PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET …eprints.uns.ac.id/5556/1/207331011201109021.pdf ·...
Transcript of PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET …eprints.uns.ac.id/5556/1/207331011201109021.pdf ·...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PEMAKAIAN BAHASA
DALAM RUBRIK CELATHU BUTET
PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA
(Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
DEDI ROHMADI
C0204015
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Dedi Rohmadi
NIM : C0204015
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa
dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan
Sosiolinguistik adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan
oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda
citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari sanksi tersebut.
Surakarta, 26 Januari 2011
Yang membuat pernyataan,
Dedi Rohmadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang besar, tanpa menyadari, bahwa
hidup itu adalah kumpulan dari hal-hal kecil
(Frank Clark)
Mendapatkan yang Anda kejar adalah kesuksesan, tetapi mencintai perjalanan
selama Anda berusaha mendapatkannya itulah kebahagiaan
(Bertha Damon)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Kuselesaikan skripsi ini untuk kupersembahkan:
Kepada bapak dan ibu terkasih yang selalu berdoa dalam setiap langkahku.
Pengorbananmu adalah detak nadi kehidupanku.
Adikku Nining dan tante Atun untuk semangat dan dorongan selama ini.
Nadia, setiap detik waktu yang dijalani adalah keindahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara
Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan
dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan
segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Soedarno, M. A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta,
yang telah memberikan kepercayaan dan kemudahan kepada peneliti
selama penyusunan skripsi.
3. Drs. Wiranta, M.S., selaku pembimbing akademik yang selalu
memberi semangat, motivasi, dan nasihat kepada peneliti selama
menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
4. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum selaku pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Segenap dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan kepada peneliti.
6. Staf perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan
kelonggaran kepada peneliti untuk membaca dan meminjam buku-
buku referensi yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu dan Bapak yang telah memberi kasih sayang, doa restu, dan
keleluasaan peneliti dalam menentukan pilihan.
8. Dhamang, Achmadi, Ardi, Andri, Adit, Rulis, Deni, Bayu, dan Riza
terima kasih telah memberikan warna dan kenangan terindah, serta
dorongan dan semangat bagi peneliti.
9. Kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2004 terima kasih atas
indahnya kebersamaan yang telah dijalani selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu peneliti selama penyusunan skripsi
yang tidak mungkin disebutkan satu per satu oleh peneliti dalam
kesempatan ini.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi penyempurnaan karya ini.
Surakarta, Januari 2011
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ………………………………………………………………… i
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………... ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………… iii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… iv
MOTTO …………………………………………………………….….. v
PERSEMBAHAN …………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ix
DAFTAR SINGKATAN........................................................................ xii
DAFTAR TANDA.................................................................................. xiii
ABSTRAK …………………………………………………………….. xiv
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1
B. Pembatasan Masalah …………………………………………... 6
C. Perumusan Masalah ………………………………………….... 6
D. Tujuan Penelitian …………………………………………….... 7
E. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 7
F. Sistematika Penulisan …………………………………………. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR.................. 9
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..……………………................. 9
B. Landasan Teori…………………………….……………..…..... 11
1. Fungsi Bahasa......................................................................... 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
2. Sosiolinguistik…..................................................................... 13
3. Variasi Bahasa…………........................................................ 14
4. Ragam Bahasa Formal dan Informal………………………. 23
5. Interferensi…......................................................................... 25
6. Kode, Alih Kode dan Campur Kode.................................... 27
7. Penghilangan dan Penambahan Fonem……………………. 34
8. Interjeksi…………………………………………………… 34
C. Kerangka Pikir............................................................................ 37
BAB III METODE PENELITIAN....................................................... 39
A. Jenis Penelitian............................................................................ 39
B. Data dan Sumber Data................................................................ 39
C. Populasi dan Sampel.................................................................. 40
D. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 41
E. Teknik Klasifikasi Data …………………………………......… 43
F. Metode Analisis Data.................................................................. 43
G. Penyajian Analisis Data............................................................... 45
BAB IV ANALISIS DATA.................................................................... 46
A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB
pada Surat Kabar SM………………………………………….. 46
1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ……… 47
2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ………….. 64
3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM …………. 66
4. Pelesapan dan Penambahan Fonem ………………..…… 69
5. Interjeksi ………………………………………………… 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta ………………………. 77
B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam
RCB pada Surat Kabar SM ….………………………………... 80
BAB V PENUTUP................................................................................. 87
A. Simpulan ………………………………………….…………… 87
B. Saran ………………………………………………………….. 88
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 89
LAMPIRAN DATA
LAMPIRAN BIOGRAFI/PROFIL PENULIS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR SINGKATAN
AK : Alih Kode
CK : Campur Kode
Interf : Interferensi
Interj : Interjeksi
PDJ : Partikel Dialek Jakarta
PPF : Pelesapan dan Penambahan Fonem
RCB : Rubrik Celathu Butet
SM : Suara Merdeka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TANDA
(….) = terjemahan
/... / = satuan di dalamnya adalah fonem
[...] = satuan fonetis
( - ) = tanda hubung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
ABSTRAK
Dedi Rohmadi. C0204015. 2010. Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet
pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Skripsi:
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : (1) Bagaimana bentuk
pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ?(2) Faktor sosial
apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM?
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan
ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM. (2) Menjelaskan faktor sosial
yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah
deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa bentuk-bentuk pemakaian bahasa, yaitu
kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau
menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, yang terdapat
dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari
sampai dengan September 2009. Teknik pengambilan data berupa teknik simak,
teknik catat, dan teknik pustaka.
Berdasarkan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa
dalam RCB pada surat kabar SM ditemukan bentuk-bentuk pemanfaatan ragam
informal yang ditandai dengan adanya pemakaian campur kode, alih kode,
interferensi, adanya pelesapan dan penambahan fonem, pemanfaatan bentuk-
bentuk interjeksi serta pemakaian partikel dialek Jakarta. (1) Campur kode yang
terdapat dalam RCB meliputi pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia atau campur kode yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan
pemakaian unsur bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode
yang bersifat ke luar (outer code mixing), (2)peristiwa alih kode dalam RCB
didominasi oleh alih kode yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan
(3) interferensi yang terjadi di dominasi oleh interferensi pada tataran kata atau
interferensi morfologi. (4) Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi
pelesapan konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. (5) Interjeksi
digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan
keheranan, seruan atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan
sebagainya. (6) Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih,
dong, dan deh.
Kedua, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam
RCB pada surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer,
receiver), (2) tempat pembicaraan, dan (3) suasana pembicaraan (situation scene).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia.
Dimiliki dan digunakannya bahasa merupakan ciri khas yang membedakan antara
manusia dengan makhluk lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi
dengan manusia lain guna menjalin kerja sama dan memecahkan atau
menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Bahasa
merupakan sarana utama yang digunakan manusia untuk mengungkapkan (dan
tentu memahami) pikiran dan perasaan sehingga komunikasi dapat berjalan
dengan baik (Sarwiji Suwandi, 2008:97)
Beragamnya pemakaian bahasa secara nyata menimbulkan
keanekaragaman karakteristik kebahasaan. Pemanfaatan potensi bahasa sebagai
alat komunikasi dapat dilihat dari dunia pendidikan, pemerintahan, media massa
elektronik, media massa cetak, dan hampir semua ranah kehidupan membutuhkan
bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan informasi. Jadi bahasa memiliki
peran dan fungsi yang strategis dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana
pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa bahasa adalah “ sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri” (2001:21).
Salah satu bentuk pemakaian bahasa tulis dalam komunikasi adalah
seperti yang ada dalam media massa cetak, dalam hal ini berupa surat kabar. Surat
kabar sebagai salah satu media massa cetak mempunyai fungsi untuk
menyampaikan berita kepada pembaca. Pada saat penulis menyampaikan isi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pikiran tersebut terjadilah pemindahan informasi yang efisien. Jadi dalam hal ini,
yang dipentingkan adalah pemakaian bahasa yang berorientasi kepada pembaca
atau penerima dalam menangkap informasi secara benar. Surat kabar dalam
menyampaikan informasi menggunakan media pengungkapan berupa bahasa.
Adanya berbagai macam bentuk pemakaian bahasa yang merupakan
identitas penutur (penulis dalam bahasa tulis) atau kelompok masyarakat serta
adanya bermacam gaya dalam konteks sosial seperti itu menunjukkan bahwa ada
semacam korelasi antara kelas atau status sosial penulis dengan cara-cara
pemakaian atau pemilihan bahasa. Ciri-ciri khusus tuturan seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dapat dijadikan indikator untuk menunjukkan
kelas atau status sosial mereka atau penulis di dalam masyarakat. Di samping itu,
ketepatan pemilihan kata atau variasi bahasa dalam tuturannya dapat dijadikan
petunjuk sejauh mana seorang penutur atau penulis menguasai bahasa yang
sedang dipergunakannya.
Setiap penutur pasti mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak dipunyai
oleh penutur lain dan membedakan dirinya dengan penutur lain. Sifat-sifat khusus
ini ada yang sifatnya fisis-fisiologis dan ada pula yang sifatnya psikis-mentalistis.
Perbedaan suara yang disebabkan karena perbedaan organ-organ bicara
penuturnya adalah fisis-fisiologis, sedangkan perbedaan gaya adalah psikis-
mentalistis. Dalam bahasa lisan sifat khusus fisis-fisiologis ini dapat kita lihat
dengan mendengar suara dari tuturan-tuturan si penutur. Perbedaan-perbedaan
organ ucap manusia juga menyebabkan artikulasi yang berbeda antara penutur
satu dengan yang lain. Di samping itu, setiap penutur memiliki “warna suara”
yang berbeda atau berlainan dengan penutur lain. Selain sifaf-sifat khusus yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
merupakan gejala fisiologis, perbedaan tuturan dapat kita kenal dengan
memperhatikan gaya bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, ungkapan-
ungkapan yang sering dipakainya dan sebagainya yang merupakan gejala psikis-
mentalistis. Paduan antara sifat-sifat khusus yang demikian itu secara keseluruhan
merupakan ciri-ciri khas bahasa seseorang yang membedakan dia (penutur dalam
bahasa lisan dan penulis dalam bahasa tulis) dengan orang lain (Suwito, 1992:7)
Perbedaan-perbedaan pemakaian bahasa juga terjadi dalam penulisan
artikel pada surat kabar. Seperti dalam penulisan kolom atau rubrik “Celathu
Butet” yang dimuat dalam surat kabar Suara Merdeka. Rubrik “Celathu Butet”
(selanjutnya akan disingkat RCB) adalah sebuah rubrik yang terdapat dalam surat
kabar Suara Merdeka (selanjutnya disingkat SM) yang terbit setiap hari Minggu.
Seperti namanya, RCB tersebut ditulis oleh budayawan dan aktor Butet
Kertaradjasa. Rubrik ini terletak pada halaman pertama harian tersebut, berada
pada samping kolom berita utama, di dalamnya terdapat judul dan karikatur wajah
si penulis, dengan latar halaman berwarna biru. Jika dilihat dari jenisnya, maka
rubrik ini termasuk dalam rubrik opini. Di dalamnya berisi opini serta pandangan
penulisnya mengenai masalah-masalah serta gejala-gejala sosial, peristiwa-
peristiwa yang sedang hangat ,atau hal-hal yang menjadi topik pembicaraan saat
itu.
Rubrik ini menurut peneliti sangat menarik untuk dikaji menjadi sebuah
penelitian tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasanya. Sebagai
sebuah rubrik opini dalam surat kabar, rubrik ini mempunyai gaya penulisan yang
membedakannya dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik
sejenis pada surat kabar lainnya, baik itu perbedaan yang meliputi gaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, dan ungkapan-ungkapannya.
RCB banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek,
juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah
pendapat atau opini. Mengingat latar belakang penulis yang berlatar belakang
budaya Jawa, maka tulisan dalam rubrik ini sangat kental dengan dialek-dialek
bahasa Jawa, di samping ada juga pemakaian dialek Betawi dan pemakaian
bahasa asing.
Dalam bahasa lisan, struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat
tidak cermat hal tersebut tentu berbeda dengan bentuk atau ragam tulis, sebab
bahasa tulis memiliki aturan-aturan atau kaidah penulisan yang tidak dapat
dilanggar, tetapi tampaknya aturan-aturan tersebut tidak berlaku dalam penulisan
RCB ini. Bila dilihat, ragam lisan yang disalin ke dalam bentuk tulis ini tidak
mendapat perbaikan-perbaikan dan memang tidak memperhatikan kaidah atau
aturan penulisan yang baik dan benar. Struktur kalimat dan pilihan katanya jelas
tidak mendapat perbaikan dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku atau ejaan
yang disempurnakan. Akan tetapi, justru hal tersebut yang membuat rubrik ini
menarik dan berbeda dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik
sejenis pada surat kabar lainnya. Bahasa yang dipakai oleh penulis menjadi ringan
untuk dicerna atau dipahami maksudnya oleh para pembaca yang berasal dari
berbagai kalangan profesi, pendidikan, jabatan dan berbagai macam latar belakang
yang berbeda-beda.
Kekhasan pemakaian bahasa dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar
SM ini sangat menarik untuk diteliti. Penulis rubrik ini mencoba untuk
menuangkan gagasan-gagasan, opini, maupun kritik tentang fenomena-fenomena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dan gejala sosial tentang keadaan lingkungan di sekitarnya, baik itu tentang
kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan ,dan sebagainya ke dalam
sebuah bahasa yang khas atau berbeda dibandingkan dengan rubrik atau tulisan
lain yang dimuat dalam media yang sama, yaitu surat kabar Suara Merdeka atau
bahkan dengan rubrik-rubrik sejenis yang ditulis pada surat kabar yang berbeda.
Topik-topik yang dibahas dalam rubrik ini yang terlihat berat untuk diungkapkan,
tetapi oleh penulis terkesan menjadi ringan untuk diungkap karena penulis
mengemasnya sedemikian rupa agar lebih menarik, hal-hal inilah yang menjadi
karakter khas yang menjadi ciri kebahasaan yang digunakan oleh Butet
Kertaradjasa dalam RCB.
Diksi atau pilihan kata yang dipakai oleh penulis terkesan lebih santai
atau tidak formal sehingga mudah untuk dipahami. Pemakaian ejaan-ejaan serta
kata-kata tidak baku yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta penggunaan karakter kebahasaan yang
banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga
penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah
pendapat atau opini juga merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengambil
kajian tentang pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB yang terbit
dalam surat kabar SM. Kajian tersebut mengenai pemakaian bahasa yang
digunakan dalam sebuah rubrik pada surat kabar yang dilihat dari pendekatan
sosiolinguistik. Pengetahuan dari sosiolinguistik ini dapat dimanfaatkan dalam
berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman
dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
bahasa apa yang harus digunakan ketika berbicara dengan orang lain atau
berinteraksi dengan pembaca. Faktor-faktor inilah yang mendasari peneliti untuk
mengambil judul penelitian Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada
Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik.
B. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan dan untuk mengarahkan penelitian ini
agar lebih mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka
sangat diperlukan adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dibatasi pada
pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM yang diterbitkan
setiap hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.
C. Perumusan Masalah
Agar dalam pembatasan arah dan tujuan penelitian ini jelas, maka
diperlukan suatu perumusan masalah. Artinya masalah yang hendak diteliti perlu
diidentifikasi secara lebih terinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan
yang operasional. Yaitu pernyataan-pernyataan yang mengarahkan, sekaligus
membatasi ke perumusan masalah (Edi Subroto, 1992:39).
Dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji
sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat
kabar SM?
2. Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB
pada surat kabar SM?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Tujuan Penelitian
Penelitian yang ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas mengingat
penelitian harus mempunyai arah sasaran yang jelas dan tepat. Adapun tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada
surat kabar SM.
2. Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa pada
RCB pada surat kabar SM.
E. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian pada hakikatnya diharapkan memiliki manfaat, baik
secara praktis maupun secara teoretis. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Edi Subroto bahwa “...di samping memberikan sumbangan ke arah pengembangan
ilmu, juga hendaknya ikut memberikan pemecahan masalah yang bersifat
praktis....” (Edi Subroto, 1992:91). Adapun manfaat yang dapat dipetik dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan
kebahasaan, khususnya linguistik, dalam hal ini adalah kebahasaan
dalam lingkup sosiolinguistik khususnya mengenai pemakaian
bahasa dalam sebuah rubrik pada sebuah surat kabar.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
tambahan pengetahuan bagi pembaca maupun peneliti terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada surat kabar. Penelitian
ini juga diharapkan dapat membantu peneliti maupun pembaca
khususnya dalam hal memahami bentuk pemakaian bahasa yang
terdapat pada sebuah rubrik pada surat kabar.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penguraian dalam suatu penelitian maka
diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini
terdiri dari lima bab yang di dalamnya memuat permasalahaan yang tetap
merupakan satu kesatuan pikiran yang saling berkaitan. Adapun sistematika dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab pertama memuat pendahuluan, yang di dalamnya menjelaskan latar
belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan kajian pustaka, bab ini membahas tentang
beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji. Teori-teori
tersebut digunakan sebagai landasan dalam penganalisisan data.
Bab ketiga berupa metode penelitian, bab ini berisi penjelasan mengenai
jenis penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan
teknik analisis data.
Bab keempat merupakan analisis data, bab ini menguraikan analisis
terhadap data-data yang menjadi objek penelitian.
Bab kelima merupakan penutup dari semua uraian bab-bab sebelumnya
yang berisi tentang simpulan dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa studi terdahulu yang relevan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti di antaranya adalah Septi Nur Hanani, dan Yovi Ariani W.S. Penelitian
yang pernah dilakukan tersebut antara lain sebagai berikut:
Septi Nur Hanani (2005) dalam skripsi yang berjudul Rubrik “Sungguh-
sungguh Terjadi” dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Suatu Tinjauan
Sosiolinguistik), mendeskripsikan analisisnya sebagai berikut: (1) karakter
pemakaian bahasa dalam rubrik SST meliputi pemakaian ragam informal, ragam
percakapan, singkatan dan akronim, pemanfaatan bentuk slang, pemanfaatan gaya
bahasa seperti hiperbola, repetisi, personifikasi, elipsis, pemakaian idiom, campur
kode, alih kode, serta interferensi, (2) aspek humor dapat diketahui dengan
beberapa teknik antara lain teknik keambiguan, teknik pertentangan makna, teknik
logika yang terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika
bahasa, penyimpangan logika makna, dan teknik membandingkan yang tidak
logis, (3) fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik meliputi sarana menghibur,
sarana menyampaikan informasi, sarana mendidik, sarana mempengaruhi
masyarakat sebagai pembaca.
Skripsi Yovi Ariani W.S (2006) yang berjudul “Pemakaian Bahasa
Indonesia pada Kriing Solopos: Pendekatan Sosio-pragmatik, mendeskripsikan
adanya pemanfaatan ragam informal dalam rubrik Kriing Solopos menyebabkan
terjadinya campur kode, alih kode, dan interferensi/ penyimpangan dalam suatu
tuturan. Adanya tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
komisif, dan deklaratif. Juga pembahasan tentang maksud yang terkandung di
balik tuturan dalam rubrik Kriing Solopos, adalah untuk memohon, menyuruh,
menyarankan, menyindir, dan mengkritik yang disampaikan dengan kalimat
berita. Kalimat tanya dapat digunakan untuk menyuruh melakukan sesuatu dan
menyindir. Maksud menyarankan juga dapat disampaikan dengan kalimat
perintah. Maksud yang tersurat dilakukan oleh penutur untuk lebih memperhalus
tuturannya.
Berbeda dengan penelitian terdahulu, peneliti mengambil sebuah
penelitian yang bertajuk “Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada
surat kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Penelitian ini
menganalisis tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasa dalam sebuah
rubrik yang ditulis oleh seorang aktor dan budayawan Butet Kertaradjasa yaitu
RCB yang dimuat pada surat kabar SM dengan menggunakan tinjauan
sosiolinguistik. Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat
dalam surat kabar SM, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di
dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi,
sedangkan sumber data yang dipergunakan oleh peneliti adalah sumber data
tertulis pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit pada hari
Minggu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
B. Landasan Teori
1. Fungsi Bahasa
Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,
dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga
perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi
untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit. Oleh karena itu, fungsi-
fungsi bahasa itu, antara lain dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik,
kode, dan amanat pembicaraan.
a. Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau
pribadi. Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat
bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan
tuturannya. Dalam hal ini si pendengar juga dapat menduga apakah si
penutur sedih, marah atau gembira.
b. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi
direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa itu
tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan
kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini
dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan.
c. Dilihat dai segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini
berfungsi fatik, yaitu menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan
perasaan bersahabat, atau solidaritas social. Ungkapan-ungkapan yang
digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pamit, membicarakan cuaca, atau menyakan keluarga. Oleh karena itu,
ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah. Misalnya
“Bagaimana anak-anak?”, “Mau kemana nih?”, dan sebagainya
d. Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial.
Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek
atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya
pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham
tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk
menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya.
Ungkapan seperti “Ibu dosen itu cantik sekali” adalah contoh penggunaan
bahasa yang berfungsi referensial.
e. Dilihat dari kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual
atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan
bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa
di mana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan
bahasa, juga dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk
menjelaskan arti bahasa (dalam kata) itu sendiri.
f. Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan, maka bahasa
itu berfungsi imaginative. Sesungguhnya, bahasa itu dapat digunakan
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang
sebenarnya, maupun yang berbentuk imajinasi (khayalan atau rekaan) saja.
Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng,
lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para
pendengarnya (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:14-17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2. Sosiolinguistik
Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan
memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya
masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas bahwa sosiolinguistik
mempertimbangkan keterkaitan antara dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi
kebahasaannya dan dengan sosiologi untuk segi kemayarakatannya. Batasan
pengertian sosiolinguistik yang menekankan studi bahasa dalam hubungan dengan
masyarakat dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah pendapat Appel
(dalam Suwito, 1991:3), “ Sosiolinguistik memandang bahasa, pertama-tama
sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat
dan kebudayaan tertentu, sehingga pemakaian bahasa (language use) sudah
sebagai bentuk interaksi dalam situasi yang konkret”.
Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian sosiolinguistik adalah
“cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara
perilaku bahasa dengan perilaku sosial” (Harimurti Kridalaksana, 2001:201).
Pendapat yang lain mengatakan bahwa sosiolinguistik “merupakan cabang dari
ilmu linguistik yang mengkaji tentang pemakaian bahasa di lingkungan
masyarakat atau dapat juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari aspek
kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat
dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial)”
(P.W.J Nababan, 1993:2).
Mansoer Pateda mendefinisikan sosiolinguistik sebagai “suatu cabang
ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks
sosial dan budaya” (Mansoer Pateda, 1987:3). Kajian sosiolinguistik selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
bersifat kontekstual, artinya di dalam analisisnya konteks pemakaian bahasa
dalam masyarakat selalu diperhitungkan. Sosiolinguistik sendiri didefinisikan
sebagai “subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
faktor-faktor kemasyarakatan atau faktor sosial” (Soeparno, 2002:25).
Fishman (dalam Suwito, 1991:5) melihat sosiolinguistik dari sudut
adanya hubungan antara variasi bahasa, fungsi bahasa dan pemakaian bahasa serta
adanya perubahan-perubahan sebagai akibat terjadinya interaksi antara ketiganya,
dan memberikan batasan sosiolingusitik sebagai studi tentang sifat-sifat khusus
(karakteristik) variasi bahasa, sifat-sifat khusus fungsi bahasa dan sifat-sifat
khusus pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta perubahan-perubahan
antara ketiganya dalam masyarakat tutur. Baik dalam memahami bentuk tutur, arti
dan perubahan dalam bahasa segi konteks pemakaian selalu diperhitungkan.
3. Variasi Bahasa
Para ahli linguistik cenderung menganggap bahasa sebagai sesuatu yang
tidak bervariasi. Jika terdapat variasi dalam bahasa , variasi-variasi itu dianggap
tidak penting dan bila dibicarakan hanya ditinjau sepintas saja. Sebaliknya, bagi
ahli sosiolinguistik variasi-variasi bahasa itu penting sekali. Variasi-variasi yang
terdapat dalam bahasa manapun merupakan salah satu ciri dari kehidupan sebuah
bahasa dalam masyarakat pemakai bahasa itu (Khaidir Anwar, 1990:20).
Mansoer Pateda (1991:84) beranggapan bahwa “Faktor dominan yang
lain yang tentunya sangat mempengaruhi suatu komunikasi adalah adanya variasi-
variasi di dalam suatu bahasa”. Mansoer Pateda membagi variasi bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berdasarkan a) tempat, b) waktu, c) pemakai, d) pemakaiannya, e) situasi dan f)
status”.
Variasi bahasa jika ditinjau dari segi tempat akan menghasilkan apa yang
disebut dengan dialek regional, yang dilihat dari segi waktu akan menghasilkan
apa yang disebut dengan dialek temporal, yang dilihat dari segi pemakai
menghasilkan apa yang disebut idiolek, berdasarkan kelamin, monolingual, status
sosial dan yang berdasarkan umur. Variasi dari segi pemakaiannya menghasilkan
apa yang disebut kreol, bahasa lisan, pijin, register, repertories, reputasi, standar
bahasa tulis, bahasa tutur sapa, jargon. Selanjutnya variasi bahasa yang dilihat dari
segi situasi dapat dibagi atas variasi bahasa situasi formal dan yang non formal,
sedangkan variasi bahasa yang dilihat dari segi status dapat dibagi atas bahasa ibu,
bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar,
bahasa persatuan, bahasa resmi. Hal tersebut akan terlihat pada kita bahwa
komunikasi yang menggunakan bahasa formal berbeda dengan komunikasi pada
situasi nonformal ( Mansoer Pateda, 1991:84).
Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:63) dalam hal variasi
atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari
adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa
itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan
pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu
menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk
memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang
jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya
keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Berikut pengklasifikasian variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan
Leonie Agustina (2004:62).
a. Variasi dari segi penutur
1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut
konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya
masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,
pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
2) Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area
tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat
tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional
atau dialek geografi.
3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa
Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi masa tahun lima puluhan,
dan seterusnya.
4) Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi yang berkenaan dengan status,
golongan dan kelas sosial para penuturnya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan,
status dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga
yang menambahkan bahasa prokem (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66)
Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih
tinggi atau lebih bergengsi dari variasi lainnya. Sebagai contoh adalah yang
disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus dipakai
oleh para bangsawan kraton Jawa.
Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan
dipandang rendah. Contohnya bahasa Inggris yang dipakai oleh para cowboy dan
kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.
Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya
tampak pada pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari
kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi
ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh
diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang
digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan
bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat
temporal, dan lebih umum digunakan oleh kawula muda, meski kawula tua pun
ada juga yang menggunakannya.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam
percakapan sehari – hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan,
konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam
percakapan bahasa Indonesia banyak digunakan bentuk – bentuk kolokial, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak
usah), dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara
terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan
seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar
kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Misalnya, dalam kelompok montir atau perbengkelan terdapat ungkapan-
ungkapan seperti rodagila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara
terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak pengkhususan
argot adalah pada kosakata, misalnya dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang
copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti „mangsa‟, kaca mata
berarti „polisi‟, daun yang berarti „ uang‟, gemuk yang berarti „mangsa besar‟,
tape yang berarti „mangsa empuk‟.
Yang dimaksud dengan ken (Inggris : cant) adalah variasi sosial tertentu
yang bernada “memelas“, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan.
Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the
cant of beggar (bahasa pengemis) (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66 -
67).
b. Variasi dari segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau
fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya
dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan
sarana penggunaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut
bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra,
jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan
keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak
cirinya adalah dalam bidang kosakata.
c. Variasi dari segi keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer
dan Leonie Agustina, 2004:70) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi
bahasa atas lima macam gaya (Inggris : Style), yaitu gaya atau ragam beku
(frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif),
gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
d. Variasi dari segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang
digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis atau
juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu,
yakni, misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf.
Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:100) menegaskan bahwa tingkat
formalitas dalam pemakaian bahasa mengacu pada style. Menurutnya, dalam
pemakaian bahasa Inggris, terdapat lima tingkat yakni, frozen, formal,
consultative, casual, dan intimate. Ia juga beranggapan bahwa dalam bahasa
Indonesia pun gaya yang demikian dapat dibagi atas lima tingkat;
a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi, yang
dipergunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen
bersejarah seperti Undang-Undang Dasar.
b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-
pidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya.
c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan
pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat
yang berorientasi pada hasil. Ragam ini berada pada tingkat yang paling
operasional.
d. Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam
berbincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya
e. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab
dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara
lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-
artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-
istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman
akrab.
Pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan oleh sejumlah faktor
penentu. Menurut Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:99), faktor penentu itu
antara lain, adalah siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik), dalam
situasi (setting), yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan,
lisan, telegram, dan sebagainya). Dell Hymes (dalam Hamid Hasan Lubis,
1994:84) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya
peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING. Yang berturut-turut dimaksudkan
sebagai berikut S (Setting and scenes), P (Participants), E (Ends), A ( Act
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
sequences), K (Keys), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Di bawah
ini penjelasan secara singkat komponen tutur tersebut
a. Settings and scenes (tempat dan suasana tuturan)
Settings and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu
terjadinya sebuah tuturan.
b. Partisipants (peserta tutur)
Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam
bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua
adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa
jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga.
c. Ends (tujuan)
Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi
atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan
kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk
mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang
dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering pula disebut
sebagai tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk
memelihara kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat.
Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah
tuturan.
d. Act sequence (pokok tuturan)
Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu
berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pokok tuturan itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam
bertutur.
e. Keys (nada tutur)
Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan
dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah
modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini
dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada
nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya.
f. Instruments (sarana tutur)
Sarana tutur menunjuk pada saluran tutur (chanels) dan bentuk tutur (form of
speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat
dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang
dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa
sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa,
yakni bahasa sebagai sisten mandiri, dialek, dan variasi-variasi bahasa yang
lainnya. Bentuk tutur akan banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai
oleh penutur itu di dalam bertutur.
g. Norms (norma tutur)
Norma tutur dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm)
dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi
menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam
bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi masih
memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat
dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.
h. Genre (jenis tutur)
Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan.
Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana misalnya percakapan, cerita,
pidato, dan semacamnya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula
kode yang dipakai dalam bertutur (Sarwiji Suwandi, 2008:99-100).
4. Ragam Bahasa Formal dan Informal
Menurut Suwito (1992:13) “ketika seseorang berkomunikasi dalam
situasi tuturan yang tidak resmi/informal, atau dalam tuturan yang bersifat intim
dan santai maka variasi bahasa yang digunakan adalah bahasa intim, bahasa santai
atau ragam bahasa yang bersifat informal. Bahasa seperti itu ditandai antara lain
dengan munculnya bentuk-bentuk yang tidak lengkap, penanggalan afiks, susunan
kalimat yang tidak begitu tertib, sistem fonologi yang kurang teratur, dan
pemilihan kata yang seenaknya”.
Antara fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat hubungannya,
sebab ragam bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam suatu peristiwa
bergantung kepada situasinya. Dalam situasi resmi atau formal hendaknya
dipergunakan ragam bahasa baku, seperti dalam surat-menyurat resmi,
administrasi pemerintahan dan sebagainya. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak
resmi atau informal tidak perlu dipergunakan ragam baku, seperti situasi
pembicaraan di dalam rumah, pinggir jalan, dan sebagainya (Suwito, 1992:44)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Secara keseluruhan ragam baku itu hanya ada satu dalam sebuah bahasa.
Dengan kata lain ragam-ragam selebihnya, termasuk dialek adalah ragam
nonbaku. Dari sudut kebahasaan, perbedaan antara baku dan nonbaku tentu ada
dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa
kata, dan tata kalimat. Berikut ini adalah ciri-ciri dari ragam baku yang
dikemukakan oleh Suwito (1992:49).
a. Ejaan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara
dan tata tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang
disempurnakan (EYD).
b. Peristilahan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang
cara atau tertib pembentukan istilahnya berpedoman kepada pedoman
umum pembentukan istilah bahasa Indonesia (PUPI).
c. Kosa kata : beberapa kosa kata berikut menunjukkan ragam baku dan ragam
tidak baku kata-kata dalam bahasa Indonesia.
