PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

157
TESIS PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali) NI NYOMAN TRI INDRAYANTI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

Page 1: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

1

TESIS

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

NI NYOMAN TRI INDRAYANTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

2

TESIS

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

NI NYOMAN TRI INDRAYANTI

NIM. 1392461011

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

i

Page 3: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

3

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister

pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana

NI NYOMAN TRI INDRAYANTI

NIM. 1392461011

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

ii

Page 4: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

4

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 14 APRIL 2015

KOMISI PEMBIMBING

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH

NIP. 19440929 197302 1 001 NIP. 19601003 198503 1 003

MENGETAHUI :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

iii

Page 5: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

5

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal : 13 April 2015

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1119/UN14.4/HK/2015

Tanggal : 10 April 2015

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS

Anggota :

1. Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH

2. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH., MS

3. Dr. I Ketut Wirawan, SH., M.Hum

4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH

iv

Page 6: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

6

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : NI NYOMAN TRI INDRAYANTI

NIM : 1392461011

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura

(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas

dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku.

Denpasar, 14 April 2015

Yang Membuat Pernyataan

(Ni Nyoman Tri Indrayanti)

v

Page 7: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang

Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi

Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten

Badung, Provinsi Bali)”. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan

informasi dan menambah khasanah pengetahuan dalam ranah hukum agraria

terkait dengan jual beli tanah druwe pura. Dalam penulisan tesis ini, penulis

menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga

tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister

Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulisan tesis ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan serta dukungan

dari pembimbing dan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr .

I Nyoman Sirtha, SH.,MS., Pembimbing Pertama dan Dr. I Ketut Sudantra,

SH.,MH., Pembimbing Kedua yang telah memberikan dukungan, semangat, saran

serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menyelesaikan tesis

ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut

Suastika, Sp. PD-KEMD, Rektor Universitas Udayana beserta staff atas

kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan

kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana

vi

Page 8: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

8

Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof.

Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program

Magister dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,Mhum, Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas segenap perhatian,

bimbingan dan petunjuk yang selama ini diberikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen

pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama

perkuliahan berlangsung. Ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu seluruh staff

dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang

telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan

berlangsung dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung.

Terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua tercinta Drs. I Wayan

Windra dan Ni Wayan Siki, SH yang senantiasa mendoakan, mendukung dan

memberikan semangat selama penulis menjalani masa perkuliahan dan selama

proses tesis ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada suami tercinta I Gusti

Ngurah Putu Alit Putra, SH atas dukungan dan motivasi yang diberikan dalam

proses pengerjaan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Komang Trianna,

SH., Nirmala Sari, SH., Putu Elik Sulistyawati, SH., Anak Agung Istri Candra

vii

Page 9: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

9

Pramita, SH., I Gusti Ayu Aryastini, SP, SH., Samuel Cibro, SH., Junaedi

Kariadi, SH., MH., serta seluruh teman-teman angkatan VI Magister Kenotariatan

Universitas Udayana yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dan telah

memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak

yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini.

Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa, Ida

Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan

kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna

bagi masyarakat.

Denpasar, 23 Februari 2015

Penulis

viii

Page 10: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

10

ABSTRAK

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

(Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten

Badung, Provinsi Bali.

Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah

pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum adat

yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan hak

masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah diatur

dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Dengan adanya pengakuan terhadap hak atas

tanah adat maka pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun

1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak

Milik Atas Tanah. Kemudian dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam

Negeri No. SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum

Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah mempunyai implikasi

bahwa Pura dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah. Kemudian atas kepemilikan

itu maka Pura sebagai subyek hukum dapat saja mengalihkannya kepada pihak

lain melalui mekanisme jual beli.

Penelitian ini bersifat empiris dan mengacu pada pelaksanaan jual beli atas

tanah druwe pura yang ada di Kabupaten Badung, proses, kendala serta akibat

hukum yang ada. Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui proses

penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung kepada

responden dan informan yang berkompeten. Sedangkan data sekunder diperoleh

melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekuder, dan tersier

sesuai permasalahan yang dibahas. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian

dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jual beli atas tanah druwe

pura dapat saja dilakukan jika seluruh pengempon telah menyatakan

persetujuannya, akan tetapi sebagaimana salah satu sifat dari tanah adat bahwa

hak atas tanah adat tidak dapat dipindahtangankan, sehingga terdapat kesenjangan

terhadap hal tersebut dewasa ini. Namun ada beberapa faktor-faktor penguat yang

dapat menjadi alasan kuat bahwa pemindahtanganan tersebut sah secara hukum.

Dalam penelitian ini diuraikan proses dan faktor-faktor yang melatarbelakangi

dilaksanakan jual beli atas tanah druwe pura. Syarat-syarat lain ditentukan secara

formil sehingga sah dan dapat dilaksanakan secara hukum perjanjian normal yang

berlaku di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kata Kunci : Tanah Adat, Jual Beli, Druwe Pura

ix

Page 11: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

11

ABSTRACT

THE EXECUTION OF SELLING AND BUYING THE LAND OF DRUWE PURA

(Case Study in Kelan Heritage Village, Tuban, Kuta District, Badung Region,

Bali Province)

One of the principles adopted in the Basic Agrarian Law is the recognition

of land rights of indigenous people's unity called HAK ULAYAT (The rights of

disposal). Related to the existence of customary law and indigenous peoples'

rights to land in its territory (HAK ULAYAT/The rights of disposal), has expressly

provided in Article 3 and Article 5 of the Basic Agrarian Law. Article 3 states that

"the implementation of customary rights and similar rights from customary law

communities that still exist should be such that in accordance with national and

state interests are based on the nation unity and must not conflict with higher laws

and regulations". By acquisitions of indigenous land rights, the government

enacted Government Regulation No. 38 of 1963 on the appointment of Legal Firm

that Can Have ownership Rights of Land. Then the issuance of the Decree of the

Minister of Internal Affairs No. SK 556 / DJA / 1986 on the appointment of

Temple as Religious Legal Firm to Have ownership Rights of Land has

implications that the temple may have an ownership Rights of Land. Then from

that ownership right means the temple as a legal firm able to transfer it over to

the other party through the mechanism of buying and selling.

This research is empirical and refers to the execution of the selling and

buying of druwe pura (temples land) in Badung, the process, obstacles and

existing legal consequences. Primary data from this study were obtained through

field research process that is by doing direct interviews to respondents and

informants who are competent. and Secondary data was collected through

literature research on primary, secondary, and tertiary legal materials according

to issues discussed. The collected data then qualitatively analized.

The results showed that the implementation of the sale and purchase of

land druwe pura could be done if all pengempon (temple leaders) has stated

theirs approval, but as a conditions of customary land that indigenous land rights

can not be transferred, there is a gap to it nowadays. However there are several

factors that may be reinforcing a strong reason that the transference is legal

under the law. This results described the process and the factors underlying the

Selling and Buying of land held by druwe pura. One of the conditions of Selling

and Buying of druwe pura land is there should be a substitute land associated

with the transfer of rights. Other requirements formally appointed so legitimately

and could be apply on normal agreement law that prevail in the National Land

Departement (BPN).

Keywords: Indigenous Lands, Buy & Sell, Druwe Pura

x

Page 12: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

12

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis tentang pelaksanaan jual beli tanah druwe pura

(studi kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten

Badung, Provinsi Bali.)”. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dapat diuraikan

sebagai berikut.

Bab I menguraikan mengenai latar belakang yang melandasi lahirnya

penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka

permasalahan yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni faktor-faktor

yang melatarbelakangi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan dan proses

terjadinya jual beli tanah druwe pura. Disamping latar belakang dan rumusan

masalah pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian,

landasan teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai dengan permasalahan yang

akan dibahas, metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini,

sumber-sumber bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik

pengumpulan bahan hukum serta teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.

Bab II tentang tinjauan umum terkait dengan tanah druwe pura dan

peralihan hak atas tanah melalui jual beli, yang merupakan pengembangan dan

kajian teoritis pada bab I. Pembahasan pada bab ini dibedakan dalam 5 (lima) sub

bab, yakni tinjauan umum tentang pura, tinjauan umum tentang tanah druwe pura,

tinjauan umum tentang tanah druwe pura serta kaitannya dengan hak ulayat,

tinjauan umum tentang peralihan hak atas tanah, dan tinjauan umum tentang

pendaftaran tanah.

Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil

penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan dianalisa

berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari

permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan

menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni, tanah milik pura sebagai objek transaksi jual

beli, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya transaksi jual beli tanah druwe

pura, serta kendala-kendala dalam transaksi jual beli tanah druwe pura.

Bab IV sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah II dikemukakan

hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas

dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari

permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan

menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni pihak yang mewakili pura dalam transaksi

jual beli tanah pura, proses transaksi jual beli tanah druwe pura, dan bentuk

transaksi jual beli tanah druwe pura.

Bab V sebagai penutup dikemukakan kesimpulan yang diperoleh

berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun

kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, beberapa faktor-faktor

yang menjadi latar belakang dari penjualan tanah druwe pura di Desa Adat Kelan

di antaranya, tanah druwe pura tersebut pernah menjadi objek sengketa, tanah

tersebut menjadi lahan yang tidak produktif, serta untuk kepentingan pura yakni

untuk pemugaran pura, biaya upacara setelah pemugaran pura dan untuk dana

abadi. Proses penjualan tanah druwe pura harus dilaksanakan paruman/rapat desa

xi

Page 13: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

13

terlebih dahulu oleh pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan untuk

memperoleh kata sepakat mengenai penjualan tanah druwe pura ini. Setelah

ditemukan kata sepakat untuk penjualan maka dituangkan ke dalam suatu Berita

Acara Rapat. Bendesa Adat sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu desa adat

ditunjuk dengan surat kuasa substitusi untuk menjadi wakil dari Desa Adat Kelan

untuk melaksanakan jual beli tanah druwe pura. Selain itu diperlukan surat

rekomendasi penjualan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan

Kabupaten/Kota, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), serta Walikota

Denpasar.

Selain kesimpulan juga dalam bab ini dikemukakan beberapa saran yang

terkait, bagi pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah

druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca keluarnya

rekomendasi penjualan. Bila perlu ada pembentukan tim dari pihak pemerintah,

PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik sebelum maupun sesudah pemberian

rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan perlu dipertegas

aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe Pura, utamanya penegasan

tentang larangan sehingga fungsi pelestarian dapat terjaga. Masih banyak jalan

agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih

selamanya misalnya dengan menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya

secara lebih ekonomis serta tetap mengandung unsur pelestarian dan berdasarkan

hasil penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um,

tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses Penjusalan Pelaba Pura. Dalam

hal ini disarankan agar ada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan

walikota untuk dapat melakukan pengaturan mengenai penjualan tanah druwe

pura ini.

xii

Page 14: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

14

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ......................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

ABSTRACT ...................................................................................................... x

RINGKASAN .................................................................................................. xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 12

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 12

1.3.1. Tujuan Umum ............................................................... 12

1.3.2. Tujuan Khusus .............................................................. 13

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 13

1.4.1. Manfaat Teoritis............................................................ 13

1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 13

1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 14

1.6. Metode Penelitian ..................................................................... 31

xiii

Page 15: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

15

1.6.1. Jenis penelitian.............................................................. 31

1.6.2. Sifat penelitian .............................................................. 32

1.6.3. Lokasi dan teknik penentuan lokasi penelitian ............. 32

1.6.4. Data dan sumber data.................................................... 33

1.6.5. Teknik pengumpulan data ............................................ 36

1.6.6. Teknik Pengolahan dan analisis data ............................ 37

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA, TANAH

ADAT, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH ....................... 39

2.1. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Pura, Tanah Adat, dan

Tanah Druwe Pura Serta Kaitannya dengan Hak Ulayat ....... 39

2.1.1. Pengertian Pura dan Jenis-Jenisnya .............................. 39

2.1.2. Pengertian Tanah Adat ................................................. 44

2.1.3. Tanah Druwe Pura dalam Kaitannya Dengan

Hak Ulayat .................................................................... 46

2.2. Peralihan Hak Atas T anah dan Pendafataran Hak Atas

Tanah ....................................................................................... 55

2.2.1 Pengertian peralihan hak (pemindahan hak) ................... 55

2.2.2 Jenis-jenis transaksi peralihan tanah ............................... 57

2.2.3 Syarat-syarat transaksi jual beli ...................................... 62

2.2.4 Pengertian pendaftaran tanah .......................................... 67

2.2.5 Sistem pendaftaran tanah di Indonesia ............................ 70

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI

TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA ................... 74

3.1. Tanah Druwe Pura Sebagai Objek Transaksi Jual Beli ........... 74

3.2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi

Jual Beli Tanah Druwe Pura .................................................... 90

3.3. Kendala-Kendala Dalam Jual Beli Tanah Druwe Pura ........... 102

xiv

Page 16: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

16

BAB IV PROSES TERJADINYA JUAL BELI TANAH

DRUWE PURA ............................................................................... 106

4.1. Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli

Tanah Druwe Pura ................................................................... 106

4.2. Proses Jual Beli Tanah Druwe Pura ......................................... 113

4.3. Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura ....................... 125

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 133

5.1. Kesimpulan ............................................................................... 133

5.2. Saran-saran ............................................................................... 134

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 136

DAFTAR INFORMAN ................................................................................... 141

xv

Page 17: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada

bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan tentang tanah

yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan bangsa Indonesia dipandang sangat

penting dan strategis, sehingga perlu dirumuskan secara lebih komprehensif.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,

Indonesia memasuki babak baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat,

karena itu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menganggap perlu

membuat ketentuan konstitusional dalam sektor agraria, yaitu sebagaimana yang

tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut

kemudian dijabarkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga

dapat digunakan sebagai landasan hak penguasaan Negara atas tanah dan hak

Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam (tanah).1

Pengaturan tentang bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

(tanah) ada yang bersumber pada hukum adat dan ada yang bersumber dari hukum

perdata barat. Hukum Agraria sebelumnya hampir seluruhnya terdiri atas

1Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan

Masa Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 4.

Page 18: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

2

peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi

pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya melalui Agrarische

Wet 1870.

Sebelum tahun 1960, yakni sebelum berlakunya Undang-Undang No 5

tahun 1960, di Indonesia masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar

bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan hukum barat.2 Akibat dari dualisme

hukum tersebut adalah ada dua macam hak atas tanah yaitu tanah adat dan tanah

barat. “Tanah adat” atau bisa disebut dengan tanah Indonesia adalah tanah-tanah

dengan hak-hak Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum agraria adat,

sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Hampir

semua tanah-tanah adat tidak terdaftar seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah

usaha, tanah bengkok, tanah gogol, dan lain-lainnya, sedangkan di lain pihak

tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa dapat dikatakan hampir semua terdaftar

pada kantor pendaftaran tanah menurut overschrijvingssordonantie atau ordonansi

balik nama (stb 1834, No 27). Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan-

ketentuan hukum agraria barat, misalnya cara memperolehnya, peralihannya,

lenyapnya, pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta

kewajiban-kewajiban yang empunya hak itu.3

Pada akhirnya, unifikasi hukum agraria tercapai dengan diundangkannya

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang

lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA). Arti kata

2Wantjik Saleh. K, 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hal. 8. 3M. Suasthawa. D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah

Berlakunya UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar, hal. 22.

Page 19: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

3

unifikasi adalah memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat

di Negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka, di

Negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku

bermacam-macam hukum.4

Undang-undang Pokok Agraria ini ditetapkan pada tanggal 24 September

1960 oleh Presiden Republik Indonesia pada saat itu, Soekarno, dan diundangkan

dalam Lembaran Negara RI No.104 Tahun 1960. Berlakunya UUPA membuat

perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia. Perubahan

fundamental itu dikarenakan berubahnya struktur perangkat hukum, konsepsi

yang mendasari dan isinya yang harus sesuai dengan kepentingan rakyat

Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.

Sebelum UUPA berlaku, terdapat berbagai perangkat hukum agraria. Lahirnya

UUPA mengakibatkan agraria kolonial dihapuskan secara total. Di samping itu

UUPA bukan saja mengadakan perombakan secara struktural mengenai

kedudukan hukum tanah di Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung telah

merombak sistem hukum adat.5

Hapusnya hukum agraria kolonial menjadi tonggak sejarah baru dan

suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama

ini menumpang di atas tanahnya sendiri. Dengan diundangkannya UUPA, maka

4Muhammad Bakri, 2008, “Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah di

Indonesia (Rekonstruksi Konsep Unifikasi Dalam UUPA)”, Jurnal Hukum Kertha

Patrika, Nomor 1, Januari 2008, hal. 2. 5Adi Winata, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun

1960, Alumni, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 10.

Page 20: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

4

politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak

berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Perombakan

hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merubah hukum kolonial kepada

hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional khususnya para petani. Selain itu,

untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian

hukum atas hak-hak seseorang atas tanah. Dengan demikian pemanfaatan tanah

seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat yang berkeadilan, karena kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari

perjuangan seluruh rakyat Indonesia, sama sekali tidak dibenarkan untuk

dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk hal-hal yang

dapat merugikan masyarakat.6

Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria

adalah pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum

adat yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan

hak masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah

diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Pasal 3 menyatakan bahwa “pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat

sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan

bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang

lebih tinggi”. Pasal 5 menyatakan bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas

6A.A Oka Mahendra dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan

Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar, hal. 3.

Page 21: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

5

bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan Negara dengan tetap mengindahkan unsur-unsur

yang bersandar pada hukum agama”. Menurut Pasal 5 tersebut, hukum adat

dijadikan dasar oleh hukum agrarian nasional dengan beberapa syarat yaitu tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, sosialisme Indonesia,

peraturan perundang-undangan dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang

bersandar pada hukum agama.

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri tidak mendefinisikan apa yang

dimaksud dengan hak ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak

ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa

itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut

"beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda

yakni rechtgemenschap. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

dapat diketahui bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan

Page 22: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

6

hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Undang-

Undang Pokok Agraria menggunakan istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk

menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum

yang besangkutan. Itu artinya UUPA mengakui keberadaan masyarakat adat dan

hak ulayat.

Masyarakat adat di masing-masing daerah memiliki nama yang berbeda-

beda, masyarakat adat di Bali disebut desa pakraman (dulu disebut: desa adat).

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman disebutkan pengertian Desa Pakraman ialah kesatuan masyarakat

hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan

Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Menurut Ketut Wirta Griadhi, dikemukakan bahwa yang merupakan

identitas desa adat di Bali adalah:

1. Adanya wilayah yang tertentu dengan batas-batas yang jelas dan mayoritas

dari Krama Desa bertempat tinggal dalam wilayah tersebut

2. Adanya bangunan suci milik Desa baik dalam bentuk Kahyangan Tiga

maupun Kahyangan Desa lainnya sebagai tempat pemujaan terhadap Sang

Hyang Widi Wasa (Tuhan YME), sebagai penguasa alam semesta oleh

Krama Desa.7

Sebuah desa pakraman terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur parahyangan

(berupa pura atau tempat suci agama Hindu), unsur pawongan (warga desa yang

beragama Hindu), dan unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang

7Ketut Wirta Griadhi, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di

Bali”, Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD, Denpasar,

hal. 35.

Page 23: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

7

ayahan desa dan karang guna kaya). Masyarakat adat sebagai unsur pawongan

mempunyai hak atas tanah di wilayahnya dan bisa menerapkan tanah tersebut baik

ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka

masyarakat mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak

luar untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya kedalam

masyarakat berhak mengatur masing-masing anggotanya untuk melaksanakan hak

sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing. Di samping daya laku hak ulayat

yang ke luar dan ke dalam, hak ulayat juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak

dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya.

b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa

persekutuan tersebut, tanpa izin itu dianggap melakukan pelanggaran.

c. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak

ulayat dengan restriksi untuk keperluan somah, brayat atau keluarganya

sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain ia dipandang

sebagai orang asing, sehingga harus mendapatkan izin terlebih dahulu.

Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat di

wilayah hak ulayat dengan izin kepala persekutuan hukum disertai

pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie), kepada persekutuan

hukum.

d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam

wilayah terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan

delik.

e. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk

selamanya.

f. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi

oleh hak perorangan.8

Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang

Desa Pakraman yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Kedudukan desa pakraman adalah daerah

8Imam Hidayat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty,

Yogyakarta, hal. 2-3.

Page 24: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

8

yang diakui dan dihormati. Kedudukan ini didapat karena desa pakraman

mempunyai susunan asli dengan memandang asal-usul (berdasarkan hukum adat),

hal ini berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah yang ada di dalam wilayah desa

pakraman tersebut yang disebut dengan tanah adat.

Ketentuan konversi dari UUPA dalam Pasal I ayat (1) Bagian Kedua

UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik dan

Pasal II ayat (1) yang mengatur mengenai tanah-tanah adat yang ada di Bali dapat

dikonversi menjadi hak milik. Ketentuan ini menyebabkan tanah-tanah adat yang

dikuasai oleh perorangan dan ada pula yang dikuasai oleh persekutuan (dalam hal

ini oleh desa adat). Tanah-tanah adat di Bali dibagi menjadi tanah druwe desa,

tanah laba pura, tanah pekarangan desa, dan tanah ayahan desa. Tanah druwe

desa yakni tanah yang dikuasai oleh desa adat yang didapat dengan cara membeli

ataupun dengan cara yang lainnya, tanah ini berupa tanah pertanian yang akan

digarap oleh krama desa, tanah laba pura atau tanah pelaba pura adalah tanah

milik desa yang digunakan untuk keperluan pura, tanah pekarangan desa adalah

merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa

untuk membangun rumah, tanah ayahan desa adalah merupakan tanah yang

dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa, dan dengan kewajiban

timbal balik memberikan ayahan kepada desa pakraman, tanah-tanah tersebut

diatur dengan awig-awig desa sehingga orang-orang yang menguasainya dibebani

kewajiban-kewajiban (ayahan tertentu oleh desa).

Berdasarkan Pasal 19 UUPA, diadakan pendaftaran tanah di seluruh

Indonesia oleh pemerintah untuk menjamin kepastian hukum. Adapun ketentuan-

Page 25: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

9

ketentuan atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konversi tanah-

tanah adat yakni pendaftaran tanah-tanah adat yang dikonversi diatur melalui

Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa

ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (ditambah dengan Peraturan Menteri

Agaria No. 5 tahun 1960), Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun

1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas

tanah (ditambah dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.

SK/26/DDA/1970).

Mengacu pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo.

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka dikeluarkan Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai

Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986

tersebut maka pura akhirnya diakui sebagai salah satu badan keagamaan yang

berhak mempunyai hak milik atas tanah.

Dalam hukum adat dikenal ada dua macam hak milik yaitu:

1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya

milik komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama

dari penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut Druwe desa,

di Manado disebut Kintal Kalakeran, di Minangkabau disebut harta

pusaka, di Jawa Barat disebut kasikepan, Anggota desa (persekutuan)

yang ikut berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai atas

tanah tersebut.

2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang

tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya sawah milik, sawah

yasa, dan lain-lain.9

9Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,

Bandung, hal. 91.

Page 26: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

10

Dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986

pada bagian menimbang huruf c disebutkan bahwa tanah badan keagamaan yang

dapat dimiliki hak milik terbatas pada tanah-tanah yang dipergunakan untuk

keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan keagamaaan. Menurut

sifatnya tanah adat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan serta diasingkan

untuk selamanya, namun kenyataannya ditemukan kasus tanah milik pura yang

diperjualbelikan, seperti yang terjadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah milik pura Dalem Sakenan Kelan

yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan, Kota Denpasar telah dijual

kepada pembeli, artinya hak kepemilikan dari tanah tersebut sudah beralih kepada

pembeli untuk selamanya. Dengan demikian ada kesenjangan antara norma

hukum adat dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini

menimbulkan permasalahan yang penting untuk dikaji secara mendalam.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, menarik untuk diteliti dan

diangkatsebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Pelaksanaan Jual

Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)”.

Dalam penelitian ini, telah dibandingkan dengan beberapa tesis yang

sebelumnya juga membahas tentang tanah laba pura. Adapun tesis yang mirip

dengan penelitian ini yaitu:

1. Tesis dari I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, Program studi Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, dengan judul

Page 27: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

11

Eksistensi Tanah-tanah Milik Pura Desa Pakraman di Kota Denpasar,

rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu:

a. Bagaimanakah eksistensi dari tanah-tanah milik pura di Desa Pakraman

di Kota Denpasar pada saat ini?

b. Upaya-upaya apa yang dilakukan para pengurus dari desa pakraman

untuk menjaga eksistensi tanah milik pura (tanah pelaba pura) ?

