Pelangaran terhadap polstranas di bidang hukum
-
Upload
fuji-lestari -
Category
Documents
-
view
1.301 -
download
0
Transcript of Pelangaran terhadap polstranas di bidang hukum
MAKALAH
Pelanggaran Terhadap Polstranas
di Bidang Hukum
Disusun Oleh:
Dinar Dina Karamani (210110130231)
Fuji Lestari (210110130215)
Nada Bilqis. A (210110130203)
Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pelanggaran
Terhadap Polstranas di Bidang Hukum”.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasila
dan Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini juga disiapkan sebagai bahan latihan
bagi rekan mahasiswa yang ingin mengamati lebih jauh mengenai pelaksanaan Politik
dan Strategi Nasional (Polstranas) di Indonesia.
Penulis sangat menyadari begitu banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
konstruktif dari semua pihak.
Proses penyusunan makalah ini tentu tak luput dari dukungan semua pihak,
terutama dari dosen mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, Hj. Kismiyati El
Karimah, Dra. dan Sri Rahayu, juga rekan mahasiswa Ilmu Komunikasi B, Fakultas
Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Dengan demikian, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas perhatian dan dukungan semua pihak.
Bandung, November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………...i
Daftar Isi …………………………………………………………………....................ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………..……1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….....................1
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………1
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Politik…………………………………………………………..….3
2.2 Pengertian Strategi…………………………………………………………….4
2.3 Politik Nasional dan Strategi Nasional………………………………………...5
2.3.1 Pengertian Politik Nasional …………………………………………...5
2.3.1.1 Stratifikasi Politik Nasional ………..………………………..5
2.3.2 Strategi Nasional …………………………………………………...…7
2.4 Implementasi Polstranas ………………………………………………………7
2.4.1 Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia ….……………………...8
2.4.2 Bentuk-bentuk Korupsi di Indonesia ………………………………...10
2.4.3 Solusi dan Penanganan Korupsi ……………………………………..12
BAB III Penutup
3.1 Simpulan ……………………………………………………………………..16
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia tengah berada dalam kondisi yang tidak diharapkan. Sebutan negara
berkembang yang sedang disandang, nyatanya tak mampu membuat negeri ini
menjadi sejahtera. Tingkat pendidikan yang masih rendah, rakyat miskin yang
telantar, aksi kriminal yang tak mengenal ruang dan waktu, serta pelayanan di bidang
kesehatan yang belum optimal. Demikian wajah bangsa ini di tengah petinggi yang
mengemban amanah, justru mengianati rakyat Indonesia.
Kerakusan serta keegoisan yang dimiliki oleh petinggi yang bermental
koruptor, tentu membuat rakyat geram. Politik dan Strategi Nasional (Polstranas)
yang semestinya dapat berjalan dengan lancar, justru berubah menjadi tolak ukur yang
diabaikan petinggi di Negara ini.
Berangkat dari keadaan carut marut tersebut, maka penulis mengangkat
sebuah permasalahan yang semestinya tidak ada jika setiap individu memahami dan
mengaplikasikan betul arti keadilan yang sebenarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan politik?
Apa yang dimaksud dengan strategi?
Apa yang dimaksud dengan politik nasional dan strategi nasional?
Bagaimana implementasi Politik dan Strategi Nasional di Indonesia?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengertian politik
Untuk mengetahui pengertian strategi
Untuk mengetahui penegertian politik nasional dan strategi nasional
Untuk mengetahui implementasi Politik dan Strategi Nasional di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik
Kata politik secara etimologi berasal dari Yunani politeia dengan akar kata polis,
berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara; dan teia, berarti
urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics bermakna kepentingan
umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip,
keadaan, jalan, cara, dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu
yang dikendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik.
Politics memberikan asas, jalan, dan arah sedangkan policy memberikan
pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Dalam bahasa inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan,
arah yang digunakan untu mencapai tujuan, sedangkan policy yang dalam bahasa
Indonesia menjadi kebijaksanaan adalah penggunaan pertimbangan yang dianggap
dapat lebih menjamin terlaksananya usaha mencapai tujuan yang dikehendaki dengan
pengambilan kebijaksanaan oleh seorang pemimpin.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara
melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum
(public politics) yang menyangkut peraturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber
yang ada.
