Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dan Fungsi Rehabilitasi …
Transcript of Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dan Fungsi Rehabilitasi …
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dan Fungsi Rehabilitasi Pada Program Asimilasi Kerja Sosial Bagi Narapidana Korupsi
Vidya Marta Fitriana dan Drs. Johannes Sutoyo, M.A.
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi rehabilitasi pada program asimilasi kerja sosial bagi narapidana korupsi. Asimilasi kerja sosial merupakan kegiatan membaurkan narapidana dengan masyarakat atau disebut community based - correction. Dalam implementasinya, program yang menjadi kewajiban narapidana korupsi untuk mendapatkan hak asimilasi ini sulit dilakukan. Balai Pemasyarakatan sebagai instansi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan asimilasi berperan ganda dalam mengawasi sekaligus merehabilitasi. Pengawasan adalah seluruh aktivitas mengamati pelaksanaan asimilasi kerja sosial mulai dari proses pengusulan hingga asimilasi selesai dilakukan, sementara rehabilitasi merupakan upaya memulihkan hubungan pelaku dengan masyarakat. Berdasarkan kedua hal tersebut, rehabilitasi sebagai tujuan utama dalam penyelenggaraan asimilasi kerja sosial perlu didukung dengan adanya fungsi pengawasan yang optimal.
Implementation of the monitoring function and the rehabilitation function of community service programs for convicted of corruption
Abstract
This research discusses about implementation of the monitoring function and the rehabilitation function of community service for convicted of corruption. An offender under a community service order performs labor for the community or called community based - correction. A recognition of the fact that the implementation of assimilation is difficult. Balai Pemasyarakatan as the agency that has the authority to implementation of assimilation as serving a double purpose. It functions to monitoring and rehabilitate. Monitoring is a form of supervisory the implementation of assimilation from began to the end, while rehabilitation is an attempt to alter the attitudes of offender to support the prisoner’s reintegration. Based on these, rehabilitation as the main purpose in assimilation must be supported by monitoring function.
Key Words : Assimilation, Community Service, Community based – correction, Implementing Program, Monitoring, Rehabilitation
Pendahuluan
Dewasa ini, masyarakat semakin menyadari arti penting dari reaksi sosial terhadap
terjadinya suatu kejahatan. Reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan dapat diwujudkan
melalui konsep penghukuman yang tercantum dalam sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana adalah suatu lembaga resmi pemerintah yang dibuat dalam rangka
memberikan reaksi terhadap kejahatan, baik untuk mencegah munculnya korban,
menyelesaikan perkara atau menanggulangi pengulangan kembali oleh pelaku (Dermawan,
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
2015: 1-2). Pada awalnya, penghukuman menerapkan prinsip balas dendam untuk menebus
kesalahan pelaku, namun ternyata menghadapi kejahatan dengan menggunakan kekerasan
atau penyiksaan justru membuat masalah menjadi lebih buruk (Bohm, 2010: 133).
Penghukuman dalam menghadapi perkara kejahatan pun berubah. Foucault dalam tulisannya
mengenai “Discipline and Punish”, menyebutkan bahwa penyiksaan fisik bukan lagi menjadi
penekanan utama dari falsafah penghukuman saat ini (Ritzer, 2010: 618).
Setelah era kemerdekaan Indonesia, lahirlah gagasan mengenai pemidanaan yang
lebih baik, yaitu melalui pemasyarakatan. Gagasan ini muncul dari pemikiran Dr. Sahardjo,
S.H. (1963) yang ingin menciptakan pidana sebagai sarana untuk membimbing orang – orang
yang bersalah (Panjaitan, 2007: 93). Sejalan dengan ide pemasyarakatan, menurut Gunawan
(2015: 88) dengan merujuk pada Muladi (1985) mengembangkan konsep tujuan pemidanaan
integratif, yaitu dengan menggabungkan fungsi pencegahan dan pengobatan untuk
memperbaiki kesalahan yang merusak ketentraman pelaku maupun masyarakat disekitarnya.
Asimilasi menjadi salah satu upaya mencapai tujuan pemidanaan yang integratit
tersebut. Tahap asimilasi memiliki peranan penting dalam proses pemasyarakatan narapidana.
Asimilasi kerja sosial atau juga dapat disebut dengan istilah community based corrections
merupakan kegiatan membaurkan narapidana pada lingkungan masyarakat untuk
mewujudkan terjadinya reintegrasi sosial. Dalam pelaksanaannya asimilasi ternyata menemui
beberapa kendala. Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,
perihal pemenuhan hak – hak narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi menjadi
semakin dibatasi. Setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, untuk mendapatkan
haknya, setiap warga binaan pemasyarakatan diharuskan mengikuti asimilasi kerja sosial.
Terlebih lagi apabila dihadapkan pada narapidana korupsi, yang umumnya memiliki
tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan petugas Lapas
itu sendiri. Lembaga pemasyarakatan sering kali dihadapkan pada situasi yang rumit ketika
berhadapan dengan koruptor. Di Indonesia, pelaksanaan asimilasi kerja sosial menjadi
perdebatan oleh sejumlah kalangan. Sebut saja kasus Mochtar Mochammad yang sempat
membuat Dirjen Pemasyarakatan menjadi sorotan publik karena dinilai memberi kesempatan
narapidana korupsi berkeliaran di luar lembaga pemasyarakatan (tempo.co, 28 Oktober 2015).
Pelaksanaan program asimiliasi kerja sosial di berbagai Negara di dunia juga tidak
jauh berbeda. Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa faktor yang menghambat
berlangsunya program ini secara optimal, antara lain:
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
a. Lamanya mengurus prosedur pengusulan asimilasi kerja sosial seperti yang
terjadi di Belgia,
b. Keterbatasan sumber daya manusia yang mengelola layanan asimilasi kerja
sosial yang dialami oleh Malaysia,
c. Kurangnya motivasi individu pelaku untuk menjalani asimilasi,
d. Ketidaksesuaian tempat kerja sosial dengan karakteristik pelaku terjadi di
Indiana dan Swiss,
e. Tidak adanya pembinaan atau sosialisasi yang menjelaskan bentuk kegiatan
selama berlangsungnya kerja sosial seperti yang terjadi di New York, Trinidad
dan Tobago
f. Kurangnya pengawasan selama pelaku menjalankan kerja sosial di Malaysia,
g. Belum optimalnya peranan lembaga yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan asimilasi kerja sosial terjadi di Swiss.
