papua + solusinya
-
Upload
abdul-pamungkas -
Category
Documents
-
view
261 -
download
0
Transcript of papua + solusinya
-
8/3/2019 papua + solusinya
1/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
Analisis Konikdan
Rekomendasi KebijakanMengenai Papua
Yulia Sugandi
JAKARTA, 2008
-
8/3/2019 papua + solusinya
2/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
TENTANG FES INDONESIA
Friedrich-Ebert-Stiftung mendirikan kantor perwakilan Indonesia pada tahun 1968. Terutama sejak 1998, FES Indonesiatelah menjalankan berbagai kegiatan untuk mendukung proses demokratisasi dan pembangunan sosial-ekonomi diIndonesia. Cakupan isu yang di tangani antara lain ialah demokratisasi,good governance,reformasi di bidang hukum,perlindungan hak azasi manusia, pencegahan dan resolusi konik, reformasi sektor keamanan, dukungan kepada mediayang bebas dan berimbang, serta isu-isu sosial, ketenagakerjaan, dan gender. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakanmelalui kerjasama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat dan instansi pemerintah terkait. Bentuk kerjasamaitu terjalin dalam bentuk seminar, lokakarya, diskusi, pelatihan, dan publikasi. FES Indonesia juga mendukung dialoginternasional dengan mengirimkan berbagai delegasi, tenaga ahli, akademisi, dan jurnalis senior sebagai peserta diforum regional dan internasional. Secara berkala FES juga mengundang ahli-ahli dari Jerman dan negara-negara lainuntuk memberikan presentasi di Indonesia.
Friedrich Ebert Stiftung (FES)Jl.Kemang Selatan II No.2AJakarta 12730 - Indonesia
Telp : 62-21-719 3711 (Hunting), 7179 1358, 912 67736Fax : 62-21-7179 1358 ext 20.Email : [email protected] : www.fes.or.id
Daftar Isi
Rangkuman Khusus......................................
1. Konteks Umum mengenai Papua......................
2. Garis-garis Konik Pra-Otsus..........................3. Titik Balik: Otsus pada Tahun 2001...................
4. Keadaan Paska Tahun 2001............................5. Sumber-sumber Keputusasaan........................6. Pelaku Lokal..............................................7. Pelaku Internasional....................................8. Skenario Masa Depan...................................9. Rekomendasi bagi Badan Internasional..............10. Catatan Akhir............................................
Kata-kata Penting.......................................
3
3
46881723252628
29
-
8/3/2019 papua + solusinya
3/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
Rangkuman Khusus
Analisis konik ini berfokus pada dinamika konik dan
masalah-masalah yang terjadi pada periode paskaOtsus (Otonomi khusus) sesudah tahun 2001, di Papua.
Kekayaan sosial, budaya dan sumber alam di Papuabertolak belakang dengan tingkat keamanan manusia.Papua telah sejak lama memiliki keluhan-keluhan sejakberintegrasinya dengan Negara Indonesia mulai dariperbedaan persepsi mengenai sejarah integrasi ke dalamNegara Indonesia, keterbelakangan yang terus terjadi
dan kompleksitas rasa rendah diri yang diwarnai denganpelanggaran hak asasi manusia yang merusak harkatmartabat orang asli Papua. Kelahiran otsus pada tahun2001 adalah sebuah titik balik di mana keluhan-keluhanpenduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan.Otsus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan
yang pasti untuk melindungi hak-hak penduduk asliPapua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagaipenerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosialdi Papua. Meskipun demikian, pelaksanaan otsus telahmenghadapi pelbagai tantangan termasuk kurangnyakepercayaan yang diperlihatkan oleh pemerintah pusat.
Periode paska otsus masih diwarnai dengan adanyakeluhan-keluhan; perdamaian negatif, masalah-masalahyang berhubungan dengan perwakilan, kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kebudayaan lokal,penggalian sumber daya alam yang tidak seimbang,pendekatan keamanan, rendahnya tingkat modal sosial,masyarakat anomie dalam perubahan sosial, polarisasiyang dapat memicu konik, dan kesenjangan antar
kelompok masyarakat. Kondisi rumit seperti ini telahmenciptakan penyimpangan-penyimpangan dalamperiode paska otsus yang seharusnya telah dipelajarioleh badan-badan internasional yang bekerja di Papua.
Analisis Konikdan
Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua
Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa orang di mana merekaberada dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka, pendidikan dankebudayaan untuk pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan kebebasanuntuk jiwa mereka. Saya percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh
orang-orang yang memikirkan orang lain.
Martin Luther King Jr
Makalah ini menunjukkan peran dari setiap para pelakuperubahan sosial di Papua termasuk di antaranyamasyarakat akar rumput, organisasi masyarakatmadani, pemerintah lokal, perempuan, militer danpemerintah pusat, berikut keterlibatan organisasi-organisasi internasional dengan strategi-strategiintervensi mereka. Semua organisasi-organisasi pelakuaktif perubahan baik di tingkat propinsi, nasional atauinternasional harus menghindarkan diri mereka untuktidak menjadi organisasi-organisasi penyelamatyang memberikan cargo cult/kiriman berkat yang
akan menghalangi promosi martabat orang asli Papua.Terdapat kebutuhan mendesak untuk membentukstrategi penanggulangan krisis terpadu sebagai suatupengatur untuk melawan penyimpangan di Papua yangperlu diperhatikan oleh para pelaku perubahan danorganisasi-organisasi internasional. Organisasi-organisasi
internasional seharusnya mempunyai pengertian yangmendalam dan kritis mengenai kerumitan dari masalah-masalah yang ada di Papua dengan ketidakwajarannyaserta mengadaptasi pengertian tersebut ke dalamstrategi-strategi intervensi mereka supaya dapatmembuat pendekatan-pendekatan yang sensitif
terhadap kebudayaan dan konik. Dengan cara inidiharapkan bahwa strategi intervensi akan dilaksanakandengan cara bermartabat dan memainkan peran pentingdalam membangun keamanan manusia di Papua.
1. Konteks Umum mengenai Papua
Luas wilayah Papua adalah 421.981 KM2 (3,5 kali lebihbesar dari pada Pulau Jawa) dengan topogra yang
meliputi daerah pegunungan dan sebagian besar tanahyang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasandengan; Laut Halmahera dan Samudra Pasik di utara,
-
8/3/2019 papua + solusinya
4/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua NewGuinea di sebelah timur, dan Laut Arafura, Laut bandadan Maluku di sebelah barat. Total penduduk Papuaadalah sekitar 2.576.822 jiwa, yang hanyalah 1% darikeseluruhan jumlah penduduk Indonesia, di mana
70% tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerahpegunungan yang terpencil. Berdasarkan sensus padatahun 2000, populasi terpadat ada di dataran tinggi diKabupaten Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Totalpenduduk asli, yang kaya akan kebudayaan, diperkirakansekitar 66% dari keseluruhan jumlah penduduk.Penelitian di bidang Antropologi mengkategorikantujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua: (1)Saireri, (2) Doberai, (3) Bomberai, (4) Ha-Anim, (5)Tabi, (6) Lano-Pago, and (7) Me-Pago. Ada lebih dari 250kelompok etnis dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasa-bahasa, praktek-praktek dan agama asli yang berbeda
di Papua. Ini berarti, ada ratusan norma adat yangberlaku di dalam propinsi ini. Ditambah lagi, ada 100kelompok etnis non-Papua. Pengaruh kesukuan masihsangatlah kuat, oleh karenanya insiden-insiden yangmenampakkan ketidakpedulian terhadap keharmonisansosial biasanya akan berujung pada tindak kekerasan..Dalam kenyataannya komunikasi sosial sangatlahterbatas dan orang biasanya enggan berhubungandengan orang yang berasal dari etnis dan agama yangberbeda. Konik biasanya terjadi pada waktu kita
tidak dapat mengerti pluralitas norma-norma dan nilai-nilai ini. Selain kaya akan kebudayaan, Papua jugamempunyai sumber daya alam yang berlimpah mulaidari gas, minyak, emas, perak, hasil-hasil laut dantembaga. Sayangnya, kekayaan Papua (sumber dayaalamnya dan secara kebudayaan) telah diwarnai olehsejarah konik yang panjang dengan biaya kemanusiaan
yang signikan yang nanti akan dijelaskan secara lebih
mendalam dalam makalah ini.
2. Garis-garis konik Pra-Otsus
Kesenjangan persepsi terhadap sejarah
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun1945, Pemerintah Belanda telah memisahkan daerahPapua dari Hindia untuk mempersiapkan Papua danpenduduknya untuk Pemerintahan mereka sendiriyang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama10 tahun rencana pembangunan yang dibuat olehBelanda pada tahun 1950, UNTEA (United NationTemporary Administration Pemerintahan SementaraPBB) bertanggung jawab dalam periode transisi.Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah
dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama
dengan beberapa momentum yang penting; PemerintahBelanda menunjuk anggota masyarakat lokal yangterpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw GuineaRaad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibarberdampingan dengan bendera Belanda, dan pengenalan
lagu kebangsaan Papua Hai Tanahku Papua. Akantetapi, Perjanjian New York pada tahun 1962 yangtidak melibatkan seorangpun dari Papua, dibuatsebagai referensi untuk pengalihan Nederland NieuwGuinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia. Pada tahun1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belandameminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dariBelanda tetapi juga dari Indonesia. Pemungutan suarapilihan bebas (free choice) yang diterapkan oleh PBBdilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebihdari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudandari konsultasi lokal (dari perkiraan jumlah penduduk
pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannyadengan mengadakan pemungutan suara; satu orangsatu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkaitdengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasipenduduk Papua dalam proses pembuatan keputusandalam keberadaan hidup mereka.Hal tersebut di atasberakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yangberakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasiPapua ke dalam Negara Indonesia. Selama sejarahintegrasi Papua tidak dianalisis secara kritis dan terbukaguna menemukan sejarah bersama, maka keluhanhistoris tetap terpelihara.
Pemiskinan
Papua memegang posisi keempat tingkat tertinggiPRDB (pendapatan regional domestik bruto) melaluiper kapita di atas 11 juta rupiah yang sebagian besarberasal dari industri yang terkait dengan sumber dayaalam. Sayangnya, kondisi ini diikuti dengan sulitnyaakses terhadap pelbagai kebutuhan pokok (misalnyapendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat).Misalnya, Survei Kesehatan Penduduk di Papua (1997)memperlihatkan bahwa angka kematian bayi adalah65 di setiap 1000 kelahiran, dan angka kematian anakadalah 30 per 1000. Rendahnya akses terhadap layananumum di banyak kasus menyebabkan naiknya urbanisasi.Meskipun demikian, orang asli Papua sebagai mayoritaspenduduk yang tinggal di pedesaan atau daerah-daerahterpencil mempunyai akses yang lebih rendah terhadapkebutuhan pokok. Berdasarkan pada sensus padatahun 2000, 30% dari keseluruhan jumlah penduduk diPapua tinggal di pusat atau kota-kota terdiri atas 55%penduduk non-Papua dan 45% asli Papua. Di sisi lain,70% dari penduduk Papua yang tinggal di pedesaan
atau daerah terpencil terdiri atas 95% masyarakat
-
8/3/2019 papua + solusinya
5/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
asli Papua dan 5% non-Papua. Ketidakseimbangankomposisi penduduk tidak hanya terjadi di antarapenduduk daerah perkotaan dan pedesaan, tetapijuga antara masyarakat asli Papua dan non Papua didaerah transmigrasi seperti Arso: jumlah penduduk asli
sekitar 1000 orang di mana jumlah transmigran (non-Papua) sekitar 19.000 orang (berdasarkan sensus 2000).Program transmigrasi bertujuan untuk mengirimkanpenduduk dari daerah-daerah padat penduduk diIndonesia (sebagian besar dari Jawa) ke daerah-daerah yang kurang padat penduduknya (termasukPapua). Ketidakseimbangan demogra ini sebagai hasil
dari transmigrasi, ditambahkan dengan marginalisasipenduduk asli Papua yang berakar dari kesenjanganantar kelompok masyarakat antara penduduk asliPapua dan para transmigran (non-Papua). Pertemuansecara mendadak antara penduduk asli Papua dengan
kebudayaan-kebudayaan lain, alienasi penduduk asli daritanah ulayat mereka, berkurangnya ruang gerak hidup(lebensraum) penduduk asli, juga ketegangan sosialekonomi dan kesukuan adalah beberapa akibat dariprogram transmigrasi. Kasus transmigrasi menunjukkandistribusi penduduk yang tidak sejalan dengan distribusikesejahteraan.
