Pasca Sarjana Tugas Uas Pkn
description
Transcript of Pasca Sarjana Tugas Uas Pkn
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1. Tujuan dan fungsi
Buku ini ditulis dengan tujuan antara lain:
a. Mendapatkan pemahaman yang sama tentang konsep pendidikan moral
melalui pendekatan perkembangan kognitif yang dilakukan dengan
menggunakan diskusi dilema moral di lingkungan keluarga oleh orang tua
dan di lingkungan sekolah oleh para guru.
b. Untuk memperoleh pemahaman yang sama tentang konsep pembentukan
kepribadian, khususnya yang berkaitan dengan cara-cara berpikir moral
bagi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dapat
mengatasi personality problem atau masalah kepribadian yang banyak
dihadapi orang dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.
c. Menyamakan persepsi dan wawasan yang sama tentang cara-cara
pendidikan moral yang dikembangkan berdasarkan pengembangan
kognitif yang dilakukan dengan diskusi tentang dilema moral oleh orang
tua di lingkungan rumah dan oleh guru di lingkungan sekolah.
d. Untuk mencapai gerakan dan usaha yang sejalan dan berkesinambungan
dalam pendidikan moral bagi anak yang dilakukan oleh orang tua di
lingkungan rumah dan yang dilakukan guru di lingkungan sekolah demi
membentuk kepribadian yang baik, sehingga terwujud komunitas
masyarakat yang lebih tenteram dan damai.
2. Manfaat
Buku ini diharapkan memberikan manfaat kepada:
a. Para guru, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral dan
pertimbangan moral, sebagai konsep pengukuran moral, pendidikan moral
yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui diskusi dilema
moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka
pengembangan kepribadian yang baik bagi peserta didiknya.
1
b. Para orang tua, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral
dan pertimbangan moral, konsep pengukuran moral, dan sebagai
pendidikan moral yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui
diskusi dilema moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam
rangka pengembangan kepribadian yang baik bagi putera puterinya.
c. strategi pembelajaran serta usaha Sekolah, sebagai alternatif pilihan dalam
menetapkan atau menerapkan memahami konsep moral, serta pendekatan
alternatif dalam pengembangan pendiddikan moral yang berlandaskan
pada perkembangan moral kognitif melalui metode diskusi dilema moral,
serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka melahirkan para
lulusan yang memiliki kepribadian lebih baik.
d. Lingkungan masyarakat dan negara, apabila digunakan pendekatan atau
strategi yang benar dalam pendidikan moral, maka akan lahir masyarakan
dan warga negara yang memiliki kpribadian moral lebih baik, sehingga
rasa menghormati terhadap orang lain akan lebih tinggi dan kehidupan
dalam masyarakat akan lebih baik dan lebih terasa aman serta nyaman.
B. Rasional
Lulusan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), guru SD-MI dapat
dipandang dari dua segi, yaitu segi substansi dan segi tataran kompetensi. Dari
substansinya dapat dikelompokkan kedalam empat kompetensi yaitu:
1. Penguasaan Bidang Studi
Pada kompetensi ini mencakup 2 sisi yaitu; 1) penguasaan disiplin ilmu
dan 2) penguasaan kurikuler. Pada penguasaan disiplin ilmu berkaitan dengan
penguasaan guru terhadap substansi dari dasar keilmuan bidang studi (Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PKn) yang diajarkan diSD. Penguasaan
kurikuler, berhubungan dengan pemilihan, penataan, pengemasan dari materi
yang diajarkan. Pada kompetensi penguasaan bidang studi ini perlu
menghindari pembelajaran yang bersifat mekanistik (cookbook approach)
selain itu dalam hal ini hendaknya tidak menyediakan materi dan bahan ajar
yang bersifat kaku yang akan menimbulkan miskonsepsi sebagaimana sering
ditemukan dilapangan.
2
2. Pemahaman tentang Peserta Didik
Kompetensi ini merujuk pada kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
memberikan layanan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan siswa.
Dalam hal ini guru harus memahami dengan baik kondisi siswa, hal ini
bertujuan untuk mencapai sasaran pendidikan di SD. Ada 3 hal yang
mencakup dalam pemahaman peserta didik yaitu; 1) pemahaman bahwa siswa
sebagai pribadi yang unuk dengan kelebihan, kekurangan dan kebutuhannya;
2) pemahaman tentang lingkungan keluarga sosial budaya masyarakat sebagai
tempat tumbuh kembang bagi siswa; 3) pemahaman tentang kemajemukan
masyarakat besar Indonesia dan dunia. Ketiga unsur ini membentuk
kompetensi utama bagi guru SD-MI.
3. Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik
Pada kompetensi ini guru harus memiliki kemampuan pengelolaan
pembelajaran yang berorientasi pada karakteristik dan kebutuhan belajar
siswa. Kemampuan ini tercermin dari kecermatan dan kejelian seorang guru
dalam memanfaatkan peluang yang berdampak pada pengiring pembelajaran
(nurturant effects). Apabila guru memiliki kompetensi ini dengan baik maka
kompetensi yang diinginkan pada siswa akan tercapai (capabilities building).
4. Pengembangan kepribadian dan Keprofesionalan
Kompetensi ini dapat dicerminkan dari kemampuan guru dalam
mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri.
Guru yang memiliki profesionalisme yang baik harus memiliki kepribadian
yang baik (terstandar) sebelum ia melaksanakan tugasnya untuk
membentuk kepribadian siswanya.
Ditinjau dari substansi kompetensi guru SD-MI mengenai penguasaan
pembelajaran yang mendidik, buku ini terkait dengan kepemilikan kemampuan
guru dalam pengelolaan pembelajaran bidang studi PKn. Dengan demikian,
penguasaan pembelajaran yang mendidik bagi guru PKn akan mencakup
tercapainya tujuan pembentukan kepribadian yang baik bagi para siswanya
menjadi suatu hal yang harus dikuasai oleh guru.
3
Sebagai seorang guru yang memegang amanat untuk mengembangklan
kepribadian anak bangsa, buku ini dapat membantu guru dalam pembentukan
kepribadian moral yang baik yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan pada
diri siswa. Sebagai guru yang mengemban tugas membentuk kepribadian, buku ini
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengajarkan kepribadian pada
siswa sehingga, mampu melahirkan anak bangsa yang yang memiliki kepribadian
unggul dalam kehidupannya. Dalam pemberian materi pembelajaran kepribadian
dengan pertimbangan moral seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik
terlebih dahulu, dan kepribadian tersebut tercermin dalam pengelolaan
pembelajaran PKn.
Pembentukan kepribadian yang dilakukan guru PKn dapat dilakukan dengan
menerapkan beberapa metode, dan strategi yang sesuai dengan perkembangan
peserta dididik berdasarkan karakteristiknya. Diantara pendekatan yang dapat
digunakan adalah pendekatan perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral
Development) penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk mengubah cara
berpikir moral (moral thinking) siswa dalam menentukan perilakunya yang
didasarkan pada pertimbangan moral (moral judgment) yang dimilikinya.
Perubahan cara berpikir moral siswa ini akan tampak melalui tahapan-tahapan
pertimbangan moral yang ada padannya. Artinya, tinggi rendah tahapan ini akan
menentukan kualitas perilaku moralnya, yang dapat dilihat dari perilaku
keseharian siswa.
Kepribadian (personality) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang
membedakan orang lain, akan tetapi kepribadian bukan sesuatu yang statis sebab
kepribadian memiliki sifat kedinamisan yang disebut dinamika pribadi
(personality dynamics). Dinamika ini sangat berkembang pesat pada diri siswa SD
karena mereka pada dasarnya belum memiliki kepribadian yang matang, yaitu
masa pembentukan kepribadian. Sebagai sesuatu yang memiliki kedinamisan,
maka karakter kepribadian seseorang dapat berubah dan berkembang.
Perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan dari pengalamn
hasil belajar. Berdasarkan sifat kepribadian yang dapat berkembang tersebut,
maka kepribadian adalah sesuatu yang dapat dibentuk sesuai dengan yang
4
diinginkan dan hal ini bisa dilakukan dilingkungan rumah dengan orang tua yang
membentuk dan di lingkungan sekolah dilakukan oleh guru.
Apabila para orang tua dan guru PKn mampu meletakkan dasar-dasar cara
berpikir moral secara benar, maka kemungkinan adanya kontradiksi dalam
pengembangan moral anak dapat dihindari. Apabila persepsi antara orang tua dan
guru tidak sejalan, maka antara lingkungan satu dengan lingkungan lainnya akan
merusak perilaku moralitas anak. Kesamaan persepsi, dan pola pembinaan yang
serasi tentang upaya memperkenalkan dan menumbuh kembangkan cara berpikir
moral pada anak sedini mungkin akan dapat membantu mereka berpikir dan
berperilaku moral secara bertahap.
Pembinaan pendidikan moral melalui kebiasaan dinyatakan tidak lagi cukup
kuat dalam menghadapi pergeseran dan perubahan nilai-nilai pada era sekarang
ini yang merupakan dampak dariperkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Oleh sebab itu buku ini penting untuk dipahami bersama oleh
seluruh komponen terutama orang tua dan guru PKn, agar terbina anak bangsa
yang lebih beradap dalam mengembangkan dan melestarikan kehidupan di era
global ini.