- Baku : bagaimana, mengapa, begini, begitu, memberi, membuat, pergi,
tidak, sudah, dan sebagainya.
- Tidak baku : gimana, kenapa, gini, gitu, kasih, bikin, tak, udah, dan
sebagainya.
d. Tata bahasa : beberapa bentuk kata dan struktur kalimat dibawah ini
menunjukkan ragam baku dan tidak baku.
Baku
- Ia terus tertawa
- Kuliah sudah berjalan lagi
- Ayahnya mengatakan
begini
Tidak baku
- Ia terus ketawa
- Kuliah udah jalan lagi
- Ayahnya ngatain gini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
e. Lafal : lafal baku bahasa Indonesia ialah lafal bahasa Indonesia yang relatif
bebas dari atau sedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek
setempat.
Dalam setiap masyarakat bahasa, tidak ada seorang pembicara pun yang
menggunakan satu ragam bahasa saja. Orang Indonesia yang mempunyai banyak
bahasa, banyak ragam bahasa, serta banyak bahasa daerah, biasanya
menggunakan ragam bahasa yang banyak pula, tergantung pada bermacam-
macam faktor dan situasi. Di dalam bahasa Indonesia tukar-menukar bahasa yang
digunakan atau kode terjadi dalam berbagai kesempatan. Pada kelanjutannya
dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, proses penyisipan unsur bahasa kedaerahan
dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain ini dikenal dengan adanya interferensi,
alih kode, dan campur kode.
5. Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si
penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh
bahasa lain. Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2),
dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau
bahasa ibu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).
Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti
semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Jika penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata nama tempat yang berasal nama bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/
dengan penasalan di depannya, maka terjadilah interferensi tatabunyi atau
interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. Misalnya /mBandung/,
/nDeli/, /ngGombong/, /nJambi/ dan sebagainya (Suwito, 1991:65).
Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu
bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya,
sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an dari bahasa daerah (Jawa, Sunda),
dan afiks –(n) isasi, -is dari bahasa asing (Belanda, Inggris), misalnya dalam kata-
kata: kelanggar, kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan,
turinisasi, ikanisasi, agamais, Pancasilais, dan sebagainya. (Suwito, 1991:66).
Interferensi dalam bidang sintaksis dapat dilihat pada contoh kalimat
dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa – Indonesia dalam berbahasa
Indonesia yang berbunyi “ Di sini toko Laris yang mahal sendiri”. Kalimat
bahasa Indonesia itu berstuktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya
“Neng kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam bahasa Indonesia
merupakan terjemahan kata dhewe dalam bahasa Jawa, seperti pada kalimat
“Neng ngomah dhewe” (di rumah sendiri), “ Aku krungu dhewe” (Aku
mendengar sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata „sing’ dan
adjektif adalah berarti „paling’, dhuwur dhewe, apik dhewe, sing larang dhewe.
Dalam bahasa Indonesia baku kalimat di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris
adalah toko yang paling mahal di sini”.
Apabila dalam bahasa Indonesia terdapat struktur kalimat seperti
“Rumahnya Ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu” atau “Makanan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
telah dimakan oleh saya”, atau “Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin”
dan sebagainya, maka dalam stuktur kalimat itu terserap struktur kalimat dari
bahasa lain. Padanan struktur kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia
ialah “ Rumah ayah Ali yang paling besar di kampung itu”, “Makanan itu telah
saya makan” dan “ Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” (Suwito,
1991:66-67).
6. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode
a. Kode
Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian di dalam
hierarki kebahasaan. Selain kode juga dikenal varian lain; misalnya varian
regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, varian kegunaan dan sebagainya. Yang
dimaksud varian di sini adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh
faktor tertentu. Dari sudut lain varian regional sering disebut juga dialek geografis
yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Varian kelas
sosial sering disebut dialek sosial. Ragam dan gaya dirangkum laras bahasa,
sedangkan varian kegunaan disebut sebagai register. Masing- masing varian
merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk
dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (Suwito,
1991:78).
Kode didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat
bahasa (Soepomo Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001:21-22).
Dalam kajian sosiolinguistik sudah ditemukan pada umumnya orang
berganti kode itu tidak seenaknya saja, melainkan mengikuti pola-pola tertentu.
Untuk dapat mencarikan polanya itu dan menerangkan dengan tepat, maka tentu
diperlukan penelitian dengan hati-hati dan seksama (Khaidir Anwar, 1990:41).
b. Alih kode
1) Pengertian Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang
lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya
bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa
Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (
code-switching ). Namun karena di dalam kode terdapat berbagai kemungkinan
varian ( baik varian regional, varian klas sosial, ragam, gaya, ataupun register)
maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya
atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkat-tingkat
tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito, 1991:80).
Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:107)
mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel, Hymes (dalam Suwito, 1991:81)
mengatakan bahwa “ alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian
(peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa gaya dalam satu ragam ”.
Jadi menurutnya alih kode tidak hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa
nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah , atau antar beberapa
ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek, alih kode seperti itu bersifat
intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing,
maka disebut alih kode ekstern.
2) Ciri-ciri Alih Kode
Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan
bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di
dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur
menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikit pun memanfaatkan
bahasa atau unsur bahasa yang lain. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa
(atau lebih) ditandai atau mempunyai ciri-ciri : (1) masing- masing bahasa masih
mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi masing-
masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks
(Suwito, 1991:80).
Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001:20) memilahkan alih kode
menjadi dua, yaitu apa yang disebut dengan 1) alih kode intern (internal code
switching) yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa
nasional, antardialek dalam suatu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan
gaya yang terdapat dalam suatu dialek, 2) alih kode ekstern (external code
switching) adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
3) Latar Belakang Terjadinya Alih Kode
Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:108)
menjelaskan bahwa “penyebab terjadinya alih kode harus dikembalikan kepada
pokok permasalahan dalam sosiolinguistik, yaitu mengenai siapa yang berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan , dengan tujuan apa”.
Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-
faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang bersifat sosio-situasional.
Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya alih kode adalah :
(a) Penutur
Seorang penutur kadang-kadang secara sadar berusaha beralih kode
terhadap lawan tuturnya. Usaha yang demikian dimaksudkan untuk mengubah
situasi, mungkin dari situasi yang resmi ke situasi tak resmi. Dengan situasi yang
tidak resmi diharapkan masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah
dipecahkan.
(b) Lawan Tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang
dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti
bahwa seorang penutur harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang
dihadapinya.
(c) Hadirnya Penutur Ketiga
Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya
saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Namun, jika terdapat
penutur ketiga maka kedua penutur sebelumnya akan beralih kode ke penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
yang ketiga. Hal ini untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya
orang ketiga tersebut.
(d) Pokok Pembicaraan ( Topik )
Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan terciptanya sebuah alih
kode. Pokok pembicaraan atau topik dapat dibedakan menjadi dua; 1) pokok
pembicaraan yang bersifat formal, misalnya: masalah kedinasan, keilmuan dsb. 2)
pokok pembicaraan yang bersifat nonformal misalnya: kekeluargaan,
persaudaraan, kesetiakawanan dsb.
(e) Untuk Membangkitkan Rasa Humor
Alih kode kadang sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, dan
seorang pelawak untuk membangkitkan rasa humor sesorang. Tujuannya adalah
untuk menyegarkan suasana yang mulai lesu. Alih kode demikian mungkin
berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara.
(f) Untuk Sekedar Bergengsi
Hal ini terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-
faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk
beralih kode. Dengan kata lain baik fungsi kontekstual maupun situasi
relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1991:85-87).
c. Campur kode
1) Pengertian Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan
mengenai campur kode. Peristiwa alih kode dan campur kode merupakan hal yang
sering terjadi dalam kegiatan komunikasi, tidak saja di kalangan orang atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
masyarakat bilingual, tetapi juga monolingual seperti yang terdapat dalam
fenomena kebahasaan di dalam RCB.
Subyakto (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan campur kode “
ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara
orang-orang yang kita kenal dengan akrab”. Selanjutnya, Kridalaksana (dalam
Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan “ campur kode antara lain berarti
penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya
dan ragam bahasa, termasuk di dalam pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan
sebagainya”.
2) Ciri-ciri Campur Kode
Ciri dari gejala campur kode adalah unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai unsur
tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal
campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguislistic convergen) yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur
yang demikian dapat dibedakan menjadi dua; 1) yang bersumber dari bahasa asli
dengan segala variasi-variasinya, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-
unsur golongan ini disebut campur kode ke dalam (inner code mixing), 2)
bersumber dari bahasa asing, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-unsur
golongan ini disebut campur kode ke luar (outer code mixing) (Suwito, 1991:88-
89).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Beberapa hal yang menjadi ciri dari campur kode yaitu; 1) penggunaan
dua bahasa atau lebih, 2) berlangsung dalam situasi informal, santai atau akrab, 3)
tidak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut terjadinya campur
kode, dan 4) campur kode itu dapat berupa pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan,
dan sebagainya (Suwandi, 2008:88).
3) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Menurut Suwito (1991:90) latar belakang terjadinya campur kode pada
dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu; tipe yang berlatar belakang
pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan
(linguistic type). Kedua tipe ini saling bergantung dan tidak jarang bertumpang
tindih (overlap). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling
bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dapat diidentifikasi beberapa alasan
atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, alasan itu antara lain; a)
identifikasi peranan, b) identifikasi ragam, dan c) keinginan untuk menjelaskan
dan menafsirkan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan
edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur
melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status
sosialnya. Sedangkan, keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, tampak
karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain
dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
7. Penghilangan fonem dan Penambahan fonem
Badudu (1983:63) dalam Pelik-pelik Bahasa Indonesia menjelaskan
bahwa “gelaja fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam: penambahan fonem di
depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis,
dan penambahan fonem di akhir kata disebut paragog”. Contoh gejala protesis :
mas, lang, dan sa menjadi emas, elang, dan esa, stri dalam bahasa Sansekerta
menjadi istri, jati dalam bahasa Sansekerta menjadi sejati.
Proses selanjutnya ialah penambahan fonem. J.S Badudu (1983:63-64)
menjelaskan “gejala penghilangan fonem atau pelesapan fonem dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis,
penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di
akhir kata yang disebut apokop”. Contoh gejala aferesis : Umudik, umundur
menjadi mudik, mundur (um adalah sisipan, tetapi karena kata dasar berawal
vokal, maka sisipan ditempatkan di depan seperti awalan. Contoh gejala sinkop :
bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya, citcit menjadi cicit, dan sebagainya.
8. Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan
pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam
ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai
teriakan yang lepas atau berdiri sendiri (inilah yang membedakannya dari partikel
fatis yang dapat muncul di bagian ujaran mana pun, tergantung dari maksud
pembicara) (Kridalaksana, 2005:120).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Interjeksi dapat ditemui dalam :
a. Bentuk dasar, seperti kata-kata:
aduh, aduhai, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih, cis, eh, hai, idih, ih,
lho, oh, nah, sip, wah, wahai, yaaa, dan sebagainya
b. Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa, atau penggalan
kalimat Arab. Contoh:
Alhamdulillah, astaga, brengsek, buset, dubilah, duilah, insya Allah,
masyaallah, syukur, halo, innalillahi, yahud, dan sebagainya.
Jenis-jenis interjeksi
Sub kategorisasi terhadap interjeksi merupakan subkategorisasi terhadap
perasaan yang diungkapkannya (Kridalaksana, 2005:121)
Menurut Harimurti Kridalaksana (2005:121) ,jenis-jenis interjeksi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian:
ahoi, ayo, eh, hai, halo, he, sst, wahai
b. Interjeksi keheranan atau kekaguman:
aduhai, ai, amboi, astaga, asyoi, hmm, wah, yahud
c. Interjeksi kesakitan:
aduh
d. Interjeksi kesedihan:
Aduh
e. Interjeksi kekecewaan dan kesal:
ah, brengsek, buset, wah, yaa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
f. Interjeksi kekagetan:
lho, masyaallah, astagfirullah
g. Interjeksi kelegaan:
alhamdulillah, nah, syukur
h. Interjeksi kejijikan:
bah, cih, cis, hii, idih, ih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk
menyelesaikan permasalahan yang telah diteliti. Kerangka pikir dalam penelitian
secara garis besar dilukiskan pada diagram di bawah ini.
Pemakaian bahasa
dalam RCB pada
harian SM
Karakteristik
pemakaian bahasa
dalam RCB pada
harian SM
Faktor sosial yang
mempengaruhi
pemakaian bahasa
Pemanfaatan
ragam informal
Konteks situasi
Sumber data
RCB pada
harian SM
Ancangan:
Sosiolinguistik Data
penelitian
Teknik pengumpulan
data Teknik pustaka
Teknik simak
Teknik catat
Data tertulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Penjelasan tentang bagan.
Penelitian dengan judul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet
pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) ini merupakan
sebuah penelitian kualitatif. Data yang diambil sebagai objek penelitian berupa
data tertulis yang terdapat dalam rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara
Merdeka. Data penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka, simak, dan catat.
Objek penelitian ini berupa pemakaian bahasa yang berbentuk pemanfaatan ragam
informal, dan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam rubrik
Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka. Metode dalam penelitian
linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu.
Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik dengan
memanfaatkan teori sosiolinguistik oleh Suwito, Abdul Chaer dan Leonie
Agustina, dalam analisis data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
sosiolinguistik. Penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang bersifat atau
memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang
sewajarnya, senyatanya (natural setting) dengan tidak diubah dalam bentuk
simbol-simbol atau bilangan (Hadari Nawawi & Martini Mimi, 1996:174).
B. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian itu, dan bahan yang dimaksud bukan bahan
mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian
dapat dijelaskan karena di dalam bahan itulah terdapatnya objek penelitian yang
dimaksud. Dengan diolahnya bahan itu diharapkan dapat diketahui hakikat objek
penelitian. Jadi, dengan rumusan lain data pada hakikatnya objek sasaran
penelitian (Sudaryanto, 1988:9-10). Penelitian kualitatif bersifat lentur dan
terbuka dengan menekankan analisis induktif yang meletakkan data penelitian
bukan sebagai alat dasar pembuktian, tetapi sebagai modal dasar bagi
pemahaman, maka proses pengumpulan data merupakan kegiatan yang lebih
lentur dan dinamis (Sutopo, 2002:47). Data dalam penelitian ini adalah bentuk-
bentuk pemakaian bahasa, yaitu tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung
atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, pelesapan dan
penambahan fonem, serta pemakaian partikel dialek Jakarta yang terdapat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari sampai
dengan September 2009.
Sumber data penelitian dapat dibagi menjadi dua yakni lisan dan tertulis
(Edi Subroto, 1992:33) Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sumber data tertulis yakni RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang
terbit pada hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.
C. Populasi dan Sampel
Penelitian mempunyai ruang lingkup tertentu yang sangat berkaitan
dengan keberadaan objek. Objek penelitian yang telah ditetapkan merupakan
populasi sebuah penelitian. Edi Subroto dalam Pengantar Metode Penelitian
Linguistik Struktural menyatakan bahwa, “Populasi adalah objek penelitian.
Dalam penelitian linguistik, populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu
dari segi-segi tertentu bahasa. Dapat disimpulkan bahwa populasi adalah
keseluruhan jumlah total dari objek yang akan dikaji”. (1992:36). Yang menjadi
populasi dari penelitian ini adalah semua bentuk pemakaian bahasa pada RCB
yang dimuat dalam surat kabar SM yang diterbitkan khusus pada hari Minggu.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan dijadikan objek
penelitian langsung (Edi Subroto, 1992:36). Sampel pada dasarnya harus dapat
mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Dalam
pengambilan sampel pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive
sampling, yaitu pemilihan sekelompok objek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-
sifat yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Yang ditetapkan sebagai sampel dalam penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
adalah sebagian dari pemakaian bahasa pada RCB yang dimuat dalam surat kabar
SM yang terbit khusus pada hari Minggu, mulai dari edisi bulan Februari sampai
dengan September 2009.
D. Teknik Pengumpulan Data
Kualitas data sangat ditentukan oleh alat pengambilan data atau alat
ukurnya. Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data-data yang berkualitas (Sudaryanto, 1984 : 11).
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
teknik simak catat. Teknik simak catat artinya dengan menyimak secara cermat
data kebahasaan dalam rubrik, sedangkan teknik catat yang dimaksud di sini
adalah mengadakan pencatatan terhadap data yang relevan dengan sasaran dan
tujuan penelitian (Edi Subroto, 1992:47).
