Pedoman Umum Prinsip, Prosedur Dan Kebijakan PNRB
Transcript of Pedoman Umum Prinsip, Prosedur Dan Kebijakan PNRB
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR :TANGGAL :
PEDOMAN UMUM
PRINSIP, KEBIJAKAN, DAN PROSEDUR
PEMBAKUAN NAMA RUPABUMI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nama geografis atau nama unsur rupabumi (topografi) baik
dalam ucapan dan tulisan lahir dari sejarah kebudayaan manusia sejak
manusia berhenti sebagai pengembara (nomaden). Sejak manusia
mulai menetap di suatu kawasan tertentu, manusia mulai menamai
unsur-unsur rupabumi di sekitarnya sebagai sarana komunikasi dan
berkembangnya sistem acuan dalam orientasi dan transportasi. Kini
Nama unsur rupabumi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan manusia
sehari-hari. Nama unsur rupabumi digunakan sebagai sarana
komunikasi antara bangsa dan negara sejak berkembangnya
perpetaan, seperti Peta Claudius Ptolomeus (Ptolemy) di abad ke-2
Masehi. Manusia modern tidak dapat lepas dari peta yang memuat
semua informasi unsur rupabumi untuk menunjang kegiatan manusia
seperti kegiatan perdagangan, eksplorasi, penelitian, perjalanan,
bahkan peperangan sekalipun.
Menyadari bahwa peta-peta dari berbagai bangsa yang memuat
Nama unsur rupabumi dalam abjad masing-masing tidak efektif
sebagai sarana komunikasi, maka salah satu program dari PBB yang
pertama sejak tahun 1950-an adalah program romanisasi peta-peta
non-Romawi. Selain itu, pada tahun 1875 Kongres Geografi
Internasional Kedua di Paris telah menetapkan bahwa abjad Romawi
yang sederhana sebagai abjad baku untuk mentranskripsi Nama
geografis dari abjad non-Romawi ke abjad Romawi. Abjad Romawi
sederhana adalah abjad Romawi tanpa diakritik. Program kedua dari
PBB adalah membakukan Nama unsur rupabumi secara internasional
yang bertumpu pada pembakuan nasional, baik secara tulisan maupun
ucapannya.
1Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari wilayah daratan
dan lautan dengan berbagai suku dan budaya memiliki keragaman
sekitar 726 bahasa daerah (menurut Summer Institute of Linguistics).
Keanekaragaman bahasa ini sangat berpengaruh dalam tatacara
penamaan unsur rupabumi yang dapat berakibat pada
ketidakseragaman penulisan unsur rupabumi di peta. Oleh karena itu,
Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112
tanggal 29 Desember 2006, mempunyai wewenang penuh untuk
mengatur tatacara pembakuan nama rupabumi. Hal ini sesuai dengan
Resolusi PBB No. 4 Tahun 1967 dari The First UN Conference of
Standardization on Geographical Names di Jenewa yang
merekomendasi perlu dibentuknya National Geographical Names
Authority (lembaga nasional otoritas nama geografis) di tiap negara
anggota. Bentuk lembaga otoritas tersebut disesuaikan dengan
struktur pemerintahan setempat yang mempunyai tugas dan fungsi
pokok pembakuan nama unsur rupabumi, sebagai langkah mendukung
pembakuan nama unsur rupabumi di tataran internasional.
