Paper Makro Uas
Transcript of Paper Makro Uas
BAB I
PENDAHULUAN
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu Negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan
oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Kurs
merupakan salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka, karena
ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar,
mengingat pengaruhnya yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun bagi variable-
variabel makro ekonomi lainnya. Dornbusch dan Fisher ( 1980 ) mengatakan bahwa
pergerakan nilai tukar mempengaruhi daya saing internasional dan posisi neraca perdagangan
dan gilirannya akan mempengaruhi cash flow saat ini dan masa yang akan datang dari Negara
tersebut.
Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu Negara.
Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa Negara tersebut memiliki
kondisi ekonomi yang relative baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Ketidakstabilan nilai tukar
ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan International.
Sebagai Negara yang banyak mengimport bahan baku dari luar negeri maka
Indonesia akan mengalami dampak yang luar biasa dalam ketidakstabilan nilai kurs tersebut
yang membawa dampak terhadap adanya naik-turunnya inflasi dalam negeri itu sendiri,
karena dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negara lain mengakibatkan
naiknya biaya produksi sehingga membawa dampak multiplier terhadap harga jual barang
tersebut di Indonesia. Dengan melemahnya nilai tukar Rupiah akan membawa dampak
terhadap perekonomian yang semakin melemah dan kepercayaan terhadap mata uang negeri
menjadi turun.
Karakteristik negara Indonesia sebagai "small and open economi", menganut sistem
devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang ( free floating
exchange rate system) menyebabkan pergerakan nilai tukar rupiah di pasar uang menjadi
rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar
yang berlebihan, maka pelaksanaan intervensi oleh Bank Indonesia dalam pasau uang menjadi
sangat penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Kestabilan nilai tukar akan memberikan
kepastian bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam melakukan usahanya yang pada akhirnya
berdampak pada stabilitas secara makro.
Upaya pengendalian nilai tukar rupiah tidak selalu diartikan pada penekanan "range"
fluktuasi dalam interval yang sangat sempit, tetapi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah lebih
diartikan menjaga nilai tukar rupiah yang bergerak dengan teratur (uncertainly manner). Oleh
karena itu, apabila nilai tukar rupiah berfluktuasi sangat tajam karena faktor "uncertainly",
maka diperlukan "guidance" dari otoritas moneter dengan melakukan intervensi.
Sejarah telah membuktikan bahwa di Indonesia pernah terjadi ketidakstabilan kurs
nilai mata uang rupiah yaitu : Pada bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$
sebesar Rp3.035/US$, terus mengalami tekanan sehingga pada Desember 1997 nilai tukar
rupiah terhadap US$ tercatat sebesar Rp4.650/US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah
melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah
sempat menembus level Rp14.900/US$ yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang
sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ tahun 1999
melakukan recovery menjadi sebesar Rp7.810/US$, tahun 2000 kembali melemah sebesar
Rp8.530/US$, tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp10.265/US$, tahun 2002 kembali
menguat menjadi Rp9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp8.570/US$ dan pada tahun
2004 sebesar Rp8.985/US$.
Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat menembus level
US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan
valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai
tukar rupiah melemah terhadap US$ dan berada kisaran Rp9.200 sampai Rp10.200 per US$.
Uraian di atas menunjukkan pentingnya kestabilan nilai tukar rupiah dalam kaitannya
dengan kestabilan perekonomian Indonesia secara makro. Sehingga perlunya menetapka
asumsi nilai tukar karena asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi
dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan
pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Dengan
demikian, variabel asumsi dasar ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya
penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk dana perimbangan, serta besarnya pembiayaan
anggaran.
Pada tahun 2004, asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN ditetapkan sebesar Rp8.600
per US$. Dalam realisasinya, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ selama tahun 2004
adalah sebesar Rp8.930, atau mengalami penyimpangan sebesar 3,5 persen (under-estimated).
Demikian pula pada tahun 2005, dalam APBN-P asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar
Rp9.300 per US$, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ sampai dengan Oktober 2005
sebesar Rp9.590 per US$, atau menyimpang sebesar 3 persen Penetapan asumsi nilai tukar
rupiah dalam APBN yang ternyata lebih rendah sekitar 3 persen dari realisasi, adalah
merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini mengingat asumsi nilai tukar yang ditetapkan dalam
APBN dapat pula berfungsi sebagai “anchor” nilai tukar sehingga dapat meredam ekspektasi
masyarakat yang berlebihan. Tetapi disisi lain, apabila asumsi tersebut jauh dari realita yang
diekspektasikan pasar, maka pasar akan menolak, sehingga asumsi tersebut tidak dipercaya
lagi. Dari kondisi ini, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan asumsi nilai tukar sehingga
dari kedua sisi, baik pemerintah maupun pelaku pasar dapat sama-sama terwakili.
Mengingat pentingnya nilai tukar rupiah sebagai indikator ekonomi makro dalam
APBN, model prakiraan nilai tukar yang tepat sangat diperlukan untuk memprakirakan nilai
tukar realistis terutama sebagai masukan dalam penyusunan RAPBN.
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa nilai tukar sangat berkaitan dengan inflasi
maka asumsi dasar APBN-pun juga menggariskan adanya asumsi inflasi yang realistis. Hal
ini juga tampak pada perubahan sasaran/ target dalam kebijakan moneter oleh pemerintah.
Sasaran utama Bank Indonesia sebelumnya adalah , yaitu : jumlah uang beredar dan inflasi,
sekarang difokuskan pada kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Nilai Tukar (Kurs)
2.1.1. Pengertian Nilai Tukar Rupiah
Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as the amount
of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one
currency in items of another currency.
Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah harga rupiah
terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata rupiah
yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap
Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dijerlaskan bahwa Kurs ( exchange rate ) adalah pertukaran antara
dua mata uang yang berbeda yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua
mata uang tersebut. Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa
depresiasi ataupun apresiasi. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
artinya suatu penurunan harga dollar Amerika terhadap rupiah. Depresiasi ini membuat harga
barang dalam negeri Indonesia menjadi cukup murah bagi fihak luar negeri karena turunnya
niali rupiah tersebut. Sedangkan apresiasi rupiah terhadap dollar artinya naiknya rupiah
terhadap nilai mata uang dollar AMerika. Apresiasi ini membuat harga barang-barang dalam
negeri Indonesia menjadi sangat mahal bagi fihak luar negeri. ( Sukirno, 2000:297).
Dalam perdagangan Internasional di wilayah Indonesia, Kurs Rupiah terhadap dollar
memainkan peranannya yang sangat penting karena kurs tersebut mampu membandingkan
harga semua barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai Negara.
Kurs valas dapat diklasifikasikan ke dalam kurs jual dan kurs beli, sedangkan selisih
dari kurs jual dan kurs beli meruapakan sebuah pendapatan bagi investor pedagang valas.
Sedangkan dalam pasar valas tersebut terdapat 3 jenis transaksi valuta asing, yaitu : (
Mudrajat Kuntjoro, 1966 ).
a. Spot Transaction, transaksi dalam valuta asing yang penyerahannya dilakukan dengan segera dengan jangka waktu maksimal 2 hari setelah tanggal transaksi. Pada transaksi jenis ini, nilai kurs ditentukan pada saat terjadinya kontrak
b. Forward Transaction, transaksi valuta asing dimana penyerahannya dilakukan pada tanggal tertentu yang telah disetujui, dengan nilai kurs ditentukan pada saat kontrak.
c. Future Transaction, transaksi valuta asing yang mirip dengan forward transaction, tetapi dalam masa "maturity" terjadi penyesuaian nilai kurs yang disesuaikan dengan kurs pasar.
Pemahaman mengenai tinggi rendahnya nilai tukar akan mempengaruhi tindakan
yang akan diambil oleh pelaku-pelaku ekonomi dalam pasar valuta asing, apakah akan
membeli, menjual atau menahan sementara waktu untuk mendapatkan keuntungan dari
fluktuasi nilai tukar.
2.1.2. Penentuan Nilai Tukar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu :
1. Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi,
suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar dan
intervensi Bank Sentral.
2. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada saat-
saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka
harga valas akan naik dan sebaliknya.
3. Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang
bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam
dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu, maka nilai
tukar akan kembali normal.
2.1.3. Sistem Kurs Mata Uang
Menurut Kuncoro (2001: 26-31), ada beberapa sistem kurs mata uang yang berlaku di
perekonomian internasional, yaitu:
1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini ditentukan oleh
mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh Pemerintah dalam hal ini
otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs
mengambang, yaitu :
Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan sepenuhnya
oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. Sistem ini sering
disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak
diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau
memanipulasi kurs.
Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana
otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu.
Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter
perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs.
2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara
mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau
sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner dagang
yang utama “Menambatkan“ ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut
bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata
uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi terhadap
mata uang lain mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.
3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs) ( Frankel, 1999; 115) . Dalam
sistem ini, suatu negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya
secara periodic dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang
waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur
penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs
tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan terhadap
perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam.
4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama negara
sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata
uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu
negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi
mata uang yang dimasukkan dalam “keranjang“ umumnya ditentukan oleh
peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu. Mata uang yang
berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara
tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa
mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda.
5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara
mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini dengan
menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs
tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang
sangat sempit.
2.1.4. Pendekatan Nilai Tukar
Menurut Mudrajat ( 1996 ), metoda pendekatan nilai tukar dibagi menjadi 4 ( empat )
pendekatan yaitu :
a. Pendekatan Neraca Pembayaran ( Balance Payment Approach Approach )
Metoda ini menekankan pada konsep aliran ( flow concept ), sehingga nilai tukar
valuta asing ditentukan oleh aliran permintaan dan penawaran valuta. Pada metoda ini,
fluktuasi nilai tukar disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran,
dan diformulasikan sebagai berikut :
BOP t = C ( Pt / St Pt*, Yt / Yt*, Zt ) + K ( Rt – Rt*)
Persamaan di atas menunjukkan, bahwa keseimbangan nilai tukar ditentukan oleh jumlah total neraca pembayaran, yaitu : penjumlahan rekening transaksi berjalan dengan rekening modal.
Equilibrium nilai tukar mengambang penuh, sehingga keseimbangan neraca pembayaran dijaga oleh penyesuaian nilai tukar secara terus menerus. Persamaan nilai tukar dapat diformulasikan
st = h ( p – p* ) t + a (y – y* ) t – l ( r – r* ) t
b. Pendekatan Paritas Daya Beli ( Purchasing Power Parity Approach )
Konsep dasar metoda Paritas Daya Beli merupakan teori untuk menghitung nilai tukar valuta asing yang dinyatakan dengan rasio tingkat harga suatu negara dengan negara lain.
Teori paritas daya beli mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu absolut dan relatif. Secara absolut, teori ini menyatakan bahwa keseimbangan nilai valuta asing merupakan harga relatif dalam negeri terhadap harga relatif luar negeri, formulanya dapat dituliskan sebagai berikut :
st = Pt / Pt *
dimana : st = nilai tukar valuta asing
Pt = tingkat harga dalam negeri
Pt* = tingkat barga luar negri
Sedangkan pengertian secara relatif, nilai valuta asing dinyatakan sebagai prosentase perubahan tingkat harga domestik terhadap prosentase perubahan tingkat harga luar negeri, formulanya dituliskan sebagai berikut :
% D st = % D Pt / % D Pt*
dimana : % D st = prosentase perubahan nilai tukar
% D Pt = prosentase perubahan tingkat harga domestik
% D Pt* = prosentase perubahan tingkat harga luar negeri
c. Pendekatan Moneter ( Monetary Approach )
Pendekatan Moneter terhadap valuta asing dapat digolongkan menjadi 2 (dua) model, yaitu : versi harga luwes ( flexible price monetary model ) dan versi harga kaku ( sticky price monetary model ).
Versi Harga Luwes
Terdapat 3 (tiga) faktor utama yang menjadi dasar dari versi ini, yaitu Teori Kuantitas, Keluwesan Harga dan konsep Paritas Daya Beli. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah kondisi keseimbangan pasar, yaitu permintaan uang ( m
d ) sama dengan penawaran
uang ( m s ). Permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan riil ( y ), tingkat harga ( p ) dan tingkat bunga ( r ), sedangkan penawaran uang adalah given. Ekuilibrium pasar dapat dituliskan :
m s t = p t + a y t - l r t ................................. (1)
m s t * = p t * + a * y t * - l * r t * ................................ (2)
Sedangkan Paritas Daya Beli dalam jangka pendek dapat dituliskan :
s t = Pt - Pt * .................................. (3)
Penawaran uang dalam negeri akan menentukan tingkat harga dalam negeri, sehingga nilai tukar valuta asing ditentukan oleh penawaran uang dalam negeri. Substitusikan persamaan (1) dan (2) ke persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan dasar Model Moneter Harga Luwes sebagai berikut :
s t = ( m s - m s * ) t - a y t + a * y t * + l r t - l * r t *
Dari persamaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai tukar ditentukan oleh jumlah uang beredar, pendapatan riil dan tingkat bunga.
Versi Harga Kaku.
Dalam pendekatan moneter, terdapat perubahan 2 (dua) asumsi dengan memasukkan ketegaran harga ( Keynesian ). Pertama, penawaran uang setiap negara adalah endogen. Hal ini berarti penawaran uang dipengaruhi secara positif oleh tingkat bunga pasar, sehingga kondisi keseimbangan pasar uang menjadi :
m s t + d r t = p t + a y t - l r t
m s t * + d r t * = p t * + a * y t * - l * r t *
dimana :
m s t dan m s
t * = komponen eksogen dari penawaran uang
d r t dan d r t * = menunjukkan bahwa penawaran uang sensitif
terhadap tingkat bunga
p t , a y t , p t * , a * y t * = menunjukkan komponen permintaan uang
Kedua, kondisi Paritas Daya Beli hanya berlaku dalam jangka panjang ( pada Harga Luwes asumsinya jangka pendek ), dan dapat diformulasikan sebagai berikut :
s t ‘ = Pt - Pt *
Sedangkan perubahan nilai tukar valuta asing yang diharapkan diasumsikan mengikuti bentuk :
D set+1 = q ( st ‘ - st ) + ( p e
t + p e t *)
Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan, bahwa jika nilai tukar valuta asing pada saat transaksi dilakukan ( spot exchange rate ) berada di bawah tingkat keseimbangan jangka panjang, maka nilai valuta domestik akan mengalami penurunan. Sebaliknya, apabila nilai tukar berada di atas keseimbangan, maka nilai valuta domestik akan naik. Sedangkan perbedaan inflasi yang diharapkan akan menyebabkan penurunan nilai tukar valuta yang diharapkan.
Jadi dengan model pendekatan Moneter Versi Harga Kaku dapat dihitung pengharapan nilai tukar valuta ( expected spot exchange rate ) dengan menggabungkan informasi dan ekuilibrium pasar dengan pengaruh tingkat inflasi yang diharapkan (expected inflation ).
Model dasar pendekatan Moneter Versi Harga Kaku mengenai nilai tukar dapat dituliskan sebagai berikut :
s t = (m – m*)t – a (y – y*)t + (d + l - 1/ q) (r – r*) t + (1/q) (pe - pe* )t
d. Pendekatan Keseimbangan Portofolio ( Portofolio Balance Approach )
Pada metoda ini, faktor yang menentukan nilai tukar adalah permintaan dan penawaran asset finansial, misalnya : obligasi. Asumsi yang digunakan, bahwa investor/ pelaku pasar valuta akan memilih portofolio yang optimal diantara berbagai asset baik domestik maupun asing. Pemilihan tersebut dimaksudkan untuk menghindari/ mengurangi resiko kerugian dari transaksi valuta, atau untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Pendekatan ini memberi tekanan pada peranan asset dan memandang bahwa asset mempunyai sifat substitusi yang tidak sempurna.
Dalam bentuk yang sederhana, pendekatan keseimbangan portofolio menentukan model nilai tukar yang dipengaruhi oleh faktor : asset finansial dan tingkat bunga internasional. Faktor asset finansial ( W ) dibagi dalam 3 (tiga) bentuk asset, yaitu : penawaran uang domestik ( M ), obligasi domestik ( B ) dan obligasi luar negeri ( fB ). Sehingga persamaan nilai tukar valuta asing adalah :
st t = g ( M t , B t , fB t , r*t )
Diasumsikan bahwa r*t merupakan tingkat bunga internasional yang ditentukan oleh pasar asset internasional, sehingga :
r*t = (M t *, B t *, fB* t )
Substitusikan persamaan (4) dengan (5) sehingga dihasilkan :
st t = g ( M t , M t *, B t, B t *, fB t , fB t * )
Persamaan di atas menunjukkan hubungan antara nilai tukar valuta asing dan penawaran asset melalui perubahan stok asset.
2.1.4. Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu:
1. Sistem kurs tetap (1970- 1978)
Sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai
tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung
berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar
pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar
valuta asing.
2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997)
Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang
(basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya
devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs
indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu.
Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau
bawah dari spread.
3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang)
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin melemah.
Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa
yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang
intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem
nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14
Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk
mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan
pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
2.2 Teori Permintaan dan Penawaran
Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan penawaran,
sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas dan Kinerja
Perekonomian Indonesia dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran
menghubungkan berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang
ditawarkan.
Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika harga
turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara harga dan
penawaran. Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan
harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah nilai
tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya meningkat
berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.
Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi.
Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).
Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya naik
(rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh (rupiah
terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip yang
sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow - terhadap
pergerakan nilai tukar.
Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu pihak
kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh karena
berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli. Dalam
konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif (+) untuk
order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negative (-) untuk
order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan dan Lyons
(2005) mempengaruhi nilai tukar.
Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung berbagai
informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order, pemberi
order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi (Rime, 2007),
dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang pada akhirnya
menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut, pemberi order
menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi,
akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan
arah pergerakan nilai tukar.
Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order flow sering
disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan antara order flow
dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin memberikan
tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow adalah sebagai
berikut:
ΔPt = f(X, I, Z) + ε
t
dimana ΔPt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang
dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya. Kajian dengan pendekatan
permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank Indonesia oleh Husman (2005).
Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang memadukan permintaan dan
penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar
rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud adalah sebagai berikut:
st = α0 + (pt - p*t) + α1(it - i*t) + α2sdvt + α3tott + α4poil + ut
dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*t adalah price differential, it - i*t adalah interest rate
differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tott adalah term of
trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable
permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
2.3 Nilai Tukar dan Inflasi
2.3.1 Hubungan Nilai Tukar dan Inflasi
Nilai Tukar dibedakan menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai
tukar nominal menunjukkan harga relative mata uang dan uang Negara, sedangkan
nilai tukar riil menunjukkan tingkat ukuran (rate) suatu barang dapat diperdagangkan
antar Negara. Jika nilai tukar riil tinggi berarti harga produk domestic relative mahal.
Persentase perubahan nilai tukar nominal sama dengan persentase perubahan nilai
riil ditambah perbedaan inflasi antara inflasi luar negeri dengan inflasi domestic
( persentase perubahan harga inflasi ). Jika suatu Negara luar negeri lebih tinggi
inflasinya dibandingkan domestic ( Indonesia ) maka Rupiah akan ditukarkan dengan
lebih banyak valas. Jika inflasi meningkat untuk untuk membeli valuta asing yang
sama jumlahnya harus ditukar dengan yang makin banyak atau depresiasi rupiah
(Herlambang, dkk, 2001 : 282 )
2.3.2 Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter
Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas terhadap
perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui
berbagai jalur transmisi:
• Direct passthrough
• Indirect passthrough
• Inflation expectation
Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang (dalam
mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama yang
terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung
meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan
kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang
impor ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya
tersebut atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam
hal importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan
dibebankan kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya
importir bersedia menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka
dampak depresiasi rupiah akan minimal pada harga konsumen.
Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi
pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga
barang ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam
negeri, hal ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih
menguntungkan jika barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di
dalam negeri. Akibat perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam
negeri menjadi lebih mahal (inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa
depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung
meningkat. Ekspektasi ini direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan
antisipatif penyesuaian harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat.
BAB III
PEMBAHASAN
Untuk mencapai sasaran inflasi dengan baik, maka perlu dicari sasaran antara yang dekat hubungannya dengan inflasi. Sasaran antara ini dapat berupa suku bunga jangka panjang seperti suku bunga deposito 3 bulan atau lebih dan nilai tukar Rupiah, baik secara nominal maupun riil, atau kombinasi antara keduanya yang disebut Monetary Condition Index (MCI). Perlu tidaknya digunakan sasaran antara tergantung pada keeratan hubungan antara suku bunga jangka pendek dengan inflasi. Apabila suku bunga jangka pendek dapat langsung mempengaruhi laju inflasi dengan meyakinkan, tidak diperlukan sasaran antara seperti di beberapa negara yang menerapkan inflation targeting yakni Australia, Inggris dan Spanyol. Bank of Japan yang tidak menerapkan inflation targeting juga tidak memiliki sasaran antara. Sedangkan yang memakai MCI sebagai sasaran antara adalah New Zealand, Swediadan Kanada.Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama, melemahnya nilai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk jika para buruh melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya. Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods akan mendorong permintaan non-tradable goods sehingga meningkatkan harga
domestik. Kenaikan harga ini akan dipacu lagi jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi. Jenis inflasi yang digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan moneter biasanya underlying inflation seperti yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan inflation targeting. Hal ini juga sejalandengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999, yang antara lain mengemukakan bahwa sasaran laju inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia adalah inflasi yang dapat dipengaruhi kebijakanmoneter atau secara implisit dapat diartikan sebagai underlying inflation.
III. Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting.
3.1. Pengertian dan Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah bank-bank
sentral di dunia menggunakan inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter
sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan besaran-besaran moneter ataupun
exchange rate targeting. Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang
bersifat forward looking dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga
atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir (Debelle dan Lim, 1998).
Umumnya strategi pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-
besaran harga (price targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Salah satu alasan
pertimbangan penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya
hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga
mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Globalisasi perekonomian dunia, inovasi
produk-produk keuangan, sekuritisasi aset serta decoupling antara sektor keuangan dan
sektor riil merupakan faktor yang melatar belakangi melemahnya hubungan besaran
moneter tersebut. Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam
mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan karena
terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut.
Pengalaman Indonesia dan beberapa negara yang menggunakan sasaran ganda
menunjukkan bahwa banyak kendala ditemukan untuk mencapai semua sasaran akhir
tersebut secara optimal pada saat bersamaan, sehubungan dengan adanya sifat
kontradiktif diantara sasaran akhir tersebut. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral
melakukan ekspansi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tindakan
tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan
keseimbangan neraca pembayaran. Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin
mengetatkan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal
tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
pengangguran. Tradeoff tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana
dikemukakan dalam teori Phillips Curve.
Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat
mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas
pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak
hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan
ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan
memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Oleh karena itu banyak
negara telah menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti
Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Stanley Fischer (1994),
Deputy Managing Director IMF, menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi
sasaran utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat
mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti
pertumbuhan naturalnya (Guitan, 1994).
Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998) mengemukakan
beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini
menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut:
a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal
anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank
sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten.
b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa
inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam
jangka panjang.
c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga
peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan
output dan kesempatan kerja.
d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi
sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya.
e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit
diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya.
Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol, Swedia dan
Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut menetapkan inflasi sebagai
sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah. Namun
dalam jangka pendek terdapat tradeoff antara penurunan inflasi dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi
berada pada tingkat yang sustainable.
i. Kerangka Kerja Inflation Targeting
Secara garis besar karakteristik kerangka kerja kebijakan moneter dari negara-
negara yang menganut inflation targeting meliputi 3 kegiatan utama, yaitu penetapan
target inflasi, melakukan proyeksi inflasi dan menetapkan kebijakan operasional dalam
pencapaian sasaran inflasi.
Penetapan target inflasi
Sehubungan dengan inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang
bersifat forward looking maka dalam penetapan target inflasi terdapat beberapa
masalah yang perlu diperhatikan, meliputi inflasi yang digunakan, besarnya
inflasi, jangka waktu
pencapaian inflasi dan fleksibilitas dari pencapaian target dalam hal terjadi
shock dalam ekonomi (Debelle, 1997 dan Debelle dan Lim, 1998).
Pertama, Penentuan inflasi yang digunakan harus menjadi komitmen nasional
karena ketidak berhasilan bank sentral dalam mencapai sasaran yang
ditetapkan akan mengurangi kredibilitas masyarakat terhadap bank sentral.
Beberapa negara yang menganut rezim inflation targeting, seperti Selandia
Baru, Australia dan Kanada menggunakan core inflation atau underlying inflation
sebagai target. Penggunaan core inflation dikarenakan inflasi yang dalam
pengendalian bank sentral hanya yang berasal dari sisi demand, sementara
yang berasal dari sisi supply merupakan diluar kendali bank sentral. Dalam
negara yang masyarakatnya belum begitu maju, terdapat persepsi bahwa inflasi
merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari otoritas moneter dengan tanpa
membedakan penyebab dari tekanan inflasi. Negara Israel dan Swedia
menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sebagai target sebagai rasa
tanggung jawab otoritas moneter terhadap masyarakat.
Kedua, Besarnya inflasi yang ditargetkan hendaknya disesuaikan dengan potensi
aktivitas ekonomi di masa yang akan datang, sehingga inflasi yang ditargetkan
tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Penetapan inflasi yang terlalu rendah akan
sangat mahal bagi perekonomian karena selain berat bagi otoritas moneter juga
menjadi beban bagi sektor riil. Penetapan target dapat dilakukan dengan
menetapkan suatu target tertentu maupun dengan menetapkan band.
Penetapan band dapat mempengaruhi kredibilitas otoritas moneter, namun hal
ini dapat digunakan untuk menampung terjadinya inflasi dari supply shock.
Swedia,misalnya, menggunakan band dalam menetapkan target inflasi.
Ketiga, Jangka waktu pencapaian inflasi yang ditargetkan berbeda untuk
masingmasing negara tergantung dari inflasi awal yang terjadi. Bagi negara
yang mempunyai inflasi awal jauh berbeda dengan inflasi yang ditargetkan
maka jangka waktu pencapaian inflasi memerlukan waktu yang lama. Bahkan
Debelle (1997) menganjurkan jangka waktu sekitar 2 tahun untuk pencapaian
target bagi negaranegara yang mempunyai inflasi awal yang sudah tinggi.
Penetapan jangka waktu pencapaian inflasi yang cukup panjang tersebut karena
terkait dengan struktur ekonomi. Finlandia dan Swedia misalnya sejak
menerapkan rezim inflation targeting pada tahun 1993, memerlukan waktu tidak
kurang 2 tahun dalam mencapai target inflasi.
Keempat, Penerapan inflation targeting hendaknya juga tidak ditetapkan secara
kaku. Menurut Mc Donough (1996) ada 3 alasan mengapa fleksibilitas diperlukan
dalam menerapkan inflation targeting.
Pertama, stabilitas harga adalah sasaran jangka pendek dalam penciptaan
ekonomi yang lebih stabil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
sebagai tujuan akhir. Dengan demikian kebijakan moneter disesuaikan dengan
siklus kegiatan ekonomi yang terjadi, sehingga inflation targeting tidak dijadikan
sebagai rule.
Kedua, inflation targeting merupakan strategi moneter ke depan (medium-term-
forward-looking) sehingga ketidakpastiannya cukup besar khususnya dari sisi
penawaran (supply shock). Oleh karena itu kebijakan moneter yang dilakukan
juga harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi.
Ketiga, penyimpangan inflasi dari target yang ditetapkan dapat menurunkan
kredibilitas bank sentral. Sebaliknya apabila terlalu longgar juga dapat
mengurangi keyakinan masyarakat terhadap bank sentral dalam memerangi
inflasi. Dengan demikian revisi inflasi dalam jangka pendek dapat dimungkinkan
sepanjang terdapat alasan yang jelas untuk melakukan perubahan sesuai
dengan perkembangan terakhir.
Proyeksi Inflasi
Tidak seperti target besaran moneter atau nilai tukar yang melihat
perkembangan terkini dari target-target tersebut maka inflation target lebih
bersifat strategi ke depan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapatnya
kecenderungan mengenai lamanya lag dari perubahan piranti moneter ke inflasi.
Sebagai konsekuensinya maka sebelum melaksanakan kebijakan ini, otoritas
moneter harus mempunyai model yang mampu dengan akurat memprediksikan
inflasi dalam suatu jangka waktu tertentu. Ketidakakuratan dalam memprediksi
inflasi ke depan tidak hanya menyangkut kredibilitas otoritas moneter tetapi
juga akan dapat menjadi beban yang mahal bagi sektor riil apabila kebijakan
moneter yang dilakukan terlalu ketat. Oleh karena itu diperlukan kejelian
otoritas moneter untuk memprediksikan inflasi sebelum mengumumkannya
kepada masyarakat.
Penetapan Target Operasional
Umumnya negara-negara yang menganut rezim inflation targeting
menggunakan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional.
Sementara yang secara eksplisit menggunakan Monetary Condition Index (MCI)
sebagai sasaran antara terdapat tiga negara meliputi Selandia Baru, Kanada dan
Swedia, sedangkan negara lainnya tidak mempunyai sasaran antara. Rezim ini
menggunakan besaran-besaran moneter hanya sebagai indikator, sementara
untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi digunakan indikator output gap.
Dalam hal suatu negara menggunakan MCI sebagai intermediate target maka
perubahan MCI juga merupakan indikator yang digunakan oleh otoritas moneter
dalam merubah kebijakan moneternya.
Tujuan utama penggunaan Monetary Condition Index (MCI) adalah untuk
mengetahui stance kebijakan moneter. Secara empiris, MCI adalah rata-rata
tertimbang (weighted average) dari perubahan suku bunga dan nilai tukar relatif
terhadap periode yang ditentukan (base periode). Bobot dari suku bunga dan
nilai tukar mencerminkan perkiraan dampak relatif kedua variabel tersebut
terhadap aggregat demand pada suatu periode yang seringkali ditentukan
dalam waktu dua tahun. Selain digunakan sebagai indikator kondisi moneter,
MCI digunakan pula sebagai target operasional jangka pendek.
Dasar pemikiran MCI adalah sebagai berikut : Nilai tukar mempengaruhi
permintaan agregat, khususnya pada perekonomian terbuka dengan skala yang
kecil. Dengan memfokuskan pada nilai tukar dan suku bunga diharapkan
perilaku perekonomian dapat diprediksikan, sehingga kebijakan ekonomi yang
tepat dapat dilakukan. Pelopor pertama penggunaan MCI adalah Kanada
kemudian diikuti oleh Selandia Baru dan Swedia, sementara negara Italia,
Jerman, Perancis dan Inggris telah mempublikasikan MCI. Bank of Canada (BoC)
telah menggunakan MCI sejak beberapa tahun lalu sebagai target operasional
dalam mengarahkan kebijakan moneter. MCI BoC dihitung berdasarkan jumlah
tertimbang perubahan suku bunga nominal surat berhaRga (commercial paper)
berjangka waktu 90 hari (R) dan indeks nilai tukar nominal trade-weighted G-10
bilateral (E). Kedua variabel tersebut dihitung berdasarkan nilai relatif dari waktu
dasarnya (base period). Bobot suku bunga dan nilai tukar mencerminkan
estimasi dampak relatif terhadap total output Kanada. BoC menggunakan bobot
suku bunga terhadap nilai tukar 3 : 1. Artinya, 1 point persentase kenaikan suku
bunga akan menyebabkan tiga kali perubahan pada MCI, yang setara dengan
3% apresiasi Canadian Dollar. Untuk mendapatkan rasio 3 : 1 tersebut
digunakan persamaan partial dari model permintaan agregat (aggregate
demand) dengan menggunakan data kuartalan (Ericsson, 1991), sebagai berikut
:
Y = F(Y*,Yt-1, RR, Q)
dimana : Seluruh variabel dalam bentuk first difference logaritma
Y : PDB Kanada
Y* : PDB Amerika Serikat
Yt-1 : PDB Kanada tahun sebelumnya
RR : suku bunga riil yaitu suku bunga nominal surat berharga 90-hari dikurangi
dengan perubahan tahunan (annual rate) PDB Deflator Kanada (P) lag 1 kuartal.
Q : nilai tukar riil (REER) yaitu hasil perkalian antara nilai tukar nominal AS -
Canadian $ bilateral dengan rasio antara PDB deflator Kanada dan PDB deflator
AS. Sehingga Q = E . (P/P*), dan kenaikan pada Q berarti apresiasi Canadian $.
Selanjutnya koefisien suku bunga riil dari persamaan di atas dibagi dengan
koefisien nilai tukar riil, sehingga didapat rasio 3 : 1 di atas. Dengan rasio
tersebut kemudian dihitung MCI dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
dimana :
MCIt R (Rt −R0 ) e (et −e0 )
t : indeks waktu, dengan t=0 sebagai waktu dasar
R : bobot suku bunga
e : bobot nilai tukar
variabel dengan huruf kecil dinyatakan dalam bentuk logaritma.
Kerangka Kebijakan Moneter
Secara umum kerangka kebijakan moneter negara-negara yang menerapkan
inflation targeting dapat digambarkan sebagai berikut. Pengendalian moneter
dengan rezim ini diawali dengan pengendalian suku bunga jangka pendek pasar
uang (cash rate) dengan menggunakan instrumen moneter melalui Operasi
Pasar Terbuka (OPT). Untuk mengendalikan suku bunga maka keseimbangan
likuiditas senantiasa dijaga dengan memperhatikan settlement fund dari bank-
bank. Selanjutnya perubahan suku bunga jangka pendek tersebut akan
ditransmisikan ke suku bunga yang lebih panjang dan kredit. Perubahan suku
bunga tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan konsumsi dan
investasi, sehingga sebagai gilirannya juga akan mempengaruhi aggregate
demand. Apabila terjadi output gap (aggragate demand lebih besar dari output
potensial) maka inflasi akan meningkat. Dengan demikian dalam rezim ini,
pengendalian permintaan agregat merupakan kunci utama keberhasilan
pengendalian inflasi.
Pe
ii. Prasyarat Penerapan Inflation Targeting
Menurut Debelle dan Lim (1998) serta Masson (1998), untuk melaksanakan
inflation targeting sebagai strategi kebijakan moneter terdapat dua prasyarat utama
yang harus dipenuhi.
Pertama, Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Kedua, Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya bersamaan dengan
penerapan inflafion targeting.
Independensi Bank Sentral
Persyaratan utama untuk melaksanakan kerangka kebijakan moneter dengan
menggunakan inflation targeting adalah kemampuan bank sentral untuk
mencapai inflasi tanpa ada campur tangan politik dari pemerintah. Dalam
pengertian independent disini tidak hanya terbatas dari sisi kelembagaan tetapi
juga independent dalam melaksanakan instrumen moneter. Independensi
instrumen berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan melakukan kebijakan
yang dapat mengganggu dalam pencapaian inflasi. Untuk mencapai kondisi
tersebut maka suatu Negara dipersyaratkan agar tidak mempunyai kebijakan
fiskal yang terlalu dominan atau dengan kata lain kebijakan fiskal jangan sampai
mendikte kebijakan moneter. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah tidak
diperkenankan untuk meminjam dari bank sentral atau bank-bank komersial di
dalam negeri. Jika kondisi ideal tersebut tidak dapat terpenuhi maka paling
tidak, jumlah pinjaman tersebut harus ditekan sekecil mungkin.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah hendaknya mempunyai
sumber penerimaan yang cukup luas dan menghindarkan penerimaan yang
berasal dari seignoirage dari pencetakan uang berlebihan. Sementara dalam hal
terdapat pinjaman pemerintah maka pasar uang di dalam negeri harus mampu
menyerap seluruh pinjaman pemerintah tersebut maupun pinjaman swasta.
Disamping itu juga pinjaman pemerintah harus dikendalikan dalam level
tertentu agar tidak mengganggu pelaksanaan kebijaksanaan moneter.
Pemberian independensi dimaksudkan untuk menghindarkan tekanan-tekanan
fiskal dari pemerintah akibat adanya slippages dalam kebijakan fiskal.
Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya
Prasyarat kedua untuk megaplikasikan inflation targeting adalah Pemerintah
atau otoritas moneter menghindarkan untuk menggunakan nominal anchor
lainnya, seperti variabel upah dan nilai tukar nominal. Negara yang
menggunakan sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneternya terikat untuk
mempertahankan nominal nilai tukar pada tingkat tertentu sehingga hal
tersebut tidak efektif digunakan bersamaan dengan variabel nominal lainnya
seperti inflasi. Hal tersebut dapat terjadi karena mempertahankan nilai tukar
dapat mengorbankan target inflasi. Dalam hal otoritas moneter tidak dapat
mencapai salah satu target tersebut maka hal tersebut dapat mengurangi
kredibilitas.
V. Kemungkinan Penerapan Kebijakan Moneter dengan Inflation
Targeting Di Indonesia
5.1. Prasyarat Umum
Secara kelembagaan, sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 1999, kebijakan
moneter dalam kerangka inflation targeting telah memenuhi persyaratan untuk
dilaksanakan di Indonesia. Perumusan tujuan Bank Indonesia yang jelas untuk mencapai
dan memelihara kestabilan rupiah dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran tunggal
inflasi mengingat kestabilan nilai tukar rupiah adalah resultante dari inflasi yang rendah.
Dengan terfokusnya pelaksanaan kebijakan moneter pada pencapaian inflasi maka dapat
dihindarkan conflict of interest terhadap pencapaian tujuan-tujuan lainnya yang dapat
mengganggu kestabilan harga. Pemberian independensi sebagai prasyarat utama dalam
inflation targeting juga telah dapat dipenuhi dengan diberlakukannya Undang-undang
tersebut di atas. Pemberian independensi diberikan tidak terbatas pada independensi
dari aspek kelembagaan tetapi juga independen dari aspek instrumen dan tujuan
kebijakan moneter. Pemberian status independen memberikan dasar hukum yang kuat
terhadap konsistensi kelembagaan Bank Indonesia serta menghindarkan campur tangan
pemerintah dan pihak lain dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Selain itu, kebijakan
fiskal di Indonesia tidak menunjukkan keadaan yang lebih dominant dari kebijakan
moneter. Prinsip penyusunan APBN yang menghindarkan penggunaan pembiayaan
budget defisit yang berasal dari dalam negeri khususnya Bank Indonesia merupakan
prasyarat yang telah dipenuhi. Selama ini budget defisit pemerintah selalu dibiayai
dengan pinjaman luar negeri pemerintah, sehingga hal tersebut dapat menghindarkan
tekanan-tekanan inflasi yang berasal dari kegiatan mencetak uang yang berlebihan. Isu
berikutnya sebelum menerapkan inflation targeting adalah karakteristik inflasi di suatu
negara. Pada umumnya, pada saat pertama kali menerapkan inflation targeting,
karakteristik inflasi di negara-negara tersebut relatif rendah--kecuali Israel. Sebagaimana
negara-negara berkembang lainnya, laju inflasi di Indonesia relatif tinggi dan banyak
dipengaruhi oleh kenaikan harga pada kelompok makanan. Namun dengan
perkembangan laju inflasi yang rendah sepanjang tahun 1999, permasalahan inflasi
bukan merupakan suatu hambatan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan kebijakan
moneter dalam kerangka inflation targeting.
5.2. Transmisi Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting
Hasil uji empiris menunjukkan evidence bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang,
transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga cukup efektif dalam pengendalian inflasi
sebagai sasaran akhir. Dalam pengendalian moneter dengan inflation targeting tersebut
digunakan suku bunga PUAB overnight sebagai sasaran operasional. Transmisi kebijakan
moneter ini diawali dengan pengendalian suku bunga PUAB melalui pengendalian
keseimbangan likuiditas pasar uang. Indikator moneter utama yang dapat digunakan
untuk menjaga keseimbangan likuiditas adalah jumlah excess reserve bank-bank di Bank
Indonesia. Kuatnya hubungan antara excess reseve dengan suku bunga antar bank
merupakan salah satu pertimbangan untuk menggunakan excess reserve tersebut.
Dengan demikian dalam pengendalian suku bunga jangka pendek, proyeksi perhitungan
kebutuhan likuiditas di pasar uang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan,
disamping faktor utama sistem keuangan yang sehat. Piranti moneter yang dapat
digunakan untuk menjaga keseimbangan likuiditas tersebut, antara lain dapat berupa
intervensi rupiah overnight baik yang bersifat ekspansi maupun kontraksi. Sementara
dengan segera dijualnya obligasi pemerintah di pasar sekunder, Bank Indonesia dapat
menggunakan surat berharga pemerintah tersebut sebagai salah piranti moneter dalam
mengendalikan likuiditas bank-bank. Perubahan suku bunga overnight akan
mempengaruhi ekspetasi pasar akan terjadinya perubahan arah kebijakan moneter,
sehingga bank-bank akan merespon dengan merubah suku bunga berjangka pendek.
Selanjutnya perubahan suku bunga tersebut akan mempengaruhi perbankan untuk
merubah suku bunga yang berjangka waktu lebih panjang. Pada tahap berikutnya
perubahan suku bunga akan mempengaruhi perilaku konsumsi dan investasi, serta
kesemua tersebut bermuara ke peningkatan permintaan agregat. Apabila terjadi
peningkatan permintaan agregat yang melampaui output potensial -tercermin dari
penurunan output gap-, inflasi akan cenderung meningkat. Dengan kerangka kebijakan
moneter ini keberhasilan dalam mengendalikan inflasi sangat tergantung keberhasilan
otoritas moneter dalam mengendalikan permintaan agregat.
Ke depan dengan diberlakukannya undang-undang BI yang baru, penggunaan reference
rate fasilitas diskonto sebagai operasional target akan dapat memberikan signal kuat
dalam mempengaruhi suku bunga perbankan. Pemberian fasilitas diskonto disini bukan
dalam
arti memberikan pinjaman likuiditas kepada bank-bank tidak sehat melainkan untuk
menjalankan fungsi BI sebagai lender of the last resort akibat missmatch pendanaan.
Sehingga tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan suku bunga perbankan dan
menjadi reference rate terhadap suku bunga pasar. Pendekatan seperti ini juga dilakukan
Federal Reserve Bank AS dengan menetapkan fed fund rate dalam rangka
mengendalikan suku bunga perbankan dan memperjelas arah kebijakan moneter.
Perubahan suku bunga PUAB overnight tidak hanya mempengaruhi permintaan agregat
tetapi juga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah. Dengan asumsi tidak
terdapatperubahan yang menonjol faktor-faktor di dalam negeri, peningkatan suku bunga
membuat aset di dalam negeri menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset luar
negeri sehingga mendorong aliran modal. Peningkatan arus modal masuk mendorong
apresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Sebaliknya dengan transmisi yang sama penurunan
suku bunga dapat mendorong terjadinya depresiasi Rupiah. Sementara dari sisi investor
dalam negeri, peningkatan suku bunga akan mengurangi permintaan uang untuk
pembelian valuta asing dan pada akhirnya memberikan pengaruh yang sama dapat
memperkuat nilai tukar rupiah. Sebaliknya penurunan suku bunga dapat memperlemah
Rupiah. Hasil studi memberikan indikasi kuat bekerjanya transmisi tersebut khususnya
pada saat kondisi di dalam negeri dalam keadaan normal. Selanjutnya, terkendalinya nilai
tukar rupiah akan memberikan pengaruh positif terhadap pengendalian inflasi sebagai
sasaran akhir. Depresiasi nilai tukar rupiah dapat mendorong peningkatan harga-harga di
dalam negeri melalui 2 jalur. Pertama melalui kenaikan harga-harga barang impor
(imported inflation). Kedua melalui expenditure switching karena harga relatif barang-
barang impor lebih mahal dibandingkan dengan harga barang impor. Peningkatan
permintaan terhadap barang-barang di dalam negeri akan cenderung meningkatkan
harga-harga tersebut. Sementara apresiasi nilai tukar dapat menekan menurunnya laju
inflasi di dalam negeri. Secara umum, hasil studi memperlihatkan bahwa suku bunga
PUAB overnight dapat mempengaruhi suku bunga yang lebih panjang dan nilai tukar.
Kondisi ini memberikan indikasi bekerjanya mekanisme Mundell-Fleming teori dalam
sistem nilai tukar fleksibel. Sehubungan dengan hal tersebut, MCI dapat digunakan
otoritas moneter sebagai proxy sasaran antara kebijakan moneter. Pengalaman pada
masa sistem nilai tukar mengambang menunjukkan bahwa MCI mempunyai hubungan
yang sejalan dengan kebijakan moneter Indonesia. Namun demikian, MCI jangan
diterapkan secara kaku dalam menetapkan kebijakan moneter (policy rules) melainkan
hendaknya dapat dimungkinkan terjadinya discretionary policy. Salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan band MCI dan melihat sifat shock yang
terjadi terhadap nilai tukar dan inflasi. Sepanjang shock yang terjadi bersifat sementara
dan masih dalam band MCI, tidak perlu dilakukan kebijakan moneter yang over reactive.
Selain itu, mengingat masih besarnya penggunaan uang kartal dalam transaksi ekonomi
Indonesia, seperti terlihat kuatnya pengaruh base money terhadap inflasi pada masa
krisis, maka monetary aggregates masih diperlukan sebagai indikator dalam melihat
tekanan terhadap inflasi. Indikator yang tidak kalah pentingnya untuk melihat tekanan
inflasi antara lain adalah Leading Indikator Inflasi (LII), Leading Indikator Ekonomi (LIE)
dan hasil-hasil survey ekonomi dan konsumen. Keseluruhan indikator ini diperlukan untuk
menetapkan kebijakan moneter yang akan ditempuh dalam mengendalikan inflasi
sebagai sasaran akhir.
3.2. Pengalaman Beberapa Negara yang Menggunakan Manajemen
Moneter
dengan Inflation Targeting
a. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ)
Selandia Baru menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal sejak tahun 1985, dan
strategi ersebut merupakan bagian dari reformasi ekonomi secara menyeluruh. Langkah
tersebut dilakukan sehubungan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya
laju inflasi pada periode tahun 1970an dan 1980an relatif terhadap negara-negara OECD.
Dengan beralihnya sistem nilai tukar negara tersebut ke sistem nilai tukar fleksibel, maka
RBNZ menggunakan inflasi sebagai nominal anchor di dalam melaksanakan kebijakan
moneternya. Penggunaan inflasi sebagai sasaran akhir tersebut juga didukung dengan
pemberian independesi penuh kepada bank sentral dalam melaksanakan kebijakan
moneternya. Sasaran inflasi yang digunakan adalah underlying inflation atau core
inflation sebagaimana dituangkan dalam kesepakatan atau Policy Targets Agreement
(PTA) antara Menteri Keuangan dan Gubernur RBNZ. Untuk mencapai sasaran tersebut
RBNZmenetapkan sasaran operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional
digunakan Cash Rate, sementara untuk mengendalikan cash rate dilakukan melalui
pengendalian likuiditas perbankan (cash settlement). Pengaturan cash settlement
tersebut dilakukan melalui OPT dengan menggunakan government bills di pasar uang.
Selanjutnya perubahan suku bunga cash rate akan ditransmisikan ke perubahan suku
bunga treasury bills 90 hari. Sedangkan sebagai sasaran antara digunakan Monetary
Conditions Indicator (MCI) yaitu kombinasi antara suku bunga treasury bill 90 hari dengan
nilai tukar (trade weighted index) dengan rasio 1:2 yang secara simultan dapat
mempengaruhi aggregate demand. MCI digunakan RBNZ sebagai sasaran antara karena
diyakini dalam perekonomian yang terbuka, kebijakan moneter dapat mempengaruhi
aktivitas ekonomi dan inflasi melalui pengaruh suku bunga dan nilai tukar. Suku bunga
treasury bill 90 hari akan ditransmisikan ke sector riil melalui perubahan aggregate
demand yang direfleksikan dalam PDB aktual. Apabila PDB aktual lebih besar dari PDB
potensial (output gap), inflasi cenderung meningkat. Sementara perubahan nilai tukar
dapat mempengaruhi inflasi melalui saluran tradable goods dan perubahan permintaan
aggregate akibat perubahan harga relatif dalam dan luar negeri.
b. Reserve Bank of Australia (RBA)
Semakin melemahnya hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir
memaksa RBA untuk beralih dari sasaran besaran moneter ke suku bunga pada tahun
1985. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas dan kredibilitas pengendalian
moneter, RBA menggunakan inflasi sebagai sasaran akhir. Inflasi yang digunakan sebagai
target adalah underlying inflation dengan target sebesar 2-3% per tahun.
Dalam pengendalian moneter, RBA menggunakan suku bunga overnight fund (cash rates)
sebagai sasaran operasional. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan target suku bunga
cash rate secara harian beserta latar belakang kenaikan dan penurunannya.
Pengendalian cash rate dilakukan melalui OPT dengan menggunakan Commonwealth
Government Securities dan State Government securities. Perubahan cash rate akan
mempengaruhi suku bunga lainnya, seperti suku bunga pinjaman dan suku bunga lainnya
yang berjangka waktu lebih panjang. Perubahan suku bunga yang berjangka waktu
panjang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi GDP dan inflasi 1.
c. Bank of Canada (BOC)
Inflasi yang rendah merupakan tujuan akhir kebijakan moneter di Kanada sejak lama.
Dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1982, kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai inflasi yang rendah dengan menetapkan target besaran moneter M1. Kerangka
kebijakan ini diganti pada tahun 1982, ketika disadari bahwa inovasi produk baru
keuangan telah memperlemah hubungan antara M1 dengan pengeluaran nominal.
Sementara itu, intermediate target tidak secara eksplisit digunakan antara tahun 1982
dan 1991 tetapi penetapan target inflasi yang rendah tetap dipertahankan. Pada Februari
1991, BOC dan Pemerintah Kanada bersama-sama menetapkan target inflasi sejalan
dengan usaha menstabilkan harga. Target tersebut dimaksudkan sebagai nominal anchor
dalam mempengaruhi ekspetasi masyarakat terhadap inflasi, sehingga masyarakat
terdorong untuk melakukan aktivitas ekonominya dengan menggunakan asumsi inflasi
yang rendah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah bank sentral dalam mencapai
target inflasi yang rendah. Target inflasi didefinisikan sebagai peningkatan CPI dalam 12
bulan dan merupakan inflasi yang paling relevan digunakan di Kanada. Penetapan target
tersebut cukup fleksible dimana target ditetapkan dalam suatu band sebesar 1% di atas
atau di bawah target 3% pada akhir tahun 1992, 2,5% sampai dengan pertengahan tahun
1994 dan 2% sampai dengan akhir tahun 1995. Walaupun target yang dicapai adalah CPI
total, tetapi Bank Sentral hanya mempunyai tanggung jawab dalam mencapai target core
inflation, yaitu inflasi yang telah mengeluarkan harga-harga kolompok bahan makanan
dan energi serta pengaruh pajak tidak langsung. Tetapi apabila dalam pelaksanaan
ditemukan perbedaan yang cukup signifikan antara core inflation dan CPI maka tindak
lanjut harus dilakukan agar core inflasi sesuai dengan target dalam konteks CPI. Dalam
hal terjadi kejadian di luar kendali, seperti bencana alam dan peningkatan harga minyak,
target inflasi dapat dipertimbangkan lagi untuk diubah. Strategi kebijakan tersebut
bersifat forward looking sehubungan dengan terdapatnya lag dalam transmisi kebijakan
moneter. Proyeksi inflasi secara kuartalan yang dilakukan secara intern sejalan dengan
target inflasi yang ditetapkan dalam jangka waktu menengah. Proyeksi tersebut dikaji
ulang apabila terdapat informasi baru. Dalam melaksanakan kebijakan moneter
digunakan MCI sebagai operasional target jangka pendek. MCI adalah kombinasi antara
suku bunga surat berharga pasar uang berjangka waktu 90 hari dengan G-10 real
effective exchange rate, yang digunakan untuk menangkap efek dari aggregate demand.
Rasio yang digunakan pada saat ini adalah satu banding tiga, yang artinya 1%
peningkatan surat berharga berjangka waktu 90 hari sama pengaruhnya dengan
peningkatan 3% peningkatan REER dari negara-negara G-10 (Lafrance, 1996). Bank
Sentral mempengaruhi MCI dengan mempengaruhi suku bunga pasar uang harian. Sejak
pertengahan tahun 1994, the Bank of Canada menetapkan band suku bunga pasar uang
sebesar 50 basis point dan untuk mempertahankan band tersebut dilakukan melalui
fasilitas repo dan sebaliknya. Kemudian sejak 22 Februari 1996, target tersebut
ditetapkan 25 basis point di atas suku bunga treasury bill 3 bulan.
d. Bank of England (BOE)
Pada akhir tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an, pengendalian moneter yang
dilakukan dengan menggunakan broad money (M3) ternyata kurang efektif sehubungan
dengan perubahan besar dari velocity of money. Kemudian pada tahun 1987-1988, Bank
of England menggunakan nilai tukar sebagai nominal anchor informal ketika otoritas
moneter mendapat manfaat dari rendahnya laju inflasi di Jerman. Pada tahun 1990,
Inggris bergabung dengan dengan Exchange Rate Mechanism. Namun karena banyaknya
tekanan depresiasi nilai tukar, sebagai akibat besarnya kesenjangan ekonomi antara
Jerman dan Inggris, BOE Inggris beralih ke sistem nilai tukar fleksibel yang secara
eksplisit menetapkan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter pada bulan Oktober
1992. Target inflasi adalah RPIX yakni retail price index (RPI) setelah dikeluarkan
mortgage interest rate. Target pertama kali ditetapkan sebesar 1-4% dan pada bulan Juni
1995 dirubah menjadi maksimal sebesar 2%. Oleh karena inflation targeting merupakan
kebijakan forward looking, maka Bank of England meminta independensi dalam membuat
assesment inflasi ke depan dalam laporan inflasi kuartalan sejak Februari 1993. Dalam
melaksanakan kebijakan moneter Bank of England menggunakan suku bunga jangka
pendek sebagai operating targetnya, dimana struktur suku bunga jangka pendek
disesuaikan dengan suku bunga resmi yang ditetapkan dalam pertemuan moneter antara
Gubernur BOE dengan Menteri Keuangan. Secara aktif BOE mengendalikan likuiditas
harian di pasar uang agar sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu, BOE juga
menggunakan OPT secara harian di pasar uang dengan memperkenalkan fasilitas repo 2
bulan dan fasilitas lainnya di pasar repo.
e. The Riksbank of Sweden (ROS)
Tekanan-tekanan depresiasi yang cukup besar yang dihadapi Swedish krona pada fall
1992 telah memaksa pemerintah untuk melepas nilai tukar tetap dan beralih ke system
nilai tukar fleksibel. Untuk mencari alternatif sebagai pengganti nominal anchor maka
Dewan Gubernur Riksbank pada bulan Januari 1993 menetapkan inflasi sebagai sasaran
kebijakan moneter. Inflasi yang digunakan adalah CPI dan target inflasi pada tahun 1995
adalah 1% dengan kisaran target. Penetapan inflasi sebagai sasaran akhir mempunyai
beberapa keuntungan bagi otoritas moneter di Swedia. Pertama, kebijakan tersebut
mengurangi ketidakpastian yang ditimbulkan dari transisi sistem nilai tukar fleksibel.
Kedua, membantu menyeleraskan ekspetasi inflasi masyarakat sesuai dengan kapasitas
ekonomi. Ketiga, strategi tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengawasi kinerja
otoritas moneter sehingga bank sentral dapat lebih kredibel. Untuk mendorong
efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter, Pemerintah memberikan indepedensi kepada
ROS dan target inflasi dikukuhkan oleh parlemen. Seperti negara-negara Kanada dan
Selandia Baru, the Riksbank (RB) juga menggunakan MCI sebagai sasaran antara dalam
kebijakan moneternya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter di negara ini juga tidak
jauh berbeda dengan kedua Negara yang menerapkan MCI tersebut di atas, dimana
untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi, RB menggunakan indikator output gap
(selisih PDB aktual dengan PDB potensial). Dalam pelaksanaan kebijakan moneter, RB
menetapkan suku bunga jangka pendek sejalan dengan stance kebijakan moneter yang
diinginkan. Suku bunga jangka pendek tersebut digunakan untuk mempengaruhi suku
bunga jangka menengah/jangka panjang. Selanjutnya suku bunga jangka panjang
tersebut akan mempengaruhi aggregate demand sehingga pada akhirnya output gap
dapat dikendalikan. Dengan pengendalian output gap tersebut maka inflasi dapat
dikndalikan. Pada bulan May 1994, RB menggunakan suku bunga repo 2 minggu sebagai
instrumen utama operasional, sedangkan sebelumnya menggunakan suku bunga
pinjaman overnight atau marginal rate. Pada bulan Juli 1996, RB memperpendek jangka
waktu repo tersebut menjadi 1 minggu
BAB IV
KESIMPULAN.
1. Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel secara teori
memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran
modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah
dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar
Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar
Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan
tekanan pada harga-harga domestik.
2. Transmisi mekanisme perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat diterangkan
melalui . Melemahnya nilai tukar Rupiah akan meningkatkan harga tradable goods
dalam mata uang domestik. Akibatnya, harga-harga dalam negeri juga akan
meningkat melalui exchange rate pass through. Hal ini dapat dilihat dari tradable
goods inflation dan Depresiasi nilai tukar Rupiah akan mempengaruhi relative
price effects yaitu meningkatnyaharga tradable goods relatif terhadap harga non-
tradable goods, akan memberikan efek psikologis bagi sektor non-tradable goods
untuk menaikkan harga.
3. Pengujian empiris menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan kerangka
inflation targeting dapat dilaksanakan di Indonesia. Pengendalian moneter
dilakukan melalui pendekatan suku bunga dengan inflasi sebagai sasaran tunggal.
Mengacu pada penelitian yang sudah ada dan Undang-undang No 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia, inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter adalah
underlying inflation
4. Penerapan inflation targeting hendaknya tetap memperhatikan kondisi dan
prasyarat penerapan inflation targeting di beberapa negara yang sudah
menerapkannya. Untuk mempersiapkan ini, Bank Indonesia perlu memperdalam
dan memperkaya model-model proyeksi inflasi dan perhitungan output gap. Untuk
membantu pengendalian suku bunga dalam kerangka kebijakan moneter inflation
targeting, Pemerintah perlu segera menerbitkan surat berharga baik yang
berjangka pendek maupun yang berjangka panjang seperti yang diterapkan di
negara Jepang, misalnya. Salah satu alternatif adalah penggunaan obligasi
pemerintah sebagai instrumen moneter yang saat ini telah di rintis.
DAFTAR PUSTAKA
Caves, Richard E, Jeprey A Frankel, and Ronald W Jones, "World Trade and Payments an Introduction", Seventh-Edition, Harver Collins College Publisher, 1996.
Dornbusch Rudiger, "Exchange Rates and Inflation", The MIT Press, USA, 1995.
Dornbusch Rudiger, and S. Fisher, "Exchange Rates and Current Account ", American Economis Review, 1980.
Erricson, Neil R. ,Eilev S. Jansen, Neva A. Kerbershian and Ragnar Nymoen, "Interpreting a Monetary Conditions Index in Economic Policy".
Gavin. M, “ The Stock Market & Exchange Rate Dynamics” Journal Intermediate Money and Finance, 1989.
Guy Debelle, "Inflation Targeting in Practice", Working Paper, IMIF, March 1997.
Herlambang, Sugiarto & BAskara Said Kelana,” Ekonomi Makro : Teori analisis dan Kebijakan”, Jakarta Grammedia Pustka Utama, 2001.
Jeffrey A Frankel,” No Single Currency Regime is Right for All Countries or At all Times” essays in International Finance, Princenton University, 1999.
Kuncoro, Mudrajad,” Manajemen Keuangan Internasional”, Yogyakarta BPFE UGM, 1996.
Levi, Maurice. D,” Keuangan International “, Yogyakarta Andi Offset, 1996
Triyono,” Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, FE UMS Surakarta, 2008.
Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi, "Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Bank Indonesia, Jakarta Juli 1998.
Wijoyo Santoso dan Iskandar,” Pengendalian Moneter Dalam Sistem NIlai Tukar Yang Fleksibel ”, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan Bank Indonesia, 1999.