Patient-Controlled Analgesia

33
BAB I PENDAHULUAN Nyeri merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Berdasarkan batasan tersebut, terdapat 2 asumsi mengenai nyeri yakni pain with nociception dan pain without nociception. Nyeri selain menimbulkan penderitaan juga memiliki fungsi lain sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostic. 1 Pada strategi penanganan nyeri mengikuti WHO Three- step Analgesic Ladder, langkah awal pemberian obat untuk nyeri menggunakan obat analgesik non opioid terlebih dahulu. Kemudian apabila nyerinya masih tidak tertangani pada langkah kedua dapat diberikan tambahan berupa obat opioid lemah misalnya kodein. Jika nyeri tersebut masih menetap, maka pada langkah ketiga disarankan untuk menggunakan opioid keras seperti morfin untuk mengatasi nyeri tersebut. Pada nyeri kronik mengikuti dari langkah awal ke langkah ketiga sedangkan pada nyeri akut sebaliknya mengikuti dari langkah ketiga ke langkah awal. Pada WHO Three-step Analgesic Ladder yang sudah dimodifikasi, ditambahkan 1

description

Patient-Controlled Analgesia (Ilmu Anestesi, Reanimasi, & Terapi Intensif)

Transcript of Patient-Controlled Analgesia

BAB IPENDAHULUAN

Nyeri merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Berdasarkan batasan tersebut, terdapat 2 asumsi mengenai nyeri yakni pain with nociception dan pain without nociception. Nyeri selain menimbulkan penderitaan juga memiliki fungsi lain sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostic.1Pada strategi penanganan nyeri mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder, langkah awal pemberian obat untuk nyeri menggunakan obat analgesik non opioid terlebih dahulu. Kemudian apabila nyerinya masih tidak tertangani pada langkah kedua dapat diberikan tambahan berupa obat opioid lemah misalnya kodein. Jika nyeri tersebut masih menetap, maka pada langkah ketiga disarankan untuk menggunakan opioid keras seperti morfin untuk mengatasi nyeri tersebut. Pada nyeri kronik mengikuti dari langkah awal ke langkah ketiga sedangkan pada nyeri akut sebaliknya mengikuti dari langkah ketiga ke langkah awal. Pada WHO Three-step Analgesic Ladder yang sudah dimodifikasi, ditambahkan langkah keempat yang direkomendasikan untuk krisis nyeri kronik. Langkah keempat ini dapat melibatkan suatu prosedur yang invasif seperti tindakan bedah, blok saraf, sampai dengan penggunaan PCA (patient-controlled analgesia).2PCA kini menjadi suatu metode penanganan nyeri yang memiliki efikasi dan efektif bagi pasien walaupun memiliki risiko yang tinggidimana pasien dapat mengadministrasikan suatu dosis kecil obat analgesik secara mandiri dengan cara menekan tombol PCA. PCA juga tidak harus menggunakan alat infus yang mutakhir dan mahal. Berbagai obat analgesik dapat diberikan dalam berbagai rute (contohnya : oral, subkutan, epidural kateter saraf perifer, intravena atau transdermal). Pada tulisan ini akan dibahas gambaran umum tentang PCA serta beberapa rute dari PCA yang dapat biasa digunakan.1,3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi PCASalah satu metode yang paling umum untuk analgesia pasca bedah adalah melalui patient-controlled analgesia (PCA).1 Pendekatan yang khas untuk mengelola opioid dapat melalui pompa infus, obat-obatan dan cara lainnya yang tersedia. PCA juga menjadi manajemen andalan yang digunakan untuk anak-anak oleh karena keamanan dan efikasi.2 PCA juga sering dideskripsikan sebagai suatu yang jelas, efiesien dan sederhana sehingga disarankan kepada APS untuk menggunakannya secara spesifik dan berbeda dengan para non APS.1,3Patient-controlled analgesia (PCA) biasanya diasumsikan untuk digunakan sesuai kebutuhan, kadang-kadang, PCA merupakan pemberian opioid intravena dibawah kontrol dari pasien (dengan atau tanpa terpasang infus kontinyu). Teknik ini didasarkan pada penggunaan pompa infus mikroprosesor terkontrol yang mengirimkan dosis opiod yang sudah terprogram saat pasien menekan tombol PCA. PCA merupakan sebuah kerangka konsep untuk penyaluran analgesik. Konsep dari PCA tidak terpaku hanya pada satu kelas dari analgesik atau satu rute atau model dari pemberian. PCA juga tidak harus menggunakan alat infus yang mutakhir dan mahal. Berbagai obat analgesik dapat diberikan dalam berbagai rute (contohnya : oral, subkutan, epidural kateter saraf perifer, intravena atau transdermal) dapat dipertimbangkan penggunaan PCA jika diberikan secepatnya saat pasien membutuhkan analgesik dalam jumlah yang efisien.1,3Nyeri akut yang kurang tertangani dengan baik dan akhirnya menjadi kronis pada seperempat abad terakhir dan berlanjut sampai sekarang semakin lama semakin bertambah. Metode tradisional dari opioid melalui IM dan didapatkan pada 50% pasien masih mengalami nyeri setelah operasi. Publikasi dari Marks and Sachars landmark pada tahun 1973 mengatakan perlunya perubahan persepsi dari para praktisi terhadap keakuratan dari praktek konvensional analgesic. Tidak hanya pada studi ini yang mengatakan bahwa proporsi pada pasien rawat inap yang masih kurang perawatan, studi lain juga mengutarakan bahwa dokter dan perawat masih salah informasi dan kurang dalam pengalaman terhadap efektifitas penggunaan analgesik opioid.1,3 Roe merupakan yang pertama mendemonstrasikan, pada tahun 1963 bahwa dosis kecil intravena dari opioid lebih efektif terhadap nyeri daripada injeksi IM konvensional. Sesudah itu, Sechzer, penemu yang sesungguhnya dari PCA mengevaluasi respon analgesic pada opioid intravena dosis kecil yang diberikan pada pasien oleh perawat pada tahun 1968 setelah itu oleh mesin pada tahun 1971. Kenyataannya, frekuensi pemberian dari opiod dosis intravena oleh perawat pada sejumlah besar pasien dikatakan tidak praktis dan menghabiskan banyak biaya. Akhirnya, pada akhir 1960 dimulai perkembangan dari teknologi PCA. Alat prototype dikembangkan oleh Sechzer, Forrest et al Demand Dropmaster dan Keeri Szanto (Demanlg). Pada tahun 1976, pompa PCA pertama kali tersedia secara komersial, dikembangkan di Welsh National School of Medicine. Sejak itu, alat PCA mengambil peran penting pada teknologi, mudah digunakan, fleksibel, dan mudah dipindahkan.1,3