Unsur rupabumi umumnya dinamai oleh penduduk setempat
dengan menggunakan bahasa daerahnya yang mencerminkan bagian
dari sejarah dan kebudayaan suku bangsa yang pertama kali mendiami
suatu wilayah. Dalam penamaan unsur rupabumi biasanya
mengandung elemen generik yang dapat juga disebut sebagai nama
generik dan elemen/nama spesifik. Elemen generik dari suatu nama
unsur rupabumi mencerminkan migrasi manusia di masa lalu. Sebagai
contoh, istilah wai yang artinya “sungai” tidak hanya terdapat di
Lampung saja tetapi tersebar mulai dari Pasifik Selatan dalam bahasa
Maori, Hawaii, Tonga, dan Maui sampai di kawasan Indonesia seperti di
wilayah Papua, Seram, Buru, Nusa Tenggara, dan Lampung. Dengan
demikian nama unsur rupabumi dalam bahasa setempat harus
dipertahankan karena merupakan bagian dari sejarah yang panjang
dari migrasi manusia di muka bumi. Selain itu elemen spesifik dari
nama unsur rupabumi juga penting karena mencerminkan legenda atau
mitos dari suku bangsa yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya pembakuan nama unsur rupabumi memiliki arti
penting dan menentukan sebagai salah satu komponen utama dalam
upaya mewujudkan tertib administrasi wilayah. Di samping itu
Pembakuan Nama Unsur Rupabumi dapat berarti suatu tindakan nyata
dalam melestarikan bahasa dan budaya di Indonesia. Hal ini memiliki
dampak signifikan terhadap peningkatkan:
(1) wawasan kebangsaan Indonesia,
2Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
(2) peran aktif bangsa Indonesia dalam menjalankan etika
internasional khususnya komunikasi geografis yang baku serta
(3) turut serta dalam meningkatkan pemberdayaan ekonomi
masyarakat dengan mengenalkan unsur-unsur rupabumi yang
dimiliki bangsa ini.
Prinsip, Kebijakan, dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi ini
dipersiapkan sebagai acuan bagi pelaksanaan pembakuan nama unsur
rupabumi di Indonesia. Dengan demikian semua lapisan masyarakat
termasuk semua jajaran Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah
wajib memakai nama baku unsur rupabumi secara konsisten dan taat
asas dalam semua aktivitasnya.
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan Prinsip, Kebijakan, dan Prosedur Pembakuan Nama
Rupabumi adalah untuk membantu para administrator pemerintahan
dan swasta, pembuat peta, pendidik, penyedia informasi, dan
masyarakat luas dalam menuliskan unsur nama rupabumi yang baku.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Prinsip, Kebijakan, dan Prosedur Pembakuan Nama
Rupabumi mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup, pengertian,
bahasa Indonesia, bahasa daerah, ejaan, prinsip pemberian nama,
kebijakan pemberian nama, prosedur pemberian nama, prinsip
penulisan nama, gasetir, peta, dan penutup.
1.4. Pengertian
Dalam buku Prinsip, Kebijakan, dan Prosedur Pembakuan Nama
Rupabumi ini yang dimaksud dengan:
1. Prinsip adalah asas yang menjadi pokok dasar berpikir dan
bertindak untuk penamaan unsur rupabumi.
2. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang
berkaitan dengan penamaan unsur rupabumi
3. Prosedur adalah tahap kegiatan untuk menyelesaikan aktivitas
penamaan unsur rupabumi.
4. Pedoman adalah petunjuk tatacara survei pengumpulan nama di
lapangan berupa cara pencatatan, penulisan, pengejaan,
3Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
pengolahan, pengelolaan, dan pemublikasian nama unsur rupabumi
yang baku.
5. Pembakuan adalah proses penetapan dan pengesahan nama unsur
rupabumi oleh lembaga yang berwenang baik secara nasional
maupun internasional melalui proses pengusulan dari masyarakat.
Pembakuan nama rupabumi meliputi pemberian nama baru,
pengubahan, penghapusan, dan penggabungan nama yang telah
ada.
6. Unsur Rupabumi adalah bagian permukaan bumi yang berada di
atas dan/atau di bawah permukaan laut yang dapat dikenali
identitasnya sebagai unsur alam dan/atau unsur buatan manusia.
Unsur rupabumi terdiri dari tiga unsur yaitu unsur fisik, unsur
buatan, dan unsur administrasi.
a. Unsur fisik adalah unsur yang berada di permukaan daratan,
lautan dan di bawah permukaan laut yang identitasnya dapat
dikenali. Contoh, antara lain: gunung, pegunungan, bukit,
dataran tinggi, gua, lembah, danau, sungai, muara, samudera,
laut, selat, teluk, pulau, kepulauan, tanjung, semenanjung,
gunung bawah laut (seamount), palung.
b. Unsur buatan manusia adalah unsur berupa infrastruktur
yang merupakan fasilitas umum, sosial, ekonomi dan budaya.