Mengacu beberapa faktor tersebut, jika dilihat dari persamaan karakteristik ekonomi,
sosial dan budaya, antara Indonesia dengan Malaysia mungkin memiliki masalah yang juga
serupa. Sistem kerja sosial di Malaysia dirancang untuk menjalankan dua fungsi, yaitu
rehabilitasi dan pengawasan. Dengan menjalankan fungsi ganda tersebut, Divisi Pembebasan
Bersyarat Departemen Pemasyarakatan Malaysia sering menemui kendala, baik dibidang
hukum maupun operasional di lapangan. Model gabungan tersebut tersebut mengakibatkan
kebingungan dalam menjalankan peranan petugas pemasyarakatan.
Departemen Pemasyarakatan Malaysia saat ini, cenderung berorientasi pada
pengawasan dan upaya menanggulangi kejahatan, meskipun fungsi rehabilitasi juga tetap
diterapkan dalam penyelenggaraan kerja sosial. Peran ganda tersebut berpotensi menimbulkan
kesulitan untuk menentukan prioritas antara fungsi pengawasan atau rehabilitasi. Apabila
mereka condong ke salah satu fungsi tersebut, maka tujuan asimilasi tidak akan tercapai.
Menurut Astbury (2008) narapidana sulit berpartisipasi aktif dalam kerja sosial karena mereka
tidak banyak diberi pilihan untuk menentukan program mana yang sesuai dengan minat
mereka, sehingga langkah rehabilitasi tersebut hanya mereka lakukan untuk menyelesaikan
hukuman tanpa bermakna apapun. Padahal keberhasilan fungsi rehabilitasi didukung oleh
adanya partisipasi dari narapidana dalam program – program yang telah dibuat dan
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
pengawasan dari lembaga. Sehingga perlu dibuktikan apakah peran ganda dari lembaga
pelayanan kerja sosial, dalam konteks Indonesia adalah BAPAS juga dapat mempengaruhi
pelaksanaan asimilasi kerja sosial secara optimal.
Selanjutnya, perlu dilihat bagaimana mempraktikkan kedua fungsi tersebut (fungsi
pengawasan dan fungsi rehabilitasi) kepada narapidana tindak pidana korupsi yang umumnya
merasa tidak melakukan kesalahan. Hal seperti inilah yang kemudian membuat pelaksanaan
program asimilasi kerja sosial bagi narapidana kasus korupsi perlu dikaji secara mendalam.
Tinjauan Teoritis
Pemidanaan semakin berkembang untuk mencapai tujuan penghukuman yang lebih
manusiawi dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Untuk menjelaskan perubahan tersebut
akan diuraikan mengenai teori – teori yang digunakan dalam penghukuman, yaitu :
• Teori Retributif
Dalam tulisan Durkheim, 1983; Erikson, 1966; Tyler, 1997; Vidmar & Miller,
1980, teori retributif muncul dari pemikiran bahwa seseorang yang melakukan
kejahatan tidak dapat ditoleransi, sehingga sudah sepantasnya pelaku kejahatan
untuk dihukum (Oswald et al, 2009: 44).
• Teori Utilitarian (Detterence)
Penjeraan merupakan akar dari pemikiran utilitarian. Penghukuman
dimaksudkan untuk mencegah kejahatan dengan membuat jera pelaku,
(deterrence) sehingga hukuman tersebut dapat digunakan untuk pencegahan
(Scott, 2013: 11). Artinya, hukuman tersebut bermaksud agar pelaku tidak
mengulangi kesalahannya kembali dan sebagai pembelajaran bagi masyarakat
untuk tidak melakukan kejahatan yang serupa (Sulhin,2010: 145).
• Rehabilitasi
Rehabilitasi dalam prinsip utilitarian artinya upaya menjerakan pelaku dengan
melakukan modifikasi melalui program intervensi (Sulhin, 2010: 145).
Kejatahan yang dilakukan pelaku dalam pemikiran ini dianggap sebagai suatu
penyakit yang perlu disembuhkan (Scott, 2013: 12). Oleh karena itu,
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
penjatuhan hukuman dalam pemikiran rehabilitasi tidak semata – mata untuk
membalas perbuatan pelaku melainkan membatasi kemerdekaannya agar
pelaku kejahatan kembali mematuhi norma – norma dalam masyarakat.
• Reintegrasi Sosial
Reintegrasi sosial merupakan teori yang muncul akibat ketidakpuasan terhadap
teori penghukuman sebelumnya. Menurut pemikiran Snarr (1996), reintegrasi
muncul dari pandangan bahwa perlu adanya hukuman alternatif diluar
pemenjaraan (Sulhin, 2010: 146). Model non pemidanaan dianggap lebih
efektif dalam memberikan program – program pembinaan kepada pelaku
kejahatan.
Pemidanaan membuat pelaku terisolasi dari masyarakat luar dalam jangka waktu yang
lama, selain itu juga memungkinkan mereka untuk tersosialisasi dengan perilaku kriminal
lainnya. Oleh karena itu, teori reintegrasi muncul untuk meminimalisir kemungkinan negative
yang timbul akibat pemidanaan. Setelah munculnya teori reintegrasi, penghukuman terhadap
pelaku kejahatan menjadi tanggungjawab banyak pihak (UNODC, 2006: 8). Tidak hanya
sistem pemasyarakatan, lingkungan masyarakat juga ikut berperan dalam mendukung
tercapainya reintegrasi. Sistem pemasyarakatan harus memastikan seseorang tetap mampu
berinteraksi dengan dunia luar (UNODC, 2006: 17). Mengutip dari Vernon Fox (1972),
sistem pemasyarakatan mengacu pada aspek organisasi dan manajemen yang memfasilitasi
proses perlakuan terhadap narapidana (Sulhin, 2010: 138).
Beberapa negara memiliki mekanisme untuk membebaskan narapidana sebelum habis
masa pidananya, atau disebut early release (UNODC, 2007:47), yang salah satu bentuknya
adalah parole (pembebasan bersyarat). Parole merupakan kondisi dimana narapidana berhak
mendapatkan kebebasan setelah melewati masa pidana pada jangka waktu tertentu (UNODC,
2006: 49). Dalam penelitian ini, asimilasi kerja sosial dapat dikatakan sebagai pre parole
karena narapidana belum benar – benar terbebas dari hukuman pidana. Narapidana harus
memahami bahwa selama dalam program pre release, perbuatan mereka tetap diawasi untuk
memastikan bahwa narapidana memang dianggap layak mendapatkan program tersebut
(UNODC, 2007: 51).