5
BAB II
ISI
KEPRIBADIAN DAN PEMBENTUKANNYA
A. Konsep dan Tipe Kepribadian
Kepribadian menurut pengertiannya adalah suatu istilah yang mengacu
kepada gambaran-gambaran sosial tertentu yang di terima oleh individu dari
kelompoknya atau masyarakatnya. George Kelly (2005) menyatakan bahwa
kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-
pengalaman hidupnya. Menurut Gordon Allport (2005) bahwa kepribadian
merupakan suatu suatu organisasi ya ng dinamis dari sitem psikofisik individu
yang menentukan tingkah laku individu tersebut. Menurut Paul Gunadi (2005)
kepribadian di golongkan jadi lima yaitu:
1. Tipe Sanguin
Memiliki ciri-ciri gairah hidup tinggi, bersemangat dapat membuat lingkungan
gembira, kelemahannya sering bertindak sesuai keinginannya sendiri dan
mudah dipengaruhi oarng lain.
2. Tipe Flegmatik
Memiliki ciri-ciri pembawaan tenang tidak mudah emosi cenderung dapat
menguasai diri, kelemahan yang dimiliki tipe ini mereka cenderung kurang
mau berkorban untuk orang lain.
3. Tipe Melankolik
Memiliki ciri-ciri perasaan sangat sensitiv dan cenderung ingin sempurna
dalam segala hal, kelemahannya mudah dikuasai oleh perasaannya dan kurang
menggunakan logika.
4. Tipe Kolerik
Memiliki ciri-ciri disiplin kerja sangat tinggi dan bertanggung jawab terhadap
tugas yang di embannya, kelemahannya kurang mampu merasakan perasaan
dan penderitaan orang lain.
6
5. Tipe Asertif
Memiliki ciri-ciri kritis, suka berpendapat, tetapi perasaannya halus sehingga
tidak suka menyakiti orang lain.
B. Faktor yang mempengaruhi Kepribadian
1. Faktor Internal
Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri. dan faktor
ini merupakan faktor genetis atau bawaan sejak lahir.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini berasal dari luar diri seseoarang dan merukalan pengaruh dari
lingkungan baik keluarga maupun masyarakat selain itu faktor ini bisa berasal
dari berbagai media.
Levine (2005) menyatakan bahwa orang tua yang merupakan penyumbang
dari dua faktor di atas memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian anak.
Pengaruh yan g terjadi di sebabkan cara mendidik anak tersebut di lingkungan
keluarga. Ada sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak yaitu:
1. Penasihat moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral.
2. Penolong, terlalu mengutamakan kebutuhan anak dan mengabaikan akibat dari
tindakan si anak.
3. Pengatur, bekerja sama dengan anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan
memperbaikai keadaan.
4. Pemimpi, berupaya menghubungkan secara emosional dengan si anak dalam
tiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama.
5. Pengamat, selalau mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya
mengutamakan perspektif dan abjektivitas.
6. Pencemas, selalu melakukan tanya jawab mental, selalu memiliki gambaran
buruk sampai mereka yakin anak benar-benar memahami situasi.
7. Penghibur, selalau menerapkan gaya yang lebih santai.
8. Pelindung, suka mengambil alih tanggung jawab selalu bersikap melindungi.
9. Pendamai, di pengaruhi kepribadian mereka yang selalu menghindar dari
konflik.
7
Dari sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak secara moralitas,
terdapat tiga tipe yang sejalan dengan pembentukan kepribadian melalui
peningkatan pertimbangan moral, yaitu: pengatur, pengamat, dan pencemas.
C. Struktur Kepribadian dan Tindakan Moral
Menurut Hogan dan Bush (1984) ada dua sudut pandang tentang moral,
yaitu pandangan psikologi perkembangan-kognitif dan teori tentang
pembelajaran-sosial modern. Kedua pandangan tersebut telah berjasa
mengembangkan teorinya berkenaan dengan berbagai aspek proses ke-moral-an
(moralitas). Perkembangan moral yang ada dapat dipahami dari sudut pandang
teori kepribadian yang dibagi dalam beberapa aspek yaitu:
1. Struktur Kepribadian
Kebutuhan manusia tentang pergaulan dan saling berhubungan secara
teratur memerlukan moralitas agar terbina keteraturan. Sebaba itu moralitas,
hendaknya dilihat dari dua segi, yaitu sudut pandangan sosial (moralitas
tampil sebagai suatu aturan yang memverifikasi hak dan kewajiban)dan dari
sudut pandangan individual, moralitas dirumuskan secara fenomenologis
(orientasi pribadi secara subjektif terhadap aturan dan nilai yang berlaku
dalam lingkup budayanya).
2. Perkembangan Kepribadian
Perkembangan kepribadian ini berlangsung melalui tiga fase, yaitu:
a. Mulai usia kelahiran sampai usia 5 tahun.
b. Masa kanak-kanak dan masa remaja.
c. Masa dimana manusia masuk dunia keja dan berkeluarga.
Pada fase pertama anak lebih peduli terhadap gambaran dirinya sendiri
sebagaimana diarahkan oleh orang tuanya (orang harus mengakui
kewibawaan), fase kedua anak mulai menyesuaikan dirinya dengan rekan
sebayanya (orang mengatur bagaimana ia harus bergaul dengan teman
sebayanya), sedang fase ketiga dimana mereka mulai merintis tujuan
hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuhnya dalam
mengejar tujuan hidup yang akan dipilihnya (orang harus memantapkan
gaya hidup tertentu yang hendak direalisasikannya).
8
3. Perbedaan Individual, Kepribadian, dan Perilaku Moral
Berdasarkan kajian tentang tindakan moral dimana perkembangan moral
diletakkan dalam perkembangan pribadi sebagai suatu keseleruhan, maka
simpulannya sebagai berikut:
a. Cara seseorang bereaksi terhadap aturan yang berlaku.
b. Kepribadian seseorang mencerminkan setiap riwayat perkembangan
moral.
c. Kepribadian yang dimiliki orang satu dengan satunya memiliki perbedaan.
d. Setiap tipe kepribadian memiliki orientasi moralnya yang khas.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa peningkatan pertimbangan moral
pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja baik melalui pendidikan di
sekolah maupun di rumah, dapat membantu kepribadian seseorang.
D. Etika, Moral, Norma, Nilai, Akhlak, dan Estetika dalam Budi Pekerti
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma
yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Menurut Bertens (1999:6)
etika mempunyai tiga arti: Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam
mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai
moral. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos, (adat-istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara
hidup (Lorens Bagus, 1996:672). Moral adalah hal yang mendorong manusia
untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.
Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya atau baik-
tidaknya tindakan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”,
tetapi kata moralitas mengandung makna “segala hal yang berkaitan dengan
moral”. Moralitas adalah seluruh kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan
dengan nilai baik dan buruk. Etika dan moral mempuyai fungsi yang sama, yaitu
memberi orientasi bagaimana seseorang harus melangkah dalam hidup ini.
9
Norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi
pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu
masyarakat dan telah tertanam secara emosional yang mendalam, sehingga
menjadi norma yang tersepakati bersama.
Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat
menjadi objek kepentingan. Menurut Steeman (dalam Darmaputra, 1999) nilai
adalah yang memberi warna kepada hidup, yang memberi kepada hidup ini titik-
tolak, isi, dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang
mempengaruhi tindakan seseorang. Nilai seseorang diukur melalui tindakan, oleh
sebab itu etika sering disangkutkan dengan nilai seseorang.
Akhlak adalah istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang memiliki
arti budi pekerti. Akhlak mengajarkan tentang hubungan seseorang dengan Tuhan
dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan Budi Pekerti berasal dari
bahasa sansekerta dan memiliki persamaan dengan “Tata Krama”. Estetika
(aesthetic) adalah hal yang berhubungan dengan keindahan, dan hal tersebut dapat
diwujudkan dalam niat, keindahan dalam proses dan keindahan dalam hasil.
Keindahan ini merupakan hal yang menjadi bagian yang dari nilai yang perlu
dimiliki siswa. Sebab itu pendidikan budi pekerti semestinya juga memasukkan
nilai-nilai estetika sebagai bagian dari yang sepatutnya diajarkan.
E. Hubungan Kepribadian dengan Moral, Nilai, dalam Budi Pekerti.
Kepribadian yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap
akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut dalam berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, etika,
moral, norma, nilai, dan estetika, yang dimiliki seseorang akan akan menjadi
landasan perilakunya dan membentuk menjadi budi pekerti sebagai wujud norma
moral yang terdapat pada sekelompok manusia.
Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral secara
mendasar mendukung untuk mewujudkan nilai positif dan menolak mewujudkan
nilai dan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh pendidikan budi pekerti. Seperti
10
moral budi pekerti memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian, kepribadian
yang baik dapat mengapresiasinilai-nilai yang terkandung dalam budi pekerti.
