiliki kandungan minyak sebesar 35-80% berat kering lebih
tinggi dibandingkan dengan jarak (30-35% berat kering), kelapa sawit (25-30% berat
kering) (Kawaroe et al. 2010), dan jagung (25-75% berat kering) (Chisti 2007).
Menurut Widjaja (2009), mikroalga dapat tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan
dengan tumbuhan tingkat tinggi. Keuntungan lain adalah kultivasi mikroalga tidak
membutuhkan lahan yang luas (Hoshida et al. 2005).
Produksi mikroalga laut sebagai bahan bakar alternatif masih dalam proses
pengembangan dan salah satu cara untuk memproduksi biomassa mikroalga laut
dalam jumlah besar yaitu dengan melakukan kultivasi. Kultivasi dengan
memanfaatkan gas karbondioksida (CO2) merupakan salah satu teknik untuk
meningkatkan kelimpahan sel mikroalga. Mikroalga laut efisien dalam memanfaatkan
energi matahari dan diprediksi dapat mengakumulasi CO2 karena memiliki laju
pertumbuhan tinggi pada medium yang memiliki kelarutan CO2 tinggi (Kawaroe et
2
al. 2010). Menurut Schneider (1989), CO2 merupakan gas yang dominan
menyebabkan pemanasan global.
Mikroalga yang digunakan pada penelitian ini adalah Porphyridium cruentum.
Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), Porphyridium cruentum diketahui
mampu hidup dalam perairan bersalinitas tinggi. Penelitian ini dilakukan selama 30
hari untuk proses kultivasi mikroalga Porphyridium cruentum dengan perlakuan
kontrol, aerasi dan injeksi CO2. Hasil kultivasi selanjutnya dipanen dan dikonversi
menjadi minyak mentah mikroalga.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis kelimpahan sel Porphyridium cruentum yang dikultivasikan
dengan perlakuan kontrol, aerasi, dan injeksi CO2 selama 30 hari,
2. Menganalisis pengaruh pemanfaatan injeksi CO2 terhadap hasil kadar minyak
mentah Porphyridium cruentum.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga Porphyridium cruentum
Mikroalga tergolong produsen primer perairan karena mampu berfotosintesis.
Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk Kelas
Rhodophyceae (alga merah), hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam
mucilago. Senyawa mucilago dieksresikan secara berkelanjutan oleh sel untuk
membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago merupakan polisakarida
sulfat yang bersifat larut dalam air (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Porphyridium
cruentum dapat hidup di berbagai habitat alam seperti air laut, air tawar, maupun
pada permukaan tanah yang lembab dan membentuk lapisan kemerah-merahan.
Habitat asli Porphyridium cruentum diduga berasal dari laut karena dapat hidup
dengan baik pada media air laut cair maupun padat (Vonshak 1988).
Porphyridium cruentum bisa hidup soliter atau koloni menjadi bentuk yang
tidak beraturan berupa lendir. Selnya tidak dilindungi dinding sehingga materi
ekstraplasmanya tidak memiliki komponen rangka atau serat mikro. Beberapa sel
memiliki bentuk amoeboid dan saling membantu dalam merespon phototaksis positif.
Masing-masing sel memiliki kloroplas tunggal yang menonjol dan berbentuk bintang
dengan daerah pyrenoid yang terpusat (Kawaroe et al. 2010). Menurut penelitian
Fuentes et al. (2000), biomassa sel Porphyridium cruentum mengandung rata-rata
minyak 5.78%, sedangkan Hasanah (2011), mendapatkan nilai yang lebih rendah
yaitu sebesar 0.33%. Produk komersial dari Porphyridium cruentum adalah asam
arakidonat, polisakarida dan fikoeritrin (Vonshak 1988). Bentuk sel Porphyridium
4
cruentum dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi Porphyridium cruentum (Vonshak
1988) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Sub Kelas : Bangiophycidae
Ordo : Porphyridiales
Famili : Porphyridiaceae
Genus : Porphyridium
Species : Porphyridium cruentum
(a) (b)
Gambar 1 Porphyridium cruentum: a. dokumentasi pribadi, b. Department of
Enviromental Science 2008.
Struktur sel Porphyridium cruentum terdiri dari kloroplas, nukleus (inti),
mitokondria, lendir, pati, badan golgi dan vesikel. Selnya berbentuk bulat dengan
diameter 4-9 μm (Lee 1989). Hasil yang berbeda diperoleh Wanner dan Kost (1980),
yang mendapati struktur Porphyridium cruentum terdiri atas vakuola, pyrenoid,
kloroplas, pati, badan golgi dan mitokondria (Gambar 2).
5
Keterangan: C : Kloroplas, G : Badan Golgi, M : Mitokondria, P : Pyrenoid,
S : Pati, V : Vakuola
Gambar 2 Struktur sel Porphyridium cruentum (Wanner dan Kost 1980).
2.2 Pengaruh Lingkungan terhadap Pertumbuhan Porphyridium cruentum
Pertumbuhan Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh faktor internal
(metabolisme) dan eksternal. Faktor eksternal atau lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan Porphyridium cruentum, yaitu suhu, derajat keasaman (pH), cahaya,
salinitas, dan nutrien.
1) Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pertumbuhan
mikroalga karena dapat mempengaruhi komposisi dan kandungan membran
lipid mikroalga tersebut pada saat kultur (Kawaroe et al. 2010). Perubahan
suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi. Kenaikan suhu
dapat menurunkan kelarutan bahan dan menyebabkan terjadinya kenaikan
kecepatan metabolisme serta respirasi mikroalga dalam kultur.
6
Menurut Vonshak (1988), Porphyridium cruentum dapat hidup dalam
kisaran suhu 10-35 °C dengan suhu optimum 25 °C. Menurut Richmond
(1988), suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 21-
26 °C dan pada suhu lebih rendah dari 13 °C, pertumbuhan Porphyridium
cruentum melambat, sedangkan pada suhu lebih dari 31 °C pertumbuhannya
terhambat, bahkan bisa mengalami kematian.
2) Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan keberadaan ion hidrogen yang
dapat memengaruhi metabolisme dan pertumbuhan mikroalga. pH optimum
untuk fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7.5. Sel Porphyridium
cruentum masih dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 5.2-8.3.
Pertumbuhan Porphyridium cruentum akan terhambat jika pH kurang dari 5
dan aktivitas fotosintesis akan mengalami penurunan maksimum mencapai
33% (Borowitzka dan Borowitzka 1988).
3) Cahaya
Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga karena
merupakan faktor yang berperan dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya
sangat menentukan pertumbuhan mikroalga, yaitu dilihat dari lama
penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis.
Pertumbuhan Porphyridium cruentum tergantung pada intensitas cahaya
meskipun Porphyridium cruentum memiliki toleransi yang cukup tinggi
terhadap intensitas cahaya. Pertumbuhan ini juga diikuti dengan peningkatan
7
volume sel dan granula sitoplasma. Kandungan pigmen dan ukuran kloroplas
menurun sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya (Vonshak 1988).
4) Salinitas
Mikroalga laut memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas
dan sebagian besar mikroalga laut dapat tumbuh optimum pada kisaran
salinitas 25-35 ‰ (Sylvester et al. 2002). Porphyridium cruentum dapat
bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.5-2
kali konsentrasi air laut (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Kondisi salinitas
kurang dari 35 ‰ mengakibatkan mikroalga Porphyridium cruentum tidak
mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada
kultur terbuka. Menurut Richmond (1988), salinitas sebesar 46 ‰ tidak
menghambat proses pertumbuhan. Salinitas dengan kisaran 35-45 ‰ dapat
memacu pertumbuhan yang optimal.
5) Nutrien
Nutrien (unsur hara) merupakan parameter penting yang mendukung
pertumbuhan mikroalga selain suhu, derajat keasaman (pH), cahaya dan
salinitas (Sen et al. 2005). Nutrien yang diperoleh dalam kultur mikroalga
tidak selengkap kandungan nutrien yang berasal dari lautan. Oleh karena itu,
untuk mencapai pertumbuhan yang optimum dalam kultur mikroalga
diperlukan campuran air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air
laut tersebut, gunanya untuk mencukupi kebutuhan nutrien saat kultur
berlangsung. Nutrien yang dibutuhkan mikroalga terdiri dari makro-nutrien
dan mikro-nutrien. Makro-nutrien terdiri dari C, H, N, P, K, S, Mg dan Ca.
8
Mikro-nutrien terdiri dari Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si. Faktor
pembatas untuk pertumbuhan mikroalga adalah N dan P (Cahyaningsih 2009).
2.3 Kultivasi Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga bergantung pada volume kultivasi dan kepadatannya.
Hal ini diasumsikan, kumpulan mikroalga ditempatkan pada wadah bervolume besar,
tersedia cukup CO2 dan cahaya matahari sebagai pemicu pertumbuhan mikroalga
agar maksimum (Richmond 2003). Mikroalga dapat dikultivasi secara massal untuk
menghasilkan produk komersial dalam jumlah banyak seperti minyak, gula, dan
senyawa bioaktif. Kultivasi mikroalga dilakukan untuk meningkatkan kelimpahan sel
dan laju pertumbuhan secara optimal (Rocha et al. 2003).
Mikroalga mudah untuk dikultivasi karena tidak membutuhkan lahan yang
luas, tidak berkompetisi dengan bahan pangan, produktivitas tinggi (Guerrero 2010).
Pemanfaatan mikroalga fotosintetik sangat beragam, yakni dalam produksi biomassa,
produksi energi, produksi berbagai produk bermanfaat, bioakumulasi senyawa
tertentu serta berbagai proses biotransformasi (Kurniawan dan Gunarto 1999).
Mikroalga juga merupakan satu-satunya sumber biodiesel yang potensial untuk
menggantikan bahan bakar fosil karena dapat tumbuh dengan cepat dan menjadi dua
kali lipat lebih banyak dalam waktu 24 jam (Chisti 2007).
2.4 Fase Pertumbuhan Mikroalga
Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan pada kultur mikroalga dapat ditandai
dengan bertambahnya jumlah sel (kelimpahan meningkat) ataupun besarnya ukuran
9
sel mikroalga. Hal tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima fase yaitu fase lag (fase
adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase deklinasi (penurunan laju
pertumbuhan), fase stasioner dan fase kematian. Pola pertumbuhan mikroalga pada
lima fase dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Pola pertumbuhan mikroalga (Fogg 1975).
1) Fase lag
Fase lag merupakan fase awal dalam pertumbuhan mikroalga. Sel
mikroalga mengalami penambahan kelimpahan dalam jumlah sedikit. Pada
fase ini biasanya terjadi tekanan secara fisiologis karena terdapat perubahan
kondisi lingkungan dari media sebelum kultivasi ke media kultivasi yang
baru, sehingga mikroalga perlu melakukan proses adaptasi (penyesuaian)
terlebih dahulu terhadap media kultur baru (Kawaroe et al. 2010).
2) Fase eksponensial
Fase eksponensial merupakan tahapan pertumbuhan lanjutan setelah
fase lag, pada fase ini mikroalga mengalami pertambahan biomassa dengan
cepat. Hal itu ditandai oleh penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui
pembelahan sel mikroalga (Kawaroe et al. 2010). Menurut Fogg (1975), pada
10
fase eksponensial terjadi percepatan pertumbuhan dan perbandingan
konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan.
3) Fase deklinasi
Fase deklinasi atau penurunan laju pertumbuhan terjadi karena
populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien dalam
media, sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut.
Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya persaingan antar sel untuk
mendapatkan nutrien yang semakin berkurang dan pada akhirnya jumlah sel
menurun (Fogg 1975).
4) Fase stasioner
Menurut Kawaroe et al. (2010), fase stasioner ditandai dengan
pertumbuhan mikroalga secara konstan akibat terjadinya keseimbangan
anabolisme dan katabolisme dalam sel mikroalga. Fase ini juga terjadi
keseimbangan antara ketersediaan nutrien dalam kultur dengan banyaknya
jumlah sel mikroalga yang membutuhkan nutrien (rendahnya tingkat nutrien
dalam sel mikroalga).
5) Fase kematian
Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini ditandai dengan perubahan
warna air pada media kultur, terbentuknya buih di permukaan media kultur
dan terdapatnya gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur.
Fase kematian ini terjadi akibat penurunan kemampuan metabolisme
mikroalga dan penurunan kandungan nutrien dalam media kultur. Terjadinya
penurunan jumlah kelimpahan sel secara cepat dan sampai pada tahap
11
kematian sel mikroalga, namun ada sebagian sel yang mengalami dormansi
(beristirahat sejenak lalu kembali mengalami pertumbuhan).