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Metode Penelitian
Penelitian mengenai implementasi program asimilasi kerja sosial bagi narapidana
korupsi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menurut John Creswell
(2008) didefinisikan sebagai suatu proses mengamati dan memahami suatu gejala atau
masalah sosial berdasarkan penggambaran yang kompleks, dilaporkan secara terperinci dan
sesuai dengan keadaan alamiahnya (natural setting) (Raco, 2001: 81). Berdasarkan masalah
yang akan diteliti, penulis menggunakan dua jenis data yang nantinya berkaitan dengan teknik
pengumpulan data, yaitu data primer yang didapatkan dengan wawancara dan data sekunder
melalui studi literatur.
Pertama kali, penulis mendatangi Balai Pemasyarakatan Klas I Jakarta Timur – Utara,
Jalan Pembina 1 No. 2, Cipinang Muara, Jakarta Timur, untuk mencari informasi mengenai
narapidana yang sedang menjalankan asimilasi kerja sosial. . Berdasarkan informasi yang
penulis dapatkan narapidana yang sedang memperoleh pengusulan asimilasi kerja sosial
sebanyak 9 orang, akan tetapi yang sedang melaksanakan asimilasi kerja sosial hanya satu
orang. Keterbatasan pengumpulan data ini terjadi karena penulis tidak memiliki akses untuk
menentukan narasumber mana yang ingin diwawancarai, melainkan telah dipilihkan oleh
pihak Rumah Tahanan Cipinang melalui Kasie Perawatan Narapidana dan Tahanan.
Setelah mendapat informasi bahwa di Rumah Tahanan Klas I Cipinang, Jalan Raya
Bekasi Timur No. 170 C, Cipinang Raya, Jakarta Timur terdapat narapidana yang sedang
asimilasi kerja sosial maka penulis mengurus perizinan untuk melakukan wawancara kepada
petugas dan narapidana bersangkutan. Dari hasil wawancara dengan narasumber di Rutan,
penulis mengetahui Panti Sosial Marsudi Putera Handayani, Jalan PPA Bambu Apus,
Cipayung, Jakarta Timur, tempat narapidana melakukan kerja sosial. Penulis melakukan
penelitian ke panti sosial untuk melakukan triangulasi dengan koordinator pekerja sosial
mengenai informasi yang telah didapatkan dari Rutan dan Bapas.
Hasil Penelitian
Berkembangnya jenis kejahatan di Indonesia, membuat pemerintah merasa perlu
membedakan perlakuan kepada narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme,
kejahatan narkotika, pelanggaran HAM berat, dan kejahatan terorganisir lainnya salah satunya
dalam pemberian hak – hak narapidana, yaitu asimilasi. Pelaksanaan asimilasi antara
pelanggar tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus menjadi berbeda. Gagasan ini
dapat dilihat dari perubahan peraturan perundang – undangan dibawah ini :
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Tabel 1.1. Perkembangan Peraturan tentang Asimilasi
No Peraturan Keterangan
1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995
- Setiap narapidana berhak mendapatkan
kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga, sejalan dengan yang
tercantum dalam KUHP pasal 15 dan 16
- Asimilasi diberikan setelah menjalani ½ masa
pidana (pasal 14)
2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999
- Setiap narapidana berhak mendapatkan asimilasi
termuat pada pasal 36
- Asimilasi diberikan setelah menjalani
pembinaan ½ masa pidana (Pasal 37)
3 Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2006
- Peraturan asimilasi perlu ditinjau ulang untuk
menyesuaikan dengan perkembangan hukum
dan rasa keadilan masyarakat
- Pasal 37 dihapus dan diubah menjadi narapidana
yang melakukan tindak pidana korupsi berhak
mendapatkan asimilasi setelah menjalani 2/3
masa pidana
4 Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012
- Pemberian asimilasi perlu diperketat untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat
- Asimilasi diberikan setelah menjalani 2/3 masa
pidana (pasal 36), kemudian disisipkan pasal
36A bahwa asimilasi harus diberikan Menteri
melalui pertimbangan Dirjenpas dengan
rekomendasi instansi terkait
- Pasal 38 Asimilasi dilaksanakan berupa kerja
sosial pada pihak ketiga
Sumber : Diolah sendiri oleh penulis berdasarkan peraturan perundang – undangan
Informan utama penulis yaitu AW, sudah sekitar 20 bulan AW menetap di rumah
tahanan kelas I Cipinang, Jakarta Timur akibat terjerat pasal 3 Undang - Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Setelah hampir 2 tahun melalui masa pembinaan
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
dalam Rutan, AW diusulkan untuk mendapat asimilasi. Lembaga sosial yang ditempati AW
adalah Panti Sosial Marsudi Putera atau lebih dikenal dengan sebutan PSMP Handayani.
PSMP Handayani merupakan lembaga sosial yang bertujuan menampung anak – anak nakal
atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Sistem pemasyarakatan saat ini bertujuan sebagai fungsi rehabilitasi, apa yang
dimaksud rehabilitasi tidak melulu tentang mengobati orang – orang sakit, seperti halnya
pengobatan kepada pecandu narkotika. Rehabilitasi juga upaya memperbaiki perilaku
seseorang sehingga menjadi lebih baik. Hal itu juga tengah dirasakan oleh AW, dirinya
mengaku menjadi lebih religius, sehingga lebih positif dalam menyikapi masalah yang
menimpanya saat ini. Sangatlah manusiawi ketika seseorang berada pada titik paling rendah
dalam hidupnya, kemudian ia berusaha mencari pembenaran terhadap apa yang menimpanya
saat itu.
Fungsi rehabilitasi sangat berkaitan dengan bagaimana bentuk pembinaan yang
dilakukan, dan apakah mampu memberikan dampak positif atau tidak. Pembinaan yang
dilakukan Lapas atau Rutan diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang harus diikuti warga
binaan pemasyarakatan. Program – program yang diberikan Rutan menjadi sarana yang
menunjang warga binaan untuk melakukan resosialisasi. Interaksi antar warga binaan
menumbuhkan rasa simpati yang mendalam diantara mereka. Hubungan kekeluargaan
diantara teman satu sel sangat terasa, misalnya saja ketika ada salah seorang yang sedang
sakit.
