Patient Safety 1
-
Upload
rizka-fajri-anggraeni -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
description
Transcript of Patient Safety 1
PENDAHULUAN
Keamanan dan keselamatan pasien merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan
oleh tenaga medis saat memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Keselamatan pasien
adalah suatu sistem dimana rumah sakit memberikan asuhan kepada pasien secara aman serta
mencegah terjadinya cidera akibat kesalahan karena melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan
resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008).
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan
kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan
yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa
(WHO, 2009). Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa selama lebih
dari satu abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di
seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh
dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009).
Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2
juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian
(Weiser, et al. 2008). Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah
pembedahan. Data WHO menunjukkan komplikasi utama pembedahan adalah kecacatan dan
rawat inap yang berkepanjangan 3-16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang.
Secara global angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%. Diperkirakan hingga
50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara berkembang jika standar dasar
tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).
Setiap tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien sudah sepatutnya
memberi dampak positif dan tidak memberikan kerugian bagi pasien. Oleh karena itu, rumah
sakit harus memiliki standar tertentu dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Standar
tersebut bertujuan untuk melindungi hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan yang
baik serta sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan kepada pasien.
Selain itu, keselamatan pasien juga tertuang dalam undang-undang kesehatan. Terdapat
beberapa pasal dalam undang-undang kesehatan yang membahas secara rinci mengenai hak
dan keselamatan pasien.
Keselamatan pasien adalah hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh setiap petugas
medis yang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Tindakan
pelayanan, peralatan kesehatan, dan lingkungan sekitar pasien sudah seharusnya menunjang
keselamatan serta kesembuhan dari pasien tersebut. Oleh karena itu, tenaga medis harus
memiliki pengetahuan mengenai hak pasien serta mengetahui secara luas dan teliti tindakan
pelayanan yang dapat menjaga keselamatan diri pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PATIENT SAFETY DAN CLINICAL RISK MANAGEMENT
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud
dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang
memberikan pelayanan kepada pasien secara aman termasuk didalamnya pengkajian
mengenai resiko, identifikasi, manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi
untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden
keselamatan pasien adalah keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak
diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).Menurut Institute of Medicine
(IOM), Patient Safety didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental
injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai
rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam prakteknya berupa kejadian
tidak diinginkan atau hampir terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini
dapat disebabkan karena:
1. Keberuntungan
Contoh : pasien menerima suatu obat kontra indikasi, tetapi tidak timbul reaksi obat.
2. Pencegahan
Contoh : suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat tersebut diberikan.
3. Peringanan
Contoh : suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, tetapi diketahui secara dini
lalu diberikan antidotenya.
Resiko terjadinya kesalahan atau kecelakaan kerja saat memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien dapat diminimalisir dengan pengorganisasian risiko atau risk
management secara benar. Risk management tersebut meliputi :
1. Identifikasi risiko.
Bertujuan untuk mengidentifikasi konsekuensi serta kemungkinan risiko yang akan
terjadi serta untuk membagi penanganan terhadap suatu risiko berdasarkan tingkat
prioritas atau kebutuhan.
2. Analisis risiko.
Bertujuan untuk menganalisis serta memisahkan risiko kecil yang dapat diterima
dengan risiko besar yang tidak dapat diterima. Selain itu, analisis risiko juga
bertujuan untuk mengumpulkan data yang dapat bermanfaat dalam proses evaluasi
dan perencanaan penanganan risiko.
3. Evaluasi terhadap risiko yang terjadi.
Bertujuan untuk membandingkan tingkat atau level dari suatu risiko yang ditemukan
dengan kriteria risiko yang tidak dapat dihindari. Hasil akhir dari tahap ini adalah
menyusun prioritas risiko sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang lebih
lanjut.
4. Penanganan terhadap risiko yang terjadi
Bertujuan untuk mengidentifikasi atau menentukan pilihan tindakan yang dapat
dilakukan untuk menangani suatu risiko, mengkaji pilihan tindakan tersebut,
merencanakan persiapan untuk penanganan risiko, dan melakukan pilihan tindakan
tersebut.
5. Pengamatan secara terus menerus
Bertujuan untuk menjamin atau memastikan bahwa pengorganisasian tindakan yang
telah direncanakan bermanfaat dan dapat mengontrol pelaksanaan dari penganganan
risiko tersebut.
B. STANDAR KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
Dalam melakukan prosedur perawatan pada pasien, terdapat tujuh standar
keselamatan. Standar ini mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang
dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois,
USA, tahun 2002. Tujuh standar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Hak pasien
Standar : Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
mengenai rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan). Kriteria :
a. Harus ada dokter sebagai penanggung jawab pelayanan
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
c. Dokter sebagai penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan
yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya kejadian tidak diharapkan.