2. Tesis dari Ni Nyoman Ayuni, Program Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2008, dengan

judul “Penyelesaian sengketa Laba Pura Desa Pakraman di Bali“. Adapun

rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu:

a. Siapakah yang bertindak mewakili pura sebagai Badan Hukum

keagamaan apabila terjadi sengketa yang menyangkut laba pura?

b. Proses penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan laba pura?

3. Tesis dari Ayu Agung Susanti, Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, 2013, dengan judul “Kedudukan Desa

Pakraman dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Druwe Desa dalam

Persepektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, rumusan masalah yang

terdapat dalam tesis ini yaitu:

a. Apakah Desa Pakraman dapat memenuhi unsur sebagai subyek hukum

dalam perjanjian sewa-menyewa tanah druwe desa?

b. Bagaimanakah proses pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah

druwe desa?

Page 28: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

12

Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan

seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan

judul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat

Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung)” dan

permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang

membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

keorisinalitas dan keasliannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka

permasalahan yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya transaksi jual beli

tanah druwe pura?

2. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan transaksi jual beli tanah druwe pura?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, tentunya ada tujuan yang ingin dicapai

peneliti/penulis sehingga upaya untuk memberikan informasi publik itu tercapai

secara baik. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah antara lain dibagi menjadi

dua (2) yaitu:

1. Tujuan Umum.

Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan

sumbangsih pemikiran dalam rangka perkembangan hukum agraria di Indonesia.

Page 29: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

13

Dalam hal ini yang menjadi obyek adalah pelaksanaan perjanjian jual-beli di atas

tanah druwe pura.

2. Tujuan Khusus.

Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang

telah disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang

ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini

yakni:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi

terjadinya transaksi jual-beli tanah druwe pura.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur pelaksanaan

perjanjian jual-beli tanah druwe pura.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, khususnya tentang tanah druwe

pura. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni :

1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan tanah druwe pura yang

berfungsi sosial dan ekonomis.

2. Manfaat Praktis.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

para praktisi mengenai prosedur yang harus dilakukan dalam transaksi jual

Page 30: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

14

beli dengan obyek tanah druwe pura, serta dapat menjadi masukan pada

Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan hukum di bidang pertanahan

selanjutnya.

1.5 Landasan Teoritis/Kerangka Konsep

1.5.1 Landasan Teoritis

Dalam penulisan ini diperlukan landasan teori yang mendukung arah

pemikiran menuju jawaban atas permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang

mendukung rumusan masalah dalam penulisan ini adalah teori:

a. Teori Conditio Sine Qua Non

Teori conditio sine qua non, dicetuskan pertama kali oleh Von Buri pada

tahun 1873, kemudian dikembangkan oleh Van Hamel. 10

Inti Teori yang

dikemukakan oleh Von Buri yakni “Semua faktor yang turut serta merta

menyebabkan suatu akibat tidak dapat dihilangkan, rangkaian faktor-faktor yang

bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu”. Teori ini digunakan untuk

menyelesaikan permasalahan yang pertama yakni yang melatarbelakangi

terjadinya jual beli tanah druwe pura pasti memiliki sebab-sebab yang

melatarbelakanginya sehingga tanah druwe pura ini akhirnya diputuskan dijual

oleh Desa Adat Kelan.

10

H. Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, hal. 140.

Page 31: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

15

b. Teori Badan Hukum

Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa

revolusi industri. Istilah Teori Badan Hukum berasal dari terjemahan bahasa

inggris disebut dengan The Intity Theory.11

Sementara itu dalam bahasa Belanda

disebut dengan Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum adalah perkumpulan atau

organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya

dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Perbuatan yang

dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu

ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang

timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang

oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

pada masing-masing pihak.12

Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl Von

Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan

abad ke-19. Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai

kehendak. Menurut von Savigny bahwa hanyaa manusia saja yang mempunyai

kehendak, negara-negara, koorporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi

subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan itu

manusia”.13

Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka badan hukum seolah-olah

subjek hukum, tetapi wujud tidak riil itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan

11

Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 29. 12

Soedjono Dirjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja

Grafindo, Jakarta, hal. 128.

13

H. Salim, H.S., op.cit., hal. 177.

Page 32: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

16

sehingga yang melakukan perbuatan-perbuatan ialah manusia sebagai wakil-

wakilnya.

Teori Badan Hukum terdiri atas beberapa pembagian antara lain : Teori

Fiksi, Teori Konsesi, Teori Zweckvermogen, Teori Kekayaan Bersama, dan Teori

Realis atau Organik. Diantara kelima pembagian Teori Badan Hukum yang

dipaparkan di atas, teori yang dipergunakan adalah Teori Fiksi. Teori Fiksi

berkaitan dengan proses jual beli pura sebagai badan hukum, pura tidak bisa

melakukan penandatanganan akta dihadapan PPAT karena bukan manusia, yang

bertindak disini adalah Bendesa Adat untuk melakukan perbuatan hukum

mengatasmakan pura. Dengan kata lain von Savigny berpendapat bahwa badan

hukum itu hanya suatu fiksi, tetapi orang menciptakan dalam bayangan suatu

pelaku hukum (Badan Hukum) sebagai subjek hukum diperhitungkan sama

dengan manusia.

c. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa “sesuatu

yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.14

Hukum dibuat pun ada tujuannya,

tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan

hukum yang utama ada tiga, yaitu : keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk

ketetapan, kemanfaatan untuk kebahagiaan. Suatu kepastian hukum

mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku

14

Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum : Refleksi krisis terhadap

hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 123.

Page 33: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

17

secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian

hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia).

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku

bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena

keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan

orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-

kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami

secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan

pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:

1. hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-

undangan.

2. hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.

3. fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari

kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.

4. hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa

kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum

merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Page 34: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

18

Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka hukum positif yang mengatur

kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati guna

mencapai tertib hukum dalam masyarakat.

Teori ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kedua tentang

proses jual beli tanah druwe pura yang harus dilakukan di depan PPAT dengan

syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya oleh Desa Adat Kelan sebagai

penjual tanah druwe pura untuk mengantisipasi jika ada permasalahan di

kemudian hari. Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini dimaksudkan

agar nantinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

harus dapat menjamin kepastian hukum, dimana setiap produk yang dibuat dan

dihasilkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dapat memberikan

ketentraman bagi masyarakat.

d. Teori Perjanjian

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, mendefensikan

perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat pembuatan

sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian

menurut teori hukum baru, yaitu: tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran

dan penerimaan, tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan

Page 35: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

19

kehendak antara para pihak, dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan

perjanjian.15

Sejak dulu manusia telah melakukan perbuatan hukum perjanjian,

contohnya adalah dalam hal barter atau tukar menukar. Semakin lama proses

perjanjian itu menjadi sangat luas dari yang semula hanya menyangkut hal-hal

yang kecil, hal ini disebabkan antara lain karena kebutuhan manusia yang semakin

meluas. Dalam hal ini adalah kebutuhan manusia tentang tanah, tanah adalah

kebutuhan yang penting bagi manusia.

Proses dari pembuatan perjanjian adalah “just a drafting the process of

converting the underlying of the party or parties into a written document,

construction is the process or derinving the true intention of the party or parties

from the document”.16

Terjemahan bebas: membuat kontrak merupakan proses

konversi niat yang mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi

dokumen tertulis konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak

ke dokumen yang dibuat.

Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian

kebendaan (zakelijk overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian

kebendaan adalah suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, karena

adanya kesepakatan dari dua pihak atau lebihyang saling mengikatkan diri, dan

ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah atau berakhirnya hak kebendaan.

Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak

15

H. Salim,H.S., op.cit., hal. 73. 16

Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition,

LexixNexis Butterworths, Australia, hal. 3.

Page 36: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

20

milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan

kewajiban dari para pihak. Di samping itu dikenal juga jenis perjanjian dari

sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir merupakan perjanjian

tambahan, seperti perjanjian pembebanan fidusia/hak tanggungan.17

Teori perjanjian ini digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang

kedua yakni proses jual beli tanah druwe pura. Dalam proses jual beli tanah

druwe pura juga ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut yaitu tahap

pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan dari penjual dan pembeli

dilanjutkan dengan tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan

kehendak antara para pihak mengenai harga dan waktu diadakannya jual beli, dan

yang terakhir tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian, pada tahap ini

penjual dan pembeli menandatangani akta jual beli yang berarti tanah druwe pura

yang diperjualbelikan sudah sah menjadi milik pembeli.

1.5.2 Kerangka Konsep

a. Konsep Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli

1. Jual beli tanah menurut hukum adat

Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan suatu

penyerahan barang (tanah) oleh penjual kepada pembeli yang sifatnya tunai, riil,

dan terang dengan maksud untuk memindahkan hak milik atas benda (tanah)

diantara kedua belah pihak. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan

pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa

17

Ibid., hal. 30.

Page 37: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

21

dengan mengucapkan kata-kata saja belumlah terjadi jual beli.18

Terang artinya

pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa,

karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui tentang hukum dan

kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut.

Terjadinya peralihan hak atas tanah sebagai akibat dari jual beli tanah

menurut hukum adat diawali dengan kata sepakat antara calon pembeli dan calon

penjual mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan

harganya. Hal ini dilakukan dengan musyawarah melalui mereka sendiri. Setelah

penjual dan pembeli sepakat mengenai obyek yang akan dijual dan harganya maka

biasanya akan diikuti dengan pemberian panjer. Panjer diartikan sebagai tanda

jadi bahwa jual beli tersebut akan dilaksanakan.

Jual beli tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah “Jual lepas”,

dimana merupakan perbuatan pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran

harganya secara tunai. Dengan dilakukannya jual beli itu tanah yang bersangkutan

berpindah tangan untuk selama-lamanya kepada pembelinya, artinya hak atas

tanah yang dijual itu berpindah kepada pembelinya, yang dengan demikian

menjadi pemegang hak yang baru.19

Haryanto T, dalam bukunya Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas

Tanah memberikan pengertian tentang jual beli menurut hukum Adat yaitu:

18

Boedi Harsono, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui

Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah

Tanah Adat Dewasa Ini, Djambatan, Banjarmasin, hal. 50. (selanjutnya disebut

dengan Boedi Harsono III) 19

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993,

Analisa dan Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta, hal.7

Page 38: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

22

Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah

yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada

saat mana pembeli menyerahkan harganya kepada penjual, pembayaran

harganya dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan meskipun

pembayarannya baru sebagian.20

Dari pengertian tersebut di atas maka peralihan hak milik atas tanah melalui

jual beli menurut hukum adat terjadi untuk selama-lamanya oleh penjual kepada

pembeli yang pada saat pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Hal ini

berbeda dengan jual beli menurut hukum perdata barat bahwa jual beli dianggap

telah apabila sudah dilakukan balik nama terhadap tanah tersebut dari nama

penjual menjadi nama pembeli.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimaksudkan ke dalam hukum benda,

khususnya hukum perjanjian, hal ini dikarenakan:

1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan perjanjian,

sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli

tersebut.

2. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan

kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah.

Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak

membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar

terjadinya jual beli tersebut.21

Menurut hukum adat pembayaran harga jual beli baik seluruhnya maupun

sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang

berarti bahwa perjanjian jual beli tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat,

yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya

perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh

20

Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah,

Usaha Nasional, Surabaya, hal. 6-7. 21

Adrian Sutedi, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,

Cetakan Keenam, Sinar Grafika, hal. 72. (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I)

Page 39: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

23

umum. Syarat tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara

bersamaan yaitu pemindahan hak dari si penjual kepada si pembeli dan

pembayaran harga baik sebagian maupun seluruhnya dari pembeli kepada penjual.

Pembayaran harga jual beli bisa dibayarkan seluruhnya maupun sebagian.22

Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut

atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.23

Mengenai hal tersebut di atas, J Kartini Soedjindro mengemukakan apabila

dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tanah adat, maka syarat-syarat yang harus

dipenuhi adalah:

1. Harus ada persetujuan dari ahli waris apabila hubungan ahli waris masih

kuat, mungkin mereka akan membeli tanah itu untuk seterusnya, untuk

satu musim atau untuk suatu waktu tertentu.

2. Hak tetangga (buren recht) dan hal sesama anggota suku/masyarakat

hukum adat (naasting recht) harus diperhatikan juga. Apabila perbuatan

hukum tersebut di atas akan diadakan, kecuali ahli waris, maka para

tetangga yang tanahnya berbatasan harus diberi prioritas untuk membeli

tanah yang akan dijual tersebut. Dan bilamana calon pembeli bukan

anggota suku/masyarakat/desa, maka anggota suku/masyarakat/desa

harus lebih dahulu diberi kesempatan untuk membeli tanah yang akan

dijual itu.

3. Apabila ahli waris, tetangga, atau sesama anggota suku tidak ada yang

mau membeli, maka ada kemungkinan bagi bukan anggota

suku/masyarakat/desa untuk membeli tanah tersebut. Untuk ini

diperlukan keputusan desa dan atas dasar itu, oleh kepala

suku/masyarakat/desa yang bertindak keluar mewakili suku/masyarakat

hukum/desa untuk memberikan izin kepada bukan anggota. Namun

mereka harus membayar sewa bumi secara tetap dan memberikan uang

saksi.24

22

Wantjik Saleh. K, 1985, Hak Atas Tanah, Cet. ke-5, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hal. 35. 23

Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,

hal. 20. 24

J.Kartini Soedjindro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang

Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hal. 50.

Page 40: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

24

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara

antara si pemilik tanah dengan calon pembeli tentunya sudah ada kata sepakat

terlebih dahulu yaitu mengenai tanah hak milik yang akan dijual, berapa harga

tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Hal ini

dilakukan melalui musyawarah mereka sendiri. Setelah pembeli dan penjual

sepakat biasanya diikuti dengan pemberian panjer sebagai tanda jadi. Panjer atau

persekot itu berupa sejumlah uang yang akan diterima oleh penjual. Pemberian

panjer ini diartikan sebagai tanda jadi akan dilaksanakan jual beli atas tanah

tersebut. Pemberian panjer ini menimbulkan hak ingkar, bila yang ingkar adalah

pemberi panjer maka panjer otomatis akan menjadi milik dari penerima panjer,

namun apabila yang ingkar adalah penerima panjer maka panjer tersebut harus

dikembalikan sepenuhnya kepada pemberi panjer. Transaksi jual tanah dalam

sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yakni :

a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran uang tunai sedemikian

rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar

sejumlah uang yang pernah dibayarnya. Antara lain menggadai, menjual

gade, adil sende, ngejual akad atau gade.

b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk

membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain

adol plas, runtemurun, menjual jaja.

c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian

bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu

tanah akan kembali (menjual tahunan, adol ayodan).25

2. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut UUPA

Pasal 26 UUPA mengatur mengenai jual beli dan lain-lain perbuatan yang

dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya. PP No. 10

tahun 1961 Pasal 19 yaitu “ setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak

25

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.

Page 41: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

25

atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau

meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan

dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh

Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat).

Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. PP No 10 tahun 1961

ini kemudian digantikan dengan PP No.24 Tahun 1997.

Sejak berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, jual

beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.

Dengan dilakukan jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan

perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta

jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadinya

pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran

harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan perbuatan hukum

pemindahan hak tersebut terjadi secara nyata atau riil. Dengan telah

ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini

menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya

adalah surat jual beli tersebut.26

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta

tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada Kantor

Pendaftaran Tanah untuk mendaftarkan pemindahan haknya (Pasal 40 PP No. 24

TAhun 1997). Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli Mahkamah Agung

dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa akta PPAT hanyalah

26

Adrian Sutedi, op.cit., hal.77.

Page 42: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

26

suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang

sah atau tidaknya suatu jual beli tanah.

3. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut KUHPerdata

Sebelum jual beli dilaksanakan antara si pemilik tanah dengan calon

pembeli tentunya sudah ada kata sepakat terlebih dahulu, seperti berapa harga

tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Kesepakatan ini

menimbulkan adanya suatu perjanjian (yaitu perjanjian untuk mengadakan jual

beli). Mengenai masalah jual beli menurut hukum perdata banyak pengaturannya

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal

1457, 1458, dan 1459 yang berbunyi

Pasal 1457:

“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Pasal 1458:

“Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika

setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan

tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,

maupun harganya belum dibayar”.

Page 43: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

27

Pasal 1459:

“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si

pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal

612,613, dan 616”.

Dari ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jual

beli dianggap telah terjadi apabila sudah ada kata sepakat mengenai benda yang

menjadi obyek jual beli dan harganya, meskipun benda itu belum diserahkan

maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHper). Akan tetapi walaupun

jual beli sudah dianggap terjadi namun hak milik atas tanah tersebut belum beralih

kepada pembeli sebelum dilakukan perbuatan hukum yang dikenal dengan

penyerahan yuridis atau yuridis levering (Pasal 1459 KUHPer) dengan jalan

melakukan balik nama (overschrijwings) terhadap tanah tersebut dari nama

penjual menjadi nama pembeli.

Berdasarkan tiga konsep jual beli menurut hukum adat, Undang-Undang

No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan

KUHPerdata. Dalam penelitian ini lebih mengarah kepada konsep jual beli

menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 26 UUPA yang menyatakan

bahwa jual beli diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jual beli diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah pada

pasal 37 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah hanya dapat

didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

Page 44: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

28

b. Tanah Milik (Druwe) Pura

Hak milik bangunan suci di Bali sebenarnya sudah ada sejak masa bali

kuno hak ini diungkakan oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna bahwa masa kerajaan

hak-hak atas tanah yang melekat pada bangunan suci, pada dasarnya timbul

karena adanya suatu proses penetapan suatu daerah menjadi jataka/sima, untuk

kepentingan bangunan suci tersebut. Dalam proses itu raja sebagai penguasa suatu

kerajaan dan sebagai pemegang hak milik atas tanah, menghibahkan hak-hak

tersebut kepada bangunan suci atas sebidang tanah dan/atau atas suatu kawasan

tertentu. Dengan adanya proses tersebut, maka beralihlah hak-hak atas tanah itu

dari hak milik dan penguasaan raja menjadi hak milik bangunan suci. Demikian

pula status kepemilikannya dari milik raja menjadi milik bangunan suci.27

Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan konversi dari Undang-Undang

Pokok Agraria disebutkan bahwa tanah adat yang ada di Bali dapat dikonversi

menjadi hak milik asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam

Pasal 21 UUPA. Sebagai realiasi daripada Pasal 21 ayat (2) UUPA maka

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang

Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas

Tanah. Pada Pasal 1 berbunyi :

a. Bank-Bank yang didirikan oleh Negara

b. Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan

berdasarkan Undang-undang No 79 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 139).

c. Badan-Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama

d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria

setelah mendengar Menteri Kesejahteraan sosial

27

I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa

Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar, hal. 150.

Page 45: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

29

Dari ketentuan tersebut badan keagamaan akhirnya diakui menjadi salah

satu badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah, namun dalam

peraturan ini belum ada pengakuan bagi desa adat sebagai subjek hak milik atas

tanah. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kepemilikan tanah di Bali.

Atas dasar inilah maka Parisada Hindu Dharma Pusat mengusulkan kepada

Pemerintah Daerah Tingkat I Bali agar supaya Desa Adat dan Pura dapat

ditetapkan sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.28

Pada

tanggal 14 maret 1986 para pemimpin umat hindu dan instansi terkait serta

dengan dukungan penuh DPRD Tingkat I Bali dikirim suatu delegasi kepada

Direktur Jendral Agraria dengan membawa usulan agar pura ditunjuk sebagai

badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. 29

Akhirnya tanggal 24 September 1986 terbitlah Surat Keputusan Dalam

Negeri No SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum

Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan

dikeluarkannya Surat keputusan mendagri ini maka Pura pada akhirnya diakui

sebagai badan hukum keagamaan dan berhak subjek pemegang sertifikat hak

milik atas tanah. Dengan dikeluarkannya SK Mendagri ini maka pura dapat

mengkonversi tanah adat menjadi tanah milik pura. Dalam SK medagri tersebut

ditetapkan sebagai berikut:

Pertama : Menunjuk Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat

mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

28

M.Suasthawa D, op.cit., hal. 52. 29I Ketut Sudantra, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah

Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika (Majalah

Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana), Denpasar, hal. 43.

Page 46: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

30

Kedua : Menegaskan bahwa tanah-tanah palemahan yang merupakan kesatuan

fungsi dengan Pura yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya Surat

Keputusan ini dikonversi menjadi Hak Milik.30

Dengan ditunjukknya Pura sebagai salah satu badan hukum keagamaan

yang dapat memiliki hak milik atas tanah maka pura dapat mengkonversi tanah

adat menjadi tanah hak milik Pura. Tanah Pura yang digunakan untuk bangunan

tegak pura dan tanah disekitar pura yang dipergunakan oleh krama desa untuk

memenuhi kebutuhan pura dan kebutuhan sehari-harinya baik berupa ladang

maupun sawah sudah bukan dinamakan tanah laba pura atau pelaba pura lagi,

sekarang sudah menjadi satu menjadi Tanah Milik Pura. Demikian pula di dalam

Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Kantor

Agraria di dalam rangka realisasi Proda (Proyek Daerah Agraria), juga tetap atas

nama Pura.31

Fungsi tanah druwe pura itu sendiri adalah untuk memastikan bahwa

aktifitas keagamaan di pura berjalan dengan baik. Maka dari itu penting untuk

memiliki harta kekayaan sendiri yakni berupa tanah. Tanah ini berfungsi untuk

bangunan-bangunan pura (tegak pura) dan tanah tegalan atau persawahan untuk

menopang aktifitas pura. Tanah di luar bangunan pura dinamakan dengan tanah

laba pura.

1.5.3 Azas-Azas

a. Azas persetujuan bersama atau musyawarah mufakat.

Azas ini muncul dalam setiap pengambilan keputusan penting atau

keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Seorang pemimpin yang

30

I Ketut Sudantra, op. cit., hal. 44. 31

M. Suasthawa. D, op.cit., hal.41.

Page 47: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

31

arief bijaksana, ketika membuat keputusan yang penting atau yang menyangkut

hajat hidup orang banyak selalu dilakukan melalui musyawarah mufakat. Asas ini

berkaitan dengan pokok permasalahan yang kedua, sebelum dilakukan perjanjian

sewa menyewa antara pihak bendesa adat dengan pihak penyewa maka dilakukan

musyawarah terlebih dahulu dalam hal ini diadakan Rapat antara bendesa dengan

krama desa untuk mencapai mufakat mengenai isi perjanjian sewa.

b. Azas Perwakilan

Azas ini merupakan lanjutan dari azas persetujuan bersama atau

musyawarah mufakat, dalam persetujuan bersama harus ada perwakilan dari tiap

desa untuk melakukan rapat di Balai Desa. Kehadiran dipandang sebagai

keterwakilan dari suatu kelompok, jika keputusan yang diambil atau dibuat

dengan dihadiri oleh orang-orang yang diundang untuk itu maka hasil keputusan

rapat memiliki nilai legalitas yang sangat tinggi.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris karena penelitian

ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein yaitu

kesenjangan antara teori dengan kenyataan atau kesenjangan antara teoritis

dengan fakta hukum yang ada, yakni mengenai kesenjangan antara sifat tanah adat

yang tidak dapat dipindahtangankan untuk selamanya dengan praktek yang terjadi

yakni banyaknya jual beli tanah druwe pura.

Page 48: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

32

1.6.2 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang bertujuan untuk memberikan

data yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini diberikan

data yang berhubungan dengan permasalahan yaitu berhubungan dengan akta

PPAT dalam hal jual beli yang mana obyek jual-belinya adalah sebidang tanah

druwe pura.