Contoh, antara lain: bandara, bendungan, waduk, jembatan,
terowongan, mercu suar, kawasan permukiman, kawasan
industri, kawasan hutan, candi, tugu.
c. Unsur administrasi adalah wilayah fungsional dari instansi
pemerintahan, dengan batas administrasi yang jelas. Contoh,
antara lain: desa, kecamatan, kota, kabupaten, provinsi.
7. Nama Rupabumi adalah nama diri dari unsur rupabumi.
8. Nama Unsur Rupabumi terdiri dari 2 elemen, yaitu elemen generik
dan elemen spesifik.
9. Elemen generik adalah nama yang menerangkan dan/atau
menggambarkan bentuk umum suatu unsur rupabumi dalam
bahasa Indonesia atau bahasa daerah, sebagai contoh: sungai
(dalam Bahasa Indonesia), krueng (sungai dalam bahasa Aceh),
bulu (gunung dalam bahasa Bugis), dolok (gunung dalam bahasa
Batak).
10. Elemen spesifik adalah nama diri dari elemen generik yang sudah
disebutkan sebelumnya, sebagai contoh: Merapi adalah nama
spesifik dari elemen generik yang berupa gunung, Bogor adalah
nama spesifik dari elemen generik yang berupa wilayah administrasi
kota.
4Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
11.Endonim adalah nama diri unsur rupabumi dalam bahasa resminya.
Contoh: Nederland, New Zealand, Jakarta, Bandung, Wien.
12.Eksonim adalah nama diri unsur rupabumi dalam bahasa Indonesia
untuk sebuah nama diri unsur rupabumi yang berada di luar
Indonesia. Contoh: Negeri Belanda adalah eksonim Bahasa
Indonesia untuk Nederland, Selandia Baru eksonim dalam
Bahasa Indonesia untuk New Zealand dan Wina untuk Wien.
13.Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau
buatan manusia yang berada di atas maupun di bawah permukaan
bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan proyeksi
dan skala tertentu.
14.Gasetir (Gazetteer) adalah daftar nama unsur rupabumi baku yang
dilengkapi dengan informasi tentang jenis elemen, posisi geografis,
lokasi wilayah administrasi, dan berbagai informasi lain yang
diperlukan.
15.Toponimi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari nama unsur
rupabumi.
16.Toponim adalah nama unsur rupabumi.
17.Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi adalah Tim yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia,
Nomor 112 tanggal 29 Desember 2006.
18.PPNR adalah Panitia Pembakuan Nama Rupabumi di wilayah
Provinsi, Kabupaten/Kota dan yang dibentuk oleh Kepala Daerah
setempat atas dasar Peraturan Presiden tentang Tim Nasional
Pembakuan Nama Rupabumi.
5Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
BAB II
BAHASA NASIONAL DAN BAHASA DAERAH
2.1. Bahasa Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara multikultural, multietnis, multiagama,
dan multibahasa. Bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa nasional
yang berfungsi sebagai bahasa persatuan di seluruh Indonesia. Bahasa
Indonesia ditulis dengan menggunakan abjad Romawi. Dengan
demikian, semua nama unsur rupabumi harus ditulis sesuai ejaan baku
dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Abjad Romawi yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah
sebagai berikut :
Huruf Lafal Huruf Lafa
l
Huruf Lafa
l
A a A J j jé S s és
B b Bé K k ka T t té
C c Cé L l él U
u
u
D d Dé M
m
ém V v vé
E e É N n én W
w
wé
F f Éf O o o X x éks
G g Gé P p pé Y y yé
H h Ha Q q qi Z z zét
I i I R r ér
2.2. Bahasa Daerah
Bahasa lokal yang dimaksud dalam buku ini yaitu bahasa daerah yang
digunakan oleh penduduk setempat. Di seluruh Indonesia terdapat 726
bahasa daerah. Berdasarkan distribusi geografis di Jawa, Madura, dan
Bali terdapat 19 bahasa daerah, Sumatera terdapat 52 bahasa,
Nusatenggara 68 bahasa, Kalimantan 82 bahasa, Sulawesi 114 bahasa,
6Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
Maluku 131 bahasa, dan Papua 265 bahasa.
