Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan...
-
Upload
deni-kurniawan -
Category
Data & Analytics
-
view
102 -
download
1
Transcript of Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan...
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 1
Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas
“Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan,
yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan”. UU No. 1 / 2007 tentang (RPJP) di poin IV.1.2 angka 4
I. Pendahuluan
1. FCTC sebagai Traktat Internasional Bidang Kesehatan
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau adalah perjanjian internasional kesehatan-‐masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi dari 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia WHO. FCTC merupakan dokumen berbasis bukti ilmiah untuk menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggi-‐tingginya. FCTC merupakan produk hukum internasional yang bersifat mengikat (internationally legally binding instrument) bagi negara-‐negara yang meratifikasinya.
Tujuan FCTC dan protokolnya adalah untuk melindungi generasi muda bangsa di masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok, baik di bidang kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan, melalui sebuah kerangka kerja (framework) pengendalian tembakau yang akan dilaksanakan oleh negara para pihak di tingkat nasional, regional dan internasional, dalam rangka menurunkan prevalensi konsumsi tembakau dan paparan asap rokok secara berkesinambungan.
Dalam United Nations Summit on Non-‐Communicable Diseases (NCDs), New York, 19-‐20 September 2011, segenap Kepala Pemerintahan sepakat untuk mengingatkan terhadap ancaman peningkatan empat penyakit tidak menular utama, yakni (i) penyakit cardio vasculer atau stroke yang menyebabkan 37% kematian, (ii) kanker yan merupakan 27% penyebab kematian, (iii) gangguan pernafasan dan pencernaan khronis yang merupakan 30% penyebab kematian, dan (iv) diabetes yang merupakan 4% penyebab kematian, dengan empat penyebab utama, yakni (i) konsumsi alkohol, (ii) konsumsi tembakau, (iii) diet yang tidak sehat dan (iv) kekurangan aktivitas fisik.(United Nations, 2012) 2. Ratifikasi / Aksesi dan implikasinya
Walau delegasi Indonesia berperan sangat aktif dalam persiapan traktat internasional bidang kesehatan, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), termasuk keterlibatannya dalam beberapa pertemuan International Negotiating Body (INB). Namun ternyata sampai hari ini Pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari sebagian kecil negara di dunia yang tidak bersedia menandatangani dan belum mengaksesi FCTC.
Indonesia, bersama-‐sama dengan negara-‐negara Zimbabwe, Malawi, Eritrea dan Somalia di Afrika, serta Lichtenstein, Monaco dan Andora di Eropa, adalah sekelompok kecil
Lampiran 2
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 2
negara yang tidak menandatangani dan belum mengaksesi FCTC. Indonesia adalah satu-‐satunya anggota ASEAN, juga satu-‐satunya anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang belum menandatangani / mengaksesinya, walaupun secara bersama-‐sama, baik ASEAN maupun OKI telah lama memberikan dukungan dan komitmen nya dalam mendukung FCTC. Negara-‐negara penghasil tembakau terbesar dunia seperti Tiongkok dan India, bahkan sudah meratifikasi, tanpa menimbulkan gejolak dalam kehidupan petani dan pekerja industri tembakau, maupun dalam perdagangan tembakau internasional mereka.
Akibatnya Indonesia tdak menjadi anggota Conference of the Parties (COP) dari traktat internasional tersebut, sehingga Indonesia tidak memiliki wakil dan tidak dapat berperan dalam berbagai pengambilan keputusan yang diambil oleh Parties tersebut, dalam kaitan dengan pengendalian dan perdagangan tembakau internasional. Hal ini sangat merugikan secara substanstif strategis maupun secara politis, karena negara demokratis ke empat terbesar di dunia ini, tidak terwakili dalam COP tsb. Bilamana hadir, Indonesia hanya berstatus sebagai peninjau, yang tak berhak memasang bendera R.I., tak berhak bicara, dan harus duduk di belakang Timor Leste, Vietnam atau Kamboja.