Dalam arti lain, penanaman nilai budi pekerti yang baik sejak dini akan membantu
membentuk kepribadian yang berbudi pekerti yang luhur.
11
BAB III
MORAL DAN PERTIMBANGAN MORAL
A. Konsep Moral dan Teori Pendidikan Moral
1. Konsep Moral
Menurut Harshorne dan May dalam (Kohlberg, 1971) bahwa pendidikan
moral di sekolah dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas, tidak
mempengaruhi perbaikan perilaku moral.
b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai yaitu
pengaturan tentang aturan-aturan berperilaku benar dan baik di sekolah
sedikit berpengaruh terhadap pembentukan moral sebagaimana yang
dikehendaki.
Dari penelitian yang dilakukan diinterprestasikan bahwa pendidikan
moral di sekolah tidak efektif, hal tersebut disebabkan oleh karakter moral
telah dibentuk lebih awal di rumah karena pengaruh orangtua. Pendidikan
moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap
orang. Artinya, pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturan-
aturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan-ketentuan baik dan
buruk, tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku seseorang. Karena itu,
evaluasi keberhasilannya harus menggunakan perwujudan perilaku moral
sebagai ukurannya.perilaku moral. Untuk menemukan perilaku moral yang
sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui pertimbangannya. Artinya,
pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang
tampak saja, melainkan harus melihat pertimbangan-pertimbangan moral yang
medasari keputusan perilaku moral itu, dengan demikian tinggi rendahnya
moral yang dimiliki seseorang dapat diukur.
Piaget (dalam Lee, 1971) menyatakan bahwa perkembangan tingkat
pertimbangan moral seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dapat dipengaruhi dari orang tua dan teman sebaya, sedangkan
faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat intelektual. Kedua faktor tersebut
12
tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan tingkat perkembangan moral
memerlukan keseiringan satu dengan lainnya.
Perilaku moral sebenarnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran
seseorang, karena tersimpan dalam cara-cara berpikirnya. Artinya untuk
mengetahui keadaan moral seseorang yang sebenarnya, maka seseorang yang
mengamati mungkin bisa tersesat oleh fenomena yang ditunjukkan oleh
perilaku nyata seseorang. Sebab, perilaku moral tidak cukup bila hanya diukur
melalui tindakan moral secara objektif yang bisa diamati, tetapi juga harus
dilihat melalui pertimbangan moral yang bersumber dari pemikiran moralnya.
2. Teori Pendidikan Moral
Dewey (dalam Kohlberg, 1977) menyatakan bahwa pada dasarnya
tujuan pendididkan adalah mengembangkan kemampuan intelektual dan
moral. Shaver (1972) mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan
kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau
tidak bertindak. Kemampuan tersebut terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai
yang bersifat humanis. Karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan
mempunyai beban dan tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan moral
dan membantu siswa mengembangkan cara-cara berpikirnya dalam
menetapkan keputusan moralitasnya.
Goods (1945) menegaskan bahwa negara yang mengakui agama dan
sekolah agama, maka pendidikan moral disekolah diajarkan melalui
pendidikan agama atau sekolah agama, sedangkan negara yang mengakui
agama, pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan atau
civics. Dengan demikian negara Indonesia merupakan negara yang
memberikan perhatian dalam pembinaan moral. Sebab selain mengajarkan
agama sekolah juga memberikan pendidikan moral.
Ardhana (1985) menyatakan bahwa melalui pengajaran tentang moral di
sekolah merupakan usaha yang dilakukan dari pihak sekolah untuk
menanggulangi kebobrokan moral, baik secara preventif maupun represif agar
peserta didik tidak mengalami kebobrokan moral. Rosjidan (1990) dari
13
penelitiannya yang menggunakan responden siswa,orang tua, dan guru,
mengungkapkan bahwa faktor penyebab adanya perilaku moral yang negatif
dari para siswa ialah karena kurang efektifnya pendidikan moral di sekolah.
Ryan (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga teori tentang
pengembangan moral di sekolah yaitu: pertama teori perkembangan
kognitif, menurut teori ini moral manusia tumbuh dan berkembang sesuai
dengan urutan tahap-tahap perkembangan berdasarkan tingkat-tingkat
pertimbangan moral. Urutan tersebut tetap yaitu, dari tingkatan yang rendah
menuju kearah yang lebih tinggi. Teori kedua adalah teori belajar sosial
(social learning theory) teori ini memandang bahwa manusia seperti kertas
kosong yang siap ditulisi masyarakat dan membentuk pengalamannya.
Pengertian lain dari teori ini adalah bahwa perilaku moral seseorang
merupakan perilaku baik dan buruk yang ditetapkan oleh kelompok
masyarakat dan mereka juga menetapkan sanki-sanksi sosial, Maccoby (1980)
pada teori ini berbeda dengan teori perkembangan kognitif yang
mengutamakan taraf berpikir dan penalaran moral dari siswa. Teori ketiga
adalah teori psikoanalitik, menurut teori ini perilaku moral manusia
ditentukan oleh tiga faktor yang terdapat dalam diri seseorang yaitu: id, ego,
dan super-ego. Id merupakan sesuatu yang terdapat pada diri sesorang yang
mendorong individu untuk berperilaku mengikuti nafsu (animalistuc urges
and desire), ego merupakan penentu terbentuknya perilaku riil, sedangkan
super-ego merupakan pengembang elemen pendorong dan berfungsi sebagai
agen pengendali yang memberikan pertimbangan dan selaku kontrol kepada
individu apakah hal yang dilakukan tersebut baik atau buruk (Ryan,
1985:3408).
Dari beberapa teori yang dikemukakan maka pemerintah melalui
pendidikan formal berusaha mengembangkan pendidikan moral melalui
pelajaran PKn di tiap-tiap sekolah.
B. Tujuan pendidikan Moral
Frankena (1971) menyatakan, tugas program pendidikan moral
menyampaikan dan mempertahankan moral sosial, meningkatkan kemampuan
14
berpikir moral secara maksimal. Pada tahun 1971, Kohlberg menggabungkan
tujuan pendidikan moral dengan tujuan pendidikan Civivs (Pendidikan
Kewarganegaraan). Tujuan pendidikan moral, dapat ditemukan dalam cakupan isi
dan tujuan yang dikehendaki oleh bidang studi PKn yang diajarkan di sekolah,
yaitu yang bersumber dari nilai-nilai sila kedua Kemanusiaan yang adil dan
Beradap. Strommen (1983) menyatakan, bahwa tujuan pendidikan moral di
sekolah mengefektifkan meningkatan dan mengembangkan pertimbangan-
pertimbangan siswa. Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan moral di sekolah dapat membantu siswa
mempertinggi tingkat pemikiran, pertimbangan dan penalaran moralnya.
C. Moral dalam Pembelajaran
Setiap pembelajaran adalah masalah moral, disini seorang guru dapat
menetapkan suatu prinsip dasar bahwa tujuan dari pembelajaran yang berhasil
ialah penyesuaian moral secara konstruktif terhadap kehidupan siswa. Selam ini
kesalaha yang dilakukan para guru adalah melakukan jalan pintas untuk mencapai
tujuan pembelajaran tanpa memperhatikan implikasi moral dari proses
pembelajaran bagi siswa. Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan
moral, guru harus berperan sebagai pembelajar sekaligus pendidik, dan
melaksanakan pembelajaran untuk mengubah cara siswa memandang dirinya
sendiri dan orang lain. Jika berhasil, maka pembelajaran akan mampu mengubah
cara berpikir moral siswa. Moral dalam pembelajaran akan dapat diwujudkan oleh
guru yang memiliki kompetensi, dan kompetensi yang harus dimiliki adalah;
kompetensi personal, kompetensi profesional, kompetensi sosial, kompetensi
intelektual, dan kompetensi spiritual. Dari kelima kompetensi yang ada dapat
dilihat dalam empat bentuk kompetensi yaitu; 1) Penguasaan bahan ajar, 2)
Pemahaman tentang peserta didik, 3) Penguasaan pembelajaran yang mendidik,
dan 4) Pengembangan kepribadian dan keprofesionalan.
Perwujudan dari kinerja guru pada kegiatan pembelajaran adalah; 1)
keinginan untuk menampilkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, 2) senantiasa
memelihara dan meningkatkan citra keguruannya, 3) senantiasa mengembangkan
diri, 4) mengejar kualitas profesi, 5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
15
Moral pembelajaran dapat diwujudkan bila guru memiliki kepribadian yang
menunjang dalam melaksanakan keprofesionalannya. Kepribadian guru tidak
hanya menjadi dasar baginya untuk bertingkah laku yang bermoral, tetapi juga
sekaligus menjadi model keteladanan bagi para siswanya untuk dicontoh dan
dikembangkan. Oleh karena itu, kepribadian guru perlu dibina dan dikembangkan
sesuai dengan nilai-nilai moral.
D. Menyikapi dan Melaksanakan Etika dan Moral dalam Pembelajaran
Penyikapan pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan
perlakuan terhadap objek yang disikapinya (Prayitno dan Erman, 1999). Unsur-
unsur kognisi yang mendasari penyikapan terhadap etika dan moral pembelajaran
antara lain sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa siswa sebagai makhluk sosial yang sedang berkembang
sarat dengan masalah etika dan moral.
