PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
-
Upload
truongthien -
Category
Documents
-
view
302 -
download
15
Transcript of PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
1
TESIS
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
2
TESIS
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
NIM. 1392461011
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
3
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
NIM. 1392461011
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 14 APRIL 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH
NIP. 19440929 197302 1 001 NIP. 19601003 198503 1 003
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
5
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal : 13 April 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1119/UN14.4/HK/2015
Tanggal : 10 April 2015
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS
Anggota :
1. Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH
2. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH., MS
3. Dr. I Ketut Wirawan, SH., M.Hum
4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH
iv
6
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
NIM : 1392461011
Program Studi : Kenotariatan
Judul Tesis : Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura
(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas
dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, 14 April 2015
Yang Membuat Pernyataan
(Ni Nyoman Tri Indrayanti)
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi
Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali)”. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan
informasi dan menambah khasanah pengetahuan dalam ranah hukum agraria
terkait dengan jual beli tanah druwe pura. Dalam penulisan tesis ini, penulis
menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga
tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister
Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan serta dukungan
dari pembimbing dan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr .
I Nyoman Sirtha, SH.,MS., Pembimbing Pertama dan Dr. I Ketut Sudantra,
SH.,MH., Pembimbing Kedua yang telah memberikan dukungan, semangat, saran
serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menyelesaikan tesis
ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD, Rektor Universitas Udayana beserta staff atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana
vi
8
Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof.
Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,Mhum, Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas segenap perhatian,
bimbingan dan petunjuk yang selama ini diberikan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen
pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama
perkuliahan berlangsung. Ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu seluruh staff
dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang
telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan
berlangsung dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung.
Terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua tercinta Drs. I Wayan
Windra dan Ni Wayan Siki, SH yang senantiasa mendoakan, mendukung dan
memberikan semangat selama penulis menjalani masa perkuliahan dan selama
proses tesis ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada suami tercinta I Gusti
Ngurah Putu Alit Putra, SH atas dukungan dan motivasi yang diberikan dalam
proses pengerjaan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Komang Trianna,
SH., Nirmala Sari, SH., Putu Elik Sulistyawati, SH., Anak Agung Istri Candra
vii
9
Pramita, SH., I Gusti Ayu Aryastini, SP, SH., Samuel Cibro, SH., Junaedi
Kariadi, SH., MH., serta seluruh teman-teman angkatan VI Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dan telah
memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak
yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa, Ida
Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat.
Denpasar, 23 Februari 2015
Penulis
viii
10
ABSTRAK
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali.
Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah
pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum adat
yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan hak
masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah diatur
dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Dengan adanya pengakuan terhadap hak atas
tanah adat maka pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak
Milik Atas Tanah. Kemudian dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum
Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah mempunyai implikasi
bahwa Pura dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah. Kemudian atas kepemilikan
itu maka Pura sebagai subyek hukum dapat saja mengalihkannya kepada pihak
lain melalui mekanisme jual beli.
Penelitian ini bersifat empiris dan mengacu pada pelaksanaan jual beli atas
tanah druwe pura yang ada di Kabupaten Badung, proses, kendala serta akibat
hukum yang ada. Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui proses
penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung kepada
responden dan informan yang berkompeten. Sedangkan data sekunder diperoleh
melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekuder, dan tersier
sesuai permasalahan yang dibahas. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jual beli atas tanah druwe
pura dapat saja dilakukan jika seluruh pengempon telah menyatakan
persetujuannya, akan tetapi sebagaimana salah satu sifat dari tanah adat bahwa
hak atas tanah adat tidak dapat dipindahtangankan, sehingga terdapat kesenjangan
terhadap hal tersebut dewasa ini. Namun ada beberapa faktor-faktor penguat yang
dapat menjadi alasan kuat bahwa pemindahtanganan tersebut sah secara hukum.
Dalam penelitian ini diuraikan proses dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
dilaksanakan jual beli atas tanah druwe pura. Syarat-syarat lain ditentukan secara
formil sehingga sah dan dapat dilaksanakan secara hukum perjanjian normal yang
berlaku di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kata Kunci : Tanah Adat, Jual Beli, Druwe Pura
ix
11
ABSTRACT
THE EXECUTION OF SELLING AND BUYING THE LAND OF DRUWE PURA
(Case Study in Kelan Heritage Village, Tuban, Kuta District, Badung Region,
Bali Province)
One of the principles adopted in the Basic Agrarian Law is the recognition
of land rights of indigenous people's unity called HAK ULAYAT (The rights of
disposal). Related to the existence of customary law and indigenous peoples'
rights to land in its territory (HAK ULAYAT/The rights of disposal), has expressly
provided in Article 3 and Article 5 of the Basic Agrarian Law. Article 3 states that
"the implementation of customary rights and similar rights from customary law
communities that still exist should be such that in accordance with national and
state interests are based on the nation unity and must not conflict with higher laws
and regulations". By acquisitions of indigenous land rights, the government
enacted Government Regulation No. 38 of 1963 on the appointment of Legal Firm
that Can Have ownership Rights of Land. Then the issuance of the Decree of the
Minister of Internal Affairs No. SK 556 / DJA / 1986 on the appointment of
Temple as Religious Legal Firm to Have ownership Rights of Land has
implications that the temple may have an ownership Rights of Land. Then from
that ownership right means the temple as a legal firm able to transfer it over to
the other party through the mechanism of buying and selling.
This research is empirical and refers to the execution of the selling and
buying of druwe pura (temples land) in Badung, the process, obstacles and
existing legal consequences. Primary data from this study were obtained through
field research process that is by doing direct interviews to respondents and
informants who are competent. and Secondary data was collected through
literature research on primary, secondary, and tertiary legal materials according
to issues discussed. The collected data then qualitatively analized.
The results showed that the implementation of the sale and purchase of
land druwe pura could be done if all pengempon (temple leaders) has stated
theirs approval, but as a conditions of customary land that indigenous land rights
can not be transferred, there is a gap to it nowadays. However there are several
factors that may be reinforcing a strong reason that the transference is legal
under the law. This results described the process and the factors underlying the
Selling and Buying of land held by druwe pura. One of the conditions of Selling
and Buying of druwe pura land is there should be a substitute land associated
with the transfer of rights. Other requirements formally appointed so legitimately
and could be apply on normal agreement law that prevail in the National Land
Departement (BPN).
Keywords: Indigenous Lands, Buy & Sell, Druwe Pura
x
12
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis tentang pelaksanaan jual beli tanah druwe pura
(studi kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali.)”. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dapat diuraikan
sebagai berikut.
Bab I menguraikan mengenai latar belakang yang melandasi lahirnya
penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka
permasalahan yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni faktor-faktor
yang melatarbelakangi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan dan proses
terjadinya jual beli tanah druwe pura. Disamping latar belakang dan rumusan
masalah pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian,
landasan teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai dengan permasalahan yang
akan dibahas, metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini,
sumber-sumber bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik
pengumpulan bahan hukum serta teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.
Bab II tentang tinjauan umum terkait dengan tanah druwe pura dan
peralihan hak atas tanah melalui jual beli, yang merupakan pengembangan dan
kajian teoritis pada bab I. Pembahasan pada bab ini dibedakan dalam 5 (lima) sub
bab, yakni tinjauan umum tentang pura, tinjauan umum tentang tanah druwe pura,
tinjauan umum tentang tanah druwe pura serta kaitannya dengan hak ulayat,
tinjauan umum tentang peralihan hak atas tanah, dan tinjauan umum tentang
pendaftaran tanah.
Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil
penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan dianalisa
berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari
permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan
menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni, tanah milik pura sebagai objek transaksi jual
beli, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya transaksi jual beli tanah druwe
pura, serta kendala-kendala dalam transaksi jual beli tanah druwe pura.
Bab IV sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah II dikemukakan
hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas
dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari
permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan
menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni pihak yang mewakili pura dalam transaksi
jual beli tanah pura, proses transaksi jual beli tanah druwe pura, dan bentuk
transaksi jual beli tanah druwe pura.
Bab V sebagai penutup dikemukakan kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun
kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, beberapa faktor-faktor
yang menjadi latar belakang dari penjualan tanah druwe pura di Desa Adat Kelan
di antaranya, tanah druwe pura tersebut pernah menjadi objek sengketa, tanah
tersebut menjadi lahan yang tidak produktif, serta untuk kepentingan pura yakni
untuk pemugaran pura, biaya upacara setelah pemugaran pura dan untuk dana
abadi. Proses penjualan tanah druwe pura harus dilaksanakan paruman/rapat desa
xi
13
terlebih dahulu oleh pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan untuk
memperoleh kata sepakat mengenai penjualan tanah druwe pura ini. Setelah
ditemukan kata sepakat untuk penjualan maka dituangkan ke dalam suatu Berita
Acara Rapat. Bendesa Adat sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu desa adat
ditunjuk dengan surat kuasa substitusi untuk menjadi wakil dari Desa Adat Kelan
untuk melaksanakan jual beli tanah druwe pura. Selain itu diperlukan surat
rekomendasi penjualan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), serta Walikota
Denpasar.
Selain kesimpulan juga dalam bab ini dikemukakan beberapa saran yang
terkait, bagi pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah
druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca keluarnya
rekomendasi penjualan. Bila perlu ada pembentukan tim dari pihak pemerintah,
PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik sebelum maupun sesudah pemberian
rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan perlu dipertegas
aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe Pura, utamanya penegasan
tentang larangan sehingga fungsi pelestarian dapat terjaga. Masih banyak jalan
agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih
selamanya misalnya dengan menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya
secara lebih ekonomis serta tetap mengandung unsur pelestarian dan berdasarkan
hasil penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um,
tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses Penjusalan Pelaba Pura. Dalam
hal ini disarankan agar ada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan
walikota untuk dapat melakukan pengaturan mengenai penjualan tanah druwe
pura ini.
xii
14
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT ...................................................................................................... x
RINGKASAN .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 12
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 12
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................... 12
1.3.2. Tujuan Khusus .............................................................. 13
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 13
1.4.1. Manfaat Teoritis............................................................ 13
1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 13
1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 14
1.6. Metode Penelitian ..................................................................... 31
xiii
15
1.6.1. Jenis penelitian.............................................................. 31
1.6.2. Sifat penelitian .............................................................. 32
1.6.3. Lokasi dan teknik penentuan lokasi penelitian ............. 32
1.6.4. Data dan sumber data.................................................... 33
1.6.5. Teknik pengumpulan data ............................................ 36
1.6.6. Teknik Pengolahan dan analisis data ............................ 37
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA, TANAH
ADAT, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH ....................... 39
2.1. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Pura, Tanah Adat, dan
Tanah Druwe Pura Serta Kaitannya dengan Hak Ulayat ....... 39
2.1.1. Pengertian Pura dan Jenis-Jenisnya .............................. 39
2.1.2. Pengertian Tanah Adat ................................................. 44
2.1.3. Tanah Druwe Pura dalam Kaitannya Dengan
Hak Ulayat .................................................................... 46
2.2. Peralihan Hak Atas T anah dan Pendafataran Hak Atas
Tanah ....................................................................................... 55
2.2.1 Pengertian peralihan hak (pemindahan hak) ................... 55
2.2.2 Jenis-jenis transaksi peralihan tanah ............................... 57
2.2.3 Syarat-syarat transaksi jual beli ...................................... 62
2.2.4 Pengertian pendaftaran tanah .......................................... 67
2.2.5 Sistem pendaftaran tanah di Indonesia ............................ 70
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA ................... 74
3.1. Tanah Druwe Pura Sebagai Objek Transaksi Jual Beli ........... 74
3.2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi
Jual Beli Tanah Druwe Pura .................................................... 90
3.3. Kendala-Kendala Dalam Jual Beli Tanah Druwe Pura ........... 102
xiv
16
BAB IV PROSES TERJADINYA JUAL BELI TANAH
DRUWE PURA ............................................................................... 106
4.1. Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli
Tanah Druwe Pura ................................................................... 106
4.2. Proses Jual Beli Tanah Druwe Pura ......................................... 113
4.3. Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura ....................... 125
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 133
5.1. Kesimpulan ............................................................................... 133
5.2. Saran-saran ............................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 136
DAFTAR INFORMAN ................................................................................... 141
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada
bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan tentang tanah
yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan bangsa Indonesia dipandang sangat
penting dan strategis, sehingga perlu dirumuskan secara lebih komprehensif.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia memasuki babak baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat,
karena itu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menganggap perlu
membuat ketentuan konstitusional dalam sektor agraria, yaitu sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut
kemudian dijabarkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga
dapat digunakan sebagai landasan hak penguasaan Negara atas tanah dan hak
Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam (tanah).1
Pengaturan tentang bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
(tanah) ada yang bersumber pada hukum adat dan ada yang bersumber dari hukum
perdata barat. Hukum Agraria sebelumnya hampir seluruhnya terdiri atas
1Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan
Masa Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 4.
2
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi
pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya melalui Agrarische
Wet 1870.
Sebelum tahun 1960, yakni sebelum berlakunya Undang-Undang No 5
tahun 1960, di Indonesia masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar
bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan hukum barat.2 Akibat dari dualisme
hukum tersebut adalah ada dua macam hak atas tanah yaitu tanah adat dan tanah
barat. “Tanah adat” atau bisa disebut dengan tanah Indonesia adalah tanah-tanah
dengan hak-hak Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum agraria adat,
sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Hampir
semua tanah-tanah adat tidak terdaftar seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah
usaha, tanah bengkok, tanah gogol, dan lain-lainnya, sedangkan di lain pihak
tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa dapat dikatakan hampir semua terdaftar
pada kantor pendaftaran tanah menurut overschrijvingssordonantie atau ordonansi
balik nama (stb 1834, No 27). Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan-
ketentuan hukum agraria barat, misalnya cara memperolehnya, peralihannya,
lenyapnya, pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta
kewajiban-kewajiban yang empunya hak itu.3
Pada akhirnya, unifikasi hukum agraria tercapai dengan diundangkannya
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA). Arti kata
2Wantjik Saleh. K, 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 8. 3M. Suasthawa. D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah
Berlakunya UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar, hal. 22.
3
unifikasi adalah memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat
di Negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka, di
Negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku
bermacam-macam hukum.4
Undang-undang Pokok Agraria ini ditetapkan pada tanggal 24 September
1960 oleh Presiden Republik Indonesia pada saat itu, Soekarno, dan diundangkan
dalam Lembaran Negara RI No.104 Tahun 1960. Berlakunya UUPA membuat
perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia. Perubahan
fundamental itu dikarenakan berubahnya struktur perangkat hukum, konsepsi
yang mendasari dan isinya yang harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.
Sebelum UUPA berlaku, terdapat berbagai perangkat hukum agraria. Lahirnya
UUPA mengakibatkan agraria kolonial dihapuskan secara total. Di samping itu
UUPA bukan saja mengadakan perombakan secara struktural mengenai
kedudukan hukum tanah di Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung telah
merombak sistem hukum adat.5
Hapusnya hukum agraria kolonial menjadi tonggak sejarah baru dan
suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama
ini menumpang di atas tanahnya sendiri. Dengan diundangkannya UUPA, maka
4Muhammad Bakri, 2008, “Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah di
Indonesia (Rekonstruksi Konsep Unifikasi Dalam UUPA)”, Jurnal Hukum Kertha
Patrika, Nomor 1, Januari 2008, hal. 2. 5Adi Winata, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun
1960, Alumni, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 10.
4
politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak
berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Perombakan
hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merubah hukum kolonial kepada
hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional khususnya para petani. Selain itu,
untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian
hukum atas hak-hak seseorang atas tanah. Dengan demikian pemanfaatan tanah
seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat yang berkeadilan, karena kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari
perjuangan seluruh rakyat Indonesia, sama sekali tidak dibenarkan untuk
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk hal-hal yang
dapat merugikan masyarakat.6
Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria
adalah pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum
adat yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan
hak masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Pasal 3 menyatakan bahwa “pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang
lebih tinggi”. Pasal 5 menyatakan bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas
6A.A Oka Mahendra dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan
Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar, hal. 3.
5
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara dengan tetap mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama”. Menurut Pasal 5 tersebut, hukum adat
dijadikan dasar oleh hukum agrarian nasional dengan beberapa syarat yaitu tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, sosialisme Indonesia,
peraturan perundang-undangan dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Undang-Undang Pokok Agraria sendiri tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan hak ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
"beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda
yakni rechtgemenschap. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dapat diketahui bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
6
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Undang-
Undang Pokok Agraria menggunakan istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk
menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum
yang besangkutan. Itu artinya UUPA mengakui keberadaan masyarakat adat dan
hak ulayat.
Masyarakat adat di masing-masing daerah memiliki nama yang berbeda-
beda, masyarakat adat di Bali disebut desa pakraman (dulu disebut: desa adat).
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman disebutkan pengertian Desa Pakraman ialah kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Menurut Ketut Wirta Griadhi, dikemukakan bahwa yang merupakan
identitas desa adat di Bali adalah:
1. Adanya wilayah yang tertentu dengan batas-batas yang jelas dan mayoritas
dari Krama Desa bertempat tinggal dalam wilayah tersebut
2. Adanya bangunan suci milik Desa baik dalam bentuk Kahyangan Tiga
maupun Kahyangan Desa lainnya sebagai tempat pemujaan terhadap Sang
Hyang Widi Wasa (Tuhan YME), sebagai penguasa alam semesta oleh
Krama Desa.7
Sebuah desa pakraman terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur parahyangan
(berupa pura atau tempat suci agama Hindu), unsur pawongan (warga desa yang
beragama Hindu), dan unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang
7Ketut Wirta Griadhi, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di
Bali”, Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD, Denpasar,
hal. 35.
7
ayahan desa dan karang guna kaya). Masyarakat adat sebagai unsur pawongan
mempunyai hak atas tanah di wilayahnya dan bisa menerapkan tanah tersebut baik
ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka
masyarakat mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak
luar untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya kedalam
masyarakat berhak mengatur masing-masing anggotanya untuk melaksanakan hak
sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing. Di samping daya laku hak ulayat
yang ke luar dan ke dalam, hak ulayat juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak
dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya.
b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa
persekutuan tersebut, tanpa izin itu dianggap melakukan pelanggaran.
c. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak
ulayat dengan restriksi untuk keperluan somah, brayat atau keluarganya
sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain ia dipandang
sebagai orang asing, sehingga harus mendapatkan izin terlebih dahulu.
Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat di
wilayah hak ulayat dengan izin kepala persekutuan hukum disertai
pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie), kepada persekutuan
hukum.
d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam
wilayah terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan
delik.
e. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk
selamanya.
f. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi
oleh hak perorangan.8
Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Kedudukan desa pakraman adalah daerah
8Imam Hidayat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty,
Yogyakarta, hal. 2-3.
8
yang diakui dan dihormati. Kedudukan ini didapat karena desa pakraman
mempunyai susunan asli dengan memandang asal-usul (berdasarkan hukum adat),
hal ini berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah yang ada di dalam wilayah desa
pakraman tersebut yang disebut dengan tanah adat.
Ketentuan konversi dari UUPA dalam Pasal I ayat (1) Bagian Kedua
UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik dan
Pasal II ayat (1) yang mengatur mengenai tanah-tanah adat yang ada di Bali dapat
dikonversi menjadi hak milik. Ketentuan ini menyebabkan tanah-tanah adat yang
dikuasai oleh perorangan dan ada pula yang dikuasai oleh persekutuan (dalam hal
ini oleh desa adat). Tanah-tanah adat di Bali dibagi menjadi tanah druwe desa,
tanah laba pura, tanah pekarangan desa, dan tanah ayahan desa. Tanah druwe
desa yakni tanah yang dikuasai oleh desa adat yang didapat dengan cara membeli
ataupun dengan cara yang lainnya, tanah ini berupa tanah pertanian yang akan
digarap oleh krama desa, tanah laba pura atau tanah pelaba pura adalah tanah
milik desa yang digunakan untuk keperluan pura, tanah pekarangan desa adalah
merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa
untuk membangun rumah, tanah ayahan desa adalah merupakan tanah yang
dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa, dan dengan kewajiban
timbal balik memberikan ayahan kepada desa pakraman, tanah-tanah tersebut
diatur dengan awig-awig desa sehingga orang-orang yang menguasainya dibebani
kewajiban-kewajiban (ayahan tertentu oleh desa).
Berdasarkan Pasal 19 UUPA, diadakan pendaftaran tanah di seluruh
Indonesia oleh pemerintah untuk menjamin kepastian hukum. Adapun ketentuan-
9
ketentuan atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konversi tanah-
tanah adat yakni pendaftaran tanah-tanah adat yang dikonversi diatur melalui
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa
ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (ditambah dengan Peraturan Menteri
Agaria No. 5 tahun 1960), Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun
1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas
tanah (ditambah dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
SK/26/DDA/1970).
Mengacu pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka dikeluarkan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai
Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986
tersebut maka pura akhirnya diakui sebagai salah satu badan keagamaan yang
berhak mempunyai hak milik atas tanah.
Dalam hukum adat dikenal ada dua macam hak milik yaitu:
1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya
milik komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama
dari penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut Druwe desa,
di Manado disebut Kintal Kalakeran, di Minangkabau disebut harta
pusaka, di Jawa Barat disebut kasikepan, Anggota desa (persekutuan)
yang ikut berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai atas
tanah tersebut.
2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang
tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya sawah milik, sawah
yasa, dan lain-lain.9
9Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,
Bandung, hal. 91.
10
Dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986
pada bagian menimbang huruf c disebutkan bahwa tanah badan keagamaan yang
dapat dimiliki hak milik terbatas pada tanah-tanah yang dipergunakan untuk
keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan keagamaaan. Menurut
sifatnya tanah adat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan serta diasingkan
untuk selamanya, namun kenyataannya ditemukan kasus tanah milik pura yang
diperjualbelikan, seperti yang terjadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah milik pura Dalem Sakenan Kelan
yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan, Kota Denpasar telah dijual
kepada pembeli, artinya hak kepemilikan dari tanah tersebut sudah beralih kepada
pembeli untuk selamanya. Dengan demikian ada kesenjangan antara norma
hukum adat dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini
menimbulkan permasalahan yang penting untuk dikaji secara mendalam.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, menarik untuk diteliti dan
diangkatsebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Pelaksanaan Jual
Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)”.
Dalam penelitian ini, telah dibandingkan dengan beberapa tesis yang
sebelumnya juga membahas tentang tanah laba pura. Adapun tesis yang mirip
dengan penelitian ini yaitu:
1. Tesis dari I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, Program studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, dengan judul
11
Eksistensi Tanah-tanah Milik Pura Desa Pakraman di Kota Denpasar,
rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu:
a. Bagaimanakah eksistensi dari tanah-tanah milik pura di Desa Pakraman
di Kota Denpasar pada saat ini?
b. Upaya-upaya apa yang dilakukan para pengurus dari desa pakraman
untuk menjaga eksistensi tanah milik pura (tanah pelaba pura) ?
2. Tesis dari Ni Nyoman Ayuni, Program Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2008, dengan
judul “Penyelesaian sengketa Laba Pura Desa Pakraman di Bali“. Adapun
rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu:
a. Siapakah yang bertindak mewakili pura sebagai Badan Hukum
keagamaan apabila terjadi sengketa yang menyangkut laba pura?
b. Proses penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan laba pura?