Papua dimasukkan ke dalam daerah dengan angkaindeks kemiskinan yang tinggi dan daerah yangmempunyai tingkat perbedaan yang tinggi denganJakarta. Tantangan-tantangan yang berhubungandengan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berkaitandengan banyaknya jumlah penduduk miskin, tetapi jugabesarnya perbedaan antar daerah-daerah, propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota. Jakartadan Papua menggambarkan perbedaan besar antarpropinsi-propinsi: di Jakarta, hanya 3,4 persen daritotal penduduk yang miskin, sementara sekitar separuhpenduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan.Analisa obyektif mengatakan bahwa kemiskinan yangada di daerah adalah hasil dari pemiskinan strukturalyang disebabkan oleh kurangnya kesempatan bagiorang-orang untuk ikut serta dalam pengambilankeputusan. Hal ini kemudian menghalangi merekauntuk mengakses dan memakai sumber-sumber dayayang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukumatau budaya) yang adalah hak mereka. Sejak era Orde
Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibatdalam sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakatasli Papua tidak dapat memenuhi penghidupanmereka sendiri karena kebanyakan kesempatan untukmengembangkan usaha diberikan kepada mereka yangsudah memiliki modal sendiri. Hal ini terlihat darikeadaan sebagai berikut: Papua memiliki dua sektor
perekonomian yang dominan, pertambangan dan
pertanian, yang menyumbangkan 76% dari total PDRB.Salah satu karakter utama dari penduduk asli Papuaadalah subsistensi. Namun, karakter ini tidak sesuaidengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha;industri pertambangan padat modal menghasilkan
57% PDRB dan hanya menyerap 0,6% angkatan kerja,sedangkan sektor pertanian menghasilkan 19% PDRBdengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor bisnis,keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendahdan hampir semua pengusaha adalah migran. Halini berarti bahwa pertumbuhan perekonomian tidakmencerminkan keadilan distribusi termasuk aksesterhadap kebutuhan dasar. Ketidakadilan kesempatanberakar dari prasangka dan rasisme yang diakibatkanoleh penduduk asli Papua yang diposisikan sebagaiinferior seperti yang terdokumentasi dalam gagasan-gagasan dasar yang menjadi latar belakang perumusan
Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papuadalam bentuk wilayah dengan pemerintahan sendiripada tahun 2001 mengenai kondisi penduduk asli Papua:75% tidak memiliki akses terhadap pendidikan yanglayak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formalatau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus darisekolah dasar, 10% lulus dari sekolah menengah umum,dan 2% lulus dari universitas. Dalam jajaran PegawaiNegeri Sipil hanya 35% posisi Eselon II dalam PemerintahPropinsi Papua yang ditempati oleh penduduk Asli Papuadan untuk Eselon III hanya 26%.
Perasaan rendah diri (Inferiority complex)
Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuahmasyarakat yang modern dan beradab dipaksakanmelalui program pemerintah. Misalnya, pada tahun1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan operasiKoteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai
pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang
-
8/3/2019 papua + solusinya
6/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata danPemerintah Sipil bergabung dalam kegiatan-kegiatanyang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakatpedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkanserta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya,
ekonomi dan politik, yang akan digunakan untukpengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuanutamanya menciptakan ide-ide nasional Indonesia,masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasiadan Undang-undang Dasar 1945. Operasi Koteka
adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuanuntuk mempengaruhi orang asli Papua di pegununganuntuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaanasli mereka, bersekolah, menjadi modern secaraekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yanglebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksamasyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua
untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergayaIndonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan(humiliation strategy) digunakan dalam prosespembangunan di kalangan masyarakat Dani untukmembuat mereka lebih terlibat dalam perubahansosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalampersepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehanterhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabelbudaya tersebut sebagai terbelakang dan tidakberadab. Atas nama pembangunan modern dankemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkanmasyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budayamereka tidak berharga sehingga mereka merasakaninferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalamperubahan sosial. Akumulasi keputusasaan pendudukasli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hakbudaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka.
Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitasmereka tidak diakui (contoh: proses yang tidakmelibatkan mereka dalam kebijakan seperti programtransmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanahulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumberdaya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakatlokal untuk berpartisipasi dalam administrasinegara, dll). Masyarakat asli Papua mengekspresikankefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejaklama melalui pelbagai demonstrasi damai. Pada banyakkasus, inferiority complex di atas seiring dengan korbanjiwa yang disebabkan oleh pendekatan keamanan yangrepresif sebagai metode resolusi konik. Demonstrasi
yang dilakukan oleh masyarakat di Papua mulaidipolitisasi setelah tragedi berdarah di Biak tanggal6 Juli 1998 di mana militer menanggapi demonstrasidamai dengan kekerasan. Setelah itu, ketidakjelasan
mengenai peraturan keamanan memicu serangkaian
kekerasan berdarah yang dilakukan oleh petugaskeamanan terhadap pengibaran bendera bintang kejoradi pelbagai tempat di Papua (contoh: Timika, Nabire,Fakfak). Sementara polarisasi di kalangan masyarakatberlangsung dalam bentuk pembentukan paramiliter
yang disebut Satgas Papua (Satuan Tugas Papua) danSatgas Merah Putih (Pro- NKRI). Pada beberapa kasuspengibaran bendera bintang kejora juga memicu konik
horisontal antara kedua kelompok paramiliter tersebut.Walaupun status Papua sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM) dicabut pada bulan Oktober 1998, perasaan tidak
aman dan ketakutan masih tetap ada di benak rakyatPapua sejalan dengan pelanggaran hak asasi manusiayang dilakukan oleh petugas keamanan di pelbagaitempat di Papua. Hal tersebut di atas meningkatkandesakan-desakan untuk menghapuskan dominasipetugas keamanan dan memperkuat pemerintahan sipil
di Papua.
3. Titik balik: Otsus pada tahun 2001
Menggali keluhan
Dengan meningkatnya ketegangan, pada tanggal 26Februari 1999 Presiden B.J. Habibie menerima sebuahdelegasi yang disebut dengan Tim 100 yang merupakanperwakilan dari masyarakat Papua yang mengekspresikankeinginan mereka untuk memisahkan diri dari negaraIndonesia. Sebagai tanggapan dari permintaan ini danuntuk memperkuat integritas territorial NKRI (NegaraKesatuan Republik Indonesia), Pemerintah membuatUU (Undang-undang) No 45/99 tentang pemekaranIrian Jaya (Sekarang Papua) menjadi Propinsi Irian JayaTengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,Mimika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakanini diikuti dengan penunjukan Dokter Herman Monimsebagai Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen.Mar.(Pensiunan TNI) Abraham Atuturi sebagai GubernurIrian Jaya Barat berdasarkan Keputusan Presiden RI No327/M/1999, tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan di atas
ditolak oleh pelbagai kelompok masyarakat di Papua,yang memperlihatkannya dengan sebuah demonstrasibesar, termasuk pendudukan gedung DPRD (DewanPerwakilan Rakyat Daerah) Propinsi Irian Jaya dankantor Gubernur di Dok II, Jayapura pada tanggal 14-15Oktober 1999. Salah satu alasan dari penolakan ini adalah
bahwa kebijakan ini diambil tanpa konsultasi denganmasyarakat lokal. Jadi, masyarakat Papua merasabahwa mereka dikucilkan dari proses pengambilankeputusan pada kebijakan tersebut. Pada tanggal 19Oktober 1999, Sidang Umum dari Sesi ke 12 dari MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat) melalui Ketetapan
-
8/3/2019 papua + solusinya
7/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
MPR No. IV/MPR/1999 yang mendukung bentuk otonomidaerah dalam kerangka NKRI, yang diikuti denganlangkah-langkah strategis guna menanggapi keluhan-keluhan di Papua termasuk menghormati bebagaimacam dan keragaman kehidupan sosial dan budaya
di dalam masyarakat Papua juga menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua melaluiproses-proses pengadilan yang jujur dan adil. Sejak saatitu, keluhan-keluhan orang asli Papua ditanggapi.
Pada periode ini, B.J. Habibie digantikan oleh K.H.Abdurahman Wahid sebagai Presiden. MPR kemudianmengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000mengenai rekomendasi-rekomendasi kebijakan dalampenerapkan peraturan Otsus (Otonomi Khusus) untuk
Aceh dan Papua dengan memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat daerah yang relevan. Setelah
menampung pelbagai diskusi yang bertempat didalam dan luar Papua mengenai Otsus dan mendapat
masukan-masukan positif, DPR RI (Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia) setuju untuk mengubah RUU(Rancangan Undang-Undang) mengenai Otonomi Khusus
untuk Propinsi Papua menjadi UU (Undang-Undang).Berdasarkan ini, Presiden K. H. Abdurahman Wahidmengesahkan UU No. 21/2001 mengenai Otonomi Khusus
(Otsus) untuk Propinsi Papua yang ditujukan untuk
meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepatproses pembangunan dan pendayagunaan keseluruhanpenduduk Propinsi Papua, khususnya masyarakat asliPapua. Dalam mandatnya untuk melanjutkan danmelaksanakan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999, sejaklahirnya UU No. 21/2001 mengenai Otsus untuk Papua
menggarisbawahi beberapa elemen-elemen kuncipenting dan yang diperlukan dalam menghadapi keluhan-keluhan di Papua seperti perlindungan terhadap hak-hakmasyarakat asli Papua dan mengurangi ketidaksetaraanantara masyarakat Papua dan daerah lain di Indonesia.Kebijakan ini diharapkan untuk meningkatkan standarkehidupan masyarakat di Papua, meminimalkan
perbedaan antara Papua dengan propinsi-propinsi yanglain di dalam NKRI juga memberikan kesempatan-kesempatan untuk masyarakat asli Papua untuk terlibatdi dalam kemajuan Papua sebagai pelaku dan penerimamanfaat dari proses pembangunan.
Hak-Hak Penduduk Asli versus Cargo Cult (Kiriman
Berkat)
Otsus diterima sebagai kebijakan Nasional yang
menanggulangi konik di Papua secara politis. Kebijakan
ini tidak menjawab permintaan dari masyarakat aslilainnya yang tersingkirkan, seperti Dewan adat darisuku Dayak di Kalimantan yang pada bulan September2007 meminta Otsus di Kalimantan untuk meningkatkan
layanan-layanan umum terutama keadaan kehidupanmasyarakat di perbatasan. Jadi, Otsus ini berdasarkan
rekomendasi dari MPR dan dikabulkan secara khususuntuk Papua sebagai metode penanggulangan konik
dengan penawaran politik tertentu. KomitmenPemerintah Pusat melalui Perundangan mengenaiOtonomi Khusus untuk Papua termasuk (1) menghormati
hak-hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan,demokrasi, nilai-nilai hukum dan budaya yang ada didalam masyarakat adat (mengacu pada kebiasaan ataukebudayaan, yang dipegang oleh setiap kelompok etnisdan terdiri atas pengetahuan, kelakuan-kelakuan,aturan-aturan, hukum-hukum dan sistem-sistem untukmenjelaskan dan mengatur perorangan dan kehidupan
di dalam hukum masyarakat adat); (2) untukmenghormati pelbagai macam dan keanekaragamankehidupan sosial-budaya di masyarakat Papua; (3) untukmelindungi dan menghormati etika-etika dan moral-moral; (4) untuk melindungi hak-hak fundamental daripenduduk asli dan hak-hak asasi manusia; (5) untukmemastikan tegaknya hukum; (6) untuk menjagademokrasi; (7) untuk menghormati pluralisme; dan(8) untuk memecahkan masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap pendudukasli Papua. Perlindungan terhadap hak-hak masyarakatasli Papua seperti digambarkan dalam komitmen diatas mencakup arti mengakomodasi kebudayaan dannilai-nilai lokal di dalam kebijakan pembangunan diPapua dan pendayagunaan penduduk asli Papua. Haltersebut memerlukan program yang berjangka panjangdan berkelanjutan yang memungkinkan masyarakat asliPapua untuk mengarahkan dan berpartisipasi menikmatiproses kemajuan di tanah mereka. Di sisi lain, beberapapenduduk lokal Papua megharapkannya seperti kirimanberkat (cargo cult) yang akan membawa perbaikandalam penghidupan mereka dan/atau berfungsi sebagaijalan keluar dari pelbagai keluhan mereka. Keluhan-keluhan yang sejak lama ada memicu pengharapan yang
-
8/3/2019 papua + solusinya
8/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
tinggi terhadap Otsus yang dipandang sebagai paradigma
penyelamatan (salvation) yang menghasilkanperubahan sosial secara langsung. Pemikiran untukmendapatkan perubahan cepat ini kemungkinan akanbertolak belakang dengan hasil berkelanjutan jangka
panjang yang diperlukan.