2.2Metode PCAPCA memiliki beberapa metode pemberian. Dua metode yang biasa digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan oleh pasien sendiri secara intermitten) dan infus kontinyu ditambahkan dengan demand dosing (kecepatan infus tetap sesuai dengan demand dosing pasien). Belakangan ini semua alat PCA menawarkan kedua metode tersebut.1Untuk semuda metode dari PCA, terdapat beberapa variable dasar: dosis awal, demand dosing, lockout interval, tetesan infus, limited 1 jam dan 4 jam. Dosis awal dapat dititrasi saat PCA diaktifkan oleh petugas pengatur PCA (bukan pasien). Demand dosing dapat digunakan oleh perawat di unit pelayanan pasca anestesi untuk mentitrasi opiod atau oleh perawat pasca operasi untuk mengatur dosis ulang. Demand dosing (kadang disebut inkremental atau dosis PCA) adalah jumlah dari analgesik yang diberikan kepada pasien pada saat pasien menekan tombol PCA.1,3Untuk mencegah penggunaan yang melebihi dosis oleh karena penggunaan yang terus menerus, semua alat PCA menggunakan lockout interval (atau tunda), yang merupakan jangka waktu setelah kebutuhan pasien terpenuhi dimana alat PCA tidak akan memberikan dosis kebutuhan lainnya (bahkan jika pasien menekan tombol PCA). Infus awal atau infus lanjutan merupakan tetesan konstan infus yang diberikan pada saat pasien mengaktifkan demand dosing. Beberapa alat memperbolehkan untuk memasukan limit 1 jam dan atau 4 jam, dengan tujuan untuk membatasi pasien melebihi dari interval 1 jam atau 4 jam. Para pendukung berpendapat bahwa batasan ini memberikan keamanan tambahan, namun pada sisi kontra berpendapat bahwa tidak ada data yang mendemonstrasikan tentang keamanan tersebut.1,3