1.6.3 Lokasi dan Teknik Penentuan Lokasi Penelitian

Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Teknik Purposive Sampling, yaitu dengan penarikan sampel penelitian yang sudah

ditentukan sendiri oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Dalam

penelitian ini ditetapkan lokasi penelitian dilakukan di Desa Adat Kelan,

Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Penentuan

lokasi penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan bahwa di Desa Adat Kelan

terdapat transaksi jual beli tanah druwe pura yang di empon oleh Desa Adat

Kelan. Tanah druwe pura tersebut terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa

Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Adapun

lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kelan dikarenakan setelah dilakukan

penelitian ditempat ini ditemukan kasus jual beli tanah druwe pura. Kasus ini

menarik di samping karena menurut sifatnya tanah adat, dalam hal ini tanah

druwe pura tidak boleh diperjualbelikan, juga karena kasus yang terjadi di Desa

Adat Kelan ini merupakan satu-satunya kasus jual beli tanah druwe pura yang

ditemukan.

Page 49: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

33

1.6.4 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini ada 2 jenis yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari

penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama

di lapangan yaitu dari informan, sedangkan data sekunder adalah data yang

bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara

langsung dari sumber pertamanya, melainkan data-data yang sudah

terdokumenkan dalam bentuk-bentuk bahan hukum.

1. Data

a. Data primer

Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field

research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan

yang berasal dari informan, Notaris/PPAT, pembeli dan penjual tanah druwe

pura yang dijadikan obyek perjanjian jual beli.

b. Data sekunder

Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan (library

research), pengumpulan berbagai data yang diperoleh dengan menggunakan

literatur, majalah di bidang hukum. Data sekunder sekunder tersebut dibagi

menjadi 3 yaitu:

1. Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum, perwujudan asas

dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan

Page 50: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

34

perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

c. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan

Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah

d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK 556/DJA/1986

tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang

Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

g. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman

h. Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan

atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman.

Page 51: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

35

i. Awig-Awig Desa Adat Kelan

Menurut Stephen Elias “The law found in primary sources can take

many different forms. They include cases, statutes, administrative,

local ordinances, state and federal constitutions, and more”.32

(“Hukum yang ditemukan dalam sumber-sumber primer dapat

bermacam-macam bentuk. Termasuk di dalamnya kasus, undang-

undang, peraturan administrasi, adat-istiadat, konstitusi Negara, dan

lain-lain”.)

2. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-

buku yang terkait dengan hukum agraria, metode penelitian hukum,

makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang

berhubungan dengan penelitian ini.33

3. Bahan-bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan

Kamus Hukum.

2 . Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber

data primer dan sumber data sekunder

32

Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law,

Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal. 23. 33

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada

Media, Jakarta, hal. 141.

Page 52: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

36

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil

wawancara dengan pihak terkait yakni dengan Bendesa Adat Kelan dan

Notaris/PPAT Kota Denpasar.

2. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berasal

dari kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara (interview)

dan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik studi dokumen.

1. Wawancara (interview)

Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan teknik wawancara yaitu

mendapatkan informasi langsung dengan cara bertanya langsung kepada

narasumber yang telah ditentukan. Wawancara adalah percakapan dengan

maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu

pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang

memberikan pertanyaan itu.34

Jenis wawancara yang digunakan adalah teknik

wawancara terstruktur yakni teknik wawancara yang telah disusun terlebih

dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, teknik wawancara seperti

akan memberikan informasi yang diinginkan. Pokok-pokok yang dijadikan

dasar pertanyaan diatur secara terstruktur, hal ini didasari pendapat Nasution

34

Lexy J. Moleong, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),

PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 186.

Page 53: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

37

yang menyatakan bahwa tujuan wawancara adalah untuk mengetahui tentang

hal-hal yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain.35

Dalam penulisan

tesis ini dilakukan wawancara dengan beberapa informan antara lain Bendesa

Adat Desa Adat Kelan, Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH., dan

Pegawai/Staff Notaris/PPAT.

2. Studi Kepustakaan, studi kepustakaan dapat dilakukan melalui penelitian

kepustakaan atas bahan-bahan hukum dan dokumen-dokumen yang relevan

dengan permasalahan yang diteliti. Data kepustakaan sebagai data sekunder

diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang

terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun

karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen yang

dipergunakan dapat berupa dokumen resmi maupun dari hasil penelitian yang

memiliki kesesuaian data dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.36

1.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dalam hal ini data

yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri dari kata-kata dan bersifat

monogamis atau berwujud kasus-kasus. Data-data yang telah dikumpulkan baik

dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan

kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian

kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang

35

Nasution. S, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito,

Jakarta, hal 73. 36

Ibid., hal. 86.

Page 54: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

38

tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.37

Data-data yang suda

dikumpulkan baik melalui wawancara dengan Bendesa Adat, Notaris/PPAT, dan

Pegawai Notaris beserta dokumen-dokumen yang didapat digabungkan dengan

hasil penelitian kepustakaan kemudian dianalisis untuk mendapat kesimpulan

yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dikaji.

37

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 107.

Page 55: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

39

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA,

TANAH DRUWE PURA, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

2.1 Tinjauan Umum Tentang Tanah Pura dan Tanah Druwe Pura Serta

Kaitannya Dengan Hak Ulayat

2.1.1 Pengertian dan Jenis-Jenis Pura

Pura merupakan tempat suci bagi agama Hindu, di pura inilah umat Hindu

mengadakan persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Terutama di Bali banyak sekali terdapat pura, sehingga Bali juga disebut dengan

“Pulau Seribu Pura”. Istilah pura diartikan sebagai tempat suci untuk pemujaan

Tuhan bagi masyarakat Hindu. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis

gunung, Tuhan, para dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak

gunung sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci.

Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas

pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yang disebut triloka,

yaitu alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka) dan alam atas (swah

loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke dalam konsep tri angga,

yaitu kaki, badan dan kepala. Demikian pula dalam suatu bangunan suci candi

misalnya, bagian-bagiannya terdiri atas dasar, badan dan atap candi.

Palemahan (wilayah pura) terbagi atas 3 wilayah berdasarkan konsep nista-

madya-utama. Menurut ajaran Hindu keadaan alam semesta ini adalah bertingkat,

yaitu “alam atas” (swah loka) yang diberi sifat utama, “alam tengah” (bhuah loka)

Page 56: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

40

yang diberi sifat madya, serta alam bawah (bhur loka) yang diberi sifat nista.38

Berdasarkan konsep ini maka wilayah pura terbagi dalam tiga wilayah (Tri

Mandala) yang meliputi:

1) Utama Mandala adalah bagian teritorial yang merupakan tempat

didirikan bangunan-bangunan suci (palinggih-palinggih). Areal ini

dipisahkan dengan areal kedua (Madya Mandala).

2) Madya Mandala adalah bagian territorial pura dimana bagian ini terletak

pada bagian depan pura (bagian depan areal utama mandala). Pada

tempat ini didirikan bangunan-bangunan pelengkap yang menunjang

kegiatan pura seperti dapur, bale gong, bale kulkul dan sebagai tempat

tarian sakral dipentaskan.

3) Nista Mandala adalah territorial pura yang termasuk di dalamnya adalah

tanah setra (pekuburan), tanah-tanah pelaba pura , tanah-tanah telanjakan

pura serta tanah-tanah lainnya yang lokasinya di luar Madya Mandala.39

Konsep ini tercermin pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas

tiga halaman jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/

madhya) dan jeroan (halaman dalam/uttama). Bentuk tiga bagian dari pura

adalah:

1. Jaba Pura (halaman sisi), pada bagian ini terdapat bangunan-bangunan

seperti Bale kulkul, bale wantilan, dapur dan lain sebagainya. Untuk

mencapai tempat ini dapat dilalui melalui pintu masuk atau candi bentar.

2. Jaba Tengah (halaman tengah), halaman tengah pada umumnya ditempatkan

sedikit lebih tinggi dari halaman sisi dan dapat dicapai dengan melalui pintu

masuk yang berbentuk candi bentar. Pada bagian ini ditempatkan bangunan

seperti bale pegongan, bale penangkilan, dan lain sebagainya

38

I Made Suastawa Darmayuda dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat

Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 17. 39

Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura

Provinsi Daerah Tingkat I Bali, hal. 4.

Page 57: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

41

3. Jeroan (halaman dalam), merupakan bagian halaman yang tersuci karena

pada halaman ini terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Sang Hyang

Widhi Wasa. Untuk mencapai tempat ini melalui pintu masuk yang disebut

dengan Kuri Agung atau Candi Kurung. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi

dari halaman tengah sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura

bertingkat-tingkat semakin tinggi. Pelinggih –pelinggih yang ada pada halam

ini pada umumnya adalah Padmasana, Meru, Gedong, Pengaruman, dan

lain-lain.

Pura merupakan tempat sakral, suci, dan diagungkan oleh kalangan umat

Hindu. Pura di Bali adalah manifestasi dari keyakinan dan keimanan warga Bali

yang mayoritas beragama Hindu. Pura menunjuk pada pengertian sebagai tempat

suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya

(Prabawanya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur).40

Disamping istilah

pura, kadang-kadang dipakai pula istilah lain selain istilah pura seperti kahyangan

atau parhyangan. Menurut buku hasil inventarisasi tanah-tanah laba pura yang

dikeluarkan oleh Pemda Tingkat I Bali Direktorat Agraria disebutkan bahwa

fungsi pura adalah sebagai berikut:

a. Untuk memuja Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan

segala prabawa-NYA (manifestasi-NYA). Dalam teologi Hindu Tuhan

Yang Maha Esa dikenal memiliki banyak manifestasi, pancaran dari

kemahakuasaan Beliau itulah dikenal dengan sebutan Dewa yang dipuja di

masing-masing pura.

b. Untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). Dalam keyakinan

umat Hindu roh leluhur yang telah melalui suatu proses tertentu di yakin

akan dapat mencapai alam dewata. Kepada roh suci tersebut dipuja pada

jenis-jenis tertentu.41

40

Ibid., hal.3. 41

Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, loc.cit.

Page 58: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

42

Jenis-jenis pura dari pengelompokkan penyungsungnya dapat dikelompokkan

menjadi 2 yakni:

a. Pura atau Kahyangan khusus yaitu tempat pemujaan Tuhan dengan

segala manifestasinya bagi mereka berasal dari satu garis keturunan.

Pura atau Kahyangan ini umum disebut Pura atau Kahyangan keluarga

atau Kawitan dan yang ada di komplek Pura Besakih kelompok Pura

atau Kahyangan ini lazim disebut “Pura Padharman”.42

Dengan

demikian maka pura kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang

telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen

kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti

maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang

yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura

Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti dan

keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut

keluarga besar. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang

istri dan anak-anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu

keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan

taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede

atau pamarajan agung.

b. Pura atau Kahyangan umum ialah tempat suci untuk memuja dan

mengagungkan kebesaran “Sang Hyang Widhi Wasa” (Tuhan Yang

Maha Esa) dengan berbagai prabhawa atau manifestasinya yang dapat

42

Ktut Soebandi, 1981, Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat,

Guna Agung, Denpasar, hal. 65.

Page 59: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

43

dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu “Pura atau Kahyangan Tiga

Desa” adalah Pura atau Kahyangan penyungsungnya kesatuan

masyarakat adat dan Pura atau “Kahyangan penyungsungnya Jagat”.43

Pura atau Kahyangan Tiga Desa adalah Pura yang disungsung oleh

kesatuan masyarakat adat yang lazim disebut dengan “Desa Adat atau

Desa Pakraman”. Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat untu

memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Tri

Sakti yakni:

1. Pura Desa atau Bale Agung untuk Brahma sebagai pencipta

2. Pura puseh atau Panataran untuk Wisnu sebagai pemelihara

3. Pura Dalem (hulun setra) untuk Ciwa dalam prabhawa atau

perwujudan (manifestasi)-nya sebagai Durga pamralina (pelebur),

dan itu pulalah kiranya yang menyebabkan mengapa Pura Dalem

selalu terletak dekat dengan setra (kuburan) sebagai simbul Pralina

atau Pelebur.44

Pura atau Kahyangan Jagat ialah Pura atau Kahyangan Agung

terutama yang ada pada delapan penjuru mata angin dan ditengah-

tengah pulau Bali yaitu diantaranya Pura Lempuyang, Pura Andakasa,

Pura Batukaru, Pura Batur, Pura Gowa Lawah, Pura Ulu Watu, Pura

Pangelengan, dan Pura Besakih. Pura-Pura yang tergolong pula ke

dalam ciri Dang Kahyangan adalah pura-pura yang dihubungkan

dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan yang pernah ada di Bali.

Pada berbagai jenis pura ini ditempatkan benda-benda suci yang

disakralkan dan diyakini mempunyai nilai magis. Yang dimaksud dengan benda-

benda suci adalah benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara

43

Ibid., hal. 76. 44

Ktut Soebandi, loc.cit.

Page 60: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

44

menurut Agama Hindu, yang digunakan sebagai Stana (Pralingga) Sang Hyang

Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.

2.1.2 Pengertian Tanah Adat

Tanah adat di Bali disebut dengan “Tanah Desa” atau “Tanah Druwe”

yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat melalui

usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Ada dua hal yang menyebabkan

tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat. Bila dilihat

dari sifatnya tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang bagaimanapun

keadaannya tetap memberikan keuntungan kepada pemiliknya. Bila dilihat dari

faktanya, tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan kehidupan serta

tempat bagi anggota persekutuan dikuburkan kelak ketika ia meninggal dunia.

Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur,

memelihara, dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip

K. Flechtim menyatakan “social power is the sum total of all those capacities,

relationship and processes by which compliance of others is secured for ends

determined by the power holder”, yang artinya kekuasaan sosial adalah

keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan, dan proses-proses yang

menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh

pemegang kekuasaan.45

Tanah-Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat, memperlihatkan fungsinya

dalam tiga bentuk yakni:

45

Flechteim Assip,K, 1952, Fundamentals of Political Science, Ronald

Press Co, New York, hal. 16.

Page 61: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

45

a. Tanah Adat berfungsi ekonomis

Tanah-tanah adat khususnya yang berupa tanah-tanah pertanian digarap

untuk mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan kalau

bisa tentunya untuk meningkatkan taraf perekonomian di kalangan warga

masyarakat adat, dapatlah disimpulkan bahwa desa adat bertanggung jawab dalam

menjamin kelangsungan hidup warganya.

b. Tanah adat berfungsi sosial

Fungsi sosial disini adalah tidak berbeda sebagai mana dimaksud oleh Pasal

6 UUPA. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau

badan hukum, tidak hanya digunakan secara pribadi namun juga bermanfaat untuk

masyarakat. Fungsi sosial ini misalnya dapat dilihat pada penyediaan tanah milik

desa untuk dipakai sekolah, puskesmas, lapangan dan sebagainya oleh

pemerintah.

c. Tanah adat berfungsi keagamaan

Tanah adat juga berfungsi keagamaan, hal ini dapat diamati dari beban

kewajiban “ngayahang” yang menyertai bagi barang siapa yang mengusahakan

tanah-tanah adat, semua beban ini merupakan imbalan atas tanah yang diberikan

Krama desa oleh Persekutuan Desa adat.46

Hak-hak atas tanah ditentukan oleh status dan fungsi tanah adat, yaitu tanah

yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat, tunduk kepada peraturan atau

ketentuan-ketentuan hukum adat, penggunaannya diatur oleh persekutuan hukum

46

M. Suasthawa. D, op.cit., hal. 57.

Page 62: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

46

adat. Berdasarkan status dan fungsinya, maka tanah adat dapat dikategorikan

sebagai berikut:

1. Tanah pekarangan desa yaitu tanah yang diperuntukkan untuk

membangun rumah tempat tinggal bagi para warga desa

2. Tanah ayahan desa yaitu berupa tanah pertanian (tanah basah/tanah

kering) yang dibagi-bagikan kepada anggota/warga desa

3. Tanah laba pura juga merupakan tanah pertanian yang terikat oleh

satu pura atau lebih dan hasilnya dipergunakan untuk pemeliharaan

pura.

4. Tanah druwe desa yaitu tanah yang dipergunakan untuk kepentingan

desa secara bersama-sama seperti untuk kuburan, tanah lapang, balai

desa dan sebagainya.

2.1.3 Tanah Druwe Pura Dalam Kaitannya Dengan Hak Ulayat

Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 hak ulayat

telah diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 3 yaitu:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

peraturan yang lebih tinggi.

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 hanya

menyatakan dengan tegas pengakuan adanya hak ulayat dan hak serupa itu dari

masyarakat hukum adat akan tetapi disertai dengan pembatasan-pembatasan baik

mengenai eksistensi maupun pelaksanaanya, maksudnya adalah:

Page 63: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

47

a. Mengenai eksistensinya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataanya

masih ada, di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi tidak akan

dihidupkan kembali, daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat

tidak akan dilahirkan ulayat baru.

b. Mengenai pelaksanaannya hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan lainnya

yang lebih tinggi.47

Secara konseptual, hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat yang berklen

(clan), dan masyarakat berklen tersebut berasal dari masyarakat yang bersistem

kekerabatan unilateral (sistem gabungan antara sistem matrilineal dengan sistem

patrilineal). Selain itu hak ulayat juga diartikan sebagai tanah kepunyaan bersama

yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek

moyang kepada kelompok atau masyarakat hukum adat.

Sekiranya sangatlah perlu ditetapkan kriteria yang harus dipenuhi untuk

mengetahui eksistensi (ada tidaknya hak ulayat) di suatu wilayah (daerah).

Kriteria tersebut mencakup tiga hal yaitu:

a. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi syarat-syarat tertentu

sebagai subyek hak ulayat

b. adanya tanah (wilayah) dengan batas-batas tertentu sebagai lebensuarum

yang merupakan obyek hak ulayat

c. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu.48

47

Boedi Harsono, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan

Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin, hal. 160.

(selanjutnya disebut Budi Harsono I) 48

I Gst Nym Agung, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan

Kaitannya Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula,

Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika, No. 65 Tahun XX, Feb-Juli,

1986, hal. 46.

Page 64: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

48

Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai

kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa weweang/kekuasaan

mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam dan ke luar.

Boedi Harsono mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang

terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama penghidupan dan

kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.49

Hak masyarakat hukum yang berupa kewenangan desa untuk mengatur tata

guna lahan di lingkungan desa telah ada pada masa bali kuna. Hak atas tanah

semacam ini dalam hukum adat bali disebut dengan hak prabumian. Hanya saja

konstutusinya dalam hal-hal tertentu mungkin berbeda, tergantung situasi dan

kondisi masyarakat pada waktu itu. Sampai saat ini, tanah-tanah yang tunduk pada

hak pribumi disebut dengan tanah druwe desa dan keberadaannya masih diakui

oleh UUPA.

Menurut Van Vollenhoven hak ulayat adalah suatu hak yang sudah sangat

tua meliputi seluruh Indonesia yang asal muasal bersifat keagamaan. Hak ini

dimiliki oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dropsbond) atau

biasanya oleh sebuah desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh suatu orang

individu. Hak ulayat merupakan hak yang dimiliki oleh desa adat, desa memiliki

hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan

49

Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia ; Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hal.

186. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II)

Page 65: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

49

masyarakat setempat. Menurut Van Vollenhoven tanah komunal itu bukan milik

desa, tetapi dikuasai oleh desa, sedangkan tiap pemakaian bagian tanah komunal

(gogol) sebagai individu harus tunduk kepada penguasa desa.50

Hubungan kehidupan antara umat manusia yang teratur susunannya dan

bertalian satu sama lain di satu pihak, dan tanah dilain pihak, dalam tradisi suku

bangsa Indonesia dikenal dengan hubungan yang serba berpasangan. Teer Haar

menyebutnya dengan istilah participerend denken dan dalam hukum adat asli

suku bangsa, hubungan semacam ini memunculkan hubungan pertalian hukum,

Ter Haar menyebutnya dengan istilah rechats betrekking.51

Substansi hubungan tersebut, dinyatakan dalam beberapa prinsip sebagai

cerminan kehidupan, sebagai berikut:

1. Tanah tempat mereka berdiam

2. Tanah yang member mereka makan

3. Tanah tempat mereka dimakamkan

4. Tanah tempat kediaman mahluk halus sebagai pelindung mereka

beserta arwah leluhurnya

5. Tanah tempat meresap daya-daya hidup. Prinsip-prinsip tersebut di

atas telah menjadi budaya yang berakar dalam kehidupan masyarakat

adat.

50

Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Graha Ilmu,

Yogyakarta, Cet. pertama, hal. 13. 51

Boedi Harsono, op. cit., hal. 164-165.

Page 66: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

50

Lingkungan ulayat di masing-masing wilayah memiliki istilah yang

berbeda-beda. Sehubungan dengan hak ulayat, Ter Haar menguraikan sebagai

berikut:

Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik

keluar maupun kedalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka

masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah

tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan

sebagai satu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng

yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut. Atas dasar kekuatan

berlakunya kedalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing

anggota masyarakat melaksanakan haknya sesuai dengan bagiannya, dengan

cara membatasi peruntukkan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta

menarik bagian tanah tertentu dan hak menikmatinya secara pribadi untuk

kepentingan masyarakat secara langsung.52

Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas

tanah, antara lain yaitu:

1. Hak persekutuan yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati

dan diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah

tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih

lanjut hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuankan,

hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.

2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,

diusahai, oleh seorang anggota dari persekutuan tertentu.

Menurut Surojo Wignyodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu

memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat yaitu:

a) Karena sifatnya

Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun

mengalami keadaan-keadaan yang berbagai manapun juga toh masih

52

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat

Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 193-194.

Page 67: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

51

bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan menjadi lebih menguntungkan.

Contohnya : Sebidang tanah itu dibakar di atasnya, dijatuhkan bom bom

misalnya ; tanah tersebut tidak akan lenyap, setelah api padam tanah

tersebut akan muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Kalau

dilanda banjir misalnya, malahan setelah airnya surut muncul kembali

sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula.

b) Karena faktanya:

Yaitu merupakan suatu kenyataan, bahwa tanah itu

- Merupakan tempa tinggal persekutuan

- Memberi penghidupan kepada persekutuan

- Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal

dunia dikebumikan

- Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung

persekutuan dan roh-roh para leluhur persekutuan.53

Hak Persekutuan atas tanah disebut dengan hak ulayat. Persekutuan

merupakan suatu komunitas tertentu. Dalam hukum adat persekutuan diartikan

sebagai masyarakat hukum adat. Subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat

hukum adat itu sendiri. Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban)

sosial manusia yang bersatu karena terikat dengan kesamaan leluhur dan atau

wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kewibawaan dan

kekuasaan dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai

keinginan untuk memisahkan diri.54

Di dalam UUPA hak ulayat diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada

ketentuan Pasal 3 yaitu:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan

peraturan lain yang lebih tinggi.

53

M. Suasthawa D, op. cit., hal. 13. 54

Dominikus Rato, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat

Memahami Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya, hal. 82.

Page 68: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

52

Berdasarkan pengertian hak ulayat di atas, dapat dipahami bahwa hak

ulayat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. merupakan hak komunal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat

2. merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk

memanfaatkan sumber daya alam termasuk tanah

3. hak tersebut memiliki wilayah (yurisdiksi) di tempat hidup para warga

masyarakatnya

4. hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun masyarakat

pada umumnya (berlaku ke dalam dan ke luar)

5. terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah

6. mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antara masyarakat

hukum adat dengan wilayah dimana sumber daya alam berada, dan

7. memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan atas pemanfaatan

tanah ulayat.55

Hubungan hukum hak ulayat antara tanah dengan masyarakat hukum adat

dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni hubungan hukum secara

internal dan secara eksternal. Boedi Harsono menggunakan istilah berlaku ke

dalam dan ke luar. Hubungan hukum hak ulayat secara internal yaitu masyarakat

diberikan wewenang untuk membuka, menguasai, dan memiliki tanah dengan

tujuan untuk memanfaatkan tanah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari diri

sendiri, keluarga dan masyarakatnya dengan asas itikad baik. Pemanfaatan tanah

hak ulayat biasanya digunakan untuk kebun, ladang, sawah, perumahan, dan

sebagainya. Hubungan hukum hak ulayat secara eksternal dimaksudkan selain

warga masyarakat hukum adat yang dapat memanfaatkan tanah yang ada dalam

wilayah hukumnya, juga dapat diberikan kepada orang lain yang berada di luar

masyarakat hukum adat yang bersangkutan jika diijinkan oleh kepala adat

setempat.

55

Husen Alting, op.cit., hal. 54.