3. Tanggung Jawab Konstitusional Negara
Pada hakikatnya tanggung jawab Negara dalam melindungi segenap warga Negaranya terhadap berbagai bentuk ancaman, termasuk perlindungan terhadap ancaman bahaya produk tembakau, adalah merupakan amanat konstitusi. Sementara ancaman bahaya asap rokok terhadap kesehatan manusia dan lingkungannya, kini semakin luas disadari.
Bahkan beberapa studi SUSENAS yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS), yang menempatkan belanja untuk rokok pada keluarga miskin menempati nomor urut ke dua setelah pembelian beras, memperkuat hubungan antara konsumsi rokok dengan hambatan dalam peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat dan upaya penanggulangan kemiskinan. Tanggung jawab Negara dalam melindungi rakyatnya, harus dimaknai secara umum dan luas, baik dalam perlindungan di bidang kesehatan, maupun perlindungan dan keadilan bagi petani tembakau maupun pekerja industri, tanpa harus mempertentangkan kepentingan kesehatan dan kepentingan petani dan pekerja industri tembakau.
4. Payung kebijakan
Pendekatan pengendalian konsumsi Tembakau (demand reduction) dan pengendalian pasokan produk Tembakau (supply reduction) dalam FCTC tentu tidak bermaksud mempertentangkan antara antara kepentingan sektor kesehatan dengan sektor industri. Justru tugas kostitusional Negara dan Pemerintah untuk melaksanakan harmonisasi, agar kesehatan masyarakat terlindungi, tanpa hatus mengorbankan kepentingan petani dan pekerja industri tembakau.
Indonesia adalah satu-satunya anggota ASEAN, juga satu-satunya anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang belum menandatangani / mengaksesi FCTC.
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 3
Kalau pemerintah Tiongkok, Brazil dan India yang masing-‐masing merupakan penghasil dari 42,25%, 10,98% dan 10,62% tembakau dunia, dibanding Indonesia sebagai penghasil 1,91%, telah meratifikasi FCTC dan berhasil menyeimbangkan antara supply dan demand tembakau di negara mereka masing-‐masing, bahkan berhasil meningkatkan tataniaga tembakau mereka dipasar global, diharapkan Negara dan Pemerintah Indonesia juga sanggup mengembangkan kebijakan payung yang mengayomi kedua kepentingan yang berbeda namun sama-‐sama menuju kepada terwujudnya harkat dan martabat bangsa tersebut.
II. Pendekatan holistik
Pada dasarnya FCTC merupakan instrumen pengaturan holistik komprehensif dalam pengendalian tembakau pada level global, regional dan nasional. Inisiatif penyusunan FCTC atau “Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau” berasal dari negara-‐negara berkembang termasuk Indonesia, Thailand dan India karena terjadinya peningkatan prevalensi perokok dan meningkatnya perdagangan ilegal daun dan produk tembakau.
“Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau” adalah perjanjian internasional kesehatan-‐masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia WHO. FCTC merupakan dokumen berbasis bukti ilmiah untuk menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggi-‐tingginya.
Delegasi Indonesia yang terdiri dari lintas sektor seperti Badan POM, Kemenkes RI, Kemnaker, Kemenperin, Dirjen Bea Cukai Kemenkeu, Kemenlu dan wakil asosiasi profesi dan LSM, mengikuti dan terlibat aktif pembahasan dan negoisasi FCTC sejak 1995 – 2003. Sehingga Indonesia sebenarnya salah satu negara yang membidani FCTC.
FCTC terdiri dari 11 Bab dan 38 Pasal. Secara umum, pasal-‐pasal dalam FCTC dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok kebijakan yang bersifat holistik, komprehensif serta saling mendukung satu dengan yang lain.