3. Tesis dari Ayu Agung Susanti, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, 2013, dengan judul “Kedudukan Desa
Pakraman dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Druwe Desa dalam
Persepektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, rumusan masalah yang
terdapat dalam tesis ini yaitu:
a. Apakah Desa Pakraman dapat memenuhi unsur sebagai subyek hukum
dalam perjanjian sewa-menyewa tanah druwe desa?
b. Bagaimanakah proses pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah
druwe desa?
12
Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan
seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan
judul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat
Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung)” dan
permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang
membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
keorisinalitas dan keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka
permasalahan yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya transaksi jual beli
tanah druwe pura?
2. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan transaksi jual beli tanah druwe pura?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, tentunya ada tujuan yang ingin dicapai
peneliti/penulis sehingga upaya untuk memberikan informasi publik itu tercapai
secara baik. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah antara lain dibagi menjadi
dua (2) yaitu:
1. Tujuan Umum.
Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan
sumbangsih pemikiran dalam rangka perkembangan hukum agraria di Indonesia.
13
Dalam hal ini yang menjadi obyek adalah pelaksanaan perjanjian jual-beli di atas
tanah druwe pura.
2. Tujuan Khusus.
Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang
telah disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang
ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
yakni:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya transaksi jual-beli tanah druwe pura.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur pelaksanaan
perjanjian jual-beli tanah druwe pura.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, khususnya tentang tanah druwe
pura. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni :
1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan tanah druwe pura yang
berfungsi sosial dan ekonomis.
2. Manfaat Praktis.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
para praktisi mengenai prosedur yang harus dilakukan dalam transaksi jual
14
beli dengan obyek tanah druwe pura, serta dapat menjadi masukan pada
Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan hukum di bidang pertanahan
selanjutnya.
1.5 Landasan Teoritis/Kerangka Konsep
1.5.1 Landasan Teoritis
Dalam penulisan ini diperlukan landasan teori yang mendukung arah
pemikiran menuju jawaban atas permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang
mendukung rumusan masalah dalam penulisan ini adalah teori:
a. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori conditio sine qua non, dicetuskan pertama kali oleh Von Buri pada
tahun 1873, kemudian dikembangkan oleh Van Hamel. 10
Inti Teori yang
dikemukakan oleh Von Buri yakni “Semua faktor yang turut serta merta
menyebabkan suatu akibat tidak dapat dihilangkan, rangkaian faktor-faktor yang
bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu”. Teori ini digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang pertama yakni yang melatarbelakangi
terjadinya jual beli tanah druwe pura pasti memiliki sebab-sebab yang
melatarbelakanginya sehingga tanah druwe pura ini akhirnya diputuskan dijual
oleh Desa Adat Kelan.
10
H. Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 140.
15
b. Teori Badan Hukum
Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa
revolusi industri. Istilah Teori Badan Hukum berasal dari terjemahan bahasa
inggris disebut dengan The Intity Theory.11
Sementara itu dalam bahasa Belanda
disebut dengan Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum adalah perkumpulan atau
organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya
dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Perbuatan yang
dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu
ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang
timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang
oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
pada masing-masing pihak.12
Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl Von
Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan
abad ke-19. Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai
kehendak. Menurut von Savigny bahwa hanyaa manusia saja yang mempunyai
kehendak, negara-negara, koorporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi
subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan itu
manusia”.13
Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka badan hukum seolah-olah
subjek hukum, tetapi wujud tidak riil itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan
11
Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 29. 12
Soedjono Dirjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, hal. 128.
13
H. Salim, H.S., op.cit., hal. 177.
16
sehingga yang melakukan perbuatan-perbuatan ialah manusia sebagai wakil-
wakilnya.
Teori Badan Hukum terdiri atas beberapa pembagian antara lain : Teori
Fiksi, Teori Konsesi, Teori Zweckvermogen, Teori Kekayaan Bersama, dan Teori
Realis atau Organik. Diantara kelima pembagian Teori Badan Hukum yang
dipaparkan di atas, teori yang dipergunakan adalah Teori Fiksi. Teori Fiksi
berkaitan dengan proses jual beli pura sebagai badan hukum, pura tidak bisa
melakukan penandatanganan akta dihadapan PPAT karena bukan manusia, yang
bertindak disini adalah Bendesa Adat untuk melakukan perbuatan hukum
mengatasmakan pura. Dengan kata lain von Savigny berpendapat bahwa badan
hukum itu hanya suatu fiksi, tetapi orang menciptakan dalam bayangan suatu
pelaku hukum (Badan Hukum) sebagai subjek hukum diperhitungkan sama
dengan manusia.
c. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa “sesuatu
yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.14
Hukum dibuat pun ada tujuannya,
tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan
hukum yang utama ada tiga, yaitu : keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk
ketetapan, kemanfaatan untuk kebahagiaan. Suatu kepastian hukum
mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku
14
Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum : Refleksi krisis terhadap
hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 123.
17
secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian
hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia).
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku
bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena
keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan
orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-
kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami
secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan
pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:
1. hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-
undangan.
2. hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.
3. fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.
4. hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
18
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka hukum positif yang mengatur
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati guna
mencapai tertib hukum dalam masyarakat.
Teori ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kedua tentang
proses jual beli tanah druwe pura yang harus dilakukan di depan PPAT dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya oleh Desa Adat Kelan sebagai
penjual tanah druwe pura untuk mengantisipasi jika ada permasalahan di
kemudian hari. Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini dimaksudkan
agar nantinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
harus dapat menjamin kepastian hukum, dimana setiap produk yang dibuat dan
dihasilkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dapat memberikan
ketentraman bagi masyarakat.
d. Teori Perjanjian
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, mendefensikan
perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut
tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat pembuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian
menurut teori hukum baru, yaitu: tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran
dan penerimaan, tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan
19
kehendak antara para pihak, dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan
perjanjian.15
Sejak dulu manusia telah melakukan perbuatan hukum perjanjian,
contohnya adalah dalam hal barter atau tukar menukar. Semakin lama proses
perjanjian itu menjadi sangat luas dari yang semula hanya menyangkut hal-hal
yang kecil, hal ini disebabkan antara lain karena kebutuhan manusia yang semakin
meluas. Dalam hal ini adalah kebutuhan manusia tentang tanah, tanah adalah
kebutuhan yang penting bagi manusia.
Proses dari pembuatan perjanjian adalah “just a drafting the process of
converting the underlying of the party or parties into a written document,
construction is the process or derinving the true intention of the party or parties
from the document”.16
Terjemahan bebas: membuat kontrak merupakan proses
konversi niat yang mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi
dokumen tertulis konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak
ke dokumen yang dibuat.
Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian
kebendaan (zakelijk overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian
kebendaan adalah suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, karena
adanya kesepakatan dari dua pihak atau lebihyang saling mengikatkan diri, dan
ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah atau berakhirnya hak kebendaan.
Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak
15
H. Salim,H.S., op.cit., hal. 73. 16
Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition,
LexixNexis Butterworths, Australia, hal. 3.
20
milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dari para pihak. Di samping itu dikenal juga jenis perjanjian dari
sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir merupakan perjanjian
tambahan, seperti perjanjian pembebanan fidusia/hak tanggungan.17
Teori perjanjian ini digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang
kedua yakni proses jual beli tanah druwe pura. Dalam proses jual beli tanah
druwe pura juga ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut yaitu tahap
pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan dari penjual dan pembeli
dilanjutkan dengan tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak mengenai harga dan waktu diadakannya jual beli, dan
yang terakhir tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian, pada tahap ini
penjual dan pembeli menandatangani akta jual beli yang berarti tanah druwe pura
yang diperjualbelikan sudah sah menjadi milik pembeli.
1.5.2 Kerangka Konsep
a. Konsep Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli
1. Jual beli tanah menurut hukum adat
Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan suatu
penyerahan barang (tanah) oleh penjual kepada pembeli yang sifatnya tunai, riil,
dan terang dengan maksud untuk memindahkan hak milik atas benda (tanah)
diantara kedua belah pihak. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan
pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa
17
Ibid., hal. 30.
21
dengan mengucapkan kata-kata saja belumlah terjadi jual beli.18
Terang artinya
pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa,
karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui tentang hukum dan
kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut.
Terjadinya peralihan hak atas tanah sebagai akibat dari jual beli tanah
menurut hukum adat diawali dengan kata sepakat antara calon pembeli dan calon
penjual mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan
harganya. Hal ini dilakukan dengan musyawarah melalui mereka sendiri. Setelah
penjual dan pembeli sepakat mengenai obyek yang akan dijual dan harganya maka
biasanya akan diikuti dengan pemberian panjer. Panjer diartikan sebagai tanda
jadi bahwa jual beli tersebut akan dilaksanakan.
Jual beli tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah “Jual lepas”,
dimana merupakan perbuatan pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran
harganya secara tunai. Dengan dilakukannya jual beli itu tanah yang bersangkutan
berpindah tangan untuk selama-lamanya kepada pembelinya, artinya hak atas
tanah yang dijual itu berpindah kepada pembelinya, yang dengan demikian
menjadi pemegang hak yang baru.19
Haryanto T, dalam bukunya Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas
Tanah memberikan pengertian tentang jual beli menurut hukum Adat yaitu:
18
Boedi Harsono, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui
Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah
Tanah Adat Dewasa Ini, Djambatan, Banjarmasin, hal. 50. (selanjutnya disebut
dengan Boedi Harsono III) 19
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993,
Analisa dan Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta, hal.7
22
Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah
yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada
saat mana pembeli menyerahkan harganya kepada penjual, pembayaran
harganya dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan meskipun
pembayarannya baru sebagian.20
Dari pengertian tersebut di atas maka peralihan hak milik atas tanah melalui
jual beli menurut hukum adat terjadi untuk selama-lamanya oleh penjual kepada
pembeli yang pada saat pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Hal ini
berbeda dengan jual beli menurut hukum perdata barat bahwa jual beli dianggap
telah apabila sudah dilakukan balik nama terhadap tanah tersebut dari nama
penjual menjadi nama pembeli.
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimaksudkan ke dalam hukum benda,
khususnya hukum perjanjian, hal ini dikarenakan:
1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan perjanjian,
sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli
tersebut.
2. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan
kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah.
Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak
membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar
terjadinya jual beli tersebut.21
Menurut hukum adat pembayaran harga jual beli baik seluruhnya maupun
sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang
berarti bahwa perjanjian jual beli tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat,
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh
20
Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah,
Usaha Nasional, Surabaya, hal. 6-7. 21
Adrian Sutedi, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,
Cetakan Keenam, Sinar Grafika, hal. 72. (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I)
23
umum. Syarat tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara
bersamaan yaitu pemindahan hak dari si penjual kepada si pembeli dan
pembayaran harga baik sebagian maupun seluruhnya dari pembeli kepada penjual.
Pembayaran harga jual beli bisa dibayarkan seluruhnya maupun sebagian.22
Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut
atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.23
Mengenai hal tersebut di atas, J Kartini Soedjindro mengemukakan apabila
dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tanah adat, maka syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah:
1. Harus ada persetujuan dari ahli waris apabila hubungan ahli waris masih
kuat, mungkin mereka akan membeli tanah itu untuk seterusnya, untuk
satu musim atau untuk suatu waktu tertentu.
2. Hak tetangga (buren recht) dan hal sesama anggota suku/masyarakat
hukum adat (naasting recht) harus diperhatikan juga. Apabila perbuatan
hukum tersebut di atas akan diadakan, kecuali ahli waris, maka para
tetangga yang tanahnya berbatasan harus diberi prioritas untuk membeli
tanah yang akan dijual tersebut. Dan bilamana calon pembeli bukan
anggota suku/masyarakat/desa, maka anggota suku/masyarakat/desa
harus lebih dahulu diberi kesempatan untuk membeli tanah yang akan
dijual itu.
3. Apabila ahli waris, tetangga, atau sesama anggota suku tidak ada yang
mau membeli, maka ada kemungkinan bagi bukan anggota
suku/masyarakat/desa untuk membeli tanah tersebut. Untuk ini
diperlukan keputusan desa dan atas dasar itu, oleh kepala
suku/masyarakat/desa yang bertindak keluar mewakili suku/masyarakat
hukum/desa untuk memberikan izin kepada bukan anggota. Namun
mereka harus membayar sewa bumi secara tetap dan memberikan uang
saksi.24
22
Wantjik Saleh. K, 1985, Hak Atas Tanah, Cet. ke-5, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 35. 23
Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,
hal. 20. 24
J.Kartini Soedjindro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang
Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hal. 50.
24
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara
antara si pemilik tanah dengan calon pembeli tentunya sudah ada kata sepakat
terlebih dahulu yaitu mengenai tanah hak milik yang akan dijual, berapa harga
tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Hal ini
dilakukan melalui musyawarah mereka sendiri. Setelah pembeli dan penjual
sepakat biasanya diikuti dengan pemberian panjer sebagai tanda jadi. Panjer atau
persekot itu berupa sejumlah uang yang akan diterima oleh penjual. Pemberian
panjer ini diartikan sebagai tanda jadi akan dilaksanakan jual beli atas tanah
tersebut. Pemberian panjer ini menimbulkan hak ingkar, bila yang ingkar adalah
pemberi panjer maka panjer otomatis akan menjadi milik dari penerima panjer,
namun apabila yang ingkar adalah penerima panjer maka panjer tersebut harus
dikembalikan sepenuhnya kepada pemberi panjer. Transaksi jual tanah dalam
sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yakni :
a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran uang tunai sedemikian
rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar
sejumlah uang yang pernah dibayarnya. Antara lain menggadai, menjual
gade, adil sende, ngejual akad atau gade.
b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk
membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain
adol plas, runtemurun, menjual jaja.
c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian
bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu
tanah akan kembali (menjual tahunan, adol ayodan).25
2. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut UUPA
Pasal 26 UUPA mengatur mengenai jual beli dan lain-lain perbuatan yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya. PP No. 10
tahun 1961 Pasal 19 yaitu “ setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
25
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.
25
atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat).
Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. PP No 10 tahun 1961
ini kemudian digantikan dengan PP No.24 Tahun 1997.
Sejak berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, jual
beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.
Dengan dilakukan jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan
perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta
jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadinya
pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran
harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan perbuatan hukum
pemindahan hak tersebut terjadi secara nyata atau riil. Dengan telah
ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini
menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya
adalah surat jual beli tersebut.26
Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta
tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada Kantor
Pendaftaran Tanah untuk mendaftarkan pemindahan haknya (Pasal 40 PP No. 24
TAhun 1997). Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli Mahkamah Agung
dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa akta PPAT hanyalah
26
Adrian Sutedi, op.cit., hal.77.
26
suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang
sah atau tidaknya suatu jual beli tanah.
3. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut KUHPerdata
Sebelum jual beli dilaksanakan antara si pemilik tanah dengan calon
pembeli tentunya sudah ada kata sepakat terlebih dahulu, seperti berapa harga
tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Kesepakatan ini
menimbulkan adanya suatu perjanjian (yaitu perjanjian untuk mengadakan jual
beli). Mengenai masalah jual beli menurut hukum perdata banyak pengaturannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
1457, 1458, dan 1459 yang berbunyi
Pasal 1457:
“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Pasal 1458:
“Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar”.
27
Pasal 1459:
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si
pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal
612,613, dan 616”.
Dari ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jual
beli dianggap telah terjadi apabila sudah ada kata sepakat mengenai benda yang
menjadi obyek jual beli dan harganya, meskipun benda itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHper). Akan tetapi walaupun
jual beli sudah dianggap terjadi namun hak milik atas tanah tersebut belum beralih
kepada pembeli sebelum dilakukan perbuatan hukum yang dikenal dengan
penyerahan yuridis atau yuridis levering (Pasal 1459 KUHPer) dengan jalan
melakukan balik nama (overschrijwings) terhadap tanah tersebut dari nama
penjual menjadi nama pembeli.
Berdasarkan tiga konsep jual beli menurut hukum adat, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan
KUHPerdata. Dalam penelitian ini lebih mengarah kepada konsep jual beli
menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 26 UUPA yang menyatakan
bahwa jual beli diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jual beli diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah pada
pasal 37 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
28
b. Tanah Milik (Druwe) Pura
Hak milik bangunan suci di Bali sebenarnya sudah ada sejak masa bali
kuno hak ini diungkakan oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna bahwa masa kerajaan
hak-hak atas tanah yang melekat pada bangunan suci, pada dasarnya timbul
karena adanya suatu proses penetapan suatu daerah menjadi jataka/sima, untuk
kepentingan bangunan suci tersebut. Dalam proses itu raja sebagai penguasa suatu
kerajaan dan sebagai pemegang hak milik atas tanah, menghibahkan hak-hak
tersebut kepada bangunan suci atas sebidang tanah dan/atau atas suatu kawasan
tertentu. Dengan adanya proses tersebut, maka beralihlah hak-hak atas tanah itu
dari hak milik dan penguasaan raja menjadi hak milik bangunan suci. Demikian
pula status kepemilikannya dari milik raja menjadi milik bangunan suci.27
Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan konversi dari Undang-Undang
Pokok Agraria disebutkan bahwa tanah adat yang ada di Bali dapat dikonversi
menjadi hak milik asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam
Pasal 21 UUPA. Sebagai realiasi daripada Pasal 21 ayat (2) UUPA maka
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah. Pada Pasal 1 berbunyi :
a. Bank-Bank yang didirikan oleh Negara
b. Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-undang No 79 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 139).
c. Badan-Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama
d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Kesejahteraan sosial
27
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa
Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar, hal. 150.
29
Dari ketentuan tersebut badan keagamaan akhirnya diakui menjadi salah
satu badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah, namun dalam
peraturan ini belum ada pengakuan bagi desa adat sebagai subjek hak milik atas
tanah. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kepemilikan tanah di Bali.
Atas dasar inilah maka Parisada Hindu Dharma Pusat mengusulkan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali agar supaya Desa Adat dan Pura dapat
ditetapkan sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.28
Pada
tanggal 14 maret 1986 para pemimpin umat hindu dan instansi terkait serta
dengan dukungan penuh DPRD Tingkat I Bali dikirim suatu delegasi kepada
Direktur Jendral Agraria dengan membawa usulan agar pura ditunjuk sebagai
badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. 29
Akhirnya tanggal 24 September 1986 terbitlah Surat Keputusan Dalam
Negeri No SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum
Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan
dikeluarkannya Surat keputusan mendagri ini maka Pura pada akhirnya diakui
sebagai badan hukum keagamaan dan berhak subjek pemegang sertifikat hak
milik atas tanah. Dengan dikeluarkannya SK Mendagri ini maka pura dapat
mengkonversi tanah adat menjadi tanah milik pura. Dalam SK medagri tersebut
ditetapkan sebagai berikut:
Pertama : Menunjuk Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat
mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
28
M.Suasthawa D, op.cit., hal. 52. 29I Ketut Sudantra, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah
Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika (Majalah
Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana), Denpasar, hal. 43.
30
Kedua : Menegaskan bahwa tanah-tanah palemahan yang merupakan kesatuan
fungsi dengan Pura yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya Surat
Keputusan ini dikonversi menjadi Hak Milik.30
Dengan ditunjukknya Pura sebagai salah satu badan hukum keagamaan
yang dapat memiliki hak milik atas tanah maka pura dapat mengkonversi tanah
adat menjadi tanah hak milik Pura. Tanah Pura yang digunakan untuk bangunan
tegak pura dan tanah disekitar pura yang dipergunakan oleh krama desa untuk
memenuhi kebutuhan pura dan kebutuhan sehari-harinya baik berupa ladang
maupun sawah sudah bukan dinamakan tanah laba pura atau pelaba pura lagi,
sekarang sudah menjadi satu menjadi Tanah Milik Pura. Demikian pula di dalam
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Kantor
Agraria di dalam rangka realisasi Proda (Proyek Daerah Agraria), juga tetap atas
nama Pura.31
Fungsi tanah druwe pura itu sendiri adalah untuk memastikan bahwa
aktifitas keagamaan di pura berjalan dengan baik. Maka dari itu penting untuk
memiliki harta kekayaan sendiri yakni berupa tanah. Tanah ini berfungsi untuk
bangunan-bangunan pura (tegak pura) dan tanah tegalan atau persawahan untuk
menopang aktifitas pura. Tanah di luar bangunan pura dinamakan dengan tanah
laba pura.
1.5.3 Azas-Azas
a. Azas persetujuan bersama atau musyawarah mufakat.
Azas ini muncul dalam setiap pengambilan keputusan penting atau
keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Seorang pemimpin yang
30
I Ketut Sudantra, op. cit., hal. 44. 31
M. Suasthawa. D, op.cit., hal.41.
31
arief bijaksana, ketika membuat keputusan yang penting atau yang menyangkut
hajat hidup orang banyak selalu dilakukan melalui musyawarah mufakat. Asas ini
berkaitan dengan pokok permasalahan yang kedua, sebelum dilakukan perjanjian
sewa menyewa antara pihak bendesa adat dengan pihak penyewa maka dilakukan
musyawarah terlebih dahulu dalam hal ini diadakan Rapat antara bendesa dengan
krama desa untuk mencapai mufakat mengenai isi perjanjian sewa.
b. Azas Perwakilan
Azas ini merupakan lanjutan dari azas persetujuan bersama atau
musyawarah mufakat, dalam persetujuan bersama harus ada perwakilan dari tiap
desa untuk melakukan rapat di Balai Desa. Kehadiran dipandang sebagai
keterwakilan dari suatu kelompok, jika keputusan yang diambil atau dibuat
dengan dihadiri oleh orang-orang yang diundang untuk itu maka hasil keputusan
rapat memiliki nilai legalitas yang sangat tinggi.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris karena penelitian
ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein yaitu
kesenjangan antara teori dengan kenyataan atau kesenjangan antara teoritis
dengan fakta hukum yang ada, yakni mengenai kesenjangan antara sifat tanah adat
yang tidak dapat dipindahtangankan untuk selamanya dengan praktek yang terjadi
yakni banyaknya jual beli tanah druwe pura.
32
1.6.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang bertujuan untuk memberikan
data yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini diberikan
data yang berhubungan dengan permasalahan yaitu berhubungan dengan akta
PPAT dalam hal jual beli yang mana obyek jual-belinya adalah sebidang tanah
druwe pura.
1.6.3 Lokasi dan Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Teknik Purposive Sampling, yaitu dengan penarikan sampel penelitian yang sudah
ditentukan sendiri oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Dalam
penelitian ini ditetapkan lokasi penelitian dilakukan di Desa Adat Kelan,
Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Penentuan
lokasi penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan bahwa di Desa Adat Kelan
terdapat transaksi jual beli tanah druwe pura yang di empon oleh Desa Adat
Kelan. Tanah druwe pura tersebut terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa
Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Adapun
lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kelan dikarenakan setelah dilakukan
penelitian ditempat ini ditemukan kasus jual beli tanah druwe pura. Kasus ini
menarik di samping karena menurut sifatnya tanah adat, dalam hal ini tanah
druwe pura tidak boleh diperjualbelikan, juga karena kasus yang terjadi di Desa
Adat Kelan ini merupakan satu-satunya kasus jual beli tanah druwe pura yang
ditemukan.
33
1.6.4 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini ada 2 jenis yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari
penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
di lapangan yaitu dari informan, sedangkan data sekunder adalah data yang
bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara
langsung dari sumber pertamanya, melainkan data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk-bentuk bahan hukum.