Page 69: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

53

Berpijak pada ciri-ciri hak ulayat, maka hak ulayat merupakan hak

kepemilikan bersama (kolektif) atas wilayah sebidang tanah yang digunakan

masyarakat secara terus menerus sebagai tempat mencari nafkah hidup. Agar

pemanfaatannya tidak menimbulkan konflik dikemudian hari, maka pegurusannya

diserahkan kepada ketua adat untuk mengatur pemanfaatannya demi

keberlangsungan tanah adat itu sendiri. Hak pengawasan dan pemilikan tanah

pada masyarakat hukum adat di Bali dimiliki oleh masyarakat desa adat.

Mengingat bahwa tanah pura adalah bagian dari tanah adat (hasil konversi

tanah adat) maka sifat penguasaan tanah pura ini mengacu pada sifat-sifat hak

ulayat. Hal ini sesuai dengan pandangan Naim yang menyatakan bahwa garis

pemisah bagaimanapun haruslah ditarik disini antara hak perseorangan (badan

hukum) dan hak kaum, marga, ulayat, dan sebagainya yang selama ini diatur oleh

hukum adat. Tidak seorangpun yang bisa mengaku bahwa tanah itu milik

pribadinya walaupun yang bersangkutan telah memanfaatkan bagi kelangsungan

hidupnya.56

Pendapat di atas menunjukkan bahwa meskipun tanah tersebut telah

dikonversi menjadi tanah pura, namun tidak membuat sifat-sifat hak ulayat yang

melekat padanya menjadi hilang berbeda dengan sifat tanah adat yang dikonversi

menjadi milik perseorangan. Dengan demikian tanah pura tetaplah milik dari

seluruh krama desa pengempon pura. Pemberian status hak milik pada pura

adalah untuk mencegah beralihnya tanah adat ini ke kelompok tertentu yang ingin

56

Mochtar Naim, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat

Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, hal. 67.

Page 70: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

54

menguasai tanah tersebut. Tanah milik pura ini diprioritaskan untuk menunjang

kegiatan keagamaan di pura.

Tanah adat bukan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan suatu generasi

tetapi sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan

generasi saat ini tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung penghidupan dari

generasi ke generasi selanjutnya. Dengan demikian hak ulayat masyarakat hukum

adat tersebut disamping mengandung hak kepunyaan bersama para warganya

termasuk juga mempunyai kewajiban untuk mengelola, mengatur penguasaan,

pemeliharaaan, peruntukkan penggunaannya dalam bidang hukum publik.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa di Bali tanah dibawah hak ulayat desa

adalah tanah yang ada di bawah pengawasan desa, atau secara konkret di bawah

pengawasan pimpinan desa. Tanah semacam ini bisa diberikan kepada pamong

desa atau lain-lain pejabat desa, juga kepada warga desa yang membutuhkan tanah

itu. Dalam hal itu pamong dan pejabat-pejabat desa harus mengembalikan tanah

itu kepada desa bila mereka berhenti, sedangkan desa berhak mencabut kembali

tanah yang diberikan kepada warga desa bila perlu.57

Hak atas druwe adalah

istilah hak milik yang dikenal di lingkungan hukum adat di Bali.58

Hak milik atas

tanah adalah hak yang dimiliki setiap aggota ulayat untuk bertindak atas

kekuasaannya atas tanah ataupun isi dari lingkungan atau wilayah ulayat. Dalam

57

Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke-

7, Djambatan, Jakarta, hal. 263. 58

Mr.B.Ter Haar Bzn, 1999, diterjemahkan oleh K.Ng Soebakti

Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita,

Jakarta, hal. 68.

Page 71: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

55

hukum adat hak milik tidaklah sebebas-bebasnya tetapi hak milik ini tetap

memiliki fungsi sosial.

Pendapat di atas menunjukkan bahwa tanah pura merupakan hak komunal

masyarakat hukum adat, meskipun tanah adat telah dikonversi menjadi tanah pura

tidak menyebabkan sifat-sifat dari hak ulayat dari tanah adat tersebut hilang,

karena tanah pura merupakan hasil konversi dari tanah adat sehingga sifat-sifat

hak ulayat tetap melekat pada tanah pura. Dengan demikian tanah pura tetap

merupakan hak komunal. Pemberian status tanah pura ini salah satunya bertujuan

untuk mencegah beralihnya tanah adat ini kepada perseorangan karena

bagaimanapun masyarakat hukum adat memiliki hak yang lebih besar terhadap

tanah yang berada dalam wilayah desa adat tesebut. Tanah Labha-labha pura

tersebut sama-sama merupakan “milik” desa adat.59

2.2 Peralihan dan Pendaftaran Hak Atas Tanah

2.2.1 Pengertian Peralihan Hak (pemindahan hak)

Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang

tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak).

Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan

perbuatan hukum yaitu pemindahan hak. Peralihan hak karena pewarisan tanpa

wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan seseorang yang

mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya

menjadi hak ahli warisnya, sedangkan perbuatan hukum pemindahan hak adalah

59I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 97.

Page 72: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

56

peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja agar hak tersebut terlepas dari

pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria dinyatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan

dialihkan. Dua bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Beralih

Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain

karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan.

Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena hukum, artinya dengan

meninggalnya pemegang hak (subyek), maka ahli warisnya memperoleh

hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini, pihak yang memperoleh hak harus

memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah.

b. Dialihkan/pemindahan hak

Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak

lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan

agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum

tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam

modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang. Dalam peralihan hak

di sini, pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan

berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh

hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.60

Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan

umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara

fisik tanah yang dihaki. Terjadinya Peralihan hak akan melahirkan suatu produk

hukum yakni akta peralihan hak. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, Pasal 94 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c, dan e, disebutkan

60

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana

Predana Media, Jakarta, hal. 301.

Page 73: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

57

bahwa akta peralihan hak adalah perubahan data yuridis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), berupa peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah,

pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

peralihan hak karena warisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan

perseroan atau koperasi dan peralihan hak tanggungan.61

Perbuatan-perbuatan hukum seperti Jual Beli, Hibah, Pemasukan dalam

perusahaan atau inbreng, dan Hibah wasiat adalah merupakan bentuk dari

pemindahan hak. Perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan pada waktu pemegang

haknya masih hidup, dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang

bersifat tunai atau langsung. Kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan

dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan

berpindah kepada pihak lain.

2.2.2 Jenis -Jenis Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah

Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek,

yaitu:

1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak

2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak62

Transaksi tanah yang bersifat perbuatan sepihak yaitu perbuatan hukum

yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada

satu pihak pula, misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian hadiah.

Melekatnya hak-hak atas tanah pada masyarakat hukum menimbulkan hak ulayat,

61

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 43. 62

Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,

Cet. Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 89.

Page 74: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

58

sedangkan melekatnya hak-hak atas tanah pada perorangan menimbulkan hak-hak

perorangan atas tanah.

Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak yaitu

perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan

kewajiban bagi kedua belah pihak (timbal balik), misalnya membuat perjanjian

sewa-menyewa dan penyerahan sebidang tanah dengan disertai dengan

pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pemilik tanah.

Perbuatan hukum ini dalam hukum adat disebut dengan “transaksi jual”.

Transaksi ini dapat berupa jual-beli (jual lepas, jual gadai, jual tahunan,

hibah/pemberian/anugrah, pewarisan dan pertukaran. Transaksi jual ini

mengakibatkan perpindahan hak-hak atas tanah, yang bersifat terang dan tunai.

Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu

sebagai berikut:

1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa

yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan

pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati).

2 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk

seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di Riau disebut

“menjual lepas”.

3 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan perjanjian

bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua

tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik

tanah semula yang dalam bahasa Jawa disebut “menjual tahunan, adok

ayodan.63

Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat

dijelaskan lebih dalam lagi sebagai berikut:

1. Menjual Gadai

63

Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat,

Haji Masagung, Jakarta, hal. 207.

Page 75: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

59

Menjual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara

sementara atas tanah kepada pihak lain. Sehingga pihak yang melakukan

pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.

Dengan diterimanya tanah itu oleh penerima gadai, maka penerima gadai

berhak:

a. Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik

b. Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali tanah tesebut kepada

pihak lain jika memerlukan uang

c. Mengadakan perjanjian paruh/bagi hasil

Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta

memungut hasil dari tanah tersebut, tetapi dalam transaksi demikian biasanya

disertai pula dengan tambahan perjanjian jika tidak ditebus dalam masa yang

dijanjikan maka tanah tersebut menjadi milik yang membeli gadai dan tanah tidak

boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan penerima

gadai.

Pada umumnya tanah dikembalikan keadaan seperti semula seperti waktu

tanah itu diserahkan. Transaksi-transaksi seperti ini kejadiannya terdapat di

seluruh Indonesia. Dalam Pasal 16 ayat (1) poin h dan Pasal 53 ayat (1) Undang-

Undang No. 5 Tahun 1960 ditetapkan bahwa hak gadai bersifat sementara yang

suatu waktu harus dihapuskan. Lebih lanjut Pasal 9 PERPU No. 56 Tahun 1960

menyebutkan bahwa transaksi jual gadai diadakan oleh pemilik tanah hanya bila

ia dalam keadaan yang terdesak, apabila tidak terdesak menyewakan tanah lebih

Page 76: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

60

disarankan daripada menjual gadai tanah karena dalam jual gadai tanah terdapat

imbangan yang lebih merugikan penjual gadai.

2. Menjual lepas

Jual lepas indikasi adanya transaksi ini, yaitu adanya istilah-istilah Winli

berasal dari kata bli berarti “dibeli” atau umli yang berarti membeli dan dinwal

berasal dari kata dwal/dol yang berarti menjual, dalam beberapa prasasti. Jual

lepas merupakan proses pemindahan hak untuk selama-lamanya hak atas tanah

secara terang dan tunai. Dalam hal ini semua ikatan bekas penjual dengan

tanahnya menjadi lepas sama sekali dan yang membeli berhak sepenuhnya untuk

memperoleh hak milik atas tanah tersebut. Biasanya dalam jual lepas calon

pembeli memberikan panjer kepada penjual untuk memberikan kepastian bagi

calon penjual bahwa calon pembeli akan membeli tanahnya. Dalam hal ini yang

membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya, sedangkan

pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan agar transaksi tanah ini sah.

Perjanjian jual lepas tanah sekaligus selesai dengan tercapainya

persetujuan/persesuaian kehendak (consensus) diikuti dengan ikrar/pembuatan

kontrak jual beli di hadapan kepala persekutuan hukum yang kompeten,

dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan

kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli.64

Perbuatan

jual lepas adalah perbuatan tunai yang riil dan konkrit artinya nyata dan jelas

dapat ditangkap oleh panca indra penyerahan benda dan pembayaran harganya,

walaupun belum lunas semua pembayarannya.

64

Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,

hal. 33.

Page 77: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

61

Biasanya dalam jual lepas ada pemberian panjer oleh pembeli kepada

penjual. Adapun fungsi panjer itu sendiri dalam jual beli lepas yaitu:

1. Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan kewajiban.

Ada kalanya janji lisan yang diikuti dengan pemberian sesuatu

(uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, dalam hal ini ikatan

moral untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau membeli

2. Tanpa panjer, orang tidak meraa terikat. Sebaliknya dengan panjer orang

merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang terdapat

dalam janji tadi

3. Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian

panjer. Setelah tidak digunakanya hak ingkar oleh para pihak baru dapat

dilaksanakan.65

Dalam transaksi jual lepas agar transaksi tanah menjadi sah artinya agar

perbuatan hukum mendapatkan perlindungan hukum maka pembayaran dilakukan

di hadapan kepala persekutuan. Hal ini wajib dilakukan dengan bantuan kepala

persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala

persekutuan lazimnya ia menerima uang saksi. Apabila transaksi ini dilakukan di

luar pengetahuan kepala persekutuan maka transaksi tersebut tidak diakui oleh

hukum adat.

3. Menjual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan

hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek hukum lain, dengan menerima

sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu berakhir

maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya pada pemilik tanah tanpa

melakukan perbuatan hukum tertentu. Jual tahunan ini merupakan satu bentuk

menyewakan tanah. Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah

mengelola tanah tersebut seperti menanami dan memetik hasilnya dan dapat

65

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.

Page 78: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

62

berbuat seperti tanahnya sendiri sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan.

Transaksi seperti ini tidak begitu dikenal di luar Jawa.

2.2.3 Syarat-Syarat Transaksi Jual beli

Syarat jual beli tanah ada dua yaitu syarat materiil dan syarat formil

1. Syarat materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut

yakni antara lain sebagai berikut:

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat-syarat untuk

memiliki tanah yang akan dibelinya. Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang dapat

memiliki hak atas tanah adalah Warga Negara Indonesia dan Badan-badan hukum

yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan

asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum

yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jualbeli itu batal karena hukum

dan tanah jatuh pada Negara (Pasal 26 ayat 2 UUPA).

Kalau obyek yang akan dibelinya adalah tanah hak milik, maka pihak yang

dapat membelinya adalah perseorangan warga Negara Indonesia, bank

pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial. Kalau obyek jual belinya adalah

tanah hak guna bangunan maka pihak yang dapat membeli adalah perseorangan

warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia. Begitu pula dengan hak guna bangunan memiliki

syarat pembeli yang sama dengan hak guna usaha. Apabila tanah yang akan dibeli

adalah hak pakai maka yang berhak untuk membeli tanah adalah perseorangan

Page 79: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

63

warga Negara Indonesia, perseorangan warga Negara asing, badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki

perwakilan di Indonesia.

Pembeli sebelum membeli tanah sebaiknya memeriksa terlebih dahulu

mengenai kepemilikan sertifikat tanah itu. Lalu melihat langsung ke lokasi tanah

yang akan dibeli, dan melakukan pengecekan ke kantor pertanahan tentang status

tanahanya. Perolehan informasi sebanyak-banyaknya merupakan tindakan

kehatia-hatian pembeli yang sebaiknya dilakukan.

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang

sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut dengan pemilik. Kalau pemilik

sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu.

Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah

itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak

sebagai penjual.66

Syarat penjual yang berhak menjual hak miliknya antara lain sebagai berikut:

a. Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam

sertifikat atau selain sertifikat

b. Seseorang berwenang untuk menjual tanahnya apabila sudah dewasa

c. Kalau penjual belum dewasa, maka dapat diwakilkan oleh walinya

d. Kalau penjualnya dalam pengampuan, maka dia diwakilkan oleh

pengampunya

66

Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal.2.

Page 80: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

64

e. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa,

maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notariil

Untuk dapat bertindak sebagai penjual harus dipenuhi syarat tertentu,

yakni usia harus dewasa menurut undang-undang, artinya cakap untuk melakukan

perbuatan hukum jual beli tanah, misalnya:

a. Anak berumur 12 tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia

yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana kalau yang bertindak

adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang

tua.

b. Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah itu

adalah harta bersama dengan suaminya, maka istri tidak berwenang

menjual tanah sendiri, melainkan bersama-sama suaminya, atau suaminya

member persetujuan tertulis kepada istri. Demikian juga, bila istri yang

harus member persetujuan kepada suami kalau suatu tanah sebagai harta

bersama tertulis atas nama suami.

c. Kalau tanah tercatat atas nama, misalnya X, tetapi ia tunduk pada hukum

KUHPerdata dan sedang di bawah pengampuan, maka yang berwenang

menjual tanah itu adalah pengampu si X, tetapi harus ada izin dari Ketua

Pengadilan Negeri.67

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam

sengketa.

Mengenai tanah-tanah apa saja yang dapat diperjualbelikan telah ditentukan

dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna

bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil tidak

dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang

dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas

tanah atau tanah yang yang akan diperjualbelikan merupakan tanah yang sedang

menjadi obyek sengketa atau tanah yang tidak dapat diperjualbelikan, maka jual

67

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 92.

Page 81: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

65

beli tanah itu adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang

tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap

jual beli itu tidak pernah terjadi.

Paul Stephen Latimer memberikan definisi mengenai tanah yaitu

”In everyday language “land” means the solid parts of the earth’s surface and

includes houses, farms, and bush. Land is permanent and it cannot be hidden or

moved. It can be improved or degraded but it cannot be destroyed. Land I the

opposite of sea, water, and air”.68

( Di dalam bahasa sehari-hari tanah merupakan

bagian padat dari bumi dan termasuk rumah, peternakan, dan semak-semak.

Tanah adalah permanen dan tidak dapat disembunyikan atau dipindahkan. Tanah

dapat ditingkatkan atau diturunkan tetapi tidak dapat dihancurkan. Tanah adalah

kebalikan dari laut, air, dan udara.)

Apabila salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual

bukan merupakan orang yang berhak untuk membeli tanah dan pembeli tidak

memenuhi persyaratan untuk memiliki tanah dan tanah yang dijadikan obyek jual

beli sedang dalam sengketa atau tidak boleh diperjual belikan, maka jual beli

tanah itu tidak sah.

2. Syarat Formal

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat

Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP

68

Paul Stepen Latimer, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia

Limited, Australia, hal. 70.

Page 82: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

66

24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tidak didepan PPAT

tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat yang menganut sistem

yang konkret/kontan/nyata/riil. Namun meskipun demikian untuk mewujudkan

adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah PP No. 24

Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa

setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan

dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.69

Pasal 37 ayat (1)

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:

Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui

jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang

hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT

yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak

untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu:

1. Jika tanahnya sudah bersertifikat, sertifikat tanahnya yang asli dan tanda

bukti pembayaran biaya pendaftarannya

2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut

belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan

penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat

yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan

untuk persertifikatan tanahnya setelah dilakukan jual beli.70

Dalam menghadapi pembelian tanah yang belum didaftarkan di kantor

pertanahan untuk disertifikasi, sebaiknya meminta informasi kepada pejabat

setempat (kelurahan ataupun camat), baik mengenai riwayat dari kepemilikan

tanah tersebut, siapa pemilik terakhirnya, bukti girik (istilah untuk bukti

69

Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,

Alumni, Bandung, hal. 23. 70

Adrian Sutedi, op. cit., hal. 78-79.

Page 83: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

67

pembayaran pajak perubahan undang-undang yang baru 1988) atau bukti

pembayaran letter C. Adanya kewajiban untuk mengecek itu udah menjadi syarat

bagi pembuatan Akta PPAT.

Dalam suatu transaksi jual beli, tidak sedikit kasus yang muncul, misalnya

dalam pemindahan hak atas tanah tersebut terdapat pemalsuan tanda tangan istri

dari pihak penjual, seakan-akan pihak istri memberikan persetujuan. Tuntutan

akan datang dari istri untuk meminta pembatalan atas pemindahan hak atas tanah

tersebut yang telah dibalik nama ke atas nama pembeli.71

Pembeli yang akan

membuat Akta jual beli harus mengecek terlebih dahulu ke Kantor

Pertanahan/BPN, untuk mencegah lahirnya akta PPAT yang cacat hukum.

Pengecekan ini berguna untuk menyesuaikan sertifikat dengan buku tanah.

Adapunn untuk sertifikat pengalihan, harus ada bukti pengalihan di Akta

Notaris/PPAT, baik itu Akta hibah maupun waris.

2.2.4 Pengertian Pendaftaran Tanah

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah menyebutkan tentang pengertian pendaftaran tanah yakni:

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan

rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Mengenai pengertian pendaftaran, Shashi Shekar menyebutkan bahwa:

71

Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,

Cet. Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 191.

Page 84: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

68

“A cadastre may be defined as an official geographic object within a country,

or more precisely, within a jurisdiction. Just like land registry, it records

attributes concerning places of land, but while the recording of a land

registry is based on deeds of conveyance and other right in land, the cadastre

is based on measurements and other renderings of the location, size, and

value of units of property”.72

(Kadaster dapat didefinisikan sebagai sistem informasi resmi geografis (SIG)

yang mengidentifikasi obyek geografis dalam suatu Negara atau lebih

tepatnya, dalam yurisdiksi. Sama seperti pendaftaran tanah, itu mencatat

atribut tentang tempat tanah berdasarkan perbuatan angkut dan kanan lain di

tanah, kadaster didasarkan pada pengukuran dan rendering lainnya dari

lokasi, ukuran, dan nilai properti.)

Pendaftaran tanah merupakan suatu prasyarat dalam upaya menata dan

mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah termasuk

untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan. Pendaftaran hak-hak atas tanah

merupakan jaminan dari Negara dan merupakan suatu instrument penting untuk

perlindungan bagi pemilik tanah. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Recht

Kadaster yang meliputi kegiatan 1). Pengukuran pemetaan dan pembukuan tanah

2) pendaftaran hak-hak tersebut 3). Pemberian sertifikat hak atas tanah yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.73

Pendaftaran tanah itu sendiri

diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum. Pendaftaran tanah

diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah di

bidang pertanahan.

72

Sashi Shekhar, 2008, Springersciences and Business, Encyclopedia of

GIS, New York, hal. 65. 73

J.B Daliyo dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5,

Prehallindo, Jakarta, hal. 80.

Page 85: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

69

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data

fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertiikat sebagai tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 74

Pendaftaran sertifikat tanah adalah hal terpenting bagi para pemilik tanah

untuk dapat diterbitkan secara cepat dan biaya yang murah. Hal ini sesuai dengan

asas-asas pendaftaran tanah yang terdapat pada Peraturan Pemerintah tentang

Pendaftaran Tanah yakni asas sederhana dan terjangkau. Sederhana artinya

prosedur penerbitan sertifikat harus mudah dan dalam waktu yang tidak terlalu

lama, sedangkan terjangkau artinya biaya pendaftaran tanah harus memperhatikan

kemampuan masyarakat ekonomi lemah, khususnya golongan yang tidak mampu.

Asas pendaftaran tersebut sebenarnya telah lama disitir oleh Sir Charles

Fortescue-Bricdate, yakni:

1. Security yakni bertolak dari kemantapan sistem, seingga seseorang akan

merasa aman atas hak tersebut baik karena membeli tanah ataupun suatu

jaminan atas utang

2. Simplicity, yakni sederhana sehingga setiap orang dapat mengerti

3. Accuracy yakni bahwa terdapat ketelitian daripada sistem pendaftaran

tanah secara lebih efektif

4. Expedition yakni dapat lancer dan segera, sehingga menghindari tidak

jelas yang bisa berakibat berlarut-larut dalam pendaftaran tanah tersebut

5. Cheapness yaitu biaya semurah mungkin

6. Suitability to circumstances yaitu pendaftaran tersebut akan tetap

berharga baik sekarang maupun di kemudian hari

7. Completeness of the record yakni:

74

Boedi Harsono II, op. cit., hal. 460.

Page 86: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

70

a. Perekaman tersebut harus lengkap lebih-lebih lagi masih ada tanah-

tanah yang belum terdaftar

b. Pendaftaran dari setiap tanah sesuai dengan keadaan pada waktu

didaftarkan.75

Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur di dalam UUPA Pasal 19,

yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan

kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang

berlaku efektif sejak tanggal 8 Oktober 1997.76

Prinsip utama pendaftaran hak atas

tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan

alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa buku

tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.

Pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menentukan siapa nantinya yang wajib

membayar pajak atas tanah tersebut. Pasal 19 UUPA menugaskan kepada

pemerintah untu menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting

artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang

mempunyai hak atas tanah.

2.2.5 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada

asas hukum yang dianut Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya.77

Di dalam peralihan hak kita mengenal asas “memo plus yuris” yang berbunyi

orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti

75

A.P Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2,

Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 76

Adrian Sutedi, op. cit., hal. 112. 77

Adrian Sutedi, op. cit., hal. 17.

Page 87: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

71

bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini

bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenanrnya. Berdasarkan asas

ini, pemegang hak yang sebenanya akan selalu dapat menuntut kembali haknya

yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu dafatar umunya tidak

mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebu sistem negatif.

Asas yang kedua adalah asas itikad baik yang berarti melindungi orang dengan

itikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang

hak yang sah. Asas ini dipakai untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta dan

daftar umum yang ada di kantor badan pertanahan.78

Dengan asas memo plus yuris perlindungan hukum diberikan kepada

pemegang hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini selalu ada kemungkinan

untuk menggugat pemilik yang terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik

yang sebenarnya. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan

bukti sehingga sistem pendaftaran seperti ini disebut dengan sistem pendaftaran

negatif. tanah. Sebenarnya sistem positif dan negatif memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing, dalam sistem positif daftar umum memiliki kekuatan

alat bukti dan orang yang terfdaftar memiliki hak yang penuh atas tanah tersebut.