2. Mendidik pasien dan keluarga
Standar : Rumah sakit harus mampu mendidik pasien dan keluarga mengenai
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan
pasien dimana pasien berperan sebagai partner dalam proses pelayanan. Karena itu,
rumah sakit harus memiliki sistem dan mekanisme untuk mendidik pasien dan
keluarga mengenai kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga memiliki kemampuan
untuk :
a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar : Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria :
a. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
b. Koordinasi pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan
sumber daya
c. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
d. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4. Penggunaan metode-metode dalam peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien
Standar : Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja. Kriteria :
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan yang baik sesuai
dengan ‘Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit’.
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar :
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien melalui penerapan ‘Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.’
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk mengidentifikasi
risiko keselamatan pasien dan program mengurangi kejadian tidak diharapkan.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi serta koordinasi antar
unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
Kriteria :
a. Terdapat tim pendisiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden atau kejadian tidak diharapkan.
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi.
d. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain, dan
penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden.
g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan.
i. Tersedia sasaran terukur, serta pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar :
a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria :
a. Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
mengenai keselamatan pasien
b. Mengintegerasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
c. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok guna mendukung
pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Standar :
a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal.
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria :
a. Tersedia anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen
untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.
C. PATIENT SAFETY DALAM TINJAUAN HUKUM
Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan
dalam bentuk peraturan hukum, baik perundangan-undangan maupun peraturan hukum
lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan,
namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber
hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan
menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman
merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas
menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar
tersebut dilakukan dengan cara melaporkan insiden, menganalisa dan menetapkan
pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite
yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU
Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal
46).
Organisasi untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena
UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk dewan pengawas.
Dewan pengawas yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan tokoh masyarakat tersebut bersifat independen dan non struktural.
Salah satu tugas dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada
level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan badan
pengawas rumah sakit Indonesia. Badan tersebut bertanggung jawab kepada menteri
kesehatan dan berfungsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah
sakit. Komposisi badan tersebut terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36
tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU
Kesehatan tersebut adalah :
1. Pasal 5 ayat 2, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat 1, menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat 3, menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat 1, menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskriminatif.
Selain itu, tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalamPasal
46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009, dimana dikatakan bahwa rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit. Selain itu, terdapat pula batas
tanggung jawab rumah sakit yang tertuang dalam UU Rumah Sakit Pasal 45 No. 44
tahun 2009. Pasal tersebut menyatakan bahwa :
1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian
pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.
D. APLIKASI PATIENT SAFETY DI KAMAR OPERASI
Diperlukan pengkajian terhadap keselamatan pasien. Pengkajian tersebut meliputi
pengkajian dalam bidang Struktur, Lingkungan, Peralatan dan teknologi, Proses, Orang,
Budaya. Mengacu kepada enam bidang tersebut, maka aplikasi keselamatan pasien dapat
dilakukan pada tempat dan dengan standar aplikasi tersebut.
Kamar operasi adalah suatu unit khusus di dalam rumah sakit yang berfungsi
sebagai tempat untuk melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut. Secara
umum, lingkungan kamar operasi terdiri dari tiga area, yaitu :
1. Area bebas terbatas (unrestricted area). Pada area ini petugas dan pasien tidak
perlu menggunakan pakaian khusus kamar operasi.
2. Area semi ketat (semi restricted area). Pada area ini petugas wajib
mengenakan pakaian khusus kamar operasi yang terdiri atas topi, masker, baju dan
celana operasi.
3. Area ketat atau terbatas (restricted area). Pada area ini petugas wajib
mengenakan pakaian khusus kamar operasi lengkap dan melaksanakan prosedur
aseptik. Selain itu, petugas wajib mengenakan pakaian khusus kamar operasi lengkap
yang berupa topi, masker, baju dan celana operasi.
Pelaksanaan atau aplikasi patient safety dalam kamar operasi dapat berupa hal
sebagai berikut :
1. Semua peralatan yang ada di dalam kamar operasi harus beroda dan mudah
dibersihkan.
2. Untuk alat elektrik, petunjuk penggunaaanya harus menempel pada alat tersebut agar
mudah dibaca.
3. Sistem pelistrikan harus aman dan dilengkapi dengan elektroda untuk memusatkan
arus listrik mencegah bahaya gas anestesi.
4. Air yang tersedia dalam kamar operasi harus bersih, yaitu air yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa, tidak mengandung kuman pathogen, tidak mengandung
zat kimia, dan tidak mengandung zat beracun.
5. Setiap petugas medis yang akan melakukan tindakan operasi wajib mengenakan
pakaian khusus operasi.
6. Petugas medis wajib melaksanakan prosedur aspetik, salah satu contohnya adalah
mencuci tangan.
Kejadian luka traumatis, kanker dan penyakit kardiovaskular terus meningkat.
