papandayan suksesi.pdf
-
Upload
adhy-widya-setiawan -
Category
Documents
-
view
248 -
download
7
Transcript of papandayan suksesi.pdf
SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN PASCA LETUSAN TAHUN 2002
WELLY RAHAYU
E 14201033
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
Welly Rahayu. Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002. Di Bawah Bimbingan Ir. Iwan Hilwan, MS. Masyarakat hutan merupakan suatu siste m hidup dan tumbuh, atau suatu masyarakat yang dinamis. Untuk mencapai keadaan seimbang/dinamis (dynamic equilibrium) masyarakat hutan memerlukan jangka waktu yang sangat lama. Masyarakat hutan yang telah seimbang/dinamis sering terusik oleh beberapa gangguan. Pertama aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua karena faktor alam yang bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin ribut dan lain-lain. Kerusakan hutan akibat faktor alam terjadi di Gunung Papandayan yang meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda dengan kondisi awal. Dimana untuk mencapai keadaan seimbang (dynamic equilibrium) dibutuhkan suatu proses dalam jangka waktu yang sangat lama yaitu proses suksesi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai data awal yang dapat digunakan untuk penelitian pada tahun-tahun berikutnya. Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan Garut, pada hutan yang terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl dan 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2005. Bahan-bahan yang digunakan adalah etiket gantung, lembar herbarium dan label, sasak bambu, kertas gambar dan kertas koran, isolatif, kantong palstik dan Alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah Alat ukur meteran, alat tulis, tali rafia atau tali plastik, golok dan pisau, kompas, gunting ranting, tally sheet, pita keliling, pita tanda, kamera digital, paralon, haga meter, GPS, dan termometer. Kegiatan yang dilakukan adalah analisis vegetasi, analisis tanah dan pembuatan herbarium. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak. Pada setiap ketinggian dibuat sebanyak lima jalur (20 x 100 m) dimana setiap jalur dibagi menjadi lima petak contoh (20 x 20 m). Petak contoh ini dibagi lagi menjadi sub petak contoh yang terdiri dari tingkat semai (2 x 2 m), pancang (5 x 5 m), tiang ( 10 x 10 m), dan pohon (20 x 20 m). Sedangkan untuk herba dan semak (5 x 5 m), liana dan efifit (20 x 20 m). Jarak antar jalur adalah 30 m. Data hasil analisis vegetasi berupa Indek Nilai Penting, Indeks Keragaman, Indeks Kekayaan, Indeks Kemerataan, Indeks Dominansi dan Indeks Kesamaan Komunitas. Untuk analisis tanah metode yang dilakukan adalah metode tanah terusik. Data yang dianalisis adalah sifat fisik (tekstur) dan sifat kimia (pH, Al, P, C-organik, N-total, KTK, Mg, K, Ca, dan KB) tanah. Pembuatan herbarium dengan cara mengambil specimen di lapangan. Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl belum ditemukannya vegetasi sedangkan hutan di ketinggian 2500 m dpl vegetasi yang mendominasi adalah vegetasi tingkat herba dan semak. Indek keragaman, Kekayaan dan Kemerataan jenis pada hutan terkena letusan lebih rendah
dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Sedangkan untuk Indeks Dominansi pada hutan yang terkena letusan lebih tinggi dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ke tinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl.. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl Indek Kesamaan Komunitas terbesar adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan di ketinggian 2500 m dpl adalah pada tingkat herba dan semak dengan nilai sebesar 49,26%. Akibat adanya peristiwa letusan Gunung Papandayan yang terjadi pada tahun 2002, telah mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan tersebut berbeda dengan kondisi awalnya. Kemudian seiring dengan perubahan alam dari waktu ke waktu, telah terjadinya suatu proses suksesi yaitu suksesi sekunder pada areal-areal terbuka yang mengalami kerusakan akibat letusan. Proses suksesi sekunder yang berjalan lebih kurang tiga tahun lamanya telah membentuk suatu komunitas baru yang berbeda dari komunitas sebelumnya. Proses suksesi yang terjadi telah masuk kedalam tingkatan pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil. Proses ini telah terjadi pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl dimana pada hutan tersebut didominasi oleh vegetasi untuk tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, proses suksesi berjalan sangat lambat karena hingga saat ini belum ditemukannya vegetasi baru yang tumbuh pada hutan tersebut. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena hutan pada ketinggian 2300 m dpl sangat dekat dengan sumber letusan (2200 m dpl) sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Tekstur tanah yang diperoleh menunjukkan bahwa pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl tekstur tanahnya lebih halus daripada hutan tidak terkena letusan. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut dapat meresap air dan mengikat unsur hara dengan baik. Sedangkan untuk sifat kimia tanah setelah terjadi letusan pada umumnya mengalami penurunan kecuali pH, Al, dan P
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca
Letusan Tahun 2002
Nama Mahasiswa : Welly Rahayu
NRP : E 14201033
Program studi : Budi Daya Hutan
Disetujui,
(Ir. Iwan Hilwan, MS)
Dosen Pembimbing
Diketahui,
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS)
Dekan Fakultas Kehutanan
SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN PASCA LETUSAN TAHUN 2002
WELLY RAHAYU
E 14201033
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara, yang
telah melimpahkan nikmat dan karunianya, termasuk nikmat yang Dia berikan
kepada penulis dalam pelaksanaan serangkaian tugas akhir hingga tuntasnya
skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Suksesi Vegetasi Gunung Papandayan Pasca Letusan
Tahun 2002”. Skripsi ini dilakukan penulis untuk mempelajari tingkat suksesi
yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai
data awal yang dapat digunakan untuk penelitian pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan serta
pengorbanan yang terbaik.
2. Ir. Iwan Hilwan, MS atas kesediaan dan keikhlasan beliau membimbing
penulis dalam menyusun skripsi ini.
3. Ir. I. Ketut N Pandit, MS dan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku
dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi
Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas saran dan masukan yang telah
diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
tulisan ini.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sumber
informasi bagi yang menggunakannya.
Bogor, Januari 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dumai, Propinsi Riau pada tanggal
20 Juli 1983. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara dari pasangan Ridwan. AR (Ayah) dan Yunimar
(Ibu). Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Negri 014
Dumai tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Negri 2 Dumai tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah
Umum Negri 2 Dumai tahun 1998-2001.
Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Dalam bidang akademik, penulis telah mengikuti beberapa prakte k
lapang antara lain : Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan
Juli-Agustus 2004 di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (KPH Banyumas
Barat, BKPH Rawa Timur dan KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet
Barat) dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, KPH Ngawi. Pada bulan Februari
– April 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Diamond
Raya Timber, Riau.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Komunitas
Masyarakat Rumput (MR) tahun 2002-2003, anggota Departemen Public relation
ASEAN Forestry Student’s Association (AFSA) LC IPB 2003-2004, dan asisten
mata kuliah Dendrologi dan Ekologi Hutan 2004-2006.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada
Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Suksesi
Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002” di bawah
bimbingan Ir. Iwan Hilwan, MS.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................... i DAFTAR ISI.................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian .................................................................................... 2 C. Manfaaat Penelitian ................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3 A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ......................................................... 3
1. Pengertian Suksesi .............................................................................. 3 2. Macam Suksesi ................................................................................... 5 3. Karakteristik Suksesi............................................................................ 5 4. Tahapan Perkembangan Suksesi .......................................................... 6
B. Morfologi Tumbuhan.............................................................................. 9 1. Struktur dan Komposisi Daun.............................................................. 9 2. Struktur dan Komposisi Bunga ............................................................ 10 3. Buah ..................................................................................................... 11
C. Eksplorasi Botani Hutan ......................................................................... 13 D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah .................................................................. 14
1. Sifat Fisik Tanah.................................................................................. 14 a. Tekstur Tanah................................................................................... 14
2. Sifat Kimia Tanah ................................................................................ 15 a. Reaksi Tanah .................................................................................... 16 b. Bahan Organik .................................................................................. 17 c. Nitrogen............................................................................................ 17 d. Fosfor ............................................................................................... 18 e. Kalium .............................................................................................. 19 f. Magnesium dan Kalsium .................................................................. 19 g. Kapasitas Tukar Kation .................................................................... 20 h. Kejenuhan Basa ................................................................................ 21
II. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK.................................................... 22 A. Luas dan Letak .................................................................................... 22 B. Topografi dan Iklim ............................................................................. 22 C. Sumber Air .......................................................................................... 23 D. Tanah .................................................................................................. 23 E. Flora dan Fauna ..................................................................................... 23
1. Flora ................................ ............................................................. 23 2. Fauna ................................ ............................................................. 23
F. Keadaan Sosial Ekonomi ....................................................................... 24 1. Penduduk............................... ........................................................ 24 2. Mata Pencaharian .................. ........................................................ 24 3. Jenis Penggunaan Lahan ............. ...................................................... 24
IV. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................. 25 B. Bahan dan Alat ..................................................................................... 25 1. Bahan ................................................................................................ 25 2. Alat..................................................................................................... 25
C. Metode Penelitian.................................................................................. 25 1. Analisis Vegetasi ............................................................................. 25 2. Pembuatan Herbarium...................................................................... 27 3. Analisis Tanah ................................................................................. 27 4. Dokumentasi .................................................................................... 28 5. Analisis Data ................................................................................... 28
a Kegiatan Analisis Vegetasi ........................................................ 28 i. Indeks Nilai Penting................................................................ 28 ii. Indeks Kekayaan Jenis ............................................................ 29 iii.Indeks Keanekaragaman Jenis ................................................ 29 iv.Indeks Kemerataan Jenis ......................................................... 29 v. Indeks Dominansi.................................................................... 30 vi.Indeks Kesamaan Komunitas .................................................. 30
b. Tanah........................................................................................... 31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 32 A. Hasil Penelitian...................................................................................... 32 1. Indeks Nilai Penting ........................................................................... 32 a. Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl....................................... 32 b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl ............................ 32 c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl....................................... 33 d. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2500 m dpl ............................ 36 2. Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H’)................................. 40 3. Indeks Kekayaan Margalef (R1) ........................................................ 41 4. Indeks Kemerataan (E) ....................................................................... 42 5. Indeks Dominansi (C) ........................................................................ 44 6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)...................................................... 45 7. Sifat Fisik Tanah ................................................................................ 46 8. Sifat Kimia Tanah.............................................................................. 46 B. Pembahasan ........................................................................................... 54 1. Indeks Nilai Penting ........................................................................... 54 2. Indeks Keragaman, Keka yaan, dan Kemerataan................................ 57 3. Indeks Dominansi (C) ........................................................................ 58 4. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)...................................................... 59 5. Tingkat suksesi yang terjadi............................................................... 60 6. Sifat Fisik Tanah ................................................................................ 61
7. Sifat Kimia Tanah.............................................................................. 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 67 A. Kesimpulan............................................................................................ 67 B. Saran...................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68 LAMPIRAN .................................................................................................... 70
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman 1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan yang Berbeda .............................................................................................. 15 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ( Staf Pusat Penelitian Tanah, 1981) .............................................................................. 16 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi dan Desa Neglawangi ................................................................................ 24 4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ........................................................ 31 5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2300 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 33 6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan)..................... 34 7. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl Terkena Letusan) ................. 34 7. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl Terkena Letusan) ..................... 35 8. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl Terkena Letusan) .................... 35 9. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl Terkena Letusan) ...................................................................................................... 36 10. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ............ 37 11. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 37 12. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ............ 38 13. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ........................................................................................ 38 14. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ...................................................................................................... 39 15. Data Tekstur Tanah ................................................................................... 46 16. Data Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981..................................................... 47
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman 1. Peta Papandayan......................................................................................... 22
2. Petak Pengamatan ...................................................................................... 26
3. Indeks Keragaman Jenis ............................................................................ 40
4. Indeks Kekayaan Jenis ............................................................................... 41
5. Indeks Kemerataan Jenis ................................................................................ 43
6 Indeks Dominansi....................................................................................... 44
7. Indeks Kesamaan Komunitas..................................................................... 45
8. Reaksi Tanah (pH Tanah) .......................................................................... 47
9. Kandungan Aluminium.............................................................................. 48
10. Kandungan Fosfor...................................................................................... 49
11. Kandungan Karbon Organik ...................................................................... 49
12. Kandungan Nitrogen Total......................................................................... 50
13. Kapasitas Tukar Kation (KTK) .................................................................. 51
14. Kandungan Magnesium.............................................................................. 51
15. Kapasitas Kalium ....................................................................................... 52
16. Kandungan Kalsium................................................................................... 53
17. Kejenuhan Basa (KB) ................................................................................. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman 1. Hutan Terkena Letusan dan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian
2300 m dpl................................................................................................ 70
2. Hutan Terkena Letusan dan Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena letusan dan tidak terkena letusan di Ketinggian 2300 m dpl.................... 71 3. Bahan-Bahan Herbarium.......................................................................... 72
4. Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl................................................................................................ 73 5. Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl................................................................................................ 74 6. Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl................................................................................................ 76 7. Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl................................................................................................ 79 8. Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H’) ....................................... 83 9. Indeks Kekayaan Margalef(R) ................................................................. 83 10. Indeks Kemerataan (E) ............................................................................. 84 11. Indeks Dominansi (C) .............................................................................. 84 12. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)............................................................ 85 13. Daftar Nama Jenis Pohon di Gunung Papandayan................................... 85 14. Daftar Nama Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung Papandayan............... 86 15. Data Kimia Tanah .................................................................................... 88 16. Data Fisik Tanah...................................................................................... 89
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gunung Papandayan adalah salah satu gunung api aktif yang ada di Jawa
Barat, dan merupakan Taman Wisata Alam (TWA) yang semula bagian dari
Cagar Alam (CG) yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budaya dan rekreasi. Secara umum, areal Gunung
Papandayan ini berupa hutan, dimana berdasarkan pengertiannya hutan sebagai
suatu ekosistem yang merupakan hasil interaksi antara faktor biotik dan abiotik.
Komponen biotik meliputi semua organisme hidup, baik flora, fauna termasuk
juga manusia. Sedangkan faktor abiotik meliputi curah hujan, angin, temperatur,
kelembaban, tanah, ketinggian, topografi, dan lain sebagainya.
Masyarakat hutan merupakan komunitas biotik yaitu suatu sistem hidup dan
tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara
berangsur -angsur melalui beberapa tahap yaitu : invasi oleh tumbuh-tumbuhan,
adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan
stabilisasi atau keseimbangan dinamis. Dimana untuk mencapai keadaan
seimbang (dynamic equilibrium) memerlukan jangka waktu yang sangat lama.
Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah suksesi.
Masayarakat hutan yang stabil sering terusik oleh beberapa macam
gangguan. Pertama, karena keberadaan manusia yang kian hari kian bertambah
populasinya menyebabkan kebutuhan akan keperluan hidup juga bertambah
sehingga banyak aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan
seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua , karena faktor alam yang
bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin
ribut dan lain-lain.
Kerusakan hutan akibat faktor alam ini terjadi di Gunung Papandayan yang
meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi
lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda denga n
kondisi awal.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi di
kawasan hutan pasca letusan Gunung Papandayan.
C. Manfaat Penelitian
Data suksesi yang diperoleh merupakan data awal guna memantau
perkembangan suksesi vegetasi pasca letusan di kawasan hutan Gunung
Papandayan yang dapat digunakan untuk penelitian tahun-tahun berikutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan
Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara
dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa
tahap : invasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat
tumbuh dan stabilisasi. Proses tersebut disebut sebagai suksesi (Soerianegara dan
Indrawan, 1988).
1. Pengertian suksesi
Spurr (1964), menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang
terjadi secara terus-menerus yang ditandai oleh banyaknya perubahan dalam
vegetasi, tanah dan iklim mikro. Perubahan ini terjadi secara bersama-sama
dan komponen yang satu dengan yang lain akan saling berhubungan.
Selanjutnya dikatakan oleh Ewusie (1990), bahwa suksesi merupakan
hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berbeda
dalam daerah itu pada waktu tertentu mengubah lingkungannya yang terdiri
dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian
rupa sehingga membuatnya cocok untuk jenis yang lain daripada tumbuhan itu
sendiri.
Sedangkan menurut Kartawinata, Ressodarmo dan Soegiarto (1992),
suksesi merupakan suatu proses perubahan dalam komunitas yang
berlangsung menuju kesatu arah secara teratur. Lebih lanjut dikatakan bahwa
suksesi ini tidak lebih dari pergantian jenis yang oportunis (jenis-jenis pionir)
oleh jenis-jenis yang lebih mantap dan dapat menyesuaikan secara lebih baik
dengan lingkungannya.
Selama suksesi berlangsung hingga tercapai keseimbangan dinamis
dengan lingkungannya, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhan
hingga terbentuk masyarakat yang disebut klimaks (Soerianegara dan
Indrawan, 1988). Selaunjutnya dikatakan bahwa dalam masyarakat yang telah
stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon
yang tua dan mati, maka timbullah anakan pohon atau pohon-pohon yang
selama itu tertekan.
Menurut Clarke (1954), adanya perubahan dalam masyarakat
tumbuhan terutama disebabkan oleh aktivitas masing-masing masyarakat
tumbuhan di dalam lingkungannya sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa di
dalam hutan, pohon-pohon akan meningkat dalam bentuk dan ukurannya,
sehingga bersifat menaungi dan akibatnya kelembaban akan bertambah tinggi.
Tumbuhan mengambil hara dari dalam tanah dalam bentuk yang berbeda.
Akumulasi humus, perubahan pH tanah dan kandungan air semuanya akan
berubah, akibatnya habitat akan berubah pula. Perubahan ini akan
menciptakan keadaan habitat yang baik untuk pertumbuhan jenis yang lain
dari jenis yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, jenis yang berbeda
alam kondisi selanjutnya akan menguasai.
Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya ada komunitas yang
statis tetapi pada hakikatnya senantiasa berubah menurut peredaran waktu.
Perubahan ini dikenal dalam jenjang-jenjang, yang pertama tentunya terjadi
karena organisme tumbuh, berinteraksi atau mati. Perubahan lain dalam
jangka waktu lebih lama mengakibatkan perubahan besar pada komposisi dan
struktur suksesi ekologik, sebagai reaksi komunitas perubahan faktor biotik
fundamental dan evolusi komunitas.
Suksesi ekologik ini dapat digambarkan dari awal suatu ekosistem
yang mengalami gangguan sehingga mengakibatkan tanah menjadi gundul.
Kendati demikian pada lahan gundul itu dapat tersisa vegetasi akar-akaran dan
biji-biji dorman yang mulai hidup kembali membentuk ekosistem baru. Jenis-
jenis pertama yang mulai membentuk komunitas baru itu disebut jenis pionir,
yang memelopori hidup di lingkungan gersang yang kemudian mati, ditambah
semak-semaknya sewaktu masih tumbuh dan meningkatkan mutu kondisi
lingkungan abiotik, yang memungkinkan organisme lain hidup, baik dari yang
dominan di tempat maupun kedatangan spesies baru dari luar, meningkatkan
komunitas semakin dewasa. Pertumbuhan komunitas semakin dewasa ini
disebut proses suksesi. Proses ini berlanjut terus menuju keseimbangan
puncak atau dikenal dengan istilah klimaks.
2. Macam Suksesi
Manan (1978), membedakan proses terjadinya suksesi menjadi dua
macam, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer bermula
dari suatu habitat yang tidak bervegetasi sebelumnya, sedangkan suksesi
sekunder bermula dari suatu habitat yang tadinya sudah ditumbuhi vegetasi
yang kemudian terjadi kerusakan yang disebabkan oleh adanya gangguan,
seperti bencana alam (kebakaran, banjir, longsor, gunung meletus) atau
kerusakan oleh adanya perladangan, vegetasinya rusak dan musnah digantikan
oleh jenis tumbuhan baru yang sesuai dengan keadaan tempat terbuka.
Soerianegara dan Indrawan (1988), membedakan pula suksesi atas dua
bagian, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer merupakan
perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tidak bervegatasi hingga
mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks, sedangkan suksesi sekunder
terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak. Jika
gangguan atau kerusakan itu tidak hebat, maka suksesi sekunder ini dapat
mencapai klimaks semula, tetapi apabila kerusakan yang terjadi berat sekali,
sehingga kondisi klimaks tidak mungkin lagi tercapai, maka terbentuklah apa
yang disebut disklimaks.
3. Karakteristik Suksesi
Odum (1971), menyebutkan tiga karakteristik suksesi yang berperan
penting dalam perkembangan ekosistem, yaitu :
a. Suksesi merupakan suatu perkembangan komunitas yang meliputi
perubahan di dalam struktur jenis dan metabolisme komunitas yang
searah dengan waktu sehingga dapat diramalkan.
b. Suksesi merupakan proses induksi komunitas dan organisme yang
meneruskan perubahan lingkungan fisik. Perubahan dalam lingkungan
fisik menentukan pola dan dasar dari suksesi dalam habitat.
c. Suksesi berperan penting untuk pembentukan stabilitas komunitas
dengan biomassa maksimum, keanekaragaman jenis dan penggunaan
semua kemungkinan tempat hidup organisme.
Kecepatan proses suksesi menurut Kartawinata, dkk. (1992)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Luasnya komunitas asal yang rusak karena gangguan.
b. Jenis-jenis yang terdapat di sekitar komunitas yang terganggu.
c. Kehadiran pemancar biji dan benih
d. Iklim, terutama arah dan kecepatan angin yang membawa biji dan spora
serta perkembangan semai selanjutnya.
e. Macam substrat baru yang terbentuk.
f. Sifat-sifat jenis tumbuhan yang ada di sekitar terjadinya suksesi.
4. Tahapan Perkembangan Suksesi
Mengenai adanya perubahan habitat, Whittaker (1975), menyatakan
bahwa selama proses suksesi berjalan terjadi beberapa macam perubahan,
yaitu :
a. Adanya perkembangan dari sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman
tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya
perbedaan lapisan tanah.
b. Meningkatnya komunitas tumbuh-tumbuhan dalam tinggi, massa kayu
(biomassa), kerimbunan dan perbedaan strata tajuk.
c. Dengan berkembangnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas yang
lebih baik, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik
meningkat.
d. Adanya perkembangan dari kerapatan, penutupan tajuk dan iklim mikro
dalam komunitas.
e. Keanekaragaman meningkat dari komunitas sederhana pada tingkat awal
suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
f. Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya
meningkat sampai tingkat yang stabil. Jenis yang berumur pendek
digantikan jenis yang berumur panjang.
g. Kestabilan relatif dari suatu komunitas pada tingkat awal komunitas
tidak stabil, dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi yang
lain, sedangkan populasi akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh
tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas yang
tidak banyak mengalami perubahan.
Ewusie (1990), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang
peranan penting dalam terbentuknya suatu komuntas:
a. Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading
material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan komunitas tumbuhan pada
setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi
tersebut.
b. Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan
tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup
pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap
lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik
untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-
semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang
kritis, karena secara umum selang toleran semai lebih sempit daripada
tumbuhan yang telah dewasa. Tentunya perbedaan lingkungan
menghasilkan perbedaan dalam tingkat seleksi. Sebagai kasus yang
ekstrim misalnya pada permukaan batu telanjang atau bukit pasir, di sini
hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
c. Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni
pertama tiba pada habitat yang telanjang tersebut dan mulai tumbuh,
masyarakat tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat
dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Sedangkan Odum (1971), menyatakan kesamaan/kesejajaran antara
suksesi dengan perkembanagn organisme-organisme individual sebagai
berikut :
a. Suatu proses yang berlangsung secara teratur/ berurutan yang cukup
terarah dan dengan demikian dapat diduga.
b. Terjadi sebagai hasil modifikasi lingkungan fisik oleh komunitas, artinya
perkembangan tersebut adalah perkembangan yang dikontrol oleh
komunitas.
c. Mencapai puncaknya di dalam suatu ekosistem yang telah stabil (disebut
juga ekosistem klimaks, ekosistem yang telah matang) dengan sifat
homeostatis (ekosistem dalam keadaan yang setimbang dan sehat).
Sedangkan Shukla dan Chandel (1982), membagi suksesi kedalam
sembilan tahapan, yaitu :
a. Nudation, yaitu proses terbentuknya vegetasi penutup tanah.
b. Migration, yaitu proses tumbuh-tumbuhan sampai dan tersebar dalam
bentuk biji pada daerah yang terbuka.
c. Ecesis, yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan, perkembangbiakan
dan menetapnya tumbuhan baru tersebut.
d. Agregation , yaitu pola pengelompokan dari koloni individu yang tumbuh
berkembang pada areal yang kosong.
e. Evolution of community relationship , yaitu suatu proses yang terjadi
apabila daerah yang kosong ditempati jenis-jenis yang berkoloni, dan
jenis tersebut akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
f. Invation , yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah
beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang akan tumbuh dan menetap
di tempat tersebut.
g. Reaction , yaitu terjadinya perubahan habitat yang disebabkan oleh
tumbuhan itu sendiri dan habitat tempat tumbuhnya. Reaction
merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang
kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada
individu yang baru. Dengan cara demikian, reaction memegang peranan
yang sangat penting di dalam pergantian jenis tumbuhan.
h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang
dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi
yang sudah dapat dikatakan relatif konstan.
i. Climax, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan
struktur vegetasi relatif konstan, karena pembentukan jenis dominan
telah mencapai batas.
Proses suksesi yang terjadi menurut Gates (1949), dapat dibagi ke
dalam empat tahapan, yaitu :
a. Tahap rumput-rumput pionir
b. Tahap semak
c. Tahap pohon sementara
d. Tahap hutan klimaks
Sedangkan Danserau (1954), memperkenalkan lima tahapan dalam
suksesi, yaitu :
a. Tahap pionir
b. Tahap konsolidasi
c. Tahap sub klimaks
d. Tahap quasi klimaks
e. Tahap klimaks
B. Morfologi Tumbuhan
1. Struktur dan Komposisi Daun
Daun merupakan bagian atau organ tumbuhan yang berfungsi
membentuk makanan (fotosintesis), respirasi dan transpirasi. Karena daun
menunjukkan pola-pola khas, maka dinilai sangat penting dipelajari dalam
taksonomi (Samingan, 1980).
Daun terdiri dari helai daun atau lamina dan tangkai daun atau petiole.
Tangkai daun dapat panjang atau pendek, lentur atau kaku, bersurut, beralur,
atau memipih dan kadang-kadang mempunyai kelenjar. Pada beberapa kasus,
tangkai daun tidak ada dan helai melekat langsung pada ranting, daun
demikian ini disebut daun duduk atau sessile. Beberapa daun disertai organ
yang menyerupai daun atau seperti sisik yang disebut daun penumpu atau
stipule yang melekat pada ranting di bawah pangkal atau dikedua sisi tangkai
daun tadi. Tumbuhan yang memiliki stipule disebut stipulate, sedangkan
tumbuhan yang tidak memiliki stipule disebut estipulate (Harlow &
Harar,1958).
Menurut Benson (1957), setiap jenis pohon biasanya memiliki tata
daun seperti satu di antara tiga cara berikut ini :
a. Bersilang atau opposite , yaitu apabila daun berpasangan pada ketinggian
yang sama, satu pada masing-masing sisi dari ranting.
b. Melingkar atau Whorled atau Verticillate, yaitu apabila lebih dari dua
daun dijumpai pada ruas yang sama.
c. Berseling atau alternate , yaitu hanya satu helai daun saja yang melekat
pada ruas dan dengan pengamatan yang seksama akan tampak ditata
dalam spiral mengitari ranting.
Komposisi daun dengan satu helai disebut daun tunggal (simple leaf)
dan jika dua atau lebih helai daun yang melekat pada tangkai persekutuan
disebut daun majemuk (compound leaf) dan helai-helai daunnya disebut anak
daun (leaflet). Tangkai menopang anak daun disebut rachis. Apabila jumlah
anak daun yang melekat sepanjang rachis disebut daun bersirip (pinnately
compound) berjumlah ganjil atau genap, maka hal tersebut menunjukkan
jumlah anak daun yang ada. Daun bersirip ganda adalah daun majemuk
bersirip dan anak-anak daun bersirip lagi yang disebut pinulle (Samingan,
1980).
2. Struktur dan Komposisi Bunga
Bunga dapat dianggap sebagai ranting dengan daun yang berubah
fungsinya (Samingan, 1980). Terjadinya perubahan fungsi tersebut menurut
Loveless (1989) akan mengakibatkan :
a. Bunga tidak mempunyai kuncup pada ketiak daunnya.
b. Buku-bukunya pendek sehingga jarak vertikal antara daun yang
berurutan sangat pendek.
c. Bunga menunjukkan pertumbuhan yang terbatas, yaitu segera setelah
meristem ujung membentuk bunga, maka pertumbuhan lebih lanjut akan
terhenti.
Bunga terdiri dari beberapa bagian bunga, yaitu : kelopak (sepal),
mahkota bunga (petal), benang sari (stamen), dan putik (pistil). Jika bunga
mempunyai semua bagian tersebut, maka bunga disebut bunga lengkap
(complete) dan jika salah satu bagian bunga tidak ada maka disebut bunga
tidak lengkap (incomplete) (Samingan, 1980).
Bunga yang sempurna adalah bunga yang memiliki putik dan benang
sari, sedangkan bagian tambahan lainnya seperti daun kelopak dan atau daun
mahkota hanya sebagai pelengkap. Sedangkan bunga tidak sempurna adalah
bunga yang hanya mengandung benang sari atau putik saja. Sehingga bunga
tidak sempurna merupakan bunga berkelamin satu, sedangkan bunga
sempurna adalah bunga biseksual atau hermaphrodit (Harlow & Harar,1958).
Samingan (1980) mengatakan bahwa bunga tidak sempurna dapat
berbentuk bunga jantan (apabila benang sari yang berfungsi, sedangkan putik
mandul) atau dapat juga berbentuk bunga betina (apabila putik yang berfungsi,
sedangkan benang sari mandul).
3. Buah
Buah adalah organ tumbuhan yang mengandung biji. Struktur buah
memberikan cirri khas yang sangat bermanfaat bagi klasifikasi tumbuhan
berbunga.
Secara morfologi, buah konifer dapt dibedakan menjadi buah kering
dan buah berdaging yang terdiri dari dua tipe, yaitu :
a. Buah yang terdiri dari satu biji, yang sebagian atau seluruhnya tertutup
oleh aril (daging biji).
b. Buah yang terdiri dari beberapa sisi berkayu atau keras atau sisik
berdaging, masing-masing dengan satu atau lebih biji dan tersusun pada
sumbu membentuk kerucut atau cone.
Sedangkan buah angiospermae biasanya dikatakan sebagai bakal buah
yang masak, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Buah tunggal (yang terbentuk oleh satu putik)
b. Buah majemuk (yang terbentuk oleh dua atau lebih putik yang terdapat
pada dasar bunga yang sama)
Kedua macam buah ini dapat merupakan buah kering atau buah
berdaging (sekulen) menurut keadaan buahnya waktu matang (Samingan,
1980).
Loveless (1989) membagi buah tunggal menjadi tiga bentuk, yaitu
a. Buah kering tidak merekah, terdiri dari tipe :
i. Buah longkah, yaitu buah kecil, berongga dan berbiji satu.
ii. Samara, yaitu buah keras bersayap.
iii. Nut, yaitu buah keras kecil
b. Buah kering merekah terdiri dari tipe :
i. Buah polong atau legume, yaitu hasil dari putik tunggal yang merekah
sepanjang garis suture (kampuh).
ii. Buah bumbung atau follicle, yaitu hasil dari satu putik yang merekah
melalui dua atau lebih suture (kampuh).
iii. Buah kotak atau capsule , yaitu hasil dari putik majemuk merekah
melalui dua atau lebih suture (kampuh)
iv. Buah berdaging, yaitu hasil dari putik majemuk merekah melalui dua
atau lebih suture (kampuh)
c. Buah berdaging terdiri dari tipe :
i. Buah empulur atau pome , yaitu hasil putik majemuk ; dinding luar
bakal buah berdaging, dinding dalam menjangat membungkus banyak
biji.
ii. Buah batu atau drupe, yaitu buah berdaging berbiji satu ; biasanya
hasil dari putik tunggal, dinding luar berdaging, dinding dalam keras.
iii. Buah buni atau berry , yaitu buah berbiji banyak ; dinding luar dan
dalam berdaging dengan biji-biji terbungkus dalam massa yang seperti
bubur (tomat).
Sedangkan buah majemuk dapa t dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Buah aggregate , yaitu merupakan kumpulan buah tunggal yang berasal
dari putik-putik terpisah pada bunga yang sama yang terdapat pada dasar
bunga persekutuan.
b. Buah multiple , yaitu kumpulan buah tunggal yang berasal dari putik-putik
bunga yang terpisah-pisah.
C. Eksplorasi Botani Hutan
Eksplorasi botani di hutan dan penelitian botani tentang pohon-pohon akan
memberikan data/informasi mengenai flora pohon di hutan yang bersangkutan.
Kegiatan eksplorasi botani hutan dan penelitian teknologi kayu sudah sejak
dahulu dilakukan, dimana Endert pada tahun 1917 untuk pertama kalinya
melakukan eksplorasi ini dan menghasilkan sekitar 4000 jenis pohon.
Eksplorasi botanis dan teknologi kayu pada dasarnya merupakan bagian
dari eksplorasi atau survey hutan yang bertujuan untuk mendapatkan data tentang
letak, luas, struktur hutan, komposisi jenis dan data kondisi tempat tumbuhnya
(Kusmana, 1995).
Metode terbaik yang digunakan dalam eksplorasi botanis menurut
Kusmana (1995) adalah metode jalur, yang memiliki lebar 10 m atau 20 m dengan
panjang satu km atau lebih. Setelah itu, semua pohon yang berdiameter 20 cm ke
atas yang masuk ke dalam jalur dicatat nama daerahnya, diameternya, tinggi total
dan tinggi bebas cabangnya.
Contoh-contoh herbarium sangatlah berguna untuk keperluan eksplorasi
botani di suatu daerah. Contoh herbarium ini selain bahan identifikasi atau
determinasi jenis tumbuhan, tetapi juga sebagai barang bukti yang
didokumentasikan bahwa jenis-jenis tumbuhan yang bersangkutan terdapat di
daerah tersebut (Kusmana, 1995).
Lebih lanjut Kusmana (1995) mengatakan bahwa suatu contoh herbarium
yang baik harus mengandung bagian-bagian tumbuhan yang lengkap yang terdiri
dari contoh ranting-ranting berdaun (daun muda dan daun tua), bunga (kuncup
bunga dan bunga yang sudah mekar), buah (buah muda dan muda tua) dan biji.
Kemudian Kusmana (1995) menambahkan beberapa petunjuk dalam
pengumpulan herbarium, antara lain :
1. Bahan herbarium tidak boleh dipungut dari tanah, tetapi harus diambil dari
pohon yang bersangkutan.
2. Untuk pohon (berdiameter 10 cm atau lebih) atau berupa pohon kecil diambil
ranting yang berdaun yang ada bunganya dan bila ada dilengkapi dengan
buah. Sekurang-kurangnya dikumpulkan lima ranting dari tiap pohon yang
tidak berbunga dan 10 ranting dari tiap pohon yang berbunga dan berbuah.