2. Pemahaman bahwa dalam proses pembelajaran siswa dapat belajar dari
berbagai macam sumber, termasuk guru yang penuh dengan muatan etika dan
moral.
3. Pemahaman bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru mampu
memberikan manfaat pada siswa karena didasarkan kepada etika dan moral
pembelajaran.
4. Pertimbangan dan pemikiran yang cermat, jernih, teliti, manusiawi, dan penuh
tanggung jawab dan dilandasi etika-moral akan mampu membelajarkan siswa
menuju pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Penyikapan-penyikapan secara afeksi tersebut secara lebih lanjut dapat
secara nyata diwujudkan dalam bentuk perlakuan terhadap siswa. bentuk-bentuk
perlakuan itu antara lain:
1. Membelajarkan siswa yang dipercayakan kepadanya dengan penuh tanggung
jawab dan dilandasi etika dan moral pembelajaran.
2. Mengembangkan wawasan tentang etika dan moral pembelajaran secara rinci
dalam pola perilaku guru terhadap siswa.
3. Mengembangkan strategi dan menerapkan teknik-teknik yang tepat untuk
mengatasi permasalahan siswa yang dilandasi etika dan moral pembelajaran.
16
4. Mengkaji upaya pelaksanaan pembelajaran yang dilandasi etika dan moral,
melalui penelitian tindakan.
Acuan guru dalam menerapkan etika moral pada siswa dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1. Guru harus berusaha mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-
prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi hubungan dengan
siswa dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional
(pembelajaran), atau bahkan merugikan siswa.
2. Guru dalam membelajarkan siswa, harus tetap menjaga standar mutu layanan
atau profesinya, sehingga dapat dihindari kemungkinan penyimpangan tugas
yang tidak sesuai dengan etika dan moral pembelajaran.
3. Guru dalam membelajarkan siswa, harus memperlihatkan sifat-sifat
keserhanaan, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, sadar diri,
dan tidak boleh dogmatis, serta harus penuh dengan rasa tanggung jawab.
4. Guru harus bersifat terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan
kepadanya, dan harus mengusahakan mutu kinerja yang tinggi.
5. Guru harus menghormati harkat dan hak-hak pribadi, dan menempatkan para
siswanya di atas kepentingan pribadinya.
6. Guru dalam kegiatan pembelajaran, tidak membeda-bedakan siswa (dalam
memberikan layanan).
7. Dalam menjalankan tugasnya, guru harus dapat menerapkan prinsip-prinsip
etika dan moral pembelajaran.
8. Dalam pembelajaran mengutamakan penampilan prima secara fisik, mudah
tersenyum, dan secara psikis berkepribadian empatik, simpatik, dan tutur
bahasa yang jelas, baik, dan benar.
9. Sekolah dan guru harus dapat menciptakan iklim yang kondusif (bersih, indah,
asri, dan nyaman) dan suasana akademik yang menarik, dengan didukung oleh
fasilitas yang berfungsi mendukung proses pembelajaran yang beretika dan
bermoral dinamis dan terarah.
17
E. Nilai-Nilai dan Profesi Guru
Ada empat nilai yang berkembang dalam masyarakat, yang harus
diperhatikan oleh guru, yaitu, nilai moral, nilai sosial, nilai undang-undang dan
nilai agama. Nilai moral adalah segala nilai yang berhubungan dengan konsep-
konsep baik dan buruk. Nilai-nilai moral juga sering muncul dalam nilai sosial.
Guru hendaknya memperhatikan derajat pentingnya suatu nilai
dibandingkan dengan nilai lainnya. Menghargai orang lain adalah nilai yang
tingkatannya lebih tinggi dibandingkan nilai-nilai yang lain. Apakah ada nilai-
nilai dasar yang harus di anut oleh guru? ada beberapa sifat kepribadian yang
harus dimiliki oleh guru, misalnya dapat menerima orang lain, berpikiran terbuka,
berpandangan luas, menghargai orang lain, obyektif, dan menyadari keadaan diri
sendiri. Sikap-sikap tersebut memiliki latar belakang dasar seperti sikap toleransi,
menghormati martabat orang lain, percaya terhadap diri sendiri, dapat dipercaya,
jujur, dan suka menolong orang lain dalam kesulitan. Nilai-nilai ini telah diterima
sebagai dasar untuk hidup bermasyarakat pada umumnya, termasuk dalam
cerminan sikap guru pada proses pembelajarn di kelas.
Seorang guru harus memiliki sikap jujur pada dirinya sendiri, tidak boleh
meninggalkan nilai-nilai sosial, nilai moral, dan nilai spiritual. Seorang guru juga
memiliki hak nilai mana yang akan dipakai dan nilai mana yang akan
ditinggalkan, tetapi seorang guru harus mengenal dirinya sendiri, memngenal
dirinya sendiri, mengenal nilai-nilai yang dimilikinya dan mengikuti nilai-nilai
tersebut dengan jujur. Tugas guru adalah membantu membelajarkan siswa
dengan berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya.
18
BAB IV
PERTIMBANGAN MORAL
A. Karakter Pertimbangan Moral
Tahap pertimbangan moral, ditetapkan pada dua hal yaitu; 1) apa yang
didapatkan seseorang sebagai sesuatu yang berharga pada setiap isu moral
dan bagaimana ia menetapkan nilai-nilai; 2) mengapa seseorang menetapkan
sesuatu itu sebagai hal yang berharga, dan alasan-alasan apa yang ia berikan
pada penilaian itu adalah merupakan penentu struktur tingkat pertimbangan
moral seseorang. Kedua hal tersebut menentukan eksistensi struktur tingkat
pertimbangan moral seseorang. Struktur tingkat perkembangan moral dari
seseorang itu menentukan keputusan moral atau perilaku moralitasnya.
B. Tingkat Pertimbangan Moral
Adapun tingkat pertimbangan moral berdasarkan kajian ini adalah
sebagai berikut;
1. Tingkat Pra-konvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
terhadap ungkapan-ungkapan serta label baik atau buruk, dan benar atau
salah. Namun hal ini dilihat dari akibat fisik atau kenikmatan akibat
perbuatannya (hukuman atau kerugian, keuntungan atau ganjaran serta
pertukaran hadiah). Disamping itu, juga dipengaruhi oleh pengaruh
kekuatan fisik dari mereka yang menentukan aturan atau label itu. Pada
tahap ini dibagi menjadi dua bagian sebagai dua tingkat yang paling
berdekatan, yaitu;
a. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik dari perbuatannya adalahmenentukan baik
buruknya perbuatan itu, entah apapun arti atau nilai akibat perbuatan
itu bagi kemanusiaan tidak dihiraukan. Menghindari hukuman dan
tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya) mempunyai nilai
19
padanya. Artinya tidak atas dasar rasa hormat kepada aturan moral
yang mendasarinya yang didukung oleh hukuman dan otoritasnya.
b. Orientasi instrumental relatif
Perbuatan benar, merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan terkadang juga kebutuhan dari orang lain.
Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan pasar. Unsur-
unsur sikap fair hubungannya bersifat timbal balik; kesamaan dalam
ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisik dan
pragmatis, dan ada elemen kewajaran. Tindakan timbal balik tejadi
seperti hal, “kamu garuk punggungku, nanti akan ku garuk
punggungmu!”. Artinya, menggaruk atau tidak menggaruk yang
diperbuat bukan karena loyalitas, rasa terima kasih, atau rasa
keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini, seseorang semata-mata menuruti atau memenuhi
harapan keluarga, kelompoknya, atau bangsa tanpa mengindahkan akibat
langsung dan nyata. Sikapnya bukan saja mau menyesuaikan diri pada
harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertipan sosial, akan tetapi
sekaligus sikap ingin loyal dan sikap ingin menjaganya, sehingga ia
secara aktif mempertahankan , mendukung, membenarkan ketentuan,
serta mengidentifikasi dirinya dengan orang atau kelompok yang ada
didalamnya. Pada tahap ini dibagi menjadi dua bagian yaitu;
a. Orientasi masuk kelompok “anak manis” atau “anak baik”
Perilaku baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang
lain serta mendapat persetujuan dari mereka. Banyak usaha
konformitas dengan gambaran-gambaran stereotipe yang ada pada
mayoritas, atau dengan perilaku yang dianggap lazim atau umum.
Perilaku, sering dinilai menurut intensitasnya. “Dia bermaksud baik”
untuk pertama kalinya menjadi hal penting dan utama. Dia berusaha
untuk diterima oleh lingkungannya dengan bersikap manis.
20
b. Orientasi hukum dan ketertiban
Adanya orientasi pada otoritas, peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan atau aturan yang telah pasti dengan berusaha memelihara
ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta
memelihara ketertiban sosial yang ada, demi ketertiban itu sendiri.