Sehingga ada kepastian mengenai pemilik mendorong setiap orang untuk

mendaftarkan tanahnya. Namun kekurangannya apabila terjadi kesalahan pada

pendaftaran maka akan otomatis menghapuskan hak orang lain yang berhak.

Berbeda halnya dengan pendaftaran tanah dengan sistem negatif apabila terjadi

kesalahan dalam pendaftaran maka pemegang sebenarnya tidak akan dirugikan,

78

A.P Parlindungan, op.cit., hal. 2.

Page 88: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

72

karena pemegang haknya berhak untuk menuntut. Adapun kekurangan dari sistem

pendaftaran dengan sistem negatif daftar umumnya sehingga terdaftarnya

seseorang tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas tanah

yang didaftarkan. Dengan demikian, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi

negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai

pemegang hak karena Negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan.

Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif yang memungkinkan

pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama

di dalam persidangan di pengadilan adalah Peraturan Pemerintah dan Sertifikat.

Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat

penguasaan tanah yang hasilnya akan merupakan alas hak pada pendaftaran

pertama dan proses –proses peralihan hak selanjutnya.79

Pendaftaran di Indonesia

dikatakan menggunakan Sistem Torrens, hanya tidak jelas dari Negara mana kita

meniru sistem tersebut, demikian juga India, Malaysia, dan Singapura,

menggunakan sistem Torrens ini.80

Dalam pendaftaran di Australia, yang menganut sistem Torrens dapat

dinyatakan sebagai berikut:

a. Security of title, sehingga kebenaran dan kepastian dari hak tersebut baik

dari rangkaian peralihan haknya, dan kedua jaminan bagi yang

memperolehnya untuk adanya suatu klaim dari seseorang yang lain

b. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan

adanya pendaftaran tersebut tidak perlu kita selalu harus mengulangi dari

awal setiap adanya peralihan hak, apakah dia berhak atau tidak, bagaimana

rangkaian dan peralihan hak tersebut.

79

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 123. 80

A.P Parlindungan, op.cit., hal. 24.

Page 89: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

73

c. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian

peralihan hak tersebut disederhanakan dan segala proses akan dapat

dipermudah

d. Ketelitian, dengan adanya pendaftaran, maka ketelitian sudah tidak

diragukan lagi.81

Di Indonesia sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang

kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

menyatakan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan

oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data

disajikan dijamin sepenuhnya oleh Negara, melainkan menggunakan sistem

publikasi negatif dimana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.

Namun Indonesia tidak menganut sistem publikasi secara murni, hal tersebut

nampak dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat 2, Pasal 32 ayat

2, dan Pasal 38 ayat 2 UUPA karena sistem publikasi yang murni tidak akan

menggunakan pendaftaran hak.

Jadi sistem publikasi yang digunakan di Indonesia berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif,

karena sistem publikasi negatif yang murni tidak menyatakan bahwa sertifikat

merupakan alat bukti yang kuat. Kuat tidak berarti mutlak namun lebih dari yang

lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan,

akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan

bisa digugat.

81

Ibid., hal. 7.

Page 90: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

74

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI

TERJADINYA TRANSAKASI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

3.1 Tanah Milik Pura Sebagai Obyek Transaksi Jual Beli

Ketentuan mengenai hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal

27 UUPA. Dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 atau disebut UUPA dalam

Pasal 21 mengatur mengenai subyek hak tanah hak milik dan peraturan

pelaksanaannya. Dalam Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa ”Hanya warga negara

indonesia yang dapat mempunyai hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (2) disebutkan

bahwa oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai

hak milik dan syarat-syaratnya.

Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang berhak menjadi pemegang hak milik

adalah:

1. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik

2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai

hak milik dan syarat-syaratnya

3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh

hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena

perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai

hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu

satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya

kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak

milik itu dilepaskan , maka hak tersebut hapus karena hukum an

tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak

lain yang membebaninya tetap berlangsung

4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia nya mempunya

kewarganegaraan asing ma ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak

milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.

74

Page 91: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

75

Mengenai pengertian hak milik ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA

yaitu ”Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Turun-

temurun mempunyai pengertian bahwa hak milik tanah tersebut dapat diwariskan

kepada ahli waris sepanjang ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai subyek

hak milik atas tanah. Proses terjadinya hak milik atas tanah berdasarkan ketentuan

pasal 22 UUPA yaitu:

1) Hak milik tanah yang terjadi menurut hukum adat

Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan

hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (aanslibbing). Pembukaan

tanah dimaksudkan yaitu pembukaan hutan yang dilakukan secara beramai-

ramai dengan masyarakat hukum adat, sedangkan lidah tanah (aanslibbing)

adalah pertumbuhan tanah yang muncul di tepi sungai atau di pinggir pantai.

2) Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah

Hak milik atas tanah yang terjadi di sini semula berasal dari tanah negara.

Hak milik atas tanah ini terjadi dengan adanya permohonan oleh si

pemohon. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon ditentukan oleh

Badan Pertanahan Indonesia (BPN), dan apabila telah terpenuhi maka BPN

akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPT) yang wajib

didaftarkan oleh pemohon di Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat

untuk dicatatkan di Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik.

Page 92: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

76

3) Hak milik atas tanah karena ketentuan undang-undang

Hak milik atas tanah terjadi karena undang-undang yang menentukan

demikian, yang diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1)

ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dalam hukum adat dikenal dua macam hak milik yaitu:

1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya

komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama dari

penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut druwe desa, di

Manado disebut kintal kalakeran, di Minangkabau disebut harta pusaka, di

Jawa Barat disebut kasikepan. Anggota desa (persekutuan) yang ikut

berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai

2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang

tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya: sawah milik, sawah

yasa dan lain-lain.82

Setelah berlakunya UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak

memungkinkan lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk pada Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan hukum adat kecuali menerangkan bahwa hak-hak

tersebut merupakan hukum adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik

adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan Pasal 23,

Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, maka diberikan suatu kewajiban untuk

mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat. Di dalam UUPA sendiri telah

diatur mengenai ketentuan konversi. Beberapa ahli hukum memberikan

pengertian mengenai konversi, Boedi Harsono memberikan pengertian konversi

adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA.

Dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agrarian,

82

Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,

Bandung, hal. 82-83.

Page 93: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

77

maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena

itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari

padannya yang terdapat didalam UUPA melalui lembaga konversi. Jadi, dengan

demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas adalah untuk terciptanya unifikasi

hukum pertanahan di tanah air dan untuk mencapai kepastian hukum serta dapat

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas

tanah yang ada adalah bagian kedua dari UUPA tentang ketentuan konversi yang

terdiri dari IX Pasal, khususnya konversi tanah yang tunduk pada hukum adat dan

sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan konversi,

disamping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud dalam UUPA

dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan

Agraria Nomor 2 Tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor

26/DDA/1970 yaitu tentang “penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak

Indonesia atas tanah”.

Pasal II ketentuan konversi mengatur mengenai ketentuan konversi tanah

adat. Pasal II ayat 1 ketentuan konversi berbunyi:

1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip

dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut

dengan nama sebagai dibawah, yang pada mulai berlakunya Undang-

undang ini, yaitu : hak agrarish eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak

atas druwe, hak atas druwe desa, jeseni, grant, Sultan,

landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah

partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan

ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya

Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1),

Page 94: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

78

kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang

tersebut dalam Pasal 21.

2. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, waga

Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai

kewarganegaraan asing dan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah

sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha

atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai

yang ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam

Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1980 dan

dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962, sehubungan dengan hal

tersebut jelaslah bahwa untuk melakukan konversi penting untuk mengetahui

mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan

dikonversi menjadi hak milik atau tidak dan mengenai peruntukkan tanahnya.

Apabila ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik, subyek pemohon

konversi akan menentukan nantinya hak yang akan dimiliki oleh pemegang hak

apakah hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan.

Proses dalam memperoleh hak milik atas tanah pada prakteknya di Kantor

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota diawali dengan pendaftaran,

baik itu secara Konversi (penggantian dari Pipil/Pajak SPPT ke Sertipikat)

maupun permohonan Hak atas Tanah Negara. Konversi dilakukan atas dasar

penguasaan tanah secara turun temurun yang dibuktikan dengan Surat Pipil atau

Girik atau SPPT, pada prakteknya diawali dengan melengkapi surat-surat dari

lingkungan (di Bali Kepala Lingkungan/Kelian Dinas/Adat) setempat sampai

dengan kecamatan, antara lain berupa surat-surat pewarisan, sisilah keluarga.

Proses pendaftaran hak milik atas tanah melalui mekanisme konversi dapat

Page 95: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

79

didaftarkan ke Kantor Pertanahan jika persyaratan telah lengkap. Kemudian

diperoleh bukti pendaftaran (yang sering dikenal dengan Kartu Kuning). Setelah

diperoleh bukti pendaftaran tersebut maka selanjutnya akan mendapatkan jadwal

ukur dari petugas ukur, setelahnya kemudian dilaksanakan pengukuran dan

penunjukkan batas serta penunjukkan yang diketahui oleh penyanding disamping

letak tanah yang berbatasan langsung. Kemudian setelah pengukuran dilanjutkan

dengan adanya sidang di kantor Desa/Kelurahan sebagai bentuk pembuktian

yuridis dari aparat Desa (Kepala Desa/Lurah). Sidang dihadiri oleh

pemohon/kuasanya, pihak Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten/Kota, dan Kepala

Desa/Lurah. Jika kemudian telah dilaksanakan Sidang maka dilanjutkan dengan

pengumuman di Kantor Desa setempat (wajib 60 (enam puluh) hari). Setelah

masa pengumuman lewat maka akan diterbitkan Surat Keputusan Kepala Badan

Pertanahan Kabupaten/Kota tentang pemberian hak milik atas tanah. Maka

pemohon wajib melunasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB). Jika telah melunasinya maka terbitlah sertipikat hak atas tanah. Dalam

prakteknya pembuktian fisik dan yuridis hak atas tanah ditentukan oleh hasil

penunjukkan batas dan tidak adanya gugatan dari pihak-pihak yang merasa

berhak.

Menurut Pegawai Notaris, Bagus Nyoman Sudarta, dalam wawancara pada

tanggal 29 November 2014. Di dalam penulisan tesis ini berkaitan dengan

permohonan konversi dengan alas hak penguasaan fisik (sporadik) oleh krama

pengempon yang di laksanakan oleh Bendesa Adat yang bertindak mewakili Pura

Page 96: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

80

maka permohonan haknya diawali dengan penerbitan SPPT (Surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang) melalui kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar,

kemudian dilanjutkan dengan konversi pipil/SPPT menjadi Sertipikat hak atas

tanah. Dalam prakteknya proses ini memakan waktu paling cepat 4 (empat) bulan

hingga 1 (satu) tahun, tergantung intensitas pendafataran di Kantor Pertanahan

dan kondisi fisik serta kelengkapan data maupun kondisi pelaksanaan di lapangan.

Pendaftaran tanah dilakukan bisa dilakukan sendiri (permohonan individu)

maupun secara sistematik (massal). Terhadap hak atas tanah yang tunduk pada

hukum adat yang memiliki bukti, baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum

didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Pelaksanaan konversi hak atas tanah

dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala

Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Adapun tanah yang tidak mempunyai bukti

tertulis secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan hak. Untuk konversi

hak atas tanah adat, pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik dapat

dilakukan di wilayah yang telah dilaksanakan suatu pngukuran wilayah/daerah,

sedangkan untuk wilayah/daerah yang belum dilakukan suatu pengukuran, maka

pelaksanaan pendaftaran tanahnya dilakukan secara sporadik.83

Produk terakhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah berupa sertifikat hak

atas tanah. Sertifikat hak atas tanah memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya, dan

fungsinya tidak dapat digantikan oleh benda lain. Pertama, sertifikat hak atas

tanah memiliki fungsi sebagai alat pembuktian yang kuat, inilah fungsi yang

83

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 136.

Page 97: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

81

paling utama sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c

UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai

1 hak atas suatu bidang tanah. Kedua, sertifikat hak atas tanah memberikan

kepercayaan kepada pihak bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang

kepada pemiliknya. Ketiga, bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah ini

juga sangat menguntungkan. Adanya sertifikat hak atas tanah ini akan menjadi

bukti bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data

ini sangat penting guna perencanaan pembangunan kota.

Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi atau adil adanya. Salah satu yang dapat menjamin kepastian hukum

bidang pertanahan adalah dengan melakukan ensertifikatan tanah adat. Pasal 19

UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh

Pemerintah diadakan pendafataran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.84

Bila ditilik berdasarkan ketentuan konversi, khususnya konversi terhadap

tanah-tanah hak adat, maka konversi tanah adat menjadi hak atas tanah yang

disebutkan dalam UUPA digantungkan terhadap dua faktor yaitu: pertama

digantungkan terhadap isi serta wewenang pemegang haknya. Bila isi hak serta

wewenangnya pemegang haknya sebagaimana atau mirip hak milik maka

dikonversi sebagai hak milik, sedangkan apabila isi hak serta pemegang haknya

84

Sajuti Thalib, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di

Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta, hal. 27.

Page 98: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

82

mirip dengan hak pakai maka akan dikonversi menjadi hak pakai. Faktor kedua

adalah faktor subyek haknya. Terhadap tanah-tanah yang isi haknya serta

wewenang pemegang haknya sebagaimana atau mirip dengan hak milik, maka

konversi haknya ada tiga kemungkinan yaitu menjadi hak milik apabila subyek

haknya memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 UUPA.

Apabila subyeknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik maka tanah

tersebut dikonversi menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan tergantung

kepada penggunaan tanahnya (Pasal II Ketentuan Konversi).85

Obyek jual beli merupakan salah satu syarat terjadinya suatu persetujuan

yang sah. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer menyebutkan mengenai syarat-syarat

perjanjian yakni :

a. Kesepakatan dirinya yang mengikatkan diri-nya

b. Kecakapan untuk membuat perikatan

c. Suatu pokok persoalan tertentu

d. Suatu sebab yang tidak terlarang

Dalam transaksi jual beli tanah ada dua hal penting yang perlu diperhatikan,

yaitu mengenai subyek dan obyek jual beli tanah. Mengenai subyek jual beli tanah

adalah para pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli, yang perlu

diperhatikan dalam hal ini adalah calon penjual harus berhak untuk menjual yaitu

pemegang sah dari hak atas tanah tersebut, pembeli juga harus memenuhi

persyaratan sebagai pembeli. Sedangkan mengenai obyek jual beli tanah adalah

status hukum obyek jual beli, baik itu status penguasaan hak atas tanah tersebut

85

I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 43.

Page 99: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

83

maupun dokumen yuridis yang dimiliki oleh obyek jual beli tersebut. Di dalam

jual beli tanah tujuan membeli hak atas tanah adalah untuk menguasai secara sah

tanah tersebut, tetapi secara hukum yang dibeli atau dijual bukan tanahnya tapi

hak atas tanah tersebut.

Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe pura, syaratnya sama dengan

transaksi jual beli pada umunya yakni terpenuhinya syarat materiil dan syarat

formal, syarat materill jual beli tanah druwe pura harus pembeli yang memenuhi

persyaratan artinya pembeli yang berhak untuk membeli tanah druwe pura,

penjual dalam hal ini krama pengempon pura yang yang diwakili oleh bendesa

adat yang telah diberikan kuasa untuk menjual oleh krama desa adat, dan yang

terakhir obyek jual beli dalam hal ini yang menjadi obyek transaksi jual beli

adalah tanah druwe pura atau tanah milik pura harus sudah sah kepemilikannya

dan ada sertifikat hak milik atas nama pura, sehingga penjualan tanah milik pura

ini tidak melanggar Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 20 hak milik

adalah hak yang terkuat dan memiliki sifat dapat dipindahtangankan

kepemilikannya kepada orang lain.

Hak milik dapat dipindah haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara

jual beli, hak tersebut diatur dalam Pasal 26 UUPA, yang berbunyi:

(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut

adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan

pemerintah.

(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan

perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak

langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang

warga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya

mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,

kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat

Page 100: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

84

(2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,

dengan ketentuan-ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang

membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah

diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Di dalam praktek pelaksanaan jual beli sebagai subyek yang bertindak

untuk dan atas nama pura, pengempon mempunyai hak yang penuh terhadap

perbuatan hukum jual beli terhadap tanah atas nama pura, namun karena saking

banyaknya jumlah pengempon sehingga patut dijalankan dengan perwakilan

(kuasa). Pemberian kuasa pada umumnya jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1796

KUHPerdata menentukan tentang pemberian kuasa terkait dengan tindakan untuk

memindahtangankan yang perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pemilik

semata maka diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Hal

tersebut berarti bahwa pemberian kuasa yang sifatnya khusus seperti itu

memerlukan redaksional yang sifatnya tegas dan jelas.

Dalam hal jual beli tanah milik pura yang menjadi obyek transaksi adalah

tanah pura, yang merupakan milik dari masyarakat/krama pengempon pura. Jadi

sebelum dilaksanakan perjanjian jual beli maka perlu adanya kesepakatan bersama

dari krama pengempon untuk menjual tanah milik pura tersebut. Agar transaksi ini

sah artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat perlindungan hukum wajib

dilakukan dengan bantuan bendesa adat sebagai kepala persekutuan agar

perbuatan hukum ini menjadi terang. Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe

pura bendesa adat mewakili krama adat untuk melakukan perbuatan hukum jual

beli. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi yang dibuatkan dalam suatu akta

Page 101: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

85

yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula

tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi, akta ini merupakan suatu bukti.86

Bila dilihat dari subyek yang menguasai tanah-tanah ada ini, M. Suasthawa

D mengelompokkannya menjadi 2 golongan. Pertama meliputi tanah-tanah yang

dikuasai langsung oleh desa adat. Termasuk dalam golongan ini adalah tanah

druwe desa dan tanah druwe pura. Golongan kedua adalah tanah adat yang

dikuasai oleh krama desa (perseorangan) yang dapat berupa tanah pekarangan

desa (PKD) dan tanah ayahan desa..

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka

badan hukum keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah.

Namun peraturan ini belum memberikan kepuasan bagi masyarakat hindu

sehingga akhirnya diadakan pesamuhan BPPLA Kabupaten dan Kecamatan se-

Bali yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 2 s.d 22 september 1982.

Salah satu rekomendasi dari hasil pesamuhan tersebut berbunyi “mengusulkan

kepada pemerintah agar Desa-Desa Adat dan Pura dapat ditetapkan sebagai badan

hukum yang berhak memiliki tanah. Usulan tersebut ditanggapi positif oleh

pejabat yang terkait akhirnya tanggal 24 September 1986 terbit Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura

Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak

Milik.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.

556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang

86

Dewi Wulandari, op.cit., hal. 90.

Page 102: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

86

Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak Milik. Dengan penetapan ini menjadi tidak

jelas apakah badan hukum keagamaan ini merupakan badan hukum publik atau

badan hukum privat. Apabila dikatakan sebagai hukum publik, pura dapat

mempunyai hak milik atas tanah, sedangkan badan hukum publik tidak dapat

mempunyai hak milik, hanya mempunyai hak untuk menguasai dan mengatur atas

tanah tersebut. Oleh karenanya lebih condong dapat dikatakan bahwa badan

hukum keagamaan ini dikatakan badan hukum privat walaupun kepemilikannya

dilakukan oleh orang-orang secara umum, namun badan hukum ini tidak ada

hubungannya dengan pemerintah dan mempunyai hak milik yang bisa dialihkan

secara privat, namun kelemahannya kedudukan pura sebagai badan hukum

keagamaan yang dapat memiliki hak atas tanah tidak ditetapkan oleh pemerintah

secara khusus seperti Perseroan Terbatas yang akta pendiriannya disahkan oleh

Menteri Hukum dan HAM RI, akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal

ini Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, serta yayasan yang akta

pendiriannya disahkan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atas

nama menteri. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan siapakah nantinya yang akan

ditunjuk/mempunyai legal standing dalam hal mewakili badan hukum keagamaan

sebagai subjek hukum.

Dengan dikeluarkannya SK Menteri tersebut maka Pura sudah sah diakui

keberadaannya sebagai badan hukum keagamaan dan tanah pura sebagai obyek

yang diakui untuk menjadi hak milik pura. Dengan begitu maka tanah pura juga

memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri hak milik yaitu hak milik yaitu:

Page 103: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

87

1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus

didaftarkan

2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal

20 UUPA)

3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo.

Pasal 26 UUPA)

4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat

dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan,

hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak

menumpang, Hak milik sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas

tanah lainnya.

5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan

(Pasal 25 UUPA)

6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27

UUPA)

7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA)

Pura merupakan bagian dari desa adat namun untuk pengurusannya sudah

menunjuk pengempon pura tersebut. Sehingga krama pengempon berhak untuk

mengalihkan hak atas tanah tersebut dengan cara jual beli namun harus dengan

kesepatan bersama dari seluruh krama pengempon pura tersebut melalui sebuah

paruman desa.

Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa “Hak milik tanah badan-badan

keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam keagamaan

Page 104: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

88

dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan

memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang

keagamaan dan sosial”. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 juga menyatakan bahwa badan-

badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang

dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan

usaha keagamaan.

Sesuai dengan hukum adat dan UUPA Pasal 20 ayat 2, bangunan suci

merupakan suatu lembaga yang dibolehkan memiliki tanah. Hak tersebut dapat

beralih dan dialihkan kepada pihak lain setelah melalui proses hukum dan

mendapat persetujuan dari pemelihara bangunan suci (pengempon).87

Tanah

druwe pura tidak dapat dipindahkan haknya kepada siapapun, tanpa adanya

persetujuan dari para warga penanggung jawa dan diputus dalam rapat. Kenyataan

tersebut diperkuat dengan adanya putusan-putusan pengadilan dan Mahkamah

Agung yang senantiasa mengakui hak kepemilikan atas tanah bagi suatu lembaga

keagamaan . Pengadilan maupun Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara

yang berkaitan dengan tanah adat senantiasa berpedoman pada awig-awig desa

adat dan hukum adat yang berlaku di daerah asal perkara tersebut. Seperti halnya

tujuan hukum, awig-awig dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kedamaian

87

Eddy Ruchiat, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya

UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung, hal. 119.

Page 105: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

89

(kasukertan) dalam masyarakat, yaitu suasana yang tertib (secara fisik) dan

tentram (secara batin).88

Dalam Awig-Awig Desa Adat Kelan Pawos (Pasal 8) disebutkan sebagai

berikut:

(1) Tanah pelaba pura inucap ring ajeng pemuponnya keanggen ngaskara

ring penyiwian Desa agung alit manut nista madya utama, ping kalih

macikang sehenan wewangunan inucap ring ajeng. Kekirangan prebeya

tan maren kekuronin antuk swadaya krama desa manut perarem

(2) Druwen desa tan kengin keadol ketukar wiadin kegadean sejawaning

sangkaning mebuat pisan manut kadi tetujon, saha sampun kararemin

antuk krama desa.

Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, maka arti dari isi awig-awig ini adalah:

(1) Hasil dari tanah pelaba pura pertama akan dipakai untuk upacara

persembahyangan di desa baik upacara kecil, sedang, dan besar. Yang

kedua untuk memperbaiki pura yang rusak. Kekurangan biaya akan

dibantu oleh krama desa sesuai dengan peraturan desa.

(2) Tanah milik desa tidak boleh dijual, ditukar, maupun digadai. Namun

dapat dikecualikan untuk apa tujuannya, apabila sudah ada hasil rapat

dari krama desa tersebut.

Berdasarkan bunyi Pawos (Pasal) 8 Awig-Awig Desa Adat Kelan ayat 2

menyebutkan bahwa tanah milik desa tidak boleh diperjualbelikan namun

diberikan pengecualian sesuai dengan tujuannya melalui rapat desa. Namun dalam

ketentuan ayat 2 tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan apa saja

yang diperbolehkan untuk menjualbelikan tanah milik desa. Hanya dijelaskan

88

Wayan P.Windia, 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum

dan Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press, Denpasar,

hal. 31.

Page 106: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

90

sesuai dengan rapat desa yang telah diadakan sebelumnya, artinya tanah milik

pura dapat diperjualbelikan dengan mengadakan paruman terlebih dahulu

mengenai penjualan tanah milik pura tersebut.