Penentuan kebijaksanaan umum memerlukan kekuasaan dan wewenang
(authority) yang berperan penting dalam pembinaan kerja sama dan penyelesaian
konflik yang muncul dalam proses pencapain tujuan. Jadi, politik membicarakan hal-
hal yang berkitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan
distribusi.
1. Negara
Negara merupakan bentuk masyarakat dan suatu organisasi politik dalam
wilayah yang berdaulat dan memilki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh
rakyatnya.
2. Kekuasaan
Kekuasaan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi
tingkah laku atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya. Dalam politik,
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara memperoleh, bagaimana
mempertahankan, dan bagaimana melaksanakan kekuasaan.
3. Pengambilan keputusan
Pengamilan keputusan adalah aspek utama politik. Dalam pengambilan
keputusan, perlu diperhatikan siapa pengambilan keputusan, perlu
diperhatikan siapa pengambil keputusan dan untuk siapa keputusan itu dibuat
yang diambil melalui sarana umum dan menyangkut sector public suatu
negara.
4. Kebijakan umum
Kumpulan keputusan yang diambil oleh politisi dalam memilih tujuan dan
cara mencapai tujuan. Dengan dasar pemikiran bahwa masyarakat memiliki
beberapa tujuan bersama yang ingin dicapai secara bersama pula sehingga
perlu ada rencana yang mengikat, yang diruuskan dalam kebijakan oleh pihak
yang berwenang.
5. Distribusi
Pembagian dan pengalokasian nilai-nilai (values) yang diinginkan dan penting
dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting yang
harus dibagi secara adil juga bagaimana pembagian dan pengalokasian nilai
secara mengikat.
2.2 Pengertian Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani, strategia yang artinya sebagai “the art of the
general” atau seni seorang panglima dalam berperang. Karl Von Clausewitz (1780-
1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan
pertempuran untuk memenangkan peperangan.
Pada abad modern, istilah strategi digunakan secara lebih luas, dan digunakan
dalam banyak disiplin ilmu seperti ilmu komunikasi, ilmu ekonomi ataupun bidang
olahraga. Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapatkan
kemenangan atau pencapaian tujuan.
Dengan demikian, stratgi tidak hanya menjadi monopoli para jendral atau bidang
militer, tetapi telah meluas kesegala bidang kehidupan. Strategi pada dasarnya
merupakan seni dan ilmu dalam menggunakan serta mengembangkan kekuatan dalam
ideology, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
2.3 Politik Nasional dan Strategi Nasional
2.3.1 Pengertian Politik Nasional
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan
kebijakan untuk mencapai tujuan nasional, yaitu tentang pembinaan (perencanaan,
pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta pengunaan kekuatan nasional.
Politik nasional Indonesia tertuang dalam cita-cita bangsa, yaitu membentuk negara
merdeka, besatu, berdaulat, adil, dan makmur. Cita-cita nasional tersebut di capai
dengan menggunakan strategi, seperti yang tertuang dalam tujuan nasional, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamain abadi dan keadilan
nasional.
2.3.1.1 Stratifikasi Politik Nasional
a. Tingkat Penentu Kebijakan Puncak
Tingkat kebijakan puncak meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh
secara nasional dan mencakup penentuan UUD 1945, penggarisan makro
politik bangsa dan Negara.
Kebijakan ini dilakukan oleh MPR.
Dala keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala Negara, tingkat penentuan
kebijakan puncak ini mencakup kewenangan presiden sebagai kepala Negara,
yaitu dekrit, peraturan, atau piagam kepala Negara.
b. Tingkat Kebijakan Umum
Tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak yang juga secara
nasional berupa penggarisan masalah makro strategis guna mencapai situasi dan
kondisi tertentu. Hasil kebijakan ini dapat berupa seperti di bawah ini.
a. Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu)
b. Peraturan Pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang
yang merupakan wewenang presiden.
c. Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, atau Instruksi Presiden yang
berisi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan atau pelaksanaan kebijakan nasional,
merupakan wewenang presiden.