1. Data
a. Data primer
Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field
research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan
yang berasal dari informan, Notaris/PPAT, pembeli dan penjual tanah druwe
pura yang dijadikan obyek perjanjian jual beli.
b. Data sekunder
Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan (library
research), pengumpulan berbagai data yang diperoleh dengan menggunakan
literatur, majalah di bidang hukum. Data sekunder sekunder tersebut dibagi
menjadi 3 yaitu:
1. Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum, perwujudan asas
dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan
34
perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
c. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK 556/DJA/1986
tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
g. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman
h. Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan
atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.
35
i. Awig-Awig Desa Adat Kelan
Menurut Stephen Elias “The law found in primary sources can take
many different forms. They include cases, statutes, administrative,
local ordinances, state and federal constitutions, and more”.32
(“Hukum yang ditemukan dalam sumber-sumber primer dapat
bermacam-macam bentuk. Termasuk di dalamnya kasus, undang-
undang, peraturan administrasi, adat-istiadat, konstitusi Negara, dan
lain-lain”.)
2. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-
buku yang terkait dengan hukum agraria, metode penelitian hukum,
makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.33
3. Bahan-bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan
Kamus Hukum.
2 . Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber
data primer dan sumber data sekunder
32
Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law,
Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal. 23. 33
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media, Jakarta, hal. 141.
36
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil
wawancara dengan pihak terkait yakni dengan Bendesa Adat Kelan dan
Notaris/PPAT Kota Denpasar.
2. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berasal
dari kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1.6.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara (interview)
dan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik studi dokumen.
1. Wawancara (interview)
Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan teknik wawancara yaitu
mendapatkan informasi langsung dengan cara bertanya langsung kepada
narasumber yang telah ditentukan. Wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan pertanyaan itu.34
Jenis wawancara yang digunakan adalah teknik
wawancara terstruktur yakni teknik wawancara yang telah disusun terlebih
dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, teknik wawancara seperti
akan memberikan informasi yang diinginkan. Pokok-pokok yang dijadikan
dasar pertanyaan diatur secara terstruktur, hal ini didasari pendapat Nasution
34
Lexy J. Moleong, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 186.
37
yang menyatakan bahwa tujuan wawancara adalah untuk mengetahui tentang
hal-hal yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain.35
Dalam penulisan
tesis ini dilakukan wawancara dengan beberapa informan antara lain Bendesa
Adat Desa Adat Kelan, Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH., dan
Pegawai/Staff Notaris/PPAT.
2. Studi Kepustakaan, studi kepustakaan dapat dilakukan melalui penelitian
kepustakaan atas bahan-bahan hukum dan dokumen-dokumen yang relevan
dengan permasalahan yang diteliti. Data kepustakaan sebagai data sekunder
diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang
terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun
karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen yang
dipergunakan dapat berupa dokumen resmi maupun dari hasil penelitian yang
memiliki kesesuaian data dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.36
1.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dalam hal ini data
yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri dari kata-kata dan bersifat
monogamis atau berwujud kasus-kasus. Data-data yang telah dikumpulkan baik
dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan
kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian
kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang
35
Nasution. S, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito,
Jakarta, hal 73. 36
Ibid., hal. 86.
38
tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.37
Data-data yang suda
dikumpulkan baik melalui wawancara dengan Bendesa Adat, Notaris/PPAT, dan
Pegawai Notaris beserta dokumen-dokumen yang didapat digabungkan dengan
hasil penelitian kepustakaan kemudian dianalisis untuk mendapat kesimpulan
yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
37
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 107.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA,
TANAH DRUWE PURA, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH
2.1 Tinjauan Umum Tentang Tanah Pura dan Tanah Druwe Pura Serta
Kaitannya Dengan Hak Ulayat
2.1.1 Pengertian dan Jenis-Jenis Pura
Pura merupakan tempat suci bagi agama Hindu, di pura inilah umat Hindu
mengadakan persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Terutama di Bali banyak sekali terdapat pura, sehingga Bali juga disebut dengan
“Pulau Seribu Pura”. Istilah pura diartikan sebagai tempat suci untuk pemujaan
Tuhan bagi masyarakat Hindu. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis
gunung, Tuhan, para dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak
gunung sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci.
Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas
pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yang disebut triloka,
yaitu alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka) dan alam atas (swah
loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke dalam konsep tri angga,
yaitu kaki, badan dan kepala. Demikian pula dalam suatu bangunan suci candi
misalnya, bagian-bagiannya terdiri atas dasar, badan dan atap candi.
Palemahan (wilayah pura) terbagi atas 3 wilayah berdasarkan konsep nista-
madya-utama. Menurut ajaran Hindu keadaan alam semesta ini adalah bertingkat,
yaitu “alam atas” (swah loka) yang diberi sifat utama, “alam tengah” (bhuah loka)
40
yang diberi sifat madya, serta alam bawah (bhur loka) yang diberi sifat nista.38
Berdasarkan konsep ini maka wilayah pura terbagi dalam tiga wilayah (Tri
Mandala) yang meliputi:
1) Utama Mandala adalah bagian teritorial yang merupakan tempat
didirikan bangunan-bangunan suci (palinggih-palinggih). Areal ini
dipisahkan dengan areal kedua (Madya Mandala).
2) Madya Mandala adalah bagian territorial pura dimana bagian ini terletak
pada bagian depan pura (bagian depan areal utama mandala). Pada
tempat ini didirikan bangunan-bangunan pelengkap yang menunjang
kegiatan pura seperti dapur, bale gong, bale kulkul dan sebagai tempat
tarian sakral dipentaskan.
3) Nista Mandala adalah territorial pura yang termasuk di dalamnya adalah
tanah setra (pekuburan), tanah-tanah pelaba pura , tanah-tanah telanjakan
pura serta tanah-tanah lainnya yang lokasinya di luar Madya Mandala.39
Konsep ini tercermin pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas
tiga halaman jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/
madhya) dan jeroan (halaman dalam/uttama). Bentuk tiga bagian dari pura
adalah:
1. Jaba Pura (halaman sisi), pada bagian ini terdapat bangunan-bangunan
seperti Bale kulkul, bale wantilan, dapur dan lain sebagainya. Untuk
mencapai tempat ini dapat dilalui melalui pintu masuk atau candi bentar.
2. Jaba Tengah (halaman tengah), halaman tengah pada umumnya ditempatkan
sedikit lebih tinggi dari halaman sisi dan dapat dicapai dengan melalui pintu
masuk yang berbentuk candi bentar. Pada bagian ini ditempatkan bangunan
seperti bale pegongan, bale penangkilan, dan lain sebagainya
38
I Made Suastawa Darmayuda dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat
Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 17. 39
Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura
Provinsi Daerah Tingkat I Bali, hal. 4.
41
3. Jeroan (halaman dalam), merupakan bagian halaman yang tersuci karena
pada halaman ini terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Untuk mencapai tempat ini melalui pintu masuk yang disebut
dengan Kuri Agung atau Candi Kurung. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi
dari halaman tengah sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura
bertingkat-tingkat semakin tinggi. Pelinggih –pelinggih yang ada pada halam
ini pada umumnya adalah Padmasana, Meru, Gedong, Pengaruman, dan
lain-lain.
Pura merupakan tempat sakral, suci, dan diagungkan oleh kalangan umat
Hindu. Pura di Bali adalah manifestasi dari keyakinan dan keimanan warga Bali
yang mayoritas beragama Hindu. Pura menunjuk pada pengertian sebagai tempat
suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya
(Prabawanya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur).40
Disamping istilah
pura, kadang-kadang dipakai pula istilah lain selain istilah pura seperti kahyangan
atau parhyangan. Menurut buku hasil inventarisasi tanah-tanah laba pura yang
dikeluarkan oleh Pemda Tingkat I Bali Direktorat Agraria disebutkan bahwa
fungsi pura adalah sebagai berikut:
a. Untuk memuja Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan
segala prabawa-NYA (manifestasi-NYA). Dalam teologi Hindu Tuhan
Yang Maha Esa dikenal memiliki banyak manifestasi, pancaran dari
kemahakuasaan Beliau itulah dikenal dengan sebutan Dewa yang dipuja di
masing-masing pura.
b. Untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). Dalam keyakinan
umat Hindu roh leluhur yang telah melalui suatu proses tertentu di yakin
akan dapat mencapai alam dewata. Kepada roh suci tersebut dipuja pada
jenis-jenis tertentu.41
40
Ibid., hal.3. 41
Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, loc.cit.
42
Jenis-jenis pura dari pengelompokkan penyungsungnya dapat dikelompokkan
menjadi 2 yakni:
a. Pura atau Kahyangan khusus yaitu tempat pemujaan Tuhan dengan
segala manifestasinya bagi mereka berasal dari satu garis keturunan.
Pura atau Kahyangan ini umum disebut Pura atau Kahyangan keluarga
atau Kawitan dan yang ada di komplek Pura Besakih kelompok Pura
atau Kahyangan ini lazim disebut “Pura Padharman”.42
Dengan
demikian maka pura kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang
telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen
kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti
maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang
yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura
Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti dan
keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut
keluarga besar. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang
istri dan anak-anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu
keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan
taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede
atau pamarajan agung.
b. Pura atau Kahyangan umum ialah tempat suci untuk memuja dan
mengagungkan kebesaran “Sang Hyang Widhi Wasa” (Tuhan Yang
Maha Esa) dengan berbagai prabhawa atau manifestasinya yang dapat
42
Ktut Soebandi, 1981, Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat,
Guna Agung, Denpasar, hal. 65.
43
dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu “Pura atau Kahyangan Tiga
Desa” adalah Pura atau Kahyangan penyungsungnya kesatuan
masyarakat adat dan Pura atau “Kahyangan penyungsungnya Jagat”.43
Pura atau Kahyangan Tiga Desa adalah Pura yang disungsung oleh
kesatuan masyarakat adat yang lazim disebut dengan “Desa Adat atau
Desa Pakraman”. Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat untu
memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Tri
Sakti yakni:
1. Pura Desa atau Bale Agung untuk Brahma sebagai pencipta
2. Pura puseh atau Panataran untuk Wisnu sebagai pemelihara
3. Pura Dalem (hulun setra) untuk Ciwa dalam prabhawa atau
perwujudan (manifestasi)-nya sebagai Durga pamralina (pelebur),
dan itu pulalah kiranya yang menyebabkan mengapa Pura Dalem
selalu terletak dekat dengan setra (kuburan) sebagai simbul Pralina
atau Pelebur.44
Pura atau Kahyangan Jagat ialah Pura atau Kahyangan Agung
terutama yang ada pada delapan penjuru mata angin dan ditengah-
tengah pulau Bali yaitu diantaranya Pura Lempuyang, Pura Andakasa,
Pura Batukaru, Pura Batur, Pura Gowa Lawah, Pura Ulu Watu, Pura
Pangelengan, dan Pura Besakih. Pura-Pura yang tergolong pula ke
dalam ciri Dang Kahyangan adalah pura-pura yang dihubungkan
dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan yang pernah ada di Bali.
Pada berbagai jenis pura ini ditempatkan benda-benda suci yang
disakralkan dan diyakini mempunyai nilai magis. Yang dimaksud dengan benda-
benda suci adalah benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara
43
Ibid., hal. 76. 44
Ktut Soebandi, loc.cit.
44
menurut Agama Hindu, yang digunakan sebagai Stana (Pralingga) Sang Hyang
Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.
2.1.2 Pengertian Tanah Adat
Tanah adat di Bali disebut dengan “Tanah Desa” atau “Tanah Druwe”
yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat melalui
usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Ada dua hal yang menyebabkan
tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat. Bila dilihat
dari sifatnya tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang bagaimanapun
keadaannya tetap memberikan keuntungan kepada pemiliknya. Bila dilihat dari
faktanya, tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan kehidupan serta
tempat bagi anggota persekutuan dikuburkan kelak ketika ia meninggal dunia.
Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur,
memelihara, dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip
K. Flechtim menyatakan “social power is the sum total of all those capacities,
relationship and processes by which compliance of others is secured for ends
determined by the power holder”, yang artinya kekuasaan sosial adalah
keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan, dan proses-proses yang
menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh
pemegang kekuasaan.45
Tanah-Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat, memperlihatkan fungsinya
dalam tiga bentuk yakni:
45
Flechteim Assip,K, 1952, Fundamentals of Political Science, Ronald
Press Co, New York, hal. 16.
45
a. Tanah Adat berfungsi ekonomis
Tanah-tanah adat khususnya yang berupa tanah-tanah pertanian digarap
untuk mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan kalau
bisa tentunya untuk meningkatkan taraf perekonomian di kalangan warga
masyarakat adat, dapatlah disimpulkan bahwa desa adat bertanggung jawab dalam
menjamin kelangsungan hidup warganya.
b. Tanah adat berfungsi sosial
Fungsi sosial disini adalah tidak berbeda sebagai mana dimaksud oleh Pasal
6 UUPA. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau
badan hukum, tidak hanya digunakan secara pribadi namun juga bermanfaat untuk
masyarakat. Fungsi sosial ini misalnya dapat dilihat pada penyediaan tanah milik
desa untuk dipakai sekolah, puskesmas, lapangan dan sebagainya oleh
pemerintah.
c. Tanah adat berfungsi keagamaan
Tanah adat juga berfungsi keagamaan, hal ini dapat diamati dari beban
kewajiban “ngayahang” yang menyertai bagi barang siapa yang mengusahakan
tanah-tanah adat, semua beban ini merupakan imbalan atas tanah yang diberikan
Krama desa oleh Persekutuan Desa adat.46
Hak-hak atas tanah ditentukan oleh status dan fungsi tanah adat, yaitu tanah
yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat, tunduk kepada peraturan atau
ketentuan-ketentuan hukum adat, penggunaannya diatur oleh persekutuan hukum
46
M. Suasthawa. D, op.cit., hal. 57.
46
adat. Berdasarkan status dan fungsinya, maka tanah adat dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1. Tanah pekarangan desa yaitu tanah yang diperuntukkan untuk
membangun rumah tempat tinggal bagi para warga desa
2. Tanah ayahan desa yaitu berupa tanah pertanian (tanah basah/tanah
kering) yang dibagi-bagikan kepada anggota/warga desa
3. Tanah laba pura juga merupakan tanah pertanian yang terikat oleh
satu pura atau lebih dan hasilnya dipergunakan untuk pemeliharaan
pura.
4. Tanah druwe desa yaitu tanah yang dipergunakan untuk kepentingan
desa secara bersama-sama seperti untuk kuburan, tanah lapang, balai
desa dan sebagainya.
2.1.3 Tanah Druwe Pura Dalam Kaitannya Dengan Hak Ulayat
Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 hak ulayat
telah diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 3 yaitu:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan yang lebih tinggi.
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 hanya
menyatakan dengan tegas pengakuan adanya hak ulayat dan hak serupa itu dari
masyarakat hukum adat akan tetapi disertai dengan pembatasan-pembatasan baik
mengenai eksistensi maupun pelaksanaanya, maksudnya adalah:
47
a. Mengenai eksistensinya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataanya
masih ada, di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi tidak akan
dihidupkan kembali, daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat
tidak akan dilahirkan ulayat baru.
b. Mengenai pelaksanaannya hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan lainnya
yang lebih tinggi.47
Secara konseptual, hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat yang berklen
(clan), dan masyarakat berklen tersebut berasal dari masyarakat yang bersistem
kekerabatan unilateral (sistem gabungan antara sistem matrilineal dengan sistem
patrilineal). Selain itu hak ulayat juga diartikan sebagai tanah kepunyaan bersama
yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek
moyang kepada kelompok atau masyarakat hukum adat.
Sekiranya sangatlah perlu ditetapkan kriteria yang harus dipenuhi untuk
mengetahui eksistensi (ada tidaknya hak ulayat) di suatu wilayah (daerah).
Kriteria tersebut mencakup tiga hal yaitu:
a. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagai subyek hak ulayat
b. adanya tanah (wilayah) dengan batas-batas tertentu sebagai lebensuarum
yang merupakan obyek hak ulayat
c. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu.48
47
Boedi Harsono, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan
Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin, hal. 160.
(selanjutnya disebut Budi Harsono I) 48
I Gst Nym Agung, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan
Kaitannya Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula,
Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika, No. 65 Tahun XX, Feb-Juli,
1986, hal. 46.
48
Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai
kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa weweang/kekuasaan
mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam dan ke luar.
Boedi Harsono mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.49
Hak masyarakat hukum yang berupa kewenangan desa untuk mengatur tata
guna lahan di lingkungan desa telah ada pada masa bali kuna. Hak atas tanah
semacam ini dalam hukum adat bali disebut dengan hak prabumian. Hanya saja
konstutusinya dalam hal-hal tertentu mungkin berbeda, tergantung situasi dan
kondisi masyarakat pada waktu itu. Sampai saat ini, tanah-tanah yang tunduk pada
hak pribumi disebut dengan tanah druwe desa dan keberadaannya masih diakui
oleh UUPA.
Menurut Van Vollenhoven hak ulayat adalah suatu hak yang sudah sangat
tua meliputi seluruh Indonesia yang asal muasal bersifat keagamaan. Hak ini
dimiliki oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dropsbond) atau
biasanya oleh sebuah desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh suatu orang
individu. Hak ulayat merupakan hak yang dimiliki oleh desa adat, desa memiliki
hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
49
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia ; Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hal.
186. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II)
49
masyarakat setempat. Menurut Van Vollenhoven tanah komunal itu bukan milik
desa, tetapi dikuasai oleh desa, sedangkan tiap pemakaian bagian tanah komunal
(gogol) sebagai individu harus tunduk kepada penguasa desa.50
Hubungan kehidupan antara umat manusia yang teratur susunannya dan
bertalian satu sama lain di satu pihak, dan tanah dilain pihak, dalam tradisi suku
bangsa Indonesia dikenal dengan hubungan yang serba berpasangan. Teer Haar
menyebutnya dengan istilah participerend denken dan dalam hukum adat asli
suku bangsa, hubungan semacam ini memunculkan hubungan pertalian hukum,
Ter Haar menyebutnya dengan istilah rechats betrekking.51
Substansi hubungan tersebut, dinyatakan dalam beberapa prinsip sebagai
cerminan kehidupan, sebagai berikut:
1. Tanah tempat mereka berdiam
2. Tanah yang member mereka makan
3. Tanah tempat mereka dimakamkan
4. Tanah tempat kediaman mahluk halus sebagai pelindung mereka
beserta arwah leluhurnya
5. Tanah tempat meresap daya-daya hidup. Prinsip-prinsip tersebut di
atas telah menjadi budaya yang berakar dalam kehidupan masyarakat
adat.
50
Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Graha Ilmu,
Yogyakarta, Cet. pertama, hal. 13. 51
Boedi Harsono, op. cit., hal. 164-165.
50
Lingkungan ulayat di masing-masing wilayah memiliki istilah yang
berbeda-beda. Sehubungan dengan hak ulayat, Ter Haar menguraikan sebagai
berikut:
Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik
keluar maupun kedalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka
masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah
tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan
sebagai satu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng
yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut. Atas dasar kekuatan
berlakunya kedalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing
anggota masyarakat melaksanakan haknya sesuai dengan bagiannya, dengan
cara membatasi peruntukkan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta
menarik bagian tanah tertentu dan hak menikmatinya secara pribadi untuk
kepentingan masyarakat secara langsung.52
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas
tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati
dan diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah
tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih
lanjut hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuankan,
hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,
diusahai, oleh seorang anggota dari persekutuan tertentu.
Menurut Surojo Wignyodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat yaitu:
a) Karena sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan-keadaan yang berbagai manapun juga toh masih
52
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat
Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 193-194.
51
bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan menjadi lebih menguntungkan.
Contohnya : Sebidang tanah itu dibakar di atasnya, dijatuhkan bom bom
misalnya ; tanah tersebut tidak akan lenyap, setelah api padam tanah
tersebut akan muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Kalau
dilanda banjir misalnya, malahan setelah airnya surut muncul kembali
sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula.
b) Karena faktanya:
Yaitu merupakan suatu kenyataan, bahwa tanah itu
- Merupakan tempa tinggal persekutuan
- Memberi penghidupan kepada persekutuan
- Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal
dunia dikebumikan
- Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh-roh para leluhur persekutuan.53
Hak Persekutuan atas tanah disebut dengan hak ulayat. Persekutuan
merupakan suatu komunitas tertentu. Dalam hukum adat persekutuan diartikan
sebagai masyarakat hukum adat. Subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat
hukum adat itu sendiri. Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban)
sosial manusia yang bersatu karena terikat dengan kesamaan leluhur dan atau
wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kewibawaan dan
kekuasaan dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai
keinginan untuk memisahkan diri.54
Di dalam UUPA hak ulayat diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 3 yaitu:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi.
53
M. Suasthawa D, op. cit., hal. 13. 54
Dominikus Rato, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat
Memahami Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya, hal. 82.
52
Berdasarkan pengertian hak ulayat di atas, dapat dipahami bahwa hak
ulayat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. merupakan hak komunal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat
2. merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk
memanfaatkan sumber daya alam termasuk tanah
3. hak tersebut memiliki wilayah (yurisdiksi) di tempat hidup para warga
masyarakatnya
4. hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun masyarakat
pada umumnya (berlaku ke dalam dan ke luar)
5. terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
6. mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan wilayah dimana sumber daya alam berada, dan
7. memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan atas pemanfaatan
tanah ulayat.55
Hubungan hukum hak ulayat antara tanah dengan masyarakat hukum adat
dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni hubungan hukum secara
internal dan secara eksternal. Boedi Harsono menggunakan istilah berlaku ke
dalam dan ke luar. Hubungan hukum hak ulayat secara internal yaitu masyarakat
diberikan wewenang untuk membuka, menguasai, dan memiliki tanah dengan
tujuan untuk memanfaatkan tanah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari diri
sendiri, keluarga dan masyarakatnya dengan asas itikad baik. Pemanfaatan tanah
hak ulayat biasanya digunakan untuk kebun, ladang, sawah, perumahan, dan
sebagainya. Hubungan hukum hak ulayat secara eksternal dimaksudkan selain
warga masyarakat hukum adat yang dapat memanfaatkan tanah yang ada dalam
wilayah hukumnya, juga dapat diberikan kepada orang lain yang berada di luar
masyarakat hukum adat yang bersangkutan jika diijinkan oleh kepala adat
setempat.
55
Husen Alting, op.cit., hal. 54.
53
Berpijak pada ciri-ciri hak ulayat, maka hak ulayat merupakan hak
kepemilikan bersama (kolektif) atas wilayah sebidang tanah yang digunakan
masyarakat secara terus menerus sebagai tempat mencari nafkah hidup. Agar
pemanfaatannya tidak menimbulkan konflik dikemudian hari, maka pegurusannya
diserahkan kepada ketua adat untuk mengatur pemanfaatannya demi
keberlangsungan tanah adat itu sendiri. Hak pengawasan dan pemilikan tanah
pada masyarakat hukum adat di Bali dimiliki oleh masyarakat desa adat.