Dengan stigma sebagai seorang narapidana, butuh waktu yang lama untuk
mendapatkan kepercayaan orang lain. Begitu pula yang terjadi pada AW, sebagai seorang
narapidana tipikor dirinya sadar akan mendapat sanksi sosial yang jauh lebih besar dari
masyarakat terutama lingkungan sekitarnya.
“Stigma itu normal. Seperti saya dirumah dibilang napi, “napinya apa?”
“pencuri uang” “wah”. Sehingga kita memang perlu keluarga, kerabat, rekan
kerja atau segala macam perlu untuk membangun komunikasi sehingga mereka
tahu siapa sih Anda. Syukur-syukur memang kalau mereka paham”.
(wawancara dengan AW, 15 Februari 2016)
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Program pembinaan sebagai penunjang dalam fungsi rehabilitasi juga dipengaruhi
oleh peranan panti sosial. Dalam asimilasi kerja sosial, panti justru memegang tugas yang
lebih besar untuk melakukan pendampingan dan pembimbingan.
“Kita sih silahkan saja ya kalo mau bersosialisasi tapi kan kita juga punya
banyak pekerjaan jadi kalo misalnya disuruh memperhatikan setiap hari ya
tidak bisa, makanya dia kita berikan kepada anak - anak nanti kalo memang
ada kesulitan ya bisa konseling kepada kami, silahkan” (wawancara dengan
SM, 22 Maret 2016).
Selama melangsungkan asimilasi, pengawasan AW kemudian diserahkan kepada SM,
selaku koordinator pekerja sosial di PSMP Handayani. Dalam pelaksanaan asimilasi tersebut,
panti sosial memberikan kesempatan kepada warga binaan untuk berinteraksi dengan anak –
anak yang tinggal dalam panti.
Pengawasan narapidana dan tahanan pada Rutan Klas I Cipinang berada dibawah
tanggung jawab PD. Petugas PD yang kemudian memberikan izin selama AW keluar masuk
rutan untuk melaksanakan asimilasi, tetapi menyangkut masalah keamanan dan transportasi
menuju panti sosial hingga kembali ke rutan adalah diluar tanggungjawab mereka. Selama
pelaksanaan asimilasi informan tidak didampingi petugas dari Rumah Tahanan atau Balai
Pemasyarakatan. Panti sosial mengungkapkan, petugas bapas hanya datang dua kali, pertama
ketika mengantarkan warga binaan untuk mengikuti kerja sosial hari pertama lalu kedua
kalinya, saat akan mengakhiri kerja sosial yang dilaksanakan oleh AW.
Pembahasan
Pada tahun 1800an di Amerika Serikat berkembang penggunaan kurungan dan isolasi
ke dalam lembaga tertentu sebagai bentuk kontrol sosial terhadap pelaku kejahatan, inilah
yang kemudian disebut imprisonment. Prison (penjara) adalah sebuah tempat yang bertujuan
untuk menampung dan menghukum para penjahat sehingga dapat menimbulkan penderitaan
dan perasaan tidak menyenangkan (McGuire, 2011). Pemenjaraan tidak jauh berbeda dengan
konsep “closed social institution” yang dikemukakan Erving Goffman bahwa institusi total
menciptakan alienasi, keterbatasan dalam beraktivitas dan kesulitan mengakses informasi dari
dunia luar (Peak, 1995: 242).
Model pemenjaraan yang menimbulkan kesakitan ternyata menimbulkan masalah baru
sehingga muncullah pendekatan pemasyarakatan yang tidak hanya mampu menghukum tapi
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
juga memperbaiki. Corrections atau pemasyarakatan adalah metode penghukuman dengan
membina pelaku berdasarkan pengetahuan tentang penyebab kejahatan dan program yang
tepat untuk mengubah tindakan pelaku kejahatan (Bayens, 2013: 6). Corrections mencakup
berbagai fungsi hukuman, pengobatan pengawasan dan pengelolaan individu yang dihukum
karena telah melakukan tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah
(Stohr, 2009: 1).
Pelaksanaan Fungsi Rehabilitasi
Pemasyarakatan melalui program kerja sosial diyakini mempunyai kekuatan untuk
melakukan reformasi terhadap pelaku kejahatan. Kekuatan ini berasal dari aspek pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan (Carney, 1977: 215). Kontak antara individu pelaku dan
masyarakat mempengaruhi pelaksanaan kerja sosial yang lebih efektif, sehingga pelaku yang
telah melalui program kerja sosial lebih mudah dapat kembali ke masyarakat. Blasko dan
Jeglic (2013) menjelaskan konsep pengobatan yang berkembang dalam sistem
pemasyarakatan dalam empat hal berikut (Fuhrmann, 2013: 72) : (1) perilaku kriminal adalah
gejala yang berasal dari kekurangan pribadi individu, (2) kekurangan tersebut dapat
diidentifikasi dengan teknik klasifikasi yang tepat, (3) kekurangan dapat diperbaiki dengan
program pembinaan, (4) setelah kekurangan berhasil diperbaiki diharapkan perilaku kriminal
tidak akan muncul kembali. Ketika seorang narapidana telah berhasil menyelesaikan program
pembinaannya, maka dianggap telah sembuh dan diharapkan kembali menjadi warga yang
taat hukum.
Keberhasilan fungsi rehabilitasi dari program asimilasi kerja sosial memang tidak
dapat diukur dengan mudah. Ketika seseorang terbebas dari masa pidananya kemudian
mengulangi perbuatan kriminal kembali bukan berarti fungsi rehabilitasi ini telah gagal,
melainkan banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, seperti kondisi ekonomi atau
adanya tekanan sosial. Rehabilitasi melihat kejahatan sebagai ungkapan kegelisahan dan rasa
frustasi akibat kesenjangan sosial di masyarakat (Worrall, 2013: 17).