Berdasarkan jumlah penuturnya terdapat 13 bahasa daerah yang
penuturnya di atas satu juta orang yaitu: Bahasa Jawa (75.200.000
penutur), Sunda (27.000.000 penutur), Melayu (20.000.000 penutur),
Madura (13.694.000 penutur), Minang (6.500.000 penutur), Batak
(5.150.000 penutur), Bugis (4.000.000 penutur), Bali (3.800.000
penutur), Aceh (3.000.000 penutur), Sasak (2.100.000 penutur),
Makassar (1.600.000 penutur), Lampung (1.500.000 penutur), dan
Rejang (1.000.000 penutur). Dengan demikian Pusat Bahasa hanya
membuat Pedoman Ejaan Bahasa Daerah bagi bahasa daerah dominan
tersebut.
2.3. Ejaan
Untuk pembakuan nama rupabumi diusahakan untuk menggunakan
ejaan yang berlaku yaitu ejaan bahasa Indonesia yang tertuang dalam
buku panduan Ejaan Yang Disempurnakan (1978) atau ejaan bahasa
daerah yang telah dibakukan.
7Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
BAB III
PRINSIP, KEBIJAKAN, DAN PROSEDUR PEMBERIAN NAMA RUPABUMI
3.1. Prinsip Pemberian Nama
Prinsip 1: Penggunaan huruf Romawi
Nama unsur rupabumi yang dibakukan semua ditulis dengan huruf
Romawi. Dengan catatan tidak diperkenankan menggunakan diakritik,
seperti; è dalam kata ember atau ekor, é dalam kata evaluasi atau
ekonomi, ê dalam kata enggan atau entah dan tanda penghubung
( - ).
Petunjuk:
1. Apabila di lapangan ditemukan nama-nama rupabumi dengan
penulisan serta pelafalan yang khas, contoh: nama kota di Jawa
Barat yang menggunakan bunyi eu seperti nama Kota
Pameungpeuk, Cileunyi, maka cara pelafalannya akan
dideskripsikan dengan menggunakan IPA (International Phonetic
Alphabet), yaitu aksara untuk mendeskripsikan bunyi bahasa
berdasarkan perjanjian internasional.
2. Nama tempat dengan kata berulang, kini ditulis dalam satu kata,
seperti Mukomuko, Wangiwangi, Tolitoli, Bagansiapiapi, Baubau.
Prinsip 2: Satu unsur rupabumi satu nama
Satu nama hanya berlaku untuk satu unsur rupabumi.
Petunjuk:
1. Apabila satu unsur rupabumi mempunyai beberapa nama, sebagai
contoh di Kabupaten Selayar terdapat sebuah pulau yang
mempunyai dua nama yaitu Pulau Tanajampea dan Pulau
Paklaoroang maka perlu ditetapkan satu nama resmi dan nama
lainnya tetap tercatat di gasetir sebagai nama varian.
2. Apabila dalam suatu wilayah administrasi terdapat penggunaan
satu nama untuk lebih dari satu unsur rupabumi sebagai contoh di
Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara
terdapat nama empat pulau dengan nama Pulau Napabale maka
8Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
nama-nama tersebut diatur kembali dengan menambah nama
pemerlain/pembeda misalnya dengan menambahkan kata sifat,
petunjuk arah, atau ciri-ciri yang khas dari unsur rupabumi itu
misalnya menjadi Pulau Napabale, Pulau Napabale Tengah, Pulau
Napabale Selatan, dan Pulau Napabale Utara. Contoh lain di lokasi
yang sama terdapat dua pulau dengan nama yang sama,
disarankan menjadi Pulau Jongkere Besar dan Pulau Jongkere Kecil.
Sebagai informasi tambahan, nama pemerlain/pembeda dapat
menggunakan kata-kata setempat, misalnya menjadi Pulau
Jongkere Da dan Pulau Jongkere Daa.