3. Tingkat Pasca-konvensional, Otonom atau Berprinsip
Pada tahap ini terdapat usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-
nilai dan prinsip-prinsip moral yang sahih dan mampu menerapkannya,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-
prinsip itu serta terlepas juga dari apakah individu yang bersangkutan
termasuk kelompok atau tidak. Pada tahap ini juga dibagi menjadi dua
bagian, yaitu;
a. Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada umumnya kelompok tahap ini menekankan pada unsur
yang berkenaan dengan kemanfaatan dan mementingkan kegunaan.
Perbuatan yang baik cenderung ditentukan dari segi hak-hak
individual yang umum dan dari segi patokan yang sudah dikaji
secara kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran
yang jelas, bahwa nilai-nilai dan opini pribadi iturelatif dan
karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai
konsensus. Disamping apa yang telah disetujui secara konstitusional
dan secara demokratis, hak tak lain merupakan nilai-nilai dan opini
pribadi. Akibatnya, terdapat penekanan pada pandangan legalistis,
tetapi juga menekankan bahwa hukum dapat diubah atas dasar
rasional demi kemaslahatan masyarakat (tidak secara kaku atau
mempertahankannya, yaitu orientasi hukum dan ketertiban). Di luar
bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur
pengikat kewajiban.
21
b. Orientasi prinsip kewajiban
Pada tahap ini, yang baik diartikan sebagai yang cocok dengan
suara hati sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri
dengan berpedoman kepada pemahaman kekomprehensifan secara
logis, universalitas, disertai kekonsistenan yang ajeg. Pada dasarnya,
prinsip-prinsip itu bukan aturan-aturan konkret, tetapi abstrak dan
etis. Inti moralitas berupa prinsip-prinsip universal tentang keadilan,
pertukaran hak, dan persamaan hak asasi manusia yang mengacu
kepada usaha penghormatan martabat manusia sebagai person
individu (Kohlberg, 1977:130).
Struktur tingkat pertimbangan moral sebagaimana
dikemukakan di atas, selanjutnya dapat dipahami melalui interpretasi
sebagai berikut;
1) Motif moral terutama didasarkan pada usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman.
2) Motif moral terutama berupa usaha untuk memperoleh ganjaran
atau agar perbuatan baiknya memperoleh imbalan.
3) Kesadaran moral berfungsi sebagai upaya agar tidak disalahkan
atau agar tidak dibenci oleh kelompoknya atau oleh
kelompoknya secara mayoritas.
4) Kesadaran moral berfungsi sebagai upaya membebaskan diri dari
teguran pejabat yang memegang kekuasaan, disamping itu juga
untuk melestarikan aturan-aturan umum serta membebaskan diri
dari rasa bersalah yang merupakan akibatnya.
5) Motif moral terletak pada keinginan untuk mempertahankan
penghargaan ayau hormat pengamat yang tiada berpihak, ia
melakukannya sebagai usaha mempertahankan kesejahteraan
umum.
6) Konformitas terhadap prinsip moral berfungsi untuk
menghindarkan diri dari rasa bersalah yang timbul dari dalam
dirinya sendiri.
22
BAB V
PENERAPAN PENDEKATAN PERKEMBANGAN MORAL KOGNITIF
MELALUI PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH
A. Pendidikan Moral dalam PKn
Dinyatakan bahwa pendidikan budi pekerti terintegrasi dalam seluruh
mata pelajaran di sekolah, terutama dalam mata pelajaran PKn. Artinya,
pendidikan budi pekerti dimasukkan dalan mata pelajaran PKn dan nilai-
nilainya dipraktikkan atau ditanamkan oleh semua guru di sekolah melalui
seluruh tindak tanduknya, baik di dalam maupun di luar kelas, walaupun
demikian, mata pelajaran PKn diharapkan dapat menjalankan tugas
pendidikan budi pekerti itu. Karena itu, peningkatan pertimbangan moral
yang juga merupakan bagian dari suatu usaha pembentukan kepribadian
yang baik adalah dapat dilakukan melalui mata pelajaran PKn yang
diajarkan di sekolah, yaitu;
1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan ini mengusahakan agar siswa mengenal dan menerima
nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan, mengenal pilihan, menilai pilihan,
menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini antara lain; keteladanan,
penguatan positif dan negatif, simulasi, serta bermain peran.
2. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral
development approach)
Pendekatan ini menekankan pada tercapainya tingkat pertimbangan
moral yang tinggi sebagai hasil belajar. Guru dapat menjadi fasilitator
dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi dilema
moral, sehingga anak tertantang untuk membuat keputusan tentang
moralitasnya. Mereka diharapkan mencapai tingkat pertimbangan moral
yang lebih tinggi sebagai hasil pemikiran moralnya. Cara yang dapat
digunakan dalam menerapkan pendekatan ini antara lain melakukan
23
diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun
yang abstak.
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pada pendekatan ini menekankan agar siswa dapat menggunakan
kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial
yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, siswa dalam
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-
hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara
yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain; diskusi terarah
yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis
terhadap kasus, debat, dan penelitian.
4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan siswa untuk mengidentifikasi nilai-nilai
mereka sendiri dan nilai orang lain. Pendekatan ini juga dapat membantu
siswa untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka
tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain selain itu dapat
membantu siswa dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan
emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka
sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain;
bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri,
aktivitas yang bertujuan mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar
kelas, dan diskusi kelompok.
5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
siswa seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu
pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong siswa untuk melihat
diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam
kehidupan masyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini
24
adalah metode proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi,
praktik hidup bermasyarakat, dan berorganisasi.
B. Bahan Ajar Dilema Moral dalam PKn
Bahan ajar pendidikan moral dengan menggunakan metode diskusi
dilema moral berdasarkan pendekatan perkembangan moral kognitif berupa
teks dilema moral. Teks dilema moral yang digunakan sebagai bahan ajar
dapat dibuat sendiri oleh para guru dengan mempertimbangkan tingkat
perkembangan peserta didik di sekolah. Untuk satu kali pertemuan, guru
dapat membahas satu dilema moral. Bahan ajar yang dikembangkan harus
memiliki tujuan untuk mengembangkan daya pikir moral kognitif para
peserta didik secara wajar, sehingga tingkat perkembangan moralnya dapat
meningkat sesuai pemikirannya sendiri. Artinya, tidak dibenarkan para guru
memberikan petunjuk bahwa “cara berpikir moral inilah yang benar” dan
“cara berpikir moral yang lain adalah salah”. Cara-cara seperti ini akan
menyebabkan peserta didik menerima secara terpaksa (tidak jujur dan
berpura-pura setuju). Jika hal tersebut terjadi maka pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan perkembangan moral kognitif menjadi gagal
karena dianggap mengandung unsur indoktrinasi maupun pemaksaan secara
halus. Bahan ajar pendidikan moral dengan menggunakan “teks dilema
moral” melalui metode diskusi dilema moral berdasarkan pendekatan
perkembangan moral kognitif tersebut dapat dilihat dari beberapa contoh
dilema moral yang disajikan.
C. Strategi Pembelajaran Peningkatan Pertimbangan Moral
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pendidikan moral yang diajar
dengan menggunakan metode diskusi dilema moral berdasarkan pendekatan
perkembangan moral kognitif adalah sebagai berikut;
1. Menyajikan Dilema
Guru menyiapkan/menetapkan teks dilema moral dan kemudian
mempresentasikan dilema moral itu untuk dipecahkan, langkah yang
dilakukan guru adalah;
25
a. Teks dilema moral dibacakan dan kemudian dijelaskan makna
istilah-istilah yang dianggap sulit untuk membantu pemahaman para
siswa.
b. Mengelompokkan fakta-fakta yang tak dapat diubah sebagaimana
yang terdapat dalam teks dilema moral.
c. Menetapkan pernyataan dilema moral dalam bentuk pertanyaan atau
meminta siswa untuk memikirkannya sebagai bahan diskusi.
2. Melakukan Pemilihan Tanggapan
Langkah-langkah yang dilakukan guru adalah;
a. Memberi tanggapan sementara atas tanggapan yang disampaikan
oleh para siswa.
b. Memilih dan menetapkan tanggapan sementara dari siswa.
c. Memilih dan menetapkan alasan atau pertimbangan sementara atas
pilihan tindakan moral yang diajukan siswa.
d. Diakhiri dengan mengusulkan alternatif pilihan yang diajukan
Pada tahap ini guru mengarahkan siswa agar mau menetapkan
suatu keputusan moral yang bersifat sementara dalam menghadapi
dilema moral yang ada sesuai pemikiran masing-masing siswa.
3. Membentuk Diskusi Kelompok Kecil
Guru mengorganisasikan terselenggaranya diskusi kelompok kecil
antara 4-8orang siswa. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah;
a. Mencari alasan atau pertimbangan-pertimbangan moral atas
keputusan moral yang telah dipilih oleh siswa.
b. Menetapkan urutan pertimbangan-pertimbangan yang diperoleh dan
memilih pertimbangan yang paling diyakini kebenarannya.
c. Menulis pertanyaan-pertanyaan yang dianggap perlu untuk
dipecahkan.