2.3Variabel Penggunaan PCAKarakteristik pasien yang mempengaruhi penggunaan PCA dapat dilihat melalui umur, jenis kelamin, berat badan. Karakteristik individual pasien seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan sering dianggap faktor penting yang mempengaruhi berbagai farmakologi dari terapi. Umur mempengaruhi dosis opioid dimana jenis kelamin dan berat badan tidak. Burns et al menyetujui bahwa terdapat pengaruh dari usia pada kebutuhan IV-PCA. 100 orang pasien dalam operasi upper abdominal menggunakan IV-PCA untuk diberikan dosis peningkatan dari morfin sebanyak 0.02 mg/kg, dengan lockout interval selama 2 menit (tanpa infus kontinyu). Konsumsi morfin menurun pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan diatas 24 tahun. Dosis morfin yang digunakan adalah 75 mg pada usia 20 30 tahun dan 30 mg pada usia 60 70 tahun. Macintyre dan Jarvis juga menemukan hasil yang mirip dari alat prediksi kebutuhan morfin pada 24 jam pertama pasca operasi (jumlah kebutuhan morfin dalam 24 jam setelah dosis loading awal) adalah usia pasien. Kebutuhan morfin yang diharapkan selama 24 jam pertama untuk pasien usia > 20 tahun bisa diperkirakan dengan melalui : kebutuhan morfin (mg) = 100 ditambah dengan usia (tahun) dimana secara signifikan berkurangnya dosis opioid dibutuhkan pada lansia, Auburn et al menjelaskan bahwa titrasi dari morfin intravena adalah sama pada lansia dan pasien muda. Burns menemukan tidak adanya korelasi antara konsumsi morfin dan berat badan pasien antara 40100 kg.1Toleransi opioid dan nyeri kronis meningkatkan kebutuhan akan PCA opioid intravena. Walaupun, IV-PCA dapat digunakan secara baik pada saat pasca operasi pada pasien dengan toleransi opioid, penggunaan dari teknik analgesic regional dan terapi adjuvant sebaiknya dipertimbangkan pada pasien pasien tersebut. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien yang telah menggunakan opioid secara kronis, paling tidak diberikan dosis yang sama diawal untuk mempertimbangkan penambahan kebutuhan dosis pasca operasi. Pasien dengan nyeri kronis secara konsisten dilaporkan memiliki angka nyeri pasca operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa nyeri kronis.1Keputusan seorang individu untuk menekan tombol PCA menunjukkan adanya suatu ketakutan, kebingungan, atau faktor psikologis yang akan mengganggu farmakodinamik sehingga pasien mungkin mendapatkan nyeri yang lebih buruk atau tidak dapat mencapai manfaat maksimum dari PCA. Individu dengan control internal locus memandang hasil penguatan yang didapat berasal dari tindakan mereka sendiri. Individu dengan control locus eksternal memandang bahwa hasil penguatan berasal dari keberuntungan, kebetulan, nasib, atau intervensi orang-orang kuat.1Walaupun opioid digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada pasien, PCA sendiri memberikan efek lain kepada pasien yang dapat mempengaruhi penggunaan PCA oleh pasien. Manfaat Anti cemas dan gangguan mood dari opioid berkontribusi terhadap keinginan pasien menggunakan alat PCA lebih sering lagi. Pada kenyataannya, Taenzer melaporkan bahwa kebutuhan terhadap opioid pasca operasi memiliki korelasi yang lebih kuat dengan kecemasan pasca operasi dibandingkan dengan intensitas nyeri. Korelasi yang signifikan antara mood pasca operasi dan penggunaan perjam dari analgesic ditemukan Jamison, pada studi yang sama, ratio dosis / kebutuhan dan penggunaan analgesic per jam tidak terdapat hubungannya dengan tingkat nyeri. Walaupun jumlah yang besar dari opioid mungkin berkontribusi terhadap depresi pasca operasi, sehingga kemungkinan pasien menggunakan PCA tidak hanya untuk kebutuhan analgesic, namun juga untuk menurunkan cemas dan meningkatkan mood mereka.1,4Pasien mungkin dapat mengalami kegagalan untuk mencapai efek analgesia yang adekuat jika dosis demand yang di resepkan terlalu kecil. Namun, pasien tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan dosis jika merasa obat analgesia tersebut tidak optimal. Kebalikannya, dosis demand yang terlalu besar menghasilkan efek samping yang tidak menyenangkan. Metode untuk menurunkan masalah terus melalui komponen patient control dari PCA, secara spesifik dengan memberikan pasien sedikit kontrol untuk ukuran dosis. Dosis yang lebih besar dengan lockout interval yang sama dapat memberikan hasil yang cepat terhadap control nyeri, dimana pada dosis yang kecil dapat meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan saat menghadapi lebih banyak lagi nyeri ringan. Kedua variasi dari inter dan intraindividual pada dosis yang dibutuhkan dapat diakomodasikan selama mempertahakan keamanan dari konsep PCA yang sebenarnya.1,3,5Penggunaan oksigen direkomendasikan sebagai suplemen pada pasien yang sudah terbiasa menggunakan PCA untuk manajemen nyeri pascaoperasi. Walaupum terlihat sebagai saran yang sederhana, namun dilihat dari beberapa pasien yang mengalami nyeri pasca pembedahan yang lebih berat pada malam pertama dan menggunakan banyak morfin.7 Tingkat depresi nafas pada pasien yang menggunakan PCA mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah dilaporkan.8 PCA yang diberikan oleh proxy masih sangat kontroversial karena efek dari depresi nafas.9 Dosis rendah dari Tramadol merupakan tambahan pada morfin dalam PCA pada pasien psca pembedahan abdominal. Pasien dengan penggunaan Tramadol memiliki dosis konsumsi morfin yang lebih sedikit pada 24 48 jam dan dilaporkan secara signifikan memiliki efikasi yang lebih baik. Tidak ada bukti efek samping yang meningkat pada pemakaian tramadol.10 Hiperalgesia atau toleransi akut dapat ditimbulkan oleh karena penggunaan dosis yang berlebihan dari opioid. Telah dilaporkan bahwa ketamine dapat meningkatkan efek analgesic dari morfin dan menurunkan efek samping dan menghambat terjadinya toleransi.11

2.4Administrasi PCA2.4.1PCA Intravena (IV-PCA)Hampir seluruh instrumen IV-PCA menggunakan opioid, dengan yang tersering digunakan adalah morfin. Mekanisme kerja opioid parenteral dapat dibagi menjadi 3 macam menurut ikatannya dengan reseptor -opioid: agonis murni, agonis parsial, dan agonis-antagonis.1,12Agonis opioid murni adalah pilihan utama untuk manajemen nyeri akut karena obat-obatan ini berikatan penuh terhadap reseptor -opioid. Morfin, hidromorfon, fentanil, sufentanil, alfentanil, remifentanil, dan meperidin masuk dalam golongan ini. Setiap agonis murni memiliki equianalgesic doses masing-masing, contohnya efektivitas 10 mg morfin setara dengan 2 mg hidromorfon setara dengan 100 mg meperidin. Opioid dapat menyebabkan sedasi, depresi nafas, mual, muntah, pruritus, dan ileus paralitik. Efek samping tersebut akan berbeda pada setiap pasien; pasien A bisa mengalami mual-muntah yang hebat dengan morfin sedangkan pasien B bisa hanya mual ringan. Metabolit dan eliminasi agonis murni berbeda-beda, sehingga pemilihannya sangat bergantung pada kondisi pasien.1