4. Keadaan Paska Tahun 2001
Kepercayaan guna menjembatani kesenjangan
pelaksanaan
Terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan Otsus yang
berakar dari tingkat kepercayaan secara vertikalantara Negara dan masyarakat lokal di Papua yangmempengaruhi hubungan secara horisontal atau di
antara masyarakat akar rumput. Sebagai contoh,suatu komentar ketidakpercayaan yang dibuat olehKepala BIN (Badan Intelijen Nasional) yang menuduhkanpenggunaan dana Otsus untuk mendukung separatis.
Tuduhan seperti itu menyebabkan kegundahan sosialdan reaksi keras dari masyarakat Papua yang menuntutadanya bukti-bukti. Lebih lanjut lagi, tuduhan itudianggap merusak stabilitas perdamaian di Papua.Oleh karena itu, perbaikan dalam pelaksanaan Otsus
yang bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk asliPapua sangat didambakan. Masyarakat Papua yangpada dasarnya merupakan masyarakat yang terpecah-pecah (terdiri atas pelbagai kelompok etnis) diperparahdengan perpecahan lainnya setelah Otsus. Wacana
perpecahan antara O (Otsus atau Otonomi Khusus)
dan M (Merdeka atau terpisah dari Negara Indonesia)mempengaruhi tingkat kohesi sosial di kalanganmasyarakat madani. Wacana seperti itu melabelkanperbedaan antara kelompok pro-status quo dantertindas. Kurangnya kepercayaan yang menciptakanrendahnya tingkat keamanan manusia dan modal sosial,menghambat pelaksanaan Otsus di Papua. UNDP telah
mengidentikasi sembilan dimensi keamanan manusia
yang mencerminkan daftar penyebab ketidakamananmanusia (human insecurity) dan agenda pembangunanmanusia: 1) keamanan ekonomi, 2) keamanan keuangan,3) keamanan pangan, 4) keamanan kesehatan, 5)keamanan lingkungan, 6) keamanan pribadi, 7)keamanan gender, 8) keamanan masyarakat dan 9)kemanan politis. Menurut UNDP, penguatan keamananmanusia memerlukan perhatian atas setiap dimensidi atas. Di sisi lain, modal sosial secara sederhanadiartikan sebagai serangkaian nilai-nilai informal yangdiintisarikan dari norma-norma yang dimiliki anggotakelompok tertentu yang membuat mereka dapat
bekerja sama antara satu dengan lainnya.
Keluhan-keluhan dan keputusasaan yang berlanjut
Keputusasaan lokal terus berlanjut pada periodepaska tahun 2001 sesudah Otsus dilaksanakan. Acara
cerminan 6 tahun Otsus di Papua yang diadakan
pada bulan November 2007 oleh Pusat Demokrasi,Universitas Cendrawasih, Jayapura menyimpulkanbahwa pelaksanaan Otsus hanyalah menyentuh secara
simbolis dan kurangnya bagian-bagian yang penting.Papua mendapatkan Otsus dari Pemerintah Pusat untuk
periode waktu 25 tahun. Perubahan-perubahan besarpada keadaan penghidupan orang asli Papua diharapkandapat terlihat selama periode ini untuk menghadapikeluhan-keluhan yang sudah lama ada di Papua. Jikatidak ada perubahan besar yang membawa kemajuandalam kesejahteraan penduduk asli yang didapatkandari proses pembangunan, akumulasi keluhan-keluhan
kemungkinan akan berubah menjadi keagresifan sosial.Keluhan-keluhan orang asli Papua yang masih berlangsungmasih diekspresikan melalui demonstrasi-demonstrasidamai (misalnya parade damai akbar yang diorganisiroleh DAP (Dewan Adat Papua) pada tahun 2005 yangbertujuan mengembalikan Otsus kepada Pemerintah
Pusat), memperlihatkan keluhan-keluhan ekspresibudaya secara simbolis melalui bendera (misalnyapengibaran bendera bintang kejora dimasukkan dalamtarian tradisional selama penbukaan Konferensi UtamaDAP di Jayapura bulan Juli 2007), lagu, tarian, tulisan,pakaian, dll. Besarnya dana Otsus sebesar 3,29 Trilyun
Rupiah yang dianggarkan pada tahun 2007 tidak dapatmeredam keputusasaan masyarakat asli Papua. Diskursusmengenai separatisme tidak sebanding dengan upayaperbaikan situasi kesejahteraan penduduk asli Papuaseperti yang dicita-citakan di dalam Otsus.
5. Sumber-Sumber Keputusasaan
Perdamaian Negatif
Data pemerintah pada tahun 2007 menunjukkanbahwa Propinsi Papua mempunyai 2.179 desa-desa,yang 82,43%nya dianggap sebagai terbelakang, denganmenunjuk beberapa variabel seperti jalan utamadesa, lahan kerja untuk sebagian besar penduduk,fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan, petugas-petugas kesehatan, media komunikasi dan persentaserumah tangga yang memakai listrik. Jumlah keluargayang hidup di bawah standar kesejahteraan adalah271.278 unit keluarga atau hampir separuh dari totaljumlah 441.987 unit keluarga di Propinsi Papua. Papuamemegang tingkat kemiskinan yang tinggi: berdasarkan
data yang diberikan untuk SLT (Subsidi Langsung Tunai
-
8/3/2019 papua + solusinya
9/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
yang dibagikan kepada masyarakat miskin) pada bulanMaret 2006, dinyatakan bahwa hampir separuh daripenduduk Propinsi Papua atau sekitar 47,99% dariseluruh jumlah 1,8 juta penduduk di Propinsi Papuadi mana di Propinsi Irian Jaya Barat kira-kira 36,85%,
dikategorikan sebagai miskin. Jadi, kesemuanya inidapat dirangkum bahwa 45,43% atau hampir separuhdari total jumlah penduduk di keseluruhan pulauPapua hidup di bawah garis kemiskinan. Paling tidakkondisi dasar sosial dari tingkat kemiskinan yangtinggi memperlihatkan kebutuhan yang terus menerusuntuk memperlihatkan perdamaian positif, di manaketidakadaan kekerasan sik didukung oleh keadilan
yang merata. Masyarakat akar rumput asli Papua sebagaitarget utama Otsus telah berhasil mendapatkan manfaat
maksimum dari proses pembangunan yang berjalansekarang. Misalnya, meskipun Otsus bertujuan untuk
meningkatkan layanan-layanan umum atau pembukaanakses-akses terhadap hak-hak dasar, orang-orang lokalmenyatakan bahwa kualitas layanan-layanan kesehatanumum masih di bawah standar atau bahkan menurun.Belum ada perubahan besar di bidang sumber dayamanusia; berdasarkan pada Laporan PerkembanganManusia Indonesia pada tahun 2004, Masyarakat Papuamempunyai tingkat terendah pada jumlah orang dewasayang dapat membaca dan menulis di dalam negeri yaitu74,4%. Otsus yang seharusnya membentuk piramid
yang sesungguhnya di mana sumber-sumber daya lebihdapat diakses oleh akar rumput terutama masyarakatasli Papua, masih memerlukan usaha dalam sistempelaksanaannya untuk menghindarkan pemiskinanyang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan yangtersebut di atas. Pengelolaan yang baik yang mendukungsistem pelaksanaannya ini juga diperlukan.
Politik perwakilan
Paragraf 5 UU No. 21/2001 Pasal 2 menyatakan Dalamrangka melaksanakan Otsus di Propinsi Papua, MRP
(Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai perwakilanbudaya masyarakat asli Papua yang memegangkewenangan tertentu untuk melindungi hak-hakmasyarakat asli Papua, berdasarkan penghormatanterhadap adat dan kebudayaan, pendayagunaanperempuan dan memperkuat keharmonisan antaragama. Jadi, pada dasarnya ini berarti bahwa MRPmemegang peranan penting untuk mengaplikasikantindakan nyata dan tegas (afrmative action) guna
melindungi hak-hak masyarakat asli Papua sebagaijantung dari Otsus. Tindakan nyata dan tegas diwujudkan
dalam bentuk perlakuan kompensasi istimewa yangditujukan guna mempromosikan keikutsertaan dan
memfasilitasi kesempatan yang setara bagi kelompok-
kelompok yang menderita diskriminasi termasuk sukuminoritas dan para perempuan. Meskipun menurutUU No 21/2001 dinyatakan bahwa MRP harus dibentukdalam waktu semaksimal mungkin satu tahunsesudah Otsus diberlakukan, dan Pemerintah Propinsi
Papua telah memasukkan rancangan PP (PeraturanPemerintah) mengenai MRP pada tahun 2002, akantetapi pelaksanaan pembentukan MRP baru terlaksanapada bulan November 2005. Keterlambatan ini sebagianbesar karena lambatnya pelaksanaan PemerintahPusat melalui PP No.54/2004 mengenai PembentukanMRP pada bulan Desember 2004. Karena kemajuanbesar pada kehidupan masyarakat asli Papua masihdiharapkan, maka garis kewenangan sebagai badanyang mewakili masyarakat asli Papua harus ditetapkandengan jelas. Proses pengawasan perlu dilakukan untukmendapatkan transparansi mengenai jumlah uang
yang besar yang dibelanjakan di bawah skema Otsus.Dalam perkembangan yang lebih lanjut, PP No. 54/2004mengenai MRP tidak menampung seluruh kewenanganMRP di dalam masyarakat atau ruang publik. Keadaanini menghambat MRP dalam melaksanakan mandatnyaguna melindungi hak-hak masyarakat asli Papua didalam proses pembangunan. Beberapa rekomendasiyang diberikan oleh MRP misalnya menyangkutkebijakan pemekaran dan masalah pertambangan (kasusFreeport) seharusnya lebih diajukan oleh para pihakutama khususnya Pemerintah Pusat dalam melindungihak-hak masyarakat asli Papua. MRP mempunyai fungsiuntuk menampung dan memberikan fasilitas, tetapitidak memegang kewenangan untuk mengatur prosespembangunan supaya masyarakat asli Papua menikmatikeadilan dan kesejahteraan yang merata dengan carayang bermartabat. Ditambah lagi, hubungan antaraMRP dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) perludijelaskan dalam rangka memperkuat koordinasi diantara mereka. Sebagai badan yang memegang posisisebagai jantung Otsus, MRP berhak untuk mendapatkan
perhatian supaya mereka dapat melaksanakan tindakannyata dan tegas guna memberikan fasilitas kesempatanyang setara atau keikutsertaan, serta melindungi hak-hakmasyarakat asli Papua. Keberhasilan untuk memperkuatkapasitas MRP akan meningkatkan kepercayaan daribanyak masyarakat asli Papua terhadap Otsus.