d. Maklumat Presiden, yang dikeluarkan presiden dalam keadaan tertentu
c. Kebijakan Khusus
Kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama
pemerintahan, yang menjabarkan kebijakan umum guna merumuskan strategi,
administrasi, system, dan prosedur dalam bidang utama. Kebijakan ini ada di tangan
menteri berdasarkan kebijakan pada tingkat di atasnya. Hasilnya dalam bentuk
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dalam pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya. Dalam keadaan tertentu, menteri dapat mengeluarkan
Surat Edaran Menteri.
d. Kebijakan Teknis
Penjabaran suatu sektor (bidang) dari bidang utama dalam bentuk prosedur
dan teknis untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan. Wewenang
kebijakan itu ditangan pimpinan eselon pertama departemen dan lembaga-lembaga
non departemen.
e. Kekuasaan membuat aturan di daerah
a. Penentuan kebijakan mengenai pelaksanaan pemerintah pusat di daerah
dipegang oleh Gubernur, Bupati/Walikota. Bentuknya putusan atau Intruksi.
b. Penentuan kebijakan pemerintah daerah (otonom) dipegang oleh kepala daerah
tingkat I/II bentuknya Perda I/II.
Jabatan Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Daerah tingkat I/II disatukan
dalam satu jabatan sehingga penyebutannya :
Gubernur/Kepala Daerah tingkat I
Bupati/Kepala Daerah tingkat II
Walikota/Kepala Daerah tingkat II
Polstranas dalam aturan ketatanegaraan dituangkan dalam bentuk GBHN yang
ditetapkan oleh MPR, selanjutnya pelaksanaannya dilaksanakan oleh Presiden/
Mandataris MPR.
Tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh
bangsa dan dalam pelaksanaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
saja, tetapi juga seluruh rakyat. Keikutsertaan setiap warga negara dalam
pembangunan nasional dapat dilakukan dengan berbagai cara dan mengikuti wajib
belajar, membayar pajak, melestarikan lingkungan hidup, mentaati peraturan yang
berlaku, menjaga ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.
2.3.2 Strategi Nasional
Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik nasional, yaitu cara
mencapai tujuan naisonal atau sasaran nasional atau keadaan tertentu yang dikendaki
dan ditetapkan bersama. Agar strategi nasional dapat berjalan dengan benar, terlebih
dahulu diadakan pemikiran strategi, yaitu kegiatan mengantisipasi perkembangan
strategi nasional.
2.4 Implementasi
Penerapan atau implementasi polstranas terdapat didalam berbagai bidang,
salah satunya dalam bidang hukum. Berikut ini kegiatan-kegiatan yang seharusnya
diterapkan dalam bidang hukum:
1. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan, kebenaran, dan supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia.
2. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tampa merugikan
kepentingan nasional.
3. Menyelenggarakan proses pengadilan secara cepat, mudah, murah, dan
terbuka, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi
asas keadilan dan kebenaran.
4. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegak hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
5. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan
hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Bila kita melihat point ke-3, menyelenggarakan proses pengadilan yang bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai wujud dari implementasi polstranas, pada
kenyataanya belum tercapai.
2.4.1 Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
Tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah ada sejak Indonesia
belum merdeka. Runtuhnya kerajaan Majapahit pun disebabkan karena adanya perang
saudara atau perang Paregreg yang memperebutkan kekuasaan. Terlebih kedatangan
Belanda ke Indonesia semakin memperkeruh keadaan dengan adanya sikap
nepotisme. Keruntuhan VOC yang bahkan dipimpin oleh bangsa Belanda sendiri juga
disebabkan oleh korupsi.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur
Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun
1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik dari kalangan bangsawan lokal atau
pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek
budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai,
danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk,
pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk
Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan,
meskipun di sisi lain mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain.
Karkater lainnya adalah tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan
termasuk suka mencuri kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta,
memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat
atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang
disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan
terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya
Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan
mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan”
miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan
“budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan tindakan
korupsi dalam mengambil upeti (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada
Demang (Lurah), selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung.
Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga melakukan
tindakan korupsi (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi, di antaranya Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran) dan Operasi Budhi. Namun, pada waktu itu pemerintah tidak menjalankannya
secara optimal. Paran dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof
M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu tersebut. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden,
akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di
Bogor, “Prestise presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi (Kotrar), di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Begitupun pada zaman orde baru dan reformasi, korupsi semakin merajalela
dan pemerintahan semakin merosot. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implementasi
polstranas dalam bidang hukum belumlah terwujud.