Mengingat bahwa tanah pura adalah bagian dari tanah adat (hasil konversi
tanah adat) maka sifat penguasaan tanah pura ini mengacu pada sifat-sifat hak
ulayat. Hal ini sesuai dengan pandangan Naim yang menyatakan bahwa garis
pemisah bagaimanapun haruslah ditarik disini antara hak perseorangan (badan
hukum) dan hak kaum, marga, ulayat, dan sebagainya yang selama ini diatur oleh
hukum adat. Tidak seorangpun yang bisa mengaku bahwa tanah itu milik
pribadinya walaupun yang bersangkutan telah memanfaatkan bagi kelangsungan
hidupnya.56
Pendapat di atas menunjukkan bahwa meskipun tanah tersebut telah
dikonversi menjadi tanah pura, namun tidak membuat sifat-sifat hak ulayat yang
melekat padanya menjadi hilang berbeda dengan sifat tanah adat yang dikonversi
menjadi milik perseorangan. Dengan demikian tanah pura tetaplah milik dari
seluruh krama desa pengempon pura. Pemberian status hak milik pada pura
adalah untuk mencegah beralihnya tanah adat ini ke kelompok tertentu yang ingin
56
Mochtar Naim, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat
Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, hal. 67.
54
menguasai tanah tersebut. Tanah milik pura ini diprioritaskan untuk menunjang
kegiatan keagamaan di pura.
Tanah adat bukan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan suatu generasi
tetapi sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan
generasi saat ini tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung penghidupan dari
generasi ke generasi selanjutnya. Dengan demikian hak ulayat masyarakat hukum
adat tersebut disamping mengandung hak kepunyaan bersama para warganya
termasuk juga mempunyai kewajiban untuk mengelola, mengatur penguasaan,
pemeliharaaan, peruntukkan penggunaannya dalam bidang hukum publik.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa di Bali tanah dibawah hak ulayat desa
adalah tanah yang ada di bawah pengawasan desa, atau secara konkret di bawah
pengawasan pimpinan desa. Tanah semacam ini bisa diberikan kepada pamong
desa atau lain-lain pejabat desa, juga kepada warga desa yang membutuhkan tanah
itu. Dalam hal itu pamong dan pejabat-pejabat desa harus mengembalikan tanah
itu kepada desa bila mereka berhenti, sedangkan desa berhak mencabut kembali
tanah yang diberikan kepada warga desa bila perlu.57
Hak atas druwe adalah
istilah hak milik yang dikenal di lingkungan hukum adat di Bali.58
Hak milik atas
tanah adalah hak yang dimiliki setiap aggota ulayat untuk bertindak atas
kekuasaannya atas tanah ataupun isi dari lingkungan atau wilayah ulayat. Dalam
57
Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke-
7, Djambatan, Jakarta, hal. 263. 58
Mr.B.Ter Haar Bzn, 1999, diterjemahkan oleh K.Ng Soebakti
Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 68.
55
hukum adat hak milik tidaklah sebebas-bebasnya tetapi hak milik ini tetap
memiliki fungsi sosial.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa tanah pura merupakan hak komunal
masyarakat hukum adat, meskipun tanah adat telah dikonversi menjadi tanah pura
tidak menyebabkan sifat-sifat dari hak ulayat dari tanah adat tersebut hilang,
karena tanah pura merupakan hasil konversi dari tanah adat sehingga sifat-sifat
hak ulayat tetap melekat pada tanah pura. Dengan demikian tanah pura tetap
merupakan hak komunal. Pemberian status tanah pura ini salah satunya bertujuan
untuk mencegah beralihnya tanah adat ini kepada perseorangan karena
bagaimanapun masyarakat hukum adat memiliki hak yang lebih besar terhadap
tanah yang berada dalam wilayah desa adat tesebut. Tanah Labha-labha pura
tersebut sama-sama merupakan “milik” desa adat.59
2.2 Peralihan dan Pendaftaran Hak Atas Tanah
2.2.1 Pengertian Peralihan Hak (pemindahan hak)
Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang
tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak).
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan
perbuatan hukum yaitu pemindahan hak. Peralihan hak karena pewarisan tanpa
wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan seseorang yang
mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya
menjadi hak ahli warisnya, sedangkan perbuatan hukum pemindahan hak adalah
59I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 97.
56
peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja agar hak tersebut terlepas dari
pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria dinyatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan
dialihkan. Dua bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Beralih
Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain
karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan.
Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena hukum, artinya dengan
meninggalnya pemegang hak (subyek), maka ahli warisnya memperoleh
hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini, pihak yang memperoleh hak harus
memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah.
b. Dialihkan/pemindahan hak
Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak
lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan
agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum
tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam
modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang. Dalam peralihan hak
di sini, pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan
berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh
hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.60
Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki. Terjadinya Peralihan hak akan melahirkan suatu produk
hukum yakni akta peralihan hak. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Pasal 94 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c, dan e, disebutkan
60
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana
Predana Media, Jakarta, hal. 301.
57
bahwa akta peralihan hak adalah perubahan data yuridis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berupa peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
peralihan hak karena warisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan
perseroan atau koperasi dan peralihan hak tanggungan.61
Perbuatan-perbuatan hukum seperti Jual Beli, Hibah, Pemasukan dalam
perusahaan atau inbreng, dan Hibah wasiat adalah merupakan bentuk dari
pemindahan hak. Perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan pada waktu pemegang
haknya masih hidup, dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang
bersifat tunai atau langsung. Kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan
dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan
berpindah kepada pihak lain.
2.2.2 Jenis -Jenis Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah
Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek,
yaitu:
1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak
2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak62
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan sepihak yaitu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada
satu pihak pula, misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian hadiah.
Melekatnya hak-hak atas tanah pada masyarakat hukum menimbulkan hak ulayat,
61
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 43. 62
Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,
Cet. Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 89.
58
sedangkan melekatnya hak-hak atas tanah pada perorangan menimbulkan hak-hak
perorangan atas tanah.
Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak (timbal balik), misalnya membuat perjanjian
sewa-menyewa dan penyerahan sebidang tanah dengan disertai dengan
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pemilik tanah.
Perbuatan hukum ini dalam hukum adat disebut dengan “transaksi jual”.
Transaksi ini dapat berupa jual-beli (jual lepas, jual gadai, jual tahunan,
hibah/pemberian/anugrah, pewarisan dan pertukaran. Transaksi jual ini
mengakibatkan perpindahan hak-hak atas tanah, yang bersifat terang dan tunai.
Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa
yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan
pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati).
2 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di Riau disebut
“menjual lepas”.
3 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan perjanjian
bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua
tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik
tanah semula yang dalam bahasa Jawa disebut “menjual tahunan, adok
ayodan.63
Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat
dijelaskan lebih dalam lagi sebagai berikut:
1. Menjual Gadai
63
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat,
Haji Masagung, Jakarta, hal. 207.
59
Menjual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara
sementara atas tanah kepada pihak lain. Sehingga pihak yang melakukan
pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.
Dengan diterimanya tanah itu oleh penerima gadai, maka penerima gadai
berhak:
a. Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik
b. Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali tanah tesebut kepada
pihak lain jika memerlukan uang
c. Mengadakan perjanjian paruh/bagi hasil
Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta
memungut hasil dari tanah tersebut, tetapi dalam transaksi demikian biasanya
disertai pula dengan tambahan perjanjian jika tidak ditebus dalam masa yang
dijanjikan maka tanah tersebut menjadi milik yang membeli gadai dan tanah tidak
boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan penerima
gadai.
Pada umumnya tanah dikembalikan keadaan seperti semula seperti waktu
tanah itu diserahkan. Transaksi-transaksi seperti ini kejadiannya terdapat di
seluruh Indonesia. Dalam Pasal 16 ayat (1) poin h dan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 ditetapkan bahwa hak gadai bersifat sementara yang
suatu waktu harus dihapuskan. Lebih lanjut Pasal 9 PERPU No. 56 Tahun 1960
menyebutkan bahwa transaksi jual gadai diadakan oleh pemilik tanah hanya bila
ia dalam keadaan yang terdesak, apabila tidak terdesak menyewakan tanah lebih
60
disarankan daripada menjual gadai tanah karena dalam jual gadai tanah terdapat
imbangan yang lebih merugikan penjual gadai.
2. Menjual lepas
Jual lepas indikasi adanya transaksi ini, yaitu adanya istilah-istilah Winli
berasal dari kata bli berarti “dibeli” atau umli yang berarti membeli dan dinwal
berasal dari kata dwal/dol yang berarti menjual, dalam beberapa prasasti. Jual
lepas merupakan proses pemindahan hak untuk selama-lamanya hak atas tanah
secara terang dan tunai. Dalam hal ini semua ikatan bekas penjual dengan
tanahnya menjadi lepas sama sekali dan yang membeli berhak sepenuhnya untuk
memperoleh hak milik atas tanah tersebut. Biasanya dalam jual lepas calon
pembeli memberikan panjer kepada penjual untuk memberikan kepastian bagi
calon penjual bahwa calon pembeli akan membeli tanahnya. Dalam hal ini yang
membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya, sedangkan
pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan agar transaksi tanah ini sah.
Perjanjian jual lepas tanah sekaligus selesai dengan tercapainya
persetujuan/persesuaian kehendak (consensus) diikuti dengan ikrar/pembuatan
kontrak jual beli di hadapan kepala persekutuan hukum yang kompeten,
dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan
kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli.64
Perbuatan
jual lepas adalah perbuatan tunai yang riil dan konkrit artinya nyata dan jelas
dapat ditangkap oleh panca indra penyerahan benda dan pembayaran harganya,
walaupun belum lunas semua pembayarannya.
64
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,
hal. 33.
61
Biasanya dalam jual lepas ada pemberian panjer oleh pembeli kepada
penjual. Adapun fungsi panjer itu sendiri dalam jual beli lepas yaitu:
1. Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan kewajiban.
Ada kalanya janji lisan yang diikuti dengan pemberian sesuatu
(uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, dalam hal ini ikatan
moral untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau membeli
2. Tanpa panjer, orang tidak meraa terikat. Sebaliknya dengan panjer orang
merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang terdapat
dalam janji tadi
3. Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian
panjer. Setelah tidak digunakanya hak ingkar oleh para pihak baru dapat
dilaksanakan.65
Dalam transaksi jual lepas agar transaksi tanah menjadi sah artinya agar
perbuatan hukum mendapatkan perlindungan hukum maka pembayaran dilakukan
di hadapan kepala persekutuan. Hal ini wajib dilakukan dengan bantuan kepala
persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala
persekutuan lazimnya ia menerima uang saksi. Apabila transaksi ini dilakukan di
luar pengetahuan kepala persekutuan maka transaksi tersebut tidak diakui oleh
hukum adat.
3. Menjual tahunan
Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan
hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek hukum lain, dengan menerima
sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu berakhir
maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya pada pemilik tanah tanpa
melakukan perbuatan hukum tertentu. Jual tahunan ini merupakan satu bentuk
menyewakan tanah. Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah
mengelola tanah tersebut seperti menanami dan memetik hasilnya dan dapat
65
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.
62
berbuat seperti tanahnya sendiri sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan.
Transaksi seperti ini tidak begitu dikenal di luar Jawa.
2.2.3 Syarat-Syarat Transaksi Jual beli
Syarat jual beli tanah ada dua yaitu syarat materiil dan syarat formil
1. Syarat materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut
yakni antara lain sebagai berikut:
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat-syarat untuk
memiliki tanah yang akan dibelinya. Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang dapat
memiliki hak atas tanah adalah Warga Negara Indonesia dan Badan-badan hukum
yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan
asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum
yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jualbeli itu batal karena hukum
dan tanah jatuh pada Negara (Pasal 26 ayat 2 UUPA).
Kalau obyek yang akan dibelinya adalah tanah hak milik, maka pihak yang
dapat membelinya adalah perseorangan warga Negara Indonesia, bank
pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial. Kalau obyek jual belinya adalah
tanah hak guna bangunan maka pihak yang dapat membeli adalah perseorangan
warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Begitu pula dengan hak guna bangunan memiliki
syarat pembeli yang sama dengan hak guna usaha. Apabila tanah yang akan dibeli
adalah hak pakai maka yang berhak untuk membeli tanah adalah perseorangan
63
warga Negara Indonesia, perseorangan warga Negara asing, badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki
perwakilan di Indonesia.
Pembeli sebelum membeli tanah sebaiknya memeriksa terlebih dahulu
mengenai kepemilikan sertifikat tanah itu. Lalu melihat langsung ke lokasi tanah
yang akan dibeli, dan melakukan pengecekan ke kantor pertanahan tentang status
tanahanya. Perolehan informasi sebanyak-banyaknya merupakan tindakan
kehatia-hatian pembeli yang sebaiknya dilakukan.
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang
sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut dengan pemilik. Kalau pemilik
sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu.
Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah
itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak
sebagai penjual.66
Syarat penjual yang berhak menjual hak miliknya antara lain sebagai berikut:
a. Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam
sertifikat atau selain sertifikat
b. Seseorang berwenang untuk menjual tanahnya apabila sudah dewasa
c. Kalau penjual belum dewasa, maka dapat diwakilkan oleh walinya
d. Kalau penjualnya dalam pengampuan, maka dia diwakilkan oleh
pengampunya
66
Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.2.
64
e. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa,
maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notariil
Untuk dapat bertindak sebagai penjual harus dipenuhi syarat tertentu,
yakni usia harus dewasa menurut undang-undang, artinya cakap untuk melakukan
perbuatan hukum jual beli tanah, misalnya:
a. Anak berumur 12 tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia
yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana kalau yang bertindak
adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang
tua.
b. Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah itu
adalah harta bersama dengan suaminya, maka istri tidak berwenang
menjual tanah sendiri, melainkan bersama-sama suaminya, atau suaminya
member persetujuan tertulis kepada istri. Demikian juga, bila istri yang
harus member persetujuan kepada suami kalau suatu tanah sebagai harta
bersama tertulis atas nama suami.
c. Kalau tanah tercatat atas nama, misalnya X, tetapi ia tunduk pada hukum
KUHPerdata dan sedang di bawah pengampuan, maka yang berwenang
menjual tanah itu adalah pengampu si X, tetapi harus ada izin dari Ketua
Pengadilan Negeri.67
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam
sengketa.
Mengenai tanah-tanah apa saja yang dapat diperjualbelikan telah ditentukan
dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna
bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil tidak
dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang
dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas
tanah atau tanah yang yang akan diperjualbelikan merupakan tanah yang sedang
menjadi obyek sengketa atau tanah yang tidak dapat diperjualbelikan, maka jual
67
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 92.
65
beli tanah itu adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang
tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap
jual beli itu tidak pernah terjadi.
Paul Stephen Latimer memberikan definisi mengenai tanah yaitu
”In everyday language “land” means the solid parts of the earth’s surface and
includes houses, farms, and bush. Land is permanent and it cannot be hidden or
moved. It can be improved or degraded but it cannot be destroyed. Land I the
opposite of sea, water, and air”.68
( Di dalam bahasa sehari-hari tanah merupakan
bagian padat dari bumi dan termasuk rumah, peternakan, dan semak-semak.
Tanah adalah permanen dan tidak dapat disembunyikan atau dipindahkan. Tanah
dapat ditingkatkan atau diturunkan tetapi tidak dapat dihancurkan. Tanah adalah
kebalikan dari laut, air, dan udara.)
Apabila salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual
bukan merupakan orang yang berhak untuk membeli tanah dan pembeli tidak
memenuhi persyaratan untuk memiliki tanah dan tanah yang dijadikan obyek jual
beli sedang dalam sengketa atau tidak boleh diperjual belikan, maka jual beli
tanah itu tidak sah.
2. Syarat Formal
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP
68
Paul Stepen Latimer, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia
Limited, Australia, hal. 70.
66
24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tidak didepan PPAT
tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat yang menganut sistem
yang konkret/kontan/nyata/riil. Namun meskipun demikian untuk mewujudkan
adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah PP No. 24
Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa
setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.69
Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak
untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu:
1. Jika tanahnya sudah bersertifikat, sertifikat tanahnya yang asli dan tanda
bukti pembayaran biaya pendaftarannya
2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut
belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan
penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat
yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan
untuk persertifikatan tanahnya setelah dilakukan jual beli.70
Dalam menghadapi pembelian tanah yang belum didaftarkan di kantor
pertanahan untuk disertifikasi, sebaiknya meminta informasi kepada pejabat
setempat (kelurahan ataupun camat), baik mengenai riwayat dari kepemilikan
tanah tersebut, siapa pemilik terakhirnya, bukti girik (istilah untuk bukti
69
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,
Alumni, Bandung, hal. 23. 70
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 78-79.
67
pembayaran pajak perubahan undang-undang yang baru 1988) atau bukti
pembayaran letter C. Adanya kewajiban untuk mengecek itu udah menjadi syarat
bagi pembuatan Akta PPAT.
Dalam suatu transaksi jual beli, tidak sedikit kasus yang muncul, misalnya
dalam pemindahan hak atas tanah tersebut terdapat pemalsuan tanda tangan istri
dari pihak penjual, seakan-akan pihak istri memberikan persetujuan. Tuntutan
akan datang dari istri untuk meminta pembatalan atas pemindahan hak atas tanah
tersebut yang telah dibalik nama ke atas nama pembeli.71
Pembeli yang akan
membuat Akta jual beli harus mengecek terlebih dahulu ke Kantor
Pertanahan/BPN, untuk mencegah lahirnya akta PPAT yang cacat hukum.
Pengecekan ini berguna untuk menyesuaikan sertifikat dengan buku tanah.
Adapunn untuk sertifikat pengalihan, harus ada bukti pengalihan di Akta
Notaris/PPAT, baik itu Akta hibah maupun waris.
2.2.4 Pengertian Pendaftaran Tanah
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan tentang pengertian pendaftaran tanah yakni:
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Mengenai pengertian pendaftaran, Shashi Shekar menyebutkan bahwa:
71
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,
Cet. Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 191.
68
“A cadastre may be defined as an official geographic object within a country,
or more precisely, within a jurisdiction. Just like land registry, it records
attributes concerning places of land, but while the recording of a land
registry is based on deeds of conveyance and other right in land, the cadastre
is based on measurements and other renderings of the location, size, and
value of units of property”.72
(Kadaster dapat didefinisikan sebagai sistem informasi resmi geografis (SIG)
yang mengidentifikasi obyek geografis dalam suatu Negara atau lebih
tepatnya, dalam yurisdiksi. Sama seperti pendaftaran tanah, itu mencatat
atribut tentang tempat tanah berdasarkan perbuatan angkut dan kanan lain di
tanah, kadaster didasarkan pada pengukuran dan rendering lainnya dari
lokasi, ukuran, dan nilai properti.)
Pendaftaran tanah merupakan suatu prasyarat dalam upaya menata dan
mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah termasuk
untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan. Pendaftaran hak-hak atas tanah
merupakan jaminan dari Negara dan merupakan suatu instrument penting untuk
perlindungan bagi pemilik tanah. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Recht
Kadaster yang meliputi kegiatan 1). Pengukuran pemetaan dan pembukuan tanah
2) pendaftaran hak-hak tersebut 3). Pemberian sertifikat hak atas tanah yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.73
Pendaftaran tanah itu sendiri
diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum. Pendaftaran tanah
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah di
bidang pertanahan.
72
Sashi Shekhar, 2008, Springersciences and Business, Encyclopedia of
GIS, New York, hal. 65. 73
J.B Daliyo dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5,
Prehallindo, Jakarta, hal. 80.
69
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertiikat sebagai tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 74
Pendaftaran sertifikat tanah adalah hal terpenting bagi para pemilik tanah
untuk dapat diterbitkan secara cepat dan biaya yang murah. Hal ini sesuai dengan
asas-asas pendaftaran tanah yang terdapat pada Peraturan Pemerintah tentang
Pendaftaran Tanah yakni asas sederhana dan terjangkau. Sederhana artinya
prosedur penerbitan sertifikat harus mudah dan dalam waktu yang tidak terlalu
lama, sedangkan terjangkau artinya biaya pendaftaran tanah harus memperhatikan
kemampuan masyarakat ekonomi lemah, khususnya golongan yang tidak mampu.
Asas pendaftaran tersebut sebenarnya telah lama disitir oleh Sir Charles
Fortescue-Bricdate, yakni:
1. Security yakni bertolak dari kemantapan sistem, seingga seseorang akan
merasa aman atas hak tersebut baik karena membeli tanah ataupun suatu
jaminan atas utang
2. Simplicity, yakni sederhana sehingga setiap orang dapat mengerti
3. Accuracy yakni bahwa terdapat ketelitian daripada sistem pendaftaran
tanah secara lebih efektif
4. Expedition yakni dapat lancer dan segera, sehingga menghindari tidak
jelas yang bisa berakibat berlarut-larut dalam pendaftaran tanah tersebut
5. Cheapness yaitu biaya semurah mungkin
6. Suitability to circumstances yaitu pendaftaran tersebut akan tetap
berharga baik sekarang maupun di kemudian hari
7. Completeness of the record yakni:
74
Boedi Harsono II, op. cit., hal. 460.
70
a. Perekaman tersebut harus lengkap lebih-lebih lagi masih ada tanah-
tanah yang belum terdaftar
b. Pendaftaran dari setiap tanah sesuai dengan keadaan pada waktu
didaftarkan.75
Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur di dalam UUPA Pasal 19,
yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan
kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
berlaku efektif sejak tanggal 8 Oktober 1997.76
Prinsip utama pendaftaran hak atas
tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan
alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa buku
tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.
Pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menentukan siapa nantinya yang wajib
membayar pajak atas tanah tersebut. Pasal 19 UUPA menugaskan kepada
pemerintah untu menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting
artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang
mempunyai hak atas tanah.
2.2.5 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada
asas hukum yang dianut Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya.77
Di dalam peralihan hak kita mengenal asas “memo plus yuris” yang berbunyi
orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti
75
A.P Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2,
Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 76
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 112. 77
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 17.
71
bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini
bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenanrnya. Berdasarkan asas
ini, pemegang hak yang sebenanya akan selalu dapat menuntut kembali haknya
yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu dafatar umunya tidak
mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebu sistem negatif.
Asas yang kedua adalah asas itikad baik yang berarti melindungi orang dengan
itikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang
hak yang sah. Asas ini dipakai untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta dan
daftar umum yang ada di kantor badan pertanahan.78
Dengan asas memo plus yuris perlindungan hukum diberikan kepada
pemegang hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini selalu ada kemungkinan
untuk menggugat pemilik yang terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik
yang sebenarnya. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan
bukti sehingga sistem pendaftaran seperti ini disebut dengan sistem pendaftaran
negatif. tanah. Sebenarnya sistem positif dan negatif memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing, dalam sistem positif daftar umum memiliki kekuatan
alat bukti dan orang yang terfdaftar memiliki hak yang penuh atas tanah tersebut.
Sehingga ada kepastian mengenai pemilik mendorong setiap orang untuk
mendaftarkan tanahnya. Namun kekurangannya apabila terjadi kesalahan pada
pendaftaran maka akan otomatis menghapuskan hak orang lain yang berhak.
Berbeda halnya dengan pendaftaran tanah dengan sistem negatif apabila terjadi
kesalahan dalam pendaftaran maka pemegang sebenarnya tidak akan dirugikan,
78
A.P Parlindungan, op.cit., hal. 2.
72
karena pemegang haknya berhak untuk menuntut. Adapun kekurangan dari sistem
pendaftaran dengan sistem negatif daftar umumnya sehingga terdaftarnya
seseorang tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas tanah
yang didaftarkan. Dengan demikian, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi
negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak karena Negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan.
Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif yang memungkinkan
pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama
di dalam persidangan di pengadilan adalah Peraturan Pemerintah dan Sertifikat.
Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat
penguasaan tanah yang hasilnya akan merupakan alas hak pada pendaftaran
pertama dan proses –proses peralihan hak selanjutnya.79
Pendaftaran di Indonesia
dikatakan menggunakan Sistem Torrens, hanya tidak jelas dari Negara mana kita
meniru sistem tersebut, demikian juga India, Malaysia, dan Singapura,
menggunakan sistem Torrens ini.80
Dalam pendaftaran di Australia, yang menganut sistem Torrens dapat
dinyatakan sebagai berikut:
a. Security of title, sehingga kebenaran dan kepastian dari hak tersebut baik
dari rangkaian peralihan haknya, dan kedua jaminan bagi yang
memperolehnya untuk adanya suatu klaim dari seseorang yang lain
b. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan
adanya pendaftaran tersebut tidak perlu kita selalu harus mengulangi dari
awal setiap adanya peralihan hak, apakah dia berhak atau tidak, bagaimana
rangkaian dan peralihan hak tersebut.
79
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 123. 80
A.P Parlindungan, op.cit., hal. 24.
73
c. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian
peralihan hak tersebut disederhanakan dan segala proses akan dapat
dipermudah
d. Ketelitian, dengan adanya pendaftaran, maka ketelitian sudah tidak
diragukan lagi.81
Di Indonesia sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang
kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menyatakan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan
oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data
disajikan dijamin sepenuhnya oleh Negara, melainkan menggunakan sistem
publikasi negatif dimana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.
Namun Indonesia tidak menganut sistem publikasi secara murni, hal tersebut
nampak dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat 2, Pasal 32 ayat
2, dan Pasal 38 ayat 2 UUPA karena sistem publikasi yang murni tidak akan
menggunakan pendaftaran hak.
Jadi sistem publikasi yang digunakan di Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif,
karena sistem publikasi negatif yang murni tidak menyatakan bahwa sertifikat
merupakan alat bukti yang kuat. Kuat tidak berarti mutlak namun lebih dari yang
lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan,
akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan
bisa digugat.
81
Ibid., hal. 7.
74
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
TERJADINYA TRANSAKASI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
3.1 Tanah Milik Pura Sebagai Obyek Transaksi Jual Beli
Ketentuan mengenai hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal
27 UUPA. Dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 atau disebut UUPA dalam
Pasal 21 mengatur mengenai subyek hak tanah hak milik dan peraturan
pelaksanaannya. Dalam Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa ”Hanya warga negara
indonesia yang dapat mempunyai hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (2) disebutkan
bahwa oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya.
Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang berhak menjadi pemegang hak milik
adalah:
1. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik
2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya
3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai
hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu dilepaskan , maka hak tersebut hapus karena hukum an
tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung
4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia nya mempunya
kewarganegaraan asing ma ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
74
75
Mengenai pengertian hak milik ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA
yaitu ”Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Turun-
temurun mempunyai pengertian bahwa hak milik tanah tersebut dapat diwariskan
kepada ahli waris sepanjang ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai subyek
hak milik atas tanah. Proses terjadinya hak milik atas tanah berdasarkan ketentuan
pasal 22 UUPA yaitu:
1) Hak milik tanah yang terjadi menurut hukum adat
Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan
hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (aanslibbing). Pembukaan
tanah dimaksudkan yaitu pembukaan hutan yang dilakukan secara beramai-
ramai dengan masyarakat hukum adat, sedangkan lidah tanah (aanslibbing)
adalah pertumbuhan tanah yang muncul di tepi sungai atau di pinggir pantai.
2) Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah yang terjadi di sini semula berasal dari tanah negara.
Hak milik atas tanah ini terjadi dengan adanya permohonan oleh si
pemohon. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon ditentukan oleh
Badan Pertanahan Indonesia (BPN), dan apabila telah terpenuhi maka BPN
akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPT) yang wajib
didaftarkan oleh pemohon di Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat
untuk dicatatkan di Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik.
76
3) Hak milik atas tanah karena ketentuan undang-undang
Hak milik atas tanah terjadi karena undang-undang yang menentukan
demikian, yang diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1)
ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Dalam hukum adat dikenal dua macam hak milik yaitu:
1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya
komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama dari
penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut druwe desa, di
Manado disebut kintal kalakeran, di Minangkabau disebut harta pusaka, di
Jawa Barat disebut kasikepan. Anggota desa (persekutuan) yang ikut
berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai
2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang
tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya: sawah milik, sawah
yasa dan lain-lain.82
Setelah berlakunya UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak
memungkinkan lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan hukum adat kecuali menerangkan bahwa hak-hak
tersebut merupakan hukum adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik
adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan Pasal 23,
Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, maka diberikan suatu kewajiban untuk
mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat. Di dalam UUPA sendiri telah
diatur mengenai ketentuan konversi. Beberapa ahli hukum memberikan
pengertian mengenai konversi, Boedi Harsono memberikan pengertian konversi
adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA.
Dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agrarian,
82
Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,
Bandung, hal. 82-83.
77
maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena
itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari
padannya yang terdapat didalam UUPA melalui lembaga konversi. Jadi, dengan
demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas adalah untuk terciptanya unifikasi
hukum pertanahan di tanah air dan untuk mencapai kepastian hukum serta dapat
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas
tanah yang ada adalah bagian kedua dari UUPA tentang ketentuan konversi yang
terdiri dari IX Pasal, khususnya konversi tanah yang tunduk pada hukum adat dan
sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan konversi,
disamping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud dalam UUPA
dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 2 Tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor
26/DDA/1970 yaitu tentang “penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak
Indonesia atas tanah”.
Pasal II ketentuan konversi mengatur mengenai ketentuan konversi tanah
adat. Pasal II ayat 1 ketentuan konversi berbunyi:
1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut
dengan nama sebagai dibawah, yang pada mulai berlakunya Undang-
undang ini, yaitu : hak agrarish eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak
atas druwe, hak atas druwe desa, jeseni, grant, Sultan,
landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1),
78
kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang
tersebut dalam Pasal 21.
2. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, waga
Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha
atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai
yang ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam
Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1980 dan
dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962, sehubungan dengan hal
tersebut jelaslah bahwa untuk melakukan konversi penting untuk mengetahui
mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan
dikonversi menjadi hak milik atau tidak dan mengenai peruntukkan tanahnya.
Apabila ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik, subyek pemohon
konversi akan menentukan nantinya hak yang akan dimiliki oleh pemegang hak
apakah hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan.
Proses dalam memperoleh hak milik atas tanah pada prakteknya di Kantor
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota diawali dengan pendaftaran,
baik itu secara Konversi (penggantian dari Pipil/Pajak SPPT ke Sertipikat)
maupun permohonan Hak atas Tanah Negara. Konversi dilakukan atas dasar
penguasaan tanah secara turun temurun yang dibuktikan dengan Surat Pipil atau
Girik atau SPPT, pada prakteknya diawali dengan melengkapi surat-surat dari
lingkungan (di Bali Kepala Lingkungan/Kelian Dinas/Adat) setempat sampai
dengan kecamatan, antara lain berupa surat-surat pewarisan, sisilah keluarga.
Proses pendaftaran hak milik atas tanah melalui mekanisme konversi dapat
79
didaftarkan ke Kantor Pertanahan jika persyaratan telah lengkap. Kemudian
diperoleh bukti pendaftaran (yang sering dikenal dengan Kartu Kuning). Setelah
diperoleh bukti pendaftaran tersebut maka selanjutnya akan mendapatkan jadwal
ukur dari petugas ukur, setelahnya kemudian dilaksanakan pengukuran dan
penunjukkan batas serta penunjukkan yang diketahui oleh penyanding disamping
letak tanah yang berbatasan langsung. Kemudian setelah pengukuran dilanjutkan
dengan adanya sidang di kantor Desa/Kelurahan sebagai bentuk pembuktian
yuridis dari aparat Desa (Kepala Desa/Lurah). Sidang dihadiri oleh
pemohon/kuasanya, pihak Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten/Kota, dan Kepala
Desa/Lurah. Jika kemudian telah dilaksanakan Sidang maka dilanjutkan dengan
pengumuman di Kantor Desa setempat (wajib 60 (enam puluh) hari). Setelah
masa pengumuman lewat maka akan diterbitkan Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Kabupaten/Kota tentang pemberian hak milik atas tanah. Maka
pemohon wajib melunasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Jika telah melunasinya maka terbitlah sertipikat hak atas tanah. Dalam
prakteknya pembuktian fisik dan yuridis hak atas tanah ditentukan oleh hasil
penunjukkan batas dan tidak adanya gugatan dari pihak-pihak yang merasa
berhak.
Menurut Pegawai Notaris, Bagus Nyoman Sudarta, dalam wawancara pada
tanggal 29 November 2014. Di dalam penulisan tesis ini berkaitan dengan
permohonan konversi dengan alas hak penguasaan fisik (sporadik) oleh krama
pengempon yang di laksanakan oleh Bendesa Adat yang bertindak mewakili Pura
80
maka permohonan haknya diawali dengan penerbitan SPPT (Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang) melalui kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar,
kemudian dilanjutkan dengan konversi pipil/SPPT menjadi Sertipikat hak atas
tanah. Dalam prakteknya proses ini memakan waktu paling cepat 4 (empat) bulan
hingga 1 (satu) tahun, tergantung intensitas pendafataran di Kantor Pertanahan
dan kondisi fisik serta kelengkapan data maupun kondisi pelaksanaan di lapangan.
Pendaftaran tanah dilakukan bisa dilakukan sendiri (permohonan individu)
maupun secara sistematik (massal). Terhadap hak atas tanah yang tunduk pada
hukum adat yang memiliki bukti, baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum
didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Pelaksanaan konversi hak atas tanah
dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala
Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Adapun tanah yang tidak mempunyai bukti
tertulis secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan hak. Untuk konversi
hak atas tanah adat, pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik dapat
dilakukan di wilayah yang telah dilaksanakan suatu pngukuran wilayah/daerah,
sedangkan untuk wilayah/daerah yang belum dilakukan suatu pengukuran, maka
pelaksanaan pendaftaran tanahnya dilakukan secara sporadik.83
Produk terakhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah berupa sertifikat hak
atas tanah. Sertifikat hak atas tanah memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya, dan
fungsinya tidak dapat digantikan oleh benda lain. Pertama, sertifikat hak atas
tanah memiliki fungsi sebagai alat pembuktian yang kuat, inilah fungsi yang
83
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 136.
81
paling utama sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai
1 hak atas suatu bidang tanah. Kedua, sertifikat hak atas tanah memberikan
kepercayaan kepada pihak bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang
kepada pemiliknya. Ketiga, bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah ini
juga sangat menguntungkan. Adanya sertifikat hak atas tanah ini akan menjadi
bukti bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data
ini sangat penting guna perencanaan pembangunan kota.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi atau adil adanya. Salah satu yang dapat menjamin kepastian hukum
bidang pertanahan adalah dengan melakukan ensertifikatan tanah adat. Pasal 19
UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendafataran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.84
Bila ditilik berdasarkan ketentuan konversi, khususnya konversi terhadap
tanah-tanah hak adat, maka konversi tanah adat menjadi hak atas tanah yang
disebutkan dalam UUPA digantungkan terhadap dua faktor yaitu: pertama
digantungkan terhadap isi serta wewenang pemegang haknya. Bila isi hak serta
wewenangnya pemegang haknya sebagaimana atau mirip hak milik maka
dikonversi sebagai hak milik, sedangkan apabila isi hak serta pemegang haknya
84
Sajuti Thalib, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di
Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta, hal. 27.
82
mirip dengan hak pakai maka akan dikonversi menjadi hak pakai. Faktor kedua
adalah faktor subyek haknya. Terhadap tanah-tanah yang isi haknya serta
wewenang pemegang haknya sebagaimana atau mirip dengan hak milik, maka
konversi haknya ada tiga kemungkinan yaitu menjadi hak milik apabila subyek
haknya memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 UUPA.
Apabila subyeknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik maka tanah
tersebut dikonversi menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan tergantung
kepada penggunaan tanahnya (Pasal II Ketentuan Konversi).85
Obyek jual beli merupakan salah satu syarat terjadinya suatu persetujuan
yang sah. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer menyebutkan mengenai syarat-syarat
perjanjian yakni :
a. Kesepakatan dirinya yang mengikatkan diri-nya
b. Kecakapan untuk membuat perikatan
c. Suatu pokok persoalan tertentu
d. Suatu sebab yang tidak terlarang
Dalam transaksi jual beli tanah ada dua hal penting yang perlu diperhatikan,
yaitu mengenai subyek dan obyek jual beli tanah. Mengenai subyek jual beli tanah
adalah para pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli, yang perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah calon penjual harus berhak untuk menjual yaitu
pemegang sah dari hak atas tanah tersebut, pembeli juga harus memenuhi
persyaratan sebagai pembeli. Sedangkan mengenai obyek jual beli tanah adalah
status hukum obyek jual beli, baik itu status penguasaan hak atas tanah tersebut
85
I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 43.
83
maupun dokumen yuridis yang dimiliki oleh obyek jual beli tersebut. Di dalam
jual beli tanah tujuan membeli hak atas tanah adalah untuk menguasai secara sah
tanah tersebut, tetapi secara hukum yang dibeli atau dijual bukan tanahnya tapi
hak atas tanah tersebut.
Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe pura, syaratnya sama dengan
transaksi jual beli pada umunya yakni terpenuhinya syarat materiil dan syarat
formal, syarat materill jual beli tanah druwe pura harus pembeli yang memenuhi
persyaratan artinya pembeli yang berhak untuk membeli tanah druwe pura,
penjual dalam hal ini krama pengempon pura yang yang diwakili oleh bendesa
adat yang telah diberikan kuasa untuk menjual oleh krama desa adat, dan yang
terakhir obyek jual beli dalam hal ini yang menjadi obyek transaksi jual beli
adalah tanah druwe pura atau tanah milik pura harus sudah sah kepemilikannya
dan ada sertifikat hak milik atas nama pura, sehingga penjualan tanah milik pura
ini tidak melanggar Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 20 hak milik
adalah hak yang terkuat dan memiliki sifat dapat dipindahtangankan
kepemilikannya kepada orang lain.
Hak milik dapat dipindah haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara
jual beli, hak tersebut diatur dalam Pasal 26 UUPA, yang berbunyi:
(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan
pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat
84
(2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,
dengan ketentuan-ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Di dalam praktek pelaksanaan jual beli sebagai subyek yang bertindak
untuk dan atas nama pura, pengempon mempunyai hak yang penuh terhadap
perbuatan hukum jual beli terhadap tanah atas nama pura, namun karena saking
banyaknya jumlah pengempon sehingga patut dijalankan dengan perwakilan
(kuasa). Pemberian kuasa pada umumnya jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1796
KUHPerdata menentukan tentang pemberian kuasa terkait dengan tindakan untuk
memindahtangankan yang perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pemilik
semata maka diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Hal
tersebut berarti bahwa pemberian kuasa yang sifatnya khusus seperti itu
memerlukan redaksional yang sifatnya tegas dan jelas.
Dalam hal jual beli tanah milik pura yang menjadi obyek transaksi adalah
tanah pura, yang merupakan milik dari masyarakat/krama pengempon pura. Jadi
sebelum dilaksanakan perjanjian jual beli maka perlu adanya kesepakatan bersama
dari krama pengempon untuk menjual tanah milik pura tersebut. Agar transaksi ini
sah artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat perlindungan hukum wajib
dilakukan dengan bantuan bendesa adat sebagai kepala persekutuan agar
perbuatan hukum ini menjadi terang. Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe
pura bendesa adat mewakili krama adat untuk melakukan perbuatan hukum jual
beli. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi yang dibuatkan dalam suatu akta
85
yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula
tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi, akta ini merupakan suatu bukti.86
Bila dilihat dari subyek yang menguasai tanah-tanah ada ini, M. Suasthawa
D mengelompokkannya menjadi 2 golongan. Pertama meliputi tanah-tanah yang
dikuasai langsung oleh desa adat. Termasuk dalam golongan ini adalah tanah
druwe desa dan tanah druwe pura. Golongan kedua adalah tanah adat yang
dikuasai oleh krama desa (perseorangan) yang dapat berupa tanah pekarangan
desa (PKD) dan tanah ayahan desa..
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka
badan hukum keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Namun peraturan ini belum memberikan kepuasan bagi masyarakat hindu
sehingga akhirnya diadakan pesamuhan BPPLA Kabupaten dan Kecamatan se-
Bali yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 2 s.d 22 september 1982.
Salah satu rekomendasi dari hasil pesamuhan tersebut berbunyi “mengusulkan
kepada pemerintah agar Desa-Desa Adat dan Pura dapat ditetapkan sebagai badan
hukum yang berhak memiliki tanah. Usulan tersebut ditanggapi positif oleh
pejabat yang terkait akhirnya tanggal 24 September 1986 terbit Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura
Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak
Milik.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.
556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang
86
Dewi Wulandari, op.cit., hal. 90.
86
Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak Milik. Dengan penetapan ini menjadi tidak
jelas apakah badan hukum keagamaan ini merupakan badan hukum publik atau
badan hukum privat. Apabila dikatakan sebagai hukum publik, pura dapat
mempunyai hak milik atas tanah, sedangkan badan hukum publik tidak dapat
mempunyai hak milik, hanya mempunyai hak untuk menguasai dan mengatur atas
tanah tersebut. Oleh karenanya lebih condong dapat dikatakan bahwa badan
hukum keagamaan ini dikatakan badan hukum privat walaupun kepemilikannya
dilakukan oleh orang-orang secara umum, namun badan hukum ini tidak ada
hubungannya dengan pemerintah dan mempunyai hak milik yang bisa dialihkan
secara privat, namun kelemahannya kedudukan pura sebagai badan hukum
keagamaan yang dapat memiliki hak atas tanah tidak ditetapkan oleh pemerintah
secara khusus seperti Perseroan Terbatas yang akta pendiriannya disahkan oleh
Menteri Hukum dan HAM RI, akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal
ini Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, serta yayasan yang akta
pendiriannya disahkan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atas
nama menteri. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan siapakah nantinya yang akan
ditunjuk/mempunyai legal standing dalam hal mewakili badan hukum keagamaan
sebagai subjek hukum.
Dengan dikeluarkannya SK Menteri tersebut maka Pura sudah sah diakui
keberadaannya sebagai badan hukum keagamaan dan tanah pura sebagai obyek
yang diakui untuk menjadi hak milik pura. Dengan begitu maka tanah pura juga
memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri hak milik yaitu hak milik yaitu:
87
1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus
didaftarkan
2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal
20 UUPA)
3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo.
Pasal 26 UUPA)
4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat
dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak
menumpang, Hak milik sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas
tanah lainnya.
5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
(Pasal 25 UUPA)
6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27
UUPA)
7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA)
Pura merupakan bagian dari desa adat namun untuk pengurusannya sudah
menunjuk pengempon pura tersebut. Sehingga krama pengempon berhak untuk
mengalihkan hak atas tanah tersebut dengan cara jual beli namun harus dengan
kesepatan bersama dari seluruh krama pengempon pura tersebut melalui sebuah
paruman desa.
Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa “Hak milik tanah badan-badan
keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam keagamaan
88
dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan
memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial”. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 juga menyatakan bahwa badan-
badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang
dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan
usaha keagamaan.
Sesuai dengan hukum adat dan UUPA Pasal 20 ayat 2, bangunan suci
merupakan suatu lembaga yang dibolehkan memiliki tanah. Hak tersebut dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain setelah melalui proses hukum dan
mendapat persetujuan dari pemelihara bangunan suci (pengempon).87
Tanah
druwe pura tidak dapat dipindahkan haknya kepada siapapun, tanpa adanya
persetujuan dari para warga penanggung jawa dan diputus dalam rapat. Kenyataan
tersebut diperkuat dengan adanya putusan-putusan pengadilan dan Mahkamah
Agung yang senantiasa mengakui hak kepemilikan atas tanah bagi suatu lembaga
keagamaan . Pengadilan maupun Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara
yang berkaitan dengan tanah adat senantiasa berpedoman pada awig-awig desa
adat dan hukum adat yang berlaku di daerah asal perkara tersebut. Seperti halnya
tujuan hukum, awig-awig dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kedamaian
87
Eddy Ruchiat, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya
UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung, hal. 119.
89
(kasukertan) dalam masyarakat, yaitu suasana yang tertib (secara fisik) dan
tentram (secara batin).88
Dalam Awig-Awig Desa Adat Kelan Pawos (Pasal 8) disebutkan sebagai
berikut:
(1) Tanah pelaba pura inucap ring ajeng pemuponnya keanggen ngaskara
ring penyiwian Desa agung alit manut nista madya utama, ping kalih
macikang sehenan wewangunan inucap ring ajeng. Kekirangan prebeya
tan maren kekuronin antuk swadaya krama desa manut perarem
(2) Druwen desa tan kengin keadol ketukar wiadin kegadean sejawaning
sangkaning mebuat pisan manut kadi tetujon, saha sampun kararemin
antuk krama desa.
Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, maka arti dari isi awig-awig ini adalah:
(1) Hasil dari tanah pelaba pura pertama akan dipakai untuk upacara
persembahyangan di desa baik upacara kecil, sedang, dan besar. Yang
kedua untuk memperbaiki pura yang rusak. Kekurangan biaya akan
dibantu oleh krama desa sesuai dengan peraturan desa.
(2) Tanah milik desa tidak boleh dijual, ditukar, maupun digadai. Namun
dapat dikecualikan untuk apa tujuannya, apabila sudah ada hasil rapat
dari krama desa tersebut.
Berdasarkan bunyi Pawos (Pasal) 8 Awig-Awig Desa Adat Kelan ayat 2
menyebutkan bahwa tanah milik desa tidak boleh diperjualbelikan namun
diberikan pengecualian sesuai dengan tujuannya melalui rapat desa. Namun dalam
ketentuan ayat 2 tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan apa saja
yang diperbolehkan untuk menjualbelikan tanah milik desa. Hanya dijelaskan
88
Wayan P.Windia, 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum
dan Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press, Denpasar,
hal. 31.
90
sesuai dengan rapat desa yang telah diadakan sebelumnya, artinya tanah milik
pura dapat diperjualbelikan dengan mengadakan paruman terlebih dahulu
mengenai penjualan tanah milik pura tersebut.
Tanah druwe pura adalah milik bersama dari pengempon pura Desa Adat
Kelan, jadi krama desa pengempon Desa Adat Kelan harus secara bersama setuju
dengan penjualan tanah druwe pura tersebut. Tujuan penjualan tanah pelaba Pura
Dalem Sakenan yang di empon oleh Desa Adat Kelan akan dipergunakan untuk
kepentingan pura sehingga sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kelan, jual beli
tersebut sah untuk di jual karena telah melakukan paruman sebelumnya. Dengan
demikian pemilikan atas tanah telah memberikan manfaat dan kegunaan dalam
berbagai aspek kehidupan bagi Desa Adat Kelan, baik dalam aspek ekonomi,
aspek sosial, termasuk dalam hubungannya dengan pembangunan. Dari aspek
ekonomi hasil penjualan tanah dapat dipergunakan untuk membeli tanah
pengganti di tempat lain sebagai investasi, tanah tersebut nanti bisa saja
dikontrakkan/disewakan untuk memberikan pemasukan untuk Desa Adat Kelan.