Berdasarkan pasal 64 UU NO. 21/2001; Pemerintah
Propinsi Papua berkewajiban untuk mengelola danmemanfaatkan lingkungan penghidupan dengan caraterpadu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yangtersebar, perlindungan sumber daya alam biologis,sumber daya alam non-biologis, sumber daya buatan,konservasi sumber daya alam biologis dan ekosistem,
pelestarian budaya, dan keanekaragaman biologis dan
-
8/3/2019 papua + solusinya
10/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
0
perubahan cuaca, dengan memperhatikan hak-hakmasyarakat adat dan untuk kesejahteraan rakyat.Berkaitan dengan modal sosial yang tergantung padatingkat kepercayaan antara Negara dan masyarakatmadani, paradigma bersama masih perlu digali lebih
lanjut. Masyarakat asli Papua yang dikenal sebagaimasyarakat adat sebagai target utama Otsus belum
diberikan ruang seperlunya supaya terlibat aktif dalamkemajuannya baik sebagai pihak yang mendapatkanmanfaat maupun sebagai pelaku. Sebaliknya, kecurigaandan prasangka berlabelkan separatis ditujukan kepadakegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hak-hakadat. Kelompok yang mencanangkan perlawanan kerapdilabelkan sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Kurangnya ruang untuk perdamaian ikut andil dalammenciptakan rendahnya tingkat keamanan manusia.Konferensi utama Dewan Adat Papua yang dilaksanakan
pada bulan Juli 2007 diwarnai dengan pengawasankeamanan yang dikendalikan. Meskipun dihadiri olehperwakilan resmi dari Pemerintah Propinsi, namun tidakada perwakilan MRP yang mengikuti program di atas.Terlebih lagi, konferensi ini dilaksanakan secara swadayakarena tidak didukung secara keuangan oleh Pemerintahyang hanya mengakui LMA (Lembaga MusyawarahAdat) yang dibentuk oleh Pemerintah. Tidak sepertiLMA yang para anggotanya dipilih dan ditunjuk olehPemerintah, Dewan Adat Papua dibentuk berdasarkanstruktur tradisional masyarakat adat Papua. Perbedaanpandangan mengenai badan-badan yang menampungkebutuhan dan aspirasi masyarakat adat menyebabkansebuah perpecahan lagi. Masalah mengenai politik-politik perwakilan juga meliputi masalah lain mengenaipartai politik lokal. Berlainan dengan di Aceh, UU No.21/2001 mengenai Otsus tidak mencakup pembentukan
partai politik lokal, seperti UU No.21/2001 Bab 28 hanyamenyebutkan mengenai partai politik, dan bukan partaipolitik lokal. Dalam keterangan ini, ketidakjelasanmengenai pembentukan partai politik lokal menciptakan
adanya perbedaan pandangan antara Masyarakat Papuadengan Pemerintah Pusat. Dibutuhkan penyediaan dasarhukum lebih lanjut misalnya PP (Peraturan Pemerintah)sebagai penjelasan lebih lanjut dari Bab 28 UU No.21/2001, supaya masyarakat asli Papua diperbolehkan
membentuk partai politik lokal.
Kebijakan yang tidak sepadan dengan budaya lokal
Pernyataan tentang hak-hak penduduk asli yangditetapkan oleh PBB pada tanggal 8 Agustus 2006,memberikan ruang bagi penduduk asli guna menentukankemajuan mereka secara bebas berdasarkan nilai-nilai dan sistem kebudayaan mereka. Kurangnyapenghormatan terhadap kebudayaan Papua yang unikseiring dengan ketidakadilan ekonomi dan pembagianpendapatan negara adalah masalah-masalah terbesar
yang berlawanan dengan usaha-usaha untuk meraihrekonsiliasi yang sebenarnya. Paradigma modernpembangunan berfokus pada pertumbuhan (growth)dan atribut-atribut modern dipasang sebagai standarkaku dalam mengukur tingkat keberadaban masyarakatlokal di dalam pembangunan. Paradigma modern yangkaku ini adalah akibat dari penempatan pendudukasli sebagai obyek dan bukan sebagai subyek. Atribut-atribut modern yang diberlakukan terhadap pendudukasli dianggap sebagai pemiskinan kebudayaan, sepertiOperasi Koteka yang dilaksanakan di Wamena
pada akhir tahun 70an yang memaksa penduduk asliuntuk meninggalkan nilai-nilai tradisional merekadan mengadaptasi cara-cara hidup modern termasukmemakai pakaian ketimbang koteka. Terbelakang danmanusia jaman batu adalah label umum yang seringdiberikan kepada penduduk asli yang hidup dengan caratradisional. Perubahan pendekatan pembangunan dankemajuan yang menghormati dan menampung kearifanlokal (pengetahuan dan nilai-nilai lokal) sangatlahdibutuhkan.
Tanpa memandang posisi sosial (Pejabat Pemerintah,masyarakat madani, dll), status sebagai anak adatPapua memegang kunci penting dalam membangunidentitas penduduk asli Papua. Kemajuan diPapua haruslah merujuk kepada studi etnogra
dan mengadaptasi pendekatan sosial budaya yangmengakui penduduk asli Papua sebagai kesatuan adatyang diarahkan dalam bentuk hak-hak adat, hak-hakulayat, dan kebudayaan. Pembangunan dewasa initermasuk kebijakan pemekaran tidak selalu sejalandengan pemetaan kebudayaan di Papua. Misalnya,Daerah Kurima yang dulu adalah bagian dari KabupatenJayawijaya, setelah pemekaran menjadi bagian dari
kabupaten Yahukimo. Pemekaran ini tidak sesuai denganpemetaan kebudayaan lokal yang memasukkan Kurima
-
8/3/2019 papua + solusinya
11/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
sebagai bagian dari masyarakat lembah Besar (Hubula)yang tinggal di Wamena, kabupaten Jayawijaya.Sebagai tambahan dari pemetaan pemetaan adat ataukebudayaan, hukum adat, memegang potensi bagussebagai dasar dari Hukum nasional. Inisiatif-inisiatif
lokal, baik berdasarkan masyarakat, inisiatif organisasisipil, atau lintas badan di antara badan-badanpemerintah dan masyarakat madani harus didukung danditeruskan. Salah satu contohnya yakni bagian khusus diKepolisian yang disebut FKPM (Forum Kemitraan PolisiMasyarakat) yang lebih mendasarkan pada hukum adatlokal ketimbang hukum perundangan dalam perannyasebagai penengah pelbagai perselisihan sepertimasalah-masalah tanah, pembunuhan, perzinahan,pemalsuan, dll. Ini merupakan metode resolusi konik
efektif yang akan memberikan hasil optimum dalammemecahkan permasalahan masyarakat apabila lebih
didukung upaya dalam mengkodikasikan hukum adatserta meningkatkan keterampilan mediasi para petugasPolisi yang menangani pekerjaan tersebut di atas.
Contoh yang kedua adalah bagian khusus di BPN (BadanPertanahan Nasional) yang disebut sebagai bagianpenyelesaian konik yang menjadi penengah dan
menyelesaikan masalah-masalah tanah lokal, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan kepolisian.Dalam prakteknya, dukungan dan koordinasi perlulebih dikembangkan dengan pemerintah lokal. BadanPertanahan Nasional bukanlah bagian dari Otsus
karena merupakan badan Pemerintah Nasional. Iniironis, karena banyak masalah-masalah dari hak-hakasli sangat berhubungan dengan masalah-masalahpertanahan. Bagian khusus seperti yang disebut di atasakan memberikan hasil-hasil optimum dalam melakukanpenyelesaian konik lokal mengenai masalah-masalah
pertanahan apabila dilengkapi dengan hukum positifyang sesuai secara kebudayaan dengan konteks lokalkhusus di Papua. Sebagai contoh misalnya tentanghak-hak tanah asli yang diberikan kepada seseorang dengan arti membuat hak-hak tanah asli menjadimilik pribadi. Tetapi, Negara tidak mengakui tanahulayat (tanah adat kolektif) sebagai wilayah leluhuryang kepemilikannya kolektif dan menyeluruh di manapenduduk asli memperhitungkan diri mereka sendirisebagai penjaga dari wilayah leluhur, bukan pemilikseperti yang biasa diartikan dalam ekonomi pasarmodern. Jadi, diperlukan mekanisme pelaksanaan dankebijakan-kebijakan terpadu yang-khususdirancang-bagi-penggunaan-lokal.
Ekstraksi sumber daya alam yang tidak berimbang
Ekstraksi sumber daya alam dalam jumlah yang besarterdiri atas pertambangan, penebangan kayu dan
perikanan ilegal, perkebunan swasta yang besar sekali,dll. Sumber-sumber daya alam yang kaya di Papua akantetap menjadi salah satu keluhan utama dan pemicukonik (baik vertikal antara negara dan rakyat juga
secara horisontal antara para anggota masyarakat)
selama pembagian dari kekayaan yang terkumpul darieksploitasi alam itu tidak dibagi secara adil dan jelas.Demonstrasi-demonstrasi berdarah terakhir di Jayapura,ibukota Propinsi Papua pada tahun 2005 menuntutpenutupan tambang tembaga dan emas GrasbergFreeport Indonesia (perusahaan ekonomi terbesar diPapua dengan perkiraan pendapatan kotor sekitar 1,7Milyar US$ setiap tahun) yang menyebabkan adanyakorban baik dari para pemrotes dan aparat keamanan,mendesak Pemerintah Pusat untuk menanggapi keluhan-keluhan Papua. Sebagai mayoritas, penduduk Papuatinggal di desa atau daerah terpencil dan menjalani
hidup ekonomi subsisten (bergantung pada alam),mereka mempunyai hubungan yang dekat dengan alamsekitarnya. Kemudahan akses terhadap sumber-sumberdaya alam penting bagi penduduk asli Papua tidak hanyadari segi ekonomi, tetapi juga merupakan manifestasidari identitas dan martabat kolektif mereka. Masyarakatadat melihat alam tidak hanya sebagai sumber darikehidupan sehari-hari melalui hasil-hasilnya, tetapijuga di dalam kerangka keutuhan spiritual. Tanah adat,seperti halnya penduduk asli dari bagian lain di dunia,dipercaya sebagai mamak (ibu) yang harus dihormati.Terlebih lagi, tanah adat menghubungkan merekadengan leluhur mereka dan dunia mistis. Sistem dannilai-nilai tradisional menetapkan daerah-daerahtanah adat beserta kegunaannya; ada beberapa bagiandaerah ini yang terlarang dipakai untuk keperluanapapun karena daerah-daerah ini dianggap suci danmerupakan bagian yang tidak dapat diganggu gugat.Proses pembangunan berskala besar yang berfokuspada pertumbuhan seharusnya mengindahkan kearifanlokal termasuk nilai-nilai dari tanah adat sebagai tandapenghormatan terhadap kebudayaan lokal. Keuntunganekonomi tidak seharusnya berada di atas kebutuhandan kepentingan masyarakat adat.