Pertama, pasal-‐pasal pengendalian permintaan konsumsi tembakau (demand reduction) yang terdiri atas:
1. Paparan Asap Rokok Orang Lain (Pasal 8) 2. Iklan Promosi dan Sponsor Rokok (Pasal 13) 3. Harga dan Cukai (Pasal 6) 4. Kemasan dan Pelabelan (Pasal 11) 5. Kandungan Produk Tembakau dan Pencantuman Produk Tembakau (Pasal 9 dan
10) 6. Edukasi, Komunikasi, Pelatihan dan Kesadaran Publik (Pasal 12) 7. Program Mengatasi Ketergantungan dan Berhenti Merokok (Pasal 14)
Delegasi Indonesia yang terdiri dari Badan POM, Kemenkes RI, Kemnaker, Kemenperin, Dirjen Bea
Cukai Kemenkeu, Kemenlu dan wakil asosiasi profesi dan LSM, mengikuti dan
terlibat aktif pembahasan dan negoisasi FCTC sejak 1995 – 2003. Sehingga
Indonesia sebenarnya salah satu negara yang membidani
FCTC.
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 4
Kedua pasal-‐pasal pengendalian pasokan tembakau (supply reduction) yang terdiri atas
1. Perdagangan iIlegal Produk Tembakau (Pasal 15) 2. Penjualan pada Anak di Bawah Umur (Pasal 16) 3. Penyediaan dukungan untuk kegiatan alternatif (pasal 17)
Dari pendekatan partial ke holistik
Negara, pemerintah dan masyarakat seharusnya dapat memandang pendekatan supply dan demand reduction tersebut secara holistik, sebagai bagian dari perlindungan dan pemenuhan hak-‐hak segenap warga negara, dan tidak mempertentangkan antar keduanya. Perlindungan terhadap hak atas kesehatan masyarakat, seharusnya tidak dipertentangkan dengan kepentingan petani dan pekerja industri, karena sebagai sesama bagian dari warga negara dan masyarakat Indonesia, semuanya memiliki dasar legal yuridis untuk memperoleh hak-‐haknya.
UUD 45 pasal 28 ayat 1 menjamin setiap warga negara untuk “hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sementara UU No. 1 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di poin IV.1.2 angka 4 tentang Mewujudkan Bangsa Yang Berdaya Saing menegaskan, bahwa “Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan”.
Sedang UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, memberikan pedoman bagi perlindungan dan pemberdayaan petani, termasuk petani tembakau, yang sebagian besar masih masuk katagori warga masyarakat yang termarginalkan di negara agraris ini.
III. Beberapa tafsir utama dan relevansinya dengan Perundang-Undangan
Adapun beberapa kandungan dalam pasal-‐pasal dalam FCTC yang selama ini selalu diperdebatkan terutama meliputi pengaturan –pengaturan tentang :
1. Pengaturan kandungan rokok dan larangan bau aromatik / standarisasi bahan baku: Pengaturan ini yang ditafsirkan berpotensi mematikan industri rokok kretek. Sesungguhnya aturan ini secara substantif bernuansa melindungi konsumen/Generasi muda/pihak-‐pihak dari akibat kandungan nikotin dalam rokok. Secara juridis Negara dibenarkan untuk melakukan pengaturan seperti ini dengan tetap menyesuaikan dengan hukum Negara masing-‐masing.
Tiongkok, Brazil dan India yang masing-masing merupakan penghasil dari 42,25%, 10,98% dan 10,62% tembakau dunia, dibanding Indonesia sebagai penghasil 1,91%, telah meratifikasi FCTC dan berhasil menyeimbangkan antara
supply dan demand tembakau di negara mereka masing-masing
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 5
2. Pengaturan Tentang diversifikasi / alih tanam usaha tani. Diversifikasi/alih tanam dalam budi daya tanaman tembakau sesungguhnya merupakan alternatif terakhir dari upaya perlindungan petani tembakau. Apalagi bila diingat bahwa
tembakau adalah tanaman semusim yang sangat memungkinkan dilaksanakannya diversifikasi atau tumpang sari dalam budi-‐dayanya. Sesungguhnya perlindungan dan pemberdayaan petani tembakau merupakan bagian dari perlindungan dan pemberdayaan petani yang diatur oleh UU no. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Alih tanam hanya salah satu alternative disamping pengembangan usaha tani dan diversifikasi hasil produksi pertanian.