Tanah druwe pura adalah milik bersama dari pengempon pura Desa Adat

Kelan, jadi krama desa pengempon Desa Adat Kelan harus secara bersama setuju

dengan penjualan tanah druwe pura tersebut. Tujuan penjualan tanah pelaba Pura

Dalem Sakenan yang di empon oleh Desa Adat Kelan akan dipergunakan untuk

kepentingan pura sehingga sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kelan, jual beli

tersebut sah untuk di jual karena telah melakukan paruman sebelumnya. Dengan

demikian pemilikan atas tanah telah memberikan manfaat dan kegunaan dalam

berbagai aspek kehidupan bagi Desa Adat Kelan, baik dalam aspek ekonomi,

aspek sosial, termasuk dalam hubungannya dengan pembangunan. Dari aspek

ekonomi hasil penjualan tanah dapat dipergunakan untuk membeli tanah

pengganti di tempat lain sebagai investasi, tanah tersebut nanti bisa saja

dikontrakkan/disewakan untuk memberikan pemasukan untuk Desa Adat Kelan.

Dalam aspek sosial hasil penjualan tanah druwe pura tersebut dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan kegiatan keagamaan dan sejenisnya.

3.2 Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi Jual Beli

Tanah Druwe Pura

Adapun faktor-faktor yang menjadi latar belakang dari transaksi jual beli

tanah druwe pura adalah sebagai berikut:

1) Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa;

2) Tanah ini sudah menjadi lahan yang tidak produktif;

Page 107: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

91

3) Adanya keperluan dana untuk kepentingan pura antara lain:

a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat

Kelan yang sangat perlu untuk direnovasi

b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura

c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura dimasa depan dengan

membuat dana abadi guna menopang kelancaran aktivitas di Pura

yang ada di Desa Adat Kelan.

Berikut ini dapat dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor di atas

sebagai berikut :

1. Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa

Tanah druwe pura yang menjadi obyek transaksi jual beli adalah tanah laba

pura yang terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar

Selatan, Kota Denpasar. Namun yang memiliki pemegang hak milik atas tanah

druwe pura ini adalah pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan, Kelurahan Tuban,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah laba pura ini merupakan tanah yang

pernah menjadi obyek sengketa. Sengketa ini dimulai dari pengakuan dari pihak

penggugat Ida Cokorde Pemecutan dengan melawan 4 tergugat yakni tergugat 1

Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, Tergugat 2 Perseroan Terbatas

(PT) Tridakna Arta Sejahtera, Tergugat 3 Perseroan Terbatas (PT) Carrefour

Indonesia dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Sebelum gugatan di

layangkan ke Pengadilan Negeri sudah ditempuh musyawarah mufakat terlebih

dahulu. Hukum adat pada hakikatnya selalu mengutamakan adanya musyawarah

mufakat apalagi yang menyangkut mengenai sengketa tanah adat. Apabila

Page 108: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

92

terburu-buru mengambil jalan ke pengadilan Negara, maka akan menimbulkan

pertikaian antara yang satu dengan yang lainnya. Maka diutamakan jalan

penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, dengan

saling memaafkan.

Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering

berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah.

Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal

seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan

perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga.89

Penyelesaian sengketa adat ini umunya diselesaikan melalui sangkepan atau

paruman. Apabila usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu atau

ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi yang

berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan

untuk mengajukan masalahnya kepengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa

melalui cara perundingan/mediasi ini mempunyai kelebihanbila dibandingkan

dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dari segi waktu, biaya,

dan pikiran/tenaga.90

Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan

biasanya didahului dengan adanya semangat itikad baik, adil, dan bijaksana dari

orang yang dipercaya sebagai “penengah” perkara atau semangat dari majelis

89

Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,

Alumni, Bandung, hal. 27. 90

Maria S.W Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi

Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di

Bidang Pertanahan), Kompas, Jakarta, hal. 4.

Page 109: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

93

permusyawaratan adat. Namun upaya perdamaian tidak dapat diwujudkan

sehingga diambil jalan ke pengadilan negeri, di pengadilan negeri pun diadakan

mediasi untuk para pihak terlebih dahulu namun upaya ini pun tidak membuahkan

hasil.

Ida Cokorde Pemecutan sebagai penggugat merasa bahwa tanah yang

terletak di banjar gelogor carik ini adalah tanah miliknya sebagai pengempon pura

dari Pura Tambangan Badung, Ida Cokorde Pemecutan Mengklaim bahwa tanah

ini adalah laba pura dari Pura Tambangan Badung, namun tidak ada bukti

sertifikat kepemilikan hak milik yang dimiliki oleh penggugat. Bukti kepemilikan

sertifikat hak milik sudah dimiliki oleh Desa Adat Kelan. Mengingat obyek

sengketa telah disertifikatkan sejak tahun 2003 jadi bila dihitung dari sejak

diajukannya gugatan, maka sudah lebih dari 5 tahun sertifikat tersebut diterbitkan,

dan berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah dengan tegas dan jelas menyebutkan bahwa:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas

nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan

itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa

mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak

tersebut apabila dalam waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu

tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan

Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan

gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat

itu.

Ketentuan yang menyatakan setelah 5 tahun sertifikat tanah tidak bisa

digugat, mempunyai dampak positif, yakni memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum. Dalam hal ini, Eliyana mengemukakan bahwa:

Page 110: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

94

Pembatasan 5 tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertifikat

harus disambut dengan sangat gembira karena akan memberikan kepastian

hukum dan ketenteraman pada orang yang telah memperoleh sertifikat tanah

dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan bahwa sering terjadi sertifikat

hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena sertifikat

tersebut telah diperpanjang dengan 20 tahun lagi masih juga dipersoalkan

dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik ke Pengadilan Negeri maupun ke

Pengadilan PTUN dan pihak tergugat umumnya tidak berhasil dengan

mengajukan eksepsi kadaluarsaan baik akusatif extingtif karena hakim

menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpihak pada hukum adat yang

tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun

dalam Pasal 32 ayat (2), maka setiap penggugat dalam kasus tanah yang

sertifikatnya telah berumur 5 tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu.

Ketentuan Pasal 32 ini dapat dipastikan akan banyak mengurangi

kasus/sengketa tanah.91

Berdasarkan hal tersebut maka Desa Adat Kelan dinyatakan sebagai

pemilik yang sah atas obyek sengketa tanah tersebut. Karena upaya hukum

penggugat dinyatakan sebagai upaya hukum yang daluarsa. Sertifikat hak milik

merupakan bukti kepemilikan yang sempurna dan mutlak sifatnya. Hal ini sesuai

dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.

24 tahun 1991 yang menyatakan “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang

bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah” dan dalam Pasal 32 ayat (1)

Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Sertifikat

merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam

surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.

Selain itu Pihak Penggugat tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ia adalah

pemilik yang sah dari tanah milik Pura Dalem Sakenan Kelan. Apabila Penggugat

91

Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah

di Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 187.

Page 111: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

95

mendalilkan dirinya sebagai pemilik atas tanah obyek sengketa tersebut, maka

secara hukum ia wajib untuk membuktikan dalilnya itu. Hal ini diatur secara tegas

dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut :

”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau

menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk

pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa

tersebut”.

Maka dari itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan

mendengarkan para saksi dan bukti surat-surat melalui putusannya No.

111/Pdt.G/2009/PN.Dps tanggal 19 maret 2010, menyatakan bahwa gugatan

penggugat ditolak. Kasus ini akhirnya dimenangkan oleh Desa Adat Kelan.

Majelis Hakim menyatakan tergugat 2 dan tergugat 3 tidak ada hubungannya

dengan kasus ini sehingga seluruh biaya kerugian yang di derita akibat kasus ini

dibebankan kepada pihak penggugat. Tenggang waktu yang telah diberikan oleh

Pengadilan Negeri Denpasar untuk menyatakan banding telah lewat, sehingga

terhitung tanggal 16 April 2010 putusan Pengadilan Negeri Denpasar telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Desa Adat Kelan akhirnya memenangkan

perkara tersebut dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah dari tanah milik Pura

Dalem Sakenan Kelan.

Dengan demikian secara tegas bahwa tanah yang ada di banjar gelogor

carik, desa pemogan yang menjadi obyek penelitian adalah sah dan murni milik

Desa Adat Kelan. Dengan demikian berarti bahwa Desa Adat Kelan yang berhak

atas tanah tersebut, baik itu mengenai pengalihan haknya maupun

Page 112: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

96

pemanfaatannya. Desa Adat Kelan selaku pengempon di dalam perbuatan hukum

yang berkaitan atas tanah tersebut (obyek) berhak bertindak untuk dan atas nama

Pura Dalem Sakenan Kelan yang tertera di dalam sertipikat hak milik atas tanah.

Sehingga tidak ada lagi permasalahan yang menjadi kendala di dalam proses

pengalihan haknya (jual beli). Tanah milik Desa Adat Kelan yang tertera di

sertifikat atas nama Pura Dalem Sakenan Kelan pernah menjadi obyek sengketa,

sehingga hal inilah yang akhirnya membuat seluruh krama Desa Adat Kelan

dengan suara bulat juga menjadi setuju untuk mengalihkan atau menjual tanah

milik/druwe pura Dalem Sakenan Kelan ini, karena pada prinsipnya agar

dikemudian hari tidak ada lagi pihak yang dapat mengklaim ataupun melakukan

gugatan maupun pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai pihak yang berhak.

Pada saat ini tanah tersebut telah di alihkan kembali oleh si pembeli untuk

dijadikan perumahan dan telah di pecah dan dikavling serta telah dijual kembali

kepada pihak-pihak lain. Sehingga sangat tidak dimungkinkan untuk kembali

dipermasalahkan secara hukum, apalagi putusan tersebut telah inkracth

(mempunyai kekuatan hukum tetap). Kendatipun kemudian ditemukan kembali

bukti baru (novum) untuk dapat diajukan peninjauan kembali, maka tentunya

sudah sangat mubasir, mengingat hal tersebut di atas.

Masalah tanah bukanlah semata-mata merupakan masalah hukum perdata

saja, akan tetapi berkaitan pula pada segi-segi pemerintahan, sosial, politik,

budaya, pertahanan dan keamanan. Sebagai salah satu bukti adalah sengketa tanah

milik pura Desa Adat Kelan ini. Banyaknya sengketa tanah yang penyelesaiannya

melalui Pengadilan Negeri yang untuk memperoleh kekuatan hukum tetap

Page 113: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

97

ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Jadi pada umumnya sifat sengketa

ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas

tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu

ketetapan yang merugikan dirinya.92

2. Kondisi Tanah druwe pura yang sekarang menjadi lahan yang tidak

produktif.

Tanah druwe pura Desa Adat Kelan yang terletak dibanjar gelogor carik ini

dahulunya diberikan ijin kepada banjar gelogor carik untuk menggarap tanah

tersebut agar menjadi lahan produktif dengan sistem bagi hasil. Bahkan seluruh

warga banjar gelogor carik diwajibkan untuk ikut serta menjadi petani penggarap

dari tanah tersebut dengan menanam padi. Tanah-tanah milik pura tersebut harus

menjadi lahan yang produktif, artinya tanah tersebut harus mampu memiliki nilai

ekonomis untuk menunjang kegiatan keagamaan di pura dalem sakenan Desa

Adat Kelan. Hasil garapan tanah dari anggota banjar gelogor carik akan dibagi

dua, setengahnya diberikan kepada pengempon pura dan sebagian lagi untuk

banjar gelogor carik sebagai penggarap tanah. Hasil dari garapan tanah tersebut

akan dipergunakan untuk menunjang keperluan-keperluan pura.

Aturan hak menggarap tanah secara garis besarnya hampir sama. Hanya

saja dalam hukum tanah adat (Bali) saat ini hak tersebut dikaitkan dengan hak

bagi hasil/hak menikmati hasil, pemilik tanah dan penggarap. Untuk tanah yang

berstatus druwe desa dan laba pura (milik pura/bangunan suci), aturan

92

Ibid., hal. 28.

Page 114: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

98

sepenuhnya ditentukan oleh desa adat.93

Namun sekarang ini tanah yang terletak

di banjar gelogor carik, desa pemogan ini suda tidak digarap lagi dan menjadi

lahan yang tidak produktif sehingga tidak memberikan nilai ekonomis guna

menopang pengeluaran Pura Dalem Sakenan.

Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada sebab yang melatarbelakanginya.

Begitupun dengan penjualan tanah druwe pura ada faktor-faktor yang

melatarbelakangi sampai ada penjualan tanah druwe pura. Kondisi tanah yang

tidak produktif menjadi salah satu faktor untuk menjual tanah milik pura. Tanah

yang dibiarkan begitu saja tidak memberikan nilai ekonomis/pemasukan bagi desa

adat. Dahulu tanah pelaba pura digunakan untuk lahan pertanian dan hasil

panennya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk

penggarapnya dan untuk diberikan kepada desa untuk pemeliharaan dan

pembangunan pura. Namun karena sudah jarangnya ada yang menjadi petani

apalagi di kota-kota besar sebagian besar pekerjaannya di kantoran sehingga

banyak lahan yang tidak digarap dan membuat keadaan lahan menjadi terlantar

dan tidak menghasilkan lagi. Sedangkan pura harus mendapatkan pemeliharaan

sehingga tanah pelaba pura Desa Adat Kelan dijual diputuskan untuk dijual untuk

menunjang pemeliharaan pura dalem Desa Adat Kelan.

3. Adanya keperluan dana untuk kepentingan pemugaran pura Desa Adat Kelan

a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat Kelan

yang sangat perlu untuk direnovasi

93

I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 191.

Page 115: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

99

Kondisi pura yang sudah tua bangunannya sudah mulai rapuh sehingga

sangat perlu untuk direnovasi. Dengan penjualan pelaba pura ini dapat digunakan

sebagai biaya renovasi/pemugaran pura. Biaya pembangunan pura tentu

memerlukan biaya yang tidak sedikit maka dari itu hasil penjualan dari tanah laba

pura ini diharapkan dapat membantu untuk melakukan renovasi pada pura. Pura

Desa Kelan yang terletak diantara perbatasan antara Desa Kelan dan Tuban

(sebelah selatan Bandara Ngurah Rai) pada saat itu perlu direnovasi. Pemugaran

memerlukan banyak dana apalagi pelaksanaan upacaranya, sehingga hasil

penjualan pelaba diharapkan dapat menjadi sumber dana. Pada era sekarang ini

segala kebutuhan untuk pembangunan baik itu bangunan pada umumnya maupun

pura tidak menghabiskan sedikit dana, justru sangat banyak apalagi keinginan dan

obsesi untuk mempunyai bangunan yang megah dan besar tentu juga akan

menjadi dorongan untuk mencari dan membutuhkan dana yang banyak. Dana

yang besar tentu tidak mudah untuk didapat, dengan penjualan tanah milik pura

ini dapat menjadi solusi untuk bisa mewujudkan pembangunan pura yang lebih

baik serta meringankan beban pengemponnya dan memperbaiki taraf hidup

pengemponnya. Renovasi dan pemugaran pura adalah sebuah yadnya untuk

pengemponnya, namun demikian tidak dapat dipungkiri juga jika biaya untuk itu

akan menjadi beban bagi individu pengempon yang secara ekonomi kurang dari

yang lain, sehingga yadnya yang seharusnya dilaksanakan secara tulus ikhlas

justru akan membebani sebagian masyarakat/pengempon.

Page 116: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

100

b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura

Pelaksanaan karya atau upacara setelah pemugaran/renovasi dari pura

memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga hasil penjualan ini diharapkan

dapat menutupi biaya untuk pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini sejalan dengan

fungsi pelaba pura itu sendiri sebagai penunjang dari pelaksanaan yadnya di pura

itu sendiri. Jika semua biaya dibebankan kepada pengempon tentu pelaksanaan

renovasi dan pemugaran tidak akan berlangsung sesuai keinginan dari pengempon

itu sendiri justru bahkan membebani secara ekonomi dan waktu bagi

pengemponnya. Terlebih lagi jika tanah pelaba pura tidak terawat atau tidak

mungkin digarap maupun dimanfaatkan secara ekonomi, sosial maupun budaya

justru akan menjadi tanah terlantar yang sayang jika dibiarkan.

Pengembangan pun akan sulit mengingat masyarakat pengempon pura Desa

Adat Kelan tidak mungkin dapat fokus memanfaatkannya karena kesibukan dan

tingkat pendidikan serta ekonomi yang berbeda. Dalam hal ini tidak bermaksud

untuk melegalkan atau membenarkan bahwa tanah pelaba pura itu dapat saja

dijual, tetapi secara pertimbangan matang bahwa fungsi sosial, fungsi ekonomi

maupun fungsi pelestarian tidak mungkin dapat dipertahankan dengan

mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Pura dan pelabanya wajib

dilestarikan untuk kepentingan berlanjutnya atau abadi dan lestarinya adat serta

budaya Bali, namun tidak dipungkiri jika pengalihan hak baik dengan melalui

pengalihan hak sementara seperti perjanjian sewa menyewa ataupun pengalihan

hak untuk selamanya melalui jual beli terhadap tanah pelaba pura justru akan

Page 117: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

101

meningkatkan pemasukan pura untuk kepentingan upacara serta meringankan

beban pengemponnya.

c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura serta membuat dana abadi guna

menopang kelancaran pelaksanaan yadnya di Pura yang ada di Desa Adat

Kelan

Menjaga kelangsungan yadnya di pura serta membuat dana abadi adalah

salah satu faktor dijualnya tanah druwe pura guna menopang kelancaran

pelaksanaan yadnya di pura. Dana abadi ini artinya dana yang menjadi milik dari

desa adat yang nantinya diperlukan baik untuk pura maupun untuk keperluan guna

menunjang kemakmuran krama desa adat setempat. Adanya dana abadi sangat

membantu meringankan beban warga/krama pengempon sehingga secara abadi

bebas dari kewajiban-kewajiban upacara/pepeson. Bebasnya kewajiban rutin ini

tentu sangat meringankan krama pengempon karena disamping kewajiban sebagai

pengempon yang tidak sedikit juga ada kewajiban-kewajiban lain sebagai pribadi,

sehingga dengan berkurangnya salah satu kewajiban akan dapat memberikan

waktu yang lebih bagi krama pengempon untuk memenuhi kewajibannya yang

lain. Apalagi dengan adanya lembaga/badan penghimpun dana masyarakat seperti

LPD sebagai lembaga keuangan milik desa pekraman, dana hasil penjualan

tersebut bisa ditempatkan dan diusahakan pada lembaga tersebut, sehingga

keuntungannya dapat menjadi sumber dana di dalam membiayai pelaksanaan

upacara. Dengan demikian maka krama pengempon tidak akan lagi diberatkan

dengan kewajiban-kewajiban membiayai upacara. Upacara memang bukanlah

beban, akan tetapi adalah kewajiban/yadnya, namun demikian tidak pula

Page 118: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

102

dipungkiri bahwa setiap pelaksanaan upacara tidaklah menghabiskan dana yang

sedikit. Dengan adanya dana abadi tersebut maka kewajiban dalam setiap upacara

setian enam (6) bulannya akan terasa ringan dan tidak membebani warga/krama.

Kebutuhan upacara semakin banyak dan berat tetapi jika ada jaminan yang dapat

meringankan beban krama tentu akan mendapat persetujuan.

Iuran upacara adalah iuran yang dikenakan kepada penduduk untuk

pembiayaan upacara keagamaan. Iuran tersebut antara lain:

a. Padangsil (iuran untuk pembuatan dansil, yaitu rangkaian saji-sajian

berbentuk meru).

b. Panasi (iuran untuk pengadaan nasi).

c. Pacarwa (iuran untuk upacara kurban caru yang diperuntukan bagi para

buthekala).

d. Pamurnaman (iuran yang dibayar setiap bulan purnama).

e. Pangrmrm (sejenis iuran untuk biaya perawatan bangunan suci).94

3.3 Kendala-kendala dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura

Dalam suatu proses jual beli tanah tidaklah mudah, memerlukan kejelian

dan ketelitian baik itu dari pihak penjual, pembeli maupun pihak Notaris/PPAT

agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak menimbulkan sengketa

dikemudian hari, termasuk cacad hukum/administratif di dalam pelaksanaannya,

yang dapat menimbulkan batal demi hukum suatu perbuatan peralihan hak yang

didasari oleh perjanjian jual beli. Terlebih lagi pihak penjualnya adalah suatu

lembaga/badan hukum, dalam hal ini badan hukum keagamaan. Tanah milik pura

baik bangunan tempat mendirikan bangunan suci pura maupun tanah pelaba pura

tentunya akan sulit secara administrasinya dan kelengkapan data hukum/dokumen

yuridisnya. Diperlukan kejelian dan kelengkapan dokumen yang betul betul kuat

secara administrasi maupun hukum sehingga prosesnya akan menimbulkan

94

Ibid., hal. 67.

Page 119: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

103

berbagai kendala. Tentunya dalam transaksi jual beli tanah druwe pura ada

kendala-kendala dalam proses jual beli tersebut.

Kendala-kendala proses transaksi jual beli tanah druwe pura/pelaba pura

yang di dalam sertipikatnya tertera atas nama pura secara hukum perpajakan akan

sulit untuk ditemukan penyelesaiannya karena secara administrasi perpajakan pura

bukanlah merupakan subyek pajak sehingga pura tidak diwajibkan untuk

membayar pajak PBB, tetapi jika dialihkan melalui jual beli maka PBB wajib

dilunasi. Termasuk juga pajak Penghasilan (PPH) jua harus dilunasi karena Pura

tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pelunasan PPH dan BPHTB

adalah salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya proses jual beli tanah. Di

dalam hal ini pura dapat saja diwakili oleh yang diberikan kuasa oleh pengempon

sebagai subyek pajaknya, tetapi akankah hal tersebut tidak akan menimbulkan

permasalahan perpajakan dikemudian hari, karena si atas nama tentu saja

dianggap sebagai orang yang memperoleh penghasilan atas jual beli tanah

pelaba/druwe tersebut.

Di era keterbukaan pajak seperti yang sedang terjadi sekarang ini, pihak

penjual dan pembeli akan sangat tersita waktu berkaitan dengan permasalahan ini,

namun yang diberikan kuasa (bendesa) tentunya tidak mempunyai pengetahuan

yang cukup terkait ini. Ini adalah salah satu kendala dari proses jual beli tanah

druwe pura. Pihak kantor pajak juga akan mengalami kesulitan dan salah persepsi

terkait hal tersebut. Namun demikian di dalam proses jual beli dihadapan pejabat

yang berwenang (PPAT) bahwa yang dimasukan/dicatatkan kedalam bukti surat

setoran pajak (SSP) dari pajak penghasilan (PPH) adalah bendesa atas nama Pura

dengan kolom NPWP yang dikosongkan. Jika kemudian diteliti tentunya akan

diketahui bahwa yang menjadi subyek dari Pajak Penghasilan atas penjualan tanah

pelaba/druwe pura ini.

Page 120: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

104

Kendala lain adalah pada saat menyatukan suara untuk sepakat menjual

tanah milik pura. Pasti ada rasa tidak percaya sebagian krama pengempon

terhadap tindakan pengurus pura atas rencana penjualan pura, sehingga suara bulat

tentu akan memerlukan banyak waktu dan banyak kendala. Berita acara rapat

krama pengempon atau yang mewakili adalah syarat keharusan awal yang

kemudian menunjuk salah seorang kuasa yang dalam hal ini biasanya bendesa

adat di dalam proses transaksi di hadapan pejabat yang berwenang (PPAT).

Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam

wawancara pada tanggal 14 November 2014 mengatakan bahwa tidak hanya suara

bulat dari krama pengempon tetapi juga rekomendasi dari lembaga berwenang

antara lain pemerintah daerah setempat maupun lembaga keagamaan (departemen

agama/dinas agama kabupaten/kota atau Parisada Hindu Dharma Indonesia

(PHDI) dan adat/desa pakraman. Rekomendasi itu tentu keluar tidak dengan

mudah, ada beberapa tahapan dan penelitian yuridis terkait dengan rencana

penjualan obyek tanah pelaba/druwe pura tersebut yang harus dilalui, belum lagi

kewajiban dan keharusan untuk mendapatkan tanah pengganti yang juga akan

diproses untuk balik nama dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Dalam hal ini yang menjadi tantangan ataupun kendala adalah tentunya masalah

waktu. Nilai tanah yang semakin hari semakin naik harganya tentu sangat akan

disesali oleh sebagian krama pengempon jika dalam proses yang lama dan

panjang serta melibatkan berbagai instansi ini ternyata kecenderungan

kesepakatan harga lama menjadi jauh dari pada saat kelengkapan dokumen sudah

siap untuk ditransaksikan, disinilah tantangan terbesar dari pengurus pura,

mendapatkan isu/tantangan dari segelintir krama penempon yang tidak paham

akan proses yang berliku dan panjang tersebut. Tanah-tanah di Indonesia menurut

Page 121: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

105

UUPA mempunyai fungsi sosial, namun seiring perkembangan dan kemajuan

sekarang ini fungsi itu telah sedikit-sedikit mengalami pergeseran yaitu cenderung

ke fungsi ekonomi.

