PEMANFAATAN BENTONIT, KAPUR DAN LIMBAH PUING …digilib.unila.ac.id/38082/3/TESIS TANPA BAB...
Transcript of PEMANFAATAN BENTONIT, KAPUR DAN LIMBAH PUING …digilib.unila.ac.id/38082/3/TESIS TANPA BAB...
PEMANFAATAN BENTONIT, KAPUR DAN LIMBAH PUING
BANGUNAN UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS TANAH
TROPIKA DALAM MENURUNKAN RESISTANSI GROUNDING
Tesis
Oleh
NENENG KUSRINI
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
PEMANFAATAN BENTONIT, KAPUR DAN LIMBAH PUINGBANGUNAN UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS TANAH
TROPIKA DALAM MENURUNKAN RESISTANSI GROUNDING
Oleh
NENENG KUSRINI
Tanah Tropika umumnya didominasi oleh mineral liat yang memiliki Kapasitas
Tukar Kation (KTK) dan muatan listrik yang rendah sehingga kapasitas jerapan
rendah terhadap elektrolit tanah (khususnya air tanah). Kemampuan mengalir
muatan elektron yang berasal dari sambaran petir menjadi rendah dan tahanan
jenis tanah menjadi tinggi. Hal ini berdampak pada kemampuan mengalir muatan
elektron dari sambaran petir menjadi rendah. Untuk itu diperlukan perlakuan
terhadap tanah yang akan di gunakan sebagai media pentanahan dengan cara
penambahan zat aditif.
Penelitian ini menggunakan media pentanahan antara campuran tanah (T)
dengan puing (P), tanah dengan bentonit (B), dan tanah dengan kapur (K).
Masing-masing campuran (T:P), (T:B), (T:K), dibuat dengan konsentrasi 25:75,
50:50, 75:25 dan 100% tanah sebagai kontrol. Jarak penanaman elektroda antar
kelompok perlakuan 1 meter, dan ukuran dimensi pentanahan yang berbeda.
Neneng Kusrini
Metode pengukuran yang digunakan adalah metode tiga titik dengan
menggunakan elektroda batang pentanahan tunggal.
Hasil penelitian menunjukkan respon terbaik terhadap penurunan
resistansi berturut-turut adalah pada campuran tanah dengan puing , kemudian
diikuti oleh tanah dengan kapur dan tanah dengan bentonit. Kadar Air
berpengaruh terhadap penurunan resistansi tanah. Semakin besar kadar air
semakin rendah nilai resistansi tanah. Ukuran (dimensi) media pentanahan
berpengaruh terhadap nilai resistansi. Semakin besar ukuran media semakin kecil
nilai resistansi.
Kata kunci : kadar air, media pentanahan, resistansi.
ABSTRACTUTILIZATION OF BENTONITE, LIME AND BUILDING WASTE
WASTE TO IMPROVE TROPICAL SOIL CAPACITY IN REDUCINGRESISTANCE GROUNDING
By
NENENG KUSRINI
Tropical soil is commonly dominated by clay minerals characterized by
low cation exchange (CEC) and electrical conductivity. The such as conditions
were affected on the capacity to absorb the soil electrolyte, especially for ground
water . It also affected on the resistance of the soil became high which may
affected on the capacity of the electron flows from the thunder to the ground
became low.
To increase the flowing capacity of electron ,some treatment could be
consider by addition or mixing the soil (T) with debris (P) and also benthonic (B),
and lime (K). Several treatment proportion in percentage has designed such as
TP:TB = 25:75, 50:50, 0: 100 , respectively. To measure the conductivity, single-
stick grounding electrodes was applied in the distance of one meter from each on
the three measurement points.
The results showed the degrees of conductivity levels from the highest to
the lowest were given by mixture of soil-debris (T:P), soil-lime (S:L), soil-
benthonic (S:B), respectively. The decrease of soil resistance also affected by
Neneng Kusrini
increasing water capacity. The resistance of soil is also affected by the size of
grounding electrode.
Keywords : grounding place, moisture content, resistance.
PEMANFAATAN BENTONIT, KAPUR DAN LIMBAH PUINGBANGUNAN UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS TANAHTROPIKA DALAM MENURUNKAN RESISTANSI GROUNDING
Oleh
NENENG KUSRINI
TesisSebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS
Pada
Program Pascasarjana MultidisiplinMagister Ilmu Lingkungan
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGANPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gedong Tataan Lampung Selatan,
pada tanggal 25 Agustus 1971. Anak ke dua dari enam
bersaudara dari pasangan Bapak Hi. Usman Hamid dan ibu
Hj. Mardiah. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan
di SDN 23 Teluk Betung Bandar Lampung tahun 1983.
Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 3 Rawa
Laut Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 1986. Pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 3 Tanjung Karang Bandar
Lampung pada tahun 1989.
Penulis diterima sebagai Taruna di Badan Pendidikan Latihan Meteorologi dan
Geofisika (BPLMG sekarang STMKG) di Jakarta pada program pendidikan D1
jurusan Meteorologi tahun 1990 dan menyelesaikan program pendidikan D3
jurusan Meteorologi pada tahun 1998. Pendidikan S1 Pertanian jurusan
Agronomi diselesaikan di STIPER Surya Dharma Way Halim Bandar Lampung
pada tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa program pascasarjana (S2)
Jurusan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung pada tahun 2016.
Penulis tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika sejak tahun 1992. Berdinas pertama kali di Stasiun
Meteorologi Majene Sulawesi Selatan (sekarang Sulawesi Barat). Kemudian pada
tahun 1994 pindah tugas ke Stasiun Meteorologi Radin Inten II Branti Tanjung
Karang. Sejak tahun 1998 penulis bertugas sebagai Forecaster di Stasiun
Meteorologi Maritim Lampung di Way Lunik Panjang Bandar Lampung sampai
dengan sekarang.
MOTTO
Kemampuan menerima tanggungjawab adalah ukuran seorang manusia.
Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyakdari pada yang diperbaikinya.
~ Umar bin Abdul Aziz ~
Ku persembahkan karya yang sederhana ini kepada orang – orang yang telahmendoakan dan memberi dukungan baik moril maupun materil, terutama kepada
kedua orang tuaku, suamiku tercinta Hermanto Wiradja dan anak-anakkutersayang Tubagus Darussalam dan Ulfah Savaira
SANWACANA
Tabikpun.
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis dengan judul “Pemanfaatan Bentonit, Kapur dan Limbah Puing Bangunan
untuk Meningkatkan Kapasitas Tanah Tropika dalam Menurunkan Resistansi
Grounding” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
(M.Si) pada program studi Magister Ilmu Lingkungan di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan, saran
maupun kritik serta nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat dan segala ilmu
yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Eng. Yul Martin, S.T., M.T., selaku Pembimbing Kedua atas
kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan,
arahan, saran maupun kritik serta nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat
dan segala ilmu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
ii
3. Dr. Melya Riniarti, S.P, M.Si., selaku Pembimbing Ketiga atas
kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan,
arahan, saran maupun kritik serta nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat
dan segala ilmu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
4. Dr. Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., selaku Penguji Utama pada tesis ini.
Terimakasih atas masukan dan saran, kritik juga nasihat-nasihat yang sangat
bermanfaat dan segala ilmu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian
tesis ini.
5. Prof. Warsito, S.Si., D.E.A., Ph.D., selaku Penguji Kedua pada tesis ini.
Terimakasih atas masukan dan saran, kritik juga nasihat-nasihat yang sangat
bermanfaat dan segala ilmu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian
tesis ini.
6. Dosen dan para staf administrasi Pascasarjana Magister Ilmu Lingkungan,
UPT Lab Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung dan
teknisi Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung
atas bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Kantor BMKG yang telah memberikan izin belajar dan Kepala beserta
seluruh staf Stasiun Meteorologi Maritim Lampung yang telah memberi
dukungan semenjak awal kuliah hingga akhir.
8. Seluruh rekan-rekan Magister Ilmu Lingkungan angkatan 2016 Dwi Joko,
Rudy Kusharyanto, Rudi Haryanto, Septiana Widi Lestari, Fina Triana
Marbun, Moh. Ridlo Haryanto, Agus Suyanti, Dian Ahmad Saputra, Wahyu
iii
Saputro, Deby Mipa Salam, dan Billy atas kebersamaan, doa serta bantuan
morilnya selama 2 tahun ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam proses perkuliahan dari awal
hingga akhir yang tidak dapat ditulis satu persatu.
10. Almamater tercinta Universitas Lampung
Hanya dengan do’a yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT memberikan
yang terbaik bagi semuanya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua,
Aamiin
Bandar Lampung, September 2018
Neneng Kusrini
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Permasalahan .. ................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4 Manfat Penelitian…......... .................................................................. 5
1.5 Batasan Penelitian …............ ............................................................. 5
1.6 Kerangka Pemikiran …............ .......................................................... 5
1.7 Hipotesis….. …. ........... .................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fenomena Petir dan Penyebarannya .................................................. 10
2.1.1 Proses Terjadinya Petir...... ....................................................... 11
2.1.2 Tipe Petir.......................................................... ......................... 15
2.2 Petir Sebagai Fenomena Bencana Lingkungan ................................. 15
2.2.1 Klasifikasi Bencana Alam......................................................... 17
2.2.2 Bahaya Petir............ .................................................................. 19
v
2.2.3 Aktivitas yang Rawan Terhadap Petir....................................... 21
2.3 Teknologi Penangkalan dan Upaya Peredaman Bencana Petir ........ 21
2.4 Technologi Grounding …............... ................................................... 24
2.5 Jenis, Karakter dan Penyebaran Tanah Tropik ................................. 26
2.6 Jenis Mineral Liat Penyusun Tanah Tropika ............ ........................ 30
2.7 Manipulasi Muatan Spesifik untuk Penurunan Tahanan Jenis Tanah 33
2.8 Prospek Limbah Puing Bangunan sebagai Bahan Penurun
Tahanan Jenis…................................. ................................................ 37
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 41
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. 41
3.3 Cara Kerja ....................................................... .................................. 44
3.3.1 Persiapan Bahan Pentanahan.................................................... 44
3.3.2 Pengukuran Nilai Tahanan Pentanahan ................................... 45
3.3.3 Perhitungan Kadar Air ......................................... ................... 46
3.4 Metode Penelitian................... ........................................................... 47
3.5 Analisis Data Penelitian ..................................................... ............... 48
3.5.2 Menghitung Tahanan Jenis Tanah.................................... ........ 48
3.5.3 Menghitung Nilai Resistansi Pembumian................... .............. 48
3.5.3 Menghitung Kadar Air ................... .......................................... 49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengukuran Kelompok Puing................................................ ............. 51
4.2 Pengukuran Kelompok Bentonit................... ...................................... 56
4.3 Pengukuran Kelompok Kapur................................................ ............. 59
vi
4.4 Perhitungan Kadar Air................... ..................................................... 64
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan................................................ ............................................. 71
5.2 Saran.................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73
LAMPIRAN......................................... ........................................................... 79
Tabel 11 - 28......................................... ........................................................... 79
Gambar 27 - 37................................................................................................. 98
Hasil uji laboratorium......................................... ............................................. 103
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jenis bencana alam ................................................................................. 17
2. Tahanan jenis beberapa jenis tanah ........................................................ 36
3. Satuan percobaan ................................................................................... 48
4. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok puing ............. 53
5. Komposisi kimia semen portland ........................................................... 54
6. Hasil uji laboratorium untuk sampel puing ............................................ 55
7. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok bentonit .......... 58
8. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok kapur .............. 61
9. Perbandingan respon nilai resistansi antar campuran terhadap kontrol .. 63
10. Rerata nilai kadar air hasil pengukuran pada setiap perlakuan
bandingkan dengan nilai resistansi ......................................................... 67
11. Satuan percobaan .................................................................................... 79
12. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok puing ............... 82
13. Data nilai rho (ρ) kelompok puing .......................................................... 83
14. Data nilai resistansi kelompok puing ...................................................... 85
15. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok bentonit ........... 86
16. Data nilai rho (ρ) kelompok bentonit ...................................................... 87
17. Data nilai resistansi kelompok bentonit .................................................. 88
18. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok kapur ............... 89
viii
19. Data nilai rho (ρ) kelompok kapur .......................................................... 90
20. Data nilai resistansi kelompok kapur ...................................................... 91
21. Nilai rerata resistansi (ohm) pada masing-masing kelompok ................ 92
22. Nilai rerata resistansi pada masing-masing taraf perlakuan ................... 93
23. Data sampel media pentanahan kelompok puing (gram) ....................... 94
24. Data kadar air kelompok puing (%)........................................................ 95
25. Data sampel media pentanahan kelompok bentonit (gram) ................... 96
26. Data kadar air kelompok bentonit (%).................................................... 96
27. Data sampel media pentanahan kelompok kapur (gram) ....................... 97
28. Data kadar air kelompok kapur (%)........................................................ 97
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian.. ............................................................. 8
2. Lokasi stasiun monitoring petir BMKG (55 lokasi) ............................... 19
3. Alat ukur Earth Ground Resistance Tester IDEAL 61-796 ................... 41
4. Ukuran kaleng sebagai media pentanahan .............................................. 42
5. Bahan pentanahan ................................................................................... 43
6. Pemotongan batang silinder .................................................................... 43
7. Peletakan media dilokasi percobaan ....................................................... 45
8. Pengukuran tahanan pentanahan pada media ......................................... 46
9. Pengukuran pentanahan dengan Earth Ground Resistance Tester
IDEAL 61-796 ........................................................................................ 46
10. Sampel media yang akan dikeringkan di masukkan dalam cup
aluminium ............................................................................................... 47
11. Diagram alir penelitian ........................................................................... 50
12. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran kecil ................ 51
13. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran sedang ............ 52
14. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran besar............... 52
15. Pengikatan kimia butir-butir liat ............................................................. 55
16. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran kecil ............ 57
17. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran sedang ......... 57
18. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran besar ............ 58
x
19. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran kecil ................ 59
20. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran sedang ............. 60
21. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran besar ................ 60
22. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok puing ... 64
23. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok bentonit 65
24. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok kapur ... 65
25. Rata-rata kadar air (%) hasil pengukuran pada setiap perlakuan ........... 66
26. Struktur monmorilonit ........................................................................... 69
27. Ikatan hidrogen dari air ........................................................................... 70
28. Satuan percobaan .................................................................................... 79
29. Pengambilan tanah untuk media pentanahan lokasi Unila ..................... 98
30. Lokasi persiapan peletakkan media percobaan ..................................... 98
31. Pembuatan naungan di lokasi percobaan ................................................ 98
32. Pengadukan bahan pentanahan ............................................................... 99
33. Penimbangan bahan pentanahan yang dimasukkan ke dalam kaleng .... 99
34. Pemberian air sampai mencapai kapasitas lapang .................................. 100
35. Pengovenan sampel untuk mengetahui kadar air................................... 100
36. Pemasangan elektroda bantu................................................................... 101
37. Media pentanahan tanah campur puing .................................................. 102
38. Media pentanahan tanah campur bentonit .............................................. 102
39. Media pentanahan tanah campur kapur ................................................. 102
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jenis bencana alam ................................................................................. 16
2. Tahanan jenis beberapa jenis tanah ........................................................ 35
3. Satuan percobaan ................................................................................... 47
4. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok puing ............. 52
5. Komposisi kimia semen portland ........................................................... 53
6. Hasil uji laboratorium untuk sampel puing ............................................ 54
7. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok bentonit .......... 57
8. Rerata nilai resistansi hasil pengukuran pada kelompok kapur .............. 60
9. Perbandingan respon nilai resistansi antar campuran terhadap kontrol .. 62
10. Rerata nilai kadar air hasil pengukuran pada setiap perlakuan
bandingkan dengan nilai resistansi ......................................................... 66
11. Satuan percobaan .................................................................................... 78
12. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok puing ............... 81
13. Data nilai rho (ρ) kelompok puing .......................................................... 82
14. Data nilai resistansi kelompok puing ...................................................... 84
15. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok bentonit ........... 85
16. Data nilai rho (ρ) kelompok bentonit ...................................................... 86
17. Data nilai resistansi kelompok bentonit .................................................. 87
18. Data hasil pengukuran tahanan pentanahan kelompok kapur ............... 88
viii
19. Data nilai rho (ρ) kelompok kapur .......................................................... 89
20. Data nilai resistansi kelompok kapur ...................................................... 90
21. Nilai rerata resistansi (ohm) pada masing-masing kelompok ................ 91
22. Nilai rerata resistansi pada masing-masing taraf perlakuan ................... 92
23. Data sampel media pentanahan kelompok puing (gram) ....................... 93
24. Data kadar air kelompok puing (%)........................................................ 94
25. Data sampel media pentanahan kelompok bentonit (gram) ................... 95
26. Data kadar air kelompok bentonit (%).................................................... 95
27. Data sampel media pentanahan kelompok kapur (gram) ....................... 96
28. Data kadar air kelompok kapur (%)........................................................ 96
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian.. ............................................................. 8
2. Lokasi stasiun monitoring petir BMKG (55 lokasi) ............................... 18
3. Alat ukur Earth Ground Resistance Tester IDEAL 61-796 ................... 46
4. Ukuran kaleng sebagai media pentanahan .............................................. 41
5. Bahan pentanahan ................................................................................... 42
6. Pemotongan batang silinder .................................................................... 42
7. Peletakan media dilokasi percobaan ....................................................... 44
8. Pengukuran tahanan pentanahan pada media ......................................... 45
9. Pengukuran pentanahan dengan Earth Ground Resistance Tester
IDEAL 61-796 ........................................................................................ 45
10. Sampel media yang akan dikeringkan di masukkan dalam cup
aluminium ............................................................................................... 46
11. Diagram alir penelitian ........................................................................... 49
12. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran kecil ................ 50
13. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran sedang ............ 51
14. Nilai resistansi kelompok puing dengan kaleng ukuran besar............... 51
15. Pengikatan kimia butir-butir liat ............................................................. 54
16. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran kecil ............ 56
17. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran sedang ......... 56
18. Nlai resistansi kelompok bentonit dengan kaleng ukuran besar ............ 57
x
19. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran kecil ................ 58
20. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran sedang ............. 59
21. Nlai resistansi kelompok kapur dengan kaleng ukuran besar ................ 59
22. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok puing ... 63
23. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok bentonit 64
24. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok kapur ... 64
25. Perbandingan nilai resistansi dengan kadar air pada kelompok puing ... 65
26. Struktur monmorilonit ........................................................................... 68
27. Ikatan hidrogen dari air ........................................................................... 69
28. Pengambilan tanah untuk media pentanahan lokasi Unila ..................... 97
29. Lokasi persiapan peletakkan media percobaan ..................................... 97
30. Pembuatan naungan di lokasi percobaan ................................................ 97
31. Pengadukan bahan pentanahan ............................................................... 98
32. Penimbangan bahan pentanahan yang dimasukkan ke dalam kaleng .... 98
33. Pemberian air sampai mencapai kapasitas lapang .................................. 99
34. Pengovenan sampel untuk mengetahui kadar air................................... 99
35. Pemasangan elektroda bantu................................................................... 100
36. Media pentanahan tanah campur puing .................................................. 101
37. Media pentanahan tanah campur bentonit .............................................. 101
38. Media pentanahan tanah campur kapur ................................................. 101
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah tropika tergolong sangat luas persebarannya di dunia, maupun di Indonesia.
Umumnya tanah tropika didominasi mineral liat yang memiliki Kapasitas Tukar
Kation (KTK) yang rendah dan muatan listrik yang rendah sehingga kapasitas
jerapan yang sangat rendah terhadap elektrolit tanah (khususnya air tanah) apalagi
di saat kering. Hal ini berarti kemampuan mengalir muatan elektron yang berasal
dari sambaran petir menjadi rendah pula, yang sering menimbulkan bencana yaitu
kerusakan terhadap peralatan elektrolit akibat induksi yang dibangkitkan oleh
sambaran petir.
Bahaya induksi petir tersebut semakin besar di pemukiman padat pemukiman
seperti wilayah perkotaan yang umumnya permukaan tanahnya kedap akan
peresapan air. Di wilayah seperti ini umumnya elektroda grounding-nya sering
tidak efektif dalam menghantarkan elektron dari sambaran petir karena
membesarnya tahanan jenis tanah akibat kadar air tanah yang rendah khususnya
pada peralihan dari musim kemarau ke musim hujan dimana frekuensi petir
meningkat tajam sementara kondisi air tanah masih sangat rendah. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Kristantri dan Kurniawati (2016), menyatakan bahwa
jumlah sambaran petir tertinggi terjadi pada musim peralihan, baik pada saat
2
peralihan musim hujan ke kemarau maupun saat awal musim hujan. Hasil
penelitian Septiadi dan Safwan (2011), membuktikan bahwa peningkatan jumlah
CG (Cloud to Ground) total diikuti dengan peningkatan curah hujan (mm) secara
signifikan, begitu juga sebaliknya penurunan jumlah CG juga diikuti dengan
penurunan jumlah curah hujan. CG adalah pelepasan muatan listrik yang terjadi
dari awan ke bumi, yang beresiko mengancam keselamatan makluk hidup dan
benda-benda di bumi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Tongkukut (2011),
menyatakan bahwa pola maksimum dan minimum kejadian petir mengikuti pola
musim hujan.
Antisipasi kejadian petir adalah dengan membuat perlindungan dari bahaya petir,
dengan cara mengalirkan arus petir ke bumi (grounding) dengan tujuan
melindungi makluk hidup dan bangunan agar terhindar dari kerusakan fatal.
Untuk itu diperlukan sistem grounding yang baik. Menurut Persyaratan Umum
Instalasi Listrik atau PUIL 2000 (peraturan yang sesuai dan berlaku hingga saat
ini) resistans pembumian total seluruh sistem tidak boleh lebih dari 5 ohm.
Dijelaskan bahwa nilai sebesar 5 ohm merupakan nilai maksimal atau batas
tertinggi dari hasil resistan pembumian (grounding) yang masih bisa ditoleransi.
Nilai yang berada pada range 0 ohm - 5 ohm adalah nilai aman dari suatu instalasi
pembumian grounding. Nilai tersebut berlaku untuk seluruh sistem dan instalasi
yang terdapat pembumian (grounding) di dalamnya. Untuk daerah yang resistans
jenis tanahnya sangat tinggi, resistant pembumian total seluruh sistem boleh
mencapai 10 ohm.
3
Hasil riset yang dilaporkan oleh Martin, dkk., (2016), menunjukkan bahwa
pencampuran bentonit ke dalam tanah Oxisol Gedung Meneng dapat menurunkan
nilai tahanan pentanahan sampai 1,97%-60%, sedangkan untuk pencampuran
dengan bentonit yang teraktivasi menurunkan nilai tahanan pentanahan sebesar
79,97% - 85,24%.
Martin, dkk., (2016), juga melaporkan bahwa pencampuran gypsum
(CaSO4[24H2O]) juga dapat menurunkan tahanan jenis tanah Oxisol Gedung
Meneng walaupun tidak sebesar bentonit namun masih lebih rendah dari pada
kontrol. Perilaku dari kedua jenis campuran tersebut terhadap pemanasan sampai
120 oC menunjukkan bahwa campuran tanah-bentonit merupakan terendah dari
pada campuran tanah-gypsum dan yang tertinggi adalah kontrol.
Penambahan bentonit akan menghasilkan resistansi pembumian yang lebih baik.
Hasil riset Lim, dkk., (2013), membuktikan bahwa beton campuran bentonit 30%
secara konsisten menghasilkan nilai resistansi grounding terendah. Sunarto
(2013), menyatakan bahwa penambahan zat aditif bentonit di sekitar elektroda
pembumian sangat mempengaruhi nilai resistansi pembumian. Dimana dengan
penambahan zat aditif bentonit akan menghasilkan nilai resistansi pembumian
yang lebih baik. Penurunan nilai resistansi pembumian tersebut berkisar antara
6,96 ohm sampai 5,85 ohm atau berkurang antara 15 % - 90%. Perilaku ini
membawa pada imajinasi bahwa besarnya muatan listrik spesifik dari bahan
grounding sangat mempengaruhi oleh kemampuannya dalam memegang air. Hal
ini berarti kemampuan bahan grounding sangat mempengaruhi dalam
mengalirkan arus listrik atau menurunkan tahanan jenisnya.
4
Walaupun bentonit maupun gypsum cukup potensial tetapi secara ekonomis
nampaknya belum prospektif bila diaplikasikan secara masal untuk meningkatkan
keefektivan bahan grounding, apalagi untuk kawasan pemukiman sederhana pada
kalangan ekonomi menengah seperti perumnas maupun di rumah susun. Perlu
dicari bahan lain yang jauh lebih murah.
Pilihan yang potensial adalah limbah puing bangunan. Selain menjadi masalah
lingkungan di kawasan sub-urban, sebagaimana kandungan Ca dalam gibs, bahan
yang dikandung semen dari puing sangat kaya akan kapur (CaCO3) selain
kandungan mineral liat kaolinitnya.
Kapur dalam tanah dapat terurai menjadi kation Ca+2 dan anion (CO2)-2. Kation
dapat mengikat bagian negatif (dan anion tersebut posotif) molekul air yang
bermuatan dipolar. Demikian pula dengan kaolinit, mempunyai muatan spesifik
yang jauh lebih besar dari pada mineral liat yang dominan dalam tanah-tanah
tropika yaitu goetit, limonit dan hidragilit seperti yang lazimnya dalam tanah
Ultisol dan Oxisol yg meluas di wilayah tropika seperti Indonesia.
1.2 Rumusan Permasalahan
Belum ditemukan peneliti yang mempublikasikan hasil penelitiannya yang
mengkaji pengaruh puing bangunan terhadap penurun tahanan jenis tanah Oxisol.
Apalagi yang diperbandingkan keefektivannya dengan bahan lain seperti bentonit
dan kapur. Begitu pula belum diketahui perilaku terhadap dinamika dari
kelembaban atau kadar air dalam bahan grounding.
5
1.3 Tujuan Penelitian
1. Membandingkan pengaruh penurunan nilai resistansi antara pencampuran
tanah dengan bentonit, kapur dan puing limbah bangunan
2. Membandingkan perilaku nilai resistansi dari pencampuran bahan grounding
tersebut terhadap berbagai kadar air
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Akan ditemukan bahan yang lebih murah sebagai bahan pentanahan dengan
resistansi yang kecil.
2. Sebagai bahan informasi awal bagi peneliti yang sejenis pada masa yang akan
datang.
1.5 Batasan Penelitian
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Metode pentanahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode batang
pentanahan tunggal (single grounding rod) dengan panjang 0,2 meter.
2. Metode pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode
3 titik (three points method)
1.6 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan daerah tropis dengan tingkat pemanasan dan kelembaban
tinggi. Kondisi ini mengakibatkan potensi kejadian petir menjadi sangat tinggi
dibanding dengan daerah sub tropis (Tjasyono, 2005). Pemanasan yang tinggi
6
mengakibatkan penguapan yang tinggi pula sehingga dapat menumbuhkan
pertumbuhan awan yang lebih cepat. Terutama awan-awan yang rendah. Salah
satunya adalah pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb), awan cumulonimbus
(Cb) adalah jenis awan yang dapat menimbulkan petir.
Petir terjadi karena adanya perbedaan potensial yang tinggi pada awan. Awan
yang memiliki kelebihan elektron pada lapisan bawah permukaan awan akan
dibuang ke daratan untuk menyeimbangkan muatannya. Sedangkan di daratan
terdapat proton, pada proses pembuangan elektron itulah terjadinya petir. Petir
lebih sering kita jumpai pada musim hujan, karena pada saat musim hujan udara
mengandung kadar air yang lebih tinggi sehingga daya isolasinya akan turun dan
arus listrik lebih mudah mengalir. Kekuatan petir yang sangat luar biasa dan
karakteristiknya yang dapat menimbulkan efek-efek kerugian yang sangat besar
maka untuk itu dibutuhkan suatu cara sistem perlindungan yang tepat untuk
melindungi bangunan yang akan dilindungi beserta isi dan keadaan sekelilingnya.
Petir dianggap berbahaya karena memiliki daya hancur yang luar biasa. Untuk
menghindari bahaya petir diperlukan penangkal petir. Sehingga jika ada petir akan
menyambar penangkal kemudian di salurkan melalui kawat besar yang terbuat
dari tembaga atau kuningan menuju ke tanah. Penangkal petir biasa di sebut
dengan grounding / pentanahan atau pembumian. Menurut peraturan yang sesuai
dan berlaku saat ini PUIL 2000 (Persyaratan Umum Instalasi Listrik) Sistem
pembumian yang baik adalah sistem pembumian yang memiliki tahanan
pembumian yang kecil yaitu kurang atau sama dengan 5 (lima) ohm. Nilai 5 ohm
adalah nilai maksimal atau batas tertinggi dari hasil resistan pembumian
7
(grounding) yang masih bisa ditoleransi. Nilai yang berada pada range 0 – 5 ohm
adalah nilai aman dari suatu instalasi pembumian (grounding). Nilai tersebut
berlaku untuk seluruh sistem dan instalasi yang terdapat pembumian (grounding)
di dalamnya.