Pengenalan terhadap nilai-nilai tradisional daritanah adat manapun yang akan dieksploitasi adalahlangkah pertama yang penting untuk mengerti danmenghargai kearifan lokal di atas. Dalam beberapakasus, masyarakat adat hanya terlibat dalam langkah-langkah praktis seperti memilih penanam modal yangakan dinominasikan dan dipilih oleh pemerintah lokal.Komunitas adat belum terlibat secara menyeluruh,dalam arti mereka diberikan ruang untuk menjelaskankearifan lokal dan mengarahkan tingkat kemajuan yang
diinginkan yang sesuai dengan kearifan lokal tersebut.Di dalam tingkat makro, pemerintah Propinsi telah
-
8/3/2019 papua + solusinya
12/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
mulai membuat rancangan Perdasus (Peraturan DaerahKhususu) mengenai pengaturan tanah adat dalambentuk partisipasi yang adil yang berpotensi menarikbagi penanam modal. Meskipun demikian, pertemuanlangsung antara cara hidup subsisten (bergantung
pada alam) dan tekanan dari eksploitasi komersialharus diperhitungkan. Pembangunan tidak seharusnyahanya untuk meraih pertumbuhan ekonomi dalamrangka mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga harustetap menjaga martabat kolektif yang dipercayai olehmasyarakat setempat. Masyarakat adat seharusnyaterlibat dalam keseluruhan siklus manajemen mulaidari tahap perencanaan sampai dengan pengawasanakhir dan akses terhadap pembangunan. Meskipunfakta ditunjukkan melalui rekomendasi yang diusulkanoleh para akademisi di Papua mengenai kemungkinankerusakan yang terjadi di daerah-daerah pertambangan
yang terencana, beberapa eksploitasi alam tetapberlangsung dan meninggalkan beberapa masalahyang disebabkan oleh ketiadaan konsultasi publik ataupengucilan masyarakat adat di dalam keseluruhanproses manajemen, juga dengan adanya kesimpang-siuran perijinan yang diberikan oleh pemerintah Propinsidan Daerah. Proses pengikutsertaan partisipatif yangmempertimbangkan secara serius kebudayaan lokaldan penanggapan terhadap kekhawatiran mengenaiakibat lingkungan akan menghasilkan kebijakan yangsesuai dengan kebudayaan dan ramah lingkungan.Inisiatif lokal bekerja guna mencapai kebijakan sumberdaya alam yang seimbang adalah dukungan terhadappenduduk asli Papua dan lingkungan pada tingkat makro(misalnya koordinasi antara MRP dan Pemerintah Propinsiuntuk mempersiapkan proyek percobaan mengenaipemecahan masalah-masalah tanah adat, berkonsultasidengan para pemimpin daerah mengenai perancanganperaturan daerah pada badan perwakilan desa,rancangan peraturan daerah mengani pemetaan tanahadat di Papua) dan hal-hal yang berbasis masyarakat(misalnya integrasi adat, peraturan-peraturan gerejadan pemerintah) harus dilanjutkan dan didukung.
Pendekatan keamanan
Indonesia telah mengamankan keanggotaannya diDewan Hak Asasi Manusia PBB dan Dewan KeamananPBB, dan juga menyetujui Perjanjian Internasionalmengenai Hak-hak Sipil dan Politik (the InternationalCovenant on Civil and Political Rights) dan KonvenanInternasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial danBudaya (the International Convenant on Economic,Social and Cultural Rights) pada tahun 2006. Padakenyataannya,kasus Papua memperlihatkan terbatasnya
ruang yang diberikan untuk melaksanakan hak-hak
tersebut. Pendekatan keamanan dirasakan sangatkuat di tempat-tempat publik yang mempengaruhitingkat kebebasan berekspresi. Para wartawan lokalmenyatakan bahwa kebebasan bagi mereka berartiadanya kebebasan untuk mengungkapkan fakta-fakta
tanpa adanya tekanan dari para pihak yang berkuasa.Kecurigaan-kecurigaan yang ada melalui pemberiannama beberap kegiatan termasuk forum masyarakattertentu sebagai pertemuan ilegal yang diarahkanpada tindakan makar menempatkan mereka ke dalamdaftar gangguan keamanan. Parameter dan alasandari daftar tersebut harus dijelaskan kepada khalayakumum guna membangun masyarakat yang demokratisdan terbuka di atas keeratan sosial. Ruang publik yangdikekang diberlakukan untuk forum publik terbuka.Kasus pencekalan pembicara dari komunitas akademisinternasional pada lokakarya terbuka mengenai
Demokratisasi dan pelaksanaan Otsus di Papua padasaat-saat terakhir oleh keamanan tanpa alasan yangterbuka dan kehadiran petugas intelejen secara nyatapada lokakarya tersebut menciptakan ketidaknyamanandan kekecewaan. Pengekangan ruang publik lainnyaadalah penyitaan bahan-bahan publikasi yang dianggapmengancam ketertiban umum yang dilaksanakanberdasarkan UU no. 5/1969. Beberapa publikasimengenai Papua ditulis oleh masyarakat asli Papuadisita dari pasar karena mereka dianggap menyebabkankeresahan masyarakat. Pembatasan juga dilaksanakanterhadap pihak-pihak dari luar yang akan membuatliputan mengenai Papua: pelarangan akses bagi parawartawan asing luar Indonesia sejak tahun 2003 (kecualibeberapa wartawan internasional terkenal yang berbasiskerja di Jakarta dan mengerjakan sesuatu yang tidakbertema politik) dan melakukan proses penyeleksianuntuk para pengamat yang tidak memihak. Pembatasanketat terhadap akses ke Papua menghambat didapatnyainformasi yang dapat dipercaya mengenai keadaan dansituasi di sana. Terlebih lagi, pembatasan tersebutmenambah kecurigaan terhadap pihak manapun diPapua (baik Pemerintah maupun masyarakat madani)yang mengarah pada permasalahan hak-hak dasarpenduduk asli Papua
Pendekatan keamanan yang diberlakukan olehPemerintah Pusat termasuk keberadaan personil militeryang berlebih di Papua telah menyebabkan ketakutan,menciptakan rendahnya tingkat kepercayaan terhadappemerintah dan meningkatkan prasangka terhadappenduduk non-Papua. Beberapa rekomendasi lokal telahdiminta untuk merancang perdasus untuk mengaturpenempatan personil militer non-organik terutamaKopassus (Komandan pasukan khusus), mengurangi
jumlah pos-pos militer dan personil-personil, dan
-
8/3/2019 papua + solusinya
13/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
membuat Polisi bekerja lebih efektif di dalamkehidupan masyarakat madani. Terlepas dari apapunyang ditulis atau dipresentasikan mengenai Papua olehpara akademisi dan peliputan oleh para wartawanatau pengamat asing, pendekatan keamanan terus
berlangsung dan berfokus pada tindakan pencegahandari pada menawarkan sebuah ruang perdebatan kritisterbuka. Di dalam kerangka pembangunan perdamaiandan strategi pencegahan krisis; parameter keamananyang dipublikasikan dengan jelas dan adanya ruangyang cukup untuk kebebasan berekspresi harusdikembangkan. Pembangunan kepercayaan sebagailangkah penting menuju rekonsiliasi baik secarahorisontal (antara Penduduk non-Papua dan Papua) dansecara vertikal (antara Papua dan Pemerintah Pusat)adalah area yang perlu digarap lebih lanjut di masamendatang.
mana OPM berada) memiliki akses masuk terbatas bagi
orang luar. Pembatasan diberikan juga kepada pihaklain atau organisasi yang bekerja untuk memberikanhak-hak dasar kepada penduduk seperti layanan-layanan kesehatan untuk masyarakat lokal. Organisasi
tersebut perlu melalui beberapa tahapan proseduralsupaya mereka dapat bekerja di lapangan. Dalambeberapa kasus, petugas-petugas keamanan lokal tidakingin menjamin keamanan para staf organisasi tersebutdi atas kecuali apabila mereka dibayar cukup sehinggadapat bernegosiasi mengenai tingkat keamanan darizona-zona merah terkait. Tingkat keselamatandan keamanan menjadi tergantung pada uang suapyang diberikan. Kenyataan di lapangan menunjukkansumber-sumber daya untuk layanan-layanan dasar(misalnya kesehatan dan pendidikan) yang sangatminim (hampir tidak ada) di daerah-daerah yang disebut
sebagai zona-zona merah. Penduduk asli Papua yangdituduh menjadi lebih tersingkir dan terhambat dalammendapatkan akses terhadap hak-hak dasar mereka.Stigma ini menciptakan adanya kesenjangan yang lebihluas dalam ketidak-setaraan horisontal dan rendahnyatingkat keamanan manusia.
Elemen pemecah lainnya adalah pelbagai kabar anginyang terus menerus mempengaruhi pikiran orang danpembangunan perdamaian. Kabar angin ini menyebarselama periode tenang, pada waktu tenang yangmencekam. Para pengusaha konik menyebarkan
kabar angin yang dapat meningkatkan ketegangan untukmencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Beberapamasalah-masalah sensitif dipilih sebagai subyek utamakabar angin untuk memicu kemarahan orang-orangyang mungkin akan berubah menjadi keagresifansosial. Media yang dipakai untuk menyebarkan kabarangin biasanya dari mulut ke mulut atau melalui telponseluler. Pada bulan Juni-Juli 2007, kabar angin mengenaikemungkinan pengibaran bendera di Wamena tersebar,yang meningkatkan ketegangan di antara masyarakatmadani. Kabar angin ini menciptakan ketakutan di dalampikiran orang-orang karena beberapa kekerasan kolektifdi Papua terpicu dengan pengibaran bendera bintangkejora (yang di anggap oleh Negara sebagai identitassimbolis dari negara Melanesia yang sering dihubungkandengan kemerdekaan Papua), termasuk tragedi Wamenapada tanggal 6 Oktober 2000, di mana kekerasan
terstruktur dilakukan oleh aparat keamanan kepadapihak-pihak yang mengibarkan bendera bintang kejoraberdampak pada konik horisontal antara Penduduk
Papua dan penduduk Non-Papua. Berdasarkan padalaporan yang diberikan oleh SKP keuskupan, Kontras,Elsham dan LBH Jayapura, tragedi Wamena tahun 2000
telah mengubah pemetaan sosial di Balim, Wamena
Rendahnya tingkat modal sosial
Tingkat modal sosial di Papua dipengaruhi oleh beberapaelemen pemisah yang cukup signikan. Modal sosial
memegang peranan penting sebagai perekat yangmelekatkan masyarakat untuk membangun keberadaanyang penuh kedamaian. Modal sosial mencerminkaninti dari norma-norma kerja sama dalam pengelolaaninteraksi, sedangkan penyimpangan sosial pada faktanyamencerminkan kurangnya modal sosial. Pada bulanDesember 2007 lokakarya para pemimpin keagamaandi Papua menyatakan beberapa argumen yang pentingtermasuk tidak adanya gerakan separatis di Papua; danadanya stigma keberadaan OPM diciptakan oleh para
pejabat Pemerintah, yang dipelihara dan dimanfaatkanoleh para pejabat Pemerintah demi kepentinganPemerintah. Sebagai tambahan dari argumen di atas; dibeberapa daerah di Papua stigma seperti itu menggangguketersediaannya hak-hak dasar manusia. Secara umum,penduduk asli Papua di dataran tinggi khususnya merekayang tinggal di daerah yang dicap sebagai zona-zona
merah (diasumsikan oleh keamanan sebagai basis di
-
8/3/2019 papua + solusinya
14/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
dan Papua pada umumnya. Perubahan-perubahan iniberdampak penting dalam jangka panjang termasuk:(a) tumbuhnya lingkaran kekerasan; orang-orangyang tinggal di Balim dan Wamena tidak diperlakukansebagai warga negara yang terhormat dan dijamin
hak-hak kewarga negaraannya. Kekerasan para aparatnegara memicu perang budaya di Balim yang mendapatpembalasan yang berkarakter khusus; (b) terciptanyasituasi ketakutan yang traumatis; (c) rusaknya sistempendidikan; banyak guru terbunuh/pergi; (d) masyarakatyang terpecah-pecah; meningkatnya jumlah pengungsiinternal yang memecah orang-orang di lembah balimdan di luar Balim, Penduduk Papua dan non Papua,Penduduk Papua pesisir dan pegunungan. Kepercayaandi antara masyarakat-masyarakat ini telah terbangunselama bertahun-tahun, hancur karena kekerasan yangluar biasa. Setiap kelompok berkeinginan untuk menutup
diri mereka menjadi kelompok etnis mereka sendiri.Berita-berita yang tidak etis, tidak berfakta dan tidakprofessional meningkatkan kecurigaan terhadap oranglain memperkuat ketakutan; (d) Tidak adanya rasaselamat dan aman, Pengungsi internal meninggalkanWamena; (e) Daerah terisolasi; (g) stigmatisasi orang-orang Balim dan Papua; (h) Pendekatan keamanandengan mengirimkan tentara dan polisi lebih banyaklagi.