4. Memimpin Diskusi Kelas
Pada tahap ini, guru mengorganisasi terselenggaranya diskusi
kelas, yang meliputi kegiatan sebagai berikut;
26
a. Mencari dan menyatakan akibat-akibat dari keputusan yang
ditetapkan.
b. Mengungkapkan dan menghubungkan dengan dilema-dilema moral
sebelumnya dan dilema-dilema moral yang serupa.
c. Memeriksa pertanyaan-pertanyaan antara lain dengan cara
mengklarifikasikan, mengangkat isu-isu tertentu, mengulas
pertanyaan, dan menganalisis akibat-akibat yang lebih bersifat
universal.
Dalam hal ini, guru memperhatikan penalaran para siswa dalam
memecahkan dilema moral. Memberi kesempatan siswa untuk
mengemukakan pendapat sebagai hasil penalarannya dan mendengarkan
penalaran temannya, sehingga terjadi diskusi diantara mereka. Dalam
kegiatan oembelajaran ini siswa akan memikirkan pertimbangan dan
penalaran moral yang berkembang dalam diskusi yang dilakukan.
5. Menutup Diskusi
Pada tahap ini, guru menutup diskusi kelas, meliputi kegiatan-
kegiatan berikut;
a. Di dalam kelas mengarahkan siswa agar mampu meringkas
pertimbangan-pertimbangan moral, memberikan tanggapan,
mengajukan pertanyaan, dan memilih satu pertimbangan moral yang
dianggap paling baik yang didapat dari pilihannya sendiri.
b. Di luar kelas, menghimbau para siswa untuk mencari dilema moral
yang lain dan ditulis beserta penyelesaiannya.
Siswa memikirkan kembali pertimbangan-pertimbangan yang
dikemukakan dan pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh
teman-temannya. Guru mengarahkan diskusi agar siswa menemukan
pertimbangan moral yang dianggap baik menurut pemikirannya. Siswa
diminta meringkas pertimbangan moral yang muncul, kemudian memilih
salah satu pertimbangan moral tersebut yang dianggap paling menarik
baginya. Beberapa langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan di
atas merupakan pelaksanaan pendidikan moral yang berdasarkan
27
pendekatan perkembangan kognitif melalui diskusi dilema moral pada
siswa sekolah dasar.
D. Contoh-contoh Dilema Moral
1. Contoh Dilema Moral 1
Sumun adalah seorang anak laki-laki berumur 13 tahun. Pada suatu
hari ia menyatakan pada ayahnya bahwa dia ingin mengikuti study tour
yang akan diadakan sekolahnya, pada akhir tahun pelajaran. Study tour
itu rencananya akan menghabiskan waktu 5 hari. Ayah Suman berjanji,
ia boleh mengikuti study tour itu, asal ia menabung uangnya sendiri
untuk seluruh biaya keperluan study tour tersebut.
Dengan demikian, Suman berusaha memanfaatkan sisa waktunya
setelah pulang dari sekolah untuk menjadi pengantar susu. Ia bekerja
keras, dan akhirnya ia berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp
300.000,- dan cukup untuk keperluan biaya study tour yang akan
diikutinya.
Akan tetapi, pada saat study tour itu akan dilaksanakan, ayah
Suman berubah pikiran. Beberapa teman ayahnya, mengajak ayah
Suman untuk menonton suatu karapan sapi, dan ayah Suman kekurangan
biaya untuk menonton karapan sapi tersebut. Karenanya, ia meminta
uang tabungan Suman sebagai hasil pengantar susu itu. Suman
bersitegang akan mengikuti Studi tour, dan karenanya ia menolak
permintaan ayahnya itu.
Seandainya kamu adalah Suman, apakah kamu akan menyerahkan
uang itu, atau menolak untuk menyerahkan uang itu? mengapa demikian,
jelaskan alasan pertimbangan kamu!
2. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 1
Jika saya adalah Suman, maka saya………..
Alasan dan pertimbangan saya adalah……...
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotivasi
pengembangan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain
sebagai berikut;
28
a. Bolehkah seseorang ingkar janji? Mengapa?
b. Bolehkah orang tua ingkar janji pada anaknya? Mengapa?
c. Tidakkah ayah Suman ingkar terhadap janjinya sendiri?
d. Bolehkah seseorang berbuat tidak adil? Mengapa?
e. Adilkah ayah Suman? Mengapa?
f. Apakah tidak sepatutnya ayah Suman memberi contoh berbuat jujur
kepada si Suman anaknya? Mengapa?
g. Bagaimanakah akibatnya, jika Suman meniru perilaku ayahnya yang
ingkar janji itu? Mengapa?
h. Bagaimanakah akibatnya, jika semua orang ingkar janji? Mengapa?
i. Apakah ayah Suman termasuk orang yang berbuat baik? Mengapa?
j. Apakah ayah Suman termasuk orang yang bersikap dan bertindak
adil terhadap sesama manusia? Mengapa?
k. Apakah ayah Suman termasuk orang yang mampu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan? Mengapa?
l. Apakah ayah Suman yang ingkar janji itu termasuk seseorang yang
memiliki kepribadian yang baik? Mengapa demikian?
3. Contoh Dilema Moral 2
Pada suatu hari, Dinna bertemu dengan seorang temannya yang
amat miskin. Ternyata itumengeluh kepada Dinna, bahwa sejak kemarin
pagi sampai sore ini ia belum makan karena tidak ada makanan di
rumahnya. Kemudian, Dinna pergi ke toko roti yang ada di seberang
jalan, dan karena ia tidak mempunyai uang, maka dia menunggu sampai
penjual roti itu membelakanginya. Lalu ia mencuri sepotong roti tersebut
dan memberikannya kepada temannya itu.
Pada hari yang sama di tempat yang berbeda, Sumini seorang gadis
remaja masuk kesuatu toko. Dia melihat sebuah pita tali rambut kecil
yang bagus sekali di atas sebuah meja di toko itu. Dia membayangkan
betapa cantiknya jika rambutnya dihiasi dengan pita itu. Sebab itu,
ketika wanita penjaga toko itu berdiri membelakanginya, ia mencuri pita
itu lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
29
Menurut kamu, manakah yang lebih jelek antara Dinna yang
mencuri sepotong roti atau Sumini yang mencuri sepotong pita tali
rambut? Mengapa demikian, jelaskan alasan dan pertimbangan kamu!
4. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 2
Menurut pendapat saya…………………
Dengan alasan dan pertimbangan……….
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotivasi
pengembangan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain
adalah sebagai berikut;
a. Samakah jeleknya, orang yang mencuri dalam mumlah yang banyak
dengan jumlah yang sedikit?Mengapa?
b. Samakah jeleknya, orang yang mencuri untuk kebutuhan makan
karena lapar dengan kebutuhan untuk keindahan?Mengapa?
c. Samakah jeleknya, mencuri untuk menolong orang yan g kelaparan
dengan menolong orang untuk keindahan? Mengapa?
d. Samakah jeleknya, mencuri untuk kepentingan diri sendiri dengan
mencuri untuk kepentingan kemanusiaan? Mengapa?
e. Manakah yang lebih jelek, orang yang membiarkan orang lain
kelaparan dengan orang yang berani mengambil resiko demi
keselamatan orang lain dengan cara mencuri? Mengapa?
f. Manakah yang lebih baik, teman yang mengatakan;
“Kamu lapar urusan kamu, saya tidak peduli”
“Biarlah kamu mati kelaparan, asal saya tidak dihukum”
“Biarlah saya dihukum, asal kamu tidak mati kelaparan”
“Saya rela dihukum, asal nyawa kamu terselamatkan”
“Saya rela dihukum, demi nilai-nilai kemanusiaan”
5. Contoh Dilema Moral 3
Ada dua orang pemuda mendapatkan kesulitan. Mereka secara
diam-diam mau meninggalkan kota dalam keadaan tergesa-gesa dan
membutuhkan uang. Marsus pemuda yang lebih tua mendobrak sebuah
toko dan mencuri uang sebanyak Rp 10.000,-.
30
Suman yang lebih muda mendatangi seseorang yang terkenal suka
memberi pertolongan kepada orang lain di kota iti. Suman berkata
kepada orang itu bahwa ia dalam keadaan sakit berat dan membutuhkan
uang sebanyak Rp 10.000,-. Sebenarnya, ia sama sekali tidak sakit, dan
bermaksud tidak akan membayar kembali uang yang dipinjamnya itu.
Meskipun orang tersebut tidak begitu mengenal Suman tetapi ia mau
meminjamkan uangnya kepada Suman.
Marsus dan Suman lari meninggalkan kota, masing-masing
membawa uang sebanyak Rp 10.000,-.
Menurut kamu, manakah yang lebih jelek, ,mencuri seperti Marsus
atau menipu seperti Suman? Mengapa demikian, jelaskan alasan dan
pertimbangan kamu!
6. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 3
Menurut pendapat saya………………..
Alasan dan pertimbangan saya………...