Tanah tropika didominasi dengan mineral liat, yang memiliki nilai Kapasitas
Tukar Kation (KTK) yang rendah sehingga memiliki daya jerap yang rendah pula.
Hal ini menjadi penghambat terhadap daya hantar listrik pada elektroda
pentanahan yang ditanam, dan dapat mengakibatkan nilai resistansi yang besar.
Untuk menurunkan nilai resistansi yang besar tersebut diperlukan perlakuan
khusus pada media yang akan digunakan sebagai bahan pentanahan tersebut, yaitu
dengan cara mencampurnya dengan bahan lain yang dapat menurunkan nilai
resintansi tanahnya.
Pada pemasangan grounding diperlukan media pentanahan. Biasa yang digunakan
adalah tanah yang dicampur oleh bentonit. Bentonit telah banyak diaplikasikan
dalam usaha perbaikan tahanan pentanahan namun harga bentonit cukup mahal,
sehingga kita perlu mencari solusi pengganti bentonit atau bahan sebagai
campuran bentonit sehingga bisa menekan biaya yang akan dikeluarkan.
Alternatif yang dimungkinkan adalah menggunakan bahan/puing/limbah yang
sudah tidak terpakai lagi. Misalnya kapur dan puing bongkaran bangunan tembok.
Puing-puing tersebut selama ini kurang dimanfaatkan dan terbuang begitu saja
pada saat orang membongkar/merenovasi suatu bangunan, dengan memanfaatkan
bahan-bahan tersebut kita tidak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan karena
biasanya bahan-bahan tersebut dibuang pemiliknya begitu saja. Selain itu juga
8
dengan pemanfaatan puing tersebut kita sudah membantu mengurangi
pencemaran lingkungan. Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.
Potensi Petir Tinggi
9
1.7 Hipotesis
1. Terdapat perbedaan penurunan nilai resistansi antara pencampuran tanah
dengan limbah puing bangunan, tanah dengan bentonit, dan tanah dengan
kapur.
2. Berbedaan kadar air mempengaruhi perilaku nilai resistansi dari pencampuran
tanah dengan limbah puing bangunan, tanah dengan bentonit, dan tanah dengan
kapur.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fenomena Petir dan Penyebarannya
Petir merupakan sebuah fenomena alam yang sulit untuk diprediksi kapan waktu
akan terjadinya petir. Menurut Tjasyono (2005) dalam Asyrofi (2016), petir
didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan
bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada saat awan Cumulunimbus (Cb).
Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer bumi yang tidak dapat
dicegah (Pabla, 1981; Hidayat, 1991 dalam Septiadi , dkk ( 2011), yang terjadi
akibat lepasnya muatan listrik baik positif maupun negatif yang terdapat dalam
awan. Menurut Pabla (1981) dan Price, C (2008), dalam Septiadi, dkk., (2011),
berdasarkan tempatnya, pelepasan muatan listrik dapat terjadi di dalam satu awan
(Inter Cloud, IC), antara awan dengan awan (Cloud to Cloud, CC) ataupun dari
awan ke Bumi (Cloud to Ground, CG).
Sambaran petir ke bumi menurut ion yang dilepaskan dibedakan menjadi
sambaran CG positive dan CG negative. Dimana CG positive berarti terjadi
pelepasan kelebihan ion positive awan, dan CG negative berarti terjadi pelepasan
kelebihan ion negative awan ke bumi. Petir jenis CG inilah yang paling berbahaya
karena memberikan efek langsung terhadap kehidupan makhluk hidup. Sambaran
petir CG dapat langsung mengenai manusia, hewan maupun tumbuhan di
11
permukaan bumi, selain itu juga dapat mengenai saluran-saluran listrik, tower,
dan dapat menggangu langsung pada barang barang elektronik. (Jihad, dkk.,
2014).
Terdapat beberapa definisi dari petir, antara lain:
1. Fenomena alam yang merupakan Pelepasan muatan elektrostatis yang
berasal dari badai guntur
2. Pelepasan muatan ini disertai dengan pancaran cahaya dan radiasi
elektromagnetik lainnya
3. Arus listrik yang melewati saluran pelepasan muatan tadi dengan cepat
memanaskan udara dan berkembang sebagai plasmayang menimbulkan
gelombang bunyi yang bergetar (guntur) di atmosfir.
Penyebab terjadinya petir adalah perbedaan potensial antara awan dan bumi.
Proses terjadinya petir kira-kira seperti ini, awan itu selalu bergerak terus menerus
dan selama pergerakannya akan terus berinteraksi dengan awan lainnya sehingga
menyebabkan muatan negatif dan positif pada awan memisah. Muatan negatif
akan menempati salah satu sisi atas atau bawah dan muatan positif di sisi yang
lain. Oleh karena itu lah awan bisa mengandung muatan. Sedangkan di saat yang
bersamaan bumi itu selalu netral, sehingga terjadi perbedaan potensial antara
awan dan bumi.
2.1.1 Proses Terjadinya Petir
Menurut BMKG (2012). proses terjadinya petir tidak terlepas dari keadaan cuaca
atmosfer. Unsur-unsur cuaca yang berkaitan erat dengan petir adalah awan. Jadi,
12
cuaca yang dapat menyebabkan terjadinya petir adalah apabila cuaca dalam
kondisi akibat dipengaruhi oleh kondisi cuaca sebagai berikut
a. Udara lembab sampai mencapai ketinggian lebih dari 3 kilometer
b. Adanya matahari yang memanasi permukaan bumi/tanah dan udara di
atasnya.
c. Atmosfer tidak stabil secara konvektif atau ada gaya apung thermal yang
bernilai positif.
Petir terjadi karena ada perbedaan potensial antara awan dan bumi. Proses
terjadinya pemisahan muatan pada awan karena dia bergerak terus menerus secara
teratur, dan selama pergerakannya dia akan berinteraksi dengan awan lainnya
sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi atas atau bawah,
sedangkan muatan positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Jika perbedaan
potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan
muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai
kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron
adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara
inilah terjadi ledakan suara. Petir lebih sering terjadi pada musim hujan, karena
pada saat terseut udara mengandung kadar air yang lebih tinggi sehingga daya
isolasinya turun dan arus lebih mudah mengalir. Karena ada awan bermuatan
negatif dan awan bermuatan positif, maka petir juga bisa terjadi antar awan yang
berbeda muatan.(Gassing, 2012).
Indonesia pada umumnya menerima penyinaran matahari dalam jumlah yang
sangat besar karena terletak di daerah Equator dan Tropis, dari segi geografis ini
13
hampir 70% merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan sehingga terjadi
penguapan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan Indonesia
merupakan daerah konvektif yang aktif yang pada akhirnya banyak terbentuk
awan petir.
Dari keilmuan meteorologi awan petir terbentuk dalam atmosfer yang
mengandung udara dingin dan padat di atas udara panas dan lembab. Pergerakan
udara yang menyebar ke segala arah bergerak di lapisan atmosfer bagian bawah,
Pergerakan udara panas yang mengandung uap air yang bergerak secara vertical
tersebut naik dengan cepat membentuk awan dalam kondisi temperatur yang
rendah (pembentukan melalui proses kondensasi). Kondisi atmosfer yang
demikian terjadi jika suatu masa udara dingin melewati daerah udara panas atau
jika bumi mendapat panas yang cukup tinggi dari matahari dan memindahkan
panasnya ke udara ke lapisan atmosfer bawah. Pada saat awan-awan yang
terbentuk tadi bergerak terus ke atas (bergerak vertical) maka awan ini akan terus
terkondensasi sehingga pada sampai titik beku tertentu awan-awan yang terdiri
dari inti air ini akan menjadi butir-butir es. Butir-butir ini akan diinduksi oleh
medan-medan listrik yang ada di atmosfer bumi sehingga terjadi polarisasi
(pengkutuban), dimana di bagian atas awan bermuatan positif (+) dan bagian
bawah awan bermuatan negatif (-).
Dalam awan petir terjadi pusaran angin, air dan es di bawah pengaruh gravitasi
bumi dan gradien temperatur. Pada kondisi ini terjadilah proses pemindahan
muatan listrik yang disebut sebagai petir. Ketika akumulasi muatan listrik dalam
awan tersebut telah membesar dan stabil, lompatan listrik (eletric discharge) yang
14
terjadi pun akan merambah massa ke medan listrik lainnya, dalam hal ini adalah
bumi. Besar medan listrik minimal yang memungkinkan terpicunya petir ini
adalah sekitar 1.000.000 volt per meter (Volt/m).
Kebanyakan petir memiliki fase waktu, antara lain
a. Fase waktu pertumbuhan, sekitar 10 – 20 menit
b. Fase waktu puncak, sekitar 15 – 30 menit
c. Fase waktu menghilang, sekitar 30 menit.
Fenomena pada saat terjadinya pelepasan muatan listrik atau yang disebut petir
dapat terjadi antara
a. Pelepasan muatan listrik awan itu sendiri (Intra Cloud Discharge)
b. Pelepasan muatan listrik dari awan ke awan (Cloud to Cloud Discharge)
c. Pelepasan muatan listrik dari awan ke tanah (Cloud to Ground Discharge)
d. Pelepasan muatan listrik dari awan dengan udara sekitarnya (Air
Discharge)
Dari ke 4 fenomena pelepasan muatan tersebut di atas, yang perlu kita waspadai
terhadap bahaya akan petir yang akan menimbulkan kerusakan pada gedung dan
bangunan beserta peralatan peralatan elektronika adalah fenomena pelepasan
muatan listrik yang terjadi dari awan ke tanah atau yang disebut sebagai Cloud to
Ground Discharge.
Pelepasan muatan listrik secara total disebut kilat (Flash) dengan durasi selama
0,2 detik, sedangkan pelepasan muatan dalam bagian kecil disebut sebagai
sambaran (Stroke) dalam order milidetik. Biasanya terjadi 3 sampai dengan 4
detik sambaran/kilat dengan interval 40 milidetik.
15
2.1.2 Tipe Petir
Tipe petir yang paling umum adalah
1. Petir dari awan ke tanah (CG). Petir yang paling berbahaya dan merusak.
Kebanyakan berasal dari pusat muatan yang lebih rendah dan mengalirkan
muatan negatif ke tanah, walaupun kadang-kadang bermuatan positif (+)
terutama pada musim dingin.
2. Petir dalam awan (IC). Tipe yang paling umum terjadi antara pusat muatan
yang berlawanan pada awan yang sama. Biasanya kelihatan seperti cahaya
yang menghambur secara kelap-kelip, kadang-kadang kilat keluar dari batas
awan dan seperti saluran yang bercahaya yang terlihat beberapa mil seperti
tipe CG
3. Petir awan ke awan (CC). Petir dalam awan terjadi antara pusat-pusat muatan
pada awan yang berbeda. Pelepasan muatan terjadi pada udara cerah antara
awan tersebut.
4. Petir awan ke udara (CA). Petir awan ke udara biasanya terjadi jika udara di
sekitar awan (+) berinteraksi dengan udara yang bermuatan (-). Jika ini terjadi
pada awan bagian bawah maka merupakan kombinasi dengan petir tipe CG.
Petir CA tampak seperti jari-jari yang berasal dari petir CG.
2.2 Petir Sebagai Fenomena Bencana Lingkungan
Petir merupakan salah satu fenomena cuaca yang sering terjadi di wilayah
Indonesia. Indonesia pernah tercatat pada Quines Book of Record pada tahun 1988
karena jumlah petir di daerah Cibinong Bogor tercatat 322 kejadian/tahun,
(Kamin, 2017).
16
Pada masyarakat modern petir menjadi permasalahan yang sangat penting karena
petir memiliki kemampuan untuk mengganggu dan bahkan merusak infrastruktur
publik maupun pribadi seperti sistem tenaga listrik (pembangkitan, transmisi dan
distribusi), sistem telekomunikasi, dan peralatan elektronik. Biasanya petir banyak
terjadi pada saat akan hujan atau pada saat hujan sudah turun. Namun bukan
berarti setiap hujan dan mendung akan selalu disertai petir.
Petir merupakan simbol dari listrik alam yang dapat menimbulkan bencana bagi di
kehidupan manusia. Selain menyebabkan kerugian secara material petir seringkali
merenggut korban jiwa. Definisi bencana menurut Undang- Undang No.24 tahun
2007 pasal 1 ayat 1 : Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara lain
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
langsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit
17
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
2.2.1 Klasifikasi Bencana Alam
Bencana alam jika ditinjau dari penyebabnya dapat dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:bencana alam geologis, klimatologis, dan ekstra-terestrial (Tabel 1).
Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari
dalam bumi. Sedangkan bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang
disebabkan oleh perubahan iklim, suhu atau cuaca. Lain halnya dengan bencana
alam ektra-terestrial, yaitu bencana alam yang disebabkan oleh gaya/energi dari
luar bumi, bencana alam geologis dan klimatologis lebih sering berdampak
terhadap manusia.(Wijaya, dkk., 2007)
Tabel 1. Jenis Bencana Alam
Jenis penyebab bencana alam
Beberapa contoh kejadiannya
Bencana alam geologis
Gempa bumi, tsunami, letusan gunung
berapi, longsor/gerakan tanah,amblesan
tanah, seice
Bencana alam klimatologis
Banjir, banjir bandang, badai, angin, angin
puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan
(bukan oleh manusia)
Bencana alam ektra-terestrial
Impact/hantaman meteor atau benda dari
angkasa luar
Sumber : Wijaya, (2007).
18
Petir termasuk dalam bencana klimatologis. Suatu kejadian dikatakan bencana
apabila sudah menimbulkan dampak atau kerugian bagi manusia. Besarnya
kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau
menghindari bencana dan daya tahan untuk menghadapi bencana tersebut. Suatu
bencana dapat dicegah atau dihindari atau paling tidak dikurangi dampak
resikonya tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari
bencana tersebut, potensi kerugian juga tergantung dari bentuk bahaya itu sendiri.
Daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki
kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberikan
dampak yang besar/luas jika memiliki ketahanan dalam menghadapi bencana
(disaster resilience).
Indonesia memiliki potensi kerawanan petir yang tinggi. Menurut Husni (2006),
Indonesia memiliki 200 hari guruh, jika dibandingkan dengan USA 100 hari,
Brasil 140 hari dan Afrika 60 hari. Ini menandakan bahwa Indonesia memiliki
kerawanan yang cukup tinggi terhadap bahaya akibat sambaran petir. Hari guruh
adalah hari dimana guruh terdengar minimal satu kali dalam satu hari. Jumlah hari
guruh yang terjadi pada suatu daerah dalam satu tahun disebut Isokreaunic Level.