Pelaksanaan asimilasi kerja sosial bagi narapidana bertujuan untuk melakukan
rehabilitasi. Rehabilitasi dapat membantu mengurangi kejahatan, baik ditingkat mikro
(individu) maupun makro (masyarakat) (Tongat, 2001: 16). Pada tingkat masyarakat, upaya
rehabilitasi bertujuan untuk mencegah atau memperkecil peluang terjadinya kejahatan. Bagi
individu, upaya rehabilitasi bertujuan mengobati para pelanggar hukum melalui berbagai
program pembinaan. Selama asimilasi kerja sosial AW diberi kesempatan untuk berinteraksi
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
dengan warga masyarakat disekitar panti sosial. Kesempatan ini menjadi cara yang baik untuk
membuat narapidana merasa dirinya dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Adanya program kerja sosial cukup membantu pelaku melakukan integrasi ke dalam
masyarakat. Dalam artikel yang ditulis oleh Kwadwo Ofori, Kofi Osei Akuoko, Jonas
Asamanin Barnie, John Yaw Kwarteng, & John Boulard Forkuo (2015) yang berjudul Prison
without Walls: Perception about Community Service as an Alternative to Imprisonment in
Kumasi Metropolis, Ashanti Region, Ghana, program kerja sosial dinilai bermanfaat untuk
mengurangi stigma yang melekat pada mantan pelanggar hukum di Ghana. Program ini
menjauhkan pelaku dari stigmatisasi dan penolakan dari masyarakat. Oleh karena itu,
keterlibatan masyarakat sangat penting dalam mencapai keberhasilan pengawasan dan
kegiatan program kerja sosial.
Sistem pemasyarakatan bermaksud mengobati pelaku kriminal menjadi warga taat
hukum. Petrus Irwan Panjaitan (2007: 22), merujuk pada John Kaplan (1982), menyebutkan
bahwa rehabilitasi adalah memperlakukan pelaku kejahatan secara manusiawi, bahwa setiap
individu memiliki kebutuhan dan masalah berbeda – beda yang harus dipahami, sehingga
nantinya diperoleh cara yang paling tepat dalam menghadapi pelaku kejahatan tersebut.
Sebagai kejahatan white collar, korupsi yang dilakukan AW tentu akan menciptakan
stigma terhadapnya. Stigma tersebut tidak mudah hilang begitu saja, bahkan nantinya dapat
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Dengan stigma sebagai seorang narapidana,
butuh waktu yang lama untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Begitu pula yang terjadi
pada AW, sebagai seorang narapidana tipikor dirinya sadar akan mendapat sanksi sosial yang
jauh lebih besar dari masyarakat terutama lingkungan sekitarnya.Untuk membantu narapidana
melewati masa sulit tersebut dipelukanlah suatu pengobatan atau rehabilitasi. Rehabilitasi
merupakan upaya memperbaiki perilaku seseorang sehingga menjadi lebih baik. Hal itu juga
tengah dirasakan oleh AW, dirinya mengaku menjadi lebih religius, sehingga lebih positif
dalam menyikapi masalah yang menimpa saat ini.
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan
Keberhasilan pelaksanaan asimilasi kerja sosial dipengaruhi pula pada fungsi
pengawasannya. Seperti yang diungkapkan Roy Coleman & Michael Mc Cahill (2011: 12)
bahwa praktik pengawasan adalah proses mengamati target dan mengumpulkan informasi
mengenai beberapa perilaku menyimpang yang dilakukan oleh aktor – aktor tertentu. Dalam
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
hal ini, aktor yang melakukan pengawasan adalah Balai Pemasyarakatan Klas I Jakarta Timur
- Utara, Rumah Tahanan Klas I Cipinang, dan Panti Sosial Marsudi Putera Handayani.
Berdasarkan penuturan petugas AA pada 28 April 2016, bentuk pengawasan
narapidana dibedakan dalam empat tahapan, antara lain : (1) Maximum security, pengawasan
ketat yang dilakukan sejak narapidana menjalani masa pidana sampai batas 1/3 dari masa
pidananya; (2) Medium security, pengawasan dengan sedikit memberikan kelonggaran
beraktifitas setelah narapidana melewati 1/3 sampai batas ½ dari masa pidana; (3) Minimum
security, pengurangan pengawasan karena narapidana dianggap telah mencapai kemajuan
secara fisik, mental maupun ketrampilan, dimulai setelah ½ masa pidana sampai 2/3 dan
dilanjutkan dengan tahap integrasi; (4) Tahap integrasi dimulai saat narapidana menjalani 2/3
masa pidana sampai habis masa pidana, tahap ini kemudian disebut masa asimilasi, yaitu
membaurkan kembali narapidana dengan masyarakat dan dapat diusulkan untuk memperoleh
pembebasan bersyarat.
Pada kasus AW yang merupakan narapidana korupsi, praktik asimilasi kerja sosial
dilaksanakan setelah dirinya melewati 2/3 masa pidana Sesuai dengan tahapan pengawasan,
1/3 masa pidana atau tahap medium security menunjukkan bahwa seorang narapidana sudah
dianggap tidak lagi ‘berbahaya’ sehingga akan sedikit diberi kebebasan beraktifitas.
Tanggungjawab keamanan AW selama melakukan perjalanan dari Rutan ke panti sosial
hingga kembali lagi ke Rutan, sempat menjadi perdebatan antara pihak Rutan dengan panti
sosial. Petugas Rutan menyatakan panti sosial yang seharusnya bertanggungjawab terhadap
perjalanan AW, sementara dilain pihak, panti sosial merasa keberatan dengan tanggungjawab
yang dibebankan kepada mereka.
Setelah melakukan kesepakatan antara rutan, bapas, lembaga sosial dan pihak
keluarga, pengawalan asimilasi kerja sosial dalam perjalanan antara rutan menuju panti sosial
kemudian kembali lagi ke rutan diserahkan kepada keluarga. Sehingga yang
bertanggungjawab terhadap transportasi warga binaan adalah penjamin sendiri yaitu pihak
keluarga. Transportasi memang menjadi kendala dalam pelaksanaan program seperti ini,
tetapi dengan kerjasama dari berbagai pihak masalah tersebut dapat teratasi.
Sudah menjadi tanggungjawab Bapas yang telah memberi kesempatan narapidana
keluar dari penjara, bekerja di masyarakat untuk kemudian menjalankan fungsi kontrol
(Johnston, 1962: 695). Selama AW melaksanakan asimilasi, setidaknya dua kali petugas Balai
Pemasyarakatan berkunjung ke panti sosial. Dalam peraturan sudah disebutkan bahwa
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
pengawasan dilakukan oleh petugas rutan atau bapas. Petugas Bapas kemudian menjelaskan
teknis pelaksanaan asimilasi kerja sosial yaitu pihak panti berkoordinasi dengan keluarga
mengenai jam kerja, dan siapa yang bertanggungjawab pelaksanaan disana.