Kebanyakan individu merasa bahwa tanah mestinya dipertahankan dan

dikelola sebaik mungkin untuk kepentingan ekonomi, hal ini juga menjadi

hambatan dan kendala tersendiri karena sebagian besar krama pengempon apatis

teradap rencana penjualan tanah druwe pura. Hal itu juga menjadi faktor yang

membuat proses penjualan itu menjadi lama dan terkatung-katung, tanah di bali

dikatakan religius magis terlebih lagi tanah druwe pura, untuk itu diperlukan

berbagai upacara dan upakara guna menunjang dan memperlancar bebagai upaya

yang berkaitan dengan tanah palemahan, termasuk penjualan tanah pelaba/druwe

pura tersebut. Diperlukan berbagai upacara-upacara seperti misalnya matur

piuning, guru piduka dan lain-lain sehingga rencana penjualan tersebut tidak

mendapat halangan/rintangan secara niskala.

Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam

wawancara pada tanggal 14 November 2014, di dalam proses jual beli di samping

ada kesepakatan harga dan penyerahan hak atas tanah. Di dalam proses jual beli

tanah druwe pura yang menjadi kendala lain adalah pada saat penyerahan hak,

berupa sertipikat dan pembayaran, sempat diproses pembayaran melalui Cek dan

Bilyet Giro (BG) dan dicairkan ke rekening bendesa adat tetapi secara perpajakan

hal tersebut juga sedikit mengandung resiko hukum, sehingga akhirnya

diputuskan masuk ke rekening Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat

Kelan.

Page 122: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

106

BAB IV

PROSES JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

4.1 Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe

Pura

Perda Tingkat I Bali Nomor : 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi

dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Prov.

Daerah Tingkat 1 Bali, memberikan batasan tentang desa adat sebagai berikut:

Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi

Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau

Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah

tangganya sendiri.

Setiap desa adat memiliki unsur parahyangan, pawongan, maupun

palemahan desa. Dilihat dari unsur parahyangan, setiap desa adat memiliki

tanggung jawab dan kewajiban untuk nyungsung Pura Kahyangan Tiga atau Pura

Kahyangan Desa (pura yang memiliki fungsi yang sama dengan Pura Kahyangan

Tiga). Unsur pawongan dari desa adat adalah krama desa adat itu sendiri, krama

desa adat terdiri dari orang-orang yang beragama hindu. Dalam unsur palemahan

terdiri dari tempat tinggal dimana krama adat membangun rumah tempat tinggal

yang biasa disebut dengan tegak desa. Dilihat dari tiga unsur di atas maka setiap

krama desa adat memiliki kewajiban (swadharma) terhadap unsur parhayangan

dan palemahan baik dilihat dari ayah-ayahan (kewajiban kerja) maupun

Page 123: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

107

pawedalan (urunan materi), juga tidak jauh berbeda. Pada prinsipnya setiap warga

desa adat wajib melaksanakan swadharma terhadap desa adat.

Di Bali dikenal adanya desa adat sekarang disebut dengan desa pakraman

sebagai persekutuan hukum yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan

Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.95

Sebagai

persekutuan hukum yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri dan

berhak mengurus rumah tangganya sendiri, desa adat dapat mempunyai hak-hak,

kewajiban-kewajiban hukum serta dapat mengadakan hubungan hukum. Di Pihak

lain Swellengrebel mendefinisikan desa adat sebagai berikut “Desa is often

defined as Community of workship. An important part of it function does, indeed

lie in the religious field”, yang diartikan desa adat sering diartikan sebagai

komunitas kerja. Bagian yang terpenting daripadanya sesungguhnya terletak pada

bidang agama.96

Mekanisme pengelolaan tanah pura di Bali menggunakan sistem

pengempon. Tanah pura memang sudah menjadi hak milik dari pura yang sudah

diakui sebagai badan hukum keagamaan, namun keberadaan pura itu sendiri

berada di dalam wilayah kekuasaan dari desa pakraman. Jadi tanah pura

merupakan tanah yang berada dalam penguasaan desa pakraman. Dalam

pengelolaannya diberikan kepada suatu kelompok tertentu yang masih berada

95

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 29. 96

Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and

Ritual, Foris Publications, Holland, hal. 65.

Page 124: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

108

dalam desa pakraman tersebut. Pada umumnya pengempon atau penyungsung

pura-pura yang ada di Bali disungsung atau di empon oleh suatu komunitas

kolektif dari suatu masyarakat adat atau suatu klan keluarga tertentu. Pengempon

mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pembangunan,

pemeliharaan fisik maupun yang non fisik, demikian juga dengan biaya dan

pelaksanaan upacara.

Penunjukkan krama pengempon pura disertai pula dengan hak dan

kewajiban pengempon terhadap tanah pura yang dikuasainya (dikelolanya)

tersebut. Sama halnya dengan krama desa adat yang memiliki kewajiban terhadap

desa adat begitu pula dengan krama pengempon pura yang memiliki kewajiban

(swadharma) terhadap pura yang diempon. Kewajiban ini terdiri pula dari ayah-

ayahan dan urunan materi untuk pemeliharaan pura dan upacara keagamaan.

Dalam bahasa bali memuja ataupun memulyakan Tuhan ataupun

memulyakan roh suci leluhur disebut dengan nyungsung, sehingga mereka

(perseorangan ataupun kelompok) yang memuja Tuhan ataupun roh suci leluhur

di suatu pura disebut dengan penyungsung pura. Bila penyungsung pura itu suatu

kelompok, mereka umumnya terorganisir dalam suatu lembaga tradisional yang

disebut dengan sekeha pura, pengempon, atau pengemong pura yang mempunyai

tata pengurusan tertentu. Tugas dan peranan penyungsung pura disamping

memulyakan tuhan ataupun roh suci leluhur di pura juga bertanggung jawab

terhadap pura tersebut seperti menyelenggarakan keasrian pura, perbaikan-

Page 125: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

109

perbaikan pura, serta menyelenggarakan upacara-upacara tertentu di pura seperti

petoyan atau piodalan.97

Pasal 1 angka 7, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa

Pakraman menjelaskan mengenai pengertian krama pengempon/pengemong

adalah krama desa pakraman/krama banjar pakraman yang mempunyai ikatan

lahir batin terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung

jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan

upacara di kahyangan tersebut. Dari pengertian krama pengempon tersebut di atas

maka yang berhak memberikan suara dalam transaksi jual beli tanah druwe pura

ini adalah krama pengempon dari Pura Dalem Sakenan Adat Kelan.

Hal ini dikarenakan sebuah pura berfungsi sebagai pusat kegiatan ritual dan

peribadatan dari suatu komunitas masyarakat adat atau klan suatu keluarga yang

sekaligus menjadi pengemong atau penyungsung pura tersebut. Dalam hal ini

yang diberikan kekuasaan untuk menjadi pengempon tanah milik (druwe) Pura

Dalem Sakenan yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan adalah Desa

Adat Kelan karena yang menjadi penyungsung Pura Dalem Desa Adat Kelan

adalah krama pengempon Desa Adat Kelan.

Pengempon Pura Dalem Sakenan adalah yang berhak menentukan apakah

tanah druwe Pura Dalem Sakenan tersebut boleh dijual atau tidak. Pengempon

akan diajak untuk melakukan paruman/rapat untuk penjualan tersebut. Dalam hal

ini berlaku asas musyawarah mufakat, dalam suatu musyawarah tujuannya adalah

97

I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 41.

Page 126: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

110

untuk mencapai mufakat/kata sepakat. Tanah pura ini berada di dalam wilayah

Desa Adat Kelan jadi bendesa adat hadir dalam memimpin paruman tersebut.

Setiap desa adat (desa pakraman) di Bali mempunyai aturan (tertulis

maupun tidak tertulis) yang berlaku bagi warga desa yang bersangkutan. Aturan

ini dikenal dengan awig-awig dan perarem. Awig-awig merupakan kebiasaan desa

adat setempat yang merupakan aturan yang harus ditaati bagi warga desa adat

yang berada dalam desa adat tersebut. Karakteristik masyarakat adat bersifat

sosial religius yang ditandai dengan oleh adanya unsur tradisi dan agama Hindu

yang dimanifestasikan dalam suatu aturan yang disebut dengan awig-awig. Oleh

karena itu, awig-awig menjadi landasan bagi desa pakraman dalam

penyelenggaraan pemerintah, guna mewujudkan ketertiban dan ketenteraman

masyarakat.98

Dalam awig-awig Desa Adat Kelan, Sarga (Bab) V mengenai Sukertan

Tata Palemahan Palet (Bagian)1 Indik Druwen Desa, Pawos (Pasal) 85 disebutkan

sebagai berikut:

1) Kahyangan desa sekadi Pura Desa, Pura Puseh, Pura Pererepan Dalem

Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara, Merajapati, Pererepan

Ratu Ayu Jangkep sakeluwir busananya patut kasanggra olih krama

Desa Adat Kelan.

2) Druwen Desa Pingkalih pelaba pura ring Desa Kelan wenten sekadi

ring sor:

- ring desa glogor carik wewengkon Kecamatan Denpasar selatan,

pipil nomor 423, kelas I Persil 54 SP linggah 64 are dan persil 20

dp, linggah 84 are.

Apabila diterjemahkan isi Awig-Awig tersebut terdapat pengertian sebagai

berikut:

98

I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali,

Udayana University Press, Denpasar, hal. 73.

Page 127: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

111

(1) Kahyangan desa yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura

Pererepan Dalem Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara,

Merajapati, Pererepan Ratu Ayu lengkap dengan wastranya

semuanya ditanggung oleh krama Desa Adat Kelan.

(2) Kekayaan desa yakni pura yakni pelaba pura di desa kelan yakni

terdiri dari:

- di desa gelogor carik di Kecamatan Denpasar Selatan, pipil

nomor 423, kelas I persil 54 SP luas 64 are dan persil 20 dp

dengan luas 84 are.

Pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan terdiri dari seluruh Prajuru,

Kertha Desa, Paiketan Pemangku Desa Adat Kelan beserta seluruh warga Desa

Adat Kelan sebagai pemegang suara penuh dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut mengenai tanah laba pura Desa Adat Kelan. Desa Adat Kelan

memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pengempon Pura Dalem Sakenan

Kelan untuk mengambil keputusan secara penuh untuk hal-hal yang akan

dilakukan terhadap tanah milik pura Desa Adat Kelan. Pengempon Pura Dalem

Sakenan diketuai oleh bendesa adat selaku ketua pengempon/penanggung jawab

Pura Dalem Sakenan Kelan yang nantinya akan mewakili desa adat dalam

perbuatan hukum mengenai jual beli tanah Pura Dalem Sakenan.

Pengempon pura menunjuk bendesa adat sebagai wakil dalam hal penjualan

tanah druwe pura. Berdasarkan Pasal 35 angka 1 awig-awig Desa Adat Kelan

menyebutkan bahwa “Desa Adat Kelan puniki, keenterang olih ki bendesa” (Desa

Page 128: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

112

Adat Kelan dipimpin oleh seorang bendesa). Mengenai tanggung jawab bendesa

diatur dalam Pasal 39 angka 1 Awig-Awig Desa Adat Kelan yang berbunyi:

Swadarmaning kelian desa (Bendesa Adat) luwirnia:

a. Ngenterang paruman-paruman desa

b. Ngenterang pemargin sedaning awig-awig, miwah pemutus-pemutus

c. Ngeraksa sahe ngatur tata gangge seraja brana druwen desa

d. Nuntun tur ngenterang krama, rauhing warga desa ngupadi kasukertan

desa sekala niskala

e. Nuntun saha nyaksinin tatacara miwah sangaskarania kauripan mabuat,

sane ngilitang pakulawargan

f. Nuntun saha ngenterang iwarga desa ngupadi nginggilang Sang Hyang

Agama, kasucian kahyangan, pawongan, palemahan, miwah tatacaraning

ngangge setra

g. Mawosang miwah niwakang pemutus marep ring wicara warga desa

h. Ngewakilim desa miwah banjar metemuang bawos

i. Miwah sane siosan manut dresta

Tanggung jawab kelian desa (bendesa adat) antara lain :

1. Memimpin paruman-paruman desa

2. Mengawasi pelaksanaan dari awig-awig, dan keputusan-keputusan

3. Mengusahakan dan mengatur mengenai kekayaan desa

4. Memberikan arahan dan petunjuk kepada warga, mengusahakan

kesejahteraan warga baik secara sekala maupun niskala

5. Mengarahkan dan menyaksikan tata cara pelaksanaan yang mengikat

hubungan kekeluargaan

6. Mengarahkan dan mengawasi seluruh warga desa dalam pelaksanaan

kehidupan beragama, kesucian kahyangan, hubungan manusia dengan

manusia, manusia dengan alam, dan tata cara penggunaan kuburan.

7. Memimpin pelaksanaan musyawarah terkait dengan permasalahan di desa

8. Mewakili banjar dan desa dalam pertemuan-pertemuan

9. Dan lain-lain sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

Page 129: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

113

4.2 Proses Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura

Desa adat pakraman dikendalikan oleh perangkat prajuru dengan pucuk

kepemimpinan pada seorang bendesa adat. Bendesa adat ini dipilih oleh krama

desa pakraman menurut aturan yang telah ditetapkan dalam awig-awig desa

pakraman masing-masing. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa

pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam

pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di

desa pakraman masing-masing.

Untuk menemukan kata sepakat penjualan tanah druwe pura maka harus

diadakan paruman/rapat desa terlebih dahulu, paruman ini diselenggarakan oleh

bendesa adat dan memanggil yang harus hadir dalam paruman untuk pembahasan

rencana penjualan tanah druwe pura ini. Paruman ini dihadiri oleh pembina desa

adat yang terdiri dari rajuru desa adat, paiketan pemangku, kelihan banjar adat,

kepala lingkungan, dan ketua sekaa teruna.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah

kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Jika dikaitkan dengan

kewenangan bendesa adat maka kewenangan yang diberikan oleh Perda No. 3

Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman kepada prajuru desa adat terdapat pada Pasal

8 huruf d, sehingga dapat disimpulkan bahwa prajuru desa adat dapat diberikan

kewenangan untuk mewakili desa pakraman untuk suatu perbuatan hukum

tertentu. Namun dalam hal ini karena menyangkut kepentingan umum (seluruh

krama pengempon) maka tidak serta merta bendesa dapat bertindak karena telah

Page 130: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

114

diberikan kewenangan oleh perda tersebut, tetapi tetap wajib mendapat

persetujuan dari seluruh krama pengempon melalui paruman desa.

Berdasarkan ketentuan Pawos (Pasal) 42 angka 1 awig-awig Desa Adat

Kelan menyebutkan bahwa “Paruman-Paruman ring desa kelan, luwir ipun:

paruman desa adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, lan paruman krama

truna truni”. (Paruman-paruman di Desa Adat Kelan terdiri dari paruman desa

adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, dan paruman krama truna truni).

Untuk penjualan tanah milik pura maka dilaksanakan paruman desa adat, karena

melibatkan semua anggota desa adat yang menjadi pengempon dari tanah milik

pura di Desa Adat Kelan.

Pawos (Pasal) 43 angka 1 menyebutkan bahwa “Paruman desane

kawentenang nangken enem sasih apisan, rikalaning rahina : Anggara-Kliwon-

Medangsya, sejawaning wenten indik sane mebuat jagi kebaosang, dados lebihan

ring apisan”. (paruman desa dilaksanakan enam bulan sekali pada saat hari

Selasa, Kliwon, Wuku Medangsya, kecuali jika ada hal-hal penting yang akan

dibicarakan, maka boleh mengadakan rapat/paruman lebih dari sekali). Pawos

(Pasal) 43 ayat 2 menyebutkan bahwa “nangkenang paruman kadi ring ajeng,

kelian desa (bendesa adat) patut nyiarang pemarginnyane ngenterang desane”.

(Bendesa adat wajib mengumumkan/ memberitahukan kepada warga perihal akan

dilaksanakannya paruman desa.)

Paruman desa merupakan penjelmaan dari asas musyawarah mufakat.

Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah mufakat, baik

di dalam keluarga, hubungan kekerabatan, dan penyelesaian sengketa yang

Page 131: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

115

menyangkut desa adat. Begitu pula dalam hal pengambilan keputusan yang

menyangkut mengenai penjualan tanah druwe pura. Untuk mendapatkan

kesepakatan bersama mengenai penjualan tanah milik pura maka harus diadakan

paruman desa yang di hadiri oleh seluruh krama pengempon pura tersebut.

Musyawarah penting dilakukan mengenai hal-hal yang menyangkut kepemilikan

bersama. Tanah druwe pura merupakan tanah milik bersama pengempon pura

tersebut jadi harus ada kesepakatan bersama dari pemilik tanah untuk melakukan

penjualan tanah tersebut.

Paruman mengenai rencana penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan

Kelan, diadakan sebanyak tiga kali yakni Paruman yang pertama diadakan pada

hari Minggu, tanggal 28 Mei 2011 bertempat di Wantilan Desa Adat Kelan yang

dihadiri oleh seluruh warga/krama Desa Adat Kelan tentang kesepakatan untuk

melaksanakan penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan. Paruman

kedua diadakan pada hari Minggu, tanggal 1 April 2012, bertempat di Bale Gong

Pura Desa Lan Pura Puseh Desa Adat Kelan, paruman ini dihadiri oleh Prajuru

Adat Desa Adat Kelan dan Kertha Desa Adat Kelan Kelihan Banjar Adat dan

Dinas se-Desa Adat Kelan. Paruman yang ketiga dilaksanakan pada hari Selasa,

pada tanggal 03 April 2012 bertempat di tempat yang sama dengan dihadiri oleh

Pembina Desa Adat yakni Prajuru Desa Adat, Kertha Desa, Paiketan Pemangku,

Kelihan Banjar Adat, dan Ketua Sekaa Truna Truni se-Desa Adat Kelan.

Hasil dari paruman kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat

No. 060/DAK-BA/IV/2012 dengan ditandatangani oleh pengurus/prajuru Desa

Page 132: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

116

Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Berita acara

rapat diantaranya memuat tentang:

1. Menyetujui untuk menjual tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa

Adat Kelan, yang berada di banjar gelogor carik, desa/kelurahan pamogan,

kecamatan denpasar selatan, kota denpasar, yang nantinya hasil penjualan

akan digunakan untuk

a. Mencarikan Pengganti Tanah Pelaba Pura di tempat lain

b. Membangun Pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan

Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

c. Biaya upacara atas pembangunan pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan

Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

d. Dana abadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

2. Memberikan kuasa sepenuhnya dan hak subsitusi kepada: I Made Sugita

Bendesa Adat Kelan, untuk Bendesa adat yang bersangkutan harus

menandatangani surat kuasa tersebut disaksikan oleh kelihan banjar, kepala

lingkungan, camat dan lurah. Dengan ditandatanganinya surat kuasa ini maka

krama pengempon harus melaksanakan isi dari surat kuasa ini yakni

memberikan kuasa sepenuhnya dan hak substitusi kepada bendesa adat untuk

mengeluarkan dan menerbitkan surat serta menandatangani surat-surat yang

berkaitan dengan Akta Jual beli atau Pelepasan Hak Atas Tanah, menghadap,

Page 133: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

117

berbicara, mengambil keputusan, mengambil tindakan yang dipandang baik

dan atau berguna, menerima uang, dan menerbitkan kwitansi atas pembayaran

penjualan tanah, menyerahkan berkas asli dan atau fotocopy kepada pihak

kedua dan atau pihak lain, khusus permohonan ijin dan atau proses penjualan

tanah milik pura. Bendesa Adat hanya diijinkan untuk melaksanakan apa yang

disebutkan dalam surat kuasa tersebut.

3. Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada Bendesa Adat Kelan oleh seluruh

masyarakat Desa Adat Kelan sebagai pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan,

tetap dengan mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku saat ini.

Surat kuasa ini ditandatangani oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan sebagai

penerima kuasa dan Kelihan Banjar Kelan Desa dan Kelihan Banjar Kelan Abian

sebagai pemberi kuasa selaku wakil dari seluruh krama pengempon Pura Dalem

Sakenan Kelan. Kelihan Banjar merupakan wakil dari seluruh krama Desa Adat

Kelan. Ditandatangani pula oleh Kepala Lingkungan Kelan Desa, Kepala

Lingkungan Kelan Abian, Camat Kuta, dan Lurah Tuban sebagai saksi.

Dalam sebuah paruman pasti ada pro dan kontra terhadap keputusan yang

diambil, inilah fungsi paruman itu sendiri agar nantinya tidak menimbulkan

masalah di kemudian hari. Apabila sudah tercapai mufakat antar anggota, hasil

paruman ini kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Berita Acara Rapat

memuat mengenai persetujuan untuk menjual tanah pelaba druwe pura dengan

syarat syarat-syarat diantaranya mencarikan tanah pengganti tanah pelaba pura di

tempat lain, uang hasil penjualan dipergunakan untuk membangun pura, biaya

upacara setelah pembangunan pura dan uang tersebut akan digunakan sebagai

Page 134: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

118

dana abadi untuk meringankan beban upacara bagi krama di Desa Adat Kelan.

Memberikan kuasa sepenuhnya kepada Bendesa Adat Desa Adat Kelan untuk

mewakili dalam perbuatan hukum tersebut.

Hasil paruman akan menentukan kelanjutan dari proses transaksi jual beli

tersebut. Setelah ditentukan kata sepakat tentang rencana penjualan tanah milik

pura tersebut maka kendatipun dalam hal ini yang berwenang mewakili desa

pakraman adalah bendesa adat, tetapi tetap saja diperlukan suatu surat kuasa

khusus penunjukan tentang rencana penjualan tersebut. Hal ini penting karena

untuk agar hanya ada seorang saja atau sedikit yang bertindak untuk dan atas

nama Pura. Berdasarkan hasil wawancara tanggal 21 Desember 2014 dengan

Notaris/PPAT Kota Denpasar, Bapak I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH : Pura

diibaratkan sebagai perseroan/badan hukum, jika untuk pengalihan hak atas aset

perseroan maka wajib direksi bertindak untuk dan atas nama perseroan dengan

persetujuan komisaris dan wajib diadakan RUPS, yang dalam hal ini jika

diilustrasikan maka pura wajib mengadakan paruman, kemudian ada notulen dan

keputusan rapat yang dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Badan hukum sendiri

berdasarkan bentuknya dibedakan dalam dalam dua bentuk, yaitu badan hukum

publik dan badan hukum privat. Jika dihubungkan dengan pengertian badan

hukum publik yakni badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan, sehingga dapatlah bila dikatakan bahwa pura termasuk ke

dalam badan hukum publik.

Page 135: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

119

Keputusan rapat kemudian memberikan kuasa kepada bendesa adat

bertindak untuk dan atas nama desa adat. Sama halnya karena pura ini adalah

suatu badan hukum keagamaan yang tidak hanya dimiliki oleh pengempon/desa

setempat tetapi juga masuk kedalam wilayah kewenangan dan struktur milik

parisadha dan dinas agama serta pemerintah daerah, maka instansi-instansi

tersebut wajib mengetahui mengenai penjualan tanah druwe pura ini, disamping

untuk menguatkan dokumen yuridisnya. Pendapat dari Notaris/PPAT I Gusti

Ngurah Putra Wijaya, SH ini sesuai dengan Teori badan hukum yang dipakai

dalam penulisan tesis ini, yakni pura memiliki harta kekayaan dan memiliki

pribadi-pribadi hukum (organ) didalamnya yang mempunyai tugas untuk

melaksanakan semua aktifitas hukum. Dalam hal ini pura memiliki suatu struktur

kepengurusan dengan dipimpin oleh seorang bendesa adat yang berhak mewakili

pura dalam melakukan suatu perbuatan hukum.