2.5 Pemanfaatan CO2 oleh Mikroalga
Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang memiliki dua atom oksigen
berikatan secara kovalen dengan atom karbon. Karbondioksida dihasilkan dari
respirasi semua makhluk hidup. Selain itu, organisme berklorofil juga memanfaatkan
karbondioksida dalam proses fotosintesis. Salah satu tumbuhan berklorofil adalah
mikroalga. Penyerapan CO2 oleh tumbuhan dapat mengurangi kadar CO2 di atmosfer.
Proses tersebut dinamakan asimilasi karbon dengan memanfaatkan energi cahaya
untuk menggabungkan air dan CO2 melalui proses produksi materi organik
(Borowitzka dan Borowitzka 1988). Menurut Taw (1990), CO2 diperlukan mikroalga
untuk membantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% sudah
cukup dimanfaatkan dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah.
Kadar CO2 yang berlebih menyebabkan pH kurang dari batas optimum yang
dibutuhkan mikroalga sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga.
Mikroalga laut memiliki kemampuan berfotosintesis yang tinggi dan mudah
ditumbuhkan pada media air laut yang memiliki kadar CO2 yang tinggi.
Karbondioksida tidak bisa disuplai melalui difusi secara langsung dari udara karena
konsentrasinya di udara relatif kecil (0.03%), sehingga diperlukan injeksi CO2 untuk
meningkatkan pertumbuhan optimal dan produktivitas yang tinggi (Becker 1994).
Pemanfaatan CO2 untuk mikroalga dapat dilakukan dengan perlakuan injeksi CO2
pada media saat kultivasi. Menurut Benemann (1997), injeksi CO2 pada kultivasi
12
mikroalga dapat menyebabkan mikroalga tumbuh lebih cepat. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Institut Pertanian
Bogor (SBRC IPB) injeksi CO2 yang dilakukan saat kultivasi mampu meningkatkan
kelimpahan mikroalga jenis Nannochloropsis sp. (Kawaroe et al. 2010).
2.6 Alkalinitas
Alkalinitas didefinisikan sebagai hubungan dari semua anion yang berikatan
dengan H+. Selain itu, dapat pula diartikan sebagai jumlah dari ion bikarbonat dan ion
karbonat. Terdapat dua ion negatif yang berperan dalam sistem karbondioksida yaitu
ion karbonat dan bikarbonat (Spotte 1992). Effendi (2003) menerangkan bahwa
alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk kuantitas anion (menetralkan asam)
dalam air, dapat menetralkan kation hidrogen, dan sebagai kapasitas penyangga
terhadap perubahan pH perairan. Pembentuk utama alkalinitas adalah hidroksida,
karbonat dan bikarbonat. Bikarbonat merupakan ion terbanyak di antara ketiga ion
tersebut yang terdapat dalam perairan. Dongoran (2003) berpendapat bahwa
alkalinitas adalah total basa yang terkandung dalam perairan dan umumnya
ditentukan oleh CO32-
dan HCO3- dengan satuan CaCO3. Perairan dengan nilai
alkalinitas lebih besar dari 40 mg/l CaCO3 disebut perairan sadah (hard water),
sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas kurang dari 40 mg/l CaCO3 disebut
perairan lunak (soft water). Semakin tinggi nilai alkalinitas maka perairan tersebut
cenderung bersifat alkali (Effendi 2003).
Menurut Anggraeni (2002), perairan dengan nilai alkalinitas tinggi dan
cenderung bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas
13
yang rendah. Lebih produktifnya perairan dengan nilai alkalinitas tinggi berkaitan
dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya
dengan bertambahnya nilai alkalinitas. Alkalinitas tidak hanya dipengaruhi oleh pH
juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu dan kekuatan ion (Effendi 2003).
2.7 Potensi Biodiesel dari Mikroalga
Minyak mentah merupakan bahan baku dalam memproduksi biodiesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang berpotensi untuk dapat diperbaharui dan
terbuat dari sumber bahan nabati yang dihasilkan melalui proses transesterifikasi,
esterifikasi ataupun proses esterifikasi-transesterifikasi (Hambali 2007). Biodiesel
digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM untuk motor diesel.
Penggunaan biodiesel dapat dalam bentuk 100% maupun campuran dengan minyak
atau solar dengan konsentrasi tertentu. Biodiesel memiliki sifat yang mirip dengan
solar, sehingga prosprektif untuk dikembangkan. Selain itu, biodiesel juga memiliki
kelebihan dibandingkan solar karena tidak menghasilkan emisi gas yang merugikan
lingkungan. Prinsip proses pembuatan biodiesel tergolong sederhana karena biodiesel
dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak dengan alkohol.
Alkohol menggantikan gugus alkohol pada struktur ester minyak dengan bantuan
katalis seperti NaOH dan KOH (Hambali 2007).
Mikroalga memiliki potensi untuk menghasilkan biofuel dalam jumlah besar.
Biofuel merupakan sebuah solusi dari kelangkaan fosil fuel yang saat ini sedang
terjadi karena biofuel dapat terbarukan. Umdu et al. (2009) menyatakan bahwa
mikroalga memiliki potensi yang tinggi sebagai biodiesel karena mengandung lipid
14
yang cocok untuk esterifikasi atau transesterifikasi. Selain itu, mikroalga memiliki
laju pertumbuhan tinggi, kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah
komposisi media kultur dan dapat dipanen lebih dari sekali dalam setahun.
15
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012. Tempat penelitian
di Laboratorium Kultivasi Mikroalga Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi
(SBRC) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM IPB).
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan bahan.
Alat dan Bahan Unit Kegunaan
Toples Kaca Volume 2.5 liter Oven
9 buah 1 buah
Wadah kultivasi Mengeringkan alat
Laminar Air Flow 1 buah Sterilisasi UV dan mengeringkan peralatan Mixing Chamber Autoclave Orsat
Kompresor Alkohol 70% Selang
1 buah 1 buah 1 buah
1 buah 1 liter 6 buah
Pencampur CO2 dengan O2 dari kompresor Sterilisasi air laut Menghitung persentase kadar CO2
Sumber O2 Sterilisasi alat dan sterilisasi tangan Aerasi dan CO2
Gas CO2 1 set Sumber CO2 Mikroskop 1 set Menghitung kelimpahan mikroalga Aerator dan Batu Pemberat 1 set Aerasi, (untuk CO2 cukup batu pemberat) Haemocytometer 1 set Menghitung kelimpahan mikroalga NaOH Teknis Padat 100 gram Proses flokulasi Seperangkat soxlet & kondensator 1 set Proses ekstraksi
Pelarut n-Hexan 2.5 liter Pelarut proses ekstraksi Pipet Tetes 3 buah Pengambilan sampel kultur NPFe 2 liter Nutrien Termometer 1 buah Mengukur suhu Air Laut 10 liter Media kultivasi Hand-held Refraktometer ATAGO 1 set Mengukur salinitas Handylab pH 1.1 SCHOOT 1 set Mengukur pH kultivasi Tisu 3 rol Membersihkan peralatan
Kertas Label 1 set Pemberian label pada sampel Bibit Porphyridium cruentum 2.5 liter Bibit kultivasi Labu Lemak 2 buah Wadah n-hexan (ukuran 50 ml dan 250 ml) Freeze Dryer 1 set Proses pengeringan beku natan Hot Plate 1 buah Pemanas labu lemak saat ekstraksi Akuades 3 liter Bahan bilasan dan alat pencuci Neraca Digital 1 buah Mengukur bobot
16
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini meliputi 3 tahapan, yaitu: kultivasi Porphyridium cruentum
selama 30 hari, pemanenan hasil kultivasi dan ekstraksi hasil panen untuk
mendapatkan minyak mentah. Selanjutnya, dilakukan tahapan analisis data. Skema
proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema proses penelitian.
3.3.1 Sterilisasi Alat
Sterilisasi bertujuan untuk membersihkan alat dan bahan dari mikroorganisme
serta bahan kimia yang dapat menyebabkan kontaminasi (Kawaroe et al. 2010). Oleh
Laju Pertumbuhan Spesifik :
Sterilisasi
Alat dan Bahan
Kultivasi
Pengamatan Kelimpahan Sel Mikroalga
menggunakan Mikroskop
Ekstraksi
Pengukuran Parameter
Suhu, Salinitas, dan pH
Analisis Kadar CO2 Termanfaatkan
menggunakan Alat Orsat
Analisis Kadar Minyak Hasil Ekstraksi
Analisis Data
Rancangan Percobaan : Rancangan Acak Lengkap (RAL) :
Yij = μ + τi + εij Koefisien Keragaman :
Uji Lanjut Duncan
rα,p,v SȲ
Analisis Alkalinitas
Kelimpahan (106 sel/ml) =
Kontrol (Tanpa Aerasi dan CO2) Menggunakan Aerasi Menggunakan CO2 (2 hari sekali)
Pemanenan (Flokulasi)
Pengeringan (Freeze Drying)
17
karena itu, sebelum memulai penelitian, alat-alat seperti toples kaca, pipet tetes, batu
aerasi dan selang aerasi terlebih dahulu dicuci lalu direndam dalam larutan detergen.
Bilas alat-alat tersebut dengan air mengalir dan keringkan dengan oven dalam suhu
105 °C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Setelah kering, alat-alat ditutup dengan
alumunium foil dan agar lebih steril alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam laminar
air flow untuk disterilisasi menggunakan sinar UV selama kurang lebih 1 jam.
Setelah proses sinar UV selesai, nyalakan blower selama kurang lebih 15 menit untuk
membersihkan radiasi sinar UV. Laminar air flow dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Laminar air flow.
3.3.2 Sterilisasi Bahan
Air laut, nutrien dan bahan lainnya untuk kultivasi dalam penelitian ini juga
dilakukan sterilisasi untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme. Air laut yang
digunakan terlebih dahulu disaring dengan menggunakan kain saring 0.45 µm,
selanjutnya disteriliasai dengan cara direbus hingga mendidih (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Perebusan air laut dengan menggunakan autoclave pada tekanan
1.5 atm dan suhu hingga 126 ºC. Autoclave dapat digunakan selama kurang lebih 45
menit. Nutrien NPFe yang digunakan disimpan di dalam kulkas. Bibit mikroalga
18
diperoleh dari koleksi laboratorium kultivasi mikroalga SBRC LPPM IPB. Proses
sterilisasi bahan dengan Autoclave dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Autoclave.
3.3.3 Tahap Kultivasi
Kultivasi menggunakan toples kaca volume 2.5 liter. Spesies yang digunakan
adalah Porphyridium cruentum, kemudian dimasukkan air laut steril dan bibit
mikroalga dengan perbandingan air laut steril dan bibit mikroalga (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Kesembilan toples kaca ditempelkan label agar tidak tertukar.
Toples kaca pertama berisi air laut, bibit Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan
tidak diberikan aerasi dinamakan kontrol. Toples kaca kedua berisi air laut, bibit
Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan diberikan aerasi. Toples kaca ketiga berisi
air laut, bibit Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan injeksi CO2 dari mixing
chamber (Komposisi mixing chamber : 50% CO2 dan 50% O2).
Dosis yang diperlukan dalam pembuatan nutrien NPFe, yaitu : NaNO3 242.40
ppm, KH2PO4 4.38 ppm dan FeCL3 0.29 ppm. Unsur N merupakan komponen utama
(16-18%) dalam sel protein yang merupakan dasar kehidupan. Unsur P penting untuk
pembentukan protoplasma sel dan nukleus yang dipergunakan untuk aktifitas
19
kehidupan. Unsur Fe penting dalam pembentukan kloroplas dan sebagai komponen
esensial dalam proses oksidasi. Nutrien NPFe menyebabkan nitrat mengalami
denitrifikasi menjadi nitrit dan natrium nitrat lebih bersifat basa sehingga cenderung
mengasilkan nilai pH yang lebih tinggi (Kurniastuty dan Widiastuti 1992).
Selanjutnya dilakukan kultivasi selama 30 hari. Kultivasi mikroalga dilakukan
sebanyak 3 ulangan dalam waktu yang bersamaan (metode triplo). Gambar 7
menunjukkan sketsa proses kultivasi.
(a)
(b)
Gambar 7 Sketsa proses kultivasi Porphyridium cruentum: a. tahap awal pembuatan
media kultur Porphyridium cruentum, b. ilustrasi kultivasi Porphyridium cruentum.