Meskipun demikian, asimilasi kerja sosial yang dilaksanakan oleh AW dikatakan
cukup berjalan dengan baik. Monitoring sebagai kegiatan mengawasi dan melakukan kontak
baik secara langsung maupun tidak langsung (Alarid, 2013: 143), telah dilakukan oleh
petugas balai pemasyarakatan. Petugas AA tidak setiap hari datang ke panti sosial tetapi ada
supervisi yang dilakukannya terhadap narapidana AW.
Berbeda dengan program kerja sosial yang terjadi di Skotlandia bermakna sebagai
hukuman (merampas kebebasan pelaku), rehabilitasi (efek positif dari membantu orang lain)
dan reparasi (memberi manfaat kepada masyarakat yang kurang beruntung) (McIvor, 2010).
Program ini dinilai cukup potensial untuk mengintegrasikan pelaku dengan masyarakat,
mempertahankan hubungan yang baik dengan keluarga ataupun lingkungan kerja. Melalui
kontak dengan orang lain, seorang narapidana dapat terhindar dari isolasi sosial.
Kerja sosial secara lebih luas bertujuan merubah perilaku dan memberikan
pekerjaan yang bermanfaat. Dalam makna sempit, kerja sosial bertujuan mengurangi
pelanggaran ulang oleh pelaku (residivis), sama halnya yang terjadi di Skotlandia, Belanda
dan Belgia (McIvor, 2010). Selain motivasi individu pelaku, keberhasilan pelaksanaan
pelayanan masyarakat tentunya membutuhkan dukungan dari penegak hukum. Asimilasi kerja
sosial AW cukup didukung oleh Balai Pemasyarakatan dan Panti Sosial.
Proses Reintegrasi Sosial dalam Pelaksanaan Asimilasi Kerja Sosial
Pengalaman hidup menjalani pidana penjara menjadi sebuah masalah bagi kebanyakan
narapidana ketika harus kembali berinteraksi dengan masyarakat. Dalam mengatasi hal
tersebut, munculah konsep asimilasi untuk membantu narapidana melakukan reintegrasi.
Reintegrasi sendiri diartikan sebagai pemulihan kembali kesatuan hubungan hidup,
kehidupan, dan penghidupan narapidana sebagai individu, anggota masyarakat, dan makhluk
Tuhan (Sujatno, 2008: 129). Dengan adanya asimilasi kepercayaan diri seorang narapidana
diharapkan dapat bangkit lagi, termotivasi untuk melanjutkan hidup yang lebih baik, sekaligus
mendorong masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.
Perubahan cara pandang masyarakat terhadap penghukuman bahwa penyiksaan tidak
selalu akan berhasil mengurangi kejahatan, membuat paradigma pemasyarakatan muncul
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
sebagai sebuah alternatif. Pemasyarakatan berarti memberikan pembinaan kepada narapidana,
salah satunya dengan asimilasi atau community - based correction. Konsep community –
based correction yang dikemukakan Burrell and English (2006) adalah suatu program yang
diberikan kepada narapidana menjelang kebebasannya sebagai alternatif pemenjaraan melalui
pembinaan yang berlangsung di dalam masyarakat atau disebut juga sebagai upaya reintegrasi
narapidana pada masa peralihan atau transisi dari penjara ke masyarakat.
Community – based Correction merupakan sanksi non – pemenjaraan yang meliputi :
(1) usaha menjauhkan pelaku dari sistem peradilan pidana; (2) hukuman dan program yang
berlangsung ditengah masyarakat; (3) usaha – usaha transisi narapidana dari penjara ke
masyarakat dengan cara yang lebih lembut (McCarthy, 2001: 1). Asimilasi kerja sosial
termasuk pada konsep community based correction yang ketiga, yaitu program untuk
melakukan transisi narapidana dari penjara ke masyarakat dengan cara yang lebih lembut,
bukan sebagai upaya menjauhkan pelaku dari sistem peradilan pidana karena dilakukan
setelah berlangsungnya putusan pengadilan. Dalam konteks Indonesia, asimilasi kerja sosial
dapat dikatakan sebagai program pre parole karena dilakukan sebelum narapidana diputuskan
mendapat pembebasan bersyarat.
Seperti yang telah disebutkan, asimilasi bertujuan melakukan integrasi sosial. Integrasi
adalah tindakan berkoordinasi menyelaraskan perilaku dan kesadaran setiap anggota untuk
bekerja sama dan mencoba menghindari konflik (Johnson, 2008: 323). Asimilasi kerja sosial
memberi kesempatan narapidana untuk berinteraksi dengan dunia luar. Narapidana merasa
diberi kesempatan memulai hidupnya kembali dalam masyararakat. Pengalaman AW selama
berada dalam lapas menimbulkan tekanan pada dirinya, sehingga asimilasi kerja sosial
menjadi sebuah ajang yang tepat untuk mengobati kegelisahan tersebut.
Reaksi pelaku setelah menjalani kerja sosial sangat bervariasi, ada yang lebih
toleran maupun kurang toleran tergantung dari karakter individu masing – masing. Namun,
dengan melihat model asimilasi kerja sosial ini kurang tepat bila dibebankan kepada
narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi. Seperti yang dikemukakan Sutherland
(1968), korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi
tinggi (Mustofa, 2010: 193), sehingga umumnya mereka memiliki karakteristik yang
berwibawa karena terbiasa memiliki kedudukan dan dihormati, sehingga ketika dia tiba – tiba
harus menjalankan asimilasi kerja sosial yaitu bekerja secara sukarela dengan orang – orang
yang memiliki status sosial lebih rendah mungkin akan kesulitan beradaptasi.
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Kesimpulan
Pemasyarakatan menjadi titik balik dalam usaha memberikan penghukuman yang
lebih baik bagi pelaku kejahatan. Pemasyarakatan pula yang kemudian melahirkan hak warga
binaan berupa asimilasi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 bahwa
hak asimilasi kepada narapidana tindak pidana korupsi dijalankan dengan melakukan kerja
sosial. Asimilasi kerja sosial bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat kembali
diterima dalam kehidupan masyarakat dengan baik.
Program kerja sosial bagi pelaku kejahatan juga berkembang di negara – negara lain,
seperti halnya Malaysia. Pemerintah Malaysia menggunakan kerja sosial untuk membantu
narapidana menghadapi masa transisi dari penjara menuju masyarakat. Program ini
memungkinkan petugas memiliki peran ganda, yaitu merehabilitasi sekaligus mengawasi.
