Paper Makro Uas

42
BAB I PENDAHULUAN Perbedaan nilai tukar mata uang suatu Negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Kurs merupakan salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka, karena ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, mengingat pengaruhnya yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun bagi variable- variabel makro ekonomi lainnya. Dornbusch dan Fisher ( 1980 ) mengatakan bahwa pergerakan nilai tukar mempengaruhi daya saing internasional dan posisi neraca perdagangan dan gilirannya akan mempengaruhi cash flow saat ini dan masa yang akan datang dari Negara tersebut. Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa Negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relative baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan International. Sebagai Negara yang banyak mengimport bahan baku dari luar negeri maka Indonesia akan mengalami dampak yang luar biasa dalam ketidakstabilan nilai kurs tersebut yang membawa dampak terhadap adanya naik-turunnya inflasi dalam negeri itu sendiri, karena dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negara lain mengakibatkan naiknya biaya produksi sehingga membawa dampak multiplier terhadap harga jual barang

Transcript of Paper Makro Uas

Page 1: Paper Makro Uas

BAB I

PENDAHULUAN

Perbedaan nilai tukar mata uang suatu Negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan

oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Kurs

merupakan salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka, karena

ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar,

mengingat pengaruhnya yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun bagi variable-

variabel makro ekonomi lainnya. Dornbusch dan Fisher ( 1980 ) mengatakan bahwa

pergerakan nilai tukar mempengaruhi daya saing internasional dan posisi neraca perdagangan

dan gilirannya akan mempengaruhi cash flow saat ini dan masa yang akan datang dari Negara

tersebut.

Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu Negara.

Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa Negara tersebut memiliki

kondisi ekonomi yang relative baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan nilai tukar

ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan International.

Sebagai Negara yang banyak mengimport bahan baku dari luar negeri maka

Indonesia akan mengalami dampak yang luar biasa dalam ketidakstabilan nilai kurs tersebut

yang membawa dampak terhadap adanya naik-turunnya inflasi dalam negeri itu sendiri,

karena dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negara lain mengakibatkan

naiknya biaya produksi sehingga membawa dampak multiplier terhadap harga jual barang

tersebut di Indonesia. Dengan melemahnya nilai tukar Rupiah akan membawa dampak

terhadap perekonomian yang semakin melemah dan kepercayaan terhadap mata uang negeri

menjadi turun.

Karakteristik negara Indonesia sebagai "small and open economi", menganut sistem

devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang ( free floating

exchange rate system) menyebabkan pergerakan nilai tukar rupiah di pasar uang menjadi

rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar

yang berlebihan, maka pelaksanaan intervensi oleh Bank Indonesia dalam pasau uang menjadi

sangat penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Kestabilan nilai tukar akan memberikan

kepastian bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam melakukan usahanya yang pada akhirnya

berdampak pada stabilitas secara makro.

Upaya pengendalian nilai tukar rupiah tidak selalu diartikan pada penekanan "range"

fluktuasi dalam interval yang sangat sempit, tetapi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah lebih

Page 2: Paper Makro Uas

diartikan menjaga nilai tukar rupiah yang bergerak dengan teratur (uncertainly manner). Oleh

karena itu, apabila nilai tukar rupiah berfluktuasi sangat tajam karena faktor "uncertainly",

maka diperlukan "guidance" dari otoritas moneter dengan melakukan intervensi.

Sejarah telah membuktikan bahwa di Indonesia pernah terjadi ketidakstabilan kurs

nilai mata uang rupiah yaitu : Pada bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$

sebesar Rp3.035/US$, terus mengalami tekanan sehingga pada Desember 1997 nilai tukar

rupiah terhadap US$ tercatat sebesar Rp4.650/US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah

melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah

sempat menembus level Rp14.900/US$ yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang

sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ tahun 1999

melakukan recovery menjadi sebesar Rp7.810/US$, tahun 2000 kembali melemah sebesar

Rp8.530/US$, tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp10.265/US$, tahun 2002 kembali

menguat menjadi Rp9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp8.570/US$ dan pada tahun

2004 sebesar Rp8.985/US$.

Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat menembus level

US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan

valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai

tukar rupiah melemah terhadap US$ dan berada kisaran Rp9.200 sampai Rp10.200 per US$.

Uraian di atas menunjukkan pentingnya kestabilan nilai tukar rupiah dalam kaitannya

dengan kestabilan perekonomian Indonesia secara makro. Sehingga perlunya menetapka

asumsi nilai tukar karena asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi

dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan

pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Dengan

demikian, variabel asumsi dasar ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya

penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk dana perimbangan, serta besarnya pembiayaan

anggaran.

Pada tahun 2004, asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN ditetapkan sebesar Rp8.600

per US$. Dalam realisasinya, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ selama tahun 2004

adalah sebesar Rp8.930, atau mengalami penyimpangan sebesar 3,5 persen (under-estimated).

Demikian pula pada tahun 2005, dalam APBN-P asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar

Rp9.300 per US$, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ sampai dengan Oktober 2005

sebesar Rp9.590 per US$, atau menyimpang sebesar 3 persen Penetapan asumsi nilai tukar

rupiah dalam APBN yang ternyata lebih rendah sekitar 3 persen dari realisasi, adalah

merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini mengingat asumsi nilai tukar yang ditetapkan dalam

Page 3: Paper Makro Uas

APBN dapat pula berfungsi sebagai “anchor” nilai tukar sehingga dapat meredam ekspektasi

masyarakat yang berlebihan. Tetapi disisi lain, apabila asumsi tersebut jauh dari realita yang

diekspektasikan pasar, maka pasar akan menolak, sehingga asumsi tersebut tidak dipercaya

lagi. Dari kondisi ini, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan asumsi nilai tukar sehingga

dari kedua sisi, baik pemerintah maupun pelaku pasar dapat sama-sama terwakili.

Mengingat pentingnya nilai tukar rupiah sebagai indikator ekonomi makro dalam

APBN, model prakiraan nilai tukar yang tepat sangat diperlukan untuk memprakirakan nilai

tukar realistis terutama sebagai masukan dalam penyusunan RAPBN.

Seperti disampaikan sebelumnya bahwa nilai tukar sangat berkaitan dengan inflasi

maka asumsi dasar APBN-pun juga menggariskan adanya asumsi inflasi yang realistis. Hal

ini juga tampak pada perubahan sasaran/ target dalam kebijakan moneter oleh pemerintah.

Sasaran utama Bank Indonesia sebelumnya adalah , yaitu : jumlah uang beredar dan inflasi,

sekarang difokuskan pada kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Page 4: Paper Makro Uas

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Nilai Tukar (Kurs)

2.1.1. Pengertian Nilai Tukar Rupiah

Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as the amount

of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one

currency in items of another currency.

Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah harga rupiah

terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata rupiah

yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap

Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya.

Sehingga dapat dijerlaskan bahwa Kurs ( exchange rate ) adalah pertukaran antara

dua mata uang yang berbeda yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua

mata uang tersebut. Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa

depresiasi ataupun apresiasi. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat

artinya suatu penurunan harga dollar Amerika terhadap rupiah. Depresiasi ini membuat harga

barang dalam negeri Indonesia menjadi cukup murah bagi fihak luar negeri karena turunnya

niali rupiah tersebut. Sedangkan apresiasi rupiah terhadap dollar artinya naiknya rupiah

terhadap nilai mata uang dollar AMerika. Apresiasi ini membuat harga barang-barang dalam

negeri Indonesia menjadi sangat mahal bagi fihak luar negeri. ( Sukirno, 2000:297).

Dalam perdagangan Internasional di wilayah Indonesia, Kurs Rupiah terhadap dollar

memainkan peranannya yang sangat penting karena kurs tersebut mampu membandingkan

harga semua barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai Negara.

Kurs valas dapat diklasifikasikan ke dalam kurs jual dan kurs beli, sedangkan selisih

dari kurs jual dan kurs beli meruapakan sebuah pendapatan bagi investor pedagang valas.