Kerapatan sambaran petir ke tanah (ground flash density) adalah jumlah sambaran
petir ke tanah yang terjadi dalam satu tahun pada suatu wilayah yang luasnya
dalam satuan km.
Kerapatan petir di wilayah Indonesia bervariasi antara 5 sampai dengan 15
sambaran petir per kilometer persegi per tahun (Haryono, 2013). Data petir masih
terbilang baru dalam meteorologi, beberapa tahun belakangan ini penelitian
19
mengenai petir dan kaitannya dengan kondisi atmosfer serta hujan masih terus
dikembangkan (Tomas, dkk., 2004).
Untuk mengetahui banyaknya petir yang terjadi di Indonesia, BMKG sebagai
instansi resmi yang ditunjuk oleh pemerintah melakukan pengamatan petir yang
dilakukan secara manual dan digital. Pengamatan petir dengan manual yaitu
mencatat setiap ada tidaknya kejadian petir dalam satu hari (hari guruh)/Thunder
Storm (TS) yang kemudian dicatat kedalam Sandi Synop. Pengamatan petir
dengan Digital menggunakan Lightning Detector. Untuk saat ini ada 55 titik
pengamatan petir di BMKG yang dilakukan secara digital/Lightning Detector
yang tersebar di seluruh Indonesia (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi stasiun monitoring petir BMKG (55 titik).
2.2.2 Bahaya Petir
1. Bahaya petir pada Manusia
a. Jika seseorang disambar petir, 50 % kemungkinan akan fatal.
b. Biasanya petir menyambar kepala atau salah satu telinga. Setelah itu petir
menyerang kulit tubuh sedalam beberapa cm sehingga terbakar.
20
c. Orang bisa mendapat serangan jantung, buta, tuli sementara dan sarafnya
rusak permanen.
2. Bahaya Petir Pada Pohon
a. Jika pohon tersambar petir maka cairan dalam batang pohon akan kering
seketika. Arus petir mengalir di bawah kulit pohon ke tanah sehingga
pohon tercabik dan menjadi patah.
b. Tidak aman berlindung di bawah pohon selama terjadi petir.
3. Bahaya Petir Pada Bangunan
a. Bangunan tersambar petir, arus listrik akan mencari jalan yang bersifat
konduktif terutama di sekitar sisi luar atau tepi luar bangunan, misalnya
antena pipa saluran air dan pembuangan.
b. Seseorang yang sedang mandi, memakai telpon, cuci tangan atau
memegang pipa logam secara langsung maupun tidak kemungkinan dapat
tersambar petir.
c. Peralatan dari listrik bisa rusak oleh arus puncak yang besar atau oleh
gelombang getar elektromagnetik.
d. Bangunan tersambar petir, arus listrik akan mencari jalan yang bersifat
konduktif terutama di sekitar sisi luar atau tepi luar bangunan, misalnya
antena pipa saluran air dan pembuangan.
e. Seseorang yang sedang mandi, memakai telpon, cuci tangan atau
memegang pipa logam secara langsung maupun tidak kemungkinan dapat
tersambar petir.
21
f. Peralatan dari listrik bisa rusak oleh arus puncak yang besar atau oleh
gelombang getar elektromagnetik.
2.2.3 Aktivitas Yang Rawan Terhadap Petir
a. Bekerja atau bermain di lapangan terbuka
b. Naik boat, memancing atau berenang
c. Bekerja di sawah atau jalan
d. Barmain Golf
e. Berkomunikasi menggunakan telpon
f. Memperbaiki peralatan Listrik
2.3 Teknologi Penangkalan dan Upaya Peredaman Bencana Petir
Letak Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa, menjadikan Indonesia beriklim
tropis. Sehingga Indonesia dikenal sebagai negara banyak hujan, banyak tumbuh
awan Comulonimbus (Cb) dan banyak petir dan thunderstorm. Sebagai salah satu
wilayah yang memiliki Intensitas Hari Guruh (Thunder Storm Days) rata-rata per
tahun yang sangat tinggi, hal ini memungkinkan banyak terjadinya bahaya yang
diakibatkan oleh sambaran petir, sehingga memungkinkan banyak terjadi
kerusakan yang ditimbulkan pada harta benda dan kematian makhluk hidup yang
ada di sekitarnya akibat sambaran petir.
Masyarakat modern saat ini banyak mendirikan bangunan yang tinggi, baik itu
untuk pemukiman maupun bangunan menara untuk jaringan telekomunikasi,
sehingga petir merupakan kendala yang sangat serius karena kemampuannya
untuk merusak.
22
Petir merupakan suatu fenomena alam berupa gelombang elektromagnetik dengan
arus dan tegangan yang sangat tinggi yang bermula dari ionisasi hingga loncatan
muatan dari awan ke tanah atau sebaliknya. Akibat dari sifat petir yang selalu
melepaskan muatan dari awan ke benda yang terdekat dengan awan,
menyebabkan suatu obyek dengan ketinggian yang besar akan memiliki
probabilitas yang besar pula disambar oleh petir.
Timbulnya kerusakan akibat sambaran petir, maka munculah berbagai usaha
untuk mengatasi bahaya yang diakibatkan sambaran petir. Sistem proteksi yang
harus dilakukan bertujuan untuk melindungi bangunan dari sambaran langsung
maupun sambaran tidak langsung. Maka dengan konsep perlindungan di atas
sistem proteksi petir secara umum dibagi menjadi 2 yaitu antara lain (Ugahari,
2007).
a. Sistem Proteksi Eksternal
Sistem ini berfungsi untuk melindungi bangunan beserta isinya dari
sambaran langsung petir yaitu menyalihkan kemudian menangkap
sambaran petir tersebut ke daerah yang lebih aman dan menyalurkan arus
petir ke tanah.
b. Sistem Proteksi Internal
Sistem ini berfungsi untuk melindungi bangunan dari sambaran tidak
langsung petir yaitu induksi medan magnetik yang ditimbulkan arus petir
yang akan ditanahkan.
Sambaran petir bisa merusakkan peralatan listrik dan elektronik di rumah tangga.
Seperti televisi, radio, telepon rumah, komputer, dan sebagainya. Kerusakan
23
tersebut dikarenakan adanya gelombang berjalan dengan amplitudo transien arus
dan tegangan yang tinggi dari sambaran petir. Titik sambaran petir bisa dari
berbagai titik kemungkinan. Bisa berupa sambaran langsung maupun sambaran
tak langsung, (Maliki, 2008).
Ancaman sambaran petir pada peralatan perlu diwaspadai dan upaya perlindungan
terhadap instalasi, bangunan yang berisikan peralatan elektronik seperti pada
industri, bank, instalasi penting, militer, bahkan perorangan perlu ditingkatkan.
Sambaran petir pada tempat yang jauh + 1,5 km sudah dapat merusak sistem
elektronika dan peralatan, seperti instalasi komputer, telekomunikasi kantor dan
instrumentasi serta peralatan elektornik lainnya (Ariesta, dkk,. 2015). Oleh karena
kerugian-kerugian yang ditimbulkan sangat besar, maka diperlukanlah suatu
sistem proteksi petir yang dapat melindungi semua bagian dari suatu bangunan,
termasuk manusia dan peralatanyang ada di dalamnya terhadap bahaya dan
kerusakan akibat sambaran petir (Sukmawidjaja, dkk,. 2015).
Salah satu usaha awal untuk meminimalkan kerugian akibat petir adalah
pemasangan sistem pengaman pada bangunan-bangunan tersebut. Sistem
pengamanan itu adalah salah satunya sistem pentanahan eksternal/penangkal petir
yang andal dan memenuhi persyaratan yang berlaku karena pengamanan suatu
bangunan atau objek terhadap sambaran petir pada hakekatnya adalah penyediaan
suatu sistim yang direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, sehingga jika
terjadi sambaran maka sarana inilah yang akan menyalurkan arus petir ke dalam
tanah dengan aman tanpa menimbulkan bahaya bagi manusia atau benda
berbahaya lainnya yang berada di dalam, di luar atau di sekitar bangunan.
24
2.4 Technologi Grounding
Pembumian (Grounding) adalah menanam satu/beberapa elektroda ke dalam
tanah dengan cara tertentu untuk mendapatkan tahanan pembumian yang
diinginkan. Elektroda pembumian tersebut membuat kontak langsung dengan
bumi. Penghantar bumi yang tidak berisolasi yang ditanam dalam bumi dianggap
sebagai bagian dari elektroda bumi. Sebagai bahan elektroda, digunakan tembaga
atau baja yang di galvanisasi atau dilapisi tembaga sepanjang kondisi setempat
tidak mengharuskan memakai bahan lain (misalnya pada perusahaan kimia,
(Saodah, dkk,. 2015).
Grounding adalah sistem pentahanan yang tujuannya adalah menangani beda
potensial listrik sehingga jika ada permalahan yang terjadi aliran listrik tersebut
akan langsung di buang ke dalam tanah / ke bumi. Ground atau Tanah berguna
untuk menetralisir daya yang disebabkan oleh arus daya yang kurang atau
komponen alat yang tidak standar. Fungsi teknologi grounding adalah untuk
mengontrol kekuatan arus listrik liar semacam aliran petir dan sebagainya yang
bisa menyebabkan kerusakan alat elektronik dan juga menyetrum manusia. Jika
teknologi grounding ini kita terapkan dirumah maka ancaman semacam itu dapat
diminimalisir, karena Teknologi ini mengalirkan listrik ke dalam tanah yang kita
ketahui bahwa tanah bersifat non konduktor atau tidak menghantarkan arus listrik.
Selain itu sisi positive dari teknologi grounding ini adalah bisa mengamankan
peralatan elektronik di rumah kita macam TV, komputer, kulkas, dan lain-lain.
Sistem pembumian merupakan salah satu faktor penting dalam usaha pengamanan
(perlindungan) sistem tenaga listrik saat terjadi gangguan yang disebabkan oleh
25
arus lebih dan tegangan lebih. Pada saat terjadi gangguan di sistem tenaga listrik,
adanya sistem pembumian menyebabkan arus gangguan dapat cepat dialirkan ke
dalam tanah dan disebarkan kesegala arah. Arus gangguan ini menimbulkan
gradien tegangan antara peralatan dengan peralatan, peralatan dengan tanah, serta
pada permukaan tanah itu sendiri. Besarnya gradien tegangan pada permukaan
tanah itu tergantung pada resistansi jenis tanah. Salah satu usaha untuk
memperkecil gradient tegangan permukaan tanah yaitu dengan suatu elektroda
pembumian yang ditanam ke dalam tanah (Rajagukguk, 2012).
Syarat utama sebuah grounding itu baik adalah tahanan grounding itu sama
dengan 0 Ohm ini adalah grounding yang ideal, tetapi kenyataannya boleh sampai
5 Ohm. Jadi bila terjadi hubungan pendek atau short circuit suatu peralatan listrik,
maka dengan cepat kebocoran itu dibuang ke bumi atau grounding. Bila
grounding tidak bagus, maka peralatan bisa terbakar dan bisa membahayakan
keselamatan manusia.(Abdurahman, 2013).
Fungsi Grounding
1. Untuk keselamatan, grounding berfungsi sebagai penghantar arus listrik
langsung ke bumi atau tanah saat terjadi kebocoran isolasi atau percikan api
pada konsleting, misalnya kabel grounding yang terpasang pada badan/sasis
alat elektronik seperti setrika listrik akan mencegah kita tersengat listrik saat
rangkaian di dalam setrika bocor dan menempel ke badan setrika.
2. Dalam instalasi penangkal petir, system grounding berfungsi sebagai
penghantar arus listrik yang besar langsung ke bumi. meski sifatnya sama,
26
namun pemasangan kabel grounding untuk instalasi rumah dan grounding
untuk pernangkal petir pemasangannya harus terpisah.
3. Sebagai proteksi peralatan elektronik atau instrumentasi sehingga dapat
mencegah kerusakan akibat adanya bocor tegangan.
Syarat- syarat sistem pentanahan yang efektif
1. Tahanan pentanahan harus memenuhi syarat yang di inginkan untuk suatu
keperluan pemakaian
2. Elektroda yang ditanam dalam tanah harus bahan konduktor yang baik, tahan
korosi dan cukup kuat
3. Elektroda harus mempunyai kontak yang baik dengan tanah sekelilingnya.
4. Tahanan pentanahan harus baik untuk berbagai musim dalam setahun.
5. Biaya pemasangan serendah mungkin.
2.5 Jenis, Karakter dan Penyebaran Tanah Tropik
Tanah merupakan benda alam yang tersusun dari padatan (mineral dan bahan
organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan dan ruang.
Kebanyakan tanah di Indonesia bersifat asam karena curah hujan yang tinggi
sehingga proses pencucian garam-garaman intensif.
Tanah di kawasan tropis mempunyai variasi yang cukup tinggi baik sifat fisika
maupun sifat kimianya. Variasi tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
variasi suhu dan curah hujan dikawasan tropis. Bahkan dapat disebutkan bahwa
keragaman tanah didaerah tropis sebanding dengan keragaman kondisi iklimnya,
baik lokal maupun regional. Keragaman sifat kimia dan fisika tanah dikawasan
tropis tersebut dapat dinyatakan sebagai sebaran kesuburan dan produktifitas
27
tanah dari ekstrim sangat subur dan produktif hingga ekstrim infertile. Meskipun
demikian jika ingin dibuat pernyataan umum tentang tanah kawasan tropis,
terdapat kesamaan pada warnanya yaitu merah terang atau kuning, umumnya
mempunyai tekstur lempung dan berliat, juga ditemukan tekstur berpasir pada
lapisan-lapisan atas, kandungan basa relative rendah, fraksi liatnya cukup kaya
dengan alumunium dan silica. Bagian terbesar tanah tropis merupakan tanah liat
kuning atau merah yang sangat intensif karena pencucian (leaching) dan sangat
dipengaruhi oleh perubahan iklim serta mempunyai kandungan hara yang rendah.
Dalam beberapa system klasifikasi tanah yang umum, tanah tersebut digolongkan
sebagai oksisol dan ultisol yang meliputi sekitar 50% tanah tropis (Sanchez,
1977).
Hampir tiga puluh persen tanah di Indonesia, terutama di Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Papua dan sebagian Jawa, didominasi oleh Ultisol dan Oxisol (Prasetyo
dan Suriadikarta, 2006). Tanah-tanah tersebut dicirikan oleh kapasitas pertukaran
kation rendah, kejenuhan basa rendah, kelarutan aluminium yang tinggi, pH
rendah dan kandungan bahan organik rendah (Adiningsih, dkk,. 1988, dalam
Wahyudi, 2009).