Serupa dengan yang terjadi di Indonesia, pelaksanaan asimilasi pada kasus AW membuat
petugas melaksanakan dua peran tersebut. Balai Pemasyarakatan Klas I Jakarta Timur –
Utara, Rumah Tahanan Klas I Cipinang, dan Panti Sosial Marsudi Putera adalah pihak – pihak
yang berperan penting dalam terselenggaranya program asimilasi kerja sosial.
Pertama, fungsi rehabilitasi, artinya upaya untuk memperbaiki hubungan sosial pelaku
kejahatan. Berkaitan dengan fungsi rehabilitasi, asimilasi kerja sosial yang dilaksanakan di
Panti Sosial Marsudi Putera Handayani telah membantu narapidana bersosialisasi dengan
masyarakat luar yang sempat terputus selama menjalani hukuman kurungan. Program ini
tentunya tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Ketidaksesuaian tempat kerja sosial dengan
karakter dan kemampuan narapidana sempat menjadi kendala, terbukti dari latar belakang
pendidikan narapidana di bidang pertanian yang kemudian harus menangani anak nakal atau
ABH.
Keberhasilan pelaksanaan asimilasi kerja sosial juga ditunjang dengan fungsi
pengawasan. Fungsi pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan mencakup seluruh aktivitas yang
berlangsung selama pelaksanaan asimilasi kerja sosial mulai dari proses pengusulan hingga
asimilasi kerja sosial selesai dilakukan. Balai Pemasyarakatan memang tidak dapat melakukan
kunjungan setiap hari ke panti, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama, tugas supervisi telah
diberikan kepada pihak keluarga dan panti sosial. Pengawasan terhadap pelaksanaan asimilasi
kerja sosial AW menjadi tugas Panti Sosial Marsudi Putera Handayani, sementara transportasi
dari rutan ke panti dan sebaliknya menjadi tanggung jawab keluarga. Selama pelaksanaan
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
asimilasi berlangsung, tanpa meninggalkan perannya Balai Pemasyarakatan tetap melakukan
monitoring secara berkala kepada koordinator pekerja sosial di panti.
Dengan didampingi koordinator pekerja sosial, narapidana diberi kebebasan
bersosialisasi dengan anak – anak maupun pekerja sosial lainnya. Interaksi antara narapidana
dengan lingkungannya di PSMP Handayani merupakan proses sosialisasi yang dikembangkan
dalam rangka mewujudkan rehabilitasi sosial. Melalui pengawasan yang optimal, pelaksanaan
program asimilasi kerja sosial dapat mencapai terwujudnya rehabilitasi bagi narapidana.
Saran
Dalam lingkup akademis, penulis berharap dapat dilakukannya penelitian lanjutan
mengenai asimilasi kerja sosial di Indonesia, baik dengan metode yang sama digunakan oleh
penulis maupun metode yang berbeda. Melihat pelaksanaan asimilasi yang berbeda pada
masing – masing narapidana, penulis juga menyarankan adanya penelitian mendalam
mengenai kemungkinan diskriminasi yang muncul akibat perbedaan perlakuan tersebut.
Asimilasi kerja sosial merupakan program yang sangat bermanfaat apabila dapat
dijalankan dengan baik. Program ini mampu menjadi sarana bagi para pelaku kejahatan untuk
memulihkan hubungan sosialnya dengan masyarakat yang sempat terputus akibat
pemenjaraan. Secara teknis, ketidaksesuaian lembaga sosial dengan karakter narapidana dapat
tertutupi apabila ada kerjasama yang baik antar lembaga, baik dari pihak swasta maupun
pemerintah sendiri. Ketika setiap lembaga ikut mengambil bagian dalam penyelenggaraan
asimilasi kerja sosial tersebut, maka keberhasilan program akan lebih mudah tercapai.
Daftar Referensi
Buku Agustino, Leo. (2006). Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung. Alarid, Leanne Fiftal. (2013). Community - Based Corrections. Wadsworth : Cengage Learning. Barton, Shannon M., Bellessa, & Robert D. Hanser. (2012). Community-Based Corrections : A Text/Reader.
Thousand Oaks, California : Sage Publications, Inc. Bayens, Gerald, & John Ortiz Symkla. (2013). Probation, Parole, and Community - Based Corrections :
Supervision, Treatments, and Evidence-Based Practices. New York: McGraw-Hill. Bohm, Robert M. & Brenda L. Vogel. (2010). A Primer On Crime & Delinquency Theory. Belmont: Wadsworth
Cengange Learning. Carney, Louis P. (1977). Probation and Parole: Legal and Social Dimensions. New York: McGraw-Hill, Inc.
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Coleman, Roy, & Michael McCahill. 2011. Surveillance and Crime. London: Sage Publication. Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative Research (terjmh.). Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Dermawan, M. Kemal, & M. Irvan Oli’i. (2015). Sosiologi Peradilan Pidana. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Fuhrmann, Johan, & Stevan Baier. (2013). Prisons and Prison System : Practices, Type, and Challenges. New
York : Nova Science Publishers, Inc. Garland, David, & Peter Young. (1983). The Power to Punish: Contemporary Penalty and Social Analysis.
London: Heinemann Educational Books Ltd. Gunawan, T.J. (2015). Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi. Yogyakarta : Genta Press. Jannah, Lina Miftahul dan Bambang Prasetyo. (2008). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi.
Rajawali Press. Johnson, Doyle Paul. (2008). Contemporary Sociological Theory : An Integrated Multi-Level Approach. New
York: Springer. Johnston, Norman, & Leonard Savitz, Marvin E. Wolfgang. (1962). The Sociology of Punishment & Correction
Second Edition. New York: John Wiley&Son,Inc. Jones, Charles O. (1984). An Introduction to the Study of Public Policy 3rd Edition. California : Wadsworth, Inc. Knepper, Paul. (2007). Criminology and Social Policy. London: SAGE Publications. Kusumanegara, Solahuddin. (2010). Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit
Gava Media McCarthy, Belinda Rodgers, et.al. (2001). Community-Based Corrections. Belmont, USA: Wadsworth. Mustofa, Muhammad. (2010). Kriminologi. Bekasi : Sari Ilmu Pratama. Oswald, Margit E., Steffen Bienneck, & Jorg Hupfeld Heinemann. Social Psychology Punishment of
Crime.Oxford: John Wiley & Sons Ltd. Panjaitan, Petrus Irwan, & Samuel Kikilaitety. (2007). Pidana Penjara Mau Kemana. Jakarta: Ind Hill Co. Peak, Kenneth J. (1995). Justice Administration: Police, Courts, and Corrections Management. New Jersey :
Prentice-Hall, Inc Pettway, Coretta (2008). Best Practices Tool-Kit: Community Corrections and Evidence-Based Practices. Ohio
Department of Rehabilitation and Correction. Poernomo, Bambang. (1986). Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta:
Liberty Raco.JR. (2001). Metode Penelitian Kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulanya. Jakarta: Grasindo. Ritzer, George, & Douglas J. Goodman. (2010). Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6. Jakarta: Kencana. Scott, David. (2013).Why Prison?. New York: Cambridge University Press. Siswosoebroto, Koesriani. (2009). Pendekatan Baru Dalam Kriminologi. Jakarta: Universitas Trisakti.