3. Tarif Cukai yang tinggi. Ditafsirkan akan mematikan pabrikan menengah ke bawah. Padahal sesungguhnya peningkatan cukai ditujukan untuk menaikkan harga rokok, melindungi warga tidak mampu dan anak-‐anak dari konsumsi rokok. Sementara peningkatan cukai, terlebih bilamana kebijakan ini diiringi dengan pengendalian import tembakau, maka justru petani akan sangat diuntungkan dan memiliki posisi tawar lebih tinggi dalam mata-‐rantai tata-‐niaga Tembakau.
4. Pembatasan interaksi Lembaga Negara dengan industri rokok. Pembatasan interaksi Lembaga Negara dengan industri rokok ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan perlindungan kesehatan dari akibat rokok. Lembaga Negara tetap dipersilahkan berinteraksi dengan industri rokok secara proporsional secara terbuka dan transparan dengan mengutamakan kepentingan kesehatan dan kepentingan masyarakat.
5. Pengaturan tentang pelarangan CSR industri rokok. Pengaturan ini sangat sejalan dengan pengaturan CSR secara global, dimana semua produk mengandung zat adiktif, dalam hal ini termasuk tembakau, alkohol serta NAPZA, tidak dibenarkan untuk menyelenggarakan program CSR. Hal ini dikhawatirkan program CSR tersebut akan dimanfaatkan untuk menunjang kepentingan pemasaran maupun advertensi, yang secara umum tidak dibenarkan dilakukan oleh industri zat adiktif tersebut.
Sementara itu secara garis besar FCTC memberikan beberapapengaturan dasar sbb:
1. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat
Konsumsi produk tembakau di Indonesia yang tinggi dan terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat mengancam kesehatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Konsumsi produk tembakau terbukti sebagai faktor risiko utama penyakit
Lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok yang sebagian besar diantaranya adalah anak-anak dan perempuan. Bahkan 11 juta
diantaranya adalah balita (usia 0 – 4 tahun (RISKESDAS 2010 l)
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 6
jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, serangan jantung), penyakit paru-‐paru, kanker, gangguan sistem reproduksi (infertilitas, lahir prematur) dan kematian bayi yang merupakan 60% penyebab kematian di dunia maupun di Indonesia (RISKESDAS 2007, WHO 2008).
Selain itu kebiasaan merokok juga merugikan orang-‐orang di sekitar perokok. Menurut RISKESDAS 2010 lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok yang sebagian besar diantaranya adalah anak-‐anak dan perempuan. Bahkan 11 juta diantaranya adalah balita (usia 0 – 4 tahun).
Secara ekonomi perilaku merokok merusak ekonomi rumah tangga dan menghambat pengentasan kemiskinan. Ini tergambar dari prevalensi perokok berdasarkan tingkat pendapatan (35% kelompok termiskin, 32% kelompok terkaya) (RISKESDAS, 2010). Sedang di kalangan remaja 15-‐19 tahun sebesar 38,4% laki-‐laki dan 0,9% perempuan (RISKESDAS, 2010). Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, menunjukkan 20,3% anak sekolah 13-‐15 tahun merokok. Perokok pemula usia 10-‐14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010 (SKRT, 2001; RISKESDAS, 2010).
Data SUSENAS 2011 menunjukan pengeluaran untuk rokok pada keluarga termiskin lebih besar (12%) dari pada keluarga terkaya (7%). Rokok merupakan pengeluaran rumah tangga kedua terbesar (11,91%) setelah beras (18,03%) pada keluarga miskin yang melampaui pengeluaran untuk pendidikan (1,88%), dan kesehatan (2,02%).