Penelitian ini menggunakan pula teknik pustaka karena sumber datanya
berasal dari media cetak surat kabar harian yang merupakan sumber tertulis.
Teknik pustaka adalah mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperoleh data (Edi Subroto, 1992:47). Sumber tertulis itu berwujud rubrik ,
yaitu RCB yang terdapat dalam surat kabar SM.
Pengaturan data-data yang telah didapat juga penting untuk dilakukan
karena pengaturan data akan sangat membantu dalam proses analisis data
kualitatif. Yang perlu diingat adalah yang dimaksud dengan data di sini adalah
setumpuk catatan deskripsi beragam informasi yang telah dikumpulkan dari
kegiatan studi (penggalian dan pengumpulan data). Kerja pengaturan data yang
dimaksud di sini adalah cara memilah, dan mengatur secara fisik semua bahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
tersebut ke dalam kelompok, folder, atau kartu, agar untuk proses selanjutnya
mudah menggunakannya (Sutopo, 2002:87-88).
Di dalam penelitian ini, untuk mempermudah peneliti memilah dan
mengatur data-data atau catatan-catatan yang berkaitan dengan masalah yang akan
diteliti yang berasal dari RCB pada surat kabar SM, maka peneliti menggunakan
kartu data. Penggunaan kartu data tersebut dibatasi pada semua bentuk
karakteristik pemakaian bahasa, yang tentunya relevan dengan teori yang
digunakan oleh peneliti. Masing-masing sumber tertulis itu perlu diberi kode
sumber yang meliputi : nomor data, kode data, nama (surat kabar), kolom (surat
kabar), dan tanggal, bulan serta tahun terbit. Berikut contoh kartu data yang
digunakan oleh peneliti
Kartu data atau kode di atas mengenai penggunaan campur kode dalam
rubrik “Celathu Butet” pada surat Suara Merdeka dengan keterangan sebagai
berikut.
- 11 : nomor data
- CK : Campur Kode
- RCB : nama Rubrik Celathu Butet
- SM : nama surat kabar Suara Merdeka
- 19 : tanggal terbit
- 04 : bulan terbit
”PAK, boleh nggak saya ikutan Lomba Cover Girl?”
Itu pertanyaan Jeng Genit di suatu pagi, dan membuat Mas Celathu
gelagapan kesulitan menemukan jawaban jitu. Hati kecilnya sih ingin
mengatakan,”Ngapain sih ikut lomba gituan?”
(11/CK/RCB/SM/19-04-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
- 2009 : tahun terbit
E. Teknik Klasifikasi Data
Setelah data terkumpul kemudian diadakan klasifikasi data berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu yang mengarah pada kepentingan analisis dan pencapaian
tujuan penelitian.
Pengklasifikasian data yang dilakukan oleh peneliti dalam kajian
karakteristik pemakaian bahasa dalam RCB pada harian SM ini didasarkan pada
1. Bentuk pemanfaatan ragam informal
a. Campur kode
b. Alih kode
c. Interferensi
d. Pelesapan dan penambahan fonem
e. Interjeksi
f. Pemakaian partikel dialek Jakarta
2. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa
F. Metode Analisis Data
Istilah metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai
strategi kerja berdasar ancangan tertentu (Edi Subroto, 1992 : 32). Dengan
demikian, ancangan penelitian berkaitan dengan metode. Ancangan merupakan
kerangka berpikir untuk menentukan metode. Dalam penelitian ini digunakan
ancangan sosiolinguistik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Berdasarkan ancangan sosiolinguistik, maka metode yang digunakan
untuk menganalis data adalah metode deskriptif. Penelitian dengan metode
deskriptif semata-mata hanya didasarkan pada fakta yang ada, fenomena yang
memang secara empiris hidup dalam penutur-penuturnya, sehingga apa yang
dihasilkan adalah paparan adanya (Sudaryanto, 1984:35).
Analisis deskriptif diterapkan untuk memerikan semua fenomena,
terutama fenomena kebahasaan yang ada dalam rubrik serta fungsi rubrik tersebut
bagi para pembaca. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini memusatkan
perhatiaannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan
yang sebenarnya (Hadari Nawawi & Martini Mimi, 1996:73). Dalam penelitian
ini metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan bentuk atau wujud
pemakaian bahasa dalam RCB yang sesuai dengan kepentingan dan tujuan
penelitian.
Dalam analisis deskriptif, peneliti dapat menarik simpulan dengan
metode induktif yaitu penarikan simpulan dengan memperhatikan fakta-fakta atau
fenomena-fenomena kebahasaan dengan senyatanya, kemudian memulainya dari
fenomena-fenomena khusus untuk generalisasi atau simpulan yang bersifat
umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
G. Penyajian Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara
informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-
kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan
penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambing-lambang
(Sudaryanto, 1993:145). Tanda yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya:
tanda kurung biasa ( ( ) ), tanda kurung siku ( [ ] ), tanda garis miring ( / / ), tanda
hubung ( - ). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya lambang huruf sebagai
singkatan (misal: RCB, SM). Dengan demikian, penggunaan kata-kata biasa
(a natural language) serta penggunaan tanda dan lambang (an artificial language)
merupakan teknik hasil penjabaran metode penyajian itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB IV
ANALISIS DATA
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam sebuah
penelitian. Tahap ini dilakukan untuk menemukan jawaban-jawaban yang
berhubungan dengan perumusan masalah. Analisis ini meliputi (a) pemanfaatan
ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM, (b) faktor yang mempengaruhi
pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB
pada Surat Kabar SM
Pemakaian ragam bahasa dalam suatu komunikasi tidak selamanya
menggunakan ragam bahasa formal, akan tetapi seorang penutur dan mitra tutur
ada kalanya juga menggunakan ragam bahasa informal. Pemakaian ragam bahasa
informal ini biasanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keadaan atau situasi
komunikasi. Situasi yang dimaksud adalah siapa, kepada siapa, masalah apa, dan
untuk tujuan apa komunikasi itu dilakukan.
Mengacu pada uraian di atas, pemakaian bahasa dalam RCB pada surat
kabar SM ternyata juga diwarnai oleh pemakaian ragam bahasa informal. Jika
dikembalikan pada media yang digunakan oleh penulis RCB ini adalah media
surat kabar, seharusnya penulis menggunakan ragam bahasa formal sesuai dengan
ragam bahasa jurnalistik. Ragam bahasa jurnalistik yang dimaksud adalah ragam
bahasa yang singkat sederhana, jelas, dan formal. Akan tetapi, pemakaian bahasa
Indonesia dalam RCB pada surat kabar SM justru banyak diwarnai ragam bahasa
informal dan bentuk-bentuk bahasa yang unik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ternyata
memanfaatkan berbagai sarana dan bentuk kebahasaan. Unsur-unsur bahasa yang
digunakan meliputi unsur bahasa Jawa, Inggris, dan Indonesia. Pemakaian unsur-
unsur bahasa Jawa dan asing dalam bahasa Indonesia ini menyebabkan timbulnya
peristiwa campur kode, alih kode, interferensi. Selain itu bentuk pelesapan dan
penambahan fonem, interjeksi, serta pemakaian partikel dialek Jakarta merupakan
bentuk pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM.
1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM
Kachru (dalam Suwito, 1991: 89) memberikan batasan “campur kode
sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten”. Berdasarkan
unsur-unsur kebahasaan yang terlihat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,
frase, baster perulangan kata, idiom, dan klausa. Mengacu pada teori di atas, maka
peneliti menganalisis peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM
berdasarkan wujud campur kodenya.
a. Campur Kode yang Berwujud Kata
Campur kode yang terjadi dalam RCB pada surat kabar SM memiliki
berbagai wujud. Salah satunya adalah campur kode yang berwujud kata. Data
yang menunjukkan campur kode yang berwujud kata dapat dilihat dalam tuturan
berikut.
(1) Bayangkan saja jika uang belanja iklan itu dibelikan sembako untuk
rakyat atau membenahi infrastruktur pendidikan yang konsisten
amburadulnya!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Pengemis Beramal ‟‟Hughh, sampeyan itu lo, apa-apa kok dibikin
lelucon. Itu soal serius. Menyangkut nasib dan mati-hidupnya banyak
orang,‟‟ sergah Mbakyu Celathu. (1/CK/RCB/SM/01-02-2009)
Tuturan pada data (1) tersebut mengalami peristiwa campur kode ke
dalam (inner code mixing). Peristiwa campur kode yang dimaksud di sini adalah
campur kode yang bersumber dari bahasa asli, yaitu bahasa Jawa. Kalimat
tersebut diucapkan oleh Mbakyu Celathu yang merasa kesal dan jengkel kepada
Mas Celathu karena Mas Celathu selalu menganggap masalah yang serius sebagai
sebuah lelucon. Hal tersebut berkaitan dengan peristiwa politik yang terjadi
sebelum pemilu dilaksakan, yaitu mengenai adanya kampanye dari dua partai
politik besar di televisi yang saling mengklaim prestasi atas turunnya harga BBM.
Peristiwa campur kode dalam data (1) ditandai dengan adanya kata sampeyan (
Anda/Bapak) Pemakaian kata sampeyan oleh Mbakyu Celathu ini dikarenakan ia
ingin menimbulkan suasana kedaerahan, dan sebagai bentuk sapaan untuk
menghargai/menghormati Mas Celathu sebagai mitra tutur.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud kata.
(2) ‟‟Ada yang tiba-tiba mengaku bersahabat dengan petani. Begini
ngomongnya, ‟‟Saya Butet Subiyantono, mengajak rakyat Indonesia
semua untuk saya dobosi...‟‟ (2/CK/RCB/SM/12-02-2009)
Pada tuturan (2) terdapat campur kode kata. Ditandai dengan adanya kata
dobosi (membohongi). Peristiwa campur kode ini termasuk jenis campur kode ke
dalam (inner code mixing), karena Mas Celathu memakai kata-kata dari bahasa
Jawa. Hal tersebut dapat terjadi, karena Mas Celathu mempunyai latar belakang
kebahasaan bahasa Jawa, maka penutur berkesempatan untuk bercampur kode
dengan unsur bahasa Jawa. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
ketika tampil dalam pementasan monolog pada acara malam resepsi HUT Ke-59
Suara Merdeka, di Rama Shinta Ballroom Hotel Patra Semarang. Tiap kata-kata
Mas Celathu selalu muncul sindiran-sindiran dalam balutan humor yang segar.
Pemakaian kata dobosi oleh Mas Celathu ini dikarenakan ia ingin menunjukkan
bahwa ia adalah asli orang Jawa. Selain itu, dengan tuturan tersebut akan lebih
memudahkan penerimaan maksud yang diinginkan oleh Mas Celathu.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud kata.
(3) Barangkali inilah yang membikin Mas Celathu tak ikhlas pakai kaos
merah jambu. Dengan ragu diserahkan kembali kaos itu, lalu dengan nada
menghiba, Mas Celathu merajuk, ”Izinkan aku tetap waras ya.
Please...tolong bebaskan aku dari kaos merah jambu. Please, please...”
(5/CK/RCB/SM/15-02-2009)
Pada tuturan (3) terdapat campur kode kata yaitu please ( bahasa
Indonesia = tolong). Campur kode tersebut berasal dari bahasa Inggris, maka
termasuk campur kode ke luar (outer code mixing). Tuturan tersebut diungkapkan
oleh Mas Celathu yang memohon kepada istrinya, Mbakyu Celathu, untuk tidak
memaksa dirinya mengenakan kaos berwarna pink, seperti yang diinginkan oleh
Jeng Genit untuk memperingati hari Valentin atau Valentine Day’s. Latar
belakang terjadinya campur kode yang bersifat keluar tersebut ialah Mas Celathu
ingin memberi kesan bahwa ia memiliki pengetahuan bahasa Inggris yang cukup,
sehingga akan menimbulkan bahwa Mas Celathu adalah seorang yang
berpendidikan.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud kata.
(4) Dan umpamakan ditayangkan program news televisi, tentu akan
diiringi instrumentalia lagu ”Gugur Bunga”. Soalnya, bobot adegannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
menyerupai berita gugurnya para penumpang pesawat dan helikopter TNI
yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia. Dan
umpamakan ditayangkan program news televisi, tentu akan diiringi
instrumentalia lagu ”Gugur Bunga”. Soalnya, bobot adegannya
menyerupai berita gugurnya para penumpang pesawat dan helikopter TNI
yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia.
(16/CK/RCB/SM/05-07-2009)
Pada tuturan (4) terdapat campur kode kata yaitu news (bahasa Indonesia
= berita). Campur kode tersebut berasal dari bahasa Inggris, maka termasuk
campur kode ke luar (outer code mixing). Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas
Celathu yang bersedih atas kematian ikan-ikan koinya. Keluarga Celathu merasa
bersalah atas kejadian tersebut. Selanjutnya untuk menebus rasa bersalah itu, Mas
dan Mbakyu Celathu ingin memperlakukan jazad ikan koi itu secara terhormat
seperti layaknya penghormatan terhadap gugurnya para penumpang pesawat dan
helikopter TNI yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia.
Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar tersebut ialah Mas
Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan cukup
atau orang yang terpelajar. Selain itu, pemanfaatan unsur bahasa Inggris dapat
menunjukkan status sosial penutur bahwa ia mempunyai status sosial yang tinggi.
b. Campur Kode yang Berwujud Frasa
Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM tidak hanya
berwujud kata, akan tetapi juga berwujud frasa. Data yang menunjukkan campur
kode yang berwujud frasa dapat dilihat dalam tuturan berikut ini.
(5) ‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?”
“Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream
rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku
gimana? Emang kenapa ta, dik?” “Bapak ki piye ta? Kan Valentine
Day’s....ya semua harus serba pink dong.” “Emang ada peraturan yang
mengharuskan begitu?” (4/CK/RCB/SM/15-02-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tuturan pada data (5) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam
peristiwa campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Inggris, yaitu ice
cream (es krim) dan Valentine Day’s (hari Valentin). Peristiwa campur kode pada
tuturan (5) di atas berasal dari bahasa Inggris, sehingga bersifat ke luar (outer
code-mixing).
Tuturan Valentine Days dalam data (5) di atas diungkapkan oleh Jeng
Genit, seorang gadis remaja yang sedang mencari jati dirinya. Ia menginginkan
ayahnya mengenakan kaos berwarna pink, untuk memperingati hari kasih sayang
atau biasa disebut hari Valentin, padahal itu bukan merupakan kebudayaan asli
Indonesia. Tuturan “Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah
kayak ice cream rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati
aku gimana? Emang kenapa ta, dik?”diungkapkan kepada Mas Celathu, sang
ayah, yang merasa tidak pantas memakai kaos yang berwarna pink, ia akan merasa
seperti ice cream yang berwarna-warni jika mengenakan kaos tersebut. Latar
belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mas Celathu dan Jeng Genit
ingin memberi kesan bahwa mereka adalah seorang yang terpelajar dan
mempunyai hubungan atau pergaulan yang luas.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud frasa.
(6) Yang paling gawat, kaumnya Kartini ini hanya akan dianggap
pemanis kehidupan, harus tampil cantik apabila mengenakan busana
tertentu. Asal krekep rapet pastilah cantik. Dan karena itulah, maka
perempuan tidak pantas jumeneng sebagai pemimpin. Sialnya, yang lelaki
dibiarkan sebagai makhluk yang berkuasa menikmati, memiliki, dan
mengatur nasib para perempuan itu. Wualah...kurang ajar banget.
(7/CK/RCB/SM/08-03-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Pada tuturan (6) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa
campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Jawa, yaitu krekep rapet
(tertutup rapat). Peristiwa campur kode pada tuturan (6) di atas berasal dari bahasa
Jawa, sehingga bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan terssebut
diungkapkan oleh Mas Celathu untuk menanggapi fenomena yang terjadi di
dalam keluarganya. Tiga perempuan di keluarga Celathu, yaitu Mbakyu Celathu,
Mbak Tomboy, dan Jeng Genit tiba-tiba melakukan sebuah demonstrasi layaknya
pejuang feminisme. Dalam pikiran Mas Celathu, mungkin karena sedang
memperingati Hari Perempuan, lalu mereka membuat gugatan. Namun, ternyata
mereka melakukan aksi tersebut untuk memperingatkan Mas Celathu. Mas
Celathu heran, tidak menyangka dirinya disalahartikan melakukan diskriminasi.