Tabel 1. Regimen IV PCA Opioid yang Umum Dipakai1

ObatDemand-DoseLockout IntervalContinous-Basal

Morfin1-2 mg6-10 menit0-2 mg/jam

Hidromorfon0,2-0,4 mg6-10 menit0-0,4 mg/jam

Fentanil20-50 g5-10 menit0-60 g/jam

Sufentanil4-6 g5-10 menit0-8 g/jam

Meperidin10-20 mg6-10 menit0-20 mg/jam

Tramadol10-20 mg6-10 menit0-20 mg/jam

Mekanisme kerja agonis-antagonis opioid adalah sebagai agonis reseptor -opioid dan antagonis reseptor -opioid. Obat-obatan golongan ini dikatakan lebih aman, namun hanya bila diberikan dalam dosis yang sangat besar. Contohnya antara lain butorfanol, nalbufin, dan pentazokin. Efek analgesia dari agonis-antagonis lebih rendah dibanding agonis opioid murni. Sesuai namanya, agonis opioid parsial tidak sepenuhnya berikatan dengan reseptor -opioid, sehingga efek analgesianya lebih rendah dan jarang dipakai untuk IV PCA. Contohnya antara lain buprenorfin dan dezokin.1

Gambar 1. Rekomendasi Pemberian IV-PCA Morfin1

Sampai saat ini, belum ada regimen first-line untuk pemberian IV-PCA agonis opioid murni. Pemilihan obat dan pemberian dosisnya masih bergantung pada pengalaman anastesiologis itu sendiri. Komponen penting dari terapi PCA adalah titrasi yang tepat untuk mencapai efek analgesia awal. Morfin 2-4 mg (atau obat lain yang ekuivalen) diberikan sebagai dosis loading awal, dapat diulang setiap 5-10 menit sampai skala nyeri 50% dari total kebutuhan opioid. Pemberian IV-PCA opioid seperti gambar di atas tidak berlaku pada pasien dengan penggunaan opioid lama atau nyeri kronis.1MorfinMorfin adalah obat yang paling sering dipakai pada IV PCA. Metabolit aktif yang dihasilkan morfin, morfin-6-glukoronida (M6G), juga menyebabkan analgesi, sedasi, dan depresi nafas. Eliminasi morfin melalui proses glukoronidasi, sedangkan metabolitnya dieliminasi di ginjal. Maka dari itu, serum kreatinin sebaiknya lebih dari 2 mg/dL pada setiap pasien dengan pemberian morfin, terutama akibat efeknya yang membuat depresi nafas. Loading-dose awal yang diberikan umumnya 2-4 mg dengan demand-dose 1-2 mg. Penambahan Obat Anti Inflamasi Non-steroid (OAINs) dikatakan bisa mengurangi dosis pemakaian morfin.1,14,15,16,17HidromorfonSalah satu alternatif bagi pasien dengan gangguan ginjal adalah hidromorfon. Metabolisme obat ini berlangsung di hati dan diekskresi sebagai metabolit inaktif. Hidromorfon adalah derivat semisintetik dari morfin. Hidromorfon hampir enam kali lebih poten daripada morfin, jadi dosis hidromorfon 0,2-0,4 mg bisa disetarakan dengan 1 mg morfin. Selain itu, hidromorfon bisa mencapai puncaknya dalam plasma setelah 20 menit, sedangkan morfin sekitar 90 menit.1,16OksikodonEfek farmakologis oksikodon serupa dengan morfin, yaitu bersifat agonis selektif terhadap reseptor -opioid dan -opiod. Oksikodon bersifat lebih poten terhadap nyeri viseral, sedasi lebih minimal, dan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan morfin, dengan rasio potensi 2:3. Dosis yang sering digunakan adalah 0,015 mg/kgBB. Efek samping obat ini yaitu mual, muntah, sedasi, dan pruritus.18FentanilFentanil adalah analgesik opioid yang bersifat short acting dengan onset kerja yang cepat karena sifatnya yang lipofilik. Ekskresi obat ini tidak melalui ginjal, sehingga aman bagi pasien dengan gangguan ginjal. Fentanil dianggap 80-100 kali lebih poten daripada morfin; efek dari 25-30 g fentanil ekuivalen dengan 1 mg morfin. Dosis yang dipakai bervariasi mulai dari 20 hingga 50 g, dengan rekomendasi dosis efektif sebesar 40 g. Konsentrasi fentanil plasma efekif adalah 0,7-1,2 g/mL. Konsentrasi yang berlebihan sering dikaitkan dengan depresi nafas yang berat, terutama jika lebih dari 2 g/mL. Mual dan muntah merupakan efek samping utama, dengan tingkat keparahan yang berbeda. Efek samping lainnya yang dapat muncul yaitu sedasi atau dizziness.1,19,20SufentanilSufentanil umumnya diberikan dengan dosis 4-6 g. Oleh karena efek kerjanya yang singkat, sufentanil sering dikombinasikan dengan analgesik lainnya sebagai background infusion.1RemifentanilStruktur dari analgesik ini serupa dengan fentanil, yang bersifat ultra-short acting dengan onset kerja cepat dan tanpa metabolit aktif. PCA Remifentanil sering dipilih pada operasi kehamilan