Dalam aspek sosial hasil penjualan tanah druwe pura tersebut dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan kegiatan keagamaan dan sejenisnya.
3.2 Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi Jual Beli
Tanah Druwe Pura
Adapun faktor-faktor yang menjadi latar belakang dari transaksi jual beli
tanah druwe pura adalah sebagai berikut:
1) Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa;
2) Tanah ini sudah menjadi lahan yang tidak produktif;
91
3) Adanya keperluan dana untuk kepentingan pura antara lain:
a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat
Kelan yang sangat perlu untuk direnovasi
b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura
c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura dimasa depan dengan
membuat dana abadi guna menopang kelancaran aktivitas di Pura
yang ada di Desa Adat Kelan.
Berikut ini dapat dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor di atas
sebagai berikut :
1. Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa
Tanah druwe pura yang menjadi obyek transaksi jual beli adalah tanah laba
pura yang terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar. Namun yang memiliki pemegang hak milik atas tanah
druwe pura ini adalah pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan, Kelurahan Tuban,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah laba pura ini merupakan tanah yang
pernah menjadi obyek sengketa. Sengketa ini dimulai dari pengakuan dari pihak
penggugat Ida Cokorde Pemecutan dengan melawan 4 tergugat yakni tergugat 1
Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, Tergugat 2 Perseroan Terbatas
(PT) Tridakna Arta Sejahtera, Tergugat 3 Perseroan Terbatas (PT) Carrefour
Indonesia dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Sebelum gugatan di
layangkan ke Pengadilan Negeri sudah ditempuh musyawarah mufakat terlebih
dahulu. Hukum adat pada hakikatnya selalu mengutamakan adanya musyawarah
mufakat apalagi yang menyangkut mengenai sengketa tanah adat. Apabila
92
terburu-buru mengambil jalan ke pengadilan Negara, maka akan menimbulkan
pertikaian antara yang satu dengan yang lainnya. Maka diutamakan jalan
penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, dengan
saling memaafkan.
Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering
berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah.
Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal
seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan
perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga.89
Penyelesaian sengketa adat ini umunya diselesaikan melalui sangkepan atau
paruman. Apabila usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu atau
ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi yang
berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan
untuk mengajukan masalahnya kepengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa
melalui cara perundingan/mediasi ini mempunyai kelebihanbila dibandingkan
dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dari segi waktu, biaya,
dan pikiran/tenaga.90
Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan
biasanya didahului dengan adanya semangat itikad baik, adil, dan bijaksana dari
orang yang dipercaya sebagai “penengah” perkara atau semangat dari majelis
89
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,
Alumni, Bandung, hal. 27. 90
Maria S.W Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi
Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di
Bidang Pertanahan), Kompas, Jakarta, hal. 4.
93
permusyawaratan adat. Namun upaya perdamaian tidak dapat diwujudkan
sehingga diambil jalan ke pengadilan negeri, di pengadilan negeri pun diadakan
mediasi untuk para pihak terlebih dahulu namun upaya ini pun tidak membuahkan
hasil.
Ida Cokorde Pemecutan sebagai penggugat merasa bahwa tanah yang
terletak di banjar gelogor carik ini adalah tanah miliknya sebagai pengempon pura
dari Pura Tambangan Badung, Ida Cokorde Pemecutan Mengklaim bahwa tanah
ini adalah laba pura dari Pura Tambangan Badung, namun tidak ada bukti
sertifikat kepemilikan hak milik yang dimiliki oleh penggugat. Bukti kepemilikan
sertifikat hak milik sudah dimiliki oleh Desa Adat Kelan. Mengingat obyek
sengketa telah disertifikatkan sejak tahun 2003 jadi bila dihitung dari sejak
diajukannya gugatan, maka sudah lebih dari 5 tahun sertifikat tersebut diterbitkan,
dan berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dengan tegas dan jelas menyebutkan bahwa:
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu
tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan
Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat
itu.
Ketentuan yang menyatakan setelah 5 tahun sertifikat tanah tidak bisa
digugat, mempunyai dampak positif, yakni memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum. Dalam hal ini, Eliyana mengemukakan bahwa:
94
Pembatasan 5 tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertifikat
harus disambut dengan sangat gembira karena akan memberikan kepastian
hukum dan ketenteraman pada orang yang telah memperoleh sertifikat tanah
dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan bahwa sering terjadi sertifikat
hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena sertifikat
tersebut telah diperpanjang dengan 20 tahun lagi masih juga dipersoalkan
dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik ke Pengadilan Negeri maupun ke
Pengadilan PTUN dan pihak tergugat umumnya tidak berhasil dengan
mengajukan eksepsi kadaluarsaan baik akusatif extingtif karena hakim
menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpihak pada hukum adat yang
tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun
dalam Pasal 32 ayat (2), maka setiap penggugat dalam kasus tanah yang
sertifikatnya telah berumur 5 tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu.
Ketentuan Pasal 32 ini dapat dipastikan akan banyak mengurangi
kasus/sengketa tanah.91
Berdasarkan hal tersebut maka Desa Adat Kelan dinyatakan sebagai
pemilik yang sah atas obyek sengketa tanah tersebut. Karena upaya hukum
penggugat dinyatakan sebagai upaya hukum yang daluarsa. Sertifikat hak milik
merupakan bukti kepemilikan yang sempurna dan mutlak sifatnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
24 tahun 1991 yang menyatakan “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang
bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah” dan dalam Pasal 32 ayat (1)
Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Selain itu Pihak Penggugat tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ia adalah
pemilik yang sah dari tanah milik Pura Dalem Sakenan Kelan. Apabila Penggugat
91
Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah
di Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 187.
95
mendalilkan dirinya sebagai pemilik atas tanah obyek sengketa tersebut, maka
secara hukum ia wajib untuk membuktikan dalilnya itu. Hal ini diatur secara tegas
dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut :
”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut”.
Maka dari itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan
mendengarkan para saksi dan bukti surat-surat melalui putusannya No.
111/Pdt.G/2009/PN.Dps tanggal 19 maret 2010, menyatakan bahwa gugatan
penggugat ditolak. Kasus ini akhirnya dimenangkan oleh Desa Adat Kelan.
Majelis Hakim menyatakan tergugat 2 dan tergugat 3 tidak ada hubungannya
dengan kasus ini sehingga seluruh biaya kerugian yang di derita akibat kasus ini
dibebankan kepada pihak penggugat. Tenggang waktu yang telah diberikan oleh
Pengadilan Negeri Denpasar untuk menyatakan banding telah lewat, sehingga
terhitung tanggal 16 April 2010 putusan Pengadilan Negeri Denpasar telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Desa Adat Kelan akhirnya memenangkan
perkara tersebut dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah dari tanah milik Pura
Dalem Sakenan Kelan.
Dengan demikian secara tegas bahwa tanah yang ada di banjar gelogor
carik, desa pemogan yang menjadi obyek penelitian adalah sah dan murni milik
Desa Adat Kelan. Dengan demikian berarti bahwa Desa Adat Kelan yang berhak
atas tanah tersebut, baik itu mengenai pengalihan haknya maupun
96
pemanfaatannya. Desa Adat Kelan selaku pengempon di dalam perbuatan hukum
yang berkaitan atas tanah tersebut (obyek) berhak bertindak untuk dan atas nama
Pura Dalem Sakenan Kelan yang tertera di dalam sertipikat hak milik atas tanah.
Sehingga tidak ada lagi permasalahan yang menjadi kendala di dalam proses
pengalihan haknya (jual beli). Tanah milik Desa Adat Kelan yang tertera di
sertifikat atas nama Pura Dalem Sakenan Kelan pernah menjadi obyek sengketa,
sehingga hal inilah yang akhirnya membuat seluruh krama Desa Adat Kelan
dengan suara bulat juga menjadi setuju untuk mengalihkan atau menjual tanah
milik/druwe pura Dalem Sakenan Kelan ini, karena pada prinsipnya agar
dikemudian hari tidak ada lagi pihak yang dapat mengklaim ataupun melakukan
gugatan maupun pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai pihak yang berhak.
Pada saat ini tanah tersebut telah di alihkan kembali oleh si pembeli untuk
dijadikan perumahan dan telah di pecah dan dikavling serta telah dijual kembali
kepada pihak-pihak lain. Sehingga sangat tidak dimungkinkan untuk kembali
dipermasalahkan secara hukum, apalagi putusan tersebut telah inkracth
(mempunyai kekuatan hukum tetap). Kendatipun kemudian ditemukan kembali
bukti baru (novum) untuk dapat diajukan peninjauan kembali, maka tentunya
sudah sangat mubasir, mengingat hal tersebut di atas.
Masalah tanah bukanlah semata-mata merupakan masalah hukum perdata
saja, akan tetapi berkaitan pula pada segi-segi pemerintahan, sosial, politik,
budaya, pertahanan dan keamanan. Sebagai salah satu bukti adalah sengketa tanah
milik pura Desa Adat Kelan ini. Banyaknya sengketa tanah yang penyelesaiannya
melalui Pengadilan Negeri yang untuk memperoleh kekuatan hukum tetap
97
ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Jadi pada umumnya sifat sengketa
ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas
tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu
ketetapan yang merugikan dirinya.92
2. Kondisi Tanah druwe pura yang sekarang menjadi lahan yang tidak
produktif.
Tanah druwe pura Desa Adat Kelan yang terletak dibanjar gelogor carik ini
dahulunya diberikan ijin kepada banjar gelogor carik untuk menggarap tanah
tersebut agar menjadi lahan produktif dengan sistem bagi hasil. Bahkan seluruh
warga banjar gelogor carik diwajibkan untuk ikut serta menjadi petani penggarap
dari tanah tersebut dengan menanam padi. Tanah-tanah milik pura tersebut harus
menjadi lahan yang produktif, artinya tanah tersebut harus mampu memiliki nilai
ekonomis untuk menunjang kegiatan keagamaan di pura dalem sakenan Desa
Adat Kelan. Hasil garapan tanah dari anggota banjar gelogor carik akan dibagi
dua, setengahnya diberikan kepada pengempon pura dan sebagian lagi untuk
banjar gelogor carik sebagai penggarap tanah. Hasil dari garapan tanah tersebut
akan dipergunakan untuk menunjang keperluan-keperluan pura.
Aturan hak menggarap tanah secara garis besarnya hampir sama. Hanya
saja dalam hukum tanah adat (Bali) saat ini hak tersebut dikaitkan dengan hak
bagi hasil/hak menikmati hasil, pemilik tanah dan penggarap. Untuk tanah yang
berstatus druwe desa dan laba pura (milik pura/bangunan suci), aturan
92
Ibid., hal. 28.
98
sepenuhnya ditentukan oleh desa adat.93
Namun sekarang ini tanah yang terletak
di banjar gelogor carik, desa pemogan ini suda tidak digarap lagi dan menjadi
lahan yang tidak produktif sehingga tidak memberikan nilai ekonomis guna
menopang pengeluaran Pura Dalem Sakenan.
Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada sebab yang melatarbelakanginya.
Begitupun dengan penjualan tanah druwe pura ada faktor-faktor yang
melatarbelakangi sampai ada penjualan tanah druwe pura. Kondisi tanah yang
tidak produktif menjadi salah satu faktor untuk menjual tanah milik pura. Tanah
yang dibiarkan begitu saja tidak memberikan nilai ekonomis/pemasukan bagi desa
adat. Dahulu tanah pelaba pura digunakan untuk lahan pertanian dan hasil
panennya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk
penggarapnya dan untuk diberikan kepada desa untuk pemeliharaan dan
pembangunan pura. Namun karena sudah jarangnya ada yang menjadi petani
apalagi di kota-kota besar sebagian besar pekerjaannya di kantoran sehingga
banyak lahan yang tidak digarap dan membuat keadaan lahan menjadi terlantar
dan tidak menghasilkan lagi. Sedangkan pura harus mendapatkan pemeliharaan
sehingga tanah pelaba pura Desa Adat Kelan dijual diputuskan untuk dijual untuk
menunjang pemeliharaan pura dalem Desa Adat Kelan.
3. Adanya keperluan dana untuk kepentingan pemugaran pura Desa Adat Kelan
a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat Kelan
yang sangat perlu untuk direnovasi
93
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 191.
99
Kondisi pura yang sudah tua bangunannya sudah mulai rapuh sehingga
sangat perlu untuk direnovasi. Dengan penjualan pelaba pura ini dapat digunakan
sebagai biaya renovasi/pemugaran pura. Biaya pembangunan pura tentu
memerlukan biaya yang tidak sedikit maka dari itu hasil penjualan dari tanah laba
pura ini diharapkan dapat membantu untuk melakukan renovasi pada pura. Pura
Desa Kelan yang terletak diantara perbatasan antara Desa Kelan dan Tuban
(sebelah selatan Bandara Ngurah Rai) pada saat itu perlu direnovasi. Pemugaran
memerlukan banyak dana apalagi pelaksanaan upacaranya, sehingga hasil
penjualan pelaba diharapkan dapat menjadi sumber dana. Pada era sekarang ini
segala kebutuhan untuk pembangunan baik itu bangunan pada umumnya maupun
pura tidak menghabiskan sedikit dana, justru sangat banyak apalagi keinginan dan
obsesi untuk mempunyai bangunan yang megah dan besar tentu juga akan
menjadi dorongan untuk mencari dan membutuhkan dana yang banyak. Dana
yang besar tentu tidak mudah untuk didapat, dengan penjualan tanah milik pura
ini dapat menjadi solusi untuk bisa mewujudkan pembangunan pura yang lebih
baik serta meringankan beban pengemponnya dan memperbaiki taraf hidup
pengemponnya. Renovasi dan pemugaran pura adalah sebuah yadnya untuk
pengemponnya, namun demikian tidak dapat dipungkiri juga jika biaya untuk itu
akan menjadi beban bagi individu pengempon yang secara ekonomi kurang dari
yang lain, sehingga yadnya yang seharusnya dilaksanakan secara tulus ikhlas
justru akan membebani sebagian masyarakat/pengempon.
100
b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura
Pelaksanaan karya atau upacara setelah pemugaran/renovasi dari pura
memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga hasil penjualan ini diharapkan
dapat menutupi biaya untuk pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini sejalan dengan
fungsi pelaba pura itu sendiri sebagai penunjang dari pelaksanaan yadnya di pura
itu sendiri. Jika semua biaya dibebankan kepada pengempon tentu pelaksanaan
renovasi dan pemugaran tidak akan berlangsung sesuai keinginan dari pengempon
itu sendiri justru bahkan membebani secara ekonomi dan waktu bagi
pengemponnya. Terlebih lagi jika tanah pelaba pura tidak terawat atau tidak
mungkin digarap maupun dimanfaatkan secara ekonomi, sosial maupun budaya
justru akan menjadi tanah terlantar yang sayang jika dibiarkan.
Pengembangan pun akan sulit mengingat masyarakat pengempon pura Desa
Adat Kelan tidak mungkin dapat fokus memanfaatkannya karena kesibukan dan
tingkat pendidikan serta ekonomi yang berbeda. Dalam hal ini tidak bermaksud
untuk melegalkan atau membenarkan bahwa tanah pelaba pura itu dapat saja
dijual, tetapi secara pertimbangan matang bahwa fungsi sosial, fungsi ekonomi
maupun fungsi pelestarian tidak mungkin dapat dipertahankan dengan
mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Pura dan pelabanya wajib
dilestarikan untuk kepentingan berlanjutnya atau abadi dan lestarinya adat serta
budaya Bali, namun tidak dipungkiri jika pengalihan hak baik dengan melalui
pengalihan hak sementara seperti perjanjian sewa menyewa ataupun pengalihan
hak untuk selamanya melalui jual beli terhadap tanah pelaba pura justru akan
101
meningkatkan pemasukan pura untuk kepentingan upacara serta meringankan
beban pengemponnya.
c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura serta membuat dana abadi guna
menopang kelancaran pelaksanaan yadnya di Pura yang ada di Desa Adat
Kelan
Menjaga kelangsungan yadnya di pura serta membuat dana abadi adalah
salah satu faktor dijualnya tanah druwe pura guna menopang kelancaran
pelaksanaan yadnya di pura. Dana abadi ini artinya dana yang menjadi milik dari
desa adat yang nantinya diperlukan baik untuk pura maupun untuk keperluan guna
menunjang kemakmuran krama desa adat setempat. Adanya dana abadi sangat
membantu meringankan beban warga/krama pengempon sehingga secara abadi
bebas dari kewajiban-kewajiban upacara/pepeson. Bebasnya kewajiban rutin ini
tentu sangat meringankan krama pengempon karena disamping kewajiban sebagai
pengempon yang tidak sedikit juga ada kewajiban-kewajiban lain sebagai pribadi,
sehingga dengan berkurangnya salah satu kewajiban akan dapat memberikan
waktu yang lebih bagi krama pengempon untuk memenuhi kewajibannya yang
lain. Apalagi dengan adanya lembaga/badan penghimpun dana masyarakat seperti
LPD sebagai lembaga keuangan milik desa pekraman, dana hasil penjualan
tersebut bisa ditempatkan dan diusahakan pada lembaga tersebut, sehingga
keuntungannya dapat menjadi sumber dana di dalam membiayai pelaksanaan
upacara. Dengan demikian maka krama pengempon tidak akan lagi diberatkan
dengan kewajiban-kewajiban membiayai upacara. Upacara memang bukanlah
beban, akan tetapi adalah kewajiban/yadnya, namun demikian tidak pula
102
dipungkiri bahwa setiap pelaksanaan upacara tidaklah menghabiskan dana yang
sedikit. Dengan adanya dana abadi tersebut maka kewajiban dalam setiap upacara
setian enam (6) bulannya akan terasa ringan dan tidak membebani warga/krama.
Kebutuhan upacara semakin banyak dan berat tetapi jika ada jaminan yang dapat
meringankan beban krama tentu akan mendapat persetujuan.
Iuran upacara adalah iuran yang dikenakan kepada penduduk untuk
pembiayaan upacara keagamaan. Iuran tersebut antara lain:
a. Padangsil (iuran untuk pembuatan dansil, yaitu rangkaian saji-sajian
berbentuk meru).
b. Panasi (iuran untuk pengadaan nasi).
c. Pacarwa (iuran untuk upacara kurban caru yang diperuntukan bagi para
buthekala).
d. Pamurnaman (iuran yang dibayar setiap bulan purnama).
e. Pangrmrm (sejenis iuran untuk biaya perawatan bangunan suci).94
3.3 Kendala-kendala dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura
Dalam suatu proses jual beli tanah tidaklah mudah, memerlukan kejelian
dan ketelitian baik itu dari pihak penjual, pembeli maupun pihak Notaris/PPAT
agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak menimbulkan sengketa
dikemudian hari, termasuk cacad hukum/administratif di dalam pelaksanaannya,
yang dapat menimbulkan batal demi hukum suatu perbuatan peralihan hak yang
didasari oleh perjanjian jual beli. Terlebih lagi pihak penjualnya adalah suatu
lembaga/badan hukum, dalam hal ini badan hukum keagamaan. Tanah milik pura
baik bangunan tempat mendirikan bangunan suci pura maupun tanah pelaba pura
tentunya akan sulit secara administrasinya dan kelengkapan data hukum/dokumen
yuridisnya. Diperlukan kejelian dan kelengkapan dokumen yang betul betul kuat
secara administrasi maupun hukum sehingga prosesnya akan menimbulkan
94
Ibid., hal. 67.
103
berbagai kendala. Tentunya dalam transaksi jual beli tanah druwe pura ada
kendala-kendala dalam proses jual beli tersebut.
Kendala-kendala proses transaksi jual beli tanah druwe pura/pelaba pura
yang di dalam sertipikatnya tertera atas nama pura secara hukum perpajakan akan
sulit untuk ditemukan penyelesaiannya karena secara administrasi perpajakan pura
bukanlah merupakan subyek pajak sehingga pura tidak diwajibkan untuk
membayar pajak PBB, tetapi jika dialihkan melalui jual beli maka PBB wajib
dilunasi. Termasuk juga pajak Penghasilan (PPH) jua harus dilunasi karena Pura
tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pelunasan PPH dan BPHTB
adalah salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya proses jual beli tanah. Di
dalam hal ini pura dapat saja diwakili oleh yang diberikan kuasa oleh pengempon
sebagai subyek pajaknya, tetapi akankah hal tersebut tidak akan menimbulkan
permasalahan perpajakan dikemudian hari, karena si atas nama tentu saja
dianggap sebagai orang yang memperoleh penghasilan atas jual beli tanah
pelaba/druwe tersebut.
Di era keterbukaan pajak seperti yang sedang terjadi sekarang ini, pihak
penjual dan pembeli akan sangat tersita waktu berkaitan dengan permasalahan ini,
namun yang diberikan kuasa (bendesa) tentunya tidak mempunyai pengetahuan
yang cukup terkait ini. Ini adalah salah satu kendala dari proses jual beli tanah
druwe pura. Pihak kantor pajak juga akan mengalami kesulitan dan salah persepsi
terkait hal tersebut. Namun demikian di dalam proses jual beli dihadapan pejabat
yang berwenang (PPAT) bahwa yang dimasukan/dicatatkan kedalam bukti surat
setoran pajak (SSP) dari pajak penghasilan (PPH) adalah bendesa atas nama Pura
dengan kolom NPWP yang dikosongkan. Jika kemudian diteliti tentunya akan
diketahui bahwa yang menjadi subyek dari Pajak Penghasilan atas penjualan tanah
pelaba/druwe pura ini.
104
Kendala lain adalah pada saat menyatukan suara untuk sepakat menjual
tanah milik pura. Pasti ada rasa tidak percaya sebagian krama pengempon
terhadap tindakan pengurus pura atas rencana penjualan pura, sehingga suara bulat
tentu akan memerlukan banyak waktu dan banyak kendala. Berita acara rapat
krama pengempon atau yang mewakili adalah syarat keharusan awal yang
kemudian menunjuk salah seorang kuasa yang dalam hal ini biasanya bendesa
adat di dalam proses transaksi di hadapan pejabat yang berwenang (PPAT).
Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam
wawancara pada tanggal 14 November 2014 mengatakan bahwa tidak hanya suara
bulat dari krama pengempon tetapi juga rekomendasi dari lembaga berwenang
antara lain pemerintah daerah setempat maupun lembaga keagamaan (departemen
agama/dinas agama kabupaten/kota atau Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) dan adat/desa pakraman. Rekomendasi itu tentu keluar tidak dengan
mudah, ada beberapa tahapan dan penelitian yuridis terkait dengan rencana
penjualan obyek tanah pelaba/druwe pura tersebut yang harus dilalui, belum lagi
kewajiban dan keharusan untuk mendapatkan tanah pengganti yang juga akan
diproses untuk balik nama dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam hal ini yang menjadi tantangan ataupun kendala adalah tentunya masalah
waktu. Nilai tanah yang semakin hari semakin naik harganya tentu sangat akan
disesali oleh sebagian krama pengempon jika dalam proses yang lama dan
panjang serta melibatkan berbagai instansi ini ternyata kecenderungan
kesepakatan harga lama menjadi jauh dari pada saat kelengkapan dokumen sudah
siap untuk ditransaksikan, disinilah tantangan terbesar dari pengurus pura,
mendapatkan isu/tantangan dari segelintir krama penempon yang tidak paham
akan proses yang berliku dan panjang tersebut. Tanah-tanah di Indonesia menurut
105
UUPA mempunyai fungsi sosial, namun seiring perkembangan dan kemajuan
sekarang ini fungsi itu telah sedikit-sedikit mengalami pergeseran yaitu cenderung
ke fungsi ekonomi.
Kebanyakan individu merasa bahwa tanah mestinya dipertahankan dan
dikelola sebaik mungkin untuk kepentingan ekonomi, hal ini juga menjadi
hambatan dan kendala tersendiri karena sebagian besar krama pengempon apatis
teradap rencana penjualan tanah druwe pura. Hal itu juga menjadi faktor yang
membuat proses penjualan itu menjadi lama dan terkatung-katung, tanah di bali
dikatakan religius magis terlebih lagi tanah druwe pura, untuk itu diperlukan
berbagai upacara dan upakara guna menunjang dan memperlancar bebagai upaya
yang berkaitan dengan tanah palemahan, termasuk penjualan tanah pelaba/druwe
pura tersebut. Diperlukan berbagai upacara-upacara seperti misalnya matur
piuning, guru piduka dan lain-lain sehingga rencana penjualan tersebut tidak
mendapat halangan/rintangan secara niskala.
Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam
wawancara pada tanggal 14 November 2014, di dalam proses jual beli di samping
ada kesepakatan harga dan penyerahan hak atas tanah. Di dalam proses jual beli
tanah druwe pura yang menjadi kendala lain adalah pada saat penyerahan hak,
berupa sertipikat dan pembayaran, sempat diproses pembayaran melalui Cek dan
Bilyet Giro (BG) dan dicairkan ke rekening bendesa adat tetapi secara perpajakan
hal tersebut juga sedikit mengandung resiko hukum, sehingga akhirnya
diputuskan masuk ke rekening Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat
Kelan.
106
BAB IV
PROSES JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
4.1 Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe
Pura
Perda Tingkat I Bali Nomor : 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi
dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Prov.
Daerah Tingkat 1 Bali, memberikan batasan tentang desa adat sebagai berikut:
Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Setiap desa adat memiliki unsur parahyangan, pawongan, maupun
palemahan desa. Dilihat dari unsur parahyangan, setiap desa adat memiliki
tanggung jawab dan kewajiban untuk nyungsung Pura Kahyangan Tiga atau Pura
Kahyangan Desa (pura yang memiliki fungsi yang sama dengan Pura Kahyangan
Tiga). Unsur pawongan dari desa adat adalah krama desa adat itu sendiri, krama
desa adat terdiri dari orang-orang yang beragama hindu. Dalam unsur palemahan
terdiri dari tempat tinggal dimana krama adat membangun rumah tempat tinggal
yang biasa disebut dengan tegak desa. Dilihat dari tiga unsur di atas maka setiap
krama desa adat memiliki kewajiban (swadharma) terhadap unsur parhayangan
dan palemahan baik dilihat dari ayah-ayahan (kewajiban kerja) maupun
107
pawedalan (urunan materi), juga tidak jauh berbeda. Pada prinsipnya setiap warga
desa adat wajib melaksanakan swadharma terhadap desa adat.
Di Bali dikenal adanya desa adat sekarang disebut dengan desa pakraman
sebagai persekutuan hukum yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.95
Sebagai
persekutuan hukum yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri dan
berhak mengurus rumah tangganya sendiri, desa adat dapat mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban hukum serta dapat mengadakan hubungan hukum. Di Pihak
lain Swellengrebel mendefinisikan desa adat sebagai berikut “Desa is often
defined as Community of workship. An important part of it function does, indeed
lie in the religious field”, yang diartikan desa adat sering diartikan sebagai
komunitas kerja. Bagian yang terpenting daripadanya sesungguhnya terletak pada
bidang agama.96
Mekanisme pengelolaan tanah pura di Bali menggunakan sistem
pengempon. Tanah pura memang sudah menjadi hak milik dari pura yang sudah
diakui sebagai badan hukum keagamaan, namun keberadaan pura itu sendiri
berada di dalam wilayah kekuasaan dari desa pakraman. Jadi tanah pura
merupakan tanah yang berada dalam penguasaan desa pakraman. Dalam
pengelolaannya diberikan kepada suatu kelompok tertentu yang masih berada
95
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 29. 96
Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and
Ritual, Foris Publications, Holland, hal. 65.
108
dalam desa pakraman tersebut. Pada umumnya pengempon atau penyungsung
pura-pura yang ada di Bali disungsung atau di empon oleh suatu komunitas
kolektif dari suatu masyarakat adat atau suatu klan keluarga tertentu. Pengempon
mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pembangunan,
pemeliharaan fisik maupun yang non fisik, demikian juga dengan biaya dan
pelaksanaan upacara.
Penunjukkan krama pengempon pura disertai pula dengan hak dan
kewajiban pengempon terhadap tanah pura yang dikuasainya (dikelolanya)
tersebut. Sama halnya dengan krama desa adat yang memiliki kewajiban terhadap
desa adat begitu pula dengan krama pengempon pura yang memiliki kewajiban
(swadharma) terhadap pura yang diempon. Kewajiban ini terdiri pula dari ayah-
ayahan dan urunan materi untuk pemeliharaan pura dan upacara keagamaan.
Dalam bahasa bali memuja ataupun memulyakan Tuhan ataupun
memulyakan roh suci leluhur disebut dengan nyungsung, sehingga mereka
(perseorangan ataupun kelompok) yang memuja Tuhan ataupun roh suci leluhur
di suatu pura disebut dengan penyungsung pura. Bila penyungsung pura itu suatu
kelompok, mereka umumnya terorganisir dalam suatu lembaga tradisional yang
disebut dengan sekeha pura, pengempon, atau pengemong pura yang mempunyai
tata pengurusan tertentu. Tugas dan peranan penyungsung pura disamping
memulyakan tuhan ataupun roh suci leluhur di pura juga bertanggung jawab
terhadap pura tersebut seperti menyelenggarakan keasrian pura, perbaikan-
109
perbaikan pura, serta menyelenggarakan upacara-upacara tertentu di pura seperti
petoyan atau piodalan.97
Pasal 1 angka 7, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman menjelaskan mengenai pengertian krama pengempon/pengemong
adalah krama desa pakraman/krama banjar pakraman yang mempunyai ikatan
lahir batin terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
upacara di kahyangan tersebut. Dari pengertian krama pengempon tersebut di atas
maka yang berhak memberikan suara dalam transaksi jual beli tanah druwe pura
ini adalah krama pengempon dari Pura Dalem Sakenan Adat Kelan.
Hal ini dikarenakan sebuah pura berfungsi sebagai pusat kegiatan ritual dan
peribadatan dari suatu komunitas masyarakat adat atau klan suatu keluarga yang
sekaligus menjadi pengemong atau penyungsung pura tersebut. Dalam hal ini
yang diberikan kekuasaan untuk menjadi pengempon tanah milik (druwe) Pura
Dalem Sakenan yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan adalah Desa
Adat Kelan karena yang menjadi penyungsung Pura Dalem Desa Adat Kelan
adalah krama pengempon Desa Adat Kelan.
Pengempon Pura Dalem Sakenan adalah yang berhak menentukan apakah
tanah druwe Pura Dalem Sakenan tersebut boleh dijual atau tidak. Pengempon
akan diajak untuk melakukan paruman/rapat untuk penjualan tersebut. Dalam hal
ini berlaku asas musyawarah mufakat, dalam suatu musyawarah tujuannya adalah
97
I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 41.
110
untuk mencapai mufakat/kata sepakat. Tanah pura ini berada di dalam wilayah
Desa Adat Kelan jadi bendesa adat hadir dalam memimpin paruman tersebut.
Setiap desa adat (desa pakraman) di Bali mempunyai aturan (tertulis
maupun tidak tertulis) yang berlaku bagi warga desa yang bersangkutan. Aturan
ini dikenal dengan awig-awig dan perarem. Awig-awig merupakan kebiasaan desa
adat setempat yang merupakan aturan yang harus ditaati bagi warga desa adat
yang berada dalam desa adat tersebut. Karakteristik masyarakat adat bersifat
sosial religius yang ditandai dengan oleh adanya unsur tradisi dan agama Hindu
yang dimanifestasikan dalam suatu aturan yang disebut dengan awig-awig. Oleh
karena itu, awig-awig menjadi landasan bagi desa pakraman dalam
penyelenggaraan pemerintah, guna mewujudkan ketertiban dan ketenteraman
masyarakat.98
Dalam awig-awig Desa Adat Kelan, Sarga (Bab) V mengenai Sukertan
Tata Palemahan Palet (Bagian)1 Indik Druwen Desa, Pawos (Pasal) 85 disebutkan
sebagai berikut:
1) Kahyangan desa sekadi Pura Desa, Pura Puseh, Pura Pererepan Dalem
Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara, Merajapati, Pererepan
Ratu Ayu Jangkep sakeluwir busananya patut kasanggra olih krama
Desa Adat Kelan.
2) Druwen Desa Pingkalih pelaba pura ring Desa Kelan wenten sekadi
ring sor:
- ring desa glogor carik wewengkon Kecamatan Denpasar selatan,
pipil nomor 423, kelas I Persil 54 SP linggah 64 are dan persil 20
dp, linggah 84 are.
Apabila diterjemahkan isi Awig-Awig tersebut terdapat pengertian sebagai
berikut:
98
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali,
Udayana University Press, Denpasar, hal. 73.
111
(1) Kahyangan desa yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura
Pererepan Dalem Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara,
Merajapati, Pererepan Ratu Ayu lengkap dengan wastranya
semuanya ditanggung oleh krama Desa Adat Kelan.
(2) Kekayaan desa yakni pura yakni pelaba pura di desa kelan yakni
terdiri dari:
- di desa gelogor carik di Kecamatan Denpasar Selatan, pipil
nomor 423, kelas I persil 54 SP luas 64 are dan persil 20 dp
dengan luas 84 are.
Pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan terdiri dari seluruh Prajuru,
Kertha Desa, Paiketan Pemangku Desa Adat Kelan beserta seluruh warga Desa
Adat Kelan sebagai pemegang suara penuh dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut mengenai tanah laba pura Desa Adat Kelan. Desa Adat Kelan
memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pengempon Pura Dalem Sakenan
Kelan untuk mengambil keputusan secara penuh untuk hal-hal yang akan
dilakukan terhadap tanah milik pura Desa Adat Kelan. Pengempon Pura Dalem
Sakenan diketuai oleh bendesa adat selaku ketua pengempon/penanggung jawab
Pura Dalem Sakenan Kelan yang nantinya akan mewakili desa adat dalam
perbuatan hukum mengenai jual beli tanah Pura Dalem Sakenan.
Pengempon pura menunjuk bendesa adat sebagai wakil dalam hal penjualan
tanah druwe pura. Berdasarkan Pasal 35 angka 1 awig-awig Desa Adat Kelan
menyebutkan bahwa “Desa Adat Kelan puniki, keenterang olih ki bendesa” (Desa
112
Adat Kelan dipimpin oleh seorang bendesa). Mengenai tanggung jawab bendesa
diatur dalam Pasal 39 angka 1 Awig-Awig Desa Adat Kelan yang berbunyi:
Swadarmaning kelian desa (Bendesa Adat) luwirnia:
a. Ngenterang paruman-paruman desa
b. Ngenterang pemargin sedaning awig-awig, miwah pemutus-pemutus
c. Ngeraksa sahe ngatur tata gangge seraja brana druwen desa
d. Nuntun tur ngenterang krama, rauhing warga desa ngupadi kasukertan
desa sekala niskala
e. Nuntun saha nyaksinin tatacara miwah sangaskarania kauripan mabuat,
sane ngilitang pakulawargan
f. Nuntun saha ngenterang iwarga desa ngupadi nginggilang Sang Hyang
Agama, kasucian kahyangan, pawongan, palemahan, miwah tatacaraning
ngangge setra
g. Mawosang miwah niwakang pemutus marep ring wicara warga desa
h. Ngewakilim desa miwah banjar metemuang bawos
i. Miwah sane siosan manut dresta
Tanggung jawab kelian desa (bendesa adat) antara lain :
1. Memimpin paruman-paruman desa
2. Mengawasi pelaksanaan dari awig-awig, dan keputusan-keputusan
3. Mengusahakan dan mengatur mengenai kekayaan desa
4. Memberikan arahan dan petunjuk kepada warga, mengusahakan
kesejahteraan warga baik secara sekala maupun niskala
5. Mengarahkan dan menyaksikan tata cara pelaksanaan yang mengikat
hubungan kekeluargaan
6. Mengarahkan dan mengawasi seluruh warga desa dalam pelaksanaan
kehidupan beragama, kesucian kahyangan, hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan tata cara penggunaan kuburan.
7. Memimpin pelaksanaan musyawarah terkait dengan permasalahan di desa
8. Mewakili banjar dan desa dalam pertemuan-pertemuan
9. Dan lain-lain sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
113
4.2 Proses Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura
Desa adat pakraman dikendalikan oleh perangkat prajuru dengan pucuk
kepemimpinan pada seorang bendesa adat. Bendesa adat ini dipilih oleh krama
desa pakraman menurut aturan yang telah ditetapkan dalam awig-awig desa
pakraman masing-masing. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di
desa pakraman masing-masing.
Untuk menemukan kata sepakat penjualan tanah druwe pura maka harus
diadakan paruman/rapat desa terlebih dahulu, paruman ini diselenggarakan oleh
bendesa adat dan memanggil yang harus hadir dalam paruman untuk pembahasan
rencana penjualan tanah druwe pura ini. Paruman ini dihadiri oleh pembina desa
adat yang terdiri dari rajuru desa adat, paiketan pemangku, kelihan banjar adat,
kepala lingkungan, dan ketua sekaa teruna.
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Jika dikaitkan dengan
kewenangan bendesa adat maka kewenangan yang diberikan oleh Perda No. 3
Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman kepada prajuru desa adat terdapat pada Pasal
8 huruf d, sehingga dapat disimpulkan bahwa prajuru desa adat dapat diberikan
kewenangan untuk mewakili desa pakraman untuk suatu perbuatan hukum
tertentu. Namun dalam hal ini karena menyangkut kepentingan umum (seluruh
krama pengempon) maka tidak serta merta bendesa dapat bertindak karena telah
114
diberikan kewenangan oleh perda tersebut, tetapi tetap wajib mendapat
persetujuan dari seluruh krama pengempon melalui paruman desa.
Berdasarkan ketentuan Pawos (Pasal) 42 angka 1 awig-awig Desa Adat
Kelan menyebutkan bahwa “Paruman-Paruman ring desa kelan, luwir ipun:
paruman desa adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, lan paruman krama
truna truni”. (Paruman-paruman di Desa Adat Kelan terdiri dari paruman desa
adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, dan paruman krama truna truni).
Untuk penjualan tanah milik pura maka dilaksanakan paruman desa adat, karena
melibatkan semua anggota desa adat yang menjadi pengempon dari tanah milik
pura di Desa Adat Kelan.
Pawos (Pasal) 43 angka 1 menyebutkan bahwa “Paruman desane
kawentenang nangken enem sasih apisan, rikalaning rahina : Anggara-Kliwon-
Medangsya, sejawaning wenten indik sane mebuat jagi kebaosang, dados lebihan
ring apisan”. (paruman desa dilaksanakan enam bulan sekali pada saat hari
Selasa, Kliwon, Wuku Medangsya, kecuali jika ada hal-hal penting yang akan
dibicarakan, maka boleh mengadakan rapat/paruman lebih dari sekali). Pawos
(Pasal) 43 ayat 2 menyebutkan bahwa “nangkenang paruman kadi ring ajeng,
kelian desa (bendesa adat) patut nyiarang pemarginnyane ngenterang desane”.
(Bendesa adat wajib mengumumkan/ memberitahukan kepada warga perihal akan
dilaksanakannya paruman desa.)
Paruman desa merupakan penjelmaan dari asas musyawarah mufakat.
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah mufakat, baik
di dalam keluarga, hubungan kekerabatan, dan penyelesaian sengketa yang
115
menyangkut desa adat. Begitu pula dalam hal pengambilan keputusan yang
menyangkut mengenai penjualan tanah druwe pura. Untuk mendapatkan
kesepakatan bersama mengenai penjualan tanah milik pura maka harus diadakan
paruman desa yang di hadiri oleh seluruh krama pengempon pura tersebut.
Musyawarah penting dilakukan mengenai hal-hal yang menyangkut kepemilikan
bersama. Tanah druwe pura merupakan tanah milik bersama pengempon pura
tersebut jadi harus ada kesepakatan bersama dari pemilik tanah untuk melakukan
penjualan tanah tersebut.
Paruman mengenai rencana penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan
Kelan, diadakan sebanyak tiga kali yakni Paruman yang pertama diadakan pada
hari Minggu, tanggal 28 Mei 2011 bertempat di Wantilan Desa Adat Kelan yang
dihadiri oleh seluruh warga/krama Desa Adat Kelan tentang kesepakatan untuk
melaksanakan penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan. Paruman
kedua diadakan pada hari Minggu, tanggal 1 April 2012, bertempat di Bale Gong
Pura Desa Lan Pura Puseh Desa Adat Kelan, paruman ini dihadiri oleh Prajuru
Adat Desa Adat Kelan dan Kertha Desa Adat Kelan Kelihan Banjar Adat dan
Dinas se-Desa Adat Kelan. Paruman yang ketiga dilaksanakan pada hari Selasa,
pada tanggal 03 April 2012 bertempat di tempat yang sama dengan dihadiri oleh
Pembina Desa Adat yakni Prajuru Desa Adat, Kertha Desa, Paiketan Pemangku,
Kelihan Banjar Adat, dan Ketua Sekaa Truna Truni se-Desa Adat Kelan.
Hasil dari paruman kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat
No. 060/DAK-BA/IV/2012 dengan ditandatangani oleh pengurus/prajuru Desa
116
Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Berita acara
rapat diantaranya memuat tentang:
1. Menyetujui untuk menjual tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa
Adat Kelan, yang berada di banjar gelogor carik, desa/kelurahan pamogan,
kecamatan denpasar selatan, kota denpasar, yang nantinya hasil penjualan
akan digunakan untuk
a. Mencarikan Pengganti Tanah Pelaba Pura di tempat lain
b. Membangun Pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
c. Biaya upacara atas pembangunan pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan
Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
d. Dana abadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
2. Memberikan kuasa sepenuhnya dan hak subsitusi kepada: I Made Sugita
Bendesa Adat Kelan, untuk Bendesa adat yang bersangkutan harus
menandatangani surat kuasa tersebut disaksikan oleh kelihan banjar, kepala
lingkungan, camat dan lurah. Dengan ditandatanganinya surat kuasa ini maka
krama pengempon harus melaksanakan isi dari surat kuasa ini yakni
memberikan kuasa sepenuhnya dan hak substitusi kepada bendesa adat untuk
mengeluarkan dan menerbitkan surat serta menandatangani surat-surat yang
berkaitan dengan Akta Jual beli atau Pelepasan Hak Atas Tanah, menghadap,
117
berbicara, mengambil keputusan, mengambil tindakan yang dipandang baik
dan atau berguna, menerima uang, dan menerbitkan kwitansi atas pembayaran
penjualan tanah, menyerahkan berkas asli dan atau fotocopy kepada pihak
kedua dan atau pihak lain, khusus permohonan ijin dan atau proses penjualan
tanah milik pura. Bendesa Adat hanya diijinkan untuk melaksanakan apa yang
disebutkan dalam surat kuasa tersebut.
3. Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada Bendesa Adat Kelan oleh seluruh
masyarakat Desa Adat Kelan sebagai pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan,
tetap dengan mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku saat ini.
Surat kuasa ini ditandatangani oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan sebagai
penerima kuasa dan Kelihan Banjar Kelan Desa dan Kelihan Banjar Kelan Abian
sebagai pemberi kuasa selaku wakil dari seluruh krama pengempon Pura Dalem
Sakenan Kelan. Kelihan Banjar merupakan wakil dari seluruh krama Desa Adat
Kelan. Ditandatangani pula oleh Kepala Lingkungan Kelan Desa, Kepala
Lingkungan Kelan Abian, Camat Kuta, dan Lurah Tuban sebagai saksi.
Dalam sebuah paruman pasti ada pro dan kontra terhadap keputusan yang
diambil, inilah fungsi paruman itu sendiri agar nantinya tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Apabila sudah tercapai mufakat antar anggota, hasil
paruman ini kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Berita Acara Rapat
memuat mengenai persetujuan untuk menjual tanah pelaba druwe pura dengan
syarat syarat-syarat diantaranya mencarikan tanah pengganti tanah pelaba pura di
tempat lain, uang hasil penjualan dipergunakan untuk membangun pura, biaya
upacara setelah pembangunan pura dan uang tersebut akan digunakan sebagai
118
dana abadi untuk meringankan beban upacara bagi krama di Desa Adat Kelan.
Memberikan kuasa sepenuhnya kepada Bendesa Adat Desa Adat Kelan untuk
mewakili dalam perbuatan hukum tersebut.
Hasil paruman akan menentukan kelanjutan dari proses transaksi jual beli
tersebut. Setelah ditentukan kata sepakat tentang rencana penjualan tanah milik
pura tersebut maka kendatipun dalam hal ini yang berwenang mewakili desa
pakraman adalah bendesa adat, tetapi tetap saja diperlukan suatu surat kuasa
khusus penunjukan tentang rencana penjualan tersebut. Hal ini penting karena
untuk agar hanya ada seorang saja atau sedikit yang bertindak untuk dan atas
nama Pura. Berdasarkan hasil wawancara tanggal 21 Desember 2014 dengan
Notaris/PPAT Kota Denpasar, Bapak I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH : Pura
diibaratkan sebagai perseroan/badan hukum, jika untuk pengalihan hak atas aset
perseroan maka wajib direksi bertindak untuk dan atas nama perseroan dengan
persetujuan komisaris dan wajib diadakan RUPS, yang dalam hal ini jika
diilustrasikan maka pura wajib mengadakan paruman, kemudian ada notulen dan
keputusan rapat yang dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Badan hukum sendiri
berdasarkan bentuknya dibedakan dalam dalam dua bentuk, yaitu badan hukum
publik dan badan hukum privat. Jika dihubungkan dengan pengertian badan
hukum publik yakni badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sehingga dapatlah bila dikatakan bahwa pura termasuk ke
dalam badan hukum publik.
119
Keputusan rapat kemudian memberikan kuasa kepada bendesa adat
bertindak untuk dan atas nama desa adat. Sama halnya karena pura ini adalah
suatu badan hukum keagamaan yang tidak hanya dimiliki oleh pengempon/desa
setempat tetapi juga masuk kedalam wilayah kewenangan dan struktur milik
parisadha dan dinas agama serta pemerintah daerah, maka instansi-instansi
tersebut wajib mengetahui mengenai penjualan tanah druwe pura ini, disamping
untuk menguatkan dokumen yuridisnya. Pendapat dari Notaris/PPAT I Gusti
Ngurah Putra Wijaya, SH ini sesuai dengan Teori badan hukum yang dipakai
dalam penulisan tesis ini, yakni pura memiliki harta kekayaan dan memiliki
pribadi-pribadi hukum (organ) didalamnya yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan semua aktifitas hukum. Dalam hal ini pura memiliki suatu struktur
kepengurusan dengan dipimpin oleh seorang bendesa adat yang berhak mewakili
pura dalam melakukan suatu perbuatan hukum.