Sedangkan dalam pasar valas tersebut terdapat 3 jenis transaksi valuta asing, yaitu : (

Mudrajat Kuntjoro, 1966 ).

a. Spot Transaction, transaksi dalam valuta asing yang penyerahannya dilakukan dengan segera dengan jangka waktu maksimal 2 hari setelah tanggal transaksi. Pada transaksi jenis ini, nilai kurs ditentukan pada saat terjadinya kontrak

b. Forward Transaction, transaksi valuta asing dimana penyerahannya dilakukan pada tanggal tertentu yang telah disetujui, dengan nilai kurs ditentukan pada saat kontrak.

Page 5: Paper Makro Uas

c. Future Transaction, transaksi valuta asing yang mirip dengan forward transaction, tetapi dalam masa "maturity" terjadi penyesuaian nilai kurs yang disesuaikan dengan kurs pasar.

Pemahaman mengenai tinggi rendahnya nilai tukar akan mempengaruhi tindakan

yang akan diambil oleh pelaku-pelaku ekonomi dalam pasar valuta asing, apakah akan

membeli, menjual atau menahan sementara waktu untuk mendapatkan keuntungan dari

fluktuasi nilai tukar.

2.1.2. Penentuan Nilai Tukar

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu :

1. Faktor Fundamental

Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi,

suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar dan

intervensi Bank Sentral.

2. Faktor Teknis

Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada saat-

saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka

harga valas akan naik dan sebaliknya.

3. Sentimen Pasar

Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang

bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam

dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu, maka nilai

tukar akan kembali normal.

2.1.3. Sistem Kurs Mata Uang

Menurut Kuncoro (2001: 26-31), ada beberapa sistem kurs mata uang yang berlaku di

perekonomian internasional, yaitu:

1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini ditentukan oleh

mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh Pemerintah dalam hal ini

otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs

mengambang, yaitu :

Page 6: Paper Makro Uas

Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan sepenuhnya

oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. Sistem ini sering

disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak

diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau

memanipulasi kurs.

Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana

otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu.

Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter

perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs.

2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara

mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau

sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner dagang

yang utama “Menambatkan“ ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut

bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata

uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi terhadap

mata uang lain mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.

3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs) ( Frankel, 1999; 115) . Dalam

sistem ini, suatu negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya

secara periodic dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang

waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur

penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs

tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan terhadap

perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam.

4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama negara

sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata

uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu

negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi

mata uang yang dimasukkan dalam “keranjang“ umumnya ditentukan oleh

peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu. Mata uang yang

berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara

Page 7: Paper Makro Uas

tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa

mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda.

5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara

mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini dengan

menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs

tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang

sangat sempit.

2.1.4. Pendekatan Nilai Tukar

Menurut Mudrajat ( 1996 ), metoda pendekatan nilai tukar dibagi menjadi 4 ( empat )

pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Neraca Pembayaran ( Balance Payment Approach Approach )

Metoda ini menekankan pada konsep aliran ( flow concept ), sehingga nilai tukar

valuta asing ditentukan oleh aliran permintaan dan penawaran valuta. Pada metoda ini,

fluktuasi nilai tukar disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran,

dan diformulasikan sebagai berikut :

BOP t = C ( Pt / St Pt*, Yt / Yt*, Zt ) + K ( Rt – Rt*)

Persamaan di atas menunjukkan, bahwa keseimbangan nilai tukar ditentukan oleh jumlah total neraca pembayaran, yaitu : penjumlahan rekening transaksi berjalan dengan rekening modal.

Equilibrium nilai tukar mengambang penuh, sehingga keseimbangan neraca pembayaran dijaga oleh penyesuaian nilai tukar secara terus menerus. Persamaan nilai tukar dapat diformulasikan

st = h ( p – p* ) t + a (y – y* ) t – l ( r – r* ) t

b. Pendekatan Paritas Daya Beli ( Purchasing Power Parity Approach )

Konsep dasar metoda Paritas Daya Beli merupakan teori untuk menghitung nilai tukar valuta asing yang dinyatakan dengan rasio tingkat harga suatu negara dengan negara lain.

Teori paritas daya beli mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu absolut dan relatif. Secara absolut, teori ini menyatakan bahwa keseimbangan nilai valuta asing merupakan harga relatif dalam negeri terhadap harga relatif luar negeri, formulanya dapat dituliskan sebagai berikut :

st = Pt / Pt *

Page 8: Paper Makro Uas

dimana : st = nilai tukar valuta asing

Pt = tingkat harga dalam negeri

Pt* = tingkat barga luar negri

Sedangkan pengertian secara relatif, nilai valuta asing dinyatakan sebagai prosentase perubahan tingkat harga domestik terhadap prosentase perubahan tingkat harga luar negeri, formulanya dituliskan sebagai berikut :

% D st = % D Pt / % D Pt*

dimana : % D st = prosentase perubahan nilai tukar

% D Pt = prosentase perubahan tingkat harga domestik

% D Pt* = prosentase perubahan tingkat harga luar negeri

c. Pendekatan Moneter ( Monetary Approach )

Pendekatan Moneter terhadap valuta asing dapat digolongkan menjadi 2 (dua) model, yaitu : versi harga luwes ( flexible price monetary model ) dan versi harga kaku ( sticky price monetary model ).

Versi Harga Luwes

Terdapat 3 (tiga) faktor utama yang menjadi dasar dari versi ini, yaitu Teori Kuantitas, Keluwesan Harga dan konsep Paritas Daya Beli. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah kondisi keseimbangan pasar, yaitu permintaan uang ( m

d ) sama dengan penawaran

uang ( m s ). Permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan riil ( y ), tingkat harga ( p ) dan tingkat bunga ( r ), sedangkan penawaran uang adalah given. Ekuilibrium pasar dapat dituliskan :

m s t = p t + a y t - l r t ................................. (1)

m s t * = p t * + a * y t * - l * r t * ................................ (2)

Sedangkan Paritas Daya Beli dalam jangka pendek dapat dituliskan :

s t = Pt - Pt * .................................. (3)

Penawaran uang dalam negeri akan menentukan tingkat harga dalam negeri, sehingga nilai tukar valuta asing ditentukan oleh penawaran uang dalam negeri. Substitusikan persamaan (1) dan (2) ke persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan dasar Model Moneter Harga Luwes sebagai berikut :

s t = ( m s - m s * ) t - a y t + a * y t * + l r t - l * r t *

Dari persamaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai tukar ditentukan oleh jumlah uang beredar, pendapatan riil dan tingkat bunga.

Page 9: Paper Makro Uas

Versi Harga Kaku.

Dalam pendekatan moneter, terdapat perubahan 2 (dua) asumsi dengan memasukkan ketegaran harga ( Keynesian ). Pertama, penawaran uang setiap negara adalah endogen. Hal ini berarti penawaran uang dipengaruhi secara positif oleh tingkat bunga pasar, sehingga kondisi keseimbangan pasar uang menjadi :

m s t + d r t = p t + a y t - l r t

m s t * + d r t * = p t * + a * y t * - l * r t *

dimana :

m s t dan m s

t * = komponen eksogen dari penawaran uang

d r t dan d r t * = menunjukkan bahwa penawaran uang sensitif

terhadap tingkat bunga

p t , a y t , p t * , a * y t * = menunjukkan komponen permintaan uang

Kedua, kondisi Paritas Daya Beli hanya berlaku dalam jangka panjang ( pada Harga Luwes asumsinya jangka pendek ), dan dapat diformulasikan sebagai berikut :

s t ‘ = Pt - Pt *

Sedangkan perubahan nilai tukar valuta asing yang diharapkan diasumsikan mengikuti bentuk :

D set+1 = q ( st ‘ - st ) + ( p e

t + p e t *)

Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan, bahwa jika nilai tukar valuta asing pada saat transaksi dilakukan ( spot exchange rate ) berada di bawah tingkat keseimbangan jangka panjang, maka nilai valuta domestik akan mengalami penurunan. Sebaliknya, apabila nilai tukar berada di atas keseimbangan, maka nilai valuta domestik akan naik. Sedangkan perbedaan inflasi yang diharapkan akan menyebabkan penurunan nilai tukar valuta yang diharapkan.

Jadi dengan model pendekatan Moneter Versi Harga Kaku dapat dihitung pengharapan nilai tukar valuta ( expected spot exchange rate ) dengan menggabungkan informasi dan ekuilibrium pasar dengan pengaruh tingkat inflasi yang diharapkan (expected inflation ).

Model dasar pendekatan Moneter Versi Harga Kaku mengenai nilai tukar dapat dituliskan sebagai berikut :

s t = (m – m*)t – a (y – y*)t + (d + l - 1/ q) (r – r*) t + (1/q) (pe - pe* )t

d. Pendekatan Keseimbangan Portofolio ( Portofolio Balance Approach )

Page 10: Paper Makro Uas

Pada metoda ini, faktor yang menentukan nilai tukar adalah permintaan dan penawaran asset finansial, misalnya : obligasi. Asumsi yang digunakan, bahwa investor/ pelaku pasar valuta akan memilih portofolio yang optimal diantara berbagai asset baik domestik maupun asing. Pemilihan tersebut dimaksudkan untuk menghindari/ mengurangi resiko kerugian dari transaksi valuta, atau untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Pendekatan ini memberi tekanan pada peranan asset dan memandang bahwa asset mempunyai sifat substitusi yang tidak sempurna.

Dalam bentuk yang sederhana, pendekatan keseimbangan portofolio menentukan model nilai tukar yang dipengaruhi oleh faktor : asset finansial dan tingkat bunga internasional. Faktor asset finansial ( W ) dibagi dalam 3 (tiga) bentuk asset, yaitu : penawaran uang domestik ( M ), obligasi domestik ( B ) dan obligasi luar negeri ( fB ). Sehingga persamaan nilai tukar valuta asing adalah :

st t = g ( M t , B t , fB t , r*t )

Diasumsikan bahwa r*t merupakan tingkat bunga internasional yang ditentukan oleh pasar asset internasional, sehingga :

r*t = (M t *, B t *, fB* t )

Substitusikan persamaan (4) dengan (5) sehingga dihasilkan :

st t = g ( M t , M t *, B t, B t *, fB t , fB t * )

Persamaan di atas menunjukkan hubungan antara nilai tukar valuta asing dan penawaran asset melalui perubahan stok asset.

2.1.4. Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu:

1. Sistem kurs tetap (1970- 1978)

Sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai

tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung

berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar

pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar

valuta asing.

2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997)

Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang

(basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya

devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs

indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu.

Page 11: Paper Makro Uas

Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau

bawah dari spread.

3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang)

Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin melemah.

Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa

yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang

intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem

nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14

Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk

mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan

pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.

2.2 Teori Permintaan dan Penawaran

Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan penawaran,

sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas dan Kinerja

Perekonomian Indonesia dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran

menghubungkan berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang

ditawarkan.

Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika harga

turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara harga dan

penawaran. Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan

harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah nilai

tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya meningkat

berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.

Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi.

Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).

Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya naik

(rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh (rupiah

terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip yang

Page 12: Paper Makro Uas

sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow - terhadap

pergerakan nilai tukar.

Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu pihak

kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh karena

berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli. Dalam

konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif (+) untuk

order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negative (-) untuk

order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan dan Lyons

(2005) mempengaruhi nilai tukar.

Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung berbagai

informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order, pemberi

order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi (Rime, 2007),

dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang pada akhirnya

menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut, pemberi order

menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi,

akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan

arah pergerakan nilai tukar.

Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order flow sering

disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan antara order flow

dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin memberikan

tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow adalah sebagai

berikut:

ΔPt = f(X, I, Z) + ε

t

dimana ΔPt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang

dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya. Kajian dengan pendekatan

permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank Indonesia oleh Husman (2005).

Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang memadukan permintaan dan

penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar

rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud adalah sebagai berikut:

Page 13: Paper Makro Uas

st = α0 + (pt - p*t) + α1(it - i*t) + α2sdvt + α3tott + α4poil + ut

dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*t adalah price differential, it - i*t adalah interest rate

differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tott adalah term of

trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable

permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

2.3 Nilai Tukar dan Inflasi

2.3.1 Hubungan Nilai Tukar dan Inflasi

Nilai Tukar dibedakan menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai

tukar nominal menunjukkan harga relative mata uang dan uang Negara, sedangkan

nilai tukar riil menunjukkan tingkat ukuran (rate) suatu barang dapat diperdagangkan

antar Negara. Jika nilai tukar riil tinggi berarti harga produk domestic relative mahal.

Persentase perubahan nilai tukar nominal sama dengan persentase perubahan nilai

riil ditambah perbedaan inflasi antara inflasi luar negeri dengan inflasi domestic

( persentase perubahan harga inflasi ). Jika suatu Negara luar negeri lebih tinggi

inflasinya dibandingkan domestic ( Indonesia ) maka Rupiah akan ditukarkan dengan

lebih banyak valas. Jika inflasi meningkat untuk untuk membeli valuta asing yang

sama jumlahnya harus ditukar dengan yang makin banyak atau depresiasi rupiah

(Herlambang, dkk, 2001 : 282 )

2.3.2 Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter

Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas terhadap

perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui

berbagai jalur transmisi:

• Direct passthrough

• Indirect passthrough

• Inflation expectation

Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang (dalam

mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama yang

terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung

meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan

kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang

impor ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya

Page 14: Paper Makro Uas

tersebut atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam

hal importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan

dibebankan kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya

importir bersedia menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka

dampak depresiasi rupiah akan minimal pada harga konsumen.

Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi

pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga

barang ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam

negeri, hal ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih

menguntungkan jika barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di

dalam negeri. Akibat perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam

negeri menjadi lebih mahal (inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa

depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung

meningkat. Ekspektasi ini direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan

antisipatif penyesuaian harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat.

BAB III

PEMBAHASAN

Untuk mencapai sasaran inflasi dengan baik, maka perlu dicari sasaran antara yang dekat hubungannya dengan inflasi. Sasaran antara ini dapat berupa suku bunga jangka panjang seperti suku bunga deposito 3 bulan atau lebih dan nilai tukar Rupiah, baik secara nominal maupun riil, atau kombinasi antara keduanya yang disebut Monetary Condition Index (MCI). Perlu tidaknya digunakan sasaran antara tergantung pada keeratan hubungan antara suku bunga jangka pendek dengan inflasi. Apabila suku bunga jangka pendek dapat langsung mempengaruhi laju inflasi dengan meyakinkan, tidak diperlukan sasaran antara seperti di beberapa negara yang menerapkan inflation targeting yakni Australia, Inggris dan Spanyol. Bank of Japan yang tidak menerapkan inflation targeting juga tidak memiliki sasaran antara. Sedangkan yang memakai MCI sebagai sasaran antara adalah New Zealand, Swediadan Kanada.Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama, melemahnya nilai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk jika para buruh melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya. Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods akan mendorong permintaan non-tradable goods sehingga meningkatkan harga

Page 15: Paper Makro Uas

domestik. Kenaikan harga ini akan dipacu lagi jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi. Jenis inflasi yang digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan moneter biasanya underlying inflation seperti yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan inflation targeting. Hal ini juga sejalandengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999, yang antara lain mengemukakan bahwa sasaran laju inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia adalah inflasi yang dapat dipengaruhi kebijakanmoneter atau secara implisit dapat diartikan sebagai underlying inflation.

III. Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting.

3.1. Pengertian dan Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah bank-bank

sentral di dunia menggunakan inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter

sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan besaran-besaran moneter ataupun

exchange rate targeting. Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang

bersifat forward looking dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga

atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir (Debelle dan Lim, 1998).

Umumnya strategi pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-

besaran harga (price targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Salah satu alasan

pertimbangan penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya

hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga

mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Globalisasi perekonomian dunia, inovasi

produk-produk keuangan, sekuritisasi aset serta decoupling antara sektor keuangan dan

sektor riil merupakan faktor yang melatar belakangi melemahnya hubungan besaran

moneter tersebut. Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam

mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan karena

terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut.

Pengalaman Indonesia dan beberapa negara yang menggunakan sasaran ganda

menunjukkan bahwa banyak kendala ditemukan untuk mencapai semua sasaran akhir

tersebut secara optimal pada saat bersamaan, sehubungan dengan adanya sifat

kontradiktif diantara sasaran akhir tersebut. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral

melakukan ekspansi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tindakan

tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan

keseimbangan neraca pembayaran. Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin

mengetatkan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal

tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan

pengangguran. Tradeoff tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana

dikemukakan dalam teori Phillips Curve.

Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat

mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas

pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak

hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan

ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan

Page 16: Paper Makro Uas

memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Oleh karena itu banyak

negara telah menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti

Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Stanley Fischer (1994),

Deputy Managing Director IMF, menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi

sasaran utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan

pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat

mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti

pertumbuhan naturalnya (Guitan, 1994).

Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998) mengemukakan

beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini

menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut:

a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal

anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank

sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten.

b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa

inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam

jangka panjang.

c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga

peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan

output dan kesempatan kerja.

d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi

sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya.

e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit

diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya.

Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol, Swedia dan

Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut menetapkan inflasi sebagai

sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah. Namun

dalam jangka pendek terdapat tradeoff antara penurunan inflasi dengan penurunan

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi

berada pada tingkat yang sustainable.

Page 17: Paper Makro Uas

i. Kerangka Kerja Inflation Targeting

Secara garis besar karakteristik kerangka kerja kebijakan moneter dari negara-

negara yang menganut inflation targeting meliputi 3 kegiatan utama, yaitu penetapan

target inflasi, melakukan proyeksi inflasi dan menetapkan kebijakan operasional dalam

pencapaian sasaran inflasi.

Penetapan target inflasi

Sehubungan dengan inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang

bersifat forward looking maka dalam penetapan target inflasi terdapat beberapa

masalah yang perlu diperhatikan, meliputi inflasi yang digunakan, besarnya

inflasi, jangka waktu

pencapaian inflasi dan fleksibilitas dari pencapaian target dalam hal terjadi

shock dalam ekonomi (Debelle, 1997 dan Debelle dan Lim, 1998).

Pertama, Penentuan inflasi yang digunakan harus menjadi komitmen nasional

karena ketidak berhasilan bank sentral dalam mencapai sasaran yang

ditetapkan akan mengurangi kredibilitas masyarakat terhadap bank sentral.

Beberapa negara yang menganut rezim inflation targeting, seperti Selandia

Baru, Australia dan Kanada menggunakan core inflation atau underlying inflation

sebagai target. Penggunaan core inflation dikarenakan inflasi yang dalam

pengendalian bank sentral hanya yang berasal dari sisi demand, sementara

yang berasal dari sisi supply merupakan diluar kendali bank sentral. Dalam

negara yang masyarakatnya belum begitu maju, terdapat persepsi bahwa inflasi

merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari otoritas moneter dengan tanpa

Page 18: Paper Makro Uas

membedakan penyebab dari tekanan inflasi. Negara Israel dan Swedia

menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sebagai target sebagai rasa

tanggung jawab otoritas moneter terhadap masyarakat.

Kedua, Besarnya inflasi yang ditargetkan hendaknya disesuaikan dengan potensi

aktivitas ekonomi di masa yang akan datang, sehingga inflasi yang ditargetkan

tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Penetapan inflasi yang terlalu rendah akan

sangat mahal bagi perekonomian karena selain berat bagi otoritas moneter juga

menjadi beban bagi sektor riil. Penetapan target dapat dilakukan dengan

menetapkan suatu target tertentu maupun dengan menetapkan band.

Penetapan band dapat mempengaruhi kredibilitas otoritas moneter, namun hal

ini dapat digunakan untuk menampung terjadinya inflasi dari supply shock.

Swedia,misalnya, menggunakan band dalam menetapkan target inflasi.

Ketiga, Jangka waktu pencapaian inflasi yang ditargetkan berbeda untuk

masingmasing negara tergantung dari inflasi awal yang terjadi. Bagi negara

yang mempunyai inflasi awal jauh berbeda dengan inflasi yang ditargetkan

maka jangka waktu pencapaian inflasi memerlukan waktu yang lama. Bahkan

Debelle (1997) menganjurkan jangka waktu sekitar 2 tahun untuk pencapaian

target bagi negaranegara yang mempunyai inflasi awal yang sudah tinggi.

Penetapan jangka waktu pencapaian inflasi yang cukup panjang tersebut karena

terkait dengan struktur ekonomi. Finlandia dan Swedia misalnya sejak

menerapkan rezim inflation targeting pada tahun 1993, memerlukan waktu tidak

kurang 2 tahun dalam mencapai target inflasi.

Keempat, Penerapan inflation targeting hendaknya juga tidak ditetapkan secara

kaku. Menurut Mc Donough (1996) ada 3 alasan mengapa fleksibilitas diperlukan

dalam menerapkan inflation targeting.

Pertama, stabilitas harga adalah sasaran jangka pendek dalam penciptaan

ekonomi yang lebih stabil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi

sebagai tujuan akhir. Dengan demikian kebijakan moneter disesuaikan dengan

siklus kegiatan ekonomi yang terjadi, sehingga inflation targeting tidak dijadikan

sebagai rule.

Kedua, inflation targeting merupakan strategi moneter ke depan (medium-term-

forward-looking) sehingga ketidakpastiannya cukup besar khususnya dari sisi

penawaran (supply shock). Oleh karena itu kebijakan moneter yang dilakukan

juga harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi.

Ketiga, penyimpangan inflasi dari target yang ditetapkan dapat menurunkan

kredibilitas bank sentral. Sebaliknya apabila terlalu longgar juga dapat

mengurangi keyakinan masyarakat terhadap bank sentral dalam memerangi

inflasi. Dengan demikian revisi inflasi dalam jangka pendek dapat dimungkinkan

sepanjang terdapat alasan yang jelas untuk melakukan perubahan sesuai

dengan perkembangan terakhir.

Page 19: Paper Makro Uas

Proyeksi Inflasi

Tidak seperti target besaran moneter atau nilai tukar yang melihat

perkembangan terkini dari target-target tersebut maka inflation target lebih

bersifat strategi ke depan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapatnya

kecenderungan mengenai lamanya lag dari perubahan piranti moneter ke inflasi.

Sebagai konsekuensinya maka sebelum melaksanakan kebijakan ini, otoritas

moneter harus mempunyai model yang mampu dengan akurat memprediksikan

inflasi dalam suatu jangka waktu tertentu. Ketidakakuratan dalam memprediksi

inflasi ke depan tidak hanya menyangkut kredibilitas otoritas moneter tetapi

juga akan dapat menjadi beban yang mahal bagi sektor riil apabila kebijakan

moneter yang dilakukan terlalu ketat. Oleh karena itu diperlukan kejelian

otoritas moneter untuk memprediksikan inflasi sebelum mengumumkannya

kepada masyarakat.

Penetapan Target Operasional

Umumnya negara-negara yang menganut rezim inflation targeting

menggunakan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional.

Sementara yang secara eksplisit menggunakan Monetary Condition Index (MCI)

sebagai sasaran antara terdapat tiga negara meliputi Selandia Baru, Kanada dan

Swedia, sedangkan negara lainnya tidak mempunyai sasaran antara. Rezim ini

menggunakan besaran-besaran moneter hanya sebagai indikator, sementara

untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi digunakan indikator output gap.

Dalam hal suatu negara menggunakan MCI sebagai intermediate target maka

perubahan MCI juga merupakan indikator yang digunakan oleh otoritas moneter

dalam merubah kebijakan moneternya.

Tujuan utama penggunaan Monetary Condition Index (MCI) adalah untuk

mengetahui stance kebijakan moneter. Secara empiris, MCI adalah rata-rata

tertimbang (weighted average) dari perubahan suku bunga dan nilai tukar relatif

terhadap periode yang ditentukan (base periode). Bobot dari suku bunga dan

nilai tukar mencerminkan perkiraan dampak relatif kedua variabel tersebut

terhadap aggregat demand pada suatu periode yang seringkali ditentukan

dalam waktu dua tahun. Selain digunakan sebagai indikator kondisi moneter,

MCI digunakan pula sebagai target operasional jangka pendek.

Dasar pemikiran MCI adalah sebagai berikut : Nilai tukar mempengaruhi

permintaan agregat, khususnya pada perekonomian terbuka dengan skala yang

kecil. Dengan memfokuskan pada nilai tukar dan suku bunga diharapkan

perilaku perekonomian dapat diprediksikan, sehingga kebijakan ekonomi yang

tepat dapat dilakukan. Pelopor pertama penggunaan MCI adalah Kanada

kemudian diikuti oleh Selandia Baru dan Swedia, sementara negara Italia,

Jerman, Perancis dan Inggris telah mempublikasikan MCI. Bank of Canada (BoC)

telah menggunakan MCI sejak beberapa tahun lalu sebagai target operasional

Page 20: Paper Makro Uas

dalam mengarahkan kebijakan moneter. MCI BoC dihitung berdasarkan jumlah

tertimbang perubahan suku bunga nominal surat berhaRga (commercial paper)

berjangka waktu 90 hari (R) dan indeks nilai tukar nominal trade-weighted G-10

bilateral (E). Kedua variabel tersebut dihitung berdasarkan nilai relatif dari waktu

dasarnya (base period). Bobot suku bunga dan nilai tukar mencerminkan

estimasi dampak relatif terhadap total output Kanada. BoC menggunakan bobot

suku bunga terhadap nilai tukar 3 : 1. Artinya, 1 point persentase kenaikan suku

bunga akan menyebabkan tiga kali perubahan pada MCI, yang setara dengan

3% apresiasi Canadian Dollar. Untuk mendapatkan rasio 3 : 1 tersebut

digunakan persamaan partial dari model permintaan agregat (aggregate

demand) dengan menggunakan data kuartalan (Ericsson, 1991), sebagai berikut

:

Y = F(Y*,Yt-1, RR, Q)

dimana : Seluruh variabel dalam bentuk first difference logaritma

Y : PDB Kanada

Y* : PDB Amerika Serikat

Yt-1 : PDB Kanada tahun sebelumnya

RR : suku bunga riil yaitu suku bunga nominal surat berharga 90-hari dikurangi

dengan perubahan tahunan (annual rate) PDB Deflator Kanada (P) lag 1 kuartal.

Q : nilai tukar riil (REER) yaitu hasil perkalian antara nilai tukar nominal AS -

Canadian $ bilateral dengan rasio antara PDB deflator Kanada dan PDB deflator

AS. Sehingga Q = E . (P/P*), dan kenaikan pada Q berarti apresiasi Canadian $.

Selanjutnya koefisien suku bunga riil dari persamaan di atas dibagi dengan

koefisien nilai tukar riil, sehingga didapat rasio 3 : 1 di atas. Dengan rasio

tersebut kemudian dihitung MCI dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

dimana :

MCIt R (Rt −R0 ) e (et −e0 )

t : indeks waktu, dengan t=0 sebagai waktu dasar

R : bobot suku bunga

e : bobot nilai tukar

variabel dengan huruf kecil dinyatakan dalam bentuk logaritma.

Kerangka Kebijakan Moneter

Secara umum kerangka kebijakan moneter negara-negara yang menerapkan

inflation targeting dapat digambarkan sebagai berikut. Pengendalian moneter

dengan rezim ini diawali dengan pengendalian suku bunga jangka pendek pasar

uang (cash rate) dengan menggunakan instrumen moneter melalui Operasi

Pasar Terbuka (OPT). Untuk mengendalikan suku bunga maka keseimbangan

likuiditas senantiasa dijaga dengan memperhatikan settlement fund dari bank-

bank. Selanjutnya perubahan suku bunga jangka pendek tersebut akan

Page 21: Paper Makro Uas

ditransmisikan ke suku bunga yang lebih panjang dan kredit. Perubahan suku

bunga tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan konsumsi dan

investasi, sehingga sebagai gilirannya juga akan mempengaruhi aggregate

demand. Apabila terjadi output gap (aggragate demand lebih besar dari output

potensial) maka inflasi akan meningkat. Dengan demikian dalam rezim ini,

pengendalian permintaan agregat merupakan kunci utama keberhasilan

pengendalian inflasi.

Pe

ii. Prasyarat Penerapan Inflation Targeting

Menurut Debelle dan Lim (1998) serta Masson (1998), untuk melaksanakan

inflation targeting sebagai strategi kebijakan moneter terdapat dua prasyarat utama

yang harus dipenuhi.

Pertama, Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter.

Kedua, Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya bersamaan dengan

penerapan inflafion targeting.

Independensi Bank Sentral

Persyaratan utama untuk melaksanakan kerangka kebijakan moneter dengan

menggunakan inflation targeting adalah kemampuan bank sentral untuk

mencapai inflasi tanpa ada campur tangan politik dari pemerintah. Dalam

pengertian independent disini tidak hanya terbatas dari sisi kelembagaan tetapi

juga independent dalam melaksanakan instrumen moneter. Independensi

instrumen berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan melakukan kebijakan

yang dapat mengganggu dalam pencapaian inflasi. Untuk mencapai kondisi

tersebut maka suatu Negara dipersyaratkan agar tidak mempunyai kebijakan

fiskal yang terlalu dominan atau dengan kata lain kebijakan fiskal jangan sampai

mendikte kebijakan moneter. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah tidak

diperkenankan untuk meminjam dari bank sentral atau bank-bank komersial di

Page 22: Paper Makro Uas

dalam negeri. Jika kondisi ideal tersebut tidak dapat terpenuhi maka paling

tidak, jumlah pinjaman tersebut harus ditekan sekecil mungkin.

Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah hendaknya mempunyai

sumber penerimaan yang cukup luas dan menghindarkan penerimaan yang

berasal dari seignoirage dari pencetakan uang berlebihan. Sementara dalam hal

terdapat pinjaman pemerintah maka pasar uang di dalam negeri harus mampu

menyerap seluruh pinjaman pemerintah tersebut maupun pinjaman swasta.

Disamping itu juga pinjaman pemerintah harus dikendalikan dalam level

tertentu agar tidak mengganggu pelaksanaan kebijaksanaan moneter.

Pemberian independensi dimaksudkan untuk menghindarkan tekanan-tekanan

fiskal dari pemerintah akibat adanya slippages dalam kebijakan fiskal.

Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya

Prasyarat kedua untuk megaplikasikan inflation targeting adalah Pemerintah

atau otoritas moneter menghindarkan untuk menggunakan nominal anchor

lainnya, seperti variabel upah dan nilai tukar nominal. Negara yang

menggunakan sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneternya terikat untuk

mempertahankan nominal nilai tukar pada tingkat tertentu sehingga hal

tersebut tidak efektif digunakan bersamaan dengan variabel nominal lainnya

seperti inflasi. Hal tersebut dapat terjadi karena mempertahankan nilai tukar

dapat mengorbankan target inflasi. Dalam hal otoritas moneter tidak dapat

mencapai salah satu target tersebut maka hal tersebut dapat mengurangi

kredibilitas.

V. Kemungkinan Penerapan Kebijakan Moneter dengan Inflation

Targeting Di Indonesia

5.1. Prasyarat Umum

Secara kelembagaan, sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 1999, kebijakan

moneter dalam kerangka inflation targeting telah memenuhi persyaratan untuk

dilaksanakan di Indonesia. Perumusan tujuan Bank Indonesia yang jelas untuk mencapai

dan memelihara kestabilan rupiah dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran tunggal

inflasi mengingat kestabilan nilai tukar rupiah adalah resultante dari inflasi yang rendah.

Dengan terfokusnya pelaksanaan kebijakan moneter pada pencapaian inflasi maka dapat

dihindarkan conflict of interest terhadap pencapaian tujuan-tujuan lainnya yang dapat

mengganggu kestabilan harga. Pemberian independensi sebagai prasyarat utama dalam

inflation targeting juga telah dapat dipenuhi dengan diberlakukannya Undang-undang

tersebut di atas. Pemberian independensi diberikan tidak terbatas pada independensi

dari aspek kelembagaan tetapi juga independen dari aspek instrumen dan tujuan

kebijakan moneter. Pemberian status independen memberikan dasar hukum yang kuat

terhadap konsistensi kelembagaan Bank Indonesia serta menghindarkan campur tangan

pemerintah dan pihak lain dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Selain itu, kebijakan

fiskal di Indonesia tidak menunjukkan keadaan yang lebih dominant dari kebijakan

Page 23: Paper Makro Uas

moneter. Prinsip penyusunan APBN yang menghindarkan penggunaan pembiayaan

budget defisit yang berasal dari dalam negeri khususnya Bank Indonesia merupakan

prasyarat yang telah dipenuhi. Selama ini budget defisit pemerintah selalu dibiayai

dengan pinjaman luar negeri pemerintah, sehingga hal tersebut dapat menghindarkan

tekanan-tekanan inflasi yang berasal dari kegiatan mencetak uang yang berlebihan. Isu

berikutnya sebelum menerapkan inflation targeting adalah karakteristik inflasi di suatu

negara. Pada umumnya, pada saat pertama kali menerapkan inflation targeting,

karakteristik inflasi di negara-negara tersebut relatif rendah--kecuali Israel. Sebagaimana

negara-negara berkembang lainnya, laju inflasi di Indonesia relatif tinggi dan banyak

dipengaruhi oleh kenaikan harga pada kelompok makanan. Namun dengan

perkembangan laju inflasi yang rendah sepanjang tahun 1999, permasalahan inflasi

bukan merupakan suatu hambatan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan kebijakan

moneter dalam kerangka inflation targeting.

5.2. Transmisi Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting

Hasil uji empiris menunjukkan evidence bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang,

transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga cukup efektif dalam pengendalian inflasi

sebagai sasaran akhir. Dalam pengendalian moneter dengan inflation targeting tersebut

digunakan suku bunga PUAB overnight sebagai sasaran operasional. Transmisi kebijakan

moneter ini diawali dengan pengendalian suku bunga PUAB melalui pengendalian

keseimbangan likuiditas pasar uang. Indikator moneter utama yang dapat digunakan

untuk menjaga keseimbangan likuiditas adalah jumlah excess reserve bank-bank di Bank

Indonesia. Kuatnya hubungan antara excess reseve dengan suku bunga antar bank

merupakan salah satu pertimbangan untuk menggunakan excess reserve tersebut.

Dengan demikian dalam pengendalian suku bunga jangka pendek, proyeksi perhitungan

kebutuhan likuiditas di pasar uang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan,

disamping faktor utama sistem keuangan yang sehat. Piranti moneter yang dapat

digunakan untuk menjaga keseimbangan likuiditas tersebut, antara lain dapat berupa

intervensi rupiah overnight baik yang bersifat ekspansi maupun kontraksi. Sementara

dengan segera dijualnya obligasi pemerintah di pasar sekunder, Bank Indonesia dapat

menggunakan surat berharga pemerintah tersebut sebagai salah piranti moneter dalam

mengendalikan likuiditas bank-bank. Perubahan suku bunga overnight akan

mempengaruhi ekspetasi pasar akan terjadinya perubahan arah kebijakan moneter,

sehingga bank-bank akan merespon dengan merubah suku bunga berjangka pendek.

Selanjutnya perubahan suku bunga tersebut akan mempengaruhi perbankan untuk

merubah suku bunga yang berjangka waktu lebih panjang. Pada tahap berikutnya

perubahan suku bunga akan mempengaruhi perilaku konsumsi dan investasi, serta

kesemua tersebut bermuara ke peningkatan permintaan agregat. Apabila terjadi

peningkatan permintaan agregat yang melampaui output potensial -tercermin dari

penurunan output gap-, inflasi akan cenderung meningkat. Dengan kerangka kebijakan

Page 24: Paper Makro Uas

moneter ini keberhasilan dalam mengendalikan inflasi sangat tergantung keberhasilan

otoritas moneter dalam mengendalikan permintaan agregat.

Ke depan dengan diberlakukannya undang-undang BI yang baru, penggunaan reference

rate fasilitas diskonto sebagai operasional target akan dapat memberikan signal kuat

dalam mempengaruhi suku bunga perbankan. Pemberian fasilitas diskonto disini bukan

dalam

arti memberikan pinjaman likuiditas kepada bank-bank tidak sehat melainkan untuk

menjalankan fungsi BI sebagai lender of the last resort akibat missmatch pendanaan.

Sehingga tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan suku bunga perbankan dan

menjadi reference rate terhadap suku bunga pasar. Pendekatan seperti ini juga dilakukan

Federal Reserve Bank AS dengan menetapkan fed fund rate dalam rangka

mengendalikan suku bunga perbankan dan memperjelas arah kebijakan moneter.

Perubahan suku bunga PUAB overnight tidak hanya mempengaruhi permintaan agregat

tetapi juga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah. Dengan asumsi tidak

terdapatperubahan yang menonjol faktor-faktor di dalam negeri, peningkatan suku bunga

membuat aset di dalam negeri menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset luar

negeri sehingga mendorong aliran modal. Peningkatan arus modal masuk mendorong

apresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Sebaliknya dengan transmisi yang sama penurunan

suku bunga dapat mendorong terjadinya depresiasi Rupiah. Sementara dari sisi investor

dalam negeri, peningkatan suku bunga akan mengurangi permintaan uang untuk

pembelian valuta asing dan pada akhirnya memberikan pengaruh yang sama dapat

Page 25: Paper Makro Uas

memperkuat nilai tukar rupiah. Sebaliknya penurunan suku bunga dapat memperlemah

Rupiah. Hasil studi memberikan indikasi kuat bekerjanya transmisi tersebut khususnya

pada saat kondisi di dalam negeri dalam keadaan normal. Selanjutnya, terkendalinya nilai

tukar rupiah akan memberikan pengaruh positif terhadap pengendalian inflasi sebagai

sasaran akhir. Depresiasi nilai tukar rupiah dapat mendorong peningkatan harga-harga di

dalam negeri melalui 2 jalur. Pertama melalui kenaikan harga-harga barang impor

(imported inflation). Kedua melalui expenditure switching karena harga relatif barang-

barang impor lebih mahal dibandingkan dengan harga barang impor. Peningkatan

permintaan terhadap barang-barang di dalam negeri akan cenderung meningkatkan

harga-harga tersebut. Sementara apresiasi nilai tukar dapat menekan menurunnya laju

inflasi di dalam negeri. Secara umum, hasil studi memperlihatkan bahwa suku bunga

PUAB overnight dapat mempengaruhi suku bunga yang lebih panjang dan nilai tukar.

Kondisi ini memberikan indikasi bekerjanya mekanisme Mundell-Fleming teori dalam

sistem nilai tukar fleksibel. Sehubungan dengan hal tersebut, MCI dapat digunakan

otoritas moneter sebagai proxy sasaran antara kebijakan moneter. Pengalaman pada

masa sistem nilai tukar mengambang menunjukkan bahwa MCI mempunyai hubungan

yang sejalan dengan kebijakan moneter Indonesia. Namun demikian, MCI jangan

diterapkan secara kaku dalam menetapkan kebijakan moneter (policy rules) melainkan

hendaknya dapat dimungkinkan terjadinya discretionary policy. Salah satu pendekatan

yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan band MCI dan melihat sifat shock yang

terjadi terhadap nilai tukar dan inflasi. Sepanjang shock yang terjadi bersifat sementara

dan masih dalam band MCI, tidak perlu dilakukan kebijakan moneter yang over reactive.

Selain itu, mengingat masih besarnya penggunaan uang kartal dalam transaksi ekonomi

Indonesia, seperti terlihat kuatnya pengaruh base money terhadap inflasi pada masa

krisis, maka monetary aggregates masih diperlukan sebagai indikator dalam melihat

tekanan terhadap inflasi. Indikator yang tidak kalah pentingnya untuk melihat tekanan

inflasi antara lain adalah Leading Indikator Inflasi (LII), Leading Indikator Ekonomi (LIE)

dan hasil-hasil survey ekonomi dan konsumen. Keseluruhan indikator ini diperlukan untuk

menetapkan kebijakan moneter yang akan ditempuh dalam mengendalikan inflasi

sebagai sasaran akhir.

3.2. Pengalaman Beberapa Negara yang Menggunakan Manajemen

Moneter

dengan Inflation Targeting

a. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ)

Selandia Baru menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal sejak tahun 1985, dan

strategi ersebut merupakan bagian dari reformasi ekonomi secara menyeluruh. Langkah

tersebut dilakukan sehubungan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya

laju inflasi pada periode tahun 1970an dan 1980an relatif terhadap negara-negara OECD.

Page 26: Paper Makro Uas

Dengan beralihnya sistem nilai tukar negara tersebut ke sistem nilai tukar fleksibel, maka

RBNZ menggunakan inflasi sebagai nominal anchor di dalam melaksanakan kebijakan

moneternya. Penggunaan inflasi sebagai sasaran akhir tersebut juga didukung dengan

pemberian independesi penuh kepada bank sentral dalam melaksanakan kebijakan

moneternya. Sasaran inflasi yang digunakan adalah underlying inflation atau core

inflation sebagaimana dituangkan dalam kesepakatan atau Policy Targets Agreement

(PTA) antara Menteri Keuangan dan Gubernur RBNZ. Untuk mencapai sasaran tersebut

RBNZmenetapkan sasaran operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional

digunakan Cash Rate, sementara untuk mengendalikan cash rate dilakukan melalui

pengendalian likuiditas perbankan (cash settlement). Pengaturan cash settlement

tersebut dilakukan melalui OPT dengan menggunakan government bills di pasar uang.

Selanjutnya perubahan suku bunga cash rate akan ditransmisikan ke perubahan suku

bunga treasury bills 90 hari. Sedangkan sebagai sasaran antara digunakan Monetary

Conditions Indicator (MCI) yaitu kombinasi antara suku bunga treasury bill 90 hari dengan

nilai tukar (trade weighted index) dengan rasio 1:2 yang secara simultan dapat

mempengaruhi aggregate demand. MCI digunakan RBNZ sebagai sasaran antara karena

diyakini dalam perekonomian yang terbuka, kebijakan moneter dapat mempengaruhi

aktivitas ekonomi dan inflasi melalui pengaruh suku bunga dan nilai tukar. Suku bunga

treasury bill 90 hari akan ditransmisikan ke sector riil melalui perubahan aggregate

demand yang direfleksikan dalam PDB aktual. Apabila PDB aktual lebih besar dari PDB

potensial (output gap), inflasi cenderung meningkat. Sementara perubahan nilai tukar

dapat mempengaruhi inflasi melalui saluran tradable goods dan perubahan permintaan

aggregate akibat perubahan harga relatif dalam dan luar negeri.

b. Reserve Bank of Australia (RBA)

Semakin melemahnya hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir

memaksa RBA untuk beralih dari sasaran besaran moneter ke suku bunga pada tahun

1985. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas dan kredibilitas pengendalian

moneter, RBA menggunakan inflasi sebagai sasaran akhir. Inflasi yang digunakan sebagai

target adalah underlying inflation dengan target sebesar 2-3% per tahun.

Dalam pengendalian moneter, RBA menggunakan suku bunga overnight fund (cash rates)

sebagai sasaran operasional. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan target suku bunga

cash rate secara harian beserta latar belakang kenaikan dan penurunannya.

Pengendalian cash rate dilakukan melalui OPT dengan menggunakan Commonwealth

Government Securities dan State Government securities. Perubahan cash rate akan

mempengaruhi suku bunga lainnya, seperti suku bunga pinjaman dan suku bunga lainnya

yang berjangka waktu lebih panjang. Perubahan suku bunga yang berjangka waktu

panjang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi GDP dan inflasi 1.

c. Bank of Canada (BOC)

Inflasi yang rendah merupakan tujuan akhir kebijakan moneter di Kanada sejak lama.

Dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1982, kebijakan moneter diarahkan untuk

Page 27: Paper Makro Uas

mencapai inflasi yang rendah dengan menetapkan target besaran moneter M1. Kerangka

kebijakan ini diganti pada tahun 1982, ketika disadari bahwa inovasi produk baru

keuangan telah memperlemah hubungan antara M1 dengan pengeluaran nominal.

Sementara itu, intermediate target tidak secara eksplisit digunakan antara tahun 1982

dan 1991 tetapi penetapan target inflasi yang rendah tetap dipertahankan. Pada Februari

1991, BOC dan Pemerintah Kanada bersama-sama menetapkan target inflasi sejalan

dengan usaha menstabilkan harga. Target tersebut dimaksudkan sebagai nominal anchor

dalam mempengaruhi ekspetasi masyarakat terhadap inflasi, sehingga masyarakat

terdorong untuk melakukan aktivitas ekonominya dengan menggunakan asumsi inflasi

yang rendah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah bank sentral dalam mencapai

target inflasi yang rendah. Target inflasi didefinisikan sebagai peningkatan CPI dalam 12

bulan dan merupakan inflasi yang paling relevan digunakan di Kanada. Penetapan target

tersebut cukup fleksible dimana target ditetapkan dalam suatu band sebesar 1% di atas

atau di bawah target 3% pada akhir tahun 1992, 2,5% sampai dengan pertengahan tahun

1994 dan 2% sampai dengan akhir tahun 1995. Walaupun target yang dicapai adalah CPI

total, tetapi Bank Sentral hanya mempunyai tanggung jawab dalam mencapai target core

inflation, yaitu inflasi yang telah mengeluarkan harga-harga kolompok bahan makanan

dan energi serta pengaruh pajak tidak langsung. Tetapi apabila dalam pelaksanaan

ditemukan perbedaan yang cukup signifikan antara core inflation dan CPI maka tindak

lanjut harus dilakukan agar core inflasi sesuai dengan target dalam konteks CPI. Dalam

hal terjadi kejadian di luar kendali, seperti bencana alam dan peningkatan harga minyak,

target inflasi dapat dipertimbangkan lagi untuk diubah. Strategi kebijakan tersebut

bersifat forward looking sehubungan dengan terdapatnya lag dalam transmisi kebijakan

moneter. Proyeksi inflasi secara kuartalan yang dilakukan secara intern sejalan dengan

target inflasi yang ditetapkan dalam jangka waktu menengah. Proyeksi tersebut dikaji

ulang apabila terdapat informasi baru. Dalam melaksanakan kebijakan moneter

digunakan MCI sebagai operasional target jangka pendek. MCI adalah kombinasi antara

suku bunga surat berharga pasar uang berjangka waktu 90 hari dengan G-10 real

effective exchange rate, yang digunakan untuk menangkap efek dari aggregate demand.