karena onset kerjanya yang singkat cocok untuk kondisi nyeri hebat episodik serta efek samping terhadap ibu maupun bayi sangat minimal. Tanpa background infusion, fungsi analgesik dari obat ini bersifat inkomplit mengingat onset kerjanya yang sangat singkat. Dosis bolus inisial yang diberikan adalah 20 g, dan dinaikkan perlahan-lahan sampai 40-70 g.1,21MeperidineSalah satu opioid yang juga agonis reseptor -opioid adalah meperidin, dan biasanya dipakai apabila pasien intoleran terhadap agonis reseptor -opioid lainnya. Obat ini memiliki metabolit yang neurotoksik yaitu normeperidin, yang tidak memiliki efek analgesik dan dieliminasi di ginjal. Akumulasi dari normeperidin mengeksitasi susunan saraf pusat, menyebabkan kecemasan, tremor, sampai kejang grand-mal. Meperidin dikontraindikasikan secara absolut pada pasien dengan gangguan ginjal, epilepsi, dan penggunaan obat Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOIs). Dosis 10 mg/kgBB/hari selama tidak lebih dari 3 hari dikatakan sebagai dosis maksimum yang masih aman bagi pasien. Potensi meperidin sekitar sepersepuluh dibandingkan morfin, jadi 10-20 mg meperidin setara dengan 1 mg morfin. Penggunaan meperidin sering dihindari pada operasi kehamilan karena memberikan efek samping pada neonatus, terutama depresi nafas yang bisa dilihat dari penurunan skor APGAR.1,21TramadolTramadol bekerja di susunan saraf pusat dengan mekanisme analgesik opioid dan non-opioid. Ikatan obat ini dengan reseptor -opioid jauh lebih lemah dibandingkan morfin. Sedangkan metabolitnya, mono-O-desmetil (M1), memiliki afinitas lebih besar pada reseptor tersebut, sehingga diduga metabolit inilah yang menyebabkan efek sedasi. Mekanisme non-opioid yang berlangsung yaitu menghambat ambilan norepinefrin dan serotonin. Potensi tramadol sekitar seperenam sampai sepersepuluh dari morfin; dosis 10-20 mg tramadol hampir setara dengan 1 mg morfin. Dosis bolus inisial yang disarankan adalah 2,5 mg/kgBB, kemudian diturunkan untuk demand-dose. Konsumsi aspirin sebagai adjuvan dikatakan mampu mengurangi dosis tramadol. Pada penggunaan tramadol, efek samping opioid seperti sedasi, depresi nafas, dan adiksi dikatakan lebih rendah. Dua studi mengatakan bahwa efek mual dan muntah pada penggunaan tramadol lebih berat dibandingkan morfin.1,22,23 Anestesi LokalAnestesi lokal juga bisa digunakan dalam PCA, terutama untuk mengurangi penggunaan opioid akibat efek sampingnya. Potensi obat ini tidak lebih baik daripada opioid dalam mengurangi nyeri, bahkan pasien dengan PCA anestesi lokal sering memerlukan rescue injection opioid. Contoh dari anestesi lokal ini yaitu ropivakain dan bupivakain. Ropivakain 0,2% digunakan secara IV dengan dosis maksimal 60 mL/6 jam. Obat-obat ini bekerja di perifer dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi dan di sentral dengan memodifikasi respon kornu posterior. Penggunaan anestesi lokal sangat jarang dilakukan, oleh karena tempat administrasi obat yang optimal (di atas/di bawah fasia, variasi panjang luka) masih belum disimpulkan.24,25,26LornoxicamObat Anti Inflamasi Non-steroid (OAINs) bersifat efektif sebagai analgesik bagi pasien pasca-operasi, baik digunakan sendiri maupun dikombinasikan dengan opioid. Contoh dari OAINs yaitu lornoxicam, yang memiliki struktur enolic acid serupa dengan piroxicam dan tenoxicam. Half-life lornoxicam sekitar 3-5 jam, yang menunjukkan obat ini cocok untuk nyeri akut. Apabila dibandingkan dengan morfin, lornoxicam memiliki onset kerja yang lebih lama dan efek analgesik yang lebih rendah. OAINs biasanya dipakai untuk mengurangi pemakain opioid akibat efek sampingnya.272.4.2PCA EpiduralEpidural-PCA adalah rute administrasi PCA yang paling sering dipakai setelah IV-PCA. Sesuai namanya, obat-obatan diadministrasikan secara titrasi ke ruang epidural pasien. Beberapa kelebihan epidural-PCA dibandingkan Continuous Epidural Infusion (CEI) antara lain efek analgesia yang lebih baik dan dosis pemakaian analgesik epidural yang lebih sedikit, sehingga efek samping minimal seperti blok simpatik dan blok motorik. Belum ada variabel standar untuk pemberian epidural-PCA, yang meliputi demand-dose, lockout interval, dan continuous infusion. Regimen