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotifasi
mengembangkan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain
adalah, sebagai berikut;
a. manakah yang lebih bernilai menghormati hak orang lain antara
mencuri dan menipu? Mengapa?
b. Manakah yang lebih baik, mengambil milik orang dengan dengan
diketahui orang yang bersangkutan, dengan mengambil milik orang
tapi tidak diketahui sipemiliknya? Mengapa?
c. Manakah yang lebih membingungkan, diketahuinya orang yang
merugikan dengan tidak diketahui orang yang merugikan? Mengapa?
d. Manakah yang lebih buruk akibatnya terhadap ketenteraman
kehidupan bermasyarakat antara mencuri dan menipu? Mengapa?
e. Bagaimana akibatnya jika semua orang saling mencuri?
f. Dapatkah seseorang ditipu oleh semua orang?
31
E. Contoh Pelaksanaan Ujian
1. Jawablah secara berurutan, dimulai dari tes dilema moral nomot 1
sampai dengan nomor 3!
2. Sebelum kamu menjawab, bacalah terlebih dahulu teks soal dilema
moral ini dengan teliti sehingga, kamu benar-benar memahami isi atau
maksud teks tersebut!
3. Setelah dimengerti, berikan tanggapanmu dengan memberikan
keputusan moral yang kamu anggap paling benar, paling baik, paling
cocok, dan paling sesuai dengan pikiranmu!
4. Berilah alasan atau pertimbangan yang jelas, mengapa keputusan moral
itu yang kamu pilih atau kamu tetapkan!
5. Alasan atau pertimbangan yang kamu berikan paling sedikit dua
alasan/pertimbangan!
6. Jika kamu tidak memahami tentang isi teks dilema moral, maka kamu
dapat menanyakan kepada guru!
7. Selama berlangsung tidak dibenarkam kamu bertanya atau menjawab
pertanyaan teman-temanmu!
Di bawah ini akan diberikan contoh tes dilema moral yang bisa
digunakan guru sebagai bahan diskusi tentang dilema moral
Contoh Tes Dilema Moral 1
Dadang berbohong pada ayahnya, dengan mengatakan bahwa ia
hanya memiliki uang tabungan hasil kerjanya sebanyak Rp 100.000,-.
Dikatakannya juga bahwa uang tersebut bahkan belum cukup bagi keperluan
biaya berkemah yang akan diikutinya. Kemudian, ia pergi berkemah dengan
membawa uang sebanyak Rp 250.000,- jumlah uang yang sebenarnya ia
miliki.
Dadang memiliki kakak bernama Amin. Sebelum berkemah
Dadang memberitahukan kepada Amin tentang jumlah uang yang dia miliki
sebenarnya. Dadang juga mengatakan kepada kakaknya bahwa ia telah
berbohong kepada ayahnya.
32
Seandainya kamu adalah Amin sebagai kakak Dadang, apakah
kamu akan memberitahukan hal tersebut kepada ayahmu, ataukah tidak?
Mengapa demikian, jelaskan alasan dan pertimbangan kamu!
Tanggapan Terhadap Tes Dilema Moral 1
Seandainya saya adalah Amin sebagai kakaknya Dadang, maka saya……….
Alasan dan pertimbangan saya………………………………………………..
Contoh teks dilema moral dan contoh tes dilema moral yang disajikan
guru dalam pembelajaran bersifat tentatif. Artinya, hal itu dapat
dikembangkan sendiri oleh guru yang disesuaikan dengan keadaan dan
kebutuhan nyata di lapangan.
33
BAB VI
PENINGKATAN PERTIMBANGAN MORAL ANAK DI
RUMAH MENUJU TERBENTUKNYA KEPRIBADIAN ANAK
A. Kesiapan Orang tua
Memiliki kepribadian yang mantap dalam nuansa moralitas bagi orang
tua dalam suatu rumah, bukan merupakan hal yang mudah. Nilai-nilai yang
terkandung dalam moral tidak gampang diterapkan dalam cara berpikir dan
bertindak dalam suatu keluarga. Tidak jarang seorang ayah tidak mampu
melakukan hal tersebut kepada anak, dan seorang ibu juga tidak mampu
melakukan hal tersebut terhadap anak.
Adanya hal tersebut timbul bukan hanya karena memang secara fakta
mereka berbeda posisi, rasa tanggung jawab, fungsi, dan tugasnya yang
masing-masing berbeda. Tetapi juga karena secara empirik orang tua
memiliki cara berpikir moral sendiri yang relatif berbeda. Perbedaan tersebut
terjadi karena latar belakang pendidikan serta latar kelurga yang berbeda-
beda. Dengan demikian, penerapan moral yang menjadi dasar berpikir
moralitas menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan di rumah.
Dengan adanya hal tersebut, orang tua dalam lingkungan keluarga
harus memiliki kemauan dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya.
Kurang pengertiannya orang tua sebagai sosok panutan di lingkungan rumah
menjadikan pembentukan kepribadian melalui pertimbangan moral bagi
anak-anak akan gagal.
B. Penerapan Prinsip-Prinsip Moralitas
Adapun prinsip-prinsip penerapan moralitas pada anak dapat
dilaksanakan di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan keluarga.
Adapun yang dapat diterapkan guru maupun orang tua antara lain;
1. Gunakan sebutan “Orang lain” selain dirinya
Sebenarnya, semua orang adalah orang lain. Tetapi dalam
kehidupan bermasyarakat, dikenal ada orang dekat dan orang jauh,
famili dekat atau famili jauh. Bahkan ada orang yang dianggap orang
34
asing atau orang tak dikenal. Kenyataan ini menjadikan kaburnya nilai-
nilai kesamaan dalam prinsip ajaran moral. Untuk mengurangi
pembedaan sebagaimana disebutkan di atas, maka gunakan sejak dini
kata-kata “orang lain” pada diri anak, agar mereka mau dan mampu
memberi rasa hormat kepada semua orang siapapun orangnya.
Jika seorang guru melihal siswa memukul seorang temannya, dan orang
tua melihat anak memukul adiknya atau siapa saja, maka nyatakan
kepada si anak dengan pernyataan; “Tidak benar seseorang menyakiti
orang lain”, dalam hal ini baik guru maupun orang tua hendaknya
disarankan agar tidak menyebut nama atau identitas akan tetapi lebih
menekankan dengan kata “orang lain” .Hal tersebut bertujuan agar anak
dapat menghormati orang lain secara universal.
Jika guru dan orang tua menginginkan siswa dan anak memiliki
kepribadian yang benar, luhur, dan terpuji, maka jangan ajarkan pada
mereka untuk menegakkan prinsip persamaan dan rasa saling terima
dengan menggunakan kata orang lain bagi semua orang, karena hal ini
merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
2. Tegakkan kebenaran dan kejujuran
Banyak anak setelah menuju masa remaja tidak mau
mendengarkan kata-kata orang tuanya. Hal ini disebabakan anak kurang
menaruh kepercayaan terhadap orang tua yang disebabkan orang tua
baik sengaja maupun tidak sengaja terlalu sering berbuat sesuatu yang
mengarah kepada ketidakjujuran dan mengandung nilai kebohongan.
Seorang anak yang sudah mampu berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sesama, maka mereka cenderung kurang mempercayai orang tua
yang bagi mereka kurang bisa dipercaya. Tetapi bagi orang tua yang
mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara jujur dan benar, maka
anak akan tetap lebih mempercayainya dari siapapun juga. Dengan
mempertahankan kebenaran dan kejujuran maka kondisi dalam
lingkungan rumah akan dapat meningkatkan cara berpikir moral anak
(moral kognitif) dengan lebih baik. Kondisi rumah seperti ini yang dapat
35
melahirkan kepribadian yang benar, luhur, dan terpuji. Oleh sebab itu
apapun dan bagaimanapun tegakkan kebenaran dan kejujuran di dalam
kehidupan rumah, karena dengan demikian akan melahirkan kepribadian
yang tanguh dan terpercaya pada anak.
3. Ciptakan suasana terbuka untuk berdialog
Banyak model suasana dan lingkungan keluarga yang dipraktikkan
orang tua, yaitu diantaranya model terbuka, cukup terbuka, dan tertutup.
Ketiga model ini berimplikasi kepada bentuk-bentuk komunikasi dan
interaksi yang terdapat dalam suatu lingkungan keluarga. Apapun dan
bagaimanapun bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi dalam suatu
rumah tangga itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing.
Dalam teori tingkat pertimbangan moral yang berlandaskan pada
pendekatan moral kognitif, menghendaki model keluarga yang terbuka
dimana seluruh anggotanya memiliki prinsip hidup demokratis yang
berprinsip pada nilai kemerdekaan, kesamaan, dan saling terima selain
itu dalam berpikir dan berbuat semua anggota keluarga dalam posisi
yang sama dan sederajat. Semua anggota keluarga, mengembangkan rasa
hormat kepada sesama manusia, tanpa merasa dan melihat lebih tua atau
lebih muda. Tidak ada dalam pikiran mereka “aku” yang berkuasa, atau
“aku” mengerti “aku” yang menentukan segala keputusan.