3. Apabila dalam suatu wilayah administrasi terdapat sekumpulan
unsur rupabumi yang berdekatan letaknya hanya diberi satu nama
oleh penduduk setempat, sebagai contoh di Kecamatan Rajabasa
Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung terdapat gugusan
tiga pulau dengan satu nama yaitu Tungkutiga. Disarankan setiap
pulau memiliki nama yang berbeda menjadi Pulau Setigabuntut,
Pulau Setigaheni dan Pulau Setigalok. Contoh lain di Kecamatan
Lohia Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat
gugusan lima pulau dengan satu nama yaitu Wakata, disarankan
setiap pulau diberi nama pemerlain/pembeda menjadi Pulau
Wakata Utara, Pulau Wakata Selatan, Pulau Wakata Tengah, Pulau
Wakata Barat, dan Pulau Wakata Timur.
Prinsip 3: Penggunaan nama lokal
Nama unsur rupabumi berdasarkan nama lokal yaitu nama yang
dikenal dan digunakan oleh penduduk setempat. Nama lokal terdiri
dari elemen generik dan elemen spesifik. Penggunaan nama lokal ini
pada intinya merupakan upaya untuk melestarikan dan menghormati
sejarah masyarakat setempat.
Petunjuk:
1. Selama pendataan nama rupabumi di lapangan, petugas harus
memprioritaskan nama lokal yang meliputi elemen generik
dan/atau spesifik.
2. Selama pendataan nama rupabumi di lapangan, petugas harus
mencatat/merekam bahasa setempat, penulisan dan pengucapan
nama, serta makna nama rupabumi menurut penduduk setempat.
3. Nama unsur rupabumi pada dasarnya mengadopsi penggunaan
elemen generik lokal sebagai nama resmi. Contoh, antara lain: Ci
untuk Ci Liwung, Krueng untuk Krueng Aceh, Batang untuk Batang
9Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
Hari, Wai untuk Wai Seputih yang kesemuanya berarti sungai
dalam Bahasa Indonesia.
Prinsip 4: Nama berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Nama unsur rupabumi dapat berdasarkan nama lokal yang diresmikan
oleh Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP). Nama baru
dapat diputuskan berdasarkan UU dan PP sebagai nama resmi dan
baku untuk menggantikan nama lama setelah mendapatkan
persetujuan dari otoritas lembaga yang berwenang.
Petunjuk:
1. Nama yang ditimbulkan oleh pembentukan daerah otonom dengan
UU, contoh Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan dengan UU
Nomor 26 Tahun 2004.
2. Pengubahan nama provinsi misalnya Provinsi Irian Jaya Barat
menjadi Provinsi Papua Barat yang ditetapkan dengan PP No. 24
Tahun 2007, pengubahan nama kabupaten misalnya Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung menjadi Kabupaten Sijunjung yang
ditetapkan dengan PP Nomor 25 Tahun 2008.
Prinsip 5: Tidak Memakai Nama Melecehkan SARA
Nama unsur rupabumi disarankan menghindari nama yang
melecehkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Petunjuk:
Apabila ditemukan suatu nama unsur rupabumi memiliki arti yang
melecehkan suku, agama, ras dan antargolongan, termasuk
melecehkan gender maka masyarakat setempat dapat segera
mengusulkan pengubahan nama tersebut.
Prinsip 6: Tidak menggunakan Nama berbahasa asing
Nama unsur rupabumi hendaknya tidak menggunakan nama dalam
bahasa asing dalam hal ini terkait dengan prinsip 3. Untuk menjunjung
tinggi budaya Indonesia, suatu nama rupabumi yang sudah dikenal
dengan nama asing harus diubah namanya ke dalam nama lokal.
Petunjuk:
1. Nama-nama rupabumi dalam bahasa asing di masa lalu seperti
Batavia menjadi Jakarta; Buitenzorg menjadi Bogor; Hollandia
10Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
menjadi Jayapura. Cartenz Top menjadi Puncak Trikora
merupakan contoh pengubahan nama dalam bahasa asing ke
dalam nama lokal. Dengan demikian nama-nama asing yang
masih ditemukan pada saat ini bukanlah hal yang mustahil untuk
segera diubah.