Pemerintah dan segenap warga Negara Indonesia telah berusaha untuk
memberantas korupsi di masa kini, namun hal tersebut tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Pada dasarnnya, korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara menuju ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan
kesejahteraan serta pengentasan rakyat miskin. Ketidakberdayaan hukum di hadapan
orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan
keadilan datang dari hati nurani rakyat.
Kini, hukum di Indonesia bagaikan mata pisau yang runcing di bagian bawah.
Kalangan bawah yang melakukan kesalahan kecil, akan merasakan hukuman yang
berat dengan cepat. Namun, sebaliknya kalangan atas yang melakukan kesalahan yang
besar, proses hukum akan berjalan sangat alot, juga cenderung ringan.
2.4.2 Bentuk-bentuk Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela. Hukuman yang diberikan
kepada koruptor, bukan hanya berupa sanksi hukum Negara saja, namun juga sanksi
sosial yag diberikan oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Seara garis besar, tindakan korupsi di Indonesia sdapat digolongkan ke dalam
beberapa bentuk. Khusus untuk intansi yang melakukan administrasi penerimaan
(revenue administration) yang meliputi instansi pajak bea cukai, tidak termasuk
pemda dan pengelola penerimaan PNPB, tindakan korupsi dapat dibagikan menjadi
beberapa jenis, antara lain :
a. Korupsi Kecil-kecilan (Petty Corruption) dan Korupsi Besar–besaran (Grand
Corruption)
Korupsi kecil–kecilan merupakan bentuk korupsi sehari–hari dalam
pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah. Korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat
petugas bertemu langsung dengan masyarakat. Korupsi ini juga di sebut dengan
Korupsi Rutin (routine corruption) atau Korupsi untuk Bertahan Hidup (survival
corruption). Korupsi kecil – kecilan umumnya dijalankan oleh pejabat junior dan
penjabat tingkat bawah sebagai pelaksana fungsional. Contohnya adalah pungutan
untuk mempercepat pencairan dana yang terjadi di KPPN.
Korupsi besar–besaran umumnya dilakukan oleh penjabat level tinggi, karena
korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Korupsi ini terjadi
saat pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah
pembebasan pajak bagi perusahaan besar.
b. Penyuapan (bribery)
Untuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam birokrasi pemerintahan di
Indonesia khususnya di bidang atau intansi yang mengadministrasikan penerimaan
Negara (revenue administration) dapat dibagi menjadi empat antara lain :
1. Pembayaran untuk menunda atau mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
2. Pembayaran untuk meyakinkan petugas agar tutup mata terhadap kegiatan illegal.
3. Pembayaran kembali (kick back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar
dimasa mendatang mendapat perlakuan yang yang lebih ringan daripada administrasi
normal.
4. Pembayaran untuk meyakinkan atau memperlancar proses penerbitan ijin
(license) dan pembebasan (clearance).
C. Penyalahgunaan atau penyelewengan ( misappropriation)
Penyalahgunaan atau penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian
administrasi (check and balances) dan pemeriksaan serta supervise transaksi
keuangan tidak berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini adalah pemalsuan
catatan, klafikasi barang yang salah, serta kecurangan (fraud).
d. Penggelapan (embezzlement)
Korupsi ini adalah korupsi dengan cara menggelapkan atau mencuri uang
negara yang dikumpulkan, menyisakan sedikit atau tidak sama sekali.
e. Pemerasan (extortion)
Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak mengetahui tentang peraturan
yang berlaku, dan dari celah inilah petugas melakukan pemerasan dengan menakut-
nakuti masyarakat untuk membayar lebih mahal daripada yang semestinya.
f. Perlindungan (patronage)
Perlidungan dilakukan dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi staf
berdasarkan suku, kinship, dan hubungan sosial lainnya tanpa mempertimbangkan
prestasi dan kemampuan dari seseorang tersebut.
2.4.3 Solusi dan Penanganan Korupsi
a. Penanganan Korupsi oleh KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah komisi di Indonesia yang dibentuk
pada tahun 2003, untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang–undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Sejauh ini, KPK telah menangani kasus–kasus korupsi di Indonesia. Di antaranya:
Tahun 2004 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh
KPK.