Dalam suasana keluarga yang terbuka dan demokratis, maka
banyak kesempatan untuk berdialog menanggapi persoalan hidup yang
dianggapnnya mengandung nilai konflik. Dialog-dialog yang dilakukan
dalam lingkunga rumah dengan topik-topik nilai kemanusiaan sangat
membantu peningkatan pertimbangan moral bagi anak. Untuk itu,
gunakanlah kesempatan yang cukup besar ini untuk membantu anak-
anak dalam meningkatkan pertimbangan moralnya, sehingga menjadikan
mereka memiliki kepribadian yang benar, luhur, serta terpuji.
36
C. Arus Bawah Moral
Kewajiban kita semua adalah berusaha mengetahui moral anak-
anak kita. Tentu saja, ada anak-anak kita yang terjebak dalam arus bawah
moral dengan cepat. Sekarang ini masih ada diantara kita dan anak-anak kita
yang tampak jahat, anak-anak yang sudah tidak terlalu baik, yang terus
berbuat jahat, serta anak-anak yang terus menuruti dorongan nafsunya,
banyak menuntut dan tidak peka, terkungkung dalam dirinya sampai tak
mengerti orang lain.
Oleh sebab itu yang terbaik ketika kita mendekati masalah moral,
adalah apa yang ingin kita tawarkan pada anak, merupakan hal yang harus
kita pikirkan, selain itu kita juga harus pikirkan hal apa yang kita inginkan
pada si anak serta hal apa yang tidak kita inginkan pada si anak untuk
mereka miliki. Nilai moral man yang kita tolak dan kita anggap kurang baik
bagi anak dan nilai moral mana yang dianggap tepat untuk anak agar akhlak
dan kepribadiannya menjadi cemerlang.
Biasanya ciri dari orang yang tidak begitu baik adalah penyerangan
diri yang hebat dan merusak. Bahkan ketegangan antara harga diri yang
wajar dengan dengan kesibukan diri yang membuat kita terisolir akan
membuat kita kehilangan pandangan terhadap kewajiban kita pada orang
lain (kita tidak lagi mampu melihat orang lain). Beberapa diantara kita
celakanya jatuh menjadi korban arus bawah moral, kehilangan posisi, serta
hanyut dalam kehidupan yang menuruti hasrat dan suasana pikiran. Apabila
hal tersebut terjadi maka seseorang akan sedikit dalam perhatian terhadap
hak-hak orang lain sehingga cenderung egois pada lingkungan.
D. Contoh Beberapa Perilaku Guru yang Dianggap Kurang Bermoral
Berikut ini dicontohkan beberapa perilaku guru yang mungkin
dianggap kurang bermoral atau kurang memiliki etika.
1. Berbicara yang kurang sopan di depan siswa.
2. Merokok di depan siswa.
3. Ingkar janji.
4. Tidak mentaati peraturan sekolah.
37
Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa baik guru maupun
orang tua harus memberikan contoh moral yang baik bagi anak atau siswa,
karena guru serta orang tua menjadi panutan bagi anak-anak dalam segala
hal dan aspek kehidupan.
38
Analisis Isi buku
Judul Buku : Pembentukan Kepribadian Melalui Peningkatan
Pertimbangan Moral
Pengarang : Dr. Sjarkawi, M.Pd
Tahun Terbit : 2006
Halaman : 151 Halaman
Penerbit : Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal
Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan
Dari tujuan penulisan buku ini sangatlah tepat karena memiliki tujuan
ingin mencapai wawasan dan persepsi yang sama tentang cara pendidikan moral
pada anak yang dilakukan oleh guru di lingkungan sekolah dan orang tua di
lingkungan rumah, demi tujuan terbentuknya kepribadian yang baik yang
memiliki tujuan akhir mewujudkan masyarakat yang lebih tenteram dan damai.
Dilihat dari manfaat yang ingin ditujukan oleh penulis buku yaitu
diharapkan buku ini bermanfaat bagi para guru, orang tua, sekolah serta
masyarakat. Oleh sebab itu semua aspek perlu mempelajarai dan mengkaji buku
ini sebagai salah satu acuan membentuk kepribadian anak melalui pembelajaran
pertimbangan moral.
Pada tipe-tipe kepribadian yang ditunjukkan pada buku ini hendaknya
tidak hanya disebutkan pengertiannya saja akan tetapi beserta contoh-contih
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pemberian contoh nyata akan
memudahkan orang tua dan masyarakat yang memiliki latar belakang
pendidikan rendah lebih memahami tentang bentuk-bentuk atau tipe-tipe dari
kepribadian, karena orang tua dan masyarakat yang memiliki latar belakang
pendidikan rendah lebih memahami contoh-contoh langsung daripada
memahami konsep-konsep dari sebuah pengertian. Selain itu pengertian dari
etika, moral, norma, dan nilai hendaknya juga diberikan contoh nyata yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Adanya hal tersebut akan memudahkan
39
pembaca dalam mempelajari tentang apa itu etika, moral, norma, dan nilai.
Selain itu tidak ada kerancuan dalam mengartikan antara etika dan moral karena
sering sekali kita mengartikan tindakan seseorang dengan sebutan tak bermoral
sama dengan tak beretika padahal makna antara keduanya berbeda, oleh sebab
itu contoh dalam kehidupan sehari-hari sangat penting bagi pembaca buku ini
dalam mengkaji isi buku ini.
Pada buku ini terdapat keefektifan pendidikan moral di sekolah yang
diteliti oleh Harshorne dan May pada tahun 1928-1930 yang tertuang dalam
bukunya Kohlberg dengan pernyataan”pendidikan watak atau karakter dan
pengajaran agama di kelas, tidak mempengaruhi perbaikan moral dari seorang
anak” . Dari peryataan tersebut yang ditulis pada buku ini saya kurang
sependapat dengan pernyataan tersebut, karena apa? sedikit apapun pendidikan
karakter dan agama yang diberikan baik di lingkungan sekolah ataupun keluarga
bahkan pada lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi perilaku moral
seorang anak. Adanya contoh sederhana dalam kehidupan kita yaitu seorang
anak yang sering berbuat anarkis di lingkungannya dapat diberikan pendidikan
agama dengan cara menyekolahkan anak tersebut kepesantren. Kehidupan
pesantren yang cenderung lebih mengutamakan pembelajaran tentang
pendidikan agama dan pendidikan karakter secara sedikit demi sedikit akan
mampu mengubah perilaku anak tersebut menuju kearah yang lebih baik.
Secara keseluruhan buku ini isinya sangat membantu bagi pembaca dalam
memahami tentang pembentukan kepribadian melalui peningkatan
pertimbangan moral. Akan tetapi merujuk dari tujuan dan manfaat yang ditulis
penulis dari buku ini masih terdapat kekurangan-kekurangan yang menurut saya
harus ditulis dalam buku ini. Adanpun kekurangan-kekurangan dari buku ini
adalah sebagai berikut:
1. Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan rendah akan kesulitan
mempelajari serta mengkaji buku ini karena, pada pengertian-pengertian
sebuah hal tidak disertai dengan contoh-contoh yang biasa terjadi dalam
kehidupan sehari-hari karena dengan contoh yang ada maka akan
memudahkan pembaca dari kalangan awam.
40
2. Jika salah satu manfaat dari buku ini ditujukan pada orang tua maka
hendaknya penerapan pendekatan perkembanagan moral tidak dominan pada
pendidikan moral yang diajarkan di sekolah akan tetapi porsi dari
pendidikan moral tersebut juga harus mencakup pihak-pihak yang bisa
menjadikan manfaat buku ini yaitu guru, orang tua, masyarakat, sekolah,
dan negara.
3. Strategi pendidikan pengembangan pembelajaran moral dalam buku ini
hanya ditujukan pada pembelajaran di kelas saja padahal proposionalnya
pendidikan pengembangan moral juga ditujukan pada pelaksanaan di
lingkungan keluarga (rumah) serta masyarakat dan negara pada umumnya.
4. Contoh-contoh penyajian diskusi dengan dilema moral dan contoh dari tes
dilema moral dalam buku ini terlalu banyak menurut kami sebagai pembaca
cukup tiga sampai empat sudah cukup.
5. Pada sub bab contoh guru yang dianggap kurang bermoral, contoh yang
diberikan kebanyakan kurang tepat dan tidak sesuai dengan tujuan serta
manfaat dari buku ini. Seharusnya contoh yang diberikan bersifat
menyeluruh yaitu dari tindakan kurang bermoral yang ditunjukkan oleh guru
Anak Usia Dini, guru SD, guru SMP, SMU, serta Dosen.Selain itu
kekurangan yang ada pada buku ini adalah contoh-contoh real pada
kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sekolah, keluarga, serta
masyarakat tentang perilaku-perilaku yang berhubungan tentang moral
kurang dikemukakan. Seharusnya merujuk pada tujuan dan manfaat
penulisan buku ini contoh-contoh real yang terjadi dalam kehidupan di
anggkat sehingga memudahkan bagi siapa saja yang membacanya.
6. Semoga dengan membaca buku kini kita sebagai guru dan orang tua bisa
mengambil manfaat dan pelajaran tentang pertimbangan moral dan bisa
menjadikan kita semua dapat mendidik anak-anak bangsa menjadi generasi
yang bermoral dan didasari karakter yang kuat.
41