20
Setelah itu, dilakukan juga pengukuran suhu, salinitas dan pH setiap hari
selama 30 hari. Pengamatan kelimpahan sel saat kultivasi dilakukan setiap hari
dengan waktu yang sudah ditentukan. Pengukuran parameter fisika dan kimia seperti
suhu (ºC) ruangan kultivasi pada penelitian ini menggunakan thermometer,
pengukuran salinitas (‰) menggunakan Hand-held Refraktometer ATAGO, analisis
kadar gas CO2 termanfaatkan (%) menggunakan Orsat dan pengukuran pH dengan
mengggunakan Handylab pH 1.1 SCHOOT. Injeksi CO2 mengunakan mixing
chamber sebanyak 0.5x100 cc/min selama 4 jam setiap 2 hari sekali. Sebanyak
0.5x100 cc/min pemberian CO2 pada kultur berdasarkan pada penelitian Zumaritha
(2011).
3.3.4 Tahap Pemanenan
Pemanenan menggunakan metode flokulasi. Flokulasi merupakan proses
pengendapan mikroalga dengan menggunakan bahan kimia sehingga sel mikroalga
terpisah dengan air laut lalu terjadi pengendapan di dasar wadah (Kawaroe et al.
2010). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NaOH 10%.
Larutan NaOH 10% tersebut diperoleh dari pengenceran 100 gram NaOH teknis
padat dengan akuades 1000 ml. Larutan tersebut dituangkan ke dalam mikroalga yang
sudah siap dipanen dan diaduk sampai terjadi pemisahan warna, lalu tunggu lebih
kurang 1 hari untuk melihat hasil endapan sempurna berupa natan (pasta mikroalga).
Setelah terjadi pemisahan antara air laut dengan natan maka air laut tersebut
dikeluarkan dan dipindahkan ke wadah lain (Kawaroe et al. 2010). Gambar 8
merupakan visualisasi hasil proses flokulasi.
21
Gambar 8 Porphyridium cruentum hasil proses flokulasi.
Langkah selanjutnya adalah proses pengeringbekuan natan dengan
menggunakan alat freeze dryer. Pengeringan dengan alat freeze dryer berlangsung
pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses perubahan fase yang terjadi
adalah sublimasi. Sublimasi dapat terjadi jika suhu dan tekanan ruang sangat rendah,
yaitu di bawah titik tripel air hingga berbentuk serbuk. Suhu alat freeze dryer
dipersiapkan hingga mencapai -50 ºC dan natan beku dimasukkan ke dalam freeze
dryer. Proses berlangsung selama 48 jam untuk memperoleh serbuk mikroalga.
3.3.5 Tahap Ekstraksi
Mikroalga yang sudah menjadi serbuk hasil dari proses freeze dry selanjutnya
diekstrak dalam alat pemerasan mikroalga untuk memperoleh minyak mentah. Proses
ekstraksi adalah pemisahan yang memiliki komponen kimiawi berbeda dengan
pelarut yang selektif untuk mengambil sisa minyak yang tertinggal. Proses ekstraksi
menggunakan perangkat soxlet dengan kondensornya, hot plate dan pelarut yang
digunakan pada penelitian ini adalah pelarut n-hexane (pelarut non-polar) yang
diproses selama 6 jam untuk memperoleh hasil maksimal dari serbuk mikroalga
tersebut. Hasil ekstraksi masih berupa campuran pelarut hexane dan minyak mentah,
22
maka campuran tersebut disaring untuk memisahkan fase cair. Pemisahan minyak
mentah dengan pelarut dilakukan menggunakan destilasi. Setelah itu, diperoleh hasil
ekstraksi berupa minyak mentah (Kawaroe et al. 2010). Gambar 9 merupakan
visualisasi proses ekstraksi Porphyridium cruentum.
Gambar 9 Proses ekstraksi mikroalga Porphyridium cruentum.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Perhitungan Kelimpahan Sel Mikroalga
Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dari masing-masing toples kaca pada
penelitian dilakukan setiap hari. Perhitungan kelimpahan sel menggunakan
haemocytometer dan mikroskop (Gambar 10). Kelimpahan mikroalga dihitung
dengan menggunakan rumus Improved Neubaeur Haemocytometer sebagai berikut:
Kelimpahan (sel/ml) = …….. (1)
keterangan:
N = jumlah sel teramati
Selain menghitung kelimpahan mikroalga, dilakukan juga perhitungan laju
pertumbuhan spesifik (Krichnavaruk et al. 2005) dengan rumus berikut :
23
μ = ……….. (2)
keterangan:
Nt = kelimpahan populasi pada waktu pengamatan
No = kelimpahan populasi pada waktu awal
Tt = waktu pengamatan
To = waktu awal
Gambar 10 Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dengan haemocytometer.
3.4.2 Analisis Kadar Minyak
Selesai melakukan ekstraksi dilakukan perhitungan rendemen kadar minyak
dengan rumus (AOAC 2005) sebagai berikut :
……… (3)
keterangan:
W2 = massa labuh lemak setelah ekstraksi
W1 = massa labuh lemak sebelum ekstraksi
W2 – W1 = massa ekstrak
W = massa serbuk hasil freeze dry
24
3.4.3 Rancangan Percobaan
Uji statistik ini dilakukan pada hasil kelimpahan sel untuk melihat perbedaan
dari tiga perlakuan (kontrol, aerasi dan injeksi CO2) dan dilakukan pula uji kadar
minyak untuk melihat pengaruh tiap perlakuan pada potensi kadar minyak dari tiap
perlakuan tersebut.
Hasil penelitian ini diuji dengan uji-F yang diperoleh dari hasil analisis ragam
atau analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan hasil kelimpahan
sel dari tiga perlakuan dan untuk melihat pengaruh tiap perlakuan terhadap potensi
kadar minyak. Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan acak lengkap
(RAL) dengan taraf nyata 5%, dilanjutkan dengan nilai koefisien keragaman. Uji
lanjut Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan jika pada uji-F memberikan
hasil berpengaruh nyata (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) :
Yij = μ + τi + εij ; i =1,2,3. ; j = 1,2,3. …….. (4)
keterangan:
Yji = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j
μ = rata-rata umum
τi = (μi - μ ) = pengaruh aditif perlakuan ke-i
εij = galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j dengan εij ~ N (0,σ2)
1) Hipotesis yang diuji untuk mengetahui pengaruh tiap perlakuan pada hasil
kelimpahan sel Porphyridium cruentum :
H0 = karbondioksida yang diberikan tidak berpengaruh terhadap kelimpahan
sel Porphyridium cruentum.
25
H1 = karbondioksida berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium
cruentum.
2) Hipotesis yang diuji untuk mengetahui pengaruh tiap perlakuan pada hasil
kadar minyak Porphyridium cruentum :
H0 = karbondioksida yang diberikan tidak berpengaruh terhadap hasil
kadar minyak Porphyridium cruentum.
H1 = karbondioksida berpengaruh terhadap hasil kadar minyak
Porphyridium cruentum.
Metode RAL (Rancangan Acak Lengkap) memiliki asumsi, yaitu
kehomogenan ragam. Asumsi kehomogenan ragam dapat terpenuhi jika nilai
koefisien keragaman yang diperoleh peneliti kurang dari 25% yang berarti tingkat
keakuratan data tersebut tinggi (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
KK = ..………… (5)
keterangan:
KK = koefisien keragaman
σ = kuadrat tengah galat (KTG) atau deviasi baku
Ȳ = rata-rata nilai pengamatan
Prosedur uji lanjut Duncan didasarkan pada sekumpulan nilai beda nyata yang
ukurannya semakin besar dan bergantung pada jarak pangkat-pangkat dari dua nilai
tengah yang dibandingkan. Selain itu, dapat juga digunakan untuk menguji perbedaan
antara semua pasangan perlakuan tanpa memperhatikan jumlah perlakuan. Nilai
keakuratan uji lanjut Duncan lebih tinggi daripada uji Tukey (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
26
Rp = rα,p,v SȲ ………. (6)
keterangan :
Rp = statistik uji Duncan
r = ulangan
rα,p,v = nilai wilayah nyata Duncan
α = taraf nyata
p = jarak relatif antara perlakuan tertentu dengan peringkat berikutnya (2,3,..t)
v = derajat bebas galat
3.4.4 Analisis Alkalinitas
Menurut Strickland dan Parsons (1972), alkalinitas adalah kemampuan larutan
untuk menetralkan asam ke titik ekuivalen karbonat atau bikarbonat. Perhitungan
alkalinitas dilakukan untuk mendapatkan jumlah total CO2 pada larutan. Alkalinitas
berguna untuk pengukuran pH dalam larutan, selanjutnya dihitung dengan rumus :
1) Apabila pH < 4 maka digunakan rumus :
Alk tot = 2.5 – (1250 ) ………… (7)
Apabila pH > 4 maka digunakan rumus :
Alk tot = 3 – ( 1300 ) ……….. (8)
keterangan:
Alk tot = alkalinitas total
= aktivitas ion hidrogen
= faktor perhitungan total alkalinitas
27
2) Hitung alkalinitas karbonat ( CA ) dengan rumus :
CA = Alk tot – A ……….. (9)
keterangan:
CA = alkalinitas karbonat
A = konversi alkalinitas total menjadi alkalinitas karbonat
3) Hitung konsentrasi total CO2 dengan rumus :
CO2= CA x FT …………… (10)
keterangan:
CO2 = karbondioksida total
FT = faktor konversi alkalinitas karbonat menjadi karbondioksida total.
4) Hitung tekanan parsial dengan rumus :
PCO2= CA x FP …………… (11)
keterangan:
PCO2 = tekanan parsial karbondioksida
FP = konversi CO2 total menjadi tekanan parsial karbondioksida.
5) Hitung karbondioksida terlarut dengan menggunakan rumus :
[CO2] = PCO2 x …………….. (12)
keterangan:
= daya larut CO2
Maka akan didapatkan hasil dengan satuan mmol/l CaCO3 agar sesuai dengan
satuan alkalinitas lainnya maka dilakukan konversi menjadi satuan yang diinginkan
yaitu mg/l CaCO3.
28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelimpahan Sel dan Laju Pertumbuhan Porphyridium cruentum
Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan (μ) Porphyridium cruentum.
Hari ke- Kontrol Aerasi CO2
(106 sel/ml) µ (10
6 sel/ml) µ (10
6 sel/ml) µ
0 3.17 ± 1.34 --- 2.63 ± 0.78 --- 2.90 ± 1.54 ---
1 2.56 ± 0.64 -0.21 2.18 ± 0.23 -0.18 2.85 ± 0.79 -0.02
2 2.32 ± 1.29 -0.10 3.06 ± 1.14 0.34 4.58 ± 2.10 0.48
3 2.48 ± 0.98 0.07 2.84 ± 0.24 -0.07 3.94 ± 1.07 -0.15
4 3.39 ± 0.79 0.31 2.80 ± 0.94 -0.01 4.88 ± 3.03 0.21
5 3.31 ± 0.19 -0.02 2.16 ± 0.93 -0.26 5.08 ± 0.72 0.04
6 4.03 ± 1.69 0.20 3.03 ± 0.84 0.34 3.68 ± 0.86 -0.32
7 2.79 ± 2.79 -0.37 2.20 ± 1.47 -0.32 4.65 ± 1.38 0.24
8 2.45 ± 1.91 -0.13 2.71 ± 0.72 0.21 3.83 ± 1.32 -0.19
9 2.57 ± 1.36 0.05 2.24 ± 1.78 -0.19 4.63 ± 2.06 0.19
10 3.24 ± 2.41 0.23 3.61 ± 0.16 0.48 4.42 ± 2.05 -0.05
Rata-rata 2.74 ± 0.75 --- 2.69 ± 0.50 --- 4.13 ± 0.76 ---
11 2.25 ± 1.24 -0.37 2.75 ± 1.58 -0.27 3.45 ± 2.77 -0.25
12 4.11 ± 1.53 0.60 3.73 ± 0.48 0.31 6.12 ± 2.75 0.57
13 2.95 ± 1.68 -0.33 3.73 ± 1.63 0.00 5.00 ± 1.74 -0.20
14 3.87 ± 0.47 0.27 4.43 ± 1.57 0.17 5.67 ± 1.45 0.13
15 2.76 ± 1.74 -0.34 3.55 ± 1.70 -0.22 3.87 ± 0.68 -0.38
16 4.00 ± 1.49 0.37 3.45 ± 1.17 -0.03 3.78 ± 1.93 -0.02
17 2.33 ± 1.52 -0.54 3.41 ± 1.53 -0.01 4.36 ± 0.95 0.14
18 2.43 ± 1.09 0.05 3.98 ± 0.41 0.16 3.53 ± 0.99 -0.21
19 3.36 ± 0.74 0.32 1.95 ± 0.61 -0.71 1.61 ± 0.88 -0.78
20 3.12 ± 0.40 -0.07 4.58 ± 0.69 0.85 4.95 ± 2.24 1.12
Rata-rata 3.12 ± 0.70 --- 3.56 ± 0.77 --- 4.23 ± 1.29 ---
21 1.70 ± 0.74 -0.61 3.28 ± 1.28 -0.33 3.73 ± 0.85 -0.28
22 2.99 ± 0.80 0.57 3.42 ± 1.67 0.04 4.24 ± 2.20 0.13
23 1.64 ± 1.10 -0.60 1.64 ± 0.33 -0.73 2.86 ± 1.77 -0.39
24 3.05 ± 1.67 0.62 5.07 ± 0.48 1.13 3.18 ± 1.42 0.11
25 2.78 ± 1.85 -0.09 2.53 ± 2.01 -0.69 3.91 ± 2.62 0.21
26 1.93 ± 1.81 -0.36 2.48 ± 1.37 -0.02 3.52 ± 1.70 -0.11
27 1.24 ± 0.19 -0.44 4.09 ± 1.85 0.50 2.36 ± 2.14 -0.40
28 2.21 ± 1.15 0.58 3.30 ± 2.23 -0.22 3.92 ± 0.73 0.51
29 1.58 ± 0.55 -0.33 1.71 ± 0.04 -0.66 4.87 ± 3.32 0.22
30 3.26 ± 2.42 0.72 3.95 ± 2.04 0.84 2.95 ± 1.15 -0.50
Rata-rata 2.24 ± 0.72 --- 3.15 ± 1.08 --- 3.55 ± 0.74 ---
Keterangan : µ = laju pertumbuhan spesifik per hari
29
Pertumbuhan mikroalga spesies Porphyridium cruentum pada kultivasi dapat
dilihat dari hasil kelimpahan sel. Kelimpahan sel Porphyridium cruentum untuk
perlakuan kontrol pada hari ke-0 adalah 3.17x106 sel/ml, sedangkan untuk perlakuan
aerasi dan injeksi CO2 adalah 2.63x106 sel/ml dan 2.90x10
6 sel/ml. Selanjutnya
mikroalga tersebut akan mengalami fase pertumbuhan berupa fase lag, fase
eksponensial (logaritmik), fase deklinasi, fase stasioner, dan fase kematian (Fogg
1975). Puncak kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama usia kultivasi 30 hari
untuk perlakuan kontrol mencapai 4.11x106 sel/ml yang teramati pada hari ke-12
dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.60, perlakuan aerasi mencapai 5.07x106
sel/ml pada hari ke-24 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1.13 dan perlakuan
injeksi CO2 mencapai 6.12x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan
spesifik 0.57.
Ho-Oh et al. (2009) melakukan penelitian kultivasi Porphyridium cruentum
dengan usia kultivasi selama 20 hari dan tercatat hasil kelimpahan Porphyridium
cruentum pada hari ke-20 sebanyak 2x106 sel/ml. Kelimpahan Porphyridium
cruentum pada penelitian ini ketika hari ke-30 untuk perlakuan kontrol sebanyak
3.26x106
sel/ml, perlakuan aerasi sebanyak 3.95x106 sel/ml, dan perlakuan injeksi
CO2 sebanyak 2.95x106 sel/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penelitian selama
30 hari menghasilkan kelimpahan sel Porphyridium cruentum lebih besar dari
penelitian Ho-Oh et al. (2009) selama 20 hari yang menghasilkan kelimpahan pada
hari ke-20 sebesar 2x106 sel/ml. Secara visual terlihat bahwa kultur Porphyridium
cruentum pada hari ke-30 akan lebih pekat dibandingkan hari ke-20. Kultivasi
dilakukan selama 30 hari untuk mendapatkan kelimpahan sel yang lebih tinggi. Hal
30
tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah kelimpahan sel
Porphyridium cruentum, serta adanya endapan sel yang dorman di lapisan bawah
media kulturnya.
4.1.1 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-0 sampai Hari ke-11
Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat
pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari
pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama.
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11)
memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dengan
nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 4.13x106 sel/ml (Lampiran 4), kemudian
dilanjutkan dengan perlakuan kontrol (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.74x106
31
sel/ml) dan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.69x106 sel/ml). Gambar 11
menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari pertama kelimpahan tertinggi
terdapat pada perlakuan injeksi CO2 kemudian dilanjutkan dengan aerasi dan kontrol.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL
yang menunjukkan bahwa P-value 0.0001 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil P-
value tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa
kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap
kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien
keragaman sebesar 12.33%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada
nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada
perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh
tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
Hasil uji Duncan (Lampiran 4) memperkuat hipotesis pengaruh perlakuan
injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan kontrol (Duncan grouping
B) dan aerasi (Duncan grouping B) memberikan respon yang berbeda nyata terhadap
jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum, namun perlakuan kontrol dan aerasi
memberikan respon yang sama pada taraf nyata 5%. Menurut Triswanto (2011),
fluktuatifnya grafik kelimpahan sel diduga akibat sel Porphyridium cruentum
mengalami periode kriptik karena sel Porphyridium cruentum yang masih hidup
memanfaatkan tambahan nutrisi untuk pertumbuhannya dari sel Porphyridium
cruentum yang telah lisis sehingga Porphyridium cruentum kembali dapat menaikkan
kelimpahan sel.
32
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari
pertama teramati pada hari ke-6 sebesar 4.03x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.20, memiliki nilai pH 8.43, salinitas 52 ‰ dan suhu 22.33 ºC.
Gambar 11 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama
tiga hari (hari ke-0 sampai hari ke-3) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar
3.17x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-3 mencapai 2.48x10
6 sel/ml. Adaptasi
yang cukup lama pada lingkungan kultur baru diduga karena bibit Porphyridium
cruentum yang digunakan pada perlakuan kontrol sebelumnya sedang berada pada
fase kematian. Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai bibit
Porphyridium cruentum (inokulum). Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat apabila
sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial.
Menurut Sylvester et al. (2002), kondisi optimum untuk kehidupan mikroalga laut
adalah salinitas 25-35 ‰, suhu 25-32 °C, dan pH 7-8.
Fase eksponensial berawal dari hari ke-3 (mencapai 2.48x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik 0.07) sampai hari ke-6 (mencapai 4.03x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik 0.20). Menurut Fogg (1975), pada fase eksponensial terjadi
percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi
konstan. Fase selanjutnya adalah deklinasi yang terjadi pada hari ke-6 (mencapai
4.03x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.20) sampai hari ke-8 (mencapai
2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13). Fase stasioner mikroalga
pada hari ke-8 (mencapai 2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13)
33
sampai hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik
0.23), setelah mengalami fase pertumbuhan, selanjutnya mikroalga akan mengalami
fase kematian. Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini terjadi akibat penurunan
metabolisme mikroalga dan penurunan kandungan nutrien dalam media kultur. Selain
itu, terjadi pula penurunan jumlah kelimpahan sel secara cepat dan sampai pada tahap
kematian sel mikroalga, akan tetapi ada sebagian sel yang mengalami dormansi
(beristirahat sejenak lalu kembali mengalami pertumbuhan). Fase kematian
berlangsung pada hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik 0.23) sampai hari ke-11 (mencapai 2.25x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.37).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari
pertama teramati pada hari ke-10 sebesar 3.61x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.48, memiliki nilai pH 8.50, salinitas 51 ‰ dan suhu 21.33 ºC.
Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama satu hari (hari ke-0 sampai hari
ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.63x106 sel/ml dan kelimpahan
sel hari ke-1 mencapai 2.18x106 sel/ml. Adaptasi yang cepat pada lingkungan kultur
baru tersebut terjadi karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan
pada perlakuan aerasi sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial. Hal tersebut
juga diperkuat dari penelitian Hasanah (2011) bahwa inokulum yang berasal dari fase
eksponensial (logaritmik) pada kultivasi sebelumnya akan mengalami fase adaptasi
yang cepat. Fase eksponensial berawal dari hari ke-1 (mencapai 2.18x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik -0.18) sampai hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik -0.01). Fase selanjutnya adalah deklinasi yang
34
terjadi pada hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -
0.01) sampai hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -
0.32). Menurut Fogg (1975), deklinasi disebabkan populasi sel terus bertambah
namun tidak ada penambahan nutrien dalam media sedangkan pemanfaatan nutrien
oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk
mendapatkan nutrien yang semakin berkurang dan mengakibatkan penurunan tingkat
pertumbuhan jumlah sel.
Fase stasioner mikroalga pada hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase stasioner terjadi sangat singkat. Hal tersebut
diduga karena nutrien pada kultur sudah tidak mencukupi sehingga pada fase
stasioner mengalami waktu yang singkat dan mempercepat proses kematian
mikroalga. Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-9 (mencapai 2.24x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada interval kultivasi 10 hari
pertama teramati pada hari ke-5 sebesar 5.08x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.04, memiliki nilai pH 5.37, salinitas 54 ‰ dan suhu 22.33 ºC.
Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung sangat cepat yaitu selama satu hari
(hari ke-0 sampai hari ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.90x106
sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-1 mencapai 2.85x106 sel/ml. Hal tersebut diduga
karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan pada perlakuan
injeksi CO2 sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial, sehingga fase lag di
35
lingkungan kultur baru berlangsung sangat cepat. Fase eksponensial berawal dari hari
ke-1 (mencapai 2.85x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.02) sampai hari
ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase
deklinasi terjadi pada hari ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik 0.21) sampai hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.32).
Fase stasioner mikroalga pada hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.19). Prihantini et al. (2007) menyatakan bahwa fase
stasioner pada kultivasi mikroalga berkaitan dengan berkurangnya sejumlah besar
nutrien dalam media dan akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme.
Penurunan juga terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh sel.
Hal tersebut juga diperkuat oleh Kawaroe et al. (2010) bahwa fase stasioner ditandai
dengan pertumbuhan mikroalga secara konstan akibat terjadinya keseimbangan
anabolisme dan katabolisme dalam sel mikroalga. Fase ini juga terjadi keseimbangan
antara ketersediaan nutrien dalam kultur dengan banyaknya jumlah sel mikroalga
yang membutuhkan nutrien dalam media kultivasi.
Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.19) sampai hari ke-11 (mencapai 3.45x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik -0.25). Terjadinya penurunan jumlah sel pada fase
kematian diduga akibat pemanfaatan nutrien yang berlebihan pada hari sebelumnya,
sehingga menyebabkan ketersediaan nutrien berkurang untuk asupan hari selanjutnya
(Fachrullah 2011). Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini ditandai dengan
36
perubahan warna air pada media kultur, terbentuknya buih di permukaan media kultur
dan terdapatnya gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur.
4.1.2 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-11 sampai Hari ke-21
Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat
pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari
kedua (hari ke-11 sampai hari ke-21) disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari kedua.
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari kedua (hari ke-11 sampai hari ke-21)
memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dengan
nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 4.23x106 sel/ml (Lampiran 5), kemudian
dilanjutkan dengan perlakuan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.56x106
sel/ml) dan kontrol (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.12x106 sel/ml). Gambar
37
12 menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari kedua kelimpahan tertinggi
terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dan aerasi kemudian perlakuan kontrol.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL
yang menunjukkan bahwa P-value 0.0467 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil P-
value tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa
kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap
kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien
keragaman sebesar 14.50%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada
nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada
perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh
tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memperkuat
hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan
perlakuan aerasi (Duncan grouping B) dan kontrol (Duncan grouping B) memberikan
respon yang berbeda nyata terhadap jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum,
namun perlakuan aerasi dan kontrol memberikan respon yang sama pada taraf nyata
5%.
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari
kedua teramati pada hari ke-12 sebesar 4.11x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.60, memiliki nilai pH 9.30, salinitas 50 ‰ dan suhu 23.67 ºC.
Gambar 12 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama
satu hari (hari ke-10 sampai hari ke-11) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-10
sebesar 3.24x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-11 mencapai 2.25x10
6 sel/ml,
kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-11
38
(mencapai 2.25x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.37) sampai hari ke-
12 (mencapai 4.11x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.60). Fase deklinasi
yang terjadi pada hari ke-12 (mencapai 4.11x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik 0.60) sampai hari ke-14 (mencapai 3.87x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik 0.27), fase stasioner pada hari ke-14 (mencapai 3.87x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik 0.27) sampai hari ke-16 (mencapai 4.00x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik 0.37) dan fase kematian berlangsung pada hari ke-16
(mencapai 4.00x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.37) sampai hari ke-20
(mencapai 3.12x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.07).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari
kedua teramati pada hari ke-20 sebesar 4.58x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.85, memiliki nilai pH 8.87, salinitas 59.7 ‰ dan suhu 21.33
ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama dua hari (hari ke-9 sampai
hari ke-11) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-9 sebesar 2.24x106 sel/ml dan
kelimpahan sel hari ke-11 mencapai 2.75x106 sel/ml, kemudian dilanjutkan dengan
fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-11 (mencapai 2.75x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik -0.27) sampai hari ke-14 (mencapai 4.43x106
sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.17). Fase deklinasi yang terjadi pada hari
ke-14 (mencapai 4.43x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.17) sampai hari
ke-15 (mencapai 3.55x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.22). Fase
stasioner pada hari ke-15 (mencapai 3.55x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.22) sampai hari ke-18 (mencapai 3.98x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik 0.16) dan fase kematian berlangsung pada hari ke-18
39
(mencapai 3.98x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.16) sampai hari ke-19
(mencapai 1.95x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.71).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada interval kultivasi 10 hari
kedua teramati pada hari ke-12 sebesar 6.12x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.57, memiliki nilai pH 5.93, salinitas 52.7 ‰ dan suhu 23.33
ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung selama dua hari (hari ke-11
sampai hari ke-13) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-11 sebesar 3.45x106 sel/ml
dan kelimpahan sel hari ke-13 mencapai 5.00 x106 sel/ml. Fase eksponensial yang
berlangsung pada hari ke-13 (mencapai 5.00x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.20) sampai hari ke-14 (mencapai 5.67x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik 0.13), fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-14 (mencapai
5.67x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.13) sampai hari ke-17 (mencapai
4.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.14), fase stasioner pada hari ke-
17 (mencapai 4.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.14) sampai hari
ke-18 (mencapai 3.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.21) dan fase
kematian berlangsung pada hari ke-18 (mencapai 3.53x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik -0.21) sampai hari ke-19 (mencapai 1.61x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.78).
Gambar 12 secara umum menunjukkan kelimpahan sel tertinggi
Porphyridium cruentum terjadi pada perlakuan injeksi CO2. Hal tersebut
membuktikan bahwa CO2 berfungsi sebagai bahan utama dalam proses fotosintesis
mikroalga untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga. Heldt (2005)
menambahkan bahwa fase pada reaksi fotosintesis mikroalga terdiri dari reaksi terang
40
dan reaksi gelap. Menurut Kawaroe et al. (2010), reaksi terang membutuhkan enzim
yang dimiliki oleh membran tilakoid. Heldt (2005) menyatakan bahwa energi yang
diperlukan untuk sintesis asam lemak (fatty acid) yaitu NADPH dan ATP yang
dihasilkan pada reaksi terang. Menurut Kawaroe et al. (2010), setelah NADPH dan
ATP terbentuk, maka mikroalga siap untuk menyintesis kerbohidrat dan mengikat
CO2 melalui mekanisme reaksi gelap yang berlangsung di stroma. Reaksi gelap pada
mikroalga Porphyridium cruentum berfungsi untuk mengikat CO2 yang diawali
dengan terjadinya proses biosintesis fatty acid pada Porphyridium cruentum.
Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa fatty acid dibentuk oleh kondensasi
berganda unit asetat dari asetil CoA.
4.1.3 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-21 sampai Hari ke-30
Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat
pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari
ketiga (hari ke-21 sampai hari ke-30) disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari ketiga.
41
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari ketiga (hari ke-21 sampai hari ke-30)
secara umum memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan
injeksi CO2 dengan nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.55x106 sel/ml (Lampiran
6), kemudian dilanjutkan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.15x106
sel/ml) dan kelimpahan sel terendah pada perlakuan kontrol (nilai rata-rata
kelimpahan sel sebesar 2.24x106 sel/ml). Gambar 13 menunjukkan pada akhir
kultivasi interval 10 hari ketiga kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan aerasi
disusul perlakuan kontrol dan terendah perlakuan injeksi CO2.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL
yang menunjukkan bahwa P-value 0.0066 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil P-
value tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa
kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap
kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien
keragaman sebesar 16.62%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada
nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada
perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh
tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 6) memperkuat
hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan
perlakuan aerasi (Duncan grouping B) dan kontrol (Duncan grouping B) memberikan
respon yang berbeda nyata terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada
taraf nyata 5%.
42
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari
ketiga teramati pada hari ke-30 sebesar 3.26x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 0.72, memiliki nilai pH 8.83, salinitas 50 ‰ dan suhu 24.67 ºC.
Gambar 13 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama
tiga hari (hari ke-20 sampai hari ke-23) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-20
sebesar 3.12x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-23 mencapai 1.64x10
6 sel/ml,
kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-23
(mencapai 1.64x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.60) sampai hari ke-
24 (mencapai 3.05x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.62). Fase deklinasi
yang terjadi pada hari ke-24 (mencapai 3.05x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik 0.62) sampai hari ke-27 (mencapai 1.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.44), fase stasioner pada hari ke-27 (mencapai 1.24x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik -0.44) sampai hari ke-28 (mencapai 2.21x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik 0.58) dan diakhiri oleh fase kematian berlangsung pada
hari ke-28 (mencapai 2.21x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.58) sampai
hari ke-29 (mencapai 1.58x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.33).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari
ketiga teramati pada hari ke-24 sebesar 5.07x106 sel/ml dengan nilai laju
pertumbuhan spesifik 1.13, memiliki nilai pH 9.10, salinitas 58.7 ‰ dan suhu 23.67
ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama tiga hari (hari ke-19 sampai
hari ke-22) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-19 sebesar 1.95x106 sel/ml dan
kelimpahan sel hari ke-22 mencapai 3.42x106 sel/ml kemudian dilanjutkan dengan
fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-22 (mencapai 3.42x106 sel/ml
43
dengan laju pertumbuhan spesifik 0.04) sampai hari ke-24 (mencapai 5.07x106 sel/ml
dengan laju pertumbuhan spesifik 1.13). Fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-24
(mencapai 5.07x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 1.13) sampai hari ke-25
(mencapai 2.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.69). Fase stasioner
pada hari ke-25 (mencapai 2.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.69)
sampai hari ke-28 (mencapai 3.30x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -
0.22) dan diakhiri oleh fase kematian berlangsung pada hari ke-28 (mencapai
3.30x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.22) sampai hari ke-29
(mencapai 1.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.66).
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada kultivasi interval
kultivasi 10 hari ketiga teramati pada hari ke-29 sebesar 4.87x106 sel/ml dengan nilai
laju pertumbuhan spesifik 0.22, memiliki nilai pH 5.67, salinitas 46 ‰ dan suhu
22.67 ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung selama dua hari (hari ke-
21 sampai hari ke-23) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-21 sebesar 3.73x106 sel/ml
dan kelimpahan sel hari ke-23 mencapai 2.86 x106 sel/ml. Fase eksponensial yang
berlangsung pada hari ke-23 (mencapai 2.86x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan
spesifik -0.39) sampai hari ke-25 (mencapai 3.91x106 sel/ml dengan laju
pertumbuhan spesifik 0.21), fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-25 (mencapai
3.91x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-27 (mencapai
2.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.40), fase stasioner pada hari ke-
27 (mencapai 2.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.40) sampai hari
ke-29 (mencapai 4.87x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.22) dan diakhiri
oleh fase kematian berlangsung pada hari ke-29 (mencapai 4.87x106 sel/ml dengan
44
laju pertumbuhan spesifik 0.22) sampai hari ke-30 (mencapai 2.95x106 sel/ml dengan
laju pertumbuhan spesifik -0.50).
Injeksi CO2 menyebabkan peningkatan proses fotosintesis mikroalga sehingga
proses metabolisme dapat berlangsung lebih cepat dan kelimpahan sel meningkat
(Prihantini et al. 2005). Gas CO2 yang diinjeksikan untuk Porphyridium cruentum
adalah sebanyak 0.5x100 cc/min selama dua hari sekali dapat meningkatkan
kelimpahan sel mikroalga namun tidak signifikan. Hal tersebut sesuai dengan teori
Benemann (1997) yang menyatakan bahwa pemanfaatan CO2 pada kultivasi
mikroalga menyebabkan mikroalga dapat tumbuh sangat cepat serta tidak
membutuhkan tempat atau lahan yang sangat luas untuk tumbuh.
4.2 Kondisi Kualitas Air terhadap Pertumbuhan Porphyridium cruentum
Pertumbuhan mikroalga dan perbedaan bentuk kurva kelimpahan sel pada
kultivasi Porphyridium cruentum diduga disebeabkan oleh faktor-faktor lingkungan.
Faktor-faktor tersebut adalah pH, salinitas, dan suhu. Hasil pengukuran parameter
kualitas air pada media kultivasi Porphyridium cruentum disajikan pada Tabel 3.
45
Tabel 3 Nilai rataan parameter kualitas air media kultivasi Porphyridium cruentum.
Hari Ke- Kontrol Aerasi CO2
pH Salinitas Suhu pH Salinitas Suhu pH Salinitas Suhu
0 8.07 50.0 22.33 7.90 49.7 22.67 8.07 58.0 23.33 1 8.10 55.0 21.67 8.00 51.7 22.33 5.80 58.7 22.33 2 9.07 53.0 22.00 8.53 53.3 22.33 6.33 61.0 21.67 3 9.37 53.0 23.33 8.57 51.7 23.33 5.80 58.7 23.67 4 9.33 54.0 21.67 8.60 57.0 22.00 5.50 59.0 22.33 5 8.97 55.0 22.67 8.30 52.3 21.67 5.37 54.0 22.33 6 8.43 52.0 22.33 8.00 54.0 22.00 5.80 54.7 21.33
7 8.47 56.0 23.00 8.03 54.3 22.33 5.77 54.7 21.67 8 8.70 53.0 21.33 8.33 56.0 21.67 5.87 55.0 21.33 9 8.87 52.0 22.00 8.37 56.0 21.67 5.50 54.3 21.33 10 9.30 50.0 22.67 8.50 51.0 21.33 5.90 53.7 23.00 11 9.23 54.0 21.33 8.50 56.0 21.67 5.93 54.3 21.00
12 9.30 50.0 23.67 8.80 54.0 23.67 5.93 52.7 23.33 13 9.40 51.0 22.33 8.50 56.3 22.00 5.80 52.7 21.67 14 9.37 50.0 25.67 8.77 51.3 25.67 6.03 47.7 25.33
15 9.23 50.0 21.67 8.73 58.7 21.67 5.97 53.3 22.00 16 9.40 49.0 23.67 8.93 55.7 23.33 6.07 49.0 23.67 17 9.50 52.0 25.67 9.03 54.7 24.67 6.03 48.3 25.67 18 9.53 50.0 26.00 9.03 53.0 25.33 6.13 51.7 25.67 19 9.33 54.0 22.67 8.80 54.7 22.00 5.97 51.7 22.67 20 9.40 53.0 21.67 8.87 59.7 21.33 6.17 47.0 22.00 21 9.40 50.0 22.33 8.97 52.3 21.67 6.00 47.3 21.33
22 9.20 54.0 23.33 8.97 56.7 23.67 6.30 51.7 24.00 23 9.30 52.0 24.00 9.00 59.7 23.33 6.07 49.0 23.67 24 9.60 51.0 23.67 9.10 58.7 23.67 6.40 53.7 24.33 25 9.17 53.0 24.67 8.63 60.7 24.33 5.93 49.7 24.67 26 8.63 48.0 23.33 8.30 58.3 24.00 5.90 48.0 23.67 27 8.50 49.0 24.00 8.30 58.3 24.67 5.73 49.0 23.67 28 8.63 51.0 24.67 8.43 57.0 24.33 5.97 47.7 25.00 29 8.70 53.0 22.67 8.37 58.3 22.00 5.67 46.0 22.67 30 8.83 50.0 24.67 8.43 56.0 23.33 6.00 50.0 24.67
Rata-rata 9.04 51.84 23.12 8.57 55.39 22.89 5.99 52.33 23.06
4.2.1 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH pada kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan
grafik pH kultivasi Porphyridium cruentum disajikan pada Gambar 14. Derajat
keasaman (pH) pada perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO2 terlihat cenderung
stabil namun pada perlakuan injeksi CO2 terlihat adanya penurunan nilai pH.
Perubahan pH pada saat kultivasi Porphyridium cruentum diduga karena adanya
perubahan kelarutan CO2 didalam media pertumbuhan sehingga pemberian asupan
injeksi CO2 dapat menurunkan nilai pH secara drastis.
46
Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada
perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata pH 9.04), aerasi sebesar
3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata pH 8.57), dan CO2 sebesar 3.98x10
6 sel/ml (nilai rata-
rata pH 5.99). Hasil rata-rata kelimpahan sel selama 30 hari memperlihatkan bahwa
kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan CO2 walaupun peningkatan yang
terjadi tidak signifikan. Peningkatan kelimpahan sel tersebut diduga dipengaruhi oleh
perairan yang bersifat asam akibat peningkatan konsentrasi CO2 yang bersumber dari
injeksi CO2. Pengaruh perubahan nilai pH pada peningkatan kelimpahan sel
Porphyridium cruentum pada masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa pH
merupakan faktor pembatas utama pada penelitian ini.
0
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
pH
Hari ke-
Kontrol
Aerasi
CO2
Gambar 14 Perubahan rata-rata pH Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), pH optimum untuk fotosintesis
Porphyridium cruentum adalah 7.5. Umumnya kisaran pH untuk kultur mikroalga
biasanya antara 7 sampai 9, namun sel Porphyridium cruentum masih dapat hidup
pada kisaran pH 5.2-8.3. Adanya perlakuan injeksi CO2 menyebabkan asupan CO2
47
menjadi berlebih pada media kultivasi Porphyridium cruentum sehingga pH stabil
pada nilai 5.99.
Gambar 14 memperlihatkan kultivasi dengan perlakuan kontrol menampilkan
kisaran nilai pH sebesar 8.07-9.60, perlakuan aerasi menampilkan kisaran nilai pH
sebesar 7.90-9.10 dan perlakuan injeksi CO2 menampilkan kisaran nilai pH sebesar
5.37-8.07. Nilai kisaran pH tersebut merupakan hasil rata-rata nilai pH dari tiga kali
ulangan penelitian dari tiap perlakuan, nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Menurut Kawaroe et al. (2010), kekurangan CO2 dan tingginya nilai pH (kondisi pH
perairan bersifat sangat basa) dapat menghambat laju fotosintesis mikroalga. Nilai pH
tertinggi pada perlakuan kontrol mencapai 9.60 dan aerasi mencapai 9.10, dari kedua
perlakuan tersebut memiliki nilai pH yang cenderung cukup tinggi. Menurut Boyd
1988, tingginya nilai pH tersebut dikarenakan turunnya konsentrasi CO2 yang
menyebabkan menurunkan konsentrasi H+, sehingga kondisi perairan pada kedua
perlakuan tersebut mengalami kehabisan CO2 saat fotosintesis berlangsung. Interval
nilai pH yang dihasilkan pada perlakuan kontrol dan aerasi masih dalam kondisi yang
wajar, sehingga laju fotosintesis mikroalga tidak terhambat.
Perlakuan injeksi CO2 mengalami kecenderungan pH bersifat asam (pH
kurang dari 7). Hal tersebut terlihat pada Gambar 14, pH perlakuan injeksi CO2
mengalami penurunan pada hari pertama. Penurunan pH terjadi akibat pengaruh
injeksi CO2. Setelah menurun pada hari pertama yang mencapai nilai pH sebesar
5.80, selanjutnya pH pada perlakuan injeksi CO2 cenderung stabil sampai akhir
periode kultivasi dengan kisaran pH sebesar 5.37-6.40.
48
Sel Porphyridium cruentum masih dapat hidup dan berfotosintesis dalam
kisaran pH sebesar 5.37-6.40. Pertumbuhan Porphyridium cruentum akan terhambat
jika pH kurang dari 5 dan aktivitas fotosintesis akan mengalami penurunan
maksimum mencapai 33% (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Perlakuan injeksi CO2
tidak dapat dilakukan terus menerus sehingga dalam penelitian ini perlakuan injeksi
CO2 dilakukan setiap dua hari sekali guna mempertahan kestabilan nilai pH pada
lingkungannya agar memberikan cukup waktu pada Porphyridium cruentum untuk
memanfaatkan CO2 dalam berfotosintesis (Kawaroe et al. 2010). Menurut Effendi
(2003), CO2 memiliki sifat kelarutan yang tinggi, sehingga jika CO2 terlarut dalam
air, maka CO2 akan bereaksi dengan air dan akan membentuk asam karbonat (H2CO3)
di dalam perairan tersebut.
4.2.2 Salinitas
Salinitas merupakan faktor pembatas yang berpengaruh terhadap perubahan
tekanan osmosis di dalam selnya. Aktifitas sel mikroalga dapat terganggu jika
salinitas terlampau tinggi atau rendah (Sylvester et al. 2002). Nilai salinitas pada
kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan grafik salinitas kultivasi
Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 15. Salinitas pada perlakuan
kontrol, aerasi dan injeksi CO2 terlihat fluktuatif. Berdasarkan Gambar 15 diketahui
bahwa besarnya salinitas pada perlakuan kontrol relatif stabil, berbeda dengan
perlakuan aerasi yang hampir semakin meningkat (salinitas tinggi) selama kultivasi.
Menurut Nontji (2007), salinitas meningkat dan tinggi karena terjadinya penguapan
yang sangat kuat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penguapan dalam
49
penelitian ini adalah asupan aerasi yang diberikan selama 24 jam. Indikasi penguapan
dapat terlihat pada permukaan tutup toples wadah kultur yang terdapat garam.
Kondisi salinitas pada perlakuan injeksi CO2 hampir selalu menurun karena adanya
asupan CO2 dan proses penguapan tidak tinggi. Mikroalga laut memiliki toleransi
tinggi terhadap perubahan salinitas (Sylvester et al. 2002).
Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada
perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata salinitas 51.84 ‰), aerasi
sebesar 3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata salinitas 55.39 ‰), dan CO2 sebesar 3.98x10
6
sel/ml (nilai rata-rata salinitas 52.33 ‰). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa
kelimpahan sel Porphyridium cruentum berpengaruh pada nilai salinitas perairan dan
Porphyridium cruentum mampu meningkatkan kelimpahan sel dalam perairan
bersalinitas tinggi.
Gambar 15 Perubahan rata-rata salinitas Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Gambar 15 memperlihatkan perubahan salinitas (kenaikan dan penurunan
salinitas) dari masing-masing perlakuan tersebut tidak terlalu signifikan. Kultivasi
50
dengan perlakuan kontrol menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 48-56 ‰,
perlakuan aerasi menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 49.7-60.7 ‰ dan
perlakuan injeksi CO2 menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 46-61 ‰.
Porphyridium cruentum dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup
tinggi yaitu sebesar 0.5-2 kali konsentrasi air laut (Borowitzka dan Borowitzka 1988).
Menurut Effendi 2003, konsentrasi salinitas air laut normal berkisar 30-40 ‰.
Nilai kisaran salinitas tersebut merupakan hasil rata-rata nilai salinitas dari
tiga kali ulangan penelitian dari tiap perlakuan, nilai selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 3. Porphyridium cruentum tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga
lainnya jika kondisi salinitas kurang dari 35 ‰. Menurut Richmond (1988), salinitas
sebesar 46 ‰ tidak menghambat proses pertumbuhan.
4.2.3 Suhu
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi.
Kenaikan suhu dapat menurunkan kelarutan bahan dan menyebabkan terjadinya
kenaikan kecepatan metabolisme serta respirasi mikroalga dalam kultur. Nilai suhu
pada kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan grafik suhu
kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 16. Suhu pada perlakuan
kontrol, aerasi dan injeksi CO2 terlihat tidak jauh berbeda dan cenderung stabil. Nilai
suhu yang tidak jauh berbeda diduga karena kultivasi dilakukan dalam ruangan
terkontrol.
Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada
perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata suhu 23.12 °C), aerasi
51
sebesar 3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata suhu 22.89 °C), dan CO2 sebesar 3.98x10
6
sel/ml (nilai rata-rata suhu 23.06 °C). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa
kelimpahan sel Porphyridium cruentum berpengaruh pada nilai suhu perairan dan
Porphyridium cruentum mampu meningkatkan kelimpahan sel karena suhu perairan
pada penelitian ini masih berada dalam kisaran suhu untuk Porphyridium cruentum
hidup. Porphyridium cruentum dapat hidup dalam kisaran suhu 10-35 °C dengan
suhu optimum 25 °C dan aktivitas optimum fotosintesis dari kultur Porphyridium
cruentum terjadi pada suhu 25 °C (Vonshak 1988).
Gambar 16 Perubahan rata-rata suhu Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Gambar 16 memperlihatkan kultivasi dengan perlakuan kontrol memiliki
kisaran nilai suhu sebesar 21.33-26.00 °C, perlakuan aerasi 21.33-25.67 °C,
sedangkan perlakuan injeksi CO2 21.00-25.67 °C. Nilai kisaran suhu tersebut
merupakan hasil rata-rata nilai suhu tiap perlakuan selama tiga kali ulangan
penelitian. Nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Richmond (1988),
pada suhu di bawah 13 °C pertumbuhan Porphyridium cruentum melambat dan pada
52
suhu lebih dari 31 °C pertumbuhannya terhambat bahkan bisa mengalami kematian.
Nilai suhu yang dihasilkan dalam penelitian ini masih dalam batas toleransi suhu
untuk Porphyridium cruentum masih dapat hidup yaitu 10-35 °C (Vonshak 1988).
4.3 Pengaruh Alkalinitas
Menurut Svobodova at al. (1993), ion bikarbonat (HCO3-) normal pada
kisaran pH 6.0-8.3. Ion bikarbonat berinteraksi dengan CO2 terlarut dan ion karbonat
(CO3-) berperan untuk mengontrol kestabilan nilai pH. Oleh karena itu, nilai
alkalinitas sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Ion bikarbonat akan menyerap ion
hidrogen ketika pH kurang dari 8.0 karena ion bikarbonat dikonversi menjadi gas
CO2 terlarut sehingga pH dapat stabil walaupun masih dalam kisaran 5.37-6.40
selama kultivasi injeksi CO2 yang berlangsung 2 hari sekali dengan komposisi input
CO2 sebanyak 0.5x100 cc/min selama 4 jam. Kadar ion bikarbonat dan alkalinitas
akan menjadi tinggi jika jumlah gas CO2 yang ditambahkan terlalu banyak
(Svobodova at al. 1993). Menurut Effendi (2003), nilai alkalinitas alami tidak
melebihi dari 500 mg/l CaCO3 karena nilai alkalinitas yang terlalu tinggi kurang
disukai oleh organisme akuatik. Hubungan antara pengaruh nilai pH, alkalinitas dan
CO2 termanfaatkan pada kultivasi dengan injeksi CO2 disajikan pada Tabel 4.
Perhitungan nilai alkalinitas pada penelitian ini hanya dilakukan untuk perlakuan
injeksi CO2 saja karena bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas perairan kultur
akibat asupan CO2 yang diberikan secara langsung.
53
Tabel 4 Hubungan antara pH, alkalinitas, dan CO2 termanfaatkan.
Hari ke- pH Alkalinitas (mg/l CaCO3) CO2 Termanfaatkan (%)
1 5.80 40.16 18.00
3 5.80 45.94 18.33
5 5.37 32.28 21.00
7 5.77 72.28 22.00
9 5.50 81.25 22.67
11 5.93 76.51 22.67
13 5.80 110.22 19.33
15 5.97 41.59 20.67
17 6.03 53.71 20.33
19 5.97 53.71 19.33
21 6.00 41.59 21.67
23 6.07 81.25 20.33
25 5.93 32.28 19.00
27 5.73 32.28 19.67
29 5.67 41.59 21.00
Karbondioksida memiliki kelarutan yang tinggi sehingga jika CO2 terlarut
dalam air, maka CO2 akan bereaksi dengan air dan membentuk asam karbonat
(H2CO3) di dalam perairan tersebut (Effendi 2003). Terlihat dari Tabel 4 bahwa
alkalinitas media kultivasi pada awal injeksi CO2 adalah 40.16 mg/l CaCO3, diduga
pada awal kultivasi perairan bersifat sadah atau memiliki kandungan mineral yang
tinggi. Perairan dengan nilai alkalinitas lebih besar dari 40 mg/l CaCO3 disebut
perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas kurang dari
40 mg/l CaCO3 disebut perairan lunak (soft water) (Effendi 2003). Nilai alkalinitas
pada hari terakhir injeksi CO2 adalah 41.59 mg/l CaCO3 dan perairan masih bersifat
sadah. Selama kultivasi, kisaran nilai alkalinitas adalah antara 32.28-110.22 mg/l
CaCO3. Nilai tersebut masih tercakup dalam rentang nilai alkalinitas yang baik bagi
kehidupan organisme perairan yaitu berkisar antara 30-500 mg/l CaCO3 (Effendi
54
2003). Menurut Saeni (1989), alkalinitas memegang peran penting dalam penentuan
kemampuan air untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga karena alkalinitas
merupakan sebuah indikator untuk mengetahui kesuburan perairan. Oleh karena itu,
nilai alkaninitas dapat mempengaruhi kelimpahan sel Porphyridium cruentum dan
alkalinitas merupakan fakor pembatas dalam penelitian ini.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai CO2 termanfaatkan pada kultivasi
Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 berkisar 18-22.67%. Injeksi CO2
dilakukan setiap 2 hari sekali untuk komposisi input CO2 sebanyak 0.5x100 cc/min
selama 4 jam. Analisis kadar CO2 tersebut membuktikan bahwa injeksi CO2
dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga (Chiu et al.
2008). Oleh sebab itu, kadar CO2 dalam perairan mempengaruhi nilai alkalinitas pada
perairan tersebut. Semakin tinggi alkalinitas, maka perairan tersebut cenderung
bersifat alkali (Effendi 2003).
Menurut Anggraeni (2002), nilai alkalinitas yang tinggi dan cenderung
bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas yang rendah
serta lebih produktifnya perairan. Hal tersebut terkait dengan keberadaan fosfor dan
elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan bertambahnya nilai
alkalinitas. Effendi (2003) berpendapat bahwa alkalinitas juga berkaitan erat dengan
nilai pH dan CO2. Tabel 4 menyajikan nilai pH dengan kisaran nilai pH lebih dari 5,
karena jika nilai pH kurang dari 5 maka alkalinitas dapat mencapai nilai nol (Effendi
2003).
55
4.4 Kadar Minyak Hasil Kultivasi Porphyridium cruentum
Minyak mentah hasil ekstraksi dari mikroalga merupakan bahan baku minyak
yang memiliki potensi untuk memproduksi biodiesel. Biodiesel merupakan bahan
bakar yang berpotensi untuk dapat diperbaharui dan terbuat dari bahan nabati
(Hambali 2007). Minyak mentah tersebut berasal dari kandungan lipid dalam tubuh
mikroalga. Menurut hasil penelitian Fuentes et al. (2000), sel Porphyridium cruentum
mengandung rata-rata minyak 5.78% dan menurut hasil penelitian Hasanah (2011),
hasil rata-rata minyak Porphyridium cruentum sebesar 0.33%.
Hasil penelitian ini menampilkan nilai rata-rata kadar minyak Porphyridium
cruentum dari perlakuan kontrol, perlakuan aerasi dan perlakuan injeksi CO2,
disajikan pada Gambar 17 yang menampilkan nilai rataan kadar minyak tertinggi
dihasilkan dari perlakuan injeksi CO2 yaitu sebesar 5.97%. Lampiran 15
memperlihatkan nilai keseluruhan hasil kadar minyak dari 3 kali ulangan pada
perlakuan kontrol, perlakuan aerasi, dan perlakuan injeksi CO2. Menurut Benemann
(1997), injeksi CO2 pada kultivasi mikroalga dapat mempengaruhi mikroalga untuk
tumbuh lebih cepat.
56
Keterangan : a = hasil uji Duncan (Perlakuan CO2 1.93±0.22
a)
b = hasil uji Duncan (Perlakuan Aerasi 1.06±0.06b)
c = hasil uji Duncan (Perlakuan Kontrol 0.65±0.02c)
Gambar 17 Grafik perbandingan kadar minyak dari berbagai perlakuan.
Kadar minyak yang diperoleh dari perlakuan kontrol adalah 0.92%, perlakuan
aerasi 1.91%, sedangkan dari perlakuan injeksi CO2 sebesar 5.97% yang merupakan
nilai kadar minyak tertinggi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Fuentes et al.
(2000), Porphyridium cruentum mengandung kadar minyak 5.78% dan menurut
Hasanah (2011), menghasilkan kadar minyak Porphyridium cruentum 0.33%.
Kultivasi perlakuan injeksi CO2 dapat meningkatkan kadar minyak pada
Porphyridium cruentum karena hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
Fuentes et al. (2000) dan Hasanah (2011) walaupun kelimpahan sel tidak signifikan
mengalami peningkatan.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analisis ANOVA RAL yang
menunjukkan bahwa P-value 0.0001 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil P-value
57
tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi
injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap hasil kadar minyak
Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman
sebesar 10.79%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai
koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan
injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik
dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 7) menguatkan bahwa pengaruh
perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan aerasi (Duncan
grouping B) dan kontrol (Duncan grouping C) memberikan respon yang berbeda
nyata untuk tiap perlakuan terhadap hasil kadar minyak mentah dari Porphyridium
cruentum.
58
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kultivasi Porphyridium cruentum selama 30 hari memperlihatkan bahwa
peningkatan kelimpahan sel mikroalga dengan pemanfaatan injeksi CO2 tidak
signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata kelimpahan sel Porphyridium
cruentum pada perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml, aerasi sebesar 3.11x10
6
sel/ml, dan CO2 sebesar 3.98x106 sel/ml.
Berbeda dengan minyak mentah yang dikonversikan. Minyak mentah
menunjukkan peningkatan signifikan dari mikroalga Porphyridium cruentum yang
dikultivasi dengan injeksi CO2 dengan yang tidak. Kadar minyak mentah dari
Porphyridium cruentum pada perlakuan kontrol adalah 0.92%, aerasi 1.91%, dan
injeksi CO2 5.97%. Hal ini mengindikasikan bahwa injeksi CO2 mempengaruhi kadar
minyak yang dihasilkan mikroalga Porphyridium cruentum.
5.2 Saran
Penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian pendahuluan untuk optimasi
kultivasi sehingga dapat diperkirakan pola kurva pertumbuhan berdasarkan
kelimpahan sel Porphyridium cruentum. Sebelum melakukan kultivasi perlu
dilakukan uji pendahuluan pada parameter kualitas air untuk media kultivasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The
Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Anggraeni I. 2002. Kualitas Air Perairan Laut Teluk Jakarta selama Periode 1996-
2002 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Benemann JR. 1997. CO2 mitigation with microalgae systems. Energy Conversion
and Management. 38:475-479.
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York (USA):
Cambridge University Press.
Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. 1988. Microalgae Biotechnology. New York
(USA): Cambridge University Press.
Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Print-ing. Alabama
(USA): Auburn University Agricutural Experiment Station.
Cahyaningsih S. 2009. Standar Nasional Indonesia Pembenian Perikanan (Pakan
Alami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang [ulasan]. Balai Budidaya
Air Payau Situbondo. 4(3):80-84.
Chisti Y. 2007. Biodiesel from Microalgae. Biotechnol Adv. 25(3):294-306.
Chiu SY, Chien YK, Ming TT, Seow CO, Chiun HC, Chih SL. 2008. Lipid
Accumulation and CO2 Utilization of Nannochloropsis oculata in Response to
CO2 Aeration. Bioresource Tech. 100(2):833-838.
Department of Enviromental Science University of Kalyani. 2008. Type: Algae.
http://envis.kuenvbiotech.org/algae.htm [12 Agustus 2012].
60
Dongoran RK. 2003. Pengaruh Alkalinitas Total dari Kalsium Karbonat (CaCO3)
Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Jambal Siam
(Pangasius sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Fachrullah MR. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis
Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air
Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London (UK): The
University of Wisconsin Press.
Fuentes MMR, Fernandez GGA, Perez JAS, Guerrero JLG. 2000. Biomass nutrient
profiles of the microalga Porphyridium cruentum. Food Chemistry. 70(3):345-
353.
Guerrero MG. 2010. Bioethanol from Microalgae. Sevilla (SPN): Instituto
Bioquiimica Vegetaly Fotosmica Fotosiintesisntesi.
Hambali E. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.
Hasanah. 2011. Mikroenkapsulasi Biomassa Porphyridium cruentum [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Heldt HW. 2005. Plant Biochemistry. 3rd edition. California (USA): Elsevier
Academic Press.
Hoshida HT, Ohira A, Minematsu R, Akada Y, Nishizawa. 2005. Accumulation of
Eicosapentaenoic Acid in Nannochloropsis sp. in Response to Elevated CO2
Concentrations. Applied Phycology. 17:29-34.
61
Ho Oh S, Han JG, Kim Y, Ha JH, Kim SS, Jeong MH, Jeong HS, Kim NY, Cho JS,
Yoon WB et al. 2009. Lipid Production in Porphyridium cruentum Grown
Under Different Culture Conditions. Bioscence and Bioenginering.
108(5):429-434.
Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Pytoplankton dan Zooplankton
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Kawaroe M, Pratono T, Sunuddin A, Sari DW, Agustine D. 2010. Mikroalga: Potensi
dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. Bogor (ID): IPB
Press.
Krichnavaruk S, Loataweesup W, Powtongsook S, Pavasant P. 2005. Optimal
Growth Conditions and The Cultivation of Chaetoceros calcitrans in Airlift
Photobioreactor. Chemical Enginering. 105(3):91-98.
Kurniastuty, Widiastuti E. 1992. Pertumbuhan Dunaliella sp. pada media kultur
dan dosis yang berbeda [ulasan]. Bul Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut.
6:8.
Kurniawan H, Lukman G. 1999. Aspek Industri Sistem Kultivasi Sel Mikroalga
Imobil. Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian. 2:2.
Lee ER. 1989. Phycology. Canada: Cambrige University Press.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan.
Prihantini NB, Putri B, Yuniati R. 2005. Pertumbuhan Chlorella sp. dalam medium
ekstrak tauge (MET) dengan variasi pH awal. Makara Sains. 9(1):1-6.
Prihantini NB, Damayanti D, Yuniati R. 2007. Pengaruh konsentrasi medium ekstrak
tauge (MET) terhadap pertumbuhan Scenedesmus isolate Subang. Makara
Sains. 11(1):1-9.
62
Richmond A. 1988. Microalgae Biotechnology. New York (USA): Cambridge
University Press.
Richmond A. 2003. Handbook of Microalgal Culture Biotechnology and Applied
Phycology. New York (USA): Blackwell Publishing.
Rocha JMS, Garcia JEC, Henriques MHF. 2003. Growth Aspects of the Marine
Microalga Nannochloropsis gaditana. Biomoleculer Engineering. 20(4-
6):237-242.
Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-2. Lukman DR,
Sumaryono, penerjemah; Bandung (ID): ITB Bandung Press. Terjemahan
dari: Plant Physiology.
Schneider SH. 1989. The Green House Effect: Science and Policy. Science. 243:771.
Sen B, Alp MT, Kocer MAT. 2005. Studies on Growth of Marine Microalgae in
Batch Culture: Isochrysis galbana (haptophyta). Asian Journal of Plant
Sciences. 4(6):639-641.
Spotte S. 1992. Captive Seawater Fishes: Science and Technology. The University of
Connecticut. John Willey and Sons, Inc, Canada.
Strickland JDH, Parsons TR. 1972. A Practical Handbook of Seawater Analysis.
Fisheries Research Board of Canada. Ottawa.
Svobodova Z, Richard L, Jana M, Blanka V. 1993. Water Quality and Fish Health.
EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries Department. 3:22-24.
Sylvester BDD, Nelvy, Sudjiharno. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton.
Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan
Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun 2002. 24-36.
63
Taw N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek
Pengembangan Udang, United Nations Development Programme. Food and
Agriculture Organizations of the United Nations. 120(2):20-35.
Triswanto Y. 2011. Kultivasi Diatom Penghasil Biofuel Jenis Skeletonema costatum,
Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis pada Sistem Indoor dan Outdoor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Umdu ES, Tuncer M, Seker E. 2009. Transesterification of Nannochloropsis oculata
Microalga’s Lipid to Biodiesel on Al2O3 Supported CaO and MgO Catalyst.
Bioresource Technology. 100(11):2828-2831.
Vonshak A. 1988. Porphyridium. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ.(Eds).
Microalgae Biotechnology. New York (USA): Cambridge University Press.
Wanner G, Kost HP. 1980. Investigations on The Arrangement and Fine Structure of
Porphyridium cruentum Phycobilisomes. ProtopIasma. 102:97-109.
Widjaja A. 2009. Lipid Production from Microalgae As a Promising Candidate for
Biodiesel Production. Makara Teknologi. 13(1):47-51.
Zumaritha F. 2011. Pemanfaatan karbondioksida (CO2) untuk Kultivasi Mikroalga
Nannochloropsis sp. Sebagai Bahan Baku Biofuel [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
64
LAMPIRAN
65
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perhitungan Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum
Contoh kelimpahan Porphyridium cruentum dihitung dengan menggunakan
rumus Improved Neubaeur Haemocytometer sebagai berikut :
Kelimpahan (sel/ml) =
keterangan :
N = jumlah sel teramati
Pengamatan dilakukan dengan 2 kali ulangan.
N = 182 (kemudian dibagi dengan ulangan pengamatan)
Contoh perhitungan kelimpahan kontrol hari ke-0 :
(182/2) x (25/5) x 104 = 4550000 sel/ml atau 4.55x10
6 sel/ml.
66
Lampiran 2 Perhitungan Laju Pertumbuhan Spesifik Porphyridium cruentum
Contoh perhitungan laju pertumbuhan spesifik (Krichnavaruk et al. 2005)
dengan rumus berikut :
μ =
keterangan :
Nt = kelimpahan populasi pada waktu pengamatan
No = kelimpahan populasi pada waktu awal
Tt = waktu pengamatan
To = waktu awal
Contoh : kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2
hari ke-9 4.63x106 sel/ml, kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan
injeksi CO2 hari ke-10 4.42x106 sel/ml, kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada
perlakuan injeksi CO2 hari ke-11 3.45x106 sel/ml dan kelimpahan sel Porphyridium
cruentum pada perlakuan injeksi CO2 hari ke-12 6.12x106 sel/ml.
μ pada hari ke-10 adalah
μ pada hari ke-11 adalah
μ pada hari ke-12 (μ maks) adalah
67
Lampiran 3 Perhitungan Kadar Minyak
Contoh perhitungan randemen kadar minyak dengan rumus (AOAC 2005)
sebagai berikut :
keterangan :
W2 = massa labuh lemak setelah ekstraksi
W1 = massa labuh lemak sebelum ekstraksi
W2 – W1 = massa ekstrak
W = massa serbuk hasil freeze dry
Contoh : ulangan pertama perlakuan injeksi CO2 massa ekstrak (W2 – W1)
0.9319 gram dan massa serbuk hasil freeze dry pada ulangan pertama 13.3 gram.
Setelah seluruh kadar minyak dari tiap ulangan diperoleh maka dirata-ratakan
untuk membuat grafik kadar minyak.
68
Lampiran 4 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-0 sampai Hari ke-11
Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
Hitung
Nilai-
P
Perlakuan 2 14.89662693 7.44831347 16.56 0.0001
Galat 30 13.49274394 0.44975813
Total 32 28.38937087
Jika nilai-P 0.0001 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0
Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan
R-
Kuadrat
Koefisien
Keragaman
Akar Kuadrat Tengah
Galat
Rata-rata Kelimpahan
Sel
0.467744 12.32537 0.173245 1.405598
Nilai koefisien keragaman 12.33% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25%
Nilai rata-rata dan standar deviasi
Perlakuan Jumlah Data
Kelimpahan Sel
Rata-rata Standar Deviasi
Aerasi 11 2.67803030 0.45994071
CO2 11 4.13106061 0.75853560
Kontrol 11 2.73530303 0.74990178
Hasil uji Duncan
Pengelompokan Duncan Rata-rata Jumlah Data Perlakuan
A 4.1311 11 CO2
B 2.7353 11 Kontrol
B 2.6780 11 Aerasi
69
Lampiran 5 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-11 sampai Hari ke-21
Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
Hitung
Nilai-
P
Perlakuan 2 6.30947685 3.15473843 3.44 0.0467
Galat 27 24.76956250 0.91739120
Total 29 31.07903936
Jika nilai-P 0.0467 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0
Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan
R-
Kuadrat
Koefisien
Keragaman
Akar Kuadrat Tengah
Galat
Rata-rata Kelimpahan
Sel
0.158106 14.49546 0.218693 1.508703
Nilai koefisien keragaman 14.50% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25%
Nilai rata-rata dan standar deviasi
Perlakuan Jumlah Data
Kelimpahan Sel
Rata-rata Standar Deviasi
Aerasi 10 3.55583333 0.76848667
CO2 10 4.23166667 1.29395437
Kontrol 10 3.11666667 0.69805727
Hasil uji Duncan
Pengelompokan Duncan Rata-rata Jumlah Data Perlakuan
A 4.2317 10 CO2
B 3.5558 10 Aerasi
B 3.1167 10 Kontrol
70
Lampiran 6 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-21 sampai Hari ke-30
Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
Hitung
Nilai-
P
Perlakuan 2 9.05601389 4.52800694 6.08 0.0066
Galat 27 20.11728473 0.74508462
Total 29 29.17329862
Jika nilai-P 0.0066 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0
Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan
R-
Kuadrat
Koefisien
Keragaman
Akar Kuadrat Tengah
Galat
Rata-rata Kelimpahan
Sel
0.321593 16.62079 0.224180 1.348794
Nilai koefisien keragaman 16.62% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25%
Nilai rata-rata dan standar deviasi
Perlakuan Jumlah Data
Kelimpahan Sel
Rata-rata Standar Deviasi
Aerasi 10 3.14666667 1.08017488
CO2 10 3.55250000 0.73782348
Kontrol 10 2.23833333 0.72394240
Hasil uji Duncan
Pengelompokan Duncan Rata-rata Jumlah Data Perlakuan
A 3.5525 10 CO2
B 3.1467 10 Aerasi
B 2.2383 10 Kontrol
71
Lampiran 7 Uji Statistik Hasil Kadar Minyak
Hasil analysis of variance ANOVA hasil kadar minyak
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
Hitung
Nilai-
P
Perlakuan 2 2.53502541 1.26751270 73.64 0.0001
Galat 6 0.10327862 0.01721310
Total 8 2.63830402
Jika nilai-P 0.0001 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0
Koefisien keragaman hasil kadar minyak tiap perlakuan
R-
Kuadrat
Koefisien
Keragaman
Akar Kuadrat Tengah
Galat
Rata-rata Hasil Kadar
Minyak
0.960854 10.79540 0.131199 1.215321
Nilai koefisien keragaman 10.79% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25%
Nilai rata-rata dan standar deviasi
Perlakuan Jumlah Data
Hasil Kadar Minyak
Rata-rata Standar Deviasi
Aerasi 3 1.06581989 0.06040607
CO2 3 1.92704955 0.21813016
kontrol 3 0.65309297 0.02023982
Hasil uji Duncan
Pengelompokan Duncan Rata-rata Jumlah Data Perlakuan
A 1.9270 3 CO2
B 1.0658 3 Aerasi
C 0.6531 3 kontrol
72
Lampiran 8 Tabel Perhitungan Alkalinitas (αh)
73
Lampiran 9 Tabel Perhitungan Alkalinitas (ƒ)
74
Lampiran 10 Tabel Perhitungan Alkalinitas (A)
75
Lampiran 11 Tabel Perhitungan Alkalinitas (FT)
76
Lampiran 12 Tabel Perhitungan Alkalinitas (Fp)
77
Lampiran 13 Tabel Perhitungan Alkalinitas (ɣ)
78
Lampiran 14 Perhitungan Konversi Satuan Alkalinitas
Satuan alkalinitas yang diperoleh dari perhitungan adalah mmol/l CaCO3 akan
diubah menjadi mg/l CaCO3.
Contoh perhitungan alkalinitas : nilai alkalinitas = 0.39841 mmol/l
Jawaban :
mmol akan diubah terlebih dahulu menjadi mol (x10-3
) : 0.39841x10-3
=
3.9841x10-4
mol
mol kemudian diubah menjadi gram (x berat atom CaCO3), berat atom CaCO3
adalah Ca : 40.08; C : 12; O : 16
massa atom CaCO3 adalah 100.8. maka, 3.9841x10-4
mol x 100.8 = 0.04016
gram
kemudian gram diubah menjadi mg (x103). jadi, 0.04016 gram x 10
3 = 40.16
mg/l CaCO3
79
Lampiran 15 Tabel Hasil Massa Freeze Dry, Massa Ekstrak dan Kadar Minyak
Tabel 5 Massa freeze dry, massa ekstrak, dan kadar minyak.
Perlakuan Ulangan Massa freeze dry (g) Massa ekstrak (g) Kadar minyak (%)
Kontrol 1 13.4 0.1256 0.9373134
2 23.5 0.2233 0.9502128
3 23.3 0.2045 0.8776824
Aerasi 1 32.9 0.5747 1.7468085
2 30.4 0.6373 2.0963816
3 24.9 0.4674 1.8771084
CO2 1 13.3 0.9319 7.0067669
2 21.5 0.9355 4.3511628
3 12.9 0.8469 6.5651163
80
Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Oven Gambar 3 Freeze
dryer
Gambar 2 Mixing
chamber Gambar 4 Neraca
digital
Gambar 5
Perangkat soxlet Gambar 6 Alkohol
dan akuades Gambar 7
Mikroskop
Gambar 8
Termometer
Gambar 9 Labu
lemak
Gambar 10
Tabung gas CO2 Gambar 11 Orsat Gambar 12
Larutan NaCl 3 %
Gambar 13
Haemocytometer
Gambar 15 Hand-held
Refraktometer ATAGO Gambar 14 Handylab pH
1.1 SCHOOT
81
Lanjutan Lampiran 14
Gambar 16 Kompresor Gambar 17 Ruangan
kultivasi
Gambar 18 NaOH
padat
Gambar 19 Sterilisasi ruangan
Gambar 20 Penataan
toples kultivasi
Gambar 21 Mengambil air laut
Gambar 22 Persiapan
media kultur
Gambar 23 Kultivasi perlakuan kontrol
Gambar 24 Kultivasi perlakuan aerasi
Gambar 25 Kultivasi
perlakuan injeksi CO2 Gambar 26
menyalakan aerasi
Gambar 27 menyalakan
injeksi CO2
Gambar 28
Pengukuran suhu
Gambar 29
Pengukuran pH
Gambar 30
Pengukuran salinitas
Gambar 31 Pengukuran
kadar CO2
82
Lanjutan Lampiran 14
Gambar 32 Persiapan
pengamatan sel
Gambar 33
Pengamatan sel
Gambar 34 Sel Porphyridium
cruentum dilihat dari mikroskop
Gambar 35 Tahap
awal flokulasi Gambar 36 Proses
pemindahan natan
Gambar 37 Natan
hasil flokulasi
Gambar 38 Serbuk
hasil freeze drying
Gambar 40 Minyak
mentah hasil ekstraksi
Gambar 39 Persiapan
proses ekstraksi
Gambar 41 Menimbang
massa hasil ekstrak
Gambar 42 Minyak
mentah perlakuan
kontrol
Gambar 44 Minyak
mentah perlakuan
injeksi CO2
Gambar 43 Minyak
mentah perlakuan
aerasi
83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 4 Juli 1990 dari Ayah H. Drs
Mahmud dan Ibu Hj. Henny Suryani. Penulis adalah anak
pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2005-2008, penulis
menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 49 Jakarta. Pada
tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
(FPIK), Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah aktif sebagai asisten
dosen pada mata kuliah Biologi Tumbuhan Laut tahun akademik 2012-2013 dan
pernah aktif sebagai Penyuluh Perikanan LSM PPNSI dari Bantuan Sosial Gubernur
Jawa Barat (2011-2012). Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi seperti anggota
LPQ (Lembaga Pengajar Qur’an) LDK Al Hurriyyah (2008-2009), anggota Forum
for Scientific Studies (FORCES) (2008-2009, 2009-2010 dan 2010-2011), anggota
komisi 3 Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) (2010-
2011), anggota badan pekerja konstitusi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa (MPM KM) (2010-2011), ketua komisi 3 DPM KM (2011-
2012) dan anggota badan pekerja konstitusi MPM KM (2011-2012). Selain itu,
penulis turut aktif mengikuti aktivitas dan kompetisi ilmiah seperti peserta Bayer
Young Environmental Envoy (BYEE) (2010), MTQ IPB (2011), peserta Pekan Ilmiah
Mahasiswa IPB (PIM IPB) (2012) dan peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional
(PIMNAS) (2012) di UMY-Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah
meraih prestasi seperti semi finalis tingkat nasional BYEE 2010, Finalis MTQ IPB
cabang LKTIA 2010 dan peraih Tanoto Research Award 2012. Dalam menyelesaikan
studi di FPIK, penulis menyusun sebuah skripsi dengan judul ”Pemanfaatan Gas
Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan
Konversinya Menjadi Minyak Mentah”.