Tingginya prevalensi perokok juga akan membebani negara yang akan memperluas cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (180 juta penduduk per 1 Januari 2014, seluruh penduduk per 1 januari 2019). Tingginya prevalensi perokok akan memicu peningkatan kesakitan penyakit terkait merokok yang akan menambah beban negara dalam melaksanakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN).
Maka kebijakan yang terkandung dalam FCTC seperti Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, Kenaikan cukai dan harga rokok, Pelarangan iklan, sponsor dan promosi merupakan suatu upaya preventif untuk mengurangi prevalensi perokok di kalangan penduduk. Upaya-‐upaya tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-‐hak rakyat: hak atas kesehatan dan merupakam perlindungan tehradap hak anak dari paparan zat adiktif.
2. Perlindungan terhadap petani dan pekerja industri Tembakau
Agenda pengendalian dampak produk tembakau yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk tembakau di bidang kesehatan dan sosial ekonomi, tidak dimaksudkan untuk memarginalkan petani dan pekerja industri. Marginalisasi tersebut justru terjadi karena kebijakan dan praktek tata niaga produk tembakau yang sangat berpihak kepada industri.
Petani di Indonesia, termasuk petani tembakau adalah bagian dari paradoks kehidupan masyarakat petani Indonesia. Di saat produksi rokok meningkat tajam dari 220 miliar
20,3% anak sekolah 13-15 tahun adalah merokok. Perokok pemula usia 10-14 tahun
naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5% menjadi 17,5% pada tahun pada
tahun 2001-2010 (GYTS)
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 7
batang tahun 2005 menjadi lebih dari 300 miliar batang tahun 2011. Produksi Tembakau Indonesia mengalami penurunan dari 204 ribu ton tahun 2000 menjadi135 ribu ton tahun 2010. Di saat yang sama import tembakau terus meningkat dari 34 ribu ton tahun 2000 menjadi 65 ribu ton tahun 2010.
Permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau adalah kondisi musim dan cuaca yang tidak menentu, lemahnya daya tawar petani terhadap tengkulak dalam tata niaga Tembakau dan dibukanya keran impor daun tembakau sebesar-‐besarnya dari luar negeri. Banyaknya permasalahan yang dihadapi petani Tembakau menjadikan kesejahteraan petani Tembakau dihantui ketidakpastian.
Disisi lain semakin meningkatnya kesadaran masayarakat akan bahaya merokok menjadikan industri hasil Tembakau sebagai Sunset Industry. Trend ini selayaknya direspon dengan menyiapkan langkah-‐langkah untuk membantu kesejahteraan petani dan pekerja di sektor industri hasil tembakau.
FCTC yang bagi oleh industri rokok selalu dipersepsikan sebagai traktat yang akan merugikan petani dan pekerja industri Tembakau, justru telah sejak jauh-‐jauh hari memikirkan kehidupan petani tembakau.
Keberpihakan FCTC terhadap petani dan pekerja industri Tembakau tergambar dari pasal 15 dan 17 FCTC yang menyerukan kepada seluruh negara pihak untuk membantu dan memastikan kesejahteraan petani dan pekerja indunstri tembakau. Lebih jauh FCTC juga mengembangkan protokol untuk menanggulangi peredaran dan penyelundupan produk dan daun tembakau ilegal yang sangat merugikan petani dan pelaku industri tembakau.
Terlebih dalam mata rantai tata-‐niaga tembakau, petani adaah mata rantai yang paling lemah dan tidak memiliki posisi tawar, namun selalu dijadikan bumper oleh industri untuk kepentingan mengeruk keuntungan yang setinggi-‐tingginya.
Substansi FCTC tersebut kiranya sesuai dengan amanat Undang Undang No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang apabila benar-‐benar dilaksanakan dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani tembakau. Sehingga tak ada lagi alasan dan upaya untuk mempertentangkan antara kebijaksanaan dan upaya untuk melindungi masyarakat luas dari dampak produk tembakau di bidang kesehatan dan sosial ekonomi dengan bidang-‐bidang pembangunan lainnya.