2. Apabila pengubahan nama-nama asing dalam penamaaan unsur
rupabumi menemui kesulitan maka akan dilakukan langkah-
langkah penertiban dengan pihak-pihak yang terkait.
Prinsip 7 : Tidak menggunakan nama diri atau nama orang
yang masih hidup
Nama unsur rupabumi hendaknya tidak menggunakan nama diri
dalam hal ini baik nama instansi maupun nama perorangan yang
masih hidup. Termasuk tidak menggunakan nama proyek sebagai
nama unsur rupabumi resmi.
Petunjuk:
Untuk mengenang jasa seseorang dapat dilakukan dengan
memberikan nama orang tersebut pada suatu unsur rupabumi dengan
ketentuan:
1. Nama yang diusulkan merupakan nama seseorang yang dianggap
sangat berjasa bagi negara dan/atau penduduk setempat.
2. Nama yang diusulkan merupakan nama seseorang yang telah
meninggal dunia minimal 5 tahun.
3. Apabila ditemukan nama rupabumi yang menggunakan nama diri
tidak sesuai prinsip 7 maka akan dilakukan langkah-langkah
penertiban dengan pihak-pihak yang terkait.
Prinsip 8: Menggunakan nama maksimal tiga kata
Nama unsur rupabumi hendaknya menggunakan elemen spesifik yang
tidak terlalu panjang, sebanyak-banyaknya tidak lebih dari 3 (tiga)
kata termasuk nama pemerlain/pembeda.
Petunjuk:
1. Nama unsur rupabumi yang melebihi 3 (tiga) kata sebaiknya
dimusyawarahkan kembali antara para pemuka adat dan
perangkat desa untuk menentukan nama yang lebih pendek dan
mudah diucapkan oleh masyarakat.
11Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
2. Nama unsur rupabumi yang akan dibuat hendaknya menghindari
pemakaian nama yang melebihi 3 (tiga) kata.
Prinsip 9: Tidak menggunakan rumus matematika
Nama unsur rupabumi tidak menggunakan rumus matematika, agar
tidak membingungkan. Contoh, antara lain: IV X 11 6 Lingkung
(Ampek Kali Sabaleh Anam Lingkung).
Petunjuk:
Apabila ditemukan nama dengan rumusan numerik, disarankan
diubah menjadi alfabetik, sehingga ditulis serangkai menjadi
Ampekkalisabalehenamlingkung. Nama tersebut masih dapat
digunakan untuk kepentingan adat, sedangkan untuk kepentingan
administrasi pemerintahan sedapat mungkin nama tersebut
disesuaikan dengan Prinsip Pembakuan Nama Rupabumi.
Prinsip 10: Pemberian nama unsur rupabumi buatan manusia
Unsur rupabumi buatan manusia seperti bandara, stasiun kereta api,
bendungan, jalur transportasi, hutan lindung, kanal, bangunan
serbaguna, rumah ibadah, rumah sakit, sekolah, gelanggang olahraga,
pertokoan, dan perumahan dapat diberi nama.
Petunjuk:
1. Instansi pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan
nama terhadap unsur rupabumi yang dibuatnya selama tidak
bertentangan dengan Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan
Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi.
2. Pihak swasta yang membangun unsur rupabumi juga mempunyai
kewenangan untuk memberikan nama terhadap unsur rupabumi
yang dibuatnya setelah memperoleh rekomendasi dari Tim
Nasional/ Panitia Pembakuan Nama Rupabumi setempat.
3. Nama unsur rupabumi yang memiliki fungsi khusus dan telah
dikenal dan tercatat secara nasional maupun internasional seperti
Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Bunaken, dan Lahan
Basah Danau Sentarum, tidak dapat diubah namanya oleh
siapapun.
12Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
3.2. Kebijakan Pemberian Nama
Berdasarkan Prinsip 7 tidak diperkenankan memberi nama unsur
rupabumi dengan nama diri baik nama instansi maupun nama pribadi.
Namun ada kebijakan yang memperbolehkan pemakaian nama diri
sebagai nama unsur rupabumi apabila seseorang WNI atau WNA
dianggap berjasa luar biasa di wilayah setempat dan/atau nasional
serta tokoh tersebut sudah meninggal sekurang-kurangnya 5 tahun.