Sedangkan ukuran ranting yang dikumpulkan untuk herbarium adalah sekitar
27 cm x 42 cm (ukuran setengah halaman kertas Koran). Tiap ranting
sekurang-kurangnya berisi lima daun apabila daun tidak terlalu besar. Untuk
daun berukuran besar, cukup dua helai daun per ranting.
3. Untuk mengambil contoh herbarium yang tinggi dilakukan dengan cara
dipanjat, melempar ranting atau cabang terendah yang mengandung bunga dan
atau buah dengan sepotong kayu atau menembak dengan senapan atau
memakai tali pancing dari nilon yang dilemparkan dengan ketapel.
D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tanah merupakan tubuh alam bebas yang terbentuk dari hasil kerjasama
antara kelima faktor pembentuk tanah yaitu bahan induk, iklim, organisme, relief
dan waktu.
1. Sifat Fisik Tanah
a. Tekstur Tanah
Tekstur tanah adalah perbandingan relief dari berbagai golongan
besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan
antara fraksi-fraksi liat, debu, dan pasir (Sarief,1985)
Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai
kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam
jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
menimpanya, dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-
butir liat semakin tinggi nisbah liat maka laju infiltrasi semakin kecil
(Arsyad, 2000).
Seperti yang dikemukan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa tanah-
tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga
sulit menyerap dan menahan air atau unsur hara. Tanah-tanah yang
bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga
kemampuan menahan air dan menyimpan unsur hara tinggi. Tanaman
yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada
tanah-tanah bertekstur lempung atau liat.
Perbedaan tekstur dan struktur adalah tekstur merupakan ukuran
butir-butir tanah sedangkan struktur adalah kumpulan butir-butir tanah
disebabkan terikatnya butir-butir pasir, liat, dan debu oleh bahan organik,
oksidasi besi, dan lain-lain (Hardjowigeno,2003).
Struktur tanah memegang peranan penting terhadap pertumbuhan
tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila tanah padat,
maka akar susah untuk menembus tanah tersebut. Bila struktur tanah
remah, maka akar akan tumbuh dengan baik (Sarief, 1985).
Daya infiltrasi dan ukuran butir -butir tanah akan menentukan
mudah atau tidaknya terangkut air. Tanah dengan agregat yang mudah
didispersikan oleh air dan daya infiltrasinya kecil dengan ukuran butir-
butir tanah halus, peka terhadap erosi atau erodibilitasnya besar (Sarief,
1985).
Menurut Lee (1990) harga-harga khas kapasitas infiltrasi
dihubungkan dengan tekstur tanah dan tajuk (penutup lahan) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan yang Berbeda.
Kapasitas infiltrasi (mm/jam) Tekstur
Tanah gundul Bervegetasi
Liat 0-5 5-10
Lempung berliat 5-10 10-20
Lempung 10-15 20-30
Lempung
berpasir
15-20 30-40
Pasir 20-25 40-50
2. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah
umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat-sifat yang perlu
dianalisis untuk mengetahui kadar unsur hara dalam tanah adalah pH, C-
organik, N-total, P, Mg, K, Ca, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan
Basa (KB). Evaluasi kesuburan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1981)
No Sifat Kimia
Tanah
Sangat
Rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat
Tinggi
1 C-organik <0,100 1,00 – 2,00 2,01 – 3,00 3,01 – 5,00 >5,00
2 N-total <0,10 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,75 >0,75
3 P <10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 >35
4 Mg <0 4 0,4 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 8,0 >8,0
5 K <0,1 0,1 – 0,2 0,3 – 0,5 0,6 – 1,0 >1,0
6 Ca <2 2 - 5 6 - 10 11 - 20 >20
7 KTK <5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 >40
8 KB <20 20 – 35 36 - 50 51 - 70 >70
9 Al <10 10-20 21-30 31-60 >70
Sangat
Masam Masam
Agak
Masam Netral
Agak
Alkalis Alkalis
10 pH <4,5 4,5 – 5,5 5,6 – 6,5 6,6 - 7,5 7,6 – 8,5 >8,5
a. Reaksi tanah (pH tanah)
Reaksi tanah merupakan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dalam pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
Hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah,
semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain ion H+ juga ditemukan
ion OH−, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada
tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada ion OH−, sedang
pada tanah-tanah alkalis kandungan OH− lebih banyak daripada H+ . Bila
kandungan H+ sama dengan OH − maka tanah bereaksi netral yaitu pH = 7
(Hardjowigeno, 2003).
Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab
terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat
beberapa hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat-sifat tanah.
Sejumlah organisme mempunyai toleransi yang agak kecil terhadap variasi
pH, tetapi organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang lebar.
Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi actual H+ dan
OH− tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini
merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai pH tertentu yang terpenting
(Foth, 1988).
b. Bahan Organik
Hardjowigeno (1995), menyatakan bahwa bahan organik umumnya
ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja
tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Adapun pengaruh
bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan
tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber
unsur hara N, P, S dan unsur mikro lainnya, menambah kemampuan tanah
untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur
hara dan sumber energi bagi mikroorganisme.
Sumber asli bahan organik adalah jaringan tumbuhan, dalam keadaan
alami bagian di atas tanah, akar pohon, semak-semak, rumput, dan tanaman
tingkat rendah lainnya tiap tahunnya menyediakan sejumlah besar sisa-sisa
organik. Karena bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak
macam organisme tanah, hasilnya akan menjadi bagian dari horizon di
bawahnya, karena adsorpsi atau pencampuran fisik secara aktif. Bagian bahan
organik yang dioksidasi terdiri dari karbon, hydrogen yang menyusun lebih
dari separuh bahan kering (Buckman dan Brady, 1969).
c. Nitrogen (N)
Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer dan lainnya
adalah berasal dari aktifitas kehidupan di dalam tanah sebagai sumber
sekunder. Fiksasi N secara simbiotik, khususnya terdapat pada tanaman jenis
leguminosae dengan bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan
senyawa lainnya setelah mengalami dekomposisi oleh aktifitas jasad renik
tanah (BKS, PTN, 1991).
Nitrogen berada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik.
Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, dan unsur N. Tanaman
menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3. Namun bentuk lain yang juga
dapat diserap adalah NH4, dan urea (CO(N2))2 dalam bentuk NO3 (BKS.PTN,
1991).
Selanjutnya BKS.PTN (1991), menyatakan bahwa dalam siklusnya,
nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi, sedangkan bahan
mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut bersama panen,
sebagian kembali lagi sebagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali
lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan.
Adanya yang hilang tererosi atau bertambah karena pengendapan.
Nitrogen ditambahkan ke tanah sebagai komponen presipitasi.
Penambahan sebagian besar nitrogen secara alami ke tanah di tambahkan
melalui fiksasi biologis simbiotik dan nonsimbiotik (Foth, 1988).
d. Fosfor (P)
Fosfor memainkan peranan yang sangat diperlukan seperti bahan bakar
yang universal untuk semua aktifitas biokimia dalam sel hidup. Masalah
utama dalam pengambilan fosfor dari tanah oleh tanaman adalah kelarutan
yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor dan konsentrasi fosfor yang
dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada setiap waktu tertentu
(Foth, 1988).
Sebagian besar P tanah bersumber dari pelapukan batuan dan mineral-
mineral yang mengandung P yang terdapat pada kerak bumi. Salah satu sifat
dari unsur ini adalah tingkat kestabilannya di dalam tanah yang tinggi,
sehingga kehilangan akibat pencucian relatif tidak pernah terjadi. Hal ini pula
yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah sehingga
ketersediaan untuk tanah relatif sangat sedikit. Dengan demikian ketersediaan
P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah (BKS.PTN, 1991).
Ketersediaan P dapat diartikan sebagai P tanah yang dapat
diekstrasikan oleh air dan asam sitrat. Penambahan unsur ini diharapkan
berasal dari pupuk fosfat, pelapukan mineral-mineral fosfat, dan residu hewan
dan tanaman. Sedangkan kehilangan P dapat terjadi karena terangkut tanaman,
tercuci dan tererosi (BKS.PTN, 1991).
e. Kalium (K)
Kalium adalah unsur hara ketiga setelah nitrogen dan fosfor yang
diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari Kalium akan
membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif
nitrat, fosfat atau unsur lainnya (BKS.PTN, 1991).
Kalium tanah adalah berasal dari pelapukan batuan dan mineral-
mineral yang mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan
tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah.
Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi
dan kehilangan ini dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Di
dalam tanah dikenal empat bentuk kalium, yaitu K-mineral, K-terfiksasi, K-
dipertukarkan dan K-larutan. Tetapi untuk kepentingan pertumbuhan ta naman,
kalium tanah dibedakan berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, dan
digolongkan ke dalam kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia,
dan kalium segera tersedia. Kalium dapat dipertukarkan dan kalium larut,
langsung, dan mudah diserap tanaman disebut kalium tersedia (BKS.PTN,
1991).
Menurut Foth (1988), pada dasarnya kalium dalam tanah ditemukan
dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion
diadsorbsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman.
f. Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca)
Kalsium dan magnesium merupakan kation-kation utama pada
kompleks pertukaran . Keduanya mempunyai sifat dan prilaku yang mirip
dalam tanah. Unsur-unsur tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah
kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya merupakan kation
yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman dan menaikkan pH
tanah. Kalsium dan magnesium tanah diserap tanaman masing-masing
sebagai Ca2+ dan Mg2+ yang berasal dari bentuk dapat ditukar dan atau
bentuk larut air (BKS.PTN, 1991).
Kalsium merupakan komponen struktural dinding-dinding sel
tanaman. Ia sangat mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma.
Membran akar akan rusak apabila tidak ada kalsium. Sedangkan
Magnesium merupakan satu-satunya unsur anorganik yang menyusun
molekul klorofil dan merupakan unsur yang terlibat pada kebanyakan
reaksi enzimatis. Oleh karena itu magnesium amat esensial pada proses
metabolisme di dalam tanaman.
Dibandingkan dengan kalsium , magnesium tidak begitu kuat
diadsorbsi pada tempat pertukaran kation, sedikit rendah magnesium dapat
ditukar ada dalam tanah, dan defisiensi magnesium lebih sering
ditemukan. Defisiensi kalsium dicirikan oleh suatu bentuk yang cacat
pembentukan yang kurang dan disintegrasi bagian ujung dari tanaman
sedangkan defisiensi magnesium berakibat pada suatu perubahan warna
khusus pada daun (Foth, 1988).
g. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kation adalah ion yang bermuatan positif seperti Ca++, Mg+ , K+,
Na+ , NH+, H+ , Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut
terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah.
Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah
persatuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan Kapasitas tukar
kation (KTK).
Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar
tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat digantikan oleh kation lain yang
terdapat dalam larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation.
Jenis-jenis kation yang telah disebutkan di atas merupakan kation-kation
umum ditemukan dalam kompleks jerapan tanah.
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu
menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan
KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa,
Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan
tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam Al, H (kejenuhan basa
rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003).
h. Kejenuhan Basa (KB)
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-
kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam)
yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Kation-kation basa
umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu
basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa
tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak pencucian dan
merupakan tanah yang subur.
Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, dimana tanah-
tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah,
sedang tanah-tanah dengan pH tinggi mempunyai kejenuhan basa yang
tinggi pula (Hardjowigeno, 2003).
Nilai kejenuhan basa bergantung pada intensitas pencucian yang
berarti bergantung pada curah hujan, pengatusan setempat dan perembihan
sedangkan pengaruh bahan induknya tergolong kecil. Kejenuhan basa
tergolong tinggi apabila berkembang pada tempat yang bercurah hujan
rendah dan nilai kejenuhan basa tersebut lebih kecil jika berkembang pada
tempat yang bercurah hujan tinggi (Purwowidodo, 1998)
III. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK
A. Luas dan Letak
Kawasan Cagar Alam (CA) Papandayan dan Taman Wisata Alam (TWA)
Gunung Papandayan ditetapkan sebagai kawasan konservasi CA dan TWA
Papandayan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 226 / Kpts – II / 1990
tgl. 8 Mei 1990 seluas ; 7.032 Ha, terdiri dari Cagar Alam seluas : 6.807 Ha,
TWA seluas : 225 Ha.
Letak geografis CA/TWA Papandayan berada pada 7º30’ Lintang Selatan
dan 107º31’ – 180º Bujur Timur.
Keterangan : A : Lokasi Parkir B : Kompleks Kawah C : Blok Bunderan : Jalan Kendaraan D : Blok Pondok Saladah E : Blok Bandung Vooruit : Batas Kawasan TWA
Papandayan Jarak lokasi dengan kota terdekat : Garut : ± 32 Km Bandung : ± 97 Km (melalui Cisurupan) ± 81 Km (melalui Pangalengan
Gambar 1. Peta Papandayan
B. Topografi dan Iklim
Konfigurasi lapangan bergelombang dengan topografi curam, berbukit dan
bergunung-gunung serta tebing yang terjal, ketinggian berkisar antara 2.170 s/d
2.662 mdpl.
Termasuk tipe iklim B, dengan kelembaban udara 70-90 % dan suhu
berkisar antara 17º-25º C.
C. Sumber Air
Di dalam Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan
terdapat sumber air baik air panas maupun air dingin. Sungai yang mengalir di
dalam kawasan antara lain adalah Ciparugpug, Cibeureum, Cisaladah, Cigebog,
Cingenah dan lain-lain. Sebagian sungai mengalir bereaksi asam karena melewati
daerah belerang tetapi ada juga sungai yang airnya tawar dan dapat digunakan
untuk mandi dan memasak.
D. Tanah
Secara geologi Cagar Alam Papandayan mempunyai jenis batuan yang
terdiri dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang
bergunung dengan ketebalan solum 30-60 cm dengan tingkat kesuburan tanahnya
baik (subur).
E. Flora dan Fauna
1. Flora
Secara keseluruhan vegetasi di TWA/CA Gunung Papandayan
diantaranya adalah pohon Cantigi (Vacinium lucidum) dan Edelweiss
(Anaphalis javanica), dan vegetasi hutan campuran terdiri dari perdu, pohon
dan semak belukar dengan tajuk saling menutupi diantaranya adalah : Puspa
(Schima walichii), Saninten (Castanopsis argentea), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Pasang (Quercus sp), dan Lame (Alstonia angustifolia).
2. Fauna
Jenis satwa yang terdapat di TWA/CA Gunung Papandayan yang
mudah ditemukan secara langsung umumnya berbagai jenis burung, antara
lain : Walik (Teron grisscipilla), Kadanca (Dacula sp ), Walet (Collocalia
vulconorium), Saeran (Dicrurus mococarpus), Elang dll. Jenis satwa lain yang
terdapat di kawasan TWA/CA Papandayan ini antara lain adalah Lutung
(Presbytitis cristata), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Babi (Sus sp),
Kijang (Muntiacus muntjak), Landak (Histrix sp) dan lain-lain.
F. Keadaan Sosial Ekonomi
1. Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Garut khususnya di Kecamatan
Cisurupan yaitu 82.053 orang dengan jumlah Laki-laki 42.571 orang,
perempuan 39.482 orang, Kecamatan Sukaresmi 31.439 orang dengan jumlah
Laki-laki 15.122 orang, Perempuan 16.317 orang, dan Desa Neglawangi
Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung adalah 4.879 orang dengan jumlah
Laki-laki 2.376 orang dan jumlah Perempuan sebanyak 2.503 orang.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi dan Desa Neglawangi.
Jenis Kelamin No Nama Kecamatan /
Desa Laki-laki
(org)
Perempuan
(org)
Jumlah
1 2 3 4 5
1 Cisurupan 42.571 39.482 82.053
2 Sukaresmi 15.122 16.317 31.439
3 Neglawangi 2.503 2.376 4.879
Jumlah 60.196 58.175 118.371
Sumber : Garut dalam Angka 2003 dan Monografi Desa Kecamatan. Kertasi 2003
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan CA. Papandayan
umumnya bergerak dalam bidang pertanian, hal ini didukung kondisi alam
yang memadai.
3. Jenis Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan di sekitar kawasan Cagar Alam Papandayan
adalah Perkebunan, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Ladang, Padang Rumput
dan Sawah.
IV. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan
Garut, dengan melakukan analisis vegetasi di hutan yang terkena letusan dan
hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing dilakukan pada ketinggian
2300 m dpl dan ketinggian 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni –
September 2005.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Etiket gantung (dari karton manila).
b. Lembar herbarium (dari karton tebal) dan label.
c. Sasak kayu atau bambu.
d. Kertas gambar dan kertas koran.
e. Isolatif
f. Kantong palstik
g. Alkohol 70%
2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Alat ukur meteran
b. Tali rafia atau tali plastik
c. Kompas
d. Tally sheet
e. Pita tanda
f. Paralon
g. GPS
h. Alat tulis
i. Golok dan pisau
j. Gunting ranting
k. Pita keliling
l. Kamera digital
m. Haga meter
n. Termometer
C. Metode Penelitian
1. Analisis Vegetasi
Pengambilan data dengan cara analisis vegetasi bertujuan untuk
mengetahui komposisi jenis yang ada di kawasan Gunung Papandayan Garut.
Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak yang dianggap dapat
mewakili areal tersebut. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada hutan yang
terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing
dilakukan pada ketinggian yang berbeda pula yaitu 2300 m dpl dan 2500 m
dpl. Perbedaan ketinggian ini untuk mengetahui apakah ketinggian
mempengaruhi tingkat kerusakan akibat letusan Gunung Papandayan.
Pada setiap ketinggian, jalur berpetak ini dibuat sebanyak lima jalur
dengan ukuran jalur 20 m x 100 m. Satu jalur terdiri dari lima petak contoh
yang masing petak berukuran 20 m x 20 m dimana jarak antar jalur adalah 30
m. Di dalam petak contoh dibuat lagi subpetak contoh berukuran 2 m x 2
m (untuk tingkat semai), 5 m x 5 m (untuk tingkat pancang), 10 m x 10 m
(untuk tingkat tiang) dan 20 m x 20 m (untuk tingkat pohon). Penentuan letak
petak contoh dibuat searah dengan arah kontur. Skema petak contoh dan
subpetak contoh yang digunakan seperti pada gambar 2.
Gambar 2. Jalur Pengamatan
Untuk menentuka n tingkat permudaan pertumbuhan, digunakan kriteria
sebagai berikut :
a. Semai (seedling), yaitu permudaan dari mulai kecambah sampai setinggi
1,50 meter.
Arah rintisan
20 m
20 m
100 m
10 m
5 m
2 m
b. Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya ≥ 1,50 m sampai
pohon muda yang berdiameter ≤ 10 cm.
c. Tiang (pole), yaitu pohon muda yang berdiameter 10-20 cm.
d. Pohon dewasa, yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm.
Untuk analisis vegetasi herba dan semak dilakukan pada subpetak
contoh yang berukuran 5 m x 5 m. Sedangkan analisis vegetasi liana dan epifit
dilakukan pada subpetak contoh yang sama dengan pohon yaitu yang
berukuran 20 m x 20m.
2. Pembuatan Herbarium
Langkah-langkah pembuatan herbarium adalah sebagai berikut :
a. Bahan herbarium diambil dari pohon (bukan yang sudah jatuh ke tanah),
berupa ranting yang berdaun. Setiap jenis pohon diambil satu ranting.
Bahan herbarium yang telah diambil diberi etiket gantung (label) secara
berurutan sesuai dengan urutan pengambilannya.
b. Pencacatan setiap bahan herbarium yang telah diberi label da lam buku
lapangan untuk kegiatan risalah pohon.
c. Bahan-bahan herbarium dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran (satu
lembar kertas koran untuk satu contoh tumbuhan).
d. Bahan herbarium yang telah dibungkus koran disusun sebanyak 20-25 di
dalam sasak bambu dan kemudian diikat dengan tali rafia.
e. Setiap sasak dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu disiram dengan
alkohol 70 %.
f. Kemudian bahan herbarium tersebut disimpan selama satu malam.
g. Penggantian semua kertas koran yang digunakan untuk membungkus
bahan herbarium dengan kertas koran yang kering.
h. Bahan herbarium disusun kembali di dalam sasak bambu dan diikat
dengan tali rafia.
i. Semua bahan herbarium yang telah disasak, selanjutnya dikeringkan
menggunakan oven bersuhu 60°C sampai bahan herbarium tersebut
kering.
j. Bahan herbarium yang telah kering selanjutnya siap untuk diidentifikasi.
3. Analisis Tanah
Contoh tanah (sample tanah) diambil pada masing-masing ketinggian
(2300 m dpl dan 2500 m dpl) baik di hutan yang terkena letusan maupun
hutan yang tidak terkena letusan. Hal ini sangat diperlukan agar data yang
didapat lebih akurat. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada dua
kedalaman yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm dengan menggunakan metode contoh
tanah terusik/terganggu, dimana untuk metode ini contoh tanah dapat diambil
menggunakan alat berupa bor tanah/golok/pisau. Contoh tanah diambil di
dalam petak contoh secara acak (random) sebanyak 3 kali ulangan pada
masing-masing kedalaman. Setelah contoh tanah diambil kemudian
dimasukkan ke dalam kantong palstik dan diberi label sesuai tempat dan
kedalaman pengambilan contoh tanah tersebut.
4. Dokumentasi
Guna menyimpan dan penyebarluasan hasil penelitian untuk pengguna
di lapangan akan dibuat dokumentasi berupa :
a Foto atau gambar
b Penyimpanan spesimen herbarium untuk identifikasi.
5. Analisis Data
a Kegiatan Analisis Vegetasi
Hasil dari kegiatan analisis vegetasi diolah dengan menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut :
1. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai penting ini digunakan untuk menetapkan dominasi
suatu jenis terhadap jenis lainnya. Nilai penting merupakan jumlah dari
Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi
Relatif (FR).
Jumlah individu
Ø Kerapatan (K) = (btg/ha) Luas petak contoh
Jumlah petak ditemukan suatu jenis Ø Frekuensi (F) = Jumlah seluruh petak Jumlah bidang dasar Ø Dominansi (D) = Luas petak contoh
Kerapatan suatu jenis Ø Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi suatu jenis Ø Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis
Dominansi suatu jenis Ø Dominansi Relatif (DR) = x 100%
Dominansi seluruh jenis
Ø Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR è Pohon dan
Tiang
Ø Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR è Semai dan Pancang
2. Indeks Kekayaan Jenis dari Margelaf
S - 1
R1 =
ln (n)
Dimana :
R1 = Indeks Margelaf
S = Jumlah jenis
N = Jumlah total individu
3. Indeks Keanekaragaman Jenis berdasarkan Shannon- Weinner
H’ = -∑ [(Pi) ln (Pi)]
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = ni/N
ni = INP setiap jenis
N = Total INP seluruh jenis
4. Indeks Kemerataan Jenis
H’ E = ln (S)
Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis
5. Indeks Dominansi (C)
C = ∑ (ni/N)2
Dimana :
C = Indeks Dominansi
ni = INP setiap jenis
N = Total INP seluruh jenis
6. Indeks Kesamaan Komunitas
Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui
kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan
pada masing-masing tingkat pertumbuhan.
2W IS = X 100% a + b
Dimana :
IS = koefisien kesamaan komunitas (index of similarity)
W = jumlah nilai penting yang sama atau nilai yang terendah (≤)
dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua petak contoh yang
dibandingkan
a = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada
komunitas A
b = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada
komunitas B
b. Tanah
Contoh –contoh tanah baik terganggu maupun contoh tanah utuh
masing-masing di bawa ke laboratorium tanah untuk dianalisis dengan
metode seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah No Sifat Tanah Metode Analisis Satuan 1 Sifat fisik
Tekstur
Pipet
%
2 Sifat kimia tanah pH
C-organik N-total P Mg Ca K Al KTK KB
pH meter Walkley dan black Kjeldahl P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1
- % % me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan didapat data semai, pancang,
tiang dan pohon yang kemudian diolah untuk memperoleh Indeks Nilai Penting
(INP) dari masing-masing data di atas. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat
dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai
nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih
tinggi dari jenis yang lain.
1. Indeks Nilai Penting
a. Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl
i. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pancang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 200,00%.
ii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
tiang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan nilai
INP adalah 300,00%.
iii. Tingkat Pohon
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 300,00%.
b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl
i. Tingkat Semai
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
semai didominasi oleh tiga jenis saja yaitu jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium), Cantigi (Vaccinium lucidum) dan Segel (Wormia excelsa)
dengan nilai INP berturut-turut sebesar 159,52%; 32,77% dan 7,70%.
ii. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pancang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dan
Cantigi (Vaccinium lucidum) dengan nilai INP masing-masing sebesar
194,12% dan 5,88%.
iii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi Berdasarkan dapat diketahui bahwa dominasi
jenis tingkat tiang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%.
iv. Tingkat Pohon
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 300,00%.
v. Tingkat Herba dan Semak
Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2300 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Paku andam Gleichania linearis 56,90 2 Ilateun Agrostis infirma 47,04 3 Pakis munding Angiopteris evecta 45,54 4 Jajambuan Eugenia sp 16,94 5 Harendong Melastoma malabathricum 16,30 6 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 15,65 7 Edelweis Anaphalis javanica 1,64
Jumlah 200,01
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Paku andam (Gleichania
linearis) dengan nilai INP adalah 56,90%.
c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl
i. Tingkat semai
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Kendung Helicia serrata 83,07 2 Segel Wormia excelsa 43,49 3 Anggrid Neonauclea lanceolata 27,08 4 Huru batu Litsea glutinosa 12,24 5 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 12,24 6 Huru minyak Lindera polyantha 11,72 7 Jamuju Podocarpus imbricatus 3,65 8 Ki sapu Eurya acuminata 3,65 9 Huru beureum Literatur belum ditemukan 2,87
Jumlah 200,01
Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat semai didominasi oleh jenis Kendung (Helicia serrata ) dengan
nilai INP adalah 83,07%.
ii. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Segel Wormia excelsa 72,18 2 Anggrid Neonauclea lanceolata 39,05 3 Huru batu Litsea glutinosa 28,61 4 Kendung Helicia serrata 26,79 5 Suwagi Vaccinium varingifolium 11,35 6 Huru beureum Literatur belum ditemukan 5,68 7 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 4,09 8 Huru minyak Lindera polyantha 4,09 9 Ki banen Crypteronia peniculata 4,09 10 Ki sapu Eurya acuminata 4,09
Jumlah 200,02
Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat pancang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan
nilai INP adalah 72,18%.
iii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Segel Wormia excelsa 134,50 2 Anggrid Neonauclea lanceolata 67,18 3 Huru batu Litsea glutinosa 44,92 4 Kendung Helicia serrata 18,74 5 Suwagi Vaccinium varingifolium 18,44 6 Jamuju Podocarpus imbricatus 12,04 7 Huru minyak Lindera polyantha 4,18
Jumlah 300,00
Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat tiang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai
INP adalah 134,50%.
iv. Tingkat Pohon
Hasil analisis vegetasi tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Anggrid Neonauclea lanceolata 148,48 2 Segel Wormia excelsa 63,81 3 Jamuju Podocarpus imbricatus 20,22 4 Suwagi Vaccinium varingifolium 13,68 5 Huru batu Litsea glutinosa 10,12 6 Huru cabe Buchanania arborescens 8,89 7 Kendung Helicia serrata 8,22 8 Ki teke Myrica javanica 7,69 9 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 6,93 10 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 5,48 11 Huru bodas Ficus padana 3,92 12 Huru minyak Lindera polyantha 2,57
Jumlah 300,01
Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat pohon didominasi oleh jenis Anggrid (Neonauclea lanceolata ) dan
Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah 148,48% dan 63,81%.
v. Tingkat Herba dan Semak
Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Bagedor paku Cyathea contaminans 55,45 2 Ilateun Agrostis infirma 49,82 3 Ramo giling Schefflera aromatica 26,63 4 Pakis bulu Literatur belum ditemukan 18,12 5 Pakis munding Angiopteris evecta 14,73 6 Bungbrun Polygonum chinense 13,54 7 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 10,41 8 Paku-pakuan Filices sp 5,87 9 Kokosan Lansium domesticum 2,34 10 Harendong Melastoma malabathricum 1,55 11 Kembang anting Belum diketahui 1,55
Jumlah 200,01
Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Bagedor paku (Cyathea
contaminans) dengan nilai INP adalah 55,45%.
vi. Tingkat Liana dan Epifit
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
liana didominasi oleh jenis Areuy bulu (Argyreia capitata) dan Cocok
bubu (Argostemma montanum) dengan nilai INP masing-masing sebesar
172,62% dan 17,69%. Sedangkan dominasi tingkat epifit didominasi oleh
jenis Anggrek (Vanilla planifolia ) dengan nilai INP adalah 9,69%.
d. Hutan yang Tidak Terkena Letusan pada 2500 m dpl
i. Tingkat Semai
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nila i Penting Tingkat Semai (2500 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%)
1 Salam Eugenia operculata 76.23 2 Kendung Helicia serrata 26,96 3 Huru sintok Cinnamomum sintoc 19,13 4 Ki putri Podocarpus neriifolius 16,56 5 Huru batu Litsea glutinosa 13,86 6 Segel Wormia excelsa 10,53 7 Huru bodas Ficus padana 8,73 8 Kiurat beureum Plantago major 7,97 9 Anggid Neonauclea lanceolata 6,93 10 Kayu manis Cinnamomum burmanii 5,27 11 Huru minyak Lindera polyantha 4,37 12 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 3,47
Jumlah 200,01
Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat semai didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata) dengan
nilai INP adalah 76,23%.
ii. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel l2. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Salam Eugenia operculata 33,31 2 Huru bodas Ficus padana 31,17 3 Anggrid Neonauclea lanceolata 22,25 4 Ki putri Podocarpus neriifolius 21,79 5 Kendung Helicia serrata 20,61 6 Segel Wormia excelsa 10,05 7 Huru minyak Lindera polyantha 9,51 8 Pasang beureum Quercus lineata 8,96 9 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 8,33 10 Huru sintok Cinnamomum sintoc 6,14 11 Ki urat beureum Plantago major 6,10 12 Ramo gencel Schefflera aromatica 5,60 13 Puspa Schima walichii 5,01 14 Huru batu Litsea glutinosa 3,91 15 Huru cabe Buchanania arborescens 3,37 16 Huru jeruk Litsea amara 2,23 17 Huru huut Litsea monopetala 1,68
Jumlah 200,02
Berdasarkan data pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat pancang didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata ) dan
Huru bodas (Ficus padana) dengan nilai INP adalah 33,31% dan 31,17%.
iii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Segel Wormia excelsa 53,79 2 Pasang beureum Quercus lineata 44,23 3 Salam Eugenia operculata 40,06 4 Ramo gencel Schefflera aromatica 33,50 5 Huru sintok Cinnamomum sintoc 27,34 6 Anggrid Neonauclea lanceolata 19,89 7 Huru bodas Ficus padana 18,33 8 Huru batu Litsea glutinosa 13,49 9 Huru minyak Lindera polyantha 12,95 10 Huru cabe Buchanania arborescens 12,33 11 Ki putri Podocarpus neriifolius 6,98 12 Kendung Helicia serrata 6,89 13 Puspa Schima walichii 3,65 14 Ki harendong Astronia spectabilis 3,30 15 Ki seueur Antidesma tentrandum 3,28
Jumlah 300,01
Berdasarkan data pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat tiang didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai
INP adalah 53.79%.
iv. Tingkat Pohon
Tabel 14. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Salam Eugenia operculata 52,56 2 Huru batu Litsea glutinosa 44,57 3 Huru bodas Ficus padana 34,10 4 Pasang beureum Quercus lineata 28,79 5 Huru sintok Cinnamomum sintoc 23,75 6 Puspa Schima walichii 17,89 7 Segel Wormia excelsa 15,34 8 Anggrid Neonauclea lanceolata 14,85 9 Kendung Helicia serrata 9,07
10 Ki putri Podocarpus neriifolius 8,05
11 Huru cabe Buchanania arborescens 8,03 12 Huru jeruk Litsea amara 7,82 13 Ki seueur Antidesma tentrandum 5,78 14 Ramo gencel Schefflera aromatica 5,33 15 Ki hujan Engelhardia spicata 4,74 16 Huru huut Litsea monopetala 4,28 17 Ki harendong Astronia spectabilis 3,76 18 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 2,83 19 Huru minyak Lindera polyantha 2,71 20 Kiray Metroxylon spec 2,20 21 Lemo Litsea cubeba 0,94 22 Huru piit Eugenia occlusa 0,89 23 Jamuju Podocarpus imbricatus 0,86 24 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 0,86
Jumlah 300,00 Berdasarkan data pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat pohon didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata) dan Huru
batu (Litsea glutinosa) dengan nilai INP adalah 52,56% dan 44,574%.
v. Tingkat Herba dan Semak
Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15. Nilai Penting Tingkat Herba (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) dan Semak
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Bagedor paku Cyathea contaminans 34,77 2 Ilateun Agrostis infirma 30,64 3 Teklan Eupathorium riparicum 29,22 4 Arben Duchesnea indica 21,26 5 Harendong Melastoma malabathricum 13,21 6 Kirinyu Eupathorium oderata 8,94 7 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 8,79 8 Ki urat beureum Plantago major 8,74 9 Kokosan Lansium domesticum 8,54 10 Canar Smilax celebica 8,35 11 Bubukuan bulu Sambucus javanica 5,70 12 Paku-pakuan Filices sp 5,60 13 Bungbrun Polygonum chinense 5,30 14 Paku munding Angipteris evecta 3,44 15 Bulu manik Literatur belum ditemukan 2,41 16 Pohpohan Buchanaria arborescens 1,42 17 Pinding Literatur belum ditemukan 1,23 18 Babadotan Ageratum conyzoides 1,23 19 Tarate gunung Gunnera macropylla 1,23
Jumlah 200,02
Berdasarkan data pada Tabel 15. dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Bagedor paku (Cyathea
contaminans) dan Ilateun (Agrostis infirma ) dengan nilai INP adalah
34,77% dan 30,64%.
vi. Tingkat Liana dan Epifit
Hasil analisis vegetasi.dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
liana didominasi oleh jenis Seureuh leuweung (Piper sulcatum) dengan
nilai INP adalah 102.86% sedangkan untuk tingkat efipit didominansi oleh
jenis Anggrek (Vanilla planifolia ) dengan nilai INP sebesar 97,14%.
2. Indeks Keragaman Jenis
Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi
disuatu komunitas yang ditentukan dua hal yaitu kelimpahan jenis dan
kemerataannya. Pada gambar 3 dapat dilihat besarnya nilai indeks keragaman
Shannon-Wiener pada masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan
Indeks Keragaman
0.00
0.530.42
1.74
2.45 2.402.53
2.31
0.68
0.00 0.000.000.00 0.00
1.40
0.000.00 0.000.03
1.53
1.93
1.491.42
1.75
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
semai pancang tiang pohon herba dansemak
Liana danEpifit
Tingkat Vegetasi
Nila
i In
dek
s
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpl tidakterkena letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpl tidakterkena letusan
Gambar 3. Indeks Keragaman Jenis
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang
terkena letusan memiliki indeks keragaman yang lebih kecil dibandingkan hutan
yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat
vegetasi memiliki nilai indeks keragaman sebesar 0,00.
Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang
dan herba dan semak memiliki nilai indeks keragaman masing-masing sebesar
0,53; 0,03; dan 1,40 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon da n liana dan epifit
memiliki nilai indeks keragaman yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan
di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks keragaman
yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan
yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak
dan liana dan efifit memiliki nilai indeks keragaman masing-masing sebesar 1,53;
1,75; 1,42; 1,49; 1,93 dan 0,42 sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan
nilai indeks keragaman untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan
semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks keragaman masing-masing
sebesar 1,74; 2,45; 2,40; 2,53; 2,31 dan 0,68.
3. Indeks Kekayaan Jenis
Indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya
indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies vegetasi. Pada
Gambar 4 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kekayaan margalef (R1) pada
masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan.
Indeks Kekayaan
1.18
2.00
2.37
3.79
2.00
0.51
0.000.000.000.000.000.000.22 0.10 0.00 0.00
0.57
0.00
0.51
1.00
2.22
1.01
1.30
0.85
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
semai pancang tiang pohon herbadan
semak
Liana danEpifit
Tingkat Vegetasi
Nila
i In
dek
s
2300m dpl terkenaletusan
2300 m dpl tidakterkena letusan
2500 m dpl terkenaletusan
2500 m dpl tidakterkena letusan
Gambar 4. Indeks Kekayaan Jenis
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang
terkena letusan memiliki indeks kekayaan yang lebih kecil dibandingkan hutan
yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat
vegetasi memiliki nilai indeks kekayaan sebesar 0,00.
Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang
dan herba dan semak memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar 0,22;
0,10; dan 0,57 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon dan liana dan epifit memiliki
nilai indeks kekayaan yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan di
ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks kekayaan
yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan
yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak
dan liana dan epifit memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar 0,85;
1,30; 1,01; 2,22; 1,00 dan 0,51 sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan
nilai indeks kekayaan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan
semak dan liana dan efifit memiliki nilai indeks kekayaan masing-masing sebesar
1,18; 2,00; 2,37; 3,79; 2,00 dan 0,51.
4. Indeks Kemerataan Jenis
Indeks yang menunjukkan pola penyebaran vegetasi di suatu areal apakah
menyebar merata ataukah hanya terpusat pada suatu tempat saja. Dimana semakin
besar nilai indeks kemerataan maka komposisi penyebaran jenisnya semakin
merata. Pada Gambar 5 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada
masing-masing tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan.
Indeks Kemerataan
0.70
0.86 0.89
0.80
0.99
0.000.000.000.000.000.00
0.72
0.48
0.04 0.00 0.00 0.00
0.38
0.80
0.60
0.730.76
0.70
0.78
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
semai pancang tiang pohon herba dan
semak
Liana dan
Epifit
Tingkat Vegetasi
Nila
i In
dek
s
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpl tidakterkena letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpl tidakterkena letusan
Gambar 5. Indeks Kemerataan Jenis
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang
terkena letusan memiliki indeks ke merataan yang lebih kecil dibandingkan hutan
yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk semua tingkat
vegetasi memiliki nilai indeks ke merataan sebesar 0,00.
Berbeda pada hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai, pancang
dan herba dan semak memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing sebesar
0,48; 0,04 dan 0,72 sedangkan untuk tingkat tiang, pohon dan liana dan efifit
memiliki nilai indeks kemerataan yang sama yaitu 0,00. Begitu juga dengan hutan
di ketinggian 2500 m dpl, hutan yang terkena letusan memiliki indeks ke merataan
yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan
yang terkena letusan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak
dan liana dan epifit memiliki nilai indeks ke merataan masing-masing sebesar
0,70; 0,76; 0,73; 0,60; 0,72 dan 0,38 sedangkan pada hutan yang tidak terkena
letusan nilai indeks kemerataan untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba
dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing
sebesar 0,70; 0,86; 0,89; 0,80; 0,78 dan 0,99.
5. Indeks Dominansi (C)
Indeks Dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu
komunitas dan untuk menetapkan dimana dominansi itu di pusatkan. Pada
Gambar 6 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Dominansi (C) pada masing-masing
tingkat vegetasi dan lokasi pengamatan.
Indeks Dominansi
1.00 1.00 1.00
0.00
0.67
1.00 1.00
0.250.21
0.28 0.30
0.18
0.76
0.000.00
0.94
0.02 0.00
0.50
0.100.090.110.100.19
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
semai pancang tiang pohon herbadan
semak
Lianadan
EpifitTingkat Vegetasi
Nila
i Ind
eks
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpl tidakterkena letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpl tidakterkena letusan
Gambar 6. Indeks Dominansi
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa di ketinggian 2300 m dpl hutan yang
terkena letusan memiliki indeks dominansi yang cenderung sama dengan hutan
yang tidak terkena letusan. Pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat semai,
herba dan semak, liana dan epifit memiliki nilai indeks dominansi masing-masing
sebesar 0,00 sedangkan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon nilai indeks
dominansi masing-masing sebesar 1,00. Berbeda pada hutan yang tidak terkena
letusan untuk tingkat semai, pancang dan herba dan semak memiliki nilai indeks
dominansi masing-masing sebesar 0,67; 0,94 dan 0,18; untuk tingkat tiang, pohon
nilainya masing-masing sebesar 1,00 sedangkan untuk tingkat liana dan epifit
nilainya sebesar 0,00. Begitu juga dengan hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan
yang terkena letusan memiliki indeks doninansi yang lebih besar dibandingkan
dengan hutan yang tidak terkena letusan. Hutan yang terkena letusan untuk tingkat
semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan epifit memiliki nilai
indeks dominansi masing-masing sebesar 0,25; 0,21; 0,28; 0,30; 0,18 dan 0,76
sedangkan pada hutan yang tidak terkena letusan nilai indeks dominansi untuk
tingkat semai, pancang, tiang, pohon, herba dan semak dan liana dan efifit
memiliki nilai indeks kemerataan masing-masing sebesar 0,19; 0,10; 0,11; 0,09;
0,10 dan 0,50.
6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan
komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat
vegetasi. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah vegetasi pada tingkatan yang
sama dan ketinggian yang sama antara hutan yang terkena letusan dan yang tidak
terkena letusan. Pada Gambar 7 dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kesamaan
Komunitas (IS) pada tingkat vegetasi yang sama dan ketinggian yang sama.
Indeks Kesamaan Komunitas
0.001.77
19.44
9.09
0.00 0.00
20.92
26.83
31.35
20.24
49.26
3.51
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
semai pancang tiang pohon herba dansemak
Liana danEpifit
Tingkat Vegetasi
Nila
i Ind
eks 2300 m dpl
2500 m dpl
Gambar 7. Indeks Kesamaan Komunitas
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa pada hutan di ketinggian 2300 m dpl nilai
indeks kesamaan komunitas yang paling tinggi adalah pada tingkat tiang dengan
nilai sebesar 19,44% sedangkan yang paling rendah adalah pada tingkat semai,
herba dan semak, dan liana dan epifit dengan nilai sebesar 0,00%. Berbeda pada
hutan di ketinggian 2500 mdpl nilai indeks kesamaan komunitas yang paling
tinggi adalah pada tingkat herba dan semak dengan nilai sebesar 49,26%
sedangkan yang paling rendah adalah pada tingkat liana dan epifit dengan nilai
sebesar 3,51%.
6. Sifat Fisik Tanah
Tekstur tanah pada empat lokasi pengamatan dengan dua kedalaman yaitu 0-
20 cm dan 20-40 cm di analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian dengan
menggunakan metode pipet. Data yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Data Tekstur Tanah
Tekstur (pipet) % No Lokasi Pengamatan Kedalaman Pasir Debu Liat Kelas tekstur
0-20 cm 52,96 25,99 21,05 Lempung liat
berpasir 1 2300 m dpl terkena letusan
20-40 cm 45,95 24,81 29,24 Lempung
0-20 cm 52,70 12,66 12,66 Lempung berpasir 2 2300 m dpl tidak
terkena letusan 20-40 cm 48,37 18,31 18,31
Lempung berpasir
0-20 cm 26,90 41,59 31,51 Lempung
berliat 3 2500 m dpl terkena letusan
20-40 cm 36,01 32,87 49,11 Liat
0-20 cm 57,30 24,43 18,27 Lempung berpasir 4 2500 m dpl tidak
terkena letusan 20-40 cm 37,29 38,36 24,35 Lempung
Secara umum tekstur tanah sangat mempengaruhi besarnya ruang pori yang
terdapat dalam tanah tersebut. Tekstur tanah mengambarkan kandungan butir-
butir koloid tanah yaitu pasir, debu dan liat. Butir tanah tanah digolongkan
berdasarkan ukurannya yaitu pasir : 2 mm- 50µ, debu 50µ- 2µ dan liat kurang dari
2µ. Tekstur tanah ditentukan berdasarkan perbandingan kandungan pasir, debu
dan liat. Dari hasil analisis tanah, tekstur tanah pada hutan terkena letusan baik di
ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl, tekstur tanahnya lebih halus
dibandingkan hutan tidak terkena letusan.
7. Sifat Kimia Tanah
Dampak kimia yang paling langsung dari letusan Gunung Papandayan adalah
pembebasan unsur-unsur mineral yang tercuci dan masuk ke dalam tanah. Data
sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Da ta Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981.
No Lokasi Pengamatan Kedalaman
tanah pH tanah Al P C-organik N -Total KTK
0-20 cm 4,21 (SM) 22,93 (S) 37,80 (ST) 2,17 (S) 0,17 (R) 12,18 (R) 1
2300 m dpl terkena letusan 20-40cm 4,28 (SM) 26,15 (S) 46,00 (ST) 1,59 (R) 0,11 (S) 12,94 (R)
0-20 cm 4,42 (SM) 9,04 (SR) 24, 60 (S) 6,69 (ST) 0,46 (S) 18,65 (S) 2
2300 m dpl tidak terkena letusan 20-40cm 4,59 (SM) 7,54 (SR) 21, 30 (S) 3,26 (T) 0,23 (S) 18,28 (S)
0-20 cm 4,63 (M) 21,31(S) 23, 00 (S) 1,00 (R) 0,09 (R) 22,45 (S) 3
2500 m dpl terkena letusan 20-40cm 4,6 (M) 7,06 (SR) 6,60 (SR) 6,52 (ST) 0,38 (S) 25,12 (T)
0-20 cm 4,86 (M) 1,58 (SR) 20, 50 (S) 6,01 (ST) 0,36 (S) 20,55 (S) 4
2500 m dpl tidak terkena letusan 20-40cm 4,47 (M) 2,94 (SR) 21, 30 (S) 6,60 (ST) 0,42 (S) 22,07 (S)
Tabel 17. Data Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan
Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981 (Lanjutan)
No Lokasi Pengamatan Kedalaman
tanah Mg K Ca KB
0-20 cm 0,92 (S) 0,36 (S) 2,48 (R) 34,80 (S) 1
2300 m dpl terkena letusan 20-40cm 0,79 (S) 0,28 (S) 2,90 (R) 33,50 (R)
0-20 cm 2,06 (S) 0,42 (S) 4,68 (R) 41,40 (S) 2
2300 m dpl tidak terkena letusan 20-40cm 2,30 (T) 0,46 (S) 4,72 (R) 44,10 (S)
0-20 cm 1,45 (R) 0,36 (S) 3,30 (R) 25,2 (R) 3
2500 m dpl terkena letusan 20-40cm 1,68 (R) 0,48 (S) 4,27 (R) 27,80 (R)
0-20 cm 1,08 (R) 0,32 (S) 3,43 (R) 25,50 (R) 4
2500 m dpl tidak terkena letusan 20-40cm 0,86 (R) 0,30 (S) 2,90 (R) 20,00 (R)
Keterangan menurut Lembaga Penelitian Tanah (LPT) 1981 : • SR : Sangat Rendah • R : Rendah • S : Sedang • T : Tinggi • ST : Sangat Tinggi • M : Masam • SM : Sangat Masam
a. Reaksi Tanah (pH Tanah)
4.214.28
4.42
4.59 4.63 4.60
4.86
4.47
3.8
3.94
4.1
4.24.34.4
4.54.64.7
4.84.9
pH
tan
ah
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 8. Reaksi Tanah (pH Tanah)
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan nilai pH tanah cenderung menurun baik di ketinggian 2300 m
dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl pH tanah
untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-
masing sebesar 0,07 dan 0,17. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m
dpl pH tanah untuk kedalaman 0-20 cm mengalami penurunan sebesar 0,23
sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,13.
b. Kandungan Aluminium (me/100 gr)
22.93
26.15
9.047.54
21.31
7.06
1.582.94
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Alu
min
ium
(me/
100
gr)
2300 m dplterkenaletusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkenaletusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 9. Kandungan Magnesium
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan Al tanah mengalami peningkatan baik di ketinggian
2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl
kandungan Al untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 13,89 me/100gr dan 18,61 me/100gr.
Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Al untuk
kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 19,73
me/100gr dan 4,12 me/100gr.
c. Kandungan Fosfor (ppm)
37.80
46.00
24.60
21.3023.00
6.60
20.50 21.30
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
Fo
sfo
r (p
pm
)
2300 m dpl
terkena letusan
2300 m dpl
tidak terkenaletusan
2500 m dpl
terkena letusan
2500 m dpl
tidak terkenaletusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40cm
Gambar 10. Kandungan Fosfor
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan P tanah mengalami perubahan yang berbeda antara
hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian
2300 m dpl kandungan P untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 13,2 ppm dan 24,7 ppm. Berbeda pada
hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan P untuk kedalaman 0-20 cm
mengalami peningkatan sebesar 2,5 ppm sedangkan untuk kedalaman 20-40
cm mengalami penurunan sebesar 14,7 ppm.
d. Kandungan Karbon Organik (%)
2.17
1.59
6.69
3.26
1.00
6.526.01
6.60
0
1
2
3
4
5
6
7
C-o
rgan
ik (%
)
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi Pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 11. Kandungan Karbon Organik
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan C-organik tanah mengalami penurunan yang drastis
khususnya untuk kedalaman 0-20 cm baik di ketinggian 2300 m dpl maupun
2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl kandungan C-organik
untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami penurunan masing-
masing sebesar 4,52% dan 1,67%. Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500
m dpl kandungan C-organik untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm
mengalami penurunan sebesar 5,01% dan 0,08%.
e. Kandungan Nitrogen Total (%)
0.17
0.11
0.46
0.23
0.09
0.380.36
0.42
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
N-T
ota
l (%
)
2300 m dplterkenaletusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkenaletusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan
0-20 cm
20-40 cm
Gambar 12. Kandungan Nitrogen Total
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan N-total tanah me ngalami penurunan baik di
ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m
dpl kandungan N-total untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
penurunan masing-masing sebesar 0,29% dan 0,12%. Begitu juga pada hutan
di ketinggian 2500 m dpl kandungan N-total untuk kedalaman 0-20 cm dan
20-40 cm mengalami penurunan sebesar 0,27% dan 0,04%.
f. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
12.1812.94
18.65 18.28
22.45
25.12
20.5522.07
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
KT
K
2300 m dplterkenaletusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkenaletusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 13 Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan KTK tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di
ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m
dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
penurunan masing-masing sebesar 6,47 dan 5,34. Berbeda pada hutan di
ketinggian 2500 m dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40
cm mengalami peningkatan sebesar 1,90 dan 3,05.
g. Kandungan Magnesium (me/100 gr)
0.920.79
2.06
2.30
1.45
1.68
1.08
0.86
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Mag
nesi
um (m
e/10
0 gr
)
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 14. Kandungan Magnesium
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan Mg tanah mengalami perubahan yang berbeda
antara hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di
ketinggian 2300 m dpl kandungan Mg untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40
cm mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,14 me/100gr dan 1,51.
me/100gr. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Mg untuk
kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,37
me/100gr dan 0,82 me/100gr.
h. Kandungan Kalium (me/ 100 gr)
0.36
0.28
0.420.46
0.36
0.48
0.32 0.3
00.05
0.10.15
0.20.25
0.30.35
0.40.45
0.5
Kal
ium
(me/
100
gr)
2300 m dplterkenaletusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkenaletusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan
0-20 cm
20-40 cm
Gambar 15. Kandungan Kalium
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan K tanah mengalami perubahan yang berbeda antara
hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian
2300 m dpl kandungan K untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
penurunan masing-masing sebesar 0,06 me/100gr dan 0,18 me/100 gr.
Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan K untuk kedalaman
0-20 cm dan 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 0,04 me/100 gr dan
0,18 me/100 gr.
i. Kandungan Kalsium (me/100 gr)
2.48
2.90
4.68 4.72
3.30
4.27
3.43
2.90
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
Kal
siu
m (m
e/10
0 g
r)
2300 m dplterkena letusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkena letusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 16. Kandungan Kalsium
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan kandungan Ca tanah mengalami perubahan yang berbeda antara
hutan di ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian
2300 m dpl kandungan Ca untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm
mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,20 me/100gr dan 2,24.
me/100gr. Berbeda pada hutan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Ca untuk
kedalaman 0-20 cm mengalami penurunan sebesar 0,13 me/100gr sedangkan
untuk kedalaman 20-40 cm mengalami peningkatan sebesar 1,37 me/100gr.
j. Kejenuhan Basa (KB)
34.80 33.50
41.40 44.10
25.20 27.8025.50
20.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
KB
2300 m dplterkenaletusan
2300 m dpltidak terkena
letusan
2500 m dplterkenaletusan
2500 m dpltidak terkena
letusan
Lokasi pengamatan0-20 cm
20-40 cm
Gambar 17. Kejenuhan Basa (KB)
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa setelah
terjadi letusan KB tanah mengalami perubahan yang berbeda antara hutan di
ketinggian 2300 m dpl dengan 2500 m dpl. Pada hutan di ketinggian 2300 m
dpl kandungan KB untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm mengalami
penurunan masing-masing sebesar 6,6 dan 10,6. Berbeda pada hutan di
ketinggian 2500 m dpl kandungan KTK untuk kedalaman 0-20 cm mengalami
penurunan sebesar 0,30 sedangkan untuk kedalaman 20-40 cm mengalami
peningkatan sebesar 7,80.
B. Pembahasan
1. Indeks Nilai Penting
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks
Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi
merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut
mempunyai tingkat kesesuian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis
lain.
Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis tersebut terdapat di daerah
yang bersangkutan dalam jumlah yang banyak, tersebar merata keseluruh areal
dan berdiameter besar, sehingga penetapan suatu jenis dominan dengan
berdasarkan suatu indeks yang merupakan gabungan dari tiga nilai yaitu nilai
kerapatan, nilai frekuensi dan nilai dominansi adalah sangat tepat
(Sutisna, 1981).
Selanjutnya Sutisna (1981), juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat
dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari
10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15 %.
Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl belum
ditemukannya vegetasi untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah lainnya.
Vegetasi yang ditemukan hanya beberapa jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium) baik untuk tingkat pancang, tiang dan pohon dengan nilai INP
200,00% untuk tingkat pancang dan 300,00% untuk tingkat tiang dan pohon.
Hal ini disebabkan karena hutan di ketinggian 2300 m dpl terlalu dekat dengan
sumber letusan (2200 m dpl) sehingga kerusakan akibat letusan pada
ketinggian ini sangat parah yang menyebabkan semua vegetasi yang ada di
hutan tersebut mati. Hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup
seperti jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) karena jenis ini biasanya
hidup pada tempat terbuka terutama dekat kawah.
Begitu juga pada hutan yang tidak terkena letusan, untuk tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium) dengan nilai INP sebesar 159,52% untuk tingkat semai,
194,12% untuk tingkat pancang, dan 300,00% untuk tingka t tiang dan pohon.
Dari semua tingkat vegetasi dapat dilihat bahwa jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium) sangat mendominasi baik dari faktor kerapatan maupun
frekuensi ditemukannya di lapangan.
Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, untuk tingkat
semai didominasi oleh jenis Kendung (Helicia serrata) dengan nilai INP
adalah 83,07%. Untuk tingkat pancang dan tiang sama-sama didominasi oleh
jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP berturut-turut adalah 72,18%
dan 134,50%. Untuk tingkat pohon jenis yang paling dominan adalah jenis
Anggrid (Neonauclea lanceolata) dengan nilai INP sebesar 148,48%. Untuk
tingkat Herba dan semak, jenis yang paling dominan adalah jenis Bagedor
paku (Cyathea contaminans) dengan nilai INP adalah 55,45%. Untuk tingkat
liana didominasi oleh jenis Areuy bulu (Argyreia capitata ) dengan nilai INP
sebesar 172.62% sedangkan untuk tingkat epifit didominasi oleh jenis
Anggrek (Vanilla planifolia) dengan nilai INP sebesar 9,69%.
Berbeda dengan hutan yang tidak terkena letusan untuk tingkat semai dan
pancang sama-sama didominasi oleh jenis Salam (Eugenia operculata) dengan
nilai INP berturut-turut adalah 76,23% dan 33,31%. Untuk tingkat tiang
didominasi oleh jenis Segel (Wormia excelsa) dengan nilai INP adalah
53,79%. Jenis yang mendominasi pada tingkat pohon adalah jenis Salam
(Eugenia operculata ) dan Huru batu (Litsea glutinosa) dengan nilai INP
berturut-turut sebesar 52,56% dan 44,57%. Pada tumbuhan bawah, Herba dan
Semak jenis yang mendominasi adalah Bagedor paku (Cyathea contaminans)
dan Ilateun (Agrostis infirma) dengan nilai INP berturut-turut adalah 34,77%
dan 30,64%. Untuk tingkat liana didominasi oleh jenis Seureuleung dengan
nilai INP adalah 102,86% sedangkan untuk tingkat epifit jenis yang dominan
adalah jenis Anggrek (Vanilla planifolia) dengan nilai INP sebesar 97,14%.
Jenis-jenis yang memiliki nilai INP yang tinggi menunjukkan bahwa jenis-
jenis tersebut merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap lingkungan dengan
kata lain jenis ini lebih mampu menyesuaikan diri pada lingkungan tempat
hidupnya daripada jenis lain. Selain itu juga, suatu jenis dikatakan dominan
dalam komunitas, apabila jenis tersebut berhasil memanfaatkan sebagian besar
sumber daya yang ada untuk pertumbuhan hidupnya dibandingkan dengan
jenis yang lain. Hal ini ditegaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988),
bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat
tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya.
Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan, frekuensi dan
dominansi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis
ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan
dibandingkan jenis lainnya. Tingginya frekuensi suatu jenis menunjukkan
bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan.
Sedangkan dominansi yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini paling
berkuasa di dalam komunitas terutama dalam penguasaan ruang tempat
tumbuh.
Suatu permudaan hutan harus terdapat ketersediaan yang cukup akan
semai, pancang, dan tiang untuk menjamin adanya pergantian atau regenerasi
yang alami. Di dalam menentukan cukup tidaknya suatu permudaan pada
komunitas hutan digunakan kriteria Wyatt- Smith (1963). Permudaan
dianggap cukup apabila tersedia 40% atau 1000 semai/ha yang tersebar
merata, pada tingkat pancang paling sedikit 60% atau 240 pancang/ha yang
tersebar merata, pada tingkat tiang 75% atau 75 tiang/ha yang tersebar merata
dan pada tingkat pohon 100% atau 25 pohon/ha yang tersebar merata.
Berdasarkan kriteria Wyatt-Smith pada hutan yang terkena letusan baik di
ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl dapat diketahui bahwa permudaan
alam untuk tingkat semai, pancang, dan tiang belum dianggap memadai untuk
suatu permudaan hutan. Hal ini dapat disebabkan karena proses suksesi masih
berjalan lebih kurang tiga tahun sehingga keanekaragaman jenis yang ada
masih sedikit.
2. Indeks Keragaman, Kekayaan dan Kemerataan jenis.
Indeks Keanekaragaman Jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan
jenis (kelimpahan jenis) dan kemerataan jenisnya. Deshmukh (1992)
menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis lebih besar bilamana
kemerataannya lebih besar, yaitu jika populasi-populasi yang ada satu sama
lain adalah merata dalam kelimpahannya, bukan beberapa populasi sangat
banyak sedangkan populasi lainnya sangat sedikit.
Menurut Shannon-Wiener nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya
berada pada kisaran antara 1.0-3.5 dimana semakin mendekati nilai 3.5 maka
menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin besar.
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis pada hutan di ketinggian 2300 m dpl
baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan
memiliki nilai yang relatif rendah. Pada hutan yang terkena letusan nilai
Indeks Keanekaragaman Jenisnya pada semua tingkatan bernilai 0, hal ini
dikarenakan hanya satu jenis vegetasi saja yang ditemukan di lapangan yaitu
jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium). Begitu pula pada hutan yang tidak
terkena letusan, Indeks Keanekaragaman Jenis tertinggi adalah pada tingkat
Herba dan Semak dan nilai terendah pada tingkat pohon, tiang dan liana dan
epifit. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat Herba dan Semak memiliki
keanekaragaman jenis yang lebih beragam dibandingkan dengan tingkat
pohon, tiang dan liana dan epifit.
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis pada hutan yang terkena letusan di
ketinggian 2500 m dpl, nilai tertinggi adalah pada tingkat Herba dan Semak
dan nilai terendah pada tingkat liana dan epifit. Hal ini menunjukkan bahwa
pada tingkat Herba dan Semak memiliki keanekaragaman jenis yang lebih
beragam dibandingkan dengan tingkat liana dan epifit. Demikian pula halnya
pada hutan yang tidak terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl, Indeks
Keanekaragaman Jenis tertinggi adalah pada tingkat pohon dan nilai terendah
pada tingkat liana. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa pada tingkat
pohon memiliki keanekaragaman jenis yang lebih beragam dari tingkatan
lainnya.
Namun jika dibandingkan antara nilai Indeks Keanekaragaman Jenis yang
diperoleh dilapangan dengan kisaran nilai Shannon-Wiener (1.0-3.5), hutan di
ketinggian 2300 m dpl baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang
tidak terkena letusan memilki keanekaragaman jenis yang lebih rendah
dibandingkan dengan hutan yang ada di ketinggian 2500 m dpl. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah jenis yang ditemukan,
tingkat kerusakan lahan dan kelerengan. Semakin banyak jumlah jenis yang
ditemukan, maka keanekaragaman jenisnya semakin beragam. Tingkat
kerusakan lahan sangat berkaitan dengan kandungan hara mineral tanah yang
berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Kelerengan sangat berkaitan
dengan kekuatan ikatan antar partikel tanah yang akan mempengaruhi
keteguhan tanah dalam menahan limpasan air.
Karena Indeks keanekaragaman jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu
kekayaan jenis (kelimpahan jenis) dan kemerataan jenisnya maka nilainya pun
berbanding lurus dengan nilai Indeks Keragaman Jenis. Semakin besar nilai
keragaman jenisnya maka semakin besar pula kelimpahan dan kemerataan
jenisnya. Di kawasan hutan Gunung Papandayan hutan di ketinggian 2300 m
dpl baik hutan yang terkena letusan maupun hutan yang tidak terkena letusan
memiliki keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan
yang ada di ketinggian 2500 m dpl, hal ini berarti bahwa hutan di ketinggian
2500 m dpl memiliki kelimpahan jenis yang tinggi dan merata dari pada hutan
di ketinggian 2300 m dpl.
3. Indeks Dominansi (C)
Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu
tegakan. Nilai indeks dominansi yang tertinggi adalah 1, yang menunjukkan
bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis.
Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl baik hutan terkena letusan maupun
hutan tidak terkena letusan mempunyai Indeks Dominansi yang relatif tinggi.
Pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon
mempunyai nilai Indeks Dominansi tertinggi yaitu 1, yang menunjukkan
bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis saja yaitu jenis Suwagi
(Vaccinium varingifolium). Begitu juga pada hutan yang tidak terkena letusan
untuk tingkat tiang dan pohon dikuasai oleh satu jenis saja yaitu Suwagi
(Vaccinium varingifolium) sehingga Indeks Dominasinya bernilai 1.
Pada hutan yang terkena letusan di ketinggia n 2500 m dpl dapat diketahui
nilai Indeks Dominansi tertinggi adalah pada tingkat liana dan epifit dan nilai
terendah adalah pada tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang
tidak terkena letusan, nilai Indeks Dominansi tertinggi adalah pada tingkat
liana dan epifit dan nilai terendah adalah pada tingkat pohon. Hal ini
menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan untuk tingkat liana dan
epifit lebih didominasi oleh suatu jenis saja yaitu jenis Areuy bulu, sedangkan
untuk tingkat Herba dan semak dominansi yang terjadi lebih merata pada
semua jenis yang ditemukan. Berbeda dengan hutan yang tidak terkena letusan
tingkat liana dan efifit lebih didominasi oleh satu jenis saja yaitu jenis
Seureuleung, sedangkan pada tingkat pohon dominansi yang terjadi lebih
merata pada semua jenis.
4. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Nilai Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan
komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing
tingkat vegetasi. Besarnya Indeks Kesamaan Komunitas berkisar dari 0%
untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang tidak sama dan
100% untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang sama. Suatu
komunitas yang dibandingkan dapat dikatakan relatif sama jika memiliki nilai
Indeks Kesamaan Komunitas sebesar 80% (Sutisna,1981).
Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl, nilai Indeks Kesamaan Komunitas
untuk semua tingkatan dapat dikatakan mempunyai nilai Indeks Kesamaan
Komunitas yang sangat rendah. Nilai Indeks Kesamaan Komunitas tertinggi
adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan nilai
terendah adalah pada tingkat liana dan epifit dengan nilai sebesar 3,51%.Hal
ini menunjukkan bahwa pada hutan di ketinggian 2300 m dpl masih sangat
jauh berbeda dengan komunitas asalnya.
Besarnya nilai Indeks Kesamaan Komunitas pada hutan di ketinggian
2500 m dpl, untuk semua tingkat vegetasi mempunyai nilai Indeks Kesamaan
Komunitas di bawah 75%. Nilai Indek Kesamaan Komunitas tertinggi pada
tingkat Herba dan Semak sebesar 49,26% sedangkan nilai terendah adalah
pada tingkat semai, herba dan semak dan liana dan efifit dengan nilai sebesar
0,00%. Hal ini menunjukkan bahwa hutan di ketinggian 2500 m dpl masih
relatif berbeda dengan komunitas asalnya.
5. Tingkat Suksesi yang terjadi
Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa proses suksesi
adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa
tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan
penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Seda ngkan Manan
(1978), mengartikan suksesi sebagai suatu perubahan masyarakat tumbuhan
(jenis dan strukturnya) bersamaan perubahan tempat tumbuhnya.
Kawasan hutan di Gunung Papandayan pada awalnya telah membentuk
suatu komunitas hutan primer yang telah mencapai klimaks. Namun akibat
adanya peristiwa letusan Gunung Papandayan yang terjadi pada tahun 2002,
telah mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada kondisi lingkungan
maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan tersebut berbeda
dengan kondisi awalnya. Kemudian seiring dengan perubahan alam dari waktu
ke waktu, telah terjadinya suatu proses suksesi yaitu suksesi sekunder pada
areal-areal terbuka yang mengalami kerusakan akibat letusan.
Proses suksesi sekunder yang berjalan lebih kurang tiga tahun lamanya
telah membentuk suatu komunitas baru yang berbeda dari komunitas
sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian, hutan di ketinggian 2300 m dpl,
setelah terjadi letusan belum ditemukan tumbuhan bawah, tingkat semai dan
pancang. Sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon yang ditemukan
merupakan vegetasi yang telah ada sebelum terjadinya letusan, dimana setelah
terjadinya letusan vegetasi ini masih dapat bertahan hidup. Hal ini dapat
dilihat dari tunas-tunas yang tumbuh pada tiang dan pohon tersebut. Berbeda
dengan hutan yang terkena letusan pada ketinggian 2500 m dpl, dimana pada
hutan ini telah ditemukan vegetasi untuk tingkat semai, pancang, tiang, pohon,
herba dan semak serta liana dan epifit. Tetapi yang paling mendominasi hutan
tersebut adalah tingkat herba dan semak (tumbuhan bawah).
Proses suksesi yang terjadi sekarang bila mengacu pada tingkatan suksesi
menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) telah masuk kedalam tingkatan
pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil. Proses ini telah terjadi
pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl dimana pada hutan
tersebut didominasi oleh vegetasi untuk tingkat herba dan semak. Sedangkan
pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, proses suksesi
berjalan sangat lambat karena hin gga saat ini belum ditemukannya vegetasi
baru yang tumbuh pada hutan tersebut. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
karena hutan pada ketinggian 2300 m dpl sangat dekat dengan sumber letusan
(2200 m dpl) sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat parah.
6. Sifat Fisik Tanah
a. Tekstur Tanah
Secara umum tekstur tanah sangat mempengaruhi besarnya ruang pori
yang terdapat dalam tanah tersebut. Dari data tekstur tanah pada Tabel 16
diperoleh hasil bahwa pada hutan terkena letusan baik di ketinggian 2300
m dpl maupun 2500 m dpl tekstur tanahnya lebih halus daripada hutan
tidak terkena letusan. Data ini menunjukkan bahwa tanah tersebut dapat
meresap air dan mengikat unsur hara dengan baik.
7. Sifat Kimia Tanah
a Reaksi tanah
Setelah terjadi letusan di Gunung Papandayan pH tanah cenderung
mengalami penurunan baik pada hutan di ketinggian 2300 m dpl maupun
2500 m dpl. Berdasarkan kriteria LPT (1981) hutan terkena letusan di
ketinggian 2300 mdpl termasuk ke dalam golongan tanah yang sangat
masam karena pH tanahnya dibawah 4,5. Sedangkan pada hutan terkena
letusan di ketinggian 2500 m dpl termasuk ke dalam golongan tanah yang
masam. Penurunan nilai pH tanah diduga disebabkan oleh tebalnya
kandungan abu pada hutan yang terkena letusan yang mengandung Al dan
Fe ya ng tinggi.
b. Kandungan Aluminium (Al)
Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena letusan di
ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm
kandungan Al tergolong sedang sedangkan hutan tidak terkena letusan
tergolong sangat rendah.
Berbeda pada hutan diketinggian 2500 m dpl untuk kedalaman 0-20
cm kandungan Al tergolong sedang sedangkan hutan tidak terkena letusan
tergolong sangat rendah. Pada hutan terkena letusan dan hutan tidak
terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm sama-sama tergolong sangat
rendah.
Meningkatnya kandungan Al pada hutan terkena letusan baik di ketinggian
2300 m dpl maupun 2500 m dpl disebabkan adanya penambahan unsur Al
dari abu hasil letusan yang banyak mengandung Al.
c. Kandungan Fosfor (P)
Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di
ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm, kandungan P tergolong
sangat tinggi sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong tinggi. Pada
hutan terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm kandungan P tergolong
sangat tinggi sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sedang.
Begitu juga pada hutan di ketinggian 2500 m dpl, pada hutan terkena
letusan dan tidak terkena letusan untuk kedalaman 0-20 cm kandungan P
tergolong sedang. Pada hutan terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm,
kandungan P tergolong sangat rendah sedangkan hutan tidak terkena
letusan tergolong sedang.
Peningkatan kandungan P setelah terjadi letusan dapat disebabkan
adanya penambahan unsur P dari pelapukan bahan-bahan organik dan
mineral yang mengandung P. Selain itu sifat kelarutan yang rendah juga
dapat melindungi P dari pencucian.
d. Kandungan Karbon Organik Tanah (C-organik)
. Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di
ketinggian 2300 m dpl, kandungan C-organik untuk kedalaman 0-20 cm
tergolong sedang sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong
sangat tinggi. Untuk kedalaman 20-40 cm hutan terkena letusan
kandungan C-organiknya tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak
terkena letusan tergolong tinggi.
Begitu juga pada hutan terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl,
untuk kedalaman 0-20 cm kandungan C-organik tergolong rendah
sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sangat tinggi. Untuk
kedalaman 20-40 cm pada hutan terkena letusan maupun tidak terkena
letusan kandungan C- organik tergolong sangat tinggi.
Jika dibandingkan hutan terkena letusan dengan hutan tidak terkena
letusan, kandungan C-organik lebih tinggi pada hutan tidak terkena
letusan. Tingginya kandungan C-organik pada hutan tidak terkena letusan
disebabkan karena pada hutan tersebut banyak mendapat sumbangan dari
pelapukan bahan-bahan organik seperti serasah, ranting, tumbuhan bawah
dan pohon-pohon yang telah mati. Selain itu, pada hutan tidak terkena
letusan nilai pH tanah lebih tinggi dari pada hutan terkena letusan,
sehingga penghancuran bahan organiknya lebih cepat dari pada hutan
terkena letusan.
e. Nitrogen Total
Dari hasil analisis tanah, setelah terjadi letusan kandungan nitrogen
mengalami penurunan baik pada hutan di ketinggian 2300 m dpl maupun
2500 m dpl. Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena
letusan di ketinggian 2300 m dpl, kandungan nitrogen untuk kedalaman 0-
20 cm tergolong rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan
tergolong sedang. Pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan
untuk kedalaman 20-40 cm, kandungan nitrogen tergolong sedang.
Demikian pula pada hutan di ketinggian 2500 m dpl, hutan terkena
letusan untuk kedalaman 0-20 cm kandungan nitrogen tergolong sangat
rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sedang. Pada
hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan untuk kedalaman 20-40 cm
kandungan nitrogennya tergolong sedang.
Kandungan nitrogen pada hutan terkena letusan lebih rendah di
bandingkan hutan tidak te rkena letusan baik pada hutan di ketinggian 2300
m dpl maupun 2500 m dpl. Hal ini dapat disebabkan karena matinya
mikroorganisme di dalam tanah akibat terjadinya letusan. Selain itu juga
dapat disebabkan karena pada hutan terkena letusan banyak terdapat areal
yang terbuka sehingga nitrogen tanah hilang akibat proses erosi dan
pencucian.
f. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan yang terkena letusan di
ketingggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm tergolong
rendah sedangkan pada hutan tidak terkena letusan tergolong sedang.
Berbeda pada hutan yang terkena letusan dan tidak terkena di ketinggian
2500 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm tergolong sedang.
Menurunnya KTK pada hutan di ketinggian 2300 m dpl disebabkan
karena kandungan C-organik dan N-total pada hutan ini juga mengalami
penurunan sehingga nilai KTKnya menjadi lebih rendah dibandingkan
hutan tidak terkena letusan. Sedangkan pada hutan terkena letusan di
ketinggian 2500 m dpl nilai KTK tidak ada perubahan yang nyata dengan
hutan tidak terkena letusan karena nilai KTK sama-sama tergolong sedang.
g. Kandungan Magnesium
Berdasarkan Kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan dan tidak
terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm
kandungan Mg tergolong rendah. Pada hutan terkena letusan untuk
kedalaman 20-40 cm kandungan Mg tergolong rendah sedangkan hutan
tidak terkena letusan tergolong tinggi. Berbeda pada hutan terkena letusan
dan tidak terkena letusan di ketinggian 2500 mdpl, kandungan Mg
tergolong rendah baik pada kedalaman 0-20 cm maupun 20-40 cm.
Pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl kandungan
Mg mengalami penurunan, hal ini dapat disebabkan karena sifat Mg yang
mampir sama dengan K, yaitu sedikit lebih cepat lapuk dari pada mineral-
mineral lain. Oleh karena itu ada kecenderungan Mg di dalam tanah
menurun dengan meningkatnya pelapukan dan pencucian. Sedangkan pada
hutan yang terkena letusan di ketinggian 2500 m dpl kandungan Mg tidak
mengalami perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan. Hal
ini dapat dilihat dari kandungan Mg yang sama -sama tergolong sedang
baik hutan terkena letusan maupun tidak terkena letusan.
h. Kandungan Kalium (K)
Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan dan tidak
terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl,
kandungan K tergolong sedang.
Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan baik di
ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl kandungan K tidak mengalami
perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan.
h. Kandungan Kalsium
.Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan dan tidak
terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl,
kandungan Ca tergolong rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan yang terkena letusan baik di
ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl kandungan Ca tidak
mengalami perubahan yang nyata dengan hutan tidak terkena letusan.
Rendahnya kandungan Ca di dalam tanah karena mineral –mineral yang
mengandung Ca pada umumnya sedikit lebih cepat lapuk dari pada
mineral-mineral lain. Oleh karena itu ada kecenderungan Ca di dalam
tanah menurun dengan meningkatnya pelapukan dan pencucian.
i. Kejenuhan Basa (KB)
Berdasarkan kriteria LPT (1981) pada hutan terkena letusan di
ketinggian 2300 m dpl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm KB
tergolong rendah sedangkan hutan tidak terkena letusan tergolong sedang.
Berbeda pada hutan terkena letusan dan tidak terkena letusan di ketinggian
2500 m pdl untuk kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm KB tergolong rendah.
Penurunan nilai KB pada hutan di ketinggian 2300m dpl disebabkan
pada hutan tersebut kandungan kation-kation basanya juga mengalami
penurunan sehingga nilai KB
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Terjadinya perubahan komposisi hutan setelah terjadinya letusan Gunung
Papandayan dari hutan klimaks menjadi vegetasi semak belukar terutama
pada hutan yang berada di ketinggian 2500 m dpl, sedangkan pada
ketinggian 2300 m dpl pertumbuhan permudaan masih sangat sedikit.
2. Jenis-jenis pionir yang terdapat pada areal hutan yang terkena letusan
diantaranya Ilateun (Agrostis infirma), Bagedor paku (Cyatea
contaminans), dan Paku tangkur (Selliguea heterocarpa ). Sedangkan
untuk pohon dan permudaannya Kendung (Helicia serrata ), Segel
(Wormia excelsa), Anggrid (Neonauclea lanceolata), Suwagi (Vaccinium
varingifolium) dan Huru batu ( Litsea glutinosa).
3. Proses suksesi yang terjadi di Gunung Papandayan setelah tiga tahun
letusan di ketinggian 2300 m dpl lebih lambat dibandingkan dengan 2500
m dpl.
4. Sifat fisik (tekstur) dan sifat kimia (pH, karbon organik, nitrogen total,
fosfor, kalium, magnesium, kalsium, kapasitas tukar kation dan kejenuhan
basah) tanah tidak mengalami perubahan yang begitu besar setelah
terjadinya letusan Gunung Papandayan.
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian secara berkala dan kontinu untuk mengetahui
tingkat perkembangan suksesi di Gunung Papandayan hingga terbentuknya
hutan klimaks.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Bens on, L. and J.D. Laudermik. 1975. Plant classification. DC Health and Company. Boston BKS. PTN. 1991. Kesuburan Tanah. Direktorat Jendral PendidikanTinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1969. Ilmu Tanah. Sumigan (pen) 1982. Batara Karya Aksara. Jakarta Clarke, G. L. 1954. Element of Ecology. JohnWiley and Sons, Inc. New York. Danserau, P. 1954. Biogeography on Ecological Perspectivs. The Ronald Press
Company. New York Desmukh, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung Foth, H. D. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Ed : Hudoyo, S. A. B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Gates, F. C. 1949. Field Manual of Plant Ecology. Mc. Grow Hill Book Co. Inc. New York Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta ______________ 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta Harlow, W. M and E. S. Harar. 1958. Textbook of Dendrology. Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York Kartawinata, K., S. Ressodarmo., A. Soegiarto. 1992. Pengantar Ekologi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Kusmana, C. 1995. Bahan Kuliah Dendrologi I. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Lee, R. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Loveless, A.R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropika 2. Gramedia. Jakarta
Manan, S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Odum, E. P. 1971. Fundamendal of Ecology. W.B.Saunders Company. Philadelphia Purwowidodo. 1998. Mengenal Tanah Hutan : Penampang Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Samingan, T. 1980. Dendrologi. Gramedia. Jakarta Sarief, E. S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. C.V. Pustaka Buana. Bandung Shukla, R. S. and P. S. Chandel.1982. Plant Ecology. Fifth Revision and Enlarged Edision. Schand and Company Ltd. Ram Nagar. New Delhi Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor Spurr, S. H. 1964. Forest Ecology. The Ronald Press Company. USA. New York Sutisna, U. 1981. Komposisi Flora Hutan Bekas Tebangan di Kelompok Hutan Stagen Pulau Laut Kalimantan Selatan : Deskripsi dan Analisa. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor Whittaker, R. H. 1975. Communities and Ecosystem. Clarendon Press. Oxford Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas.
Universitas Indonesia Press. Jakarta Wyatt-Smith, J. 1963. Manual of Malaya Silviculture Part I-III. Malayan Forestry Rec. No. 23. Forest Research Institute. Kepong, Malaysia
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hutan Terkena Letusan dan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl
Hutan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl
Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2300 m dpl
Lampiran 2 : Hutan Terkena Letusan dan Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena letusan dan tidak terkena letusan di Ketinggian 2300 m dpl
Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl
Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl
Kondisi Vegetasi pada Hutan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian 2500 m dpl
Lampiran 3 : Spesimen Herbarium
Huru sintok dan Anggrid
Huru buah dan Kokosan Ki banen dan Ki sapu Huru bodas dan Segel Huru batu dan Kendung
Spesimen Herbarium
Lampiran 4: Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena Letusan 2300 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Suwagi Vaccinium varingifolium 176 100 0.2 100 200
Jumlah 176 100 0.2 100 200
2. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Suwagi Vaccinium varingifolium 56 100 0.28 100 0.07 100 300
Jumlah 56 100 0.28 100 0.07 100 300
3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Suwagi Vaccinium varingifolium 2 100 0.08 100 0.09 100 300
Jumlah 2 100 0.08 100 0.09 100 300
Lampiran 5: Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena Letusan 2300 m dpl
1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Cantigi Vaccinium lucidum 1400 13.73 0.16 19.05 32.77 Segel Wormia excelsa 300 2.94 0.04 4.76 7.70 Suwagi Vcacinium varingifolium 8500 83.33 0.64 76.19 159.52
Jumlah 10200 100 0.84 100 200
2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Cantigi Vaccinium lucidum 400 2.03 0.04 3.85 5.88 Suwagi Vaccinium varingifolium 19300 97.97 1 96.15 194.12
Jumlah 19700 100 1.04 100 200
3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Suwagi Vaccinium varingifolium 520 100 1 100 7.10 100 300
Jumlah 520 100 1 100 7.10 100 300
4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Suwagi Vaccinium varingifolium 42 100 0.64 100 1.70 100 300
Jumlah 42 100 0.64 100 1.70 100 300
5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak
Nama Jenis Nama Ilmiah K KR F FR INP Edelweis Anaphalis javanica 160 0.43 0.04 1.21 1.64 Harendong Melastoma malabathricum 656 1.75 0.48 14.55 16.30 Ilateun Agrostis infirma 8320 22.19 0.82 24.85 47.04 Jajambuan Eugenia sp 896 2.39 0.48 14.55 16.94 Pakis munding Angiopteris evecta 12528 33.42 0.4 12.12 45.54 Paku andam Gleichania linearis 13152 35.08 0.72 21.82 56.90 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 1776 4.74 0.36 10.91 15.65
Jumlah 37488 100 3.3 100 200.00 Lampiran 6: Indeks Nilai penting pada Hutan terkena letusan 2500 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP
Anggrid Neonauclea lanceolata 1600 12.50 0.28 14.58 27.08 Huru batu Litsea glutinosa 500 3.91 0.16 8.33 12.24 Huru beureum Literatur belum ditemukan 100 0.78 0.04 2.08 2.87 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 500 3.91 0.16 8.33 12.24 Huru minyak Lindera polyantha 700 5.47 0.12 6.25 11.72 Jamuju Podocarpus imbricatus 200 1.56 0.04 2.08 3.65 Kendung Helicia serrata 6100 47.66 0.68 35.42 83.07 Ki sapu Eurya acuminata 200 1.56 0.04 2.08 3.65 Segel Wormia excelsa 2900 22.66 0.40 20.83 43.49
Jumlah 12800 100.00 1.92 100.00 200.00
2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Anggrid Neonauclea lanceolata 192 19.05 0.32 20.00 39.05 Huru batu Litsea glutinosa 112 11.11 0.28 17.50 28.61 Huru beureum Literatur belum ditemukan 32 3.18 0.04 2.50 5.68 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 16 1.59 0.04 2.50 4.09 Huru minyak Lindera polyantha 16 1.59 0.04 2.50 4.09 Kendung Helicia serrata 144 14.29 0.2 12.50 26.77 Ki banen Crypteronia peniculata 16 1.59 0.04 2.50 4.09 Ki sapu Eurya acuminata 16 1.59 0.04 2.50 4.09 Segel Wormia excelsa 400 39.68 0.52 32.50 72.18 Suwagi Vaccinium varingifolium 64 6.35 0.08 5.00 11.35
Jumlah 1008 100.00 1.6 100.00 200.00 3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP
Anggrid Neonauclea lanceolata 76 20.43 0.56 26.42 1.30 20.33 67.18 Huru batu Litsea glutinosa 52 13.98 0.32 15.09 1.02 15.85 44.92 Huru minyak Lindera polyantha 4 1.08 0.04 1.89 0.08 1.22 4.18 Jamuju Podocarpus imbricatus 12 3.23 0.12 5.66 0.20 3.15 12.04 Kendung Helicia serrata 20 5.38 0.16 7.55 0.37 5.82 18.74 Segel Wormia excelsa 188 50.54 0.80 37.74 2.96 46.22 134.49 Suwagi Vaccinium varingifolium 20 5.38 0.12 5.66 0.48 7.41 18.44
Jumlah 372 100.00 2.12 100.00 6.41 100.00 300.00
4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP
Anggrid Neonauclea lanceolata 77 53.85 0.80 30.77 6.73 63.86 148.48 Huru batu Litsea glutinosa 5 3.50 0.12 4.62 0.21 2.01 10.12 Huru bodas Ficus padana 1 0.70 0.04 1.54 0.18 1.68 3.92 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 2 1.40 0.08 3.08 0.11 1.01 5.48 Huru cabe Buchanania arborescens 3 2.10 0.12 4.62 0.23 2.18 8.89 Huru minyak Lindera polyantha 1 0.70 0.04 1.54 0.04 0.33 2.57 Jamuju Podocarpus imbricatus 8 5.60 0.24 9.23 0.59 5.39 20.22 Kendung Helicia serrata 3 2.10 0.12 4.62 0.16 1.51 8.22 Ki teke Myrica javanica 2 1.40 0.12 4.62 0.18 1.67 7.69 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 2 1.40 0.08 3.08 0.26 2.46 6.93 Segel Wormia excelsa 33 23.08 0.68 26.15 1.54 14.58 63.81 Suwagi Vaccinium varingifolium 6 4.20 0.16 6.15 0.35 3.33 13.68
Jumlah 143 100.00 2.60 100.00 10.54 100.00 300.00 5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Bagedor paku Cyathea contaminans 2192 27.08 0.84 28.38 55.45 Bungbrun Polygonum chinense 768 9.49 0.12 4.05 13.54 Harendong Melastoma malabathricum 16 0.20 0.04 1.35 1.55 Ilateun Agrostis infirma 2064 25.50 0.72 24.32 49.82 Kembang anting Literatur belum ditemukan 16 0.20 0.04 1.35 1.55 Kokoasan Lansium domesticum 80 0.99 0.04 1.35 2.34 Pakis bulu Belum diketahui 592 7.31 0.32 10.81 18.12 Pakis munding Angiopteris evecta 864 10.67 0.12 4.05 14.73 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 624 7.71 0.08 2.70 10.41 Paku-pakuan Filices sp 256 3.16 0.08 2.70 5.86 Ramo giling Schefflera aromatica 624 7.71 0.56 18.92 26.63
Jumlah 8096 100.00 2.96 100.00 200.00
6. Indeks Nilai Penting (INP) Liana dan Efifit
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Anggrek Vanilla planifolia 1 2 0.04 7.69 9.69 Areuy bulu Argyreia capitata 44 88 0.44 84.6 172.62 Cocok bubu Argostemma montanum 5 10 0.04 7.69 17.69
Jumlah 50 100 0.52 100.00 200.00
Lampiran 7: Indeks Nilai penting pada Hutan tidak terkena letusan 2500 m dpl 1. Indeks Nilai Penting (INP) Semai
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP
Anggid Neonauclea lanceolata 200 1.80 0.08 5.13 6.93 Huru batu Litsea glutinosa 400 3.60 0.16 10.26 13.86 Huru bodas Ficus padana 400 3.60 0.08 5.13 8.73 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 100 0.90 0.04 2.56 3.47 Huru minyak Lindera polyantha 200 1.80 0.04 2.56 4.37 Huru sintok Cinnamomum sintoc 700 6.31 0.2 12.82 19.13 Kayu manis Cinnamomum burmanii 300 2.70 0.04 2.56 5.27 Kendung Helicia serrata 1000 9.01 0.28 17.95 26.96 Ki putri Podocarpus neriifolius 700 6.31 0.16 10.26 16.56 Ki urat beureum Plantago major 600 5.41 0.04 2.56 7.97 Salam Eugenia operculata 5900 53.15 0.36 23.08 76.23 Segel Wormia excelsa 600 5.41 0.08 5.13 10.53
Jumlah 11100 100.00 1.56 100.00 200.00
2. Indeks Nilai Penting (INP) Pancang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Anggrid Neonauclea lanceolata 352 12.02 0.36 10.23 22.25 Huru batu Litsea glutinosa 48 1.64 0.08 2.27 3.91 Huru bodas Ficus padana 480 16.39 0.52 14.77 31.17 Huru cabe Buchanania arborescens 32 1.09 0.08 2.27 3.37 Huru huut Litsea monopetala 16 0.55 0-Jan 1.14 1.68 Huru jeruk Litsea amara 32 1.09 0.04 1.14 2.23 Huru minyak Lindera polyantha 112 3.83 0.2 5.68 9.51 Huru sintok Cinnamomum sintoc 80 2.73 0.12 3.41 6.14 Kendung Helicia serrata 304 10.38 0.36 10.23 20.61 Ki putri Podocarpus neriifolius 272 9.29 0.44 12.50 21.79 Ki urat beureum Plantago major 112 3.83 0.08 2.27 6.10 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 144 4.92 0.12 3.41 8.33 Pasang beureum Quercus lineata 96 3.28 0.2 5.68 8.96 Puspa Schima walichii 80 2.73 0.08 2.27 5.01 Ramo gencel Schefflera aromatica 64 2.19 0.12 3.41 5.60 Salam Eugenia operculata 576 19.67 0.48 13.64 33.31 Segel Wormia excelsa 128 4.37 0.2 5.68 10.05
Jumlah 2928 100.00 3.52 100.00 200.00
3. Indeks Nilai Penting (INP) Tiang
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Anggrid Neonauclea lanceolata 24 6.52 0.2 6.67 0.41 6.70 19.89 Huru batu Litsea glutinosa 16 4.35 0.12 4.00 0.31 5.14 13.49 Huru bodas Ficus padana 20 5.44 0.2 6.67 0.38 6.23 18.33 Huru cabe Buchanania arborescens 16 4.35 0.16 5.33 0.16 2.65 12.33 Huru minyak Lindera polyantha 16 4.35 0.12 4.00 0.28 4.61 12.95 Huru sintok Cinnamomum sintoc 40 10.87 0.2 6.67 0.60 9.80 27.34 Kendung Helicia serrata 8 2.17 0.08 2.67 0.13 2.05 6.89 Ki harendong Astronia spectabilis 4 1.09 0.04 1.33 0.05 0.88 3.30 Ki putri Podocarpus neriifolius 8 2.17 0.08 2.67 0.13 2.14 6.98 Ki seueur Antidesma tentrandum 4 1.09 0.04 1.33 0.05 0.86 3.28 Pasang beureum Quercus lineata 52 14.13 0.44 14.67 0.94 15.43 44.23 Puspa Schima walichii 4 1.09 0.04 1.33 0.08 1.23 3.65 Ramo gencel Schefflera aromatica 44 11.96 0.32 10.67 0.66 10.87 33.50 Salam Eugenia operculata 48 13.04 0.36 12.00 0.91 15.02 40.06 Segel Wormia excelsa 64 17.39 0.6 20.00 1.00 16.40 53.79
Jumlah 368 100.00 3 100.00 6.08 100.00 300.00
4. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Anggrid Neonauclea lanceolata 21 4.88 0.28 3.63 1.85 6.34 14.85 Huru batu Litsea glutinosa 70 16.28 0.92 11.92 4.77 16.37 44.57 Huru bodas Ficus padana 49 11.40 0.72 9.33 3.90 13.37 34.10 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 1 0.23 0-Jan 0.52 0.03 0.11 0.86 Huru cabe Buchanania arborescens 8 1.86 0.28 3.63 0.74 2.55 8.03 Huru huut Litsea monopetala 6 1.40 0.16 2.07 0.24 0.81 4.28 Huru jeruk Litsea amara 8 1.86 0.32 4.15 0.53 1.82 7.82 Huru minyak Lindera polyantha 3 0.70 0.12 1.55 0.13 0.46 2.71 Huru piit Eugenia occlusa 1 0.23 0.04 0.52 0.04 0.14 0.89 Huru sintok Cinnamomum sintoc 31 7.21 0.68 8.81 2.25 7.73 23.75 Jamuju Podocarpus imbricatus 1 0.23 0.04 0.52 0.03 0.11 0.86 Kendung Helicia serrata 11 2.56 0.32 4.15 0.69 2.37 9.07 Ki harendong Astronia spectabilis 5 1.16 0.12 1.55 0.30 1.04 3.76 Ki hujan Engelhardia spicata 5 1.16 0.12 1.55 0.59 2.02 4.74 Ki putri Podocarpus neriifolius 10 2.33 0.28 3.63 0.61 2.10 8.05 Ki seueur Antidesma tentrandum 7 1.63 0.24 3.11 0.30 1.04 5.78 Kiray Metroxylon spec 3 0.70 0.08 1.04 0.14 0.47 2.20 Lemo Litsea cubeba 1 0.23 0.04 0.52 0.05 0.18 0.94 Pasang beunyeur Literatur belum ditemukan 3 0.70 0.12 1.55 0.17 0.58 2.83 Pasang beureum Quercus lineata 40 9.30 0.8 10.36 2.66 9.13 28.79 Puspa Schima walichii 25 5.81 0.4 5.18 2.01 6.89 17.89 Ramo gencel Schefflera aromatica 7 1.63 0.2 2.59 0.32 1.11 5.33 Salam Eugenia operculata 94 21.86 0.84 10.88 5.77 19.82 52.56 Segel Wormia excelsa 20 4.65 0.56 7.25 1.00 3.43 15.34
Jumlah 430 100.00 7.72 100.01 29.12 99.99 300.00
5. Indeks Nilai Penting (INP) Herba dan Semak
Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR INP Arben Duchesnea indica 640 7.86 0.52 13.40 21.26 Babadotan Ageratum conyzoides 16 0.20 0.04 1.03 1.23 Bagedor paku Cyathea contaminas 1488 18.27 0.64 16.50 34.77 Bubukuan bulu Sambucus javanica 128 1.57 0.16 4.12 5.70 Bulu manik Literatur belum ditemukan 112 1.38 0.04 1.03 2.41 Bungbrun Polygonum chinense 96 1.18 0.16 4.12 5.30 Canar Smilax celebica 176 2.16 0.24 6.19 8.35 Harendong Melastoma malabathricum 320 3.93 0.36 9.29 13.21 Ilateun Agrostis infirma 1488 18.27 0.48 12.37 30.64 Ki urat beureum Plantago major 208 2.55 0.24 6.19 8.74 Kirinyu Eupathorium oderata 560 6.88 0.08 2.06 8.94 Kokosan Lansium domesticum 192 2.36 0.24 6.19 8.54 Pakis munding Angiopteris evecta 112 1.38 0.08 2.06 3.44 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 464 5.70 0.12 3.09 8.79 Paku-pakuan Filices sp 288 3.54 0.08 2.06 5.60 Pinding Literatur belum ditemukan 16 0.20 0.04 1.03 1.23 Pohpohan Pilea trinervis 32 0.40 0.04 1.03 1.42 Tarake gunung Gunnera macropylla 16 0.20 0.04 1.03 1.23 Teklan Eupathorium riparicum 1792 22.00 0.28 7.22 29.22
Jumlah 8144 100.00 3.88 100.00 200.02
Lampiran 8: Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H’)
Lokasi Pengamatan Tingkat vegetasi 2300 m dpl Terkena
Letusan 2300 m dpl Tidak Terkena Letusan
2500 m dpl Terkena Letusan
2500 m dpl Tidak Terkena Letusan
Semai 0.00 0.53 1.53 1.74 Pancang 0.00 0.03 1.75 2.45 Tiang 0.00 0.00 1.42 2.40 Pohon 0.00 0.00 1.49 2.53
Herba dan Semak 0.00 1.40 1.93 2.31 Liana dan Epifit 0.00 0.00 0.42 0.68
Lampiran 9 : Indeks Kekayaan Margalef (R1)
Lokasi Pengamatan Tingkat vegetasi 2300 m dpl Terkena
Letusan 2300 m dpl Tidak Terkena Letusan
2500 m dpl Tekena Letusan
2500 m dpl Tidak Terkena Letusan
Semai 0.00 0.22 0.85 1.18 Pancang 0.00 0.10 1.30 2.00
Tiang 0.00 0.00 1.01 2.37 Pohon 0.00 0.00 2.22 3.79
Herba dan Semak 0.00 0.57 1.00 2.00 Liana dan Epifit 0.00 0.00 0.51 0.51
Lampiran 10 : Indeks Kemerataan (E)
Lokasi Pengamatan Tingkat vegetasi 2300 m dpl Terkena
Letusan 2300 m dpl Tidak Terkena Letusan
2500 m dpl Tekena Letusan
2500 m dpl Tidak Terkena Letusan
Semai 0.00 0.48 0.70 0.70 Pancang 0.00 0.04 0.76 0.86 Tiang 0.00 0.00 0.73 0.89 Pohon 0.00 0.00 0.60 0.80
Herba dan Semak 0.00 0.72 0.80 0.78 Liana dan Epifit 0.00 0.00 0.38 0.99
Lampiran 11 : Indeks Dominansi (C)
Lokasi Pengamatan Tingkat vegetasi 2300 m dpl Terkena
Letusan 2300 m dpl Tidak Terkena Letusan
2500 m dpl Tekena Letusan
2500 m dpl Tidak Terkena Letusan
Semai 0.000 0.665 0.250 0.193 Pancang 1.000 0.943 0.212 0.100
Tiang 1.000 1.000 0.283 0.108 Pohon 1.000 1.000 0.301 0.094
Herba dan Semak 0.000 0.020 0.179 0.103 Liana dan Epifit 0.000 0.000 0.755 0.500
Lampiran 12 : Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Ekosistem yang Dibandingkan Tingkat vegetasi
Hutan 2300 m dpl Hutan 2500 m dpl Semai 0.00 20.92
Pancang 1.77 26.83 Tiang 19.44 31.35 Pohon 9.09 20.24
Herba dan Semak 0.00 49.26 Liana dan Epifit 0.00 3.51
Lampiran 13 : Daftar Nama Jenis Pohon di Gunung Papandayan
Nama Lokal Nama ilmiah Suku/famili Anggrid Neonauclea lanceolata Rubiaceae Cantigi Vaccinium lucidum Ericaceae Huru batu Litsea glutinosa Lauraceae Huru beureum Belum diketahui Belum diketahui Huru buah Beilschmiedia gemmiflora Lauraceae Huru bodas Ficus padana Moraceae Huru cabe Buchanania arborescens Vitaceae Huri huut Litsea monopetala Lauraceae Huru jeruk Litsea amara Lauraceae Huru minyak Lindera polyantha Lauraceae Huru piit Eugenia occlusa Myrtaceae Huru sintok Cinnamomum sintoc Lauraceae Jamuju Podocarpus imbricatus Podocarpaceae Kayu manis Cinnamomum burmanni Lauraceae
Kendung Helicia serrata Proteaceae Kiray Metroxylon spec Palmae Ki banen Crypteronia peniculata Crypteroniaceae Ki harendong Astronia spectabilis Melastomaceae Ki hujan Engelhardia spicata Fagaceae Ki putri Padocarpus neriifolius Podocarpaceae Ki sapu Eurya acuminata Theaceae Ki seueur Antidesma tentrandum Euphorbiaceae Ki teke Myrica javanica Myricaceae Ki urat beureum Plantago major Plantaginaceae Lemo Litsea cubeba Lauraceae Pasang beureum Quercus lineata Pagaceae Pasang beunyeur Belum diketahui Pagaceae Puspa Schima wallichii Theaceae Ramo gencel Schefflera aromatica Aquifoliaceae Salam Eugenia operculata Myrtaceae Segel Wormia excelsa Dilleniaceae Suwagi Vaccinium varingifolium Ericaceae
Lampiran 14 : Daftar Nama Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung Papandayan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku/Ilmiah 1 Anggrek Vanilla planifolia Orchidaceae 2 Arben Duchesnea indica Rosaceae 3 Areuy bulu Argyreia capitata Convolvulaceae 4 Babadotan Ageratum conyzoides Compositae 5 Bagedor paku Cyathea contaminans Cyatheaceae 6 Bubukuan bulu Sambucus javanica Caprifoliaceae 7 Bulu manik Belum diketahui Belum diketahui
8 Bungbrun Polygonum chinense Polygonaceae 9 Canar Smilax celebica Smilaceae 10 Cocok bubu Argostemma montanum Rubiaceae 11 Edelweis Anaphalis javanica Compositae 12 Harendong Melastoma malabathricum Melastomaceae 13 Ilateun Agrostis infirma Actinidiaceae 14 Jajambuan Eugenia sp Myrtaceae 15 Kembang anting Belum diketahui Belum diketahui 16 Kirinyu Eupathorium oderata Melastomaceae 17 Ki urat beureum Plantago major Plantaginaceae 18 Kokosan Lansium domesticum Meliaceae 19 Paku-pakuan Filices sp Filices 20 Pakis bulu Belum diketahui Belum diketahui 21 Pakis munding Angiopteris evecta Filices 22 Paku andam Gleichania linearis Gleichaniaceae 23 Paku tangkur Selliguea heterocarpa Filices 24 Pinding Belum diketahui Belum diketahui 25 Pohpohan Buchanaria arborescens Laportea 26 Ramo giling Schefflera lucescens Araliaceae 27 Seureuh leuweung Piper sulcatum Piperaceae 28 Tarake gunung Gunnera macropylla Halorrhagidaceae 29 Teklan Eupathorium riparicum Melastomaceae
Lampiran 15 : Data Kimia Tanah No Lokasi
Pengamatan Kedalaman
Tanah pH C-
Organik N-Total P-
bray P-Total Ca Mg K Na
0-20 cm 3.45 2.17 0.17 37.8 323.1 2.48 0.92 0.36 0,48 1 2300 m dpl terkena letusan 20-40 cm 3.39 1.59 0.11 46.0 364.8 2.90 0.79 0.28 0,36
0-20 cm 3.57 6.69 0.46 4.6 260.1 4.68 2.06 0.42 0,56 2 2300 mdpl tidak terkena letusan 20-40 cm 3.63 3.26 0.23 21.3 188.3 4.72 2.30 0.46 0,58
0-20 cm 3.84 1.00 0.09 23.0 218.5 3.30 1.45 0.36 0,54 3 2500 m dpl terkena letusan 20-40 cm 3.75 6.52 0.38 6.6 73.9 4.27 1.68 0.48 0,56
0-20 cm 3.91 6.01 0.36 20.5 183.5 3.43 1.08 0.32 0,42 4 2500 m dpl tidak terkena letusan 20-40 cm 3.68 6.60 0.42 21.3 221.9 2.90 0.86 0.30 0,36
No Lokasi
Pengamatan Kedalaman
Tanah Al H Fe Cu Zn Mn KTK KB
0-20 cm 22,93 7,46 28,08 6,20 7,60 9,84 12.18 34.8 1 2300 m dpl terkena letusan 20-40 cm 26,15 6,72 8,24 9,20 14,00 12,04 12.94 33.5
0-20 cm 9,04 1,90 3,16 0,72 4,48 8,88 18.65 41.4 2 2300 mdpl tidak terkena letusan 20-40 cm 7,54 1,54 1,80 0,28 4,12 6,84 18.28 44.1
0-20 cm 21,31 2,74 5,12 1,96 3,36 7,44 22.45 25.2 3 2500 m dpl terkena letusan 20-40 cm 7,06 1,16 13,80 1,20 1,80 26,16 25.12 27.8
0-20 cm 1,58 0,94 3,16 0,36 1,80 25,28 20.55 25.5 4 2500 m dpl tidak terkena letusan 20-40 cm 2,94 1,02 3,20 0,32 1,48 19,00 22.07 20.0
Lampiran 16 : Data Fisik Tanah
Tekstur Tanah No Lokasi Pengamatan
Kedalaman Tanah Pasir Debu Liat
0-20 cm 52.96 25.99 21.05 1 2300 m dpl terkena letusan 20-40 cm 45.95 24.81 29.24 0-20 cm 52.70 34.64 12.66 2 2300 mdpl tidak terkena letusan 20-40 cm 48.37 33.32 18.31 0-20 cm 26.90 41.59 31.51 3 2500 m dpl terkena letusan 20-40 cm 36.01 32.87 49.11 0-20 cm 57.60 24.43 18.27 4 2500 m dpl tidak terkena letusan 20-40 cm 37.29 38.36 24.35