Rasio yang digunakan pada saat ini adalah satu banding tiga, yang artinya 1%

peningkatan surat berharga berjangka waktu 90 hari sama pengaruhnya dengan

peningkatan 3% peningkatan REER dari negara-negara G-10 (Lafrance, 1996). Bank

Sentral mempengaruhi MCI dengan mempengaruhi suku bunga pasar uang harian. Sejak

pertengahan tahun 1994, the Bank of Canada menetapkan band suku bunga pasar uang

sebesar 50 basis point dan untuk mempertahankan band tersebut dilakukan melalui

fasilitas repo dan sebaliknya. Kemudian sejak 22 Februari 1996, target tersebut

ditetapkan 25 basis point di atas suku bunga treasury bill 3 bulan.

d. Bank of England (BOE)

Pada akhir tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an, pengendalian moneter yang

dilakukan dengan menggunakan broad money (M3) ternyata kurang efektif sehubungan

Page 28: Paper Makro Uas

dengan perubahan besar dari velocity of money. Kemudian pada tahun 1987-1988, Bank

of England menggunakan nilai tukar sebagai nominal anchor informal ketika otoritas

moneter mendapat manfaat dari rendahnya laju inflasi di Jerman. Pada tahun 1990,

Inggris bergabung dengan dengan Exchange Rate Mechanism. Namun karena banyaknya

tekanan depresiasi nilai tukar, sebagai akibat besarnya kesenjangan ekonomi antara

Jerman dan Inggris, BOE Inggris beralih ke sistem nilai tukar fleksibel yang secara

eksplisit menetapkan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter pada bulan Oktober

1992. Target inflasi adalah RPIX yakni retail price index (RPI) setelah dikeluarkan

mortgage interest rate. Target pertama kali ditetapkan sebesar 1-4% dan pada bulan Juni

1995 dirubah menjadi maksimal sebesar 2%. Oleh karena inflation targeting merupakan

kebijakan forward looking, maka Bank of England meminta independensi dalam membuat

assesment inflasi ke depan dalam laporan inflasi kuartalan sejak Februari 1993. Dalam

melaksanakan kebijakan moneter Bank of England menggunakan suku bunga jangka

pendek sebagai operating targetnya, dimana struktur suku bunga jangka pendek

disesuaikan dengan suku bunga resmi yang ditetapkan dalam pertemuan moneter antara

Gubernur BOE dengan Menteri Keuangan. Secara aktif BOE mengendalikan likuiditas

harian di pasar uang agar sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu, BOE juga

menggunakan OPT secara harian di pasar uang dengan memperkenalkan fasilitas repo 2

bulan dan fasilitas lainnya di pasar repo.

e. The Riksbank of Sweden (ROS)

Tekanan-tekanan depresiasi yang cukup besar yang dihadapi Swedish krona pada fall

1992 telah memaksa pemerintah untuk melepas nilai tukar tetap dan beralih ke system

nilai tukar fleksibel. Untuk mencari alternatif sebagai pengganti nominal anchor maka

Dewan Gubernur Riksbank pada bulan Januari 1993 menetapkan inflasi sebagai sasaran

kebijakan moneter. Inflasi yang digunakan adalah CPI dan target inflasi pada tahun 1995

adalah 1% dengan kisaran target. Penetapan inflasi sebagai sasaran akhir mempunyai

beberapa keuntungan bagi otoritas moneter di Swedia. Pertama, kebijakan tersebut

mengurangi ketidakpastian yang ditimbulkan dari transisi sistem nilai tukar fleksibel.

Kedua, membantu menyeleraskan ekspetasi inflasi masyarakat sesuai dengan kapasitas

ekonomi. Ketiga, strategi tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengawasi kinerja

otoritas moneter sehingga bank sentral dapat lebih kredibel. Untuk mendorong

efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter, Pemerintah memberikan indepedensi kepada

ROS dan target inflasi dikukuhkan oleh parlemen. Seperti negara-negara Kanada dan

Selandia Baru, the Riksbank (RB) juga menggunakan MCI sebagai sasaran antara dalam

kebijakan moneternya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter di negara ini juga tidak

jauh berbeda dengan kedua Negara yang menerapkan MCI tersebut di atas, dimana

untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi, RB menggunakan indikator output gap

(selisih PDB aktual dengan PDB potensial). Dalam pelaksanaan kebijakan moneter, RB

menetapkan suku bunga jangka pendek sejalan dengan stance kebijakan moneter yang

diinginkan. Suku bunga jangka pendek tersebut digunakan untuk mempengaruhi suku

Page 29: Paper Makro Uas

bunga jangka menengah/jangka panjang. Selanjutnya suku bunga jangka panjang

tersebut akan mempengaruhi aggregate demand sehingga pada akhirnya output gap

dapat dikendalikan. Dengan pengendalian output gap tersebut maka inflasi dapat

dikndalikan. Pada bulan May 1994, RB menggunakan suku bunga repo 2 minggu sebagai

instrumen utama operasional, sedangkan sebelumnya menggunakan suku bunga

pinjaman overnight atau marginal rate. Pada bulan Juli 1996, RB memperpendek jangka

waktu repo tersebut menjadi 1 minggu

BAB IV

KESIMPULAN.

1. Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel secara teori

memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran

modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah

dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar

Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar

Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan

tekanan pada harga-harga domestik.

2. Transmisi mekanisme perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat diterangkan

melalui . Melemahnya nilai tukar Rupiah akan meningkatkan harga tradable goods

dalam mata uang domestik. Akibatnya, harga-harga dalam negeri juga akan

meningkat melalui exchange rate pass through. Hal ini dapat dilihat dari tradable

goods inflation dan Depresiasi nilai tukar Rupiah akan mempengaruhi relative

price effects yaitu meningkatnyaharga tradable goods relatif terhadap harga non-

tradable goods, akan memberikan efek psikologis bagi sektor non-tradable goods

untuk menaikkan harga.

3. Pengujian empiris menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan kerangka

inflation targeting dapat dilaksanakan di Indonesia. Pengendalian moneter

dilakukan melalui pendekatan suku bunga dengan inflasi sebagai sasaran tunggal.

Mengacu pada penelitian yang sudah ada dan Undang-undang No 23 tahun 1999

tentang Bank Indonesia, inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter adalah

underlying inflation

4. Penerapan inflation targeting hendaknya tetap memperhatikan kondisi dan

prasyarat penerapan inflation targeting di beberapa negara yang sudah

menerapkannya. Untuk mempersiapkan ini, Bank Indonesia perlu memperdalam

dan memperkaya model-model proyeksi inflasi dan perhitungan output gap. Untuk

membantu pengendalian suku bunga dalam kerangka kebijakan moneter inflation

targeting, Pemerintah perlu segera menerbitkan surat berharga baik yang

berjangka pendek maupun yang berjangka panjang seperti yang diterapkan di

Page 30: Paper Makro Uas

negara Jepang, misalnya. Salah satu alternatif adalah penggunaan obligasi

pemerintah sebagai instrumen moneter yang saat ini telah di rintis.

DAFTAR PUSTAKA

Caves, Richard E, Jeprey A Frankel, and Ronald W Jones, "World Trade and Payments an Introduction", Seventh-Edition, Harver Collins College Publisher, 1996.

Dornbusch Rudiger, "Exchange Rates and Inflation", The MIT Press, USA, 1995.

Dornbusch Rudiger, and S. Fisher, "Exchange Rates and Current Account ", American Economis Review, 1980.

Erricson, Neil R. ,Eilev S. Jansen, Neva A. Kerbershian and Ragnar Nymoen, "Interpreting a Monetary Conditions Index in Economic Policy".

Gavin. M, “ The Stock Market & Exchange Rate Dynamics” Journal Intermediate Money and Finance, 1989.

Guy Debelle, "Inflation Targeting in Practice", Working Paper, IMIF, March 1997.

Herlambang, Sugiarto & BAskara Said Kelana,” Ekonomi Makro : Teori analisis dan Kebijakan”, Jakarta Grammedia Pustka Utama, 2001.

Jeffrey A Frankel,” No Single Currency Regime is Right for All Countries or At all Times” essays in International Finance, Princenton University, 1999.

Kuncoro, Mudrajad,” Manajemen Keuangan Internasional”, Yogyakarta BPFE UGM, 1996.

Levi, Maurice. D,” Keuangan International “, Yogyakarta Andi Offset, 1996

Triyono,” Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, FE UMS Surakarta, 2008.

Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi, "Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Bank Indonesia, Jakarta Juli 1998.

Wijoyo Santoso dan Iskandar,” Pengendalian Moneter Dalam Sistem NIlai Tukar Yang Fleksibel ”, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan Bank Indonesia, 1999.