Mengacu pada akibat-akibat mendalam dari tragedidi atas, kabar angin mengenai pengibaran benderabintang kejora menciptakan suasana ketakutandan teror juga kecurigaan di antara orang. Untukmeredakan ketegangan Dewan Adat Papua di Wamena,juga masyarakat adat lainnya yang tertuduh dandiberi label sebagai pendukung separatis, memberikaninformasi tandingan mengenai tidak adanya tujuanuntuk pengibaran bendera bintang kejora dandengan secara keras merekomendasikan masyarakatlokal untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh olehkabar angin tersebut. Kabar angin tersebut ternyatapalsu; tidak ada pengibaran bendera bintang kejora.Meskipun demikian, selama periode tenang, suasanaketakutan dan teror mencekam kehidupan sehari-haridan menurunkan produktitas dari masyarakat lokal di
Wamena. Terlepas dari periode tenang, kejadian lainmungkin dapat menyebabkan kejadian yang memicuadanya kabar angin. Misalnya, pada bulan September2007, setelah kejadian di mana beberapa masyarakat asliPapua mengalami masalah-masalah keracunan setelahmemakan dan/atau minum makanan dan minumanyang dijual di toko-toko lokal di pasar Wamena. Kabarangin tersebar mengenai usaha pembunuhan untukmelenyapkan orang asli Papua melalui racun yang
dimasukkan ke dalam makanan, minuman dan rokok.
Semua toko-toko di pasar dimiliki oleh penduduk non-Papua. Para penduduk lokal Papua menjadi sangattakut untuk membeli barang persediaan di toko-toko.Orang-orang hidup dalam ketakutan dan teror. Seiring
dengan tersebar luasnya kabar angin, meningkat pula
ketegangan, beberapa orang menjadi marah danmelempar batu ke toko-toko di pasar. Setelah itu,beberapa pasar termasuk Sinakma dan Woma ditutupselama beberapa hari. Untuk menurunkan ketegangan,Polisi lokal pergi berkeliling kota mengumumkanbahwa sudah cukup aman untuk memakan barang-barang dari toko dan mengajak masyarakat lokal untuktetap tenang dan tidak terpancing oleh kabar angin.Setelah itu diketahui bahwa beberapa kasus keracunanmakanan disebabkan oleh barang-barang kedaluwarsayang dijual oleh toko-toko. Dua contoh dari Wamenaini memperlihatkan betapa kabar angin berpengaruh
pada peningkatan konik. Kabar angin juga biasaberedar pada waktu-waktu tertentu di Papua; 1Desember (dianggap sebagai hari nasional Papua) dan14 Desember (dianggap sebagai hari kemerdekaan ataunegara Melanesia). Menyebarnya kabar angin ke seluruhPapua mengenai kemungkinan adanya kerusuhan ataukonik terbuka yang mungkin akan terjadi selama
waktu-waktu tersebut di atas menyebabkan ketakutandan teror. Kabar angin memainkan peranan aktif dalammembangun opini publik yang pada beberapa kasusmembuktikan prasangka buruk yang ada dalam benakpikiran mengenai pihak lain.
Masyarakat anomi dalam proses perubahan sosial
Kekayaan sumber daya alam Papua tidak setara dengantingkat pendidikan. Banyak pemuda putus sekolah yangmenciptakan kesenjangan generasi antara para pemudadan para tetua. Para tetua di desa-desa semua khawatirmengenai kelanjutan tradisi adat mereka seiringdengan meningkatnya jumlah pemuda yang pindah kekota. Para tetua mengeluh bukan karena para pemudapindah ke kota untuk belajar, tetapi lebih pada pemudayang menganggur atau tidak mempunyai pekerjaan.Pemuda seperti itu, menurut para tetua, harus tinggaldan bekerja di desa, memelihara kebun mereka sebagaimasyarakat subsisten. Kelompok pemuda tersebut tidakikut serta dalam ritual-ritual adat tradisional karenamereka merasa bahwa itu sudah ketinggalan jaman,tetapi mereka tidak dapat ikut serta dalam modernisasijuga karena mereka tidak mempunyai kapasitasnya. Jadi,mereka adalah kelompok anomi dalam perubahan sosialyang perlu diberdayakan dalam proses pembangunan.Menanamkan modal pada program pendidikan di Papuaakan menanggulangi perasaan rendah diri menjadi
masyarakat asli Papua sehingga mereka dapat menjadi
-
8/3/2019 papua + solusinya
15/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
subyek dari perubahan sosial. Para anggota masyarakatanomi mudah terjebak di dalam penyimpangan sosialatau nilai-nilai negatif yang dibawa oleh modernisasi.Di Papua, perilaku yang tidak mendukung misalnyamalas dan kurangnya motivasi untuk belajar di sekolah,
juga kebanyakan tingkat kejahatan (baik di kota-kotamupun desa-desa) termasuk pembunuhan, perkosaan,pencurian, penganiayaan, penipuan dan kekerasandalam rumah tangga yang dipicu oleh konsumsi alkohol.Meskipun pada kenyataannya bisnis alkohol membuatkontribusi yang besar secara ekonomi di dalampendapatan daerah, penyimpangan sosial dan/ataukebingungan mengenai identitas kebudayaan seseorangseringkali terkait dengan kecanduan alkohol. Ironisnya,selain dari Kabupaten Manokwari (terletak di PropinsiIrian Jaya Barat) belum ada satu pun peraturan daerahmengenai minuman beralkohol. Sebagai tambahan
atas pendidikan formal, pendidikan ketrampilanhidup sangat diperlukan untuk melaksanakan strategipencegahan dalam menghadapi epidemi tertentu yangmempengaruhi sumber daya manusia di Papua sepertipenyebaran HIV/AIDS, yang sampai pada bulan Juni2006 telah mencapai 2.703 kasus terjangkitnya epidemi.Selama tingkat pendidikan masih rendah, jarak denganakar kebudayaan seseorang semakin melebar, dan tidakadanya perlindungan struktural melalui peraturan;penyimpangan sosial, sumber-sumber daya manusiayang rendah (secara kuantitatif dan kualitatif) dankekerasan pada akar rumput akan tetap ada.
Polarisasi
Polarisasi baik secara horisontal (antara masyarakatmadani) dan vertikal (antara negara dan rakyat)menambah kesenjangan yang meningkatkan konik.
Salah satu elemen yang memicu polarisasi di atas adalahperbedaan pemahaman mengenai manifestasi identitaskebudayaan dibandingkan dengan rasa Nasionalisme.Beberapa konik dan kekerasan terbuka dipicu oleh
pengibaran bendera bintang kejora yang dianggapsebagai perwujudan dari separtisme. Terlebih lagi, didalam opini publik menjadi terpolarisasi dan terpilah-pilah yang disebabkan oleh militerisme: pembentukanparamiliter Barisan Merah Putih yang mencemaskanterdiri atas orang-orang sipil yang memandang dirimereka sebagai barikade pembela Negara Indonesia. Didalam pertemuan mereka pada bulan Desember 2007,para pemimpin agama di Papua mengangkat keprihatinanmereka mengenai militerisme yang dipaksakan danmengganggu ke dalam kehidupan masyarakat madanidi Papua termasuk gaya hidup kemiliteran sepertimemakai pakaian militer. Mengenai hal yang tersebut
terakhir, di seluruh Papua dapat dilihat individu (anak-
anak dan dewasa) memakai pelbagai jenis kaos yangberhubungan dengan ikon atau jargon militerisme.Mantan Presiden Abdurachman Wahid menyetujui bahwabendera bintang kejora adalah identitas kebudayaandari masyarakat asli Papua; pengibaran bendera ini
dapat diterima dan tidak dianggap sebagai separatismeselama dekat dengan bendera Nasional Indonesia. Akantetapi, opini publik masih terpilah karena masih belumtersedianya pemahaman bersama dan persetujuanmengenai inti dan batasan antara identitas kebudayaandan Nasionalisme.
Pemiskinan yang berlangsung terus menerus di Papuatelah menarik perhatian yang berpusat pada peninjauanakibat lebih luas yang dibawa oleh Otsus dalam membuka
lebih banyak akses terhadap hak-hak dasar masyarakatasli pada tingkat akar rumput. Para pengambil manfaat
dari Otsus, seperti yang dinyatakan oleh beberapaanalis di Papua, merupakan sebagian besar dari elit-elit politik dan birokrasi. Selama kasus-kasus korupsi diPapua tidak diungkapkan, maka polarisasi tidak hanyaantara Pemerintah Pusat dan masyarakat asli Papua,tetapi juga antara Pemerintah Lokal atau para elit danmasyarakat akar rumput Papua. Singkatnya, Papua tidakdilayani dengan baik oleh para elitnya sendiri. ManfaatOtsus hanya berputar di antara para elit. Otsus dituduh
memicu adanya perbedaan sosial yang lebih tinggi didalam Papua sendiri antara orang kaya dan miskin. Dibeberapa daerah di Papua telah ditemukan banyakkasus lahirnya OKB (Orang Kaya Baru) yang mempunyai
kepemilikan mewah termasuk rumah dan kendaraandalam waktu singkat sesudah ditunjuk sebagai pejabatlokal. Menjadi pejabat Pemerintah dianggap sebagaikesempatan bagus untuk mengumpulkan modalpribadi bukannya untuk memberikan layanan terhadapkebutuhan publik.
Polarisasi lain di dalam skala mikro atau lokal diPapua diperoleh sebagai akibat dari kebijakan yangdiberlakukan oleh Pemerintah Pusat atas Papua. Satudari contohnya dapat dilihat dari pemekaran Papua.Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Indonesia,menerbitkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 01/2003mengenai pemekaran Papua dan lahirnya Propinsi IrianJaya Barat. Kebijakan ini menciptakan polarisasi antarakelompok pro dan kontra di Papua. Kelompok prokebijakan pemekaran berargumen bahwa itu merupakanlangkah strategis dalam memperkecil kesenjanganlayanan pemerintah terhadap masyarakat lokal danmeningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Padatanggal 4 November 2004, Mahkamah Konstitusi secaraterbuka mengakui status Propinsi Irian Jaya Barat. DPRD
Propinsi Irian Jaya Barat melaksanakan konsultasi publik
-
8/3/2019 papua + solusinya
16/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
yang hasilnya mendukung pembentukan Propinsi IrianJaya barat. Di lain pihak, kelompok-kelompok kontrapemekaran berargumen bahwa Inpres No. 01/2003tidak selaras dengan UU No. 21/2001 mengenai Otsus
Papua, pasal 76, yang menyatakan bahwa pembentukan
Propinsi-propinsi baru harus mendapatkan peretujuandari DPRD dan MPR. Di sisi lain, MRP belum terbentukpada waktu Inpres No. 01/2003 diberlakukan. Konsultasipublik yang dilaksanakan oleh MRP memperlihatkanhasil yang sebaliknya; kebijakan pemekaran termasuklahirnya Propinsi Irian Jaya Barat masih prematurdan setiap kebijakan pemekaran harus kembalikepada pasal 76 UU No. 21/2001. Baik DPRD dan MRPmenolak keberadaan Propinsi Irian Jaya Barat. DPRDmenerbitkan keputusan resmi No. 05/DPRD/2006 paratanggal 17 Februari 2006 yang mendukung rekomendasiMRP. Jika Pemerintah Pusat tetap terus memberlakukan
kebijakan pembagian lain di Papua, DPRD atas namamasyarakat Papua akan mengadakan pertemuan plenoyang ditujukan untuk kembali pada UU No. 21/2001mengenai Otsus Papua.
Kesenjangan antar kelompok masyarakat
Dana Otsus yang dialokasikan untuk Papua pada tahun
2008 adalah 4,53 trilyun yang diharapkan untuk dipakaisecara optimal untuk menurunkan tingkat kesenjangan,mempercepat proses pembangunan dan meningkatkanlayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan daninfrastruktur. Kebijakan-kebijakan pengeluaran skal
dan regional diharapkan untuk meningkatkan sinkronisasiantara pembangunan nasional dengan regional.Komposisi alokasi Otsus 40:60 antara Pemerintahan
Propinsi dan Regional ditujukan untuk menyebarkanlebih banyak dana pada masyarakat di tingkat yang lebihrendah untuk memberikan manfaat bagi 70% pendudukPapua yang tinggal di desa-desa atau wilayah-wilayahterpencil. Jadi salah satu indikator keberhasilan Otsus
adalah mengecilnya kesenjangan antara wilayah dipusat dengan pedesaan atau daerah terpencil juga lebihbesarnya manfaat untuk masyarakat asli di pedesaanatau daerah terpencil (kesenjangan antar kelompokmasyarakat yang lebih kecil antara penduduk asli Papuadan non-Papua). Kurangnya kapasitas Pemerintah ditingkat desa untuk mengelola Otsus adalah salah satu
penyebab yang menghambat penyebaran Otsus pada akar
rumput. Pemikiran mengenai banyaknya sumber dayayang dibutuhkan di tingkat pedesaan harus dibarengidengan kapasitas pada tingkat yang sama mulai dariperencanaan sampai pemantauan. Elemen kedua yangmungkin mempengaruhi tingkat keberhasilan dalampenyebaran kesejahteraan Otsus kepada penduduk asli
Papua adalah pengelolaan anggaran. Hampir seluruh
dana Otsus dianggarkan oleh administrasi Pemerintah.