yang dipakai umumnya anestesi lokal dengan demand-dose 2-4 ml dikombinasikan dengan opioid konsentrasi rendah, dengan lockout interval 10-20 menit. Efek analgesik dari kombinasi ini lebih baik dibandingkan hanya menggunakan lokal anestesi saja. Lokal anestesi yang dipakai bersifat long-acting dengan konsentrasi rendah, misalnya bupivakain 0.05-1.25%, levobupivakain 0.05-1.25%, dan ropivakain 0.1-0.2%. Opioid yang dipilih biasanya yang bersifat llipofilik seperti fentanil atau sufentanil, namun opioid hidrofilik juga terkadang dipakai. Dosis continuous infusion 3-10 ml/jam biasanya digunakan jika demand-dose lebih kecil atau pasien geriatri. Banyak studi menyarankan untuk selalu memberikan continuous infusion pada epidural-PCA untuk mencapai manfaat analgesia yang optimal dan mempertahankan efek blok neural.2.4.3PCA Kateter Saraf PeriferPenggunaan teknik perineural dan teknik kateter insisi semakin sering digunakan untuk menangani nyeri pasca operasi pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Teknik kateter telah diteliti paling banyak pada blok pleksus brakialis, khususnya pada pasien dengan operasi bahu yang baru. Teknik yang biasa digunakan adalah continuous infusion dari anestesi luka. Namun, patient-controlled regional analgesia (PCRA) memungkinkan pasien untuk mengatur variasi dari intesitas dan durasi dari nyeri pasca operasi dan meminimalisir gangguan dari lockade motoric dan sensorik. Anestesi local pleksus brakialis PCRA telah digunakan dengan sukses untuk analgesic setelah operasi tangan dan operasi bahu. Kateter saraf femoralis PCRA dapat digunakan untuk analgesic pada hampir seluruh operasi termasuk femur, knee, kulit paha anterior,lateral, dan medial, dan juga bagian kaki medial distal. Singelyn dan Gouverneur menemukan bahwa dosis yang lebih kecil pada infus lanjutan dan bolus PCRA, dibandingkan dengan hanya pemberian infus lanjutan dapat menurunkan konsumsi dari local anastesi tanpa mengganggu penurunan intensitas nyerinya. PCRA melalui kateter saraf sciatic popliteal kontinyu yang dipasang pada fossa popliteal juga menunjukkan keamanan dan keefektifan dalam mengobati nyeri setelah operasi kaki.12.4.4PCA TransdermalMetode non-invasif baru dari PCA menawarkan keuntungan logistic untuk pasien dan staf perawat, meminimalkan keperluan untuk akses vena dan kesulitan dalam memprogramkan pompa. Iontophoresis (elektrotransport) mengirimkan obat yang dapat terionisasi, seperti fentanyl HCL, melalui kulit dengan mengaplikasikan field elektrikal eksternal dan memperbolehkan administrasi dari obat yang sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan teknologi dari fentanyl HCL patient controlled transdermal system (PCTS) telah berkembang menjadi suatu teknologi yang pregrogrammed, self-contained, self adhesive, on demand drug delivery system. Sistem ini menggunakan teknologi terbaru rendah elektrik yang tidak terdekteksi (E- TRANS, ALZA Corp, Mountain View,CA) untuk memberikan 40 ug fentanyl dalam periode 10 menit. Alat ini memperbolehkan sampai 6 dosis kebutuhan perjam dan sampai 80 dosis kebutuhan dalam 24 jam, setelah itu alat dapat dimatikan dan diganti. Untuk mengaktifkan dosis kebutuhan, pasien menekan tombol demand sebanyak 2 kali dalam 1 detik. Sebuah tampilan LCD menginformasikan kepada pasien saat dosis selanjutnya siap untuk permintaan dan jumlah dosis yang akan diberikan.1 Keamanan dan efikasi dari 40 ug fentanil HCL PCTS on demand telah dibandingkan dengan alat yang berisi placebo untuk nyeri pasca operasi sampai 24 jam setelah pembedahan mayor abdominal, ortopedi, atau torakal pada 205 pasien. Penggunaan dari 40 ug fentanil HCL PCTS menghasilkan skor nyeri Visual Analog Scale yang lebih rendah dibandingkan dengan placebo. Fentanil PCTS menawarkan keuntungan yaitu bebas dari jarum, preprogrammed operation in a small, self contained unit. Alat ini memudahkan pasien dalam mobilisasi. Menurunkan waktu pengawasan oleh perawat untuk mengatur PCA, dan menurunkan kemungkinan terjadinya kerusakan pada program PCA. Alat ini hanya akan memberikan 1 dosis yang sudah tetap dari opioid dan tidak bisa dirubah untuk ditambahan basal infusion atau untuk penambahan dosis bolus.1