Agar penunjukan bendesa adat ini tidak terdapat cacat administrasi maka
harus dituangkan ke dalam suatu bentuk surat/akta otentik yang disahkan serta
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, biasanya dituangkan ke dalam suatu
surat kuasa khusus dari pemberi kuasa yaitu krama pengempon pura selaku
pemilik hak penuh pengambil keputusan di dalam desa adat. Berdasarkan hasil
paruman desa diberikan kuasa khusus kepada bendesa adat dalam bentuk surat
kuasa dimana disebutkan mengenai hasil paruman desa adat untuk mengadakan
penjualan terhadap tanah pura yang dimaksud lengkap dengan detail data yuridis
120
luas dan letak tanah yang akan dijual tersebut, kemudian disebutkan mengenai
tujuan dan manfaat dari rencana penjualan tanah milik pura tersebut.
Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada bendesa adat oleh seluruh
masyarakat desa adat setempat sebagai pengempon pura tetap dengan
mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku pada saat ini. Agar harga yang
ditetapkan tidak di bawah harga pasar saat ini. Rekomendasi diberikan dengan
persyaratan apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap peraturan dan
ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati maka surat rekomendasi
dinyatakan untuk tidak berlaku dan dicabut.
Setelah adanya paruman tersebut yang artinya mewakili seluruh masyarakat
adat yang ada di wilayah desa tersebut, bendesa adat kemudian mengirim surat
permohonan penjualan kepada Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar untuk
meminta surat rekomendasi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, yang
terletak di banjar gelogor carik, desa pemogan. Mengenai penjualan tanah druwe
pura Desa Adat Kelan juga dikirim surat permohonan penjualan ke Kementerian
Agama Kota Denpasar. Surat rekomendasi dari Parisadha Hindu Dharma Bali
Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota Denpasar ini merupakan syarat
untuk penjualan tanah milik pura. Dalam surat permohonan yang diajukan kepada
Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota
Denpasar dimuat pertimbangan dan alasan-alasan pengempon pura untuk
melakukan penjualan tanah milik pura tersebut.
121
Dengan disetujuinya surat permohonan penjualan tanah druwe pura Desa
Adat Kelan oleh Parisadha Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian
Agama Kota Denpasar maka surat rekomendasi penjualan tersebut dikirimkan
kepada Walikota Kota Denpasar sebagai lampiran dari surat permohonan
penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, dengan lampiran lainnya yakni
syarat-syarat penjualan tanah druwe pura. Acuan yang dipakai untuk melakukan
penjualan tanah druwe pura adalah Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um,
tertanggal 24 Mei 1993 dan Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No.
Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011 tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses
Penjualan Pelaba Pura.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penjualan tanah laba pura
berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 dan
Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No. Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011
tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses Penjualan Pelaba Pura adalah
sebagai berikut:
1. Surat kuasa dari pengempon kepada orang yang dikuasakan/ditunjuk untuk
menangani penjualan tanah pelaba pura dimaksud dan diketahui oleh
pamong desa setempat
2. Hasil kesepakatan melalui paruman pengemong untuk menjual tanah
pelaba pura dimaksud dinyatakan dengan daftar hadir dan notulen rapat
disahkan oleh aparat, kelian dinas, kelihan adat, lurah/kepala desa, camat,
122
dan notaries. Hasil kesepakatan ini dituangkan dalam berita acara rapat
yang dibuat oleh notulen dan telah ditandatangani oleh bendesa adat,
prajuru adat, kelian, ketua truna truni.
3. Photo copy KTP orang yang dikuasakan
4. Photo copy sertifikat tanah yang akan dijual
5. Rencana penggunaan hasil penjualan yang diketahui oleh pamong desa
dan camat
6. Susunan pengurus pengemong pura
7. Surat pernyataan dari calon penjua dengan menyebutkan secara lengkap
data-data tanahnya yang akan dijual serta diketahui oleh pamong desa dan
camat setempat
8. Foto copy sertifikat tanah yang akan dibeli atau tanah pengganti
9. Foto copy lunas PBB terakhir dari tanah yang akan dijual/pengganti
10. Surat pernyataan dari calon pembeli perihal rencana penggunaan/
peruntuan tanah pelaba pura yang akan dibeli
11. Alasan penjualan pelaba pura ditandatangani oleh pengurus pengempon
pura
12. Rencana Anggaran Biaya pelaksanaan pemugaran dan renovasi Pura yang
dimaksud;
13. Gambar detail rencana pembangunan Pura baru/renovasi/pemugaran.
Setelah diadakan pembahasan oleh Tim Konsolidasi Pertanahan Kota
Denpasar serta dengan memperhatikan surat rekomendasi penjualan dari
123
Kementerian Agama Kota Denpasar pada tanggal 2 Oktober 2012 Nomor:
Kd.18.09/III/BA.00/1755/2012 dan surat rekomendasi penjualan dari Parisada
Hindu Dharma Bali Kota Denpasar tanggal 11 Oktober 2012 Nomor:
153/Rekomendasi/PDHB-KD/2012, serta check list syarat-syarat penjualan tanah
druwe pura yang telah dipenuhi oleh Desa Adat Kelan selaku penjual, maka
Walikota Kota Denpasar memberikan persetujuan untuk penjualan tanah milik
Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, dengan syarat hasil penjualan
tersebut benar-benar dipergunakan untuk membeli tanah pengganti dan perbaikan
pura sesuai dengan program yang diajukan. Surat persetujuan mengenai penjualan
tanah druwe pura Desa Adat Kelan dari Walikota Kota Denpasar ini berlaku 6
(enam) bulan dari saat ditandatangani dan pengempon pura diwajibkan untuk
melaporkan tentang pelaksanaan penjualan tanah druwe pura tersebut sesuai
dengan program yang diajukan.
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Denpasar sendiri telah
melakukan upaya untuk melestarikan tanah pura dengan mengeluarkan Surat
Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Larangan
menjual/merubah harta kekayaan desa adat. Surat ini dikeluarkan dengan
pertimbangan bahwa desa adat dan persekutuan hukum lainnya yang berkaitan
dengan adat, sebagai salah satu bagian pembangunan nasional, perlu dilestarikan
melalui upaya antara lain memelihara sarana penunjangnya bahkan diupayakan
124
peningkatan dalam batas batas yang memungkinkan baik dalam wujud material
maupun inmaterial.
Berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei
1993, sebenarnya pada prinsipnya dilarang untuk menjual, menukar, atau dengan
perbuatan hukum lainnya atas tanah milik dan atau yang dikuasai Desa Adat,
dalam hal ini tanah milik pura, namun dikcualikan apabila telah mendapat
persetujuan dari semua pengempon pura. Dalam surat walikota tersebut
disebutkan pula dalam hal menjual tanah milik pura harus mendapat persetujuan
dari walikota. Tanah pengganti merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk penjualan tanah milik pura ini. Sehingga sangat penting adanya tanah
pengganti terlebih dahulu sebelum meminta surat rekomendasi penjualan kepada
Menteri Agama, PHDI, dan Walikota. Berdasarkan Surat Walikota No.
593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 disebutkan bahwa dari hasil penjualan
tanah tersebut, harus dapat membeli tanah-tanah pengganti dengan luas minimal
sama dengan yang dijual (walaupun kelas dan nilai ekonomisnya tidak sama) serta
mengajukan program lainnya dalam rangka upaya melestarikan desa adat, banjar
adat, dan pura. Tanah pengganti yang dibeli oleh Desa Adat Kelan terletak di
Desa Bantiran Pupuan. Pembelian tanah pengganti sesuai dengan permohonan dan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) agar di atasnamakan Pura Dalem Sakenan Kelan
yang berkedudukan di Desa Adat Kelan.
125
Proses jual beli tanah druwe pura ini sesuai dengan Teori perjanjian yang
dikemukakan oleh Van Dunne yakni diawali dengan tahap pracontraktual, yaitu
adanya penawaran dan penerimaan, kemudian dilajutkan pada tahap contractual,
yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kemudian tahap
yang terakhir adalah tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Tahap
pracontraktual adalah tahap adanya penawaran dan penerimaan oleh penjual dan
pembeli, baik itu tawarab yabg diberikan oleh penjual ataupun pembeli mengenai
harga tanah, dan cara pembayaran tanah tersebut kemudian tahap contractual
yakni tahap adanya persesuaian kehendak antara para pihak baik mengenai harga
tanah, cara pembayaran/tahapan pembayaran, dan kapan akan dilaksanakan jual
beli tanah, kemudian tahapan yang ketiga yakni tahap post contractual yakni
setelah ada kesepakatan antara para pihak mengenai kehendak masing-masing
pihak kemudian diadakan transaksi jual beli tanah di hadapan PPAT. Melalui
kesepakatan para pihak yakni penjual dan pembeli akhirnya menimbulkan akibat
hukum yakni transaksi jual beli tanah druwe pura Pura Dalem Sakenan Kelan.
4.3 Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lainnya atau lebih (Pasal 1313
KUHPerdata). Setelah adanya kata sepakata antara kedua belah pihak, yakni pihak
penjual dan pembeli, maka dilaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
126
yang dibuat dihadapan Notaris Kota Denpasar. PPJB adalah Perjanjian Pengikatan
Jual Beli yakni suatu perjanjian yang dibuat secara notariil dihadapan notaris,
PPJB dibuat karena proses balik nama sertifikat ke atas nama pembeli melalui
AJB belum dapat dilaksanakan karena persyaratannya belum lengkap, dan harga
belum lunas. Untuk menghindari terjadinya pemungkiran terhadap kesepakatan
yang telah tercapai dan menjamin hak serta kewajiban para pihak sehingga perlu
dibuatkan suatu Perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dilakukan karena cara pembayaran dari
tanah milik pura Desa Adat Kelan dilakukan secara bertahap, sehingga belum bisa
dilakukan penandatangan Akta Jual Beli. Notaris sebagai pihak tengah terlebih
dahulu berhak melakukan penelitian yuridis sebelum proses transaksi
dilaksanakan.
Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilaksanakan, maka
perjanjian jual beli tersebut mengakibatkan antara lain:
a. Hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah
bentuk hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum
b. Bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan
perikatan di BAB III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum
Harta kekayaan (vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar
para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan
127
c. Para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak-
pihak sebagai subyek hukum
d. Prestasi artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-
kewajiban (prestasi ) kepada para pihaknya (prestasi-kontraprestasi),
yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan
apabila diperlukan menggunakan alat Negara.
Sebelum Akta Jual Beli dibuat, maka bagi para pihak disyaratkan untuk
menyerahkan surat-surat yang diperlukan:
1. Jika tanahnya sudah bersertifikat : sertifikat tanahnya yang asli dan tanda
bukti pembayaran biaya pendaftarannya
2. Jika tanahnya belum bersertifikat : surat keterangan bahwa tanah tersebut
belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan
penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang
membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk
persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.99
Untuk dapat dibuatnya akta peralihan hak tersebut, pihak yang akan
memindakan hak dan pihak yang akan menerima hak harus menghadap kepada
PPAT. Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat
kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Para pihak, baik
pihak yang memindahkan hak maupun yang akan menerima hak harus memenuhi
persyaratan subyektif. Untuk itu PPAT berkewajiban untuk mengadakan
penelitian terlebih dahulu untuk menghindari masalah dikemudian hari.
99
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 78-79.
128
Setelah sertifikat dinyatakan tidak ada masalah oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) melalui pengecekan sertifikat, dan pajak-pajak terkait jual beli
seperti BPHTB, dan Pph sudah dilunasi, serta pembayaran tanah milik pura Desa
Adat Kelan sudah dilunasi oleh pembeli, maka pelaksanaan penandatangan Akta
Jual Beli baru dapat dilaksanakan. Penandatangan Akta Jual Beli dilakukan di
hadapan Notaris/PPAT yang sama dengan dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual
Beli. Bendesa Adat Desa Adat Kelan mewakili Desa Adat Kelan sebagai penjual
sesuai dengan isi dari surat kuasa khusus yang telah diberikan kepadanya.
Penandatangan akta dihadiri pula oleh saksi-saksi dari PPAT yang ikut pula
menandatangani Akta Jual Beli sebagai saksi. Pembuatan akta peralihan hak atas
tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang
memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (Pasal
38 PP No. 24 Tahun 1997). Kemudian selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak
tanggal ditandatangani akta tersebut, PPAT wajib untuk mendaftarkannya ke
Kantor Pertanahan (Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997).
Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan
dengan PP No. 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa jual beli hanya dapat
dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan transaksi
jual beli tanpa dapat membuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat
memperoleh sertifikat hak milik. Pasal 19 UUPA mengatur mengenai
129
pendaftaran tanah, menurut UUPA pendaftaran merupakan pembuktian yang kuat
mengenai sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam hubungannya dengan
pihak ketiga yang beritikad baik.
Berdasarkan Pasal 9 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan bahwa obyek
pendaftaran tanah adalah bidang-bidang yang dipunyai dengan hak milik, HGU,
HGB, hak pakai, tanah hak penglolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun, hak tanggungan dan tanah Negara. Pasal 37 PP No. 24 tahun 1997
menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat
didaftarakan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang
berwenang menurut peraturan perundang-undangan.
Pendaftaran tanah berfungsi untuk memperkuat pembuktian. Memperkuat
pembuktian disini berarti memperkuat pembuktian mengenai jual beli dengan
mencatat pada buku tanah dan sertifikat tanah yang bersangkutan, sedangkan
memperluas pembuktian dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas karena
dengan dilakukannya pendaftaran jual beli maka akan diketahui oleh pihak ketiga
yang berkepentingan.
Akta PPAT merupakan syarat formil dari adanya transaksi jual beli. Akta
adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada sesuatu hak atas perikatan, yang sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian. Akta dibagi menjadi dua yakni
a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa
yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan
(Pasal 165 HIR, 285 R.bg dan 1868 BW)
130
Pejabat yang dimaksud disini antara lain, notaris, panitera, jurusita,
pegawai pencatatan sipil, hakim dan sebagainya
b. Akta di bawah tangan
Artinya akta yang sengaja dibuat dengan pembuktian para pihak tanpa
bantuan dengan seorang pejabat. Misalnya surat-surat ,perjanjian
pemborongan pembukuan seseorang dan sebagainya.
Adapun kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta dibawah
tangan di dalam akta tersebut diaku oleh pihak yang bersangkutan dant
erhadap pihak ketiga akta di bawahtangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang bebas.100
Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-
Undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat mana akta itu dibuatnya. Dalam hal suatu perjanjian, apa yang
dijanjikan, dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat dan didengar oleh
Notaris terutama benar mengenai tanggal akta, tandatangan di dalam akta,
identitas yang hadir, dan tempat dibuat akta itu, merupakan kekuatan pembuktian
formal, sedangkan kekuatan pembuktian materiilii atau material akta adalah benar.
Keistimewaan akta otentik adalah merupakan suatu alat bukti yang
sempurna (volledigbewijs) tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya apabila
seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim
harus menerima dan menganggap yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa
yang sungguh-sungguh telah terjadi. Hal ini sesuai dengan Teori Kepastian
Hukum, akta jual beli sebagai akta otentik merupakan alat pembuktian yang
sempurna bagi para pihak, sehingga dapat memberikan kepastian bagi para pihak
agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.
100Ibid., hal. 55.
131
Keberadaan UUPA yang menganut prinsip-prinsip hukum adat, bukan
berarti bahwa pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang
dibuat dibawah tangan. Semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah mengenai hak atas merupakan tugas pokok dari Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah tertentu atau pejabat yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
ha katas tanah. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT. Akta Jual Beli yang di dalam
praktek peralihan hak atas tanah digunakan sebagai alat untuk pendaftaran
permohonan peralihan hak di kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tanah
berada, dibuat dan menjadi wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
sehingga AJB ini lazim disebut dengan Akta Jual Beli PPAT.
Jadi sahnya jual beli adalah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian
dan prosedur jual beli tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
diantaranya:
1. Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi
“Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan pertauran pemerintah”.
132
2. Memenuhi asas terang dan tunai yang diwujudkan dengan adanya
akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP
No. 24 tahun 1977).
133
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya jual beli tanah druwe pura Desa
Adat Kelan adalah : (1) tanah milik pura tesebut pernah menjadi obyek
sengketa, (2) tanah milik pura tersebut tidak produktif lagi, dan (3)
keperluan dana bagi kepentingan kepentingan pura tersebut, baik untuk
kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Kepentingan jangka
pendek menyangkut pemugaran/renovasi pura serta biaya upacara setelah
renovasi (melaspas, ngenteg linggih). Kepentingan jangka panjang adalah
pembentukan dana abadi untuk membiayai aktivitas-aktivitas di Pura
tersebut di masa depan sehingga masyarakat tidak dibebani lagi dengan
biaya yang berat dalam rangka kelangsungan pura tersebut.
2. Prosedur penjualan tanah milik pura mempunyai proses yang panjang dan
memakan banyak waktu. Pertama diadakan Paruman desa yang dihadiri
oleh kelian serta seluruh krama pengempon pura yaitu krama Desa Adat
Kelan. Paruman desa ini diselenggarakan untuk mendapatkan kata sepakat
dari seluruh krama pengempon mengenai rencana penjualan tanah milik
pura. Setelah melakukan paruman desa yang hasilnya disiarkan oleh
bendesa adat, kemudian dicarikan surat rekomendasi penjualan dari
Kementerian Agama, surat rekomendasi penjualan dari Parisada Hindu
Dharma Bali Kota Denpasar, dan surat rekomendasi penjualan dari
134
Walikota Kota Denpasar. Dalam proses jual beli juga harus dicarikan tanah
pengganti, hasil penjualan harus dipergunakan untuk membeli tanah
pengganti. Selanjutnya setelah semua syarat dipenuhi maka proses jual beli
dilakukan di hadapan PPAT. Pihak penjual/pemilik tanah druwe pura di
wakili oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan berdasarkan surat kuasa yang
sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut yang telah diberikan
kepadanya. Transaksi jual beli harus memenuhi asas terang dan tunai yang
diwujudkan dengan adanya akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan
Pasal 37 ayat (01) PP No. 24 tahun 1977).
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan penjualan tanah
druwe pura adalah sebagai berikut:
1. Untuk pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah
druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca
keluarnya rekomendasi penjualan, sehingga yang menjadi landasan, latar
belakang, serta tujuan dari terbitnya rekomendasi dari penjualan tanah
druwe pura betul-betul terlaksana dengan baik. Bila perlu ada pembentukan
tim dari pihak pemerintah, PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik
sebelum maupun sesudah pemberian rekomendasi dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum.
135
2. Perlu dipertegas aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe
Pura, utamanya penegasan tentang larangan sehingga fungsi pelestarian
dapat terjaga. Masih banyak jalan agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura
tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih selamanya misalnya dengan
menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya secara lebih ekonomis
serta tetap mengandung unsur pelestarian.
3. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No.
593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses
Penjualan Pelaba Pura. Dalam hal ini disarankan agar ada peraturan yang
mengatur mengenai kewenangan walikota untuk dapat melakukan
pengaturan mengenai penjualan tanah druwe pura ini.
136
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ali, Chidir, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Alting, Husen, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa
Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
Assip, Flechteim, K, 1952, Fundamentals of Political Science , Ronald Press Co,
New York.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993, Analisa dan
Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta.
Daliyo, J.B, dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5, Prehallindo,
Jakarta.
Dirjosisworo, Soedjono, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo,
Jakarta
Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni,
Bandung.
Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free
Legal Update at Nolo.com, USA.
Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di
Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya.
Hadikusuma, H. Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar
Maju, Bandung.
Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Nasional, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
_____________, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui
Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok agraria dan
Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa Ini, Banjarmasin. (selanjutnya
disebut dengan Boedi Harsono I)
136
137
_______, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum
Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin.
Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah, Usaha
Nasional, Surabaya.
Hidayat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty, Yogyakarta.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta.
Keraf, Sonny, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius,
Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke-7,
Djambatan, Jakarta.
Latimer, Paul Stepen, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited,
Australia.
Mahendra, Oka, A.A., dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan
Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta.
Muhammad, Bushar, 1997, Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Cet. Ke-3, Bandung.
Murad, Rusmadi, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Bandung.
Moleong , Lexy J, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Naim, Mochtar, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa
Ini, Bina Cipta, Bandung.
Nasution. S ,1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Jakarta.
Parlindungan, A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2, Mandar
Maju, Bandung.
138
Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, 1986, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Perangin, Effendi, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Cet. Ke-3, Alumni, Badung.
Rato, Dominikus, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami
Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya.
Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis
Butterworths, Australia.
Ruchiat, Eddy, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA
(UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung.
Saleh. K, Wantjik , 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Salim, H.S., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana
Predana Media, Jakarta.
Saragih, Djaren, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.
Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Cet. Pertama, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, 2008, Udayana
University Press, Denpasar.
Soedjindro, J.Kartini, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi
Konflik, Kanisius, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
Rajawali, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet.
Pertama, Arloka, Surabaya.
Sudiyat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.
Sutedi, Adrian, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan
Keenam, Sinar Grafika, Jakarta.
139
Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and Ritual, Foris
Publications, Holland.
Sri Rsi Anandakusuma, 1986, Kamus Bahasa Bali, CV. Kayumas, Denpasar.
Suasthawa. D, M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya
UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar.
Suastawa Darmayuda, I Made, dan Koti Cantika, I Wayan, 1991, Filsafat Adat
Bali (selanjutnya disingkat I Made Suastawa Darmayuda I, Upada Sastra,
Denpasar.
Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna
Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar.
Ter Haar Bzn, Mr.B, 1999, diindonesiakan oleh K.Ng Soebakti Poesponoto, Asas-
Asas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita, Jakarta.
Thalib, Sajuti, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di
Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta.
Windia, Wayan P., 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan
Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press,
Denpasar.
Wignjodipoero, Soerojo, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Haji
Masagung, Jakarta.
Winata, Adi, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960,
Alumni, Cet. Ke-3, Bandung.
Wulansari, Dewi, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. Pertama,
PT. Refika Aditama, Bandung.
2. Artikel
Agung, I Gst Nym, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan Kaitannya
Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula,
Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika Majalah Hukum dan
Masyarakat FHPM UNUD, Nomor. 65 Tahun XX, Feb-Jul 1986,
Denpasar.
Sudantra, I Ketut, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK.
Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika Majalah Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor 61 Tahun XVIII, Desember
1992, Denpasar.
140
Wirta Griadhi, Ketut, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di Bali”,
Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD,
Denpasar.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Burgerlijk Wetbook, Stb. 1847 : 23 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, cetakan 32,
Pradnya Paramita, Jakarta).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.(Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 1).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.(Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 58).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746).
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
(Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 29).
Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2003 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11).
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 556/DJA/1986 tentang Penunjukan
Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak
Milik Atas Tanah.
141
DAFTAR INFORMAN
Nama : I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH
Umur : 60 Tahun
Pendidikan : Strata 1
Alamat : Jalan Veteran No. 33 Denpasar
Pekerjaan : Notaris/PPAT Kota Denpasar
Nama : I Made Sugita. S.Sos
Umur : 45 Tahun
Pendidikan : Strata 1
Alamat : Jl. Pudak Sari Gg. 1 No. 8 Lingkungan Desa Adat Kelan
Pekerjaan : Bendesa Adat Kelan
Nama : Bagus Nyoman Sudarta
Umur : 46 Tahun
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Raya Kepaon No. 10 Denpasar Selatan
Pekerjaan : Pegawai Kantor Notaris/PPAT
141