Kompisisi anggaran Otsus di dalam Anggaran dan
Belanja Daerah pada tahun 2006 seperti yang dijelaskanoleh Univeritas Negeri Papua: 36% untuk administrasipemerintahan, 12,2% untuk pendidikan, kesehatan
9,74%, ekonomi masyarakat 7,6%. Komposisi anggaranyang tidak seimbang itu tidak sejalan dengan elemen-elemen tujuan utama yang dicita-citakan oleh Otsus itu
sendiri adalah membiayai pendidikan, kesehatan danekonomi masyarakat.
Hambatan secara geogras di mana hampir semua
penduduk Papua tinggal di daerah terpencil merupakansalah satu dari alasan yang dipercaya sebagai penghambattingkat keberhasilan Otsus dalam menyebarkan
manfaat kepada penduduk asli Papua. Terbatasnyasaranan layanan publik tidak sebanding dengan tingkat
penyebaran penduduk. Untuk meningkatkan perluasanlayanan publik yang berbanding dengan luas daerah diPapua, disarankan adanya pembentukan Propinsi PapuaBarat Daya (PBD) yang dinyatakan pada bulan Januari2007. Pernyataan pemekaran Papua diikuti dengankeinginan kuat untuk membentuk Propinsi PapuaTengah. Kemudian diputuskan pada tanggal 14 Februari2007 di dalam pertemuan pleno yang dihadiri oleh keduaGubernur Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat sehinggapemekaran dihentikan. Pemerintah Pusat kemudianmengeluarkan dekrit presiden untuk meningkatkanpembangunan dan kesejahteraan di Papua. Meskipundemikian, pemekaran kabupaten-kabupaten di dalamPropinsi yang sama tetap berlangsung. Baru-baru iniada beberapa kabupaten baru hasil pemecahan darikabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya dan Nabire, yaituLanny Jaya, Memberamo Tengah, Yalimo, Nduga,Dogiyai dan Puncak, menimbulkan protes-protestermasuk demonstrasi di depan kantor KementrianDalam Negeri pada tanggal 11 Desember 2007.Kemudian, opini publik kembali terpecah antara prodan kontra yang diikuti oleh beberapa kekecewaanmengenai perasaan terisolir yang disebabkan olehkurangnya konsultasi publik di dalam proses pembuatankebijakan. Kurangnya keterlibatan menimbulkanpolarisasi di dalam masyarakat. Orang-orang di tingkat
akar rumput yang menunjukkan dukungan mereka ataslahirnya kabupaten-kabupaten baru ini mempunyaiharapan yang tinggi untuk mendapatkan lebih banyaklayanan yang dapat menjangkau daerah asal mereka.Pengharapan tinggi seperti ini perlu diikuti dengankemampuan realistis dari sumber daya manusia dalammenangani Kabupaten-kabupaten baru ini. Pada tahapberikutnya,jika ada kesenjangan antara pengharapan dankemampuan dalam pengelolaan kabupaten-kabupaten
baru ini akan mengakibatkan kekecewaan lagi. Dalam
-
8/3/2019 papua + solusinya
17/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
beberapa kasus tertentu bahkan diikuti oleh politikranah yang meningkatkan ethnosentris yang berakar darirasa kebanggaan sebagai anggota dari daerah tertentu.Kemudian, kondisi ini akan mempengaruhi pola migrasipenduduk menjadi perpindahan yang dibatasi karena
rakyat berkeinginan kuat untuk melokalkan banyak hal.Perbincangan mengenai daerah asal atau keturunanmenentukan mobilitas vertikal dalam mencapai posisikarir yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa pendudukPapua akan mempunyai kesempatan yang lebih besardalam membangun karir di daerah asal mereka sendiri.Pada akhirnya, sentimen kedaerahan ini berlawanandengan logika pendayagunaan pemerintahan sendiriyang sangat penting bagi penduduk asli Papua.
Merujuk pada kepemimpinan primordial, politik etnisdan sirkulasi elit seperti yang telah dijelaskan di atas,
pemekaran yang tidak diikuti oleh peningkatan sistempengelolaan yang baik dapat memicu konik yang
lain. Bukannya meningkatkan proses pembangunan,pemekaran mungkin akan menjadi penghambat daripembangunan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat darikasus sengketa-sengketa wilayah yang disebabkanoleh kebijakan pemekaran; Suru-Suru, wilayah sebesar200.000 meter persegi yang kaya akan sumber-sumberdaya alam termasuk hutan, pasir dan batubara adalahbagian dari Kabupaten Merauke sebelum kebijakanpemekaran diberlakukan pada tahun 2002. Kebijakanpemekaran yang diberlakukan pada tahun 2003 membuatSuru-Suru menjadi bagian dari Kabupaten Asmat. Prosespembangunan di Kabupaten Asmat terhambat karenasejak tahun 2003 ada sengketa mengenai wilayahSuru-Suru dengan Kabupaten Yahukimo. Dalam hal ini,kebijakan pemekaran mengurangi persatuan sosial danmengarah pada kompetisi yang terlokalisasi atas sumber-sumber daya bukannya peningkatan layanan publik danpenyeebaran kesejahteraan. Pendekatan strategis gunamenanggulangi hambatan geogras, meningkatkan
kemudahan akses dan penyebaran kesejahteraan yangdalam waktu bersamaan menjaga persatuan sosialdiperlukan untuk mengurangi kesenjangan antara pusatdan pedesaan.
Selain dari sirkulasi para elit, kesenjangan antarkelompok masyarakat yang terjadi di antara pendudukasli Papua dengan non-Papua pada tingkat akar rumputmasih harus diatasi. Kurangnya semangat kewiraswastaandan manajemen keuangan dari penduduk asli Papuadipercayai sebagai pemicu kesenjangan yang ada.Perbedaan pandangan mengenai uang menambahkanjarak kesenjangan ini. Penduduk non-Papua memandanguang di dalam kerangka komoditas (commodity),
sementara orang asli Papua melihatnya dengan logika
hadiah (gift); untuk para pendatang uang dianggapsebagai modal investasi untuk membangun kondisiekonomi seseorang, sedangkan pandangan masyarakatasli Papua mengenai uang adalah sebagai alat untukdipakai bersenang-senang dengan segera dan membina
hubungan sosial dengan sesama. Di dalam tingkatstruktur makro, ketiadaan peraturan daerah sepertiPerdasi (Peraturan Daerah Istimewa) dan Perdasussebagai tindakan nyata dan tegas (afrmative action)
Otsus menciptakan ruang yang lebih sempit guna
melindungi hak-hak masyarakat asli Papua. Peraturandaerah istimewa mengenai hak-hak tanah ulayat akanmencegah marginalisasi penduduk asli Papua daritanah adat mereka sendiri dan sekaligus pencegahkemungkinan konik antara pemilik tanah adat dan
pemilik baru tanah tersebut, atau di antara parapemilik tanah adat itu sendiri.Peraturan daerah khusus
tidak hanya mencegah marjinalisasi sebagai akibatdari konik kepemilikan, namun juga yang berkaitan
dengan kesempatan kerja. Kecenderungan untukmempekerjakan penduduk non-Papua menyebabkanrasa rendah diri di kalangan penduduk asli Papua sertamenciptakan ketidakseimbangan kesempatan yangjuga membuah semakin besarnya kesenjangan antarkelompok masyarakat antara penduduk Papua dan non-Papua. Ketidakseimbangan kesempatan ini berkontribusidalam lokalisasi kekerasan struktural dan menimbulkankekecewaan di kalangan penduduk asli Papua. Di bagianselatan Papua, pendatang non-Papua didatangkanuntuk bekerja pada pelbagai perkebunan investasiminyak kelapa sawit yang direncanakan akan melebihijumlah pekerja dari kalangan penduduk asli Papua.Keadaan ini menambahkan keputusasaan lain mulai daripara pemilik tanah adat yang merasa tidak dihormatihak-hak tanah ulayatnya, dan konik timbul di antara
keluarga mengenai batas-batas tanah dan pembagiankompensasi. Selama strategi pembangunan (misalnyaprioritas yang diberikan kepada penduduk Papuamengenai lapangan pekerjaan) untuk memperkecilgangguan sosial yang dilakukan oleh pemerintahPropinsi belum sepenuhnya dilaksanakan, maka upayauntuk menangani kekecewaan yang terkumpul dankesenjangan antar kelompok masyarakat, harus tetapdilakukan.
6. Pelaku Lokal
Akar rumput
Di dalam Otsus, orang Papua asli di tingkat akar rumput
adalah subyek utama sebagai penerima manfaat dan
pemain dari kemajuan yang ada di tanah mereka.
-
8/3/2019 papua + solusinya
18/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
Perhatian yang paling besar seharusnya diberikan padatingkat akar rumput supaya memberikan ruang yangcukup bagi mereka untuk menentukan dan mengarahkankemajuan sosial yang diinginkan menuju perdamaianpositif. Di dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Kota
Jayapura telah memberikan insentif atau honorariumkerja untuk ketua-ketua RT/RW (Rukun Tetangga/RukunWarga) di Kota Jayapura untuk merangsang merekamelakukan pekerjaan administrasi dengan lebih baik.Secara teknis dan idealnya, sumber daya diberikankepada masyarakat di tingkat yang lebih rendah. Hal initentu saja memerlukan kapasitas dan kemampuan yangcukup untuk mengelola sumber-sumber daya tersebut.Setiap desa akan menerima 100 juta Rupiah setiaptahun. Jika ada 2.178 desa di seluruh Papua, makajumlah total dana Otsus yang dialokasikan adalah sekitar
217,9 milyar Rupiah. Jika ada kekurangan kapasitas di
dalam tingkat desa, akan terjadi sebuah keputusasaanlagi. Pengertian umum mengenai Otsus di antara orang-
orang di tingkat akar rumput berhubungan dengan uangyang ada di dalam kerangka kiriman berkat, bukannyamempunyai skema program yang berjalan terusmenerus serta berfokus pada pendidikan, kesehatandan ekonomi rakyat.
Modal sosial atau kohesi di antara para anggotamasyarakat masih labil. Prasangka dan lebih berfokusmelihat ke dalam diri masing-masing bukannyamelihat ke luar mewarnai hubungan-hubungan yangada pada tingkat akar rumput. Pengertian bersamamengenai keanekaragaman dan pluralisme tidak cukupterakomodasi di dalam kurikulum sekolah yang sebagianbesar didasarkan pada pengetahuan di luar Papua.Misalnya, pelajaran-pelajaran sejarah hanya diadaptasidari sejarah pulau Jawa dan kurangnya ruang untukkearifan lokal dan pengetahuan yang dikontekstualkanmengenai Papua. Pengetahuan dan pengertian antarkebudayaan tidak dikenalkan sejak usia dini supaya dapatmembangun toleransi dan menghormati perbedaan..Menerima perbedaan tetap menjadi sebuah tantangantersendiri. Peran para pemimpin informal sepertikepala suku penting dalam memelihara kebersamaanyang damai di dalam masyarakat mereka. Para kepalasuku masih didengarkan dan dihormati dengan baikdi antara akar rumput. Kesetiaan kesukuan di dalamkerangka primordial memberntuk hubungan-hubungandi antara orang asli Papua dan membangun identitasbersama sebagai anak adat Papua. Kepemimpinanyang kharismatik dari para kepala suku ini memberikankekuasaan untuk mempengaruhi dan di dalam beberapakasus, menggerakkan masyarakat mereka. Hal yangrentan adalah pada waktu primordialisme seperti itu
dimanfaatkan oleh para pengusaha-pengusaha konik
dengan mengubah kesetiaan menjadi politik etnis.Terdapat indikasi krisis legitimasi dalam kepemimpinaninformal yang disebabkan oleh perpecahan dan aliasi
para pemimpin informal.Selain dari pada beberapaorang yang mengaku bahwa mereka adalah kepala suku
dan menawarkan pelbagai proposal di ruang publik ataukantor Pemerintahan guna mendapatkan keuntunganuang, ada juga beberapa kepala suku topi merahyang dibentuk dan diakui oleh Pemerintah. Perpecahanaliasi kepemimpinan di atas menyebabkan kerancuan
di kalangan akar rumput karena sebenarnya posisi kepalasuku merupakan status bawaan sebagai hasil warisanantar generasi Sebagai orang yang berada di garis depan,para kepala suku sering dipakai untuk mengalirkan danmenyebarkan informasi tertentu termasuk indoktrinasidari pihak-pihak yang berkepentingan atau parapengusaha konik dalam rangka membangun opini
publik. Oleh karena itu, penting kiranya pengembangankesadaran terhadap konteks bagi para kepala sukusehingga mereka dapat bertindak secara aktif dan tidakmelihat mereka sebagai obyek manipulasi; hal tersebutakan membuat mereka aktif secara berkontribusisecara positif. Semakin besar kesadaran seseorang akanhal-hal yang ingin dicapai maka akan lebih luas jugakebebasannya untuk memilih.
Perubahan tidak hanya terjadi di antara para kepalasuku. Perubahan sosial yang dinamis mendukunginterpretasi ulang dan dekonstruksi kebudayaantradisional. Ritual adat yang suci telah diubah menjadikomoditas. Berbeda dengan festival kebudayaan yangmemperlihatkan tiruan ritual adat, beberapa anggotamasyarakat mengundang dan meminta uang kepadapara turis asing untuk menyaksikan ritual asli yangdianggap suci dan tertutup sebagai obyek daya tarik.Ritual suci tersebut yang telah dijadikan komoditasmemperlihatkan pembenturan antara nilai-nilaitradisional dan ekonomi pasar modern. Obyek - suci
yang dipakai dalam ritual tradisional di beberapadaerah susah ditemukan karena sudah dicuri ataudijual kepada toko-toko suvenir. Ada beberapa daerahpantai dan bagian selatan Papua yang memproduksiminuman terbuat dari ramuan lokal yang mempunyaidampak yang mirip dengan alkohol dan hanya dipakaiselama pelaksanaan ritual tradisional. Akan tetapi,menurunnya arti kesucian dalam ritual tradisional telahmembelokan nilai-nilai kebudayaan menjadi alasanpraktis guna menikmati minuman tradisional tersebutdi luar ritual tadi. Pemiskinan kebudayaan seperti itumemicu penyimpangan sosial (ketergantungan terhadapalkohol) dan lingkaran kekerasan (misalnya kekerasandalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami yang
mabuk kepada istrinya).
-
8/3/2019 papua + solusinya
19/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
Beberapa tokoh masyarakat yang merasa dirugikandan kecewa mengambil inisiatif dengan menelusuripermasalahan dalam masyarakat dalam rangkamenemukan solusi penanganan yang tepat. Pelbagai
permasalahan yang timbul beraneka ragam mulai darisengketa di antara penduduk Papua dan/atau non-Papua, tanah adat, penyimpangan sosial (pencurian,pembunuhan, mabuk, pemerkosaan, pelecehan, dll),pergumulan dengan modernisasi, krisis legitimasi dihadapipara pemimpin informal termasuk para kepala suku,masalah pemuda, dll. Inisiatif yang berbasis masyarakatini berasal dari kesadaran masyarakat setempattentang meningkatnya kompleksitas permasalahanyang ada di dalam komunitasnya. Salah satu contoh dariinisiatif yang berasal dari masyarakat tersebut adalahpembentukan Komunitas Tiga Tungku Distrik Kurulu yang
dimulai oleh Lembaga Ketahanan Kampung di desa Wagawaga, Kabupaten Jayawijaya. Perkumpulan masyarakatini mencoba untuk menjembatani dan menyelaraskantiga pemain utama di lingkungan desa (adat, gereja danPemerintah) untuk bekerja sama secara aktif dalammenangani perubahan sosial yang terjadi di desa itu.Bahkan perkumpulan masyarakat ini telah membentukanggraan rumah tangga. Meskipun organisasi masyarakatini tidak mempunyai status hukum seperti LSM, tetapidengan dukungan manajemen professional (sepertiketrampilan penyelenggaraan, manajemen organisasi),maka organisasi ini akan menjadi embrio programyang berakar dari inisiatif lokal yang memberi ruangkepada para pemain setempat guna menjadi pemecahmasalah yang dapat berkontribusi dalam membangunperdamaian positif.
Organisasi Masyarakat madani
Organisasi masyarakat madani atau organisasi non
pemerintah (Civil Society Organization atau CSO) di
dalam konteks Papua merupakan organisasi-organisasiyang berhubungan dengan agama dan adat, LSM,media dan institutsi pendidikan. Organisasi yang
berhubungan dengan agama dari pelbagai denominasi(Kristen, Katolik, Islam, Buddha dan Hindu) besertapara pemimpin mereka telah terlibat aktif dalammemberikan rekomendasi yang diperlukan dan inisiatifguna mendapai perdamaian positif di Papua. Sejaktahun 2003 para pemimpin keagamaan mengusulkandan mempromosikan konsep Papua Tanah Damai (PTD)untuk diaplikasikan sebagai kerangka referensi termasukmenganalisa dan mengritik proses pembangunan diPapua. Para pemimpin keagamaan berharap bahwapembangunan pada era Otsus dapat mengganti
kecenderungan konik kebudayaan dengan
penyebaran kesejahteraan dan manfaat bagi masyarakatdalam rangka mewujudkan PTD. Para pemimpin agamamenganggap MRP sebagai perwakilan kebudayaanmasyarakat Papua dan tidak seharusnya terlibat didalam politik-politik lokal. Berdasarkan alasan bahwa
ada kecenderungan untuk mempunyai tokoh politik dariMRP, para pemimpin agama menolak menjadi anggotaMRP dan tidak menentukan kuota untuk perwakilandari masyarakat keagamaan. Akan tetapi, mereka terusmemberikan rekomendasi-rekomendasi secara aktifkepada pelbagai pihak di Papua untuk membangundialog dan rasa kebersamaan selain juga menghindarkanjatuhnya korban manusia dalam menyelesaikan konik
di Papua. Terlepas dari para pemimpin agama, beberapaorganisasi bagian dari gereja seperti SKP (SekretariatKeadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura) yangdengan aktif bekerja membangun perdamaian dan hal-
hal yang berhubungan dengan hak asasi manusia.
Tentang perwakilan masyarakat adat, ada dua organisasibesar yang berhubungan dengan adat; PDP (PresidiumDewan Papua) yang banyak bekerja dalam bidangpolitik, dan menjadi terkenal secara luas sesudah TheisEluay, pemimpin mereka dibunuh. Organisasi kedua
yang berhubungan dengan adat adalah Dewan AdatPapua (DAP) yang didirikan dan berakar dari anggotamasyarakat adat di seluruh Papua. DAP mempunyaidewan eksekutif dan struktur organisasi yang didasarkanpada pemetaan kebudayaan Papua (misalnya dewanadat regional yang berlokasi di tujuh wilayah adat diPapua memiliki struktur lebih rendah sampai di tingkatdesa) yang mana para anggotanya dipilih sebagaiperwakilan masyarakat asli Papua di wilayahnya. DAPjuga telah membentuk beberapa organisasi mandiri yangbekerja seiring dengan tema perlindungan terhadaphak-hak masyarakat asli Papua melalui pelbagai macamprogram: Yadupa (Yayasan Anak Dusun Papua), LPDAP(Lembaga Penjaga Dusun Adat Papua), KAP Papua(kamar Adat pengusaha Papua), dan LBHMAP (Lembagabantuan Hukum Masyarakat Papua). Sayangnya, DAPsebagai kelompok yang berpotensi tidak diakui olehpemerintah yang telah membentuk LMA yang parapemimpinnya ditunjuk oleh pemerintah. Ironisnya,belum terdapat koordinasi antar organisasi-organisasi diatas yang bekerja dalam tataran tema yang sama yakniperlindungan terhadap hak-hak masyarakat asli Papuatermasuk DAP (sebagai salah satu dari orgnisasi nonpemerintah), LMA (yang dibentuk oleh Pemerintah),MRP (sebagai hasil dari Otsus),.Usaha terpadu guna
mencapai strategi bersama yang bermanfaat bagimasyarakat asli Papua masih merupakan suatu agendayang masih perlu dilaksanakan.
-
8/3/2019 papua + solusinya
20/30
Analisis Konfik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua
0
Meskipun telah ada dua stasiun Televisi lokal baru diPapua, namun surat kabar menjangkau lokasi geogras
yang lebih luas di Papua khususnya bagi mayoritaspenduduk yang tinggal di pedesaan atau daerahterpencil. Di daerah konik seperti Papua di mana kabar
angin memainkan peran penting dalam periode tenang,media memegang posisi penting untuk menjelaskaninformasi dan menurunkan ketegangan. Dalamsituasi seperti di atas, pengetahuan dan ketrampilaninvestigasi serta jurnalisme perdamaian memainkanperanan sangat penting dalam mendukung pekerjaanpara wartawan lokal yang kritis. Kemudian, karena Papuamasih kekurangan ruang untuk para wartawan asing,maka para wartawan lokal di Papua harus mempunyaikemampuan professional yang berkualitas dalammenggambarkan kenyataan di lapangan secara kritis.Keseimbangan berita ditambah dengan etika jurnalisme
yang baik akan mendukung peran media dalam rangkamencapai perdamaian positif di Papua. Beberapatantangan baik secara etis dan materi masih dihadapioleh para wartawan lokal Papua termasuk ketiadaanstrategi untuk menangani pelbagai pengusaha konik
yang terus menerus mengincar dan mengarahkan beritasesuai dengan kepentingan mereka; hal ini menuntutadanya integritas kuat dan perlindungan terhadap parawartawan lokal dalam menjalani kebebasan media.Idealisme seperti itu perlu diimbangi dengan strategibisnis dan manajemen guna menghadapi tantangansecara keuangan untuk dapat bertahan dalam bisnis.
Banyak LSM lokal di Papua yang bekerja dalam pelbagaitopik atau subyek pembahasan (misalnya hak asasimanusia, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, jender,ekonomi rakyat, dll) yang perlu diintegrasikan dandisesuaikan untuk membangun jaringan yang baik, konsepbersama dan meninggalkan persaingan berorientasiproyek. Ada beberapa LSM yang berpotensi baik denganagenda orsinil; ini berarti mereka mempunyai ide-ide orsinil yang jelas dan program yang berlandaskankebutuhan dan kepentingan lokal dan tidak mengikutiagenda orang lain atau donor. Dalam beberapa kasus,LSM-LSM yang memiliki agenda orsinil ini dimulai dandikelola oleh para anggota atau tokoh masyarakat lokalyang mempunyai keprihatinan yang sama mengenaikeadaan tempat tinggal mereka. Berbeda denganperkumpulan masyarakat atau paguyuban yang jugaberakar dari inisiatif masyarakat, peresmian pergerakanatau forum di atas menjadi LSM memerlukan kemampuanmanajerial yang lebih besar. Pada saat ini beberapa dariLSM beragenda orisinil tersebut mengalami kemandegandalam meneruskan program mereka karena kurangnyaketertarikan dari pihak-pihak luar seperti para donor
untuk berinvestasi dalam peningkatan kapasitas baik
pengembangan ketrampilan manajemen maupunkeahlian profesional seperti riset, investigasi, mediasi,verikasi data, pencatatan, pelaporan, dll. Program
peningkatan kapasitas bagi LSM tersebut diperlukansecara terbuka dan nyata