2.5.Efek Samping PCAPemakaian PCA tidak terlepas dari efek samping yang mungkin ditimbulkannya, baik dengan IV, epidural, maupun rute administrasi laina. Berikut akan dibahas efek samping dari pemakaian opioid sebagai agen tersering yang digunakan. Efek samping yang muncul antara lain mual dan muntah, pruritus, sedasi, gangguan mental, hingga depresi nafas.12.5.1.Mual dan MuntahEfek samping ini paling sering terjadi sehingga menganggu kenyamanan pasien, maka dari itu pemakaian opioid sering dikombinasikan dengan antiemetik. Satu studi menyebutkan bahwa faktor resiko meliputi jenis kelamin perempuan, riwayat gastritis, tidak perokok, dan penggunaan opioid intraoperatif. Penggunaan satu jenis antiemetik yang bekerja hanya di satu tempat dapat menurunkan resiko mual-muntah sekitar 30%. Profilaksis single-drug direkomendasikan pada pasien dengan resiko rendah sampai sedang, dan untuk resiko sedang sampai tinggi disarankan untuk memakai kombinasi obat. Kombinasi ondansentron dan droperidol ditemukan memiliki keberhasilan 90% dalam menanggulangi mual-muntah pasca operasi. Pasien dengan resiko sangat tinggi sebaiknya diberikan anestesi intravena total.1Antiemetik yang sering dipakai adalah kombinasi antagonis serotonin dengan antagonis dopamin atau kortikosteroid (deksametason). Droperidol sering dikombinasikan dengan IV-PCA, dengan dosis 15-100 g (0,015-0,1 mg) per 1 mg morfin. Ondansentron juga sering dipakai sebagai antiemetik, baik bolud maupun ditambahkan pada PCA, namun dapat menimbulkan efek samping nyeri kepala. Obat-obatan lain yang bisa digunakan antara lain skopolamin transdermal, prometazin, deksametason, dan klonidin. Penggunaan nalokson atau nalmefen sebagai antagonis opioid dapat mengurangi mual-muntah akibat opioid, begitu pula dengan efek samping lainnya. Antagonis opioid ini ditemukan tidak mempengaruhi dosis konsumsi opioid dan kualitas analgetiknya.12.5.2.PruritusSalah satu efek samping yang umum dari opioid adalah prutitus. Seperti efek samping lainnya, tidak semua pasien yang menggunakan opioid ini akan mengalami pruritus. Belum ada obat yang mampu menghilangkan pruritus sepenuhnya dan beberapa pasien bisa mengalami sedasi. Antipruritus yang umum dipakai antara lain difenhidramin 12,5-25 mg IV, hidroksizin 50 mg IM, atau alizapride 50 mg IV.12.5.3.SedasiTingkat sedasi akibat penggunaan opioid berbeda-beda, tergantung sensitivitas reseptor opioid, jenis opioid yang dipakai, dan fungsi ginjal pasien. Pasien dengan gangguan ginjal yang menggunakan morfin akan mengalami sedasi yang lebih kuat, maka dari itu fentanil lebih disarankan pada pasien ini. Penggunaan OAINs sebagai terapi adjuvan bisa mengurangi dosis opioid yang dipakai, sehingga sedasi yang ditimbulkan lebih ringan. Delirium pasca operasi juga dapat terjadi, terutama pada pasien geriatri, yang bersifat multifaktorial. Satu studi menyebutkan bahwa level nyeri yang tinggi saat istirahat meningkatkan resiko delirium, sedangkan jenis opioid dan dosis kumulatif opioid tidak.1