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Stohr, Mary, Anthony Walsh, & Craig Hemmens. (2009). Corrections: A Text/Reader. California: SAGE publications
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif Cet.4. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sujatno, Adi. (2008). Pencerahan di balik Penjara: Dari Sangkar Menuju Sanggar untuk Menjadi Manusia
Mandiri. Jakarta: Teraju Tongat. (2001). Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan. UNODC. (2007). Custodial and Non-Custodial Measures Social Reintegration. New York : United Nations UNODC. (2007). Handbook of basic principles and promising practices on Alternatives to Imprisonment. New
York : United Nations Worrall, John, & Larry Siegel. (2013). Essential of Criminal Justice Eight Edition. Wadsworth, Cengange
Learning Jurnal
Beqiri, Mitasin, Qebir Avziu. (2014). Some Open Issues Concerning the Resocialization of the Convicted People. Academic Journal of Interdisciplinary Studies, Mediterranean Center of Social and Educational Research (MCSER publishing) Vol 3 No 2, pp. 287-291
Hamin, Zaiton, &Rafizah Abu Hassan. (2012). The Roles and Challenges of Parole Officers in Reintegrating
Prisoners into Community under The Parole System. Social and Behavioral Sciences, ScienceDirect Vol. 36 pp. 324 – 332
Killias, Martin, Gwladys Gillieron, Izumi Kissling & Patrice Villettaz. (2010). Community Service Versus
Electronic Monitoring What Works Better? British Journal of Criminology, Oxford Journal pp. 1-16 Kleis, Kathryn M. (2010). Facilitating Failure: Parole, Reentry, and Obstacles to Success. Springer Vol. 34 No.
4 pp. 525-531 MacKenzie, Doris Layton. (2013). First do no harm: a look at correctional policies and programs today. Journal
of Experimental Criminology. Springer 9 : 1 -17 McGuire, M. Dyan. (2011). Doing The Life : An Exploration of The Connection Between The Inmate Code And
Violence Among Female Inmates. The Journal of the Institute of Justice & International Studies, University of Central Missouri, Vol. 11, pp. 145-155
McIvor, Gill (2010). Paying back: 30 years of unpaid work by offenders in Scotland. European Journal of
Probation (EJP), Vol. 2 No. 1, pp 41 – 61 McIvor, Gill, Kristel Beyens, Ester Blay, & Miranda Boone (2010). Community service in Belgium, the
Netherlands, Scotland and Spain : a comparative perspective. European Journal of Probation (EJP), Vol. 2 No.1, pp. 82 -98
Mongold, Jennifer L., & Bradley D. Edwards. (2014). Reintegrative Shaming: Theory into Practice. Journal of
Theoretical & Philosophical Criminology, Vol. 6 No. 3, pp. 207 Nally, John, et. al. (2012). An Evaluation of the Effect of Correctional Education Programs on Post-Release
Recidivism and Employment: An Empirical Study in Indiana. Journal of Correctional Education, Proquest 63 (1) pp. 69 – 84
Ofori, Kwadwo, Kofi Osei Akuoko, Jonas Asamanin Barnie, John Yaw Kwarteng, & John Boulard Forkuo.
(2015). Prison without Walls: Perception about Community Service as an Alternative to Imprisonment in Kumasi Metropolis, Ashanti Region, Ghana. International Journal of Social Science Studies, Redfame publish. Vol. 3 No.6 pp 130-142
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016
Sulhin, Iqrak. (2010). Filsafat Sistem Pemasyarakatan. Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 7 No. 1, pp. 134 -150 Sumter, Melvina, Elizabeth Monk & John Rougier. (2013). Assessing Current Programs and Reentry Needs in
Trinidad and Tobago: Insights from Offenders – An Exploratory Study. African Journal of Criminology and Justice Studies (AJCJS) Vol. 7 pp. 118 – 139
Wermink, Hilde, Arjan Blokland, Paul Nieuwbeerta, Daniel Nagin dan Nikolaj Tollenaar. (2010). Comparing
the effects of community service and short-term imprisonment on recidivism: a matched samples approach. Springer 6:325-349
Zlobin, Sergei Ivanovish. (2013). Re-Socialization of Prisoners in Russia at the Present Stage. World Applied
Sciences Journal, International Digital Organization for Scientific Information (IDOSI publications), 26 (5), pp. 588-590
Publikasi Elektronik Hamluddin. (2014). Napi Koruptor Ini Keluyuran di Luar LP http://www.
tempo.co/read/news/2014/10/29/064617976/Napi-Koruptor-Ini-Keluyuran-di-Luar-LP (Diakses pada 28 Oktober 2015, pukul 12.18)
Sistem Database Pemasyarakatan. (2015). Data Terakhir Jumlah Penghuni Khusus per kanwil.
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/ 2015/month/6 (Diakses pada 8 Oktober 2015 pukul 01.02 WIB)
Joe Casey & Ben Jarman. (2011). The Social Reintegration of Ex-Prisoners: in Council of Europe Member
States. Brussel: The Quaker Council for European Affairs (QCEA) Report http://cep-probation.org/wp-content/uploads/2015/03/rprt-reintegration-full-en-may-2011.pdf (Diakses pada 23 Oktober 2015, pukul 23.09)
Metrotv News. (2014). Kasus Dugaan Korupsi Light Trap Keentan, Kejati DKI Diminta Usut Keterlibatan
Tokoh PPP http://news.metrotvnews.com/read/ 2014/09/18/293171/kasus-dugaan-korupsi-light-trap-kementan-kejati-dki-diminta-usut-keterlibatan-tokoh-ppp (Diakses pada 20 Maret 2016, pukul 18.43)
Pelaksanaan Fungsi ..., Vidya Marta Fitriana, FISIP UI, 2016