Oxisol adalah tanah yang kaya akan besi dan aluminium oksida. Tanah ini banyak
tersebar di daerah tropika basah dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu solum
yang dangkal, kurang dari 1 meter, kaya akan seskuioksida yang telah mengalami
pelapukan lanjut, adanya horizon oksik pada kedalaman kurang dari 1,5 m,
susunan horison A, B, dan C dengan horizon B spesifik berwarna merah kuning
sampai kuning coklat dan bertekstur paling halus liat, mengandung konkresi
28
Fe/Mn lapisan kuarsa (Arief, 2013). Golongan tanah ini diklasifikasikan dengan
elemen formatifnya ult, singkatan dari ultimus (terakhir). Merupakan tanah yang
telah mengalami pelapukan paling hebat, ditandai dengan adanya pengaruh
pencucian. Tanah ultisols berkembang pada daerah iklim panas tropika. Memiliki
horizon argila (liat putih) yang mempunyai liat dengan kejenuhan alkalin lebih
rendah dari 35%. Horizon permukaannya berwarna merah sampai kuning,
menunjukkan terdapatnya akumulasi oksida besi yang bebas. Ultisols terbentuk
pada region permukaan lahan tua, umumnya di bawah vegetasi hutan, (Sumarno,
2014).
Tanah oxisol memiliki kandungan liat yang tinggi tetapi tidak aktif sehingga
kapasitas tukar kation (KTK) nya rendah. Besaran nilai KTKnya untuk tanah
oxisol kurang dari 16 me/100g liat. Tanah oxisol ini didominasi oleh mineral-
mineral dengan aktivitas yang rendah, seperti kwarsa, kaolin, unsur hara rendah,
mengandung oksida-oksida besi dan oksida Al yang tinggi. Sedangkan tanah
Ultisol adalah tanah asam dengan lapisan yang dalam, terbentuk di hutan dan
terdiri dari tanah liat. Ciri-ciri tanah ini yaitu, kandungan bahan organik,
kenjenuhan basa dan pH rendah (pH 4,2-4,8), terjadi proses podsolisasi: proses
pecucian bahan organik dan seskuioksida dimana terjadi penimbunan Fe dan Al
dan Si tercuci, bahan induk seringkali berbecak kuning, merah dan kelabu tak
begitu dalam tersusun atas batuan bersilika, batu lapis, batu pasir, dan batu liat,
terbentuk dalam daerah iklim seperti Latosol, perbedaan karena bahan induk :
Latosol terutama berasal dari batuan volkanik basa dan intermediate, sedang tanah
Ultisol berasal dari batuan beku dan tuff. Tanah yang paling luas penyebarannya
29
di Indonesia: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan sebagian Jawa,
(Arief, 2013).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran
luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia
(Subagyo, dkk,. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha),
diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi
(4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini
dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung (Prasetyo
dan Suriadikarta,. 2006).
Golongan tanah ini diklasifikasikan dengan elemen formatifnya ult, singkatan dari
ultimus (terakhir). Merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan paling
hebat, ditandai dengan adanya pengaruh pencucian. Tanah ultisols berkembang
pada daerah iklim panas tropika. Memiliki horizon argila (liat putih) yang
mempunyai liat dengan kejenuhan alkalin lebih rendah dari 35%. Horizon
permukaannya berwarna merah sampai kuning, menunjukkan terdapatnya
akumulasi oksida besi yang bebas. Ultisols terbentuk pada region permukaan
lahan tua, umumnya di bawah vegetasi hutan (Sumarno, 2014).
Tanah Ultisol tingkat kemasamannya tinggi, dan mineral mudah lapuk tinggal
dikit (banyak kwarsa SiO2) Kandungan liat yang tinggi tetapi tidak aktif serta
kadar Al yang tinggi, sehingga menyebabkan tanah memiliki Kapasitas Tukar
Kation (KTK) yang rendah, yaitu kurang dari 16 me/100g liat.
Sifat fisika tanah Ultisols dan Oxisols umumnya relatif baik yang ditandai oleh
berat jenis tanah yang rendah (BD < 1,2 g cm-2), rata-rata total pori relatif tinggi
30
(63% pada permukaan tanah (surface soil) dan 58% pada lapisan bawah
permukaan tanah (subsoil)), distribusi ukuran pori tinggi, kestabilan agregat tanah
baik dan ketahanan penetrasi tanah rendah (Arya, dkk., 1992 dalam Irawan.,
2015).
2.6 Jenis Mineral Liat Penyusun Tanah Tropika
Mineral liat merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting, karena
pada dasarnya, mineral liat dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah dan
sebagai sentral dalam proses reaksi pertukaran ion di dalam tanah. Walaupun
mineral liat memiliki ukuran yang sangat kecil, ada mineral yang memiliki
kemampuan mengembang mengerut, dan kapasitas pertukaran kation (KTK)
bervariasi dan konsistensi tanah dipengaruhi oleh mineral liat (Matondang, dkk,.
2014).
Mineral merupakan bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli,
mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu dalam bentuk
geometrik. Sifat mineral yang perlu diperhatikan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, antara lain: susunan kimia, struktur kristal, textur kristal, dan
kepekaan terhadap proses dekomposisi. Mineral dapat diketahui jenisnya
berdasarkan susunan (composition), kristalisasi, bidang belahan (cleavage),
pecahan (fracture), sifat dalam (tenacity), derajat keras (hardness), berat jenis
(specific gravity), sikap tembus cahaya (diphenity), kilap (luster), warna (color),
dan cerat (streak). Mineral lempung merupakan hasil dekomposisi dari mineral
silikat primer. Mineral lempung terdapat dalam tanah liat dalam bentuk butir kecil
berukuran < 0,002 mm. Aphin (2012), lempung atau tanah liat ialah kata umum
31
untuk partikel mineral yang mengandung unsur silika yang memiliki diameter
kurang dari 4 mikrometer. Lempung mengandung leburan silika dan aluminium
dengan ukuran partikel yang halus. Lempung terbentuk dari proses pelapukan
batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas
bumi.
Terzaghi (1987), Tanah liat atau lempung mempunyai sifat permeabilitas sangat
rendah dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Lempung atau tanah liat adalah
suatu silika hidraaluminium yang kompleks dengan rumus kimia
Al2O3.nSiO2.kH2O dimana n dan k merupakan nilai numerik molekul yang terikat
dan bervariasi untuk masa yang sama.
Jenis mineral lempung yang utama ialah
– Kaolinit 1:1 Al2 (Si2O5 (H2O))
– Illit 2:1 KAl2 (AlSi3O10 (OH)2)
– Smektit 2:2 (AlMg)4 Si8 O20 (OH)10)
– Klorit 2:1:1 (MgFe)6-x (AlFe)x Si4-x Alx (OH)10
Hardiyatmo (1999), dalam Kosim (2016), sifat-sifat yang dimiliki tanah liat atau
lempung adalah sebagai berikut
a. Ukuran butir halus kurang dari 0,002 mm
b. Permeabilitas rendah
c. Bersifat sangat kohesif
d. Kadar kembang susut yang tinggi
e. Proses konsolidasi lambat
32
Bowles (1989), mineral-mineral pada tanah lempung umumnya memiliki sifat-
sifat
a. Hidrasi
Partikel mineral lempung biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung
hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air
yang disebut sebagai air teradsorbsi. Lapisan ini pada umumnya mempunyai tebal
dua molekul karena itu disebut sebagai lapisan difusi ganda atau lapisan ganda.
Lapisan difusi ganda adalah lapisan yang dapat menarik molekul air atau kation
disekitarnya. Lapisan ini akan hilang pada temperatur yang lebih tinggi dari 6000C
sampai 10000C dan akan mengurangi plasitisitas alamiah, tetapi sebagian air juga
dapat hilang cukup dengan pengeringan udara saja.
b. Aktivitas.
Skempton (1953), dalam Bowles (1989), mendefinisikan aktivitas tanah lempung
sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase butiran
yang lebih kecil dari 0,002 mm. Hasil pengujian index properties dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tanah ekspansif.
c. Flokulasi dan Dispersi.
Beberapa partikel yang tertarik akan membentuk flok (flock) yang bergerak secara
acak atau struktur yang berukuran lebih besar akan turun dari larutan itu dengan
cepatnya membentuk sedimen. Flokulasi adalah peristiwa penggumpalan partikel
lempung dibawah larutan air akibat dari mineral lempung umumnya mempunyai
pH > 7. Flokulasi larutan dapat dinetralisir dengan menambahkan bahan-bahan
yang mengandung asam (ion H+), sedangkan penambahan bahan-bahan alkali
33
akan mempercepat flokulasi. Untuk menghindari flokulasi larutan air dapat
ditambahkan zat asam.
d. Pengaruh zat cair
Fase air yang berada dibawah struktur tanah lempung adalah air yang tidak murni
secara kimiawi. Pemakaian air suling yang relatif bebas ion dapat membuat hasil
yang cukup berbeda dari apa yang didapatkan dari tanah di lapangan dengan air
yang telah terkontaminasi. Air berfungsi sebagai penentu sifat plastisitas dari
lempung. Fenomena hanya terjadi pada air yang molekulnya dipolar dan tidak
terjadi pada cairan yang tidak dipolar seperti karbon tetrakolrida (Cc14) yang jika
dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.
e. Sifat kembang susut (swelling potensial)
Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah dengan air
yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan tenaga-tenaga dibawah struktur
tanah. Tenaga tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang terdiri dari
tenaga elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta bergantung
pada jarak antar permukaan partikel.
2.7 Manipulasi Muatan Spesifik untuk Penurunan Tahanan Jenis Tanah
Nilai tahanan jenis tanah merupakan faktor penting untuk perencanaan sistem
kelistrikan, oleh sebab itu perlu untuk memperhatikan nilai tahanan jenis tanah
pada perencanaan kelistrikan.
Suatu pentanahan yang baik adalah yang memiliki hambatan pentahanan yang
kecil, karena dengan hambatan yang kecil dapat mengalirkan arus yang berlebih
34
langsung ke tanah. Faktor yang mempengaruhi besar atau kecilnya tahanan
pentanahan di suatu tempat adalah tahanan dari elektroda pentanahan, tahanan
elektroda pentahanan dengan kontak tanah disekelilingnya dan tahanan jenis
tanah. Masing-masing tanah memiliki karakteristik tahanan tanah yang berbeda,
tergantung dari susunan mineral yang membentuk tanah tersebut.
Namun untuk mendapatkan pentanahan yang serendah mungkin sulit di dapat
tanpa adanya upaya khusus menurunkan tahanan pentanahan. Upaya untuk
menurunkan tahanan pentanahan dapat dilakukan dengan perlakuan khusus
terhadap tanah (soil treatment). Beberapa zat aditif yang ditambahkan di dalam
tanah terbukti mampu menurunkan tahanan jenis tanah dan secara langsung akan
menurunkan tegangan permukaan tanah. Beberapa jenis garam yang secara
alamiah terkandung di dalam tanah cenderung bersifat konduktif dan menurunkan
tahanan jenis tanahnya (Ghani, 2013).
Pentanahan menggunakan air, garam dan arang (Sigarang) dapat menghasilkan
efisiensi pentanahan sebesar 75% pada tanah kapur. Efisiensi pentanahan pada
tanah padas rata-rata 65% dibandingkan pentanahan tanpa sigarang (Abidin,dkk.,
2016), Soil treatment dengan menggunakan zat aditif gypsum mampu
menurunkan resistansi pentanahan, dengan perubahan yang cukup besar (Yuniarti,
2016).
Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan telah terbukti bahwa perlakuan
khusus terhadap tanah berpengaruh terhadap tahanan jenis tanah. (Santoso, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecil tahanan pentanahan
35
1. Tahanan jenis tanah : harga tahanan jenis tanah tergantung dari beberapa faktor
yaitu
a. Jenis tanah meliputi tanah liat, berpasir, berbatu dan lain-lain.
b. Lapisan tanah meliputi berlapis-lapis dengan tahanan jenis berlainan atau
sama (uniform).
c. Kelembaman tanah
d.Temperatur :Penanaman memungkinkan kelembaman dan temperatur
bervariasi.
2. Jenis elektroda tanah
Berdasarkan peraturan umum tentang elektroda bumi dan penghantar bumi
(SNI 04. 0225-2000) ada 3 jenis elektroda pembumian yaitu
a. Elektroda pita : adalah elektroda yang terbuat dari hantaran berbentuk
pita/berpenampang bulat atau hantaran pilin yang pada umumnya ditanam
secara dangkal.
b. Elektroda batang : adalah elektroda dari pipa / tembaga atau besi baja profil
yang dipancangkan dalam tanah. Keuntungan penggunaan elektroda ini tidak
memerlukan tanah yang luas dengan instalasi atau pemasangan yang
sederhana dan mudah.
c. Elektroda pelat : adalah elektroda yang terbuat dari bahan pelat logam (utuh
atau berlubang).
36
Tabel 2. Tahanan jenis beberapa jenis tanah.
Jenis Tanah Tahanan Jenis (Ohm meter)
Tanah raawa
Tanah liat dan ladang
Pasir basah
Kerikil basah
Pasir dan kerikil kering
Tanah berbatu
30
100
200
500
1000
3000
Sumber : PUIL, 2000.
Nilai tahanan pentanahan untuk beberapa jenis tanah berbeda. Hal ini dikarenakan
karena struktur tanah yang berlainan antara satu jenis tanah dengan jenis tanah
yang lain. Tanah lempung mempunyai nilai tahanan pentanahan yang rendah, ini
disebabkan oleh komposisinya yang mempunyai bentuk partikel halus sehingga
mudah untuk menyerap air atau mineral–mineral lain dan kemudian
menyimpannya. Sifat inilah yang menyebabkan tanah lempung memiliki nilai
tahanan jenis rendah bila dibandingkan dengan jenis tanah lainnya seperti tanah
pasir dan tanah berbatu. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Sunarto (2013). Tahanan jenis tanah tergantung beberapa faktor :
1. Sifat geologi tanah
Sifat Geologi tanah merupakan faktor utama yang menentukan tahanan
jenis tanah. Bahan dasar dari pada tanah relatif bersifat bukan penghantar.
Tanah liat umumnya mempunyai tahanan jenis terendah, sedangkan batu-
batuan dan quartz bersifat sebagai insulator.
2. Komposisi-zat-zat kimia dalam tanah
37
Kandungan zat-zat kimia dalam tanah terutama sejumlah zat organik
maupun anorganik yang dapat larut perlu diperhatikan.
3. Kandungan air tanah
Kandungan air tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan tahanan jenis
tanah () terutama kandungan air tanah sampai 20%. Dalam salah satu test
laboratorium untuk tanah merah penurunan kandungan air tanah dari 20%
ke 10% menyebabkan tahanan jenis tanah naik sampai 30 kali.