WHO memprediksi bahwa dampak dari intervensi bedah pada sistem kesehatan
masyarakat akan juga terus tumbuh. Untuk alasan ini, WHO telah melakukan inisiatif
untuk upaya keselamatan bedah. Dunia Aliansi untuk keselamatan pasien mulai bekerja
pada Januari 2007 dan WHO mengidentifikasi tiga fase operasi yaitu sebelum induksi
anestesi ("sign in"), sebelum sayatan kulit ("time out"), dan sebelum pasien
meninggalkan ruang operasi ("sign out") (Cavoukian, 2009). Tiga fase operasi sebelum
seperti pada gambar dibawah ini:
1. Fase Sign InFase sign In adalah fase sebelum induksi anestesi koordinator secara
verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi
operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk
operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Koordinator dengan
profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien ada risiko
kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.
2. Fase Time OutFase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi
memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa
semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada
kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang
benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik
profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
3. Fase sign outFase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah
dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen,
pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu
ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan
memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum
memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008).
Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu
pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety checklist. Surgical Safety
Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan
berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk
keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim
profesional terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus
konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari the
briefing phase, the time out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan
setiap risiko yang tidak diinginkan (Safety & Compliance, 2012).
Telah dilakukan uji coba penggunaan surgical safety checklist di delapan rumah
sakit di dunia. Hasil penelitian di delapan rumah sakit menunjukkan penurunan kematian
dan komplikasi akibat pembedahan. Dari total 1750 pasien yang harus dilaksanakan
operasi dalam 24 jam (emergency) dibagi 842 pasien sebelum pengenalan surgical safety
checklist dan 908 pasien setelah pengenalan surgical safety checklist. Dari 842 pasien
yang belum diberikan pengenalan surgical safety checklist mendapat komplikasi
pembedahan 18,4% (N=151) dan setelah diberikan pengenalan surgical safety checklist
angka komplikasi menjadi 11,7% (N=102). Data kematian sebelum pengenalan surgical
safety checklist 3,7% menjadi 1,4% (Weiser, et al. 2010). Komplikasi bedah setelah
penggunaan surgical safety checklist secara keseluruhan turun dari 11% sampai 7%, dan
angka kematian menurun dari 1,5% menjadi 0,7% (Howard, 2011).
Beberapa penelitian tentang penggunaan SSCL menghasilkan:
1. Surgical safety checklist dapat menurunkan angka kematian dan komplikasi
(Robertson & Vijayarajan 2010 ; Latosinsky, et al. 2010) . Penelitian di negara
Amerika Serikat menunjukkan adanya penurunan angka komplikasi dari 11 %
menjadi 7% dan penggunaan antibiotik profilaksis yang meningkat dari 56% menjadi
83%, infeksi luka operasi (ILO) berkurang 33% sampai 88% (Baldrige & Quality,
2009).
2. Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih
dari 500 ml. Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO)
mengalami penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL.
Angka ILO turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari
500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).
3. Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit. Vries
pada penelitiannya tentang 'a surgical Patient safety system" menghasilkan penerapan
SSCL pra operasi menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9
menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit
menurun sebesar 6% (Vries, et al. 2009).
4. Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus
yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan pembentukan
tim (Lingard et al. 2005).
5. Penggunaan ceklist kertas merupakan salah satu solusi karena ceklist kertas dapat
disediakan dengan cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu ceklist kertas
juga dapat disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak
memerlukan penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Verdaasdonk et al.
2009).
III
PENUTUP
Keselamatan pasien adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan
pelayanan pasien secara aman. Proses tersebut meliputi pengkajian mengenai resiko,
identifikasi, manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta
meminimalisir timbulnya risiko. Pelayanan kesehatan yang diberikan tenaga medis kepada
pasien mengacu kepada tujuh standar pelayanan pasien rumah sakit yang meliputi hak pasien,
mendididik pasien dan keluarga, keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan,
penggunaan metode- metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan
pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, dan komunikasi merupakan kunci bagi staf
untuk mencapai keselamatan pasien. Selain mengacu pada tujuh standar pelayanan tersebut,
keselamatan pasien juga dilindungi oleh undang-undang kesehatan sebagaimana yang diatur
dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 serta UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sudah seharusnya menunjang
keselamatan pada pasien karena proses keperawatan tersebut sangat berhubungan dengan
patient safety atau keselamatan pasien. Proses keperawatan tersebut meliputi proses
pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Jika terjadi kesalahan saat
menjalani salah satu proses keperawatan, maka kesalahan tersebut akan memungkinkan
timbulnya kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan pasien. Aplikasi
keselamatan pasien dapat diterapkan pada beberapa tempat yang terdapat di rumah sakit,
seperti kamar operasi, ICU, dan UGD. Aplikasi keselamatan pasien tersebut diterapkan
dengan memperhatikan sisi struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang, dan
budaya.