Tahun 2005 tercatat ada 6 (enam) kasus korupsi besar yang ditangani oleh
KPK.
Tahun 2006 tercatat ada 8 (delapan) kasus korupsi besar yang ditangani oleh
KPK.
Tahun 2008 tercatat ada 10 (sepuluh) kasus korupsi besar yang ditangani oleh
KPK.
Tahun 2009 tercatat ada 1 (satu) kasus korupsi besar yang ditangani oleh
KPK.
Tahun 2010 tercatat ada 2 (dua) kasus korupsi besar yang ditangani oleh KPK.
Tahun 2011 tercatat ada 13 (tiga belas) kasus korupsi besar yang ditangani
oleh KPK.
Dari uraian diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penanganan korupsi
paska pembentukan KPK dari tahun ketahun meningkat dan membaik.
b. Solusi dari Korupsi
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3
(tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu:
1. Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat
upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu
perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan
upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan
mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila
suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat
diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga
dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan
yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini
sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi
maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi
sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan
perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses
penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun
implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan
yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Adapula strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif
antara lain :
1. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan
gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun
ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta
kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama
ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
2. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta
memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan
prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi
yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
3. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi
adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat
manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial
masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan
akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini
antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif
membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
4. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai
dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka
yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti
melanggar harkat dan martabat kehidupan.
5. Perlu adanya sanksi yang tegas. Selama ini sanksi yang diberikan kepada para
pelaku tindak pidana korupsi sangatlah ringan. Seperti contoh kasus Aulia Pohan ini,
dia hanya menerima hukuman 4,5 tahun penjara. Bahkan Aulia Pohan bersama
dengan rekan – rekannya menerima pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai
menerima remisi, sejak 18 Agustus 2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan –
rekannya resmi bebas bersyarat. Seharusnya remisi dihapuskan bagi para tersangka
tindak pidana korupsi. Serta perlu adanya hukuman mati bagi mereka yang melakukan
tindak pidana korupsi.
6. Memiskinkan harta para tersangka tindak pidana korupsi. Hal ini perlu dikukan
agar para pelaku tindak pidana korupsi tidak bias lagi menggunakan harta mereka
yang notabene bersumber dari negara tersebut untuk melakukan suap terhadap para
pelaku peradilan, contohnya suap terhadap hakim.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Secara umum, tentu kita dapat merasakan dampak dari implementasi Politik
dan Strategi Nasional (Polstranas) oleh pemerintah di dalam berbagai sektor
kehidupan. Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia mengharapkan dampak positif
dari implementasi polstranas secara utuh. Namun, pada kenyataannya masih banyak
terjadi penyimpangan dalam implementasi polstranas di Indonesia yang tidak dapat
dihindari. Salah satu contohnya adalah tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan bentuk pelanggaran etika. Etika adalah
suatu sikap yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan ajaran moral. Contoh dalam kasus ini adalah Aulia Pohan
telah melakukan pelanggaran etika dalam pekerjaan. Aulia Pohan melanggar kode
etik pekerjaan, yaitu melakukan suatu pekerjaan di luar kewenangannya.
Dewasa ini, setiap manusia di muka bumi diberikan anugerah tiada tara oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Anugerah tersebut berupa potensi otot, otak, dan hati nurani.
Jika ketiga potensi tersebut digunakan secara seimbang, maka perilaku kita akan
senantiasa berada dalam jalur yang benar. Pengoptimalan potensi yang tidak
seimbang, akan menumbuhka perilaku yang buruk, termasuk korupsi.
Sebenarnya segala sesuatu mungkin dilakukan. Koruptor di negeri ini
mungkin tidak akan ada, jika mereka mempunyai keseimbangan dalam menggunakan
potensi otot, otak, dan hati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/ diakses pada tanggal 20 November 2013
http://blogstoryaboutme.blogspot.com/2012 diakses pada tanggal 20 November 2013
http://muh-arsyad92.blogspot.com/201 3 diakses pada tanggal 20 November 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/ diakses pada tanggal 20 November 2013
http://syafieh74.blogspot.com/2013 diakses pada tanggal 20 November 2013