Contoh, antara lain: Jalan Sudirman dan Bendungan Sutami.
Nama orang asing dapat dipakai sebagai nama unsur rupabumi
buatan apabila orang tersebut dianggap memiliki jasa-jasa luar biasa
di bidang ilmu pengetahuan, seperti: Observatorium Boscha, Gedung
Pasteur dan Gedung Lembaga Eijkman.
3.3. Prosedur Pemberian Nama
Untuk memperoleh keseragaman secara nasional tentang penamaan
unsur rupabumi perlu diatur dalam Pedoman ini:
3.3.1. Pembakuan Nama Rupabumi
Pembakuan adalah proses penetapan dan pengesahan nama
unsur rupabumi oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi,
yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Pembakuan nama
rupabumi meliputi pemberian nama, pengubahan nama,
penghapusan nama, dan penggabungan nama.
3.3.1.1. Pemberian Nama Rupabumi
Pemberian nama rupabumi harus mengikuti sepuluh
prinsip pemberian nama rupabumi yang telah
dijelaskan pada bagian 3.1.
3.3.1.2. Pengubahan Nama Rupabumi
Nama suatu unsur rupabumi dapat diubah dengan
pertimbangan sebagai berikut :
1. Sudah dipakai dalam wilayah tingkatan administrasi yang sama;
2. Berasal dari bahasa asing;
3. Status dan fungsinya berubah;
4. Untuk kepentingan politik, ekonomi dan sosial;
5. Untuk kepentingan tertib administrasi pemerintahan.
13Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
6. Untuk melestarikan sejarah dan budaya setempat;
7. Untuk memberikan penghargaan bagi seseorang yang berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.
3.3.1.3. Penghapusan Nama Rupabumi
Nama unsur rupabumi dapat dihapus atau tidak
dicantumkan lagi dalam administrasi pemerintahan
atas pertimbangan beberapa faktor :
1. Pengubahan wilayah administrasi karena adanya pemekaran atau penggabungan wilayah.
2. Adanya bencana alam yang mengakibatkan kampung atau desa atau unsur rupabumi hilang. Contoh, antara lain: Bencana Lumpur Sidoarjo, Tsunami di Kabupaten Simeulue.
3. Adanya kegiatan pembangunan yang mengakibatkan hilangnya suatu permukiman. Contoh, antara lain: Desa Kedungombo hilang karena adanya pembangunan Waduk Kedungombo.
3.3.1.4. Penggabungan Nama Rupabumi
Penggabungan nama rupabumi pada umumnya
terjadi karena proses penggabungan Daerah atau
penyatuan Daerah yang dihapus kepada Daerah lain
sebagaimana diatur dalam PP No. 78 Tahun 2007
tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah.
3.3.2. Langkah-langkah Penetapan dan Pengesahan Nama
Rupabumi
Langkah 1:
Pemberian, pengubahan, penghapusan dan penggabungan
nama rupabumi diusulkan oleh masyarakat setempat dengan
mengikuti Pedoman Pembakuan Nama Rupabumi;
Langkah 2:
Kepala desa atau lurah mengolah lebih lanjut usulan dari
masyarakat bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Selanjutnya usulan tersebut disampaikan kepada Bupati atau
Walikota melalui Camat;
Langkah 3:
14Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
Bupati atau Walikota berdasarkan usulan Kepala Desa atau
Lurah memberikan tugas kepada Panitia Pembakuan Nama
Rupabumi (PPNR) Kabupaten atau Kota untuk melakukan
pengkajian;
Langkah 4:
PPNR melaporkan kepada Bupati atau Walikota untuk
merekomendasikan hasil kajian usulan nama rupabumi di
wilayahnya kepada Gubernur;
Langkah 5:
Berdasarkan usulan pembakuan nama rupabumi dari Bupati
atau Walikota, Gubernur memberikan tugas kepada PPNR
Provinsi untuk mengkaji usulan pembakuan tersebut. Hasil
kajian selanjutnya dilaporkan Gubernur kepada Menteri Dalam
Negeri selaku Ketua Tim Nasional untuk dilakukan pembakuan
nama rupabumi setelah diverifikasi oleh Tim Nasional.