4. Temperatur tanah
Temperatur tanah sekitar elektroda pembumian juga berpengaruh terhadap
perubahan tahanan jenis tanah. Hal ini terlihat sekali pengaruhnya pada
temperatur dibawah titik beku (0oC), dibawah harga ini penurunan
temperatur yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan harga tahanan
jenis tanah dengan cepat.
2.8 Prospek Limbah Puing Bangunan sebagai Bahan Penurun Tahanan
Jenis.
Pertambahan penduduk dan kebutuhan akan tempat tinggal menjadikan orang
untuk terus membangun. Tidak hanya bangunan baru tetapi banyak pula yang
merehap/memugar bangunan lama yang dirasa sempit menjadi lebih luas.
Dampak dari bangunan yang dipugar dan renovasi adalah bongkaran puing
bangunan.
Di Indonesia, sampah puing biasanya tidak diolah, tetapi dibuang begitu saja
sehingga akan teronggok terabaikan, menumpuk disebagian tempat di lahan
terbuka atau digunakan sebagai bahan urukan. Diperkirakan bahwa 15% hingga
38
30% limbah padat yang dibuang ke landfill merupakan limbah konstruksi
(Bossink dan Brouwer, 1996).
Untuk itulah perlu dicari solusi untuk pemanfaatan limbah bangunan tersebut.
Pemanfaatan limbah puing bangunan dapat mengurangi masalah penumpukan
puing dan juga dapat ikut membantu melindungi lingkungan dari kerusakan yang
diakibatkan penumpukan oleh limbah puing bangunan, juga penghematan bahan
dan pengurangan limbah (bahan sisa).
Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi, baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada
suatu saat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena dapat menurunkan
kualitas lingkungan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa limbah
merupakan suatu zat atau benda yang bersifat mencemari lingkungan. Limbah
tidak mempunyai nilai ekonomis, karena itu limbah dibuang. Keseimbangan
lingkungan menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi
ambang batas. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, keberadaan limbah
dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Limbah puing bangunan yang
banyak akan menjadi masalah dan mengganggu estetika. Untuk itu harus di dicari
solusi untuk pemanfaatannya.
Terdapat tiga jenis limbah yang ditemukan dalam konstruksi, yaitu:
a. Material yang dapat didaur ulang (recycleable).
b. Limbah berbahaya (hazardous).
c. Limbah yang akan dibuang ke tempat pem-buangan akhir (landfill material).
39
Limbah-limbah konstruksi adalah material yang sudah tidak digunakan lagi yang
dianggap sebagai sampah. Pengelolaan sampah salah satunya adalah dengan cara
pemanfaatan kembali (reuse).
Menurut definisi dalam UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat, yang berupa sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga dan sampah spesifik.
Sampah spesifik yang dimaksud meliputi :
a. Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
b. Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun
c. Sampah yang timbul akibat bencana
d. Puing bongkaran bangunan
e. Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan/atau
f. Sampah yang timbul secara tidak periodic
Puing bongkaran bangunan termasuk dalam sampah yang spesifik. Limbah puing
bangunan/bongkaran tembok mengandung pasir dan semen, dengan perbandingan
pasir lebih banyak dari pada semen. Bahan dasar penyusun semen terdiri dari
bahan-bahan yang terutama mengandung kapur, silika dan oksida besi.
Batu kapur mengandung kalsium karbonat (CaCO3). Kalsium karbonat berasal
dari pembentukan geologis, yang merupakan Sumber utama dari senyawa Ca.
Setelah pemanasan karbon oksidanya keluar dan tinggal kapurnya (CaO) saja.
Kapur jika dicampur dengan tanah lempung akan merubah sifat tanahnya,
mengurangi kelekatan dan kelunakan tanahnya. Sehingga diharapkan tanah yang
40
telah bercampur dengan kapur memiliki rongga pori yang lebih besar yang berarti
kapasitas menyimpan air menjadi lebih banyak. Semakin tinggi kelembaban atau
kandungan air dalam tanah akan dapat memperendah tahanan jenis tanah.
41
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada 11 - 25 Maret 2018, di Jl. Dr. Susilo No. 11 Lungsir
Bandar Lampung.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Adapun alat dan bahan dalam penelitian ini adalah :
1. Satu set alat ukur pentanahan yaitu Earth Ground Resistance Tester
IDEAL 61-796, 2 buah elektroda batang sebagai elektroda bantu, 3 buah
kabel beda warna (hijau, kuning dan merah).
Gambar 3. Alat ukur Earth Ground Resistance Tester IDEAL 61-796.
2. Batang tembaga silinder dengan diameter 16 milimeter, yang dipotong-
potong dengan panjang 20 centimeter.
42
3. Plastik, karung, sendok semen, ember dan cangkul untuk mencangkul
tanah dan mencampur bahan pentanahan.
4. Kaleng bekas dengan 3 macam ukuran sebagai tempat media campuran
pentanahan.
Gambar 4. Ukuran kaleng sebagai media pentanahan.
Ukuran / dimensi kaleng
Kaleng besar (1) bentuk balok, panjang 17 cm, lebar 14 cm, tinggi 23 cm
Volume : P x L x T = 17x14x23 = 5474 cm3
Kaleng sedang (2) bentuk silinder, diameter 15 cm, tinggi 15 cm
Volume : π x r2 x T = 3.14 x 7.5
2 x 15 = 2649.375 cm
3
Kaleng kecil (3) bentuk silinder, diameter 12,8 cm, tinggi 14 cm
Volume : pi x r2 x T = 3.14 x 6.4
2 x 14 = 1800.6016 cm
3
5. Bahan pentananahan yang terdiri dari bentonit, kapur pertanian, tanah dan
puing bongkaran bangunan tembok yang telah di haluskan digunakan
sebagai campuran media pentanahan
1 2 3
43
Gambar 5. Bahan pentanahan.
6. Gergaji dan meteran untuk mengukur dan memotong batang tembaga
silinder (elektroda) dan mengukur jarak pasak besi pada saat menggunakan
alat ukur pentanahan.
Gambar 6. Pemotongan batang silinder (elektroda).
7. Timbangan digital yang digunakan untuk mengukur berat bahan campuran
dan sampel media pentanahan.
8. Terpal plastik, paku dan kayu untuk membuat naungan untuk menghalangi
air yang masuk dalam media pentanahan apabila terjadi hujan
9. Spidol, pena, lakban transparan, dan kertas putih untuk pelabelan pada
kaleng.
10. Oven dan cup dari aluminium untuk mengeringkan media pentanahan.
44
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Persiapan Bahan Pentanahan
a. Kaleng bekas di bagian bawahnya di buat lobang dengan menggunakan paku,
kemudian lubang-lubang tersebut ditutup dengan menggunakan lakban
transparan. Penutupan lubang tersebut bertujuan supaya pada saat pengisian
bahan pentanahan tidak keluar lewat lubang.
b. Persiapkan bahan-bahan pentanahan, yaitu dengan melakukan pencampuran
dengan komposisi sebagai berikut : tanah 75% dicampur dengan bentonit 25%,
tanah 50% di campur dengan bentonit 50%, dan tanah 25% di campur dengan
bentonit 75%. Lakukan hal yang sama untuk kapur pertanian dan puing
bangunan.
c. Mempersiapkan batangan silinder tembaga dengan memotongnya masing-
masing dengan ukuran panjang 20 centimeter.
d. Kaleng yang sudah disiapkan tadi kemudian diisi dengan menggunakan media
pentanahan. Supaya media pentanahan mengisi seluruh ruang pada kaleng,
maka dilakukan pengetukan sebanyak 20 kali. Lakukan hal yang sama pada
setiap kaleng.
e. Setelah semua kaleng terisi, kemudian media pentanahan di beri air sampai air
keluar menetes. Setelah itu kaleng-kaleng tersebut didiamkan selama 1 hari,
kemudian lakban penutup lobang di bawah kaleng di lepaskan, dengan tujuan
supaya sisa air yang menetes sebagai air grafitasi dapat keluar semua, dan
didiamkan kembali selama 1 hari sehingga media berada pada kondisi
kapasitas lapang.
45
e. Batang silinder tembaga yang sudah disiapkan kemudian dimasukkan kedalam
media pentanahan dengan posisi batang tepat ditengah. Penanaman batang
sedalam 12 centimeter, karena tinggi kaleng terkecil adalah 14 centimeter.
f. Menyusun semua kaleng percobaan yang sudah diisi dengan media pentanahan
dan meletakkannya ke tanah di bawah naungan tempat yang telah disiapkan.
Kemudian kaleng-kaleng tersebut dibenamkan kedalam tanah sedalam kaleng
yang paling kecil.
Gambar 7. Peletakkan media di lokasi percobaan.
3.3.2 Pengukuran Nilai Tahanan Pentanahan
a. Pengukuran nilai pentanahan dengan menggunakan alat ukur Earth Ground
Resistance Tester IDEAL 61-796 dengan menggunakan metode 3 titik.
b. Mengecek baterai pada alat ukur sebelum digunakan, untuk memastikan
baterai pada alat masih dapat digunakan, dengan cara mengecek indikator
baterai pada layar LCD. Jika indikator baterai sudah terlihat pada layar, berarti
baterai tersebut harus sudah di ganti. Posisi elektroda pentanahan yang akan
diukur harus segaris dengan elektroda bantu.
d. Melakukan pengukuran nilai tahanan tanahnya setiap hari.
46
Gambar 8. Pengukuran tahanan pentanahan pada media.
Gambar 9. Pengukuran pentanahan dengan Earth Ground Resistance Tester
IDEAL 61-796.
Sumber : P796 Instruction Manual Earth Ground Resistance Tester IDEAL
61-796.
3.3.3 Perhitungan Kadar Air
Perhitungan kadar air pentanahan dilakukan setiap 3 hari sekali selama 15 hari
percobaan, dengan cara mengmbil sampel pada masing-masing satuan percobaan
dan memasukkan dalam cup aluminium yang telah diberi label. Timbang berat
sampel, kemudian mengoven sampel sampai berat kering sampel konstan. Setelah
berat sampel konstan dilakukan penimbangan kembali. Selisih berat sebelum di
oven dan sesudah dilakukan pengovenan adalah banyaknya air yang terkandung
dalam media tersebut. Kemudian dilakukan perhitungan nilai kadar airnya.
47
Gambar 10. Sampel media yang akan di keringkan dimasukkan dalam cup
aluminium.
3.4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan batang pentanahan tunggal (single grounding rod)
dengan metode pengukuran 3 titik (tree point method). Parameter pengamatan
adalah bahan pentanahan dan konsentrasi campuran antar bahan. Campuran bahan
yang digunakan adalah tanah (T) dengan puing (P), tanah dengan bentonit (B),
tanah dengan kapur (K). Masing-masing campuran (T:P), (T:B), (T:K), dibuat
dengan konsentrasi 25:75, 50:50, 75:25, dan 100% tanah sebagai kontrol. Jarak
penanaman elektroda antar kelompok perlakuan adalah 1 meter. Parameter yang
akan diukur adalah tahanan tanah. Dari tahanan tanah akan didapat tahanan jenis
tanah dan nilai resistansi pembumian dengan menggunakan rumus HB. Dwight.
Selain itu dilakukan juga perhitungan nilai kadar air dengan cara mengambil
sampel media dan mengeringkannya. Layout percobaan disajikan pada Tabel 2.
48
Tabel 3. Satuan Percobaan
Konsentrasi Bahan (%) PUING (P) BENTONIT (B) KAPUR (K)
P/B/K : T Kaleng
1 Kaleng
2 Kaleng
3 Kaleng
1 Kaleng
2 Kaleng
3 Kaleng
1 Kaleng
2 Kaleng
3
0 : 100 (0) T0P1 T0P2 T0P3 T0B1 T0B2 T0B3 T0K1 T0K2 T0K3
25 : 75 (1) T1P1 T1P2 T1P3 T1B1 T1B2 T1B3 T1K1 T1K2 T1K3
50 : 50 (2) T2P1 T2P2 T2P3 T2B1 T2B2 T2B3 T2K1 T2K2 T2K3
75 : 25 (3) T3P1 T3P2 T3P3 T3B1 T3B2 T3B3 T3K1 T3K2 T3K3
3.5. Analisis Data Penelitian
3.5.1 Menghitung Tahanan Jenis Tanah
Nilai tahanan jenis tanah dihitung dengan menggunakan rumus :
ρ = 2π α Rt
dimana: 𝜌 = Tahanan jenis rata-rata tanah (Ω-meter)
α = Jarak antara batang elektroda yang terdekat (meter)
𝑅𝑡= Tahanan tanah terukur (Ω)
3.5.2 Menghitung Nilai Resistensi Pembumian.
Nilai pentanahan (resistansi pembumian) di hitung dengan menggunakan
persamaan HB Dwight
Keterangan :
R= Tahanan pembumian (Ω)
= Tahanan jenis (Ωm)
L= Panjang elektroda pembumian (m)
a = Jari-jari elektroda pembumian (m)
49
Selanjutnya data hasil pengukuran akan dianalisis untuk mengetahui seberapa
besar pencampuran media pentanahan dapat menurunkan tahanan jenis tanah
dengan membuat grafik dan rerata.
3.5.3 Menghitung Kadar Air
Menghitung kadar air dilakukan dengan cara mengambil sampel media
pentanahan dan memasukkan sampel kedalam cup aluminium yang telah
disediakan. Menimbang berat sampel, kemudian mengeringkan sampel dengan
cara di oven sampai berat sampel konstan. Timbang sampel yang telah kering.
Selisih berat sebelum dioven dan sesudah dilakukan pengovenan adalah
banyaknya air yang dikandung dalam sampel. Lakukan hal yang sama pada
seluruh sampel.
Data hasil pengukuran akan dianalisis dengan membuat grafik perbandingan
antara kadar air dengan tahanan jenis tanah. Selanjutnya data hasil analisis akan
dilihat untuk mengetahui apakah kadar air pada media pentanahan berpengaruh
terhadap penurunkan tahanan jenis tanah.
Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar Air adalah:
Kadar air (%) = berat sampel awal − berat sampel akhir x 100%
berat sampel akhir
Keseluruhan rangkaian kegiatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
11.
71
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
1. Respon terbaik terhadap penurunan resistansi berturut-turut adalah pada
campuran tanah dengan puing , kemudian diikuti oleh tanah dengan kapur
dan tanah dengan bentonit Penambahan zat aditif sebesar 25%
menurunkan nilai resistansi sebesar 23,4% untuk puing, 15,1% untuk
bentonit, untuk kapur tidak terjadi penurunan. Penambahan zat aditif
sebesar 50% menurunkan nilai resistansi sebesar 42,6% untuk puing,
34,8% untuk kapur. Penambahan zat aditif sebesar 75% menurunkan nilai
resistansi sebesar 46,3% untuk puing, 42,56% untuk kapur. Sedangkan
untuk bentonit pada penambahan 50% dan 75% tidak terjadi penurunan
karena terjadi keretakan.