3. Pengendalian
Indonesia adalah negara ke-‐3 tertinggi di dunia dalam jumlah perokok sesudah Cina dan India (WHO, 2008). Data GATS 2011 menunjukkan prevalensi merokok orang dewasa Indonesia sebesar 34,8% terbagi atas 67,4% laki-‐laki, dan 4,5% perempuan (GATS, 2011).
Rokok merupakan pengeluaran rumah tangga kedua terbesar (11,91%) setelah beras (18,03%) pada keluarga miskin yang melampaui pengeluaran untuk pendidikan (1,88%), dan kesehatan (2,02%)
(SUSENAS 2011)
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 8
Tingginya prevalensi juga seiring dengan meroketnya pertambahan konsumsi rokok di indonesia. Setiap tahun rata-‐rata pertambagahan konsumsi rokok sudah mencapai 30 miliar batang. Pada tahun 2014 diperkirakan konsumsi rokok di Indonesia mencapai 360 milliar batang.
Ada beberapa faktor yang mendorong hal ini terjadi, diantaranya adalah kebebasan promosi dan konsumsi serta harga yang masih sangat murah. Berdasarkan survei GYTS 2009, sekitar 90% anak usia 13-‐15 tahun melihat iklan rokok di televisi, 89% melihat iklan rokok di billboard, dan 76,6% melihat iklan rokok di media cetak.
Berbagai studi menunjukkan iklan rokok berpengaruh pada anak untuk mulai merokok dan meningkatkan konsumsi rokok (UHAMKA, 2009; Kosen, 2012). Harga rokok yang masih berkisar antara Rp 300 – Rp 1000 per batang juga membuat keterjangkauan kelompok miskin dan anak-‐anak terhadap rokok masih sangat tinggi.
Beberapa instrumen pengendalian tembakau seperti pelarangan total terhadap iklan, sponsor dan promosi, layanan berhenti merokok, peringatan kesehatan bergambar serta kenaikan pajak dan harga rokok terbukti efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Beberapa instrumen tersebut selaiknya dilaksanakan secara serentak dalam satu paket untuk mengendalikan konsumsi rokok.
IV. Relevansi dengan Per-undang-undangan
Undang-‐Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan, bahwa “Negara menjamin hak warganya terhadap pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-‐tingginya tanpa membedakan suku, golongan, agama, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Setiap anak dan perempuan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hak untuk Hidup Sehat atau the Right to Health sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 tersebut dikembangkan lebih lanjut, baik dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun dalam Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bahkan Undang Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025 kembali menggaris-‐bawahi bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan bangsa yang berdaya saing, sehingga ”Pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan (IV.1.2.A.4)”. Sehingga perlu disadari, bahwa pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan bangsa yang berdaya saing adalah filosofi dasar nation and character building dari pembangunan kebangsaan kita.
Disi lain Indonesia akan mengalami Bonus Demografi dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Sejak tahun 2025, ledakan kaum muda dan angkatan kerja produktif ini sangat
Produksi rokok meningkat tajam dari 220 miliar menjadi lebih dari 300 miliar batang
pada tahun 2005-2011. Produksi Tembakau turun dari 204 ribu ton menjadi
35 ribu ton tahun 2000-2010. Import tembakau terus meningkat dari 34 ribu ton
menjadi 65 ribu ton tahun 2000-2010.
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 9
krusial dan akan menjadi bencana apabila konsumsi tembakau tidak terkendali, karena akan menyebabkan merosotnya kualitas SDM ke depan, dan rendahnya kualitas SDM tersebut hanya akan menjadi beban negara. Situasi ini akan berakibat pada tidak tercapainya rasio ketergantungan (dependency ratio) 44,79 yang diharapkan akan tercapai pada tahun 2025.