Langkah 6:
Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Nasional menetapkan
semua nama rupabumi yang telah diverifikasi oleh Tim
Nasional dalam bentuk gasetir.
Langkah 7:
Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Nasional mempunyai
otoritas untuk mengubah, menghapus atau menggabungkan
nama rupabumi yang tidak sesuai dengan Pedoman Umum
Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi,
setelah mendapatkan pertimbangan dari Tim Pelaksana dan
Tim Pakar. Nama yang diusulkan oleh PPNR tersebut tetap
dihormati dan dimasukkan dalam gasetir sebagai nama varian
(nama lain).
15Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
BAB IV
PENUTUP
Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan, dan Prosedur Pembakuan Nama
Rupabumi ini disusun untuk menjadi acuan bagi para administrator
pemerintahan dan swasta, pendidik, penyedia informasi, dan masyarakat.
Pedoman ini untuk dijadikan acuan dalam pemberian nama dan pembakuan
nama rupabumi yang baku untuk mewujudkan tertib administrasi wilayah
dalam kerangka NKRI. Selain itu pedoman umum ini merupakan karya anak
bangsa yang hasilnya akan menjadi landasan pembakuan nama rupabumi
secara internasional.
16Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Dalam Negeri, 2006. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 Tentang: Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Subdit Toponimi dan Pemetaan.
Geographical Names Board of Canada, 2001. Principles and Procedures for Geograhical Naming. Canada: Center for Topographic Information Earth Sciences Sector, Natural Resources.
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Orth J., Donald. 1987. Principles, Policies, and Procedures: Domestic Geographic Names. Reston, Virginia: United State Board on Geographic Names.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Pedoman Umum Pembentukan Elemen. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
Santoso, W.E. 1991. Pedoman Pengumpulan Nama Rupabumi. Dokumentasi No. 021/1991, ISSN. No. 0126-4982. Cibinong: Bakosurtanal.
Santoso, W.E., Titiek Suparwati, Jacub Rais (Editors). 2006. Training Course on Toponymy. Proceedings of The United Nations Group of Experts on Geographical Names. Malang 11-23 September 2005. ISBN: 979-8647-99-8. Cibinong-Indonesia: National Coordination Agency for Surveys and Mapping.
Simorangkir, Olan T, Hardjito, Helman, T. Suparwati, A. Ginanjar, H. Suyitno, Zaefi, 1993. Laporan Survei Nama Rupabumi Kabupaten Tapanuli Selatan. Cibinong: Bakosurtanal.
Tichelaar, T.R. (Editor). 1989. Proceeding of The Workshop on Toponymy, Cipanas 16-28 Oct. 1989. Dokumentasi No. 07/1990, ISSN. No. 0126-4982. Cibinong: Bakosurtanal.
United Nations. 1986. World Cartography. Volume XVIII. New York: Departmen of Technical Co-operation for Development.
United Nations, 2002. Glossary of Terms for the Standardization of Geographical Names. New York: Department of Economic & Sosial Affairs, UNGEGN.
United Nations. 2004. Resolution Adopte d at The Eight United Conferences on The Standardization of Geographical Names 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1992, 1998, 2002. New York: United Nations.
United Nations, 2006. Manual for the National Standardization of Geographical names. New York: Department of Economic & Sosial Affairs, UNGEGN.
17Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi
TIM NASIONAL PEMBAKUAN NAMA RUPABUMI :
1. Prof. Dr. Jacub Rais, M.Sc : ..............................
2. Prof Dr. Multamia RMT Lauder, Mse., DEA : ..............................
3. Kartiko Purnomo, SH, MPA : ..............................
4. Dra. Anastutik Wiryaningsih, M.Si : ..............................
5. Dr. Budi Sulistiyo : ..............................
6. Ir. Didi Sadili : ..............................
7. Dra. Titik Suparwati : ..............................
8. Drs. Widodo Edy Santoso : ..............................
9. Turba Joko, ST : ..............................
18Pedoman Umum Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi