paper model ekonomi 3
-
Upload
deni-rusyana -
Category
Documents
-
view
486 -
download
2
Transcript of paper model ekonomi 3
DAMPAK PEMBATASAN KONSUMSI BBM TERHADAP
PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA
Analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan energi yang
mencukupi. Tanpa adanya sumber energi yang mencukupi untuk kelangsungan kegiatan
ekonomi, maka perekonomian akan terganggu. Demikian pula halnya dengan pendapatan
masyarakat. Keberlanjutan kehidupan masyarakat tergantung pada keberlangsungan
perekonomian, sehingga ketika terjadi kemandegan dalam perekonomian maka pendapatan
masyarakat juga akan mandeg, dan ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Namun pertumbuhan ekonomi saja belum dapat menjamin tercapainya kesejahteraan
dalam masyarakat. Teori ekonomi pembangunan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan
ekonomi yang tinggi diperlukan pemerataan pendapatan masyarakat. Kemudian, wacana
yang berkembang dari ekonomi lingkungan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan
ekonomi, diperlukan pula perhatian terhadap keseimbangan dan ketahanan lingkungan.
Karena, pertumbuhan ekonomi tanpa perhatian terhadap lingkungan hanya akan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan kerugian
terhadap masyarakat itu sendiri.
Demi tercapainya ketahanan energi dan keseimbangan lingkungan dalam pencapaian
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, maka diperlukan adanya penggunaan energi secara
efisien. Namun yang masih berlangsung di Indonesia sekarang ini ternyata bahwa kita masih
boros dalam penggunaan energi.
Seperti yang dikaji oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
konsumsi energi Indonesia masih terlalu boros dibandingkan dengan angka pertumbuhan
ekonomi nasionalnya, dengan nilai elastisitas di angka 2,02. Sedangkan negara – negara
seperti Jerman dan Jepang, elastisitasnya minus satu, yang artinya sangat efisien dalam
mengkonsumsi energi. Menurut Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT Dr. Soni Solistia
Wirawan, Indonesia pada 2008 memiliki nilai intensitas energi 382 TOE (tonne of oil
equivalent) per juta dollar AS. Itu berarti untuk menghasilkan sejuta dolar AS GDP (gross
domestic product), Indonesia harus mengonsumsi 382 TOE, suatu angka yang sangat tinggi.
(Kompas, 10 Desember 2010, Konsumsi Energi RI Terlalu Boros).
1
Nilai intensitas energi adalah perbandingan antara total penggunaan energi dengan
produk domestik bruto (PDB). Tabel 1 berikut ini menyebutkan berapa intensitas energi dari
beberapa negara maju:
Tabel 1. Intensitas Energi di Negara Negara Maju
Negara Intensitas Energi (TOE)1. Inggris 1102. Jerman 1273. Amerika Serikat 1994. Jepang 1155. Singapura 240
Sumber: Kompas, 10 Desember 2010, Konsumsi Energi RI Terlalu Boros.
Indonesia menargetkan untuk mencapai nilai elastisitas energi di bawah satu pada
tahun 2025, meskipun saat ini baik masyarakat maupun industri di Indonesia dinilai masih
boros dalam penggunaan energi. Di sektor industri pemborosan energi bisa terjadi akibat dari
adanya peralatan yang tidak terawat, kebocoran peralatan maupun pemanfaatan energi yang
tidak efisien.
Konsumsi energi di Indonesia sekarang ini masih didominasi oleh konsumsi energi
fosil (fossil fuel) terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini dapat dilihat dalam data dari
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa secara umum, total konsumsi
energi final yang didominasi oleh energi fosil, di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun.
Tabel 2. Konsumsi Energi Final Berdasarkan Tipe Energi (Ribu BOE)
Tahun Biomassa BatubaraGas
AlamFuel
Briket Batubara
LPG Listrik Total
2000 269,042 36,060 87,214 315,272 85 8,261 48,555 777,9252001 268,953 37,021 82,235 328,203 78 8,280 51,841 802,3252002 270,207 38,698 80,885 325,202 83 8,744 53,418 799,9262003 271,974 32,077 79,575 321,384 77 8,766 55,473 792,8592004 271,765 32,077 85,459 354,317 80 9,187 61,393 851,9942005 271,094 65,744 86,634 338,375 94 8,453 65,644 865,6522006 276,271 89,043 83,221 311,904 94 9,414 69,071 879,9402007 274,369 121,800 80,178 314,240 131 10,925 74,376 915,893
Sumber: Handbook of energy and economic statistics of Indonesia 2009, http://www.esdm.go.id
Demikian pula untuk konsumsi minyak bumi, jumlahnya terus meningkat meskipun
jumlah produksinya justru semakin menurun. Bahkan setelah tahun 2005, konsumsi minyak
di Indonesia telah melebihi produksinya sehingga Indonesia harus mengimpor minyak dari
2
luar negeri untuk memenuhi kebutuhannya akan minyak bumi. Seperti yang digambarkan
dalam gambar berikut ini:
Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia, 1992-2005
Sumber: EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia
Jika dilihat menurut sektornya, maka sektor yang paling banyak mengkonsumsi
energi final di Indonesia adalah sektor industri, kemudian sektor transportasi dan disusul oleh
sektor rumah tangga, seperti yang tergambar dalam tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (%)
Tahun
Industri
Rumah Tangga
Komersial
Transportasi
Lainnya
2000 41,18 18,78 4,10 29,71 6,24
2001 40,63 18,36 4,13 30,58 6,31
2002 40,07 17,99 4,22 31,48 6,23
2003 37,72 18,76 4,44 33,06 6,02
2004 37,29 17,51 4,63 34,44 6,12
2005 40,50 16,49 4,59 33,03 5,39
2006 43,33 15,69 4,60 31,57 4,81
2007 44,82 15,21 4,59 31,06 4,32
Catatan: untuk komersial energi tidak termasuk biomassa.Sumber: Handbook of energy and economic statistics of Indonesia 2009, http://www.esdm.go.id
Besarnya permintaan energi di Indonesia menuntut ketersediaan energi dan
ketahanan energi. Selama ini masyarakat telah menikmati subsidi khususnya untuk bahan
bakar minyak (BBM). Akibat dari adanya subsidi ini, antara lain, masyarakat menganggap
bahwa energi itu murah sehingga tidak terbersit keinginan untuk menghemat energi. Untuk
3
harga BBM, di tingkat retail, Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Murahnya harga
BBM, menurut para pemerhati lingkungan, akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi
dan selanjutnya berdampak pada tingginya polusi udara dan emisi gas CO2.
Di samping itu, pemerintah merasa masih banyak golongan yang mampu dalam
masyarakat yang justru menikmati subsidi BBM ini sehingga kebijakan subsidi dirasa kurang
tepat sasaran. Kepala BPH Migas Tubagus Ismail mengungkapkan, realisasi BBM bersubsidi
sepanjang tahun 2010, 90 persen didominasi oleh transportasi darat. Dari jumlah tersebut,
sebagian besar dikonsumsi oleh mobil pribadi. 53 persen konsumsi premium dikonsumsi oleh
kendaraan pribadi pelat hitam, sisanya 40 persen terdistribusi ke sepeda motor, 4 persen
angkutan barang, dan 3 persen angkutan umum. Tiga wilayah yang paling banyak
mengkonsumsi premium adalah Jawa dan Bali tanpa Jabodetabek sebesar 41 persen,
Jabodetabek sebesar 18 persen, dan Sumatera (tidak termasuk kota besar) sebesar 18 persen.
(Kompas, 6 Desember, Pembatasan BBM Bersubsidi).
Padahal di sisi lain, subsidi BBM semakin lama semakin dirasa berat untuk anggaran
pemerintah seperti yang tertera dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. Perkembangan Data Subsidi BBM di Indonesia dibandingkan dengan PDB
TahunSubsidi BBM
(Triliun Rupiah)PDB
(Triliun Rupiah)
%terhadap
PDB
APBN(Triliun Rupiah)
% terhadap
APBN2002 31,8 1.821,8 1,7 322,2 9,82003 31,1 2.013,7 1,5 376,5 8,02004 76,8 2.295,8 3,3 427,2 18,02005 104,8 2.774,3 3,8 509,6 20,62006 59,5 3.339,5 1,9 667,1 9,62007 76,3 3.957,5 2,1 757,2 11,12008 103,9 4.484,4 2,8 989,5 12,8
Sumber: Departemen Keuangan dan BPS dalam Lisnawati, 2008.
Sedangkan untuk APBN 2011, DPR sudah menyetujui pengajuan anggaran subsidi
BBM sebesar Rp 97,26 triliun (atau Rp. 92.8 T), dan di dalamnya juga termasuk premium
plus bio premium sebesar 23,19 kiloliter atau sebesar Rp 41,189 triliun. (Kompas, 6
Desember 2010, DPR:Pembatasan BBM Bikin Kisruh di SPBU).
Oleh karena permintaan akan BBM ini terus meningkat sedangkan ketersediaannya
semakin menipis, maka pemerintah memutuskan untuk membatasi konsumsi energi
masyarakat melalui pencabutan subsidi BBM. Pemerintah mempunyai dua opsi seputar
pembatasan BBM bersubsidi. Opsi pertama adalah pembatasan konsumsi BBM subsidi bagi
4
semua kendaraan pribadi berpelat hitam. Opsi kedua adalah pembatasan bagi kendaraan pelat
hitam untuk keluaran tahun 2005 ke atas. Jenis kendaraan yang menjadi sasaran pembatasan
jenis BBM bensin dan premium adalah kendaraan pribadi roda empat (pelat hitam),
kendaraan instansi pemerintah roda empat (pelat merah), dan kendaraan TNI-Polri. Hanya
kendaraan dengan pelat kuning, seperti angkutan umum dan angkutan barang, kendaraan roda
dua dan roda tiga yang berhak memperoleh bensin premium. (Kompas, 6 Desember,
Pembatasan BBM Bersubsidi).
DPR juga telah menyetujui rencana pembatasan BBM bersubsidi mulai akhir Maret
2011 untuk Jabodetabek. Rencana tersebut dilanjutkan pada 1 Juli 2011 untuk Jawa dan Bali,
2012 untuk Sumatera dan Kalimantan, dan seluruh Indonesia pada tahun 2013 mendatang.
Kementrian Keuangan memperkirakan kebijakan baru itu akan mengurangi subsidi BBM
hingga Rp 10,5 triliun di tahun 2011. Dan jika diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia
pada tahun 2013 maka diprediksi penghematan subsidi BBM bisa mencapai Rp 34,3 triliun.
(Detik Finance, 17 Desember 2010).
Dengan adanya pembatasan ini, diharapkan masyarakat akan lebih hati – hati dan
efisien dalam menggunakan energi, khususnya BBM. Di sisi lain, kebijakan ini menuai
banyak kontroversi baik di kalangan DPR, ekonom maupun masyarakat. Ketika subsidi BBM
dicabut maka harga BBM akan menjadi mahal, disini bisa terjadi kemungkinan masyarakat
mengurangi konsumsinya akan BBM. Namun sampai sekarang ini belum ada alternatif
sumber energi yang dapat menggantikan peranan BBM secara penuh, dalam peranannya
sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai aktivitas oleh masyarakat. Maka mahalnya
harga BBM akan menimbulkan masalah dalam kegiatan ekonomi, seperti masalah inflasi,
kenaikan suku bunga, dan bahkan turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu, rencana pemerintah untuk mulai melakukan pembatasan subsidi belum
didukung oleh infrastruktur yang memadai. Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi
mengatakan, dari 600 SPBU yang terdata di DKI Jakarta, baru sekitar 400 SPBU yang dinilai
siap menyalurkan pertamax saat ini. BPH Migas mencatat butuh waktu 6 bulan sampai 1
tahun untuk bisa menyiapkan 200 SPBU yang lain untuk mampu menjual pertamax.
Sementara itu, dari seluruh SPBU di Jawa dan Bali, baru 35 persen SPBU yang siap.
Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam, juga menegaskan bahwa pemerintah belum siap. Jika
kebijakan ini ditujukan untuk tujuan pro-growth, pun jelas tak cocok. Selain infrastruktur,
pemerintah juga belum siap dalam antisipasi masa peralihan. Kalau kebijakan ini
diberlakukan, pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke transportasi umum. Padahal belum
ada setting pengguna kendaraan pribadi ke umum. Selain itu juga, kalau tidak dipersiapkan,
5
ada blackmarket untuk BBM bersubsidi ini. Pemerintah juga harus memikirkan cara
memenuhi permintaan pertamax yang tinggi dari masyarakat nantinya, karena diperkirakan
setidaknya ada kebutuhan sekitar 4 juta kiloliter setelah kebijakan diterapkan. (Kompas, 11
Desember 2010, Pembatasan BBM Terkendala Infrastruktur).
Terlebih lagi, pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi dinilai akan
meningkatkan laju inflasi tahun depan. Badan Pusat Statistik memperkirakan kebijakan yang
berlaku mulai tahun depan itu akan menaikkan inflasi hingga 8 persen. Kepala Badan Pusat
Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan, pembatasan BBM subsidi memberikan
pengaruh yang besar pada kenaikan harga barang. Berdasarkan perhitungan BPS, bobot
pengaruh penggunaan angkutan terhadap inflasi sebesar 4,3 persen. (Kompas, 29 November
2010, Pembatasan Subsidi BBM Dorong Inflasi).
2. Pertanyaan Penelitian
Dari latar belakang yang telah dijelaskan dimuka, maka kami sampai pada pertanyaan
penelitian, yaitu :
a. Apa yang terjadi pada distribusi pendapatan rumah tangga perkotaan dan pedesaan
ketika konsumsi BBM dibatasi?
b. Sektor apa saja yang akan terkena dampak paling besar dari adanya kebijakan
pembatasan konsumsi BBM? (kalo nggak salah dah diganti sesuai di slide)
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
a. Melihat perubahan pada distribusi pendapatan rumah tangga sebelum dan sesudah
diterapkannya kebijakan pembatasan konsumsi BBM.
b. Melihat sektor mana yang akan terkena dampak paling besar dari adanya kebijakan
pembatasan konsumsi BBM.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teori
Kegiatan produksi, distribusi dan alokasi barang dan jasa dalam perekonomian dapat
digambarkan dalam sebuah circular flow diagram. Interaksi diantara diagram ini sering
disebut dengan model keseimbangan umum atau general equilibrium model. Dalam model ini
diasumsikan semua pengeluaran akan seimbang dengan pendapatan.
6
Gambar 2. Circular Flow Diagram
Sumber: http://legacy.lclark.edu/~bekar/Mankiw/ch22/image/mod22nf1.gif
Keseimbangan dalam perekonomian dapat berubah ketika terjadi shock dalam
perekonomian. Shock yang merubah aggregate demand dinamakan demand shock, dan shock
yang merubah aggregate supply dinamakan supply shock. Shock ini bisa terjadi ketika ada
perubahan dalam variabel eksogen, seperti adanya kebijakan pemerintah.
Ketika perekonomian berada dalam keseimbangan, maka diasumsikan actual
expenditure akan sama dengan planned expenditure. Hal ini dapat digambarkan dengan
Keynesian Cross.
Gambar 3. Keynesian Cross
Sumber: http://www.fgn.unisg.ch/eurmacro/tutor/graphs/KEYNCROS.GIF
7
Income, Output, Y
Expenditure, E
450
MPC x ΔT
B
A
Actual Expenditure
Planned Expenditure
Ketika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal, misalnya penurunan pajak, maka
kebijakan ini akan menjadi shock dalam perekonomian. Perubahan dalam perekonomian
akibat dari turunnya pajak atau penambahan subsidi dapat dijelaskan dalam Keynesian Cross.
Misalnya ada penurunan pajak sebesar ΔT, maka disposable income Y - T (pendapatan) akan
meningkat sebesar ΔT, dan konsumsi akan meningkat sebesar Marginal Propensity to
Consume (MPC) x ΔT. Ekuilibrium dalam perekonomian akan berpindah dari A ke B, dan
kurva pengeluaran akan bergeser ke atas.
Gambar 4. Keynesian Cross Setelah Adanya Kebijakan Penurunan Pajak
Sumber: Mankiw, 2000, hal:265.
Kebijakan fiskal berupa penurunan pajak atau pemberian subsidi memiliki dampak
multiplier (pengganda), sehingga dampaknya terhadap perekonomian menjadi:
ΔY/ΔT = -MPC/(1-MPC)
Persamaan di atas merupakan tax multiplier atau multiplier pajak, yang artinya perubahan
sebesar Rp 1 dalam besarnya pajak akan mengakibatkan perubahan pendapatan sebesar
multiplier pajak.
Contohnya, jika MPC sebesar 0,6 maka multiplier pajaknya adalah ΔY/ΔT = -0,6/(1-
0,6) = -1,5. Maka, penurunan pajak sebesar Rp 1 atau pemberian subsidi sebesar Rp1 akan
meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1,5. (Mankiw, 2000).
8
2. Tinjauan Empiris
Berbagai penelitian dengan menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi telah
dilakukan. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian terdahulu dengan menggunakan
analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi.
a. Dewi Ratna Sjari Manaf, Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani:
Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,
2000. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/4822/4/2000drs.pdf
Pemerintah menerapkan kebijakan subsidi pupuk untuk meningkatkan output dan
mempertahankan swasembada pangan. Namun biaya yang semakin besar mulai dirasa
memberatkan bagi pemerintah. Disamping itu, subsidi pupuk juga disinyalir tidak tepat
sasaran pada petani kecil. Pada tahun 1998, pemerintah memutuskan untuk menghapus
subsidi pupuk.
Penelitian ini menggunakan data SNSE Indonesia tahun 1995. Tujuan dari penelitian
ini adalah ingin:
1. Menganalisis apakah kebijakan subsidi harga pupuk dalam jangka panjang dapat
mendorong kontinuitas peningkatan produksi secara umum.
2. Menganalisis dampak diberikannya subsidi harga pupuk terhadap distribusi
pendapatan, khususnya di sektor pertanian.
3. Menganalisis alur kebijakan yang paling efektif dalam upaya meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani melalui subsidi harga pupuk.
Hasil penelitian menunjukkan, penghapusan subsidi harga pupuk secara langsung
akan meningkatkan biaya produksi bagi petani kecil sehingga mereka enggan untuk membeli
pupuk. Tindakan ini akan menurunkan tingkat produksi secara umum. Pengaruh yang
terbesar dari pemberian subsidi pupuk diterima oleh sektor perkebunan, diikuti oleh sektor
jasa dan kapital. Analisis alur struktural menunjukkan pengaruh paling kecil justru diterima
oleh rumah tangga petani yang memiliki lahan 0,5 sampai 1 hektar itupun setelah melalui
faktor produksi modal.
Sedangkan pengaruhnya terhadap rumah tangga petani gurem dan buruh tani tidak
dapat terdeteksi melalui SPA. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua bahwa subsidi harga
pupuk memiliki pengaruh yang bias kepada pengusaha menengah besar dibandingkan pada
pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil. Sebagian besar peningkatan pendapatan
yang diharapkan, ternyata lebih banyak dinikmati oleh sektor jasa, sehingga tidak banyak
meningkatkan kesejahteraan petani secara umum.
9
Sesuai dengan hipotesis ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan
subsidi pupuk yang selektif akan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antara rumah
tangga petani dan bukan petani. Namun perhitungan cost/benefit menunjukkan bahwa biaya
yang dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang akan
diterima oleh kelompok target yang dituju.
b. Sri Hery Susilowati, Bonar, M. Sinaga, Wilson, H. Limbong, dan Erwidodo, Dampak
Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi
Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial
Ekonomi, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 11 – 36.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor
agroindustri terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumah tangga. Analisis
menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didisagregasi ke dalam
agroindustri makanan dan nonmakanan. Analisis kemiskinan dan distribusi pendapatan
rumah tangga menggunakan data SUSENAS.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan ekspor, investasi, dan
insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan
memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, sedangkan kebijakan peningkatan
pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak
positif. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri nonmakanan berdampak lebih besar dalam
menurunkan tingkat kemiskinan. Sedangkan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri
makanan berdampak lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Kebijakan
ekonomi di sektor agroindustri prioritas (industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan,
industri rokok, industri minuman, dan industri makanan sektor perikanan) merupakan
kebijakan yang paling efektif menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi
pendapatan rumah tangga.
c. Made Antara, Linkages Between Tourism and Agricultural in Bali-Indonesia: A Social
Accounting Matrix Approach, Department of Socio-Economic of Agriculture, Faculty of
Agriculture, University of Udayana, Denpasar-Bali, Indonesia,1999.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%282%29%20soca-antara-agricultural%20and%20tourism
%281%29.pdf
Dengan menggunakan analisis pengganda Social Accounting Matrix (SAM) Bali
1996 (ukuran 55x55), dapat diperoleh efek pengganda pengeluaran wisatawan terhadap
neraca-neraca regional Bali. Dari analisis ditemukan bahwa dari 28 sektor pada neraca
10
produksi, sebanyak 27 sektor mendapatkan efek, dengan kisaran pengganda dari 0,001
sampai 0,507. Ini mengindikasikan telah terjadi keterkaitan antara sektor pariwisata dengan
sektor-sektor ekonomi produksi, khususnya dengan sektor pertanian, yang telah menjadi
salah satu sektor prioritas dalam pembangunan perekonomian Bali. Dengan demikian, posisi
sektor pertanian dalam arena kepariwisataan adalah relatif penting, karena pertanian dengan
produk-produk yang dihasilkan oleh kebanyakan petani di pedesaan, diperlukan oleh
wisatawan maupun sektor-sektor ekonomi yang terkait dengan pariwisata.
d. Djoni Hartono dan Budi Resosudarmo, The Economy – wide Impact of Controlling
Energy Consumption in Indonesia: An Analysis Using a Social Accounting Matrix
Framework, Center for Economics and Development Studies, Department of Economics,
Padjadjaran University, Working Paper in Economics and Development Studies, No. 200702,
January, 2007.
Kenaikan harga minyak dan kebutuhan untuk mengontrol emisi karbon memberikan
sinyal kepada Indonesia untuk mengurangi penggunaan energi dan menggunakan energi
dengan lebih efisien. Untuk menciptakan insentif bagi masyarakat supaya lebih efisien dalam
menggunakan energi, pemerintah perlu untuk mengurangi subsidi terhadap energi yang di sisi
lain juga cukup membebani anggaran pemerintah.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa dampak dari kebijakan energi yang bertujuan
untuk mengurangi penggunaan energi dan meningkatkan efisiensi dari penggunaan energi,
terutama pada distribusi pendapatan di beberapa kelompok rumah tangga.
Analisa dalam tulisan ini akan diawali dengan konstruksi sebuah SAM untuk
Indonesia secara detail untuk sektor energi. Kemudian akan dilanjutkan dengan
menggunakan berbagai analisa multiplier untuk menemukan bagaimana dampak dari
kebijakan energi ini. Data yang digunakan adalah data SAM Indonesia tahun 2000.
Keterbatasan dalam tulisan ini adalah:
1). Metode ini relatif simple dan tidak melihat masalah harga, sedangkan harga adalah
sebuah variabel yang penting dalam masalah energi di Indonesia, terutama masalah
BBM.
2). General equilibrium dalam model SAM disini adalah statik, oleh karena itu tidak
dapat dipergunakan untuk meramalkan trend dalam long run.
3). SAM mengasumsikan Leontief Technology yang fixed, yang mengimplikasikan
bahwa teknologi adalah konstan pada tahun dasar dari model sampai periode tertentu
(biasanya lima tahun).
11
Oleh karena itu, dengan membawa semua kelemahan dari model ini, beberapa dari
kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah:
1). Metode penghitungan efisiensi dari penggunaan energi dan SAM Energi Indonesia adalah
sangat penting, karena dua hal ini membuat kita dapat melihat dampak dari peningkatan
efisiensi penggunaan energi terhadap pendapatan rumah tangga. Penting juga untuk diketahui
bahwa baru sedikit ahli dan peneliti yang telah menggunakan Tabel Energi SAM untuk
membahas masalah energi di Indonesia.
2). Secara umum, dampak dari peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi lebih baik
daripada dampak pembatasan penggunaan energi. Dalam hal ini, peningkatan efisiensi dalam
penggunaan energi akan meningkatkan pendapatan dari sebagian besar kelompok rumah
tangga, sedangkan pembatasan energi akan menurunkan pendapatan mereka.
3). Dalam situasi dimana efisiensi dicapai tanpa memotong subsidi pemerintah, pendapatan
rumah tangga akan meningkat terutama ketika semua sektor industri dan semua rumah tangga
menggunakan listrik secara efisien.
4). Dalam situasi dimana efisiensi tercapai dengan pemotongan subsidi, pendapatan rumah
tangga akan meningkat terutama ketika semua sektor industri menggunakan solar secara
efisien dan semua rumah tangga menggunakan gas secara efisien.
5). Peningkatan dalam efisiensi seharusnya lebih ditekankan pada sektor industri daripada
sektor rumah tangga, karena sektor industri akan meningkatkan pendapatan rumah tangga
lebih besar daripada peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari peningkatan efisiensi oleh
rumah tangga. Lebih daripada itu, peningkatan efisiensi pada sektor industri seharusnya fokus
pada energi solar industri, dan akan lebih baik lagi jika pemerintah memotong subsidi di
sektor ini.
6). Berdasarkan dari data SAM yang digunakan dalam tulisan ini, sektor industri yang
diharapkan untuk mencoba melakukan efisiensi dalam penggunaan energi agar menghasilkan
efek positif pada pendapatan rumah tangga adalah: (i) Industri kertas dan Pulp, Konstruksi
dan Transportasi Darat untuk solar; (ii) Perdagangan, Industri Kertas dan Pulp, dan Industri
Tekstil untuk energi listrik. Kelompok rumah tangga yang disarankan untuk mencoba
melakukan efisiensi pada konsumsi energi mereka agar ada dampak positif terhadap
pendapatan rumah tangga adalah: (i) Kelompok atas di perkotaan dan pedesaan dan
kelompok bawah di perkotaan untuk bahan bakar otomotif; (ii) Kelompok atas di perkotaan
dan pedesaan dan kelompok bawah di perkotaan untuk gas dan listrik.
12
C. METODE PENELITIAN
1. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (Social Accounting Matrix)
Social Accounting Matrix (SAM) merupakan sebuah model keseimbangan umum
yang pertama kali diperkenalkan oleh Richard Stone dari Cambridge University of England.
(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Social Accounting Matrix, dalam terminologi Indonesia disebut Sistem Neraca Sosial
Ekonomi (SNSE), adalah suatu sistem data yang memuat data – data sosial dan ekonomi
dalam sebuah perekonomian (Thorbecke, 1988 dalam Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Menurut Pyatt dan Round (1988) SAM merupakan suatu kerangka data yang bersifat
keseimbangan umum (general equilibrium) yang dapat menggambarkan perekonomian
secara menyeluruh dan dapat menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam
negara yang bersangkutan. Sumber – sumber data untuk membuat SAM adalah dari Tabel
I-O, statistik pendapatan nasional, serta statistik pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.
Oleh karena itu, SAM kelihatan lebih lengkap dibandingkan tabel input output dan statistik
pendapatan nasional, dengan menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu
perekonomian. Tabel input output hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan
latar belakang sosial dari pelaku transaksi tersebut. Sementara SAM berupaya melakukan
klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi pada suatu
perekonomian atau aktivitas fungsional (Chowdhurry, 1990 dalam Haryanto dan
Hafizrianda, 2010).
Dalam model SAM dapat dimasukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak
dan subsidi, modal dan sebagainya, sehingga model SAM dapat menggambarkan seluruh
transaksi makroekonomi, sektoral, dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca.
Keunggulan lain dari model SAM dibanding model I-O adalah bahwa model SAM mampu
menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam perekonomian. (Haryanto dan
Hafizrianda, 2010).
Terdapat 4 neraca utama dalam kerangka dasar SAM Indonesia, yaitu:
1. Neraca faktor produksi, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja dan modal
2. Neraca institusi, termasuk di dalamnya, rumah tangga dan perusahaan
3. Neraca sektor produksi, seperti pertanian, industri dan jasa
4. Neraca eksogen yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (ROW).
(Daryanto, 2001b dalam Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Dalam tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi, selalu terdapat keseimbangan dari
masing – masing neraca, sehingga jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masing –
13
masing neraca haruslah sama. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lainnya
memberikan arti tersendiri, seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 5. Kerangka Dasar SNSE
Penerimaan PengeluaranFaktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Lainnya Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6)Faktor Produksi
0 0 T1.3 T1.4 T1
Institusi T2.1 T2.2 0 T2.4 T2
Sektor Produksi
0 T3.2 T3.3 T3.4 T3
Neraca Lainnya T4.1 T4.2 T4.3 T4.4 T4
Total T’1 T’2 T’3 T’4
Sumber: Sistem Neraca Sosial Ekonomi, http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf
Tabel 6. Arti Hubungan Antar Neraca Dalam Kerangka SNSE
Penerimaan PengeluaranFaktor
ProduksiInstitusi Sektor Produksi Neraca Lainnya Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6)Faktor Produksi
0 0Alokasi NilaiTambah Ke
Faktor Produksi
PendapatanFaktor
Produksidari LuarNegeri
DistribusiPendapatanFaktorial
Institusi AlokasiPendapatan
FaktorProduksi ke
Institusi
TransferAntar
Institusi0
Transfer DariLuar Negeri
DistribusiPendapatanInstitusional
Sektor Produksi
0 Permintaan Akhir Permintaan AntaraEkspor danInvestasi
Total Output
Neraca Lainnya AlokasiPendapatan
FaktorProduksi KeLuar Negeri
TabunganImpor, Pajak
Tidak LangsungTransfer dan
Neraca Lainnya
TotalPenerimaan
Lainnya
Total DistribusiPengeluaran
FaktorProduksi
DistribusiPengeluaran
InstitusiTotal Input
TotalPengeluaran
Lainnya
Sumber: Sistem Neraca Sosial Ekonomi, http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf
SNSE atau SAM dapat digunakan dalam beberapa metode analisis, antara lain:
1.1. Analisis Multiplier
14
Multiplier yang dihasilkan dalam analisis SAM dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu multiplier I-O dan multiplier SAM. Multiplier I-O merupakan multiplier yang
menjelaskan neraca aktivitas, dihitung dengan menggunakan matriks invers Leontief yaitu
ML = (I-A)-1 dimana A merupakan matriks koefisien teknologi seperti pada model Input
Output. Sedangkan multiplier SAM, atau biasa juga disebut Accounting Multiplier,
menjelaskan seluruh neraca endogen dalam SAM, yaitu neraca faktor produksi, neraca
institusi, dan neraca aktivitas produksi. Multiplier SAM dihitung dengan rumus
MS = (I – Am), dimana Am merupakan matriks direct propensities yang dihitung dari model
SAM.
Am=( 0 0 A13
A21 A22 00 A32 A33
)(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
1.2. Structural Path Analysis (SPA)
Menurut Defourny dan Thorbecke (1988) metode dekomposisi yang konvensional
tidak mampu untuk menguraikan multiplier ke dalam transaksi komponennya atau untuk
mengidentifikasi transaksi dengan menyertakan suatu keterkaitan yang berurutan.
Dekomposisi multiplier yang konvensional hanya mampu menguraikan pengaruh – pengaruh
dalam dan antara neraca endogen saja. Dengan Structural Path Analysis (SPA), kita bisa
melacak interaksi dalam suatu perekonomian yang dimulai dari suatu sektor tertentu dan
berakhir pada sektor tertentu lainnya. Metode SPA mampu menunjukkan bagaimana
pengaruh transmisi dari satu sektor ke sektor lainnya secara bersambungan dalam suatu
gambar. Jadi, pada dasarnya SPA itu adalah sebuah metode yang dilakukan untuk
mengidentifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur yang menghubungkan pengaruh suatu
sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor
lainnya tersebut dapat melalui jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). (Haryanto
dan Hafizrianda, 2010).
Gambar 5. Jalur Dasar
15
Disebut jalur dasar apabila jalur tersebut melalui sebuah sektor tidak lebih dari satu
kali. Misalkan, sektor i mempengaruhi sektor j. Pengaruh dari i ke j dapat terjadi secara
langsung, dapat juga terjadi melalui sektor-sektor lain, misalnya x dan y. Apabila dalam jalur
i ke j tersebut i, x, y dan j hanya dilalui satu kali, maka disebut jalur dasar. Seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. (Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Gambar 6. Sirkuit dalam Analisis Jalur
Ada kalanya suatu sektor, setelah mempengaruhi sektor lain, pada akhirnya akan
kembali lagi mempengaruhi sektor itu sendiri. Dari contoh Gambar 3 di atas, misalnya,
pengaruh sektor i ke j masih dilanjutkan, j mempengaruhi sektor z, dan z mempengaruhi i.
Maka jalur i ke x ke y ke j ke z dan kembali ke i disebut sirkuit. Dalam jalur ini, setiap sektor
hanya dilalui satu kali kecuali i. Sektor i dilalui dua kali, pada awal dan akhir jalur.
(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Di dalam metodologi SPA, ada tiga elemen yaitu:
1. Pengaruh langsung (direct influence/direct effect)
Pengaruh langsung dari i ke j adalah perubahan pendapatan (produksi) sektor j yang
disebabkan oleh perubahan 1 unit pada sektor i, dengan asumsi bahwa pendapatan
(produksi) pada titik yang lain, kecuali pada jalur dasar yang dilalui dari i ke j tidak
mengalami perubahan. Nilai pengaruh langsung diperoleh dari matriks kecenderungan
pengeluaran rata – rata (Aij),
ID(ij) = Aij.
2. Pengaruh total (total influence/total effect)
Pengaruh total dari i ke j adalah perubahan yang dibawa dari i ke j baik melalui jalur
dasar maupun sirkuit yang menghubungkannya. Pengaruh total (IT) merupakan
perkalian antara pengaruh langsung (ID) dan pengganda jalur atau path multiplier
(Mp).
16
SNSE Indonesia 2005107x107
SNSE Indonesia 2005Agregasi 38x38
MATSMs Excell 2007
Matrik SAMMatrik Koefisien (Aij)Matrik Accounting Multiplier (Ma)Structural Path Analysis (SPA)
Simulasi KebijakanAsumsi Skenario
HASIL
IT (ij) = ID (ij).Mp
= AxiAyxAjy[1-Ayx(Axy+AzyAxz)-1
Dimana Mp=[1-Ayx(Axy+AzyAxz)-1
3. Pengaruh global (global influence/global effect)
Pengaruh global dari i ke j mengukur keseluruhan pengaruh pada pendapatan atau
produksi j yang disebabkan oleh satu unit perubahan i. Nilai pengaruh global
diperoleh dari matriks pengganda neraca (Ma). Pengaruh global (IG) sama dengan
jumlah dari pengaruh total (IT) sepanjang jalur dasar yang saling berhubungan pada
titik I dan j.
IG( i→ j )=M aji=∑p=1
n
¿(i → j )=→∑ ID (i → j ) Mp
(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).
Berikut adalah cara kerja model SNSE dalam penelitian ini:
Gambar 7. Cara Kerja Model SNSE dalam Penelitian ini
17
Secara umum, penelitian ini akan menggunakan metode:
1. Analisa Accounting Multiplier
2. Analisa Jalur Struktural atau Structural Path Analysis (SPA), yang meliputi:
Direct Effec
Total Effect
Global Effect
3. Analisa Kebijakan dengan memasukkan shock ke dalam variabel eksogen.
Kemudian perhitungannya akan dilakukan dengan menggunakan software MATS dan
Microsoft Excell 2007 untuk mengolah data SNSE 2005.
2. DATA
Tulisan ini menggunakan data SAM Indonesia (Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Indonesia) 107 x 107, tahun 2005. Dalam tulisan ini, kami sengaja merubah disagregasi data
menjadi 38 x 38 agar lebih sesuai dengan tujuan penelitian kami.
Tabel 7. Modifikasi format SNSE 107 x 107 menjadi 38 x 38
SNSE 107x107 SNSE 38x38
Neraca Endogen Neraca EndogenFaktor Produksi (17 sektor) Faktor Produksi (9 sektor)Institusi (12 sektor) Institusi (9 sektor) Sektor Produksi (24 sektor) Sektor Produksi (14 sektor)Komoditas domestik dan impor (masing-masing 24 sektor)
Neraca Eksogen Neraca Eksogen
Margin Perdagangan dan pengangkutan Pemerintah
Neraca Kapital Margin Perdagangan dan pengangkutanPajak Tidak Langsung Netto Neraca KapitalSubsidi Pajak Tidak Langsung
SubsidiNeraca Luar Negeri
D. HASIL DAN ANALISIS
1. Accounting Multiplier
Accounting multiplier dapat menjelasakan perubahan neraca endogen kerena adanya
perubahan pada neraca eksogen. Mengingat focus dari penulisan paper ini adalah dampak
18
pembatasan BBM terhadap pendapatan rumah tangga, maka nilai accounting multiplier
sebagaimana yang tertera dalam Tabel 8, hanya menunjukan nilai multiplier antara dari
ekpenditure sektor angkutan darat (kolom 26) yang merupakan sektor yang mendapatkan
subsidi BBM terhadap pendapatan rumah tangga (baris 10 s/d 17).
Nilai accounting multiplier kolom pengeluaran sektor angkutan darat terhadap
pendapatan rumah tangga pertanian untuk buruh adalah sebesar 0.0403, secara ekonomi ini
mempunyai arti bahwa apabila terdapat injeksi dari neraca eksogen (missal: subsidi) sebesar
Rp. 1,- melalui sektor angkutan darat maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga
pertanian buruh sebesar Rp. 0.0403,-. Demikian juga makna dari nilai accounting multiplier
lainnya sebagaimana tersebut dalam table 8.
Tabel 8. Hasil Analisa Accounting Multiplier
Sektor Angkutan Darat(26)
Pertanian Buruh 10 0.0403
Pengusaha Pertanian 11 0.1608
Bukan Pertanian
Pedesaan
Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
12 0.1305
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 13 0.0394
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
14 0.1105
Perkotaan
Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
15 0.1699
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 16 0.0606
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
17 0.2086
Peningkatan pendapatan terbesar dari adanya subsidi BBM melalui sektor angkutan darat
akan dirasakan oleh kelompok rumah tangga perkotaan pengusaha golongan atas dengan nilai
accounting multiplier sebesar 0.2086. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Menkoperekonomian Hatta
Raja sebagaimana dikutif detik.com bahwa subsidi BBM dinikmati oleh rumah tangga berpendapatan
tinggi (yang merupakan 25% dari total rumah tangga Indonesia) yaitu sebesar 77 %. Sedangkan
rumah tangga yang mendapatkan manfaat terkecil dari adanya subsidi BBM adalah kelompok rumah
tangga non pertanian-pedesaan-bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas dengan nilai multiplier
sebesar 0.0394. Dari perhitungan accouting multiplier menunjukan bahwa pemberian subsidi BBM
sebagaimana yang diberlakukan saat ini tidak memberikan rasa ketidakadilan karena kelompok
masyarakat yang seharusnya berhak mendapat subsidi seperti rumah tangga pada baris (10, 12, 13,
ternyata15) ternyata mendapatkan manfaat jauh lebih kecil disbanding kelompok masyarakat
sebagaimana baris 17.
2. Structural Path Analysis (SPA)
19
Strutural path analysis atau analisa jalur struktural dapat mendekomposisi nilai
multiplier accounting dan melihat jalur-jalur yang dilalui antara sektor asal ke sektor tujuan.
Hal tersebut bermaka bahwa dengan SPA kita dapat melihat perubahan-perubahan sektor
secara terstruktur yang terjadi apabila ada injeksi dari suatu sektor asal yang kemudian akan
mengalir melalui sektor-sektor lainnya sebelum akhirnya sampai pada sektor tujuan.
Pengaruh yang terdapat dalam SPA meliputi: pengaruh langsung (direct effect), pengaruh
total (total effect) dan pengaruh global (global effect). Dengan menggunakan program MATS
maka diperoleh SPA sebagai berikut:
Tabel 9. Analisis Jalur Struktural
Dec 16, 19;0 15:55:09 Defourny-Thorbecke Structural Pa Page 93 Global Direct Path Total % of CumPath Effect Effect Mult Effect Global %
26, 6, 10 0.040 0.003 2.462 0.007 18.0 18.0
26, 5, 11 0.161 0.002 2.433 0.006 3.5 3.526, 6, 11 0.009 2.627 0.024 14.8 18.326, 7, 11 0.005 2.381 0.012 7.6 25.926, 8, 11 0.002 2.401 0.005 2.9 28.926, 9, 11 0.002 2.562 0.006 3.6 32.526, 32, 6, 11 0.001 5.226 0.007 4.4 36.9
26, 5, 12 0.130 0.015 2.255 0.034 26.3 26.326, 7, 12 0.013 2.239 0.030 23.0 49.426, 9, 12 0.002 2.443 0.004 3.1 52.5
26, 5, 13 0.039 0.003 2.211 0.006 14.7 14.726, 7, 13 0.004 2.163 0.009 21.9 36.6
26, 5, 14 0.110 0.009 2.270 0.020 17.9 17.926, 7, 14 0.010 2.230 0.022 19.5 37.426, 9, 14 0.002 2.417 0.006 5.2 42.6
26, 6, 15 0.170 0.019 2.472 0.048 28.0 28.026, 8, 15 0.013 2.304 0.030 17.5 45.526, 9, 15 0.002 2.484 0.005 3.1 48.626, 21, 6, 15 0.002 5.969 0.009 5.5 54.126, 32, 6, 15 0.003 4.920 0.014 8.3 62.4
26, 6, 16 0.061 0.007 2.427 0.017 27.3 27.326, 8, 16 0.004 2.187 0.008 13.7 41.026, 32, 6, 16 0.001 4.841 0.005 8.1 49.1
26, 6, 17 0.209 0.018 2.505 0.044 21.2 21.226, 8, 17 0.024 2.299 0.056 26.9 48.126, 9, 17 0.003 2.477 0.008 3.7 51.726, 21, 6, 17 0.001 6.007 0.009 4.2 55.926, 32, 6, 17 0.003 4.978 0.013 6.3 62.226, 32, 8, 17 0.001 4.608 0.005 2.4 64.5
Nilai global effect pada dasarnya adalah sama dengan nilai multiplier, sebagaimana
tersebut pada tabel diatas diketahui bahwa nilai global effect untuk SPA antara sektor
angkutan darat (26) dengan rumah tangga bukan pertanian-perkotaan-pengusaha besar…(17)
adalah sebesar 0.209 yang mana nilai ini sama dengan nilai accounting multipliernya yang
maknanya juga sama dengan makna accounting multiplier sebagai dijelaskan sub bab
sebelumnya. Untuk hubungan antara sektor 26 ke 17, ini mempunyai 6 jalur yaitu: (26,6,17),
20
(26,8,17), (26,9,17), (26,21,6,17), (26,32,6,17) dan (26,32,6,17). Untuk penjelasan dari
makna jalur tersebut adalah sebagai berikut: untuk jalur (26, 6, 17) mengandung makna
bahwa pengeluaran dari sektor angkutan darat (26) yang merupakan sektor awal akan
mempengaruhi sektor rumah tangga non pertanian-perkotaan-pengusaha besar (17/ sektor
tujuan) setelah melalui sektor factor produksi tenaga kerja-non pertanian-penerima upah dan
gaji-kota (6). Nilai pengaruh langsung dari sektor 26 ke 17 yang melalui jalur 16 tersebut
adalah sebesar 0.018 yang mengandung makan bahwa pengaruh langsung dari adanya
perubahan Rp. 1,- sektor 26 akan merubah pendapatan sektor 17 sebesar Rp. 0.018 selama
pendapatan atau produksi pada jalur lain tidak mengalami perubahan. Sedangkan untuk nilai
pengaruh totalnya adalah sebesar 0.044 yang mengandung makna bahwa perubahan Rp. 1,-
sektor 26 akan merubah pendapatan sektor 17 sebesar Rp. 0.044 baik melalui jalur dasar/
pengaruh langsung maupun melalui jalur sirkuit yang nilainya dari representasikan oleh nilai
path multiplie, secara matematik nilai pengaruh total 0.004 adalah perkalian antara nilai
penaruh langsung 0.018 dengan nilai path multipliernya 2.505. Besarnya pengaruh salah satu
jalur terhadap keseluruhan jalur dari sektor 26 ke sektor 17 dapat dilihat dari persentese
globalnya, untuk contoh kasus tersebut diatas besarnya pengaruh jalur (26, 6, 17) terhadap
jalur-jalur lain dari sektor 26 ke 17 adalah sebesar 21.2 %. Makna sebagaimana dijelaskan
diatas juga dapat digunakan sebagai penjelasan dari angka-angka yang tertera di dalam tabel
9.
Dari tabel 9 diketahui bahwa nilai global effect tertinggi berada pada kaitan sektor 26
ke sektor 17 yaitu sebesar 0.209, sedangkan nilai global effect terendah adalah berada kaitan
sektor 26 ke 13 atau antara sektor angkutan darat ke kelompok rumah tangga non pertanian-
pedesaan-bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yaitu sebesar 0.039.
3. Variable shock
Analisa variable shock dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat asumsi dan
skenario terlebih dahulu, sebagai berikut:
Asumsi:
Struktur perekonomian yang dibahas compatible atau selaras dengan data SNSE tahun
2005.
Skenario:
1. BBM subsidi diberikan di sektor angkutan darat senilai Rp 92,8 triliun.
21
2. Pembatasan subsidi yang dilakukan kepada angkutan pribadi di seluruh wilayah
Indonesia dapat menghemat Rp 34,3 triliun.
3. Penghematan dialokasikan ke sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan.
4. Penghematan dialokasikan ke sektor konstruksi untuk pembangunan infrastruktur.
Tabel 10. Hasil Simulasi Kebijakan
(dalam Milyar rupiah)
Rumah Tangga Output Dasar
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan
Output % Output % Output % Output %
Pertanian 571,848.38 18,657.82 3.26% 11,761.67 2.06% 20,520.65 3.59% 17,651.51 3.09%
Non Pertanian Perdesaan 647,685.44 26,015.16 4.02% 16,399.65 2.53% 26,701.81 4.12% 24,095.95 3.72%
Non Pertanian Perkotaan 971,774.91 29,680.11 3.05% 18,709.98 1.93% 31,796.96 3.27% 27,285.89 2.81%
Total 2,191,308.73 74,353.10 3.44% 46,871.30 2.17% 79,019.42 3.66% 69,033.34 3.20%
Berdasarkan hasil simulasi dengan mengikuti ke-4 skenerio tersebut diatas, maka
diketahui dampak dari subsisidi terhadap pendapatan rumah tangga sebagaimana tertera pada
tabel 10 adalah sebagai berikut:
a. Pemberian subsidi BBM sebesar Rp. 92,8 T (skenario 1) meningkatkan
pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 3,44 % atau Rp. 74,35 T, rumah tangga
non pertanian perdesaan mendapatkan persentase kenaikan pendapatan tertinggi
yaitu sebesar 4.02 %;
b. Pemberian subsidi BBM kecuali untuk kendaraan angkutan pribadi (pemberian
subsidi sebesar Rp. 92,8 – Rp. 34,3 T = Rp. 58. T) yang merupakan scenario 2
telah meningkatkan pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 2.17 % atau senilai
Rp. 46.8 T, rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan persentase
kenaikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar 2.53 %. Peningkatan ini lebih kecil
lebih kecil jika disbanding dengan scenario 1;
c. Pemberian subsidi BBM kecuali untuk kendaraan angkutan pribadi (pemberian
subsidi sebesar Rp. 92,8 – Rp. 34,3 T = Rp. 58. T) dan selanjutnya hasil dari
effisiensi dari penarikan subsisidi untuk kendaraan peribadi sebesar Rp. 34.4 T
direalokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan (scenario 3) telah
meningkatkan pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 3.66 % atau senilai Rp.
22
79 T. Rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan persentase kenaikan
pendapatan tertinggi yaitu sebesar 4.12 %. Dengan nilai total subsidi yang sama
dengan scenario 1 namun berbeda dalam komposisi pengalokasian, dampak yang
diberikan terhadap peningkatan rumah tangga lebih besar diberikan oleh scenario
3;
d. Seperti halnya scenario 3 namun penrealokasiannya ditujukan ke sektor kontruksi
(bukan ke pendidikan dan kesehatan), memberikan kenaikan pendapatan kepada
rumah tangga rata-rata sebesar 3.20 % atau senilai Rp. 69 T. Peningkatan
pendapatan untuk rumah tangga dari scenario 4 ini lebih kecil jika dibandingkan
dengan scenario 1 dan 3.
e. Dari ke-4 skenario tersebut di atas, scenario 3 atau adanya pembatasan pemberian
BBM yaitu dengan tidak memberikan subsidi ke kendaraan pribadi dan efesiensi
dari kebijakan tersebut direalokasikan ke sektor pendidikan memberikan dampak
peningkatan pendapatan yang paling besar yaitu sebesar 3.66 % atau senilai Rp.
79 T.
f. Dari ke-4 skenario tersebut, rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan
peningkatan kenaikan yang pendapatan yang lebih besar.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Pemberian subsidi sebesar Rp 92,8 trilyun akan meningkatkan pendapatan rumah
tangga sebesar 3.39 %. Kemudian dampak pembatasan subsidi dengan tidak memberikan
subsidi kepada kendaraan pribadi (pengurangan subsidi BBM dari sebesar Rp 92,8 trilyun –
Rp 34,3 trilyun menjadi hanya Rp 58,5trilyun) hanya meningkatkan pendapatan rumah
tangga sebesar 2,14 %. Apabila hasil efisiensi kebijakan tersebut (Rp 34,3 trilyun)
direalokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan maka akan meningkatkan pendapatan
rumah tangga sebesar 3,61 % dan jika direalokasikan ke sektor infrastruktur akan
meningkatkan pendapatan sebesar 3.15 %.
Subsidi BBM lebih dirasakan manfaatnya oleh sektor non pertanian perdesaan sebesar
4.02% . Terlebih lagi, sektor rumah tangga di pedesaan ini memperoleh dampak positif yang
paling besar dari adanya subsidi dalam semua skenario, dan yang terbesar adalah subsidi
dalam bentuk subsidi pendidikan dan kesehatan.
SARAN
23
1. Untuk menaikkan pendapatan rumah tangga non pertanian di pedesaan, lebih baik subsidi
diberikan dalam sektor pendidikan dan kesehatan.
2. Jika kebijakan pembatasan subsidi BBM benar - benar dilaksanakan, maka realokasi dari
dana penghematan tersebut lebih baik dialokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan.
3. Kebijakan pembatasan subsidi BBM harus diikuti dengan tersedianya infrastruktur yang
mendukung, serta kestabilan ekonomi untuk mengantisipasi adanya dampak inflasi dan
kenaikan suku bunga SBI.
4. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengupdate data SNSE 2005 dengan yang
terbaru agar lebih sesuai dengan kondisi perekonomian yang paling aktual.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arief Daryanto dan Yundy Hafizrianda, Analisis Input Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah, IPBPress, 2010.
Caroline Damanik, Pembatasan BBM Terkendala Infrastruktur, Kompas.com, Sabtu, 11 Desember 2010, 11:03 WIB, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/11/11032718/Pembatasan.BBM.Terkendala.Infrastruktur
Dewi Ratna Sjari Manaf, Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2000. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/4822/4/2000drs.pdf
Djoni Hartono dan Budi Resosudarmo, The Economy – wide Impact of Controlling Energy Consumption in Indonesia: An Analysis Using a Social Accounting Matrix Framework, Center for Economics and Development Studies, Department of Economics, Padjadjaran University, Working Paper in Economics and Development Studies, No. 200702, January, 2007.
DPR: Pembatasan BBM Bikin Kisruh di SPBU, Kompas.com, Senin, 6 Desember 2010, 17:13 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/06/17134240/DPR:.Pembatasan.BBM.Bikin.Kisruh.di.SPBU
EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia, diakses 7 Oktober 2009.
http://www.esdm.go.id, diakses 7 Oktober 2009.
Konsumsi Energi RI Terlalu Boros, Kompas.com, Jumat, 10 Desember 2010, 20:46 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/10/20465518/Konsumsi.Energi.RI.Terlalu.Boros
Lisnawati, Dampak Subsidi Bahan Bakar Minyak Terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Ekonomi, Universitas Indonesia, 2008.
Made Antara, Linkages Between Tourism and Agricultural in Bali-Indonesia: A Social Accounting Matrix Approach, Department of Socio-Economic of Agriculture, Faculty of Agriculture, University of Udayana, Denpasar-Bali, Indonesia,1999.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%282%29%20soca-antara-agricultural%20and%20tourism%281%29.pdf
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, fourth edition, Harvard University, Worth Publisher, 2000.
25
Nurul Qomariyah, Pembatasan BBM Subsidi Bisa Picu Kenaikan Suku Bunga, detikFinance, Jumat, 17 Desember 2010, 08:23 WIB,http://www.detikfinance.com/read/2010/12/17/082313/1526981/5/pembatasan-bbm-subsidi-bisa-picu-kenaikan-suku-bungaPembatasan BBM Bersubsidi, Pelat Hitam Paling Rakus Minum Premium, Kompas.com, Senin, 6 Desember 2010, 19:35 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/06/19350466/Pelat.Hitam.Paling.Rakus.Minum.Premium
Pembatasan BBM Subsidi Dorong Inflasi, Kompas.com, Senin, 29 November 2010, 10.30 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/11/29/10305584/Pembatasan.BBM.Subsidi.Dorong.Inflasi
Sistem Neraca Sosial Ekonomi,http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf
Sri Hery Susilowati, Bonar, M. Sinaga, Wilson, H. Limbong, dan Erwidodo, Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 11 – 36.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf
26
Fakt
or P
rodu
ksi
Tenaga kerja
Pertanian
Penerima Upah dan GajiDesa 1Kota 2
Bukan Penerima Upah dan GajiDesa 3Kota 4
Bukan Pertania
n
Penerima Upah dan GajiDesa 5Kota 6
Bukan Penerima Upah dan GajiDesa 7Kota 8
Bukan tenaga kerja
9
Inst
itusi
Rumah tangga Pertanian Buruh
10 Pengusaha Pertanian 11
Bukan
Pertanian
Pedesaan
Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
12
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 13
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
14
Perkotaan
Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
15
Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 16
Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas
17 Perusahaan 18
27
Sektor Produksi
Pertanian, peternakan, perburuan, kehutanan, perikanan 19Pertambangan 20Industri 21Listrik, Gas Dan Air Minum 22Konstruksi 23Perdagangan 24Restoran dan perhotelan 25Angkutan Darat 26Angkutan Udara, Air dan Komunikasi 27Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan 28Bank dan Asuransi 29Real Estate dan Jasa Perusahaan 30Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya 31Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya 32
Pemerintahan 33Margin perdagangan dan pengangkutan
34Neraca Kapital 35Pajak Tidak Langsung 36Subsidi 37Luar Negeri 38
28