Seingatnya, di dalam keluarga Celathu, dia hanya menegakkan aturan demi
kemajuan bersama, tetapi Mas Celathu ingin memaknai gugatan itu dengan
pikiran positif. Pembagian tanggung jawab dan kesempatan juga diberikan kepada
anak istrinya, tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan punya
hak dan peluang yang sama. Campur kode tersebut disebabkan oleh latar belakang
budaya Mas Celathu yang berbudaya Jawa, maka Mas Celathu ingin
menimbulkan suasana kedaerahan.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud frasa.
(7) ”PAK, boleh nggak saya ikutan Lomba Cover Girl?”
Itu pertanyaan Jeng Genit di suatu pagi, dan membuat Mas Celathu
gelagapan kesulitan menemukan jawaban jitu. Hati kecilnya sih ingin
mengatakan,”Ngapain sih ikut lomba gituan?” (9/CK/RCB/SM/19-04-
2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Pada tuturan (7) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa
campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Inggris, yaitu Cover Girl (gadis
sampul). Peristiwa campur kode pada tuturan (7) di atas berasal dari bahasa
Inggris, sehingga bersifat ke luar (outer code-mixing). Tuturan Cover Girl dalam
data (7) di atas diungkapkan oleh Jeng Genit yang meminta ijin kepada Mas
Celathu ,ayahnya, untuk mengikuti lomba pemilihan gadis sampul oleh sebuah
majalah. Cover Girl merupakan ajang atau lomba untuk mencari bakat seorang
gadis remaja yang dipandang secara fisik menarik untuk dipajang dalam sebuah
sampul majalah. Istilah tersebut lazim digunakan apalagi oleh para remaja. Latar
belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Jeng Genit ingin memberi kesan
bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan dan mempunyai hubungan atau
pergaulan yang luas.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud frasa.
(8) ’’Sampeyan sekarang sudah punya menantu lho. Janji ya, mulai
sekarang musti ngrumangsani kalau sudah tua. Jangan sembarangan naik
tunggangan. Omongan dan tindakannya harus lebih hati-hati. Ya ndak?‟‟
pinta Mbakyu Celathu sambil terus mengurut-urut pinggang suaminya.
(11/CK/RCB/SM/17-05-2009)
Pada tuturan (8) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa
campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Jawa, yaitu musti ngrumangsani
(harus merasa) dan peristiwa campur kode berupa kata dalam bahasa Jawa
Sampeyan (anda/kamu/bapak). Peristiwa campur kode yang berwujud frasa dan
kata pada tuturan (8) di atas berasal dari bahasa Jawa, sehingga bersifat ke dalam
(inner code-mixing). Tuturan di atas diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang
mengingatkan Mas Celathu, suaminya, bahwa sekarang ia sudah tua dan sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
mempunyai menantu jadi dalam berbicara dan bertindak harus lebih berhati-hati.
Campur kode yang terjadi dalam tuturan (8) di atas disebabkan karena latar
belakang sosial penutur adalah budaya Jawa, maka tuturan Mbakyu Celathu
tersebut secara tidak langsung terpengaruh oleh budayanya, yaitu budaya Jawa.
Selain itu konteks tuturannya berada pada konteks budaya Jawa, sehingga Mbakyu
Celathu lebih menekankan maksud/keinginannya kepada Mas Celathu dengan
memanfaatkan unsur bahasa Jawa yang dianggap lebih sopan.
c. Campur Kode yang Berwujud Baster
(9) Dan kepada Mbakyu Celathu, dia cuma berpesan: ”Umpamakan kamu
nge-fans sama capres nggantheng, jangan kemudian kamu pakai lisptik
warna biru ya. Aku kan tetap ingin melihat bibirmu segar seperti merah
delima.” (3/CK/RCB/SM/15-02-2009)
Pada tuturan (9) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu nge-fans
(mengidolakan). Campur kode bentuk baster nge-fans merupakan penggabungan
dua unsur bahasa, yaitu bentuk fans termasuk unsur dari bahasa Inggris dan
awalan nge- yang berasal dari dialek Jakarta. Oleh karena itu, campur kode pada
tuturan (9) di atas bersifat ke luar atau disebut outer code-mixing. Tuturan di atas
diungkapkan oleh Mas Celathu yang berpesan kepada istrinya untuk tampil apa
adanya, tidak terpengaruh dengan fenomena-fenomena yang terjadi ketika dan
setelah pemilihan umum dilaksanakan. Latar belakang terjadinya campur kode
yang bersifat ke luar ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah
orang yang mempunyai pergaulan yang cukup luas.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud baster.
(10) ”Sudahlah. Katimbang aku yang nggondok sakit hati, biarin aja.
Mau ngrokok sampai cangkem-nya kobong, toh yang menanggung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
akibatnya ya dia sendiri. Males aku,” ujar Mbakyu Celathu kepada Jeng
Genit, bungsu keluarga Celathu, suatu kali. (17/CK/RCB/SM/02-08-2009)
Pada tuturan (10) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu cangkemnya
(bibirnya). Campur kode bentuk baster cangkemnya merupakan penggabungan
dua unsur bahasa, yaitu bentuk cangkem termasuk unsur dari bahasa Jawa dan
akhiran –nya yang berasal dari bahasa Indonesia. Oleh karena itu campur kode
pada tuturan (10) di atas bersifat ke dalam atau disebut inner code-mixing.
Tuturan di dalam data (10) diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang merasa kesal
karena himbauan atau larangannya kepada Mas Celathu untuk berhenti merokok
tidak dihiraukan. Fenomena dalam data (10) juga berkaitan dengan adanya fatwa
dari MUI bahwa merokok itu haram, selain mengganggu kesehatan bagi si
perokok itu sendiri, asap rokok juga dapat mengganggu kesehatan orang-orang
yang ada di sekitarnya. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke
dalam ialah Mbakyu Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah orang yang
menunjukkan kekhasan daerahnya.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud baster.
(11) ‟‟Kalau manusia beneran, mana mungkin punya pikiran jahat
menghancurkan kehidupan?‟‟ jawab Mas Celathu ketika bininya bertanya,
‟‟Kira-kira manusia macem apa ya, pelaku pengeboman itu?‟‟
‟‟Mungkin pelakunya jenis manusia kapok lombok,‟‟ jawab Mbakyu
Celathu seraya menerangkan, ‟‟kapok lombok‟‟ adalah perilaku orang
yang selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu nggak
enak dan menyengsarakan. Kayak orang kepedasan menggigit cabe. Pas
mulutnya nyonyor kepedasan selalu bilang kapok, kapok, kapok. Tapi jika
nanti mengunyah tempe, tetap saja menceplus lombok.
(15/CK/RCB/SM/19-07-2009)
Pada tuturan (11) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu menceplus
(menggigit/memakan). Campur kode bentuk baster menceplus merupakan
penggabungan dua unsur bahasa, yaitu bentuk ceplus termasuk unsur dari bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Jawa dan awalam me - yang berasal dari bahasa Indonesia. Oleh karena itu
campur kode pada tuturan (11) di atas bersifat ke dalam atau disebut inner code-
mixing. Tuturan tersebut diutarakan oleh Mbakyu Celathu untuk menjawab
pertanyaan dari Mas Celathu, ketika suaminya tersebut bertanya manusia seperti
apa yang tega, dan dengan keji melakukan aksi pengeboman yang terjadi berkali-
kali di Indonesia. Hal ini sangat berkaitan dengan banyaknya aksi
teror/pengeboman yang terjadi di Indonesia, kejadian tersebut mungkin memang
murni kasus terorisme atau mungkin ada konspirasi politik yang melatar
belakanginya. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke dalam ialah
Mbakyu Celathu ingin menunjukkan latar belakang budayanya yang berbudaya
Jawa.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud baster.
(12) Dan itu tuh...makannya juga jangan ngawur. Kalau ketemu sate
kambing kok selalu cenanangan. Dikontrol tuh kolesterolnya. Mosok
trigliseride kok sampai 609. Kalau kena stroke gimana? Ngejob ya
ngejob,..tapi harus ingat kekuatan badan. Wis tuwa kok maunya tetap
mbagusi...‟‟ (18/CK/RCB/SM/23-08-2009)
Pada tuturan (12) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu ngejob
(bekerja). Campur kode bentuk baster ngejob merupakan penggabungan dua
unsur bahasa, yaitu bentuk job yang termasuk unsur dari bahasa Inggris dan
awalan nge- yang berasal dari dialek Jakarta. Oleh karena itu campur kode pada
tuturan (12) di atas bersifat ke luar atau disebut outer code-mixing. Tuturan dalam
data (12) diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang mengingatkan suamuinya ,Mas
Celathu, agar ia harus lebih sadar diri, karena sudah tua bekerja harus melihat
kondisi badan tidak terlalu memaksakan, menjaga kesehatan dan mengatur pola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
makan. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar ialah Mbakyu
Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah orang yang terpelajar atau orang
yang berpendidikan cukup.
d. Campur kode Berwujud Perulangan Kata
Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang
berwujud perulangan kata. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud
perulangan kata tampak dalam tuturan berikut.
(13) ‟‟Lagian saya kan dikaruniai diabetes melitus. Untuk
menyelenggarakan ‟duel ranjang‟ selalu butuh perjuangan maha dahsyat.
Kalau kadar gulanya mumbul, yang terjadi malah ‟layu sebelum
berkembang‟. Lha wong siji wae ra entek-entek, kok arep ndobel. Boyok-
ku kelakon sempal nanti,‟‟ begitu kilah Mas Celathu menampik ajakan
berpoligami. (6/CK/RCB/SM/08-03-2009)
Pada tuturan (13) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang yang
berasal dari bahasa Jawa, yaitu entek-entek (habis-habis). Kata ulang pada tuturan
(13) di atas termasuk kata ulang utuh karena tidak mendapat imbuhan dan tidak
berubah bunyi. Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan
tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang meyakinkan istrinya dengan
berbagai alasan, bahwa ia tidak mungkin akan berpoligami. Hal ini berkaitan
dengan fenomena merebaknya isu-isu tentang perselingkuhan dan poligami yang
ketika itu menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam masyarakat. Latar
belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mas Celathu ingin menunjukkan
kekhasan daerahnya.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud perulangan kata.
(14) Hayo, mau ngapain lagi sekarang? Mau bilang ”urip mung mampir
ngguyu” lagi sambil wajahnya pringas-pringis? Lha mbok mringis-nya
sampai mrongos ya bakal ngos-ngosan. Soalnya, suhu badan Mas Celathu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
diibaratkan bisa untuk bikin telur setengah matang. Matanya berkunang-
kunang kayak teler cimeng. Jika berjalan tertatih-tatih seperti tuna netra
kehilangan tongkat putih. (8/CK/RCB/SM/22-03-2009)
Pada tuturan (14) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang, yaitu
pringas-pringis (cengar-cengir/senyum-senyum). Kata ulang ini termasuk kata
ulang berubah bunyi. Dalam kata ulang pringas-pringis terjadi pergantian fonem,
dari bentuk dasarnya pringis, fonem /i/ pada bentuk dasarnya tersebut diubah
menjadi fonem /a/, sehingga pengulangannya menjadi pringas. Campur kode ini
bersifat ke dalam karena berasal dari bahasa Jawa. Tuturan di atas diungkapkan
oleh Mbakyu Celathu kepada Mas Celathu yang ketika itu sedang terbaring sakit
di rumah sakit karena terkena demam berdarah. Mbakyu Celathu merasa kesal
kepada Mas Celathu karena nasihatnya tidak pernah dihiraukan, akhirnya Mas
Celathu harus beristirahat di rumah sakit. Latar belakang terjadinya campur kode
ini adalah untuk menunjukkan latar belakang budaya Mbakyu Celathu sebagai
orang Jawa.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud perulangan kata.
(15) ”Makanya, sekarang diminum tuh jamu pegagannya. Biar daya
ingat sampeyan tetap kuat. Dieling-eling dulu kayak apa sejarah capres
itu. Dulunya jahat atau tidak? Pernah jadi penculik atau pembunuh atau
memang orang suci? Kalau sampeyan sudah lupa permanen, ya nanti pasti
keliru kalau nyontreng milih presiden,” nasihat Mbakyu Celathu.
(10/CK/RCB/SM/03-05-2009)
Pada tuturan (15) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang yang
berasal dari bahasa Jawa, yaitu Dieling-eling (Diingat-ingat). Kata ulang pada
tuturan (15) di atas termasuk pengulangan bentuk dasar secara sebagian, tanpa
perubahan fonem. Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing).
Tuturan dalam data (15) tersebut diungkapkan Mbakyu Celathu ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
memberikan jamu tradisional berupa rebusan daun pegagan kepada Mas Celathu,
yang dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan daya ingat, agar Mas Celathu
dapat mengingat dengan baik nama calon wakil rakyat, supaya tidak salah
memilih waktu mencontreng. Hal ini berkaitan dengan fenomena akan
dilaksanakannya pemilihan umum di Indonesia yang akan memilih presiden dan
wakilnya. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mbakyu Celathu
ingin menonjolkan sifat kedaerahannya.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud perulangan kata.
(16) ”Wualah lagakmu Pakne-pakne. Lha wong modalnya cuma
nyonthong aja gayanya melebihi wakil rakyat yang bakal dilantik,” ejek
Mbakyu sambil masih terus berkemas-kemas. (19/CK/RCB/SM/27-09-09)
Tuturan pada data (16) di atas diungkapkan oleh Mbakyu Celathu. Pada
data (16) terdapat campur kode berupa kata ulang yang berasal dari bahasa Jawa,
yaitu Pakne-pakne (Bapak-bapak). Kata ulang pada tuturan (22) di atas termasuk
kata ulang utuh karena tidak mendapat imbuhan dan tidak berubah bunyi. Campur
kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Latar belakang terjadinya campur
kode tersebut adalah Mbakyu Celathu ingin menunjukkan kekhasan latar belakang
budaya yang dimilikinya, yaitu budaya Jawa dengan memanfaatkan bentuk kata
sapaan dalam bahasa Jawa yang ditujukan kepada Mas Celathu, suaminya.
e. Campur Kode Berwujud Ungkapan atau Idiom
Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang
berwujud ungkapan atau idiom. Data yang menunjukkan campur kode yang
berwujud ungkapan atau idiom dapat dilihat dalam tuturan berikut.
(17) Paling tidak, jika ada sementara orang gemar melihat kesengsaraan
wong cilik berebut rezeki benama zakat, sedekah atau BLT, Bantuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Langsung Tunai, orang ini semestinya bisa mengompensasikan naluri
primitif itu dengan melihat ikan berebut makan di kolam saja. Lebih aman
dan dijamin nggak bakal ada korban lantaran kehabisan napas saat
berdesak-desakan. (13/CK/RCB/SM/05-07-2009)
Tuturan pada data (17) mengalami peristiwa campur kode ke dalam
(inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu wong cilik
(rakyat kecil). Idiom dalam bahasa Jawa tersebut bermakna rakyat biasa/orang
kebanyakan (bukan golongan bangsawan, pejabat, hartawan). Peristiwa campur
kode pada data (17) diucapkan oleh Mas Celathu yang merasa simpati dan
bersedih melihat keadaan rakyat kecil di negeri ini. Kedaan ekonomi yang tidak
menentu membuat rakyat kecil semakin menderita. Untuk sekedar mendapatkan
bantuan dengan jumlah uang tidak seberapa, mereka harus berdesak-desakan,
bahkan sampai mengorbankan jiwa mereka. Mas Celathu berharap ada tata cara
atau prosedur yang lebih manusiawi ketika pemerintah atau dermawan hendak
menyalurkan bantuannya kepada rakyat kecil. Hal tersebut berkaitan dengan
fenomena pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat sebagai
kompensasi BBM dari pemerintah. Campur kode tersebut disebabkan oleh latar
belakang budaya Mas Celathu yang berbudaya Jawa, maka ia dalam bertutur
dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Jadi, latar belakang terjadinya campur kode pada
tuturan (17) di atas adalah Mas Celathu ingin menimbulkan suasana kedaerahan.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud ungkapan atau idiom.
(18) ‟‟Kalau manusia beneran, mana mungkin punya pikiran jahat
menghancurkan kehidupan?‟‟ jawab Mas Celathu ketika bininya bertanya,
‟‟Kira-kira manusia macem apa ya, pelaku pengeboman itu?‟‟
‟‟Mungkin pelakunya jenis manusia kapok lombok,‟‟ jawab Mbakyu
Celathu seraya menerangkan, ‟‟kapok lombok‟‟ adalah perilaku orang
yang selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu nggak
enak dan menyengsarakan. Kayak orang kepedasan menggigit cabe. Pas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
mulutnya nyonyor kepedasan selalu bilang kapok, kapok, kapok.... Tapi
jika nanti mengunyah tempe, tetap saja menceplus lombok.
(15/CK/RCB/SM/19-07-2009)
Tuturan pada data (18) mengalami peristiwa campur kode ke dalam
(inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu kapok
lombok (jera/kapok (seperti makan) cabai) yang bermakna perilaku orang yang
selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu tidak enak dan
menyengsarakan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mbakyu Celathu untuk
menjawab pertanyaan dari Mas Celathu yang bertanya manusia seperti apa yang
berulang kali, dan tidak berperasaan telah melakukan teror bom yang membuat
banyak jatuh korban jiwa dan membuat rakyat Indonesia sengsara. Mbakyu
Celathu merasa heran kepada orang-orang yang hobinya melakukan aksi teror
bom tersebut. Jelas perbuatan itu telah menyengsarakan banyak orang, tetapi
orang-orang/pelaku pengeboman itu tidak pernah merasa kapok atau jera untuk
melakukannya lagi. Selalu mengulang kekonyolan, bahkan dengan pertaruhan
kematian. Hal ini berkaitan dengan fenomena banyaknya aksi teror/pengeboman
yang terjadi di Indonesia, mungkin memang murni kasus terorisme atau bisa saja
merupakan konspirasi politik yang melatarbelakanginya. Latar belakang
terjadinya campur kode tersebut adalah Mbakyu Celathu ingin menunjukkan
kekhasan daerah/budaya atau menunjukkan latar belakang budaya yang
dimilikinya, yaitu budaya Jawa dengan memanfaatkan bentuk-bentuk idiom
dalam bahasa Jawa.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud ungkapan atau idiom.
(19) ’’Jer basuki mawa beya, tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan.
Kaki lecet juga boleh diartikan tumbal perjuangan. Satu hari saja aku tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
berkorban, badanku rasanya pegel-pegel linuÖBener tuh,‟‟ kata Mas
Celathu dengan wajah diserius-seriuskan. (14/CK/RCB/SM/12-07-2009)
Tuturan pada data (19) mengalami peristiwa campur kode ke dalam
(inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu jer basuki
mawa beya yang bermakna perjuangan yang selalu disertai dengan pengorbanan.
Tuturan yang diungkapkan Mas Celathu ketika dia jalan-jalan ke luar negeri.
Ketika mendapat undangan dari Kedubes RI di sana, kakinya menjadi lecet-lecet
karena memakai sepatu kulit model vantofel yang tertutup rapat. Mas Celathu
menganggap kejadian tersebut sebagai sebuah pengorbanan. Campur kode
tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya Mas Celathu yang berbudaya
Jawa, maka ia dalam bertutur dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Jadi, latar belakang
terjadinya campur kode pada data (19) di atas adalah Mas Celathu sebagai
seorang budayawan ingin menunjukkan kekhasan budaya yang dimilikinya, yaitu
budaya Jawa.
f. Campur Kode Berwujud Klausa
Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang
berwujud klausa. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud klausa
dapat dilihat dalam tuturan berikut.
(20) Meskipun jalan hidup menghantarkannya jadi pemain tonil, aslinya
pendidikan formal Mas Celathu memang seni rupa. ”Mbaleni gawean
lawas. Biar awet hidup,” ujar Mas Celathu menjawab pertanyaan istrinya
yang terlihat bingung melihat aktivitasnya yang tidak lumrah.
(12/CK/RCB/SM/07-06-2009)
Pada tuturan (20) terdapat campur kode berwujud klausa, yaitu Mbaleni
gawean lawas (mengulang pekerjaan lama). Campur kode ini bersifat ke dalam
(inner code-mixing) karena berasal dari bahasa Jawa. Tuturan dalam data (20) di
atas diungkapkan oleh Mas Celathu untuk menjawab pertanyaan istrinya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
terlihat bingung melihat aktivitasnya. Sebagai seorang pemain tonil Mas Celathu
merasa rindu kepada pekerjaan dan hobi yang dulu pernah dikerjakannya yaitu
melukis. Peristiwa campur kode ini dipengaruhi oleh latar belakang kebahasaan
Mas Celathu yang berbahasa Jawa, sehingga Mas Celathu dalam bertutur banyak
dipengaruhi bahasa Jawa. Jadi, latar belakang terjadinya campur kode pada
tuturan (20) di atas adalah Mas Celathu ingin menunjukkan kekhasan daerahnya,
selain itu campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan bahwa
Mas Celathu sangat mencintai budayanya, yaitu budaya Jawa.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang
berwujud klausa.
(21) ”Lagian, sebagai manusia Indonesia yang pernah ditatar P4, saya
juga ogah di-wayang-kan. Apa enaknya jadi tokoh wayang? Kalau nanti
wayang diklaim jadi milik Malaysia, kan saya terpaksa pindah warga
negara. Nggak banget deh. Right or wrong my country is
Indon.” (20/CK/RCB/SM/27-09-09)
Pada tuturan (21) terdapat campur kode berwujud klausa, yaitu Right or
wrong my country is Indon (baik atau buruk bangsa dan negaraku tetap
Indonesia). Campur kode ini bersifat ke luar (outer code-mixing) karena berasal
dari bahasa Inggris. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu sebagai
tanda betapa ia mencintai tanah air kelahirannya, Indonesia. Hal ini juga berkaitan
dengan fenomena beberapa kebudayaan asli Indoensia yang diakui atau diklaim
oleh Malaysia. Sebagai seorang budayawan Mas Celathu merasa marah dan kesal
atas kejadian tersebut. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke
luar ini ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia mempunyai
pengetahuan tentang bahasa Inggris yang cukup, sehingga akan menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kesan bahwa Mas Celathu adalah orang yang terpelajar atau orang yang
berpendidikan.
2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang
lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya
bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa
Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (
code-switching ). Peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam,
alih gaya atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkat-
tingkat tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito,
1991:80). Alih kode itu dapat terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu
bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar
beberapa ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek. Alih kode seperti itu
bersifat intern, jadi disebut dengan alih kode intern, sedangkan apabila yang
terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern.
Mengacu pada teori di atas, ternyata pemakaian bahasa dalam RCB pada
surat kabar SM selain terjadi peristiwa campur kode juga terjadi peristiwa alih
kode. Data yang menunjukkan peristiwa alih kode dalam RCB pada surat kabar
SM tampak pada tuturan berikut ini.
(22) ‟‟Sekarang banyak calon presiden yang senang ndobosi
rakyatnya,‟‟ lantas melanjutkan dengan suara mirip mantan presiden
Soeharto, yang melambungkan namanya, ’’Hamenangi zaman dobosan.
Pemimpin kang ora melu ndobosan ora keduman...‟‟
(1/AK/RCB/SM/12-02-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Alih kode yang terjadi pada data (22) adalah peristiwa alih kode ke
dalam atau alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
peristiwa alih kode tersebut ditandai dengan kalimat “Hamenangi zaman
dobosan. Pemimpin kang ora melu ndobosan ora keduman..”.( Berada dalam
zaman penuh kebohongan. Pemimpin yang tidak ikut berbohong tidak mendapat
bagian). Tuturan tersebut merupakan sindiran dari Mas Celathu, tentang
fenomena politik yang terjadi di Indonesia. Bagaimana para calon pemimpin di
negeri ini melakukan trik-trik atau strategi untuk meraih kursi kekuasaan,
melakukan konspirasi-konspirasi politik, termasuk membohongi masyarakat
dengan janji-janji dan tipu muslihat yang membuat masyarakat bersimpati dan
mau memilihnya.
Alih kode pada tuturan (22) tersebut berfungsi untuk membangkitkan
rasa humor para hadirin atau tamu undangan. Ketika itu Mas Celathu bermonolog
dalam acara malam resepsi HUT Ke-59 Suara Merdeka, di Rama Shinta Ballroom
Hotel Patra Semarang, di depan para tamu undangan, seperti Pemimpin Umum
Suara Merdeka Ir H Budi Santoso, mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera)
Siswono Yudohusodo, Gubernur Bibit Waluyo, mantan gubernur Ali Mufiz,
pengusaha Sandiaga Uno, Ketua DPRD Jateng Murdoko, dan Kapolda Jateng
Irjen Alex Bambang Riatmodjo serta sejumlah bupati/wali kota.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung alih kode.
(23) ”Cuma begitu kok sulit. Lihat aja contohnya.”
”Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...”
”Centang sama contreng itu sami mawon.” ”Nggih benten, beda, ta Bos.
Contreng niku anak laron. Nggambarnya mboten gampang.” ”Hua ha
ha....oallah Bos! Anak laron niku gonteng. Bukan contreng.” Lalu
meledaklah tawa mereka. Hanya Bos Mburi yang semangkin bengong,
bertanya dalam hati kenapa dirinya ditertawakan. Orang-orang terpelajar
menganggap masalah beginian soal sepele. Tapi tidak bagi wong cilik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
seperti Bos Mburi. Betapa pun, mereka butuh bimbingan.
(2/AK/RCB/SM/15-03-2009)
Alih kode yang terjadi pada data (23) adalah peristiwa alih kode ke
dalam atau alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
peristiwa alih kode tersebut ditandai dengan kalimat “Lho, centang napa
contreng? Kok kula bingung niki...” (Lho, centang apa contreng? Kok saya
bingung ini). Tuturan tersebut diutarakan oleh Bos Mburi. Ia adalah pembantu
Mas Celathu ,yang bingung dengan bagaimana bentuk pencontrengan yang benar
ketika pemilu nanti. Mas Celathu yang mula-mula menggunakan bahasa
Indonesia saat memberikan contoh pencontrengan, karena Bos Mburi
menjawabnya dengan bahasa Jawa, maka kemudian Mas Celathu beralih kode
dengan berbahasa Jawa juga.
Alih kode pada tuturan (23) dimaksudkan untuk mengimbangi bahasa
yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Hal ini dikarenakan Bos Mburi sebagai
mitra tutur mempunyai latar belakang kebahasaan yang sama dengan Mas Celathu
sebagai penutur yaitu berlatar belakang bahasa Jawa.
3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM
Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si penutur dalam
menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain.
Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang
berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
(Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti
semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi,
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna (Suwito, 1991:65).
Interferensi juga terjadi dalam pemakaian bahasa dalam RCB pada surat
kabar SM. Meskipun interferensi dapat terjadi dalam berbagai tataran, yaitu
tataran bunyi, morfologi, maupun kalimat, akan tetapi interferensi yang terjadi
dalam RCB yang paling banyak ditemukan adalah interferensi dalam tataran
morfologi/kata. Data yang menunjukkan peristiwa interferensi dalam RCB pada
surat kabar SM tampak pada tuturan berikut ini.
(24) Dia seakan-akan ikut mengamini adanya paranoia terhadap warna.
Warna-warni yang seharusnya bebas ditafsirkan, biasanya akan
dimonopoli oleh partai-partai yang selalu mengidentikkannya dengan
warna tertentu. Persis sebagaimana dulu Jawa Tengah pernah menjadi
korban kuningisasi, sampai-sampai Borobudur nyaris diguyur cat warna
kuning. (1/Interf/RCB/SM/15-02-2009)
Tuturan pada data (24) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran
kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai
dengan kata kuningisasi. Pemakaian kata serapan asing yang berbentuk afiks –
(n)isasi seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena
sudah ada padanannya yaitu afiks pe – an. Dengan demikian, pemakaian kata
kuningisasi merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB
pada surat kabar SM, karena kata itu sudah mempunyai padanan yang benar
dalam bahasa Indonesia yaitu penguningan.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi.
(25) Dan Mas Celathu yang supercuek, ngeyelan, mbagusi dan
hidupnya cenderung memanjakan guyonan, akhirnya harus terkapar di
ranjang rumah sakit, gara-gara keok melawan seekor nyamuk. Ya, nyamuk
aedes aegypti! ”Biar kapok. Kalau belum kesandung kayak gini kan
nggak mau istirahat. (2/Interf/RCB/SM/22-03-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tuturan pada data (25) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran
kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai
dengan kata kesandung. Pemakaian afiks ke - an seharusnya tidak digunakan
dalam pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada padanannya yaitu afiks ter-.
Jadi, bentuk yang benar dari kata kesandung adalah tersandung .pemakaian kata
kesandung dipengaruhi oleh ragam bahasa Jawa, karena penulisnya adalah
berlatar belakang budaya Jawa asli. Dengan demikian, pemakaian kata kesandung
merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB, karena kata
itu sudah mempunyai padanan yang benar dalam bahasa Indonesia yaitu
tersandung.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi.
(26) ‟Lho bukan begitu. Ini kan demi menghormati yang
ngundang. Kalau pakai sepatu sandal nanti dikira nggak tahu sopan
santun. Bangsa kita kan dikenal beradab. Apalagi acara yang kita kunjungi
ini tingkat internasional lho,‟‟ kilahnya setengah bercanda.
(3/Interf/RCB/SM/12-07-2009)
Tuturan pada data (26) mengalami peristiwa campur kode ke dalam
(inner code mixing) dan interferensi dalam tataran kata. Peristiwa campur kode
dan interferensi itu ditandai dengan kata ngundang. Pemakaian kata ngundang
seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada
bentuk yang benar yaitu mengundang. Pemakaian kata ngundang dipengaruhi
oleh ragam bahasa Jawa. Dengan demikian, pemakaian kata ngundang merupakan
campur kode sekaligus interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB,
karena kata itu sudah mempunyai bentuk yang benar dalam bahasa Indonesia
yaitu mengundang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi.
(27) ‟‟Hebat lho itu, sudah berpancasila je. Tapi sikap
berpancasila ternyata bukan monopolinya orang Indonesia saja lho dik.
Meski pun bule-bule itu nggak kenal Pancasila, terkadang perilakunya
sangat Pancasilais lho. Bener itu. Peraturan-peraturan di sana dibuat
supaya rakyatnya bahagia. Dan aparat pemerintahnya sangat sadar kalau
mereka itu adalah pelayan masyarakat,‟‟ tutur Mas Celathu.
(4/Interf/RCB/SM/26-07-2009)
Tuturan pada data (27) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran
kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai
dengan kata Pancasilais. Pemakaian kata serapan asing yang berbentuk afiks –is
seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena bentuk
yang benar ialah dengan kata „pengikut paham’. Dengan demikian, pemakaian
kata Pancasilais merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam
RCB pada surat kabar SM, karena kata itu sudah mempunyai padanan yang benar
dalam bahasa Indonesia yaitu dengan kata-kata pengikut paham Pancasila.
4. Pelesapan dan Penambahan Fonem
Selain bentuk-bentuk campur kode, alih kode, dan interferensi fenomena
yang terjadi dalam pembuatan RCB pada surat kabar SM adalah adanya
kecenderungan mengabaikan bahasa yang bersifat formal dalam pemilihan kata
yang dilakukan oleh penulis, yaitu Butet Kertaradjasa. Hal tersebut selain
menunjukkan kekhasan penggunaan bahasa juga dikarenakan pembaca surat kabar
SM, khususnya pembaca RCB yang berasal dari berbagai kalangan, sehingga
dengan penggunaan bahasa yang seperti itu, akan terasa lebih santai dan
mempunyai kecenderungan sebagai bahasa tutur yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Salah satu hal yang sering dilakukan adalah dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
menambah ataupun mengurangi fonem baik berupa konsonan/vokal maupun suku
kata.
a. Pelesapan Konsonan di Awal Kata
Sebagai data dapat dilihat dalam tuturan berikut.
(28) “Bapak ki piye ta? Kan Vantine Day‟s..ya semua harus serba pink
dong.”“ Emang ada peraturan yang mengharuskan begitu?”
“Haaaeeess..embuh-lah. Bapak ki mesti ngeyel.”(2/PPF/RCB/SM/15-02-
2009)
(29) “Sampeyan itu ya kebangetan. Lha wong anak punya keinginan
sederhana aja kok ya nggak dituruti. Apa sih susahnya pakai kaos atau
baju warna merah jambu?” tiba-tiba Mbakyu Celathu ikutan nimbrung.
(3/PPF/RCB/SM/15-02-2009)
(30) ’’Udah tua kok nggak tahu diri. Biar tahu rasa. Nikmati tuh boyok
yang sempal,‟‟ kata Mbakyu Celathu ketika mendengar kabar Mas Celathu
terkilir pinggangnya gara-gara terjatuh dari kuda. Konon, belum lama ini
Mas Celathu nekat menunggang kuda di kawasan wisata Bromo. Dia
terpelanting dari pelana ketika kuda tunggangannya berlari kencang,
sehingga tubuhnya terhempas di bebatuan. (7/PPF/RCB/SM/17-05-2009)
Fenomena pelesapan konsonan di awal kata tampak pada emang (data
28), aja (data 29), dan udah (data 30). Pada kata aja dan udah terjadi pelesapan
konsonan /s/, sedang pada kata emang terjadi pelesapan konsonan /m/. Untuk
lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.
Saja [s]aja aja
Memang [m]emang memang
Sudah [s]udah sudah
Pelesapan ketiga kata ini memang banyak ditemukan dalam RCB.
Dengan menanggalkan di awal kata maka tuturan yang disampaikan penulis
menjadi lebih luwes/lentur sehingga terhindar dari kesan kaku dalam
berkomunikasi tujuannya adalah terciptanya suasana yang komunikatif dan lebih
santai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Dalam bahasa Indonesia yang baku terdapat proses afaresis, yaitu sebuah
proses pembentukan kata dengan cara menanggalkan satu atau lebih fonem di
awal kata. Namun, pelesapan fonem dalam proses afaresis dan yang terjadi dalam
RCB pada surat kabar SM tidaklah sama. Dalam afaresis, kata bentukan yang baru
adalah kata yang baku dan sesuai dengan PUEYD ,sedangkan dalam RCB
bentukan kata yang terjadi adalah bentuk yang tidak baku.
b. Pelesapan Suku Kata
Fenomena pelesapan suku kata yang terjadi dalam rubrik CB dapat
dilihat dari data berikut.
(31) ‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?”
“Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream
rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku
gimana? Emang kenapa ta, dik?” (1/PPF/RCB/SM/15-02-2009)
(32) Dan Mas Celathu yang supercuek, ngeyelan, mbagusi dan
hidupnya cenderung memanjakan guyonan, akhirnya harus terkapar di
ranjang rumah sakit, gara-gara keok melawan seekor nyamuk. Ya, nyamuk
aedesaegypti! ”Biar kapok. Kalau belum kesandung kayak gini kan nggak
mau istirahat. Dibilangin kok nggak pernah nurut. Tahu rasa sekarang,
sampeyan,” omel Mbakyu Celathu yang tiba-tiba harus ganti peran jadi
suster perawat. (4/PPF/RCB/SM/22-03-2009)
(33) ‟‟Terus maunya gimana? Pengin dirayu sama capres yang
nggantheng ya?‟‟ sindir Mas Celathu. ‟‟Bukan begitu. Mbok ya kalau
kampanye itu yang sopan. Jangan menakutkan. Pidato-pidato itu kan lebih
bermanfaat, bisa menjelaskan apa maunya partai. Gitu dong...‟‟.
(5/PPF/RCB/SM/05-04-2009)
(34) La ini pendaftaran dah mau berakhir je...” desak Jeng Genit sambil
meneruskan, ”Bapak mengizinkan nggak sih aku ikutan lomba ini?”
(6/PPF/RCB/SM/19-04-2009)
(35) ‟‟Lho bukan begitu. Ini kan demi menghormati yang ngundang.
Kalau pakai sepatu sandal nanti dikira nggak tahu sopan santun. Bangsa
kita kan dikenal beradab. Apalagi acara yang kita kunjungi ini tingkat
internasional lho,‟‟ kilahnya setengah bercanda. (8/PPF/RCB/SM/12-07-
2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
(36) ‟‟Orang yang paling ikhlas itu ya guru-guru SD. Mereka mengisi
dan memberi kepada semua murid tanpa pilih kasih. Memberi, memberi
dan memberi. Nggak pernah meminta. Kalau dosen, apalagi dosen muda
yang bujangan, kadang-kadang nyimpan pamrih. Hanya kepada
mahasiswi yang diincar untuk dipacarai dia kasih perhatian berlebih.
Nggak murni lagi dedikasinya,‟‟ begitu seloroh Mas Celathu suatu kali.
(9/PPF/RCB/SM/23-08-2009)
Pada data (31) kata gimana terjadi pelesapan dua suku kata, yaitu :
Bagaimana [ba]g[a]imana gimana
Pada kata gini, gitu, dah, ngundang, dan nyimpan terjadi pelesapan satu
suku kata. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
Begini [be]gini gini
Begitu [be]gitu gitu
Sudah [su]dah dah
Mengundang [me] + undang ngundang
Menyimpan [me] + simpan nyimpan
Pelesapan suku kata pada kata-kata di atas terjadi karena bentukan kata
yang baru terasa lebih singkat dan komunikatif. Selain itu, dengan menciptakan
kata-kata yang lebih singkat ini akan menghindarkan pembaca dari kebosanan
daripada ketika menggunakan bentuk yang lebih baku.
5. Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan
pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam
ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai
teriakan yang lepas atau berdiri sendiri. Interjeksi dapat ditemukan dalam RCB,
seperti dalam data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(37) ‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?”
“Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream
rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku
gimana? Emang kenapa ta, dik?” “Bapak ki piye ta? Kan Vantine
Day‟s....ya semua harus serba pink dong.” “Emang ada peraturan yang
mengharuskan begitu?” “Haaaeeess...embuh-lah. Bapak ki mesti
ngeyel...” (4/Interj/RCB/SM/15-02-2009)
Dari data (37) tersebut tampak adanya penggunaan beberapa kata yang
termasuk dalam jenis interjeksi, yaitu kata-kata ‟‟LHO”, “Wualaaah”, dan
“Haaaeeess”. Kata “LHO” termasuk jenis interjeksi yang menyatakan rasa
kekagetan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang terkejut/kaget
melihat ayahnya, Mas Celathu, yang tidak memakai baju berwarna pink, yang
telah ia siapkan untuk memperingati hari kasih sayang atau Valentine Day’s. Kata
“Wualaaahh” termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan keheranan.
Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang merasa heran mengapa ia
harus memakai baju berwarna pink untuk memperingati hari Valentin atau
Valentine Day’s, sedangkan kata “Haaaeeess” adalah interjeksi untuk
menyatakan kekecewaan atau kekesalan. Tuturan tersebut diungkapkan Jeng
Genit untuk menyatakan kekesalannya kepada Mas Celathu karena dia tidak
bersedia mengenakan baju berwarna pink untuk memperingati Valentine Day’s.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi.
(38) Dan lihatlah! Mas Celathu sekarang pakai kaos ketat warna pink!
Penampilan yang sungguh menakjubkan, benar-benar sensasi Valentine
paling seru. Bener-bener tidak matching. Warna itu terasa asing melekat di
tubuh Mas Celathu yang selama ini memang nggak pernah dibungkus
warna cerah. Jeng Genit yang rupanya sedari tadi mengintip dari balik
pintu, langsung menyeruak kegirangan dan berlompat-lompat
histeris,”Horeeee....bapakku pakai kaos merah jambu. Happy Valentine
ayah...hua ha ha. Bapak lucu...!!!!” (7/Interj/RCB/SM/15-02-2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Kata “Horeeee” pada data (38) merupakan bentuk interjeksi. Kata
tersebut termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan kelegaan atau
ungkapan kegembiraan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang
merasa lega dan gembira ketika melihat sang ayah, yaitu Mas Celathu, yang
akhirnya bersedia mengenakan kaos yang berwarna pink, sesuai dengan apa yang
diinginkannya.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi.
(39) ‟‟Nah itu tugasnya orang miskin. Biasanya, orang miskin terlatih
berpikir. Berpikir bagaimana caranya ngumpet dari tagihan utang.
Berpikir cari tambahan rezeki, berpikir bagaimana caranya dapat beras
dan minyak murah, berpikir nebus obat yang harganya mencekik, berpikir
cari bea siswa biar sekolah gratis, berpikir ngakali wong sugih biar rela
jadi dermawan, berpikir. ...‟‟ ‟‟Huusssss!!! Omongan sampeyan itu bisa
bikin orang sakit hati lho. (9/Interj/RCB/SM/22-02-2009)
Kata “Huussss” dalam data (39) termasuk ke dalam jenis interjeksi yang
menyatakan seruan. Bentuk interjeksi seruan tersebut diungkapkan oleh Mbakyu
Celathu kepada Mas Celathu agar Mas Celathu tidak asal bicara. Ketika itu, Mas
Celathu membicarakan bagaimana kebiasaan atau pola hidup masyarakat yang
hidupnya kekurangan atau miskin seperti, bersembunyi ketika ada tagihan hutang,
berpikir bagaimana caranya mendapatkan sembako murah, dan berpikir
bagaimana mencari simpati dari orang kaya agar mereka bersedia menjadi
dermawan. Mbakyu Celathu khawatir kata-kata Mas Celathu itu dapat membuat
orang sakit hati.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi.
(40) ‟‟Lha... saya.. itu.. malah... bersyukur... je,‟‟ ujar Mas Celathu
dengan irama kalem kayak dialog Arjuna di panggung wayang orang.
‟‟Haaah...bersyukur?‟‟
‟‟Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan Pemerintah Indonesia
peduli dan memperhatikan kebudayaan. Kan lumayan, sekarang semua
perhatian diarahkan ke sektor budaya. Menterinya tidak hanya bicara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
pariwisata lagi. Kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai alat untuk
menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri ta?‟‟Mengartikulasikan Pikiran
Mendengar jawaban ini Semaya yang temperamental langsung
maknyeeees. Lega. Rupanya sohibnya masih berbudaya. Maksudnya,
masih peduli memperjuangkan dunia kebudayaan yang kerap menikmati
diskriminasi, bahkan oleh pemerintahannya sendiri.
(16/Interj/RCB/SM/30-08-2009)
Kata “Haaah” dalam data (40) termasuk ke dalam jenis interjeksi yang
menyatakan kekagetan. Tuturan yang mengandung interjeksi tersebut
diungkapkan oleh teman Mas Celathu. Ia merasa kaget dan heran kepada Mas
Celathu, atas jawaban dan komentarnya mengenai fenomena yang terjadi saat itu,
yaitu peristiwa ketika Malaysia tidak lagi menghargai kedaulatan bangsa dan
negara Indonesia, dengan mengklaim kekayaan budaya Indonesia. Orang-orang
pun bersahutan memprotes dan memaki terhadap tindakan Malaysia tersebut,
tetapi Mas Celathu tidak ikutan panik malah terkesan malas menanggapi hal
tersebut, dan sama sekali tidak memperlihatkan gairah yang meledak-ledak.
Ketika teman-temannya mengajak demonstrasi ke Kedubes Malaysia, oleh Mas
Celathu hanya dijawab dengan gelengan kepala, padahal Mas Celathu merupakan
seorang pekerja kebudayaan. Meskipun demikian, ternyata Mas Celathu
mempunyai alasan mengapa dia bersikap demikian. Mas Celathu malah merasa
lega karena bangsa kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi.
Dengan kejadian tersebut pemerintah, dan semua warga negara Indonesia dapat
lebih menghargai dan mencintai kebudayaannya sendiri. Mas Celathu juga tidak
ingin sebuah kebudayaan hanya digunakan sebagai alat penyedot devisa.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi.
(41) ‟‟Dan sialnya, banyak orang yang patuh. Tidak berani melihat
cincin raksasa mengkilat di angkasa. Sayang sekali, padahal pada detik
GMT itu pemandangannya indah banget. Hari yang semula terang
benderang, lalu meredup perlahan-lahan, gelap total kayak malam hari,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
dan di langit terlihat matahari tertutupi rembulan. Yang terlihat kemudian
adalah bulatan kayak cincin menyala di tepiannya. Wuaah..wah, wah, jan
elok tenan,‟‟ kenang Mas Celathu dengan agak mendramatisasi, sehingga
Jeng Genit semakin gemas karena selama hidupnya dia tak akan sempat
menyaksikan keajaiban alam yang berlangsung seratus tahun sekali
itu‟‟Wuiihhh, bagus sekali ya? Tapi kenapa pemerintah melarang rakyat
melihat keindahan dan keajaiban itu?‟‟ (17/Interj/RCB/SM/06-09-2009)
Pada data (41) di atas terdapat dua interjeksi, yaitu kata–kata
“Wuaah..wah, wah” dan “Wuiihhh”. Kedua interjeksi tersebut termasuk ke
dalam jenis interjeksi untuk menyatakan keheranan atau kekaguman. Tuturan
“Wuaah..wah, wah” ini diungkapkan oleh Mas Celathu kepada Jeng Genit untuk
menyatakan kekagumannya pada keajaiban alam gerhana matahari yang terjadi
setiap seratus tahun sekali. Mas Celathu menggambarkan bagaimana keindahan
alam ketika terjadi gerhana matahari waktu itu. Ia menjelaskan kepada Jeng Genit,
ketika detik GMT (Gerhana Matahari total) itu terjadi pemandangannya menjadi
sangat indah. Hari yang semula terang benderang, lalu meredup perlahan-lahan,
gelap total seperti malam hari, dan di langit terlihat matahari tertutupi rembulan.
Yang terlihat kemudian adalah bulatan berbentuk cincin menyala di tepiannya.
Mendengar cerita ayahnya tersebut, Jeng Genit menjadi kagum, ditandai dengan
kata-kata “Wuiihhh”,, yang termasuk ke dalam jenis interjeksi untuk menyatakan
kekaguman atau keheranan.
Selain bentuk-bentuk interjeksi di atas, dalam RCB juga terdapat bentuk
interjeksi yang lain, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Interjeksi
No Kata - kata Nomor Data Jenis interjeksi
1
2
’’Wuah,wuah,”
“Wueleh,weleh”
(1/Interj/RCB/SM/01-02-2009)
(2/Interj/RCB/SM/01-02-2009)
Menyatakan
keheranan
Menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
3
4
5
6
7
8
9
“Please,please”
‟‟Wueeleh,...
“Wuah”
“eeeh..”
“Nah...”
“Hayooo...”.
Wahai...’
(6/Interj/RCB/SM/15-02-2009)
(8/Interj/RCB/SM/22-02-2009)
(10/Interj/RCB/SM/22-03-2009)
(11/Interj/RCB/SM/12-04-2009)
(12/Interj/RCB/SM/26-04-2009)
(13/Interj/RCB/SM/26-04-2009)
(15/Interj/RCB/SM/21-06-2009)
keheranan
Menyatakan seruan
atau panggilan minta
perhatian
Menyatakan
keheranan
Menyatakan
kekecewaan dan
kesal
Menyatakan seruan
atau panggilan minta
perhatian
Menyatakan
kelegaan
Menyatakan seruan
atau panggilan minta
perhatian
Menyatakan seruan
atau panggilan minta
perhatian
6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta
Selain unsur dialek bahasa Jawa, unsur dialek yang cukup berpengaruh
pada pemakaian bahasa dalam RCB di surat kabar SM adalah unsur-unsur dialek
Jakarta. Kota Jakarta dengan segala perkembangan dan kemajuannya merupakan
sumber acuan bagi kota-kota lainnya. Unsur-unsur dialek Jakarta sering
digunakan oleh penulis dalam mengemas ide yang ingin disampaikan, selain itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dialek Jakarta digunakan dalam RCB agar bahasa yang digunakan terasa lebih
komunikatif, santai, trendi serta dapat menyegarkan suasana. Salah satu unsur
dialek Jakarta yang digunakan adalah pemakaian partikel dialek Jakarta.
Pemakaian partikel dialek Jakarta tersebut dapat dilihat dalam data berikut.
(42) Dengan sok bijaksana, Mas Celathu lalu bilang,”Memangnya
nggak ada lomba yang lain apa? Lagian kamu kan mau Ujian Nasional.
Mbok ya sinau aja yang serius, biar lulus.” ”La ini pendaftaran dah mau
berakhir je...” desak Jeng Genit sambil meneruskan, ”Bapak mengizinkan
nggak sih aku ikutan lomba ini?” (1/PDJ/RCB/SM/19-04-2009)
Dari data (42) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang
ditandai dengan kata “sih”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang
meminta izin kepada ayahnya, Mas Celathu, untuk mengikuti lomba pemilihan
gadis sampul atau cover girl. Sebenarnya Mas Celathu tidak memberi izin kepada
Jeng Genit untuk mengikuti lomba tersebut, ia beralasan bahwa ujian nasional
Jeng Genit sudah dekat, jadi Mas Celathu berharap kepada Jeng Genit untuk
berkonsentrasi pada ujiannya, agar nanti ia lulus dan mendapatkan hasil yang
maksimal. Selain itu, Mas Celathu juga berpendapat bahwa lomba yang lebih
mengutamakan keindahan fisik, tepatnya kecantikan wajah, dirasa tidak berjiwa
sportivitas dan jauh dari hakikat sebuah kompetisi. Menurut Mas Celathu, ukuran
kecantikan itu bersifat relatif dan personal, jadi tidak ada tolok ukurnya. Untuk
itu, Mas Celathu tidak setuju apabila anaknya berlaga di lomba seperti itu.
Namun, Mas Celathu menahan diri, alasan penolakan yang sesungguhnya dia
simpan rapat-rapat. Dia tidak ingin menyinggung perasaan anaknya. Kecantikan
tidak bisa diukur dengan ilmu pasti, dan bisa dimenangkan atau dikalahkan, jelek
bagi orang lain, bisa dianggap cantik bagi yang lainnya. Berbeda dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
kompetisi olahraga atau seperti cerdas cermat yang memang bisa melahirkan nilai
yang terukur, dan benar-benar menguji ketangkasan dan kecerdasan.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung partikel dialek Jakarta.
(43) Keningnya langsung berkerut, pertanda dia sulit menerima
argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang memang
tak masuk akal itu. Tapi, kini persoalannya jadi lain. Alasannya itu lho?
Kok pede banget? ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?”
”Ya iyalah..mosok ya iya dong.” ”Kalau ternyata kalah?” ”Ya nggak
mungkin. Temanku pada bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.”
(2/PDJ/RCB/SM/19-04-2009)
Dari data (43) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang
ditandai dengan kata “dong”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang
meyakinkan ayahnya, bahwa ia akan menang dalam lomba atau pemilihan gadis
sampul tersebut. Jeng Genit merasa yakin karena mendapat motivasi dari teman-
temannya, yang mengatakan bahwa ia cantik dan pasti menang.
Berikut ini adalah data lain yang mengandung partikel dialek Jakarta.
(44) ”Kalau sampai besok nggak ada kabar beritanya, lapor polisi aja.
Biar terlacak. Nggak ada babe rugi banget deh,...nggak ada yang bisa
dipalak,” usul Mbak Tomboy, anak keduanya yang memang paling demen
menadahkan tangan setiap bersua ayahnya. (3/PDJ/RCB/SM/14-06-2009)
Dari data (44) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang
ditandai dengan kata “deh”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Tomboy,
ketika ayahnya, Mas Celathu, pergi beberapa hari dan tidak ada kabar.
Sesungguhnya, bagi keluarga Celathu, ditinggal pergi suami sekaligus kepala
keluarga adalah hal biasa. Namun, kali ini kepergiannya menyisakan kecemasan
pada istri dan ketiga anaknya, hal itu disebabkan tidak adanya komunikasi atau
kabar dari Mas Celathu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa
dalam RCB pada Surat Kabar SM
Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor
(unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain
ialah : penutur (speaker), lawan bicara/lawan tutur (hearer, receiver), suasana
pembicaraan (situation scene), pokok pembicaraan (topic)dan sebagainya. Dalam
setiap pemakaian bahasa, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada
siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana.
Dengan demikian maka tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa
penutur demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan
warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung (Suwito, 1991:35-36).
Berdasarkan teori tersebut, berikut diuraikan faktor-faktor yang
melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
1. Penutur (speaker) dan Mitra Tutur (hearer, receiver)
Butet Kertaradjasa merupakan penulis RCB yang diterbitkan pada surat
kabar SM. Dalam rubrik ini, Butet/penulis menggambarkan atau
mengimajinasikan dirinya menjadi tokoh Mas Celathu. Selain itu, penulis juga
menggambarkan atau mengimajinasikan anggota keluarganya ke dalam tokoh-
tokoh yang terdapat dalam RCB ini, yaitu Mbakyu Celathu (istri Butet), Mas Ndut
(anak pertama Butet), Mbak Tomboy (anak kedua Butet), Jeng Genit (anak ketiga
Butet), Mbak Yatek (pembantu Butet), dan Bos Mburi (pembantu Butet).
Perbedaan latar belakang secara fisik di antara pengimajinasian para
tokoh di atas membuat perbedaan pemakaian bahasa yang dipakai oleh penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Perbedaan secara fisik tersebut meliputi
perbedaan jenis kelamin, usia, status sosial, tingkat pendidikan. Hal tersebut dapat
dilihat dalam tuturan berikut.
(45) Keningnya langsung berkerut, pertanda dia sulit menerima
argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang memang
tak masuk akal itu. Tapi, kini persoalannya jadi lain. Alasannya itu lho?
Kok pede banget? ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?” ”Ya iyalah..mosok
ya iya dong.” ”Kalau ternyata kalah?” ”Ya nggak mungkin. Temanku pada
bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.” (RCB edisi 19 April 2009)
Tuturan data (45) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan
Jeng Genit, atau dilihat dari hubungan sosialnya tuturan di atas adalah percakapan
antara seorang anak dengan ayahnya. Jika dilihat dari faktor usia, Jeng Genit
adalah seorang gadis remaja yang masih berusia belasan tahun. Dari tuturan di
atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Jeng Genit merupakan
ragam akrab (intimate), yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam
keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan
artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek.
Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi
suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Hal tersebut ditandai ketika Mas
Celathu bertanya” ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?”dengan menggunakan
bahasa Indonesia, kemudian Jeng Genit menjawabnya dengan memakai unsur
bahasa dari dialek Jakarta, yaitu pada kalimat “Ya iyalah..mosok ya iya dong.”
Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda
ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi
dengan istrinya, yaitu Mbakyu Celathu. Hal tersebut dapat dilihat dalam
percakapan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
(46) ”Kalau nggak minum sirih, keringat sampeyan itu baunya mak
breeeng. Yang punya badan sih nggak bisa merasakan. Tapi yang
berpapasan bisa semaput. Awas, jangan tidak diminum ya,” ujar Mbakyu
Celathu sambil menyodorkan segelas ramuan lain....”Lha ini jamu apa
lagi?” tanya Mas Celathu ketika disodori segelas jamu berikutnya.
”Ini godokan daun pegagan. Biar sampeyan tidak cepat pikun. Khasiatnya
sangat jos untuk orang berumur yang mulai gampang lupa.”
”Asem ki. Memangnya aku sudah pikun. Jangan ngece ya. Aku ini pemain
tonil je. Masih mampu menghafal puluhan halaman naskah sandiwara, kok
dianggap pelupa?” jawabnya dengan jumawa, seakan usia bisa diajak
kompromi dengan kekuatan tubuhnya( RCB edisi 3 Mei 2009)
Tuturan data (46) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan
Mbakyu Celathu atau percakapan antara seorang suami dengan istrinya. Mas
Celathu dan Mbakyu Celathu berasal dari latar belakang budaya yang sama, yaitu
berlatar belakang budaya Jawa, hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan
oleh Mbakyu Celathu yang memakai kata sapaan bahasa Jawa „sampeyan’ yang
berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat. Mas Celathu juga menggunakan
beberapa kata dalam bahasa Jawa seperti, „Asem ki‟ dan „ngece’. Dari tuturan di
atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan Mbakyu
Celathu adalah ragam akrab (intimate) yaitu ragam bahasa antaranggota yang
akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara
lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi
yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata)
yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda
ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain, selain dengan istri dan anaknya.
Seperti ketika ia berkomunikasi dengan pembantunya, yaitu Bos Mburi. Hal
tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
(47) Hanya Bos Mburi, lelaki lugu yang sudah lama mengabdi dan jadi
belahan jiwa Mas Celathu, masih bengong di depan papan tulis. Dia
terlihat ragu-ragu menggoreskan spidol. Sambil menggaruk-garuk
rambutnya yang tidak gatal, dia bertanya dengan wajah serius, ”Bos,
menggambar contreng itu rada sulit je. Pripun niki?” ”Cuma begitu kok
sulit. Lihat aja contohnya.” ”Lho, centang napa contreng? Kok kula
bingung niki...” ”Centang sama contreng itu sami mawon.”
”Nggih benten, beda, ta Bos. Contreng niku anak laron. Nggambarnya
mboten gampang.” ”Hua ha ha....oallah Bos! Anak laron niku gonteng.
Bukan contreng.”Lalu meledaklah tawa mereka. Hanya Bos Buri yang
semangkin bengong, bertanya dalam hati kenapa dirinya ditertawakan.
Orang-orang terpelajar menganggap masalah beginian soal sepele. Tapi
tidak bagi wong cilik seperti Bos Mburi. Betapa pun, mereka butuh
bimbingan (RCB edisi 15 Maret 2009)
Tuturan data (47) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan
Bos Mburi. Jika dilihat dari hubungan atau status sosialnya, percakapan di atas
adalah percakapan antara majikan dengan pembantunya. Bahasa Jawa mengenal
kasta dalam pemakaiannya, maka tuturan yang dipakai oleh Bos Mburi
menggunakan bahasa Jawa yang halus atau krama ketika ia berkomunikasi
dengan Mas Celathu, tuannya. Hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan
oleh Bos Mburi yang memakai bahasa Jawa „Lho, centang napa contreng? Kok
kula bingung niki...”yang berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat kepada Mas
Celathu. Karena Mas Celathu dan Bos Mburi berasal dari latar belakang budaya
yang sama, yaitu berlatar belakang budaya Jawa, maka Mas Celathu
menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa, „”Centang sama contreng itu
sami mawon.” Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan
oleh Mas Celathu dan Bos Mburi adalah Ragam akrab (intimate) adalah ragam
bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga. Namun, karena perbedaan status
sosialnya maka bahasa yang dipakai oleh Bos Mburi terasa lebih halus dalam
pemakaian bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda
ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi
dengan temannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut.
(48) ‟‟Kamu ini gimana ta? Katanya pekerja kebudayaan,...giliran
kekayaannya diserobot orang kok malah diam aja. Asem tenan,‟‟ protes
Semaya, seniman perupa salah seorang teman Celathu, yang siang itu
sudah menyiapkan poster-poster protes, dan siap berangkat ke Ibu Kota.
‟‟Emangnya kalau kita demo, lalu Pemerintah Malaysa insyaf nggak
nyolong lagi?‟‟ ‟‟Kita harus membuktikan kalau kita menyintai
kebudayaan kita. Ini pelanggaran berat. Melecehkan kehormatan dan
martabat bangsa.‟‟ ‟‟Martabak? Wuah aku doyan banget tuh, apalagi kalau
yang istimewa pakai telur tiga butir....he he he.‟‟ ‟‟Asem ki. Serius nih.
Mas Celathu, situne ini memang gombal. Tunjukkan jiwa nasionalis dong.
Dasar nggak punya mental pejuang. Emoh ngrekasa, maunya enaknya
doang.‟‟ ’’Lha... saya.. itu.. malah... bersyukur... je,‟‟ ujar Mas Celathu
dengan irama kalem kayak dialog Arjuna di panggung wayang orang.
‟‟Haaah...bersyukur?‟‟ ‟‟Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan
Pemerintah Indonesia peduli dan memperhatikan kebudayaan. Kan
lumayan, sekarang semua perhatian diarahkan ke sektor budaya.
Menterinya tidak hanya bicara pariwisata lagi. Kebudayaan tidak hanya
dilihat sebagai alat untuk menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri
ta?‟‟(RCB edisi 30 Agustus 2009)
Tuturan dalam data (48) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu
dengan seorang temannya. Dilihat dari status sosialnya, teman Mas Celathu ini
adalah seorang perupa, jadi sama-sama seorang pekerja seni seperti halnya Mas
Celathu. Dari tuturan (48) di atas terlihat bahwa Mas Celathu dan temannya,
selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi. Hal tersebut dikarenakan persamaan latar belakang budaya
diantara keduanya yang berlatar belakang budaya Jawa. Hal tersebut terlihat, dari
kalimat yang diutarakan oleh teman Mas Celathu „’’Kamu ini gimana ta?
Katanya pekerja kebudayaan,...giliran kekayaannya diserobot orang kok malah
diam aja Asem tenan’. Lalu Mas Celathu menjawab „’’Lho,...kalau nggak ada
gegeran seperti ini, kapan Pemerintah Indonesia peduli dan memperhatikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
kebudayaan. Kan lumayan, sekarang semua perhatian diarahkan ke sektor
budaya. Menterinya tidak hanya bicara pariwisata lagi. Kebudayaan tidak
hanya dilihat sebagai alat untuk menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri
ta?’’ Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas
Celathu dan temannya adalah ragam santai (casual). Ragam santai adalah ragam
bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang.
2. Tempat Pembicaraan
Seperti halnya penggambaran tokoh yang merupakan bentuk
pengimajinasian anggota keluarga penulis yang sesungguhnya (Butet/penulis,
istri, 3 anaknya, dan 2 pembantu), maka jika dilihat dari tempat pembicaraan yang
digambarkan oleh penulis sebagian besar berada di rumah atau berada di
lingkungan sekitar rumah penulis itu sendiri. Tuturan yang digunakan oleh para
tokoh dalam RCB pada surat kabar SM cenderung menggunakan bentuk tuturan
yang nonformal dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Jadi, ragam bahasa
yang digunakan adalah ragam bahasa akrab (intimate). Ragam akrab adalah ragam
bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak
perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan
artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-
istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
3. Suasana Pembicaraan
Penulis menggambarkan tempat pembicaraan yang tedapat dalam RCB
pada surat kabar SM ini berada di lingkungan sekitar rumah penulis. Maka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
suasana yang tergambar adalah suasana yang ada dalam sebuah lingkungan
keluarga, yaitu suasana yang akrab antaranggota keluarga. Oleh karena itu, RCB
banyak menggunakan ragam akrab yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab
dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap
dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang
pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang
khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Pemilihan ragam yang
akrab tersebut akan lebih mendekatkan hubungan diantara anggota keluarga.
Selain itu, ketika Mas Celathu berkomunikasi dengan temannya, penulis
menggambarkannya dalam suasana yang santai, akrab, dan tidak resmi. Pemilihan
bentuk bahasa yang akrab dan santai akan lebih mendekatkan jarak antara Mas
Celathu dengan teman-temannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut merupakan
simpulan dari penelitian ini.
1. Pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB pada surat kabar SM
meliputi pemakaian campur kode, alih kode, interferensi, adanya pelesapan dan
penambahan fonem, pemanfaatan bentuk-bentuk interjeksi serta pemakaian
partikel dialek Jakarta. Campur kode yang terdapat dalam RCB meliputi
pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode
yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan pemakaian unsur bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke luar
(outer code mixing). Peristiwa alih kode dalam RCB didominasi oleh alih kode
yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan interferensi yang
terjadi didominasi oleh interferensi pada tataran kata atau interferensi
morfologi. Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi pelesapan
konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. Interjeksi digunakan untuk
mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan keheranan, seruan
atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan sebagainya.
Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih, dong, dan deh.
2. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada
surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer, receiver),
(2) tempat pembicaraan, dan (3) suasana pembicaraan (situation scene).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
B. Saran
Terselesaikannya penelitian ini bukan berarti tuntas pula permasalahan
yang ada. Dalam penelitian ini, peneliti yakin banyak hal-hal tersembunyi dan
belum sempat terungkap. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan pada diri
peneliti, baik keterbatasan waktu, biaya, maupun kemampuan peneliti. Oleh
karena itu, peneliti menyarankan kepada para peneliti lain untuk mencoba
mengungkap masalah-masalah yang terdapat dalam pemakaian bahasa dalam
RCB pada surat kabar SM ini secara tuntas, khususnya yang berhubungan dengan
pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan oleh Butet Kertaradjasa
dalam rubrik Celathu Butet.
.