Agar penunjukan bendesa adat ini tidak terdapat cacat administrasi maka

harus dituangkan ke dalam suatu bentuk surat/akta otentik yang disahkan serta

dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, biasanya dituangkan ke dalam suatu

surat kuasa khusus dari pemberi kuasa yaitu krama pengempon pura selaku

pemilik hak penuh pengambil keputusan di dalam desa adat. Berdasarkan hasil

paruman desa diberikan kuasa khusus kepada bendesa adat dalam bentuk surat

kuasa dimana disebutkan mengenai hasil paruman desa adat untuk mengadakan

penjualan terhadap tanah pura yang dimaksud lengkap dengan detail data yuridis

Page 136: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

120

luas dan letak tanah yang akan dijual tersebut, kemudian disebutkan mengenai

tujuan dan manfaat dari rencana penjualan tanah milik pura tersebut.

Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada bendesa adat oleh seluruh

masyarakat desa adat setempat sebagai pengempon pura tetap dengan

mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku pada saat ini. Agar harga yang

ditetapkan tidak di bawah harga pasar saat ini. Rekomendasi diberikan dengan

persyaratan apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap peraturan dan

ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati maka surat rekomendasi

dinyatakan untuk tidak berlaku dan dicabut.

Setelah adanya paruman tersebut yang artinya mewakili seluruh masyarakat

adat yang ada di wilayah desa tersebut, bendesa adat kemudian mengirim surat

permohonan penjualan kepada Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar untuk

meminta surat rekomendasi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, yang

terletak di banjar gelogor carik, desa pemogan. Mengenai penjualan tanah druwe

pura Desa Adat Kelan juga dikirim surat permohonan penjualan ke Kementerian

Agama Kota Denpasar. Surat rekomendasi dari Parisadha Hindu Dharma Bali

Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota Denpasar ini merupakan syarat

untuk penjualan tanah milik pura. Dalam surat permohonan yang diajukan kepada

Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota

Denpasar dimuat pertimbangan dan alasan-alasan pengempon pura untuk

melakukan penjualan tanah milik pura tersebut.

Page 137: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

121

Dengan disetujuinya surat permohonan penjualan tanah druwe pura Desa

Adat Kelan oleh Parisadha Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian

Agama Kota Denpasar maka surat rekomendasi penjualan tersebut dikirimkan

kepada Walikota Kota Denpasar sebagai lampiran dari surat permohonan

penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, dengan lampiran lainnya yakni

syarat-syarat penjualan tanah druwe pura. Acuan yang dipakai untuk melakukan

penjualan tanah druwe pura adalah Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um,

tertanggal 24 Mei 1993 dan Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No.

Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011 tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses

Penjualan Pelaba Pura.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penjualan tanah laba pura

berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 dan

Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No. Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011

tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses Penjualan Pelaba Pura adalah

sebagai berikut:

1. Surat kuasa dari pengempon kepada orang yang dikuasakan/ditunjuk untuk

menangani penjualan tanah pelaba pura dimaksud dan diketahui oleh

pamong desa setempat

2. Hasil kesepakatan melalui paruman pengemong untuk menjual tanah

pelaba pura dimaksud dinyatakan dengan daftar hadir dan notulen rapat

disahkan oleh aparat, kelian dinas, kelihan adat, lurah/kepala desa, camat,

Page 138: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

122

dan notaries. Hasil kesepakatan ini dituangkan dalam berita acara rapat

yang dibuat oleh notulen dan telah ditandatangani oleh bendesa adat,

prajuru adat, kelian, ketua truna truni.

3. Photo copy KTP orang yang dikuasakan

4. Photo copy sertifikat tanah yang akan dijual

5. Rencana penggunaan hasil penjualan yang diketahui oleh pamong desa

dan camat

6. Susunan pengurus pengemong pura

7. Surat pernyataan dari calon penjua dengan menyebutkan secara lengkap

data-data tanahnya yang akan dijual serta diketahui oleh pamong desa dan

camat setempat

8. Foto copy sertifikat tanah yang akan dibeli atau tanah pengganti

9. Foto copy lunas PBB terakhir dari tanah yang akan dijual/pengganti

10. Surat pernyataan dari calon pembeli perihal rencana penggunaan/

peruntuan tanah pelaba pura yang akan dibeli

11. Alasan penjualan pelaba pura ditandatangani oleh pengurus pengempon

pura

12. Rencana Anggaran Biaya pelaksanaan pemugaran dan renovasi Pura yang

dimaksud;

13. Gambar detail rencana pembangunan Pura baru/renovasi/pemugaran.

Setelah diadakan pembahasan oleh Tim Konsolidasi Pertanahan Kota

Denpasar serta dengan memperhatikan surat rekomendasi penjualan dari

Page 139: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

123

Kementerian Agama Kota Denpasar pada tanggal 2 Oktober 2012 Nomor:

Kd.18.09/III/BA.00/1755/2012 dan surat rekomendasi penjualan dari Parisada

Hindu Dharma Bali Kota Denpasar tanggal 11 Oktober 2012 Nomor:

153/Rekomendasi/PDHB-KD/2012, serta check list syarat-syarat penjualan tanah

druwe pura yang telah dipenuhi oleh Desa Adat Kelan selaku penjual, maka

Walikota Kota Denpasar memberikan persetujuan untuk penjualan tanah milik

Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, dengan syarat hasil penjualan

tersebut benar-benar dipergunakan untuk membeli tanah pengganti dan perbaikan

pura sesuai dengan program yang diajukan. Surat persetujuan mengenai penjualan

tanah druwe pura Desa Adat Kelan dari Walikota Kota Denpasar ini berlaku 6

(enam) bulan dari saat ditandatangani dan pengempon pura diwajibkan untuk

melaporkan tentang pelaksanaan penjualan tanah druwe pura tersebut sesuai

dengan program yang diajukan.

Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Denpasar sendiri telah

melakukan upaya untuk melestarikan tanah pura dengan mengeluarkan Surat

Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Larangan

menjual/merubah harta kekayaan desa adat. Surat ini dikeluarkan dengan

pertimbangan bahwa desa adat dan persekutuan hukum lainnya yang berkaitan

dengan adat, sebagai salah satu bagian pembangunan nasional, perlu dilestarikan

melalui upaya antara lain memelihara sarana penunjangnya bahkan diupayakan

Page 140: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

124

peningkatan dalam batas batas yang memungkinkan baik dalam wujud material

maupun inmaterial.

Berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei

1993, sebenarnya pada prinsipnya dilarang untuk menjual, menukar, atau dengan

perbuatan hukum lainnya atas tanah milik dan atau yang dikuasai Desa Adat,

dalam hal ini tanah milik pura, namun dikcualikan apabila telah mendapat

persetujuan dari semua pengempon pura. Dalam surat walikota tersebut

disebutkan pula dalam hal menjual tanah milik pura harus mendapat persetujuan

dari walikota. Tanah pengganti merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

untuk penjualan tanah milik pura ini. Sehingga sangat penting adanya tanah

pengganti terlebih dahulu sebelum meminta surat rekomendasi penjualan kepada

Menteri Agama, PHDI, dan Walikota. Berdasarkan Surat Walikota No.

593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 disebutkan bahwa dari hasil penjualan

tanah tersebut, harus dapat membeli tanah-tanah pengganti dengan luas minimal

sama dengan yang dijual (walaupun kelas dan nilai ekonomisnya tidak sama) serta

mengajukan program lainnya dalam rangka upaya melestarikan desa adat, banjar

adat, dan pura. Tanah pengganti yang dibeli oleh Desa Adat Kelan terletak di

Desa Bantiran Pupuan. Pembelian tanah pengganti sesuai dengan permohonan dan

Rencana Anggaran Biaya (RAB) agar di atasnamakan Pura Dalem Sakenan Kelan

yang berkedudukan di Desa Adat Kelan.

Page 141: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

125

Proses jual beli tanah druwe pura ini sesuai dengan Teori perjanjian yang

dikemukakan oleh Van Dunne yakni diawali dengan tahap pracontraktual, yaitu

adanya penawaran dan penerimaan, kemudian dilajutkan pada tahap contractual,

yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kemudian tahap

yang terakhir adalah tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Tahap

pracontraktual adalah tahap adanya penawaran dan penerimaan oleh penjual dan

pembeli, baik itu tawarab yabg diberikan oleh penjual ataupun pembeli mengenai

harga tanah, dan cara pembayaran tanah tersebut kemudian tahap contractual

yakni tahap adanya persesuaian kehendak antara para pihak baik mengenai harga

tanah, cara pembayaran/tahapan pembayaran, dan kapan akan dilaksanakan jual

beli tanah, kemudian tahapan yang ketiga yakni tahap post contractual yakni

setelah ada kesepakatan antara para pihak mengenai kehendak masing-masing

pihak kemudian diadakan transaksi jual beli tanah di hadapan PPAT. Melalui

kesepakatan para pihak yakni penjual dan pembeli akhirnya menimbulkan akibat

hukum yakni transaksi jual beli tanah druwe pura Pura Dalem Sakenan Kelan.

4.3 Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih

mengikatkan diri terhadap satu orang lainnya atau lebih (Pasal 1313

KUHPerdata). Setelah adanya kata sepakata antara kedua belah pihak, yakni pihak

penjual dan pembeli, maka dilaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Page 142: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

126

yang dibuat dihadapan Notaris Kota Denpasar. PPJB adalah Perjanjian Pengikatan

Jual Beli yakni suatu perjanjian yang dibuat secara notariil dihadapan notaris,

PPJB dibuat karena proses balik nama sertifikat ke atas nama pembeli melalui

AJB belum dapat dilaksanakan karena persyaratannya belum lengkap, dan harga

belum lunas. Untuk menghindari terjadinya pemungkiran terhadap kesepakatan

yang telah tercapai dan menjamin hak serta kewajiban para pihak sehingga perlu

dibuatkan suatu Perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dilakukan karena cara pembayaran dari

tanah milik pura Desa Adat Kelan dilakukan secara bertahap, sehingga belum bisa

dilakukan penandatangan Akta Jual Beli. Notaris sebagai pihak tengah terlebih

dahulu berhak melakukan penelitian yuridis sebelum proses transaksi

dilaksanakan.

Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilaksanakan, maka

perjanjian jual beli tersebut mengakibatkan antara lain:

a. Hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah

bentuk hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum

b. Bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan

perikatan di BAB III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum

Harta kekayaan (vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar

para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan

Page 143: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

127

c. Para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak-

pihak sebagai subyek hukum

d. Prestasi artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-

kewajiban (prestasi ) kepada para pihaknya (prestasi-kontraprestasi),

yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan

apabila diperlukan menggunakan alat Negara.

Sebelum Akta Jual Beli dibuat, maka bagi para pihak disyaratkan untuk

menyerahkan surat-surat yang diperlukan:

1. Jika tanahnya sudah bersertifikat : sertifikat tanahnya yang asli dan tanda

bukti pembayaran biaya pendaftarannya

2. Jika tanahnya belum bersertifikat : surat keterangan bahwa tanah tersebut

belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan

penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang

membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk

persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.99

Untuk dapat dibuatnya akta peralihan hak tersebut, pihak yang akan

memindakan hak dan pihak yang akan menerima hak harus menghadap kepada

PPAT. Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat

kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Para pihak, baik

pihak yang memindahkan hak maupun yang akan menerima hak harus memenuhi

persyaratan subyektif. Untuk itu PPAT berkewajiban untuk mengadakan

penelitian terlebih dahulu untuk menghindari masalah dikemudian hari.

99

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 78-79.

Page 144: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

128

Setelah sertifikat dinyatakan tidak ada masalah oleh Badan Pertanahan

Nasional (BPN) melalui pengecekan sertifikat, dan pajak-pajak terkait jual beli

seperti BPHTB, dan Pph sudah dilunasi, serta pembayaran tanah milik pura Desa

Adat Kelan sudah dilunasi oleh pembeli, maka pelaksanaan penandatangan Akta

Jual Beli baru dapat dilaksanakan. Penandatangan Akta Jual Beli dilakukan di

hadapan Notaris/PPAT yang sama dengan dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual

Beli. Bendesa Adat Desa Adat Kelan mewakili Desa Adat Kelan sebagai penjual

sesuai dengan isi dari surat kuasa khusus yang telah diberikan kepadanya.

Penandatangan akta dihadiri pula oleh saksi-saksi dari PPAT yang ikut pula

menandatangani Akta Jual Beli sebagai saksi. Pembuatan akta peralihan hak atas

tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang

bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang

memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (Pasal

38 PP No. 24 Tahun 1997). Kemudian selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak

tanggal ditandatangani akta tersebut, PPAT wajib untuk mendaftarkannya ke

Kantor Pertanahan (Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997).

Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan

dengan PP No. 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa jual beli hanya dapat

dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan transaksi

jual beli tanpa dapat membuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat

memperoleh sertifikat hak milik. Pasal 19 UUPA mengatur mengenai

Page 145: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

129

pendaftaran tanah, menurut UUPA pendaftaran merupakan pembuktian yang kuat

mengenai sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam hubungannya dengan

pihak ketiga yang beritikad baik.

Berdasarkan Pasal 9 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan bahwa obyek

pendaftaran tanah adalah bidang-bidang yang dipunyai dengan hak milik, HGU,

HGB, hak pakai, tanah hak penglolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah

susun, hak tanggungan dan tanah Negara. Pasal 37 PP No. 24 tahun 1997

menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat

didaftarakan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang

berwenang menurut peraturan perundang-undangan.

Pendaftaran tanah berfungsi untuk memperkuat pembuktian. Memperkuat

pembuktian disini berarti memperkuat pembuktian mengenai jual beli dengan

mencatat pada buku tanah dan sertifikat tanah yang bersangkutan, sedangkan

memperluas pembuktian dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas karena

dengan dilakukannya pendaftaran jual beli maka akan diketahui oleh pihak ketiga

yang berkepentingan.

Akta PPAT merupakan syarat formil dari adanya transaksi jual beli. Akta

adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar daripada sesuatu hak atas perikatan, yang sejak semula dengan

sengaja untuk pembuktian. Akta dibagi menjadi dua yakni

a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang

untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik

dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa

yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan

(Pasal 165 HIR, 285 R.bg dan 1868 BW)

Page 146: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

130

Pejabat yang dimaksud disini antara lain, notaris, panitera, jurusita,

pegawai pencatatan sipil, hakim dan sebagainya

b. Akta di bawah tangan

Artinya akta yang sengaja dibuat dengan pembuktian para pihak tanpa

bantuan dengan seorang pejabat. Misalnya surat-surat ,perjanjian

pemborongan pembukuan seseorang dan sebagainya.

Adapun kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta dibawah

tangan di dalam akta tersebut diaku oleh pihak yang bersangkutan dant

erhadap pihak ketiga akta di bawahtangan mempunyai kekuatan

pembuktian yang bebas.100

Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-

Undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu

ditempat mana akta itu dibuatnya. Dalam hal suatu perjanjian, apa yang

dijanjikan, dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat dan didengar oleh

Notaris terutama benar mengenai tanggal akta, tandatangan di dalam akta,

identitas yang hadir, dan tempat dibuat akta itu, merupakan kekuatan pembuktian

formal, sedangkan kekuatan pembuktian materiilii atau material akta adalah benar.

Keistimewaan akta otentik adalah merupakan suatu alat bukti yang

sempurna (volledigbewijs) tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya apabila

seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim

harus menerima dan menganggap yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa

yang sungguh-sungguh telah terjadi. Hal ini sesuai dengan Teori Kepastian

Hukum, akta jual beli sebagai akta otentik merupakan alat pembuktian yang

sempurna bagi para pihak, sehingga dapat memberikan kepastian bagi para pihak

agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.

100Ibid., hal. 55.

Page 147: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

131

Keberadaan UUPA yang menganut prinsip-prinsip hukum adat, bukan

berarti bahwa pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang

dibuat dibawah tangan. Semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah mengenai hak atas merupakan tugas pokok dari Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan

untuk membuat akta-akta tanah tertentu atau pejabat yang diberikan kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai

ha katas tanah. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT. Akta Jual Beli yang di dalam

praktek peralihan hak atas tanah digunakan sebagai alat untuk pendaftaran

permohonan peralihan hak di kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tanah

berada, dibuat dan menjadi wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

sehingga AJB ini lazim disebut dengan Akta Jual Beli PPAT.

Jadi sahnya jual beli adalah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian

dan prosedur jual beli tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

diantaranya:

1. Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi

“Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,

pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang

dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya

diatur dengan pertauran pemerintah”.

Page 148: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

132

2. Memenuhi asas terang dan tunai yang diwujudkan dengan adanya

akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP

No. 24 tahun 1977).

Page 149: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

133

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya jual beli tanah druwe pura Desa

Adat Kelan adalah : (1) tanah milik pura tesebut pernah menjadi obyek

sengketa, (2) tanah milik pura tersebut tidak produktif lagi, dan (3)

keperluan dana bagi kepentingan kepentingan pura tersebut, baik untuk

kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Kepentingan jangka

pendek menyangkut pemugaran/renovasi pura serta biaya upacara setelah

renovasi (melaspas, ngenteg linggih). Kepentingan jangka panjang adalah

pembentukan dana abadi untuk membiayai aktivitas-aktivitas di Pura

tersebut di masa depan sehingga masyarakat tidak dibebani lagi dengan

biaya yang berat dalam rangka kelangsungan pura tersebut.

2. Prosedur penjualan tanah milik pura mempunyai proses yang panjang dan

memakan banyak waktu. Pertama diadakan Paruman desa yang dihadiri

oleh kelian serta seluruh krama pengempon pura yaitu krama Desa Adat

Kelan. Paruman desa ini diselenggarakan untuk mendapatkan kata sepakat

dari seluruh krama pengempon mengenai rencana penjualan tanah milik

pura. Setelah melakukan paruman desa yang hasilnya disiarkan oleh

bendesa adat, kemudian dicarikan surat rekomendasi penjualan dari

Kementerian Agama, surat rekomendasi penjualan dari Parisada Hindu

Dharma Bali Kota Denpasar, dan surat rekomendasi penjualan dari

Page 150: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

134

Walikota Kota Denpasar. Dalam proses jual beli juga harus dicarikan tanah

pengganti, hasil penjualan harus dipergunakan untuk membeli tanah

pengganti. Selanjutnya setelah semua syarat dipenuhi maka proses jual beli

dilakukan di hadapan PPAT. Pihak penjual/pemilik tanah druwe pura di

wakili oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan berdasarkan surat kuasa yang

sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut yang telah diberikan

kepadanya. Transaksi jual beli harus memenuhi asas terang dan tunai yang

diwujudkan dengan adanya akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan

Pasal 37 ayat (01) PP No. 24 tahun 1977).

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan penjualan tanah

druwe pura adalah sebagai berikut:

1. Untuk pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah

druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca

keluarnya rekomendasi penjualan, sehingga yang menjadi landasan, latar

belakang, serta tujuan dari terbitnya rekomendasi dari penjualan tanah

druwe pura betul-betul terlaksana dengan baik. Bila perlu ada pembentukan

tim dari pihak pemerintah, PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik

sebelum maupun sesudah pemberian rekomendasi dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum.

Page 151: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

135

2. Perlu dipertegas aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe

Pura, utamanya penegasan tentang larangan sehingga fungsi pelestarian

dapat terjaga. Masih banyak jalan agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura

tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih selamanya misalnya dengan

menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya secara lebih ekonomis

serta tetap mengandung unsur pelestarian.

3. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No.

593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses

Penjualan Pelaba Pura. Dalam hal ini disarankan agar ada peraturan yang

mengatur mengenai kewenangan walikota untuk dapat melakukan

pengaturan mengenai penjualan tanah druwe pura ini.

Page 152: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

136

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Ali, Chidir, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Alting, Husen, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa

Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Assip, Flechteim, K, 1952, Fundamentals of Political Science , Ronald Press Co,

New York.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993, Analisa dan

Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta.

Daliyo, J.B, dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5, Prehallindo,

Jakarta.

Dirjosisworo, Soedjono, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo,

Jakarta

Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni,

Bandung.

Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free

Legal Update at Nolo.com, USA.

Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di

Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya.

Hadikusuma, H. Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar

Maju, Bandung.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Nasional, Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

_____________, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui

Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok agraria dan

Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa Ini, Banjarmasin. (selanjutnya

disebut dengan Boedi Harsono I)

136

Page 153: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

137

_______, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum

Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin.

Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah, Usaha

Nasional, Surabaya.

Hidayat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty, Yogyakarta.

Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,

Yogyakarta.

Keraf, Sonny, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius,

Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke-7,

Djambatan, Jakarta.

Latimer, Paul Stepen, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited,

Australia.

Mahendra, Oka, A.A., dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan

Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media,

Jakarta.

Muhammad, Bushar, 1997, Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya

Paramita, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Cet. Ke-3, Bandung.

Murad, Rusmadi, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,

Bandung.

Moleong , Lexy J, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Naim, Mochtar, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa

Ini, Bina Cipta, Bandung.

Nasution. S ,1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Jakarta.

Parlindungan, A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2, Mandar

Maju, Bandung.

Page 154: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

138

Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, 1986, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura

Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Perangin, Effendi, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Cet. Ke-3, Alumni, Badung.

Rato, Dominikus, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami

Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya.

Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis

Butterworths, Australia.

Ruchiat, Eddy, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA

(UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung.

Saleh. K, Wantjik , 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Salim, H.S., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta.

Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana

Predana Media, Jakarta.

Saragih, Djaren, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Cet. Pertama, Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, 2008, Udayana

University Press, Denpasar.

Soedjindro, J.Kartini, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi

Konflik, Kanisius, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,

Rajawali, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta.

Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet.

Pertama, Arloka, Surabaya.

Sudiyat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.

Sutedi, Adrian, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan

Keenam, Sinar Grafika, Jakarta.

Page 155: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

139

Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and Ritual, Foris

Publications, Holland.

Sri Rsi Anandakusuma, 1986, Kamus Bahasa Bali, CV. Kayumas, Denpasar.

Suasthawa. D, M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya

UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar.

Suastawa Darmayuda, I Made, dan Koti Cantika, I Wayan, 1991, Filsafat Adat

Bali (selanjutnya disingkat I Made Suastawa Darmayuda I, Upada Sastra,

Denpasar.

Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna

Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar.

Ter Haar Bzn, Mr.B, 1999, diindonesiakan oleh K.Ng Soebakti Poesponoto, Asas-

Asas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita, Jakarta.

Thalib, Sajuti, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di

Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta.

Windia, Wayan P., 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan

Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press,

Denpasar.

Wignjodipoero, Soerojo, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Haji

Masagung, Jakarta.

Winata, Adi, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960,

Alumni, Cet. Ke-3, Bandung.

Wulansari, Dewi, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. Pertama,

PT. Refika Aditama, Bandung.

2. Artikel

Agung, I Gst Nym, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan Kaitannya

Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula,

Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika Majalah Hukum dan

Masyarakat FHPM UNUD, Nomor. 65 Tahun XX, Feb-Jul 1986,

Denpasar.

Sudantra, I Ketut, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK.

Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika Majalah Ilmiah

Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor 61 Tahun XVIII, Desember

1992, Denpasar.

Page 156: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

140

Wirta Griadhi, Ketut, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di Bali”,

Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD,

Denpasar.

3. Peraturan Perundang-Undangan

Burgerlijk Wetbook, Stb. 1847 : 23 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, cetakan 32,

Pradnya Paramita, Jakarta).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2043).

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan

Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.(Lembaran

Negara Tahun 1963 Nomor 1).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.(Lembaran

Negara Tahun 1996 Nomor 58).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3696).

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746).

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

(Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 29).

Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2003 tentang Perubahan atas

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman.(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11).

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 556/DJA/1986 tentang Penunjukan

Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak

Milik Atas Tanah.

Page 157: PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA

141

DAFTAR INFORMAN

Nama : I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH

Umur : 60 Tahun

Pendidikan : Strata 1

Alamat : Jalan Veteran No. 33 Denpasar

Pekerjaan : Notaris/PPAT Kota Denpasar

Nama : I Made Sugita. S.Sos

Umur : 45 Tahun

Pendidikan : Strata 1

Alamat : Jl. Pudak Sari Gg. 1 No. 8 Lingkungan Desa Adat Kelan

Pekerjaan : Bendesa Adat Kelan

Nama : Bagus Nyoman Sudarta

Umur : 46 Tahun

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Raya Kepaon No. 10 Denpasar Selatan

Pekerjaan : Pegawai Kantor Notaris/PPAT

141