Apapun alasan dan dasar hukumnya, kepentingan bangsa dan masyarakat dalam mewujudkan the right to health tersebut, tidak dapat dipertentangkan dengan kepentingan sektor lain, misalnya perdagangan, industri, pertanian dsb. Apalagi Undang Undang tentang RPJPN tersebut menegaskan, bahwa tujuan ditetapkannya Undang Undang RPJP Tahun 2005-‐2025 adalah a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional (Penjelasan, I. UMUM).
FCTC tidak berpengaruh langsung terhadap ekonomi terkait industri rokok. Pengalaman banyak negara menunjukkan pengendalian tembakau tidak secara signifikan mempengaruhi industri tembakau. Konsumsi Tembakau yang merupakan zat adiktif bersifat inelastis sehingga tidak akan mengalami penurunan yang drastis apabila dilakukan pengendalian.
Negara China, Brazil, dan India telah meratifikasi FCTC, namun negara tersebut tetap menjadi negara penghasil tembakau tertinggi di dunia. Thailand yang telah meratifikasi FCTC sejak tahun 2004 bahkan berhasil meningkatkan pendapatan cukai sebesar 25%.
Jika diterapkan dengan benar, dalam jangka panjang FCTC akan mengurangi konsumsi rokok secara bertahap. Hal ini akan menghindarkan masyarakat dari penyakit-‐penyakit dan akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, menurunkan biaya pengobatan akibat gangguan kesehatan dan meningkatkan produktivitas kerja yang akan meningkatkan kondisi perekonomian.
V. Rekomendasi Kebijakan.
Mengingat berbagai tantangan dan relevansi Pengendalian Tembakau bagi bangsa Indonesia maka sudah semestinya pemerintah segera melakukan aksesi FCTC, tentunya dengan diikuti kebijakan penanganan dampak pada pekerja rokok dan buruh tani tembakau pada saat bersamaan. Oleh karena itu, dukungan lintas sektor dari sektor pertanian, sektor ketenagakerjaan, dan sektor industri sangat diperlukan untuk mengatasi menurunnya kinerja sektor rokok dan tembakau.
Keberpihakan FCTC terhadap petani dan pekerja industri Tembakau tergambar dari pasal 15 dan 17 FCTC yang menyerukan kepada seluruh negara pihak untuk membantu dan memastikan kesejahteraan petani dan
pekerja indunstri tembakau.
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 10
Rujukan:
1. Bunga Rampai Fakta Tembakau; Permasalahannya di Indonesia tahun 2012, Tobacco Control Support Center – IAKMI
2. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), World Health Organization 2003 3. Global Adult Tobacco Survey, WHO 2011 4. Global Youth Tobacco Survey, WHO 2009 5. Kosen, S. (2009). Beban biaya kesehatan penyakit akibat rokok. National Institute of
Health Research Development, Kementrian Kesehatan. Puslitbang Kemenkes RI. 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif 7. Peraturan Menteri Kesehatan No 28 Tahun 2013 Tentang Pencatuman Peringatan
Kesehatan Pada Produk Tembakau 8. Resolusi Perserikatan Bangsa-‐Bangsa nomor 66/2, 2012 mengenai Political
Declaration of the High-‐level Meeting of the General Assembly on the Prevention and Control of Non-‐communicable Diseases
9. Riset Kesehatan Dasar 2007, 2010, Kementerian Kesehatan RI 10. Survey Sosiaal Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2011, Badan Pusat Statistik 11. Studi Penelitian Dampak Keterpajanan Iklan dan Sponsor Rokok terhadap Kognitif,
Afeksi dan Perilaku Merokok Remaja, Uhamka – Komnas Anak 2009) 12. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), 2001, Kemenkes RI 13. Undang-‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 14. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen 15. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia 16. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak 17. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran 18. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai 19. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 20. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 21. Undang-‐Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani 22. WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, 2008