BAB IIISIMPULAN

Patient-Controlled Analgesia adalah salah satu metode yang paling umum untuk analgesia pasca bedah, yang bersifat efiesien dan sederhana. Teknik ini didasarkan pada penggunaan pompa infus mikroprosesor terkontrol yang mengirimkan dosis opiod atau analgesik lainnya yang sudah terprogram saat pasien menekan tombol PCA.Dua metode pemberian PCA yang biasa digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan oleh pasien sendiri secara berkala) dan infus kontinyu ditambahkan dengan demand dosing. Variable dasar PCA yaitu dosis awal, demand dosing, lockout interval, tetesan infus, limited 1 jam dan 4 jam. Demand dosing adalah jumlah dari analgesik yang diberikan kepada pasien pada saat pasien menekan tombol PCA. Untuk mencegah overdosis akibat penggunaan terus menerus, PCA menggunakan lockout interval, yang merupakan jangka waktu setelah kebutuhan pasien terpenuhi dimana PCA tidak memberikan dosis kebutuhan lainnya bahkan jika pasien menekan tombol. Infus awal atau infus lanjutan merupakan tetesan konstan infus yang diberikan pada saat pasien mengaktifkan demand dosing. Karakteristik pasien yang mempengaruhi penggunaan PCA yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, toleransi terhadap opioid, keparahan nyeri, dan faktor psikologis. Administrasi PCA yang umum digunakan adalah intravena, epidural, kateter saraf tepi, dan transdermal. Hampir seluruh instrumen PCA menggunakan opioid, dengan agonis opioid murni sebagai pilihan utama, contohnya morfin, hidromorfon, fentanil, dan meperidin. Efek sampingnya yang sering muncul yaitu sedasi, depresi nafas, mual, muntah, pruritus, dan ileus paralitik. Metabolit dan eliminasi opioid berbeda-beda, sehingga pemilihannya sangat bergantung pada kondisi pasien. PCA sering dikombinasikan dengan obat-obatan lainnya, misalnya analgesik golongan lain maupun obat pereda efek samping yang mungkin muncul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grass, JA. Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 2005;101:44-61.2. Nelson KL, dkk. A National Survey of American Pediatric Anesthesiologists: Patient-Controlled Analgesia and Other Intravenous Opioid Therapies in Pediatric Acute Pain Management. Anesth Analg 2010;110:754-60.3. Stacey BR, Rudy TE, Nellhaus D. Management of Patient-Controlled Analgesia: A Comparison of Primary Surgeons and a Dedicated Pain Service. Anesth Analg 1997;85:130-4.4. Kissin I. Patient-Controlled-Analgesia Analgesimetry and Its Problems. Anesth Analg 2009;108:1945-9.5. Love DR, dkk. A Comparison of Variable-Dose Patient-Controlled Analgesiawith Fixed-Dose Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 1996;83:1060-4.6. Zelcer J, dkk. Intraoperative Patient-Controlled Analgesia: An Alternativeto Physician Administration During Outpatient Monitored Anesthesia Care. Anesth Analg 1992;7541-4.7. Rowlingson, JC. Just When We Thought We Understood Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 1999;89:3-6.8. Overdyk FJ, dkk. Continuous Oximetry/Capnometry Monitoring Reveals Frequent Desaturation and Bradypnea During Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 2007;105:412-8.9. Anghelhescu DL, dkk. The Safety of Patient-Controlled Analgesia by Proxy in Pediatric Oncology Patients. Anesth Analg 2005;101:1623-7.10. Webb AR, dkk. The Addition of a Tramadol Infusion to Morphine Patient-Controlled Analgesia After Abdominal Surgery: A Double-Blinded, Placebo-Controlled Randomized Trial. Anesth Analg 2002;95:1713-8.11. Yamauchi M, dkk. Continuous Low-Dose Ketamine Improves the Analgesic Effects of Fentanyl Patient-Controlled Analgesia After Cervical Spine Surgery. Anesth Analg 2008;107:1041-4.12. Striebel HW, dkk. Quantifying Oral Analgesic Consumption Using a Novel Method and Comparison with Patient-Controlled Intravenous Analgesic Consumption. Anesth Analg 1998;86:1051-3.13. Jamison RN, dkk. Psychosocial and Pharmacologic Predictors of Satisfaction with Intravenous Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 1993;77121-5.14. Unlugenc H, Vardar MA, Tetiker S. A Comparative Study of the Analgesic Effect of Patient-Controlled Morphine, Pethidine, and Tramadol for Postoperative Pain Management After Abdominal Hysterectomy. Anesth Analg 2008;106:309-12.15. Chen PP, dkk. A Prospective Survey of Patients after Cessation of Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 2001;92:224 -7.16. Hong D, Flood P, Diaz G. The Side Effects of Morphine and Hydromorphone Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 2008;107:1384-9.17. Henderson RD, Wijdicks EFM. Downbeat Nystagmus Associated with Intravenous Patient-Controlled Administration of Morphine. Anesth Analg 2000;91:691-2.18. Lenz H, dkk. A Comparison of Intravenous Oxycodone and Intravenous Morphine in Patient-Controlled Postoperative Analgesia After Laparoscopic Hysterectomy. Anesth Analg 2009;109:1279-83.19. Camu F, Aken HV, Bovill, JG. Postoperative Analgesic Effects of Three Demand-Dose Sizes of Fentanyl Administered by Patient-Controlled Analgesia. Anesth Analg 1998;87:890-5.20. Prakash S, Fatima T, Pawar M. Patient-Controlled Analgesia with Fentanyl for Burn Dressing Changes. Anesth Analg 2004;99:552-5.21. Evron S, dkk. Remifentanil: A Novel Systemic Analgesic for Labor Pain. Anesth Analg 2005;100:233-8.22. Unlugenc H, Vardar MA, Tetiker S. A Comparative Study of the Analgesic Effect of Patient-Controlled Morphine, Pethidine, and Tramadol for Postoperative Pain Management After Abdominal Hysterectomy. Anesth Analg 2008;106:309-12.23. Pang W, dkk. Patient-Controlled Analgesia with Tramadol Versus Tramadol Plus Lysine Acetyl Salicylate. Anesth Analg 2000;91:1226-9.S24. Fredman B, dkk. The Analgesic Efficacy of Patient-Controlled Ropivacaine Instillation After Cesarean Delivery. Anesth Analg 2000;91:1436-40.25. Zohar E, dkk. The Analgesic Efficacy of Patient-Controlled Bupivacaine Wound Instillation After Total Abdominal Hysterectomy with Bilateral Salpingo-Oophorectomy. Anesth Analg 2001;93:482-7.26. Cepeda MS, dkk. Equivalent Outcomes During Postoperative Patient-Controlled Intravenous Analgesia with Lidocaine Plus Morphine Versus Morphine Alone. Anesth Analg 1996;83:102-6.27. Rosenow DE, Albrechtsen M, Stolke D. A Comparison of Patient-Controlled Analgesia with Lornoxicam Versus Morphine in Patients Undergoing Lumbar Disk Surgery. Anesth Analg 1998;86:1045-50.28. Ferrante FM, dkk. Patient-Controlled Epidural Analgesia: Demand Dosing. Anesth Analg 1991;73:547-52.29. Schuster M, dkk. Cost Drivers in Patient-Controlled Epidural Analgesia for Postoperative Pain Management After Major Surgery. Anesth Analg 2004;98:708-13.30. Birmingham PK, dkk. Patient-Controlled Epidural Analgesia in Children: Can They Do It? Anesth Analg 2003;96:686-91.1