2. Kadar air berpengaruh terhadap nilai resistansi. Semakin tinggi kadar air
maka nilai resistansi semakin kecil. Hal ini berlaku baik pada campuran
tanah dengan puing, tanah dengan bentonit dan tanah dengan kapur.
3. Ukuran (dimensi) media pentanahan berpengaruh terhadap nilai resistansi.
Semakin besar ukuran media semakin kecil nilai resistansi.
72
8.2 Saran
Disarankan untuk dilakukan kajian lebih lanjut
1. Menggunakan zat aditif tipe 2:1 selain bentonit untuk mengurangi swelling
2. Menggunakan analisis data dengan metode statistik dengan anova dan uji
lanjut.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., dan Ghufron, A. 2016. Analisa perbaikansistem pentanahan instalasi
listrik di tanah kapur dan padas menggunakan metode sigarang (sistem
grounding arang dan garam). JE-Unisla. Hal 1-5.
Addurahman., B. S. 2013. Perencanaan dan Pembuatan Sistem Pentanahan
Laboratorium Tegangan Tinggi. Proyek Akhir Program D3. Universitas
Pendidikan Indonesia. Jakarta. 58 hlm.
Adiningsih, S. J., M. Sudjadi, dan D. Setyorini. 1988. Overcoming soil fertility
constraints in acid upland soils for food crop based farming systems in
Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal
10, 49-58. Buana Sains, 9 (1): 1-10.
Agustina. F., dkk. 2012. Pengembangan bahan ajar komik ipa materi sistem
pernafasan manusia kelas viii sekolah menengah pertama (SMP).
Simbiosa, 3 (2): 66-72.
Allen, B. L. dan Hajek, B. F. 1989. Mineral occurrence in soil environment. . In J.
B. Dixon and S. B. Weed (Eds.). Minerals in Soil Environments. Soil Sci.
Of Amer., Madison, Wisconsin, USA. Hal 199-278.
Aphin. 2012. Prakarya dari tanah liat. Makalah Seminar. Malang. Universitas
Bratawijaya. 12 hlm.
Apriliani F. N., Baqiya, M.A., dan Daminto, D. 2012. Pengaruh penambahan
larutan MgCl2 pada sintesis kalsium karbonat presipitat berbahan Dasar
batu kapur dengan metode karbonasi. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1 (1):
30-34.
Arief, M. 2013. Jenis-jenis tanah dan persebarannya. Alamat akses:
http://bebeknya.blogspot.co.id/2013/08, diakses tgl 19 Agustus 2017.
Jam 18.15 WIB.
Ariesta, R., D. Despa, H. Gusmedi, dan L. Hakim. 2015. Studi analisis sistem
pentanahan eksternal pada unit pelaksana teknis teknologi informasi dan
komunikasi universitas Lampung. JITET – Jurnal Informatika dan
Teknik Elektro Terapan, 3 (3): 1-5.
74
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. 2nd. IPB Press. Bogor. Buku, Hal
99.
Asyrofi. 2016. Studi kejadian thunder storm pada saat hujan lebat (studi kasus
kota pontianak dan sekitarnya). Positron, VI (2): 72-76.
Ayu, S. P. C. 2012. Kapasitas Maksimum Kepadatan Tanah pada Berbagai
Distribusi Ukuran Partikel dan Kadar Bahan Organik Tanah dalam
Kondisi Kering Udara dan Kapasitas Lapang. Skripsi. IPB. 75 hlm.
Badan Standar Nasional (BSN). 2000. Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL
2000). Yayasan PUIL. Jakarta. 3.18.3.1.
BMKG. 2012. Analisis intensitas petir daerah Sumatera Utara Januari 2012-
Oktober 2012. Buletin. Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah
II Ciputat, 2 (11): 46-55.
Bossink, B. A. G., dan Brouwers, J. 1996. Construction waste: quantification and
source evaluation. Journal of construction engineering and
management, 122(1): 55-60.
Bowles, J. E., 1989. Sifat-sifat Fisis dan Geotek Tanah (Mekanika Tanah). Buku.
Penerbit Erlangga. Jakarta. 559-562.
Dixon J. B, 1991. Roles of Claysin Soils. Applied Clay Science,(5). 16 (2): 489-
503.
Gassing. 2012. Analisis sistem proteksi petir (lighting performance) pada SUTT
150 kV sistem Sulawesi Selatan. Prosiding, 6:1-12.
Ghani, A., 2013. Pengaruh Penambahan Gypsum terhadap Nilai Tahanan
Pentanahan pada Sistem Pentanahan. Padang. Laporan akhir teknik
elektro. Universitas Andalas. 62 hlm.
Gunawan, T., L. N. L. Pandiangan. 2014. Analisis tingkat kerawanan bahaya
sambaran petir dengan metode Simple Additive Weighting di provinsi
Bali. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15 (3): 193-201.
Hanafiah. K. A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Buku, 360 hlm.
Harjanti, R.S. 2009. Pengujian Efektivitas Bahan Pembenah Tanah Dolomit
untuk Tanah Masam. Skripsi IPB, 42 hlm.
Haryono, 2013. Pembelajaran IPA yang Menarik dan Mengasyikkan: Teori dan
Aplikasi PAIKEM. Buku. Penerbit Kapel Press. Yogyakarta.
75
Hotdin, P. A., dan F. Murdiya. 2017. Sistem proteksi petir eksternal pada gedung
baru fakultas teknik universitas Riau. Jom FTEKNIK, 4 (2).
Husni, M. 2006. Workshop Penanggulangan Bencana Alam, Gempabumi, Cuaca
dan Iklim. BMKG. Jakarta.
IDEAL 61-796. 2014. Instruction Manual Analog Earth Resistance Tester.
Jepang. 6 hlm
Irawan., Dariah, A., dan Rachman, A. 2015. Pengembangan dan diseminasi
inovasi teknologi pertanian mendukung optimalisasi pengelolaan lahan
kering masam. Makalah review. Badan litbang pertanian. Bagor. Hal 37-
50.
Jihad, A. dan Sania, I.R. 2014. Identifikasi pola sambaran petir cloud to ground
(CG). Laporan. Stasiun geofisika Mata Ie. Banda Aceh. 5 hlm.
Kamin, R. 2017. Monitoring Petir BMKG. Bahan Diklat Teknis Geofisika
Tahun 2017 Pelatihan Ligthning Detector (LD). BMKG. Bogor. 36 hlm.
Kosim, M.E. 2016. Pengaruh waktu pereaksian K2SO4 terhadap yield pembuatan
alum dari tanah liat plered dengan proses kering. Konversi. 5(2): 81-86.
Kristanti, E dan Kurniawati, I. 2016. Karakteristik sambaran petir berdasarkan
kriteria intensitas hujan di Makassar dan Gowa tahun 2016. Seminar
Ilmiah 20.03.17 dalam rangka memperingati HMD ke-67. BMKG
Wilayah IV. Makassar. 10 hlm.
Kurnia, U., Agus, F., Adimihardja, A., dan Dariah, A. 2006. Sifat Fisik Tanah
dan Metode Analisisnya. Buku. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian. Jakarta. 282 hlm.
Lim, S. C., Gomes, C., dan Kadir, M. Z. A. A. 2013. Characterizing of Bentonite
with Chemical, Physical and Electrical Perspectives for Improvement of
Electrical Grounding Systems. International Journal Electrochem
Science, 8: 11429-11447.
Maliki, R. 2008. Studi dampak sambaran petir pada peralatan tegangan rendah
rumah tangga menggunakan perangkat lunak EMTP. Prosiding Seminar
Teknik Elektro ITS. Surabaya. 1-8.
Martin, Y., Andini, D dan Gusmedi, H. 2016. Perbaikan Tahanan pentanahan
dengan menggunakan bentonit teraktivasi. Jurnal Rekayasa dan
Teknologi Elektro, 10 (1): 44-53.
Matondang, N.E., Marpaung, P., dan Jamilah. 2014. Penentuan struktur fomula
mineral liat pada incetisol di lahan kampus baru USU kwala bekala.
Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(2): 621-629.
76
Mukmin, D. W., dan Hasanah, U. 2016. Pengaruh pemberian gipsum terhadap
perubahan beberapa sifat fisik dan kimia entisols lembah Palu. e-J.
Agrotekbis, 4 (3): 252 – 257.
Othmer, K. 1993. Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed. Vol.6. Buku.
John Wiley & Sons. New York. 896 hlm.
Pabla. A.S., 1994. Sistem Distribusi Daya Listrik. Penerbit Erlangga. Jakarta.
388 hlm.
Pasaribu, L. 2011. Studi Analisis Pengaruh Jenis Tanah, Kelembaban,
Temperatur dan Kadar Garam Terhadap Tahanan Pentanahan Tanah.
Tesis Universitas Indonesia. 70 hlm.
Peterson, A., dan Murdiya, F. 2017. Sistem proteksi petir eksternal pada gedung
baru fakultas teknik universitas Riau. Jom Fteknik, 4(2) : 1-12.
Prasetyo, B.H. dan Suriadikarta, D.A. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi
pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4): 39-46.
Presiden RI. 2007. Undang-Undang No.24 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 tentang
Penanggulangan Bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI. Jakarta.
Presiden RI. 2008. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.
Price, C. 2008. Lightning Sensors For Observing, Tracking and Nowcasting
Severe Weather, Sensorr 2008, 8, , Departement of Geophysics and
Planetary Sciences, Tel Aviv University. Israel. 157-170 hlm.
Rajagukguk, M. 2012. Studi pengaruh jenis tanah dan kedalaman pembumian
driven rod terhadap resistansi jenis tanah. Jurnal Vokasi, 8(2): 652-657.
Sanchez, P.A. 1977. Properties and Management of Soil in The Tropics. John
Willey and Sons Inc. Toronto. Buku. 187 hlm.
Santoso, S., dan Yulianto, F. 2011. Pengaruh pasir-garam, air kencing sapi, batu
kapur halus dan kotoran ayam ternak terhadap nilai tahanan pembumian
pada saat kondisi tanah basah. Jurnal Magistra, No. 76: 72-79.
Saodah, S., Mulyanto, A.T., dan Arfianto, T. 2015. Studi awal alat proteksi
petir dengan metode pembalik muatan. Seminar Nasional ke – 9:
rekayasa teknologi industri dan informasi. Sekolah Tinggi Ilmu Nasional
(STTNAS). Yogyakarta. Hal 131-136.
77
Septiadi, D dan Hadi, S. 2011. Karakteristik petir terkait curah hujan lebat di
wilayah Bandung, Jawa Barat. Jurnal meteorologi dan geofisika,
(online), 12 (2): 163 – 170.
Septiadi, D dan Tjasyono, B. 2011. Variabilitas musiman cloud ground lightning
dan kaitannya dengan pola hujan di wilayah jawa (sudi kasus Bandung dan
Semarang. Jurnal Bumi Lestari, 11( 1): 1 – 8.
Septiadi, D. Hadi, S., dan Tjasyono, B. 2011. Karakteristik petir dari awan ke
bumi dan hubungannya dengan curah hujan. Jurnal sains Dirgantara, 8
(2): 129-138.
Setiono, A. D. 2015. Studi pengaruh kandungan air tanah terhadap tahanan
jenis tanah Lempung (clay). Jurnal Ilmiah Teknik Elektro. Universitas
Tanjungpura, hal 1-9.
Subagyo, H., Suharta, N., dan Siswanto, A.B., 2004. Tanah-tanah Pertanian di
Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hlm. 21-66.
Sudaryanto, 2016. Analisis perbandingan nilai tahanan pembumian pada tanah
basah tanah berpasir dan tanah ladang. Journal of Electrical Technology,
1(1): 67-75.
Sukmawidjaja, M., Abduh. S., dan Nadia, S. 2015. Analisis perancangan sistem
proteksi bangunan the bellagio residence terhadap sambaran petir. JETri,
12 (2): 75-86.
Sukristiyonubowo, M., Wigena, P., dan Kasno, A. 1993. Pengaruh bahan organik,
kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah dan hasil kacang Tanah.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 11: 1-7.
Sumarno, E. 2014. Sifat dan ciri tanah pada kawasan hutan tropis di dunia. Jurnal
online. Alamat akses: https://www.academia.edu/7187667/Sifat
dan_ciri_tanah _pada_kawasan_hutan_tropis di dunia. diakses tanggal 23
September jam 20.03 WIB.
Sumarwoto, 2004. Pengaruh pemberian kapur dan ukuran bulbil terhadap
pertumbuhan iles-iles (amorphophallus muelleri blume) pada tanah ber-
Al tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian, 11 (2): 45-53.
Sunarto. 2013. Analisis Pengaruh zat aditif bentonit terhadap nilai resistansi
pembumian pada elektroda pembumian jenis batang. TEDC Politeknik
Negeri Bandung, 7 (2): 54-61.
Terzaghi. K, dan Peck, B. 1987. Mekanika Tanah dalam Praktek Rekayasa. Buku.
Penerbit Erlangga. Jakarta. 383 hlm.
78
Tjasyono, B. HK. 2005. Sains Atmosfir. Buku. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Tjokrodimuljo. 1996. Teknologi Beton. Bahan ajar. Nafiri. Yogyakarta.
Tomas, C. P., De, F dan Rivas, S.L. 2004. Circulation weather types and cloud-
to-ground flash density over the iberian peninsula. International Journal
Of Climatology, 24: 109-123.
Tongkukut, S. J. H. 2011. Identifikasi potensi kejadian petir di Sulawesi Utara.
Jurnal Ilmiah Sains, 11 (1):41-47.
Ugahari, Y. 2008. Analisis Proteksi Sambaran Petir Eksternal Menggunakan
Metode Collection Volume Studi Kasus Gedung Fakultas Teknik
Universitas Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Vaccari, A., 1998. Catal. Journal Today, 41: 53-71.
Wahyudi, I. 2009. Perubahan konsentrasi aluminium dan serapan fosfor oleh
tanaman pada ultisol akibat pemberian kompos. Fakultas Pertanian
Universitas Tadukulo. Palu. Buana Sains, 9(1): 1-10.
Wicaksono, A. 2018. Analisis Pengaruh Zeolit dengan Kombinasi Bentonit dan
Gypsum Terhadap Nilai Tahanan Pentanahan Sistem Driven Rod.
Skripsi. Unila. Lampung, 84 hlm.
Wijaya, W. Y. Benny. Frendi. dan Harianto. 2007. Bencana Alam. Buletin
Eka-Citta bersatu dalam darma, No. XXVII. Kamadhis. UGM.
Yogyakarta. 47 hlm.
Wiqoyah, Q. 2006. Pengaruh kadar kapur, waktu perawatan dan perendaman
terhadap kuat dukung tanah tempung. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, 6
(1): 16-24.
Yuniarti, E. 2016. Gypsum sebagai soil treatment dalam mereduksi tahanan
pentanahan di tanah ladang. Palembang. Jurnal Berkala Teknik.
5(1): 1-7.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., dan Ghufron, A. 2016. Analisa perbaikansistem pentanahan instalasilistrik di tanah kapur dan padas menggunakan metode sigarang (sistemgrounding arang dan garam). JE-Unisla. Hal 1-5.
Addurahman., B. S. 2013. Perencanaan dan Pembuatan Sistem PentanahanLaboratorium Tegangan Tinggi. Proyek Akhir Program D3. UniversitasPendidikan Indonesia. Jakarta. 58 hlm.
Adiningsih, S. J., M. Sudjadi, dan D. Setyorini. 1988. Overcoming soil fertilityconstraints in acid upland soils for food crop based farming systems inIndonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal10, 49-58. Buana Sains, 9 (1): 1-10.
Agustina. F., dkk. 2012. Pengembangan bahan ajar komik ipa materi sistempernafasan manusia kelas viii sekolah menengah pertama (SMP).Simbiosa, 3 (2): 66-72.
Allen, B. L. dan Hajek, B. F. 1989. Mineral occurrence in soil environment. . In J.B. Dixon and S. B. Weed (Eds.). Minerals in Soil Environments. Soil Sci.Of Amer., Madison, Wisconsin, USA. Hal 199-278.
Aphin. 2012. Prakarya dari tanah liat. Makalah Seminar. Malang. UniversitasBratawijaya. 12 hlm.
Apriliani F. N., Baqiya, M.A., dan Daminto, D. 2012. Pengaruh penambahanlarutan MgCl2 pada sintesis kalsium karbonat presipitat berbahan Dasarbatu kapur dengan metode karbonasi. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1 (1):30-34.
Arief, M. 2013. Jenis-jenis tanah dan persebarannya. Alamat akses:http://bebeknya.blogspot.co.id/2013/08, diakses tgl 19 Agustus 2017.Jam 18.15 WIB.
Ariesta, R., D. Despa, H. Gusmedi, dan L. Hakim. 2015. Studi analisis sistempentanahan eksternal pada unit pelaksana teknis teknologi informasi dankomunikasi universitas Lampung. JITET – Jurnal Informatika danTeknik Elektro Terapan, 3 (3): 1-5.
72
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. 2nd. IPB Press. Bogor. Buku, hal99.
Asyrofi. 2016. Studi kejadian thunder storm pada saat hujan lebat (studi kasuskota pontianak dan sekitarnya). Positron, VI (2): 72-76.
Ayu, S. P. C. 2012. Kapasitas Maksimum Kepadatan Tanah pada BerbagaiDistribusi Ukuran Partikel dan Kadar Bahan Organik Tanah dalamKondisi Kering Udara dan Kapasitas Lapang. Skripsi. IPB. 75 hlm.
Badan Standar Nasional (BSN). 2000. Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL2000). Yayasan PUIL. Jakarta. 3.18.3.1.
BMKG. 2012. Analisis intensitas petir daerah Sumatera Utara Januari 2012-Oktober 2012. Buletin. Balai Besar Meteorologi dan Geofisika WilayahII Ciputat, 2 (11): 46-55.
Bossink, B. A. G., dan Brouwers, J. 1996. Construction waste: quantification andsource evaluation. Journal of construction engineering andmanagement, 122(1): 55-60.
Bowles, J. E., 1989. Sifat-sifat Fisis dan Geotek Tanah (Mekanika Tanah). Buku.Penerbit Erlangga. Jakarta. 559-562.
Dixon J. B, 1991. Roles of Claysin Soils. Applied Clay Science,(5). 16 (2): 489-503.
Gassing. 2012. Analisis sistem proteksi petir (lighting performance) pada SUTT150 kV sistem Sulawesi Selatan. Prosiding, 6:1-12.
Ghani, A., 2013. Pengaruh Penambahan Gypsum terhadap Nilai TahananPentanahan pada Sistem Pentanahan. Padang. Laporan akhir teknikelektro. Universitas Andalas. 62 hlm.
Gunawan, T., L. N. L. Pandiangan. 2014. Analisis tingkat kerawanan bahayasambaran petir dengan metode Simple Additive Weighting di provinsiBali. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15 (3): 193-201.
Hanafiah. K. A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta. Buku, 360 hlm.
Harjanti, R.S. 2009. Pengujian Efektivitas Bahan Pembenah Tanah Dolomituntuk Tanah Masam. Skripsi IPB, 42 hlm.
Haryono, 2013. Pembelajaran IPA yang Menarik dan Mengasyikkan: Teori danAplikasi PAIKEM. Buku. Penerbit Kapel Press. Yogyakarta.
73
Hotdin, P. A., dan F. Murdiya. 2017. Sistem proteksi petir eksternal pada gedungbaru fakultas teknik universitas Riau. Jom FTEKNIK, 4 (2).
Husni, M. 2006. Workshop Penanggulangan Bencana Alam, Gempabumi, Cuacadan Iklim. BMKG. Jakarta.
IDEAL 61-796. 2014. Instruction Manual Analog Earth Resistance Tester.Jepang. 6 hlm
Irawan., Dariah, A., dan Rachman, A. 2015. Pengembangan dan diseminasiinovasi teknologi pertanian mendukung optimalisasi pengelolaan lahankering masam. Makalah review. Badan litbang pertanian. Bagor. Hal 37-50.
Jihad, A. dan Sania, I.R. 2014. Identifikasi pola sambaran petir cloud to ground(CG). Laporan. Stasiun geofisika Mata Ie. Banda Aceh. 5 hlm.
Kamin, R. 2017. Monitoring Petir BMKG. Bahan Diklat Teknis GeofisikaTahun 2017 Pelatihan Ligthning Detector (LD). BMKG. Bogor. 36 hlm.
Kosim, M.E. 2016. Pengaruh waktu pereaksian K2SO4 terhadap yield pembuatanalum dari tanah liat plered dengan proses kering. Konversi. 5(2): 81-86.
Kristanti, E dan Kurniawati, I. 2016. Karakteristik sambaran petir berdasarkankriteria intensitas hujan di Makassar dan Gowa tahun 2016. SeminarIlmiah 20.03.17 dalam rangka memperingati HMD ke-67. BMKGWilayah IV. Makassar. 10 hlm.
Kurnia, U., Agus, F., Adimihardja, A., dan Dariah, A. 2006. Sifat Fisik Tanahdan Metode Analisisnya. Buku. Balai Besar Litbang Sumberdaya LahanPertanian. Jakarta. 282 hlm.
Lim, S. C., Gomes, C., dan Kadir, M. Z. A. A. 2013. Characterizing of Bentonitewith Chemical, Physical and Electrical Perspectives for Improvement ofElectrical Grounding Systems. International Journal ElectrochemScience, 8: 11429-11447.
Maliki, R. 2008. Studi dampak sambaran petir pada peralatan tegangan rendahrumah tangga menggunakan perangkat lunak EMTP. Prosiding SeminarTeknik Elektro ITS. Surabaya. 1-8.
Martin, Y., Andini, D dan Gusmedi, H. 2016. Perbaikan Tahanan pentanahandengan menggunakan bentonit teraktivasi. Jurnal Rekayasa danTeknologi Elektro, 10 (1): 44-53.
Matondang, N.E., Marpaung, P., dan Jamilah. 2014. Penentuan struktur fomulamineral liat pada incetisol di lahan kampus baru USU kwala bekala.Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(2): 621-629.
74
Mukmin, D. W., dan Hasanah, U. 2016. Pengaruh pemberian gipsum terhadapperubahan beberapa sifat fisik dan kimia entisols lembah Palu. e-J.Agrotekbis, 4 (3): 252 – 257.
Othmer, K. 1993. Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed. Vol.6. Buku.John Wiley & Sons. New York. 896 hlm.
Pabla. A.S., 1994. Sistem Distribusi Daya Listrik. Penerbit Erlangga. Jakarta.388 hlm.
Pasaribu, L. 2011. Studi Analisis Pengaruh Jenis Tanah, Kelembaban,Temperatur dan Kadar Garam Terhadap Tahanan Pentanahan Tanah.Tesis Universitas Indonesia. 70 hlm.
Peterson, A., dan Murdiya, F. 2017. Sistem proteksi petir eksternal pada gedungbaru fakultas teknik universitas Riau. Jom Fteknik, 4(2) : 1-12.
Prasetyo, B.H. dan Suriadikarta, D.A. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologipengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering diIndonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4): 39-46.
Presiden RI. 2007. Undang-Undang No.24 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 tentangPenanggulangan Bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaRI. Jakarta.
Presiden RI. 2008. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang PengelolaanSampah.Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.
Price, C. 2008. Lightning Sensors For Observing, Tracking and NowcastingSevere Weather, Sensorr 2008, 8, , Departement of Geophysics andPlanetary Sciences, Tel Aviv University. Israel. 157-170 hlm.
Rajagukguk, M. 2012. Studi pengaruh jenis tanah dan kedalaman pembumiandriven rod terhadap resistansi jenis tanah. Jurnal Vokasi, 8(2): 652-657.
Sanchez, P.A. 1977. Properties and Management of Soil in The Tropics. JohnWilley and Sons Inc. Toronto. Buku. 187 hlm.
Santoso, S., dan Yulianto, F. 2011. Pengaruh pasir-garam, air kencing sapi, batukapur halus dan kotoran ayam ternak terhadap nilai tahanan pembumianpada saat kondisi tanah basah. Jurnal Magistra, No. 76: 72-79.
Saodah, S., Mulyanto, A.T., dan Arfianto, T. 2015. Studi awal alat proteksipetir dengan metode pembalik muatan. Seminar Nasional ke – 9:rekayasa teknologi industri dan informasi. Sekolah Tinggi Ilmu Nasional(STTNAS). Yogyakarta. Hal 131-136.
75
Septiadi, D dan Hadi, S. 2011. Karakteristik petir terkait curah hujan lebat diwilayah Bandung, Jawa Barat. Jurnal meteorologi dan geofisika,(online), 12 (2): 163 – 170.
Septiadi, D dan Tjasyono, B. 2011. Variabilitas musiman cloud ground lightningdan kaitannya dengan pola hujan di wilayah jawa (sudi kasus bandung dansemarang. Jurnal Bumi Lestari, 11( 1): 1 – 8.
Septiadi, D. Hadi, S., dan Tjasyono, B. 2011. Karakteristik petir dari awan kebumi dan hubungannya dengan curah hujan. Jurnal sains Dirgantara, 8(2): 129-138.
Setiono, A. D. 2015. Studi pengaruh kandungan air tanah terhadap tahananjenis tanah Lempung (clay). Jurnal Ilmiah Teknik Elektro. UniversitasTanjungpura, hal 1-9.
Subagyo, H., Suharta, N., dan Siswanto, A.B., 2004. Tanah-tanah Pertanian diIndonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hlm. 21-66.
Sudaryanto, 2016. Analisis perbandingan nilai tahanan pembumian pada tanahbasah tanah berpasir dan tanah ladang. Journal of Electrical Technology,1(1): 67-75.
Sukmawidjaja, M., Abduh. S., dan Nadia, S. 2015. Analisis perancangan sistemproteksi bangunan the bellagio residence terhadap sambaran petir. JETri,12 (2): 75-86.
Sukristiyonubowo, M., Wigena, P., dan Kasno, A. 1993. Pengaruh bahan organik,kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah dan hasil kacang Tanah.Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 11: 1-7.
Sumarno, E. 2014. Sifat dan ciri tanah pada kawasan hutan tropis di dunia. Jurnalonline. Alamat akses: https://www.academia.edu/7187667/Sifatdan_ciri_tanah _pada_kawasan_hutan_tropis di dunia. diakses tanggal 23September jam 20.03 WIB.
Sumarwoto, 2004. Pengaruh pemberian kapur dan ukuran bulbil terhadappertumbuhan iles-iles (amorphophallus muelleri blume) pada tanah ber-Al tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian, 11 (2): 45-53.
Sunarto. 2013. Analisis Pengaruh zat aditif bentonit terhadap nilai resistansipembumian pada elektroda pembumian jenis batang. TEDC PoliteknikNegeri Bandung, 7 (2): 54-61.
Terzaghi. K, dan Peck, B. 1987. Mekanika Tanah dalam Praktek Rekayasa. Buku.Penerbit Erlangga. Jakarta. 383 hlm.
76
Tjasyono, B. HK. 2005. Sains Atmosfir. Buku. Institut Teknologi Bandung.Bandung.
Tjokrodimuljo. 1996. Teknologi Beton. Bahan ajar. Nafiri. Yogyakarta.
Tomas, C. P., De, F dan Rivas, S.L. 2004. Circulation weather types and cloud-to-ground flash density over the iberian peninsula. International JournalOf Climatology, 24: 109-123.
Tongkukut, S. J. H. 2011. Identifikasi potensi kejadian petir di Sulawesi Utara.Jurnal Ilmiah Sains, 11 (1):41-47.
Ugahari, Y. 2008. Analisis Proteksi Sambaran Petir Eksternal MenggunakanMetode Collection Volume Studi Kasus Gedung Fakultas TeknikUniversitas Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.Jakarta.
Vaccari, A., 1998. Catal. Journal Today, 41: 53-71.
Wahyudi, I. 2009. Perubahan konsentrasi aluminium dan serapan fosfor olehtanaman pada ultisol akibat pemberian kompos. Fakultas PertanianUniversitas Tadukulo. Palu. Buana Sains, 9(1): 1-10.
Wicaksono, A. 2018. Analisis Pengaruh Zeolit dengan Kombinasi Bentonit danGypsum Terhadap Nilai Tahanan Pentanahan Sistem Driven Rod.Skripsi. Unila. Lampung, 84 hlm.
Wijaya, W. Y. Benny. Frendi. dan Harianto. 2007. Bencana Alam. BuletinEka-Citta bersatu dalam darma, No. XXVII. Kamadhis. UGM.Yogyakarta. 47 hlm.
Wiqoyah, Q. 2006. Pengaruh kadar kapur, waktu perawatan dan perendamanterhadap kuat dukung tanah tempung. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, 6(1): 16-24.
Yuniarti, E. 2016. Gypsum sebagai soil treatment dalam mereduksi tahananpentanahan di tanah ladang. Palembang. Jurnal Berkala Teknik.5(1): 1-7.